Suling Naga Jilid 16
Ketahyulan membuat orang dapat melakukan hal yang amat bodoh. Ketahyulan muncul kalau orang mudah percaya kepada diri sendiri, tidak mau melihat kenyataan yang ada melainkan dipermainkan oleh khayal, mengagungkan hal-hal yang dianggap aneh dan berada di luar pengertian mereka. Jelaslah bahwa ketahyulan adalah suatu kebodohan dan orang dapat melakukan segala hal yang tidak masuk akal.
Perasaan takut Kakek Yo masih tebal terhadap setan-setan, semua sebagai akibat dari ketahyulannya. Menghadapi kehadiran Siu Kwi, dia percaya sepenuhnya bahwa wanita itu adalah siluman. Banyak hal yang dianggapnya cukup menjadi bukti bahwa Siu Kwi adalah siluman.
Pertama, asal-usul wanita ini yang tidak jelas, kemunculannya begitu saja. Hal ke dua, kecantikannya yang menyolok dan betapa orang yang secantik dan sekaya itu, melihat kemewahan pakaiannya, bisa jatuh cinta kepada anaknya, seorang pemuda tani dusun. Ke tiga, kepandaiannya dalam mengobati. Ke empat, kemunculannya kembali yang amat aneh, tahu-tahu berada di dalam kamar! Sungguh seperti setan!
Karena rasa takutnya itu, kakek Yo lalu melaporkan kembalinya Siu Kwi kepada kepala dusun Tong secara diam-diam dan mendengar bahwa di rumah kakek Yo telah datang siluman yang ditakuti itu, kepala dusun Tong cepat memberi kabar kepada kepala dusun Lui. Terjadilah persekongkolan antara kakek Yo dan dua orang pejabat itu untuk secara bersama-sama menghadapi siluman.
Si tosu dusun lalu dihubungi dan tosu inilah yang mendatangkan tosu-tosu lain, tokoh-tokoh yang akan membuat dua orang kepala dusun itu sendiri terkejut setengah mati kalau mengenal mereka karena para tosu itu adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) dan Pat-kwa-kauw (Agama Segi Delapan) yang condong ke arah golongan sesat dan terkenal pula sebagai pemberontak-pemberontak.
Setelah mereka yang bersekongkol itu mengadakan pertemuan mengatur siasat, kakek Yo kemudian mendapat tugas untuk membawa Yo Jin ke rumah kepala dusun Lui yang menjadi sarang pertemuan mereka. Mereka akan melihat gelagat lebih dahulu sebelum menggunakan kekerasan karena menurut para tosu, siluman dapat memiliki kesaktian yang sukar dikalahkan.
Demikianlah, setelah Yo Jin kelihatan sembuh benar, ayahnya lalu mengajaknya untuk pergi menghadap ke rumahnya kepala dusun Lui. "Kita harus pergi ke sana, anakku. Memang, dengan bijaksana kepala dusun Lui telah memaafkanmu, akan tetapi yang memintakan maaf adalah aku. Kalau engkau sendiri yang datang menghadap dan minta maaf, tentu dia akan lebih senang hatinya dan selanjutnya, kita tidak akan mengalami gangguan lagi."
Siu Kwi mendengarkan percakapan itu dan ia mengerutkan alisnya. "Jin-toako, kuharap kau berhati-hati menghadapi orang-orang seperti Lui-kongcu itu. Orang-orang seperti itu tidak mudah melupakan kekalahan dan selalu menaruh dendam, dan mereka mungkin akan menggunakan siasat untuk menjebakmu. Kurasa lebih baik kalau engkau tidak pergi ke sana."
Yo Jin tadinya sudah siap mengikuti ayahnya. Mendengar ucapan Siu Kwi, dia menjadi ragu-ragu. "Kurasa benar juga pendapat Kwi-moi, ayah. Kenapa aku harus menghadap ke sana kalau aku tidak bersalah apa-apa terhadap mereka? Pula, mereka sudah diam saja, berarti sudah tidak ada masalah apa-apa. Kuharap saja Lui-thungcu tidak jahat seperti puteranya dan dapat menyadari kesesatan puteranya dan dengan kesadaran itu memaafkan aku. Kalau aku muncul, jangan-jangan dia malah menjadi marah kembali dan melakukan tindakan yang tidak menguntungkan."
Tentu saja kakek Yo kecewa bukan main dan hatinya mendongkol. Puteranya itu selalu taat kepadanya, akan tetapi setelah siluman itu mencengkeram dan menguasainya, kini berani membangkang terhadap perintahnya.
"Yo Jin...," bentaknya marah. Dia hanya berani memarahi anaknya, sedangkan terhadap Siu Kwi, dia memandang pun tidak berani. "Selama ini engkau seorang anak penurut, akan tetapi sekarang engkau berani membantah kehendak ayahmu! Baik, engkau boleh tidak menurut kepadaku, akan tetapi selamanya engkau tidak perlu mentaati aku lagi!" Berkata demikian, kakek itu lalu memutar tubuh dan keluar.
"Ayah...!" Yo Jin berseru dengan kaget, cepat dia lari keluar mengejar ayahnya. Setelah tiba di luar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. "Ayah, maafkan aku, bukan maksudku untuk membantah..."
"Cukup, cepat berganti pakaian dan ikut aku ke rumah Lui-thungcu atau... jangan sebut aku ayah lagi!"
Tentu saja Yo Jin tidak berani membantah. Dia masuk lagi ke dalam kamar dan berganti pakaian sambil berkata kepada Siu Kwi, "Kwi-moi, kau maafkan aku. Aku terpaksa pergi sebentar ikut ayah. Dia marah dan kau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menentang kehendaknya."
Siu Kwi tersenyum sabar. "Aku mengerti, toako. Pergilah, aku akan menanti kembalimu di sini dengan sabar hati."
Lega rasa hati Yo Jin mendengar dan melihat sikap Siu Kwi itu dan dia pun segera pergi bersama ayahnya, meninggalkan dusun mereka yang terletak di sebelah selatan itu untuk berkunjung kepada kepala dusun Lui di dusun sebelah timur.
Selama sepanjang perjalanan itu, kakek Yo memperoleh kesempatan untuk menasehati anaknya. Dia memperingatkan anaknya tentang bahaya yang mengancam dirinya kalau semakin akrab dan dekat dengan wanita cantik yang menjadi tamu mereka.
"Sadarlah engkau, anakku," demikian dia menutup nasehatnya yang agaknya tak terlalu dipedulikan oleh Yo Jin, didengarkan tanpa dijawab. "Engkau kini sudah berada dalam cengkeramannya, engkau sudah dibikin mabok oleh hawa siluman. Masih untung jika selama ini engkau belum tidur bersama siluman itu, karena kalau hal itu terjadi, akan celakalah engkau. Sadar dan mundurlah sebelum terlambat, anakku."
Meski Yo Jin maklum bahwa ayahnya membujuknya untuk menjauhi Siu Kwi terdorong oleh rasa sayang karena ayahnya tidak ingin melihat dia celaka, akan tetapi hatinya terasa panas dan tidak enak mendengar betapa ayahnya yakin bahwa Siu Kwi adalah seorang siluman.
"Ayah, sudah beratus kali kukatakan bahwa Ciong Siu Kwi bukanlah seorang siluman, melainkan seorang wanita yang patut dikasihani, yang berhati mulia."
"Tapi tosu itu..."
"Persetan dengan tosu tahyul itu, ayah! Dengarlah, ayah. Sudah beberapa lama aku mengenal Siu Kwi dan belum pernah satu kali pun ia melakukan hal yang bukan-bukan. Ia selalu sopan dan merawatku dengan teliti dan tekun. Ia suka kepadaku, hal itu amat kuharapkan dan nampaknya begitu, dan aku... cinta padanya, ayah, akan tetapi selama ini belum pernah dia memperlihatkan perasaannya dengan perbuatan yang melanggar susila. Ia seorang wanita baik-baik, ayah, seorang wanita yang telah banyak menderita."
Kakek itu mengerutkan alisnya. Agak ragu-ragu juga hatinya setelah mendengar ucapan anaknya itu. Memang tidak ada bukti nyata bahwa Siu Kwi seorang siluman. Akan tetapi keganjilan-keganjilan yang terjadi bersama kemunculannya membuat ia kembali meragu dan hanya menggelengkan kepala.
Biarlah, biarlah Lui-thungcu yang akan menangani persoalan ini. Dia sudah berunding dengan kepala dusun itu. Ajakannya kepada puteranya untuk menghadap kepala dusun Lui ini juga termasuk pelaksanaan dari rencana mereka. Dia harus mengajak Yo Jin ke sana agar para tosu sakti yang sudah berada di rumah Lui-thungcu dapat mengobati dan membersihkan diri Yo Jin dari hawa siluman itu. Hal ini akan lebih mudah kalau dilakukan sewaktu Yo Jin tidak berada di rumah.
Ayah dan anak ini disambut oleh kepala dusun Lui yang didampingi Lui-kongcu dan juga dua orang tosu tua yang memegang tongkat. Tosu pertama memakai pakaian yang longgar berwarna putih dan di dadanya terdapat lukisan bunga teratai putih di atas dasar biru yang berbentuk bulat. Tosu ini usianya sudah tujuh puluhan tahun, mukanya merah sekali seperti berdarah dan tangannya memegang sebatang tongkat berbentuk naga berwarna hitam. Tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja.
Ada pun tosu ke dua, tinggi besar dan perutnya gendut. Pakaiannya berwarna kuning dengan lukisan pat-kwa (segi delapan) di dadanya. Berbeda dengan tosu pertama yang rambutnya digelung ke atas, tosu ke dua ini rambutnya dibiarkan riap-riapan dan karena rambutnya sudah putih semua, maka nampaklah dia seperti seorang yang suci. Juga dia memegang tongkat hitam berbentuk ular, lebih kecil dari pada tongkat tosu pertama. Tosu ke dua ini bermuka pucat kekuningan, seperti orang berpenyakitan.
Begitu menghadap kepala dusun ini, kakek Yo yang di tengah perjalanan tadi sudah memberi tahu kepada anaknya apa yang harus dilakukan kalau sudah berhadapan dengan kepala dusun Lui, menyentuh lengan anaknya memberi isyarat.
Yo Jin mengerutkan alisnya. Begitu menghadap kepala dusun itu dan melihat betapa kepala dusun memandangnya dengan sinar mata marah, terutama sekali Lui-kongcu yang jelas sekali kelihatan marah kepadanya dan memandangnya penuh kebencian, hatinya sudah merasa menyesal mengapa dia datang ke tempat ini. Akan tetapi, untuk menyenangkan hati ayahnya, dia lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada kepala dusun itu bersama puteranya, sambil berkata dengan suara lantang.
"Lui-thungcu dan Lui-kongcu, mentaati perintah ayahku, maka saya datang menghadap ji-wi untuk mohon maaf atas segala hal yang telah terjadi antara saya dan Lui-kongcu."
Ayah dan anak yang biasanya dihormati orang dan diagungkan bagaikan keluarga raja kecil itu, mengerutkan alis lebih dalam karena mereka merasa tidak puas melihat sikap Yo Jin.
"Kenapa tidak dari dulu engkau datang mohon maaf?" bentak Lui-kongcu dengan suara marah.
Yo Jin menoleh kepada ayahnya. Sikap pemuda itu sama sekali tidak diduganya, sebab menurut ayahnya, keluarga Lui sudah memaafkannya, akan tetapi mengapa Lui-kongcu masih bersikap demikian keras? Dia melihat ayahnya hanya menunduk, maka dia lalu mengangkat muka menentang pandang mata Lui-kongcu. Dilihatnya kongcu itu sedang memandang kepadanya dengan sikap yang amat angkuh. Bangkitlah rasa penasaran di dalam hati pemuda ini.
"Saya baru saja sembuh dari sakit, dan baru hari ini ayah mengajak saya datang ke sini," jawabnya singkat dan suaranya juga sama sekali tidak merendah.
"Brakkk!"
Tangan kepala dusun Lui menggebrak meja di depannya. "Yo Jin, engkau sungguh seorang pemuda yang keras kepala! Di depan kami engkau berani bersikap seperti ini? Hayo lekas berlutut!"
Wajah Yo Jin menjadi merah karena penasaran.
Ayahnya kembali menyentuh lengannya. "Anakku, taatilah perintah Lui-thungcu."
Akan tetapi Yo Jin tidak mau. "Tidak, ayah. Aku tidak bersalah, mengapa aku harus berlutut minta ampun dan mohon dikasihani? Tidak, aku mau pulang saja!"
Berkata demikian, Yo Jin lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi tanpa pamit dari depan kepala dusun itu.
"Ehhh, bocah laknat, berani kau kurang ajar kepadaku? Kembali kau!" bentak kepala dusun itu dengan marah.
