Istana Pulau Es Jilid 14

Yu Goan menekan keharuannya dan melepaskan pelukannya. Mereka hanya duduk berhadapan, saling berpegang tangan. Kini terbayang senyum di bibir Yu Goan biar pun pada matanya yang biasanya tajam penuh kegembiraan itu kini berganti pandang sayu tanda bahwa hatinya terluka oleh ujung anak panah Dewa Cinta yang beracun. 
“Bwee-moi, terima kasih. Aku memang bodoh sekali, bodoh karena mementingkan diri sendiri saja. Bwee-moi, kalau boleh aku bertanya, apakah cinta kasihmu terhadap pria yang berbahagia itu juga murni dan bersih dari pada nafsu?” 

Wajah Siauw Bwee tiba-tiba menjadi merah sekali dan ia menggenggam tangan Yu Goan ketika menjawab, “Aku... aku juga bodoh seperti engkau, Twako. Aku... aku mencinta dia seperti engkau mencintaku tadi. Ahhh... sudah mengerti namun tetap tidak dapat mengalahkan perasaan sendiri, betapa lemah dan bodohnya aku, lebih bodoh dan lebih lemah dari pada engkau, Twako.”

Tiba-tiba Siauw Bwee menangis, teringat akan Han Ki, teringat akan Maya, teringat akan cintanya yang masih berbelit-belit itu karena dia tidak tahu kepada siapakah sesungguhnya Han Ki mencinta, cinta seorang pria terhadap wanita, cinta yang tak dapat dibagi-bagi, kepada dia ataukah kepada Maya? 

Yu Goan menjadi terharu dan merasa kasihan sekali. Ia merangkul pundak Siauw Bwee, menepuk-nepuk punggungnya perlahan sambil berkata, “Bwee-moi, kasihan engkau.... Engkau sedang menderita, ditambah oleh gangguan lagi. Tenanglah, Bwee-moi, aku berjanji takkan mengganggumu lagi dan aku akan bersembahyang setiap saat kepada Tuhan semoga engkau akan berbahagia dalam cinta kasihmu itu.”

“Terima kasih, Yu-twako, engkau baik sekali.” 

Tiba-tiba kedua orang ini tersentak kaget dan meloncat berdiri ketika pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk kentongan-kentongan bambu yang dipukul bertalu-talu. Tanpa bicara keduanya melesat meninggalkan tempat itu, kembali ke perkampungan dan mereka melihat orang-orang lari tergopoh-gopoh berkumpul di depan pondok Ouw-pangcu. 

Ketika melihat dari jauh wajah Ouw-pangcu dan wajah anak buahnya kelihatan tegang, Siauw Bwee dan Yu Goan tidak mau mengganggu, hanya memandang bengong ketika melihat Ouw-pangcu memimpin anak buahnya berbondong-bondong lari menuruni bukit memasuki hutan. Siauw Bwee dan Yu Goan saling berpandangan, kemudian mereka bergerak mengikuti rombongan itu dari belakang. 

Sudah lama Siauw Bwee dan Yu Goan mempunyai keinginan bertemu dengan penghuni lembah di bawah, atau setidaknya ketuanya karena mereka itu adalah orang-orang yang menerima pendidikan langsung dari Bu-tek Lo-jin. Biar pun mereka mendengar dari Ouw-pangcu bahwa Bu-tek Lo-jin sudah lama sekali meninggalkan daerah itu, namun menurut Ouw-pangcu, ilmu kepandaian para tokoh penderita kusta itu amat tinggi dan karena inilah maka Siauw Bwee dan Yu Goan ingin sekali bertemu dan menyaksikan sendiri keadaan mereka. 

Akan tetapi menurut penuturan Ouw-pangcu, tidak ada seorang manusia boleh turun ke lembah, pula tidak ada jalan menuruninya, kecuali jalan rahasia yang dikuasai oleh orang-orang lembah. Kini melihat kesibukan itu, dan ketegangan yang tampak pada wajah Ouw-pangcu dan anak buahnya, Siauw Bwee dan Yu Goan menduga-duga bahwa tentu ada urusan yang menyangkut orang-orang lembah yang penuh rahasia itu.

Siauw Bwee dan Yu Goan mengikuti rombongan itu memasuki hutan yang belum pernah mereka datangi. Mereka menerobos ke sana ke mari, melalui hutan yang penuh pohon-pohon raksasa, kemudian melintasi padang rumput yang tinggi dan tebal, melalui tanaman-tanaman berduri yang agaknya sudah bertahun-tahun tidak dilalui manusia. Dari jauh terdengar suara melengking tinggi dan agaknya ke arah suara itulah mereka menuju.

Rombongan itu berhenti di dalam sebuah hutan, tak jauh dari sebatang pohon raksasa yang amat besar dan tua. Di bawah pohon ini tampak sebuah batu besar yang dilihat dari jauh berbentuk sebuah kepala raksasa. Ouw-pangcu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut dalam jarak lima meter dari pohon raksasa itu, berlutut tanpa berkutik seperti menanti sesuatu. Siauw Bwee dan Yu Goan bersembunyi di balik pohon, mengintai dengan hati tegang karena mereka tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa yang akan terjadi di situ.

Suara melengking yang terdengar dari pohon tua itu berhenti. Keadaan sunyi senyap, sunyi yang mendebarkan jantung penuh ketegangan. Tiba-tiba Siauw Bwee dan Yu Goan memandang terbelalak ke arah batu besar itu. Batu itu bergerak perlahan, bergeser dari kanan ke kiri. Dan tampaklah sebuah lubang di bawah batu itu, seperti sebuah sumur dan batu itu terus menggeser sampai lubang itu tampak semua, berbentuk bundar dan bergaris tengah satu meter. 

Tiba-tiba terdengar suara kelentingan ramai dari dalam lubang, seperti suara banyak kelenengan kecil dibunyikan berbareng. Keadaan makin tegang dan kalau Ouw-pangcu dan anak buahnya semua berlutut menundukkan muka tanpa berani memandang, Siauw Bwee dan Yu Goan terbelalak memandang ke arah lubang sumur itu. Tiba-tiba di depan lubang itu telah berdiri seorang manusia yang amat menyeramkan! 

Demikian cepat gerakan orang itu, seolah-olah dia seorang iblis yang muncul dari alam lain, seperti pandai melenyapkan diri dan tiba-tiba kini menampakkan diri di depan lubang. Hanya pandang mata Siauw Bwee saja yang lebih tajam dan kuat dari pandang mata Yu Goan dapat melihat berkelebatnya sinar hitam dari dalam lubang, maka dara sakti ini maklum bahwa orang itu muncul dari dalam lubang dengan gerakan yang amat ringan dan cepat, tanda bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Akan tetapi ketika ia memandang orang itu, seperti juga Yu Goan, ia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri.

Orang itu benar-benar amat menyeramkan dan keadaan tubuhnya amat mengerikan. Tubuhnya jangkung kurus, seperti tengkorak terbungkus kulit, badannya tertutup jubah hitam yang sudah butut, dekil kotor dan robek-robek di pinggir dan ujungnya. Jubah yang panjang sampai menutupi lutut, berlengan lebar panjang, namun karena robek-robek maka jubah itu tidak dapat menyembunyikan keadaan tubuh yang mengerikan. Tubuh yang tidak normal, penuh cacat-cacat seperti batang pohon yang dikerokoti kutu. Tangan kiri orang itu memegang tongkat, karena kelingking dan jari tengahnya sudah hilang, tinggal sisanya sedikit saja. 

Tangan kanannya sudah hilang sama sekali, tinggal lengan yang tulangnya menonjol halus merupakan ujungnya, keluar dari lengan baju secara amat mengerikan, jari-jari kakinya pun tidak utuh. Jari kaki kiri tinggal dua buah ibu jari dan jari tengah, sedangkan jari kaki kanannya tinggal tiga buah saja. Kulit yang membungkus kaki pun tidak utuh, sudah pecah-pecah di sana-sini seperti digerogoti rayap.

Ketika Siauw Bwee yang bergidik itu memandang ke arah muka orang itu, ia merasa betapa seluruh bulu tubuhnya berdiri saking ngerinya! Kepala orang itu ditutup kain hitam yang menyembunyikan seluruh kepalanya dan bagian muka, yaitu di bagian atas sehingga yang tampak hanya mulai dari alis ke bawah. Akan tetapi itu pun sudah amat menakutkan!

Kalau kulit kaki hanya sebagian yang lenyap, maka kulit muka itu boleh dibilang sudah hampir habis dimakan rayap! Tampak tulang-tulang pipi menonjol, dagunya menjadi runcing karena tidak ada kulitnya, putih mengerikan. Bibirnya habis pula sehingga tampak mulut ompong menonjol panjang. Separuh hidungnya hilang sehingga merupakan lubang hitam. Matanya seperti melotot terus karena pelupuknya tinggal separuh, tidak dapat dipejamkan. Benar-benar amat mengerikan dan melihat sebuah tengkorak tidak akan sengeri ini. Manusia yang berdiri di depan lubang itu tak patut disebut manusia, akan tetapi juga tidak atau belum menjadi mayat! 

Di samping perasaan ngeri dan serem ini, timbul rasa iba yang besar di hati Siauw Bwee dan Yu Goan yang sebagai seorang ahli pengobatan maklum betul betapa menderita dan sengsaranya keadaan orang yang ia tahu menjadi korban penyakit kusta yang dahsyat itu.

Kini muncul dua orang lain dari dalam lubang, keadaan mereka juga mengerikan seperti orang pertama. Akan tetapi kedua orang ini tidak meloncat seperti orang pertama tadi, melainkan berjalan terpincang-pincang keluar dari lubang dan berdiri di kanan kiri orang pertama yang sudah marah-marah, mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Siauw Bwee dan Yu Goan. Orang itu bicara tidak karuan dan karena tidak mempunyai bibir, giginya ompong-ompong dan lidahnya tinggal sepotong, bicaranya sukar dimengerti.

Akan tetapi agaknya Ouw-pangcu sudah biasa mendengar suara seperti itu, buktinya ketua ini lalu menjawab dan membela diri, menceritakan tentang peristiwa pemberontakan di perkampungan yang dipimpinnya. Dari jawaban Ouw-pangcu ini mengertilah Siauw Bwee dan Yu Goan bahwa agaknya Ouw-pangcu dipersalahkan oleh orang-orang lembah tentang peristiwa pertempuran di antara orang-orang tebing. 

“Harap para Locianpwe dari lembah mengetahui bahwa saya dan anak buah saya sama sekali tidak melakukan pelanggaran. Yang melakukan pelanggaran adalah mereka yang memberontak dan mereka telah diberi hukuman setimpal. Tolong disampaikan kepada Pangcu di bawah bahwa kami semua tidak pernah melanggar perintah.” 

Orang penderita kusta yang pertama itu kembali bicara ribut-ribut tidak karuan. Ouw-pangcu menjawab, mukanya memperlihatkan kekagetan dan ketakutan. Ia menggoyang tangan kiri yang diangkat ke atas sambil berkata, “Tidak bisa, Locianpwe! Saya tidak bersalah, maka tentu saja menolak untuk dibawa turun menerima hukuman. Pula, siapa pun tidak boleh turun, kalau saya sudah turun, bukankah berarti saya melanggar? Saya tidak merasa bersalah, maka saya pun tidak mau ikut Locianpwe turun ke bawah!” 

Orang kedua yang berdiri di sebelah kanan orang pertama mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang terluka, kemudian tubuhnya meloncat maju dengan kecepatan kilat sehingga diam-diam Siauw Bwee kagum karena orang ini pun memiliki ginkang yang amat luar biasa! Dengan tangan kirinya yang tinggal empat buah jarinya itu, orang sakit kusta ini mencengkeram pundak Ouw-pangcu. 

“Crottt!” Empat buah jari tangan itu menancap di pundak seperti empat buah pisau tajam, akan tetapi tiba-tiba orang itu terpental ke belakang karena Ouwpangcu telah mengerahkan Jit-goat-sinkang.

Ketika terpental, orang itu memandang tangan kirinya yang ternyata tertinggal di pundak Ouw-pangcu! Penyakit kusta membuat buku-buku dan ruas-ruas tangannya lemah dan rapuh, maka tentu saja tidak dapat melawan aliran sinkang yang demikian kuatnya! Dua buah jari yang tertinggal di pundak Ouw-pangcu juga tercabut ke luar terdorong oleh daya tolak sinkang Ouw-pangcu. Anehnya, biar pun dua buah jari tangannya putus, orang itu tidak kelihatan menderita nyeri dan tangannya tidak berdarah. Seolah-olah hanya dua batang kayu saja yang potong!

“Maaf, saya tidak sengaja menyusahkan para Locianpwe,” kata Ouw-pangcu. Diam-diam dia merasa kasihan sekali karena maklum bahwa penyakit kusta yang hebat itu ternyata membuat orang-orang lembah ini tidak mungkin lagi dapat menyimpan tenaga Jit-goat-sinkang di tubuh mereka. Hal ini pun dapat diduga oleh Siauw Bwee dan Yu Goan ketika menyaksikan serangan dan akibatnya tadi. 

Si Lengan Buntung, orang pertama tadi, kini sudah mengeluarkan sebuah bendera kecil berwarna hitam dan menggerak-gerakkan bendera kecil itu di atas kepalanya.

Melihat bendera kecil itu Ouw-pangcu terkejut sekali, berlutut dan memberi hormat ke arah bendera sambil berkata, “Teecu Ouw Teng telah berdosa. Kalau Locianpwe tadi mengatakan bahwa Pangcu memerintahkan saya turun ke lembah dan mengeluarkan benda pusaka itu, tentu saya tidak berani banyak membantah.” 

Si Tangan Buntung itu bicara lagi. Ouw-pangcu bangkit berdiri, kemudian membalikkan tubuh berkata kepada anak buahnya yang masih berlutut ketakutan.

“Kalian kembalilah dan bekerja seperti biasa. Aku dipanggil menghadap oleh Pangcu di lembah maka jangan kalian memikirkan aku lagi. Kalau sampai aku tidak kembali untuk selamanya, kalian boleh mengangkat seorang ketua baru. Tunggu sampai seratus hari, kalau aku tidak kembali berarti aku berhenti menjadi ketua. Nah, aku pergi. Marilah Sam-wi Locianpwe.” Berkata demikian, Ouw-pangcu mengikuti tiga orang penderita kusta itu memasuki lubang sumur yang ternyata merupakan lorong di bawah tanah yang menuju ke lembah jauh di bawah! 

Setelah empat orang itu memasuki sumur, batu besar itu tergeser kembali dan menutupi lubang. Keadaan menjadi sunyi senyap dan kini orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu baru berani bergerak. Mereka bicara dengan muka penuh ketakutan dan kedukaan, akan tetapi tak seorang pun berani mencela tiga orang lembah tadi. 

Setelah anak buah Ouw-pangcu meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee dan Yu Goan muncul dari tempat sembunyi mereka. 

“Setan-setan itu! Mengapa kau tadi mencegah aku turun tangan membela ayah angkat kita, Bwee-moi?” 

“Gihu ikut dengan mereka secara sukarela, dan menurut ceritanya sendiri, orang-orang lembah itu memang mempunyai kekuatan lebih besar dan Gihu harus tunduk kepada ketua orang lembah. Kalau kita turun tangan tadi, berarti kita bertindak berlawanan dengan isi hati Gihu sendiri.” 
“Akan tetapi Gihu dibawa mereka. Apakah kita harus membiarkannya saja? Siapa tahu dia akan mengalami bencana di bawah sana?” 

“Tidak, kita tidak akan membiarkan saja. Kita harus menyelidiki ke bawah dan melihat apa yang terjadi.”

“Bagus! Mari kita kejar mereka, biar kugeser batu ini!” Yu Goan meloncat akan tetapi baru saja ia menyentuh batu besar itu Siauw Bwee sudah melarangnya. 

“Jangan, Twako. Kalau kita masuk atau turun melalui jalan ini, tentu kita akan menghadapi perlawanan dan bahaya. Aku tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi membayangkan betapa aku harus bertanding dengan orang-orang seperti itu... hiiiihhhh, aku bisa mati karena jijik! Pula, kalau kita turun melalui lorong ini, mungkin kita malah menambah kesalahan Gihu dalam pandangan mereka. Mereka itu menjijikkan, akan tetapi juga lihai sekali sehingga kita mungkin akan menemui kegagalan di tengah jalan sebelum sampai di lembah. Lorong yang merupakan jalan satu-satunya ini pasti terjaga kuat oleh mereka.” 

Yu Goan mengangguk-angguk dan kagum sekali. “Habis, bagaimana kita bisa turun kembali ke lembah?” 

“Perkampungan mereka di bawah itu kelihatan dari atas tebing. Biar pun curam dan sukar, kalau kita menggunakan besi pengait, pedang dan tambang yang kuat, masa kita tidak dapat turun ke bawah?” 

Yu Goan setuju dan mereka segera mencari alat-alat yang mereka butuhkan itu. Kemudian mulailah kedua orang itu menuruni tebing yang amat curam. Namun dengan kepandaian mereka yang tinggi, dibantu alat-alat itu, dapat juga mereka merayap turun perlahan, menggunakan pedang yang ditancapkan pada dinding batu karang, melorot turun dengan bergantung kepada tambang. Biar pun sukar sekali, dan tidak dapat cepat karena mereka harus amat berhati-hati, sekali jatuh berarti nyawa melayang, mereka dapat merayap ke bawah. 

Akan tetapi ternyata oleh mereka bahwa jalan itu benar-benar tidak mudah sama sekali. Biar pun mereka mempergunakan alat-alat, terpaksa mereka harus mencari jalan memutar beberapa kali kalau menghadapi jalan buntu, di mana tebing itu berakhir dengan jurang yang tak mungkin dapat dilalui, batunya pecah di bagian bawah. Terpaksa mereka mencari jalan baru untuk turun dan ada kalanya mereka terpaksa merayap ke atas lagi untuk mencari jalan lain. Sampai malam tiba, mereka baru dapat mencapai sepertiganya saja dalam jarak dari puncak tebing ke lembah dan terpaksa mereka harus melewatkan malam di dalam goa yang terdapat di dinding batu karang yang licin! 

