Kisah Si Bangau Putih Jilid 02
Sang waktu berjalan dengan amat cepatnya. Kalau kita masing-masing menengok ke belakang, kepada kehidupan kita di masa lalu di masa kanak-kanak, di masa muda dan selanjutnya, akan nampak betapa cepatnya waktu berjalan.
Bagi seorang dewasa, masa kanak-kanak yang lewat belasan tahun yang lalu, hanya seolah-olah baru kemarin saja. Semua peristiwa di masa kanak-kanak nampak seperti baru terjadi kemarin dan kenangan pada masa lalu ini akan membuat setiap orang menyadari bahwa tahu-tahu dia telah menjadi tua!
Demikian pendeknya kehidupan ini, kenapa waktu yang pendek itu tidak kita isi dengan langkah-langkah yang berguna, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain? Apa yang telah kita lakukan bagi manusia, bagi dunia, bagi Tuhan? Pertanyaan seperti ini sudah sepatutnya kita pertanyakan kepada diri sendiri masing-masing, dan bagi mereka yang belum pernah melakukan hal yang berguna atau merasa belum pernah, marilah mulai dari saat ini juga.
Langkah hidup apakah yang berguna? Tentu bukan langkah hidup atau perbuatan yang mengandung pamrih bagi kepentingan diri sendiri, karena langkah seperti itu hanya akan menimbulkan konflik atau pertentangan. Langkah hidup yang benar dan berguna hanyalah langkah atau perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Karena itu, mengapa tidak membiarkan cinta kasih bersinar menerangi batin?
Bukan dengan cara memupuk cinta kasih, karena hal ini tidak mungkin. Bukan dengan jalan mempraktekkan cinta kasih atau mengusahakan agar kita bisa menjadi baik dan menjadi seorang pengasih. Sama sekali tidak mungkin. Kita hanya dapat menyingkirkan hal-hal yang memenuhi batin kita, hal-hal yang bukan cinta kasih, bahkan yang justru membuat batin tertutup bagi masuknya sinar cinta kasih.
Kita harus menyingkirkan kebencian, permusuhan, dendam, pementingan diri, ambisi pribadi, iri hati dan segala macam keinginan yang didorong oleh nafsu. Kalau batin sudah bersih dari semua itu, tanpa kita panggil, tanpa kita cari, sinar cinta kasih akan menerangi batin. Dalam keadaan demikian, semua perbuatan kita akan didasari cinta kasih, berarti hidup kita berguna, baik bagi manusia mau pun bagi Tuhan!
Tanpa terasa lagi, sudah tujuh tahun Tan Sin Hong tinggal di Istana Gurun Pasir! Dan berkat ketekunannya, kerajinannya yang tak mengenal lelah, dalam usia dua puluh satu tahun, berhasillah dia menguasai seluruh ilmu yang diajarkan oleh ketiga orang gurunya kepadanya.
Sementara itu, tiga orang tua yang tinggal di Istana Gurun Pasir, kini menjadi semakin tua! Tiong Khi Hwesio sudah berusia hampir delapan puluh tahun, demikian pula nenek Wan Ceng, sedangkan suaminya Kao Kok Cu, telah berusia delapan puluh lima tahun! Mereka merasa betapa tenaga mereka digerogoti usia dari dalam, daya tahan mereka telah berkurang, hanya penggunaan otak mereka yang belum mundur, bahkan mereka menjadi semakin waspada dan pandai.
Karena merasa bahwa mereka bertiga sudah mendekati akhir usia, setelah melakukan latihan semedhi bersama, mereka bertiga mendapat kesempatan untuk bersama-sama menciptakan suatu ilmu yang khas untuk diwariskan kepada murid mereka yang baik itu. Selama tujuh tahun mereka melihat betapa Sin Hong adalah seorang yang selain tekun, tabah dan juga berkemauan keras, memiliki kesetiaan dan kebaktian terhadap mereka. Hal ini membuat mereka merasa suka dan sayang kepada Sin Hong.
Mereka pun mulai menciptakan suatu ilmu bersama dan setelah berhasil, mereka lalu mengajarkan ilmu ini kepada Sin Hong. Ilmu ini diilhami oleh gerakan seekor burung bangau, walau pun intinya mengandung sari dari ilmu ketiga orang tua itu. Dan karena gerakannya, mereka memberi nama ilmu ini Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dan kemudian mengajarkannya kepada Sin Hong.
Akan tetapi, bukan mudah mempelajari ilmu silat yang didasari ilmu batin yang kuat ini. Sin Hong sendiri tertegun karena kaget mendengar pesan Kao Kok Cu yang mewakili mereka bertiga.
“Sin Hong, ketahuilah bahwa ilmu yang akan kami berikan kepadamu ini bukanlah ilmu sembarangan, melainkan ilmu perahan dari seluruh kepandaian kami bertiga. Sinkang yang dikandung ilmu silat ini merupakan sinkang gabungan dari kami bertiga yang akan kami salurkan kepadamu pula. Untuk itu, sebelumnya engkau harus tahu bahwa setelah engkau menerima saluran sinkang dari kami, lalu mempelajari Pek-ho Sin-kun sampai tamat, engkau harus menghindarkan dirimu dari semua gerakan ilmu silat selama satu tahun penuh. Sanggupkah engkau?”
Sambil berlutut Sin Hong bertanya. “Sebelum teecu menyatakan kesanggupan teecu, ingin teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan dengan menghindarkan diri dari semua gerakan silat itu?”
“Engkau tidak boleh bersilat walau pun menghadapi ancaman apa pun juga, dan sama sekali tidak boleh mengerahkan sinkang. Dan setiap kali ada kesempatan, engkau harus bersemedhi dengan mengendurkan seluruh otot dan syaraf, meniadakan segala pikiran dan kemauan, supaya tenaga yang kami salurkan kepadamu dapat mengendap dan menyesuaikan diri dengan tubuhmu. Kalau engkau melanggarnya, engkau akan celaka oleh tenagamu itu sendiri. Nah, syaratnya amat berat. Sanggupkah engkau?”
Sin Hong berpikir dengan keras. Sungguh berat sekali syarat itu. Bagaimana dia dapat membiarkan diri kosong seperti itu selama setahun? Berlatih silat pun tidak boleh! Akan tetapi, makin sukar syaratnya, tentu semakin hebat pula ilmunya. Maka dia pun segera mengangguk.
“Teecu menerima syarat itu, Suhu. Akan tetapi teecu mohon keterangan lagi untuk dapat teecu mengerti benar dan agar tidak sampai teecu melakukan pelanggaran kelak. Bagaimana kalau ada orang yang mengancam dan menyerang teecu?”
“Omitohud… kenapa engkau dihantui rasa khawatir, Sin Hong?” kata Tiong Khi Hwesio. ”Biar pun ada yang menyerangmu, hendak membunuhmu sekali pun engkau tidak boleh menggerakkan ilmu silat yang akan menggerakkan pula tenaga sinkang di tubuhmu.”
“Jadi teecu sama sekali tidak boleh membela diri walau pun teecu takkan menentang?”
“Tentu saja kau boleh berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi engkau hanya boleh menggunakan akal atau kalau terpaksa menggunakan tenaga juga, hanya tenaga otot biasa saja, bukan tenaga sinkang. Sudah tentu engkau dapat terancam bahaya maut dengan syarat ini, tetapi itu sudah menjadi resikonya mempelajari ilmu yang dahsyat,” kata Wan Ceng.
“Baik, teecu menerima syarat itu!” berkata Sin Hong dengan suara tegas dan penuh semangat.
Mulailah dia mempelajari Ilmu Pek-ho Sin-kun. Karena dia sudah menguasai ilmu-ilmu simpanan dari tiga orang gurunya, maka ilmu gabungan ini dapat dikuasainya dalam waktu pendek saja. Kemudian, dia disuruh duduk bersila. Ketiga orang gurunya duduk bersila pula di belakangnya.
Tiong Khi Hwesio lalu menempelkan telapak tangan kanan ke pundak kanannya, Kao Kok Cu menempelkan telapak tangan di punggungnya, dan Wan Ceng menempelkan tangan di pundak kirinya. Perlahan-lahan, setelah dia disuruh membuka dirinya tanpa melakukan perlawanan sedikit pun, Sin Hong lalu merasa betapa hawa yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya melalui tiga bagian tubuh yang ditempel telapak tangan itu. Makin lama hawa itu menjadi semakin banyak mengalir dan menjadi semakin panas, berputar di seluruh tubuhnya, kemudian perlahan-lahan berkumpul di pusarnya.
Dia tahu betapa ada hawa sakti yang luar biasa kuatnya memasuki tubuhnya, maka dia hanya menerima saja tanpa melawan sedikit pun. Setelah tiga orang itu menghentikan penyaluran hawa sakti itu dan ketiganya menggeser duduk mereka ke belakang, Sin Hong merasa betapa ada hawa yang kuat sekali berpusing di dalam pusarnya. Dia membalik dan berlutut menghadap ketiga orang gurunya.
Mereka itu agak pucat dan terengah, namun mereka tersenyum memandang kepadanya dengan pandang mata penuh kasih sayang. Hal ini membuat Sin Hong terharu bukan main dan dia pun bertiarap, menyentuh lantai di depan kaki mereka dengan dahinya berulang kali sambil menghaturkan terima kasih.
“Sekarang, sebaiknya engkau segera melakukan siu-lian (semedhi) di dalam kamarmu, Sin Hong. Boleh engkau melaksanakan pekerjaanmu, akan tetapi yang penting saja dan selebihnya dari waktumu, pergunakan untuk semedhi. Dan ingat pesan kami bertiga.”
Sin Hong kembali menghaturkan terima kasih kemudian dia pun keluar dari ruangan itu, memasuki kamarnya dan cepat duduk bersila dan bersemedhi mengendurkan seluruh tubuhnya luar dalam dan membiarkan tenaga sakti yang berpusingan di dalam pusarnya itu bergerak-gerak seperti benda hidup di dalam tubuhnya!
Seperti biasa, dengan amat tekun Sin Hong kini mempergunakan kesempatan untuk bersemedhi. Dengan girang dia mendapat kenyataan betapa keliaran tenaga sakti yang dia terima dari tiga orang gurunya itu, semakin teratur dan bergerak mengelilingi semua bagian tubuhnya dengan lembut, tidak lagi liar seperti pada hari-hari pertama. Semakin lama tenaga itu mengendap di pusarnya dan dia mendapat kenyataan betapa sedikit ketegangan saja sudah cukup untuk membuat tenaga itu bangkit dan berputaran di seluruh tubuhnya.
Kini tahulah dia akan maksud guru-gurunya yang melarang dia mengerahkan sinkang selama satu tahun. Kalau dia mengerahkan tenaga, maka tenaga sakti yang amat besar itu akan bangkit dan mengamuk, dan tentu tubuhnya bagian dalam tidak akan mampu menahannya karena tenaga sakti itu masih setengah liar dan belum dapat dikendalikan sepenuhnya.
Keadaan seperti itu berlangsung terus selama sepuluh bulan. Kini, semenjak mereka selesai mengajarkan ilmu gabungan terakhir kepada Sin Hong, tiga orang tua itu banyak menganggur dan mereka lebih banyak bersemedhi. Mereka merasa betapa tenaga mereka makin berkurang, bukan karena disalurkan kepada Sin Hong, melainkan karena dimakan usia tua.
Pada suatu pagi yang cerah, istana itu nampak sunyi sekali. Empat orang penghuninya semua masih duduk bersila, melakukan semedhi pagi yang amat baik karena pada saat itu, sinar matahari pagi merupakan sumber yang sangat baik, mengandung kekuatan yang dahsyat. Dengan bersemedhi, mereka dapat menampung kekuatan ini, kekuatan yang menghidupkan.
Akan tetapi, tidak seperti biasanya, di tempat yang sunyi itu kini didatangi serombongan orang yang aneh-aneh. Nampak tak kurang dari tujuh belas orang yang perlahan-lahan menghampiri Istana Gurun Pasir. Mereka datang dari arah selatan dan sikap mereka amat berhati-hati, bahkan seperti orang-orang yang takut-takut, agaknya gentar karena mereka sudah mendengar akan kehebatan nama Istana Gurun Pasir ini. Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw kenamaan, tentu saja mereka tahu bahwa penghuni Istana Gurun Pasir ini adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang sakti, bahkan isterinya juga seorang nenek yang sakti.
Di halaman depan istana itu, mereka berhenti. Enam orang di antara mereka, agaknya yang menjadi pemimpin, berbisik-bisik seperti merundingkan sesuatu dan sikap mereka jelas membayangkan perasaan gentar. Bagi orang yang sudah biasa menjelajahi dunia kang-ouw, akan mengenal enam orang ini karena mereka adalah tokoh-tokoh besar yang terkenal di dunia persilatan.
Orang pertama adalah seorang wanita yang usianya sudah enam puluh tujuh tahun, akan tetapi masih nampak cantik karena ia pesolek, dan pakaiannya juga serba indah, sikapnya lemah lembut dan gerak-geriknya yang halus tidak menunjukkan bahwa ia sebenarnya adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan namanya ditakuti banyak orang di dunia persilatan.
Tubuhnya tinggi ramping dengan pinggang yang lemas seperti batang pohon yang-liu. Inilah Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), seorang yang tidak saja memiliki ilmu pedang yang dahsyat, akan tetapi bahkan pandai pula ilmu sihir! Kini ia berdiri dengan tangan kanan memegang pedang dan tangan kiri memegang kebutan bergagang emas.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia lima puluh dua tahun, tubuhnya tinggi besar dengan brewok. Dia juga bukan orang sembarangan karena dia terkenal sebagai seorang pencuri yang amat lihai, berjuluk Sai-cu Sin-touw (Maling Sakti Muka Singa), memiliki sepasang tangan yang bergerak cepat sekali sehingga dengan kedua tangan kosong saja dia berani menghadapi lawan tangguh yang bersenjata. Sai-cu Sin-touw ini merupakan seorang tangan kanan dan pembantu yang dipercaya oleh Sin-kiam Mo-li.
Orang ke tiga seorang kakek berusia tujuh puluh dua tahun, juga bertubuh tinggi besar dengan perut gendut sekali seperti karung beras, mengenakan jubah kuning yang di bagian dadanya bergambar pat-kwa. Dari jubahnya ini mudah dikenal bahwa dia adalah seorang tokoh Pat-kwa-kauw (Agama Segi Delapan) yang tinggi kedudukannya.
Rambutnya yang telah putih semua itu menutupi sebagian mukanya karena riap-riapan. Mukanya pucat kekuningan seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi Ok Cin Cu, kakek pendeta ini, lihai bukan main dengan tongkatnya yang berbentuk ular dan berwarna hitam.
