Kisah Sepasang Rajawali Jilid 29


Beberapa orang Panglima Kerajaan Bhutan maju berkuda, disambut oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Dalam puluhan jurus saja para Panglima Bhutan ini roboh dari kuda mereka. Setelah mendapat perkenan Gak Bun Beng, Panglima Jayin dengan marah lalu maju sendiri. Dia menangkan beberapa orang panglima musuh, tetapi ketika berhadapan dengan Lauw Ki Si Petani Maut, baru bertempur dua puluh jurus saja pundaknya sudah terpukul pikulan dan kalau dia tidak cepat mengundurkan diri tentu akan tewas pula!
Gak Bun Beng menjadi penasaran dan marah. Majulah pendekar ini dan segera dia dikeroyok dua oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Akan tetapi, dengan mudah saja Bun Beng mempermainkan mereka. Bahkan ketika Hek-tiauw Lo-mo yang kini tahu-tahu sudah bergabung dan membantu Tambolon itu maju pula mengeroyok, tetap saja Gak Bun Beng mengamuk hebat dan membuat Hek-tiauw Lo-mo sendiri terdesak hebat.

Ketua Pulau Neraka itu terkejut bukan main. Apa lagi ketika beberapa kali dia mengadu tenaga, dia memperoleh kenyataan betapa pendekar ini ternyata memiliki tenaga Hui-yang Sinkang, Swat-im Sinkang dan juga tenaga mukjijat Inti Bumi!

“Kau siapakah?” bentaknya berulang-ulang.

Sudah banyak dia bertemu lawan lihai, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang yang memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Pulau Neraka sedemikian sempurnanya, seolah-olah Pendekar Super Sakti sendiri!

“Hemm, Hek-tiauw Lo-mo. Engkau merendahkan nama Pulau Neraka dengan menjadi antek dari Tambolon si pemberontak!” Bun Beng berseru sambil menangkap sambaran pikulan yang dipukulkan oleh Liauw Ki, kemudian sekali dia mengerahkan tenaga, dan...
“Krakkk!”

Terdengar suara dan pikulan itu pun patah-patah. Tentu saja Liauw Kui menjadi pucat dan meloncat mundur.

“Namaku adalah Gak Bun Beng.”

Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Pernah dia mendengar nama ini. “Apamukah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”

“Beliau boleh dibilang adalah guruku!” Bun Beng memutar tubuh dan dorongan telapak tangannya membuat Yu Ci Pok terpental dan terhuyung-huyung.

Pada saat itu, Milana yang melihat Bun Beng dikeroyok dan melihat betapa sudah tiba saatnya memberi perintah menyerbu, mengisyaratkan kepada peniup terompet tanduk binatang. Terdengarlah perintah penyerbuan ini dan dipimpin oleh Jayin yang terluka pundaknya, menyerbulah bala tentara Bhutan dan terjadilah perang sampyuh yang hebat.

Gak Bun Beng kini bertanding dengan hebat melawan Hek-tiauw Lo-mo. Tidak ada orang dari kedua pihak yang berani mendekati dua orang ini, karena sambaran hawa pukulan dari tangan mereka sedemikian hebatnya sehingga dalam jarak dua meter saja orang yang terkena hawa pukulan bisa roboh dan tewas.
Hek-tiauw Lo-mo mainkan sebatang tombak tulang ikan yang ampuh, akan tetapi dengan tenang Gak Bun Beng yang masih bertangan kosong itu menghadapinya. Tombak tulang ikan itu ditangkisnya begitu saja dengan kedua tangannya dan dalam pertandingan mati-matian selama lima puluh jurus lebih, akhirnya Bun Beng berhasil memukul tombak itu sehingga patah menjadi empat potong!

“Keparat!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah.

Dia mencabut senjatanya yang lebih mengerikan lagi, yaitu sebatang golok gergaji yang amat tebal dan berat. Dengan penasaran dia menyerang mati-matian, namun Gak Bun Beng dapat menghindarkan diri dengan gesit dan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar golok.

“Mampuslah!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lomo berseru.

Tangan kirinya terbuka dan segumpal uap tipis menyambar. Bun Beng terkejut karena tahu-tahu dirinya telah tertutup oleh sehelai jala tipis sekali yang ternyata amat kuat karena betapa pun dia meronta, dia tidak mampu membebaskan diri dari jala tipis itu.

“Ha-ha-ha, baru kau tahu kelihaian Hek-tiauw Lo-mo!” Ketua Pulau Neraka itu tertawa, goloknya bergerak menyambar.
“Haiiitttt...!” Gak Bun Beng mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergulingan dan Hek-tiauw Lo-mo tidak kuat mempertahankan tali jalanya yang ikut terbawa bergulingan. Kembali Gak Bun Beng mengeluarkan lengking panjang, terdengar suara keras dan... jala itu putus-putus semua dan si pendekar sakti meloncat keluar dari dalam jala.

Hek-tiauw Lo-mo terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang mampu membebaskan diri dari jalanya. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng sudah memiliki tingkat yang sangat tinggi dalam pengerahan tenaga sakti. Tadi pendekar ini sudah mengerahkan seluruh tenaganya dengan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Inti Api) yang amat panas dan ternyata jala itu kalah oleh hawa panas yang mukjijat ini sehingga dapat dibikin putus.

Dengan marah Gak Bun Beng meloncat dan menerjang, kedua tangannya bergerak dengan pukulan yang didasari dua tenaga yang berlawanan, yaitu tenaga Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang.

“Trakkkk...!”

Golok gergaji itu pun patah terpukul telapak tangan kanan Bun Beng dan pada saat itu, tangan kiri Hek-tiauw Lo-mo melakukan pukulan dengan ilmu keji Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Inilah kesalahan besar Hek-tiauw Lo-mo. Kalau dia menggunakan ilmu keji ini terhadap lawan lain, biasanya dia berhasil baik, dan bahkan Ceng Ceng pernah menderita hebat oleh pukulan keji ini. Akan tetapi dia berhadapan dengan Gak Bun Beng, seorang pendekar sakti yang selain telah memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, juga memiliki pengalaman yang luas, maka Bun Beng cepat menerima pukulan itu dengan telapak tangan sambil mengerahkan Swat-im Sinkang.

Ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat dingin ini selain kuat juga amat baik untuk menghadapi pukulan-pukulan lawan yang beracun, karena hawa beracun membeku begitu bertemu dengan Tenaga Inti Salju ini.

“Dessss...!”

Hek-tiauw Lo-mo memekik dan tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Pada saat itu, Tambolon menerjang maju dengan pedangnya disertai dua orang pembantunya.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar tiupan terompet dari atas menara, tanda bahwa pasukan Bhutan harus mundur dan masuk kembali ke dalam benteng. Mendengar ini, Gak Bun Beng terkejut dan cepat dia pun mengatur pasukan itu bersama Jayin untuk mundur, meninggalkan pasukan musuh yang mengejar sambil bersorak-sorak. Akhirnya semua pasukan dapat ditarik ke dalam benteng dan pintu gerbang segera ditutup rapat dan penjagaan dilakukan ketat, anak panah dan batu-batu dihujankan keluar sehingga pihak musuh yang mengejar terpaksa mundur kembali.

Bun Beng segera menemui Puteri Milana. Puteri ini merasa agak gelisah sebab ternyata bahwa pihak lawan amat kuat. Tadi dia menarik pasukan karena selagi pasukan induk berperang di luar, di empat penjuru benteng pihak musuh berusaha menyerbu. Maka terpaksa dia menarik pasukan dan memperkuat penjagaan sehingga usaha penyerbuan dari empat penjuru dapat digagalkan dengan menghujankan anak panah dan batu-batu.

