Pedang Awan Merah Jilid 05
Ku Ma Khan yang berusia lima puluh tahun itu duduk di kursi kebesarannya dengan sikap gagah. Pria yang tinggi besar ini mempunyai wibawa yang sangat kuat. Sebagai seorang kepala suku Mongol yang berdarah campuran Kazak, dia pandai memimpin rakyatnya, pandai pula menggunakan tenaga orang-orang pandai sehingga tidak mengherankan jika di antara pembantunya banyak terdapat orang-orang berkepandaian tinggi, bahkan Sam Mo-ong, tiga datuk yang sakti itu pun suka menjadi pembantunya.
Kwi-jiauw Lo-mo memang berdarah Mongol, peranakan Han, maka tidak mengherankan kalau dia menghambakan diri dengan setia kepada Ku Ma Khan. Hek-bin Mo-ong adalah peranakan Mancu, ada pun Pek-bin Mo-ong peranakan suku bangsa Hui yang juga sudah ditaklukkan oleh orang Mongol.
Pada hari itu Ku Ma Khan sedang menerima Sam Mo-ong yang datang bersama Mulani, puterinya. Dengan sikap manja dara itu segera merangkul ayahnya dan Ku Ma Khan yang amat sayang kepada anaknya itu, meraih kedua pundak Mulani lalu mengamati wajahnya sambil tertawa senang.
“Aihh, tidak melihat beberapa bulan saja engkau nampak lebih dewasa, lebih matang dan lebih cantik, Mulani. Bagaimana, apakah perjalananmu ke selatan menghasilkan banyak pengalaman hebat?”
“Aku senang sekali, ayah. Sekarang kami pulang sambil membawa oleh-oleh yang pasti akan membuat ayah juga merasa senang sekali.”
“Ha-ha-ha, oleh-oleh apakah itu Sam Mo-ong, kalian bertiga yang setia dan bijak? Oleh-oleh apa yang dikatakan puteriku tadi?” Ku Ma Khan tidak sabar menunggu penjelasan.
Dengan kedua tangannya Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui yang merupakan orang pertama dari Sam Mo-ong lantas menyerahkan sebatang pedang kepada Ku Ma Khan (Raja Ku Ma). “Khan Yang Mulia, inilah oleh-oleh dari kami, sebatang pedang pusaka.”
Ku Ma Khan mengerutkan alis, menerima pedang kemudian mencabutnya. Nampak sinar kemerahan ketika pedang tercabut. “Hemmm, pedang yang baik sekali, bersinar merah. Akan tetapi untuk apa pedang pusaka? Tanpa pedang pusaka pun aku mampu memimpin laksaan prajurit untuk menggempur musuh.” Dia terlihat agak kecewa melihat bahwa yang dikatakan oleh-oleh berharga itu hanya sebatang pedang lurus, pedang bangsa Han.
“Wah, ayah tidak tahu saja!” seru Mulani sambil memegang tangan kiri ayahnya. “Pedang pusaka ini bukan pedang biasa, tetapi sudah dijadikan perebutan oleh semua orang kang-ouw dan selatan karena pedang ini adalah pedang pusaka milik Kaisar Tang!”
“Ehh? Pedang milik Kaisar Tang? Lalu untuk apa aku memiliki pedang ini?”
“Khan yang mulia, pedang pusaka ini dicuri orang dari gudang pusaka Kerajaan Tang, dan karena pedang ini sangat dihargai kaisar, maka dijadikan rebutan oleh semua tokoh kang-ouw. Kaisar sendiri pernah mengumumkan bahwa siapa yang mengembalikan pedang ini akan diberi ganjaran harta dan kedudukan tinggi!”
Ku Ma Khan mengangguk-angguk, namun alisnya masih berkerut. “Akan tetapi, aku tidak mungkin mengharapkan ganjaran dan kedudukan tinggi di istana kaisar...”
“Khan yang mulia,” kata Hek-bin Mo-ong, “apa bila kita mengembalikan pedang ini kepada kaisar dan sebagai imbalannya kita minta syarat-syarat yang menguntungkan, bukankah hal itu akan baik sekali?”
“Benar sekali, yang mulia,” sambung Pek-bin Mo-ong, ”kita bisa menukar pedang dengan penetapan paduka sebagai raja muda di utara, atau dengan syarat bahwa rakyat kita bisa keluar masuk ke selatan dengan bebas, atau syarat lain yang dianggap menguntungkan paduka.”
“Hemm, semua tidak ada artinya. Kalau syarat itu sudah dipenuhi lalu diingkari, kita akan mampu berbuat apa? Tidak, kita harus dapat memanfaatkan pedang pusaka ini dengan sebaik-baiknya, kalau memang benar kaisar amat mengharapkan kembalinya.”
“Aku mempunyai usul yang baik, ayah.”
“Katakan, bagaimana usul itu, Mulani?” kata ayahnya dengan gembira. Memang puterinya biasanya amat cerdik dan sering kali memberi nasehat yang amat berharga kepadanya.
“Kita mengutus seseorang yang pandai tetapi tidak dikenal sebagai orang kita, dan orang itu harus kita percaya benar. Ia akan mewakili ayah menyerahkan kembali pedang kepada kaisar dan menerima jabatan tinggi. Dengan demikian, diam-diam dia akan amat berguna bagi ayah sebagai mata-mata sebab dia akan selalu dekat dengan kaisar. Dengan adanya seorang pembantu yang tangguh di dalam istana kaisar, siapa tahu dapat memudahkan perjuangan ayah untuk menguasai dunia selatan.”
Mendengar ucapan Mulani, Ku Ma Khan tertawa gembira dan menepuk lengan kursinya. “Ha-ha-ha, bagus, bagus! Ini baru usul yang baik sekali. Bagaimana pendapat kalian, Sam Mo-ong?”
“Sebuah usul yang bijaksana sekali, Yang Mulia. Memang akan amat menguntungkan kita apa bila ada seorang pejabat tinggi yang menjadi mata-mata kita di Kerajaan Tang. Tetapi siapakah yang patut kita utus?” kata Kwi-jiauw Lo-mo.
“Kalau mengutus seorang dari golongan kita, belum tentu kaisar mau memberi kedudukan tinggi, bahkan mungkin akan merasa curiga,” sambung Hek-bin Mo-ong.
“Sebaiknya memang harus bangsa Han, akan tetapi siapa?” kata pula Pek-bin Mo-ong.
Semua diam, bingung memikirkan pelaksanaan usul yang diajukan Mulani tadi. Akhirnya Mulani berkata lagi kepada ayahnya, “Ayah, jika aku mengajukan usul, maka sudah pasti telah kupikirkan cara pelaksanaannya dengan baik. Kurasa tidak ada orang lain yang lebih tepat untuk dijadikan mata-mata itu kecuali Sia Han Lin.”
Sam Mo-ong mengeluarkan seruan heran dan kaget ketika mendengar usul murid mereka itu. Bagaimana mungkin mengusulkan pemuda yang justru menjadi musuh besar mereka itu?
“Siapakah Sia Han Lin itu?” Ku Ma Khan bertanya sambil memandang kepada tiga orang pembantunya itu.
“Yang Mulia, usul itu sungguh tidak mungkin dilaksanakan. Yang bernama Sia Han Lin itu adalah seorang musuh besar hamba bertiga. Bahkan kami merampas pedang Ang-in Po-kiam ini dari tangannya. Hendaknya paduka ketahui bahwa yang mencuri pedang ini dari gudang pusaka kaisar adalah mendiang Hoat-Lan Sian-su ketua Hoat-kauw. Sesudah dia meninggal dunia, pedang itu lantas terjatuh ke tangan seorang pendekar muda bernama Sia Han Lin. Dengan susah payah kami berhasil merampas dari tangannya, bagaimana mungkin menjadikan pendekar itu mata-mata kita?” bantah Kwi-jiauw Lo-mo.
“Bagaimana Mulani? Jika penjelasan tadi benar, usulmu memang aneh sekali. Bagaimana seorang musuh hendak kau jadikan mata-mata? Apa alasanmu memilih orang itu, Mulani? Dan bagaimana pula caranya?”
“Begini, ayah. Aku sudah melihat sendiri betapa lihainya pendekar yang bernama Sia Han Lin itu. Bahkan ketiga suhu belum tentu mampu mengalahkannya. Dia masih muda, jujur dan bisa dipercaya. Kalau sampai dia membantu kita, wah, tentu ayah akan mendapatkan seorang pembantu yang amat hebat, apa lagi kalau dia yang mewakili ayah menyerahkan pedang pusaka dan menjadi mata-mata kita di istana kaisar Tang. Keuntungannya besar sekali.”
“Katakanlah semua keteranganmu tadi benar. Akan tetapi bagaimana caranya supaya dia mau membantu kita, padahal menurut Sam Mo-ong dia adalah musuh besar kita?”
“Akan tetapi musuh akan berbalik menjadi keluarga kalau dia... dia berhasil kubujuk untuk menjadi suamiku, ayah.”
“Hehh...?” Ku Ma Khan terperanjat sekali lalu memandang dengan mata terbelalak heran. “Menjadi... suamimu...?”
“Benar ayah. Seperti kukatakan tadi, kalau dia menjadi suamiku tentu saja dia dapat kita kirim ke kota raja untuk menyerahkan pedang, memiliki kedudukan tinggi sebagai hadiah, dan dapat menjadi mata-mata kita yang berguna sekali.”
“Tapi... tapi... bagaimana mungkin? Apakah dia mau?”
“Ayah, aku sudah pernah bertemu dengan dia, dan aku mempunyai perasaan bahwa dia suka kepadaku, ayah.”
“Dan engkau? Aku tidak ingin anakku mengorbankan diri. Aku tidak ingin anakku menikah dengan pria yang tidak disukainya.”
“Ayah, mengapa ayah begitu bodoh? Kalau aku tidak suka padanya, tentu aku tidak akan sudi biar ayah memaksaku dan menyiksaku sampai mati sekali pun.”
“Jadi, engkau cinta padanya?”
“Tidak usah ditanya lagi, ayah. Aku hanya mau menjadi isteri Sia Han Lin.”
“Ha-ha-ha-ha, kalau begitu baiklah. Aku memberi restu kepadamu karena aku yakin, pria yang engkau pilih sudah pasti seorang pria pilihan yang hebat. Aku hanya merasa sayang kalau engkau akan gagal, anakku. Tetapi masih ada jalan kedua, yaitu sebagai cadangan siasat kalau-kalau engkau gagal merebut hati pemuda itu. Dan Sam Mo-ong, kalian kami tugaskan untuk berusaha menjalin hubungan dengan pejabat-pejabat tinggi istana. Kami mendengar kabar bahwa sampai sekarang pun kaisar yang bodoh dari Kerajaan Tang itu masih saja dipermainkan oleh para thai-kam. Nah, jika kalian dapat menemukan thai-kam yang seperti itu, apa lagi kalau kedudukannya besar dan penting, kiranya tidak akan sulit untuk menyelundupkan mata-mata ke istana. Ini untuk menjaga kalau-kalau siasat yang direncanakan Mulani gagal.”
”Baik, Yang Mulia. Akan kami laksanakan sebaik mungkin,” jawab Kwi-jiauw Lo-mo.
Kembalinya Sam Mo-ong dan Mulani yang membawa pedang pusaka itu lantas disambut dengan pesta oleh Ku Ma Khan. Akan tetapi beberapa hari kemudian, baik Mulani mau pun Sam Mo-ong sudah pergi lagi untuk melaksanakan tugas mereka yang baru…..
