Istana Pulau Es Jilid 08

ISTANA PULAU ES : JILID-08
Han Ki memandang kedua arca Maya dan Siauw Bwee dengan mata bersinar-sinar penuh kegembiraan. Kedua arca yang berdiri di dekat arcanya sendiri itu amat memuaskan dirinya. Arca-arca itu sudah jadi, persis seperti kedua orang sumoi-nya yang amat dikasihinya. Ia bukan kagum akan hasil seni yang diciptakan tangannya, melainkan kagum akan kecantikan kedua orang sumoi-nya. Baru sekarang ia dapat memandangi kecantikan kedua orang gadis remaja itu sepuas hatinya.
Memang hebat! Sukarlah menentukan siapa di antara keduanya yang lebih cantik. Kadang-kadang tampak Maya lebih cantik, akan tetapi kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia harus mengakui bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar biasa hebatnya dan menyinarkan kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa jantungnya berdebar, apa lagi ditambah bibir yang seolah-olah mengandung senyum penuh arti itu.

Gerakan halus di belakangnya pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok pun Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia mengenal benar gerakan halus kedua orang sumoi-nya, malah dapat membedakannya. Apa lagi ada keharuman yang khas pada diri masing-masing dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga yang sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoi-nya karena dia tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.

“Suheng...” 

Han Ki menoleh tersenyum. “Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu selesai.”

Maya berlutut di dekat suheng-nya. “Suheng, arca siapakah yang terindah di antara tiga buah arca ini?”

Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda, “Tentu saja arcaku sendiri!” 

“Ah, Suheng sombong!”

Han Ki hanya tertawa. 

“Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?” 

Han Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemudian terdengar suaranya menggoda karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu, “Wah, tentu saja arcamu lebih cantik.”

Wajah yang manis itu berseri. Pandang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis memikat. “Suheng...,” Maya menyentuh lengan suheng-nya, “Benarkah engkau anggap aku paling cantik?”

Han Ki menatap wajah sumoi-nya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya, kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh, “Engkau memang cantik jelita, Sumoi.” 

“Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?” Pertanyaan ini makin manja dan Maya mendekatkan mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam, bibir itu terbuka sedikit, tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu seperti agak terengah. 

Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya berdebar dan jakunnya bergerak ketika ia menelan ludah, “Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini, Maya.” 

Maya memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki, suaranya menggetar berbisik, “Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini.”

“Maya...!” Han Ki membantah kaget. 

Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan. “Suheng, bukankah aku lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?” 

“Maya-sumoi...!” 

Maya sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan suheng-nya dan berbisik, “Suheng, aku bersedia menjadi pengganti Hong Kwi... aku... Suheng, bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta padamu...?”

Kali ini benar-benar Han Ki terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang tengadah itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyentuh pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya mengusir gairah nafsu yang menyesakkan dada. 

“Suheng...!” Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.

“Maya-sumoi, jangan...!” Han Ki berkata dan melepas kedua lengan yang merangkul pinggang itu, melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoi-nya. Kini ia telah menguasai nafsunya dan matanya memancarkan pandang mata penuh teguran. 

“Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!”

“Suheng..., Aku... cinta padamu, Suheng...” 

“Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!” 

Maya memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah dan naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan lari ke luar sambil terisak. 

Han Ki memejamkan mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan kemudian ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintainya! Dan biar pun Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan sikap dengan terang-terangan, namun ia dapat menduga bahwa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia? Ah, cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi? 

Namun ahhh.... dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu birahi menguasainya, membuat ia ingin memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan... ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula, semudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka! 

“Kau... kau mata keranjang!” Han Ki menampar kepalanya sendiri.

Terbayanglah wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya memperhalus tiga buah arca itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua kali Siauw Bwee menjenguknya, kemudian mengajaknya makan setelah bertanya mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh.

“Aku tidak lapar dan tidak mengantuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauwmoi, tinggalkan aku sendiri.”

Pada jengukannya yang ke dua, Siauw Bwee ragu-ragu dan memandang suheng-nya, kemudian berkata, “Ini tentu kesalahan suci entah apa sebabnya!” 

Han Ki terkejut, akan tetapi menindas perasaannya dan menoleh. “Mengapa engkau, berpendapat demikian?”

“Kulihat Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya dan menghiburnya dia malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang terjadi?” 

“Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri, Sumoi!” 

Sejenak Siauw Bwee berdiri di belakangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih, “Engkau kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?” 

“Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!” 

“Suheng, selama lima tahun kita tinggal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Suci menangis. Suheng, engkau... engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, di samping ibuku yang entah berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut berduka...”

Han Ki memejamkan mata, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan berkata, “Engkau ini aneh-aneh saja, Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kau buat? Telah selesaikah?” Dia sengaja membelokkan percakapan untuk mengalihkan perhatian sumoi-nya itu.

“Sudah, Suheng. Layar yang kau beri sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu!”

Han Ki tersenyum. “Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang di sana.” 

“Aku ingin menagkap kijang.”

”Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pembiakannya tidak terganggu.” 

“Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman di sini.”

Han Ki berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoi-nya. “Apa? Di sini ada aku dan suci-mu, dan engkau hendak mencari kijang untuk teman?”

Siauw Bwee menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik, “Aku... aku kadang-kadang merasa kesepian, Suheng, terutama sekali... sekarang ini....” Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan tubuhnya dan lari pergi.

“Hei...! Khu-sumoi...?” Han Ki memanggil akan tetapi dara itu tidak menoleh dan lapat-lapat Han Ki mendengar sumoi-nya itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Perempuan...!” gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.

Hatinya makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kedua sumoi-nya itu. Untuk melupakan perasaannya, semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah arcanya.

Pada keesokan harinya barulah pekerjaannya selesai dan selagi ia hendak beristirahat, tiba-tiba ia terlonjak bangun karena mendengar suara desir angin yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah suara pukulan-pukulan dengan tenaga sinkang yang kuat. Biasanya desir angin pukulan itu terdengar di waktu kedua sumoi-nya berlatih, akan tetapi sekali ini desir angin hebat itu diseling suara bentakan-bentakan nyaring orang bertempur.

Ia merasa heran dan khawatir sekali, cepat meloncat bangun dan melesat ke luar dari Istana Pulau Es. Ketika tiba di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua orang sumoi-nya sudah saling serang dengan hebatnya! Pohon tumbang dan batu berhamburan dilanggar angin pukulan kedua sumoi-nya yang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih. Sekali ini mereka bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang sungguh-sungguh, setiap serangan mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih bersikap mengalah dan lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya menyerang seperti seekor singa betina kehilangan anaknya.

“Maya...! Siauw Bwee...! Berhenti...!” Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.

Akan tetapi ia tertegun dan menghentikan larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu saling serang dari jarak dekat, tidak hanya mengandalkan sinkang seperti tadi, melainkan menggunakan jari-jari tangan mereka yang lihai dan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, totokan-totokan yang mengancam nyawa! Akan tetapi yang membuat Han Ki tertegun adalah jeritan mereka yang saling menuduh. 

“Engkaulah yang membuat suheng berduka! Engkau sungguh seorang adik yang tidak mengenal budi!” 

“Dan engkau... engkau yang menjadi biang keladinya sehingga dia tidak dapat menerima cintaku!” Maya membalas dengan teriakan marah.

“Begitukah? Kalau benar dia mencintaku, sepatutnya kau tahu diri!” balas Siauw Bwee. 

“Kau perempuan tak bermalu!” 

“Engkau yang tidak tahu malu!” 

“Sumoi... ! Jangan berkelahi!” Han Ki berteriak keras dan tubuhnya mencelat menangkis sambil mengerahkan tenaga. Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw Bwee terlempar ke belakang, terpental dan terhuyung-huyung. 

“Kau... membelanya...!” Siauw Bwee berkata sambil menangis. 

“Kau... kau... melemparku dahulu, kau... benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!” Maya juga menangis. 

“Ahh, Maya-sumoi dan Khu-sumoi, apakah kalian berdua telah menjadi gila? Hentikan permusuhan gila ini! Aku... aku... ahhh...!” Han Ki menjambak rambutnya sendiri dan ingin pula dia menangis!

“Suheng! Berterus teranglah, apakah engkau mencinta Maya-suci?” Siauw Bwee bertanya.

“Suheng, engkau bilang aku paling cantik di dunia ini! Bukankah engkau mencintaku? Ataukah... engkau cinta kepada Sumoi?” Maya juga menuntut jawaban pasti. 

Wajah Han Ki menjadi pucat. Kemudian ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya karena pandang matanya terasa berkunang-kunang. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak tahu... aku tidak tahu. Kalian adalah kedua orang sumoi-ku, seperti adik-adikku sendiri... aku tidak cinta siapa-siapa...!”

Ia hanya mendengar isak tertahan dan mendengar berkelebatnya gerakan tubuh mereka pergi dari situ. Dia tidak peduli, bagi dia asalkan kedua orang dara itu tidak saling serang pada saat itu, cukuplah. Akan tetapi ketika sampai lama dia tidak mendengar gerakan mereka, ia membuka kedua tangannya dan memandang. Kedua orang dara itu tidak tampak lagi dan keadaan di sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin karena angin yang bertiup membawa datang salju-salju tipis.

Ia mulai merasa khawatir, lalu melangkahkan kaki mencari kedua orang sumoi-nya, khawatir kalau-kalau mereka itu pergi untuk melanjutkan pertandingan mati-matian di bagian lain dari pulau itu. Akan tetapi mereka tidak ada di pulau dan betapa kaget hatinya ketika melihat dua buah perahu berlayar, jauh dari pantai, yang sebuah ke barat, yang sebuah lagi selatan. Ia mengenal perahu lama dengan layar hitam itu membawa Maya menuju ke barat, sedangkan yang sebuah lagi adalah perahu buatan Siauw Bwee, dengan layar kuning meluncur pergi membawa dara itu ke selatan!

Han Ki berlari ke pantai, berteriak nyaring, “Sumoiiii...!”

Akan tetapi samar-samar dia hanya melihat kedua orang sumoi-nya itu menoleh dan melambaikan tangan, kemudian tangan yang melambai itu menyentuh muka, seperti menghapus air mata! Tak terasa lagi kedua mata Han Ki menjadi basah dan dia memandang sampai kedua buah perahu itu lenyap dari pandang matanya. Di dalam hatinya, semenjak tinggal di situ dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke dunia ramai. Akan tetapi kini kedua orang sumoi-nya, dua orang yang paling dicintainya di dunia ini, meninggalkan Pulau Es, menempuh hidup menghadapi dunia ramai yang penuh bahaya.

Teringat dia akan cita-cita kedua orang sumoi-nya membalas dendam, dan terbayanglah dia betapa sumoi-sumoi-nya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar. Betapa mungkin ia mendiamkan saja kedua orang yang dikasihinya itu terancam bahaya di sana? Tidak, dia harus pergi menyusul, membantu mereka dan kalau mungkin mengakurkan mereka. Akan tetapi mungkinkah ini? Betapa pun juga, dia harus menyusul mereka dan berusaha.

Setelah dua buah perahu itu tidak tampak lagi, Han Ki mengalami perasaan yang selama hidupnya belum pernah dirasainya, yaitu perasaan hati kosong dan nelangsa, seolah-olah semangat dan segala gairah hidupnya terbang melayang dibawa pergi bayangan dua buah perahu yang ditumpangi Maya dan Siauw Bwee. Lenyaplah semua gairah dan kegembiraan hidup, seolah-olah kegembiraan hidupnya selama ini berada di tangan kedua sumoi-nya itu. Han Ki menjatuhkan diri duduk di pantai. Ia termenung, hatinya kosong, sedangkan pikirannya melayang-layang jauh mencari-cari dan terkenanglah ia akan keadaan hidupnya selama ini.

Semenjak kecil ia sudah sebatang kara, seorang diri di dunia ini dan selama itu ia selalu gembira, tidak pernah merasa kehilangan sesuatu. Kemudian pengikatan cinta kasihnya dengan Sung Hong Kwi membuat ia merasa sengsara dan menderita kehilangan karena dipisahkan dari orang yang dicintanya itu. Namun rasa sengsara itu terobati ketika ia tinggal di pulau ini bersama kedua orang sumoi-nya. Semua rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua orang sumoi-nya itu. Dan sekarang timbul pula keruwetan karena cinta, dan akhirnya dia menderita lebih hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan Pulau Es, meninggalkan dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu Kek Siansu, gurunya yang bijaksana.

“Han Ki, segala hal yang menimpa dirimu kelak, jangan kau persalahkan keadaan di luar dirimu, karena sesungguhnya yang menjadi sebab dari pada akibat yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri. Carilah sebab-sebabnya pada dirimu sendiri dan dengan jalan itu engkau akan dapat memperbaiki diri dan mengenal kekotoran diri sendiri. Mengenal cacat diri pribadi jauh lebih penting dan berharga dari pada mengenal cacat selaksa orang lain.”

Teringat akan petuah ini, Han Ki mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi karena dalam menderita kekosongan hati dan kehilangan ini lapat-lapat terngiang di telinganya petuah gurunya mengenai hal ini.

“Segala peristiwa merupakan mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling menyambung, saling mengikat dan saling menjadi sebab. Segala macam perasaan suka-duka, gembira, marah, puas, kecewa dan lain-lain hanyalah permainan dari pada rasa sayang diri dan iba diri. Yang mau bersuka tentu akan bertemu dengan duka. Ingatlah, Han Ki, bahwa senang bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia yang MEMILIKI saja yang akan KEHILANGAN! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa datang kewajiban paksa yaitu MENJAGA karena di depannya terbentang mengerikan jurang KEHILANGAN. Karena ada dan tiada itu saling mengait, yang ada tentu akan tiada, sebaliknya yang tiada tentu akan ada, maka yang memiliki tentu akan kehilangan! Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki, sudah tentu saja akan menderita duka di waktu kehilangan. Oleh karena itu, Han Ki, berbahagialah si bijaksana yang TIDAK MEMILIKI APA-APA, karena dia akan bebas dari pada suka mau pun duka!”

Han Ki termenung mengerutkan alisnya. Betapa tepat petuah gurunya itu, betapa cocok dengan keadaan hidupnya. Bahkan ia yakin bahwa wejangan itu cocok pula dengan kehidupan semua manusia.

Orang yang tidak mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir kehilangan kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal khawatir kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan, itu akan menimbulkan duka.

Seperti dia sekarang, karena dia memiliki kedua orang sumoi-nya, mencintainya, maka kini kehilangan dan menimbulkan duka nestapa di hatinya, menyesal kecewa dan suka! Dahulu pun, karena dia memiliki Sung Hong Kwi, mencintainya, dia menjadi berduka ketika kehilangan. Andai kata dia tidak memiliki kesemuanya itu, pasti sekarang dia akan tetap hidup tenang gembira!

