Kisah Sepasang Rajawali Jilid 30


Puteri Milana, Gak Bun Beng, Panglima Jayin dan para panglima lainnya malam itu mengadakan perundingan. Bentrokan dengan pihak musuh secara terbuka ternyata tidak menguntungkan mereka. Biar pun dalam perang pertama kali itu kalau dihitung jatuhnya korban, mereka dapat dikata menang karena jumlah musuh yang menjadi korban jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tentara mereka, akan tetapi robohnya para korban di pihak mereka itu berarti berkurangnya jumlah mereka sehingga pertahanan mereka menjadi makin lemah, sedangkan pihak musuh yang mengurung di luar tentu saja dapat menyusun kembali kekuatan dengan mendatangkan bala bantuan dari luar!
Mereka semua merasa bingung dan kehabisan akal. Akan tetapi Puteri Milana yang sudah biasa dengan siasat perang, dalam keadaan segawat itu tidak menjadi putus asa dan dia berkata, “Kalau mengandalkan perang terbuka, jumlah kita yang belum tentu ada separuh jumlah mereka pasti akan menderita kerugian besar. Maka sebaiknya kita menggunakan siasat, menyerang mereka dari luar.”

“Menyerang mereka dari luar?” tanya Jayin bingung. “Apa yang paduka maksudkan?”
“Sepasukan pengawal pilihan yang dipimpin oleh Sangita dan Tek Hoat telah menanti saat baik di luar dan mereka tentu akan bergerak setelah kita beri tanda lagi. Kalau kita menyelundupkan pasukan-pasukan keluar, kemudian menyerang mereka dari berbagai jurusan, tentu mereka akan menjadi kacau-balau. Benteng kita cukup kuat, dan tidak perlu dijaga terlalu banyak tentara. Kalau banyak terjadi penyerangan oleh pihak kita dari luar, tentu mereka menyangka bahwa penyerang-penyerang dari luar itu adalah bala bantuan yang datang dari berbagai pihak dan hal ini pasti akan melemahkan semangat mereka. Barisan yang dipimpin Tambolon bukan merupakan suatu suku bangsa yang bersatu, melainkan dari banyak suku bangsa. Sekali semangat mereka dipatahkan, mereka tentu akan cerai-berai.”

Semua orang tidak ada yang dapat membantah siasat yang dikemukakan oleh Milana.

“Biar aku yang memimpin pasukan menyelundup dan menerobos keluar dari kepungan musuh,” kata Bun Beng.

Milana mengangguk. “Memang penerobosan keluar ini saya percayakan kepadamu, Gak-suheng. Kita memilih bagian yang paling lemah dijaga musuh, yaitu di bagian barat karena kini bagian selatan sudah diperkuat, kemudian setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, harus dapat berpencar menjadi pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh perwira masing-masing, kemudian mencari tempat persembunyian yang baik di empat penjuru dan mengadakan serangan-serangan gangguan di waktu malam agar pihak musuh tak dapat beristirahat dan mengalami kekacauan.”

Puteri Milana lalu mengemukakan rencana siasatnya, didengarkan penuh perhatian oleh para pembantunya. Sampai lewat tengah malam mereka berunding dan mengatur persiapan karena menurut rencana mereka, pada malam itu juga, menjelang pagi sehingga keadaan para penjaga pihak musuh sedang lelah-lelahnya, mereka akan melakukan penyelundupan atau penerobosan keluar itu.

Semua pasukan yang jumlahnya empat ribu orang, yang kemudian akan dipecah menjadi empat kelompok, sudah siap di pintu gerbang barat, menanti saat dibukanya pintu gerbang dan menanti isyarat yang akan diberikan oleh Sang Puteri Milana sendiri. Pasukan itu dipimpin oleh Gak Bun Beng yang berpakaian biasa, bahkan banyak sekali, sebagian besar di antara anak buah pasukan, mengenakan pakaian biasa seperti yang telah diatur dalam rencana siasat Puteri Milana sehingga oleh pihak musuh akan disangka bahwa pasukan-pasukan itu adalah bala bantuan dari luar.

Akan tetapi sebelum isyarat diberikan oleh Puteri Milana, mendadak terdengar suara gaduh di luar tembok. Penjaga segera datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar tembok benteng, di sebelah timur terjadi kekacauan di pihak musuh dan nampak api berkobar seperti terjadi kebakaran besar dan terdengar teriakan-teriakan dan tanda-tanda persiapan dan perang!

Peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangka ini membuat Puteri Milana terpaksa menunda gerakan penerobosan itu. “Kita harus tahu lebih dulu apa artinya peristiwa itu,” katanya kepada Gak Bun Beng. “Penerobosan dapat ditunda sampai besok malam... aku khawatir kalau-kalau Tek Hoat melakukan sesuatu di luar rencana.”

Semua orang berkumpul di atas benteng, memandang ke tempat terjadinya kebakaran dan melihat perang yang hanya mereka ketahui dari suaranya saja. Akan tetapi tidak lama kemudian, sinar matahari pagi menerangi keadaan di bawah dan tidak jauh dari tembok benteng, pandang mata Bun Beng dan Milana melihat seorang laki-laki yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak tentara musuh. Biar pun dari atas menara masih agak jauh tempat pertempuran itu, dan orang-orang yang bertempur itu kelihatan kecil-kecil saja, namun melihat gerakan silat orang yang dikepung di tengah-tengah itu membuat Bun Beng terkejut bukan main.

“Dia Tek Hoat...!” serunya.
“Eh, benarkah?” tanya Milana.
“Aku tidak lupa gerakan silatnya!”
“Hemm, seperti yang kukhawatirkan. Anak itu lancang sekali.”

“Dan terlalu berani. Lihat, kemungkinan semua pasukannya sudah terbasmi habis. Yang bertanding hanya tinggal dia seorang diri. Aku harus menolongnya. Milana, harap kau perintahkan penjaga pintu gerbang untuk bersiap menolongku masuk..., aku harus menolongnya.”

“Tapi...”
“Tidak ada tapi...”
“Gak-taihiap, itu terlalu berbahaya.” Sri Baginda yang juga ikut pula meninjau keadaan keributan di bawah itu berkata, “Lebih baik suruh sepasukan pengawal untuk keluar membantunya.”
“Kita tak boleh kehilangan banyak anggota pasukan, Sri Baginda. Saya dapat menolong dia. Sumoi, aku pergi!”

Dengan cekatan Gak Bun Beng lalu meloncat turun dari atas menara itu ke tembok tingkat yang lebih rendah, kemudian terus dia berloncatan dengan gerakan berjungkir-balik, cepat sekali sehingga sukar bagi mata biasa untuk mengikuti gerakan tubuhnya yang seolah-olah terbang itu dan tak lama kemudian dia telah tiba di atas tanah di luar tembok benteng. Segera terdengar teriakan-teriakan dan anak-anak panah meluncur dari berbagai jurusan. 

Akan tetapi Puteri Milana yang mengikuti gerakan kekasihnya dengan penuh perhatian itu telah memerintahkan barisan panah untuk menyerang dan melindungi Bun Beng yang meruntuhkan semua anak panah dengan gerakan kedua lengannya, kemudian pendekar ini terus berloncatan maju ke arah Tek Hoat yang dikepung oleh banyak musuh. Puteri Milana sendiri cepat turun dan mengatur pasukan penjaga pintu gerbang untuk bersiap-siap melindungi Bun Beng dan Tek Hoat jika mereka nanti sudah mundur sampai di pintu gerbang.

Dugaan Bun Beng memang tepat sekali. Menjelang pagi hari itu, atau lebih tepat lewat tengah malam, Tek Hoat telah memimpin pasukannya untuk mengacau dan membakar perkemahan Tambolon dan mengamuk. Mula-mula Panglima Sangita tidak setuju akan niat pemuda itu.

“Kita harus menanti isyarat dari Puteri Milana,” kata panglima itu. “Sungguh tidak baik kalau bertindak sendiri tanpa menanti perintah atasan.”

“Ciangkun, keadaan musuh makin kuat saja dan pihak musuh dengan mudah dapat memperkuat kedudukan dengan mendatangkan bala bantuan dari suku-suku bangsa liar. Akan tetapi kota raja terkurung dan dari mana diharapkan bantuan? Jalan satu-satunya hanyalah mengacaukan keadaan mereka, menyerbu di tengah malam selagi mereka tidak menyangka, melakukan pembakaran perkemahan mereka sebanyaknya dan kita menyergap di dalam kegelapan malam. Pembakaran-pembakaran yang kita lakukan merupakan pertanda bagi para pasukan kota raja untuk bertindak pula. Aku tidak tahan kalau harus terus berdiam diri menyaksikan kota raja dikurung dan diancam bahaya.” 

Demikianlah Tek Hoat bicara penuh semangat, didengarkan oleh semua pasukan yang segera menyatakan persetujuan dan kegembiraan mereka. Pasukan itu adalah pasukan pilihan yang gagah perkasa, maka mereka pun merasa gelisah harus bersembunyi dan diam saja menyaksikan kota raja dikepung pihak musuh. Akhirnya Sangita, yang juga merupakan seorang panglima setia dan gagah perkasa, menyetujui dan setelah lewat tengah malam, mulailah mereka bergerak menyerbu dan membakar perkemahan pihak musuh.

Tentu saja pasukan Tambolon menjadi terkejut. Datangnya serbuan itu sangat tidak mereka sangka dan sepak-terjang Tek Hoat dan Sangita bersama pasukannya amat hebat, sehingga mereka kalang kabut dan banyak terjatuh korban di pihak musuh. Perang mati-matian dan hebat sekali di dalam gelap terjadilah, namun tentu saja pihak penyerbu lebih diuntungkan karena mereka sudah memperhitungkan segala-galanya, sedangkan pihak pasukan Tambolon yang terkejut dan panik itu tidak tahu sampai di mana kekuatan pihak penyerbu sehingga banyak di antara mereka yang saling serang antara kawan sendiri.

Tetapi Tambolon yang menjadi marah oleh gangguan dari luar ini telah mengumpulkan pasukan besar dan mengurung hutan itu sehingga pasukan pengawal pimpinan Sangita dan Tek Hoat itu kini tidak mempunyai jalan mundur lagi. Terpaksa mereka mengamuk dengan mati-matian dan biar pun mereka telah merobohkan banyak sekali jumlah lawan, setiap orang prajurit paling sedikit membunuh lima orang musuh, namun setelah pagi tiba mereka terkurung, terhimpit dan mulailah mereka berjatuhan satu demi satu karena kelelahan dan terlalu banyak musuh yang mengeroyok. Sangita yang sudah tua mengamuk dengan sepasang goloknya seperti seekor singa tua. 

Entah berapa puluh orang musuh menjadi korban sepasang goloknya, tetapi akhirnya dia pun roboh di bawah serangan puluhan senjata sehingga tubuhnya menjadi hancur lebur, kematian yang amat gagah dari seorang prajurit, akan tetapi juga kematian yang amat menyedihkan.

Serbuan dan pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya ini benar-benar berhasil baik, selain membunuh banyak sekali musuh, juga membikin mereka panik, kacau dan menurun semangat mereka. Akan tetapi, pasukan itu sendiri pun terbasmi, roboh satu demi satu sampai akhirnya tinggal Tek Hoat sendiri yang masih mengamuk.

Tak terhitung banyaknya lawan yang roboh oleh pemuda perkasa ini. Pedang rampasan di tangannya sudah menjadi merah sampai ke gagangnya oleh darah musuh, akan tetapi dia sendiri pun tidak terhindar dari luka-luka yang dideritanya karena hujan senjata musuh. Dengan pakaian compang-camping, tubuh luka-luka dan berlumuran darah sendiri bercampur dengan darah lawan, pemuda ini masih mengamuk hebat ketika Bun Beng muncul.

Betapa pun gagahnya pemuda ini, menghadapi jumlah musuh yang amat banyak, yang roboh sepuluh datang dua puluh, yang seperti gelombang samudera hebatnya, dapat dipastikan bahwa melihat dari luka-lukanya, tak lama lagi Tek Hoat tentu akan roboh pula seperti Sangita kalau pertandingan itu dilanjutkan.

“Plak-plak-desss...!”

Enam orang di antara para pengeroyok Tek Hoat segera terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir ketika Gak Bun Beng menyerbu. Tek Hoat mengerling ke arah Bun Beng dan melanjutkan amukannya dengan pedang rampasannya.

“Tek Hoat, mari kita mundur ke pintu gerbang...!” Bun Beng berteriak sambil bergerak merobohkan dua orang pengeroyok lagi.
“Tidak bisa!” Tek Hoat menjawab tegas. “Semua anak buahku telah tewas, aku harus melawan sampai titik darah terakhir membela mereka!” 

Pedangnya yang tadinya sudah agak lemah gerakannya karena kelelahan itu seperti memperoleh tenaga baru, berkelebat dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang sekaligus merobohkan enam orang lawan!

“Tidak ada gunanya, musuh terlampau banyak...,” Bun Beng membujuk.
“Kalau kau takut, kembalilah!” Tek Hoat berteriak marah.

Bun Beng menarik napas panjang. Pemuda ini berhati keras sekali dan membujuknya tidak akan ada gunanya. Akan tetapi membiarkan dia mati pun sayang sekali. Pemuda ini gagah perkasa dan tidak memalukan menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti, dan biar pun pernah melakukan penyelewengan, namun pemuda inilah yang kelak akan dapat menjunjung tinggi nama ayahnya yang tersesat.

“Kalau begitu biarlah kita mati bersama!” Gak Bun Beng berkata dan dia pun mengamuk di dekat Tek Hoat.

Hatinya pun lega melihat pemuda itu tidak menaruh kecurigaan kepadanya dan bahwa pemuda itu sudah lelah sekali, hampir kehabisan tenaga dan menjadi lemah karena luka-lukanya yang amat banyak itu. Diam-diam Bun Beng merasa terharu dan dapat menyelami hati pemuda ini. Tentu pemuda ini merasa malu dan menyesal akan semua penyelewengannya dan kini hendak menebus semua itu dengan darah dan nyawanya!

Dia bertempur makin dekat dengan Tek Hoat. Pada saat Tek Hoat lengah karena harus menghadapi serbuan dari depan dan kanan kiri, tiba-tiba Gak Bun Beng menggunakan totokan satu jari dengan pengerahan tenaga sinkang-nya yang amat kuat. Biar pun Tek Hoat memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi, dalam keadaan lengah tak mungkin dia akan dapat menahan totokan dahsyat ini.

Dia mengeluh, tubuhnya lemas dan pedangnya terlepas dari tangannya. Bun Beng menyambar tubuhnya terus dipanggulnya, kemudian menyambar pedang lalu meloncat ke belakang. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga setiap senjata lawan yang menyerangnya tentu patah-patah, dan banyak pula musuh roboh. Kehebatan pendekar ini membuat jeri para prajurit musuh.

“Tangkap dia! Kejar! Kurung...!” Tambolon berteriak sambil berlari cepat mengejar, dan kini dia sendiri ikut menyerang.

Akan tetapi, tangkisan pedang itu yang digerakkan oleh lengan tangan Bun Beng yang luar biasa kuatnya, membuat golok besar di tangan Tambolon menyeleweng. Raja liar ini terkejut dan jeri, akan tetapi dia masih memimpin orang-orangnya untuk mengepung dan selalu mengejar apa bila Bun Beng meloncat makin mendekati pintu gerbang.

“Hujani anak panah!” Tambolon berteriak.

Teriakan ini melegakan hati Bun Beng. Dia tidak khawatir akan keroyokan anak panah dan sambil berlari mendekati pintu gerbang, dia memutar pedangnya. Semua anak panah runtuh dan dia terus berlari, dikejar oleh Tambolon dan anak buahnya sampai ke pintu gerbang.

Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dan terdengar aba-aba yang nyaring dari Puteri Milana, maka hujanlah anak panah dan batu dari atas benteng, juga Puteri Milana sendiri menyambut kedatangan Gak Bun Beng itu dengan pedang di tangan melindunginya. Akhirnya pendekar itu berhasil memasuki pintu gerbang sambil memondong Tek Hoat, dan pintu gerbang ditutup kembali, tentara Tambolon dipaksa mundur oleh hujan anak panah dari atas benteng.

Puteri Milana girang sekali dan di depan Sri Baginda dia memuji-muji Ang Tek Hoat. Serbuan pemuda itu dengan pasukannya secara nekat, membunuh banyak musuh dan menurunkan semangat mereka, benar-benar amat menguntungkan karena di dalam keributan tadi, Puteri Milana dapat melaksanakan siasatnya dengan baik sekali, berhasil menyelundupkan keluar empat ribu orang pasukan, hanya ada sedikit perubahan, yaitu Gak Bun Beng terpaksa tidak ikut karena pendekar ini tadi menyelamatkan Tek Hoat. Tempatnya digantikan oleh Panglima Jayin yang sudah berhasil pula membawa keluar pasukannya, kemudian memecahnya menjadi empat bagian dan mereka berpencar keempat penjuru, bersembunyi di hutan-hutan sambil menanti isyarat selanjutnya.