"Hemm, Yo Jin, kembalilah kau!"
Tiba-tiba terdengar suara parau dan yang mengeluarkan ucapan ini ialah tosu bermuka merah, tokoh Pek-lian-kauw itu. Dia berkata sambil menggerakkan tangan kiri ke arah Yo Jin. Dan terjadilah keanehan!
Mendadak Yo Jin yang sudah melangkah pergi itu menghentikan langkahnya, menoleh dan memutar tubuh lalu kembali ke depan kepala dusun Lui! Pemuda itu sendiri terkejut bukan main. Pada waktu mendengar suara parau tadi, seolah-olah ada kekuatan aneh yang memaksanya, bahkan kemauannya seperti membeku dan kedua kakinya, seluruh tubuhnya bergerak sendiri di luar kehendaknya. Dia kini berdiri di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan mukanya menunjukkan kekerasan hatinya yang enggan tunduk.
Kembali tokoh Pek-lian-kauw itu menggerakkan tangan kirinya seperti orang melambai. "Yo Jin, berlututlah di depan Lui-thungcu!"
Sungguh luar biasa sekali. Yo Jin tidak sudi berlutut, akan tetapi tiba-tiba saja kakinya terasa lemas dan dia pun jatuh bertekuk-lutut! Terdengar kakek dari Pek-lian-kauw itu terkekeh girang. Yo Jin mengangkat mukanya memandang, dan terkejut melihat betapa sepasang mata kakek itu mencorong seperti mata kucing.
"Kau... kau... bukan manusia, kaulah yang siluman!" bentaknya dan suara ini baru bisa dia keluarkan setelah menguatkan hatinya dan memaksa mulutnya untuk meneriakkan kata-kata ini.
"Bocah kurang ajar kau!" bentak Lui-thungcu sambil menggapai empat orang prajurit pengawal yang berjaga tak jauh dari situ. "Hajar dia!"
"Ha-ha, tak perlu pakai banyak orang, Lui-thungcu. Biar pinto yang menghajarnya!" yang bicara adalah kakek tokoh Pat-kwa-kauw yang bertubuh tinggi besar itu dan sebelum si kepala dusun menjawab, tangan kirinya sudah menyambar ke depan.
Angin yang kuat sekali keluar dari gerakan tangan itu dan tubuh Yo Jin terpelanting seperti didorong oleh tenaga yang amat keras! Pemuda itu terkejut, mencoba bangkit kembali, akan tetapi setiap kali tosu Pat-kwa-kauw itu menggerakkan tangan, dia pun terbanting dengan keras. Sampai beberapa kali Yo Jin jatuh bangun dan terbanting keras di atas lantai, bergulingan di depan kepala dusun Lui dan puteranya yang tertawa girang melihat betapa musuh yang dibencinya itu kini menjadi bulan-bulan kesaktian dua orang kakek itu.
Sementara itu, kakek Yo terkejut sekali melihat betapa anaknya disiksa. Dia pun cepat maju berlutut di depan kepala dusun Lui. "Lui-thungcu, maafkanlah anakku. Perjanjian antara kita tidak begini! Harap jangan pukul lagi puteraku!"
Kepala dusun Lui menjadi marah. "Usir tua bangka yang tidak mampu mengajar anak ini keluar dan penjarakan Yo Jin!"
Empat orang pengawal itu maju, memegang lengan kakek Yo dan menariknya bangun. Kakek itu menjadi marah sekali.
"Aturan mana ini? Kita berjanji untuk bersama-sama menghadapi siluman, akan tetapi mengapa anakku disiksa dan aku diusir? Lui-thungcu, apakah engkau sudah melupakan perjanjian antara kita...?"
"Usir dia! Seret dan pukul agar dia tidak banyak cerewet lagi!" bentak kepala dusun Lui.
Memang benar bahwa kakek Yo pernah mengadakan perjanjian bersekutu dengannya untuk menghadapi siluman yang berada di rumah keluarga Yo. Tetapi, kepala dusun itu yang sekarang dibantu oleh dua orang kakek tosu yang sakti, masih tidak melupakan dendamnya ketika puteranya dipukuli Yo Jin sehingga pulang dengan muka bengkak-bengkak. Kakek Yo hanya melaporkan tentang adanya siluman dan dia akan membasmi siluman itu bersama dua orang tosu sakti. Kakek Yo tidak dibutuhkannya sama sekali, bahkan perlu dihajar karena keluarga Yo pernah menghina puteranya.
Kini kakek Yo menjadi marah. Dia meronta dan melepaskan pegangan, mengamuk dan memukul roboh seorang pengawal. Akan tetapi tiga orang pengawal itu mengeroyoknya dan tubuhnya yang tua dihujani pukulan. Kakek Yo yang tinggi besar dan biasa bekerja berat dan kasar ini, melawan mati-matian dan ternyata tubuhnya memang kuat. Empat orang pengawal itu sampai kewalahan untuk dapat menangkap dan menyeretnya ke luar.
"Ha-ha, biar aku yang melemparnya keluar," kata tosu Pat-kwa-kauw yang membiarkan Yo Jin yang tadi terbanting-banting itu kini mendekam lemas dan pusing, lalu dia turun dari atas kursinya, menghampiri kakek Yo.
Kakek Yo yang sudah menjadi marah sekali, menyambutnya dengan pukulan keras!
"Dukkk!"
Tongkat berbentuk ular itu menotok dan seketika tubuh kakek Yo roboh lemas. Tongkat itu bergerak lagi, mengungkit dan seperti orang melempar kulit pisang menggunakan sebatang tongkat, sekali tangannya bergerak, tubuh kakek yang tinggi besar itu lantas terlempar keluar pintu dan terbanting roboh dengan keras sekali di luar pintu!
Kakek Yo merangkak bangun, dari mulut dan hidungnya keluar darah. Totokan tongkat yang tepat mengenai dadanya tadi membuat dadanya terasa seperti akan pecah dan kekuatan dalam tubuhnya habis. Dia merangkak, tertatih-tatih bangkit.
"Ayahhh...!" Yo Jin berteriak melihat betapa ayahnya disiksa.
Akan tetapi, empat orang pengawal itu telah menangkapnya, mengikat kedua lengannya ke belakang dan menyeretnya dari ruangan itu untuk dijebloskan dalam kamar tahanan.
"Ayah peringatkan Kwi-moi...!" Yo Jin masih sempat berteriak dan teriakan ini didengar oleh kakek Yo.
Kini baru kakek Yo teringat akan semua ucapan puteranya, betapa jahatnya keluarga Lui dan betapa Siu Kwi adalah seorang wanita yang amat baik, seorang janda yang patut dikasihani dan yang agaknya saling mencinta dengan Yo Jin. Timbul penyesalan di dalam hatinya dan kakek ini maklum kini bahwa perlakuan keluarga Lui kepada dia dan puteranya adalah karena Lui-kongcu ingin mendapatkan wanita cantik itu!
Wanita itu bukan siluman dan kini terancam bahaya! Dia merasa menyesal sekali telah memusuhi Siu Kwi dan dialah yang mendorong puteranya hingga kini Yo Jin ditangkap dan Siu Kwi terancam bahaya. Penyesalannya mendatangkan kekuatan baru pada diri kakek ini dan biar pun dia telah menderita luka parah di dalam tubuhnya, namun dia masih mampu mengeluarkan tenaga terakhir untuk berlari pulang secepatnya.
Tenaga kakek Yo habis ketika dia tiba di depan rumahnya dan dia pun roboh terguling. Pada saat itu, Siu Kwi yang melihat dia pulang berlari-lari sendirian saja, sudah cepat keluar menyambut. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Siu Kwi melihat kakek itu roboh dengan muka pucat sekali. Napasnya terengah-engah, dari mulut dan hidungnya keluar darah.
Cepat ia berlutut. Ketika ia mengangkat tubuh atas kakek itu untuk didudukkan, wanita ini terkejut. Dengan pengalaman dan kepandaiannya, ia dapat melihat bahwa kakek ini telah menderita luka dalam yang amat hebat dan tidak akan dapat disembuhkan lagi! Kakek ini telah menerima serangan orang yang menggunakan ilmu kepandaian tinggi, mungkin totokan atau tamparan. Hatinya mulai merasa gelisah, apa lagi karena Yo Jin tidak pulang bersama kakek itu.
"Yo-lopek, kau kenapakah? Apa yang telah terjadi dan mana Jin-toako?"
Kakek itu membuka mulut hendak bicara, tetapi yang keluar hanya suara menggelogok diikuti tumpahan darah! Siu Kwi cepat menekan bagian dada kakek itu dan menotok beberapa jalan darah. Kakek itu kini berhasil mengeluarkan suara.
“Yo Jin... ditangkap... Lui-thungcu... dua tosu sakti... aaahhh..." kakek itu menghentikan kata-katanya, matanya terbelalak, lalu terpejam dan kepalanya terkulai lemas.
Siu Kwi maklum bahwa kakek itu telah tewas. Dia mengangkat tubuh kakek itu dan membawanya ke dalam rumah. Setelah merebahkan mayat itu di dalam kamar kakek Yo, ia lalu melompat keluar dan seperti terbang saja Siu Kwi sudah berlari menuju ke dusun timur. Hatinya gelisah sekali, akan tetapi juga marah. Yo Jin sudah ditangkap dan ayahnya dibunuh!
Hari telah sore ketika Siu Kwi tiba di dusun timur dan ia langsung mencari rumah kepala dusun. Setelah tiba di depan pintu gerbang pekarangan rumah yang besar itu, Siu Kwi langsung saja masuk. Dua orang penjaga menghadangnya dan dua orang ini senyum-senyum kurang ajar ketika melihat bahwa tamu yang datang adalah seorang wanita cantik.
"Nona hendak mencari siapakah?" tanya seorang di antara mereka sambil melintangkan tombaknya dengan lagak galak, akan tetapi sinar matanya seperti hendak menelanjangi wanita yang berdiri di depannya.
"Apakah ini rumah kepala dusun Lui?"
"Benar," jawab orang ke dua yang perutnya gendut.
"Dan kalian ini penjaga-penjaga di sini?" Siu Kwi bertanya lagi.
Dua orang itu mengangguk. Siu Kwi menahan diri agar tidak sembarangan membunuh orang. Kepala dusun itulah yang harus dihadapi, bukan segala macam penjaga tingkat rendahan. Maka ia lalu melangkah maju lagi untuk masuk ke dalam rumah itu, mencari kepala dusun Lui.
"Hei, nona, tunggu dulu!"
"Kau tidak boleh masuk begitu saja! Beri tahukan nama dan keperluan, dan kami akan lebih dulu melapor ke dalam!"
Siu Kwi memandang kepada dua orang penjaga yang sudah melintangkan tombak di depannya itu. Kesabarannya hilang dan ia membentak, "Pergilah!"
Kedua tangannya dipentang seperti orang membuka daun pintu dan tubuh dua orang penjaga itu pun terpelanting ke kanan kiri dan terguling-guling sampai jauh! Siu Kwi tidak mempedulikan lagi kedua orang yang merangkak bangun dengan mata terbelalak dan kepala nanar itu, dan ia terus melangkah maju sampai ke ruangan depan.
Lima orang pengawal mengejar keluar ketika mendengar suara ribut-ribut dan mereka tadi sempat melihat betapa dua orang rekan mereka terguling-guling dan seorang wanita cantik berjalan memasuki ruangan itu. Cepat mereka mengepung wanita itu.
"Aku tidak mau berurusan dengan kalian. Suruh kepala dusun Lui keluar, atau aku akan mencarinya sendiri dan menyeretnya keluar!" kata Siu Kwi, suaranya dingin sekali oleh karena dia sudah marah.
Kalau saja ia masih Siu Kwi sebulan yang lalu, tentu ia tidak akan banyak cakap lagi dan membunuh lima orang ini. Juga dua orang penjaga tadi tentu kini tak dapat bangun lagi. Tetapi sekarang ia menjaga diri dengan ketat agar jangan sampai ia sembarangan saja membunuh orang.
Tentu saja lima orang pengawal itu tidak sudi memenuhi permintaannya. Mereka tadi sudah melihat betapa wanita ini merobohkan dua orang rekannya, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa wanita ini datang sebagai musuh majikan mereka. Betapa pun juga, lima orang pengawal ini masih memandang rendah kepada Siu Kwi. Mereka yang sudah mengepung itu langsung mengulurkan tangan dan menubruk, seperti hendak berlomba menangkap dan memeluk perempuan cantik itu.
"Pergilah kalian!" bentak Siu Kwi.
Mendadak tubuh Siu Kwi bergerak dengan kecepatan luar biasa. Terdengar lima orang pengeroyok itu mengaduh dan tubuh mereka pun terpelanting ke kanan dan kiri, roboh berserakan. Sejenak mereka menjadi nanar dan terheran-heran. Mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi sampai roboh. Kedua tangan wanita itu bergerak membagi-bagi tamparan seperti kilat menyambar-nyambar saja.
