Boma Gendenk - Tenda Biru Candi Mendut
BOMA GENDENK
Karya: Bastian Tito
Episode 6
TENDA BIRU CANDI MENDUT
SATU
MENYEKAP DWITA MEMBUNUH BOMA
ANGIN kencang yang mengeluarkan deru menggidikkan menyapu kawasan Candi Borobudur. Dalam keadaan seperti itu satu kejadian luar biasa berlangsung di bagian selatan bangunan raksasa yang didirikan tahun 800 Masehi itu. Sejak candi ini dibangun, agaknya baru kali inilah terjadi peristiwa seperti itu. Di bawah pandangan mata ratusan pengunjung, antara lain rombongan guru dan para pelajar SMU Nusantara III, tiga orang terlibat dalam pertarungan maut. Mereka adalah Pangeran Matahari, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Boma Tri Sumitro pelajar Kelas II-9 SMU Nusantara III. Secara aneh dan entah bagaimana kejadiannya Pangeran Matahari menyekap Dwita Tifani dalam sebuah Stupa. Wiro dan Boma berusaha membebaskan anak perempuan ini.
Di bawah deru angin kencang yang menyapu permukaan candi, Pangeran Matahari lepaskan pukulan Telapak Matahari ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng musuh bebuyutannya. Dari telapak tangan pemuda itu menderu satu gelombang angin panas disertai suara mendesis menggidikkan. Jangankan manusia, seekor gajah sekalipun akan leleh dihantam pukulan ini. Pohon atau batu akan hancur hangus berkeping-keping. Serangan ganas ini dilepas Pangeran Matahari dari tempatnya berdiri di samping Arca Amoghasidi di puncak selatan Candi Borobudur.
Dari, kuda-kuda sepasang kaki serta gerakan tangan waktu melancarkan pukulan, jelas Pangeran Matahari hendak menghantam Pendekar 212 Wiro Sableng yang berada beberapa langkah di hadapannya. Tetapi setengah jalan dengan kecepatan luar biasa dan tidak terduga Pangeran Matahari merubah gerakan. Pukulan maut Telapak Matahari kini diarahkan pada Boma Tri Sumitro! Berarti memang anak lelaki inilah sebenarnya yang menjadi sasaran pukulan maut sang Pangeran!
Dalam kagetnya Wiro berteriak. "Boma! Awas!"
Boma juga kaget. Tapi anak ini masih bisa menguasai diri. Malah membuat satu gerakan mengelak dengan memiringkan tubuh lalu kaki kirinya melesat ke udara, menyambar ke arah dada Pangeran Matahari. Boma tidak sadar bahaya apa yang tengah dihadapinya. Dia tidak tahu pukulan sakti apa yang menghantam ke arahnya. Sebelumnya, sewaktu Pangeran Matahari mendatanginya di SMU Nusantara III, Boma memang pernah menghajar pemuda itu dengan pukulan tangan kiri hingga telinga kanan lawan mengucurkan darah dan salah satu tulang iganya patah. Saat itu dia mampu melakukan karena sosoknya tidak kelihatan. Karena dia mengandalkan kesaktian Batu Penyusup Batin yang dimasukkan Sinto Gendeng ke dalam tubuh di bawah tulang belikat bahu kanannya. Tapi kali ini keadaan berbeda. Sosok Boma terlihat jelas. Ilmu apapun yang telah diterimanya dari Sinto Gendeng tidak mungkin menyelamatkannya dari pukulan maut Telapak Matahari. Kakinya yang menendang, bahkan sekujur tubuhnya akan hancur hangus, leleh, dihantam pukulan Pangeran Matahari. Boma berteriak keras ketika angin pukulan yang menyambar masih tiga langkah dari hadapannya membuat sekujur tubuhnya terasa seperti dipanggang.
"Celaka!" ucap Wiro. Secepat kilat dia melompat mendorong bahu kiri Boma hingga anak ini terpental ke bawah Stupa, terhenyak di batu keras. Orang banyak dan teman-teman Boma berpekikan. Beberapa diantara mereka mendekati anak ini berusaha menolong tapi Wiro berteriak keras.
"Menyingkir semua! Lari! Menjauh!"
Sambil melompat ke atas menghindari sambaran angin pukulan Pangeran Matahari, Wiro dorongkan dua tangannya ke arah orang-orang yang ada pada jalur hantaman serangan. Belasan orang yang ada di depan sana, diantaranya beberapa pelajar SMU Nusantara III mental bergulingan dilanda dua rangkum gelombang angin yang keluar dari telapak tangan Wiro kiri kanan. Hanya dengan mengeluarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera itulah Wiro berhasil menyelamatkan orang-orang itu. Waktu memukul dia sengaja mengerahkan sedikit tenaga dalam saja agar tidak ada yang cidera. Wiro memang berhasil menyelamatkan Boma dan belasan orang dari hantaman pukulan Telapak Matahari, namun pukulan sakti yang lolos itu sesaat lagi pasti akan menghantam Stupa di bawah sana, terus melabrak dinding candi yang penuh dengan rilief.
"Ya Tuhan!" seru Pendekar 212. Dia tidak mampu berbuat suatu apapun untuk menyelamatkan Stupa dan dinding candi. Kerusakan dan kehancuran yang akan terjadi pasti luar biasa hebatnya. "Pangeran Jahanam! Aku memang tidak bisa mencegahmu merusak warisan leluhur! Tapi untuk itu aku bersumpah membunuhmu saat ini juga!"
Wiro tiup telapak tangan kanannya. Detik itu juga di telapak tangan itu muncul gambar seekor harimau putih dengan sepasang mata berwarna hijau. Sang pendekar mengeluarkan Pukulan Harimau Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Dengan pukulan ini Wiro sanggup menghancurkan apa saja. Untuk melancarkan serangan itu Wiro pergunakan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung. Gebukan tangan kanannya yang mengandung aji kesaktian Harimau Dewa laksana kilat berkelebat ke arah kepala Pangeran Matahari.
Angin pukulan menyambar. Pangeran Matahari merasa seperti ada ratusan jarum menusuk permukaan kulitnya. Dia segera maklum kalau lawan tengah mengeluarkan satu pukulan dahsyat mematikan. Apa lagi pukulan itu diarahkan ke kepala. Satu tangan memegang kening, satu tangan memegang perut. Lalu Pangeran Matahari tekan perutnya. Hal ini akan melipatgandakan kekuatan arus tenaga dalam yang bersumber di perut. Begitu tenaga dalam yang dahsyat meluncur ke tangan kanannya yang ada di kening, Pangeran Matahari gerakkan tangan itu dalam jurus Menahan Bumi Memutar Matahari. Tangan kanan itu membabat ke depan, menangkis serangan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Buukkk!"
Dua tangan pendekar sakti yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi beradu keras. Lalu dua lengan saling menempel di udara. Masing-masing kerahkan tenaga dalam penuh. Lantai batu Candi Borobudur yang mereka injak bergetar dan kepulkan asap. Dari celah dua lengan yang masih terus menempel dan saling dorong juga kelihatan kepulan asap.
Tiba-tiba Pangeran Matahari angkat kaki kanannya lalu dihentakkan ke lantai batu. Ini satu gerakan untuk menjebol pertahanan lawan dengan kekuatan tenaga dalam yang dibantu dengan kekuatan bumi yang barusan dihunjamnya dengan kaki kanan.
Tiba-tiba Pangeran Matahari angkat kaki kanannya lalu dihentakkan ke lantai batu. Ini satu gerakan untuk menjebol pertahanan lawan dengan kekuatan tenaga dalam yang dibantu dengan kekuatan bumi yang barusan dihunjamnya dengan kaki kanan.
Ketika merasakan lantai batu bergetar dan ada hawa panas dahsyat laksana banjir lahar mengalir, ke pergelangan tangannya Wiro maklum apa yang terjadi. Murid Sinto Gendeng ini berteriak menggeledek. Dari perutnya menggelegak mengalir hawa dingin luar biasa, menghantam hawa panas yang dikeluarkan Pangeran Matahari.
"Desss!"
"Desss"
Dua letupan keras menggema di udara. Kepulan asap kembali keluar dari celah dua lengan yang masih saling mendorong bertempelan.
"Celaka!" keluh Pangeran Matahari ketika dia merasa hawa dingin luar biasa laksana pisau tajam menyayat tangannya, menusuk ke arah jantung! Sekujur tubuhnya mulai menggigil. Ketika Wiro sekali lagi keluarkan teriakan menggelegar dan Pangeran Matahari sambut dengan pekik menggeledek, sosok dua pendekar itu sama-sama terpental. Murid Sinto Gendeng terduduk terhenyak di lantai batu, di depan sebuah Stupa. Untuk beberapa detik lamanya tangan kanannya sakit bukan kepalang, lumpuh tak bisa digerakkan. Pada bekas bentrokan lengan kelihatan kemerahan dan mulai menggembung bengkak. Sepuluh langkah di depan Wiro, Pangeran Matahari jatuh berlutut. Dari keadaan jatuhnya agaknya dia lebih mampu bertahan dari pada Wiro. Tapi sebenarnya saat itu murid Si Muka Bangkai ini menderita cidera yang lebih parah dari yang dialami Wiro. Di sebelah luar lengannya tampak bengkak dan berwarna putih, pertanda hawa dingin masih menyelimuti tangan itu. Di sebelah dalam tulang lengannya ada yang retak. Lalu dadanya mendenyut sakit, membuatnya susah bernafas. Tulang iganya yang sempat patah dan saat itu masih dalam penyembuhan kini terasa seperti putus kembali! Tenaga dalam Wiro yang mengandung hawa dingin karena tadi dia keluarkan inti kekuatan pukulan sakti Angin Es, bukan saja berhasil memukul tenaga dalamnya yang bersumber pada kekuatan panas, tapi juga membuat hawa panas itu berbalik menciderai tubuhnya bagian dalam. Dan begitu hawa panas ini ditumpas hawa dingin, sang Pangeran langsung menggigil sampai gerahamnya keluarkan suara bergemeletakan! Ketika Pangeran Matahari berusaha menarik nafas dalam-dalam sambil pegangi dadanya, mulutnya batuk. Diantara ludah yang menyembur terlihat ada cairan merah. Darah!
***
DUA
PENYELAMAT CANDI TERSEMBUNYI
DINGINLAH tengkuk Pangeran Matahari. Hampir tak bisa dia mempercayai. Sejak beberapa waktu belakangan ini dia telah berlatih keras mendalami ilmu silat dan menambah kekuatan tenaga dalamnya. Ternyata tingkat tenaga dalamnya masih belum bisa menandingi kehebatan musuh bebuyutannya itu.
"Kurang ajar! Bagaimana mungkin tingkat tenaga dalamku masih berada di bawah jahanam ini!" Pangeran Matahari merutuki diri sendiri. Pangeran Matahari kumpulkan tenaga, lalu bergerak bangkit. Mukanya kelihatan pucat. Rahang terkatup dan pelipis bergerak-gerak. Sepasang matanya menyorot tajam dan galak ke arah lawan. Namun hatinya agak tergetar. Bukan hanya dari akibat bentrokan kekuatan tadi, tapi juga dikarenakan ada satu kejadian aneh berlangsung di depan sana. Semua ini membuat otaknya yang penuh akal cerdik licik saat itu juga serta merta bekerja mencari jalan keluar dari bahaya.
Ketika Wiro mendorong Boma dan berhasil menyelamatkan anak ini dari serangan Pangeran Matahari lalu menyelamatkan banyak orang dari sambaran pukulan Telapak Matahari, pukulan sakti itu terus menggebu ke arah Stupa. Sesaat lagi pukulan sakti akan menghancurkan Stupa dan selanjutnya memusnahkan dinding candi bersejarah itu, tiba-tiba terdengar suara bergemerincing. Lalu entah dari mana datangnya mendadak sebuah benda kecoklatan melesat di udara. Begitu cepat daya lesat dan putarannya hingga sulit dilihat dan dipastikan benda apa itu adanya. Benda ini menderu menyongsong dan menghadang pukulan Pangeran Matahari yang siap menghancurkan Stupa dan dinding relief. Benturan hebat antara benda coklat berputar dan pukulan sakti tidak terhindarkan lagi.
"Wusss!"
"Wuuut!"
"Braaakkk!"
Benda coklat hancur berkeping-keping. Di udara kelihatan pancaran cahaya api disusul kepulan asap kelabu. Semua kaki pengunjung yang menginjak lantai candi sama merasakan bagaimana lantai batu yang mereka pijak jadi bergetar. Semua orang, termasuk Pendekar 212 dan Pangeran Matahari tersentak kaget melihat apa yang terjadi.
"Kurang ajar, ada orang pandai berpihak pada pemuda sableng ini!" rutuk Pangeran Matahari dalam hati. Sepasang matanya bergerak berputar. Tapi dia tidak menemukan atau melihat siapa adanya orang pandai itu diantara orang banyak. "Bangsat itu agaknya sengaja sembunyikan diri! Sialan. Untuk sementara aku terpaksa harus menyingkir."
Dari mimik di wajah Pangeran Matahari, Pendekar 212 sudah maklum apa yang terpikir di benak musuh besarnya itu. Dia cepat berkelebat sambil berteriak.
"Seorang Pangeran putus nyali! Punya pikiran melarikan diri!
Manusia pengecut! Kau akan mampus hari ini! Di tempat ini!"
Rahang Pangeran Matahari menggembung. Mulutnya dipencongkan sebelum membuka suara.
"Hebat! Tidak dinyana kau pandai bicara seperti penyair! Aku mau lihat, apakah kau juga pandai menyambuti seranganku ini?!"
Pangeran Matahari balas berteriak. Tangan kanannya dihantamkan ke arah Wiro. Menyangka lawan hendak melancarkan satu serangan pukulan sakti, murid Sinto Gendeng tidak mau kepalang tanggung. Dia siapkan Pukulan Sinar Matahari. Tangan kanannya sebatas siku sampai ke ujung jari serta merta berubah menjadi seperti perak, putih berkilat menyilaukan!
Tapi untuk kedua kalinya murid Sinto Gendeng ini tertipu. Pangeran Matahari bukan melancarkan serangan berupa pukulan sakti, melainkan melemparkan sebuah benda bulat berwarna hijau. Sebelum Wiro sempat melepas Pukulan Sinar Matahari benda yang melayang di udara itu meletus. Kepulan asap kehijauan serta merta membungkus seantero tempat.
Khawatir asap hijau itu mengandung racun Wiro berteriak agar semua orang menyingkir jauh-jauh. Orang banyak kembali berpekikan ketakutan dan menjauh berlarian. Yang tak sempat menutup jalan nafas, batuk-batuk bahkan ada yang muntah. Kecuali Wiro, semua orang merasa mata mereka perih. Wiro merutuk habis-habisan.
"Pangeran licik! Pengecut! Aku tahu nyalimu leleh! Kau mau kabur!"
Dari balik kepulan asap terdengar tawa bergelak Pangeran Matahari.
"Pendekar 212! Boma! Aku masih berbaik hati memperpanjang umur kalian satu dua hari! Aku masih berbaik hati memberi kesempatan pada kalian untuk meratap menangisi kematian anak perempuan bernama Dwita yang akan membusuk di dalam Stupa! Aku akan kembali untuk menghabisi kalian! Ingat hal itu baik-baik!"
"Pangeran jahat! Bebaskan Dwita!" Teriak Boma. Dia hendak mengejar ke arah terdengarnya suara Pangeran Matahari tapi lengannya cepat dipegang Wiro. Murid Sinto Gendeng ini tadinya juga ingin mengejar sambil lepaskan pukulan. Namun tidak tahu mau mengejar ke arah mana, mau memukul ke jurusan mana karena kepulan asap hijau masih menutup pemandangan. Salah bergerak bisa-bisa dibokong Pangeran licik itu. Kalau hal itu terjadi mungkin dia bisa menghadapi, tapi bagaimana kalau Boma yang dihantam secara licik? Anak itu pasti menemui ajal secara mengenaskan!
Ketika asap hijau sirna dan keadaan di tempat itu terang kembali, seluruh pelajar SMU Nusantara III termasuk Pak Sanyoto dan Ibu Renata mendatangi Boma yang saat itu masih dipegangi oleh Wiro.
"Bom, kau tidak apa-apa?" tanya Ronny. Boma menowel hidungnya, membuat semua temannya tertawa lalu mengelengkan kepala. Padahal akibat jatuh terhenyak tadi punggungnya sakit bukan main dan sampai saat itu rasa sakit masih belum hilang.
"Bom, minum dulu. Mukamu keliatan pucet," kata Vino sambil mengulurkan sebotol Aqua. Boma menggeleng. "Jangan pikirin aku. Ingat Dwita! Kita harus menolong Dwita!"
Wiro pertama sekali berkelebat ke arah Stupa di mana Dwita tersekap dan masih terbujur pingsan. Boma menyusul lari ke sana diikuti oleh semua anak-anak SMU Nusantara III. Sulastri, Gita dan juga Trini serta Ibu Renata berteriak-teriak memanggil Dwita. Namun di dalam Stupa Dwita tidak bergerak tidak bersuara. Anak-anak perempuan itu terus memanggil-manggil. Suara mereka kemudian berubah menjadi isak tangis. Mereka tidak pasti apakah Dwila hanya pingsan atau sudah menjadi mayat!
Boma diikuti Ronny dan Vino, mengelilingi Stupa tapi tidak tahu bagaimana harus menolong Dwita. Sampai di hadapan Wiro anak ini berkata.
"Bang, Dwita harus ditolong. Harus dikeluarkan..."
Wiro tidak menjawab. Hanya berdiri menggaruk kepala sambil memandang ke dalam Stupa. Sikap dan tampangnya seperti orang bloon tapi sebenarnya saat itu otaknya tengah bekerja.
"Eh, kok Boma manggil Abang sama si gondrong itu? Memangnya dia siapa?" Sulastri bertanya sambil memegang lengan Ronny.
"Gue juga nggak kenal," jawab Ronny.
"Dandanannya aneh..." ucap Trini. "Liat, ada tatto di dadanya..."
"Baunya kecut," Si Centil Sulastri kembali menyeletuk. Yang dirasani rupanya mendengar. Si gondrong murid Sinto Gendeng itu palingkan kepala ke arah Sulastri. Memandang tak berkesip.
Sulastri Si Centil jadi grogi.
"Rasain lu! Ngomong seenaknya!" kata Rio. Tapi Wiro tidak marah malah tersenyum dan kedipkan matanya. Sulastri jadi lega.
"Bang!" panggil Boma lagi. "Dwita harus dikeluarin dari dalam Stupa! Tolong Bang!" Boma lalu pegangi salah satu batu Stupa dengan kedua tangannya. Anak ini kerahkan tenaga. Jangankan bergeser, bergeming seujung rambutpun batu itu tidak!
"Boma, susunan batu Stupa ini berat sekali. Kau tak bakal bisa menggesernya..."
"Bang, Stupa ini terbuat dari susunan batu-batu. Kalau salah satu dijebol pasti yang lainnya ikut terbongkar." Kata Boma tidak percaya pada ucapan Wiro. Lalu dia berpaling pada Ronny dan Vino.
"Ron, Vin, bantu gua narik batu yang satu ini. Masa sih nggak bisa dijebol!"
Dibantu Ronny dan Vino Boma kembali berusaha menarik salah satu batu Stupa. Tetap saja batu itu tidak bergerak. Wiro pegang bahu Boma. "Jangankan kalian bertiga, semua orang yang ada di sini tidak bakal bisa menggeser batu itu. Daya tekan batu-batu di sebelah atas beratnya ratusan kilo. Lalu ada daya tarik bumi di sebelah bawah..."
"Kalau 'gitu, kita geser batu paling atas di bawah tutup Stupa. Pasti tekanannya lebih enteng," kata Boma pula sambil memandang ke bagian atas Stupa lalu siap hendak memanjat.
Wiro cepat pegang pinggang Boma.
"Ada satu hal lagi yang harus kau ketahui..."
"Apaan?" tanya Boma. Kakinya masih setengah menggantung.
"Selain tekanan batu-batu di sebelah atas dan daya tarik bumi di sebelah bawah, masih ada satu kekuatan lain yang sulit ditembus. Kekuatan gaib. Kekuatan keramat."
Boma turunkan kedua kakinya ke lantai candi. "Saya tidak perduli kekuatan apa, Bang. Yang penting Dwita musti ditolong. Musti dikeluarin!" jawab Boma. Mukanya yang merah disengat matahari basah oleh keringat. Begitu juga badan dan seluruh pakaiannya. Tiba-tiba anak ini ingat pada hawa murni yang pernah diberikan nenek sakti di Gunung Gede lewat tangan kirinya. Menurut si nenek tangan kirinya itu sanggup memukul mati seseorang. Kalau dipergunakan untuk memukul batu masakan tidak jebol?! Rahang Boma menggembung, tenaganya dikumpul, tangan kirinya diangkat lalu dipukulkan. Satu jengkal lagi tangan itu akan menghantam batu Stupa, dengan gerakan kilat Wiro pegang lengan kiri Boma.
"Jangan berlaku tolol! Merusak Stupa bisa berbahaya..."
"Demi keselamatan Dwita, kita harus melakukan apa saja! Kalau perlu Stupa ini kita hancurkan!"
"Ini bangunan keramat warisan leluhur. Jangan sekali-kali dirusak."
"Lalu bagaimana kita harus menyelamatkan Dwita?" Ronny yang berkata. "Kalau Pangeran jahat itu bisa memasukkan Dwita ke dalam Stupa, pasti ada cara mengeluarkan Dwita...."
