Suling Naga Jilid 17


Siu Kwi menangis sesenggukan. Kali ini tangisnya lebih sedih dari pada tangisnya yang pertama kali sebelum ia berjumpa dengan Yo Jin. Selamanya ia tidak pernah menangis dan pertama kali menangis adalah ketika ia merasa kesepian, setelah persekutuannya hancur. Akan tetapi tangisnya sekarang ini sungguh keluar dari dasar hatinya.

Ia menangis sampai terisak-isak dan tersedu-sedan, kadang-kadang menyebut nama Yo Jin. Ia merasa berduka, gelisah, dan menyesal sekali. Bagaimana pun juga, kalau diusut dari semula, ialah yang menjadi gara-gara sampai Yo Jin terpaksa menjadi orang tahanan, bahkan ayahnya tewas dibunuh orang. Jika Yo Jin tidak berjumpa dengannya, tentu dia tidak akan mengalami semua mala petaka ini.

Dan ia sendiri sekarang tidak berdaya sama sekali untuk menyelamatkan Yo Jin. Semua impiannya kemarin kini buyar dan hancur pula, seperti hancurnya semua cita-citanya. Karena kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan ia sendiri sudah menderita luka-luka yang cukup parah, Siu Kwi hanya dapat menangis! Menangis seorang diri di dalam hutan yang sunyi itu.

Pundak dan pahanya masih terluka menganga dan mengeluarkan darah, juga pipinya benjol, bekas pukulan tongkat di punggungnya juga mendatangkan rasa ngilu dan nyeri bukan main. Akan tetapi ia tidak mempedulikan semua itu, tidak peduli akan keadaan dirinya. Yang terpikir olehnya hanyalah Yo Jin!

Dalam keadaan menangis ini, muncullah Siu Kwi sebagai seorang wanita sepenuhnya. Seorang wanita yang normal, mahluk yang lemah dan terbuai perasaan, dan mencari pelarian dari segala derita ke dalam tangis.

Dahulu sekali, tangis merupakan hal yang memalukan baginya, merupakan pantangan karena perbuatan ini dianggapnya memamerkan kelemahan dan cengeng. Akan tetapi sekarang, setelah merasa tidak berdaya dan bingung memikirkan keadaan pria yang dicintanya, yang masih belum mampu ditolongnya, ia pun tak dapat berbuat lain kecuali menangis!

Dan tangisnya ini adalah pencurahan dari semua penderitaan batin yang sejak dahulu selalu ditekan dan ditahannya. Penderitaan batin ketika ia masih kecil kehilangan ayah ibu, ketika dia terpaksa melayani gairah nafsu ketiga orang gurunya, Sam Kwi, yang diterimanya dengan pasrah namun sebenarnya di dasar hatinya timbul pemberontakan yang ditekannya.

Semua himpitan batin itu dulu ia imbangi dengan perbuatan-perbuatan sesat dan kejam sebagai pelariannya. Akan tetapi sekarang, setelah ia melihat betapa kesesatannya tak mendatangkan kebaikan bagi dirinya, setelah dia ingin merubah jalan hidupnya, maka satu-satunya pelarian hanyalah tangis kesedihan.

"Suci...!" tiba-tiba terdengar suara wanita menegurnya.

Siu Kwi mengangkat mukanya yang tadi ditutupi dengan kedua tangannya. Sebuah muka yang membengkak, ujung bibir yang masih berdarah, muka yang basah air mata yang bercucuran dari sepasang mata yang kemerahan. Ketika ia melihat bahwa yang datang menegurnya adalah Bi Lan, Siu Kwi merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan ia pun menangis semakin menjadi-jadi sampai mengguguk.

Yang datang itu memang Bi Lan bersama Sim Houw. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah berhasil menghancurkan komplotan kaki tangan pembesar Hou Seng, dibantu oleh para pendekar keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, para pendekar bubaran dan Bi Lan pergi bersama Sim Houw.

Kedua orang muda ini merasa saling tertarik dan terikat satu sama lain, merasa betapa mereka tak mungkin dapat saling berpisah lagi. Memang, selama melakukan perjalanan menuju ke utara, keduanya belum pernah saling mengaku cinta!

Sim Houw yang sudah tahu bahwa dia kini mati-matian jatuh cinta kepada Bi Lan, merasa sungkan untuk mengakui cintanya. Dia jauh lebih tua dari pada Bi Lan. Usianya sudah mendekati tiga puluh lima tahun, sedangkan Bi Lan belum ada dua puluh tahun! Gadis itu pantas menjadi keponakannya!

Meski dia sungguh mencintanya, akan tetapi kalau dia mengaku akan hal itu, bukankah dia akan ditertawakan, bahkan disangka bahwa semua kebaikannya terhadap gadis ini berpamrih? Tidak, dia tidak berani mengaku cinta, walau pun hatinya sudah yakin akan hal itu.

Di lain pihak, Bi Lan sendiri yang masih hijau dalam soal asmara, hanya melihat Sim Houw sebagai seorang pria yang amat baik kepadanya. Dan ia pun merasa amat suka kepada Sim Houw, kagum dan juga bangga dapat mempunyai seorang sahabat seperti pendekar ini. Yang lebih dari segalanya, dia merasa aman tenteram dan selalu penuh kedamaian kalau berada di samping Sim Houw.

Dalam perjalanan mereka ke utara, mereka pada pagi hari ini memasuki hutan dan mereka merasa terheran-heran ketika mendengar isak tangis sampai ke telinga mereka, terbawa angin bersilir. Karena merasa heran dan curiga, menduga bahwa mungkin saja terjadi kejahatan. mereka kemudian mempergunakan ilmu meringankan tubuh, berindap menghampiri tempat dari mana suara itu datang.

Dan dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati Bi Lan ketika melihat bahwa yang sedang menangis terisak-isak itu adalah Bi-kwi! Karena itu, segera ia memanggil dan kini, setelah suci-nya itu memandang kepadanya, ia melihat keadaan suci-nya yang luka-luka dan mukanya membengkak, dan kini suci-nya menangis semakin menjadi-jadi.

"Suci... kau... kau menangis...?" Bi Lan menghampiri dan menjadi semakin terheran-heran.
Belum pernah ia melihat suci-nya ini menangis, apa lagi menangis sampai sedemikian sedihnya. "Apakah yang telah terjadi, suci?"

Bagaimana juga, di dalam hatinya, Bi Lan merasa kasihan kepada suci-nya, orang yang melatih dan menemaninya sejak dia kecil, walau pun sikap Ciong Siu Kwi terhadapnya juga tak dapat dibilang manis. Juga ia teringat bahwa tanpa pertolongan suci-nya, tentu dirinya telah ternoda oleh Sam Kwi.

Mendengar pertanyaan ini, Siu Kwi menjadi semakin berduka. Akan tetapi, ia segera teringat, bahwa jika sumoi-nya ini mau membantu, tentu ia akan dapat menyelamatkan Yo Jin! Timbul lagi harapannya, akan tetapi karena khawatir kalau-kalau Bi Lan menolak permintaan tolongnya, ia pun menjadi semakin berduka.

"Sumoi... jangan dekati aku kalau engkau tidak mau ketularan segala kesialan yang menimpa diriku... ahh, rasanya aku ingin mati saja, sumoi...," katanya sambil mengusap air mata dari kedua pipinya.

Ia pun memandang ke arah Sim Houw yang berdiri tidak jauh dari situ. Apa lagi kalau orang she Sim itu mau membantunya, sudah dapat dipastikan bahwa Yo Jin tentu dapat diselamatkan!

"Suci, sungguh aku merasa heran sekali melihat engkau dapat berduka cita seperti ini. Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Aku melihat engkau menderita luka-luka. Apakah engkau berkelahi?"
Siu Kwi menarik napas panjang untuk menghentikan tangisnya. "Aku tidak tahu apakah kemunculanmu ini akan merupakan pertolongan bagiku atau tidak, sumoi. Akan tetapi, biarlah kuceritakan semua kepadamu..." Ia kembali menarik napas panjang.

Bi Lan kini duduk di atas rumput, di dekatnya sedangkan Sim Houw duduk di atas batu. Agaknya pendekar itu pun tertarik untuk mendengarkan ceritanya yang membuat dia sampai menangis sedemikian sedihnya.

"Sumoi, setelah kau membiarkan aku pergi, baru aku merasa betapa sunyi dan merana hidupku, baru aku sadar betapa semua kesesatan yang telah memenuhi hidupku yang lalu tidak pernah mendatangkan kebahagiaan kepadaku. Engkau benar, sumoi, engkau tidak mau mengikuti jejak tiga orang suhu kita yang sesat. Aku ingin merubah hidupku, dan dalam kesadaranku itu, bertemulah aku dengan seorang pemuda petani yang bodoh serta sederhana dan lemah…"

Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Yo Jin, betapa kemudian muncul tiga orang pemuda berandalan yang hendak mengganggunya, dan betapa Yo Jin, pemuda dusun yang lemah dan bodoh itu membelanya mati-matian.

"Bayangkan saja, sumoi! Dia yang lemah dan bodoh, rela dikeroyok dan dipukuli sampai babak-belur, hanya untuk membela aku yang tak dikenalnya. Betapa gagahnya dia! Dan aku... aku pun jatuh cinta kepadanya, sumoi..." Kembali Siu Kwi menangis.

Bi Lan memandang suci-nya dengan mata terbelalak. Aneh sekali mendengar cerita dan pengakuan suci-nya ini. Biasanya, suci-nya mempermainkan pria sesuka hatinya. Pria-pria itu dianggap boneka saja olehnya, atau binatang peliharaan yang dianggap sebagai penghibur. Akan tetapi sekarang, terang-terangan suci-nya mengaku jatuh cinta kepada seorang pemuda dusun yang sederhana, bodoh dan lemah!

"Semua pengorbanannya untuk diriku itu membawa akibat yang amat mencelakakan baginya. Ayahnya sampai terbunuh orang, dan dia sendiri sekarang menjadi tawanan..." Siu Kwi menceritakan semua hal yang telah terjadi dengan nada suara sedih sekali.

"Aku telah berusaha untuk menyelamatkannya, untuk membebaskannya. Akan tetapi, dua orang tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw itu masih terlalu tangguh bagiku. Bahkan mereka sudah menipuku. Mereka berjanji membebaskan Yo Jin kalau aku mau bekerja sama. Thian Kek Sengjin minta aku untuk membantunya melawan dan mengalahkan pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es. Hal ini telah kulakukan dan pendekar itu dapat dikalahkan sampai melarikan diri. Kemudian aku pun memenuhi permintaan Ok Cin Cu untuk melayaninya dan tidur bersamanya selama satu malam. Semua ini kulakukan dengan pemaksaan diri, di luar kemampuanku demi untuk menolong Yo Jin. Akan tetapi, mereka berdua menipuku, tidak memenuhi janji, bahkan aku dikeroyok banyak orang malam tadi sampai nyaris tewas dan menderita luka-luka inilah. Aku hampir putus asa, sumoi. Tidak mengapalah aku mati asal Yo Jin selamat..."

Bi Lan saling pandang dengan Sim Houw. Hampir ia tidak dapat percaya akan cerita suci-nya itu. Ia sudah terlalu mengenal suci-nya sehingga cerita itu seperti tidak masuk akal!

"Suci, sekarang yang terpenting adalah mengobati luka-lukamu dahulu. Luka di pundak dan pahamu itu cukup lebar, dan aku melihat engkau seperti menderita luka dalam pula. Biarlah kami membantu mengobatimu, suci."
"Tidak! Tidak perlu aku diobati kecuali kalau... ahhh, mana mungkin pula kalian suka membantuku?" Dan tiba-tiba Siu Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan sumoi-nya! "Sumoi, aku mohon padamu, kau bantulah aku menyelamatkan Yo Jin..."

Tentu saja Bi Lan menjadi terkejut setengah mati dan cepat-cepat ia memegang kedua pundak suci-nya, membangunkannya kembali.

"Hal itu nanti kita bicarakan, suci. Sekarang biarlah kami mengobatimu dulu..."
"Tidak, sumoi. Jika engkau tidak mau berjanji untuk membantuku menghadapi dua tosu jahanam itu dan menyelamatkan Yo Jin, aku pun tidak perlu diobati dan biarlah aku mati saja."

Bi Lan kembali menoleh dan memandang kepada Sim Houw. Ia masih saja meragukan kebenaran ucapan suci-nya ini, akan tetapi Sim Houw mengangguk. Pendekar itu dapat melihat bahwa tidak mungkin Siu Kwi berbohong. Apa lagi ketika mendengar bahwa kedua lawan Siu Kwi adalah tosu-tosu dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, tentu saja hatinya condong untuk membantu bekas suci Bi Lan ini. Tentang benar tidaknya cerita Ciong Siu Kwi, hal itu dapat diselidiki nanti.

"Baiklah, suci. Aku berjanji untuk membantumu, akan tetapi dengan syarat bahwa apa yang kau ceritakan semua tadi adalah benar."

Siu Kwi menarik napas panjang dan mengangguk. "Aku mengerti dan tak menyalahkan jika engkau masih meragukan kejujuranku, sumoi, Akan tetapi engkau pun tentu belum yakin benar akan keputusanku untuk merubah cara hidupku. Aku telah bertemu dengan pria yang kucinta sepenuh jiwaku, dan aku melakukan apa saja demi untuk dia. Kalau ceritaku tidak benar, boleh engkau mengundurkan diri."

"Sekarang, yang terpenting mengobati luka-lukamu, suci."

Siu Kwi menurut dan tiba-tiba dia merintih. Baru sekarang dia merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri, luka-luka itu perih dan panas, di dalam dadanya juga terasa nyeri dan tenaganya hampir habis! Kini, setelah ia merasa mendapatkan bala bantuan, baru ia merasakan semua kenyerian ini.

Bi Lan dan Sim Houw lalu merawat Siu Kwi. Dengan obat luka Siu Kwi sendiri yang sangat manjur, luka di paha dan pundaknya dicuci oleh Bi Lan dan diobati lalu dibalut, sedangkan untuk menyembuhkan luka di dalam dada akibat guncangan pukulan tongkat pada punggungnya, ia dibantu oleh Sim Houw yang menempelkan telapak tangan di punggungnya untuk membantu wanita itu menghimpun tenaga dalam dan memulihkan kesehatannya.

