Raja Pedang Jilid 14


"Sekarang pertanyaan ke empat, memang aku menjadi pembesar di kota raja. Terhadap permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, aku tak dapat berbuat apa-apa karena kedudukanku sebagai perwira. Dan untuk hal ini pun aku mempunyai rahasia pribadi yang tak dapat kujelaskan sekarang mau pun kelak karena rahasia itu akan kubawa mati. Nah, para orang gagah dari Hoa-san-pai, aku Kwee Sin sudah menjelaskan semua."

Kwa Tin Siong berbisik-bisik dengan Lian Bu Tojin, kemudian dia maju dan berkata pula, suaranya nyaring jelas, "Kwee Sin, kami rasa pengakuan-pengakuanmu itu cukup jujur, kecuali mengenai rahasia pribadi yang kau sembunyikan. Kami kira kau akan cukup jujur pula untuk mengakui bahwa perbuatanmulah yang jadi biang keladi semua permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. Selamanya dua partai ini menjadi sahabat-sahabat baik, malah telah ada ikatan kekeluargaan antara kedua partai melalui sumoi dan engkau. Akan tetapi, dengan tak kenal malu kau telah melakukan perhubungan gelap yang sangat hina dengan siluman betina Kim-thouw Thian-li dari Ngo-lian-kauw sehingga terlihat oleh ayah sumoi dan mengakibatkan ayah sumoi dibunuh oleh Kim-thouw Thian-li. Kemudian kau bukannya insyaf, malah kau melanjutkan hubungan itu dengan pihak Ngo-lian-kauw, ditambah lagi menduduki jabatan perwira di kota raja. Sekarang hendak kami tanya, bagai mana pertanggungan jawabmu terhadap semua ini? Ingat, bahwa karena perbuatanmu yang rendah itu, telah banyak jatuh korban, baik di pihak Hoa-san-pai mau pun dari pihak Kun-lun-pai. Dan tanpa ada pertanggungan jawabmu, kiranya dua pihak akan terus turun tangan."

Dengan sikap gagah Kwee Sin mengangkat dada dan berkata nyaring, "Sejak kecil aku dididik oleh Kun-lun-pai untuk menjadi seorang laki-laki yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran." Sampai di sini suaranya menggetar terharu dan dia mengerling ke arah Pek Gan Siansu yang duduk tak bergerak seperti patung. "Sudah tentu saja aku mengakui semua kesalahanku, yaitu bahwa karena hubunganku dengan Kim-thouw Thian-li maka terjadi keributan dan permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. Para orang gagah Hoa-san-pai, aku Kwee Sin mengaku berdosa dan terserah hukuman apa yang hendak kalian jatuhkan kepadaku."

Kembali Kwa Tin Siong berbisik-bisik dengan gurunya, kemudian dia menerima sebatang pedang dari tangan Lian Bu Tojin, pedang pusaka Hoa-san-pai! Dengan tenang dan suara tegas Kwa Tin Siong berkata, "Kesalahanmu terhadap Hoa-san-pai menimbulkan banyak korban nyawa anak murid Hoa-san-pai, karena itu seperti keharusan hukum kang-ouw, hutang nyawa bayar nyawa. Kwee Sin, mengingat akan hubungan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, Suhu memberi keringanan kepadamu dan mempersilakan kau menjatuhkan hukuman bayar hutang nyawa dengan tanganmu sendiri."

Kwee Sin memandang ke arah pedang itu, lalu menerimanya dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Gan Siansu. "Suhu, perkenankanlah teecu mohon kemurahan hati Suhu untuk terakhir kali. Teecu yang banyak berdosa terhadap Suhu, mohon supaya Suhu yang menjalankan hukuman ini sebagai penebus dosa teecu."

Wajah Pek Gan Siansu agak pucat. Sebetulnya di lubuk hatinya, kakek ini amat sayang kepada Kwee Sin, akan tetapi karena kenyataannya membuktikan bahwa Kwee Sin telah melakukan penyelewengan, dia pun tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyesal.

"Kau bukan muridku lagi, aku tidak berhak mencampuri urusan hukuman."

Mendengar ini, Kwee Sin bangkit berdiri dengan air mata berlinang, lalu berkata perlahan, "Kwee Sin memang sudah terlalu berdosa, patut mengakhiri hidupnya..."

Pedang berkelebat ke arah lehernya.

"Kwee-enghiong...!" Jerit melengking ini terdengar dibarengi oleh berkelebatnya bayangan kuning yang ternyata adalah seorang gadis cantik berbaju kuning.

Akan tetapi terlambat datangnya, pedang di tangan Kwee Sin sudah membabat lehernya. Jeritan tadi hanya mengagetkan Kwee Sin sehingga gerakan pedangnya agak tertahan dan batang lehernya tidak putus. Akan tetapi luka di lehernya cukup hebat, membuat dia roboh terguling bermandi darah.

Gadis itu menangis dan menubruknya, memeluk dan mengangkat tubuh bagian atas yang dipangkunya. "Kwee-enghiong... kau... kau... ahhh, mengapa kau mau menuruti kemauan orang-orang yang mau enak sendiri? Kwee-enghiong... kau dengarkan aku, kau dengar aku... aku Lee Giok, aku cinta padamu, ahhh… jangan kau tinggalkan aku..."

Nona baju kuning ini bukan lain adalah Lee Giok yang sudah kita kenal suka menyamar sebagai nyonya Liong, mendekap kepala yang berlumuran darah itu sambil menangis. Dia kemudian kelihatan beringas dan marah, diletakkan kembali Kwee Sin ke atas tanah lalu dia meloncat berdiri menghadapi orang-orang Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai yang bengong menyaksikan itu semua.

"Kalian orang-orang kejam! Kalian orang-orang buta tak mengenal orang! Kalianlah yang memaksa Kwee-enghiong membunuh diri!"

Liem Sian Hwa makin sakit hatinya melihat betapa sekarang, selain Kim-thouw Thian-li, ada lagi seorang gadis cantik yang mencinta Kwee Sin dan datang-datang memaki-maki, maka ia pun membentak, "Siluman dari mana datang-datang hendak mencampuri urusan kami?" la melangkah maju dan mencabut pedangnya.

Lee Giok dengan mata berapi memandang Sian Hwa. "Hemm, kau tentulah Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa yang dulu menjadi tunangan Kwee-enghiong, bukan? Orang yang mabuk akan dendam, yang memikirkan diri sendiri, yang sempit pandangan. Orang seperti kau ini mana patut disandingkan Kwee-enghiong yang gagah perkasa?"

"Cih, asal buka mulut saja," Sian Hwa balas memaki. "Dia begitu hina untuk berhubungan dengan ketua Ngo-lian-kauw, dan merendahkan diri dengan menjadi kaki tangan penjajah, menjadi pengkhianat bangsa. Dan kau masih memuji-mujinya. Kiranya kau pun tidak akan jauh sifatnya dengan orang-orang macam dia dan Kim-thouw Thian-li!"

"Bodoh! Goblok orang-orang macam kalian!" Lee Giok memaki, air matanya bercucuran. "Ahhh... buta kalian! Dia ini adalah Si-enghiong..."

Tiba-tiba Pek Gan Siansu yang merasa curiga akan semua adegan itu, bertanya. "Siapa itu Si-enghiong (Pendekar keempat)?"

"Nona Lee... ehh, Siok-moi... aku...?”

Mendengar suara ini Lee Giok tidak pedulikan semua orang dan cepat berlutut.

“…kau hati-hatilah... mereka sudah tahu... sudah mulai mencurigai... kita sudah… mereka ketahui… awas... lekas peringatkan dia..."
"Siapa?" Lee Giok bertanya, suaranya tergetar, air matanya mengucur deras.
"Ji-enghiong..."
"Siapa dia? Siapa Ji-enghiong? Lekas kau katakan, sampai sekarang aku sendiri belum tahu siapa Ji-enghiong. Lekas katakan..."
"Dia... dia... dia… ahhhhh...” Kwee Sin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena sudah kehilangan nyawanya.

Lee Giok memeluk dan menangis tersedu-sedu, tak peduli bahwa darah dari leher Kwee Sin membasahi muka dan pakaiannya. Semua orang terharu juga melihat kejadian ini dan tanpa terasa mata Sian Hwa juga menjadi basah.

Pek Gan Siansu tidak tega hatinya. "Lim Kwi, kau rawatlah baik-baik jenazah Kwee Sin. Biar pun dia bukan muridku lagi tapi..."

Lim Kwi yang pada dasarnya berwatak penuh welas asih dan dia memang suka kepada Kwee Sin, segera melangkah maju hendak mengangkat jenazah Kwee Sin.

Akan tetapi Lee Giok membentak. "Jangan sentuh dia!"

Dia lalu bangkit berdiri, dadanya turun naik, napasnya memburu, matanya berkilat-kilat. Wajahnya pucat dan menjadi mengerikan karena berlepotan darah Kwee Sin.

"Kalian tidak berharga untuk menyentuhnya! Kalian ini pengecut-pengecut tak tahu malu. Bermata dua tapi buta tak melihat, tidak dapat membedakan mana yang palsu mana yang tulen, tidak tahu mana yang baik mana yang buruk. Kalian tidak tahu siapa dia yang kalian paksa bunuh diri ini? Dia adalah orang ke dua di kota raja yang memimpin para pejuang melakukan gerakan di bawah tanah. Dia ini adalah orang kepercayaan Ciu-taihiap. Kalian tahu mengapa dia melakukan hubungan dengan Kim-thouw Thian-li? Hal itu disengaja, karena merupakan rencana dari atasan. Kalau tidak mendekati Kim-thouw Thian-li, mana dia bisa memasuki kota raja, mendapat kepercayaan orang-orang yang berkuasa di kota raja? Dia sengaja mengorbankan perasaannya, sengaja menghubungi Kim-thouw Thian-li sehingga para pembesar di kota raja percaya kepadanya, sehingga dengan aman dan mudah dia dapat mengorek rahasia-rahasia ketentaraan dan bisa membantu dan memberi petunjuk kepada saudara-saudara seperjuangan yang bergerak di luar kota raja! Jasanya untuk perjuangan sudah banyak sekali, dia seorang patriot sejati yang tidak segan-segan mengorbankan perasaan, mengorbankan kekasih, mengorbankan segalanya untuk tanah air dan bangsa. Dan kalian ini... orang-orang yang hanya ingat akan kepentingan diri sendiri, tidak peduli akan perjuangan bangsa, malah ribut saling gontok-gontokan antara saudara sendiri, orang-orang macam kalian ini sekarang memaksa dia membunuh diri? Celaka... celaka... semoga Thian mengutuk kalian semua!"

Lee Giok menangis lagi dan semua orang yang berada di situ terpaku dengan muka pucat dan sinar mata bingung. Tidak terkecuali Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin yang saling pandang dengan muka pucat dan sedih. Mereka masih ragu-ragu akan kebenaran semua keterangan nona yang tidak mereka kenal itu.

Keterangan ini aneh luar biasa, terlalu asing sehingga kelihatan agak mustahil. Kwee Sin menjadi pemimpin pejuang di kota raja? Dan semua kelakuannya yang dipandang rendah itu adalah siasat untuk perjuangan?

Akan tetapi keterangan mereka itu lenyap seketika setelah terjadi hal berikutnya…..

Tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan, "Tangkap pemberontak! Tangkap mata-mata pemberontak!" Dan serta merta muncullah rombongan pasukan tentara pemerintah yang bersenjata lengkap, jumlahnya seratus orang lebih!

Bukan main kaget hati Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin ketika melihat bahwa di antara pasukan itu terdapat seorang wanita cantik berusia empat puluh tahun lebih, membawa sapu tangan sutera beraneka warna dan seorang kakek berbaju kuning. Betapa tidak akan kaget hati mereka karena wanita yang sebenarnya sudah berusia enam puluh tahun itu adalah Hek-hwa Kui-bo, sedangkan kakek itu adalah tokoh utara yang paling terkenal, yaitu Siauw-ong-kwi Si Raja Setan Cilik, guru dari Giam Kin pemuda pemelihara ular.

Pemuda itu sendiri juga tampak tersenyum-senyum, matanya liar menyambar-nyambar ke arah Kwa Hong dan Thio Bwee. Di sampingnya terlihat pula seorang wanita cantik yang bersikap genit, berpakaian indah dan pesolek. Kim-thouw Thian-li!

Begitu melihat tubuh Kwee Sin yang menggeletak mandi darah di atas tanah, Kim-thouw Thian-li melompat mendekati. Tadinya orang mengira bahwa dia tentu akan menangis menggerung-gerung menyedihi kematian kekasihnya itu. Akan tetapi siapa kira, setelah melihat bahwa Kwee Sin betul-betul sudah mati, ia lalu meludah ke arah tubuh itu sambil berkata.
"Cih, keparat keji! Bertahun-tahun kau menipuku, kusangka betul-betul setia, kiranya kau pemimpin mata-mata anjing pemberontak!" Kakinya diangkat, kemudian dia menendang muka mayat itu.
"Kim-thouw Thian-li siluman betina, jangan kau hina dia!" Lee Giok marah sekali. Dia lalu melompat dan memukul kepala ketua Ngo-lian-kauw itu. Kim-thouw Thian-li menangkis.
"Plakk!" Dua lengan halus bertemu dan keduanya terhuyung mundur.

Diam-diam Kim-thouw Thian-li kaget, sama sekali tak menyangka bahwa nona yang biasa menjadi pembantu Pangeran Souw Kian Bi ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga. Pantas ia menjadi pemimpin mata-mata seperti yang disangka oleh Pangeran Souw Kian Bi, pikirnya.

"Hemmm, kau inikah yang selama ini diam-diam menjadi Ji-enghiong?" ejek Kim-thouw Thian-li dengan suara dingin.

Lee Giok nampak terkejut sekali. "Apa kau bilang ba... bagaimana kau bisa tahu tentang Ji-enghiong?"

"Hi-hi-hi-hi, mata-mata hina…! Kami sudah tahu bahwa Kwee Sin si keparat itu adalah Si-enghiong, dan kau adalah Ji-enghiong? Kalian memimpin mata-mata pemberontak di kota raja."

Tiba-tiba Lee Giok tertawa girang sekali. "Bagus, bagus! Jadi kau sudah tahu sekarang? Memang betul, Kim-thouw Thian-li, Kwee-enghiong adalah pemimpin mata-mata pejuang yang memang bernama Si-enghiong. Jadi selama ini dia bekerja untuk kepentingan para pejuang. Pembesar-pembesar di kota raja telah dipermainkan termasuk kau. Kau kira dia betul-betul cinta kepada siluman macammu? Cih, tak tahu malu. Dan aku... aku memang Ji-enghiong. Nah, kau mau apa?"

Bukan main marahnya Kim-thouw Thian-li mendengar ejekan-ejekan ini. Dengan gerak mata cerdik Kim-thouw Thian-li memandang kepada pihak Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai.

"Cuwi sekalian dari Hoa-san-pai serta Kun-lun-pai, wanita ini adalah seorang pemimpin pemberontak, terpaksa aku dan teman-teman hendak menangkapnya hidup-hidup untuk kubawa ke kota raja."

Akan tetapi sementara itu Liem Sian Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Inilah Kim-thouw Thian-li, perempuan yang bukan saja merenggut nyawa ayahnya, akan tetapi bahkan yang merampas tunangannya pula. Sekarang mendengar wanita ini hendak membujuk gurunya dan Pek Gan Siansu, ia lantas menerjang dan memaki. "Siluman keji, kau telah membunuh ayahku. Rasakan pembalasanku!"

Pedangnya segera berkelebat menusuk. Kim-thouw Thian-li tertawa dan mengelak, cepat mengeluarkan golok dan membalas serangan Sian Hwa.

Sementara itu, Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin terbangun semangat mereka setelah mendengar dan melihat sendiri kenyataan bahwa Kwee Sin betul-betul seorang pemimpin pejuang, ditambah pula oleh sikap Lee Giok yang gagah perkasa dan patriotik. Dua orang kakek ini begitu bertukar pandang sudah mengambil keputusan yang sama, yaitu akan membela Lee Giok demi penghargaan mereka terhadap perjuangan Kwee Sin.