********************
Han Lin memasuki kota Souw-ciu. Dia merasa penasaran sekali. Walau pun tidak melihat bukti tetapi dia hampir yakin bahwa yang mencuri pedangnya tentulah Sam Mo-ong. Yang membuat dia merasa sangat penasaran adalah caranya Sam Mo-ong mengambil pedang itu. Sungguh licik dan curang, bukan secara orang gagah!
Dia mengelilingi kota Souw-ciu, mendatangi semua rumah penginapan, namun tidak ada jejak atau berita tentang Sam Mo-ong. Tentu saja, pikirnya kesal, mereka juga tidak akan begitu bodoh meninggalkan jejak.
Semenjak pagi sampai siang Han Lin ke rumah-rumah penginapan tanpa hasil. Akhirnya dia duduk di bangku taman bunga umum kemudian melamun.
Entah mengapa dia merasa nelangsa dan kesepian. Semenjak dia berpisah dari gurunya, yaitu Lo-jin, hidupnya mengalami banyak kepahitan. Pernah satu kali dia merasa jatuh cinta, yaitu kepada Yang Mei Li Si Dewi Terbang, namun cintanya itu bertepuk sebelah tangan. Yang Mei Li mencinta putera Beng Kauw, Sie Kwan Lee yang kini telah menjadi suaminya.
Han Lin tidak merasa menyesal menghadapi kenyataan ini, bahkan turut merasa bahagia bahwa Yang Mei Li, gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu bertemu jodoh yang cocok, yang memang tepat untuk menjadi suaminya. Dia hanya merasa nelangsa dan kesepian.
Kalau dikenang, maka hanya kepahitan yang dirasakan semenjak dia berpisah dari ayah bundanya, enam belas tahun yang lalu. Ketika berusia lima tahun dia harus berpisah dari ayah ibunya yang mempertahankan kota raja dari serangan musuh sehingga ayah ibunya gugur dalam perang itu.
Dalam usia lima tahun dia dilarikan lalu dirawat oleh Liu Ma, janda pengasuhnya sejak dia masih kecil yang kemudian dianggap sebagai pengganti ayah ibunya sendiri. Namun malang, Liu Ma tewas karena kejahatan Sam Mo-ong. Liu Ma melompat ke dalam jurang ketika melihat dia terjatuh ke dalam jurang itu. Dia selamat, akan tetapi Liu Ma menemui ajalnya.
Kemudian dia mendapat pengganti orang tua, yaitu gurunya yang pertama, yang bernama Kong Hwi Hosiang. Akan tetapi Hwesio yang baik hati ini pun tewas di tangan Sam Mo-ong! Akhirnya adia bertemu Lo-jin yang merawatnya dan menggemblengnya, akan tetapi akhirnya dia pun harus berpisah dari gurunya itu atas kehendak Lo-jin.
Banyak peristiwa yang dialaminya sampai ia bertemu dengan saudara-saudara misannya, kemudian jatuh cinta kepada Yang Mei Li, adik misannya pula. Namun terpaksa dia harus mundur ketika Mei Li memilih pria lain. Han Lin menarik napas panjang sambil bertopang dagu.
Duka timbul dari ingatan. Kalau kita mengenang masa lalu, mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan dan merugikan, maka timbullah rasa sesal dan kecewa yang membawa kita ke dalam alam duka. Dan segala peristiwa berakhir dengan duka. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Kita selalu terombang-ambing di antara suka dan duka, di mana duka memegang peran lebih banyak ketimbang suka.
“Apa itu duka? Kalau kita tidak mementingkan suka, maka tidak akan tersinggung duka. Duka hanyalah wajah lain dari suka, seperti uang bermuka dua, suka dan duka. Jangan biarkan diri terseret oleh gelombang dwi-muka yang berupa susah senang, sedih gembira, suka duka,” demikian antara lain Lo-jin memberi wejangan kepadanya.
Han Lin menegakkan duduknya. Untuk apa duka? Namun bagaimana mungkin manusia hidup tanpa menikmati suka atau menderita duka? Justru itulah hidup.
Merasakan suka dan duka, itulah romantika hidup, seperti mendayung biduk kehidupan ini di tengah samudera, diombang-ambingkan berbagai suka duka. Itulah seninya hidup dan kita harus dapat mengatasinya. Bukan tenggelam, baik tenggelam dalam suka mau pun duka. Duka atau suka itu hanya perasaan, diguncangkan oleh pikiran, mengenal hal-hal yang mendatangkan untung dan rugi. Biarkan saja perasaan dan pikiran mendapatkan permainan mereka, yang penting tidak tenggelam!
“Kalau engkau dapat menangis selagi bersuka, dan dapat tertawa selagi berduka, berarti engkau sudah menemukan kunci kehidupanmu,” demikian antara lain Lo-jin berkata.
Han Lin sadar akan dirinya. Mengapa mendadak dia merasa nelangsa, merasa berduka? Karena dia teringat akan hal-hal yang tidak menyenangkan! Kalau dia tidak teringat akan semua itu, adakah duka?
Ada lagi serangan kesepian. Rasa kesepian ini menggigit, membuat orang nelangsa pula. Kehidupan rasanya hanya pengulang-ulangan yang membosankan, karena membuat diri seperti kehilangan sesuatu yang lebih dari pada semua pengulangan ini. Akan tetapi apa? Diri ini rindu kepada sesuatu. Kesenangan? Akhirnya membosankan! Lalu apa? Apa yang dirindukan diri?
“Setiap orang akhirnya akan menyadari bahwa dirinya merindukan sesuatu, sesuatu yang rahasia, dan sesuatu itu merupakan sumbernya. Sesuatu itu adalah Sang Maha Pencipta, yang menciptakan diri, yang menghidupkan, mematikan, yang mengatur dan menentukan segalanya. Diri manusia bagaikan titik-titik air yang selalu rindu kepada asalnya, kepada sumbernya, yaitu samudera,” demikian kata Lo-jin.
“Ahh, sudahlah,” cela Han Lin kepada diri sendiri.
Untuk apa mengenangkan semua itu? Yang lalu biarlah berlalu tanpa kesan karena kesan masa lalu hanya mendatangkan kesedihan belaka. Yang terpenting sekarang menghadapi kenyataan apa adanya. Dia harus mencari kembali Ang-in Po-kiam yang dicuri orang!
Jelas bahwa di kota Souw-ciu dia tidak dapat menemukan jejak Sam Mo-ong, maka harus dicari di tempat lain. Maka dia pun bangkit berdiri, keluar dari taman dan keluar pula dari kota Souw-ciu. Dia akan mencari di kota lain yang berdekatan, atau kalau perlu dia akan mengejar sampai ke utara.
Ketika dia keluar dari kota Souw-ciu, suasana amat sunyi. Tetapi tiba-tiba dia mendengar suara kaki kuda dan setelah dia menoleh, benar saja ada orang menunggang kuda, akan tetapi kuda itu dijalankan perlahan oleh seseorang mengikutinya. Han Lin pura-pura tidak tahu saja dan berjalan terus menjauhi kota Souw-ciu menuju ke lapangan rumput. Tempat itu sunyi bukan main.
Setelah dia tiba di lapangan rumput, barulah penunggang kuda itu mempercepat jalannya kuda sehingga tak lama kemudian sudah dapat menyusulnya. Han Lin membalikkan tubuh memandang dan ternyata penunggang kuda itu bukan lain adalah Jeng-i Sianli Cu Leng Si, wanita berpakaian hijau yang lihai itu.
Han Lin mengerutkan keningnya. Wanita ini pernah menyiksanya dengan kejam dan kini muncul lagi. Apa maunya? Tiba-tiba saja dia teringat bahwa wanita ini berkeras hendak mencari Ang-in Po-kiam. Mungkinkah ada hubungannya dengan lenyapnya pedang?
“Hemmm, kiranya engkau Jeng-i... Mo-li! Mau apa engkau mengejar aku?” tanya Han Lin yang sengaja mengganti julukan Sianli (Dewi) menjadi Mo-li (Iblis betina).
“Sia Han Lin, cepat serahkan Ang-in Po-kiam kepadaku, atau terpaksa sekali ini aku tidak akan mengampunimu. Serahkan pedang atau serahkan nyawamu!”
“Bagus sekali! Pedangku hilang dicuri orang, tapi engkau nekat saja menanyakan pedang itu. Jangan-jangan engkau mempunyai hubungan dengan pencurinya, ya? Pergilah, jangan membuat aku marah.”
“Sombong, kalau engkau tidak mau mengaku maka sepasang pedangku ini akan minum darahmu!”
“Engkau iblis betina yang kejam. Cukup sudah engkau menghina dan menyiksaku. Aku tidak mendendam hanya menyuruh engkau pergi jangan menggangguku, itu sudah cukup sabar dan baik bagimu. Akan tetapi mengapa engkau masih terus mengganggu aku?”
“Sebelum engkau katakan di mana Ang-in Po-kiam, aku tak akan melepaskanmu!” bentak Cu Leng Si. Kini dia telah melompat turun dari atas kudanya dan langsung saja sepasang pedang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Han Lin.
Pemuda ini pun telah kehilangan kesabarannya. Dia pernah diseret-seret dan disiksa oleh wanita ini, bahkan kalau Kwan Im Sianli tidak segera muncul, mungkin dia sudah dibunuh mati. Bagaimana pun juga, perempuan kejam ini harus diberi hajaran!
“Bagus, engkau memang jahat dan kejam!” bentaknya dan Han Lin sudah menggerakkan tongkatnya dengan pengerahan tenaga, menangkis dan balas menyerang.
Maka terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Sekarang Cu Leng Si tidak dibantu oleh anak buah Liong-li-pang. Dahulu pun biar dibantu anak buah Liong-li-pang, dia tidak akan mampu mengalahkan Han Lin kalau saja mereka tidak menggunakan jala. Maka kini Han Lin yang memang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi, dengan mudah mendesaknya dan ketika Leng Si agak terlambat menangkis, ujung tongkat di tangan Han Lin sudah berhasil menotok dengan cepat bertubi-tubi ke arah tiga jalan darahnya sehingga membuat wanita itu terkulai lemas.
Karena Han Lin tak ingin membunuh wanita itu dan tidak ingin melukainya pula, dia cepat menangkap tubuh yang terkulai itu agar tidak terluka pedangnya sendiri. Dia mengambil sepasang pedang, menyarungkan kembali ke punggung Cu Leng Si, kemudian membawa tubuh wanita itu menuju ke kuda yang sedang makan rumput. Tubuh wanita itu diletakkan melintang dan menelungkup di atas punggung kuda,. Dia sendiri lantas melompat ke atas kudanya dan menjalankan kudanya perlahan meninggalkan tempat itu.
Dia menawan Cu Leng Si untuk membujuknya supaya suka mengatakan di mana adanya Sam Mo-ong atau mengaku apakah wanita itu memang terlibat dalam pencurian pedang. Setidaknya dia akan dapat membalas perlakuan Leng Si ketika dulu menawannya, walau pun tentu saja dia tidak akan menyiksa wanita itu.
“Nah, rasakan kau sekarang. Dulu kau pernah menawan dan menyiksaku, sekarang kau menjadi tawananku!” kata Han Lin dengan hati penuh bangga rasa kemenangan. Namun tiba-tiba dia terkejut ketika mendengar wanita itu terisak menangis!
