Kisah Sepasang Rajawali Jilid 08
Gak Bun Beng membuka matanya.
“Paman, lihat, ada pasukan tentara datang...!”
Gak Bun Beng mengeluh dan merasa kasihan sekali kepada dara itu. Baru saja mereka beristirahat di dalam rumah kosong yang rusak itu. Setelah membuat api unggun dan menyelimuti tubuh Syanti Dewi yang tidur di atas rumput kering, dia sendiri lalu duduk bersandar dinding rusak di dekat pintu, menjaga sambil beristirahat, dan dia pun tertidur saking lelahnya. Baru saja tidur, belum ada sejam karena dia pun belum pulas benar, sudah ada orang yang mengganggu. Dia bangkit dan berdiri, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang keluar.
“Heiiiiii...! Yang berada di dalam rumah kosong! Hayo kalian semua keluar!” terdengar teriakan seorang di antara para prajurit yang memegang obor.
Obor itu besar sekali dan amat terang. Di atas sebuah tandu pikulan duduklah seorang panglima yang berpakaian lengkap dan gagah, pakaian perang, sikapnya gagah sekali mengingatkan Gak Bun Beng akan tokoh Kwan Kong di dalam cerita Sam Kok, seorang panglima perang yang jarang bertemu tanding saking gagah perkasanya.
“Tenanglah, Dewi, mari kau ikut aku keluar,” kata Gak Bun Beng dan dia menggandeng tangan dara itu, diajaknya keluar menghadap panglima itu.
“Suruh pergi mereka semua! Jika mereka ternyata tidak menyembunyikan pemberontak, sudahlah, jangan ganggu penduduk di sekitar sini! Tetapi cari di rumah-rumah kosong, di goa-goa dan basmi semua pelarian pemberontak, barulah daerah ini akan aman. Kalian jangan terlalu malas, bekerja kepalang tanggung. Satu kali mengeluarkan tenaga hasilnya harus dapat dirasakan selama satu tahun! Tidak setiap hari mengalami gangguan terus!”
Beberapa orang panglima dan perwira yang mendengar perintah ini membungkuk-bungkuk dan mereka kelihatannya takut sekali pada panglima gagah perkasa ini. Tiba-tiba panglima gagah perkasa ini memandang ke arah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi. Gak Bun Beng terkejut. Pandang mata itu menunjukkan bahwa jelas pembesar militer ini benar-benar bukan orang sembarangan, akan tetapi ia balas memandang dengan sikap tenang.
Pembesar itu memberi isyarat dengan tangan dan seorang perajurlt menggapai kepada mereka sambil berkata, “Heii, kalian berdua majulah menghadap tai-goanswe!”
Gak Bun Beng menarik tangan Syanti Dewi lalu menghadap pembesar itu dan menjura dengan dalam-dalam, tetapi tidak berlutut karena dia ingin menguji watak pembesar ini.
“Hei, berlutut kalian!” bentak seorang perajurlt.
“Biarkan mereka!” kata Jenderal besar (tai-goanswe) itu, melambaikan tangan kepada Gak Bun Beng memberi isyarat agar mereka berdua maju. Sekali lagi pandang mata Jenderal itu memandang tajam penuh selidik, kemudian bertanya kepada Syanti Dewi dengan suara membentak dan tiba-tiba, “Kau, wanita muda, katakan siapa namanya laki-laki ini?”
Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main karena biasanya, dalam setiap urusan selalu Gak Bun Beng yang maju ke depan dan Gak Bun Beng yang melayani semua tanya jawab. Sekali ini, secara tiba-tiba jenderal yang kelihatan galak seperti seekor singa itu menanya kepadanya. Saking kagetnya, dia menjawab tanpa dapat dipikir lebih dulu secara otomatis, “Namanya adalah Gak Bun Beng!”
Jenderal ini mengerutkan alisnya yang tebal, mengingat-ingat, kemudian dia meloncat turun menghadapi Gak Bun Beng. Tepat dugaan pendekar sakti ini, cara jenderal itu meloncat menunjukkan pula kemahiran ilmu silat tinggi, biar pun tubuhnya tegap tinggi besar namun gerakannya ringan sekali dan ketika kedua kakinya menginjak tanah, tidak mengeluarkan bunyi apa-apa seperti kaki kucing meloncat saja.
“Kau Si Jari Maut?” tiba-tiba jenderal itu membentak.
Gak Bun Beng melepaskan tangan Syanti Dewi dan menyuruh dara itu minggir. Syanti Dewi sendiri juga kaget sekali, apa lagi mendengar nama Si Jari Maut. Mengapa pula penolongnya itu disangka Si Jari Maut? Bukankah Si Jari Maut adalah tukang perahu itu?
Gak Bun Beng juga merasa heran dan dia menggeleng kepala. “Bukan, tai-goanswe. Saya tidak punya nama lain kecuali yang dikatakan tadi.”
“Siapa dia?” Jenderal itu menuding ke arah Syanti Dewi.
“Dia anak saya.”
“Hemm, wajahnya bukan wajah wanita Han. Jangan membohong kau!”
“Memang anak saya ini berdarah campuran, tai-goanswe. Ibunya adalah seorang Tibet.”
Jenderal ini meraba jenggotnya. “Hem... kau dari mana hendak ke mana?”
“Saya dari Tibet di mana selama belasan tahun saya merantau dan menikah di sana, sekarang hendak pergi ke Se-cuan.”
“Kau bukan Jari Maut?”
“Bukan, tai-goanswe.”
“Tapi kau tentu bisa ilmu silat, bukan?”
Sukarlah bagi Gak Bun Beng untuk mendusta terhadap jenderal yang bermata tajam ini. Tentu saja bagi seorang ahli, dapat melihat bahwa dia seorang yang ‘berisi’, maka dia bersenyum dan menjawab, “Sedikit-sedikit saya pernah mempelajari.”
“Nah, coba kau hadapi seranganku ini, ingin aku lihat sampai di mana kepandaianmu!”
Tiba-tiba saja jenderal itu menerjang maju. Gerakannya cepat bukan main, sama sekali tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar tegap itu, apa lagi dengan memakai pakaian perang yang cukup berat. Selain cepat, juga pukulan kepalan tangannya didahului angin yang menyambar dahsyat, hawa yang mengandung rasa panas ke arah dada Gak Bun Beng.
Pendekar sakti ini maklum bahwa sang jenderal sudah dapat melihat bahwa dia memiliki kepandaian dan agaknya dia hendak menguji karena curiga, maka dia pun tidak mau berpura-pura lagi karena toh akan sia-sia saja dan akan ketahuan oleh jenderal yang cerdik itu, maka ia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya sebagian saja, cukup untuk menandingi tenaga sinkang penyerangnya.
“Dukkk!”
Jenderal itu berseru kaget ketika pukulannya tertangkis dan lengannya terpental. Dia dapat memukul lagi dan tahulah Gak Bun Beng bahwa pukulannya tadi ternyata hanya menggunakan tenaga setengahnya karena jenderal itu belum tahu sampai di mana kekuatannya. Kini jenderal itu menghantam lagi, sekali ini dengan tenaga penuh, tenaga yang melebihi kekuatan seekor kerbau jantan mengamuk!
“Dess...!” Kembali pukulan tertangkis dan jenderal itu terhuyung ke belakang.
“Coba pergunakan jari mautmu!” Bentak sang Jenderal dan kini dia menerjang lagi.
Kaki tangannya bergerak dan sekaligus Gak Bun Beng menghadapi serangan pukulan, tamparan, totokan dan tendangan sebanyak delapan kali berturut-turut. Maklumlah dia bahwa jenderal ini benar-benar pandai, agaknya sengaja mendesaknya dengan jurus luar biasa itu untuk memancing dia agar dia, kalau memang mempunyai, mengeluarkan llmunya yang paling hebat, yang diharapkan akan membuka rahasia Jari Maut.
Tentu saja kalau Gak Bun Beng menghendaki, dengan apa saja, dia sekali turun tangan akan mampu membunuh lawannya ini. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau, bahkan dia menangkis dan sengaja memperlambat gerakannya sehingga dua pukulan mengenai bahu dan dadanya.
“Bukk! Dess...!”
Gak Bun Beng terhuyung ke belakang sambil bereru, “Maaf, tai-goanswe, saya tidak kuat bertahan!”
“Ha-ha-ha!” Jenderal itu tertawa bergelak, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Perutnya sampai bergoyang-goyang ketika dia tertawa sambil mendongak ke angkasa. “Ha-ha-ha, engkau terang bukanlah Si Jari Maut, sungguh pun engkau pandai sekali merendah. Sobat, aku Kao Liang kagum sekali kepadamu!”
Terkejutiah hati Gak Bun Beng mendengar nama ini. Kiranya inilah jenderal yang amat ditakuti oleh para pelarian tadi. Pantas saja! Memang seorang jenderal yang hebat! Untung jenderal ini agaknya tak pernah atau jarang sekali muncul di kota raja sehingga tidak mengenalnya. Pula, andai kata pernah, tentu sudah sejak mendengar namanya tadi pembesar itu lain sikapnya.
“Ah, kiranya Kao-taigoanswe...! Saya pernah mendengar nama besar tai-goanawe dari para pemberontak yang lari terbirit-birit ke barat.”
“Ha-ha-ha, dan aku tadinya mencurigaimu sebagai anggota pemberontak. Tak mungkin. Apa lagi dengan anakmu ini. Nah, kalian berdua hendak ke Se-cuan? Silakan, kalau di jalan bertemu kesukaran, katakan bahwa engkau adalah sahabat Kao Liang, tentu akan dapat menolong!”
Gak Bun Beng menjura, menghaturkan terima kasih lalu mengajak Syanti Dewi pergi dari situ cepat-cepat, biar pun malam itu cukup gelap karena bintang di langit terhalang sedikit awan.
Gak Bun Beng mengajak Syanti Dewi berhenti di bawah sebatang pohon besar di dekat padang rumput. Tidak mungkin melanjutkan perjalanan melintasi padang rumput yang demikian rimbun, takut kalau-kalau ada ularnya atau binatang lain. Melihat lampu-lampu di sebelah kiri, mereka lalu bangkit lagi dan menuju ke tempat itu. Kiranya itu adalah sebuah dusun yang lumayan besar. Akan tetapi karena dusun itu baru saja mengalami pemeriksaan dan pembersihan, semua penduduk masih merasa takut dan pintu rumah ditutup rapat-rapat.
Beberapa kali Gak Bun Beng mengetuk pintu, dan mendengar suara bisik-bisik di dalam, namun tidak pernah ada yang menjawabnya. Bahkan ketika mereka melihat sebuah rumah penginapan dan mengetuk pintunya, tak ada pelayan yang membukanya. Barulah setelah Syanti Dewi yang bersuara minta dibukakan pintu, daun pintu terbuka oleh seorang pelayan yang memandang mereka penuh curiga.
“Kenapa kalian ini malam-malam menggedor-gedor pintu rumah orang?” tanyanya dengan hati lega akan tetapi juga jengkel ketika melihat bahwa yang datang hanyalah seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara remaja yang keduanya berpakaian seperti orang dusun.
“Hemm, bukankah ini rumah penginapan untuk umum?” Gak Bun Beng bertanya sabar.
“Benar, akan tetapi apakah kau tidak bisa mengerti akan keadaan? Dunia sedang mau kiamat begini mencari kamar waktu tengah malam! Untung aku berani membuka pintu, kalau tidak siapa lagi yang berani dan kalian takkan bisa mendapatkan tempat di rumah mana pun juga.”
“Maaf kalau kami mengganggu dan mengagetkan, biarlah besok sebagai penambah uang sewa kamar kami beri juga uang kaget,” kata pula Gak Bun Beng.
Mendengar bahwa dia akan menerima uang kaget sebagai hadiah, pelayan itu menjadi lebih ramah. “Baru siang tadi dusun kami digerebek dan diperiksa, diawut-awut, banyak yang ditangkap dituduh teman pemberontak. Tentu saja seluruh dusun ini masih dalam suasana panik dan takut.”
Gak Bun Beng mengangguk-angguk dan akhirnya mereka memperoleh sebuah kamar dengan dua buah tempat tidur. Tadinya Gak Bun Beng hendak menyewa dua kamar, akan tetapi di depan pelayan itu Syanti Dewi berkata, “Ayah, mengapa harus dua kamar? Satu saja cukuplah asal ada dua tempat tidur. Apa lagi, aku takut tidur sendiri dalam kamar!”
Malam itu keduanya dapat tidur nyenyak setelah bercakap-cakap sebentar tentang Jenderal Kao Liang. “Dialah seorang jantan sejati,” kata Gak Bun Beng kagum. “Negara memang membutuhkan orang-orang seperti dia itulah! Aku berani bertaruh apa saja bahwa orang seperti dia tentu setia kepada negara, tidak mabok kedudukan, tidak sudi menjilat dan tidak suka pula menekan bawahan. Ilmu kepandaiannya boleh juga.”
“Aku juga sudah khawatir, paman. Dia kelihatannya begitu kuat dan lihai. Akan tetapi ternyata kau tidak apa-apa! Dia memang mengerikan, seperti seekor singa!”
“Jarang kini terdapat orang seperti dia,” berkata pula Gak Bun Beng. “Orang pemberani macam dia tentu tidak berhati kejam. Hanya orang penakutlah yang berhati kejam karena kekejaman lahir dari rasa takut. Dan dia tidak pula penjilat, karena hanya orang yang suka menindas bawahannya sajalah yang suka menjilat atasannya. Dia memang jantan sejati dan aku benar-benar kagum!”
Sementara itu, di perkemahannya, Jenderal Kao Liang juga berkata kepada seorang perwira kepercayaannya. “Orang yang bernama Gak Bun Beng tadi memang hebat! Aku percaya bahwa dia tentulah seorang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan yang memakai nama Gak Bun Beng Si Jari Maut tentulah seorang penjahat yang memang sengaja hendak merusak namanya.”
Memang tepatlah kata-kata Jenderal Kao Liang ini. Yang merusak dan menggunakan nama Gak Bun Beng Si Jari Maut bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Jenderal ini sudah mendengar akan sepak terjang Si Jari Maut, akan tetapi dia mendengar bahwa penjahat kejam itu adalah seorang pemuda, maka dia tadi percaya bahwa Gak Bun Beng yang ditemuinya itu bukanlah Si Jari Maut. Tentu saja dia tidak tahu bahwa ketika menangkis serangannya tadi, Gak Bun Beng baru mengerahkan sedikit bagian saja dari tenaganya, dan sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa Gak Bun Beng adalah seorang pendekar sakti murid dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, Bu-tek Siauw-jin, dan memiliki ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi yang amat hebat!
Pada keesokan harinya, setelah mandi pagi Gak Bun Beng berkata kepada Syanti Dewi, “Dewi, kita harus menyamar dalam perjalanan selanjutnya. Aku sudah kapok kalau sampai terjadi seperti malam tadi. Pula, menurut pelayan, di sebelah sananya padang rumput itu terdapat perkemahan pasukan. Ingin sekali aku melakukan penyelidikan, dan mengetahui apakah gerangan yang terjadi sehingga seorang jenderal yang berpangkat tinggi itu sampai datang ke tempat ini dan melakukan perondaan sendiri, memimpin pasukan sendiri melakukan pembersihan.”
“Paman, bukankah Jenderal Kao telah menjamin...”
“Ah, aku tidak mau berkedok nama jenderal, Dewi. Kita melakukan perjalanan sendiri menggunakan akal sendiri untuk menyelamatkan diri. Bagaimana kalau kita menyamar sebagai ayah dan anak penjual silat?”
“Tapi ilmu silatku masih rendah, paman.”
“Habis apa kiranya yang menjadi keahlianmu?”
“Aku agak pandai menari...”
“Nah, itu dia! Kita dapat menyamar sebagai penjual obat dan engkau menari, aku yang mengiringi dengan meniup suling.”
