Kisah Si Bangau Putih Jilid 01
Bagi mereka yang bukan pedagang keliling dan yang tak pernah melakukan perjalanan melintasi Tembok Besar, pastilah menyangka bahwa kekuasaan Kerajaan Ceng yang dipegang oleh bangsa Mancu tentu berhenti sampai di Tembok Besar itu saja. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian.
Bangsa Mancu sendiri adalah bangsa yang tinggal jauh di utara yang sangat dingin, di daerah yang keras dan kejam, dan di luar Tembok Besar masih terdapat daerah yang sangat luas. Di sebelah utara Tembok Besar masih ada Propinsi Liaoning dan Jilin yang berbatasan dengan Korea, daerah Mancuria sendiri yang luas, kemudian masih terdapat pula daerah Mongolia Dalam atau Mongol, dan daerah Mongolia yang lebih luas.
Akan tetapi, setelah melewati Tembok Besar memang merupakan daerah yang liar serta kejam, dengan tidak terhitung banyaknya bukit di antara padang pasir yang luas dan merupakan lautan pasir yang ganas.
Padang pasir seperti ini memang ganas, dan bahkan kadang-kadang kejam sekali. Dari tulang-tulang kuda, onta, bahkan manusia yang terdapat berserakan di sana sini dapat diketahui bahwa lautan pasir itu sudah banyak menelan korban. Mayat manusia dan bangkai binatang yang tewas dalam perjalanan melintasi lautan pasir dibiarkan saja berserakan, membusuk dimakan terik panas matahari, atau pun digerogoti anjing-anjing serigala dan binatang buas lainnya, dibiarkan tinggal tulang-tulangnya saja yang lama-lama mengering.
Lautan pasir yang kelihatan tak bertepi itu memang kejam, juga mengandung kesunyian yang mendatangkan suasana menyeramkan penuh keajaiban. Bayangkan saja betapa mengerikan tersesat di lautan pasir seperti itu, di mana tidak dapat ditemukan setetes pun air, sebatang rumput pasir. Yang ada hanya pasir di mana-mana, panas dan silau, tidak diketahui lagi mana utara dan mana selatan. Belum lagi kalau datang badai yang membuat pasir bergulung-gulung dan seakan berombak seperti air di lautan, menelan apa saja yang menghalang di depan.
Para pedagang yang melakukan perjalanan dan kemudian tersesat, kehabisan air minum, kelelahan dan terjebak di dalam lautan pasir tanpa mengetahui ke arah mana mereka harus menuju, saking takut dan ngerinya, banyak di antara mereka yang dapat melihat pemandangan-pemandangan khayal yang aneh-aneh.
Ada yang melihat air terjun dengan air yang melimpah-limpah dan segar sejuk, akan tetapi ketika mereka menghampiri, yang ada hanya pasir belaka! Ada yang melihat anak sungai dengan airnya yang segar, atau melihat kebun dengan pohon-pohon menghijau dan buah-buah yang sudah masak, dan sebagainya. Akan tetapi, semua itu hanyalah bayangan khayal belaka, yang timbul karena alangkah besarnya keinginan hati mereka mengharapkan air, pohon dan sebagainya yang amat mereka butuhkan itu.
Di tengah-tengah salah satu di antara padang-padang pasir yang amat luas itu, terdapat sebuah gedung istana kuno, lengkap dengan kebun yang cukup luas, dengan pohon-pohon buah yang subur, dan sayur-sayuran, bahkan tumbuh pula gandum di ladang. Terdapat pula sumber air tidak jauh dari istana kuno itu. Sungguh merupakan suatu keadaan yang ajaib. Andai kata ada orang tersesat sampai ke daerah itu lalu melihat bangunan istana berikut perkebunannya yang subur itu, tentu dia akan mengira bahwa dia pun hanya melihat pemandangan khayal belaka.
Akan tetapi tidaklah demikian sesungguhnya. Bangunan itu memang sebuah bangunan istana yang besar, pernah di jaman dulu bangunan ini merupakan istana peristirahatan dari seorang raja-diraja, seorang kaisar besar yang bukan lain adalah Kaisar Jenghis Khan dari Kerajaan Mongol.
Akan tetapi, puluhan tahun yang lalu, istana itu dihuni oleh seorang sakti yang aneh, yang di dunia persilatan tingkat tinggi dikenal sebagai tokoh dongeng yang bernama Dewa Bongkok. Nama Dewa Bongkok yang menjadi penghuni Istana Gurun Pasir ini tidak kalah terkenalnya dan dianggap sebagai setengah dongeng saja, seperti halnya Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es! Setelah Dewa Bongkok meninggal dunia, kini yang menjadi penghuni istana Gurun Pasir itu adalah muridnya yang bernama Kao Kok Cu, yang di dunia persilatan dikenal sebagai Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!
Nama besar Pendekar Naga Sakti ini pernah menggemparkan dunia persilatan, dan dia tidak kalah terkenalnya dibandingkan mendiang gurunya. Kini Kao Kok Cu telah menjadi seorang kakek yang tua renta, tinggal di dalam istana kuno itu berdua saja dengan isterinya.
Isterinya bukanlah wanita sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang juga pernah menggemparkan dunia persilatan. Namanya Wan Ceng, dan ketika kecil pernah tinggal di Kerajaan Bhutan, jauh di barat bahkan menjadi saudara angkat Puteri Syanti Dewi dari Bhutan sehingga ia memperoleh nama julukan Candra Dewi.
Wan Ceng juga memiliki kesaktian dan kini ia dalam usia tujuh puluh dua tahun tinggal bersama suaminya di Istana Gurun Pasir. Mereka berdua hidup di situ tanpa pelayan, hanya berdua saja, mengerjakan ladang dan kebun sendiri yang hasilnya jauh lebih dari pada cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sebagian besar dari waktu luang mereka dipergunakan untuk bersemedhi dan bertapa.
Keadaan sepasang suami isteri ini tidak dapat disamakan dengan keadaan para pertapa yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai, pergi bertapa dengan suatu pamrih tertentu.
Orang pergi meninggalkan dunia ramai untuk bertapa di puncak bukit yang sunyi, di dalam goa yang sederhana, hanya mengenakan cawat saja, hanya makan seadanya, menyiksa diri menahan haus dan lapar, tentu mempunyai suatu tujuan tertentu. Tujuan inilah pamrih, dan semua pamrih, baik yang terbuka mau pun terselubung, tentu selalu menjangkau suatu keadaan yang menyenangkan.
Walau pun pamrih mendapatkan keadaan yang menyenangkan ini diperhalus dengan sebutan muluk, tetap saja merupakan pamrih demi kesenangan diri. Mungkin dia akan mengatakan bahwa dia bertapa untuk mencari kesempurnaan hidup, mencari Tuhan, mencari kebahagiaan, dan sebagainya. Namun pencariannya itu sendiri membuktikan bahwa dia menginginkan sesuatu yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam bentuk kedamaian, kebahagiaan, dan lain sebutan lagi.
Sepasang suami isteri itu tidak mencari apa-apa. Istana Gurun Pasir itu memang milik mereka, peninggalan dari Dewa Bongkok kepada muridnya, yaitu kakek Kao Kok Cu. Mereka berdua memang amat senang tinggal di tempat sunyi itu, bukan untuk mencari sesuatu atau menjadikan tempat yang sunyi itu sebagai pelarian dari dunia ramai. Sama sekali tidak. Mereka memang merasa senang tinggal di tempat yang penuh keheningan itu dan merasa berbahagia.
Akan tetapi, pada hari itu, Istana Gurun Pasir tidaklah setenang biasanya. Dari dalam gedung istana tua itu kini terdengar suara gelak tawa dan percakapan yang diselingi suara ketawa gembira. Kiranya suami isteri tua itu kedatangan seorang tamu yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka.
Tamu itu bukan seorang asing. Dia seorang hwesio yang bernama Tiong Khi Hwesio, usianya juga sudah tujuh puluh dua tahun dan tentu saja kunjungan hwesio ini disambut gembira oleh kakek dan nenek itu, terutama sekali nenek itu karena hwesio ini bukan lain adalah saudara tirinya sendiri, seayah berlainan ibu.
Pada waktu mudanya, Tiong Khi Hwesio adalah seorang pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan julukan yang mengerikan, yaitu Si Jari Maut! Dia menikah dengan Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan dan sampai tua dia tinggal di kerajaan kecil itu. Setelah isterinya meninggal dunia, dia hampir gila karena duka. Akan tetapi, pertemuannya dengan seorang pendeta tua menyadarkannya dan mulai saat itu, Wan Tek Hoat, demikian namanya, lalu menggundul rambut kepala dan mengenakan jubah, menjadi seorang hwesio yang berkelana.