“Ehh? Kenapa menangis? Aku belum menyentuhmu, belum menyiksamu. Dahulu engkau menyeret aku di belakang kudamu, bahkan menggantungku. Sekarang engkau hanya aku bawa di atas kuda, kenapa menangis?”
Han Lin memang mempunyai kelemahan. Dia tidak tega mendengar wanita menangis. Dia pun menghentikan kudanya lantas melompat turun agar dapat melihat wajah Leng Si yang menelungkup melintang di atas punggung kuda.
Wanita itu benar-benar menangis. Air matanya bercucuran menuruni ke pipinya.
“Eh, Cu Leng Si, engkau kenapa? Aku tidak mengganggumu sama sekali, kenapa engkau menangis?” tanya Han Lin.
“Han Lin, kau bunuh saja aku. Tidak ada gunanya lagi hidup ini bagiku. Dari pada engkau hina seperti ini, lebih baik bunuh saja!” Dan tangisnya semakin mengguguk.
Lemas rasa hati Han Lin. Dia pun menepuk pundak wanita itu, membebaskan totokannya. “Wah, engkau tidak adil!” seru Han Lin. “Dahulu ketika engkau menawanku, apa yang kau lakukan padaku? Sudah lupakah engkau? Engkau menyeret-nyeret tubuhku dengan kuda, engkau menggantungku dan entah perbuatan apa lagi yang kau lakukan kepadaku kalau saja Kwan Im Sianli tidak muncul. Sekarang aku hanya menelungkupkanmu di atas kuda. tetapi engkau sudah menangis begitu sedih.”
Leng Si duduk di atas tanah sambil mengusap air matanya. “Aku sudah putus harapan. Kalau aku menyiksamu, karena aku memang sangat membutuhkan pedang itu. Mengapa engkau tidak mau berterus terang mengatakan di mana Ang-in Po-kiam? Kalau aku tidak mendapatkan pedang itu, ahh, celaka...!”
“Engkau ini bagaimana sih? Sudah kukatakan berulang kali bahwa pedang itu dicuri orang dan pencurinya mungkin Sam Mo-ong. Akan tetapi engkau tidak percaya kepadaku! Lagi pula, mengapa engkau mati-matian hendak mendapatkan pedang pusaka itu? Untuk apa bagimu?”
“Untuk kukembalikan kepada Sribaginda Kaisar agar ayahku dibebaskan.”
“Ehhh?! Ayahmu ditangkap? Kenapa? Apa yang terjadi? Enci yang baik, harap ceritakan kepadaku, siapa tahu akan dapat aku menolongmu.”
Cu Leng Si menghela napas panjang dan menghapus air matanya.....
“Ayahku adalah seorang pejabat di kota raja. Karena ayah berani menentang kekuasaan Kui-thaikam yang menguasai istana, malah mempengaruhi Kaisar, maka Kui-thaikam lalu menjatuhkan fitnah kepadanya. Kini ayah menjadi tahanan atas perintah kaisar yang telah dihasut oleh Kui-thaikam. Nah, kalau aku mengembalikan pedang Awan Merah, aku dapat minta kepada Kaisar supaya ayahku dimaafkan dan dibebaskan, akan tetapi engkau tidak mau menyerahkan pedang itu.”
“Aku berani sumpah, enci. Pedang itu dicuri orang.” Han Lin lantas menceritakan tentang penyergapan atas dirinya di dalam kuil. “Agaknya Sam Mo-ong yang melakukannya dan pedang itu kini tentu berada di tangan mereka. Kalau pedang itu dapat kurampas kembali kemudian kuhaturkan kepada Sribaginda Kaisar, tentu aku akan memohon kepada beliau untuk membebaskan ayahmu. Siapakah nama ayahmu, enci?”
“Namanya Cu Kiat Hin, pejabat bagian perpustakaan istana,” jawab Leng Si. “Han Lin, kau maafkan aku atas kekasaranku kepadamu. Kiranya engkau baik sekali. Aku berjanji akan membantumu untuk mendapatkan kembali Ang-in Po-kiam, setelah itu kita bersama nanti menghadap kaisar. Kau mau memaafkan aku, bukan?”
“Sebelum ini telah kumaafkan, enci. Kwan Im Sianli juga telah memintakan maaf untukmu kepadaku.”
“Terima kasih. Ternyata engkau adalah seorang pendekar sejati. Kalau saja aku memiliki seorang adik sepertimu ini, tentu akan dapat bantu memikirkan keadaan ayahku.”
“Mengapa tidak, enci? Aku seorang yatim piatu dan sebatang kara, biarlah aku menjadi adikmu dan engkau menjadi enci-ku.”
“Terima kasih, adik Han Lin! Kini hatiku terasa lebih ringan. Agaknya timbul keyakinanku bahwa dengan bantuanmu, tentu ayahku akan dapat dibebaskan kembali. Sekarang aku akan membantu mencari keterangan tentang Sam Mo-ong.”
“Baiklah, enci. Kita masing-masing mencari dan kalau sudah berhasil, kita saling jumpa di Souw-ciu. Di taman bunga umum.”
“Baik, nah, selamat berpisah, adikku!”
“Selamat berpisah, enci-ku yang baik!”
Mereka pergi meninggalkan tempat itu, Leng Si menunggang lagi kudanya dan Han Lin berjalan kaki. Hatinya terasa senang dan kakinya terasa ringan. Pertemuannya dengan Leng Si yang akhirnya mengakuinya sebagai adik itu mendatangkan perasaan haru dan senang. Tahulah dia bahwa Cu Leng Si bukan wanita jahat. Kalau dulu dia bersikap kejam dan keras adalah karena dia dihimpit perasaan khawatir tentang ayahnya yang ditangkap atas fitnah Kui-thaikam.
Dalam perjalanannya mengejar dan mencari Sam Mo-ong, pada suatu hari Han Lin tiba di tepi Huang-ho (Sungai Kuning), di dekat kota Lan-chouw. Han Lin membeli sebuah perahu kecil kemudian mendayung perahu itu untuk menuju ke Yin-coan yang terletak di daerah Mongolia Dalam.
Sudah dua hari dua malam dia berperahu. Dia hanya berhenti untuk membeli makanan di dusun-dusun para nelayan di pinggir sungai. Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali perahunya telah meluncur cepat. Kota Yin-coan tidak terlalu jauh lagi. Paling lambat pada besok pagi dia sudah akan sampai. Maksudnya kalau di Yin-coan dia tidak mendapatkan keterangan, dia akan terus mengejar sampai ke utara!
Tiba-tiba nampak banyak perahu hitam di depan. Tadinya Han Lin mengira bahwa mereka adalah para nelayan yang sedang mencari ikan. Akan tetapi dia mulai merasa curiga dan cepat bersiap siaga ketika mereka membentuk formasi menghadangnya. Setelah mereka dekat, dia merasa terkejut dan heran sekali.
Ada tujuh buah perahu, masing-masing ditumpangi lima orang dan mereka semua adalah para wanita! Yang berada paling depan dan berdiri di kepala perahu adalah seorang wanita yang berusia sekitar dua puluh lima tahun, cantik manis dan gagah sekali, dengan senjata golok telanjang terselip di pinggang!
”Hei, kenapa kalian menghadang di tengah? Minggirlah dan biarkan aku lewat!” teriak Han Lin.
Wanita cantik itu bertanya kepada anak buahnya yang berada di perahunya. “Benarkah dia? Kalian tidak salah lihat?”
“Tidak salah lagi, pangcu (ketua). Benar dialah pemuda yang mempunyai Ang-in Po-kiam dan dulu pernah ditawan Jeng-i Sianli Cu Leng Si!” jawab seorang anak buahnya.
Wanita itu lalu menudingkan golok yang sudah dicabut dari pinggangnya ke arah Han Lin. “Cepat kau serahkan Ang-in Po-kiam kepadaku kalau kau ingin lewat dengan selamat!”
Han Lin menjadi marah. Dia sudah kehilangan pedang dan kini sedang dicari-carinya, tapi ada saja orang yang hendak merampas pedang yang belum ditemukan kembali itu.
“Aku tidak punya Ang-in Po-kiam,” katanya terus terang.
“Bohong! Kalau engkau tidak mau mengaku maka engkau harus menyerah untuk menjadi tawanan kami sampai pedang itu dapat kami temukan!”
“Kalian ini orang-orang perempuan macam apa? Tidak ada hujan tidak ada angin hendak menawan orang!” Han Lin berseru marah dan kini dia sudah melintangkan tongkatnya di depan dada.
“Awas, pangcu. Dia lihai sekali. Bahkan Jeng-i Sianli tidak akan mampu mengalahkannya kalau tidak kami bantu dengan jala,” kata seorang anak buah.
Maka tahulah kini Han Lin bahwa para anak buah ini adalah mereka yang dulu membantu Cu Leng Si menangkapnya dengan jala.
“Semua perahu mundur, menjauhkan diri!” Tiba-tiba wanita cantik itu memberi aba-aba.
Han Lin menjadi lega melihat mereka semua mendayung perahu menjauhkan diri dan dia pun hendak melanjutkan perjalanan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat dengan kaget bahwa para wanita itu melompat ke dalam air kemudian menyelam. Kini mengertilah dia dengan terlambat bahwa perahu-perahu itu menjauhkan diri dari perahunya supaya dia tidak dapat melompat ke perahu mereka!
Han Lin segera maklum apa yang akan mereka lakukan, maka dia pun mulai mendayung perahunya untuk minggir dan mendarat. Akan tetapi usahanya terlambat sudah. Agaknya para wanita itu memang ahli renang yang pandai, karena sebentar saja dia sudah merasa perahunya terguncang-guncang ke kanan-kiri. Tentu diguncang dari bawah.
Dia tidak dapat menyerang mereka karena mereka tidak nampak, maka dia hanya berdiri mengatur keseimbangan badannya. Namun tiba-tiba perahunya miring kemudian terbalik sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya juga terjun ke dalam air.
Kalau hanya berenang biasa saja, Han Lin juga dapat. Akan tetapi dibandingkan dengan para wanita itu yang rata-rata dapat bergerak seperti ikan di dalam air, maka gerakannya tidak ada artinya. Tak lama kemudian dia sudah meronta-ronta karena kakinya ada yang memegangi dan menarik. Dia menendang-nendang, akan tetapi yang memegangi kakinya banyak sekali, dan tubuhnya sudah diseret masuk ke dalam air.
Han Lin gelagapan, mencoba menahan napas, namun akhirnya dia terpaksa minum air dan menjadi lemas. Dia sudah tidak sadarkan diri ketika ditarik ke atas perahu, kemudian tubuhnya dijungkirkan agar air dari dalam perutnya dapat keluar dari mulut.
Ketika sadar kembali, ternyata dia sudah berada di dalam sebuah rumah, rebah telentang di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu erat-erat. Han Lin maklum bahwa selain dibelenggu kaki tangannya, tubuhnya juga ditotok secara lihai sekali sehingga biar pun tidak lumpuh, namun dia merasa lemas dan ketika dia mencoba untuk mengerahkan sinkang-nya, maka lambungnya terasa nyeri.
“Bagus, engkau sudah bangun, tampan?” terdengar suara wanita.
Ketika Han Lin menengok keluar, seorang wanita sudah memasuki kamar itu. Dia adalah wanita yang tadi dilihatnya pada kepala perahu, wanita yang memimpin para wanita tadi. Sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang putih bersih, wanita cantik itu duduk di tepi pembaringan kemudian tangannya membelai rambut di kepala Han Lin.
