Istana Pulau Es Jilid 13

“Aiihhh..., semua tempat kacau-balau oleh perang. Dalam keadaan sekacau ini, mana mungkin mencari orang? Ahhh, Suheng... di manakah engkau...?” Siauw Bwee menghela napas berulang-ulang sambil duduk termenung menghadapi api unggun yang dinyalakannya di tengah hutan sunyi itu.
Berbulan-bulan lamanya ia melakukan perjalanan tanpa tentu arah dalam usahanya mencari dua orang dengan perasaan hati yang berlawanan. Yang seorang dicarinya dengan hati penuh rindu dan kasih, yang kedua dicarinya dengan dendam dan benci. Namun sudah banyak kota dijelajahi, hutan-hutan dimasuki dan bukit-bukit didaki, sudah banyak ia menyaksikan perang dan kekacauan, belum juga dia dapat menemukan orang-orang yang dicarinya, yaitu Kam Han Ki suheng-nya dan Suma Kiat musuh besarnya.

Tersorot cahaya api unggun yang kemerahan itu, Siauw Bwee kelihatan amat cantik jelita. Rambutnya yang panjang dan mawut itu mengkilap, kedua pipinya kemerahan tersentuh sinar api, matanya yang merenung itu kadang-kadang berkilat. Dara jelita yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu duduk bertopang dagu. Kudanya menggerogoti rumput kurus tak jauh di depannya. 

Semenjak meninggalkan Pulau Es, di dalam perantauannya Siauw Bwee telah mengalami banyak hal yang hebat, telah pula mematangkan ilmu-ilmunya dan telah menerima ilmu-ilmu baru yang tinggi. Terutama sekali ilmu yang diterimanya dari kakek Lu Gak, yaitu gerakan kaki tangan kilat, benar-benar membuat Siauw Bwee menjadi seorang dara sakti yang akan sukar dikalahkan lawan. Namun dara yang berilmu tinggi dan cantik jelita seperti bidadari ini ternyata tidak berbahagia seperti yang disangka semua orang yang melihatnya. Tidak sama sekali, dia kini duduk termenung penuh penasaran, kekecewaan dan kedukaan. 

Kewaspadaan seorang ahli silat tinggi setingkat Siauw Bwee amat luar biasa sehingga seolah-olah penglihatan, pendengaran dan perasaannya menjadi satu dan selalu siap menjaga diri. Namun segala kewaspadaan akan hilang apa bila manusia dikuasai perasaan duka yang membuat semangat tenggelam. Siauw Bwee benar-benar sedang tenggelam di lautan duka sehingga perlahan-lahan matanya berkilau basah, berkumpul di pelupuk membentuk dua butir mutiara yang turun bergantung pada bulu matanya yang panjang lentik.

Ia teringat akan nasibnya. Ayahnya sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia harus menerima kematian sebagai seorang pemberontak. Ibunya harus meninggal dunia dalam keadaan merana berduka. Kemudian ia terpaksa harus berpisah dari suci-nya Maya dengan kandungan dendam di dalam hati. Dan akhirnya ia harus berpisah dari suheng-nya dengan kandungan rindu dan kasih tak sampai di hatinya.

Siapa yang takkan berduka? Sementara itu, semua ketidak-senangan hatinya yang hendak ia tumpahkan dalam pembalasan dendam terhadap diri Suma Kiat, tak juga dapat terlaksana karena dia belum berhasil menemukan musuh besarnya itu. Ada didengarnya bahwa Suma Kiat memimpin pasukan besar melakukan perang terhadap barisan Mancu, akan tetapi setiap kali ia mengejarnya, dia selalu kecelik atau tidak berkesempatan turun tangan.

Tentu saja tidak mungkin baginya untuk nekat menyerbu barisan yang laksaan orang banyaknya untuk mencari musuh besarnya itu. Hal ini akan berarti pemberontakan dan sebagai puteri tunggal Panglima Khu Tek San yang berjiwa pahlawan, dia tidak mau menambah cemar nama ayahnya dengan melawan pasukan pemerintah yang berarti pemberontakan!

Biar pun ayahnya tewas di tangan para pengawal Sung, namun yang ia persalahkan dalam hal ini hanyalah Suma Kiat karena orang itulah yang menjadi biang keladinya. Dalam keadaan melamun tak berketentuan arah pikiran dan perasaan hati itu, teringatlah Siauw Bwee akan bunyi sajak yang pernah dibacakan ayahnya, seorang ahli silat dan juga penggemar sastra. Sajak keluhan sastrawan yang kesunyian, seperti dirinya di saat itu. 

Kosong melengang... pikiran melayang
mengejar kenangan dihimpit kesunyian...
seperti iblis mentertawakan bunyi daun berkelisik
Kerik jengkerik, kerok katak, kokok burung hantu
di luar bising... namun betapa sunyi melengang terasa di dalam
seribu suara malam, menambah rasa kesepian...

Teringat akan sajak ini, dua butir mutiara air mata menyusul dua yang pertama, menitik ke atas pipi. Siauw Bwee menarik napas panjang dan memandang kudanya yang makan rumput kurus. Terhibur sedikit hatinya. Dia tidak sendirian sama sekali. Masih ada kudanya. Terdorong oleh perasaan senasib sependeritaan, Siauw Bwee bangkit berdiri, mendekati kuda itu dan mengelus bulu leher binatang itu.

“Aihh, kudaku yang setia. Sesungguhnyalah, seperti dikatakan sastrawan yang kesepian itu, sunyi timbul dari dalam hati, bukan dari keadaan di luar tubuh. Kalau tidak begini besar rinduku kepada Suheng, dendamku kepada si keparat Suma Kiat, kedukaanku karena kematian Ibu, agaknya malam ini akan terasa lain sekali, sama sekali tidak sunyi lagi. Aihhhh...” 

Betapa pun tinggi ilmu kepandaian silat yang dimiliki Siauw Bwee, namun dia hanyalah seorang dara remaja yang belum matang batinnya. Kepandaian yang dimilikinya hanyalah kepandaian lahiriah. Kalau setinggi itu pengertian batinnya, tentu dia akan tahu bahwa yang membuat orang merasa merana dalam kesunyian adalah karena dia belum dapat menyatukan diri dengan keadaan sekelilingnya. Melihat kudanya, dia menemukan hiburan karena ada rasa persatuan di dalam hatinya terhadap binatang itu.

Kalau dia memiliki perasaan persatuan yang sama terhadap sekelilingnya, terhadap suara binatang-binatang kecil yang tak tampak, terhadap berkelisiknya daun, terhadap angin, terhadap kegelapan malam, menyatukan diri dengan alam dan seisinya, tentu tidak ada lagi penderitaan batin yang merana karena kesepian itu. Hanya manusia yang dapat menyatukan diri dengan alam dan seisinya, baik yang tampak mau pun yang tidak, dialah yang akan dapat merasakan betapa bahagia hidup ini, betapa kecil artinya hal-hal yang menimpa dirinya dan yang dianggapnya tidak menyenangkan. 

Persatuan dengan alam dan seisinya, termasuk manusia dan segala makhluk, membuka rasa kasih yang akan menerangi hidup dan akan musnah segala perbandingan, segala perbedaan, segala iri hati, segala dendam dan kebencian! Betapa sulitnya! Sulit? Tidak, sama sekali tidak bagi yang sadar dan yang sudah dapat mengenal diri pribadi, dapat menyaksikan dengan mata batinnya akan segala nafsu dan kekotoran yang menyelubungi dirinya. Karena manusia selalu menunjukkan pandangan matanya ke luar, tidak pernah ke dalam, maka dia tidak akan melihat semua itu dan tidak dapat menjadi sadar.

Perasaan sengsara yang menekan batin Siauw Bwee membuat dara ini lengah dan kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu bahwa semenjak tadi, ada sepasang mata yang mengintainya, sepasang mata seorang pemuda tampan yang duduk di atas cabang pohon tinggi. Pemuda itu telah berada di atas cabang pohon ketika Siauw Bwee datang ke tempat itu dan membuat api unggun. Semenjak tadi pemuda ini memandang dengan mata penuh kagum terpesona oleh kecantikan dara remaja itu. 

Pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan ini adalah seorang pendekar muda yang belum lama keluar untuk merantau meluaskan pengalaman. Dia belum terkenal di dunia kang-ouw, karena wataknya yang halus, sesuai dengan pendidikan ayah bundanya, membuat dia tidak pernah bentrok dengan orang lain, padahal pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia bernama Yu Goan. 

Ayahnya adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi bernama Yu Siang Ki, putera ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang yang terkenal. Ada pun ibunya adalah seorang yang berilmu tinggi pula, tidak hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi terutama sekali dalam hal ilmu pengobatan karena ibunya itu puteri dari Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin (Kakek Gunung Ahli Obat)! Ayah dan bundanya kini membuka toko obat dan dari kedua orang tuanya, Yu Goan mewarisi ilmu silat asli dari Khong-sim Kai-pang dan ilmu pengobatan dari raja obat Yok-san-jin Song Hai. Dengan bekal ilmu kepandaian yang tinggi ini, orang tuanya, juga kakeknya, memperkenankan pemuda ini merantau untuk meluaskan pengalaman. 

Malam itu kebetulan sekali Yu Goan bermalam di dalam hutan itu, duduk di atas cabang pohon dengan aman sampai munculnya Siauw Bwee yang membuat ia bengong terlongong dan memandang penuh kagum. Hatinya ikut merasa terharu ketika melihat dara itu termenung dan berduka seorang diri.

Menurutkan dorongan hatinya, ingin sekali ia meloncat turun dan berkenalan, namun pendidikannya sebagai seorang pemuda terpelajar dan sopan membuat ia menahan hatinya dan tidak berani turun, bahkan tidak berani berkutik, khawatir kalau-kalau ketahuan dan disangka seorang pengintai kurang ajar. Dia hanya berdoa dalam hatinya, mudah-mudahan dara itu tidak melakukan hal yang tidak-tidak, misalnya berganti pakaian, melepas sepatu dan lain perbuatan yang akan membuat dia tersudut dan menjadi makin kurang ajar tampaknya. 

Tiba-tiba pemuda itu terkejut dan matanya terbelalak memandang jauh. Apakah benda-benda mencorong yang muncul di belakang gadis itu? Seperti mata harimau! Ada tiga pasang banyaknya! Otomatis tangan pemuda ini meraba ke pinggang, di mana disimpannya beberapa buah senjata rahasia, siap melindungi dara itu kalau betul ada tiga ekor harlmau merunduknya! 

Siauw Bwee tiba-tiba meloncat dan membalik.

“Srattt!” sinar kilat tampak ketika ia mencabut pedangnya.

Yu Goan memandang makin kagum. Bukan main, pikirnya. Gerakan dara itu sedemikian gesit dan ringannya, dan cara mencabut pedang tadi pun menunjukkan gerakan seorang ahli! 

Karena terhibur oleh kehadiran kudanya, kewaspadaan Siauw Bwee timbul kembali dan telinganya dapat menangkap gerakan di belakangnya. Ketika ia membalik dan melihat tiga pasang benda mencorong di balik semak-semak, ia terkejut dan juga menduga bahwa tentulah itu tiga pasang mata binatang buas, entah harimau entah apa.

Akan tetapi begitu ia membalik dan mencabut pedangnya, tiba-tiba tiga pasang benda mencorong itu pun lenyap, seolah-olah api yang ditiup padam. Dia menjadi penasaran. Tidak ada manusia atau binatang yang boleh mengintainya kemudian melenyapkan diri begitu saja sebelum dia tahu benar apa dan siapa mereka itu! Tubuhnya berkelebat dan sekali melesat bayangannya lenyap dari pandang mata Yu Goan yang melongo terheran-heran penuh kekaguman.

Dengan gerakan kilat, gerakan yang kini jauh melebihi kecepatannya ketika sebelum ia mempelajari ilmu gerakan kaki tangan kilat, Siauw Bwee berloncatan ke sana-sini, mencari-cari. Akan tetapi tidak menemukan seorang pun manusia atau seekor pun hewan! Terpaksa ia kembali ke dekat api unggun memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan diam-diam ia merasa bulu tengkuknya berdiri.

Apakah benda-benda mencorong yang dilihatnya tadi? Apakah pandang matanya keliru? Ah, tidak mungkin! Jelas ia melihat enam buah benda mencorong, tiga pasang dan melihat jaraknya tentulah merupakaan tiga pasang mata. Akan tetapi, mata apa? Andai kata binatang, atau manusia, tentu dapat ia kejar. Akan tetapi benda-benda itu lenyap begitu saja tanpa meninggalkan suara apa-apa! 

Seluruh urat saraf di tubuh Siauw Bwee menegang dan dia berdiri dengan sikap waspada, menanti munculnya benda-benda aneh itu, pedang masih di tangan. Hampir setengah jam ia berdiri tanpa bergerak seperti itu, tidak tahu bahwa ada dua buah mata, sepasang mata yang tidak mencorong, mata manusia, mengintainya jauh di atas dengan melongo penuh kagum. 

Api unggun bergoyang-goyang mengecil dan hal ini menyadarkan Siauw Bwee bahwa tidak ada apa-apa yang mengancamnya. Apa pun juga adanya tiga pasang benda mencorong tadi, yang pasti mereka itu tidak ada lagi sekarang. Ia menghampiri api unggun, menambah kayu hingga api unggun menyala lagi, apinya makan kayu kering dengan lahapnya. Kini Siauw Bwee sudah duduk lagi, akan tetapi bukan duduk melamun seperti tadi, melainkan duduk sambil menanti dengan penuh kesiap-siagaan. Kini semua ketajaman pendengarannya dipasang dan suara yang tidak wajar sedikit saja tentu akan dapat ditangkapnya. Dia mengambil keputusan untuk bergerak secepatnya dan tidak akan membiarkan makhluk itu sempat melenyapkan diri kalau berani muncul lagi.

Yu Goan yang berada di atas pohon dan tadi juga melihat tiga pasang benda mencorong itu, tidak kalah tegangnya. Tegangnya dua kali lipat, karena selain tegang memikirkan benda-benda aneh itu, juga tegang menyaksikan sikap dara jelita yang ternyata dapat bergerak seperti menghilang itu. Dia pun memasang mata penuh perhatian. Karena berada di tempat tinggi, dia lebih awas dari pada Siauw Bwee yang pandangan matanya terhalang oleh pohon-pohon dan tetumbuhan lain. 

