Kisah Si Pedang Terbang Jilid 05
Apa yang terjadi dengan Mei Li dan mengapa pula gadis itu tiba-tiba saja pergi merantau seperti yang diceritakan Yang Cin Han dalam suratnya kepada Souw Hui San dan Yang Kui Lan?
Seperti juga yang terjadi dengan Kian Bu, ketika Mei Li mendengar dari ayah dan ibunya bahwa waktu yang dijanjikan oleh dua keluarga itu telah tiba, yaitu untuk menentukan hari pernikahan, Mei Li langsung mengerutkan alisnya kemudian membantah dengan keras.
"Tidak, ayah dan ibu. Aku belum ingin menikah!" katanya memprotes.
"Tetapi urusan ini telah ditentukan dan telah dijanjikan. Dalam waktu sebulan ini keluarga Souw akan datang dan kita semua akan membicarakan penentuan hari pernikahan," kata ibunya.
"Benar, Mei Li, janji haruslah ditepati, kalau tidak, bagaimana kita akan dapat menghadapi keluarga bibimu itu?" sambung ayahnya.
"Tidak, ayah. Batalkan saja...!" Mei Li hampir menangis, namun ditahannya karena sejak kecil gadis ini memang digembleng agar menjadi seorang pendekar wanita yang berwatak gagah dan tidak cengeng.
"Batalkan? Sepihak? Tidak mungkin!"
"Kalau begitu tangguhkan saja setahun dua tahun. Aku ingin pergi merantau, ayah, aku belum ingin menikah."
"Mei Li, jangan engkau membuat kacau urusan dan menyusahkan ayah ibumu!" Can Kim Hong menegur puterinya.
"Ibu, apakah dulu ibu juga dipaksa menikah dengan ayah?" Mei Li bertanya dengan suara lantang. "Ayah dan ibu bersusah payah mengajarkan ilmu silat kepadaku, dan sejak kecil aku rajin berlatih setiap hari. Bahkan sukong juga sudah ikut bersusah-payah mengajarku selama dua tahun. Bila semua itu tidak boleh kupergunakan, maka semua itu akan lenyap terbakar api dapur di mana aku harus melayani suami. Tidak, ibu, urusan perjodohan itu harus ditangguhkan barang setahun dua tahun. Aku ingin merantau, ingin berkunjung ke Tiang-an, aku ingin mencari sukong!"
Demikianlah, terpaksa Yang Cin Han dan Can Kim Hong mengalah kemudian memberi ijin kepada puteri mereka untuk mencari pengalaman di dunia kangouw. Bagaimana pun juga puterinya itu tidak perlu dikhawatirkan lagi karena telah memiliki tingkat kepandaian yang bahkan lebih lihai dibandingkan mereka. Dan mereka lalu mengirim surat kepada keluarga Souw Hui San untuk minta agar urusan pernikahan itu ditangguhkan satu atau dua tahun.
Mei Li berangkat meninggalkan Lok-yang menunggang seekor kuda putih yang baik. Kuda pilihan yang tinggi dan kuat, tentu saja berharga mahal, akan tetapi ayah ibunya berkeras agar puterinya melakukan perjalanan dengan berkuda. Memang sejak kecil Mei Li sudah berlatih menunggang kuda sehingga dia kuat berkuda sampai berjam-jam lamanya.
Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, setelah berpamit dan mohon doa restu kepada ayah ibunya, dara itu lalu menunggang kuda putihnya keluar dari pintu gerbang barat kota Lok-yang. Sebuah buntalan kain kuning berada di punggungnya dan di bawah buntalan itu nampak tergantung sepasang pedangnya yang gagangnya diberi tali sutera panjang.
Di pinggangnya kanan kiri masih tergantung pula dua batang pedang pendek. Tidak lupa dia membawa bekal uang perak dan emas dalam buntalan pakaiannya, untuk bekal dalam perjalanan. Tujuan pertama dari perjalanannya itu adalah ke kota raja Tiang-an. Dia belum pernah pergi ke kota raja itu.
Pada waktu ayahnya pergi ke kota raja untuk mencari putera bibinya yang tewas dalam pertempuran, dia baru berusia tiga tahun dan ditinggal di rumah bersama ibunya. Dia telah banyak mendengar cerita ayah ibunya tentang kota raja Tiang-an dan tentang pergolakan yang terjadi selama ini, dan dia tahu pula bahwa kakak misannya, putera bibinya Yang Kui Bi telah lenyap dari kota raja ketika terjadi perang. Nama kakak.misannya itu Sia Han Lin, akan tetapi belum pernah dia bertemu dengannya.
Wajah dara perkasa itu nampak berseri. Rambutnya yang hitam halus dan panjang, yang disanggul tinggi dan dihias dengan tusuk sanggul dari perak dan hiasan merak dari batu kemala, nampak agak kusut karena hembusan angin yang bermain-main dengan rambut hitam halus itu.
Matanya yang lebar, yang jelas membayangkan bahwa dia seorang gadis peranakan yang masih mempunyai darah Khitan yang mengalir dalam tubuhnya, mata yang indah dan jeli itu kini berbinar-binar, penuh kegembiraan ketika memandang ke depan dan kanan kiri di sepanjang jalan. Mulutnya yang mungil itu pun selalu terhias senyum.
Hati Mei Li memang mengalami kebahagiaan luar biasa yang belum pernah dia rasakan. Ada ketegangan yang menggairahkan, ada semangat baru dalam kehidupannya, merasa bebas merdeka seperti seekor burung rajawali melayang-layang di angkasa.
Perasaan seperti yang dialami Mei Li akan terasa oleh siapa saja yang dalam kehidupan sehari-hari selalu disibukkan oleh pekerjaan, keramaian, kebisingan dan berbagai macam masalah kehidupan dalam masyarakat yang tinggal di kota besar.
Kehidupan dalam kota selalu berkisar pada soal-soal duniawi, mengejar uang, harga diri, kehormatan dan kesenangan jasmani, mencari jalan pemuasan nafsu, persaingan dalam segala bidang. Semua itu masih ditambah oleh banyaknya manusia yang berdesakan di kota besar, segala macam kotoran sampah, udara yang tidak murni lagi, membuat dada rasanya tidak longgar untuk bernapas, pikiran pun tiada hentinya mengalami guncangan dan tantangan, dan kesehatan pun mengalami kemunduran dan gangguan.
Oleh karena itu, apa bila mempunyai kesempatan, sebaiknya penghuni kota yang selalu sibuk itu dapat berada di luar kota, di tempat terbuka yang jauh dari perumahan, jauh dari keramaian manusia. Dia akan dapat merasakan seperti yang dialami Mei Li pada saat dia menjalankan kudanya perlahan-lahan itu.
Kebesaran, keagungan dan keindahan alam hanya bisa dirasakan dan dinikmati apa bila kita berada di daerah pegunungan, hutan-hutan atau di pantai yang sepi dari manusia dan belum dikotori oleh ulah manusia yang hanya mendatangkan kerusakan dan noda pada lingkungan. Kalau kita berada seorang diri di dataran tinggi yang jauh dari manusia lain, jauh dari pemukiman manusia, menghirup udara segar yang mengalir melimpah ke dalam dada kita, akan terasa sesuatu yang sukar digambarkan.
Dalam keadaan seperti itu, untuk beberapa saat lamanya akan sadarlah kita bahwa ada sesuatu dalam diri kita yang rindu akan segala ini, yang bukan dari dunia ramai, bukan kesenangan jasmani, bukan pemuasan nafsu, bukan pengejaran cita-cita. Kita rindu dan haus akan kedamaian alami, rindu pada Sumber Segala Sumber, dari mana kita datang dan ke mana kita kelak pergi.
Manusia dan alam tidak terpisahkan karena tercipta oleh Tangan Yang Satu, terbimbing oleh Tangan Yang Satu, akan tetapi sungguh sayang kita lebih terseret oleh kesenangan duniawi, pemuasan nafsu badani yang kita perebutkan, bila perlu dengan saling hantam, padahal yang kita dapatkan hanyalah kesenangan hampa yang hanya sementara, lewat dengan begitu saja seperti angin lalu untuk memberi giliran kepada saudara kembarnya, yaitu kesusahan, kedukaan dan kekecewaan.
Mei Li tersadar dari lamunannya ketika kudanya meringkik. Kudanya memang kuda yang terlatih dan baik, dan kalau kuda itu meringkik, itu tandanya bahwa kudanya merasakan, melihat atau mendengar sesuatu yang asing dan tidak wajar. Apakah ada binatang buas? Harimau? Mei Li tidak merasa gentar dan sekarang dia pun sudah siap siaga kalau-kalau di tempat itu muncul bahaya.
Ternyata yang muncul dari dalam hutan di depan adalah serombongan orang. Ada lima belas orang laki-laki yang keadaannya amat menyedihkan. Mereka menggotong tiga buah mayat dan lima orang yang agaknya terluka parah. Keadaan lima belas orang itu sendiri juga tidak utuh, banyak di antara mereka yang terluka walau pun tidak seberat luka lima orang itu.
Melihat bahwa belasan orang pria itu kelihatan kuat, bahkan mereka itu membawa senjata pedang atau golok yang tergantung di pinggang, akan tetapi kini nampak ketakutan, tentu saja Mei Li merasa heran sekali. Dia sudah meloncat turun dari atas kudanya kemudian menghadang di tengah jalan.