Pemuda itu terkejut bukan main melihat kelancangan tangan wanita muda itu. Akan tetapi kelancangan itu ternyata bukan hanya sampai di situ. Wanita itu lantas membungkuk dan mencium pipi Han Lin dengan kecupan mesra.
“Ehh, apa yang kau lakukan ini, nona?” tegur Han Lin kaget dan marah.
“Yang kulakukan? Menciummu, apa lagi? Ini artinya bahwa aku cinta kepadamu. Menurut anak-anak buahku yang dulu membantu Enci Leng Si, namamu Sia Han Lin, bukan? Nah, perkenalkan, namaku Poa Siok Cin, aku ketua dari Liong-lio pang. Dan engkau... engkau telah kupilih menjadi calon suamiku!”
“Tidak, aku tidak mau!” kata Han Lin dengan perasaan ngeri. Agaknya wanita itu gila, atau tidak tahu malu?
“Hi-hik, makin keras kau menolak justru semakin menggairahkan. Aku tidak suka laki-laki yang mata keranjang, kalau diajak kawin, segera mau begitu saja. Engkau keras hati dan gagah, aku cinta sekali padamu, Han Lin! Pendeknya, mau atau tidak mau, engkau harus menjadi suamiku dan kalau engkau terus menolak, engkau akan tetap terbelenggu selama engkau dapat bertahan!”
Wanita itu membungkuk, lalu mencium lagi dan Han Lin sengaja membuang muka untuk menghindarkan ciuman, kemudian wanita itu pergi sambil tertawa-tawa gembira.
Ketika ada anggota wanita datang membawa makanan dan minuman, lantas menawarkan untuk menyuapinya, Han Lin menutup mulutnya dan menolak.
Dua hari dua malam lewat, dan Han Lin hampir tidak kuat lagi. Dia pikir kalau begini terus, jika dia tidak mau menerima makanan dan minuman, tentu tubuhnya akan semakin lemah sehingga tidak ada kemungkinan sama sekali untuk melawan. Juga dia dapat jatuh sakit dan malah mati kelaparan.
Maka pada hari ketiga, ketika anggota wanita itu mengantarkan makanan dan minuman, dia pun berkata, “Aku mau makan kalau kedua tanganku dilepaskan ikatannya. Aku tidak mau disuapi.”
Petugas wanita itu lalu pergi memberi tahu kepada ketuanya. Tidak lama kemudian Poa Siok Cin segera datang sendiri. “Kekasihku yang ganteng, engkau mau makan dan minta kedua tanganmu dibebaskan? Jangankan hanya dua tanganmu, juga kedua kakimu pasti akan kubebaskan kalau engkau menyatakan bersedia menikah denganku.”
Han Lin tidak menjawab, namun Siok Cin segera menotok beberapa jalan darah di tubuh belakangnya yang membuat Han Lin merasa lemas tak berdaya, dan sesudah itu barulah kedua tangannya dibebaskan dari ikatan. Biar pun kedua tangannya sudah bebas, tentu saja Han Lin tak mampu berbuat sesuatu untuk memberontak karena ketika dia mencoba mengerahkan sinkang-nya, lambungnya terasa nyeri sekali.
Maka dia pun tidak mau memberontak. Dia akan menanti saatnya yang baik. Han Lin lalu makan minum dengan lahapnya untuk memulihkan tenaga, tanpa mempedulikan wanita cantik itu menungguinya dan bahkan melayaninya, mengucapkan bujuk rayu yang manis menarik.
Karena Han Lin tampaknya tidak banyak membantah lagi, bahkan diam saja ketika dibelai dan dicium, maka kakinya pun dibebaskan. Namun tetap saja dia tidak berdaya. Kamar itu dijaga ketat oleh beberapa orang wanita dari luar kamar, dan tenaganya sama sekali tidak dapat dipergunakan.
Malam itu Han Lin merasa kegerahan. Tubuhnya terasa panas sementara kepalanya agak pening. Dalam benaknya terbayang wajah wanita-wanita cantik. Wajah Mulani, wajah Can Bi Lan, lalu wajah Kiok Hwi bergantian bermunculan di depan matanya. Kemudian muncul pula wajah Yang Mei Li yang sudah lama dia rindukan, lalu terganti wajah Cu Leng Si dan wajah Kwan Im Sianli Lie Cin Mei. Bahkan yang terakhir wajah Poa Siok Cin!
Teringat dia betapa Siok Cin menciuminya penuh gairah. Seketika itu pula jantung Han Lin berdebar penuh gairah. Dia terkejut. Rangsangan yang hebat bergelombang menghantam perasaannya. Cepat dia duduk bersila di atas pembaringan sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. Akan tetapi lambungnya terasa seperti ditusuk.
Dia lalu menghentikan pengerahan tenaga saktinya dan memusatkan seluruh ingatannya kepada Lo-jin sambil mengingat-ingat semua petuahnya tentang kehidupan. Dengan cara demikian barulah dia dapat mengaburkan serangan gairah yang amat kuat itu.
Namun tidak lama kemudian muncul Siok Cin. “Kekasihku, engkau belum tidur? Apakah engkau sedang menunggu aku? Kekasihku, besok kita akan melangsungkan pernikahan, aku sudah mengirim undangan ke mana-mana. Aihh, kita akan berbahagia sekali.” Wanita itu naik ke pembaringan kemudian merangkul tubuh Han Lin.
Begitu tubuh yang lunak dan hangat itu merengkulnya, rangsangan birahi makin berkobar di dada Han Lin. Samar-samar dia teringat bahwa perasaan ini mulai timbul sesudah tadi dia makan minum, berarti di dalam makanan atau minuman itu tentu mengandung obat perangsang. Kalau tidak demikian, tidak mungkin dia kini terangsang begitu hebatnya.
Dirangkul, dibelai dan dicium Siok Cin, Han Lin semakin rapat memejamkan matanya dan berulang kali menyebut nama Lo-jin, seakan-akan dia mohon kekuatan dari gurunya itu. Dan sungguh aneh, dia dapat melawan gelombang gairah yang amat kuat itu sesudah dia mengulang-ngulang sebutan Lo-jin!
Hal ini lambat laun menjengkelkan hati Siok Cin. Wanita ini tadinya sudah mengharapkan bahwa malam itu Han Lin pasti akan pasrah dan melayaninya dengan penuh gairah. Tidak tahunya pemuda itu tetap saja bersikap dingin walau pun seluruh tubuhnya terasa panas!
“Gila kau! Engkau memilih mati, barang kali?” Akhirnya didorongnya tubuh Han Lin dan ia pun melompat turun, wajahnya kemerahan karena nafsu birahi telah sampai ke ubun-ubun kepalanya namun tidak mendapat sambutan. “Kalau sampai besok engkau tetap berkeras menolakku, maka besok engkau akan kusiksa sampai mati!” Sesudah berkata demikian, Siok Cin meninggalkan kamar itu.
Han Lin menjatuhkan diri rebah telentang sambil terengah-engah. Untung wanita itu tidak tahu betapa tadi dia sudah nyaris menyerah! Betapa hatinya telah menyentak-nyentaknya ingin merangkul, ingin menciumi dan menyatakan cintanya kepada wanita itu. Hampir saja perisai pertahanannya jebol.
“Terima kasih, suhu...!” Berulang kali dia berbisik karena sesungguhnya nama Lo-jin yang telah menyelamatkannya. Nama itu menjadi pegangan terakhir yang digantunginya hingga dia tidak sampai terhanyut.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pelayan sudah datang mengantar sarapan pagi yang nampak lezat sekali, penuh sayur dan daging. Han Lin yang tidak peduli lagi, hanya mengingat bahwa dia harus menjaga kesehatan dan kekuatan tubuhnya, langsung makan dengan lahapnya. Akan tetapi ketika ada orang datang membawakan pakaian pengantin kemudian menyuruh dia memakainya, dia tidak mau.
“Aku tidak mau menikah dengan siapa pun juga. Cepat bawa pergi pakaian ini dan suruh saja pakai pria mana yang mau dipersuami ketuamu!”
Biar pun dibujuk dan diancam, tetap saja Han Lin menolak hingga akhirnya Poa Siok Cin sendiri datang membawa cambuk! “Orang tak tahu diuntung! Tak mengenal budi. Engkau berani menolak memakai pakaian pengantin? Hayo pakai atau aku akan mencambukimu sampai mati!”
Han Lin tidak peduli. “Lebih baik aku mati dari pada menjadi suamimu, pangcu,” katanya dingin.
“Buka bajunya, telanjangi punggungnya!” bentak Poa Siok Cin dengan wajah merah dan mata melotot.
Ini sudah keterlaluan, pikirnya. Masa segala bujukan, ancaman, bahkan obat perangsang tak mampu menundukkan pemuda ini? Dia memang suka kepada pemuda yang tahan uji dan keras hati, akan tetapi kalau ditolak terus akhirnya dia menjadi kehabisan kesabaran. Sebentar lagi para tamu, penduduk dusun di sekitar sini akan berdatangan, dan pengantin pria tetap tidak mau memakai pakaian pengantin. Lalu mau ditaruh ke mana mukanya?
Beberapa orang anak buahnya lantas menelanjangi baju atas Han Lin sampai pemuda itu telanjang mulai dari pinggang ke atas. Kedua tangannya dibelenggu ke belakang lalu dia diikat pada tiang pembaringan.
“Hayo katakan, apakah engkau masih juga tidak mau memenuhi kehendakku, menikah denganku?”
“Tidak sudi!” jawab Han Lin.
“Tar-tarr-tarrr...!” Pecut di tangan Siok Cin meledak-ledak sampai lima kali dan punggung yang putih itu terobek kulitnya sehingga berdarah-darah.
“Sudah cukupkah? Atau masih minta kutambahi lagi? Akan kuhancurkan punggungmu!” bentak Siok Cin.
“Orang muda, sebaiknya engkau menurut saja,” bujuk seorang anggota Liong-li-pang yang berusia empat puluhan tahun. “Pangcu amat sayang padamu dan kalau engkau menikah dengan pangcu maka engkau akan menjadi orang terhormat, apa pun yang kau inginkan tentu akan dipenuhi oleh pangcu. Selama ini belum pernah pangcu mencinta seorang pria seperti kepadamu, orang muda.”
“Poa Siok Cin, engkau wanita iblis. Engkau perempuan tak tahu malu. Lebih baik aku Sia Han Lin mati dari pada harus menjadi suami seorang siluman jahat seperti engkau!” Han Lin yang sudah tidak melihat jalan keluar memaki-maki. Lebih baik mati sebagai seekor harimau dari pada mati sebagai seekor domba yang mengembik minta dkasihani.
“Jahanam busuk!” Kembali cambuk itu melecut dengan lebih keras lagi, sebanyak sepuluh kali.
Kini punggung Han Lin telah merah semua. Dia tidak dapat mengerahkan sinkang untuk membuat kulitnya kebal karena dia tertotok secara istimewa oleh Siok Cin sehingga tiap kali mengerahkan sinkang, lambungnya terasa seperti ditusuk. Dia tahu bahwa itu adalah akibat totokan beracun amat lihai.
Rasa nyeri membuat pemuda ini hampir pingsan. Kekuatannya untuk menahan rasa nyeri sudah hampir melewati batas kemampuannya, namun sedikit pun tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya.