Mereka bertiga bercakap-cakap sambil makan sederhana dengan sayuran segar yang dimasak sendiri oleh nenek Wan Ceng. Kemudian mereka bertiga keluar dari istana itu dan duduk di serambi depan sambil bercakap-cakap. Kao Kok Cu yang dahulu berjuluk Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, walau pun usianya sudah hampir delapan puluh tahun masih nampak gagah penuh semangat.
Lengan kirinya yang buntung itu tak membuatnya terlihat mengerikan, bahkan membuat dirinya nampak lebih berwibawa. Wajahnya yang tampan membayangkan kelembutan, sinar matanya mencorong seperti mata naga namun juga membayangkan kelembutan dan kesabaran. Melihat sepintas lalu, takkan ada orang mengira bahwa kakek tua renta yang lengan kirinya buntung ini memiliki kesaktian yang amat hebat.
Dua macam ilmu simpanannya, yaitu Sin-liong Hok-te, jurus pasangan kuda-kuda yang membuat tubuhnya seperti mendekam di atas tanah bagaikan seekor naga, kemudian dapat menimbulkan tenaga dahsyat yang mukjijat, dan Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, jarang dapat ditandingi di dunia persilatan.
Isterinya, nenek Wan Ceng, meski pun usianya juga sudah tua sekali, masih nampak sehat. Mukanya tidak penuh keriput dan kulit muka itu masih halus kemerahan saking sehatnya, walau pun giginya telah ompong dan rambut di kepala telah putih semua.
Nenek ini pun memiliki ilmu simpanan yang khas, yaitu Ban-tok-ciang. Kalau dia sudah mengerahkan tenaga memainkan ilmu silat ini, kedua tangannya mengandung selaksa racun (ban-tok) yang amat dahsyat dan berbahaya bagi lawan. Dan juga pedangnya, Ban-tok-kiam, merupakan pusaka yang mengerikan.
Ada pun tamu itu, Tiong Khi Hwesio, biar pun sudah setua nenek itu, namun tubuhnya masih tegap, jalannya masih tegak. Jubahnya kuning bersih, matanya tajam berkilat dan mulutnya selalu tersenyum sinis. Kakek yang dulunya pernah berjuluk Toat-beng-ci (Si Jari Maut) ini mempunyai berbagai ilmu silat simpanan seperti Pat-mo Sin-kun, Pat-sian Sin-kun, dan memiliki ilmu sinkang (tenaga sakti) yang diberi nama Tenaga Inti Bumi. Juga pedangnya, Cui-beng-kiam, adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh sekali.
Sebetulnya baru beberapa bulan yang lalu, Tiong Khi Hwesio berjumpa dengan kakek dan nenek itu ketika mereka semua menghadiri pernikahan Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw, dengan Can Bi Lan, gadis yang pernah mendapat bimbingan ilmu silat dalam waktu singkat dari kakek dan nenek ini sehingga dapat dibilang gadis itu murid mereka. Pernikahan itu diadakan di rumah Pendekar Kao Cin Liong, yaitu putera tunggal suami isteri dari Istana Gurun Pasir ini.
Akan tetapi karena pertemuan itu terjadi di dalam sebuah pesta di mana hadir banyak tamu, mereka merasa kurang leluasa bercakap-cakap. Siapa kira, tahu-tahu kini hwesio tua itu muncul di istana mereka, tentu saja kakek dan nenek itu menjadi gembira bukan main.
“Tek Hoat, sungguh aku girang bukan main bahwa engkau sudi datang berkunjung pada kami. Pertemuan dalam usia yang amat tua ini sungguh mendatangkan kenangan ketika masih muda, dan menggembirakan sekali. Terima kasih, Tek Hoat.”
Nenek itu memang selalu menyebut saudara tirinya dengan nama kecilnya saja, tidak peduli bahwa sekarang saudara tirinya itu sudah menjadi seorang hwesio tua, seorang pendeta!
Tiong Khi Hwesio tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bertemu dan bercakap-cakap denganmu membuat orang sama sekali lupa bahwa ia telah menjadi tua bangka, Wan Ceng. Sikap dan kata-katamu seakan tidak pernah berubah, aku melihatmu seperti melihat engkau ketika masih gadis, ha-ha-ha!”
Kao Kok Cu juga turut tersenyum. Kemudian dia yang biasa bersikap serius, berkata dengan halus namun meyakinkan, “Memang, waktu berjalan dengan cepatnya dan tahu-tahu kita semua telah menjadi tua, sudah masak untuk meninggalkan dunia ini. Akan tetapi, pernahkah kita menyelidiki pada diri sendiri, kebaikan dan kegunaan apa saja yang pernah kita lakukan untuk mengisi kehidupan kita yang tidak berapa panjang ini?”
Ucapan ini membuat Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio termenung sampai beberapa lama. Mereka terbenam dalam lamunan masing-masing. Kemudian Tiong Khi Hwesio berkata.
“Omitohud Kao-taihap, ucapanmu itu menggugah semua kenangan lama dan pinceng melihat betapa selama hidup pinceng itu, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya dan perbuatan pinceng jauh lebih banyak buruknya dari pada baiknya. Perbuatan buruk itu pinceng lakukan karena ada dorongan nafsu, sedangkan perbuatan baik pun pinceng lakukan dengan menyembunyikan pamrih demi keuntungan diri pribadi. Omitohud, kalau dikaji benar, tidak ada baiknya perbuatan pinceng.”
“Aihh, jangan kau berkata demikian, Tek Hoat. Aku tahu bahwa apa pun yang terjadi, engkau berjiwa pendekar yang gagah perkasa. Kalau tidak demikian, mana mungkin enci Syanti Dewi sampai tergila-gila dan jatuh cinta kepadamu? Engkau memang terlalu merendahkan diri sendiri,” kata Wan Ceng. “Banyaklah sudah kegagahan kau lakukan karena memang watakmu yang gagah perkasa, seperti seorang pendekar sejati, tanpa pamrih.”
“Tapi... tapi... kalau pinceng ingat sekarang, semua perbuatan itu pinceng lakukan demi cinta pinceng kepada mendiang isteriku, Syanti Dewi. Andai kata tidak ada Syanti Dewi, tidak ada cintaku terhadapnya... ahh, tidak tahulah aku, apa yang akan terjadi dengan diriku...“ Tiong Khi Hwesio nampak termangu.
Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Memang demikian keadaannya. Kita tidak pernah bebas. Perbuatan kita tidak pernah bebas dari pada pamrih. Karena ikatan-ikatan maka kita selalu berbuat dengan adanya pamrih di belakang perbuatan itu, membuat semua perbuatan kita palsu adanya. Betapa pun baiknya suatu perbuatan itu menyembunyikan pamrih, maka perbuatan itu adalah suatu kejahatan pula, karena perbuatan itu hanya menjadi semacam cara untuk mendapatkan hasil yang kita kehendaki.”
Tiong Khi Hwesio juga menarik napas panjang. “Omitohud, bijaksana sekali ucapanmu itu, Kok-taihiap. Akan tetapi, bagaimana mungkin perbuatan kita tidak menyembunyikan pamrih?”
“Bukankah pamrih itu muncul dari ikatan kepada sesuatu? Ikatan inilah yang menjadi pamrih dalam perbuatan kita. Karena itu, satu-satunya kebenaran adalah kebebasan! Sebelum bebas dari semua ikatan, tak mungkin perbuatan kita benar, dalam arti yang sedalam-dalamnya. Kita harus berani bebas, harus berani sendirian, sebab bersendirian ini merupakan kenyataan hidup. Masing-masing dari kita membawa kehidupan sendiri-sendiri dan akan mengakhiri kehidupan ini sendiri-sendiri pula. Kita takut bersendirian, melihat kenyataan betapa kita ini masing-masing kosong, lemah tidak berarti, maka timbullah rasa takut dan kita lalu mencari pegangan, mencari ikatan sebanyaknya agar si aku tidak kehilangan pijakan. Kita memperbanyak ikatan yang kita anggap mampu mendatangkan kekuatan dan mendatangkan hiburan, seperti orang takut terhadap setan lalu mencari banyak teman. Padahal, ikatan-ikatan ini pangkal semua kesengsaraan.”