"Betul, Bang..." ujar Boma sambil mengusap-usap tinju kirinya dengan tangan kanan.
"Pangeran Matahari punya ilmu kepandaian yang mungkin orang lain tidak memilikinya. Kita harus menyelidiki..."
"Menyelidik bagaimana? Berapa lama? Orangnya aja udah kabur entah kemana!" kata Boma penasaran.
"Sebaiknya kita melapor pada petugas keamanan Candi. Biar saya yang melakukan. Kalian semua tunggu di sini. Jangan ada yang berpencar." Pak Sanyoto Guru Olah Raga keluarkan ucapan untuk pertama kali. Wiro menggaruk kepala. Saat itulah dia melihat banyak orang berpakaian seragam bergerak naik ke atas candi. Wiro pegang bahu Boma dan berbisik. :
"Aku terpaksa pergi dulu. Nanti aku menemuimu lagi."
"Abang mau kemana?" tanya Boma. "Bagaimana Dwita?"
Wiro menjawab dengan membelintangkan jari telunjuknya di atas mulut lalu kedipkan mata.
"Bang..."
"Ssshhh... Ada Isilop datang. Aku lebih baik pergi. Kalau sampai kena diusut, ditanyain KTP, bisa berabe. Aku mana gablek KTP! Selain itu tadi ada orang pandai menolong kita menahan hantaman pukulan Pangeran Matahari. Aku mau menyelidik dan mencari siapa dia adanya. Mungkin dia bisa membantu mengeluarkan Dwita dari dalam Stupa."
Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat. Sebelum lenyap dari tempat itu dia menyambar tiga buah benda yang bertaburan di lantai candi sebelah bawah. "Ajie Gile" kata Andi. "Bisa lenyap kaya setan aja! Bom, lu kenal dimana Si Abang itu?"
"Isilop? Apaan Isilop?" tanya Vino. Bagian Candi di sekitar Stupa dimana Dwita tersekap kini dipenuhi petugas berseragam Candi Borobudur. Lalu dua belas anggota Polisi juga telah berada di tempat itu.
"Isilop... Isilop," ucap Firman berulang kali. "Eh, pasti yang dimaksud si gondrong Abang ‘lu itu Polisi. Polisi kalau dibalik 'kan jadi Isilop. Ngacok aja' tu orang!"
Boma memandang ke bagian bawah candi.
"Ah, Polisi lagi. Urusan lagi..." Ucap Boma dalam hati. Dia memandang sedih ke dalam Stupa. "Dwita..." suara Boma parau setengah berbisik. "Kalau bisa biar aku saja yang ada di dalam sana. Jangan kamu...."
Gita Parwati mendekat, memegang lengan Boma.
"Bom, ini kejadian di luar akal manusia! Mana mungkin ada orang bisa masuk ke dalam Stupa."
"Buktinya, kamu liat sendiri Git," sahut Boma.
"Ada kekuatan gaib yang menjebloskan Dwita ke dalam Stupa. Kita hanya bisa minta pada Tuhan agar Dwita bisa diselamatkan..."
Tidak terasa air mata meluncur di pipi si gemuk Gita. Trini yang selama ini selalu bermusuhan dengan Dwita kelihatan berkaca-kaca matanya. Sulastri tundukkan kepala, mulutnya komat-kamit entah apa yang dilafatkan.
"Gimana kalau orang tua Dwita dikasih tau?" kata Sulastri pula.
"Baiknya jangan dulu. Nanti saja," jawab Gita Parwati. Dia ulurkan tangan, dimasukkan ke dalam Stupa. Aneh, Gita tidak bisa menyentuh tubuh Dwita, padahal kelihatannya dekat saja. Gita memberitahu hal itu pada Boma. Berdua dengan Ronny, Boma memasukkan tangan lewat lobang Stupa. Seperti yang dialami Gita, kedua anak ini tidak berhasil menyentuh tubuh, kaki atau tangan Dwita.
"Aneh Ron," bisik Boma.
"Tengkuk gue jadi merinding," sahut Ronny.
"Heran, kok bisa sih kejadian kayak gini," kata Vino pula.
"Jangan-jangan Dwita bikin kesalahan. Jangan-jangan dia kencing sembarangan. Yang punya tempat marah. Dwita lalu dibekep dalam Stupa."
"Enak aja lu ngomong!" Ada yang menyeletuk ketus. Ternyata si gendut Gita Parwati. "Anak cewek nggak pernah kencing sembarangan 'tau! Kalian 'tuh anak cowok yang suka beser seenaknya. Kencing berdiri, nggak cebok!"
"Huss, udah! Jangan pada betengkar," kata Ronny Celepuk. Petugas Kepolisian yang kemudian datang ke tempat itu bersama petugas kawasan wisata Candi Borobudur meminta para pengunjung untuk menjauh. Kecuali rombongan anak-anak SMU Nusantara III dan para guru, semua mereka dimintai keterangan apa yang telah terjadi. Pengusutan yang dilakukan pihak berwajib tidak selesai di tempat itu saja. Pak Sanyoto, Ibu Renata, beberapa pelajar SMU Nusantara III dan beberapa orang pengunjung yang diperlukan sebagai saksi diminta datang ke sebuah kantor untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
Menurut Polisi walau tidak terjadi kerusakan pada Candi Borobudur, tapi kejadian itu perlu diusut lebih jauh. Apa lagi disitu telah terjadi perkelahian antara dua pemuda aneh yang rnelibatkan seorang pelajar SMU Nusantara III yaitu Boma. Lalu, ini yang luar biasa, seorang pelajar perempuan yakni Dwita secara diluar akal berada di dalam Stupa. Ini merupakan satu kejadian besar kedua yang pasti akan menggegerkan. Peristiwa besar pertama adalah kejadian peledakan salah satu kawasan Candi beberapa tahun yang lalu.
"Pak, maaf," kata Boma. "Saya nggak bisa ninggalin teman saya sendirian di dalam Stupa. Saya mau terus di sini aja, Pak. Nungguin Dwita."
"Saya juga," kata Gita.
"Saya juga..." kata beberapa anak lainnya lermasuk Trini hampir berbarangan. Para Petugas Kepolisian bicara sebentar dengan Pak Sanyoto dan Ibu Renata. Akhirnya diputuskan hanya kedua guru SMU Nusantara III itu bersama Boma, Sulastri, Trini, Vino dan Ronny serta tiga orang pengunjung yang diminta datang ke Kantor. Yang lain-lain tetap di tempat itu menunggui Dwita yang masih terbaring pingsan di dalam Stupa, dikawal oleh enam orang petugas Kepolisian.
***
TIGA
BOMA DIPERIKSA POLISI
KEPADA Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi yang meminta keterangan, Pak Sanyoto dan Ibu Renata menjelaskan bahwa mereka baru tahu kejadian Dwita Tifani berada di dalam Stupa setelah banyak pengunjung berlarian ke tempat itu. Bagaimana kejadian anak perempuan itu bisa berada di dalam Stupa mereka tidak bisa menjelaskan.
"Saat orang banyak berlarian, saya tanya sama yang kebetulan lewat di depan saya. Ada apa Pak? Orang itu bilang ada kejadian aneh. Ada orang dalam Stupa." Pak Sanyoto memberi keterangan. Lalu meneruskan. "Saya tanya lagi sama seorang yang lewat di depan saya. Katanya ada orang gila menculik gadis. Gadisnya dikurung dalam Stupa. Saya tidak tahu kalau yang ada dalam Stupa adalah murid SMU Nusantara III. Baru tahu setelah melihat sendiri. Ternyata Dwita."
Ibu Renata memberi keterangan yang sama dan dikuatkan oleh tiga pengunjung yang dijadikan saksi. "Waktu saya dan anak-anak sampai di tempat itu, di dekat Stupa di mana Dwita terkurung, berdiri seorang lelaki tinggi besar, berambut gondrong. Orang ini mengaku bernama Pangeran Matahari. Dia mengancam akan membunuh siapa saja yang berani mendekati Stupa. Waktu dia berteriak, bangunan Candi serasa bergetar, kami semua berlari menjauh."
"Orang laki-laki berambut gondrong ini, apa Pak Sanyoto dan Ibu Rena pernah melihat sebelumnya?"
Dua guru SMU Nusantara III itu sama menggelengkan kepala. Boma, Ronny dan Vino saling berlirikan. Dari tempatnya duduk Pak Sanyoto kemudian memandang pada ketiga anak itu. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi karena saat itu Serda Sujiwo bicara, meminta Ibu Renata memberitahu ciri-ciri orang bernama Pangeran Matahari itu lebih rinci sementara Kopral Pirngadi mengetik semua keterangan yang diberikan.
"Orangnya tinggi besar Pak. Rambut panjang segini..." Ibu Renata meletakkan tangan kanannya di belakang punggung.
"Pakaiannya baju dan celana hitam. Pakai mantel hitam. Di dada bajunya ada gambar gunung dan matahari. Lalu keningnya diikat kain merah."
"Ada keterangan bahwa orang bernama Pangeran Matahari itu berteriak mencari seorang anak bernama Boma."
"Boma, ini anaknya Pak," kata Pak Sanyoto sambil menunjuk dengan ibu jari tangan kanannya pada Boma yang berdiri di belakangnya. Tampaknya Guru Olah Raga ini bersemangat sekali membantu Polisi.
Serda Sujiwo perhatikan Boma sejenak lalu berkata. "Nanti giliran Dik Boma saya tanyai. Ibu Rena, teruskan keterangan Ibu."
"Waktu Boma tidak muncul, orang bernama Pangeran Matahari itu lalu memukul ke arah Stupa tempat Dwita terkurung. Saya melihat ada cahaya angker melesat keluar dari tangannya. Lalu saat itu tiba-tiba Boma muncul. Tapi disaat yang sama juga muncul seorang lain. Berpakaian serba putih. Rambutnya gondrong sebahu, di kepalanya ada sebentuk destar putih. Orang ini agaknya kenal dengan Pangeran Matahari. Dia berteriak lalu memukulkan tangan. Saya lihat ada cahaya putih menyembur dari tangannya yang memukul. Lalu ada letusan keras. Ada hawa panas sekali. Saya dan semua anak-anak, saya rasa juga semua pengunjung berlarian menjauh. Gagal mencelakai Dwita di dalam Stupa, orang bernama Pangeran Matahari itu lalu menyerang Boma. Tapi lagi-lagi lelaki gondrong berpakaian putih menolong hingga Boma selamat."
Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi memandang ke arah Boma sesaat.
"Ibu Rena, terima kasih atas keterangan Ibu. Mungkin ada hal lain yang ingin Ibu sampaikan?"
"Begini Pak, saya minta supaya murid saya Dwita bisa dikeluarkan dari dalam Stupa secepat mungkin. Saya kawatir..."
"Hal itu sudah kami pikirkan. Beberapa petugas tengah berunding dengan pihak berwenang yang mengelola kawasan wisata Candi Borobudur ini," jawab Serda Sujiwo.
"Saya boleh memberi keterangan tambahan sedikit Pak," kata Pak Sanyoto tiba-tiba.
"Silahkan."
"Kalau saya tidak keliru, orang berpakaian hitam dengan ikat kepala merah, mengaku bernama Pangeran Matahari itu ciri-cirinya sama dengan orang gila yang pernah menyerang Boma dan kawan-kawan di sekolah beberapa minggu lalu. Orang dengan ciri-ciri yang sama ini juga yang pernah diberitakan dalam koran membunuh seorang pengamen tua di jembatan penyeberang depan gedung Sarinah di Jakarta..."
"Brengsek Si Umar," bisik Ronny pada Boma. "Perlu apa dia ngomong begitu. Nggak ditanya kok nyelonong ngasih keterangan. Songong! Urusan bisa jadi panjang. Bisa sampai malam kita nongkrong disini."
Serda Sujiwo berpaling pada Kopral Pirngadi. "Untuk pengembangan, kontak Jakarta. Pakai jalur komunikasi Pos I"
"Siap Pak," jawab Kopral Pirngadi lalu tinggalkan tempat itu. Serda Sujiwo memindahkan mesin ketik ke hadapannya lalu berpaling pada Boma. Setelah menyuruh Boma maju sedikit anggota Polisi ini mulai menanyai anak ini.
"Orang bernama Pangeran Matahari itu berteriak mencari Dik Boma. Dik Boma tahu apa sebabnya?"
"Saya... Mungkin dia mau membunuh saya Pak." Jawaban Boma ini membuat ruangan kantor vang tidak seberapa besar itu menjadi berisik untuk beberapa lamanya.
"Dari mana tahunya orang itu mau membunuh Dik Boma?"
"Dia jelas mengancam Pak. Kalau saya nggak muncul, dia mau membunuh Dwita. Lalu waktu saya kemudian muncul, dia menyerang saya."
"Urusan bunuh membunuh adalah urusan sangat serius. Merupakan tindak pidana berat. Apa lagi kalau sampai direncanakan sebelumnya. Nah, Dik Boma tahu mengapa orang bernama Pangeran Matahari itu berniat jahat mau membunuh Dik Boma?"
"Saya tidak tau Pak," jawab Boma.
"Menurut Pak Sanyoto tadi, sebelumnya orang itu pernah menyerang Dik Boma dan kawan-kawan di sekolah."
"Betul, waktu itu saya anggap dia cuma orang gila."
"Dik Boma tidak kenal dengan orang itu? Punya hubungan sebelumnya?"
"Tidak Pak. Tidak kenal, nggak punya hubungan apa-apa."
"Kalau dia cuma orang gila, bagaimana mungkin bisa mengikuti Dik Boma sampai di Jogja ini?"
"Saya juga nggak ngerti Pak."
"Setelah gagal membunuh Dik Boma, orang itu melarikan diri. Tahu larinya kemana?"
"Nggak tau Pak."
Serda Sujiwo membaca apa yang telah diketiknya lalu kembali mengajukan pertanyaan. "Di tempat kejadian, diketahui muncul seorang lelaki berpakaian serba putih, rambut gondrong. Kenal dengan orang ini?"
Boma menowel hidungnya. Dia tidak segera menjawab.
"Bom, lu ditanya kenal nggak? Jawab..." bisik Ronny.
"Nggak kenal Pak," jawab Boma.
"Banyak orang melihat, juga mendengar Dik Boma bicara dengan orang itu. Malah memanggilnya dengan sebutan Abang. Kalau tidak kenal bagaimana bisa bicara banyak dan memanggil Abang?"
"Sebetulnya begini Pak, dibilang kenal nggak. Dibilang tidak kenal juga sulit. Habis, saya kenal orang itu dalam mimpi."
"Dalam mimpi?" Serda Sujiwo tertawa lebar. Yang lain-lain juga ikut tertawa kecuali kawan-kawan Boma. Ibu Renata menatap Boma dari samping dalam herannya.
"Betul Pak, saya nggak bohong," kata Boma. "Saya pertama sekali melihat orang itu dalam mimpi. Lalu yang beneran tadi di Candi..."
Serda Sujiwo masih tertawa bahkan kini mengetik sambil geleng-geleng kepala.
"Tahu siapa nama orang yang Dik Boma panggil Abang itu?"
"Tidak tau Pak."
"Tidak tahu?"
"Betul Pak." Jawab Boma.
"Dik Boma tidak tahu nama orang itu. Tapi orang itu menyelamatkan Dik Boma dari serangan Pangeran Matahari..."
"Pak, mungkin Bapak nggak percaya."
"Nggak percaya bagaimana? Apa yang saya tidak percaya?"
"Agaknya antara Pangeran Matahari dengan orang yang menolong saya itu sudah ada perselisihan. Lalu, mereka berdua bukan makhluk alam kita Pak."
Kembali ruangan kantor itu dipenuhi suara orang. Serda Sujiwo mengambil rokok dari dalam kantong bajunya. Hendak dinyalakan tapi tidak jadi. "Dik Boma, saya ada dua pertanyaan. Pertama bagaimana Dik Boma tahu dua orang itu bukan makhluk alam kita. Kedua kalau mereka bukan makhluk alam kita lalu makhluk alam mana?"
"Begini Pak, semua orang tadi melihat, kedua orang itu lenyap secara aneh. Manusia biasa mana mungkin bisa berbuat begitu. Pangeran Matahari menyekap Dwita di dalam Stupa..."
"Tidak ada yang melihat dia memasukkan anak perempuan itu ke dalam Stupa."
"Benar nggak ada yang liat Pak. Tapi dari ucapan-ucapan serta ancaman-ancamannya jelas dia yang punya pekerjaan..."
"Sulit dibuktikan."
"Bapak sebagai petugas Kepolisian yang harus menyelidik dan membuktikan." Kata-kata Boma itu membuat Serda Sujiwo agak terperangah. "Pak,” ucap Boma. "Maaf yang penting saat ini kita harus berbuat sesuatu. Menolong teman saya keluar dari dalam Stupa."
Serda Sujiwo mendorong mesin tik di atas meja ke depan, duduk bersandar ke kursinya, menatap Boma sesaat. Ketika dia hendak mengatakan sesuatu, Kopral Pirngadi masuk ke ruangan.
"Sudah ada kontak dengan Jakarta Pak. Kapten Heru dari Serse Polda Jaya ingin bicara dengan Bapak melalui tilpon. Silahkan di Pos I Pak."
"Sambungkan saja ke sini," kata Serda Sujiwo sambil memegang tilpon di atas meja, di samping mesin tik.
"Maaf Pak, Kapten Heru yang minta agar Bapak bicara di Pos I saja..."
Serda Sujiwo mengusap dadanya. "Saya mengerti," katanya kemudian. Lalu berdiri dari kursi. Sebelum meninggalkan ruangan dia minta pada semua orang agar mau menunggu sebentar. Ternyata Sersan Dua itu tidak hanya sebentar. Lebih dari setengah jam kemudian baru dia kembali. Wajahnya tampak serius. Begitu duduk di kursi dia segera saja bicara.
"Pak Sanyoto, Ibu Rena dan semua pelajar dari Jakarta. Ternyata peristiwa yang tengah kita hadapi tidak sesederhana yang saya sangka. Sebelumnya saya memang mengira bahwa selesai saya mendapat keterangan, urusannya sementara cukup sampai di sini. Tapi setelah saya bicara dengan atasan di Jakarta ternyata kita tengah menghadapi satu perkara besar. Bukan saja menyangkut perkelahian di Candi tadi yang syukur-syukur tidak menimbulkan kerusakan ataupun korban jiwa, tapi kejadian ini ada sangkut pautnya dengan pembunuhan atas diri seorang pengamen di Jakarta. Saya diberi tahu, pengamen itu sendiri jenazahnya kemudian dilarikan orang dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Mengingat keterbatasan waktu, tempat serta sarana komunikasi, saya terpaksa harus membawa Dik Boma sebagai saksi utama ke Jogja. Di sana akan dilakukan pengusutan lebih lanjut."
"Loh, kok saya ditangkap Pak?" tanya Boma.
***
EMPAT
PERTOLONGAN SANG BOKAP
JANGAN salah sangka. Adik tidak ditangkap. Cuma dibawa ke Jogja untuk diminta keterangan lebih rinci. Selain itu, ini juga satu tindakan untuk melindungi, agar tidak terjadi apa-apa dengan diri Dik Boma."
"Waduh! Berantakan deh acara wisata kita!" kata Ronny.
"Kalau Boma di bawa ke Jogja, kami semua yang ada di sini juga minta dibawa!" Tiba-tiba Si Centil Sulastri berkata.
"Betul Pak. Kami juga minta dibawa," ikut bersuara semua anak SMU Nusantara III yang ada dalam ruangan itu.
"Pak, saya mau diapakan saya nggak perduli," kata Boma seraya melangkah maju mendekati meja Serda Sujiwo. "Tapi yang penting, saya ingin kawan saya Dwita segera ditolong. Kita sudah menghabiskan waktu berjam-jam di tempat ini. Sementara teman saya masih terkurung di dalam Stupa."
"Sebentar lagi aparat dari kawasan wisata akan datang."
"Kalau datang cuma buat nanya ini nanya itu nggak ada gunanya Pak," Ronny keluarkan ucapan.
"Kami mengerti kekhawatiran kalian. Kami juga tengah berusaha mencari cara untuk mengeluarkan teman kalian yang ada di dalam Stupa."
"Dari tadi dia berdua 'kan ada di sini, kapan berusahanya," bisik Sulastri.
"Pak Sanyoto, mungkin bisa menemani Dik Boma ke Jogja. Yang lain-lain kembali ke Candi..."
"Hemm, tambah ribet tambah ernpet deh Si Boma kalau sampai Si Umar ikutan ke Jogja." Bisik Vino.
"Maaf, Pak. Kami tidak kembali ke Candi. Kami semua ikut kemana Boma dibawa," kata Sulastri pula dengan beraninya sambil menatap sorotan mata dua petugas Polisi di depannya.
"Kami tidak bisa melakukan permintaan itu. Kami hanya ingin menanyai Boma..."
"Boma sudah ditanyai. Boma tidak ada sangkut pautnya dengan kematian pengamen di Jakarta. Saya mohon kami anak-anak sekolah yang sedang wisata ini jangan dipersusah Pak. Wong niatnya ingin jalan-jalan kok jadi ngalamin kayak gini."
"Nama Adik siapa?" tanya Serda Sujiwo pada anak perempuan yang barusan bicara.
"Trini Pak."