Menjelang senja, sembuhlah Siu Kwi. Tubuhnya yang terlatih memang kuat, ditambah lagi semangatnya yang kini besar dan menyala-nyala akibat timbulnya harapan dalam hatinya untuk menyelamatkan Yo Jin. Dan pada malam hari itu juga Siu Kwi mengajak Bi Lan dan Sim Houw untuk membantunya membebaskan Yo Jin.

Bi Lan memang tadi sudah berunding mengenai hal ini, maka Bi Lan pun lalu berkata kepada bekas suci-nya itu. "Suci, bukan hanya karena kurang penuh kepercayaan kami kepadamu, akan tetapi bagaimana pun juga, kami tidak mau bertindak secara sembrono dan melibatkan diri dalam permusuhan, pada hal kami tak mempunyai urusan apa-apa. Oleh karena itu, kami mau saja kau ajak pergi ke dusun itu, hanya saja tidak bertindak sebagai perampas tawanan, melainkan secara damai."

"Maksudmu bagaimana? Apa pun tindakan yang akan kalian ambil untuk membantuku, terserah. Bagiku yang terpenting adalah keselamatan Yo Jin."

Diam-diam Bi Lan merasa terharu. Bukan main hebatnya cinta kasih suci-nya terhadap pria yang bernama Yo Jin itu. Dan ia mulai percaya bahwa semua cerita suci-nya itu tidak bohong.

"Kami akan ikut bersamamu menemui lurah Lui dan kedua orang tosu itu. Kita minta dengan baik-baik saja supaya Yo Jin itu dibebaskan. Kemudian kita lihat bagaimana perkembangannya. Kalau perlu, tentu saja kami akan membantumu membebaskan dia dengan jalan kekerasan, tentu saja setelah kami pertimbangkan urusannya."
Siu Kwi mengangguk-angguk. "Aku tak menyalahkan kalian jika meragukan kebenaran omonganku. Marilah kita berangkat dan kalian lihat sendiri."

Mereka lalu berangkat menuju ke dusun timur itu, ke tempat lurah Lui di mana Yo Jin ditahan, di bawah pengawasan dua orang tosu yang tangguh. Tidak seperti malam kemarin, malam itu terdapat penjagaan yang ketat sehingga begitu mereka tiba di dusun itu saja, para penjaga sudah melihat dan segera mengenal Siu Kwi. Karena merasa jeri menghadapi wanita itu, para penjaga itu cepat-cepat berlari ke rumah lurah Lui dan melaporkan munculnya ‘siluman’ itu.

Juga para penduduk dusun itu, yang juga sudah mendengar akan adanya siluman yang mengamuk di rumah lurah mereka, kini menjadi ketakutan dan cepat-cepat mereka bersembunyi dan menutup semua jendela dan pintu rumah mereka ketika mendengar teriakan para penjaga yang berlarian bahwa siluman itu muncul kembali.

Demikianlah, ketika Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw tiba di depan pekarangan rumah lurah Lui, mereka sudah disambut oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh dua orang tosu itu. Banyak obor dinyalakan sehingga keadaan menjadi terang sekali.

Pada saat Thian Kek Sengjin dan Ok Cin Cu melihat bahwa Siu Kwi datang bersama seorang gadis muda yang cantik sekali dan seorang laki-laki yang sikapnya sederhana, mereka berdua memandang rendah. Siu Kwi sudah terluka, pikir mereka dan dua orang temannya itu tidak mungkin memiliki kelihaian melebihi Siu Kwi. Pula, di situ terdapat puluhan orang penjaga yang membantu.

"Heh-heh, Bi-kwi, siluman jahat. Engkau berani muncul kembali, apakah engkau ingin menyerahkan nyawamu?" Thian Kek Sengjin berkata sambil melintangkan tongkat naga hitamnya.
"Ha-ha-ha, barangkali engkau rindu pada pinto, nona manis?" kata si gendut Ok Cin Cu.

Siu Kwi menahan gejolak kemarahan yang memenuhi hatinya. Lebih dulu ia harus bisa meyakinkan sumoi-nya dan Sim Houw akan kebenaran ceritanya. "Thian Kek Sengjin dan Ok Cin Cu, aku datang ke sini untuk bicara dengan kalian secara baik-baik. Kenapa kalian berkeras hendak menahan Yo Jin? Dia tidak mempunyai kesalahan apa pun. Dia membelaku ketika Lui-kongcu hendak kurang ajar..."

"Dia ditangkap karena berani kurang ajar memukul Lui-kongcu!" kata Ok Cin Cu.
"Akan tetapi Lui-kongcu yang kurang ajar dan lebih dahulu menyerangnya. Urusan itu amat kecil, akan tetapi kalian sudah memukul ayahnya sampai tewas. Dan kalian masih belum puas. Kalian membujuk aku untuk membantu Thian Kek Sengjin mengalahkan Suma Ciang Bun pendekar keluarga Pulau Es, kemudian Ok Cin Cu bahkan memaksa aku melayaninya selama satu malam, dan kalian berjanji akan membebaskan Yo Jin. Aku telah memenuhi semua permintaan kalian, melakukan hal itu semua. Akan tetapi kalian telah melanggar janji, tidak membebaskan Yo Jin, bahkan menjebak dan hendak menangkap aku. Ji-wi totiang, sebagai pendeta, tosu dan tokoh-tokoh kang-ouw, apa kalian tidak malu atas perbuatan kalian itu? Maka malam ini aku datang untuk minta dengan baik-baik agar Yo Jin cepat dibebaskan, dan aku pun tak akan memperpanjang urusan ini."

Kedua orang tosu itu tertawa bergelak dan para penjaga juga turut pula tertawa. Riuh rendah suara ketawa mereka dan barulah kebisingan itu berhenti sesudah Thian Kek Sengjin bicara. "Bi-kwi siluman jahat! Engkau adalah pecundang kami, masih berani datang untuk mengajukan tuntutan? Apakah karena kini engkau membawa dua orang temanmu ini? Kami tidak takut dan kalian bertiga tentu tidak akan dapat lolos dari pengepungan kami!"

Lega rasa hati Siu Kwi. Dia sudah membeberkan semua persoalan dalam tuntutannya tadi dan dia pun menoleh kepada Bi Lan dan Sim Houw, "Sumoi dan Sim-taihiap, kurasa sudah cukup aku bicara."

Sim Houw melangkah maju menghadapi dua orang tosu itu.

"Ji-wi totiang," katanya halus. "Benarkah apa yang telah dikatakan oleh nona Ciong tadi, bahwa orang she Yo itu kalian tahan tanpa bersalah, dan kalian telah mengingkari janji terhadap nona Ciong?"
"Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami!" bentak Ok Cin Cu marah.
"Kalau benar, engkau mau apa?!" Thian Kek Sengjin juga membentak.
"Sim-toako, jelas bahwa suci yang benar. Dua orang tosu bau ini memang jahat sekali!" Bi Lan berseru marah.

"Kepung, tangkap atau bunuh mereka bertiga ini!" bentak Thian Kek Sengjin memberi aba-aba kepada para penjaga yang memang sudah mengepung tempat itu.
"Kalau benar ji-wi adalah Thian Kek Sengjin ketua cabang Pek-lian-kauw dan Ok Cin Cu ketua cabang Pat-kwa-kauw, maka perbuatan ji-wi ini sungguh patut disesalkan dan amat tercela!" kata pula Sim Houw yang nampak tenang saja walau pun para penjaga sudah bergerak mengepung dengan sikap mengancam.
"Bocah sombong! Kepung dan tangkap, biarkan nona manis yang baru datang ini pinto sendiri yang menangkapnya!" bentak Ok Cin Cu.
"Nanti dulu!" Thian Kek Sengjin memberi komando pada anak buahnya. "Pinto merasa penasaran melihat kesombongan bocah ini. Orang muda, siapakah engkau? Pinto tidak ingin membunuh orang yang tanpa nama."

Sebelum Sim Houw menjawab, Siu Kwi sudah mendahului. "Dia adalah pendekar Sim Houw, Pendekar Suling Naga! Dan ini adalah sumoi-ku Can Bi Lan!"

Mendengar disebutnya nama Pendekar Suling Naga, dua orang tosu itu saling pandang. Mereka pernah mendengar akan munculnya seorang pendekar baru yang lihai. Akan tetapi mereka tidak merasa takut dan sambil berteriak nyaring, Thian Kek Sengjin sudah menggerakkan tongkat naga hitamnya menyerang ke arah Sim Houw, sedangkan Ok Cin Cu yang memandang rendah Bi Lan yang diperkenalkan sebagai sumoi dari Siu Kwi, sudah menubruk dengan tongkat ular naga menotok jalan darah di pundak Bi Lan, sedang tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Serangan ini amat kurang ajar sifatnya sehingga dengan marah Bi Lan lalu mengelak sambil mencabut pedangnya.

Melihat sinar mengerikan dari pedang yang berada di tangan Bi Lan, Ok Cin Cu terkejut dan bergidik. Akan tetapi dia tidak menjadi takut dan cepat menggerakkan tongkat ular hitamnya untuk menyerang. Bi Lan menangkis dan balas menyerang sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka.

Ok Cin Cu tidak berani memandang rendah lagi. Gadis yang menjadi sumoi dari Ciong Siu Kwi ini memiliki pedang pusaka amat menggiriskan, juga gerakan-gerakannya tidak kalah cepat dibandingkan suci-nya.

Sementara itu, serangan tongkat naga hitam dari Thian Kek Sengjin juga amat dahsyat, membuat Sim Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Terpaksa dia pun mencabut pedangnya. Ketika pedang itu tercabut, terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan pula hati Thian Kek Sengjin. Di antara kedua orang ini pun segera terjadi perkelahian yang seru.

Melihat betapa dua orang tosu itu sudah dilawan oleh sumoi-nya dan Sim Houw, Siu Kwi lalu mengamuk, menerjang puluhan orang penjaga yang mengepung. Amukannya memang menggiriskan dan sebentar saja sudah ada delapan orang pengeroyok yang roboh oleh pedangnya. Yang lain menjadi gentar dan Siu Kwi terus menerjang maju dan mendesak para pengeroyok untuk mundur.

Akhirnya dia berhasil memasuki pekarangan, terus dia meloncat ke dalam dan lari ke bagian belakang bangunan rumah keluarga Lui. Di bagian belakang, dia disambut oleh enam orang penjaga. Tetapi, dengan mudah ia merobohkan lima orang dan menangkap seorang yang hendak melarikan diri.

"Cepat bawa aku ke kamar tahanan Yo Jin!" bentaknya sambil menempelkan ujung pedang di dada orang itu.

Pedang itu menembus baju dan menusuk kulit sehingga kulitnya terluka. Tentu saja penjaga itu terkejut dan ketakutan, mengangguk-angguk dan dengan ditodong pedang dia membawa Siu Kwi ke belakang.

Akhirnya Siu Kwi menemukan Yo Jin yang duduk bersandar dinding di dalam sebuah kamar tahanan. Siu Kwi menampar penjaga itu dengan tangan kirinya. Tanpa mengeluh lagi penjaga itu roboh dan Siu Kwi mempergunakan pedangnya untuk menjebol daun pintu kamar tahanan.

"Kwi-moi akhirnya engkau datang...!" Yo Jin berseru girang.
"Jin-koko...!"

Ingin Siu Kwi merangkul orang itu, namun perasaan ini ditahannya. Dia pun melepaskan belenggu kaki dan tangan pemuda itu. Baru beberapa hari saja ditahan, tubuh pemuda ini menjadi kurus sekali dan mukanya pucat.

"Jin-koko, engkau lebih baik pulang dulu ke dusun, biar aku akan menyusul ke sana setelah selesai urusan ini!" katanya cepat. Ia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan ditawan musuh lagi ketika ia sedang mengamuk bersama sumoi-nya dan Sim Houw.
"Tapi kau... kau..."
"Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri. Pulanglah, koko, aku akan menyusul nanti."

Yo Jin mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi di luar, maka dia pun mengangguk dan tidak membantah lagi ketika tangannya ditarik okh Siu Kwi, diajak menuju ke kebun. Dua orang penjaga berusaha menghadang, namun dengan tendangan kakinya, Siu Kwi merobohkan mereka.

"Cepat, keluarlah dari pintu ini!" kata Siu Kwi dan sekali dorong, pintu kecil di kebun itu pun jebol.

Melihat kehebatan wanita ini, Yo Jin beberapa kali terbelalak. Dia maklum bahwa wanita yang dicintanya ini adalah seorang wanita sakti, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia pun lari keluar dan cepat pulang ke rumahnya di dusun selatan.

Setelah melihat kekasihnya itu menghilang dalam kegelapan malam, Siu Kwi melompat kembali ke dalam kebun, lantas berlari ke dalam rumah. Para pelayan ketakutan, dan dengan mudah Siu Kwi menemukan kepala dusun Lui lengkap beserta isteri-isteri dan anak-anaknya di dalam ruangan belakang. Mereka terjaga oleh belasan orang penjaga, namun setelah ia menyerbu dan merobohkan empat orang, yang lain lalu melarikan diri meninggalkan keluarga itu yang berkelompok sambil menggigil ketakutan.

Lurah Lui dan keluarganya sudah mendengar bahwa Siu Kwi yang dituduh siluman itu sebenarnya adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi, dan hanya kedua orang tosu tua itu saja yang mampu menundukkannya. Namun malam ini wanita itu datang bersama dua orang teman yang juga amat lihai dan kini ‘siluman’ itu telah datang dan menemukan mereka!

Siu Kwi masuk dengan pedang di tangan. Melihat betapa pedang itu berlepotan darah, dan wajah yang cantik itu nampak beringas, sepasang matanya seperti mencorong, lurah Lui dan keluarganya menjadi pucat.

Siu Kwi menyapu mereka dengan pandang matanya, lalu menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Lui-kongcu yang mencoba untuk menyembunyikan kepalanya di belakang punggung ibunya.

"Lui-kongcu, ke sini kau!" bentaknya.
"Tidak... tidak...!" Pemuda itu menggigil ketakutan.
"Ke sini atau akan kuseret dan kubunuh kau!"

Pemuda itu hampir terkencing di celananya saking takutnya, akan tetapi mendengar bentakan itu dia lalu merangkak maju dan berlutut di depan Siu Kwi.

"Engkau juga ke sini, lurah Lui!" bentak Siu Kwi.