“Janganlah kita sampai dikuasai nafsu, Han Ki. Sebaliknya kita harus menguasai nafsu perasaan sehingga kita mempunyai tanpa memiliki. Pada lahirnya kita mempunyai namun batin kita tidak terikat sehingga batin kita tidak tergoncang sewaktu yang kita punyai itu hilang, karena hal itu sudah wajar. Mata batin yang sadar sudah menjadi waspada, melihat sesuatu berlandaskan kewajaran sehingga tidak lagi menjadi kaget, tidak menjadi duka karenanya. Menang dan kalah sudah menjadi rangkaian maka wajarlah. Berkumpul dan berpisah wajar pula. Tidak ada hal aneh di dunia ini yang patut disesalkan.” 

Han Ki menghela napas panjang. Melamun dan mengenangkan kembali semua wejangan gurunya yang merupakan obat yang amat mujarab karena kini dia merasa hatinya ringan, tidak seberat tadi, sungguh pun gundah gulana yang menyesak dada tidak mungkin dapat lenyap. Bukan hanya karena kehilangan dua orang yang dicintainya, melainkan karena kedua orang sumoi-nya itu membawa ganjalan hati yang rumit, membawa dendam dan permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara remaja terhadap dirinya!

Mulai saat itu bangkitlah semangat Han Ki dan dia lalu membuat sebuah perahu. Beberapa pekan kemudian berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana, meninggalkan Pulau Es, meninggalkan tiga buah arca yang seolah-olah kini menggantikan mereka menghuni Istana Pulau Es yang mereka tinggalkan.

Kalau hati Han Ki merana karena ditinggal pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia terasa kosong olehnya, hati Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh cemburu terhadap sumoi-nya. Dia mencintai suheng-nya. Melihat sikap suheng-nya selama lima tahun dia tinggal di Pulau Es, dia pun merasa yakin bahwa suheng-nya mencintainya. Bukan hanya mencinta seperti seorang suheng terhadap sumoi-nya, melainkan cinta seorang pemuda terhadap seorang dara!

Hal ini diketahuinya benar atau diduganya penuh keyakinan. Menyaksikan sikap dan pandang mata Han Ki, juga ketika suheng-nya mengukir arcanya, jari-jari tangan suheng-nya itu penuh perasaan dan amat mesra, sehingga ketika ia menonton suheng-nya bekerja menyelesaikan arcanya, dia merasa seolah-olah jari tangan suheng-nya itu bukan meraba-raba arca, melainkan meraba dan membelai tubuhnya sendiri, membuat ia merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi, mengapa suheng-nya tidak mau mengaku cinta? Apakah karena di sampingnya ada Siauw Bwee?

Hatinya kecewa, penasaran, dan mengkal. Maka larilah dara ini kepada cita-citanya. Dia harus memenuhi cita-citanya. Dia harus membalas dendam keluarganya. Membalas kematian ayah bundanya, membalas kehancuran kerajaan ayahnya. Dia akan membalas dendam kepada Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung, terutama sekali Kerajaan Sung karena selain kerajaan ini ikut bertanggung jawab atas kehancuran Kerajaan Khitan dan tewasnya ayah bundanya, juga Kerajaan Sung telah menewaskan pek-hu-nya, Menteri Kam Liong, dan telah membikin sengsara pula kepada suheng-nya, Kam Han Ki.

Dia harus membalas Kerajaan Sung, inilah tugasnya yang paling penting. Biar pun dia tidak tahu bagaimana caranya membalas dendam kepada sebuah kerajaan, namun dia akan mencari cara itu, dan tidak akan berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Dia percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi dan dia tidak takut menghadapi siapa pun juga di Kerajaan Sung!

Perahunya berlayar terus ke barat. Sampai keesokan harinya, dia belum melihat daratan besar, hanya bertemu dengan pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada keesokan harinya, menjelang tengah hari, ia terkejut melihat sebuah mayat manusia terbawa ombak berlalu di dekat perahunya. Mayat seorang laki-laki yang berpakaian tentara! Maya cepat lari ke pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya bahwa bukan hanya sebuah itu saja mayat yang terapung di laut karena segera tampak banyak sekali mayat manusia di samping bagian-bagian perahu yang pecah dan peralatan perang yang terbawa hanyut oleh ombak. Siapakah mereka?

Tentara mana dan mengapa perahu mereka pecah dan mereka semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat itu tampak luka-luka bekas senjata tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang mengakibatkan semua ini, pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap membubung tinggi di sebelah kiri perahu, agak jauh dari situ.

Maya cepat mengatur kemudi dan membelokkan perahunya menuju ke arah asap yang membubung tinggi. Perahunya melawan ombak dan tak lama kemudian tampaklah olehnya penyebab asap itu. Kiranya ada beberapa buah perahu terbakar dan di atas lautan yang bergelombang itu tampak olehnya pertempuran yang dahsyat antara dua pasukan di atas perahu-perahu besar dan kecil yang bergerak-gerak naik turun oleh ombak. Udara yang digelapkan oleh asap itu penuh dengan anak panah yang beterbangan ke sana-sini mengeluarkan bunyi bersuitan dan amat banyak bagaikan hujan saling menyerang musuh kedua pihak.

Tampak pula panah-panah yang dipasangi kain berminyak yang bernyala-nyala menyambar perahu-perahu dan terbakarlah perahu-perahu yang terkena panah berapi ini. Dahsyat dan mengerikan, bising oleh suara anak panah, suara api memakan perahu, dan suara teriakan-teriakan manusia sedang berjuang melawan maut. Mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu-perahu, ada yang terapung-apung, ada pula yang terluka dan belum mati terlempar ke laut. Teriakan mereka melolong-lolong karena ngeri menghadapi maut di laut, sungguh menyayat hati.

Banyak sekali di antara prajurit yang tadinya dengan gagah berani menghadapi maut melawan musuh, setelah kini berada dalam cengkeraman maut yang berada di tengah gelombang lautan, menjerit-jerit dan minta tolong seperti seorang pengecut yang penakut. Memang ada kalanya orang yang berani mati menghadapi ancaman maut di tangan senjata tajam musuh menjadi ketakutan menghadapi ancaman maut ditelan air. 

Maya memandang semua itu dengan hati tertarik. Aneh-aneh sekali. Dia tidak merasa ngeri atau takut! Pengalaman-pengalamannya setelah Kerajaan Khitan hancur, ketika dia dibawa pasukan Khitan yang berkhianat di bawah pimpinan bekas pengawal Bhutan, amatlah hebatnya sehingga perang bukan merupakan hal yang baru baginya.

Dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula berperang! Dia tidak tahu siapa yang berperang, akan tetapi dia ingin membantu pihak yang terdesak! Karena itu Maya mempercepat perahunya menghampiri daerah perang yang mengerikan itu, dan matanya memandang penuh perhatian. Ketika ia melihat sebuah perahu besar seperti perahu perang dikepung oleh banyak perahu-perahu kecil, ia mendekatkan perahunya ke tempat itu.

Kagum hatinya menyaksikan beberapa orang berpakaian perwira dan anak buahnya mempertahankan perahu besar itu. Setiap kali ada prajurit dari perahu-perahu kecil itu berhasil meloncat ke atas perahu besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh terluka. Gerakan para perwira di atas perahu besar menunjukkan bahwa mereka memiliki kegagahan dan kepandaian lumayan. Akan tetapi serangan anak panah yang seperti hujan lebatnya telah merobohkan banyak anak buah perahu besar sehingga di atas dek perahu besar itu telah bertumpukan mayat-mayat prajurit.

Hanya beberapa orang perwira yang masih sempat mempertahankan diri, menggunakan golok besar atau pedang untuk menangkis semua anak panah yang menyambar ke arah diri mereka. Di antara beberapa orang perwira itu, ada dua orang yang amat mengagumkan hati Maya.

Mereka itu amat gagah perkasa, bukan hanya melindungi diri sendiri namun juga orang ini membagi-bagi perintah dan berusaha melindungi anak buah mereka dengan pedang mereka yang panjang. Seorang di antara mereka yang berpakaian amat indah dan gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya sebagai seorang panglima besar, berjenggot panjang dan sudah putih.

Ada pun orang kedua adalah seorang berpakaian panglima muda yang brewok dan gagah perkasa, yang berjuang bahu-membahu dengan Si Panglima Besar. Namun keadaan mereka itu amat terdesak, tidak hanya karena pihak musuh yang amat banyak jumlahnya, yang meloncat dari perahu-perahu kecil yang mengepung perahu besar, akan tetapi juga karena para anak buah mereka itu sibuk memadamkan perahu besar yang sudah terbakar sebagian!

“Gak-goanswe (Jenderal Gak), engkau sudah memberontak terhadap Kerajaan Sung, dan sekarang telah terkepung. Menyerahlah!” terdengar teriakan dari perahu-perahu kecil.

Mendengar ini segera timbul rasa suka di hati Maya terhadap jenderal yang agaknya memberontak terhadap pemerintah Sung ini. Inilah kesempatannya untuk membalas, pikirnya. Yang berperahu besar itu adalah seorang jenderal dengan anak buahnya yang memberontak dan lawan mereka adalah tentara Kerajaan Sung yang harus dibasminya!

Dengan dayungnya, Maya lalu mendayung perahunya menuju ke tengah medan pertempuran. Ada anak panah yang menyeleweng dan menyambar ke arahnya, akan tetapi hanya dengan kebutan tangan ia berhasil meruntuhkan semua anak panah dan akhirnya ia dapat mendekatkan perahunya ke perahu besar setelah melalui kobaran api yang memakan perahu. Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet, tubuhnya mencelat ke atas perahu besar.

“Basmi tentara Sung yang lalim!” teriaknya dan sekali menggerakkan kaki tangan, tiga orang tentara Sung yang mengeroyok panglima besar pemberontak itu roboh.

Dengan cekatan sekali Maya merampas sebatang golok dan sebatang pedang, lalu mengamuklah sang dara perkasa ini yang membuat Si Jenderal melongo. Baru sekarang ini ia menyaksikan seorang dara jelita yang masih remaja, bersilat secara aneh, tangan kiri mainkan golok dengan ilmu golok sedangkan tangan kanan mainkan pedang dengan ilmu pedang.

Dalam waktu beberapa menit saja, lima orang pengeroyok roboh dan tubuh mereka mencelat ke luar dari perahu besar, terjatuh ke laut karena ditendang kaki-kaki yang kecil mungil itu! Setelah kepungan terhadap diri Sang Jenderal itu berkurang sehingga Sang Jenderal dengan leluasa dapat bergerak melindungi dirinya, Maya lalu meninggalkannya untuk mengamuk dan membabati tentara musuh yang mulai membakar layar perahu besar.

Amukannya hebat sekali dan setelah golok dan pedang rampasannya yang buruk itu rusak-rusak, ia menangkap tengkuk leher seorang perwira Sung yang berhasil naik ke perahu besar, kemudian merampas pedang dan sarung pedangnya yang indah, dan sekali menggerakkan tangan ia melempar tubuh sang perwira Sung dari perahu besar pula. Kini dara perkasa itu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri.

Akan tetapi di sebelah belakang perahu besar terjadi keributan hebat. Maya cepat menengok dan alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan pemandangan aneh. Dua orang laki-laki yang tubuhnya menempel satu sama lain, dua orang dampit, mengamuk dan membantu tentara kerajaan Sung! Gerakan mereka tangkas dan aneh sekali. Maya segera teringat akan cerita suheng-nya akan sepasang manusia dampit yang amat lihai, bersembunyi di tempat keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu perwira pemberontak yang brewok, yang gagah perkasa menerjang marah kepada sepasang orang dampit yang merobohkan banyak anak buahnya.

Perwira muda itu menerjang dengan pedang panjangnya, menyerang dua orang yang tubuhnya menjadi satu dan bersambung di bagian punggung. Akan tetapi Si Dampit itu lihai bukan main karena empat buah tangan mereka bergerak secara berbareng dan tahu-tahu pedang di tangan panglima muda itu telah dirampas, pundak Si Panglima Muda dicengkeram dan di lain saat Sang Panglima Muda pemberontak sudah ditawan dan dikempit dalam keadaan lumpuh tertotok!

“Tawan dan bawa dia ke sini!” terdengar perintah dari sebuah di antara perahu kecil. 

Maya menjadi marah sekali. Begitu melihat sepasang manusia dampit, sudah timbul kebenciannya, apa lagi melihat mereka telah menawan panglima muda pemberontak yang sedang dibelanya. Maka ia pun merobohkan para pengeroyok dengan pedangnya yang digerakkan secara luar biasa cepatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke arah sepasang orang dampit, pedangnya menyambar, sekaligus membabat dua buah kepala orang dampit itu.

“Wuuuuttt... tranggg...!” 

Maya terkejut karena tenaga manusia-manusia dampit itu ternyata amat kuat sehingga pedangnya tergetar. Namun manusia dampit itu lebih kaget lagi karena pedang dara yang ditangkis itu kini telah melakukan gerakan melengkung dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah empat buah kaki mereka. Cepat mereka meloncat ke atas dan Maya mendapat kenyataan bahwa dua orang dampit itu tidak saja kuat sinkang-nya, akan tetapi juga amat lihai ginkang-nya.

“Lepaskan dia...!” Maya membentak dan mengirim serangan bertubi-tubi.

Selama berada di Pulau Es, dia dan sumoi-nya paling tekun mempelajari ilmu pedang dan ilmu pedang yang mereka latih bersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek Siansu, hebatnya bukan main. Baru sinar pedangnya saja sudah berbahaya sekali, dapat merobohkan lawan, apa lagi kini ia mendesak dari jarak dekat!

Sepasang manusia dampit itu tadinya memandang rendah dan mengandalkan tiga buah tangan mereka untuk melawan Maya, karena yang sebuah mengempit tubuh Si Panglima Muda. Namun sepasang senjata di kedua tangan Maya, yaitu pedang dan sarung pedangnya, amatlah hebat gerakannya. Selain aneh gerakannya juga cepat bukan main dan mengandung tenaga sinkang yang dingin menusuk tulang. Setiap kali senjata kedua orang dampit itu bertemu pedang di tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan terdengar seorang di antara mereka yang kepalanya botak, berseru,

“Gadis siluman!”

Orang ke dua yang berambut riap-riapan berseru, “Loncat turun, bawa dia lari!”

Si Kepala Botak yang mengempit tubuh panglima muda dengan tangan kanannya membuat gerakan maut, dibantu oleh kaki Si Rambut Panjang yang juga mengenjot tubuhnya. Karena loncatan mereka digerakkan oleh enjotan empat buah kaki, tubuh mereka melayang cepat ke luar dari perahu besar. Mereka meloncat ke atas atap sebuah perahu kecil dan terus melompat dari situ ke perahu lain, agaknya hendak membawa tawanan mereka ke perahu dari mana tadi terdengar suara perintah pemimpin mereka.

Akan tetapi Maya juga meloncat, gerakannya seperti burung walet, amat cepatnya melakukan pengejaran. “Ke mana kau hendak lari, setan dampit?” bentaknya, pedangnya berkelebat menyambar dari belakang.