Wan Ceng yang sejak tadi mendengarkan, mengerutkan alis. Sudah sering ia bercakap-cakap dengan suaminya tentang hal ini, namun masih juga merasa sukar untuk dapat menangkap maknanya yang tepat. Sekarang ada Tiong Khi Hwesio di situ, maka dia mengajukan bantahannya lagi agar dapat lebih mudah menyelidiki dan mengerti.
“Akan tetapi, kalau kita membiarkan diri bebas dari ikatan, lalu mana ada cinta? Apakah kita harus bersikap tak peduli, apakah kita harus meniadakan kewajiban-kewajiban dan hidup dengan sikap acuh dan masa bodoh?”
Suaminya tersenyum, senyum penuh kasih yang selalu ditujukan pada isterinya. Sudah sering isterinya membantah seperti ini, dan dia tahu bahwa isterinya masih juga belum mengerti benar dan kini hendak minta dukungan Tiong Khi Hwesio terhadap sanggahan atau bantahannya itu.
“Benar sekali, Kao-taihiap, seperti apa yang dikemukakan isterimu. Agaknya kebebasan seperti ini, seperti yang kau katakan tadi, berlawanan dengan tugas-tugas dalam hidup ini, seperti kewajiban terhadap keluarga, masyarakat, pemerintah dan lain sebagainya. Bukankah jika sudah bebas dari segalanya seperti itu, kita lalu menjadi acuh dan hidup seperti boneka saja?”
Kao Kok Cu tersenyum dengan penuh kesabaran. Ia tahu betapa sukarnya mempelajari hidup, betapa sukarnya membuka mata melihat kenyataan hidup seperti apa adanya. Dia sendiri pun baru-baru ini saja, dalam usia tua renta, dapat melihat kenyataan ini dengan waspada.
“Marilah kita selidiki bersama. Semua perbuatan kita ini merupakan pencerminan dari keadaan batin, bukan? Kalau batin tidak bebas, perbuatan pun tidak akan bebas dari pamrih. Karena itu, yang dimaksudkan dengan kebebasan di sini bukanlah kebebasan lahiriah. Lahiriah, kita tidak mungkin bebas. Kita adalah bagian dari masyarakat, bagian dari bangsa dan negara dengan segala macam adat istiadat dan hukumnya. Kita secara lahiriah tidak mungkin bebas dari semua itu, dari kewajiban terhadap keluarga, terhadap pemerintah, terhadap pekerjaan, terhadap teman, masyarakat dan sebagainya. Akan tetapi, haruskah batin juga terikat? Tak dapatkah secara lahiriah kita mempunyai, akan tetapi batin tidak ikut memiliki? Hanya batin yang bebas saja yang akan dapat mengenal cinta kasih, bukan cinta nafsu yang mengikat.”
Tiong Khi Hwesio dan Wan Ceng mendengarkan, terdiam dan seperti terpesona karena mereka pun dapat melihat kenyataan melalui petunjuk ini.
“Sekarang aku mulai bisa melihat,” kata Wan Ceng mengangguk-angguk. “Bebas bukan berarti bebas semau gua, karena semau gua merupakan tindakan lahiriah, tindakan badan yang penuh nafsu, tindakan pikiran yang selalu ingin enak sendiri. Bebas batin mendatangkan cinta kasih, dan perbuatan yang didasari cinta kasih tentu tidak akan menyeleweng dari pada kebenaran.”
“Omitohud...!”Tiong Khi Hwesio memuji sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada. “Betapa bahagianya hati pinceng, betapa beruntungnya pinceng dan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang telah menuntun pinceng untuk berkunjung ke sini sehingga sempat berbincang-bincang dengan kalian berdua. Pinceng mengalami sendiri akan buruknya ikatan. Pinceng terikat lahir batin dengan Syanti Dewi sehingga ketika isteriku itu meninggal dunia, pinceng seperti orang gila karena kehilangan!”
“Ikatan selalu mendatangkan duka dan kehilangan. Yang bisa kehilangan hanya mereka yang memiliki. Kalau batin tidak memiliki apa-apa, bagaimana bisa kehilangan? Itulah namanya bebas batiniah, biar pun lahiriah terikat kaki tangan dan lehernya oleh segala macam kewajiban hidup.”
“Wah-wah, terima kasih!” Tiong Khi Hwesio bangkit dengan wajah cerah dan gembira sekali. “Tetapi, mengapa kita tenggelam ke dalam hal-hal yang begini serius? Pinceng ingin sekali melihat-lihat lautan pasir yang maha luas ini. Kabarnya di padang pasir sering terjadi keanehan-keanehan, nampak kekuasaan alam yang maha hebat. Maukah kalian mengantar pinceng melihat-lihat dan menunjukkan segala kehebatan itu kepada pinceng?”
Kao Kok Cu dan Wan Ceng juga bangkit sambil tertawa dan mereka bertiga lalu pergi meninggalkan istana itu, menuju ke selatan karena istana itu menghadap ke timur, ke arah Mongol dari mana Kaisar Jenghis Khan berasal.....
********************
Tiong Khi Hwesio kagum bukan main ketika suami isteri itu membawanya ke bagian-bagian yang luar biasa dari padang pasir itu. Ada bagian di mana pasirnya besar-besar dan agak hitam, ada pula bagian di mana pasirnya lembut sekali dengan warna putih berkilauan seperti bubuk perak. Ada yang permukaannya demikian halus seperti sutera, ada pula yang membentuk keriput-keriput seperti alun samudera. Juga terdapat bagian di mana terdapat batu-batu besar berbentuk aneh-aneh karena permainan angin dan terpukul pasir-pasir yang diterbangkan angin.
Luar biasa sekali melihat betapa ada permukaan pasir yang tak pernah diam, seperti air di lautan, selalu berubah bentuknya karena pasir-pasir halus di permukaan itu terbawa angin membentuk garis-garis yang selalu berubah. Seolah-olah ada kehidupan yang tak nampak di tempat yang teramat sunyi itu. Berkali-kali Tiong Khi Hwesio mengeluarkan suara pujian dengan penuh kagum dan heran.
Melihat kegembiraan saudara tirinya, Wan Ceng menjadi ikut bergembira dan bangga. “Engkau belum melihat yang paling hebat, Tek Hoat,” katanya bangga.
“Wah?! Masih ada yang lebih hebat dari ini? Bawa pinceng ke sana, pinceng ingin melihat yang paling hebat!”
“Bagian itu jauh di selatan, makan waktu perjalanan hampir satu hari, disebut sebagai Lautan Maut. Di sana engkau akan melihat badai lautan pasir, melihat pasir bagaikan air laut menderu-deru, dengan ombak yang setinggi rumah.”
“Wah, hebat! Hayo kita lekas ke sana!” ajak Tiong Khi Hwesio, tertarik sekali. Sebagai seorang bekas pendekar, tentu saja keadaan bahaya merupakan tantangan yang amat menggairahkan hatinya.
“Di sana berbahaya sekali,” kata Kao Kok Cu. “Bahkan rombongan onta dengan orang-orang yang paling berpengalaman sekali pun akan menjauhi bagian itu dan lebih baik melakukan perjalanan memutar yang lebih jauh dari pada harus menempuh Lautan Maut itu.”
“Akan tetapi kita bukanlah orang-orang yang lemah seperti mereka!” kata Wan Ceng kepada suaminya. “Bukankah kita pernah beberapa kali ke sana dan mampu menahan serangan badai?”
Kao Kok Cu tersenyum kepada isterinya. “Haa! Agaknya engkau lupa bahwa hal itu terjadi puluhan tahun yang lalu. Ketika itu usia kita belum lima puluh tahun.”
“Apa bedanya? Kita masih kuat dan bahwa kita bertiga dapat menguji diri apakah masih ada kemampuan dalam tubuh yang tua ini.”
“Cocok! Ha-ha-ha-ha, Kao-taihiap, apakah engkau tidak ingin menggembirakan seorang sahabat seperti pinceng ini? Sebelum maut datang menjemput, pinceng ingin sekali melihat dan merasakan betapa hebatnya badai di Lautan Maut itu.”
Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Baiklah, tentu saja kita bertiga dapat melindungi diri sendiri dari badai. Di sana terdapat banyak batu besar yang dapat dipergunakan sebagai tempat berlindung. Akan tetapi perjalanan itu tentu akan makan waktu dua hari pulang pergi dan di sana tidak terdapat makanan atau minuman apa pun. Kita harus membawa bekal.”