Lurah Lui bangkit berdiri dan maju. Dengan congkak akan tetapi pucat dia tetap berdiri, tidak berlutut seperti puteranya. Bagaimana pun juga, dia adalah kepala dusun itu dan sudah biasa orang-orang berlutut di depannya, bukan dia yang harus berlutut.
Siu Kwi tidak peduli akan sikap itu. "Kalian berdua yang membikin gara-gara sehingga Yo Jin ditahan dan ayahnya tewas. Kalian berdua yang membuat aku menderita pula. Pertama-tama adalah gara-gara Lui-kongcu ini yang menjadi biang keladinya. Sudah sepatutnya jika aku memenggal kepalamu sekarang juga!" Siu Kwi lalu mengelebatkan pedangnya.

"Ampun... ampun... tidak... jangan bunuh aku... aku tidak berani lagi!" Kali ini Lui-kongcu benar-benar terkencing di celananya.

Melihat ini, Siu Kwi memandang muak. Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan Yo Jin, pemuda pilihannya. Pemuda ini seperti seekor anjing penakut yang takut digebuk, sebaliknya Yo Jin seperti seekor harimau yang pantang menyerah.

"Engkau telah membuat Yo Jin tersiksa, dan engkau laki-laki mata keranjang penggoda wanita dengan mengandalkan kedudukan ayahmu!" Tiba-tiba nampak sinar berkelebat.

Lui-kongcu menjerit dan darah muncrat. Ketika pemuda itu melihat bahwa lengan kirinya buntung sebatas siku dan darah muncrat-muncrat, dia menjerit-jerit dan lari kepada ibunya, lalu menangis menggerung-gerung dan jatuh pingsan.

Melihat ini, mendadak kedua kaki lurah Lui menjadi lemas dan dia pun roboh berlutut karena kedua lututnya seperti kehilangan tenaga.
"Ampun, lihiap... ampunkan kami...," ratapnya.

Keluarganya semua berlutut minta-minta ampun. Melihat keluarga lurah itu, hati Siu Kwi menjadi agak lemah, hal yang baru sekarang ia alami.

"Baik, aku takkan membunuhmu. Akan tetapi engkau telah menggunakan kedudukanmu untuk bertindak sewenang-wenang, memperalat pendeta-pendeta palsu dan jahat untuk menghina orang, maka engkau harus diberi pelajaran!" kembali pedangnya berkelebat dan lurah Lui menjerit kesakitan karena kaki kanannya terbabat buntung sampai lutut! Kembali darah muncrat-muncrat dan ketika semua orang menjerit ketakutan, wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Di luar, perkelahian masih berlangsung dengan seru. Tetapi, Ok Cin Cu sudah bermandi keringatnya sendiri. Gerakan lawan yang hanya seorang gadis muda itu memang luar biasa sekali dan terutama sekali pedang di tangan wanita itu membuat dia kadang-kadang menggigil.

Bi Lan memang sudah memainkan ilmu pedang Ban-tok Kiam-sut dan karena ilmu itu dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, maka bukan main hebatnya. Dia menyerang dengan sungguh-sungguh. Ia merasa sakit hati dan benci sekali mengingat betapa tosu ini telah menipu suci-nya, membujuk suci-nya melayaninya dan menyerahkan tubuhnya untuk menebus keselamatan Yo Jin.

Sakit hatinya mengingat akan hal ini dan kebenciannya terhadap tosu tinggi besar perut gendut ini pun memuncak. Maka dia menyerang untuk membunuh sehingga gerakan-gerakannya membuat tosu itu kalang kabut.

Di lain pihak, Sim Houw juga mendesak lawannya dengan hebat. Kalau pemuda ini menghendaki, sudah sejak tadi dia mampu merobohkan dan membunuh lawan. Akan tetapi, Sim Houw tidak ingin membunuh. Dia tahu bahwa ketua cabang Pek-lian-kauw ini berwatak buruk dan jahat sekali, suka melakukan hal-hal terkutuk di balik topeng perjuangan melawan pemerintah penjajah.

Akan tetapi, dia tidak ingin membunuh, hanya ingin memberi peringatan saja. Ketika dia melihat betapa serangan-serangan Bi Lan merupakan serangan-serangan maut yang amat berbahaya bagi ketua cabang Pat-kwa-kauw, dia terkejut.

"Lan-moi, jangan membunuh orang...!" teriaknya memperingatkan.

Pada saat itu terdengar suara keras dan tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu patah menjadi dua, sedangkan sinar pedang Ban-tok-kiam masih terus menyambar ke arah leher kakek gendut itu!

Untung bahwa Bi Lan masih mendengar teriakan Sim Houw dan dia memang patuh sekali terhadap pemuda ini. Dia tahu bahwa sekali saja tergores Ban-tok-kiam, akan sukarlah menyelamatkan nyawa kakek gendut itu, maka ia menyelewengkan pedangnya ke samping, dan berbareng jari tangan kirinya menusuk ke depan.

"Crotttt...!"

Mata kanan Ok Cin Cu tertembus jari tangan Bi Lan. Kakek itu mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras.

Saat itu, pedang suling naga mengeluarkan lengking tinggi dan terdengar suara keras ketika tongkat naga hitam juga patah menjadi tiga potong. Pedang itu masih terus menyambar dan pergelangan tangan kiri Thian Kek Sengjin terbabat putus. Kakek ini pun menjerit dan melompat jauh ke belakang.

Mereka berdua cepat-cepat menotok dan mengurut jalan darah masing-masing untuk menghentikan keluarnya darah dari luka, dan tanpa bicara apa-apa lagi keduanya lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu. Melihat betapa dua orang tosu itu melarikan diri, para penjaga juga menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.

Pada saat itulah Siu Kwi muncul. "Di mana mereka?" tanyanya ketika ia tidak melihat adanya dua orang tosu itu.
"Kami sudah memberi hajaran dan mereka melarikan diri," kata Bi Lan, lega bahwa Sim Houw memberi peringatan pada saat yang tepat sehingga ia tidak perlu membunuh tosu yang menjadi lawannya tadi.

Lega rasa hati Siu Kwi. Kedua orang tosu itu memang jahat, akan tetapi ia pun tidak memiliki nafsu untuk membunuh mereka. "Sudahlah, terima kasih atas bantuan kalian. Tanpa bantuan kalian, tak mungkin aku dapat membebaskan Yo Jin."

"Di mana ia sekarang...?" tanya Bi Lan yang ingin sekali melihat bagaimana macamnya pemuda yang dapat merobohkan hati suci-nya yang tadinya dianggap tidak mempunyai hati itu.
"Aku tadi telah membebaskannya dan menyuruhnya pulang ke dusunnya lebih dahulu, baru aku akan menyusulnya."
"Aih, suci, kenapa begitu saja membiarkan dia pergi sendiri? Bagaimana kalau sampai dia tertangkap musuh lagi?" kata Bi Lan. "Mari kita cepat pergi menyusulnya."

Bi Lan hanya menggunakan dugaan ini sebagai alasan agar ia bisa ikut pergi menyusul karena ia sungguh ingin sekali bertemu dengan pemuda itu. Penasaran.....

"Baik, mari kita pergi," kata Siu Kwi dan mereka bertiga lalu berlari cepat menuju ke dusun selatan.

Sim Houw diam-diam tersenyum. Ia dapat mengetahui bahwa Bi Lan ingin melihat orang yang mampu menundukkan hati seorang wanita seperti Ciong Siu Kwi, yang tadinya terkenal sebagai Bi-kwi yang kejam dan jahat bukan main. Dia pun tidak mengeluarkan pendapatnya karena dia harus membuktikan bahwa semua peristiwa yang diceritakan Siu Kwi itu benar dan hal ini baru terbukti kalau dia sudah bertemu dengan orang yang bernama Yo Jin itu.

Jika semua ini benar, tak percuma dia membantu Siu Kwi dan menanam permusuhan baru dengan pihak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Bagi seorang pendekar sejati, yang terpenting adalah bahwa setiap tindakannya berdasarkan membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan kelaliman. Tidak peduli untuk perbuatannya itu dia akan dibenci atau dimusuhi orang, karena yang jelas, mereka yang memusuhinya tentu bukanlah orang baik-baik.

Dengan cepat tiga orang itu telah tiba di dusun selatan dan langsung mereka pergi ke rumah keluarga Yo. Namun rumah itu kosong dan Yo Jin tidak berada di situ. Dengan hati khawatir Siu Kwi lalu bertanya kepada para tetangga dan mendengar bahwa tadi pemuda itu telah pulang, tetapi begitu mendengar dari para tetangga bahwa ayahnya telah meninggal dunia, pemuda itu berlari keluar lagi sambil menangis.

"Ahhh, kasihan Jin-koko...," kata Siu Kwi dengan hati terharu. “Aku tahu, ia pasti pergi mengunjungi kuburan ayahnya..."

Dan mereka pun lalu keluar dari dusun itu, menuju ke sebuah tanah kuburan yang amat sunyi karena letaknya di luar kota, di kaki sebuah bukit. Benar saja, mereka menemukan Yo Jin sedang berlutut dan menangis di depan sebuah kuburan yang masih baru.

"Jin-ko...!" Siu Kwi berseru memanggil.

Pemuda itu bangkit, membalikkan tubuh dan dua orang itu saling pandang dalam cuaca yang remang-remang oleh karena malam itu hanya diterangi oleh bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam.

"Kwi-moi...!" Suara pemuda itu terdengar parau karena lama dia tadi menangis.
"Jin-koko...!"

Siu Kwi melangkah maju dan entah siapa yang bergerak lebih dahulu, keduanya saling rangkul dan keduanya terisak menangis!

Bi Lan berdiri bengong. Benarkah wanita yang menangis di dada laki-laki itu suci-nya? Benarkah ia Bi-kwi yang biasanya demikian kejam dan keras hati? Terdengar Sim Houw batuk-batuk untuk menyadarkan dua orang yang sedang dilanda keharuan itu bahwa di situ hadir lain orang!

Suara batuk itu menyadarkan mereka dan keduanya melepaskan rangkulan.

"Kwi-moi, ayah... ayahku..."
"Tenanglah, Jin-ko. Ayahmu telah meninggal dunia dengan tenang. Ia menghembuskan napas terakhir dalam rangkulanku."
"Ahh, Kwi-moi, apakah yang telah terjadi? Ceritakanlah..."
"Mari kita duduk dengan tenang dan aku akan menceritakan semuanya, Jin-ko."
"Kita duduk di dekat makam..."
"Apakah tidak sebaiknya kita pulang saja, Jin-ko, dan bicara di rumah?"
"Tidak, malam ini aku tidak akan meninggalkan makam ayah."
"Biar aku membuat api unggun," tiba-tiba Bi Lan berkata dan dibantu oleh Sim Houw, ia mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun di dekat makam.

Yo Jin agaknya baru sadar bahwa wanita yang dicintanya itu datang bersama dua orang lain. "Kwi-moi, siapakah mereka ini?"

"Mari kita duduk dekat api unggun dan kuperkenalkan kau pada mereka, Jin-ko. Tanpa adanya bantuan mereka, sampai sekarang pun kita belum dapat berkumpul kembali."

Mereka berempat lalu duduk di dekat makam, dan mereka mengelilingi api unggun yang dibuat oleh Bi Lan dan Sim Houw. Yo Jin duduk di dekat Siu Kwi, berhadapan dengan Bi Lan yang duduk di dekat Sim Houw. Mereka sejenak saling berpandangan.

Diam-diam Bi Lan harus mengakui bahwa laki-laki pilihan suci-nya itu biar pun nampak berpakaian sederhana, memiliki pandang mata yang jujur dan polos, wajah yang bersih dan cukup ganteng biar pun kesederhanaan dan keluguan membayangkan kebodohan. Dan biar pun pemuda ini seorang lemah, dalam arti tidak mengenal ilmu silat, namun bentuk tubuhnya jantan dan kokoh kuat karena terbiasa bekerja berat di ladang.

Betapa pun juga, sampai saat itu Bi Lan masih belum dapat mengerti dan masih amat terheran-heran memikirkan bagaimana suci-nya dapat jatuh cinta pada seorang pemuda tani sederhana seperti ini. Pada hal kalau ia menghendakinya, suci-nya dapat memiliki pemuda-pemuda terbaik dari kota, putera bangsawan atau hartawan atau malah putera ahli-ahli silat kenamaan sekali pun. Suci-nya cantik jelita, mempunyai ilmu kepandaian tinggi, cerdik dan pendeknya, memiliki segala-galanya untuk dapat menarik hati laki-laki mana pun.

"Jin-ko, mereka berdua ini yang telah membantuku untuk membebaskanmu. Gadis ini bernama Can Bi Lan. Ia adalah sumoi-ku sendiri walau pun tingkat ilmu kepandaiannya jauh melebihiku. Dan pendekar ini adalah Pendekar Pedang Suling Naga bernama Sim Houw, seorang tokoh persilatan yang bernama besar dan terkenal sekali."

Yo Jin dengan secara sederhana, hanya memberi hormat sambil duduk ke arah mereka, berkata lantang, "Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan ji-wi yang mulia, dan semoga Thian yang akan membalas segala budi kebaikan ji-wi."

Diam-diam Sim Houw kagum juga. Seorang pemuda dusun, petani yang bodoh dan mungkin buta huruf, namun mengerti akan tata susila dan kesopanan, mengenal budi walau pun pernyataan terima kasihnya itu sederhana saja.

"Saudara Yo Jin, harap jangan sungkan. Tidak ada istilah melepas budi di antara kita," kata Sim Houw. "Engkau sendiri, walau pun tidak mempunyai keahlian silat telah berani membela nona Ciong, bahkan untuk semua itu selain engkau menderita dan menjadi tawanan, juga ayahmu berkorban nyawa. Dibandingkan dengan apa yang sudah kau lakukan itu, perbuatan kami tidak ada artinya."

Mendengar ucapan Sim Houw, diam-diam hati Siu Kwi merasa kagum sekali. Baru kini ia melihat dan mendengar sendiri akan sikap seorang pendekar yang rendah hati. Dulu, tiga orang gurunya, Sam Kwi, selalu menekankan kepadanya bahwa para pendekar adalah manusia-manusia sombong yang selalu memusuhi golongan mereka.

Juga dia merasa senang bukan main mendengar betapa Yo Jin dipuji-puji. Tanpa dia sadari duduknya semakin mendekat pemuda dusun itu dan pandang matanya penuh kebanggaan dan cinta kasih ketika ia menatap wajah di sampingnya itu yang diterangi cahaya api unggun.

"Jin-koko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling hebat yang pernah kukenal. Dia sudah mengorbankan dirinya, bahkan kehilangan ayahnya, untuk membelaku. Berkali-kali dia membelaku mati-matian. Sungguh aku telah berhutang budi padanya, berhutang nyawa. Mulai detik ini, aku tak akan mau berpisah darinya, sampai mati... aku akan mendampinginya sebagai isterinya... karena aku... aku cinta padanya."