Ketika dicacahkan, dalam perang tadi ada seperempat bagian pasukan yang tewas atau tertawan musuh. Biar pun pihak musuh juga banyak kehilangan pasukan, akan tetapi tetap saja jumlah mereka masih amat banyak, dan Tambolon tentu saja masih dapat mendatangkan bala bantuan dari luar, sedangkan pihak Bhutan sudah terkurung dan tak dapat mengharapkan bantuan dari mana pun karena Kerajaan Ceng di timur terlalu jauh letaknya, sedangkan negara-negara tetangga tidak ada yang mau mencampuri urusan itu. Sayang bahwa Kerajaan Bhutan tidak pernah berhubungan terlalu baik dengan Tibet, kalau tidak, tentu Tibet dapat membantu mereka.

“Besok harus ada penentuan,” Puteri Milana berkata ketika mereka berunding. “Kalau musuh dibiarkan mengepung lebih lama, tentu mereka akan bisa memperkuat keadaan, mendatangkan bala bantuan dan hal itu akan berbahaya sekali. Yang paling penting, Tambolon harus dapat ditewaskan. Dialah yang menjadi biang keladi. Kalau sudah tidak ada orang yang mempunyai wibawa dan pengaruh besar di antara suku-suku bangsa petualang itu, pasti persatuan mereka akan membuyar.”

“Akan tetapi, kekuatan pasukan kita kalah banyak,” Gak Bun Beng berkata.

“Karena itu, besok kita harus mengerahkan semua tenaga dan besok kita memberi isyarat kepada Panglima Sangita dan Tek Hoat agar mereka menyergap dan memecah kekuatan dan perhatian musuh.”

“Bagaimana dengan siasat kita semula yang telah kita bicarakan dengan Tek Hoat?” Bun Beng mengingatkan kepada kekasihnya dan juga sumoi-nya itu.

Milana tersenyum. “Malam nanti, menjelang pagi, siasat itu boleh dilaksanakan. Dan pagi-pagi sekali, selagi mereka kacau-balau, kita lalu menyerbu. Mudah-mudahan saja sergapan selagi mereka kacau itu akan mampu menghancurkan jumlah mereka yang lebih besar.”

Malam itu sunyi. Pihak musuh memang beberapa kali mencoba untuk menerobos melalui berbagai jurusan, namun karena penjagaan dilakukan ketat sekali, semua usaha mereka gagal dan banyak di antara mereka yang menjadi korban anak panah dan batu-batu yang disambitkan dari atas. Mereka berusaha melepas anak panah berapi ke dalam kota raja melalui tembok benteng, akan tetapi tembok itu terlalu tinggi dan usaha membakar kota raja itu dapat digagalkan oleh regu-regu pemadam kebakaran yang memang sudah dipersiapkan oleh pihak Bhutan sebelumnya.

Malam itu, para pimpinan di Bhutan tidak ada yang tidur, hanya mengaso sambil duduk di tempat masing-masing. Lewat tengah malam, menjelang pagi, Puteri Milana dan Gak Bun Beng keluar dari kamar dan dua orang sakti ini lalu mementang gendewa. Terdengar tali gendewa menjepret dan tampaklah beberapa kali sinar kemerahan meluncur di angkasa seperti bintang-bintang pindah tempat. Itulah isyarat yang mereka berikan kepada Tek Hoat dan pasukannya untuk mulai dengan siasat mereka, untuk turun tangan.

Sesudah itu mereka menanti. Tidak lama kemudian, menjelang pagi, mulailah terdengar keributan di bawah sana, di luar tembok kota raja dan mulailah nampak api besar bernyala-nyala dan asap di dalam sinar api merah membubung ke angkasa. Makin lama makin banyaklah api yang mengamuk, kemudian terdengar teriakan-teriakan dan suara perang di antara api dan di waktu menjelang pagi itu. Pasukan pengawal istimewa yang dipimpin oleh Tek Hoat dan Sangita telah mulai bergerak!

Puteri Milana tersenyum memandang keluar. “Pemuda itu memang hebat,” bisiknya lirih akan tetapi cukup terdengar oleh Bun Beng.

“Tidak mengecewakan menjadi cucu tiri Suhu...,” berkata pula Bun Beng dan mereka bersiap-siap bersama para penglima untuk menyerbu ke luar bersama pasukan mereka begitu saatnya tiba.....

********************
Kita tinggalkan dulu kota raja Bhutan yang dikepung musuh, yaitu pasukan yang terdiri dari suku-suku bangsa Nomad yang dapat dibujuk oleh Tambolon sehingga terkumpul menjadi barisan yang amat besar jumlahnya dan yang mengancam keselamatan Kerajaan Bhutan, dan mari kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang mengalami pukulan batin di Pegunungan Yin-san itu.

Setelah terbukanya topeng yang menutupi muka Topeng Setan, yang telah tidak bernyawa dan sekaligus membuka rahasia pendekar itu bahwa Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadanya yang telah berkorban untuknya, yang dipercaya dan disayangnya itu bukan lain adalah Kok Cu pemuda laknat yang memperkosanya, yang dibencinya dan yang hendak dibunuhnya, maka seketika lenyaplah segala arti kehidupan bagi Ceng Ceng. Musuh besar yang paling dibencinya itu ternyata juga merupakan penolong yang paling disayangnya, dan kini telah mati! Baru terasa olehnya betapa selama ini dia hidup berdasarkan hati benci dan sayang. Dan begitu orang yang dibenci dan disayangnya mati, mati pula dasar hidupnya. Ceng Ceng menjadi seorang yang seolah-olah tidak bersemangat lagi, seperti boneka hidup!

Keinginannya hanya satu, kalau boleh dinamakan keinginan, yaitu kembali ke tempat asalnya, di mana dia dibesarkan dan untuk... mati di tempat itu, di pegunungan luar kota raja Bhutan, bekas tempat tinggal kakeknya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, perjalanannya ini disertai oleh Kim Hwee Li, gadis cilik yang nekat minta menjadi muridnya dan ditemani pula oleh Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Sungguh merupakan kelompok yang aneh sekali! Seorang pendekar besar yang namanya mengguncangkan dunia persilatan, yang namanya saja sudah cukup membuat orang-orang jahat menjadi gentar dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi kagum, kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang sudah lenyap gairah hidupnya, dan seorang anak perempuan yang lincah, bengal, puteri dari seorang datuk sesat yang amat kejam, yaitu Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.

Karena ditemani oleh Pendekar Super Sakti, perjalanan ke barat daya itu berjalan lancar dan tidak ada yang berani mengganggu mereka. Kadang-kadang, kalau melalui daerah berbahaya, Suma Han menggandeng tangan kedua orang gadis itu dan membawa mereka berjalan seperti terbang berloncatan melewati jurang-jurang dalam dan lebar sehingga diam-diam Ceng Ceng yang seperti boneka hidup itu menjadi kagum bukan main, sedangkan Hwee Li bersorak-sorak girang kalau mendapatkan dirinya dapat pula ‘terbang’ tanpa duduk di atas punggung rajawalinya.

Perjalanan itu lancar dan cepat. Dan pada suatu hari tibalah mereka di suatu daerah padang rumput yang sudah dekat dengan kota raja Bhutan, karena sebetulnya daerah ini sudah termasuk wilayah Bhutan, dekat dengan perbatasan di timur. Dan pada sore harinya, di tepi daerah padang rumput ini, tibalah mereka di sebuah perkampungan suku bangsa Nomad yang mengembala ternak.

Mereka ini adalah peternak-peternak Nomad yang selalu berpindah tempat dan selalu hidup di dekat padang-padang rumput di mana mereka dapat membiarkan ternak kambing mereka makan sekenyangnya. Untung bagi Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu bahwa yang berada di perkampungan peternak itu adalah suku bangsa yang tidak liar dan yang suka hidup damai. Maka mereka bertiga diterima oleh mereka sebagai tamu-tamu dan dipersilakan duduk ikut makan minum bersama mereka.