Orang ke empat adalah suheng-nya, bernama Thian Kong Cinjin dan dia adalah wakil ketua Pat-kwa-kauw cabang utara. Usianya sudah tua sekali, tujuh puluh delapan tahun. Rambut dan jenggotnya sudah putih, tubuhnya tinggi kurus namun berwibawa. Sikapnya halus lemah lembut. Dia membawa sebatang tongkat setinggi tubuhnya. Dibandingkan para pendeta lainnya, Thian Kong Cinjin ini yang paling lihai dan tingkat kepandaiannya bahkan seimbang dengan Sin-kiam Mo-li yang dianggap pimpinan rombongan ini.
Orang ke lima juga sudah tua, tujuh puluh lima tahun usianya. Dia adalah Thian Kek Sengjin. Melihat jubahnya yang bergambar bunga teratai di dadanya, dapat diketahui bahwa dia adalah seorang tokoh besar perkumpulan Pek-lian-kauw. Biar pun usianya sudah tua namun mukanya merah seperti darah, tubuhnya kurus kering dan dia memiliki sepasang mata bagai mata kucing. Ia juga membawa sebatang tongkat yang berbentuk ular berwarna hitam.
Orang ke enam dari kelompok pimpinan ini bernama Coa-ong Sengjin, usianya tujuh puluh dua tahun dan dia juga tokoh Pek-lian-kauw, sute (adik seperguruan) dari Thian Kek Sengjin. Tubuhnya kecil bongkok, mukanya buruk mirip muka monyet. Akan tetapi jangan dipandang rendah kakek kecil buruk ini, karena selain ilmu silat yang cukup lihai dengan tongkat ular hidup sepanjang lima kaki, dia juga ahli atau pawang ular yang dapat memanggil ular-ular berbisa untuk membantunya menghadapi lawan!
Enam orang ini bersatu dibawah pimpinan Sin-kiam Mo-li yang dianggap paling lihai. Hanya Sin-kiam Mo-li seorang yang tidak menjadi tokoh dari suatu perkumpulan agama sedangkan lima orang itu, yang seorang adalah pembantunya, sedangkan empat yang lain adalah para pendeta Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw. Bahkan sebelas orang yang menjadi anak buah mereka adalah para anggota Pek-lian-kauw yang pilihan dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Apakah maksud kedatangan tujuh belas orang itu ke Istana Gurun Pasir? Para pendeta itu terkena hasutan Sin-kiam Mo-li yang menganggap dua keluarga dari Pulau Es dan Istana Gurun Pasir sebagai musuh-musuh besarnya. Dan karena dua perkumpulan itu, Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, juga merupakan dua perkumpulan pemberontak yang telah banyak melakukan penyelewengan dan kejahatan, maka sudah seringkali mereka bentrok dengan anggota keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, ketika dihasut dan diajak oleh Sin-kiam Mo-li untuk menyerbu Istana Gurun Pasir, mereka pun menyambut dengan baik walau pun mereka masih ragu-ragu dan takut-takut.
Melihat betapa para pendeta itu kelihatan jeri sekali setibanya di pekarangan depan istana, sambil berbisik-bisik Sin-kiam Mo-li mengulangi bujukannya.
“Kenapa kalian tiba-tiba saja menjadi takut lagi? Sudah kukatakan berkali-kali, menurut perhitunganku, suami isteri itu telah menjadi kakek dan nenek yang tua sekali, jauh lebih tua dari pada kalian semua. Tentu mereka telah menjadi kakek dan nenek pikun yang akan mudah saja kita kalahkan. Apa yang perlu kita takuti? Kita semua berjumlah tujuh belas orang, sedangkan mereka hanya berdua, seorang kakek dan seorang nenek yang mungkin sudah berpenyakitan. Dan ingat akan harta benda dan pusaka-pusaka yang tidak ternilai harganya di dalam istana! Semuanya akan menjadi milik kita kalau sudah membunuh mereka.”
“Tapi... tapi... bagaimana kalau putera mereka dan para pendekar lain berada di dalam istana itu? Kita semua akan mati konyol!” bantah Ok Cin Cu, tokoh Pat-kwa-kauw itu. Keraguannya ini disetujui oleh tiga orang pendeta lainnya karena mereka mengangguk-angguk membenarkan.
“Ahhh, kalian kira aku sudah begitu bodoh? Sebelum berangkat, aku sudah melakukan penyelidikan ke Pao-teng dan Kao Cin Liong bersama keluarganya berada di rumah. Percayalah, di dalam istana tua ini hanya ada kakek dan nenek itu, dan aku yakin kita akan mampu mengalahkan mereka. Mari...!” Sin-kiam Mo-li lalu melangkah maju terus menghampiri istana.
Keadaan istana yang amat sunyi itu membuat para pendeta menjadi berani dan mereka mulai percaya akan keterangan Sin-kiam Mo-li. Istana itu memang nampak sunyi saja, seperti tidak ada penghuninya saja atau kalau pun ada, tentu tidak banyak.
Rombongan penyerbu ini sama sekali tidak pernah mimpi bahwa barang-barang yang mereka sangat inginkan itu, terutama kitab-kitab ilmu, tidak akan mereka dapatkan di tempat itu. Tiga orang kakek itu, terutama Kao Kok Cu dan Wan Ceng sudah sejak lama membakar semua kitab pelajaran. Mereka berpendapat bahwa ilmu merupakan sesuatu yang amat berbahaya kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat. Oleh karena itu, setelah merasa bahwa mereka sudah tua dan setelah mereka mewariskan ilmu-ilmu mereka kepada murid terakhir, mereka lalu membakar semua kitab yang ada!
Juga Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya sama sekali tak tahu bahwa penghuni Istana Gurun Pasir walau pun sudah tua renta namun masih amat lihai dan cerdik sehingga kedatangan mereka itu sudah semenjak tadi diketahui. Oleh karena itu, ketika mereka menyerbu serambi depan istana tua itu, tiba-tiba saja pintu depan terbuka dan mereka melihat tiga orang tua sedang duduk bersila di belakang ambang pintu depan, dengan sikap yang tenang, bahkan tersenyum menghadapi mereka!
Melihat ini, para pendeta itu hampir berteriak kaget dan kembali nyali mereka menjadi kecil, apa lagi mereka melihat kenyataan bahwa suami isteri tua penghuni Istana Gurun Pasir itu ternyata ditemani oleh seorang hwesio yang mereka kenal sebagai Tiong Khi Hwesio yang juga lihai! Mereka tentu saja mengenal hwesio ini yang dahulunya adalah seorang pendekar dengan julukan Si Jari Maut!
“Celaka,” pikir mereka. “Kiranya di samping Pendekar Naga Sakti dan isterinya, masih ada lagi Si Jari Maut!”
Akan tetapi, Sin-kiam Mo-li yang tadinya kaget juga melihat adanya Tiong Khi Hwesio di situ, membesarkan hati kawan-kawannya dan berkata, “Mari maju, mereka hanyalah tiga orang tua bangka yang sudah mau mampus!”
“Omitohud...!” Tiong Khi Hwesio berseru sambil tersenyum lebar. “Bukankah yang datang ini sahabat-sahabat lama, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawan dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw? Sin-kiam Mo-li, sudah bertahun-tahun engkau agaknya belum juga mau bertobat? Mau apakah engkau dan teman-temanmu mengunjungi tempat sunyi ini?”
Sin-kiam Mo-li memandang kepada hwesio itu dengan marah sekali. Tiong Khi Hwesio adalah musuh besarnya. Adalah hwesio ini yang dahulu memimpin para pendekar untuk menentang ibu angkatnya, yaitu mendiang Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama sehingga ibu angkatnya itu tewas. Melihat kehadiran kakek ini di Istana Gurun Pasir, bukan saja mengejutkan hatinya, akan tetapi lebih lagi mendatangkan kemarahan dan kebencian mendalam. Ia tidak takut karena kini hwesio itu nampak sudah demikian tua!
“Tiong Khi Hwesio, tua bangka yang mau mampus. Kebetulan engkau berada di sini sehingga kami dapat membasmi dirimu sekalian!” bentaknya.
Selama beberapa tahun ini, Wan Ceng sudah dapat memenangkan diri sendiri. Ia yang dahulunya merupakan seorang wanita yang gagah perkasa, galak dan keras hati, kini menjadi seorang nenek yang berhati lembut. Biar pun ia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya itu adalah tokoh-tokoh sesat yang amat jahat, namun tidak timbul kebencian atau kemarahan dalam hatinya.
Melihat kenyataan ini, bukan main girangnya rasa hati Wan Ceng. Inilah ujian terakhir baginya, ujian bagi keadaan batinnya apakah benar-benar dia sudah bebas dari pada kemarahan dan kebencian. Dan dia melihat kenyataan yang menggembirakan bahwa kemunculan orang-orang jahat yang berniat buruk ini pun kini tidak dapat mengusik dan memunculkan kemarahan atau kebencian dalam batinnya.
Ia menoleh kepada suaminya yang nampak tenang saja seolah-olah tidak menghadapi ancaman, dan kepada Tiong Khi Hwesio yang tertawa-tawa. Hatinya terharu. Sungguh Wan Tek Hoat kini telah berubah sama sekali. Dahulu pernah dijuluki Si Jari Maut yang bersikap keras tanpa mengenal ampun kepada orang jahat atau musuhnya, akan tetapi sekarang telah menjadi seorang hwesio yang masih tertawa-tawa biar pun diancam dan dimaki.
Kakek Kao Kok Cu yang bersikap tenang itu bangkit berdiri, diikuti oleh isterinya dan Tiong Khi Hwesio, dan berkata dengan halus namun berwibawa sekali, “Kami penghuni Istana Gurun Pasir sudah puluhan tahun tidak pernah mempunyai urusan dengan siapa pun juga, dan kami pun tidak mau bermusuhan dengan Cu-wi (Kalian). Harap kalian suka tinggalkan kami yang ingin hidup aman dan damai.”
Melihat sikap Pendekar Naga Sakti yang mereka takuti demikian lunak, dan nampaknya sudah tua sekali, hati Sin-kiam Mo-li menjadi besar.
“Hemmm, ingin kami melihat sampai di mana kebenaran nama besar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Biar pun kalian tinggal diam di sini, namun keturunan dan murid-murid kalian bersama murid keluarga Pulau Es, selalu memusuhi kami. Karena itu hari ini kami sengaja datang untuk membunuh kalian. Kami berpendapat bahwa membunuh sebatang pohon haruslah membongkar akarnya dahulu, baru seluruh pohonnya akan rontok.”
“Omitohud...!” seru Tiong Khi Hwesio. “Sin-kiam Mo-li dan para sobat dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Kebetulan bahwa musuh kalian yang paling besar adalah diri kalian sendiri! Tidak sadarkah kalian bahwa kalian banyak mendapat tentangan adalah akibat dari pada tindakan kalian sendiri? Kalau kalian mengambil jalan yang benar, tak pernah mengganggu orang baik-baik, pasti tidak akan ada yang menentang kalian. Dari pada membunuh kami bertiga orang tua yang tidak akan ada gunanya, lebih berguna kalau kalian mawas diri dan mengubah cara hidup kalian...“
“Tutup mulutmu, hwesio busuk!” bentak Sin-kiam Mo-li. “Kami datang bukan untuk mendengarkan khotbah atau ceramah. Hayo kalian bertiga keluarlah kalau memang berani, kami menunggu di luar!”
Wanita ini menantang dan memberi isyarat pada teman-temannya untuk mundur sampai ke pekarangan istana yang luas. Dia memang cerdik. Kalau dia dan kawan-kawannya menyerbu ke dalam, selain ruangan di sana tidak begitu luas sehingga sukar melakukan pengepungan dan pengeroyokan, juga dia khawatir kalau istana tua itu mengandung jebakan-jebakan dan alat rahasia yang membahayakan. Kalau berkelahi di pekarangan ini, dia dapat mengerahkan semua temannya yang berjumlah tujuh belas orang untuk mengepung dan mengeroyok tiga orang tua itu.
Tiong Khi Hwesio melangkah keluar sambil tertawa. Sedangkan Kao Kok Cu saling pandang dengan Wan Ceng, dan keduanya tersenyum.
“Suamiku, kalau Tuhan menghendaki, biarlah kita berpisah di dunia ini untuk bertemu di alam lain.”
Kao Kok Cu mengangguk, tersenyum dan tangan mereka saling sentuh dengan mesra, penuh perasaan kasih sayang. “Selamat berpisah, isteriku.”
Mereka pun bergandeng tangan keluar mengikuti Tiong Khi Hwesio. Sejenak mereka berdua seolah-olah merasa sedang menjadi pengantin, melangkah perlahan di belakang seorang pendeta yang mengawinkan mereka, menuju ke tempat sembahyangan!
Setelah ketiga orang tua ini tiba di pekarangan, Sin-kiam Mo-li segera memberi isyarat kepada semua temannya dan tujuh belas orang itu lalu mengepung dua orang kakek dan seorang nenek yang berdiri saling membelakangi membentuk segi tiga.
“Bagaimana, Kao-taihiap? Apakah kita harus melayani mereka ini?” terdengar Tiong Khi Hwesio bertanya sambil tersenyum. Pertanyaan itu seolah-olah hendak menguji apakah jalan pikiran sahabatnya itu sama dengan pikirannya.
“Tentu saja,” jawab Kao Kok Cu tenang.
“Omitohud! Untuk apa?” Tiong Khi Hwesio mendesak.
“Pertama, sudah menjadi kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri dari semua ancaman yang datang dari dalam mau pun luar, dan ke dua, sudah menjadi kewajiban kita pula sebagai orang-orang yang pernah mempelajari ilmu untuk mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang sesat,” kini yang menjawab adalah nenek Wan Ceng.
“Ha-ha-ha, bagus!” kata Tiong Khi Hwesio. “Tetapi, kita membela diri dan menghadapi mereka ini tanpa marah dan benci?”
“Tanpa marah dan benci!” kata kakek Kao Kok Cu dengan suara tegas.
Sementara itu, mendengarkan tiga orang tua itu bercakap-cakap seenaknya, dengan sikap acuh seakan-akan mereka sedang bercengkerama, bukan sedang dikepung dan diancam musuh, Sin-kiam Mo-li menjadi marah sekali. Ia menganggap tiga orang tua itu memandang rendah kepadanya dan teman-temannya, maka ia pun berteriak dengan suara lantang sekali.
“Serbuuuuu! Bunuh mereka...!”
Sin-kiam Mo-li sendiri sudah menggerakkan sepasang senjatanya, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri, menyerang kepada kakek Kao Kok Cu karena ia tahu bahwa Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang buntung lengan kirinya inilah yang paling tangguh.
Sai-cu Sin-touw si Maling Sakti Muka Singa sudah cepat menyusulkan serangan pula dengan kedua tangannya, membantu Sin-kiam Mo-li. Namun dengan gerakan ringan dan halus, Kao Kok Cu dapat menghindarkan serangan mereka itu dengan elakan dan kebutan ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong.