Bagi Sim Houw dan Bi Lan yang telah mengenal Siu Kwi, ucapan yang terang-terangan ini tidak mengherankan, akan tetapi wajah Yo Jin menjadi merah padam dan ia merasa malu bukan main. Akan tetapi kejujurannya melenyapkan perasaan malu itu, dan dia pun hendak menumpahkan isi hatinya secara blak-blakan, selagi di situ ada dua orang lain yang amat berharga untuk menjadi saksi.

"Kwi-moi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku sejak pertemuan kita yang pertama kali itu, aku takkan merasa lega sebelum hal itu kukemukakan di sini. Biarlah Can-lihiap dan Sim-taihiap ini menjadi saksi."

Siu Kwi memandang kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata berseri. Sikap yang jujur dan terus terang dari pemuda ini merupakan satu di antara watak-watak yang amat dikaguminya. "Bicaralah, Jin-ko."

Yo Jin menarik napas panjang. Agaknya berat baginya untuk mengeluarkan isi hatinya. "Kwi-moi, terima kasih saya amat mendalam bahwa seorang seperti saya ini mendapat kehormatan untuk menerima cinta kasih seorang wanita seperti engkau. Hal ini kuterima dengan hati gembira dan ringan seandainya engkau adalah seorang gadis biasa, karena sesungguhnya aku pun sudah jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi..."

Siu Kwi mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang menunduk itu dengan hati amat khawatir. "Akan tetapi... apa Jin-ko?"
"Kwi-moi, engkau sudah melihat keadaan saya. Seorang pemuda dusun, pemuda petani yang tidak terpelajar, buta huruf, miskin, dan bahkan kini setelah ayah tiada, saya hidup sebatang kara, tiada sanak kadang, tiada kemampuan. Akan tetapi engkau..."
"Aku... kenapa, Jin-koko?" Siu Kwi mendesak sambil tersenyum hingga nampak deretan giginya yang rapi berkilau tertimpa sinar api unggun.

Yo Jin memandang wajah Siu Kwi dan pandang mata mereka saling bertemu. Masing-masing dapat merasakan kasih sayang terpancar dari pandang mata itu, akan tetapi Yo Jin lalu mengalihkan pandang matanya, kini memandang Sim Houw dan kepada Bi Lan seolah-olah minta pertimbangan dari kedua orang saksi itu.

"Kwi-moi... ahhh, sesungguhnya menyebutmu moi-moi saja sudah tidak pantas bagiku. Sepatutnya engkau kusebut lihiap. Engkau adalah seorang wanita kota, terpelajar, kaya, pandai dan bahkan memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Engkau seorang wanita sakti, seorang pendekar wanita yang..."

"Cukup, Jin-ko, cukuplah...!" Siu Kwi memotong sambil menyentuh lengan pemuda itu. "Aku sudah mengenalmu lahir batin, tetapi engkau sungguh belum tahu banyak tentang diriku! Engkaulah yang terlalu berharga untukku, Jin-ko. Engkau seorang pemuda yang bersih, jujur, setia, kuat lahir batin, gagah perkasa, sedangkan aku... aku hanya..."
"Wanita perkasa, pendekar yang sakti..."
"Tidak, tidak...! Engkau hanya tahu satu tapi tidak mengenal dua tiga dan selanjutnya. Biarlah sekarang aku ceritakan dan mengaku kesemuanya, Jin-ko. Keadaanku yang lalu juga akan selalu menjadi ganjalan di hatiku kalau belum kuceritakan kepadamu..."
"Suci! Perlukah itu...?" Bi Lan menegur, khawatir melihat suci-nya akan menceritakan keadaan masa lalunya.

Siu Kwi tersenyum dan mengangguk kepada sumoi-nya. "Mutlak perlu, sumoi. Aku tidak tega membiarkan Jin-koko menggambarkan aku sebagai seorang dewi dari langit, pada hal dalam kehidupanku yang lalu aku hanyalah seorang iblis. Di dalam cinta harus ada kejujuran, kita harus dapat melihat orang yang kita cintai seperti apa adanya, melihat segala cacat dan keburukannya, bukan sekedar melihat kebagusannya saja."

Sim Houw yang sejak tadi mendengarkan semua itu, menggeleng-geleng kepala dan memandang kagum. "Kalian adalah orang-orang luar biasa, hebat... hebat..."

Yo Jin memandang bingung. "Akan tetapi, Kwi-moi, aku tidak ingin mendengar tentang keburukanmu..."

"Dengarlah baik-baik, Jin-ko, agar engkau tak merasa rendah diri terhadap aku. Engkau hanya mengenal namaku, yaitu Ciong Siu Kwi, akan tetapi kau tidak mendengar hal-hal lain mengenai diriku. Seperti juga engkau, aku tidak mempunyai keluarga. Sejak kecil aku ikut bersama tiga orang guruku yang terkenal dengan julukan Sam Kwi (Tiga Iblis), tokoh-tokoh golongan sesat, penjahat-penjahat yang kejam dan ganas. Dan janganlah mengira bahwa aku seorang pendekar wanita, sama sekali tidak! Aku bahkan dimusuhi para pendekar karena aku memang jahat dan kejam, aku seorang di antara tokoh-tokoh sesat yang dijuluki Bi-kwi (Iblis Cantik)."

"Aku tidak percaya...!" Yo Jin berseru, kaget bukan main mendengar pengakuan yang dianggap mengerikan itu.

"Kenyataannya begitu, Jin-ko. Aku kejam dan jahat, entah telah berapa banyak orang, baik yang bersalah mau pun yang tidak, sudah tewas di tanganku. Aku telah membunuh banyak orang, aku pendukung kejahatan dan penentang kebaikan. Bukan itu saja, aku juga bukan seorang wanita baik-baik, bukan seorang wanita bersih. Sejak remaja aku telah menjadi kekasih tiga orang guruku dan sejak dewasa, entah sudah berapa banyak pria yang kujadikan kekasihku, baik dengan suka rela mau pun dengan paksa! Aku mempermainkan pria-pria itu seperti barang mainan, kalau sudah bosan kucampakkan, atau kubunuh."

"Tidak... tidaaakk...!" Yo Jin berteriak dengan mata terbelalak karena merasa ngeri, dan juga tidak percaya. "Engkau seorang wanita gagah perkasa, halus budi dan sopan!"

"Itu menurut penglihatanmu, dan memang sejak berjumpa denganmu, aku mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia sesat, untuk merubah kehidupan menjadi seorang baik-baik. Akan tetapi, engkau harus mengenal masa laluku, Jin-ko, agar kalau engkau masih mau memasuki hidup baru bersamaku, engkau masuk dengan mata terbuka, tbukan dengan mata terpejam, dengan suka rela, bukan paksaan. Nah, sekarang akan kulanjutkan, Jin-ko. Baru-baru ini, baru kemarin dulu malam, aku terpaksa menyerahkan tubuhku ini kepada Ok Cin Cu, tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw yang menangkapmu, aku tidur dengan dia dan melayaninya selama satu malam..."

"Ahh, tidaaaakk... ahh, Kwi-moi, kenapa engkau menyiksa hatiku seperti ini...?" Yo Jin menutupi mukanya dengan kedua tangan bagaikan hendak mengusir gambaran yang diceritakan Siu Kwi kepadanya itu.
"Yo-toako, suci hanya menceritakan hal-hal yang memang benar terjadi. Akan tetapi ketahuilah bahwa suci terpaksa melakukan hal itu demi untuk membebaskanmu. Ia tidak berdaya menghadapi dua orang tosu itu, maka ia dapat ditipu oleh mereka yang sudah menjanjikan untuk membebaskanmu."

Yo Jin menurunkan kedua tangannya. Wajahnya agak pucat dan kedua matanya merah ketika dia menatap wajah wanita yang dicintanya. "Kwi-moi, apakah masih ada lagi ceritamu tentang dirimu? Jika masih ada, tuangkanlah semua, jangan disimpan-simpan agar kelak engkau takkan merasa penasaran dan menceritakannya kembali kepadaku."

Siu Kwi terbelalak. "Jin-ko, masih belum cukupkah itu? Masih belum cukupkah kotoran yang menodaiku sehingga engkau dapat melihat bahwa akulah yang sesungguhnya tak berharga bagimu?"

Yo Jin tersenyum dan menggeleng kepala. "Kwi-moi, kejujuranmu ini justru menambah cintaku kepadamu. Aku mencinta engkau sekarang ini, seperti keadaanmu sekarang ini. Aku tidak peduli akan keadaanmu yang lampau, apa lagi engkau sudah mengambil keputusan dan untuk merubah jalan hidupmu. Engkau telah melakukan penyelewengan, biarlah aku akan membantumu sekuat tenaga untuk kembali ke jalan benar, Kwi-moi."

"Jin-koko...!" saking terharu hatinya Siu Kwi menubruk dan hendak mencium kaki Yo Jin sambil menangis.

Akan tetapi Yo Jin menangkapnya dan menariknya sehingga kini wanita itu menangis dengan kepala di atas pangkuannya, menangis sesenggukan bagaikan anak kecil dan rambutnya dibelai sayang oleh Yo Jin.

Melihat peristiwa ini, Bi Lan tak dapat lagi menahan keharuan hatinya sehingga dia pun memandang dengan dua mata lebar akan tetapi air matanya berlinang-linang, kemudian perlahan-lahan menetes turun melalui sepasang pipinya. Hatinya dipenuhi rasa haru, kasihan, akan tetapi juga ikut gembira bahwa suci-nya telah menemukan seorang pria yang sungguh-sungguh mencintanya lahir batin. Ia tidak tahu betapa dari samping, Sim Houw memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kasih sayang.

Setelah tangisnya mereda, Siu Kwi mengangkat kepalanya dari pangkuan Yo Jin dan bangkit duduk. Tangisnya terhenti dan dengan muka yang basah air mata, rambut yang kusut, dia memandang kepada Yo Jin dengan malu-malu, kemudian tersenyum dan berkata lirih, "Aihh, aku seperti anak kecil saja..."

"Aku cinta dan kasihan kepadamu, Kwi-moi," kata Yo Jin yang kini memandang kepada wanita itu dengan sinar mata lain, mengandung rasa iba. Alangkah sengsara kehidupan wanita ini di masa yang lalu dan dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk mencoba membahagiakan Siu Kwi dalam kehidupan mendatang.

"Sudahlah, kini kita hentikan percakapan tentang masa lalu dan kita bicara saja tentang hal-hal yang berada di depan kita, meninggalkan segala yang sudah lewat di belakang kita," kata Bi Lan dan Sim Houw mengangguk-angguk setuju.

"Kalian memang bijaksana sekali," kata Siu Kwi, "dan aku merasa girang bahwa kalian telah menjadi saksi pengakuanku kepada Jin-ko. Baiklah, sekarang kita bicara tentang masa depan. Sumoi, engkau dan Sim-taihiap hendak pergi ke manakah dan bagaimana bisa kebetulan bertemu dengan aku sehingga kalian bisa menolong aku dan Jin-koko?"

Sikap Siu Kwi sudah biasa lagi dan walau pun mukanya masih merah dan basah, rambutnya masih kusut, namun ia sudah dapat menguasai hatinya, bahkan kini setelah ia membuat pengakuan di depan Yo Jin yang diterima dengan baiknya oleh pria itu, ada sinar kebahagiaan yang cerah pada wajahnya, terutama pada sinar matanya.

Tadinya, ada perasaan gelisah kalau ia teringat akan masa lalunya dan membayangkan betapa Yo Jin akan berbalik membencinya kalau mendengar akan masa lalunya. Kalau hal seperti itu terjadi, kiranya akan sukar baginya untuk dapat merubah hidupnya!

Kebaikan tidak dapat dinamakan baik lagi kalau dilakukan dengan kesadaran bahwa hal itu baik. Keinginan hati untuk berbuat baik membuat perbuatan itu sendiri menjadi tidak baik, palsu dan munafik. Kebaikan tidak dapat diperbuat dengan sengaja. Kebaikan tak mungkin dapat dipelajari atau dilatih. Yang dapat dilatih hanyalah kepura-puraan saja. Kebaikan adalah wajar bagai sinar matahari, seperti harumnya bunga. Kebaikan adalah suatu sifat yang terpencar dari suatu kepribadian yang bersih. Kebaikan adalah suatu tindakan yang timbul dari batin yang penuh kasih.

Keinginan untuk menjadi sesuatu, agar sesuatu itu kelihatan agung, misalnya menjadi orang baik, otomatis mengotorkan kebaikan itu sendiri. Keinginan buat menjadi sesuatu selalu mendatangkan kepalsuan, karena pamrih atau keinginan yang menyembunyikan keuntungan bagi diri sendiri itu selalu mempunyai tujuan. Keinginan akan memperoleh buah atau hasilnya ini menjadi terpenting, sedangkan perbuatan baik itu sendiri hanya dijadikan alat untuk mencapai hasil yang menguntungkan atau menyenangkan itu!

Hal ini akan nampak jelas kalau kita mau mengamati diri sendiri setiap saat, pada saat keinginan timbul, keinginan yang dianggap suci dan luhur sekali pun. Kita buka mata batin, kita amati dan akan nampaklah bahwa ada setan bersembunyi di sudut belakang keinginan luhur itu, yang menanti datangnya hasil baik untuk diterkamnya.

Yang penting bukan ingin menjadi orang baik, tetapi sadar akan keburukan-keburukan dalam perbuatan kita. Kesadaran akan kekotoran ini timbul dalam pengamatan kita secara serius terhadap diri sendiri lahir batin. Kesadaran akan perbuatan-perbuatan buruk kita akan menghentikan perbuatan buruk itu, bukan dengan maksud agar menjadi baik! Karena kalau menghentikan perbuatan buruk itu menyembunyikan pamrih supaya menjadi baik, maka yang menjadi baik juga masih keburukan itu sendiri yang berganti baju atau bersalin warna belaka.

Cinta kasih dan kebaikan selalu ada, karena cinta kasih dan kebaikan adalah suatu kewajaran yang tidak dibuat-buat, bukan hasil dari latihan, tanpa teori-teori muluk. Akan tetapi, cinta kasih dan kebaikan tidak nampak sinarnya karena batin kita penuh dengan debu kotoran yang diciptakan oleh pikiran yang membentuk si-aku yang selalu dipenuhi keinginan-keinginan. Singkirkan semua debu kotoran itu, dan cinta kasih dan kebaikan akan memancarkan sinarnya dengan terang dan wajar.