Sementara itu, ketika rombongan itu melihat seorang gadis muda cantik jelita menuntun seekor kuda putih besar kini menghadang di tengah jalan, mereka nampak terkejut sekali kemudian seorang di antara mereka, seorang laki-laki tinggi besar berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, mendahului rombongan itu menghampiri Mei Li.
"Apakah nona hendak melakukan perjalanan melalui hutan itu?" tanyanya sambil menatap Mei Li penuh perhatian.
Sebenarnya Mei Li yang tertarik melihat keadaan mereka dan ingin mengetahui apa yang telah terjadi. Akan tetapi karena didahului orang, dia pun mengangguk. "Benar, paman."
"Jangan, nona! Sebaiknya nona cepat menunggang kuda itu dan segera meninggalkan tempat ini, kembali ke sana!" Dia menuding ke arah dari mana Mei Li datang.
"Kenapa, paman? Dan kenapa pula paman serombongan seperti orang yang habis kalah perang? Ada pula yang tewas dan luka-luka? Apa yang telah terjadi?" kini Mei Li bertanya sementara rombongan itu telah berada di depannya.
"Sudahlah, harap jangan banyak bertanya, nona. Selagi masih ada kesempatan, pergilah cepat. Kalau mereka melihat nona membawa kuda sebagus ini, tentu mereka tidak akan mau melepaskanmu, apa lagi nona masih muda dan cantik jelita. Percayalah kepadaku, nona, cepat pergilah!" Orang tinggi besar itu mendesak.
Sikap orang tinggi besar ini saja sudah membuat Mei Li semakin tertarik. Bagaimana pun juga orang yang belum dikenalnya ini sudah bersikap dan berniat baik kepadanya, sudah memperingatkan dia akan adanya bahaya dan orang itu tidak ingin melihat dia tertimpa bencana.
Sikap ini membuat dia semakin penasaran. Orang-orang ini jelas bukan penjahat, bahkan agaknya sebaliknya, menjadi korban kejahatan, karena itu harus ditolongnya!
"Terima kasih atas peringatan dan nasehatmu, paman. Tetapi aku tidak akan melarikan diri, justru aku ingin sekali mengetahui, apa yang telah terjadi dengan rombongan paman. Kalau terdapat bahaya di depan sana, aku tidak takut!" katanya gagah.
Orang tinggi besar itu mengerutkan alisnya. "Nona, engkau masih sangat muda, mungkin pernah belajar sedikit ilmu silat, akan tetapi tidak baik kalau takabur. Di hutan itu terdapat gerombolan iblis yang amat jahat dan lihai!"
Akan tetapi dara jelita itu tetap tenang, bahkan tersenyum.
"Maksud paman tenlu gerombolan perampok? Hemm, aku tidak takut, bahkan aku harus membasmi mereka kalau mereka itu menjadi pengganggu orang-orang yang berlalu lalang di daerah ini."
Mendengar ucapan lantang itu, si tinggi besar serta beberapa orang kawannya tersenyum getir, agaknya merasa geli, seperti mendengar seekor ayam betina muda berkukuruyuk seperti lagak seekor jago!
"Hemm, ketahuilah, nona muda yang bernyali naga! Aku dikenal sebagai Si Golok Setan, kepala Pek-houw Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Putih) yang sudah terkenal di seluruh daerah Lok-yang! Tetapi engkau lihatlah sendiri. Kami para pengawal Pek-houw Piauw-kiok sebanyak dua puluh tiga orang, saat mengawal sepasang pengantin hartawan melewati hutan itu dan kami dihadang gerombolan itu, kau lihatlah sendiri akibatnya. Tiga orang kawan kami tewas, lima orang terluka berat, sepasang mempelai ditawan mereka dan semua barang berharga dirampas pula! Nah, apakah engkau akan begitu gila untuk melanjutkan perjalanan melewati hutan itu? Agaknya gerombolan itu baru saja mendiami hutan itu karena biasanya di sana aman. Pergilah, nona, dan bersyukurlah bahwa nona telah bertemu dengan kami sehingga tidak menjadi korban."
Mei Li memperlebar senyumnya sehingga wajahnya kelihatan cantik manis bukan main, membuat rombongan pria itu tertegun dan terpesona.
"Kalian yang sepatutnya bersyukur, paman, karena bertemu dengan aku. Aku yang akan membantu kalian untuk mendapatkan kembali barang-barang yang mereka rampok, juga menolong sepasang mempelai itu. Ceritakan bagaimana keadaan kawanan perampok itu dan di mana mereka berada."
"Tetapi kami merasa ngeri, tidak ingin melihat nona yang begini muda dan jelita terjatuh ke tangan mereka..." Si tinggi besar berkata ragu, juga kawan-kawannya agaknya tidak setuju.
Mereka itu tentu sudah merasa takut bukan main terhadap gerombolan perampok itu, pikir Mei Li. Semangat mereka harus dibangkitkan. Dia memandang ke kiri di mana terdapat sebuah pohon setinggi hampir tiga meter dengan daun yang lebat.
"Agaknya kalian belum percaya kepadaku, ya? Nah, lihatlah baik-baik!"
Mei Li menggerakkan kedua tangan ke arah punggungnya, dan begitu cepat gerakannya mencabut sepasang pedangnya sehingga semua anggota piauw-kiok itu tidak melihat dia mencabut pedang dan tiba-tiba saja pandang mata mereka menjadi silau ketika nampak dua sinar terang bergulung-gulung dan terbang mengitari pohon itu seperti dua ekor naga yang sedang berkejaran.
Mereka melihat daun-daun dan ranting pohon jatuh berhamburan, terbabat dua gulungan sinar dan ketika dua sinar itu membalik ke arah Mei Li, gadis itu sudah cepat menangkap kembali sepasang pedangnya kemudian memasukkannya ke dalam sarung pedang. Dan yang membuat mereka menahan napas adalah ketika melihat betapa pohon itu kini sudah menjadi rata pada bagian atasnya, seperti kepala seorang anak-anak yang tadi ditumbuhi banyak rambut dan sekarang dicukur hampir gundul. Di sekitar pohon nampak daun dan ranting berserakan.
"Pedang terbang?" Si tinggi besar dan para kawannya berseru heran, takjub dan kagum.
Belum pernah mereka menyaksikan kepandaian sehebat itu. Kalau orang bersilat pedang, tentu saja mereka sudah terlampau sering melihatnya, bahkan mereka sendiri ahli bersilat pedang atau golok. Akan tetapi tadi mereka melihat Mei Li tetap berdiri di dekat kudanya, hanya menggerak-gerakkan dua tangannya ke arah pohon kemudian sepasang pedang itu berubah menjadi dua sinar bergulung-gulung yang seolah bergerak sendiri, beterbangan menggunduli pohon itu.
Sesudah hening sejenak karena mereka tertegun, kemudian meledaklah kegembiraan dan kekaguman mereka. Terdengar mereka bertepuk tangan memuji, kemudian si tinggi besar melangkah maju menghadapi Mei Li dan memberi hormat dengan membungkuk dalam.
"Mohon maaf kepada lihiap (Pendekar wanita) bahwa kami seperti buta, tidak melihat ada Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Lihiap, saya Couw Sam menyatakan takluk dan mengharapkan bantuan lihiap supaya kami bisa menyelamatkan sepasang pengantin itu berikut barang-barang mereka yang kami kawal."
Mei Li tersenyum. "Ceritakan dulu keadaan mereka dan apa yang telah terjadi," katanya tenang.
"Kami Pek-houw Piauw-kiok mengawal sepasang mempelai berikut barang-barang mereka dari Lok-yang menuju ke Kwi-yang di barat. Ketika kami melewati hutan di lereng depan itu, kami dihadang oleh dua belas orang yang berpakaian serba hitam. Mereka mengaku sebagai gerombolan Hek-i Kwi-pang (Perkumpulan Iblis Berpakaian Hitam) yang hendak merampok seluruh barang dan menyandera kedua mempelai. Tentu saja kami melawan karena jumlah kami dua puluh tiga orang, dan biasanya di daerah ini tidak ada penjahat yang berani mengganggu perusahaan pengawal kami. Akan tetapi pemimpin gerombolan itu ternyata luar biasa lihainya. Pertempuran yang terjadi ternyata berat sebelah, lalu kami dihajar habis-habisan sehingga terpaksa melarikan diri, tidak dapat melindungi sepasang mempelai itu yang ditawan. Semua barang terpaksa kami tinggalkan. Kami harus mencari bala bantuan yang lebih kuat lagi, akan tetapi lebih dulu kami bertemu dengan lihiap yang sakti seperti dewi. Mohon bantuan lihiap"
"Hemm, kalau begitu, siapa di antara kalian yang punya keberanian, mari ikut denganku. Aku akan membasmi gerombolan iblis itu!"
Lima belas orang itu, dipimpin oleh Si Golok Setan Couw Sam, dengan gembira langsung mengangkat tangan menyatakan siap untuk ikut dengan dara perkasa itu.
"Kami semua siap untuk ikut menyerbu Hek-i Kwi-pang bila dipimpin oleh Hui-kiam Sian-li,” kata Couw Sam dengan gembira dan penuh semangat.
"Hui-kiam Sian-li (Dewi Pedang Terbang)?" tanya Mei Li. "Siapa itu?"
"Maaf, mulai sekarang kami menyebut nona dengan julukan Hui-kiam Sian-li!" kata Couw Sam dan semua anak buahnya mengangguk setuju. Wajah Mei Li menjadi kemerahan.
"Ihh! Jangan terlampau pagi memuji orang. Belum apa-apa kalian sudah mengangkat aku terlalu tinggi. Lihat saja nanti hasilnya. Mari kita berangkat!"