Sekarang melihat bahwa Sian Hwa telah bertempur melawan Kim-thouw Thian-li dan hal ini tak mungkin mereka hentikan atau cegah mengingat bahwa Sian Hwa tentu akan nekat membalas dendam, melihat pula bahwa bentrokan antara mereka dan pihak pemerintah sudah tidak dapat dicegah lagi, lalu keduanya melangkah maju, siap menghadapi segala kemungkinan. Thio Ki dan Kui Lok juga meloncat maju membantu bibi guru mereka.

"Siluman Ngo-lian-kauw, kaulah pembunuh ayah kami!" teriak mereka sambil menerjang maju.

Kim-thouw Thian-li masih tertawa-tawa dan menghadapi tiga orang itu dengan mainkan goloknya.

"Lian Bu Totiang, apa kau membiarkan saja anak-anak muridmu memberontak?"

Hek-hwa Kui-bo meloncat maju ke hadapan ketua Hoa-san-pai. Loncatannya luar biasa sekali, kedua kakinya seperti tidak bergerak tapi tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat ke depan kakek Hoa-san-pai itu. Semua orang yang melihat ini menjadi kagum dan juga keder.

Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan sikapnya yang kereng dan pedang pusaka yang tadi dipergunakan Kwee Sin membunuh diri di tangan kanannya, memandang nenek yang kelihatannya muda itu sambil berkata.

"Hek-hwa Kui-bo, enak saja kau memutar balikkan fakta. Adalah kau yang membiarkan muridmu Kim-thouw Thian-li itu untuk melakukan perbuatan fitnah dan mengadu domba antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, membiarkan muridmu membunuh anak-anak murid Hoa-san-pai dan malah kau selalu membantunya. Sekarang kau datang ke mari pura-pura mencela kepada pinto. Heh, meski pun kau lihai, akan tetapi kejahatanmu pasti tak akan membawa kau kepada kebahagiaan dan keselamatan."
"Hi-hi-hi, tosu bau. Kaulah yang akan mampus, masih banyak tingkah lagi.”

Dengan mengeluarkan suara melengking aneh, Hek-hwa Kui-bo menggerakkan tangan. Tahu-tahu sebatang pedang telah berada di tangannya dan cepat ia menyerang ketua Hoa-san-pai itu.

Lian Bu Tojin maklum akan kelihaian wanita ini, maka dia tidak berani berayal, cepat-cepat menangkis dan balas menyerang. Seperti juga pada saat ketua Hoa-san-pai ini mengejar Hek-hwa Kui-bo ketika nenek ini menculik Kwee Sin, sekarang Lian Bun Tojin mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang yang dimiliki nenek ini hebat bukan main, kelihatan tidak mengandung tenaga besar akan tetapi hawa pedangnya dingin dan cepat.

Inilah Ilmu Pedang Im-sin-kiam yang dipelajari nenek ini dari kitab yang ia rampas atau curi dari Phoa Ti. Biar pun Lian Bu Tojin sudah mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya, namun tetap saja semua kekuatan Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-sut seakan-akan ditelan oleh hawa dingin ilmu pedang Hek-hwa Kui-bo. Betapa pun juga, Lian Bu Tojin adalah seorang pendeta yang mengutamakan kehidupan suci serta bersih, maka daya tahan di dalam tubuhnya amat kuat dan tidak mudah bagi Hek-hwa Kui-bo untuk merobohkannya secara cepat.

"Heh-heh-heh, nona-nona manis, mari kita main-main sebentar!" Giam Kin ternyata sudah melompat maju dan dengan sikap ceriwis sekali pemuda ini mengulur kedua tangannya untuk menangkap Kwa Hong dan Thio Bwee.

Dua orang gadis ini membentak dan memaki, sambil mengelak dan mencabut pedang lalu dengan gemas mereka mengeroyok Giam Kin.

Sementara itu, semenjak tadi Bun Lim Kwi memandang ke arah Giam Kin, maka ketika mendengar Kwa Hong dan Thio Bwee memaki-maki dan menyebut nama pemuda muka pucat itu, darahnya segera naik. Jadi inikah orang yang bernama Giam Kin, yang secara pengecut pernah menyerang dan merobohkannya ketika dia bertempur melawan Thio Eng dahulu itu? Hampir saja nyawanya melayang karena pemuda muka pucat yang jahat itu.

"Suhu, dialah orangnya yang hampir saja menewaskan teecu dengan serangannya yang amat curang. Teecu hendak membalas," bisiknya kepada Pek Gan Siansu.

Ketua Kun-lun-pai ini mengangguk, berkata perlahan. "Sudah sepatutnya sekarang kita membantu Hoa-san-pai menghadapi orang-orang jahat itu."

Dengan girang Bun Lim Kwi mencabut pedangnya dan menerjang Giam Kin yang sedang melayani dua orang gadis Hoa-san-pai dengan enak sambil menggoda mereka dengan omongan kasar dan kotor itu.

"Nona berdua harap mundur, biarkan aku memberi hajaran kepada manusia bermulut kotor ini!" bentak Bun Lim Kwi sambil memutar pedangnya.

Akan tetapi karena amat marah kepada Giam Kin, Kwa Hong dan Thio Bwee mana mau meninggalkannya? Dengan begitu Giam Kin segera terkepung dan dikeroyok tiga orang. Giam Kin sibuk sekali. Biar pun dia amat lihai namun dikeroyok oleh tiga orang ini, apa lagi ilmu silat Bun Lim Kwi memang hebat, segera dia terdesak dan sibuk menangkis ke sana ke mari.

"Hemm, curang... curang...! Kulihat ilmu pedang Kun-lun-pai ikut membela Hoa-san-pai!" Suara ini keluar dari mulut Siauw-ong-kwi yang sudah melangkah maju hendak menolong muridnya.

Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan putih berkelebat dan Pek Gan Siansu sudah berdiri di depannya dengan pedang pusaka Kun-lun-pai di tangan.

"Perlahan dulu, Siauw-ong-kwi. Biarkan saja bocah sama bocah, tua bangka seperti kau lawannya juga tua bangka seperti aku!"

Siauw-ong-kwi membelalakkan matanya dan tertawa. "Ha-ha-ha, sejak kapan Kun-lun-pai menjadi pembantu para pemberontak?"

"Sejak orang-orang seperti engkau membantu penjajah menindas rakyat," jawab ketua Kun-lun-pai tenang.
"O-ho, Pek Gan Siansu, artinya kau menantang Siauw-ong-kwi?"
"Pinto tidak menantang siapa pun juga. Akan tetapi, Siauw-ong-kwi, semenjak dulu pinto sudah mengenal nama Siauw-ong-kwi sebagai seorang aneh yang tidak suka melanggar kepantasan, seorang tokoh utama di utara yang tak berlepotan lumpur kejahatan. Kiranya sekarang kau terseret ke dalam perangkap penjajah, bahkan kau membiarkan muridmu berlaku keji dan jahat tanpa menghukumnya. Muridmu secara curang pernah berusaha membunuh muridku, sekarang kau hendak membantunya pula. Mana pinto dapat diamkan saja?"

"Bagus Pek Gan Siansu, di antara kita terdapat perbedaan paham, kau sebagai antek pemberontak dan aku sebagai antek pemerintah. Mari, mari... kita bermain-main sebentar, sudah lama tanganku gatal-gatal untuk merasai lihainya pedang Kun-lun-pai!"

Dua orang ini segera bergerak dan bertandinglah keduanya. Pedang Pek Gan Siansu tak usah disangsikan lagi amat hebat gerakannya, kuat dan meski digerakkan secara lambat, namun sinar pedangnya saja cukup untuk merobohkan lawan yang kuat.

Pada lain pihak, Siauw-ong-kwi adalah seorang tokoh paling lihai dari utara. Ilmu silatnya aneh, berinti ilmu tangkap yang menjadi dasar ilmu gulat Mongol, sekarang dia mainkan dengan kedua ujung tangan bajunya yang panjang sehingga bila dipandang sekelebatan tampaknya seolah-olah Siauw-ong-kwi memainkan sepasang pedang.

Jangan dipandang rendah sepasang ujung lengan baju ini. Walau pun terbuat dari kain lemas biasa, namun mengandung tenaga Iweekang yang hebat, kuat untuk menangkis pedang. Kadang-kadang lemas mengancam lawan dengan jeratan maut, kadang-kadang kaku seperti pedang baja atau seperti toya besi!

Kim-thouw Thian-li yang melihat betapa kedua pihak sudah saling gempur segera bersuit keras dan pasukan pemerintah itu sambil berteriak-teriak hiruk-pikuk serentak bergerak menyerbu ke atas. Para tosu Hoa-san-pai yang melihat hal ini tanpa menanti perintah lagi segera memapaki dan terjadilah perang kecil yang cukup hebat di puncak Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ternyata keadaan amat tidak menguntungkan pihak Hoa-san-pai.

Jumlah pasukan pemerintah tidak saja lebih besar, juga mereka ini memang pasukan pilihan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Souw Kian Bi, pasukan yang terbentuk dari serdadu-serdadu yang kosen dan ahli golok, lebih terkenal disebut Barisan Golok Maut. Sebentar saja belasan orang tosu Hoa-san-pai roboh terbacok golok dan keadaannya amat terdesak.

Keadaan pertempuran yang dihadapi para jago Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai itu juga amat buruk. Menghadapi Sian Hwa yang dibantu dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, ketua Ngo-lian-kauw, Kim-thouw Thian-Ii ternyata jauh lebih lihai. Permainan goloknya biar pun lihai dan aneh, masih belum mampu menindih ilmu pedang tiga orang murid Hoa-san-pai ini.

Akan tetapi sekarang Kim-thouw Thian-li sudah mengeluarkan selendang merahnya yang mengandung hawa beracun, dan pada saat yang amat tak terduga-duga ia mengebutkan selendang merah itu. Bau harum semerbak menyambar. Thio Ki dan Kui Lok yang masih kurang pengalaman, kurang cepat menghindar dan robohlah mereka bergulingan dalam keadaan pingsan.

Liem Sian Hwa yang menjadi marah sekali lalu mempergunakan kesempatan itu. Selagi Kim-thouw Thian-li tertawa-tawa kegirangan dan memerintahkan beberapa serdadu untuk menawan dua orang pemuda ini, setelah tadi berhasil menggulingkan tubuh menghindar dari hawa beracun, dia cepat melompat tinggi kemudian dari atas ia menggunakan gerak tipu Hui-liong Jip-hai (Naga Terbang Memasuki Lautan), dan pedangnya bergerak cepat menyerang lawannya. Tidak percuma nona ini dijuluki Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang), gerakannya cepat sekali, sehingga bayangan tubuhnya dan sinar pedang menjadi satu.

Kim-thouw Thian-li kaget bukan main, cepat menangkis dengan golok sambil miringkan tubuh berusaha menyelamatkan dirinya. Akan tetapi tetap saja ujung pedang Sian Hwa secara kilat sudah menyerempet pundaknya sehingga baju pada bagian pundak terbabat robek berikut kulitnya yang putih halus dan darah bercucuran keluar.

"Keparat, rasakan pembalasanku!” Kim-thouw Thian-li berseru keras.

Dia cepat-cepat memberi bubuk obat pada pundaknya yang terluka, kemudian dengan kemarahan yang meluap-luap ia menerjang Liem Sian Hwa dengan nafsu membunuh.

Sian Hwa memutar pedang mempertahankan, diri, namun maklum bahwa ia kalah tenaga dan bingung menghadapi ilmu golok yang aneh dan ganas itu. Betapa pun juga, dengan mengertakkan giginya nona pendekar ini melakukan perlawanan nekat. Hatinya gelisah sekali melihat betapa dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, sudah menjadi orang-orang tawanan, diikat kaki tangan mereka dan dibawa mundur oleh beberapa orang serdadu musuh.

Kwa Tin Siong juga sudah melihat betapa dua orang murid keponakannya ini tertawan. Akan tetapi dia pun hanya dapat bergelisah saja karena semenjak pertempuran hebat itu dimulai, Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong ini sudah menerjang maju dan dikeroyok oleh lima orang perwira pasukan musuh secara berganti-ganti. Sudah banyak lawan roboh oleh pedangnya yang lihai, akan tetapi dikeroyok begitu banyak lawan tangguh, dia menjadi terdesak juga dan tidak berdaya menolong dua orang keponakan yang tertawan itu.

Kini melihat betapa sumoi-nya didesak hebat oleh Kim-thouw Thian-li yang ganas, dia berkhawatir sekali. Sambil berseru keras pedangnya diputar seperti ombak menggelora sehingga dua orang pengeroyoknya roboh dan yang lain terpaksa mundur dengan gentar. Kesempatan ini digunakan oleh Kwa Tin Siong untuk melompat dan menerjang Kim-thouw Thian-li.

"Sumoi, jangan khawatir, mari kita bunuh siluman betina ini!" serunya dan pedangnya yang masih berlepotan darah itu menerjang kuat.
"Hi-hi-hi, seorang sumoi dan suheng-nya yang tak bermalu!" Sambil menangkis Kim-thouw Thian-li mentertawakan mereka. "Di luar mengaku sebagai sumoi dan suheng, di mulut memaki-maki Kwee Sin yang serong, tetapi ini bagaimana? Ha-ha-hi-hi-hi, tak bermalu, muka tebal! Siapa tidak tahu bahwa kalian sudah bertahun-tahun main gila? Di depan guru bersikap alim, katanya saudara seperguruan, tapi di belakang guru? Hi-hi-hi, hanya kamar kosong menjadi saksi percintaan kotor sumoi dan suheng!"

Kata-kata yang dikeluarkan Kim-thouw Thian-li ini keras dan nyaring sehingga terdengar oleh semua orang di situ. Wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi pucat saking marah mereka. Liem Sian Hwa hampir saja pingsan saking marahnya sehingga gerakan pedangnya malah menjadi lambat dan akhirnya ia terhuyung-huyung dan roboh pingsan.

Kwa Tin Siong membentak, "Siluman betina, mampuslah!"

Pedangnya langsung menyambar, akan tetapi dengan enak Kim-thouw Thian-li dapat pula menangkisnya.

"Ha-ha-ha-ha, malu kan? Kalian saling cinta, siapa tidak tahu akan hal ini? Haiii...! Lian Bu Tojin, kau tosu tua bangka sudah buta, tidak tahu di belakangmu dua orang muridmu main gila?" Tapi ia terpaksa menghentikan kata-katanya karena serangan hebat yang dilakukan Kwa Tin Siong.

Ucapan Kim-thouw Thian-li yang nyaring ini hebat akibatnya. Lian Bu Tojin yang ketika itu sedang bertanding mati-matian melawan Hek-hwa Kui-bo, seketika tergetar tubuhnya dan pada saat dia menengok ke arah Kwa Tin Siong, dia kurang keras menangkis serangan kebutan sapu tangan sutera yang digerakkan oleh Hek-hwa Kui-bo.

"Plakkk!"

Ujung sapu tangan menghantam dadanya dan Lian Bu Tojin terhuyung mundur dengan muka pucat. Akan tetapi sambil menahan napas kakek ini masih dapat terus melompat ke dekat Kim-thouw Thian-li yang masih mendesak Kwa Tin Siong dengan golok dan dengan mulut yang melontarkan kata-kata menghina tentang dia dan sumoi-nya.

Lian Bu Tojin cepat menggerakkan tangan kirinya memukul ke depan. Kim-thouw Thian-li berusaha mengelak, namun terlambat.

"Dukkk!"

Punggung Kim-thouw Thian-li kena digempur hingga tubuhnya mencelat terguling-guling dan roboh tak bergerak. Darah merah mengalir dari mulut perempuan ini.

Lian Bu Tojin dengan mata mendelik menghadapi Kwa Tin Siong. "Tin Siong, betulkah kau... kau... betulkah apa yang diucapkan siluman tadi? Betul kau... kau mencinta Sian Hwa?" tanyanya, suaranya yang biasanya lemah lembut itu sekarang kaku parau sebab kemarahannya sudah memuncak.

Selama hidupnya Kwa Tin Siong tak pernah berbohong kepada suhu-nya. Dengan kepala tunduk dia menjawab, "Teecu memang cinta kepada Sumoi, Suhu. Akan tetapi cinta yang bersih... tidak seperti yang dimaksud oleh siluman itu..."

Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek. "Ha-ha-ha, cinta kasih antara laki-laki gagah dan perempuan cantik, mana bisa bersih-bersihan? Ha-ha-ha-ha-ha, pintar juga Kwa Tin Siong! Dari pada sumoi-nya tidak laku menjadi perawan tua... Ha-ha-ha-ha-ha duda dan perawan tua, sudah cocok!" Bukan main hebatnya penghinaan ini yang keluar dari mulut Giam Kin.