Tiba-tiba Yu Goan bergerak, hampir lupa dan hampir berseru ketika ia melihat lagi benda-benda mencorong muncul di sekitar tempat itu, tidak lagi hanya tiga pasang, melainkan banyak sekali! Untung baginya bahwa Siauw Bwee juga melihat sehingga gadis itu tidak mendengar gerakannya di atas dan kini tubuh Siauw Bwee telah lenyap ketika dara ini berkelebat meloncat dengan pedang di tangan. Siauw Bwee berseru heran karena tiba-tiba begitu ia bergerak, benda-benda mencorong itu ‘padam’ dan lenyap, juga sekali ini dia tidak berhasil menemukan sesuatu biar pun dia sudah berloncatan ke sana ke mari di sekeliling tempat itu. 

Kini Siauw Bwee kembali ke tempatnya dengan muka penuh keringat. Hatinya ngeri sekali. Belum pernah ia merasa ngeri seperti saat ini. Dia bukanlah seorang penakut, sama sekali tidak. Akan tetapi apa yang dialaminya di hutan ini benar-benar amat menyeramkan. Tentu iblis-iblis penghuni hutan yang mengganggunya! 

Dia tidak akan gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimana pun. Akan tetapi melawan iblis? Uhh, kalau saja malam tidak begitu gelap, kalau saja matahari telah muncul, tentu ia akan segera meninggalkan hutan berhantu ini! Siauw Bwee menghela napas, tak berdaya. Terpaksa ia harus melewatkan malam di tempat menyeramkan ini. Dia duduk kembali, perlahan-lahan dan tidak pernah mengalihkan perhatiannya dari keadaan di sekelilingnya. 

Tiba-tiba Siauw Bwee yang baru menekuk lutut untuk duduk kembali itu menyambar segenggam tanah di dekat kakinya dan tangannya terayun sambil tubuhnya diputar. Segenggam tanah itu mengeluarkan suara bercicitan ketika meluncur ke atas, ke arah pemuda yang menjadi terkejut bukan main.

“Wuuuuttt! Trakkk!” Biar pun hanya segenggam tanah dan pasir, namun cabang pohon yang tadinya diduduki Yu Goan menjadi patah terkena hantamannya.

Pemuda itu sudah meloncat dengan gerakan ringan, melayang turun sambil berseru, “Heit, saya bukan musuh...! Harap Nona tidak salah sangka, saya bukanlah makhluk-makhluk mengerikan yang memiliki mata mencorong itu!” 

Siauw Bwee memandang tajam ke arah wajah pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu, tangannya meraba gagang pedang, jantungnya masih berdebar tegang karena tadi dia mengira bahwa tentu laki-laki di atas pohon itu yang mengganggunya. Di bawah sinar api unggun yang kemerahan mereka saling pandang dan setelah kini berhadapan, Yu Goan menjadi makin terpesona. Kiranya dara itu setelah didekatinya, malah jauh lebih jelita dari pada ketika ia melihat dari atas tadi, dan masih amat muda! 

“Mudah saja membela diri. Sudah jelas engkau mengintai aku dari atas pohon, atau engkau pun hendak menyangkal lagi?” Siauw Bwee mencela, suaranya dingin. 

Yu Goan menggeleng kepala. “Saya tidak menyangkal telah melihatmu dari atas pohon, Nona, akan tetapi bukanlah salahku. Bukan niatku sengaja hendak mengintai, karena aku telah berada di atas pohon lama sebelum Nona datang dan membuat api unggun di bawah pohon ini.” 

Siauw Bwee memandang marah, teringat akan benda-benda mencorong yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya, yang kini ia duga tentulah perbuatan pemuda ini. 

“Engkau membohong!” 

Yu Goan menarik napas panjang. “Nona, membohong atau tidak bukan hal yang dapat dipersoalkan, karena seorang pembohong tentu saja tidak mau mengaku. Akan tetapi, andai kata Nona yang berada di sini terlebih dulu, kemudian aku datang mengintai dari atas pohon, bagaimana mungkin sampai tidak tahu ada orang datang dan memanjat pohon? Aku bukan dewa, bukan pula iblis seperti makhluk-makhluk aneh tadi.”

Siauw Bwee termenung dan akhirnya ia mengangguk-angguk. Dia dapat menangkap kebenaran ucapan itu karena biar pun dari gerakan pemuda ini ketika mengelak dan melompat turun tadi, terbukti bahwa pemuda ini bukan seorang lemah, namun kiranya masih tidak mungkin pemuda ini dapat datang dan meloncat ke atas pohon itu tanpa dia ketahui sama sekali. 

“Kalau begitu, mengapa engkau diam saja dan sengaja mengintaiku dari atas pohon?” 

“Habis, apa yang harus kulakukan, Nona?” 

“Mengapa engkau tidak menegurku sehingga aku tahu bahwa ada orang di atas pohon?” 

“Ahh, mana aku berani, Nona? Andai kata engkau seorang pria, tentu saja aku akan langsung menegurmu dan berkenalan. Akan tetapi engkau seorang wanita muda, bagaimana aku berani menegur dan bersikap tidak sopan? Aihhhh, Nona, kalau saja engkau tahu betapa tersiksa hatiku di atas sana tadi, tak tahu harus berbuat apa, turun tidak berani diam saja bagaimana. Aihh, benar-benar tersiksa. Aku hanya mengkhawatirkan suatu hal...” Tiba-tiba pemuda itu berhenti, mukanya yang tampan menjadi merah sekali. Ia pun menunduk dan merasa telah terlanjur menurutkan suara hatinya.

Siauw Bwee kini sudah hilang kemarahannya, bahkan diam-diam ia senang sekali melihat sikap yang halus, pandang mata yang penuh perhatian, tutur kata yang sopan dan tersusun rapi. Ia percaya bahwa pemuda seperti ini tidak mungkin seorang penjahat. Akan tetapi keraguan pemuda dalam kalimat terakhir tadi kembali membangkitkan kecurigaannya dan ia cepat berkata mendesak, “Apa yang kau khawatirkan itu? Katakanlah agar aku tidak meragukan kebersihanmu!”

“Yang kukhawatirkan tadi... eh, anu... aku diam-diam berdoa kepada Tuhan agar engkau tidak melakukan hal yang bukan-bukan di bawah sini selagi aku berada di atas pohon, karena kalau engkau melakukannya, aku benar-benar akan celaka!”

“Eh, jangan bicara seperti teka-teki. Katakan, hal yang bukan-bukan itu apakah? Perbuatan apa yang kau khawatir aku lakukan?” 

“Hem... misalnya... eh, kau merasa kakimu lelah dan membuka... sepatu... atau... eh, berganti pakaian... maaf...” 

Tiba-tiba Siauw Bwee menahan ketawanya dan mukanya juga menjadi merah sekali. Memang tidak ada air di situ. Kalau ada tentu dia akan mandi dan berganti pakaian dan memikir hal ini... bertelanjang bulat di situ, di bawah pandang mata pemuda ini, ia merasa bulu tengkuknya berdiri! Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya, “Andai kata benar demikian, mengapa kau khawatir dan kau katakan akan celaka?” 

“Tentu saja, Nona. Kalau terjadi hal itu, tentu dalam pandanganmu aku akan lebih kurang ajar lagi.” 

Siauw Bwee tersenyum dan memandang dengan mata bersinar. “Sungguh lega hatiku sambitanku tadi tidak mencelakakan engkau. Ternyata engkau bukan musuh, dan engkau seorang yang amat sopan dan jujur. Siapakah engkau?” 

Pemuda itu menjura dengan hormat, wajahnya berseri karena dia senang sekali bahwa Nona yang dikaguminya itu tidak marah. “Saya she Yu bernama Goan, seorang perantau yang kemalaman di sini maka bermalam di atas pohon. Dan Nona...” 

“Eh, apakah engkau tadi melihat benda-benda mencorong yang aneh itu?” Siauw Bwee memotongnya. 

“Aku melihatnya, dan aku kagum sekali menyaksikan gerakan Nona yang amat cepat.”

”Hemm, kalau gerakanmu demikian cepat tentu akan dapat menangkap mereka. Tahukah engkau, apakah benda-benda itu tadi?” 

“Aku pun tidak tahu, Nona. Melihat jaraknya, seperti sepasang mata, akan tetapi kalau sampai Nona yang demikian cepat gerakannya tidak dapat menangkap mereka, aku bukan seorang yang percaya akan tahyul, hanya... kiranya tak mungkin manusia memiliki mata seperti itu. Aihh, sampai sekarang pun aku masih merasa ngeri dan merasa seolah-olah saat ini banyak pasang mata yang memandang dan mengintai kita.” 

Siauw Bwee bergidik, hatinya ngeri, akan tetapi juga agak lega dan girang bahwa dia mendapatkan seorang kawan dalam hutan yang menyeramkan ini. Tanpa disengaja matanya melirik ke bawah dan memperhatikan kedua kaki pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali, sikapnya yang halus seperti itu jarang ia jumpai, dan munculnya tidak wajar. Jangan-jangan penjelmaan iblis dan siluman, siapa tahu? 

Tiba-tiba pemuda itu tertawa geli. “Ampun, Nona. Harap jangan menyangka bahwa aku ini siluman! Sungguh mati, aku manusia biasa!” 

Wajah Siauw Bwee menjadi merah dan ia pun tersenyum. “Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku menyangka engkau siluman?” 

“Nona memandang ke arah kakiku untuk melihat apakah kedua kakiku menginjak tanah, bukan? Menurut dongeng, bangsa siluman kalau menjelma menjadi manusia dapat dikenal dari kakinya yang tidak menginjak tanah, melainkan berada sejengkal di atas tanah, dan kalau ada cermin, dia tidak mempunyai bayangan.” 

“Ihh, aku harus berhati-hati terhadapmu. Engkau sopan, jujur dan cerdik sekali. Dan hatiku masih panik oleh rasa ngeri memikirkan benda-benda mencorong itu.” 

Pemuda itu mengangguk. “Kalau tidak bertemu di sini, agaknya aku pun akan takut setengah mati. Untung kita saling bertemu dan sebaiknya malam ini kita bersikap waspada. Engkau mengasolah, Nona. Biar aku yang menjaga. Menurut dongeng, bangsa siluman takut akan api, maka api unggun ini harus selalu dijaga jangan sampai padam.” 

Siauw Bwee menggeleng kepala. “Setelah munculnya makhluk-makhluk aneh itu, mana aku dapat tidur? Engkau tidurlah, biar aku yang menjaga api. Kalau mereka itu betul makhluk hidup dan muncul lagi... hemmm, ingin aku menggempur mereka!” 

“Tidak, Nona. Engkau yang harus tidur dan aku yang menjaga.” 

“Tidak! Aku yang menjaga!” 

Keduanya saling pandang dan melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kegelian hati, mau tidak mau Siauw Bwee tersenyum. Mereka baru saja bertemu, sudah berbantahan! 

“Aku telah tahu bahwa ilmu kepandaian Nona hebat bukan main, mungkin sepuluh kali tingkat kepandaianku. Akan tetapi, betapa pun juga, Nona adalah seorang wanita dan aku seorang pria. Mana mungkin seorang pria yang tahu akan susila dapat tidur pulas dan membiarkan seorang wanita melakukan penjagaan? Biar pun bodoh, aku tidaklah sekasar dan kurang ajar seperti itu, Nona.” 

Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, aku akan mengaso dulu. Akan tetapi begitu muncul lagi benda-benda mencorong seperti tadi, jangan ragu-ragu untuk membangunkan aku. Dan jangan lupa, kita bergilir. Kalau bulan secuwil di atas itu sudah lenyap, tibalah saatnya giliranku menjaga dan engkau mengaso.”

Yu Goan mengangguk. “Baiklah.” 

“Akan tetapi awas, jangan kau terlalu sungkan dan membiarkan aku tidur terus sampai siang. Aku akan marah!”

Yu Goan tersenyum. Makin tertarik hatinya. Dara itu cantik jelita melebihi bidadari impian hatinya, berilmu tinggi sekali, pemberani dan tabah sehingga seorang diri berani bermain di dalam hutan, dirundung keprihatinan yang tadi memancing keluarnya mutiara air mata mendatangkan perasaan iba di hatinya, dan sekarang ternyata selain berwatak halus dan bersikap ramah, juga sikapnya terbuka, polos dan jujur! Seorang dara yang menonjol di antara laksaan orang gadis lain! 

Siauw Bwee rebah miring membelakangi api unggun dan Si Pemuda. Biar pun dia merasa yakin akan sifat-sifat baik pemuda itu, namun hatinya masih penuh kengerian, maka dia hanya akan merasa aman kalau tidur sambil menghadap ke arah kegelapan dari mana tadi muncul benda-benda aneh. 

Hati Yu Goan merasa lega. Kalau gadis itu rebah miring menghadap ke arahnya, tentu dia tidak akan berani menatap wajah gadis itu. Kini gadis itu membelakanginya sehingga dia mendapat kebebasan untuk memandangnya, biar pun dia hanya dapat mengagumi lekuk-lengkung tubuh belakang di balik pakaian sederhana, dan sedikit kulit tengkuk putih kuning yang membayang di antara dua kepang rambut yang hitam subur, anak-anak rambut yang melingkar indah di atas tengkuk, dan garis pipi kemerahan dilindungi sebuah telinga yang kecil panjang dan tipis. 

Semalam suntuk tidak terjadi sesuatu, tidak ada benda-benda mencorong atau makhluk aneh muncul. Yu Goan tenggelam dalam kekaguman sehingga dia tidak merasa betapa malam telah lewat. Dirasakannya sebentar saja dan tahu-tahu dia mendengar bunyi ayam hutam berkokok dan sinar keemasan membayang di timur. Malam telah lewat dan pagi mulai menjenguk di ambang timur! 

Siauw Bwee mengulet enak sekali, membalikkan tubuh, menegangkan otot-otot dan mengembangkan kedua lengan ke atas kepala, menguap kecil. Pemandangan ini sedemikian indah mengharukan bagi Yu Goan, membuatnya terpesona. Akan tetapi ketika hatinya mencela mata yang menikmati pemandangan itu, dia cepat menunduk, mengalihkan pandang dari tubuh dan muka yang kini telentang itu.

