Dua Nyawa Kembar

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 174

Dua Nyawa Kembar

(Episode Keempat Petualangan Wiro Sableng Di Bhumi Mataram)
SATU
NENEK sakti Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng terkencing-kencing serabutan begitu melayang jatuh memasuki alam delapan ratus tahun silam Bhumi Mataram di kawasan selatan kaki Gunung Merapi. Tubuh kurus kering si nenek terguling-guling di tanah lalu tertumbuk dan tersandar di sebatang pohon mahoni. Dua kaki masih mengepit kuda lumping yang tadi ditunggangi sewaktu melesat dari dalam hutan di dekat Candi Prambanan.
“Oala! Bagaimana bisa kejadian begini rupa?!” Si nenek berucap setengah berseru lalu semburkan air kunyahan susur yang ada di dalam mulut. Dia memandang berkeliling. “Aku di mana? Apa aku sudah berada di Mataram Kuna, kerajaan delapan ratus tahun silam?”
Perlahan-lahan si nenek bangkit berdiri. Kuda lumping dikepit di ketiak kiri, tangan kanan rapikan empat tusuk konde perak yang menancap di kepalanya.
Bukannya ingin mencari tahu di mana keberadaan Wiro dan anak perempuan bernama Ni Gatri, si nenek malah terus bertanya-tanya dalam hati. “Apakah aku akan bertemu lagi dengan kakek gagah bersorban dan berjubah kelabu yang menyusup ke dalam tubuh Ni Gatri sewaktu berada di rumah Abdi Dalem Pringkun? Ah, mengapa aku begitu tertarik padanya? Padahal apakah dia tertarik pada diriku yang jelek rongsokan ini?”
Membayangkan wajah kakek dari alam gaib itu si nenek senyum-senyum sendiri (Baca “Empat Mayat Aneh”). Namun wajahnya yang hanya dilapis kulit tipis keriput mendadak berubah redup.
“Kalau aku sampai bertemu dia dalam keadaan diriku tak karuan seperti ini, dekil dan bau pesing, tobat biyung! Betapa memalukan! Aku harus mencari pakaian pengganti, bersolek sedikit dan yang paling penting mendapatkan pewangi pengharum tubuh. Agaknya aku harus mencari pasar lalu mencuri barang dagangan orang. Hik… hik… hik!” Sinto Gendeng tertawa cekikikan lalu membatin lagi. “Mungkin juga kakek gagah itu tidak suka dan jijik melihat aku mengunyah susur. Biar aku buang saja!”
Si nenek lalu semburkan susur yang ada di dalam mulut hingga amblas masuk ke dalam batang pohon. Lalu dia kembali merenung. “Aku ingat orang bernama Swara Pancala itu. Apa benar yang dikatakannya kalau kakek gagah melihat diriku dalam ujud seorang gadis cantik hitam manis. Sebagaimana keadaan wajah dan tubuhku di masa muda…? Dan bahwa dia akan minta kakek gagah itu menggantikan tusuk kondeku yang hancur? Ah, rasanya tidak diganti pun aku tidak kecewa. Yang penting syukur­syukur aku bisa bertemu dengan dia dan… Hik… hik… hik!” Sinto Gendeng lantas ingat pula sewaktu Wiro menggodanya. Yaitu mengapa dia tidak minta dipeluk dan dicium oleh kakek gagah yang terlihat di dalam diri Ni Gatri itu. Si nenek tersipu, usap-usap dagunya yang runcing.
Sebagaimana diceritakan dalam serial sebelumnya (Roh Jemputan) sesuai petunjuk kakek jubah kelabu makhluk alam gaib dari zaman Mataram Kuna delapan ratus tahun silam yang masuk ke dalam tubuh Ni Gatri dan bicara lewat anak perempuan itu, pada menjelang tengah malam Mayat Keempat benar-benar muncul mengejutkan Wiro, Ni Gatri dan Sinto Gendeng yang memang telah menunggu di dalam rimba belantara tak jauh dari Candi Prambanan. Tentu saja mereka tidak pernah menyangka yang bakal datang adalah makhluk dengan ujud begitu rupa dan mengaku bernama Mayat Aneh Keempat!
Sebelum itu seorang bernama Swara Pancala yang masuk ke dalam kuda lumping lalu berpindah ke dalam tubuh Ni Gatri menjelaskan bahwa kuda lumping terbuat dari bambu itu kelak akan dijadikan tunggangan bagi Wiro untuk masuk ke alam delapan ratus tahun silam, yaitu pada masa terjadinya malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram.
Sinto Gendeng merasa sangat kesal ketika Mayat Keempat tidak mengizinkannya pergi bersama sang murid. Sebaliknya Ni Gatri malah disuruh ikut dengan Wiro. Sebelum Wiro menunggangi, Sinto Gendeng mendahului melompat naik ke punggung kuda lumping. Kuda lumping dari kajang bambu yang telah berubah menjadi satu benda sakti ini langsung melesat ke udara. Untung saja Wiro sambil menarik Ni Gatri masih bisa mengejar hingga ketiga orang itu duduk berdesakan di punggung kuda lumping yang melesat ke langit untuk kemudian melayang turun di Bhumi Mataram. Ketika hampir mencapai tanah ke tiga orang itu jatuh terpental berpencaran. Ni Gatri jatuh ke dalam pangkuan seorang nenek bernama Rauh Kalidathi yang dalam keadaan lumpuh tengah duduk bersemadi di atas serumpunan semak belukar. Baru saja anak perempuan itu berada dalam haribaannya mendadak muncul seorang bernama Ludra Bhawana yang di Bhumi Mataram dikenal sebagai dukun jahat, anak buah Raja Dukun Batu Berlumut. Raja Dukun adalah kaki tangan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Ludra Bhawana memaksa Rauh Kalidathi menyerahkan Ni Gatri kepadanya. Melihat ancaman bahaya, Rauh Kalidathi mengamankan Ni Gatri dengan Ilmu Kesejukan di Dalam Api. Anak perempuan itu dimasukkan ke dalam semak belukar dan dilindungi dengan kobaran api.
Pertarungan antara si nenek dengan Ludra Bhawana tidak dapat dihindari. Walau usia lanjut dan banyak pengalaman namun ternyata kesaktian si nenek masih berada di bawah lawan. Sekejapan lagi Rauh Kalidathi akan menemui ajal dihantam pukulan Batu Neraka Menggoncang Jagat yang dilepas Ludra Bhawana tiba-tiba satu makhluk gaib sakti merasuk masuk ke dalam tubuh Ni Gatri. Sosok anak perempuan ini melesat keluar dari dalam semak belukar yang terbakar. Tangan kanan menunjuk ke arah Ludra Bhawana, mulut membentak dalam suara lelaki tua.
“Manusia culas Ludra Bhawana! Masih muda tapi dosa setinggi langit sedalam samudera! Kerajaan memberi pangkat tinggi dan anugerah besar padamu! Tapi kau berkhianat! Malam ini dosamu sudah lewat dari takaran! Malam ini kau harus menyerahkan nyawa busukmu pada penjaga pintu neraka?”
Rupanya orang bernama Ludra Bhawana ini dulunya adalah pejabat kerajaan yang kemudian berkhianat menjadi anak buah Raja Dukun Batu Berlumut alias Jambal Ungu dan memperhamba diri pada makhluk bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang dalam alur cerita diketahui menjadi makhluk penimbul bencana Malam Jahanam di Kerajaan Mataram Kuna.
Begitu bentakan yang keluar dari mulut Ni Gatri berakhir, dari dalam tanah tiba-tiba reettt… rettt! Mencuat keluar dua tangan besar merah menyala laksana bara. Dua tangan dengan gerakan kilat mencekal pergelangan sepasang kaki Ludra Bhawana.
Cess! Cess!
Dua kaki Ludra Bhawana leleh mulai dari kulit sampai ke daging dan tembus ke tulang! Orang ini menjerit setinggi langit, mulut robek, lidah mencuat terjulur. Dia berusaha menarik dua kakinya yang telah lumat namun satu hentakan dahsyat membuat tubuhnya amblas masuk ke dalam tanah!
Kembali pada Sinto Gendeng yang tengah teringat pada kakek gageh bersorban dan berjubah kelabu. Nenek satu ini sedang memikirkan bagaimana caranya dia harus mematut diri sebelum bertemu dengan kakek yang sangat menarik hatinya itu ketika lapat-lapat dia mendengar suara air mengalir. Sinto Gendeng tancapkan tongkat kayunya ke tanah. Melalui getaran yang keluar dari dalam tanah dan menjalar masuk ke tongkat terus ke tangannya si nenek segera bisa menduga di mana beradanya sumber suara aliran air. Melangkah cepat mengikuti getaran sejauh belasan tombak akhirnya Sinto Gendeng menemukan sebuah kali kecil dan dangkal. Walau airnya jernih namun kali kecil ini nyaris hanya merupakan sebuah selokan selebar tiga langkah. Si nenek tidak berhenti sampai di situ. Dia berjalan ke arah tanah yang ketinggian, berlawanan dengan aliran air dan sangat gembira ketika di satu tempat akhirnya dia menemukan sebuah telaga kecil. Saat itu ada rembulan setengah lingkaran di langit. Cahaya bulan membuat suasana di telaga dan sekitarnya tampak indah dan sejuk. Namun Sinto Gendeng tidak memperdulikan semua itu. Yang dipikirkan si nenek saat itu adalah segera menanggalkan pakaian lalu masuk ke dalam telaga untuk membersihkan diri.
