Kisah Si Bangau Putih Jilid 03

Kota Ban-goan tidaklah besar. Akan tetapi karena kota ini merupakan kota yang menjadi awal penyeberangan ke luar Tembok Besar, maka kota ini dikunjungi banyak pedagang yang ingin membawa barang dagangannya menyeberang lewat Tembok Besar.
Perusahaan piauwkiok (ekspedisi) yang mengawal barang dagangan juga makin subur dan sibuk. Banyak terdapat perusahaan ekspedisi atau pengawal di kota ini, dan satu di antaranya, yang terkenal dan dipercaya orang, adalah perusahaan piauwkiok yang dulu dipimpin oleh Tan-piauwsu.

Tidak sukar bagi Sin Hong untuk menemukan Tang-piauwsu, yaitu orang yang sedang dicarinya. Tang-piauwsu ternyata masih melanjutkan pekerjaan ayahnya, melanjutkan perusahaan ekspedisi yang dahulu dipegang ayahnya, dan Sin Hong masih belum lupa akan rumah bekas tempat tinggal orang tuanya itu.

Tidak banyak perubahan pada rumah itu yang bagian depannya merupakan kantor, juga papan nama Peng An Piauwkiok (Kantor Ekspedisi Selamat) masih tergantung di depan kantor. Bahkan rumah itu kini nampak butut dan seolah-olah tidak terpelihara lagi. Dua orang kuli tua duduk di depan kantor, di atas bangku reyot dan melihat mereka berdua mengobrol sambil menghisap rokok dapat diketahui bahwa perusahaan itu sepi saja.

Sin Hong masih ingat kepada dua orang kuli tua ini, walau pun dia tidak tahu lagi siapa nama mereka. Tulang-tulang menonjol di balik kulit yang menjadi keras karena kerja berat itu menambah bayangan kemiskinan diderita dua orang ini.

Melihat ada seorang pemuda menghampiri kantor itu, dua orang kuli ini cepat bangkit memberi hormat dan kegembiraan membayang di wajah mereka, kegembiraan penuh harap untuk mendapatkan pekerjaan yang mendatangkan hasil bagi mereka.

“Selamat pagi, Tuan Muda. Apakah Tuan Muda hendak mengirim barang yang perlu pengawalan?” tanya seorang di antara mereka penuh harapan.

Begitu mudahnya membaca kegembiraan penuh harapan membayang di wajah mereka sehingga Sin Hong merasa terharu. Melihat rumah ini, bertemu dengan dua wajah tua yang tidak asing ini, mendatangkan kenangan lama dan mengingatkan dia akan ayah ibunya yang sudah tiada.

Pohon cemara itu masih tumbuh di samping rumah dan dia masih mengenal cabang-cabangnya yang kini semakin besar dan tinggi. Juga batu besar di bawahnya, di mana dahulu dia sering kali bermain di atasnya. Hatinya terharu, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan perasaan hatinya dan dia masih tersenyum ramah ketika menjawab,

“Ji-wi Lopek (Paman Tua Berdua), aku ingin bertemu dengan Tang-piauwsu. Apakah dia berada di sini?”

Dahulu, delapan tahun yang lalu, Tang-piauwsu merupakan pembantu utama ayahnya dan pengawal ini dahulu adalah seorang bujangan berusia tiga puluh tahun lebih, tidak berkeluarga dan tinggalnya mondok pula di rumah ayahnya. Tentu kini ia sudah berusia empat puluh tahun.
Sin Hong ingin sekali tahu apakah pengawal itu masih tinggal di situ ataukah pindah ke rumah lain dan hanya berkantor di situ. Diam-diam dia menjadi gelisah, jangan-jangan Tang-piauwsu sudah tiada, tewas pula ketika mengawal dia dan ibunya dan kemudian dikeroyok oleh para perampok berkedok. Tetapi jawaban orang itu melegakan hatinya.

“Tang-piauwsu? Tentu saja dia berada di sini, Kongcu. Kongcu hendak bicara tentang pesanan pengawalan? Biar saya panggilkan dia, tentu sedang berada di bagian dalam rumahnya. Akhir-akhir ini kesehatannya sering kali terganggu.”

Dua orang itu lalu masuk ke dalam setelah mempersilakan Sin Hong duduk menanti di bangku yang terdapat di dalam kantor itu. Sin Hong duduk sambil mengamati keadaan kantor itu.

Seingatnya, kantor ini dahulu lebih bersih dan lebih banyak mejanya, dan sedikitnya ada lima orang piauwsu yang duduk di situ melayani tamu. Juga ada sedikitnya lima orang kuli yang menerima barang-barang kemudian menyimpannya ke dalam gudang sebelum dikirimkan. Akan tetapi sekarang kantor itu kosong sama sekali tidak ada orangnya, dan meja yang terdapat di situ hanya dua, kini kosong tanpa pegawai.

Suara sepatu dari dalam membuat dia mengangkat muka memandang. Dan muncullah Tang-piauwsu. Dia masih ingat benar wajah itu, hanya kini nampak jauh lebih tua dari pada delapan tahun yang lalu.

Tubuh yang tinggi besar dari Tang Lun, demikian nama piauwsu itu, sekarang sedikit membungkuk. Kumis dan jenggotnya tidak terpelihara. Meski usianya baru empat puluh tahun lebih sedikit, rambutnya telah banyak bercampur uban. Mukanya memperlihatkan garis-garis pengalaman pahit yang dalam.

Dan yang lebih mengherankan hati Sin Hong adalah buntungnya telinga kiri piauwsu itu! Daun telinga kirinya tidak ada. Sin Hong cepat bangkit berdiri dan Tang-piauwsu yang mengira mendapat langganan baru, segera memberi hormat.

“Selamat pagi, Kongcu. Apakah Kongcu mencari saya? Sayalah Tang-piauwsu, dan jika Kongcu membutuhkan pengawalan…”
“Paman Tang, lupakah Paman kepadaku?” kata Sin Hong, suaranya agak menggetar karena keharuan.

Orang ini dahulu pernah membela dia dan ibunya dari serangan gerombolan perampok berkedok. Melihat wajah orang ini, seketika lenyaplah keraguannya. Dia hampir yakin bahwa dugaan mendiang subo-nya itu keliru.

Orang tinggi besar dan telinga kirinya buntung itu memandang kepada Sin Hong penuh perhatian dan keraguan. Betapa pun dia mengingat-ingat, tetap saja dia tidak mampu mengenal pemuda itu.

“Maaf... maafkan saya yang sudah tua dan lemah ingatan, akan tetapi siapakah Kongcu ini...,” katanya agak bingung.

Sin Hong tersenyum ramah sambil melangkah maju mendekati Tang Lun, kemudian dia berkata lembut, “Paman Tang Lun, aku adalah Sin Hong, Tan Sin Hong, sudah lupakah engkau?”

Sepasang mata itu terbelalak dan wajah itu menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah. Matanya memandang penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, kemudian dia menubruk Sin Hong dan menangis! Orang tua itu, yang dulu terkenal sebagai seorang piauwsu yang gagah perkasa, kini merangkul Sin Hong sambil menangis terisak-isak seperti anak kecil.

Sin Hong membiarkan saja karena maklum bahwa agaknya baru sekarang orang ini mendapatkan kesempatan melepaskan semua penanggungan batinnya melalui tangis. Bukan hanya pelepas derita batin, tetapi juga mungkin karena keharuan, kekagetan dan kegembiraan melihat Sin Hong masih hidup.

Akhirnya dia dapat juga bicara. Sambil tetap memegang kedua pundak Sin Hong, dia mendorong halus dan mengamati wajah pemuda itu dengan air mata masih bercucuran. Bukan air mata buaya, pikir Sin Hong dan dia masih tetap percaya akan kejujuran orang tua ini.

“Sin Hong! Tan Sin Hong… ya Tuhan Yang Maha Kuasa! Siapa dapat percaya? Siapa yang dapat mengenalmu? Sudah bertahun-tahun aku menangisi kalian semua, ayahmu, ibumu, engkau sendiri. Siapa kira kini engkau muncul dalam keadaan selamat, masih hidup dan sudah dewasa pula? Ya Tuhan, apa saja yang telah terjadi denganmu, Nak? Bagaimana mungkin engkau masih dapat keluar dengan selamat dan di mana ibumu?”

“Nanti dulu, Paman. Aku tentu akan menceritakan semua pengalamanku selama ini, tapi lebih dulu aku ingin mendapatkan keterangan darimu tentang segala yang telah terjadi, segala urusan mengenai keadaan ayah pada delapan tahun yang lalu.”

Orang itu mengangguk-angguk. “Baik, baik akan tetapi mari kita duduk, Sin Hong.”

Mereka duduk berhadapan. Tang Lun menatap wajah pemuda itu, kemudian berkata, “Sebelum aku menjawab semua pertanyaanmu dan menceritakan segala hal yang aku ketahui dengan sebenarnya, terlebih dahulu aku ingin mengetahui satu hal. Jawablah, Sin Hong, katakanlah bagaimana keadaan ibumu.”

Melihat betapa sepasang mata itu memandang dengan penuh selidik, penuh harap dan penuh kecemasan, Sin Hong merasa tidak tega untuk membuat orang tua itu berada dalam keadaan bimbang dan gelisah.

“Paman Tang Lun, ibuku telah meninggal dunia, diserang badai di gurun pasir...“
“Ahhhhh...!”