Kokok ayam hutan memasuki pendengaran Siauw Bwee dan seketika dia meloncat bangun, membalik dan memandang ke arah api unggun yang masih menyala dan ke arah pemuda yang masih duduk dekat api unggun. Mata gadis itu bersinar marah dan ia membentak, “Terlalu sekali! Sudah pagi! Mengapa kau tidak membangunkan aku? Mengapa membiarkan aku tidur kesiangan dan tidak memberi kesempatan padaku untuk melakukan gilir berjaga? Apa maksudmu?” 

Yu Goan bangkit berdiri dan menjawab halus, “Maaf, Nona. Hanya ada dua pilihan bagiku malam tadi. Pertama, aku harus melihat Nona terganggu dari tidur nyenyak kalau aku membangunkan Nona. Kedua, aku harus menghadapi kemarahan Nona kalau aku tidak membangunkan Nona. Dari dua pilihan itu, aku memilih yang kedua. Aku menerima salah dan siap menerima hukuman.” 

Bagaimana mungkin orang bisa marah menghadapi sikap yang menyerah seperti ini? Apa lagi pemuda itu jelas bermaksud bahwa rela dimarahi dari pada mengganggunya dari tidur nyenyak! Kalau dia toh marah terus, berarti dia yang keterlaluan! Seketika kejengkelan hati Siauw Bwee lenyap dan dara ini menurunkan kedua lengan yang tadi menegang, membanting kaki kiri dan berkata, “Aihhhh! Engkau membikin aku tidak enak saja. Kalau tahu begini, aku tidak mau tidur sedikit pun juga, apa lagi tidur semalam suntuk dan membiarkan engkau melakukan penjagaan!”

“Tapi aku senang sekali melakukan penjagaan, Nona. Dan semalam tidak ada muncul peristiwa sesuatu. Agaknya iblis-iblis itu telah merasa takut mendengar ancamanmu.”

Siauw Bwee teringat dan cepat ia menyambar pedangnya, digantungkan di punggung. “Ahh, sekarang kita dapat mencari iblis-iblis itu! Kalau ada jejak kakinya, berarti bukan iblis!”

“Engkau benar, Nona. Mari kita mencari!” 

Dua orang muda itu lalu mencari di antara rumput alang-alang dan tetumbuhan di sekitar tempat itu, di tempat-tempat di mana semalam mereka melihat benda-benda mencorong dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat tapak kaki manusia!

“Bukan main! Manusia-manusia apakah mereka yang memiliki mata mencorong seperti mata harimau?” Yu Goan berseru. 

“Hebatnya, bagaimana mereka dapat bergerak demikian cepatnya?” Siauw Bwee berkata lirih.

Diam-diam ia terkejut sekali. Setelah ia memiliki ilmu sakti gerak kaki tangan kilat dari rombongan kaki buntung dan lengan buntung, ginkang-nya mencapai tingkat tinggi sekali. Akan tetapi mengapa semalam dia tidak mampu menangkap orang-orang aneh ini? Mungkinkah mereka memiliki kepandaian menghilang seperti setan? 

“Jumlah mereka banyak dan tapak kaki mereka menuju ke satu jurusan. Kita dapat mengikuti mereka.” Yu Goan berkata sambil meneliti tanah. 

“Hemm, aku merasa curiga sekali. Mari kita cari mereka!” Siauw Bwee berkata.

Kedua orang itu lalu berjalan mengikuti arah jejak tapak kaki yang menuju ke selatan. Setelah berjalan dua jam lamanya, mereka berdua berhenti di tepi sebuah tebing yang amat curam. 

“Ah, tentu di bawah itu sarang mereka...!” kata Yu Goan menunjuk ke bawah.

Tebing itu amat curam, kiranya tidak kurang dari dua ribu kaki. Dan jauh di bawah sana, kelihatan kecil sekali seperti mainan kanak-kanak, tampak sebuah perkampungan kecil dengan beberapa buah rumah sederhana. Lembah di bawah itu kelihatan sunyi, seolah-olah perkampungan itu tidak ada penghuninya.

“Aneh sekali. Lembah di bawah itu dikelilingi tebing yang begini curam, seolah-olah terpisah dari dunia ramai. Siapakah gerangan yang tinggal di bawah sana?” Siauw Bwee berkata, termangu-mangu. 

“Sebaiknya kita mencari jalan turun ke sana untuk menyelidikinya, Nona.” 

“Memang begitu kehendakku. Akan tetapi, aku mendapat firasat di hati bahwa tempat itu amat berbahaya, dan agaknya orang-orang yang tinggal di tempat seperti itu tentulah orang-orang aneh yang berilmu tinggi. Aku tidak ingin melihat engkau menghadapi mala-petaka di sana, Yu-twako.” 

Yu Goan menoleh, mereka berpandangan dan pemuda itu tersenyum. “Engkau baik sekali, Nona. Jangan khawatir, aku dapat menjaga diri dengan pedangku.”

Sejenak Siauw Bwee memandang pemuda itu. Akhirnya ia tersenyum dan mengangguk, “Baiklah, aku pun percaya bahwa engkau bukanlah seorang yang mudah dikalahkan, Yu-twako. Mari kita mencari jalan turun!” 

“Nanti dulu, Nona!” 

Siauw Bwee membalikkan tubuh dan melihat pemuda itu memandangnya penuh perhatian, ia bertanya, “Ada apakah?” 

Pemuda itu kelihatan bingung dan ragu-ragu, agaknya sukar sekali membuka mulut menyatakan isi hatinya. “Harap Nona sudi memaafkan kalau aku bersikap kurang ajar, karena sungguh tidak sopan bagi seorang pemuda untuk mengajukan pertanyaan ini kepada seorang dara terhormat...” 

“Aihhh, katakanlah. Apa yang ingin kau katakan, Twako? Engkau terlalu sungkan.”

”Aku terpaksa mengajukan pertanyaan ini, Nona, mengingat bahwa kita telah saling berkenalan dan kita bersama menghadapi hal yang belum kita ketahui bagaimana sifatnya, mungkin berbahaya.” 

Siauw Bwee mengangguk tak sabar. “Tanyalah!” 

“Aku ingin mengetahui siapakah Nona? Dan siapakah nama Nona yang mulia?” 

Siauw Bwee tertawa dan menggunakan tangan kiri menutupi mulut. “Hi-hi-hik! Engkau benar-benar lucu sekali, Twako! Engkau terlalu ditekan dan diselubungi kesopanan sehingga kelihatan lucu! Bertanya nama saja apa sih dosanya? Tentu saja kau boleh menanyakan namaku, bahkan aku yang lupa belum memperkenalkan diri, padahal aku telah mengetahui namamu. Mengapa kau ragu-ragu dan malu-malu, minta maaf segala? Dengarlah, namaku adalah Khu Siauw Bwee.” 

“Khu Siauw Bwee...?” Yu Goan mengingat-ingat, akan tetapi merasa belum pernah mendengar nama ini. Tiba-tiba ia mengangkat muka memandang. “Khu-lihiap (Pendekar Wanita she Khu), aku pernah mendengar nama besar murid dari pendekar sakti Kam Liong yang menjadi menteri. Murid Menteri Kam Liong itu seorang pahlawan yang gagah perkasa, dan yang telah gugur bersama gurunya di kota raja karena fitnah. Namanya Khu Tek San, dan mengingat she itu...” Yu Goan berhenti bicara dan memandang terbelalak ke wajah jelita yang berubah agak pucat. Dua butir air mata menitik turun dan bibir yang kecil merah itu bergerak-gerak lalu digigit.

“Khu-lihiap, maafkan aku. Apakah mendiang Khu Tek San itu...” 

Siauw Bwee mengangguk. “Dia adalah ayahku sendiri!” 

Yu Goan cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, membungkuk penuh hormat. 
“Ahhh, sudah kuduga bahwa Nona tentulah bukan orang sembarangan! Kiranya puteri mendiang Khu-ciangkun, murid yang setia dan gagah perkasa dari mendiang Menteri Kam yang terkenal di seluruh dunia! Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat, Lihiap!” 

Siauw Bwee menarik napas panjang. “Sudahlah, Twako. Sikapmu yang terlalu sungkan dan hormat itu bisa membuat orang salah mengerti, mengira bahwa engkau memiliki watak penjilat. Bagimu mungkin aku puteri seorang pahlawan, akan tetapi banyak orang menganggap aku puteri seorang pemberontak! Aku tahu bahwa engkau seorang yang terpelajar dan berbudi halus, penuh kesopanan, dan aku suka bersahabat denganmu, Twako. Akan tetapi kalau engkau tidak membuang sikapmu yang sungkan dan sopan itu, aku akan benci padamu. Aku paling tidak suka melihat pria yang menunduk-nunduk seperti seorang penjilat!” 

Wajah Yu Goan menjadi merah sekali. “Tidak ada seujung rambut pun di dalam hatiku ingin menjilat kepadamu atau kepada siapa pun di dunia ini, Nona. Sikapku tidak kubuat-buat dan sewajarnya, sesuai dengan pelajaran-pelajaran yang semenjak kecil kuterima dalam pendidikan. Karena itu maafkan aku, Lihiap.” 

“Twako, aku ingin sekali mengetahui bagaimana engkau bisa mengenal ayahku, dan mengenal nama Menteri Kam?” 

“Ayah bundaku mengenal baik Menteri Kam yang sakti, Nona. Terutama sekali ayahku, dia banyak bercerita tentang pendekar-pendekar sakti keturunan Suling Emas. Ayah amat kagum terhadap keturunan Suling Emas, kekaguman yang tertanam pula di dalam hatiku. Ah, betapa ayah dan ibu akan merasa bangga bahwa aku dapat bertemu dan bersahabat dengan puteri Khu-ciangkun yang terkenal, murid Menteri Kam!” 

“Sudahlah, Twako. Aku menjadi pening mendengar pujian-pujian dan segala nama besar yang kosong itu! Lihat, di bawah itu mulai ada gerakan!” Siauw Bwee menuding.

Ketika Yu Goan memandang ke bawah, dia melihat pula manusia manusia bergerak ke sana ke mari akan tetapi karena jaraknya amat jauh sehingga manusia-manusia di bawah itu hanya kelihatan sebesar jari tangan, maka mereka tidak dapat melihat jelas. 

Dengan hati-hati dari berindap-indap, Siauw Bwee dan Yu Goan mencari jalan turun ke lembah di bawah yang penuh rahasia itu. Akan tetapi dengan kaget mereka mendapat kenyataan bahwa tebing yang amat curam itu tidak mungkin dapat dituruni. Mana mungkin turun melalui dinding karang yang ratusan kaki tingginya, licin dan tegak tidak ada tempat kaki berpijak atau tangan bergantung? Untuk menggunakan ginkang meloncat ke bawah? Lebih tak masuk akal lagi. 

Namun Siauw Bwee dan Yu Goan bukanlah orang-orang lemah yang muda berputus asa. Mereka terus mencari, meneliti setiap kemungkinan menuruni tebing dan memeriksa sekeliling tebing yang berada di situ. Sampai setengah hari mereka mencari jalan turun, namun hasilnya sia-sia.

Lembah di bawah itu, perkampungan yang aneh, dikelilingi tebing terjal yang tidak mungkin dituruni atau didaki. Seekor monyet sekalipun kiranya tak mungkin menuruni tebing itu yang halus licin tanpa ada tempat menahan tubuh. Perkampungan di lembah bawah itu seolah-olah terputus sama sekali dari dunia luar daerah mereka. Mereka seperti hidup di dalam sebuah mangkok, tidak mungkin dapat menjenguk ke luar dari bibir mangkok yang merupakan tebing yang mengelilingi tempat tinggal mereka. 

Akhirnya Siauw Bwee dan Yu Goan terpaksa mengaku kalah. Mereka telah melakukan pemeriksaan mengitari sekeliling lembah sampai kembali ke tempat mereka berangkat, tempat mereka mula-mula melakukan pemeriksaan. Keduanya duduk mengaso di tepi tebing sambil memandang ke bawah dengan hati penasaran.

Dari atas tampak manusia di bawah itu menuju ke suatu tempat di tengah perkampungan, kemudian tampak api bernyala, asap mengepul tinggi seolah-olah mereka yang berada di bawah itu membakar sesuatu. Terlalu tinggi tempat itu untuk dapat melihat jelas apa yang dikerjakan oleh manusia-manusia di lembah itu.

“Tanpa sayap seperti burung, mana mungkin menuruni tempat itu?” Yu Goan berkata sambil menghapus peluh dari lehernya. 

“Memang tidak mungkin, kecuali kalau menggunakan alat.” Siauw Bwee berkata memandang ke bawah dengan alis berkerut. “Menggunakan kaitan besi atau tali untuk merayap ke bawah.” 

“Akan tetapi terlalu berbahaya. Biar pun merayap ke bawah tidak amat berbahaya, namun kalau orang-orang di bawah itu menyambut dengan sikap bermusuh, kita yang sedang merayap tak berdaya itu tentu merupakan sasaran yang lunak.” 

Siauw Bwee mengangguk-angguk. “Memang aneh sekali. Makin sukar tempat itu didatangi, makin tertarik hatiku untuk membongkar rahasia mereka itu. Yang mengherankan hati, kalau memang benar mereka di bawah sana itu yang malam tadi mengganggu kita, bagaimana cara mereka mendaki tebing?” 

“Dan gerakan mereka begitu cepat seperti menghilang!” Yu Goan berkata. 

“Yu-twako, awasss...!” Tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan tubuhnya yang tadinya duduk di atas rumput dekat pemuda itu, mencelat ke belakang, berjungkir-balik beberapa kali. 

Yu Goan terkejut pula, meloncat ke atas dan ketika ia membalik, dengan kagum ia melihat dara jelita itu telah mendorong roboh dua orang laki-laki yang bertubuh tegap kuat dan berpakaian sederhana kasar seperti orang liar! Betapa cepatnya gadis itu mengetahui kedatangan musuh dan betapa cepatnya bergerak merobohkan lawan! Dari gerakan-gerakan itu mengertilah Yu Goan bahwa tingkat kepandaian dara ini jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya, bahkan dia dapat menduga bahwa dara itu lebih pandai dari pada ibunya, atau ayahnya sekali pun!

Akan tetapi dia terkejut sekali ketika melihat bahwa yang datang mengurung tempat itu bukan hanya dua orang yang didorong roboh oleh Siauw Bwee tadi, melainkan banyak sekali. Sebagian sudah memperlihatkan diri, dan masih banyak pula yang menyelinap di balik pohon-pohon dan tetumbuhan! 