Pada keesokan harinya, setelah cuaca terang barulah kedua orang muda itu berani melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengambil jalan memutar ke selatan, mereka melihat dataran di tengah-tengah antara puncak dan lembah. Dinding di bagian ini ternyata menembus ke sebuah dataran yang merupakan dataran kedua di bawah puncak tebing, sungguh merupakan keadaan yang ajaib! Dataran yang berada di perut gunung, luasnya paling banyak seribu meter persegi, akan tetapi tanahnya penuh dengan tetumbuhan, seperti sebuah kampung kecil di puncak, dikelilingi tebing curam, merupakan keadaan yang amat berlawanan dengan lembah itu yang di kelilingi tebing tinggi! 

“Mari kita ke sana, siapa tahu dari dataran itu terdapat jalan yang lebih mudah,” kata Siauw Bwee. 

“Baik... heiii, ada rumahnya di sana!” Yu Goan yang merayap di sebelah depan tiba-tiba menuding. 

Benar saja, dari lereng tebing itu mereka melihat dua pondok kecil sederhana di dataran itu, tanda bahwa di sana ada manusianya! Hal ini mendorong semangat mereka dan mereka merayap ke arah dataran itu, kemudian meloncat turun di atas tanah yang rata. Dengan hati-hati mereka berjalan ke tengah menghampiri dua buah pondok sederhana yang modelnya sama dengan pondok-pondok tempat kediaman Ouw-pangcu dan anak buahnya, bahkan dua pondok itu lebih sederhana lagi. 

Setelah dekat dan menghampiri pondok dari depan, tiba-tiba mereka berhenti dan cepat menyelinap di balik pohon. Mereka melihat seorang laki-laki tua sedang keluar dari pondok membawa setumpuk tampah berisi benda-benda kecil seperti daun-daun kering, akar-akar dan buah-buahan kering. Laki-laki itu usianya sebaya dengan Ouw-pangcu, hanya rambut dan kumis jenggotnya masih banyak hitamnya. Bajunya ringkas dan sangat sederhana, tanpa lengan sehingga lengan dan sebagian pundaknya tampak. Celananya hitam dan di bagian bawahnya digulung sampai ke lutut. 

Tiba-tiba kakek itu berhenti di depan pondoknya, kemudian dengan tangan kiri menyangga tumpukan tampah yang jumlahnya belasan buah itu, dia mengambil tampah teratas dengan tangan kanan dan sekaligus menggerakkan tangan, tampah itu terlempar ke udara dan berputar-putar seperti hidup tanpa menumpahkan isinya sedikit pun! 

Tampah pertama masih melayang-layang ketika tampah kedua, ke tiga dan ke empat menyusul sehingga dalam beberapa detik saja belasan buah tampah melayang-layang di udara seperti sekumpulan burung-burung mencari tempat bertengger. Kemudian tampah-tampah itu meluncur turun dan tiba di atas depan dipan yang dipasang di depan pondok sebagai tempat penjemuran, jatuh dengan lunak tanpa ada isinya yang terlempar keluar dan dalam keadaan berderet-deret rapi seperti diatur dan diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan! 

“Bukan main...!” Yu Goan berbisik.

Siauw Bwee diam-diam kagum sekali, dan maklum bahwa kakek itu memiliki tenaga sinkang yang sudah dapat diatur sedemikian rupa sehingga tenaga loncatan tampah-tampah tadi pun di ‘kendalikan’ oleh tenaga sinkang! Dan dia pun menduga bahwa tentu kakek itu sudah tahu akan kedatangan mereka, karena demonstrasi tenaga sinkang tadi tentu dikeluarkan hanya dengan satu tujuan, yaitu sengaja diperlihatkan orang untuk menggertak. Kalau kakek itu tidak tahu bahwa mereka datang dan hendak menggertak orang asing yang datang, perlu apa main-main dengan tenaga sinkang seperti itu? 

Maka ia bersikap waspada dan memandang kakek itu penuh perhatian. Kini di tangan kakek itu tinggal dua tampah lagi. Tiba-tiba kakek itu mengambil sebuah tampah, mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tampah itu ‘melayang’ berputaran menuju ke arah Siauw Bwee dan Yu Goan dengan kecepatan kilat seperti seekor burung garuda menyambar dua ekor domba! 

“Celaka!” Yu Goan berseru dan pemuda itu sudah mencabut pedangnya.

Akan tetapi Siauw Bwee menyentuh lengan pemuda itu, kemudian dara sakti ini menggerakkan kedua lengan mendorongkan kedua telapak tangan ke atas, ke arah tampah yang meluncur turun. Dia tidak berani mempergunakan Jit-goat-sinkang yang belum dilatih sempurna itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang yang ia latih di Pulau Es sesuai dengan ajaran Bu Kek Siansu dan petunjuk suheng-nya.

Tampah yang sudah meluncur turun itu tiba-tiba terhenti, kemudian bergerak lagi, bukan ke arah Siauw Bwee, melainkan berputaran turun dan hinggap dengan lunaknya ke atas dipan yang masih kosong, persis seperti lontaran kakek itu tadi, hanya kini tampah itu agak tergetar karena ada dua tenaga sinkang raksasa yang mengemudikannya dari arah berlawanan!

“Tahan dulu, Locianpwe!” Siauw Bwee sudah berseru dan melompat ke luar dari tempat sembunyinya. Lompatannya seperti kilat karena dia mempergunakan gerakan kaki kilat sehingga tahu-tahu tubuhnya sudah muncul di depan kakek itu dalam jarak enam meter, terhalang dipan penjemur obat-obatan di atas tampah-tampah.

Sejenak kakek itu memandang dengan alis berkerut. Matanya terbelalak penuh keheranan dan agaknya dia masih tidak mau percaya bahwa yang tadi menahan tampahnya, yang memaksa tampahnya itu melayang turun, hanyalah seorang dara remaja.

“Bagus! Coba engkau tahan ini!” serunya dan tampah terakhir yang berada di tangannya itu ia lemparkan ke udara, kini bukan dengan sebelah tangan, melainkan dengan kedua tangan. Kedua tangannya itu tetap terpentang karena dari kedua telapak tangannya meluncur hawa sinkang yang ‘mengemudikan’ tampah berisi bahan obat itu.

Siauw Bwee maklum bahwa kakek itu kini mengerahkan tenaga sinkang yang besar sekali karena tidak hanya tampah itu berputaran di udara, akan tetapi juga isinya ikut berputaran di atas tampah. Dan dengan menggunakan tampah menyerangnya, dia dapat menduga bahwa kakek itu menganggap dia dan Yu Goan sebagai orang luar yang lancang masuk, maka kini hendak mengujinya, bukan hendak menyerang dengan niat jahat, maka ia pun lalu mengerahkan kedua tangan diulur dan dikembangkan ke depan. Hawa sinkang yang kuat meniup ke luar dari kedua tangannya, membubung ke atas menerima tampah itu.

Tampah yang berpusing di udara itu tiba-tiba berhenti dan mengambang di udara, seolah-olah terpegang tangan yang kuat, lalu perlahan-lahan tampah itu melayang kembali ke arah pelemparnya. Kakek itu terkejut sekali, lalu membusungkan dadanya, mengerahkan seluruh tenaga dan Siauw Bwee merasa betapa dari tubuh kakek itu keluar hawa yang panas sekali. Ia cepat mengerahkan Im-kang yang dingin untuk melawannya. Tiba-tiba hawa dari kakek itu berubah dingin pula, dan Siauw Bwee yang sengaja hendak menguji pula, segera merubah sinkang-nya menjadi Yang-kang. 

Tampah itu seperti hidup. Sebentar bergerak ke arah Siauw Bwee, akan tetapi hanya sebentar karena kembali terdorong ke arah Si Kakek. Dorong-mendorong ini terjadi beberapa menit lamanya dan akhirnya tampah itu terus bergerak perlahan, sedikit demi sedikit menuju ke arah Si Kakek yang makin terkejut dan memandang terbelalak. Akhirnya ia berseru keras melompat ke kiri dan menurunkan kedua lengannya. Tampah itu jatuh ke bawah, hancur dan isinya berantakan. Akan tetapi seperti tampah yang hancur bagaikan diremas-remas itu, isinya juga remuk pecah-pecah dan ada yang gosong seperti terbakar! 

“Hebat! Wanita muda, dari mana engkau mempelajari Jit-goat-sinkang?” Pertanyaan ini mengandung penasaran besar, seolah-olah menuduh Siauw Bwee mencuri ilmu itu.

Siauw Bwee yang kini sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentu memiliki Ilmu Jit-goat-sinkang seperti yang dimiliki Ouw-pangcu, malah lebih kuat, segera menjura dan menjawab, “Untuk menghadapi Jit-goat-sinkang-mu tadi, aku tidak menggunakan sinkang yang sama, orang tua!”

“Tidak mungkin! Sinkang biasa mana mampu menghadapi Jit-goat-sinkang seperti itu?”

Yu Goan kini sudah muncul dan meloncat dekat Siauw Bwee. Dia tadi menyaksikan adu tenaga sinkang itu dan kekagumannya terhadap Siauw Bwee meningkat. Dengan sabar ia menjura dan mendahului Siauw Bwee. “Locianpwe, sesungguhnya kami pernah mempelajari Jit-goat-sinkang dari Ouw-pangcu.”

“Ahh, tidak mungkin! Selain Ouw-pangcu tidak akan berani lancang menurunkan ilmunya kepada orang luar, juga tidak mungkin kalau hanya murid-muridnya mampu mengalahkan kekuatanku. Dia sendiri masih jauh di bawahku, ataukah... dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sehingga muridnya saja mampu mengalahkan aku? Betapa pun juga, dia melanggar dan harus dihukum!”

Yu Goan terkejut dan cepat membela, “Locianpwe, harap jangan menyalahkan dia karena Ouw-pangcu adalah Gihu kami. Tiada salahnya menurunkan ilmu kepada anak-anak angkatnya sendiri.”

Wajah yang penasaran dan marah itu berubah. “Aihhhh! Dia menjadi ayah angkat kalian? Betapa anehnya! Akan tetapi... tenaga sinkang Nona muda ini amat luar biasa, betapa mungkin...” 

“Harap Locianpwe tidak menjadi heran karena sesungguhnya, kepandaian Nona Khu ini amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Gihu sendiri. Dan kalau benar Locianpwe adalah suheng dari Gihu, harap kau ketahui bahwa kami berdua sedang berusaha menyelamatkan Gihu yang terancam bahaya besar di lembah di bawah sana.”

“Apa? Apa yang terjadi? Orang muda, duduklah. Dan kau juga, Nona yang amat lihai. Duduklah dan ceritakan semua. Apa yang telah terjadi di atas tebing, dan di bawah lembah sana?” 

Yu Goan dan Siauw Bwee duduk di atas dipan bambu, berhadapan dengan kakek itu lalu Yu Goan menceritakan semua pengalaman mereka sejak bertemu dengan Ouw-pangcu, mengobati luka ketua itu, dan tentang pemberontakan di atas tebing yang dipimpin oleh Ang-siucai. Setelah mendengar penuturan itu sampai habis, kakek tadi menarik napas panjang. 

“Hemm, memang banyak resikonya menjadi ketua, tidak sebebas aku yang hidup seorang diri tanpa dibebani peraturan. Sute telah lancang menerima seorang asing seperti sastrawan she Ang itu, maka dia memetik buah dari tanamannya sendiri. Akan tetapi siapakah engkau orang muda yang pandai ilmu pengobatan? Aku sendiri senang dengan ilmu itu, maka kepandaianmu menarik hatiku, dan siapa pula Nona yang amat lihai ini? Sukakah kalian memperkenalkan diri setelah mengetahui bahwa aku adalah suheng dari Gihu-mu?”

Yu Goan tidak berani lancang, maka dia menoleh dan memandang Siauw Bwee. Bagi dia sendiri, dia tidak akan ragu memperkenalkan diri kepada siapa pun juga. Akan tetapi Siauw Bwee adalah penghuni Istana Pulau Es, dan biar pun dara itu tidak pernah memperingatkannya, dia tahu bahwa gadis itu tentu akan merahasiakan Pulau Es dan keadaan dirinya. Akan tetapi Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk.

Maka Yu Goan lalu berkata, “Karena Locianpwe adalah suheng dari Gihu, maka sepatutnya kalau kami menyebut Supek kepadamu. Harap Supek ketahui bahwa sahabatku ini bernama Khu Siauw Bwee dan sebelum dia menjadi anak angkat Gihu dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi karena Bwee-moi ini adalah... seorang di antara penghuni-penghuni Istana Pulau Es.”

Seperti telah diduganya, kakek itu mencelat dari tempat duduknya, memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak, kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjura, “Aihhh... mataku seperti buta tidak mengetahui orang pandai. Maaf...!”

Siauw Bwee cepat berdiri membalas penghormatan itu dan berkata sederhana, “Supek, mengapa begini sungkan? Yu-twako hanya pandai memuji setinggi langit padahal aku hanyalah seorang muda yang masih perlu menerima bimbingan orang pandai seperti Supek. Dalam melatih diri dengan Jit-goat-sinkang saja, dibandingkan dengan tingkat Supek, aku belum ada seper-sepuluhnya!”

“Aihhh! Sudah lihai masih pandai merendah pula. Sungguh menakjubkan! Nona Khu, tanpa Jit-goat-sinkang sekali pun sinkang-mu sudah amat luar biasa dan aku tidak menjadi heran mengingat bahwa engkau adalah penghuni Istana Pulau Es, murid langsung dari Bu Kek Siansu. Hebat... hebat...! Dan engkau sendiri, orang muda, siapakah engkau?”

“Aku bernama Yu Goan, ilmu silatku yang kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian Khu-siauwmoi kudapatkan dari ayahku sendiri yang bernama Yu Siang Ki, sedangkan sedikit ilmu pengobatan kudapatkan dari kakekku, Yok-san-jin Song Hai.”

Kembali kakek itu mengangguk-angguk kagum. “Aku pernah mendengar nama besar ayahmu itu. Bukankah dia putera Ketua Khong-sim Kai-pang? Dan Yok-san-jin... Hemmm, siapa yang belum mendengar namanya? Ahh, sungguh menggembirakan sekali bertemu dengan orang-orang muda keturunan orang-orang pandai, lebih-lebih lagi menggembirakan mendengar bahwa kalian adalah anak-anak angkat sute-ku. Aihhhh, bukan main beruntungnya Ouw-sute!”

“Akan tetapi sekarang Gihu terancam bahaya, Supek,” kata Siauw Bwee. 

Kakek itu mengerutkan alisnya. “Aku heran sekali. Biasanya suheng kami, yaitu ketua lembah, adalah orang yang amat sabar. Ketahuilah bahwa dahulu, ketika Suhu Bu-tek Lo-jin datang ke tempat ini, dia mengangkat tiga orang murid. Pertama adalah Lie Soan Hu yang kini menjadi ketua orang lembah setelah dia terkena pula penyakit kusta yang mengerikan itu. Murid kedua adalah aku sendiri. Namaku adalah Coa Leng Bu, dan berbeda dengan suheng dan sute, aku lebih senang hidup bersunyi diri di tempat ini, mengumpulkan obat-obat untuk kuberikan kepada anak buah suheng di lembah dan anak buah sute di atas tebing. Murid ke tiga adalah Ouw-sute sendiri. Setelah Lie-suheng menderita penyakit kusta, dia menjadi penyabar sekali, bahkan tidak pernah keluar dari lembah. Sungguh pun amat mengherankan kalau sekarang dia menyuruh pembantu-pembantunya menangkap Ouw-sute. Apa lagi semua itu dilakukan tanpa memberi tahu kepadaku....”

“Hemm, benar-benar peristiwa itu mencurigakan sekali dan agaknya perlu kuselidiki sendiri. Kalian jangan khawatir. Biarlah aku menyertai kalian turun ke lembah dan dari tempat ini memang ada jalan rahasia ke lembah yang lebih mudah dilalui. Tentu saja dengan kepandaian yang kalian miliki, tanpa melalui jalan rahasia itu pun kalian akan dapat mencapai lembah, akan tetapi selain hal itu akan makan waktu lama dan perjalanan yang sukar sekali, juga berarti kalian akan menjadi seorang yang melanggar larangan. Mari kita pergi sekarang sebelum terlambat, karena aku menduga bahwa seperti halnya di atas tebing, di lembah sana terjadi sesuatu yang tidak wajar. Sudah terlalu lama aku tidak pernah datang ke lembah atau ke tebing, obat-obat itu hanya diambil saja oleh anak buah yang disuruh Sute atau Suheng.” 

Girang sekali hati kedua orang muda itu. Mereka segera mengikuti Coa Leng Bu pergi meninggalkan pondok dan menuruni tebing melalui jalan turun yang bukan merupakan jalan, melainkan rangkaian akar-akar dan batu-batu yang sengaja dibuat untuk jalan naik turun. Karena ‘jalan’ ini tertutup oleh tetumbuhan, maka kalau tidak bersama kakek itu, tentu Siauw Bwee dan Yu Goan tak mungkin akan dapat menemukannya.

Jalan ini bukanlah jalan mudah bagi orang biasa, akan tetapi bagi mereka bertiga merupakan jalan yang amat mudah, bergantung sana-sini, melompati sana-sini dan mereka dapat turun dengan cepat sekali. Dua orang muda itu merasa girang karena perjalanan kali ini jauh lebih mudah dan cepat dari pada yang mereka lakukan kemarin. Tak lama kemudian mereka sudah mencapai lembah. 

Akan tetapi, begitu ketiganya melompat turun, mereka diserbu oleh belasan orang penderita kusta dan orang-orang penghuni tebing yang tadinya memberontak, juga tampak beberapa orang berpakaian Han yang ikut menyerbu.

“Merekalah yang memberontak di atas tebing!” seru Yu Goan. 

Coa Leng Bu menjadi marah sekali. Ia melompat maju dan membentak, “Mundur semua! Apakah kalian tidak mengenal aku lagi?” 

Akan tetapi orang-orang itu tidak menjawab dan terus menyerangnya!

“Keparat! Setan busuk, mana Suheng? Suruh dia keluar sebelum aku membunuh kalian semua, keparat!”

Akan tetapi orang-orang itu telah menyerbunya dan Coa Leng Bu cepat menggerakkan kaki tangannya merobohkan dua orang penderita kusta. Akan tetapi mereka tidak mundur bahkan kini menerjang dengan senjata-senjata mereka. 

“Twako, kita berpencar mencari Gihu!” Siauw Bwee berseru sambil melawan pengeroyokan orang yang menjijikkan itu.