Kini mereka pun sadar bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang wanita yang mempunyai ilmu silat tinggi, maka mereka cepat bangkit lagi sambil mencabut golok dari pinggang. Mereka mengepung lagi dengan besar hati karena keributan itu telah menarik perhatian orang dan sekarang dari dalam muncul pasukan pengawal berjumlah belasan orang, mengiringkan Lui-thungcu yang datang bersama Lui-kongcu dan dua orang tosu.
Akan tetapi, serangan golok lima orang itu pun tidak ada artinya sama sekali bagi Siu Kwi. Ketika melihat lima orang itu menyerang serentak dengan golok mereka, Siu Kwi cepat mendahului mereka. Tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu lima orang itu sudah berpelantingan kembali, golok mereka pun beterbangan dan kini mereka terbanting lebih keras dari pada tadi sehingga mereka tak dapat serentak bangun seperti tadi melainkan merangkak-rangkak sambil mengeluh seperti segerombolan anjing kena gebuk!
"Itulah siluman itu!" tiba-tiba Lui-kongcu berseru sambil telunjuknya menuding ke arah Siu Kwi. Mendengar ini, kepala dusun Lui segera memberi isyarat kepada tiga belas orang pengawalnya untuk maju.
"Tangkap siluman ini, hidup atau mati!" perintahnya.
Tiga belas orang pengawal itu merupakan pengawal-pengawal pribadi yang pilihan dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak seperti lima orang pengawal biasa yang tadi telah dirobohkan itu. Mereka bergerak hati-hati, mencabut pedang dan perisai baja, lalu mengepung Siu Kwi.
Wanita ini melihat bahwa ruang itu terlampau sempit untuk menghadapi pengeroyokan, maka ia pun meloncat turun ke pekarangan yang lebar. Ketiga belas orang itu segera mengejarnya tanpa meninggalkan gerakan barisan yang teratur.
Ternyata tiga belas orang pengawal ini bukan orang-orang sembarangan dan mereka bergerak dalam gaya barisan Cap-sha Kiam-tin (Barisan Pedang Tiga belas) yang terus berubah-ubah seperti garis perbintangan. Karena itu, walau pun Siu Kwi melompat ke pekarangan, tetap saja wanita itu dalam keadaan terkepung.
Kini Siu Kwi berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Kegembiraannya timbul kembali. Sudah terlalu lama ia menganggur dan tak pernah menghadapi perkelahian. Sekarang, dikepung tiga belas orang yang berpedang, timbul lagi gairahnya untuk berkelahi.
Namun, kesadarannya akan kesesatan yang dimasukinya dalam kehidupannya yang lalu tak pernah meninggalkan batinnya sehingga kini ia menghadapi mereka tanpa ada perasaan benci. Perasaan benci inilah yang membuat orang dapat berbuat kejam, dapat membuat orang membunuh orang lain dengan mudah saja. Tidak, ia takkan membunuh orang, biar pun untuk menyelamatkan Yo Jin ia mau berbuat apa saja.
Melihat orang yang mereka kepung itu hanya berdiri tegak sambil bertolak pinggang, tiga belas orang itu menjadi penasaran. Wanita ini sungguh memandang rendah kepada mereka.
Orang yang memimpin barisan itu, yang berkumis panjang, mengeluarkan aba-aba dan tiga orang yang berada di belakang Siu Kwi sudah menyerang dengan pedang mereka. Seorang membacok ke arah leher, seorang lagi menusuk ke punggung dan orang ke tiga membabat ke arah kaki! Sungguh merupakan serangan dari belakang yang sangat berbahaya sebab semua bagian tubuh lawan, atas, tengah dan bawah diserang dengan berbareng. Dan yang diserang masih kelihatan enak-enakan saja.
"Ia akan mampus sekarang!" kata kepala dusun Lui melihat serangan itu.
"Heh-heh-heh, dugaanmu keliru, thungcu. Orang-orangmu yang akan kalah!" Ucapan ini keluar dari mulut tosu tokoh Pek-lian-kauw yang berada di dekatnya sehingga kepala dusun itu terkejut bukan main.
Memang dugaan tosu itulah yang tepat. Saat tiga batang pedang itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba tubuh Siu Kwi meloncat ke depan sehingga tiga serangan dari belakang itu luput dan wanita itu kini malah menyerang pengepung yang berada di depannya.
Empat orang serentak menyambutnya dengan pedang dan perisai. Akan tetapi agaknya Siu Kwi tidak peduli akan ini. Kaki tangannya bergerak cepat sekali dan terdengar suara keras ketika dua perisai baja pecah oleh tendangan Siu Kwi dan kakinya masih terus mengenai dada para pemegangnya, sedangkan kedua tangannya sudah merobohkan dua orang lain lagi. Dalam segebrakan saja, dari keadaan diserang oleh empat orang di belakangnya, wanita itu telah merobohkan empat orang di depannya!
Hal ini sungguh sama sekali tidak pernah disangka oleh barisan tiga belas orang itu. Mereka kini tinggal sembilan orang dan mereka cepat melangkah mengitari Siu Kwi yang kembali berdiri tegak sambil bertolak pinggang di tengah lingkaran. Tubuhnya sama sekali tak bergerak, hanya kedua bola matanya yang bergerak mengikuti gerakan sembilan orang pengepung itu.
"Orang she Lui!" Siu Kwi sempat berseru kepada kepala dusun yang berdiri di kepala anak tangga bersama puteranya dan dua orang tosu itu. "Bebaskan Yo Jin dan aku akan meninggalkan tempat ini!"
Akan tetapi pada saat itu, sembilan orang pengepungnya sudah menerjang maju secara serentak. Banyak pedang berkilat dari segenap penjuru, menyerang ke arah tubuh Siu Kwi. Agaknya, sembilan orang itu hendak mencincang tubuh wanita itu menjadi bahan bakso!
Namun, Siu Kwi menyambut serangan itu dengan gerakan tubuhnya yang lincah. Begitu tubuhnya berkelebat, bayangannya saja yang nampak, tubuhnya sudah lenyap saking cepatnya ia bergerak. Sembilan orang itu terus menyerang ke arah bayangan, namun mereka kalah cepat. Bayangan itu sudah menerjang ke kanan kiri, depan belakang dan berturut-turut terdengar pekik kesakitan disusul robohnya seorang pengeroyok. Siu Kwi tidak pernah menghentikan gerakannya. Bayangannya terus berkelebatan dan akhirnya, sembilan orang pengeroyok itu pun roboh seperti empat orang pertama!
Pedang dan perisai berserakan. Mereka mengaduh-aduh karena biar pun tak seorang di antara mereka tewas, namun mereka menderita patah tulang atau setidaknya salah urat yang membuat mereka tidak mampu berkelahi lagi. Dengan muka pucat dan mata terbelalak tiga belas orang itu kini memandang gentar, lalu merangkak bangun dan menyusul lima orang rekan mereka yang sudah lebih dulu mengundurkan diri, minggir di tempat aman sambil berusaha untuk mengobati cedera pada tubuh mereka.
Kepala dusun Lui dan puteranya saling pandang dengan muka berubah pucat. Tidak mereka duga bahwa dua puluh orang penjaga dan pengawal semua roboh oleh wanita itu!
"Ia benar-benar siluman!" bisik Lui-kongcu yang sekarang menjadi ketakutan sehingga lenyaplah semua gairahnya terhadap wanita cantik itu.
Namun, selagi ayah dan anak itu memandang khawatir dan mulai ketakutan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dua orang tosu itu.
"Ha-ha-ha, siluman betina ini memiliki kepandaian yang lumayan! Timbul kegembiraan pinto untuk mencobanya!" Dan tosu bermuka pucat tokoh Pat-kwa-kauw telah menuruni anak tangga dan menghampiri Siu Kwi.
"Heh-heh, tosu. Hati-hatilah, atau kau akan kalah. Pinto tadi melihat gerakan-gerakan yang luar biasa dari kaki tangannya, dan sepertinya pinto pernah kenal jurus-jurus yang digunakannya," kata tosu Pek-lian-kauw yang juga menuruni anak tangga.
Siu Kwi yang masih berdiri tegak, kini menghadapi dua orang tosu itu dan memandang tajam penuh selidik. Tosu pertama yang memakai jubah berlukiskan gambar pat-kwa itu memiliki wajah yang pucat dan kekuningan, hampir sama kuningnya dengan jubahnya. Perawakannya tinggi besar akan tetapi karena mukanya pucat, ia nampak seperti orang menderita sakit. Di tangan kanannya terdapat sebatang tongkat berbentuk ular hitam, panjangnya seperti pedang dan ujungnya yang berupa ekor ular itu runcing.
Ada pun tosu ke dua, usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari tosu yang pertama. Tubuhnya kurus kering, pakaiannya putih dengan tanda gambar teratai di dada. Tosu kurus kering ini mukanya berwarna merah darah sehingga kembali Siu Kwi terkejut. Di tangan tosu ini terdapat sebatang tongkat panjang sepanjang tubuh tosu itu, berbentuk naga hitam.
Biar pun ia tidak pernah bertemu dengan mereka dan tidak mengenal mereka, namun dengan mudah Siu Kwi dapat menduga bahwa tosu pertama tentulah seorang tokoh Pat-kwa-kauw, sedangkan tosu ke dua tentulah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Dan dari warna muka mereka, juga dari sinar mata mereka, tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan dua orang sakti yang tidak boleh dipandang ringan.
"Heii, siluman betina. Sebenarnya siapa kamu? Berterus teranglah kepada pinto, karena kalau engkau mau bersikap lunak, mungkin pinto dapat pula bersikap lunak kepadamu, heh-heh-heh!" Sepasang mata tosu Pat-kwa-kauw yang mencorong itu kini menjelajahi wajah dan tubuh wanita di depannya.
Sekali pandang saja maklumlah Siu Kwi bahwa tosu tua bertubuh tinggi besar dan berperut gendut ini adalah seorang mata keranjang.
"Siancai..., toyu Ok Cin Cu memang gemar bersikap lunak terhadap wanita. Memang sebaiknya kalau engkau mau mengaku terus terang siapa dirimu dan apa sebenarnya maksudmu sehingga orang seperti engkau ini membela dan melindungi seorang dusun seperti orang she Yo itu!" kata pula tosu Pek-lian-kauw.
Tentu saja hati Siu Kwi menjadi panas sekali. Ia dan ketiga orang gurunya adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal takut dan walau pun mereka tidak pernah memilih kelompok, akan tetapi ia sendiri tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Pek-lian-kauw atau pun Pat-kwa-kauw.
"Ji-wi totiang (dua pendeta), aku bernama Ciong Siu Kwi dan selamanya tidak pernah bentrok dengan Pek-Lian-kauw mau pun Pat-kwa-kauw. Jalan hidupku bersimpangan dengan jalan hidup ji-wi. Karena itu, demi keutuhan dunia persilatan, kuharap ji-wi tidak mencampuri urusan pribadiku. Aku membela dia karena aku mencintanya! Nah, aku sudah berterus terang, hendaknya ji-wi juga suka bersikap jujur."
Dua orang tosu itu adalah orang-orang yang terpandang di dalam golongan masing-masing, bahkan menduduki tingkat tinggi sebagai ketua-ketua cabang perkumpulan masing-masing. Melihat sikap dan mendengar ucapan Siu Kwi, dua orang kakek itu tersenyum lebar dan diam-diam mereka pun dapat menduga bahwa wanita yang masih muda ini tentu bukan orang sembarangan. Jelas bukan siluman seperti yang mereka katakan dengan yakin untuk membuat kepala dusun Lui percaya kepada mereka. Dan mereka pun tahu bahwa wanita bernama Ciong Siu Kwi ini lihai sekali ilmu silatnya, seorang wanita yang sudah banyak makan asam garamnya hidup di dunia sesat yang penuh kekerasan.
Wanita ini bukan golongan pendekar, hal ini dapat diduga oleh mereka. Dan seorang wanita yang keras hati dan jujur sehingga mengaku begitu saja tentang cintanya kepada seorang pemuda dusun, hal yang sendirinya sudah merupakan suatu keganjilan. Aneh sekali selera wanita ini, pikir mereka. Mengapa menjatuhkan pilihan kepada seorang pemuda dusun yang bodoh dan tolol dan amat sederhana? Pada hal, wanita seperti ini, akan mudah saja memilih dan mendapatkan pacar di antara para kongcu yang kaya dan pandai di kota-kota besar.
"Ho-ho, engkau hendak berkenalan dengan pinto, nona? Pinto memang ketua cabang Pat-kwa-kauw berjuluk Ok Cin Cu. Pinto juga tidak ingin bermusuhan dengan engkau, hanya memenuhi permintaan Lui-thungcu untuk menghadapi siluman, Akan tetapi, pinto tidak membenci siluman, asal ia bersikap manis kepada pinto, heh-heh!" Kakek mata keranjang ini mengedipkan sebelah matanya untuk memberi isyarat kepada Siu Kwi.