Ok Cin Cu dan Thian Kong Cinjin, dua orang tokoh Pat-kwa-kauw itu, segera menerjang Tiong Khi Hwesio dengan tongkat mereka. Tiong Khi Hwesio bergelak tertawa dan dia pun mencabut Cui-beng-kiam yang tadi sudah dipersiapkannya ketika mereka bertiga bersila menyambut datangnya rombongan tamu tak diundang itu. Terjadilah perkelahian antara dia dan dua orang pengeroyoknya yang lihai.
Wan Ceng juga sudah mencabut Ban-tok-kiam untuk menghadapi terjangan dua orang kakek tokoh Pek-lian-kauw, yaitu Thian Kek Sengjin yang bersenjatakan tongkat naga hitam dan Coa-ong Sengjin yang bersenjatakan seekor ular hidup dan dua orang ini menyerang dengan ganas. Akan tetapi nenek Wan Ceng menghadapi mereka dengan tenang. Pada wajahnya sedikit pun tidak terbayang kemarahan, sungguh jauh bedanya dengan wataknya di waktu yang lalu.
Sebelas orang anak buah Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw yang mengepung mereka juga telah memegang senjata masing-masing. Seorang di antara mereka mengeluarkan sebongkok hio (dupa biting), membakar ujungnya sampai membara, dan lalu membagi-bagikan hio itu, masing-masing mendapatkan tiga batang. Kemudian, tiga batang hio itu mereka pasang di kepala, diselipkan pada ikat kepala yang sudah mereka pakai.
Kemudian, sebelas orang itu memakai dupa di kepalanya ini lalu berlari-lari mengelilingi pertempuran itu sambil membaca mantera. Kiranya, seperti yang sebelumnya sudah mereka rencanakan, dipimpin oleh seorang pendeta Pek-lian-kauw, mereka membentuk sebuah barisan siluman yang mempergunakan kekuatan mantera dan ilmu hitam dari Pek-lian-kauw!
Barisan yang memupuk tenaga ilmu hitam ini berlari-larian, makin lama semakin cepat mengitari pertempuran itu, kemudian tiba-tiba membalik dan demikian berkali-kali sambil membaca mantera sampai muka mereka dipenuhi keringat dan kini ada sinar aneh pada pandang mata mereka seperti mata orang yang tidak sadar lagi, bahkan mulut mereka, yang masih berkemak-kemik itu kini mengeluarkan busa! Kiranya sebelas orang itu kini seperti dalam keadaan kesurupan. Mulailah mereka melakukan pengeroyokan kepada tiga orang tua dari Istana Gurun Pasir itu.....
Ketika sebelas orang itu tadi berlari-lari sambil membaca mantera, tiga orang tua sakti merasakan getaran aneh yang mengancam mereka, seolah-olah hendak melumpuhkan semangat mereka. Makin cepat barisan aneh itu berlari, semakin kacau pula perasaan mereka.
Namun, berkat kekuatan batin yang hebat, mereka dapat menghalau semua pengaruh ilmu hitam itu. Bahkan saat sebelas orang itu ikut mengeroyok, tiga orang tua ini melihat seakan-akan sebelas orang itu sudah menjadi ratusan banyaknya! Namun, pengerahan sinkang membuat mata mereka terbuka penuh kewaspadaan dan lenyaplah bayangan ratusan orang tua itu, dan yang nampak tetap saja sebelas orang yang seperti gila atau kesurupan!
Akan tetapi, sepak terjang sebelas orang itu ternyata lebih hebat dari pada enam orang pemimpin mereka yang lihai. Jika enam orang pemimpin mereka hanya mengandalkan kepandaian saja, maka sebelas orang itu selain kepandaian pribadi, juga mengandalkan kekuatan yang tidak lumrah manusia, dan kenekatan yang mengerikan!
Ketiga orang tua yang dikeroyok itu sebentar saja sudah terdesak hebat. Kalau dibuat perbandingan, tentu saja kakek Kao Kok Cu mempunyai tingkat kepandaian yang paling tinggi di antara isterinya dan hwesio itu. Juga tingkatnya masih lebih tinggi dari pada Sin-kiam Mo-li sekali pun.
Pada saat tadi dikeroyok dua oleh Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sin-touw, dia masih dapat mengimbangi kekuatan mereka, bahkan membuat mereka kewalahan. Akan tetapi kini ditambah lima orang anak buah yang mengeroyok seperti kesurupan itu, segera kakek ini terdesak hebat dan beberapa kali tubuhnya sudah terkena tusukan pedang Sin-kiam Mo-li dan bacokan golok di tangan anak buah yang kesetanan itu.
Tapi, dengan sikap yang masih gagah dan tenang, kakek penghuni Istana Gurun Pasir itu terus membela diri dengan gigih dan sabetan ujung lengan baju kirinya, ketika dia mengerahkan tenaga Sin-liong Hok-te, merobohkan dua orang anggota pasukan yang kesetanan itu. Mereka tewas seketika dengan kepala retak! Akan tetapi, yang tiga orang lagi menyerang semakin nekat, juga Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sin-touw memperhebat desakan mereka melihat betapa kakek berlengan tunggal itu sudah menderita luka-luka.
Keadaan nenek Wan Ceng lebih parah lagi dari pada suaminya. Tingkat kepandaiannya hanya seimbang dibandingkan Coa-ong Sengjin, bahkan masih kalah jika dibandingkan tingkat Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu. Dikeroyok dua saja dia sudah repot, hanya mengandalkan pedang Ban-tok-kiam yang ampuh itu sajalah dia masih dapat melindungi dirinya.
Akan tetapi, ketika tiga orang yang kesetanan itu maju mengeroyok, dia pun tak dapat menghindarkan lagi senjata para pengeroyok sehingga menderita luka-luka, bahkan ada hantaman tongkat naga hitam di tangan Thian Kek Sengjin yang mengenai pundak dekat lehernya, membuat ia menderita luka dalam yang cukup parah.
Akan tetapi nenek ini memang hebat sekali. Luka-luka di tubuhnya tetap saja tak dapat membangkitkan kemarahannya. Ia menahan rasa nyeri dan gerakan pedangnya tetap hebat sehingga ia pun berhasil menusuk roboh Coa-ong Sengjin dengan pedangnya.
Begitu tertusuk lambungnya oleh Ban-tok-kiam, Coa-ong Sengjin menjerit dan roboh tak berkutik lagi, tubuhnya berubah menjadi kehitaman karena racun yang amat hebat dari pedang Ban-tok-kiam. Melihat betapa sute-nya tewas, Thian Kek Sengjin menjadi makin marah dan mendesak hebat sehingga tongkatnya kembali berhasil menghantam betis kanan nenek Wan Ceng sehingga roboh terguling!
Tiga orang yang kesetanan itu menubruk dengan golok mereka. Akan tetapi, Wan Ceng membabat dan dua orang roboh lagi oleh Ban-tok-kiam dan tewas seketika. Wan Ceng berhasil melompat dan segera membuat pedangnya menghadapi pengeroyokan Thian Kek Sengjin yang sekarang hanya dibantu oleh seorang anak buah yang masih nekat kesetanan. Tapi, pengeroyokan dua orang ini cukup membuat Wan Ceng sempoyongan karena ia sudah menderita luka-luka parah.
Bagaimana dengan Tiong Khi Hwesio? Sama saja! Seperti halnya nenek Wan Ceng, tingkat kepandaian Tiong Khi Hwesio hanya menang sedikit saja dibanding Ok Cin Cu, seorang di antara pengeroyoknya, namun dia masih kalah dibandingkan dengan Thian Kong Cinjin. Menghadapi pengeroyokan dua orang ini saja dia sudah kewalahan, apa lagi dua orang itu dibantu oleh tiga orang anak buah yang seperti orang kesurupan itu.
Biar pun kadang-kadang masih terdengar suara tertawanya, namun tubuh hwesio tua itu berkali-kali terkena hantaman tongkat dan serempetan golok sehingga dia menderita luka-luka. Namun, tidak percuma hwesio tua ini dulu berjuluk Si Jari Maut, dan pedang Cui-beng-kiam di tangannya adalah sebatang pedang pusaka dari Pulau Neraka yang amat ampuh.
Maka biar pun dia menderita luka-luka, dia berhasil pula membabat roboh tiga orang kesetanan itu dengan pedangnya walau pun dia pun roboh terguling karena pada saat itu, tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menghantam pahanya. Begitu roboh, sebuah tendangan kaki Thian Kong Cinjin membuat tubuh Tiong Khi Hwesio bergulingan.
Ok Cin Cu mengejar dan menubruk dengan tongkat hitamnya yang berbentuk ular itu. Tongkat itu menghantam ke arah kepala Tiong Khi Hwesio tanpa dapat dielakkannya lagi. Tiong Khi Hwesio yang sudah maklum bahwa dia tidak akan mampu bertahan lagi, menggunakan kesempatan terakhir untuk menusukkan pedang Cui-beng-kiam ke arah lawan yang menyerangnya.
“Krakkk!”
“Cappp...!”
Tiong Khi Hwesio terkulai dengan kepala retak, tewas seketika, akan tetapi juga tubuh Ok Cin Cu terguling dan tewas tak lama kemudian karena dadanya ditembus pedang Cui-beng-kiam! Thian Kong Cinjin memandang dengan mata terbelalak, dia hampir tidak percaya melihat betapa hwesio itu berhasil membinasakan sute-nya, juga merobohkan tiga orang anak buah pasukan iblis itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, Wan Ceng roboh pula oleh hantaman tongkat naga di tangan Thian Kek Sengjin, namun pada saat dia terguling karena batang lehernya patah terkena ayunan tongkat, Wan Ceng melontarkan pedang Ban-tok-kiam yang tepat mengenai perut anak buah pasukan iblis yang mengeroyoknya. Juga nenek ini, dalam pengeroyokan yang berat sebelah itu, sudah berhasil membunuh Coa-ong Sengjin dan tiga orang anak buah pasukan iblis.
Kakek Kao Kok Cu masih dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan dua orang anak buah dari pasukan iblis, karena dalam perkelahian selanjutnya tadi Kao Kok Cu sudah berhasil merobohkan Sai-cu Sin-touw ketika Maling Sakti ini berhasil menangkap ujung lengan bajunya yang kosong, yaitu yang kiri. Ketika itu Sin-kiam Mo-li menusukkan pedangnya yang mengenai pundak Kao Kok Cu, namun kakek sakti ini berhasil menampar dengan tangan kanannya, mengenai pelipis Saicu Sin-touw yang roboh dan tewas seketika.
Pada saat tiga orang anak buah pasukan iblis menubruk, tendangan kakinya yang keras merobohkan salah seorang anak buah dan menewaskannya. Sekarang dia menghadapi pengeroyokan Sin-kiam Mo-li dan dua orang anak buahnya yang tersisa. Ia masih terus menggerakkan kedua kakinya dan sebelah tangannya untuk membela diri, akan tetapi gerakannya menjadi makin lambat dan lemah karena banyak darah keluar dari tubuhnya yang sudah amat tua itu.
“Wuuuttttt...!”
Tiba-tiba ujung kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li datang menyambar. Kao Kok Cu menggerakkan tangan kanan menangkap kebutan dan mengerahkan tenaganya.
“Brettttt...!”
Bulu kebutan itu putus seluruhnya dan kini bulu-bulu yang beracun itu berada di tangan Kao Kok Cu, sedangkan yang tertinggal di tangan Sin-kiam Mo-li hanya tinggal gagang emasnya saja.
“Cappppp...!”
Dalam kemarahannya, Sin-kiam Mo-li membarengi tusukan pedangnya yang mengenai lambung Kao Kok Cu. Kakek ini sudah kehabisan tenaga, tidak mungkin lagi melindungi tubuhnya dengan sinkang-nya, apa lagi karena penyerangnya juga mempunyai tenaga sinkang yang amat kuat, maka pedang itu pun memasuki lambungnya.
Kao Kok Cu terhuyung dan tersenyum melirik ke arah tubuh isterinya dan tubuh Tiong Khi Hwesio yang kini sudah menggeletak tak bernyawa. Mendadak dia menyambitkan bulu-bulu kebutan itu ke arah dua orang anak buah yang menyergapnya dari samping. Mereka langsung roboh berkelojotan karena bulu-bulu itu menancap di muka dan dada mereka, sedangkan bulu kebutan itu mengandung racun yang amat kuat.
Kao Kok Cu terhuyung menghampiri tempat di mana Wan Ceng roboh tadi, dan dia pun terkulai roboh di samping mayat isterinya, menghembuskan napas terakhir dengan amat tenang tanpa sekarat.
Sin-kiam Mo-li berdiri tertegun seperti dua orang temannya. Mereka termangu kagum dan juga terkejut melihat kenyataan betapa hebatnya tiga orang tua renta itu. Sudah begitu tua dan tenaganya sudah banyak berkurang, namun ternyata masih demikian hebatnya sehingga mereka yang datang berjumlah tujuh belas orang, kini hanya tinggal tiga orang saja yang masih hidup! Empat belas orang teman mereka telah tewas semua!
Bahkan mereka bertiga, sisa dari tujuh belas orang itu yang masih hidup, juga tidak keluar dari pertempuran itu tanpa luka! Punggung Sin-kiam Mo-li masih biru dan nyeri karena tadi sempat tercium ujung lengan baju kiri kakek Kao Kok Cu, Thian Kong Cinjin agak terpincang karena pahanya tadi tercium tendangan Tiong Khi Hwesio, sedangkan Thian Kek Sengjin juga robek bajunya dengan luka di pundaknya terkena cengkeraman tangan kiri nenek Wan Ceng!
Sin-kiam Mo-li bergidik dan menoleh kepada dua orang temannya. Mereka pun berdiri termangu dan bergidik ngeri. Selama hidup mereka, tiga orang tokoh sesat ini baru kini menemukan tanding yang demikian lihainya, padahal tiga orang itu sudah amat tua dan mereka tadi sudah mempersiapkan segalanya, mengeroyok mereka dengan tujuh belas orang, bahkan sebelas orang anak buah mereka tadi menggunakan pasukan iblis yang mengandung tenaga ilmu hitam!
Seorang pemuda berpakaian serba putih muncul dari ambang pintu depan. Tiga orang itu terkejut dan sudah memegang senjata masing-masing, siap untuk menyerang dan memandang pada pemuda itu penuh rasa heran dan juga gelisah. Siapa tahu, pemuda itu adalah calon lawan yang amat tangguh, pikir mereka, juga merasa heran mengapa kalau memang masih ada penghuni di dalam istana tua itu, mereka tadi tidak keluar membantu tiga orang tua yang mereka keroyok.
Akan tetapi pemuda itu, yang bukan lain adalah Tan Sin Hong, tidak mempedulikan mereka, melainkan melangkah maju perlahan-lahan, menghampiri tiga mayat orang tua itu yang rebah berdekatan, apa lagi Kao Kok Cu dan Wan Ceng yang rebah dekat sekali dan tangan kakek itu memegang tangan si nenek.
Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut, tanpa menangis tanpa mencucurkan air mata, namun dengan tubuh lemas, wajah pucat dan mata sayu, dia mencium ujung kaki ketiga orang gurunya yang sudah tidak bernyawa lagi! Bagaimana pun juga hatinya penuh diliputi penyesalan.