"Blukkk!"

Dalam kemarahannya, Bun Lim Kwi menggunakan kesempatan saat Giam Kin memecah perhatiannya untuk melontarkan penghinaan ini. Dia berhasil memukul pundak Giam Kin dengan tangan kirinya. Inilah pukulan Pek-lek-jiu dan andai kata orang lain yang terpukul pasti akan roboh binasa.

Akan tetapi Giam Kin adalah orang yang sudah mempunyai kepandaian tinggi. Pukulan ini benar merobohkannya, akan tetapi sambil roboh dia sempat menyambitkan segenggam jarum-jarum halus ke arah Bun Lim Kwi.

Jago muda Kun-lun-pai ini dahulu ketika bertempur melawan Thio Eng pernah roboh dan hampir tewas oleh jarum-jarum berbisa ini. Maka dengan kaget dia melompat jauh untuk menghindar sambil berseru kepada Thio Bwee dan Kwa Hong.

"Ji-wi lihiap, awas!"

Baiknya jarum-jarum itu memang tidak disambitkan ke arah dua orang nona yang ikut mengeroyok Giam Kin ini, maka mereka tak terancam oleh senjata rahasia yang jahat itu. Sementara itu, Kwa Hong yang juga mendengar ucapan-ucapan keji Kim thouw Thian-li tadi, sekarang berdiri dengan muka pucat dan memandang ke arah ayahnya yang ditegur oleh Lian Bu Tojin dan ke arah bibi gurunya yang masih rebah pingsan.

Ada pun Lian Bu Tojin ketika mendengar pengakuan dari Kwa Tin Siong dan kemudian mendengar ucapan Giam Kin, tubuhnya menjadi limbung.

"Huaaak…!”

Dari mulutnya tersembur darah segar. Inilah akibat pukulan selendang sutera Hek-hwa Kui-bo tadi. Kemudian orang tua ini menggerakkan pedang pusaka Hoa-san-pai yang lalu dibacokkan ke arah tubuh Liem Sian Hwa yang menggeletak di atas tanah.

"Suhu…! Ampunkan Sumoi..."

Kwa Tin Siong menubruk maju, menghalangi tubuh sumoi-nya. Lian Bu Tojin kaget dan menahan pedangnya, akan tetapi karena dia sudah terluka gerakannya kurang kuat dan pedang itu tetap masih membacok ke arah leher muridnya yang tertua. Terpaksa Kwa Tin Siong menangkis dengan tangan kirinya.

"Crakkk!"

Pedang pusaka Hoa-san-pai yang amat tajam dan ampuh itu tanpa ampun lagi membabat putus lengan kiri Kwa Tin Siong sebatas pergelangan tangan! Kwa Tin Siong masih terus berjongkok, memondong tubuh Liem Sian Hwa dengan tangan kanannya. Dia berdiri lalu berjalan pergi terhuyung-huyung dengan langkah limbung, tapi cepat sekali dia sudah lari turun gunung.

"Ayah...!" Kwa Hong menjerit dan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba dia pun roboh terguling.

Ternyata dalam keadaan kacau itu, selagi semua orang mencurahkan perhatian ke arah peristiwa itu, Giam Kin sudah meloncat maju dan menotoknya roboh. Kejadian ini seperti menjadi tanda bahwa pertempuran di mulai lagi. Bun Lim Kwi menggerakkan pedang menyerang Giam Kin, dibantu Thio Bwee dan kembali mereka bertempur.

"Beraninya kau melukai muridku!" Hek-hwa Kui-bo yang tadi maju menolong Kim-thouw Thian-li yang terluka oleh pukulan Lian Bu Tojin, sekarang melayang maju menyerang ketua Hoa-san-pai itu.

Akan tetapi Lian Bu Tojin sudah menderita luka batin yang amat hebat, sekarang kakek ini malah duduk bersila dan meramkan matanya. Agaknya kakek Hoa-san-pai ini sudah menderita kesedihan terlalu besar karena persoalan murid-muridnya sehingga sekarang dia sengaja menanti pukulan maut lawannya tanpa mau membela diri.

Pada saat itu, terdengar sorak-sorak gemuruh di sekeliling tempat pertempuran. Tiba-tiba muncullah ratusan orang gagah perkasa yang dipimpin oleh seorang tinggi besar. Semua orang menjadi kaget sekali bahkan Hek-hwa Kui-bo sendiri sampai menahan pukulannya.

Akan tetapi setelah menengok dan melihat bahwa yang datang adalah orang-orang yang biasanya disebut pejuang atau yang oleh pemerintah dianggap pemberontak, Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan dengus menghina dan ia melanjutkan pukulannya.

"Lian Bu Tojin, bersiaplah untuk mampus!"

Pedangnya menusuk ke arah dada sedangkan ujung selendang sutera menotok ke arah ubun-ubun kepala Lian Bu Tojin. Dua serangan mematikan yang agaknya akan segera menamatkan nyawa ketua Hoa-san-pai. Akan tetapi pada saat itu tampak dua sinar hitam menyambar.

"Tranggg…!"

Pedang di tangan Hek-hwa Kui-bo terpukul ke samping sedangkan sinar hitam kedua telah menyambar ke arah siku kirinya, membuat tangan kirinya menjadi lemas dan hawa Iweekang yang tersalur ke arah selendang itu lenyap sehingga selendangnya berubah lemas seperti kain biasa. Sekaligus sambaran dua benda hitam yang ternyata hanya dua buah kerikil itu telah melumpuhkan serangan maut Hek-hwa Kui-bo dan menolong nyawa Lian Bu Tojin!

Hek-hwa Kui-bo kaget dan marah sekali, cepat memutar tubuh dan ia berhadapan dengan seorang pemuda yang bukan lain adalah Beng San. Pemuda ini tersenyum kepadanya.

"Apakah selama ini kau baik-baik saja, Hek-hwa Kui-bo?"

Hek-hwa Kui-bo tertegun dan meragu. Serasa ia mengenal muka pemuda ini, akan tetapi kalau diingat akan kepandaian pemuda ini yang luar biasa tadi ia ragu-ragu dan merasa tidak pernah mengenal seorang pemuda dengan kepandaian demikian hebatnya.

”Kau siapakah?"
"Hek-hwa Kui-bo, lupakah kau kepadaku? Ingatlah akan pelajaran Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee..."
"Ahhh, kau Beng San siluman cilik...," dengan marah Hek-hwa Kui-bo teringat akan kitab Im-yang Sin-kiam. "Bagus, kau serahkan Yang-sin Kiam-sut kepadaku!"

Berbareng dengan bentakan ini dia langsung menyerang dengan pedangnya. Beng San mengelak dan melihat bahwa nenek itu menyerangnya dengan Ilmu Pedang Im-sin-kiam, tentu saja dengan mudah dia dapat menghindarkan diri. Akan tetapi karena dia sendiri tidak bersenjata, sukar juga baginya untuk balas menyerang nenek yang kepandaiannya hebat itu sehingga dia hanya main mundur, mengelak ke kanan kiri, meloncat ke sana ke mari.

Sementara itu, rombongan orang gagah yang ternyata dipimpin oleh Tan Hok itu sudah menggempur pasukan pemerintah sehingga perang tanding menjadi semakin ramai. Akan tetapi keadaannya sekarang berubah sama sekali. Apa bila tadi para tosu Hoa-san-pai melakukan perlawanan sia-sia dan banyak di antara mereka yang roboh binasa, sekarang keadaannya berbalik.

Tidak saja para anggota Pek-lian-pai yang datang ini rata-rata memiliki kegagahan dan kepandaian, juga jumlah mereka jauh lebih besar sehingga pasukan pemerintah ditekan hebat dan benar-benar terdesak. Sebentar saja banyak serdadu Mongol roboh dan yang lainnya mulai lemah semangat.

Pertempuran yang hebat dan seru adalah pertempuran antara Pek Gan Siansu dengan Siauw-ong-kwi. Dua orang tokoh besar ini benar-benar memiliki kepandaian yang hebat. Mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi, akan tetapi seperti sudah sering kali terjadi, apa bila dua orang tokoh besar bertempur dan saling mengeluarkan kepandaian, mereka tidak mau saling mengalah.

Mereka bertempur sejak permulaan tadi sampai sekarang, tak pernah berhenti dan sudah mengeluarkan kepandaian masing-masing sampai dua ratus jurus lebih. Betapa pun juga, ilmu kepandaian Pek Gan Siansu adalah ilmu yang bersumber pada ilmu bersih dan asli keturunan Kun-lun-pai, maka dasarnya amat kuat.

Sebaliknya, Siauw-ong-kwi mendapatkan kepandaiannya dari kumpulan bermacam ilmu silat dan baginya tidak ada pilihan apakah ilmu silat itu kotor mau pun bersih sifatnya, semua dipelajari sejak muda dan dari kumpulan ilmu-ilmu silat inilah dia menciptakan ilmu silatnya sendiri yang ganas dan lihai, yaitu dengan senjata kedua ujung lengan bajunya yang panjang.

Mungkin karena kalah murni sumber ilmu kepandaiannya, maka setelah lewat dua ratus jurus, perlahan-lahan Siauw-ong-kwi mulai terdesak oleh sinar pedang Pek Gan Siansu yang hebat itu. Terpaksa dia diam-diam harus mengakui bahwa Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut memang benar-benar lihai sekali.

"Ha-ha-ha, Pek Gan Siansu, ilmu pedang Kun-lun benar-benar bukan omong kosong saja. Kulihat barisan pemberontak sudah menyerbu, terpaksa aku tidak suka melayanimu lebih lama lagi. Nanti saja pada pertemuan mendatang kita lanjutkan untuk menentukan siapa sebenarnya Raja Pedang!"
"Siauw-ong-kwi, kau terlalu memuji. Kepandaianmu juga pinto lihat banyak lebih lihai dari pada dulu. Dalam pertemuan di Thai-san nanti kiranya pinto takkan kuat menghadapimu."

Ucapan kakek Kun-lun-pai ini memang dengan sejujurnya. Tadi dia dapat menindih lawannya dengan ilmu pedangnya yang lebih murni dan lebih kuat, akan tetapi dalam hal tenaga dan keuletan, kalau pertempuran ini terus dilanjutkan, dia pasti akan kalah oleh Siauw-ong-kwi yang belasan tahun lebih muda itu.

Siauw-ong-kwi kemudian melesat ke arah muridnya. Ketika itu Giam Kin sudah terdesak hebat oleh Bun Lim Kwi yang dibantu oleh Thio Bwee. Sekali kebutkan ujung lengan bajunya, Siauw-ong-kwi sudah membuat pedang Lim Kwi dan Thio Bwee terpental ke belakang, malah Thio Bwee terhuyung beberapa tindak. Sedangkan Lim Kwi yang lebih tinggi ilmunya hanya tergetar tangannya, tetapi sudah cukup untuk memberi kesempatan kepada Giam Kin untuk meloncat ke belakang dan menyusul gurunya lari pergi.

Hek-hwa Kui-bo masih saja mengejar-ngejar Beng San dengan Ilmu Pedang Im-sin-kiam. Hatinya terasa makin penasaran karena dia belum juga dapat merobohkan pemuda ini. Sebetulnya, jangankan merobohkan, ujung pedangnya bahkan belum pernah mencium ujung baju pemuda itu yang dengan gesit melompat ke sana ke mari dengan gerakan tidak karuan seperti orang ketakutan, namun setiap lompatannya merupakan kelitan yang amat sempurna dan tepat untuk menghindari serangan-serangan jurus Im-sin Kiam hoat.

Orang-orang yang berada di situ tadinya sedang sibuk menghadapi lawan masing-masing, maka kedatangan Beng San tidak menarik perhatian. Tetapi sekarang mereka mendapat kesempatan menonton, maka mereka merasa amat heran dan juga khawatir menyaksikan pemuda itu terus dikejar-kejar oleh Hek-hwa Kui-bo.

Pek Gan Siansu adalah seorang tokoh besar yang tajam penglihatannya. Melihat keadaan Beng San, sama sekali dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu pemuda aneh ini memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi karena dia pun maklum akan keganasan Hek-hwa Kui-bo, maka dia segera berkata, "Ha-ha-ha, sungguh lucu bukan main. Hek-hwa Kui-bo dengan pedangnya mengejar-ngejar seorang pemuda. Memalukan betul!"

Oleh karena Hek-hwa Kui-bo sendiri maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli waris Im-yang Sin-kiam, sekarang melihat pertempuran sudah berhenti dan para serdadu sudah lari cerai-berai, apa-lagi Siauw-ong-kwi sudah pergi juga, dia merasa tidak ada harapan kalau harus mengamuk seorang diri.

"Bocah, kalau memang kau ada kepandaian, kelak di Thai-san kita bertemu pula!" katanya gemas dan sekali berkelebat, nenek itu sudah pergi menyusul muridnya dan rekannya yang lain-lain, yang sudah lari lebih dahulu.

Hebat sekali akibat pertempuran itu. Banyak sekali, lebih dari empat puluh orang tosu Hoa-san-pai, menggeletak mati atau terluka. Juga ada beberapa belas orang Pek-lian-pai terluka dan serdadu-serdadu itu meninggalkan mayat dan teman-teman terluka sebanyak tujuh puluh orang lebih.

Di tempat itu penuh dengan mayat dan orang-orang terluka. Darah mewarnai rumput dan tanah, mengerikan sekali…..

Lian Bu Tojin masih duduk bersila meramkan mata. Dia terluka hebat dan juga mendapat guncangan batin yang berat. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa tidak kelihatan, sudah lari turun gunung. Kwa Hong, Thio Ki, dan Kui Lok sudah tertawan, dibawa lari oleh musuh. Tinggal Thio Bwee seorang yang sekarang berlutut di depan kakek Hoa-san-pai ini sambil menangis. Hari itu Hoa-san-pai benar-benar mengalami pukulan hebat, pukulan dari luar dan dari dalam.

Bun Lim Kwi berdiri di dekat gurunya, menundukkan muka ikut berduka. Pek Gan Siansu mengelus-elus jenggotnya dan memandang kepada Beng San yang juga berdiri bingung karena tidak tahu ke mana perginya para murid Hoa-san-pai yang lain.

"Adik Beng San...!" Seruan ini adalah suara Tan Hok yang datang berlari-lari.

Beng San juga girang dan dua orang ini saling berpelukan.

"Syukur kau dan teman-temanmu keburu datang, Tan-twako, kalau tidak..."

Tan Hok memandang ke arah tubuh-tubuh yang tergeletak malang melintang di tanah itu. Dia menarik napas panjang.

"Anjing-anjing Mongol itu benar-benar keji dan sayang sekali tidak dari dulu Hoa-san-pai turut berjuang. Lebih sayang lagi semua ini hanya gara-gara ada murid Kun-lun-pai yang roboh di bawah pengaruh kecantikan wanita..." la menuding ke arah mayat Kwee Sin.

”Jangan kau bicara sembarangan!" Thio Bwee tiba-tiba meloncat dan memandang Tan Hok dengan marah. "Apa kau sangka hanya kau dan orang-orang Pek-lian-pai saja yang patriotik dan gagah? Paman Kwee Sin biar pun kelihatan bersalah, akan tetapi sebetulnya semua itu dia lakukan demi menjalankan tugasnya sebagai seorang pejuang. Dia adalah pemimpin di kota raja, terkenal dengan sebutan Si-enghiong..."

"Apa...?!" Tan Hok membelalakkan matanya. "Dia... dia itu Si-enghiong? Si-enghiong dan Ji-enghiong adalah orang-orang yang memimpin gerakan kami di kota raja... orang-orang kepercayaan Ciu-taihiap! Betulkah ini...?"

Pek Gan Siansu memuja, "Siancai... siancai..." ia pun menarik napas panjang. "Sungguh bangga hati tua ini mendengar bahwa Kwee Sin ternyata adalah seorang pejuang besar. Bangga dan sedih serta malu bahwa pinto telah begitu buta sehingga tidak bisa mengenal murid sendiri! Ahh, Kwee Sin... Kwee Sin... tidak berharga pinto menjadi gurumu..."