Sejak kecil kita diajarkan untuk melakukan hal-hal baik sehingga dengan otomatis kita selalu berusaha untuk berbuat baik karena ada pahala di ujung perbuatan baik. Pahala itu dijanjikan kepada kita oleh kebudayaan kita, melalui tradisi dan agama. Pahala itu dapat dinamakan kehidupan tenteram, kebahagiaan, sorga, nirwana dan sebagainya lagi, juga nama baik atau keuntungan materi yang nampak lebih jelas. Maka berlomba-lombalah kita untuk melakukan perbuatan baik, yang pada hakekatnya hanya berlomba untuk mendapatkan pahala itulah!

Jadi, apa artinya melakukan perbuatan baik, atau menjadi orang baik, kalau dibaliknya tersembunyi pamrih mengejar pahala? Apa artinya kita menolong orang dan memberi sesuatu, kalau dalam perbuatan itu kita mengharapkan balas jasa dari orang yang kita tolong, atau kita mengharapkan pujian, nama baik dan sebagainya? Kalau begini, jauh lebih benar kalau kita tidak melakukan perbuatan baik dari pada melakukan perbuatan baik yang semu, palsu dan berpamrih!

Lebih baik kalau kita mengamati diri sendiri dan melihat adanya kepalsuan-kepalsuan dalam kebaikan kita ini. Karena hanya dengan pengamatan yang mendalam dan menyeluruh maka terjadi perubahan, terjadi penghentian segala yang palsu itu. Dan kalau sudah tiada keinginan untuk memperoleh pahala, kalau sudah tidak ada keinginan menjadi orang baik, maka semua perbuatan kita adalah wajar! Bukan baik buruk lagi, melainkan wajar.

Dan tentu saja kewajaran ini merupakan pencerminan dari pada kepribadian kita. Kalau pribadi sudah bersih dari pada segala macam debu kekotoran berbentuk keinginan-keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, maka yang tinggal hanya kewajaran di mana sinar cinta kasih dan kebaikan akan menerangi semua perbuatan itu.

Karena itu, bukankah jauh lebih baik kalau pelajaran berupa keinginan menjadi orang baik ini dirubah dalam kehidupan anak-anak kita, dirubah menjadi pengamatan terhadap kepalsuan-kepalsuan diri sendiri tiap saat? Agar kebaikan dan cinta kasih menyinarkan cahayanya secara wajar dengan pembersihan diri dari dalam?

Pada saat Siu Kwi mengajukan pertanyaan itu kepada Bi Lan, gadis ini lalu menjawab dengan wajah gembira. "Memang kami bertemu denganmu hanya karena kebetulan saja, suci. Aku sedang melakukan perjalanan ke utara, ke gurun pasir untuk mencari suhu dan subo."

"Perdekar Naga Sakti Gurun Pasir ?" tanya Siu Kwi dan suaranya mengandung rasa kekaguman. Pernah ia sebagai Bi-kwi, bertemu dengan mereka dan merasakan sendiri kesaktian mereka yang menggiriskan.

"Benar, suci. Aku hendak mengembalikan pedang Ban-tok-kiam milik subo ini. Sedang Sim-toako ini berbaik hati untuk mengantarku ke sana. Di dalam perjalanan, ketika kami tiba di hutan itu, kami mendengar tangismu dan sungguh kebetulan sekali kita dapat saling bertemu di sana."

Siu Kwi menarik napas panjang. "Memang di dunia ini terjadi banyak sekali peristiwa secara kebetulan saja. Baru kini aku dapat menyadari betapa besar kekuasaan Thian yang seolah-olah sudah mengatur segala yang nampak dan tidak nampak dalam alam semesta ini. Pertemuan dengan Jin-ko juga hal yang kebetulan saja."

Sim Houw mengangguk-angguk. "Memang tepat sekali apa yang baru dikatakan oleh Ciong-lihiap. Nampaknya saja kebetulan karena tadinya kita tak tahu sama sekali, tapi sesungguhnya sudah ada garisnya sendiri-sendiri. Baik buruknya garis itu sepenuhnya berada dalam tangan kita masing-masing, karena hal-hal yang nampaknya tidak ada hubungan sama sekali itu sebenarnya masih berupa suatu rangkaian yang tergantung dari keadaan kehidupan kita sendiri, yang ditentukan oleh kita sendiri dengan segala ulah kita."

Siu Kwi menghela napas panjang. "Ah, betapa menariknya mempelajari soal kehidupan. Dulu, aku sama sekali tak peduli akan sebab akibat, tak peduli akan isi kehidupanku..."
"Sudahlah, suci, kita tadi berjanji akan meninggalkan masa lalu. Sekarang, apa yang akan kalian lakukan dan ke mana kalian hendak pergi?"

Siu Kwi memandang kepada Yo Jin yang juga sedang menatap wajahnya di bawah sinar api unggun. Wajah Siu Kwi nampak cantik dan manis luar biasa dalam pandangan mata Yo Jin. Dua pasang mata itu bertemu dan meski pun mulut mereka diam saja, namun mereka seperti saling mengenal isi hati masing-masing dan sudah mengadakan persetujuan dengan pandang mata mereka.

"Aahh, kami... akan memulai suatu kehidupan baru, sumoi. Aku akan meninggalkan seluruh kehidupan lama yang pernah kulalui dengan segala kekerasannya, melupakan segala-galanya dan belajar menjadi seorang isteri yang baik dan setia, dan kalau Thian menaruh kasihan kepada seorang seperti aku, aku ingin menjadi seorang ibu yang bijaksana bagi anak-anak kami. Kami akan pergi dan tinggal di sebuah dusun yang jauh dan baru, dan aku... ahh, maaf Jin-ko, aku lupa belum minta persetujuanmu dalam hal ini..."

Yo Jin tersenyum, memandang dengan sinar mata mengandung penuh kasih sayang dan pengertian. "Aku setuju saja dengan rencanamu, Kwi-moi. Memang sebaiknya kita pergi jauh dari sini untuk melupakan hal-hal lalu dan agar jangan terjadi lagi hal-hal yang buruk."

Malam itu dilewatkan oleh empat orang muda ini dengan bercakap-cakap dan baik Bi Lan mau pun Sim Houw diam-diam merasa heran, kagum dan juga girang sekali melihat betapa sikap Siu Kwi yang dulu terkenal dengan julukan Bi-kwi (Setan Cantik) berubah sama sekali! Sinar matanya yang menjadi lembut penuh kasih sayang, terutama kalau ditujukan pada Yo Jin, suaranya yang menjadi halus merdu dan bebas dari kebencian, gerak-geriknya, pendeknya orang akan pangling dan tidak mengenalnya lagi sebagai Siu Kwi beberapa bulan yang lalu!

Sudah lajim di antara kita manusia, perbuatan sesat mendatangkan akibat yang buruk bagi kita sendiri, dan kalau sudah demikian, timbul penyesalan dan janji bertobat di mulut atau di hati. Akan tetapi, bertobat seperti ini sering kali tidak ada hasilnya sama sekali dan tak lama kemudian kita akan terjerumus lagi ke dalam kesesatan yang sama!

Kesesatan dilakukan orang karena orang ingin meneguk kesenangan dari perbuatan itu dan bertobat karena penyesalan setelah timbul akibat buruk bagi diri sendiri bukanlah bertobat yang sesungguhnya lagi. Tobat macam ini tak akan bertahan lama, dan setelah penyesalan sebagai akibat buruk itu menipis. rasa bertobat pun ikut pula menipis dan tidak lama kemudian, daya tarik untuk meneguk kesenangan kembali mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang sama.

Seperti orang minum arak. Kalau kemudian mabok dan sakit-sakit seluruh badan, mulut dan hati menyatakan bertobat tidak akan minum arak lagi. Akan tetapi, setelah rasa sakit-sakit itu hilang, kita akan lupa karena membayangkan enak dan nikmatnya minum arak, dan kita pun minum lagi. Demikian seterusnya seperti lingkaran setan yang tidak pernah putus.

Yang penting bukanlah bertobat karena menyesal menerima akibat buruk, melainkan pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat. Pengamatan ini akan mendatangkan kesadaran dan kebijaksanaan, dan pengamatan ini akan merubah diri seketika, saat demi saat, sehingga tidak terjadi pengulangan-pengulangan.

Kebaikan bukanlah suatu yang menjadi kebiasaan, melainkan harus dihayati detik demi detik dengan pengamatan terhadap diri sendiri. Yang penting itu membersihkan diri dari kotoran, bukan keinginan untuk bersih. Keinginan untuk bersih saja tidak membuat kotoran menjadi lenyap. Kalau kotoran sudah lenyap, untuk apa ingin menjadi bersih?

Sesal dan tobat pun tidak ada kalau segala perbuatan kita didasari cinta kasih, bukan lagi menjadi pelaksanaan dari keinginan untuk mengejar dan memperoleh kesenangan, karena perbuatan didasari cinta kasih ini tanpa pamrih sehingga apa pun yang menjadi akibat dari perbuatan ini tidak akan menimbulkan penyesalan apa pun.

Pada esok harinya, pagi-pagi sekali, Bi Lan dan Sim Houw berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka. Siu Kwi menggandeng tangan Bi Lan dan diajaknya sumoi-nya itu agak menjauh dari Sim Houw dan Yo Jin karena dia ingin bicara empat mata dengan sumoi-nya itu. Setelah berada cukup jauh sehingga percakapan mereka tidak akan terdengar orang lain, Siu Kwi lalu merangkul adik seperguruannya.

"Sumoi, aku mengucapkan selamat kepadamu!"
"Ehh, untuk apa, suci?"
"Engkau telah memperoleh seorang pacar yang pilihan! Aku ikut merasa girang, adikku. Sim-taihiap adalah seorang pria pilihan yang amat mengagumkan hatiku. Engkau tentu beruntung sekali!"

Wajah Bi Lan berubah merah. Heran ia mengapa suci-nya dapat menduga dengan tepat bahwa ia memang diam-diam jatuh cinta sampai ke ujung rambutnya kepada Sim Houw! Akan tetapi, mengingat sikap Sim Houw yang tidak pernah menyatakan cintanya, dia menjadi sedih dan menarik napas panjang.

"Aihh, aku tidak seberuntung engkau, suci."
"Ehh? Salahkah rabaanku bahwa engkau mencinta Sim-taihiap?"

Bi Lan langsung tertunduk dan wajahnya merona merah, sementara pada bibirnya yang memang sudah berwarna merah merekah senyuman manis. Perubahan ini tidak lepas dari pengawasan Siu Kwi, akan tetapi segera alisnya berkerut ketika melihat senyum di bibir sumoi-nya pelan-pelan memudar.

“Ehh? Apakah yang terjadi, sumoi-ku yang jelita?”

Seperti tanpa semangat dan hanya bicara untuk dirinya sendiri, terdengar suara lirih dari bibir Bi Lan, “Aku memang jatuh cinta padanya, tapi agaknya dia hanya menganggapku sebagai adiknya saja…, atau bahkan… kawan biasa…”
“Apa? Dari mana kau punya pikiran itu? Apakah dia pernah menyatakan demikian?” Siu Kwi bertanya karena penasaran. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman, dia dapat melihat mata Sim Houw yang penuh dengan cinta kasih setiap kali menatap sumoi-nya.
“Sim-toako tidak pernah berkata begitu, tapi… tetapi dia juga tidak pernah menyatakan cintanya kepadaku,” Bi Lan menjawab, masih terdengar lirih tanpa semangat.

Siu Kwi tertawa dan merangkul sumoi-nya. "Anak bodoh! Tanpa pengakuan mulut pun, apakah engkau tidak dapat mengerti dan melihatnya? Aku sudah melihat dengan jelas sekali betapa Sim-taihiap amat mencintamu!"

"Ehhh...?" Bi Lan terbelalak memandang wajah suci-nya penuh selidik.
"Percayalah, sumoi. Dia amat mencintamu, dan mungkin dia terlalu rendah hati untuk membuat pengakuan. Akan tetapi aku yakin bahwa dia cinta padamu, jelas nampak dalam pandang matanya kepadamu, suaranya, dan sikapnya. Hanya wanita yang buta saja yang tidak akan dapat melihat cintanya kepadamu, sumoi!"

Wajah Bi Lan menjadi semakin merah akan tetapi kini wajah itu berseri dan mulutnya tersenyum manis sekali. Ia percaya akan keterangan suci-nya, karena ia tahu benar bahwa enci-nya adalah orang yang sudah memiliki pengalaman luas dalam menilai pria.

"Terima kasih suci!" Bi Lan merangkul dan mencium pipi suci-nya. Kini wajahnya yang manis nampak berseri penuh kebahagiaan. "Keteranganmu itu sungguh amat berharga, mendatangkan cahaya yang menerangi seluruh hati dan perasaanku. Terima kasih!"

Pada saat mereka berangkulan ini, terasa oleh masing-masing betapa keduanya saling mengasihi dan menyayang seperti kakak beradik sendiri saja. Dan Siu Kwi tidak dapat menahan air mata yang membasahi sepasang matanya ketika melihat Bi Lan pergi bersama Sim Houw. Akan tetapi, ketika ia merasa ada tangan menyentuh pundaknya dengan lembut. Ia pun membalik dan merangkul Yo Jin, menyembunyikan mukanya di dada pria yang dicintanya itu.

Cinta asmara memang hebat, kuasanya terhadap perasaan manusia amat besarnya sehingga cinta asmara mampu mendatangkan sorga atau pun neraka dalam kehidupan seseorang. Luar biasa.....

********************
Mereka menemukan sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi di lereng bukit itu. Sudah hampir dua pekan mereka berpisah dari Siu Kwi dan Yo Jin dan kini mereka sudah tiba di deretan bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya dan yang nampaknya tak pernah habis itu, gunung-gunung besar kecil yang bertaburan di sepanjang perbatasan sebelah utara.

Tembok Besar nampak seperti seekor naga yang berlika-liku dan naik turun bukit-bukit dan gunung-gunung, amat indah dan megahnya. Mereka belum lagi melewati Tembok Besar yang sudah nampak jauh di utara dari tempat mereka berhenti untuk melewatkan malam.