Puas mandi di telaga berair jernih dan sejuk Sinto Gendeng menepi ke daratan, ke arah batu datar di mana tadi dia melepas dan meninggalkan pakaian. Si nenek terkejut ketika dia dapatkan baju panjang hitam dan kain hitam miliknya tidak ada lagi di atas batu. Yang ada di atas batu hanya tongkat kayunya sementara kuda lumping masih tergeletak di tanah di pinggiran telaga.
Sebaliknya, yang membuat dia tercengang di atas batu kini terlihat pula seperangkat kebaya dalam berwarna biru serta sehelai kain panjang yang sangat bagus dan halus tenunannya. Dan yang membuat nenek ini jadi lebih melengak adalah ketika melihat di samping pakaian ada sebuah nampan kecil terbuat dari perak. Di atas nampan terdapat serbuk pupur putih kemerahan, kayu kecil hitam untuk penghitam alis, kayu merah basah untuk pemerah bibir. Lalu ada sebuah tabung perunggu kecil yang dari balik penutupnya menebar keluar bau harum semerbak yang membuat sedap rongga pernafasan.
“Ada orang meletakkan semua benda itu di atas batu. Siapa? Apa memang aku disuruh mengganti pakaian dan berdandan. Baik sekali orang itu…” Sinto Gendeng memandang berkeliling. Dalam kegelapan malam dia tidak melihat siapapun Telinga dipasang. Tenaga dalam dikerahkan. “Aku tidak mendengar suara gerakan, apalagi degup jantung dan tarikan nafas…”
Si nenek akhirnya kembali menatap ke arah batu datar. Dia bergerak mendekati. Tangan diulurkan. Namun ditarik kembali. Ada kebimbangan dalam diri nenek sakti yang kini berada di alam delapan ratus tahun silam itu.
“Ini negeri asing. Aku tidak mengenal siapapun di sini. Aneh kalau ada orang berbuat baik. Apakah ini satu jebakan atau kakek gagah itu yang hendak berbuat baik menanam budi…?” Sinto Gendeng usap-usap keningnya yang berkulit tipis dan hitam.
Tidak terduga tiba-tiba dalam kegelapan malam terdengar suara lembut seorang lelaki menegur, mengucapkan kata-kata.
“Gadis cantik yang datang dari alam jauh. Jangan ragu, jangan ada kebimbangan. Setelah bersegar diri mandi di dalam Telaga Banyu Mindi, sangatlah layak bagimu untuk berpakaian dan menghias diri serta memperwangi tubuh dengan Minyak Sari Seratus Bunga.”
***
DUA
SINTO Gendeng terkejut. Dua tangan disilang melindungi dada seolah anak perawan yang merasa malu karena auratnya tersingkap dan takut dilihat orang. Padahal dada si nenek rata dan ceper kisut! Kepala dipaling ke arah kiri pinggiran telaga di mana tumbuh sederetan pohon besar. Orang yang tadi mengeluarkan ucapan, suaranya datang dari balik deretan pepohonan itu.
“Orang itu, dia mengatakan diriku gadis cantik! Apa matanya buta tidak melihat wajah dan kulit tubuhku yang keriputan? Atau… Heh! Jangan-jangan dia melihat keadaan diriku di masa muda. Berarti dia adalah si kakek gagah. Ah…” Sinto Gendeng terkesima. Wajah berseri. Mengingat­ingat. Lalu berkata lagi dalam hati. “Suara itu sungguh lembut. Memang mirip dengan suara kakek berwajah gagah yang aku lihat dan aku dengar tempo hari. Aku yakin yang bicara dari balik pohon itu memang dia…”
Wajah Sinto Gendeng tampak berseri. Dia menatap sekali lagi ke arah gelap deretan pohon lalu berkata dengan dada berdebar. “Orang di balik pohon, harap kau suka memperlihatkan diri. Aku mengenali suaramu. Mungkin kita pernah bertemu.”
Tak ada jawaban. Sinto Gendeng menunggu. Ketika masih tak ada jawaban dia berseru. “Hai! Mengapa tidak menjawab?”
“Gadis cantik di dalam telaga. Bagaimana mungkin aku memperlihatkan diri sementara auratmu yang bagus tidak tertutup selembar benangpun. Para Dewa akan menghukumku jika berani melihat tubuh terlarang seorang anak gadis baik-baik, cantik, mulus dan bagus…”
“Ah…” Sinto Gendeng tersipu-sipu.
“Selesaikan mandimu…” Kata orang di balik pohon.
“Aku memang sudah selesai mandi.” Jawab Sinto Gendeng.
“Kalau begitu keluarlah dari dalam telaga. Kenakan pakaian yang telah tersedia. Setelah itu berhiaslah dan pakai Minyak Sari Seratus Bunga. Maka kau tidak akan beda laksana seorang bidadari yang turun dari Swargaloka…”
Sudah puluhan tahun Sinto Gendeng tidak mendengar puji sanjung seperti itu. Tentu saja hati si nenek jadi berbunga-bunga.
“Orang di balik pohon! Aku akan keluar dari telaga. Awas, jangan berani mengintip!” Habis berkata begitu tanpa tedeng aling-aling Sinto Gendeng enak saja keluar dari dalam telaga. Naik ke atas batu datar untuk mengambil dan mengenakan kebaya dan kain panjang. Setelah memperhatikan segala macam alat berhias yang ada di atas nampan perak, nenek ini dengan cepat berdandan diri. Karena tidak ada kaca untuk melihat wajahnya maka dandanan Sinto Gendeng boleh dikatakan centang perenang tak karuan rupa. Selesai berdandan si nenek guyurkan Minyak Sari Seratus Bunga di dalam tabung perunggu, mulai dari ubun-ubun, leher, dada, perut dan sampai bagian di bawah perut!
“Hik… hik! Nyaman rasanya tapi agak panas-panas…” Ucap si nenek sambil keluarkan tangan kanan dari balik kain panjang. Dua kaki dikibas-kibas. Sisa minyak wangi yang masih ada dioles di kedua ketiak dan kain panjang sebelah bawah untuk berjaga-jaga dan menangkis kalau dia sempat terkencing! Tabung perunggu yang sudah kosong di buang ke dalam telaga. Saat itu juga seantero telaga dan sekitarnya ditebar bau wangi luar biasa yang keluar dari tubuh dan pakaian si nenek.
“Aku sudah selesai! Sekarang sahabat yang baik harap mau memperlihatkan diri!” Berseru Sinto Gendeng sambil berdiri lurus-lurus dan menatap ke arah deretan pepohonan.
Saat itu juga dari balik pohon besar di sebelah tengah muncul keluar seorang kakek gagah berwajah klimis, mengenakan sorban dan jubah dalam berwarna abu-abu. Sambil tersenyum dia berjalan ke tepi telaga dan berhenti dua langkah di hadapan batu besar di mana Sinto Gendeng berdiri memegang tongkat kayu. Dengan mengembangkan tangan, sambil membungkuk si orang tua berkata.
“Bidadari yang malam hari datang dari jauh, konon dari negeri delapan ratus tahun mendatang, aku Kumara Gandamayana mengucapkan selamat datang di Bhumi Mataram, kerajaan yang tengah ditimpa malapetaka akibat perbuatan orang-orang jahat yang berserikat menjatuhkan angkara murka ganas luar biasa.”
Sambil berkata kakek itu melirik memperhatikan wajah Sinto Gendeng. Lalu tundukkan kepala untuk menyembunyikan senyum. Sang bidadari cantik berambut hitam disanggul dengan empat tusuk konde perak menancap di kepala, dandanannya celemong mencorong tak karuan. Wajah tertutup pupur tebal, sepasang alis kereng hitam mencong dan mulut belepotan pemerah bibir.
Akan halnya dengan Sinto Gendeng, ketika mendengar nama belakang kakek gagah di hadapannya itu, lantas saja dia teringat pada seorang pendeta bernama Mayana yang pernah menjadi kekasihnya di masa muda dan tewas menjelang runtuhnya Kerajaan Singosari (Mengenai kisah Sinto Gendeng dan Pendeta bernama Mayana bisa dibaca dalam dua serial Wiro Sableng yaitu “Halilintar di Singosari” dan “Pelangi di Majapahit”).
