Kisah Si Pedang Terbang Jilid 06


Perahu kecil itu meluncur dengan perlahan di tengah telaga. Penumpangnya hanya satu orang saja, seorang pemuda yang kepalanya dilindungi sebuah caping lebar yang biasa dipakai oleh para nelayan. Caping itu melindungi pemakainya dari terik matahari, juga bisa melindungi badan ketika turun hujan.

Akan tetapi pemuda itu jelas bukan seorang nelayan. Dia tidak membawa pancing, juga tidak membawa jala. Selain itu pakaiannya juga bukan seperti nelayan, melainkan seperti seorang pemuda pelajar. Wajahnya tampan sekali.

Kini dia sedang mendayung perahunya perlahan-lahan ke tengah telaga. Agaknya ia ingin menghindari keramaian, menjauhi para nelayan dalam perahu mereka yang berseliweran bercampur dengan para pelancong yang menikmati keindahan alam dan kesejukan hawa udara di telaga.

Setelah tiba di tengah telaga yang sunyi, jauh dari perahu-perahu lain, pemuda itu tidak mendayung lagi, membiarkan perahunya berhenti di tengah telaga, dan dia pun duduk di perahu, memandang ke permukaan air telaga yang tenang dan jernih sambil melamun. Pemuda itu adalah Souw Kian Bu.

Seperti kita ketahui, Souw Kian Bu pergi meninggalkan rumah orang tuanya di kota Wu-han untuk pergi merantau mencari pengalaman. Kepada mereka dia mengatakan bahwa selain ingin mencari pengalaman di dunia kang-ouw (sungai telaga, dunia persilatan), dia pun hendak berkunjung ke Gobi-pai di pegunungan Gobi.

Ketika perjalanannya tiba di telaga itu dan melihat keindahan telaga, Kian Bu amat tertarik sehingga pada pagi hari itu dia menyewa sebuah perahu dan berperahu di telaga. Kini dia duduk di atas perahunya, melamun.

Sebuah perahu yang agak besar meluncur perlahan mendekati perahunya, bahkan hampir saja membentur perahunya. Kian Bu tersadar dari lamunan dan merasa agak marah akan kesembronoan orang yang mengemudikan perahu besar itu. Kalau perahunya yang kecil tadi sampai terbentur, bukan tidak mungkin perahunya akan terguling.

Namun perahu besar itu pun berhenti, agaknya tidak didayung lagi. Dari atas perahunya dia melihat ada orang di atas perahu besar, mungkin penumpangnya berada di dalam bilik perahu yang berada di tengah perahu, hanya berupa papan di kanan kiri dan belakang, sedangkan pintu di depan tertutup tirai. Akan tetapi ketika perahu itu terbawa gerakan air agak melintang, dia melihat seorang laki-laki yang agaknya tukang perahu berada di ujung perahu dan tukang perahu inilah agaknya yang merupakan pengemudi dan pendayung perahu. Dia tidak tahu apakah di dalam bilik perahu ada orangnya.

Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara yang-kim (kecapi) dimainkan orang. Suara yang-kim itu cukup nyaring dan dari paduan suaranya dapat diketahui bahwa pemainnya amat mahir memainkan alat musik itu.

Kian Bu yang juga pernah mempelajari permainan kecapi mendengarkan penuh perhatian, kemudian dia pun tersenyum. Lagu asmara! Dia mengenal lagu ‘Menanti Kasih’ itu yang menceritakan tentang Ci Lan, seorang puteri raja yang cantik jelita menanti munculnya kekasihnya, seorang penggembala yang sebenarnya telah dibunuh oleh raja yang tidak setuju puterinya saling mencinta dengan pemuda penggembala. Tapi arwah penggembala itu agaknya menjadi penasaran dan dia masih sering muncul dan mengadakan pertemuan dengan sang puteri, walau pun mereka tidak bisa saling bicara atau saling bersentuhan. Tapi sang puteri masih tetap mencintanya, merindukannya dan terjadilah lagu asmara itu!
Sesudah permainan yang-kim itu mengakhiri lagu asmara tadi dan berhenti, Kian Bu tidak dapat menahan kekagumannya dan dia pun berkata dengan suara bersungguh-sungguh, "Lagu yang indah, yang-kim yang merdu!"

Tukang perahu yang bertubuh tinggi kurus itu menoleh kepadanya, akan tetapi acuh saja seolah ucapan Kian Bu itu sama sekali tidak ada artinya baginya. Akan tetapi tiba-tiba dari dalam bilik perahu yang pintunya tertutup tirai sutera biru itu terdengar suara wanita yang merdu dan seperti bersajak.

"Lagu yang indah bukan lagu, yang-kim yang merdu bukan yang-kim!"

Mendengar suara ini Kian Bu tertegun. Ia merasa heran sekali dan juga penasaran, maka dia pun memandang ke arah bilik perahu besar itu dan bertanya,
"Maafkan kelancanganku, akan tetapi kalau lagu yang indah bukan lagu, lalu apakah lagu itu! Kalau yang-kim yang merdu bukan yang-kim, lalu apakah yang-kim yang sebenarnya? Mohon petunjuk."

Hening sejenak, seolah wanita yang mengeluarkan suara tadi sedang diam berpikir. Lalu terdengar lagi suaranya, suara yang merdu, juga pengucapan setiap kata amat jelas dan disuarakan seperti orang membaca sajak, setengah bernyanyi.

"Dengan matahari timbullah terang,
tanpa matahari jadilah gelap,
terang dan gelap tiada bedanya
yang satu mengandung yang lain
yang lain ada karena yang satu!"

Kian Bu menjadi semakin kagum.. Dia bangkit berdiri di atas perahunya, mengangkat dua tangannya ke depan dada dan memberi hormat ke arah bilik di tengah perahu besar:

"Aku Souw Kian Bu merasa kagum sekali akan permainan yang-kim dan kata-kata indah yang diucapkan tadi. Kalau aku tidak dipandang terlalu rendah, aku mengharapkan untuk dapat berbincang-bincang mengenai gelap dan terang!"

Hening sejenak dan Kian Bu masih menunggu dengan kedua tangan terangkap di depan dada. Kemudian terdengar suara wanita yang merdu tadi.

"Sobat, silakan naik ke atas perahu kami. Pandangan rendah mau pun tinggi sama saja, sama-sama menjerumuskan!"

Dia berada di perahu kecil dan dipersilakan naik ke perahu besar itu, padahal di situ tidak terlihat tali atau tangga, hal ini jelas menunjukkan bahwa wanita yang mengundangnya itu hendak mengujinya, atau memang sudah dapat menduga bahwa dia memiliki kepandaian. Oleh karena itu Kian Bu juga tidak merasa perlu menyembunyikan kemampuannya.