Karena tidak tahan harus bertanding melawan orang-orang yang begitu mengerikan, setelah mengelak ke sana-sini, Siauw Bwee melesat jauh dan mulai mencari Gihu-nya yang tertawan. Yu Goan mencabut pedangnya dan mengamuk bersama Coa Leng Bu. Betapa pun juga, melihat bahwa tukang obat itu tidak mau menurunkan tangan membunuh orang-orang yang masih murid keponakannya sendiri, Yu Goan juga menggerakkan pedang secara hati-hati agar tidak sampai membunuh orang.

Namun tingkat kepandaian orang-orang lembah itu tinggi dan dia pun seperti Siauw Bwee, merasa jijik di samping rasa kasihan. Maka kini melihat Siauw Bwee telah pergi, dia pun memutar pedang mencari jalan ke luar dari kepungan, lalu melarikan diri ke depan meninggalkan Coa Leng Bu yang masih dikeroyok murid-murid keponakannya sendiri.

Beberapa orang penderita penyakit kusta mengejarnya, termasuk seorang berpakaian Han yang menjadi kawan Ang-siucai. Yu Goan marah sekali terhadap orang ini karena dia tahu bahwa biang keladi semua keributan di tebing mau pun di lembah ini tentulah Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia dapat menduga bahwa setelah gagal di atas tebing, Ang-siucai membawa kaki tangannya dan orang-orang tebing yang dipengaruhinya melarikan diri ke lembah. Hanya dia merasa heran, kenapa sastrawan itu dapat pula menguasai lembah!

Karena marahnya, tiba-tiba dia membalik dan pedangnya menyambar ke arah orang Han yang ikut mengejarnya. Orang itu menangkis, akan tetapi tiba-tiba ia menjerit keras ketika tangan kiri Yu Goan berhasil menotoknya, kemudian mengempit lehernya. 

“Suruh mereka mundur sebelum kupatahkan batang lehermu!” Yu Goan mengancam dan memperkuat jepitan lengannya pada leher orang itu. 

Orang itu ternyata takut mati dan cepat membentak orang-orang penderita kusta untuk mundur. Di samping sifat pengecutnya, orang itu pun cerdik sekali. Agaknya semua kawan Ang-siucai cerdik-cerdik belaka. Orang ini maklum akan kelihaian Siauw Bwee dan Si Tukang Obat, maka dia ingin memancing agar mereka itu berpencar sehingga lebih mudah dikuasai kawannya. 

Setelah semua orang penderita kusta mundur dan mereka membantu pengeroyokan kawan-kawan mereka terhadap Coa Leng Bu dan sebagian mengejar dan mencari Siauw Bwee yang melarikan diri, orang itu berkata, “Ampunkan saya, Taihiap...” 

“Hemm, manusia busuk! Karena engkau menuruti permintaanku, aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi kau harus memberi tahu kepadaku di mana Ouw-pangcu ditahan!” 

Diam-diam orang itu menjadi girang. “Ahhh, kalau begitu cepat, Taihiap. Engkau bisa terlambat. Mereka... mereka tadi sedang menggiring Ouw-pangcu ke tempat pembakaran mayat, hendak membakarnya!” 

“Apa?” Yu Goan terkejut sekali. “Dia... dia... sudah mati...?” 

“Tidak, Taihiap. Belum, akan tetapi tentu akan mati kalau kau terlambat. Mereka hendak membakarnya hidup-hidup!” 

“Keparat! Di mana tempat itu?” 

“Mari kutunjukkan padamu.” 

“Awas kalau kau menjebakku, aku akan menyayat-nyayat tubuhmu menjadi lebih rusak dari pada orang-orang yang dimakan kusta itu!” Yu Goan mengancam. 

“Aku tidak menipumu, Taihiap.” 

Yu Goan mengikuti tawanan itu sambil memegang lengannya. Mereka menuju ke bagian belakang lembah dan tiba di sebuah pintu di mana tampak anak tangga menurun ke bawah. Orang tawanan itu menuruni anak tangga, terus diikuti oleh Yu Goan dari belakang. Ketika tiba di sebuah tikungan, dengan kaget Yu Goan melihat pemandangan mengerikan di bawah anak tangga.

Belasan meter di bawah tempat itu berdiri Ouw-pangcu bersandar tiang, kedua tangannya dibelenggu rantai baja yang panjang dan yang tergantung pada tiang itu. Kayu-kayu kering ditumpuk di sekitar tubuhnya dan beberapa orang penderita kusta telah memegang obor, agaknya mereka sudah siap untuk membakar kayu-kayu kering itu, membakar Ouw-pangcu hidup-hidup! 

Cepat tangan Yu Goan bergerak dan tawanan itu berteriak, roboh dengan tulang pundak putus terbabat pedang. Yu Goan tidak mau melanggar janjinya. Dia tidak membunuh orang itu, hanya merobohkannya saja dengan mematahkan tulang pundaknya. Andai kata orang itu tidak menunjukkan tempat ini, dan andai kata tadi dia tidak berjanji, tentu dia akan membunuh orang ini dan kawan-kawannya yang telah mendatangkan kekacauan di tempat yang tenteram seperti di atas tebing dan di lembah ini. 

“Lepaskan Ouw-pangcu!” dengan suara nyaring Yu Goan membentak sambil melangkah turun melalui anak tangga. 

Enam orang penderita kusta itu menengok dan menjadi kaget. Juga Ouw-pangcu menengok dan melihat Yu Goan, dia berteriak, “Yu-sicu... pergilah tinggalkan tempat berbahaya ini. Jangan memikirkan diriku!” 

“Tenanglah, Gihu. Aku dan Bwee-moi, juga Supek Coa Leng Bu telah turun ke lembah untuk menolongmu dan menghajar pemberontak-pemberontak laknat ini!” 

Mendengar bahwa suheng-nya dan kedua orang anak angkatnya datang dan mereka telah tahu akan pemberontakan yang terjadi pula di lembah, wajah Ouw-pangcu menjadi girang sekali. Ia berteriak keras, kakinya bergerak dan tumpukan kayu bakar di depannya itu terlempar ke kanan kiri. Tiga orang penderita kusta yang memegang obor di tangan menyerang Ouw-pangcu yang masih terbelenggu. 

Akan tetapi pada saat itu Yu Goan telah meloncat maju dan pedangnya berkelebat cepat membuat tiga orang itu terpaksa meloncat mundur dan membatalkan niatnya menyerang Ouw-pangcu dengan api obor. Yu Goan kembali memutar pedangnya, mendesak orang-orang mengerikan itu mundur, kemudian secepat kilat pedangnya membacok rantai panjang yang membelenggu kedua tangan Ouw Teng.

Terdengar suara nyaring dan belenggu itu putus, rantai panjang itu kini tergantung di kedua tangan kakek itu yang segera meloncat ke depan dan membantu anak angkatnya menghadapi pengeroyokan enam orang penderita kusta, Kakek itu mengamuk dan memutar-mutar rantai yang tergantung di kedua tangannya, sedangkan Yu Goan menggerakkan pedangnya menghadapi enam orang yang bersenjata golok.

Biar pun enam orang penderita kusta itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya, namun mereka itu tidak dapat lagi mengerahkan sinkang terlalu kuat karena tulang-tulang mereka sudah rusak dan rapuh. Maka amukan Ouw-pangcu dan Yu Goan membuat dua di antara mereka roboh, sedangkan empat orang lain terdesak hebat. 

“Gihu, kita harus cepat keluar dari sini membantu Supek dan Bwee-moi!” 

“Baik, akan tetapi kita robohkan dulu empat orang pengkhianat ini. Mereka ini termasuk orang-orangnya Sastrawan Ang yang berhasil mempengaruhi lembah dan mengobarkan pemberontakan,” kata Ouw-pangcu. 

Akan tetapi sebelum mereka berhasil merobohkan empat orang itu, dari atas muncul belasan orang lain, terdiri dari penderita kusta, beberapa orang bekas anak buah Ouw-pangcu sendiri dan tiga orang Han. Mereka itu datang dengan cepat lalu langsung mengeroyok Yu Goan dan Ouw Teng. Kakek ketua tebing itu menjadi marah sekali melihat bekas anak buahnya. Sambil memaki-maki dia lalu mengarahkan dua potong rantai itu ke arah bekas-bekas anak buahnya sehingga biar pun dia dikeroyok banyak lawan, dia berhasil merobohkan dua orang bekas anak buah dan juga muridnya itu dengan sambaran dua potong rantai baja, membikin pecah kepala mereka! 

Namun pengeroyokan itu benar-benar membuat Yu Goan dan Ouw-pangcu terdesak hebat. Kepandaian orang-orang penderita kusta itu tinggi, gerakan mereka cepat, dan tiga orang Han itu pun lihai sekali ilmu pedangnya. Mereka berdua dikeroyok di tempat yang sempit oleh belasan orang dan betapa pun mereka mengamuk, dan berhasil merobohkan tiga orang lain, namun Yu Goan terkena tusukan pedang di paha kirinya sedangkan Ouw-pangcu juga terluka oleh bacokan pedang yang dilawan dengan sinkang-nya, namun tetap saja membuat kulit punggungnya terluka dan mengeluarkan darah. 

“Gihu, kita keluar!” Yu Goan berteriak sambil merobohkan seorang pengeroyok lagi dengan sebuah tendangan yang mengenai pusar. 

“Tidak sudi lari sebelum membunuh iblis-iblis ini!” Ouw-pangcu menjawab dan mengamuk lebih hebat. 

“Bukan melarikan diri, melainkan mencari tempat luas!” 

“Hemm, baiklah!” Sambil berkata demikian, Ouw-pangcu mencontoh perbuatan anak angkatnya, membuka jalan sambil memutar kedua rantai baja yang sudah berlepotan darah lawan, kemudian bersama Yu Goan dia lari menaiki anak tangga itu, dikejar oleh sebelas orang lawan, sisa para pengeroyok tadi. Akan tetapi, baru tiba di tengah-tengah, dari atas muncul pula banyak orang musuh! Kini mereka berada di tengah-tengah, dikepung dari atas dan bawah sehingga keadaan Ouw-pangcu dan Yu Goan menjadi repot!

Sementara itu, Siauw Bwee yang pergi lebih dulu mencari Ouw-pangcu, di mana-mana bertemu dengan orang-orang penderita kusta yang mengeroyoknya. Diam-diam Siauw Bwee terkejut juga karena tidak mengira bahwa hampir semua anggota lembah itu agaknya telah dikuasai oleh Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia tidak tahu bahwa di antara mereka ada yang belum dapat dibujuk oleh Ang-siucai, akan tetapi mereka yang masih setia kepada ketuanya juga mengeroyoknya karena kedatangannya sebagai orang luar ternyata merupakan pelanggaran bagi para penghuni tempat itu, pelanggaran yang harus dihukum dengan kematian. 

Akhirnya Siauw Bwee yang selalu dapat menghindari para pengeroyok itu tiba di depan sebuah pondok terbesar. Dia menduga bahwa tentu itu pondok ketua orang lembah. Ia pikir lebih baik menemui ketuanya untuk bicara secara terbuka mengenai hal ini dan minta kepada Si Ketua untuk membebaskan Ouw-pangcu yang dia masih belum temukan ditawan di mana. Kalau ketua lembah menolak, dia akan memaksanya! Ia pikir bahwa jika dia dapat menawan ketua lembah, tentu dia akan memaksanya menghentikan perlawanan anak buahnya, memaksanya membebaskan Ouw-pangcu. 

Akan tetapi, ketika tiba di depan pondok dia segera dikepung oleh belasan orang penderita kusta. Siauw Bwee merasa ngeri sekali dan jijik bukan main menyaksikan keadaan para pengeroyoknya. Juga dia tidak sampai hati kalau harus membunuh orang yang tidak karuan bentuk tubuhnya ini, maka dia hanya mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dan hanya kalau terpaksa saja dia menggunakan pedangnya mendesak mundur mereka. Dia takut kalau-kalau dia akan bersentuhan dengan mereka dan takut kalau ketularan! 

Karena rasa jijik, rasa kasihan dan keraguannya ini maka Siauw Bwee tidak dapat segera membebaskan diri dari kepungan. Kiranya yang mengepungnya kali ini adalah pembantu-pembantu ketua yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari pada anggota biasa. 

“Lihiap, tahan mereka!” tiba-tiba terdengar suara bentakan dan kiranya Coa Leng Bu sudah muncul di tempat itu.

Kakek ini pun disambut serangan oleh empat orang penderita kusta. Seorang di antara mereka menggerakkan sebatang cambuk panjang. Cambuk itu mengeluarkan suara meledak, bagaikan seekor ular hitam yang panjang tahu-tahu telah melibat leher kakek itu. 

“Kalian manusia-manusia gila!” Coa Leng Bu membentak, menangkap cambuk dan mengerahkan tenaga membetot.

Orang yang memegang cambuk berteriak kaget, tubuhnya terbawa oleh sentakan itu dan terbanting ke atas tanah. Begitu terbanting, tulang-tulangnya yang rapuh tak dapat bertahan, maka dengan mengeluarkan suara berkeretek mengerikan lengan kanannya putus, sambungan pundaknya terlepas dan lengan itu terpisah dari tubuhnya, tangan kanannya masih mencengkeram gagang cambuk! Coa Leng Bu menendang lengan itu dan kini cambuk itu berada di tangannya. Dia memutar cambuk, merobohkan tiga pengeroyok lain lalu ia berlari memasuki pondok.

Siauw Bwee merasa ngeri dan jijik sekali menyaksikan peristiwa itu. Ia lalu meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyoknya dan berlari cepat memasuki pondok mengejar Coa Leng Bu. Ketika dia dapat menyusul kakek tukang obat itu, mereka menuruni anak-anak tangga di sebelah dalam pondok dan tampaklah oleh mereka pemandangan yang amat aneh. Ketua orang lembah berbaring di atas dipan, memegangi sebatang bambu berbentuk suling dengan tempat tembakau di ujungnya. 

Kiranya kakek ketua lembah yang keadaannya mengerikan itu sedang menghisap madat! Bau yang tidak enak menyambut hidung Siauw Bwee, membuat dara ini berbangkis, muak dan hendak muntah.

Ketua lembah itu sudah tua sekali, rambutnya jarang dan kepalanya botak, matanya cacat karena pelupuk matanya habis dimakan kusta. Hidungnya tidak berdaging lagi, hanya tampak dua lubang hitam, bibirnya pletat-pletot. Tubuhnya yang tidak berbaju, hanya bercelana hitam itu kelihatan kurus kering dan tangan kirinya yang membantu lengan kanan memegangi pipa madat itu hanya tinggal dua buah jarinya!

Di dekat dipan berdiri seorang laki-laki yang bukan lain adalah Si Sastrawan Ang Hok Ci! Ang-siucai yang menjadi biang keladi segala kekacauan di atas tebing dan di lembah itu. Ang Hok Ci memegang sebatang golok dan dia membalik cepat ketika mendengar suara Siauw Bwee berbangkis tadi. 

“Tarr...!” Cambuk di tangan Coa Leng Bu meledak dan cambuk itu meluncur ke depan, ujungnya membelit tangan Ang-siucai yang berteriak kaget dan goloknya terlepas dari pegangan. 

“Keparat she Ang, mampuslah!” Coa Leng Bu membentak. 

“Sute, jangan kurang ajar!” Kakek yang mengisap madat itu berseru, mulutnya menyemburkan asap putih ke arah muka Coa Leng Bu.

Jarak antara dia berbaring dan tempat Coa Leng Bu berdiri cukup jauh, ada lima meter, akan tetapi asap itu bergulung-gulung cepat sekali menyambar muka Coa Leng Bu yang menjadi gelagapan dan terbatuk. Saat itu dipergunakan oleh Ang-siucai untuk menyambar goloknya karena tangannya yang terbelit ujung cambuk sudah terlepas ketika Coa Leng Bu diserang asap madat yang baunya memuakkan itu.

“Setan tua, kau melindungi pengacau?” Siauw Bwee marah sekali dan sudah akan meloncat maju menghadapi ketua lembah yang amat lihai itu. 

“Lihiap, jangan!” Coa Leng Bu berseru sehingga Siauw Bwee menahan gerakan kakinya. 

“Dia... Suheng... telah terbujuk penjahat...” Ia lalu berpaling kepada suheng-nya yang masih rebah di atas dipan. “Suheng, insyaflah. Dia ini bukan manusia baik-baik. Dia telah mengacau tebing, kini dia mengacau lembah bahkan tentu dia yang membujukmu untuk mengisap racun itu!” 

“Coa Leng Bu, pergilah sebelum kubunuh engkau!” Kakek itu berseru. “Jangan kurang ajar terhadap tamu dan sahabat baikku. Hayo pergi!” 

“Supek, kau hadapi manusia she Ang itu, biar aku yang menundukkan ketua lembah...,” bisik Siauw Bwee. 

“Coa Leng Bu, tidak pergi juga engkau?” Kakek itu kini bangkit duduk dan tangannya memegang sebuah bendera hitam kecil, bendera yang dahulu dilihat oleh Siauw Bwee dipegang penderita kusta untuk menundukkan Ouw-pangcu.

Melihat bendera itu, tiba-tiba Coa Leng Bu menjatuhkan diri berlutut. “Teecu tidak berani membantah...!”

Tiba-tiba Ang-siucai yang melihat kakek tukang obat itu berlutut dan sama sekali lenyap sikapnya melawan, menggerakkan goloknya membacok sambil melompat ke depan.

”Trangggg!” Pedang Siauw Bwee menangkis dan golok itu terpental, sedangkan tubuh siucai itu terhuyung.

“Tolong, Lie-pangcu... perempuan siluman itu lihai sekali!” Ang-siucai berseru minta bantuan ketua lembah.

Akan tetapi Siauw Bwee sudah menyambar lengan Coa Leng Bu dan dibawa lari keluar dari pondok itu. “Supek, mengapa kau selemah itu melihat bendera itu?” 

“Bendera itu adalah peninggalan Suhu. Siapa yang memegangnya mempunyai kekuasaan seperti Suhu sendiri. Bagaimana aku berani melawan?” 

“Hemm, kalau Twa-supek sudah terpengaruh racun dan bujukan manusia she Ang, sebaiknya kita lekas menolong Gihu dan keluar dari neraka ini.”