Jika saja dia tidak terikat oleh janji dan sumpahnya, bahwa selama satu tahun dia tidak boleh melakukan gerakan silat dan tidak boleh mengerahkan tenaga sakti, jika saja dia tadi dapat membantu tiga orang gurunya melawan pengeroyokan belasan orang jahat itu, belum tentu tiga orang gurunya tewas!
Akan tetapi dia tidak boleh menurutkan perasaannya, bahkan dia dapat dengan segera melenyapkan segala penyesalan tadi. Ketika belasan orang itu datang, dia pun sudah tahu dan justru dialah yang memberi tahu mereka akan kedatangan belasan orang yang mencurigakan tadi. Akan tetapi, ketiga orang gurunya bersikap tenang saja, bahkan lalu duduk bersila di balik pintu dan mereka memesan agar dia bersembunyi saja di dalam dan jangan memperlihatkan diri.
“Pesanku, Sin Hong, andai kata terjadi sesuatu dengan kami dan kami sampai tewas, hal yang lumrah saja bagi manusia karena ada kelahiran pasti ada pula kematian, maka jika engkau mendapat kesempatan, bawalah mayat kami ke dalam istana lalu bakarlah istana ini,” demikian pesan kakek Kao Kok Cu.
Mereka tidak sempat bicara lebih panjang karena belasan orang itu sudah tiba di luar pintu. Sin Hong kemudian bersembunyi dan ketiga orang tua itu membuka daun pintu menggunakan alat rahasia yang terdapat di situ.
Setelah pertempuran selesai dan dia melihat betapa tiga orang gurunya tewas, barulah Sin Hong keluar dengan hati hancur. Tak mungkin dia menyembunyikan diri lagi seperti pesan guru-gurunya, walau pun dia keluar hanya untuk memberi hormat atas kepergian ketiga orang gurunya, bukan bermaksud melawan musuh.
Melihat munculnya seorang pemuda berpakaian putih yang berlutut dan mencium kaki tiga mayat kakek dan nenek penghuni Istana Gurun Pasir itu, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin yang sudah panik itu segera menggerakkan senjata mereka untuk menyerangnya. Akan tewaslah Sin Hong kalau saja Sin-kiam Mo-li tidak menggerakkan pedangnya dan meloncat melindunginya, menangkis datangnya tongkat.
“Perlahan dulu, Totiang (Bapak Pendeta)!” kata wanita ini.
Ia merasa tertarik melihat pemuda berpakaian putih ini, yang nampaknya halus dan memiliki daya tarik besar itu. Sejak tadi ia mengamati dan siap menyerang pula, akan tetapi melihat sikap pemuda itu, dia melarang dua orang temannya untuk turun tangan menyerangnya.
Seorang pemuda yang usianya baru sekitar dua puluh tahun, mempunyai wajah yang sederhana saja, tidak dapat disebut tampan sekali, akan tetapi juga tidak buruk sekali. Bentuk wajahnya sederhana, seperti dapat ditemui pada pemuda-pemuda biasa. Akan tetapi kulitnya bersih dengan pandang mata yang lembut dan disertai mulut yang selalu membayangkan senyum ramah itu mempunyai daya tarik yang besar. Dan bagaimana pun juga, ditemukannya seorang pemuda di istana kuno ini, Istana Gurun Pasir milik Pendekar Naga Sakti, menunjukkan bahwa pemuda ini bukan pemuda biasa!
Kedua orang pendeta itu menahan tongkat mereka dan memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan alis berkerut dan rasa heran. Mengapa iblis betina ini mencegah mereka membunuh pemuda itu?
Mereka sudah mengenal watak cabul Sin-kiam Mo-li, akan tetapi menurut penglihatan mereka, tidak ada apa-apanya pada pemuda ini yang dapat menggerakkan hati wanita cabul yang mata keranjang. Kalau saja pemuda ini memiliki wajah yang tampan sekali, atau tubuh yang berotot membayangkan kejantanan, mereka masih dapat mengerti. Tetapi pemuda ini biasa saja, di mana-mana dapat ditemukan pemuda macam ini!
“Orang muda, siapa engkau?” Sin-kiam Mo-li bertanya dengan pedang masih di tangan karena sekali saja pemuda itu membuat gerakan menyerang, tentu akan didahuluinya dengan pedangnya.
Tan Sin Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuh menghadapi wanita yang bertanya itu. “Namaku Tan Sin Hong,” jawabnya singkat, akan tetapi suaranya tetap halus, tidak memperlihatkan isi hatinya.
“Engkau masih ada hubungan apa dengan mereka bertiga itu?” bertanya pula Sin-kiam Mo-li sambil menuding ke arah tiga mayat itu.
“Aku adalah pelayan mereka,” jawab pula Sin Hong, tenang saja.
Mendengar jawaban ini, Sin-kiam Mo-li bertukar pandang dengan dua orang kawannya. Sekarang dua orang pendeta itu mengerti bahwa iblis betina itu tadi melarang mereka menyerang karena agaknya hendak menanyai pemuda ini dan memang hal ini penting sebelum mereka menyerbu masuk untuk mencari harta pusaka. Pedang Ban-tok-kiam dan pedang Cui-beng-kiam semenjak tadi sudah dipungut oleh Sin-kiam Mo-li dan kini kedua pedang itu telah diikatkan di pinggangnya, di kanan dan kiri!
“Selain engkau dan mereka bertiga ini, siapa lagi yang tinggal di dalam istana kuno ini sekarang?”
“Tidak ada lagi, hanya kami berempat,” jawab Sin Hong.
“Pada saat tadi tiga orang majikanmu ini bertempur melawan kami, apakah engkau juga mengetahui?”
Tenang, tenanglah, bisik hati Sin Hong, kini tiba saatnya menghadapi kesukaran. “Aku tahu karena aku mengintai dari balik dinding itu.” Dia menuding ke arah pintu depan dari mana dia tadi keluar.
“Kenapa engkau tidak muncul dan membantu ketiga orang majikanmu?” Sin-kiam Mo-li bertanya lagi, suaranya agak ketus sedangkan sinar matanya mencorong penuh selidik memandang wajah yang nampak tidak begitu cerdik itu.
“Aku tidak bisa berkelahi, pula perkelahian itu bukan urusanku, mengapa aku harus membantu?” katanya perlahan.
“Akan tetapi engkau berduka melihat mereka tewas?”
“Tentu saja, mereka adalah orang-orang yang baik kepadaku.”
“Engkau benar-benar tidak bisa berkelahi? Tidak pandai silat?” bertanya pula Sin-kiam Mo-li dengan suara mengancam.
Sin Hong menggeleng kepalanya, tanpa menjawab.
“Jawab! Bisa berkelahi atau tidak?”
“Aku tidak bisa berkelahi,” jawaban ini tidak berbohong sebab pada saat itu dia memang tidak boleh dan tidak dapat berkelahi. Baru setengah tahun lewat, masih setengah tahun lagi dia harus menjadi orang yang lemah.
Mendadak tangan kiri Sin-kiam Mo-li melayang ke arah mukanya. Tentu saja Sin Hong melihat ini dengan jelas dan kalau dia menghendaki, dengan sangat mudah dia dapat menangkis atau mengelak. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya.
“Plakkk!”
Tamparan itu keras sekali. Biar pun Sin-kiam Mo-li tidak menggunakan tenaga sinkang, melainkan tenaga otot lengannya saja, akan tetapi tubuh Sin Hong terpelanting dan pipi kanannya menjadi merah kebiruan serta membengkak. Dia bangkit berdiri, kemudian memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan mata terbelalak.
“Kenapa engkau memukul aku?” tanyanya, sikapnya masih tenang.
Sin-kiam Mo-li terheran-heran. Jelas bahwa pemuda ini tidak pandai silat, dan untung tadi dia tidak menggunakan sinkang karena kalau demikian, tentu tamparan tadi dapat membunuhnya.
Akan tetapi yang amat mengherankan adalah sikap pemuda itu. Kenapa dapat demikian tenang? Padahal tamparan tadi keras sekali dan pemuda lain yang tidak pandai ilmu silat tentu akan menjadi ketakutan dan mungkin menangis kesakitan dan minta ampun. Pemuda ini tenang saja, padahal pipi kanannya membengkak.
“Aku memukulmu karena engkau membohong! Engkau tentu pandai silat!” bentak lagi Sin-kiam Mo-li.
Dan kini kakinya melayang, menendang ke arah bagian tubuh mematikan dari pemuda itu, di bawah pusar! Tendangan itu amat cepat dan kuat, dan kalau mengenai sasaran, tentu orangnya mati seketika. Sin Hong juga melihat ini, dan kalau dia mau, tentu dia dapat pula menghindarkan diri. Namun dia sudah nekat dan pasrah saja.
“Bukkkk!”
Kaki wanita itu diserongkan dan bukan bagian tubuh mematikan yang kena tendangan, melainkan paha kiri Sin Hong. Untuk kedua kalinya pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh dengan kerasnya! Dia merangkak bangun dengan muka yang agak pucat karena menahan rasa nyeri, kemudian terpincang dia menghampiri Sin-kiam Mo-li.
“Engkau sungguh kejam! Engkau menyiksaku, mau bunuh pun aku tidak akan dapat melawanmu. Bunuhlah kalau memang itu yang kau kehendaki!”
Sin-kiam Mo-li mengeluarkan seruan kagum! Pemuda ini benar-benar tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki nyali yang lebih besar dari pada pemuda yang pandai ilmu silat sekali pun! Ia merasa kagum sekali dan tahulah ia mengapa pemuda ini dipilih oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir untuk menjadi pelayan di situ.
Memang seorang pemuda pilihan, seorang pemuda aneh yang mempunyai nyali naga! Agaknya ketabahan dan keuletannya itulah yang menjadi keanehannya karena sudah selayaknya jika orang yang tinggal di tempat macam ini memiliki keistimewaan masing-masing.
Kembali tangan kiri Sin-kiam Mo-li bergerak dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram tengkuk Sin Hong. Jari-jari tangan wanita itu kecil mungil, tetapi dapat mencengkeram bagaikan jepitan baja dan begitu ia memperkuat cengkeramannya, Sin Hong merasa kenyerian yang menyusup sampai ke tulang punggungnya.
“Bawa kami ke dalam istana kuno itu dan tunjukkan di mana kamar-kamarnya. Awas kalau sampai ada yang menyerang kami dan kalau engkau berbohong, aku akan lebih dulu membunuhmu. Hayo jalan!” Sin-kiam Mo-li mendorong pemuda itu menuju ke pintu depan, dengan tangan kiri masih mencengkeram tengkuk Sin Hong dan tangan kanan memegang pedang.
Sin Hong mengeluarkan keringat dingin saking nyerinya, dengan terpincang-pincang dia melangkah. Pahanya yang tertendang tadi pun masih nyeri bukan main.
Kedua orang pendeta sesat itu menyeringai, girang bahwa mereka tadi tidak sampai membunuh pemuda ini yang ternyata sangat berguna bagi mereka. Diam-diam mereka kagum akan kecerdikan Sin-kiam Mo-li. Membayangkan bahwa mereka akan segera menemukan pusaka-pusaka berharga, terutama kitab-kitab ilmu yang tinggi dari Istana Gurun Pasir, terobatlah rasa kehilangan dan kedukaan mereka atas tewasnya sute mereka dan anak buah mereka.
Sin Hong membawa mereka memasuki seluruh kamar yang ada. Ketiga orang itu makin lama makin kecewa karena mereka tidak menemukan sesuatu seperti yang mereka harapkan semula! Yang ada hanyalah perabot-perabot rumah yang walau pun kuno, namun terlalu besar untuk dibawa menyeberangi gurun pasir dan juga tidak berharga. Tiada harta benda, tidak ada senjata pusaka kecuali kedua pedang yang dipergunakan Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio tadi, tidak ada sebuah pun kitab pelajaran ilmu silat atau sehelai pun catatan yang penting!
“Hayo lekas tunjukkan di mana disimpannya pusaka mereka!” berkali-kali Sin-kiam Mo-li membentak dan memperkuat cengkeramannya pada tengkuk Sin Hong. Tetapi pemuda itu hanya menggeleng kepalanya.
“Tidak ada apa-apa di sini kecuali semua ini...“
“Desss...!”
Saking marahnya, Sin-kiam Mo-li memukul punggung pemuda itu. Sin Hong terlempar, jatuh bergulingan dan pingsan!
“Bunuh saja dia! Mungkin dia sengaja menyembunyikan!” kata Thian Kong Cinjin sambil menggerakkan tongkatnya.
Akan tetapi Thian Kek Sengjin menahannya. “Jangan bunuh, lebih baik siksa dia dan paksa dia mengaku!”
Dengan urutan pada punggungnya, Sin Hong sadar kembali akan tetapi begitu sadar, rambutnya dijambak dan tubuhnya diseret oleh Thian Kek Sengjin yang bermuka merah menyeramkan dan matanya mencorong seperti mata kucing!
“Hayo katakan, di mana disimpannya pusaka Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Ia dan isterinya adalah orang-orang sakti, tidak mungkin mereka tidak meninggalkan pusaka!”
“Aku tidak tahu, tidak ada pusaka apa pun di sini,” jawab Sin Hong, tetap tenang dan pasrah.
“Kubunuh engkau kalau tidak mau memberi tahu di mana pusaka itu!” kata Thian Kek Sengjin penuh ancaman.
Sin Hong menatap muka yang merah dan kurus kering itu tanpa merasa takut, dan dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu.”
“Tukkk!”
Gagang tongkat naga hitam itu menotok lambung. Sin Hong terkejut lalu meronta-ronta dan menggeliat kesakitan karena yang ditotok adalah jalan darah yang mendatangkan rasa nyeri luar biasa sekali.
“Hayo katakan, kalau tidak, akan kutambah lagi!” bentak Thian Kek Sengjin, matanya bersinar-sinar gembira melihat korbannya menggeliat kesakitan.
Akan tetapi terjadi keanehan pada tubuh Sin Hong. Seperti juga tadi, ketika berkali-kali mengalami pukulan, rasa nyeri itu hanya sebentar saja dan ada hawa hangat di dalam tubuhnya yang berkumpul di tempat yang sakit, lalu rasa nyeri itu lenyap seketika. Itulah hawa sakti di tubuhnya yang bekerja dengan otomatis, berkumpul di bagian tubuh yang rusak karena serangan dari luar dan memulihkannya kembali.
“Aku tidak tahu,” katanya lagi.
“Desss!”
Tongkat itu kembali bergerak, menyerampang kedua kaki Sin Hong, sehingga membuat tubuhnya kembali terpelanting dan bergulingan. Thian Kong Cinjin lantas menambahnya dengan tendangan sehingga tubuhnya terus menggelinding dan membentur dinding. Dia pun rebah tak bergerak lagi, kembali pingsan!