Syanti Dewi tertawa dan cahaya matahari menjadi cerah bagi Gak Bun Beng. Tawa gadis yang halus itu sungguh-sungguh mendatangkan kesegaran dalam perasaannya. Bertahun-tahun dia hidup membeku, dan baru sekarang dia merasakan kehangatan peri kemanusiaan.
“Menari hanya diiringi dengan suling saja? Dan lagunya? Apakah kau mengenal lagu Bhutan, paman?”
“Tentu saja tidak. Akan tetapi cukup asal melagukan. Apa lagi kita adalah penjual obat, bukan ahli tari sungguh pun aku yakin bahwa engkau tentu merupakan seorang ahli tari yang luar blasa. Nah, sekarang kita harus berbelanja ke dusun ini menyiapkan segala keperluan penyamaran kita. Untukku sebatang suling dan sebuah caping lebar, dan untukmu, apa kebutuhanmu dalam penyamaranmu, Dewi?”
“Sebagai penari keliling, cukup dengan sehelai selendang panjang saja, selendang dari sutera berwarna merah.”
Setelah menemukan dan membeli kebutuhan mereka itu, Gak Bun Beng lalu mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan meninggalkan dusun itu dan melintasi padang rumput. Di sepanjang perjalanan Syanti Dewi menyanyikan beberapa lagu Tibet yang dikenalnya. Dengan sulingnya Gak Bun Beng mempelajari lagu-lagu itu dengan penuh kagum dan keharuan karena dara itu ternyata amat pandai bernyanyi dan mempunyai suara yang amat merdu dan halus.
Ketika mereka sudah melewati padang rumput, Gak Bun Beng berhenti dan meminta kepada Syanti Dewi agar supaya menari. “Kita harus berlatih dulu agar cocok antara suling dan gerakan tarianmu,” katanya.
Dia duduk di bawah pohon dan mulai meniup sulingnya, menirukan lagu yang pernah dinyanyikan dara itu, dan Syanti Dewi mulai menari, menggerakkan tubuhnya seperti seekor kupu-kupu beterbangan di atas kelompok bunga, dan ketika selendangnya yang merah itu digerak-gecakkan, selendang itu membentuk lengkung-lengkuk merah yang amat indah dan berubah-ubah. Kadang-kadang seperti seekor naga merah terbang, kadang-kadang seperti seekor kupu-kupu, lalu seperti huruf-huruf yang hanya tampak sekilas pandang saja karena sudah berubah lagi bentuknya. Bukan main!
Gak Bun Beng terpesona dan lupa diri, seolah-olah dia sedang berada di kahyangan menyaksikan tarian seorang bidadari. Di dalam setiap gerakan tubuh dara itu, dari ujung jari tangan sampai ke anak rambut yang terjurai di depan dahi, semua begitu hidup, mengandung warna tertentu dan merupakan nyanyian tertentu, indah penuh rahasia seperti sajak-sajak keramat, meriah dan riang gembira seperti sinar matahari pagi di musim semi!
Setelah Syanti Dewi menghentikan tariannya sambil tertawa, Gak Bun Beng baru sadar. Dia menurunkan sulingnya pula, masih terlongong dan termenung, seolah-olah orang baru terbangun dari suatu mimpi yang amat indah.
“Paman Gak!” Syanti Dewi memanggil ketika melihat pendekar itu duduk termenung, aeolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya.
“Heh...? Ehh...!” Gak Bun Beng langsung menyeka peluh yang tanpa diketahuinya telah memenuhi dahi dan lehernya, kemudian dia memandang Syanti Dewi dengan sinar mata lembut dan penuh kasih sayang. “Dewi, bukan main kau...! Bukan main...!” Dan tak dapat ditahan lagi, dia mengatupkan bibir dan dua titik air mata menetes ke atas pipinya.
Syanti Dewi menubruknya. “Paman, ada apakah? Paman... paman menangis?” Ucapan ini dikeluarkan penuh ketidak percayaan. Rasanya mustahil bagi Syanti Dewi melihat seorang pria yang demikian gagah perkasa, jantan keras bagaikan baja, lembut dan budiman seperti kapas, yang dihormati, kagumi, dan sayang dapat meruntuhkan air mata walau pun hanya dua butir!
Gak Bun Beng tidak mampu menjawab dan memejamkan mata ketika merasa betapa Syanti Dewi menyeka dua butir air mata itu dengan ujung selendangnya. Terbayanglah wajah Milana, teringatlah dia akan semua kenikmatan dan kebahagiaan ketika berkasih sayang dengan wanita itu.
Kehadiran Syanti Dewi dalam hidupnya membuat luka lama di dalam hatinya merekah kembali dan dia menjadi sangat rindu kepada Milana, sangat rindu pada belaian kasih sayang wanita. Padahal selama ini, dia telah berhasil menundukkan semua itu, telah membuat hatinya mengeras seperti baja. Namun segala keindahan yang dilihatnya di dalam diri Syanti Dewi, segala kelembutannya, mendobrak seluruh pertahanannya dan menjadi jebol!
“Paman kau kenapakah? Mengapa paman berduka?” Kemudian Syanti Dewi bertanya dengan suara penuh kedukaan dan kecemasan.
Gak Bun Beng membuka mata, lalu memaksa diri tersenyum dan membuka capingnya. Dia mengipasi muka dan lehernya dengan caping, bukan untuk mengusir hawa panas, melainkan dengan harapan angin dari kipasan caping itu akan mengusir keharuan yang mencekik lehernya. Sukar dia mengeluarkan suara, karena itu dia hanya menggeleng kepala sambil tersenyum.
“Paman, kau tadi kelihatan demikian berduka, sampai menangis! Padahal tadinya tidak apa-apa. Setelah aku menari, paman lalu berduka dan terharu. Tentu ada sebabnya, paman. Demikian tegakah paman membiarkan aku dipermainkan kesangsian? Tidak sudikah paman mempercayaiku dan menceritakan apa yang mendukakan hatimu?”
Gak Bun Beng menggerakkan tangan dan mengelus rambut kepala gadis itu. Gerakan ini meruntuhkan hati Syanti Dewi dan otomatis dia kemudian menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada pendekar itu. Dia merasa begitu aman, begitu tenteram dan begitu bahagia, seolah-olah dada yang bidang itu melindunginya dari segala mala petaka yang akan datang mengancamnya, melindunginya dari segala kedukaan dan mendatangkan kebahagiaan yang dia tidak mengerti.
Gak Bun Beng pun menerima perbuatan gadis ini dengan perasaan wajar, seolah-olah sudah semestinya demikian dan untuk beberapa saat dia tetap mengelus rambut kepala yang panjang, hitam dan halus itu. Kemudian dia teringat betapa janggalnya keadaan mereka, maka perlahan dia mendorong kepala gadis itu dari atas dadanya.
Mereka duduk berhadapan dan berkatalah Gak Bun Beng, “Syanti Dewi, kaulah satu-satunya manusia yang berhak mengetahui segala mengenai diriku.”
“Terima kasih, paman. Aku yakin bahwa memang engkau akan menceritakan kepadaku, karena kiranya tidak ada lagi manusia yang demikian mulia seperti engkau, paman.”
Gak Bun Beng memegang tangan dara itu, akan tetapi ketika dia merasa ada getaran kemesraan yang luar biasa keluar dari tangan dara itu, dia cepat melepaskannya kembali dan menghela napas, membuang pandang matanya ke tanah, lalu menunduk. “Dewi, engkau terlalu tinggi memandang diriku. Aku hanyalah seorang tua yang bodoh, yang canggung dan lemah.”
“Sebenarnya bukan aku yang memandang terlalu tinggi, melainkan engkau yang selalu merendahkan diri, dan itulah satu di antara sifat-sifat paman yang kukagumi. Sekarang ceritakan, paman, mengapa paman tadi menangis ketika melihat aku menari?”
“Syanti Dewi, karena kau mengingatkan aku akan seorang lain...”
“Seorang wanita?”
Gak Bun Beng mengangguk.
“Wanita yang paman cinta?”
Kembali Gak Bun Beng mengangguk.
“Dan dia pun mencinta paman?”
Untuk ketiga kalinya Gak Bun Beng mengangguk.
Syanti Dewi menunduk, dia kelihatan berduka sekali. Sampai lama keduanya diam saja, kemudian terdengar dara itu bertanya, suaranya gemetar menahan isak, “Paman Gak, sudah lamakah dia meninggal?”
Gak Bun Beng mengerutkan alis, lalu mengerti bahwa dara ini menyangka kekasihnya itu sudah meninggal. “Sampai sekarang dia masih hidup, Dewi.”
Muka dara itu menjadi pucat sekali, kemudian merah dan dia meloncat bangkit berdiri dan suaranya nyaring penuh rasa penasaran dan kemarahan, “Kalau begitu dia telah meninggalkan paman, sungguh kejam sekali!”
Gak Bun Beng cepat menggelengkan kepalanya. “Bukan! Bukan dia, melainkan akulah yang meninggalkan dia...”
Wajah yang tadinya merah menyala itu menjadi pucat, kedua tangannya yang dikepal terbuka dan tubuh yang menegang itu menjadi lemas. “Ouhhh...!” Syanti Dewi mengeluh dan duduk kembali di depan pendekar itu.
Syanti Dewi melihat Gak Bun Beng pendekar pujaannya itu duduk termenung, wajahnya pucat sekali. Alisnya yang tebal berkerut, dan di permukaan wajah itu seperti terbayang kenyerian yang sukar dilukiskan. Melihat wajah pendekar itu seperti ini, Syanti Dewi tak dapat menahan tangisnya. Dia lalu terisak dan memegang kedua tangan pendekar itu, mengguncang-guncangnya sambil bertanya di antara isaknya. “Akan tetapi... mengapa, paman? Mengapa...? Mengapa...?” Suaranya bercampur isak dan dia membiarkan air matanya berderai menuruni pipinya.
Melihat keadaan dara ini, Gak Bun Beng merenggutkan kedua tangannya. Ia takut pada dirinya sendiri karena seluruh tubuhnya, seluruh hati dan perasaannya, seakan-akan mendorongnya untuk memeluk dan mendekap dara itu penuh cinta kasih. Dia melawan hasrat ini dan karenanya dia merenggutkan kedua tangan dari pegangan dara itu, lalu menutupkan kedua tangannya ke mukanya sambil menahan air matanya dengan jari-jari tangannya. Sampai lama mereka tidak berkata-kata, yang terdengar hanya suara isak Syanti Dewi dan tarikan napas panjang Gak Bun Beng.
Setelah Syanti Dewi agak mereda dan berhasil menekan perasaan harunya dan ibanya, dia mengangkat muka yang basah dan merah, memandang punggung kedua tangan yang menutupi muka pendekar itu, bertanya, “Paman, saya yakin pasti ada sebab-sebab yang memaksa paman meninggalkannya. Sudah pasti ada, dan maukah paman menceritakan kepadaku?”
Mendengar suara gadis itu telah tenang kembali biar pun masih gemetar, Gak Bun Beng yang juga telah berhasil meredakan gelora hatinya, menurunkan kedua tangannya dan tampaklah wajahnya yang pucat dan muram. “Syanti Dewi, sudah kukatakan bahwa aku akan menceritakannya kepadamu. Memang ada sebabnya, dan sebab itu adalah karena aku bodoh dan serba canggung! Begitu banyak aku melihat perkawinan gagal, cinta kasih berantakan setelah terjadi perkawinan, kemesraan lenyap terganti cemburu, kekecewaan dan kemarahan yang berakhir dengan kebencian dan dendam, sehingga aku menjadi muak dan ngeri. Aku menjadi takut kalau-kalau dia pun akan menderita apa bila kasih di antara kita yang murni itu akan menjadi palsu dan kotor setelah kita menikah. Aku tidak tega membiarkan dia kelak menderita, karena itu, aku mundur... tidak tahu bahwa aku membawa pergi racun yang menggerogoti dan merusak hidupku hari demi hari. Dengan kekuatan batin aku bisa menundukkan semua itu, membuat hatiku keras dan melupakan segala.” Dia menarik napas panjang dan menengadah, memandang ke langit seolah-olah hendak mengadukan nasibnya kepada Thian.
“Jadi... itukah sebabnya, paman, seorang pendekar besar kemudian mengasingkan dan menyembunyikan diri di antara orang-orang biasa, menjauhkan diri dari segala urusan dan kesenangan duniawi?”
Gak Bun Beng mengangguk.
“Dan selama itu paman tidak lagi tertarik kepada wanita yang mana pun?”
“Hemmm... sebelum mengenal dia, aku belum pernah mencintai orang lain, sesudah itu pun aku tidak ada minat dan waktu... aku malah muak dan tidak percaya akan cinta kasih antara pria dan wanita yang kesemuanya kuanggap palsu belaka! Aku tidak percaya lagi akan kata-kata cinta yang pada hakekatnya hanyalah penonjolan keinginan pribadi untuk mencari kesenangan dan kepuasan hati sendiri. Akan tetapi... sikapku karena patah hati itu ternyata keliru dan baru aku sadar bahwa memang ada cinta kasih yang murni, yang tanpa pamrih... yaitu setelah aku bertemu denganmu, Dewi. Setelah aku berjumpa denganmu, setelah aku bergaul beberapa lamanya denganmu, kau mengingatkan aku kepada dia...”
“Aduh, paman Gak... sungguh kasihan kau! Kalau begitu, mengapa kita tidak pergi saja mencari dia? Di mana kekasihmu itu? Sekarang belum terlambat untuk menyambung kembali pertalian kasih sayang yang secara paksa paman putuskan itu! Marilah, aku akan menceritakan kepadanya betapa paman adalah seorang jantan yang hebat, seorang pria yang budiman, yang sampai saat ini pun tidak pernah melupakan dia, tidak pernah mengurangi cinta kasihnya yang mendalam dan murni!”
Gak Bun Beng menggeleng kepala. “Dia... dia telah menikah dengan orang lain, Dewi...”
“Ihhhh...!” Mata yang indah itu terbelalak memandang Bun Beng. “Mana mungkin...? Bukankah dia mencintamu, paman?”
“Dia tidak berdaya, kehendak orang tuanya.” Tiba-tiba Gak Bun Beng teringat bahwa dia telah berlarut-larut. Melihat wajah dara itu yang biasanya seperti matahari pagi kini menjadi muram, pucat dan layu, dia hampir memukul kepalanya sendiri.
Tiba-tiba dia memegang tangan dara itu, ditariknya berdiri dan sambil tersenyum dia berkata, “Aahhh, apa yang telah kita lakukan ini? Kita mendongeng tentang cerita-cerita duka, menggali pendaman-pendaman busuk! Padahal dunia ini begini indah, matahari begitu terang! Hapuskan air matamu itu, Dewi! Engkau masih muda belia, muda remaja. Lihat, masa depanmu seperti sinar matahari itu, cerah dan terang! Perlu apa hidup yang sekali ini di dunia harus berkeluh kesah dan berduka cita! Air mata darah sekali pun tidak akan dapat membangkitkan kembali yang telah mati! Ha-ha-ha, aku bodoh dan canggung! Mari, Dewi, kita lanjutkan perjalanan. Lihat di sana itu, genteng-gentengnya masih baru, tentu itu merupakan bangunan baru, dan kalau tidak salah, itulah markas pasukan yang akan kita selidiki.”
Melihat perubahan sikap pendekar itu, Syanti Dewi yang berperasaan tajam halus dan memang cerdik itu maklum jika pendekar itu selain hendak mengubur kembali kenangan yang menyedihkan, juga tak ingin menyeretnya berlarut-larut ke dalam awan kedukaan. Dia semakin kagum dan bersyukur, maka dia pun membantu agar pendekar itu tidak kecewa. Dia menghapus semua keharuannya dan mulai tampaklah senyum di bibir dara itu dan matanya mulai bercahaya ketika dia memandang wajah Gak Bun Beng.