“Usulmu baik sekali, Lihiap.” Biar pun menjawab demikian, namun sikap kakek tukang obat itu jelas membayangkan kedukaan hebat.

Ketika mereka tiba di luar pondok, kembali mereka dikepung oleh para penderita kusta dan kawan-kawan Ang-siucai. Mereka berdua melawan sambil melarikan diri untuk mencari Ouw-pangcu. 

“Tentu dia ditahan dalam ruangan tahanan atau di tempat hukuman! Mari ikut aku!” Coa Leng Bu berkata sambil melawan para pengeroyok yang selalu menghadang.

Mereka mencari-cari di seluruh perkampungan lembah itu tanpa hasil. Banyak sudah pengeroyok mereka robohkan, namun diam-diam hati Siauw Bwee khawatir sekali karena selain tidak dapat menemukan Gihu-nya, juga tidak kelihatan bayangan Yu Goan!

“Sute benar-benar kurang ajar. Aaahh, tidak kusangka dua orang sute-ku semua menentangku!” Ketua lembah yang sudah kekenyangan menghisap madat itu duduk sambil memijit-mijit kedua pelipisnya, tubuhnya bergoyang-goyang seperti orang mabok.

“Pangcu, orang-orang yang memberontak itu harus dihukum. Aku khawatir sekali kalau mereka berhasil mengacau kemudian merampas kitab-kitab yang amat penting itu. Pangcu berjanji untuk memperlihatkan kitab-kitab itu kepadaku. Bolehkah sekarang aku melihatnya?” Ang-siucai melangkah menuju ke sebuah kamar yang daun pintunya tertutup. 

“Nanti dulu, Sicu. Tidak boleh orang lain masuk ke kamar itu kecuali aku!” Ketua lembah sudah bangkit berdiri dan berjalan terpincang-pincang ke kamar itu, diikuti oleh Ang-siucai yang sudah memegang goloknya lagi. 

“Selain kitab-kitab kuno simpananku yang tidak begitu penting bagiku, di sini kusimpan sebuah kitab yang amat penting dan yang kuanggap sebagai benda pusaka. Kitab itu adalah peninggalan Suhu kepada kami....” 

“Kitab pelajaran Jit-goat-sinkang?” tanya Ang-siucai dan matanya berapi-api penuh gairah. 

“Jit-goat-sinkang termasuk ilmu yang berada di dalam kitab itu. Masih ada ilmu-ilmu silat lain yang tidak dapat diturunkan kepada siapa pun juga. Engkau amat baik kepadaku, Sicu. Maka aku tidak keberatan kalau engkau melihat kitab itu, akan tetapi tidak boleh dibaca atau dibawa pergi. Karena engkau seorang sastrawan, maka aku maklum bahwa engkau suka sekali melihat kitab-kitab kuno, mari masuk...” 

Ketika memasuki kamar, ketua lembah itu terhuyung-huyung, kelihatannya lemas sekali. Diam-diam Ang-siucai menjadi girang karena dia tahu bahwa kakek ini telah mabok madat dan sebentar lagi, seperti biasanya, tentu akan tidak kuat bertahan dan jatuh tertidur nyenyak!

“Yang manakah kitab peninggalan Locianpwe Bu-tek Lo-jin itu, Pangcu?” 

Kakek itu kini sudah lenggat-lenggut dan beberapa kali menguap, kemudian ia hanya dapat menuding ke arah sebuah kitab yang dibungkus kain kuning, terletak di atas meja di sudut kamar, kemudian ia merebahkan tubuhnya begitu saja di lantai terus tidur mendangkur! 

Ang-siucai girang sekali. Cepat ia menghampiri meja di sudut itu, mengambil bungkusan kain kuning, membukanya dan setelah mendapat kenyataan bahwa kitab itulah yang dimaksudkan Lie-pangcu, dia cepat melangkah hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi ketika ia harus melangkahi tubuh Lie-pangcu yang tidur mendangkur di atas lantai, dia berhenti dan melirik dengan sinar mata tajam.

Dia tahu bahwa kakek ini amat lihai, jauh lebih lihai dari pada Ouw-pangcu, maka kalau nanti terbangun dan melihat lenyapnya kitab dan mengejarnya, berarti dia akan menambah seorang musuh yang amat berat. Dia sedang tidur, mengapa tak kubunuh saja? Setelah berpikir demikian, secepat kilat Ang Hok Ci melangkah mundur, memegang goloknya erat-erat lalu mengayun goloknya itu ke arah leher kakek yang tidur pulas. Saking gugupnya, bacokannya meleset dan mengenai pundak Lie Soan Hu, ketua lembah. 

“Crookk!” Pundak itu putus berikut lengan kanan Si Kakek yang pulas.

Akan tetapi mata Ang-siucai terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika ia melihat betapa luka di pundak itu tidak mengeluarkan darah dan Si Kakek masih enak-enak tidur mendangkur! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut dan ketakutan, disangkanya kakek itu mempermainkannya, maka segera ia meloncat ke luar kamar dan memasuki pintu rahasia di sebelah belakang pondok yang sudah dikenalnya, kemudian dia lari dari tempat itu, tidak mempedulikan lagi Siauw Bwee dan kakek obat yang masih mengamuk di luar.

Pada saat itu keadaan Yu Goan dan Ouw-pangcu sudah payah. Tubuh mereka sudah penuh luka dan mereka tahu bahwa dikeroyok dari atas dan bawah anak tangga, mereka tidak dapat melarikan diri lagi. Biar pun banyak pula pengeroyok yang mereka robohkan, namun karena jumlah mereka amat banyak, kedua orang yang sudah luka-luka ini mulai kehabisan tenaga.

“Jangan bunuh mereka, tangkap hidup-hidup!” Teriakan ini keluar dari mulut Ang-siucai yang sudah tiba di tempat itu.

Dia tadi menyaksikan betapa Siauw Bwee dan Coa Leng Bu nengamuk dengan hebat, maka ia menjadi khawatir sekali. Kalau tadinya dia dapat mengharapkan bantuan kakek ketua lembah yang lihai, kini tidak mungkin lagi. Pula, benda yang dicarinya, yang membuat dia mengadakan pengacauan sampai berbulan-bulan di tebing dan lembah, kini telah tersimpan di balik jubahnya. Tugasnya telah selesai, kini tinggal mencari jalan untuk keluar dengan selamat. Melihat Ouw-pangcu dan Yu Goan terkepung rapat, dia melihat jalan ke luar itu, maka segera ia berseru agar menawan dua orang itu hidup-hidup.

Betapa pun juga, seruan ini menyelamatkan nyawa Ouw-pangcu dan Yu Goan. Para pengeroyok menubruk dengan nekat dan akhirnya mereka ditangkap dan ditotok sehingga lumpuh. Ang Hok Ci lalu mengumpulkan kawan-kawannya, yaitu orang-orang Han yang datang bersamanya. Dia datang ke daerah itu seorang diri, tapi diam-diam kemudian disusul oleh dua puluh orang temannya. Akan tetapi sekarang teman-temannya itu hanya tinggal lima orang saja. Selebihnya sudah tewas, sebagaian besar tewas di tangan Siauw Bwee dan Coa Leng Bu.

Dengan cepat Ang-siucai mengempit tubuh Yu Goan dan seorang temannya membawa tubuh Ouw Teng, kemudian mereka berenam meninggalkan tempat itu melarikan diri melalui terowongan yang menembus di puncak tebing di daerah orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu. 

Siauw Bwee dan Coa Leng Bu masih mengamuk, tidak tahu bahwa Ouw Teng dan Yu Goan sudah ditawan dan dibawa lari. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring, 

“Tahan semua senjata! Hentikan semua pertempuran!” 

Mereka semua menoleh dan seketika pertandingan berhenti. Tak jauh dari mereka telah berdiri kakek Lie Soan Hu, ketua lembah yang buntung pundak kanannya. Dengan tangan kiri mengangkat bendera hitam tinggi-tinggi, kakek itu ternyata tidak kehilangan suaranya seperti para penderita lain, ia berkata, “Ang Hok Ci manusia jahat... kitab peninggalan Suhu dirampas dan dilarikan...! Sute... lekas kejar...!” Setelah berkata demikian, kakek itu roboh pingsan. Biar pun luka di pundaknya tidak mengeluarkan darah, akan tetapi tentu saja dia menderita hebat sekali.

Pucat wajah Si Tukang Obat mendengar itu. Dia tahu kitab apa yang dimaksudkan, maka cepat dia berteriak, “Hai, kalian orang-orang yang telah berdosa! Baru sekarang kalian tahu bahwa kalian telah ditipu oleh manusia she Ang itu! Siapa di antara kalian yang mengetahui di mana adanya bangsat itu?”

Beberapa orang penderita kusta menjawab sehingga terdengar suara gaduh tidak karuan yang tak dimengerti oleh Siauw Bwee. Akan tetapi dara ini melihat wajah Si Tukang Obat menjadi terkejut, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan kekhawatiran hebat. 

“Lekas kejar, Lihiap.” 

“Apa sih artinya keterangan mereka?” 

“Si keparat itu telah merampas kitab peninggalan Suhu, telah menawan Ouw-sute dan Yu-sicu dan mereka melarikan diri melalui terowongan yang menembus ke atas tebing.”

“Celaka! Mari kita kejar!” Siauw Bwee berseru dan dia cepat meloncat mengikuti Coa Leng Bu yang sudah lari menuju ke terowongan rahasia yang merupakan satu-satunya jalan yang menghubungkan daerah lembah terpencil ini ke dunia luar melalui puncak tebing tempat tinggal Ouw-pangcu dan anak buahnya.

Siauw Bwee dan Coa Leng Bu terus melakukan pengejaran. Biar pun mereka berdua sudah tertinggal jauh, namun mereka dapat mengikuti jejak enam orang yang melarikan diri dan menawan Yu Goan dan Ouw Teng itu. Jejak mereka menuju ke kota Sian-yang. Ketika mereka tiba di luar tembok kota Sian-yang, mereka melihat Yu Goan duduk termenung menghadapi sebuah kuburan baru! 

“Yu-twako...!” 

Yu Goan melompat bangun dan memandang Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dengan girang. Akan tetapi segera wajahnya menjadi muram ketika ia berkata, “Bwee-moi, Gihu telah meninggal dunia dan inilah kuburannya,” ia menunjuk ke arah kuburan baru. 

“Keparat! Mereka membunuhnya?” Siauw Bwee berteriak marah. 

Yu Goan menggeleng kepala. “Tidak, Bwee-moi, Gihu tewas karena luka-lukanya, terutama sekali karena penyakitnya yang lama kambuh kembali.” 

“Di mana penjahat itu? Bagaimana engkau dapat lolos, Twako?” 

“Bwee-moi, Supek, mereka itu ternyata bukanlah penjahat-penjahat, melainkan utusan-utusan rahasia dari pemerintah. Mereka membebaskan aku di sini untuk mengurus jenazah Gihu. Tadinya mereka menawan kami berdua hanya untuk menggunakan kami sebagai perisai ketika mereka keluar dari lembah. Mereka adalah orang-orang pemerintah dan aku sendiri telah melihat surat kuasa dan surat perintah mereka. Bahkan Ang Hok Ci itu adalah murid dari Bu Kok Tai, koksu negara yang sengaja mengutusnya ke lembah untuk mengambil kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin.”

“Siapa pun dia, jelas dia adalah seorang penipu, pencuri, pembunuh dan pengacau terkutuk!” kata Coa Leng Bu. 

“Yu-twako, di mana mereka?” 

“Mereka memasuki kota Sian-yang untuk menghadap Bu-koksu yang kebetulan berada di kota itu. Aku ditinggalkan di sini untuk mengurus jenazah Gihu. Bwee-moi, setelah kita ketahui bahwa mereka itu adalah utusan-utusan pemerintah, perlukah kita melibatkan diri?”

“Yu-twako! Aku tidak peduli mereka itu utusan pemerintah atau utusan raja sorga mau pun raja neraka! Yang jelas, mereka adalah pengacau-pengacau busuk yang telah menimbulkan mala-petaka di atas tebing dan di lembah, dan mereka telah menyebabkan kematian Gihu, bahkan telah mencuri kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin! Perbuatan mereka itu cukup bagiku untuk memusuhi mereka, tidak peduli mereka itu orang macam apa! Bagaimana dengan pendapatmu, Twako?” 

Yu Goan mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang. “Bwee-moi, maafkan aku. Ayah bundaku dan kakekku telah memesan dengan sungguh-sungguh sebelum aku pergi merantau agar aku tidak melakukan perbuatan yang melawan dan menentang pemerintah, bahkan menganjurkan agar aku membantu pemerintah, menjadi pahlawan dan patriot demi kepentingan tanah air dan bangsa. Karena itu, mana mungkin aku menentang mereka yang ternyata tidak membunuhku, malah membebaskan aku dan memberi surat perkenalan kepada komandan pasukan di Sian-yang? Bwee-moi, harap engkau sadar bahwa mereka itu pun hanya petugas-petugas belaka, dan kalau kita memusuhi mereka sama artinya dengan memusuhi pemerintah. Mungkinkan kita memusuhi pemerintah yang berarti memusuhi bangsa sendiri?”

Siauw Bwee tersenyum pahit. “Twako, banyak orang yang tidak tahu bahwa pemerintah tidaklah sama dengan bangsa! Jalannya pemerintahan berada di tangan raja dan semua pembantunya, dan justeru pembantu-pembantunya yang menjadi pelaksana banyak sekali yang tidak benar dan jahat! Demikian jahat dan liciknya mereka ini sehingga orang-orang yang benar-benar berjiwa pahlawan dapat dianggap pengkhianat, sedangkan pengkhianat-pengkhianat dan penjahat-penjahat macam orang she Ang itu bisa saja dianggap pahlawan!” 

“Aku akan mengejar ke Sian-yang, harus mendapatkan kembali kitab pusaka dan membunuh orang she Ang. Apakah Ji-wi mau ikut?” Coa Leng Bu yang merasa tidak sabar mendengar perdebatan itu berkata dan meloncat ke depan meninggalkan mereka.

“Aku ikut, Supek! Twako, apakah engkau mau pergi juga?”

Yu Goan menggeleng kepala. “Maaf, Bwee-moi, aku tidak boleh melanggar pesan orang tuaku.” 

“Sayang sekali, Twako. Nah, selamat berpisah!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Siauw Bwee telah lenyap dari situ, pergi menyusul Coa Leng Bu yang sudah lari menuju ke pintu gerbang kota Sian-yang.

Yu Goan duduk termenung dan berkali-kali menarik napas panjang. Ia merasa seolah-olah semangatnya terbawa terbang melayang bersama Siauw Bwee. Akan tetapi dia mengerahkan kekuatan batinnya dan akhirnya dia dapat melihat bahwa memang sebaiknyalah demikian. Dengan perbedaan paham ini, yaitu tentang pengabdian terhadap pemerintah maka tercipta jarak antara mereka yang akan meringankan penderitaan hatinya akibat cinta gagal.

Seperginya Siauw Bwee, dia merasa hatinya kosong dan seperti dalam mimpi, Yu Goan mengeluarkan sebuah sampul surat yang ia terima dari Ang-siucai. Surat perkenalan untuk komandan pasukan pengawal kota Sian-yang, di mana dia akan bekerja dan mendapat kesempatan membuktikan dirinya untuk pemerintah seperti yang dianjurkan oleh orang tuanya. Dengan adanya pekerjaan itu, dia akan lebih sibuk setiap harinya sehingga akan terhibur dari luka hati karena berpisah dari Siauw Bwee. 

Setelah hari hampir gelap, barulah pemuda yang patah hati ini bangkit meninggalkan kuburan mendiang Ouw-pangcu dan melangkah perlahan-lahan menuju ke tembok kota Sian-yang yang sudah tampak dari situ.....

Kota Sian-yang adalah kota yang besar dan ramai, bukan saja merupakan kota dagang, akan tetapi juga menjadi kota pertahanan yang dikelilingi sebuah benteng yang amat kuat. Dalam keadaan negara kalut seperti pada waktu itu, musuh mengancam dari pelbagai jurusan, setiap kota besar menjadi benteng pasukan yang kuat dan Sian-yang tidak terkecuali. Bahkan Sian-yang dijadikan kota benteng yang menjadi pusat dari daerah di sekitarnya, menjadi sebuah di antara benteng pertahanan jalan yang menuju ke kota raja. 

Penduduk kota Sian-yang yang padat itu setiap hari masih melakukan pekerjaan seperti biasa, pasar-pasar tetap ramai, tontonan-tontonan masih terus mengadakan pertunjukan, restoran-restoran dan penginapan-penginapan selalu penuh. Pendeknya, seperti biasa, rakyat tidak mau memusingkan pikiran mengenai perang dan pertempuran. Kalau mereka itu tanpa dikehendaki terlanda perang, rakyat mawut seperti rombongan semut diusir, namun begitu mereka dapat menetap di suatu tempat dan perang telah lewat melalui atas kepala mereka yang terinjak-injak, rakyat kembali membiasakan diri dan hidup seperti biasa, tenang dan tenteram.
Di kota ini banyak terdapat tentara pemerintah yang berkumpul di dalam markas dekat tembok benteng yang mengelilingi kota. Setiap hari tampak perwira-perwira pasukan berkeliaran di kota, namun rakyat yang sudah biasa dengan pemandangan ini menganggap biasa saja dan bekerja terus. Karena ini, penghuni kota itu pun tidak merasa heran ketika dalam beberapa hari ini datang kereta-kereta yang terisi pembesar-pembesar militer dan sipil memasuki kota Sian-yang. Bahkan dikabarkan orang bahwa Koksu sendiri berkenan datang ke Sianyang untuk memeriksa keadaan dan memperkuat pertahanan, di samping beberapa orang jenderal yang memegang kedudukan penting. 

Biar pun kedatangan orang-orang besar itu tidak mengejutkan penduduk kota, namun seperti biasa, orang-orang suka melebih-lebihkan cerita mengenai jagoan-jagoan yang turut datang ke kota. Maka ramailah orang membicarakan kehebatan Koksu Negara yang dikabarkan memiliki ilmu kepandaian seperti dewa berkepala tiga berlengan enam! Masih ada lagi beberapa orang jagoan negara yang kabarnya juga berkumpul di kota itu, yang memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah manusia. 