"Dan pinto adalah ketua cabang Pek-lian-kauw, berjuluk Thian Kek Seng-jin. Benarlah seperti katamu, nona. Di antara kita orang-orang dunia persilatan tak perlu pecah belah. Karena itu, marilah kita tinggalkan saja urusan lurah Lui dengan keluarga Yo, dan kita memperdalam perkenalan ini. Bagaimana?" Tosu Pek lian-kauw terkekeh.
"Ji-wi totiang memang tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan ini. Tetapi urusan ini langsung menyangkut diriku! Orang yang kucinta, Yo Jin, sedang ditawan, bahkan ayahnya telah tewas. Aku harus membebaskan Yo Jin, baru aku mau meninggalkan tempat ini bersama dia dan tidak akan memperpanjang urusan."
"Ho-ho-ho, nanti dulu, nona. Yo Jin sudah berdosa terhadap Lui-thungcu, tidak dapat dibebaskan begitu saja sebelum menerima hukuman. Dan pinto yang telah membantu Lui-thungcu untuk menangkapnya," kata Thian Kek Seng-jin sambil tertawa.
"Kalau begitu, aku akan membebaskannya dengan menggunakan kekerasan!" kata Siu Kwi. Tubuhnya sudah meloncat ke samping untuk memasuki rumah besar itu mencari pria yang dikasihaninya dan ditawan di tempat itu.
Akan tetapi nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu sudah menodong dada Siu Kwi dari samping. "Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, nona. Sebaiknya engkau bersikap manis dan menurut saja kepada pinto agar tidak perlu pinto menghadapimu sebagai lawan."
Kesabaran yang semenjak tadi ditahan-tahan oleh Siu Kwi sudah habis. "Tosu keparat!" bentaknya.
Ia pun menerjang dengan sengit. Tangan kirinya memukul dengan jari terbuka ke arah dada lawannya sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala, bagaikan hendak menjambak rambut putih yang riap-riapan itu.
"Heh-heh, liar juga engkau, nona!" kakek Pat-kwa-kauw itu tertawa mengejek dan dari sikapnya ini jelas bahwa dia memandang rendah kepada lawannya yang hanya seorang wanita muda. Tongkat hitamnya diputar untuk menangkis pukulan ke arah dadanya sedangkan tubuhnya melangkah mundur agar cengkeraman ke arah kepalanya itu tidak sampai.
"Uhhhh..."
Sikap memandang rendah dari Ok Cin Cu hampir saja mencelakakan dirinya sendiri ketika tiba-tiba saja kepalanya nyaris kena dicengkeram oleh tangan Siu Kwi yang terus mengejarnya. Lengan wanita itu dapat memanjang dan dapat melanjutkan cengkeraman tangannya walau pun sudah dielakkan! Kalau saja Ok Cin Cu tidak memandang rendah, tentu dia tidak sekaget itu.
Kini, terpaksa ia melempar diri ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ketika dia sudah berdiri kembali. Wajahnya yang pucat kuning itu berubah agak merah.....
Kini dia tidak berani memandang rendah lagi dan tanpa banyak cakap, dia memutar tongkatnya dan menerjang ke depan. Tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar hitam yang amat kuat. Melihat gerakan tongkat ini, Siu Kwi terkejut juga. Kiranya tongkat itu merupakan senjata pengganti pedang dan permainan pedang lawannya amat lihai.
Diam-diam ia merasa amat menyesal mengapa ia tidak membawa pedang. Semenjak ia bertemu dengan Yo Jin, ia telah menyembunyikan pedangnya dan mengubur senjata itu di dalam hutan tak jauh dari dusun tempat tinggal Yo Jin. Akan tetapi Siu Kwi tidak takut. Ia mengandalkan kelincahan gerakannya dan juga kekebalan yang disalurkan di kedua lengannya untuk menghadapi tongkat lawan dengan tangan kosong. Ia masih tetap memainkan Hek-wan Sip-pat-ciang, ilmu simpanan mendiang Raja Iblis Hitam yang membuat lengannya dapat memanjang.
Akan tetapi ilmu tongkat tosu Pat-kwa-kauw itu benar-benar ampuh dan gulungan sinar hitam itu tidak dapat ditembus Hek-wan Sip-pat-ciang. Wanita yang mempunyai banyak macam ilmu silat itu lalu merubah-rubah gerakannya dan mainkan berbagai ilmu yang dipelajarinya dari mendiang Sam Kwi. Tadi ia sudah mempergunakan ilmu tendangan Pat-hong-twi yang ampuh, mainkan ilmu silat Hun-kin-tok-ciang yang sangat berbahaya, bahkan menggunakan Kiam-ciang (Tangan Pedang). Namun, lawannya memang hebat.
Ok Cin Cu adalah seorang di antara tokoh-tokoh besar Pat-kwa-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, juga kakek ini memiliki tenaga yang kuat. Kalau saja Siu Kwi tidak memiliki ilmu kebal Kulit Baja yang diwarisi dari mendiang Iblis Akhirat, tentu ia sudah roboh karena sudah tiga kali tongkat ular hitam itu berhasil mengenai tubuhnya.
Kini dua orang tosu itu benar-benar kagum dan juga penasaran. Hanya karena mereka merasa bahwa kedudukan mereka sudah tinggi yang mencegah mereka melakukan pengeroyokan. Walau pun kadang-kadang merasa kewalahan, Ok Cin Cu merasa malu untuk minta bantuan kawannya, sedangkan Thian Kek Sengjin juga merasa sungkan untuk turun tangan mengeroyok. Di situ terdapat banyak orang menonton dan apa akan kata dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka berdua mengeroyok seorang wanita muda?
"Takkk...!"
Untuk ke empat kalinya, ujung tongkat ular hitam itu menotok dan mengenai lambung Siu Kwi, namun wanita itu hanya terhuyung mundur sedikit dan kini Siu Kwi yang juga merasa penasaran mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya seperti lenyap menjadi bayangan yang bergerak cepat sekali. Dan angin kuat menyambar-nyambar ganas dibarengi suara bercuitan ketika ia maju menyerang! Ok Cin Cu terkejut bukan main sehingga dia terdesak mundur sampai lima langkah!
"Tahan...!" terdengar bentakan Thian Kek Sengjin.
Tongkat tosu ini meluncur melintang ke depan dan menghadang Siu Kwi yang terpaksa menghentikan gerakan serangannya.
"Nona, aku mengenal ilmu-ilmumu. Masih ada hubungan apakah antara engkau dengan Sam Kwi?" tanya kakek dari Pek-lian-kauw itu.
Siu Kwi tidak ingin memperkenalkan guru-gurunya, tetapi karena lawan sudah mengenal ilmu silatnya, maka dia pun menjawab dengan ketus, "Mereka adalah guru-guruku dan seingatku, baik Sam Kwi mau pun aku sendiri, tidak pernah sekali pun bentrok dengan pihak Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw!"
"Siancai...! Kalau begitu engkau tentu yang berjuluk Bi-kwi!" kakek Pek-lian-kauw itu berseru lagi sambil memandang dengan penuh selidik.
Siu Kwi menarik napas panjang. Nama julukan Bi-kwi telah begitu tersohor dan kotor, bahkan jauh lebih terkenal dari orangnya sendiri. Buktinya, tosu Pek-lian-kauw ini tidak mengenal dirinya, akan tetapi telah mengenal nama julukannya. Dan ia sendiri sudah mengambil keputusan untuk membuang nama julukan itu jauh-jauh, tidak akan pernah memakainya lagi. Akan tetapi kini ia diingatkan bahwa nama julukannya adalah Bi-kwi!
"Nama itu pernah kupakai, sekarang tidak lagi!" jawabnya dengan suara dingin.
"Bagus! Kiranya di antara para antek-antek Hou Seng masih ada juga yang berkeliaran di sini!" berkata demikian, Thian Kek Sengjin sudah menerjang maju lagi dengan tongkat panjangnya yang berbentuk naga hitam. Gerakannya nampak lambat, akan tetapi terasa mendatangkan angin pukulan yang keras dan didahului oleh suara berdesir.
Siu Kwi cepat mengelak, akan tetapi dari samping, Ok Cin Cu menyambutnya dengan tongkat ular hitamnya Wanita ini meloncat dan menghadapi dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, ia lalu memainkan ilmu silatnya yang paling baru, yaitu Sam Kwi Cap-sha-kun!
Ilmu silat ini memang ciptaan Sam Kwi yang paling hebat, diciptakan bersama dengan bersumber dari semua ilmu silat mereka yang pilihan, digabungkan menjadi satu. Dalam ilmu silat ini terkandung gerakan pukulan ilmu silat Hek-wan Sip-pat-ciang, tendangan Pat-hong-twi dan ilmu silat Hun-kin Tok-ciang, juga terkandung Kiam-ciang yang ampuh.
Dua orang tosu itu terkejut menghadapi ilmu silat ini yang memang dahsyat sekali dan beberapa kali mereka sampai terdesak mundur. Namun, mereka adalah orang-orang yang selain memiliki ilmu silat tinggi, juga banyak pengalaman dalam perkelahian, maka dengan berpencar, kedua tosu itu lalu mengurung dan gerakan tongkat mereka dapat membendung kedahsyatan Sam-kwi Cap-sha-kun.
Apa lagi pada waktu Thian Kek Sengjin mulai mengeluarkan bentakan-bentakan dengan suaranya yang parau dan penuh wibawa, mengandung tenaga sakti ilmu hitam dan ilmu sihir, maka beberapa kali Siu Kwi merasa jantungnya terguncang. Oleh karena suara ini gerakannya menjadi kurang sempurna sehingga beberapa kali hampir saja ia menjadi korban hantaman tongkat.
Siu Kwi mulai terdesak. Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba tongkat hitam di tangan tokoh Pek-lian-kauw itu berhasil menghantam pundak kirinya.
"Bukkk...!"
Biar pun tubuh Siu Kwi sudah terlindung ilmu kekebalan, tetap saja ia terpelanting dan hampir terbanting roboh kalau saja ia tidak cepat-cepat membuat gerakan jungkir balik beberapa kali. Siu Kwi menggigit bibir menahan rasa nyeri. Biar pun dia tidak terluka, namun kerasnya pukulan itu seolah-olah merontokkan isi dadanya!
Dan kedua orang kakek itu masih menerjang terus tanpa mengenal ampun. Siu Kwi berusaha mengelak, namun sebuah tusukan dengan tongkat ular hitam dari Ok Cin Cu yang menyambar dadanya ketika ia mengelak, masih saja menyerempet pangkal lengan kanannya sehingga kulit dan sedikit dagingnya robek dan mengucurkan darah!
Maklumlah Siu Kwi bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan tewas di tangan dua orang kakek sakti ini. Dan kalau dia mati, berarti Yo Jin tidak akan ada yang menolong lagi. Maka, tiba-tiba saja dia melempar tubuh ke atas tanah, bergulingan dan ketika dua orang kakek itu mengejarnya, Siu Kwi menggerakkan kedua tangannya.
Sinar hitam menyambar ke arah muka kedua orang lawannya. Yang disambitkannya itu hanyalah pasir dan tanah, namun tidak boleh dipandang rendah karena yang diserang adalah muka dan sambitan itu didorong oleh tenaga sinkang yang amat kuat sehingga jangankan sampai mengenai mata, sedangkan baru mengenai kulit muka saja sudah dapat mengakibatkan luka-luka.
Dua orang kakek itu terkejut dan cepat-cepat memutar tongkat sambil berlompatan ke beiakang. Kesempatan ini digunakan oleh Siu Kwi untuk melompat jauh dan melarikan diri. Cuaca sudah mulai remang-remang gelap sehingga ia dapat menyelinap hilang di dalam bayangan rumah-rumah dan pohon-pohon. Dua orang kakek itu pun tidak berniat melakukan pengejaran.....
********************
Malam itu gelap dan sunyi sekali di rumah kepala dusun Lui. Agaknya peristiwa sore tadi masih berbekas. Robohnya semua pengawal yang jumlahnya dua puluh orang itu sungguh membuat gelisah hati keluarga Lui, walau pun kemudian ternyata bahwa dua orang tosu sakti itu dapat mengusir ‘siluman’.
Sekarang diam-diam kepala dusun Lui mendatangkan pengawal-pengawal baru yang jumlahnya tak kurang dari lima puluh orang, berjaga-jaga di sekitar perumahan keluarga itu. Terutama sekali di sekitar kamar tahanan terdapat penjagaan yang amat ketat, oleh karena di situlah tempat Yo Jin ditahan dan kepala dusun Lui tidak ingin melihat tahanan ini lolos.