Melihat kekerasan hati ini, Siok Cin semakin kagum dan sayang. Ia berhenti memukul lalu memeluk punggung yang berdarah itu sehingga mukanya menjadi berlepotan darah dari punggung Han Lin.
“Han Lin, ahhh, Han Lin. Aku tidak kuat lagi. Kalau engkau tetap menolak maka terpaksa aku akan membunuhmu!” berkata demikian dia meloncat ke belakang dan…
“Singggg...!” golok itu sudah dicabutnya.
“Hemmm, siluman perempuan. Mau bunuh lekas bunuh. Siapa takut mati?” suara Han Lin dingin sekali dan dia sudah siap untuk mati.
“Keparat! Laki-laki tak berperasaan, laki-laki kejam tak tahu disayang orang. Kalau engkau memilih mati, nah matilah!” Golok itu diangkat lalu menyambar ke arah leher Han Lin.
“Trangggg...!”
Bayangan yang berkelebat masuk melalui jendela dan menangkis golok itu seperti burung garuda terbang saja. Tentu saja Siok Cin terkejut sekali ketika goloknya ditangkis orang sehingga terpental. Ketika dia melihat, ternyata yang berdiri di situ adalah Jeng-i Sianli Cu Leng Si!
Leng Si marah sekali ketika melihat keadaan Han Lin yang punggungnya berdarah-darah itu. “Siok Cin engkau iblis betina keparat! Berani engkau bertindak begini kejam terhadap adikku?”
Wajah Siok Cin agak pucat, akan tetapi perlahan-lahan menjadi merah kembali. Memang dia jeri kepada sahabatnya ini, akan tetapi gairahnya yang sudah memuncak membuat dia menjadi marah dan nekat apa bila bertemu halangan.
“Enci Leng Si, kali ini aku minta engkau jangan mencampuri. Ini adalah urusan antara aku dengan calon suamiku!” bentaknya.
“Apa?! Calon suamimu? Adik Han Lin, benarkah engkau calon suami Siok Cin?”
“Bohong, enci. Ia menawanku dengan menenggelamkan perahuku, kemudian ia memberi racun sehingga tubuhku menjadi lemah dan tidak bisa melawan. Akan tetapi aku menolak menikah dengan siluman ini sehingga dia hendak membunuhku!”
“Keparat engkau, Siok Cin! Kalau memang Han Lin suka menjadi suamimu, tentu aku tak akan mencampuri. Tetapi engkau memaksanya, dan dia adalah adikku, mengerti? Engkau harus bertanggung jawab atas kekejamanmu ini!”
“Leng Si, kau kira aku takut padamu?” Bentak Siok Cin dan dia sudah menyerang dengan goloknya.
Leng Si juga marah sekali. Dia cepat menangkis, lalu balas menyerang. Dua orang wanita itu saling serang seperti dua ekor singa betina berebutan anak. Akan tetapi segera dapat diketahui bahwa Siok Cin masih kalah tingkat. Sesudah dua puluh lima jurus berlalu, Siok Cin hanya mampu menangkis saja dan tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membalas serangan lawannya.
Para anak buah Liong-li-pang berdiri bingung, tidak berani mencampuri. Mereka mengenal siapa Jeng-i Sianli. Biasanya Leng Si diterima sebagai tamu agung karena Leng Si sudah sering kali membantu bila Liong-li-pang menghadapi musuh. Bahkan ketua mereka sudah menganggap Leng Si sebagai kakak sendiri. Tapi kini keduanya berkelahi memperebutkan seorang pria. Mereka tidak berani ikut campur sebab mereka maklum bahwa mencampuri berarti akan mati konyol.
Siok Cin benar-benar telah nekat. Kekecewaan dan kemarahannya akibat ditolak Han Lin kini ditumpahkan kepada Leng Si yang dianggapnya sebagai penghalang. Bahkan timbul dugaannya bahwa Leng Si membela pemuda itu karena hendak memilikinya sendiri!
Akan tetapi bagaimana hebat pun dan nekatnya pun dia mengamuk, tetap saja dia sangat kewalahan hingga pada suatu ketika sebuah tendangan Leng Si telah membuat goloknya terpental. Sebetulnya Leng Si masih suka memaafkannya dan tidak akan membunuhnya. Akan tetapi Siok Cin yang sudah kebakaran api kemarahan itu, biar pun goloknya sudah terlepas, masih maju menubruk dan menggunakan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah Leng Si.
“Kau gila...!” kata Leng Si dan sepasang pedangnya berkelebat.
Darah muncrat dari leher Siok Cin dan ketua Liong-li-pang itu pun roboh tak bergerak lagi, tewas seketika karena lehernya hampir terpenggal oleh pedang Leng Si.
Semua anak buah Liong-li-pang terbelalak kaget, namun dengan tenang Leng Si berseru dengan lantang. “Urus jenazah ketua kalian. Kelak kalau aku singgah di sini, semua harus sudah beres dan jangan sampai Liong-li-pang dibawa menyeleweng!”
Setelah berkata demikian, wanita ini membebaskan totokan Han Lin lalu memapahnya ke pembaringan, mengenakan lagi pakaiannya. Setelah mengumpulkan pakaian Han Lin dan tidak lupa membawa tongkat bututnya, Leng Si lalu menaikkan Han Lin ke atas kudanya dan menuntun kudanya itu meninggalkan Liong-li-pang.
“Adikku yang malang...!”
Han Lin kini merintih, tidak menahan keluhannya karena punggungnya terasa perih ketika diobati oleh Leng Si. Mereka berada di kamar sebuah rumah penginapan di Yin-coan. Dan di kamar itu Leng Si mencuci luka pada punggung Han Lin lantas memberinya obat luka yang amat manjur.
“Aduh, perih sekali, enci...!”
“Tahanlah, adikku yang baik. Aduh, kasihan sekali engkau...! Siok Cin memang agak gila. Dia kejam bukan main...!”
“Tapi engkau sudah membunuhnya, enci.”
“Tentu saja, karena dia nekat terus dan tidak mau sudah. Kalau tidak kubunuh, tentu dia akan terus mengejarmu. Agaknya dia sudah tergila-gila kepadamu, adikku. Ahh, kasihan punggungmu.”
Tiba-tiba Han Lin terkejut bukan main ketika dia merasakan betapa bibir yang hangat dari Leng Si itu mengecup punggungnya yang berdarah.
“Enci, kau...kau...”
Tiba-tiba Leng Si merangkul leher Han Lin dari belakang, kemudian merebahkan mukanya di punggung yang sudah diobatinya itu.
“Ahh...Han Lin..., terus terang saja, selama hidupku aku belum pernah jatuh cinta kepada pria. Sekarang... sesudah bertemu denganmu... sejak pertama kali itu, aku sudah... jatuh cinta kepadamu. Ahh, sungguh memalukan sekali jatuh cinta kepada pria yang jauh lebih muda..., aku... aku memang malang....”
“Aihhh, enci Leng Si. Aku juga sayang kepadamu. Kita adalah kakak dan adik, ingatkah? Seorang kakak tentu saja akan mencinta adiknya, dan si adik juga menyayang kakaknya, bukankah begitu? Ingatlah, enci, jangan merusak hubungan kita yang sudah seperti kakak dan adik sendiri ini. Kumohon padamu, jangan dirusak, enci..”
Leng Si menangis. Menangis terisak-isak di atas pundak dan punggung Han Lin. Han Lin membiarkannya saja. Akhirnya tangis itu mereda lantas berhenti. Leng Si menyusut mata dan hidungnya dengan sapu tangan, kemudian tertawa, namun suara tawanya demikian menyedihkan dan mengharukan.
“Aih, Han Lin, ini namanya orang gila teriak orang lain gila. Aku mengatakan Siok Cin gila, tetapi aku sendiri tidak lebih baik. Aku tergila-gila kepadamu sampai lupa bahwa engkau adalah adikku. Engkau benar, engkau adalah adikku, adikku tercinta!”
Han Lin merasa begitu terharu sampai kedua matanya basah. “Dan engkau adalah enci-ku tersayang, enci Leng Si.”
“Sudah, jangan bicara lagi tentang Siok Cin. Mari kuselesaikan pengobatan punggungmu.”
Setelah pengobatan itu selesai, mereka lalu bicara tentang Sam Mo-ong.
“Aku sudah mendapatkan jejak mereka, Han Lin. Kita sudah mengambil jalan yang benar. Mereka itu pergi ke utara dan mereka tentu akan menyerahkan pedang itu kepada Ku Ma Khan, kepala suku Mongol yang mereka bantu. Kita ikuti saja mereka ke utara.”
“Akan tetapi di sana mereka itu kuat sekali, enci. Kita akan menghadapi pasukan Mongol.”
“Kita mencari jalan bila sudah berada di sana, Han Lin. Tentu saja kita tidak dapat terang-terangan minta kembali pedang, harus menggunakan siasat.”
“Baiklah, enci.”
“Engkau harus beristirahat dahulu, besok kita lanjutkan perjalanan kita ke utara. Aku akan membelikan seekor kuda untukmu.”
Han Lin merasa terharu. Wanita itu benar-benar bersikap seperti seorang kakak baginya.
Pada keesokan harinya, setelah mendapatkan seekor kuda untuk Han Lin, mereka segera melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, baru saja keluar dari kota Yin-coan, mereka melihat tiga orang berjalan kaki dengan langkah cepat sekali. Setelah tiga orang itu dekat, Han Lin mengeluarkan seruan nyaring karena tiga orang itu ternyata adalah Sam Mo-ong yang dicari-cari! Leng Si sudah melompat turun dari atas kudanya. Han Lin juga melompat turun.
“Sam Mo-ong, tiga manusia curang!” bentak Han Lin marah. “Kembalikan Ang-in Po-kiam yang kalian curi dariku!”
Sam Mo-ong juga terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa mereka akan bertemu dengan Han Lin di tempat itu. Mereka sudah tidak dapat menghindar lagi, maka mereka mengambil keputusan bahwa sekali ini mereka harus dapat membunuh pemuda itu kalau mereka tidak ingin mendapat banyak tentangan darinya di kemudian hari.
“Ha-ha-ha, Sia Han Lin. Engkau masih belum mampus juga? Sekarang kebetulan sekali kita bertemu di tempat sunyi ini. Sekali ini kami akan membunuhmu, tidak akan bekerja kepalang tanggung lagi!” kata Kwi-jiauw Lo-mo sambil tertawa.
Kwi-jiauw Lo-mo yang dibantu Pek-bin Mo-ong sudah gagal membalas dendam terhadap ketua Beng-kauw atas kematian cucunya. Hal itu membuatnya marah dan dongkol sekali, maka kini kemarahannya itu hendak ditumpahkan kepada Han Lin, musuh besarnya.
Tubuhnya yang pendek gendut itu memasang kuda-kuda dengan kaki mekangkang lebar seperti katak, dan mukanya yang kekuningan itu agak merah. Sepasang cakar setan telah tersambung pada kedua tangannya, agaknya dia telah mengambil keputusan untuk sekali ini benar-benar dapat membunuh Han Lin.....
Pek-bin Mo-ong juga maju ke samping Kwi-jiauw Lo-mo.
“Sia Han Lin bocah setan. Beberapa kali engkau luput dari maut di tangan kami, sekali ini kami tidak akan salah lagi!” kata Pek-bin Mo-ong yang tinggi kurus itu.