“Baik, paman. Marilah, akan tetapi harap paman menjagaku baik-baik karena aku masih ngeri kalau teringat akan kekasaran prajurit-prajurit itu.”
“Jangan khawatir. Betapa pun juga, andai kata terjadi apa-apa yang tak dapat kucegah, kita masih mempunyai jimat berupa nama jenderal itu, bukan? Cuma satu hal yang harus kau jaga. Jangan kau menari seindah tadi!”
“Eh, mengapa, paman?”
“Mana mungkin ada penari dusun dapat menari seindah tarian bidadari seperti tadi?! Jangan, gerakkan selendangmu biasa saja, agak perkasarlah gerakan kaki tanganmu.”
Syanti Dewi tertawa. Sedap perasaan Gak Bun Beng mendengar suara ketawa ini dan buyarlah semua awan mendung. “Perintahmu ini jauh lebih sukar dari pada perintah memperbaiki atau memperhalus tarian, paman. Memperkasar tarian? Betapa sukarnya, akan tetapi biarlah kucoba asal paman membantu dengan suara sulingmu.”
“Membantu bagaimana?”
“Jangan terlalu merdu! Bikin agak sumbang begitulah, jadi aku akan tetap teringat untuk membikin gerakannya kaku.”
Keduanya tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekelompok bangunan di depan sambil bergandengan tangan. Sekali ini Gak Bun Beng tidak ragu-ragu lagi untuk menggenggam tangan yang kecil halus itu. Mereka bergandengan sebagai dua orang sahabat, sebagai ayah dan anak, bukanlah sebagai sepasang kekasih!
Markas itu adalah markas pasukan penjaga tapal batas. Biasanya mereka bermalas-malasan, akan tetapi semenjak Jenderal Kao Liang datang beberapa hari yang lalu, mereka tidak berani bermalas-malasan lagi dan penjagaan dilakukan dengan tertib. Juga tidak ada yang berani berkeliaran mengganggu dusun-dusun terdekat karena Jenderal Kao Liang terkenal sebagai seorang pembesar yang keras dan kedatangannya otomatis membuat para komandan pasukan di tempat itu juga menjadi tegas dan keras terhadap bawahannya.
Banyak juga orang preman, penduduk dusun yang keluar masuk pintu gerbang benteng, ada yang mengantar kayu bakar, sayur-sayuran dan lain-lain. Gak Bun Beng berjalan tenang bersama Syanti Dewi dan sambil berjalan dia meniup sulingnya. Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, empat orang penjaga menghadang mereka dan seorang di antaranya menghardik, “Berhenti! Siapa kalian dan mengapa engkau meniup-niup suling di tempat ini? Tak tahukah bahwa di sini adalah markas pasukan?”
“Maaf, kami memang rombongan tari, maka sudah menjadi kebiasaan saya jika berjalan meniup suling agar tidak lekas lelah. Jadi di sini adalah markas pasukan pemerintah? Kebetulan sekali! Kami sedang menuju ke timur dan karena kami ingin mendengar secara resmi bagaimana keadaan di sana, maka kami ingin memperoleh keterangan dari komandan kalian. Untuk itu, kami bersedia menghibur kalian dengan tari-tarian dan memberi obat luka yang manjur.”
Para penjaga itu saling pandang dan mereka berkali-kali memandang wajah Syanti Dewi yang amat cantik biar pun sederhana pakaiannya itu. “Kau tunggu sebentar, aku akan melapor kepada komandan!” kata seorang di antara mereka penuh gairah.
Gak Bun Beng mengangguk dan duduk di sudut sambil meniup sulingnya, sengaja dia mainkan sulingnya sebaik mungkin untuk menarik perhatian. Sedangkan Syanti Dewi menunduk saja karena dia merasa ‘ngeri’ melihat pandang mata para penjaga itu yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat!
Tak lama kemudian muncullah si penjaga tadi mengiringkan seorang perwira gendut pendek yang mukanya bulat dan terlihat lucu. Perwira itu adalah komandan sementara di markas itu karena panglimanya sedang pergi mengikuti Jenderal Kao Liang yang sedang memimpin pasukan beroperasi di daerah barat. Perwira itu sebetulnya seorang yang sabar dan baik, akan tetapi begitu melihat bahwa yang disebut rombongan tari itu terdapat seorang gadis yang demikian denok, kontan saja sikapnya menjadi berubah dari biasanya.
Dia memasang aksi seolah-olah dialah komandan terbesar, dialah panglima tertinggi atau bahkan kaisar sendiri! Sambil bertolak pinggang dia memandang kepada Gak Bun Beng yang sudah berdiri dan menjura di depannya. Pandang matanya tajam menyapu pendekar itu dan dara di sebelahnya, seolah-olah dia sama sekali tidak acuh akan kecantikan dara itu dan hanya menjalankan tugasnya sebagai ‘komandan’ betul-betul, lalu dia membentak dengan suara nyaring, “Siapa kau dan dari mana hendak ke mana?”
Gak Bun Beng yang sudah berpengalaman dan pandai membaca sikap dan isi hati orang, tersenyum geli karena maklum bahwa kegagahan perwira ini adalah dibuat-buat untuk menarik perhatian Syanti Dewi, tentunya dengan maksud agar dara itu kagum melihat seorang ‘komandan sungguhan’! Ingin sekali dia melihat akan bagaimana wajah badut ini kalau dia tahu bahwa gadis dusun yang cantik dan dipasangi aksi itu adalah Puteri Bhutan yang akan menjadi mantu kaisar! Bisa dibayangkan bahwa si gendut pendek ini tentu akan bertiarap di depan kaki Syanti Dewi, menyusup-nyusup seperti ular di antara rumput dan minta-minta ampun!
“Maafkan kami berdua, tai-ciangkun!” berkata Gak Bun Beng yang makin geli hatinya melihat betapa ketika mendengar sebutan tai-ciangkun perwira itu langsung saja melembungkan dadanya dan mengempiskan perutnya, akan tetapi karena tidak dapat menahan lama-lama, segera dadanya mengempis dan perutnya mengembung kembali seperti biasanya. Dicobanya lagi beberapa kali, namun makin lama makin tak kuat sampai napasnya senin kemis dan akhirnya dia membiarkan saja perutnya gendut bergantung dan dadanya mengempis.
“Saya bernama Gak Bun Beng dan dia adalah anakku bernama Dewi, ibunya seorang Tibet. Kami hendak pergi ke timur, akan tetapi di sepanjang jalan saya melihat pasukan pemberontak yang melarikan diri dan kabar selentingan bahwa di timur geger karena perang. Hal ini sangat menggelisahkan kami karena kabar yang kami terima tidak jelas. Maka kami ingin memperoleh keterangan yang resmi dan jelas dari tai-ciangkun agar hati kami lega untuk melanjutkan perjalan ke timur yang amat jauh itu. Untuk kebaikan tai-ciangkun, sebelumnya kami menghaturkan terima kasih dan untuk membalas budi, kami akan mengadakan pertunjukan tari-tarian dan membagi obat luka yang mujarab untuk tai-ciangkun.”
Perwira gendut itu menggerak-gerakkan alisnya seperti orang yang berpikir keras. Memang dia berpikir, akan tetapi alis tipis yang digerak-gerakkan itu termasuk aksinya agar kelihatan sebagai panglima ahli siasat yang pandai. Lagi-lagi, matanya yang agak bulat dan kecil melirik ke arah Syanti Dewi. Lirikan cepat tidak kentara akan tetapi tentu saja tidak terlepas dari pandang mata Gak Bun Beng.
“Dewi... hemmm...” Perwira itu menggumam, agaknya tertarik oleh nama itu dan sama sekali tidak memperhatikan nama lakl-laki bercaping itu.
“Bagaimana, tai-ciangkun?” Gak Bun Beng bertanya ketika melihat perwira itu seperti mimpi menyebut nama Dewi.
“Ohhh... ya, kami pikir dulu. Eh, engkau kelihatan begini tabah menghadapi pasukan, seperti sudah biasa. Engkau bukan mata-mata pemberontak, bukan?”
Gak Bun Beng tersenyum. Pertanyaan ini saja sudah membuktikan betapa tololnya perwira ini dan dengan seorang perwira seperti ini menjadi komandan markas, tidak akan heran kalau mata-mata dapat menyelundup masuk.
“Tentu saja bukan, tai-ciangkun. Kalau mata-mata musuh, masa kami mencari penyakit datang ke sini? Saya memang sudah biasa dengan pasukan, apa lagi pasukan pemerintah sendiri, karena belasan tahun yang lalu saya pun pernah menjadi prajurit dalam pasukan istimewa yang dipimpin oleh Puteri Nirahai sendiri.”
“Ohhh...!” Seruan ini terdengar dari banyak mulut para prajurit yang sudah mengerumuni tempat itu. Pasukan istimewa dari Puteri Nirahai memang terkenal sekali.
Mendengar ini, perwira gendut itu berseri wajahnya. “Nah, apa kataku tadi! Tepat sekali, bukan? Sudah kulihat bahwa engkau adalah seorang yang biasa dengan pasukan. Kiranya masih bekas rekan sendiri, ha-ha! Kalau begitu, tentu saja kalian kami sambut dengan kedua tangan terbuka. Selamat datang dan marilah masuk. Mari silakan, nona... eh, nona Dewi. Indah sekali nama puterimu, saudara Gak!”
Syanti Dewi menjura dengan hormat sedang Gak Bun Beng tersenyum girang ketika keduanya diiringkan oleh sang perwira gendut sendiri memasuki pintu gerbang markas itu. Hari telah mulai gelap karena tadi mereka berangkat dari dusun setelah berbelanja sampai sudah lewat tengah hari, dan tadi mereka agak lama berhenti bercakap-cakap sehingga menjelang senja mereka baru tiba di depan markas itu.
“Sebaiknya tari-tarian dilakukan pada waktu malam hari, di dekat api unggun, barulah tampak lebih indah dan meriah,” kata Gak Bun Beng.
“Baik, dan memang sebaiknya demikian agar semua anak buah dapat ikut menonton karena sudah bebas tugas,” berkata perwira itu yang mulai kelihatan kebaikan hatinya seperti biasa.
“Sekarang kalau kau tidak berkeberatan, ciangkun, harap suka menceritakan kepadaku tentang keadaan di kota raja. Saya ingin membawa anak saya ke kota raja, akan tetapi tentu saja hati saya tidak akan tenteram sebelum tahu bagaimana keadaan di sana.”
Perwira itu menggelengkan kepalanya. “Sebetulnya, perjalanan ke sana dari sini sudah tidak akan terganggu oleh para pemberontak lagi karena belum lama ini telah dilakukan operasi pembersihan besar-besaran. Akan tetapi, tentu saja kau harus berhati-hati terhadap perampok dan orang jahat, saudara Gak.”
“Harap ciangkun tidak usah khawatir. Kalau hanya menghadapi para perampok, kiranya saya tidaklah percuma menjadi bekas anak buah Puteri Nirahai. Tetapi, bagaimanakah keadaan kerajaan sendiri? Mengapa banyak timbul pemberontakan? Kalau sekiranya memang perlu, biar pun sekarang sudah mulai tua, aku akan menghadap panglima di kota raja untuk menjadi prajurit lagi, membela pemerintah.”
Perwira itu menggeleng-geleng kepala. “Memang kurang baik keadaannya. Karena itulah Jenderal Kao Liang sendiri sibuk ke sana ke mari, mengadakan pengontrolan dan perondaan sendiri, hanya dengan beberapa orang pembantu dan pengawalnya. Tentu kau tahu, setelah sri baginda menjelang tua, biar pun tahta kerajaan sudah ditentukan akan jatuh kepada Putera Mahkota Yung Ceng, tetap saja timbul perebutan. Kabarnya banyak pangeran yang diam-diam melakukan pemberontakan secara rahasia sehingga sukar diketahui mana yang setia kepada kerajaan dan yang mana yang memberontak. Apa lagi akhir-akhir ini keadaan dibikin ramai dan ribut lagi dengan adanya pertalian jodoh antara Puteri Kerajaan Bhutan dan seorang pangeran.”
Perwira itu agaknya senang bercerita, apa lagi melihat Syanti Dewi mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga mata yang indah itu jarang berkedip, pandangannya seolah-olah bergantung kepada bibirnya yang sedang bercerita, bibir yang tebal dan membiru karena terlalu banyak menghisap tembakau.
Disebutnya Puteri Bhutan itu mengejutkan hati Gak Bun Beng dan karena dia ingin agar perhatian perwira itu beralih dari wajah Syanti Dewi yang tentu saja lebih kaget lagi, dia cepat berkata, “Mengapa pertalian jodoh saja dapat menimbulkan ramai dan keributan, ciangkun?”
“Sebetulnya pernikahan itu sendiri tidak akan menimbulkan ribut, bahkan merupakan peristiwa yang menggembirakan. Kabarnya Puteri Bhutan itu cantik bukan main, seperti bidadari...”
“Hemm, saya pun sudah mendengar, bahkan melebihi bidadari,” kata Gak Bun Beng secara kelakar untuk sekedar melenyapkan kekagetan Syanti Dewi. Dara itu menoleh kepada ‘ayahnya’ dan tersenyum.
“Akan tetapi di balik pernikahan itu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari kedua pihak. Pihak Bhutan tentu saja suka berbesan dengan kaisar kita, sebab ingin mendapat perlindungan dari para pemberontak Tibet dan Mongol pimpinan Raja Muda Tambolon. Sebaliknya, pihak kaisar juga ingin menaklukkan negara itu secara halus melalui ikatan kekeluargaan tanpa perang. Namun maksud kaisar ini mendapatkan tentangan dari banyak pangeran dengan bermacam-macam dalih, akan tetapi saya kira dasarnya hanyalah karena tidak ingin melihat kedudukan kaisar makin kuat dengan adanya banyak negara lain yang bersekutu! Maka kabarnya terjadi bermacam-macam usaha untuk menggagalkan pernikahan itu, bahkan kabarnya rombongan penjemput puteri yang dipimpin Panglima Tan Siong Khi telah diserbu, dan puteri itu sendiri kabarnya lenyap ditawan pemberontak. Inilah sebabnya mengapa Jenderal Kao Liang mengamuk dan menumpas para pemberontak di perbatasan. Celakanya, ada kabar angin bahwa usaha itu sudah diatur dari kota raja sendiri, oleh para pangeran yang secara rahasia memberontak.”
Kaget bukan main hati Gak Bun Beng mendengar ini. Kiranya segala kekacauan itu bersumber kepada perebutan kekuasaan di istana! Bagaimana dengan Milana?
“Lalu bagaimana pula kabarnya sikap pangeran yang akan dikawinkan dengan Puteri Bhutan?”
“Pangeran Liong Khi Ong? Hemmm, tidak ada berita tentang dia, kelihatannya tenang-tenang saja, bahkan belum lama ini dia pun ikut rombongan Jenderal Kao Liang meninjau ke barat, akan tetapi lalu terpisah dan berpesiar menggunakan perahu melalui sungai dikawal oleh pasukannya sendiri. Masih untung Puteri Bhutan yang seperti bidadari itu tidak jadi menikah dengan pangeran itu!”
“Mengapa demikian? Bukankah enak menikah dengan pangeran yang kedudukannya tinggi?” Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya, tidak dapat menahan hatinya lagi karena yang dibicarakan itu sesungguhnya adalah dirinya sendiri.
Perwira gendut memandang dan tersenyum menyeringai, senang hatinya mendengar dara itu bertanya, “Menarik sekali ceritaku, ya?”
“Ceritamu menarik dan hebat, tai-ciangkun,” jawab Syanti Dewi.