"Maafkan kalau aku mengganggu!" Tubuhnya lantas meloncat naik ke atas perahu besar sambil membawa tali perahunya. Tanpa guncangan sedikit pun kedua kakinya menginjak papan perahu besar. Dia tidak peduli betapa tukang perahu di perahu besar itu meliriknya dengan pandang mata jalang, lalu mengikatkan ujung tali perahunya ke perahu besar.

"Bagus, ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang bagus sekali!" terdengar suara wanita itu berseru kagum.

Kian Bu memutar tubuh lalu menghadapi pintu bilik yang tertutup tirai. Pada saat itu pula nampak sebuah tangan yang jari-jarinya kecil panjang dan putih mulus menyingkap tirai, lalu muncullah seorang wanita dari dalam bilik.

Kian Bu yang telah siap untuk mengangkat kedua tangan memberi hormat, terpesona dan lupa mengangkat tangannya, hanya berdiri bengong bagaikan patung. Matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan dia tak mampu mengeluarkan kata-kata, tak mampu melakukan sesuatu seperti tiba-tiba saja kehilangan akalnya!

Selama hidupnya belum pernah dia dapat membayangkan ada seorang wanita sejelita ini, seperti bidadari dari kahyangan! Jangankan bertemu, mimpi pun belum pernah. Sebelum ini tentu dia tidak akan percaya bahwa di dunia ini terdapat seorang wanita yang memiliki kecantikan seperti ini!

Dara itu berpakaian serba putih terbuat dari sutera putih. Demikian putih bersih sehingga dia nampak semakin anggun seperti dewi! Dalam pandangan mata Kian Bu kecantikannya nampak sempurna, dengan daya tarik sedemikian kuatnya sehingga membuat dia seperti berubah menjadi patung.

Mata itu! Rambut itu! Hidung dan terutama sekali bibir itu! Wah, tidak mungkin dia dapat menggambarkan. Madu seguci pun kalah manis, bunga setaman kalah harum. Dan ketika bibir itu merekah, tersenyum dan memperlihatkan deretan gigi yang putih bersih dan rapi, membayangkan kemerahan rongga mulut serta ujung lidah, Kian Bu menjadi pusing tujuh keliling. Agaknya dia akan jatuh pingsan kalau saja dia tidak cepat menahan napas sambil mengerahkan tenaga.

"Souw-kongcu (tuan muda Souw), engkau kenapakah, memandangku seperti itu?" Mulut yang bibirnya berbentuk gendewa terpentang, merah membasah tanpa gincu itu bertanya lembut, masih membayangkan senyum geli.

Mendengar pertanyaan itu barulah Kian Bu merasa seperti diseret turun kembali dari dunia lamunan, dunia awang-awang. Mukanya berubah kemerahan, dia menjadi salah tingkah.

"Ehh, aku… eh, saya… ehh, maafkan aku. Apakah nona yang tadi bersajak dan bermain yang-kim…?" Dari tirai yang setengah terbuka dia menjenguk ke dalam bilik untuk melihat apakah ada wanita lain di dalam bilik itu.

Dara itu lalu membuka tirai pintu bilik sehingga Kian Bu dapat melihat bahwa bilik kecil itu kosong, tidak ada orang lain di dalamnya. Yang ada hanyalah sebuah meja pendek tanpa bangku dan tentu gadis itu tadi duduk bersila di atas tikar pada papan perahu. Sebuah yang-kim kecil tergeletak di atas meja, juga alat tulis yang disusun rapi. Peralatan ini saja menunjukkan bahwa dara itu adalah seorang ahli sastera yang tentu pandai menulis indah dan membuat sajak.

"Mengapa engkau merasa heran, kongcu? Apakah engkau tadi menyangka bahwa yang memainkan yang-kim seorang pria?" Dara itu menahan tawanya, dan dari susunan kata-katanya mudah diketahui bahwa dara itu seorang yang terpelajar.

Walau pun segala keindahan pada diri gadis itu masih mempesona, namun Kian Bu telah mampu menguasai perasaannya sehingga dia kini menjadi lebih tenang.

"Tidak, nona. Suaranya menunjukkan bahwa yang bersajak adalah seorang wanita, akan tetapi tidak kusangka sama sekali masih semuda nona."

Senyum itu tidak meninggalkan bibir yang mungil itu. "Mengapa engkau mengira bahwa yang bicara adalah seorang wanita tua, Souw-kongcu?'

"Karena ucapan tadi mengandung soal-soal kehidupan yang sangat rumit dan mendalam artinya sehingga aku merasa tertarik sekali untuk mengajak berbincang-bincang, tapi tidak tahunya...”

Dara itu tersenyum semakin lebar dan sepasang matanya berbinar-binar seperti bintang kembar. "Kongcu, apakah engkau sudah tua sekali? Kulihat engkau bukan kakek-kakek, juga tidak jauh lebih tua dibandingkan aku. Mari kita duduk di dalam bilik kalau memang engkau masih ingin mengajakku berbincang-bincang. Matahari mulai naik tinggi dan duduk di luar bilik akan membuat kulitku menjadi hangus. Engkau masih terlindung caping lebar, akan tetapi aku?"
"Ahh, maaf, aku telah mengganggumu, nona."
"Tidak sama sekali, mari silakan."

Dara itu memberi isyarat dengan tangannya mempersilakan Kian Bu memasuki bilik. Dia sendiri membuka sama sekali tirai pintu bilik itu sehingga kini bilik itu terbuka.

Melihat ini dada Kian Bu terasa lapang. Sungguh akan mendatangkan perasaan tak enak sekali kalau dia harus berada berdua saja dengan gadis itu di dalam bilik perahu yang pintunya tertutup! Dia mengangguk kemudian memasuki bilik, diikuti dara itu.

Tidak lama kemudian mereka berdua sudah duduk bersila terhalang meja. Kian Bu telah melepaskan caping dari atas kepalanya dan menaruh caping itu berdiri miring pada sudut bilik. Kini mereka duduk berhadapan dan saling pandang. Akan tetapi Kian Bu tidak berani terlalu lama menatap wajah itu, merasa seolah silau kalau memandang terlalu lama.

"Sebelum kita berbincang-bincang, sebaiknya kalau aku memperkenalkan diri lebih dulu, karena engkau tadi sudah memperkenalkan dirimu, kongcu. Namaku Ji Kiang Bwe. Nah, sekarang apa yang ingin kau perbincangkan denganku, Souw-kongcu?"