Mukanya yang putih seperti kapur, menjadi lebih putih lagi karena dia sudah mengerahkan sinkang-nya yang hebat, yang menimbulkan hawa panas beracun. Matanya yang sangat sipit sehingga hanya merupakan dua garis seperti menangis. Mantelnya berkibar dan jari tangannya berubah merah.
Maklum bahwa kedua lawan itu nampaknya hendak bertanding mati-matian, Han Lin juga sudah siap dengan tongkatnya, berdiri tegak dengan tongkat melintang di dada, matanya mencorong tajam mengamati gerak-gerik lawan.
Ada pun Hek-bin Mo-ong yang pendek gendut bermuka hitam itu telah menghampiri Leng Si. Dia tersenyum menyeringai lebar, matanya berkedip-kedip. “Ha-ha-he-he-he, Sia Han Lin. Ternyata engkau datang bersama seorang wanita yang begini cantik, begini bahenol, begini jelita. Bagus, biar aku yang menangkap perempuan menggairahkan ini!” Memang kakek pendek ini mata keranjang.
Leng Si memandang dengan wajah merah. “Hek-bin Mo-ong, iblis busuk. Buka matamu yang berminyak itu lebar-lebar dan lihat baik-baik dengan siapa engkau kini berhadapan. Sekali ini, aku Jeng-i Sianli akan mengirim engkau ke neraka!”
“Jeng-i Sianli? Wah-wah, pantas saja engkau berpakaian hijau, kiranya Jeng-i Sianli (Dewi Baju Hijau). Ha-ha-ha-ha, sebentar lagi aku akan membikin engkau menjadi Dewi Tanpa Baju, ha-ha-ha!”
“Jahanam busuk!” bentak Leng Si yang telah mencabut sepasang pedangnya lalu dia pun menyerang dengan dahsyatnya.
Wanita ini bukanlah seorang lemah, maka Hek I Mo-ong tidak berani memandang rendah. Dari sambaran sepasang pedang itu saja maklumlah dia bahwa wanita itu memliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Bajunya yang selalu terbuka itu ujungnya menyambar ke depan dan itulah senjatanya, ujung lengan baju serta ujung baju itu sendiri yang berkibar cukup kuat untuk menangkis senjata tajam lawan, ada pun tangannya cepat menyambar sambil mengeluarkan hawa yang amat dingin beracun.
Ketika tangannya menyambar dan hawa dingin menerjang Leng Si, wanita itu tidak kaget. Dia sudah mendengar dari Han Lin tentang kehebatan tiga orang datuk itu, maka dia tidak membiarkan dirinya terkena pukulan dingin beracun. Dengan melompat ke sana-sini, dia dapat menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan dingin, sambil membalas dengan sepasang pedangnya yang tidak kalah ampuhnya.
Han Lin dikeroyok dua oleh Pek-bin Mo-ong dan Kwi-jiauw Lo-mo. Walau pun dia sudah kehilangan pedang Ang-in Po-kiam, namun dia masih hebat sekali dengan tongkat hitam butut pemberian gurunya. Tongkat itu pendek saja, hanya sepanjang pedang dan dapat ia mainkan sebagai pedang. Maka dia pun menggerakkan tongkatnya dengan ilmu pedang Ang-in Kiam-sut yang digubahnya dari inti ilmu Lui-tai-hong-tung dan Khong-khi-ciang.
Hebat bukan main gerakan tongkatnya itu. Biar pun dikeroyok dua, namun Han Lin sama sekali tidak terdesak, bahkan dia mampu mengimbangi dua orang pengeroyoknya dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Namun dia juga tidak mampu mendesak kedua orang datuk itu yang memang sudah tergolong sakti.
Kalau Han Lin hanya seimbang saja dengan kedua orang datuk itu, maka Leng Si mulai kewalahan menghadapi Hek-bin Mo-ong. Setelah lewat tiga puluh jurus, ia mulai terdesak. Sambaran angin pukulan yang dingin itu kadang membuatnya menggigil. Namun dengan penuh semangat Leng Si terus melawan. Sepasang pedangnya membentuk dua gulungan sinar yang sukar ditembus oleh Hek-bin Mo-ong.
Kadang-kadang Han Lin sempat mengerling ke arah Leng Si. Dia merasa khawatir bukan main melihat enci-nya itu amat kerepotan menandingi Hek-bin Mo-ong yang lihai sehingga karena perhatiannya terpecah, dia sendiri pun mulai terdesak.
Selagi kedua orang itu terdesak, tiba-tiba muncul banyak orang dan betapa kaget hati Han Lin setelah mengenal bahwa yang muncul itu adalah Thian-te Siang-kui yang juga sangat lihai! Bukan mereka berdua saja, bahkan masih ada belasan orang anak buah mereka!
Celaka, pikir Han Lin. Thian-kui segera membantu Kwi-jiauw Lo-mo dan Pek-bin Mo-ong, sedangkan Tee-kui juga maju mengeroyok Leng Si sambil mengeluarkan kata-kata cabul. Sementara itu belasan orang sudah mengepung tempat itu sehingga mereka berdua tidak mempunyai jalan keluar untuk melarikan diri.
Leng Si yang memang sudah cukup kewalahan menghadapi Hek-bin Mo-ong, ketika kini ditambah dengan Tee-kui, tentu saja dia menjadi semakin repot. Sepasang golok Tee-kui menyambut sepasang pedangnya sehingga kini mudah bagi Hek Bin Mo-ong untuk turun tangan. Namun agaknya Hek-bin Mo-ong tidak ingin membunuh wanita itu, hanya hendak merobohkannya saja dengan jarinya yang menghitam. Leng Si mengeluh karena totokan itu mengandung hawa beracun yang melumpuhkan.
Melihat Leng Si roboh, Han Lin marah sekali. Dengan teriakan melengking Han Lin seperti terbang melompat ke arah Hek-bin Mo-ong. Orang pendek gendut ini terkejut bukan main dan menyambut dengan dorongan kedua tangannya. Tetapi Han Lin sudah menggunakan Khong-khi-ciang sehingga tak dapat dicegah lagi tangan Hek-bin Mo-ong bertemu dengan ujung tongkat.
“Tukkk...!”
Hek bin Mo-ong mengeluarkan teriakan aneh, mulutnya muntahkan darah segar dan tiba-tiba dia tertawa kemudian lari tunggang langgang!
Akan tetapi, pada saat Han Lin menyerang Hek-bin Mo-ong, Kwi-jiauw Lo-mo juga sudah menghantam dengan cakar setannya yang mengenai pundak Han Lin sehingga pemuda ini pun terpelanting roboh, lalu disusul totokan oleh Pek-bin Mo-ong. Leng Si dan Han Lin segera dibelenggu.
“Ke mana Hek-bin Mo-ong?” tanya Kwi-jiauw Lo-mo.
“Wah, sudahlah. Orang itu susah diurus. Entah ke mana dan entah kenapa dia lari,” kata Pek-bin Mo-ong bersungut-sungut.
“Sudahlah,” kata Kwi-jiauw Lo-mo. “Kalau tidak dibunuh, tentu pemuda ini akan membikin repot saja di kemudian hari. Biar aku yang akan membunuhnya. Akan tetapi terlalu enak kalau dibunuh begitu saja. Akan kurusakkan seluruh jaringan otot dan tulangnya sehingga dia dalam keadaan mati tidak hidup pun bukan.”
“Lo-mo, serahkan gadis ini kepadaku sebelum dibunuh. Aku telah banyak membantu Sam Mo-ong dan baru sekali ini aku minta hadiah. Tentu boleh, kan?” kata Tee-kui yang cabul itu sambil memondong tubuh Leng Si yang sudah ditelikung tak berdaya itu.
“Hemm, bawalah. Akan tetapi jangan lupa, setelah puas langsung dibunuh saja. Dia pun akan membikin repot di kemudian hari.”
“Baik, Lo-mo. Terima kasih banyak!” Tee-kui bersorak girang dan hendak membawa pergi tubuh Leng Si.
“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua orang terkejut ketika melihat bahwa yang membentak adalah Mulani!
Tee-kui yang sudah kegirangan itu tidak jadi pergi. Mulani mengerutkan sepasang alisnya sambil memandang kepadanya.
“Tee-kui, lepaskan wanita itu!”
“Tapi, puteri... Kwi-jiauw Lo-mo telah memberikan...”
“Tutup mulut dan lepaskan wanita itu kataku!”
Tee-kui masih belum mau melepaskan wanita yang dipondongnya. Matanya mencari dan memandang kepada Kwi-jiauw Lo-mo. Kakek ini menghela napas panjang lantas berkata kepadanya,
“Lepaskan dia!”
Dengan kecewa dan marah Tee-kui segera melepaskan pondongannya sehingga Leng Si jatuh berdebuk di atas tanah, kemudian Thian-te Siang-kui dan anak buahnya pergi dari situ dengan alis berkerut akan tetapi tidak berani membantah.
“Akan tetapi Mulani...” bantah Kwi-jiauw Lo-mo. “Mereka ini akan berbahaya sekali kalau dibiarkan hidup!”
“Suhu, sudah lupakah suhu akan pembicaraan kita dengan ayah? Apakah suhu hendak melanggar perintah ayah? Suhu, bebaskan Han Lin dari totokannya dan tinggalkan kami pergi,” dengan suara lembut namun bernada memerintah Mulani berkata.
Kwi-jiauw Lo-mo tidak berani membangkang. Dia tahu betapa besar rasa sayang Ku Ma Khan kepada puterinya ini. Apa lagi dia memang sudah mendengar mengenai siasat yang hendak dijalankan Mulani terhadap pemuda itu. Dia lalu membebaskan totokan dari tubuh Han Lin.
Begitu terbebas dari totokan, Han Lin lalu melompat ke dekat Leng Si dan membebaskan gadis itu dari totokan. Sesudah Leng Si bebas, Mulani lalu berkata kepadanya, “Sekarang engkau telah bebas dan baru saja kuhindarkan engkau dari mala petaka yang lebih hebat dari pada maut. Nah, kuminta engkau segera pergi meninggalkan kami berdua.”
Leng Si mengerutkan alisnya hendak membantah. Namun ketika da memandang kepada Han Lin, pemuda ini mengangguk dan berkata, “Enci, harap engkau suka pergi lebih dulu, nanti aku menyusul,” kata-kata Han Lin ini terdengar tegas.
Maka tahulah Leng Si bahwa tidak ada pilihan lain baginya kecuali menurut kata-kata Han Lin. Bagaimana pun juga harus diakuinya bahwa gadis Mongol itu baru saja menolongnya dari bahaya yang mengerikan di tangan Tee-kui.
“Hemm, aku akan pergi, tetapi aku bersumpah kelak akan membalas kejahatan Thian-te Siang-kui dan antek-anteknya!” Sesudah berkata demikian dia membalikkan tubuhnya lalu berlari pergi dari tempat itu.
Setelah semua orang pergi, tinggal mereka berdua yang berada di situ, Mulani mendekati Han Lin lalu berkata, “Han Lin, kalau aku tidak datang menyelamatkanmu, tentu gadis itu sudah diperkosa oleh Tee-kui dan engkau sendiri sudah dibunuh oleh Kwe-jiauw Lo-mo. Apa katamu setelah kuselamatkan?” Mulani tersenyum sambil mendekati pemuda itu.