Tiba-tiba Thio Bwee berseru. “Ehh, mana dia? Mana dia Ji-enghiong...?"
Tan Hok makin kaget. "Apa?! Ji-enghiong juga di sini? Mana dia?"

Semua orang mencari-cari dan mengingat-ingat, akan tetapi mereka tadi tidak melihat lagi adanya nona Lee Giok atau yang disebut Ji-enghiong oleh Kim-thouw Thian-li.

"Betulkah Ji-enghiong tadi di sini? Siapakah dia?" Tan Hok bertanya lagi, terheran-heran. Sedangkan Beng San juga tertegun mendengar terbukanya rahasia ini, ingin benar dia mendengar keterangan Ji-enghiong pula.

Lian Bu Tojin berdiri perlahan-lahan, lalu memandang Tan Hok dan teman-temannya yang berdiri di belakangnya. Melihat tadi Beng San berpelukan dengan Tan Hok, kakek ketua Hoa-san-pai ini bertanya, "Beng San, siapakah tuan ini?"

Beng San menjura. "Totiang, dia ini adalah teman teecu yang gagah perkasa. Namanya Tan Hok dan dialah pemimpin pasukan gerilya Pek-lian-pai yang patriotik."

Lian Bu Tojin mengangguk-angguk, ”Ah, kiranya. Tan-enghiong. Terima kasih atas semua bantuanmu. Agaknya Tan-enghiong juga mengenal dua orang pemimpin di kota raja yang disebut Ji-enghiong dan Si-enghiong."

"Tentu saja mengenal, Totiang. Hanya mengenal nama, akan tetapi dua orang tokoh itu adalah termasuk atasan saya. Kiranya Si-enghiong adalah murid Kun-lun-pai, sungguh menggembirakan sekali dan sekaligus mengubah pandangan kami terhadap Kun-lun-pai. Akan tetapi... siapakah yang mengatakan bahwa dia adalah Si-enghiong?"

"Tak bisa diragukan lagi. Pasukan pemerintah tadi menyerbu ke sini justru karena mereka hendak menangkap Ji-enghiong dan Si-enghiong. Si-enghiong adalah... murid Pek Gan Siansu, Kwee Sin. Ada pun Ji-enghiong, menurut pengakuan tadi adalah seorang nona muda yang bernama Lee Giok dan sekarang entah pergi ke mana karena agaknya tadi menghilang ketika terjadi pertempuran.”

Mendengar ini, segera Tan Hok bersama teman-temannya dengan penuh penghormatan mengangkat jenazah Kwee Sin lalu merawat serta mengurusnya penuh penghormatan sebagaimana layaknya seorang pemimpin. Juga para tosu Hoa-san-pai mengurus semua mayat dan orang-orang yang terluka.

Dalam hal ini, Lian Bu Tojin membuktikan keluhuran pribudinya dengan memerintahkan anak muridnya untuk mengurus juga mayat-mayat serdadu Mongol, bahkan mengobati mereka yang luka dan membiarkan mereka pergi dengan aman.

Beng San yang tidak melihat murid-murid Hoa-san-pai, mengajukan pertanyaan kepada Thio Bwee, "Adik Bwee, kenapa aku tidak melihat Hong-moi dan dua orang saudaramu Thio Ki dan Kui Lok? Dan ke mana pula perginya Kwa-lo-enghiong dan bibi gurumu?"

Ditanya begini, tiba-tiba Thio Bwee menangis lagi dan tidak dapat menjawab.

Lian Bu Tojin yang menjawab, "Beng San, hari ini Hoa-san-pai mengalami kehancuran. Kwa Hong, Thio Ki, dan Kui Lok tertawan musuh dan ditangkap. Ada pun Kwa Sin Tiong dan Sian Hwa, ehh, mereka juga lari dalam kekacauan tadi."

Mendengar ini, berubah muka Beng San. "Hong-moi tertawan musuh? Juga saudara Thio Ki dan Kui Lok? Ahh, celaka! Biar kuusahakan pertolongan..." Beng San lari turun dari puncak.

"Lim Kwi, kau bantulah dia!" bisik Pek Gan Siansu.
"Saudara Beng San, tunggu!” Tubuh Lim Kwi melesat mengejar Beng San.

Juga Tan Hok meloncat dan mengejar. "Adik Beng San, tunggu dulu...!"

Akan tetapi aneh sekali, biar pun Beng San kelihatannya hanya lari biasa saja sedangkan dua orang yang mengejarnya ini meloncat dan menggunakan ilmu lari cepat, sebentar saja tubuh Beng San sudah lenyap dan sama sekali tidak mereka ketahui ke mana arah larinya. Terpaksa Tan Hok dan Lim Kwi kembali ke puncak.

"Lian Bu totiang," berkata Tan Hok dengan suara menghibur orang tua yang kelihatan berduka itu. "Harap Totiang jangan khawatir. Adik Beng San bukanlah orang biasa, tentu dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menolong murid-murid Hoa-san-pai yang tertawan itu. Andai kata dia tak berhasil, percayalah, saya akan mengerahkan teman-teman untuk pergi menolong mereka. Sekarang sudah jelas bahwa murid Kun-lun-pai sudah menjadi pemimpin pejuang, yaitu mendiang Kwee-enghiong. Dan sekarang Hoa-san-pai juga telah dimusuhi penjajah, maka tidak ada jalan lain kecuali melanjutkan cita-cita Kwee-enghiong. Alangkah baiknya kalau mulai sekarang Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai ikut serta membantu perjuangan rakyat."

Mendengar ucapan pemimpin gerilya Pek-lian-pai yang gagah dan bersemangat ini, Lian Bu Tojin dan Pek Gan Siansu saling pandang. Lian Bu Tojin menarik napas panjang dan berkata.

"Sebetulnya, semenjak rakyat memberontak terhadap penindasan pemerintah penjajah, kami semua anggota Hoa-san-pai sudah merasa simpati dan bahkan pinto sendiri sudah memberi perintah kepada para anak murid supaya membantu perjuangan. Siapa kira pinto kena diakali oleh Pangeran Souw Kian Bi yang dahulu secara pengecut telah menculik dua orang cucu muridku. Akan tetapi, dengan adanya penyerbuan hari ini, jelas bahwa mereka memusuhi kami dan kami sekarang akan mengerahkan semua tenaga untuk ikut membantu perjuangan mengusir penjajah-penjajah Mongol dari tanah air."

"Bagus, Lian Bu toyu!" Pek Gan Siansu berseru gembira. "Aku sendiri harus menebus kesalahan serta kebodohanku karena tak dapat mengenal Kwee Sin, dan mulai sekarang Kun-lun-pai juga akan menggabungkan diri dengan para pejuang.”

Bukan main girangnya hati Tan Hok mendengar ini. Segera dia menjura dengan hormat lalu menceritakan keadaan perjuangan, sampai di mana kemajuan gerakan barisan rakyat dan bagian mana yang kiranya membutuhkan bantuan dari dua partai persilatan itu…..

********************
Dengan melakukan perjalanan cepat dan tak mengenal lelah Beng San mengejar barisan pemerintah yang telah menawan Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok. Akan tetapi biar pun dia sudah berhasil menyusul barisan yang sisanya tinggal beberapa puluh orang saja itu, dia tidak melihat adanya tiga orang muda murid Hoa-san-pai yang tertawan. Ia menjadi heran dan juga curiga di samping merasa gelisah sekali kalau mengingat akan nasib mereka, apa lagi kalau dia memikirkan Kwa Hong.

Malam hari itu dia terus berlari cepat, akan tetapi belum juga dia dapat menyusul mereka yang membawa tawanan-tawanan itu. Dia menduga bahwa tentulah Hek-hwa Kui-bo dan muridnya yang melarikan tawanan-tawanan itu, maka dapat demikian cepat larinya.

Untuk melenyapkan keraguannya, dia menangkap seorang serdadu yang sedang berjalan bertiga dengan teman-temannya sambil menggotong seorang teman mereka yang terluka. Serdadu-serdadu itu terheran-heran dan sangat ketakutan ketika dalam keadaan gelap itu berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu salah seorang di antara mereka sudah lenyap tak berbekas dan tak meninggalkan suara apa-apa!

"Am... ampunkan hamba..." Serdadu itu meratap-ratap ketika dia merasa betapa tubuhnya dibawa melompat tinggi dan diletakkan di atas ranting-ranting pohon yang tingginya bukan main dan bergoyang-goyang hampir tak kuat menahan tubuhnya.

Dia mengira bahwa tentu dirinya diculik oleh iblis karena semenjak tadi penculiknya tidak bicara. Muka penculik itu juga tidak kelihatan karena selain gelap, juga serdadu itu sudah tidak mampu menggerakkan kepalanya untuk menengok dan melihat wajah orang yang mengempitnya.

"Hemmm, kau masih ingin hidup? Kau sudah membantu orang-orang berdosa, menculik tiga orang muda dari Hoa-san-pai, sekarang kau hendak kutinggalkan di sini biar jatuh dan mampus! Ha-ha-ha!" Beng San mengerahkan lweekang-nya sehingga suaranya terdengar besar menyeramkan dan menusuk telinga.
"Ampunkan hamba... hamba hanyalah tentara biasa, hanya mentaati perintah.”
"Hayo katakan, siapa yang membawa pergi tiga orang muda itu? Cepat mengaku, kalau tidak akan kucabut nyawamu sedikit demi sedikit!"

Orang itu semakin percaya bahwa yang mengganggunya ini tentu iblis, karena sekarang suara itu terdengar tinggi melengking, jauh bedanya dari tadi, dan terdengar suara tetapi tidak kelihatan orangnya pula.

"Mereka... mereka dibawa oleh Giam kongcu dan rombongannya..."
"Ke mana?"
”Ke markas besar di Tiang-bun-kwi...”
"Di mana letaknya Tiang-bun-kwi?"

Saking takutnya serdadu itu sampai tidak dapat memikirkan bahwa kalau yang bertanya iblis kiranya akan tahu pula ke mana tawanan-tawanan itu dibawa pergi. Akan tetapi dia sudah terlampau takut sehingga tak dapat mempergunakan pikiran sehat pula.

"Di sebelah barat kota raja..." Dia menahan jeritnya karena merasa tubuhnya terjatuh ke bawah. la tidak tahu bahwa Beng San menariknya dan membawanya turun.

Tahu-tahu pada esok harinya dia siuman dari pingsannya dan berada di bawah sebatang pohon besar lagi tinggi. Tentu saja dia makin percaya bahwa semalam dia diganggu setan maka dia lari secepat mungkin dari tempat itu!

Sementara itu, Beng San menjadi girang setelah mendengar bahwa tiga orang tawanan itu dibawa oleh rombongan Giam Kin ke Tiang-bun-kwi. Segera dia melakukan pengejaran di malam hari itu juga.

Perjalanan jauh itu tak membuat dia lemah semangat, dia hanya berhenti mengaso kalau lapar perutnya tidak dapat dipertahankan lagi dan hanya berhenti mengaso sejenak untuk melemaskan urat-urat kakinya. Pada keesokan harinya, menjelang malam tibalah dia di Tiang-bun-kwi.

Beng San kaget dan khawatir sekali ketika melihat keadaan Tiang-bun-kwi. Dusun di luar kota raja ini ternyata merupakan markas besar yang amat kuat, menjadi pusat penjagaan kota raja sebelah barat. Dalam penyelidikannya dia mendengar bahwa di situ berkumpul sedikitnya sepuluh ribu orang serdadu pemerintah yang setiap hari berpatroli melakukan penjagaan untuk mencegah penyerbuan lawan dari sebelah barat. Dan Kwa Hong beserta dua orang suheng-nya dibawa ke markas yang kuat ini!

Betapa pun hebatnya berita yang dia dengar tentang Tiang-bun-kwi, Beng San tidak takut. Untuk menolong ketiga orang itu, terutama sekali Kwa Hong, dia rela berkorban nyawa. Setelah hari menjadi gelap, dia berhasil menyusup ke dalam benteng besar, kemudian bersembunyi di balik wuwungan yang tinggi dan gelap.

Dia mendengar ribut-ribut dan melihat banyak tentara hilir-mudik dan sibuk sekali, seperti terjadi sesuatu yang sangat penting. Lalu disusul suara terompet dan tambur. Lapat-lapat terdengar oleh Beng San suara mereka yang menyatakan bahwa ada tamu agung akan datang mengunjungi benteng itu.

Terdengar kaki-kaki kuda dari luar dan... berdebar jantung Beng San saat melihat bahwa yang datang adalah Tan Beng Kui bersama Pangeran Souw Kian Bi, didahului pengawal membawa bendera kebesaran dan diiringkan pengawal bersenjata lengkap.

Beberapa orang perwira yang dipimpin komandan benteng itu sendiri lantas menyambut kedatangan Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui. Melihat dari cara mereka memberi hormat kepada dua orang pendatang ini dapat diketahui bahwa di samping Souw Kian Bi yang kedudukannya sebagai Pangeran Mongol, juga Tan Beng Kui memiliki kedudukan tinggi dan penting.

Sakit hati Beng San melihat kakak kandungnya itu dihormati sebagai seorang pembesar pemerintah Mongol yang dalam pandangan matanya malah sebaliknya, yaitu sebagai antek atau anjing pemerintah penjajah.

Melihat betapa setelah turun dari kuda rombongan itu memasuki sebuah ruangan, dengan hati-hati Beng San lalu melompat ke atas genteng di depan. Setelah mencari-cari dengan teliti dari atas, akhirnya dia tahu bahwa rombongan itu duduk dalam sebuah ruangan yang lebar dan amat terang.

la membongkar genteng dan akhirnya, dapat juga pemuda itu mengintai ke bawah dengan hati-hati. Dilihatnya banyak orang dalam ruangan yang luas itu dan kaget juga dia melihat bahwa Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi juga berada di ruangan yang luas itu. Tidak ketinggalan Kim-thouw Thian-li dan Giam Kin yang agaknya sekarang rapat hubungannya dengan ketua Ngo-lian-kauw itu, buktinya mereka duduk berdekatan dan Giam Kin sering kali tersenyum-senyum kepada ketua Ngo-lian-kauw yang masih cantik itu. Beberapa orang perwira duduk pula di situ, sedangkan sekeliling ruangan terjaga oleh tentara yang memegang tombak.

"Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi Locianpwe yang telah membantu penumpasan para pemberontak sehingga berhasil dengan terbunuhnya Kwee Sin yang ternyata adalah Si-enghiong pemimpin pemberontak. Jasa Ji-wi dan para saudara tentu akan saya catat untuk diberi pahala," kata Pangeran Souw Kian Bi.
"Sayang sekali, Ji-enghiong yang ternyata adalah nona Lee Giok itu tak dapat tertangkap atau terbunuh," kata Beng Kui mencela.
"Perempuan hina itu diam-diam telah lari tanpa diketahui orang selagi pertempuran hebat terjadi. Kalau tidak demikian, mana dia mampu terlepas dari tanganku?" Hek-hwa Kui-bo mendengus.

Siauw-ong-kwi tertawa bergelak. “Kui-bo, kau sendiri ketika itu repot menghadapi seorang pemuda sastrawan gila, mana kau ada kesempatan menangkap gadis yang diam-diam menjadi pemimpin pemberontak itu? Ha-ha-ha!"

"Iblis tua bangka, jangan sombong kau. Menghadapi seorang pemuda gila, mana aku sudi turun tangan? Sebaliknya, kau hampir tak sempat bernapas saat menahan pedang ketua Kun-lun-pai!" balas Hek-hwa Kui-bo marah.
"Sudahlah, hal yang sudah terjadi tak perlu diributkan pula," kata Tan Beng Kui, suaranya tegas. "Biar pun dia sebagai Ji-enghiong amat merugikan kita, setelah dia lari pergi, apa artinya seorang musuh seperti nona muda itu? Pula, kita sekarang dapat mengerahkan pasukan pergi menangkap orang tuanya. Dengan menahan orang tuanya, apakah nona itu akhirnya tidak akan menyerahkan diri?"

Pangeran Souw Kian Bi menggebrak meja dengan marah, mengagetkan semua orang. "Keparat betul! Siapa kira di kota raja sudah berkeliaran demikian banyaknya mata-mata pemberontak. Tan-ciangkun, aku belum lagi memberi tahukan kepadamu. Setelah timbul dugaanku bahwa Lee Giok adalah Ji-enghiong, aku cepat-cepat menyuruh orang-orangku pergi menangkap orang tua she Lee itu, akan tetapi ternyata rumahnya telah kosong. Ia sekeluarga telah lari minggat dari kota raja pada malam hari itu juga."