Sinto Gendeng menatap tak berkesip. Memang ada senyum di bibir si nenek tanda gembira dengan pertemuan itu, namun juga ada bayangan rasa heran di wajahnya yang keriputan. Sinto Gendeng yang biasa bicara ceplas-ceplos langsung saja berkata.
“Sahabat, aku yakin kau orang tua gagah yang aku lihat berada dalam tubuh anak perempuan bernama Ni Gatri di rumah kediaman Abdi Dalem Pringkun…”
“Gadis cantik, ucapanmu tidak keliru…”
“Tapi…” Sinto Gendeng cepat memotong ucapan orang. “Waktu itu keningmu kulihat polos. Sekarang mengapa ada delapan benjolan merah? Apakah kau sedang menderita sakit?”
Kakek mengaku bernama Kumara Gandamayana tersenyum. Dia mengusap delapan benjolan yang ada di keningnya lalu berkata. “Kau telah menyaksikan. Inilah perbuatan ganas manusia-manusia terkutuk yang hendak menghancurkan Kerajaan Mataram. Membunuh semua orang yang ada di sini mulai dari Sri Maharaja Rakai Kayuwangi, para pengikutnya dan seluruh rakyat. Bahkan hewan tak berdosa pun menjadi korban. Sahabatku cantik, dengar, malam ini juga aku akan membawamu ke kotaraja. Kau bisa menyaksikan sendiri bagaimana sebagian besar negeri ini telah tenggelam ditelan banjir air merah busuk. Semua orang menderita lumpuh, diserang demam panas dan benjolan di kening, dilanda kelaparan. Mudah-mudahan kedatanganmu bisa membantu memusnahkan malapetaka yang menimpa kami. Untuk itu aku akan mempertemukan dirimu dengan Sri Maharaja Mataram…”
“Sahabat, ceritamu sungguh mengejutkan. Sebelumnya aku memang mendengar kabar tentang malapetaka itu. Namun tidak mengira luar biasa ganas seperti yang kau katakan. Namun, apakah kau juga diserang demam panas? Aku lihat kau sehat-sehat saja dan tidak mengalami kelumpuhan…”
“Aku bersyukur, Para Dewa masih melindungi diriku,” jawab Kumara Gandamayana.
Sinto Gendeng mengusap keningnya yang saat itu terasa basah oleh kucuran keringat. Kepalanya terasa agak berat.
“Kau memegang kepala, ada apakah?”
“Tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing…” Jawab Sinto Gendeng.
“Mungkin udara di tempat ini tidak baik bagimu…”
“Kakek bernama Kumara Gandamayana, apakah kau yang menyadiaken seperangkat pakaian lengkap dengan alat berhias?” Tanya Sinto Gendeng kemudian.
Kakek bersorban dan berjubah kelabu tersenyum. Anggukkan kepala seraya berkata. “Untuk seorang sahabat yang datang dari jauh, apalagi seorang gadis secantik bidadari, apapun akan aku lakukan…”
“Kau keliwat memuji,” kata Sinto Gendeng pula. Lalu dia bertanya. “Kau… saat ini kau melihat diriku memangnya seperti apa? Tadi kau menyebut aku gadis cantik, bidadari. Apakah kau tidak salah pandang Tidak keliru melihat?”
Orang yang ditanya tertawa lebar. Dia mengusap sepasang mata beberapa kali lalu menjawab. “Saat ini memang malam hari. Namun aku tidak lamur juga belum buta. Apa yang aku lihat itulah yang aku katakan…”
“Terus terang aku sebenarnya sudah tua bangka, hitam jelek…”
Kumara Gandamayana tertawa mengekeh. “Jangan berkata begitu. Para Dewa akan kecewa jika kau memutar balik keadaan dirimu yang cantik jelita, muda belia menjadi seorang nenek buruk…”
“Aneh…”
“Tidak ada yang aneh. Jangan lupa kau berada di alam delapan ratus tahun silam. Berarti kalau dipikir sebenarnya kau terlahirpun belum. Selain itu Yang Maha Kuasa memberi anugerah kepadamu hingga kau terlihat dalam keadaan cantik belia…”
“Apakah kulitku hitam manis? Tidak budukan, keriput kisut…?”
“Kulitmu hitam manis. Mulus. Tubuhmu elok…”
“Bagaimana dadaku?” Sinto Gendeng bertanya lagi tanpa ada perasaan sungkan sambil memegang dadanya yang rata ceper.
***
TIGA
KUMARA Gandamayana telan ludahnya sendiri. “Aku… aku tak berani mengatakan. Tapi terus terang belum pernah aku melihat gadis yang memiliki dada besar dan bagus sepertimu. Semoga Para Dewa mengampuni kalau orang tua seusiaku telah bicara tidak pantas…”
Kini Sinto Gendeng benar-benar yakin kalau ujud dirinya di mata Kumara Gandamayana adalah benar-benar ujud ketika dia masih gadis muda belia. Berarti semua orang yang berada di Bhumi Mataram akan melihatnya dalam keadaan seperti itu. Wahai, benarkah demikian?
“Gadis cantik, bolehkah aku mengetahui siapa namamu? Jika sudah tahu bolehkah aku memanggilmu dengan nama itu?”
“Namaku Sinto Weni,” jawab si nenek memberi tahu nama aslinya dan tentu saja tidak mau mengatakan kalau dia lebih dikenal dengan nama Sinto Gendeng alias Sinto Sinting!
“Ah, nama yang bagus. Sungguh indah terdengar di telinga. Cocok dengan orangnya.” Memuji Kumara Gandamayana.
“Kakek sahabatku, kau mengenal seorang bernama Swara Pancala?”
“Dia sahabatku. Dia yang memberi tahu kalau kau telah menyelamatkan dirinya sewaktu diserang sehabis menemuimu di negeri delapan ratus tahun mendatang. Dia juga mengatakan bagaimana kau kehilangan satu dari lima tusuk kondemu dan meminta aku mengganti tusuk konde yang musnah itu. Aku akan menggantinya…”
“Sebenarnya aku datang ke sini bukan untuk urusan tusuk konde butut itu. Aku…” Sinto Gendeng tidak meneruskan ucapan lalu tersenyum sambil menghela nafas. “Aku sudah merasa sangat senang dapat bertemu denganmu.”
Kumara Gandamayana ikut tersenyum.
“Sahabat yang datang dari jauh. Aku senang kau mau bicara berterus terang. Turut kabar yang aku terima kau datang ke Mataram bersama dua orang sahabat. Di manakah mereka sekarang?”
“Kami mental berpencaran sewaktu melayang turun hampir mencapai tanah. Aku tidak tahu di mana mereka sekarang.”
“Kalau begitu aku dan para sahabat akan mencari tahu di mana mereka berada dan akan menolong jika terjadi sesuatu dengan keduanya. Kalau aku boleh tahu, siapa saja kedua orang itu?” Bertanya Kumara Gandamayana.
“Seorang anak perempuan bernama Ni Gatri dan seorang pemuda bernama Wiro Sableng.” jawab Sinto Gendeng polos.
“Pemuda itu, bukankah dia yang diketahui memiliki ilmu kesaktian tinggi, dan konon memiliki sebuah senjata sakti mandraguna di dalam tubuhnya?”
Sinto Gendeng tercengang.
“Bagaimana kau bisa tahu hal itu?” bertanya si nenek. Lalu dia menjawab sendiri. “Pasti orang bernama Swara Pancala itu yang memberitahu…”
Kumara Gandamayana tersenyum, usap dagu, menatap ke arah kejauhan dan angguk-anggukkan kepala.
“Aku harap kita segera akan menemukan mereka. Keduanya dan juga dirimu tidak akan terserang malapetaka yang dibuat orang-orang jahat itu. Jika kau berkenan kami semua para tokoh Bhumi Mataram sangat menginginkan bantuanmu untuk menghabisi manusia-manusia jahat yang telah menimbulkan malapetaka mengerikan itu.”
“Siapa saja mereka? Apakah orang-orang jahat itu berjumlah banyak?” Bertanya Sinto Gendeng.
“Nanti kau akan melihat dan menemui mereka. Yang penting apakah kau mau menuruti semua permohonan kami? Membantu kerajaan dan rakyat Mataram?”
“Kalau sudah begitu kehendak Yang Maha Kuasa, ketika seorang sahabat minta tolong masakan aku akan berpangku tangan.”
“Aku sangat berterima kasih…” Kata Kumara Gandamayana lalu memegang dan remas jari-jari tangan kanan si nenek. Perasaan mesra membuat Sinto Gendeng balas meremas.
“Sahabat, ke manapun kau pergi aku akan mengikuti. Pertolongan apapun yang kau harapkan mudah-mudahan aku bisa memberikan…”
“Kau gadis baik! Belum pernah aku menemui gadis sepertimu. Cantik, rendah hati dan mau menanam budi menolong kami…” Kumara Gandamayana lalu dekatkan tangan kanan Sinto Gendeng ke wajahnya. Tangan dieluskan ke pipi lalu punggung telapak tangan dicium dengan lembut serta mesra. Wajah Sinto Gendeng berubah merah. Hati senang berbunga-bunga luar biasa.