“Biar pun andai kata engkau sendiri, nona, akan sengsara kalau menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong.” Perwira itu berkata sambil mengurut kumisnya yang tebal. “Pangeran itu terkenal sebagai seorang mata keranjang. Selain selirnya sangat banyak, juga setiap malam dia harus berganti teman baru. Maka, andai kata puteri itu pun menjadi isterinya, dalam beberapa hari saja tentu dia akan disia-siakan begitu saja!”
“Ahhh...!” Tentu saja berita ini membuat Syanti Dewi terkejut dan marah.
“Ceritamu menarik sekali, ciangkun, terima kasih atas segala keterangannya. Dengan ceritamu itu, saya malah ingin sekali segera tiba di kota raja untuk mendaftarkan masuk prajurit lagi. Sekarang, hari sudah malam, mari kita mulai dengan pertunjukan sebagai upah kebaikan ciangkun. Dan sebungkus obat ini adalah obat yang amat manjur buat luka-luka, saya haturkan kepada ciangkun.”
“Terima kasih, terima kasih.” Perwira itu menerima bungkusan obat, lalu mengantarkan mereka keluar. Api unggun dipasang di pelataran yang luas itu, dan para prajurit sudah berkumpul untuk menonton.
Gak Bun Beng mengeluarkan sulingnya dan Syanti Dewi mengeluarkan selendang. Suling kemudian ditiup, makin malam makin mengalun nyaring dan kemudian mulailah Syanti Dewi menari dengan selendang merahnya. Gak Bun Beng meniup suling sambil duduk dan matanya mengikuti gerakan Syanti Dewi, juga siap waspada melindungi dara itu, sedangkan Syanti Dewi menari di dalam api unggun, membuat selendang itu tampak seperti api bernyala dan wajah yang cantik itu kemerahan, amat cantik jelitanya.
Ketika melihat betapa dara itu tenggelam ke dalam tariannya dan menari dengan amat indah, Gak Bun Beng cepat mengangkat sedikit jari penutup lubang sulingnya sehingga suara sulingnya menjadi sumbang. Syanti Dewi terkejut mendengar suara ini, teringat dan menengok ke arah Gak Bun Beng sambil tersenyum, lalu tangan kanannya digerakkan secara kaku, sungguh pun tangan kirinya masih bergerak halus dan lemas sekali. Makin sumbang suara suling, makin kaku gerakan Syanti Dewi dan tak lama kemudian suara suling itu bunyinya seperti suling ular! Tari-tarian dara itu pun makin kacau, akan tetapi karena hatinya geli, dia tersenyum-senyum dan senyumnya inilah yang menyelimuti semua kejanggalan itu! Seluruh penonton terpesona oleh senyumnya!
Setelah suara suling berhenti dan Syanti Dewi juga menghentikan tariannya, terdengar tepuk sorak riuh rendah diselingi permintaan agar dara itu melanjutkan tari-tariannya. Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dituruti para prajurit yang sudah lama tinggal di asrama dan rata-rata ‘haus wanita’ itu keadaannya akan menjadi runyam, apa lagi kalau Syanti Dewi secara tak sadar begitu banyak mengobral senyumnya.
Selain itu, si perwira gendut bisa saja nanti menuntut yang bukan-bukan. Keterangan yang resmi dan jelas tentang keadaan di kota raja sudah didapat, dan itulah memang sasaran utamanya. Setelah berhasil, perlu apa tinggal lebih lama lagi di tempat ini? Bagi dia tidak apa-apa, akan tetapi bagi Syanti Dewi amat berbahaya. Juga dia yakin kalau Jenderal Kao Liang tiba, tentu jenderal itu akan marah dan mungkin akan menghukum si perwira gendut yang melalaikan tugas dan bersenang-senang.
“Saudara sekalian,” mendadak dia bangkit berdiri dan menghampiri Syanti Dewi yang masih menerima sorak sorai itu sambil tersenyum dan membungkuk-bungkuk.
Suara berisik berhenti dan semua orang hendak mendengarkan kata-kata ayah dara yang penuh pesona itu. “Saudara-saudara sekalian, kami masih memiliki pertunjukan yang menarik lagi, yaitu tarian bersama antara anakku dan aku sendiri, akan tetapi harap Saudara sekalian suka duduk dan jangan berdiri agar yang berada di belakang dapat menonton pula dengan senang.”
Semua orang tertawa dan mulailah mereka duduk di atas tanah dengan hati senang karena jarang terdapat hiburan seperti ini. Setelah melihat semua orang duduk, Gak Bun Beng lalu meniup sulingnya sambil menggerakkan kedua kaki seperti orang menari. Hal ini mengherankan Syanti Dewi. Dia tahu bahwa ‘ayahnya’ ini mempunyai suatu niat tertentu, akan tetapi tidak tahu niat apa. Dia pun membantu dan mulai menari lagi dengan indahnya.
Tiba-tiba Gak Bun Beng berbisik sambil menghentikan sebentar tiupan sulingnya, “Kau nanti naik ke punggungku!” lalu kembali menyuling, mengejapkan mata ke pada Syanti Dewi agar mendekati dan mengikutinya. Gak Bun Beng melangkah makin ke pinggir, kemudian secara tiba-tiba dia berbisik, “Hayo sekarang!”
Syanti Dewi yang cerdik mengerti bahwa pendekar itu tentu akan membawanya lari tanpa menimbulkan pertempuran, maka cepat dia meloncat ke punggung pendekar itu. Gak Bun Beng mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, tangan kirinya menahan tubuh Syanti Dewi yang digendongnya di belakang punggung, tangan kanan memegang suling dan tubuhnya sudah melesat seperti terbang saja melalui kepala orang-orang yang duduk itu!
Semua orang lalu bersorak, mengira bahwa ayah dan anak itu masih memperlihatkan pertunjukan yang memang amat hebat dan menarik. Akan tetapi ketika kedua orang itu lenyap ditelan kegelapan malam dan keadaan sunyi kembali, terdengar mereka ribut-ribut.
“Ke mana mereka?”
“Mereka menghilang!”
“Wah, tentu telah lari!”
“Mengapa lari?”
“Mata-mata! Mereka tentu mata-mata!”
Perwira gendut itu memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari dan mengejar, namun sia-sia belaka karena Gak Bun Beng dan Syanti Dewi telah pergi jauh sekali jauh dari markas itu dan sudah berjalan sambil tertawa-tawa.
“Paman, mengapa kau harus mempergunakan akal untuk lari? Bukankah perwira itu baik sekali dan kita tidak akan terganggu?”
“Hemmm, belum tentu. Kalau hanya aku sendiri, pasti tidak ada gangguan. Akan tetapi ada engkau, Dewi!”
Syanti Dewi mengerti dan dia menghela napas panjang. “Sungguh tidak enak menjadi wanita...”
“Heh...?”
“Apa lagi kalau masih muda...”
“Hemm...”
“Dan cantik pula. Selalu menghadapi gangguan pria.”
“Tidak semua pria, Dewi.”
“Tentu saja, paman. Pria seperti paman tidak akan mengganggu wanita, akan tetapi ada berapa gelintir orang seperti paman di dunia ini? Justeru itulah celakanya, pria seperti paman tidak pernah mengganggu, dan yang mengganggu hanyalah laki-laki ceriwis macam tikus yang menjemukan saja!”
Gak Bun Beng tertawa karena kini dia melihat segi-segi lain yang mengagumkan hatinya dalam diri gadis ini. Kalau tiba saatnya, gadis ini dapat pula bersikap jenaka dan lucu, sungguh pun tidak selincah Milana misalnya. Dia terkejut, dan mengepal tinjunya. Mengapa dia jadi teringat kepada Milana dan membanding-bandingkan dengan dara ini?
“Paman, kalau hanya ingin mendengar berita tentang kota raja, bertanya biasa pun bisa. Mengapa paman harus menggunakan siasat penyamaran kemudian melarikan diri?”
“Ah, tidak mudah, Dewi. Bertanya kepada orang biasa, tentu tidak tahu jelas. Bertanya kepada mereka secara biasa, tentu menimbulkan kecurigaan dan selain tidak akan memperoleh penuturan jelas, mungkin malah ditangkap dengan tuduhan mata-mata yang melakukan penyelidikan.”
“Setelah mendengar penuturan itu, aku makin tidak suka pergi ke kota raja, paman.”
“Hem, aku mengerti. Akan tetapi kita harus ke sana lebih dulu, harus melihat sendiri keadaannya. Bagaimana kalau si gendut tadi hanya membual saja?”
“Akan tetapi aku tidak sudi menjadi isteri pangeran itu!” kata Syanti Dewi dengan tarikan muka jijik dan mengkal hatinya.
“Habis bagaimana?”
“Terserah kepada paman saja, ke mana pun juga, selama hidupku. Aku suka menjadi apa saja, murid, anak, keponakan, pelayan, atau... ah, apa saja terserah paman.”
“Hemm... hemm...” Gak Bun Beng mengelus jenggotnya yang pendek.
“Kalau paman keberatan, aku akan kembali ke Bhutan saja!”
Gak Bun Beng menengok dan tersenyum melihat betapa kini gadis itu pun bisa memperlihatkan sikap merajuk dan manja seperti biasanya kaum wanita.
“Kita ke kota raja dulu dan nanti kita lihat bagaimana perkembangannya, Dewi.”
Berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke timur. Di sepanjang perjalanan mulailah Gak Bun Beng memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Syanti Dewi.
“Coba kau mainkan jurus-jurus pilihan dari gurumu, perwira Bhutan murid kakek adik angkatmu itu.”
“Baik dan aku mengharapkan petunjuk dan bimbingan paman.” Puteri itu lalu bergerak dan bersilat, memilih jurus-jurus yang dianggapnya paling ampuh.
Kadang-kadang Gak Bun Beng memandang penuh perhatian, menyuruhnya berhenti tiba-tiba dan memperbaiki jurus itu, dan demikianlah, perlahan-lahan dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat tinggi, dimasukkan dalam jurus-jurus yang telah dikenal oleh puteri itu. Maka, dengan adanya pelajaran silat ini yang selalu dilatih setiap kali ada kesempatan, perjalanan jauh itu tidaklah terasa melelahkan, apa lagi memang ada daya tarik luar biasa yang mempesonakan hati masing-masing dari teman seperjalanan itu.
Diam-diam Gak Bun Beng membayangkan dengan hati khawatir apa yang telah terjadi di kerajaan. Cerita dari perwira gendut itu hanya menggambarkan keadaan luarnya saja, namun tidak menceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi dan siapakah di antara para pangeran yang merencanakan pemberontakan, siapa pula yang bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Tibet. Hal ini menggelisahkan hatinya, terutama kalau dia teringat bahwa kini Milana tinggal di kota raja.
Dia sudah mendengar berita bahwa Milana telah menikah. Walau pun tidak disengaja, berita ini menghancurkan dan sekaligus mendinginkan hatinya. Dia tahu bahwa Milana sangat mencintainya, dan tentu pernikahan itu atas desakan ayah dara itu, Pendekar Super Sakti. Oleh sebab itu dia menerima nasib dan memang dialah yang meninggalkan kekasihnya itu. Akan tetapi, kini mendengar tentang pergolakan di kota raja, timbullah kekhawatirannya tentang diri kekasihnya itu.....
********************
Sebetulnya, apakah yang sedang terjadi di istana Kaisar Kang Hsi? Agar lebih jelas, sebaiknya secara singkat kita mempelajari keadaannya. Telah ditetapkan bahwa yang menjadi Pangeran Mahkota adalah Pangeran Yung Ceng, yaitu seorang pangeran dari permaisuri yang amat dikasihi kaisar. Tentu saja masih banyak para pangeran yang lahir dari selir-selir kaisar, tetapi yang dicalonkan hanya Pangeran Yung Ceng seorang.
Kaisar masih mempunyai dua orang adik tiri, yaitu dua orang pangeran yang lahir dari selir ayahnya, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Dua orang pangeran tua inilah yang tidak setuju akan pengangkatan Pangeran Yung Ceng sebagai pangeran mahkota karena mereka sudah tahu bahwa kelak mereka tidak akan dapat mempermainkan pangeran ini yang tidak suka kepada kedua pamannya itu. Maka diam-diam dua orang pangeran tua ini merencanakan pemberontakan secara rahasia dan menghasut para pangeran lainnya.
Suatu hari, seorang pangeran dari selir, yang sebaya dengan Pangeran Yung Ceng, bernama Pangeran Yung Hwa, setelah mendengar akan kecantikan Puteri Bhutan lalu mengajukan permohonan kepada ayahanda kaisar agar dapat menikah dengan puteri terkenal itu. Kaisar merasa senang dan setuju dengan keinginan hati Pangeran Yung Hwa ini.
Tetapi seorang menteri setia, yaitu perdana menteri, yang sekaligus menjadi penasehat kaisar, membisikkan kaisar bahwa kurang tepat kalau putera kaisar dijodohkan dengan puteri sebuah negeri sekecil Bhutan! Pangeran Yung Hwa lebih patut dijodohkan dengan puteri kerajaan yang lebih besar lagi sehingga kehormatan kaisar tidak menurun.
Ada pun Puteri Bhutan itu, untuk bisa menarik Bhutan negara kecil itu sebagai keluarga, sebaiknya dilamar untuk dinikahkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang walau pun sudah berusia lima puluh tahun, namun masih ‘perjaka’ dalam arti kata belum memiliki isteri sah melainkan hanya berpuluh-puluh selir saja.
Perdana menteri mengemukakan hal ini menurut perhitungannya yang bijaksana. Dia sendiri tidak tahu akan pemberontakan rahasia yang diusahakan oleh Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi dia tahu bahwa dua pangeran tua itu diam-diam tidak menyukai pangeran mahkota, maka pemberian ‘hadiah’ ini bertujuan pula untuk melunakkan hati Liong Khi Ong!
Kaisar yang mendapat keterangan panjang lebar ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan memuji akan kecerdikan perdana menterinya, maka dia lalu menolak permintaan Yung Hwa dengan alasan bahwa Yung Hwa akan dinikahkan dengan seorang Puteri Birma yang lebih cantik dan lebih hebat lagi. Ada pun Puteri Bhutan lalu dipinang untuk Pangeran Liong Khi Ong!
Justeru kesempatan ini digunakan secara licin oleh dua orang pangeran pemberontak itu untuk menggagalkan semua rencana, hanya dengan niat agar Bhutan malah menjadi musuh Pemerintah Ceng dan kelak mudah saja mereka ajak bersekutu untuk melawan pemerintah kakak mereka atau keponakan mereka sendiri.
Betapa pun kedua orang pangeran itu merahasiakannya, namun tetap saja terasa oleh semua orang suasana panas, suasana tidak enak yang meliputi istana. Apa lagi ketika dikabarkan bahwa Pangeran Yung Hwa yang ‘patah hati’ itu lolos meninggalkan istana tanpa pamit!
Dan dikabarkan bahwa ada bentrok yang mulai terasa di antara perdana menteri dan kedua orang pangeran tua. Suasana panas ini tidak langsung ditimbulkan oleh mereka yang bersangkutan, melainkan oleh kaki tangan masing-masing dan mulailah terjadi pelotot-mempelototi, sindir-menyindir antara pengawal masing-masing apa bila bertemu di jalan raya di kota raja. Bahkan telah terjadi beberapa kali bentrokan bersenjata, sungguh pun hanya kecil-kecilan dan secara bersembunyi.
Puteri Milana yang juga merasakan suasana panas ini sesungguhnya sudah tidak lagi tinggal di istana, melainkan tinggal di gedung suaminya yang menjadi perwira tinggi dan pengawal istana. Dari suaminya, yang biar pun hubungan mereka seperti saudara saja namun masih bersikap baik kepadanya, dia mendengar tentang keadaan di istana.
Dengan hati khawatir Milana mulai sering mengunjungi istana untuk mendengar-dengar dan melakukan penyelidikan. Jiwa patriotnya tersentuh dan agaknya sifat kepahlawanan ibunya menurun kepadanya. Dia menghadap kaisar yang menjadi kakeknya itu, dengan terus terang menyatakan kekhawatirannya soal desas-desus bahwa ada persekutuan pemberontak mengancam pemerintah.