Mereka kembali ke istana tua. Sibuklah mereka membuat perbekalan untuk perjalanan besok. Mereka bergembira seperti tiga orang pemuda remaja yang membuat persiapan untuk perbekalan perjalanan tamasya besok.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka bertiga sudah berangkat meninggalkan istana gurun pasir, menuju ke selatan. Lewat tengah hari mereka tiba di bagian lautan pasir yang dimaksudkan oleh Wan Ceng. Sebelum mereka berangkat, Kao Kok Cu memperingatkan mereka agar berhati-hati.
“Sekarang musim yang paling ganas di sana, di waktu badai sedang besarnya dengan adanya pemutaran angin dari utara ke timur.”
Dengan buntalan perbekalan di punggung mereka, ketiga orang ini memasuki daerah Lautan Maut. Nampaknya memang tidak ada apa-apa dan Tiong Khi Hwesio mulai kecewa. Akan tetapi makin ke selatan, terasa angin semakin keras dan dibandingkan dengan pasir yang mereka injak, yang panas, angin itu terasa dingin sekali. Dan ketika mereka tiba di daerah yang berbatu-batu, tiba-tiba saja badai datang mengamuk.
Mula-mula dari arah barat dan utara, nampak seperti awan hitam dan debu angin tiba-tiba terhenti. Akan tetapi tidak lama kemudian, awan hitam dan debu yang ternyata gelombang pasir itu datang menerpa, didorong angin yang amat kuatnya.
Tiga orang gagah itu lalu memasang kuda-kuda sambil mengerahkan tenaga melawan hantaman pasir halus yang dibawa angin. Mereka seakan-akan masuk ke dalam tirai pasir yang mendorong kuat dari depan. Makin lama semakin kuat saja hantaman pasir dan angin itu.
Pertama-tama Wan Ceng yang agak terhuyung. Cepat ia berpegangan tangan dengan suaminya yang membantunya, dan ketika akhirnya Tiong Khi Hwesio juga terhuyung, Kao Kok Cu berteriak nyaring untuk mengatasi gemuruh suara badai pasir.
“Cepat, kita berlindung di balik batu di sana itu!” Dia menunjuk ke arah sebuah batu karang yang besar dan kokoh kuat.
Memilih tempat berlindung ini pun ada bahayanya. Karena kalau salah pilih, bisa saja ada batu yang roboh dilanda badai sehingga menindih dan membunuh orang-orang yang berlindung di bawahnya.
Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio, sejak mudanya memang memiliki hati yang pantang menyerah. Oleh karena itu, ajakan Kao Kok Cu itu diterima dengan gelengan kepala, bahkan Wan Ceng sudah melepaskan pegangan tangan suaminya, kembali memasang kuda-kuda lagi dan mengerahkan tenaganya. Demikian pula Tiong Khi Hwesio, agaknya tidak mau kalah oleh saudara tirinya!
Melihat lagak kedua orang ini, mau tidak mau Kao Kok Cu tertawa geli dan gembira. Dia pun lalu memasang kuda-kuda untuk melawan badai yang semakin kuat datangnya itu. Akan tetapi beberapa menit kemudian, Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio terpaksa harus mengakui keunggulan badai karena mereka terdorong sampai roboh bergulingan!
Terpaksa mereka sekarang membiarkan diri mereka diseret. Wan Ceng berpegangan tangan dengan Tiong Khi Hwesio sedang Kao Kok Cu dengan satu tangan kanannya memegang tangan hwesio itu dan menyeretnya di atas pasir menuju ke balik batu besar dan barulah mereka dapat bernapas lega karena terjangan badai ditangkis oleh batu karang yang kokoh kuat itu.
Akan tetapi, kegembiraan mereka semakin menjadi-jadi. Setelah beristirahat dan dapat mengumpulkan tenaga kembali, melihat betapa badai masih saja membesar, Tiong Khi Hwesio lalu meloncat keluar dari balik batu karang dan kini dia mulai bersilat menentang badai. Hebat memang kakek hwesio ini.
Ia ternyata telah menggabungkan dua macam ilmu silat yang merupakan ilmu silat yang saling berlawanan, yaitu Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa)! Tidak saja dia telah mampu menggabungkan dua aliran silat yang bertentangan ini, akan tetapi juga dia mempergunakan tenaga sakti yang hebat, yaitu Tenaga Inti Bumi.
Biar pun usianya sudah tujuh puluh dua tahun, namun gerakannya demikian gesit dan pukulan-pukulannya demikian kuat sehingga angin menderu-deru dari kaki tangannya menentang badai sehingga pasir-pasir yang diterbangkan badai itu membuyar terkena hantaman angin pukulan kaki tangannya!
Tiong Khi Hwesio bersilat terus sampai akhirnya dia melompat kembali ke balik batu karang dengan muka merah, keringat membasahi tubuh dan napasnya terengah-engah, akan tetapi matanya berseri dan mulutnya tertawa gembira.
Wan Ceng tidak mau kalah. Nenek yang usianya sebaya dengan saudara tirinya ini juga meloncat keluar dan bersilat menentang badai. Ia mengeluarkan ilmu silat simpanannya, yaitu Ban-tok-ciang dan dari kedua telapak tangannya nampak ada uap yang kadang-kadang berwarna hitam, lalu hijau atau biru, berubah lagi kemerahan.
Melihat ini, diam-diam Tiong Khi Hwesio bergidik karena dia pun tahu betapa ampuhnya pukulan-pukulan adik tirinya itu. Nenek ini pun bersilat sampai ia tidak kuat bertahan lagi dan terpaksa harus meloncat ke belakang batu karang dengan tubuh basah keringat dan napasnya terengah-engah.
Melihat kegembiraan kedua orang itu, Kao Kok Cu lantas ketularan. Dia pun keluar dan menentang badai, lalu ia mulai bersilat, di tonton dengan penuh rasa kagum oleh Tiong Khi Hwesio. Dia melihat betapa kakek berlengan sebelah ini bersilat secara aneh sekali, dengan tubuh kadang-kadang meluncur ke depan bagaikan seekor naga, akan tetapi gerakannya membawa angin pukulan yang bercuitan.
Sekarang dia melihat betapa di bagian depan Kao Kok Cu seolah-olah ada dinding atau perisai yang tidak nampak, terbuat dari hawa pukulan sehingga pasir yang terbang dari depan itu terhenti dan runtuh dengan sendirinya, seperti membentur batu karang! Kakek berlengan buntung yang usianya telah tujuh puluh delapan tahun ini bersilat paling lama dibandingkan Tiong Khi Hwesio atau Wan Ceng, tapi ketika akhirnya dia menghentikan gerakannya dan kembali ke belakang batu karang, napasnya tidak terengah-engah dan wajahnya biasa saja walau pun napasnya agak memburu.
“Wahh! Usia tua menggerogoti dari dalam sehingga tenaga dan daya tahanku banyak berkurang,” katanya sambil mengatur pernapasan.
“Kao-taihiap, engkau amat hebat!” Tiong Khi Hwesio memuji. “Engkau yang paling tua di antara kita, namun ternyata tenaga dan daya tahanmu paling kuat. Sungguh membuat aku takluk dan kagum sekali!”
Akan tetapi Kao Kok Cu tidak menjawab, melainkan menuding ke arah barat.
“Lihat, bukankah itu suara onta yang datang dari arah sana?”
Dua orang itu menoleh ke arah barat, namun tidak kelihatan sesuatu, hanya memang mereka mendengar ada suara onta. Suaranya merintih seperti sedang menderita.
“Onta tidak pernah merintih kecuali menghadapi kematiannya dan di mana ada binatang onta terancam maut, di situ tentu ada pula penunggangnya yang juga terancam mala petaka,” sambung Wan Ceng. “Mari kita lihat!”
Dua orang kakek itu mengangguk setuju dan mereka bertiga segera berloncatan keluar dari balik batu karang dan berlari cepat menuju ke barat, ke arah datangnya suara tadi. Tidak terlalu lama mereka mencari karena segera mereka melihat seekor onta yang dalam keadaan sekarat, tergencet batu yang roboh menimpa dan menghimpitnya. Dan di dekatnya nampak seorang wanita yang telah tewas pula, sedangkan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih empat belas tahun berlutut dan mengguncang-guncang tubuh wanita itu.
“Ibu... ibu... bangunlah, ibu... kuatkanlah, mari kugendong ibu pergi dari sini...“ kata anak itu dengan suara pilu dan gemetar.