Tan Beng Kui mengeluarkan seruan kaget. "Aihhh, kiranya begitu? Celaka betul, kalau begitu tentu ada kaki tangan pemberontak di kota raja yang telah memberi tahukan lebih dahulu kepada mereka.

"Segala usaha kita sudah digagalkan!" Pangeran Souw Kian Bi mengerutkan kening dan suaranya penuh penyesalan. "Penyerbuan ke Hoa-san-pai sudah mengorbankan banyak serdadu dan mengakibatkan permusuhan baru dengan pihak Hoa-san dan Kun-lun. Hal ini benar-benar tidak baik sekali, apa lagi kalau dilihat hasilnya hanya dapat menawan tiga orang anak murid Hoa-san-pai yang tidak berarti."
"Selain tiga orang muda itu, kami masih menawan dua orang anggota Pek-lian-pai," kata komandan yang memimpin pasukan Mongol tadi, nada suaranya mengandung penonjolan jasa.
"Huh! Apa artinya dua orang anjing Pek-lian-pai? Hayo gusur mereka semua ke sini! Adili mereka sekarang juga, aku sendiri hendak memeriksanya!" seru Pangeran Mongol yang mengepalai usaha pembasmian para pemberontak itu dengar suara marah.

Semua orang yang berada di situ, kecuali Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi bersama murid-murid mereka yang tetap tinggal tenang-tenang saja, menjadi gugup juga melihat kemarahan pangeran yang berpengaruh ini. Aba-aba dikeluarkan dan beberapa orang serdadu pergi dari situ dengan sigapnya untuk menggusur para tawanan.

Yang mula-mula sekali diseret ke ruangan itu adalah seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh kurus kecil dan bermata tajam, yang wajahnya terluka parah. Kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuhnya, dan kini dia didorong-dorong masuk oleh empat orang serdadu.

"Berlutut kau!" Seorang serdadu mendorong sambil menekan tengkuknya untuk memaksa dia berlutut di depan Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui beserta para perwira yang duduk di situ.

Orang itu terhuyung-huyung hampir roboh, namun dia dapat menguasai dirinya sehingga tidak sampai terjatuh, lalu berdiri tegak menghadapi pangeran itu dan teman-temannya. Matanya terbuka lebar memandang penuh kebencian, tubuhnya yang kecil kurus tegak lurus, sedangkan dadanya terangkat dibusungkan, sedikit pun tidak kelihatan takut-takut apa lagi menghormat.

"Paksa jahanam ini supaya berlutut!" Tan Beng Kui membentak.

Dua orang tentara melangkah maju dan mulailah mereka memukul dan menekan untuk memaksa orang itu berlutut. Akan tetapi semua usaha mereka sia-sia belaka. Sampai orang itu roboh karena tidak tahan lagi akan pukulan-pukulan, tetap saja dia tidak mau berlutut!

"Ha-ha-ha, biarkan dia begitu," Pangeran Souw Kian Bi tertawa kagum. "Kau benar-benar gagah perkasa. Siapakah namamu?"

Sambil menggigit bibir menahan sakit, orang itu yang sudah dapat bangkit dan kini duduk di atas lantai karena tidak kuat berdiri lagi, menjawab dengan suara kasar dan tegas.

"Aku Gouw Bun anggota pimpinan regu Pek-lian-pai. Sekarang aku sudah tertawan, mau bunuh boleh bunuh!"

Kembali Pangeran Souw Kian Bu tertawa. "Orang she Gouw, kau benar-benar gagah dan patut menjadi prajurit. Usiamu paling banyak empat puluh tahun, tentu kau meninggalkan keluargamu. Apakah kau tidak ingin hidup serta mendapat kedudukan mulia dan mewah? Ingat, aku dapat mengampunimu dan malah dapat mengangkatmu menjadi perwira kalau kau suka memberi keterangan tentang dua orang yang kalian sebut sebagai Si-enghiong dan Ji-enghiong."

"Huh, kau kira kami orang-orang Pek-lian-pai dapat disamakan dengan orang-orang Han yang sudah suka menjadi anjing-anjing penjilat pantat penjajah Mongol? Kami adalah para laki-laki sejati. Sudah berani berjuang demi tanah air dan bangsa, masa kami takut mati? Kau tentulah Pangeran Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang sudah tersohor menentang perjuangan kami. Sekarang aku Gouw Bun telah kau tawan, boleh bunuh. Ingat saja kau dan antek-antek serta anjing-anjingmu, bahwa perjuangan rakyat akhirnya pasti menang dan manusia-manusia macam kalian akhirnya tentu akan terbasmi!"

Bukan main marahnya Souw Kian Bi. Wajahnya yang tampan menjadi merah.

"Bawa dia keluar, robek jadi empat dengan empat ekor kuda!" perintahnya kepada para penjaga.

Beng San yang mendengarkan di atas genteng merasa ngeri dan timbul keinginan hatinya untuk menolong. la sudah mendengar tentang cara-cara menghukum yang amat keji dari pangeran ini, di antaranya hukuman robek menjadi empat potong.

Hukuman ini dilakukan dengan cara mengikat dua lengan dan dua kaki orang itu pada empat ekor kuda yang kemudian dicambuk supaya lari ke arah empat jurusan. Dengan cara seperti ini, tubuh orang yang ditarik ke empat jurusan oleh kuda-kuda kuat itu akan robek menjadi empat potong. Bagaimana dia dapat membiarkan hal ini terjadi pada diri seorang patriot yang gagah perkasa?

“Harus kutolong dia,” pikir Beng San dengan hati berdebar.

la maklum bahwa untuk menolong orang itu sama sekali tidak sukar, akan tetapi untuk berhasil meloloskan diri dari tempat berbahaya itu masih amat menyangsikan. Apa lagi kalau orang-orang sakti di dalam itu keluar semua dan menghalanginya.

Tiba-tiba dia melihat cahaya berkelebat dalam ruangan itu. Tubuh Gouw Bun yang tadinya diseret-seret oleh para penjaga itu roboh tak berkutik lagi dengan dada kiri tertembus pedang, sedangkan Tan Beng Kui nampak memasukan lagi pedangnya yang sedikit pun tidak bernoda darah, lalu dia duduk kembali dengan tenang.

Beng San bengong setengah mati. Bukan main hebatnya gerakan kakak kandungnya itu. Mencabut pedang langsung menyerang dan tepat menusuk ke arah jantung, dilakukan demikian cepat dan tepatnya sehingga dia sendiri sampai silau matanya memandang, apa lagi melihat betapa pedang itu sama sekali tidak bernoda darah, benar-benar merupakan gerakan ilmu pedang yang luar biasa lihainya.

"Hebat... hebat... itulah ilmu pedang yang hebat!" terdengar Siauw-ong-kwi memuji.
"Mirip gerak tipu ilmu pedangku! Hem... Tan-ciangkun, siapa yang mengajarkan gerakan itu kepadamu?" kata Hek-hwa Kui-bo.

Diam-diam Beng San juga merasa heran oleh karena dia tadi pun merasa betapa gerakan ilmu pedang tadi mempunyai persamaan, setidaknya dasarnya tidak berbeda dengan ilmu pedangnya, Im-yang Sin-kiam-sut.

"Ah, segala ilmu pedang pungutan dari jalanan, mana ada harganya mendapat perhatian Locianpwe?" jawab Tan Beng Kui merendah kepada Hek-hwa Kui-bo.

Nenek ini masih penasaran dan hendak bertanya lagi, akan tetapi ia didahului Pangeran Souw Kian Bi yang bertanya dengan suara tak senang.
"Tan-ciangkun, kenapa kau membunuhnya? Apa kau tidak suka mendengar dia kujatuhi hukuman tadi?"

Tan Beng Kui tersenyum sambil menjura kepada Souw Kian Bi. "Harap Taijin maafkan kepadaku. Aku tadi tak kuat menahan kemarahan menyaksikan kesombongan sikap setan pemberontak itu, maka telah berani turun tangan sendiri untuk melampiaskan kemarahan. Baru puas hatiku kalau sudah membunuhnya dengan tangan sendiri."

Souw Kian Bi tersenyum juga. "Agaknya luar biasa bencimu kepada orang Pek-lian-pai. Ha-ha-ha..." Lalu kepada para penjaga, pangeran ini memberi perintah supaya membawa pergi mayat itu dan menyeret masuk orang kedua.

Hati Beng San panas dan perih. Ia merasa amat kecewa melihat kenyataan betapa kakak kandungnya memusuhi para pejuang yang dianggapnya pemberontak. Melihat kakak kandungnya sendiri dengar ganas membunuh seorang Pek-lian-pai yang demikian gagah perkasa dan patriotik, sungguh membuat Beng San merasa penasaran, kecewa dan marah. Kalau kau tak dapat mengubah pendirian, agaknya aku sendiri akan memusuhimu, pikirnya sambil memandang kepada kakak kandungnya yang sudah kembali duduk di sebelah Souw Kian Bi dan melihat orang kedua yang sudah diseret masuk.

Orang ini masih muda, belum tiga puluh tahun usianya. Tubuhnya besar dan tampak kuat, mukanya gagah. Dilihat tubuh dan mukanya, benar-benar jauh bedanya dengan orang pertama tadi. Akan tetapi alangkah jauh pula bedanya sikap orang ini dengan yang tadi.

Begitu diseret masuk, orang ini sudah mengeluh panjang pendek dan tanpa diperintah lagi dia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Souw Kian Bi. Melihat sikap ini saja sudah muak perut Beng San.

"Siapa namamu dan apa yang ingin kau katakan setelah kau tertawan?" tanya Pangeran Souw Kian Bi, agaknya gembira melihat sikap tawanan ini.
"Hamba Bhe Ti Gi, hamba... hamba mohon pengampunan Taijin... hamba adalah seorang bekas pedagang di Kwi-bin, hamba... hamba hanya ikut-ikutan saja di Pek-lian-pai, bukan apa-apa... hamba mohon ampun..." Orang itu lalu menangis ketakutan.
"Pengecut hina!" Beng San memaki dalam hatinya dan ingin sekali dia menampar muka orang itu.

Akan tetapi Souw Kian Bi tertawa bergelak lalu bertanya, suaranya halus. "Bhe Ti Gi, gampang memberi ampun. Akan tetapi kau harus memberi keterangan tentang dua orang pemimpinmu di kota raja, yaitu Ji-enghiong dan Si-enghiong. Apa saja yang kau ketahui tentang mereka?”

Dengan muka berseri penuh harapan orang itu mengangkat muka dan berkata. "Tentu saja hamba tahu mengenai diri mereka itu, Taijin! Akan tetapi, sesudah hamba memberi keterangan, betulkah hamba akan diampuni dan dibebaskan?"

"Sraaattt!"

Sinar pedang menyilaukan mata ketika Beng Kui mencabut pedangnya dan membentak, "Bedebah kau! Keparat berlidah ular! Tak usah kau memutar-mutar omongan, kalau tahu tentang mereka berdua, lekas kau ceritakan. Soal pengampunan tak perlu disebut-sebut!" Pedangnya tergetar di tangannya membuat tawanan itu menjadi pucat sekali.

Hemmm, Benar-benar dia benci kepada para pejuang, pikir Beng San. Akan tetapi kali ini hatinya tidak panas karena memang dia pun benci kepada Bhe Ti Gi yang berwatak khianat dan pengecut itu.

"Am... ampun..." Bhe Ti Gi gemetar seluruh tubuhnya, "hamba... hamba memang tahu tentang Ji-enghiong dan Si-enghiong... memang semenjak bertahun-tahun mereka sudah terkenal sebagai pemimpin-pemimpin rahasia di kota raja. Banyak mereka memberi tahu kepada kami tentang keadaan pertahanan pasukan pemerintah. Tapi tak seorang pun di antara kami semua yang tahu bahwa Si-enghiong adalah Kwee Sin murid Kun-lun-pai sedangkan Ji-enghiong adalah nona yang bernama Lee Giok itu..."

"Nah, berterus terang lebih baik," kata Tan Beng Kui sambil menyimpan pedangnya lagi. "Katakan sekarang ke mana larinya nona Lee Giok atau Ji-enghiong itu, jawab dan jangan membohong!"
"Hamba... hamba mana tahu...? Hamba hanyalah anggota biasa... hamba tidak tahu dan mohon ampun..."
"Hemmm, tikus macam ini untuk apa dilayani lagi, Taijin? Tak patut diberi ampun, lebih baik dihukum mampus saja agar semua anggota Pek-lian-pai yang mendengar menjadi ketakutan," kata pula Tan Beng Kui dengan suara kejam.

Souw Kian Bi tertawa lalu memberi perintah kepada para penjaga. "Beri hadiah seratus kali rangketan!"

Bhe Ti Gi mengeluh dan memohon ampun, akan tetapi dengan kasar para penjaga lalu memaksa dia menelungkup, kemudian terdengar suara gebukan berkali-kali diseling jerit kesakitan tawanan itu.

"Goblok! Kenapa memukul seperti orang kelaparan tak bertenaga lagi? Pukul yang keras, pada punggungnya!" bentak Tan Beng Kui.

Kasihan juga Bhe Ti Gi. Pukulan tadi saja kalau dilanjutkan sampai seratus kali, tentu dia takkan tahan. Sekarang karena teguran Tan Beng Kui, algojo yang melakukan hukuman ini memperkeras pukulannya sehingga dia menjerit-jerit seperti babi disembelih diiringi suara ketawa para perwira dan serdadu. Baru empat puluh kali saja tulang punggungnya sudah patah-patah dan dia berkelojotan lalu tak berkutik lagi.

Souw Kian Bi memberi perintah supaya mayat kedua ini pun disingkirkan dari situ, lalu dia menyuruh para penjaga dengan suara keras.
"Bawa masuk tiga orang murid Hoa-san-pai!"

Berdebar jantung Beng San mendengar perintah ini. Tadi melihat penyiksaan terhadap diri Bhe Ti Gi, timbul juga perasaan kasihan di hatinya, namun ditahan-tahankannya karena dia maklum bahwa menolong Bhe Ti Gi berarti mendatangkan bahaya besar bagi dirinya sendiri. Sedangkan tujuan utama kedatangannya ke tempat itu adalah untuk menolong murid-murid Hoa-san-pai terutama Kwa Hong, maka dia menahan sabar memalingkan muka tidak mau memandang penyiksaan itu.

Kini mendengar bahwa murid-murid Hoa-san-pai hendak dibawa masuk, dia memandang penuh perhatian dan bersiap-siap menolong. la telah memperhitungkan bahwa kiranya di tempat seperti ini tak mungkin baginya untuk menolong tiga orang itu sekaligus, maka dia mengambil keputusan untuk menolong Kwa Hong seorang lebih dahulu, baru kemudian merencanakan pertolongan Thio Ki dan Kui Lok.

Tiga orang muda itu, Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok, digiring masuk ruangan. Seperti juga yang lain-lain, mereka dibelenggu kedua lengan mereka ke belakang. Akan tetapi ketiga orang ini bersikap gagah, melangkah maju dengan kepala dikedikkan dan dada dibusungkan sedangkan sepasang mata mereka memandang tajam ke depan, penuh sikap menantang.

Diam-diam Beng San kagum sekali melihat sikap tiga orang murid Hoa-san-pai ini. Dan jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Kwa Hong yang cantik jelita itu agak pucat, sepasang mata yang biasanya berseri dan bening itu kini berkilat-kilat penuh kemarahan. Kwa Hong, kau gagah dan cantik sekali, bisik hatinya dan keinginannya untuk menolong gadis ini makin menggelora, kalau perlu akan dia pertaruhkan nyawanya.

Agaknya karena maklum bahwa tiga orang muda ini bukanlah tergolong pemberontak dan terdiri dari orang-orang gagah perkasa, para penjaga tidak berlaku kasar seperti terhadap yang lain tadi. Mereka bertiga berdiri tegak di depan Souw Kian Bi dengan sikap angkuh dan berani.

"Ha-ha-ha, murid-murid Hoa-san-pai benar-benar sombong! Hemmm, hendak kulihat nanti kalau kalian sudah menggeletak tak berkepala lagi, apakah kalian masih dapat bersikap sombong seperti sekarang ini," kata Pangeran Souw Kian Bi dengan suara mengejek untuk menyembunyikan perasaannya yang tersinggung oleh sikap tiga orang muda ini. "Dan hendak kulihat juga apakah tua bangka Lian Bu Tojin yang melanggar janjinya itu dapat menolong kalian. Ha-ha-ha!"