Puteri Syanti Dewi yang mendengar akan keadaan Tek Hoat, cepat berlari ke luar dan sambil menangis melihat tubuh pemuda itu penuh luka yang berlumuran darah, dia lalu memaksa ayahnya untuk mengijinkan dia sendiri merawat pemuda yang disebutnya sebagai penolongnya dan penyelamat nyawanya. Sri Baginda maklum akan keadaan hati puterinya, karena dia sendiri pun kagum dan suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa itu, yang dengan semangat luar biasa membela Bhutan, bahkan dengan rela hampir mengorbankan nyawa. Seluruh prajurit Bhutan membicarakan kegagahan Tek Hoat ini dan memuji-muji.

Pihak musuh benar-benar mengalami kerugian hebat sekali. Pembakaran-pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya mengakibatkan kebakaran besar dan baru dapat dipadamkan setelah malam terganti pagi sampai hampir siang. Hampir semua peralatan dan ransum perang rusak oleh kebakaran itu. Banyak pula yang tewas oleh penyerbuan tiba-tiba itu, banyak juga yang terluka oleh amukan api.

Yang lebih merugikan lagi, peristiwa itu kemudian mendatangkan rasa panik di antara mereka sehingga menurunkan semangat juang mereka sungguh pun Tambolon sendiri sudah berusaha membangunkan semangat mereka dan mengatakan bahwa setelah mengumpulkan kekuatan dan mendatangkan bala bantuan yang akan memakan waktu satu minggu, mereka akan melakukan serangan besar dan menduduki kota raja Bhutan!

Dengan berdiri di atas panggung sehingga tampak oleh para pimpinan suku dan para pembantunya, Tambolon mengajak gurunya, Nenek Durganini yang baru muncul, dan berkata dengan lantang, “Kita memang telah disergap di waktu malam dan mengalami sedikit kerugian. Tetapi tunggu sampai satu minggu, kita akan melakukan pembalasan! Jangan khawatir, di dalam tembok benteng itu terdapat harta berlimpahan, dan wanita-wanita yang cantik untuk kalian semua. Dan jangan takut menghadapi Puteri Mancu dan para pembantunya, karena sekarang kita dibantu oleh guruku sendiri yang menguasai ilmu gaib.”

Durganini terkekeh, kedua tangannya bergerak-gerak, mulutnya ternganga dan semua orang memandang takjub dan ngeri ketika dari kedua tangan dan dari mulut nenek itu keluar api berkobar-kobar! Tak lama kemudian nenek itu ‘menelan’ kembali semua api itu dan Tambolon berkata, “Lihat betapa guruku akan dapat membakar seluruh kota raja Bhutan dengan api mukjijat dari mulutnya. Dan guruku dapat pula menutup matahari menimbulkan kegelapan!”

Nenek itu lalu mengangkat kedua lengan ke atas, berkemak-kemik diikuti oleh semua mata orang-orang yang menonton dari bawah. Dan mulailah cuaca menjadi gelap, makin lama makin gelap. Semua orang menjadi panik, ada yang menjerit-jerit dan ada yang berlutut dan minta-minta ampun kepada nenek yang memiliki ilmu seperti dewa itu! Nenek itu menyudahi permainan sihirnya dan dengan cara ini, Tambolon berusaha membangkitkan kembali semangat para pembantunya yang terdiri dari bermacam suku bangsa liar itu.

Perawatan yang penuh ketekunan dan kemesraan dari Syanti Dewi membuat hati Tek Hoat menjadi terharu sekali. Berkat pengobatan dari Gak Bun Beng dan Puteri Milana yang pandai, dalam waktu tiga hari saja sembuhlah Tek Hoat.

“Dewi... aku... sungguh berhutang budi padamu...” Pagi hari itu Tek Hoat yang sudah duduk di atas pembaringan, berkata dengan suara tergetar karena terharu. Pagi-pagi sekali dia sudah mandi dan merasa tubuhnya segar, kesehatannya sudah pulih kembali, dan sepagi itu, Syanti Dewi sudah memasuki kamarnya dengan membawa sarapan dan minuman panas.

“Jangan berkata demikian, Tek Hoat. Engkau tahu bahwa aku melakukan semua ini dengan hati tulus ikhlas, dengan rela dan tidak ada budi di antara kita...”
“Dewi, baru membolehkan aku menyebut namamu saja sudah merupakan kehormatan tiada taranya bagiku. Engkau seorang puteri raja, sedangkan aku... aku...”
“Engkau seorang pahlawan Bhutan! Semua prajurit dan rakyat menyanjungmu atas pembelaanmu terhadap Bhutan, Tek Hoat. Dan aku belum mengucapkan terima kasih atas jasamu.” Syanti Dewi tersenyum dan Tek Hoat memandang silau.

“Tidak, Dewi..., ketahuilah bahwa dahulu aku...”
“Sudah kau ceritakan padaku, Tek Hoat. Engkau penjahat keji katamu. Akan tetapi aku tak peduli apa adanya engkau dahulu... yang penting bagiku adalah apa adanya engkau sekarang ini, Tek Hoat. Bagiku... engkaulah satu-satunya pria yang paling mulia, paling gagah, paling rendah hati... dan di kereta itu... kalau saja semua yang kudengar dari mulutmu itu benar...”

“Tentu saja benar! Aku cinta padamu, demi Tuhan... aku cinta padamu, akan tetapi aku pun tahu akan keadaan diriku. Tidak! Engkau terlalu agung dan aku terlalu rendah... mencium ujung sepatumu pun masih terlalu terhormat bagiku...”

“Ihhh, jangan berkata demikian, Tek Hoat... perih hatiku mendengarnya. Aku tidak ingin melihat engkau terus merendah, karena... engkaulah satu-satunya pria...” Syanti Dewi menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi merah sekali.

Tek Hoat membelalakkan matanya. Dia sudah merasakan kemesraan dan getaran cinta kasih puteri ini, akan tetapi selalu dibantahnya sendiri karena dianggapnya tidak masuk akal.
“...ya...? Lalu bagaimana..., Dewi?” Suara Tek Hoat gemetar dan jantungnya berdebar seperti akan meledak.
“...engkau satu-satunya pria yang... kucinta, Tek Hoat...”
“Ahh...!” Tek Hoat meloncat ke dekat jendela, membelakangi Syanti Dewi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir air mata yang meloncat keluar.
“Tek Hoat...! Ada apakah...?” Syanti Dewi mengejar dan memegang lengan pemuda itu.

Tek Hoat membalik, mereka saling berpegang tangan, saling pandang dan melihat dua butir air mata di bawah mata pemuda itu, Syanti Dewi tersenyum lalu tertarik menangis!

“Kau... kau menangis...?” bisiknya di antara isaknya.

Tek Hoat mengangguk, menggigit bibir sendiri lalu berbisik, “Tangis bahagia... tetapi mungkinkah ini...?”

Syanti Dewi tidak menjawab melainkan kedua lengannya lalu merangkul leher Tek Hoat dan dia membenamkan mukanya di dada pemuda itu yang memeluknya, memeluknya dengan ketat seolah-olah dia hendak menanamkan tubuh puteri itu di dalam dadanya sehingga mereka tidak akan terpisah lagi, agar tubuh puteri itu menjadi satu dengan tubuhnya.

Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk dan tak bergerak, dengan seluruh tubuh mengalirkan getaran-getaran kasih yang hanya dapat dirasakan oleh mereka berdua. Mereka lupa akan segala hal, bahkan Tek Hoat yang mempunyai pendengaran terlatih itu tidak mendengar ketika ada orang memasuki kamar itu. Suara berdehem dari Sri Baginda mengejutkan mereka. Tek Hoat melepaskan rangkulannya, kemudian menjatuhkan diri berlutut sambil memejamkan mata, sadar akan dosanya, sedangkan Syanti Dewi berlari dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.

“Ayah... kami... kami berdua saling mencinta...” bisik Syanti Dewi seolah-olah hendak melindungi kekasihnya.

Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Aku sudah menduganya dan aku amat girang mendengar ini, Anakku. Dia memang pantas menjadi pelindungmu selama hidup dan engkau, Tek Hoat. Sadarkah engkau betapa engkau telah kejatuhan bulan, menerima kurnia yang tak terbilang besarnya karena telah menjadi pilihan hati Syanti Dewi?”

“Hamba... hamba... akan mempertaruhkan nyawa untuk melindunginya dan membikin dia bahagia...” kata Tek Hoat lirih.

Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. “Engkau telah memperlihatkan pembelaanmu terhadap kerajaan, akan tetapi hendaknya engkau ingat bahwa kini kota raja kita masih terkurung oleh musuh, dan selama bahaya ini belum dapat dihalau, pantaskah kalau kita memikirkan tentang urusan dan kesenangan pribadi?”

Ang Tek Hoat terkejut bukan main, dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menyadari sepenuhnya betapa marah sebetulnya hati orang tua ini melihat puterinya bermain asmara sedangkan negara masih terancam bahaya.

“Harap paduka mengampunkan hamba... sekarang juga hamba akan menyerbu ke luar!” Tek Hoat memberi hormat dan cepat bangkit lalu berlari keluar dari kamarnya.
“Tek Hoat...!” Syanti Dewi menjerit.
“Orang muda, rundingkan segalanya dengan Puteri Milana!” Sri Baginda juga berteriak, kemudian dia merangkul puterinya dan berbisik, “Dia gagah perkasa, kita lihat saja apakah dia patut menjadi mantu Kerajaan Bhutan, Anakku.”

Sementara itu, Tek Hoat sudah berlari ke dalam ruangan besar di mana Milana, Gak Bun Beng dan panglima lainnya sudah hadir dan sedang mengadakan perundingan. Kedatangan Tek Hoat diterima gembira oleh Milana dan Bun Beng.

“Ahhh, kau sudah sehat kembali, Tek Hoat? Bagus! Memang kami amat membutuhkan bantuanmu, dan malam nanti kita harus bergerak.”

Tek Hoat lalu duduk dan ikut mendengarkan rencana siasat yang diatur oleh Puteri Milana. Diam-diam dia merasa makin kagum kepada puteri ini dan berdebar jantungnya kalau dia teringat akan cerita tentang dirinya. Ayahnya, manusia iblis yang memperkosa ibunya, adalah kakak tiri dari puteri ini!

“Kini Panglima Jayin sudah mengatur pasukan yang berhasil menerobos keluar itu, mengambil kedudukan di empat penjuru dan sudah mempelajari kedudukan musuh. Dengan penyergapan dari empat penjuru, musuh tentu dapat dibikin kacau dan biar pun jumlah kita kalah banyak, akan tetapi kita menang semangat dan menang perhitungan. Malam nanti cuaca amat gelap dan dingin, sedangkan bala bantuan dari para musuh belum tiba. Gak-suheng akan membawa pasukan, menyerbu keluar melalui pintu gerbang timur, dan Tek Hoat memimpin pasukan menyerbu keluar melalui pintu gerbang selatan. Aku sendiri akan memimpin pasukan inti kemudian menyerbu keluar melalui pintu gerbang utara yang menjadi pusat barisan musuh. Serbuan kalian harus diarahkan ke utara dan selagi perang berlangsung, kita akan memberi tanda kepada pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Panglima Jayin agar bergerak dari luar dan menyerang bagian belakang pihak musuh.”

Setelah membagi-bagi tugas, maka bersiaplah mereka dengan pasukan masing-masing, dibantu oleh para perwira tinggi dan para pendeta Buddha yang memiliki kepandaian silat. Memang sudah diperhitungkan oleh Puteri Milana. Malam itu gelap karena tidak ada bulan, bahkan bintang-bintang di langit hanya nampak sedikit karena tertutup oleh awan. Hawa udara amat dinginnya sehingga para penjaga pihak musuh terkantuk-kantuk di udara terbuka.

Lewat tengah malam, menjelang pagi di waktu hawa sedang dingin-dinginnya dan semua orang sedang mengantuk-ngantuknya, mendadak terdengar bunyi terompet melengking nyaring di pintu gerbang selatan. Pintu gerbang terbuka dan menyerbulah pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat, menyerbu ke tempat pihak musuh yang sudah diketahui sebelumnya.

Tentu saja pihak musuh menjadi panik karena baru saja terbangun dari tidur dan tahu-tahu perkemahan mereka dibakar lawan. Dengan pakaian tidak karuan, bahkan ada yang masih telanjang dan setengah telanjang, mereka berlarian keluar dari kemah untuk menghadapi amukan pasukan Bhutan yang berada dalam keadaan bersemangat dan segar.

Pula, pertempuran yang terjadi di tempat gelap itu dilakukan dengan baik sekali oleh pasukan Bhutan. Mereka dapat mengenal teman-teman sendiri melalui isyarat bentakan ‘houw’ yang berarti ‘harimau’ sehingga biar pun bertanding di dalam gelap, mereka dapat saling mengenal kawan sendiri dan dapat bekerja sama dengan baik. Teriakan-teriakan ‘houw’ terdengar di mana-mana disusul pekik kebingungan dan robohnya para anggota tentara musuh yang tentu saja menjadi panik dan ada yang saling serang di antara kawan sendiri di dalam gelap.

Pada saat yang hampir bersamaan, di pintu gerbang timur, pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng juga mengadakan penyerbuan yang sama. Pasukan ini menggunakan isyarat bentakan ‘liong’ (naga) untuk saling mengenal kawan sendiri dalam pertempuran keroyokan dalam gelap itu. Seperti juga Tek Hoat yang memimpin pasukannya dengan penuh keberanian dan yang sepak-terjangnya menggiriskan hati musuh, demikian juga Gak Bun Beng mengamuk seperti seekor naga sakti.

Selagi pihak musuh yang panik mulai dapat diatur kembali oleh Tambolon serta para pembantunya, tiba-tiba di udara yang gelap kelihatan sinar merah meluncur di angkasa. Empat kali sinar merah itu meluncur dan tiba-tiba terdengar bunyi terompet, tambur dan sorak-sorai dari mana-mana, dari empat penjuru dan menyerbulah pasukan-pasukan yang bersembunyi di dalam hutan-hutan, yaitu pasukan-pasukan yang tiga hari yang lalu telah menyelundup keluar di bawah pimpinan Panglima Jayin. Kejadian ini benar-benar mengejutkan hati Tambolon karena tahu-tahu barisannya diserang dari belakang dan di empat penjuru pula!

Pelepas anak panah api merah sebagai isyarat itu adalah Puteri Milana sendiri yang kini memimpin pasukan inti yang paling besar jumlahnya, keluar dari pintu gerbang utara disertai bunyi terompet, tambur dan sorak-sorai bergemuruh, lalu menyerbu keluar. Maka kacau-balaulah pasukan musuh karena seolah-olah mereka menghadapi lawan dari depan, belakang, kanan dan kiri! Apa lagi pihak Bhutan menyerang di malam gelap, dengan gerakan yang begitu teratur sehingga pihak Tambolon menyangka bahwa bala bantuan untuk Bhutan datang dari empat penjuru.

Memang siasat yang dilaksanakan oleh Puteri Milana itu hebat sekali. Semacam perang gerilya yang diperhitungkan dengan masak-masak sehingga biar pun jumlah tentara Bhutan jauh lebih kecil, namun sekali pukul ini membuat pasukan-pasukan Tambolon yang jauh lebih banyak itu menjadi kacau-balau dan kocar-kacir.

Hal ini adalah karena Tambolon terlalu mengandalkan jumlah besar pasukannya, akan tetapi pasukan-pasukan itu terdiri dari bermacam suku bangsa sehingga tentu saja tidak ada persatuan yang kompak. Mereka ini hanya mengandalkan keberanian dan tenaga kasar saja, maka menghadapi siasat yang cerdik itu mereka menjadi panik dan banyak di antara mereka yang menjadi korban dalam perang yang terjadi di malam gelap, hanya diterangi oleh berkobarnya api yang membakar perkemahan-perkemahan mereka.

Akan tetapi, Tambolon dan para pembantunya dengan nekat melakukan perlawanan mati-matian sehingga pertempuran itu berlangsung sampai hari menjadi terang. Kini nampaklah pertempuran itu. Di mana-mana mayat anggota pasukan-pasukan Tambolon berserakan, api masih berkobar dan pihak musuh yang tadinya mengepung di selatan telah dapat didesak oleh Tek Hoat sehingga mereka mundur ke arah timur kota raja di mana mereka menggabungkan diri dengan pasukan di timur yang juga telah mengalami hantaman dahsyat dari pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng dan pasukan yang menyerbu dari luar.

Kini pasukan ‘harimau’ yang dipimpin Tek Hoat bergabung dengan sisa pasukan yang menyerbu dari belakang musuh, bersatu dengan pasukan timur dan terjadilah perang yang amat besar di mana Tek Hoat dan Gak Bun Beng berkelahi bahu-membahu dan sepak-terjang dua orang ini memang hebat sekali, menggiriskan pihak lawan. Biar pun mereka tidak memegang senjata, namun kedua tangan dan kaki mereka merupakan senjata-senjata yang amat ampuhnya.

Pada saat perang sedang hebat-hebatnya, tiba-tiba saja udara menjadi gelap, makin lama makin gelap sehingga menggelisahkan pasukan Bhutan, apa lagi karena agaknya pihak musuh tidak merasakan kegelapan itu.

“Ini tidak wajar! Perbuatan sihir...!” Beberapa orang pendeta Buddha yang membantu pasukan Kerajaan Bhutan berseru dan mereka itu segera duduk bersila untuk melawan pengaruh sihir itu.