“Jangan bunuh dulu!” Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru ketika melihat betapa dua orang pendeta itu hendak melanjutkan siksaan mereka dan agaknya ingin membunuh pemuda itu karena kecewa.
“Huh, Mo-li, laki-laki macam ini saja membuatmu tergila-gila? Apanya sih yang menarik? Di setiap dusun engkau akan dapat menemukan pemuda semacam ini ratusan orang banyaknya!” berkata Thian Kek Sengjin, pendeta Pek-lian-kauw yang kurus kering dan bermuka merah itu, dengan nada cemburu.
Memang pendeta ini pernah diajak tidur bersama oleh Sin-kiam Mo-li, akan tetapi wanita itu tidak suka padanya dan tidak pernah lagi mengulang perbuatannya, padahal kakek ini kagum dan suka sekali kepada Sin-kiam Mo-li. Melihat betapa wanita itu sekarang melindungi seorang pemuda yang biasa saja, timbul pula rasa cemburu di hatinya!
“Benar, dia harus dibunuh. Jika tidak, kelak hanya akan mendatangkan gangguan saja,” kata pula Thian Kong Cinjin tokoh Pat-kwa-kauw.
“Hemmm, kalian ini selalu berpikiran kotor dan menuduhku yang tidak-tidak. Pula, andai kata aku memilih dia untuk melayaniku, apa sangkutannya dengan kalian? Dia memang tidak tampan, tidak pandai ilmu silat, akan tetapi ketabahannya membuat aku kagum. Kalian lupa bahwa tenaga dia masih dapat kita gunakan. Ingat saja mayat-mayat yang berserakan di luar itu, apakah kalian akan membiarkan saja mayat sute-sute kalian dan anak buah kalian membusuk di sana? Dia ini dapat kita pergunakan tenaganya untuk menggali lubang dan mengubur mayat-mayat itu.”
“Ahhh, benar juga!” kata Thian Kek Sengjin, malu kepada diri sendiri yang tadi hanya mencela karena cemburu.
“Dan engkau tidak perlu khawatir dia akan mendatangkan gangguan kelak, Thian Kong Cinjin. Pertama, dia seorang pemuda lemah yang tidak pandai ilmu silat, bahkan kalau dia sekarang mulai belajar sekali pun, sampai kita mati tua dia masih belum apa-apa. Kedua, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, dia tentu akan kubunuh.”
Thian Kong Cinjin mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa jika Sin-kiam Mo-li telah bosan dengan seorang pemuda, maka pemuda itu akan dibunuhnya dan biasanya, dalam waktu beberapa hari saja Sin-kiam Mo-li sudah akan merasa bosan. Apa lagi pemuda ini seorang laki-laki lemah. Mana dia dapat bertahan melayani Sin-kiam Mo-li si iblis betina yang haus laki-laki itu?
“Nah, mulai sekarang, harap kalian jangan pedulikan pemuda ini. Ia punyaku, budakku, jangan diganggu dan akulah yang kelak akan membunuhnya,” dan berkata demikian, Sin-kiam Mo-li menghampiri Sin Hong yang masih pingsan lalu mengurut-urut beberapa bagian tubuhnya sehingga dia sadar kembali.
Begitu sadar, Sin Hong bangkit duduk. Sedikit pun dia tidak mengeluh karena memang sama sekali tak ada yang dirasakan nyeri. Hal ini membuat Sin-kiam Mo-li makin kagum saja.
“Engkau tidak menderita sesuatu? Apanya yang nyeri?”
Sin Hong sendiri merasa heran. Dia telah dihujani pukulan, tendangan dan siksaan, tapi sedikit pun tidak ada bekas-bekasnya lagi.
“Tidak apa-apa,“ katanya sambil menggeleng kepala.
Bukan main, pikir Sin-kiam Mo-li, anak ini memiliki daya tahan yang luar biasa hebatnya! Mungkin akan dapat mendatangkan kesenangan besar baginya!
“Siapa namamu tadi?”
“Tan Sin Hong.”
Namanya juga sederhana, shenya she Tan dan terdapat banyak sekali orang she Tan, nama keluarganya amat besar.
“Sin Hong, engkau ini nekat mempertahankan pusaka Istana Gurun Pasir, atau memang benar di sini tidak ada pusaka?” tanyanya dengan ramah.
Sekarang, timbul dari kekagumannya, wajah pemuda itu kelihatan menarik sekali dan menimbulkan gairahnya. Dengan gerakan lembut dan mesra dia mengusap darah yang masih nampak di ujung bibir Sin Hong, dengan jari-jari tangannya. Tentu saja hal ini membuat Sin Hong merasa risi bukan main, akan tetapi didiamkannya saja.
“Aku tidak mempertahankan pusaka apa pun, dan memang setahuku di sini tidak ada apa-apa.”
“Tidak ada kitab-kitab pelajaran ilmu silat?”
“Aku tidak tahu, yang kutahu hanya bahwa beberapa bulan yang lalu, mereka bertiga telah membakari banyak kitab-kitab...“
“Keparat jahanam!” seru Thian Kong Cinjin dengan kecewa sekali.
“Sayang, sungguh sayang sekali!” teriak pula Thian Kek Sengjin, sangat marah kepada tiga orang tua renta itu yang dianggapnya hanya membuat dia kecele.
“Kenapa kitab-kitab pusaka itu dibakar?” tanya Sin-kiam Mo-li kepada pemuda itu, juga merasa amat kecewa.
Sin Hong hanya menggeleng kepala, “Aku tidak tahu.”
Dia tidak berbohong karena memang dia tidak tahu mengapa suami isteri tua renta yang menjadi gurunya itu membakari banyak kitab-kitab yang diketahuinya adalah kitab-kitab pelajaran silat.
“Pantas saja kita tidak menemukan apa-apa. Kiranya tua bangka-tua bangka laknat itu telah memusnahkan pusaka mereka!” kata pula Sin-kiam Mo-li. “Sin Hong, hayo engkau membantu kami mengubur mayat-mayat itu!”
Ia memegang tangan Sin Hong dan ditariknya pemuda itu keluar dari dalam istana kuno yang dianggap menyeramkan dan mengecewakan itu. Sin Hong tidak membantah dan dia mengunakan cangkul yang biasa dipakai bekerja di ladang, lalu mulai mencangkul, membuat lubang-lubang untuk mengubur mayat-mayat itu.
Dia diperintah untuk membuat tiga buah lubang biasa, yaitu masing-masing untuk mayat Sai-cu Sin-touw, Ok Cin Cu, dan Coa Ong Sengjin, dan kemudian sebuah lubang besar untuk sebelas orang anak buah mereka yang tewas. Karena ia tak berani menggunakan tenaga sinkang dan hanya menggunakan tenaga biasa, menggunakan sebuah cangkul, maka tentu saja Sin Hong harus bekerja sehari lamanya dan barulah empat belas buah mayat itu selesai dikubur.
Dia lalu mengangkati tiga buah mayat gurunya ke dalam istana. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li membentak. “Apa yang akan kau lakukan itu? Biarkan saja mereka membusuk di sini, kita berangkat pergi sekarang juga dan engkau harus ikut dengan kami!”
“Terserah aku menurut saja, tetapi bagaimana pun juga aku harus lebih dulu membakar mayat ketiga orang ini, sebelum itu, biar di bunuh sekali pun, aku tidak akan mau ikut!” Diam-diam Sin Hong berjudi dengan nyawanya, akan tetapi hal ini dilakukannya dengan sengaja.
Dia seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia tahu bahwa nyawanya diselamatkan oleh wanita tua cantik ini hanya karena wanita ini tertarik kepadanya, oleh keberanian dan kenekatannya! Maka kini untuk memenuhi pesan guru-gurunya, dia pun memperlihatkan sikap nekat dengan harapan agar wanita itu memenuhi permintaannya. Perhitungannya yang tidak ngawur ini memang tepat!
Kembali Sin-kiam Mo-li memandang tajam penuh rasa kagum. Seorang pemuda biasa, mungkin hanyalah pemuda petani yang bekerja sebagai tukang kebun dan pelayan di istana kuno ini, namun memiliki keberanian dan nyali yang agaknya hanya patut dimiliki oleh para penghuni istana Gurun Pasir!
Juga ia merasa tertarik sekali mendengar bahwa pelayan ini hendak membakar jenazah tiga orang sakti itu. Pantasnya keluarga mereka yang melakukan hal ini, bukan seorang pelayan biasa.
“Kenapa engkau berkeras hendak membakar mayat mereka?” tanyanya.
“Karena ketika masih hidup, mereka pernah mengatakan bahwa kalau mereka sudah mati, mereka suka mayat mereka dibakar.”
“Akan tetapi untuk membakar mayat mereka, kenapa harus mayat mereka kau usung ke dalam istana?” tanya Thian Kong Cinjin yang juga merasa tertarik.
“Karena aku ingin membakar mereka di dalam istana agar istana itu pun ikut terbakar habis.”
Jawaban ini membuat tiga orang itu melongo dan Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Celaka, jangan-jangan pemuda yang dikaguminya ini miring otaknya!
“Mengapa istana ini hendak dibakar?” tanyanya, memandang tajam. Akan tetapi wajah pemuda itu biasa saja.
“Mereka telah meninggal dunia dan aku akan pergi dari sini. Jika tidak ada yang tinggal lagi di sini dan tidak ada yang mengurusnya, tempat ini hanya akan menjadi buruk sekali dan akhirnya akan ambruk pula. Maka sebaiknya dibakar saja. Dengan demikian, dapat membuktikan kebenaran pengakuanku bahwa tak ada pusaka apa pun yang tersimpan di sini. Bukankah begitu?” Ucapan ini cerdik sekali dan tiga orang itu pun mengangguk-angguk.
“Benar sekali!” kata Thian Kek Sengjin. “Biar dibakarnya habis, biar rata dengan tanah, biarlah terbasmi lenyap seperti halnya Istana Pulau Es. Ha-ha-ha, dunia kang-ouw akan tahu bahwa Istana Gurun Pasir terbasmi lenyap dari permukaan bumi oleh kita bertiga. Ha-ha-ha!”
Thian Kong Cinjin juga tertawa, senang bahwa setidaknya mereka dapat melampiaskan kedongkolan hati karena teman-teman banyak yang mati dan mereka tidak menemukan pusaka, dengan cara melihat istana itu terbakar habis.
Sementara itu, tanpa mempedulikan apakah tiga orang itu setuju atau tidak, Sin Hong telah mengangkuti mayat ini ke dalam, meletakkan mereka di atas tiga dipan yang telah dipersiapkannya, kemudian dia pergi ke bagian belakang untuk mengambil beberapa guci minyak. Semua gerakannya ini diperhatikan oleh Sin-kiam Mo-li, sedangkan dua orang pendeta sudah tidak peduli lagi, masih mencoba mencari ke sana sini barangkali menemukan sesuatu yang berharga untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Biar pun tubuhnya terasa lelah karena mencangkul tiada hentinya sampai sore, namun Sin Hong merasakan lagi keanehan, betapa kelelahan itu sebentar saja sudah lenyap dan kesegaran tubuhnya pulih kembali, seperti ketika tadi dia menderita luka-luka. Maka dengan tenang dia menuangkan minyak ke sudut-sudut ruangan istana itu, juga pada dipan-dipan di mana tiga sosok mayat itu rebah. Setelah itu, dia pun menyalakan api dimulai dari serambi depan yang telah dibasahi pula dengan minyak. Dia menghabiskan semua persediaan minyak di gudang dan sebentar saja api pun berkobar besar sekali, membakar istana itu dan segala isinya.
Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin serta Thian Kek Sengjin berdiri jauh di pekarangan depan memandang ke arah api yang berkobar semakin tinggi, sedangkan Sin Hong berdiri pula di situ bagai patung memandang ke arah api. Diam-diam hatinya menangis. Tidak disangkanya bahwa dalam sehari dia kehilangan tiga orang gurunya yang amat dicintanya! Guru-gurunya dibantai orang, dibunuh dan istana diserbu tanpa dia dapat membela sedikit pun.
Kalau dia tadi membela dan melawan, dia tahu bahwa akan terjadi bentrokan hebat di dalam tubuhnya dan mungkin sekali dia akan tewas. Dia tidak takut menghadapi bahaya kematian itu, namun dia merasa ngeri untuk melanggar janji dan sumpahnya terhadap tiga orang gurunya.
Setelah istana itu terbakar, baru teringat oleh Sin-kiam Mo-li bahwa sebenarnya mereka masih membutuhkan istana itu, setidaknya untuk satu malam. Hari sudah mulai gelap dan mereka membakar satu-satunya tempat untuk melewatkan malam dengan enak!
“Wah, celaka! Kita malam ini harus bermalam di mana?” katanya kepada dua orang temannya.
“Ha-ha-ha, perlu apa bermalam? Kita langsung saja meninggalkan neraka ini!” berkata Thian Kong Cinjin.
“Benar, aku pun merasa tidak suka tinggal lebih lama di tempat ini,” sambung Thian Kek Sengjin.
Kedua orang kakek pendeta sesat ini sebenarnya jeri kalau-kalau pembunuhan atas diri tiga orang tua itu dan pembakaran istana itu akan mendatangkan akibat yang hebat, kalau-kalau kebakaran itu kelihatan orang dan ada kerabat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang datang.
“Ihhh, mana mungkin melakukan perjalanan melintas gurun pasir pada waktu malam? Sungguh berbahaya sekali. Biarlah malam ini kita bermalam di sini, setidaknya di kebun sana itu banyak terdapat pohon-pohon. Mari kita mencari tempat istirahat di sana,” kata Sin-kiam Mo-li.
Dua orang kawannya setuju karena mereka pun mengerti betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir yang luas di waktu malam gelap.
Sin-kiam Mo-li menarik tangan Sin Hong, diajak ke kebun di mana memang terdapat banyak pohon buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan lain yang berguna. Sin-kiam Mo-li memilih tempat di bawah sebatang pohon besar, dan ia pun tidak lagi mempedulikan dua orang temannya yang mengambil tempat istirahat di bawah sebatang pohon lainnya lagi. Rumput-rumput hijau menjadi hamparan tikar hijau yang lembut dan lunak.
Sin-kiam Mo-li memandang Sin Hong yang masih berdiri menghadap ke arah istana yang masih terbakar itu. “Sin Hong, kumpulkan kayu bakar dan daun kering. Nanti kita membuat api unggun di sini.”
Sin Hong tidak menjawab akan tetapi juga tidak membantah, lalu mengumpulkan kayu bakar. Dia tahu bahwa akan percuma saja kalau dia melarikan diri sekarang, karena ketika melirik, wanita itu mengikuti setiap gerakannya dengan pandang mata, juga dua orang pendeta di sana itu memandang kepadanya.
