Boma Gendenk - Bonek Candi Sewu

BOMA GENDENK
Karya: Bastian Tito
Episode 7
BONEK CANDI SEWU
Bonek Candi Sewu
SATU
TIGA DEDENGKOT KEJAHATAN MENYUSUN RENCANA

BEBERAPA jam menjelang tengah malam, di satu rumah papan kotor berdebu di pinggir daerah pesawahan tak jauh dari Desa Ngaran. Tiga orang tokoh rimba persilatan dari masa lampau yang oleh kekuatan gaib mampu masuk ke alam sekarang, berada di dalam rumah  itu. Duduk di lantai beralaskan daun pisang, mengelilingi sebuah lampu minyak. Nyala api lampu minyak tampak bergoyang-goyang oleh hembusan angin yang masuk lewat celah-celah lapuk  papan dinding, membuat bayang-bayang seram di dalam rumah.
Tiga orang itu adalah kakek berwajah pucat seolah tak berdarah, dikenal dengan panggilan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Orang kedua ialah musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng, yaitu Pangeran Matahari yang selama ini dijuluki sebagai Pangeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak. Di antara ke dua orang itu duduk seorang nenek berambut kusut awut-awutan, mengenakan mantel biru. Mukanya tertutup dandanan tebal tak karuan,  membuat tampangnya yang buruk kelihatan angker seperti setan. Sepuluh kuku jari tangannya yang panjang-panjang memiliki dua warna. Kadang-kadang kelihatan merah, sesekali berubah hitam. Dialah yang dikenal dengan nama Kunti Api, guru Si Muka, Bangkai.
"Eyang Guru, apakah kau berhasil mendapatkan dan mengamankan telur pembuka Stupa?" Bertanya Pangeran Matahari pada Kunti Api.
Dia merasa perlu menanyakan hal ini karena dialah yang telah menjebloskan dan menyekap Dwita Tifani, pelajar kelas dua SMU Nusantara III, ke dalam Stupa Arca Amoghasidi di Candi Borobudur. Dia tidak ingin kalau gadis cantik itu berhasil keluar dari dalam Stupa.
Kunti Api luruskan tubuhnya. Sambil menyeringai, dengan nada congkak dia berkata. "Kalian bisa lihat sendiri apa yang aku dapatkan."
Dari balik mantel biru, dari dalam lipatan sehelai sapu tangan dia mengeluarkan sebuah benda berwarna lonjong putih. Benda ini digelindingkannya di atas daun pisang. Ternyata sebutir telur ayam. Si Muka Bangkai ambil telur itu, memperhatikan sejenak, menimang-nimangnya beberapa kali, kemudian berpaling pada Si Muka Bangkai dan berkata.
"Muka Bangkai, walau muridmu belum berhasil membunuh Boma, tapi kita akan berhasil membunuh anak perempuan yang disayanginya itu. Anak itu akan menemui ajal pada dua pertiga malam. Malam ini. Sekitar jam tiga menjelang pagi nanti. Seumur hidup Boma akan dihantui kematian anak perempuan itu. Jika memang umur anak lelak ini panjang. Tapi kalau dia keburu mati di tangan kita, sepasang remaja itu akan jadi roh penasaran, gentayangan berdua kemana-mana. Hik...hik...hik!"
"Eyang," ucap Si Muka Bangkai sambil hcrhatikan kembali telur dalam pegangan tangan kanannya. "Mudah-mudahan aku tidak keliru. Aku merasa ada kelainan pada telur ini. Waktu Eyang mendapatkan dan membawanya ke sini, apakah Eyang tidak meneliti lebih dahulu?"
Sepasang alis mata Kunti Api yang dipoles hitam kereng mencuat ke atas.
"Muka Bangkai, apa maksudmu?" Nenek bermantel biru bertampang angker bertanya.
"Telur ini enteng sekali, Guru. Aku merasa seperti memegang telur penyu kering yang sudah kosong. Agaknya isi telur ayam ini telah berpindah ke tempat lain. Berarti telur ini tidak ada artinya sama sekali."
Kunti Api unjukkan tampang sewot.
"Jangan kau bicara seperti itu, Muka Bangkai! Aku sendiri yang  mengambil telur ini dari orang yang pertama kali mendapatkannya. Bahkan waktu barusan aku keluarkan dari dalam sapu tangan masih terasa berat! Tanda ada isinya!"
"Maaf Eyang, kalau Eyang tidak percaya silahkan memegang sendiri."
Si Muka Bangkai lalu serahkan telur ayam yang dipegangnya pada sang guru. Kunti Api tersentak kaget, tampangnya langsung berubah ketika dia memegang telur dan merasakan betapa telur ayam itu enteng sekali.
"Gila! Apa yang terjadi?! Waktu aku mengambil telur dari orang itu, keadaannya tidak seperti ini. Tidak enteng! Tadipun sudah aku katakan. Waktu barusan aku keluarkan dari dalam sapu tangan masih terasa berat, tanda ada isinya!"
"Berarti kekuatan yang ada di dalam telur lenyap barusan saja," Pangeran Matahari keluarkar ucapan.
"Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin!" Kata Kunti Api pula. Matanya berkilat marah. "Jahanam Pasti ada orang mengerjaiku!"
Saking marahnya Kunti Api remas telur ayam, itu hingga berderak hancur semudah menghancurkan kerupuk. Dari pecahan telur tidak ada cairan putih dan cairan kuning yang keluar. Telur itu ternyata memang kosong! 
Kunti Api pandangi dengan mata mendelik tangan kanannya yang dipenuhi hancuran kulit telur. Masih tidak bisa percaya dia. "Nenek Guru, dari siapa kau mendapatkan telur ini?" Bertanya Pangeran Matahari. Kunti Api menatap mata Pangeran Matahari sesaat, baru menjawab. "Dari seseorang yang aku kuntit sejak beberapa hari lalu. Aku tidak tahu nama bangsat itu!"
"Nenek Guru merampas telur  ini lalu membunuh orangnya?" tanya Pangeran Matahari lagi.
"Tidak, aku tidak membunuhnya. Aku mengancam saja dia sudah ketakutan setengah mati. Telur diberikannya dengan suka rela."
"Maaf Nenek Guru, kalau telur ini merupaka satu benda keramat, dia tidak mungkin memberikan begitu saja. Orang itu telah  menipu Nenek Guru!
Merah padam tampang angker Kunti Api rnendengar kata-kata Pangeran Matahari itu. Marah setengah mati karena bisa tertipu oleh ketololannya sendiri. Sebaliknya Pangeran Matahari tampak tersenyum. Selama ini Si Muka Bangkai sering memakinya  sebagai manusia tolol. Saatnya dia punya kesempatan untuk menyindir. Sambil mengerling ke arah Si Muka Bangkai, pemuda ini berkata.
"Nenek Guru, hidup kita sebagai manusia biasa memang begitu adanya. Seribu kali kita merasa  pandai, terkadang satu kali bisa saja kita berbuat yatu ketololan, sadar atau tidak sadar. Jadi harap Nenek Guru tidak berkecil hati." Habis berkata begitu Pangeran Matahari melirik ke samping. Tampang Si Muka Bangkai tampak mengkeret. Kakek muka pucat ini maklum kalau Pangeran Matahari barusan telah menyindirnya.
"Nenek Guru, kalau aku boleh  bertanya, orang itu, apakah Nenek Guru tahu siapa dia adanya?" Pangeran Matahari alihkan arah bicara, ajukan pertanyaan.
"Aku tidak tahu namanya.  Tapi sejak beberapa waktu belakangan ini dia sering kelihatan di sekitar  Candi Mendut. Mengamen."
"Mengamen? Di Candi Mendut?" ulang Si Muka bangkai. Wajahnya yang pucat tampak tambah putih. Lalu dia berpaling pada muridnya. "Pangeran, aku menaruh curiga...."
"Orang yang mengamen itu," kata Pangeran Matahari sambil memandang pada Kunti Api. "Apakah Nenek Guru masih ingat bagaimana ciri-cirinya?"
"Seorang kakek tua. Berambut kaku berdiri, dicat warna pirang. Dia mengenakan jaket dan celana bulujins. Pakai anting di telinga dan pusarnya yang bodong..."
"Nenek Guru pernah mendengar dia bernyanyi?"
"Dua kali."
"Apa nyanyian yang dibawakannya?"
"Mana aku tahu nama nyanyian  itu. Tapi dua-duanya disukai orang banyak. Kalau si pengamen membawakan dua lagu itu, banyak orang pada berjoget. Menerangkan Kunti Api. 
"Nenek Guru mungkin ingat satu atau dua kata dalam nyanyian itu?" Tanya Pangeran Matahari Kunti Api urut-urut keningnya.
"Lagu pertama kalau aku tidak salah sepertinya mengajak orang minum. Tapi..."
"Minum? Minum apa Nek?"
"Bukan minum. Tapi... Lagu tentang orang bercinta.
Aahh...lagunya aneh. Bercinta tapi menyebut minum. Minum...."
"Minum kopi?" sambung Pangeran Matahari. "Betul! Minum kopi!"
"Lagunya Kopi Dangdut!"
"Betul sekali!" Kata Kunti Api sambil tepukkan dua tangannya.
"Lagu kedua, apa Nenek Guru ingat?" Kembali Pangeran Matahari bertanya. 
"Kalau aku tidak salah pakai biru-biru. Hemmm...Tenda Biru. Betul! Tenda Biru!" Kata Kunti Api pula.
"Pengamen itu, apakah lidahnya cadel? Tidak bisa menyebut er?"
Kunti Api gelengkan kepala. "Seingatku tidak cadel, tidak pelo. Dia menyebut er lempang-lempang saja."
"Pangeran Matahari," tiba-tiba Si Muka Bangkai membuka mulut. "Jangan kau berkhayal tentang kakek pengamen bernama Pelawak Sinting. Kita telah membunuhnya beberapa waktu lalu di jembatan penyeberangan di depan gedung Sarinah. Di Jakarta!"
"Betul sekali Guru," jawab Pangeran Matahari pada Si Muka Bangkai. "Tapi jangan lupa. Ada berita mengabarkan bahwa mayat Si Pelawak Sinting lenyap dicuri orang dari dalam ambulans. Siapa tahu waktu itu dia tidak mati. Hidup dan muncul lagi."
"Si Pelawak Sinting tidak berambut pirang. Tidak pernah pakai bulujins..."
"Tunggu," kata Pangeran Matahari sambil tersenyum karena Kunti Api selalu menyebut blujins dengan bulujins. "Nenek Guru, pengamen itu, apa Nenek Guru ingat peralatan apa saja yang dipakainya waktu mengamen?"
"Dia membawa gendang dan rebana yang ada kerincingannya. Sambil menyanyi dia berjoget. Lalu di kepalanya ada sebuah  payung kecil, terbuat dari kertas. Payung dikembangkan, dia bernyanyi dan berjoget. Payung  tidak jatuh. Sesekali dia memainkan sebuah benda aneh sepanjang satu jengkal. Aku tidak tahu apa namanya. Kalau ditiup benda itu mengeluarkan suara lebih merdu dari suara seruling.  Lalu....lalu dia pakai anting di kuping dan pusarnya." Kunti Api terdiam sesaat lalu bertanya.
"Pangeran Matahari, apakah kau mengenal pengamen tua itu?"
"Aku masih menduga-duga Nek. Ada sedikit keraguan. Nenek Guru ingat pada Si Pelawak Sinting yang membuat keonaran di Pasar Baru dulu?
"Aku ingat ceritamu. Tapi betul  kata gurumu Muka Bangkai. Si Pelawak Sinting tidak berambut pirang dicat. Lidahnya cadel. Dia tidak punya alat yang bisa mengeluarkan suara seperti seruling itu. Telinganya tidak pakai anting. Apa lagi dipusarnya. Lalu aku ingat, si pengamen di Candi Mendut itu menempeli giginya dengan kertas timah bungkus  rokok."
"Betul sekali Nenek Guru. Banyak perbedaan. Tapi ada persamaan. Si Pelawak Sinting membawa payung kertas. Pengamen di Candi Mendut juga punya payung kertas. Pelawak Sinting pakai rebana dan gendang. Pengamen di Candi juga punya rebana dan gendang. Dalam menyanyi keduanya berjoget sambil meletakkan payung terkembang di atas kepala. Lalu salah satu lagu yang dinyanyikan pengamen di Candi Mendut sama dengan lagu ya suka dibawakan Si Pelawak Sinting. Kopi Dangdut.”
Tiga orang di dalam rumah papan sama terdiam beberapa saat dalam kesunyian.
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang.” Si Muka Bangkai memecah kesunyian.
"Aku tahu apa yang harus kita lakukan!" Kata Kunti Api seraya bangkit berdiri. "Saat ini juga aku akan ke Candi Mendut. Pangeran Matahari, kau ikut bersamaku. Mungkin pengamen keparat itu masih menyimpan telur keramat yang asli. Muka Bangkai, kau lekas ke Candi Borobudur. Apapun yang terjadi kau harus bisa mencegah anak perempuan bernama Dwita itu dikeluarkan dari dalam Stupa. Tapi ingat! Yang paling aku  harapkan ialah agar kau bisa membunuh anak lelaki bernama Boma itu!" 
Tak lama kemudian, dalam kegelapan malam Kunti Api dan Pangeran Matahari berkelebat ke arah timur menuju Candi Mendut. Si Muka Bangkai sambil mengomel dalam hati bergerak ke arah barat. Hatinya mengkal mendapat tugas harus pergi ke Borobudur karena sebenarnya malam itu dia telah ada rencana menemui seorang janda pedagang lesehan di Malioboro. Bahkan dia telah siap-siap untuk menenggak  Majun Arab, obat kuat dalam menghadapi sang janda. Uring-uringan kakek muka pucat ini berlari menuju ke barat. Di satu tempat dia berhenti, memandang ke langit. Hatinya berkata. "Masih ada waktu....Masih ada waktu untuk bercanda dengan janda itu." Tanpa berpikir dua kali, si kakek segera memutar arah larinya. Sambil lari tangannya meraba ke balik pakaian, mengeluarkan  Majun Arab, membuka kertas pembungkus lalu mengunyah dan menelannya. Hek! Si Muka Bangkai keluarkan suara tercekik. Majun Arab tersekat di tenggorokan. Mulutnya terpencong-pencong, mata mendelik-delik. Obat kuat itu ternyata tidak mudah ditelan tanpa dibantu air.
***
DUA
SUMI PRIMBON 
SEPERTI biasa, setiap malam setelah toko-toko di sepanjang Jalan Malioboro tutup, kawasan itu berubah hidup menjadi pusat santap lesehan. Dari sekian banyak pedagang lesehan terdapat seorang janda bernama Sumi, lebih dikenal dengan panggilan  Sumi Primbon. Ada juga yang memanggilnya dengan sebutan Jeng Primbon. Predikat ini didapatnya karena sang janda memiliki kepandaian meramal berdasarkan ilmu primbon. Jika ada tamu yang ingin diramal nasibnya  sambil makan, Sumi Primbon akan melakukan dengan senang hati tanpa dipungut bayaran. Tapi tentunya Sumi Primbon tidak mau rugi. Lalu ongkos ramal dimasukkannya ke dalam makanan yang disantap sang tamu. Sumi Primbon berwajah bulat, selalu berdandan apik. Rambut hitam tebal disanggul besar ke belakang. Dalam usianya yang telah mencapai lima puluhan, tubuhnya yang gemuk dibungkus kulit putih bersih, masih bagus dan kencang untuk ukuran perempuan seusianya. Saat itu Sumi Primbon tengah sibuk melayani tamu yang duduk di atas tikar mengelilingnya. Seperti biasa janda gemuk ini selalu mengenakan kebaya lurik biru pekat yang bagian atasnya di potong rendah hingga setengah dadanya yang gembul kelihatan jelas menonjol, terkadang bergoyang-goyang membuat para tetamu, terutama lelaki tak perduli usia jadi geregetan. Konon memandang dada Sumi Primbon merupakan salah satu "bumbu" penyedap yang tidak dimiliki pedagang lesehan lainnya. Tidak mengherankan kalau tempat Sumi Primbon banyak langganan dan banyak pula makannya. Karena disini para tetamu mendapatkan ungkapan yang diplesetkan yaitu empat sehat mata sempurna. Di balik sebuah tiang beton tak jauh dari tempat Sumi Primbon menggelar dagangan, seorang kakek berwajah pucat yang bukan lain Si Muka Bangkai adanya, sibuk merapikan diri. Saat itu dia mengenakan sehelai celana hitam, kemeja gombrong biru belang-belang tangan panjang. Kemeja ini tidak dimasukkan ke dalam celana tapi dibiarkan lepas di sebelah luar dan dua ujungnya di ikat satu sama lain. Rambut putih panjangnya yang biasa awut-awutan kini tersisir licin ke belakang, diikat membentuk kuncir. Rambut itu kelihatan berkilat karena dipoles dengan minyak. Rambut yang sudah licin itu berulang kali dirapikannya dengan sebuah sisir kecil. Sambil mematut diri sepasang mata kakek ini tak putus-putus mengerling ke arah sosok Sumi Primbon. Dari kantong celana dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi minyak wangi. Minyak ini dicipratkannya sampai habis ke  pakaian dan tubuh, termasuk ketiak kiri kanan, lalu dipoleskan di kuping. Botol kosong kemudian seenaknya dicampakkan ke jalanan.
Setelah merapikan pakaian dan menyisir rambut sekali lagi, sambil bersiul-siul kecil Si Muka Bangkai melangkah gagah ke tempat Sumi Primbon menggelar lesehannya. Langsung duduk di tikar. Kehadiran orang satu ini tentu saja menarik perhatian semua tamu yang telah lebih dulu berada di tempat itu. Di tambah dengan aroma minyak wangi yang santar membuat semua orang jadi berpaling dan memandang ke arah si kakek. Ada yang terkesima melihat wajah tua yang begitu pucat. Ada pula yang terheran-heran melihat dandanannya. Seorang perempuan separuh baya yang tengah asyik menyantap makanan, menelan nasi dalam mulutnya lalu berbisik pada suami yang duduk di sebelahnya.
"Wanginya nggak kira-kira Mas. Aku kira bidadari turun dari kayangan. Tahu-tahu yang aku lihat mayat hidup."
Sang suami yang dibisiki tidak berani memandang pada Si Muka Bangkai tapi balas berbisik. "Jangan bicara  saenak utilmu dewe. Orang tua itu mungkin bukan orang sembarangan." 
Ketika Sumi Primbon memandang ke arahnya Si Muka Bangkai lemparkan senyum dan kedipkan mata.
Seorang anak muda yang duduk di depannya dan sejak tadi memperhatikan, tak tahan hati lalu menegur. "Pak tua, minyak wanginya mencorong banget. Merk apa sih?"
Si Muka Bangkai tersenyum. "Tidak ada mereknya. Tapi kalau dipakai siang pasti wangi. Kalau dipakai malam pasti harum. Siapa saja yang menciumnya bisa kecantol. Ha ...ha...ha!"
"Mending kalau kecantol. Kalau  bikin pusing kepala?!" celetuk pemuda lain teman pemuda pertama tadi.
"Eh, pusing kepala justru tanda pertama dari seorang yang mulai kecantol!" Jawab Si Muka Bangkai lalu tertawa dan ulurkan tangan mengambil segelas teh panas di depannya.
Seorang tamu di samping kiri si kakek cepat berkata.
"Pak, itu teh saya."
"Ah, maaf....maaf." Si Muka Bangkai tertawa.
"Wah! Ternyata Pak tua sudah pusing duluan." Kata tamu di sebelah si kakek. Beberapa orang tertawa mendengar ucapan itu sementara Si Muka Bangkai hanya menyeringai kaku.
"Bapak ini gaya dan dandanannya seperti ABG saja," pemuda di depan Si Muka Bangkai sambil ternyum-senyum kembali keluarkan ucapan. Kakek muka pucat ikutan senyum. "Aku tahu maksud sampean. ABG-nya pasti bukan Anak Baru Gede, tapi Aki-Aki Baru Gede. Gitu 'kan?" Semua orang yang ada di tempat itu tertawa riuh. Si kakek sendiri senyum-senyum dan usap dagunya dengan tangan kiri.
"Tau juga dia," berucap seorang tamu.
"Saya tau, Pak Tua ini pasti termasuk orang TOP." Kembali pemuda yang duduk di depan Si Muka Bangkai keluarkan ucapan. Sepertinya dia tengah memuji.
"Ah, jangan gitu ah." Ucap Si Muka Bangkai sambil mematik rambutnya yang dikuncir.
Si pemuda tertawa lebar, berkata dalam hati "Kena kau sekarang!" Teman di sebelahnya membuka mulut. "Pak, tau nggak apa yang dimaksud TOP?" ` 
"Ah, saya bukan orang beken..." Si Muka Bangkai merendah. "TOP itu singkatan Tua, Ompong, Peot!"
Suara tawa bergelak memenuhi pelataran tempat Sumi Primbon menggelar dagangan lesehannya.
Si Muka Bangkai ikut-ikutan tertawa. Walau tertawa tapi hatinya sebenarnya mulai merasa jengkel pada pemuda satu ini. Kalau saja olok-olok itu terjadi di tempat dan dalam keadaan lain, tamparan keras pasti sudah didaratkannya ke muka si pemuda. Seorang anak perempuan pembantu Sumi Primbon meletakkan segelas teh manis panas di atas tikar di depan Si Muka Bangkai. Kakek ini segera meneguk minuman itu sampai habis, membuat anak perempuan tadi dan orang-orang lain yang menyaksikan jadi terperangah, terheran-heran. Teh manis yang disuguhkan itu masih sangat panas, bahkan masih mengepulkan asap. Para tetamu yang sudah lebih dulu dihidangkan teh manis seperti itu masih belum mau minum, masih menunggu sampai tehnya agak dingin baru di minum.
Tanpa perduli pandangan orang terhadapnya Si Muka Bangkai beringsut mendekati Sumi Primbon. Janda gemuk ini memberikan sebuah piring kosong tapi Si Muka Bangkai gelengkan kepala.
Setengah herbisik dia berkata.
"Aku tidak kepingin makan. Tapi kepingin yang lain. Yang kita janjikan dua malam lalu."
Wajah bulat Sumi Primbon sesaat tampak bersemu merah. Dia tambah kikuk sewaktu ada seorang tamu sengaja keluarkan suara berdehem. Mungkin saja tamu ini tak sengaja mendengar apa yang dibisikkan kakek berpenampilan aneh dan memakai minyak wangi yang menyengat hidung itu, lalu iseng menggoda. Sebaliknya Si Muka Bangkai palingkan kepala, menatap pada orang yang berdehem, membuat orang ini cepat-cepat melengos tak berani balas memandang wajah tua dan pucat itu.