Namun pengaruh itu terlampau kuat sehingga mereka tidak mampu menandinginya dan kini bahkan banyak anak buah pasukan Bhutan yang merasa ngeri oleh karena mereka melihat awan hitam datang bergulung-gulung dan dari awan itu muncul naga-naga yang menyemburkan api! Tentu saja perasaan ngeri dan takut itu membuat mereka kurang waspada dan banyak di antara mereka yang roboh oleh babatan senjata lawan.

Gak Bun Beng dan Tek Hoat juga merasakan pengaruh mukjijat ini. “Celaka, agaknya musuh menggunakan ilmu hitam!” kata Bun Beng yang sudah berpengalaman, namun dia merasa tidak berdaya karena dia tidak menguasai ilmu itu.

“Tentu nenek iblis Durganini!” Tek Hoat berseru. “Gak-taihiap, biar aku mencari nenek iblis itu. Kalau dia dapat dibinasakan, tentu lenyap pengaruh mukjijat ini!” Sebelum Bun Beng menjawab, pemuda yang perkasa ini sudah melompat dan merobohkan setiap orang penghalang. Bun Beng merasa khawatir karena maklum betapa lihainya nenek yang kabarnya adalah guru dari Tambolon dan memiliki kepandaian yang amat hebat itu, maka dia pun lalu mengejar bayangan Tek Hoat yang mengamuk dan menuju ke utara.

Dugaan Tek Hoat memang tepat sekali. Melihat keadaan pasukannya kocar-kacir dan terancam kemusnahan, Tambolon menjadi bingung dan jengkel karena tidak melihat gurunya. Maka dia lalu mencari sendiri dan melihat nenek yang pikun itu masih enak-enak tidur mendengkur di dalam perkemahan, dia setengah menyeret gurunya itu untuk disuruh membantu.

Nenek yang terganggu tidurnya itu mengomel, akan tetapi dia memenuhi permintaan muridnya, mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya dan menciptakan awan hitam yang mengandung banyak naga siluman sehingga pihak musuh menjadi panik dan ketakutan. Akan tetapi, selagi nenek ini berdiri dengan kedua lengan bersilang di depan dada, di depannya mengepul seikat dupa yang dibakar, mulutnya berkemak-kemik dan asap hio membubung tinggi menciptakan pemandangan yang aneh itu, tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki satu.

Kakek ini bukan lain adalah Pendekar Super Sakti Suma Han yang datang bersama Ceng Ceng dan rombongan penggembala liar yang hendak membantu ‘perjuangan’ Raja Tambolon. Kebetulan sekali begitu memasuki daerah pertempuran, Pendekar Super Sakti melihat gejala yang tidak wajar yang ditimbulkan oleh ilmu sihir Nenek Durganini. Tentu saja Suma Han terkejut bukan main.

“Nona, kau tunggu dulu di sini...” katanya dan sebelum Ceng Ceng sempat menjawab kakek berkaki satu itu sudah berkelebat dan kemudian lenyap di antara banyak orang yang sedang bertanding.

Ceng Ceng berdiri bengong dan tentu saja dia segera membantu pasukan Bhutan yang mudah dikenalnya dari pakaiannya. Melihat gadis asing ini tahu-tahu mengamuk dan membantu mereka, para prajurit Bhutan menjadi girang dan mereka bertanding dengan penuh semangat.

Dengan kecepatan kilat karena gerak Ilmu Soan-hong-lui-kun, Pendekar Super Sakti kini tiba di depan Nenek Durganini yang masih mengerahkan ilmunya. Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya, tidak senang melihat nenek itu menggunakan ilmu hitam dalam perang. Maka dia lalu menggerakkan tangan kirinya, didorongkan ke depan, ke arah dupa yang mengepulkan asap itu.

“Blaaarrr...!”

Tampak sinar kilat dan tempat dupa itu hancur berantakan, apinya berhamburan dan seketika itu juga lenyaplah awan gelap yang mengandung naga-naga siluman.

Nenek Durganini terkejut bukan main dan cepat dia memandang ke depan. Ketika dia melihat seorang laki-laki berusia kurang dari enam puluh tahun, berkaki satu, berdiri tegak bersandar pada tongkat bututnya, laki-laki yang memiliki sepasang mata yang tajam dan seperti dua buah bintang amat berwibawa, dia menjadi marah.

“Heh-heh, manusia lancang. Berani engkau menentang Durganini? Lihat betapa api neraka membasmi orang-orang Bhutan!” Nenek itu menudingkan telunjuknya ke atas dan dari telunjuknya itu menyambar kilat ke atas yang berubah menjadi api berkobar dan api ini mengejar orang-orang Bhutan yang tentu saja lari ketakutan karena ada lidah-lidah api yang ‘hidup’ mengejar-ngejar mereka.

“Hemmm, mengapa engkau begitu kejam?” Suma Han berseru dan menggerakkan tangannya ke atas. “Apa artinya api menghadapi air?” Tiba-tiba saja dari atas turun hujan lebat dan padamlah lidah-lidah api itu!

Orang-orang Bhutan tidak melihat mengapa awan gelap yang mengandung naga-naga siluman tadi lenyap, tidak mengerti pula mengapa ada hujan turun memadamkan lidah-lidah api, akan tetapi hal ini membuat mereka bergembira dan bersorak-sorailah mereka. Suara sorak-sorai yang menggegap-gempita itu membuat Nenek Durganini menjadi makin marah karena dia merasa seolah-olah dia yang ditertawai!

“Keparat, siapa engkau?” tanyanya kepada Suma Han sambil mengerahkan tenaga di dalam pandang matanya untuk menguasai orang yang kakinya buntung sebelah itu.
“Namaku Suma Han,” jawab Pendekar Super Sakti dengan tenang sekali dan dia pun menentang pandang mata itu dengan sikap tenang dan penuh kesabaran.

Nenek yang berpakaian serba hitam itu mengeluarkan suara melengking tinggi. “Engkau berani menentang Durganini, berarti engkau sudah bosan hidup!” Sambil berkata demikian, dia melontarkan tongkat hitamnya ke atas dan tongkat itu berubah menjadi Nenek Durganini kedua yang menerjang ke depan dengan kedua tangan membentuk cakar harimau.

Suma Han memandang tajam, lalu melontarkan tongkatnya pula yang juga berubah menjadi bayangan dirinya. Maka bertempurlah dua bayangan itu dengan hebatnya di udara! Orang-orang yang sedang bertanding di tempat itu, baik anak buah Tambolon mau pun orang-orang Bhutan, berhenti bertempur karena mereka melihat peristiwa yang amat luar biasa itu. Mereka melihat nenek berpakaian hitam itu berdiri berhadapan dalam jarak enam tujuh meter dari seorang kakek berkaki satu.

Keduanya berdiri tak bergerak, akan tetapi di atas udara, di antara mereka, nampak dua batang tongkat bergerak sendiri dan saling serang seolah-olah kedua batang tongkat itu bernyawa! Suma Han menjadi terkejut dan kagum. Tahulah dia bahwa dia bertemu dengan seorang ahli sihir yang amat kuat tenaga batinnya, maka maklumlah dia bahwa kalau hanya mengandalkan kekuatan sihir, mungkin dia akan kalah. Akan tetapi sebelum dia bergerak untuk menggunakan kepandaian silatnya, tiba-tiba muncul See-thian Hoat-su dan gadis remaja yang menjadi muridnya itu.

“Pendekar Siluman, dia itu isteriku, harap kau maafkan dia!” kata kakek ini yang sudah meloncat ke dekat Nenek Durganini.

Nenek itu memang kalah dalam hal ilmu silat terhadap bekas suaminya ini, dan karena dia sedang mencurahkan seluruh tenaga sihirnya untuk menghadapi kakek berkaki tunggal yang ternyata merupakan lawan yang tangguh dalam ilmu sihir, maka dia tidak mampu melawan lagi ketika bekas suaminya itu menotoknya dan dia roboh lalu dipanggul oleh bekas suaminya itu.

Suma Han sudah menarik kembali tongkatnya. See-thian Hoat-su tertawa dan berkata kepadanya, “Kalau tidak ada engkau yang membantu, sukar aku menundukkan isteriku yang binal. Terima kasih dan sampai jumpa, Pendekar Siluman!” See-thian Hoat-su lalu memegang tangan muridnya. “Hayo kita pergi, Siang In.”

“Ouhhh... Suhu, aku ingin ikut main-main dalam keramaian ini.”
“Bukkk!” kakinya sudah menyambar dan tepat menendang pantat seorang anak buah Tambolon sehingga orang itu berjingkrak-jingkrak dan mengaduh-aduh karena tulang di antara pinggulnya remuk terkena tendangan Siang In. Kemudian dara ini meloncat dengan elakan manis, ketika seorang lawan menusuknya dengan tombak, kemudian membalik dan menuding ke arah orang itu.

“Eihhh, mengapa engkau memegang ular?”

Orang itu tiba-tiba terbelalak karena tombak di tangannya itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor ular! Sebelum dia sadar bahwa dia menjadi permainan seorang gadis yang baru saja mempelajari ilmu sihir, Siang In sambil tertawa sudah menampar kepalanya. Dia berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja jari-jari tangan yang kecil halus itu mengenai pelipisnya, membuat dia berputaran tujuh keliling dan dunia menjadi gelap baginya.

Seorang lain dengan golok di tangan menyerangnya marah sekali. “Hei, lihat, siapa aku? Aku adalah ibumu!” Siang In berteriak dan orang itu menahan goloknya, terbelalak memandangnya karena bagi pandang matanya, gadis remaja cantik itu tiba-tiba berubah menjadi ibunya yang telah mati beberapa tahun yang lalu.

“Dukkk!”

Orang yang sedang bengong terlongong itu tentu saja tidak dapat mengelak lagi ketika kepalan tangan Siang In menonjok lambungnya. Dia terpelanting sambil memegangi perutnya yang menjadi mulas, agaknya usus buntunya yang terkena hantaman kepalan tangan yang kecil namun kuat itu. Melihat hasil ilmu sihir yang baru saja dipelajari dari gurunya itu, Siang In menjadi gembira bukan main hingga dia menjadi kurang waspada.

“Bocah setan, mau lari ke mana kau?” Tiba-tiba ada dua buah lengan yang panjang, kuat dan berbulu meringkusnya dari belakang.

Siang In berusaha meronta, namun orang itu kuat sekali sehingga usahanya sia-sia belaka. Rasa takut membuat dia kehilangan kekuatan sihir yang baru saja dilatihnya itu. Akan tetapi dasar Siang In seorang yang cerdik, biar pun dia tahu bahwa ilmu sihirnya takkan dapat menolongnya, dia tidak menjadi khawatir, bahkan dia lalu tersenyum manis sekali dan mengangkat mukanya sehingga mukanya dapat terlihat oleh orang tinggi besar yang meringkusnya. Orang itu menunduk dan terpesona oleh kecantikan wajah yang tersenyum luar biasa manisnya itu.

“Aihh... kamu benar-benar jantan dan kuat sekali... akan tetapi pelukanmu terlalu kuat... menyakitkan...,” kata Siang In dengan lagak yang amat genit karena dia telah meniru lagak Si Siluman Kucing atau Mauw Siauw Mo-li seperti yang pernah dia pamerkan kepada Suma Kian Bu. Mulutnya tersenyum agak terbuka, matanya mengerling tajam penuh daya pikat dan biar pun dia menyandarkan kepalanya di dada orang itu, diam-diam dia melangkah maju.

Laki-laki itu benar-benar terpesona dan otomatis dia melonggarkan ringkusannya. Daya tarik yang keluar dari sikap dan kecantikan wajah Siang In kiranya tidak kalah hebat dan kuatnya dari pada ilmu sihirnya, maka orang itu seperti kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu betapa tiba-tiba kaki Siang In yang kecil itu membuat gerakan seperti seekor kuda ke menyepak belakang.

“Bukkk... aughhhh... adouuuuhhh...” Laki-laki itu mendekap bawah perutnya yang kena dihantam tumit kaki Siang In dan mengaduh-aduh setengah berjongkok.

Siang In mengayun kakinya lagi menendang, mengenai dagunya dan orang itu roboh terjengkang, akan tetapi masih memegangi alat kelaminnya yang kena disepak dan yang rasanya kiut-miut menusuk tulang, terasa sampai ke ubun-ubun!

“Bocah nakal, hayo kita pergi!” See-thian Hoat-su kini berhasil memegang pergelangan tangan muridnya dan membawanya loncat berkelebat dan lenyap dari situ membawa murid dan bekas isterinya.

Pendekar Super Sakti menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum menyaksikan keadaan kakek, bekas isterinya, dan muridnya itu. Dia tidak lagi bergerak, akan tetapi mereka yang bertempur di sekelilingnya tidak ada yang berani mengganggunya.

Sementara itu, Ceng Ceng yang tentu saja mempunyai rasa setia kawan dengan Bhutan, sudah mengamuk sampai terpisah agak jauh dari Pendekar Super Sakti, dan dia pun tidak tahu apa yang telah terjadi antara Pendekar Super Sakti dengan Nenek Durganini, karena pihak musuh sudah mengepungnya ketika melihat betapa lihainya dara ini yang telah merobohkan banyak lawan.

Tiba-tiba terjadi keributan tak jauh dari situ. Ketika Ceng Ceng menengok, dia melihat Tek Hoat yang juga mengamuk dan merobohkan setiap orang anak buah Tambolon yang berdekatan dengannya. Begitu melihat pemuda ini, timbul kemarahan hebat di hati Ceng Ceng. Teringat dia betapa oleh pemuda ini dia telah diserahkan kepada Tambolon sebagai penukar Syanti Dewi, betapa dia telah ditipu oleh Tek Hoat.

“Jahanam keparat!” Dia memaki dan meninggalkan musuh-musuhnya, lalu lari dan tiba-tiba saja dia menyerang Tek Hoat.

Serangan itu demikian dahsyat karena kemarahan di hati Ceng Ceng secara otomatis menggerakkan tenaga sinkang mukjijat di dalam tubuhnya yang timbul dari khasiat anak ular naga. Angin pukulan yang amat hebat menyambar dan Tek Hoat menjadi terkejut bukan main karena ketika dia menangkis, dia masih terhuyung ke belakang! Akan tetapi ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah Ceng Ceng, dia memandang rendah dan juga menjadi marah.

“Hemm, kiranya engkau telah diperalat oleh Si Keparat Tambolon pula?” teriaknya dan melihat Ceng Ceng menyerang lagi, dia cepat mengelak dan balas menyerang! Diam-diam Tek Hoat terkejut melihat kemajuan hebat dalam gerakan Ceng Ceng. Dia tidak tahu bahwa selama ini Ceng Ceng telah menerima petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan dan telah memiliki sinkang mukjijat dari anak ular naga.

Maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan para prajurit kedua pihak tidak ada yang berani mendekati karena gerakan dua orang itu mendatangkan hawa pukulan yang bersiutan dan dari jauh saja mereka hampir tidak dapat menahan.

Betapa pun juga, tingkat kepandaian Tek Hoat masih jauh di atas tingkat Ceng Ceng, dan mulailah Tek Hoat mendesaknya. Akan tetapi, sejak dahulu, ada perasaan aneh di dalam hati pemuda ini terhadap Ceng Ceng, rasa suka yang aneh, maka sekarang pun dia merasa tidak tega untuk merobohkan Ceng Ceng.

“Ceng Ceng, kau mundurlah dan jangan tolol membela Tambolon!” beberapa kali Tek Hoat berseru kepadanya.

Ceng Ceng maklum bahwa Tek Hoat membela Bhutan dan salah menduga dia menjadi kaki tangan Tambolon. Akan tetapi dia tidak peduli. Dengan Tek Hoat dia mempunyai urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Bhutan atau Tambolon, dan dia tidak mau membela diri dari tuduhan itu. Dia tidak takut mati, bahkan kalau dia tidak dapat menangkap Tek Hoat, biarlah dia mati menyusul Topeng Setan. Coba kalau ada Topeng Setan di sisinya, Tek Hoat ini tentu tidak berani banyak lagak terhadap dirinya! Teringat akan Topeng Setan, hatinya berduka sekali dan dia menjadi makin nekat!

Tek Hoat merasa kewalahan juga ketika Ceng Ceng menyerangnya lebih hebat dan lebih nekat, seolah-olah dara itu tidak mempedulikan keselamatan dirinya sendiri. “Ceng Ceng, jangan bodoh kau, mundurlah! Kalau tidak, terpaksa aku akan membunuhmu!”

“Sombong, keparat keji! Siapa takut mampus?” Ceng Ceng membentak marah sekali, lalu menerjang lagi seperti seekor singa betina menghantam kepala Tek Hoat dengan tangan kanannya.
“Plakkkk...!”