Kakeknya menertawakan cucunya ini, tetapi tidak melarang ketika Milana membentuk sebuah pasukan pengawal khusus yang dipimpinnya sendiri untuk menyelidik dan untuk membasmi pemberontak yang berani mengacau kota raja! Pendeknya dia mencontoh ibunya, Puteri Nirahai, untuk menjaga keselamatan kota dan semua keluarga kaisar!
Dengan adanya pasukan istimewa inilah maka keadaan kota raja mulai agak tenang dan keselamatan penghuninya terjamin. Dua orang pangeran tua itu lebih berhati-hati, tidak berani melakukan tindakan terlalu menyolok karena mereka pun maklum betapa lihainya cucu keponakan mereka, Puteri Milana.....
********************
Demikianlah sedikit gambaran keadaan kota raja, dan sudahlah sepatutnya kalau Gak Bun Beng merasa gelisah karena memang dia sedang menuju ke tempat yang amat gawat, yang setiap saat dapat meletus menjadi perang pemberontakan yang dahsyat. Namun, tujuan yang utama Gak Bun Beng bukanlah untuk menyelidiki kota raja atau untuk melihat keselamatan Milana, melainkan untuk mengantar Syanti Dewi. Andai kata tidak ada Puteri Bhutan ini yang ditolongnya, kiranya mendengar apa pun tentang kota raja dan istana, tidak akan menggerakkan hatinya untuk mengunjungi tempat itu.
Di sepanjang perjalanan, semakin dekat dengan kota raja semakin tampaklah suasana pertentangan. Bahkan di antara rakyat sendiri, ada yang pro dan ada yang anti kepada kaisar dan putera mahkota. Hal ini lumrah karena rakyat, betapa pun juga menyadari bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah yang bagaimana pun tidak bisa mendapatkan dukungan sepenuhnya dari lubuk hati mereka.
Syanti Dewi memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat. Gak Bun Beng tak tanggung-tanggung mengajarkan rahasia-rahasia ilmu silat tinggi, bahkan dia telah mengoperkan hawa sinkang gabungan Swat-im-sinkang (Tenaga Inti Salju) dan Hui-yang-sinkang (Tenaga Inti Api) yang amat mukjijat dari dalam tubuhnya ke dalam tubuh dara itu.
Sampai pingsan Syanti Dewi menerima tenaga dahsyat ini, dan bagi Gak Bun Beng sendiri, pengoperan tenaga sinkang ini membuat dia selama tiga hari tiga malam harus berdiam diri mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya. Dengan memiliki dasar tenaga sinkang gabungan ini, biar pun ilmu silat yang dimainkan oleh Syanti Dewi masih sama dengan beberapa bulan yang lalu, akan tetapi kelihaiannya naik menjadi sepuluh kali lipat! Juga, biar pun dalam waktu singkat itu dia hanya menerima jurus-jurus baru yang tidak lebih dari belasan macam saja banyaknya, namun jurus-jurus ini sudah cukup untuk dipergunakan melindungi diri dari ancaman lawan yang amat kuat pun!
Mereka sudah menyeberangi Sungai Huang-ho dan tiba di kota Ban-jun di sebelah barat kota raja. Hari sudah siang ketika mereka memasuki kota itu dan karena kota raja sudah dekat dan mereka telah melakukan perjalanan yang melelahkan sekali, Gak Bun Beng mencari sebuah rumah penginapan.
Akan tetapi baru saja mereka sampai di jalan perempatan, mendadak terdengar suara hiruk-pikuk dan tampak dari jauh mendatangi sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda besar dan dikusiri oleh seorang yang berpakaian tentara dan yang memegang golok. Dari simpangan yang lain tampak belasan orang yang juga berpakaian tentara, dipimpin oleh seorang perwira dan mereka ini membalapkan kuda mengejar kereta itu! Kemudian betapa kagetnya hati Gak Bun Beng dan Syanti Dewi ketika melihat anak panah berapi menyambar ke arah kereta dan dalam sekejap saja kereta itu terbakar!
“Ohhh...!” Syanti Dewi berseru, seruannya kabur di dalam seruan-seruan semua orang yang melihat peristiwa itu dan yang segera lari cerai berai bersembunyi di balik-balik rumah penduduk.
“Kita harus menolong penumpang...!” kata pula puteri ini.
Gak Bun Beng memegang tangan dara itu, mencegahnya bertindak lancang. Dia masih tidak tahu siapa penumpang kereta, siapa pula yang mengejar dan melepaskan anak panah berapi itu. Sementara itu, perwira yang memimpin belasan orang prajurit sudah tiba di situ. Kusir kereta itu bangkit berdiri dan berusaha melawan dengan goloknya, akan tetapi karena di belakangnya ada api berkobar, dan gerakan perwira itu tangkas sekali, ketika kuda perwira itu loncat mendekat dan pedang perwira itu menyambar, robohlah kusir itu dari atas kereta, terjungkal di atas tanah jalan sedangkan dua ekor kuda yang panik karena ‘dikejar’ api di belakang mereka itu, terus membalap sambil meringkik-ringkik.
Kini Gak Bun Beng tidak dapat tinggal diam lagi. Apa dan siapa pun yang bermusuhan, kusir itu tewas dan penumpang kereta terancam maut. Dia harus menolongnya dulu dan baru kemudian mendengar urusannya. Bagaikan kilat tubuhnya melesat berkelebat dan angin menyambar dan pendekar itu telah lenyap. Syanti Dewi kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir ketika melihat bayangan Gak Bun Beng melesat ke dalam kereta yang terbakar. Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pendekar itu melesat ke luar lagi memondong seorang pemuda yang terluka ringan di pahanya.
“Keparat, berani engkau mencampuri urusan kami?” Perwira itu bersama belasan orang prajuritnya sudah menerjang maju kepada Gak Bun Beng yang menurunkan pemuda itu di tepi jalan dekat Syanti Dewi.
“Hemmm, kalian terlalu kejam!” Gak Bun Beng berkata lalu menerjang ke depan karena dia tidak ingin pemuda itu diserang. “Dewi, lindungi dia!” katanya dan begitu perwira itu sudah dekat, dia menyambut pedang yang menusuknya dengan sentilan jari tangannya.
“Tringg... krekkk!” Pedang itu patah menjadi dua!
Gak Bun Beng lalu berkelebat di antara mereka, dan ke mana pun dia berkelebat, tentu senjata seorang prajurit penunggang kuda patah atau terlempar. Dua orang prajurit menghampiri pemuda yang terluka itu dengan golok terangkat, akan tetapi Syanti Dewi yang sudah siap dengan dua buah batu sebesar kepalan tangannya, menggerakkan tangan kanan dua kali. Terdengar teriakan mengaduh dan dua batang golok terlepas dari tangan yang disambar batu itu.
“Mundur...! Pergi...!” Perwira itu memberi aba-aba. Pasukan kecilnya yang telah ‘dilucuti’ senjatanya itu tidak menanti perintah kedua, terus membalikkan kuda dan terjadilah lomba balap kuda yang ramai, meninggalkan debu mengebul tinggi.
Gak Bun Beng menarik napas panjang. Hatinya lega bahwa urusan itu bisa diselesaikan sedemikian mudahnya. Namun betapa kagetnya ketika dia menoleh ke tempat Syanti Dewi berada, dia hanya melihat dara ini saja sedangkan pemuda yang terluka ringan dan hampir mati terbakar dalam kereta tadi tidak tampak lagi. Cepat dia menghampiri Syanti Dewi.
“Apa yang terjadi? Mana dia?”
“Dia telah pergi, paman. Dia hanya menanyakan nama paman, kemudian mengatakan bahwa dia berterima kasih sekali, bahwa selama hidupnya dia tidak akan melupakan budi paman.”
“Dalam keadaan terluka itu dia pergi?”
Syanti Dewi mengangguk. “Dia tidak mau ditahan, agaknya tergesa-gesa sekali. Dan dia hanya menyatakan bahwa namanya adalah Yung Hwa.”
“Hemm... sungguh aneh sekali. Mari kita pergi dari kota ini, Syanti Dewi, aku tidak mau menjadi perhatian orang.”
Memang pada saat itu orang-orang sudah mulai berkumpul dan menghampirinya sambil membicarakan kegagahannya saat menolong penumpang kereta dan melawan belasan orang pasukan tadi. Akan tetapi sebelum ada yang sempat bertanya, Gak Bun Beng sudah menggandeng tangan Syanti Dewi dan cepat-cepat meninggalkan kota itu, tidak menengok ketika mendengar ada orang-orang menegur dan memanggilnya menyuruh berhenti. Tentu saja orang-orang itu hanya melongo, dan laki-laki perkasa itu tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang memang selalu bersikap dan berwatak aneh.
Peristiwa itu menambah dorongan bagi Gak Bun Beng dan Syanti Dewi untuk cepat menuju ke kota raja. Mereka dapat menduga bahwa tentu bentrokan yang terjadi itu ada hubungannya dengan kerusuhan di kota raja. Sama sekali Gak Bun Beng tidak menyangka bahwa yang ditolongnya itu adalah salah seorang putera kaisar sendiri! Dia adalah Pangeran Yung Hwa, adik Pangeran Mahkota Yung Ceng.
Pangeran Yung Hwa itulah tadi yang tergila-gila mendengar kecantikan Syanti Dewi dan ingin menikah dengan puteri itu. Tentu saja Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tidak tahu sama sekali akan urusan itu, juga bagi pangeran muda yang tampan itu, sama sekali tidak pernah mimpi bahwa puteri yang membuatnya tergila-gila itu pernah berdiri di depannya, bahkan sudah menolongnya dengan merobohkan dua penyerangnya dengan sambitan batu, pernah dia bercakap-cakap dengan puteri itu!
Tentu saja dia hanya mengira bahwa wanita muda yang menolongnya itu hanyalah seorang dara kang-ouw yang lihai saja. Juga dia masih terlalu muda untuk mendengar nama Gak Bun Beng yang hanya dikenal oleh golongan yang lebih tua karena selama belasan tahun ini nama Gak Bun Beng tidak pernah disebut-sebut orang lagi, apa lagi memang orangnya telah menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Dengan cepat Gak Bun Beng melanjutkan perjalanan karena dia ingin cepat-cepat melihat keadaan kota raja. Apa lagi ketika di sepanjang jalan setelah makin dekat kota raja dia melihat banyaknya pasukan-pasukan kecil yang hilir mudik dan kelihatan sibuk sekali.
Kelihatannya memang amat gawat keadaannya. Di sepanjang jalan dia terus mencari keterangan, tapi para penduduk juga hanya mengetahui sedikit sekali tentang keadaan sedalam-dalamnya dari kota raja yang diliputi penuh rahasia itu, hanya mengatakan bahwa di sekitar kota raja muncul banyak orang-orang aneh dan lihai, seolah-olah semua tokoh kang-ouw dan para datuk kaum sesat muncul dari tempat pertapaan mereka, semua orang sakti turun dari pegunungan dan semua iblis keluar dari neraka!
Dan bahwa sekarang sering sekali tampak perondaan pasukan tentara dari kota raja dan banyak terjadi pertempuran, bahkan antara pasukan dengan pasukan lain sehingga membingungkan dan mendatangkan rasa takut kepada rakyat jelata.
Beberapa hari kemudian, tibalah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi di depan pintu gerbang kota raja sebelah barat. Di depan pintu gerbang ini, Gak Bun Beng berhenti dan termenung dengan muka berubah pucat. Terbayanglah olehnya semua pengalamannya belasan tahun yang lalu dan jantungnya berdebar tegang ketika teringat bahwa di dalam lingkungan tembok kota raja inilah adanya wanita yang pernah dan masih dicintanya. Puteri Milana!
Pintu gerbang itu terbuka lebar dan terjaga oleh sepasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan yang memandangi orang-orang yang lalu lalang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kalau ada orang yang kelihatan mencurigakan, tentu akan dipanggil dan diperiksa.
Akan tetapi keadaan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi sama sekali tidak mencurigakan. Wajah Gak Bun Beng bukanlah wajah yang menyeramkan, bahkan seperti seorang petani biasa saja yang tampan, sedangkan biar pun wajah Syanti Dewi mempunyai kecantikan yang khas, namun kecantikannya yang mirip kecantikan wanita Mancu ini malah menyelamatkannya dari kecurigaan para penjaga. Apa lagi karena kulit mukanya sudah agak gelap terbakar sinar matahari selama berpekan-pekan, dia mirip seorang gadis dusun biasa saja sungguh pun amat manisnya.
“Paman, hayo, kita masuk. Mengapa paman berdiri saja di sini?” Syanti Dewi menegur dan menarik tangan pendekar itu.
“Ahh... eh... benar kau... mari...” kata Gak Bun Beng, suaranya agak parau dan gemetar.
“Paman, engkau kenapakah? Mukamu pucat sekali seperti orang sakit.”
“Sakit? Siapa...? Aku sakit? Ah, tidak...!” jawab Gak Bun Beng, namun kedua kakinya tersaruk-saruk seolah-olah tubuhnya menjadi lemah kehabisan tenaga.
“Agaknya kau sedang masuk angin, paman. Biar kubawakan buntalan itu.” Syanti Dewi mengambil buntalan dari tangan Gak Bun Beng dan memandang pamannya itu penuh kekhawatiran.
Ternyata Gak Bun Beng memang sedang menderita tekanan batin yang hebat. Tidak hanya dia teringat akan segala peristiwa belasan tahun lalu, yang mendatangkan rasa duka, terharu, dan khawatir, akan tetapi kemudian dia teringat bahwa mereka telah tiba di tempat tujuan! Ini berarti bahwa dia akan segera berpisah dari Syanti Dewi.
Kenyataan ini merupakan palu godam yang menghantam perasaan hatinya dan lebih parah lagi karena dia mendapat kenyataan betapa berat rasa hatinya untuk berpisah dari samping gadis ini! Kesadaran akan hal inilah yang benar-benar menghimpit hatinya. Mengapa jadi demikian? Mengapa dia menjadi berat berpisah dari samping gadis ini?
Biar pun Syanti Dewi sudah mengatakan akan suka ikut selamanya dengan dia, namun dia bukanlah seorang laki-laki yang mempergunakan kelemahan seorang gadis untuk menyenangkan diri sendiri. Tidak! Apa akan jadinya dengan Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan, gadis bangsawan tinggi yang biasa hidup mulia itu apa bila ikut dengan dia? Menjadi seorang perantau yang tidak menentu makan, pakaian dan rumahnya? Tidak! Tidak! Tentu, saja dia tidak bisa menceritakan kepada Syanti Dewi bahwa bayangan perpisahan itulah yang amat memberatkan hatinya, yang memukul batinnya, di samping bayangan pertemuannya dengan Milana!
Mereka melewati pintu gerbang dengan aman. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan serombongan pasukan masuk melalui pintu gerbang itu. Syanti Dewi masih memandang pamannya yang menunduk saja.
“Lakukan pengawasan ketat dan jangan lupa, kalau dua iblis itu berani muncul di sini, cepat laporkan padaku!”
Suara bisikan yang tidak terdengar oleh orang lain karena diucapkan perlahan dan dari jarak jauh itu masih dapat ditangkap oleh pendengaran Gak Bun Beng, dan ada sesuatu dalam suara itu yang membuatnya terkejut dan cepat dia menoleh ke kiri. Seketika mukanya menjadi semakin pucat bagaikan mayat, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, kedua tangan dikepal dan dia tak bergerak seperti arca.