Kakek bersorban dan berjubah kelabu lepaskan pegangannya lalu memandang ke arah kuda lumping bambu yang tergeletak di tanah dekat batu besar di tepi telaga.
“Benda aneh berbentuk kuda tak berkaki ini milikmu?”
Sinto Gendeng mengangguk lalu membungkuk mengambil kuda lumping bambu.
“Seumur hidup belum pernah aku melihat benda atau mainan seperti ini. Boleh aku melihat? Boleh aku pegeng?” tanya Kumara Gandamayana pula.
“Boleh saja. Benda ini bernama kuda lumping. Dia adalah tungganganku bersama dua orang lainnya sewaktu melayang memasuki Bhumi Mataram.”
Si kakek tercengang lalu berdecak kagum beberapa kali.
“Kuda lumping ini pastilah merupakan benda sakti mandraguna!” Kata Kumara Gandamayana sambil ulurkan tangan mengambil kuda lumping yang diserahkan Sinto Gendeng.
Mendadak di saat yang bersamaan ada suara mengiang di telinga kiri Sinto Gendeng.
“Jangan serahkan kuda lumping pada orang itu! Cepat tarik tanganmu!”
Tapi terlambat. Saat itu Kumara Gandamayana telah menyentuh kuda lumping yang diserahkan Sinto Gendeng. Begitu kuda lumping berada dalam pegangannya Kumara Gandamayana keluarkan suara tertawa bergelak.
“Gadis tolol tidak tahu diri! Berdandan celemongan tak karuan rupa! Kau akan menemui ajal di Bhumi Mataram! Kalaupun kau bisa bertahan hidup kau tidak akan pernah bisa kembali ke negeri asalmu seumur-umur! Di negeri ini kau akan menjadi budak hamba sahayaku! Seperti katamu kau akan ikut ke mana aku pergi! Dan patuh pada apa yang aku perintahkan! Ha… ha… ha!”
Kejut Sinto Gendeng bukan alang kepalang. Lebih kaget lagi ketika dari delapan benjolan di kening Kumara Gandamayana melesat keluar delapan larik sinar merah menyala. Semuanya menyambar ke arah Sinto Gendeng.
Wuttt! Wuttt!
Delapan larik sinar merah masuk ke dalam tubuh Sinto Gendeng. Saat itu juga delapan benjolan merah muncul di kening si nenek.
“Sinto Weni! Berlutut di hadapanku! Bersumpah kalau kau akan setia mengabdi pada diriku!”
Entah apa yang terjadi dengan Sinto Gendeng, nenek ini jatuhkan diri berlutut di tanah. Mulut berucap. “Aku Sinto Weni bersumpah setia dan mengabdi padamu, orang yang bernama Kumara Gandamayana!”
“Bagus!” seru si kakek. “Sekarang kau harus pergi ke Bukit Batu Hangus! Ada yang akan membimbingmu pergi ke bukit itu! Bunuh semua orang yang ada di sana. Termasuk Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala! Apa jawabmu?”
“Kumara Gandamayana, semua perintahmu akan aku laksanakan!” Jawab Sinto Gendeng sambil manggut­manggut
“Mulai sekarang, jangan lagi kau berani memanggil aku Kumara Gandamayana. Namaku adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Ha… ha… ha! Aku akan segera melenyapkan diri dari hadapanmu. Dan kau harus segera pergi ke Bukit Batu Hangus!”
Sosok kakek yang kini menyebut diri sebagai Sinuhun Merah Penghisap Arwah berubah merah lalu lenyap dari pemandangan. Kuda lumping yang dipegangnya ikut lenyap tak kelihatan lagi! Kini hanya suara tawanya yang masih menggema di kaki selatan Gunung Merapi itu.
Sinto Gendeng berdiri. Memandang berkeliling. “Bukit Batu Hangus. Di mana letaknya…?” Si nenek membatin.
Tiba-tiba ada suara mengiang. “Berjalan lurus ke arah matahari tenggelam. Pergunakan ilmu kesaktianmu untuk berlari cepat. Kau akan sampai ke Bukit Batu Hangus selewatnya tengah malam!”
Tidak pikir panjang lagi Sinto Gendeng segera putar tubuh menghadap ke barat. Ketika dia siap hendak pergi tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat disertai seruan.
“Tunggu! Jangan pergi dulu! Orang telah mencuci otakmu dengan ilmu hitam Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak!”
***
EMPAT
KETIKA melihat orang yang muncul dari kegelapan itu ternyata seorang kakek bersorban dan berjubah kelabu, meski tercengang namun wajah Sinto Gendeng nampak gembira. “Sinuhun Merah Penghisap Arwah, kau kembali. Apakah hendak…”
Orang yang disapa angkat tangan kanan memberi tanda agar Sinto Gendeng tidak meneruskan ucapan lalu dia sendiri berkata.
“Sahabat yang pernah aku lihat di alam delapan ratus tahun mendatang, aku bukan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.”
Sinto Gendong delikkan mata. Memperhatikan si kakek mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Aku tak mengerti. Tadi kau hadir di sini. Lalu lenyap setelah ujudmu menjadi merah. Sekarang muncul kembali dalam ujud pertama kali aku melihatmu. Apa kau berubah pikiran dan hendak mengantar sendiri aku ke Bukit Batu Hangus?”
“Sahabat, aku adalah orang bernama Kumara Gandamayana yang sebenarnya. Orang yang kau lihat dalam sosok anak perempuan bernama Ni Gatri di alam kediamanmu delapan ratus tahun mendatang. Yang tadi muncul di hadapanmu adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang sengaja merubah diri menyerupaiku untuk mengelabuhi dan menipumu. Dialah makhluk penimbul malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram.”
Sinto Gendeng tancapkan tongkat kayu ke tanah hingga kakek di hadapannya merasakan ada getaran hawa panas masuk ke dalam tubuhnya.
“Kumara Gandamayana, siapapun kau adanya jangan berani bicara dusta! Jangan berani menghalangi ke mana aku mau pergi! Sinuhun Merah Penghisap Arwah adalah kepada siapa segala perintah harus aku laksanakan! Sekarang lekas menyingkir dari hadapanku!”
“Sahabat yang aku ketahui bernama Sinto Weni…”
“Jangan berani menyebut namaku sembarangan!”
“Sebelumnya kau begitu mendambakan ingin bertemu dengan diriku. Setelah saling berhadapan muka mengapa kau berubah…”
“Aku sudah berjumpa dengan orang yang ingin aku temui. Kau muncul pasti dengan niat jahat!”
“Sahabatku, aku sangat menghormatimu. Ketahuilah keadaan dirimu sekarang telah berubah. Kau telah kena tersirap ilmu hitam Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak. Di keningmu kini ada delapan benjolan merah. Tanpa kau sadari kau telah masuk ke dalam pengaruh kekuatan dan kekuasaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dia bahkan telah merampas kuda lumping dari tanganmu. Selama kuda lumping itu berada di tangan Sinuhun kau dan anak perempuan itu serta pemuda berambut panjang yang di Bhumi Mataram kami panggil dengan Julukan Ksatria Panggilan tidak akan dapat kembali ke negeri asalmu…”
“Siapa bilang! Enak saja kau bicara! Sinuhun tidak akan mencelakai diriku karena aku telah mengucap sumpah setia dan patuh padanya!”
“Aku tahu. Bahkan dia sangat suka padamu. Bukankah dia telah membelai dan mencium tanganmu?”
“Apa perdulimu? Sekalipun dia mencium pipi atau ketiakku, kalau aku suka kau mau apa?! Hik… hik… hik!” Si nenek bicara sambil kacakkan dua tangan di pinggang lalu tertawa mengekeh.
“Sinto Weni kita telah memulai pertemuan dengan persahabatan. Demi persahabatan itu, izinkan aku menolong dirimu agar lepas dari jeratan Ilmu Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak. Apa kau tidak sadar kalau di keningmu saat ini ada delapan benjolan? Delapan benjolan itu bukan tanda kesengsaraan seperti dialami semua orang di Mataram. Tapi pertanda bahwa kau telah kemasukan arwah jahat yang akan memperbudakmu untuk berbuat apa saja!”
Sinto Gendeng delikkan mata lalu tertawa gelek-gelak. “Aku tidak yakin! Bisa-bisa kaulah jejadian yang meniru keberadaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kecuali jika kau bisa membuktikan…”
“Aku memang tidak mungkin membuktikan. Karena ujud tiruan yang dibuatnya sangat sama dengan ujud diriku seperti yang kau lihat saat ini. Lagi pula dia memiliki dua nyawa kembar yang memungkinkannya bisa berada di dua tempat yang berlainan dalam waktu bersamaan…”
“Dua nyawa kembar! Hik… hik! Lucu juga banyolanmu! Tapi aku sudah muak mendengar ocehanmu. Jangan sampai membuat aku muntah! Tidak ada gunanya kau masih berdiri di hadapanku! Lekas menyingkir! Atau…”
“Sinto Weni, aku telah berjanji pada Swara Pancala kalau aku akan mengganti tusuk konde milikmu yang hancur sewaktu menyelamatkan anak buahku itu…”
Sinto Gendeng menyeringai. “Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah lebih dulu menjanjikan hal itu padaku! Kakek penipu! Kau ketinggalan dokar! Ha. ha… ha!”