Siauw Bwee dan Coa Leng Bu memasuki kota dan lenyap dalam arus manusia di dalam kota. Mereka menyewa kamar di sebuah rumah penginapan dan ketika pada sore hari itu mereka makan di restoran, mereka mendengar percakapan antara pelayan restoran dan beberapa orang tamu.

Dari percakapan inilah Siauw Bwee dan supeknya mendengar bahwa Koksu telah tiba di kota itu membawa jago-jagonya yang berkepandaian tinggi, di antaranya yang dipuji-puji oleh pelayan itu adalah sepasang setan dampit yang kabarnya belum pernah terkalahkan oleh siapa pun juga! Dan mereka mendengar bahwa pada malam hari itu di dalam gedung kepala daerah akan diadakan pesta menyambut kedatangan Koksu dan para pembantunya.

Setelah selesai makan dan kembali ke kamar masing-masing, Siauw Bwee berkata kepada Coa Leng Bu, “Supek, amat sukarlah untuk mencari orang macam Ang Hok Ci itu di dalam kota sebesar ini di antara puluhan ribu orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah murid Koksu seperti yang diceritakan oleh Yu-twako, maka setelah Koksu sendiri kini datang, tentu mereka akan menghadap Koksu dan si manusia she Ang tentu akan menyerahkan kitab itu kepada gurunya, karena itu, kurasa sebaiknya kalau kita pergi menyelidiki ke gedung pertemuan itu. Kalau benar manusia she Ang itu berada di sana, aku akan menyergapnya!” 

Coa Leng Bu mengerutkan alisnya. “Lihiap, ilmu kepandaianmu amat tinggi dan aku percaya bahwa engkau akan kuat melawan siapa pun juga. Akan tetapi, aku telah mendengar akan kelihaian Bu-koksu dan para pembantunya. Selain berkedudukan tinggi, mereka adalah orang-orang yang menguasai laksaan tentara dan juga memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Karena itu kita harus hati-hati sekali dan kuharap engkau suka menahan sabar, tidak melakukan tindakan sembrono. Kita mengintai dan mengikuti gerak-gerik Ang-siucai itu saja tanpa melibatkan diri dalam pertentangan melawan para pembesar pemerintah. Karena hal itu hanya akan mencelakakan diri saja.”

“Baiklah, Supek. Memang tujuan kita ini hanya merampas kembali kitab dan membunuh manusia she Ang itu, bukan?” 

Malam harinya, dengan pakaian ringkas dan membawa pedang yang digantung di punggung, Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu keluar dari rumah penginapan untuk pergi menyelidiki ke gedung kepala daerah yang menjadi tempat pertemuan para pembesar pada malam hari itu. Seperti biasa, Coa Leng Bu yang berjiwa sederhana itu hanya mengenakan pakaian yang amat bersahaja, bahkan kedua kakinya tetap telanjang tak bersepatu!

Dengan gerakan ringan dan lincah bagaikan dua ekor burung, mereka setelah tiba di dekat gedung itu meloncat ke atas genteng dan berindap-indap mendekati ruangan pertemuan yang terang benderang dan sekelilingnya terjaga oleh pasukan itu. Untung bahwa malam itu gelap sehingga Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dapat bergerak tanpa ada yang melihat mereka. Mereka merayap di atas genteng dengan hati-hati tanpa meninggalkan suara dan akhirnya tiba di atas ruangan itu, menggeser genteng dan mengintai ke bawah. 

Siauw Bwee menyentuh lengan supeknya di dalam gelap ketika ia melihat bahwa orang yang mereka cari-cari, Si Sastrawan she Ang yang telah berhasil menimbulkan pemberontakan dan kekacauan di atas tebing dan lembah, kemudian berhasil merampas kitab pusaka peninggalan Bu-tek Lo-jin, ternyata berada di dalam ruangan itu, duduk berhadapan dengan seorang tinggi besar yang berpakaian panglima tinggi dan beberapa orang jenderal lain. 

Di ruangan itu terdapat belasan orang panglima dan pembesar setempat yang agaknya sedang merundingkan siasat-siasat pertahanan dan perang menghadapi musuh yang banyak. Di samping itu mereka pun saling beramah tamah dan menyambut kedatangan Koksu dengan pesta yang meriah.

Agak janggal memang kehadiran Ang-siucai di meja pembesar tinggi itu. Akan tetapi Siauw Bwee mengangguk maklum ketika supeknya berbisik, “Di depannya itulah Bu-koksu... Ah, kiranya sastrawan licik itu telah bertemu dengan gurunya dan tentu kitab itu telah diserahkan kepada koksu itu!”

Menurut kata hatinya, ingin Siauw Bwee segera meloncat turun membekuk siucai itu dan memaksanya menyerahkan kembali kitab yang dicurinya. Akan tetapi dia bukanlah seorang yang begitu bodoh dan lancang karena tanpa peringatan Coa Leng Bu yang pada saat itu menyentuh lengannya sekali pun, dia tidak akan sembrono melakukan hal itu.

Siauw Bwee cukup maklum bahwa orang-orang di bawah itu tidak boleh dipandang ringan, apa lagi mereka yang duduk di ujung ruangan, yang tak salah lagi tentulah rombongan jago-jago dari Koksu. Yang amat menarik hatinya adalah sepasang laki-laki dampit yang duduk bersanding. Sepasang manusia dampit ini benar-benar menyeramkan, dan mereka kelihatan saling membenci, saling bersungut dan pandang mata yang saling mereka tujukan satu kepada yang lain memandang nafsu membunuh!

Kalau apa yang ia dengar di restoran itu benar bahwa sepasang manusia dampit ini belum pernah terkalahkan, tentulah mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Karena inilah maka Siauw Bwee merasa gatal-gatal tangannya untuk mencoba sampai di mana gerangan kehebatan sepasang orang dampit yang tentu gerakan mereka akan canggung dan saling merintangi itu.

Manusia-manusia dampit itu tidak memakai pakaian militer, juga dua orang kakek yang duduk bersama mereka. Akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar dan kelihatan seperti raksasa yang duduk dalam rombongan ini mengenakan pakaian perang dari baja, membuat gerakan mereka tampak kaku dan berat.

Tiba-tiba Koksu yang tadinya bercakap-cakap dengan Ang-siucai dengan wajah membayangkan kepuasan hati menoleh ke kanan dan berkata, “Hemm, kau baru muncul? Benar-benar manusia malas!” 

Siauw Bwee menoleh ke arah pembesar itu memandang, dan hampir saja ia mengeluarkan jerit kalau tidak cepat-cepat tangan kirinya menutup mulutnya sendiri. Ia membelalakkan mata, napasnya terengah dan setelah menggosok-gosok kedua mata dan berkejap-kejap beberapa kali, barulah ia merasa yakin bahwa orang yang yang tahu-tahu telah duduk di jendela dengan sikap sembarangan, lengan kiri menopang dagu dengan siku ditunjang paha kiri, kaki kanan menginjak lemari, duduk melamun seenaknya di lubang jendela, orang yang baru saja datang dan ditegur oleh Koksu, bukan lain adalah Kam Han Ki, suheng-nya yang amat dirindukannya selama ini!

Sejenak Siauw Bwee hampir tidak percaya akan pandang matanya dan menduga bahwa tentu ada orang lain yang mirip suheng-nya, yaitu seorang di antara pengawal dan jagoan Koksu. Akan tetapi ia melihat sesuatu yang tidak wajar. Sikap orang ini benar-benar luar biasa. Kalau menjadi pengawal Koksu, mengapa sikapnya begitu kurang ajar? Dan bukan hanya Koksu, bahkan semua orang yang menyaksikan sikapnya duduk di jendela seperti itu, seenaknya seolah-olah di situ tidak ada manusia lainnya, agaknya tidak mempedulikan orang ini! Ketidak-wajaran yang cocok dengan ketidak-wajaran kalau Kam Han Ki sekarang membantu Koksu Negara!

Kam Han Ki suheng-nya itu adalah seorang pelarian, seorang buruan, mana mungkin sekarang menjadi pengawal Koksu dan pembantu pemerintah yang telah membunuh kakaknya, Menteri Kam Liong, dan yang telah mengejar-ngejarnya dahulu? Tidak salah lagi, orang itu tentulah Kam Han Ki. Sikapnya yang luar biasa itu menunjukkan bahwa biar pun orangnya Kam Han Ki, akan tetapi pikirannya bukan! Agaknya telah terjadi sesuatu yang menimpa diri suheng-nya itu sehingga kehilangan ingatannya!

“Kam-taihiap! Duduklah di sini!” Bu-koksu berkata dengan suara halus mempersilakan.

Akan tetapi pemuda tampan yang duduk di jendela itu, acuh tak acuh menjawab, “Bu-loheng, engkau dan teman-temanmu enak saja duduk di sini sedangkan di sana itu terdapat dua orang mengintai kalian!” 

Mendengar ini semua orang terkejut, akan tetapi Siauw Bwee dan Coa Leng Bu lebih kaget lagi.

“Lari...!” kata Coa Leng Bu yang merasa kaget bahwa pemuda aneh itu tahu akan kehadiran mereka.

Akan tetapi ia menjadi lebih kaget lagi ketika Siauw Bwee bukan hanya tidak menuruti kata-katanya, bahkan dara perkasa itu kini meloncat ke depan, tepat di atas ruangan itu sambil berseru, “Suheng...!”

Siauw Bwee menjadi gelisah sekali. Jelas bahwa orang itu adalah Kam Han Ki, dan Si Koksu menyebutnya juga Kam-taihiap. Dia tidak heran kalau suheng-nya yang lihai sekali itu dapat mengetahui kehadirannya bersama Coa Leng Bu, akan tetapi mengapa suheng-nya tidak mengenalnya?

Pemuda itu masih bertopang dagu, hanya miringkan mukanya dan mengomel, “Siapa menyebutku suheng?” 

“Suheng! Ini aku, Khu Siauw Bwee...!” Siauw Bwee berseru lagi dan semua orang yang berada di ruangan itu terkejut sekali mendengar bahwa wanita yang suaranya terdengar di atas itu adalah adik seperguruan pemuda aneh yang mereka semua mengenalnya sebagai pengawal nomor satu dari Koksu! 

“Tangkap pengacau itu!” Tiba-tiba Bu-koksu berseru sambil menoleh kepada para pengawalnya yang duduk di sudut ruangan.

Seorang di antara dua pengawal tinggi besar seperti raksasa yang memakai pakaian perang meloncat bangun sambil mencabut goloknya, sebatang golok besar yang tajam mengkilap dan kelihatan berat sekali. 

Siauw Bwee yang menjadi makin gelisah melihat suheng-nya masih duduk enak-enak dan sama sekali tidak memperhatikannya itu tak dapat menahan lagi hatinya. Dia meloncat turun dan berjungkir-balik, tubuhnya meluncur masuk ke ruangan itu melalui pintu belakang. Begitu kedua kakinya menyentuh lantai, pengawal raksasa itu sudah menerjang maju dan goloknya menyambar ke arah pinggang Siauw Bwee.

Dara perkasa ini menjadi marah sekali dan dia tidak ingat lagi akan bahaya. Dia merasa gelisah penasaran dan marah menyaksikan keadaan suheng-nya, marah melihat Ang-siucai, dan kemarahannya memuncak ketika tiba-tiba saja ia disambut serangan. Bagaikan seekor burung terbang tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga sambaran golok itu kalah cepat dan golok menyambar di sebelah bawah kakinya. Karena Siauw Bwee mempergunakan gerakan kilat, maka tubuhnya seolah-olah lenyap, demikian cepat gerakannya sehingga ketika pengawal raksasa itu luput menyerang dan cepat hendak membalikkan goloknya, tiba-tiba kaki Siauw Bwee yang berada di udara itu bergerak ke depan.

“Crot!” 

Pengawal raksasa itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, tangan kirinya mengusap darah yang muncrat ke luar dari hidungnya yang pecah dicium telapak sepatu Siauw Bwee. Dia menjadi marah sekali, lalu menerjang seperti seekor badak terluka, membabi-buta, goloknya yang besar dan berat itu lenyap menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata.

Biar pun hatinya marah sekali bercampur gelisah, Siauw Bwee masih ingat bahwa dia berada di goa macan, bahkan keadaannya berbahaya sekali kalau sampai dia melakukan pembunuhan. Maka mengingat bahwa seorang koksu yang suka menggunakan tenaga orang pandai tentu akan menghargai ilmu silat tinggi, dia mengambil keputusan untuk mengalahkan para jagoan koksu itu, kemudian atas nama kegagahan yang dihargai oleh dunia kang-ouw, minta kembali kitab Bu-tek Lo-jin secara baik dan selanjutnya berurusan dengan suheng-nya dan kalau mungkin, membunuh Ang-siucai.

Keputusan hati ini membuat dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan melawan pengawal raksasa itu dengan kecepatan gerakan tubuhnya. Betapa pun cepatnya sambaran sinar golok yang bergulung-gulung, gerakan tubuh dan kaki tangan Siauw Bwee lebih cepat lagi. Sambaran-sambaran golok itu seperti menyambar asap saja, jangankan mengenai tubuh Siauw Bwee, mencium ujung baju pun tidak pernah! 

Siauw Bwee seperti menari-nari di atas lantai, berputaran dan selalu sambaran golok mengenai tempat kosong. Indah dan aneh sekali gerakan kakinya karena memang dia mempergunakan ilmu gerak kaki kilat yang dimilikinya berkat ajaran Kakek Lu Gan. Dalam menghadapi serangan-serangan golok ini, Siauw Bwee masih sempat mengerling ke arah suheng-nya yang masih duduk di jendela, dan betapa gelisah dan mendongkol hatinya melihat suheng-nya itu masih bertopang dagu dan menundukkan muka, sama sekali tidak tertarik dan tidak menonton seolah-olah tidak terjadi sesuatu di depan hidungnya!

Pertandingan itu membuat mereka yang hadir di ruangan itu melongo. Pengawal raksasa itu adalah seorang yang terkenal amat kuat dan amat lihai ilmu goloknya, namun dalam segebrakan saja hidungnya telah pecah oleh tendangan Si Dara Perkasa, bahkan kini serangannya yang bertubi-tubi itu dihadapi dara itu seenaknya saja, selalu mengelak tanpa membalas namun belum pernah golok itu menyerempet sasarannya. 

Bu-koksu tentu saja dapat mengenal orang pandai. Ia memandang dengan mata berkilat dan wajah berseri. Dia merasa beruntung sekali bisa mendapatkan seorang pembantu seperti Kam Han Ki. Kalau kini gadis jelita yang mengaku adik seperguruan Kam Han Ki itu suka menjadi pembantunya, ahhh, betapa akan senang hatinya, betapa akan aman dirinya dikawal oleh kakak beradik selihai itu.

Diam-diam ia memberi tanda dan pengawal raksasa kedua yang juga berpakaian perang itu meloncat maju sambil menyeret tombaknya, tombak gagang panjang yang beratnya tidak kurang dari seratus lima puluh kati! Begitu sampai di tempat pertempuran, pengawal ini sudah menggerakkan tombak panjangnya dengan lagak seperti Kwan Kong (tokoh sakti dalam cerita Samkok), membantu kawannya menusuk ke arah pusar Siauw Bwee.

Dara itu tadi memang sengaja mempertontonkan kelincahannya, bukan hanya untuk menarik hati koksu agar dapat menghargai kepandaiannya, akan tetapi juga untuk menarik perhatian suheng-nya yang ternyata disambut dengan sikap tak acuh itu. Dia menjadi marah, apa lagi kini melihat pengawal kedua sudah maju. Dengan suara melengking panjang dia sudah mencelat tinggi dan tahu-tahu telah berada di belakang pengawal kedua ini.

Pengawal itu cepat menyodokkan gagang tombaknya ke belakang, menggunakan pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan tadi karena matanya kalah cepat. Akan tetapi kembali Siauw Bwee sudah mencelat ke kiri dan melihat golok menyambar, secepat kilat tangannya mengejar punggung golok lawan dan mendorong punggung golok itu sehingga senjata ini menyeleweng ke arah pengawal kedua yang memegang tombak panjang.

“Tranggg! Heiii, lihat golokmu, jangan ngawur!” Si Pengawal Bertombak mencela kawannya dan dia menggerakkan tombaknya menyerang Siauw Bwee setelah tadi menangkis golok kawannya. 

Kini Siauw Bwee tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi dengan main kelit dan mempertontonkan kelincahannya. Tusukan tombak yang menuju ke ulu hati itu diterimanya begitu saja dan hanya setelah ujung tombak tinggal sejengkal dari dadanya ia mendoyongkan tubuh ke kiri sehingga tombak itu menembus melalui celah-celah di antara dada dan lengan kanannya. Ia menurunkan lengan menjepit leher tombak, memegang gagang tombak dengan tangan kanan dan menarik sambil mengerahkan sinkang.

Pengawal itu terkejut sekali, khawatir kalau tombaknya terampas. Maka dengan kedua tangannya ia membetot gagang tombaknya. Tenaganya memang besar sekali, tenaga gwakang (luar) yang mengandalkan kekuatan otot.

“Hekkk!” Tiba-tiba tubuhnya terjengkang karena Siauw Bwee mempergunakan kesempatan selagi lawan membetot tombak, dia membarengi mendorong dan gagang tombak yang tidak runcing itu tepat menotok dada pemiliknya sehingga seketika napasnya sesak dan perutnya mulas, terjengkang ke belakang dan bergulingan mengaduh-aduh.

Tanpa membalikkan tubuhnya, Siauw Bwee menggunakan tombak rampasan itu menangkis golok yang menerjangnya dari belakang.

“Trangggg!” Bunga api muncrat menyilaukan mata disusul jatuhnya golok yang terlepas dari tangan pengawal itu yang kini tubuhnya menggigil kedinginan.

Ternyata Siauw Bwee ingin menyudahi pertandingan dengan cepat, maka ketika menangkis tadi ia membarengi dengan dorongan tenaga Im-kang yang ia latih di Pulau Es, tidak terlalu kuat karena dia tidak ingin membunuh lawan, namun cukup membuat lawan itu menggigil kedinginan dan lumpuh kaki tangannya sehingga goloknya terlepas dan orangnya pun terguling roboh!

Setelah melempar tombak itu ke atas lantai, Siauw Bwee memutar tubuh menghadapi Bu-koksu lalu berkata nyaring, “Koksu, aku mau bicara tentang suheng-ku Kam Han Ki!” Setelah berjumpa dengan Han Ki, lain urusan tidak ada artinya lagi bagi Siauw Bwee sehingga ia sudah lupa akan maksud kedatangannya semula. 