Si Rambut Panjang yang berada di sebelah belakang menangkis dengan pedangnya, kemudian sisihannya sudah melompat lagi, kini tidak melompat ke perahu, melainkan melompat ke... air! Maya terkejut, mengira bahwa Si Dampit hendak terjun ke air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena biar pun dia pandai berenang, namun kepandaiannya di air tidaklah boleh diandalkan untuk melawan musuh lihai seperti Si Dampit itu.

Akan tetapi ternyata bahwa Si Dampit itu tidak menceburkan diri ke air, melainkan hinggap di atas mayat seorang tentara yang sudah mati, yang mengapung di air dengan menelungkup! Maya menyambar cepat, hinggap di atas kayu pecahan perahu dan pedangnya menyambar, akan tetapi Si Dampit sudah melompat lagi menggunakan mayat itu sebagai tempat loncatan. Dari perbuatan ini saja dapat dibayangkan betapa lihai Si Dampit ini dan betapa tinggi ginkang-nya. Namun Maya tidak kalah cepat dan terus loncat mengejar, bahkan menyusul, dan selagi tubuh mereka di udara, ujung pedangnya yang menyambar dengan cepat menusuk lengan Si Botak yang mengempit tubuh perwira yang melawan itu.

“Aduhhh...!” Si Botak berteriak dan tentu saja kempitannya terlepas.

Maya yang menangkis serangan pedang Si Rambut Panjang dengan sarung pedangnya berjungkir balik di udara, menggigit pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan seperti seekor burung elang menyambar kelinci sudah mencengkeram leher baju Si Panglima Muda dan kembali berjungkir balik, tubuhnya melayang ke atas sebuah perahu. Dari situ kembali ia berloncatan menggunakan pecahan perahu, mayat-mayat tentara, dan atap-atap perahu yang sedang terbakar, langsung ke perahu besar. Dia masih sempat membebaskan totokan Si Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya itu ke atas dek perahu, kemudian memutar senjatanya menghadapi para musuh yang mengeroyok sambil berkata,

“Tai-ciangkun, lekas putar perahu dan tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi anjing-anjing Sung ini!” Panglima tinggi yang merasa bersyukur melhat pembantunya selamat merasa kagum bukan main. Ia lalu berkata, “Li-hiap... harap memperkenalkan nama yang mulia...”

“Cepat putar perahu!” Maya menjawab tanpa memperkenalkan nama.

Dia mengamuk amat hebat sehingga para pengeroyok menjadi gentar dan mereka berlompatan meninggalkan perahu besar yang mulai diputar kemudinya. Perahu itu telah dapat dipadamkan dari bahaya kebakaran, sedangkan sisa pasukan musuh pun sudah berloncatan ke air! Mereka tak memperhitungkan lagi, pokoknya mereka dapat lari dari dara perkasa yang seperti setan itu!

Kegembiraan besar karena dia dapat membunuhi tentara-tentara Sung membuat Maya seperti seekor harimau haus darah. Dia meloncat pula meninggalkan perahu besar, mengejar dan mengamuk dari perahu ke perahu sehingga pasukan Sung menjadi kacau-balau dan terdengarlah perintah menyuruh perahu-perahu kecil untuk mundur!

Akhirnya tempat itu menjadi sunyi. Perahu besar panglima yang memberontak sudah pergi jauh, perahu-perahu kecil pasukan Sung sudah pergi semua. Yang tampak hanya perahu-perahu terbakar, pecahan-pecahan perahu, mayat-mayat manusia yang mulai bergoyang-goyang karena kakinya disambari ikan hiu, dan rintih tangis mereka yang terluka dan masih belum mati. Ada yang meronta-ronta di air berusaha berenang menyelamatkan diri, ada yang terapung di pecahan-pecahan perahu.

Maya berdiri di atas sebuah balok pecahan tiang perahu, pedang di tangan, berdiri tegak dengan wajah berseri, dadanya turun naik, napasnya agak memburu karena dia telah mengeluarkan banyak tenaga. Baru sekarang terasa betapa lelahnya tubuhnya, dan betapa perih kaki di paha kirinya karena serempetan golok para pengeroyok yang ketika ia mengamuk tadi tidak dirasakannya.

Tiba-tiba dara perkasa itu menjerit kaget. Balok yang diinjaknya terbalik dan terseret ke bawah dan tentu saja tubuhnya terlempar ke air! Ia gelagapan dan pedang serta sarung pedang terpaksa dibuangnya karena ia membutuhkan kedua tangannya untuk berenang. Akan tetapi tiba-tiba kakinya terpegang atau tergigit sesuatu, lalu tubuhnya diseret ke dalam air. Ia berusaha meronta, akan tetapi karena memang bukan ahli di air, ia gelagapan, minum air laut dan tak lama kemudian tubuhnya tenggelam.....
********************
Kita tinggalkan dulu Maya yang terancam bahaya maut tanpa ia ketahui sebabnya dan kita tengok keadaan Pek-kong-to Tang Hauw Lam Si Golok Sinar Putih, suami Mutiara Hitam yang tekun menggembleng kedua orang muridnya, yaitu Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Pekerjaan ini dilakukan dengan amat tekun oleh Tang Hauw Lam yang seolah-olah sudah mati perasaan dan kemauannya akan hal lain. Memang sejak ditinggal mati isterinya yang tercinta, Mutiara Hitam yang gugur ketika berusaha membalas kematian kakak kembarnya Raja Talibu dari Kerajaan Khitan, dan menyerbu Kerajaan Mongol, Tang Hauw Lam kehilangan gairah hidup. Kalau saja tidak ada dua orang muridnya dan tidak hendak memenuhi pesan terakhir isterinya tercinta agaknya pendekar ini lebih baik memilih mati menyusul isterinya.

Kini ia mencurahkan seluruh kepandaiannya mengajar kedua orang muridnya yang dilatih sesuai dengan kitab-kitab peninggalan isterinya sehingga dalam waktu lima tahun saja kedua orang murid itu telah memperoleh kemajuan hebat dan telah dapat mewarisi hampir semua kepandaian Mutiara Hitam! Tentu saja mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan mendiang subo mereka, kalah latihan dan kalah pengalaman. Namun tidaklah terlalu dilebih-lebihkan kalau dikatakan bahwa pada masa itu, sukarlah dicari pemuda-pemudi remaja yang memiliki ilmu kepandaian setinggi kedua orang murid Mutiara Hitam ini.

Akan tetapi dalam keadaan tiada semangat dan selalu terbenam kedukaan dan kerinduan terhadap isterinya seperti itu, tubuh Tang Hauw Lam menjadi kurus kering dan wajahnya selalu muram dan pucat. Bekas pendekar besar ini tiada bersemangat pula untuk memperhatikan kedua muridnya kecuali dalam pelajaran ilmu silat yang ia turunkan, sama sekali tidak memperhatikan hal lain dan sama sekali tidak memperhatikan soal pendidikan. Bekas pendekar besar yang sekarang seperti pohon layu kekeringan itu lupa bahwa kedua orang muridnya telah mulai dewasa, dan bahwa dalam usia seperti itu mereka bukan lagi kanak-kanak, perlu pembatasan di dalam pergaulan mereka.

Setelah mendapat kenyataan bahwa tingkat kepandaian kedua orang muridnya itu telah cukup tinggi, mulailah dia menurunkan ilmu pedang yang dahulu membuat Mutiara Hitam terkenal sekali, yaitu Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Ilmu pedang yang diturunkannya kepada murid perempuannya Ok Yan Hwa ini telah ia pelajari dari kitab peninggalan Mutiara Hitam, dan dalam melatih ilmu pedang ini Tang Hauw Lam sengaja menyerahkan Pedang Iblis yang betina kepada Yan Hwa.

Pada waktu yang sama, ia menyerahkan Pedang Iblis yang jantan kepada Can Ji Kun dan mengajarkan ilmu pedang yang bersumber dari Ilmu goloknya yang dahulu membuatnya amat terkenal, yaitu Ilmu Golok Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar Putih). Dengan tingkat kepandaiannya yang amat tinggi, bekas pendekar besar ini mampu mengubah ilmu goloknya menjadi ilmu pedang dan menurunkan ilmu pedang ini kepada Ji Kun. Akan tetapi tentu saja untuk melengkapi ilmu kedua orang muridnya, dia mengajarkan kedua ilmu pedang itu kepada mereka, hanya berpesan agar Yan Hwa khusus memperdalam Siang-bhok Kiam-sut, sedangkan Ji Kun memperdalam Pek-kong Kiam-sut.

Setahun lamanya kedua orang muda itu menggembleng diri sehingga akhirnya mereka dapat menguasai ilmu pedang masing-masing dan sepasang pedang yang kini diserahkan kepada mereka itu benar-benar amat luar biasa. Kalau mereka berlatih, terdengar bunyi berdesingan dan tampaklah kilat menyambar-nyambar menyilaukan mata. 

Tang Hauw Lam benar-benar tidak peduli sama sekali akan pendidikan moral murid-muridnya. Di samping mengajarkan ilmu silat, ia hanya selalu tekun besemedhi. Sebab itu bekas pendekar ini tidak tahu akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam perhubungan kedua orang muridnya.

Kekuasaan alam menguasai dua orang yang telah dewasa itu dan mulailah mereka itu saling tertarik. Masa kanak-kanak mereka lewat sudah. Menjelang kedewasaan mereka, masing-masing merupakan daya tarik yang luar biasa dan karena mereka hidup terasing, maka tanpa pengawasan terjadilah hal yang tidak aneh, yaitu kedua orang suheng dan sumoi ini mulai bermain dengan asmara!

Tang Hauw Lam baru terkejut bukan main ketika pada suatu malam, secara tidak sengaja ia mendapatkan kedua orang muridnya itu sedang saling bermain cinta, saling bercumbu seperti kelakuan dua orang suami isteri!

“Ji Kun! Yan Hwa!” bentaknya dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak lebar penuh kemarahan. 

Kedua orang muda itu terkejut, saling melepaskan pelukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan suhu mereka yang marah. Sampai lama Tang Hauw Lam tak dapat berkata-kata, kemudian kemarahannya mereda dan jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya karena apa yang dilakukan kedua orang muridnya itu menimbulkan rindu yang makin hebat, mengingatkan ia akan isterinya yang telah tiada. 

“Ahhh... dua orang muridku...? Ahhh, betapa isteriku akan kecewa sekali... aku... aku telah gagal mendidik kalian....” Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Dengan terhuyung ia memasuki kamar di pondoknya dan bersila, memejamkan mata melawan kehancuran hatinya.

Pada keesokan harinya Tang Hauw Lam dikejutkan suara ribut-ribut beradunya pedang dan angin pukulan yang berdesir-desir. Ia menjadi kaget. Kalau berlatih, bukan seperti itu gerakan pedang kedua orang muridnya. Sekali ini kedua pedang itu bergerak dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, gerakan orang bertempur mati-matian.

Ia meloncat. Tubuhnya terhuyung lemah karena pukulan batin yang diterimanya selama ini membuat tubuh bekas pendekar yang sudah lemah itu menjadi makin lemah. Ketika ia tiba di luar pondok, Tang Hauw Lam terkejut bukan main melihat kedua orang muridnya itu telah bertanding mati-matian dengan pedang di tangan. Sepasang pedang iblis itu mereka pergunakan untuk saling serang dengan hebat! Apakah yang telah terjadi dengan sepasang orang muda yang semalam saling melimpahkan kasih sayangnya satu sama lain?

Ternyata bahwa ketika gurunya mempergoki perbuatan mereka dan mengundurkan diri dengan penuh kemarahan dan kedukaan, dua orang ini lalu saling menyalahkan. Semalam suntuk mereka bercekcok, saling menuduh telah mulai dengan permainan cinta mereka, menuduh masing-masing lebih dulu mulai merayu dan memikat.

Percekcokan menjadi makin sengit ketika masing-masing menyatakan bahwa ilmu pedangnya lebih lihai, pedang masing-masing lebih ampuh. Karena pertengkaran itu makin memuncak sehingga kemarahan mereka melampaui besarnya cinta kasih mereka, tak dapat dicegah lagi kedua orang muda yang masih berdarah panas ini lalu saling membuktikan keunggulan masing-masing dengan jalan mengadu ilmu secara mati-matian!

Baru sekali ini mereka bertanding sungguh-sungguh, dan anehnya, begitu kedua pedang mereka saling bentrok, seolah-olah ada kekuasaan gaib yang membuat mereka menjadi makin penasaran dan tidak akan merasa puas sebelum memperoleh kemenangan. Seolah-olah mereka menjadi lebih marah dan lebih panas hatinya, timbul keinginan untuk keluar sebagai pemenang tanpa memperhitungkan lagi bagaimana harus mengalahkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Anehnya, setelah bertanding, seolah-olah lenyap semua cinta kasih di antara mereka, bahkan lenyap pula semua persoalan saling menyalahkan sehingga malam tadi mereka kepergok suhu mereka. Kini yang ada hanyalah ingin menang! Ingin membuktikan bahwa ilmu pedangnya lebih tinggi dan pedang di tangannya lebih ampuh!

Sebagai seorang ahli, sekali pandang saja Tang Hauw Lam maklum bahwa kedua orang muridnya itu tidaklah sedang berlatih atau main-main, melainkan saling serang dengan dahsyat dan mati-matian. Pandang matanya berkunang, kepalanya pening karena apa yang disaksikannya ini merupakan pukulan batin ke dua yang hebat, yang menimbulkan kemarahan, kedukaan, penasaran dan kekecewaan. Juga dia terkejut bukan main karena dia seolah-olah tidak melihat kedua orang muridnya yang bertanding, melainkan Mahendra dan Nila Dewi, dua orang tokoh India yang membuat Sepasang Pedang Iblis itu! Wajah kedua orang muridnya itu mengeluarkan sinar yang sama, sinar mengerikan yang haus darah!

“Ji Kun! Yan Hwa! Berhenti bertanding...!” Ia berseru sambil lari cepat menghampiri kedua orang muridnya.

Akan tetapi seruannya itu sekali ini tidak seperti biasa pengaruhnya. Biasanya setiap seruannya tentu akan diperhatikan dan ditaati oleh kedua orang muridnya itu. Akan tetapi seruan dan perintahnya sekali ini sama sekali tidak dlgubris, tidak ditaati, bahkan kedua orang muridnya saling menyerang semakin dahsyat.

“Ji Kun! Yan Hwa! Kalian masih tidak mau berhenti?” Tang Hauw Lam yang menjadi marah sekali ini meloncat ke depan dan menerjang maju. Ia melihat betapa kedua pedang muridnya itu membuat gerakan saling menusuk. Ia tidak peduli dan cepat menerjang di tengah-tengah antara mereka sambil mendorongkan kedua tangannya ke kanan kiri.

Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa mengeluarkan pekik tertahan. Tubuh mereka terlempar ke belakang dan masing-masing memandang suhu mereka yang berdiri tegak, kedua tangan mendekap lambung kanan kiri yang masih menyemburkan darah melalui celah-celah jari tangan yang menutup kedua luka itu! 

“Suhu...!” Kedua orang muda yang agaknya seperti baru sadar dari mimpi itu menjerit berbareng dan keduanya menangis terisak-isak. 

“Suhu... harap Suhu bunuh saja teecu...” Can Ji Kun meratap. 

“Suhu, bunuhlah teecu yang berdosa...!” Ok Yan Hwa juga berkata dengan suara merintih. 

Sepasang mata Tang Hauw Lam melotot memandang ke arah sepasang pedang di atas tanah. Pedang itu dilepas oleh kedua orang muridnya setengah dilempar seolah-olah mereka jijik menyaksikan pedang yang berlumuran darah suhu mereka dan sepasang pedang yang terjatuh dalam jarak berpisahan satu meter itu tiba-tiba sudah bergerak seperti saling tarik dan kini bagian gagang mereka saling melekat! Dia memang tahu akan sifat pedang-pedang itu, yaitu bagian mata pedang saling tolak akan tetapi bagian gagang saling tarik!

“Sepasang Pedang iblis! Pedang-pedang terkutuk... aaahhhh...!” 

“Suhu... teecu berdosa...!” Ji Kun berkata pula, penuh penyesalan. 

“Suhu, bunuh saja teecu...!” Yan Hwa juga meratap lagi. 

Tang Hauw Lam menunduk, memandang kedua muridnya. Kemarahannya lenyap dan kini ia tersenyum! “Tidak, kalian tidak sengaja... dan... dan terima kasih... aku girang sekali... akan dapat berjumpa dengan subo kalian... akan tetapi kalian... ahh, hati-hatilah... pedang-pedang itu terkutuk... aaahhh!” Wajah yang berseri itu memucat, matanya memandang ke atas, lalu ia tersenyum lebar. “Kwi Lan... isteriku, engkau masih menunggu aku...? Ha-ha, tunggulah, kekasihku, aku datang...!” Tubuhnya terguling.

Kedua orang muridnya menubruk dan ternyata Tang Hauw Lam telah tewas, matanya terbuka, mulutnya tersenyum dan tarikan wajahnya berseri penuh bahagia!

“Suhu...!” Ok Yan Hwa terguling roboh pingsan dan Can Ji Kun hanya dapat menangis, sebentar memeluk mayat suhu-nya, kemudian bingung hendak menyadarkan sumoi-nya. 
Tiga hari kemudian setelah mengubur jenazah suhu mereka yang mereka bawa ke Bukit Merak di Khitan dan dikuburkan di sebuah makam bersama Mutiara Hitam, kedua orang ini berpamit dari Gu Toan si bongkok yang menjaga kuburan keluarga itu dan yang membantu mereka mengubur jenazah Tang Hauw Lam sambil menghela napas penuh duka. Ji Kun dan Yan Hwa lalu berpisah, membawa pedang masing-masing.

“Sumoi, mengapa kita harus berpisah? Engkau tahu bahwa kalau kita berpisah, kita berdua akan menderita, akan saling merindukan...” Can Ji Kun mencoba untuk membujuk sumoi-nya setelah berhari-hari ia membujuk dengan sia-sia. 

Yan Hwa menggeleng kepala dengan duka. “Tidak, kita telah berdosa. Dosa yang timbul karena kita berkumpul menjadi satu. Kalau dekat denganmu, aku akan selalu teringat akan dosaku terhadap Suhu, Suheng. Sebaiknya kita berpisah.” Ucapan itu dikeluarkan dengan suara tegas, namun mengandung kedukaan. 

“Sumoi, bukankah engkau cinta padaku seperti besarnya cintaku kepadamu?” 

Yan Hwa mengangguk. “Tidak kusangkal, akan tetapi cinta kita baru bersih dan membawa bahagia kalau engkau sudah mengakui keunggulan ilmu pedang dan po-kiam-ku (pedang pusakaku).”

Tiba-tiba sinar mata penuh kasih sayang lenyap dari mata pemuda itu, terganti sinar penasaran. “Akan tetapi, Sumoi. Mana bisa itu? Jelas bahwa ilmuku lebih tinggi darimu, pedangku juga tidak kalah. Ingat, aku suhengmu, sudah semestinya lebih lihai darimu!” 

“Hemm, kita lihat saja! Ingin bukti? Mau melanjutkan yang dahulu?”

Ji Kun bergidik, teringat betapa pertemuan di antara mereka mengorbankan nyawa suhu mereka. Sungguh pun hal itu terjadi tanpa mereka sengaja karena keduanya sedang diamuk penasaran dan kemarahan dan mereka juga tidak mengira bahwa suhu mereka demikian lemah dan lambat gerakannya sehingga termakan pedang mereka, namun peristiwa ini takkan pernah terlupa dan tetap akan menjadi tekanan batin dan perasaan berdosa.

“Cukuplah, Sumoi. Kalau engkau menghendaki perpisahan di antara kita, baiklah. Akan tetapi, kita akan menderita...” 

“Aku akan kembali kepadamu setelah kuperdalam ilmuku, kembali untuk mengalahkan engkau dan setelah kau mengakui keunggulanku, baru aku suka menyambung kembali hubungan cinta kita.”

“Gila...!” Ji Kun berseru akan tetapi ia pun merasa betapa yang gila dan berbeda pendapat seperti itu bukan hanya sumoi-nya, melainkan dia sendiri juga! Dia baru akan merasa puas dan cintanya takkan terganggu apa bila sumoi-nya mau tunduk dan mengaku kalah terhadapnya. 

Maka berpisahlah kedua orang muda yang saling mencinta itu, sama sakali mereka tidak sadar bahwa mereka telah berada dalam cengkeraman kekuasaan gaib dari Sepasang Pedang Iblis yang seolah-olah telah kemasukan roh dari Mahendra dan Nila Dewi. Dan pada waktu itu, kembali dunia kang-ouw kemasukan dua orang muda yang berilmu tinggi, yang mengambli jalan masing-masing, namun yang keduanya memiliki pedang pusaka yang haus darah, memiliki sebatang Pedang Iblis!
********************
Agar tidak tertinggal terlalu lama dan jauh, marilah kita ikuti perjalanan Khu Siauw Bwee, seorang dara lain yang melakukan perjalanan seorang diri meninggalkan Istana Pulau Es dan meninggalkan hatinya pula yang seolah-olah tertinggal di pulau itu menemani suheng-nya yang diam-diam ia cinta sepenuh hatinya, Kam Han Ki! Dengan hati merana dan kosong, Siauw Bwee melayarkan perahu buatannya, menuju ke selatan. Seperti juga suci-nya ia ingin mengobati sakit hatinya dengan pelaksanaan cita-citanya.

Pertama, dia ingin mencari ibunya yang dahulu mengungsi ketika ayahnya, mendiang Panglima Khu Tek San yang gagah perkasa, bersama suhu-nya, Menteri Kam Liong yang sakti melakukan usaha nekat, yaitu membebaskan Kam Han Ki dari dalam penjara istana. Kemudian ia akan menuntut balas atas kematian ayahnya. Akan tetapi dia tidak berpemandangan sepicik suci-nya, tidak mendendam kepada Kerajaan Sung, melainkan kepada Suma Kiat, jenderal yang lalim itu bersama semua kaki tangannya.

Setelah melakukan palayaran selama belasan hari, barulah ia melihat daratan luas membentang di sebelah barat, maka ia lalu mendayung perahunya ke pantai. Dia berniat memasuki dunia ramai di daratan yang luas itu, maka perahunya sedianya akan ia tinggalkan begitu saja. Akan tetapi, ketika perahunya tiba di pantai ia melihat banyak nelayan di pantai, maka berkatalah ia kepada para nelayan yang datang menyambutnya dengan heran karena melihat seorang dara remaja dan jelita mendarat seorang diri, “Paman sekalian tentu dapat menggunakan dan memanfaatkan perahu ini. Aku suka menukarnya dengan seekor kuda yang baik. Siapa suka?”

Para nelayan membelalakkan mata. Sebuah perahu yang biar pun amat sederhana namun kuat buatannya itu ditukar dengan kuda? Tentu saja banyak yang mau, maka berlarianlah mereka yang memiliki kuda dan tak lama kemudian di situ telah terdapat belasan ekor kuda yang dituntun oleh pemiliknya masing-masing. 

Siauw Bwee memilih seekor kuda berbulu hitam yang besar. “Aku memilih kuda ini. Pemiliknya boleh mendapatkan perahuku.” 

Pemilik kuda itu seorang petani tua. Dengan wajah berseri ia menyerahkan kudanya kepada Siauw Bwee. “Nona, banyak terima kasih. Penukaran ini amat menguntungkan aku. Akan tetapi, hati seorang tua seperti aku akan selalu merasa tidak enak kalau tidak berterus terang. Nona, apakah Nona pandai menunggang kuda?”

Nelayan itu jujur sekali tampaknya dan Siauw Bwee juga menjawab secara jujur, “Aku tidak pandai, Lopek. Akan tetapi ketika masih kecil dahulu, lima tahun yang lalu, aku pernah belajar menunggang kuda.”

Nelayan tua itu menggeleng kepala. “Kalau begitu, biar pun hatiku amat menyesal karena tidak jadi mendapat keuntungan, aku tidak dapat melakukan penukaran ini, Nona. Silakan memilih lain kuda saja.” 

Siauw Bwee memandang heran. “Mengapa, Lopek?” 

“Kudaku ini adalah kuda liar, Nona. Belum lama kutangkap dari hutan. Amat sukar ditunggangi karena belum jinak. Aku sendiri, dan semua teman yang di sini belum ada yang mampu menundukkan dan menjinakkannya. Aku khawatir kalau Nona dilemparkan jatuh.” 

Siauw Bwee mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kejujuran nelayan ini. Tahulah dia bahwa watak orang-orang pantai seperti juga orang-orang dusun di pegunungan yang sederhana dan dianggap bodoh ternyata jauh lebih baik dari watak orang-orang kota yang menganggap diri pintar! Ia tersenyum manis dan berkata, “Lopek, aku memerima kudamu ini dan aku tidak akan menyesal andai kata aku sampai dilemparkan dan mati sekali pun.”

“Nona...!” Beberapa mulut para nelayan berseru mencegah. 

“Biarlah kucoba keliarannya!” Siauw Bwee berkata, memegang kendali kuda dan bagaikan seekor burung, tubuhnya sudah meloncat naik ke punggung kuda hitam besar itu.

Benar saja kata-kata Si Nelayan. Kuda itu meringkik, lalu meloncat tinggi, melengkungkan punggungnya mengipat-ngipatkan tubuh. Ketika nona itu masih tetap duduk di atas punggungnya, ia lalu berdiri di atas kedua kaki belakang, menggoyang-goyang tubuh dan meringkik-ringkik, berusaha menoleh untuk menggigit orang yang menduduki punggungnya.

Para nelayan berlari menjauhi, takut tergigit atau tertendang. Akan tetapi mereka melongo menyaksikan betapa nona jelita itu masih tetap di atas punggung kuda dengan tegak duduk menggunakan kedua kaki menjepit perut kuda. Ketika kepala kuda menoleh hendak menggigit, tangan Siauw Bwee bergerak menamparnya. Setiap kali menoleh kuda itu ditampar dengan pengerahan sedikit sinkang, sementara tubuhnya ditekan sehingga kuda itu tidak kuat menahan dan roboh mendeprok dengan penunggangnya masih tetap di atas punggung!

“Dia jinak, Lopek,” kata Siauw Bwee sambil melompat turun. Kini kuda itu dapat berdiri lagi, empat buah kakinya gemetaran, akan tetapi dia menundukkan kepala dengan mata melirik takut ketika Siauw Bwee mengelus bulu di kepalanya.

“Hebat... bukan main... siapakah... siapakah Nona...?” tanya nelayan itu. Kini mukanya, seperti muka teman-temannya, memperlihatkan sikap hormat dan takut.

“Selamat tinggal Lopek!” Siauw Bwee meloncat ke atas punggung kudanya yang meringkik perlahan dan melambaikan tangan. “Lupakan aku, aku hanya seorang gadis pengembara biasa!” Ia menyepak perut kudanya dan kuda itu meringkik lagi lebih keras, lalu meloncat ke depan dan lari cepat sekali, diikuti pandang mata para nelayan yang melongo.

Hati Siauw Bwee girang sekali. Kuda itu ternyata kuat dan tangkas, dapat berlari cepat dan tidak pernah mogok atau rewel. Biar pun melalui padang rumput yang hijau dan gemuk ia tidak berhenti sebelum dihentikan. Berhari-hari Siauw Bwee menunggang kuda, naik turun gunung dan masuk keluar hutan lebat.

Pada suatu hari ia melihat seorang laki-laki berlari di sebelah depan. Ia heran dan juga girang. Heran melihat di tempat sunyi itu, di dalam hutan, ada seorang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup lumayan, dan girang karena dia yang mulai merasa bingung karena tidak mengenal jalan dan sudah berhari-hari tidak pernah bertemu manusia atau dusun kini bertemu orang yang tentu akan dapat ia tanyai arah ke kota raja Kerajaan Sung.

Ia mempercepat larinya kuda untuk mengejar orang itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu menghilang di sebuah tikungan yang penuh pohon. Siauw Bwee mengejar sampai ke tempat itu dan menghentikan kudanya. Orang itu hilang tanpa meninggalkan jejak! Ia memandang ke kanan kiri, kemudian mendengar makian nyaring dari atas! 

“Setan! Siluman! Keluarlah kalau memang kalian memiliki kegagahan dan lawanlah aku, Hui-eng Liem Hok Sun!” 

Siauw Bwee mengangkat muka memandang dan ia terheran-heran. Orang yang dikejarnya tadi kini telah terjerat dalam sebuah jala dan tergantung di dahan pohon besar, meronta-ronta dan memaki-maki kalang-kabut. Diam-diam Siauw Bwee merasa geli hatinya melihat orang yang berjuluk Hui-eng (Garuda Terbang) itu kini seperti seekor garuda dalan sebuah sangkar!

Orang yang terjerat itu melihat Siauw Bwee melotot dan siap memaki-maki, akan tetapi ia melongo ketika melihat bahwa yang datang menunggang kuda adalah seorang dara remaja yang cantik jelita.....

Akhirnya Siauw Bwee yang membuka mulut lebih dulu, bertanya sambil tersenyum, “Sobat, kau sedang apa di situ? Mengapa terjala seperti ikan? Ataukah engkau memang seekor burung dalam kurungan?” Godaan Siauw Bwee ini timbul ketika mendengar julukan orang itu dan melihat bahwa orang itu adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, mukanya memperlihatkan kekasaran seorang yang jujur dan penuh keberanian.