Sinto Gendeng angkat tongkat kayu di tangan kanannya. Tongkat itu serta merta berubah merah dan memancarkan delapan larik cahaya.
Kakek di hadapan si nenek terkejut.
“Astaga! Tongkat itu telah memiliki kekuatan jahat ilmu kesaktian Sinuhun Merah! Kalau tidak aku rampas bisa­bisa menimbulkan malapetaka tambah besar di Bhumi Mataram…”
Wuttt!
Tongkat di tangan kanan dibabatkan ke depan.
Wusss!
Delapan larik cahaya merah menderu dahsyat. Menyambar ganas ke arah kakek bersorban dan berjubah kelabu.
“Selendang Dewa Menutup Bahala!”
Kumara Gandamayana berseru merapal ilmu kesaktian yang dimilikinya. Saat itu juga tubuhnya berubah menyerupai sehelai selendang putih panjang yang menyelinap di antara delapan larik serangan cahaya merah untuk kemudian menggulung tongkat kayu di tangan Sinto Gendeng!
Dengan cepat si nenek putar tongkatnya ke arah berlawanan dari gulungan selendang.
Breett!
Ada bagian selendang yang robek.
***
LIMA
SINTO Gendeng menjerit kaget dan marah ketika tongkat yang dipegang di tangan kanan mendadak ditarik lepas oleh sentakan gulungan selendang. Walau robek dan bagian selendang ada yang terbakar namun dia tidak bisa menyelamatkan tongkat.
“Makhluk jahanam!” maki Sinto Gendong. Tongkat miliknya kini berada di tangan lawan.
Saat itu Kumara Gandamayana telah kembali ke ujud semula. Bahu dan ujung bawah jubahnya tampak hangus. Pipi kanan tampak lecet merah.
“Sinto Weni, aku tidak ingin kita sama-sama bertindak lebih keliru. Aku akan kembalikan tongkatmu kalau kau mau aku ajak bicara secara baik-baik!”
“Jangan sombong! Apa kau kira aku tidak bisa mengambil tongkat itu kembali?”
Delapan benjolan merah di kening si nenek kepulkan asap. Begitu si nenek sentakan kepala tiba-tiba dari delapan benjolan melesat keluar delapan larik sinar merah. Jauh lebih dahsyat dari delapan larik cahaya yang tadi keluar dari tongkat.
“Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!” Ucap Kumara Gandamayana dengan suara bergetar begitu mengenali serangan.
“Dewa Bathara Agung! Nenek satu ini benar-benar telah dikuasai dan menguasai ilmu hitam sinuhun keparat itu! Celaka besar bagi Mataram!”
Dengan cepat si kakek jatuhkan diri dan bergulingan. Sorban di atas kepala tercampak ke tanah. Tenaga dalam penuh dialirkan ke tangan kanan. Ketika tongkat dibabatkan ke depan, selarik cahaya putih menyambar deras, langsung bentrokan dengan delapan cahaya merah.
Letusan keras menggelegar. Tanah berderak seolah rengkah. Air telaga muncrat setinggi dua tombak. Dua buah batu di tepi telaga pecah berantakan. Tiga pohon besar tumbang ke tanah! Tongkat di tangan kanan Kumara Gandamayana kini hanya tinggal berupa arang hitam yang kemudian jatuh berguguran ke tanah.
Sinto Gendeng menjerit keras melihat keadaan tongkatnya. Dia segera melompat ke arah sosok Kumara Gandamayana yang walau berhasil membuat buyar serangan lawan namun saat itu tidak kuasa untuk bangkit berdiri. Apalagi berusaha menghindar ketika Sinto Gendeng melancarkan satu tendangan ke kepalanya. Saat itu si kakek merasakan sekujur tubuhnya lemas tiada daya. Tangan kanan seolah lumpuh terkulai ke tanah. Tubuh laksana luluh lantak dihantam kekuatan tenaga dalam dan hawa sakti.
Hanya sekejapan lagi tendangan akan memecahkan kepala Kumara Gandamayana mendadak Sinto Gendeng tahan serangan. Dengan mata mendelik, setengah membungkuk nenek ini berkata.
“Sebelum kau kuhabisi ada satu hal yang ingin aku tanyakan! Saat ini kau melihat diriku seperti apa?! Tua bangka nenek keriputan atau gadis cantik berkulit hitam manis…”
Kumara Gandamayana tidak segera menjawab melainkan terlebih dulu menatap cukup lama. Suaranya bergetar ketika keluarkan ucapan. “Kau tidak ada perubahan seperti pertama kali aku melihatmu. Gadis cantik berkulit hitam manis dan berotak cerdik…”
“Hemm…” Sinto Gendeng bergumam. Terdiam sebentar lalu berkata. “Aku mengampuni selembar nyawamu! Tapi awas! Jangan berani menghalangi ke mana aku mau pergi!”
“Sinto Weni, kau hendak pergi ke Bukit Batu Hangus?”
“Apa urusanmu?!” Bentak Sinto Gendeng.
“Jika kau pergi ke Bukit Batu Hangus lalu membunuhi semua orang yang ada di sana seperti yang diperintahkan Sinuhun, maka kau akan berbuat satu kesalahan dan dosa besar. Semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus adalah orang-orang tidak berdosa yang telah mendapat celaka dan sengsara akibat perbuatan Sinuhun Merah Penghisap Arwah bersama para pengikutnya. Kau akan dikutuk Yang Maha Kuasa dunia akhirat!”
“Kau boleh bicara apa saja sampai mulutmu robek! Aku tidak percaya pada dirimu! Satu-satunya yang kupercaya di Bhumi Mataram ini adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah!” Sinto Gendeng balikkan badan.
“Tunggu! Jangan pergi dulu. Mungkin aku bisa menghilangkan delapan benjolan merah di keningmu agar kau sadar siapa dirimu sebenarnya. Kau orang baik yang datang dari negeri jauh yang kami harapkan untuk menolong kami di Bhumi Mataram ini. Selanjutnya aku akan memberikan sesuatu padamu agar kau tidak lagi kena dipengaruhi roh atau arwah jahat dari luar!”
Mendengar ucapan si kakek Sinto Gendeng tertawa mengekeh. Lalu mencibir. Untung saja saat itu di mulutnya tidak ada lagi susur. Kalau ada pasti sudah disemburkannya ke arah si kakek.
“Aku tidak butuh pertolonganmu! Jika kau ingin punya delapan benjolan di keningmu aku bersedia memberikan!”
Sinto Gendeng silangkan dua tangan di atas dada. Tenaga dalam dialirkan ke kepala. Tiba-tiba didahului bentakan keras, delapan benjolan di kening Sinto Gendeng pancarkan cahaya terang lalu wuttt! Delapan larik sinar merah menderu ke arah Kumara Gandamayana yang saat itu terduduk tak berdaya di tanah.
Si kakek berjubah kelabu berteriak kaget. “Tahan! Jangan!”
Wusss!
Delapan larik sinar merah yang melesat keluar dari delapan benjolan merah di kening Sinto Gendeng menderu ganas ke arah kening si kakek!
Hanya seujung jari delapan sinar merah akan mendarat dan menghajar kening Kumara Gandamayana tiba-tiba satu cahaya kuning melesat jatuh dari langit malam kelam. Bersamaan dengan itu terdengar suara lonceng membahana.
Delapan larik cahaya merah yang hendak menghantam kening Kumara Gandamayana terpental berantakan, mengeluarkan pijaran angker lalu lenyap dari pemandangan.
Sinto Gendeng terjungkal di tanah. Tubuh menggigil seperti orang diserang demam kura. Mulut meracau mengeluarkan suara tidak karuan.
“Gadis cantik, kami menghormati dirimu walau kedatanganmu di Bhumi Mataram tidak diminta,” satu suara tiba-tiba terdengar di tempat itu. Suara anak kecil laki-laki.
“Keterkaitanmu dengan Ksatria Panggilan sebagai guru dan murid membuat kami tidak mau bertindak keras. Kami tahu saat ini kau berada di bawah pengaruh dan kuasa ilmu hitam Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kami akan mencari jalan agar kau kembali ke negeri asalmu delapan ratus tahun mendatang.”