Han Lin memandang gadis itu dengan ramah dan tersenyum pula. “Mulani, bukan hanya sekali ini aku menerima pertolonganmu. Ketika aku dikeroyok oleh Sam Mo-ong dahulu, engkau pun sudah menyelamatkanku. Sehingga aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa engkau menentang guru-gurumu sendiri dan menyelamatkan aku?”
“Han Lin, apakah engkau masih juga belum tahu akan isi hatiku? Sejak dulu aku merasa kagum dan suka sekali kepadamu, dan sekarang aku bahkan jatuh cinta kepadamu. Han Lin, maukah engkau menjadi suamiku?”
Han Lin terbelalak, akan tetapi lalu teringat bahwa Mulani adalah suku Mongol. Dia pernah mendengar bahwa sudah menjadi kebiasaan suku Mongol bila seorang wanita meminang pria untuk menjadi suaminya.
“Mulani, sekarang bukan saatnya aku berbicara tentang perjodohan. Aku sedang mencari pedangku yang hilang dan sekali ini aku sangat yakin bahwa hilangnya pedang tentu ada hubungannya dengan perbuatan Sam Mo-ong. Kalau benar engkau beritikad baik padaku, tentu engkau juga tahu siapa yang mencuri Ang-in Po-kiam dan suka mengembalikannya kepadaku.”
“Han Lin, pedang itu pasti akan kukembalikan kepadamu, akan tetapi dengan syarat jika engkau suka menjadi suamiku. Pedang itu sudah berada di tangan ayah, dan aku hendak menggunakannya sebagai hadiah pernikahan kita. Bagaimana, Han Lin? Kau tentu tahu bahwa berulang aku menolongmu tentu ada sebabnya dan sebab itu adalah bahwa aku mencinta engkau.”
Han Lin terkejut. Jadi untuk itukah Mulani mengerahkan guru-gurunya mencuri Ang-in Po-kiam. Untuk memaksanya menikah dengannya? Dia menghela napas panjang.
“Mulani, aku kagum dan suka sekali padamu. Engkau adalah seorang gadis yang cantik dan sama sekali tidak jahat. Tapi sayangnya berguru kepada tiga orang datuk sesat maka ikut-ikutan menjadi sesat. Pernikahan harus dilakukan dengan suka rela, atas dasar rasa cinta kedua pihak. Engkau tidak dapat memaksakan pernikahan, Mulani.”
“Akan tetapi aku cinta kepadamu, Han Lin. Kalau engkau suka menikah denganku, pasti Ang-in Po-kiam akan kuberikan kepadamu!”
“Mulani, kalau engkau hendak memaksa seorang pria untuk menikah denganmu, padahal pria itu tidak mencintamu, maka engkau akan menjadi seorang wanita yang tak tahu malu, Mulani.”
“Plakkk...!” tamparan Mulani itu keras sekali.
Han Lin memang sengaja tidak mau menangkis atau mengelak sehingga ujung bibirnya pecah berdarah terkena tamparan Mulani. Kalau Han Lin tenang saja, adalah Mulani yang terbelalak dengan muka pucat, menatap wajah Han Lin yang bibirnya berdarah, kemudian mendadak dia menangis, lalu merangkul leher Han Lin dan menciumi mulut yang berdarah itu, mengisap darah dari bibir Han Lin sambil menangis.
“Han Lin... ahh…, tega benar engkau menolakku, menyakiti hatiku dengan kata-katamu... padahal aku sangat mencintamu, Han Lin...!” Mulani menangis dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar sandiwara agar dapat memanfaatkan Han Lin seperti yang diceritakannya kepada ayahnya.
Han Lin mengelus rambut Mulani. Dia tidak marah. Bahkan dia merasa iba kepada gadis ini, dapat merasakan betapa rasa cinta gadis Mongol ini kepadanya. Tapi di dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada gadis ini. Dia tahu bahwa jika dia menerima berdasarkan iba, maka berarti dia akan merusak hidup mereka berdua.
“Mulani, maafkanlah aku, Mulani. Seperti kukatakan tadi, aku kagum dan suka padamu, akan tetapi rasa cinta tidak dapat dipaksakan, Mulani!”
Han Lin dan Mulani begitu tenggelam di dalam perasaan masing-masing sehingga mereka tak menyadari betapa ada sepasang mata yang tengah mengintai mereka dari jarak yang tak begitu jauh. Pemilik sepasang mata ini adalah Can Kok Han.
Seperti yang kita ketahui, Can Kok Han masih merasa penasaran sekali melihat pedang di tangan Han Lin. Putera ketua Pek-eng Bu-koan ini ingin sekali mendapatkan pedang itu, maka dia pun mencari jejak Han Lin.
Ketika melihat Han Lin dan Leng Si dikeroyok, dia lantas menonton sambil bersembunyi. Hatinya yang telah diracuni kebencian terhadap Han Lin itu merasa girang melihat Han Lin dan Leng Si tertawan Sam Mo-ong. Akan tetapi betapa kecewanya melihat Mulani datang menolong Han Lin, terutama sekali ketika melihat Mulani merayu Han Lin, hatinya terasa seperti dibakar. Perasaan iri hati dan cemburu membakar dirinya, membuat kebenciannya terhadap Han Lin semakin menghebat.
Orang bijaksana harus selalu waspada terhadap diri sendiri dan selalu ingat bahwa nafsu adalah bisikan setan yang hanya dapat dikalahkan oleh kekuasaan Tuhan. Musuh yang terbesar berada di dalam hati akal pikiran kita sendiri yang bergelimang nafsu. Sekali saja pencuri-pencuri berupa bermacam nafsu itu dibiarkan masuk, maka celakalah kita.
Kok Han adalah putera ketua Pek-eng Bu-koan yang selalu menjunjung tinggi kegagahan. Akan tetapi sekali nafsu kebencian sudah merasuk hatinya, maka segala macam nilai dan norma kegagahan pun ditinggalkan demi tercapainya balas dendam kebenciannya.
Saat melihat Mulani menyatakan cintanya kepada Han Lin, Kok Han merasa iri hati sekali karena sejak pertama dia sudah tergila-gila kepada gadis Mongol ini. Kini melihat Mulani menciumi Han Lin dan merayunya, merengek minta dinikahi, hampir dia tak mampu lagi menahan kemarahan dan kebenciannya terhadap Han Lin.
Dia memiliki semacam obat peledak buatan ayahnya. Obat peledak ini mengandung daya bius dan menurut pesan ayahnya hanya boleh digunakan untuk menyelamatkan diri saja apa bila sudah terdesak. Ketika dahulu dia berkelahi melawan Tee-kui dan hampir celaka, dia tidak membawa obat peledak ini. Sejak pengalaman itu, dia pun selalu membekali diri dengan obat peledak itu untuk berjaga diri. Kini, melihat betapa Mulani merangkul Han Lin sambil menangis, tanpa disadarinya lagi tangannya mengambil dua buah obat peledak itu lalu dengan cepat dia membanting dua buah bola peledak itu dekat Han Lin dan Mulani.
Terdengar dua kali suara ledakan lantas nampak asap mengepul tebal menyelimuti tubuh Han Lin dan Mulani. Kok Han yakin sekali akan hasil senjata rahasianya, maka dia segera mendekat sambil menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Begitu melihat tubuh Mulani telah menggeletak telentang dalam keadaan pingsan, dia cepat memondong tubuh itu lalu membawanya keluar dari gumpalan asap pembius.
Dia merebahkan tubuh Mulani di atas rumput di dalam hutan kecil seberang jalan itu dan melihat tubuh itu, merasa betapa lembut serta hangat tubuh itu tadi dalam gendongannya, kemudian teringat betapa gadis yang membuatnya tergila-gila ini jatuh cinta kepada Han Lin, pemuda yang dibencinya, maka setan dan iblis merasuki hati Kok Han. Gairah birahi menggulungnya sehingga dia tak mampu bertahan lagi. Tanpa mempedulikan lagi segala akibatnya, dia lalu menanggalkan pakaian Mulani.
Maka terjadilah perbuatan keji yang terkutuk. Dengan sepenuh hati, dengan kasih sayang yang memuncak, Kok Han menggauli dan memperkosa gadis yang masih dalam keadaan terbius itu. Sesudah semuanya berakhir barulah dia sadar akan kejinya perbuatannya dan dia merasa menyesal bukan main. Akan tetapi sesal itu hanya melahirkan pemutaran otak bagaimana agar dia terhindar dari akibatnya.
Segera dia memondong tubuh yang telanjang dari Mulani, kembali ke tempat di mana Han Lin sedang rebah dalam keadaan pingsan. Dia mengambil pakaian Mulani, lantas ditaruh berserakan di tempat itu dan dia pun menelanjangi Han Lin. Sesudah menghapus semua tanda-tanda peledakan dua buah bola peledaknya, Kok Han lalu pergi dengan diam-diam.
Dia sudah menggauli Mulani. Walau pun akhirnya Mulani akan menikah dengan Han Lin, namun dia telah mendahului pemuda itu, telah memerawani Mulani. Iblis dalam benaknya tertawa-tawa penuh kegembiraan, menertawakan pemuda yang dibencinya dan sekaligus menertawakan gadis yang dicintanya tetapi malah mencinta pemuda yang dibencinya itu.
Pengaruh obat bius itu memang hebat. Tidak kurang dari empat jam Mulani dan Han Lin menggeletak pingsan dalam keadaan telanjang bulat. Sebelum pergi tadi, dengan cerdik Kok Han sudah menciumkan obat penawar dari sebuah botol kecil. Inilah yang membuat gadis itu lebih dulu siuman, seperti yang dikehendakinya.
Ketika Mulani sadar, dia menggigil kedinginan akan tetapi dia lalu terbelalak memandang tubuhnya sendiri yang telanjang bulat serta pakaiannya yang berserakan di sekelilingnya. Kemudian dia menjerit ketika melihat tubuh Han Lin menggeletak tak jauh dari situ dalam keadaan telanjang bulat pula.
Jerit tangis Mulani menyadarkan Han Lin dari pingsannya. Dia membuka matanya dan dia pun terkejut setengah mati ketika melihat dirinya telanjang bulat, demikian pula diri Mulani yang kini menangis sesenggukan. Dia cepat mengenakan pakaiannya kembali dan sambil membelakangi Mulani dia berkata,
“Mulani, kenakan pakaianmu, baru kita bicara.” Suaranya gemetar penuh kegelisahan.
Apa yang dilihatnya tadi membuatnya mengingat-ingat. Bagaimana mungkin tiba-tiba dia bertelanjang bulat bersama Mulani di tempat itu? Dia teringat betapa tadi Mulani menangis di pundaknya, minta diambil sebagai isteri, kemudian terdengar ledakan, timbul asap tebal dan dia pun tidak ingat apa-apa lagi. Bagaimana tahu-tahu kini mereka bertelanjang bulat bersama?
Mulani masih terisak saat dia mengenakan pakaiannya, kemudian berkata, “Han Lin, tidak kusangka engkau akan sekejam itu kepadaku. Yang kukehendaki bukan cara begini, akan tetapi kita menikah dulu dengan resmi, setelah itu baru kita dapat menjadi suami isteri...” Gadis itu menangis lagi. “Akan tetapi aku...kau...ahh, kau telah menodaiku...”
Han Lin terbelalak. “Mulani! Apa kau kata? Aku... aku tidak melakukan kekejian itu. Sejak tadi aku pingsan dan baru saja aku siuman!”