"Manusia berbatin rendah!" terdengar suara Kwa Hong memaki, suaranya nyaring sekali. "Siapakah yang takut akan mati? Anak murid Hoa-san-pai tidak takut mati dan kalau kau si hina hendak membunuh kami, silakan, silakan. Tak perlu kau menyebut-nyebut nama besar guru kami. Adalah kau yang berbuat hina, dulu kau telah menculik aku dan suci-ku dan kau gunakan itu untuk memaksa suhu berjanji untuk tidak membantu kaum pejuang. Akan tetapi, kiranya kau yang melanggar janji. Kau datang membawa anjing-anjingmu menyerbu Hoa-san. Hemmm, mati sebagai orang gagah seribu kali lebih baik dari pada hidup sebagai manusia rendah macam engkau!”

Hampir saja Beng San bertepuk tangan memuji ketika mendengar ucapan dan melihat sikap Kwa Hong yang amat gagah perkasa ini. Souw Kian Bi memukul meja di depannya sehingga terdengar suara keras.

"Perempuan liar. Di sini kau masih hendak bersikap gagah-gagahan? Hemmm, hukuman mati masih terlampau ringan bagimu setelah kau berani mengeluarkan ucapan kurang ajar tadi. Lihat nanti, aku akan membikin kau menjadi lebih hina dari pada yang paling hina. Aku akan memberikan kau sebagai barang permainan sepasukan tentaraku yang paling rendah pangkatnya. Ha-ha-ha-ha!" Suara ketawa Pangeran Souw Kian Bi menyeramkan sekali.

Beng San melihat betapa wajah Kwa Hong menjadi semakin pucat dan tubuh gadis itu menggigil, akan tetapi tetap saja gadis itu rmemandang kepada pangeran ini dengan mata mendelik. Beng San bergidik ketika mendengar ucapan pangeran itu dan melihat betapa serdadu-serdadu yang berdiri di barisan belakang lantas tertawa-tawa dan saling berbisik dengan sikap kurang ajar sekali. Juga dia melihat Kui Lok dan Thio Ki menjadi pucat.

Thio Ki menoleh ke arah Kwa Hong, lalu berkata. "Sumoi, berkatalah sedikit halus, ingat bahwa kita telah berada di tangan musuh. Biarlah aku menyerahkan nyawaku untuk keselamatanmu." Kemudian pemuda ini berkata kepada Souw Kian Bi, "Taijin, kami tiga orang murid Hoa-san-pai tidak gentar menghadapi hukuman mati. Akan tetapi, demi peri kemanusiaan, jangan menjatuhkan hukuman yang demikian hina dan rendah kepada sumoi-ku. Kalian boleh menghukum aku, boleh mencincang hancur tubuhku, akan tetapi, bebaskanlah sumoi-ku ini. Biarlah badanku menjadi penggantinya."

Kui Lok cepat berkata, "Tidak! Akulah yang bersedia menggantikan hukuman Hong-moi. Taijin, aku cinta pada Hong-moi, jangan ganggu dia, biarlah kau jatuhkan hukuman yang sehebat-hebatnya kepada diriku saja asal kau bebaskan Hong-moi!"

"Lok-te, tutup mulutmu! Hong-moi adalah tunanganku, calon isteriku. Kwa Supek sudah merencanakan untuk menjodohkan dia dengan aku. Maka sebagai tunangannya, akulah yang patut membelanya dengan pengorbanan jiwa.”
"Siapa bilang bertunangan? Hal itu belum resmi dan Hong-moi sendiri pun belum pernah menerimanya. Dia tidak mencinta padamu, dan aku... cintaku kepadanya lebih besar dan suci!"

Beng San menggeleng-geleng kepalanya. Tolol mereka berdua, pikirnya. Masa di dalam keadaan seperti itu mereka masih memperebutkan cinta kasih Kwa Hong?

Juga Kwa Hong menjadi gemas sekali. "Ji-wi Suheng mengapa meributkan urusan itu? Apa pun hukumannya, akhirnya orang mesti mati. Siapa takut mati?"

Sementara itu, kelihatan Tan Beng Kui berbisik-bisik kepada Pangeran Souw Kian Bi dan pangeran itu lalu mengangguk-angguk dan tersenyum seperti iblis. Diam-diam Beng San mendongkol sekali.

Celaka, pikirnya. Kakak kandungnya itu ternyata jahat dan berbisa melebihi ular, tentu dia sudah mengajukan usul yang amat keji untuk menghukum tiga orang murid Hoa-san-pai ini. Akan tetapi dia merasa belum saatnya untuk turun tangan, dia masih hendak melihat perkembangannya terlebih jauh.

Souw Kian Bi sudah tertawa lagi, suara ketawanya licik, lalu dia pun berkata, "Seorang di antara kalian berani dan rela berkorban?” tanyanya jelas ditujukan kepada Thio Ki dan Kui Lok.

"Aku rela berkorban nyawa untuk sumoi!" kata Thio Ki.
"Tidak, lebih baik aku saja. Aku akan mati seribu kali untuk menolong Hong-moi yang tercinta," kata Kui Lok.

Pangeran itu tertawa lagi. "Bagus, kalian ini orang-orang muda yang mabuk cinta. Jika seorang di antara kalian mati, yang lain akan bebas dan pergi bersama nona ini menjadi suaminya. Nah, sekali lagi, siapa di antara kalian mau mati dan mermberikan nona ini kepada yang lain?"

Wajah dua orang saudara itu seketika menjadi pucat, mulut mereka terbuka tapi tak ada suara keluar. Sampai lama mereka diam saja dan hanya suara ketawa Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui yang terdengar. Diam-diam Beng San gemas sekali kepada dua orang muda murid Hoa-san-pai itu. Benar-benar tolol dan mau saja dijadikan bahan kelakar.

"Sekarang keputusanku begini," berkata pula Souw Kian Bi setelah berkedip main mata kepada Tan Beng Kui. "Kalian berdua boleh bertanding dan nona ini akan aku berikan kepada pemenang pertandingan."

Setelah berkata demikian, pangeran ini mencabut pedangnya dan dengan dua kali tebas terbebaslah belenggu yang mengikat tangan kedua orang muda itu.

"Ambilkan dua batang pedang," katanya lagi.

Dua orang penjaga maju menyerahkan dua batang pedang kepada Thio Ki dan Kui Lok. Seperti orang dalam mimpi tanpa disadari lagi dua orang muda itu menerima pedang di tangan, sinar mata mereka penuh dendam dan nafsu membunuh!

"Thio-suheng dan Kui-suheng, apakah kalian telah gila?" teriak Kwa Hong dengan gemas sekali. "Sesudah bersenjata tidak segera menghancurkan musuh, malah saling gempur sendiri. Mana kegagahan kalian?"

Dua orang muda itu nampak ragu-ragu mendengar ucapan gadis yang mereka cinta ini. Akan tetapi mereka jeri untuk menyerang musuh yang begitu banyaknya. Pula, mereka dapat berbuat apakah dengan adanya lawan yang selain banyak juga sakti-sakti itu? Setelah Pangeran Mongol ini sekarang menjanjikan kebebasan dan diri Kwa Hong kepada pemenang, bukankah ini jalan satu-satunya untuk dapat bebas bagi mereka, setidak-tidaknya bagi dua orang di antara mereka?

"Sumoi, urusan dirimu di antara kami memang tidak pernah akan beres tanpa adanya keputusan terakhir. Salah seorang di antara kami harus mati lebih dulu agar yang hidup dapat memperoleh dirimu," kata Thio Ki dengan suara tegas. "Kui Lok, kau mulailah!"

Kui Lok meragu sejenak, akan tetapi segera dia memandang kepada Kwa Hong dan berkata, "Adik Hong, kalau aku yang kalah dan mati, biarlah kau hidup bahagia dengan Suheng."

Setelah berkata demikian pedangnya menyambar. Dia sudah mulai membuka serangan. Thio Ki cepat menangkis dan segera dua orang pemuda murid Hoa-san-pai ini sudah saling serang dengan hebat dan seru.

Dengan air mata berlinang Kwa Hong melihat pertempuran ini. la merasa amat menyesal dan kecewa akan kebodohan dua orang suheng-nya itu yang begitu tolol sehingga mau dipermainkan oleh Pangeran Mongol, kecewa melihat suheng-suheng-nya itu di dalam tahanan musuh masih meributkan soal cinta dan masih saling memperebutkan dirinya.

Dahulu, ketika masih berada di Hoa-san, ia kadang-kadang merasa bangga dan senang melihat dua orang pemuda ini bersaing untuk merebut hatinya, akan tetapi sekarang ia merasa malu sekali akan sikap mereka. la anggap mereka itu berwatak rendah.

Air matanya makin deras mengalir keluar dan terbayanglah wajah Beng San. Alangkah jauh bedanya dua orang suheng-nya ini dengan Beng San. Kalau saja ia tertawan musuh bersama Beng San, kiranya takkan begini jadinya. Takkan begini sikap Beng San yang tak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Teringat akan Beng San air matanya makin deras mengucur.
Alangkah rindu hatinya untuk bertemu sekali lagi dengan pemuda itu sebelum ia tewas di tangan musuh, sebentar saja untuk menyatakan perasaan cinta kasihnya.....

Pertempuran antara Thio Ki dan Kui Lok berjalan makin seru dan ramai. Memang kedua orang muda ini setingkat kepandaiannya, apa lagi mereka memang terdidik semenjak kecil dalam satu perguruan, tentu saja sudah saling mengenal gerakan masing-masing.
Bagi orang yang mengenal ilmu pedang Hoa-san-pai, tentu menyangka bahwa mereka itu main-main saja atau tengah berlatih. Akan tetapi bagi orang luar mereka kelihatan sedang bertempur dengan hebat, karena memang ilmu pedang Hoa-san-pai kelihatan amat cepat dan bergaya indah.
Sesungguhnya mereka ini sama sekali tidak main-main, melainkan saling serang dengan mengeluarkan gerakan-gerakan mematikan. Tiada lagi pilihan bagi Thio Ki dan Kui Lok. Mereka harus memilih satu di antara dua, membunuh lawan untuk bebas bersama Kwa Hong, atau terbunuh.
Sudah tentu tak ada seorang pun di antara mereka yang sudi mengalah. Bukan persoalan mati hidup yang penting bagi mereka, melainkan persoalan mendapatkan atau kehilangan diri Kwa Hong, yang mereka cinta!

”Thio-suheng! Kui-suheng! Dengarkan aku baik-baik!" tiba-tiba Kwa Hong berseru nyaring dengan suara terisak. "Dengarkan sumpahku ini! Siapa pun juga di antara kalian yang menang dalam pertandingan ini, aku tidak sudi menjadi isterimu! Nah, dengar! Siapa pun juga yang menang, takkan menjadi suamiku malah akan menjadi musuh besarku selama hidup karena telah membunuh seorang saudara seperguruan!"

Seketika wajah dua orang pemuda Hoa-san itu menjadi amat pucat dan pedang mereka tertahan. Peluh memenuhi leher dan muka, mata mereka memandang ke arah Kwa Hong dengan sedih, kaget dan bingung.

"Sumoi... kalau begitu... siapakah yang kau... kau cinta?" bertanya Thio Ki dengan suara serak.
"Ya, katakan siapa orangnya yang kau cinta, Hong-moi, agar kami tidak penasaran dan tidak menganggap kau membohong untuk mencegah kami saling bertempur," kata Kui Lok dengan wajah pucat.

Kwa Hong bingung mendengar kata-kata mereka itu. la maklum bahwa kalau ia tidak bisa menjawab, keduanya tentu akan bertanding lagi karena menganggap bahwa dia hanya membohong untuk mencegah mereka saling serang. Kalau ia mengaku, ahh, bukankah hal itu amat memalukan?

Akan tetapi, keadaan sudah mendesak. Dari pada kedua suheng-nya mati saling serang, lebih baik mereka itu tewas sebagai orang-orang gagah. Lagi pula, dia sendiri sudah tak mempunyai harapan untuk hidup lebih lama lagi atau keluar dari tempat ini dengan selamat, maka apa salahnya kalau ia mengeluarkan isi hatinya?

Dengan muka merah, air mata mengalir di kedua pipinya, tapi sambil mengangkat dada dan dengan suara yang nyaring ia berkata. "Aku mencintai kanda Beng San!"

Pada saat itu terdengar suara ketawa keras. "Ha-ha-ha-ha! Kiranya nona manis ini tidak suka menjadi isteri seorang di antara suheng-nya."

Dan cepat sekali seperti terbang saja tahu-tahu tubuh Giam Kin sudah berada di tengah ruangan itu. Ia menoleh ke arah Souw Kian Bi dan menjura sambil berkata. "Taijin tadi menyatakan bahwa siapa yang menang akan mendapatkan diri nona Kwa Hong yang manis ini. Sekarang dua orang Hoa-san ini tidak mau lagi saling serang agaknya, biarlah hamba merobohkan mereka berdua dan hadiahnya tentu saja diri nona manis ini. Hamba mengharapkan perkenan Taijin."

"Giam Kin, bukankah nona yang satu lagi dari Hoa-san-pai yang kau cinta?" tanya Souw Kian Bi sambil tersenyum.

Giam Kin tertawa lagi memandang ke arah Kwa Hong sambil menyeringai. "Yang itu juga cinta, yang ini juga suka. Kalau bisa kedua-duanya pun boleh. Ha-ha-ha!"

"Dasar mata keranjang. Nah, kau hadapi dua orang itu, apa bila kau menang, boleh kau ambil nona ini," kata Souw Kian Bi pula sambil tertawa geli.

Sementara itu, pengakuan Kwa Hong bahwa dia mencinta Beng San tadi memang sudah dapat diduga lebih dulu oleh Thio Ki dan Kui Lok. Dahulu, di puncak Hoa-san, ketika Kwa Tin Siong hendak memaksa Kwa Hong untuk menikah dengan Thio Ki, gadis ini pun memberontak dan menolak, malah berani mengaku di depan ayahnya bahwa dia suka kepada Beng San.

Akan tetapi dahulu itu mereka semua mengira bahwa Kwa Hong yang terkenal keras hati, keras kepala itu mengaku demikian hanya untuk mencari alasan penolakannya belaka. Pada waktu itu, siapa bisa percaya bahwa Kwa Hong mencinta seorang pemuda tolol seperti Beng San?

Tapi pengakuan sekarang ini lain lagi, tak mungkin Kwa Hong main-main di depan jurang kematian. Dua orang saudara seperguruan ini saling pandang dan mata mereka menjadi basah.

Sungguh mereka senasib sependeritaan. Keduanya telah kehilangan ayah, dan keduanya sekarang kehilangan kekasih pula. Dalam pertemuan pandang mata ini sekaligus lenyap semua kebencian, lenyap semua persaingan, dan timbullah kasih sayang antara saudara seperguruan yang mesra. Timbul kasih sayang dan kesetia kawanan.

Baru terbuka mata hati mereka betapa mereka tadi bersikap amat pengecut dan hanya mementingkan diri sendiri saja. Baru teringat bahwa sebagai murid-murid Hoa-san-pai seharusnya mereka bersikap gagah perkasa, menghadapi kematian di tangan musuh dengan pedang di tangan, siap mati demi membela kebenaran, apa lagi dalam hal ini membela tanah air dan bangsa.

"Lok-te, mari kita basmi anjing-anjing penjajah," bisik Thio Ki.
"Ki-suheng, aku sehidup semati denganmu!"

Keduanya melangkah maju dan mereka saling peluk dengan air mata bercucuran. Kedua saudara seperguruan ini kemudian membalik menghadapi Giam Kin dengan pedang di tangan. Kini pedang itu tetap dan kokoh di dalam genggaman tangan orang-orang yang sudah siap mempertahankan diri sampai titik darah terakhir!

Sambil tertawa-tawa Giam Kin mencabut pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri, kemudian membentak keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan gerakan cepat sekali dia telah mengirim serangan bertubi-tubi ke arah Thio Ki dan Kui Lok.