Setelah bahan api unggun terkumpul, dia pun berdiri lagi termenung memandang ke arah istana yang terbakar, diam-diam mengharapkan agar tiga jenazah gurunya itu akan terbakar sempurna sehingga semuanya akan menjadi abu. Dia tidak merasa menyesal bahwa guru-gurunya telah meninggal dunia. Semua orang akhirnya akan mati juga dan kematian tiga orang gurunya adalah kematian orang-orang yang gagah perkasa.
Pernah dia mendengar mereka bertiga itu berbincang-bincang mengenai kematian dan ketiganya mempunyai harapan agar mereka dapat mati sebagai pendekar! Dan ternyata harapan mereka itu terpenuhi! Mereka mati dengan gagah perkasa, dikeroyok belasan orang tokoh sesat yang lihai, dan sebelum mati mereka berhasil menewaskan empat belas orang lawan!
Kematian mereka tidak perlu disesalkan. Yang terpenting sekarang harus mencari jalan untuk melarikan diri karena selama dia belum dapat meloloskan diri dari pengawasan tiga orang ini, nyawanya tetap saja terancam maut yang mengerikan.
“Sin Hong, mengapa engkau melamun? Apakah engkau menyesal akan kematian tiga orang tua bangka itu?” tiba-tiba Sin-kiam Mo-li bertanya.
Sin Hong menggelengkan kepala dan menjawab lirih namun suaranya tegas, “Tidak!”
Sin-kiam Mo-li duduk di atas rumput hijau. Ia telah menurunkan tiga batang pedang itu dari pinggangnya. Pedangnya sendiri, Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam dan menaruh di atas rumput tidak jauh dari jangkauannya. Ia melonggarkan ikat pinggangnya, bahkan melepas sepatunya untuk mengusir kelelahan akibat perke-lahian mati-matian tadi.
“Sin Hong, engkau duduklah di sini,” katanya sambil memandang penuh gairah kepada pemuda itu.
Sin Hong duduk dengan mengangkat kedua lututnya itu tanpa menoleh. Sin-kiam Mo-li memandang kagum sekali. Pemuda ini sama sekali tidak pandai ilmu silat, akan tetapi agaknya memiliki tubuh yang sangat kuat daya tahannya.
Pemuda itu tadi telah ditamparnya, ditendang dan dipukul oleh dua orang pendeta itu, dan biar pun pukulan-pukulan itu dilakukan tanpa pengerahan sinkang tetap saja sudah tentu akan membuat pemuda itu menderita nyeri. Dan semua itu masih ditambah lagi dengan ancaman-ancaman yang menakutkan, dan hebatnya lagi dia harus mencangkul dan mengubur jenazah empat belas orang tadi. Mencangkul seharian penuh. Dan kini pemuda itu kelihatannya sama sekali tidak kelelahan!
Sin Hong sedang melamun, mencari akal bagaimana akan dapat meloloskan diri dari tiga orang ini tanpa menggunakan kekerasan, ketika tiba-tiba ada sebuah tangan yang kecil dengan jari-jari mungil menyentuh pundaknya dan rambutnya, lalu membelai dan mengusap rambutnya. Ketika dia menoleh, hidungnya mencium keharuman pupur dan minyak, dan ternyata wajah wanita cantik kejam seperti iblis itu telah berada dekat sekali dengan mukanya. Sin-kiam Mo-li sudah duduk dekat sekali dengannya dan sekarang merangkul lehernya.
Sin Hong adalah seorang pemuda yang sudah dewasa, sudah dua puluh satu tahun usianya. Walau pun selama hidupnya dia belum pernah berhubungan dengan wanita, bahkan bergaul dekat pun belum pernah, namun tentu saja dia mengerti apa maksud wanita ini mendekatinya dan bersikap demikian mesra. Seketika wajahnya menjadi merah dan jantungnya berdegup kencang penuh ketegangan.
Dia melihat betapa dua orang kakek iblis itu duduk tidak jauh dari situ, dapat dengan mudah melihat apa yang dilakukan wanita ini, tetapi agaknya wanita ini tidak merasa sungkan atau malu lagi. Dia merasa ngeri. Manusia-manusia macam apakah yang telah menawannya ini?
“Sin Hong, berapakah usiamu sekarang?” Sin-kiam Mo-li berbisik dekat telinga pemuda itu, bahkan bibir itu lalu mengecup leher di bawah telinga.
Meremang bulu tengkuk Sin Hong ketika merasa betapa bibir basah yang mengeluarkan napas panas itu menyentuh lehernya. Akan tetapi dia menguatkan perasaannya dan menjawab dengan sikap dan suara biasa saja.
“Dua puluh satu tahun.”
“Aih, kalau begitu engkau sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Sin Hong, pernahkah engkau mempunyai seorang pacar?” Kini kedua tangan wanita itu tanpa malu-malu membelai dan jari-jari tangan itu merayap-rayap ke seluruh bagian tubuh Sin Hong.
Pemuda ini merasa ngeri bukan main, ngeri dan jijik. Belaian-belaian itu lebih menyiksa baginya dari pada tamparan dan tendangan tadi, dan ingin sekali dia menyerang wanita iblis yang tidak tahu malu ini. Tetapi janjinya terhadap tiga orang gurunya merupakan belenggu yang amat kuat dan dia pun mengerahkan kekuatan batinnya.
“Belum pernah.” jawabnya pula, sikapnya acuh saja sehingga wanita itu menjadi makin bergairah.
Seorang pemuda yang sudah berusia dua puluh satu, sudah dewasa dan sedang segar-segarnya, belum pernah berdekatan dengan wanita, seorang perjaka tulen!
“Bagus sekali!” Sin-kiam Mo-li berseru girang. “Kalau begitu malam ini akan kujadikan seorang laki-laki sejati yang lengkap. Engkau layani aku dan senangkan hatiku, dan aku mungkin akan menyelamatkanmu, bahkan akan mengambilmu sebagai murid sekaligus kekasihku. Hemmm, engkau mau, bukan?”
Sin-kiam Mo-li merangkul dan kini bagaikan seorang kelaparan melahap sepotong roti, wanita itu menghujankan ciuman pada muka Sin Hong di bibirnya, matanya, hidungnya, pipinya, sampai pemuda itu gelagapan dan seluruh tubuhnya menggigil saking ngerinya! Sin Hong merasa seperti dijilati seekor harimau yang hendak mengganyangnya.
Melihat betapa pemuda itu diam saja, tidak menanggapi dan tak membalas ciumannya, akan tetapi juga tidak melawan, makin berkobar nafsu birahi dalam diri Sin-kiam Mo-li. Dirangkulnya Sin Hong dan ditariknya pemuda itu rebah di atas rumput yang lunak, jari-jari tangannya mulai membuka kancing dan menanggalkan pakaian pemuda ini.
Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Sin Hong. Dia merasa ketakutan, muak, dan juga jijik dan bagaimana pun juga, dia adalah seorang laki-laki yang normal. Jantungnya berdebar dan api gairah mulai merayap dan hendak membakar dirinya.
Namun, karena batinnya memang kosong dan bersih dari pada bayangan nafsu, maka nafsu yang muncul karena keadaan badan yang sehat itu pun tak membuatnya mabuk. Bahkan kini ada hawa hangat yang aneh, yang memang berkumpul di dalam pusarnya, mengalir ke seluruh tubuhnya dan hawa yang hangat ini membuyarkan gairah yang mulai timbul. Dia pun mendiamkan saja segala yang diperbuat oleh Sin-kiam Mo-li atas dirinya.
“Sin Hong, layanilah aku, senangkan hatiku. Sin Hong, ohhhhh…!” Wanita itu merayu, merintih, mengajak dan melakukan segala usaha untuk bisa membangkitkan gairah Sin Hong. Namun sia-sia belaka.
Pemuda itu tetap biasa saja, sedikit pun tidak dilanda nafsu birahi. Biar pun wanita tak bermalu itu mengeluarkan semua kepandaiannya dalam merayu pria, biar pun kedua tangan bahkan seluruh tubuhnya sibuk untuk merangsang, tetap saja Sin Hong tenang dan tak terpengaruh. Diam-diam dia merasa bersyukur sekali karena hawa yang hangat itu melindunginya. Syukur..... syukur.....
“Keparat!” Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan makian ketika mendapat kenyataan betapa sikap Sin Hong biasa saja, sedikit pun tidak tersentuh gairah. “Apakah engkau tidak mau melayaniku? Apakah engkau malu-malu karena engkau masih perjaka?”
Saking mendongkolnya karena nafsu birahi sudah sampai ke ubun-ubunnya akan tetapi pemuda itu sedikit pun belum tersentuh, Sin-kiam Mo-li tanpa malu-malu lagi marah marah di depan dua orang kakek yang menjadi rekannya.
“Ha-ha-ha, Mo-li, dia seperti mayat saja? Ha-ha-ha, mungkin dia yang tolol ataukah engkau yang sudah terlalu tua!” kata Thian Kong Cinjin.
Kakek ini biasanya pendiam, sikapnya halus dan berwibawa, akan tetapi sekali ini dia mendongkol melihat sikap rekannya itu. Mereka benar berhasil membasmi Istana Gurun Pasir, akan tetapi juga kehilangan banyak anak buah. Sute-nya, Ok Cin Cu, juga tewas, dan wanita iblis itu hanya bersenang-senang saja melampiaskan nafsu birahinya, tanpa malu-malu di depannya lagi! Oleh karena itu, rasa dongkol itu membuat dia kini mampu mentertawakan Sin-kiam Mo-li.
Sin-kiam Mo-li memandang ke arah kakek itu dengan mata melotot. Dia marah sekali, akan tetapi dia pun maklum bahwa wakil ketua Pat-kwa-pai itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan, dan dia pun tidak ingin mencari keributan.
Dengan kasar ia pun mencengkeram tubuh Sin Hong dan dibawanya lari berloncatan ke tempat lain, menjauhi kedua orang kakek itu dan bersembunyi di balik semak-semak bunga di kebun itu. Dia tidak peduli mendengar suara ketawa dua orang kakek itu dan melempar tubuh Sin Hong ke atas rumput.
“Jika sekarang engkau tetap tak mau melayaniku, akan kupaksa kau sampai mampus!” desisnya.
Dan kembali dia membelai-belai dan merayu, bahkan kini Sin-kiam Mo-li mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya pula untuk menguasai Sin Hong.
Di bawah sinar api unggun kecil yang dibuatnya, Sin Hong terbelalak melihat bahwa kini Sin-kiam Mo-li nampak masih muda dan amat cantik! Kembali darah mudanya tersirap dan mulai bangkit kembali gairah nafsu birahi di dalam dirinya secara wajar dan normal.
Sin-kiam Mo-li dapat mengetahui hal ini maka girangnya bukan main. Ia menciumi dan mengecupi seluruh tubuh Sin Hong dengan mulutnya, seperti seekor ayam mematuki beras, berusaha sebisa mungkin untuk mengobarkan gairah yang mulai nampak bangkit dalam diri pemuda itu.
Namun, Sin Hong mengerahkan batinnya, memusatkan perhatiannya kepada bayangan tiga orang gurunya dan sungguh aneh. Hawa di pusarnya menjadi semakin panas dan kini bergerak mengalir ke luar, berputaran melindungi seluruh tubuhnya dan perlahan lahan gairah yang menguasainya tadi menjadi lemah dan semakin padam. Betapa pun Sin-kiam Mo-li mengerahkan tenaga sihirnya, tetap saja kekuatan sihir itu membuyar ketika menguasai Sin Hong.
Pemuda ini mengerti bahwa kekuatan yang diterimanya dari tiga orang gurunya itu telah bekerja dan menyelamatkannya. Dia pun merasa girang sekali. Tenaga dari Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun telah memperlihatkan kehebatannya, padahal dia belum mengerahkan sinkang-nya, hanya mengerahkan kekuatan batin untuk menolak pengaruh aneh tadi. Kini, wajah yang nampak muda dan cantik sekali itu berubah menjadi seperti semula, wajah seorang wanita cantik yang mulai nampak tua.
Melihat betapa api gairah yang tadi telah mulai bernyala di tubuh pemuda itu mendadak menjadi padam kembali, bukan main marahnya Sin-kiam Mo-li. Ia marah tetapi juga heran, dan merasa terhina! Selama ini, jarang ada pemuda yang ditawannya mampu menolak hasratnya, baik secara suka rela atau pun dipengaruhi sihirnya.
Tapi pemuda ini, pemuda lemah yang sama sekali tidak pandai silat, dapat menghadapi sihirnya dengan tenang saja dan sama sekali tidak terpengaruh! Dia sungguh merasa terhina, bukan saja ia merasa ditolak seorang laki-laki, akan tetapi juga sihirnya seperti tidak manjur.
Karena kecewa dan marah, sedangkan nafsu birahi telah membakar dirinya dan naik ke ubun-ubunnya, Sin-kiam Mo-li menjadi seperti gila. Wanita tua ini mulai menampari Sin Hong, mencakar, menggigit, di samping terus merayu sampai akhirnya tubuh Sin Hong penuh dengan luka cakaran dan tamparan.
Dan akhirnya pemuda ini tidak kuat lagi dan roboh pingsan di atas rumput! Sedangkan Sin-kiam Mo-li terengah-engah, kelelahan dan ia pun akhirnya tertidur dalam keadaan kehabisan tenaga dan hampir pingsan dibakar nafsu yang dikobarkannya sendiri.
Ketika Sin Hong siuman, malam sudah amat larut, antara tengah malam dan fajar. Dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang-tulangnya melalui kulit tubuhnya yang tidak tertutup pakaian, juga ada rasa perih karena luka-lukanya. Ketika membuka mata dan melihat bahwa dia rebah terlentang di atas rumput, dan tidak jauh dari situ rebah pula tubuh Sin-kiam Mo-li yang mendengkur lirih, tahulah dia bahwa wanita itu telah tidur nyenyak karena kelelahan.
Inilah kesempatan baik baginya, pikir Sin Hong. Dua orang kakek itu pun tidak nampak, agaknya tidur di bagian lain dari kebun itu dan malam itu cukup gelap, tidak ada bintang nampak di langit yang tertutup awan hitam.
Dengan hati-hati sekali Sin Hong mengambil pakaiannya yang tadi direnggut lepas semua dari tubuhnya oleh Sin-kiam Mo-li, dan melihat dua batang pedang yang berada di dekat Sin-kiam Mo-li, ingin dia mengambilnya. Akan tetapi, seperti orang yang selalu siap siaga, lengan kanan Sin-kiam Mo-li berada di atas pedang itu sehingga Sin Hong tidak berani melanjutkan niatnya.
Apa lagi, dia tidak membutuhkan pedang. Tiga orang gurunya telah menggemblengnya sedemikian rupa sehingga dia tidak membutuhkan senjata pelindung diri lagi. Pula, dari para gurunya dia mendengar bahwa pedang Ban-tok-kiam dan pedang Cui-beng-kiam merupakan dua batang pedang yang amat jahat, mengandung racun yang amat ampuh dan telah minum darah dan mencabut nyawa entah berapa ribu orang! Dia tidak ingin memiliki dua batang pedang itu dan kalau tadi timbul niatnya mengambil, hanya karena dia teringat bahwa Ban-tok-kiam milik subo-nya (ibu gurunya) sedangkan Cui-beng-kiam milik Tiong Khi Hwesio, salah seorang di antara dua gurunya yang laki-laki.