“Han Lin, apakah salah dugaanku selama ini bahwa engkau seorang jantan yang selalu mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Apakah engkau hanya seorang pengecut yang mempergunakan kesempatan kemudian tidak mau mengakui?”
“Tapi... tapi... aku tidak mengerti, Mulani.”
“Han Lin, begitu siuman aku mendapatkan diriku telanjang bulat dan sudah ternoda. Ada pun engkau… engkau rebah di sini, juga telanjang bulat. Haruskah aku menjelaskan lebih jauh lagi? Engkau tidak mau bertanggung jawab? Bagaimana jika seluruh dunia kangouw mendengar akan perbuatanmu ini?” Sambil berkata Mulani masih terus menangis.
Han Lin tertegun. Dia percaya pada Mulani. Jelas bahwa Mulani diperkosoa orang selagi pingsan seperti dia, tetapi siapa yang melakukannya, di luar kesadarannya? Rasanya tak mungkin. Akan tetapi siapa yang mau percaya kalau mendengar keadaan mereka berdua bertelanjang di tempat itu? Apakah asap pembius itu mengandung obat perangsang yang membuat dia lupa diri sehingga menggauli Mulani?
Melihat pemuda itu terlongong saja, Mulani menjerit sambil menangis tersedu-sedu. “Han Lin... engkau… engkau tak mau bertanggung jawab? Lebih baik aku mati, biar aku bunuh diri di depanmu!” Gadis itu lalu menyambar pedangnya.
Han Lin melompat dan merampas pedang itu. “Mulani, jangan berbuat bodoh. Tentu saja aku bertanggung jawab, kalau memang aku yang melakukan perbuatan itu.”
“Kalau benar melakukan perbuatan itu? Habis siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini dan orang-orang pembantu ayahku tak mungkin berani melakukannya. Engkaulah pelakunya, kau sadari atau tidak. Engkaulah yang melakukannya!”
“Baiklah, Mulani. Aku adalah seorang laki-laki, kalau memang demikian halnya, tentu saja aku berani bertanggung jawab. Aku akan menikahimu.”
“Sekarang juga, Han Lin. Mari kuhadapkan engkau kepada ayahku agar pernikahan kita dapat segera dilangsungkan.”
Karena sudah tak berdaya dan tidak dapat menuduh siapa yang melakukan perbuatan itu selain dia sendiri, terpaksa Han Lin menurut. Kemudian dia bersama Mulani melakukan perjalanan cepat ke utara dengan menunggang kuda…..
********************
Ku Ma Khan tentu saja girang sekali menerima kedatangan puterinya yang menggandeng seorang pemuda tampan dan gagah yang diperkenalkannya sebagai Han Lin, kekasihnya yang sudah dipilihnya untuk menjadi suaminya. Seluruh keluarga itu bergembira, terutama Ku Ma Khan yang menyangka bahwa puterinya telah berhasil dengan siasat yang mereka rencanakan, yaitu membujuk Han Lin agar menjadi suami Mulani kemudian orang muda itu dapat dijadikan mata-mata setelah memperoleh hadiah kedudukan di kota raja.
Atas desakan Mulani, juga atas persetujuan Han Lin yang tidak dapat berbuat atau bicara banyak, pernikahan itu lalu dilangsungkan, tanpa menanti kembalinya Sam Mo-ong yang sedang melaksanakan tugas lainnya, yaitu menghubungi Kiu Thai-kam di istana Kerajaan Tang. Mulani yang mendesak agar tidak usah menanti mereka.
Setelah sebulan pernikahan dirayakan, Han Lin tetap tidak mau menggauli Mulani.
“Sekali saja, apa bila hal itu memang benar terjadi, merupakan perbuatan terkutuk dariku. Oleh karena itu, sebelum aku dapat menjadi suamimu dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya, lebih dulu aku ingin bersembahyang di depan makam ayah bundaku untuk mohon ampun atas perbuatanku yang memalukan nama leluhur itu, Mulani.”
“Akan tetapi kita sudah menikah, Han Lin. Kini aku telah menjadi isterimu yang sah dan engkau sudah menjadi suamiku,” bantah Mulani yang tentu saja merasa tidak senang dengan sikap suaminya.
“Benar, akan tetapi sebelum aku bersembahyang di hadapan makam orang tuaku di kota raja, maka apa yang terjadi di hutan itu sungguh akan selalu menjadi kenangan terburuk dan mendatangkan perasaan berdosa dalam hatiku. Kuharap engkau suka bersabar dan memaklumi keadaanku, Mulani.”
Mulani tidak dapat memaksa, meski pun di dalam hatinya dia merasa amat gelisah karena ternyata dia sudah mengandung akibat hubungan badan yang terjadi di luar kesadarannya itu. Sebetulnya di dalam hati kecilnya dia juga meragu apakah benar Han Lin yang sudah menggaulinya. Melihat watak dan sikap Han Lin, agaknya sukar dipercaya bahwa Han Lin akan mengambil kesempatan seperti itu untuk bertindak keji.
Bahkan dia sendiri menyaksikan bahwa ketika dia sadar lebih dulu, Han Lin masih belum siuman. Akan tetapi, kalau tidak menuduh Han Lin, lalu menuduh siapa? Dan peristiwa itu bahkan telah menolongnya, menolong tercapainya siasat yang direncanakan.
Tentu saja dia merasa gembira sekali dengan terjadinya peristiwa yang menimpa dirinya. Peristiwa itu sudah mendatangkan dua hasil. Pertama, keinginannya untuk menjadi isteri Han Lin terkabul, dan ayahnya dapat menanam seorang mata-mata di istana Kaisar Tang. Sebagai seorang mantu tentu saja Han Lin dapat dipercaya.
Akan tetapi, sejak malam perayaan sampai sebulan lebih, Han Lin menolak menggaulinya sebagai seorang suami, dengan alasan hendak berziarah dahulu ke makam orang tuanya. Pagi hari itu, pasangan suami isteri yang dari luar nampak rukun itu duduk makan pagi di beranda depan. Dalam kesempatan ini Han Lin mengutarakan maksud hatinya.
“Mulani, kuharap engkau tidak melupakan janjimu tentang Ang-in Po-kiam,” dia mulai.
“Suamiku, aku pun ingin menagih hakku. Semenjak pernikahan kita, engkau belum benar-benar menjadi suamiku.”
“Mulani, bukankah sudah kuberi tahukan alasanku? Walau pun di luar kesadaranku, tetapi kita sudah pernah berhubungan sebagai suami isteri, bukan?”
Mulani menghela napas panjang. “Benar, dan yang satu kali itu telah diberkahi para dewa, suamiku. Aku telah mengandung sebagai akibat hubungan kita yang satu kali itu.”
“Apa...?!” Han Lin melompat berdiri.
“Suamiku, mengapa engkau terkejut? Sepatutnya engkau bergembira, bukankah kita akan mempunyai anak, mempunyai keturunanmu?”
Han Lin menghela napas panjang. “Memang seharusnya kita bergembira. Tadi aku hanya terkejut karena tak menyangka bahwa perbuatan di luar kesadaran itu akan membuahkan seorang anak.”
“Sekarang, keinginanmu bagaimana, Han Lin suamiku?”
“Seperti yang kukatakan tadi, aku menagih janjimu. Pedang itu harus kuserahkan kembali kepada kaisar dan sekalian aku akan mengunjungi makam keluargaku, ayah bundaku.”
“Kalau begitu, mari kita menghadap ayah, karena pedang itu disimpan oleh ayahku.”
Suami isteri ini lalu menghadap Ku Ma Khan. Mendengar permintaan puterinya agar Ang-in Po-kiam diserahkan kepada Han Lin, ketua suku Mongol itu kemudian berkata, “Tentu saja, Han Lin. Engkau adalah anak mantuku, maka sudah sepantasnya jika engkau yang mewakili aku untuk mengembalikan pedang kepada kaisar Thai Cung dari Kerajaan Tang. Engkau serahkan pedang ini, dan terimalah kedudukan tinggi di sana. Dengan demikian maka hubungan antara kaisar dan kami menjadi baik. Kami mengharapkan agar engkau menjadi jembatan hubungan baik itu demi kebaikan kedua pihak.”
Pada hari-hari sebelumnya Han Lin pernah mendengar dari Mulani bahwa ayahnya ingin agar dia mengembalikan Ang-in Po-kiam, kemudian menjadi penyelidik bangsa Mongol dan sebisa mungkin membujuk Kaisar agar bersikap bersahabat terhadap bangsa Mongol, terutama suku bangsa yang dipimpin oleh Ku Ma Khan.
Di dalam hatinya tak mungkin Han Lin mau berkhianat terhadap kaisar. Akan tetapi kalau hanya mengusahakan supaya kedua bangsa menjalin hubungan baik, tentu saja dia tidak keberatan. Dia pun menyatakan kesanggupannya dan berjanji bahwa setelah dia diterima kaisar dan memperoleh kedudukan, maka dia akan pulang kemudian memboyong Mulani.
“Suamiku, biarkan aku ikut pergi denganmu.” Mulani terus merengek karena dia tidak mau ditinggalkan suaminya tercinta.
“Mulani, perjalanan ini jauh dan berbahaya sedangkan engkau sedang mengandung. Amat berbahaya dan tidak baik kalau engkau ikut. Dan kita belum tahu bagaimana penerimaan kaisar kepadaku nanti. Tidak, engkau tinggal saja di sini dan aku berjanji bahwa aku akan memboyongmu ke sana kalau aku sudah berhasil,” kata Han Lin.
Ku Ma Khan membenarkan ucapan mantunya dan melarang Mulani ikut dengan suaminya yang akan membahayakan keselamatannya sendiri, bahkan mungkin akan menggagalkan tugas Han Lin.
Demikianlah, setelah menerima bekal dan seekor kuda dari ayah mertuanya, Han Lin lalu berangkat menuju ke selatan sambil membawa Ang-in Po-kiam. Sebelum dia berangkat, yang menjadi kenangannya sampai sekarang adalah pesan Ku Ma Khan bahwa kalau dia bertemu dengan Sam Mo-ong, agar dia dapat bekerja sama dengan mereka.
“Sam Mo-ong adalah pembantu kami, sedangkan engkau adalah menantuku, maka sudah sewajarnya kalau engkau bekerja sama dengan mereka, Han Lin.”
Jalan hidupnya sudah menyimpang, pikirnya. Dia berada dalam posisi yang terbalik sama sekali dari keadaannya sebelum menikah dengan Mulani. Pernikahan yang tiada artinya sama sekali baginya. Sampai sekarang pun dia belum pernah menyentuh isterinya itu.
Dia masih merasa ragu apakah ketika itu dia yang melakukan hubungan dengan Mulani, akan tetapi sukar sekali untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Yang jelas, Mulani telah diperkosa! Ini adalah kenyataan yang tak dapat dibantah lagi karena buktinya Mulani kini mengandung. Anaknyakah yang dikandungnya itu? Atau bukan? Dia menjadi pusing!
Dia memang suka dan kagum kepada gadis Mongol itu, akan tetapi dia tak ingin menjadi suaminya. Dia tidak ingin mempunyai perasaan cinta kasih untuk itu. Namun apa hendak dikata? Keadaan menghendaki lain dan kini dia sudah menjadi suami Mulani. Yang lebih membingungkan, dia mantu Ku Ma Khan yang menghendaki agar dia menjadi semacam mata-mata di istana Kaisar Kerajaan Tang…..!
********************
Selanjutnya baca
PEDANG AWAN MERAH : JILID-06