"Begini Dik Trini. Kami ini cuma bertugas menjalani perintah atasan. Atasan bilang Dik Boma harus dibawa ke Jogja, kami hanya bisa mematuhi. Dik Boma dibawa ke Jogja bukan ditangkap, bukan mau diapa-apakan, tapi untuk ditanyai. Ini satu tindakan proaktif untuk menjaga segala kemungkinan agar jangan terjadi apa-apa dengan diri Dik Boma sendiri dan paling utama tidak terjadi apa-apa dengan Candi Borobudur."
"Maaf Pak," jawab Trini. "Kalau mau nanyai Boma, mengapa nggak dilakukan di sini saja? Kami bersedia menunggui sampai pagi..."
"Sudah Rin, aku nggak keberatan dibawa ke Jogja. Asal Dwita bisa ditolong..." kata Boma pula.
"Nggak bisa!" jawab Trini. "Kita bukan mau melawan hukum, bukan mau melawan Bapak Polisi. Tapi apa perlunya kamu dibawa ke Jogja sementara Dwita sengsara terkurung dalam Stupa. Bahkan nggak ada petugas medis yang dikirim ke lokasi!"
"Dik Trini, tenang. Saya senang melihat rasa setia kawan Dik Trini. Begini ya, kalau saya boleh ngomong..."
Ucapan Serda Sujiwo itu segera dipotong oleh Trini.
"Maaf Pak, kalau Bapak bersikeras mau bawa Boma ke Jogja, boleh nggak kami memberikan jaminan..." `
"Maksud Dik Trini?" tanya Serda Sujiwo.
"Maksud saya soal usut mengusut ini tidak usah diteruskan. Kalau memang atasan Bapak di Jakarta ingin melanjutkan penyelidikan, nanti Boma juga akan pulang ke Jakarta. Nanti dia juga bisa ditanyai di sana."
"Saya bisa mengerti maksud baik Dik Trini. Maunya saya juga gitu. Tapi saya bekerja atas perintah atasan..."
"Pak, saya boleh minjam tilpon Bapak?"
"Mau nilpon kemana?" yang bertanya Kopral Pirngadi.
"Ke Jakarta."
"Nilpon siapa?"
"Bapak saya," jawab Trini.
"Bisa nanti saja?"
"Maaf Pak, kalau bisa maunya sekarang."
Kopral Pirngadi memandang pada atasannya. Serda Sujiwo anggukkan kepala.
"Tolong sebutkan nomornya, nanti saya yang nyambungin," kata Kopral Pirngadi. Trini menyebutkan nomor tilpon yang ditujunya. Kopral Pirngadi lalu menekan tombol-tombol angka di pesawat tilpon. Pada nomor terakhir yang ditekannya dia baru sadar dan memandang pada Trini lalu berpaling pada Serda Sujiwo.
"Lho, ini nomor tilpon Kadit Serse Polda Jaya."
"Memang betul Pak. Bapak saya tugas di sana," Kata Trini pula. Dia melirik dan sempat melihat perubahan wajah Serda Sujiwo.
"Nama Bapaknya Dik Trini siapa?" tanya Kopral Pirngadi dengan suara dipelankan sementara menunggu sambungan.
"Kusumo Atmojo."
"Boleh tahu pangkatnya?"
"Letkol."
Serda Sujiwo mengusap rambutnya. Kopral Pirngadi mengangkat tangan kiri memberi tanda pada Trini bahwa kontak sudah didapat.
"Selamat siang. Saya Kopral Pirngadi dari, Borobudur. Minta disambung dengan Letkol Kusumo Atmojo.... Yang mau bicara puteri beliau. Oh, sebentar..."
Kopral Pirngadi menyerahkan pesawat tilpon pada Trini. Mendadak saja ada rasa tegang di hati, semua pelajar SMU Nusantara III yang ada di ruangan itu. Mereka memasang telinga. Apa yang hendak dibicarakan Trini dengan ayahnya yang Letkol di Polda Java itu.
"Bapak? Trini Pak.... Di Borobudur...." Trini lalu menceritakan apa yang telah dan tengah terjadi dengan dirinya dan kawan-kawan termasuk perihal Boma yang akan dibawa ke Jogja. Setelah bicara cukup lama sebelum menyerahkan pesawat tilpon pada Serda Sujiwo Trini berkata pada bapaknya. "Pak, jangan dulu diberi tau orang tuanya Dwita. Nanti mereka geger. Nanti Trini tilpon lagi dari wisma."
Trini lalu menyerahkan pesawat pada Serda Sujiwo sambil berkata. "Bapak mau bicara."
Trini lalu menyerahkan pesawat pada Serda Sujiwo sambil berkata. "Bapak mau bicara."
Serda Sujiwo cepat mengambil pesawat tilpon. Mula-mula dia mengucapkan selamat siang setelah itu yang keluar dari mulutnya berulang kali hanya kata-kata "Siap Pak."
"Siap Pak. Harap bantuannya menghubungi Kapten Heru di Polda Jaya. Monggo...Maturnuwun.”
Serda Sujiwo meletakkan pesawat tilpon ke tempatnya. Dia memandang ke arah Pak Sanyoto dan Ibu Renata, lalu pada para pelajar SMU Nusantara III. Pandangannya terhenti agak lama pada Boma dan Trini. Semua orang semakin tegang. Serda Polisi itu hanya memandang dan memandang, tidak mengatakan apa-apa. Sulit diduga perasaan apa yang ada dibalik air mukanya. Tiba-tiba wajah itu tersenyum.
"Kalian semua boleh kembali ke Candi. Boma tidak perlu dibawa ke Jogja. Tapi begitu kembali ke Jakarta harus segera menghubungi Letkol Kusumo Atmojo."
Kantor yang tak seberapa besar itu riuh oleh pekik sorak gembira para pelajar SMU Nusantara III. Ibu Renata tersenyum lega. Pak Sanyoto menarik nafas panjang berulang kali. Semua anak menyalami Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi. Mereka mengucapkan terima kasih. Malah Vino mengucapkan terima kasih pada Serda Sujiwo sambil mencium tangan Polisi itu sampai tiga kali dengan gaya lucu, membuat Serda Sujiwo tertawa gelak-gelak. Sambil mengusap kepala Vino Serda Sujiwo berkata.
"Sayang, anak saya lelaki semua. Kalau ada yang perempuan si ganteng ini pasti saya ambil mantu."
"Nggak usah anak perempuan Pak. Kalau di rumah Bapak ada kucing atau kambing perempuan juga boleh!" Celetuk Si Centil Sulastri. Kembali kantor itu ramai oleh gelak tawa. Waktu keluar dari kantor, Firman mendatangi Trini.
"Wah, Rin. Untung bokap lu yang Letkol nulungin. Kalau nggak terpaksa babe gue yang Jenderal turun tangan."
"Uhh! Lagak lu!" kata Gita sambil mendorong kepala Firman.
"Kapan 'lu punya bokap Jenderal? Anaknya aja ceking kayak gini, apa lagi bapaknya. Pasti kayak cicek kering!"
Sembarangan bilang bokap gue ceking. Emangnya lu udeh pernah ngeliat?" kata Firman sambil monyongkan mulut. "Bapak gue gendut, lebih gendut dari kamu, tau!"
Gita tak mau kalah. "Kalau bapak lu gendut, kok kamunya ceking? Berarti kurang gizi kali"'
Beberapa anak termasuk Boma yang mendengar pertengkaran konyol Firman dan Gita itu mau tak mau jadi pada tertawa. Mereka sesaat lupa pada Dwita yang berada dalam Stupa.
***
TAK LAMA setelah rombongan anak-anak itu meninggalkan Kantor pengelola kawasan wisata Candi Borobudur, dua orang petugas beseragam menemui Serda Sujiwo. Mereka memberitahu bahwa seorang ahli yang pernah membantu pemugaran Candi Borobudur tahun 1973 sampai 1983 tengah dijemput di Muntilan. Sementara itu pihak Rumah Sakit juga telah dihubungi. Sebuah ambulans dan tenaga medis akan segera dikirim ke lokasi.
KETIKA berjalan kembali menuju Candi Boma mrndekati Trini dan memegang tangan anak perempuan itu. Trini berpaling. Pandangan mata mereka bertemu. Boma agak kikuk. Trini tenang-tenang saja.
KETIKA berjalan kembali menuju Candi Boma mrndekati Trini dan memegang tangan anak perempuan itu. Trini berpaling. Pandangan mata mereka bertemu. Boma agak kikuk. Trini tenang-tenang saja.
"Rin, aku nggak tau mau bilang gimana...."
"Memangnya kamu mau bilang apa?" tanya Trini sambil senyum. Jari-jari tangan Boma terasa hangat. Anak perempuan ini merasa sejuta bahagia. Ini kali pertama Boma memegang tangannya seperti itu.
"Pokoknya aku terima kasih banget. Kalau kamu sama bokap kamu nggak nulungin, aku pasti udah dibawa ke Jogja. Dideportasi."
"Deportasi. Keren betul istilahnya," Trini Damayanti tertawa lebar.
Boma menyengir, lalu menowel hidungnya.
"Rin, aku..."
"Ssshh... Udah, nanti kita ngomong lagi," kata Trini sambil menarik tangan kirinya dari genggaman Boma. Tangan kiri ini kemudian digelungkannya sesaat di pinggang anak lelaki itu.
"Dwita, aku kasihan sama dia. Heran. Nggak habis pikir gimana bisa kejadian seperti itu. Kita musti nolong dia."
Boma melirik. Selama ini hubungan antara Trini dan Dwita tidak terlalu baik. Mereka bahkan hampir tidak pernah bertegur sapa. Semua gara-gara ingin mendapat perhatian lebih banyak dari Boma, terutama Trini yang kalau ngomong ceplas ceplos dan gaya atau sikapnya bisa membuat orang jengkel. Namun saat itu Boma melihat kata-kata tadi itu diucapkan Trini dengan wajah polos dan jujur. Di sebelah belakang Vino menyentuh lengan Ronny sambil menunjuk ke arah Boma dan Trini. "Kenapa, lu ngiri?" tanya Ronny. "Pegang aja tangan Sulastri kalau pengen..."
"Brengsek lu," gerutu Vino.
"Eh, ada apa nih? Gue denger nama ogut disebut-sebut." Si Centil Sulastri tahu-tahu sudah menyeruak di antara Vino dan Ronny.
***
DI DEPAN rombongan anak-anak yang kembali ke Candi Borobudur itu berjalan Pak Sanyoto berdampingan dengan Ibu Renata. Dengan suara seperlahan mungkin, setelah terlebih dulu menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada pelajar SMU Nusantara III di belakang mereka, Guru Olah Raga itu berkata.
"Boma, lagi-lagi Boma. Lagi-lagi anak itu. Saya menyesal dia ikut. Kita semua jadi susah dibuatnya."
Pak Sanyoto memperhatikan wajah Ibu Renata. Setelah ditunggu Guru Bahasa Inggris ini masih saja diam, Pak Sanyoto berkata lagi. "Ibu mungkin tidak jengkel, tidak kesal terhadap anak itu?"
"Yang saya rasakan saat ini Pak, saya capek sekali."
Ibu Renata akhirnya bersuara memberikan jawaban.
"Kalau begitu Ibu tak usah naik ke Candi. Saya temani mencari tempat yang baik untuk duduk dan istirahat."
"Tidak, saya harus kembali ke Candi. Melihat Dwita. Anak itu butuh pertolongan kita semua."
Pak Sanyoto terdiam. Ibu Renata tidak perduli apakah ucapannya itu menyinggung Pak Sanyoto. Sejak tadi dia ingin menjauhi Guru Olah Raga itu. Tapi Pak Sanyoto selalu mendatangi mendekatinya.
"Anak itu masih sering ke rumah Ibu Renata?" Meluncur pertanyaan Pak Sanyoto yang terasa aneh itu di telinga Ibu Renata. Dalam keadaan seperti itu, adakah pantas mengajukan pertanyaan semacam itu?
Ibu Renata tidak menjawab. Saat itu mereka sudah sampai di depan tangga menuju tingkat pertama Candi. Para pengunjung yang naik dan turun cukup padat.
***
LIMA
DWITA GAGAL DIKELUARKAN DARI DALAM STUPA
KEDATANGAN ahli percandian Drs. Projosastrokusumo Msc berusia sekitar lima puluh tahun disambut laksana "malaikat penyelamat" oleh semua orang yang ada di sekitar Stupa terutama para pelajar SMU Nusantara III. Saat itu hampir jam empat sore. Sengatan sang surya sudah jauh berkurang. Ahli percandian bertubuh tinggi kurus dan berkulit pucat ini membawa sebuah tas besar yang kelihatan cukup berat. Dia datang ditemani oleh Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi. Setelah meletakkan tasnya di lantai candi, untuk beberapa lama Projosastrokusumo memperhatikan sosok Dwita Tifani yang terbujur di dalam Stupa. Lelaki ini berjalan mengelilingi Stupa satu kali lalu mendekati Serda Sujiwo yang tegak berdekatan dengan Pak Sanyoto dan Ibu Renata.
"Bagaimana Mas Projo?" tanya Serda Sujiwo yang sudah kenal baik dan cukup lama dengan ahli percandian itu.
"Sa...sa...sayya du ...dua pul..puluh tahun leb..lebih me..mengenal Candi Bor...Borobudur. Bar ...baru kali in ...ini meng...mengalami kej...kejadi..dian begini. Lu... luar biasa. Sul...sulit dipercay...cayya."
Ternyata ahli percandian itu seorang gagap.
"Bom, kok 'ni orang ngomongnya kayak gitu?" bisik Vino. Boma menowel hidungnya dan berpaling. Untuk sesaat dia diam saja. Tidak menanggapi ucapan Vino. Disamping Vino berdiri Ronny bersama Firman lalu Sulastri, Gita dan Allan. Mereka semua kelihatan senyum-senyum. Boma menowel hidungnya sekali lagi lalu bicara dengan suara perlahan. "Gua rasa dia kelewat lama main di Candi. Mungkin dipencet setan Candi jadi begini."
Sulastri dan Gita menekap mulut menahan tawa. Allan menyengir. Firman memencet hidungnya menahan semburan tawa.
"Pada brengsek lu. Orang mau nulungi temen kita malah dibilang yang bukan-bukan." Ronny menggerendeng.
"Ngeliat tampangnya gue sangsi dia mampu nolong. Tapi ya kita doain aja biar dia berhasil," kata Firman.
Dari dalam tas besarnya Proosastrokusumo mengeluarkan sebuah buku tebal yang sudah lecak. Dia membalik-balik halaman buku sambil sesekali memperhatikan Stupa di depannya. Buku dimasukkan kembali ke dalam tas lalu dari dalam tas dikeluarkan tiga buah dongkrak kecil terbuat dari baja putih.
"Dar ...dari buku cat ...catatan saya, Stupa in..ini sal...sallah satu yang tet..tetap utuh. Tid..tidak ikut dipug...pugar."
"Mendingan die jangan ngomong deh. Kerja, kerja aja. Peg ...pegel..gu...gue nge.. ngedenger.. ngerin..." Bisik Vino meniru-niru gagapnya si ahli percandian lalu menyelinap ke belakang si gemuk Gita begitu Ronny dilihatnya melotot ke arahnya.
Dengan hati-hati Projosastrokusumo memasukkan tiga dongkrak baja ke dalam tiga buah lobang di bagian paling bawah Stupa. Lalu tuas pengungkit untuk menaikkan dongkrak pada dongkrak baja di ujung kanan perlahan-lahan ditekannya ke bawah. Tapi tuas itu tidak bergerak. Dicobanya sekali lagi. Tuas tetap tidak bergerak. Dongkrak tidak mau naik. Projo mengeluarkan dongkrak itu dari dalam lobang lalu memeriksanya. Tuas ditekan kebawah. Tuas bisa bergerak. Dongkrak dimasukkan kembali ke dalam lobang Stupa. Ketika ditekan tuas itu tidak mau bergerak.
"An..aneh..." ucap ahli percandian itu. Dipandanginya dongkrak baja itu sesaat lalu dia beralih pada dongkrak di sebelah tengah. Hal yang sama terjadi. Tuas dongkrak di sebelah tengah juga tak bisa ditekan ke bawah. Akibatnya dongkrak tidak naik ke atas. Seperti tadi Projosastro mengeluarkan dongkrak baja dari dalam lobang. Diperiksa tak ada yang rusak. Tuas ditekan bergerak ke bawah. Namun begitu dimasukkan ke dalarn lobang kembali, tuas tak mau ditekan. Apa yang terjadi dengan dongkrak pertama dan kedua, terjadi pula dengan dongkrak ke tiga di ujung kiri. Projosastro kucurkan keringat. Bibirnya digigit. Matanya menatap tidak percaya pada tiga dongkrak di dalam lobang Stupa.
"Mungkin daya angkat dongkrak ini tidak mampu mengangkat bagian atas Stupa..." Pak Sanyoto berkata seraya jongkok disamping Projosastro.
Ahli percandian itu gelengkan kepala. "In ...inni bu..bukan dong..dongkrak sem...sebar..barangan. Mob..mobbil saj..sajja bis..bissa diangkat. Say ...sayya mau cob ...cobba lag...lagi."
Heran tapi juga penasaran Projosastrokusumo menekan tuas dongkrak baja di lobang paling kiri. Tuas tetap tidak berjalan. Berat, seperti ada yang mengganjal. Projo kerahkan tenaga. Menekan tuas lebih kuat.
"Kling...."
Tuas baja patah!
Projosastrokusumo tampak kaget. Mukanya pucat. Keringat tambah banyak membasahi wajah, tengkuk dan tubuhnya.
"Baj...bajja kok ya bisa patah. Say..sayya tid..tiddak meng...mengerti," kata Projosastro sambil menyeka peluh di keningnya.
"Ba..bagaimana..manna mung...mungkin baja bis..bissa pat..pattah."
"Sayy...saayya jug ...jugga tid..tiddakmeng...mengerti.." Ucap Vino menirukan. Tapi dengan Suara perlahan agar tidak terdengar ahli percandian itu. Beberapa anak yang berdiri di dekat Vino walau agak tegang tapi geli juga. Gita yang berdiri di belakang Vino sambil sembunyikan senyum menggerakkan tangan ke belakang hendak mencubit. Vino buru-buru menghindar. Projosastrokusumo memasukkan kembali tiga buah dongkrak baja ke dalam tas besarnya lalu melangkah mendekati Serda Sujiwo.
"Pak Jiwo, say..sayya tid..tidak mung...mungkin men..menerusken. Per..percuma saj..sajja. In..ini dilu..luar kem..kemampuan say..sayya. Ada...ada sat..sattu ke..kekuatan ma..magis menghal...hallangi say..sayya."
Semua orang terdiam mendengar ucapan ahli percandian itu. Pak Sanyoto dan Ibu Renata saling pandang. Serda Sujiwo memandang pada Kopral Pirngadi lalu membuka topi, mengusap rambutnya yang basah oleh keringat berulang kali. Semua anak merasa merinding. Tapi dasar konyol, Vino yang berada di belakang Gita berbisik.
"Git, gua kira orangnii bohong aja. Sebenernya dia memang kagak bisa ngeluarin Dwita, lalu bilang ada kekuatan magis segala. Masa sih jaman sekarang masih ada hal-hal seperti itu. Jangan-jangan dia bukan ahli pemugaran candi tapi cuman montir delman!"
Dalam keadaan lain Gita mungkin akan tertawa cekikikan mendengar ucapan Vino itu. Tapi saat itu dia palingkan kepala. Matanya melotot tapi mulutnya tersenyum. "Lu, jangan ngomong sembarangan Vin. Kalau tu orang ampe denger..."
Di langit sang surya semakin jauh condong ke barat. Boma menowel hidungnya. Dia memandang pada teman-temannya. Pada Pak Sanyoto dan Ibu Renata. Semua mereka kelihatan terpukul mendengar ucapan ahli percandian itu. Berarti Dwita tidak bisa ditolong. Tidak bisa dikeluarkan dari dalam Stupa. Pak Sanyoto kemudian mendekati Projosastro. "Jadi bagaimana Mas Projo? Apa yang harus kita lakukan. Sebentar lagi malam."
"Ma ...maafken say ...sayya."
Projosastro menutup tas besarnya lalu mendekati Serda Sujiwo.
"Say..sayya sar..saranken menghub...hub...hubungi Ki Tunggul Sekati. Mung..mungkin beliau bis..bissa meno...nollong."
"Saya pernah mendengar nama orang itu. Tapi tidak tahu mencari dimana." Kata Serda Sujiwo.
"Set..settahu say ...sayya beliau tid..tiddak lagi bertug...tugas sebag..baggai Abdi Dalem Punokawan Bagusan. Bel..belliau ser..serring berada di...di Masjid Besar dekat Alun-alun Lor."
Begitu Drs. Projosastrokusumo meninggalkan tempat itu diantar Kopral Pirngadi, Firman berkata pada teman-temannya.
"Gua bilang apa, nggak bisa 'kan dia. Dari tampangnya aja udah ketauan."
"Ga....ga....gatel eh ga...gal," ucap Vino sambil menudingkan ibu jari ke arah ahli percandian yang menuruni tangga candi di depan sana diantar Kopral Pirngadi. Semua orang termasuk Ibu Renata, Pak Sanyoto bahkan Serda Sujiwo tersenyurn mendengar dan melihat gaya Vino itu.