Mei Li meloncat ke atas punggung kudanya lalu menjalankan kudanya, tidak terlalu cepat karena lima belas orang anggota Pek-houw Piauw-kiok mengikutinya dari belakang. Lima orang yang terluka ditinggalkan di tempat itu bersama tiga jenazah, dengan janji bahwa nanti akan dijemput kalau mereka sudah selesai menyerbu gerombolan penjahat di dalam hutan.
Lima belas orang itu, termasuk Couw Sam, kelihatan gelisah. Jantung mereka berdebar tegang, mulut terasa kering sampai ke kerongkongan karena sebetulnya mereka merasa gentar harus berhadapan lagi dengan gerombolan iblis berpakaian hitam itu. Anak buah gerombolan itu masih sanggup mereka lawan, akan tetapi kalau mereka membayangkan kehebatan pemimpinnya, sungguh membuat mereka bergidik ngeri.
Akan tetapi Mei Li yang melihat betapa para piauwsu (pengawal barang) itu terdiam dan gelisah, hanya duduk di atas punggung kudanya dengan sikap tenang sekali, bahkan dia lalu bersenandung lirih. Suaranya memang merdu dan dia pandai bernyanyi, akan tetapi hanya dia sendiri yang mengetahui bahwa senandung itu disuarakannya untuk menutupi degup jantungnya yang juga tegang.
Sikap lima belas orang itulah yang sudah mendatangkan ketegangan di hatinya. Biar pun dia puteri suami isteri pendekar sakti, juga telah menguasai ilmu silat yang tinggi, namun selamanya dia belum pernah bertanding sungguh-sungguh melawan musuh. Dia hanya bertanding melawan ayahnya atau ibunya dalam latihan saja. Dan sekarang, tiba-tiba saja dia dihadapkan gerombolan perampok yang agaknya amat kejam, jahat dan lihai sehingga rombongan piauwsu itu pun menjadi ketakutan!
Kini rombongan itu sudah tiba di tepi hutan. Melihat wajah Couw Sam dan anak buahnya kini loyo dan pucat, yang tentu saja mempengaruhi hatinya, Mei Li mengerutkan alisnya, lalu menghentikan kudanya dan menoleh kepada mereka.
"Bila kalian merasa takut sebaiknya tidak usah ikut denganku!" Ucapannya bernada keras karena hatinya memang mengkal melihat para piauwsu yang dianggapnya pengecut itu.
Mendengar teguran itu, Couw Sam cepat mendekatinya. "Harap nona memaafkan kami. Kami siap membantu karena sebenarnya ini adalah tugas kami. Harap nona berhati-hati."
Mei Li mengangguk lantas memasuki hutan menurut petunjuk Couw Sam yang berjalan di dekat kudanya. Di tengah hutan itu terlihat beberapa buah pondok yang tampaknya masih baru. Couw Sam menunjuk ke arah pondok-pondok itu dan membisikkan bahwa agaknya itulah sarang gerombolan iblis itu.
Mei Li menjalankan kudanya menghampiri tempat itu. Kiranya merupakan tempat terbuka dan di situ banyak pohon yang ditebang sehingga terdapat lapangan terbuka yang cukup luas, di mana didirikan empat buah pondok kayu.
"Tantang mereka keluar!" kata Mei Li kepada Couw Sam.
Karena melihat sikap Mei Li yang demikian tenang dan gagah, Couw Sam menjadi berani. "Haiili, gerombolan iblis Hek-i Kwi-pang! Keluarlah kalian untuk menerima hukuman!!"
Teriakan lantang itu segera mendapat sambutan dari dalam empat buah pondok. Nampak bayangan hitam berkelebatan keluar dari dalam pondok. Mereka semuanya berjumlah dua belas orang, dan yang berada di depan adalah seorang pria yang sangat menyeramkan. Mei Li sendiri merasa ngeri. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang laki-laki seperti kepala gerombolan itu.
Usianya tentu ada empat puluhan tahun, tetapi bentuk tubuhnya sungguh menyeramkan. Couw Sam yang tinggi besar itu akan kelihatan kecil jika berdiri di sebelahnya! Sungguh seorang raksasa yang berkulit hitam seperti hangus, sepasang matanya lebar, hidungnya, mulutnya, semuanya nampak besar pada raksasa itu.
Kulitnya demikian hitamnya sehingga kalau dia berada di tempat gelap, tentu hanya putih matanya dan giginya saja yang kelihatan. Sudah kulitnya hitam hangus, pakaiannya pun berwarna hitam. Pada pinggangnya terselip sebatang golok yang punggungnya berbentuk gergaji, bergigi runcing tajam.....!
Ketika raksasa hitam itu melihat Mei Li yang meloncat turun dari kuda putihnya kemudian menambatkan kuda itu di pangkal batang pohon yang bekas ditebang dan masih menonjol di permukaan tanah, dia terbelalak.
"Ha-ha-ha-ha, kalian kembali untuk menebus pengantin? Bagus sekali! Kalau tidak segera kalian tebus maka pengantin perempuan itu akan menjadi milikku. Tetapi ini wah… betapa cantik jelitanya! Kalian boleh bawa sepasang pengantin sialan itu kalau si jelita ini berikut kudanya ditinggal di sini!"
Mendengar kata-kata raksasa hitam itu, anak buahnya yang berjumlah sebelas orang juga menyeringai dan mereka semua memandang kepada Mei Li dengan mata buas, membuat gadis itu diam-diam bergidik. Akan tetapi Couw Sam yang sekarang sudah bersemangat kembali, menjadi marah.
"Gerombolan Hek-i Kwi-pang, jangan bicara sembarangan! Kami datang untuk mengambil kembali semua barang dan sepasang pengantin yang kalian rampas!”
Raksasa hitam itu memandang ke sekeliling. Dia melihat bahwa Couw Sam hanya datang bersama si gadis jelita, diiringi empat belas orang anak buahnya yang telah luka-luka, sisa dari mereka yang roboh tewas dan luka berat. Dia pun tertawa bergelak.
"Apakah engkau telah gila dan hendak mengantar nyawa untuk menemui kawan-kawanmu yang sudah mampus tadi? Ha-ha-ha-ha, kalau begitu lebih bagus lagi. Si jelita ini bersama kudanya, juga pengantin perempuan itu untuk aku. Sedangkan kalian semua akan mati di sini dan bangkai kalian menjadi pupuk hutan, ha-ha-ha!"
"Raksasa hitam, jangan sombong dulu engkau! Kami datang lagi ke sini untuk menantang engkau. Jagoan kami adalah Hui-kiam Sian-li ini!" kata Couw Sam dengan suara lantang.
Si Raksasa hitam itu berjuluk Tiat-ciang Hek-mo (Iblis Hitam Tangan Besi). Sejenak dia mengerutkan alis memandang kepada Mei Li, kemudian dia tertawa bergelak. "Nona jelita ini? Ha-ha-ha, jangan bergurau!"
Kini Mei Li berkata dengan suaranya.yang merdu halus namun mengandung kelincahan, "Engkaukah kepala gerombolan Hek-i Kwi-pang ini, dan siapakah namamu?"
Si raksasa hitam itu masih menyeringai, "Engkau ingin mengenalku, nona manis? Orang-orang menyebutku Tiat-ciang Hek-mo dan akulah pemimpin Hek-i Kwi-pang."
"Bagus, tadi engkau mengatakan akan membebaskan sepasang pengantin itu kalau aku bersama kudaku menjadi pengantinya, Nah, aku terima usulmu itu. Bebaskan sepasang pengantin itu dan aku akan menemanimu di sini."
Tentu saja Couw Sam dan anak buahnya kaget sekali mendengar ucapan Mei Li ini. Tak mereka sangka bahwa gadis jelita yang lihai itu kini mau saja ditukar dengan sepasang pengantin untuk menjadi permainan si raksasa hitam.
"Ha-ha-ha, boleh… boleh sekali!" kata Tiat-ciang Hek-mo sambil memberi isyarat kepada seorang pembantunya. "Keluarkan mereka dan bawa ke sini!"
Sambil tersenyum menyeringai anak buahnya itu memasuki salah satu di antara pondok-pondok itu dan tak lama kemudian dia pun keluar lagi sambil mendorong sepasang orang muda yang masih berpakaian pengantin. Pengantin pria dan pengantin wanita itu diikat kedua tangan mereka ke belakang, dan baju pengantin wanita itu robek di bagian dada.
Untung kedatangan mereka belum terlambat, pikir Couw Sam. Agaknya pengantin wanita itu hanya baru mengalami gangguan kecil saja, belum ternoda oleh kebuasan iblis-iblis itu.
"Paman Couw, sambut dan bebaskan mereka," kata Mei Li.
Couw Sam yang tadinya meragu dan bingung, menaati perintah itu. Dia cepat menerima sepasang pengantin itu dan segera membuka ikatan tangan mereka. Pengantin wanita itu menangis di dada suaminya. Mereka masih nampak ketakutan.
"Ha-ha-ha!" Hek-mo tertawa bergelak. "Mulai detik ini engkau menjadi milikku, nona jelita, Kesinilah!" Dia mengernbangkan kedua lengannya ke arah Mei Li sambil memerintahkan seorang anak buahnya untuk menuntun kuda putih itu.
"Nanti dulu, Hek-mo! Engkau iblis hitam sudah biasa mengambil segala sesuatu dengan menggunakan kekerasan. Karena itu, untuk memiliki diriku, engkau harus menggunakan kekerasan pula. Kalau engkau tidak sanggup mengalahkan aku, bagaimana mungkin aku sudi menaatimu?"