Dia lalu dengan susah payah menarik tubuh ibunya yang kedua kakinya terhimpit tubuh onta, kemudian mencoba untuk menggendongnya. Akan tetapi baru beberapa langkah saja anak itu berjalan, dia disambar hantaman badai dan dia pun terguling bersama mayat ibunya, bergulingan.
“Ibuuuuu...!” Anak itu berteriak.
Pada saat itu, Tiong Khi Hwesio telah menyambar tubuhnya dan dibawa meloncat ke balik sebuah batu karang untuk berlindung dari serangan badai. Wan Ceng juga sudah menyambar mayat wanita itu dan membawanya ke tempat yang sama.
“Ibuuu...! Lepaskan ibuku, jangan ganggu ibuku...!”
Tiba-tiba anak itu meronta dan saking marah dan khawatirnya, anak itu memiliki tenaga yang demikian hebatnya sehingga dia berhasil melepaskan diri dari pegangan Tiong Khi Hwesio dan kini dia menyerang Wan Ceng yang masih memondong tubuh wanita yang telah mati itu. Anak laki-laki itu menubruk, tangan kirinya mendorong ke arah dada Wan Ceng, dan tangan kanannya mencoba untuk merampas tubuh wanita itu, gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga yang kuat.
Wan Ceng tidak melawan, hanya menarik tubuh atas untuk mengelak dari dorongan anak itu, dan ia membiarkan anak itu merampas tubuh mayat itu. Anak laki-laki itu kini memandang mayat itu, menghadapi tiga orang tua itu dengan mata terbelalak. Mata itu liar dan beringas, seperti mata seekor anak harimau tersudut. Dia siap melawan tiga orang itu mati-matian untuk mempertahankan dan melindungi ibunya.
“Jangan kalian mengganggu ibuku! Akan kulawan sampai mati! Walau pun kalian Dewa Kematian, Dewa Badai dan Dewa Padang Pasir, aku tidak takut!”
Dia menantang dan sikapnya sungguh berani, sikap seorang yang sudah nekat karena tidak melihat jalan lain.
Tiga orang tua renta itu sejenak terpesona, juga terharu. Mereka adalah orang-orang sakti yang sudah banyak makan garam, banyak pengalaman dan tahu saja artinya duka karena mereka pun sudah kenyang mengalami duka dalam kehidupan mereka.
Oleh karena itu, mereka dapat menduga bahwa anak ini menjadi demikian nekat dan berani karena terhimpit duka yang bertubi-tubi dan yang terakhir kalinya agaknya karena melihat ibunya yang tercinta tewas. Atau mungkin juga saking bingung, khawatir dan dukanya, dia sampai tidak sadar bahwa ibunya telah kehilangan nyawanya dan yang hendak dilindungi dan dipertahankan itu ialah sesosok mayat yang telah mulai menjadi dingin!
Dengan hati terharu penuh iba, Kao Kok Cu melangkah maju. “Anak yang baik, kami bukan dewa atau iblis, kami adalah orang-orang biasa yang datang ingin menolongmu. Tidak ada yang akan mengganggu ibumu lagi, Nak, karena ibumu itu telah meninggal dunia. Lihatlah baik-baik dan jangan keliru menyangka orang.”
Suara itu begitu halus, tenang dan sabar dan suara itu saja sudah cukup membuat anak itu percaya. Kini anak itu memandangi wajah mayat yang dipeluknya. Wajah seorang wanita yang kurus pucat, dengan mata setengah terbuka, dengan pandang kosong tanpa cahaya sama sekali, seperti mata sebuah patung yang pernah dilihatnya. Dia lalu mengangkat mayat itu mendekat dan merendahkan mukanya sampai mukanya dekat sekali dengan muka mayat itu. Hidung dan mulut ibunya tidak bernapas lagi!
“Ibuuuuu...!”
Untuk kedua kalinya dia pun terjungkal bersama mayat ibunya, dan roboh pingsan di dekat mayat itu.
“Omitohud...!” Tiong Khi Hwesio mengeluh ketika dia melihat peristiwa ini.
Kao Kok Cu menarik napas dan menggeleng-geleng kepalanya sedangkan Wan Ceng lalu mendekati anak itu, berlutut dan mengurut tengkuk dan dadanya.
Anak itu pun mengeluh, lalu membuka matanya. Dia segera mencari dengan pandang matanya dan ketika dia melihat tubuh ibunya menggeletak tidak jauh dari situ, dia pun bangkit dan menubruk mayat ibunya sambil menangis. Akan tetapi, anak itu agaknya memang memiliki kekerasan dan ketabahan hati.
Tidak lama dia menangis dan agaknya dia sudah teringat lagi akan tiga orang tua itu. Maka ia bangkit berdiri memandang, lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap mereka, agaknya sama sekali tak peduli akan luka-luka yang diderita tubuhnya, babak belur dan lecet-lecet. Juga kaki kanannya kehilangan sepatunya, sedangkan pergelangan kaki itu menggembung besar, tanda bahwa kaki itu salah urat.
“Harap Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang Tua Perkasa) memberi ampun kepada saya yang tadi bersikap kurang ajar. Dalam keadaan seperti ini, saya menjadi bingung dan mengira Sam-wi (Kalian Bertiga) bukan manusia.“
Tiga orang itu saling pandang dan sependapat bahwa anak ini ternyata mempunyai pendidikan yang baik dan mengenal aturan. Juga, mata mereka yang tajam dapat mengenal bahwa anak ini memiliki nyali yang besar, sikap gagah dan juga bakat yang baik sekali untuk menjadi seorang pendekar.
“Anak baik, sekarang belum waktunya banyak bicara. Apakah engkau hanya berdua dengan ibumu ini?” tanya Kao Kok Cu. Anak itu mengangguk.
“Kalau begitu, yang terpenting sekarang, mari ikut bersama kami dan kami juga akan membawa jenazah ibumu supaya mendapatkan penguburan yang sepatutnya di tempat kami.”
“Baik, Locianpwe, dan terima kasih atas perhatian Sam-wi,” kata anak itu.
Anak itu segera bangkit. Tanpa diperintah lagi ia menghampiri mayat ibunya, bermaksud untuk memondongnya. Hal ini saja membuat tiga orang tua itu menjadi kagum. Anak ini tidak cengeng, tahu diri, cerdik dan tabah sekali.
“Biarkan pinceng yang membawa jenazah ibumu, anak baik,” kata Tiong Khi Hwesio dan sekali kedua lengannya bergerak, mayat wanita itu telah dipondongnya.
Anak itu terbelalak dan merasa seperti melihat sulapan atau sihir saja. Dia hampir tidak melihat hwesio tua itu menyentuh mayat ibunya atau mengulurkan tangan, seolah-olah mayat itu yang terbang ke dalam pondongan hwesio tua itu!
“Dan engkau pun tidak sehat benar, marilah engkau kugendong!” kata pula Kao Kok Cu.
Dan anak itu menjadi semakin terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya melayang naik dan tahu-tahu dia telah berada di atas punggung kakek yang lengan kirinya buntung! Hampir dia menjerit ketakutan dan hampir kehilangan lagi kepercayaannya bahwa tiga orang itu adalah manusia. Jangan-jangan mereka ini ternyata benar-benar iblis-iblis yang hendak membawa pergi dia dan mayat ibunya!
Akan tetapi, nenek itu berkata, “Mari kita pergi!”
Kini anak itu mengalami peristiwa yang membuat dia tidak akan dapat melupakannya selama hidupnya. Dia merasa dibawa terbang oleh kakek berlengan satu dan ketika dia melirik ke kanan, dia melihat hwesio itu pun seperti terbang membawa mayat ibunya, sedangkan nenek itu terbang paling depan.
Badai masih mengamuk hebat, akan tetapi tiga orang ini dapat berlari secepat terbang, menempuh badai yang menyerang dari samping. Cepat sekali gerakan mereka dan berkali-kali dia harus memejamkan matanya saking ngeri. Dan ketika mereka keluar dari daerah badai, anak itu merasa betapa mereka berlari lebih cepat lagi.
Kadang-kadang mereka melompati jurang-jurang seperti terbang, membuat dia merasa ngeri bukan main. Akhirnya dia pun hanya memejamkan mata agar tidak melihat betapa tubuhnya meluncur pesat di atas pundak kakek yang terbang di atas pasir.