"Lu dari tadi ngomong kayak gitu, lama-lama lu gagap beneran Vin," kata Gita Parwati. "Kalau lu sampai gagap, apa Si Centil masih mau sama kamu." Gita melirik pada Sulastri. Anak perempuan ini mengepalkan tinjunya.
"Wah..wah. Dikebet boleh aja, Git. Tapi jangan dibacain dong!"
sahut Vino sambil nyengir. Ibu Renata diikuti Pak Sanyoto mendekati Serda Sujiwo.
"Pak Sujiwo," kata Ibu Renata, "Tadi saya dengar Pak Projo bilang agar menemui Ki Tunggul Sekati. Siapa orang itu Pak?"
"Mengapa kita disarankan menemui dia?" ' Bertanya Pak Sanyoto.
"Ki Tunggul Sekati dulunya seorang Punggawa Keraton dari kelompok Polowijo Bagusan. Setelah uzur dia mengundurkan diri. Usianya sekarang bisa-bisa delapan puluh tahun lebih. Kabarnya dia memiliki kemampuan sebagai paranormal tingkat atas. Kepandaiannya sering dipergunakan untuk mengantisipasi keadaan. Mas Projo agaknya mengetahui sesuatu dibalik kejadian ini. Itu sebabnya dia minta kita menemui Ki Tunggul Sekati."
"Pak Sujiwo, kalau memang kita harus menemui orang itu, kita harus berangkat sekarang juga. Saya minta diijinkan ikut." Berkata Boma.
"Kalau boleh saya ikut menemani," kata Ibu Renata.
"Saya ikut," kata Trim.
"Saya juga," ujar Pak Sanyoto.
"Sebaiknya jangan terlalu banyak yang pergi. Yang lain-lain biar disini saja menunggui Dwita. Enarn orang anak buah saya akan mengawal tempat ini. Saat ini saya rasa ambulans dari Rumah Sakit sudah ada di bawah. Saya akan minta para petugas medis naik ke sini."
Sebelum meninggalkan tempat itu Boma menarik tangan Ronny hingga mereka terpisah agak jauh dari para pelajar lainnya.
"Ada apa Bom?"
"Gini Ron. Gua nggak tau apa orang bernama Ki Tunggul Sekati itu bisa nolong Dwita keluar dari dalam Stupa. Tapi buat jaga-jaga gua minta bantuan kamu sama teman-teman."
"Siap Bom, bantuan apa?"
"Kamu liat sendiri dongkrak baja yang dipakai Pak Projo tadi. Kecil banget. Mungkin benar apa yang Pak Sanyoto bilang. Dongrak sekecil itu tidak mampu menekan ke atas batu Stupa yang beratnya ratusan kilo. Begini Ron, kamu sama teman-teman tolong cari dongkrak mobil. Jangan yang model lipet. Paling sedikit tiga biji. Nanti kalau ternyata orang tua di Masjid Besar itu tidak bisa menolong, biar kita sendiri yang ngerjain, ngedongkrak batu Stupa."
"Gila lu Bom! Kamu liat sendiri, dongkrak baja itu sampai patah. Lagian...Kalau kita sampai merusak Stupa..."
"Aku nggak perduli Ron. Mau rusak kek, mau roboh kek! Yang penting Dwita bisa dikeluarkan. Urusan belakangan."
"Jangan nekad Bom! Disini banyak Polisi. Pasti..."
"Ahh! Udah!" Boma menowel hidungnya. "Nanti gua sirep semua..."
"Apa Bom?!" tanya Ronny. Tapi Boma sudah pergi menyusul Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini.
Setelah Serda Sujiwo, Ibu Renata, Boma dan Trini meninggalkan tempat itu, Vino berbisik pada Ronny.
"Ron, lu pratiin tampangnya Si Umar. Dia gondok banget nggak bisa ikut."
"Gue syukurin Vin." Jawab Ronny Celepuk. "Niatnya pasti nggak bener. Bukan seratus persen mau nolong, tapi cuman mau deketan terus sama Ibu Renata."
"Gimana kalau sampai malam Dwita masih, belum bisa dikeluarin?" Gita yang ada di dekat Vino dan Ronny menyatakan kekawatirannya.
Vino dan Ronny tak bisa menjawab. Gita berkata lagi. "Gue nggak habis pikir ngeliat keadaannya Dwita. Anak itu apa pingsan apa gimana? Dari tadi siang nggak bergerak barang sedikit. Nggak bersuara..."
"Malam hari di tempat ini pasti dingin. Kasihan Dwita. Kita musti bejejer ngelilingi Stupa agar Dwita tidak kena sapuan angin."
Berkata Vino.
"Kalau nggak ada Polisi rasanya ngeri juga," bisik Gita.
"Nggak ada lampu. Selain dingin pasti gelap. Matek aku. Aku takut gelap..." menyambung Si Centil Sulastri.
"Gampang, nanti gua suruh Vino ngekepin kamu biar nggak takut," kata Ronny pada Sulastri.
"Ah, jangan gitu, Ron." Menyahuti Vino. "Yang begitu aku sih nggak tapi ogah."
Sulastri mengacungkan tinjunya pada Ronny lalu pada Vino.
"Hemm...Di depan kita sih ngasih tinju, di belakang kita ngasih pipi..." kata Andi yang sejak tadi diam saja. Beberapa anak tertawa gelak-gelak.
Pak Sanyoto mendekati anak-anak yang asyik bicara.
"Kalian ini ngobrol apa? Ketawa apa? Apa tidak sadar kawan kalian mengalami musibah? Enaknya malah ngobrol sendiri-sendiri! Tertawa seperti melihat dagelan saja!"
Semua anak jadi terdiam. Beberapa diantaranya bergerak menjauh.
"Rasain lu!" kata Gita Parwati sambil mencibir.
***
KABAR adanya anak perempuan dari Jakarta yang terkurung secara aneh di dalam Stupa di Candi Borobudur cepat sekali menebar. Pada sore hari, dimana pengunjung seharusnya telah berkurang yang naik ke Candi kini sebaliknya orang yang datang bertambah membludak. Diantara mereka terdapat beberapa orang wartawan dan juru kamera surat kabar. Ada yang memberitahu bahwa dua rombongan reporter serta juru kamera Stasiun Televisi Swasta tengah menuju ke tempat itu.
"Wah, kalau sampai berita Dwita terkurung dalam Stupa ini masuk tivi, anak-anak SMU Nusantara III di Jakarta pasti geger!" kata Sulastri pula.
"Seharusnya waktu bicara di tilpon tadi, Trini nggak usah melarang bokapnya ngasih tau kejadian ini pada orang tua Dwita. Kalau mereka tau dari orang lain atau dari tivi, bisa-bisa marah bokap sama nyokapnya Dwita. Kita semua, terutama Si Umar sama Ibu Renata dianggap nggak punya rasa tanggung jawab."
"Udah, jangan mikirin orang yang jauh-jauh. Pikiran aja Dwita yang ada di sini," kata Gita Parwati. "Gue mau turun dulu. Nggak tahan..."
"Nggak tahan apa?" tanya Ronny.
Gita mengecilkan mulutnya lalu berucap perlahan. "Kenciiiing..."
"Ajie Busyet... Mau kencing aja diwartaberitain," kata Firman. Ronny berpaling pada Allan.
"Lan, temenin tuan puteri yang langsing mau kencing. Cepet balik, jangan ngacir kemana-mana. Jangan ngerjain yang nggak-nggak," kata Vino.
"Sok lu. Emangnya gue mau ngerjain apa?"
"Bukan ngerjain, tapi dikerjain," jawab Vino sambil mengedipkan matanya pada Allan.
"Brengsek lu!" sungut Gita.
"Lan, jangan lupa beli ini. Mulut gue ude asem!" kata Ronny pada Allan sambil meletakkan dua jari tangannya yang diluruskan di atas bibir.
"Jagan dibeliin Lan. Biar mulutnya jadi cuka!" kata Gita Parwati lalu mencibir ke arah Ronny.
***
ENAM
KI TUNGGUL SEKATI
MEMASUKI Kawasan Keraton Kesultanan Yogyakarta pada malam hari tidak semudah siang hari seperti berkunjungnya wisatawan. Untung ada Serda Sujiwo yang cukup dikenal oleh sebagian pengawal dan kerabat Keraton. Masjid Besar terletak di sebelah barat Alun-alun Lor. Bangunannya berbentuk pendopo besar dengan serambi cukup luas di sebelah depan. Seorang lelaki tua berkacamata, mengenakan jas putih dan blangkon hitam di kepalanya, yang oleh Serda Sujiwo dipanggil dengan nama Pak Gondo mengantarkan ke empat orang itu sampai di depan Masjid Besar. Sebelum masuk ke dalam bangunan dia melepaskan sandal lalu meminta Serda Sujiwo dan Boma membuka sepatu masing-masing. Ibu Renata dan Trini disuruh menunggu dekat sebuah bangunan bernama Pagongan. Konon biasanya dibangunan ini sebuah gamelan besar dibunyikan selama satu minggu menjelang Perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW. Boma melangkah di samping Serda Sujiwo, mengikuti Pak Gondo. Di dalam bangunan mesjid tidak seorangpun kelihatan. Boma tengah menghitung-hitung jumlah tiang kayu jati bulat penyanggah atap yang ada dalam bangunan Masjid Besar ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang mengaji. Suara itu perlahan saja, tapi menimbulkan gema sejuk di seantero bangunan. Di dekat sebuah tiang bulat kayu jati lelaki berjas putih duduk bersimpuh di lantai. Dia memberi isyarat pada kedua orang yang ada di belakangnya agar ikut duduk. Rupanya orang yang mengaji berada di balik tiang besar. Dari tempatnya duduk baik Boma maupun Serda Sujiwo tidak dapat melihat orang itu. Dan lelaki berjas putih, Pak Gondo, agaknya hanya bersikap menunggu, tidak berani menganggu. Boma merasa pinggangnya seperti mau patah dan pantatnya sudah pedas karena setelah menunggu sekian lama orang dibalik tiang besar baru mengakhiri kajiannya. Orang berjas putih, dengan beringsut-ingsut bergerak mendekati tiang besar. Lalu dia membungkuk memberi salam sambil mengulurkan tangan bersalaman dan mencium tangan orang di balik tiang. Kemudian kedua orang itu bercakap perlahan sekali dalarn bahasa Jawa. Tak selang berapa lama Pak Gondo memberi isyarat pada Serda Sujiwo dan Boma untuk datang mendekat. Ketika Boma bersama Serda Sujiwo sampai di sebelah Pak Gondo, dekat tiang kayu jati besar bulat, untuk pertama kalinya anak ini melihat orang yang tadi hanya didengarnya suaranya. Seorang tua berusia lebih dari delapan puluh tahun dengan kumis, janggut dan alis putih, namun berwajah merah segar seperti bayi. Sepasang matanya hitam berkilat dan tajam tapi sejuk menatap ke arah Serda Sujiwo dan Boma.
Di pangkuan orang tua itu atau di lantai mesjid tidak ada Kitab Al Qur'an. Berarti orang ini hafal dan mengaji ayat-ayat suci Al Qur'an di luar kepala. Yang membuat Boma maupun Serda Sujiwo agak tertegun ialah karena tidak menyangka orang tua itu bertubuh cebol. Dia mengenakan baju lengan panjang hitam, sehelai kain panjang batik dan sebuah blangkon. Pak Gondo mengatakan sesuatu pada Serda Sujiwo. Serda Sujiwo kemudian memberitahu Boma bahwa orang tua yang duduk di depan tiang besar kayu jati itu adalah Ki Tunggul Sekati, orang yang mereka cari. Sebelumnya anggota Polisi ini sudah sering keluar masuk Keraton untuk berbagai keperluan. Beberapa keluarga dekatnya ada yang jadi Abdi Dalem. Namun baru sekali itu dia bertemu dengan orang tua bernama Ki Tunggul Sekati. Sebelum mengundurkan diri orang tua ini dulunya adalah salah seorang Abdi Dalem Punokawan golongan Polowijo - Cebolan yang biasa juga disebut golongan Bagusan. Dalam bahasa Jawa yang tidak dimengerti Boma Serda Sujiwo menerangkan bahwa mereka tahu tentang orang tua itu dari Projosastrokusumo, ahli percandian itu. Serda Sujiwo kemudian merunduk menyalami Ki Tunggul Sekati. Boma maju mendekat, merunduk bersalaman dan mencium tangan orang tua itu. Ketika Boma mencium punggung tangan Ki Tunggul Sekati, dia mencium bau wangi sekali dan merasa hawa wangi itu merasuk masuk ke jalan pernafasannya hingga dadanya terasa sejuk dan lega. Boma ingat kejadian ketika nenek sakti di Gunung Gede memasukkan hawa murni ke dalam tangan kirinya. Keadaannya saat itu hampir sama dengan yang dialaminya sekarang hanya saja hawa yang keluar dari tangan orang tua cebol itu menebar bau harum. Serda Sujiwo kemudian memberitahu maksud kedatangannya. Namun Ki Tunggul Sekati mengangkat tangan kanannya dan bertanya.
"Magrib hampir berlalu. Saat sembahyang lsya akan segera datang. Apakah kalian berdua sudah melakukan sembahyang Magrib?"
"Maaf, Kek, kami memang belum sembahyang Magrib." Boma mendahului menjawab polos.
Dipanggil Kakek, Ki Tunggul Sekati tersenyum.
"Ambil air wudhu, laksanakan sembahyang Magrib lebih dulu. Nanti baru kita bicara."
Setelah sembahyang Magrib kedua orang itu kembali menemui Ki Tunggul Sekati. Serda Sujiwo memberitahu apa yang terjadi. Si orang tua mendengarkan dengan dua mata dipejamkan. Tubuhnya tidak bergerak bahkan tidak kelihatan dia seperti bernafas. Punggung dan kepalanya disandarkan ke tiang besar kayu jati. Boma berpikir-pikir apakah Ki Tunggul Sekati mendengar atau sedang tidur. Dan anak ini jadi melengak ketika dari mulut orang tua itu terdengar suara mengorok.
Serda Sujiwo hentikan ceritanya. Dia ingin Ki Tunggul mendengar semua apa yang diterangkan. Tapi kalau orang yang dihadapinya tidur, buat apa dia terus bercerita. Boma sendiri merasa heran melihat perilaku orang tua bertubuh cebol ini. Hidungnya ditowel beberapa kali. Pak Gondo tepuk bahu Serda Sujiwo lalu berbisik. "Terus saja Dik Jiwo, teruskan ceritanya."
Serda Sujiwo, juga Boma, memandang pada Pak Gondo, memperhatikan Ki Tunggul Sekati lalu kembali berpaling pada Pak Gondo. Orang tua berkacamata ini anggukkan kepala, kembali berkata agar Serda Sujiwo meneruskan ceritanya. Dengan berbisik Pak Gondo berucap. "Beliau tidak tidur, beliau mendengar semua yang Dik Gondo ucapkan."
Setelah memperhatikan wajah Ki Tunggul Sekati sesaat, Serda Sujiwo kembali meneruskan ceritanya. Pada akhir cerita dia minta agar Ki Tunggul Sekati bersedia menolong membebaskan anak perempuan yang terkurung di dalam Stupa. Paling tidak memberi petunjuk apa yang harus mereka lakukan. Begitu Serda Sujiwo selesai bercerita, sepasang mata Ki Tunggul Sekati perlahan-lahan terbuka. Orang tua ini mengusap wajahnya yang kelihatan lebih jernih dan lebih segar. Blangkon di atas kepalanya dirapikan.
"Siapa nama anak perempuan yang ada dalam Stupa?" Tiba-tiba Ki Tunggul Sekati ajukan pertanyaan.
"Dwita. Dwita Tifani." Boma yang menjawab. Dua mata si kakek menatap ke arah Boma. Ketika Boma balas menatap, sepasang matanya terasa bergetar.
"Anak sendiri namanya siapa?"
"Saya Boma. Boma Tri Sumitro."
Ki Tunggul Sekati mengangguk-angguk sambil menyebut nama Boma beberapa kali.
"Stupa, tempat anak perempuan itu dikurung, Stupa apa? Arca apa yang ada di dalamnya?" Ki Tunggul Sekati bertanya lagi. Serda Sujiwo tidak ingat, tidak begitu jelas Stupa atau Arca yang ada dalam Stupa di mana Dwita disekap Pangeran Matahari. Dia memandang pada Boma.
"Dik Boma tahu? Ingat?" tanya Serda Sujiwo.
"Kalau saya tidak salah, arca dalam Stupa itu adalah Arca Amoghasidi."
"Pasti?" tanya Ki Tunggul Sekati. Boma menowel hidungnya.
"Pasti."
"Kalau memang anak itu berada dalam Stupa Amoghasidi, berarti tidak ada yang dikawatirkan. Dia pasti bisa diselamatkan."
"Bagaimana caranya Kek? Kakek sendiri yang nolong?" tanya Boma.
"Setiap Arca Amoghasidi mengambil sikap duduk dengan tangan kiri diletakkan di atas pangkuan, tangan kanan dikembangkan, telapak terbuka menghadap ke depan. Ini adalah sikap Abhayamudra yang berarti jangan takut, jangan gentar."
Boma diam-diam merasa kesal. Pertanyaannya tidak dijawab. Anak ini lantas keluarkan ucapan.
"Berarti Arca itu yang akan menolong membebaskan kawan saya?"
Ki Tunggul Sekati tertawa. Tangan kirinya diulurkan. Boma kaget. Jarak antara dia duduk dan si kakek cukup jauh, yang jelas lebih dari satu jangkauan tangan. Apa lagi dengan keadaan tubuhnya yang cebol begitu, jarak antara dirinya dengan si kakek jadi tambah jauh. Namun anehnya tangan kiri Ki Tunggul Sekati mampu memegang kepala Boma dan mengusapnya beberapa kali. Seperti tadi ketika mencium tangan orang tua itu, saat itu Boma merasa ada hawa aneh keluar dari tangan Ki Tunggul Sekati mengalir masuk ke dalam kepalanya. Boma melihat bagian dalam Masjid Besar yang tadinya agak redup karena memang kurang penerangan kini seperti terang benderang.
"Anak, Arca itu hanya benda mati. Terbuat dari batu. Tidak bernafas, tidak bisa bergerak. Berarti tidak bisa menolong. Namun jika Yang Maha Kuasa mau berbuat sesuatu, apa saja bisa dilakukanNya."
“Lalu bagaimana dengan teman saya Kek?" Boma masih belum jelas bagaimana caranya orang tua itu menolong Dwita keluar dari dalam Stupa.
"Benar, Ki Tunggul," ikut berucap Serda Sujiwo. "Mungkin Ki Tunggul tahu bagaimana caranya."
"Saya tidak tahu caranya. Saya tidak punya kepandaian apa-apa."
Boma seperti dihenyakkan ke lantai mesjid mendengar kata-kata orang tua itu. Serda Sujiwo terdiam. Pak Gondo juga diam tapi tampak tenang.
"Sialan," Boma memaki dalam hati. "Ahli percandian itu jangan-jangan asal sebut saja. Menyuruh menemui kakek cebol ini. Padahal dia tidak bisa berbuat apa-apa! Ngabisin waktu aja! Buat apa lama-lama di sini?!" Boma berpaling pada Serda Sujiwo, maksudnya mau memberi tanda agar mereka segera saja meninggalkan tempat itu. Namun saat itu terdengar Ki Tunggul Sekati berkata.
"Anak Boma, ulurkan tangan kirimu."
Boma melakukan apa yang dikatakan Ki Tunggul Sekati. Orang tua ini perhatikan telapak tangan Boma. Matanya sesaat membesar lalu kepala diangkat menatap anak lelaki di hadapannya itu. Ki Tunggul Sekati mendongak, pejamkan mata. Mulutnya berucap.
"Ganti, ulurkan tangan kanan."
Boma ulurkan tangan kanannya. Si orang tua masih terus mendongak, tidak melihat atau memperhatikan telapak tangan Boma. Tapi ujung jari-jari tangannya diusapkan pulang balik di atas permukaan telapak tangan hingga anak ini tersentak-sentak dan hendak menarik tangannya.
"Kenapa?" tanya Ki Tunggul Sekati.
"Geli Kek," jawab Boma.
Orang tua itu tertawa.
"Kalau anak perempuan cantik yang mengusap telapak tanganmu, apa kau juga merasa geli? Ha ...ha...ha." Orang tua ini pandai juga bergurau rupanya. Kepalanya yang sejak tadi mendongak diturunkan. Telapak tangan kanannya ditempelkan ke telapak tangan kanan Boma lalu berkata." Den Bagus, ada yang ingin kenal denganmu."
"Ingin kenal dengan saya? Siapa Kek?" tanya Boma.
"Saya tidak mau mendahului aturan. Nanti kau tahu sendiri..."
"Kek, kami datang kesini mau minta tolong. Menyelamatkan teman saya...."
"Saya tahu....Saya tahu." Jawab Ki Tunggul Sekati. "Di luar sana, ada dua orang perempuan. Masih muda-muda. Seperti kakak adik dan cantik-cantik. Mereka datang bersamamu. Siapa mereka?"'
Boma terkejut mendengar pertanyaan Ki Tunggul Sekati. Orang tua ini sejak mereka datangi berada dalam bangunan Masjid Besar. Bagaimana dia bisa tahu kalau di luar sana ada Ibu Renata dan Trini.
"Yang di luar itu Ibu Renata, Guru Bahasa lnggris. Sama kawan saya satu sekolah, Trini."
Ki Tunggul Sekati tersenyum, kedipkan matanya. "Anak Boma ulurkan tangan kananmu."