Tang Lun menutupi mukanya dengan kedua tangannya, kembali dia menangis! Sampai lama baru dia dapat bicara. “Aku yang berdosa, aku... aku yang menyuruh engkau dan ibumu melarikan diri ke gurun pasir sehingga ibumu mendapatkan kematiannya di sana dan engkau... ahhh, hanya berkat perlindungan Tuhan saja engkau masih dapat hidup sampai sekarang... aihhh, Sin Hong, betapa aku selama ini membayangkan kengerian kalian di gurun pasir... dan semua... itu karena aku yang menyuruhmu...”

Sin Hong mengerutkan alisnya. Hemm, kenapa orang ini berkata demikian? Apa benar juga dugaan mendiang subo-nya? Dia merasa tegang, akan tetapi berhasil menekan perasaannya. Dia harus menyelidiki semua ini dengan bebas. Setelah orang tua itu tenang kembali, mulailah dia bertanya.

“Paman Tang Lun, sekarang aku minta dengan hormat supaya engkau suka menjawab dan menceritakan seluruhnya secara jujur padaku. Aku berhak untuk mengetahui segala yang telah terjadi pada kedua orang tuaku, bukan? Nah, pertama, ceritakanlah tentang kepergian ayah ke Tuo-lun, barang apa yang dikawalnya dan siapa yang menyuruhnya. Ceritakanlah dengan jelas dari awal mulanya, Paman.”

Peristiwa yang terjadi delapan tahun yang lalu itu selalu terbayang di dalam benak Tang Lun, maka tanpa banyak mengingat lagi dia pun bercerita, dengan lancar…..

Pada suatu hari, demikian ia bercerita, datanglah seorang hartawan ke kantor ekspedisi Peng An Piauwkiok itu. Hartawan itu datang bersama keempat orang pelayannya. Dia seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun, berpakaian mewah sekali bahkan keretanya pun indah.

Ia mengaku sebagai seorang hartawan dari kota raja yang datang ke Ban-goan dengan maksud mengirimkan sebuah peti besar berisi emas permata yang harganya tak kurang dari seratus kati emas. Hartawan itu mengaku she Lay dan untuk selanjutnya disebut Lay-wangwe (hartawan Lay) yang katanya membuka toko rempah-rempah yang sangat besar di kota raja.

Karena peti itu berisi barang berharga, maka Tan-piauwsu menuntut biaya pengawalan yang besar, yaitu sepuluh kati emas atau sepersepuluh dari harga barang yang akan dikawalnya. Lay-wangwe sambil tertawa menyetujui dan mengatakan bahwa dia bahkan akan menambah jumlah itu dengan hadiah lain kalau barangnya itu tiba di tempat tujuan dengan selamat.

“Demikianlah Sin Hong. Karena barang itu sangat berharga, ayahmu tidak tega untuk menyerahkan pengawalannya kepada anak buah. Ayahmu berangkat mengawal sendiri bersama sepuluh orang anak buahnya yang dipilihnya, dan urusan di sini diserahkan kepadaku.”

Tang-piauwsu kemudian melanjutkan keterangannya.....

Sebulan kemudian setelah Tan-piauwsu mengawal kiriman berharga itu, datang utusan Tan-piauwsu yang mengabarkan bahwa dia telah tiba dengan selamat di kota Tuo-lun dan minta agar isteri dan puteranya menyusul ke Tuo-lun karena di kota itu sedang ada keramaian dan perayaan besar.

“Karena aku khawatir akan keselamatan ibumu dan engkau, maka aku sendirilah yang mengawal kalian. Akan tetapi ternyata diperjalanan kita diserang gerombolan berkedok itu. Selanjutnya engkau dan ibumu kusuruh menyelamatkan diri dari kejaran gerombolan dengan menunggang onta memasuki gurun pasir. Ahhh, peristiwa itu menghantui aku setiap malam selama ini, karena aku merasa seolah-olah aku menyuruh kalian berdua memasuki jurang kematian!”

“Nanti dulu, Paman. Siapakah orang yang mengirim berita dari ayah itu? Orang yang menyampaikan pesan ayah dari Tuo-lun?”
“Aku sudah mencari orang itu namun tidak berhasil. Ketika dia datang melapor itu, aku sudah merasa heran mengapa Tan-toako tidak mengutus seorang di antara para anak buahnya, melainkan seorang yang asing dan tak kukenal. Orang itu mengatakan bahwa dia adalah anggota rombongan piauwsu yang mengawal barang dari Tuo-lun ke selatan, dan Tan-toako yang sudah mengenalnya, menitipkan pesan itu untuk kita.”
“Dan engkau masih ingat orangnya? Wajahnya? Namanya?”

Tang Lun menarih napas panjang dan menggelengkan kepala. “Itulah kesalahan dan kecerobohanku. Karena tak menduga buruk, aku lupa lagi akan namanya, dan wajahnya juga wajah orang biasa sehingga aku sudah tidak ingat lagi. Akan tetapi aku merasa yakin bahwa dia adalah seorang anggota gerombolan orang berkedok itu yang sengaja memancing kita melakukan perjalanan jauh itu.”

Pada saat itu, dari luar muncullah seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Orangnya bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat kekuningan tetapi sepasang matanya berkilat dan dia nampak cerdik serta gagah. Sebatang pedang tergantung di punggungnya dan pakaiannya juga pakaian seorang piauwsu.

Melihat orang ini, Sin Hong segera mengenalnya. Orang ini adalah Ciu-piauwsu, nama lengkapnya Ciu Hok Kwi, salah seorang di antara piauwsu-piauwsu pembantu ayahnya. Sebaliknya, Ciu Hok Kwi tidak mengenal pemuda yang sedang bercakap-cakap dengan Tang-piauwsu itu. Disangkanya Sin Hong seorang tamu biasa yang hendak mengirim barang, maka dia pun acuh saja.

“Paman Ciu!” Sin Hong menegurnya.

Orang itu terkejut, kemudian memandang Sin Hong penuh perhatian. Pandang matanya mengandung keheranan karena dia tidak mengenal pemuda yang menyebutnya paman itu.

“Ciu-te, apakah engkau sudah lupa kepadanya? Dia ini adalah Tan Sin Hong,” berkata Tang-piauwsu.

Sepasang mata yang bersinar itu terbelalak dan kini dia pun teringat. Kalau tadi dia seperti juga Tang-piauwsu, tidak ingat kepada Sin Hong, adalah karena mereka sudah mengira bahwa Sin Hong telah tewas.

“Sin Hong...!” Ciu-piauwsu berseru.

Dia cepat menghampiri, lalu memegang lengan pemuda itu. “Syukurlah, engkau masih selamat, masih hidup! Sungguh merupakan keajaiban! Dan bagaimana dengan ibumu?”

“Ibu telah meninggal dunia diserang badai di gurun pasir.”
“Ahhh...! Kasihan...!”
“Ciu-te, kebetulan engkau pun datang. Sin Hong sudah pulang dan ia minta keterangan tentang semua peristiwa yang terjadi, dan tadi aku sudah menceritakan tentang sebab keberangkatan ayahnya, kemudian mengenai perjalanan dia dan ibunya yang kukawal. Kalau aku lupa dalam keteranganku, engkau dapat menambahkan.”

Ciu Hok Kwi mengangguk dan duduk berhadapan dengan mereka. “Semua itu agaknya sudah direncanakan orang yang memusuhi keluargamu, Sin Hong,” kata Ciu-piauwsu dengan suara penuh keyakinan.

“Aku pun sudah mengatakan demikian,” sambung Tang-piauwsu.
“Nanti dulu, Paman berdua. Lebih dahulu aku ingin mendengar cerita Paman Tang Lun tentang pengalamannya pada waktu aku dan ibu berpisah darimu, Paman. Ceritakanlah selengkapnya, karena mungkin keterangan Paman ini penting bagiku.”

Tang Lun lalu melanjutkan ceritanya. Saat ia mengawal nyonya Tan Hok dan Sin Hong, mereka dihadang oleh perampok berkedok dan dia melakukan perlawanan mati-matian bersama dua belas orang anak buahnya. Namun, pihak perampok ternyata selain lebih banyak jumlahnya, juga lihai sekali sehingga satu demi satu anak buahnya roboh dalam keadaan binasa.

“Melihat keadaan yang tidak menguntungkan dan berbahaya bagi kalian berdua, aku mengajak kalian melarikan diri. Karena para perampok berkedok itu terus melakukan pengejaran, ketika mendapatkan binatang onta, aku menyuruh kalian melarikan diri ke dalam gurun pasir, sedangkan aku kemudian menanti para pengejar untuk melakukan perlawanan mati-matian dan membiarkan kalian dapat menyelamatkan diri.” Sampai di sini Tang-piauwsu diam dan meraba-raba telinga kirinya yang sudah tidak berdaun lagi.

Tang Lun melakukan perlawanan mati-matian, dikeroyok oleh banyak orang berkedok dan biar pun dia mengamuk dengan golok besarnya, akhirnya dia roboh pingsan karena luka-lukanya dan daun telinga kirinya putus.

“Ketika aku siuman, mereka sudah tidak ada. Ternyata mereka membiarkan aku hidup dan hanya membuntungi daun telinga kiriku! Ahhh, inilah yang membuatku menyesal bukan main, Sin Hong. Aku sudah menyuruh engkau dan ibumu lari ke gurun pasir karena khawatir kalau kita semua akan dibunuh. Ternyata mereka tidak membunuh aku, dan kalian... kalian sudah kusuruh memasuki gurun pasir dan ternyata ibumu tewas di gurun pasir!”