“Bocah itu, dia melihat diriku dalam ujud seorang gadis,” Sinto Gendeng membatin. Lalu dia berseru. “Anak sialan! Siapa kau! Kau bicara tapi ujudmu tidak kelihatan. Kalau bukan anak jin pasti kau makhluk jejadian tak ketahuan juntrungan! Jika kalian orang-orang Mataram mampu bertindak keras, mengapa tidak mampu menghabisi manusia-manusia penimbul angkara murka yang masih gentayangan di negeri ini! Mengapa meminta bantuan muridku! Mendatangkannya secara paksa!”
Tubuh Kumara Gandamayana sampai bergetar saking marah mendengar ucapan Sinto Gendeng. “Dia tidak tahu tengah bicara dengan siapa,” ucap si kakek dalam hati.
“Sinto Weni, kau boleh bicara kurang ajar terhadap diriku. Tapi jangan bicara tak karuan pada Satria Lonceng Dewa. Dia bukan anak sembarangan. Dia…”
“Kek,” Mimba Purana memotong ucapan Kumara Gandamayana. “Lebih baik kita tinggalkan saja gadis itu. Tidak perlu diurusi. Kita harus segera menemui Ksatria Panggilan. Waktu kita sangat sedikit. Makhluk Roh Jemputan itu pasti sudah berada di Bhumi Mataram…”
“Mimba, saya merasa sangat malu dan rendah diri. Saya tidak mampu menghadapi kekuatan Sinuhun yang ada di dalam tubuh nenek dari alam delapan ratus tahun mendatang itu. Bagaimana mungkin saya akan mampu menyelamatkan kerajaan dan rakyat Mataram?”
“Kakek Kumara, kau tidak perlu berkecil hati. Selama Para Dewa melindungi kita, semua kesulitan pasti akan dapat diatasi. Ilmu kesaktian Sinuhun Merah Penghisap Arwah memang tinggi. Tapi itu bukan berarti kebenaran tidak bisa menghancurkannya. Saya rasa yang perlu dikhawatirkan adalah kehadiran gadis itu. Walau kita melihat ujudnya sebagai seorang gadis cantik, namun saya yakin perbedaan alam yang delapan ratus tahun, dalam keadaan sebenarnya dia bukan seorang gadis. Ilmu kesaktiannya saya duga jauh lebih tinggi dari Sinuhun. Itu sebabnya Sinuhun memilih lebih dulu menguasai gadis itu. Lalu Sinuhun menambahkan pula padanya kekuatan hitam yang bersumber pada apa yang disebut sebagai Delapan Sukma Merah… Sampai saat ini kita tidak mengetahui apa sebenarnya Delapan Sukma Merah. Apakah satu kekuatan gaib sakti mandraguna atau berupa makhluk sakti yang tak ada tandingannya. Sekarang saatnya kita menjemput kedatangan Ksatria Panggilan. Kalau gurunya sudah muncul pasti dia juga telah berada di sini bersama anak perempuan bernama Ni Gatri itu.”
“Satria Lonceng Dewa, mohon maafmu kalau saya telah bertindak mendahului. Saya telah membawa anak perempuan bernama Ni Gatri itu bersama nenek Rauh Kalidathi ke Bukit Batu Hangus. Itu satu-satunya tempat yang aman bagi mereka. Saya tidak lama berada di bukit itu. Namun saya sempat menyaksikan penderitaan semua orang yang ada di sana. Terutama perempuan dan anak-anak…” Lalu Kumara Gandamayana menceritakan apa yang telah terjadi. Yaitu Ni Gatri diselamatkan Rauh Kalidathi ketika diserang anak buah Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang bernama Ludra Bhawana.
“Syukur mereka kau selamatkan. Namun gadis kecil itu harus dipertemukan dengan Raja Mataram karena nanti setelah kau masuk ke dalam dirinya, anak itu akan jadi penghubung antara Raja dengan Ksatria Panggilan…”
“Saya sudah meninggalkan pesan pada Swara Pancala. Jika sudah saatnya dia harus menjemput anak perempuan itu guna dipertemukan dengan Sri Maharaja Mataram dan Ksatria Panggilan. Kemungkinan saya akan mewakili Raja Mataram masuk ke dalam tubuh Ni Gatri dan bicara dengan Ksatria Panggilan yang telah saya ketahui bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.” Kumara Gandamayana diam sebentar lalu sambung ucapannya. “Saya merasa sedih telah membunuh Ludra Bhawana. Dulu dia sahabat baik saya. Sudah saya anggap sebagai adik…”
“Orang baik yang telah berubah menjadi durjana layak disingkirkan dari muka bumi ini. Lagi pula jika Kakek tidak membunuhnya pasti dia yang akan menghabisi Kakek.” Berkata anak sakti keramat pilihan Para Dewa bernama Mimba Purana. “Kakek Kumara, kita harus bertindak cepat. Saat ini sudah lewat tengah malam. Tak lama lagi fajar akan segera menyingsing. Sinuhun telah memanfaatkan ilmu kesaktian bernama Dua Arwah Kembar. Itu sebabnya saya ketahui seperti juga yang kau ketahui, dia mampu berada di dua tempat. Nyawa pertama menemui Roh Jemputan. Nyawa kedua mendatangi nenek tadi dengan merubah ujud menyerupai dirimu. Ilmu jahat ini jika tidak dimusnahkan benar-benar akan sangat berbahaya. Namun saya yakin Dewa akan memberi petunjuk. Dewa akan memberi jalan. Mudah-mudahan kita tidak salah bertindak meminta bantuan Ksatria Panggilan dari alam delapan ratus tahun mendatang itu. Sekarang saatnya kita harus segera pergi.”
Sinar kuning kembali memancar. Lalu lenyap. Di kejauhan terdengar suara lonceng bergema. Saat itu pula sosok Kumara Gandamayana terangkat ke atas lalu melesat ke langit laksana diterbangkan seseorang.
Sinto Gendeng melompat bangun. Berusaha mengejar. Namun dua orang itu telah berada jauh di udara. Si nenek merasa sangat penasaran. Sepasang mata cekung menatap ke langit. Tangan kanan diangkat ke atas hendak melepas satu pukulan sakti ke arah bocah samar dalam cahaya kuning dan Kumara Gandamayana. Namun entah mengapa niat itu dibatalkan.
Sambil mengepal-ngepalkan dua tangan Sinto Gendeng memandang berkeliling, memperhatikan ke arah telaga lalu menyumpah panjang pendek.
Saat itu kekuatan jahat yang ditanamkan Sinuhun Merah Penghisap Arwah masih menguasai dirinya. Celakanya nenek sakti ini sama sekali tidak menyadari. Sinto Gendeng meludah ke tanah. Mulut terasa pahit. Dia merasa menyesal telah membuang susurnya, padahal dia tidak lagi punya persediaan tembakau, pinang, sirih dan kapur. Si nenek tiba-tiba saja ingat pada muridnya. Dia berteriak keras. Suara teriakannya menggelegar di malam buta.
“Anak setan! Kau berada di mana! Aku akan mencincang tubuhmu sampai lumat kalau kau berani menolong orang-orang Mataram yang menjadi musuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah!”
Sinto Gendeng usap wajah hitam keriputnya yang di mata orang-orang di Bhumi Mataram tampak sebagai wajah gadis cantik. Tangannya menyentuh delapan benjolan di kening. Si nenek menyeringai. Bukannya sadar kalau delapan benjolan itu merupakan sumber ilmu hitam bernama Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak yaitu kekuatan yang menguasai dan mengendalikan dirinya, malah sambil senyum-senyum dia berkata dalam hati.
“Aku telah menerima kenang-kenangan indah dari Sinuhun. Walau sikapnya galak tapi aku rasa dia telah jatuh hati padaku. Hik… hik… hik!”
***
ENAM
KEMBALI pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Dalam kisah sebelumnya (“Roh Jemputan”) dituturkan baru saja sang pendekar terhampar di Bhumi Mataram, terpencar dari Sinto Gendeng dan Ni Gatri tiba-tiba ada delapan bocah lelaki kembar telanjang bertubuh merah melesat keluar dari dalam tanah. Bocah-bocah aneh ini yang bukan lain adalah kiriman Sinuhun Merah Penghisap Arwah masing-masing membekal sebatang suling. Ketika suling ditiup, dari enam lobang setiap suling menyembur keluar gulungan api yang langsung menyambar Wiro.
Pendekar 212 bukan saja berhasil selamatkan diri dari kepungan empat puluh delapan jalur api, malah dia membalas dan membuat serangan api berbalik menghantam delapan bocah kembar bugil hingga muka mereka hangus gosong! Wiro berhasil mencekal dan meremas kemaluan salah seorang bocah. Tujuh bocah lainnya jadi ikut tak berdaya. Karena tidak mampu kabur melarikan diri ketujuh bocah bugil bersujud minta ampun. Wiro berjanji akan mengampuni jika mereka mau memberitahu siapa yang telah menyuruh mereka untuk membunuh dirinya. Bukannya memberitahu, ketujuh bocah bugil itu malah benturkan kepala ke tanah hingga hancur. Sosok makhluk jejadian ini kemudian berubah menjadi asap dan lenyap dari pemandangan.