Tentu saja kedua orang pemuda Hoa-san ini segera menangkis dan balas menyerang. Namun segera dapat diketahui bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh di bawah Giam Kin karena biar pun mengeroyok dua, segera sinar pedang Giam Kin mendesak dan menindih kedua pedang mereka. Betapa pun juga, karena dua orang pemuda ini sekarang bertempur dengan semangat menyala-nyala dan nekat, tidak mudah bagi Giam Kin untuk merobohkan mereka dalam waktu singkat.

Tadinya pada waktu melihat dua orang murid Hoa-san-pai itu sudah saling serang untuk memperebutkan diri Kwa Hong, Beng San merasa sangat kecewa dan luar biasa muak sehingga dia tidak ambil peduli. Bahkan kiranya dia akan mendiamkan saja andai kata melihat dua orang pemuda itu tewas di tangan musuh.

Akan tetapi sekarang, melihat perubahan sikap mereka, dia menjadi terharu dan girang serta kasihan juga. Melihat betapa mereka berdua kini mati-matian mempertahankan diri dari serangan Giam Kin yang ganas dan keji serta maklum bahwa tak lama lagi mereka tentu akan roboh, Beng San lalu mengambil keputusan untuk turun tangan sekarang juga. Betapa pun juga akhirnya dia harus turun menolong Kwa Hong.

"Saudara Thio Ki dan Kui Lok, berikan iblis ular ini kepadaku!"
Sambil mengeluarkan seruan nyaring ini Beng San sudah melayang turun dan tahu-tahu dua orang seperguruan dari Hoa-san-pai itu tertolak mundur sampai beberapa tindak ke belakang sedangkan Giam Kin yang mendesak maju merasa tangannya sakit sekali.

Alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa pedangnya di tangan kanan sudah pindah tangan, dan sekarang dipegang oleh pemuda yang bukan lain adalah Tan Beng San si pemuda sastrawan yang lemah dan tolol! Giam Kin yang mukanya kepucat-pucatan itu menjadi makin pucat, sejenak dia berdiri terlongong.

Geger di tempat itu ketika tahu-tahu muncul Beng San. Bukan saja para penjaga yang kaget, juga orang-orang sakti seperti Siauw-ong-kwi dan Hek-hwa Kui-bo terkejut bukan main, juga malu karena mereka sebagai orang-orang sakti sampai tidak tahu bahwa di atas genteng bersembunyi seorang muda yang agaknya telah mengintai semenjak tadi.

Ada pun Thio Ki serta Kui Lok yang melihat kemunculan Beng San dan menyaksikan kehebatan pemuda ini yang sekaligus dapat merampas pedang Giam Kin, menjadi girang dan kagum bukan main. Mereka memutar pedang dan berteriaklah Thio Ki.

"Saudara Beng San lekas kau selamatkan Sumoi!"
"Betul! Kau larikan Hong-moi, biar kami berdua menahan mati-matian!" teriak pula Kui Lok sambil siap-siap menahan penyerbuan para musuh yang amat banyak itu.

Yang paling girang adalah Kwa Hong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, gadis ini sudah maklum akan kelihaian Beng San, bahkan sudah secara berterang mengaku cinta. Akan tetapi dia lalu kecewa saat mendengar pengakuan Beng San yang ternyata hanya suka kepadanya sebagai seorang kakak, membuat dia patah hati dan lari pergi.

Tadinya dia sudah merasa kecewa dan benci kepada Beng San, akan tetapi sekarang melihat munculnya pemuda yang sudah berhasil menguasai cinta kasihnya itu, timbul pula perasaan mesra dan dia berseru girang. "San-ko, akhirnya kau datang juga menolongku!"

Akan tetapi Beng San tak dapat atau tak sempat menjawab semua seruan ini karena pada saat itu melayang beberapa orang yang segera menyerangnya dengan hebat. Mereka ini adalah Siauw-ong-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan Giam Kin yang tanpa malu-malu lagi lalu mengeroyoknya.

Beng San memutar pedang rampasannya dan melayani mereka, memainkan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut yang sekaligus merupakan gundukan sinar pedang yang amat hebat bagaikan nyala api berkobar-kobar dahsyat menghantam tiga orang lawannya. Hek-hwa Kui-bo sudah tahu bahwa pemuda ini memiliki Im-yang Sin-kiam-sut, maka dia tidak amat heran, yang amat kaget dan heran adalah Siauw-ong-kwi dan Giam Kin.

Sementara itu, Thio Ki dan Kui Lok maju menyerbu Pangeran Souw Kian Bi yang mereka anggap adalah pemimpin pihak musuh. Tetapi sebelum senjata mereka dapat mendekati pangeran itu, beberapa orang perwira telah meloncat maju dan menghadapi mereka. Sebentar saja Thio Ki dan Kui Lok telah dikeroyok oleh empat orang perwira yang berilmu tinggi dan mereka berdua kembali terdesak hebat.

Kwa Hong yang masih terbelenggu tangannya dapat menonton dengan hati berdebar, akan tetapi pandang matanya selalu diarahkan kepada Beng San. Hatinya gelisah akan tetapi juga lega, tidak penasaran seperti tadi. Sekarang ia mempunyai keyakinan bahwa andai kata ia mati, Beng San juga tewas di tangan musuh, kalau Beng San berhasil, tentu ia akan diselamatkan pemuda pujaan hatinya itu. Mati hidup bersama Beng San, dan ia takkan penasaran lagi. Wajah yang tadinya pucat menjadi agak kemerahan, air matanya berhenti menitik dan pandang matanya berseri-seri.

Jika dua orang murid Hoa-san-pai itu telah nekat dan tak mengenal takut lagi, sedangkan Kwa Hong dalam kegembiraannya melihat Beng San tidak gentar menghadapi kematian pula, adalah Beng San yang diam-diam merasa khawatir sekali.

Memang, dengan ilmu pedangnya dia masih mampu mempertahankan diri apa bila hanya dikeroyok oleh Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi dan Giam Kin saja. Apa lagi penyerangan Hek-hwa Kui-bo mempergunakan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut yang sudah dihafalkan benar.

Dengan ilmu pedangnya dia tidak hanya dapat mempertahankan diri, bahkan dapat pula menyerang dengan gerakan-gerakan dahsyat sehingga sesudah berlangsung dua puluh jurus, ujung pedangnya dengan sinarnya yang gemilang berhasil melukai pundak Giam Kin, membuat pemuda itu terhuyung mundur dengan ketakutan dan tidak berani maju lagi. Akan tetapi melihat keadaan Thio Ki dan Kui Lok, yang sudah terdesak hebat, apa lagi melihat Kwa Hong yang terbelenggu dan tak berdaya sama sekali, hatinya gelisah bukan main.

Kekhawatirannya segera terbukti pada waktu terdengar seruan mengaduh, kemudian Kui Lok terhuyung-huyung karena paha kirinya terluka golok lawan. Thio Ki memutar pedang dengan marah, akan tetapi dia pun hampir roboh ketika pundak kirinya kena dikemplang toya seorang perwira.

Dua orang muda ini mengamuk hebat, sudah merobohkan empat orang lawan, akan tetapi karena jumlah lawan jauh lebih besar dan yang roboh selalu ada penggantinya, akhirnya mereka juga terluka. Namun, semangat Thio Ki dan Kui Lok patut dikagumi. Walau pun sudah terluka mereka masih memutar pedang dan Ilmu Pedang Hoa-san-pai yang cepat itu membuat para pengeroyok mereka belum dapat mendekati dua orang pemuda itu.

"Souw Kian Bi! Tan Beng Kui! Apakah kalian tidak malu? Lepaskan tiga orang anak murid Hoa-san-pai. Bukankah dulu kalian telah berjanji dengan Lian Bu Tojin takkan memusuhi Hoa-san-pai?" Beng San berteriak-teriak. Tanpa ragu-ragu dia menyebut nama kakaknya begitu saja karena sudah timbul kebencian dalam hatinya terhadap kakak kandungnya itu yang dianggapnya terlalu keji.

Kelihatan Tan Beng Kui berbisik-bisik kepada Souw Kian Bi. Bukan main lihainya Beng San! Meski pun sedang menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti, namun dia masih dapat mendengar percakapan mereka.

"Taijin, kalau kita ampunkan mereka, banyak keuntungan yang akan kita dapat,” bisik Tan Beng Kui.

Pangeran itu mengerutkan kening. "Hemmm, Tan-ciangkun, apakah kau kasihan melihat adik kandungmu?"

Tan Beng Kui tertawa. "Ha, kiranya Pangeran sudah tahu akan hal itu. Memang, dia itu adalah adik kandungku yang dulu lenyap ditelan air bah. Akan tetapi setelah dia menjadi pembantu pemberontak, mana ada hubungan darah lagi antara dia dengan aku? Usulku hanya untuk kebaikan kita, bukan untuk aku pribadi. Pertama, dengan mengampunkan murid-murid Hoa-san-pai, tentu Lian Bu Tojin akan berterima kasih dan akan melupakan permusuhan dengan kita, tidak akan suka membantu para pemberontak. Kedua kalinya, kulihat bocah itu lihai sekali ilmu silatnya. Kalau dia mau berjanji tak akan memusuhi kita, apa lagi kalau mau membantu kita, bukankah dia akan merupakan tenaga bantuan yang bahkan lebih hebat dari pada para locianpwe itu? Dan lebih baik lagi kalau kita dapat mengikatkan dia dengan Hoa-san-pai, misalnya dengan... mengawinkan dia dengan gadis Hoa-san-pai ini, sehingga mau tak mau dia tentu tidak akan mengingkari perjanjian antara Hoa-san-pai dengan kita. Lalu diatur begini...”

Suara Tan Beng Kui menjadi bisik-bisik dan Beng San yang didesak hebat oleh Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi, sekarang tak bisa menangkap lagi apa yang diucapkan kakak kandungnya itu. Diam-diam dia mendongkol sekali dan lebih hati-hati terhadap kelicikan orang.

Tiba-tiba saja Pangeran Souw Kian Bi berdiri dari kursinya, kemudian berseru menyuruh orang-orangnya untuk berhenti menyerang. Thio Ki dan Kui Lok yang ditinggalkan para pengeroyoknya menjadi lemas dan setelah berhenti bersilat mereka menjadi pening dan roboh tak bertenaga lagi.

Pada saat Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi menunda penyerangan mereka, Beng San juga melompat ke belakang. Dengan tenang dan penuh tantangan Beng San berpaling kepada Souw Kian Bi.

"Hemmm, permainan apa lagi yang hendak kau keluarkan, Pangeran?" tanyanya.
"Orang muda, kau hebat sekali. Sayang kalau orang seperti kau dan teman-temanmu ini sampai tewas di sini."
"Hemmm, mudah saja kau bicara. Siapa bilang kami akan tewas? Mungkin kau yang akan mati lebih dulu!" jawab Beng San.
"Ha, orang muda, selain hebat kau pun sombong dan berani sekali! Tidak perlu lagi kau membuka mulut besar di sini sebab kau pun tentu maklum bahwa andai kata kau memiliki kepandaian berlipat sepuluh kali, belum tentu kau dan teman-temanmu akan dapat lolos dari tempat ini. Apa kau hendak berkukuh bahwa kau dapat melawan ribuan orang tentara kami? Masukmu ke sini mungkin dapat kau lakukan karena kurang telitinya penjagaan, akan tetapi bagaimana kau akan dapat lari pergi? Lihat!"

Telunjuk pangeran ini menuding ke sekelilingnya dan Beng San dengan lirikan matanya mendapat kenyataan bahwa tempat itu sudah terkurung rapat oleh ribuan orang tentara. Bahkan di atas genteng sekarang telah siap menanti banyak sekali tentara dengan anak panah terpasang di busur. Jangankan hanya seorang manusia, bahkan seekor burung yang pandai terbang sekali pun kiranya tak akan mungkin meloloskan diri dari tempat itu.

Akan tetapi dia masih bersikap tenang-tenang saja, malah dengan sekali loncat dia telah berada di dekat Kwa Hong, sekali renggut dan sekali tepuk dia telah berhasil memutuskan tali belenggu lengan gadis itu dan membebaskannya dari totokan.

"San-ko, biarlah kita mati bersama..." Kwa Hong berkata mesra dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi ia merangkul lengan tangan Beng San.
Melihat ini, Thio Ki dan Kui Lok yang sudah lemas itu menjadi pucat dan mengeluh dalam hati. Mereka berebut mati-matian, kiranya gadis itu memilih orang lain!

"Pangeran Souw Kian Bi, sekarang apa yang menjadi maksud kehendakmu?" dengan tenang Beng San bertanya. “Jangan kau kira bahwa kami berempat takut akan kematian. Orang-orang gagah rela berkorban nyawa demi kebenaran dan keadilan."
"Bagus, kau benar-benar gagah perkasa, Beng San. Dan kami semua amat suka melihat orang-orang gagah seperti kalian itu, sayang kalau sampai tewas. Kalian masih muda, juga berkepandaian tinggi."
"Apa maksudmu? Berterus teranglah!" kata Beng San tak sabar lagi mendengar musuh memuji-muji itu.

Souw Kian Bi tertawa. "Beng San, sebetulnya Hoa-san-pai bukanlah musuh kami selama Hoa-san-pai juga tidak membantu kaum pemberontak. Permusuhan kecil ini hanya terjadi karena salah paham. Sekarang, melihat bahwa tidak ada kaum pemberontak berusaha menolong murid-murid Hoa-san-pai yang tertawan, kami anggap tidak ada perlunya kalau permusuhan ini diteruskan. Kami akan membebaskan kalian berempat dan sebagai tanda persahabatan, marilah kita makan minum bersama.”

Bukan main girangnya hati Thio Ki dan Kui Lok mendengar ini. Juga Kwa Hong girang sekali, dipeluknya lengan Beng San lebih erat lagi sambil dia berbisik, "San-ko, semenjak sekarang, jangan kau tinggalkan aku lagi..."

"Tenanglah, Hong-moi, tenanglah kau..." Beng San berkata sambil mengelus-elus pundak gadis itu, dalam hatinya bingung sekali menyaksikan sikap Kwa Hong seperti ini.

Tentu saja di tempat itu, disaksikan oleh banyak orang, dia merasa sangat malu melihat sikap Kwa Hong, akan tetapi juga tidak berani menegur gadis itu karena khawatir akan menyinggung perasaan orang. Pikirannya masih dipenuhi oleh ucapan Tan Beng Kui kepada Pangeran Souw Kian Bi tadi dan otaknya diputar untuk mencari jalan keluar dari tempat itu.

Terang bahwa kalau dia nekat mengamuk, tiga orang murid Hoa-san-pai ini akan celaka. Bahkan dia sendiri sedikit sekali ada harapan untuk mampu lolos dari kepungan ribuan orang tentara itu. Lebih baik sekarang dia menerima uluran tangan pangeran itu untuk menjauhi pertempuran, apa salahnya? Ini hanya siasat untuk menyelamatkan murid-murid Hoa-san-pai, terutama Kwa Hong. Maka dia tidak membantah lagi dan dengan tenang dia mengajak Kwa Hong menerima tawaran Pangeran Souw Kian Bi.

Atas perintah pangeran itu, ruangan yang tadinya menjadi medan pertempuran, sekarang cepat dibersihkan dan diatur menjadi ruang pesta. Seperti sulapan saja, dalam sekejap meja-meja diatur dan hidangan yang mewah dikeluarkan.

Biar pun lemas, Thio Ki dan Kui Lok yang telah mendapat pengobatan, dapat pula duduk menghadapi meja hidangan. Arak wangi menyegarkan tubuh mereka dan membangkitkan semangat lagi, meski mereka tidak mau bicara dan muka mereka masih membayangkan penderitaan batin karena melihat sikap Kwa Hong yang demikian mesra terhadap Beng San.

Tan Beng Kui juga berubah sikapnya. Sambil berdiri dia mengangkat cawan arak dan berkata kepada Beng San, "Setelah bertemu dalam keadaan dewasa, aku mengucapkan selamat kepadamu, adik Beng San. Engkau telah memperoleh kepandaian tinggi, juga memperoleh... hemmm..." ia melirik ke arah Kwa Hong, "seorang calon isteri yang gagah dan cantik. Kionghi… kionghi (selamat-selamat)!"

Girang juga hati Beng San. la menahan air matanya yang hendak menitik turun. Betapa pun juga, Beng Kui adalah orang yang selama ini dia rindukan dan kenangkan. Kakak kandungnya yang dahulu sangat menyayanginya, akhirnya sekarang mau mengakuinya.