Mendengar ucapan yang biar pun lembut namun bernada menantang itu, Hek-mo tertawa bergelak. Kancing bajunya yang terbuka memperlihatkan perut besar yang bergelombang ketika dia tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, aku bertanding denganmu? Wah, sayang kalau sampai kulitmu yang halus mulus itu lecet, manis. Apa bila engkau masih meragukan kekuatanku, nah, engkau boleh memukulku dan aku tak akan mengelak atau menangkis. Pukul bagian mana sesukamu, akan tetapi hati-hati, jangan terlalu keras karena tanganmu dapat terluka dan kalau hal itu terjadi wah…, sungguh sayang sekali... ha-ha-ha!"
Raksasa hitam itu tertawa, diikuti anak-anak buahnya yang tertawa ha-ha-he-he. Mereka semua maklum bahwa akhirnya pengantin wanita itu tidak akan dilepas begitu saja oleh kepala gerombolan itu, dan merekalah yang akan beruntung karena setelah mendapatkan pengganti yang jauh lebih cantik, tentu pengantin wanita itu akan diberikan untuk mereka!
Mei Li menghampiri raksasa hitam itu yang sekarang sudah melepas bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Nampaklah dada yang bidang dan penuh bulu hitam, di bawah kulit hitam itu nampak tonjolan otot-otot besar, dan perutnya yang gendut itu pun nampak keras dan berkulit tebal.
Dara itu tersenyum, kemudian memandang ke sekeliling, kepada anak-anak buah Hek-i Kwi-pang dan anak buah Pek-houw Piauw-kiok, lalu berkata lantang.
"Kalian semua mendengar sendiri bahwa Hek-mo menantangku untuk memukulnya tanpa dia mengelak atau menangkis. Kalian menjadi saksi, kalau satu pukulanku bisa membuat dia mampus, maka arwahnya tidak boleh menyalahkan aku!"
Ucapan gadis itu hanya dianggap main-main oleh Tiat-ciang Hek-mo dan anak buahnya, juga Couw Sam dan anak buahnya merasa khawatir karena mereka tidak percaya kalau dara itu akan marnpu merobohkan Hek-mo yang kebal dan kuat itu dengan sekali pukul. Mungkin saja gadis itu pandai bermain pedang, akan tetapi pukulan tangan kosong dari tangan yang kecil lembut itu, mana marnpu membuat roboh raksasa hitam itu?
"Ha-ha-ha, pukullah… pukullah! Mungkin setiap malam engkau harus memukuli tubuhku karena pukulanmu tentu akan terasa hangat dan nyaman seperti dipijati, heh-heh!" kata Hek-mo dan kembali semua anak buahnya tertawa.
Mei Li meiangkah maju lagi dan diam-diam dia mengerahkan sinkang pada tangan kirinya kemudian berseru, "Hek-mo, terimalah pijatan ini!" Tangan kirinya menyambar dengan jari tangan terbuka ke arah dada.
Raksasa hitam itu menerima pukulan dengan dada dibusungkan dan mulut menyeringai, sambil secara diam-diam dia mengerahkan tenaga untuk membuat dadanya kebal. Tetapi ternyata jari-jari tangan itu tidak menghantam atau menampar dada, melainkan mencuat ke atas lalu dua buah jari tangan yang kecil mungil, yaitu telunjuk dan jari tengah kiri Mei Li telah menotok tenggorokannya.
"Tukkk!"
Semua orang melihat betapa wajah Hek-mo tertawa lebar, akan tetapi mulut yang terbuka lebar itu tidak menutup kembali, bahkan kini dilengkapi dengan kedua matanya yang juga terbelalak lebar menyaingi mulutnya, dan dari mulut itu tidak keluar suara tawa melainkan suara seperti orang tercekik.
"Kek...! Kekk...! Kekkkk…! Aughhhh....!"
Dia memegangi leher dengan kedua tangannya, matanya mendelik, lantas dia pun roboh bergulingan seperti ayam disembelih, berkelojotan dengan mata mendelik! Dia tidak dapat bernapas! Semua anak buahnya terkejut bukan main, sedangkan Couw Sam dan kawan-kawannya memandang dengan terheran-heran, belum sempat bergembira karena belum tahu benar apa yang telah terjadi dengan Hek-mo yang mereka takuti itu.
Mei Li adalah puteri suami isteri pendekar besar yang telah menanamkan watak pendekar kepada dara itu, maka dia pun tidak ingin mengambil keuntungan karena diperbolehkan memukul tanpa ditangkis atau dielakkan, apa lagi jika sampai membuat lawannya tewas. Maka, sesudah totokannya pada kerongkongan itu berhasil menyumbat jalan pernapasan Hek-mo, dia pun melangkah maju dan kaki kanannya meluncur cepat menendang ke arah kanan kiri kerongkongan itu.
"Dukk! Dukkk!"
Hek-mo dapat bernapas lagi setelah dua kali terkena sambaran ujung sepatu dara itu. Kini wajahnya berubah semakin hitam, matanya melotot dan dia pun meloncat berdiri dengan kemarahan memuncak hingga ke ubun-ubun kepalanya. Maka tahulah dia bahwa dia telah bersikap ceroboh, terlalu memandang rendah dara itu yang ternyata benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Pantas saja para piauwsu mengajukan dara ini sebagai jagoan mereka!
Meski kerongkongannya masih terasa agak nyeri, akan tetapi pernapasannya telah lancar kembali. Maka Hek-mo memandang kepada dara itu dengan mata mencorong marah.
"Keparat! Ternyata engkau memiliki ilmu totok yang cukup kuat. Aku akan membalasmu, tapi sebelum kuhancurkan semua tulang di tubuhmu, katakan dulu siapa namamu, murid dari perguruan mana agar engkau tidak mati penasaran!"
Kini lenyaplah nada mengejek dan memandang rendah sehingga anak-anak buah Hek-mo sendiri merasa heran dan menjadi tegang karena sikap pimpinan mereka itu menunjukkan bahwa dara jelita yang masih muda itu adalah musuh yang tidak boleh dipandang ringan.
Mei Li teringat akan julukan yang diberikan Couw Sam kepadanya dan dia pun tersenyum. Mengapa tidak? Tanpa diketahui Couw Sam dan kawan-kawannya, julukan itu merupakan julukan yang amat tepat. Oleh ayah ibunya ia dibantu untuk menggabungkan ilmu pedang Siang-hui Kiam-sut (Ilmu Sepasang Pedang Terbang) dan Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi). la telah menguasai ilmu-ilmu pedang gabungan itu, maka jika dia dijuluki Hui-kiam Sian-li, julukan itu sungguh tepat sebagai gabungan dari Hui-kiam (Pedang Terbang) dan Sian-li (Dewi)!
"Hek-mo, sudah tulikah telingamu? Tadi Couw-piauwsu sudah memperkenalkan namaku kepadamu. Aku adalah Hui-kiam Sian-li dan sekali ini Dewi akan membasmi Iblis Hitam, sudah wajar sekali!"
Mendengar ini para piauwsu tersenyum, bahkan ada yang mentertawakan Hek-mo. Kini mereka mengerti bahwa jagoan mereka tadi telah membuat Hek-mo terkapar.
"Bocah sombong! Kau kira dengan sedikit ilmu totok itu engkau sudah merasa menang? Engkau memakai julukan Pedang Terbang! Sekarang ingin kulihat bagaimana pedangmu terbang kecuali diterbangkan oleh golokku ini!"
"Srattttt…!"
Nampak sinar berkilat ketika raksasa hitam itu mencabut goloknya. Golok besar dan berat yang juga mengerikan seperti pemegangnya. Selain lebar, panjang dan berkilauan saking tajamnya, juga punggung golok yang bentuknya seperti gergaji itu dapat membuat lawan belum apa-apa sudah menjadi gentar.
Agaknya dengan diam-diam raksasa hitam ini merasa jeri juga pada ilmu totok atau ilmu tangan kosong gadis itu, maka dia sengaja menantang untuk bertanding dengan senjata. Dianggapnya julukan Si Pedang Terbang itu kosong belaka. Mana ada pedang yang dapat terbang kecuali dalam dongeng kuno?
Sementara itu Mei Li merasa mendapat hati. Tak disangkanya bahwa hanya dengan satu totokannya saja tadi dia sudah mampu membuat raksasa hitam itu roboh. Maka timbullah kepercayaan besar pada dirinya sendiri. Dia merasa bersyukur bahwa ayah ibunya sudah menggemblengnya secara keras dan tekun, juga kakek gurunya telah memberi bimbingan selama dua tahun dengan keras. Kini timbul keyakinan dalam hatinya bahwa semua ilmu yang dipelajarinya benar-benar dapat dipraktekkan dan dimanfaatkan.
Ayah ibunya selalu menasehatinya agar dia pantang untuk membiarkan perasaan benci menguasai hatinya. Kalau pun harus menentang kejahatan, maka perbuatannyalah yang harus ditentang, bukan karena kebencian terhadap orangnya.
"Jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk menguasai orang lain, untuk memaksakan kehendak, untuk melampiaskan dendam kebencian. Kalau engkau terpaksa harus membunuh orang, maka lakukanlah itu seperti engkau membasmi ular berbisa atau binatang-binatang buas lainnya yang mengancam keselamatan manusia, tanpa rasa benci sehingga erigkau tidak akan melakukannya dengan cara yang kejam. Dan berpantanglah selalu menghadapi lawan dengan cara yang curang dan licik karena perbuatan seperti itu tidak pantas dilakukan seorang pendekar."