“Tidak! Kami datang pertama-tama untuk bicara tentang manusia she Ang yang curang!” Tiba-tiba Coa Leng Bu berteriak dan tubuhnya melayang turun di samping Siauw Bwee. 

“Dia itulah Coa Leng Bu, sute ketua lembah, Suhu,” bisik Ang Hok Ci kepada Koksu yang menjadi gurunya. “Biar pun tidak sesakti gadis ini, akan tetapi dia pun amat lihai!”

Koksu memberi isyarat dengan gerak kepala dan pandang mata kepada dua orang jagonya yang lain setelah melihat dua orang jagonya yang pertama keok dan kini dengan muka merah kembali ke kursi masing-masing. Dua orang jagonya yang lebih tinggi tingkatnya itu adalah dua orang pendeta yang aneh.

Yang seorang berpakaian jubah pendeta dengan rambut dipelihara panjang riap-riapan, jubahnya berwarna hitam dan sikapnya angkuh sekali, seolah-olah dia memandang semua orang dan keadaan di sekitarnya itu kecil tiada arti. Usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih namun gerakannya ketika ia bangkit dari kursinya membayangkan kegesitan melebihi seorang muda. Ada pun orang kedua berjubah kuning seperti seorang tosu, mukanya kelihatan sabar dan sikapnya tenang, namun sinar matanya membayangkan kecerdikan, usianya sudah mendekati lima puluh tahun.

“Khu-lihiap, minggirlah. Mana ada aturan orang-orang gagah mengeroyok seorang wanita muda? Biarlah aku yang menghadapi orang-orang berjubah pendeta ini, tua sama tua!” Coa Leng Bu berseru dan melangkah maju.

“Satu lawan satu!” terdengar Bu-koksu berteriak dan agaknya orang berpangkat tinggi itu mulai gembira sekali akan menyaksikan jago-jagonya bertanding.

Mendengar perintah ini, tosu baju kuning berkata kepada kawannya, “Biarlah pinto menghadapi petani kotor itu!” Kawannya yang berambut panjang tertawa mengejek dan melangkah mundur, berdiri di pinggiran seperti halnya Siauw Bwee yang menuruti permintaan supeknya.

Kini dua orang itu saling berhadapan tidak segera saling serang karena mereka saling pandang dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak mengukur tingkat lawan dengan pandang mata, dan hendak saling mengenal siapa yang menjadi lawannya. 

“Majulah, petani busuk!” Tosu itu membentak dan sudah siap dengan pasangan kuda-kuda kakinya. Karena dia melihat lawannya yang berpakaian sederhana itu bertangan kosong, maka tosu ini pun tidak mau mengeluarkan senjatanya, namun diam-diam ia membuka gulungan ujung lengan bajunya sehingga menjadi longgar dan panjang karena kedua ujung lengan bajunya itu baginya merupakan senjata yang cukup ampuh. 

“Taijin, kami datang bukan untuk bertanding, akan tetapi kalau Taijin memaksa dan menghendaki kami memperlihatkan kepandaian, apa boleh buat!” kata Coa Leng Bu dengan suara tenang. 

“Tak perlu mencari muka, sambut tanganku!” Tosu itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang maju, kepalan tangan kirinya menampar muka lawan, disusul dengan tusukan jari tangan kiri ke arah perut.

“Plak-plakk!” Coa Leng Bu menangkis dengan gerakan tangkas dan kuat sehingga kedua tangan lawan itu terpental, kemudian ia melangkahkan kaki telanjang ke depan, langsung menggunakan tangan kirinya yang menangkis tadi untuk balas memukul dada lawan dengan telapak tangan terbuka.

Tosu itu tadi sudah terkejut sekali karena mendapat kenyataan betapa tangkisan lawan yang dipandang rendah sebagai petani busuk itu ternyata mengandung sinkang yang amat hebat dan yang membuat kedua lengannya tergetar. Maka kini dia tidak berani memandang rendah. Ketika dorongan telapak tangan lawan tiba, ia cepat mengelak dan balas menyerang mengandalkan kecepatan ilmu silatnya. Coa Leng Bu menghadapi lawan dengan sikap tenang karena ia maklum bahwa dia akan mampu mengalahkan lawan ini, hanya dia harus dapat menang tanpa membunuh lawan. 

Siauw Bwee yang merasa lega karena dalam beberapa gebrakan saja dia pun maklum bahwa supek-nya itu tidak akan kalah, kini mencurahkan perhatiannya kepada Kam Han Ki yang masih duduk termenung di jendela. Dia terheran-heran dan hatinya gelisah bukan main. Tidak mungkin kalau suheng-nya sengaja bersikap seperti itu! Dia sudah mengenal betul suheng-nya, sudah bertahun-tahun tinggal bersama suheng-nya di Pulau Es.

Suheng-nya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki sejati, seorang yang berhati mulia. Andai kata suheng-nya itu marah kepadanya sekali pun karena dia melarikan diri dari Pulau Es, tidak mungkin sekarang suheng-nya mengambil sikap seperti tidak kenal padanya. Ah, tidak mungkin! Pasti terjadi sesuatu yang amat hebat atas diri suheng-nya dan agaknya hanya koksu itu saja yang mengetahuinya!

Dugaan yang dikhawatirkan Siauw Bwee memang benar. Laki-laki itu bukan lain adalah Kam Han Ki. Mengapa ia bersikap seperti itu, seperti tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya dan hanya ada reaksi kalau ditegur oleh Koksu? Hal ini sebetulnya sudah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu dan untuk mengetahui sebab-sebabnya marilah kita mengikuti pengalaman Kam Han Ki semenjak dia menderita siksa batin melihat bekas kekasihnya, Puteri Sung Hong Kwi, meninggal dunia dalam keadaan sengsara.....
********************
Seperti telah diketahui, tekanan batin membuat Han Ki menjadi seperti gila dan dia mengamuk dan menyebar maut pada pasukan-pasukan Mancu yang dianggap sebagai biang keladi kematian bekas kekasihnya itu. Kemudian ia mengalami pukulan batin kedua ketika dalam pasukan Mancu itu dia berjumpa dengan dua orang murid Mutiara Hitam, bahkan makin hebat lagi pukulan batin ini ketika ia bertemu dengan sumoi-nya, Maya sebagai seorang Panglima Mancu! Hatinya berduka sekali karena dia tidak berhasil membujuk Maya untuk meninggalkan kedudukannya sebagai Panglima Mancu. 

Memang benar bahwa dia dapat menyelami isi hati Maya yang karena kematian orang tuanya, Raja dan Ratu Khitan, menaruh dendam yang hebat terhadap Kerajaan Yucen dan Kerajaan Sung, dan bahwa tindakannya menjadi Panglima Mancu semata-mata untuk dapat membalas dendam itu. Akan tetapi, alangkah sakit hatinya kalau dia memikirkan betapa sumoi-nya yang tadinya hidup tenang dan tenteram jauh dari pada segala keruwetan dunia, apa lagi perang besar, bersama dia dan Siauw Bwee di Istana Pulau Es, kini menjadi seorang panglima perang! 

Harapan satu-satunya hanyalah Siauw Bwee. Kalau dia dapat bertemu dengan sumoi-nya yang kedua itu, agaknya mereka berdua akan mampu membujuk Maya. Dia pun masih bingung sekali mendengar jawaban Maya yang terang-terangan menyatakan cinta kasihnya kepadanya, tanpa mau dibagi dengan orang lain! Maya hanya suka ikut dengan dia kembali ke Istana Pulau Es, meninggalkan semua urusan duniawi, akan tetapi harus hanya mereka berdua, tanpa Siauw Bwee! 

Betapa mungkin dia memenuhi permintaan itu? Betapa mungkin dia mendapatkan Maya dengan membuang Siauw Bwee? Dia mencinta kedua orang sumoi-nya itu, mencinta dengan kasih sayang besar, seperti seorang saudara tua, bahkan seperti pengganti guru dan orang tua! Memang, kadang-kadang dia merasa bahwa ada cinta kasih yang lain dari itu, seperti cinta kasihnya terhadap mendiang Sung Hong Kwi, cinta kasih yang membuat ia rindu akan kemesraan dengan wanita, akan tetapi dia sendiri tidak jatuh cinta kepada keduanya sebagai pengganti Sung Hong Kwi! Ah, dia tidak berani membayangkan hal ini yang dianggapnya terlalu jahat!

Karena tidak dapat memenuhi permintaan Maya, maka sumoi-nya itu pergi membawa pasukannya dan dia sendiri tidak tahu harus mencari Siauw Bwee ke mana? Kemudian timbul keinginan hatinya untuk mencari kedua orang enci-nya, kedua orang kakak kandungnya yang semenjak dia dibawa pergi gurunya, Bu Kek Siansu, belum pernah ia jumpai. Maka pergilah Han Ki ke pegunungan Ta-liang-san, di mana ia dahulu mendengar bahwa kedua orang enci-nya itu belajar ilmu di bawah pimpinan paman kakek mereka sendiri, yaitu Kauw Bian Cinjin. 

Dengan penuh harapan untuk dapat bertemu dengan kedua orang enci-nya, Han Ki melakukan perjalanan cepat ke Ta-liang-san. Luka-lukanya yang ia derita ketika mengamuk barisan Mancu hanyalah luka luar yang biar pun banyak akan tetapi ringan saja. Maka sambil melakukan perjalanan dia mengobati luka-lukanya dan ketika tiba di Ta-liang-san, ia sudah sembuh sama sekali, akan tetapi batinnya tetap tertindih penuh duka dan kecewa. Betapa pun ia berusaha melupakannya, selalu wajah Hong Kwi yang telah meninggal dan wajah Maya yang tidak mau ikut dengannya menggodanya dan setiap kali teringat kepada Hong Kwi, Maya dan juga Siauw Bwee yang belum dapat ditemukannya itu, jantungnya seperti ditusuk karena duka dan kecewa. 

Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika di lereng pegunungan itu, seorang petani menjawab pertanyaannya tentang tokoh-tokoh Beng-kauw, “Di puncak sana sudah tidak ada orang lagi, yang ada hanya kuburan-kuburan!” 

Mendengar ini Han Ki cepat berlari mendaki puncak dan tak lama kemudian ia berdiri termangu-mangu di depan pondok yang sudah rusak dan di depan sebaris kuburan yang tidak terawat lagi. Dengan hati kosong ia melihat nama tokoh-tokoh Beng-kauw di situ, dan di antaranya terdapat nama Kauw Bian Cinjin! Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan paman kakeknya dan membayangkan wajah paman kakek ini yang dulu pernah dilihatnya di waktu ia masih kecil.

Kemudian ia meneliti dan memeriksa dengan hati tidak karuan mencari kuburan kedua enci-nya. Akan tetapi harapannya timbul kembali ketika ia tidak melihat nama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui di antara mereka yang terkubur di situ. Kenyataan ini membesarkan hatinya karena berarti bahwa kedua orang enci-nya itu tidak ikut mati! Semua kuburan, di bawah nama masing-masing yang terkubur terdapat tulisan ‘Gugur dalam mempertahankan Beng-kauw’. Dia makin bingung karena tidak tahu apakah yang telah terjadi dengan Beng-kauw? Ia teringat akan petani tadi, maka kini tanpa mempedulikan kelelahan tubuhnya ia lari lagi menuruni puncak untuk mencari petani tadi.

“Paman, mohon tanya di mana adanya kedua orang wanita yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, yang dahulu tinggal di puncak bersama Kakek Kauw Bian Cinjin?” 

Kakek petani itu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kau maksudkan Ji-wi Kam-kouwnio? Aihhhh... sungguh kasihan mereka. Bagaimana aku tahu di mana mereka itu berada? Semenjak Beng-kauw jatuh ke tangan orang lain, kedua orang kouwnio itu sajalah yang masih hidup, lalu mereka pergi entah ke mana...” Suara orang itu penuh duka dan keharuan. “Aihh, mereka sungguh orang-orang yang amat mulia, sungguh aku heran sekali mengapa kadang-kadang Thian tidak memberkahi orang-orang yang baik hati?” 

“Paman, siapakah yang telah menjatuhkan Beng-kauw? Dan di mana sekarang pusat Beng-kauw?” 

Kini petani memandang Han Ki penuh kecurigaan. “Engkau ini siapakah, orang muda? Aku mana tahu tentang Beng-kauw?” 

Kam Han Ki yang maklum bahwa orang ini mencurigainya, cepat mengaku terus terang. 
“Namaku Kam Han Ki, ada pun kedua orang Kam-kouwnio itu adalah enciku.” 

Tiba-tiba petani itu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis. Han Ki cepat membangunkan orang itu yang segera menyusut air matanya dan bercerita....

“Saya dahulu juga seorang anggota Beng-kauw. Ketika itu muncul seorang bernama Hoat Bhok Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dialah orangnya yang menjatuhkan Beng-kauw, merobohkan semua tokoh-tokohnya kecuali kedua Kam-kouwnio yang berhasil melarikan diri. Anak buah Beng-kauw dipaksa untuk menjadi pengikutnya, dan hanya beberapa orang saja termasuk saya sendiri yang dapat melarikan diri karena tidak sudi menjadi anggota Beng-kauw baru yang dipimpin oleh pendeta Lama itu. Ji-wi Kam-kouwnio dan beberapa orang anggota yang setia menguburkan semua jenazah di puncak itu, kemudian berkali-kali kami mencoba untuk membalas dendam dan merampas kembali Beng-kauw. Namun, pendeta Lama itu terlalu lihai sehingga makin banyak korban. Akhirnya Ji-wi Kouw-nio pergi entah ke mana, mungkin mencari bala bantuan dan habislah riwayat Beng-kauw yang sejati. Beng-kauw yang sekarang berpusat di pegunungan Heng-toan-san adalah Beng-kauw palsu yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama.” 

Han Ki menjadi makin berduka, akan tetapi juga marah sekali. “Terima kasih, Paman. Sekarang juga aku akan mencari Hoat Bhok Lama dan menghancurkan kepala penjahat berkedok pendeta itu!” Sekali berkelebat Han Ki lenyap dari depan petani itu yang melongo dan mencari dengan pandang matanya. Ketika tidak dapat menemukan bayangan Han Ki, dia lalu berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas. 

“Terima kasih kepada Thian yang agaknya menurunkan cahaya terang untuk mengusir kegelapan ini. Semoga dia berhasil!” 

Tanpa mempedulikan kelelahan, Han Ki terus langsung menuju ke Heng-toan-san, melakukan perjalanan cepat siang malam dengan hati penuh kemarahan. Ia mengambil keputusan untuk membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, membebaskan para anggota Beng-kauw dan baru kemudian mencari kedua orang enci-nya yang tidak ada kabar beritanya lagi. Biar pun di sepanjang jalan ia bertanya-tanya orang, agaknya penduduk di sepanjang jalan sungkan untuk bicara sesuatu yang menyangkut Beng-kauw yang kini berubah menjadi perkumpulan agama yang ditakuti orang.

Akan tetapi ketika Han Ki akhirnya tiba di puncak Heng-toan-san, di lembah Sungai Cin-sha yang dahulu menjadi markas besar Beng-kauw yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama, kembali ia mendapatkan tempat yang amat sunyi, hanya tinggal bekas-bekasnya saja, yaitu bangunan-bangunan yang sudah tak terawat. Beberapa orang yang masih tinggal di situ hidup sebagai petani dan kepada mereka inilah Han Ki bertanya. 

“Saudara sekalian, harap suka memberi keterangan kepadaku, di mana aku dapat bertemu dengan Hoat Bhok Lama?”

Begitu Han Ki mengucapkan kata-kata pertanyaan ini, enam orang petani itu langsung menyerangnya dengan cangkul mereka. Gerakan mereka gesit dan kuat, tanda bahwa mereka bukanlah petani-petani biasa, melainkan orang-orang yang pandai ilmu silat. 

Tentu saja Han Ki terkejut bukan main. Akan tetapi begitu tubuhnya bergerak cepat, enam orang itu semua terlempar kembali ke tengah sawah dan terbanting ke dalam lumpur! Untung bagi mereka bahwa Han Ki tidak menggunakan seluruh tenaga sinkang-nya karena Han Ki masih meragukan apakah mereka ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang dicarinya. Kalau dia sudah yakin bahwa mereka adalah kaki tangan pendeta Lama itu, tentu mereka berenam itu sekarang sudah tidak dapat bangkit lagi dan tewas seketika! 

“Hemm, mengapa kalian menyerangku? Apakah kalian ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang jahat?” 

Mendengar ucapan itu, enam orang yang sudah bangkit kembali itu tiba-tiba merubah sikap. Mereka keluar dari lumpur dan melempar cangkul, kemudian menghadapi Han Ki sambil memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka bertanya. 

“Maaf..., apakah Taihiap yang gagah perkasa ini bukan sahabat mendiang Hoat Bhok Lama?” 

“Sahabatnya? Dan apa kau bilang? Mendiang? Jadi manusia iblis itu sudah mati?” 

Enam orang itu menarik napas lega. “Uihh, kiranya Taihiap bukan sahabatnya. Maafkanlah kami karena tadi kami menyangka bahwa Taihiap adalah seorang sahabatnya, maka kami segera menyerang. Memang dia sudah tewas, juga semua kaki tangannya, Taihiap. Kami bersyukur sekali, dan sebelum kami melanjutkan cerita, bolehkah kami mengetahui siapa Taihiap ini? Apakah masih sahabat Suma-taihiap, atau Im-yang Seng-cu, dan kenalkah Taihiap kepada Bu-tek Lo-jin?” 

Han Ki sudah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu tokoh Hoa-san-pai itu, dan nama besar Bu-tek Lo-jin tentu saja sudah didengarnya. Hanya sebutan Suma-taihiap itu membuat ia terkejut karena dia tidak tahu siapa, sedangkan she-nya mengingatkan dia akan keluarga Suma yang jahat sekali.

“Namaku Kam Han Ki, dan aku mencari kedua orang enci-ku, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui.”

“Ahhhhh..., mengapa Taihiap datang terlambat...?” Enam orang itu mengeluh dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis! Persis seperti yang dilakukan petani bekas anggota Beng-kauw di Ta-liang-san itu. 