Ternyata malam itu suku bangsa peternak Nomad ini sedang mengadakan keramaian untuk merayakan pahlawan-pahlawan mereka yang menang dalam perang. Tentu saja Pendekar Super Sakti tidak tahu bahwa kepala suku bangsa ini bersama puluhan anak buahnya, terbujuk pula oleh Tambolon dan ikut menggabungkan diri untuk memerangi Bhutan! Dan malam hari itu, suku bangsa ini merayakan kemenangan para pahlawan mereka yang kabarnya telah mengepung kota raja Bhutan dan yang dianggapnya sebagai suatu kemenangan gemilang.

Dan sukarnya, di antara suku bangsa ini hanya ada beberapa orang saja yang dapat berbahasa Han, itu pun tidak lengkap sehingga sukar sekali bagi Suma Han dan dua orang gadis itu untuk bicara dengan mereka. Dengan bahasa tangan yang serba tidak lengkap, tiga orang tamu ini hanya dapat menangkap bahwa suku bangsa itu sedang merayakan pesta ‘menang perang’, akan tetapi tidak jelas perang dengan siapa dan di mana! Akan tetapi, Suma Han yang tidak mau mencampuri urusan mereka dan merasa sudah untung diterima sebagai tamu, tidak ingin menyelidiki lebih lanjut dan ikut pula berpesta makan minum sekenyangnya.

Hwee Li yang bengal itu tak mau tinggal diam. Setelah kenyang makan minum, melihat kegembiraan suku bangsa itu, dia meninggalkan dua orang teman seperjalanannya untuk menonton keramaian. Bermacam-macam pertunjukan diadakan. Ada pertunjukan adu gulat, ada pula adu domba, tari-tarian, nyanyian dan lain-lain. Tetapi yang paling menarik hati Hwee Li adalah pertunjukan yang dilakukan oleh seorang yang agaknya berasal dari India, memakai sorban kuning dan orang ini meniup sebatang suling mengiringi gerakan seekor ular cobra yang meliak-liukkan tubuhnya seperti seorang penari yang genit. Para penonton merasa ngeri karena maklum akan bahayanya gigitan ular cobra yang amat beracun ini maka mereka menonton agak menjauh dan tempat pertunjukan ini pun berada di sudut perkampungan, dekat pintu pagar yang mengitari perkampungan itu.

Tentu saja Kim Hwee Li tertarik sekali karena gadis cilik ini memang sejak kecil biasa bermain-main dengan segala macam ular, dari yang kecil sampai yang paling besar, dari yang jinak sampai yang paling buas dan beracun. Yang membuat dia terheran dan geli hatinya adalah suara suling yang ditiup oleh orang bersorban itu. Suara suling itu melengking tidak pernah ada putusnya, seolah-olah orang itu tidak pernah menarik napas, dan lucunya, lenggak-lenggok ular itu tepat dengan irama suling seolah-olah ular itu mengerti pula akan lagu yang ditiup melalui suling.

Karena amat tertarik, tanpa disadarinya, Hwee Li melangkah dekat, bahkan memasuki lingkaran penonton yang berjongkok agak jauh. Beberapa orang berseru dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Hwee Li, akan tetapi jelas bahwa nadanya melarang gadis itu mendekat. Mereka itu kelihatan khawatir, akan tetapi Hwee Li menoleh kepada mereka, tersenyum dan mengangkat tangan memberi isyarat agar mereka tak mengkhawatirkan dia. Lalu dia pun berjongkok di dekat orang bersorban sambil mengawasi gerak-gerik ular itu.

Orang India bersorban itu menggunakan tangan kirinya untuk memberi isyarat mengusir Hwee Li sedangkan tangan kanannya tetap memegang dan mempermainkan lubang-lubang suling yang ditiupnya. Akan tetapi Hwee Li yang sudah tertarik sekali dan timbul rasa gembiranya bertemu ‘kawan lama’, yaitu seekor ular berbisa seperti cobra itu, sama sekali tidak mempedulikan orang India itu. Bahkan sekarang Hwee Li menggerak-gerakkan dua lengannya yang kecil panjang, digerak-gerakkan dengan amat lemasnya bagai dua ekor ular menari-nari! Tangannya dibentuk seperti kepala ular dan lengannya seperti badan ular, melenggak-lenggok dan meliuk-liuk amat lemasnya.

Para penonton yang mula-mula merasa khawatir, kini menjadi geli dan tertarik, bahkan ada yang memuji karena memang indah sekali gerakan kedua lengan tangan Hwee Li, seolah-olah gadis cilik itu seorang penari ular yang amat pandai. Akan tetapi seruan-seruan pujian menjadi seruan-seruan keheranan bercampur kekhawatiran ketika mendadak ular cobra itu kini meninggalkan keranjang, meninggalkan orang India dan menghampiri Hwee Li sambil menari-nari, matanya mencorong dan mulutnya mendesis-desis, lehernya mekar makin lebar.

Orang bersorban itu terbelalak, matanya melotot saking heran dan penasaran melihat betapa ularnya, ular yang dipeliharanya bertahun-tahun dan selalu taat pada sulingnya itu kini mendadak saja meninggalkannya dan suara sulingnya tak lagi berpengaruh. Dia menjadi penasaran, sulingnya ditiup makin kuat sehingga lehernya menggembung besar seperti leher cobra itu, matanya melotot karena dia menahan napas terlalu lama. Benar saja, ular itu terkejut dan menengok, lalu bergerak kembali ke tukang suling.

“Trak-trak... cek-cek-cek...!”

Tiba-tiba Hwee Li membunyikan jari-jari tangannya dengan jalan menjentrekkan jari tengah dan ibu jarinya, disusul suara lidah dan bibirnya dan suara itu membuat si ular cobra kembali menengok kepadanya. Terjadilah ‘adu kekuatan’ antara suara suling dan suara jari tangan dan mulut Hwee Li, saling menarik ular itu yang kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi akhirnya ular itu bergerak ke arah Hwee Li, lalu lehernya ditangkap tangan Hwee Li dan ular itu dengan sikap manja lalu melingkarkan tubuhnya pada tangan gadis cantik itu, lidahnya menjilat-jilat dan nampaknya jinak bukan main!

Orang bersorban itu bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis cilik ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang ‘pawang ular’ yang hebat, maka dia menghentikan tiupan sulingnya, bangkit berdiri dan menjura ke arah Hwee Li sebagai penghormatan, kemudian menyodorkan keranjang ular, agaknya minta agar Hwee Li mengembalikan ular itu kepadanya. Para penonton juga menjadi kagum, ada yang bertepuk tangan dan tempat itu menjadi berisik sekali karena semua oreng membicarakan kelihaian gadis cilik ini dan menduga-duga siapa adanya pawang ular cilik yang hebat ini.

Akan tetapi Hwee Li memandang kepada orang bersorban itu dengan sinar mata tidak senang dan menghina, apa lagi ketika melihat banyak di antara penonton memberi mata uang dan barang-barang hadiah lain kepada Si Pemilik Ular itu. Dia membiarkan ular cobra itu melingkar di lengan dan lehernya, kemudian dia berkata, “Kau orang yang kejam dan tak tahu malu, menggunakan ular untuk mencari uang! Kau menyiksa ular ini dengan sulingmu, memaksanya menari-nari agar kau mendapatkan uang. Huh, tak tahu malu!”

Setelah berkata demikian, Hwee Li lalu meninggalkannya sambil membawa pergi ular cobra itu. Tentu saja orang bersorban menjadi marah. Dia sudah pernah merantau ke timur dan sedikit-sedikit dia dapat juga berbahasa Han.