Setelah makan malam dan membersihkan diri di sumber air di belakang kuil tua, makan yang cukup lezat walau pun yang mereka makan hanyalah bekal roti dan daging kering bersama air jernih, karena perut lapar dan tubuh lelah, Bi Lan dan Sim Houw duduk di ruangan belakang kuil tua itu. Ruangan itu merupakan bagian yang masih paling baik di antara bagian lain yang sudah rusak dan banyak yang sudah runtuh. Mereka sore tadi sudah membersihkan tempat itu sehingga enak untuk dipakai beristirahat. Sim Houw sudah mengumpulkan kayu bakar yang diambilnya dari dalam hutan, ditumpuk di situ untuk dipakai malam nanti, pengusir nyamuk dan hawa dingin.

Setelah menumpuk beberapa potong kayu bakar, Bi Lan lalu membuat api dan sebentar saja ruang yang tadinya sudah mulai gelap itu menjadi terang kemerahan dan hawanya yang tadinya dingin menjadi hangat. Hal ini mendatangkan perasaan gembira di hati Bi Lan.

Ia memandang wajah Sim Houw yang juga duduk di dekat api unggun di depannya. Memandang sampai lama jarang berkedip, mulutnya tersenyum seperti orang sedang mengejek.

Tadinya Sim Houw tidak menyangka sesuatu pun karena selama melakukan perjalanan bersama dara ini, hubungan mereka akrab dan setiap hari entah berapa puluh kali dia melihat dara yang memang lincah jenaka ini tersenyum. Dan memang wajah itu paling manis kalau tersenyum, muncul lesung pipit di kanan kiri mulutnya.

Namun ketika melihat bahwa dara itu menatap sejak tadi hampir tak pernah berkedip, dia pun merasa canggung dan kikuk sekali, menjadi salah tingkah. Ingin mengalihkan pandang mata, merasa sayang karena pada saat itu wajah Bi Lan nampak cantik jelita dan manis seperti wajah seorang bidadari dalam dongeng, akan tetapi kalau dipandang terus dia merasa malu dan khawatir kalau dianggap kurang sopan.

Dicobanya mengalihkan perhatian dengan menambah kayu bakar pada api unggun, akan tetapi karena matanya tidak mau diajak pindah, dia tidak melihat bahwa tangannya terjilat api.

"Uhhh...!" Dia menarik tangannya. Untung dia bertindak cepat dan dua jari tangannya hanya terjilat dan terasa panas saja, belum sampai melepuh.
"Ehh, kau kenapa, Sim-koko? Tanganmu terbakar?' tanya Bi Lan kaget dan cepat ia menangkap lengan kiri pemuda itu untuk diperiksa.
“Ahh, hanya terjilat sedikit, tidak terluka..."

Bi Lan merasa lega melihat bahwa tangan itu tidak melepuh, hanya hangus sedikit.

"Sakitkah, koko?"

Melihat kesungguhan sikap Bi Lan yang amat memperhatikan dan mengkhawatirkan tangannya itu, diam-diam Sim Houw merasa gembira sekali. Tetapi dia menggelengkan kepalanya dan dengan lembut menarik kembali tangannya karena dia merasa malu diperlakukan seperti anak kecil oleh Bi Lan. "Tidak, Lan-moi, hanya panas sedikit saja. Salahku sendiri kurang hati-hati."

Hening sampai agak lama. Sim Houw kini menunduk dan dia masih merasa bahwa gadis itu terus memandangnya, seolah-olah terasa olehnya sinar mata yang hangat itu menatapnya.

"Sim-koko, ada satu hal yang sudah lama menjadi pertanyaan bagiku dan ingin sekali aku mendengar jawabannya secara terus terang darimu."

Sim Houw mengangkat mukanya dan memandang dengan penuh keheranan, dan sinar matanya menyelidiki wajah dara itu seperti hendak menjenguk isi hatinya. "Pertanyaan apakah itu, Lan-moi?"
"Sim-ko, perjalanan menuju ke Istana Gurun Pasir merupakan perjalanan yang amat jauh, sukar dan berbahaya, bukankah begitu?"

Sim Houw mengangguk-angguk. "Benar sekali, Lan-moi, dan juga amat jauhnya."
"Nah, inilah yang membuat aku terheran-heran dan tiada habisnya kupikirkan. Kenapa engkau bersusah payah mengantar aku ke sana, Sim-ko? Perjalanan ini mengandung resiko, berbahaya dan sukar, kenapa engkau yang bukan apa-apa denganku, berani mengambil resiko dan mengantarkan aku? Kenapa, Sim-ko?"

Mendengar pertanyaan ini dan melihat betapa sinar mata dara itu memandang padanya dengan amat tajam penuh selidik, wajah Sim Houw berubah merah. Untung sinar api unggun itu juga berwarna merah sehingga menyembunyikan kemerahan mukanya, dan dia pun menundukkan muka memandangi api unggun, seakan-akan hendak mencari jawabannya dari nyala api itu.

"Bagaimana, Sim-ko? Jawablah dengan terus terang," kata Bi Lan dan gadis ini yang sudah tahu dari Siu Kwi bahwa pemuda ini sebenarnya cinta kepadanya, memandang dengan hati tegang akan tetapi juga dengan senyum simpul melihat sikap Sim Houw yang seperti orang kebingungan dan canggung.

Akhirnya Sim Houw menarik napas panjang. "Kenapa hal itu saja perlu kau tanyakan, Lan-moi? Bukankah sudah jelas bahwa kita adalah sahabat baik? Kita sudah banyak mengalami hal-hal yang berbahaya bersama, bahkan sudah bersama-sama terancam bahaya maut. Karena engkau seorang gadis, tentu saja aku tidak ingin membiarkan engkau seorang diri mencari Istana Gurun Pasir yang sedemikian jauhnya, melakukan perjalanan yang demikian berbahaya seorang diri saja. Karena itulah aku mengantarmu, Lan-moi."

"Akan tetapi,... perjalanan ini selain sukar juga mempertaruhkan nyawa! Engkau tentu memiliki banyak sahabat, apakah terhadap semua sahabatmu engkau akan melakukan hal yang sama? Aku pun mempunyai banyak sahabat, akan tetapi kiranya selain engkau tidak akan ada yang mau melakukan perjalanan berbahaya ini untuk mengantar aku. Alasan bersahabat itu kurang meyakinkan hatiku, Sim-ko!"
"Akan tetapi kita bukan sahabat biasa, Lan-moi, melainkan sahabat yang sangat baik! Melebihi saudara sendiri. Pendeknya, aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya dan aku... aku siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu..."

Bukan main girang dan terharu rasa hati Bi Lan. Jelas sudah jawaban itu membuktikan kebenaran keterangan Siu Kwi. Perdekar ini cinta padanya. Akan tetapi ia belum puas. Kenapa tidak secara langsung saja Sim Houw menyatakan cinta padanya? Bagaimana pun juga, tidak baik kalau dia terlalu mendesak, dan dia pun tersenyum manis, dengan penuh keyakinan bahwa senyumnya menciptakan lesung pipit yang tidak pernah gagal mendatangkan sinar kagum dalam sepasang mata pendekar itu.

Ia tidak sadar bahwa malam ini, ditimpa sinar api unggun, senyumnya amat istimewa, membuat Sim Houw terpesona. Pendekar ini terpaksa menundukkan pandang matanya untuk menenangkan hatinya yang terguncang oleh kekaguman.

"Kalau begitu, terima kasih atas kebaikan hatimu, Sim-ko."

Hening lagi sejenak. Sim Houw termenung memandang nyala api unggun. Bi Lan yang termenung, kadang-kadang mengangkat muka dan memandang wajah orang muda itu. Bukan seorang pemuda remaja lagi. Akan tetapi juga bukanlah seorang kakek tua, melainkan wajah seorang laki-laki. Seorang jantan yang sudah matang, dengan wajah memperlihatkan garis-garis pengalaman dan kepahitan hidup.

"Sim-ko..."
"Hemmm...?" Sim Houw sadar dari lamunan dan menatap wajah Bi Lan.

Sesaat pandang mata mereka bertemu, bertaut dan kini Bi Lan yang menundukkan pandang matanya, merenung ke arah nyala api.

"Sim-ko," katanya lirih, tetap merenung ke arah api unggun seolah-olah ia bicara kepada api. "Engkau pernah mencinta seorang wanita namun gagal karena dia mencinta pria lain. Sakitkah hatimu, Sim-ko?"

Sim Houw menatap wajah itu penuh selidik, namun tetap saja dia tidak tahu ke mana arah angin pertanyaan dara itu. Dia mengerutkan alisnya dan menjawab dengan tegas. "Sakit hati? Ah, tidak sama sekali, Lan-moi. Kenapa aku harus sakit hati? Ia mencinta pria lain yang lebih baik dari pada aku dan ia hidup berbahagia. Tidak ada alasan bagiku untuk sakit hati."

"Maksudku bukan sakit hati dan menaruh dendam, Sim-ko. Akan tetapi, apakah engkau tidak patah hati, tidak putus asa dan menderita sakit dalam dirimu?"

Sim Houw tersenyum dan memandang gadis itu yang kini juga menatapnya. Heran dia mendengar pertanyaan itu dan ia pun menggelengkan kepalanya dengan pasti. "Tidak, Lan-moi. Patah hati dan putus asa hanya dilakukan oleh orang yang lemah. Apa pun yang terjadi di dalam hidup, suka mau pun duka hanyalah bagaimana kita menilainya saja. Duka hanyalah gambaran iba hati yang berlebihan. Segala macam peristiwa hidup harus kita hadapi dengan tabah dan ikhlas, tanpa keluhan."

"Tapi... tapi... apakah kegagalan cinta itu tidak membuat engkau jera, Sim-ko?"
"Jera bagaimana maksudmu?"
"Jera dan tidak berani untuk jatuh cinta kembali."
"Cinta tidak pernah gagal, Lan-moi. Perjodohan bisa saja putus dan gagal. Akan tetapi cinta? Kurasa cinta itu abadi, Lan-moi."

Bi Lan memandang bingung, tidak mengerti. "Akan tetapi... apakah semenjak engkau gagal... ehhh, maksudku semenjak hubungan cintamu dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri Suma Ceng Liong itu engkau pernah jatuh cinta lagi dengan seorang gadis lain?"

Sim Houw tersenyum, sampai lama tidak dapat menjawab. Memang harus diakuinya bahwa semenjak berpisah dari Kam Bi Eng yang memilih Suma Ceng Liong sebagai jodohnya, dia tidak pernah lagi jatuh cinta, sampai sekarang, karena dia tahu benar bahwa dia jatuh cinta kepada Bi Lan! Akan tetapi untuk mengakui cintanya, dia merasa sungkan dan segan, khawatir kalau-kalau hal itu akan menyinggung perasaan Bi Lan dan juga dia merasa ngeri kalau-kalau hal itu akan memisahkan dia dengan gadis ini.

"Aku sudah tua sekarang, Lan-moi. Siapakah yang begitu bodoh mau menaruh hati kepadaku?" jawabnya menyimpang.

Tiba-tiba Bi Lan tertawa, menutupi mulutnya.
"Hi-hi-hik," Ia seperti mengajak bicara kepada nyala api unggun karena ia memandang kepada api itu, "coba dengarkan keluhan kakek tua renta ini, menyesali kehidupannya yang tua renta dan sepi. Kasihan sekali dia...!"
"Lan-moi, sudahlah jangan goda aku. Kita bicara urusan lain saja..."
"Aku justru ingin bicara tentang cintamu, Sim-ko."

Sim Houw menarik napas panjang dan dia sungguh tak mengerti akan sikap dan watak gadis ini yang kini begitu tiba-tiba bicara tentang hal yang bukan-bukan!

"Sesukamulah, Lan-moi."
"Kau marah...?"

Sim Houw tersenyum dan memandang dengan wajah berseri. Bagaimana mungkin dia mampu marah kepada dara ini, dara yang dicintanya? Pertanyaan yang aneh-aneh itu merupakan satu di antara keistimewaan Bi Lan, yang demikian lincah dan penuh gairah hidup.

"Tidak, Lan-moi. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah marah kepadamu."
"Kenapa?" Tiba-tiba dara itu mendesak.
"Karena... karena engkau tidak pernah bersalah, engkau wajar dan lincah gembira..."

Kembali Bi Lan mengerutkan alisnya. Sukar benar pria ini mengakui cintanya, pikirnya penasaran.
"Jadi selama ini, sejak engkau berpisah dan gagal dalam hubunganmu yang pertama dengan wanita yang kau cinta, engkau tidak pernah jatuh cinta lagi, Sim-ko?"

Sim Houw tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala, dan tiba-tiba dia memegang tangan Bi Lan, menariknya dengan sentakan keras sehingga dara itu terlempar ke arahnya melalui atas api unggun.

Tentu saja Bi Lan terkejut bukan main, akan tetapi Sim Houw segera memberi isyarat dengan tangannya. Kiranya seekor ular sebesar kelingking, tetapi panjangnya lebih dari dua kaki, telah berada di atas lantai di mana Bi Lan duduk. Ular itu adalah seekor ular berbisa yang amat berbahaya. Dengan sekali menggerakkan tangannya, jari tangan Sim Houw mengetuk ke arah kepala ular yang diangkat tegak. Ular tu terlempar ke dalam api unggun dan berkelojotan.

"Mari...!" kata Sim Houw sambil menyambar tangan Bi Lan dan juga buntalan mereka dan mengajak gadis itu meloncat ke luar kuil dengan gerakan cepat.

Kembali Bi Lan terkejut, akan tetapi hilanglah rasa kagetnya ketika mereka tiba di luar dan ia melihat bahwa di luar kuil telah berdiri belasan orang! Tahulah kini Bi Lan bahwa munculnya ular berbisa tadi pun tidak wajar, melainkan dimunculkan dengan sengaja oleh seorang di antara belasan orang ini untuk menyerangnya. Dan melihat bahwa di antara mereka terdapat orang-orang berpakaian seperti pendeta, ia pun dapat menduga bahwa tentu mereka ini orang-orang Pek-lian-kauw atau Pat-kwa-kauw.....

Dugaannya memang tidak keliru. Di bawah penerangan empat buah obor besar yang dipegang oleh empat orang di antara mereka, ia dapat melihat gambar teratai putih dan segi delapan di dada baju para pendeta itu. Jelas bahwa kedatangan mereka ini tentu ada hubungannya dengan dua orang pendeta, yaitu Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin yang telah ia kalahkan bersama Sim Houw.

"Kalian semua tentulah siluman-siluman dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw!" Bi Lan membentak marah. "Siapakah di antara kalian yang tadi melepas ular berbisa?"