Demikianlah ucapan ayah ibunya yang tak pernah dapat dia lupakan. Karena itu maka tadi melihat raksasa hitam itu menjadi korban totokan jari tangannya dan terancam mati lemas karena tidak bisa bernapas, dia telah membebaskan totokannya dengan tendangan kaki.
Melihat Tiat-ciang Hek-mo sudah mencabut golok besar gergajinya, Mei Li yang kini telah merasa berbesar hati dan yakin akan kemampuannya sendiri, segera mencabut sepasang pedang yang berada di punggungnya.
Dengan pasangan kuda-kuda Dewi Pedang Menari, dia berdiri dengan dua kaki bersilang, lutut agak ditekuk, pedang kiri diangkat ke atas kepala dan melintang, sedangkan pedang kanan melintang di depan dada. Mulutnya tersenyum manis namun matanya memandang tajam ke arah lawan.
Karena Couw Sam dan anak buah ingin sekali melihat bagaimana Dewi Pedang Terbang melawan raksasa hitam itu, juga anak buah Hek-mo ingin menyaksikan pemimpin mereka menundukkan gadis jelita itu, maka kedua pihak hanya menjadi penonton karena memang tidak ada yang memberi aba-aba kepada mereka untuk saling serang.
Tiat-ciang Hek-mo mengeluarkan suara gerengan seperti auman harimau, lantas goloknya menyambar dahsyat. Golok berat itu digerakkan oleh tenaga otot yang kuat, maka golok itu menyambar dengan cepatnya, mengeluarkan bunyi mengaung dan tampak sinar golok menyambar ke arah kepala Mei Li ketika Hek-mo menyerang dengan bacokan.
"Wuuuuttt...!"
Akan tetapi dengan mudah saja Mei Li mengelak ke samping karena bagi penglihatannya, sambaran golok itu terlampau lamban sehingga mudah baginya untuk menghindarkan diri dengan elakan. Sambil mengelak dia pun segera membalas dan pedang kanannya sudah menusuk ke arah lambung lawan.
"Tranggg…!"
Bunga api berpijar ketika golok itu cepat membalik kemudian menangkis tusukan itu. Mei Li terkejut karena tenaga otot lawan sedemikian kuatnya sehingga pedang kanan yang terkena tangkisan golok itu terpental, namun tidak sampai terlepas dari genggamannya.
Tahulah dia bahwa dia tidak boleh mengadu tenaga dengan raksasa ini, maka segera dia mainkan sepasang pedangnya dengan cepat dan selalu menghindarkan benturan senjata. Setiap kali lawan hendak mengadu senjata dengan tangkisan yang kuat, ia cepat menarik kembali pedang yang menyerang itu dan menyusulkan serangan dengan pedang lain.
Kekuatan melawan kecepatan! Tentu saja Tiat-ciang Hek-mo menjadi repot bukan main. Kecepatan gerakan dara itu benar-benar di luar dugaannya dan tahu-tahu ujung sebatang pedang sudah mengancamnya. Terpaksa dia memutar goloknya untuk membentuk perisai sinar golok, namun kalau hal ini dia lakukan terus menerus, berarti dia hanya melindungi diri dan tidak sempat membalas serangan. Bagaimana mungkin dia akan dapat menang kalau tidak dapat membalas dan hanya melindungi diri saja!
Walau pun kurang pengalaman, namun Mei Li yang memiliki kecerdikan itu segera dapat menemukan kelebihan dan kekurangan lawan. Harus ia akui bahwa lawannya itu memiliki tenaga gajah yang kuat sekali, akan tetapi sebagai imbangannya, lawannya itu baginya termasuk lamban. Karena itu dia pun mempergunakan kelebihannya dalam hal kecepatan untuk mendesak lawan.
Sepasang pedangnya bergerak cepat sekali, membentuk dua gulungan sinar pedang yang makin lama semakin melebar. Dari dua gulungan sinar pedang ini kadang mencuat sinar seperti kilat menyambar-nyambar ke arah tubuh Hek-mo yang dilindungi oleh perisai sinar golok yang diputar cepat ke sekitar tubuhnya.
Tiat-ciang Hek-mo terkejut bukan main sehingga berulang-ulang dia mengeluarkan suara gerengan marah sambil memaki-maki. Sungguh tak disangkanya bahwa hari ini dia akan bertemu dan bertanding melawan seorang dara yang demikian lihainya.
Gerakan dara itu demikian cepatnya sehingga sukar baginya untuk mengimbangi, bahkan untuk mengikuti gerakan sepasang pedang itu saja dia sudah merasa pening, maka satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah melindungi tubuhnya tanpa sempat membalas satu kali pun!
Kalau orang mengerti bahwa dia adalah puteri Can Kim Hong murid Si Naga Hitam Kwan Bhok Cu, maka kecepatan gerakan pedang Mei Li tidaklah mengherankan. Datuk besar ini adalah seorang yang gagu, dan dia mengadakan hubungan dengan orang lain melalui tulisan yang dibuatnya dengan tongkat, dicorat-coret di atas tanah. Bagi Can Kim Hong, dia sudah biasa melihat gerakan coretan tongkat gurunya itu, maka setiap gerakan dapat langsung dikenalnya sebagai suatu huruf tertentu.
Karena kebiasaan menulis di udara ini maka Si Naga Hitam memiliki kecepatan gerakan tangan yang diwariskan kepada muridnya itu, kemudian selanjutnya Can Kim Hong juga mengajarkan kepada puterinya. Bahkan selama dua tahun, ilmu kepandaian dara ini lalu diperdalam lagi oleh gemblengan Si Naga Hitam sendiri.
Kini gulungan dua sinar pedang itu sudah mengurung ketat hingga membuat ruang gerak golok di tangan Hek-mo makin menyempit. Ketika Mei Li mengeluarkan suara melengking nyaring, pedang kirinya sengaja dibiarkan tertangkis golok, namun dara ini mengerahkan sinkang-nya sehingga pedang kirinya menempel golok. Pedang kanannya lantas menusuk dada lawan.
Melihat keadaan yang berbahaya ini, Hek-mo segera mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik goloknya dan membuang diri ke belakang. Ia berhasil lolos, tetapi gerakan cepat Mei Li membuat dara ini sudah dapat mengejar lantas sebuah tendangan kaki mengenai perutnya.
"Dukkk!"
Memang perut yang penuh lemak itu sangat keras dan kebal, namun tendangan Mei Li juga mengandung tenaga sakti sehingga tubuh Hek-mo terjengkang!
Anak buahnya yang melihat ini segera berteriak-teriak kemudian dengan senjata di tangan mereka maju hendak mengeroyok Mei Li. Akan tetapi gerakan mereka itu seperti aba-aba saja bagi Couw Sam dan kawan-kawannya untuk menerjang maju. Kemudian terjadilah pertempuran antara sebelas orang anak buah Hek-mo melawan lima belas orang anggota piauw-kiok yang dipimpin oleh Couw Sam.
Hek-mo sendiri menjadi bertambah marah. Dia adalah seorang tokoh sesat yang jarang bertemu tanding dan dia sudah amat percaya terhadap diri sendiri, mengagungkan dirinya sebagai jagoan tak terkalahkan.
Dia sudah terbiasa menang, maka kini kemarahannya memuncak menghadapi seorang dara yang mampu membuatnya roboh sampai dua kali,. Orang seperti dia tidak pernah dapat atau mau mengakui kekurangan dan kelemahannya sendiri. Begitu bangkit kembali karena tendangan tadi hanya membuat dia terjengkang dan tidak melukainya, dia menjadi semakin geram.
"Bunuh mereka semua! Bunuh!" teriaknya kepada anak-anak buahnya yang sudah mulai bertempur melawan para piauwsu dan dia sendiri lalu menerjang Mei Li dengan goloknya.
Tetapi Mei Li yang melihat betapa para piauwsu kini sudah bertempur melawan anak buah Hek-i Kwi-pang, merasa khawatir kalau-kalau para piauwsu tidak akan mampu menandingi mereka. Maka dara ini mengambil keputusan untuk dapat secepatnya merobohkan Hek-mo agar dia dapat membantu para piauwsu.
"Haiiiittttt…!"
Mei Li mengeluarkan teriakan melengking dan ketika tangan kirinya bergerak, pedang di tangan kirinya meluncur seperti anak panah menyambar ke arah kepala Hek-mo. Hek-mo mengira bahwa dara itu menyambitnya dengan pedang, maka dia segera menggerakkan goloknya untuk memukul pedang yang terbang ke arahnya itu.
Namun tiba-tiba saja pedang itu bergerak melengkung dan membalik ke arah pemiliknya, lalu pedang ke dua datang menyambar lebih cepat lagi. Hek-mo terkejut, tidak mengerti bagaimana pedang itu dapat terbang dan kembali kepada pemiliknya seolah hidup, dan ketika pedang ke dua menyambar, dia pun mengelak dengan loncatan ke samping. Akan tetapi seperti pedang pertama, ketika pedang ke dua ini luput mengenai dirinya, pedang itu meliuk lalu terbang kembali kepada dara itu.
Benar-benar sepasang Hui-kiam (pedang terbang), pikir Hek-mo dengan hati gentar dan kini sepasang pedang itu sudah menyambar-nyambar bagaikan dua ekor burung garuda memperebutkan korban. Betapa pun Hek-mo mengelak dan berusaha memukul pedang terbang dengan golok, tetap saja tidak berhasil. Bahkan pundak kirinya telah terluka oleh sebatang pedang, merobek kulit pundak hingga berdarah. Raksasa hitam itu mulai panik.