“Bangkitlah, jangan seperti anak kecil. Kalau Hoat Bhok Lama sudah tewas, demikian pula kaki tangannya, bukankah kalian seharusnya bersuka, mengapa sekarang menangis?”

Orang tertua dari mereka berkata, “Kami adalah bekas anggota-anggota Beng-kauw yang dipaksa menjadi anak buah Hoat Bhok Lama. Setelah Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya dibasmi oleh Bu-tek Lo-jin dibantu oleh Suma-taihiap dan Im-yang Seng-cu, kami berenam tinggal di sini, sedangkan saudara-saudara lainnya kembali ke Nan-cao untuk membangun kembali Beng-kauw yang berantakan oleh perbuatan Hoat Bhok Lama. Akan tetapi... ah... Taihiap... kedua orang kouwnio yang kami hormati dan cinta itu, mereka... mereka telah menjadi korban dan tewas...” 

Seketika pucat wajah Kan Ki, napasnya terasa sesak. Pukulan terakhir ini benar-benar amat hebat baginya, hampir saja dia roboh pingsan kalau dia tidak mengeraskan hatinya. Dengan bibir gemetar dia berkata singkat, “Ceritakan...!”

Orang tertua itu lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi di situ hampir dua bulan yang lalu. Han Ki mendengarkan dengan penuh perhatian dan ia berduka sekali ketika mendengar betapa kedua orang enci-nya terjebak dan terpendam di bawah tumpukan batu-batu gunung. 

“Di mana mereka terpendam? Lekas tunjukkan kepadaku!” 

Enam orang itu lalu menuju ke bukit di mana dahulu kedua orang wanita itu teruruk oleh batu-batu yang amat banyak. Ketika Han Ki tiba di depan gundukan batu seanak gunung itu, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran.

“Pergilah kalian, jangan ganggu aku!” bentaknya.

Enam orang itu cepat menyingkir, saling pandang dan mereka kasihan sekali. Ketika dari jauh mereka melihat Han Ki mulai membongkari batu-batu itu, mereka menggeleng-geleng kepala dan mengira bahwa orang itu menjadi gila saking duka. Akan tetapi maklum bahwa Han Ki amat lihai, mereka tidak berani mendekat, lalu kembali ke sawah mereka dan melanjutkan pekerjaan mereka.

Memang Han Ki seperti menjadi gila saking hebatnya penderitaan batin yang menghimpitnya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, membongkari batu-batu itu dan orang akan terbelalak kagum dan terheran-heran menyaksikan betapa ia melempar-lemparkan batu-batu besar ke dalam jurang seolah-olah batu sebesar kerbau itu hanya merupakan sebongkah kapas yang ringan saja. Hal ini tidak mengherankan karena dalam duka dan marahnya Han Ki telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya.

Saking tekunnya membongkar batu dan mengerahkan seluruh sinkang, Han Ki tidak tahu betapa dari jauh terdapat beberapa pasang mata memandang ke arahnya dengan terbelalak dan penuh kekaguman. Juga ia tidak tahu betapa enam orang tadi kini telah menggeletak di tengah sawah dalam keadaan mati semua!

Dia terus membongkar batu-batu yang merupakan tumpukan sebesar anak gunung itu dan menjelang senja, habislah batu-batu itu dibongkarnya, tenaganya hampir habis dan dengan tubuh lemas ia berlutut memandang dua buah kerangka manusia yang masih berpakaian. Jelas pakaian dua orang wanita, dua orang enci-nya! 

“Aduh, Kui-cici... Hui-cici...!” Ia menangis memeluk dua kerangka manusia itu.

Han Ki kemudian mengumpulkan kerangka itu, memondongnya dan membungkusnya dalam pakaian mereka, lalu menggali lubang tak jauh dari situ dan mengubur dua kerangka itu menjadi dua gundukan tanah. Dengan pengerahan tenaga terakhir ia berhasil menggores-gores dua buah batu sebagai batu nisan, menuliskan nama kedua orang enci-nya dengan goresan jari, kemudian menancapkan batu nisan itu di depan dua kuburan dan ia menangis tersedu-sedu sampai akhirnya ia roboh terguling dalam keadaan pingsan!

“Cepat! Dia pingsan, kita dapat turun tangan sekarang! Jangan sampai dia keburu siuman!” Terdengar orang berkata dan muncullah beberapa orang yang sejak tadi mengintai setelah mereka mendengar penuturan enam orang bekas anggota Beng-kauw kemudian membunuh mereka begitu saja. Orang-orang ini adalah Coa Sin Cu yaitu Coa-bengcu yang bermarkas di Pantai Po-hai, isterinya yang cantik bernama Liem Cun, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin. 

Kedatangan mereka adalah atas usul Pat-jiu Sin-kauw yang masih terhitung adik seperguruan Hoat Bhok Lama, yaitu murid Thai-lek Kauw-ong. Pat-jiu Sin-kauw yang tahu bahwa suheng-nya telah merampas Beng-kauw mengusulkan kepada Coa Sin Cu untuk mengadakan hubungan dengan suheng-nya agar kedudukan mereka menjadi makin kuat. Kunjungan ke situ selain disertai ketua Pantai Po-hai itu dan isterinya, juga turut pula Thian Ek Cinjin, tosu pembantu Coa Sin Cu.

Untung sekali bahwa mereka tadi tidak berjumpa dengan Han Ki, melainkan dengan enam orang petani yang mengira bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Kam Han Ki, maka tanpa curiga mereka menceritakan keadaan Beng-kauw yang sudah hancur, tentang kematian Hoat Bhok Lama dan tentang kedatangan Han Ki membongkar batu segunung yang mengubur dua orang enci-nya.

Mendengar nama Han Ki, mereka terkejut karena nama Han Ki sudah amat terkenal sebagai adik Menteri Kam yang sakti. Mereka lalu membunuh enam orang bekas anggota Beng-kauw itu, kemudian diam-diam mereka mengintai dan menyaksikan dengan penuh takjub betapa pendekar itu membongkar batu-batu besar. 

Ucapan Pat-jiu Sin-kauw tadi memang benar. Biar pun Han Ki hampir kehabisan tenaga membongkar batu-batu tadi, kalau saja dia tidak pingsan, belum tentu enam orang itu akan mampu menandinginya. Kini empat orang itu berlompatan mendekati tubuh Han Ki yang pingsan tak bergerak, kelihatan mereka masih takut-takut kemudian Pat-jiu Sin-kauw hendak menotok tubuh yang pingsan itu. 

“Jangan!” Tiba-tiba Liem Cun, isteri Coa Sin Cu, mencegah. “Orang dengan kesaktian seperti dia ini, siapa tahu tidak akan terpengaruh kalau ditotok. Aku mempunyai akal yang lebih aman bagi kita.” Nyonya yang cantik dan cerdik, bekas murid Hoa-san-pai yang murtad itu mengeluarkan sebuah bungkusan merah, mengeluarkan seguci arak, kemudian menuangkan arak ke dalam cawan. Setelah itu bungkusan dibuka dan dia menjumput sedikit bubuk merah yang ia masukkan ke dalam cawan.

“Buka mulutnya, paksa obat ini masuk ke perutnya!” katanya. 

Melihat Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin ragu-ragu.

Coa Sin Cu tertawa. “Ha-ha, percayalah akan kemanjuran racun isteriku itu. Biar dia dewa sekali pun, kalau minum racun ini dalam waktu sehari semalam dia akan pingsan terus!”

Mulut Han Ki yang sedang pingsan itu dibuka dan arak itu dituangkan ke dalam mulutnya. Karena masuknya arak ini ke perut dan menyumbat tenggorokan, Han Ki siuman dari pingsannya. Ia meronta dan melompat bangun sehingga empat orang itu terlempar ke kanan kiri, akan tetapi Han Ki terhuyung-huyung dan jatuh lagi, pingsan untuk kedua kalinya, akan tetapi kali ini karena pengaruh racun yang dipaksa memasuki perutnya. 

“Hebat, dia lihai bukan main!” Pat-jiu Sin-kauw mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor karena dia tadi terlempar jatuh. 

“Mengapa orang yang berbahaya ini tidak dibunuh saja?” Thian Ek Cinjin berkata sambil mengerutkan alisnya, merasa ngeri menyaksikan kesaktian pendekar itu.

“Ah, dia tepat sekali bagi kita,” kata Coa Sin Cu. “Dia inilah yang akan menjadi pembuka jalan, menjadi kunci ke dalam gedung Bu-koksu. Kalau Pat-jiu Sin-kauw dan Totiang berdua datang menghadap Bu-koksu seperti yang kita rencanakan, menghadap begitu saja, aku masih khawatir kalau-kalau Koksu menjadi curiga dan tidak mau menerima bantuan kalian. Akan tetapi kalau kalian membawa Kam Han Ki sebagai tawanan, tentu dia percaya karena orang ini adalah seorang buruan, musuh pemerintah. Begitu muncul kalian membawa tangkapan yang penting ini, berarti telah membuat jasa besar. Tentu Bu-koksu akan menerima kalian sebagai pengawal dan kalau sudah begitu akan lancarlah usaha kita. Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen tentu akan girang sekali mendengar bahwa kalian sudah berhasil menyelundup ke sana dan menduduki jabatan penting!”

Dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan berangkatlah mereka berdua membawa Han Ki yang pingsan, dan membawa pula bekal obat merah Liem Cun. Setiap sehari semalam, mereka mencekokkan obat merah dan arak ke dalam perut Han Ki sehingga pendekar ini berada dalam keadaan pingsan terus-menerus selama sepuluh hari! 

Tepat seperti yang diperhitungkan oleh Coa Sin Cu, Bu Kok Tai, koksu negara itu menjadi girang sekali ketika menerima dua orang pendeta yang membawa Han Ki sebagai tangkapan itu. Otomatis keduanya diterima dan diangkat menjadi pengawal, akan tetapi koksu yang cerdik itu tidak membunuh Han Ki atau menyerahkan kepada pengadilan kota raja untuk diadili. Tidak, koksu ini terlalu cerdik untuk membunuh Han Ki begitu saja. 

Dia sudah mendengar akan kelihaian pendekar ini, bahkan sudah mendengar akan sepak terjang Han Ki ketika membasmi ribuan orang tentara Mancu, dan tahulah dia bahwa amat sukar mencari seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Kam Han Ki. Alangkah akan kuat kedudukannya, terjamin keamanannya, kalau dia dapat memiliki seorang pengawal seperti ini! Apa lagi kalau dipikir bahwa dia dapat memetik ilmu-ilmu kesaktian dari pendekar ini. 

Akan tetapi tentu saja tidak mungkin membujuk pendekar ini untuk menjadi pengawalnya. Bu Kok Tai tidak kekurangan akal. Di samping ilmunya yang tinggi, dia juga sudah lama tinggal di daerah Himalaya dan dia mempunyai bubuk racun dari Himalaya, buatan seorang pendeta aliran hitam, yang disebut I-hun-tok-san. Bubuk beracun ini dapat dicampurkan dengan makanan atau minuman, dan siapa yang meminumnya akan kehilangan ingatannya dan seperti dalam keadaan dihypnotis, menurut segala perintah orang yang menguasainya pada pertama kali.

Demikianlah, dengan menggunakan I-hun-tok-san ini, Bu-koksu memberi minuman racun ini kepada Han Ki selama tiga hari berturut-turut. Ketika sadar, Han Ki mendapatkan dirinya di sebuah kamar yang amat bagus dan di dekat pembaringannya duduk Bu-koksu yang dengan ramah-ramah memberitahukan bahwa koksu itu menolongnya dari keadaan pingsan dan hampir mati.

Han Ki adalah seorang yang memiliki dasar watak pendekar budiman. Seorang pendekar tidak pernah melepas budi, akan tetapi selalu ingat akan budi orang lain, maka biar pun ingatannya samar-samar dan ia sudah lupa mengapa dia pingsan di bukit dan hampir mati. Kenyataannya bahwa dia berada di situ dan terawat baik membuat ia tidak meragukan lagi akan pertolongan orang lain, maka dia menghaturkan terima kasih.

Demikianlah, dengan amat pandai Bu-koksu mengambil hati Han Ki yang kehilangan ingatannya, bahkan memanggil taihiap dan menganggapnya sebagai seorang adik sendiri. Han Ki disuruh menyebutnya Bu-loheng (Kakak Tua Bu), sebuah sebutan yang amat langka bagi orang lain dan semenjak itu, Han Ki menjadi pengawal Bu-koksu yang amat setia. 

Namun ada hal yang mengecewakan hati Bu-koksu. Biar pun Han Ki tidak kehilangan ilmu kepandaiannya yang sudah mendarah daging dan tidak membutuhkan ingatan lagi, namun pemuda itu sama sekali tidak dapat mengajarkan ilmu silat karena pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori ilmu silatnya! Sebetulnya, agak janggal menyebut Han Ki yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu sebagai pemuda, akan tetapi karena dia memang belum menikah dan wajahnya masih kelihatan seperti seorang berusia dua puluh lima tahun, dia masih patut disebut pemuda! 

Hal lain lagi yang aneh adalah bahwa Han Ki dalam keadaan tidak sadar itu tidak pernah mau mempedulikan urusan lain, bahkan tidak tahu akan sopan-santun dan segala peraturan lain. Hanya ucapan Bu-koksu seoranglah yang ditaatinya dan biar pun tanpa diminta, kalau melihat koksu itu diganggu orang, tentu dia akan turun tangan melindungi. Seperti keadaan seekor anjing yang terlatih dan amat setia.....
********************
Marilah kita kembali ke dalam ruangan kepala daerah, yang tadinya menjadi tempat pesta pertemuan dan kini menjadi medan pertandingan menguji kepandaian itu. Han Ki melenggut di atas langkan jendela, tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Karena Koksu tidak memberi perintah apa-apa, dan juga tidak ada bahaya mengancam Koksu, maka Han Ki bertopang dagu lagi dengan pikiran kosong! 

Seperti telah diduga Siauw Bwee, pertandingan antara Coa Leng Bu melawan tosu yang bukan lain adalah Thian Ek Cinjin itu tidak berjalan terlalu lama dan kini supek-nya telah dapat mendesak lawannya sehingga selalu mundur. Ketika tangan Thian Ek Cinjin terpental bertemu dengan tangan Coa Leng Bu dan kedudukan kakinya tergeser, Coa Leng Bu cepat menerjang dan melakukan tiga kali pukulan tangan kosong berturut-turut. Thian Ek Cinjin berusaha mengelak dan menangkis, namun kalah cepat dan pundak kirinya kena terpukul telapak tangan Coa Leng Bu. 

Ia terjengkang dan roboh, meringis kesakitan akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan kini tangan kanannya memegang sebatang pedang tipis. Coa Leng Bu adalah seorang tokoh yang sudah berpengalaman. Dia tidak khawatir menghadapi lawan yang bersenjata, akan tetapi karena dia tidak ingin kesalahan tangan melakukan pembunuhan, maka ia mendahului. Selagi lawan meloncat bangun, cepat ia menggerakkan tangan memukul dengan sinkang jarak jauh. Thian Ek Cinjin tiba-tiba merasa dadanya dingin sekali, tangannya menggigil dan ia tidak mampu mempertahankan lagi ketika pedangnya dirampas oleh lawannya!

“Kurasa sudah cukup Totiang!” kata Coa Leng Bu sambil melontarkan pedang itu ke arah pemiliknya. Thian Ek Cinjin marah sekali, menyambar pedangnya dan hendak meloncat maju lagi. Betapa dia tidak marah kalau di depan Koksu dia dikalahkan orang seperti itu?

“Mundurlah, Cinjin, biar aku yang melawannya!”

Bentakan ini keluar dari mulut Pat-jiu Sin-kauw yang juga marah melihat kawannya keok. Karena dia maklum bahwa petani tak bersepatu itu cukup lihai, maka begitu menyerang ia sudah mainkan Soan-hong-sin-ciang, tubuhnya berputar seperti gasing dan angin yang keras bertiup ke arah Coa Leng Bu! Kakek ini terkejut sekali, terpaksa kini ia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Jit-goat-sinkang. Kedua lengannya melindungi tubuh sendiri dan kadang-kadang tangannya mendorong ke depan. 

“Ihhhh...!” Pat-jiu Sin-kauw berteriak kaget ketika hawa pukulan yang amat panas menyambarnya dan membuat gerakan berputar menjadi agak kacau.

Tahulah dia bahwa lawannya itu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, maka ia menjadi marah sekali dan menghentikan gerakan tubuhnya berputaran, lalu kedua lengannya bergerak mendorong atau memukul dari bawah ke arah lawan. Dari perutnya terdengar bunyi berkokok. Inilah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang mengandung tenaga sinkang amat dahsyat! 

Menghadapi pukulan-pukulan dahsyat ini, Coa Leng Bu terkejut dan cepat ia pun mengerahkan Jit-goat-sinkang, karena hanya dengan tenaga sinkang ini sajalah ia akan mampu menghadapi lawannya yang tangguh. Mulailah dua orang kakek itu bertanding secara hebat sekali, gerakan mereka tidak cepat sekali, namun setiap gerakan tangan yang memukul atau menangkis mengandung tenaga sinkang yang kuat sehingga angin menyambar-nyambar di sekitar ruangan itu dan terdengar suara bersuitan.

Siauw Bwee memandang kagum. Dia dapat mengukur Jit-goat-sinkang yang dikuasai supek-nya sekarang. Terasa betapa di ruangan itu hawanya menjadi berubah-ubah, kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang sejuk dingin. Itulah pengaruh dari kekuatan Jit-goat-sinkang. Akan tetapi ia pun dapat melihat bahwa supek-nya bukanlah lawan Pat-jiu Sin-kauw yang lihai sekali. Biar pun dengan Jit-goat-sinkang supek-nya masih dapat menahan serangan-serangan Thai-lek-kang, namun ilmu silat supek-nya masih kalah jauh. Begitu pendeta rambut panjang berjubah hitam itu mainkan Soan-hong Sin-ciang, supeknya terdesak hebat.....

Si Sastrawan Ang Hok Ci berbisik kepada gurunya, memberi tahu bahwa Coa Leng Bu mempergunakan Jit-goat-sinkang. Mendengar ini Koksu berkata sambil tertawa! “Ha-ha-ha, jadi hanya begini sajakah Jit-goat-sinkang yang terkenal ini? Kalau hanya begini, mengapa mesti susah payah mendapatkannya?”