Anak lelaki ke delapan yang dicekal dan diremas hancur kemaluannya oleh Wiro, walau tidak membenturkan kepala ke tanah namun aneh, kepalanya tampak ikut pecah mengerikan. Seperti tujuh saudara kembarnya yang lain, sosoknya mengepulkan asap lalu lenyap. Wiro tersentak kaget! Dalam keadaan tangan berlumuran darah yang berasal dari hancuran remasan kemaluan sang bocah, Wiro memaki panjang pendek sambil menahan muntah. Beruntung dia kemudian menemukan sebuah kali kecil. Ketika dia tengah membersihkan tangan di kali, tiba­tiba dia mendengar suara teriakan yang menggetarkan seantero tempat di malam buta itu. Dia tidak mendengar jelas kata-kata yang diteriakan, namun Wiro segera mengenali.
“Itu suara Eyang Sinto! Agaknya dia berada tidak jauh dari sini!”
Tidak menunggu lebih lama sang murid serta merta berkelebat ke arah datangnya suara teriakan. Dia sampai di sebuah telaga. Dalam gelap dia mencium bau harum. Setelah memperhatikan keadaan di sekitar telaga Wiro maklum, kalau belum lama telah terjadi perkelahian hebat di tempat itu. Beberapa buah batu besar di tepi telaga dalam keadaan hancur. Beberapa pohon besar tumbang ke tanah. Memandang berkeliling Wiro tidak melihat satu orang pun di tempat itu.
“Ada orang berkelahi malam-malam di tempat begini rupa. Salah satu di antaranya pasti perempuan, karena aku mencium bau harum. Apakah Eyang Sinto yang membuat ulah di tempat ini? Belum lama datang, masih malam buta sudah membuat perkara! Tapi kalau memang dia, mengapa bukan tercium bau pesing. Malah aku mencium bau wangi.”
“Guru! Eyang Sinto! Nek! Ni Gatri! Kalian berada di mana?!” Pendekar 212 akhirnya berseru memanggil. Karena seruan disertai aliran tenaga dalam maka suaranya menggelegar tidak kalah dahsyat dengan teriakan sang guru tadi.
Sampai gaung suaranya lenyap seolah ditelan kegelapan malam tidak ada suara jawaban. Tidak ada gerakan di sekitar telaga. Tapi tunggu dulu!
Kesunyian di sekitar telaga mendadak dihingar-bingari oleh suara deru aneh. Lalu weerrr… werrr… weerr! Ketika memperhatikan berkeliling, Wiro terheran-heran.
“Aneh, mengapa pepohonan di tempat ini jadi bertambah banyak?”
Saat itu secara aneh puluhan pohon baru mencuat tumbuh muncul dari dalam tanah hingga keadaan di tempat itu menjadi semakin gelap!
“Aku mencium bau amis!”
Baru saja Wiro berucap dalam hati tiba-tiba puluhan batang pohon besar di sekelilingnya bergetar. Ranting, cabang dan dedaunan bergoyang-goyang mengeluarkan suara menggidikkan. Belum habis kejut sang pendekar, tiba-tiba terdengar suara seperti puluhan harimau menggereng. Lalu dess… dess… desss! Puluhan pohon besar berubah ujud menjadi makhluk tinggi hitam, berperut buncit. Bagian bawah perut tampak licin hingga walau dalam keadan bugil tidak bisa diketahui apakah dia lelaki atau perempuan.
Puluhan makhluk ini memiliki kepala botak yang ditumbuhi sebuah cula atau tanduk. Sepasang mata besar merah. Sepuluh kuku jari tangan berwarna merah, mencuat panjang seperti cakar burung elang. Ketika puluhan makhluk ini menyeringai, lidahnya menjulur panjang hampir menyentuh tanah! Inilah Seratus Jin Perut Bumi! Makhluk yang berada di bawah kekuasaan dan perintah Sinuhun Merah Penghisap Arwah!
Seperti diketahui, selagi Wiro berada di dalam rimba belantara dekat Candi Prambanan di alam delapan ratus tahun mendatang, di bawah pimpinan sang ketua, makhluk-makhluk alam gaib itu berusaha mencegah masuknya Wiro ke Bhumi Mataram. Namun mereka terlambat karena Wiro bersama Sinto Gendeng dan Ni Gatri telah lebih dulu melesat pergi menunggangi kuda lumping sakti.
Pendekar 212 terperangah. “Sebelumnya cuma delapan bocah bugil. Kini biangnya yang muncul. Gila, jumlah mereka kurasa hampir seratusan. Tidak ketahuan lelaki atau perempuan! Ada cula di kepala. Mungkin itu kemaluannya! Gila! Bagaimana aku harus menghadapi…”
Tengah Wiro tertegun menghadapi kehadiran seratus jin yang jelas akan membantainya, sosok jin yang paling tinggi dan memakai anting-anting bulat hitam di cuping kiri hidung melangkah mendekati. Kepala mendongak, hidung menghirup. Inilah Jin Ketua, pimpinan Seratus Jin Perut Bumi.
“Aku mencium baunya. Tidak salah. Memang ini orangnya! Kalian semua, bunuh orang ini! Jangan ada yang bersisa dari tubuhnya!” Jin Ketua berteriak.
Sembilan puluh sembilan jin anak buahnya keluarkan suara menggembor keras. Tubuh mereka bergerak aneh, bergoyang laksana asap ditiup angin. Lidah yang menjulur membeset ke depan.
“Celaka! Jauh-jauh datang ke sini ternyata cuma mencari mati! Kuda lumping lenyap entah ke mana. Siapa yang akan membawaku ke hadapan Raja Mataram?! Bagaimana Eyang Sinto, Ni Gatri. Jangan-jangan mereka sudah mati duluan!”
Ketika lima lidah panjang menjerat pinggang dan dua kakinya, Wiro membuat jurus gerakan yang disebut Kincir Padi Berputar. Bersamaan dengan itu tangan kiri yang sudah dialirkan tenaga dalam tinggi melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Tangan kanan lancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Begitu tubuh bergerak setengah lingkaran tangan kiri kembali melepas pukulan susulan Tangan Dewa Menghantam Tanah. Semua pukulan sakti itu didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh, seorang tokoh rimba persilatan di tanah Minang.
Satu dari tiga pukulan sakti yang dilancarkan Wiro yaitu Tangan Dewa Menghantam Batu Karang sengaja diarahkan telak pada Jin Ketua. Ketika hal ini dilihat oleh anak buahnya, delapan Jin Perut Bumi segera melompat membentengi sang pimpinan.
Dess! Blaarr!
Sosok delapan jin terlempar, memancarkan cahaya hitam menggidikkan. Mereka mengeluarkan suara raungan dahsyat sebelum tubuh masing-masing bertabur cerai-berai di udara. Di bagian lain dua pukulan sakti yang dilepas Wiro juga berhasil mengenai sasaran. Dua belas Jin Perut Bumi terkapar di tanah. Menggeliat sambil meraung-raung, lalu blaar! Seperti delapan temannya tadi tubuh mereka meledak berkeping-keping.
Jin Ketua menggembor dahsyat. Saat itu lima lidah panjang telah menjerat tubuh Pendekar 212 mulai dari pinggang sampai ke kaki. Tiba-tiba lidah yang hitam berubah menjadi merah dan mengeluarkan hawa panas. Wiro merasa tubuhnya seperti dilingkari besi membara. Dalam keadaan nyaris tak berdaya seperti itu didahului teriakan keras, sang pendekar siap melepas Pukulan Sinar Matahari. Namun mendadak ada suara orang berseru. Suara perempuan.
“Jin Ketua! Kau telah berbuat satu hal yang hebat. Namun atas nama Sang Junjungan yang diwakili oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan diriku sebagai kepanjangan tangannya, harap kau dan anak buahmu segera meninggalkan tempat ini! Mulai saat ini semua urusan dengan tamu yang datang dari jauh menjadi tanggung jawabku!”
Sepasang mata merah Jin Ketua mendelik. Dia belum melihat orang tapi telah mendahului menjawab. “Sinuhun telah meminta diriku untuk membunuh pemuda itu! Aku dan anak buahku telah menghadang sampai ke alam delapan ratus tahun mendatang. Ketika niat hampir terlaksana mengapa kau berani menghalangi? Padahal dua puluh anak buahku telah jadi korban!”
Perempuan yang tadi bicara mendengus.
“Aku perempuan bodoh dan tidak punya keberanian apa-apa. Mungkin kau berani menentang perintah Sinuhun Merah Penghisap Arwah?”
Mendengar ucapan orang, Jin Ketua yang saat itu hanya tinggal dua langkah dari hadapan Wiro dan siap untuk merobek-robek tubuh murid Sinto Gendeng dengan sepuluh kuku merah menyerupai cakar burung elang menggerung keras, hentikan langkah lalu palingkan kepala ke arah orang yang barusan datang dan keluarkan ucapan.