"Mau diapain lagi?" pikir Boma. Tapi dia menurut juga. Tangan kanannya diulurkan. Begitu Boma mengulurkan tangan kanan, Ki Tunggul Sekati ulurkan pula tangan kanannya. Sebuah benda bulat dan hangat diletakkannya di atas telapak tangan Boma.
"Pegang baik-baik, jangan sampai jatuh. Jangan sampai pecah."
Kata si orang tua bertubuh cebol itu lalu menarik tangannya kembali. Boma perhatikan benda di atas telapak tangannya. Ternyata sebutir telur ayam. Dengan tangan kirinya Boma menowel hidungnya. Anak ini heran, bingung. Mungkin juga tidak percaya. Telur didekatkan ke depan matanya untuk memastikan itu memang telur betulan. Tadi waktu Ki Tunggul Sekati menggerakkan tangan kanannya, jelas Boma melihat tangan itu kosong. Lalu bagaimana tahu-tahu Ki Tunggul Sekati bisa menaruhkan sebutir telur ayam di telapak tangannya? Dari mana telur itu datangnya? Untuk apa? Mau digoreng, atau direbus? Boma menowel hidungnya sekali lagi. Mendadak dia ingat. Ada ilmu aneh. Seseorang bisa membuat lenyap atau memindahkan "telur" orang lain dari tempat semula ke mana saja dia suka. Termasuk menempelkannya di jidat. Boma susupkan tangan kirinya ke bawah perut. Meraba-raba. Ki Tunggul Sekati tertawa mengekeh.
"Masih lengkap dua-duanya?" tanya orang tua ini. Wajah Boma bersemu merah. Ki Tunggul Seka kembali terkekeh.
***
TUJUH
NENEK BUNGKUK DI BAWAH POHON BERINGIN
ANAK Boma, dengar baik-baik. Telur ayam itu harus selalu kau pegang di tangan kanan. Jangan dimasukkan dalam saku, jangan dipindah ke tangan kiri. Kau dan Dimas Sujiwo masuk ke dalam Keraton, harus keluar menempuh jalan yang sama. Keluar dari pintu gerbang, membelok ke kanan. Ikuti tembok Keraton. Pada belokan pertama ke kanan, kalian akan berpapasan dengan seseorang. Boma, kau harus memberikan telur ayam itu pada orang yang kau temui itu. Jika dia memberikan sesuatu padamu, ambil dengan tangan kiri. Benda itu harus kau bawa ke Candi Borobudur. Letakkan di dalam salah satu lobang sebelah bawah Stupa dimana anak perempuan temanmu terkurung. Pada pertengahan malam, tepatnya jam dua belas sesuatu akan terjadi. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih Maha Penyayang akan menolong sahabatmu itu."
Boma sesaat terdiam.
"Ada yang hendak kau tanyakan?"
"Orang di tikungan tembok Keraton itu, Kek. Bagaimana ciri-cirinya? Lelaki atau perempuan. Masih muda atau sudah tua?"
Ki Tunggul Sekati tersenyum.
"Kau akan menemuinya. Kau tak bakal kesalahan." Boma perhatikan telur ayam di tangan kanannya "Pergilah sekarang. Cepat kembali ke Candi. Orang-orang disana menunggumu penuh cemas. Dik Gondo, antarkan mereka sampai di pintu keluar."
Pak Gondo lelaki tua berkaca mata dan mengenakan jas putih membungkuk. Serda Sujiwo juga membungkuk dan mengucapkan terima kasih lalu bangkit berdiri. Boma juga mengucapkan, terima kasih. Anak ini bermaksud menyalami Ki Tunggul Sekati tapi karena tangan kanannya memegang telur maka dia ulurkan tangan kiri menarik tangan kanan si kakek lalu menciumnya.
"Terima kasih Kek."
"Anak baik, pergilah."
Boma mengucapkan terima kasih sekali lagi. Baru beberapa langkah berjalan, masih di dalam Masjid Besar itu, di belakang sana terdengar kembali suara Ki Tunggul Sekati mengaji melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. Tak selang berapa lama satu suara halus mengiang di telinga kiri Ki Tunggul Sekati.
"Aki Cebol sahabatku, kau tahu aku tidak mungkin masuk ke dalam Masjid Besar. Kalau sudah selesai dengan ibadahmu, aku tunggu kau di bawah pohon beringin di seberang Bangsal Kemagangan...."
Ki Tunggul Sekati angguk-anggukkan kepala tapi terus saja mengaji. Tak lama kemudian baru orang tua ini hentikan kajiannya. Dia merapikan pakaian dan blangkonnya lalu bangkit berdiri, melangkah perlahan sampai di langkan mesjid. Di sini keadaan agak gelap. Ki Tunggul Sekati turun dari langkan. Tapi dua kakinya seperti tidak menginjak tanah. Sekali tubuhnya berkelebat maka diapun lenyap di dalam bayang-bayang gelap bangunan di sekitarnya.
***
KI TUNGGUL Sekati sampai di depan pohon beringin besar. Di bawah pohon keadaannya gelap sekali. Tapi sepasang mata hitam berkilat dan tajam orang tua bertubuh cebol itu dapat melihat satu sosok bungkuk berdiri di bawah pohon raksasa itu bertopang pada sebuah tongkat.
"Sinto.... Ternyata kau masih tidak berubah,” Ki Tunggul Sekati menyapa orang di bawah pohon. Yang disapa keluarkan tawa cekikikan. Lalu menjawab. Dari suaranya ternyata dia seorang perempuan tua. Mungkin tak kalah tua dari Ki Tunggul Sekati. .
"Aku tahu maksudmu. Dalam gelap kau pasti tidak bisa melihat wajahku. Tapi dari jauh kauu bisa mencium bau pesing pakaianku.
Bukan begitu? Hik..hik...hik!"
Ki Tunggul Sekati ikutan tertawa. Dia berhenti lima langkah dari hadapan orang bungkuk bertongkat.
"Ki Tunggul sahabatku, aku tahu kau orang yang lebih banyak mempergunakan waktu untuk ibadah pada Gusti Allah. Karenanya aku tak mau berlama-lama mengganggumu. Aku hanya ingin tahu. Apakah anak gendeng itu sudah menemuimu?
"Maksudmu anak lelaki jangkung bernama Boma Tri Sumitro?"
"Betul."
"Yang telapak tangan kirinya ada garis bersilang membentuk kali?"
"Benar."
"Ketika aku memperhatikan telapak kiri anak itu, aku melihat ada kilasan cahaya putih kebiruan. Apakah kau telah memberikan hawa sakti kepadanya, Sinto?"
"Ya, dugaanmu tidak salah."
"Hawa sakti itu bukan hawa sembarangan. Kalau dipergunakan keliru bisa membunuh orang lain. Apa lagi kalau dipakai untuk hal-hal yang tidak benar. Bisa menimbulkan malapetaka."
"Aku mengerti maksud ucapanmu, Ki Tunggul. Aku tidak bertindak sembarangan. Sebelumnya aku telah lebih dulu menyelidik dan mengawasi anak itu selama lima tahun sebelum menyalurkan hawa murni itu ke dalam tubuhnya."
"Aku percaya padamu. Aku sudah bertemu anak itu. Walau hanya sebentar tapi memang kelihatannya dia anak baik. Tapi kenapa kau memberikan hawa murni itu padanya?"
"Sahabatku, harap maafkan. Saat ini aku tidak bisa memberitahu padamu. Bukan aku tidak percaya, tapi aku tidak ingin menambahkan beban pikiran padamu. Lagi pula kita hidup di dalam alam yang berbeda. Apa yang kau pikir, kau lihat dan kau kerjakan berbeda dengan apa yang aku pikir, aku lihat dan aku kerjakan. Tapi aku ingin meyakinkan satu hal padamu. Apa yang aku dan teman-teman kerjakan adalah untuk kebaikan bagi banyak orang."
"Teman-teman? Jadi kau tidak bekerja sendirian Sinto?" tanya Ki Tunggul Sekati.
Si nenek sakti dari puncak Gunung Gede tertawa perlahan.
"Sinto Gendeng itu bisanya apa? Mana bisa aku berbuat banyak tanpa bantuan para sahabat orang-orang pandai termasuk muridku Anak Setan bernama Wiro Sableng itu. Lagi pula, yang namanya kejahatan itu punya seribu muka, punya seribu kaki tangan. Kalau dihadapi seorang diri siapa yang mampu? Kejahatan harus ditumpas secara bersama-sama, harus tegas dan tuntas. Kalau tidak kejahatan itu sendiri yang akan menggusur kita."
Ki Tunggul Sekati manggut-manggut. "Kau bilang aku ini orang yang banyak menghabiskan waktu untuk ibadah. Tapi satu kali aku pernah menonton cerita di televisi..."
"Binatang apa itu? Aku orak ngerti."
Ki Tunggul Sekati tersenyum. "Televisi bukan binatang, Sinto.
Tapi kotak yang ada layar kacanya. Di layar itu bisa keluar segala macam gambar..."
"Ooo... aku kira itu semacam pertunjukan panggung wayang wong Hik...hik...hik. Sahabatku, cerita apa yang kau tonton di televisi itu."
"Cerita tentang orang-orang dari alam yang berlainan. Mereka masuk ke bumi untuk menumpas arang-orang jahat. Kata orang ceritanya berseri. Namanya X Files."
"Wah, keren sekali. Bahasa apa itu?" tanya Sinto Gendeng sambil senyum-senyum.
Ki Tunggul Sekati juga tersenyum.
"Sinto, kembali pada anak bernama Boma itu. Mengapa kau menyebut anak itu anak gendeng?"
Si nenek menyengir.
"Sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Aku cuma senang saja dengan bahasa-bahasa seperti itu. Gendeng, sableng..."
"Hemm, apa kabar muridmu yang kau panggil Wiro Sableng itu?"
"Dia baik-baik saja. Dia kuminta berada di sekitar sini, tolong memperhatikan anak-anak itu."
"Dia mau melakukan? Meninggalkan alamnya masuk ke alam sini?"
"Kenapa tidak? Anak-anak perempuan teman si Boma Gendeng itu banyak yang cantik-cantik. Anak Setan itu pasti ngiler. Hik..hik...hik!" Setelah tertawa panjang orang di bawah gelapnya bayangan pohon beringin raksasa yang bukan lain Sinto Gendeng adanya meneruskan ucapannya. "Ki Tunggul, pertemuanmu dengan Boma, apakah membawa kemungkinan untuk menolong anak perempuan yang dikurung dalam Stupa itu?"
"Aku menolong sebisaku. Semua keputusan berada di tangan Yang Maha Kuasa. Aku telah memberikan bekal pada anak itu. Tetapi sesuatu tak akan terjadi kalau kau tidak ikut turun tangan membantu. Sebelum tengah malam kau harus sudah berada di Candi. Mudah-mudahan tepat tengah malam nanti segala malapetaka akan musnah. Anak perempuan itu akan tertolong..."
"Aku sangat berterima kasih padamu sahabatku."
"Sinto, aku menaruh firasat. Mungkin akan ada kejadian susulan yang membuat diriku dan dirimu tidak bisa tenteram. Jadi selama anak-anak itu berada di sini, harap kau mau berjaga-jaga..."
"Sekali lagi aku berterima kasih atas petunjukmu. Aku mohon diri sekarang. Selamat tinggal Ki Tunggul Sekati."
"Tunggu. Aku punya satu permintaan."
"Apa?"
"Kalau apa yang kita lakukan tidak bisa menolong anak itu keluar dari dalam Stupa, jangan kau mengambil keputusan gila. Menghancurkan Stupa itu."
Sinto Gendeng menyeringai.
"Aku tidak bisa berjanji apa-apa Ki Tunggul. Tapi aku sangat memperhatikan ucapanmu itu."
"Satu lagi. Perhatikan baik-baik anak bernama Boma itu."
"Aahhhh...." Sinto Gendeng tersenyum. "Berarti apa yang aku pikir dan aku lihat, sekali ini sama dengan apa yang kau pikir dan kau lihat. Jangan kawatir sahabatku. Anak itu akan aku perhatikan baik-baik." Nenek ini lalu melintangkan tongkat kayunya di atas dada lalu membungkuk memberi penghormatan.
"Sinto, kau tidak usah menghormat membungkuk padaku. Dari tadi kau sudah berdiri membungkuk terbungkuk-bungkuk. Ha ...ha...ha!"
Gema tawa Ki Tunggul masih terdengar di sekitar pohon beringin raksasa tapi orangnya sendiri sudah lenyap dari tempat itu.
***
DELAPAN
TELUR DITUKAR TELUR
KELUAR dari pintu gerbang Keraton, berjalan menyusuri trotoar di sepanjang tembok Keraton, Ibu Renata dan Trini yang sejak tadi diam saja tidak dapat menahan diri untuk bertanya. Angin bertiup kencang. Udara terasa dingin dan keadaan di jalan agak sepi. Sebuah andong kosong, lewat. Serda Sujiwo menggelengkan kepala ketika kusir andong menawarkan untuk naik.
“Bom, kamu ketemu sama orang bernama Ki Tunggul Sekati itu?" tanya Trini.
Boma mengangguk. "Orangnya udah tua. Kate, cebol."
"Dia bisa menolong mengeluarkan Dwita dari dalam Stupa?" tanya Ibu Renata. "Belum tau, Bu."
"Lho, kok belum tau?" ujar Trini. Dia melirik ke arah tangan kanan Boma yang sejak tadi dilihatnya selalu dalam keadaan tergenggam. Boma diam saja.
"Kita harus mencari taksi. Kita harus segera kembali ke Candi. Kasihan Dwita ditinggal lama-lama." Kata Ibu Renata. Guru Bahasa Inggris ini juga tidak mengerti mengapa Boma berkata seperti itu. Jika kejadiannya seperti ini mengapa harus pergi jauh-jauh, menghabiskan waktu tanpa hasil yang jelas.
"Sebentar Bu, kita harus menernui seseorang," jawab Boma.
"Siapa?" tanya Guru Bahasa Inggris itu.
"Belum tau, Bu."
"Lagi-lagi belum tau! Kamu kok ngomongnya jadi aneh sih Bom?
Siapa yang mau kita temuin? Orang macam Ki Tunggul Sekati lagi?
Lalu nemuinnya dimana?"
"Tenang aja Rin. Sebentar lagi bakal ketauan," kata Boma pula. Memandang ke depan, hanya beberapa meter lagi mereka akan sampai di tikungan pertama tembok Keraton. Tempat itu agak redup karena kurang penerangan. Boma merasa tegang. Soalnya dia juga tidak tahu mau bertemu dengan siapa. Orang tua cebol di dalam mesjid itu tidak memberi tahu. Serda Sujiwo melangkah dengan perasaan tercekat. Seumur hidup jadi Polisi baru sekali ini dia menghadapi urusan begini rupa. Lebih menegangkan dari mengejar seorang buronan perampok atau pembunuh. Seperti Trini, Ibu Renata juga memperhatikan tangan kanan Boma. Dia ingin tahu apa yang sejak tadi digenggam anak ini. Tikungan tembok Keraton hanya tinggal beberapa langkah. Keempat orang yang melangkah ke arah tikungan jalan itu mendengar suara sesuatu. Suara berkerincing. Lalu seperti ada orang bernyanyi menggumam. Dari balik tikungan tembok tiba-tiba muncul seorang lelaki memakai jas lurik dan kain panjang, bersepatu sandal dan sebuah blangkon yang agak kebesaran. Orang ini memiliki tompel besar di pipi kanannya. Demikian cepatnya dia berjalan hingga hampir menabrak Boma dan Serda Sujiwo. Tampangnya seperti meringis. Matanya dipelototkan pada Boma. Dari mulutnya terdengar suara menggerutu. Orang ini melirik pada Ibu Renata dan Trini lalu melangkah pergi lebih cepat.
"Dik Boma, mungkin dia orangnya yang dikatakan Ki Tunggul Sekati." Bisik Serda Sujiwo. Boma berpendapat sama. Lalu berbalik mengejar orang itu. Merasa dikejar, lelaki berblangkon kebesaran ini mempercepat jalannya, malah kini setengah berlari.
"Pak, Pak! Tunggu!" seru Boma lalu lari rnengejar. Orang tadi tidak berhenti. Sambil terus berjalan cepat dia bertanya pada Boma.
"Situ mau apa?"
Boma buka tangannya yang menggenggam. Memperlihatkan telur ayam. Orang itu melangkah terus tapi delikkan matanya besar-besar.
"Situ maunya apa, toh?!"
"Saya dipesan harus memberikan telor ini pada Bapak."
“Wong aneh! Sopo yang nyuruh situ. Lha, telurnya buat apa sama aku? Ada-ada saja! Saya ini sedang sakit perut! Mules! Mau buru-buru pulang buang air besar! Situ malah mengganggu!" Habis berkata begitu setengah berlari, sambil menyingsingkan kainnya dengan cepat lelaki itu tinggalkan Boma. Boma hentikan langkahnya.
"Sial!" Anak ini memaki dalam hati, lalu menowel hidungnya dengan tangan kiri. Saat itu Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini telah berada di dekat Boma.
"Bagaimana?" tanya Serda Sujiwo.
"Sial Pak!" sahut Boma.
"Sial gimana? Kok dia seperti ketakutan waktu Dik Boma memperlihatkan telur ayam."
"Bukan ketakutan. Tapi buru-buru mau pulang. Katanya perutnya mules. Mau berak! Ayo Pak, kita balik. Bukan dia orangnya!"
Dalam keadaan tidak mengerti dan tidak bisa berkata apa-apa, Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini melangkah mengikuti Boma ke arah semula, menuju tikungan tembok Keraton. Saat itulah dari balik tikungan muncul seorang berpenampilan serba aneh. Sosoknya adalah seorang kakek berambut tegak berdiri berwarna pirang, mengenakan jaket jins pendek, tangan buntung. Karena jaket jins ini tidak dikancing maka dada dan sebagian barisan tulang-tulang iga si kakek terlihat jelas. Di lehernya tergantung sebuah harmonika. Di sebelah bawah kakek ini mengenakan celan jins yang dua lututnya sengaja dirobek berlobang, gaya kawula muda masa kini. Celana ini agak kebesaran pinggangnya hingga merosot hampir ke pinggul, memperlihatkan pusar si kakek yang ternyata dicanteli sebuah giwang!
Pada sabuk besar yang melingkar di pinggang blujins tergantung sebuah rebana dan gendang kecil kerincingan rebana ini mengeluarkan suara pada setiap langkah yang dibuatnya. Di balik punggungnya tersembul gagang sebuah payung kertas. Gaya kakek ini membawa payung itu seperti seorang samurai membawa pedang katana. Pada daun telinga kirinya tersemat sebuah subang bermata zirkon. Sambil berjalan santai mulut kakek ini menggumamkan satu nyanyian. Walau cuma bergumam Boma tahu dan pernah mendengar nyanyian itu. Kopi Dangdut. Serda Sujiwo berbisik.
"Dik Boma, jangan-jangan ini orangnya."
"Masa 'iyya Pak? Kok begini banget? Pengamen atau orgil." Ucap Boma. Anak ini hentikan langkah. Tangan kanannya yang menggenggam telur ayam kampung mendadak terasa bergetar dan tengkuknya menjadi dingin. Kakek tua berpenampilan aneh melangkah terus, celangak celinguk, seolah tidak melihat kehadiran ke empat orang yang ada di depannya.
"Kek!" Tiba-tiba Boma menegur.
"Eh copot bijiku! Eh copot nyawaku!" Dalam kejutnya kakek yang rambutnya pirang berjingkrak ini ambil rebana, dipukul satu kali lalu digoyang tiga kali. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Beberapa giginya yang masih utuh ditempeli kertas timah rokok hingga tampangnya kelihatan seram-seram aneh tapi juga lucu.
"Bom," kata Trini sambil menarik lengan kiri Boma. "Orang gila kamu ladeni. Ayo!"
"Dia bukan orang gila Rin."
"Apaan! Kamu nggak liat dandanannya? Rambut coklat pirang disemprot Pylox. Puser dicantel anting-anting. Gigi ditempelin kertas rokok. Pantat ngelayap kemana-mana..."
"Tenang Rin, sabar..." kata Boma.
"Ahoi!" Kakek aneh berseru. "Ada cowok dan cewek kece. Eh, kalian berdua dengar. Kalau aku nyanyi Kopi Dangdut kalian berdua mau joget?"
"Bom!" Trini kembali menarik tangan Boma. Dalam keraguannya Boma memandang pada Serda Sujiwo. Polisi ini berbisik. "Coba saja. Kita lihat reaksinya."
Boma lalu ulurkan tangan kanan, membuka genggaman jari-jarinya, memperlihatkan telur ayam kampung pada kakek aneh. Sepasang mata si kakek membesar lalu mulutnya menyeringai.
"Telur ayam kampung! Kalau pagi hari dibuang putihnya ditelan kuningnya, pasti tubuh akan segar sehat! Telur itu buat aku?" Si kakek bertanya sambil dekatkan mukanya ke tangan Boma. Boma mengangguk.
"Ambil Kek, memang buat Kakek."
"Ma aci, ma aci..." Kakek itu lalu ulurkan tangan kanan mengambil telur di atas telapak tangan kanan Boma. Telur ayam itu ditimang-timangnya beberapa kali sambil mulutnya berucap. "Budi dibalas budi. Telur dibalas telur!"