Dia tidak tahu bahwa kalau Mei Li menghendaki, kalau dara ini mempunyai hati kejam dan ganas, tentu semenjak tadi dia telah roboh! Mei Li masih sangsi dan merasa ngeri sendiri membayangkan bahwa dia harus membunuh orang. Gadis ini hanya ingin menyelamatkan sepasang pengantin dan merampas kembali harta benda mereka yang dirampok. Kalau telah berhasil melakukan itu dan bisa sekedar menghajar para perampok, maka cukuplah sudah baginya.
Kini Hek-mo benar-benar merasa terkejut dan gentar. Tahulah dia bahwa dara itu benar-benar amat lihai, dan julukan Hui-kiam Sian-li bukaniah kosong belaka. Belum pernah dia bertanding dengan lawan selihai ini. Hek-mo mulai panik. Meski pun anak buahnya masih bertempur seru dan ramai menghadapi Iima belas orang piauwsu itu, tapi hatinya sudah merasa gentar sekali dan dia pun melompat jauh ke belakang dengan maksud mengajak anak buah melarikan diri saja.
"Heii, monyet hitam, engkau hendak lari ke mana?!" Mendadak terdengar bentakan orang dan tahu-tahu di depan Tiat-ciang hek-mo telah berdiri seorang pemuda.
Mei Li memandang dan melihat seorang pemuda berpakaian sasterawan serba putih dari sutera putih yang halus berdiri dengan sikap lembut dan santai di depan raksasa hitam itu. Pakaian dari sutera putih ini nampak bersih sekali, dan sepatunya yang terbuat dari kulit hitam juga mengkilap bersih dan baru.
Pemuda itu tampan dengan muka putih bundar. Hidungnya mancung besar dan matanya lebar, mulutnya selalu tersenyum mengejek, rambutnya tersisir rapi dan mengkilap pula karena diminyaki. Seorang pemuda sasterawan yang tampan dan amat pesolek. Tangan kanannya memegang sebatang suling dari perak.
Melihat ada seorang pemuda yang nampak lemah berani menghalangnya, bahkan sudah memakinya monyet hitam, tentu saja Tiat-ciang Hek-mo menjadi marah dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menubruk ke depan sambil menggerakkan goloknya untuk membunuh pemuda lancang itu.
Mei Li sudah merasa terkejut dan khawatir sekali. Jaraknya terlampau jauh baginya untuk melindungi pemuda itu, maka dia hanya menyambit dengan pedang pendeknya yang dia cabut dari pinggangnya, ditujukan ke arah pundak kanan Hek-mo.
Hek-mo membacokkan goloknya ke arah kepala pemuda berpakaian putih itu. Pemuda itu dengan senyum dingin menggeser kaki ke kiri sehingga bacokan itu luput dan sulingnya bergerak ke depan, ke arah pundak kanan Hek-mo, bukan untuk menyerang pundak Hek-mo, melainkan untuk menangkis pedang yang dilontarkan Mei Li tadi untuk menolongnya.
"Cringgg…!" Pedang pendek itu tertangkis dan terpental kembali kepada Mei Li!
Dara itu terkejut. Pedang pendeknya itu merupakan pedang terbang yang digunakan tidak untuk kembali, maka tidak dipasangi tali, diperuntukkan sasaran yang jaraknya jauh dan tidak terjangkau oleh sepasang pedang terbangnya yang diikat tali sutera. Tetapi pedang itu tertangkis suling dan kembali kepadanya.
Dia menerima pedangnya lantas menyimpannya kembali, sambil menonton pertandingan yang terjadi antara Hek-mo dengan pemuda bersenjatakan suling perak itu. Dan dia pun menjadi kagum.
Pemuda itu ternyata lihai bukan main. Suling perak pada tangannya menyambar-nyambar cepat, berubah menjadi gulungan sinar perak yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara melengking-lengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan orang.
Tiat-ciang Hek-mo diam-diam mengeluh. Mengapa hari ini dia menjadi sangat sial? Tadi bertanding dengan dara jelita yang luar biasa lihainya sehingga dia selalu terdesak bahkan beberapa kali roboh, juga pundaknya terluka pedang terbang, dan sekarang, kembali dia harus bertanding melawan seorang pemuda yang juga amat lihai.
Apa lagi pundaknya telah terluka dan terasa perih, juga nyalinya sudah menyempit karena dia merasa tidak mampu menandingi Hui-kiam Sian-li. Kini pemuda sasterawan bersuling perak itu ternyata juga memiliki gerakan yang amat cepat.
Pemuda itu ternyata memang hebat. Berbeda dengan Mei Li yang tadi hanya bermaksud memberi hajaran kepada Hek-mo, sekarang pemuda itu membalas dengan serangan yang mematikan. Setiap kali sulingnya bergerak, maka serangan itu merupakan cengkeraman maut.
Kini kembali Hek-mo harus melindungi dirinya dengan putaran goloknya yang membentuk benteng sinar golok. Kenekatannya untuk menyelamatkan diri ini membuat suling pemuda itu berkali-kali dapat ditangkisnya. Karena maklum bahwa kalau dara jelita dengan pedang terbangnya itu membantu si pemuda dia tentu akan celaka, Hek-mo mencari kesempatan dan ketika tangkisan goloknya yang dilakukan sekuat tenaga membuat suling perak itu terpental, dia pun meloncat ke belakang untuk melarikan diri.
"Monyet hitam mampuslah!" pemuda itu berseru.
Dan dia seperti hendak memainkan sulingnya, menempelkan suling pada bibirnya. Begitu suling itu menempel di bibirnya dan dia meniup, terdengarlah suara melengking lalu tubuh Hek-mo roboh terjungkal. Dia berkelojotan sebentar, kemudian tewaslah raksasa hitam itu.
Orang lain tentu akan merasa heran mengapa begitu pemuda itu meniup sulingnya Hek-mo terjungkal dan tewas. Akan tetapi Mei Li dapat melihat sinar hitam yang menyambar keluar dari ujung suling perak lalu menyambar ke arah tengkuk Hek-mo. Dan mengertilah dia bahwa pemuda itu sudah menggunakan senjata rahasia lembut, mungkin jarum halus hitam yang beracun untuk membunuh Hek-mo.
Jarum beracun yang mengenai tengkuk tentu saja dapat membunuh dengan cepat karena racunnya langsung masuk ke dalam kepala! Dia mengerutkan alis, dan merasa semakin tak senang melihat betapa kini pemuda bersuling perak itu mengamuk dengan sulingnya, membantu para piauwsu yang memang telah mendesak anak buah Hek-i Kwi-pang.
Pemuda itu mengamuk hebat. Dalam waktu tidak terlalu lama sebelas orang berpakaian hitam itu pun roboh dan tewas, tak seorang pun sempat melarikan diri. Tewaslah seluruh anggota gerombolan Hek-i Kwi-pang yang dua belas orang itu, sebagian besar tewas di tangan pemuda bersuling perak.
Kalau para piauwsu merasa gembira dan kagum sekali terhadap pemuda bersuling perak yang sekarang sedang mengebut-ngebutkan pakaian sutera putihnya yang terkena debu kemudian menyelipkan suling peraknya di ikat pinggangnya yang berwarna merah, maka Mei Li menghampirinya dengan sepasang alis berkerut dan pandang mata marah. Dia lalu menegur,
"Mengapa engkau membunuh mereka?"
Pemuda itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan pemuda itu tersenyum sehingga nampaklah deretan giginya yang rapi dan putih, dan dagunya berlekuk ketika dia tersenyum, menambah ketampanannya.
"Nona, bukankah mereka itu gerombolan jahat dan engkau juga membantu para piauwsu ini untuk membasmi mereka? Aku Tong Seng Gun merasa kagum bukan main melihat ilmu kepandaian nona. Bolehkah aku mengetahui nama nona yang mulia?"
Sikapnya sopan dan maris, hanya pandang mata itu yang membuat Mei Li.merasa salah tingkah. Pandang mata itu seperti menembus dan menanggalkan pakaiannya!
"Aku hanya orang yang kebetulan lewat, tidak perlu dikenal siapa namaku," katanya dan dia pun memutar tubuh, menghampiri kuda putihnya yang masih tertambat di pohon.
"Taihiap, lihiap itu adalah Hui-kiam Sian-Li" kata beberapa orang piauwsu ketika melihat dara itu sudah meloncat ke atas punggung kuda putihnya lalu melarikan kuda itu dengan cepat meninggalkan hutan itu.
Pemuda itu adalah Tong Seng Gun, pemuda berusia duapuluh satu tahun, cucu Kwi-jiauw Lo-mo yang diangkat anak oleh datuk itu untuk merahasiakan bahwa sesungguhnya Seng Gun bermarga An karena dia adalah putera dari mendiang pemberontak An Lu Shan dan mendiang puterinya yang bernama Tong Kiauw Ni. Apa bila pemerintah kerajaan Tang mengetahui bahwa pemuda itu putera mendiang An Lu Shan, besar bahayanya dia akan dikejar-kejar, ditangkap dan dihukum sebagai putera seorang pemberontak yang sangat dibenci oleh Kerajaan Tang.....
Seperti telah kita ketahui, sudah terjalin persekutuan kerja sama antara Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui dan dua orang sute-nya, yaitu Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong, bersama Bu-tek Ngo-sin-liong, para tokoh Hoat-kauw. Tiga orang datuk dan Hoat-kauw kemudian membagi tugas.