Siauw Bwee tadi sengaja mendorong dua orang terdekat sampai terguling, akan tetapi betapa heran hatinya ketika melihat dua orang itu sudah meloncat bangun lagi! Ketika ia tadi berloncatan berjungkir balik lalu menyerang, dua orang itu membuat gerakan tangan yang baginya amat canggung dan tidak ada artinya sehingga mudah saja dia mendorong mereka dan menotok pundak mereka. Akan tetapi sungguh luar biasa. Kedua orang kasar itu bukan roboh tertotok, melainkan terguling karena tenaga dorongan dan begitu menyentuh tanah mereka sudah meloncat bangun kembali. Kini tampak belasan orang mengurung dia dan Yu Goan.

“Tahan!” Siauw Bwee membentak ketika melihat orang-orang itu mulai bergerak hendak menyerang.

Dia melihat orang-orang ini bukan seperti perampok-perampok, bahkan mereka seperti manusia-manusia liar dengan pakaian sederhana, muka yang membayangkan kebodohan, akan tetapi sepasang mata mereka mengeluarkan sinar berkilat! Ah, kiranya orang-orang inilah yang semalam mengintai. Mata mereka yang aneh seperti mata harimau itu mencorong karena sinar api unggun! 

Diam-diam Siauw Bwee terheran-heran karena menurut penuturan suheng-nya, hanya orang-orang yang memiliki sinkang tingkat tinggi saja yang dapat membuat matanya mencorong seperti mata harimau. Dia dan suci serta suheng-nya pun dapat membuat matanya mencorong kalau dia kehendaki, akan tetapi tentu saja dia tidak mau melakukan itu karena hal demikian hanya akan membuat dia menjadi tontonan! Akan tetapi orang-orang kasar ini semua memiliki sinar mata yang mencorong! 

“Siapakah kalian dan mengapa kalian mengurung kami berdua?” Siauw Bwee membentak. 

Orang-orang itu saling pandang, tidak ada yang menjawab. 

“Heii! Apakah kalian tuli, atau gagu?” Siauw Bwee membentak lagi. 

“Mereka hanya melaksanakan perintah!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dari belakang sebatang pohon besar.

Siauw Bwee dan Yu Goan menoleh dan mereka mengerutkan kening melihat bahwa orang itu tidak segolongan para pengepung tadi. Orang ini berpakaian biasa, bahkan pakaiannya bersih dari sutera mahal, bentuk pakaian seorang sastrawan, tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya biasa saja. Akan tetapi anehnya, juga pancaran pandang mata orang ini aneh, mencorong seperti semua orang liar itu. 

“Perintah siapa?” Siauw Bwee bertanya, maklum bahwa tentu sastrawan inilah yang menjadi komandan pasukan orang liar yang mengepung. 

“Tentu saja perintah ketua kami. Kalian berdua memasuki daerah kami, daerah terlarang, karenanya kalian harus menyerah sebagai tawanan kami untuk kami bawa menghadap Ketua!” 

“Hemm, kami berdua tidak salah apa-apa, mengapa akan dijadikan tawanan?” Yu Goan membantah. “Mau apa kalian menawan kami?” 

Sastrawan itu memandang Yu Goan dan tersenyum mengejek. “Hanya ketua kami yang akan memutuskan.” 

“Aku tidak sudi menyerah!” Siauw Bwee membentak. “Pergilah kalian, jangan menggangguku. Kalian akan menyesal nanti!” 

Sastrawan itu mengerutkan kening, memberi aba-aba dan menyerbulah belasan orang liar itu. Gerakan mereka kaku sekali, akan tetapi baik Siauw Bwee mau pun Yu Goat terkejut sekali ketika dari gerakan tangan mereka itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat! 

“Hati-hati, Twako. Sinkang mereka amat kuat!” Siauw Bwee berseru.

Dara perkasa ini sengaja berkelebat cepat mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, mempergunakan ilmu mukjizat gerak kaki tangan kilat sehingga dalam sekejap mata saja dia sudah merobohkan delapan orang terrnasuk Si Sastrawan! Akan tetapi kembali dia terkejut karena seperti halnya dua orang yang pertama kali dia robohkan tadi, delapan orang ini pun meloncat bangun begitu tubuh mereka terbanting ke tanah, sedikit pun tidak tampak tanda-tanda mereka itu menderita nyeri. 
Yu Goan juga cepat mengerahkan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini, karena tanpa peringatan Siauw Bwee pun dia maklum betapa pukulan-pukulan para pengurung liar ini mendatangkan angin keras. Sambil mengelak dia sudah menotok jalan darah di leher seorang pengeroyok, dan pada detik berikutnya, kakinya sudah menendang sambungan lutut seorang pengeroyok lain. Kedua orang itu terpelanting, akan tetapi mereka mencelat bangun lagi. Baik totokannya mau pun tendangannya hanya membuat kedua orang itu terpelanting, akan tetapi sama sekali tidak melumpuhkan mereka.

Berkali-kali Siauw Bwee dan Yu Goan merobohkan para pengeroyok yang ternyata tidak memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan Si Sastrawan itu hanya memiliki ilmu silat yang bagi Siauw Bwee biasa saja. Akan tetapi jelas terbukti bahwa segala macam pukulan, totokan, tendangan, tidak mampu merobohkan para pengeroyok yang agaknya memiliki kekebalan luar biasa, atau tubuh mereka seolah-olah dilindungi oleh semacam hawa mukjizat. 

Siauw Bwee merasa terheran-heran dan diam-diam ia mencurahkan perhatian untuk menyelidiki keadaan lawan. Ketika ia sengaja menerima pukulan dengan telapak tangannya, ia merasa ada hawa yang panas keluar dari kepalan orang itu, yang cepat dapat ia enyahkan dengan sinkang-nya. Akan tetapi pukulan kedua orang dari orang yang sama, mengandung hawa yang sejuk nyaman. Im-kang yang aneh ini tentu saja dapat juga ia lawan dengan sinkang yang amat tinggi dan kuat, yang ia latih di Pulau Es. Biar pun Siauw Bwee belum tahu dengan jelas, namun kini ia sudah dapat menduga bahwa para pengeroyoknya itu biar pun tidak memiliki ilmu silat tinggi, namun memiliki inti tenaga sinkang yang amat kuat dan aneh, dan agaknya mereka yang masih rendah ilmu silatnya ini secara luar biasa telah dapat menggabungkan tenaga sakti Im dan Yang.

“Twako, pergunakan senjatamu!” tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan dia sendiri mencabut pedangnya. 

“Sing! Singgg!” Dua sinar berkelebat ketika dua orang muda itu mencabut pedang mereka. Benar saja seperti yang diduga Siauw Bwee, kecuali Si Sastrawan, para pengeroyok itu kelihatan jeri.

“Twako, robohkan akan tetapi jangan bunuh orang!” Kembali Siauw Bwee berseru dan diam-diam Yu Goan menjadi makin suka dan kagum kepada dara perkasa itu yang ternyata selain lihai, cantik jelita, juga hatinya lembut, tidak kejam.

Orang-orang ini biar pun kelihatan jeri, namun mereka itu menyerbu dengan nekat. Yu Goan membacokkan pedangnya, mengarah bagian yang tidak berbahaya. Dua kali pedangnya berkelebat, menyambar pangkal lengan seorang dan paha orang kedua.

“Plak! Plak!” Pedangnya itu mengenai sasaran, akan tetapi telapak tangannya terasa panas karena dua kali pedangnya membalik seperti membacok karet yang ulet dan kuat.

Dua orang itu terhuyung. Pangkal lengan dan paha yang terbacok itu terluka, akan tetapi lukanya hanya merupakan goresan pada kulit saja, sedangkan dagingnya tidak terluka sama sekali. Darah yang keluar hanya merupakan goresan merah pada kulit yang terbacok. Ternyata baju mereka lebih parah terobek pedang dari pada kulit mereka.....

Demikian pula Siauw Bwee mengalami hal yang sama. Dia kaget dan makin kagum. Hebat sekali kekebalan yang dimiliki oleh orang kasar ini. Sungguh aneh sekali. Tentu mereka ini orang-orang yang kasar dan bodoh, telah menerima ilmu berlatih sinkang yang amat mukjizat! Apa lagi ketika ia menyerang Si Sastrawan yang dianggapnya pimpinan orang-orang itu, dia lebih terkejut lagi.

Pedangnya selalu mencong arahnya, menyeleweng ketika ujungnya mendekati tubuh Si Sastrawan, seolah-olah ada tenaga tak tampak yang mendorong senjatanya ke samping! Hal ini membuktikan sinkang yang amat kuat, dan untung baginya bahwa sinkang kuat yang dimiliki orang-orang ini, terutama Si Sastrawan, hanya mereka kuasai untuk melindungi tubuh saja. Kalau sinkang yang sedemikian kuatnya itu dapat mereka pergunakan untuk menyerang, agaknya dia sendiri belum tentu akan mampu menandingi pengeroyokan orang-orang yang sehebat itu tenaga sinkang-nya! 

“Tangkap mereka dengan jala!” tiba-tiba Si Sastrawan mengeluarkan aba-aba. 

“Wuuuuttt! Wuuuuutttt!” Para pengeroyok itu dengan cepat sekali telah mengeluarkan jala yang istimewa.

Jala ini amat lebar dan ringan, namun demikian kuat sehingga dengan jala ini mereka biasanya menangkap binatang-binatang buas seperti harimau, beruang dan lain-lain! Juga agaknya mereka ahli mainkan jala-jala itu yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang, kemudian mereka mengayun dan menggerakkan jala-jala itu seperti orang bermain tari naga. Bagaikan dua ekor naga besar, kini dua buah jala yang dimainkan empat orang itu menyerang Siauw Bwee dan Yu Goan. Sedangkan para pengeroyok lain masih tetap mengeroyoknya, terutama Si Sastrawan yang melancarkan pukulan-pukulan berat kepada Yu Goan, sedangkan Siauw Bwee dikeroyok sisa-sisa orang liar itu. 

Yu Goan menggerakkan pedangnya membacok sekuat tenaga untuk memutus jala yang melayang-layang ringan di atas kepalanya itu. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak mampu membikin putus tali jala. Kiranya jala itu terbuat dari pada benang-benang yang amat luar biasa, berwarna hitam mengkilap dan amat ringan, halus dan ulet sekali, dapat mulur sehingga bacokan senjata tajam itu sama sekali tidak berbekas. Yu Goan merasa seolah-olah senjatanya membacok asap saja! 

Sementara itu, jala yang melayang-layang itu menyambar turun. Yu Goan cepat meloncat jauh ke kiri untuk mengelak. Dua orang pengeroyok menubruknya dari kanan kiri dan dia berhasil membuat mereka terhuyung-huyung dengan pukulan tangan kiri dan sabetan pedang ke arah kaki orang kedua. 

“Dukkk!” Pukulan Si Sastrawan menyerempet punggungnya.

Yu Goan terhuyung, pandang matanya berkunang. Biar pun pukulan itu tidak tepat kenanya, namun karena mengandung tenaga sinkang yang hebat, dia merasa tubuhnya tergetar dan cepat-cepat pemuda ini mengatur pernapasan. Pada saat itu bayangan jala sudah melayang turun lagi menimpa ke arah kepalanya!

Yu Goan melempar tubuhnya ke bawah dan berusaha mengelak dengan cara bergulingan ke atas tanah. Akan tetapi ternyata dua orang yang memegang jala itu adalah ahli-ahli yang cekatan sekali. Jala mereka sudah melayang dan kalau tadi bergulung-gulung kini jala itu terbuka dan terbentang selebarnya, langsung menutup tubuh Yu Goan yang tidak mungkin mengelak lagi. 

Yu Goan makin kaget dan cepat ia mengerahkan ginkang-nya, meloncat bangun dan memutar pedangnya. Akan tetapi jala itu seperti hidup, bergerak menggulungnya dan makin keras ia meloncat, makin keras pula ia terbanting karena jala itu bersifat mulur seperti karet namun kuat melebihi baja. Tubuh Yu Goan tergulung jala dan pedangnya terlepas, jauh di luar jala. Ketika Yu Goan hendak mengambilnya, pedang itu sudah disambar oleh seorang pengeroyok. Kemudian jala itu terus diguling-gulingkan sehingga tubuh Yu Goan terbelit-belit ketat dan tak dapat berkutik pula!

Melihat ini Siauw Bwee kaget dan marah sekali. Dengan sinkang-nya yang istimewa kuatnya itu pun Siauw Bwee tidak mampu membikin putus jala dengan pedangnya. Akan tetapi dengan ginkang-nya yang membuat dia bergerak seperti kilat itu membuat mereka yang menggunakan jala tidak mungkin dapat menangkapnya!

Dara itu mencelat ke sana sini, dikejar bayangan jala sehingga kelihatannya seperti dia bermain-main, di antara dua orang pemegang jala, bermain loncat-loncatan dengan gaya yang indah sekali! Kini keadaannya berubah. Melihat Yu Goan tertawan, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking nyaring, pedangnya bergerak ke depan dan robohlah seorang pemegang jala dengan kulit dada robek dari kiri ke kanan, lukanya cukup dalam karena dalam penyerangannya sekali ini Siauw Bwee menambah tenaganya. 

“Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan membunuh kalian semua!” bentaknya.

Didahului sinar pedangnya yang berkelebat, bagai seekor burung garuda menyambar, tubuhnya sudah melayang ke arah Si Sastrawan. Sastrawan itu cepat mengelak, akan tetapi....

“Brettt!” kedua helai pita rambut sastrawan itu yang panjang terbabat putus! 

“Kalau tidak kau lepaskan dia, lehermu yang akan putus!” Siauw Bwee yang sudah marah sekali itu membentak. 

Tiba-tiba sastrawan itu menggulingkan tubuhnya, bergulingan dan tahu-tahu ia sudah berada di dekat Yu Goan yang sudah terbelenggu seluruh tubuhnya oleh jala dan tak dapat bergerak itu. 

“Bergeraklah dan sahabatmu ini akan kubunuh lebih dulu!” Si Sastrawan berseru sambil menodongkan pedang Yu Goan ke punggung pemuda yang rebah miring itu. 

Siauw Bwee terkejut, terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa Si Sastrawan itu ternyata amat cerdik dan licik. Pada saat dia terkejut dan berdiri termangu itu, tiba-tiba sebuah jala melayang dari atas dan tahu-tahu tubuhnya sudah tertutup jala.