“Nona, tunggu...! Kau kembalikan ularku!” katanya marah.

Hwee Li berhenti melangkah, kemudian membalikkan tubuhnya. “Apa? Siapa bilang ini ularmu? Dia tentu ular yang bebas dan kau tangkap lalu kau paksa mencarikan uang untukmu!”

“Kembalikan!” Orang India itu membentak.
“Tidak!” Hwee Li juga membentak.

Dan kini dia lalu melepaskan ular itu dan menggebahnya dengan suara tertentu. Ular itu terlihat terkejut dan merayap pergi, lalu menghilang di dalam semak-semak yang tebal.

“Kurang ajar!” Orang bersorban itu marah sekali.

Dia lalu mengeluarkan seekor ular dari dalam saku bajunya. Ular ini kecil saja, sebesar kelingking dan panjangnya hanya satu jengkal, kulitnya belang-belang merah hitam. Dengan ular ini di tangan, jari-jari tangannya yang coklat panjang menjepit leher ular, orang bersorban itu menyerang Hwee Li!

Gadis cilik ini tersenyum mengejek, membiarkan ular itu menggigit lengannya, kemudian dengan gerakan cepat dia menotok pergelangan tangan orang India itu. Dia adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo, tentu saja lihai sekali dan totokannya membuat tangan orang India itu menjadi lumpuh, jepitan jarinya pada leher ular terlepas dan ular kecil itu cepat membalik dan menggigit ibu jari tangannya.

Orang India itu menjerit, membuang ularnya kemudian dia berjingkrak-jingkrak sambil memegangi ibu jari tangannya yang tergigit ular beracun itu. Ada pun Hwee Li dengan tenang saja mengobati luka di lengannya. Dia sudah kebal terhadap gigitan ular yang bagaimana beracun pun, karena di Pulau Neraka adalah pusat segala macam ular beracun maka dia pun hanya mengobati lukanya saja, bukan memunahkan racunnya yang tidak akan mengganggunya sedikit pun juga. Akan tetapi, orang India itu ketakutan setengah mati karena dia maklum bahwa gigitan ular kecil itu amat berbahaya dan dia tidak tahu bagaimana caranya mengobatinya.

Para penonton menjadi ikut sibuk karena terjadinya hal yang tidak mereka sangka itu. Karena tidak mengerti bahasanya, maka para penonton yang tadi melihat orang India itu lebih dulu menyerang, tidak ada yang menyalahkan si gadis cilik, apa lagi melihat gadis cilik itu pun terkena gigitan ular kecil. Hanya yang membuat mereka terheran-heran adalah, kalau gadis cilik itu tenang-tenang saja, mengapa orang India ini menjadi begitu ketakutan dan kini berjingkrakan sambil menangis?

Tiba-tiba di antara penonton muncul seorang gadis remaja yang menerobos masuk. Dia amat cantik jelita, sukar dikatakan siapa yang lebih cantik antara dia dan Hwee Li, karena keduanya memiliki kecantikan khas masing-masing, hanya gadis ini lebih dewasa dari pada Hwee Li.

Gadis ini dengan alis berkerut memandang kepada Hwee Li, kemudian menghampiri orang India itu, mengeluarkan sebungkus obat dan dengan cekatan dia menggunakan sebuah pisau kecil merobek ibu jari itu, mengeluarkan darahnya dan membubuhkan obat ke ibu jari itu, kemudian membalutnya dengan robekan baju orang India itu sendiri. Dan orang India itu berhenti menangis, agaknya luka beracun itu seketika menjadi sembuh. Orang India itu lalu menjura dengan dalam sampai tubuhnya hampir terlipat menjadi dua kepada nona yang tanpa banyak bicara telah mengobatinya itu.

Kini, nona itu berdiri menghadapi Hwee Li, sambil bertolak pinggang, sikapnya galak bukan main seperti seorang guru memarahi muridnya! “Kau sungguh bocah yang kejam dan perlu dihajar!” Nona itu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hwee Li.

“Masih sekecil ini sudah main-main dengan ular berbisa dan melukai orang! Kalau sudah besar kelak tentu akan menjadi iblis betina!”

Hwee Li tentu saja tidak takut. Dia meruncingkan bibirnya. Lincah dan manis sekali, akan tetapi juga membayangkan sifat kebengalannya. “Phuih, sombongnya! Baru bisa menyembuhkan gigitan ular begitu saja lagaknya sombong seolah-olah telah menjadi Kwan Im Pouwsat! Padahal kau ini tentu hanya Nona penjual obat yang biasa berteriak-teriak di pasar-pasar. Apa sih anehnya?”

Nona muda itu bukan lain adalah Teng Siang In. Sebagai anak dari mendiang Yok-sian Si Dewa Obat, tentu saja dia adalah seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Setelah menjadi murid See-thian Hoat-su, di sepanjang perjalanan kalau melihat tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat mujarab, dia tidak dapat menahan diri untuk tidak mengambilnya dan dia lalu mengumpulkan bahan-bahan obat yang penting-penting di antaranya obat penawar luka-luka berbisa. Maka dengan mudah dia mampu mengobati orang India itu.

Seperti kita ketahui, Siang In juga memiliki watak lincah jenaka dan galak, maka kini berhadapan dengan Hwee Li yang bengal, diejek sebagai penjual obat di pasar, Siang In menjadi marah sekali. Biar pun dia belum sempat digembleng oleh See-thian Hoat-su, namun dia sudah pernah belajar ilmu silat bersama kakaknya, maka kini dia cepat menyerang Hwee Li.

Akan tetapi, biar pun dia lebih muda, Hwee Li puteri Ketua Pulau Neraka itu jauh lebih lihai. Dengan gesit dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian di antara dua orang gadis cilik yang sama-sama cantik jelita ini, dan kejadian ini amat menarik hati dan menggembirakan hati para suku bangsa liar yang memang menganggap perkelahian sebagai tontonan yang mengasyikan, apa lagi kalau dilakukan oleh dua orang gadis yang demikian cantiknya.

Setelah saling serang selama belasan jurus, Siang In mulai terdesak dan beberapa kali sudah dia menerima tamparan tangan Hwee Li. Dia menjadi marah sekali dan mulailah Siang In yang galak itu memaki-maki. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan yang gesit dan tahu-tahu Ceng Ceng sudah tiba di tempat perkelahian itu.

Semua orang makin kagum dan gembira melihat datangnya seorang gadis dewasa yang amat cantik dan gagah perkasa, yang dengan mudah melerai dua orang gadis muda yang sedang berkelahi mati-matian itu, hanya dengan menengahi dan menangkis pukulan-pukulan mereka.

“Berhenti, jangan berkelahi!” Gadis yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu berseru. “Hwee Li, mundur kau!”

“Subo, dia kurang ajar!” Hwee Li berkata. “Mentang-mentang dia menjadi tukang obat di pasar, dia sombong dan dia yang lebih dulu menyerangku.”

“Bocah setan!” Siang In yang beberapa kali kena ditampar Hwee Li masih marah-marah sekali. “Muridnya setan, gurunya tentu iblis!” Dia kini malah memaki Ceng Ceng untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya karena dia tadi ditampari dan belum sempat membalas sudah dipisahkan.

“Hemm, apakah kau benar tukang obat yang pandai?” Ceng Ceng menghampiri sambil mengerutkan alisnya, tidak senang mendengar maki-makian gadis cantik itu.
Pertanyaan yang sewajarnya ini oleh Siang In dianggap penghinaan pula, maka dia lalu menjawab, “Aku tukang obat atau bukan, setidaknya lebih bersih dari pada kalian guru dan murid iblis yang mengganggu orang!” Dan Siang In langsung lalu menerjang dan memukul Ceng Ceng.

Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berwatak keras, dan pada saat itu dia sedang dilanda kedukaan hebat. Maka melihat sikap Siang In dia sudah menjadi marah sekali.

“Bocah lancang dan sombong! Cobalah kau obati ini kalau bisa!” Ceng Ceng sudah menggerakkan tangan kirinya.
“Plakkk...! Oughhh...!”

Siang In terpelanting dan roboh, pundaknya kena dipukul oleh Ceng Ceng. Biar pun tubuh Ceng Ceng sudah bersih dari hawa beracun berkat anak naga, akan tetapi gadis ini tentu saja masih menguasai pukulan beracunnya dan Siang In tentu saja tidak kuat menahan pukulan beracun ini dan dia roboh.

“Ehh, Siang In, kau kenapa...?” Tiba-tiba seorang kakek tua renta memasuki tempat itu dan para penonton menjadi makin tegang. Kakek itu memeriksa pundak Siang In dan dia mengerutkan alisnya, lalu bangkit menghadapi Ceng Ceng.

“Hemmm... agaknya aku pernah bertemu dengan engkau, Nona yang bertangan kejam. Sungguh kejam sekali kau menjatuhkan pukulan beracun kepada muridku. Hayo kau keluarkan obat penawarnya, jangan sampai aku orang tua menjadi kehilangan sabar kepadamu,” kata kakek itu yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.

“Subo, dia ini tentu pembual yang suka menjual obat di pasar-pasar, inilah macamnya tabib palsu yang beroperasi di pasar-pasar. Jangan layani dia!” Hwee Li mengejek.

Ceng Ceng memandang kakek itu. “Muridmu inilah yang lancang, mencampuri urusan muridku dan lebih dahulu menyerang muridku, mengandalkan kepandaian mengobati. Sekarang biarlah dia atau engkau mengobati luka bekas tanganku itu. Hwee Li, mari kita pergi!”

Akan tetapi baru saja Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, terdengar kakek itu berseru, “Tahan dulu! Lihat, apakah kalian mampu menahan serangan jubahku ini!”

Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, bersiap menghadapi kakek itu yang disangkanya akan menyerang mereka. Tetapi mereka melihat kakek itu menanggalkan jubahnya, lalu melemparkan jubah itu ke arah mereka dan... Ceng Ceng dan Hwee Li terkejut bukan main ketika jubah itu tiba-tiba menjadi ‘hidup’, bahkan telah menyerang mereka kalang-kabut, menghantam mereka berdua dengan lengan jubah seolah-olah digerakkan oleh setan!

“Hiiiiiihhh..., tolongggg, Subo...!” Hwee Li menjerit-jerit dan berusaha mengelak ke sana-sini dengan perasaan tegang dan seram.

Akan tetapi Ceng Ceng sendiri pun kalang-kabut oleh amukan jubah itu! Para penonton kini makin menjauh karena orang Nomad sederhana ini amat percaya tahyul dan kini melihat sehelai jubah dapat mengamuk, mereka tentu saja menjadi ketakutan.

Ceng Ceng sendiri selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti ini. Mukanya yang memang sudah muram itu menjadi makin pucat, matanya terbelalak dan beberapa kali dia bergidik dan merasa ngeri. Jubah itu benar-benar telah menjadi ‘hidup’! Biar pun dia pandai dan tenaganya juga amat kuat, tentu saja dia kewalahan melawan sehelai jubah yang hidup! Dipukul betapa keras pun, tentu saja jubah itu tidak merasakan apa-apa sebaliknya tamparan-tamparan ujung lengan jubah itu mendatangkan rasa panas.

“Hiiiihhhh... tolongg... takuttt... Locianpwe... tolong, Locianpweee...!” Hwee Li menjerit-jerit dikejar oleh jubah itu yang menampari pinggulnya sampai terasa panas dan pedas.

Mendadak muncul Pendekar Super Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri di situ dengan sikap tenang. “Hemmm, menggunakan ilmu menggoda anak-anak perempuan, sungguh merupakan watak kekanak-kanakan saja!”

Dengan tongkatnya Pendekar Super Sakti menuding dan... jubah itu seperti ketakutan, seperti seorang kanak-kanak yang ketakutan, dan lari kepada ayahnya. Jubah yang seperti hidupp itu kini ‘memasuki’ lagi tubuh dan kedua lengan See-thian Hoat-su dan telah dipakainya kembali.

Sejenak kedua orang itu saling pandang. Ceng Ceng yang masih pucat dan Hwee Li yang masih gemetaran itu memandang dari tempat jauh, sedangkan Siang In juga sudah bangkit duduk dan menonton. Orang-orang yang tadinya menjauhkan diri, kini berani lagi agak mendekat akan tetapi tetap saja agak jauh dan mereka berjongkok untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi.

Sampai lama kedua orang tua itu saling pandang. Kemudian See-thian Hoat-su tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha, hampir tidak dapat aku percaya. Benarkah aku berhadapan dengan Pendekar Super Sakti, tocu dari Pulau Es yang juga terkenal sebagai Pendekar Siluman yang tersohor itu?”

Pendekar Super Sakti belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar namanya, maka dengan tenang dan sikap sederhana dia menjawab, “Saya memang datang dari Pulau Es.”

“Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus! Kalau dicari sampai mati pun belum tentu dapat jumpa! Pendekar Siluman, kabarnya engkau di samping memiliki kepandaian silat yang tidak terkalahkan, juga amat kuat di dalam ilmu sihir. Nah, aku See-thian Hoat-su memang paling suka main-main dengan ilmu sihir, maka pertemuan ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Mari kita main-main untuk melihat siapa yang lebih kuat di antara kita.”

“See-thian Hoat-su, kita bukan anak kecil lagi. Perlu apa kita bersikap seperti anak kecil yang suka pamer? Kalau ada persoalan di antara kita, apakah tidak lebih baik kita selesaikan secara damai?” Suma Han berkata.

“Ha-ha-ha-ha, justru tidak ada persoalan! Ada pun kecil tidak berarti, dan aku tadi pun hanya main-main saja dengan mereka.” Tiba-tiba pandang mata See-thian Hoat-su mengeluarkan sinar mencorong yang aneh. “Pendekar Siluman, kulihat tongkatmu itu bukan sembarangan tongkat, lihat dia pandai terbang...!”

Pendekar Super Sakti menghela napas panjang. “Sesukamulah, Hoat-su.”

Dan dia membiarkan tongkatnya terlepas dari tangannya dan sekali See-thian Hoat-su menggerakkan tangannya, tongkat itu benar-benar melayang di udara, di antara mereka. Pendekar Super Sakti hanya bersedakap dan bersikap tenang saja. Semua orang yang menonton menjadi melongo saking herannya, melihat tongkat butut itu melayang-layang di antara dua orang kakek itu, seolah-olah tongkat itu adalah sebuah benda hidup.

“Pendekar Siluman, lihat tongkatmu menjadi harimau yang akan menelanmu sendiri, ha-ha-ha!” Terdengar suara See-thian Hoat-su. Dia berbicara sambil tertawa-tawa, seperti orang berkelakar saja, akan tetapi di dalam suaranya itu terkandung kekuatan mukjijat yang amat berwibawa.

Semua orang yang berada di situ menjadi pucat mukanya dan melotot penuh rasa ngeri dan takut ketika melihat betapa tongkat yang tadinya melayang-layang dan bergerak-gerak seperti hidup itu tiba-tiba kini telah berubah menjadi seekor harimau yang amat besar dan yang menggereng dengan suara menggetarkan tempat itu dan harimau itu meringis, memperlihatkan taringnya seperti hendak menyerang kakek berkaki buntung sebelah itu.

“Kau keliru, Hoat-su. Tongkatku itu tidak menjadi harimau, melainkan menjadi seekor naga yang hendak menyerangmu!” Pendekar Super Sakti berkata, suaranya halus tenang namun juga mengandung wibawa yang amat kuat.