Setelah mereka berhenti, barulah anak itu membuka matanya dan dia pun menahan keinginannya untuk berteriak saking herannya. Dia diturunkan, lalu digandeng masuk ke dalam sebuah istana besar yang indah dan juga menyeramkan karena istana itu berdiri megah ditengah-tengah gurun pasir, tidak mempunyai tetangga seorang pun!
Jenazah ibunya juga dibawa masuk dan nenek itu lalu merawat jenazah ibunya, diberi pakaian yang utuh, kemudian diadakan upacara sembahyang sekadarnya sehingga dia sebagai putera ibunya dapat memberi hormat dan berkabung atas kematian ibunya. Dia pun menurut saja ketika tiga orang tua itu mengusulkan agar ibunya segera dikubur pada hari itu juga. Mereka kemudian menggali lubang di kebun belakang dan mengubur jenazah itu tanpa peti.
Setelah penguburan selesai dan mereka semua kembali ke dalam istana, barulah anak itu yakin bahwa semua yang dialaminya bukanlah mimpi. Kemarin sore dia dibawa oleh tiga orang tua ini, bersama jenazah ibunya, dengan cara yang luar biasa, lari bagaikan terbang, sehingga malam-malam mereka tiba di istana ini. Hanya semalam ibunya yang telah menjadi jenazah itu dirawat dan pada keesokan harinya, penguburan ibunya telah dilakukan dengan baik dan selesai.
Kini dia telah menjadi seorang anak yang kehilangan ibu, tidak tahu berada di tempat apa, merasa berada di tempat yang aneh, bukan bagian dari dunia, bersama tiga orang manusia yang juga luar biasa. Apakah dia masih hidup, ataukah dia sudah berada di akhirat? Akan tetapi kalau dia sudah mati, tentu dia bertemu dengan ibunya. Tidak, dia masih hidup! Ibunyalah yang telah mati, dan dia berada di tempat tiga orang sakti.
Sebagai putera seorang ahli silat, tentu saja dia pernah mendengar tentang orang-orang tua yang sakti, akan tetapi biasanya mereka itu adalah pertapa-pertapa atau pendeta-pendeta di kuil. Dan kini, tiga orang tua itu, biar pun yang seorang adalah hwesio, bukan tinggal di dalam goa, melainkan di dalam sebuah istana!
Demikianlah anak itu membolak-balik pikirannya sendiri ketika dia berlutut di atas lantai, di depan tiga orang yang duduk di bangku rendah sambil bersila. Kemudian dia teringat betapa tiga orang tua ini sudah melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya.
Pertama, kalau tidak ada mereka yang datang ketika dia diserang badai digurun pasir itu, tentu dia sudah tewas pula bersama ibunya dan onta mereka. Kedua, mereka pula yang membawa dia dan jenazah ibunya ke istana aneh ini, dan ketiga, mereka sudah mengurus penguburan ibunya sampai selesai.
Teringat akan semua ini, dia kemudian memberi hormat kepada mereka sampai dahinya berkali-kali menyentuh lantai.
“Sam-wi Locianpwe telah menyelamatkan saya dan telah mengurus pemakaman ibu, sungguh budi kemuliaan ini sampai mati pun saya tidak akan melupakannya,” demikian dia berkata berulang kali dan baru berhenti setelah kakek yang lengan kirinya buntung itu berkata dengan suara halus.
“Anak baik, duduklah yang benar, dan ceritakan dengan jelas bagaimana asal mulanya maka engkau bersama mendiang ibumu dapat berada di tempat yang berbahaya itu dan terserang badai.”
“Nanti dulu!” Tiba-tiba Wan Ceng berkata. “Siapa tahu dia menderita luka berat. Mari, majulah ke dekatku ke sini, Nak, akan kuperiksa keadaanmu.”
Mendengar ini, anak itu tidak berani membantah dan dia pun merangkak dan mendekati nenek itu. Wan Ceng cepat-cepat memeriksa dan ternyata anak itu hanya menderita lecet-lecet dan babak belur, luka di kulit saja, sedangkan pergelangan kakinya yang membengkak itu adalah karena salah urat. Dengan cepat Wan Ceng mengurut kaki itu dan membetulkan kembali urat yang tertarik dan salah duduk, dan mengobati lecet-lecet dengan obat luka.
“Nah, engkau tidak apa-apa sekarang, ceritakanlah keadaanmu,” kata Wan Ceng.
Anak itu lalu berlutut kembali seperti tadi dan menceritakan riwayatnya. “Nama saya Tan Sin Hong, tinggal bersama orang tua saya di kota Ban-goan di selatan Tembok Besar. Ayah saya dikenal sebagai Tan-piauwsu (pengawal Tan) karena ayah saya membuka perusahaan piauw-kiok (perusahaan pengawal barang kiriman) yang mengawal barang-barang dagangan yang dikirim dari dan keluar Tembok Besar…”
Anak itu, yang bernama Tan Sin Hong, dengan lancar kemudian menceritakan semua peristiwa yang baru-baru ini menimpa keluarganya.....
*******
Pada suatu hari, Tan-piauwsu ayah Sin Hong, menerima tugas untuk mengawal barang-barang berharga untuk diantar ke kota Tuo-lun, sebuah kota yang terletak di daerah Mongol. Barang itu berupa sebuah peti besar terisi emas permata yang amat berharga. Karena itu, Tan-piauwsu tidak berani menyerahkan pengawalan kepada anak buahnya saja. Dia berangkat sendiri mengawal barang itu dan menyerahkan urusan perusahaan kepada Tang-piauwsu, yaitu wakilnya.
Sebulan kemudian, datanglah seorang utusan yang membawa pesan dari Tan-piauwsu agar isterinya dan puteranya menyusul kekota Tuo-lun untuk diajak nonton keramaian tradisionil yang diadakan oleh suku bangsa campuran Mancu dan Mongol yang tinggal di sana. Biar pun perjalanan itu jauh dan memakan waktu lama, namun Nyonya Tan dan puteranya dengan girang memenuhi pesan itu.
Tang-piauwsu merasa khawatir dan dia sendiri yang rnelakukan pengawalan, memimpin dua belas orang anggota piauw-kiok. Berangkatlah rombongan ini keluar dari Tembok Besar menuju ke utara. Saat mereka tiba di dekat kota Tuo-lun, di kaki bukit yang sunyi, tiba-tiba muncul gerombolan perampok bertopeng yang jumlahnya lebih dari dua puluh orang. Gerombolan perampok ini menyerang dan tentu saja Tang-piauwsu memimpin anak buahnya melakukan perlawanan.
Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi gerombolan perampok itu lihai dan dua kali lebih besar jumlahnya, maka pihak pengawal terdesak dan mulai ada yang roboh. Melihat keadaan berbahaya ini, Tang-piauwsu lalu melarikan kereta yang membawa Nyonya Tan dan Sin Hong, melarikan diri dari tempat itu. Namun, setelah merobohkan semua pengawal, gerombolan perampok bertopeng itu melakukan pengejaran.
Tang-piauwsu melarikan kereta tanpa tujuan dan akhirnya mereka tiba di padang pasir. Melihat ada penduduk daerah itu yang membawa garam dengan menunggang seekor onta, Tang-piauwsu lalu membeli onta itu dan menyuruh Nyonya Tan beserta Sin Hong untuk melanjutkan larinya dengan menunggang onta, sedangkan dia sendiri menanti di situ dengan pedang di tangan untuk menahan gerombolan perampok yang tadi sudah mengancam hendak menawan Nyonya Tan yang masih kelihatan muda dan cantik.
Karena ketakutan, Nyonya Tan dan Sin Hong lalu menunggang onta, membawa bekal seadanya saja dan onta itu pun memasuki gurun pasir! Mereka tidak lagi melihat apa yang telah terjadi selanjutnya dengan Tang-piauwsu.
“Karena takut ditawan gerombolan perampok yang kasar itu, yang menurut perkiraan Tang-piauwsu agaknya hendak menangkap ibu beserta saya untuk membalas dendam kepada ayah, ibu lalu melarikan onta itu tanpa tujuan, terus memasuki gurun pasir yang luas. Akhirnya kami tidak tahu jalan lagi, di mana-mana hanya pasir belaka dan kami membiarkan saja onta itu mengambil jalan sendiri. Entah berapa hari kami melakukan perjalanan seperti itu, kehabisan bekal, bahkan kantung air yang banyak itu pun sudah hampir habis. Kami menderita sekali dan akhirnya kami diserang badai. Kami berlindung di balik batu karang, akan tetapi batu karang itu lalu runtuh dan menimpa kami, dan selanjutnya... Sam-wi telah mengetahui…”
Begitu Sin Hong mengakhiri ceritanya, Tiong Khi Hwesio langsung berseru. “Omitohud... permusuhan yang tidak ada hentinya antara yang untung dan yang rugi! Para perampok merasa dirugikan oleh para piauwsu, sehingga banyak bentrokan terjadi antara mereka yang hendak merampok dan mereka yang hendak melindungi barang kiriman!”