Mendengar ini, tahulah Siauw Bwee bahwa sastrawan Ang itu hanya memenuhi perintah gurunya untuk mencari kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin untuk mempelajari Jit-goat-sinkang. Kini mendengar koksu itu mengejek karena memang kepandaian dan kekuatan Coa Leng Bu masih kalah tingkatnya oleh Pat-jiu Sin-kauw, ia merasa mendongkol. Pula dara perkasa ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, supek-nya bisa terluka karena orang macam pendeta rambut panjang itu mana mempunyai pribadi baik dan dapat dipercaya? Salah-salah supek-nya akan terbunuh! 

Tiba-tiba terdengar bentakan Pat-jiu Sin-kauw, “Petani busuk, menggelindinglah kau!”

Ternyata setelah mendesak lawannya dengan hebat, pendeta jubah hitam itu tiba-tiba mengirim serangan hebat dengan Thai-lek-kang yang tak dapat dielakkan lagi oleh Coa Leng Bu sehingga terpaksa dia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Jit-goat-sinkang. Biar pun tangan mereka tidak saling sentuh, namun terjadilah pertemuan tenaga sinkang yang amat dahsyat dan tubuh Coa Leng Bu menggigil, namun dia tetap mempertahankan agar tidak sampai roboh karena dia maklum bahwa kalau dia mengalah dan sampai roboh ia akan celaka di tangan lawannya yang berhati kejam itu. 

“Supek, mundur!” tiba-tiba Siauw Bwee berseru nyaring.

Tubuhnya sudah mencelat ke atas di antara kedua orang yang mengadu tenaga itu dan tiba-tiba dorongan tangannya dari atas memisahkan tenaga dua orang yang sedang saling dorong, bahkan tubuh mereka terjengkang ke belakang. Coa Leng Bu yang maklum bahwa dara sakti itu hendak menggantikannya, dan tahu bahwa dia bukanlah lawan pendeta jubah hitam, segera mundur. Sedangkan Siauw Bwee dengan sikap tenang menghadapi Pat-jiu Sin-kauw yang sudah meloncat lagi memperbaiki posisinya.

Kakek ini memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak penuh kemarahan, lalu menegur, “Kawanmu belum kalah, engkau sudah datang mengeroyok. Aturan mana ini?”

Siauw Bwee tersenyum mengejek. “Biar pun belum kau robohkan, Supek sudah mengaku kalah. Apakah kau belum puas kalau belum melukai atau membunuh? Anggap saja dia mengalah kepadamu dan marilah kita main-main sebentar kalau memang kau ingin memamerkan kepandaianmu!”

Pat-jiu Sin-kauw adalah seorang yang berilmu tinggi. Di depan orang banyak tentu saja dia merasa direndahkan kalau harus melawan seorang dara remaja, maka ia membentak nyaring, “Kalau supek-mu saja sudah kalah olehku, apa lagi engkau keponakan muridnya. Apakah engkau gila hendak melawanku?” 

Siauw Bwee menoleh ke arah Bu-koksu dan berkata nyaring, “Koksu, begini sajakah jago-jagomu? Kalau memang takut melawan aku, mengapa mesti berpura-pura segala? Jagomu ini tidak berani melawanku, harap Koksu suka mengeluarkan jago yang lebih berani!” 

Ejekan ini benar-benar hebat, membuat muka Pat-jiu Sin-kauw menjadi marah. Sebenarnya dia tidak takut, hanya merasa segan dan direndahkan kalau harus melawan seorang gadis remaja. Mukanya menjadi makin merah lagi dan matanya terbelalak marah ketika terdengar suara Bu-koksu, “Pat-jiu Sin-kauw, apakah engkau takut menghadapi anak perempuan itu?” Ucapan koksu ini disambut suara kekeh tawa di sana-sini. 

“Bocah setan, engkau sudah bosan hidup! Sambutlah ini!” 

Dengan gerakan cepat sekali Pat-jiu Sin-kauw menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala Siauw Bwee. Dia memandang rendah sehingga tidak menggunakan Thai-lek-kang, hanya menampar dengan sembarangan saja, namun sambil mengerahkan sinkang. 

“Plakkk!” Tangan yang besar itu tertangkis oleh tangan yang kecll mungil, dan akibatnya... tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpelanting! 

Semua orang berseru kaget, akan tetapi tidak lebih keras dari seruan Pat-jiu Sin-kauw sendiri. Ia cepat meloncat dan mukanya menjadi pucat saking marahnya, diam-diam ia menyalahkan diri sendiri yang memandang ringan dara ini. Sambil berteriak keras ia kini menyerang lagi dengan Ilmu Soan-hong-sin-ciang. Tubuhnya berputaran seperti gasing, membawa angin yang menyambar dan dari bayangan tubuh yang berputaran itu, kedua tangannya meluncur ke luar dan memukul dengan pengerahan tenaga Thai-lek-kang! Inilah serangan yang amat hebat dan yang tadi membuat Coa Leng Bu kewalahan. dengan mengeluarkan dua ilmu ini sekaligus berarti Pat-jiu Sin-kauw sudah marah sekali dan bermaksud membunuh dara itu. 

Semua orang memandang terbelalak, demikian pula Bu-koksu karena pembesar ini sudah mengenal kehebatan ilmu jagonya dan diam-diam ia khawatir kalau-kalau dara yang demikian cantik jelita itu akan celaka dan tewas. Maka ia memandang dengan mata penuh perhatian tanpa berkejap seperti juga semua orang yang berada di situ. 

Betapa heran hati mereka yang menonton ketika melihat dara itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, hanya berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, dan hanya kedua lengannya saja yang bergerak amat cepat sehingga dua lengan itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Anehnya, semua pukulan yang dilakukan Pat-jiu Sin-kauw itu terpental, bahkan setiap kali kakek itu memukul dan tertangkis, tubuhnya terdesak mundur sampai dua tiga langkah!

Tidak ada orang yang dapat mengikuti gerak tangannya, bahkan Koksu sendiri yang lihai juga tidak mengenal gerak tangan itu karena Siauw Bwee mainkan ilmu gerak tangan kilat dari kaum kaki buntung, dan sebagai dasar gerakan, tentu saja ia menggunakan sinkang yang dilatihnya di Pulau Es dahulu dan yang kini, berkat latihan-latihan dan ilmu lain yang dipelajarinya, telah menjadi makin kuat itu. Baik gerakan tangan ilmu silat mau pun tenaga sinkang Pat-jiu Sin-kauw tentu saja tidak mampu menandingi tingkat Siauw Bwee, maka biar pun dara itu hanya menangkis saja, semua serangan kakek itu membalik dan terpental ke belakang. 

Pat-jiu Sin-kauw sendiri merasa terkejut dan heran sekali. Dia tidak tahu bagai mana caranya dara itu menghadapi serangan-serangannya karena dia pun tidak dapat mengikuti kecepatan gerak tangan lawan. Hanya kenyataannya, setiap kali dia memukul, tangannya terpental kembali dan tubuhnya terdorong oleh tenaga raksasa yang dahsyat. Ia merasa penasaran sekali dan marah, karena kalau dia tidak dapat mengalahkan seorang dara remaja seperti itu, tentu namanya akan jatuh dalam pandangan koksu! Maka sambil berseru keras ia menerjang lagi dengan pengerahan tenaga, siap untuk mengadu tenaga sampai mati!

Akan tetapi tiba-tiba dara itu lenyap dari depannya. Cepat ia membalik dan mengayun tangan langsung menyerang setelah pendengarannya menangkap gerakan lawan di belakangnya. Akan tetapi dia hanya melihat bayangan berkelebat-kelebat dan selalu lenyap dari pandang matanya. Pat-jiu Sin-kauw terkejut dan terus mengejar ke mana saja bayangan berkelebat dengan pukulan-pukulannya, namun semua pukulannya luput dan makin lama bayangan Siauw Bwee menjadi makin banyak dan makin cepat gerakannya, membuat kepala Pat-jiu Sin-kauw menjadi pening. 

Bukan hanya Pat-jiu Sin-kauw yang pening kepala dan kabur pandangan matanya, bahkan semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak memandang ke depan, berusaha mengerahkan pandang mata untuk dapat mengikuti gerakan kaki Siauw Bwee yang kini berkelebatan dan amat cepatnya seperti menghilang itu. Siauw Bwee telah mainkan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan buntung, maka gerakannya benar-benar mukjizat dan cepat sekali.

Setelah menganggap cukup memberi pelajaran kepada kakek yang sombong itu, tangan kiri Siauw Bwee bergerak menepuk pundak, kaki kanan menyentuh lutut dan tanpa dapat dipertahankannya lagi, Pat-jiu Sin-kauw jatuh berlutut di depan Siauw Bwee! 

“Aihh, engkau orang tua terlalu sungkan, mana mungkin aku yang muda berani menerima penghormatan ini?” Siauw Bwee berkata sambil melangkah mundur, seolah-olah dia sungkan menerima penghormatan Pat-jiu Sin-kauw yang berlutut di depannya. 

Sejenak Pat-jiu Sin-kauw terbelalak, heran sendiri mengapa tahu-tahu dia jatuh berlutut. Ketika mendengar suara ketawa ditahan di sana-sini, dia marah sekali dan meloncat berdiri, siap untuk menerjang mati-matian mengadu nyawa. 

“Pat-jiu Sin-kauw, cukup! Mundurlah, Nona ini benar-benar lihai sekali, terlalu lihai untukmu. Agaknya hanya Kam-siauwte saja yang tepat menjadi lawannya. Kam-taihiap, harap maju dan kalahkan Nona itu untukku!” 

Pat-jiu Sin-kauw tidak berani membantah dan mengundurkan diri, sedangkan Han Ki yang duduk di jendela, ketika mendengar perintah itu mengangkat muka memandang kepada Koksu, kemudian menoleh dan memandang Siauw Bwee. Nona ini masih berdiri dan juga memandang kepadanya. Pandang mata mereka bertemu dan mulut Siauw Bwee berseru, “Suheng...!”

Akan tetapi ia tahu bahwa sia-sia saja panggilannya ini karena Han Ki memandang kepadanya seperti pandang mata orang asing, bahkan alisnya berkerut sebagai tanda kalau hatinya tidak senang. Tiba-tiba tubuh Han Ki melesat dari jendela itu, melayang dan tiba di depan Siauw Bwee! 

Kembali mereka berpandangan, kini dari jarak dekat karena mereka berdiri saling berhadapan. Hati Siauw Bwee terharu sekali. Wajah suheng-nya kini kelihatan muram ditindih duka, sinar matanya kosong, dan jelas tampak olehnya bahwa suheng-nya itu sama sekali tidak bahagia. Akan tetapi dengan kaget ia pun dapat melihat bahwa suheng-nya sudah siap untuk menerjangnya. 

“Suheng... jangan melawanku...!” Ia berkata dengan hati bingung.

Han Ki memandangnya dengan sinar mata kosong, kemudian terdengar ia berkata, “Bu-loheng menyuruh aku mengalahkan engkau. Aku akan menangkapmu untuk Bu-loheng!” 

“Suheng, ingatlah! Aku Khu Siauw Bwee...! Suheng...!” 

Siauw Bwee cepat menghindar ketika tangan kiri Han Ki meluncur dan mencengkeram pundaknya. 

“Eh, kau pandai juga!” Han Ki yang cengkeramannya luput itu telah membalikkan tangan dan menyambar ke arah lengan Siauw Bwee untuk menangkap lengan itu. Akan tetapi kemball tangkapannya luput! 

“Kam-siauwte, jangan sungkan-sungkan, pukul roboh dia!” Tiba-tiba Koksu berkata nyaring, “Dia datang mengacau!” 

Han Ki mengerutkan alisnya. “Baik, Loheng!”

Dan kini dia menerjang maju memukul ke arah lambung Siauw Bwee. Tentu saja pukulannya mantap dan kuat sekali sehingga Siauw Bwee yang maklum bahwa suheng-nya ini tidak main-main cepat mengelak dan mengibaskan lengan menangkis. 

“Plakkk!”

Tubuh Siauw Bwee terhuyung ke samping karena betapa pun juga, tenaga sinkang-nya masih belum dapat menandingi tenaga Han Ki. Selagi terhuyung, Han Ki sudah mengejar dengan tendangan ke belakang lutut dan tumitnya, tendangan beruntun yang amat berbahaya.

Namun tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas dan bukan hanya dapat menghindarkan diri dari dua kali tendangan, bahkan dari atas dia kini membalas dengan tendangan pula ke arah dada Han Ki! Dara itu kini merasa yakin bahwa suheng-nya kehilangan ingatan, maka dia kini menyerang sungguh-sungguh dengan niat merobohkan Han Ki dan dapat melarikan suheng-nya itu dari situ! 

“Eh, kau lihai!” Kembali Han Ki berseru dan sambil menjengkangkan tubuh ke belakang, tangannya menyambar dan berusaha menangkap kaki Siauw Bwee yang menendang.

”Plakkk!”

Sebelum tangan Han Ki dapat menangkap kaki yang menendang itu, kaki kedua dari dara itu telah menghantam tangannya dari samping sehingga kembali tangkapannya meleset. Akan tetapi pertemuan tenaga itu membuat tubuh Siauw Bwee terlempar lagi. Dara itu berjungkir balik dan dapat turun dengan tegak di atas lantai.

“Aihhh... bagaimana kau bisa sehebat ini?” Han Ki mulai merasa heran dan kini dia menerjang dan mengirim serangkaian serangan pukulan yang mendatangkan angin dahsyat.

Siauw Bwee tentu saja mengenal pukulan-pukulan ini dan cepat dia menghadapinya dengan elakan dan tangkisan. Diam-diam ia merasa terharu dan juga bingung sekali. Menghadapi suheng-nya seperti ini, teringat ia akan keadaan mereka ketika berlatih di Pulau Es dahulu. Akan tetapi dia tahu bahwa saat ini suheng-nya bukannya sedang berlatih, melalnkan menyerangnya dengan sungguh-sungguh! 

“Hebat, engkau Nona! Sungguh menarik sekali dan menyenangkan dapat berlatih ilmu denganmu!” Ucapan Han Ki ini membuktikan akan dasar wataknya yang baik, dan bahwa dia tidak akan mempunyai niat kejam terhadap lawan, karena terpaksa oleh perintah Koksu maka dia berusaha merobohkan dan menangkap Siauw Bwee. Akan tetapi ucapan yang tidak sengaja itu membuat Siauw Bwee makin terharu dan dua titik air mata menetes turun. 

“Wuuutttt!” 

“Aihhh... plakkk!” Hampir saja Siauw Bwee roboh oleh air matanya sendiri.

Karena terharu dan matanya menjadi kabur oleh air mata, totokan tangan kiri Han Ki hampir mengenai sasarannya, yaitu di lambung kanan. Untung ia masih cepat dapat menggerakkan kakinya yang telah memiliki ilmu gerak kaki kilat dan dapat pula menangkis totokan ltu dengan tangan kanannya. Kemudian ia terhuyung dan kini Siauw Bwee terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, bahkan dia juga harus menggunakan ilmu gerak kaki tangan kilat untuk mempertahankan diri. Biar pun demikian, dia masih selalu terdesak dan tidak mampu balas menyerang, sungguh pun sampai sekian lamanya Han Ki belum dapat merobohkannya!

Coa Leng Bu memandang bingung. Mendengar disebutnya suheng oleh Siauw Bwee dia dapat menduga bahwa tentu laki-laki yang amat lihai itulah penghuni Istana Pulau Es, murid dari Bu Kek Siansu. Melihat jalannya pertempuran yang demikian hebatnya, ia maklum bahwa murid keponakannya itu takkan dapat menang, dan untuk membantu pun ia merasa bahwa kepandaiannya terlampau rendah. Gerakan dua orang itu amat hebat, amat indah, dan sukar dimengerti karena mengandung keanehan. Kalau sampai Siauw Bwee tertawan, dia akan mengamuk dan mengorbankan nyawa karena maklum bahwa kalau dara sakti itu saja masih kalah, apa lagi dia!

Pada saat itu, terdengar suara gaduh sekali di luar gedung. Mula-mula suara itu terdengar dari jauh, makin lama makin dekat. Terdengar teriakan-teriakan, bahkan tanda bahaya dipukul gencar dan derap kaki kuda hilir-mudik disambut suara orang-orang berlari-lari bingung. Semua orang yang berada di ruangan itu menoleh ke arah pintu dengan heran, akan tetapi Han Ki dan Siauw Bwee tetap bertanding dengan hebat. Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siauw Bwee menghadapi peristiwa itu. Kalau saja Han Ki tidak dalam keadaan kehilangan ingatan seperti itu, kalau saja dalam keadaan wajar suheng-nya itu menyerangnya, tentu dia akan menyerah dan tidak berani melawan. 

Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Suheng-nya itu bergerak atas perintah lain orang, bergerak di luar kesadarannya dan seolah-olah bukan suheng-nya yang menyerangnya, melainkan orang lain, seorang pengawal dari Koksu! Karena inilah maka Siauw Bwee melawan sekuatnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kepandaiannya, bukan hanya untuk menjaga diri, melainkan juga kalau mungkin untuk merobohkan dan menawan suheng-nya untuk melarikannya. 

Akan tetapi ternyata olehnya bahwa biar pun Han Ki kehilangan ingatannya, namun sama sekali tidak kehilangan ilmu kepandaiannya! Dan baru sekarang setelah bertanding benar-benar, bukan main-main dan bukan latihan, Siauw Bwee mendapat kenyataan betapa hebat kepandaian suheng-nya. Dia yang sudah merantau dan banyak mempelajari ilmu tambahan yang tinggi-tinggi tingkatnya, terutama ilmu gerakan kilat, kini berhadapan dengan suheng-nya dia benar-benar tidak berdaya! 

Dia hanya mampu mempertahankan diri, mengelak dan menangkis, sama sekali tidak diberi kesempatan membalas. Bahkan dia mengerti benar bahwa kalau suheng-nya itu tidak memiliki dasar watak yang baik, kalau suheng-nya kejam dan bermaksud membunuhnya, agaknya pertandingan itu tidak berjalan terlalu lama! Hanya karena suheng-nya bermaksud menawan tanpa membunuhnya sajalah yang membuat dia masih dapat bertahan sampai ratusan jurus lamanya!

Selanjutnya baca
ISTANA PULAU ES : JILID-15
LihatTutupKomentar