Si kakek hentikan menimang-nimang telur ayam. Tangan kirinya disusupkan ke balik celana jins yang gombrong. Ketika tangan kiri itu dikeluarkan kembali, di tangan itu ada sebuah telur ayam. Sambil tertawa terkekeh telur ini digosok-gosokkannya pada telur yang diterimanya dari Boma.
"Kau memberi telur, aku membalas dengan telur!" Sambil berkata begitu si kakek ulurkan tangan kirinya. Boma ingat ucapan kakek cebol di Masjid Besar. "Boma, kau harus memberikan telur ayam itu pada orang yang kau temui itu. Jika dia memberikan sesuatu padamu, ambil dengan tangan kiri. Benda itu harus kau bawa ke Candi Borobudur. Letakkan di dalam salah satu lobang sebelah bawah Stupa...."
Boma tidak segera mengambil telur itu tapi memperhatikan beberapa ketika.
"Ayo, ambil. Kenapa? Mungkin kau mengira ini bukan telur sungguhan. Tapi perabotanku yang dipoles mengkilap seperti telur. Ha ...ha...ha! Atau mungkin kau jijik karena melihat telur ini aku ambil dari bilik celanaku! Ha ...ha...ha!"
Boma akhirnya ulurkan tangan kirinya, menerima telur yang diberikan si kakek.
"Telurnya masih hangat 'kan?" kata si kakek pula. Boma hanya bisa tersenyum.
"Cah bagus, kita berpisah di sini. Kalau nanti kau punya telur lagi jangan lupa berikan padaku." Boma mengangguk.
"Tapi kami mencari Kakek dimana?" Tiba-tiba Trini ajukan pertanyaan.
"Ah, ada gadis cantik bertanya. Masakan aku tidak menjawab. Aku kakek pengamen. Cari aku di Tenda Biru Candi Mendut."
"Tenda Biru?"
Si kakek angguk-anggukkan kepalanya. Mata dikedip-kedipkan. Tangan kirinya mengambil harmonika. Lalu sambil tertawa-tawa dia melangkah pergi. Tak lama kemudian di kejauhan terdengar alunan suara harmonika. Lagunya Tenda Biru. Si kakek meniup harmonika itu sambil berjalan. Pinggul digoyang-goyang, pantat diogel-ogel. Jauh dari Keraton si kakek masih terus meniup harmonikanya. Orang yang dilewati memperhatikannya tersenyum-senyum. Di satu jalan yang gelap dan agak sepi suara tiupan harmonika kakek ini berubah perlahan. Sudut matanya beberapa kali mengerling ke belakang. Ada sebuah beca mengikutinya sejak tadi. Beca itu kosong tidak berpenumpang. Di depan sebuah toko yang lampunya cukup terang si kakek menoleh. Suara harmonikanya mendadak sontak berhenti. Dia tidak pernah tahu atau pernah mendengar kalau di Jogja ada pengemudi beca seorang perempuan. Apa lagi seorang nenek!
Beca yang mengikuti terus meluncur. Tapi nenek pengemudinya sudah melesat ke udara. Waktu beca itu membentur sebuah pilar besi di pinggir jalan, nenek pengemudi telah berkelebat dan tegak berkacak pinggang di depan si kakek. Kepala didongakkan mulut mengumbar tawa bergelak.
"Tua bangka edan! Minum di tempat lain maboknya di hadapanku!" Maki Kakek berambut pirang coklat disemprot Pylox.
***
SEMBILAN
KUNTI API MENCARI TELUR
NENEK berwajah setan, bermantel biru dengan rambut merah riap-riapan tertawa bergelak. Kakek berambut pirang coklat mencibir. "Kau mabok, aku juga bisa mabok! Kau edan, aku juga bisa edan! Apa sulitnya tertawa barengan! Ha ...ha...ha!" Kakek itu lalu ikutan tertawa gelak-gelak. Malah karena dia menggunakan tenaga dalam suara tawanya lebih santar dan menindih suara tawa si nenek bertampang angker. Tiba-tiba selintas ingatan muncul di benak si kakek. Saat itu juga dia hentikan tawanya. Sepasang matanya memandang si nenek bermantel biru. Otak diputar, hati membatin.
"Ciri-ciri nenek satu ini lain dengan yang dikatakan adikku Labudung. Di kepalanya tidak ada tusuk konde perak. Tubuh dan pakaiannya tidak bau pesing. Berarti bukan dia. Tapi siapa tahu sekarang dandanannya sudah berubah. Di Jakarta lain di Jogja lain. Kukunya saja aku lihat dicat merah. Agar tidak kesalahan, lebih baik aku tanyakan."
"Nenek berambut merah! Berhenti dulu tertawa. Aku mau tanya."
Kakek berambut pirang berteriak. Lalu dia ambil rebana di pinggang dan digoyang tiga kali.
"Hek!" Nenek berambut merah keluarkan suara tercekik lalu batuk-batuk. Matanya membeliak. Si kakek baru menyadari kalau sepasang mata nenek ini juga berwarna merah laksana bara api.
"Makhluk jelek yang rambutnya dicat! Kowe mau tanya apa?!"
"Apa kau nenek beken yang dikenal dengan nama Sinto Gendeng?!"
Sepasang mata merah si nenek keluarkan cahaya berkilat. Rambutnya yang merah awut-awutan seperti mumbul ke atas.
"Katakan dulu apa hubunganmu dengan nenek bau itu!"
"Aku tidak punya hubungan apa-apa!"
"Lalu mengapa kau mencari dirinya?!"
"Ada pesan yang harus aku sampaikan padanya."
"Pesan apa?"
"Ah, kau mau tahu saja. Pokoknya tak ada sangkut pautnya dengan dirimu jika kau memang bukan Sinto Gendeng."
"Makhluk aneh yang kupingnya dipasangi giwang! Aku bukan Sinto Gendeng! Nenek butut itu mana mampu punya mantel bagus seperti aku! Hik...hik...hik."
"Lalu, kau ini siapa?"
"Aku Kunti Api! Nenek moyang semua orang pandai yang mengandalkan kesaktiannya pada kekuatan api!"
"Hebat sekali! Aku kagum. Eh, apakah kau tidak hendak menanyakan diriku ini siapa?"
Kunti Api yang adalah guru Si Muka Bangkai tertawa terbahak-bahak. "Perlu apa aku mau tahu siapa dirimu. Yang jelas aku sudah melihat tampang dan dandananmu. Kau makhluk tidak berguna!
Tapi dengar, aku ada satu kepentingan denganmu..."
"Aahhhh, ini baru berita gembira. Nenek berambut merah, katakan apa kepentinganmu. Mudah-mudahan aku bisa membantu!"
"Tentu, pasti kau bisa membantu. Karena kau memiliki apa yang aku akan minta."
"Apakah itu? Apakah kau meminta diriku untuk....Ha...ha...ha." Si kakek tidak teruskan ucapannya karena keburu tertawa terpingkal-pingkal. Lalu dia menunjuk pada sebuah kios kosong dan gelap di seberang jalan. "Tempat itu cukup bagus untuk kita duduk berdua bercumbu rayu."
"Setan alas! Cuaahhh!" Kunti Api meludah ke tanah. "Siapa sudi bercumbu dengan makhluk calon bangkai sepertimu!"
"Ah, perempuan memang seharusnya begitu. Walau ingin tapi tidak pernah bilang mau secara terus-terang."
Kunti Api meludah sekali lagi.
"Pasang telingamu! Dengar! Aku menemuimu untuk minta kau punya nyawa!"
Si kakek terkejut sampai mulutnya ternganga dan matanya membeliak, memandang si nenek tak berkedip. Rebana ditangannya digoyang-goyang.
"Kau... kau bicara sungguhan?"
"Siapa berdusta! Tapi kalau kau mau memberikan sebuah benda padaku, mungkin aku akan membatalkan niat meminta nyawamu."
"Aahhh....Kau seorang nenek bijaksana. Aku suka padamu!"
"Makhluk jelek! Jangan kau berani mengulang kata-kata itu!
Akan kujembreng keluar lidahmu!"
"Kalau aku tidak boleh suka padamu tidak apa-apa. Sekarang katakan saja benda apa yang ingin kau minta dariku."
"Malam Jum'at beberapa hari lalu kau kedatangan seorang tamu misterius. Tamu itu memberikan sebuah telur ayam padamu. Nah, telur ayam inilah yang harus kau serahkan padaku!"
Kejut si kakek bukan alang kepalang. Tapi dia bisa menutupi rasa terkejutnya itu dengan tertawa lebar.
"Perempuan suka bicara malu-malu. Pandai berucap yang tersirat untuk menutupi yang tersurat. Meminta surat padahal sebenarnya maunya urat! Ha ...ha...ha! Nek, bilang terus terang. Kau sungguhan minta telur ayam itu atau telurku yang lain?! Ha ...ha...ha!"
Wajah angker si nenek merah membesi. Matanya pancarkan kilatan kemarahan. Dia gerakkan tangan kanannya. Suara tawa bergelak si kakek serta merta lenyap ketika dia melihat dari ujung jari si nenek mencuat lima larik cahaya merah.
"Wussss!"
Si kakek berseru keras, goyangkan rebananya lalu melesat ke atas.
"Desss!"
Satu lobang besar mengepulkan asap merah menganga di trotoar jalan.
"Makhluk jelek! Kau sudah menyaksikan! Batu bisa kubuat ludas. Apa lagi tubuhmu yang hanya terbuat dari tulang dan daging..."
"Tambah sedikit kentut!" jawab si kakek yang walau mukanya pucat tapi masih bisa bergurau.
"Kau memang minta mampus!"
Kunti Api angkat lagi tangan kanannya.
"Tunggu! Kalau kau memang inginkan telur, aku akan berikan. Asal kau jangan apa-apakan diriku!"
"Lekas serahkan!"
Si kakek buru-buru memasukkan tangannya ke dalam celana blujins yang gombrong. Tangan ini mengorek-ngorek kian kemari.
"Jahanam! Jangan berani mempermainkan! Kau mau memberikan telur apa?!"
"Walah! Tadi kau minta agar aku menyerahkan telur. Telur yang kau minta memang aku simpan di bawah sini. Di tempat yang hangat, terlindung dan bebas polusi..."
"Setan alas! Jangan bergurau! Mana telur itu!"
"Ada...ada. Tunggu. Nah, ini dia!"
Tangan di dalam celana keluar memegang sebuah telur.
"Ini telur yang kau minta. Ambillah. Kau mungkin lebih membutuhkan dari pada aku."
Dari balik mantel birunya Kunti Api keluarkan sehelai sapu tangan. Lalu dengan sapu tangan itu dia mengambil lelur yang disodorkan si kakek.
"Tua bangka jelek. Untung otakmu cerdik. Kau bisa selamat dari kematian. Tapi jika kau memperdayai diriku maka kematianmu sedekat bayang-bayang tubuhmu sendiri! Ingat itu baik-baik..."
"Ah, aku kakek jelek ini mana berani memperdayai nenek cantik sepertimu. Sayang pertemuan kita cuma singkat. Kalau saja kita berdua bisa berlama-lama. Apa lagi kalau bisa duduk di kios itu. Kau pasti tidak kecewa. Kau pasti akan mengingat-ingat diriku...."
"Plaakkk!"
Satu tamparan keras melanda pipi si kakek hingga sudut bibirnya luka dan mengucurkan darah. Si kakek terperangah menahan sakit. Memandang ke depan Kunti Api tak ada lagi.
"Sial, galak sekali nenek satu itu. Sayang dia tidak mau diajak ke kios. Kalau dia bisa mengemudikan becak bisa kubayangkan tubuhnya pinggang ke bawah pasti keras kencang.
Sayang...sayang..." kata si kakek sambil usap-usap pipinya yang bengap dan seka darah yang membasahi mulut serta dagunya. "Si Nenek Guru sudah muncul. Berarti tidak lama lagi guru dan murid akan segera unjukkan tampang. Saudaraku Labudung, walau tingkat kepandaianku masih dibawah Pangeran jahanam itu, tapi doakan agar aku bisa membalas dendam sakit hati kematianmu!
Bagaimanapun aku akan mencari akal agar bisa membunuh dirinya. Kita berdua tidak akan tenteram sebelum Pangeran Matahari itu kita jadikan bangkai dan rohnya terpasang antara langit dan bumi!"
***
SEPULUH
MELACAK PENGAMEN TUA PAKAI ANTING DI PUSAR
RUMAH papan beratap seng itu terletak di pinggir daerah pesawahan tak jauh dari Desa Ngaran. Pemilik rumah sejak dua tahun belakangan tidak pernah lagi datang ke tempat itu. Keadaan rumah kotor dan debu menyelimut dimana-mana. Malam itu, rumah tersebut ternyata tidak dalam keadaan kosong. Dua orang duduk berhadap-hadapan di atas tebaran daun pisang. Sebuah lampu minyak menyala bergoyang-goyang akibat tiupan angin melalui celah menganga serta lobang pada dinding papan yang telah jebol.
Pemuda berpakaian serba hitam dengan kepala diikat kain merah menarik nafas dalam beberapa kali sambil memegang bagian bawah dada sebelah kanan. Dia adalah Pangeran Matahari, musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Bagaimana keadaanmu?" Orang tua bungkuk bermuka pucat yang duduk di hadapan pemuda berpakaian hitam yang dikenal dengan nama Si Muka Bangkai atau Si Muka Mayat bertanya.
"Setelah aku mengatur jalan darah, jalan pernafasan serta aliran hawa sakti hampir setengah harian, rasa sakitnya jauh berkurang..."
"Pangeran Matahari, Tulang Igamu yang pernah patah belum seutuhnya bertaut. Aku bisa menolong hingga cideramu sembuh lebih cepat. Tapi aneh, mengapa kau menolak aku tolong?"
Pangeran Matahari, pemuda berpakaian serba hitam menyeringai. Rahangnya menggembung, mulutnya terkancing. Dia tidak menjawab. Namun dalam hatinya ada suara berkata.
"Manusia licik pandai bermanis muka. Aku tahu hatimu sebenarnya culas terhadapku. Akalmu ada dalam kantongku. Apa kau kira aku bisa melupakan semua ucapanmu waktu di Lapo Tuak Tao Toba dulu?"
Seperti diungkapkan dalam Episode sebelumnya (Topan Di Borobudur) dalam usaha mereka membunuh Boma, Kunti Api, Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari pernah mengadakan pertemuan di sebuah Kedai Tuak. Sebelum Kunti Api datang antara Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari terjadi pertengkaran mulut cukup hebat. Sang guru mendamprat Pangeran Matahari habis-habisan karena sampai saat itu masih belum bisa membunuh Boma. Sang Pangeran sendiri kemudian menolak perintah gurunya membunuh Sinto Gendeng karena dia menganggap itu adalah tugas Si Muka Bangkai sendiri untuk melakukan hal tersebut. Saking marahnya ditentang sang murid, Si Muka Bangkai sampai memukul meja hingga empat kaki meja amblas setengah jengkal ke ubin lantai. Menghadapi kemarahan gurunya Pangeran Matahari tenang saja. Namun darahnya bergejolak, perasaannya seperti terbakar ketika dia mendengar apa yang kemudian diucapkan Si Muka Bangkai pada Eyang Kunti Api. Waktu itu Pangeran Matahari telah keluar dari Lapo Tuak. Tapi dia tidak terus pergi melainkan mencuri dengar percakapan gurunya dengan Kunti Api.
"Suro Ageng Kalamenggolo," Kunti Api memanggil Si Muka Bangkai dengan nama aslinya. "Mungkin karena Pangeran Matahari tahu kalau kau bukan gurunya sebenarnya, hanya saudara kembar Si Muka Bangkai yang asli. Maka dia kelihatan begitu keras kepala terhadapmu '' Si Muka Bangkai Menyeringai.
"Walaupun aku bukan gurunya yang asli tetapi aku sejuta layak dihormatinya sebagai guru. Aku tahu banyak tentang dirinya seperti aku mengenal dua telapak tanganku sendiri. Kalau dia berani macam-macam aku akan membuat hidupnya sengsara selama-lamanya..."
Si Muka Bangkai keluarkan ucapan seperti itu tanpa rnengetahui kalau saat itu sebenarnya, Pangeran Matahari sengaja menyelinap di balik kedai minuman. Sepasang mata sang Pangeran, keluarkan kilatan menggidikkan. Serangai setan bermain di mulutnya. "Kau tahu diriku, tapi kau tidak tahu hatiku. Aku juga bisa rnembuat dirimu sengsara seurnur-umur. Kau bisa jadi ular sanca. Tapi aku juga bisa jadi seekor kobra."
Baru saja Pangeran Matahari mengingat peristiwa yang membuatnya menanam dendam terhadap sang guru sendiri, di hadapannya Si Muka Bangkai membuka mulut berkata.
"Aku tidak habis pikir, mengapa waktu di Candi kau tidak mampu membunuh bocah ingusan itu!"
"Anak bernama Boma itu bukan bocah ingusan lagi. Aku yakin Sinto Gendeng telah mengajarkan sejurus dua jurus ilmu silat padanya. Kemungkinan juga dia diberikan tenaga dalam atau hawa sakti. Yang jelas, aku curiga Batu Penyusup Batin ada pada anak itu."
"Kalau kau yakin batu itu ada padanya, mengapa kau tidak mengambilnya?" tanya Si Muka Bangkai dengan pandangan mata menyorot tajam.
"Guru, kau bisa menimpakan seribu kesalahan padaku. Karena kau tidak berhadapan sendiri dengan orang-orang itu. Kau tidak ada di tempat kejadian. Pendekar 212 muncul. Ini sama sekali tidak diharapkan. Ketika aku bentrokan pukulan sakti ternyata tingkat tenaga dalamnya sulit aku tandingi. Ini satu hal yang sama sekali tidak bisa kuduga. Selama beberapa waktu belakangan ini aku berusaha meningkatkan tenaga dalamku, tapi hasilnya mengecewakan."
(Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng berjudul "Meraga Sukma" ketika dalam perjalanan ke tempat kediaman Nyi Roro Manggut, di pintu gerbang pantai selatan Wiro bertemu dengan Naga Biru. Makhluk sakti yang selama puluhan tahun mendekam dalam bentuk batu ini mendadak berubah hidup dan menjilati Wiro. Ternyata ini bukan jilatan biasa. Karena setelah dijilat murid Sinto Gendeng itu merasa tubuhnya tambah enteng, pemandangannya lebih terang, telinganya lebih tajam dan hawa sakti atau tenaga dalam yang ada dalam tubuhnya lebih meningkat.)
"Kau bilang selama beberapa waktu belakangan ini telah berusaha meningkatkan tenaga dalam. Lalu apa kau kira pendekar sableng itu cuma berdiam diri? Tidak berusaha pula meningkatkan ilmu kepandaiannya? Pangeran Matahari, jangan kau mencari seribu satu dalih untuk menutupi kegagalanmu."
"Terserah guru mau bilang apa. Tapi aku perlu memberitahu satu hal. Ketika aku melepas pukulan Telapak Matahari, ada orang pandai tersembunyi memapaki seranganku hingga buyar berantakan."
"Nasibmu benar-benar sedang sial saat itu, rupanya!" kata Si
Muka Bangkai lalu tertawa mengekeh, membuat Pangeran Matahari jadi panas, hatinya. Dia meneruskan ucapannya.
"Sebelum orang memapaki seranganku, aku mendengar suara benda bergemerincing. Tidak mudah melacak siapa adanya orang pandai itu dari suara tersebut."
"Sudahlah, aku tidak mau mendengar segala macam cerita sialmu. Tapi satu hal harus kau ingat. Kesialanmu akan berlipat ganda menjadi kesialan kita sernua jika guruku Kunti Api tidak bisa mendapatkan telur sakti yang mampu rnenyelamatkan anak perempuan bernama Dwita itu keluar dari dalam Stupa. Jika telur itu sampai jatuh ke tangan orang lain dan tahu cara menggunakannya, kita tidak bisa mencegah anak perempuan itu keluar dari dalam Stupa! Pangeran, siap-siap saja guruku akan melabrakmu!"
"Aku siap menerima dampratan Nenek Kunti Api." rahang Pangeran Matahari mengembang. Matanya memandang tak berkedip pada nyala api lampu minyak. Si Muka Bangkai tiba-tiba dongakkan kepala. Mata setengah dipejamkan.
"Aku mendengar suara angin bersiur. Agaknya Eyang Guru sudah datang."
Baru saja Si Muka Bangkai selesai berucap, tiba-tiba pintu tersibak lebar lalu wuut! Satu bayangan biru berkelebat masuk ke dalam rumah. Si Muka Bangkai dan muridnya cepat berdiri, membungkuk hormat. Yang datang memang Kunti Api, guru Si Muka Bangkai.
"Kalian berdua enak-enak di tempat ini. Aku bekerja setengah mati!" Kunti Api begitu muncul langsung menggerendeng.
"Maafkan kami Eyang Guru," kata Si Muka Bangkai sambil membungkuk. "Setelah muridku gagal membunuh anak bernama Boma itu karena tiba-tiba muncul Pendekar 212 Wiro Sableng serta ada orang pandai tersembunyi ikut menolong, kami tidak berani melakukan tindakan baru. Kami terpaksa menunggu kedatangan Eyang Guru. Sekarang setelah Eyang Guru ada dihadapan kami kami siap menunggu perintah."
"Percuma aku memberi perintah. Kalian berdua tidak pernah berhasil melakukan!" Jawab Kunti Api sambil pelototkan mata pada Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari. Dipelototi begitu Si Muka Bangkai berpaling pada muridnya.