Tek Hoat cepat menyambar pergelangan tangan Ceng Ceng. Ketika tangan kiri Ceng Ceng menampar, dia cepat menangkis sedemikian kuatnya sehingga pasangan kuda-kuda kaki Ceng Ceng tergempur. Kesempatan itu digunakan oleh Tek Hoat yang masih memegang lengan Ceng Ceng dengan tangan kirinya untuk menghantamkan tangan kanannya yang terbuka dan yang mengandung penyaluran sinkang Inti Bumi ke arah kepala Ceng Ceng. Hantaman ini kalau mengenai kepala dara itu tentu akan langsung menghancurkannya dan membinasakan, karena tenaga yang terkandung amat kuatnya, cukup kuat untuk membikin remuk batu karang.

“Tek Hoat, jangan...!” Seruan Gak Bun Beng ini dibarengi dengan dorongan tangan kiri sehingga ada hawa pukulan menyentuh punggung Tek Hoat.

Pemuda ini terkejut sekali, sekaligus dia pun sadar akan apa yang akan dilakukannya terhadap dara yang sebetulnya amat disukanya itu, bahkan andai kata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi, besar sekali kemungkinannya dia akan jatuh cinta kepada Ceng Ceng. Dan sekarang, karena desakan Ceng Ceng yang telah nekat, hampir saja ia membunuh gadis ini! Dia cepat meloncat mundur dan melepaskan pegangannya sehingga Ceng Ceng terhuyung-huyung.

“Tek Hoat, apakah kau sudah gila?” Gak Bun Beng membentaknya. “Tidak tahukah engkau, Ceng Ceng, bahwa kalian sebetulnya adalah saudara-saudara seayah?”

Akan tetapi ucapan itu hampir tidak kedengaran karena pada saat itu Ceng Ceng sudah memaki-maki Tek Hoat, “Manusia sombong, manusia curang dan jahat. Kalau... kalau Paman Topeng Setan tidak mati... kalau dia ada... kau tidak akan berani menjual lagak...!” Dan segera dara ini menangis terisak-isak karena dia teringat kepada Topeng Setan yang begitu baik, yang jauh sekali bedanya dengan Tek Hoat ini!

Akan tetapi Tek Hoat mendengar ucapan Gak Bun Beng tadi dan dia berseru, “Apa...? Dia... Ceng Ceng ini... saudaraku sendiri?”

Mendengar ini, Ceng Ceng terbelalak, lalu berjebi. “Huh, aku saudaramu? Siapa bilang? Tak sudi aku mempunyai saudara macam engkau!”

“Ceng Ceng, janganlah engkau berkata demikian. Tek Hoat ini pun putera dari ayah kandungmu, Wan Keng In, hanya bedanya, kalau ibumu adalah Lu Kim Bwee, ibu Tek Hoat adalah Ang Siok Bi. Kalian masih kakak beradik, seayah.”

Tek Hoat menjadi bengong. “Pantas...” bisiknya lirih. “Pantas aku mempunyai perasaan yang aneh terhadap dia... aku suka sekali padanya...”

“Hah, kau suka tetapi baru saja engkau hendak membunuhku?” Ceng Ceng berseru marah. “Kakak macam apakah kau ini?”

“Ceng Ceng..., maafkan aku... karena engkau begitu nekat dan kepandaianmu hebat sekali sehingga amat berbahaya...”

“Sudahlah, nanti kita bicara. Musuh masih banyak,” kata Gak Bun Beng yang sudah cepat melerai mereka. “Ceng Ceng, bagaimana kau bisa tiba di sini?”

“Saya datang bersama Locianpwe Pendekar Super Sakti.”

“Ahhh...?” Gak Bun Beng terkejut dan berseru girang. “Di mana beliau?”

Ketika Ceng Ceng menunjuk dengan jarinya ke arah perginya Pendekar Super Sakti, Bun Beng cepat pergi untuk mencari gurunya sambil berkata, “Tek Hoat, kau harus melindungi adikmu itu.”

Setelah Gak Bun Beng pergi, dua orang muda itu saling pandang, Tek Hoat tersenyum dan wajahnya berseri karena sungguh girang hatinya mendengar bahwa gadis yang amat disukanya ini ternyata adalah adiknya! Akan tetapi Ceng Ceng tetap cemberut, masih panas hatinya teringat betapa tadi hampir saja dia dibunuh oleh Tek Hoat.

“Ceng Ceng, engkau... engkau adikku...”
“Huh, belum tentu! Ibu kita berlainan, siapa tahu kalau-kalau aku yang lahir lebih dulu dari pada engkau. Mungkin aku malah enci-mu!”
“Adik atau enci, pokoknya kita bersaudara, dan aku girang sekali. Ehh, Ceng Ceng, aku tahu bahwa sejak kecil engkau di Bhutan, marilah kita berlomba untuk membunuh Tambolon!”

Ceng Ceng hanya mengangguk karena untuk membunuh musuh besar itu, tentu saja dia tidak dapat membantah.

“Hayo ikut dengan aku!” Tek Hoat cepat merobohkan dua orang sambil meloncat, diikuti oleh Ceng Ceng yang juga membuka jalan sambil merobohkan anak buah Tambolon.

Mereka mencari-cari dan akhirnya mereka dapat melihat Tambolon sedang mengamuk, dikeroyok oleh Panglima Jayin dan beberapa orang perwira Bhutan, akan tetapi mereka ini terdesak hebat oleh Tambolon yang mengamuk dengan kemarahan meluap-luap karena gurunya telah dilarikan oleh Kakek See-thian Hoat-su dan pasukannya telah kocar-kacir. Raja liar itu kini menggunakan senjata golok gagang panjang dan sepak-terjangnya dahsyat sekali.

“Ciangkun, minggirlah, biar kami berdua yang akan menghadapinya!” Tek Hoat berseru.

Melihat pemuda ini, Panglima Jayin menjadi girang dan langsung memerintahkan para pembantunya untuk mundur. Akan tetapi dia melihat Ceng Ceng dan dengan girang sekali dia berseru, “Sumoi...!”

Seperti kita ketahui, Panglima Jayin ini adalah murid dari mendiang kakek Lu Kiong dan sejak dahulu dia memanggil Ceng Ceng sumoi.

“Suheng, biarlah aku menghadapi raja liar itu.” Ceng Ceng berkata sambil melompat ke depan.

Panglima Jayin tentu saja meragu dan khawatir sekali karena dia tahu bahwa tingkat kepandaian sumoi-nya ini tidak jauh dengan tingkatnya, bahkan dia masih lebih tinggi sedikit. Akan tetapi melihat loncatan Ceng Ceng yang seperti burung walet terbang itu, dia terkejut dan girang, maklum bahwa sumoi-nya itu tidak boleh dibandingkan dengan sumoi-nya di waktu belum meninggalkan Bhutan dahulu.

Melihat majunya Tek Hoat dan Ceng Ceng, Tambolon terkejut bukan main karena dia maklum akan kelihaian pemuda itu, dan teringat pula betapa dahulu nona ini pernah membebaskan diri dengan memperlihatkan tenaga mukjijat, dia pun maklum bahwa nona yang telah memperoleh khasiat dari anak ular naga ini telah memiliki tenaga sakti yang juga amat hebat. Akan tetapi karena dia sendiri percaya penuh akan dirinya sendiri, juga agar tidak menurunkan semangat anak buahnya, dia tertawa bergelak dan sekali tangan kanannya bergerak....

“Kraakkk!” terdengar bunyi dan gagang goloknya yang panjang itu telah dipatahkannya sehingga berubah menjadi sebatang golok gagang biasa. Kemudian tangan kirinya meraba pinggangnya.
“Singggg...!” tercabutlah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar yang mukjijat dan menyeramkan.
“Ha-ha-ha, bocah perempuan setan! Engkau akan mampus di ujung pedangmu sendiri!”

Ceng Ceng terkejut dan marah ketika mengenal Ban-tok-kiam, yaitu pedang pemberian Ban-tok Mo-li yang telah dirampas dari tangannya oleh raja liar itu.

“Tambolon keparat! Aku harus membunuhmu!” Ceng Ceng yang sudah nekat itu segera menubruk ke depan dengan tangan kosong, mengirim pukulan yang dahsyat. Tambolon menggerakkan pedang itu memapaki.
“Ceng Ceng, hati-hatilah...!” Tek Hoat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang nekat itu dan cepat dia pun mengirim pukulan dahsyat ke arah Tambolon. Terpaksa Raja liar ini menggunakan goloknya menyambut serangan Tek Hoat.

Tentu saja Ceng Ceng tidak membiarkan dirinya dimakan pedangnya sendiri begitu saja. Tubuhnya sudah cepat mengelak dan dari bawah kakinya menyambar ganas ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi Tambolon dapat menarik tangannya dan pada saat itu, Tek Hoat yang sudah mengelak pula telah menghantam dengan pukulan jarak jauh.
“Dessss...!”

Tambolon terpaksa menerima hawa pukulan itu dengan bahunya dan dia terhuyung. Bukan main kagetnya dan kini dia menggerakkan pedang dan golok itu, diputar-putar sehingga tampaklah dua sinar yang saling membelit dan bergulung-gulung mengelilingi tubuhnya.

“Taihiap, pakailah ini! Sumoi, pakailah senjata ini!” Tiba-tiba terdengar Panglima Jayin berseru dan dua batang pedang melayang ke arah Tek Hoat dan Ceng Ceng yang cepat menyambarnya.

Ceng Ceng girang melihat pedang di tangannya karena dia mengenal pedang mendiang kakeknya yang dihadiahkan kepada suheng-nya itu, sedangkan pedang yang diberikan kepada Tek Hoat itu pun merupakan pedang pusaka Bhutan karena pedang itu adalah pedang kebesaran tanda pangkat Jayin yang diterimanya dari rajanya. Biar pun kedua pedang itu tidak dapat dibandingkan dengan Ban-tok-kiam yang mukjijat dan beracun, akan tetapi keduanya terhitung pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan.

Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, Tek Hoat dan Ceng Ceng cukup cerdik untuk mengenal keampuhan pedang Ban-tok-kiam, maka mereka tidak mau mengadu pedang mereka dengan Ban-tok-kiam, tetapi ketika golok di tangan kanan Tambolon menyambar, seperti telah bersepakat lebih dulu, pemuda dan gadis itu menggerakkan pedang yang menggunting dari kanan kiri.

“Krekkk!” Patahlah golok itu dan Tambolon terpaksa meloncat mundur sambil memutar Ban-tok-kiam di tangan kirinya.

Ceng Ceng meloncat dan mengejar, diikuti oleh Tek Hoat. Keduanya mengurung dan menghimpit sehingga biar pun tangannya memegang pedang yang ampuh, tetap saja Tambolon terdesak hebat dan mulai merasa cemas.

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring. Muncullah dua orang lawan tangguh, yaitu Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut, dua orang pengawal pribadi dari Tambolon. Si Petani Maut telah memutar batang pikulannya dan Yu Ci Pok sudah menggerakkan siang-koan-pit secara hebat.

Melihat hal ini, tentu saja Jayin dan teman-temannya tidak tinggal diam, akan tetapi mereka didahului oleh bentakan halus nyaring, “Harap kalian minggir!”

Panglima Jayin terkejut dan girang ketika mengenali Puteri Milana. Kiranya panglima yang memimpin seluruh pertahanan Bhutan itu sendiri yang berkenan turun tangan menghadapi dua orang lihai ini.

“Bibi Milana...!” Ceng Ceng berseru girang melihat Milana.

Milana yang sudah menggerakkan pedangnya menyambut sinar pikulan dan siang-koan-pit itu, tersenyum kepada Ceng Ceng. “Engkau membantu saudaramu? Bagus!”

Ang Tek Hoat juga girang melihat puteri ini, karena hal itu hanya menandakan bahwa pasukan mereka telah menang. Kalau tidak, tentu puteri ini tidak sempat turun tangan sendiri.

“Ceng Ceng, kau bantulah Sang Puteri!” katanya.
“Hushh, Sang Puteri itu adalah bibi kita, tolol. Ayah kita adalah juga kakak tirinya.” Ceng Ceng menegur, akan tetapi dia tetap mendesak Tambolon.

“Kepala batu! Aku tidak suka kau bantu! Aku ingin menghadapi Tambolon sendiri!” Tek Hoat berseru karena dia maklum bahwa betapa pun juga, masih amat berbahaya bagi Ceng Ceng untuk menghadapi Tambolon yang amat lihai itu.

Puteri Milana mengerti akan isi hati Tek Hoat, maka melihat bahwa pemuda itu cukup tangguh untuk menghadapi Tambolon, dia berkata, “Ceng Ceng, kau bantulah aku. Aku sudah lelah.”

Mendengar ini, tentu saja Ceng Ceng meloncat seperti kilat dan dia sudah menerjang Yu Ci Pok dan mendesak siucai ini dengan gerakan pedangnya yang mengandung tenaga mukjijat sehingga tangkisan siucai itu membuat tangannya tergetar dan siucai itu pun terkejut bukan main.

Pertandingan terpecah menjadi tiga dan kini tempat itu dikurung oleh pasukan Bhutan yang ingin menonton pertandingan hebat ini, juga Jayin dan teman-temannya ikut pula menonton karena kini pihak musuh sudah kocar-kacir dan kemenangan sudah di depan mata. Keadaan tidak berbahaya lagi maka ‘tontonan’ yang demikian hebatnya tidak akan mereka lepaskan begitu saja.

Tanpa diketahui orang lain, Milana berbisik kepada Ceng Ceng, “Jangan robohkan lawan, biar mereka semua ini dirobohkan oleh saudaramu yang akan menjadi calon mantu Raja Bhutan.”

Mendengar ini, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, jantungnya berdebar dan diam-diam dia merasa terharu sekali. Kakak angkatnya, Puteri Syanti Dewi akan menjadi isteri Tek Hoat! Dan Tek Hoat adalah saudaranya, satu ayah! Dia tidak lagi mampu menjawab, hanya mengangguk dan bersama Puteri Milana dia melayani lawannya seperti main-main saja. Kalau mereka mau, apa lagi Puteri Milana yang menghadapi Si Petani Maut, tentu dengan amat mudahnya mereka mengalahkan lawan mereka itu.

Yang bertanding secara sungguh-sungguh dan mati-matian adalah Tek Hoat. Hebat sekali pemuda ini menyerang dan mendesak Raja Liar Tambolon. Raja liar ini pun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena dia maklum bahwa dia tersudut dan tidak dapat melarikan diri lagi. Jalan satu-satunya hanya mempertahankan diri sampai saat terakhir dan kalau mungkin membunuh musuh sebanyaknya. Akan tetapi pemuda ini terlalu tangguh baginya.

Setelah bertanding hampir seratus jurus, Tambolon makin terdesak dan mukanya sudah basah oleh keringat. Baiknya dia memiliki pedang Ban-tok-kiam, karena kalau tidak demikian, tentu sudah tadi dia roboh oleh pemuda yang luar biasa ilmu silatnya ini. Tiba-tiba ketika kakinya menendang, ujung kakinya dapat menyerempet paha Tek Hoat dan pemuda itu lantas terguling jatuh. Semua orang menjerit, kecuali Puteri Milana yang berpemandangan tajam dan yang melayani Si Petani Maut sambil menonton!

Tambolon mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah, pedang Ban-tok-kiam menyambar ketika dia menubruk lawan yang sudah roboh di tanah itu. Akan tetapi tiba-tiba kaki Tek Hoat bergerak dan hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar.

“Bressss...!”

Tambolon memekik kaget dan kesakitan, pedang Ban-tok-kiam terlempar jauh dan dia terdorong sampai bergulingan. Kiranya Tek Hoat yang sengaja menjatuhkan diri itu telah menggunakan kekuatan Inti Bumi yang paling ampuh, yang diambilnya dari tenaga bumi ketika dia rebah, dan kakinya telah menyerang dengan kekuatan luar biasa, yang kiri menendang pergelangan tangan lawan sehingga pedang Ban-tok-kiam terlempar, kaki kanan menendang ke arah dada dan biar pun sudah ditangkis oleh tangan kiri Tambolon, tetap saja tubuh raja yang tinggi besar seperti raksasa itu terlempar dan bergulingan.

Tek Hoat sudah meloncat dan mengejar. Tambolon mengeluarkan senjata jala yang ketika digerakkan berubah seperti uap, akan tetapi Tek Hoat yang sudah mengenal senjata ini tidak menjadi gentar. Bahkan dengan sengaja dia memapaki jala itu dengan pedangnya. Tambolon menjadi girang karena jalanya berhasil menangkap dan membelit pedang. Dia menyangka bahwa seperti biasa, tentu pemuda itu akan berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Tek Hoat memang sengaja membiarkan pedangnya terampas dan secepat kilat, dia melepaskan gagang pedang dan menggunakan kedua tangannya untuk menyerang dengan pukulan tangan terbuka yang mengandung tenaga Inti Bumi, yang kiri ke arah pusar sedangkan yang kanan ke arah pelipis.

Tambolon terkejut, berusaha menangkis dan memang berhasil menangkis pukulan ke pusarnya, akan tetapi tangan kanan Tek Hoat sudah menyambar pelipisnya.

“Dessss...!”

Tambolon terpelanting dan roboh dengan mata mendelik, tubuhnya kaku dan dia tewas seketika.....

Jayin dan para pembantunya segera bersorak. Panglima ini cepat menyambar pedang, memenggal kepala Tambolon yang dipasangnya di atas tombak dan diangkat tinggi-tinggi ke atas agar kelihatan oleh semua orang dan untuk melenyapkan semangat tentara musuh.