Para penonton sekarang menjadi makin ketakutan, ada yang menggigil dan tidak dapat bangkit berdiri, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka makin lebar terbelalak ketika melihat betapa harimau besar itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor naga yang amat buas dan yang bersikap marah hendak menyerang Kakek See-thian Hoat-su!

See-thian Hoat-su menggerak-gerakkan kedua tanganya di udara dan bentuk naga itu berubah lagi menjadi bentuk harimau, akan tetapi tidak lama, karena segera berubah lagi menjadi bentuk naga seperti yang dikatakan oleh Pendekar Siluman tadi. Terjadilah adu tenaga sihir yang amat aneh dan orang-orang yang menonton di situ makin lama menjadi makin ketakutan.

Siapa yang tidak akan merasa ngeri melihat tongkat butut itu berubah-ubah bentuknya antara bentuk harimau dan bentuk naga, bahkan kadang-kadang ‘pertandingan’ itu sedemikian hebatnya hingga ada kalanya tongkat itu berubah menjadi seekor harimau yang tubuh bagian belakangnya berbentuk naga, atau malah seekor naga yang tubuh belakangnya berbentuk harimau! Tentu saja semua orang menjadi ketakutan dan makin lama mereka makin mundur menjauhi dua orang kakek yang mereka anggap siluman-siluman itu.

Setelah mengadu kekuatan sihir beberapa lama, akhirnya See-thian Hoat-su terpaksa mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti ketika tongkat itu sepenuhnya berubah menjadi seekor naga yang beterbangan dan mengancam kepala kakek dari barat itu.

“Hebat engkau, Pendekar Siluman. Biar aku mengakui keunggulanmu!” katanya sambil menghentikan pengerahan tenaga mukjijat.

Suma Han mengangkat tangannya dan ‘naga’ itu terbang kembali ke tangannya dan berubah lagi menjadi sebatang tongkat.

“See-thian Hoat-su, engkau sudah tua sekali akan tetapi masih suka main-main seperti seorang anak-anak saja.” Pendekar Super Sakti menegur.
“Ha-ha-ha-ha, memang orang tua bukan lain hanyalah anak-anak yang tubuhnya besar. Anak-anak suka bermain-main dengan barang-barang mainan, orang-orang tua juga suka bermain-main dengan pikiran-pikiran dan nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Tidak begitukah?”

Suma Han tersenyum. “Engkau benar, Hoat-su. Harap kau orang tua suka memaafkan kalau dua orang temanku yang muda itu tadi melakukan kesalahan terhadapmu.” Suma Han menuding ke arah Ceng Ceng dan Hwee Li.

Akan tetapi dia tersenyum melihat Hwee Li dan nona cantik murid kakek itu ternyata sudah duduk berdekatan dan bicara dengan asyik dan dalam suasana bersahabat! Memang demikianlah. Hwee Li dan Siang In yang keduanya mempunyai watak yang hampir sama, ternyata sudah bersahabat, bahkan Hwee Li telah setengah memaksa subo-nya untuk mengobati Siang In. Tentu saja tidak ada lagi persoalan di antara mereka, bahkan mereka lalu bersahabat.

“Bagaimanakah Majikan Pulau Es yang berada jauh di utara bisa tersesat sampai ke tempat ini?” Kakek See-thian Hoat-su yang tidak biasa bersikap hormat terhadap siapa pun juga itu bertanya.
“Aku sedang mencari puteraku, Hoat-su. Barangkali engkau melihatnya. Dia bernama Suma Kian Bu...”
“Heee, Siang In. Bukankah kau mengenal seorang pemuda yang bernama Kian Bu?” tiba-tiba kakek itu memanggil muridnya.

Mendengar disebutnya nama itu, Siang In memandang kepada gurunya dengan kedua pipi berubah merah sekali. Akan tetapi dia lalu meninggalkan Hwee Li dan mendekati gurunya, memandang kepada Pendekar Super Sakti dengan penuh selidik.

“Tentu saja aku mengenal dia, Suhu,” jawabnya.
“Bagus!” Suma Han berseru girang. “Di mana kau terakhir bertemu dengan dia, Nona?”
“Nanti dulu,” Siang In menjawab, “Siapakah Locianpwe yang aneh ini dan mengapa pula bertanya tentang dia?”
“Ha-ha-ha, bocah tolol. Yang berdiri di depanmu ini adalah Pendekar Siluman dari Pulau Es, ayah dari pemuda itu.”

Siang In terkejut sekali dan cepat dia menjura dengan hormat. “Maafkan saya...”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Seorang dara yang cantik jenaka dan pantas menjadi murid seorang sakti seperti See-thian Hoat-su, pikirnya.

“Aku hanya ingin tahu di mana engkau bertemu dengan dia akhir-akhir ini, Nona?” Dia mengulang pertanyaannya.

“Di dalam hutan... pada saat terjadi pencegatan yang dilakukan gerombolan Tambolon terhadap rombongan pengawal Puteri Bhutan.” Gadis itu lalu bercerita, akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan betapa dia telah dicium oleh pemuda itu!

Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya. “Kalau menurut perkiraanmu, ke mana sekarang perginya anakku yang suka bertualang itu, Nona?”

“Dia agaknya diam-diam mengawal Sang Puteri Bhutan, dan tentu sekarang sudah berada di tapal batas Bhutan dan...” Siang In menoleh ke kanan kiri. Melihat banyak orang anggota suku bangsa penggembala itu menonton, ia lalu berkedip dan mendekati Pendekar Super Sakti, berbisik, “Mereka ini adalah suku bangsa yang terbujuk oleh Tambolon, sekarang Tambolon sedang memerangi Bhutan dan saya berani bertaruh bahwa putera Locianpwe itu sedang ikut perang membela Bhutan.”

Melihat Siang In tadi mendekati Suma Han dan berbisik-bisik pelan, Ceng Ceng yang menaruh curiga lalu mendekat pula. Dia terkejut mendengar bahwa Bhutan diserang oleh Tambolon, maka dia pun lalu berkata kepada Pendekar Super Sakti, “Kalau begitu, saya harus cepat ke sana untuk membantu...”

See-thian Hoat-su tertawa. “Ha-ha-ha, kami guru dan anak tidak mau mencari keributan, kami mempunyai urusan pribadi sendiri, maka maafkanlah kami yang sekarang harus pergi. Hayo, Siang In!” Dia memegang tangan muridnya dan pergi dengan cepat. Siang In melambaikan tangan kepada mereka terutama kepada Hwee Li yang dibalas pula oleh Hwee Li.

Setelah guru dan murid itu pergi, Pendekar Super Sakti berkata kepada Ceng Ceng, “Kita harus berhati-hati dan jangan sembrono, Nona. Lebih baik kita mendekati lebih dulu pimpinan suku bangsa ini dan mencari keterangan dari mereka.”

Baru saja dia berkata demikian, para penonton yang merasa kagum kepada pendekar kaki buntung ini yang tadi telah memperhatikan kehebatan ilmu sihirnya sehingga mereka yang menonton menjadi kagum dan juga takut, kini bergerak minggir dan memberi jalan dengan sikap hormat kepada tiga orang yang berpakaian jubah lebar dan lebih mewah dari pada pakaian mereka semua. Kiranya mereka ini adalah tiga orang pimpinan suku bangsa itu yang mendengar akan kehebatan ilmu sihir dari kakek berkaki buntung sebelah, juga kehebatan seorang dara muda yang mengalahkan orang India ahli bermain ular. 