"Mas Broto, malem ini aku tidak bisa. Lagi banyak tamu. Besok saja, gimana?" Ucap Sumi Primbon. Rupanya pada sang janda Si Muka Bangkai memperkenalkan diri sebagai Broto. Hebat juga.
"Jangan gitu, Sum. Aku sudah membuat persiapan. Aku sudah minum obat kuat. Majun Arab. Sekarang aku sudah mulai on." Kata  Si Muka Bangkai. Entah dari mana dia tahu bahasa keren anak muda masa kini. Mata si kakek  mengerling ke dada sang janda. Sumi Primbon diam saja, tidak memberi reaksi. Mas Broto alias Si Muka Bangkai kembali berbisik. "Gelang emas yang kamu minta tempo hari saat ini sudah sudah kubawa. Ada dua."
Ucapan kakek muka pucat itu membuat sepasang mata Sumi Primbon kelihatan membesar dan bersinar. Dia cepat-cepat melayani beberapa orang tamu. Setelah itu kembali mendekati Pak Broto alias Si Muka Bangkai.
"Kita mau kemana?"
Si Muka Bangkai tersenyum. Jelas sekali perubahan sikap sang janda setelah dia memberitahu perihal dua gelang emas. 
"Katamu ada kios kosong di Beringharjo." 
"Betul ada. Tapi kurang aman..." 
"Lalu?" .
"Begini, ke rumahku saja."
"Weh, apa di situ aman? Gimana kalau digerebek Hantu...Maksudku itu. Han...Han..." 
"Hansip?" ujar Sumi Primbon. "Ya, itu. Hantu. Eh Hansip."
"Nggak usah khawatir. Hansip di sana koncoku semua." Jawab Sumi Primbon. "Tapi saat ini aku masih ngelayani tamu dulu. Tunggu sampai nanti sepi."
"Aku nunggu di depan Hotel Mutiara. Jangan lama-lama. Aku bisa mati berdiri. Kalau bisa  sebelum tengah malam kita sudah berada di rumahmu."
Si janda gemuk mengangguk. Dadanya yang besar menantang bergoyang. Si Muka Bangkai menelan ludahnya lalu berdiri. Walau dia sudah lama pergi tapi bau minyak wanginya masih tertinggal di tempat itu.
"Siapa tadi itu Jeng Primbon?" seorang tamu yang kepingin tahu bertanya. Dia adalah lelaki  yang tadi mengeluarkan suara berdehem.
"Mbah saya, dari Sleman. Dia minta diantar ke rumah seorang teman yang lagi sakit. Mana mungkin, wong saya lagi sibuk begini." Jawab Sumi Primbon berdusta. 
"Aneh ya orangnya."
"Memang begitu. Dia itu dukun lho."
"Oh, dukun toh? Pantes."
"Bisa  melet nggak?" Tanya pemuda yang tadi minumannya hendak diserobot Si Muka Bangkai.
"Memangnya  sampean mau melet  sopo, dek?" tanya Sumi Primbon sambil menyeka peluh di dadanya yang busung besar.
"Ya, maunya sih kepingin melet Jeng Primbon," jawab si pemuda.
"Husss!" Hardik Sumi Primbon. "Kok mau melet orang dikasih tau segala!"
"Sekarang coba Jeng Primbon ramalin saya. Siapa tahu beneran saya berjodoh sama Jeng Primbon."
"Hussss!" Sumi Primbon kembali menghardik. Kali ini sambil tangan kanannya yang besar menonjok bahu si pemuda. Cukup keras hingga yang ditonjok roboh  ke samping. Seperti robohnya susunan kotak korek api, orang di sebelah yang kejatuhan tubuh si pemuda ikut roboh. Demikian pula berturut-turut dua orang lain di sampingnya.
***
PAGI itu, Pariyem, anak perempuan empat belas tahun yang membantu Sumi Primbon jualan makanan setiap malam di lesehan Malioboro duduk di kursi rotan di teras rumah. Anak perempuan yang hanya mengecap pendidikan sampai kelas tiga SD itu sedang membaca surat kabar, pinjaman dari anak tetangga sebelah rumah. Walau tersendat-sendat setengah mengeja saat itu dia tengah asyik membaca sebuah berita. Sesekali dia menurunkan surat kabar yang dibacanya, memandang ke arah lengan kanan Sumi Primbon dimana melingkar dua gelas emas masing-masing dua puluh gram. Sumi Primbon duduk di tembok rendah teras rumah, mengenakan daster, sibuk menyiangi sayur untuk dagangan nanti malam. Duduknya sembarangan saja. Tidak sadar kalau dasternya tersingkap lebar di sebelah bawah. Karena beberapa kali Pariyem memperhatikan ke arah tangannya. Lama-lama Sumi Primbon jadi merasa tidak enak.
"Ada apa Pariyem? Kamu dari  tadi memperhatikan tanganku. Membaca lagi lalu memperhatikan lagi." 
"Nggak ada apa-apa kok Bu'de." Jawab Pariyem. Lalu meneruskan membaca. Tapi satu kali kembali Sumi Primbon memergoki anak itu tengah memandang ke arah tangan kanannya.
"Situ pasti naksir sama gelang baruku."
"Moso' sih naksir Bu'de. Saya 'kan belum pantes pakai gelang."
"Sudah, kamu mandi sana. Nanti bantu aku nyiapin bumbu."
Pariyem letakkan koran yang tadi dibacanya di atas kursi rotan, lalu berdiri. Begitu anak perempuan itu masuk ke dalam rumah Sumi Primbon segera mengambil koran di atas kursi. Dia meneliti halaman surat kabar yang tadi dibaca Pariyem. Dia menganggap berita di halaman itu biasa-biasa saja dan merasa heran kalau Pariyem begitu asyik membaca sambil sesekali memperhatikan tangan kanannya. Ketika koran itu hendak dilipatnya tiba-tiba matanya membentur satu judul berita di kolom paling kanan sebelah bawah.
***
YOGYA SEKILAS
Dua gelang emas raib secara misterius Satu kejadian aneh menimpa Sukardi, pemilik Toko Mas Sinar Terang di Beringharjo. Menurut keterangan Sukardi, seperti biasa setiap tutup toko semua emas perhiasan dagangannya dimasukkan ke dalam sebuah brankas untuk dibawa pulang. Malam itu lelaki yang belum dikarunia anak ini hanya sendirian di rumah karena istri bersama pembantunya pergi ke Solo untuk melihat ibunya yang sedang sakit. Pagi kemarin sebelum berangkat ke toko, Sukardi terlebih dulu memeriksa emas perhiasan yang ada dalam brankas. Pemilik Toko Mas Sinar Terang ini jadi terkejut karena dua buah gelang masing-masing seberat 20 gram tidak ada lagi dalam brankas. Atas dugaan wartawan yang kebetulan tetangga pedagang mas itu, adanya unsur kelupaan disangkal keras oleh Sukardi. Dia pasti sekali dua gelang emas tersebut telah dimasukkannya ke dalam brankas bersama perhiasan lain. Lalu bagaimana mungkin dua gelang bisa lenyap? Kalau dijarah pencuri mengapa tidak brankasnya dibawa kabur sekalian, ujar Sukardi.  Sukardi yang tidak percaya pada hal-hal bersifat gaib sama sekali tidak bisa percaya dan tidak yakin kalau raibnya dua gelang emas itu adalah pekerjaan makhluk sebangsa tuyul. Pedagang mas itu saat ini masih bingung. Namun dia tidak
berniat sama sekali untuk melaporkan kejadian itu kepada Polisi. Perlahan-lahan Sumi Primbon terduduk di kursi rotan. Koran yang barusan dibacanya merosot dari pangkuan, jatuh ke lantai. Jari-jari tangan kirinya mengusap-usap dua gelang yang melingkar di pergelangan lengan kanan. Ketika dia memandangi dua buah gelang itu, entah mengapa hatinya mendadak berdetak tidak enak. Dari mulut janda gemuk itu meluncur ucapan perlahan. "Mas Broto..."
***
TIGA
ARWAH PENASARAN 
MENJELANG tengah malam. Di atas selembar tikar butut, di dalam sebuah warung kosong tak jauh dari Candi Mendut, pengamen tua Si Pelawak Sinting terbaring tidur. Suara dengkurnya terdengar jelas dalam sunyinya malam sampai jauh di luar warung. Dari arah selatan Candi Mendut satu sosok laksana bayangan setan kelayapan melesat dalam gelapnya malam. Sebentar saja bayangan itu telah sampai di hadapan warung Yang bagian depannya ditutup dengan terpal biru. Sejak beberapa waktu belakangan ini warung berterpal biru itu dikenal sebagai "Tenda Biru" tempat kediaman pengamen aneh, yang bukan saja pintar menyanyi tapi juga pandai melawak dan main akrobat. Sesaat sosok yang berkelebat berhenti lalu melangkah maju dan astaga! Sosok itu lewat begitu  saja. Laksana hembusan angin menembus terpal. Dan lebih tidak bisa dipercaya lagi, sosok aneh ini terus bergerak, melangkah menembus pintu. Di lain saat dia sudah berada di dalam warung yang hanya diterangi lampu 10 wat, redup berdebu. Berdiri di samping tubuh si pengamen aneh yang bukan lain adalah Si Pelawak Sinting Labodong yang terbujur tidur di lantai.
Perlahan-lahan makhluk ini berlutut dan ulurkan tangan kanannya. Tangan itu bergerak ke arah leher Pelawak Sinting. Begitu tangan menyentuh leher, suara dengkur mendadak berhenti berganti dengan suara seperti orang tercekik. Sepasang mata orang tua yang lehernya barusan diraba terbuka sedikit. Samar-samar dia melihat satu wajah. Salah satu tangannya bergerak meraba leher yang terasa sangat dingin seolah telah berubah es. Mata kakek pengamen ini tiba-tiba mendelik besar. Dia mengeluarkan ucapan, tetapi lidahnya kelu, suaranya tidak jelas. Makluk yang berlutut di sebelahnya menyeringai.
"Kau mengenali  diliku, Labodong?" Makhluk di samping si pengamen tua keluarkan ucapan. Suaranya cadel, bergema aneh seolah keluar dari dalam sebuah sumur. Pelawak Sinting bernama Labodong yang masih terbujur di lantai bergerak sedikit. Mulutnya terbuka. "Kau...!"
"Hemm, bagus, kau mengenali  diliku. Saatnya kita  bicala. Waktuku singkat sekali!" Begitu selesai berucap makhluk ini bangkit berdiri lalu melompat menjauh ke salah satu sudut ruangan. Pelawak Sinting Labodong yang beberapa waktu belakangan ini terkenal sebagai pengamen aneh dan lucu di kawasan Candi Mendut, cepat berdiri, mengucak ke dua matanya dan memandang ke sudut warung. Di situ berdiri samar makhluk aneh yang tampangnya sangat sama dengan dirinya. Saat itu dia baru menyadari bahwa tempat itu terasa luar biasa dinginnya. Dia memperhatikan ke sudut warung. Sosok samar yang berdiri di sana kelihatan seperti mengeluarkan kabut tipis. Mungkin inilah sumber hawa dingin itu.
"Labudung.... adik..." Suara Pelawak Sinting Labodong agak tersendat karena masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, dengan apa yang dilihatnya.
"Labodong, ini memang aku Labudung adikmu." Seperti tadi suara makhluk samar berkabut di sudut warung terdengar menggema seperti datang dari dalam lobang.
"Suaramu aneh, sosokmu kulihat samar. Bagaimana mungkin?
Tubuhmu samar bergoyang-goyang. Jelas kau bukan lagi joget atau ngedangdut. Aku lihat ada kabut menutupi dirimu. Kau. Hembusan nafasmu dingin, tanganmu seperti es..."
"Keadaanmu jauh lebih  aneh lagi Labodong.  Lambutmu kau celup dengan apa sampai  belwalna  sepelti bulu jagung. Hik..hik! Gigimu entah kau tempeli apa  sampai belkilat sepelti kaca. Telingamu pakai anting.  Pusalmu kau ganduli giwang. Kau mengenakan  lompi dan celana tebal.  Kelen amat. Tapi kemana-mana pantatmu masih selalu nongol  dioblal kalena celanamu  gomblong kedodolan. Hik...hik...hik! Eh, benda apa yang telgantung di lehelmu itu?"
Labodong raba harmonika yang tergantung di lehernya. Harmonika ini ditempelkannya ke mulut lalu ditiup. Di sudut ruangan sang saudara kembar  tertawa mengekeh mendengar suara harmonika itu.
"Benda aneh  bersuala meldu. Hik..hik. Aku  gembila kau masih telus mengikuti jejakku jadi pengamen. Kakak, apakah kau sudah hapal betul lagu Kopi Dangdut dan Tenda Bilu?"
Labodong ingin tersenyum. Dia ingat. Semasa adiknya itu masih hidup dan semasa mereka masih berada di Negeri Latanahsilam, antara dia dan Labudung tak pernah akur. Labudung selalu memarahinya karena dia suka meniru apa yang dilakukan sang adik dan memperkenalkan diri sebagai Pelawak Sinting. Padahal Labudunglah Pelawak Sinting yang asli.
"Labudung, aku tidak mengerti. Bukankah....bukankah kau sudah berada di alam sana?"
Wajah pucat samar berselimut kabut dingin tersenyum. "Aku memang tidak belada di alammu lagi. Bukankah kau sendili yang mengantal kepelgianku malam itu? Tubuhku leleh menjadi cailan putih.  Cailan belubah menjadi asap dan asap kemudian silna, telbang pupus menuju alam kematian." (Mengenai kisah kematian Labudung alias Pelawak Sinting asli saudara kembar Labodong, bisa dibaca dalam Episode pertama berjudul "Topan Di Borobudur") Labodong pegangi lehernya sendiri. Hawa dingin membuat kakek ini mulai menggigil.
"Labodong, ketahuilah, aku hidup di alam maha dingin. Tanpa membawa hawa dingin ke dalam alammu, aku tak akan mampu mempelihatkan dili dan bicala denganmu."
"Kehidupan kita di Negeri Latanahsilam di masa lalu banyak keanehan, tapi kemunculan dirimu dan keberadaanmu saat ini tidak bisa kubayangkan. Selain itu aku merasa cemas..."
"Ada satu kekuatan gaib yang  menalik aku ke alammu. Labodong saat ini kita beldua memang pantas belbagi kecemasan. Kalena kecemasan itulah yang mendolongku datang ke sini." 
"Labudung, apa maksudmu?" tanya Labodong.
"Di alamku, aku melihat dua titik mendatangimu. Dua titik itu belwalna melah. Pertanda ada dua olang belniat jahat telhadapmu. Mungkin juga mau membunuhmu."
"Ada orang mau membunuhku? Siapa?" Labodong terkejut besar.
"Tak bisa kuketahui pasti. Tapi  meleka akan  segela muncul. Malam ini. Ada dua dugaan. Mungkin meleka musuh kita di alam lalu semasa di Latanahsilam. Mungkin juga musuh alam tempat kita ada sekalang."
“Aku..."
"Labodong, kemasi  balang-balangmu. Kau  halus segela tinggalkan tempat ini.  Sekalang  juga!" kata Labudung dari sudut warung.
"Labudung, siapapun mereka, aku akan coba menghadapi."
"Menulut penglihatanku dua  olang itu  belkepandaian sangat tinggi. Saat ini kau tidak akan mampu menghadapi meleka. Cukup aku saja yang menelima beban kematian. Salah satu dali kita halus tetap hidup untuk menuntaskan semua dendam kesumat. Lagi pula ada  bebelapa pesanku tempo  hali yang belum kau laksanakan. Diantalanya mencari nenek  belnama Sinto Gendeng dan mengawininya."
"Aku sudah berusaha mencari. Tanya sana tanya sini. Tapi nenek itu belum ketemu. Aku ketemu nenek lain, salah duga, malah aku ditampar sampai mukaku bengap begini rupa."
"Sudah, tak  pellu kita  bicalakan hal itu panjang  lebal. Saat ini aku minta agal kau segela pelgi dali sini."
"Kau sendiri mau melakukan apa?" tanya Labodong kembaran Labudung Si Pelawak Sinting. Belum sempat Labudung menjawab tiba-tiba braakk!
Pintu warung jebol terpentang lebar. Dua sosok berkelebat masuk. Yang satu seorang nenek bermantel biru berambut merah riap-riapan bertampang seangker  setan. Satunya seorang pemuda berpakaian serba hitam berbadan kekar. Perhatian dua orang ini serta merta tertuju pada Labodong. Mereka mungkin belum melihat sosok samar Labudung yang tegak samar di sudut warung.  Labodong segera kenali siapa  adanya sosok bermantel biru di samping pemuda berpakaian dan  bermantel hitam. Dia adalah nenek pengemudi becak di dekat Keraton yang malam tadi mengikutinya lalu memaksa dia menyerahkan telur ayam kampung yang dibawanya. Nenek ini bukan Lain adalah Kunti Api. Sedang si pemuda adalah Pangeran Matahari.
"Pengamen Sinting! Akhirnya aku temui juga dirimu!" Kata Kunti Api sambil berkacak pinggang.  Sesaat dia dongakkan kepala, menghirup udara di ruangan itu dalam-dalam. Setelah melepas nafas panjang dia menyeringai.
"Hawa dingin. Cocok untuk mengantar kematianmu!" Ucap si nenek. Dia maju satu langkah mendekati Labodong. Si Pelawak Sinting Labodong ikut meniru tindakan si nenek, maju pula satu langkah.
"Nenek Guru, tunggu!" tiba-tiba pemuda bermantel hitam di samping Kunti Api membuka mulut dan sejak tadi memperhatikan Pelawak Sinting Labodong keluarkan ucapan. "Tua bangka sinting ini walau tidak cadel dan rambutnya pirang bulukan tapi tampangnya sangat mirip dengan pengamen yang dulu bersama Guru aku bunuh di Jakarta. Aneh kalau dia masih hidup! Diakah bangsatnya yang telah menipu Nenek Guru, memberikan telur palsu?"
"Memang dia!" jawab Kunti Api dengan mulut dipencongkan.
"Tua bangka sialan. Berani menipuku! Jangan harap nyawanya aku ampunkan. Lain hal kalau dia mau menyerahkan telur ayam yang asli."
"Pengamen Sinting! Kau sudah  dengar ucapan Nenek Guruku. Urusan Batu Penyusup Batin masih belum selesai. Kau kini malah berani menipu Nenek Guruku! Lekas serahkan telur asli yang diminta. Atau kau kubikin jadi bangkai saat ini juga!"
Labodong tidak tahu menahu perihal Batu Penyusup Batin karena memang adiknya si Pelawak Sinting asli yang punya urusan. Saat itu Labodong sadar. Kalau pemuda itu sanggup membunuh adiknya berarti dia memang memiliki kesaktian tinggi. Pangeran Matahari! Labodong ingat. Sebelum hembuskan nafas terakhir saudara kembarnya Labudung  menyebut nama itu sebagai pembunuhnya. Kini dia berhadapan sendiri dengan sang pembunuh yang memang tengah dicarinya untuk membalaskan dendam kesumat sakit hati kematian adiknya. Kini walau tahu bahaya mau mengancam nyawanya Labodong tenang-tenang saja. Malah sambil senyum-senyum dia menatap Kunti  Api Ialu konyolnya kakek ini kedipkan mata pada si nenek muka setan berdandan menor.
"Nenek cantik, kau muncul lagi. Rupanya ada kenangan manis pada pertemuan kita pertama kali malam ini di dekat Keraton."
"Tua bangka jelek!" bentak Kunti Api lalu meludah ke lantai warung. "Jangan bicara ngacok di hadapanku!" Si nenek berucap sambil melirik pada Pangeran  Matahari. Kawatir pemuda ini percaya pada ucapan si kakek.
"Ha ...ha!" Pelawak Sinting Labodong tertawa lebar. "Kau tak mau rahasia percintaan kita diketahui cucu muridmu ini. Padahal aku tahu kedatanganmu sebenarnya adalah untuk menjemputku, lalu membawaku ke kios kosong  itu. Kalau betul bagusnya kita pergi sekarang saja. Cuma sayang, mengapa kau membawa bocah ini? Tapi tak apalah, dia bisa disuruh berjaga-jaga di depan kios dan jangan berani mengintip apa yang kita lakukan! Ha...ha...ha!"
Disebut bocah apa lagi mendengar ucapan terakhir pengamen sinting Pangeran Matahari jadi marah. Kunti Api sendiri seperti saga merah mukanya. Memaki tak karuan panjang pendek. Namun dia masih bisa mengendalikan amarah. Membunuh si kakek sesuatu yang mudah baginya, tapi yang diperlukannya saat itu adalah mendapatkan telur keramat yang mampu mengeluarkan Dwita Tifani dari dalam Stupa di Candi Borobudur.
"Tua bangka keparat! Kami datang untuk menjemput nyawamu!
Kau boleh bersenang-senang dengan setan neraka!" begitu membentak sang Pangeran langsung melompat ke hadapan Labodong dan hantamkan tangan kanannya. Tapi gerakannya cepat ditahan Kunti Api.
"Biarkan dia bernafas sesaat lagi sampai dia menyerahkan telur yang kita minta!" Ucap si nenek.
"Rupanya tua bangka edan ini belum tahu kita ini siapa!" kata Pangeran Matahari.
"Ah, kalau memakai peradatan memang musti begitu. Aku belum  kenal nenek cantik yang naksir diriku ini. Sedangkan kau bukankah kau bocah yang punya nama hebat, Pangeran Matasapi?"
Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik. Mulutnya keluarkan suara menggembor.
"Aku Kunti Api!" Ucap si nenek setengah berteriak. Dia maju satu langkah. "Jangan kau berani menghina cucu muridku Pangeran Matahari!"
Meski dua orang di depannya sudah marah besar Si Pelawak Sinting Labodong masih saja bersikap konyol dan keluarkan ucapan.
"Bocah, kalau aku kawin dengan Nenek Gurumu, maka kau adalah cucuku juga. Jadi kau harus hormat padaku. Ayo salami aku. Cium tanganku! Kau harus bangga punya Kakek Guru pengamen beken seperti aku ini! Ha ...ha...ha!" Sambil tertawa bergelak Pelawak Sinting Labodong maju dua langkah dan ulurkan tangan kanannya. Kalau Pangeran Matahari menyambuti salamnya maka secara mendadak dia akan menghantam kepala pemuda itu dengan satu pukulan mengandung tenaga dalam tinggi. Sekali pukul kepala pemuda pembunuh adiknya itu pasti pecah!