Kedua mata kakek tua itu menjadi basah. Tentu ia telah menderita tekanan batin hebat sehingga dalam umur empat puluh tahun lebih dia sudah kelihatan bagaikan seorang kakek-kakek!

“Paman Tang, harap kau lanjutkan ceritamu. Setelah engkau siuman, lalu bagaimana?” tanya Sin Hong, sejak tadi pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah orang tua itu, memandang penuh selidik.

“Dalam keadaan luka-luka aku berusaha mencari kalian di gurun pasir, akan tetapi aku kehilangan jejak karena jejak onta itu dihapus oleh pasir yang tertiup angin. Karena aku menderita luka-luka, aku pun pulang ke Ban-goan dan sesudah luka-lukaku sembuh, bersama Ciu-te ini aku pergi melakukan penyelidikan ke Tuo-lun. Ternyata ayahmu tidak pernah sampai ke Tuo-lun. Ketika kami menyelidiki, kami mendengar dari para piauwsu di sana bahwa ayahmu bersama sepuluh orang anak buahnya...” Tang Lun tidak dapat melanjutkan ceritanya, khawatir jika Sin Hong akan terkejut mendengar nasib ayahnya.

“Paman Tang, aku sudah tahu bahwa ayah dan anak buahnya telah meninggal dunia, tewas dalam sebuah hutan di luar kota Tuo-lun.”

“Aihhh... engkau sudah tahu pula?” kata Tang Lun, agak lega hatinya karena dia tidak usah menceritakan lagi peristiwa yang menyedihkan itu.

“Kami bersembahyang di depan makam ayahmu dan anak buahnya yang di jadikan satu dan menurut para piauwsu, jenazah mereka dikubur oleh seorang hwesio tua dibantu mereka. Kami tidak berani lancang memindahkan kuburan ayahmu ke sini, karena tidak ada lagi keluargamu di sini...”

“Selanjutnya bagaimana, Paman?” desak Sin Hong.
“Lay-wangwe menuntut barang-barangnya yang berharga seratus kati emas itu! Tentu saja kami di sini tidak mampu mengembalikan harta sedemikian banyaknya. Hartawan itu lalu menyita semua barang. Semua barang yang berada di rumah orang tuamu lalu dilelang dan dijual, akan tetapi tetap saja tidak mampu melunasi atau mengganti harga barang kiriman itu. Akhirnya tinggal rumah dan kantor ini, yang harus dijual pula. Untung ada Ciu-te ini yang mengusahakan pinjaman uang sebanyak dua ribu tail perak untuk membeli sendiri rumah dan kantor ini dan uangnya diserahkan kepada Lay-wangwe. Nah, kini Peng An Piauwkiok tidak memiliki apa-apa lagi, bahkan rumah kantor ini pun menjadi hak milik salah seorang paman dari Ciu-te dengan perjanjian bahwa jika dalam waktu sepuluh tahun tidak berhasil mengembalikan uang itu bersama bunganya yang layak, terpaksa akan diambil alih. Akan tetapi, sejak terjadi peristiwa itu, perusahaan kita tidak laku lagi. Orang mulai tidak percaya, apa lagi ayahmu tidak ada sehingga kami benar-benar bangkrut. Paling lama dalam dua tahun lagi rumah dan kantor ini harus diserahkan kepada yang berhak.” Tang Lun mengakhiri ceritanya dengan suara sedih.

Akan tetapi Sin Hong tidak tertarik tentang rumah itu.

“Paman Tang dan Paman Ciu, kalian tadi mengatakan bahwa semua peristiwa itu pasti direncanakan oleh orang-orang yang memusuhi ayah. Mengapa kalian dapat menduga demikian dan siapakah orang-orang yang memusuhi ayah?”

“Sin Hong, peristiwa yang dahulu menewaskan ayahmu, juga dua puluh orang anggota pengawal kita, bahkan sudah membuat Peng An Piauwkiok bangkrut, tentu saja tidak bisa kami diamkan. Mala petaka itu masih ditambah lagi dengan lenyapnya engkau dan ibumu. Kami, terutama sekali aku dan Ciu-te ini, berbulan-bulan lamanya melakukan penyelidikan untuk mengungkap rahasia itu. Kami telah menghubungi banyak piauwsu, bahkan kami memasuki daerah hitam untuk mencari keterangan dari para gerombolan perampok tentang gerombolan berkedok itu. Akan tetapi, semua usaha kami gagal. Tak seorang pun tahu tentang gerombolan itu, bahkan tak ada yang pernah mendengar ada gerombolan berkedok di daerah ini. Kami kemudian mengambil kesimpulan bahwa tentu gerombolan itu bukan perampok biasa, melainkan orang-orang yang menyamar sebagai perampok, oleh karena itu mereka memakai kedok agar muka mereka tidak dikenal.”

Sin Hong dalam hatinya menyetujui. Memang perampok berkedok itu bukan perampok, pikirnya, melainkan para piauwsu yang menyamar perampok!

“Lalu siapakah menurut dugaan Paman yang mengatur semua itu?”
“Setelah kami berdua menyelidiki urusan ini, maka kami mengambil kesimpulan bahwa besar sekali kemungkinan yang mengatur semua ini adalah Kwee-piauwsu pemilik dari Ban-goan Piauwkiok!” kata Tang Lun dengan nada suara penuh keyakinan.

Sin Hong mengerutkan alisnya. Dia telah berusia empat belas tahun saat meninggalkan Ban-goan. Sebagai putera kepala piauwkiok, tentu saja dia tahu siapa Kwee-piauwsu itu. Ban-goan Piauwkiok merupakan saingan Peng An Piauwkiok.

Ia pernah mendengar pula bahwa keluarga Kwee yang memimpin Ban-goan Piauwkiok mempunyai ilmu silat tinggi. Namun, selama itu dia hanya mendengar persaingan dalam perusahaan itu, maka tentu saja dia terkejut dan meragu mendengar bahwa keluarga Kwee yang mengatur semua rencana busuk ini untuk menghancurkan keluarganya dan membikin bangkrut Peng An Piauwkiok.

“Hemmm, dengan alasan apa maka Jiwi (Kalian) lalu mempunyai dugaan seperti itu?” tanyanya mendesak.

Ciu Hok Kwi membantu rekannya. “Kami berdua sudah melakukan penyelidikan secara mendalam dan kiranya tidak ada golongan lain yang dapat dicurigai kecuali keluarga Kwee dari Ban-goan Piauwkiok. Memang tidak dapat disangkal bahwa sebagai seorang piauwsu, mendiang ayahmu mempunyai banyak musuh di antara para perampok. Akan tetapi, tidak ada perampok yang mempergunakan cara seperti itu, berkedok pula. Biar pun kami belum memperoleh bukti meyakinkan, akan tetapi hanya keluarga Kwee saja yang mempunyai alasan kuat untuk melakukan semuanya itu. Pertama, anak buahnya menyamar sebagai perampok dan berkedok karena kalau tidak, tentu ayahmu, juga Tang-toako dan para anak buah piauwkiok kita akan mengenal mereka. Kedua, mereka tentu sudah mendengar bahwa kami memperoleh biaya besar, maka mereka merasa iri dan mereka melakukan penghadangan. Dengan demikian, mereka memperoleh banyak keuntungan. Pertama mendapatkan harta besar itu dan kedua, bisa menghancurkan kita sebagai saingannya yang terbesar di kota ini. Kemudian yang ketiga, hal ini pun hasil penyelidikan kami, dahulu, sebelum mendiang ibumu menjadi isteri mendiang ayahmu, pernah mendiang ibumu dipinang oleh Kwee Tay Seng, yaitu Kwee-piauwsu. Pinangan itu ditolak. Hal ini pun memperkuat alasan mengapa dia lalu menghancurkan keluarga ayahmu.”

Mendengar semua itu, Sin Hong mengerutkan alisnya. Agaknya cocok keterangan itu dengan apa yang didengarnya dari anggota perampok bahwa gerombolan berkedok itu tadinya merupakan rombongan piauwsu yang menyamar!

Benarkah Kwee-piauwsu yang mengatur semua ini? Dia tidak mau sembrono. Harus diselidikinya lebih dulu sampai terdapat bukti. Tanpa bukti, tidak mungkin dia menuduh keluarga Kwee begitu saja.

“Akan tetapi, andai kata benar dia, setelah berhasil membunuh ayah dan merampas harta kiriman, mengapa pula dia menyerang engkau, Paman Tang? Dan mengganggu ibu dan aku.”
“Mungkin untuk membasmi keluarga ayahmu, agar jangan menimbulkan balas dendam di kemudian hari, atau... ahhh, entahlah. Betapa pun juga aku yakin bahwa dialah yang melakukan semua ini.”
“Tetapi, setelah engkau dikeroyok dan dikalahkan, kenapa engkau tidak dibunuhnya?”

“Tadinya aku pun merasa heran, akan tetapi kemudian aku bisa mengerti mengapa dia membiarkan aku hidup. Tentu saja agar aku dapat mengurus piauwkiok ini, memenuhi pertanggung jawabannya sehingga di mata masyarakat, piauwkiok ini menjadi bangkrut, dan mungkin agar aku menjadi saksi hidup bahwa yang menyerang adalah perampok-perampok berkedok, bukan anak buah piauwkiok itu. Ah, dia telah menyiksaku dengan membiarkan aku tetap hidup, merasa berdosa dan menanggung malu karena piauwkiok menjadi begini...“

Sin Hong mengerutkan alis. Semua dugaan memang menuding ke arah Kwee-piauwsu dan biar pun belum ada bukti, namun hati siapa pun memang condong untuk menuduh keluarga Kwee.