Dengan sikap ramah tiga orang kepala suku itu lalu mengundang Pendekar Super Sakti dan dua orang dara cantik itu sebagai tamu kehormatan. Kesempatan ini tentu saja disambut dengan baik oleh Pendekar Super Sakti. Mereka kemudian diajak memasuki perkemahan dan dijamu dengan masakan-masakan yang terbuat dari daging domba, menerima minuman yang bagi mereka merupakan minuman khas dan mewah, yaitu susu domba.

Pendekar Super Sakti, Ceng Ceng dan Hwee Li mendengar penuturan mereka melalui seorang penerjemah, bahwa memang benar mereka itu merupakan suku bangsa yang berpihak kepada Raja Tambolon yang kini sedang memerangi Bhutan.

“Kami membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti Anda,” kata kepala suku tertua sambil memandang Suma Han penuh perhatian. “Karena di pihak tentara Bhutan terdapat pemimpin-pemimpin yang amat pandai, bahkan seorang panglima wanita berada di sana memimpin pasukan pertahanan Bhutan. Kabarnya panglima wanita itu adalah puteri Kerajaan Ceng yang amat lihai. Ia dibantu oleh seorang laki-laki setengah tua yang luar biasa tinggi ilmunya, juga terdapat seorang pemuda yang luar biasa.”

Mendengar ini, Pendekar Super Sakti lalu menduga-duga dengan hati girang. Panglima wanita Kerajaan Ceng itu siapa lagi kalau bukan Milana, anaknya sendiri? Dan pemuda lihai itu tentulah Suma Kian Bu.

“Baiklah, kami akan melihat-lihat peperangan itu kalau kalian suka membawa kami ke sana,” katanya dengan girang.

Kepala suku itu menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah serombongan orang laki-laki muda dari suku bangsa itu yang dipilih sebagai tenaga-tenaga bantuan untuk pasukan Raja Tambolon yang sedang sibuk mengurung kota raja Bhutan. Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu ikut bersama mereka menuju ke medan peperangan. Karena suku bangsa liar itu sudah mengenal jalan dengan baik, maka perjalanan dapat dilakukan dengan amat cepatnya, dengan memotong jalan melalui pegunungan, menunggang kuda-kuda yang sudah terlatih baik.

Akan tetapi, sebelum mereka tiba di perkemahan yang didirikan oleh barisan pengurung kota raja Bhutan, ketika rombongan mereka tiba di lapangan terbuka, mereka terkejut sekali mendengar bunyi melengking tinggi dari atas, apa lagi ketika mereka memandang dan melihat seekor burung rajawali yang besar dan berbulu hitam menyambar turun sambil mengeluarkan bunyi melengking keras. Bubarlah pasukan itu dan pemimpin mereka lalu mementang gendewa, membidik ke arah rajawali.

“Jangan panah...!” Pendekar Super Sakti berseru, namun terlambat, anak panah itu telah meluncur ke arah burung.

“Hek-tiauw, awas panah...!” Hwee Li yang telah mengenal burungnya itu berseru keras.

Akan tetapi penyerangan itu terlalu ringan bagi rajawali hitam. Dengan mudahnya dia menyampok anak panah itu dengan kakinya, lalu dia menukik dan hendak menyerang ke arah kepala suku yang memanahnya tadi.

Akan tetapi, dengan sekali bergerak Pendekar Super Sakti telah mencelat dari atas kudanya, memapaki rajawali hitam yang menyambar turun itu.

“Plak! Desss...!”

Rajawali terpental dan terdengar teriakan kaget dari atas punggungnya. Kiranya ada orang yang menunggang rajawali itu.

“Ayah...!” Hwee Li berteriak ketika mengenal orang itu.

Sedangkan Hek-tiauw Lo-mo juga terkejut mendengar suara anaknya. Dia tadi amat kaget ketika serangkum hawa yang kuat keluar dari tangan Pendekar Super Sakti, membuat burungnya terpental. Maka kini melihat puterinya berada di situ, dia menjadi girang dan juga heran. Setelah menyuruh burung rajawalinya turun, dia pun meloncat ke atas tanah.

“Ayah...! Kau sungguh terlalu, Ayah, selalu meninggalkan aku!” Hwee Li berseru dengan wajah bersungut-sungut.

Sementara itu, rombongan suku bangsa liar itu terbelalak dengan muka pucat. Tentu orang ini bukan manusia, pikir mereka, melainkan dewa yang tinggal di langit dan kini turun menunggang burung raksasa untuk menghukum. Maka dua puluh lebih orang-orang yang tidak pernah takut menghadapi lawan manusia itu kini menjatuhkan diri berlutut! 

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tidak mempedulikan mereka, juga tidak mempedulikan puterinya setelah sekilas pandang melihat puterinya sehat-sehat saja, melainkan dia memandang dengan penuh perhatian kepada kakek yang sebelah kakinya buntung dan yang tadi membuat rajawalinya terpental. Sampai lama kedua orang ini berdiri saling pandang karena Suma Han juga sudah meloncat turun dari kudanya setelah tadi menyelamatkan pimpinan rombongan yang diserang rajawali hitam. Sedangkan Hwee Li sudah lari ke dekat burung rajawalinya itu dan merangkul lehernya.

“Aih, hek-tiauw, kau telah sembuh...?” katanya sambil membelai kepala burung rajawali itu yang mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing yang dibelai majikannya.

Hal ini membuat semua orang suku bangsa liar itu menjadi bengong dan semakin ketakutan. Kiranya rombongan tiga orang yang hendak membantu mereka itu adalah golongan dewa!

“Kau... kau... tak salah lagi! Kau tentu Pendekar Siluman Suma Han, Majikan Pulau Es!” Akhirnya Hek-tiauw Lo-mo berseru keras, dengan sedikit keraguan masih menempel di dalam suaranya.

“Hek-tiauw Lo-mo, engkau seharusnya berada di Pulau Neraka yang telah kau rampas dan kuasai,” kata Suma Han, nada suaranya keras dan berwibawa. “Tahukah engkau tempat apa yang kau rampas dan kuasai itu? Tempat pembuangan dan siapa sudah menetap di sana tidak boleh pergi lagi dari pulau itu, karena kepergiannya berarti hanya menyebar mala petaka. Kembalilah kau ke Pulau Neraka.”

“Ha-ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Sudah puluhan tahun aku ingin sekali bertemu dengan Pendekar Siluman sebelum aku mati dan selalu tidak pernah ada kesempatan. Siapa tahu sekarang bertemu di sini, sungguh girang sekali hatiku. Ingin aku merasakan sendiri kehebatan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang namanya menggetarkan kolong langit.”

Setelah berkata demikian Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan dari kedua tangannya mengepul uap hitam! Agaknya karena maklum akan kelihaian Suma Han, kakek ketua Pulau Neraka ini telah mengerahkan ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan bagaikan badai mengamuk dia lalu menerjang Pendekar Super Sakti.

“Wuuuutttt... syuuuuttt...!”

Angin yang dahsyat menyambar, membuat pasir dan debu beterbangan saking hebatnya serangan yang dilakukan oleh kakek ini. Rombongan suku bangsa liar itu terkejut dan ketakutan, cepat mereka mundur dan berusaha menenangkan kuda mereka yang meringkik ketakutan dan meronta berusaha melarikan diri.

“Hemmm...!” Suma Han mengeluarkan seruan.

Tubuhnya telah mencelat ke kiri dengan gerak loncat Soan-hong-lui-kun menghindarkan serangan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi kakek Pulau Neraka ini sudah menyerang lagi, menubruk seperti seekor singa kelaparan dengan kedua tangan terpentang dan jari-jarinya membentuk cakar singa. Kembali Suma Han menggunakan kecepatan gerakan kaki tunggalnya, membiarkan lawan menubruk tempat kosong.