Namun maksud S.i Pelawak Sinting tidak kesampaian karena Pangeran Matahari tidak layani ucapannya malah saat itu tangannya sebelah kanan diangkat setinggi kepala. Tangan itu kelihatan bergetar dan memancarkan cahaya tiga warna.
"Pangeran! Tahan serangan!"  Lagi-lagi Kunti Api berteriak kawatir. "Bangsat tua ini tak bakal lolos dari kematian! Kita perlu telur itu! Jahanam tua bangka! Mana telur asli itu! Serahkan padaku sekarang juga!"
Pelawak Sinting Labodong tersenyum lebar. Barisan gigi-giginya yang dilapisi kertas timah bungkusan rokok kelihatan berkilat. Melihat ini Pangeran Matahari menjadi was-was. Apa lagi sebelumnya dia telah melihat keadaan rambut si kakek yang dicat pirang. Dalam hati murid Si Muka Bangkai ini membantin. "Warna rambut dan giginya yang dilapisi kertas berkilat, agaknya dia memang bukan kakek pengamen yang aku bunuh di Jakarta dulu. Lalu bagaimana tampang dan sebagian besar ciri-cirinya sama dengan kakek itu?" 
"Kutil Api..." Ucap Pelawak Sinting Labodong. Kali ini dia ganti mempermainkan si nenek, sengaja Menyebut nama Kunti Api dengan Kutil Api. "Kau sungguhan inginkan telur yang asli?"
"Tua bangka edan! Jahanam betul! Jangan kau berani mempermainkan namaku! Mana telur itu! Lekas serahkan!"
"Kekasihku, dengar...!"
"Jahanam! Siapa bilang aku kekasihmu!" Teriak Kunti Api dengan mata mendelik. Dia meludah ke lantai warung lalu dua tangan diacungkan ke depan. Sepuluh kuku jarinya yang berwarna hitam berubah menjadi merah. Labodong maklum kalau si nenek tengah mengerahkan tenaga dalam, siap menghantamnya dengan pukulan sakti. Cepat kakek ini berkata. Suaranya sengaja dilembut-lembutkan, membujuk.
"Tenang...tenang. Kau meminta, aku akan berikan. Dengar, aku punya dua telur asli. Kau mau minta satu saja atau kedua-duanya?"
"Aku cuma minta satu! Yang asli! Buat apa dua!" Kunti Api tidak sadar kalau orang tengah mempermainkannya.
"Ah, ternyata kau nenek cantik yang tidak serakah. Padahal tadinya aku rela memberikan dua telurku yang asli. Kau cuma minta satu, apa sulitnya memberikan. Tapi harap bersabar. Telur yang satu ini agak sulit dikeluarkan. Karena tempatnya terjepit di sebelah bawah sini! Hik..hik...hik!"
Kunti Api yang masih juga belum sadar kalau dirinya tengah dipermainkan berdiri menunggu dengan dua tangan terpentang, mulut pencong dan mata mendelik. Sebaliknya Pangeran Matahari sudah merasa dan maklum apa maksud semua ucapan Labodong. Kemarahannya semakin berkobar.
"Nenek Guru," ucap Pangeran Matahari. "Bangsat tua ini berlaku kurang ajar! Apa Nenek Guru tidak sadar kalau dia tengah mempermainkan kita? Lihat apa yang tengah dilakukannya!"
Saat itu dengan tangan kanannya Pelawak Sinting Labodong tengah merorotkan celana blujinsnya ke bawah sementara tangan kiri disusupkan ke dalam celana. Melihat apa yang di lakukan kakek pengamen ini Kunti Api baru sadar kalau orang tengah mengerjainya. 
"Wah, Nek. Susah diambilnya!" Pelawak Sinting Labodong memandang kearah Kunti Api, lalu tersenyum cengengesan dan kedipkan mata. "Mungkin kau sendiri yang harus mengambilnya."
Lalu Labodong tarik celananya lebar-lebar ke depan. Darah di kepala Kunti Api mendidih sudah. Tak perduli lagi dia akan telur yang tadi dimintanya.
"Jahanam kurang ajar! Kau sudah kelewatan! Kau layak mampus saat ini juga!" Dua tangan Kunti Api bergerak. Sepuluh kuku jarinya memancarkan cahaya merah.
"Nenek Guru, biar aku yang menghabisi tua bangka keparat ini!"
Pangeran Matahari mendahului gerakan Kunti Api. Tangan kanan siap melepaskan  pukulan Gerhana Matahari. Dengan pukulan inilah dia dulu menghabisi Pelawak Sinting Labudung. Senyum di wajah Pelawak Sinting Labodong hilang. Sikap konyolnya ikut lenyap. Dua kaki merenggang. Tangan kiri menyambar payung kertas. Tangan kanan dikembangkan lalu diiacungkan ke arah Pangeran Matahari. Srett! Payung kertas terkembang lalu berputar deras. Deru angin yang keluar dari putaran payung membuat pakaian dan sosok Pangeran Matahan dan Kunti Api sesaat bergoyang-goyang.
"Bocah jahanam! Kau membunuh adikku! Sekarang kau harus serahkan nyawa anjingmu padaku!"
Pangeran Matahari sempat terkesiap mendengar ucapan Pelawak Sinting Labodong. Di lain kejap, setelah mengumbar tawa bergelak dia berkata.
"Kalau kau memang kakak pengamen yang mati kubunuh dulu itu, kau harus bersyukur karena saat ini aku memberi kesempatan padamu untuk menyusulnya di neraka! Ha ...ha..ha! Setan tua!
Terima kematianmu!"
Baru saja Pangeran Matahari keluarkan ucapan, mendadak dari sudut warung ada suara keras, bergema seperti keluar dari dalam liang sumur. 
"Labodong! Kemasi balang-balangmu! Lekas pelgi dali sini. Bial aku yang membawa Pangelan kepalat itu ke liang dajal! Aku memang sudah lama menunggunya di alam kematian!" Sesiur angin menderu. Satu bayangan samar berkelebat. 
***
EMPAT
PUKULAN ARWAH MENCARI ARWAH 
PANGERAN Matahari merasakan tangan kanannya yang siap memukul bergetar keras. Dia cepat mundur seraya berpaling. Dan jadi terkejut besar ketika melihat sosok makhluk yang berdiri di hadapannya. Di sampingnya Kunti Api memperhatikan dengan mata tak berkesip. Hatinya membatin. "Makhluk ini, berbentuk samar. Gerakannya secepat menebar angin dahsyat."
"Makhluk jahanam! Bukankah kau sudah kubunuh mati...." ujar Pangeran Matahari.
Sosok samar Pelawak Sinting Labudung tampak menyeringai lalu keluarkan suara tawa mengekeh.
"Kau bisa membunuh tubuh  kassalku. Tapi kau tidak  pelnah bisa membunuh alwahku! Alwahku datang untuk minta alwahmu!" Pangeran Matahari mendengus.
"Pangeran, tunggu apa lagi!" Di sebelahnya Kunti Api berbisik.
"Kita hantam berbarangan!"
Dua tangan Kunti Api bergerak. Tangan kanan Pangeran Matahari menghantam. Sepuluh larik cahaya merah membersit keluar dari ujung sepuluh kuku jari Kunti Api. Inilah  Ilmu Kuku Api yang luar biasa ganasnya. Sementara itu dari tangan kanan Pangeran Matahari melesat cahaya kuning, merah dan hitam.  Kalau Kunti Api mengarahkan serangan pada sosok samar Pelawak Sinting Labudung, maka Pangeran Matahari menghantam ke arah Pelawak Sinting Labodong.
Begitu larikan cahaya-cahaya kematian menderu , ganas, sosok samar Labudung mengepul, menebar kabut putih dingin. Dengan kecepatan laksana kilat dia melompat ke kiri menyambar tubuh kakaknya lalu dibawa melesat ke atas. Berbarangan dengan itu tangan kanannya bergerak dua kali.
"Wuttt!"
"Wutt!"
Di dalam warung Kunti Api dan Pangeran Matahari berteriak kaget. Laksana dilabrak topan kedua orang ini terpental menghantam dinding, jatuh bergulingan di luar warung. Dada mendenyut sakit, mulut terasa asin karena ada lelehan darah yang hendak membersit keluar. Di sebelah bawah api yang timbul dari dua pukulan sakti Kunti Api dan Pangeran Matahari membakar bangunan.
"Braaakkkk!"
Di sebelah atas, atap warung jebol. Labodong pegangi kepalanya. Genteng hancur beterbangan. Sosok dua saudara kembar itu melesat keluar warung lewat atap yang amblas.
"Jahanam kurang ajar!" Di luar warung Pangeran Matahari memaki, cepat berdiri. "Dua bangsat itu pasti mencoba kabur! Jangan sarnpai mereka lolos!" Teriak Kunti Api. Keduanya melompat ke atas atap bangunan di sebelah warung Tenda Biru. Memandang berkeliling dua orang yang dikejar tak kelihatan lagi. Kunti Api lari ke kanan sepanjang wuwungan deretan warung. Pangeran Matahari ke jurusan kanan. Tetap saja mereka tidak menemukan apa-apa sementara dibawah orang mulai ramai hiruk pikuk berteriak-teriak dan coba memadamkan api yang membakar warung.
"Sialan!" Maki Pangeran Matahari.
"Kurang ajar!" Rutuk Kunti Api.  Jari-jari tangannya kiri kanan bergerak-gerak mengeluarkan suara berderak. "Aku punya firasat buruk. Jangan-jangan telur itu sudah diberikannya pada orang lain. Berarti ada yang punya niat hendak membebaskan anak perempuan yang kau sekap dalam Stupa itu."
"Nenek Guru, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Bertanya Pangeran Matahari. Dalam hati dia sudah tahu apa jawaban si nenek.
"Kita ke Borobudur sekarang juga!" 
"Nenek Guru tahu siapa orangnya yang punya niat menolong gadis bernama Dwita Tifani itu?"
"Aku tidak bisa menduga. Tapi dibalik semua ini aku merasa ada satu kekuatan besar ikut campur. Pangeran, kita tidak boleh membuang waktu!" Si nenek mendongak ke langit. Rembulan hampir penuh tertutup awan tebal. Angin bertiup dingin. Si nenek berkelebat. Pangeran Matahari mengikuti. Sementara itu api yang membakar bangunan warung semakin merembet luas.
"Kakek pengamen! Kakek pengamen! Dia ada di dalam! Terkurung api!"
Seseorang berteriak. Tak ada yang berani masuk ke dalam warung yang tenggelam dalam kobaran api itu. Apa lagi api semakin berkobar luas. Di kejauhan terdengar suara sirine mobil pemadam kebakaran mendatangi. Hampir satu jam kemudian api baru berhasil dipadamkan. Orang banyak memperkirakan si kakek pengamen telah menemui ajal di dalam warung Tenda Biru. Namun ketika petugas pemadam kebakaran memeriksa, tidak ditemui kerangka tulang belulang manusia di dalam warung yang telah musnah itu.
***
LABODONG pegangi keningnya yang luka dan benjut. Lalu sambil merapikan rambut pirangnva yang  acak-acakan dia berkata. "Sial kau Labudung! Kau membawa aku menembus genteng. Liat, keningku luka, benjut. Rambutku acak-acakan!" 
Labudung diam saja. Saat itu mereka berada di pinggiran sebuah kali kecil.
Labodong bicara lagi. "Pemuda bernama Pangeran Matahari menyebut-nyebut Batu Penyusup Batin. Binatang apa itu?"
"Batu Penyusup Batin satu batu sakti Mandlaguna. Siapa saja yang memilikinya akan mampu menghilang. Waktu ngamen di Pasal Balu  Jakalta aku belhasil menculi batu itu dali Pangelan Matahali. Aku  belikan pada Sinto Gendeng.  Kalena katanya kalau aku bisa mendapatkan batu dan  menyelahkan padanya, dia mau kawin denganku.  Telnyata batu yang aku dapatkan palsu. Tapi asli atau bukan tidak jadi ulusan. Yang jelas aku dapatkan batu dan Sinto Gendeng halus menepati janjinya. Tapi si nenek culas dia mengelak  dan menolak kawin. Itu sebabnya aku suluh kau mencali nenek itu dan mengawininya. Di alam alwah aku mendengal kabal nenek itu berhasil dapatkan batu yang asli. Soal kawin, kau tetap  halus mencali nenek itu..." (Mengenai kisah Batu Penyusup Batin dapat dibaca dalam serial Boma Episode "Tripping")
Labodong basahi jari-jari tangan kanannya dengan ludah, lalu jari yang basah itu diusapkannya ke benjut di kening dan kepalanya.
"Jolok!" kata Labudung.
Labodong menyengir. Sekali usap luka dan benjut langsung hilang. Labudung goleng-golengkan kepalanya yang samar berulang kali.
"Labudung, mengapa kita tidak menghabisi saja dua manusia jahat tadi? Kita punya kesempatan membalaskan dendam."
"Dendam kematian  diliku memang  halus dibalaskan. Tapi saatnya bukan kita yang menetapkan. Ada satu kekuatan yang menentukan di  lual kemampuan kita. Dua olang tadi memiliki ilmu kesaktian  lual biasa tinggi. Kalau kita memaksa, bisa membahayakan dili sendili..."
"Tapi adikku, tadi kulihat tubuhmu mengeluarkan kepulan asap. Asap itu membentengi tubuh kita. Lalu kau melepas pukulan hebat. Membuat mental kedua orang itu.  Aku rasa mereka pasti terluka. Aku tidak pernah tahu kau memiliki pukulan hebat itu. Aku yakin dengan pukulan itu kau bisa membunuh mereka."
"Aku telah melakukan," sahut  Labudung. "Tapi keduanya tidak menemui ajal. Peltanda meleka memang belum saatnya mati."
"Pukulan apa itu, dari mana kau mendapatkan?" Labodong bertanya ingin tahu.
"Pukulan Alwah Mencali Alwah." Jawab Labudung tapi tidak mau memberitahu dari mana dia mendapatkan pukulan sakti tersebut.
"Labodong, waktuku  hampil habis. Aku  halus kembali ke alamku. Aku  menghalap kau  belusaha telus membalaskan sakit hati dendam kesumat kematianku."
Labodong menggaruk kepalanya yang dicat pirang dengan Pylox. Lalu berkata. "Kalau kau saja yang berilmu tinggi tidak mampu membunuh orang-orang jahat itu, bagaimana aku yang cetek  kepandaian. Kecuali...."
"Kecuali apa?" tanya Labudung si makhluk bersosok samar. Labodong menyeringai. "Kalau mudah caranya mendapatkan ilmu itu, apakah kau bisa memberikan ilmu Pukulan Arwah Mencari Arwah itu padaku?"
"Tidak mungkin,  olang semacammu tidak mungkin bisa dibelikan ilmu itu."
"Kenapa? Apa yang tidak mungkin?" Labodong penasaran. Kini dia tidak lagi mengusap keningnya tapi ganti mengusap pusarnya yang bodong melembung.
"Dulu, untuk dapatkan ilmu itu aku  halus menempuh ujian belat."
"Ujian  belat macam apa?" Labodong tirukan ucapan cadel adiknya.
"Empat puluh hali empat puluh malam aku halus belada dalam keadaan bugil..."
"Ah, kalau cuma berbugil ria empat puluh hari empat puluh malam apa sulitnya? Paling-paling masuk angin, perut kembung dan kentut-kentut sedikit. Ha ...ha..ha.."
Labudung gelengkan kepala. Lalu berucap. "Aku dalam keadaan bugil bukan cuma sendilian. Tapi ditemani pelempuan muda sangat cantik yang juga dalam keadaan bugil. Nah apa kau tahan?
Jangankan empat puluh hali. Setengah halian saja pasti kau sudah tidak tahan. Pasti sudah kau gelayangi pelempuan itu."
Labodong garuk-garuk kepala.
"Bagaimana, kau masih inginkan ilmu  Pukulan Alwah Mencali Alwah itu?" tanya sang adik. Labodong tidak bisa menjawab. Mulutnya komat kamit. "Tadi melihat nenek muka setan yang dandanannya celemongan belnama Kunti Api itu saja kau sudah panas dingin. Bagaimana beldekatan dengan pelempuan bugil empat puluh hali empat puluh malam!"
"Aku....Ah, sudahlah!" Labodong seperti putus asa. Sang adik tersenyum.
"Kau sungguhan maukan ilmu  pukulan Alwah Mencali Alwah itu?" Dia bertanya. 
"Maksudmu, kau memang bisa memberikan?" Labudung merenung sejenak. "Aku tahu calanya memindahkan ilmu itu. Tapi aku tidak pasti apakah bisa dilaksanakan."
"Mengapa tidak kita coba saja?" Labodong mendesak. Labudung memandang ke arah kali kecil dibawah mereka. "Tempatnya memang cocok. Ada kali di bawah sana. Kita masuk ke dalam kali itu. Tapi sebelumnya  halus menanggalkan  seluluh
pakaian. Lalu kita...." Labudung tidak meneruskan ucapannya. Dia menatap kakaknya sambil senyum-senyum.
"Kenapa kau berhenti bicara. Kenapa tertawa?" tanya Labodong heran.
"Kita masuk ke dalam kali. Telus...." Labudung diam lagi.
"Terus?" sang kakak kembar jadi tidak sabaran. "Heran kau bicara sepotong-sepotong."
"Di dalam kali, di dalam ail, kau memegang anuku, aku memegang anumu..."
"Sintingmu kambuh! Jangan ngacok! Kau mempermainkan aku atau bagaimana?!" teriak Labodong dengan mata melotot.
"Aku memang sinting. Tapi aku tidak  bicala ngacok. Memang begitu  calanya mengalilkan tenaga dalam, hawa sakti dan ilmu Pukulan Alwah Mencali Alwah itu. Sekalang telselah kamu. Belsedia atau tidak."
"Sial ilmu macam apa itu, Begitu caranya!" kata Labodong pula.
"Eh, jangan-jangan kau ini sudah jadi hombre."
"Homble? Apa itu?"
"Aku pernah dengar orang sering nyebut kata itu. Kata mereka hombre sama dengan homo. Homo artinya lelaki yang cuma suka sama lelaki."
"Labudung, walau aku mungkin sudah kau anggap jadi setan jejadian, tapi aku bukan lelaki macam begitu.  Dengal, waktuku hampil habis. Aku halus pelgi. Bagaimana...?"
"Sial! Demi membalaskan sakit hati dan rnembasmi orang-orang jahat itu aku terpaksa ikutan cara gilamu itu!" Sambil membuka pakaiannya satu demi satu dan tertawa cekikikan Labodong melangkah turun ke arah kali. Dia menoleh ke belakang. Labudung tak ada lagi di tempatnya semula. 
"Kurang ajar! Kemana lenyapnya  makhluk sinting itu! Jangan-jangan dia mempermainkan diriku." Ucap Labodong. "Labudung!
Dimana kau?!"
"Hai aku disini! Siap menunggumu!" Ada suara menggema menyahut dari kali. Labodong memutar kepala ke arah kali. Di dalam kali dilihatnya saudara kembarnya itu melambaikan tangan. Entah kapan dia melompat kesana, entah kapan pula dia menanggalkan pakaian, yang jelas saat itu Labodong melihat Labudung sudah tidak berpakaian lagi. Sambil melangkah ke kali Labodong membuka bajunya. Sebelum masuk ke dalam kali dia berkata.
"Labudung, awas kalau kau macam-macam."
"Jangan  kawatil saudalaku kembal. Punyaku hanya semacam!
Ha...ha-ha ...ha!" Sahut Labudung  lalu tertawa gelak-gelak. Puas tertawa dia berkata. "Labodong, kau tunggu apa lagi? Ayo lakukan syalat yang halus kau keljakan untuk dapatkan ilmu Pukulan Alwah Mencali Alwah!"
Labodong diam saja. Rupanya bimbang juga kakek satu ini. Mungkin juga ngeri atau jijik.
"Ayo! Ululkan tanganmu! Pegang..." kata Labudung. Labodong akhirnya melangkah dekati tubuh adiknya. Perlahan-lahan, di dalam air dia ulurkan tangan. Mendadak Labodong tersentak kaget. Wajah dan sosok Labudung berubah menjadi seorang perempuan muda cantik jelita. Tubuhnya yang tersembul di permukaan air kali tidak tertutup secarik kainpun, polos putih dan sangat menantang. Saking kagetnya Labodong sampai keluarkan seruan. Dia mundur ke belakang. Tapi di bawah air ada bagian tubuhnya yang maju ke depan!
Labudung tertawa mengekeh.
"Apa kataku! Balu godaan begini saja kau sudah tidak sanggup menahan dili. Ha ...ha...ha!" Kakek ini usap wajahnya. Saat itu juga wajah dan tubuhnya berubah ke bentuk semula. Sosok samar Si Pelawak Sinting yang asli.
"Kurang ajar kau Labudung! Beraninya mempermainkan aku!
Kuremas anumu sampai remuk!" 
Labudung ganda tertawa.
"Kalau kau lakukan itu,  seumul hidup kau tidak bakal mendapatkan ilmu Pukulan Alwah Mencali Alwah! Bagaimana aku menyalulkan tenaga dalam dan hawa sakti kalau anuku kau bikin bonyok! Ha ...ha...ha!"
"Kau memang sialan!" maki Labodong kembali. Labudung tertawa mengekeh. Dia angkat dua tangannya ke atas, disilangkan di belakang  kepala. Mata dikedip-kedipkan, pinggul diogel-ogel. Sikapnya seperti perempuan merayu sekaligus menantang!
***
LIMA
DWITA DIBERITAKAN DIBUNUH 
DI DALAM taksi Serda Sujiwo  duduk di samping pengemudi. Tubuhnya terasa letih. Kepala disandarkan ke bagian atas kursi, mata dipejamkan. Seumur hidup baru sekali ini dia mengurusi perkara aneh seperti yang tengah dihadapinya saat itu. Mulutnya terasa asam. Ingin sekali dia merokok tapi rokoknya sudah habis. Boma duduk di belakang, diapit Ibu Renata dan Trini. Tangan kirinya yang sejak tadi tergenggam diletakkan diatas paha kiri. Tangan itu terasa pegal karena sejak tadi terus-terusan digenggam. Kalau saja tak ada Trini di samping kanan Boma, ingin sekali Ibu Renata memegang lengan anak lelaki itu. Boma sendiri duduk tak bergerak, kepala disandarkan dan mata dipejamkan. Sepanjang perjalanan menuju Candi Borobudur tidak ada satu orangpun yang bicara. Sejak tadi baik Trini maupun Ibu Renata berulang kali memperhatikan tangan kiri Boma. Trini yang ingin sekali bertanya akhirnya tak tahan membuka mulut, bicara setengah berbisik pada Boma.