Tadi, sebelum melihat orangnya, mendengar suaranya dan permainan yang-kim, hati Kian Bu tertarik sekali dan ingin dia berbincang tentang lagu, tentang musik, tentang sajak, dan terutama tentang makna kehidupan seperti disinggung suara itu di dalam sajaknya. Akan tetapi setelah kini melihat orangnya, dia menjadi kehilangan akal dan agaknya sukar sekali dia mengeluarkan kata-kata pendahuluan.....
"Aku ehh…, aku hanya ehh…, ingin bertanya mengenai sajakmu tadi, nona," akhirnya dia dapat mengambil keputusan untuk bertanya mengenai sajak yang diucapkan dara itu tadi, karena bertanya merupakan kegiatan yang paling mudah dalam suatu perbincangan atau percakapan.

"Tanyalah, Souw-kongcu. Orang bertanya tak usah membayar." Gadis itu tersenyum dan Kian Bu juga tersenyum. Ternyata gadis ahli sastera ini pandai pula berkelakar, pikirnya dengan hati gembira.
"Aku hanya ingin mengulang pertanyaanku tadi, Ji-siocia. Engkau tadi mengatakan bahwa lagu yang indah bukan lagu. dan yang-kim yang merdu bukan yang-kim. Lalu apa?"

"Souw-kongcu, lagu hanyalah lagu dan yang-kim hanyalah yang-kim, apa bila ditambah yang indah dan merdu maka lagu dan yang-kim itu sudah bukan aslinya lagi, melainkan menjadi bayangan sesuai dengan selera yang menyebutnya. Sebutan indah dan buruk keduanya tidak menerangkan sifat sebenarnya dari yang disebut, karena indah dan buruk hanyalah penilaian, dan setiap penilaian tentu didasari perasaan suka dan tidak suka secara pribadi, dan suka atau tidak suka ini pun didasari menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kalau menyenangkan maka mendatangkan rasa suka, dan kalau suka sudah tentu akan tampak indah dan baik. Karena itulah maka lagu yang indah bukan lagu dan yang-kim yang merdu bukan yang-kim, melainkan gambaran dari si penilai!”

Mendengar kalimat dengan susunan kata-kata yang bertentangan dan terdengar aneh itu, Kian Bu menjadi tertegun.

"Ji-siocia, apakah engkau dari aliran Beng‑kauw (Aliran Terang)?" tanya Kian Bu sambil menatap tajam. Orang-orang dari aliran Beng-kauw banyak yang pandai, tetapi berwatak aneh sehingga oleh para pendekar mereka digolongkan sebagai golongan sesat.

Dara itu tersenyum lagi. "Souw-kongcu, apakah kalau aku dari golongan atau aliran Beng-kauw lalu engkau tak sudi lagi bercakap-cakap denganku?" Dengan gaya yang lincah dan cerdik dara itu balas bertanya. "Dan mengapa pula engkau mengira aku dari Beng-kauw?"

"Aku pernah membaca tentang aliran Beng-kauw, dan sajakmu tadi mirip dengan filsafat aliran Beng-kauw."

Gadis itu menggeleng kepalanya. "Aku tidak terikat dengan aliran mana pun. Aku hanya senang menyelami kenyataan-kenyataan hidup, tidak peduli dari ajaran aliran mana pun. Kehidupan ini sendiri adalah suatu aliran, suatu pelajaran yang tiada putus-putusnya, juga menjadi guru kita. Apa lagi kalau dalam kehidupan ini kita mengalami banyak penderitaan, banyak kesengsaraan dan kedukaan, maka dengan sendirinya urusan kehidupan menjadi amat menarik untuk direnungkan dan dimengerti."

Kian Bu memandang kagum. "Ahh…! Tidak pernah aku dapat membayangkan kata-kata seperti itu keluar dari mulut seorang nona semuda engkau, nona. Maafkan aku, agaknya nona yang semuda ini telah banyak mengalami hal-hal yang mendukakan. Benarkah itu?"

Tiba-tiba saja perahu besar itu terguncang keras. Kian Bu terkejut karena maklum bahwa perahu itu tentu ditabrak sesuatu, maka dia sudah cepat meloncat keluar dari dalam bilik perahu. Terdengar suara ribut orang berkelahi di ujung perahu dan ketika dia menghampiri, ternyata tukang perahu yang tinggi kurus tadi sedang berkelahi dikeroyok oleh tiga orang.

Baru sekarang Kian Bu mengetahui bahwa tukang perahu yang tinggi kurus dan bersikap dingin itu ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh. Dayung besinya menjadi senjatanya dan dia mengamuk dikepung tiga orang yang bersenjatakan pedang.

Ternyata tiga orang pengeroyok itu pun lihai bukan main! Seorang saja di antara mereka pasti akan merupakan lawan setanding dari tukang perahu itu. Apa lagi kini mereka maju bertiga, tentu saja tukang perahu itu menjadi kewalahan sehingga dia lebih banyak hanya dapat menangkis saja dan memutar dayungnya melindungi diri, tidak memperoleh banyak kesempatan untuk membalas. Tiga gulungan sinar pedang kini sudah menghimpitnya dan sebentar lagi tentu dia akan terkena pedang dan roboh.

Kian Bu tidak tahu mengapa mereka berkelahi dan siapa pula tiga orang pengeroyok itu. Karena tidak tahu urusannya, maka dia pun tak berani turun tangan. Bagaimana pun juga tukang perahu itu adalah pembantu Ji Kiang Bwe dan dia harus mencegah tukang perahu itu terbunuh.

"Hentikan perkelahian!" teriak Kian Bu dan sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang ke arah mereka yang sedang bertanding dan gulungan sinar pedangnya bergerak menangkis empat buah senjata itu, tiga batang pedang dan sebatang dayung.

Terdengar suara berdencing berturut-turut. Tukang perahu itu terkejut, demikian pula tiga orang pengeroyoknya cepat berloncatan ke belakang karena mereka tadi merasa betapa tangan mereka tergetar hebat sehingga senjata mereka nyaris terlepas dari pegangan.

"Souw-kongcu, harap mundur. Ini adalah urusan kami pribadi," terdengar suara merdu di belakangnya.

Kian Bu menoleh dan melihat Kiang Bwe telah berdiri di situ, tetap cantik jelita dan agung seperti tadi, hanya bedanya, kalau tadi wajahnya berseri penuh senyum dan ramah, kini wajah itu nampak dingin dan sinar matanya mencorong.

"Paman Gu, apakah yang terjadi?" dengan sikapnya yang tenang sekali dara itu bertanya kepada si tukang perahu.