Mendengar ucapan yang bernada mengejek ini, pemuda itu makin membelalakkan mata saking marahnya. Tangannya keluar dari celah-celah jala menuding ke arah muka Siauw Bwee, mulutnya terbuka lebar mengeluarkan kata-kata keras. “Eh, bocah cilik nakal! Apakah ini perbuatanmu? Jangan main-main kau! Aku bukan harimau atau beruang yang boleh kau jerat seperti ini. Hayo lepaskan aku, kalau tidak aku akan...” 

“Kau akan apa? Melepaskan diri sendiri pun tidak mampu, masih banyak lagak hendak mengancam orang!” Siauw Bwee makin suka menggoda menyaksikan orang kasar itu. “Dan biar pun engkau bukan harimau atau monyet, akan tetapi engkau adalah seekor burung tolol yang mudah dijerat, hi-hik!” 

“Eh, bocah! Lepaskan aku! Jangan main-main kau. Apakah engkau ini bocah yang baru turun di dunia kang-ouw sehingga tidak mengenal julukanku Hui-eng yang sudah terkenal di seluruh jagad?” 

Siauw Bwee tidak membenci orang itu. Malah sebaliknya, dia suka kepada orang yang kasar, jujur dan agaknya memiliki kepandaian lumayan ini dan berniat menolongnya. Kalau tadi ia menggodanya adalah karena tertarik melihat sikap orang itu. Akan tetapi, ketika ia berniat meloncat turun dan menolong membebaskan orang yang meronta-ronta dan berteriak-teriak itu, tiba-tiba telinganya mendengar gerakan banyak orang mendatangi dari jauh. Ia cepat memutar kudanya dan pergi dari situ.

“Heee! Siluman betina! Kau hendak pergi ke mana? Lepaskan dulu aku, baru boleh pergi. Kalau pergi dulu, siapa yang akan membebaskan aku? Aku... aku ngeri melihat ke bawah...!” Akan tetapi Siauw Bwee tidak peduli dan cepat membawa kudanya bersembunyi, lalu ia kembali ke tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan mengintai.

Tak lama kemudian, di tempat itu telah datang serombongan orang yang membuat Siauw Bwee bengong keheranan memandang mereka. Mereka itu terdiri dari dua belas orang, sembilan laki-laki dan tiga orang wanita. Melihat sikap mereka membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi, dan pakaian mereka pun biasa saja. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah bahwa mereka semua hanya berkaki satu, alias buntung kaki kanan mereka! Sebagai pengganti kaki, mereka itu memakai tongkat bercagak yang mereka kempit di ketiak kanan. Biar pun mereka itu semua berkaki satu, namun mereka dapat melangkah cepat dan gerakan mereka sigap sekali, bahkan ketika mereka berdiri di bawah Hui-eng Liem Hok Sun yang tergantung di pohon, mereka berdiri tegak dengan sikap penuh wibawa.

Liem Hok Sun Si Garuda Terbang juga memandang ke bawah dan kini mulailah dia mengerti bahwa agaknya bukan Si Dara Jelita tadi yang menjeratnya, melainkan orang-orang berkaki buntung ini. Dia memang kasar, akan tetapi tidak bodoh dan dia pun maklum bahwa orang-orang buntung itu lihai sekali. Karena tidak mempunyai permusuhan dengan mereka bahkan tidak mengenal mereka, dia diam menutup mulut dan menanti perkembangan selanjutnya. 

“Susiok, kita kesalahan menjerat orang lain!” Seorang di antara tiga wanita itu berkata kepada seorang kakek berusia lima puluh tahun yang agaknya menjadi pimpinan rombongan. 

Kakek itu memandang tajam penuh perhatian kepada Liem Hok Sun, kemudian mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sayang sekali bukan seorang anggota mereka yang terjerat. Akan tetapi karena dia sudah berkeliaran di sini sampai terjerat, siapa tahu dia adalah bala bantuan dan mata-mata yang dikirim kaum tangan satu. Kita bawa dia menghadap Suhu.” 

Mendengar percakapan itu, Hok Sun berteriak-teriak, “Hei, saudara-saudara yang di bawah, dengarlah! Aku Hui-eng Liem Hok Sun, selamanya tidak ada permusuhan dengan kalian, juga tidak tahu-menahu siapa itu golongan lengan satu dan kaki satu! Lepaskan aku dan biarkan aku pergi!” 

“Pergilah kalau bisa!” Seorang berkaki buntung yang kelihatannya juga kasar dan berwatak dogol berkata. Dalam persembunyiannya Siauw Bwee menahan ketawanya. Nah ketemu batunya kau, orang kasar, pikirnya.

Hok Sun melotot. “Sudah terang terjerat, mana bisa pergi? Totol amat kau! Coba lepaskan jerat ini, tentu aku akan dapat pergi!” 

Orang kasar berkaki satu itu tertawa bergelak, “Benarkah? Baru ada aku seorang saja di sini, engkau si goblok ini mana bisa pergi, apa lagi di sini sekarang terdapat Sam-susiok! Coba kita lihat, bagaimana engkau akan pergi!” Setelah berkata demikian, tubuh yang berkaki satu mencelat ke atas, tongkatnya membabat dan....

“Brettt!” tali yang menggantung tubuh Hok Sun putus dan tubuh Si Kasar itu melayang jatuh ke bawah.

Akan tetapi ternyata ginkang Hok Sun sudah cukup tinggi sehingga dia tidak terbanting jatuh, melainkan turun dengan kedua kakinya ringan menyentuh tanah. Setelah membuang jerat dari tubuhnya, Hok Sun menggerakkan tubuh hendak meloncat pergi karena dia tidak ingin membalas kepada belasan orang yang ia tahu lihai itu. Akan tetapi, begitu meloncat tampak sinar berkelebat dan tongkat kakek kaki buntung bergerak, tahu-tahu tubuh Hok Sun jatuh tersungkur! Si Kaki Buntung yang kasar tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha! Pergilah! Pergilah, hendak kulihat bagaimana engkau dapat pergi!”

Liem Hok Sun meloncat bangun, mukanya merah saking marahnya. “Eh kalian ini orang-orang buntung kaki mengapa begini tidak tahu aturan? Apakah kalian mau menantang berkelahi?” 

Kakek yang menjadi susiok rombongan itu manjawab, suaranya halus namun nadanya kereng. “Kami tidak ingin berkelahi, akan tetapi engkau harus ikut bersama kami, untuk sementara menjadi tawanan kami sebelum menerima keputusan ketua kami.”

“Aku tidak peduli keputusan ketua kalian! Apa salahku kalian hendak menangkapku?” bantah Hok Sun.

“Kau sudah melanggar wilayah kami, masih pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh melebihi kerbau?” 

“Kalian sungguh tidak memandang aku Si Garuda Terbang!” bentak Hok Sun dan ia sudah menerjang Si Kaki Buntung yang kasar.

Dari tempat persembunyiannya Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa julukan si kasar itu bukanlah kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga dan terjangannya memang seperti seekor garuda terbang, menyerang lawan dari atas. Dan memang orang kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang murid pertapa di Gobi-san yang lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur, akan tetapi ilmu kepandaiannya juga tinggi.

Menghadapi serangan ini, Si Kaki Buntung yang juga sama kasarnya itu cepat menangkis dengan lengan kiri ke arah kaki Hok Sun yang menendang, sedangkan tongkatnya sudah menotok ke arah leher. Namun Hok Sun benar-benar memiliki ginkang yang hebat. Biar pun tubuhnya masih terapung di udara dan sekaligus lawannya menangkis sambil menyerang, namun dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan dengan gerakan tangkas dia telah berhasil menangkap ujung tongkat yang menotok lehernya, kemudian sambil meluncur turun ia mengerahkan tenaganya menarik sehingga lawannya roboh tersungkur!

“Hemm, manusia bandel!” Kakek yang menjadi pimpinan rombongan sudah mencelat ke depan.

Siauw Bwee yang menyaksikan kecepatan gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali gerakannya. Sekaligus kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya, jari-jari tangannya sudah mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan kecepatan yang membingungkan Hok Sun. Biar pun murid dari Gobi-san ini berusaha menangkis dan mengelak namun ia kalah cepat, apa lagi memang gerakan kedua tangan kakek yang menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar biasa anehnya sehingga tahu-tahu Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak dapat berkutik lagi!

“Curang! Kalian manusia-manusia curang. Main keroyokan!” Liem Hok Sun berteriak-teriak, akan tetapi rombongan itu tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor celeng (babi hutan) yang meraung-raung, dibawa pergi dari tempat itu.

Ada yang menarik dalam gerak-gerik para orang buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee menahan keinginan hatinya untuk menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para orang buntung itu bukan seperti sikap orang-orang jahat yang kejam melainkan seperti sikap anak buah perkumpulan yang berdisiplin. Pula dia tertarik menyaksikan gerak tangan kakek buntung tadi, gerak silat yang amat aneh sehingga dia ingin lebih banyak mengetahui tentang orang-orang ini sebelum menolong Si Garuda Terbang. Maka ia tidak tergesa-gesa menolongnya, melainkan mengikuti rombongan yang menggotong tubuh Hok Sun itu dari jauh.

Mereka menyeberangi hutan yang besar dan lebat sekali, kemudian memasuki hutan kecil yang menyambung hutan itu di kaki bukit. Di tengah hutan kecil itu terdapat bangunan yang bentuknya aneh sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu besar dan dari jauh kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar. Ke arah bangunan inilah rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh perhatian, melihat betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh, kemudian melompat dan lenyap! Kakek pimpinan rombongan mengempit tubuh Hok Sun, melompat lebih dulu dan lenyap pula.

Setelah semua orang tidak tampak lagi, Siauw Bwee berindap menghampiri bangunan itu dan ia terheran-heran. Bangunan itu merupakan dinding batu yang amat tebal dan kuat, berbentuk bundar dan sama sekali tidak ada lubangnya! Namun, semua orang tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee merasa penasaran sekali. Ia melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke puncak, memeriksa seluruh permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun! Ke manakah perginya rombongan orang kaki buntung tadi? Tentu ada pintu rahasianya, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi, andai kata ada pintu rahasianya, bagaimana begitu banyak orang dapat masuk semua ke bangunan kecil ini! 

Tiba-tiba Siauw Bwee melayang turun dengan cepat, lalu mencari tempat sembunyi. Dari atas puncak bangunan itu dia tadi melihat serombongan orang berjalan cepat menghampiri bangunan. Ia menyelinap dan mengintai, sekali ini Siauw Bwee benar-benar tak dapat menahan keheranan hatinya.

“Ohh... tidak...! Mimpi burukkah aku...?” Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas. Tidak, dia tidak mimpi.

Akan tetapi adakah yang lebih aneh dari pada semua ini? Tadi ia melihat serombongan orang buntung sebelah kaki kanan, semua buntung dan begitu sama keadaannya seolah-olah kebuntungan mereka merupakan keseragaman! Dan orang-orang berkaki buntung itu mempunyai tempat yang begini aneh, begitu kecil tanpa lubang pintu atau jendela, namun dapat menampung begitu banyak orang!

Dan sebelum semua keanehan itu terbuka rahasianya, kini ia menyaksikan lima orang, empat laki-laki dan seorang wanita, yang kesemuanya buntung lengan kirinya! Begitu sama keadaannya, lengan kiri buntung sebatas pundak, dengan lengan baju sebelah kiri kosong kempis tergantung lepas. Mengerikan!

Seorang di antara lima orang lengan buntung itu membawa sebatang tongkat yang biasa dipakai anak buah rombongan kaki buntung, dan dia agaknya menjadi pemimpin rombongan, karena selain dia paling tua berjenggot panjang dan bersikap angker, juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Ada pun di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung lengan kirinya, menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang anggota rombongan kaki buntung!

Diam-diam Siauw Bwee memandang penuh perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan kaki lima orang itu luar biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur, begitu tegap, begitu kuat dan kokoh, namun begitu ringan membuat dia kagum bukan main! 

Kakek berjenggot yang memegang tongkat Si Kaki Buntung dan menjadi pemimpin rombongan itu menggunakan ujung tongkat mengetuk tujuh kali ke atas dinding bangunan bundar, kemudian meloncat ke belakang. Tak lama kemudian terbukalah lubang di sebelah atas depan bangunan itu dan dari dalam lubang melayang ke luar tiga orang berkaki buntung, yang paling depan adalah kakek yang memimpin rombongan penawan Liem Hok Sun tadi. Kemudian dari belakang bangunan itu keluar pula beberapa orang berkaki buntung, agaknya keluar dari lubang rahasia lain di sebelah belakang. Suasana menjadi tegang dan Siauw Bwee memandang penuh perhatian.

Laki-laki tangan buntung yang tinggi besar tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung yang dikempitnya sehingga Si Kaki Buntung itu terguling di atas tanah, dan secepat kilat pimpinan rombongan lengan buntung menodongkan ujung tongkatnya, yaitu tongkat Si Kaki Buntung yang tertawan, ke jalan darah di punggung orang berkaki buntung itu yang jatuh berlutut dan tidak berani berkutik. Keadaan masih hening, tidak ada seorang pun dari kedua pihak orang-orang bercacat itu yang mengeluarkan suara. Yang paling merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai dan melihat semua itu dari tempat persembunyiannya.

Tiba-tiba wanita berkaki buntung yang ikut meloncat ke luar menggerakkan tangan kirinya, dan ternyata bahwa dialah yang mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah menegur dengan suara penuh kebencian, keras dan dingin, “Apakah kaum lengan buntung kini sudah menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak mematuhi janji? Hari pertandingan masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan memancing keributan dengan menawan seorang anggota kami?”

Kakek yang menodong punggung orang berkaki buntung yang dibawa mereka sebagai tawanan itu tersenyum mengejek, lalu menjawab dengan suara tidak kalah keras dan dinginnya, mengandung kebencian yang sama, “Agaknya di dalam pondok kalian yang buruk tidak terdapat cermin sehingga kalian orang-orang berkaki buntung suka menjelekkan kami yang berlengan buntung. Memang mudah melontarkan tuduhan, mudah menunjuk cacat orang tanpa melihat akan besarnya cacat sendiri, semudah menggoyang lidah yang tidak bertulang. Kami kaum lengan buntung bukanlah orang-orang hina yang suka melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi janji sendiri. Memang tepat sekali, hari pertandingan masih tiga bulan lagi, akan tetapi mengapa seorang anggota kalian yang tidak terhormat ini melanggar wilayah kami dan melakukan penyelidikan?”

Alis empat orang berkaki buntung itu berkerut dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang kepada anak buah mereka dengan mata penuh pertanyaan. Tawanan itu kelihatan ketakutan dan diam-diam Siauw Bwee merasa heran sekali. Tadi ketika menjadi tawanan kaum lengan buntung, tawanan itu tidak kelihatan begitu takut. Dia dapat menduga bahwa tentu kaum kaki buntung itu mempunyai peraturan dan hukum yang keras sekali terhadap anak buahnya yang melanggar peraturan. 