"Bom, pengamen aneh yang tadi memberimu telur. Siapa dia sebenarnya?"
Boma membuka kedua matanya. Menggerak-gerakkan lehernya yang juga terasa pegal.
"Mana aku tau. Tapi aku yakin dia memang orang yang dimaksud orang tua kate Ki Tunggul Sekati itu." Jawab Boma.
"Telur itu, mau diapakan?" Ibu Renata kini yang bertanya.
"Menurut orang tua cebol bernama Ki Tunggul Sekati itu, telur ini harus dimasukkan ke dalam salah satu lobang Stupa paling bawah tempat Dwita disekap."
"Lalu?"
"Saya nggak tau Bu. Tapi...." Boma berpikir. "Saya ingat. Ki Tunggul Sekati berkata. Nanti tepat jam dua belas malam akan terjadi sesuatu. Katanya Tuhan akan menolong Dwita."
"Kayaknya nggak masuk akal Bom. Sebutir telur ayam bisa mengeluarkan Dwita dari dalam Stupa. Kamu percaya?" Tanya Trini. Memang siapa yang mau percaya, kata Boma dalam hati. Ingin dia menceritakan bagaimana pertemuannya dengan Ki Tunggul Sekati. Orang tua bertubuh cebol yang hafal ayat-ayat Al Qur'an, yang tangannya bisa panjang dan mengeluarkan hawa sakti. Namun Boma memilih diam saja. Telur di dalam genggaman tangan kirinya terasa hangat.
"Boma, boleh saya lihat telur itu?"
"Ya, aku juga mau liat," kata Trini. Boma merasa ragu. Takut telur itu jatuh atau bisa saja melesat karena dia mungkin melanggar pantangan.
"Masa liat aja nggak boleh sih?" kata Trini pula. Perlahan-lahan Boma buka juga genggaman jari-jari tangan kirinya. Ibu Renata memperhatikan. Trini merunduk agar bisa melihat lebih dekat.
"Kayaknya nggak ada apa-apanya. Cuma telur biasa." Kata Trini pula.
"Boleh Ibu pegang?" tanya Ibu Renata, Guru Bahasa Inggris SMU Nusantara III itu.
"Jangan Bu," jawab Boma. Lalu cepat jari-jarinya digenggamkan kembali.
"Kok kamu sepertinya takut amat sih Bom?" ucap Trini.
"Aku bukan cuma takut Rin. Dari tadi nahanin kencing," jawab Boma, tidak tertawa juga tidak senyum. Tapi kebiasaannya menowel hidung terus saja jalan. Sejak naik taksi Trini memperhatikan. Anak itu sudah lebih dari lima kali menowel hidungnya dengan tangan kanan.
"Kalau nggak bisa tahan kencingnya, saya bisa minggirkan taksi. Berhenti sebentar," kata supir taksi.
"Nggak usah, Mas. Jalan aja terus," jawab Boma. Kalaupun dia punya kesempatan untuk buang air  di pinggir jalan, hal itu tidak mungkin dilakukan. Soalnya dia tidak boleh melepaskan telur yang ada dalam genggaman tangan kirinya. Mana mungkin dia buang air kecil hanya mempergunakan satu tangan. Supir taksi rupanya mendengarkan semua pembicaraan tiga orang penumpangnya yang duduk di  jok belakang. Supir ini melirik ke kiri, memperhatikan Serda Sujiwo sesaat lalu bertanya.
"Pak, malam-malam begini sebetulnya ada keperluan apa ke Candi?"
"Pelajar dari Jakarta, mereka punya acara. Berkemah dan bergadang sampai pagi." Jawab Serda Sujiwo berdusta.
"Memangnya boleh Pak?"
"Ada izin dari Gubernur melalui Pengelola Candi. Saya ditugaskan untuk mengawasi." Kembali Serda Sujiwo terpaksa berdusta.
Supir taksi diam. Hanya sebentar. Sesaat kemudian dia membuka mulut kembali.
"Ada cerita aneh Pak. Saya dapat dari teman-teman lewat radio panggil."
"Cerita aneh bagaimana?" tanya Serda Sujiwo. Di jok belakang Boma, Trini dan Ibu Renata memasang telinga, mendengarkan pembicaraan.
"Katanya ada anak perempuan dibunuh, mayatnya dimasukkan ke dalam Stupa."
Boma menggigit bibir. Tangan kirinya yang memegang telur terasa bergetar. Ibu Renata letakkan tangan kanannya di atas kening, menutupi matanya yang dipejamkan. Ucapan supir taksi itu menimbulkan rasa tidak enak dalam hati Serda Sujiwo, Boma, Ibu Renata dan juga Trini. Anak perempuan ini merasa tengkuknya dingin. Dia membatin. "Kabar yang  diterima supir taksi ini bisa keliru. Namun bisa juga saat ini Dwita telah meninggal dan berita ini yang kemudian berkembang. Mata  Trini berkaca-kaca. Selama ini dia menganggap Dwita sebagai pusat kebencian dalam hidupnya. Kini semua kebencian itu leleh, sirna. Dalam hatinya kini selalu muncul doa agar Dwita tidak mati dan bisa dikeluarkan dari dalam Stupa dengan selamat. Serda Sujiwo sendiri setelah berdiam cukup lama baru  menyahuti ucapan supir taksi tadi.
"Saya Polisi. Kalau ada kejahatan seperti itu pasti saya tahu," kata Serda Sujiwo pula. Boma merasa telur di tangan kirinya semakin hangat. Dadanya berdebar. Keterangan supir taksi itu bisa saja benar. Siapa tahu selagi mereka pergi ke Keraton orang bermantel bernama Pangeran Matahari itu muncul kembali dan membunuh Dwita.
"Pak, kapan, jam berapa kabar pembunuhan itu Bapak ketahui dari teman-teman?" tanya Boma pada supir taksi.
"Bom, kok kamu nanya' begitu sih!" ujar Trini sambil menyeka air matanya.
"Hati gue jadi nggak enak, Rin...."
"Kalau nggak salah ingat sekitar jam dua tadi siang Mas," jawab supir taksi.
Boma diam. Tapi hatinya lega kini. Jam dua siang dia dan yang lain-lain masih berada di kawasan Candi Borobudur. Dwita masih ada dalam Stupa dalam keadaan pingsan. Tidak mati, tidak ada yang membunuh. Sambil mengemudi supir taksi kembali bicara.
"Sore tadi ada dua rombongan orang televisi dari Jakarta naik ke Candi Borobudur."
"Dari mana taunya?" tanya Serda Sujiwo.
"Satu rombongan diantar pengemudi taksi teman saya."
"Gila, beritanya udah kesebar kemana-mana Bom," bisik Trini.
"Saya merasa bersalah. Seharusnya kejadian ini sudah diberitahukan pada orang tua Dwita..." ucap Ibu Renata perlahan. Lalu matanya dipejamkan. Jauh  di lubuk hatinya Guru Bahasa Inggris ini mulai berdoa. Entah sadar entah tidak bahunya disandarkan ke bahu anak lelaki di sebelahnya. Begitu dekatnya hingga Boma masih bisa mencium harumnya sisa-sisa parfum di leher dan kerah baju Ibu Renata.
***
SETELAH menerima pembayaran dari Ibu Renata, supir taksi keluar dari mobil. Memandang  berkeliling dia melihat banyak kendaraan di halaman parkir. Dua diantaranya mobil  van  berlambang televisi swasta dan sebuah ambulans. Ketika dia memperhatikan ke arah candi, di salah satu sisi Candi Borobudur sebelah atas dia melihat ada cahaya terang. Lalu tampak bayangan banyak orang di sekitar cahaya itu.
"Ada sesuatu, pasti ada sesuatu. Teman-teman tidak dusta. Polisi tadi yang bohong. Teman-teman mungkin sudah di sana semua. Soalnya banyak taksi kosong di halaman parkir. Pada kemana semua supirnya kalau bukan ke candi?"
Supir taksi itu mengunci mobilnya. Baru saja dia hendak melangkah tiba-tiba satu tangan besar, dingin dan berbulu memegang lengannya, membuat dia tergagap kaget dan berpaling. Orang yang memegang bahunya itu bertubuh gemuk, memakai topi pet terbalik dan mengenakan jaket kulit. Menyeringai lalu bertanya.
"Mas mau ke Candi?"
Supir taksi anggukkan kepala.
"Ayo barengan."
"Bapak dari mana?" 
"Jakarta."
***
ENAM
AYAH DWITA MARAH BERAT 
BANYAKNYA orang yang ingin naik ke Candi membuat Polisi yang bertugas melakukan penjagaan secara ketat. Tidak semua orang diperkenankan naik ke tempat kejadian yaitu bagian Candi dimana dwita tersekap dalam Stupa. Di halaman Candi seorang anggota Polisi berpangkat Prajurit Satu menemui Serda Sujiwo. Serda ini langsung menegur.
"Diluaran tersiar kabar anak perempuan di dalam Stupa dikatakan mati. Benar?"
"Tidak Pak. Anak itu masih pingsan. Cuma keadaannya memang tambah mengawatirkan. Masih tidak bergerak, tidak bersuara."
Boma, Ibu Renata dan Trini menjadi lega mendengar keterangan itu. "Siapa saja yang ada di atas?" Tanya Serda Sujiwo.
"Petugas sudah ditambah. Seluruhnya berkekuatan sekitar dua puluh orang. Tim medis dari Rumah Sakit Sarjito sudah datang.
Juga orang-orang dari dua stasiun televisi. Beberapa wartawan...."
"Hubungi Kopral Pirngadi. Saya butuh HT. Kamu punya rokok?"
"Maaf Pak, saya sudah lama berhenti merokok." 
Serda Sujiwo basahi bibirnya yang kering dan terasa asam dengan ujung lidah.
"Pak, ada satu hal lagi perlu saya lapor." Ucap Prajurit Satu Polisi.
“Apa?”
Anggota Polisi itu melangkah lebih mendekati Serda Sujiwo, lalu bicara agak berbisik. Serda Sujiwo sesaat berpaling pada Trini. Pandangan ini membuat anak perempuan itu merasa tidak enak. Hal ini juga dirasakan Boma dan Ibu Renata. Pasti ada sesuatu. Mengapa seperti dirahasiakan.
"Kau dengar apa yang dibisikin Polisi itu?" Tanya Trini pada Boma. Boma gelengkan kepala. Serda Sujiwo tampak mengangguk beberapa kali. Anggota Polisi di hadapannya memberi hormat lalu tinggalkan tempat itu, mendahului naik ke atas Candi Borobudur.
***
DI HALAMAN Candi Borobudur Boma melihat banyak sekali orang. Mereka berusaha naik tapi empat orang Polisi menjaga di kaki tangga. Ketika melihat Serda Sujiwo muncul bersama Boma, Ibu Renata dart Trini, para petugas segera memberi jalan. Serda Sujiwo menaiki tangga di sebelah  depan, menyusul Trini, lalu Ibu Renata, Boma dan paling belakang salah seorang dari empat Polisi tadi.
"Jam berapa sekarang Bu?" tanya Boma pada Ibu Renata. Dibawah cahaya suram bulan yang tertutup awan tipis Ibu Renata masih bisa melihat jarum-jarum kecil arloji di lengan kirinya.
"Jam sebelas lewat seperempat," kata Guru Bahasa Inggris itu memberitahu. Dia memperhatikan  Boma menaiki tangga dengan tangan kiri masih terus menggenggam telur dan tangan kanan berpegangan pada besi di sisi kanan tangga candi.
"Hati-hati telurnya," bisik Ibu Renata.
"Ya Bu," jawab Boma. "Ibu capek?"
Ibu Renata tersenyum. Tidak menjawab dan meneruskan melangkah menaiki tangga mengikuti Trini. Di lubuk hatinya ada rasa bahagia. Dalam keadaan seperti itu Boma masih memperhatikan  dirinya.
***
TIGA buah lampu patromak menerangi kawasan Candi pada jajaran Stupa yang di dalamnya ada Arca Amoghasidi duduk dalam sikap  Abayamudra. Walau terang namun keadaan di tempat ini terasa sangat mencekam. Sepuluh orang anggota Polisi berdiri dengan sikap siaga, mengelilingi para pelajar SMU Nusantara III  yang duduk di lantai candi seputar Stupa di dalam mana Dwita Tifani berada. Keadaan anak perempuan itu masih seperti sebelumnya. Sebagian tubuhnya terbaring tak bergerak di atas pangkuan Arca Amoghasidi, sebagian lain menyentuh lantai stupa.
Lewat cahaya lampu patromak yang masuk melalui celah-celah lobang stupa kelihatan wajah Dwita yang semakin pucat. Para pelajar SMU Nusantara III termasuk Pak Sanyoto Guru Olahraga, sengaja duduk seputar stupa untuk menghalangi agar Dwita tidak tersentuh hembusan angin yang semakin malam semakin kencang dan bertambah dingin.
Selain para pelajar SMU Nusantara III dan petugas Kepolisian, di tempat itu juga siaga seorang dokter dan petugas medis Rumah Sakit Dr. Sarjito. Lalu ada beberapa kelompok  kru dua stasiun televisi swasta, petugas dan karyawan Kantor Pengelola Pusat Wisata Candi Borobudur. Sore  tadi petugas Kepolisian telah memaksa turun puluhan orang yang ingin menyaksikan kejadian aneh itu. Kini mereka bergerombol di kaki candi, di dekat tangga sekitar dua arca Singa. Mencari  kesempatan untuk bisa naik ke atas candi.
Ketika Serda Sujiwo, Boma dan  Ibu Renata serta Trini muncul, anak-anak SMU Nusantara III segera menghambur mendatangi mereka. Wartawan dan reporter dua stasiun televisi swasta ikut bergerak. Camera televisi dan lampu sorot diarahkan pada Boma, Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini. Beberapa wartawan mulai sibuk menanyai Boma termasuk seorang kru televisi yang menyorongkan mikropon. Serda Sujiwo dibantu oleh beberapa orang anak buahnya cepat mengambil antisipasi.
"Saudara-saudara wartawan. Mohon maaf. Harap tidak mewawancarai dulu." Serda Sujiwo mengucapkan kata-kata itu berulang kali. Masih saja ada wartawan yang coba menerobos.
"Saudara Boma, apa benar Saudara ke Keraton Yogya menemui seorang Abdi Dalem bernama Ki Tunggul Sekati?"
"Saudara Boma, siapa Pangeran Matahari?"
"Maaf, saya...." Boma agak gugup. Selain itu dia harus mengamankan telur yang ada dalam genggaman tangan kirinya dari  wartawan yang berdesakan coba mendekati dan menanyainya. Kilat lampu tustel menyambar beberapa kali menyilaukan mata.
"Rekan-rekan wartawan. Saya mohon sekali lagi. Nanti pasti akan diberikan kesempatan tanya jawab. Mohon jangan sekarang."
Kembali Serda Sujiwo keluarkan ucapan. Lalu dia memberi isyarat pada anak buahnya agar melindungi Boma. Empat orang Polisi segera mengelilingi anak lelaki itu. Tidak berhasil menanyai Boma, para wartawan kini mendekati Ibu Renata.
"Ibu...Anda Guru Bahasa Inggris SMU Nusantara III?"
"Benar...."
"Ibu bisa menerangkan bagaimana..."
"Saya...maaf..."
Tiga orang Polisi segera pula mengamankan Ibu Renata dan Trini. Namun para petugas itu tidak bisa menahan gelombang para pelajar SMU Nusantara III yang mendatangi secara nekad. "Bom! Lu jadi ke Keraton, bener?!" Tanya Ronny Celepuk.
"Ketemu orang tua itu Bom?" Gita Parwati mendesakkan tubuhnya yang gemuk diantara kawan-kawannya. "Gimana, Dwita bisa ditolong?" 
Vino muncul tepat di depan Boma. Dia hendak bertanya tapi tak jadi. Anak ini perhatikan tangan kiri Boma. "Kamu megang apaan Bom?" Firman, Andi dan Rio ikut memperhatikan.
"Teman-teman. Nanti aja kita  bicara. Gua musti ngelakuin sesuatu..." Ucap Boma. "Tolong, kasi jalan."
"Bom, tampang lu pucet amat," kata Allan.
"Anak-anak, tolong jangan tanya dulu. Jangan mendesak. Beri jalan buat Boma." Serda Sujiwo berseru.
Tak dapat mendekati Boma, Sulastri mendatangi Trini, memeluk temannya ini. Selama ini antara  mereka selalu tidak akur dan sering bertengkar malah pernah hampir jambak-jambakan. Tapi saat itu segala perseteruan di masa lalu kini cair dan terlupakan.
"Gimana Rin?" tanya Sulastri.
"Boma ketemu sama orang di Keraton itu. Dia dititipin telor. Sekarang kita semua berdoa saja pada Tuhan. Mudah-mudahan Dwita bisa ditolong." 
Sulastri yang dijuluki Si Centil itu ingin bertanya lagi. Mengenai telur yang dikatakan Trini. Tapi saat itu ada sesuatu yang lebih penting harus disampaikannya pada Trini.
"Rin, bokap lu sama bokapnya Dwita ada di sini," bisik Sulastri lagi.
Trini terkejut setengah mati.
"Lu jangan becanda." Trini berucap tidak percaya.
"Liat aja sendiri," sahut Sulastri.
"Mereka dimana?"
"Dekat stupa."
Sementara itu Boma yang dikerubungi teman-temannya berusaha mencari jalan.
"Teman-teman, tolong. Kasi jalan. Aku mau liat Dwita." Boma berusaha melangkah ke arah Stupa. Empat orang anggota Polisi  mendampingi Boma. Seorang diantara mereka memberikan sebuah Handy Talky pada Serda Sujiwo. Boma kini melangkah di antara para petugas Polisi yang melindunginya hingga akhirnya sampai di depan stupa. Namun langkahnya mendekati stupa lebih dekat terhenti. Dua orang lelaki berdiri di depan Boma. Yang satu, yang mengenakan jaket hitam segera dikenali Boma. Dia pernah melihat orang ini. Waktu terjadi musibah di Gunung Gede. Dia adalah Letnan Kolonel Polisi ayah Trini Damayanti. Boma tidak mengenal lelaki berswiter wol yang berdiri di sebelah ayah Trini. Namun dari cara memandang orang ini ke arahnya, dengan mata menyorot menyala serta raut wajah seolah  seekor singa lapar yang hendak menerkam dirinya, Boma bisa menduga siapa adanya orang ini.
"Bapaknya Dwita, pasti Bapaknya Dwita."
Selagi Boma berkata dalam hati seperti itu, tiba-tiba lelaki berswiter wol mendekati, langsung membentak.
"Kamu Boma?!" 
Boma kaget. Tidak menyangka bakal dibentak begitu rupa. Telur di tangan kirinya hampir terlepas jatuh. Empat orang Polisi yang mendampingi Boma tegak terdiam. Teman-teman Boma yang ada di sekitar situ juga terdiam tapi hampir semua unjukkan wajah tidak senang. 
"Ya, Pak. Saya Boma." Jawab Boma sambil menatap pada orang yang barusan membentaknya. Dengan suara lebih keras menggeledek, sambil tangan kirinya menunjuk ke arah stupa di dalam mana Dwita tersekap, orang itu kembali membentak.
"Kamu bikin apa sama anak saya Dwita? Kamu bikin apa?!"
"Saya...saya..." Boma tak bisa menjawab. Wajahnya kelihatan pucat. Tangan kanannya ingin mengusap hidungnya tapi kali ini tak mampu. Boma shock berat. Saat itu Letkol Kusumo Atmojo ayah Trini membisikkan sesuatu berusaha menenangkan ayah Dwita. Serda Sujiwo datang menghampiri, memegang lengan lelaki itu. Tapi ayah Dwita masih unjukkan sikap marahnya yang tidak terkendalikan. Sambil menuding Boma dia berteriak. "Kamu mencelakai anak saya!
Dimana-mana kamu membuat celaka orang..."
"Pak, saya tidak mencelakai...."
"Diam kamu!" teriak ayah Dwita. "Pak Sanyoto juga bilang begitu. Kalau ada pelajar SMU Nusantara III yang celaka, pasti kamu biangnya! Kalau anak saya mati, saya tuntut kamu!"
Boma diam tertunduk.
"Kok aku yang disalain. Masa' sih Pak Sanyoto bilang begitu...?"
Boma berucap dalam hati. Sesaat dia melirik ke tangan kirinya. Telur yang ada dalam genggamannya saat itu terasa semakin hangat. Boma memandang pada teman-temannya. Mereka semua juga tengah memandang teman mereka yang barusan dibentak itu. Boma usap hidungnya dua kali. Dia kemudian melihat semua teman-temannya menoleh ke arah kiri. Ke arah Pak Sanyoto yang berdiri setengah bersandar ke sebuah stupa. Dua tangan dimasukkan dalam saku celana. Kepala ditundukkan dan beberapa kali kelihatan dia mengusap wajahnya.
"Die lagi yang jadi biang kerok,” bisik Vino pada Gita.
"Nggak ngerti aku sama orang satu itu," Sulastri menyambung.
"Kok bencinya sama Boma nggak habis-habisnya."
"Lu tau dong," menyahuti si gendut Gita Parwati. "Semua gara-gara Ibu Renata nggak mau ngeladenin dia. Cemburu buta sama Boma. Dasar si Umar. Nggak sadar kepalanya udah tambah botak." 
Umar adalah julukan yang diberikan anak-anak SMA Nusantara Tiga pada Pak Sanyoto yang merupakan  singkatan Untung Masih Ada Rambut.
"Bokapnya Dwita, mau nuntut segala!  Ajie Busyet!" sungut  Vino.
"Bukannya nyari jalan gimana supaya Dwita bisa ditolong, eh malah maki-maki si Boma nggak karuan!"
"Lu liat nggak tampang bokapnya Dwita?" Allan nimbrung bicara.
"Kayak Bi Moli. Bibir Monyong Lima Senti."
Sulastri dan Gita Parwati menekap mulut menahan tawa.
"Nggak nyangka kamu Lan. Bisa juga ngatain orang," kata Trini.
"Berdoa juga gue liat lagak bokapnya si Dwita," kata Rio.
"Untung gendengnya si Boma nggak keluar," menimpali Andi.
"Gue sumpain biar dicekek setan Candi!" kata Firman.