“Tek Hoat, kau bantulah kami!” Puteri Milana berseru.

Tek Hoat memandang dengan terheran-heran melihat betapa Puteri Milana yang dia tahu amat lihai itu dan Ceng Ceng belum juga mampu merobohkan Si Petani Maut dan Si Siucai Maut. Dia memekik keras dan dengan tangan kosong dia menerjang Si Petani Maut Liauw Kui yang memang sudah jeri sekali karena dia bukan tidak tahu betapa Puteri Milana mempermainkannya, menyambut terjangan Tek Hoat dengan pikulannya. Namun, dengan mudah Tek Hoat menangkap batang pikulan itu. Dengan pengerahan tenaga dia memaksa batang pikulan itu membalik dan robohlah Si Petani Maut, batang pikulan memasuki perutnya menembus ke punggung.

Tek Hoat yang sudah beringas seperti harimau yang haus darah itu lalu menubruk ke arah Siucai Maut sambil berseru, “Ceng Ceng minggirlah!”

Yu Ci Pok menyambut dengan totokan dua senjata siang-koan-pit, akan tetapi Tek Hoat yang sudah melindungi tubuhnya dengan kekuatan tenaga sakti Inti Bumi dan juga menghentikan jalan darah di bagian yang tertotok, menerima dua totokan itu dan membarengi dengan gerakan jari tangannya dipergunakan seperti sebatang pedang menusuk ke depan.

“Craattt!” Jari-jari tangan kanannya memasuki dada Yu Ci Pok seperti sebatang pedang dan robohlah pengawal kedua dari Tambolon ini, berkelojotan dan tewas.

Puteri Milana dan Ceng Ceng bertepuk tangan memuji, kemudian mereka bertiga terus mengamuk sehingga pihak musuh makin kacau dan akhirnya larilah sisa pasukan dari suku-suku bangsa liar itu, apa lagi setelah mereka semua mendengar bahwa Raja Tambolon telah tewas.

Berakhirlah perang itu dengan kemenangan gemilang di pihak Bhutan. Panglima Jayin mengarak Tek Hoat sebagai seorang pahlawan gagah perkasa karena dia sendiri telah menyaksikan betapa pemuda yang gagah perkasa ini sudah berhasil membunuh Tambolon yang demikian lihainya, berarti bahwa pemuda ini memang telah membuat jasa besar sekali dan patut diperlakukan sebagai seorang pahlawan yang dengan setia telah membela Kerajaan Bhutan.

Gak Bun Beng yang telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, cepat berlutut di medan perang itu, memberi hormat dengan hati terharu karena dia tadinya sudah tidak mengira akan dapat bertemu dengan pendekar sakti yang dianggap sebagai gurunya ini.

Sejenak Pendekar Super Sakti juga menunduk dan memandang, lalu mengangguk-angguk dan bertanya, “Bun Beng, aku sudah mendengar bahwa Kerajaan Bhutan dibantu oleh engkau dan Milana. Di mana sekarang dia?”

“Sumoi Milana sedang memimpin pasukan untuk membasmi barisan pemberontak, Suhu. Bagaimana keadaan Suhu dan Subo di Pulau Es? Mudah-mudahan dalam keadaan sehat.”

“Kami baik-baik saja, Bun Beng. Aku meninggalkan Pulau Es untuk pergi menyusul dan mencari dua orang sute-mu. Kian Lee telah kujumpai dan sudah kusuruh pulang, akan tetapi Kian Bu masih kucari-cari. Apakah engkau melihat dia?”

Bun Beng menggeleng kepala. “Teecu pernah bersama dengan Sute Kian Bu ketika membantu pemerintah menghadapi para pemberontak yang dipimpin oleh dua orang Pangeran Liong, akan tetapi setelah itu, Sute Kian Bu pergi meninggalkan kota raja, kemudian terdengar lagi beritanya pada waktu dia menolong Puteri Syanti Dewi dari penghadangan Tambolon dan Durganini, lalu dia pergi lagi tanpa ada yang mengetahui ke mana, Suhu.”

“Hemmm, mari kita mencari Milana, mungkin dia tahu tentang adiknya itu.”

Bun Beng hanya mengangguk, tidak berani menceritakan betapa sejak dari kota raja, kekasihnya itu melakukan perjalanan bersama dia dan tentu saja pengetahuan Milana tentang Kian Bu tidak ada bedanya dengan apa yang telah dia ketahui. Bahkan dia masih merasa sungkan dan khawatir kalau-kalau pendekar sakti ini tidak akan senang hatinya mendengar akan keputusan mereka berdua untuk hidup bersama setelah Milana menjadi janda. Tentu saja orang tua sakti ini tidak tahu bahwa puterinya itu sebetulnya telah menjadi janda yang masih perawan!

Ketika mereka tiba di tempat pertempuran di mana Milana yang dibantu oleh Ceng Ceng dan Tek Hoat mengamuk, pertempuran telah selesai dan musuh telah terbasmi, yang melarikan diri dikejar oleh pasukan-pasukan Bhutan.

“Ayah...!” Milana cepat lari menyambut Pendekar Super Sakti dan di lain saat dia telah memeluk orang tua itu. Air mata puteri yang perkasa ini membasahi baju di dada ayahnya.

Pendekar Super Sakti mengelus rambut puterinya penuh kasih sayang. “Milana..., mana suamimu?”

Mendengar pertanyaan yang seolah-olah merupakan sebatang pedang yang langsung menikam ulu hatinya, Milana mengguguk tangisnya. Akhirnya dapat juga dia menjawab lirih, “...dia... dia telah tewas...”

Pendekar Super Sakti Suma Han adalah seorang manusia yang sudah dapat mengatasi segala perasaan, maka dia biasa saja mendengar berita hebat ini, hanya bertanya, “Bagaimana terjadinya hal itu?”

“Ayah, marilah kita memasuki kota raja dan bicara di sana dengan jelas.”

Pada saat itu, Raja Bhutan sendiri keluar menyambut dan dengan penuh kehormatan semua tamu agung yang sudah berjasa membantu Bhutan, terutama Tek Hoat, diarak masuk ke kota raja. Pendekar Siluman tidak menolak karena dia ingin mendengar cerita Milana tentang Kian Bu dan tentang Han Wi Kong, mantunya yang dikabarkan tewas itu.

Semua orang di kota raja menyambut para tamu agung, terutama sekali mereka menyanjung-nyanjung Puteri Milana dan Tek Hoat. Bahkan Tek Hoat sekaligus telah dikenal oleh mereka sebagai calon mantu raja!

Istana telah cepat sekali mempersiapkan penyambutan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Syanti Dewi sehingga ketika rombongan pemenang ini memasuki kota raja dan tiba di depan istana, tempat ini telah dihias dengan meriah dan penari-penari serta musik menyambut mereka.

Pertemuan yang amat menggembirakan, semua orang tersenyum dan tertawa, semua wajah berseri-seri dan semua mata bersinar-sinar. Akan tetapi, suasana menjadi sangat mengharukan ketika tanpa disangka-sangkanya Puteri Syanti Dewi melihat Ceng Ceng di antara rombongan itu. Puteri ini terbelalak seperti mimpi saja dia melihat adik angkatnya, kemudian kedua orang dara cantik itu menjerit dan saling menubruk.

“Candra...!”
“Enci Syanti...!”

Mereka berangkulan dan menangis, saling berciuman karena sejak berpisah di tengah mala petaka ketika perahu mereka terguling, baru satu kali inilah mereka dapat saling bertemu kembali dan pertemuan ini terjadi di Bhutan! Sungguh merupakan hal yang aneh dan tidak tersangka-sangka oleh Syanti Dewi. Betapa hebat pengalaman mereka semenjak saling berpisah. Dan betapa cepatnya waktu berlalu karena begitu saling bertemu dan berpelukan, mereka merasa seolah-olah baru kemarin saja mereka saling berpisah.

Saling bergandeng tangan karena tidak sempat bicara di depan banyak orang, Syanti Dewi dan Ceng Ceng bersama semua rombongan itu memasuki istana di mana Raja Bhutan mengadakan penyambutan dengan pesta untuk merayakan kemenangan yang gemilang itu.

Rakyat dan para prajurit semua juga berpesta pora merayakan kemenangan besar itu. Suasana Kerajaan Bhutan gembira bukan main, sungguh pun harus diakui bahwa banyak pula yang menangis dan dilanda kedukaan hebat karena kematian suami, anak atau ayah yang menjadi prajurit Bhutan dan gugur dalam perang itu. Akan tetapi suara tangis mereka tenggelam dan hanyut oleh arus kegembiraan dari kota raja yang merayakan kemenangan.

Demikianlah adanya perang dan akibat-akibatnya! Di mana pun di bagian dunia ini, dan di jaman apa pun! Para korban perang yang membantu terlaksananya kemenangan, terlupa oleh yang merayakan kemenangan, oleh yang mengecap keuntungan dalam kemenangan perang. Kalau pun para korban itu diingat oleh mereka, hal ini hanya sekilas saja, sekedar hiburan bagi keluarga si korban, atau lebih tepat, sebagai penonjolan dari yang merayakan kemenangan bahwa mereka itu tidak melupakan para korban, sungguh pun yang dikatakan tidak lupa itu hanya untuk satu kali setahun, dan itu pun hanya beberapa menit saja, lalu tidak dipedulikan lagi sama sekali sampai saatnya diperingati lagi!

Perang merupakan bukti betapa busuknya si aku mementingkan diri pribadi, secara keji mempergunakan manusia-manusia lain, kalau perlu mengorbankan laksaan nyawa manusia lain, demi untuk mencapai cita-cita yang tidak lain dan tidak bukan hanyalah merupakan pengejaran sesuatu yang menguntungkan diri pribadi lahir mau pun batin. Perang merupakan bukti pula betapa bodohnya manusia, dipermainkan oleh slogan-slogan kosong, seperti sekelompok ikan memperebutkan umpan tidak tahu bahwa di dalam umpan tersembunyi maut!

Di dalam kesempatan berpesta-pora ini, Pendekar Super Sakti mendengar semua penuturan Milana tentang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Tanpa menyembunyikan sesuatu, Milana menuturkan tentang kepatahan hati dua orang pemuda Pulau Es itu.

“Aku kasihan sekali kepada mereka, Ayah. Kian Lee jatuh cinta kepada Ceng Ceng, dan ternyata kemudian bahwa Ceng Ceng adalah keponakan sendiri karena gadis itu adalah putera Wan Keng In dan Lu Kim Bwee.”

Pendekar Super Sakti Suma Han memandang ke arah Ceng Ceng yang sedang duduk menyendiri dengan wajah muram. Dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu, mula-mula di rumah makan ketika dia dan isterinya Lulu tiba di tempat itu dalam usaha mereka mencari putera mereka. Kiranya gadis yang kemudian melakukan perjalanan bersamanya itu adalah puteri Wan Keng In! Dengan demikian, Lulu telah menolong cucunya sendiri di dalam rumah makan itu! Lalu dia teringat akan Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti menghela napas panjang. Ternyata buah perbuatan Wan Keng In masih terasa sampai sekarang!

“Tidak perlu dikasihani, Milana. Kalau dia melihat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakan sendiri, mengapa dia harus patah hati? Dan bagaimana dengan Kian Bu?”

“Bu-te lebih parah lagi, Ayah. Dia jatuh hati kepada Syanti Dewi, akan tetapi agaknya Puteri Bhutan itu tidak membalas cintanya karena puteri itu agaknya jatuh hati kepada Tek Hoat.” Puteri Milana mengerling dan Suma Han juga melihat betapa mesra puteri itu di dalam pesta melayani Tek Hoat yang duduk di samping Raja Bhutan dan permaisuri!

“Hemm, cinta yang menuntut balasan, kalau tidak dibalas lalu patah hati bukanlah cinta namanya...” Suma Han berkata lirih seperti kepada diri sendiri. “Kepatahan hati itu adalah salahnya sendiri, timbul dari iba diri. Di mana kiranya dia sekarang?”

“Aku tidak tahu, Ayah.”
“Biarlah, aku akan mencarinya. Dan engkau sendiri, Milana. Bagaimana engkau bisa berada di sini tanpa suamimu? Dan apa pula artinya ucapanmu bahwa suamimu telah tewas?”

Puteri Milana menekan perasaannya agar jangan sampai dia menangis di dalam pesta itu. Kemudian, dengan hati-hati dan lirih berceritalah dia tentang keadaannya dengan Han Wi Kong, betapa mereka itu menikah tanpa cinta kasih di pihaknya, hanya untuk memenuhi kehendak Kaisar, dan betapa Han Wi Kong telah bersikap jantan dan tidak memaksa dia memenuhi kewajiban sebagai isteri.

Kemudian tentang perbuatan Han Wi Kong yang membunuh Pangeran Liong Bin Ong sebagai tindakan ‘bunuh diri’ untuk memberi kesempatan kepadanya berkumpul kembali dengan orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng, dan tentang surat-surat Han Wi Kong yang sengaja ditinggalkan untuk dia dan Bun Beng.

Mendengarkan semua ini, Suma Han memejamkan kedua matanya dengan alis berkerut. Milana sudah siap untuk mendengar teguran dan kemarahan ayahnya, akan tetapi setelah Suma Han membuka kembali matanya, pendekar bijaksana itu berkata perlahan, “Nasib manusia berada di dalam tangannya sendiri, tergantung dari sepak-terjangnya sendiri dalam kehidupan. Semua pengalamanmu itu hanya menjadi bukti bahwa apa pun yang kita lakukan di dalam kehidupan ini, Milana, haruslah kita lakukan dengan cinta kasih di dalam hati. Tanpa cinta kasih, maka semua perbuatan itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan kedukaan belaka, seperti perbuatanmu menikah dengan Han Wi Kong, dan perbuatanmu bersama Bun Beng yang saling berpisah mematahkan ikatan perasaan antara kalian. Jadi sekarang, engkau dan Bun Beng...”

Milana menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. “Kami telah bersepakat untuk menghadap ke Pulau Es mohon restu dan ijin dari Ayah dan Ibu, dan karena saya telah menjadi buronan di kota raja, maka kami berdua akan pergi mengasingkan diri, entah ke mana, saya hanya akan menurut dan ikut dengan Gak-suheng...”

Suma Han mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya jika kalian lebih dulu menghadap ibumu. Nah, biarlah sekarang juga aku pergi, Milana. Aku akan mencari Suma Kian Bu.” Sebelum Puteri Milana menjawab, tampak tubuh ayahnya berkelebat dan lenyaplah pendekar itu dari tempat itu, seolah-olah menghilang begitu saja di tengah-tengah orang banyak yang sedang berpesta.

Milana maklum akan sifat ayahnya yang aneh, maka dia cepat menghadap Raja Bhutan dan mintakan maaf bahwa ayahnya telah pergi tanpa pamit karena ayahnya mempunyai urusan pribadi yang penting. Semua orang terkejut dan kagum, akan tetapi hanya mengangguk-angguk dan merasa seram melihat ada orang dapat lenyap begitu saja di tengah-tengah mereka, seperti siluman!

Tidak lama kemudian, nampak Puteri Milana dan Gak Bun Beng sudah duduk berdua menghadapi meja dan bercakap-cakap dengan mesra, berbisik-bisik karena puteri itu menceritakan kepada kekasihnya tentang reaksi ayahnya ketika tadi mendengar pengakuannya tentang mereka. Legalah hati Bun Beng karena tadi pun, dari meja lain, dia melihat berkelebatnya gurunya itu lenyap, membuat dia khawatir sekali dan menduga bahwa pendekar itu pergi dengan marah. Kiranya tidak demikian, maka tentu saja hatinya merasa lega.

Semua orang di dalam pesta itu bergembira-ria, tenggelam dalam kebahagiaan masing-masing sehingga tentu saja melupakan orang lain. Tek Hoat yang dihujani sanjungan dan kini dilayani dengan mesra dan dengan terbuka oleh Syanti Dewi, di depan Raja dan Permaisuri Bhutan yang memandang sambil tersenyum penuh arti, tentu saja merasa bahagia sekali. Demikian pula Syanti Dewi yang melihat betapa pria yang dicinta dan dipilihnya itu kini telah kembali dalam keadaan selamat, sebagai seorang pahlawan pula, tentu saja menjadi sangat gembira sehingga dia pun lupa akan keadaan orang lain.

Semua orang bergembira-ria, kecuali Ceng Ceng. Sebaliknya, dara ini menjadi sedih sekali karena kebahagiaan orang-orang itu mengingatkan dia akan nasib dirinya. Teringat akan Topeng Setan, satu-satunya manusia yang dicinta, dan teringat akan Kok Cu, satu-satunya manusia yang dibencinya, ternyata kedua orang itu adalah sama, dan kini telah mati! 

Padahal, dua orang itulah yang membuat dia tadinya masih ada gairah untuk hidup di dunia yang penuh duka ini. Topeng Setan menghiburnya dan kebaikan hati Topeng Setan membuat dia jatuh cinta kepada orang yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik topeng yang amat buruk itu. Dia jatuh cinta bukan karena wajahnya, melainkan karena kebaikan yang banyak dilimpahkan kepadanya oleh pendekar sakti itu sehingga kehadiran Topeng Setan di dalam jalan hidupnya itu menimbulkan gairah hidup yang baru.