Walau pun dia berada di dalam tahanan, Yo Jin mendengar dari percakapan para penjaga di luar kamarnya tentang siluman betina yang mengamuk dan merobohkan dua puluh orang pengawal akan tetapi kemudian dapat diusir pergi oleh kedua orang tosu. Diam-diam dia merasa heran sekali. Siapakah yang mereka maksudkan dengan siluman betina itu? Benarkah ia itu Siu Kwi? Siu Kwi mengamuk dan mengalahkan dua puluh orang pengawal? Sukar baginya untuk mempercayai berita ini. Siu Kwi demikian lemah-lembut.
Alisnya berkerut ketika dia teringat bahwa wanita itu dituduh sebagai siluman, bahkan ayahnya sendiri pun menganggapnya demikian. Jangan-jangan memang benar! Kini Siu Kwi mengamuk sebagai siluman! Dia bergidik dan cepat-cepat mengusir pikiran ini, lalu membayangkan ayahnya.
Ayahnya dipukul dan disiksa, dan dia merasa gelisah sekali memikirkan ayahnya. Dia menarik-narik belenggu kaki tangannya, namun tiada guna. Hal itu sudah dilakukannya sejak dia ditahan dan sampai kulit pergelangan kaki dan tangannya lecet-lecet dan nyeri bukan main.
Menjelang tengah malam, nampak sesosok bayangan berkelebatan di luar pekarangan perumahan kepala dusun Lui. Bayangan ini adalah Siu Kwi. Setelah sore tadi ia berhasil melarikan diri, ia bersembunyi di dalam hutan dan duduk bersila, memulihkan tenaganya dan memulihkan pula kesehatannya karena hantaman pada pundak dan tusukan pada pangkal lengannya.
Ia sudah mengobati luka di pangkal lengannya. Hatinya gelisah bukan main. Ia belum berhasil membebaskan Yo Jin dan di tempat itu masih terdapat dua orang lawan yang demikian tangguhnya. Hatinya terasa perih jika teringat kepada pria yang dikasihinya.
Tak lama kemudian, ia lalu berlari cepat, kembali ke dusun selatan dan dengan bantuan para tetangga, ia mengurus pemakaman kakek Yo. Karena keadaan, maka terpaksa jenazah itu dikubur secara sederhana sekali. Para tetangga juga melakukannya dengan ketakutan setelah mendengar dari Siu Kwi bahwa kakek itu mati karena dipukuli oleh orang-orang kepala dusun Lui, dan juga bahwa Yo Jin ditangkap oleh mereka.
Maka, setelah selesai mengubur jenazah itu malam itu juga, para tetangga bergegas pulang ke rumah masing-masing, takut kalau sampai tersangkut urusan itu. Dan Siu Kwi lalu melakukan perjalanan kembali ke dusun timur. Bagaimana pun juga, ia harus dapat menyelamatkan Yo Jin, harus dapat membebaskan pemuda itu dari dalam tahanan.
Sampai lama ia berkeliaran di luar rumah keluarga Lui. Dengan susah payah, tadi ia mengisi perutnya. Ia hampir tak dapat menelan nasi, akan tetapi dipaksakannya karena ia maklum bahwa ia membutuhkan tenaga sepenuhnya untuk dapat menyelamatkan Yo Jin. Kalau ia membiarkan perutnya kosong, tentu tenaganya menjadi berkurang.
Kini ia berkeliaran di luar pekarangan, untuk meneliti keadaan. Hatinya terasa girang. Agaknya keluarga Lui menyangka bahwa ia sudah jera untuk datang lagi, sudah takut terhadap dua orang kakek itu, maka kini keadaan di rumah itu sunyi saja, tidak terdapat penjagaan yang ketat. Sunyi dan gelap.
Namun, Siu Kwi bukan seorang bodoh. Ia tidak mau mudah terjebak oleh siasat musuh. Siapa tahu kalau-kalau pihak musuh mengatur jebakan dan sengaja memancingnya. Karena itu ia tidak segera masuk, melainkan melakukan pengintaian dan pemeriksaan dari luar. Ia menanti sampai tengah malam dan setelah melihat bahwa benar-benar tidak terdapat penjaga di sekitar pagar tembok, baru ia meloncat naik ke atas pagar tembok, mendekam di atasnya untuk mengintai ke dalam.
Ia merasa amat heran. Keadaan amat sunyi dan gelap. Benarkah keluarga Lui demikian lengahnya sehingga setelah kemenangan dua orang kakek sore tadi lalu menganggap bahwa ia tidak akan berani muncul kembali? Ataukah setelah ia merobohkan dua puluh orang penjaga itu, lalu tidak ada penjaga lain yang menggantikan karena mereka semua itu lelah dan mengalami patah tulang dan luka-luka? Tentu saja ia tidak dapat menerima kemungkinan ini. Tak mungkin, pikirnya. Andai kata kepala daerah itu lengah, dua orang tosu lihai itu pasti tidak.
Tetapi, mengingat akan Yo Jin, dia tidak peduli lagi. Biarlah mereka mengatur jebakan, ia tidak takut. Ia akan berusaha membebaskan Yo Jin, kalau perlu dengan taruhan nyawa! Setelah meneliti keadaan di dalam dan tidak nampak berkelebatnya orang, dia lalu meloncat turun ke dalam kebun di belakang rumah itu dan menyelinap di antara semak-semak, mendekati bangunan rumah di sebelah belakang. Dia menduga bahwa tentu tempat tahanan itu berada di bagian belakang.....
********************
Yo Jin mendengar percakapan para penjaga di luar pintu kamar tahanan itu dengan hati khawatir.
"Kalau dombanya dijaga, tentu harimaunya tidak berani muncul. Karena itu maka kita harus tetap bersembunyi." Demikian antara lain dia mendengar seorang penjaga bicara, kemudian terdengar suara mendesis tanda bahwa pembicara itu disuruh diam.
Keadaan lalu menjadi sunyi dan ketika Yo Jin bangkit berdiri dan menjenguk dari jeruji pintu, ia melihat betapa di luar pintu tidak terdapat seorang pun penjaga lagi. Keadaaan amat sunyi karena tempat itu hanya diterangi oleh sebuah lampu gantung saja. Agaknya lampu-lampu lainnya telah dibawa pergi atau dipadamkan. Suasana sunyi sekali, tidak nampak seorang pun di luar kamar tahanan. Sunyi dan gelap di kebun belakang itu, yang nampak dari dalam kamar tahanan.
Yo Jin menggerakkan kedua kakinya melangkah ke arah pintu. Suara belenggu kakinya terseret memecahkan kesunyian. Dia berdiri di belakang pintu kamar yang terbuat dari besi itu, dan berpegang dengan kedua tangan yang terbelenggu pada jeruji besi, lalu memandang ke luar, termenung. Apakah maksud ucapan penjaga tadi? Diakah yang diumpamakan domba tadi? Dan siapakah harimaunya yang diharapkan akan muncul? Siu Kwi kah?
Jantungnya berdebar tegang. Dia tidak dapat yakin bahwa Siu Kwi yang dimaksudkan harimau itu. Betapa pun, dia tahu bahwa para penjaga itu sedang mengatur siasat untuk memancing dan menjebak seseorang yang disebut harimau, dengan menggunakan dia sebagai domba, sebagai umpannya. Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Yo Jin meninggalkan belakang pintu, lalu dia memandang ke luar dengan penuh perhatian. Sepasang matanya seperti ingin menembus kegelapan malam di depan sana.
Entah sudah berapa lama dia berdiri memandang keluar itu. Tiba-tiba pandang matanya menangkap berkelebatnya sesosok bayangan hitam. Dia terkejut dan mengikuti dengan pandang matanya. Bayangan itu dengan gesit melompat dan tahu-tahu di bawah lampu gantung, hanya lima meter dari pintu kamar tahanan, berdiri seorang wanita yang bukan lain adalah Siu Kwi!
"Kwi-moi...!" serunya lirih, matanya terbelalak seolah-olah dia tak dapat percaya kepada pandang matanya sendiri. "Kaukah itu...?" Dan dia pun merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kalau wanita ini ternyata benar Siu Kwi, apakah ia benar-benar...siluman? Cara pemunculannya ini…!
"Sssttt...!" Wanita itu menaruh telunjuknya di depan bibir. "Jin-toako, aku datang untuk membebaskanmu..."
Akan tetapi Yo Jin teringat akan percakapan para penjaga dan wajahnya berubah pucat. Celaka, kiranya harimaunya benar Siu Kwi dan tentu kini Siu Kwi telah terperangkap.
"Kwi moi, awas! Ini sebuah perangkap...!" teriaknya. "Kau larilah, pergilah!"
Pada saat itu, tiba-tiba saja nampak sinar terang disusul suara berisik. Dan ketika Siu Kwi membalikkan tubuh memandang, ternyata tempat itu telah dikepung oleh puluhan orang bersenjata lengkap di tangan kanan dan dengan obor di tangan kiri. Agaknya mereka tadi bersembunyi dan serentak memasang obor sambil mengepung tempat itu. Dan muncullah dua orang tosu yang sore tadi telah mengalahkannya!
"Ha-ha-ha-ha, siluman betina ini berani muncul lagi. Benar-benar dia keras kepala dan sudah bosan hidup!" kata Ok Cin Cu dan perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang ketika dia tertawa.
"Ia bukan siluman!" Yo Jin membentak marah dari dalam kamar tahanan.
"Heh-heh-heh, siapa bilang bahwa Bi-kwi bukan siluman? Engkau telah mabok oleh rayuannya, orang muda, heh-heh!"
"Tutup mulutmu yang kotor!" Siu Kwi membentak.
Ia menyerang ke arah Thian Kek Sengjin yang masih tertawa. Hatinya merasa panas mendengar dirinya dihina di depan Yo Jin. Saat tosu Pek-lian-kauw itu mengelak sambil memutar tongkatnya untuk balas menyerang, Siu Kwi sudah mencabut pedangnya dan menangkis. Ia tadi sudah mengambil senjata ini dan begitu menangkis, ia pun menusuk dengan ganasnya.
"Tranggg..."
Bunga api berpijar ketika pedangnya kini ditangkis dari samping oleh Ok Cin Cu yang menggunakan tongkat ular hitamnya. Ketua cabang Pek-lian-kauw itu pun menerjang dengan tongkat naga hitam, untuk membantu kawannya. Kembali terjadi pengeroyokan. Akan tetapi Siu Kwi mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya.
Yo Jin memandang bengong. Baru dia tahu bahwa wanita yang dicintanya itu sama sekali bukanlah seorang wanita lemah, melainkan seorang ahli silat yang amat lihai! Kini dia pun sadar mengapa dalam perkelahian-perkelahiannya, dia selalu menang walau pun dikeroyok, dan kini terjawab pula keanehan ketika para pengeroyoknya mencabut belati akan tetapi tidak sempat menggunakan senjata itu. Tentu Siu Kwi bukan siluman betina, melainkan seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi!
"Kwi Moi...!" keluhnya dengan terharu.
Seorang pendekar wanita telah bersikap demikian baik kepadanya! Kini dia menonton dengan hati yang tidak karuan rasanya. Ada rasa heran, bangga, akan tetapi juga rasa kegelisahan besar melihat betapa kini kekasihnya itu dikeroyok oleh banyak orang.
Para pengawal itu sudah mendengar bahwa banyak rekan mereka sore tadi dilukai oleh wanita ini. Maka, mereka pun tidak tinggal diam dan ikut menyerang. Hasilnya sungguh celaka bagi mereka. Begitu ada para pengawal ikut menyerang, gulungan sinar pedang Siu Kwi semakin melebar dan setiap kali ada sinar mencuat dari gulungan cahaya itu, terdengar pekik disusul robohnya seorang pengawal. Dalam waktu sebentar saja, tidak kurang dari tujuh orang pengawal roboh dan terluka oleh ujung pedang di tangan Siu Kwi! Melihat ini, dua orang tosu itu menjadi marah.
"Kalian semua mundur! Biarkan kami berdua yang menangkapnya!" teriak Thian Kek Sengjin.
Mendengar teriakan ini, para pengawal itu mundur karena mereka pun jeri melihat betapa dalam segebrakan saja, setiap orang rekannya yang berani menyerang pasti roboh terluka. Kini mereka mengepung sambil menonton dua orang tosu itu mengeroyok Siu Kwi!
Seperti sore tadi, kembali lagi Siu Kwi dikeroyok dua. Sekali ini mereka berkelahi lebih mati-matian karena pedang di tangan Siu Kwi kini tidak sungkan-sungkan lagi mengirim serangan maut yang amat berbahaya. Namun, seperti juga tadi, Siu Kwi belum cukup kuat untuk menghadapi pengeroyokan dua orang tosu yang amat lihai itu.