Matanya memandang seperti orang yang hilang ingatan kepada seorang wanita cantik jelita dan gagah perkasa yang menunggang kuda besar dan berada di depan pasukan berkuda itu dan wanita inilah yang tadi bicara kepada perwira di sampingnya. Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tujuh tahun, tubuhnya masih padat dan tinggi semampai, menunggang kuda dengan tegak. Tubuhnya tertutup mantel putih, rambutnya disanggul tinggi-tinggi dan yang membuat Gak Bun Beng hampir pingsan adalah wajah yang cantik itu kelihatan begitu kurus, begitu muram kehilangan cahayanya yang dahulu selalu berpancar dari wajah Milana!
Hatinya menjerit. “Milana...!” akan tetapi mulutnya tidak mengeluarkan suara apa-apa.
Syanti Dewi terkejut bukan main. Dia cepat menengok dan dia pun melihat wanita yang menunggang kuda itu. Segera rombongan itu lewat dan lenyap. Dia menoleh kembali kepada pamannya yang keadaannya masih payah. Kini Gak Bun Beng menggigit bibir bawahnya, alisnya berkerut dan bibirnya berbisik-bisik tanpa suara.
“Paman...! Ada apakah...? Paman...!”
Gak Bun Beng terhuyung dan cepat tangannya ditangkap oleh Syanti Dewi, kemudian dia menuntun pendekar itu ke pinggir jalan, terus diajaknya berjalan ke tempat yang sunyi. Tak jauh dari situ tampaklah huruf-huruf besar yang menyatakan bahwa di situ terdapat sebuah rumah penginapan.
“Paman, kita beristirahat di penginapan itu, ya?”
Gak Bun Beng hanya mengangguk dan memejamkan matanya. Syanti Dewi berkhawatir sekali. Dengan hati-hati dia menuntun Gak Bun Beng ke rumah penginapan itu dan minta disediakan sebuah kamar. Melihat gadis itu menuntun laki-laki yang kelihatannya menderita sakit, pelayan cepat menyediakan kamar dan Syanti Dewi segera menuntun Gak Bun Beng memasuki kamar.
Gak Bun Beng melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan rebah telentang dengan muka tetap pucat. Dia menderita pukulan batin yang amat hebat. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali perasaan terharu melihat betapa Milana kini telah berubah menjadi sekurus dan sepucat itu.
“Aku menyiksanya... aku menyiksa batinnya... ahhh, aku menyiksanya...,” demikian jerit hati Gak Bun Beng dan dia memejamkan matanya.
Syanti Dewi duduk di pinggir pembaringan dan dipegangnya dahi pendekar itu. Panas! “Aih, kau panas sekali, paman. Kau sakit! Kau demam...”
Gak Bun Beng membuka matanya, memandang Syanti Dewi sekejap, kemudian segera memejamkannya kembali. Dia menggeleng kepala dan berkata lemah, “Tidak apa-apa, Dewi... sebentar juga sembuh... tidak apa-apa...”
“Paman, ahhh, paman, aku khawatir sekali. Kau tadi begitu pucat seperti mayat setelah melihat wanita itu! Siapakah wanita cantik dan gagah yang menunggang kuda itu tadi, paman?”
“Milana... dialah Milana...!” Ketika mengucapkan nama ini, seakan-akan hatinya menjerit memanggil nama kekasihnya. “Milana...!”
Mendengar nama ini, Syanti Dewi terkejut. “Sang Puteri Milana...?”
Gak Bun Beng mengangguk lagi dan memejamkan matanya.
Syanti Dewi mengulang nama itu dan memandang penolongnya penuh selidik, lalu dia mengangguk-angguk. Digenggamnya tangan pendekar itu ketika dia berkata, “Maafkan kelancanganku, ya, paman? Diakah wanita yang yang paman cinta? Sang Puteri Milana itu?”
Sejenak Gak Bun Beng tak menjawab, bibirnya menggigil, matanya terpejam, kemudian dia mengangguk.
“Aihhhhh...!” Syanti Dewi tertegun, sama sekali tidak menduga bahwa penolongnya ini mempunyai hubungan cinta kasih dengan cucu kaisar sendiri!
Diam-diam dia mengakui bahwa memang patutlah kalau penolongnya ini mencinta wanita itu, karena memang wanita tadi itu hebat. Begitu cantik, begitu gagah dan begitu agung! Akan tetapi, mengapa wanita itu tidak menahan kepergian pendekar ini? Apakah cinta kasih wanita itu kurang mendalam? Kasihan pendekar ini, sampai sekarang masih menderita hebat karena cinta kasihnya terputus!
“Kalau begitu, antarkan aku kepadanya, paman. Atau aku mencari sendiri, aku akan menghadapnya dan akan kutegur dia, akan kukatakan betapa dia telah membuat hidupmu sengsara, betapa dia telah berlaku kejam terhadapmu, betapa dia sepatutnya harus...”
“Hush...! Jangan berkata begitu, Dewi. Akulah yang meninggalkannya. Cintaku padanya sedemikian mendalam sehingga aku tidak mau karena menikah denganku dia akan sengsara. Lihat, dia begitu agung, seorang puteri Istana! Cucu kaisar dan puteri Majikan Pulau Es, seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Super Sakti! Sedangkan aku... ah, riwayatku hanya memalukan untuk dibicarakan, seorang rendah, miskin dan...”
“Dan semulia-mulianya orang, yang tak dapat melihat ini tentu matanya buta!” Syanti Dewi melanjutkan.
“Tidak, Syanti Dewi. Kau tidak mengerti. Aku rela memutuskan hubungan kami, dan aku rela menderita kalau dia berbahagia. Karena itu, aku pun tak pernah menampakkan diri. Sekarang karena terpaksa aku berada di sini dan... dan melihat dia... ahh, Dewi, apakah kau tidak melihat bagaimana wajahnya tadi?”
“Cantik dan agung, paman. Tetapi... hemm, memang kurus dan pucat, agak murung...”
“Dia menderita, Dewi. Aku mengenal benar wajahnya. Dia menderita, dan semua itu karena aku... ohhh...” Gak Bun Beng memejamkan mata erat-erat, mulutnya terkancing.
“Paman...! Paman...!” Syanti Dewi menjerit dan karena jeritannya itu pelayan tadi berlari masuk. Melihat betapa orang yang dipanggil ‘paman’ oleh gadis itu pingsan dan kaku ia pun ikut menjadi bingung sekali.
“Lekas... ohhh, lekas panggilkan tabib...!” Syanti Dewi memohon dan pelayan itu lalu lari keluar untuk memanggil ahli pengobatan yang kebetulan toko obatnya tidak begitu jauh dari situ.
Syanti Dewi sendiri cepat membuka baju Gak Bun Beng, lalu dia meletakkan telapak tangannya di dada pendekar itu dan mati-matian mengerahkan sinkang yang diajarkan oleh Gak Bun Beng. Napasnya sendiri sampai terengah-engah, wajahnya pucat, akan tetapi dia nekat terus menyalurkan sinkang.
Akhirnya Gak Bun Beng sadar. Cepat dia menangkap tangan Syanti Dewi dan berkata, “Anak bodoh...! Lekas kau bersila dan atur napasmu baik-baik!”
Syanti Dewi girang sekali melihat penolongnya sudah siuman, maka dia menurut dan bersila. Sekarang Gak Bun Beng yang membantunya dengan menempelkan telapak tangannya ke punggung dara itu. Syanti Dewi sehat dan pulih kembali tenaganya, akan tetapi keadaan Gak Bun Beng makin lemah.
“Ahhh, gejolak batin yang belasan tahun kutekan, dalam hari ini terbebas dari tekanan sehingga seolah-olah api dalam sekam, kini menyala, atau seperti air dibendung, kini pecah bendungannya. Mana aku kuat menahan? Tapi jangan khawatir, Dewi, aku sudah sadar sekarang, hanya tinggal lemas. Tubuhku lemah sekali dan perlu beristirahat agak lama. Kita tunda saja pergi menghadap dia...”
“Menghadap Puteri Milana? Tak perlu kau terlalu banyak memikirkan urusanku, paman. Kalau kau menghendaki menghadap kapan saja pun boleh. Kalau tidak pun, aku juga tidak ingin masuk istana. Yang paling perlu kau harus berobat sampai sembuh.”
Pelayan datang bersama sinshe ahli obat. Setelah memeriksa nadi dan mendengarkan dada, sinshe tua itu mengangguk-angguk. “Orang muda, jangan terlalu banyak pikiran. Memang sedang masanya dunia kacau dan ribut-ribut, akan tetapi bukan kita sendiri yang merasakannya, melainkan orang sedunia. Perlu apa gelisah dan berduka? Tenang dan bergembiralah dan tanpa obat pun kau akan sembuh. Akan tetapi perlu kuberi obat untuk menjaga jantungmu.”
Setelah membuat resep dan menerima uang biaya dari Syanti Dewi, sinshe itu lalu pergi dan si pelayan cepat membelikan obat dari resep itu. Sambil memasak obat di dalam kamar, Syanti Dewi memperhatikan dan menjaga Gak Bun Beng yang masih rebah telentang.
“Sinshe itu memang pandai...” kata Gak Bun Beng. “Sungguh pun dugaannya keliru, namun sifat penderitaanku dia tahu semua. Dan dia menyebutku orang muda, betapa lucunya!”
Biar pun suara Gak Bun Beng masih gemetar dan lemah, membuat Syanti Dewi terharu dan khawatir, namun teringat akan nasehat sinshe tadi Syanti Dewi berkata dengan tertawa dan suaranya gembira, “Hi-hik, paman. Apanya yang lucu? Memang kau masih muda, malah engkau masih... perjaka lagi, hi-hi-hik!”
Gak Bun Beng coba untuk tersenyum. “Bagaimana kau tahu?” Memang sesungguhnya, Gak Bun Beng yang sudah berusia empat puluh tahun itu masih perjaka, belum pernah dia mengadakan hubungan badani dengan wanita!
“Tentu saja tahu! Bukankah engkau tak pernah kawin? Itu berarti masih perjaka!”
Gak Bun Beng tak menjawab. Dia terharu sekali karena dia tahu bahwa sebetulnya hati dara itu gelisah memikirkan bagaimana nanti kalau dia ditinggal di istana, memikirkan sakitnya. Namun gadis itu sengaja memaksa diri bergembira dan mengajak berkelakar agar dia lekas sembuh. Betapa luhur budi dara ini!
Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi merawat Gak Bun Beng, memberinya minum obat, bahkan menyuapi Gak Bun Beng ketika makan bubur, tetap tak membolehkan pendekar itu bangkit dan makan sendiri. Akhirnya, dengan hati diliputi penuh keharuan, Gak Bun Beng tertidur nyenyak.
Sore harinya, melihat Gak Bun Beng masih tidur terus, hati Syanti Dewi menjadi tidak enak. Bagaimana kalau terus tidur dan tidak akan bangun kembali? Membayangkan pendekar itu ‘mati’ Syanti Dewi menjadi panik. Kacau hatinya, maka dia lalu bertanya kepada pelayan dan menuju ke rumah obat menemui sinshe tadi, memberitahukan bahwa obat telah diminumkan dan menanyakan mengapa setelah minum obat lalu tertidur terus sejak tadi sampai sekarang.
“Bagus, bagus...!” Sinshe itu mengangguk-angguk. “Jangan ganggu dia. Makin banyak tidur makin baik. Dia gelisah dan berduka. Tidur, istirahat, dan bergembira adalah obat yang paling mujarab.”
Legalah hati Syanti Dewi dan dengan hati dan langkah ringan dia kembali ke rumah penginapan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat keributan terjadi di rumah penginapan itu. Dua orang kakek yang aneh sekali telah berada di ruangan depan penginapan dan berhadapan dengan lima orang pelayan. Karena mereka itu ribut-ribut tepat di depan pintu kamar Gak Bun Beng, maka Syanti Dewi jadi terhalang tak dapat masuk dan dia menjadi khawatir sekali.
Sejenak dia memandang dengan penuh keheranan dan kengerian. Kedua orang kakek itu memang luar biasa sekali. Wajah keduanya persis sehingga mudah diduga tentu mereka adalah orang-orang kembar. Akan tetapi pakaian mereka berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Yang seorang bermuka merah, tubuhnya hanya tertutup oleh sebuah celana pendek sehingga dari pinggang ke atas dan dari paha ke bawah sama sekali telanjang, memakai sepatu pun tidak!
Adapun kakek yang kedua, mukanya putih, pakaiannya lengkap, terlalu lengkap malah, karena di luar pakaiannya dia memakai mantel bulu tebal, seolah-olah dia selalu merasa dingin sedangkan yang seorang seolah-olah kegerahan terus! Dua kakek ini lagi marah-marah.
“Kami juga mampu bayar, mengapa kami tidak boleh memakai kamar ini?” bentak yang bermantel bulu.
“Maaf, loya. Kamar ini sudah ada tamunya, bahkan kini sedang sakit. Harap ji-wi suka memakai kamar yang berada di dalam atau di belakang.”
“Tidak! Kami memerlukan kamar paling depan! Hayo suruh si sakit itu keluar dan pindah ke belakang. Kami berani bayar tiga kali lipat!”
“Tapi, loya...”
“Heh-heh, kamu minta mampus?” Tiba-tiba yang setengah telanjang itu membentak sambil terkekeh, tangannya menepuk meja di sebelahnya dan... permukaan meja itu menjadi hangus seperti dibakar!
Para pelayan terkejut sekali dan tidak berani bicara lagi, sedangkan Syanti Dewi yang menyaksikan demonstrasi tadi juga terkejut. Mengertilah dia bahwa kakek setengah telanjang itu memiliki sinkang yang amat hebat sehingga mampu membakar meja! Dia lalu menyelinap dari samping, mendorong daun jendela kamar Gak Bun Beng.
Akan tetapi dia melihat pendekar itu sudah bangkit dan duduk, dan ketika melihat Syanti Dewi, dia berkata, “Biarlah kubereskan urusan di luar.”
“Jangan, paman... mereka... mereka lihai sekali...”
Tentu saja kata-kata ini hanya disambut dengan senyum saja oleh Gak Bun Beng dan dia lalu turun dari pembaringan, terhuyung dan membuka pintu kamarnya. Melihat dua orang kakek itu menghadapi lima orang pelayan yang ketakutan, Gak Bun Beng lalu mengerutkan alisnya dan berkata, “Andai kata ji-wi sedang sakit dan aku yang sehat, tentu dengan senang hati aku mengalah dan memberikan kamar ini untuk ji-wi. Akan tetapi karena keadaan kita sebaliknya, sungguh tidak patut kalau ji-wi hendak memaksa para pelayan. Harap saja ji-wi suka memandang aku yang sedang sakit dan bersedia untuk mengambil kamar di dalam saja.”
“Heh-heh-heh-heh, apa kau juga ingin mampus?” Kembali kakek setengah telanjang berkata dan dia menggunakan telapak tangannya mendorong meja tadi dan... seketika keempat kaki meja itu amblas ke dalam lantai yang keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari agar-agar saja!
Melihat ini Gak Bun Beng mengerutkan alisnya. “Hemm, kau memang hebat, akan tetapi berwatak buruk sekali!”
Gak Bun Beng melangkah maju dan sekali kakinya dihempaskan ke lantai, meja yang kakinya amblas tadi mencelat ke atas sampai ada setengah meter dari lantai!
Dua orang kakek itu terkejut sekali, saling pandang, kemudian menghadapi Gak Bun Beng. “Bagus, engkau merupakan lawan yang boleh juga! Kau menantang kami, ya?”
Serta merta kakek bermantel tebal itu menghantam ke depan dengan telapak tangan kanan. Mendengar sambaran angin ini dan merasakan betapa ada hawa yang amat dingin datang menyambarnya, Gak Bun Beng terkejut dan maklumlah dia bahwa kakek ini adalah seorang ahli Im-kang, maka dia pun cepat menyambut dengan telapak tangan kiri.
“Plakkk!”
Pada saat itu kakek setengah telanjang juga sudah menghantam dengan telapak tangan terbuka pula, dan Gak Bun Beng merasa betapa hawa yang menyambarnya amatlah panasnya. Maka dia pun menyambut dengan tangan kanannya.