Ada pun Kok Cu yang selama ini dimusuhinya dan dibencinya karena pemuda itu telah memperkosanya, merupakan pula suatu dorongan sehingga dia tidak ingin mati dulu sebelum dia dapat membalas dendamnya. Dengan cara yang amat berlainan, bahkan dengan berlawanan, dua nama itu telah membuat dia bersemangat untuk hidup. Akan tetapi, seperti halilintar datangnya, terbukalah kenyataan bahwa yang amat dicintanya adalah orang yang amat dibencinya, sebaliknya pula yang amat dibencinya itu ternyata adalah orang yang dicintanya, dan kini keduanya, yang sesungguhnya satu orang juga, telah mati! Apa lagi yang menahannya untuk hidup di dunia penuh duka kecewa ini? Lebih baik mati saja dan rasanya mati akan jauh lebih menyenangkan dari pada hidup!

Betapa banyaknya manusia di dunia ini hidup dalam duka dan kesengsaraan batin sehingga dunia ini dianggapnya sebagai tempat yang amat buruk, sebagai neraka yang amat menyiksa. Seperti juga Ceng Ceng, kita manusia selalu dirundung duka yang seribu satu macam sebabnya sehingga kita selalu haus akan kebahagiaan, selalu haus akan kesenangan dan selalu merasa bahwa di dunia ini, hanya kita sendirilah yang paling sengsara sedangkan orang-orang lain semua jauh lebih bahagia dari pada kita.

Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Selama kita memperhatikan keadaan orang lain, membanding-bandingkan dengan keadaan kita, akan timbul rasa kecewa dan iri, memupuk rasa iba diri. Dan kita lupa, seperti juga Ceng Ceng, bahwa justru kekecewaan dan kedukaan itu datang karena keinginan kita mencari yang lebih baik dan lebih menyenangkan itulah! Kita selalu menolak apa yang ada, selalu menolak kenyataan yang terjadi, membutakan mata terhadap kenyataan yang tidak menyenangkan dan mengejar-ngejar bayangan yang dianggap akan dapat menyenangkan. 

Padahal, kenyataan seperti apa adanya tidak mengandung suka mau pun duka. Kenyataan apa adanya adalah kebenaran! Ada pun senang atau susah bukanlah bagian dari kenyataan itu, melainkan merupakan permainan dan pikiran kita sendiri, yang selalu menonjolkan dirinya pribadi, yang selalu akan senang kalau diuntungkan lahir mau pun batin, dan selalu susah, kalau dirugikan lahir mau pun batin. Pikiranlah biang keladi susah dan senang. Pikiranlah sumber segala duka dan sengsara! Dan ini merupakan suatu kenyataan, nampak dengan jelas sekali asal kita mau membuka mata dan memandang kenyataan tanpa dipengaruhi oleh segala macam pendapat, prasangka dan kesimpulan yang juga merupakan permainan dari pikiran pula.

Ceng Ceng tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan. Namun dia hendak merahasiakan semua ini, demi kebahagiaan Syanti Dewi. Dia tidak ingin mengganggu kebahagiaan kakak angkatnya itu, maka ketika Syanti Dewi teringat kepadanya dan mendatanginya, lalu menarik tangannya diajak duduk bersama satu meja dengan keluarga raja, juga bersama Puteri Milana dan Gak Bun Beng yang sudah diminta pula oleh Syanti Dewi, Ceng Ceng tidak menolak dan berusaha menyelimuti kedukaan hatinya dengan senyum manis.

Ketika Raja mengumumkan pertunangan Tek Hoat yang masih mengaku she Ang itu dengan Puteri Syanti Dewi, semua orang menyambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, juga Ceng Ceng segera menghampiri kakak angkatnya, dipeluknya dan diciuminya Syanti Dewi sambil mengucapkan selamat. Kedua orang wanita cantik ini mengusap air mata keharuan dan Ceng Ceng lalu menghampiri Tek Hoat sambil menjura dan berkata, “Kionghi (selamat), semoga engkau akan menjadi suami kakak angkatku yang baik.”

Tek Hoat tersenyum, menyatakan terima kasihnya dan berkata, “Ceng Ceng, kita adalah saudara seayah, maka kita semua ternyata bukanlah orang-orang lain, bukan? Harap kau maafkan segala kesalahanku yang lalu terhadapmu.”

Ceng Ceng tidak menjawab, hanya di dalam hatinya dia masih mengkhawatirkan apakah kakak angkatnya akan bahagia kelak menjadi isteri Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang yang licik dan curang, dan jahat. Betapa pun juga, dia tak mengatakan apa-apa karena dia segera teringat akan laki-laki yang tak pernah dapat dilupakannya, biar pun telah mati itu. Topeng Setan atau Kok Cu itu, seperti juga Tek Hoat, baik atau jahatkah?

Kalau dia teringat akan Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya di dalam goa, maka jelas bahwa pemuda itu amat jahat, bahkan merupakan orang yang telah menghancurkan hidupnya, menghancurkan harapannya. Sebaliknya, kalau dia teringat akan Topeng Setan, jelaslah bahwa orang itu amat baik, terlalu baik malah, telah melimpahkan budi kebaikan kepadanya, telah mengorbankan lengannya, bahkan beberapa kali hampir mengorbankan nyawa untuknya. Jadi baikkah orang itu? Atau jahatkah?

Ceng Ceng termenung. Baik atau jahat ternyata tergantung dari pada penilaian kita sendiri, dan penilaian kita pun didasarkan atas kepentingan diri pribadi. Buktinya, kalau dia mengingat Kok Cu yang telah merugikan dia, maka otomatis dia menganggapnya jahat sekali. Dan kalau dia mengingat Topeng Setan yang telah menguntungkan dia, maka otomatis dia menganggapnya baik sekali. Padahal keduanya itu adalah orang yang sama! Tentu demikian pula dengan Tek Hoat. Siapa pun orangnya yang merasa dirugikan oleh Tek Hoat, tentu akan menganggapnya jahat, sebaliknya Syanti Dewi yang tentu telah menerima budi kebaikan dari Tek Hoat seperti dia menerimanya dari Topeng Setan, tentu saja menganggap Tek Hoat sebaik-baiknya manusia!

Ceng Ceng menghela napas panjang. Kenyataan yang membuka matanya lahir batin ini membuat dia menjadi muak akan kepalsuan manusia, akan kepalsuan dirinya sendiri. Setiap orang selalu menginginkan yang menguntungkan dan menyenangkan bagi dirinya sendiri saja, dan menolak yang merugikan atau tidak menyenangkan, maka timbullah suka dan tidak suka, timbullah cinta dan benci, timbullah puas, dan kecewa dan kesemuanya itu tentu saja mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan.

Syanti Dewi yang sedang tenggelam dalam kegembiraan itu kini mulai memperhatikan Ceng Ceng. Biar pun adik angkatnya itu kelihatan tersenyum-senyum dan ikut pula berpesta, namun wajahnya pucat dan matanya muram, jelas kelihatan oleh Syanti Dewi betapa kegembiraan Ceng Ceng hanyalah pura-pura belaka untuk menyembunyikan kedukaan yang amat besar.

Perang hebat terjadi di dalam batin Ceng Ceng. Di satu pihak dia menderita pukulan batin yang membuatnya amat berduka teringat kepada Topeng Setan, ditambah menyaksikan kemesraan antara Tek Hoat dan Syanti Dewi, dan pada lahirnya dia memaksa diri untuk ikut bergembira. Arak yang manis diminumnya terasa pahit, semua hidangan yang lezat terasa seperti racun di lidahnya. Dia berusaha menahan-nahan diri, akan tetapi makin diingat makin hebatlah tekanan yang menghimpit batinnya. Akhirnya dia mengeluh dan roboh terguling dari tempat duduknya.

“Adik Candra...!” Syanti Dewi menjerit.
“Ceng Ceng, kau kenapa...?” Tek Hoat juga berseru dan cepat pemuda ini melompat dan memondong tubuh Ceng Ceng yang pingsan, dibawanya masuk bersama Syanti Dewi dan diikuti pula oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Puteri Milana dan Gak Bun Beng cepat memeriksa keadaan Ceng Ceng, dan keduanya saling pandang, lalu Puteri Milana berkata kepada Syanti Dewi, “Biarkan dia beristirahat. Dia mengalami tekanan batin...” lalu dia bersama Bun Beng keluar dari dalam kamar itu, diikuti pula oleh Tek Hoat yang membiarkan Syanti Dewi sendiri menemani Ceng Ceng yang masih rebah pingsan.

Sri Baginda sendiri juga berkenan menengok, dan Sri Baginda lalu bertanya kepada calon mantunya apa yang terjadi dengan diri Ceng Ceng, adik angkat puterinya itu. Dengan halus Tek Hoat melaporkan bahwa Ceng Ceng kelelahan dan perlu beristirahat. Sedangkan Milana sendiri berkata lirih kepada Bun Beng, “Heran sekali, apa yang menyebabkan dia begltu tertekan batinnya?”

“Dan aku pun heran ke mana perginya Topeng Setan yang dulu selalu menemaninya? Sayang Suhu tidak bercerita apa-apa sehingga kita tidak tahu bagaimana Ceng Ceng sampai berpisah dari Topeng Setan dan tahu-tahu datang bersama Suhu.”

Mereka menduga-duga, akan tetapi tidak dapat mengerti apa sebabnya dara itu sampai menderita pukulan batin demikian hebatnya, yang dapat mereka ketahui dari pemeriksaan mereka tadi. Untuk menghormati perayaan kemenangan itu, Milana, Bun Beng, dan Tek Hoat sendiri melanjutkan kehadiran mereka dalam perayaan sungguh pun hati mereka tidak dapat melupakan keadaan Ceng Ceng. Hanya Syanti Dewi saja yang tidak muncul lagi karena puteri ini menjaga sendiri adik angkatnya dengan hati gelisah.

Malam itu pesta dilanjutkan dengan meriah. Beberapa kali secara bergantian, Tek Hoat, Milana, dan Bun Beng menengok keadaan Ceng Ceng yang masih saja rebah seperti tidur pulas dalam keadaan tidak sadar. Bun Beng menyalurkan tenaga sinkang yang kuat dan halus untuk membantu gadis dan memperkuat jantungnya, kemudian dia pun keluar sambil memesan kepada Syanti Dewi bahwa apa bila Ceng Ceng sadar, biarkan gadis itu menangis sepuasnya karena keadaan Ceng Ceng itu hanya akan terbebas dari bencana kalau gadis itu dapat menangis atau menyalurkan beban yang menekan batinnya dengan menceritakan kepada orang lain yang dipercayanya. Syanti Dewi mengangguk dengan air mata berlinang.

Dalam keadaan tidur atau setengah pingsan itu Ceng Ceng mengigau, tubuhnya mulai panas. Syanti Dewi memperhatikan dengan gelisah dan menjadi bingung melihat sikap Ceng Ceng dalam igauannya. Kadang-kadang gadis itu memaki-maki nama ‘Kok Cu’, dan kadang-kadang dia memanggil-manggil ‘Topeng Setan’ dengan mesranya.

Menjelang tengah malam, Ceng Ceng membuka mata dan tiba-tiba meloncat bangun sambil menjerit, “Kau telah mati...!” Akan tetapi karena tubuhnya lemah dan kepalanya pening, hampir saja dia terguling kalau tidak cepat-cepat dirangkul oleh Syanti Dewi.

“Candra... adikku... ingatlah, aku siapa...?” Syanti Dewi yang merangkul itu berbisik dengan suara parau dan air matanya mengalir di kedua pipinya.

Sejenak sepasang mata Ceng Ceng yang muram itu menatap wajah Syanti Dewi seperti yang tidak mengenalnya, tatapan pandang mata yang kosong seolah-olah di balik sinar mata muram itu tidak ada semangatnya lagi. Syanti Dewi merasa seperti ditusuk jantungnya melihat tatapan pandang mata ini.

“Candra Dewi... adikku... kau... kau kenapa...?” Dia merangkul lagi, menciumi pipi yang pucat seperti mayat itu.

Akhirnya Ceng Ceng sadar. “Enci Syanti...!”

Dia merintih dan menangislah Ceng Ceng dalam pelukan Syanti Dewi, menangis sesenggukan akhirnya mengguguk dan air matanya mengalir seperti air bah membobol bendungannya. Syanti Dewi juga menangis, akan tetapi menangis dengan hati lega karena dia teringat akan pesan Bun Beng bahwa tangis akan membebaskan Ceng Ceng dari ancaman bahaya. Maka dia merangkul dan membiarkan Ceng Ceng menangis sepuasnya. Setelah agak reda tangis adik angkatnya itu, dia lalu mengambil sapu tangannya dan menyusuti air mata Ceng Ceng dari pipinya, menyusuti muka yang pucat itu.

“Adikku... adikku yang baik, kenapa kau begini berduka? Ceritakanlah kepada enci-mu ini dan aku bersumpah demi langit dan bumi, aku akan membantumu dengan seluruh kekuasaanku untuk melenyapkan ganjalan hatimu, Candra.”

“Ohh, Enci Syanti...” Ceng Ceng kembali menyembunyikan mukanya di pundak puteri itu. Bagaimana dia akan dapat menceritakan persoalannya itu kepada orang lain?

“Ceritakanlah, Adikku...”

Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepala tanpa menghentikan tangisnya.

“Aihh, Candra. Kau kira aku ini siapa? Aku adalah kakakmu, tahukah kau? Lupakah engkau betapa kita bersama-sama meninggalkan Bhutan dan kemudian mengalami segala macam peristiwa hebat? Dan sekarang setelah kita bersama dapat pulang dan berkumpul lagi di sini, engkau menjadi begini. Lebih hebat lagi, agaknya engkau sudah tidak percaya lagi kepada kakakmu ini...”

“Enci Syanti...! Janganlah kau berkata begitu... jangan...” Ceng Ceng terisak, suaranya seperti orang merintih.
“Kalau begitu, kau ceritakanlah semua kedukaanmu itu padaku. Kita ini selain saudara angkat, juga senasib sependeritaan, kalau engkau bahagia, aku pun ikut gembira, kalau engkau sengsara, aku pun ikut berduka. Bagaimana mungkin aku akan dapat menikmati kebahagiaanku sekarang ini kalau melihat engkau sengsara, Adikku?”

Ceng Ceng memejamkan matanya. Memang tidak salah ucapan kakak angkatnya ini. Dahulu dia mempunyai kakeknya akan tetapi kini sudah tidak ada. Kemudian di dunia ini ada Topeng Setan yang dianggapnya satu-satunya orang yang paling baik dan dekat dengannya. Topeng Setan pun sudah tidak ada. Dan Syanti Dewi yang tadinya sudah terpisah dari dia dan disangkanya sudah tewas atau tertawan musuh, sekarang sudah kembali dan berkumpul dengan dia. Memang satu-satunya orang yang paling dekat dengan dia hanya Puteri Bhutan inilah.

Dia menarik napas panjang dan melepaskan rangkulannya. “Baiklah, Enci Syanti. Mari kita duduk dan dengarlah ceritaku.”

Dua orang wanita muda yang cantik jelita itu lalu duduk di atas pembaringan, saling berhadapan dan mulailah Ceng Ceng bercerita. Dia ingin menyingkat ceritanya yang amat panjang itu, hanya mengemukakan hal-hal yang membuat dia merana dan sengsara seperti yang diderita sekarang ini.

“Ketika kita saling terpisah karena perahu kita terguling...” Ceng Ceng berhenti karena teringat betapa peristiwa itu terjadi gara-gara Tek Hoat yang kini menjadi calon suami puteri itu!

Syanti Dewi agaknya dapat meraba perasaan hati adik angkatnya, maka dia tersenyum dan berbisik, “Lanjutkanlah...”

“Aku berjumpa dengan seorang pemuda yang tertawan musuh-musuhnya dan berada dalam sebuah kerangkeng. Karena kasihan kepadanya, aku melarikan dia dengan kerangkengnya, membawanya ke sebuah goa dan di situ aku membuka kerangkeng dan membebaskannya...” Ceng Ceng berhenti lagi. Seperti tampak di depan matanya semua peristiwa itu, betapa pemuda itu dengan berkeras minta agar supaya dia tidak membebaskannya! Agaknya pemuda itu tahu bahwa dia keracunan dan akan terjadi hal yang hebat kalau sampai dia dibebaskan dari dalam kerangkeng!

“Lalu bagaimana, Adikku?” Syanti Dewi mulai tertarik oleh cerita yang dipersingkat ini.
“Setelah aku membebaskan dia... lalu dia itu... dia lihai sekali, dia merobohkan aku dengan totokan...”
“Ahhh...!”
“Kemudian... kemudian... dia memperkosaku...!” Ceng Ceng menutupi mukanya dengan kedua tangannya seolah-olah tidak ingin melihat peristiwa yang kembali membayang di depan matanya.

“Ehhh...!” Syanti Dewi terbelalak, otomatis pandang matanya menjelahi tubuh adiknya. Kemudian dia bangkit berdiri di depan pembaringan, kedua tangannya dikepal dan sepasang matanya bernyala-nyala. “Dia... dia memperkosamu? Adikku, katakan siapa jahanam itu! Aku akan menyuruh Tek Hoat mencarinya sampai dapat dan aku tidak akan mau menikah dengan dia sebelum dia dapat menyeret jahanam itu di depan kakimu! Aku juga akan mohon bantuan Paman Gak Bun Beng! Hayo katakan, siapa jahanam itu!”