"Gila lu!" kata Sulastri sambil nonjok punggung Firman hingga anak lelaki kecil ceking ini sempoyongan. "Di tempat begini jangan bicara sembarangan. Nanti mulut lu bisa mencong,  tau. Apa lagi kalau kedengeran  bokapnya Dwita kamu yang gantian dimaki. Dituntut tau!"
"Tau!" jawab Firman sambil nyengir. Dia meledek dengan tutupkan tangan kirinya ke mulut dan tangan kanan memencet hidung.
"Brengsek lu kalau dikasi tau. Kalau sudah  kesambet baru nyahok!" kata Sulastri pula. Tiba-tiba ada seseorang naik ke atas lantai candi tempat ayah Dwita berdiri. Ronny Celepuk!
***
TUJUH
BOMA MEMASUKKAN TELUR KE DALAM LOBANG STUPA 
ERLAN Sujatmiko ayah Dwita memandang melotot pada anak lelaki berambut gondrong berhidung tinggi bengkok bermata belok dan beralis tebal seperti burung hantu itu.
"Pak, jangan marah-marah dulu  dong. Bukan Boma yang mencelakai Dwita. Ada orang lain punya pekerjaan jahat. Harap sabar Pak. Kami semua tengah berusaha menolong Dwita."
"Kamu siapa?!" semprot ayah Dwita dengan mata makin melotot hingga tak kalah beloknya dengan mata Ronny Celepuk.
"Saya Ronny, teman Boma. Juga teman Dwita," jawab Ronny Celepuk masih kalem.
"Saya tidak ada urusan sama kamu! Pergi sana!"  
Tunggu dulu, Pak," ujar Ronny  Celepuk mulai jengkel. "Bapak baru datang marah-marah. Boma satu harian pergi ke Jogja untuk mencari pertolongan..."
"Ke Jogya? Anak saya ada di sini! Ngapain dia ke Jogya?!"
"Ini bukan urusan sembarangan Pak. Ada kekuatan gaib di balik semua kejadian ini." 
"Kekuatan gaib?" Erlan Sujatmiko menyeringai. Buruk sekali seringainya. "Kekuatan gaib apa?!  Jangan mencari-cari dalih! Saya tidak percaya segala tahayul!"
"Ini bukan tahayul Pak." Ronny masih menyahuti. "Bapak liat sendiri! Menurut logika bagaimana mungkin anak Bapak bisa masuk dalam stupa? Atau mungkin Bapak punya kemampuan mengeluarkan anak Bapak? Silahkan!"
Rahang Erlan Sujatmiko menggembung. Mukanya yang keringatan kelihatan kelam memerah.
"Pergi kamu dari hadapan saya. Atau saya, pukul!" Ancam diplomat senior itu.
"Kalau Bapak mukul saya, saya juga bisa mukul Bapak! Coba aja!" Ronny Celepuk membalas  ancaman orang dengan sikap menantang.
Ayah Dwita jadi kalap. Dengan tinju terkepal dia melompat hendak menerkam lalu meninju  Ronny. Tapi ayah Trini cepat merangkulnya.
"Ron, kesini Ron," Boma memanggil. Ronny Celepuk masih tidak beranjak dari tempatnya. Kusumo Atmojo ayah Trini memberi isyarat dengan goyangan kepala agar Ronny tinggalkan tempat itu. Melihat isyarat ini Ronny akhirnya memutar tubuh, melangkah ke arah Boma. Sampai di dekat Boma dan teman-temannya dia keluarkan ucapan. "Katanya diplomat senior. Kok galak begitu, nggak ada sopan santunnya. Kita-kita mau nolongin anaknya malah dicaci maki!"
"Belon tau si Ronny dia!" ucap Vino. "Celepuk dijabanin melotot. Kalah belok die!"
"Teman-teman, biarin aja. Bokapnya Dwita lagi bingung." kata Boma coba membujuk kawan-kawannya.
"Bingung sih boleh sejuta bingung!" menyahuti Si Centil Sulastri. Diplomat kok brengsek begitu. Enak aja dia nuduh kamu nyelakain Dwita. Justru kamu yang kalang kabut setengah mati mau nolongin Dwita! Ngeliat nggak? Kalau diplomat kita semua seperti dia, weh! Pantesan aja bangsa kita kalah suara melulu dimana-mana. Ngaku diplomat, mental kucing burik." Yang bicara si Centil Sulastri. Ayah Trini akhirnya berhasil membujuk dan menenangkan Erlan Sujatmiko. Lelaki ini akhirnya melangkah ke arah stupa di dalam mana anak perempuannya berada, berlutut sambil dua tangannya memegangi stupa. Dia kelihatan letih sekali.
"Dwita.... Dwita...." Berkali-kali lelaki itu mengeluarkan ucapan, memanggil anaknya. Suaranya tersendat dalam isakan tangis yang ditahan. Serda Sujiwo mendekati ayah Trini. Sebelumnya waktu tugas ke Jakarta dia pernah menemui Pamen ini. Dia memberi hormat  terlebih dulu pada Letnan Kolonel Kusumo Atmojo lalu menyalami. Keduanya bicara beberapa lama. Ayah Trini memperhatikan arlojinya lalu menganggukkan kepala. Serda Sujiwo kemudian mendekati Boma. Diusapnya punggung anak lelaki ini lalu berkata.
"Tenang saja Dik Boma. Jangan terpengaruh ucapan orang tadi. Waktu kita tidak banyak. Ingat ucapan Ki Tunggul Sekati. Sekarang sudah jam setengah dua belas lewat sepuluh. Saya rasa sudah saatnya Dik Boma memasukkan telur itu ke dalam lobang stupa. Jangan lupa baca Bismillah, mohon pada Allah."
Boma mengangguk. Tengkuknya terasa dingin dan lututnya mendadak goyah. Dadanya berdebar. Dia mengangguk sekali lagi tapi belum beranjak dari tempatnya berdiri. Ibu Renata mendekat. Dipegangnya bahu kiri Boma seraya berbisik.
"Tabah Bom. Kuatkan hatimu. Jangan ragu melakukan apa yang harus kau lakukan. Kita tahu Tuhan Maha Kuasa. Segala sesuatu akan terjadi atas kehendakNya. Tapi tetap kamu harus melakukan sesuatu. Sesuai pesan orang tua di Keraton , itu."
Boma palingkan kepala. Wajah  Ibu Renata dekat sekali di sampingnya. Dipandanginya wajah itu beberapa lama. Dan wajah Ibu Renata dilihatnya cantik sekali saat itu. Anak lelaki ini tersenyum. Ibu Renata balas tersenyum. Gita Parwati melirik ke arah Trini. Boma menggerakkan  kaki kanan, mulai melangkah mendekati stupa. Di bagian lain dari stupa ayah Dwita memperhatikan gerak-gerik Boma dengan pandangan mata masih menyorot sementara Letkol Kusumo Atmojo dengan sepasang matanya berusaha mencari-cari anak perempuannya di antara orang banyak. Namun seperti semua orang yang ada di tempat itu perhatiannya kemudian lebih ditujukan pada Boma. Tadi secara singkat Serda Sujiwo telah menerangkan tentang kepergiannya ke Keraton dan kembali ke candi membawa sebutir telur ayam putih yang menurut orang tua yang ditemui dengan kuasa Allah mudah-mudahan bisa menolong menyelamatkan Dwita.
"Rin, kayaknya tadi bokap lu nyariin kamu. Samperin sana." Ucap Rio pada Trini. 
"Nanti aja, aku mau liat apa yang dilakukan Boma." Jawab Trini acuh. Saat itu Boma sudah sampai di depan stupa tempat Dwita disekap. Dia berlutut, mengintip lewat lubang batu stupa. Hatinya terenyuh dan anak ini seperti  mau menangis melihat keadaan Dwita. Dia ingat pada ucapan supir taksi tadi. Dwita dibunuh. Dia ingat pada bentakan-bentakan  ayah Dwita. Dia yang mencelakai anak perempuan itu.
"Dwita, jangan mati dulu. Aku dan teman-teman masih berusaha menolongmu. Tuhan juga akan menolongmu Dwita. Kamu harus hidup Dwita. Harus hidup. Untuk membuktikan aku dan teman-teman tidak salah. Tidak mencelakaimu. Kamu anak baik. Tidak ada orang yang mau berbuat jahat padamu. Tuhan tolong saya, tolong Dwita."
Ucapan Boma lirih perlahan tapi masih sempat terdengar oleh beberapa teman yang jongkok di  sekitarnya termasuk Ibu Renata. Gita, Trini dan Sulastri tidak bisa menahan diri. Perasaan mereka jadi terenyuh. Air mata berlelehan di pipi ketiga anak perempuan itu. Ibu Renata sendiri kelihatan berkaca-kaca sepasang matanya.
Serda Sujiwo kembali memegang punggung Boma dan berbisik.
"Dik Boma, lakukan sekarang."
Tangan kiri Boma mendadak bergetar. Anak ini tidak berani ulurkan tangan, memasukkan telur ke dalam lobang stupa. Takut telur itu terjatuh. Boma pejamkan mata. Ucapan Ibu Renata terngiang di telinganya. "Tabah Bom. Kuatkan hatimu. Jangan ragu melakukan apa yang harus kau lakukan. Kita tahu Tuhan Maha
Kuasa. Segala sesuatu akan terjadi atas kehendakNya. Tapi tetap kamu harus melakukan sesuatu. Sesuai pesan orang tua di Keraton itu."
Boma pejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam. Suasana di tempat itu sunyi mencekam. Di langit tak kelihatan bintang. Bulan purnama yang belum penuh sedikit demi sedikit mulai tertutup saputan awan hitam. Lampu-lampu sorot mendadak menyala. Dua kamera televisi diarahkan ke Boma. Beberapa kali lampu kilat kamera wartawan berkilauan. Serda Sujiwo dan anak buahnya tampak bingung. Apakah mereka harus mencegah semua  itu atau terpaksa diam membiarkan. Sementara semua mata memperhatikan Boma tidak mengedip. Banyak yang mengusap tengkuk masing-masing karena ada  rasa dingin yang aneh kalau tidak mau dikatakan takut.
"Tuhan tolong saya, tolong  Dwita." Dalam keadaan masih berlutut untuk kesekian kalinya Boma berdoa memohon dalam hati. Lalu buka kedua matanya kembali. Getaran di tangan kirinya lenyap. Tangan itu perlahan-lahan diulurkan ke arah lobang stupa paling bawah. "Bismillah," Boma mengucap lalu dengan sangat hati-hati Boma meletakkan telur ayam putih yang sekian lama digenggamnya ke dalam lobang stupa. Tepat di arah kepala Dwita Tifani yang terbaring di pangkuan Arca Amoghasidi. Boma mendadak merasa ada  satu kekuatan hawa sejuk menuntun gerakan tangannya meletakkan telur ke dalam lobang stupa. Dia juga seperti mendengar ada suara "klek" ketika telur ayam putih bersentuhan dengan batu lobang stupa. Di dalam lobang, telur ayam putih itu tidak bergeming, seolah menempel lengket ke batu stupa. Gita Parwati memegang lengan Trini. "Telor ayam, itu yang dari tadi dipegangin Boma. Dapet dari mana dia?"
"Dari orang tua di Keraton," jawab Sulastri vang sebelumnya telah diberitahu Trini.
"Kok ditaroh dalam lobang stupa?" ucap Rio.
"Aku takut..." bisik si Centil Sulastri.
"Pelukin aja Vino situ," celetuk Trini. Untuk beberapa lamanya Boma masih berlutut di depan stupa. Memperhatikan telur ayam putih di dalam lobang, melirik ke dalam stupa untuk melihat Dwita. Hatinya  lega karena kini amanat untuk meletakkan telur ayam putih di dalam lobang stupa telah dilaksanakannya. Namun hanya sesaat karena kemudian anak lelaki ini diselimuti rasa gelisah.
"Apa yang akan terjadi...." Membatin Boma. Lalu dia ingat sesuatu. "Belum tengah malam. Belum tepat jam dua belas malam. Menurut Ki Tunggul Sekati...."
"Pak Kusumo," ayah Dwita Tifani yang sejak tadi berlutut memperhatikan Boma dari samping stupa bangkit berdiri.  Didekatinya ayah Trini. Walau dia berusaha menekan nada suaranya namun beberapa orang masih sempat mendengar apa yang diucapkan ayah Dwita ini.
"Pak Kusumo, perbuatan sirik apa yang dilakukan anak itu? Mau diapakan anak saya?!"
Letkol Kusumo Atmojo, ayah Trini, cepat mendekati Erlan Sujatmiko, merangkul bahu lelaki ini. Sambil berusaha membawanya agak menjauhi stupa Kusumo Atmojo berkata.
"Pak Erlan, tidak usah kawatir. Nanti saya terangkan..."
"Saya tidak mengerti. Saya benar-benar tidak mengerti.
"Nanti saya terangkan. Pak Erlan harap tenang. Berdoa saja agar anak Bapak bisa diselamatkan." 
"Siapa yang menyelamatkan? Telur itu?! Anak itu?!"
"Erlan Sujatmiko gelengkan kepala berulang kali.
"Sudahlah, ayo kita duduk di sebelah sana. Bapak letih, saya juga capek."
Sementara itu Boma masih berlutut sambil memegangi batu stupa. Lewat lobang-lobang stupa matanya tak putus-putus menatap wajah Dwita.
"Dwita," ucap Boma perlahan. "Kalau semua ini nggak bisa nyelamatin kamu, aku bakalan nekad. Aku mau mati demi kamu..."
Serda Sujiwo yang berdiri di samping Boma, sesaat tertegun mendengar kata-kata anak lelaki itu. Dipegangnya bahu Boma lalu berkata.
"Dik Boma, bangun...."
"Jam berapa sekarang Pak?" tanya Boma tanpa mengalihkan matanya dari memandang Dwita. Serda Sujiwo melirik ke pergelangan tangan kanannya.
"Dua belas kurang sepuluh. Seperti kata Ki Tunggul Sekati, sesuatu akan terjadi tepat jam dua belas. Ayo...." Serda Sujiwo memberitahu lalu menolong Boma bangkit berdiri. Anak ini kemudian dibawanya menjauhi stupa. Kepada empat orang anak buahnya yang ada di dekat stupa  Serda Sujiwo memberi isyarat agar mundur. Kepada para pelajar SMU Nusantara III dan semua orang yang berdiri di sekitar stupa dengan isyarat tangan juga dimintanya agar mundur lalu duduk di lantai candi, tidak ada yang  berdiri. Untuk beberapa lama lampu-lampu sorot masih menyala. Juru kamera dua stasiun televisi masih membidikkan kamera mereka ke arah telur ayam putih di dalam lobang stupa, lalu ke arah Boma yang kini duduk di lantai stupa di kelilingi teman-temannya. Lampu kilat tustel berkilauan berulang kali.
"Bom, telor yang kamu masukin ke dalam lobang stupa itu buat apaan?" tanya Ronny Celepuk.
"Aku nggak bisa ngasi tau apa-apa. Kita nunggu sampai jam dua belas tepat..." 
"Memangnya ada apa jam dua belas?" tanya Sulastri.
"Katanya saat itu Dwita akan diselamatkan dari dalam stupa."
"Siapa yang nyelamatin?" tanya Vino. 
Boma menowel hidungnya. "Liat aja nanti. Aku juga nggak ngerti. Kalau dipikir semua nggak masuk akal. Aku cuma minta tolong sama Tuhan. Teman-teman juga bantu aku. Ikut berdoa agar Dwita bisa keluar dari dalam stupa..."
"Git, rasanya serem amat. Aku kok jadi tambah takut..." bisik Sulastri pada Gita Parwati. Si gendut Gita Parwati mengusap wajahnya yang basah oleh keringat padahal udara dan angin  bertiup dingin. "Gua juga ada perasaan ngeri..." kata anak perempuan ini sambil memegang tangan Sulastri yang terasa dingin.
"Gua nggak bisa ngebayangin, apa yang bakal kejadian jam dua belas nanti," kata Rio. Vino melirik ke arloji di tangan kirinya. Jam 11.48.
"Ron," panggil Boma. "Kamu sudah dapat dongkrak mobil yang aku minta?"
"Ada tiga Bom. Nyewa sama supir-supir," menerangkan Ronny.
"Kalau usaha aneh ini nggak bisa ngeluarin Dwita dari dalam stupa, aku nekad ngedobrak stupa dengan dongkrak itu. Masa sih nggak jebol."
Tiba-tiba satu sosok besar bergerak di antara para pelajar SMU Nusantara III. Beberapa orang anak mengomel karena tersenggol.
"Maaf, minta jalan. Dikit aja.... Maaf." Sosok besar keluarkan ucapan, melangkah terbungkuk-bungkuk sambil luruskan tangan  kanan ke bawah. Sosok ini kemudian duduk dekat Trini yang berada di sebelah kanan Ronny.
"Mbak Trini masih ingat saya?"
Suara besar dan parau menegur Trini Damayanti. Anak perempuan itu palingkan kepala. Satu wajah bulat besar, memakai topi pet terbalik, tersenyum padanya.
"Eh, sampean toh! Mimpi kali"' ucap Trini. "Kok bisa ada di sini? Tau dari mana?"
"Tuyul Bengkak. Wartaaaawwwwwaaan,  tau. Yang namanya wartawan musti tahu sumber berita hebat dan musti bergerak cepat. Nggak usah heran dong.
***
DELAPAN
CEWEK CAKEP TAK DIKENAL TELUR AYAM PANCARKAN CAHAYA BIRU 
PARA pelajar yang mengelilingi Boma sesaat memperhatikan lelaki gendut berjaket kulit yang duduk di samping Trini membuka topi petnya. Dia mengusap kepalanya yang botak basah oleh keringat lalu memakai topi itu kembali. Tustel yang tergantung di leher diletakkan di pangkuan. Boma dan teman-teman memandang ke arahnya. Mengetahui dirinya diperhatikan lelaki ini tersenyum dan lambaikan tangan kanan.
"Siapa Bom?" tanya Ronny. "Rasanya gue pernah ngeliat si gendut botak itu."
"Wartawan. Dia dulu yang bikin heboh. Bikin berita di tabloid aku pacarnya Trini," jawab Boma setengah berbisik karena tidak mau ucapannya kedengaran Trini yang duduk di sebelah kanan Ronny. Wartawan dengan sosok gendut dan mengaku bernama  Tuyul Bengkak ini adalah wartawan sebuah tabloid di Ibukota. Sewaktu terjadi musibah yang menimpa Boma dan kawan-kawan di Gunung Gede, dia pernah mewawancarai Trini. Di dalam artikel yang kemudian ditulisnya di dalam tabloid dia menyebutkan Trini sebagai pacar Boma. Karuan saja seluruh pelajar dan guru SMU Nusantara III menjadi heboh. Trini yang memang naksir berat sama Boma senang-senang saja menanggapi berita dalam tabloid. Apa lagi saat itu dia tengah bersaing keras dengan Dwita untuk mendapatkan perhatian Boma (Baca serial Boma Gendenk Episode "Suka Suka Cinta") Dengan tustelnya yang diisi film ASA tinggi hingga tidak memerlukan lampu kilat wartawan tabloid itu jepret sana jepret sini. Yang dipotretnya adalah stupa tempat Dwita tersekap, lalu zoom in ke arah telur dalam lobang stupa. Selanjutnya tustel diarahkan pada Boma, Trini, Ibu Renata dan beberapa pelajar SMU Nusantara III.
"Wah, tampang ogut masuk koran deh!" kata Firman.
"Mending," menukas Vino. "Paling cuman kuping lu doang."
Selesai mengambil foto dengan suara perlahan wartawan bertubuh gemuk gendut bicara pada Trini.
"Saya lihat lintasan berita jam lima sore di tivi. Apa yang terjadi di sini ditayangkan..."
"Bener Mas?" Trini tidak percaya. Si gemuk mengangguk. "Disebut-sebut pelajar SMU Nusantara. Juga nama Dwita. Saya ngecek ke tivi. Lalu nilpon rumahnya Mbak.
Katanya Mbak lagi ke Jogya. Saya cek ke rumah Dwita. Dapat keterangan ayah Dwita sudah berangkat ke sini sama ayahnya Mbak. Saya lapor Pimpinan Redaksi. Langsung diperintahkan ke sini. Sampai di Bandara Sukarno Hatta sekitar jam tujuh. Untung masih kebagian tempat di pesawat. Saya ngecek dulu ke wisma. dapat keterangan semua pelajar SMU Nusantara dan guru-guru berada di Candi Borobudur. Saya  langsung aja ke sini." Tuyul Bengkak buka lagi topi petnya, usap kepala botaknya yang keringatan. "Mbak Trini, sebetulnya bagaimana kejadiannya? Tadi saya lihat Mas Boma meletakkan telor di lobang stupa..."
Walau wartawan tabloid itu bicara perlahan, tapi karena tempat itu dicekam kesunyian maka tetap saja suaranya terdengar kemana-mana. Beberapa orang melihat ke arahnya. Tuyul Bengkak tersenyum walau kini jadi risih sendiri.
"Mas Tuyul, nanti aja ngomongnya disambung.."
"Sorry Mbak, saya ngerti." Ucap Tuyul Bengkak lalu wartawan ini mengokang tustel di pangkuannya. Suasana di sekitar stupa benar-benar sunyi kini. Tiupan angin menerpa keras dan dingin. Boma menowel hidungnya. Sepasang matanya terus-terusan menatap ke arah stupa. Perasaannya luar biasa tegang namun dalam hati anak ini tidak putus-putus berdoa memintakan keselamatan bagi Dwita. Satu saat sepasang mata Boma bergerak ke kanan, ke arah deretan pelajar SMU Nusantara III yang duduk di seberangnya, di samping kiri stupa. 
"Ron," Boma berbisik. Lalu menowel hidungnya. "Apa?"
"Lu ngenalin nggak cewek pakai kaos merah di depan sono. Yang ngeliatin ke arah kita."
Ronny Celepuk mengikuti arah pandangan Boma. Lalu balik bertanya. Matanya mencari-cari.
"Yang mana Bom?"
"Kaos merah, rambut item panjang sepinggang. Dia masih ngeliatin ke sini."
"Nggak Born. Aku nggak ngeliat tuh."
"Mata lu kotok kali"' Boma menowel hidung kembali. Jengkel dibilang matanya kotok, Ronny Celepuk kedap-kedipkan matanya beberapa kali, digosok-gosok lalu kembali memperhatikan ke jurusan yang dipandang Boma.
"Udah, lu ngeliat?"
Ronny menggeleng.
"Itu anaknya, sekarang dia senyum."
"Nggak ada cewek yang senyum. Nggak ada cewek pakai kaos merah, rambut item sepinggang. Gua kenal semua anak-anak yang duduk di sebelah sono. Hampir semua teman kita sekelas. Ada satu dua anak kelas lain."