“Plakk!”
Dua orang kakek ini terkejut dan berseru, “Aughhh...!” dan muka mereka menjadi pucat.
Tentu saja kedua orang kakek itu tidak mengenal siapa yang mereka serang. Kakek kembar ini pernah kita jumpai, yaitu ketika mereka bersama kawan-kawannya yang semua berjumlah dua puluh orang menyerbu ke Pulau Es dan dapat dihalau pergi oleh Pendekar Super Sakti, dua orang isteri dan dua orang puteranya. Si muka putih yang selalu bermantel itu adalah Pak-thian Lo-mo sedangkan si muka merah yang setengah telanjang itu adalah Lam-thian Lo-mo.
Kedua kakek kembar ini memang memiliki keistimewaan masing-masing. Kalau si baju tebal itu seorang ahli tnaga sakti Im-kang yang selalu kedinginan adalah si setengah telanjang itu seorang ahli Yang-kang yang selalu kepanasan. Akan tetapi, sekali ini mereka bertemu dengan Gak Bun Beng, seorang ahli dalam tenaga sinkang Inti Salju dan Inti Api, maka dengan sendirinya dia berani menghadapi pukulan panas dengan hawa yang lebih panas sedangkan pukulan dingin dia hadapi dengan hawa yang lebih dingin lagi!
“Ouhhhh...!” Kedua orang kakek itu mengerahkan tenaganya karena Pak-thian Lo-mo si ahli Im-kang mulai menggigil kedinginan sedangkan Lam-thian Lomo si ahli Yang-kang mulai berpeluh kepanasan.
Untung bagi mereka bahwa Gak Bun Beng tidak mempunyai niat membunuh orang, dan lebih untung lagi bahwa pendekar sakti itu sedang sakit, maka pengerahan tenaga ini membuat Gak Bun Beng terbatuk-batuk dan muntah darah! Kesempatan ini digunakan oleh kakek kembar itu untuk segera menarik tangan masing-masing, kemudian melihat lawannya muntah darah, mereka berdua menyerang lagi dengan hebatnya!
Gak Bun Beng menggerakkan kedua tangannya. Biar pun dia menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya dan mengusir kunang-kunang yang tampak ribuan di depan matanya, dia masih bisa menangkis setiap pukulan yang datang dengan cepatnya sehingga kedua kakek itu merasa amat terheran-heran dan terkejut bukan main! Belum pernah mereka menghadapi lawan yang sehebat dan setangguh ini setelah Pendekar Super Sakti!
Tentu saja mereka menjadi penasaran dan kini mereka mengeluarkan senjata mereka, yaitu sabuk baja yang berupa pecut. Terdengarlah bunyi meledak-ledak ketika kedua kakek itu menggerakkan senjata mereka menyerang Gak Bun Beng.
Pendekar ini berusaha mengelak, bahkan menangkis dengan lengannya yang penuh dengan hawa sinkang. Namun karena pandang matanya berkunang dan dia terhuyung-huyung, ada beberapa pukulan yang mengenai tubuhnya sehingga dia terluka cukup berat.
Pada saat itu Syanti Dewi telah meloncat masuk ke dalam kamar, menyambar buntalan dari meja dan melihat betapa Gak Bun Beng dikeroyok dan terhuyung-huyung, dia lalu menjerit.
Pada saat itu, terdengarlah derap banyak kaki kuda dan sesosok bayangan menyambar masuk disertai bentakan nyaring seorang wanita. “Sepasang iblis laknat, kalian berani mengacau kota raja?”
“Sing-sing...!” Dua sinar terang menyambar ke arah dua orang kakek itu.
“Trang-trang...!”
Dua batang pisau terbang itu dapat disampok pecut baja, namun kedua kakek itu terkejut ketika tangan mereka terasa tergetar, tanda bahwa dua batang pisau terbang itu diluncurkan oleh orang yang memiliki tenaga hebat. Wanita yang bukan lain adalah Puteri Milana ini sudah membentak lagi dan sinar-sinar halus menyambar, kini serangan jarum-jarum halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh bagian depan dari kedua orang kakek kembar.
“Hayaaaa...!” Dua orang kakek itu berteriak dan dengan cepat mereka memutar pecut untuk melindungi tubuh sambil meloncat keluar dari rumah penginapan di mana mereka disambut oleh sepasukan pengawal yang cukup lihai.
Sementara itu, ketika Milana melihat orang yang tadi dikeroyok oleh dua kakek kembar itu terhuyung dan dipapah oleh seorang gadis cantik, dia cepat membalikkan tubuhnya mengejar kedua kakek kembar yang sudah merobohkan dua orang pengawal. Dengan pedangnya yang berkilauan Milana menerjang dan kedua orang kakek itu terpaksa harus mengerahkan kepandaian mereka karena wanita ini benar-benar amat lihai, apa lagi dibantu oleh banyak sekali pengawal yang mengurung mereka.
“Paman, kau... terluka...” Syanti Dewi memeluk tubuh yang terhuyung itu.
“Dewi... cepat... cepat bawa aku pergi... jangan sampai dia melihatku...!”
Syanti Dewi tadi telah melihat kedatangan Milana dan dia kagum meyaksikan kehebatan puteri itu. Setelah dekat dan melihat wajah Milana terkena sinar penerangan, barulah dia melihat betapa cantiknya puteri itu, walau pun wajah itu begitu pucat, begitu dingin dan muram seperti kehilangan cahayanya. Kini mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia menjadi bingung. Mengapa penolongnya ini selalu hendak menghindarkan diri dari kekasihnya?
“Dewi, cepat... aku tak tahan lagi...” Bun Beng berbisik. “Ke sana... melalui jendela...”
Syanti Dewi tidak berani membantah dan memapah penolongnya itu memasuki kamar dan membantunya keluar melalui jendela. Ketika mereka lewat di samping rumah mereka melihat betapa pertempuran masih berlangsung dengan hebat sungguh pun kedua orang kakek itu terkepung dan terdesak oleh pedang Milana. Akan tetapi pada saat itu Milana kebetulan melirik ke arah Gak Bun Beng yang juga sedang memandang ke arah pertempuran.
“Gak-twako...!” Seruan lirih ini terdengar di antara suara beradunya senjata dan teriakan orang-orang.
Akan tetapi Gak Bun Beng mengenal suara Milana, maka cepat dia memondong tubuh Syanti Dewi dan melesat pergi dengan kecepatan kilat, tidak mempedulikan bahwa tenaganya sudah hampir habis. Dia berlari terus, meloncati tembok pintu gerbang, akan tetapi ketika dia sudah meloncat turun ke tempat gelap, dia terguling dan roboh pingsan di tempat gelap itu!
“Paman...! Paman...!” Syanti Dewi berbisik-bisik dekat telinga pendekar itu, akan tetapi Gak Bun Beng tidak bergerak.
Sementara itu, Milana yang terkejut bukan main melihat orang yang tadi dikeroyok dua orang kakek dan agaknya terluka itu lewat di samping rumah bersama seorang gadis cantik, karena dia mengenal wajah Gak Bun Beng! Agaknya tidak mungkin salah lagi. Di antara selaksa wajah orang laki-laki, dia akan mengenal wajah Gak Bun Beng, pria yang penah dicintanya dan masih dicintanya itu. Biar pun laki-laki setengah tua itu berkumis dan berjenggot, akan tetapi dia tidak pangling melihat mulutnya, hidungnya, terutama mata dan pandang matanya.
Karena perhatiannya tertarik, apa lagi karena meninggalkan gelanggang pertempuran untuk berusaha mengejar Gak Bun Beng, kedua orang kakek kembar itu tidak terdesak lagi dan sambil berseru keras mereka lalu meloncat dan melarikan diri pula.
“Mereka lari!”
“Kejar...!”
Barulah Milana sadar ketika mendengar teriakan-teriakan ini. Cepat dia memerintahkan para pengawal untuk mengejar dua orang kakek itu, juga dia memerintahkan sebagian pasukan lagi untuk cepat mencari orang yang bersama dengan gadis cantik yang tadi dikeroyok oleh dua orang kakek. Dari keterangan pelayan dia mendengar betapa laki-laki itu datang ke losmen dalam keadaan sakit dan dirawat oleh gadis yang agaknya adalah keponakan laki-laki itu.
Milana termenung mendengar keterangan pelayan. Melihat wajahnya, apa lagi melihat kenyataannya bahwa dalam keadaan sakit masih mampu menahan pengeroyokan dua orang kakek lihai, jelas bahwa orang tadi tentulah Gak Bun Beng. Akan tetapi kalau benar dia, mengapa lari darinya? Mengapa tidak menemuinya? Dan sakit apakah? Ke mana perginya? Bimbanglah hati Milana dan dia sendiri membantu pencarian itu. Bukan mencari sepasang kakek kembar, melainkan mencari Gak Bun Beng. Baginya kakek kembar itu bukan hal penting, hanya merupakan orang-orang dari golongan sesat yang mencurigakan saja.
Semalam suntuk dia dan pasukannya mencari dan akhirnya, menjelang pagi keesokan harinya, terpaksa dia pulang dengan hati parah, penuh kebimbangan dan penyesalan. Dia telah melihat kekasihnya, akan tetapi belum ada ketentuan juga.
Bagaimana dengan keadaan Syanti Dewi dan Gak Bun Beng yang karena terlampau banyak mempergunakan tenaga, apa lagi karena sudah terluka dalam pertempuran melawan Siang Lo-mo, yaitu kakek kembar itu? Dapat dibayangkan betapa bingungnya rasa hati Syanti Dewi. Dia mengerahkan tenaganya, memondong tubuh Gak Bun Beng untuk dibawa pergi dari pintu gerbang utara itu. Akan tetapi sebelum dia melangkah jauh, dia mendengar suara hiruk-pikuk dan melihat serombongan pasukan berlari-lari mendatangi.
Tentu saja dia terkejut melihat obor-obor di tangan para prajurit itu. Dilihatnya bahwa di bawah pintu gerbang itu terdapat sebuah sungai dengan jembatannya, maka cepat dia membawa tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan. Karena jalannya menurun dan agak sukar, dia takut kalau memondong tubuh penolongnya bisa tergelincir, maka terpaksa dia bersusah payah menarik atau menyeret tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan di mana dia bersembunyi sambil memeluk pundak dan kepala Gak Bun Beng dengan hati berdebar penuh rasa khawatir dan ketegangan.
Sambil memangku kepala penolongnya, dia membasahi sapu tangannya dengan air sungai dan membasuh muka dan kepala pendekar itu, berbisik-bisik memanggil-manggil namanya. Ketika Gak Bun Beng tetap tidak menjawab, Syanti Dewi terisak dan mendekap kepala itu, menempelkan pipinya pada muka pendekar itu dan berbisik dekat telinganya. “Paman Gak... jangan kau mati... jangan tinggalkan aku sendiri, paman...!”
Akan tetapi karena takut, dia menahan isaknya sehingga hanya air matanya saja yang bercucuran, dia menangis tanpa suara. Setelah keadaan sunyi kembali dan pasukan itu dengan suara hiruk-pikuk telah kembali memasuki pintu gerbang, barulah Syanti Dewi berani bergerak. Dengan susah payah dia berhasil juga menyeret tubuh Gak Bun Beng keluar dari bawah jembatan, kemudian memondong tubuh pendekar itu dan secepat mungkin dia membawa Gak Bun Beng pergi jauh dari tempat itu.
Sampai dua hari dua malam Bun Beng pingsan tak sadarkan diri sama sekali, ditangisi oleh Syanti Dewi di dalam sebuah hutan yang besar dan liar. Berkali-kali Puteri Bhutan ini memanggil-manggil, mengguncang-guncang tubuh pendekar itu, kemudian diseling tangisnya terisak-isak sambil menyatakan penyesalan hatinya kepada Puteri Milana yang dianggapnya kejam!
Pada hari ketiga, saking lelahnya, Syanti Dewi yang duduk bersandar batang pohon tertidur atau setengah pingsan. Dia lelah bukan main, lelah, lemas karena lapar dan haus yang sama sekali tak dihiraukannya, dan mengantuk karena semenjak melarikan diri bersama Bun Beng dia sama sekali belum tidur. Pagi-pagi tadi, lewat tengah malam, dia menangis dengan putus harapan. Didekapnya kepala Bun Beng yang dipangkunya, karena dia menganggap bahwa pendekar itu tentu tidak dapat sadar kembali. Akhirnya dia tertidur atau setengah pingsan, bersandar pada batang pohon sambil tetap memangku kepala Gak Bun Beng yang masih belum sadar.
Ketika Bun Beng siuman dan membuka matanya, pertama-tama yang diingatnya adalah Milana, maka dia terbelalak melirik ke kanan kiri, takut kalau-kalau Milana berada di situ. Tiba-tiba dia duduk dan membalik, memandang kepada Syanti Dewi yang masih pula bersandar pohon, dengan muka pucat dan masih ada bekas air mata. Bun Beng mengeluh lirih. Dia telah tidur atau pulas dengan kepala di atas pangkuan gadis itu! Dan mereka telah berada di dalam hutan besar! Padahal, seingatnya, dia memondong gadis ini berlari secepatnya dari kota raja, melompati benteng pagar tembok kota raja lalu dia terguling dan tidak ingat apa-apa lagi.
“Dewi...!” Bun Beng berkata lirih, setengah menduga bahwa tentu Syanti Dewi yang menyelamatkannya, membawanya sampai ke dalam hutan lebat itu.
Biar pun hanya lirih saja panggilan ini, Syanti Dewi membuka kedua matanya. Ketika dia melihat Bun Beng sudah duduk di depannya, memandangnya dengan sepasang mata yang penuh perasaan haru, dia menggosok-gosok kedua matanya, takut kalau-kalau dia hanya bermimpi, kemudian, ketika melihat bahwa Bun Beng tetap masih duduk di depannya, tidak pingsan lagi, bukan main girangnya rasa hati dara ini.
“Paman ! Aihh, paman... syukurlah bahwa paman telah sadar! Ahhh, betapa sengsara dan takut hatiku selama dua hari dua malam ini melihat paman hanya diam tak pernah bergerak...”
Bun Beng memegang kedua tangan dara itu dan memandang tajam. “Apa katamu? Selama dua hari dua malam aku... aku tak sadarkan diri?”
Syanti Dewi hanya mengangguk dan baru sekarang terasa oleh dara itu betapa lapar perutnya, betapa lelah tubuhnya.
“Dan selama ini engkau... engkau telah memaksa diri melarikan aku ke sini... dan... dan merawatku...?” Bun Beng menelan ludahnya menahan keharuan hatinya.
Kembali Syanti Dewi mengangguk. Kemudian berkata lirih, “Aihhh, paman Gak. Bagai mana aku dapat merawatmu? Aku sudah bingung sekali, hampir putus harapan ketika pagi tadi melihat engkau seperti... seperti mati. Aku takut sekali...”
Bun Beng menggenggam kedua tangan yang kecil itu, suaranya gemetar ketika dia berkata, “Dewi... kau... kau seorang... anak yang baik sekali.”
Hati dara itu girang bukan main. Setelah Bun Beng siuman, dia tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi, tidak takut apa-apa lagi. “Paman, engkau tentu lapar sekali, dua hari dua malam tidak makan apa-apa, tidak minum apa-apa. Sekarang aku akan mencari buah-buahan untukmu.”
Namun Gak Bun Beng tidak melepaskan tangan dara itu. “Dewi, katakanlah, apakah selama ini engkau juga pernah makan?”
Syanti Dewi menunduk dan menggeleng kepala.
“Dan pernah minum?”
Kembali Syanti Dewi menggeleng kepala.
Bun Beng menghela napas. “Luar biasa sekali! Engkau seorang gadis yang luar biasa sekali. Seorang yang berhati sangat mulia, engkau seorang puteri budiman. Cara bagai manakah engkau dapat melarikan aku ke tempat ini, Dewi?”