Apa bila ketiga orang datuk itu sebagai pembantu Ku Ma Khan kepala suku Mongol akan menentang suku-suku bangsa lainnya yang menjadi saingan mereka dalam memperbesar kekuasaan di pedalaman, maka Hoat-kauw bertugas untuk menundukkan aliran-aliran lain dan berusaha agar menguasai dunia kangouw. Dan untuk dapat mengawasi hasil gerakan Hoat-kauw, oleh tiga orang datuk itu Seng Gun diperbantukan kepada Hoat-kauw.
Demikianlah, pada hari itu kebetulan Seng Gun lewat di hutan itu. Begitu menyaksikan Mei Li dan para piauwsu bertempur melawan Tiat-ciang Hek-mo dan Hek-i Kwi-pang yang sebelas orang banyaknya itu, dia langsung berpihak kepada Mei Li. Bukan hanya karena menjadi tugasnya untuk membuat nama besar di dunia kangouw sebagai usaha mereka yang hendak menguasai dunia kangouw, akan tetapi terutama sekali melihat Mei Li yang demikian cantik jelita dan gagah perkasa sehingga otomatis dia berpihak kepada dara itu, tidak peduli siapa yang menjadi lawan gadis itu.
Karena gadis jelita yang sudah menyelamatkan mereka itu kini telah pergi tanpa pamit, sepasang pengantin yang semenjak tadi hanya saling rangkul dengan ketakutan melihat pertempuran, sekarang menghampiri Seng Gun dan mereka berdua segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu. Tadi mereka sudah mendengar ketika pemuda itu menyebutkan namanya kepada Hui-kiam Sian-li, maka pengantin pria itu segera berkata dengan suara lantang dan gembira.
"Kami berdua menghaturkan terima kasih kepada Tong-taihiap. Jika tadi tidak ada taihiap yang menolong, tentu kami berdua telah menjadi korban kebuasan gerombolan iblis itu."
"Terima kasih, Tong-taihiap..." pengantin wanita juga memberi hormat sambil berlutut dan mengucapkan terima kasihnya.
Seng Gun memandang lalu dia pun tersenyum. Sungguh lucu melihat sepasang pengantin yang masih mengenakan pakaian pengantin itu berlutut memberi hormat padanya. Tetapi pengantin wanita itu cantik juga. Usianya paling banyak tujuh belas tahun, wajahnya manis dan matanya jeli. Bagian atas bajunya koyak hingga nampak sedikit kulit dadanya yang putih mulus. Memang tidak sejelita Hui-kiam Sian-li, akan tetapi cukup lumayan.
"Bangkitlah kalian. Sudah menjadi tugasku untuk menolong orang-orang yang terancam bahaya. Bagaimana kalian sepasang pengantin baru dapat menjadi korban gerombolan itu?" tanya Seng Gun dengan sikap dan suara yang lembut dan gagah.
Secara singkat pengantin pria itu menceritakan bahwa setelah selesai upacara pernikahan di Lok-yang, mereka sedang menuju ke Kwi-yang, tempat tinggal pengantin pria di mana mereka akan mengadakan pesta besar di rumah pengantin pria yang kaya raya. Mereka membawa barang-barang hadiah dan berkereta, dikawal oleh Pek-houw Piauw-kiok. Akan tetapi ketika tiba di hutan itu mereka pun diserbu oleh gerombolan itu lalu mereka berdua ditangkap, barang-barang dirampas dan banyak piauwsu yang roboh tewas atau terluka. Kemudian para piauwsu datang lagi bersama Hui-kiam Sian-li dan muncul pula Seng Gun.
Seng Gun lantas menganjurkan agar para piauwsu merawat teman-teman mereka yang terluka dan mengurus semua jenazah yang berserakan di tempat itu.
"Biar aku sendiri yang akan mengawal pengantin ini dalam kereta mereka," katanya.
Mendengar ini tentu saja para piauwsu merasa girang. Memang mereka harus merawat yang luka dan mengubur yang mati, dan selain itu, apa bila mereka diharuskan mengawal kereta pengantin melanjutkan perjalanan ke Kwi-yang, mereka khawatir kalau-kalau ada kawan-kawan gerombolan itu yang akan membalas dendam dan mengganggu.
Maka mereka lalu mengambil kereta yang berisi barang-barang itu, memasang lagi dua ekor kuda penariknya dan tak lama kemudian, sepasang pengantin telah berada di dalam kereta itu yang dikusiri oleh Seng Gun.
Para piauwsu mengikuti kereta itu sambil melambaikan tangan dengan penuh kagum dan gembira. Pemuda perkasa itu sudah menyelamatkan sepasang mempelai ini berikut harta mereka, berarti mencegah nama baik perusahaan mereka mengalami kehancuran. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang pernah menduga bahwa sepasang mempelai itu seolah baru saja terlepas dari gerombolan serigala dan kini jatuh ke cengkeraman seekor harimau yang jauh lebih ganas dari pada gerombolan serigala itu!.
Seng Gun membalapkan kereta itu sambil tersenyum-senyum. Beberapa kali dia melirik ke arah pengantin wanita yang duduk di dalam kereta bersama suaminya. Mereka berdua bersyukur bahwa bukan saja nyawa dan kehormatan mereka telah diselamatkan, bahkan kereta serta barang-barang berharga mereka pun mereka dapatkan kembali! Mereka tidak menyadari bahwa kereta itu bukan menuju ke kota Kwi-yang, melainkan berbelok menuju ke utara dan memasuki daerah berhutan lebat yang sunyi.
Setelah kereta tiba-tiba berhenti barulah mereka memandang ke luar dan menyingkap tirai kereta. Bukan main kaget rasa hati mereka ketika nampak serombongan orang berjalan menghampiri kereta itu. Mereka terdiri dari belasan orang.
Karena menyangka bahwa orang-orang itu adalah gerombolan penjahat, pengantin wanita segera merangkul suaminya dengan wajah pucat. Pengantin pria itu pun ketakutan. Akan tetapi perasaan takut mereka mereda ketika mereka mendengar orang-orang itu menyapa Tong Seng Gun dengan sikap gembira.
"Aihh, dari mana engkau mendapatkan kereta yang bagus ini, kongcu?" tanya mereka.
Mendengar ini, sepasang pengantin itu menjadi lega. Kiranya orang-orang itu mengenal si pendekar yang telah menyelamatkan mereka.
"Tong-taihiap, kenapa kita berhenti di sini?" tanya pengantin pria kepada penolongnya itu ketika dia memandang keluar dan baru melihat bahwa mereka kini berada di dalam hutan yang tidak dikenalnya.
Seng Gun tersenyum. "Kita berhenti sebentar untuk beristirahat. Kalian keluarlah."
Mendengar ucapan Seng Gun yang nadanya ramah dan lembut itu, sepasang pengantin baru merasa lega dan tidak lagi curiga, maka mereka pun melangkah keluar dari kereta, penganin pria menggandeng dan membantu yang wanita turun. Pakaian pengantin wanita yang bentuknya seperti gaun itu tersingkap ketika dia melangkah turun dari kereta yang agak tinggi sehingga sekilas betis dan belakang pahanya nampak oleh Seng Gun.
Mereka memandang ke sekeliling dan merasa heran. Mereka kini berada di sebuah hutan yang sangat sepi dan di situ nampak belasan orang yang muncul. Biar pun mengenakan pakaian pribumi, jelas mereka adalah orang-orang Mongol!
Belasan orang itu adalah anak buah Seng Gun, yaitu orang-orang Mongol pilihan di antara jagoan-jagoan, dan mereka harus membantu Seng Gun yang ditugaskan membantu dan mengamati pekerjaan orang-orang Hoat-kauw yang akan menundukkan aliran-aliran lain di dunia kangouw.
Seng Gun lalu berkata kepada anak buahnya dalam bahasa Mongol yang tidak dimengerti oleh sepasang mempelai itu. Dua orang anak buahnya menghampiri pengantin pria dan berkata dalam bahasa Han yang tidak kaku karena mereka semua sudah terlatih sebelum diikutkan Seng Gun,
"Mari, tuan pengantin, beristirahatlah bersama kami," kata dua orang itu dan mereka telah menggandeng kedua tangan pengantin pria.
"Dan engkau beristirahat dengan aku, nona pengantin," kata pula Seng Gun dan dia pun menggandeng tangan pengantin wanita itu.
Tentu saja nona pengantin itu menjadi terkejut sekali. Matanya yang jeli terbelalak dan dia segera meronta hendak melepaskan tangannya yang digandeng sambil menoleh kepada suaminya yang sudah ditarik oleh kedua orang itu sehingga terpisah darinya.
"Aku mau ikut suamiku. Ahhh, taihiap... mohon lepaskan, aku ingin ikut suamiku..." Nona pengantin itu meronta dan berseru memohon.
Melihat dirinya ditarik oleh dua orang itu ke arah lain sedangkan isterinya meronta-ronta dalam gandengan pendekar yang sudah menolong mereka tadi, si pengantin pria menjadi terkejut dan curiga.
"Lepaskan aku„ aku ingin bersama dengan isteriku! Kami akan beristirahat bersama, kami tak ingin dipisahkan." Dia meronta dan hendak meiepaskan diri dari pegangan dua orang Mongol itu.
"Plakk! Plakk!"
Dua kali tamparan membuat pengantin pria itu berteriak kaget dan merasa kesakitan. Bibirnya pecah berdarah dan dia pun kini diseret oleh kedua orang itu.