Diam-diam Kian Bu memperhatikan dengan heran dan ingin tahu. Siapakah sebenarnya dara ahli sastra ini yang dapat bersikap sedemikian tenangnya menghadapi serbuan tiga orang lihai itu? Dan sikap tukang perahu itu lebih mengherankan hatinya lagi. Orang yang wajahnya nampak dingin itu kini bersikap hormat sekali dan dia merangkap kedua tangan di depan dada ketika menjawab pertanyaan Kiang Bwe.

"Pangcu (Ketua Perkumpulan), mereka adalah orang-orang dari Hoat-kauw yang sengaja hendak membunuhku."

Sepasang mata yang indah itu kini mencorong penuh kemarahan. Bukan hanya Kian Bu yang terkejut dan heran mendengar tukang perahu itu menyebut pangcu kepada si nona, akan tetapi juga tiga orang tokoh Hoat-kauw itu terkejut dan heran sekali.

"Orang she Gu!" kata seorang di antara mereka kepada si tukang perahu. "Ketua kalian, Ji-pangcu, telah tewas, tidak perlu lagi kalian menipu kami dan menyebut nona ini sebagai pangcu kalian!"

"Orang-orarig Hoat-kauw yang sombong, kalian bertiga memiliki mata akan tetapi seperti buta. Ji-pangcu memang sudah tewas oleh kekejaman kalian, akan tetapi nona ini adalah ketua baru kami, puteri mendiang Ji-pangcu!"

Ketiga orang itu saling pandang, kemudian mereka menatap wajah Ji Kiang Bwe. Mereka tadi melihat sepak terjang pemuda yang lihai itu dan mereka agak gentar padanya, akan tetapi tentu saja tidak gentar menghadapi gadis muda yang diaku oleh si tukang perahu sebagai ketua yang baru.

"Bagus! Kalau begitu biar kami mengirimnya mengikuti jejak ayahnya!" bentak mereka lalu tiga orang itu mempersiapkan pedang mereka untuk menerjang.
"Pangcu, hati-hati!" teriak si tukang perahu yang sekarang telah melintangkan dayungnya untuk membantu.

Juga Kian Bu tidak mau tinggal diam. "Ji-siocia, perkenankan aku membantumu!"

Biar pun dia belum tahu mengapa orang-orang Hoat-kauw memusuhi nona itu, akan tetapi mudah saja baginya untuk mengambil keputusan, pihak mana yang patut dibantunya.

"Paman Gu, mundurlah. Kemudikan saja perahu kita, engkau bukan lawan mereka. Souw-kongcu, sudah kukatakan bahwa ini adalah urusan pribadi, maka harap engkau menonton saja dan tidak mencampuri. Aku tidak ingin mencontoh mereka yang berwatak pengecut dan mengandalkan pengeroyokan ini!

Tukang perahu itu mundur dan memegang kemudi perahu, memandang dengan khawatir, sedangkan Kian Bu juga mundur dan memandang dengan heran dan kagum. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis yang pandai sastera, nampak lemah lembut, pandai main yang-kim dan membuat sajak itu, ternyata begitu tenangnya dan berani menghadapi pengeroyokan tiga orang Hoat-kauw yang lihai itu! Tapi diam-diam dia masih bersiap siaga dan tetap menjaga kalau-kalau gadis itu membutuhkan bantuannya. Dia tak ingin melihat gadis itu celaka di tangan tiga orang lawan yang lihai itu.

Mendengar pemuda yang lihai itu menawarkan bantuannya kepada gadis yang mengaku sebagai ketua baru dari Kim-kok-pang, diam-diam tiga orang Hoat-kauw itu merasa makin gentar. Seorang di antara mereka, yang berjenggot lebat dan berusia lima puluhan tahun, menahan gerakan pedangnya dan dia pun berkata dengan suara membujuk.

"Nona, kalau engkau benar menjadi pangcu dari Kim-kok-pang yang baru, kami anjurkan agar engkau membawa Kim-kok-pang untuk bekerja sama dan bersahabat dengan Hoat-kauw, tentu Kim-kok-pang akan menjadi makin kuat, bahkan kelak akan menjadi sebuah perkumpulan yang besar dan berpengaruh, juga para pimpinannya akan mendapat banyak kesempatan untuk mendapat kekuasaan. Sebelum terlanjur, kami sungguh mengharapkan nona akan suka membawa seluruh pimpinan datang berkunjung kepada pimpinan kami untuk membicarakan kerja sama itu."

Dengan sepasang alis berkerut Ji Kiang Bwe memandang kepada mereka, lalu bertanya, "Kalian bertiga ini merupakan tokoh tingkat berapakah dari Hoat-kauw?"

"Kami bertiga adalah para pembantu dari ketua cabang. Ketua cabang merupakan tokoh tingkat ke empat dan kami berada di bawah mereka," kata si jenggot lebat dengan suara yang kurang senang ditanya tentang tingkat mereka.

"Hemm, tingkat lima atau empat? Tidak cukup berharga untuk membicarakan persoalan dengan aku. Kalau yang datang adalah tokoh tingkat pertama atau setidaknya kedua dari Hoat-kauw, tentu aku akan suka bicara."

Sikap nona itu sungguh kereng dan meiihat sikap itu saja, tiga orang ini menjadi gentar. Hanya orang yang percaya akan kemampuan sendiri saja yang dapat bersikap seperti itu.

"Baiklah, kalau begitu kami hendak kembali untuk melapor kepada atasan kami," kata si jenggot lebat lantas dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya untuk meninggalkan perahu itu, kembali ke perahu mereka yang berwarna hitam dan yang menempel pada perahu besar itu.
"Nanti dulu!" bentakan nona itu nyaring berwibawa, suaranya melengking dan menusuk hingga membuat tiga orang itu terkejut dan membalikkan tubuh menghadapinya. "Kalian sudah menabrak perahuku. Kalian telah menyerang pembantuku. Kemudian kalian sudah bersikap sombong tidak menghormatiku. Kesalahan ini sebenarnya harus ditebus dengan nyawa. Tetapi karena hari ini aku sedang menerima tamu terhormat, biarlah memandang muka tamuku, aku tidak akan membunuh kalian. Hayo cepat kalian menggunakan pedang memotong lengan kiri kalian masing-masing sebatas siku!"

Tiga orang itu terbelalak. Muka mereka menjadi pucat kemudian berubah merah karena penasaran dan marah. Mereka adalah orang-orang penting dari Hoat-kauw dan tadinya, melihat si tinggi kurus Gu Lok yang dikenal sebagai Si Dayung Baja, tokoh Kim-kok-pang yang juga menentang Hoat-kauw, mereka hendak membunuhnya. Hanya karena muncul dara yang mengaku sebagai ketua baru Kim-kok-pang, mereka tidak jadi membunuhnya. Akan tetapi sekarang mereka dihina, diharuskan membuntungi lengan kiri sendiri. Tentu saja mereka tidak sudi!