“Tidak... tidak... Suci... dan Suheng... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak melakukan penyelidikan seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan seperti biasa. Aku berhasil melukai seekor kijang yang masih dapat berlari maka aku melakukan pengejaran. Tahu-tahu mereka ini merobohkan aku dengan jalan mengeroyok dan menawanku!” Si Tawanan membantah. 

Kakek berlengan satu tertawa mengejek, “Hemm, mana ada maling mau mengaku?” 

Si Wanita Berkaki Satu menggerakkan tangan kirinya ke atas dan berkata, suaranya mantap dan berwibawa, “Menghadapi perkara tidak boleh mendengar keterangan sepihak saja. Kalau keterangan dua pihak berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat bukti!”

“Baik!” kata kakek lengan satu. “Mari kita lihat buktinya di mana kami menawan anak buahmu!” Tanpa banyak cakap lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima orang dan rombongan kaki buntung yang bersama Si Bekas Tawanan juga berjumlah lima orang sudah pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan! 

Siauw Bwee tertarik sekali dan ingin menyaksikan kelanjutan perkara itu. Akan tetapi mengingat akan nasib Si Garuda Terbang yang dibawa masuk ke dalam bangunan bundar, dan melihat kesempatan baik selagi lubang itu belum tertutup, Siauw Bwee cepat meloncat dan sekaligus menerobos masuk ke dalam lubang itu. Ketika ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan berlantai dan di sudut terdapat dua buah anak tangga yang menurun ke bawah. Tahulah ia sekarang bahwa kiranya bangunan di luar itu hanya merupakan ‘pintu gerbang’ saja yang menyembunyikan tempat tinggal yang agaknya luas sekali, yang tersembunyi di sebelah bawah!

Ia menjadi bingung. Tangga batu yang manakah yang akan membawanya ke tempat Si Kasar itu ditahan? Karena tidak ada jalan lain, Siauw Bwee lalu menuruni tangga yang sebelah kiri. Tak lama kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat seperti diduganya, bagian bawah terdapat ruangan-ruangan yang luas sekali, lorong-lorong yang terbuat dari pada batu dan keadaan di bawah itu merupakan bangunan di bawah tanah seperti istana! 

Siauw Bwee menuruni tangga dengan hati-hati sekali, akan tetapi dia tidak mendengar gerakan apa-apa, juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Jelas ia melihat rombongan yang menawan Liem Hok Sun tadi memasuki bangunan ini, sedangkan tadi yang keluar hanyalah empat orang. Di manakah adanya orang-orang lain? Apakah mereka telah keluar lagi dari pintu rahasia yang lain? Apakah tempat itu kosong?

Dengan sikap hati-hati ia melangkah terus dan tibalah dia di sebuah ruangan yang luas dan bersih sekali. Lantainya dari batu putih dan di sudut terdapat sebuah arca yang melukiskan seorang laki-laki tua bermuka kasar, berdiri dengan tegak akan tetapi kakinya hanya satu karena kaki kanan arca ini pun buntung. Melihat arca ini, Siauw Bwee menduga bahwa agaknya arca inilah arca nenek moyang kaum kaki buntung yang lihai ini.

Tiba-tiba terdengar gerakan halus. Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap waspada dan ternyata dari sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih, laki-laki dan perempuan, semua buntung kaki kanannya. Akan tetapi mereka itu hanya mengepung dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat masing-masing dan sikap mereka menanti, menanti perintah seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek buntung pula yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dan sikapnya berwibawa sekali.

Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kakek inilah yang menjadi ketua mereka, maka ia cepat mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata, “Apakah Locianpwe ketua dari kaum... eh, kaki buntung ini?”

Kakek itu memandang tajam, mengerutkan keningnya dan menjawab singkat, “Benar. Aku adalah Liong Ki Bok, ketua kaum kaki buntung.” 

“Maafkan kalau aku lancang memasuki tempat kediaman kalian ini, Liong-locianpwe. Kedatanganku tidak bermaksud buruk, hanya ingin minta pertimbanganmu agar kalian suka membebaskan si kasar Hui-eng Liem Hok Sun yang sesungguhnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa.”

“Tidak mempunyai kesalahan? Hemm... hal itu harus diputuskan kelak setelah hari pertandingan. Kalau kelak ternyata diakui oleh pihak Si Lengan Buntung bahwa dia bukan mata-mata mereka, kami pun tidak akan mengganggu orang yang tidak berdosa. Akan tetapi, selama ini sampai hari pertandingan tiba di mana persoalan dibikin terang, dia akan menjadi tawanan kami. Juga engkau, Nona.”

Siauw Bwee mengerutkan alisnya, “Apa? Menjadi tawanan selama tiga bulan?” 

“Terpaksa begitulah. Sekarang kami belum dapat mengetahui apakah dia dan engkau pembantu mereka atau bukan. Dia sudah kami tawan dan tak seorang pun dapat membebaskannya. Engkau pun sebaiknya menyerah menjadi tawanan kami.”

“Eh, nanti dulu! Liong-locianpwe, aku tidak mempunyai permusuhan dengan kaum kaki buntung, juga tidak mengenal siapa adanya kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau membebaskan orang yang tidak bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku, hemmm... kurasa tidak akan begitu mudah.”

Terdengar seruan-seruan marah dari semua kaum kaki buntung, dan sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar tajam, “Engkau siapa, Nona? Apakah engkau juga murid Gobi-san seperti orang she Liem itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak ingin bermusuhan dengan partai lain, akan tetapi kami harus berhati-hati terhadap para pembantu kaum lengan buntung.”

“Aku bukan dari aliran atau partai apa pun, namaku Khu Siauw Bwee.” 

“Bagus! Kalau begitu, harap kau suka menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona. Aku sungguh merasa tidak enak kalau harus menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda.” 

“Orang she Liong, kau terlalu sombong, tidak pantas dihormati! Kalau aku tidak mau menyerah, hendak kulihat engkau dapat berbuat apakah?” 

“Suhu, biarkan teecu menawannya!” kata seorang wanita yang usianya sudah lima puluhan tahun dan agaknya dia adalah murid kepala. Kakek itu mengangguk dan berkata, “Hati-hatilah, jangan sampai membuat dia menderita luka parah. Dia hanya seorang bocah yang masih amat muda.”

Nenek itu mengangguk, kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan berdiri di depan Siauw Bwee. “Nona, kami tidak biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau dapat menerima peraturan kami dan menyerahlah. Biar pun engkau menjadi tawanan, engkau akan kami perlakukan dengan baik. Sebaliknya, hendaknya kau ketahui bahwa entah sudah beberapa ratus orang tewas di tangan kami.”

Panas rasa hati Siauw Bwee. Jelas bahwa mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat memandang rendah kepadanya. Ia tersenyum lebar dan menjawab, “Bagus sekali kalau kalian mempunyai pikiran tidak ingin menghina yang muda. Akan tetapi sebaliknya aku pun sama sekali tidak ingin menghina kaum tua, apa lagi yang bercacat. Maka sebaiknya kalau engkau membebaskan Si Kasar itu dan aku akan pergi dari sini agar hatiku tidak menjadi tak enak membikin repot orang-orang tua yang cacat saja.”

“Bocah sombong!” Nenek itu berteriak dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kiri Siauw Bwee.

Cepat bukan main gerakan itu. Akan tetapi Siauw Bwee, murid ke tiga dari Bu Kek Siansu yang telah mempelajari ilmu yang tinggi tingkatnya, cepat miringkan tubuh dan dari bawah jari tangannya menyambar dengan totokan ke arah telapak tangan nenek itu.

“Aihhh...!” Nenek itu berseru kaget, tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah totokan Siauw Bwee.

Gerakan nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar, menotok ke arah lutut kiri Siauw Bwee yang kalau mengenai sasarannya tentu akan membuat gadis itu bertekuk lutut. Namun Siauw Bwee yang sudah melihat betapa gerakan-gerakan nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum bahwa lawannya memiliki gerak tangan yang hebat dalam bersilat. Maka ia berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya. Ketika kembali tangan kiri nenek itu menusuk dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambungnya, disusul tongkat yang menyambar dengan totokan ke arah pundak, dia berkelebat ke kanan dan sengaja menggunakan telapak tangannya menerima tongkat yang menyambar.

“Plakk!” 

“Aihhh...!” Nenek itu kembali berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan kirinya sudah mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan dilakukan dengan kemarahan karena tongkat itu menyerang leher! 

Diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Dalam keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek yang kakinya hanya satu ini masih mampu mengirim serangan dua kali berturut-turut, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Dia mengerti bahwa kiranya kaum kaki buntung ini memiliki ilmu silat yang amat aneh, cepat dan kuat sehingga ilmu silat tangan kiri dan tongkat ini dapat menutup kekurangan karena cacat kaki mereka!

Dia juga mengeluarkan kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biar pun dia agak bingung menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena dia menang dalam tenaga sinkang, pula dalam hal ginkang dia pun lebih unggul, maka dia masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan cepat atau tangkisan kuat. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa kaum kaki buntung ini bukan orang-orang jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam pertentangan ini dialah yang telah mulai lebih dulu, Siauw Bwee tidak ingin mencelakai lawannya dan hanya ingin merobohkan atau mengalahkannya tanpa melukai.

“Hebat...! Luar biasa...! Sukar dipercaya!” Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum kaki buntung itu memberi komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw Bwee.

Siauw Bwee adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan sungguh-sungguh yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika melawan Maya, suci-nya. Maka kini mendengar pujian keluar dari mulut ketua kaum kaki buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin dia memperlihatkan kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk kesekian kalinya menyambar dan kini menyambar ke arah pinggangnya, ia meloncat dan mengeluarkan teriakan keras, tubuhnya melayang ke atas dan kakinya menotol ujung tongkat lawan!

Perbuatan ini selain luar biasa dan membuktikan kemahiran ginkang yang istimewa, juga amat berbahaya. Maka terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan kagum dari pada penonton termasuk ketuanya. Nenek itu penasaran sekali, merasa seperti dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung tongkatnya dan siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah terlepas dari ujung tongkat.

“Wuuuutttt!”

Tubuh dara itu memang terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah langit-langit ruangan batu itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi manusia. Semua orang berdongak memandang terbelalak, melihat betapa dara itu mencapai langit-langit, punggungnya menempel ke langit-langit seolah-olah di punggungnya terdapat perekat ajaib yang melekatkan punggungnya dengan langit-langit.

Siauw Bwee tertawa-tawa mengejek. “Ah, kasihan engkau, nenek cacat. Lebih baik sudahilah saja, untuk apa susah payah melawan orang muda yang lebih panjang napasnya dan lebih kuat tubuhnya?”

Muka nenek itu menjadi merah sekali. Dia adalah murid kepala yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, hanya selisih sedikit dengan gurunya. Kini melawan seorang dara berusia belasan tahun yang tidak ternama, dia dipermainkan seperti itu.

“Bocah sombong keparat!” Ia berseru dan sekali kaki tunggalnya menggenjot lantai, tubuhnya sudah melayang ke atas dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang menempel di langit-langit itu.

“Jangan...!” Sang Ketua berteriak ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia sudah menyaksikan kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali. Kalau seorang dara remaja sudah berkepandalan seperti itu, tentu dapat dibayangkan betapa hebat orang tua atau guru yang berdiri di belakangnya!

Akan tetapi seruannya terlambat dan nenek itu dalam kemarahannya telah menyerang ke atas. Memang saat inilah yang dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu meloncat, ia melepaskan punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur didahului kedua tangannya yang melakukan gerakan mendorong. Dari kedua telapak tangannya itu menyambar angin pukulan yang amat dingin!

“Aihhh...!” Nenek itu menggigil, tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting ke bawah.

Untung tubuhnya disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi begitu kedua tangan sutenya menyambut tubuh itu, ia merasakan pula getaran dingin yang membuatnya menggigil dan kedua kakinya tidak dapat menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan. Betapa pun juga, karena telah ditahan oleh kedua tangan sutenya, tubuh nenek itu tidak terbanting keras. 

Baru saja Siauw Bwee turun, ia mendengar suara mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika suara itu keluar dari sepasang tangan kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu telah menyerangnya tanpa menggunakan tongkat. Dengan sebelah kaki berloncatan kakek ini telah menyerangnya dengan kedua tangan, gerakannya luar biasa anehnya sehingga repotlah Siauw Bwee mengelak. Dara ini makin terdesak dan dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat dia kalah pengalaman, lagi pula harus menghadapi gerakan sepasang tangan yang begitu aneh.

Maka dia lalu mengerahkan tenaga di tangan kiri menangkis. Tubuh kakek itu sampai berputaran ketika lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah kuat sinkang-nya oleh dara penghuni Pulau Es yang hebat ini. Akan tetapi, dalam perputaran ini kedua tangan kakek itu masih bergerak secara luar biasa, membingungkan Siauw Bwee sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan darah di belakang pusar dara itu kena tertotok dengan tepat sekali.

“Celaka...!” Ketua kaki buntung itu berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan dan penyesalan besar. 

Totokan yang dilakukan dalam keadaan tubuh terputar-putar itu memang mengenai jalan darah yang bagi lawan lain tentu akan menimbulkan kematian. Akan tetapi Siauw Bwee yang telah digembleng dengan latihan-latihan sinkang dan besemedhi secara istimewa oleh Han Ki sesuai dengan kitab Bu Kek Siansu, ketika tertotok hanya menjadi gemetar beberapa detik lamanya.

Tadinya dia sudah menjadi marah sekali karena dianggapnya kakek itu kejam, telah mengirim totokan para jalan darah yang menyebabkan kematian sehingga dia sudah mengerahkan sinkang istimewa memulihkan jalan darahnya kemudian dia hendak membalas dengan serangan hebat. Akan tetapi setelah mendengar seruan kakek itu, maklumlah dia bahwa kakek itu tidak sengaja hendak membunuhnya. Timbullah pikirannya untuk menyelidiki keadaan kaum kaki buntung yang aneh ini dan jalan satu-satunya hanyalah berpura-pura mati.

Ketika berlatih sinkang di Istana Pulau Es, suheng-nya telah membikin rahasia ilmu ‘mematikan raga’ yang luar biasa. Kini dia mengeluarkan kepandaiannya ini sehingga tubuhnya menjadi lemas, napasnya dan detik pada nadi tangannya berhenti. Tubuhnya benar-benar seperti dalam keadaan tak bernyawa lagi!

Kakek itu berlutut dengan satu kakinya dan memeriksa pergelangan tangan Siauw Bwee. “Aihh, celaka. Aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Gadis ini luar biasa sekali, kepandaiannya sudah mencapai tingkat lebih tinggi dari pada kepandaianku sendiri! Kalau aku tidak memiliki ilmu silat gerak tangan kilat, agaknya aku sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya. Celaka, aku telah membunuhnya! Biar aku sendiri yang menyimpannya di dalam ruangan jenazah. Dia harus mendapatkan tempat terhormat.”