Siauw Bwee kaget dan cepat ia mencelat ke atas. Jala itu terbawa melayang ke atas dan ketika kedua orang pemegangnya menggerakkan tangan, jala itu terputar-putar dengan tubuh Siauw Bwee di dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dara perkasa itu berseru keras dan tubuhnya dalam jala meluncur dengan kekuatan yang luar biasa sehingga dua orang pemegang jala di kanan kiri itu tidak dapat bertahan dan mereka ikut tertarik, roboh terseret ke depan! 

Para pengeroyok, dan juga Si Sastrawan yang meninggalkan Yu Goan untuk membantu teman-temannya menundukkan dara yang amat lihai itu, datang menyerbu ke arah tubuh Siauw Bwee yang sudah mulai tergulung jala. Akan tetapi biar pun tubuhnya sudah dibelit-belit jala, Siauw Bwee masih memegang pedangnya. Begitu tubuhnya mencelat ke depan, robohlah tiga orang pengeroyok termasuk Si Sastrawan yang kena ditendang dadanya, seorang dipukul kepalanya dan seorang lagi hampir putus pahanya terkena pedang dara perkasa itu yang meluncur keluar dari dalam jala!

“Tahan...!” tiba-tiba terdengar seruan halus.

Mendengar seruan ini, para pengeroyok seketika menghentikan sernua gerakan mereka dan menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, kecuali Si Sastrawan yang berdiri dengan muka tunduk ke arah kakek yang tiba-tiba muncul di tempat itu.

“Lepaskan mereka berdua! Buka jala-jala itu!” Kembali kakek itu berseru halus dan para pengeroyok tadi kini sibuk membuka jala dari kanan kiri dan melepaskan belitan-belitan yang amat kuat itu. 

Yu Goan yang sudah terbebas dari dalam jala menyambar pedang dan sarung pedangnya yang dilempar di atas tanah oleh Si Sastrawan, kemudian pemuda itu berdiri dekat Siauw Bwee yang sudah bebas lebih dulu. Mereka berdiri memandang kakek yang datang itu dan siap menghadapi segala kemungkinan tanpa mengeluarkan suara. Ketika mereka mengerling kiranya di situ sudah berkumpul banyak sekali orang-orang liar itu.

Ada pun kakek yang muncul itu agaknya adalah ketua mereka, melihat dari sikap hormat dan takut semua orang liar, kecuali Si Sastrawan yang kelihatannya bersikap takut hormat buatan. Sikapnya yang palsu ini diam-diam tidak terlepas dari pandang mata Yu Goan dan Siauw Bwee.

Kakek itu sudah tua sekali, jenggot dan rambutnya yang tidak terpelihara baik-baik itu sudah putih. Matanya cekung dan tubuhnya yang jangkung itu amat kurus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh, lebih mencorong dari pada mata orang-orang liar itu! Pakaiannya juga sederhana sekali sehingga tampak jelas betapa bedanya dengan pakaian Si Sastrawan.

“Jala-jala itu kubikin untuk menangkap binatang buas, untuk memenuhi kebutuhan perut kita. Mengapa sekarang kalian pergunakan untuk menangkap manusia-manusia? Bukankah aku sudah melarang kalian bertanding dengan orang luar?” 

Para pengeroyok tadi tidak ada yang menjawab, hanya berlutut dan menundukkan muka, akan tetapi beberapa orang di antara mereka melirik ke arah Si Sastrawan, seolah-olah menyerahkan jawabannya kepada sastrawan itu. 

Kakek itu dapat menangkap sikap anak buahnya ini, maka dia menoleh ke arah sastrawan itu dan berkata, “Ang-siucai, engkau adalah tamu terhormat di sini, mengapa membawa anak buah kami untuk mengeroyok dua orang muda ini?”

Sastrawan itu menjura dan menjawab dengan suara tenang, “Harap Pangcu (Ketua) suka memaafkan saya. Karena dua orang ini melanggar wilayah Pangcu dan sikap mereka mencurigakan, maka saya mengusulkan kepada kawan-kawan untuk menangkap mereka dan membawa mereka ke depan Pangcu untuk diadili. Akan tetapi mereka berdua tidak mau menyerah, bahkan melawan sehingga terjadilah pertempuran.” 

Kakek itu mengerutkan keningnya. “Hemmm, tidak pernah aku memerintahkan untuk mengganggu orang yang lewat, asal mereka tidak mengganggu kami. Biarlah sekali ini aku tidak akan menghukum anak buahku. Dan kuharap Ang-siucai suka ingat agar tidak melakukan hal seperti ini pula, karena kalau demikian, terpaksa aku tidak akan dapat menganggap engkau sebagai tamu terhormat dan sahabat baik lagi. Nah, harap kalian semua kembali lebih dulu!” 

Anak buah orang-orang liar itu bersama Si Sastrawan lalu bangkit dan pergi dari situ dengan kepala menunduk. Mereka itu semua kelihatan patuh dan sama sekali tidak memperlihatkan muka penasaran, akan tetapi dengan kerling matanya Siauw Bwee dapat menangkap ketidak-puasan membayang di wajah sastrawan itu, bahkan mulut sastrawan itu membayangkan senyum mengejek. Hemm, orang itu bukan seorang baik-baik, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi karena urusan orang-orang itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dia, maka dia pun diam saja dan hanya memandang kakek yang masih berdiri di depannya.

Kakek itu sejenak memandang kepada Yu Goan, kemudian memandang lebih lama dan penuh perhatian kepada Siauw Bwee, kemudian membungkuk dan berkata, “Harap Ji-wi suka memaafkan kekerasan anak buahku yang tidak berpendidikan. Melihat gerakan-gerakan Lihiap tadi, aku percaya bahwa Lihiap tentulah seorang pendekar muda yang menjadi murid seorang sakti.” 

Siauw Bwee tersenyum. Biar pun sederhana keadaannya, kakek ini tidaklah sebodoh orang-orang kasar tadi, maka dia pun mengangkat kedua tangan memberi horrnat seperti yang dilakukan Yu Goan lalu berkata, “Kami berdua hanya kebetulan saja lewat di hutan sana, akan tetapi malam tadi anak buahmu mengintai kami. Kami menjadi curiga dan mengikuti jejak mereka sampai di sini dan tiba-tiba kami dikeroyok. Pangcu siapakah dan perkumpulan apakah yang Pangcu pimpin, dan di bawah tebing sana itu... apakah ada hubungannya dengan Pangcu?” 

Tiba-tiba wajah kakek itu berubah agak pucat. Ia cepat menggeleng kepala sambil berkata, “Harap Lihiap tidak bertanya-tanya lebih banyak lagi. Aku sudah mohon maaf atas kelancangan anak buahku. Sudahlah, aku minta dengan hormat sukalah Ji-wi meninggalkan tempat ini dan harap jangan menceritakan orang lain akan keadaan kami, dan jangan pula kembali ke tempat ini. Percayalah, aku seorang tua yang bicara demi kebaikan Ji-wi sendiri.”

Tiba-tiba kakek itu mengerutkan keningnya, menyentuh dahi dengan tangan kanan. Mukanya berubah pucat membiru, matanya dipejamkan, mulutnya menyeringai dan seluruh tubuh tergetar menggigil seperti orang kedinginan hebat. Giginya saling beradu dan akhirnya kakek itu menjatuhkan diri di atas tanah, mengeluh dan mengerang kedinginan, mukanya makin membiru.

“Pangcu...” 

“Sssttt...!” Yu Goan mencegah Siauw Bwee dan ketika nona ini memandang temannya, pemuda itu mendekati ketua itu dan memandang penuh perhatian dengan alis berkerut.

Kini wajah kakek itu mulai putih kembali, dari biru menjadi putih dan tubuhnya tidak menggigil lagi. Dia dapat duduk bersila tenang dan wajahnya yang pucat itu mulai kemerahan. Akan tetapi betapa terkejut hati Siauw Bwee ketika melihat bahwa muka itu makin lama makin merah dan tubuh kakek itu seolah-olah mengeluarkan hawa panas yang sampai terasa olehnya. Kakek itu kembali tersiksa, kini seperti seekor cacing terkena abu panas, bergulingan di atas tanah!

“Pangcu...” Kembali Siauw Bwee melangkah maju. 

“Jangan, biarkan saja. Dia sedang terancam jiwanya oleh penyakit yang amat berat, aku sedang mempelajari penyakitnya.” 

Seperti tadi Yu Goan mendekat dan memandang penuh perhatian. Siauw Bwee merasa heran dan juga kagum. Kiranya pernuda itu, yang sudah ia saksikan ilmu silatnya yang sungguh tak boleh dikatakan masih rendah tingkatnya, bahkan amat tinggi mutunya, memiliki pula ilmu kepandaian pengobatan! Pemuda yang aneh dan mengagumkan! 

Kurang lebih satu jam lamanya kakek itu menderita, akhirnya keadaannya tenang kembali. Dia membuka mata, mengeluh dan meloncat bangun, menghapus keringat dari dahi dan lehernya, memandang kepada dua orang muda itu dan berkata perlahan, “Maafkan... ah, aku telah membuat Ji-wi kaget saja. Sedikit gangguan kesehatanku...”

“Gangguan kesehatan? Aihh, Pangcu tidak tahukah Pangcu bahwa yang Pangcu ceritakan ini bukan sekedar gangguan kesehatan, melainkan ancaman jiwa Pangcu? Pangcu telah menderlta keracunan hebat sekali, racun yang menimbulkan hawa meresap ke dalam pusar dan mempengaruhi seluruh tubuh Pangcu!” 

Kakek itu menjadi pucat wajahnya. “Bagaimana Sicu bisa tahu?” 

“Sedikit-sedikit aku tahu akan ilmu pengobatan, Pangcu. Bolehkah aku memeriksanya?” 

Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian duduk bersila dan Yu Goan mempersilakan dia membuka bajunya. Dengan gerakan tangan tetap pemuda itu lalu memeriksa denyut nadi, kemudian menempelkan telapak tangan ke pusar dan ke atas kedua dada kakek itu. Keningnya berkerut tanda bahwa pemuda itu memusatkan pikiran, kemudian berkata, “Benar seperti dugaanku. Pangcu terkena racun yang amat hebat. Bukankah kadang-kadang hawa sinkang di tubuh Pangcu tak dapat dikendalikan, di pusar terasa sakit seperti ditusuk, dada sesak dan kadang-kadang terasa amat dingin ada kalanya amat panas hampir tak tertahankan? Pandangan mata menjadi berkunang telinga terdengar bunyi melengking?”

Kakek itu terbelalak. “Sicu benar! Ahh, kiranya Sicu seorang ahli yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru Sicu?”

“Aku mendapat ilmu pengobatan dari kakekku sendiri yang berjuluk Yok-sanjin.”

“Ahh, kiranya Si Raja Obat Song Hai?” kakek itu berseru girang, lalu merangkap kedua tangannya. “Mohon pertolongan Sicu untuk mengobati dan menolong nyawaku.” 

“Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang menderita, Pangcu. Akan tetapi mengobati Pangcu tidaklah mudah, membutuhkan tenaga sinkang yang amat besar dan pula bukan di sini tempatnya.” 

“Ahh, aku berlaku kurang hormat. Marilah, silakan Ji-wi datang ke tempat kami!” 

Yu Goan mengangguk dan Siauw Bwee memandang kepadanya dengan penuh rasa kagum. Mereka berdua mengikuti kakek itu pergi meninggalkan tebing menuju ke dalam hutan.

Di tengah jalan Siauw Bwee berkata, “Wah, kiranya engkau seorang ahli pengobatan yang lihai, Yu-twako.”

“Ahh, pengertianku hanya dangkal saja, Lihiap. Pula aku merasa sangsi, apakah aku akan cukup kuat untuk menyembuhkan orang tua ini.” 

“Harap Sicu jangan khawatir. Berhasil atau tidak bukanlah soal bagiku. Aku tetap berterima kasih kepada Sicu yang telah sudi melimpahkan budi dan berusaha menolong aku, padahal tadi anak buahku telah mengganggu Ji-wi. Bolehkah aku mengetahui Ji-wi yang gagah? Aku sendiri bernama Ouw Teng dan sudah belasan tahun menjadi ketua di sini.” 

Siauw Bwee dan Yu Goan menjura dan pemuda itu berkata, “Lihiap ini adalah Khu Siauw Bwee, dan aku bernama Yu Goan.” 

Biar pun kakek itu belum pernah mendengar nama dua orang muda itu, namun karena sudah lama dia tidak muncul di dunia kang-ouw, dia percaya bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh muda murid orang pandai, maka ia bersikap menghormat sekali. Setelah melalul jalan berliku-liku, akhirnya tibalah mereka di perkampungan yang sederhana, di tengah hutan gelap akan tetapi tanah di daerah ini amat subur dan sebagian dari hutan itu telah berubah menjadi sawah dan kebun sayur.

“Daerah kami ini jarang didatangi orang luar dan kami hidup tenang di sini, tidak pernah kekurangan makan. Di dalam kesederhanaan kami, kami tidak membutuhkan apa-apa, karena itu kami hidup cukup bahagia,” kata Ouw-pangcu sambil mempersilakan kedua orang muda itu memasuki pondok terbesar yang menjadi rumahnya.

Orang-orang yang berpakaian sederhana seperti yang mengeroyok mereka tadi nampak hilir mudik dan sibuk bekerja. Agaknya mereka semua telah mendengar tentang kedua orang muda itu, maka mereka memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani membuka suara karena kini dua orang muda itu datang bersama ketua mereka. 

Diam-diam Yu Goan tersentuh oleh ucapan ketua itu. Terbukti kebenaran pelajaran yang pernah ia dengar dari kakeknya bahwa kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang tidak membutuhkan apa-apa! Bahkan tidak membutuhkan kebahagiaan itu sendiri! Keinginan timbul karena panca indera ditempeli pikiran yang membayangkan dan mengenang segala pengalaman kenikmatan jasmani dan kesenangan. 

Kalau keinginan sudah timbul, maka memuaskan keinginan itulah yang menciptakan kebutuhan. Ada kebutuhan disusul dengan usaha pencarian, yaitu mencari apa yang dibutuhkan. Sungguh berlika-liku dan sulit ditempuh, padahal setelah mencapai apa yang dicari, hahya mendatangkan kesenangan sesaat saja, kemudian dilupakan untuk disambung kebutuhan lainnya yang tak kunjung habis, tak kunjung henti karena kebutuhan itu diciptakannya sendiri tanpa sadar.