“Oya, Paman Tang. Lay-wangwe itu membuka toko rempah-rempah yang besar di kota raja? Tahukah engkau di jalan mana dia tinggal di kota raja dan bagaimana macam wajahnya?”
“Ah, dia sama sekali tidak dapat kita curigai, Sin. Hong,” kata Ciu-piauwsu. “Dia telah menderita rugi yang amat banyak. Harta kekayaannya yang berharga seratus kati emas itu, setelah dia menyita semua harta milik keluargamu, belum juga ada sepersepuluh bagian! Jadi, dalam urusan ini dia yang menderita rugi harta paling banyak dan kami tidak pernah mencurigai dia.”

“Aku pun tidak mencurigai siapa-siapa selama belum ada bukti,” kata Sin Hong, “Akan tetapi aku harus mengetahui dengan jelas semua orang untuk bahan penyelidikanku. Paman Tang di mana alamatnya dan bagaimana macamnya orang itu?”
“Aku hanya dua kali bertemu dengan dia, Sin Hong. Pertama kali pada saat dia datang membawa peti bersama beberapa orang pembantunya dengan naik kereta. Kemudian ketika dia datang lagi untuk penggantian hartanya yang dirampok, lalu dia menyerahkan pengurusan penggantian itu kepada pengawalnya. Menurut keterangan pegawainya, Lay-wangwe memiliki toko rempah-rempah besar di Jalan Singa Batu, dan rumahnya seperti istana. Ada pun wajah dan bentuk badannya tidak sulit untuk dikenal. Tubuhnya pendek dengan perut gendut sekali, kepalanya bundar dan matanya lebar, memakai gigi emas. Hidungnya besar dan mulutnya selalu tersenyum-senyum menyeringai, apa lagi kalau berhadapan dengan wanita seperti yang kulihat ketika dia berkunjung dan melihat wanita lewat di depan pintu. Dia termasuk laki-laki yang memiliki ciri mata keranjang. Usianya ketika itu tiga puluh tahunan, jadi sekarang, sudah hampir empat puluh tahun.”

“Terima kasih, Paman. Keterangan itu sudah cukup bagiku,” kata Sin Hong.
“Sin Hong, kupikir apa yang dikatakan Ciu-te tadi benar. Engkau hanya akan membuang waktu sia-sia belaka jika menyelidiki keadaan Lay-wangwe. Bahkan jika engkau muncul dan dia tahu bahwa engkau ialah putera Tan-toako, tentu dia akan marah-marah karena diingatkan akan kerugiannya. Mungkin dia akan menuntut penggantian darimu karena engkau adalah putera Tan-toako. Sebaiknya kalau engkau menyelidiki Kwee-piauwsu. Dia amat mencurigakan dalam hubungan ini sebab ada satu hal yang perlu kau ketahui. Akan tetapi biarlah nanti saja kuceritakan kepadamu.”

Sin Hong merasa heran sekali karena dia melihat betapa pandang mata Tang-piauwsu mengerling ke arah Ciu-piauwsu, seakan-akan hendak memberi tanda bahwa dia tidak ingin apa yang hendak diceritakan kepada Sin Hong itu dapat terdengar oleh orang lain. Agaknya Ciu-piauwsu tak tersinggung atau tidak memperhatikan ucapan Tang-piauwsu itu.

Malam itu, setelah makan malam dan berganti pakaian, Sin Hong beristirahat di dalam kamarnya. Di dalam kamar itu, kamarnya sendiri waktu dia belum meninggalkan tempat ini, akan tetapi kamar yang sudah kosong dan hanya terdapat sebuah dipan sederhana, dia merebahkan diri sambil termenung. Langit-langit kamar itu masih sama seperti dulu, dicat biru namun catnya sudah luntur dan terdapat noda-noda bekas air hujan yang bocor.

Dia merasa terharu karena kamar ini sama sekali tidak asing, bahkan dia merasa akrab rebah di situ. Karena lelah, juga karena batinnya lelah pula setelah banyak berpikir, dia pun tertidur dan malam pun mulai makin menghitam dan makin sepi.....

********************
Manusia hidup tak mungkin bebas dari persoalan sebab hidup berarti komunikasi antara manusia, berarti pergaulan di masyarakat ramai dan dalam setiap persoalan sudah pasti kadang-kadang terjadi pergesekan-pergesekan atau pertentangan pendapat yang lantas menimbulkan persoalan.

Juga dalam hidup manusia menghadapi pula peristiwa-peristiwa yang menempatkan dirinya harus berhadapan dengan hal-hal yang tak menyenangkan, dengan hal-hal yang mengancam, dengan kehilangan-kehilangan dan sebagainya, yang tentu saja akhirnya menimbulkan masalah atau persoalan yang kita namakan problem.

Hidup ini seolah-olah menjadi ladang di mana problem tumbuh seperti jamur di musim hujan, tiada hentinya, sejak kecil sampai tua dan mati, sejak pagi bangun tidur sampai menjelang pulas di malam hari! Benarkah hidup harusnya begini? Tidak dapatkah kita terbebas dari problem, dari persoalan?

Selama kita masih hidup, tidak mungkin kita terhindar dari persoalan karena persoalan merupakan peristiwa yang terjadi setiap saat, dalam pekerjaan, dalam hukuman antara keluarga, antara sahabat, bahkan dalam permainan selalu timbul problem.

Namun, kalau kita mau mengkaji dengan seutuhnya, atau lebih tepat lagi, kalau kita mau membuka mata dengan waspada, mengamati segala peristiwa yang terjadi tanpa penilaian, tanpa prasangka, tanpa gambaran bahwa aku diuntungkan atau dirugikan, kalau kita menghadapi segala peristiwa yang terjadi sebagai suatu fakta, sebagai suatu kenyataan yang sedang terjadi dan tidak dapat diubah oleh apa pun juga, maka akan nampaklah oleh kita bahwa sesungguhnya problem itu tidak ada.

Problem dalam hal ini diartikan sebagai masalah yang menyusahkan, menyulitkan atau merugikan diri kita. Peristiwa yang terjadi sama sekali tiada sangkut pautnya dengan problem dan problem itu baru ada kalau memang kita problemkan, kita adakan! Yang kita anggap sebagai problem biasanya adalah sesuatu yang menimbulkan rasa khawatir atau takut, sesuatu yang kita anggap amat merugikan, sesuatu yang mengancam, dan sesuatu yang melenyapkan sumber kesenangan kita.

Segala macam peristiwa, baik yang kita anggap menyenangkan atau menyusahkan, ialah suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu proses yang terjadi karena suatu sebab, dan karena merupakan fakta yang wajar dan di situ tidak ada susah atau senang, untung atau rugi. Baru setelah kita menilai, berdasarkan untung rugi bagi diri sendiri, maka fakta itu kita nilai sebagai baik atau buruk, menguntungkan atau merugikan, dan yang merugikan, yang buruk, kita jadikan sebagai suatu problem.

Contohnya demikian. Hujan datang. Ini wajar. Ini kenyataan, fakta yang sedang terjadi dan tak dapat diubah oleh siapa pun. Ini suatu proses dari sebab-sebab tertentu. Tidak ada untung atau rugi dalam hujan, tidak ada baik mau pun buruk. Akan tetapi, kita menghadapinya dengan si aku menilai-nilai.

Si penjemur terigu merasa dirugikan dan menyumpah-nyumpah, atau menangis karena terigunya rusak dan dia menderita rugi banyak. Sebaliknya si petani yang memang membutuhkan air hujan bagi tanahnya, memuja dan memuji Tuhan, berterima kasih dan tertawa-tawa karena peristiwa itu menguntungkan dirinya! Jelaslah bahwa hujan itu tetap hujan, suatu peristiwa yang wajar, namun menjadi problem atau tidak tergantung kepada kita sendiri yang menilainya. Jelas bahwa problem itu tidak ada kalau tidak kita adakan sendiri!

Demikian pula dengan peristiwa apa pun juga di dunia ini. Jatuh sakit, itu pun suatu kenyataan yang wajar, suatu proses yang bersebab. Kalau kita menerimanya dengan pengamatan yang waspada, dan menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup, tanpa menilai, maka batin kita tidak menjadi keruh oleh suka duka, dan kita dapat bertindak berdasarkan kebijaksanaan untuk menanggulangi sakit yang datang itu. Sampai kepada kematian seseorang. Kita hadapi sebagai suatu kenyataan yang wajar, suatu proses bersebab, dan kita tidak akan diseret oleh duka melainkan dapat bertindak dengan bijaksana.

Jika sudah begini, akan nampaklah oleh kita bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah pasti bersebab, dan segala sesuatu yang terjadi adalah suatu kewajaran, dan di dalam setiap peristiwa terdapat suatu pelajaran, suatu hikmah yang amat berharga! Tinggal kita mau membuka mata dengan waspada atau membutakan mata dengan tangis dan rintihan.