Tanpa mengenakan pakaiannya lebih dahulu, hanya membawanya saja, Sin Hong lalu meninggalkan Sin-kiam Mo-li dan keluar dari kebun itu. Dia tahu bahwa dia harus dapat cepat-cepat pergi karena kalau sampai diketahui ketiga orang iblis itu, tanpa dia dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, kalau hanya berlari biasa saja, tentu akan segera dapat disusul, apa lagi melalui daerah gurun pasir yang kering, tanpa adanya hutan atau bahkan tumbuh-tumbuhan untuk menyembunyikan diri.
Akan tetapi, dia mengenal benar daerah di sekitar gurun pasir itu dan dia tahu di mana letaknya bukit terdekat, bukit yang penuh hutan, yaitu di sebelah barat, dari situ tidak nampak karena tertutup oleh bukit-bukit gurun pasir. Orang lain yang tidak mengenal daerah itu dengan baik, seperti tiga orang jahat itu, sudah mengambil jalan ke selatan, jalan yang teraman karena jalan ke selatan itu menuju ke daerah tanah keras. Padahal, menuju ke bukit di barat itu lebih dekat dibandingkan jarak menuju ke selatan.
Perhitungan Sin Hong ternyata tepat. Ketika Sin-kiam Mo-li terbangun dan tidak melihat pemuda itu, tentu saja ia marah sekali. Kemarahannya semakin memuncak ketika dua orang tosu itu mentertawakannya. Dia pun mengajak mereka untuk segera melakukan pengejaran.
“Akan kusiksa dia dan kurobek kulitnya, kemudian kucabut jantungnya!” Wanita iblis itu mengancam dengan muka merah sekali.
Pemuda itu tidak saja telah menolak untuk melayaninya, bahkan ilmu sihirnya pun tidak mempan, dan kini tahu-tahu telah melarikan diri. Dan seperti diperhitungkan oleh Sin Hong, tiga orang lihai itu melakukan pengejaran secepatnya menuju ke selatan.
Tentu saja mereka tidak berhasil menyusul Sin Hong yang telah tiba di bukit sebelah barat dengan aman. Dia memasuki hutan yang memenuhi bukit itu, hutan lebat yang jarang didatangi manusia karena selain hutan ini amat liar, juga letaknya begitu jauh dari kota dan dusun. Ketika Sin Hong berkeliaran di dalam hutan yang memenuhi seluruh perbukitan di daerah itu, dia melihat banyak binatang hutan dan pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan maka dia pun mengambil keputusan untuk bersembunyi terus di dalam tempat ini sampai pertapaannya selama setahun itu lewat.
Di tempat ini, dia tak akan mengalami gangguan manusia dan dia dapat melaksanakan tapanya dengan aman. Dia pun memilih sebuah goa untuk dijadikan tempat tinggal, dan beberapa bulan kemudian, dalam perantauannya menjelajahi perbukitan itu, dia hanya menemukan beberapa orang pertapa saja tinggal di tempat-tempat tersembunyi.
Ada yang tinggal di dalam goa, ada yang membuat pondok sederhana. Mereka adalah orang-orang yang mengasingkan diri dan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat ramai. Ada yang bertapa untuk melarikan diri dan pertapaan itu hanya merupakan suatu pelarian dari keadaan hidup yang serba tidak menyenangkan, ada pula yang bertapa dengan pamrih memperoleh sesuatu dari hasil pertapaannya, yang pada hakekatnya juga merupakan pelarian dari suatu keadaan yang tidak disukainya untuk mendapatkan suatu keadaan yang diharapkan dan dibayangkan akan mendatangkan kesenangan bagi dirinya.
Sin Hong tinggal dengan aman di dalam goa yang agak terpencil untuk menyelamatkan dirinya. Sungguh berat Ilmu Pek-ho Sin-kun yang diterimanya dari tiga orang gurunya itu, karena selama setahun, ia sama sekali tak boleh mengerahkan sinkang dan karena itu tentu saja dia terancam bahaya.
Untung baginya bahwa ketika menjadi tawanan Sin-kiam Mo-li, dia berhasil meloloskan diri. Jika tidak, ia tentu akan menjadi korban kekejaman tiga orang iblis itu. Keadaannya serba salah. Untuk melawan, terpaksa dia mengerahkan sinkang dan dia akan tewas pula, seperti yang dipesankan oleh tiga orang gurunya. Tidak melawan, akhirnya dia akan mereka bunuh!
Demikianlah, selama setahun Sin Hong bersembunyi di dalam hutan itu, dan memenuhi pesan tiga orang gurunya. Setiap hari dia bersemedhi, melatih diri untuk menguasai hawa sakti yang bergelora di dalam tubuhnya sampai akhirnya dia berhasil menguasai dan mengendalikan hawa sakti itu, dapat mempergunakan sesuai dengan kehendaknya.
Bahkan kemudian ketika dia berlatih Silat Pek-ho Sin-kun setiap gerakannya dapat mengatur tenaga sakti sesuai dengan takarannya. Kini, bahaya dari hawa sakti itu bagi dirinya sendiri lenyap dan dia pun kini menjadi seorang yang amat lihai.
Pada hari terakhir dia berada di dalam hutan itu, dia berlatih Silat Pek-ho Sin-kun dan kalau saja tiga orang gurunya bisa menyaksikannya, tentu mereka akan merasa bangga bukan main. Pemuda itu bersilat dengan tangan kosong, gerakannya nampak perlahan saja, namun pohon-pohon di sekelilingnya seperti dilanda angin taufan, dan di lain saat, gerakan-gerakannya sama sekali tidak menggerakkan daun-daun pohon, namun ketika jari tangannya yang terbuka menyentuh batang pohon, batang pohon itu seperti dibabat dengan pedang tajam dan tumbang!
Sin Hong sendiri terkejut melihat hasil ini, juga girang namun berjanji pada diri sendiri untuk berhati-hati menggunakan Pek-ho Sin-kun karena ternyata merupakan gabungan ilmu-ilmu yang amat ampuh dan akibatnya dapat mengerikan bagi lawannya.
Akhirnya dia pergi meninggalkan perbukitan itu dengan pakaian compang-camping oleh karena selama setahun dia tidak dapat berganti pakaian, kecuali kadang-kadang kalau pakaiannya dicuci, dia mengenakan cawat dari kulit batang pohon.....
********************
Biar pun pakaiannya compang-camping, namun Sin Hong nampak gagah. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir tebal dan dikalungkan di lehernya. Bajunya sudah penuh tambalan dan terbuka di bagian dada atas, memperlihatkan dadanya yang bidang dan kulit dadanya yang kemerahan karena ditimpa sinar matahari yang terik.
Wajah pemuda berusia dua puluh dua tahun ini tidak tampan akan tetapi juga tidak buruk, namun sinar matanya lembut dan mulutnya selalu tersenyum ramah dan dua hal inilah yang mendatangkan daya tarik dan kesejukan pada wajahnya. Bentuk tubuhnya sedang saja, namun di balik kulit itu terdapat kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan, namun yang membuat tubuhnya kokoh seperti batu karang.
Dengan mempergunakan ilmunya berlari cepat, pemuda ini melakukan perjalanan ke selatan, melewati gurun pasir. Gurun itu sepi sekali dan ini menguntungkan Sin Hong yang dapat melakukan perjalanan secepatnya. Kalau di situ lalu lintasnya ramai, tentu keadaannya akan menarik perhatian orang. Bukan hanya pakaiannya yang compang-camping seperti jembel, akan tetapi juga larinya yang cepat bagaikan terbang itu.
Tujuan perjalanannya sudah jelas. Pertama, dia akan pergi ke kota Ban-goan, yaitu kota kelahirannya untuk menyelidiki mengenai kematian ayahnya setelah terlebih dahulu dia menyelidiki ke Tuo-lun di mana ayahnya tewas dalam sebuah hutan di luar kota Tuo-lun seperti yang didengarnya dari Tiong Khi Hwesio.
Kemudian, setelah urusannya selesai, dia akan berkunjung ke kota Pao-teng, mencari suheng-nya, yaitu Kao Cin Liong, putera tunggal suami isteri Kao Kok Cu dan Wan Ceng yang menjadi gurunya, untuk mengabarkan tentang tewasnya dua orang tua itu dan terbasminya Istana Gurun Pasir.
Karena dia mempergunakan ilmu berlari cepat, maka dalam beberapa hari saja dia pun sudah tiba di Tuo-lun. Dia lalu melakukan penyelidikan dan bertanya-tanya kepada para piauwsu yang berada di kota ini.
Akan tetapi, semua orang yang ditanya tidak ada yang dapat memberi keterangan lebih jelas dari pada apa yang sudah pernah didengarnya dari Tiong Khi Hwesio, yaitu bahwa mendiang ayahnya bersama sepuluh orang anak buahnya kedapatan tewas semua di dalam hutan di selatan kota Tuo-lun itu.
Dia pun segera mencari hutan itu dan pada suatu pagi, dia menemukan gundukan tanah kuburan yang cukup tinggi di dalam hutan. Sin Hong berdiri di depan tanah kuburan itu dan membaca tulisan yang diukir dengan kasar pada sebuah batu yang besar dan yang ditaruh di depan kuburan.
Terbaca nama ayahnya sebagai piauwsu, karena bunyi tulisannya hanya ‘Kuburan Tan Piauwsu bersama sepuluh orang temannya’.
Sin Hong merasa terharu. Tentu gurunya, Tiong Khi Hwesio itu yang sudah mengubur ayahnya, dikubur menjadi satu di tempat ini. Ia pun lalu berlutut memberi hormat kepada makam ayahnya.
Sin Hong pergi meninggalkan hutan itu dan melanjutkan perjalanan. Dia tidak berhasil mendapat keterangan yang berharga di Tuo-lun. Harapannya kini tinggal penyelidikan ke kota kelahirannya di Ban-goan. Ia akan menyelidiki dan mencari Tang-piauwsu yang dulu menjadi wakil dan pembantu utama ayahnya. Mudah-mudahan saja Tang-piauwsu berhasil lolos dari kejaran para perampok berkedok itu, pikirnya. Kalau Tang-piauwsu juga tewas, sukarlah baginya untuk menyelidiki siapa gerangan para perampok itu dan siapa pula yang membunuh ayah ibunya.
Pada suatu hari, tibalah dia di Tembok Besar, tempat penyeberangan para pedagang dan pengawal kalau hendak ke luar Tembok Besar. Matahari telah naik tinggi dan Sin Hong berhenti sebentar sambil menghapus keringatnya dengan ujung baju yang sudah compang-camping itu.
Keadaan di situ sunyi sekali. Hanya beberapa hari saja dalam sebulan jalan itu ramai dilalui rombongan pedagang. Kini, para pedagang hanya berani melakukan perjalanan membawa barang-barang mereka secara rombongan, dikawal oleh para piauwsu yang kuat karena akhir-akhir ini timbul banyak perampok di daerah perbatasan itu.
Dari tempat yang agak tinggi itu Sin Hong mengamati ke arah selatan. Kembali dia mengenang perjalanannya bersama ibunya menyusul ayahnya di Tuo-lun, dikawal oleh Tang-piauwsu. Lalu teringatlah dia akan pendapat nenek Wan Ceng, subo-nya setelah mendengar akan semua peristiwa yang menimpa dirinya.
Nenek yang cerdik itu menyatakan kecurigaannya kepada Tang-piauwsu! Dia tak begitu ingat lagi bagaimana sikap Tang-piauwsu terhadap keluarganya dan dia pun tak begitu yakin akan kebenaran persangkaan subo-nya itu. Akan tetapi, bagaimana pun juga, dia akan menyelidiki dengan cermat dan hati-hati agar jangan sampai menuduh orang yang tidak bersalah.
Selagi dia termenung, tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya belasan orang dari balik tembok dan batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tampang menyeramkan. Sikap mereka kasar, serta tangan mereka memegang golok telanjang dan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan penuh ancaman ketika mereka berloncatan menghampirinya.
Diam-diam Sin Hong merasa girang. Mereka ini, dilihat dari sikapnya, tentulah sebangsa perampok dan agaknya dia menemukan jejak pertama untuk bahan penyelidikannya. Maka dia pun menanti dengan tenang dan memperhatikan laki-laki yang berada paling depan. Tentu dia kepalanya, pikirnya.
Laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan berkumis lebat sekali, sekepal sebelah, dengan jenggot pendek tebal. Tubuhnya tinggi besar bagaikan raksasa dan mukanya yang sebagian bawah tertutup jenggot dan kumis itu berkulit hitam. Matanya melotot lebar dan garang.
“Keparat!” Tiba-tiba kepala perampok itu menyumpah-nyumpah setelah dia berhadapan dengan Sin Hong, matanya yang lebar melotot memandang pemuda itu dari atas ke bawah, melihat pakaiannya yang compang-camping. “Kukira belut gemuk yang lunak dagingnya, kiranya hanya seekor cacing!”
Para anggota perampok tertawa mendengar makian kepala perampok itu. Mereka tadi melihat munculnya seorang laki-laki dari jauh, kemudian mereka bersembunyi, dan lalu keluar untuk menyergap calon korban itu. Sudah sebulan ini mereka tidak memperoleh mangsa dan dalam keadaan haus mereka telah bergembira melihat munculnya seorang calon mangsa. Siapa kita, orang itu hanyalah seorang jembel muda yang sama sekali tidak dapat diharapkan memiliki sesuatu yang berharga.
“Ha-ha-ha, cacing juga cacing kurus pula, kulitnya pun tidak ada harganya satu sen!” kata seorang di antara mereka.
“Toako, kita bunuh dan cincang saja daging dan tulangnya supaya menjadi santapan anjing-anjing hutan!” kata seorang perampok lainnya.
Dengan sikap buas dan beringas, belasan orang itu sudah maju mengepung Sin Hong dan mereka pun merasa heran mengapa pemuda itu tidak berlutut dan menangis minta ampun. Sebaliknya, pemuda itu malah tersenyum menghadapi kepala perampok itu dan kini Sin Hong berkata lembut,
“Kalian ini memang seperti anjing-anjing hutan kelaparan. Akan tetapi kebetulan sekali kalian datang, karena aku ingin minta keterangan dari kalian. Kuharap kalian suka memberi tahu kepadaku apakah kalian tahu tentang gerombolan perampok yang suka memakai kedok. Nah, katakanlah dan aku yang berterima kasih tak akan mengganggu kalian selanjutnya!”
Para perampok itu saling pandang dan ada di antara mereka yang tertawa bergelak, merasa lucu karena sikap pemuda itu seakan-akan mengancam mereka! Akan tetapi kepala perampok itu menjadi marah bukan main. Matanya semakin lebar melotot ketika dia membentak.