Setelah menghela napas berulang-ulang, kakek itu lalu memondong tubuh Siauw Bwee lalu dibawanya masuk melalui lorong yang panjang dan agak gelap. Anak buahnya hanya berdiri menonton, tak seorang pun mengeluarkan suara seperti ikut merasa berduka bersama pimpinan mereka. 

Siauw Bwee yang berlagak mati itu diam-diam siap. Kalau sampai tubuhnya akan mengalami bahaya, tentu saja ia akan sadar kembali dan akan melawan untuk menyelamatkan diri. Tadinya dia sudah khawatir kalau-kalau ketua kaum kaki buntung ini membawa ‘jenazahnya’ keluar dari bangunan di bawah tanah, akan tetapi hatinya menjadi lega dan girang ketika kakek itu membawanya ke bagian dalam.

Ketua yang bernama Liong Ki Bok itu memasuki sebuah ruangan yang mendapat penerangan dari lubang yang merupakan celah-celah batu yang menjadi langit-langit ruangan itu. Terdengarlah gerengan menyeramkan. Siauw Bwee terkejut dan hampir dia lupa bahwa dia beraksi mati ketika melihat seekor beruang hitam yang besar menyambut kedatangan Sang Ketua. Akan tetapi ternyata binatang besar itu tidak menyerang, bahkan Liong Ki Bok berkata, 

“Aku membawa mayat baru, Hek-mo. Mayat seorang yang terhormat dan sama sekali bukan musuh kita. Sayang aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Bawa dan letakkan dia di peti teratas, tempat terhormat, peti yang disediakan untuk tubuhku sendiri.” 

Beruang yang bernama Hek-mo (Setan Hitam) itu mengeluarkan suara gerengan. Bagaikan mengerti akan ucapan Sang Ketua, ia menerima tubuh Siauw Bwee dan memondongnya. Tiba-tiba dia mendengar dan merintih dan diam-diam Siauw Bwee terkejut. Manusia mengenal kematiannya hanya dari panas dan darah yang berhenti, akan tetapi binatang memiliki indera ke enam yang luar biasa. Jangan-jangan binatang ini tahu bahwa dia sebetulnya belum mati!

“Memang kasihan sekali dia, Hek-mo, dan aku akan menyesal selama hidupku hari ini telah kesalahan tangan membunuh seorang seperti dia. Cepatlah bawa dia, Hek-mo, aku tidak ingin lama-lama berada di situ melihat korban tanganku yang berdarah!”

Beruang itu lalu berjalan ke dalam diikuti kakek berkaki satu. Diam-diam Siauw Bwee bergidik ketika melihat ruangan sebelah dalam yang diterangi sebuah lampu. Siapa takkan menjadi ngeri dan merasa seram kalau melihat ruangan yang penuh mayat? Di sekelilingnya terdapat lubang-lubang pada dinding dan di setiap lubang berisi sebuah mayat yang sudah kering. Ada puluhan banyaknya lubang-lubang itu, ada yang sudah terisi dan ada pula yang masih kosong. 

Beruang itu membawanya naik ke anak tangga batu, kemudian meletakkan tubuhnya ke dalam sebuah peti kaca yang indah, sebuah peti mati terindah yang berada di situ. Peti mati yang disediakan untuk Sang Ketua kalau kelak ketua itu mati! Sambil rebah di dalam peti, Siauw Bwee mengerling dan melihat ketua itu membalikkan tubuh, memandang sesosok mayat orang tinggi besar yang berdiri menyeramkan di sebalik lubang dekat anak tangga. Bibir Sang Ketua bergerak-gerak seperti orang bicara, akan tetapi suaranya perlahan sekali, berbisik-bisik. Dengan mengerahkan kepandaiannya, Siauw Bwee dapat menangkap bisikan-bisikan itu.

“Orang she Cia, tadinya kusangka bahwa engkaulah orang yang paling pandai yang pernah kutandingi. Kiranya hari ini sangkaanku ini terbantah dan gadis yang baru kubawa masuk ini jauh melampauimu. Ahhh, dan penyesalanku lebih besar dari pada ketika terpaksa membunuhmu.”

Setelah kakek itu melihat bahwa tubuh Siauw Bwee rebah di dalam peti mati kaca dengan baik, dia mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol berupa benda cair berwarna kuning berbau harum ke atas tubuh Siauw Bwee. “Jenazah orang seperti engkau patut diawetkan, Nona yang bernasib malang...”

Kemudian kakek itu meninggalkan ruangan jenazah setelah mengelus kepala beruang sambil berkata, “Hek-mo, kau jagalah baik-baik pintu gerbang ruangan jenazah.”

Mereka keluar dari ruangan itu dan menutupkan pintu besi. Agaknya beruang itu bertugas menjaga ruangan di luar pintu gerbang. Penjaga yang kuat! Siauw Bwee tidak segera bergerak karena khawatir kalau kakek itu kembali lagi. Dia rebah dan diam memperhatikan keadaan ruangan jenazah yang cukup luas itu. Ketika matanya mengerling ke arah mayat tinggi besar yang tubuhnya juga tidak rusak, hanya memakai cawat dan kepalanya gundul, dia bergidik. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya gemetar, semua bulu di tubuhnya meremang dan matanya terbelalak ketika ia melihat mayat orang she Cia itu bergerak! 

Tadinya dia tidak percaya ketika melihat mata mayat itu berkedip-kedip. Hampir saja ia lupa bahwa dia telah ‘mati’ dan tidak semestinya bergerak dan hampir meloncat saking kaget dan ngerinya ketika melihat mayat itu menggerakkan kaki tangannya dan melangkah ke luar dari dalam lubangnya! Mayat itu hidup kembali! Melihat seorang ‘mayat hidup’ di dalam kamar jenazah yang penuh jenazah-jenazah tengkorak dan mayat-mayat kering, tentu saja hal ini merupakan pemandangan yang terlalu berat menguji hati seorang gadis remaja, biar pun memiliki kesaktian seperti Siauw Bwee. Maka dara yang tadinya berpura-pura mati itu kini benar-benar menjadi pingsan!

Setelah siuman kembali, hal pertama yang dilakukan Siauw Bwee adalah melirik ke arah lubang mayat she Cia itu dengan harapan akan melihat mayat itu masih di situ dan tak bergerak, dan bahwa yang dialaminya tadi hanyalah dalam mimpi. Akan tetapi lubang itu kosong! Dengan napas terengah saking ngeri dan takut, Siauw Bwee gadis perkasa yang kini ketakutan seperti kanak-kanak melihat setan itu mengintai dari balik peti mati di mana ia direbahkan dan matanya melotot lebar ketika melihat mayat hidup itu bergerak cepat sekali, berkelebat datang dari sebelah belakang ruangan itu, tangan kanannya membawa sebuah panci besar terisi makanan.

Setelah tiba di ruangan itu, dia makan dengan lahapnya sambil berdiri saja. Akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan suara gerengan seperti terkekeh, lalu ia menggerakkan kaki tangannya. Siauw Bwee menjadi makin ngeri, juga heran sekali menyaksikan bahwa mayat hidup itu memiliki kepandaian yang hebat. Ilmu silatnya luar biasa sekali, kedua tangan bergerak cepat dan tiba-tiba kedua tangan itu menyerang dengan gerakan menggunting dari atas kanan kiri disusul gerakan kaki menyapu dari bawah.

Agaknya jurus itu merupakan jurus terakhir dan mayat hidup itu kini kelihatan girang bukan main. Begitu girangnya sampai terkekeh-kekeh dan berjingkrak-jingkrak menari. Tangannya mengambil makanan dari panci yang tadi ia taruh di atas lantai ketika dia bersilat. Ketika ia mengambil makanan itu dimasukkan ke mulut, Siauw Bwee memandang jelas dan tiba-tiba Siauw Bwee merasa hendak muntah karena melihat bahwa yang dimakan oleh mayat hidup itu adalah tikus-tikus kecil yang berkulit merah!

Karena ingin muntah ini, Siauw Bwee mengeluarkan suara dari tenggorokannya dan tiba-tiba mayat hidup itu melesat seperti anak panah cepatnya dan tahu-tahu telah berdiri lagi di lubangnya seperti tadi. Akan tetapi, mungkin karena tergesa-gesa dan lupa, dia berdiri di tempatnya dengan panci di tangan kiri dan mulutnya masih menggigit seekor anak tikus yang buntutnya melambai ke bawah melalui bibirnya!

Aksi Si Mayat Hidup ini mengusir semua rasa takut dari hati Siauw Bwee. Tidak mungkin di dunia ini ada setan atau mayat hidup yang bersikap seperti itu! Begitu panik dan kembali ke lubangnya secara menggelikan. Hal seperti itu hanya dapat dilakukan orang hidup yang sedang ketakutan atau panik.

Siauw Bwee tertawa dan ia melangkah keluar dari dalam peti kaca. Ketika ia langsung melangkah menghampiri Si Mayat Hidup, hatinya menjadi makin geli melihat betapa ‘mayat hidup’ itu matanya melotot memandang kepadanya dengan kedua kaki menggigil. Siauw Bwee makin geli hatinya, maklum bahwa tentulah mayat hidup yang sebenarnya seorang manusia yang masih hidup itu kini menderita kengerian seperti dia tadi. Tentu orang ini mengira bahwa dialah yang kini menjadi mayat hidup!

Terdorong oleh rasa geli dan kelegaan hatinya mendapat kenyataan bahwa mayat hidup itu hanyalah seorang manusia hidup, timbul kenakalan Siauw Bwee. Dia sengaja menyeringai untuk menakut-nakuti, setelah tiba di depan mayat hidup itu ia tertawa dengan suara mengerikan, “He-he-hi-hi-hiiik! Bangkai ini masih baik, enak diganyang jantungnya!” 

Dengan gerakan dibuat-buat, Siauw Bwee membentuk kedua tangannya seperti cakar setan dan melangkah maju. 

“Hiiiihh!” Kini ‘mayat hidup’ itu tidak dapat menahan kengerian hatinya dan ia meloncat meninggalkan lubangnya, menjauhi Siauw Bwee dan berdiri dengan kedua kaki menggigil.

Siauw Bwee tak dapat bersandiwara terus dan ia tertawa terpingkal-pingkal. “Nah, kau tahu sekarang rasanya orang yang ketakutan menghadapi mayat hidup!” katanya. “Orang she Cia, mengapa engkau pura-pura mati dan berada di tempat ini?”

Orang yang tadinya berdiri menggigil itu menjadi begitu lega hatinya sehingga jatuh terduduk. “Aahhh... sungguh mati. Aku hampir pingsan ketakutan!” katanya. Suaranya besar dan agak parau, agaknya karena sudah lama tidak bicara.

“Aku sendiri tadi sampai pingsan saking takutku melihat engkau sebagai mayat hidup,” Siauw Bwee berkata sambil tertawa geli. 

Orang itu meloncat bangun, gerakannya cepat sekali. “Eh, engkau tadi dibawa si ketua Liong Ki Bok itu ke sini dalam keadaan mati. Orang mati mana bisa pingsan dan mana mungkin sekarang engkau hidup lagi?” 

Siauw Bwee menjebirkan bibirnya. “Tidak meraba kepalamu sendiri! Engkau pun masih hidup, mengapa berada di sini dan beraksi sebagai mayat?” 

Sejenak laki-laki tinggi besar gundul itu memandang Siauw Bwee, kemudian menggeleng kepala dan menghela napas. “Sukar dipercaya... akan tetapi... Liong Ki Bok tadi sudah mengatakan sendiri bahwa kepandaianmu melebihi aku. Hemm, Nona, dengan cara bagaimanakah engkau dapat mengakali Liong Ki Bok yang lihai sehingga engkau disangka mati dan dibawa ke sini?” 

“Mudah saja. Dengan Pi-ki-hoan-hiat (Menutupi Hawa Memindahkan Jalan Darah) aku bisa menghentikan napas dan memindahkan denyut perjalanan darah.”

Mata orang itu terbelalak. “Engkau? Semuda ini sudah pandai melakukan hal itu?” 

“Jangan terlalu memuji, Sobat.” Siauw Bwee segera merasa suka kepada orang ini karena merasa ‘senasib’. “Engkau sendiri pun telah dapat mengakali Liong Ki Bok dan berpura-pura mati.”

“Aku lain lagi. Aku memang hampir mati ketika dibawa ke sini... eh, nanti dulu, Nona. Sebelum aku menceritakan rahasiaku, aku harus mengetahui lebih dulu siapakah Nona dan mengapa Nona menyelundup masuk seperti ini?” 

Siauw Bwee maklum bahwa tentu orang ini mempunyai rahasia besar dan mungkin ia akan dapat menyelidiki keadaan kaum kaki buntung dengan mendengar keterangan orang ini tanpa melakukan penyelidikan sendiri. “Namaku Khu Siauw Bwee dan aku menyelundup ke sini karena hendak menolong seorang bernama Liem Hok Sun yang ditawan oleh orang-orang kaki buntung itu karena dianggap melanggar wilayah mereka.” 

Orang itu mengangguk-angguk. “Engkau benar-benar memiliki keberanian luar biasa, Nona. Nah, dengarlah ceritaku. Seratus tahun lebih yang lalu, nenek moyang tiga empat keturunan dari kaum kaki satu dan lengan satu adalah dua orang saudara seperguruan yang berilmu tinggi. Entah mengapa, kedua saudara seperguruan itu bercekcok sehingga terjadilah pertempuran antara mereka berdua. Pertempuran hebat yang mengakibatkan seorang buntung kaki kanannya dan yang seorang lagi buntung lengan kirinya. Dendam antara kedua orang ini amat hebat. Mereka lalu mengasingkan diri melatih ilmu, juga masing-masing mengambil murid-murid, kemudian mereka berjanji untuk mengadu ilmu setiap tahun, untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka. Karena makin lama jumlah mereka makin banyak, maka permusuhan itu menjadi berlarut-larut dan setiap tahun tentu diadakan pertandingan mengadu ilmu. Demikianlah, keturunan kedua orang itu melanjutkan permusuhan aneh ini dan terbentuklah kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung yang saling bermusuhan.” 

“Akan tetapi, mengapa mereka itu masing-masing dapat mengumpulkan orang-orang kaki buntung dan orang-orang lengan buntung sebanyak itu? Siauw Bwee bertanya heran. 

“Bukan dikumpulkan, Nona. Melainkan dibuat, sengaja dibikin buntung!” 

Mata Siauw Bwee terbelalak lebar. “Apa? Murid-murid mereka dibuntungi sebelah kaki atau lengannya?” 

Orang itu mengangguk. “Begitulah. Syarat pertama menjadi murid kedua kaum ini haruslah dibuntungi kaki atau lengannya.” 

“Apakah mereka gila? Mengapa mau saja dibuntungi kaki atau lengan agar bisa menjadi murid mereka?” 