Sin Hong adalah seorang yang semenjak kecilnya mengalami banyak hal-hal yang amat hebat dan jika dipandang sepintas lalu, tentu saja semua peristiwa itu amat merugikan dirinya. Ayahnya dibunuh orang, ibunya juga tewas secara menyedihkan, kemudian tiga orang gurunya sekaligus, terbunuh orang pula.

Semua itu terjadi tanpa dia dapat menolong. Akan tetapi, gemblengan tiga orang sakti membuat dia menjadi seorang pemuda yang kuat lahir batin, tidak mudah terseret si aku yang selalu ingin menang sendiri. Hal ini menjauhkan perasaan dendam dari batinnya dan jika dia menyelidiki tentang peristiwa yang menimpa keluarganya, hal itu dilakukan tanpa perasaan dendam dan benci, tetapi sebagai pemenuhan tugas seorang pendekar yang harus menentang kejahatan. Orang-orang yang menghancurkan keluarga ayahnya amatlah jahat, dan dia ingin tahu apa yang menyebabkan mereka melakukan semua kejahatannya.

Malam itu sunyi sekali dan biar pun Sin Hong tidur pulas karena lelah lahir batin, sedikit suara yang tidak wajar sudah cukup untuk membuatnya terbangun dengan kaget. Dia mendengar gerakan tidak wajar di atas genteng rumah itu dan mendengar pula suara orang merintih. Hal ini sudah cukup membuat dia sadar sepenuhnya, dan di lain saat tubuhnya sudah meloncat keluar dari dalam kamar, keluar dan langsung dia meloncat naik ke atas genteng.

Malam itu gelap, hanya diterangi cahaya ribuan bintang, namun cukup terang baginya untuk melihat berkelebatnya bayangan orang yang berlari di atas wuwungan.

“Heiii, berhenti dulu!” Sin Hong meloncat dan mengejar.

Bayangan hitam itu tiba-tiba membalik dan ternyata dia mengenakan kedok hitam, dan begitu Sin Hong tiba dekat, dia sudah menyambutnya dengan serangan totokan pada ulu hati Sin Hong. Gerakannya demikian cepat dan mengandung hawa pukulan dahsyat yang mengejutkan Sin Hong. Pemuda ini cepat menangkis sambil memutar telapak tangan untuk menangkap lengan orang.

“Plakkk... brettt!”

Bayangan itu tertangkap lengannya, akan tetapi lengan itu dibetot dan lengan bajunya saja yang robek dan tertinggal di tangan Sin Hong. Orang berkedok itu meloncat dari atas wuwungan, melayang masuk ke dalam malam gelap di antara pohon dan rumah tetangga dan lenyap.

Sin Hong tidak mengejar karena dia belum tahu siapa orang itu dan apa maksudnya malam-malam datang ke rumahnya. Karena tidak tahu, maka tadi pun dia tidak turun tangan secara keras, hanya berusaha menangkap saja namun gagal dan hal itu saja sudah membuktikan bahwa bayangan hitam itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Karena khawatir mendengar suara rintihan tadi, Sin Hong cepat meloncat turun kembali ke dalam rumah, langsung menuju ke kamar Tang-piauwsu karena di dalam rumah itu hanya ada mereka berdua.

Daun pintu kamar itu terbuka lebar. Suara rintihan lemah masih terdengar dari sebelah dalam kamar. Cepat Sin Hong meloncat masuk. Kamar itu agak remang-remang, hanya diterangi sebatang lilin di atas meja di sudut ruangan. Sin Hong melihat sesosok tubuh berlumuran darah menggeletak di atas lantai, dan ternyata orang itu bukan lain adalah Tang-piauwsu!

“Paman...!” Seru Sin Hong sambil menghampiri dan berlutut, cepat memeriksa keadaan orang itu. Luka di dadanya amat parah dan tahulah dia bahwa tidak ada harapan lagi bagi Tang Lun.
“Paman, siapa yang melakukan ini?”
Dengan napas terengah Tang Lun menjawab, “...tidak... tahu... amat cepat... berkedok... Sin Hong...“

Sin Hong cepat menotok beberapa jalan darah di dada dan pundak Tang Lun. Totokan ini menolong mengurangi rasa nyeri, sesak, dan Tang Lun melanjutkan kata-katanya, agak lancar. “Sin Hong dahulu sebelum dilamar ayahmu, ibumu pernah saling mencinta dengan Kwee Tay Seng...“

“Paman, siapa yang melakukan ini terhadap Paman? Siapakah yang menyerang tadi? Seorang berkedok, akan tetapi siapa kiranya dia, Paman?”
“Entahlah…. luar biasa lihainya...” Tang Lun tidak kuat lagi, lehernya terkulai kemudian nyawanya melayang.

Sin Hong mengepal tinju. Tang Lun tak mengenal pembunuh itu! Ia merasa yakin bahwa tentu pembunuh itu ada hubungannya dengan mereka yang membasmi keluarganya. Dia merasa menyesal sekali mengapa tadi tidak dikejarnya orang berkedok itu dan menawannya. Akan tetapi, dia sama sekali tidak membayangkan bahwa orang berkedok ini telah membunuh Tang Lun.

Dan Tang Lun hanya memberi tahu bahwa ibunya pernah saling cinta dengan Kwee Tay Seng, atau Kwee-piauwsu, orang yang telah dicurigai oleh Tang Lun dan Ciu Hok Kwi sebagai pembasmi keluarganya. Agaknya itulah yang hendak diceritakan kepadanya namun ditahannya, sore tadi di depan Ciu-piauwsu. Hemmm, apakah karena cintanya terhadap ibunya gagal oleh karena ibunya menikah dengan ayahnya lalu orang she Kwee itu menjadi marah dan menaruh dendam kepada ayahnya? Jadi ibunya mencinta laki-laki itu, akan tetapi kakeknya dahulu menolak pinangan keluarga Kwee!

Pada keesokan harinya, ketika mendengar akan peristiwa itu, Ciu Hok Kwi datang dan dia pun berlutut dan menangisi jenazah Tang Lun. Ketika jenazah itu dimasukkan peti oleh para piauwsu lainnya yang datang berlayat bersama para tetangga, dan setelah diperiksa oleh pembesar yang berwenang untuk itu, Ciu Hok Kwi lalu bersembahyang dengan suara yang cukup nyaring.

“Tang-toako! Kita yakin bahwa yang melakukan ini tentulah pembunuh Tan-toako pula, yaitu anjing she Kwee. Tenangkanlah rohmu, Toako, karena sekarang juga aku, Ciu Hok Kwi, akan menuntut balas kepada anjing she Kwee itu!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar Ciu Hok Kwi lalu pergi meninggalkan rumah itu.

Semua orang memandang dengan gelisah. Sin Hong lalu melangkah keluar pula dari rumah itu, diam-diam membayangi Ciu Hok Kwi yang pergi dengan muka merah dan sikap marah. Dia ingin sekali melihat apa yang hendak dilakukan oleh piauwsu itu.

Seperti yang sudah diduga dan dikhawatirkannya, Ciu Hok Kwi langsung saja menuju ke rumah Kwee Tay Seng, pemimpin dari Ban-goan Piauwkiok. Beberapa orang piauwsu segera keluar dari kantor perusahaan itu menyambut kedatangan Ciu Hok Kwi dengan sikap heran.

“Aku ingin berjumpa dan bicara dengan Kwee Tay Seng!” demikian Ciu Hok Kwi berkata lantang, dengan sikap marah.

Selagi para piauwsu memperlihatkan sikap kurang senang, tiba-tiba dari dalam muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Dari belakang batang pohon tak jauh dari situ, Sin Hong menonton dan kehadirannya tidak menarik perhatian karena di tempat itu sudah berkumpul beberapa orang yang tertarik melihat ribut-ribut itu.

Sin Hong masih dapat mengenal Kwee-piauwsu. Masih nampak gagah dan tampan, bertubuh tinggi besar dan berdada bidang. Seorang laki-laki yang jantan dan gagah, dan kini dia memandang dengan penilaian lain karena teringat bahwa laki-laki ini pernah saling mencinta dengan ibunya di waktu masih muda. Seorang pria yang ganteng, dan tidak heran kalau ibunya pernah saling mencinta dengannya.

“Kiranya Ciu Piauwsu yang datang berkunjung,” berkata Kwee-piauwsu dengan sikap ramah dan pandang matanya tajam penuh selidik. “Silakan masuk dan mari kita bicara di dalam.”
“Tidak perlu masuk, di sini pun cukup!” Ciu Piauwsu berkata dengan suara membentak marah. “Kwee Tay Seng, kini aku datang untuk menuntut balas atas kematian saudara-saudaraku Tan Hok dan Tang Lun! Majulah dan mari kita membuat perhitungan dengan senjata!” Tangan kanannya bergerak dan Ciu Piauwsu telah menghunus pedang yang bergantung di punggungnya.

Sin Hong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak setuju melihat sikap Ciu Hok Kwi biar pun orang itu menyatakan hendak membalaskan dendam atas kematian ayahnya dan Tang-piauwsu. Ciu Hok Kwi dianggapnya terlalu kasar dan sembrono, padahal sama sekali belum ada bukti nyata bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh Kwee Piauwsu. Dia pun hanya menonton saja, akan tetapi diam-diam dia pun bersiap untuk melindungi keselamatan Ciu Hok Kwi kalau sampai terancam bahaya maut.