Melihat apa yang dilakukan dua orang itu kepada suaminya, pengantin wanita itu menjerit dan meronta makin keras. Akan tetapi sambil tersenyum Seng Gun memondongnya dan membiarkan dia meronta-ronta, membawanya ke arah sebuah pondok, diikuti suara tawa dari belasan orang Mongol itu.
Di tepi sebuah jurang, pengantin pria itu ditendang sehingga tubuhnya terlempar masuk ke dalam jurang. Hanya terdengar teriakan memanjang lalu sunyi. Belasan orang itu lalu membongkar isi peti-peti di dalam kereta, dan mereka pun sibuk bermain-main dengan banyak barang berharga yang dibawa oleh sepasang pengantin itu. Mereka tertawa-tawa, seolah tidak mendengar jerit tangis si pengantin wanita yang dipermainkan sesuka hatinya oleh Seng Gun.
Semua orang yang di dalam hatinya masih mempunyai rasa kemanusiaan pasti akan mengutuk perbuatan yang dilakukan seorang pemuda ahli silat dan sastera seperti Seng Gun itu. Kita semua lupa bahwa menilai dan menghakimi perbuatan orang lain memang mudah sekali, karena kita tidak terlibat di dalamnya. Semua perbuatan yang tidak benar selalu merupakan ulah nafsu daya rendah yang menguasai diri.
Orang yang terlibat di dalamnya, yaitu orang yang dicengkeram oleh nafsu daya rendah, selalu didorong untuk melakukan perbuatan yang pada dasarnya hanya untuk memenuhi kehendak nafsu daya rendah, yaitu untuk memuaskan dan menyenangkan nafsu.
Nafsu selalu menggoda kita dengan bayangan-bayangan kesenangan dalam bentuk apa pun juga. Dan tidak peduli kita ini seorang kaya atau pun miskin, tua atau pun muda, pria atau pun wanita, terpelajar atau buta huruf, pandai dan bodoh, semua dipermainkan nafsu daya rendah.
Bila kita melihat orang lain yang melakukan, dengan mudah kita dapat menilai dan dapat melihat kesalahan yang dilakukan orang lain. Akan tetapi, kalau kita sendiri yang terlibat, kalau kita sendiri yang dicengkeram nafsu, tak mungkin kita dapat menerapkan penilaian seperti kalau kita melihat orang lain.
Pengertian dalam pertimbangan akal pikiran kita dapat digunakan untuk orang lain, akan tetapi bagaimana jika kita sendiri yang terlibat? Bagaimana jika kita yang didorong nafsu melakukan suatu perbuatan yang pada dasarnya hanya mengejar kesenangan, mengejar cita-cita dengan menghalalkan segala cara? Dapatkan pengertian kita, ilmu pengetahuan kita, kepandaian dan kebijaksanaan kita, mencegah dan menundukkan nafsu kita yang mendorong-dorong kita melakukan kesalahan itu?
Sungguh sulit sekali! Banyak contohnya. Kita tahu dan mengerti betul bahwa nafsu yang mendorong kita untuk marah-marah, memukul atau pun memaki adalah tidak benar. Kita paham benar! Akan tetapi dapatkah pengertian kita itu mengendalikan kemarahan kita? Semua pencuri di dunia tentu tahu dan mengerti betul bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik, berdosa. Akan tetapi bila mana nafsu sudah menguasai diri, mampukah pengertian itu mencegahnya untuk mencuri?.
Buktinya, mereka semua itu tetap saja mencuri biar pun mereka semua mengerti bahwa mencuri itu berdosa. Demikian pula dengan korupsi dan segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang di dunia. Mereka semua bukan orang bodoh, mereka semua TAHU dan MENGERTI bahwa perbuatan jahat itu berdosa, namun pengetahuan dan pengertian itu tidak menolong, karena nafsu telah mencengkeram diri. Bahkan nafsu daya rendah sudah meresap sampai ke tulang sumsum, sampai ke dalam hati akal pikiran sehingga hati akal pikiran yang TAHU dan MENGERTI bahwa perbuatan itu salah, bahkan menjadi pembela dari pada perbuatan itu sendiri.
Hati akal pikiran membisikkan kepada seorang koruptor misalnya, bahwa semua orang juga melakukan korupsi, bahwa upahnya tidak cukup, bahwa dia membutuhkan uang itu untuk keluarganya, bahwa korupsinya hanya kecil dibandingkan para koruptor lainnya dan sebagainya. Pikiran yang bergelimang nafsu tidak mungkin mengendalikan nafsu sendiri, tetapi kalau membela memang pandai!
Banyak sudah diusahakan manusia untuk menguasai nafsu, untuk mengendalikan nafsu. Banyak pula pelajaran-pelajaran dalam semua agama yang menjanjikan pahala bagi yang berkelakuan baik dan mengancam hukuman bagi yang berkelakuan jahat. Tapi mengapa kejahatan cenderung semakin meningkat? Karena jahat itu berarti mengejar kesenangan, dan nafsu dalam diri manusia memang selalu menjanjikan kesenangan bagi manusia.
Semua perbuatan yang mengandung pamrih kesenangan, baik kesenangan itu berupa harta, kedudukan, nama baik, pujian, janji-janji muluk dan sebagainya, adalah ulah yang didorong oleh nafsu daya rendah, nafsu yang sudah menguasai kita lahir batin. Lahirnya menguasai panca indera dan batinnya menguasai hati akal pikiran. Pelajaran-pelajaran itu mungkin dapat menolong, namun hanya untuk sementara saja, hanya seperti tambalan yang menutup untuk sementara saja.
Hanya seperti sekam yang ditaburkan pada api. Nampaknya apinya padam, akan tetapi sebetulnya masih membara di sebelah dalam dan sewaktu-waktu kalau mendapat angin akan bernyala lagi, bahkan mungkin nyalanya lebih besar dibandingkan sebelum ditutup sekam. Walau pun mungkin ada yang berhasil namun hanya jarang sekali.
Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Membuang atau membunuh nafsu? Tidak mungkin, karena justru nafsu daya rendah ini yang menghidupkan manusia. Nafsu adalah alat hidup, peserta hidup dan pelengkap kita. Tanpa adanya nafsu, panca indera kita tak akan dapat merasakan apa itu indah dan buruk, lezat dan tidak lezat, enak dan tidak enak, merdu atau tidak, harum atau tidak, dan sebagainya.
Tanpa adanya nafsu, pikiran pun akan terhenti, tidak akan ada kemajuan lahiriah dalam kehidupan ini, bahkan tanpa adanya nafsu birahi, perkembang biakan manusia pun akan terhenti. Nafsu mutlak perlu bagi kita, akan tetapi nafsu pun mutlak membahayakan dan menyeret kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang hanya akan mengacaukan kehidupan di antara manusia, perbuatan yang merusak dan pada umumnya kita namakan perbuatan jahat. Nafsu adalah peserta, adalah hamba kita yang amat kita perlukan, tapi bila hamba ini telah menjadi majikan kita, maka celakalah kita. Kita akan diseret dan dipermainkan!
Mencari uang atau nafkah adalah suatu keharusan dalam kehidupan di dunia ini, namun bila nafsu telah enjadi majikan, maka kita tidak segan-segan untuk menipu, merampok, mencuri, korupsi bahkan membunuh untuk memperebutkan harta. Gairah birahi adalah kebutuhan dalam hidup karena nafsu ini yang membuat kita mau melakukan hubungan antara lawan kelamin, akan tetapi bila nafsu yang menjadi majikan, kita tak segan-segan untuk berjinah, melacur, bahkan memperkosa!
Seperti yang dilakukan oleh Seng Gun. Bukan dia tidak mengerti atau tidak tahu bahwa perbuatannya itu jahat dan keji. Dia tahu! Akan tetapi dorongan nafsunya tak akan hilang atau terhenti karena pengetahuannya itu.
Nafsu mutlak diperlukan, namun nafsu juga mutlak berbahaya. Lalu bagaimana? Hanya dengan mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta, yang mencipta kita, mencipta nafsu-nafsu kita, mencipta segala sesuatu, yang tampak dan tak tampak oleh mata kita, yang mengadakan segala sesuatu, mengembalikan dalam arti menyerah dengan segala kepasrahan, keikhlasan, ketawakalan. Hanya dengan kepasrahan yang sebulat-bulatnya inilah, di mana kehendak si aku atau nafsu melalui akal pikiran tidak bekerja giat lagi, maka Kekuasaan Tuhan akan bekerja!
Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang mampu mengembalikan nafsu pada fungsi aslinya, yaitu menjadi peserta kita, menjadi pelayan kita demi kepentingan hidup berjasmani di dalam dunia ini.
Seng Gun adalah seorang manusia yang sepenuhnya dikuasai nafsu daya rendah. Budi kesusilaan memang ada pula di dalam hatinya, menjadi peserta, namun budi kesusilaan itu tertutup oleh nafsunya sehingga seolah menjadi hamba nafsu.
Sukarlah dibayangkan kekejian apa yang terjadi di dalam pondok itu, akan tetapi tiga hari kemudian, di dalam jurang yang dalam itu menggeletak mayat sepasang pengantin baru itu. Pengantin pria tewas di dalam jurang karena ditendang dan dilempar oleh orang-orang Mongol anak buah Seng Gun, ada pun pengantin wanita sengaja membunuh diri dengan meloncat ke dalam jurang untuk mengakhiri hidupnya yang penuh aib…..
********************
Selanjutnya baca
KISAH SI PEDANG TERBANG : JILID-06