Betapa mungkin manusia yang selalu dikejar-kejar kebutuhan yang diciptakan sendiri oleh kehausan dan kerakusan akan kenikmatan duniawi dapat merasakan kebahagiaan? Kebahagiaan bukanlah senang bukan pula susah, bukan untung bukan pula rugi, karena itu tidak ada kebalikannya, tidak ada perbandingannya. Jika masih dapat dibandingkan, itu bukanlah bahagia!

Pondok tempat tinggal Ouw Pangcu cukup besar, akan tetapi amatlah sederhana. Dindingnya terbuat dari pada bata bertumpuk-tumpuk secara kasar, daun pintunya dari kayu dengan bentuk bersahaja. Pembaringan kakek ini pun hanya merupakan sebuah dipan bambu! Belum pernah selama hidupnya dua orang muda itu melihat seorang ketua semiskin ini! 

Yu Goan dan Ouw-pangcu duduk berhadapan di atas dipan, ada pun Siauw Bwee duduk di atas bangku tak jauh dari situ, mendengarkan percakapan dua orang itu. Dia sendiri tidak mengerti ilmu pengobatan, maka dia hanya ingin menonton bagaimana sahabatnya itu mengobati Ouw-pangcu.

“Bagaimanakah aku sampai keracunan? Aku sama sekali tidak pernah bertanding dengan orang lihai dan tidak pernah kena pukul,” kata kakek itu menyatakan keheranannya, biar pun dia tidak meragukan keterangan Yu Goan yang cocok dengan penderitaannya.

”Engkau tidak terluka oleh pukulan, Pangcu. Akan tetapi karena makanan atau minum sesuatu yang dicampuri racun. Dan racun ini mengacaukan hawa murni di tubuhmu. Karena engkau telah melatih diri dengan sinkang yang tinggi dan aneh, yang agaknya telah dapat kau kuasai sedemikian rupa sehingga engkau mampu mempergunakan Im-kang dan Yang-kang yang amat kuat, maka kini kedua hawa yang sifatnya bertentangan itu saling menggempur tubuhmu sendiri.”

Kakek itu membelalakkan matanya. “Betapa mungkin makanan atau minumanku diracuni orang? Akan tetapi... keteranganmu tepat sekali, Sicu. Memang aku telah melatih diri dengan sinkang yang... yang...,” kakek itu kelihatan ragu-ragu. 

“Hemm, bukankah engkau melatih Im-yang-sinkang secara berbareng dan pandai pula menggunakan kedua sinkang itu secara berbareng?” tiba-tiba Siauw Bwee menyambung ketika melihat kakek itu agak ragu-ragu untuk memberi tahu.

Kakek itu makin kaget dan memandang Siauw Bwee penuh kagum. “Engkau tahu akan hal itu, Nona? Bukan main! Agaknya di dunia ini penuh dengan orang-orang muda yang berilmu tinggi! Tidak salah, sesungguhnya ilmuku ini merupakan rahasia. Akan tetapi heran sekali, mengapa engkau dapat menduga begitu tepat, dan Sicu ini dapat pula memberi keterangan yang cocok.”

“Hemm, apa anehnya Pangcu?” Siauw Bwee berkata. “Anak buahmu tidak pandai ilmu silat tinggi, namun mereka rata-rata memiliki sinkang yang amat kuat. Dan juga sastrawan itu...”

Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat. “Aihh! Apakah bisa jadi...?” 

“Apa yang hendak kau katakan, Pangcu?” Yu Goan berkata. 

“Racun itu...! Anak buahku tidak mungkin meracuniku, akan tetapi dia... Ang-siucai itu... dia banyak mengajarkan ilmu masakan kepada para koki kami! Dan anggur yang dibuatnya itu...!” Tiba-tiba ia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan dengan suara lirih hampir berbisik. “Ah, aku sudah membuka rahasia. Akan tetapi agaknya keadaan gawat, dan entah mengapa, timbul kepercayaan besar di hatiku terhadap Ji-wi. Biarlah kuceritakan keadaan kami sebelum engkau mencoba mengobatiku, Sicu.” 

Kakek ini dengan suara perlahan lalu menceritakan keadaan orang-orang di situ yang dipimpinnya. Dahulu di tempat itu tinggal sekelompok orang, kurang lebih dua ratus orang jumlahnya, yang hidupnya masih terbelakang dan jarang bertemu dengan orang luar. Mereka hidup sederhana, bahkan masih setengah liar. Kemudian muncullah seorang kakek sakti yang aneh dan berilmu seperti dewa. Melihat keadaan sekelompok manusia yang wajar dan sederhana ini, kakek itu lalu memimpin mereka dan mengajarkan ilmu kepandaian agar mereka itu dapat menjaga diri dan dapat mengalahkan segala tantangan hidup dalam dunia yang masih liar itu.

“Karena pimpinan Locianpwe itulah maka kami memiliki sedikit ilmu kepandaian sehingga kami dapat menangkap binatang buas yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi, sungguh celaka, nasib buruk menimpa kami. Tidak lama setelah Locianpwe itu berada di sini dan beliau suka sekali hidup di antara orang-orang yang masih sederhana, wajar dan liar seperti kami, mala-petaka menimpa kami, yaitu berupa penyakit yang menyeramkan.” 

“Penyakit apakah, Pangcu?” Siauw Bwee bertanya, hatinya tertarik sekali mendengar penuturan itu dan menduga-duga siapa gerangan kakek sakti itu. 

“Penyakit kusta.” 

“Kusta...?” Yu Goan sebagai seorang ahli pengobatan tentu saja merasa ngeri mendengar penyakit yang belum pernah dapat diobati itu. “Lalu bagaimana, Pangcu?” 

“Inilah sebetulnya rahasia besar kami yang sekarang kubuka kepada Ji-wi karena Ji-wi sudah kuanggap bukan orang lain. Mereka yang terkena penyakit itu terpaksa harus menjauhkan diri agar jangan sampai menular kepada orang lain. Hal ini diatur oleh Locianpwe itu dan mereka itu ditempatkan di lembah.” 

“Di bawah sana itu? Jadi orang-orang di bawah itu adalah penderita-penderita penyakit kusta?” tanya Siauw Bwee. 

“Benar, jadi di antara mereka dan kami sebenarnya masih ada hubungan erat, bahkan masih keluarga, dan lebih lagi, di antara mereka yang menderita itu terdapat ketua kami yang dahulu dipilih oleh Locianpwe itu sehingga sampai sekarang pun, tingkat kedudukan mereka lebih tinggi dari pada kami orang-orang penghuni hutan di bukit ini. Karena penderitaan mereka itulah, Locianpwe menurunkan ilmu melatih sinkang yang disebut Jit-goat-sinkang (Hawa Sakti Matahari Bulan). Hanya mereka yang berada di lembah saja yang memperoleh ilmu itu, dan di atas sini hanya ketuanya, yaitu aku sendiri yang mendapatkan ilmu itu. Aku melatih sinkang itu dengan mengambil tenaga sakti matahari dan bulan, kulatih bertahun-tahun. Siapa mengira, sekarang aku menjadi korban dari sinkang itu sendiri.”

“Kenapa engkau keracunan, Pangcu? Dan agaknya ada orang yang sengaja meracunimu,” kata Yu Goan. 

“Tentu orang yang tahu akan Jit-goat-sinkang, dan satu-satunya... hemmm, hanya Ang-siucai yang kuberi tahu akan rahasia ilmu itu untuk membalas budinya. Setelah Locianpwe itu pergi beberapa tahun yang lalu, datanglah Ang-siucai sebagai utusan pemerintah yang bersikap baik sekali kepada kami, mengajarkan masak dan baca tulis. 
Mungkinkah dia...? Aihh, jangan-jangan sikap beberapa orang anak buahku yang berubah ini pun hasil perbuatannya! Celaka, dan aku terluka. Ah, Sicu, tolonglah aku agar aku dapat menyelidiki hal ini dan mencegah terjadinya hal yang lebih hebat lagi. Aku khawatir kalau-kalau akan terjadi pemberontakan di sini. Dalam beberapa bulan ini aku sudah melihat gejala-gejala perlawanan dan sikap tidak mau menaati perintahku, termasuk penyerangan mereka kepada Ji-wi tadi.”

“Baik, Pangcu. Akan kucoba. Silakan Pangcu duduk bersila dan aku akan membantu membersihkan hawa beracun yang mengacaukan sinkang di tubuhmu.” kata Yu Goan.

Pemuda ini lalu duduk bersila di atas dipan, di belakang kakek itu. Ia kemudian menempelkan kedua telapak tangannya di atas punggung yang telanjang itu, mengerahkan sinkang-nya. Tak lama kemudian, Yu Goan berteriak keras dan tubuhnya terpelanting jatuh dari atas dipan, mukanya pucat penuh keringat dan matanya terbelalak. Siauw Bwee cepat menyambar lengan Yu Goan dan membantu pemuda itu berdiri.

Kakek itu menoleh dan mengerutkan alisnya yang putih. “Bagaimana, Sicu?” 

“Bagaimana, Twako? Kenapa kau jatuh?” Siauw Bwee juga bertanya. 

Yu Goan mengusap peluhnya dan menggeleng kepala. “Percuma. Agaknya Jit-goat-sinkang yang kau miliki itu luar biasa kuatnya, Pangcu. Aku tidak kuat menahan. Untuk mengobatimu membutuhkan orang yang memiliki sinkang jauh lebih tinggi dari pada kekuatanmu sendiri. Sinkang-mu yang dua macam saling berlawanan itu mana mungkin dilawan orang biasa seperti aku? Yang mengobati harus membagi tenaganya, sebagian untuk menahan penolakan Jit-goat-sinkang yang berlawanan itu, sebagian untuk mengirim hawa murni ke pusarmu dan membantumu menguasai kembali sinkang-mu dan bersama-sama mengusir hawa beracun. Tak mungkin aku melakukannya, bahkan seluruh sinkang-ku masih tidak kuat menghadapl pergolakan Jit-goat-sinkang yang saling berlawanan itu, apa lagi untuk mengusir hawa beracun.”

“Aihh, sudah nasibku. Untuk menghadapi maut, bagiku bukan apa-apa, karena aku pun sudah cukup tua. Akan tetapi kalau yang kukhawatirkan terjadi, kalau sampai timbul pemberontakan, celakalah anak buahku semua...” Kakek itu mengeluh dengan air muka berduka sekali.

“Pangcu, jangan khawatir. Aku akan membantumu mengobati penyakitmu. Twako, jelaskan apa yang harus kulakukan?”

“Khu-lihiap..., hal itu... berbahaya sekali. Jit-goat-sinkang di tubuhnya liar dan amat kuatnya. Salah-salah engkau akan terluka parah di sebelah dalam tubuhmu!” 

“Sicu benar, Lihiap. Harap jangan main-main dan mengorbankan diri sendiri untukku,” Ouw-pangcu juga berkata dengan hati tulus. 

Siauw Bwee tersenyum. “Kalau belum dicoba mana kita tahu, Twako? Biarlah aku mencobanya.” 

“Khu-lihiap, ini bukan main-main, mana boleh dicoba-coba? Aku tahu bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada tingkatku. Aku tidak hendak mengatakan bahwa sinkang-mu lebih lemah dari pada sinkangku, akan tetapi betapa pun, tak mungkin dapat melawan Jit-goat-sinkang yang liar di tubuh Ouw-pangcu.” 

Kembali Siauw Bwee tersenyum. “Ouw-pangcu, Locianpwe yang kau sebutkan tadi, apakah dia seorang kakek bertubuh kecil seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar sekali dan namanya Bu-tek Lo-jin?”

Ouw-pangcu begitu kaget mendengar ini sampai dia meloncat turun dari dipan dan memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak. “Ini... ini... rahasia besar... bagaimana Lihiap bisa tahu...?” tanyanya gugup.

Yu Goan juga terkejut. Dia pernah mendengar dari ayahnya akan nama Bu-tek Lo-jin itu, seorang manusia setengah dewa yang sakti dan aneh sekali, bahkan lebih terkenal dari pada nama Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek beradik yang tidak lumrah manusia itu dan hanya kalah kebesaran dan keanehannya oleh Bu Kek Siansu!

“Karena engkau telah mempercayakan rahasiamu kepadaku, Pangcu, dan karena aku sudah percaya penuh kepada Yu-twako, maka tidak perlu aku menyembunyikan rahasia diriku lagi. Aku mendengar nama besar Bu-tek Lo-jin dari suheng-ku ketika aku digemblengnya di Pulau Es.” 

“Pulau Es...?” Kini seruan itu keluar hampir berbareng dari mulut Yu Goan dan Ouw-pangcu. 

“Khu-lihiap, jadi engkau... murid penghuni Istana Pulau Es? Engkau murid manusia dewa Bu Kek Siansu...?” Yu Goan bertanya dengan mata terbelalak. 

Siauw Bwee tersenyum, mengangguk. “Aku murid beliau, akan tetapi beliau tidak ikut bersama kami ke Pulau Es dan yang mengajarku adalah Suheng. Penghuni Pulau Es hanyalah kami bertiga, aku, suci-ku dan suheng-ku.” 

“Ah, aku bersikap kurang hormat...!” Ouw-pangcu cepat menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi baru setengahnya, tangan Siauw Bwee telah menangkap lengannya dan sekali tarik, tubuh kakek itu telah melayang ke atas dipan!

Kakek itu duduk bersila dan memejamkan mata sambil berkata, “Khu-lihiap penghuni Istana Pulau Es, aku menyerahkan nyawaku ke tangan Lihiap!”

”Jangan terlalu sungkan, Ouw-pangcu. Aku pun belum dapat menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkanmu. Twako, jangan banyak pujian dan sungkan-sungkan lagi, lekas terangkan bagaimana caranya mengobati luka Ouw-pangcu.” 

Dengan keheranan dan kekaguman masih menyelubungi hatinya, Yu Goan lalu memberi petunjuk. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, suara beradunya senjata dan teriakan anak buah Ouw-pangcu, “Pemberontak! Pengkhianat! Manusia palsu Ang Hok Ci!” 

Ouw-pangcu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dengan tenang Siauw Bwee berkata, “Twako, kau menjaga di pintu, biar aku mengobatinya.” Lalu dara perkasa ini menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung kakek itu.

Ouw-pangcu hendak melawan karena ingin dia menghadapi para pemberontak, akan tetapi sungguh aneh, tenaga Jit-goat-sinkang di tubuhnya tiba-tiba bertemu dengan sinkang yang amat kuat, juga sinkang yang keluar dari kedua tangan dara itu merupakan dua macam sinkang, panas dan dingin. Dia terheran-heran. Apakah dara ini pandai pula Jit-goat-sinkang?