Akan tetapi Kwee Piauwsu kelihatan heran mendengar tantangan dan melihat sikap Ciu Hok Kwi. “Hemmm, Ciu Hok Kwi, sungguh sikapmu ini membuat kami merasa bingung dan tak mengerti. Saudara Tan Hok telah tewas dalam tugasnya, beberapa tahun yang lalu, dan kini yang melanjutkan perusahaan Peng An Piauwkiok adalah saudara Tang Lun. Bagaimana engkau kini mengatakan hendak membalas kematian saudara Tang Lun? Dan mengapa pula kepadaku?”

“Orang she Kwee, tidak perlu lagi berpura-pura! Orang lain boleh jadi tidak tahu, akan tetapi aku yakin bahwa yang membunuh Tang-toako malam tadi adalah engkau! Dan dahulu pun yang melakukan pencegatan, merampas barang kiriman serta membunuh Tan-toako adalah engkau pula dan para anak buahmu. Nah, sekarang aku membuat perhitungan, hadapi pedangku kalau memang engkau laki-laki sejati! Jangan bertindak dalam rahasia, memakai kedok segala!”

Melihat sikap ini, para piauwsu anak buah Kwee Piauwsu menjadi marah dan beberapa orang sudah mencabut senjata hendak menyerangnya. Melihat ini, Kwee Piauwsu cepat memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mundur.

“Jangan kalian mencampuri urusan ini, biar aku sendiri yang menghadapi Ciu-piauwsu!” Kemudian dia melangkah maju menghadapi Ciu Hok Kwi dengan sikap tenang, akan tetapi mukanya menjadi merah karena marah.

“Ciu-piauwsu, semua tuduhanmu tadi merupakan fitnah yang amat keji! Aku sama sekali tidak tahu bahwa Tang-piauwsu semalam dibunuh orang, dan aku pun sama sekali tidak tahu-menahu tentang kematian Tan-piauwsu beberapa tahun yang lalu. Apa buktinya bahwa aku melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Jangan engkau melempar fitnah seenak perutmu sendiri tanpa bukti!”

“Buktinya? Engkau adalah saingan paling besar dari perusahaan kami, dan engkau pun saingan mendiang Tan-toako dalam merebut hati wanita. Engkau mendendam padanya dan karena itu sudah jelas engkau yang melakukan semua pembunuhan itu!”
“Keparat!” Kwee-piauwsu menjadi marah karena urusan pribadinya mengenai cintanya terhadap mendiang isteri Tan-piauwsu diungkit-ungkit oleh orang itu. “Aku tidak pernah melakukan pembunuhan itu, tetapi jangan dikira aku takut menghadapi tantanganmu yang sangat ngawur dan tidak berdasar!” Berkata demikian, piauwsu yang tinggi besar itu melolos sabuknya.

Sabuk itu ternyata sebuah sabuk rantai baja yang tebal dan panjangnya hampir satu setengah meter. Melihat lawannya sudah mengeluarkan senjatanya, segera Ciu Hok Kwi menerjang dengan pedangnya sambil membentak.

“Mampuslah!”

Akan tetapi, Kwee Tay Seng adalah seorang ahli silat Bu-tong-pai yang lihai sekali. Tangannya segera bergerak dan rantai baja itu membentuk sinar bergulung menangkis serangan pedang yang ditusukkan oleh lawan.

“Tranggg...!”

Nampak bunga api berhamburan ketika pedang bertemu rantai. Keduanya melangkah ke belakang, merasakan betapa tangan mereka tergetar hebat oleh pertemuan kedua senjata itu, tanda bahwa masing-masing memiliki tenaga yang amat kuat.

Ciu Hok Kwi menerjang lagi dan kembali mengirim serangan-serangan dahsyat dengan pedangnya, dan harus diakui bahwa permainan pedang orang she Ciu ini cukup lihai. Kwee-piauwsu tidak berani memandang rendah. Dia menangkis, dan membalas dengan serangan rantainya. Segera kedua orang itu terlibat dalam perkelahian yang seru dan mati-matian.

Dari belakang batang pohon, kini Sin Hong telah maju bercampur dengan orang-orang yang nonton, tak jauh dari tempat perkelahian. Tadinya dia telah siap untuk melindungi Ciu-piauwsu, akan tetapi segera dia mendapat kenyataan yang mengagumkan bahwa tingkat kepandaian Ciu-piauwsu tidak kalah dibandingkan dengan tingkat lawan. Karena itu legalah hatinya dan ia pun mengikuti jalannya perkelahian itu, siap untuk mencegah apabila seorang di antara mereka terancam bahaya maut. Biar pun dia berdiri di bagian terdepan, dia tidak takut dikenal orang karena baru kemarin dia tiba di Ban-goan dan tidak ada orang mengenal dia.

Perkelahian itu berlangsung semakin seru dan makin banyak orang datang menonton. Para anggota piauwsu anak buah Kwee-piauwsu membuat pagar untuk menghalangi para penonton mendekat, dan di antara para penonton banyak yang membicarakan perkelahian itu dengan dugaan-dugaan mereka. Sin Hong tentu saja memasang telinga mendengarkan dan percakapan dua orang di sebelahnya menarik perhatiannya.

“Hebat sekali orang itu, dapat menandingi Kwee-piauwsu, siapakah dia itu?”
“Apakah engkau tidak tahu? Dia adalah orang ke dua dari Peng An Piauwkiok setelah Tang-piauwsu.”
“Akan tetapi mengapa dia datang dan menyerang Kwee-piauwsu?”
“Biasa, orang dagang. Tentu karena persaingan.”

Karena Sin Hong menoleh, maka dalam waktu beberapa detik lamanya perhatiannya terpecah dan dia tidak melihat betapa pada saat itu rantai di tangan Kwee-piauwsu mengenai lengan kanan Ciu-piauwsu. Pedang itu lepas dari pegangan Ciu-piauwsu dan Kwee-piauwsu sudah cepat menyusulkan sebuah tendangan yang mengenai lutut Ciu Hok Kwi dan membuatnya roboh terlentang! Akan tetapi Kwee Tay Seng tak menyerang lagi, melainkan berdiri saja memandang kepada lawan yang sudah dikalahkannya.

Sin Hong sempat melihat betapa kekalahan Ciu Hok Kwi itu karena kesalahan sendiri. Agaknya orang ini terlalu percaya kepada diri sendiri sehingga menerima sambaran rantai itu dengan lengannya, agaknya dengan niat untuk dapat membalas secepatnya. Akan tetapi ternyata pukulan rantai itu membuat pedangnya terlepas dan tendangan lawan tak dapat dielakkannya lagi.

Akan tetapi Ciu Hok Kwi sudah memungut pedangnya, bangkit berdiri dan memandang kepada bekas lawannya dengan mata melotot.

“Hari ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain hari aku akan datang menebus kekalahan ini!” Setelah berkata demikian, tanpa pamit dia kemudian pergi dengan langkah agak terpincang.
“Hei, orang she Ciu!” Kwee Tay Seng berseru ke arah lawan yang sudah berjalan pergi itu. “Demi Tuhan aku tidak melakukan apa yang kau tuduhkan itu!”

Akan tetapi Ciu Hok Kwi tak peduli dan terus saja melangkah pergi. Setelah perkelahian itu selesai, orang-orang bubaran, termasuk Sin Hong yang merasa lega juga melihat kesudahan perkelahian itu. Biar pun kalah, Ciu-piauwsu tidak terluka parah. Bahkan kekalahan itu perlu sebagai pelajaran kepada Ciu Hok Kwi untuk kelancangannya.

Akan tetapi, setelah melihat sikap Kwee Tay Seng, di dalam hatinya Sin Hong merasa semakin kurang yakin bahwa orang she Kwee itulah yang merencanakan pembunuhan terhadap keluarganya. Orang itu memperlihatkan sikap yang demikian gagah. Orang seperti itu, jika menghadapi urusan kiranya akan merasa malu menggunakan cara-cara yang curang. Sikapnya terhadap Ciu Hok Kwi tadi saja sudah menunjukkan wataknya yang gagah.

Setelah Sin Hong tiba di rumah kembali, Ciu-piauwsu telah berada di situ dan nampak murung. “Ehhh, Paman Ciu, engkau pergi ke mana sajakah?” Sin Hong bertanya, pura-pura tidak tahu akan peristiwa yang terjadi di depan perusahaan Ban-goan Piauwkiok tadi.
“Aku tadi pergi menemui Kwee Tay Seng dari Ban-goan Piauwkiok hendak membuat perhitungannya dengan dia. Akan tetapi, dia terlampau lihai dan aku kalah.”

Diam-diam Sin Hong merasa kasihan juga kepada orang yang dengan jujur mengakui kekalahannya itu. Biar pun lancang dan kasar, namun bagaimana pun juga orang ini ingin menuntut balas atas kematian ayah ibunya, juga kematian Tang Lun. Sin Hong tidak banyak bertanya dan mereka lalu mengurus penguburan jenazah Tang-piauwsu.

Setelah upacara pemakaman selesai, Ciu-piauwsu lalu mengajak Sin Hong berbincang-bincang mengenai Peng An Piauwkiok. Bagaimana kini baiknya setelah Tang-piauwsu meninggal dunia dan apa yang akan dilakukan pemuda itu selanjutnya.

“Paman Ciu, rumah dan kantor ini sudah digadaikan dan tinggal kurang dari dua tahun lagi masanya akan habis. Aku tidak suka melanjutkan pekerjaan ayah, dan tak sanggup untuk mengembalikan uang pinjaman. Karena itu, terserah padamu, akan kau lanjutkan perusahaan ekspedisi ini ataukah akan ditutup saja. Dan rumah ini boleh kau serahkan saja kepada yang berhak, yaitu si pemilik uang yang telah memberi pinjaman kepada mendiang Tang-piauwsu untuk mengganti kerugian.”