Ceng Ceng menurunkan kedua tangannya, memandang puteri yang marah-marah itu dengan muka pucat, kemudian dia memegang kedua tangan puteri itu dengan perasaan berterima kasih sekali. “Enci Syanti, ceritaku belum habis...”

Syanti Dewi duduk kembali di atas pembaringan. “Apakah bukan peristiwa terkutuk itu yang membuatmu berduka? Kalau karena sakit hati itu, biar aku akan mengerahkan segala kemampuanku untuk membantumu membekuk jahanam itu!”

Ceng Ceng menggeleng kepalanya dengan lemas, pandang matanya muram dan sayu, kemudian dia berkata, “Aku akan melanjutkan, dengarlah, Enci Syanti. Seperti dapat kau maklumi, aku menaruh dendam kepada orang itu dan selama ini tiada hentinya aku mencari-cari dia untuk membalas sakit hatiku. Dalam perantauanku ini, aku bertemu dengan seorang lain, yaitu Topeng Setan.”

“Hemm, aku juga sudah mendengar tentang dia, yang kabarnya selalu membantumu dan merupakan seorang manusia ajaib dan lihai sekali yang bersembunyi di balik topengnya.”

“Benar. Dia adalah seorang manusia yang amat baik kepadaku, Enci, telah berulang kali menyelamatkan nyawaku, bahkan dia... dia... telah berkorban dengan lengan kirinya menjadi buntung ketika menolongku. Aku berhutang nyawa kepadanya, berhutang budi dan sudah sepatutnya kalau dia kuanggap sebagai manusia yang paling mulia di dunia ini...”

“Tentu saja! Aku pun tadinya mengalami hal seperti engkau itu dan aku sampai kini selalu menganggap Paman Gak Bun Beng sebagai seorang manusia yang paling mulia di dunia ini, tentu saja sesudah orang tuaku dan... Tek Hoat.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. “Dan kemudian... belum lama ini..., aku mendapat kenyataan yang menghancurkan seluruh perasaanku, yang membuat aku hampir gila, sebuah kenyataan yang amat hebat, Enci Syanti...” dan Ceng Ceng tak dapat menahan air matanya lagi.

Syanti Dewi memegang kedua tangan adik angkatnya. “Kenyataan apakah, Candra? Cepat kau beritahukan kepadaku.”

“Kenyataan bahwa Topeng Setan, orang yang paling kumuliakan dan karenanya paling kucinta... ketika topengnya terbuka... ternyata... ternyata dia... dia... adalah... pemuda yang memperkosa aku dahulu...”

“Aihhhh...!” Syanti Dewi setengah menjerit dan kembali dia meloncat berdiri, mukanya menjadi pucat dan pandang matanya penuh rasa iba, lalu mulutnya komat-kamit seperti berdoa akan tetapi terdengar bisiknya. “...jadi kau... membenci dan sekaligus mencinta orang yang sama...? Dan dia itu... musuhmu dan sekaligus sahabatmu, pemerkosamu dan sekaligus penolongmu...? Aihhh, bagaimana ini...?”

Seperti dalam mimpi, suaranya lirih dan datar, terdengar Ceng Ceng berkata membela, “Akan tetapi... ketika dia memperkosaku... dia... dia dalam keadaan tidak sadar karena keracunan... dan dia sudah berusaha mencegah aku membuka kerangkengnya...”

Mendengar ini, Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian merangkul adik angkatnya itu dan berkata dengan suara serius, “Dengarlah baik-baik, Candra. Sekarang jawablah aku. Engkau sekarang ini, setelah semua itu terjadi, setelah semua itu lewat dan lupakan semua itu, sekarang jawablah, apakah engkau sekarang ini membencinya ataukah mencintanya?”

Ceng Ceng tertunduk lesu dan sampai lama tidak menjawab.

Syanti Dewi mencium kedua pipinya. “Sadarlah, Adikku. Tak perlu kau membiarkan diri tenggelam dalam peristiwa yang lalu. Katakanlah kepadaku. Bencikah kau kepadanya? Ataukah engkau cinta kepadanya?”

Ceng Ceng menggeleng kepada. “Entahlah, Enci Syanti. Aku tidak tahu. Dia demikian baik kepadaku, mungkin tanpa dia aku sudah mati, dan tidak mungkin lagi bertemu denganmu. Dia mengorbankan segalanya untukku, bahkan lengannya putus sebelah karena aku... akan tetapi... dia... dia yang memperkosaku.”

Syanti Dewi memandang Ceng Ceng sambil tersenyum. Sampai lama dia menatap wajah yang menunduk itu, kemudian dia memegang kedua pundak adik angkatnya, lalu memegang dagu yang meruncing itu dan tersenyum lebarlah Puteri Bhutan itu. “Adikku yang manis, kau cantik sekali! Tahukah kau apa yang tampak olehku? Jelas terbayang di wajahmu, Adikku, dan aku tidak akan salah lihat bahwa engkau cinta kepadanya.”

“Ehhh...?” Ceng Ceng terkejut sekali dan memandang tajam kepada kakak angkatnya itu, akan tetapi dia menundukkan mukanya lagi dan wajahnya makin muram.

“Candra... adikku yang cantik, mengapa kau khawatir? Engkau terlalu memandang rendah kepada kakakmu ini. Apa kau kira aku akan diam saja setelah melihat kenyataan bahwa engkau mencinta pria itu? Jangan kau khawatir, biar kusuruh sekarang juga Tek Hoat, agar dia mencari dia sampai ketemu.”

Ceng Ceng menghela napas panjang, terdengar dia mengeluh. “Aihhh, Enci Syanti, sia-sia saja segala perhatianmu kepadaku, karena dia... dia sudah mati...” Dan air mata mengalir turun lagi dari kedua mata Ceng Ceng.

“Heiiii...?!” Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat. Kemudian dia menubruk, merangkul Ceng Ceng dan sekarang puteri itulah yang menangis tersedu-sedu. Dan anehnya, melihat kakak angkatnya menangis begitu sedih, Ceng Ceng merasa terhibur hatinya, atau setidaknya dia melupakan kesedihannya sendiri, bahkan kini dia yang berusaha menghibur Syanti Dewi!

“Sudahlah, Enci Syanti, sudahlah..., ditangisi pun sia-sia...!”

Memang aneh sekali, akan tetapi telah menjadi kenyataan bahwa kedukaan seseorang akan berkurang, menjadi ringan, atau setidaknya terhibur melihat kedukaan orang lain! Kenyataan ini pahit sekali, membayangkan dengan jelas bahwa kedukaan timbul dari rasa iba kepada diri sendiri, maka rasa iba itu menjadi berkurang kalau melihat orang lain juga menderita, apa lagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar dari pada penderitaannya sendiri. Rasa iba diri ini adalah penonjolan dari pada si aku yang selalu ingin menguasai batin manusia maka terjadilah kesengsaraan dan kedukaan yang memenuhi kehidupan kita. 

Perlu sekali untuk disadari benar-benar bahwa kesengsaraan dan kedukaan bersumber kepada pikiran kita sendiri, yang membentuk si aku, karena pikiran kita sendirilah yang menimbulkan pertentangan-pertentangan di dalam batin dengan selalu menginginkan hal-hal lain dari pada kenyataannya yang ada, selalu menginginkan yang dianggapnya menyenangkan sehingga apa yang ada, yaitu kenyataan setiap saat yang dihadapinya, selalu tidak diamatinya benar-benar dan dianggapnya tidak menyenangkan. 

Semua ini adalah permainan pikiran kita sendiri setiap saat dan demikianlah pikiran kita menguasai kehidupan kita setiap hari! Mata kita baru akan terbuka, keindahan setiap saat yang terkandung dalam setiap peristiwa baru akan tampak apa bila pikiran atau si aku tidak mencampurinya! Cinta kasih yang murni dan suci, terhadap apa pun juga, baru ada apa bila pikiran atau si aku tidak memegang kendali!

“Adik Candra..., betapa hebat penderitaanmu. Sungguh aku berdosa besar kepadamu, Adikku, aku bergembira, berbahagia, bersenang-senang tanpa memikirkan bahwa kau sesungguhnya sedang menderita kedukaan hebat...”

“Sudahlah, Enci Syanti. Engkau tidak bersalah apa-apa. Engkau tidak mengetahuinya dan tidak perlu pula Enci berduka karena keadaanku. Lanjutkanlah kegembiraanmu, Enci, engkau berhak untuk hidup berbahagia. Setidaknya, mengingat bahwa engkau akan berjodoh dengan seorang yang masih seayah denganku, membuat aku bersyukur. Aku sendiri... ahhh, hidup tidak ada artinya lagi, aku... aku bermaksud... akan pergi lagi dari sini besok...”

“Ehhh... ke mana...?”
“Entahlah. Mungkin kembali ke bekas tempat tinggal Kakek, atau... entah ke mana aku sendiri belum bisa memastikan...”
“Jangan, Candra...! Setidaknya, kau tinggallah di sini sampai hari pernikahanku.”

Ceng Ceng menggelengkan kepalanya dan menghapus sisa air matanya. “Tidak, Enci. Kehadiranku yang penuh kepahitan hanya akan mengganggu kebahagiaanmu saja. Aku sudah mengambil keputusan untuk pergi besok, pagi-pagi dari sini. Kau tidak boleh dan tidak bisa menahanku, Enci Syanti...”

“Candra...!” Syanti Dewi merangkul dan kembali kedua orang kakak beradik yang dipermainkan nasib sehingga keadaan mereka kini seperti bumi dan langlt itu saling bertangis-tangisan.

Malam itu juga Syanti Dewi pergi menemui Tek Hoat yang dimintanya agar sebagai saudara seayah, suka membujuk Ceng Ceng. Tek Hoat terkejut sekali saat mendengar semua penuturan kekasihnya itu tentang Ceng Ceng dan Topeng Setan. Tak pernah disangka seujung rambut pun bahwa Topeng Setan adalah musuh besar yang selalu dicari-cari Ceng Ceng itu, dan baru sekarang dia tahu bahwa adiknya seayah itu, adik tirinya, telah menjadi korban perkosaan Topeng Setan sendiri yang kini kabarnya telah tewas! Tergopoh-gopoh dia menemui Ceng Ceng di kamar gadis itu.

“Kau tidak boleh pergi...!” begitu memasuki kamar itu Tek Hoat berseru.

Ceng Ceng yang tadinya duduk termenung itu, kini meloncat bangun. Mukanya yang tadinya pucat menjadi agak merah karena perasaan marah menyelinap dalam hatinya. Dia berdiri menentang wajah pemuda itu dan menjawab dengan ketus, “Ada hak apa engkau melarang aku pergi?”

“Ada hak apa? Hemm, lupakah kau bahwa aku ini kakakmu, bahwa kita ini seayah? Kau tidak boleh pergi dalam keadaan begini!”
“Dalam keadaan bagaimana?”
“Kau sedang mengalami kedukaan, kau bisa jatuh sakit di jalan. Dan sudah menjadi kewajibanku sebagai saudara untuk menjaga dan melindungimu, aku akan berusaha untuk menggembirakan hatimu, menghiburmu...”

“Dengan sikapmu yang keras dan selalu memusuhiku itu? Hemm, Tek Hoat, agaknya engkau mengandalkan kepandaianmu dan mengandalkan kedudukanmu sekarang, maka kau hendak memaksaku. Kau kira aku mau tunduk begitu saja? Kau boleh bunuh aku sekarang juga, aku tetap hendak pergi besok pagi. Ingin kulihat kau bisa berbuat apa!” Ceng Ceng menantang, berdiri dengan kedua tangan dikepal.
“Kau... kau keras kepala!” Tek Hoat menegur, kedua tangannya juga dikepal.

Mereka berhadapan seperti dua orang musuh bebuyutan (musuh besar turun-temurun) yang hendak mengadu nyawa. Akhirnya setelah beberapa lama mereka saling pandang dengan sinar mata berapi, Tek Hoat menurunkan kembali tangannya dan menarik napas panjang. Kemudian dia berkata lirih setelah menghela napas lagi.

“Ceng Ceng, kau tidak tahu... biarlah selagi masih ada kesempatan aku akan mengaku semuanya kepadamu. Semenjak kita saling berjumpa dahulu, ketika aku menolongmu dari air sungai, timbul rasa suka yang aneh dan mendalam di dalam hatiku terhadap dirimu. Cobalah kau ingat-ingat, kalau tidak begitu, mana mungkin aku membiarkan engkau menguasai aku hanya dengan sumpah dan sapu tangan, bahkan aku rela pula menghambakan diri menjadi pembantumu ketika kau diangkat menjadi bengcu! Andai kata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi yang lebih dulu telah menjatuhkan hatiku, yang telah kucinta sejak pertemuan pertama, agaknya... aku tidak akan ragu lagi bahwa aku tentu akan jatuh cinta kepadamu. Sejak dahulu ada getaran perasaan yang mengikat hatiku kepadamu, tidak tahu bahwa sesungguhnya engkau masih sedarah dengan aku. Engkau adikku... di dunia ini hanya ada seorang adik bagiku...”

“Hemm, kakak macam apa engkau ini yang selalu bersikap keras kepadaku.” Akan tetapi suara teguran Ceng Ceng itu mengandung getaran keharuan karena memang dia terharu sekali mendengar pengakuan Tek Hoat itu. Teringat dia betapa dahulu pun hampir saja dia jatuh cinta kepada pemuda ini dan di sudut hatinya memang selalu ada rasa suka terhadap Tek Hoat seperti yang diakui pula oleh pemuda itu. Ternyata pertalian darah itulah yang menimbulkan getaran itu.

“Memang, kita sama-sama keras kepala, Adikku. Agaknya inilah yang diwariskan oleh mendiang ayah kita yang kabarnya amat jahat itu. Kita berdua adalah keturunan orang yang jahat... akan tetapi hanya aku yang mewarisi kejahatannya, sedangkan engkau adalah seorang gadis yang gagah perkasa dan berbudi mulia. Akan tetapi kenapa justru engkau yang menderita kesengsaraan sedangkan aku berenang dalam kebahagiaan? Tidak! Engkau tidak boleh menderita kalau aku berbahagia. Adikku, Ceng Ceng... aku minta, aku mohon kepadamu, jangan kau pergi, Adikku...” Terdorong oleh rasa harunya, Tek Hoat pemuda yang berhati baja itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ceng Ceng!

“Tek Hoat...” Ceng Ceng juga berlutut dan seperti digerakkan oleh tenaga gaib, kedua orang saudara tiri seayah ini saling rangkul dan untuk beberapa lamanya Ceng Ceng menangis di atas dada saudaranya.

Akan tetapi kekerasan hatinya timbul pula dan dia lalu bangkit berdiri, menyusut air matanya. “Tek Hoat, aku pun tidak pernah dapat membencimu. Terima kasih atas kebaikanmu kepadaku. Akan tetapi engkau tentu tahu, dalam keadaan seperti sekarang ini, aku membutuhkan ketenangan dan keheningan, aku harus pergi menyendiri, entah ke mana. Percayalah, kalau aku tidak mati, dan kalau luka di hati ini sudah tidak parah lagi, engkaulah satu-satunya orang yang akan kucari sebagai keluargaku.”

Tek Hoat menghela napas panjang dan juga bangkit berdiri. Dia telah mengenal bagai mana sifat Ceng Ceng yang amat keras. Seperti baja yang tak dapat ditekuk lagi. “Kalau begitu, aku hanya dapat ikut prihatin dan akan selalu mendoakan, Adikku.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ceng Ceng berangkat pergi sebelum ada yang bangun dari tidurnya. Tentu saja dengan mudah dara ini keluar dari istana, juga dengan mudah keluar dari pintu gerbang sebelah timur karena para prajurit yang menjaga semua mengenal adik angkat Puteri Bhutan ini.

Dengan muka pucat dan pandang mata kosong Ceng Ceng keluar dari pintu gerbang tanpa menengok lagi. Langsung dia melanjutkan perjalanan dengan langkah-langkah perlahan maju ke depan tanpa tujuan karena pikirannya kosong dan semangatnya seperti telah terbang meninggalkan tubuhnya.

Belum jauh dia meninggalkan pintu gerbang timur, tiba-tiba ada suara memanggilnya, “Sumoi...!”

Ceng Ceng menghentikan langkahnya, berdiri lesu tanpa menoleh karena dia mengenal suara itu, suara Panglima Jayin, yang juga merupakan suheng-nya karena panglima ini pernah berguru kepada kakeknya.

Ketika Jayin tiba di depannya, Ceng Ceng berkata lesu, “Suheng, harap kau jangan ikut-ikut menahanku karena sudah bulat tekadku untuk pergi dan tak seorang pun boleh menahanku.”