“Cacing tanah busuk! Berani kau membuka mulut besar? Engkau tidak tahu berhadapan dengan siapa, keparat! Aku adalah Hek-san-coa (Ular Gunung Hitam) dan bersama kawan-kawanku, kami terkenal di seluruh Tembok Besar!”
Sin Hong tersenyum mengejek. “Kebetulan sekali! Engkau adalah ular hitam, dan aku adalah Pek-ho (Bangau Putih) yang kelaparan. Bolehlah si bangau makan si ular untuk membersihkan daerah ini!”
Tentu saja ucapan pemuda itu mendatangkan kemarahan besar kepada belasan orang itu. Pemuda jembel begini berani menentang mereka, bahkan barusan menghina kepala perampok! Padahal mereka adalah gerombolan yang ditakuti semua orang dan amat terkenal bagi para pedagang dan pengawal yang suka lewat di situ.
“Toako, biarkan aku menyembelih tikus ini!” bentak salah seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dengan mata sipit dan muka kuning pucat.
Tanpa menanti jawaban pemimpinnya, si tinggi kurus ini telah menggerakkan goloknya, membacok ke arah Sin Hong dengan cepat dan kuat sekali. Agaknya orang ini hendak membuktikan ancamannya, sekali tebas menyembelih leher pemuda yang sudah berani menghina mereka itu.
Namun, tentu saja serangan ini terlampau lamban dan terlampau lemah bagi seorang pemuda gemblengan seperti Sin Hong, tiada ubahnya permainan kanak-kanak saja. Dia menundukkan kepala untuk membiarkan golok lewat di atas kepalanya. Dan begitu dia menggerakkan tangan, jari tangannya sudah menotok ke bawah siku lengan dan begitu golok terlepas, dia sudah menyambar golok itu yang langsung dia luncurkan ke bawah, tapi sengaja dia balikkan sehingga punggung golok yang tidak tajam menghantam lutut si tinggi kurus.
“Takkk...! Aduuuhhhhh...!”
Si tinggi kurus terjungkal dan meloncat lagi, berloncatan dengan kaki kanan, sedangkan dua tangannya memegang lutut kirinya yang terasa nyeri bukan main. Saking nyerinya, dia roboh lagi, memijit-mijit tulang kering di bawah lututnya.
Tulang kering dipukul golok, biar hanya punggung golok, akan tetapi besi yang berat itu tentu saja cukup membuat tulang keringnya retak dan nyerinya sampai menusuk ke tulang sumsum! Sin Hong melempar golok itu ke atas tanah sampai ke gagangnya!
Terkejutlah semua perampok, terkejut dan marah. Tak mereka sangka bahwa pemuda jembel itu pandai ilmu silat, bahkan demikian lihainya sehingga dalam segebrakan saja telah membuat si tinggi kurus itu roboh tak berdaya. Hanya satu gebrakan saja! Hampir mereka tidak percaya dan menganggap bahwa hal itu hanya suatu kebetulan saja. Akan tetapi, kemarahan melihat seorang temannya terluka membuat mereka marah dan ganas seperti ikan-ikan hiu mencium darah.
“Jembel busuk, mampuslah!” teriak seorang yang gemuk pendek dengan perut gendut dan orang ini yang berdiri di belakang Sin Hong, sudah membacokkan goloknya dari atas ke bawah, mengarah kepala pemuda itu. Kalau terkena sasaran itu tentu kepala itu terbelah dua dan isi kepala akan berhamburan.
Namun, tanpa menoleh, hanya dengan mengandalkan pendengarannya yang tajam, Sin Hong miringkan tubuhnya. Golok yang menjadi sinar terang itu menyambar lewat dan tangannya bergerak ketika tubuhnya diputar membalik tanpa mengubah kedudukan dua kaki dan di lain saat, golok itu sudah pindah tangan karena pemegangnya merasa lengannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang telah terjadi, golok itu, dengan terbalik, menyambar kakinya.
“Takkk...! Auuuwww... aduhhh... aduhhhh...!”
Dan dia pun berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari, kaki kanannya diangkat dan kaki kiri berloncatan seperti halnya orang pertama, kemudian dia pun jatuh terjungkal, memijiti lutut kanannya yang terpukul punggung golok.
Kini para perampok itu mengeroyok Sin Hong dengan serangan golok mereka! Sin Hong kembali sudah melempar golok rampasannya setelah tadi mengetuk lutut lawan. Golok meluncur dan menancap di batu sampai ke gagangnya, kemudian dengan kedua tangan kosong dia menghadapi pengeroyokan para perampok itu.
Hebat sekali sepak terjang Sin Hong. Tubuhnya sudah demikian peka sehingga seolah-olah di mana-mana tubuhnya memiliki mata dan mampu mengelakkan setiap serangan. Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun tidak dipergunakannya karena dia tidak ingin memperlihatkan ilmu itu kalau tidak penting sekali.
Akan tetapi ilmu-ilmu silat yang tinggi-tinggi sudah mendarah daging dengan tubuhnya. Maka tiap kali ia mengelak sambil menyerang, sudah pasti yang menyerangnya berbalik roboh sambil mengaduh-aduh. Ada yang tulang kakinya retak, tulang pundaknya patah, atau lengannya terkilir.
Satu demi satu mereka roboh. Tak seorang pun tewas, akan tetapi tidak seorang pun mampu bangkit atau ikut mengeroyok lagi. Sin Hong hanya berdiri di tempat tadi, tidak melangkah jauh, hanya mengubah kedudukan kuda-kuda kaki sesuai dengan serangan lawan. Dia menanti lawan menyerang, kemudian menghadapi serangan dan sekaligus merobohkannya.
Melihat dalam sekejap mata saja lebih dari setengah jumlah orangnya roboh, kepala perampok itu marah bukan main. “Bocah setan, akulah lawanmu!”
Melihat kepala perampok sendiri yang maju, enam orang sisa anak buah perampok yang belum roboh segera mundur, memberi kesempatan kepada pemimpin mereka. Kepala perampok itu memegang sebatang golok yang besar dan tebal, nampak amat berat, tanda bahwa dia memiliki tenaga besar.
Dengan mata melotot dia menghadapi Sin Hong. Sekarang dia tak memandang rendah setelah melihat betapa pemuda itu dengan mudah mampu merobohkan tujuh orang anak buahnya. Dia ingin tahu siapa adanya pemuda jembel yang lihai ini karena belum pernah dia mendengar, apa lagi melihat tentang pemuda ini.
“Bocah setan, siapakah engkau sesungguhnya?” bentaknya.
Sin Hong tersenyum. Tidak ada gunanya berkenalan dengan segala macam perampok seperti ini, pikirnya.
“Engkau Ular Gunung Hitam, dan aku si Bangau Putih. Nah, lekas katakan saja tentang perampok yang berkedok itu, dan aku akan pergi dengan aman.”
“Bangsat sombong! Jangan mengira engkau akan dapat terlepas dari hukuman golok keramatku!” Dan kepala perampok itu pun sudah memutar goloknya.
Golok yang besar dan berat itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang berdesing-desing mengerikan. Akan tetapi sikap Sin Hong tetap tenang, hanya menanti kepala perampok itu melakukan serangan. Kepala perampok itu tak segera menyerang karena sesungguhnya dia pun mulai merasa jeri melihat kelihaian pemuda itu.
Maka sekarang dia pun berseru kepada enam orang anak buahnya yang belum roboh. “Kepung, keroyok dan kita bunuh dia! Cincang badannya!”
Melihat betapa kini pemimpin mereka sendiri yang maju, enam orang itu pun berbesar hati dan mereka segera menyerang dari semua jurusan, menghujankan serangan golok mereka ke arah tubuh Sin Hong. Kepala perampok itu pun ikut pula menyerang!
Kembali Sin Hong dikeroyok, sekali ini lebih hebat dari pada yang tadi. Akan tetapi, Sin Hong tetap tenang dan bersikap menanti. Setiap kali serangan datang, dia mengelak sambil terus merobohkan penyerangnya, dengan tangan, kaki atau punggung golok.
Akibatnya sama saja. Yang terkena tamparan tangannya, tentu akan patah tulang iga atau tulang pundak, yang tertendang patah tulang kaki. Dalam waktu hanya beberapa menit saja, enam orang sisa anak buah itu pun sudah roboh semua.
Kepala perampok yang licik itu tadi hanya menyerang dengan hati-hati saja untuk turut mengeroyok sehingga dia belum sampai dirobohkan. Kini, melihat betapa semua anak buahnya roboh, tanpa banyak cakap lagi dia pun cepat membalikkan tubuh dan hendak melarikan diri! Melihat ini, Sin Hong memungut sebatang golok yang tercecer, kemudian menyambitkan golok itu.
“Ceppp...!”
Kepala perampok itu mengeluh dan roboh dengan punggung ditembusi golok. Tidak seperti anak buahnya, dia pun tewas seketika. Sin Hong sengaja membunuhnya, karena dia berpendapat bahwa kalau kepala perampok itu tidak dibunuh, akan percuma saja menasihati anak buahnya untuk bertobat. Kepala perampok itu tentu akan memaksa anak buahnya untuk merampok lagi dan dengan adanya kepala perampok yang ganas dan jahat, maka anaknya pun akan menjadi lebih berani.
Tiga belas anak buah perampok itu masih rebah atau duduk sambil mengaduh-aduh kesakitan. Wajah mereka semua berubah pucat ketika mereka melihat betapa pemimpin mereka tewas dan kini pemuda yang amat perkasa itu menghampiri mereka.
“Nah, sekarang kalian katakan padaku, siapakah gerombolan perampok berkedok yang pada beberapa tahun yang lalu merajalela di sini, bahkan telah membunuh Tan-piauwsu dari Ban-goan, dan menyerang pula Tang-piauwsu. Hayo ceritakan yang benar, kalau tidak, terpaksa akan kubunuh kalian semua seperti yang sudah aku lakukan terhadap pemimpinmu ini!”
Para perampok itu saling pandang dengan bingung dan ketakutan, akan tetapi seorang di antara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, dan menderita patah tulang pundaknya, segera bangkit dan berkata kepada Sin Hong.
“Harap Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan kami orang-orang kasar yang tidak mengenal orang pandai dan berani kurang ajar. Kiranya di antara kami hanya saya saja yang tahu akan perampok-perampok berkedok yang delapan tahun yang lalu merampok dan membunuh Tan-piauwsu dari Ban-goan karena pada waktu itu, saya kebetulan melihatnya dari jauh.”
Bukan main girang rasa hati Sin Hong mendengar ini dan dia pun cepat menghampiri orang itu. “Bagus sekali! Ceritakan bagaimana terjadinya dan siapa mereka itu, siapa pula pemimpin mereka!”
Orang itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala.
“Sungguh menyesal sekali saya sendiri tidak mengenal mereka, Taihiap. Saya melihat rombongan Tan-piauwsu dihadang dan diserang oleh dua puluh orang lebih orang yang mengenakan kedok, merampas barang yang dikawalnya dan membunuh Tan-piauwsu dan kawan-kawannya. Kemudian mereka melarikan diri menunggang kuda. Hanya ada satu hal penting yang dapat saya ceritakan, yaitu sebelum penghadangan itu terjadi, saya melihat rombongan perampok itu tadinya mengenakan pakaian seperti rombongan piauwsu. Mereka berhenti di dalam hutan, mengganti pakaian dan mengenakan kedok. Maka, saya menduga bahwa gerombolan itu agaknya hanya perampok palsu saja, Taihiap, penyamaran dari rombongan piauwsu.”
Sin Hong mengerutkan alisnya. Agaknya tepat dugaan mendiang subo-nya, pikirnya. Jangan-jangan Tang-piauwsu yang merencanakan semua itu, untuk merampas barang kawalan yang berharga. Akan tetapi mengapa Tang-piauwsu sendiri kemudian dihadang perampok berkedok? Apakah itu juga hanya siasatnya saja, untuk membunuh dia dan ibunya? Benarkah seperti yang diduga oleh subo-nya yang cerdik itu?
“Engkau masih ada penjelasan lain lagi?” tanyanya.
Perampok itu menggeleng kepalanya. Akan tetapi, keterangan itu cukup penting bagi Sin Hong dan sudah cukup banyak pula. Dia harus menyelidiki ke Ban-goan.
Sin Hong teringat bahwa dia tidak mempunyai bekal, juga bahwa pakaiannya haruslah diganti, maka dia lalu berkata kepada mereka.
“Kalian sudah biasa merampok orang, sekarang aku membutuhkan uang. Berikan uang yang ada pada kalian kepadaku!”
Perampok yang memberi keterangan tadi lalu berkata, “Kami tidak mempunyai banyak uang, Taihiap. Sedikit harta yang kami terima dari ketua kami biasanya cepat habis untuk foya-foya. Akan tetapi saya yakin pemimpin kami itu memiliki barang berharga.” Dia lalu menghampiri mayat kepala perampok, dan tak lama kemudian menghampiri Sin Hong sambil membawa sebuah pundi-pundi kecil terisi uang emas dan perak!
Akan tetapi Sin Hong tidak membutuhkan uang sebanyak itu. Sebagian dia bagi-bagikan kepada para anggota perampok sambil berkata, “Kali ini aku masih memaafkan kalian dan hanya membunuh pemimpin kalian. Akan tetapi lain kali kalau aku melihat kalian masih merampok, terpaksa aku akan membasmi kalian. Kuharap kalian suka menyadari bahwa pekerjaan merampok itu terkutuk, dan sekali waktu kalian pasti akan menerima hukuman, baik itu dari pasukan keamanan, dari para pendekar atau setidaknya, sudah pasti akan datang hukuman dari Tuhan! Bertobatlah dan ubahlah jalan hidup kalian. Jika kalian mau bekerja, tentu kalian akan dapat mencari makan. Nah, selamat tinggal!”
“Nanti dulu, Taihiap!” teriak orang tua yang tadi memberi keterangan. “Kami ingin sekali bertobat dan mengubah jalan hidup kami, akan tetapi kami ingin lebih dahulu mengenal siapakah Taihiap?”
Sin Hong tersenyum. “Sebut saja aku si Bangau Putih.”
Begitu dia berkelebat, bayangannya lenyap di antara pohon-pohon dan meninggalkan orang-orang itu yang menjadi bengong saking heran dan kagum mereka. Mulai peristiwa ini dan seterusnya, dunia kang-ouw mulai mengenal nama Pek Ho Enghiong (Pendekar Bangau Putih) karena memang Sin Hong jarang memperkenalkan namanya sendiri dan sepak terjangnya seperti seekor burung bangau putih yang menyambar dan melayang-layang.
Memang dia suka sekali mengenakan pakaian putih. Setelah dia mempunyai uang dan berkesempatan membeli pakaian, dia membeli pakaian yang sederhana, berwarna putih dengan garis pinggir berwarna kuning atau biru. Dan dengan pakaian putih ini, semakin terkenallah julukan Si Bangau Putih.....
********************
Selanjutnya baca
KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-03