Seorang di antara tiga belas orang itu adalah seorang kakek bongkok yang mukanya buruk sekali, seperti monyet karena kecilnya muka itu, hidungnya pesek dan matanya juga sangat kecil. Tubuhnya yang kecil pendek dan bongkok itu dibungkus jubah dan melihat gambar bunga teratai di dadanya, jelas dapat diketahui bahwa dia merupakan seorang pendeta Pek-lian-kauw.

Mendengar pertanyaan Bi Lan, kakek bongkok ini terkekeh dan suara ketawanya juga lucu dan tidak lumrah seperti tubuhnya karena yang kemudian terdengar hanya suara "kek-kek-kek-kek!" seperti leher dicekik dan tubuhnya terguncang-guncang semua.

"Heh-heh-heh!" Suara tercekik-cekik itu disusul kekeh mengejek.

Dia pun menggurat-gurat tanah di depan kakinya dengan ujung tongkatnya. Tongkat itu berwarna hijau dan bentuknya seperti ular, dan memang tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular besar yang panjangnya tidak kurang dari lima kaki, warnanya hijau dan anehnya, kadang-kadang ular itu dapat menjadi kaku seperti ketika ekornya digurat-guratkan pada tanah tadi.

"Akulah yang mengirim ular tadi untuk berkenalan denganmu, nona."
"Kakek iblis jahanam!" bentak Bi Lan dan ia pun sudah menerjang ke depan, mengirim pukulan dengan tamparan tangan kanannya ke arah kepala kakek bongkok itu.

Ia menjadi amat marah sebab dengan mengirim ular berbisa tadi, berarti kakek ini ingin membunuhnya secara keji sekali. Maka, kini ia pun langsung saja menyerang dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan karena ia ingat bahwa kakek ini adalah seorang ahli ular berbisa, maka ia pun menggunakan ilmu yang sama kejamnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun)!

Pukulan dengan ilmu ini memang sangat dahsyat. Ilmu ini dipelajari oleh Bi Lan dari nenek Wan Ceng, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka selain amat kuat, juga mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali.

Kakek bongkok itu berjuluk Coa-ong Sengjin, berusia enam puluh lima tahun dan dia masih terhitung sute dari Thian Kek Sengjin. Biar pun dalam hal ilmu silat dan ilmu sihir tingkatnya tidak melebihi tingkat Thian Kek Sengjin, akan tetapi kakek ini memiliki suatu kelebihan. Sesuai dengan julukannya, yaitu Coa-ong (Raja Ular), dia adalah seorang pawang ular yang pandai.

Maka, ketika belasan orang ini, atas pemberi tahuan Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin yang terluka parah oleh Sim Houw dan Bi Lan, mengejar dan mendapatkan dua orang itu, Coa-ong Sengjin segera mengirim seekor ular berbisa yang nyaris menggigit Bi Lan. Pada hal, andai kata Sim Houw tidak menariknya sehingga gadis itu terhindar dari gigitan ular, bagi Bi Lan tidaklah terlalu berbahaya jika ia sampai digigit ular berbisa. Ia telah mewarisi ilmu Ban-tok Ciang-hoat, dan ia telah menerima pelajaran tentang racun-racun dari nenek Wan Ceng sehingga gigitan beracun tentu tidak akan mencelakainya.

Melihat betapa gadis itu dapat lolos dari ‘kiriman’ ular, Coa-ong Sengjin maklum bahwa gadis itu dan temannya yang berjuluk Pendekar Suling Naga merupakan dua orang lawan yang tangguh. Apa lagi melihat keadaan Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin yang terluka parah. Maka, kini melihat gadis itu menyerangnya dengan tamparan yang cepat dan kuat, Coa-ong Sengjin juga mengerahkan tenaganya, tangan kirinya menyambut tamparan itu sedangkan tangan kanannya yang memegang tongkat ular hidup itu menggerakkan ularnya yang menyambar ke depan, ke arah leher Bi Lan!

"Dukkk!"

Dua tangan itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Coa-ong Sengjin tergetar hebat. Dia terkejut sekali, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan ular di tangan kanan.

Melihat ular yang menyambar ke arah lehernya, Bi Lan sama sekali tak merasa gentar. Ia menggerakkan tangan kirinya untuk menangkap leher atau kepala ular supaya dapat dicengkeram hancur. Untungnya kalau memiliki tongkat hidup, ular itu agaknya memiliki indera yang sangat tajam dan dapat mengelak dengan menarik lehernya ke belakang, melengkung dan mulutnya mendesis-desis mengeluarkan uap beracun.

Biar pun tidak takut terhadap uap beracun itu, Bi Lan maklum bahwa setidaknya, kalau kulit terkena semburan uap itu, tentu akan gatal-gatal, maka ia pun cepat meloncat ke belakang. Coa-ong Sengjin tidak berani memandang rendah setelah tadi pertemuan tangan dengan gadis muda itu membuat tubuhnya tergetar dan terhuyung. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat!

Sementara itu, Sim Houw tidak menghendaki Bi Lan untuk tergesa-gesa menyerang musuh yang banyak jumlahnya. Ia dapat melihat bahwa lima orang berpakaian pendeta yang berdiri di depannya itu bukanlah orang-orang lemah. Dengan sikap tenang dia lalu melangkah maju.

"Cu-wi totiang (para bapak pendeta), ada keperluan apakah cuwi malam-malam datang mengganggu kami yang sedang beristirahat melewatkan malam di kuil tua ini?"
"Siancai!" Seorang tosu yang kelihatannya sudah amat tua renta karena rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, usianya tentu lebih dari tujuh puluh tahun, sedang memegang sebatang tongkat yang panjang, sama dengan tinggi tubuhnya, mengelus jenggotnya yang putih panjang ketika dia mengeluarkan seruan itu dan dialah yang melangkah maju menghadapi Sim Houw.

Sejenak mereka berdiri saling pandang dan Sim Houw juga mengamati kakek itu penuh perhatian. Seorang kakek yang tua dan nampaknya lemah, namun melihat sikapnya yang berwibawa, pandang matanya yang mencorong, dia pun dapat menduga bahwa tentu kakek yang pada dadanya ada gambar Pat-kwa ini merupakan seorang tokoh dari Pat-kwa-kauw yang bertingkat tinggi.

Dugaan Sim Houw juga tepat karena kakek ini merupakan orang ke dua di perkumpulan Pat-kwa-kauw, menjadi wakil ketua. Nama julukannya adalah Thian Kong Cinjin dan sebagai orang ke dua Pat-kwa-kauw, tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

"Orang muda, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Suling Naga, dan yang dengan semena-mena telah melukai seorang tokoh kami dari Pat-kwa-kauw, dan juga seorang tokoh sahabat kami dari Pek-lian-kauw?"

Agaknya kakek ini memandang rendah kepada Bi Lan, maka dia sama sekali tidak mempedulikan gadis itu, walau pun tadi dia melihat sendiri betapa gadis itu mampu menandingi serangan balasan dari Coa-ong Sengjin.

"Sim-ko, jelas bahwa mereka ini adalah siluman-siluman yang hendak membalaskan kekalahan Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, dua tosu siluman itu!" Bi Lan berseru.
"Benar, totiang," jawab Sim Houw. "Saya bernama Sim Houw dan nona ini adalah Can Bi Lan."

Kakek yang sikapnya halus berwibawa itu mengangguk-angguk. "Benarkah kalian telah melindungi seorang siluman betina dan melukai dua orang rekan kami?"

Sim Houw mengerutkan alis. "Kami berdua membela yang lemah dan benar. Saudara Yo Jin dengan sewenang-wenang ditangkap, bahkan ayahnya dibunuh, karena itu kami membantu tunangannya untuk membebaskannya. Kedua orang totiang Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin bahkan hendak menangkap kami, maka terjadilah perkelahian dan akibatnya mereka berdua terluka. Harap cu-wi totiang memaafkan karena sebenarnya kami sama sekali tidak mencari permusuhan dengan pihak mana pun juga."

"Hemm, enak saja, heh-heh-heh!" kata Coa-ong Sengjin. "Sudah melukai orang sampai menderita luka parah, lalu minta maaf. Kalian tentu orang-orang yang belum lama ini membasmi para pembantu Hou-taijin. Hayo katakan, siapa di antara kalian yang sudah membunuh Kim Hwa Nionio!"

Ditanya demikian oleh si kakek bongkok, Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia tidak merasa heran kalau para tosu Pek-lian-kauw mengenal Kim Hwa Nionio, mungkin ada hubungan baik karena mereka sealiran.

"Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya membantu pembesar durna, maka aku pun membantu para pendekar untuk membersihkan kota raja dari pengaruh mereka. Dalam pertempuran itu, Kim Hwa Nionio memang terbunuh olehku," jawabnya tenang.

Mendengar ini, lima orang tosu itu, dua dari Pat kwa-kauw dan tiga dari Pek-lian-kauw, menjadi amat marah. Bahkan Thian Kong Cinjin yang memimpin rombongan itu nampak marah dan kelembutannya tertutup oleh kemarahan yang membuat mukanya merah dan matanya terbelalak. Patut diketahui bahwa Kim Hwa Nionio di waktu mudanya amat populer di antara para tosu Pek-lian-kauw dan menjadi sahabat baik mereka.

"Hemm, kiranya yang bernama Suling Naga adalah seorang muda yang sombong dan mudah menjatuhkan tangan maut kepada golongan kami. Sim Houw, Pendekar Suling Naga, sekarang kami datang untuk minta nyawamu guna menebus semua rekan kami yang telah terbunuh atau terluka olehmu!"

"Tidak kelirukah jalan pikiran totiang?" Sim Houw berkata dengan sikap masih tenang sekali. "Semua yang aku lakukan itu bukan berdasarkan permusuhan atau kebencian pribadi, melainkan karena aku membela yang benar dan secara tidak kebetulan sekali yang totiang bela itu berdiri di pihak yang sesat. Jika sekarang totiang hendak membela yang salah, bukankah berarti bahwa totiang juga akan mengambil jalan sesat, tidak sesuai dengan kedudukan totiang sebagai seorang pendeta?"

"Siancai...! Engkau sungguh terlalu sombong, orang muda. Pinto memiliki pandangan dan kebenaran pinto sendiri. Nah, rasakan pembalasan kami!" Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tongkatnya yang panjang dan angin besar menyambar ke arah Sim Houw.

Pemuda itu terkejut dan cepat melompat ke belakang. Tongkat tidak mengenai dirinya, akan tetapi anginnya membuat pakaian dan rambutnya berkibar-kibar. Dia maklum akan kelihaian lawannya ini, maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun cepat menghunus pedang Liong-siauw-kiam yang diputarnya menjadi segulungan sinar yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.

Melihat ini, Bi Lan tidak tinggal diam. Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam dan ia pun turut menerjang maju, yang diterjangnya adalah kakek bongkok yang langsung merasa ngeri sekali melihat pedang di tangan gadis itu.

"Pedang iblis... pedang iblis...!" katanya berkali-kali sambil berloncatan ke sana-sini dan memainkan ular hijau di tangannya untuk mencari peluang memulai serangan.

Tiga orang tosu lainnya sudah mempergunakan senjata mereka masing-masing, yaitu tongkat dan tasbeh untuk mengepung Bi Lan dan Sim Houw. Salah seorang membantu Coa-ong Sengjin dan dua orang membantu Thian Kong Cinjin.

Tingkat kepandaian lima orang itu rata-rata seperti tingkat kepandaian Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, hanya tingkat Thian Kong Cinjin yang paling tinggi. Kakek tua renta ini memang lihai bukan main dan dia merupakan seorang ahli tenaga sinkang yang kuat. Kekuatannya itu masih ditambah dengan kekuatan ilmu hitam sehingga kadang-kadang tongkatnya seperti hidup dan dapat bergerak sendiri!

Menghadapi kakek ini saja Sim Houw harus berhati-hati sekali, apa lagi kakek itu juga dibantu oleh dua orang tosu lain yang lihai pula, maka Sim Houw harus mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Untung di tangannya ada suling Liong-siauw-kiam. Kehebatan permainan pedang suling yang bisa mengeluarkan suara bagaikan orang memainkan lagu dengan suling, membuat tiga orang lawannya gentar dan sukar menembus pertahanan Sim Houw.

Di lain pihak, Bi Lan juga sudah mengamuk dengan pedangnya. Sebenarnya, tingkat kepandaian dua orang pengeroyoknya itu masing-masing sudah lebih tinggi sedikit dari pada tingkatnya, akan tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam, dua orang lawannya juga amat gentar dan berhati-hati sekali menghadapi sambaran sinar pedang yang luar biasa ampuh dan menggiriskan itu.

Thian Kong Cinjin diam-diam merasa kagum akan tetapi juga penasaran sekali. Di situ masih terdapat beberapa orang murid kepala yang merupakan murid-murid terpandai, akan tetapi makin banyak yang mengeroyok akan membuat gerakannya dan kawan-kawannya menjadi kacau dan tidak teratur. Dia pun teringat akan rencana siasatnya sebelum mereka menyerbu.

Melihat kegagahan dua orang muda itu dia pun lalu mengeluarkan suara melengking, yaitu aba-aba rahasia yang hanya dimengerti oleh kawan-kawannya, sesuai dengan siasat yang telah mereka rencanakan. Mendengar aba-aba ini, lima orang tosu itu segera berlompatan mundur dan pada saat itu, tiga buah obor besar tadi tiba-tiba saja dipadamkan! Keadaan menjadi gelap gulita dan diam-diam lima orang tosu yang sudah merencanakan siasat ini, telah membentuk kepungan segi lima! Mereka dapat bergerak di dalam gelap karena memang sudah mereka rencanakan lebih dulu.

Sim Houw dan Bi Lan terkejut bukan main ketika dari keadaan yang terang kini berubah menjadi gelap dan dalam kegelapan itu, tiba-tiba saja ada sambaran-sambaran senjata dari lima penjuru!

Mereka terpaksa memutar pedang dan menangkis hanya mengandalkan pendengaran mereka saja. Akan tetapi karena sambaran senjata-senjata itu datang dengan gencar, dari arah-arah yang tidak terduga sama sekali, maka paha kiri Bi Lan terkena pukulan tongkat, sedangkan punggung Sim Houw juga terkena pukulan tongkat yang cukup keras. Mereka tidak terluka parah namun pukulan-pukulan itu cukup mendatangkan rasa ryeri.