"Pangeran Matahari, ini semua gara-gara ketololanmu!"
Sang murid hanya menyeringai, memandang ke arah pintu yang terbuka, tidak menjawabi ucapan gurunya. Sikap Pangeran Matahari ini membuat Si Muka Bangkai merasa dianggap sepi dan membuat dia jadi tambah jengkel. Dari mulutnya terdengar suara bergumam. Tapi tidak jelas apa yang diucapkannya. Setelah menarik nafas panjang dia membungkuk ke arah Kunti Api lalu bertanya.
"Eyang, apakah kau berhasil mendapatkan dan mengamankan telur pembuka Stupa?"
"Kalian lihat sendiri apa yang aku dapatkan." Kunti Api mengeluarkan sebuah benda dari dalam lipatan sehelai sapu tangan. Benda ini kemudian digelindingkannya di atas daun pisang. Ternyata sebutir telur ayarn. Si Muka Bangkai mengambil telur itu, memperhatikannya sejenak lalu menimang-nimangnya beberapa kali.
"Walau muridmu belum mampu membunuh Boma, tapi kita akan berhasil membunuh anak perempuan yang disayanginya itu. Anak itu akan menemui ajal pada dua pertiga malam. Sekitar jam tiga pagi menjelang pagi nanti. Seumur hidup Boma akan dihantui kematian anak perempuan itu. Jika memang umurnya panjang. Tapi kalau dia keburu mati di tangan kita, dua anak itu akan jadi roh penasaran, gentayangan kemana-mana. Hik...hik...hik!"
"Eyang," kata Si Muka Bangkai sambil memperhatikan kembali telur ayam yang dipegangnya dengan tangan kanan. "Aku merasa ada kelainan pada telur ini. Waktu mendapatkannya dan membawanya ke sini, apakah Eyang tidak meneliti?"
Sepasang alis Kunti Api mencuat ke atas.
"Apa maksudmu, Muka Bangkai?"
"Telur ini enteng sekali. Aku merasa seperti memegang telur penyu kering yang sudah kosong. Agaknya isi telur ayam ini telah berpindah ke tempat lain. Berarti telur ini tidak ada artinya sama sekali."
"Jangan kau bicara seperti itu, Muka Bangkai. Aku sendiri yang mengambil telur itu dari orang yang pertama kali mendapatkannya. Bahkan waktu barusan aku keluarkan dari sapu tangan masih terasa berat!"
"Maaf Eyang, kalau Eyang tidak percaya silahkan memegang sendiri." Si Muka Bangkai lalu serahkan telur ayam itu pada gurunya. Kunti Api tersentak kaget ketika dia memegang telur dan merasakan telur ayam itu memang enteng sekali.
"Gila! Apa yang terjadi? Waktu aku mengambil telur ini dari orang itu, keadaannya tidak seperti ini. Tidak enteng!"
"Berarti kekuatan yang ada di dalam telur lenyap barusan saja."
"Aku tidak bisa percaya! Bagaimana mungkin?!" Kata Kunti Api pula. "Jahanam! Ada orang yang mengerjaiku!" Saking marahnya Kunti Api remas telur ayam itu hingga berderak hancur semudah menghancurkan kerupuk. Dari pecahan telur tidak ada cairan putih dan cairan kuning yang keluar. Telur itu ternyata kosong! Kunti Api pandangi tangannya yang dipenuhi hancuran kulit telur. Masih tidak bisa percaya dia.
"Nenek Guru, dari siapa kau mendapatkan telur ini?" tanya Pangeran Matahari.
"Dari orang yang aku kuntit sejak beberapa hari ini. Aku tidak tahu namanya."
"Eyang merampas telur ini setelah membunuh orangnya?" tanya Pangeran Matahari lagi.
"Tidak, aku tidak membunuhnya. Aku mengancam, dia sudah ketakutan. Telur diberikannya dengan suka rela."
"Maaf Eyang, kalau telur itu merupakan satu benda keramat, dia tidak mungkin memberikan begitu saja. Orang itu telah menipu Eyang!"
Merah padam tampang angker Kunti Api. Marah setengah mati karena ketololan sendiri.
"Pangeran, apa yang kau katakan betul adanya. Kurang ajar! Hidup puluhan tahun, bagaimana mungkin aku masih bisa berbuat tolol!"
Pangeran Matahari tersenyum. Sambil mengerling ke arah Si Muka Bangkai dia berkata. "Nenek Guru, hidup kita sebagai manusia memang begitu adanya. Seribu kali kita merasa pandai, terkadang satu ketika kita berbuat satu ketololan, sadar atau tidak sadar. Jadi harap Nenek Guru tidak berkecil hati. Kalau aku boleh bertanya, orang itu, apakah Eyang tahu siapa dia adanya?"
"Aku tidak tahu namanya. Tapi sejak beberapa waktu belakangan ini dia sering berada di sekitar Candi Mendut.
Mengamen."
"Mengamen? Di Candi Mendut?" ulang Si Muka Bangkai. Wajahnya yang pucat tampak tambah putih. Lalu dia berpaling pada muridnya. "Pangeran, aku menaruh curiga..."
"Orang yang mengamen itu," kata Pangeran Matahari sambil memandang pada Kunti Api. "Apakah Nenek Guru masih ingat bagaimana ciri-cirinya?"
"Seorang kakek tua, berambut kaku berdiri, dicat warna pirang. Dia mengenakan jaket dan celana blujins. Pakai anting di telinga dan pusarnya..."
"Nenek Guru pernah mendengar dia menyanyi?"
"Dua kali."
"Apa nyanyian yang dibawakannya."
"Aku tidak tahu nama nyanyian itu. Tapi dua-duanya disukai orang banyak. Kalau pengamen itu membawakan dua lagu itu, banyak yang pada joget." Menerangkan Kunti Api.
"Nenek Guru mungkin ingat kata-kata dalam nyanyian itu?"
Kunti Api mengurut-urut keningnya. "Lagu yang pertama kalau aku tidak salah sepertinya mengajak orang minum. Tapi..."
"Minum apa, Nek?" tanya Pangeran Matahari "Bukan minum tapi...Lagu tentang orang bercinta. Aah..lagunya aneh. Bercinta tapi menyebut minum. Minum...."
"Minum kopi?" ujar Pangeran Matahari.
"Betul! Minum kopi!" "Lagunya Kopi Dangdut."
"Betul sekali!" kata Kunti Api sambil tepukan dua tangannya.
"Lagu kedua Nenek Guru ingat?" Kembali Pangeran Matahari bertanya.
"Kalau aku tidak salah pakai biru-biru. Hemm...Tenda Biru. Betul, Tenda Biru!" kata Kunti Api pula.
"Pengamen itu, apakah lidahnya cadel? Tidak bisa menyebut er?"
"Seingatku dia tidak cadel, tidak pelo. Dia menyebut er lempang-lempang saja."
"Pangeran Matahari, jangan kau mengkhayal tentang kakek pengamen bernama Pelawak Sinting itu. Bukankah kita telah membunuhnya beberapa waktu lalu di jembatan penyeberangan di depan gedung Sarinah. Di Jakarta?"
"Betul sekali Guru," jawab Pangeran Matahari pada Si Muka Bangkai. "Tapi jangan lupa. Ada berita yang mengabarkan bahwa mayat Si Pelawak Sinting lenyap dicuri orang dari dalam ambulans.
Siapa tahu waktu itu dia tidak mati..."
"Si pelawak sinting tidak berambut pirang. Tidak pernah pakai blujins..."
"Tunggu," kata Pangeran Matahari. "Nenek Guru, pengamen itu apa Nenek Guru ingat peralatan apa saja yang dipakainya waktu mengamen?"
"Dia membawa gendang dan rebana yang ada kerincingannya. Sambil menyanyi dia berjoget. Lalu di kepalanya dia meletakkan sebuah payung kecil, terbuat dari kertas. Payung dikembangkan, dia bernyanyi dan berjoget. Payung tidak jatuh. Sesekali dia memainkan sebuah benda aneh sepanjang satu jengkal. Aku tidak tahu apa namanya. Kalau ditiup benda itu mengeluarkan suara lebih merdu dari suara seruling. Lalu... lalu dia pakai anting di kuping dan pusarnya." Kunti Api diam sebentar lalu bertanya "Pangeran Matahari, apakah kau mengenal pengarnen tua itu?'
"Aku menduga-duga Nek, ada sedikit keraguan. Nenek Guru ingat pada Si Pelawak Sinting yang membuat keonaran di Pasar Baru dulu?"
"Aku ingat ceritamu. Tapi betul kata gurumu. Si Pelawak Sinting tidak berambut pirang. Lidahnya cadel. Dia tidak punya alat yang bisa mengeluarkan suara seperti seruling itu. Telinganya tidak pakai anting. Apalagi pusarnya. Lalu aku ingat, si pengamen di Candi Mendut itu menempeli giginya dengan kertas timah bungkusan
rokok."
"Betul sekali Nenek Guru. Banyak perbedaan. Tapi ada persamaan. Si Pelawak Sinting membawa payung kertas. Pengamen di Candi juga punya payung kertas. Pelawak Sinting pakai rebana dan gendang Pengamen di Candi juga punya rebana dan gendang. Dalam menyanyi dia berjoget sambil meletakkan payung di atas kepala. Lalu salah satu lagu yang dinyanyikan pengamen di Candi Mendut sama dengan lagu yang suka dibawakan Pelawak Sinting. Kopi Dangdut."
Tiga orang itu terdiam sesaat.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Si Muka Bangkai memecah kesunyian di tempat itu.
"Aku tahu apa yang harus aku lakukan!" kata Kunti Api seraya bangkit berdiri. "Saat ini juga aku akan ke Candi Mendut. Pangeran Matahari, kau ikut bersamaku. Mungkin pengarnen keparat itu masih menyimpan telur keramat yang asli. Muka Bangkai, kau lekas pergi ke Candi Borobudur. Apapun yang terjadi kau harus bisa mencegah anak perempuan itu dikeluarkan dari dalam Stupa. Tapi yang paling aku harapkan ialah agar kau bisa membunuh anak bernama Borna itu."
"Apa yang Eyang Guru perintahkan akan kami lakukan," kata Muka Bangkai lalu ikut berdiri pula. Setelah guru dan muridnya pergi, Si Muka Bangkai mengomel sendirian. "Pangeran sialan! Karena ketololanmu aku kini kebagian kerjaan yang tidak enak. Padahal malam ini aku ada janji dengan seorang janda tua pedagang lesehan di Malioboro." Dari balik pakaian putihnya kakek bungkuk ini keluarkan sebuah kantong kecil dari kertas. Pada kantong itu ada tulisan "Majun Asli dari Arab. Obat Kuat. Membuat pria lemah jadi sehebat kuda jantan. Sekali minum bisa tiga kali genjot."
"Majun Arab .... Majun Arab. Malam ini aku belum butuh kau!
Sabar, harap kau bersabar!" Si Muka Bangkai masukkan kembali kantong kertas itu ke balik pakaiannya. Lain dia tepuk-tepuk bagian bawah perutnya sambil berkata. "Burungku Anu, kau juga harus sabar. Jangan ngambek. Malam ini aku ada sedikit urusan. Seperti kata orang jaman sekarang, anggap saja ini sebagai kesalahan teknis. Boleh juga kau bilang sebagai kesalahan prosedur. Tapi percayalah, keadaan masih tetap terkendali. Malam ini kau tidak jadi aku beri makan. Tapi nanti aku beri kau makan tiga piring sekaligus! Pakai sambal terasi. Sampai mulutmu lecet kepedasan! Ha ...ha...ha!"
***
SEBELAS
RAMPOK MOTOR DI SIANG BOLONG
KITA kembali dulu pada kejadian setelah terjadi perkelahian di Candi antara Pangeran Matahari, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Boma. Di puncak sebuah bukit kecil murid Sinto Gendeng akhirnya hentikan larinya. Dia tidak berhasil melacak jejak Pangeran Matahari yang melarikan diri setelah melempar sebuah benda yang bisa meletus dan mengeluarkan asap tebal kehijauan. "Kalau sempat anak itu dibunuh Pangeran keparat itu, celaka aku seumur-umur. Si nenek bau pesing pasti akan mendamprat diriku habis-habisan. Tapi heran juga, kenapa Eyang Sinto berpesan agar aku menjaga anak itu? Cucunya bukan, anak apa lagi. Sayang, Eyang tidak pernah berterus-terang menceritakan sebab musabab latar belakang. Dia kelihatan begitu sayang pada anak itu. Kalau tidak masakan sampai diberikan hawa sakti segala. Atau barangkali Eyang telah mengambil anak itu sebagai muridnya? Hemm....
Sekarang apa yang harus aku lakukan? Kembali ke Candi?" Wiro garuk-garuk kepala. Tiba-tiba Wiro ingat pada tiga buah benda yang, dipungutnya di lantai candi sebelum berkelebat pergi meninggalkan tempat itu. Buru-buru tiga benda itu dikeluarkannya dari dalam saku baju putih. Benda pertama adalah sobekan kertas berwarna coklat. "Robekan kertas. Benda yang berputar sebati menahan pukulan Pangeran Matahari jugal berwarna coklat. Apa kertas ini yang memapaki pukulan pangeran keparat itu? Kalau benar sungguh luar biasa."
Wiro perhatikan benda kedua. Sepotong kecil serpihan bambu. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Tidak bisa mengira-ngira apa hubungani kertas coklat dengan potongan bambu kecil. Lalu diambilnya benda ke tiga. Diperhatikan.
"Ini jelas patahan kayu gagang sesuatu. Gagang golok terlalu kecil. Gagang sebilah keris terlalu buruk dan rapuh. Kertas coklat, potongan bambu, patahan kayu...." Kembali murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. "Mungkin aku harus kembali ke Candi. Tapi Isopol itu. Mereka pasti ada disana."
Selagi berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya tiba-tiba Wiro mendengar di kejauhan suara sesuatu.
"Bebunyian aneh. Merdu sekali. Seperti seruling, tapi jelas itu bukan suara seruling."
Wiro memasang telinganya baik-baik. Suara bebunyian itu datang dari kaki bukit sebelah timur. Wiro segera lari menuruni bukit kecil, menuju ke arah timur sampai akhirnva dia menemui sebuah jalan aspal cukup ramai lalu lintasnya. Kira-kira dua puluh meter di depan sana, di pinggir jalan kelihatan seorang berambut aneh warna pirang coklat berjalan melenggak-lenggok seperti tengah menari. Di atas kepalanya ada sebuah payung kecil terbuat dari kertas dalam keadaan terkembang. Orang ini mengenakan celana blujins yang agak gombrong hingga sebagian pantatnya yang hitam tersingkap jelas. Sambil berjalan menari, orang ini memainkan rebana di tangan kiri, memegang sesuatu di tangan kanan dan meniupnya. Karena membelakang Wiro tidak dapat melihat benda apa yang ditiup orang itu, yang mengeluarkan suara lebih merdu dari seruling. Di belakang orang itu berjalan mengikuti belasan anak-anak sambil tertawa-tawa dan bertepuk tangan. Lalu lintas di jalan agak sedikit macet karena para pengemudi memperlambat kendaraan mereka untuk melihat apa yang terjadi. "Kopi Dangdut!" ucap Wiro. "Lagu yang dimainkan orang itu Kopi Dangdut! Aku ingat pada Si Pelawak Sinting yang mati dibunuh di jembatan penyeberangan Sarinah. Nyanyinya sama, gayanya sama. Pantatnya juga sama hitam. Tapi yang ini keren amat, pakai jaket dan celana jins. Aku harus melihat tampangnya! Jangan-jangan dia...."
Ucapan Wiro terputus. Mendadak dia ingat pada tiga buah benda yang ada di saku bajunya. Tiga benda itu dikeluarkannya. Diperhatikan sambil sesekali mengangkat kepala memandang ke arah orang yang berjalan menari-nari sambil meniup bebunyian di depan sana.
"Potongan bambu, robekan kertas coklat, patahan kayu! Gila! Ini adalah hancuran payung kertas yang dihantam pukulan sakti Pangeran Matahari! Di kepala orang itu bertengger paying kertas warna coklat! Berarti dia...."
Tidak tunggu lebih lama Wiro segera lari mengejar. . Orang berpayung hentikan jalannya. Payung di turunkan dari kepala lalu dilipat. Dia memegangi kepala anak-anak yang mengikutinya, memberikan sejumlah uang pada anak-anak itu lalu menyetop sebuah kendaraan umum.
"Pelawak Sinting! Hai! Pelawak Sinting!" teriak Wiro. Dia segera lari mengejar. Tapi orang itu sudah masuk ke dalam kendaraan umum. Anak-anak yang mengikuti bubar. Jalan yang macet kembali lancar. Ketika Wiro sampai di dekat anak-anak itu, kendaraan yang membawa orang tadi telah meluncur jauh.
"Sial!" maki Wiro sambil garuk-garuk kepala. Di depannya saat itu ada seorang tua bermata sipit, mengemudi motor tanpa helm.
"Apa boleh buat!" kata Wiro dalam hati. Langsung saja dia melompat dan duduk di belakang pengemudi motor. Si pengemudi yang ternyata seorang Cina gaek yang masih totok tentu saja jadi kaget.
"Weehhh, apa-apaan ini. Situ mau ngelampok ngai ya?!"
"Ssshh...Jangan salah sangka. Saya cuma mau minta tolong!"
"Minta tulung, minta tulung. Ngai tidak kenal sama situ. Ayo tulun! Nanti ngai teliak galong balu tahu!"
"Pak tua, saya tidak punya maksud jahat. Tolong ikuti mobil merah di depan sana. Mobil merah yang ada tulisan Kutunggu Jandamu itu."
"Ngai tidak bisa tulung. Cali olang lain. Ngai mau jemput ngai punya cucu. Ayo tulun!" Walau bicara keras tapi wajah pengemudi motor itu jelas menunjukkan rasa takut karena mengira Wiro hendak berbuat jahat terhadapnya.
"Wah, brengsek, nggak mau nolong," Wiro menggerendeng dalam hati. "Kalau nggak mau nolong ya sudah!" Wiro turun dari motor. Lelaki tua itu saking terburu-buru menyentakkan gas motor, kendaraan itu bukannya bergerak tapi mesinnya malah mati. Setelah dicoba berulang kali akhirnya mesin motor hidup juga. Tapi saat itu entah karena takut, atau sebelumnya memang sudah ingin buang air, si pengemudi motor mendadak merasa kebelet ingin kencing. Karena tidak tahan, baru dua puluh meter meluncur, dia hentikan kendaraannya di pinggir jalan. Mesin motor tidak dimatikan, mungkin karena terburu-buru, mungkin juga takut kalau nanti sulit lagi dihidupkan. Orang ini menyelinap ke balik sebuah pohon besar, turun di tebing selokan dan tarik ke bawah resluiting celananya. Wiro perhatikan orang yang sedang kencing itu lalu memandang ke arah motor berulang kali.
"Sial! Kalau saja aku bisa menunggang kuda tidak berkaki ini....
Bagaimana caranya?" Wiro garuk-garuk kepala. Ketika dia mendekati kendaraan itu didepannya lewat seorang anak muda berambut gondrong yang telinga kirinya dicanteli anting. "Sobat ganteng" Wiro menegur.
"Mau uang lima ribu perak?" Tanya Wiro sambil pura-pura memasukkan tangan kiri ke balik pakaian. Anak muda beranting perhatikan wajah dan dandanan Wiro sesaat lalu tersenyum. "Tentu saja mau. Memang lagi bokek. Mana uangnya?"
"Ada dalam kantong. Situ bisa naik itu?" Wiro menunjuk ke arah motor. Tentu saja didalam kantongnya sama sekali tak ada uang lima ribuan.
"Kecil!" jawab pemuda gondrong beranting.
"Uang lima ribu aku berikan sama situ. Tapi antar aku lebih dulu."
"Itu motor siapa?"
"Temanku. Lihat sana, dia lagi buang hajat. Dia bilang aku pergi saja duluan." Wiro menunjuk pada pemilik motor yang tengah kencing.
Anak muda itu melangkah mendekati motor. Wiro menyuruhnya naik cepat-cepat. Lalu dia melompat duduk disebelah belakang.
"Tujuannya kemana?" Si anak muda bertanya.
"Cepat jalan! Terus.... Nanti aku beritahu kemana!" jawab Wiro sambil matanya memandang ke depan memperhatikan mobil merah angkutan umum yang tadi ditumpangi Pelawak Sinting. Orang tua di tebing selokan masih belum lampias kencingnya, melengak kaget ketika melihat Wiro menghambur bersama motornya. Dia berteriak. Air kencing yang masih bersisa mengucur membasahi celananya.
"Lampok! Lampok Motol!"
Cepat-cepat dia tarik resluiting celananya ke atas. Tapi karena bingung dan juga terburu-buru resluiting celana itu menggigit salah satu bagian di bawah perut hingga dia terpekik kesakitan. Terbungkuk-bungkuk orang tua ini naik ke atas jalan raya. Kebetulan saat itu sebuah mobil pikup terbuka patroli Polisi meluncur di jalan. Langsung saja dia kembangkan dua tangan dan berteriak-teriak.