Setelah lewat lima puluh jurus, gulungan sinar pedangnya makin menyempit dan ia pun terdesak terus oleh dua batang tongkat panjang dan pendek itu. Apa lagi seperti tadi, Thian Kek Sengjin mengeluarkan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir untuk melemahkan lawan, maka Siu Kwi hampir tidak mampu balas menyerang lagi, melainkan hanya mengelak dan menangkis sambil mundur.
Yo Jin tidak dapat mengikuti perkelahian itu dengan baik karena selain dia berdiri di belakang pintu jeruji yang sempit, juga jalannya perkelahian itu telampau cepat baginya sehingga ia tidak dapat mengikuti dengan pandang matanya yang menjadi kabur. Dia hanya melihat gulungan sinar putih dari pedang Siu Kwi dikurung dua gulungan sinar hitam, dan kadang-kadang saja nampak tubuh tiga orang itu atau kaki mereka yang menginjak tanah. Namun, hatinya merasa khawatir sekali.
"Bukkk...!"
Sebuah pukulan tongkat Thian Kek Sengjin mengenai punggung Siu Kwi dan sedikit darah keluar dari mulut wanita itu. Ia telah terluka. Maka ia pun tahu bahwa sekali ini ia juga tidak berhasil. Diputarnya pedangnya dengan nekat sambil membalikkan tubuhnya.
Para pengawal yang berada di belakangnya menjadi panik, apa lagi ketika ketika dua orang pengawal roboh. Terpaksa mereka mundur dan membuka kepungan. Siu Kwi menerobos keluar dan meloncat ke dalam kebun, terus meloncat naik ke atas tembok pagar dan melarikan diri. Seperti sore tadi, dua orang tosu itu tidak mengejarnya sama sekali, melainkan tertawa mengejek.
Terhuyung-huyung Siu Kwi lari memasuki hutan. Ketika tiba di tengah hutan, di bagian terbuka, ia pun menjatuhkan diri di atas rumput, menelungkup dan menangis! Ia bukan menangis karena lukanya, melainkan menangis karena tidak mampu manyelamatkan Yo Jin. Kalau ia mengingat kembali betapa Yo Jin berdiri di belakang pintu jeruji dengan kaki tangan terbelenggu dan muka pucat, ia merasa kasihan sekali dan tangisnya makin mengguguk.
Akan tetapi, wanita yang keras hati ini segera dapat menguasai dirinya. Tugasnya masih belum selesai. Yo Jin belum diselamatkan. Dan ia kembali terluka, sekali ini lebih parah karena pukulan dengan tenaga sinkang itu telah mengakibatkan luka dalam, meski tidak amat berbahaya namun membutuhkan pengobatan dengan segera. Diusirnya bayangan Yo Jin yang melemahkan batinnya.
Siu Kwi mengeluarkan obat dan menelan dua butir pil merah. Kemudian ia pun duduk bersila untuk mengumpulkan hawa murni, mengobati luka dan memulihkan tenaganya. Ia terus bersila sampai pagi, kesehatannya berangsur-angsur pulih, dan juga tenaganya mulai pulih kembali.
Matahari mulai meneroboskan cahayanya melalui celah-celah ranting dan daun pohon, namun Siu Kwi masih bersemedhi dengan lelap. Demikian lelapnya sampai ia tidak tahu bahwa di dalam hutan itu muncul dua orang yang sejak tadi mengintainya. Baru setelah dua orang itu melangkah dekat menghampirinya, ia sadar dan cepat ia membuka mata. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal mereka sebagai Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin!
Akan tetapi rasa kaget ini juga dibarengi kemarahan yang meluap-luap karena kedua orang inilah yang telah menggagalkan usahanya untuk membebaskan Yo Jin. Maka ia meloncat dan menghadapi dua orang tosu itu dengan sepasang mata bernyala ganas penuh kebencian.
"Dua tosu jahanam, kalian masih hendak mendesakku? Baik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya dan dia pun sudah langsung memasang kuda-kuda, siap untuk berkelahi mati-matian.
Akan tetapi dua orang tosu itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap bemusuhan, bahkan tersenyum.
"Bi-kwi..."
"Namaku Ciong Siu Kwi dan aku tidak mau menggunakan julukan itu lagi!" bentak Siu Kwi memotong kata-kata Ok Cin Cu.
Kakek tinggi besar dan berperut gendut dengan rambut riap-riapan ini tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, harimau hendak berganti bulu domba, ya? Baiklah, nona Ciong Siu Kwi, kami datang bukan untuk mendesakmu, melainkan untuk berdamai denganmu."
Siu Kwi memandang dengan mata tajam penuh selidik. Tentu saja ia tidak dapat begitu saja percaya kepada orang-orang seperti tosu itu.
"Apa kehendak kalian?" tanyanya singkat, masih bersikap seperti seorang musuh.
"Ha-ha-ha, bukankah engkau menghendaki agar pemuda she Yo itu kami bebaskan?" kini Thian Kek Sengjin, ketua cabang Pek-lian-kauw bertanya.
Mendengar pertanyaan ini, sepasang mata Siu Kwi berkilat. Tentu saja timbul gairahnya mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi ia seorang cerdik, dan cepat wajahnya nampak biasa seolah-olah pertanyaan itu bukan merupakan penawaran yang memikat hatinya.
"Hal yang sudah jelas itu mengapa kau tanyakan lagi?" Ia balas bertanya.
Kembali kedua orang tosu itu tersenyum lebar. "Kita adalah orang-orang segolongan dalam dunia persilatan, karena itu, perlu apa kita harus saling bermusuhan? Sebaiknya kalau kita bekerja sama, saling bantu, bukankah hal itu akan lebih menguntungkan kita kedua pihak?" kata pula Thian Kek Sengjin yang lebih pandai bicara dibandingkan Ok Cin Cu.
"Kau maksudkan, kalian akan membebaskan Yo Jin dan sebagai gantinya aku harus melakukan sesuatu untuk kalian?"
"Ha-ha-ha, dia memang seorang wanita yang amat cerdik, toyu!" Ok Cin Cu tertawa girang dan Thian Kek Sengjin mengangguk-angguk.
"Tepat dugaanmu, nona Ciong. Engkau membutuhkan pembebasan Yo Jin, dan kami berdua juga mempunyai kebutuhan yang kami harapkan akan mendapat bantuanmu agar terlaksana."
"Katakan, apa yang harus kulakukan untuk membantu kalian?"
"Kami berdua mempunyai kebutuhan masing-masing, dan kami akan membebaskan Yo Jin kalau engkau suka memenuhi dua permintaan kami untuk kebutuhan kami itu. Bagai mana, nona Ciong?" tanya pula Thian Kek Sengjin.
"Katakan, apa yang harus kulakukan." jawab Siu Kwi dan di dalam batinnya, wanita ini tentu saja telah menyetujui permintaan mereka. Demi menyelamatkan Yo Jin, pria yang dicintanya itu, apa pun akan ia lakukan.
Thian Kek Sengjin memandang kepada Ok Cin Cu, kemudian kepada Siu Kwi lagi sambil berkata. " Biarlah sahabat Ok Cin Cu akan menceritakan sendiri permintaannya. Ada pun pinto ingin engkau membantu pinto menghadapi seorang musuh besar. Kami sudah maju berdua, namun belum dapat menandinginya. Kulau engkau maju membantu kami, aku yakin akan dapat mengalahkan musuh besar itu."
Siu Kwi terkejut. Kalau dua orang seperti tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini saja tidak mampu menandingi orang itu, tentu musuh besar Thian Kek Sengjin itu seorang yang lihai bukan main. Akan tetapi ia hanya membantu mereka berdua, dan hal ini tentu saja tidak berat baginya. Hanya, ia sudah mengambil keputusan tidak akan melakukan perbuatan jahat, maka ia pun ingin tahu lebih dahulu siapa orang yang akan mereka keroyok itu.
"Siapakah orang itu?"
"Dia adalah seorang keturunan pendekar Pulau Es."
Siu Kwi terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Justru keluarga Pulau Es inilah yang sudah menghancurkan semua cita-citanya, dan walau pun tadinya dia sudah tidak mau memikirkan hal itu dan tidak mau menanam permusuhan dengan siapa pun, akan tetapi sedikit banyak ada perasaan tidak suka terhadap keluarga Pulau Es dalam hatinya. Maka mendengar bahwa musuh besar ketua cabang Pek-lian-kauw ini adalah seorang anggota keluarga Pulau Es, ia pun tanpa berpikir panjang lagi lalu mengangguk.
"Baiklah! Aku akan membantu kalian menghadapi musuh itu, akan tetapi kalian harus membebaskan Yo Jin."
"Heh-heh-heh, nanti dulu!" Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata sambil menyeringai sehingga nampak mulutnya yang tinggal mempunyai beberapa buah gigi yang besar-besar. "Itu adalah syarat yang diajukan sahabat Thian Kek Sengjin, sedangkan syarat dari pinto masih belum. Kalau engkau membantu menghadapi musuh itu, berarti baru separuh dari syarat kami kau penuhi. Engkau tentu tidak ingin kami membebaskan separuh badan orang she Yo itu, bukan? Kau memilih dari pinggang ke atas atau dari pinggang ke bawah yang harus dibebaskan?"
Siu Kwi tak mau menyambut kelakar ini. Tentu saja ia tidak mau mendapatkan setengah saja dari badan Yo Jin. "Katakanlah, apa syaratmu!" katanya cepat dan ketus.
Ok Cin Cu menyeringai dan Thian Kek Seng Jin mentertawakan temannya itu. Tetapi yang ditertawakan itu sama sekali tidak merasa malu, bahkan nampak gembira sekali ketika berkata, "Ciong Siu Kwi, sudah lama sekali pinto mendengar akan nama Bi-kwi yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai sekali dalam hal lain mengenai pria. Nah, ilmu silatmu sudah pinto lihat dan rasakan. Akan teapi pinto ingin membuktikan sendiri kelihaianmu dalam hal yang lain itu. Pinto ingin agar engkau tidur bersama pinto satu malam dan melayani pinto. Baru pinto mau membebaskan Yo Jin seutuhnya!"
Kalau lain wanita yang diajukan itu, tentu ia akan merasa malu dan tersinggung sekali. Akan tetapi, bagi Siu Kwi, hubungan dengan pria bukan merupakan hal yang aneh. Sejak remaja ia sudah melayani Sam Kwi, tiga orang gurunya yang sudah kakek-kakek juga, dan selama ia bertualang sebagai Bi-kwi, entah sudah berapa banyak pria yang dipermainkannya untuk melampiaskan napsunya. Permintaan terang-terangan dari Ok Cin Cu itu dianggapnya biasa saja, walau pun ia merasa terhina karena biasanya ialah yang memilih laki-laki.
Kecuali Sam Kwi, belum pernah ia melayani pria secara terpaksa. Akan tetapi, sekali ini, ia tidak berani marah, ia akan melakukan apa saja untuk pembebasan Yo Jin dan syarat yang diajukan oleh Ok Cin Cu itu, baginya adalah lebih berat dari pada syarat yang diajukan Thian Kek Sengjin. Menyerahkan badannya bagi Siu Kwi tidak ada artinya, karena hatinya sudah ia serahkan sebulatnya kepada satu orang saja, yaitu Yo Jin! Dan dia melakukan hal itu bukan karena penyelewengan, bukan karena pemuasan nafsu, melainkan semata-mata untuk menyelamatkan Yo Jin!
"Baiklah, aku terima syaratmu. Nah, sekarang kalian bebaskan Yo Jin, dan aku akan memenuhi syarat kalian!"
"Ho-ho-ho, jangan tergesa-gesa, nona manis," Thian Kek Sengjin berseru. "Kami yang mengajukan syarat, maka kami harus melihat syarat-syarat itu terlaksana lebih dulu, baru kami akan membebaskan Yo Jin."
Betapa mendongkolnya rasa hatinya, terpaksa Siu Kwi menurut. Pagi hari itu juga kedua orang tosu mengajak Siu Kwi untuk membantu mereka menghadapi musuh besar Thian Kek Sengjin. Hari telah siang ketika mereka bertiga tiba dilereng sebuah bukit tandus yang penuh dengan batu-batu besar dan goa-goa. Dan di sebuah di antara goa-goa itulah terdapat musuh besar yang dimaksudkan!
Laki-laki itu sedang duduk bersila di mulut goa ketika Ok Cin Cu, Thian Kek Sengjin dan Ciong Siu Kwi memandang penuh perhatian. Hatinya tertarik untuk melihat orang yang demikian lihainya sehingga dua orang tosu seperti Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin sampai tidak mampu menandinginya.