“Ada yang mencurigakan di dalam urusan ini,” kata Kao Kok Cu, “Bagaimana seorang piauwsu yang berpengalaman begitu sembrono untuk memanggil isteri dan puteranya menyuruh ke tempat yang demikian jauh, melalui perjalanan yang berbahaya.”
“Memang mencurigakan sekali. Dan Tang-piauwsu itu malah membiarkan ibu dan anak itu melintasi gurun pasir dengan binatang onta tanpa pengawalan, benar-benar gegabah sekali,” kata pula Wan Ceng.
“Biarlah pinceng (saya) yang akan pergi ke Tuo-lun untuk mencari Tan-piauwsu dan memberi kabar kepadanya tentang isteri dan puteranya. Sin Hong, engkau tinggal dulu saja di sini sampai pinceng dapat menemukan ayahmu dan dapat mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Tan Sin Hong mengangguk, “Baik, Locianpwe, saya di sini akan menanti berita dari hasil penyelidikan Locianpwe.”
Dia merasa suka sekali di tempat yang indah itu, dan dia merasa berhutang budi. Ingin dia membalas budi itu, walau pun hanya dengan membersihkan tempat itu, istana tua itu yang nampaknya tidak begitu terawat dengan baik. Apa lagi ketika dia lantas mendapat kenyataan bahwa di istana tua itu tidak terdapat seorang pun pelayan.
Sambil menanti kembalinya Tiong Khi Hwesio, Sin Hong mendengar lebih banyak dari nenek Wan Ceng tentang istana tua itu dan kini dia tahu bahwa penghuni Istana Gurun Pasir itu adalah kakek dan nenek she Kao ini, sedangkan Tiong Khi Hwesio yang kini pergi mencari ayahnya adalah seorang sahabat baik dan tamu kehormatan dari mereka.
Tiga hari kemudian, muncullah Tiong Khi Hwesio. Setelah minum air sejuk jernih yang dihidangkan oleh Sin Hong, kakek ini menarik napas panjang.
“Omitohud..., Tan Sin Hong. Pinceng kali ini terpaksa membawa berita yang amat tidak menyenangkan untukmu.” Dan dia pun mengelus kepala anak itu yang sudah berlutut di depannya.
Anak itu memang berhati tabah. Biar mukanya agak pucat dan matanya membayangkan kekhawatiran, namun suaranya masih tenang ketika dia berkata kepada hwesio tua itu. “Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan ayah saya?”
Nenek Wan Ceng juga tidak sabar. “Tek Hoat, apa yang telah terjadi di sana?”
Kakek yang masih terlihat lelah karena habis melakukan perjalanan jauh itu mengusap peluh dari leher dan mukanya menggunakan sehelai sapu tangan lebar, lalu menghela napas dan memandang kepada Sin Hong dengan sinar mata kasihan.
“Pinceng tiba di kota Tuo-lun dan melakukan penyelidikan. Akan tetapi ternyata bahwa Tan-piauwsu tidak pernah sampai di kota itu...“
“Ayah...!” Sin Hong berseru dengan suara tertahan, matanya menatap wajah Tiong Khi Hwesio, penuh pertanyaan dan kekhawatiran.
“Di kota itu pinceng bertemu dengan beberapa orang sahabat baik Tan-piauwsu karena memang sudah beberapa kali Tan-piauwsu mengawal barang ke kota itu. Dan bersama mereka pinceng lalu menyelidiki sepanjang jalan menuju ke kota itu dari selatan yang biasa diambil oleh rombongan piauw-kiok dan di sebuah hutan pinceng menemukan mereka.” Suara kakek ini menurun dan Sin Hong kembali menatap dengan muka pucat.
“Locianpwe menemukan ayah...?“ tanyanya, kini suaranya agak gemetar, jelas bahwa dia telah menduga buruk. Dan kakek itu mengangguk.
“Pinceng menemukan Tan-piauwsu dan sepuluh orang anak buahnya, semuanya telah tewas terbunuh.”
“Ayah...! Ibu...!” Teriakan Sin Hong ini lirih saja, seperti keluhan dan dalam keadaan berlutut dia menutupi muka dengan kedua tangannya.
Tiga orang tua itu hanya memandang dan membiarkan saja. Sampai beberapa lamanya Sin Hong menutupi mukanya, tidak mengeluarkan suara tangisan, akan tetapi air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya. Kemudian dia mengusap air matanya dengan kedua tangan, lalu dengan suara agak parau dia bertanya kepada Tiong Khi Hwesio.
“Locianpwe, siapa yang membunuh ayah?”
Tiong Khi Hwesio menggeleng kepala. “Tidak ada yang tahu dan tiada tanda-tandanya. Mereka semua tewas dan agaknya dirampok karena tidak ada barang berharga lagi di sana, kecuali pakaian yang menempel di tubuh mereka.”
“Ahh, siapa lagi kalau bukan para perampok bertopeng itu? Dan yang mengirim utusan mengundang nyonya Tan serta Sin Hong tentu juga anggota perampok bertopeng itu yang sengaja menghadang dan menjebak,” kata kakek Kao Kok Cu. “Agaknya mereka adalah gerombolan perampok yang mendendam kepada Tan-piauwsu sehingga selain merampok, juga ingin membasmi keluarganya.”
“Aku lebih condong untuk mencurigai Tang-piauwsu itu!” Tiba-tiba Wan Ceng berkata. “Mengawal barang yang sangat berharga tentunya amat dirahasiakan dan kukira yang mengetahui hanyalah Tan-piauwsu dan pembantunya itu. Aku tidak akan heran kalau kelak diketahui bahwa yang mengatur semua perampokan dan pembunuhan itu adalah Tang-piauwsu. Oleh karena itu dia pulalah yang menyuruh nyonya Tan dan Sin Hong melarikan diri ke gurun pasir, yang artinya sama dengan mengirim mereka ke lembah maut.”
“Omitohud, kita tidak boleh sembarangan sangka. Urusan ini adalah urusan Sin Hong dan biarlah dia saja yang kelak melakukan penyelidikan. Engkau tenangkan hatimu Sin Hong. Teman-teman ayahmu sudah mengurus penguburan jenazah ayahmu dan anak buahnya, dan kalau suami isteri tua penghuni Istana Gurun Pasir ini tidak berkeberatan, pinceng mengusulkan agar Sin Hong tinggal di sini mempelajari ilmu dari kita bertiga.”
Suami isteri itu agak terkejut dan memandang wajah hwesio itu penuh perhatian. “Apa alasanmu berkata demikian, Tek Hoat?” kata nenek Wan Ceng.
“Banyak peristiwa aneh-aneh yang terjadi di dunia, dan biasanya kita anggap sebagai hal yang kebetulan saja. Akan tetapi, bukankah di balik peristiwa itu sudah ada yang mengaturnya? Bukankah sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa maka bisa terjadi hal-hal yang kelihatan kebetulan itu? Contohnya Tan Sin Hong ini. Keluarganya tertimpa mala petaka, ibunya tewas, ayahnya tewas pula dan ia pun nyaris tewas. Coba lihatlah segala macam kebetulan yang sudah terjadi! Pertama-tama, kebetulan sekali pinceng mengunjungi kalian dan kemudian kebetulan sekali kita bertiga bermain-main dengan badai gurun pasir! Kalau tidak kebetulan pinceng berkunjung tentu kita tidak bermain-main dengan badai dan kalau tidak kebetulan kita bermain-main dengan badai tentu kita tidak akan melihat Sin Hong! Dan kalau begitu, apa jadinya? Tentu dia telah tewas pula! Bukankah semua kebetulan itu seperti telah diatur oleh Thian (Tuhan)? Nah, kita jangan menolak kehendak Thian dan harus menerima sebagai perintah-Nya. Mari kita menerima anak ini sebagai murid kita yang terakhir, untuk menampung peninggalan terakhir dari kita. Bagaimana pendapat kalian?”