Dua orang petugas segera melompat turun, menanyakan ada kejadian apa. Orang tua itu memberitahu bahwa motor miliknya dibawa kabur seorang pemuda gondrong. Dia menunjuk-nunjuk ke arah kaburnya Wiro. Salah seorang anggota Polisi menyuruhnya naik ke atas mobil, duduk di samping Polisi pengemudi, diapit anggota Polisi lainnya. Sirine dibunyikan. Pengejaran segera dilakukan. Di atas mobil orang tua itu tidak henti-hentinya berteriak. "Itu...itu...!" sambil menunjuk ke arah Wiro yang membeset motor meliuk-liuk melewati kendaraan-kendaraan di depannya dengan kecepatan hampir 80 Km per jam.
"Wah, kok mobilku jadi bau pesing?" Polisi yang mengemudi pikup patroli berkata sambil hidungnya kembang kempis. Dia tak berani melirik ke samping karena mobil dikemudikan dalam kecepatan tinggi dan lalu lintas di jalan cukup ramai. Polisi yang duduk dekat pintu melirik ke bawah, memperhatikan celana orang tua yang duduk di sebelahnya. Celana itu selain basah kuyup oleh air kencing, restluitingnya juga tidak tertutup utuh. Karena celana dalamnya merosot turun tidak karuan, maka pak Polisi bisa melihat jelas benda di bawah perut si orang tua. Sambil senyum Polisi ini berkata.
"Pak tua, wong habis kencing celananya dirapikan dulu. Kalau melongo kayak gitu nanti burung perkututnya bisa nyelonong terbang."
Si orang tua terkejut mendengar ucapan Polisi itu. Dia menunduk dan melihat celananya yang tersingkap lebar.
"Haayyyaa! Ngai punya bulung pelkutut tidak bisa telbang. Belum numbuh sayap!"
Dua anggota Polisi tertawa terbahak-bahak. Tak lama kemudian motor milik orang tua itu ditemukan di tepi jalan, tepat dipersimpangan yang menuju ke Candi Mendut. Pemuda pakai anting yang tadi mengemudikan kendaraan berdiri di tepi jalan. Ketika turun di tempat itu Wiro memberitahu bahwa dia akan menemui seseorang.
"Tidak lama. Nanti aku balik. Uang lima ribu itu aku kasih sama kamu."
Ternyata Wiro yang ditunggu tidak muncul kembali. Pemuda beranting itu terpaksa berurusan dengan Polisi.
***
DUA BELAS
PELAWAK SINTING INGIN KAWIN
SINAR matahari sore yang kekuning-kuningan menyapu Candi Mendut hingga candi ini kelihatan lebih indah dan megah. Candi yang konon lebih tua usianya dari Candi Borobudur ini pada perayaan dan upacara Waisak ramai dikunjungi umat Buddha dari seluruh penjuru tanah air, bahkan juga dari mancanegara. Di sore yang sejuk itu kelihatan beberapa rombongan wisatawan melihat-lihat keindahan Candi. Di dalam Candi, mereka mengagumi tiga buah patung besar yakni patung Buddha Cakyamurti yang duduk bersila, patung Avaloki teswara dan patung Maitreya. Di seberang halaman depan Candi mendut terdapat sederetan warung penjual makanan dan minuman serta kios penjual berbagai cindera mata. Di salah satu sudut halaman kelihatan banyak orang berkumpul. Beberapa orang anak muda tampak berjoget-joget mengiringi nyanyian seorang lelaki tua yang sekaligus menabuh gendang kecil serta memainkan sebuah rebana. Sesekali dia meniup sebuah harmonika yang tergantung di lehernya. Suasana lebih meriah karena sambil menyanyi kakek yang berpenampilan aneh ini meletakkan payung terkembang di atas kepala. Payung itu tidak jatuh walaupun dia menari berjingkrak-jingkrak atau menggoyang-goyangkan pantat dan pinggul. Lagu yang dibawakan kakek itu adalah Kopi Dangdut. Begitu Kopi Dangdut habis, anak-anak yang ada disitu berteriak meminta agar si kakek membawakan lagu Tenda Biru. Setelah menerima sejumlah uang dari orang-orang yang ada di situ maka si kakek pasang suara menyanyikan Tenda Biru. Lagu Tenda Biru ini dibawakan si kakek dalam irama dangdut dengan gaya yang kocak membuat semua orang sesekali tertawa riuh. Apa lagi kalau si kakek menggoyang pantat dan pinggulnya demikian rupa hingga celana blujinsnya merosot ke bawah pinggul, membuat orang-orang perempuan berpekikan.
Tak sengaja lewat depan rumahmu
Ku melihaat ada tenda biru
Dihiasi indahnya janur kuning
Hati bertnnya pernikahan siapa
Tak percaya tapi ini terjadi
Kau bersanding duduk di pelaminan
Air mata jatuh tak tertahankan
Kau khianati cinta suci ini
Tanpa undangan diriku kau lupakan
Tanpa putusan diriku kaut tinggalkan
Tanpa bicara kau buat ku kecewa
Tanpa berdosa kau buat ku merana
Ku tak percaya dirimu tega
Nodai cinta khianati cinta
Ketika terdengar si kakek hendak mengakhiri nyanyiannya, orang banyak terutama yang asyik berjoget langsung berteriak "Terus Bos! Terus Bos!"
Pengamen tua yang dipanggil Bos itu sambil tersenyum dengan senang hati mengulang kembali nyanyiannya sampai empat kali berturut-turut. Selesai menyanyi dia tadangkan payung kertasnya dan melangkah mendekati orang-orang yang berkeliling. Sejumlah uang diletakkan orang di atas payung itu. Si kakek pengamen membungkuk dan mengucapkan terima kasih berulang kali.
"Bos! Mau kemana?"
"Nyanyinya udahan nih?!"
Beberapa orang berteriak ketika melihat si kakek lambaikan tangan.
"Ngaso dulu! Capek!" jawab pengamen tua. "Jangan kemana-mana dulu, tetap di tempat anda. Kami akan kembali setelah istirahat. Ha...ha..ha!"
"Bos! Situ kaya iklan di tivi aja!" kata seorang anak muda. Kakek pengamen sekali lagi lambaikan tangan lalu melangkah ke salah satu sudut lapangan. Di seberang sebuah jalan kecil ada sederetan bangunan. Kebanyakan merupakan warung. Salah satu diantaranya ditutupi terpal berwarna biru mulai dari atap sampai bagian depannya. Inilah "Tenda Biru" yang jadi tempat kediaman sementara kakek pengamen.
Masuk ke dalam warung kosong yang agak gelap itu karena bagian depannya ditutup terpal biru, kakek pengamen duduk menjelepok di atas sehelai tikar, di salah satu sudut warung. Beberapa kali dia batuk-batuk sambil pegangi dadanya. Lalu diambilnya payung kertas yang diletakkan di sampingnya. Payung dibuka. Si kakek mulai mengambil uang yang ada di situ.
"Yang namanya duit, walau gelap kelihatan saja ya Kek. Banyak dapat duitnya hari ini Kek?" Tiba-tiba satu suara menegur mengejutkan si kakek hingga dia terlonjak dan cepat berdiri. Sepasang matanya dibuka lebar-lebar. Pandangannya membentur satu sosok tinggi besar, berpakaian serba putih, berambut gondrong, tegak sambil rangkapkan tangan di depan dada di sudut kanan warung. Orang ini lemparkan senyum pada si kakek.
"Anak muda berambut gondrong! Apakah aku mengenalmu?!"
Pengamen tua bertanya. Tapi sepasang mata serta caranya berdiri menyatakan dia penuh waspada dan siap melakukan sesuatu jika orang berbuat jahat terhadapnya.
"Labodong, Pelawak Sinting dari Tanah Silam. Kau lupa padaku?
Mungkin terlalu sering dan banyak melihat uang. Matamu jadi lamur!"
"Astaga naga! Kau tahu nama dan julukanku! Siapa kau?!
Tunggu.... Aku ingat! Kau! Bukankah kau pemuda gondrong yang hampir aku celakakan ke dalam lobang maut di Latanah Silam?"
"Ah, ternyata otakmu masih encer!"
"Namamu Wiro Sableng! Kau sahabat adikku Si Labudung!"
"Syukur kau masih ingat diriku Kek." Kata Wiro lalu melangkah mendekati si pengamen dan memeluknya.
"Wiro, waktu di Latanahasilam kita berseteru. Apakah kemunculanmu untuk membalaskan sakit hati di masa lalu? Aku terpesat ke tanah Jawa ini secara aneh. Waktu Istana Kebahagiaan meledak..." (Mengenai kisah kakak beradik sepasang Pelawak Sinting dapat pembaca ikuti dalam kisah petualangan Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam)
"Aku tahu, Kek. Itu cerita lama. Aku tak pernah mengingat-ingat lagi. Aku juga tahu semua cerita dan kejadian hancurnya Istana Kebahagiaan milik Hantu Muka Dua. Kek, sebenarnya aku telah melihatmu di tengah jalan. Aku mengejarmu sampai ke sini. Aku mencarimu bukan karena segala urusan di masa lalu. Justru karena ada urusan di masa sekarang. Aku berterima kasih. Kau telah menolong menyelamatkan diriku, anak bernama Boma itu dan banyak orang lainnya di Candi Borobudur sewaktu Pangeran Matahari melepas pukulan sakti membabi buta. Labodong alias Si Pelawak Sinting, kakak dari Labudung yang menemui ajal di tangan Pangeran Matahari tersenyum. Namun Wiro melihat, dibalik senyum dan semua keceriaan kakek ini ada bayangan rasa kesedihan.
"Jadi kau tahu kalau aku ada di Candi. Bagaimana kau bisa tahu, anak muda?"
Wiro keluarkan robekan kertas, potongan bambu kecil serta patahan kayu. Benda itu diperlihatkannya pada si kakek lalu dijatuhkan ke lantai.
"Semua itu adalah bagian dari payungmu yang hancur oleh pukulan Pangeran Matahari."
"Pangeran jahanam itu. Payungku dimusnahkan. Untung aku membekal beberapa payung!"
"Kek, aku akan ceritakan bagaimana diriku sampai berada di tempat ini. Tapi aku ingin kau dulu yang menuturkan kisah hingga kau muncul dan jadi pengamen di Candi Mendut ini."
"Panjang ceritanya. Tapi biar aku singkat-singkat saja. Kau sudah tahu kalau adikku Si Pelawak Sinting yang asli menemui ajal dibunuh Pangeran Matahari?"
"Sudah, aku sudah tahu Kek. Mayatnya dikabarkan lenyap dicuri orang sewaktu dibawa dengan ambulans ke rumah sakit."
"Aku yang mencuri mayat itu. Ku bawa ke satu tempat dan kulepas kembali ke alam asalnya."
"Kau lepas kembali ke alam asalnya? Jadi adikmu itu tidak dikubur?"
Si Pelawak Sinting Labodong tertawa.
"Aku mana tahu segala urusan kubur mengubur. Kakakku bisa diselamatkan jenazahnya saja, rasanya sudah bersyukur. Wiro, aku sudah beberapa hari berada di tempat ini. Aku tengah mengejar Pangeran Matahari, pembunuh adikku. Sewaktu di Candi Borobudur aku menjajagi kekuatannya dengan melemparkan payung ketika dia melepas pukulan sakti yang nyaris menghancurkan Stupa dan dinding Candi. Payungku musnah tak jadi apa. Tapi aku merasakan bahwa kekuatan tenaga dalamnya berada di atas tenaga dalam yang aku miliki. Sampai saat ini dadaku terasa sakit. Untuk sementara aku menghindar ke tempat ini. Aku punya dugaan, dia akan segera muncul di tempat ini."
Dari tadi. Wiro memperhatikan keadaan bahu dan tangan kiri si kakek seperti senjang. Seolah ada yang mengganjal di bawah ketiaknya. Tadi orang tua ini berkata dadanya sakit akibat bentrokan tenaga dalam dengan Pangeran Matahari di Candi. Kalau dada yang sakit mengapa bahu kiri yang kelihatan seperti naik ke atas? Diam-diam Wiro kerahkan ilmu Menembus Pandang. Di bawah ketiak kiri si kakek dia melihat ada sebuah benda putih berbentuk antara bulat dan lonjong. Sulit menduga benda apa itu adanya. Maka Wiro lantas bertanya. "Kek, apa kau sedang bisulan di ketiak? Kulihat bahumu naik sebelah."
Pelawak Sinting terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia membatin. "Agaknya anak ini tahu ada sesuatu aku sembunyikan di bawah ketiakku. " Mungkin dia ikutan mencari benda ini."
"Aku tidak bisulan. Di ketiakku ada sebuah batu. Kusekap akan kujadikan benda bertuah."
Wiro tersenyum mendengar ucapan kakek itu. "Kek, kau sudah tahu ada seorang anak perempuan disekap di dalam Stupa di Candi Borobudur. Dengan ilmu kepandaianmu, apakah kau bisa menolong membebaskannya. Atau paling tidak kau tahu cara untuk menyelamatkannya keluar dari dalam Stupa?"
"Aku kakek jelek dan tolol bisanya apa? Paling-paling cuma mengamen. Tapi soal anak perempuan itu mengapa harus dipikir dan dikawatirkan?"
"Aku benar-benar terkejut mendengar ucapanmu Kek. Nyawa seorang anak perempuan tak berdosa kau bilang tidak usah dipikirkan. Tak perlu dikawatirkan! Kek, anak perempuan itu adalah sahabat seorang anak laki-laki bernama Boma. Guruku menyuruh aku menjaga anak itu Kalau sahabatnya celaka berarti Boma juga
akan sengsara."
"Jelas. Karena memang itu cara-cara licik Pangeran Matahari."
Kata Pelawak Sinting pula. "Kuharap kau kembali saja ke Candi. Malam nanti anak perempuan itu akan diselamatkan."
"Oleh siapa?" tanya Wiro. Pelawak Sinting menunjuk ke atas.
"Siapa yang kau tunjuk di atas?" tanya Wiro lagi.
"Tuhan! Tuhan Yang Maha Kuasa."
"Di Negeri Latanahsilam kau tidak mengenal Tuhan. Aneh..."
"Di Tanah Jawa ini aku mulai belajar mengenal Tuhan. Ada satu kebahagiaan di lubuk hatiku kareria aku sudah mengenal Tuhan."
Wiro mengangguk-angguk lalu tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu ucapanmu memang ada baiknya aku kembali ke Candi."
"Tunggu, ada sesuatu yang perlu aku tanyakan padamu. Sewaktu adikku Labudung Si Pelawak Sinting yang asli hendak menghembuskan nafas terakhir, dia meninggalkan beberapa pesan padaku. Satu diantaranya adalah mewakili dirinya untuk mengawini seseorang. Rupanya semasa hidupnya saudaraku itu telah mengikat janji untuk kawin dengan orang lain."
"Walau kau belum pernah melihat orang itu, jika berternu buruk atau jelek apakah kau akan bersedia mengawininya?"
"Aku hanya menjalankan pesan saudaraku."
"Siapa orang yang hendak dikawini saudaramu itu yang kini akan kau wakili mengawininya. Apakah saudaramu menyebut namanya?"
"Ya, memang ada. Menurut Labudung orang itu nenek bernama Sinto Gendeng...."
"Apa? Siapa?!" Kagetnya Wiro bukan kepalang. "Sinto Gendeng. Perempuan itu, seorang nenek bernama Sinto Gendeng. Menurut Labudung ada lima tusuk konde di atas kepalanya, lalu kalau tak salah nenek itu bau pesing..."
"Kek, kau tidak keliru nenek itu bernama Sinto Gendeng?" tanya Wiro. Pelawak Sinting gelengkan kepala. "Itu nama yang aku dengar. Itu yang aku katakan padamu. Eh, apa kau kenal dengan nenek bernama Sinto Gendeng itu?"
Wiro menggaruk kepala. Memandang ke atap warung. Dua bola matanya berputar. Mulutnya bergumam.
"Hemmm.... Aku belum pernah mendengar nama itu," kata Wiro kemudian.
"Anak muda, kita sekarang bersahabat. Tolong kau cari keterangan dimana adanya nenek itu. Tapi jangan kabarnya disebar luas sembarangan. Kalau tidak disuruh mewakili kawin, aku yang sudah tua bangka ini mana mau..."
"Kau belum tua Kek. Penampilanmu saja kulihat keren sekali. Rambut dicat pirang. Gigi ditempel kertas timah. Kuping dan pusar dicanteli anting. Pakai jaket dan celana blujins. Luar biasa!
Jangankan nenek, janda muda saja pasti naksir padamu!"
Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. Wiro juga tertawa terpingkal-pingkal. Tapi tawanya adalah tawa karena mengetahui si kakek ingin kawin dengan gurunya. Dan si kakek bertanya pada dia, murid si nenek sendiri!
"Kek, benda apa yang kau gantung di leher itu?" Wiro bertanya.
"Namanya harmonika. Kalau ditiup walah! Suaranya merdu sekali. Lagu apa saja bisa dinyanyikan dengan harmonika ini."
Wiro manggut-manggut lalu sambil senyum dia bertanya lagi.
"Kek, selain di kuping dan di pusar, dimana lagi yang kau pasangi anting?"
"Aahhh! Aku tahu maksud pertanyaanmu! Ha..ha...ha! Kalau kau mau, biar kau duluan kupasangi anting di barang antikmu. Mau?" Si kakek kembali tertawa bergelak. Wiro menyingkapkan terpal biru penutup bagian depan warung. Mendadak langkahnya tersurut kembali. Dia melihat ada beberapa petugas Polisi bersama orang tua yang motornya dibawa lari.
"Ada apa?" tanya Pelawak Sinting.
"Isopol."
"Isopol?" Si kakek mengintip keluar. "Polisi! Bukan Isopol."
"Kalau dibalik'kan Polisi juga. Sama saja Kek!"
"Geblek! Kenapa takut sama polisi?"
"Soalnya waktu mengejarmu ke sini aku minjam motor orang."
"Minjam atau ngerampas?"
"Ya, kira-kira gitu. Motornya tadi aku tinggalin di tengah jalan bersama anak muda yang menolong aku mengemudikan kendaraan itu. Aku berhutang lima ribu perak padanya. Sekarang kalau aku keluar dari tempat ini bisa-bisa ketahuan."
"Sudah, jangan takut. Aku keluar ngamen, menarik perhatian mereka. Begitu mereka lengkah kau molos ya?"
“Oke."
"Oke? Bahasa apa itu?"
Wiro tersenyum. "Nggak ngerti Kek. Aku dengar orang-orang suka berkata begitu. Aku cuma niru saja."
Si kakek tertawa lebar lalu keluar dari dalam warung. Tak lama kemudian terdengar suaranya menyanyikan lagu Kopi Dangdut.
Orang banyak mulai berkumpul. Anak-anak kecil pada berjoget. Para petugas Kepolisian untuk beberapa saat lamanya ikut menyaksikan tingkah si kakek. Diam-diam Wiro menyusup meninggalkan warung.
Tak lama setelah Wiro pergi dan semua anggota Polisi meninggalkan halaman Candi Mendut, Si Pelawak Sinting kembali ke warung, berkemas-kemas. Malam ini sesuai pesan dia harus menemui seseorang di Jogja. Benda yang telah dua hari dikepitnya di ketiak harus diserahkan pada orang itu. Seorang anak lelaki jangkung, berambut cepak bernama Boma. Kawan satu sekolah dari anak perempuan yang saat itu disekap di dalam Stupa. Seperti diceritakan sebelumnya benda di ketiak si kakek adalah sebuah telur ayam yang menurut Ki Tunggul Sekati mampu menolong Dwita keluar dari dalam Stupa.
***
TAMAT
IKUTI EPISODE BERIKUTNYA :
Apakah Dwita Tifani dapat dikeluarkan dari dalam Stupa? Atau Boma dengan nekad mendongkrak jebol batu Stupa di dalam mana anak perempuan itu disekap? Bagaimana mungkin sebuah telur ayam kampung mampumembebaskan Dwita Tifani?
SIMAK SALAH SATU BAGIAN DARI
EPISODE BONEK CANDI SEWU
Di kejauhan suara lolongan anjing seperti setan meratap membuat semua orang yang mengelilingi Stupa Archa Amoghasidi jadi dingin dan mengkirik kuduk masing-masing. Tiba-tiba tiga buah lampu patromak yang ada di teinpat itu padam seperti ditiup hantu. Suasana jadi gelap gulita. Apa lagi di langit tidak kelihatan bulan tidak tampak bintang. Anak-anak perempuan berpekikan."Semua tenang! Jangan ada yang bergerak! Tetap ditempat!" Teriak Serda Sujiwo.Boma merasa ada hawa aneh keluar dari batu Candi yang didudukinya."Ron, lu ngerasain sesuatu nggak?""Sesuatu apa?" balik bertanya Ronny."Batu Candi yang gue dudukin, kok mendadak terasa panas.""Mungkin lu pengen beol kali'. Atau lagi nahanin kentut!""Gue nggak becanda Ron. Badan gue ampe ngeluarin keringat. Liat Ron, ada yang melayang di depan sana!" Ronny Celepuk memandang ke depan."Gue nggak ngeliat apa-apa Bom." Ronny berpaling pada Allan yang duduk di sebelahnya. "Lu ngeliat yang dibilang Boma?" "Nggak." "Jam berapa sekarang?" tanya Boma. Vino melihat ke arlojinya. Cukup susah melihat dalam gelap. Untungnya jarum dan angka-angka arloji dilapisi rodium hingga masih bisa kelihatan."Jam dua belas kurang dua menit," kata Vino. Boma melirik ke arah telur ayam yang ada di dalam lobang Stupa.
***