Sim Houw maklum bahwa jika dilanjutkan, dia dan Bi Lan mungkin terluka berat karena ia tahu bahwa lima orang pengeroyok itu telah mengatur siasat untuk bergerak di dalam gelap, gerakan yang sudah diatur semacam barisan. Belum lagi kalau delapan orang yang lain ikut maju mengeroyok!

Ia pun mendapatkan akal. Dengan mengandalkan pendengarannya, ia cepat mendekati dan mengadu punggung dengan Bi Lan, sambil keduanya memutar pedang di depan mereka. Dengan rabaan dan sentuhan lengan kirinya, Sim Houw memberi isyarat dan memegang tangan kiri dara itu sambil berteriak, "Lan-moi, kita bobol kepungan di kiri!"

Sambil berkata demikian, ia menarik gadis itu ke kanan dan bersama gadis itu memutar pedang di arah kanan. Ketika dia berteriak, kelima orang itu tentu saja memusatkan pertahanan di kiri untuk mencegah mereka melarikan diri. Siapa kira, dua orang yang mereka kepung itu malah menyerbu ke kanan, di mana Coa-ong Sengjin berada.

Kakek bongkok ini berusaha memutar tongkat ular hijaunya, tetapi ular itu terpotong menjadi lima potong disambar Ban-tok-kiam dan Liong-siauw-kiam dan ia sendiri cepat melompat mundur kalau tidak ingin terbabat oleh sinar pedang yang berkilauan itu. Sim Houw terus menarik tangan Bi Lan dan keduanya melarikan diri secepatnya setelah berhasil terlepas dari kepungan.

"Kejar mereka!" Thian Kong Cinjin membentak marah.
"Nyalakan obor!"
"Mereka lari ke arah hutan!"

Obor-obor lalu dinyalakan dan tiga belas orang itu melakukan pengejaran. Akan tetapi bayangan dua orang buruan itu telah lenyap. Thian Kong Cinjin tidak kehilangan akal. Dia lalu memecah-mecah rombongannya menjadi tiga. Dia sendiri pergi bersama dua orang, Coa-ong Sengjin bersama empat orang, dan lima orang sisanya menjadi satu bagian. Tiga rombongan ini kemudian melakukan pengejaran dan pencarian dengan cara berpencar, memasuki hutan sambil membawa obor.

Melakukan pengejaran sambil membawa obor merupakan suatu kebodohan. Sim Houw dan Bi Lan yang melarikan diri ke dalam hutan, tentu saja dapat melihat obor mereka dan dua orang ini dapat mengarahkan pelarian mereka menjauhi obor. Bi Lan sedikit terpincang dan Sim Houw juga merasa nyeri pada punggungnya.

Setelah mereka keluar dari dalam hutan, mereka melalui sebuah bukit dan menjelang pagi, keduanya barulah mengaso. Para pengejar tidak nampak lagi. Mereka berhenti di bukit yang berbatu-batu, bersembunyi di antara batu-batu besar untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga sambil mengobati bagian yang memar karena pukulan tongkat.

"Sim-ko, kita belum kalah, tapi mengapa engkau memaksa aku melarikan diri? Kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin kita akan dapat merobohkan dan membunuh seorang dua orang di antara lima ekor monyet itu," Bi Lan yang merasa penasaran mengeluh karena merasa tidak puas. Pahanya terasa nyeri namun dia belum sempat membalas kepada musuh-musuhnya!

"Justru itulah yang tak kukehendaki, Lan-moi. Kalau keadaan terang, aku masih mampu menahan dan memperingatkanmu supaya tidak sembarangan membunuh orang. Akan tetapi setelah gelap, berbahaya sekali bagi kita, juga berbahaya bagi mereka karena jika engkau mengamuk, aku tidak dapat menanggung keselamatan nyawa mereka pula."

"Akan tetapi, Sim-ko. Mereka itu berusaha mati-matian untuk membunuh kita! Kenapa engkau masih tidak setuju kalau kita membunuh mereka? Bukankah mereka itu orang-orang yang jahat?"
"Belum tentu, Lan-moi. Mereka memusuhi Ciong-lihiap suci-mu itu, tentu saja karena mereka masih mengira bahwa suci-mu itu seorang yang jahat dan sesat. Kiranya hanya kita berdua sajalah yang yakin benar bahwa suci-mu kini telah berubah sama sekali, tetapi orang lain belum tentu dapat percaya. Dari pada kesalahan tangan membunuh orang yang tidak berdosa sehingga tertanam benih permusuhan yang tiada kunjung habis, lebih baik kalau kita meloloskan diri."

"Akan tetapi kita melarikan diri! Tentu mereka mentertawakan kita dan menganggap kita pengecut!" Bi Lan membantah dengan penasaran.
"Mereka tidak akan dapat mentertawakan kita, Lan-moi. Mereka sendiri yang telah memperlihatkan sikap pengecut, dengan pengeroyokan dan pemadaman obor."

Bi Lan kemudian teringat akan percakapan mereka tentang cinta sebelum orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu datang menyerbu. Hatinya masih dipenuhi rasa penasaran!

Pria ini boleh jadi mencintanya, seperti yang dikatakan oleh suci-nya. Dan memang, melihat setiap gerak-gerik Sim Houw, caranya melindunginya, pandang matanya, kata-katanya, ia pun percaya bahwa Sim Houw mencintanya. Akan tetapi mengapa dia tidak pernah mengakuinya? Sudah dipancing-pancing dalam percakapan itu, tetap saja Sim Houw pandai mengelak dan mengalihkannya. Tiba-tiba ia memperoleh akal.

"Aduhhhh...!" Ia berteriak dan menggigit bibir, merintih dan kedua tangannya memegang paha kirinya, memijit-mijitnya perlahan, mukanya berkeriput menahan nyeri.

Sim Houw terkejut bukan main dan cepat dia menghampiri. "Kenapa, Lan-moi? Ada apakah dengan kakimu...?" tanyanya penuh was-was.
"Aduhh... Sim-ko, pahaku ini...ahhh, tadi tidak begitu nyeri, akan tetapi sekarang..."
"Sekarang bagaimana, Lan-moi...?" Sim Houw bertanya dan tanpa disadarinya, saking khawatir, dia meraba paha kiri yang dipijit-pijit Bi Lan itu.
"Nyeri sekali... auuhhh, tak tertahankan nyerinya..."
"Lan-moi, biar aku memeriksanya, jangan-jangan ada tulang yang patah atau urat yang terkilir..."
"Ya... cepatlah... aduhhh, pukulan monyet tua bongkok itu keras sekali..."

Sim Houw terpaksa merobek celana di bagian paha kiri dan nampaklah kulit paha yang putih mulus. Dia menggunakan kedua tangannya meraba dan memijit-mijit, memeriksa apakah ada tulang yang patah. Akan tetapi, selain tanda agak biru bekas gebukan, paha itu tidak ada apa-apa, tidak ada tulang yang patah atau urat yang terkilir. Hatinya merasa lega sekali.

"Tidak ada tulang patah dan tidak ada urat terkilir, Lan-moi," katanya.
"Akan tetapi, nyerinya sampai menusuk ke jantung...!" Bi Lan mengaduh.
"Hanya luka memar saja, Lan-moi, akan tetapi mungkin saking kerasnya pukulan, maka menimbulkan rasa nyeri. Biar kuurut sebentar agar jalan darahnya pulih dan luka di bawah kulitnya cepat sembuh."

Mulailah Sim Houw memijit-mijit paha itu. Tadi hatinya gelisah karena mengkhawatirkan gadis itu. Sekarang, setelah dia yakin bahwa paha itu tidak apa-apa, hanya luka memar saja yang biar pun nyeri akan tetapi tidak terlalu berbahaya, barulah dia melihat betapa indahnya paha yang nampak karena kain celananya dirobek itu.

Dia adalah seorang pria yang normal dan sehat. Usianya pun sudah cukup dewasa, bahkan sudah terlalu dewasa. Maka wajarlah kalau gairahnya bangkit ketika dia melihat mulusnya paha Bi Lan, apa lagi kedua tangannya meraba dan memijit bagian tubuh yang nampak indah itu, merasakan kelembutannya, kekenyalannya dan kehangatannya. Mukanya berubah merah, napasnya agak terengah dan sepuluh jari tangannya yang meraba dan memijit itu mulai gemetar.

Bi Lan yang sejak tadi mencurahkan perhatiannya untuk memperhatikan keadaan pria itu, tentu saja dapat mengetahui perubahan ini. Dan diam-diam hatinya merasa gembira sekali dan senyumnya membayang di bibir. Tentu saja paha kirinya terasa nyeri, akan tetapi tidaklah separah yang diperlihatkannya. Melihat keadaan Sim Houw, jantungnya berdebar dan kini pijitan jari-jari tangan Sim Houw itu terasa lain, membuatnya berdebar dan terangsang.

"Ahh, enak sekali, Sim-ko, nyerinya hilang. Terima kasih..."
"Tak perlu berterima kasih, Lan-moi. Dan syukurlah kalau pijitanku menolong," kata Sim Houw yang berusaha keras untuk menekan gejolak perasaannya.
"Sim-ko, aku melanjutkan percakapan kita malam tadi. Apakah sampai sekarang engkau masih belum jatuh cinta kepada seorang wanita? Apakah engkau masih belum berani mengaku cinta kepada wanita lain setelah pengalamanmu yang pahit itu?"

Ditanya begini, kedua tangan Sim Houw semakin gemetar sehingga dia menghentikan pijitannya. Sudah berada di ujung bibirnya untuk mengaku cinta kepada Bi Lan, namun ditahannya.
"Aku... aku..."

Saking bingungnya, tak tahu harus berkata apa, dia kembali menggunakan sepuluh jari tangannya memijati paha yang nyeri itu.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tak tahu malu...!"
Baik Sim Houw mau pun Bi Lan terkejut bukan main. Sim Houw cepat menarik kedua tangannya, sementara Bi Lan segera menutupkan bagian celana yang terbuka di paha, dan keduanya meloncat bangun dan membalikkan tubuh.

Kiranya di situ telah berdiri dua orang laki-laki dan melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Gu Hong Beng yang berdiri terbelalak dengan mata berapi dan bertolak pinggang, Bi Lan teringat akan penglihatan tadi dan mukanya menjadi merah sekali.

Terbayang kembali peristiwa beberapa waktu yang lalu. Pernah ia terluka dan Cu Kun Tek mengobati pinggangnya, hampir sama seperti yang dilakukan Sim Houw tadi, hanya bedanya kalau Kun Tek meraba pinggangnya, Sim Houw meraba pahanya. Ketika itu, Hong Beng muncul dan pemuda yang cemburu ini langsung saja menyerang Kun Tek karena menyangka mereka berbuat cabul!

Dan kini, tiba-tiba Hong Beng muncul dan mendengar seruannya tadi yang mengatakan mereka tidak tahu malu dia pun tahu bahwa kembali Hong Beng cemburu dan salah sangka! Maka, ia pun menjadi marah. Dengan muka merah dan mata berapi-api, ia pun melangkah maju.

"Gu Hong Beng, engkaulah laki-laki yang tak tahu malu!" ia membentak dengan marah sekali. "Selalu mencampuri urusan orang dan menjatuhkan fitnah, menuduh orang yang bukan-bukan karena cemburu. Sungguh tak tahu malu, cinta tidak dibalas lalu berubah menjadi cemburu gila!"

Wajah Hong Beng menjadi merah, bukan hanya karena marah akan tetapi juga karena malu. Ucapan itu memang tepat bukan main, seperti ujung pedang yang menusuk dan menembus jantungnya. Karena tepat itulah maka mendatangkan rasa nyeri yang lebih hebat lagi.

Memang ia cemburu, ia iri terhadap Sim Houw. Kenapa Bi Lan demikian akrab dengan Sim Houw? Mungkinkah dara itu, yang menolak cintanya, kini jatuh cinta kepada Sim Houw? Aneh, pikirnya. Dalam segala hal, kecuali barangkali dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah oleh Sim Houw. Dia lebih muda, sebaya dengan Bi Lan, juga cukup tampan! Sim Houw terlalu tua untuk Bi Lan. Hal ini membuat dia menjadi semakin penasaran.

Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab lagi. Sim Houw yang sudah mengenal Hong Beng sebagai seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa, bahkan dia mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es, cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Hong Beng dan pria yang usianya kurang dari empat puluh tahun dan nampak pendiam dan serius itu.

"Saudara Gu Hong Beng, harap jangan salah sangka terhadap nona Can Bi Lan. Kami semalam berkelahi melawan musuh-musuh yang lihai dan nona Can terkena pukulan pada paha kirinya. Kami beristirahat di sini dan aku hanya berusaha menghilangkan rasa yeri yang dideritanya karena luka memar di pahanya."

"Aku tidak mempersoalkan itu!" Gu Hong Beng juga membentak dengan suara tetap ketus. "Akan tetapi kalian sungguh tidak tahu malu telah mengambil jalan sesat dan membantu, juga melindungi iblis betina Bi-kwi murid Sam Kwi! Sekarang kami datang untuk minta supaya kalian memberi tahu kepada kami di mana tempat persembunyian Bi-kwi agar kami dapat membasminya!"

Bi Lan amat marah mendengar ini. "Hong Beng, tutup mulutmu yang kotor! Kami berdua memang membela dan melindungi suci Ciong Siu Kwi dari gangguan orang-orang jahat. Dan suci sekarang telah menjadi seorang wanita yang baik-baik, jangan kau memakinya sebagai iblis betina."

"Hemmm, bohong besar Bi Lan, aku tidak menyangka bahwa engkau sekarang telah berbalik pikir dan mencontoh kehidupan suci-mu yang bejat akhlaknya itu. Siapa sudi percaya kebohonganmu bahwa orang macam Bi-kwi dapat berubah menjadi wanita baik-baik? Dan buktinya pun tidak begitu. Baru-baru ini dia bahkan membantu orang-orang jahat untuk memusuhi suhu-ku ini." Berkata demikian, Hong Beng menunjuk pada laki-laki berusia tiga puluh delapan tahun itu yang sejak tadi memandang tajam tanpa mengeluarkan sebuah kata pun.

"Ahhh...!" Sim Houw dan Bi Lan berseru kaget.

Kiranya pria yang datang bersama Gu Hong Beng ini adalah guru pemuda itu, berarti bahwa pria ini adalah pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es! Sim Houw memandang penuh perhatian dan merasa terkejut sekali. Para pembaca tentu akan terheran pula bagaimana Suma Ciang Bun dapat muncul bersama Gu Hong Beng di tempat itu...


Selanjutnya baca
SULING NAGA : JILID-18
LihatTutupKomentar