Suami isteri itu saling pandang. Mereka telah mewariskan semua ilmu mereka kepada putera tunggal mereka yang bernama Kao Cin Liong dan kini tinggal dikota Pao-teng dekat kota raja. Juga mereka mengajarkan beberapa macam ilmu kepada Can Bi Lan yang kini menjadi nyonya Sim Houw. Apakah kini mereka harus mengambil seorang murid lagi ketika usia mereka sudah amat tua?
Tetapi, ada benarnya juga pendapat Tiong Khi Hwesio tadi tentang peristiwa kebetulan yang merupakan tanda kekuasaan dan kehendak Thian. Mereka mengangguk setuju dan Wan Ceng berkata sambil tersenyum.
“Tek Hoat, kalau begitu engkau juga harus tinggal di sini untuk mewariskan ilmu-ilmumu kepadanya.”
“Ha-ha-ha, tentu saja! Pinceng memang suka sekali menghabiskan sisa usia pinceng di sini, tentu saja kalau kalian tidak berkeberatan.”
“Kenapa keberatan? Kami suka sekali!” kata kakek Kao Kok Cu. “Akan tetapi kita tidak boleh melupakan hal yang terpenting, yaitu apakah Tan Sin Hong suka tinggal di sini sebagai murid kita?”
Sin Hong sejak tadi mendengarkan saja percakapan itu. Dia sedang tenggelam dalam lamunan penuh duka. Ayah ibunya tewas secara mendadak dan dia tidak memiliki apa-apa lagi. Terutama sekali, dia terkesan sekali oleh percakapan tiga orang tua itu tentang kematian ayahnya.
Ayahnya dibunuh orang! Agaknya sudah direncanakan. Tang-piauwsu patut dicurigai, walau pun belum ada buktinya. Dan dialah yang kelak harus menyelidiki dan membuka rahasia itu. Untuk itu dia perlu memiliki kepandaian yang tinggi. Ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya masih tidak ada artinya. Ayahnya sendiri pun tewas melawan penjahat, apa lagi dia!
Kini, mendengar percakapan tiga orang tua sakti itu yang ingin mengambilnya sebagai murid, dan mendengar kakek Kao Kok Cu menyinggung apakah dia suka menjadi murid mereka atau tidak, tanpa ditanya lagi dia lalu menjatuhkan diri bertiarap di atas lantai, menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali.
“Sam-wi Locianpwe, teecu (murid) Tan Sin Hong bersumpah untuk menjadi murid yang baik kalau Sam-wi sudi mengambil teecu sebagai murid.” Berulang-ulang dia berkata demikian.
Dengan suaranya yang lantang dan tegas kakek Kao Kok Cu berkata, “Tan Sin Hong, benarkah engkau bersedia untuk mematuhi semua perintah kami kalau engkau menjadi murid kami?”
“Teecu bersumpah untuk mentaati dan mematuhi semua petunjuk dan perintah Sam-wi Locianpwe!” kata Sin Hong dengan setulus hatinya.
“Dan engkau tak akan mengeluh menghadapi latihan yang amat berat?” sambung Tiong Khi Hwesio.
“Biar sampai mati sekali pun dalam mentaati perintah, teecu tidak akan mengeluh.”
Tiga orang tua itu diam-diam menjadi girang dan mulai hari itu, Tan Sin Hong tinggal di sana. Dia bekerja keras sebagai pelayan, membersihkan istana dan bekerja di kebun, melayani semua kebutuhan tiga orang tua itu, akan tetapi sebagai imbalannya, dia pun mulai digembleng oleh mereka bertiga! Menjadi murid seorang saja di antara tiga orang sakti ini sudah merupakan suatu keberuntungan besar, apa lagi sekaligus menjadi murid mereka bertiga!
Sin Hong tidak menyia-nyiakan kesempatan yang amat baik ini dan dia pun belajar dan berlatih dengan amat tekunnya, siang malam tak pernah berhenti kecuali kalau sedang bekerja. Bahkan dalam melaksanakan pekerjaannya sekali pun, ia melatih diri sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Kalau malam, setelah lelah berlatih, dia mencurahkan pikirannya untuk mengingat semua pelajaran yang diterimanya dari tiga orang gurunya.
Tiga orang tua renta itu maklum bahwa bagi seorang murid seperti Sin Hong, tidaklah mungkin dapat mempelajari semua ilmu mereka bertiga, akan memakan waktu terlalu lama. Mereka sudah tua sekali, selain itu sudah merasa malas untuk banyak bergerak melatih ilmu silat, juga maklum bahwa akan sayang kalau sampai mereka mati sebelum ilmu mereka dapat diterima dengan baik oleh murid terakhir itu.
Oleh karena itulah mereka masing-masing sengaja memilih ilmu-ilmu simpanan mereka saja untuk diajarkan kepada Sin Hong, setelah menggembleng pemuda itu untuk dapat menguasai langkah-langkah dan gerakan-gerakan dasar dari ilmu mereka bertiga.
Kao Kok Cu menurunkan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dan meski muridnya tidak berlengan buntung, dia mengajarkan juga caranya menghimpun tenaga sakti melalui Ilmu Sin-liong Hok-te. Nenek Wan Ceng juga mengajarkan Ilmu Ban-tok-ciang dan melatih pemuda itu untuk menghimpun tenaga beracun agar dapat melakukan Ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) dengan baik. Sementara itu Tiong Khi Hwesio menurunkan gabungan Ilmu Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun, juga melatih menghimpun tenaga sakti lewat ilmu sinkang Tenaga Inti Bumi!
Tentu saja untuk bisa menguasai ilmu-ilmu yang sakti itu, Sin Hong harus berlatih mati matian, menggembleng diri sehingga ia tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang kurus saking bekerja keras setiap hari dan malam untuk menguasai ilmu-ilmu itu! Dan semenjak tinggal di situ, ia hanya mau memakai pakaian serba putih untuk mengabungi ayah ibunya yang tewas secara menyedihkan.
Tiga tahun kemudian ketika dia berada di situ mempelajari ilmu, pada suatu hari datang berkunjung seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia lima puluh tiga tahun. Dia ini bukan lain adalah Kao Cin Liong, putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng, yang datang berkunjung dan membujuk ayah ibunya yang telah tua itu untuk tinggal bersama dia di Pao-teng.
“Kini ayah dan ibu telah berusia lanjut, dan saya sekeluarga tinggal jauh di Pao-teng. Sungguh tidak enak bagi saya kalau mengingat keadaan ayah dan ibu. Sebaiknya kalau ayah berdua tinggal bersama kami di Pao-teng supaya kami dapat mengurus semua keperluan ayah berdua,” demikian antara lain Kao Cin Liong membujuk orang tuanya.
Akan tetapi ayah ibunya tetap tidak mau menuruti permintaan puteranya. “Ketahuilah bahwa aku lebih suka tinggal di tempat yang sunyi ini bersama ayahmu, Cin Liong. Kami dapat mengurus diri sendiri dan andai kata kelak kami meninggal dunia, kami dapat saling mengurus atau merawat dan ada satu di antara kami yang akan mengabarimu di Pao-teng,” demikian nenek Wan Ceng berkata.
Puteranya tidak merasa heran mendengar ibunya sedemikian enaknya bicara tentang kematian. Dia sudah mengenal watak ibu dan ayahnya yang menganggap kematian sebagai hal yang biasa saja.
“Pula, kami sekarang mempunyai seorang murid yang juga melayani semua keperluan kami. Inilah dia, namanya Tan Sin Hong.” kata Kao Kok Cu. “Juga di sini tinggal pula Tiong Khi Hwesio yang menambah kegembiraan kami. Tak perlu engkau memusingkan kami tiga orang-orang tua dan biarkan kami dalam kegembiraan kami sendiri.”
Dia lalu menceritakan tentang Sin Hong yang segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong yang disebutnya ‘suheng’ (kakak seperguruan). Diam-diam Cin Liong merasa heran dan kagum akan baiknya nasib anak itu yang secara tak terduga telah menjadi murid ayah ibunya dan juga Tiong Khi Hwesio!
Kao Cin Liong tinggal selama satu minggu di Istana Gurun Pasir, dan setelah dia pergi meninggalkan tempat itu, pulang ke Pao-teng, kehidupan di situ menjadi seperti biasa lagi. Sin Hong tekun berlatih silat, dan ketiga orang tua renta itu kadang-kadang masih suka berkeliaran di padang pasir, bahkan beberapa kali masih senang bermain-main dengan badai.....
********************
Selanjutnya baca
KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-02