“Ayaaaah... jangan...!” Hwee Li berteriak.
“Sssttt, Hwee Li, jangan mencampuri urusan orang tua!” Ceng Ceng berseru mencegah muridnya karena dia tahu betapa berbahayanya kalau muridnya itu mendekati dua orang sakti yang sedang bertanding itu. Dia maklum akan kelihaian dan bahayanya Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia pernah terluka parah oleh tokoh Pulau Neraka itu. Maka kini, berhadapan dengan Majikan Pulau Es, Ketua Pulau Neraka itu bertemu lawan dan tentu pertandingan itu akan hebat dan berbahaya sekali.

Hwee Li tidak berani bersuara lagi, lebih-lebih melihat burung rajawali hitam itu menjadi gelisah dan dia tahu bahwa kalau dia melepaskan burung itu, tentu burung itu akan membantu ayahnya dan mengeroyok Pendekar Super Sakti. Maka dia yang tidak ingin melihat pendekar yang dia tahu amat baik hati itu dikeroyok, lalu merangkul leher burungnya dan menenangkannya, seperti rombongan itu menenangkan kuda masing-masing.

“Haaaihhh... waaahhhh!”

Hek-tiauw Lo-mo masih menyerang terus dengan dahsyat dan bertubi-tubi sampai dua puluh empat jurus dia menerjang terus menerus dan sambung menyambung tanpa memberi kesempatan sedikit pun kepada lawannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Suma Han terdesak. Sama sekali tidak, melainkan pendekar itu memang hanya mengelak saja, mengandalkan gerakan Soan-hong-lui-kun yang kecepatan gerakannya tidak ada keduanya di dunia. Pukulan-pukulan Hek-coa-tok-ciang membuat di sekeliling dua orang itu tampak uap hitam berhamburan dan bau amis memenuhi udara.

“Hemm, kau sungguh tak tahu diri, Hek-tiauw Lo-mo!” terdengar seruan Pendekar Super Sakti.

Tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan mata lawan, tahu-tahu dari belakang lawan tangannya melayang dan membalas serangan-serangan itu. Hek-tiauw Lo-mo terkejut, membalik sambil menangkis, namun tubuh lawannya berkelebat dengan kecepatan yang luar biasa dan sudah lenyap lagi, tahu-tahu menyerang dari kanan. Dia cepat mengelak dan demikianlah, Hek-tiauw Lo-mo sekarang hanya mengelak dan menangkis karena tubuh lawannya bergerak terlalu cepat sehingga sukar dia ikuti dengan pandang mata!

“Pendekar Siluman, jangan menggunakan ilmu siluman, hayo kau hadapi aku secara jantan!” teriaknya marah dan juga jeri.
“Hek-tiauw Lo-mo, apa yang kau maksudkan dengan cara jantan?”
“Heiiittttt!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan sinar hitam tipis menyambar ke arah berkelebatnya bayangan Pendekar Super Sakti yang menunda serangan-serangannya karena melayani lawan bicara.
“Plakkk!”

Jala itu kena sambaran hawa pukulan tangan kiri Pendekar Super Sakti dan... robek seperti terbakar. Itulah pukulan Hui-yang Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga benda pusaka yang tahan api itu masih tidak mampu bertahan menghadapi pukulan itu.

“Keparat!” Hek-tiauw Lo-mo makin marah dan dia kini menghantam sambil berteriak, “Hadapi pukulanku ini!”
“Hemm...!” Pendekar Super Sakti berdiri tegak, mengempit tongkatnya sehingga dia hanya berdiri dengan satu kaki, kedua tangannya menerima hantaman kedua tangan lawan.
“Dessss...!”

Tubuh Pendekar Super Sakti yang hanya ditopang oleh sebelah kaki seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki itu bergoyang-goyang, seperti batang padi tertiup angin, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar dan terbanting roboh lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangkit lagi, matanya menjadi merah, mukanya pucat dan dia mengusap sedikit darah yang mengalir keluar di ujung bibirnya! Sejenak dia memandang penuh kebencian, penuh kemarahan, akan tetapi juga penuh takjub akan kehebatan lawan yang sudah bertahun-tahun dianggapnya sebagai musuhnya yang nomor satu di dunia ini.

Sejenak mereka berpandangan dari jarak sekitar lima meter, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menunduk, membungkuk lalu membentak, “Pendekar Siluman, kau sambutlah ini kalau memang kau jantan...!” Lalu tubuh Ketua Pulau Neraka itu bergerak lari ke depan dengan kepala di depan, persis seperti seekor kerbau menyerang dengan tanduknya. Kepalanya menuju ke arah perut Pendekar Super Sakti.

Pendekar ini terkejut sekali melihat kenekatan lawan, akan tetapi dia tidak bergerak menyingkir, bahkan lalu menerima serudukan nekat itu dengan perutnya yang kecil.

“Capppp...!”

Kepala Hek-tiauw Lo-mo seolah-olah memasuki rongga perut Pendekar Super Sakti, tubuh kakek Pulau Neraka ini kaku seperti sebatang kayu sehingga kakinya lurus ke belakang. Mendadak kedua tangannya bergerak menghantam ke arah kedua pundak Pendekar Super Sakti, akan tetapi pendekar ini telah terlebih dulu menggerakkan kedua tangannya menyambut hantaman itu!

“Plakkk!” Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat.
“Locianpwe, jangan bunuh ayahku...!” Tiba-tiba Hwee Li yang masih merangkul rajawali hitam itu berseru nyaring.

Sejenak Pendekar Super Sakti mengerling ke arah bocah itu, lalu terdengar mulutnya mengeluarkan bunyi melengking nyaring yang membuat semua kuda rombongan suku bangsa liar itu meringkik ketakutan dan membuat rajawali hitam juga meronta-ronta ketakutan. Berbareng dengan pekik melengking ini, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar ke arah puterinya dan terbanting jatuh.

“Aduuuhhhh...!” Tanpa tertahankan lagi Ketua Pulau Neraka ini mengeluh, kemudian menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, sekilas memandang ke arah lawan yang masih berdiri tegak dan tenang, kemudian secepat kilat dia menyambar pinggang Hwee Li dan meloncat ke atas punggung rajawali hitam yang segera menggerakkan sayapnya terbang dari tempat itu.

“Hwee Li...!” Ceng Ceng berseru kaget.
“Ayah, lepaskan aku...! Aku mau ikut Subo...!” Hwee Li meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan ayahnya dan tak lama kemudian burung itu sudah terbang tinggi dan lapat-lapat terdengar tangis Hwee Li.
“Ohhh...,” Ceng Ceng mengeluh.
“Dia diajak pulang oleh ayahnya, perlu apa disesalkan? Dan anak itu memang perlu berdekatan dengan ayahnya. Agaknya hanya anaknya itu saja yang akan mampu merubahnya,” kata Pendekar Super Sakti. Ceng Ceng diam saja dan memang peristiwa ini hanya sebentar saja menggores hatinya yang sudah menjadi layu.

Kini pimpinan rombongan, diikuti oleh semua anak buahnya berlutut di depan Pendekar Super Sakti.

“Pendekar besar... siapakah yang datang menunggang burung dewa tadi? Apakah dia itu golongan dewa atau golongan iblis?” tanya pimpinan rombongan yang paling pandai berbahasa Han dari pada yang lain.

Suma Han tersenyum. “Kalau dikatakan bahwa dia itu iblis memang lebih cocok,” jawabnya.

“Ahhh, kalau begitu paduka adalah seorang dewa!” Ucapan ini disusul oleh sikap yang amat menghormat, mereka berlutut dan menyembah-nyembah.
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Suma Han.

Oleh karena mereka merasa dibantu oleh dewa, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Bhutan yang sedang dikurung oleh pasukan-pasukan Tambolon dengan gembira.....

********************

Selanjutnya baca
KISAH SEPASANG RAJAWALI : JILID-30
LihatTutupKomentar