“Memang banyak orang gila di dunia ini, Nona. Ilmu kaum kaki buntung dan lengan buntung amat terkenal, maka banyak yang tergila-gila dan rela menjadi seorang berkaki buntung atau berlengan buntung asal diterima menjadi murid mereka. Kaum berkaki buntung tinggal di dalam istana bawah tanah ini sedangkan kaum lengan buntung tinggal di balik gunung, di dalam goa-goa batu karang. Kaum kaki buntung ini diketuai oleh Liong Ki Bok, keturunan ke tiga atau empat dari seorang di antara kedua saudara seperguruan yang bermusuhan itu, tentu saja yang menjadi buntung kakinya dalam pertandingan itu. Ada pun kaum lengan buntung diketuai oleh The Bian Le, seorang kakek yang sama lihainya dengan Liong Ki Bok dan juga keturunan dari tokoh yang seorang lagi. Sampai sekarang mereka tetap bermusuhan dan setiap tahun selalu diadakan pertandingan antara mereka.”

Siauw Bwee mengangguk-angguk, kemudian memandang orang itu. “Dan engkau sendiri, kulihat kaki dan tanganmu lengkap, tidak ada yang buntung. Mengapa engkau sampai bermusuhan dengan kaum kaki buntung dan berada di sini?”

”Aku bernama Cia Cen Thok, dan aku adalah kakak ipar ketua kaum lengan buntung. Isteri The Bian Le adalah adik perempuanku. Karena percaya akan kepandaianku, iparku minta tolong kepadaku untuk menyelidiki dan mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat kaum kaki buntung. Karena hanya dengan mengetahui rahasia ilmu silat gerak tangan kilat, maka kaum lengan buntung akan dapat menundukkan musuh keturunan mereka ini.” 

“Hemm, apakah kaum lengan buntung kalah lihai oleh kaum kaki buntung?” 

Cia Cen Thok menghela napas panjang. “Kalah lihai sih tidak. Engkau harus ingat bahwa nenek moyang mereka adalah saudara seperguruan, maka tentu saja dasar ilmu silat juga sesumber dan kepandaian para keturunan ini pun seimbang. Justeru karena keseimbangan ilmu inilah yang membuat pembunuhan tiada habisnya. Tahun ini pihak yang satu kalah, tahun kemudian pihak yang lain kalah dan begitu seterusnya. Kaum lengan buntung yang hanya mempunyai sebuah lengan telah menciptakan ilmu gerak kaki kilat yang luar biasa. Di lain pihak, kaum kaki buntung, untuk mengimbangi karena kaki mereka hanya sebuah, telah menciptakan ilmu gerak tangan kilat. Ilmu silat tangan mereka yang diperpadukan dengan tongkat, benar-benar amat hebat.”

Siauw Bwee mengangguk-angguk. “Memang hebat gerakan tangan mereka, cepat dan aneh.” 

“Itulah sebabnya, tiga tahun yang lalu aku memenuhi permintaan adik iparku, The Bian Le ketua kaum lengan buntung untuk menyelundup ke sini dan mempelajari rahasia gerak tangan kilat pihak musuh. Akan tetapi aku kepergok dan dalam perkelahian mati-matian aku roboh dan dihajar habis-habisan, disangka mati lalu ditaruh di ruangan jenazah ini.”

“Tiga tahun?” Siauw Bwee bergidik. 

“Ya, tiga tahun kurang lebih.” 

“Akan tetapi engkau telah berhasil kulihat tadi. Engkau telah mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat mereka!” 

Cia Cen Thok memandang kagum. “Engkau awas sekali, Nona. Akan tetapi, biar pun aku percaya bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan aku pun telah mulai dapat mempelajari rahasia gerak tangan kilat mereka, aku masih sangsi apakah kita berdua akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Jumlah mereka banyak, dan di samping Liong Ki Bok yang lihai juga mereka mempunyai jago-jago berkepandaian tinggi, yaitu beberapa orang murid kepala yang kepandaiannya sudah hampir setingkat dengan kepandaian Si Ketua sendiri.”

“Berapakah jumlah mereka?” 

“Kalau tidak salah, ada tiga puluh enam orang. Sedangkan pihak kaum lengan satu berjumlah tiga puluh orang.” 

“Aku tidak takut! Aku tentu akan dapat membebaskan orang kasar Hui-eng Liem Hok Sun itu.”

“Apamukah dia itu, Nona?” 

“Hemm... bukan apa-apa. Kenal pun tidak. Akan tetapi aku melihat sifat baik di balik sikapnya yang kasar, juga dia murid Gobi-san yang ilmunya lumayan. Aku percaya bahwa dia pun tentu akan menolong orang yang menjadi tawanan di sini.” 

“Aahhh, hatimu terlalu baik, Nona. Aku sendiri tidak percaya bahwa dia itu akan suka mempertaruhkan nyawa untuk menolong orang yang belum dikenalnya seperti yang telah kau lakukan ini.”

Tiba-tiba terdengar gerengan keras, gerengan beruang yang menjaga di luar pintu, disusul suara gedebukan dan tak lama kemudian pintu itu terbuka dari luar dan muncullah orang yang mereka bicarakan, yaitu Hok Sun sendiri yang memegang sebatang pedang di tangannya. Melihat Siauw Bwee, dia segera menyerahkan pedangnya sambil berkata, 

“Nona, kau pergunakan pedang ini. Mari kita menerjang ke luar. Kesempatan baik sekali selagi ketuanya dan pembantu-pembantunya tidak berada di dalam!” Tiba-tiba ia menoleh, melihat Cia Cen Thok dan meloncat ke belakang seperti diserang ular. “Dia... eh, dia... siapa ini...?”

“Dia seorang sahabat senasib. Apakah engkau datang sengaja hendak menolongku? Bagaimana kau bisa bebas?” 

Liem Hok Sun hilang kagetnya dan ia tertawa, “Aku akali Si Buntung Kaki itu! Ha-ha! Aku pura-pura lemah, ketika mereka memberi makan, aku memberontak dan berhasil merobohkan Si Pengantar Makanan, kemudian aku lari dan mendapatkan pedang ini di jalan. Dari percakapan mereka aku mendengar bahwa mereka telah membunuh seorang dara muda. Aku penasaran, ingin melihat sendiri ke sini dan kiranya engkaulah orang yang mereka bunuh itu, dan masih hidup. Syukurlah. Mari kita cepat menerjang ke luar sebelum terlambat!”

Siauw Bwee tersenyum dan memandang kepada Cia Cen Thok dengan penuh arti. Kakek bekas mayat hidup itu mengangguk-angguk mengerti. “Saudara Liem Hok Sun, engkau seorang gagah sejati!” 

“Eh, kau mengenal aku?” 

“Aku yang memberitahukan namamu kepadanya,” kata Siauw Bwee. 

“Engkau? Engkau Nona penunggang kuda itu. Aku belum pernah memperkenalkan diri..., ohhh, sekarang aku ingat! Aku pernah mengakui namaku ketika kau kusangka pemasang jerat. Hayo, lekaslah kita keluar. Eh, sahabat aneh, apakah engkau pun akan lari ke luar?” 

Cia Cen Thok mengangguk. “Keluarlah kalian lebih dulu, aku menyusul belakangan.” 

Siauw Bwee dan Liem Hok Sun berlari keluar dan Siauw Bwee melihat beruang itu sudah menggeletak dengan kepala pecah, tentu kena pukulan tangan Si Garuda Terbang. Dia merasa kasihan karena menganggap beruang itu bukan binatang jahat, akan tetapi dalam keadaan seperti itu dia diam saja dan terus berlari ke luar didahului Liem Hok Sun sebagai pembuka jalan.

Ketika mereka sudah tiba di ruangan paling depan, dari kanan kiri meloncat ke luar empat orang berkaki buntung dan mereka ini menyerang Hok Sun dan Siauw Bwee tanpa banyak tanya lagi. 

Siauw Bwee menggerakkan kakinya menangkis dan tangan kirinya memukul dengan dorongan penuh tenaga sinkang. Dua orang di antara mereka berteriak dan roboh terjengkang, berusaha merayap bangun kembali. Hok Sun melawan dengan kedua tangan kosong. Ia berhasil menangkap tongkat seorang penyerang, membetot dan mematahkan tongkat itu, kemudian kakinya menendang. Lawannya menangkis dan orang ke dua sudah menotokkan tongkatnya ke arah lambung Hok Sun.

“Trakk!” Tongkat itu patah ketika tertangkis pedang Siauw Bwee yang sudah cepat membantu. Kemudian pukulan tangan Hok Sun merobohkan orang yang tongkatnya patah itu.

“Wah, kepandaianmu hebat sekali, Nona!” Ia memuji, kagum dan juga kaget karena tidak menyangka bahwa nona yang disangkanya hanya berkepandaian silat biasa itu ternyata telah merobohkan dua orang pengeroyok dengan cepat, bahkan telah menolongnya! 

“Hayo cepat keluar!” Siauw Bwee berkata.

Kini dialah yang mendahului lari ke depan karena ia tahu bahwa kalau mereka berdua dikeroyok di sebelah dalam, keadaan mereka berbahaya sekali. Dengan gerakan ringan dan indah tubuh Siauw Bwee melayang naik dan menerobos ke luar dari lubang kecil yang merupakan ‘pintu kamar’ bangunan setengah bundar di atas tanah itu. Kembali Hok Sun memuji. Gerakan nona itu benar amat ringan dan tahulah dia bahwa nona itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui tingkatnya sendiri.

Begitu Siauw Bwee dan Hok Sun tiba di luar, mereka segera dikepung oleh para anak buah kaum kaki buntung yang sudah berjaga di luar dan yang mengejar dari dalam. Tetapi seperti yang diceritakan oleh Cia Cen Thok, biar pun Siauw Bwee dapat menangkan mereka dalam hal sinkang, ginkang, mau pun ilmu silat, namun gerakan tangan mereka benar-benar amat lihai, cepat bagaikan kilat dan tidak tersangka-sangka.

Untuk dapat mengatasi lawan yang seperti ini memang jalan satu-satunya hanya mempelajari dan membuka rahasia ilmu tangan kilat mereka itu. Siauw Bwee tidak ingin melakukan pembunuhan, maka gerakan pedangnya hanya untuk menghalau tongkat-tongkat mereka yang lihai, dan ia hanya berusaha merobohkan mereka dengan dorongan-dorongan tangan dengan tenaga sinkang. Karena inilah maka dia segera dikurung dan didesak hebat.

Ada pun Hok Sun keadaannya lebih terdesak lagi. Beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk dan tubuhnya sudah terkena hantaman-hantaman tongkat pada bahu, pinggul dan pahanya. Untung bahwa Si Garuda Terbang ini memiliki tubuh yang kebal sehingga hantaman-hantaman itu tidak sampai meremukkan tulang dan tertahan oleh daging dan urat-uratnya yang kokoh kuat, sungguh pun cukup mendatangkan rasa nyeri membuatnya berkaok-kaok kesakitan.

Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, benar seperti keterangan Hok Sun, tidak tampak murid-murid lain yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kelas satu. Kalau mereka itu ikut mengeroyok, tak tahulah bagaimana jadinya dengan nasib mereka berdua. 

“Saudara Liem, cepat ke sini! Kita melawan dengan saling melindungi!” teriak Siauw Bwee sambil berputaran dan mendekati Si Pemuda Kasar yang sudah berteriak-teriak kesakitan.

Hok Sun bukan seorang bodoh. Dia mengerti apa yang dimaksudkan dara perkasa itu, maka dia pun lalu meloncat dan di lain saat dia telah melakukan perlawanan dengan beradu punggung bersama Siauw Bwee. Dengan cara ini mereka berdua tidak dapat dikurung lagi dan hanya menghadapi lawan dari depan.

“Awas...!” Siauw Bwee berbisik, “aku akan melontarkanmu ke kiri melalui kepala mereka. Engkau harus cepat melarikan diri, biar aku yang menahan mereka...!”

“Ahhh, mana bisa...?” Hok Sun menjawab dengan bantahannya, dan tidak seperti Siauw Bwee yang berbisik, pemuda itu bicara nyaring, “Aku bukan seorang pengecut yang ingin selamat sendiri dan meninggalkan kau sendirian dikepung oleh para....”

Siauw Bwee menjadi gemas dan sambil menangkis tusukan tongkat seorang lawan wanita, ia sengaja menggerakkan pinggul.
“Auhhh...! Apakah pinggulmu dari baja, Nona?” Hok Sun berteriak kesakitan ketika pinggulnya dihantam dari belakang. Ia menggosok-gosok pinggulnya sehingga tidak sempat menghindar ketika ada tongkat memukul kepalanya dari atas. Untung Siauw Bwee melihat atau lebih tepat mendengar gerakan itu, maka ia cepat mendorongkan tangan kirinya ke belakang.

“Aihhh...!” Hok Sun terhuyung, akan tetapi hantaman tongkat itu luput. “Bagaimana sih engkau ini, Nona? Kawan ataukah lawan?”

“Bodoh!” Siauw Bwee berbisik gemas. “Kalau engkau sudah bebas, bagiku apa sih sukarnya melarikan diri? Awas, akan kulontarkan kau. Lekas lari!” Tiba-tiba Hok Sun merasa tubuhnya terbang ke atas ketika Siauw Bwee mencengkeram punggung bajunya dan mendorong dengan tenaga yang hebat bukan main.

Tubuh Hok Sun terlempar melalui atas kepala para pengeroyoknya dan ia terus melompat jauh untuk melarikan diri. Diam-diam ia makin kagum bukan main terhadap Siauw Bwee.

Setelah Si Dogol itu terbebas, Siauw Bwee bernapas lega, memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga lenyaplah tubuh dara perkasa ini, yang tampak hanya gulungan sinar pedangnya. Dari dalam gulungan sinar pedang yang menangkis datangnya semua serangan tongkat itu, menyambar keluar tenaga dahsyat dari telapak tangan kirinya yang mengirim dorongan-dorongan. Para pengeroyoknya banyak yang terjengkang, akan tetapi segera meloncat bangun lagi dan mengeroyok makin nekat. Ketika Siauw Bwee memandang ke arah larinya Hok Sun, ia melihat pemuda itu kembali sudah dikepung enam orang kaki buntung! Siauw Bwee gemas sekali.

Tentu Si Dogol itu masih tetap keras kepala dan tidak rela lari meninggalkannya. Kalau begitu terus, Hok Sun bisa celaka, padahal kini jaraknya sudah jauh sehingga tak mungkin lagi dia dapat menolong jika Hok Sun terancam bahaya seperti tadi. Akan tetapi tiba-tiba enam orang pengeroyok Hok Sun itu cerai-berai ketika sesosok bayangan berkelebat dan Cia Cen Thok sudah membantu Hok Sun. Melihat laki-laki bercawat ini, terdengar teriakan-teriakan kaget dan para pengeroyok mereka berdiri terbelalak seperti arca dengan muka pucat.....

Selanjutnya baca
ISTANA PULAU ES : JILID-09
LihatTutupKomentar