“Aku akan melanjutkannya, Sin Hong. Piauwkiok ini dengan susah payah dibangun oleh mendiang Tan-toako, masa sekarang harus ditutup begitu saja? Biarlah kelak aku yang akan membayar hutang itu. Akan tetapi, karena nama Peng An Piauwkiok sudah kurang dipercaya pedagang, nama piauwkiok ini akan kuganti dan akan kuperbaharui segala-galanya. Pemilik uang itu adalah seorang hartawan yang menjadi sahabat baikku, tentu aku akan dapat meminjam modal dan kelak aku akan menebus rumah dan kantor ini. Akan kusaingi Ban-goan Piauwkiok!” katanya penasaran.

Sin Hong mengangguk. “Terserah padamu, Paman. Aku tidak akan mencampuri urusan Piauwkiok. Bahkan aku akan pergi sekarang juga.”

“Ke mana Sin Hong?”
“Ke mana saja, Paman. Aku ingin merantau,” kata Sin Hong, tidak mau memberitahukan keinginannya untuk melanjutkan penyelidikan tentang pembunuhan-pembunuhan itu.

Dia masih merasa bingung. Setelah melihat sikap Kwee-piauwsu, dia seperti kehilangan pegangan. Kalau bukan orang she Kwee itu yang merencanakan semua pembunuhan itu, lalu siapa lagi? Dan siapa pula orang berkedok yang membunuh Tang Lun?

Orang berkedok itu lihai sekali, hal ini dapat diketahuinya ketika dia gagal menangkap lengannya, hanya mendapatkan potongan lengan baju. Akan diselidikinya sampai dia dapat membongkar rahasia itu, pikirnya. Sekarang dia tidak yakin akan keterlibatan Kwee-piauwsu, namun dia tetap akan menemui piauwsu itu dalam penyelidikannya.

Pada hari itu juga, Sin Hong berpamit dan pergi meninggalkan Ciu Hok Kwi, membawa buntalan pakaian dan sisa bekal uang yang dirampasnya dari kepala perampok. Ciu Hok Kwi dengan wajah duka, mengantarnya sampai ke pintu gerbang kantor Piauwkiok yang sudah butut itu. Mereka pun berpisah.....
********************
Kota Sang-cia-kou terletak di sebelah selatan kota Ban-goan, juga Tembok Besar berdiri megah di luar kota ini yang merupakan perbatasan pula antara Propinsi Ho-pei dan Mongol. Dari kota inilah dulu tentara Mancu banyak yang menerobos melewati Tembok Besar.

Di sebuah lereng bukit yang berdiri di luar kota Sang-cia-kou terdapat perkampungan dengan bangunan-bangunan besar seperti benteng. Dari tempat ini, kota Sang-cia-kou dapat dilihat dengan jelas dan seluruh penduduk Sang-cia-kou dan sekitarnya mengenal belaka bangunan besar itu, yang nampak seperti benteng di lereng bukit.

Perkampungan itu ialah tempat perkumpulan Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) yang amat terkenal sebagai perkumpulan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memiliki pula watak yang keras dan menjagoi di seluruh daerah itu. Bukan hanya karena ketuanya dan anak buahnya berwatak keras dan berkepandaian tinggi yang membuat orang-orang merasa jeri, tapi karena perkumpulan itu pun dilindungi oleh pemerintah.

Perkumpulan Tiat-liong-pang sudah berjasa kepada pemerintah Mancu ketika pasukan Mancu menyerbu ke selatan, banyak memperoleh bantuan dari perkumpulan ini. Oleh karena itu, sesudah pemerintah Mancu, yaitu Dinasti Ceng berkuasa, perkumpulan ini tentu saja dianggap berjasa dan dilindungi oleh pemerintah.

Hal ini membuat Tiat-liong-pang menjadi sebagai perkumpulan yang berpengaruh dan kaya. Perkumpulan ini bergerak di bidang keamanan. Dengan dalih menjaga keamanan, perkumpulan ini minta sumbangan-sumbangan besar dari para hartawan dan pedagang yang selalu memenuhi tuntutan mereka demi keamanan!

Pada waktu itu, setelah dipegang secara turun-temurun, Tiat-liong-pang jatuh ke tangan seorang yang mempunyai kepandaian sangat tinggi sebagai ketuanya. Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka nama Siangkoan Tek atau yang lebih terkenal dengan panggilan Siangkoan Lohan (orang tua gagah Siangkoan).

Baru mendengar namanya saja, orang-orang sudah menjadi gentar karena entah sudah berapa ratus atau berapa ribu orang jatuh di tangannya karena berani menentangnya! Kepandaiannya sedemikian hebatnya sehingga menjadi dongeng di antara orang-orang kang-ouw, seolah-olah Siangkoan Lohan memiliki kesaktian seperti dewa!

Pada hari itu, jalan pendakian ke bukit itu terlihat ramai oleh orang-orang yang mendaki bukit, tak seperti biasanya. Sejak pagi, ada saja orang mendaki, ada yang menunggang kuda, ada yang menunggang kereta, ada pula yang berjalan kaki. Dan mereka yang naik ke bukit itu terdiri dari bermacam-macam orang, akan tetapi rata-rata kelihatan seperti orang-orang kang-ouw, bahkan banyak yang menyeramkan.

Memang mereka adalah orang-orang kang-ouw yang mendaki bukit untuk memenuhi undangan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang karena pada hari itu, di perkumpulan itu diadakan pesta perayaan ulang tahun Siangkoan Lohan yang ke enam puluh.

Siangkoan Lohan tidak mengundang terlalu banyak orang. Dia hanya memilih mereka yang kedudukannya sudah tinggi saja, yaitu tokoh-tokoh dunia kang-ouw kenamaan, ketua-ketua dan tokoh-tokoh perkumpulan besar. Biar pun demikian, tetap saja melihat mengalirnya para tamu sejak pagi, tidak kurang dari seratus orang datang bertamu!

Para murid Siangkoan Lohan, yang menerima tugas dari guru mereka, mengadakan pemilihan. Para tamu yang dianggap sebagai kaum muda yang tingkatnya belum tinggi, dipersilakan duduk di bagian luar sedangkan mereka yang dianggap sebagai tamu kehormatan dipersilakan duduk di dalam dan yang paling dihormati duduk di panggung bersama-sama Siangkoan Lohan sendiri!

Hanya kurang lebih tiga puluh orang duduk di ruangan dalam, di antaranya beberapa orang duduk semeja dengan Siangkoan Lohan, sedangkan selebihnya duduk di ruang luar, di jamu oleh para pembantu dan murid Siangkoan Lohan. Akan tetapi, mereka yang duduk di luar tidak merasa terhina, karena mereka pun maklum bahwa mereka masih belum cukup pantas untuk duduk satu ruangan, apa lagi satu meja, dengan ketua Tiat-liong-pang itu!

Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan yang usianya sudah enam puluh tahun itu masih nampak lebih muda dari pada usianya. Tubuhnya yang tinggi kurus masih tetap tegap dan nampak kokoh kuat. Mukanya merah dengan jenggot panjang sampai ke dadanya. Rambutnya yang mulai dihias uban itu digelung dan ditutupi sebuah topi yang dihias bulu merak dan emas. Pakaiannya gemerlapan, indah dan berwibawa, membayangkan kehormatan serta kekayaan. Sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga itu membuat kebanyakan orang tidak berani menatap pandang matanya terlalu lama.

Siangkoan Lohan adalah orang yang congkak, mengandalkan kedudukan, kepandaian dan hartanya sehingga di dalam semua surat undangannya, dia mencantumkan bahwa keluarganya tidak menerima sumbangan dalam perayaan itu dan diharapkan agar para tamu datang tanpa membawa sumbangan! Hal ini saja merupakan ketidak lajiman dan sekaligus memperlihatkan kecongkakannya seolah-olah dia hendak mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan sumbangan-sumbangan karena dia sudah kaya raya!

Dan semua orang juga tahu belaka akan kekayaan kakek ini. Ketika dia berusia tiga puluh tahun lebih, mengingat akan jasa perkumpulan Tiat-liong-pang, dia telah dihadiahi seorang puteri dari istana. Seorang gadis yang amat cantik, dan setelah mendapatkan isteri puteri, tentu saja hubungannya dengan istana menjadi dekat dan mengumpulkan kekayaan bagaikan orang mencari pasir di sungai saja bagi Siangkoan Lohan.....

Isterinya itu sayang sekali meninggal dunia ketika melahirkan seorang putera. Semenjak diboyong dari istana ke bukit itu, sang puteri memang selalu berduka. Meski Siangkoan Lohan termasuk seorang pria yang gagah dan tidak buruk, akan tetapi wataknya yang keras, juga kesukaannya mengumpulkan wanita cantik, sudah merongrong hati puteri itu sehingga ketika melahirkan, kesehatannya demikian lemah dan ia pun meninggal dunia ketika melahirkan.

Puteranya merupakan anak tunggal karena Siangkoan Lohan tidak pernah lagi memiliki anak dari wanita lain, sungguh pun sangat banyak wanita yang sudah digaulinya baik secara sah mau pun tidak. Oleh karena hanya mempunyai seorang anak saja, maka sudah tentu dia amat memanjakan anaknya yang diberi nama Siangkoan Liong, sesuai dengan nama perkumpulannya.