Laki laki itu belum tua benar, paling banyak empat puluh tahun usianya. Mukanya bulat dengan kulit yang agak gelap, namun bentuk mukanya tampan dan gagah, juga terawat rapi. Rambutnya yang dikuncir mengkilap bersih dan halus karena minyak, wajahnya juga bersih, tidak ditumbuhi brewok karena agaknya ia cukup rajin mencukur kumis dan jenggotnya. Pakaiannya juga baik dan bersih, bahkan agak mewah.
Seorang pria yang pesolek, pikir Siu Kwi. Ia belum pernah bertemu dengan pria ini. Di punggung pria yang duduk bersila itu nampak sepasang pedang beronce biru dan sarungnya terukir indah.
Pria yang gagah ini memang benar keluarga Pulau Es. Bahkan dia masih cucu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, karena dia adalah Suma Ciang Bun! Seperti kita ketahui, delapan tahun yang lalu, Suma Ciang Bun menyelamatkan nyawa Gu Hong Beng yang kemudian selama tujuh tahun digemblengnya di pegunungan.
Setelah Hong Beng menjadi seorang pemuda yang lihai, Suma Ciang Bun mengutus muridnya itu untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan, pergi ke kota raja untuk melakukan penyelidikan terhadap pembesar Hou Seng. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, akhirnya dengan bergabung bersama para pendekar sakti, Hong Beng membantu runtuhnya kekuasaan yang dibentuk oleh Hou Seng itu.
Sementara itu Suma Ciang Bun sendiri lalu menyepi ke gunung-gunung untuk bertapa. Seperti biasa di sepanjang perjalanannya, kalau melihat hal-hal yang tidak adil, dia pasti turun tangan sebagai seorang pendekar. Sudah beberapa pekan lamanya dia berada di pegunungan tandus itu, menanti kembalinya Hong Beng karena dia sudah berpesan kepada muridnya itu supaya dua tahun kemudian datang mencarinya di pegunungan tandus itu.
Kehadiran Suma Ciang Bun di dalam goa di gunung itu diketahui oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin. Dua orang tokoh besar Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini segera mengenal pendekar keturunan keluarga Pulau Es ini karena semenjak dahulu memang kedua aliran ini menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh besar.
Semenjak jaman Pendekar Super Sakti masih muda, kedua aliran ini, terutama sekali Pek-lian-kauw, sudah memusuhi Pendekar Pulau Es. Melihat Suma Ciang Bun, tentu saja Thian Kek Sengjin yang kebetulan berada di situ cepat turun tangan menyerang. Akan tetapi, dia tak dapat menandingi kelihaian Suma Ciang Bun. Bahkan ketika Ok Cin Cu membantunya, dua orang tosu itu tetap saja kewalahan dan malah akhirnya mereka melarikan diri.
Itulah sebabnya, melihat kelihaian Siu Kwi, Thian Kek Sengjin lalu mempunyai akal untuk mengajak wanita itu membantunya dengan janji akan membebaskan Yo Jin dan seperti telah diperhitungkannya, Siu Kwi yang benar-benar jatuh cinta kepada Yo Jin, tak dapat menolak syaratnya.
Dengan hati besar karena mereka kini datang bertiga, Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin tertawa melihat musuh besar itu masih duduk bersila.
"Ha-ha-ha, Suma Ciang Bun! Kematianmu sudah berada di depan mata. Bangunlah dan terimalah kematianmu di tangan kami!" Thian Kek Sengjin berseru dengan suara yang nyaring sedangkan Ok Cin Cu hanya tertawa bergelak. Siu Kwi tidak bertanya, hanya memandang tajam dan mengamati gerak-gerik orang yang sedang duduk bersila itu.
Tiba-tiba saja Siu Kwi berseru, "Awas jarum...!" ketika Suma Ciang Bun menggerakkan tangan kirinya.
Jarum-jarum halus sekali menyambar ke arah mereka bertiga. Dua orang tosu itu amat kaget dan mereka pun cepat meloncat ke pinggir sambil mengebutkan lengan baju. Siu Kwi sendiri meloncat tinggi hingga beberapa jarum yang menyambar ke arahnya lewat di bawah kakinya.
Hebat bukan main serangan jarum-jarum halus itu, yang dilakukan oleh Suma Ciang Bun yang masih tetap duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya. Pendekar itu menyerang mereka hanya mengandalkan pendengarannya saja.
Ketika mereka bertiga sudah berdiri tegak kembali dan memandang, ternyata Suma Ciang Bun kini sudah bangkit, menghadapi mereka dengan alis berkerut. Siu Kwi agak gentar melihat sinar mata yang mencorong itu dan ia dapat menduga bahwa pendekar ini berwatak keras.
Suma Ciang Bun tadi menyerang mereka dengan jarum-jarumnya karena pendekar ini merasa jengkel bahwa semedhinya di ganggu oleh dua orang tosu yang sudah pernah dikalahkannya itu. Namun dia mendengar seruan seorang wanita dan melihat betapa wanita itu dengan gerakan yang luar biasa ringannya sudah meloncat ke atas ketika menghindarkan diri diri sambaran jarum-jarumnya. Tahulah dia bahwa dua orang tosu itu telah datang lagi membawa seorang teman yang amat lihai.
"Siapakah engkau yang membantu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw? Aku tidak pernah bermusuhan denganmu!" Suma Ciang Bun memandang tajam kepada wanita cantik dan pesolek itu.
Sebelum Ciong Siu Kwi yang merasa bimbang itu menjawab, Thian Kek Sengjin sudah mendahuluinya. "Ha-ha, engkau tidak mengenal Bi-kwi murid mendiang Sam Kwi yang tewas di tangan para pendekar Pulau Es?"
Memang Thian Kek Sengjin ini cerdik sekali. Dia sudah tahu akan keadaan Siu Kwi, maka dia segera menghadapkan wanita yang membantunya itu sebagai musuh besar Suma Ciang Bun. Mendengar bahwa wanita itu adalah murid Sam Kwi yang menjadi tokoh-tokoh besar dari dunia sesat, Ciang Bun tidak merasa heran kalau wanita itu kini membantu musuh-musuhnya.
"Bagus!" serunya marah. "Kalian memang harus dibasmi dan sekali ini aku tidak mau kepalang tanggung!" Berkata demikian, Suma Ciang Bun menggerakkan tangan untuk mencabut sepasang pedangnya. Sekarang sepasang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan telah berada di kedua tangannya dan dia pun sudah berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.
Ok Cin Cu sudah melintangkan tongkat ular hitamnya yang dimainkan sebagai pedang, sedangkan Thian Kek Sengjin menggerakkan tongkat naga hitamnya sebagai sebatang tongkat panjang yang ampuh. Melihat ini, teringat akan janjinya, Siu Kwi juga melolos pedangnya ikut mengepung pendekar itu.
Ciang Bun sudah pernah bertanding melawan pengeroyokan dua orang tosu itu dan dia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka hanya sedikit selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Kalau dia mampu mengalahkan mereka kanyalah karena ilmu silatnya yang luar biasa sehingga dua orang kakek itu menjadi bingung dan kacau dibuatnya.
Tetapi, tenaga mereka tidak lebih kecil dari pada tenaga sinkang-nya walau pun ia telah menguasai dua macam tenaga sakti yang bertentangan dari Pulau Es, yaitu Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Sayang bahwa dia tidak pernah berhasil menguasai dua sinkang itu sampai ke puncaknya.
Biar pun tidak begitu mudah baginya mengalahkan pengeroyokan dua orang tosu itu, namun dia percaya bahwa sekali ini pun dia akan mampu mengalahkan, bahkan juga mungkin merobohkan mereka, kalau saja di situ tidak ada wanita yang memiliki gerakan demikian ringannya.
Untuk menguji sampai di mana kehebatan wanita itu, dia lalu langsung menggerakkan tubuhnya menyerang Siu Kwi dengan pedang kanannya yang menusuk ke arah dada disambung pula dengan gerakan pedang kiri yang dari atas membacok ke arah kepala.
Serangan ini amat cepat dan hebat karena merupakan bagian dari ilmu silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), yaitu jurus yang dinamakan Siang-mo Jio-cu (Sepasang Iblis Berebut Mustika). Jurus ini juga dapat dikembangkan dengan serangan-serangan kanan kiri yang berlawanan atau berbeda arahnya dan dilakukan sambung-menyambung menjadi serangkaian serangan yang amat berbahaya.
Melihat betapa sepasang pedang itu menyerangnya dari depan dan atas, berarti hanya satu jurusan saja, Siu Kwi yang memiliki gerakan cepat itu karena ia telah mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh), cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak. Akan tetapi sambil mengelak, ia telah menusukkan pedangnya dari samping ke arah lambung lawan disusul tendangan kilat ke arah lutut. Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan tangguh, maka Siu Kwi bergerak cepat, begitu diserang, mengelak sambil membalas dengan tidak kalah hebatnya.
"Cringgg...!"
Ciang Bun terkejut melihat kehebatan wanita itu. Tepat dugaannya bahwa wanita itu lihai, buktinya, menghadapi serangannya tadi, dia dapat langsung saja membalas. Dia menangkis dengan pedang kirinya kemudian membabat kaki yang menendang dengan pedang kanan. Akan tetapi Siu Kwi sudah menarik kakinya dan meloncat ke belakang untuk mengatur kedudukannya.
Pada saat itu Ok Cin Cu sudah menyerang dari samping, menusukkan tongkat ular hitam ke arah leher, sedangkan dari belakang, Thian Kek Sengjin juga ikut menyerang dengan babatan tongkat panjangnya ke arah kaki! Ciang Bun cepat memutar tubuh, menangkis tongkat yang menusuk leher, kemudian dia meloncat ke atas membiarkan tongkat lewat di bawah kakinya, tubuhnya terus meluncur ke depan, masih menyerang Siu Kwi!
Kini sepasang pedangnya itu bergerak dari kanan kiri dengan jurus Siang-mo Koan-bun (Sepasang Iblis Menutup Pintu). Gerakannya ini memang merupakan lingkaran sinar pedang yang menutup jalan ke luar lawan. Lawan yang diserangnya tidak akan mampu mengelak ke kanan atau ke kiri lagi sehingga tiada kesempatan untuk balas menyerang.
Namun, Siu Kwi mengenal serangan berbahaya. Ia menggunakan kelincahan tubuhnya, sudah meloncat ke belakang sehingga kembali serangan Ciang Bun yang amat cepat itu luput dari sasaran! Hal ini membuat Ciang Bun penasaran dan pada saat itu, melihat betapa kedua orang tosu telah menerjangnya lagi dari kanan kiri, dia memutar sepasang pedangnya menyambut.
Berkali-kali terdengar bunyi nyaring. Nampak bunga api berpijar ketika pedang di tangan pendekar itu bertemu dengan tongkat lawan. Siu kwi yang melihat betapa pendekar itu agaknya berbalik hendak mendesak kedua orang tosu, sudah cepat menerjang dengan serangan-serangan pedangnya yang sinarnya bergulung-gulung. Tentu saja serangan-serangan wanita ini tidak dapat dipandang ringan dan memecah perhatian Ciang Bun yang terpaksa harus melayani tiga orang pengeroyoknya yang tangguh.
Kalau ada yang menonton pertandingan ini, tentu orang akan merasa kagum bukan main, walau pun cepatnya gerakan mereka membuat mata biasa sukar untuk dapat mengikuti pertandingan, sukar melihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak. Yang nampak hanya gulungan sinar senjata mereka, dan bayangan tubuh mereka terbungkus gulungan sinar itu, hanya kadang-kadang saja nampak bayangan mereka dan kaki mereka menyentuh tanah.
Suma Ciang Bun adalah seorang keturunan langsung dari keluarga Pulau Es dan dia telah menguasai ilmu-ilmu yang luar biasa tingginya. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa yang menjadi penentu terakhir mengenai tinggi rendahnya tingkat seorang ahli silat adalah si orang itu sendiri, bukan ilmunya.
Ilmu silat memang ada yang bagus ada yang buruk, ada yang lambat ada yang cepat, ada yang praktis tanpa kembangan ada yang memakai banyak kembangan. Namun, setelah dikuasai seseorang, tentu saja sifat-sifat itu terseret oleh keadaan orang itu sendiri.
Dan perlu diketahui bahwa sejak kecilnya, bakat ilmu silat Suma Ciang Bun tidaklah begitu menonjol dan kalah jauh kalau dibandingkan dengan keturunan keluarga Pulau Es yang lain. Ilmu-ilmu silat yang dikuasainya memang hebat bukan main, akan tetapi tidak mencapai tingkat yang terlalu tinggi sehingga kini menghadapi pengeroyokan tiga orang yang lihai ini, Suma Ciang Bun mulai terdesak hebat.....
Perhitungan Thian Kek Sengjin memang tepat sekali. Dia dan Ok Cin Cu tidak mampu menandingi Suma Ciang Bun dan hal ini membuat dia merasa penasaran bukan main. Dia tidak tahu siapa lagi yang dapat dimintai bantuannya. Pada saat dia dan Ok Cin Cu bentrok dengan Siu Kwi dan melihat kelihaian wanita itu, terutama sekali kecepatan gerakannya, tahulah dia bahwa kalau wanita ini dapat membantunya, maka dia tentu akan mampu mengalahkan pendekar Pulau Es itu.