Sebenarnya bukanlah demikian. Siauw Bwee tidak pernah melakukan ilmu sinkang dari inti hawa sakti matahari dan bulan, akan tetapi dia berlatih di Pulau Es di bawah petunjuk Han Ki dan menurut kitab-kitab pelajaran Bu Kek Siansu tentu saja dia menguasai Yang-kang dan Im-yang dengan baiknya.

Sementara itu, di luar pondok terjadi perang yang amat seru. Anak buah yang masih setia kepada Ouw-pangcu diserbu anak buah lain yang telah dipengaruhi Ang Hok Ci atau Ang-siucai. Kiranya diam-diam Ang-siucai selama setengah tahun berada di situ telah menurunkan ilmu silat kepada para kawanan yang dipengaruhinya sehingga dalam pertempuran itu, anak buah Ouw-pangcu banyak yang roboh dan tewas. 

“Bunuh Ouw-pangcu!” terdengar teriakan Ang-siucai.

Ternyata bahwa kini selain Ang-siucai dan para anak buah yang dapat dipengaruhinya, muncul pula beberapa orang kawan Ang-siucai yang datang dari luar dan pada saat itu sudah menyerbu masuk perkampungan itu untuk membantu pemberontakan yang dicetuskan oleh sastrawan itu! Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan Ang-siucai sendiri sekarang pun tidak pura-pura.

Biasanya dia menyembunyikan kepandaiannya, maka ia selalu bergerak dengan kaku seperti orang-orang di situ. Akan tetapi sekarang, di samping tenaga Jit-goat-sinkang yang telah dimilikinya walau pun belum mencapai tingkat tinggi, dia juga menggunakan ilmu silatnya sendiri yang ternyata cukup hebat. Seorang demi seorang robohlah para pengikut Ouw-pangcu dan sebagian kini menyerbu ke pondok tempat tinggal Ouw-pangcu!

Daun pintu dibobol dari luar dan Yu Goan cepat menggerakkan pedangnya, merobohkan orang pertama yang menyerbu masuk. Pemuda itu maklum bahwa selagi Siauw Bwee mengobati Ouw-pangcu, kedua orang itu tidak berdaya untuk membantunya. Bahkan kalau mereka berdua diganggu, amat berbahaya bagi keselamatan mereka. Selain itu, cara pengobatan menggunakan sinkang itu tidak dapat dihentikan di tengah jalan karena hal ini akan membahayakan yang diobati. Dia harus dapat bertahan seorang diri sampai Siauw Bwee selesai mengobati kakek itu.

Dua orang dengan gerakan liar menyerbu masuk dengan tangan memegang golok. Mereka menyerang berbareng ke arah Yu Goan. Pemuda ini sudah melolos pedang dari sarung pedangnya karena dia maklum akan menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Melihat datangnya dua batang golok yang digerakkan dengan tenaga kuat itu, ia menangkis dengan pedang dan sarung pedangnya.

Untung baginya bahwa dua orang itu hanya memiliki tenaga sinkang yang amat kuat akan tetapi gerakan mereka sama sekali tidak berbahaya, maka begitu menangkis, pedangnya terus berkelebat ke kanan kiri menusuk dada dan menyabet perut. Dua orang itu berteriak keras, akan tetapi benar-benar tubuh mereka kebal, karena tusukan ke arah dada itu meleset dan hanya mendatangkan luka pada kulit, sedangkan sabetan pada perut hanya merobek baju dan kulit.

Dua orang itu sambil berteriak kaget sudah menerjang lagi dengan buas. Akan tetapi Yu Goan yang melihat betapa di belakang dua orang itu menyerbu banyak sekali lawan, bergerak cepat sekali. Serangan orang di sebelah kanannya ia elakkan sehingga orang itu terhuyung ke belakang. Cepat pedangnya dibalik dan secara tiba-tiba pedangnya menusuk ke belakang dan tepat menancap pada punggung lawan yang langsung menjerit dan muntahkan darah segar dari mulutnya, kemudian terjungkal. Ada pun penyerangnya dari kiri ia sambut dengan totokan sarung pedang pada pergelangan tangan orang itu sehingga goloknya terlempar karena tangan itu menjadi lumpuh. 

Pedang Yu Goan menyambar, kini mengarah leher. Biar pun leher itu juga kebal, namun goresan itu mengenai jalan darah di leher sehingga tampak tergetar ketika bertemu dengan golok yang dipegang seorang berpakaian seperti orang Han, yang dahinya lebar sekali dan gerakan goloknya aneh dan tangkas. Bersama orang ini, menyerbu pula enam orang liar dan Yu Goan segera dikeroyok di depan pintu.

Pemuda ini memutar pedang dan sarung pedangnya. Namun kepandaian orang Han yang menjadi kawan Ang-siucai itu benar-benar tak dapat dipandang ringan sehingga Yu Goan harus bersikap hati-hati sekali. Dia memutar pedang dan sarung pedang, berloncatan ke sana-sini tanpa meninggalkan posisinya melindungi Siauw Bwee yang sedang mengobati Ouw-pangcu di sebelah belakangnya. Dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok pula, akan tetapi kini Ang-siucai sendiri bersama teman-temannya datang, dan Yu Goan terkurung oleh delapan orang termasuk Ang-siucai dan dua orang Han yang lihai!

Yu Goan bukanlah seorang pendekar muda biasa. Dia adalah putera tunggal pendekar besar Yu Siang Ki, keturunan langsung dari tokoh-tokoh besar Ketua Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis pendekar yang amat terkenal itu. Ayahnya sendiri yang telah menggemblengnya dalam ilmu silat, bahkan ayahnya yang menjadi seorang ahli ilmu tongkat keluarga Yu, telah mengubah ilmu pedang dari ilmu tongkatnya itu. Kini, Yu Goan mainkan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri yang dipergunakan sebagai tongkat, dapat menangkis dan juga menotok jalan darah lawan! 

Namun, jumlah pengeroyok terlalu banyak. Roboh dua maju empat orang dan sebentar saja banyak lawan menyerobot masuk sehingga Yu Goan menjadi sibuk dan bingung juga karena dia harus melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu. Andai kata dia tidak harus melindungi dua orang itu, tentu saja sejak tadi dia sudah meloncat ke luar mencari tempat yang lebih luas agar enak dia mengamuk.

Kini di tempat sempit itu, dan separuh perhatiannya ia tujukan untuk melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu, tentu saja dia kurang menjaga diri sendiri sehingga beberapa kali dia terkena sambaran senjata yang bagaikan hujan datangnya. Pundaknya, pangkal lengan kirinya dan paha kanannya sudah terluka, namun Yu Goan tak pernah berhenti bergerak menahan musuh yang seolah-olah air bah mengancam Siauw Bwee dan Ouw-pangcu. 

“Kurung dia rapat-rapat!” Ang-siucai berseru.

Kini dua belas orang mengepung Yu Goan. Pemuda ini bingung sekali karena dia tidak dapat lagi melindungi Siauw Bwee. Baginya hanyalah Siauw Bwee yang penting maka kembali dia terkena tusukan ujung golok pada dada kanannya yang mengakibatkan luka lumayan dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena dia nekat meloncat ke luar dari kepungan mendekati Siauw Bwee. Pada saat itu, dua orang liar telah dekat di belakang Siauw Bwee, telah mengangkat golok hendak membacok wanita muda yang duduk bersila dan memejamkan mata, kedua telapak tangan menempel di punggung Ouw-pangcu itu.

“Trang-trang! Cepp! Cepp!”

Dalam kemarahan dan kegelisahannya, Yu Goan menangkis golok dari belakang, kemudian dua kali pedangnya amblas memasuki lambung dua orang itu yang tidak sempat mengerahkan sinkang karena serangan itu datangnya amat cepatnya. 

“Bukkk!”

Tubuh Yu Goan terguling ketika pukulan tangan kiri Ang-siucai mengenai punggungnya. Belasan batang golok dan pedang menghujam ke bawah mengarah tubuh pemuda ini. Akan tetapi dengan sikap seperti seekor burung terbang, tubuh Yu Goan sudah mencelat ke atas dan terdengar bunyi nyaring ketika pedang dan sarung pedangnya menangkis sekian banyaknya senjata!

Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang Han pembantu Ang-siucai untuk menerjang Siauw Bwee dari belakang. Mereka telah melihat Siauw Bwee dan diam-diam mereka ini tergila-gila, maka ketika mereka menerjang, mereka tidak ingin membunuh dara jelita itu, melainkan ingin menangkapnya. Tanpa berunding lebih dulu karena memang mereka mempunyai nafsu hati yang sama, dua orang ini menubruk, seorang mencengkeram pundak kiri Siauw Bwee dan orang kedua mencengkeram pundak kanan. Niat hati mereka, dara itu akan ditangkap, dipeluk, dipondong dan dibawa lari!

“Auugghhh!” 

“Aiiighhh!” 

Begitu menyentuh pundak Siauw Bwee, dua orang ini terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Yang memegang pundak kiri seketika menjadi kejang, mula-mula menggigil lalu mati kaku dengan muka dan tubuh membiru karena darahnya telah membeku terserang Im-kang yang dahsyat. Ada pun yang menyentuh pundak kanan tadi menjadi hitam seluruh tubuhnya dan mati seperti orang terbakar karena darahnya telah terbakar oleh Yang-kang!

“Ihhhh...!” Ang-siucai berteriak kaget dan memberi aba-aba kepada para kawannya agar tidak menyerang nona itu, namun terlambat. Dua orang pembantunya, anak buah Ouw-pangcu yang memberontak telah menusukkan golok mereka ke punggung Siauw Bwee. Begitu ujung golok menyentuh punggung, keduanya memekik dan terjengkang ke belakang dan mati seketika!

Pada saat itu Siauw Bwee sedang mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya, dan tenaga itu bercampur dengan tenaga Jit-goat-sinkang dari Ouw-pangcu, maka dahsyatnya bukan kepalang. Tenaga itu seolah-olah melindungi tubuh mereka berdua dan tentu saja penyerang yang kurang kuat sinkang-nya akan mati seketika seperti yang dialami empat orang sembono itu. 

Ang-siucai membawa teman-temannya keluar dan kini pertandingan dilanjutkan di luar. Pihak pengikut Ouw-pangcu terdesak hebat. Yu Goan masih mengamuk dalam keadaan terkurung dan terdesak karena pemuda perkasa ini sudah menderita banyak luka. Keadaannya berbahaya sekali, namun Yu Goan sedikit pun tidak menjadi gentar dan bertekad melawan sampai detik terakhir.

Ouw-pangcu menghela napas panjang, tubuhnya bergerak dan ia berkata dengan suara nyaring, “Terima kasih, Lihiap. Budimu takkan kulupakan dan ternyata Lihiap tidak kecewa menjadi murid Bu Kek Siansu!” 

“Tidak perlu berterima kasih, Pangcu. Lebih baik lekas kita membantu Yu-twako.”

Kedua orang ini meloncat ke luar. Ouw-pangcu masih bertelanjang baju dan tangannya sudah menyambar goloknya yang tadi tergantung di dinding. Begitu tiba di luar, Siauw Bwee dan Ouw-pangcu mengamuk. Terutama sekali Ouw-pangcu yang masih sempat menyaksikan Yu Goan menderita banyak luka dan orangnya banyak yang tewas. Ketua ini mengamuk seperti harimau terluka dan banyak kaum pemberontak roboh dan tewas di ujung golok atau di bawah telapak tangan kirinya. 

Namun, ketika para pemberontak melemparkan senjata dan berlutut minta ampun, di antara mereka tidak terdapat Ang-siucai dan kawan-kawannya yang telah lebih dulu melarikan diri. Hanya dua orang Han yang menyerang Siauw Bwee tadi yang tewas, selebihnya telah berhasil melarikan diri semua. Ouw-pangcu yang merasa penasaran, mengerahkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran, namun Ang-siucai dan teman-temannya lenyap seperti ditelan bumi. Dengan hati penuh penasaran dan duka Ouw-pangcu memimpin anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan dan mengobati yang terluka.

Yu Goan menderita luka, namun tidak ada yang berbahaya. Setelah mengobati dirinya sendiri, pemuda perkasa ini lalu sibuk mengobati anak buah Ouw-pangcu yang terluka.

Hati Ouw-pangcu menjadi terharu sekali. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan Siauw Bwee dan Yu Goan. Ketika dua orang itu menolak dan membujuknya untuk berdiri, dia berkata, “Aku tidak mau berdiri kalau Ji-wi tidak suka menjadi anak-anak angkatku!” 

Yu Goan dan Siauw Bwee saling pandang dan akhirnya keduanya mengangguk.

“Baiklah, Gihu!” 

“Bangkitlah sekarang, Gihu!” kata pula Siauw Bwee yang mencontoh Yu Goan menyebut gihu (ayah angkat) kepada kakek itu.

Ouw-pangcu melompat bangun, tertawa bergelak dan merangkul pundak kedua orang muda itu, memandang muka mereka saling berganti penuh kebanggaan. “Ha-ha-ha-ha! Mempunyai dua orang anak angkat seperti kalian, biar sekarang mati pun aku akan mati dengan senyum bahagia!”

Siauw Bwee dan Yu Goan menjadi terharu sekali dan diam-diam mereka tidak menyesal, bahkan bangga mempunyai seorang ayah angkat yang demikian gagah perkasa, jujur, dan hidup dalam keadaan wajar. “Marilah, anak-anakku. Marilah kuajarkan ilmu melatih sinkang untuk memperoleh tenaga inti matahari dan bulan. Kebetulan bulan sedang purnama malam ini, kau bisa mulai.”

Bagi Yu Goan tentu saja ilmu ini merupakan keuntungan besar bukan main dan dengan tekun ia mulai melatih diri. Bagi Siauw Bwee, sesungguhnya dia memiliki sinkang yang lebih dahsyat dari pada yang dimililki Ouw-pangcu, akan tetapi ketika dia mempelajari teori pelajaran ini, dia mendapat kenyataan bahwa kalau orang dapat mencapai tingkat tertinggi dari ilmu ini, bukan saja akan memliiki sinkang yang dahsyat, juga akan dapat memetik hawa mukjizat dari matahari dan bulan! Maka dia pun lalu mempelajari dengan teliti dan mulai berlatih bersama Yu Goan. 