Wajah yang agak pucat itu sekarang menjadi merah dan Syanti Dewi lalu menceritakan betapa hampir saja mereka tertangkap oleh sepasukan tentara kalau saja dia tidak cepat menyeret Bun Beng ke kolong jembatan. Kemudian dia menceritakan betapa dia membawa lari Bun Beng tanpa tujuan tertentu, pokoknya asal dapat menjauh dari kota raja, sejauh mungkin.
“Aku hanya tahu bahwa paman tidak ingin dilihat... orang, maka aku membawa paman menjauh dari kota raja sedapat mungkin. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa paman melarikan diri begitu paman melihat Puteri Milana? Mengapa paman tidak ingin dia melihat paman? Bahkan aku mendengar pula dia mengenali dan memanggil paman malam itu. Mengapa, paman?”
Gak Bun Beng menunduk, menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepala. “Aku... aku tidak kuat menghadapinya... aku... aku... ahhhh, aku hanya seorang laki-laki yang bodoh.”
Hening sampai lama. Bun Beng tetap menunduk dan Syanti Dewi mencoba untuk dapat menyelami perasaan pendekar itu dengan menatap tajam wajah yang sangat muram itu. Kemudian terdengar Syanti Dewi bertanya, suaranya lirih. “Paman Gak, sedemikian besarkah cintamu terhadap Puteri Milana?”
Bun Beng tak menjawab, hanya menarik napas panjang, lalu untuk membelokkan bahan pembicaraannya. Dia kemudian berkata, “Dewi, kita harus segera kembali ke kota raja. Aku akan mengantarkanmu sampai ke luar pintu gerbang, dan kau masuk sendiri serta langsung menghadap Puteri Milana. Ceritakanlah riwayatmu tanpa menyebut-nyebut namaku, dan aku yakin dia akan suka menolongmu.”
“Aku hanya mau menghadap dia kalau bersamamu, paman.”
“Ah, engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat menemuinya.”
“Kalau begitu aku pun tidak sudi menghadapnya!” Jawaban Syanti Dewi ini agak keras, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya seperti biasa yang penuh kehalusan, seolah-olah baru satu kali ini dia marah-marah.
Bun Beng mengangkat muka memandang. “Mengapa, Dewi? Bukankah engkau jauh-jauh dari Bhutan dikirim ke kota raja oleh ayahmu untuk menjadi mantu kaisar?”
“Tidak, tidak! Paman sudah tahu sendiri akan semua akal busuk yang bersembunyi di balik kepura-puraan perjodohan itu! Aku tidak sudi! Pula, dahulu aku hanya mau karena ada adik Ceng di sampingku. Sekarang adik Ceng hilang, mungkin tewas, dan sebagai gantinya adalah paman. Karena itu, tanpa paman, aku tidak sudi harus pergi sendiri ke istana. Lebih baik aku... mati di sini...”
Bun Beng memegang tangan dara itu. “Tenanglah, tidak ada yang memaksamu, Dewi. Kalau begitu, kita harus melanjutkan perjalanan ke utara. Aku mau menemui Jenderal Kao Liang. Di kota raja sedang terjadi pergolakan dan agaknya dia yang menguasai banyak pasukan saja yang akan dapat menyelamatkan kota raja dan sekaligus mewakili aku mengurus urusanmu dengan kaisar. Percayalah, tidak akan ada yang memaksamu, Dewi. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk mencegah siapa pun yang berani mati memaksamu.”
Wajah yang jelita itu berseri. “Baik, paman. Ke mana pun paman membawaku pergi, aku akan suka ikut, asal jangan menyuruh aku pergi seorang diri. Wah, perutku lapar sekali, tentu paman juga. Biar aku mencari buah-buah...”
Bun Beng sudah menyambitkan batu kecil yang digenggamnya dan kelinci gemuk yang menyusup di antara semak-semak itu mati seketika. “Nah, itu ada kelinci gemuk yang menyerahkan dagingnya, Dewi. Ambillah.”
Tadi Syanti Dewi terkejut menyaksikan gerakan pendekar itu, akan tetapi mendengar ucapannya, dia tertawa lalu berlari-lari dan membuka-buka semak-semak itu. Dan benar saja, di sana ada seekor kelinci gemuk yang telah mati dengan kepala pecah disambar batu, masih hangat tubuhnya. Sambil tertawa gembira Syanti Dewi lalu menguliti dan memanggang daging kelinci. Setelah Bun Beng siuman kembali, terusirlah semua kekhawatiran dan kedukaan dari hati dara ini yang sebaliknya menjadi riang gembira kembali, sungguh pun tubuhnya masih terasa amat lelah.
Tetapi ternyata pukulan batin yang diderita oleh Gak Bun Beng dalam pertemuannya dengan Milana, ditambah dengan luka dalam yang dideritanya ketika dalam keadaan tidak sehat dia bertanding melawan Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar di kota raja itu, membuat pendekar ini lemah dan sakit. Ditambah lagi kenyataan yang menusuk hatinya, yang mendatangkan rasa khawatir dan bingung, kenyataan yang dirahasiakan yaitu sikap Syanti Dewi kepadanya, sikap yang amat baik, mengandung kasih sayang, sikap yang hanya dapat diperlihatkan seorang wanita yang jatuh cinta, membuat dia makin menderita batinnya.
Dia memandang gejala ini sebagai datangnya suatu bahaya yang amat besar, yang amat mengkhawatirkan bagi kehidupan Syanti Dewi. Walau pun dara ini tidak pernah menyatakan dengan mulut, biar pun mungkin dara itu sendiri masih belum sadar akan perasaan hatinya sendiri, akan tetapi Bun Beng sudah dapat menduganya, melihat dari pandang matanya, gerak-geriknya, suaranya.
Hal ini menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Tidak, betapa pun juga, dia takkan menyeret dara yang amat berbudi ini ke dalam hidupnya yang serba canggung dan sengsara. Dia tidak akan mengulangi riwayat penuh duka seperti yang dialaminya dengan Milana. Memang betapa akan amat mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang dara seperti Syanti Dewi, seorang dara yang berbudi mulia, halus dan penuh perasaan. Akan tetapi tidak! Dia bukanlah seorang yang hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri saja.
Perang yang terjadi dalam batin Bun Beng menambah luka dalam yang dideritanya dalam pertandingan berat sebelah ketika melawan kakek kembar dalam keadaan sakit itu. Karena itu, perjalanan ke utara bersama Syanti Dewi itu dilakukan dengan susah payah dan lambat, bahkan akhirnya Bun Beng jatuh sakit lagi!
Di dalam perjalanan ini, di waktu dia terserang sakit, lebih jelas kenyataannya bahwa yang diduga dan ditakuti Bun Beng adalah benar. Perawatan yang dilakukan Syanti Dewi terhadap dirinya amat luar biasa, penuh ketelitian, penuh pengorbanan dan ketekunan. Diam-diam Bun Beng yang menderita sakit itu mengambil keputusan bahwa kalau dia sudah dapat bertemu dengan Jenderal Kao Liang, dia akan menyerahkan Syanti Dewi dalam perlindungan jenderal yang dipercayanya itu, kemudian dia akan pergi untuk selamanya, tidak akan mencampuri dunia ramai lagi, seperti dahulu sebelum bertemu dengan Syanti Dewi dan terpaksa mengantarkan dara itu ke kota raja.
********************
Kita tinggalkan dulu Bun Beng yang sedang menderita sakit dan melakukan perjalanan dengan amat sukar bersama Syanti Dewi menuju ke perbatasan utara untuk menemui Jenderal Kao Liang, dan marilah kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang secara kebetulan sekali juga telah melakukan perjalanan ke utara!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng telah ditolong oleh Tek Hoat dari bahaya tenggelam, kemudian secara kebetulan dia dapat mendengarkan percakapan antara pemuda itu dengan Pangeran Liong Khi Ong hingga terbukalah rahasia pemuda itu sebagai kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong yang merencanakan pemberontakan.
Masih untung bagi Ceng Ceng bahwa pada saat yang berbahaya itu, dia keburu dicegah oleh Pengawal Kaisar Souw Kee It dan diajak pergi melarikan diri. Andai kata dia tidak bertemu dengan kakek pengawal itu dan terang-terangan menegur Tek Hoat, tentu pemuda itu tak akan segan-segan untuk membunuhnya agar rahasianya dapat tertutup.
Dengan bantuan Souw Kee It, pengawal kawakan yang telah berpengalaman, Ceng Ceng melakukan perjalanan setelah menyamar sebagai seorang pria tampan yang berkumis tipis! Bermacam perasaan bercampur aduk di dalam hati dara ini. Pertama-tama dia merasa gembira bukan main mendengar dari Souw Kee It bahwa Syanti Dewi telah diselamatkan oleh seorang nelayan.
Dia merasa bersyukur sekali dan ingin dia bertemu dengan kakak angkatnya itu yang tidak diketahui ke mana perginya. Akan tetapi di samping kegembiraannya ini terdapat perasaan duka, kecewa dan marah kalau dia teringat kepada Tek Hoat. Pemuda yang amat dikaguminya itu, pemuda yang tampan dan memiliki kepandaian demikian tinggi, ternyata adalah seorang kaki tangan pengkhianat dan pemberontak! Betapa rendah dan hina!
Dan pemuda itu dengan terus terang menyatakan bahwa dia mencinta Syanti Dewi! Kalau dulu di waktu dia mendengar pergakuan ini timbul rasa panas dan agak cemburu di hatinya, kini sebaliknya malah. Dia merasa panas dan marah, tidak rela bahwa kakak angkatnya itu dicinta oleh seorang yang demikian rendah! Dia harus menghalang-halangi ini. Siapa tahu, pemuda yang tampan dan pandai itu akan dapat bertemu dengan Syanti Dewi dan berhasil merayunya atau memaksanya.
Selama dalam perjalanan, Souw Kee It menceritakan kepada Ceng Ceng akan keadaan di kota raja yang kacau karena adanya pertentangan secara diam-diam antara perdana menteri yang setia kepada kaisar dan dua orang pangeran tua, yaitu Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin Ong.
“Mengapa sri baginda kaisar diam saja? Bukankah jelas bahwa dua orang pangeran itu bermaksud memberontak?”
Souw Kee It menarik napas panjang. “Sri baginda kaisar adalah amat bijaksana. Beliau tidak menghendaki adanya perpecahan dan keributan antara keluarga kerajaan. Hal ini akan mencemarkan dan melemahkan kedudukan keluarga kaisar dan merendahkan martabatnya di mata rakyat. Apa lagi karena niat pemberontakan kedua orang pangeran itu belum ada buktinya, baru merupakan desas-desus belaka. Oleh karena itulah, maka sri baginda hanya memberi tugas kepada para pengawal yang dipercaya, dan dipimpin sendiri oleh Puteri Milana, untuk secara diam-diam membasmi kaki tangan yang berniat memberontak. Jika tidak ada kekuatan dari luar yang mendorong, tentu niat hati kedua orang pangeran itu akan lenyap sendiri.”
Ceng Ceng bersungut-sungut. “Terlalu sabar. Kalau dikasih hati, dua orang pengkhianat itu makin merajalela.”
“Demikian pula pendapat perdana menteri, sehingga kini secara berterang, para pengawal perdana menteri sering bentrok dengan para pengawal kedua orang pangeran itu. Dan demikian pula pandangan Puteri Milana yang sudah mulai menumpas semua tokoh jahat yang mencurigakan dan yang ada hubungannya dengan niat pemberontak itu.”
“Akan tetapi kulihat pemuda yang bernama Tek Hoat itu lihai bukan main! Kalau dia tidak dapat dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan bahaya!” Berkata demikian Ceng Ceng jadi teringat kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi yang dianggapnya terancam keselamatannya oleh pemuda itu yang telah menyatakan cinta kepada Puteri Bhutan itu.
Souw Kee It mengangguk. “Memang aku pun sudah melihat kelihaiannya. Dia adalah tenaga baru yang belum kami kenal, dan agaknya telah ditugaskan untuk mengacaukan dan menggagalkan perjodohan yang hendak diikat oleh sri baginda kaisar antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong.”
“Heran sekali, mengapa sri baginda mengambil keputusan yang demikian aneh? Puteri Bhutan adalah seorang dara yang muda remaja, mengapa hendak dijodohkan dengan pangeran yang sudah tua, mata keranjang dan jahat lagi?” Ceng Ceng teringat akan percakapan antara Tek Hoat dan pangeran tua di perahu.
“Aihh, engkau tidak tahu, nona. Demi keselamatan kerajaan, tentu saja sri baginda akan melakukan apa saja. Taktik pengikatan jodoh antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong mempunyai dua maksud yang amat penting. Pertama, dengan menarik Kerajaan Bhutan menjadi keluarga, tentu saja Bhutan dijadikan sebuah perisai atau benteng pertahanan di barat, juga berarti bertambahnya sebuah negara keluarga yang bersahabat. Kedua, ikatan jodoh itu dimaksudkan untuk membuktikan kesabaran dan kebaikan hati kaisar sehingga biar pun ada desas-desus akan pengkhianatan Pangeran Liong berdua, tetap saja kaisar menganugerahinya dengan sebuah pernikahan dengan Puteri Bhutan yang terkenal cantik jelita.”
“Hemm, sungguh aku tidak mengerti mengapa perasaan perorangan diabaikan sama sekali demi kepentingan kerajaan.”
“Memang tentu mengherankan bagi seorang yang tidak pernah mendekati urusan kerajaan seperti engkau, Nona. Akan tetapi aku yang sudah sejak muda berkecimpung di dekat keluarga kerajaan, seperti juga kakekmu dahulu, tidak merasa heran. Apa lagi hanya perasaan, bahkan nyawa perorangan tidaklah begitu berarti lagi dibandingkan dengan kepentingan kerajaan. Dalam urusan pernikahan ini pun yang hancur hatinya adalah Pangeran Yung Hwa.”
“Pangeran Yung Hwa? Siapa dia dan mengapa?”
“Dia juga putera dari sri baginda, seorang pangeran muda remaja, baru berusia dua puluh tahun. Sesungguhnya, Pangeran Yung Hwa inilah yang ketika mendengar berita tentang Puteri Syanti Dewi, jatuh cinta dan mohon kepada sri baginda untuk dilamarkan. Namun, permintaannya ini ditolak karena Puteri Syanti Dewi hendak dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong.”
“Si tua bangka!” Ceng Ceng mengomel.
“Dan karena itu, Pangeran Yung Hwa lolos dari istana.”
“Lolos?”
“Ya, patah hati dan minggat dari istana. Begitulah orang muda...”
Ceng Ceng terdiam, dia merasa terharu. Heran juga dia mengapa Pangeran Yung Hwa dapat jatuh cinta kepada seorang gadis yang belum pernah dilihatnya! Jatuh cinta hanya karena mendengar berita tentang kecantikan dan segala kebaikan Puteri Syanti Dewi! Lucu juga, pikirnya.
Perjalanan dilanjutkan dengan cepat karena mereka berkuda. Oleh karena Ceng Ceng menyamar sebagai pria berkumis, maka biar pun Tek Hoat yang kehilangan gadis itu sudah cepat mengerahkan kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong untuk mengejar dan mencari, namun hasilnya sia-sia. Dan di sepanjang perjalanan itu, biar pun ada banyak mata-mata pemberontak yang melihat mereka, namun tidak ada yang menduga bahwa ‘pemuda ganteng berkumis’ itu adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicari-cari.
Tentu saja Tek Hoat merasa menyesal bukan main, karena dia menganggap gadis itu merupakan orang penting sekali untuk dapat menemukan Syanti Dewi yang hilang dan dia hanya dapat menyumpah-nyumpah.....
Selanjutnya baca
KISAH SEPASANG RAJAWALI : JILID-09