"Nona, engkau benar-benar keterlaluan," kata si jenggot lebat. "Kami sudah mengampuni nyawa Si Dayung Baja, dan sekarang nona bahkan berani menghina kami?"
"Cepat kalian lakukan, kalau tidak tentu pangcu sendiri yang akan membuntungi lengan kalian, bahkan mungkin leher kalian!" kata Si Dayung Baja Gu Lok dengan lantang.
"Srat-sratt-srattt…!" Tiga orang itu mencabut lagi pedang masing-masing yang tadi sudah disimpan dan si jenggot lebat berkata marah.

"Kami dari Hoat-kauw bukanlah orang-orang yang mau menerima penghinaan begitu saja! Kim-kok-pangcu, tadi engkau mengatakan hendak menandingi kami bertiga seorang diri saja, menyuruh Si Dayung Baja mundur dan menolak pula bantuan pemuda itu. Apakah kata-katamu itu masih dapat dipercaya?"
"Singggg…!"

Nampak sinar yang menyilaukan mata berkelebat dan tangan kanan Ji Kiang Bwe sudah memegang sebatang rantai dari baja putih yang tadi dipakainya sebagai ikat pinggang. Rantai itu indah dan berkilauan, namun ternyata mempunyai gagang dan panjangnya tidak kurang dari satu meter.

Begitu dilolos dan digerakkan, rantai itu menjadi tegang seperti sebatang pedang, bahkan mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam, kemudian menjadi lentur lagi seperti rantai biasa dan berputar, lalu rantai itu melibat-libat lengan kanan Kiang Bwe. Gerakan ini amat indah dan cepat sekali.

Dari ayah ibunya Kian Bu pernah mempelajari delapan belas macam senjata, akan tetapi belum pernah melihat seuntai rantai baja putih indah yang dijadikan ikat pinggang itu kini dipergunakan sebagai senjata.

Ketika dia mengamati penuh perhatian, dia melihat betapa mata rantai pada bagian ujung rantai itu tidak bundar, melainkan tipis dan tajam! Senjata semacam itu dapat menyambar seperti golok membabat, juga dapat menusuk seperti pedang apa bila digerakkan dengan sinkang sehingga menjadi tegang, dan dapat pula untuk menotok jalan darah atau melibat senjata tajam lawan. Sungguh merupakan sebuah senjata yang sangat ampuh, kalau saja pemegangnya mahir menggunakannya karena penggunaannya juga sukar dan berbahaya bagi diri sendiri kalau kurang mahir.

"Tiga ekor tikus dari Hoat-kauw, majulah untuk kubuntungi lengan kiri kalian!" kata Kiang Bwe, suaranya lembut dan sikapnya tenang, seolah dia sama sekali tidak merasa tegang, juga tidak siap untuk bertanding, apa lagi menghadapi pengeroyokan tiga orang lawan yang lihai.

Tiga orang Hoat-kauw yang masih merasa gentar kalau-kalau Si Dayung Baja dan Kian Bu akan membantu nona itu, segera menggerakkan pedang masing-masing, membentuk kurungan segi tiga dan mereka menyerang dengan gerakan cepat dan kuat dari kanan kiri dan depan! Kian Bu sendiri menahan napas meiihat kedahsyatan serangan tiga orang itu, akan tetapi Si Dayung Baja nampaknya tenang-tenang saja.

Begitu dara itu bergerak maka tahulah Kian Bu mengapa tukang perahu itu terlihat tenang saja. Kiranya dia sudah yakin akan kehebatan nona yang menjadi ketua perkumpulannya itu. Begitu Kiang Bwe menggerakkan senjata di tangannya, nampak kilat menyambar ke sekelilingnya lantas terdengarlah bunyi berdencingan disusul bunga api berpijar ketika tiga batang pedang para pengeroyok itu tertangkis oleh rantai, lalu tiga orang itu berloncatan ke belakang karena tangan mereka terasa panas seperti disentuh api membara.

"Heiiiitttttt...!"

Dara itu mengeluarkan suara melengking-lengking dan senjata di tangannya menyambar-nyambar dengan ganasnya, membuat ketiga orang itu semakin terkejut dan mereka harus memutar pedang untuk melindungi diri mereka.

Memang aneh kalau.dilihat, tiga orang berpedang itu kini terdesak oleh dara yang mereka keroyok. Hal ini membuktikan betapa cepatnya gerakan dara itu yang jauh lebih cepat dari pada gerakan tiga orang lawannya sehingga dia dapat menghujankan sambaran rantainya kepada mereka, membuat mereka menjadi repot bukan main. Apa lagi setiap kali senjata mereka berternu dengan rantai, mereka merasa betapa gagang pedang mereka seakan berubah menjadi bara api yang membakar telapak tangan.

Diam-diam Kian Bu memperhatikan gerakan dara itu dan dia pun terpesona. Tadi saja dia telah terpesona oleh kecantikan dan kepandaian gadis itu bermain yang-kim dan mengutip sajak, dan sekarang ditambah lagi kekagumannya melihat gerakan senjata rantai itu. Dan tiba-tiba saja mukanya berubah kemerahan.

Pantas saja gadis itu tadi memuji ginkang-nya ketika dia meloncat dari perahunya ke atas perahu besar. Kiranya gadis itu sendiri adalah seorang ahli meringankan tubuh yang hebat sehingga gerakannya demikian cepat dan lincahnya!

Kembali terdengar dara itu mengeluarkan tiga kali suara lengkingan memanjang dan sinar rantainya menyambar-nyambar, disusul muncratnya darah, buntungnya lengan kiri ketiga orang itu, kemudian begitu Kiang Bwe tiga kali menggerakkan kakinya, tubuh tiga orang pengeroyok itu terlempar keluar dari perahu lantas berjatuhan ke air telaga!

Kian Bu terbelalak, juga bergidik. Dara yang demikian jelita dan halus lembut gerak-gerik serta tutur katanya, ternyata kini dapat melakukan perbuatan yang baginya nampak sadis sekali! Memang dia adalah putera suami isteri pendekar, akan tetapi selama ini dia hanya berlatih silat dengan ayah ibunya, dan tidak pernah bertanding dengan orang luar, apa lagi melihat lengan tiga orang dibuntungi begitu saja dan tubuh mereka yang sudah kehilangan lengan kiri ditendang ke air telaga.