Dia pun menggembleng puteranya itu sejak kecil dengan ilmu silat, dan mengundang guru-guru kesusastraan untuk mengajar Siangkoan Liong. Dan anak ini memang cerdik sekali, maka dia dapat menguasai kedua ilmu itu dengan amat baiknya sehingga kini dia menjadi seorang pemuda yang sangat lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga amat pandai membawa diri seperti seorang terpelajar tinggi.

Ketika para tamu yang duduk di ruangan dalam melihat siapa yang duduk di kursi kehormatan, banyak di antara mereka yang terheran-heran dan berbisik-bisik di antara mereka sendiri. Ada beberapa orang duduk di kursi kehormatan, semeja dengan ketua Tiat-liong-pang itu, mengelilingi sebuah meja bundar yang luas.

Selama ini mereka mengenal Tiat-liong-pang sebagai perkumpulan yang dekat dengan pemerintah Kerajaan Ceng. Walau pun sepak terjang ketua dan para anggotanya keras dan sering menekan terhadap rakyat jelata, namun mereka menggolongkan diri mereka sebagai pahlawan, sebagai pendekar dan sama sekali tidak mau mencampuri atau pun mendekati golongan hitam atau sesat! Dan kini apa yang mereka lihat?

Ketua Tiat-liong-pang duduk menjamu tokoh-tokoh hitam yang terkenal sebagai datuk-datuk iblis! Di antara para tamu yang duduk semeja dengan Siangkoan Lohan terdapat seorang wanita berusia kurang lebih setengah abad akan tetapi masih nampak cantik, tinggi ramping dengan pakaian mewah dan riasan mukanya tebal menunjukkan bahwa dia seorang pesolek. Wanita ini bukan lain adalah iblis betina Sin-kiam Mo-li yang sudah banyak dikenal oleh orang-orang kang-ouw sebagai tokoh besar yang amat kejam dan lihai.

Selain nenek ini, terdapat pula dua orang kakek tua renta yang membuat para tamu yang duduk di ruangan dalam itu terkejut bukan main karena mereka melihat tanda gambar pat-kwa (segi delapan) di dada seorang di antara mereka, dan gambar bunga teratai di dada yang lain. Jelas mereka berdua adalah tokoh-tokoh dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dua perkumpulan pemberontak yang amat terkenal karena penyelewengan dan kejahatan mereka sebagai perkumpulan iblis.

Dan memang benar. Kakek yang rambut dan jenggotnya telah putih semua, tinggi kurus berwibawa, membawa tongkat setinggi badan itu adalah Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai. Sedangkan kakek kedua yang kurus kering bermuka merah darah, yang memegang tongkat naga hitam dan matanya seperti mata kucing, adalah Thian Kek Sengjin, tokoh besar perkumpulan Pek-lian-pai.

Selain ketiga orang datuk sesat ini, di tempat kehormatan itu hadir pula tiga orang lain yang amat menarik perhatian. Yang seorang adalah Toat-beng-kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa) Giam San Ek yang usianya sekitar empat puluh lima tahun.

Dia seorang pendekar selatan, ahli bermain pedang dan kabarnya, setiap kali jagoan ini mencabut pedangnya, pedang itu tak akan kembali ke sarungnya sebelum minum darah lawan! Dia ditakuti sekali, dan menjadi sahabat Siangkoan Lohan sejak lama. Tubuhnya sedang dan wajahnya masih tampan, apa lagi karena dia pesolek, pakaiannya indah dan sikapnya agak ceriwis.

Orang ke dua nampak gagah tinggi besar, mukanya hitam matanya besar mengingatkan orang akan tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi, dan hanya beberapa orang saja mengenal tokoh ini. Dia adalah Ciok Kim Bouw, berusia lima puluh tahun dan dia menjadi pangcu (ketua) dari Cin-sa-pang, sebuah perkumpulan di Secuan yang terkenal kuat pula. Ciok Kim Bouw tidak begitu akrab dengan Siangkoan Lohan, tetapi mungkin karena mengingat akan kebesaran nama perkumpulannya, maka Siangkoan Lohan lalu mengundangnya.

Orang ke tiga jelas merupakan seorang Mongol, nampak berwibawa dengan pakaian sukunya. Ia pun bukan orang sembarangan karena dia adalah Agakai, kepala suku yang cukup besar dan berpengaruh di Mongol. Agakai ini berusia lima puluh tahun lebih. Dia adalah putera Tailucin, tokoh Mongol yang amat terkenal dan pernah menggemparkan, yang terbunuh oleh keluarga Pulau Es.

Agakai ini mengaku bahwa nenek moyangnya masih keturunan Jenghis Khan! Dia pun menjadi tamu kehormatan, bukan karena kepandaiannya yang tidak seberapa hebat jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang semeja dengannya, tapi karena kedudukannya sebagai kepala suku yang berpengaruh di utara.

Pesta itu meriah karena hidangan yang serba lezat, arak wangi yang berlimpah-limpah dan terutama sekali karena pesta itu diramaikan oleh serombongan gadis cantik yang memainkan musik, bernyanyi dan menari. Mereka bukan rombongan penyanyi dari luar, melainkan para selir dari Siangkoan Lohan sendiri yang memang terlatih memainkan alat musik, bernyanyi, dan menari.

Semua orang menjadi kagum mendengar bahwa gadis-gadis yang masih muda-muda dan cantik-cantik, pandai bermain musik, menyanyi dan menari itu adalah selir-selir dari tuan rumah! Diam-diam di antara para tamu muda banyak yang timbul perasaan iri hati! Jika orang sedang berbintang terang, pikir mereka, semua kesenangan yang diinginkan tercapai! Kepandaian tinggi, kedudukan mulia, harta benda, kehormatan, berkecukupan lahir batin dan dikelilingi wanita-wanita muda yang cantik-cantik!

Demikianlah kebiasaan kita, suka membayangkan keadaan orang lain yang dianggap serba lebih dari pada keadaan kita. Kita selalu membayangkan hal-hal yang belum kita miliki, membayangkan hal-hal yang kita anggap serba lebih indah, lebih menyenangkan, tanpa kita sadari bahwa semua bayangan keinginan ini sungguh jauh bedanya dengan kenyataannya. Seperti bumi dengan langit bedanya.

Karena kita belum memilikinya, maka yang kita bayangkan itu hanyalah segi indah dan senangnya saja. Padahal, tidak ada apa pun di dunia ini yang sifatnya hanya sepihak, hanya indah dan menyenangkan saja. Kalau sesuatu itu menyenangkan, maka sesuatu itu pula pada suatu saat akan berbalik menyusahkan, karena senang-susah merupakan dua hal yang kembar dan berpasangan, tidak terpisahkan pada akhirnya, walau pun nampaknya tidak bersamaan.

Karena itu, orang yang tidak berkedudukan membayangkan betapa senangnya orang yang berkedudukan, terhormat, mulia dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang sudah berkedudukan, di samping kesenangannya yang makin lama makin terasa menipis, juga mengalami segi-segi buruknya akibat dari kedudukannya itu, misalnya pertanggungan jawabnya, iri hati dari orang lain, mereka yang ingin merebut kedudukannya, resiko-resikonya, kebosanannya dan sebagainya lagi.

Demikian pula bagi yang tak memiliki harta, memandang dan membayangkan keadaan orang berharta tentu saja yang dibayangkan hanya segi senangnya saja. Banyak uang, apa pun yang dikehendaki tercapai! Padahal, tidak semua hal yang dikehendaki dapat dicapai dengan uang! Ketenteraman hati, kedamaian, cinta kasih, semua itu tak dapat dicapai dengan uang segunung sekali pun.

Bagi yang sudah banyak uang, maka kenikmatan karena banyak uang sudah tak terasa, atau kalau pun terasa, makin lama semakin menipis. Sebaliknya, gangguan-gangguan yang timbul karena banyak uang, terasa setiap hari! Tiada bedanya dengan memiliki banyak selir cantik, dan lain-lain hal yang dianggap kesenangan luar biasa bagi mereka yang belum mempunyainya.

Karena itu, seorang bijaksana akan waspada, tidak akan silau oleh semua gemerlap itu, sadar bahwa yang berkilauan itu belum tentu emas, dan kesenangan sama sekali bukanlah kebahagiaan. Kesenangan hanya sedalam kulit, bagaikan awan tipis berarak di angkasa, bagaikan angin semilir lembut dan semua itu hanya akan lewat sebentar saja! Bahkan akan nampak betapa di balik kesenangan itu pasti bersembunyi saudara kembarnya, yaitu kesusahan!

Maka, seorang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan, tidak akan menginginkan hal-hal yang belum dimilikinya. Akan tetapi bukan berarti menolak kesenangan yang ada! Kesenangan hidup merupakan satu di antara anugerah yang boleh dinikmati oleh setiap orang karena untuk menikmatinya kita sudah diberi alat yang amat sempurna.

Dari seluruh tubuh kita tersedia sarana yang sempurna untuk menikmati kesenangan, yaitu kesenangan yang ada pada kita. Sekali kita mengejar kesenangan, maka kita akan diperbudak oleh nafsu sehingga terjadi pelanggaran-pelanggaran dan penyelewengan-penyelewengan.

Selanjutnya baca
KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-04
LihatTutupKomentar