Boma palingkan kepala, pandangi temannya beberapa saat.
"Gue juga kenal Ron. Semua anak-anak SMU Nusantara. Tapi yang pakai kaos merah itu, aku nggak  pernah ngeliat. Dia bukan anak SMA Nusantara. Kalau anak luar kok duduknya gabung sama teman-teman?"
"Ah, masa sih mata gua lamur," ucap Ronn penasaran. "Anaknya cakep?"
Boma tertawa, menowel hidungnya. "Ala Ron, jangan becanda deh. Lu ngeliat bilangnya nggak ngeliat."
"Sumpah disamber janda Bom. Aku memang nggak liat cewek yang kamu bilang itu. Cakep nggak sih anaknya?" Ronny masih bercanda. Boma menowel hidungnya dua kali lalu kembali memandang ke depan, ke arah samping kiri stupa.
"Eh! Kok...?" Suara Boma menyatakan rasa keterkejutan. 
Wajahnya berubah. "Hilang Ron."
Karena Boma bicara sambil menekapkan tangan kirinya ke bawah perut Ronny Celepuk bertanya. "Apaan yang hilang? Bijilu?" 
"Brengsek lu! Yang aku maksud  cewek pakai kaos merah tadi. Nggak ada lagi di depan sono!" '
"Nah, kamu yang sebenarnya becanda Bom."
"Gua nggak ngerti Ron. Nggak ngerti. Kok..."
"Kamu kayak bokapnya si Dwita aja. Bulak balik bilang nggak ngerti..."
Boma diam. Matanya masih memandang ke arah kelompok anak SMU Nusantara III yang duduk di samping kiri stupa. Dia memang tidak bercanda. Anak perempuan berkaos merah, rambut hitam sepinggang yang tidak dikenalnya itu tadi jelas-jelas dilihatnya, duduk diantara teman-temannya. Tapi kini lenyap begitu saja.
"Kalau dia berdiri lalu pergi, mustahil aku nggak ngeliat," kata Boma dalam hati. "Hati gue nggak enak Ron." Akhirnya Boma keluarkan ucapan. Ronny tidak menyahuti. Masih heran dengan sikap serta ucapan temannya itu. Ibu Renata yang duduk di sebelah kiri Boma dan mendengar pembicaraan bisik-bisik Boma dengan Ronny beberapa kali coba memperhatikan ke jurusan depan. Seperti Ronny, Guru Bahasa Inggris ini juga tidak melihat anak perempuan yang dikatakan Boma itu.
"Kamu berdua ngomongin apa sih tadi? Kayaknya serius banget?" Trini bertanya pada Ronny.
"Tau tu si Boma. Katanya di depan sono ada..."
Boma menyikut rusuk Ronny hinga anak lelaki ini tidak meneruskan ucapannya. Seorang anggota Polisi memompa tiga lampu patromak yang cahayanya mulai redup. Malam tambah kelam. Bukan saja tidak ada bintang, bulan purnama hari  ke tiga belas juga tersembunyi dibalik awan tebal. Udara terasa tambah dingin. Di kejauhan suara lolongan anjing tiba-tiba terdengar, seperti suara setan meratap membuat semua orang yang mengelilingi stupa Archa Amoghasidi jadi dingin dan mengkirik kuduk masing-masing. Tiba-tiba tiga lampu patromak yang baru dipompa dan cahayanya terang benderang padam seperti ditiup hantu. Suasana jadi gelap gulita. Beberapa anak perempuan berpekikan. Rata-rata semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekat dalam gelisah kalau tidak ma dikatakan takut. Firman ceking komat kamit mungkin membaca sesuatu minta perlindungan. Gita Parwati berpaling ke arah Allan. Saat itu dia ingin anak lelaki itu berada dekat dengan dirinya. Sulastri beringsut ke depan mendekati Gita lalu memegang pinggul si gendut ini. Karuan saja Gita jadi tergagau kaget, hampir menjerit. 
"Lastri! Apa-apaan sih! Bikin kaget gua aja. Untung gua nggak teriak."
"Aku takut, aku mau dekat kamu..." bisik Sulastri.  Untuk menghindari suasana kacau Serda Sujiwo berdiri di depan deretan anak-anak yang duduk di lantai.
"Semua tenang! Jangan ada yang bergerak! Tetap ditempat!" teriak Serda Sujiwo. Lalu bersama beberapa orang anak buahnya Serda ini memeriksa dan coba  menghidupkan tiga patromak kembali. Namun walau dicoba berulang kali tiga lampu patromak itu tetap saja tidak bisa dinyalakan.
"Aneh," kata Serda Sujiwo. Dia mulai merasa kalau padamnya tiga patromak itu adalah sesuatu diluar kewajaran.
"Aneh," ucap Ibu Renata pada dirinya sendiri tapi sempat terdengar oleh Boma yang duduk di sampingnya.
"Ibu takut...?" tanya Boma sambil tangan kirinya memegang lengan Guru Bahasa Inggris itu.
"Saya heran. Mengapa banyak keanehan di tempat ini," jawab Ibu Renata perlahan. Entah sadar entah tidak tangan kirinya digenggamkan ke jari-jari Boma yang memegang lengan kanannya. Tempat itu begitu gelap. Tidak ada yang melihat guru dan murid yang saling bergenggaman tangan itu. Lewat jari-jari yang saling bertautan mereka merasakan satu kehangatan, paling tidak dalam hati dan perasaan masing-masing. Di kejauhan lapat-lapat kembali terdengar suara lolongan anjing, panjang menyayat berhiba-hiba. Tiba-tiba semua orang yang  mengelilingi stupa keluarkan seruan tertahan. Bukan suara lolongan anjing itu yang membuat  mereka terikat, tapi ada satu kejadian lain luar biasa. Ibu Renata menarik tangannya dari dalam genggaman Boma, memandang ke arah stupa. Boma juga ikutan memandang ke arah stupa.
Astaga!
Telur ayam putih yang ada dalam lobang stupa kelihatan memancarkan cahaya biru. Beberapa pelajar berdiri. Termasuk Boma. Anak ini bergerak, melangkah hendak mendekati stupa. Serda Sujiwo segera mencegah sambil berseru.
"Anak-anak, tetap tenang. Harap duduk kembali. Tidak perlu gelisah." Tapi saat itu Serda Sujiwo sendiri sebenarnya gelisah. Matanya berkali-kali melirik memperhatikan telur ayam yang memancarkan cahaya biru dalam lobang stupa. Boma mengusap hidungnya. Dia harus ke stupa. Dia harus tahu apa yang terjadi. Dia tidak perduli seruan Serda Sujiwo tadi. Kalau perlu dia akan mengambil, mengeluarkan telur ayam dalam loban stupa lalu membuangnya jauh-jauh. Anak ini melangkah.
"Boma, jangan..." kata Ibu Renata. Di sebelah belakang Sulastri yang tenggelam dalam rasa takut ikut berucap. "Bom, jangan  kesitu. Kalau telurnya dadakan meledak, kamu bisa celaka. Tapi Boma nekad. Dia meneruskan langkah. Gita Parwati dan Ronny sama-sama pegangi kaki anak ini. Sambil memegangi kaki Boma, Gita tak henti-hentinya berkata.
"Bom jangan gendeng Bom. Jangan bikin yang nggak-nggak. Jangan gendeng..."
"Aku nggak gendeng," jawab Boma. Hidungnya ditowel berulang kali. Memandang ke arah telur, berpaling pada Gita dan Ronny yang memegangi kakinya. Akhirnya, perlahan-lahan anak ini duduk kembali ke lantai candi. Begitu duduk dia berkata.
"Kalau telor itu meledak, lalu Dwita celaka, aku..."
"Tenang aja Bom. Jangan ngarepin yang nggak-nggak," bisik Ronny. "Kalau telor itu memang meledak, kita mau berbuat apa. Kamu jangan nyari penyakit." 
"Percaya Tuhan Bom," kata Trini yang mendekati Boma dan memegang bahu anak lelaki ini. "Tuhan nggak bakal nyelakain Dwita. Nggak bakal nyelakain kita-kita." 
Wartawan tabloid Tuyul Bengkak ikutan membujuk Boma agar berlaku tenang. Boma menatap wajah lelaki gendut ini sesaat, berpaling pada Trini lalu berucap.
"Kalau keadaan begini terus aku bisa nekad Ron. Bener-bener nekad. Soalnya aku yang narok telor itu dalam lobang stupa. Kalau meledak dan Dwita celaka, aku yang salah," jawab Boma. Dia kembangkan telapak tangan kirinya. Tangan yang pernah diisi hawa sakti oleh nenek aneh Sinto Gendeng di Gunung Gede. Saat itu ingin sekali dia melompat ke arah stupa. Menghantam jebol stupa itu dengan tangan kirinya.
"Berdoa saja, berdoa. Minta supaya jangan terjadi apa-apa," bisik Ibu Renata pada Boma. Guru Bahasa Inggris ini pejamkan mata, tak berani memandang terlalu lama ke arah telur dalam lobang stupa.
"Ya, Bu." Jawab Boma perlahan. Rasa nekad dalam dirinya perlahan-lahan mengendur. Beberapa saat berlalu. Boma mendadak merasa ada hawa aneh keluar dari batu candi yang didudukinya. Anak ini tampak gelisah. Keringat dingin keluar dari pori-pori di permukaan kulit wajah dan tubuhnya.
***
SEMBILAN
SINTO GENDENG MUNCUL DI CANDI 
RASA gelisah mencekam semua orang yang ada di sekitar stupa. Ayah Trini selalu berada di dekat Erlan Sujatmiko, ayah Dwita. Beberapa kali dia melihat gelagat lelaki ini hendak melangkah ke arah stupa. Lebih-lebih ketika dia menyaksikan telur putih yang mendadak berubah dan memancarkan cahaya biru. Dalam kesunyian dan udara dingin begitu rupa, tiba-tiba Boma merasakan satu keanehan. Telapak tangan kanannya diletakkan di atas lantai candi. Digeser-geser beberapa kali. Digerakkan seperti meraba sesuatu.
"Ngapain lu Bom?" tanya Gita Parwati. Ronny dan beberapa anak lainnya ikut memperhatikan.  
"Ron, lu ngerasain sesuatu nggak?" Bisik Boma.
"Sesuatu apa?" balik bertanya Ronny. "Lu mau ngerjain gua lagi?
Jangan macem-macem Bom. Mulut gue udeh asem ini. Rokok abis."
"Batu candi yang gua dudukin.  Kok mendadak terasa panas." Boma memberitahu.
"Mungkin lu pengen  beol kali'. Atau lagi nahanin kentut!" Kata Ronny Celepuk sambil senyum-senyum acuh.
"Gue nggak becanda Ron. Demi. Badan gue ampe ngeluarin keringet...." Belum sempat Boma meyakinkan temannya itu tiba-tiba dia menangkap suara sesuatu. Suara seperti ada burung besar melesat di udara. "Ron, ada suara aneh. Lu denger nggak?"
"Nggak, soalnya lu belon kentut sih!" jawab Ronny masih bercanda.
Boma mendongak ke atas. Langit kelam gelap. Udara dingin dan tiupan angin terdengar keras. Dalam gelap tiba-tiba Boma melihat dua benda besar melesat di udara. Yang satu kemudian hinggap dan duduk di puncak stupa sebelah kanan dimana Dwita tersekap. Satunya lagi duduk di atas stupa sebelah kiri belakang. Sepasang mata Boma terpentang lebar. Walau agak jauh tapi sosok bermantel yang duduk di atas stupa sebelah kanan segera dikenalinya. Itulah pemuda tinggi besar yang mengaku bernama Pangeran Matahari. Yang siang tadi berkelahi dengan dia dan pemuda gondrong yang dipanggilnya dengan sebutan Abang. Boma memandang ke stupa satu lagi. Dia melihat sosok berjubah gelap, berwajah seorang nenek, angker seram diselomoti dandanan tebal.
"Lu ngeliatin apa, kok dari tadi  nongak terus?" Gita Parwati bertanya. Dia coba menandang ke jurusan yang diperhatikan Boma. Dia tidak melihat apa-apa selain kegelapan malam dan deretan stupa.
Boma pegang lengan Ronny Celepuk.
"Pangeran Matahari...." suara Boma tersendat. "Orang jahat yang menyekap Dwita dalam stupa. Yang tadi siang mau ngebunuh aku. Dia duduk di atas stupa sana. Dia muncul bersama nenek-nenek bertampang seram. Nenek-nenek itu duduk di stupa sebelah situ."
Sambil berkata Boma arahkan jari telunjuk tangan kirinya ke arah dua stupa di seberang sana. Ronny, Ibu Renata, Gita dan semua anak yang mendengar ucapan Boma serta merta memandang ke arah yang ditunjuk Boma.
"Aku nggak ngeliat apa-apa!" Kata Ronny Celepuk. Lalu dia berpaling pada Allan. "Lu ngeliat yang dibilang Boma?"
"Nggak," jawab Allan.
"Masa sih ada orang duduk di atas stupa. Stupa yang mana?" tanya Trini.
"Betul Bom, aku juga nggak liat apa-apa. Nggak gampang orang mau duduk di atas stupa..."
Boma berpaling pada Ibu Renata, mungkin Guru Bahasa Inggris ini melihat apa yang dilihatnya. Tapi Ibu Renata membalas pandangan Boma dengan gelengan kepala. Sulastri mendekatkan mulutnya ke telinga Gita. Lalu berbisik. 
"Boma semakin aneh. Jangan-jangan dia sudah kesambet setan candi. Ngeliat ini ngeliat itu, dengar ini dengar itu. Kok kita semua nggak ngeliat apa-apa. Nggak denger apa-apa." 
"Bom, lu sadar Bom?" Gita Parwati bertanya.
"Sialan, emangnya gue kenapa?" ucap Boma. "Kalian diam
semua. Jangan pada ngomong. Sesuatu pasti akan terjadi." Boma berpaling pada Vino.
"Jam berapa sekarang?" tanya Boma. Vino melihat ke arlojinya. Wartawan tabloid Tuyul Bengkak singsingkan lengan kiri jaket kulitnya, untuk melihat jam tangan yang ada di situ. Agak susah melihat dalam gelap. Untung jarum dan angka-angka arloji Vino dilapisi  rodium hingga dia masih bisa melihat cukup jelas.
"Jam dua belas kurang dua menit," kata Vino. Boma melirik ke arah telur di dalam lobang stupa. Lalu memperhatikan dua sosok yang duduk di atas stupa. Tiba-tiba anak ini mendengar suara tawa cekikikan.
"Ron, ada yang ketawa!" ucap Boma memberitahu. Sepasang alis mata tebal Ronny Celepuk naik ke atas. Matanya membesar lalu anak ini tertawa.
"Aku nggak dengar suara orang ketawa. Teman-teman, kalian ada yang dengar?" tanya Ronny. Semua anak yang ada di tempat itu sama-sama gelengkan kepala.
"Boma bener-bener udah kemasukan setan candi. Ucapan dan tingkahnya semakin aneh!" bisik Sulastri ke telinga Gita.
"Bom, sebenarnya kamu ini kenapa sih?!" Trini bertanya. Boma tidak menjawab. Dia palingkan kepala ke arah datangnya suara tertawa cekikikan tadi.  Hidungnya ditowel berkali-kali. Matanya membesar. Di sana, di atas sebuah stupa, agak jauh dari dua stupa yang diduduki Pangeran Matahari dan nenek berwajah setan tampak duduk sambil uncang-uncang kaki seorang nenek tinggi kurus berkulit hitam. Di atas kepalanya menancap lima buah tusuk konde perak yang berkilauan di dalam gelapnya malam. Ketika melihat Boma memandang ke jurusannya, si nenek
lambaikan tangan.
"Nek...!" ucap Boma, memanggil tak sadar.  Semua anak yang ada di sekitar Boma semakin heran melihat sikap teman mereka satu ini.
"Siapa yang lu panggil Nenek barusan Bom?" tanya Vino.
"Itu, di atas stupa sana..." Boma menunjuk. "Ada nenek-nenek. Yang dulu nolongin kita di Gunung Gede. Yang ngasi...." Boma tidak teruskan ucapannya. Karena saat itu tiba-tiba dia melihat sosok lain berdiri tak jauh dari stupa tempat Dwita disekap. Di tempat lain Serda Sujiwo meneliti arlojinya. Begitu juga Letkol Kusumo Atmojo. Erlan Sujatmiko ikut-ikutan memperhatikan arloji yang tersingkap di ujung lengan switer wol. Semua  arloji mereka menunjukkan jam 11.59. Tinggal satu menit sebelum tepat jam 12.00 tengah malam.
"Ron, cewek berkaos merah tadi Ron. Muncul lagi. Dia ngeliatin ke sini." Boma berucap. Membuat Ronny dan anak-anak lainnya semakin heran. Ibu Renata membuka tas di pangkuannya. "Boma, saya punya Aqua. Masih utuh, belum saya minum. Sebaiknya kamu minum dulu."
"Terima kasih Bu, saya nggak  haus." Jawab Boma tanpa berpaling karena masih terus menatap anak perempuan berkaos merah yang berdiri dekat stupa. Di sebelah bawah anak ini mengenakan sehelai rok hitam pendek. Tiupan angin yang kencang membuat rok itu sesekali menyingkapkan sepasang pahanya yang sangat putih dan bagus. Detik demi detik berlalu. Di kejauhan lagi-lagi ada suara lolongan anjing. Sosok Pangeran Matahari yang duduk di atas stupa tiba-tiba kelihatan melesat ke bawah stupa dimana nenek bermantel gelap duduk.
"Nenek Guru, aku tidak melihat Guru Si Muka Bangkai. Padahal seharusnya dia lebih dulu berada di sini atas perintahmu."
"Gurumu jahanam satu itu! Dia pasti melantur ke tempat lain. Aku menemui bekas bungkusan  Majun Arab waktu kita meninggalkan rumah kosong di Desa Ngaran. Pasti gurumu itu main perempuan! Setan betul! Untung aku punya firasat dan buru-buru mengajakmu ke sana."
Pangeran Matahari mengusap dadanya. Di atas stupa nenek  bermuka angker berdandan tebal yang bukan lain adalah Kunti Api batuk-batuk beberapa kali. Lalu meludah. Ludahnya masih bercampur darah.
"Kurang ajar pengamen sinting itu! Ilmu pukulan apa yang dimilikinya hingga kita berdua mengalami cidera begini rupa!"
"Nenek Guru, pengamen sinting yang menghantam kita, dia bukan makhluk alam nyata ini. Sosoknya yang samar pertanda dia datang dari alam gaib. Berarti waktu dulu aku dan Guru Si Muka Bangkai memang benar telah membunuhnya. Lalu dia muncul sebagai roh gentayangan menolong kakaknya."
"Kita harus waspada. Lekas kau selidiki tempat ini. Kalau pengamen alam roh itu muncul di sini, urusan kita bisa jadi tidak karuan. Kau lihat benda bercahaya biru di lubang stupa tempat anak perempuan bernama Dwita disekap?"
"Aku lihat..." 
"Aku yakin itulah telur ayam sakti yang asli. Kita terlambat. Sulit sekarang untuk mencegah..."
"Nenek Guru," potong Pangeran Matahari. "Bagaimana kalau telur itu kita ambil atau kita hantam sampai hancur sekarang juga?
Sekalian dengan membunuh saja anak perempuan dalam stupa."
"Tidak ada gunanya. Akan sia-sia belaka. Sebelum memancarkan cahaya biru mungkin kita masih bisa melakukan sesuatu. Tapi kini telur itu telah berubah. Kasip! Terlambat! Cahaya biru itu adalah satu kekuatan magis yang tidak bisa kita tembus. Kita hanya bisa, baru bisa bertindak pada tepat tengah malam ketika sesuatu terjadi dengan telur itu."
Sambil bicara si nenek layangkan matanya kemana-mana. Tiba-tiba Kunti Api melihat sesuatu. "Pangeran, ada seorang anak perempuan berdiri di dekat stupa. Berbaju merah, rambut hitam sepinggang. Kau tahu siapa dia? Aku punya dugaan dia bukan dari rombongan pelajar dari Jakarta."
Sang Pangeran palingkan pandangannya ke arah stupa dan jadi terkejut. Tadi-tadi dia telah memperhatikan keadaan sekitar tempat itu. Bagaimana mungkin dia tidak melihat anak perempuan mengenakan kaos merah dan rok hitam pendek yang kini tegak di dekat stupa? Tidak bisa tidak ada satu kekuatan melindungi anak  itu, pikir sang Pangeran.
Kunti Api menatap tajam ke arah anak perempuan di dekat stupa. Lalu menghirup nafas dalam-dalam.
"Hemm....Aku mencium hawa aneh  keluar dari tubuh anak itu. Satu hawa mengandung kekuatan dahsyat. Bahaya besar!" kata Kunti Api pula. "Pangeran, dengar baik-baik. Jika terjadi sesuatu pada tepat tengah malam dan gurumu celaka Si Muka Bangkai itu belum juga muncul maka yang harus kau lakukan adalah membunuh anak perempuan dalam stupa. Hantam dengan salah satu pukulan saktimu. Aku akan membunuh bocah bernama Boma sambil mengawasi anak perempuan berkaos merah berambut hitam sepinggang...."
"Tapi Nenek Guru, saat ini di stupa di belakangmu seorang musuh besar kita baru saja muncul."
Saat itu Kunti Api mendengar suara tawa cekikikan. Dia cepat berpaling dan serta merta jadi terkejut ketika mengenali siapa adanya nenek hitam yang duduk di atas stupa di belakangnya.
"Sinto Gendeng...." desis Kunti Api. Sepuluh jari tangannya langsung mengepal. "Pangeran, kita terpaksa merubah siasat. Aku mengawasi nenek keparat bau pesing itu. Kau awasi anak perempuan berbaju merah dan membunuh anak perempuan dalam stupa."
"Bagaimana dengan anak lelaki bernama Boma?" tanya Pangeran Matahari pula. "Serahkan padaku. Biar aku yang membantai bocah yang katanya bakal dijadikan Pendekar Tahun 2000 itu. Namun masih ada satu lagi kekawatiranku. Kalau musuh bebuyutanmu, murid nenek keparat si Wiro Sableng itu muncul, kita bisa-bisa kalah kekuatan."