Akan tetapi di balik keharuan dan kegirangan hatinya ini terkandung kepahitan dan kenyataan bahwa sikap kakak kandungnya ini hanya siasat belaka. Siasat untuk menarik dia, mempergunakan tenaganya untuk mengabdi kepada pemerintah penjajah.

la pun berdiri dan mengangkat cawannya pula. "Kakak Beng Kui, alangkah bahagianya hatiku karena kau mau mengaku adikmu ini. Sayang seribu kali sayang, jalan kehidupan kita bersimpangan. Betapa pun juga, adikmu selalu memujikan supaya kau selamat dan akhirnya dapat memilih jalan baik. Ada pun mengenai nona Kwa Hong ini, harap jangan salah sangka. Tak berani aku menganggap dia sebagai... sebagai calon isteri..."

Pangeran Souw Kian Bi beserta Tan Beng Kui tertawa bergelak-gelak sehingga di dalam suasana riuh rendah itu orang tidak memperhatikan betapa dua titik air mata mengalir turun dari sepasang mata Kwa Hong, namun cepat diusapnya.

"Ha-ha-ha-ha, adikku yang baik. Orang gagah laksana engkau ini, mana boleh bersikap malu-malu kucing? Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa antara kau dan nona ini terjalin kasih sayang yang amat besar? Jangan kau khawatir, karena kita tidak mempunyai orang tua lagi, aku boleh dibilang mewakili orang tuamu. Akulah yang akan melamarkan nona ini dari tangan Lian Bu Tojin untukmu. Aku tanggung pasti akan diterima. Ji-wi Locianpwe, bagaimana pendapat Ji-wi (kalian)?" Beng Kui berpaling kepada Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi yang duduk di situ pula bersama Kim-thow Thian-Ii dan Giam Kin.
"Hemmm, baik-baik..." berkata Hek-hwa Kui-bo sambil menenggak araknya. Dia nampak kaget karena semenjak tadi nenek ini menatap wajah Beng San tiada sudahnya.

Sukar untuk membaca isi hati nenek ini, hanya Beng San yang tahu betapa inginnya nenek ini merampas kepandaian Yang-sin Kiam-sut dari padanya untuk memperlengkapi Ilmu Im-sin Kiam-sut yang dahulu dicuri oleh Hek-hwa Kui-bo dari tangan kakek Phoa Ti.

Siauw-ong-kwi sebaliknya tertawa terkekeh-kekeh. "Orang muda saling cinta, menunggu apa lagi kalau tidak cepat-cepat dirangkapkan? Asal saja tidak mengulang penyakit lama, kalau sudah berjodoh dan punya anak, lalu bosan dan mencari yang lain. Heh-heh-heh! Kebetulan sekali Tan-ciangkun hendak pergi meminang ke Hoa-san, karena aku pun hendak melamarkan nona hitam manis dari Hoa-san-pai untuk muridku, si gila Giam Kin. Ha-ha-ha!"

Giam Kin juga tertawa. Pemuda ini semenjak tadi hanya tersenyum-senyum saja sambil menyikat hidangan-hidangan yang paling enak, tiada hentinya minum arak seakan-akan semua arak itu dituang ke dalam gentong yang tak berdasar.

Thio Ki dan Kui Lok ternyata tidak kuat minum banyak. Setelah menerima penghormatan Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui sebanyak lima cawan saja mereka sudah menjadi pening dan tak dapat ditahan lagi keduanya tertidur di atas kursi masing-masing. Hal ini terutama sekali karena tubuh mereka yang masih lemah akibat pertempuran hebat tadi yang menghabiskan sebagian besar tenaga mereka.

"Ha-ha-ha, dua orang ini agaknya belum dapat merasakan kesenangan berpacaran, maka kesenangan satu-satunya hanya tidur saja!" kata Pangeran Souw Kian Bi yang segera memanggil pelayan dan menyuruh beberapa orang pelayan menidurkan dua orang tamu ini ke dalam sebuah kamar yang bersih.

Ketika melihat Beng San mengerutkan kening atas kejadian ini, Beng Kui segera berkata. ”Adik Beng San, tidak usah kau berkhawatir. Biarlah dua orang saudara itu melepaskan lelah lebih dahulu. Nanti setelah mereka bangun, kami akan antarkan kalian semua keluar dari tempat ini dan memberi kuda yang terbagus."

Kemudian dia bertepuk tangan tiga kali. Tiga orang yang berpakaian seragam kemerahan keluar dari tempat sembunyi. Mereka ini adalah pengawal-pengawal pribadi dari pangeran dan perwira itu.

"Ambil Arak Pengantin Merah," kata Tan Beng Kui sambil tertawa-tawa riang.

Tak lama kemudian orang-orang itu kembali membawa seguci arak merah yang harum sekali baunya.

Wajah Kwa Hong dan Beng San menjadi kemerahan, akan tetapi diam-diam Beng San menjadi amat curiga hatinya. Namun apa yang dapat dia katakan? la hanya melihat saja betapa pangeran dan kakak kandungnya itu menuangkan arak merah ke dalam cawan mereka, juga cawan-cawan Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi, Kim-thouw Thian-li, Giam Kin dan beberapa orang perwira tinggi yang ikut mengawani mereka dalam pesta ini.

"Adik Beng San, arak ini namanya Arak Pengantin Merah. Biar pun kalian belum menjadi pengantin, akan tetapi hatiku sudah amat kegirangan dan mari kita minum tiga cawan untuk kebahagiaan calon sepasang mempelai!"
"Beng Kui-koko, aku... aku dan Hong-moi ini... ehhh..." gugup sekali Beng San.

Akan tetapi ketika dia melirik ke arah Kwa Hong, dia melihat nona ini biar pun mukanya merah sekali, namun sudah mengangkat pula cawan araknya dan sepasang mata bintang itu kelihatan membasah. la tidak tega untuk menolak lagi, dan pula, bukankah semua ini hanya siasat yang mereka pergunakan untuk berhasil meloloskan diri dari situ? Tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengangkat cawan araknya dan menenggak araknya perlahan. 

Ia menaruh perhatian dan waspada, akan tetapi ketika merasa bahwa arak itu hanya wangi dan enak, dan tidak ada reaksi apa-apa dari tubuhnya yang penuh hawa Im dan Yang itu, dia menelan terus dan tidak menolak ketika kakaknya menuangkan arak merah itu sampai tiga kali dalam cawannya. Juga Kwa Hong minum tiga cawan penuh.

Kembali Tan Beng Kui bertepuk tangan dan sekarang memerintahkan pelayan supaya mengeluarkan hidangan yang disebut masakan ‘anak naga’. Ternyata hidangan ini berupa masakan ikan laut yang amat aneh bentuknya, benar-benar hampir menyerupai naga kecil.

"Ikan macam ini hanya dapat ditemukan di laut sebelah utara," kata Pangeran Souw Kian Bi. "Baik sekali untuk kesehatan, terutama untuk... calon pengantin baru, ha-ha-ha!"

Semua orang tertawa gembira kecuali Beng San yang menundukkan mukanya dengan hati tidak enak sekali, sedangkan Kwa Hong juga menundukkan mukanya yang kemerah-merahan. Akan tetapi bagi gadis ini keadaan itu amat membahagiakan hatinya. la merasa seolah-olah memang sedang menghadiri pesta pernikahannya sendiri bersama Beng San!

Biar pun malu-malu, Beng San dan Kwa Hong tidak dapat menolak ketika dipersilakan makan daging ‘anak naga’ yang ternyata sedap dan lezat rasanya. Tiba-tiba Beng San meramkan matanya. Dia merasa kepalanya agak terputar dan sepasang matanya berat. Dikerahkannya tenaganya, akan tetapi, semakin dia mengerahkan tenaga Iweekang-nya ternyata semakin pusing pula kepalanya!

"Celaka..." dia mengeluh dan tanpa dapat ditahan lagi dia menjatuhkan kepalanya di atas kedua lengannya di meja. Sepasang sumpitnya jatuh.
"San-ko... kau kenapa...?” Kwa Hong segera memegang pundaknya.
"Ha-ha-ha, dia tidak apa-apa, Nona. Mungkin karena tidak biasa minum arak maka dia menjadi mabuk seperti dua orang saudara tadi."
"Tidak...! Kalian tentu bermain curang! Kalian sengaja sudah meracuni dia...!" Kwa Hong serentak berdiri dan menjadi marah sekali, siap hendak mengamuk.
"Jangan salah sangka yang bukan-bukan. Bukankah kau calon adik iparku. Dia ini adalah adik kandungku, dan sekarang bukan musuh kami lagi, untuk apa kami berlaku curang? Apa bila kau tidak percaya, biarlah dia disuruh mengaso di dalam kamar, dan kau boleh mengawani dan mengurusnya."

Beberapa pelayan diberi perintah dan tubuh Beng San yang sudah lemas itu diangkat orang menuju ke sebuah kamar. Kwa Hong dengan siap sedia dan waspada mengikuti dari belakang.

Begitu memasuki kamar, wajah Kwa Hong berubah makin merah. Bukan main indahnya kamar itu dan sudah diatur amat mewah seperti kamar pengantin saja. Tempat tidurnya, kelambu, perabot-perabotnya, semuanya serba baru. Seprei dan sarung bantalnya semua berkembang indah, menggambarkan sepasang burung hong yang sedang bercumbuan. Daun-daun jendela dan daun pintu menggambarkan pasangan-pasangan burung yang amat rukun dan penuh kasih mesra.

Hatinya berdebar tidak karuan ketika para pelayan itu segera meninggalkan kamar dan membiarkan dia berdua saja dengan Beng San. Malah pelayan terakhir dengan perlahan menutupkan daun pintu dari luar.

Dengan amat susah payah Kwa Hong melawan perasaan aneh dan debar jantung yang menyesakkan dadanya itu, lalu dia memeriksa keadaan Beng San dengan hati khawatir. Pemuda itu mengeluh perlahan, nampak gelisah dan kepalanya bergerak ke kanan kiri. Wajahnya menjadi merah bagaikan udang direbus dan perlahan-lahan berganti menjadi pucat kehijauan. Diam-diam Kwa Hong gelisah dan terheran-heran.

Teringatlah dia akan muka pemuda ini yang semenjak dahulu sering kali berubah-ubah warnanya sehingga dahulu dia menyebutnya sebagai ‘bunglon’.

"San-ko... San-ko... bagaimana rasa badanmu...?" tanyanya khawatir sambil menyentuh jidat pemuda itu.

Cepat ia menarik kembali tangannya karena jidat itu terasa dingin seperti es! Dan ketika perlahan-lahan muka itu berubah kemerah-merahan lagi, jidatnya pun berubah menjadi panas seperti api.

"San-ko... ahhh, San-ko, kau diracun orang..."

Kwa Hong saking bingung dan khawatirnya lalu memeluk Beng San dan menangis sedih. Sementara itu, ia sendiri merasa betapa ada sesuatu yang aneh terjadi dalam tubuhnya. Darahnya mengalir cepat dan panas, napasnya sesak serta mukanya menjadi merah sekali.

"Hong-moi... Hong-moi... jangan menangis... ah, Hong-moi, apa yang terjadi...? Aduh, kau cantik sekali Hong-moi."

Kagetlah Kwa Hong ketika tiba-tiba Beng San memeluknya. Ketika ia memandang, ia melihat pemuda itu memandangnya dengan mata setengah terkatup, sambil mulutnya berbisik-bisik dalam keadaan setengah sadar.

Kwa Hong amat mencinta Beng San. Semenjak pertemuannya dahulu, ia sudah memiliki perasaan luar biasa terhadap Beng San. Makin lama perasaan ini menjadi makin kuat dan akhirnya, pertemuan mereka kembali ketika sudah dewasa, membuat perasaan luar biasa itu berkembang menjadi perasaan cinta kasih yang mesra.

Apa lagi sesudah mendapat kenyataan bahwa Beng San adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu sakti, cinta kasihnya menjadi makin hebat dan ia rela meninggalkan siapa saja, rela melakukan apa saja demi cinta kasihnya terhadap pemuda ini. Sekarang, baru sekarang, ia melihat sikap Beng San yang membalas cintanya.

la tidak tahu bahwa keadaan Beng San dalam setengah sadar, tidak tahu bahwa Beng San berada dalam pengaruh obat mukjijat, tidak sadar pula bahwa dia sendiri pun sudah terpengaruh obat beracun itu.

Betapa pun kuat batin orang, kalau dia masih muda, mudah sekali dia tunduk kepada nafsu. Apa lagi dalam keadaan seperti mereka itu yang terkena racun, dalam keadaan setengah sadar, mudah sekali bagi iblis untuk menguasai hati dan pikiran mereka.

Maka, berbahagialah orang-orang muda yang berbatin teguh, yang kuat untuk menahan nafsu, yang selalu ingat akan susila, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Sebaliknya, celakalah mereka yang berbatin lemah!

Masa muda remaja adalah masa yang paling gawat dan paling berbahaya dalam hidup manusia. Justru di masa inilah, masa akil baliq, pada waktu keadaan jasmani manusia sedang berkembang dan di waktu semangat sedang bernyala-nyala, pada waktu manusia mengalami perubahan dari kehidupan kanak-kanak berubah menjadi manusia dewasa, dalam penghidupan paling banyak datang godaan yang beraneka macam.

Dalam menanjaknya usia dewasa ini manusia masih belum banyak mengalami derita pengalaman pahit getir sebagai akibat dari perbuatannya yang hanya menuruti perasaan hati dan nafsu. Oleh karena kurang pengalaman ini membuat dia lalai dan lengah. Jiwa yang belum matang oleh gemblengan hidup penderitaan, membuat hanya melihat hal-hal dari segi keindahannya dan kenangannya belaka. Tidak cukup luas pandangannya, tidak cukup jauh wawasannya dan semuanya ini mengakibatkan pertahanan batin yang amat lemah menghadapi godaan iblis yang selalu mengintai di balik hati perasaannya.

Orang muda seperti Beng San sesungguhnya tak mudah tergelincir oleh perangkap yang dipasang iblis di mana-mana, yang membahayakan setiap langkah dalam kehidupannya. Semenjak kecil biar pun jauh orang tua, namun boleh dibilang Beng San menemukan keadaan yang amat menguntungkan batinnya. Hidup sebagai kacung di kelenteng dekat dengan orang-orang saleh yang selalu mengutamakan perbuatan baik, selalu mempelajari ilmu filsafat kebatinan yang mendekatkan manusia kepada Tuhan dan mengharamkan perbuatan maksiat.

Godaan terbesar dan paling berbahaya bagi orang muda, yaitu godaan berupa nafsu pelanggaran susila, sebetulnya tidak akan mudah menundukkannya. la sudah digembleng oleh orang-orang sakti, sudah memiliki dasar batin seorang ksatria utama, kiranya dia akan lebih suka kehilangan nyawanya dari pada melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan dan peri kemanusiaan.

Akan tetapi, malang baginya, pada waktu itu dia sudah kehilangan kesadarannya akibat obat yang tercampur dalam arak dan makanan. Obat mukjijat yang membuat dia lupa diri dan hanya menjadi hamba dari nafsu tidak sewajarnya yang timbul oleh obat beracun itu. Semua ini ditambah lagi oleh keadaan Kwa Hong yang memang mencintanya, seorang gadis muda yang semenjak kecil sudah memiliki sifat hendak menurutkan kata hati sendiri, yang lebih-lebih lagi pada waktu itu juga dipengaruhi oleh racun yang membuat ia menjadi hamba nafsu mukjijat.

Namun, agaknya memang segala macam peristiwa di dunia ini sudah ditentukan lebih dahulu oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia boleh berusaha sekuat tenaga, boleh berikhtiar sedapatnya, bahkan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha dan berikhtiar, namun akhirnya hanya Tuhan yang menentukan.

Peristiwa yang nampak kecil selalu menjadi sebab dari perkara besar. Setitik bunga api dapat menyebabkan kebakaran sebuah kota. Peristiwa yang terjadi malam itu pun kelak mengakibatkan terjadinya cerita hebat, cerita yang berjudul RAJAWALI EMAS yang akan menjadi cerita tersendiri sebagai lanjutan cerita RAJA PEDANG ini.....

********************
Selanjutnya baca
RAJA PEDANG : JILID-15
LihatTutupKomentar