Ouw Teng, ketua penghuni tebing dan hutan itu bersikap amat baik kepada Yu Goan dan Siauw Bwee. Kakek ini tidak mempunyai isteri atau anak, dan rasa terima kasih membuat dia berusaha sedapatnya untuk menyenangkan hati kedua orang anak angkatnya. Dia menceritakan segala hal mengenai keadaan para penghuni di situ tanpa menyimpan rahasia.

Anak buahnya, yaitu para penghuni tebing dan hutan, tadinya berjumlah seratus orang lebih. Mereka membentuk keluarga di situ dan beranak bini. Tetapi pemberontakan itu menewaskan belasan orang anak buahnya, sedangkan yang terbujuk oleh Ang-siucai dan tewas serta melarikan diri ada tiga puluh orang.

Setelah tinggal di tempat itu selama dua bulan, Siauw Bwee dan Yu Goan mendapat kenyataan betapa orang-orang itu sesungguhnya hidup jauh lebih bahagia dari pada orang-orang kota. Dan sesungguhnya mereka hidup dengan tenang, tenteram dan penuh damai. Tidak pernah ada percekcokan. Tidak pernah ada pencurian karena mereka tidak mengenal istilah mencuri. Semua benda yang terdapat di situ adalah milik mereka bersama dan siapa yang membutuhkan boleh mengambilnya. Tidak ada iri hati karena keadaan hidup mereka sama, bahkan Ouw-pangcu sendiri hidupnya tidak berbeda dengan mereka. 

Melihat keadaan ini, Siauw Bwee diam-diam membenarkan Bu-tek Lo-jin yang menaruh kasihan dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Hidup secara liar seperti itu tentu saja lebih membutuhkan kekuatan untuk melawan ancaman binatang buas, penyakit yang timbul dari hawa udara dan lain ancaman lagi. Karena melihat bahwa mereka itu hanya memiliki kekebalan, Siauw Bwee lalu mengajarkan beberapa jurus ilmu pukulan dan ilmu meringankan tubuh.

Kini ia mendapat kenyataan bahwa ketika malam-malam mereka mengintai dia dan Yu Goan, mereka itu melenyapkan diri bukan karena memiliki gerakan cepat, melainkan karena mempunyai tempat persembunyian di hutan-hutan yang tentu saja sudah mereka kenal betul keadaannya. Pula, karena mata mereka mengeluarkan cahaya mencorong berkat sinkang mereka, maka begitu mereka memejamkan mata dan mendekam di tempat gelap, Siauw Bwee tidak dapat melihat mereka.

Bagi Siauw Bwee yang sudah mengalami banyak hal aneh, bahkan pernah tinggal di Pulau Es yang sunyi, kini tinggal di dalam hutan di antara orang-orang yang demikian sederhana hidupnya, ia merasakan ketenteraman hati yang amat menyenangkan. Ia merasa kerasan di tempat itu, hidup di antara pohon-pohon dan tanaman-tanaman liar, tidak pernah terlihat kemewahan kota, tidak pernah melihat kesibukan manusia mengejar uang, tidak pernah melihat percekcokan-percekcokan. 

Juga Yu Goan, di samping tekun melatih diri dengan Ilmu Jit-goat-sinkang, juga merasa amat senang tinggal di situ. Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Siauw Bwee, pemuda ini maklum bahwa jangankan tinggal di tempat yang tenang itu, biar tinggal di dalam neraka sekali pun dia akan merasa senang kalau di situ terdapat Siauw Bwee di sampingnya!

Pemuda ini menyadari sedalamnya bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara jelita yang sakti itu. Jatuh bertekuk lutut, mencinta Khu Siauw Bwee bukan hanya dengan jiwa raganya, melainkan seluruh hidupnya seakan-akan kini ia tujukan demi cinta kasihnya kepada dara itu! Dia tidak berani mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi setiap pandang matanya, suaranya, gerak-geriknya jelas membayangkan cintanya yang amat mendalam. 

Siauw Bwee sendiri bukan tidak tahu akan perasaan pemuda itu, dan hal ini amat mengganggu hatinya. Dia suka kepadanya. Yu Goan yang ia tahu adalah seorang pemuda yang amat halus budi pekertinya, seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat, juga dalam kesusastraan dan ilmu pengobatan, sopan-santun dan jujur, pendeknya seorang pemuda pilihan. Akan tetapi, hatinya yang sudah jatuh cinta kepada suheng-nya Kam Han Ki, tidak mungkin mencinta pria lain. Dia merasa kasihan kepada Yu Goan, terharu kalau melihat betapa sinar mata pemuda itu memandangnya penuh kasih. Ia mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaan pemuda itu dengan satu-satunya jalan yang ia ketahui, yaitu memisahkan diri dari pemuda itu.

Pagi itu mereka berdua berlatih di waktu matahari mulai naik tinggi, duduk bersila dan melatih sinkang menerima cahaya matahari dan membiarkan sinar matahari yang mengandung inti hawa panas yang menjadi sumber segala hawa panas itu meresap ke dalam tubuh mereka. Setelah mereka menghentikan latihan mereka dan tubuh mereka basah oleh peluh, mereka mengaso di bawah pohon yang teduh sambli menghapus peluh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Bwee untuk mengutarakan keinginan hatinya.

”Yu-twako, kurasa kita sudah cukup memahami cara melatih diri dengan Jit-goat-sinkang. Kini yang penting hanya tinggal melatih diri yang dapat kita lakukan di mana pun juga. Sudah terlalu lama kita tinggal di tempat ini.” 

Yu Goan menoleh dan memandang dara itu dengan matanya yang lembut. Kemudian ia berkata, “Ucapanmu benar, Lihiap...” 

“Aihh, sudah berapa kali aku minta agar engkau tidak menyebutku dengan lihiap, Twako. Bukankah sejak lama aku menyebutmu Twako?” 

“Terima kasih, ...eh, Bwee-moi. Sesungguhnya engkau baik sekali dan aku merasa amat beruntung diperbolehkan menyebutmu adik. Akan tetapi, engkau adalah seorang pendekar wanita yang tiada keduanya di dunia ini, dan aku... aku merasa terlalu rendah untuk menyebutmu adik.” 

“Omongan apakah ini? Aku hanya seorang manusia biasa, Twako. Kalau kau tidak menyebutku adik, aku tidak mau menjawabnya.” 

“Baiklah, Bwee-moi. Maafkan aku. Apa yang kau katakan tadi benar bahwa kita sudah memahami Jit-goat-sinkang dan sudah terlalu lama tinggal di sini mengganggu ayah angkat kita. Akan tetapi..., kita akan pergi ke manakah?” 

Inilah yang berat bagi Siauw Bwee dan semua tadi ia ucapkan hanya untuk dipergunakan sebagai alasan belaka. Maksudnya hanya untuk mencari jalan agar ia dapat memisahkan diri dari pemuda ini. 

“Aku akan melakukan perjalananku mencari suci dan suheng, Twako. Kita berpisah di sini, aku melanjutkan perjalanan dan engkau pun melanjutkan perjalananmu sendiri.” 

Dengan hati perih Siauw Bwee melihat betapa wajah yang tampan itu menjadi pucat, mata itu memandangnya dengan sinar mata penuh permohonan. “Bwee-moi..., mengapa... mengapa kita harus saling berpisah? Bukankah kita dapat melakukan perjalanan bersama? Aku akan membantumu mencari suheng dan suci-mu sampai engkau dapat bertemu dengan mereka!”

Siauw Bwee menggeleng kepalanya. “Twako, engkau baik sekali dan percayalah bahwa aku selamanya tidak akan melupakan engkau sebagai seorang sahabat yang paling baik, bahkan sebagai saudara angkat karena setelah kita berdua menjadi anak-anak angkat Ouw-pangcu, kita pun menjadi saudara angkat. Akan tetapi, tidak baik kalau kita melakukan perjalanan bersama, apa lagi aku tidak ingin menyusahkanmu. Urusan pribadiku masih amat banyak, dan engkau sendiri tentu mempunyai urusan pribadi. Biarlah kita berpisah di sini dan tentu kelak kita masih akan dapat saling berjumpa kembali.” 

Yu Goan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya untuk menyembunyikan kedukaan yang membayang di wajahnya. “Ah, Bwee-moi... aku mohon kepadamu, jangan aku harus berpisah darimu... jangan kita saling berpisah lagi...” 

Siauw Bwee tentu saja sudah menduga akan isi hati pemuda ini, akan tetapi ia mengeraskan hati, memandang dengan alis berkerut dan bertanya dengan suara nyaring mendesak, “Twako! Apa maksudmu dengan kata-kata itu?”

Yu Goan menurunkan kedua tangannya dan memandang wajah dara itu dengan muka pucat namun sinar mata membayangkan isi hatinya tanpa disembunyikan lagi. Suaranya menggetar, namun ia memaksa diri untuk menggunakan saat itu mengeluarkan semua isi hatinya. 

“Bwee-moi, dengarlah. Semenjak saat pertama aku melihatmu, kemudian mendengar bahwa engkau adalah puteri dari mendiang pahlawan Khu Tek San, cucu murid Menteri Kam Liong, kemudian dilanjutkan melihat sepak terjangmu, menyaksikan kelihaian ilmu kepandaianmu dan watakmu yang amat mulia, aku telah jatuh cinta kepadamu! Tidak tahukah engkau, Bwee-moi? Aku cinta kepadamu, Bwee-moi, dan aku tidak akan dapat hidup kalau harus berpisah dari sampingmu. Engkau telah menjadi separuh nyawaku dan aku...” 

“Cukup, Twako!” Siauw Bwee berkata keras, tidak marah, hanya sengaja memperkeras sikapnya untuk ‘mengobati’ penyakit yang menyerang hati pemuda itu. “Aku bukan seorang buta yang tidak melihat tanda-tanda itu semua, dari sinar matamu, dari suara dan gerak-gerikmu. Aku tahu bahwa engkau sudah jatuh cinta kepadaku. Akan tetapi, karena aku tahu pula bahwa amat tidak mungkin bagiku untuk membalas perasaan hatimu itu, aku mengambil keputusan bahwa kita harus saling berpisah sebelum penyakitmu menjadi makin berat.”

Yu Goan memandang dengan mata terbelalak kosong, sekosong hatinya yang mengalami pukulan hebat. Wajahnya yang pucat, matanya yang memandang kosong, mulutnya yang agak terbuka seolah-olah sukar mengeluarkan suara, merupakan ujung pedang yang menusuk hati Siauw Bwee. 

“Meng... mengapa tidak mungkin..., Bwee-moi?” Suara ini lebih mirip rintihan yang membuat Siauw Bwee memejamkan mata sejenak.

Ketika Siauw Bwee membuka matanya kembali, dua titik air mata menetes turun. Sejenak dia memandang wajah Yu Goan yang pucat, rambutnya yang mawut, matanya yang sayu, mulutnya yang tertarik derita hatinya. Ahhh, betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, pikiran ini seperti kilat memasuki kepalanya. Akan tetapi di sana ada Kam Han Ki dan dia tidak mau menukar suheng-nya itu dengan pria lain yang mana pun juga, betapa tampan dan baik pun!

“Yu-twako, aku suka kepadamu, aku menganggap engkau sebagai sahabat terbaik, bahkan sebagai saudara, akan tetapi tidak mungkin aku membalas cintamu karena... karena cinta kasihku telah dimiliki pria lain, Twako.” 

Yu Goan terbelalak, kemudian kedua lengannya bergerak ke atas, yang kanan menjambak rambut sendiri, yang kiri menutupi muka, tubuhnya gemetar dan suaranya menggetar, “Ahhhh... maafkan aku, Bwee-moi... maafkan aku...!”

Siauw Bwee memegang kedua tangan Yu Goan dan menariknya turun. Ia memandang air mata yang menetes-netes turun di wajah yang pucat itu, menahan air matanya sendiri dan mengeraskan suaranya, “Twako! Begini lemahkan engkau? Seorang pemuda gagah perkasa, begini sajakah kekuatan batinmu?” 

Yu Goan memandang dara itu, lalu memejamkan mata dan menundukkan mukanya. “Maafkan aku... maafkan...” 

Siauw Bwee mengguncang kedua lengan pemuda itu. “Yu-twako! Engkau mengatakan bahwa engkau cinta kepadaku, akan tetapi kalau ternyata bahwa engkau menderita batin karena aku tidak bisa membalas cintamu, berarti bahwa engkau bukan mencinta aku, melainkan mencinta dirimu sendiri!” 

Yu Goan mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang terbelalak. “Apa maksudmu, Bwee-moi?” 

“Di balik cintamu itu tersembunyi nafsu mementingkan diri sendiri, tersembunyi keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Kau ingin dicinta, ingin memiliki, itu bukanlah cinta sejati, Twako, melainkan cinta diri yang bergelimang nafsu. Karena di balik cintamu bersembunyi hal-hal itulah maka engkau menjadi berduka dengan merasa sengsara ketika mendengar bahwa aku tidak dapat membalas cintamu! Renungkanlah, Twako, siapakah yang kau cinta itu? Aku ataukah dirimu sendiri?”

Yu Goan termenung, tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian ia mengangguk. “Akan tetapi... adakah cinta yang murni, tanpa keinginan untuk tidak berpisah lagi selamanya dari orang yang dicintanya?” 

“Tentu saja ada, Twako. Cinta murni melupakan keinginan hati sendiri, hanya ingin melihat orang yang dicintanya bahagia. Karena kita yakin bahwa aku tidak mungkin membalas cinta kasihmu, rubahlah cintamu itu, bersihkan dari pada nafsu birahi. Lihatlah, aku memegang tanganmu, tanpa getaran nafsu, akan tetapi dengan rasa cinta sepenuhnya, cinta saudara. Dapatkah engkau merasakan itu, Twako?” 

Yu Goan memandang tajam, kemudian menghela napas panjang dan mengangguk. “Aku mengerti, Bwee-moi.”

Ia lalu meraih tubuh dara itu dan mencium dahinya, ciuman yang lembut dan bersih dari pada nafsu, jauh dari pada kemesraan kasih sayang lawan kelamin. Siauw Bwee dapat melaksanakan pula hal ini, maka dia tidak kaget, tidak membantah, dan diam-diam ia merasa bersyukur dan kagum bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki budi pekerti yang bersih.....

Selanjutnya baca
ISTANA PULAU ES : JILID-14
LihatTutupKomentar