“Sumoi, aku sama sekali tidak akan menahan dan mencampuri urusan pribadimu. Aku menyusulmu karena aku diutus oleh Sang Puteri Syanti Dewi. Beliau mengutus aku mengejarmu dan memanggilmu kembali karena tadi malam ada seorang tamu yang datang ke istana mencarimu. Akan tetapi karena hari telah malam, terpaksa kusuruh tamu itu bermalam di gedung tamu dan menunggu sampai pagi. Baru pagi tadi aku dapat menghadap Sang Puteri untuk menyampaikan permintaan tamu yang hendak menjumpaimu itu. Akan tetapi pagi-pagi sekali engkau sudah pergi, maka Sang Puteri mengutus aku untuk menyusul dan memanggilmu kembali ke Istana.”

“Suheng, aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun juga. Engkau kembalilah dan katakan kepada Enci Syanti Dewi bahwa aku tidak mau menemui siapa pun.”

“Akan tetapi, Sumoi... engkau belum tahu siapa tamu itu!” Suara panglima ini tergetar karena dia pun sudah mendengar akan keadaan sumoi-nya itu dari Puteri Syanti Dewi. “Dia telah datang menyusul bersamaku. Inilah dia orangnya!”

Akan tetapi Ceng Ceng tidak mempedulikan kata-kata ini dan dia terus melanjutkan langkahnya. Siapa pun orangnya yang datang mencarinya, dia tidak ingin melihat dan menemuinya. Tanpa menoleh sedikit pun, Ceng Ceng melangkah terus, sama sekali tidak mempedulikan.

Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara, “...bengcu...!”

Ceng Ceng berhenti seperti disambar petir dan dia berdiri tegak, mukanya pucat, kedua kakinya menggigil dan dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia tidak berani menoleh, karena tentu pendengarannya yang menipunya dan kalau dia menoleh, dia akan kecewa. Tidak mungkin! Tapi suara yang didengarnya tadi amat dikenalnya, terlalu dikenalnya malah, karena suara itu adalah suara Topeng Setan!

“Bengcu...!” Suara itu memanggil lagi, kini terdengar tergetar.

Untuk kedua kalinya Ceng Ceng tersentak kaget. Dia menoleh dan....

“Ouhhhhhh...!” dia menutupi mulut dengan punggung tangan kiri, menahan jeritnya.

Betapa kagetnya ketika dia melihat laki-laki yang berlutut di depannya itu, laki-laki yang melihat pakaian dan lengan kirinya, jelas adalah Topeng Setan, akan tetapi melihat wajahnya yang tidak tertutup topeng itu, wajah yang tampan dan gagah sekali sungguh pun pada saat itu kelihatan pucat dan dicekam perasaan khawatir, adalah wajah Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya.

“Kau...? Kau...?” Hati Ceng Ceng menjerit, akan tetapi bibirnya hanya bergerak-gerak dan mulutnya terbuka tanpa ada suara yang keluar, kemudian terdorong oleh kedua kakinya yang tiba-tiba menjadi lemas seperti lumpuh dan kekejutan yang meremas hatinya, Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut dan menubruk orang itu sambil merintih dan menangis.

“Kau... kau... masih hidup..., ohhh, kau masih hidup...?” berulang-ulang dia berbisik seperti dalam mimpi ketika dia mendekapkan mukanya di atas dada yang bidang itu.
“Suhu menolong dan menyembuhkan aku...,” bisik Topeng Setan atau Kok Cu itu.
“...ahhh... hu-huuu-huukk... aku... aku girang sekali... aku... aku cinta padamu, Pam...” Ceng Ceng tiba-tiba menghentikan kata-katanya, tidak melanjutkan sebutan ‘paman’ tadi karena dia segera teringat dan cepat dia mengangkat mukanya.

Begitu melihat wajah tampan itu, dia berseru, “Ohhhh...!” dan merenggutkan tubuhnya menjauh.

Sementara itu, begitu Ceng Ceng tadi merangkul ‘tamu’ itu, Panglima Jayin sudah melangkah pergi dan memberi isyarat kepada para penjaga untuk pergi menjauh, lalu memasuki pintu gerbang dan membiarkan kedua orang itu bicara dengan leluasa. Senyum penuh rasa syukur membayang di wajah panglima gagah itu.

“Aku bukan Topeng Setan lagi...” Pemuda itu berkata. “Aku adalah Kao Kok Cu, aku adalah si pemuda laknat dan aku datang untuk menerima hukuman, Ceng Ceng. Semenjak peristiwa terkutuk yang terjadi di goa, aku selalu dikejar oleh dosa dan penyesalan. Apa lagi ketika aku mendengar bahwa engkau adalah penyelamat nyawa Ayah, aku makin menyesal, maka untuk menebus dosa dan untuk membalas budimu terhadap Ayah, aku kemudian menjadi Topeng Setan yang selalu melindungi dan membelamu. Sekarang, rahasiaku telah kau ketahui, maka aku datang untuk menerima hukuman. Kalau kau hendak membunuhku, lakukanlah, aku tidak akan menyesal mati di tanganmu, Ceng Ceng, karena aku akan mati di tangan seorang yang paling kucinta di dunia ini, yang paling kuhormati, kukagumi dan kujunjung tinggi.”

Ceng Ceng yang masih menggigil seluruh tubuhnya itu, mengeluh dan dia kembali menubruk, merangkul karena memang perasaan bahagia melihat ‘Topeng Setan’ masih hidup mengusir semua perasaan lain. “Paman... Paman... melihat engkau masih hidup, aku... ahhh, betapa bahagia rasa hatiku.” Dia berkata dan kembali dia lupa akan wajah tampan itu, merasa bahwa dia berada dalam pelukan Topeng Setan. “Melihat engkau mati, baru aku tahu bahwa aku cinta padamu, Paman, dan aku tidak ingin lagi terpisah darimu...”

“Ceng Ceng, janganlah menyebutku Paman... Engkau isteriku sayang... engkau sudah kuanggap isteriku sejak aku mengenakan topeng... Betapa bahagia hatiku mendapat pengakuan cintamu...”

Ceng Ceng merangkul dan menatap wajah itu, wajah tanpa topeng yang ternyata amat tampan dan gagah. Wajah yang semenjak peristiwa di goa itu tidak pernah dapat dilupakannya! Kok Cu yang melihat wajah jelita basah air mata itu, tergerak hatinya, penuh keharuan, penuh iba dan penuh kemesraan cinta, maka dia menunduk dan di lain saat dia sudah mencium mulut yang setengah terbuka itu, menciumnya dengan seluruh perasaan kasih sayang yang terluap dari lubuk hatinya, melalui bibirnya.

Sejenak Ceng Ceng terlena dan memejamkan mata, otomatis perasaan bahagia dan kasih sayang dari hatinya membuat kedua lengannya melingkari leher pemuda itu dan bibirnya pun bergerak menyambut. Akan tetapi tiba-tiba terbayang peristiwa di dalam goa. Mulutnya yang melekat pada mulut Kok Cu meronta, matanya terbelalak dan dia merenggutkan dirinya.

Kok Cu memandangnya dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.

“Plak! Plakk!”

Dua kali kedua tangan Ceng Ceng bergerak dan nampaklah garis-garis merah di kedua pipi Kok Cu yang pucat. Pemuda itu tersenyum.

“Terima kasih dan pukulan-pukulanmu barusan baik sekali, merupakan obat yang akan menyembuhkan penyesalanku. Kau pukullah lagi, Ceng Ceng. Sudah kukatakan bahwa aku siap menebusnya dengan kematian sekali pun...”

“Ouhhh... tidak... tidak...!” Ceng Ceng kembali merangkul. Kini dia memandangi wajah tampan itu dan jari-jari kedua tangannya mengelus dan membelai bekas tamparannya di kedua pipi pemuda itu. “Tidak... kau... kau adalah orang satu-satunya di dunia ini yang kucinta... kau adalah Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadaku...”

“Akan tetapi aku juga pemuda laknat yang telah memperkosamu, Ceng Ceng.”
“Tidak... tidak...! Pada waktu itu engkau dalam pengaruh racun... peristiwa itu adalah kesalahanku sendiri. Engkau sudah berusaha mencegah aku membebasanmu dari kerangkeng... dan engkau sudah berusaha sekuat tenaga mencegah, akan tetapi racun itu lebih kuat... tidak, engkau tidak bersalah...”

Wajah yang tampan dan gagah itu berseri. Tiba-tiba Kok Cu berdiri dan dengan satu tangannya yang luar biasa kuatnya itu, sekali angkat dia sudah mengangkat Ceng Ceng sehingga gadis ini berdiri pula. Wajah yang tampan itu menjadi kemerahan, matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan. “Kalau begitu... kau mengampuni aku...?”

“Tidak ada ampun karena kau tidak bersalah.”
“Aku berdosa dan aku mengharapkan ampunmu, Ceng Ceng.”
“Kalau begitu, aku mengampunimu, Pam... eh, Koko (Kakanda)...”
“Dan kau tidak membenci lagi kepada Kok Cu?”

Sambil merangkul leher pemuda itu, dan matanya masih mengalirkan air mata, Ceng Ceng tersenyum dan menggeleng kepala. “Sebaliknya malah, aku mencinta orang yang bernama Kok Cu.”

“Moi-moi...!”
“Koko...!”

Kembali mereka berdekapan dan sekali ini ketika Kok Cu mencium Ceng Ceng, dara itu menyambut dan membalasnya dengan penuh kemesraan. Dekapan dan ciuman itu seolah-olah menjadi tempat pencurahan seluruh perasaan mereka, rasa cinta, rasa rindu, dan semua kebahagiaan yang terasa di hati masing-masing sehingga mereka seolah-olah tidak ingin saling melepaskan lagi.

“Ceng Ceng, Moi-moi... betapa bahagia hatiku... ketahuilah, aku datang bersama Ayah. Selain menyusulmu, juga Ayah membawa tugas dari Kaisar untuk menyampaikan selamat kepada Kerajaan Bhutan, juga untuk menyatakan keampunan Kaisar terhadap Puteri Milana. Selain itu pula... juga Ayah akan meminangmu secara resmi... marilah, sayang, mari kita kembali ke istana Bhutan...”

Tiba-tiba Ceng Ceng melepaskan dirinya dari rangkulan lengan kanan kekasihnya, dan sambil tersenyum di antara air matanya, dengan kedua pipi merah, dia menggeleng. “Tidak... aku tidak mau kembali...” Dan dia pun membalikkan tubuhnya dan lari.

“Ehh, Ceng Ceng...!” Kok Cu mengejar dan kalau saja dia mau tentu dengan mudah dia dapat menyusul larinya gadis itu. Akan tetapi melihat kekasihnya itu lari sambil tersenyum, dia sengaja mengejar dari belakang dan berteriak, “Kenapa kau tidak mau?”
“Aku malu...!” Ceng Ceng berlari terus, memasuki sebuah hutan kecil.

Akhirnya Ceng Ceng memperlambat larinya dan membiarkan dirinya disusul, ditangkap dan dipeluk di bawah sebatang pohon besar. Dia menyerah dan menyambut ketika pemuda itu kembali menciuminya sampai keduanya gelagapan kehabisan napas. Akhirnya mereka duduk di bawah pohon, di atas rumput tebal dan hijau.

“Ceng-moi, kenapa kau malu?”
“Aku tidak ingin kembali ke sana, tidak ingin... sementara ini menemui orang-orang lain, aku khawatir kebahagiaanku akan terganggu. Aku ingin berdua saja denganmu, Koko, kalau bisa, berdua saja di dunia ini, tidak akan saling terpisah lagi... Koko, ah, Koko... aku masih belum percaya... apakah aku tidak sedang mimpi...?”

“Ceng-moi, kau kekasihku, kau pujaan hatiku, kau isteriku... apakah ini mimpi?” Dia mencium dan menggigit leher Ceng Ceng sampai dara itu terpekik halus. “Aku sendiri pun hampir tidak percaya bahwa engkau dapat mengampuni aku, apa lagi mencintaku! Aku selalu merasa ngeri untuk menghadapi pertemuan ini... tidak ada kengerian yang lebih hebat dari pada melihat engkau membenci aku... bayangkan saja betapa sengsara hatiku sebagai Topeng Setan ketika engkau menyatakan betapa hebatnya kebencianmu kepada Kok Cu...”

Sambil menyandarkan kepalanya di atas dada yang bidang itu, dan memainkan jari-jari tangan kanan Kok Cu yang dia tarik ke atas dadanya, Ceng Ceng berkata, suaranya manja. “Siapa sih yang membenci Kok Cu? Aku membencinya karena dia... menghilang begitu saja setelah peristiwa itu...! Aku benci karena dia tidak muncul lagi, padahal dia kuharap-harapkan... padahal hatiku sudah jatuh cinta begitu aku melihat dia di dalam kerangkeng itu...!”

“Tapi kau... kau mencinta Topeng Setan!” Kok Cu menggoda.

Ceng Ceng menarik lengan baju kiri yang kosong itu dan mencium lengan baju itu. “Mengapa tidak? Topeng Setan telah mengobankan lengannya, bahkan beberapa kali hampir berkorban nyawa untukku. Aku mencinta Topeng Setan karena budinya, tanpa mempedulikan bagaimana macamnya wajah di balik topeng, tanpa mempedulikan usianya, akan tetapi aku mencinta Kok Cu karena pribadinya, karena tatapan sinar matanya, karena... karena memang aku cinta dan sebabnya aku tidak tahu!”

“Hemm..., kalau begitu engkau mencinta dua orang! Hayo, katakan, siapa yang lebih kau cinta, Kok Cu atau Topeng Setan?” pemuda itu menuntut, pura-pura cemberut.

Ceng Ceng membalikkan tubuhnya, tertawa geli. “Kau cemburu? Hi-hik, lucunya! Kau cemburu kepada siapa?”

Dengan muka dibuat seperti marah Kok Cu berkata, “Tentu saja kepada Topeng Setan! Hayo katakan, kau lebih mencinta Kok Cu atau Topeng Setan?”

“Ya ampun... tentu saja aku lebih mencinta Kok Cu!”

Tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan sebuah topeng dan sekali bergerak, topeng itu telah dipakai di mukanya dan berubahlah ia menjadi Topeng Setan, suaranya pun agak berubah karena terhalang topeng. “Bagus, Ceng Ceng...! Jadi cintamu kepadaku palsu, ya? Jadi kau lebih cinta kepada pemuda laknat itu dari pada kepadaku?”

Sambil menahan gelinya, Ceng Ceng pun berkata, “Siapa bilang, Paman? Aku cinta padamu, Paman Topeng Setan!”

Kok Cu membuang topengnya dan sambil memegang dagu yang runcing itu, dijepit antara telunjuk dan ibu jarinya, mengangkat muka Ceng Ceng menengadah, dia lalu menghardik, “Perempuan tamak! Sebetulnya kau lebih mencinta yang mana?”

“Aku cinta keduanya, dan cintaku itu kini menjadi satu, tiada bandingannya lagi, dan... ehmmm...” Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena mulutnya telah ditutup oleh sepasang bibir yang seolah-olah tidak akan ada puas-puasnya itu. Dia memejamkan matanya, menyambut dengan hati terbuka dan penuh penyerahan.

Angin semilir di atas mereka, membuat daun-daun pohon berkeresekan saling sentuh seperti saling berbisik membicarakan pertemuan asyik-masyuk penuh kemesraan di bawah pohon besar itu. Bagi Ceng Ceng dan Kok Cu, waktu dan segala sesuatu lenyap, bahkan diri pribadi juga lenyap, yang ada hanyalah kebahagiaan dan keindahan. Hidup adalah bahagia, hidup adalah indah.

Hanya sayang sekali, hanya sewaktu-waktu saja, hanya selewat saja, dalam keadaan seperti yang dialami oleh Ceng Ceng dan Kok Cu, kita mengenal kebahagiaan dan keindahan itu. Selebihnya, waktu dalam hidup kita penuh dengan pertentangan, penuh dengan kebencian, iri hati, angkara murka yang kesemuanya itu hanya mendatangkan kesengsaraan belaka.

Adakah yang lebih indah dari pada cinta? Sayang, betapa cinta oleh kita telah dipecah-belah, ditafsirkan menurut kecondongan hati yang menyenangkan sehingga timbul bermacam pendapat dan kesimpulan. Cinta bukanlah sex semata, bukanlah kewajiban semata, bukanlah pengorbanan semata, bukanlah pemberian atau permintaan semata.

Kesemuanya itu terdapat dalam cinta dan cinta mencakup segala karena cinta hanya terisi keindahan. Cinta tidak mengenal perbedaan suku, tidak mengenal perbedaan ras, tidak mengenal perbedaan bangsa, tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal kaya atau miskin, pintar atau bodoh, tidak mengenal tingkat tinggi atau rendah. Cinta tak mengenal kebencian, tak mengenal permusuhan, tidak mementingkan diri pribadi. Cinta adalah kebahagiaan. Tanpa cinta matahari akan kehilangan sinarnya, bunga kehilangan keharumannya, dan manusia kehilangan kemanusiaannya. Oleh karena itu, segala macam gerak perbuatan tanpa dasar cinta kasih yang kita adalah palsu belaka. Ada pun yang kita lakukan di dunia ini barulah benar dan suci apa bila didasari oleh cinta kasih di dalam hati sanubari kita.....

T A M A T

>>>>   JODOH RAJAWALI   <<<<
(Bagian Ke-9 Serial BU KEK SIANSU)
LihatTutupKomentar