Betapa pun juga, ilmu-ilmu silat yang dimainkan Suma Ciang Bun memang hebat sekali sehingga walau pun ketiga orang itu mampu mengepung ketat dan mendesak sampai seratus jurus lamanya belum juga mereka bertiga itu mampu mengalahkan Suma Ciang Bun yang masih melawan dengan gigih. Akan tetapi sekarang pendekar itu lebih banyak bertahan dan melindungi diri dari pada menyerang.
Tiba tiba tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menusuk ke arah leher Ciang Bun dari kiri, dibarengi pula dengan pukulan tongkat naga hitam ke arah pinggangnya dari kanan. Ciang Bun tidak sempat mengelak lagi, terpaksa menggunakan sepasang pedangnya menangkis ke kanan kiri dengan jurus Siang-mo Khai-bun (Sepasang Iblis Membuka Pintu).
Jurus ini tidak hanya menangkis, melainkan dilanjutkan dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi pada saat dia menangkis, nampak sinar pedang meluncur ganas dari depan, yaitu pedang Siu Kwi yang menyerang ke arah dadanya. Serangan ini demikian cepatnya sehingga Ciang Bun merasa terkejut. Dengan menggunakan pantulan tenaga saat menangkis tongkat naga hitam, pedang kanannya mental dan meluncur, memapaki sinar pedang Siu Kwi dari depan, sedangkan pedang kirinya dengan tenaga sinkang masih menempel tongkat ular hitam.
"Cringgg...!"
Siu Kwi mengeluarkan seruan kaget. Pedangnya hampir saja terlepas dari pegangannya ketika bertemu dengan kerasnya dengan pedang lawan. Tetapi pada saat itu, tongkat naga hitam menyambar dari belakang dan tak dapat dielakkan atau ditangkis oleh Ciang Bun lagi.
"Bukkk...!"
Tubuh Ciang Bun terlempar keras, terbanting dan terguling-guling. Dia menderita luka parah oleh pukulan tongkat yang mengenai punggungnya itu, maka ketika dia terguling-guling, dia sengaja bergulingan dengan cepat, kemudian meloncat dan melarikan diri. Pendekar ini maklum bahwa dia telah terluka dan kalau tidak melarikan diri, tentu tiga orang lawan itu akan membunuhnya.
"Kejar dia...!" Thian Kek Sengjin berseru marah ketika melihat lawan yang sudah terluka itu melarikan diri.
"Kenapa mesti dikejar?" Siu Kwi membantah. "Dia sudah kalah dan lari."
"Kejar! Kita harus membunuhnya!" Thian Kek Sengjin berteriak dan dia pun mengejar diikuti Ok Cin Cu. Dengan demikian Siu Kwi terpaksa ikut mengejar.
"Jangan mencari penyakit!" kembali dia berkata sambil berlari di samping kakek itu. "Jangan mendesak terus. Bagaimana kalau muncul tokoh-tokoh Pulau Es lainnya? Dia hanya tokoh kecil saja! Aku telah banyak bertemu dengan mereka yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dia!"
Thian Kek Sengjin mencari-cari akan tetapi bayangan Suma Ciang Bun tak nampak lagi. Juga dia mulai jeri mendengar kata-kata Siu Kwi. Baru mengalahkan Suma Ciang Bun sekarang saja sudah demikian repotnya, apa lagi kalau muncul tokoh Pulau Es lainnya yang lebih lihai. Pula, kalau wanita ini tidak mau membantunya, dia dan Ok Cin Cu juga tidak berdaya menghadapi tokoh yang mereka kejar-kejar itu. Maka, biar pun hatinya kurang puas karena ia tidak berhasil membunuh musuhnya, terpaksa ia menghentikan pengejarannya.
Ketika Ok Cin Cu pada malam itu menuntut syaratnya, diam-diam Siu Kwi bergidik memandang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan rambut riap-riapan. Tubuhnya yang kurang terjaga kebersihannya itu mengeluarkan bau busuk. Akan tetapi, dengan terpaksa Siu Kwi menyerahkan dirinya kepada tosu gendut itu ketika sang tosu membawanya ke sebuah pondok kecil di luar dusun.
Ia menyerahkan diri sambil mematikan perasaannya. Dengan tingkat kepandaiannya, hal ini tidak sukar ia lakukan. Yang masuk ke dalam ingatannya hanyalah bahwa ia melakukan pengorbanan untuk pria yang dicintanya. Apa pun akan dia lakukan demi keselamatan Yo Jin. Karena apa yang ia lakukan itu tanpa disertai perasaan sedikit pun, maka bagi Ok Cin Cu wanita ini tiada bedanya dengan sesosok mayat saja. Tentu saja hal ini membuat Ok Cin Cu merasa tidak puas dan kecewa, seperti bercinta dengan mayat atau patung dan diam-diam dia pun marah sekali.
Pada keesokan harinya, dua orang tosu itu berjanji bahwa malam berikutnya mereka akan membebaskan Yo Jin.
"Engkau datanglah ke tempat tinggal Lui-thungcu pada tengah malam dan Yo Jin akan kami bebaskan dengan diam-diam agar bisa kau jemput. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati supaya jangan sampai ketahuan oleh keluarga Lui. Biarlah mereka mengira bahwa engkau dan orang-orang lain yang datang membebaskan Yo Jin. Kami akan pura-pura melakukan pengejaran dan mencari," kata Thian Kek Sengjin dan tentu saja Siu Kwi menyetujui dengan hati penuh harapan.
Malam itu cuaca amat gelap. Bulan memang belum waktunya keluar dan sedikit bintang yang nampak kadang-kadang tertutup awan hitam yang lewat di bawahnya. Sebelum tengah malam, Siu Kwi telah berada di luar pagar tembok yang mengelilingi kompleks bangunan tempat tinggal keluarga Lurah Lui. Dengan hati berdebar penuh kegembiraan dan ketegangan ia menanti sambil merenungkan semua yang telah terjadi semenjak ia berjumpa dengan Yo Jin.
Telah terjadi perubahan besar dalam hidupnya, dimulai sejak ia dan sekutunya kalah dan hancur oleh para pendekar. Akan tetapi perubahan besar baru benar terjadi setelah ia berjumpa dengan Yo Jin. Ia telah berkorban untuk Yo Jin. Di luar kehendaknya ia telah membantu dua orang tosu itu memusuhi pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es. Bahkan di luar kehendaknya ia telah menyerahkan tubuhnya kepada Ok Cin Cu. Kedua hal itu terpaksa ia lakukan karena ia tidak melihat cara lain untuk menyelamatkan Yo Jin yang berada dalam cengkeraman dua orang tosu yang tangguh itu.
Hatinya gembira. Betapa pun juga, pengorbanan itu tidak seberapa berat. Apa artinya menyerahkan badan tanpa perasaan dan hati? Dan ia hanya membantu mengalahkan Suma Ciang Bun. Semua hal itu terlupa karena ia membayangkan betapa gembiranya sebentar lagi ia dapat menyelamatkan dan mengajak pergi Yo Jin. Kemudian dia akan hidup berbahagia bersama pria itu.
Satu-satunya halangan, yaitu ayah Yo Jin, telah tewas pula. Sejak siang tadi ia sudah membayangkan hal ini dan sudah mengatur rencana. Ia hendak mengajak Yo Jin pergi dan hidup di sebuah tempat yang baru di mana tak seorang pun akan mengenalnya. Ia akan hidup sebagai manusia baru di tempat yang baru, bukan sebagai Bi-kwi murid Sam Kwi, melainkan sebagai isteri seorang pria sederhana seperti Yo Jin.
Betapa akan berbahagianya mereka, merawat dan mendidik anak-anak mereka. Anak-anak! Ahhh, belum pernah sebelumnya ia membayangkan tentang rumah tangga, suami dan anak-anak.
Suara berdenting ketika tanda waktu dipukul para penjaga, menciutkan hatinya dan membuatnya sadar dari lamunan. Tengah malam telah tiba! Ia pun mendekati pagar tembok dan setelah merasa yakin bahwa keadaan di situ sunyi saja, ia lalu meloncat ke atas pagar tembok, meneliti sebentar keadaan di sebelah dalam yang ternyata juga sunyi seperti keadaan di luar. Maka ia lalu melompat turun dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke bagian belakang.
"Kwi-moi... aku di sini...!" Mendengar suara Yo Jin itu, bukan main girang rasa hati Siu Kwi.
"Jin-koko...!" Serunya lirih dengan suara gemetar dan ia pun berlari ke arah suara tadi.
Agaknya pria yang dikasihinya itu berada di belakang pondok yang menjadi kandang kuda, menantinya. Betapa pun gembira dan tegang rasa hatinya, Siu Kwi tidak pernah mengendurkan kewaspadaannya. Ia berurusan dengan dua orang tosu yang selain tangguh, juga cerdik dan mungkin saja suka bertindak curang, maka dia selalu bersiap siaga.
Kewaspadaan inilah yang menyelamatkannya. Ketika ia sudah melihat bayangan Yo Jin yang berdiri di belakang kandang kuda, dan ia berlari di antara pohon-pohon di kanan kiri, mendadak saja kakinya terlibat tali sehingga ia terguling. Ia meloncat dan kakinya masih terlibat banyak sekali tali yang agaknya ditarik orang.
Karena memang sebelumnya sudah siap siaga, hanya sebentar saja Siu Kwi terkejut dan secepat kilat ia telah mencabut pedangnya dan dengan beberapa kali bacokan saja, tambang-tambang itu sudah putus semua. Untung ia melakukan hal ini karena kalau tidak, tentu tubuhnya akan terlibat semua dan ia tentu tidak akan mampu melawan lagi!
Tiba-tiba keadaan menjadi terang. Obor-obor di nyalakan dan ternyata tempat itu telah dikepung oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin sendiri! Dan di kejauhan, dia melihat betapa Yo Jin dengan kaki tangan terikat, berdiri dan terikat pada sebatang pohon. Tahulah ia bahwa memang dua orang tosu itu telah bersikap curang sekali. Ia sengaja dipancing untuk ditangkap, bukan untuk disuruh menjemput Yo Jin seperti yang sudah dijanjikan. Tentu saja ia menjadi marah sekali dan sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api.
"Tosu-tosu jahanam yang berwatak hina dan rendah!" bentaknya dan ia pun menerjang dengan pedangnya ke arah dua orang tosu itu.
Akan tetapi, banyak sekali tombak panjang menyambutnya dan sebentar saja ia sudah dikepung dan dikeroyok oleh puluhan orang penjaga yang memegang tombak panjang. Dan kini dua orang tosu itu pun menerjang maju sehingga tentu saja Siu Kwi menjadi repot sekali melayani mereka.
Namun, ia mengamuk seperti seekor harimau betina terluka. Pedangnya berkelebatan dan sudah ada beberapa orang penjaga yang roboh mandi darah. Pedang di tangan Siu Kwi sudah berlepotan darah, akan tetapi dia sendiri pun menerima tusukan tombak dan hantaman tongkat berkali-kali. Pundaknya dan paha kirinya terluka, kulitnya robek dan mengucurkan darah. Pipinya bengkak dan punggungnya juga sudah dua kali menerima hantaman tongkat panjang naga hitam di tangan Thian Kek Sengjin.
"Kwi-moi..., larilah..., selamatkan dirimu...!"
Teriakan melengking ini menyadarkan Siu Kwi. Itulah suara Yo Jin dan ia pun sadar bahwa mengamuk terus berarti mencari mati. Dan kalau ia mati di situ, tentu tidak ada harapan lagi bagi Yo Jin. Selain ia seorang, siapa lagi yang akan membela Yo Jin?
Hatinya berdarah jika membayangkan Yo Jin yang belum juga dapat diselamatkannya. Akan tetapi, dia akan terus berusaha, dan untuk itu, dia harus mampu keluar dari kepungan ini lebih dahulu. Maka, tiba-tiba ia menerjang ke belakang dan membalikkan tubuhnya. Karena yang berada di belakangnya hanya para penjaga, mereka itu menjadi panik ketika tiba-tiba dua orang di antara mereka roboh mandi darah.
Terbukalah pengepungan mereka dan Siu Kwi kemudian menerjang ke arah itu. Para pengepung mundur dan keadaan menjadi kacau balau. Dua orang tosu tidak dapat lagi mendesak Siu Kwi karena mereka terhalang oleh para penjaga yang lari ke kanan kiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siu Kwi untuk melompat ke luar pagar tembok dan menghilang di dalam kegelapan malam.....
********************
Selanjutnya baca
SULING NAGA : JILID-17