"Ji-siocia, apa artinya semua ini?" tanya Kian Bu dan kini wajahnya tidaklah seramah tadi. Hatinya terasa sakit meiihat dara jelita itu dapat melakukan kekejaman seperti itu.
"Paman Gu, jalankan perahu menepi," kata Kiang Bwe, lalu kepada Kian Bu dia berkata, "Souw-kongcu, panjang ceritanya untuk menjawab pertanyaanmu ini, juga pertanyaanmu yang tadi. Maukah engkau menjadi tamu kami agar dapat mendengar keteranganku untuk menjawabmu? Tetapi kalau engkau masih merasa tidak senang dan tidak mau memenuhi undanganku, terserah. Tentu saja kami tidak dapat memaksamu."

Melihat pandang mata itu nampak sayu dan berduka, maka redalah kemarahan Kian Bu. Dia memang ingin sekali mengetahui riwayat dara ini dan mengapa terdapat permusuhan antara perkumpulan yang agaknya dipimpin dara itu dengan Hoat-kauw, suatu aliran yang cukup besar dan berpengaruh.

"Baiklah, aku ingin mendengar penjelasanmu agar hatiku tidak menjadi penasaran, meski pun tentu saja urusan itu tidak menyangkut diriku." Dia teringat kepada perahu kecilnya yang masih tertambat pada perahu besar itu. "Akan tetapi aku harus mengembalikan dulu perahu yang kusewa."
"Jangan khawatir, urusan itu akan dikerjakan oleh orang-orangku di pinggir telaga," kata Ji Kiang Bwe.

Mereka mendarat dan lima orang menyambut dara itu dengan sikap hormat. Bahkan atas permintaan Kiang Bwe, dua ekor kuda segera dipersiapkan lantas dia pun mengajak Kian Bu untuk menunggang kuda menuju ke tempat tinggalnya. Kian Bu melihat betapa dalam hal menunggang kuda, dara itu pun mahir sekali.

Mereka membalapkan kuda menuju sebuah bukit yang dari jauh nampak berwarna kuning emas berkilauan. Itu adalah karena di bukit itu terdapat batu-batu cadas yang berwarna kekuning-kuningan sehingga dari jauh akan tampak seperti emas kalau tertimpa matahari. Karena itu maka lembah bukit di mana terdapat warna seperti emas itu disebut Lembah Bukit Emas. Mereka membalapkan kuda mendaki bukit itu dan sesudah sampai di lereng, di lembah itu, nampak dari situ Sungai Yang-ce laksana seekor naga biru yang meliuk-liuk di bawah sana.

Di lembah bukit itu terdapat sebuah perkampungan. Setelah tiba di depan pintu gerbang, baru Kian Bu mengetahui bahwa itu bukan sebuah dusun biasa, melainkan perkampungan yang menjadi pusat dari Kim-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bukit Emas), seperti yang tertulis pada papan besar di pintu gerbang.

Puluhan orang menyambut nona itu dengan sikap gembira dan hormat ketika Kiang Bwe dan Kian Bu memasuki pintu gerbang perkampungan itu. Terdapat perumahan seperti di sebuah dusun kecil, dan Kiang Bwe mengajak Kian Bu menghampiri sebuah bangunan terbesar yang berada di tengah perkampungan. Mereka meloncat turun dari kuda dan dua orang anggota Kim-kok-pang segera mengurus dua ekor kuda itu.

"Mari silakan masuk, Souw-kongcu." Ji Kiang Bwe mempersilakan.

Mereka memasuki rumah yang cukup besar dengan perabot yang lengkap dan baik, lalu nona rumah itu mengajak Kian Bu duduk di sebuah ruangan tamu yang cukup luas, yang mempunyai banyak jendela menembus ke sebuah taman.

Mereka duduk berhadapan terhalang meja besar, kemudian seorang wanita setengah tua muncul membawakan minuman dan menghidangkan minuman dengan sikap hormat, lalu mengundurkan diri kembali. Setelah menuangkan minuman dan mempersilakan tamunya minum, Ji Kiang Bwe memandang tamunya. Mereka saling pandang, dan dara itu menarik napas panjang.

“Sesungguhnya aku sendiri merasa heran sekali mengapa aku ingin menceritakan riwayat dan keadaanku kepadamu, kongcu. Padahal kita baru saja berkenalan dan hanya secara kebetulan bertemu di telaga. Mungkin karena sikapmu yang ramah, karena kesediaanmu membantuku menghadapi orang-orang Hoat-kauw tadi."

"Maafkan aku, Ji-siocia. Aku pun biasanya tidak berani lancang ingin mengetahui urusan orang lain. Tetapi peristiwa yang terjadi di perahu tadi sangat menarik hatiku. Kalau nona tak mau menceritakan sebabnya, tentu hatiku akan selalu merasa penasaran bagaimana seorang seperti nona dapat melakukan hajaran yang begitu kerasnya terhadap tiga orang tadi."
"Akan kuceritakan semua karena aku pun ingin menerangkan kepadamu, kongcu. Akan tetapi sebelum itu, sudah sepantasnya kalau aku mengetahui lebih banyak tentang dirimu, orang yang kupercaya mendengarkan riwayatku."

Kian Bu tersenyum. "Aku mengerti, nona, dan memang sudah sepantasnya begitu. Akan tetapi tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku. Aku tinggal di Wu-han bersama orang tuaku, dan ayahku seorang pedagang kain. Aku adalah anak tunggal, dan semenjak kecil aku tinggal di Wu-han. Baru sekali ini aku pergi merantau seorang diri untuk mencari pengalaman dan kebetulan saja ketika aku sedang berperahu di telaga itu aku mendengar permainan yang-kimmu. Nah, tidak ada apa-apanya yang menarik, bukan?"

"Akan tetapi engkau pandai ilmu silat, setidaknya engkau mempunyai ginkang yang hebat. Siapakah gurumu, kongcu?"
"Aku belajar sedikit ilmu silat dari ayah ibuku sendiri," jawab Kian bu sederhana.

Dara itu membelalakkan matanya dan Kian Bu merasa seolah jantung di dalam dadanya jungkir balik. Begitu indahnya mata itu ketika dibuka lebar.

"Aihh, kalau begitu ayah ibumu adalah orang-orang sakti!" kata dara itu kagum.

Wajah Kian Bu menjadi kemerahan. "Ah, sama sekali tidak, nona. Ayahku hanya seorang pedagang kain dan ibuku seorang ibu rumah tangga yang baik. Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu dan semua yang terjadi tadi, nona."

Wajah yang jelita itu nampak muram, akan tetapi hanya sebentar saja, seolah awan tipis berlalu. Gadis itu lalu bercerita.