***
SEPULUH
TELUR DALAM LOBANG STUPA MELEDAK 
DETIK demi detik terasa merayap lambat sekali. Suasana gelap dan sunyi yang disertai cekaman rasa gelisah di kawasan Candi Borobudur sekitar stupa tempat Dwita disekap berubah menjadi geger total ketika tepat jam 12.00 tengah malam telur ayam di dalam lobang stupa tiba-tiba meledak. Lantai candi bergetar. Larikan-larikan cahaya biru laksana kembang api melesat ke udara. Untuk beberapa lamanya siraman cahaya biru membuat keadaan terang  benderang. Hampir semua orang berada dalam kesilauan. Anak-anak perempuan berpekikan. Belasan anggota Polisi yang menjaga sekeliling tempat itu tidak tahu apa yang mau diperbuat. Semua orang kemudian berseru lalu tertegun ketika menyaksikan tiba-tiba stupa dimana Dwita disekap secara aneh, dalam taburan cahaya biru perlahan-lahan naik ke atas. Arca Amoghasidi bergoyang-goyang.  Sosok Dwita yang terbaring di pangkuannya jatuh ke lantai. Kru dua stasiun televisi berteriak-teriak bingung. Lampu-lampu sorot tidak menyala. Kamera mereka tidak bisa bekerja. Beberapa wartawan foto termasuk Tuyul Bengkak memeriksa heran tustel masing-masing. Tombol tustel mereka tak bisa ditekan, seperti terkancing. Tidak satupun dari mereka bisa mengabadikan peristiwa luar biasa itu. Semua orang yang ada di tempat itu hanya mendengar suara letusan telur, hanya melihat kilatan cahaya biru serta hanya melihat batu stupa naik ke atas secara aneh. Mereka tidak mendengar suara dan tidak melihat kejadian-kejadian aneh lainnya kecuali Boma.
Sebelum telur meletus sosok anak perempuan berkaos merah tiba-tiba raib menghilang. Boma mencium bau harum semerbak yang tidak tercium oleh siapapun. Lalu samar-samar Boma melihat sosok seorang perempuan muda luar biasa cantik. Di kepalanya ada sebuah mahkota terbuat dari emas dan taburan batu permata. Di sebelah belakang di bawah mahkota tergerai rambut hitam panjang. Perempuan ini mengenakan kain panjang hijau berkembang-kembang emas menyerupai kemben. Bagian atas tubuhnya yang terbuka ditutupi dengan sehelai selendang tipis berwarna ungu. Pada saat sosok perempuan cantik ini bergerak ke udara, pada saat itu pulalah stupa dimana Dwita Tifani tersekap bergerak naik ke atas. Boma melihat jelas, perempuan cantik bermahkota inilah yang mengangkat ujung atas batu stupa dengan tangan kirinya lalu melayang ke atas. 
"Boma! Lekas ke sini! Ambil Dwita!"
Satu teriakan keras-keras perempuan yang hanya didengar Boma menggema di tempat itu. Boma tidak tahu siapa yang berteriak, tidak mengenali suara. Takut ada, bingung dan heran sesaat Boma hanya berdiri tertegun.
"Anak Gendeng! Kau dengar orang berteriak! Tunggu apa lagi?
Apa kau tidak mau menyelamatkan anak perempuan cewekmu itu?!" Tiba-tiba ada suara lain yang berteriak. Boma mengenali suara itu. Suara itu. Suara si  nenek yang dulu menolong dan memberinya ilmu. Tapi dia tidak melihat orangnya. Semua orang yang ada di tempat itu kemudian melihat nyata bagaimana Boma melompat naik ke lantai candi di depannya, lari ke arah arca yang bergoyang-goyang. Anehnya Arca Amoghasidi ini kelihatan seperti tersenyum. Boma cepat rnengangkat tubuh Dwita Tifani, menggendong anak perempuan itu, membawanya menjauhi Arca. Hanya beberapa detik setelah Boma mengangkat tubuh Dwita, stupa yang seolah menggantung di udara turun ke bawah. Dibarengi suara letusan yang disertai berkiblatnya larikan-larikan sinar biru, stupa itu kembali ke tempatnya semula. Dari dalam puluhan lobang stupa mengepul keluar asap putih kebiru-biruan
disertai menebarnya bau sangat harum. Semua orang merasa ngeri, berdiri bulu tengkuknya. Delapan orang anggota Polisi termasuk Serda Sujiwo segera melindungi Boma. Empat orang petugas medis Rumah Sakit Sarjito dibawah pimpinan seorang dokter cepat mendatangi. Mereka mengambil Dwita dari dukungan Boma, diletakkan di atas sebuah tandu. Para pelajar SMU Nusantara III berdesakan mengerubungi tandu. Ada yang coba menyentuh tangan atau wajah Dwita. Tapi mereka segera mundur begitu dilarang oleh Serda Sujiwo dan dokter. Pemeriksaan cepat dilakukan. Yang pertama sekali dokter ingin memastikan bahwa Dwita Tifani masih hidup. Detak nadi di pergelangan tangan dan bagian leher diteliti. Semua orang menunggu dengan dada berdebar. Lama baru dokter ini mengangkat kepalanya.
"Bagaimana Dok?" Erlan Sujatmiko yang menerobos diantara orang banyak dan kini berjongkok di samping tandu menanyakan keadaan anaknya. Mukanya seputih kertas. Sepasang matanya balut. Dokter yang ditanya hanya memegang bahu ayah Dwita. Dia memberi perintah pada petugas medis.
"Cepat pasangkan infus. Segera bawa ke rumah sakit," kata dokter lalu berpaling ke arah  anak-anak yang mengelilinginya. Sambil senyum dia anggukkan kepala. Senyum dan anggukan ini sudah cukup jelas sebagai pertanda Dwita Tifani masih hidup. Pekik haru menggema di kawasan Candi Borobudur. Ada yang berteriak sambil mengangkat tangannya berulang kali ke atas. Ada yang berseru menyebut nama Tuhan. Banyak yang mengusap air mata. Selagi mengacungkan-acungkan  tangan ikut gembira Ronny Celepuk tiba-tiba saja melihat seorang anak perempuan berambut sepinggang, berbaju kaos merah. Anak ini berada di antara kerumunan teman-temannya, di ujung kiri dekat tangga turun. Ronny ingat cerita Boma.
"Ini pasti cewek yang dikatakan Boma. Ah, cakep banget."
Membatin Ronny sambil berusaha menyeruak diantara orang yang  berdesakan. Namun ketika dia sampai di tangga menuju turun, anak perempuan berkaos merah itu tidak ada lagi. Dicari-cari sampai dia hanya tinggal sendirian di tempat itu, anak perempuan tadi tetap tidak berhasil ditemukan. Ronny segera menuruni tangga candi, berharap bisa menemukan anak perempuan itu di halaman bawah. Tapi di halaman bawahpun Ronny tidak menemui anak itu.
"Cewek aneh. Bisa ngilang." Kata Ronny dalam hati. Seolah terlupakan, di belakang orang yang mengerumuni dokter dan tandu dimana Dwita dibaringkan lalu diusung menuruni Candi, Boma Tri Sumitro jatuhkan diri, berlutut di tanah. Tubuhnya
bergetar. Suaranya parau ketika berulang kali mengucapkan kata-kata. "Terima kasih Tuhan. Terima kasih Tuhan..." Lalu anak ini bersujud di lantai Candi. Kembali dia memuji syukur dan berterima kasih pada Tuhan. Mungkin Boma akan terus bersujud seperti itu kalau tidak ada seseorang yang berlutut di sampingnya lalu memegang bahunya. Satu suara menyeruak di telinga Boma.
"Boma, Tuhan telah mengabulkan permintaan kita. Tuhan telah menyelamatkan Dwita. Sekarang  kita harus melihatnya di rumah sakit."
Perlahan-lahan Boma bangkit dari sujudnya. Dia tidak perlu berpaling untuk mencari tahu siapa yang barusan bicara. Dia mengenali suara itu. Trini Damayanti, sesaat masih tertegun ketika melihat Boma saling berangkulan dengan Ibu Renata. Sulastri menarik lengan Trini.
"Rin, biarin aja mereka. Ayo, kita ikutan ke rumah sakit. Dwita musti ditemani..."
"Ya...ya," jawab Trini. "Tapi aku mau ketemu bokapku dulu."
"Dia sudah duluan. Ikut bersama petugas rumah sakit."
Trini berpaling sekali lagi lalu tinggalkan tempat itu bersama Sulastri.
Namun Boma dan Ibu Renata tidak sempat melangkah jauh. Serombongan wartawan televisi dan surat kabar mendatangi mereka. Menghujani keduanya dengan pertanyaan. Kali ini agaknya Boma dan Guru Bahasa lnggris itu  tak bisa lolos lagi. Keduanya  menjawab semua pertanyaan sebisa yang mereka lakukan. Lampu kilat tustel berkilauan, lampu sorot kamera televisi menerangi wajah mereka.
"Aneh!" seorang juru kamera televisi keluarkan ucapan. "Tadi semua peralatan macet. Sekarang kok bisa jalan?"
Tuyul Bengkak wartawan tabloid dari Jakarta yang ikut berkerubung di tempat itu memegang lengan Boma dan berbisik.
"Ikuti saya. Kalau dilayani sampai pagi mereka masih terus mau nanyain situ. Ayo..."
Di tangga turun Candi Borobudur, ketika hendak melewati arca Singa, tiba-tiba Boma melihat anak perempuan berbaju kaos merah itu. Anak perempuan ini berdiri  dekat tumpukan batu-batu candi bekas restorasi.
"Hai!" Boma berseru memanggil. Namun anak perempuan yang dipanggil hanya melambaikan tangan, lalu menyelinap ke balik tumpukan batu dan lenyap dalam kegelapan.
"Siapa? Kamu manggil siapa?" tanya Ibu Renata heran. Tuyul Bengkak memandang berkeliling. Ikutan heran.
"Nggak Bu. Saya nggak manggil siapa-siapa," jawab Boma.
***
SEBELAS
KUNTI API DAN PANGERAN MATAHARI KENA BATUNYA
KETIKA telur di dalam lobang stupa meledak, dari puncak stupa yang didudukinya Kunti Api langsung melesat ke arah stupa di mana Dwita masih tersekap. Semuanya berlangsung serba cepat. Ketika dia memandang ke bawah sana dilihatnya Boma tengah melompat ke lantai candi untuk menolong Dwita. Tidak tunggu lebih lama Kunti Api segera hantamkan tangan kanannya. Lima larik sinar merah menggebu ke arah Boma. Namun setengah jalan tiba-tiba ada satu bayangan hitam berkelebat dan wutt...wuuut! Dua gelombang angin luar biasa dahsyatnya menyapu sepuluh larik sinar maut yang  hendak membantai memanggang Boma. Hantaman angin itu bukan saja membuat musnahnya serangan ilmu Kuku Api yang dilancarkan Kunti Api, tapi si nenek bermuka setan ini sempat terpental di udara, dan terpaksa berjumpalitan sampai dua kali untuk bisa jatuh dengan dua kaki menginjak lantai candi. Kunti Api keluarkan suara menggembor ketika mengetahui siapa orang yang barusan menggagalkan serangan mautnya. Bukan lain nenek tinggi kurus berkulit hitam yang kepalanya ditancapi lima tusuk konde. Sinto Gendeng!
"Nenek sundal, aku tak perlu banyak bicara denganmu! Terima kematianmu!"
Kunti Api gerakkan dua tangan sekaligus. Seluruh tenaga dalam dikerahkan. Sepuluh larik sinar merah mencuat ke arah sosok Sinto Gendeng.
Yang diserang ganda tertawa. Malah balas mengejek. "Pelacur tua bengek yang mukanya penuh dempulan! Bagaimana kalau kita mati berbarangan?! Hik...hikk...hik!
Kunti Api mengira Sinto Gendeng akan mengeluarkan pukulan Sinar Matahari untuk menghadapi sepuluh jalur serangan ilmu Kuku Apinya. Ternyata lawan sama sekali tidak menggerakkan tangan. Hanya kepalanya yang digoyangkan. Lalu slash...slash! Dua larik sinar biru melesat keluar dari sepasang mata cekung garang Sinto Gendeng. Laksana sepasang pedang yang bisa mulur dua larik sinar biru ini menyambar bersilangan ke arah Kunti Api. Kunti Api berteriak kaget.
"Sepasang Sinar Inti Roh!" Kunti Api berteriak menyebut nama serangan yang dilancarkan Sinto Gendeng. Dengan cepat guru Si Muka Bangkai ini melompat selamatkan diri. Namun kecepatan serangan Sepasang Sinar Inti Roh yang laksana kilat itu sulit dikelit. Seperti diketahui Pendekar 212 Wiro Sableng sangat menginginkan ilmu kesaktian Sepasang Sinar Inti Roh itu. Dia pernah memohon pada Sinto Gendeng untuk dapat mewarisi ilmu tersebut. Namun Sinto Gendeng belum mau memberikan. (Harap baca serial Wiro Sableng Tiga Dalam Satu/ TDS mulai Episode pertama berjudul "Lima Laknat Malam Kliwon") Kunti Api menjerit setinggi langit ketika salah satu sambaran sinar biru yang keluar dari mata Sinto Gendeng menyambar putus tiga jari tangan kanannya yaitu jari kelingking, telunjuk dan jari tengah! Selain itu sambaran sinar biru tadi membakar lengan mantelnya hingga hangus sampai ke siku. Lelehlah nyali Kunti Api. Selama ini dia hanya mendengar kalau Sinto Gendeng memiliki ilmu  kesaktian yang sulit dicari tandingannya yakni dua larik sinar biru yang keluar dari sepasang mata dan konon bernama Sepasang Sinar Inti Roh. Ternyata Sinto Gendeng memang memiliki ilmu  itu. Dan kenyataannya di malam buta itu dia menyaksikan serta menerima kehebatan ilmu tersebut! Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Pelacur jelek! Seharusnya lehermu yang aku tabas. Tapi malam ini hatiku sedang senang. Aku memberi pengampun padamu! Pergi dan jangan berani unjukkan tampang di hadapanku untuk selama-lamanya!"
Kunti Api hanya bisa keluarkan  suara mendengus, meludah ke lantai candi lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.  Akan halnya Pangeran Matahari saat itu baru saja dibikin bingung oleh lenyapnya anak perempuan berbaju kaos merah yang harus diawasinya atas perintah Kunti Api. Karena tidak mau menunggu lebih lama maka Pangeran Matahari segera arahkan perhatian pada Dwita Tifani yang saat itu masih berada di dalam stupa. Sambil melompat ke arah stupa sang Pangeran lepaskan pukulan Telapak Matahari. Tiga larik sinar merah, hitam dan kuning menderu. Tidak ada perlindungan yang bisa menyelamatkan Dwita dari serangan maut itu. Stupa batu akan hancur lebur. Setelah itu tubuh anak perempuan ini akan  terpanggang mengerikan, hanya tinggal tulang belulang dalam keadaan hitam gosong! Ketika tiga larik sinar maut itu menderu ke arah stupa, justru saat itulah stupa bergerak naik dan Pangeran Matahari terkesiap melihat naiknya stupa batu yang berat ratusan kilo itu adalah akibat perbuatan seorang perempuan cantik luar biasa, berambut panjang dan ada mahkota emas di kepalanya. Selagi terkesiap heran melihat apa yang terjadi di depan matanya tiba-tiba perempuan cantik bermahkota gerakkan tangan kirinya sementara tangan kanan terus mengangkat stupa ke atas. Pangeran Matahari tidak melihat cahaya, tidak mendengar deru angin serangan. Tahu-tahu satu kekuatan dahsyat mendorong tiga larik sinar pukulan sakti Telapak Matahari yang barusan dihantamkannya ke arah stupa untuk membunuh Dwita. Tiga larik sinar itu seolah amblas, masuk  kembali ke dalam tangan kanan sang Pangeran. Detik itu juga Pangeran Matahari keluarkan jeritan setinggi langit. Tubuhnya terpental, jatuh menggelinding ke lantai bawah candi. Lengan kanan baju hitamnya kepulkan asap. Ketika lengan baju yang hangus itu ditariknya langsung rontok dan terlihat tangannya mulai dari ujung-ujung jari sampai ke siku merah bengkak, sebagian kulit mengelupas! Seperti nenek gurunya, nyali Pangeran Matahari juga leleh. Terlebih ketika dia melihat Kunti Api dalam keadaan luka parah dihantam serangan Sinto Gendeng kabur melarikan diri. Tidak tunggu lebih lama sang Pangeran ambil pula langkah seribu menyusul Kunti Api.
***
BELUM berapa jauh meninggalkan Candi Borobudur, Kunti Api dan Pangeran Matahari yang berkelebat ke arah timur tiba-tiba disongsong oleh seorang berkemeja gombrong lengan panjang, celana hitam dan rambut dikuncir ke belakang. Bau minyak wangi serta merta memenuhi seantero tempat itu. Pangeran Matahari dan Kunti Api hentikan lari mereka. Sama memandang melotot ke arah orang yang kini berdiri dihadapan mereka. 
“Sungguh aku tidak percaya pada pandangan mataku. Mataku yang terbalik atau bumi ini sudah terjungkir?!” ucap Kunti Api.
“Guru, benar engkau yang berdiri di hadapan kami?” Pangeran Matahari ikut membuka mulut.
“Aku memang Si Muka Bangkai,” orang yang ditanya menjawab.
Kunti Api mendelik, berpaling pada Pangeran Matahari. Kedua orang ini lalu tertawa gelak-gelak. “Pakaian dan dandananmu sungguh luar biasa! Rupanya kau sudah jadi penduduk alam ini. Kau kemanakan pakaian bututmu! Minyak wangi apa yang kau guyur ke tubuhmu? Baunya sampai menyekat jalan pernafasanku! Ha…ha….ha!”
“Eyang, harap maafkan. Aku terlambat. Aku barusan….”
“Kau tak perlu menerangkan. Kau pasti habis main perempuan! Bahkan mungkin belum sempat cebok!”
“Eyang…..”
“Diam!” sentak Kunti Api. Dia acungkan tangan kanannya yang tiga jarinya buntung. “Lihat apa yang terjadi dengan diriku! Ini akibat salah besarmu tidak mematuhi perintah. Aku suruh kau ke Borobudur, kau melantur main perempuan. Lihat apa yang dialami muridmu! Tangan kanannya cidera berat!
Si Muka Bangkai perhatikan tangan kanan gurunya, memandang ke tangan kanan Pangeran Matahari lalu membungkuk dalam-dalam.
"Eyang, Pangeran, maafkan diriku..."
"Kami akan memaafkan. Tapi mendekat dulu ke hadapanku!" Bentak Kunti Api memerintah. Si Muka Bangkai melangkah ke hadapan Kunti Api.
"Berlutut!" lanjut perintah si nenek muka setan. Si Muka Bangkai jatuhkan diri berlutut.  Tiba-tiba kaki kanan Kunti Api bergerak menendang.
"Bukkk!!!"
Jeritan menggeledek keluar dari mulut Si Muka Bangkai. Kakek ini mencelat sampai dua tombak,  terguling di tanah, terkapar tertelentang tak bergerak beberapa lamanya. Matanya mendelik menatap ke langit hitam. Tapi begitu Kunti Api melangkah mendekatinya diikuti Pangeran  Matahari, dia segera pejamkan mata pura-pura pingsan. 
"Masih untung aku tidak menghabisi nyawa anjingmu saat ini!
Tua bangka tidak berguna!" Habis memaki Kunti Api ludahi muka Si Muka Bangkai lalu berpaling pada Pangeran Matahari.
"Pembalasan harus segera dilakukan! Kita harus bisa membunuh bocah itu. Sebelum bulan mati! Sesegera mungkin! Tapi aku juga ingin melakukan sesuatu. Ingat rencana yang kita bicarakan tadi. Bawa perempuan itu ke Candi Sewu. Kita bisa menjebak bocah itu di sana."
"Saya hanya mengikuti perintah Nenek Guru saja," jawab Pangeran Matahari lalu berkelebat mengikuti si nenek yang telah pergi begitu habis bicara. Tak selang berapa lama setelah Kunti Api dan Pangeran Matahari berlalu, perlahan-lahan Si Muka Bangkai bangkit dan duduk menjelepok di tanah. Dadanya terasa sesak dan sakit. Dia merasa ingin batuk. Tapi yang keluar dari mulutnya adalah semburan darah segar.
"Uh...uh...uuhhhh." Si Muka Bangkai keluarkan suara mengerang panjang pendek. Tangan kanannya  bergerak ke arah saku baju. Meraba-raba merasai sesuatu. Wajahnya berubah. Tangannya kini dimasukkan ke dalam saku. Apa yang dicarinya tidak ada.
"Celaka! Majun Arabku hilang. Dimana jatuhnya...." Si Muka Bangkai memandang berkeliling dalam gelap. Mencari-cari. Beringsut ke kiri, menoleh ke kanan. Yang dicari tidak ditemukan. Akhirnya kakek ini jatuhkan diri di tanah. Berbaring menelentang. Seperti orang mengigau mulutnya berucap. "Sum .... Sumi Primbon kekasihku. Maafkan aku. Aku janji mau datang lagi menemuimu besok. Maaf berat....Aku mungkin tidak bisa menemuimu besok. Maafkan aku Sum.... Summm." Tangannya meraba lagi ke saku baju. "Ah, Majun Arabku....Sum, Majunku Arabku hilang Sum. Tanpa majun kau pasti kecewa melayaniku. Suummmm...Maafkan Mas Brotomu ini...."
***
DUA BELAS
IBU RENATA DICULIK BOMA NEKAD 
LORONG di luar kamar VIP di Rumah Sakit Dr. Sarjito dimana Dwita Tifani dirawat sejak malam tadi dipenuhi oleh guru dan pelajar SMU Nusantara III. Jam sembilan pagi keesokannya didapat kabar bahwa Dwita sudah mau makan, dan keadaannya cukup baik. Bahkan infusnya sudah dicabut. Cuma  saat itu menurut pengakuannya tubuhnya masih terasa lemas. Atas nasihat dokter tidak semua orang diizinkan masuk menemui Dwita. Selain itu ayah Dwita, Erlan Sujatmiko selalu berdiri di dekat pintu, seolah dia penentu terakhir yang mengizinkan siapa saja yang boleh masuk. Ibu Renata bersama Pak Sanyoto, lalu ayah Trini dan Trini serta beberapa anak perempuan  merupakan orang-orang yang diperbolehkan masuk. Boma dan kawan-kawan sebenarnya ingin sekali melihat Dwita. Namun dari pada nanti tidak diizinkan, ribut cari perkara akhirnya Boma, Vino, Ronny Celepuk, Firman, Andi dan Rio hanya berdiri saja di luar kamar. Menjelang siang Erlan Sujatmiko menemui perawat. Menurutnya Dwita sudah cukup sehat dan dia bermaksud membawa anaknya itu pulang ke Jakarta. Perawat meminta izin dokter terlebih dulu. Dokter sebenarnya meminta agar Dwita tetap istirahat dulu di rumah sakit sampai besok. Tapi Erlan Sujatmiko bersikeras akan membawa anaknya siang itu juga. Siang sekitar jam 12.30 Dwita keluar dari kamar. Wajahnya masih pucat. Tapi dia sudah bisa tersenyum, tampak gembira ketika teman-teman perempuan menciuminya.
"Bom ayo deketin aja," kata Vino pada Boma sambil memberi isyarat pada teman-temannya yang lain. Lalu Vino berjalan mendahului ke arah Dwita. Walau agak ragu Rio, Firman, Andi lalu Boma dan Ronny disebelah belakang bergerak juga mendekati Dwita.
"Dwita, sampai ketemu di Jakarta ya," ucap Vino waktu menyalami Dwita. Lalu menyusul Rio, Firman, dan Andi. Ketika tiba giliran Boma dan Ronny Celepuk hendak mendekati Dwita, tiba-tiba Erlan Sujatmiko menyelak ke depan. Mukanya sangat masam dan suaranya keras menyakitkan.
“Kamu berdua tidak usah menyalami anak saya!"
Boma dan Ronny sama-sama tertegun.
"Kok gitu sih Pak? Dwita 'kan teman kami juga." Boma akhirnya keluarkan ucapan. Suaranya begitu lembut. Membuat Dwita yang berdiri disamping ayahnya kelihatan terisak.
"Pa, Papa..." Dwita memegang lengan ayahnya.
"Jangan begitu Pa." Erlan Sujatmiko kibaskan tangannya hingga terlepas dari pegangan Dwita. Dia kembali berpaling pada Boma dan bicara keras hingga sernua orang mendengar.
"Kamu bilang teman. Justru kamu yang mencelakai anak saya. Membuat anak saya hampir mati dalam stupa. Seumur hidup saya tidak akan melupakan hal itu! Seumur hidup saya akan tetap membenci kamu! Dan kawan kamu ini, saya tidak suka sama anak kurang ajar!"
"Memangnya saya kurang ajar apa Pak!" Ronny menjawab sengit. 
Boma berbalik. Memegang bahu Ronny dan berkata. "Udah Ron, biarin aja. Nggak usah dilayanin."
"Orang tua nggak tau diri. Apa dia nggak ngeliat kalau kamu yang nyelamatin anaknya dari dalam stupa." Ronny masih ngotot. Dia sengaja bicara keras agar ayah Dwita mendengar.
"Ala udah deh Ron. Ayo..." Boma mendorong Ronny. Ayah Trini memegang bahu Erlan Sujatmiko. "Mas Erlan, kita harus cepat ke Bandara. Nanti ketinggalan pesawat yang jam dua..."
Dwita masih belum mau beranjak ketika ayahnya memberi isyarat dengan goyangan kepala  agar dia segera meninggalkan tempat itu. Anak perempuan ini menatap ke arah Boma. Seperti ada sesuatu yang hendak disampaikannya. Tapi sang ayah menarik tangannya. Terlihat ada air mata meluncur jatuh di pipinya yang pucat.  Sebelum keluar dari pintu gerbang Rumah Sakit Dr. Sarjito Trini mendatangi Boma. "Bom, kamu pasti kecewa."
"Soal dengan ayah Dwita tadi?"
"Bukan cuma itu. Bokapku nyuruh aku pulang sekarang juga. Bareng sama Dwita. Aku nggak mau. Tapi dia maksa. Aku sudah minta tolong Gita ngebawain barang-barangku sama barangnya Dwita..."
Boma hanya bisa diam. Trini bicara lagi.
"Menurut Pak Sanyoto, seharusnya rombongan pulang besok. Tapi hari ini semua anak perlu istirahat. Mungkin baru lusa balik ke Jakarta. Kan kamu semua belum ke Prambanan."
"Nggak ke Prambanan juga nggak apa-apa." Kata Ronny yang berdiri di samping Boma. "Kalau mau pulang semua ya pulang aja. Rencana jalan-jalan kok jadi rusak begini..."
"Aku pergi Bom, Ron."
Boma menowel hidung. Ronny cuma mengangguk.
***
DI WISMA di dalam kamarnya malam itu Boma tidak bisa memusatkan perhatian pada majalah yang dibacanya sambil tiduran. Sebentar-sebentar majalah itu diletakkan di atas perutnya. Lalu mata dipejamkan.
Pintu kamar terbuka. Ronny, Vino dan Rio muncul.
"Kamu kok ngerem terus di kamar!" Ronny menegur.
"Capek Ron. Badan gue rasanya pegel. Kurang sehat," jawab Boma.
"Alasan," ujar Vino. "Ini sernua pasti gara-gara si  doi yang kini udah nggak ada lagi di sini." 
"Ah, gua sih udah nggak mikirin dia." Sahut Boma.
"Memang berat. Dua-duanya pulang ke Jakarta. Ajie gile!" Rio ikut nimbrung sambil cengar cengir.
"Aku nggak abis pikir sikap bokapnya si Dwita. Mulutnya kayak perempuan," kata Ronny keluarkan unek-unek. "Kalau nggak inget-inget bokapnya temen sendiri, waktu di rumah sakit tadi pagi udah gue beri bacotnya."
Boma cuma menyeringai dan lambaikan tangan lalu duduk di tepi tempat tidur.
"Bom, kamu mau ikut nggak?"
"Ikut kemana?"
"Gita, Allan, Firman dan Andi sama beberapa anak ke Malioboro. Katanya mau bergadang disana sambil nungguin warung lesehan dibuka."
"Nggak pada capek mereka itu?"
"Soalnya kapan lagi. Lusa udah pulang, takut nggak ada waktu."
Jawab Rio. "Aku sama Ronny dan Vino rencana mau nyusul ke sana. Cari oleh-oleh."
"Si Umar kemana?" Tanya Boma. Maksudnya Pak Sanyoto Guru Olah Raga. 
"Tadi siang naik taksi. Sendirian, katanya mau nengok saudaranya." menerangkan Ronny.
"Di Kebon Binatang Gembira Loka," menyambung Vino menyebut nama Kebon Binatang di Yogya lalu tertawa geli sendiri.
"Lastri bilang, dia dengar Pak Sanyoto mau ngajak Ibu Renata, tapi Ibu Rena nolak." Rio yang bicara.
"Masih nyoba-nyoba aja dia," kata Ronny.
"Kamu tadi mau ngajak gue kemana?" tanya Boma.
"Makan mi sambit." Jawab Ronny.
"Mi sambit? Ada-ada aja. Baru denger."
"Tadi sore si Gita sama Allan udah nyobain. Kata Gita bikin minya lucu. Tapi rasanya  yahud. Mi dibuntel bulet. Ditarok dalam tanggok kawat, dicemplungin dalem air mendidih, diangkat lalu dilempar ke udara, disambut sama mangkok. Dikasi bumbu-bumbu, dikasi pangsit goreng. Asyik nggak."
"Tempatnya dimana?" Boma mulai tertarik.
"Cuma deket. Di ujung jalan Kolonel Sugiyono sini. Jalan kaki juga nyampe," jawab Rio. "Ibu Renata sama Sulastri dan anak-anak lain barusan aja pergi. Naik beca. Ayo, lu mau ikut nggak?"
"Oke deh. Tapi gua sembahyang Magrib dulu.Udeh mau habis waktunya," kata Boma seraya berdiri.
"Enak juga punya temen santri  kayak gini!" ucap Vino lalu mengambil majalah yang diletakkan Boma di atas tempat tidur.
"Di luar masih ada wartawan yang dateng?" tanya Boma.
"Nggak, semua udah kebagian berita kali."
Boma baru berjalan dua langkah menuju kamar mandi ketika tiba-tiba pintu kamar di gedor-gedor lalu terpentang. Sulastri dan dua anak perempuan temannya menghambur masuk ke dalam kamar. Nafas mereka sengal memburu dan wajah mereka tampak pucat. 
"Setan mana yang nguber kalian?" tanya Ronny.
"Lastri, ada apa?" Boma bertanya.
Sulastri menarik nafas dalam-dalam lebih dulu. Baru menjawab.
"Dengerin....Ibu Renata...Ibu Renata."
"Kenapa Ibu Renata?" 
"Diculik."
"Diculik?! Gila lu!" tukas Vino karena tidak percaya.
"Centil, kamu ini becanda apa gimana?" tanya Ronny.
"Tanya aja temen-temen," jawab Sulastri sambil menunjuk pada dua anak perempuan di sampingnya. Wike dan Laila.
"Gimana kejadiannya? Dimana?" tanya Boma.
"Aku satu beca sama Ibu Rena. Mereka naik beca lain. Di jalanan mendadak ada mobil sedan  gede nyalip lalu berhenti di depan becak. Dua orang berpakaian aneh turun dari mobil, langsung menarik Ibu Renata. Lalu dibawa masuk ke dalam mobil.
Terus kabur nggak tau dibawa kemana."
"Nggak ada yang ngeliat, nggak ada yang nolongin?"
"Tukang beca mau nolongin tapi dijotos sampai telentang di aspal," menerangkan Sulastri.
"Kamu nggak nyatat nomor sedan orang yang nyulik?" tanya Boma.
"Siapa yang inget mau nyatat  segala? Semuanya berlangsung cepet banget."
"Wah kacau Bom! Kacau lagi!" kata Vino.
Boma terdiam sesaat. Lalu berkata. "Heran, kok Jogya banyak orang jahatnya ya? Kita musti lapor Polisi Ron. Tapi tunggu," Boma berpaling pada Sulastri, Wike dan Laila. "Kalian ada yang ngenalin si penculik?"
Sulastri manggut-manggut. "Yang satu Bom,  aku ngenalin. Tampangnya, pakaiannya sama dengan pemuda tinggi besar pakai mantel item yang nyekap Dwita dalam stupa di Candi Borobudur.
Bener, aku ingat. Pasti, nggak salah!"
Boma, Ronny dan Vino terkejut besar.
"Kita musti lapor Polisi Ron." Kata Boma.
"Ya, tapi harus hubungi pengurus Wisma dulu," kata Ronny. Sesaat kemudian anak-anak itu menghambur ke lantai bawah Wisma, langsung menuju kantor. Di Kantor seorang karyawan Wisma tengah bicara dengan seorang kakek berpenampilan aneh.  Pakaiannya agak kumal tapi menebar harum minyak wangi yang menyengat. Ketika melihat Boma dan kawan-kawan masuk dalam Kantor, karyawan Wisma langsung berkata pada si kakek.
"Kebetulan, ini anak yang Bapak cari." Karyawan Wisma berpaling pada Boma. "Dik Boma 'kan?" Boma mengangguk.
"Bapak ini, Pak Broto mau ketemu sama Dik Boma. Katanya ada hal sangat penting mau dibicarakan."
Vino mendekati Boma dan berbisik. "Gue baru tau kalau kamu punya kakek di Jogya ini Bom."
Boma pandangi kakek berkemeja belang-belang tangan panjang itu. Rambutnya yang putih berkilat pakai minyak rambut, dikuncir ke belakang. Bau minyak wangi yang dipakainya luar biasa keras.
"Bapak mau ketemu saya?" tanya Boma. Si kakek mengangguk. Dia ulurkan tangan. "Saya Pak Broto..."
Habis bicara dia batuk-batuk. Lalu menyeka mulut dengan sehelai sapu tangan. Sapu tangan itu kelihatan merah. Boma tidak segera menyambut salam si kakek tapi berkata.
"Pak Broto, sebentar Pak. Saya mau bicara dulu sama Mas ini. Ada urusan penting...."
"Urusan saya lebih penting lagi." Kata Pak Broto. Kembali dia menyeka mulutnya dengan sapu tangan.
"Songong juga orang tua ini," bisik Ronny pada Vino.
"Ron, lu liat nggak sapu tangan yang die pegang. Merah, kayaknya dia nyeka ludah campur darah. Jangan-jangan kakek ini tebese. Bisikin si Boma, kalau bicara jangan deket-deket. Nanti ketularan 'tu anak."
"Maaf, sebentar Pak." kata Boma. "Saya mau ngomong dulu sama Mas ini. Minta tolong mau ngubungin Polisi. Ibu Renata, Guru Bahasa Inggris kami diculik."
"Ah, urusan kita ternyata sama," kata kakek mengaku bernama Pak Broto yang bukan lain adalah Si Muka Bangkai. "Saya menemui situ juga mau memberitahu urusan penculikan itu."
"Pak Broto melihat kejadiannya?" tanya Boma.
"Begini saja. Biar temanmu bicara dengan karyawan Wisma. Kita berdua bicara di teras sana. Gimana?"
Boma berpikir. Berpaling pada Ronny dan Vino.  Berpikir lagi. Akhirnya dia anggukkan kepala dan melangkah ke teras Wisma, duduk di kursi yang  dibentuk dari batu sepanjang pinggiran teras. Pak Broto kembali batuk-batuk. Ludah bercampur darah yang meleleh di sudut bibirnya diseka dengan sapu tangan dekil basah dan merah.
"Pak Broto, Bapak tau peristiwa penculikan Ibu Renata?" Boma langsung bertanya begitu duduk di sebelah Pak Broto.
"Saya tau tapi tidak melihat sendiri."
"Tau tapi nggak ngeliat. Gimana sih?"
"Peristiwa penculikannya memang saya tidak melihat. Tapi perencanaan, dan kemana perempuan itu dibawa, siapa penculiknya saya tau banyak." Sambil bicara Pak Broto sesekali melirik ke tangan kiri Boma.
"Kalau gitu coba Bapak kasi tau siapa penculik Ibu Renata. Kemana Ibu Renata dibawa. Nanti kita sama-sama lapor Polisi."
"Kalau urusan dengan saya tidak perlu pakai Polisi. Pasti beres. Pasti Ibu Guru itu bisa kembali dengan selamat."
Boma terdiam. Dalam hati dia berkata. "Jangan-jangan orang tua ini kaki tangan penculik Ibu Renata. Mau minta tebusan..."
Pak Broto tertawa lebar. Sebagian giginya sudah banyak yang ompong. "Situ tidak usah curiga sama saya. Saya bukan anggota komplotan penculik Ibu Renata. Saya tidak minta tebusan apa-apa."
"Gila! Kok dia bisa ngebaca apa yang ada dalam pikiran gua!" ucap Boma dalam hati.
"Saya nggak curiga sama Bapak. Juga nggak nuduh Bapak mau minta tebusan. Tapi kalau Pak Broto memang mau nolong, bilang saya dimana saat Ibu Renata berada. Siapa yang menculik."
Pak Broto batuk lagi. Menyeka lagi mulutnya dengan sapu tangan dekil merah.
"Saya punya satu persyaratan. Saya beri tahu dimana Ibu itu berada, siapa penculiknya. Tapi saya minta situ memberikan sesuatu pada saya."
"Memberikan apa?" tanya Boma.
"Batu Penyusup Batin."
"Batu Penyusup Batin?" ulang Boma. "Batu apa itu? Saya nggak punya batu yang Pak Broto sebutkan itu."
Si kakek tertawa.
"Keselamatan nyawa dan kehormatan Ibu Guru itu sangat  penting. Terserah, kalau situ  mau memberikan benda yang saya minta, saya akan beri tahu dimana Ibu Renata berada. Siapa penculiknya."
Boma ingat keterangan Sulastri. "Saya tau siapa penculik Ibu Renata. Hal itu tidak perlu Pak Broto sembunyikan. Yang menculik orang aneh bernama Pangeran Matahari itu! Yang menyekap Dwita dalam stupa di Candi Borobudur."
Pak Broto manggut-manggut.
"Syukur situ sudah tau. Tapi  dimana beradanya Ibu Guru itu hanya saya yang tau. Mau memberikan Batu Penyusup Batin pada saya?"
"Saya tidak punya batu itu," jawab Boma. Saat itu hampir saja dia meraba bahu kanan sebelah depan, di mana Batu Penyusup Batin memang ada disitu. Disisipkan oleh Sinto Gendeng beberapa waktu lalu.
"Terserah situ. Kalau mau perempuan itu selamat, serahkan batu. Kalau tidak saya pergi sekarang juga. Jangan menyesal jika terjadi apa-apa dengan Ibu Guru itu. Nasibnya bakal lebih sengsara dari yang dialami anak perempuan yang disekap di dalam stupa."
Habis berkata begitu Pak Broto batuk-batuk lalu berdiri. Boma sesaat jadi bingung. Mendadak ada bau pesing santar sekali menebar di tempat itu. Tiba-tiba ada sesuatu bergerak masuk ke dalam saku kanan belakang celana blujinsnya. Bersamaan dengan itu di telinga kirinya ada suara berbisik mengiang.
"Berikan barang ini pada tua bangka itu."
"Bau pesing, pasti ada yang kencing sembarangan sekitar sini," Pak Broto berkata sambil menggosok hidungnya. Boma berdiri, meraba kantong blujins sebelah belakang kanan. Ada sebuah benda lembut, seperti kain di dalam kantong jins itu.
Segera dikeluarkannya. Ternyata sebuah kantong kecil terbuat dari kain kuning.
Pak Broto menyeringai.
"Saya tau kamu bukan anak yang suka dusta. Serahkan benda itu pada saya..."
Boma ulurkan tangannya. Tapi ditarik kembali. Pak Broto kerenyitkan kening. Bertanya. "Kenapa?" '
"Beri tau dulu kemana Ibu Renata dibawa." 
Pak Broto menyeringai lalu gelengkan kepala. "Saya harus liat dulu isi kantong kuning itu. Kalau isinya memang benda yang saya minta baru saya beri tahu."
Boma longgarkan benang tebal pengikat mulut kantong kuning lalu mengeluarkan benda yang  ada di dalamnya. Benda itu diperlihatkan pada Pak Broto. Sepasang mata si kakek tampak berkilat-kilat. Ternyata benda yang diperlihatkan Boma adalah sebuah batu biru sebesar telur burung merpati, memancarkan cahaya berkemilau.
"Ah, itu dia. Masukkan batu itu ke dalam kantongnya kembali. Lalu serahkan pada saya..." Berucap Pak Broto. Boma masukkan batu biru berkilat ke dalam kantong kain kuning. Lalu diulurkan ke arah  Pak Broto. Si kakek memegang kantong kuning tapi Boma tidak melepaskan. Kalau si kakek berlaku culas dan merampas kantong dia akan menghantam dengan tangan kirinya yang saat itu sudah siap membentuk tinju.
"Pak Broto, saya baru melepas kantong kalau Bapak memberi tau di mana Ibu Renata berada." 
"Candi Sewu," jawab Pak Broto. "Ibu Guru itu disembunyikan di Candi Sewu."
Boma lepas pegangannya pada kantong kuning. Pak Broto cepat mengambil benda itu, memasukkannya ke dalam saku kemeja lalu tanpa bicara apa-apa lagi dia segera tinggalkan teras Wisma.
Saat itu Ronny dan kawan-kawan muncul di teras.
"Mana kakek aneh tadi?" tanya Vino. "Sudah pergi."
"Mau ngapain dia? Kamu bicara apa?"
"Dia memberitahu di mana Ibu Renata berada." 
"Hah? Apa Bom?"
"Katanya Ibu Renata disembunyikan di Candi Sewu."
"Kamu percaya?" tanya Vino.
Boma mengangguk. "Aku mau kesana sekarang juga. Tapi nggak tau jalan. Cari taksi, sewa kendaraan. Apa saja pokoknya sampai disana." 
"Gendenk lu Bom. Malem-malem begini." 
"Keselamatan Ibu Rena lebih dari segala-galanya. Kamu udah ngubungin Polisi?" tanya Boma.
"Udah. Polisi minta kita segera datang ke Kantor Polisi. Laporan  langsung. Mereka mau tanya ini itu. Karyawan Wisma mau nganterin pakai mobil Wisma."
"Teman-teman, aku berangkat duluan ke Candi Sewu. Kalian ke Kantor Polisi dulu. Nanti nyusul aku." Habis berkata Boma turun dari teras Wisma, melangkah ke jalan raya. Ronny, Vino, Sulastri dan dua anak perempuan lainnya mengejar Boma.
"Bom, lu jangan nekad nggak karuan. Jangan pergi sendirian. Kita barengan ke Kantor Polisi, nanti sama-sama ke Candi Sewu." Kata Ronny setengah berteriak.
"Gua memang mendadak jadi nekad Ron. Gua mau jadi Bonek. Heran, kenapa orang-orang  yang aku sayang semua ketiban celaka? Mungkin benar omongan ayahnya Dwita. Setiap ada yang celaka pasti aku biang penyebabnya."
"Jangan ngomong gitu kamu Bom." Kata Sulastri. "Kalau kamu nekad mau pergi ke Candi Sewu, aku ikut."
"Jangan, kamu musti ikut ke Kantor Polisi. Kamu saksi utama kejadian penculikan Ibu Renata."
Sebuah kendaraan umum lewat. Kebetulan berhenti menurunkan penumpang di depan Wisma. Tidak pikir panjang Boma langsung saja melompat naik ke dalam kendaraan itu.
"Gila! Bener-bener nekad 'tu  anak!" kata Vino. Dia masih berusaha mengejar sambil berteriak. "Bom, jangan gendenk Bom. Turun! Kita sama-sama ke Kantor Polisi dulu. Baru ke Candi Sewu!"
Di dalam kendaraan umum Boma Tri Sumitro lambaikan tangan pada teman-temannya. Kendaraan yang ditumpangnya mulai bergerak.
"Punya ongkos nggak 'tu anak?" tanya Sulastri.
"Setau gue duitnya sih cuman pas-pasan," jawab Vino.
"Gila! Gendenk! Bener-bener Bonek 'tu anak." Kata Ronny.
"Bonek Candi Sewu," sambung Vino.
Mobil Wisma, sebuah minibus berhenti di halaman Wisma. Ronny, Vino, Sulastri, Wike dan Laila segera naik. Di dalam kendaraan yang meluncur menuju  Kantor Polisi semua anak itu hanya bisa berdiam diri dalam memikirkan nekadnya Boma.

***
TAMAT
Episode Berikutnya :
BARA DENDAM CANDI KALASAN

Benarkah Ibu Renata disembunyikan di Candi Sewu? Mungkin hanya dusta Pak Broto (Si Muka Bangkai) Belaka yang diperalat oleh Pangeran Matahari? Mampukah Boma seorang diri menemukan serta membebaskan Guru Bahasa Inggris yang menyayanginya itu?
LihatTutupKomentar