Ayahnya bernama Ji Kun Ek, seorang pendulang emas yang tadinya seorang pemburu. Suatu ketika ayahnya berhasil menemukan emas di bukit itu, dan begitu mendengar dia telah menemukan emas, maka banyak pemburu yang tadinya merupakan rekan-rekannya ikut pula mencari emas.

Kemudian terbentuklah sekelompok pendulang emas yang makin lama menjadi semakin banyak hingga jumlahnya lebih dari seratus orang. Untuk mencegah agar tidak ada orang luar ikut-ikutan, apa lagi karena seringnya ada orang jahat merampok hasil pendulangan beberapa orang di antara mereka, Ji Kun Ek lalu membentuk perkumpulan Kim-kok-pang yang menetap di Lembah Bukit Emas itu dan mengangkat kelompok itu sebagai anggota. Mereka semua mengangkat Ji Kun Ek sebagai ketua Kim-kok-pang, bukan hanya karena dia merupakan orang pertama yang mendulang emas, melainkan juga karena dia memiliki ilmu silat yang paling kuat di antara mereka.

Hasil pendulangan emas itu membuat keuangan Kim-kok-pang cukup kuat dan kehidupan anggotanya cukup makmur. Ji Kun Ek bahkan mengirim anak tunggalnya, yaitu Ji Kiang Bwe, ke kota besar dan memanggil guru-guru sastera dan seni untuk mendidik puterinya.

Sesudah dia sendiri mengajarkan semua ilmu silatnya sampai habis kepada puterinya, dia bahkan menganjurkan puterinya untuk memperdalam ilmu silatnya. Dan secara kebetulan sekali, pada saat berkunjung ke sebuah kuil wanita untuk bersembahyang, Ji Kiang Bwe bertemu dengan seorang pendeta wanita yang kebetulan juga menjadi tamu para nikouw di situ. Pendeta wanita ini berjuluk Pek-mau Sian-kouw. Julukan Pek-mau (Rambut Putih) ini karena seluruh rambut kepalanya sudah putih semua seperti benang-benang sutera putih, sungguh pun usianya baru sekitar lima puluh tahun.

Tidak ada seorang pun yang menduga bahwa pendeta wanita ini sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sejak muda sekali Pek-mau Sian-kouw telah merantau ke negeri barat dan bertahun-tahun tinggal di India, kemudian lama pula berada di Tibet sehingga namanya lebih terkenal di daerah Tibet dari pada di Tiongkok.

Selain ahli ilmu silat tinggi, Pek-mau Sian-kouw juga telah mempelajari ilmu perbintangan dan ramalan. Begitu melihat Ji Kiang Bwe yang pada saat itu berusia tiga belas tahun dan sudah pandai ilmu silat karena gemblengan ayahnya, dia tahu bahwa dia sudah bertemu dengan murid yang berjodoh dengannya. Demikianlah, selama lima tahun Pek-mau Sian-kouw mengajarkan ilmu-ilmunya kepada Ji Kiang Bwe sehingga sesudah berusia delapan belas tahun, Ji Kiang Bwe telah menguasai ilmu-ilmu andalan pertapa wanita itu.

"Aku mengikuti subo ke tempat pertapaannya selama dua tahun terakhir, dan ketika subo mengijinkan aku turun gunung dan pulang ke sini, ternyata telah terjadi mala petaka hebat menimpa diri ayahku sebagai ketua Kim-kok-pang," kata dara itu dan wajahnya kembali muram.
"Apa yang telah terjadi dengan ayahmu dan ibumu, nona?"

"Ibuku sudah meninggal dunia sejak aku masih kecil, Souw-kongcu. Karena itu seluruh kasih sayangku terhadap orang tua kucurahkan kepada ayahku. Akan tetapi, ketika tiga bulan yang lalu aku pulang, aku mendengar bahwa ayahku telah meninggal dunia kurang lebih sebulan sebelum aku pulang."
"Hemm terkena sakit?"
"Tidak, dia dibunuh oleh pimpinan Hoat-kauw! Menurut cerita para pembantu ayah, sudah lama Hoat-kauw membujuk ayahku agar Kim-kok-pang suka bekerja sama dengan pihak Hoat-kauw dan mengakui Hoat-kauw sebagai aliran tunggal yang harus dianut oleh semua anggota Kim-kok-pang. Ayahku menolak bujukan itu sehingga akhirnya terjadi bentrokan antara ayah dan pimpinan Hoat-kauw. Dalam sebuah pertandingan satu lawan satu ayah roboh dan akhirnya tewas."

Kian Bu diam saja tidak memberi komentar. Apa pun alasan suatu pertandingan, apa bila pertandingan itu dilakukan satu lawan satu, maka hal itu merupakan sebuah kehormatan bagi seorang ahli silat, dan kalah menang merupakan soal ke dua. Sukarlah mencampuri kekalahan orang yang bertanding satu lawan satu.

Ji Kiang Bwe lalu melanjutkan ceritanya. Ketika dia pulang dan semua pembantu ayahnya mengetahui bahwa gadis ini pulang membawa ilmu kepandaian yang jauh lebih tangguh dibandingkan mendiang ayahnya, serta merta mereka lalu mengangkatnya menjadi ketua Kim-kok-pang yang baru.

"Aku tidak dapat menolak pengangkatan itu demi ayahku. Selama tiga bulan ini aku hanya dapat berduka karena kematian ayah. Aku menjadi yatim piatu, dan biar pun aku berduka, apa yang dapat kulakukan? Hoat-kauw adalah sebuah aliran kepercayaan yang besar dan amat berpengaruh. Aku hanya dapat menanti sampai ada orang Hoat-kauw berani datang hendak memaksakan kehendak. Apa bila hal itu terjadi, aku akan melawan mereka, bukan hanya untuk membalaskan kematian ayahku, namun untuk menentang kejahatan mereka memaksakan kehendak kepada perkumpulan lain. Untuk menghibur hati, pada hari ini aku berpesiar di telaga, hanya mengajak Paman Gu Lok untuk mengemudikan perahu. Dan hal yang kunanti-nanti selama tiga bulan ini pun tiba, yaitu mereka hendak membunuh Gu Lok karena paman ini merupakan pembantu utama mendiang ayah. Nah, kini engkau tahu mengapa aku bersikap keras terhadap tiga orang itu."

Lega rasa hati Kian Bu. Andai kata mala petaka ini menimpa dirinya, andai kata ayahnya yang terbunuh oleh orang Hoat-kauw karena menolak bujukan mereka, mungkin dia akan bersikap lebih keras lagi kepada tiga orang Hoat-kauw tadi. Bahkan mungkin mereka akan dibunuhnya!

"Ahh, nasibmu sungguh menyedihkan, Ji-siocia, akan tetapi percayalah, orang yang benar akan mendapatkan kemenangan terakhir. Dan engkau berada di pihak benar, pangcu eh, siocia."

Dara itu tersenyum. "Mengapa engkau menyebutku ketua atau nona? Namaku Ji Kiang Bwe dan setelah kita berkenalan dan bercakap-cakap, bukankah kita telah bersahabat?"

Kian Bu juga ikut tersenyum. "Akan tetapi engkau juga menyebutku Kongcu (tuan muda)! Bagaimana kalau kita hapuskan saja sebutan yang kaku itu dan kita saling menyebut seperti kakak dan adik?"

Kiang Bwe melebarkan senyumnya dan kemuraman wajahnya lenyap bagaikan awan tipis tersapu angin. "Aku akan senang sekali, tetapi bagaimana kalau aku yang lebih tua?"

"Tidak mungkin! Engkau masih nampak remaja bagiku, sedangkan aku sudah sembilan belas tahun lebih."
"Aihh, engkau bersikap kakek-kakek saja, Bu-koko (kakak Bu). Kini usiaku sendiri sudah delapan belas tahun."
"Kalau begitu aku lebih tua setahun, Bwe-moi (adik Bwe)!" Keduanya saling pandang dan tertawa sehingga suasana menjadi gembira.....
Tiba-tiba daun pintu ruangan itu diketuk orang dari luar walau pun daun pintu itu terbuka. Mereka segera menoleh dan nampak Si Dayung Baja Gu Lok sudah berdiri di luar pintu. Anehnya, biar pun kini dia berada di dalam rumah, bukan di dalam perahu lagi, dia masih membawa-bawa dayung bajanya yang dipakai sebagai tongkat! Kiranya benda itu lebih banyak dipergunakan sebagai senjata dari pada sebagai dayung.

"Ah, paman Gu, masuklah. Oya, sudahkah engkau kembalikan perahu kecil yang disewa Souw-kongcu tadi?" tanya Kiang Bwe.

Gu Lok masuk lantas mengangguk. "Sudah, pangcu. Bahkan dari tukang perahu itu saya menerima titipan sesampul surat untuk pangcu." Dia menyodorkan sebuah sampul surat.

Kiang Bwe menerima surat itu dan memandang heran. "Dari manakah tukang perahu itu menerima surat untukku ini?"

"Katanya dari seorang wanita cantik yang memberinya banyak upah untuk mengantarkan surat ini kepada ketua Kim-kok-pang. Kemudian saya minta surat itu dan saya serahkan sendiri kepada pangcu."
"Duduklah, Paman Gu Lok. Perkenalkan, ini adalah toako Souw Kian Bu yang tadi sudah membantu kita di perahu." Kiang Bwe lalu membuka surat itu, sedangkan Gu Lok saling memberi hormat dengan Kian Bu kemudian duduk dengan punggung lurus dan tegak.

Sesudah membaca isi surat, Kiang Bwe mengangkat muka memandang kepada Gu Lok dan Kian Bu. "Hoat-kauw mengirim undangan kepada pimpinan Kim-kok-pang! Bagus, ini merupakan kesempatan baik bagi kita untuk datang berkunjung memenuhi undangan dan menyelesaikan urusan antara mereka dan kita."
"Pangcu hendak memenuhi undangan mereka?" tanya Gu Lok, wajahnya membayangkan keraguan dan kekhawatiran.

"Tentu saja! Mereka hendak merayakan ulang tahun dan menurut undangan mereka ini, mereka sengaja menggunakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan para undangan yang terdiri dari perkumpulan-perkumpulan dan semua aliran di dunia kangouw. Dengan disaksikan oleh para tokoh kangouw, aku akan dapat menuntut dari Hoat-kauw mengapa mereka membunuh ayahku dan hendak memaksa Kim-kok-pang bekerja sama dengan mereka. Mereka tentu tak akan berani berbuat seenaknya di depan para tokoh kangouw."

"Kalau begitu saya akan menemani pangcu," kata Gu Lok.
"Lebih baik jangan, paman. Selama aku pergi, engkau mewakili aku mengatur anak buah dan menjaga keamanan di sini," kata dara itu dengan suara tegas.
"Baiklah, pangcu. Sekarang saya hendak mohon diri dahulu," kata Gu Lok yang tahu diri, melihat bahwa kemunculannya ini mungkin mengganggu pangcu-nya yang sedang bicara dengan tamunya.

Sesudah Gu Lok keluar, Kian Bu berkata, "Bwe-moi, biarlah aku yang menemanimu. Aku akan membantumu kalau sampai ada pihak yang memusuhimu.”

Kini sikap dara itu lebih manis, akan tetapi tetap saja tegas. "Terima kasih atas tawaran bantuanmu, Bu-ko, akan tetapi sekali lagi, kami tidak dapat menerima bantuan dari luar. Tentu engkau mengetahui bahwa urusan ini adalah urusan yang menyangkut kehormatan Kim-kok-pang, sebab itu harus dihadapi secara terhormat pula. Tidak, kami tidak mungkin dapat menarik bantuan dari luar kalangan Kim-kok-pang."

Melihat ketegasan ketua Kim-kok-pang itu, tentu saja Kian Bu tidak bisa membantah lagi karena dia pun maklum akan kebenaran pendapat itu. "Baiklah kalau begitu, hanya aku minta engkau suka memberi tahu kepadaku, kapan dan di mana diadakannya perayaan ulang tahun Hoat-kauw itu?"

"Menurut surat undangannya, perayaan itu akan diadakan di Bukit Harimau, di luar kota An-king pada permulaan bulan depan."
"Terima kasih, Bwe-moi. Sekarang aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan, karena aku tahu bahwa engkau tentu akan sibuk menghadapi urusan perkumpulanmu. Selamat tinggal dan selamat berpisah, Bwe-moi."

Sebenarnya Kiang Bwe ingin sekali menahan pemuda yang sejak pertama kali bertemu telah menarik hatinya itu. Akan tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja dia merasa malu untuk menyatakan perasaannya, dan selain itu, dia pun harus melakukan persiapan untuk menghadapi undangan dari Hoat-kauw. Maka dia pun hanya dapat mengucapkan terima kasih atas bantuan Kian Bu dan dia mengikuti bayangan pemuda itu ketika meninggalkan lereng Lembah Bukit Emas…..

********************
Selanjutnya baca
KISAH SI PEDANG TERBANG : JILID-07
LihatTutupKomentar