Begitu mengenali kedua orang itu, hawa amarah Jin Ketua menjadi kendur walau hatinya tetap jengkel.
“Kekasih Sinuhun memberi perintah. Sial sekali aku tidak kuasa menolak!” Jin Ketua menggerutu dalam hati. Lidahnya menjulur sampai ke tanah. Dess! Tanah mengepulkan asap merah ketika terkena sentuhan ujung lidah!
Jin Ketua kemudian memberi tanda pada anak buahnya yang kini hanya tinggal delapan puluh orang. Lidah-lidah merah panjang dan panas yang menjerat tubuh Pendekar 212 bergerak membuka. Lalu didahului oleh Jin Ketua di sebelah depan, dengan mengeluarkan suara menderu dahsyat, makhluk-makhluk gaib itu melesat ke langit kelam.
Wiro yang saat itu dalam keadaan jatuh terduduk di tanah cepat berdiri bangun. Beberapa bagian pakaiannya tampak hangus bekas jeratan lidah merah panas. Kulitnya juga ada yang cidera. Dia berpaling ke arah kiri. Di dalam gelapnya malam dia melihat orang yang datang. Ternyata ada dua orang.
***
TUJUH
ORANG di samping kanan, seorang perempuan berusia sudah agak lanjut namun memiliki kecantikan yang menggoda serta potongan tubuh memikat. Perempuan ini mengenakan pakaian ringkas warna merah muda yang ketat sehingga keelokan tubuhnya laksana dicetak. Rambut dikuncir di atas kepala seperti seorang gadis manja. Dia memiliki sepasang mata yang walaupun juling tapi penuh daya tarik. Keningnya tampak licin tidak ditumbuhi benjolan. Perempuan ini adalah Ratu Randang, penasihat Raja Mataram yang sebelum terjadi malapetaka Malam Jahanam di Mataram telah meninggalkan Kotaraja dengan memberi alasan pada Sri Maharaja bahwa dia akan menemui Arwah Ketua di Candi Miring untuk meminta bantuan menghadapi persekongkolan orang-orang jahat yang hendak menghancurkan Kerajaan Mataram. Ternyata Ratu Randang tidak pergi ke Candi Miring, melainkan menemui dan bercinta dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah alias Ghama Karadipa di satu goa rahasia. Rupanya kedua orang ini sudah lama menjalin hubungan rahasia. Dan sampai saat itu walau Ratu Randang dikabarkan sebagai seorang perempuan yang suka berhubungan dengan banyak pemuda namun belum ada seorangpun termasuk raja mengetahui jalinan hubungannya dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Di samping Ratu Randang, berdiri seorang lelaki katai. Dia tidak mengenakan pakaian karena sekujur tubuh sampai ke wajah ditutupi batu berlumut berwarna ungu. Delapan benjolan merah terlihat di keningnya. Selain tubuh yang berlapis batu berlumut orang ini memiliki keanehan lain yaitu punya dua daun telinga di masing-masing sisi kepala serta sepasang alis yang terletak bukan di atas mata melainkan di sebelah bawah mata. Orang ini memegang sebuah kantong kain kecil di tangan kiri. Sesekali tangan kanan dimasukkan ke dalam kantong untuk mengambil sejumput benda. Benda ini yang ternyata adalah potongan-potongan kemenyan kemudian dimasukkan ke mulut, dikunyah seperti enaknya mengunyah kacang!
Orang katai ini bukan lain adalah Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut. Dia merupakan salah seorang tangan kanan Sinuhun Merah Penghisap Arwah, seorang dukun sakti yang bersama beberapa orang anak buahnya ikut menjadi biang racun timbulnya malapetaka Malam Jahanam di Mataram.
Sebelumnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah bermaksud membawa serta Ratu Randang untuk pergi ke alam delapan ratus tahun mendatang menjemput Ksatria Roh Jemputan yang bukan lain adalah Pangeran Matahari. Namun Sinuhun merobah rencana. Dia pergi seorang diri ke puncak Gunung Merapi untuk menjemput roh Pangeran Matahari dan meminta Ratu Randang bersama Raja Dukun Batu Berlumut untuk menghadang kedatangan Ksatria Panggilan Pendekar 212.
Wiro yang walau tidak tahu siapa adanya kedua orang ini namun karena merasa diri telah ditolong segera membungkuk memberi penghormatan sambil berkata.
“Dua sahabat yang tidak aku kenal. Aku berterima kasih karena telah diselamatkan dari puluhan makhluk hitam bugil tadi.”
Dua orang yang disapa tidak menyahut. Ratu Randang berbisik. Suaranya hanya mampu terdengar oleh orang katai di sampingnya. Sementara sepasang mata yang bagus tapi juling terus memperhatikan pemuda berambut gondrong di hadapannya.
“Jambal Ungu, coba kau perhatikan. Apa benar pemuda ini yang kau lihat di dalam ilmu gaibmu. Yang disebut sebagai Ksatria Panggilan yang harus ditamatkan riwayatnya sebelum dia berbuat macam-macam di Bhumi Mataram?”
“Aku tidak keliru. Memang dia orangnya. Namun kita perlu menyelidik dulu agar jangan sampai kesalahan.” Menjawab si Raja Dukun.
“Kalau begitu kau yang bicara padanya.”
Si katai berkulit batu berlumut maju satu langkah mendekati Wiro.
“Orang muda yang datang dari alam lain yang sungguh sangat jauh. Kami berdua sudah mengira siapa adanya dirimu. Tapi sebelum mempertemukan dirimu dengan Sri Maharaja Mataram terlebih dulu kami harus memeriksa.”
Wiro memandang berkeliling. Menggaruk kepala lalu berkata. “Jadi saat ini aku sudah berada di Kerajaan Mataram Kuna? Terkait jarak waktu delapan ratus tahun dengan negeri asalku?”
“Betul sekali,” jawab Raja Dukun.
“Sahabat bertubuh katai, kau dan temanmu yang cantik itu hendak memeriksa apa? Mau menggeledah tubuhku atau bagaimana? Kalau mau menggeledah aku suka-suka saja…” Wiro berkata sambil mata dikedipkan ke arah Ratu Randang.
Disebut si cantik dan dikedipkan mata Ratu Randang diam saja. Hanya sepasang mata julingnya sekilas tampak berbinar. Dalam hati perempuan yang sudah berusis sekitar setengah abad ini berkata. “Benar kabar yang aku sirap. Ksatria Panggilan ini ternyata seorang pemuda bermulut usil konyol dan mata keranjang. Apa dia benar memiliki ilmu kesaktian luar biasa hingga hanya dia yang diharapkan mampu menyelamatkan Mataram? Hemm. Dia belum tahu siapa diriku. Hik… hik… hik…”
“Apa benar sahabat muda yang di negeri ini kami panggil sebagai Ksatria Panggilan bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?” Raja Dukun bertanya.
Wiro tidak menjawab melainkan balas bertanya. “Sahabat, bagaimana kau tahu tentang diriku?”
“Seorang anak perempuan bernama Ni Gatri memberitahu pada kami…”
“Ni Gatri. Di mana anak itu sekarang?” tanya Wiro.
“Dia berada di tempat yang aman. Setelah kami pertemukan kau dengan Sri Maharaja Mataram, kami akan membawamu menemui anak itu.”
“Apa kalian juga tahu perihal seorang nenek yang ikut datang ke negeri ini?”
“Tidak ada nenek. Yang ada seorang gadis cantik berkulit hitam manis yang tubuh dan pakaiannya harum selangit. Ada empat tusuk kundai di kepalanya…”
Wiro tercengang mendengar ucapan Raja Dukun lalu menggaruk kepala.
“Sahabat muda, seseorang telah memberi tahu bahwa untuk bertemu dengan Sri Maharaja Mataram kau harus memperlihatkan sebuah benda…”
Murid Sinto Gendeng terdiam lalu anggukkan kepala.
“Apakah kau membawa benda itu sekarang?” Tanya Raja Dukun.
Wiro kembali mengangguk lalu mengeluarkan sebuah benda pipih putih berbentuk segi tiga yang ada guratan angka 2, 1 dan 2 berwarna biru pada masing-masing sudutnya. Batu putih itu diperlihatkan pada si katai di depannya.
“Benda ini maksudmu?”
“Ah, malam agak gelap. Penglihatanku kurang baik. Apa boleh kau serahkan barang sebentar padaku biar aku bisa meneliti. Kau tahu sahabat, dunia sekarang ini penuh dengan tipu daya. Aku tak ingin dirimu dan juga diriku tertipu orang-orang bermulut manis tapi sebenarnya punya niat jahat.” Berkata si Raja Dukun Batu Berlumut.
Wiro menggaruk kepala. “Kalau kau cuma mau melihat sebentar apa salahnya…” Kata Pendekar 212 pada akhirnya.
Pada saat itu Wiro melihat perempuan cantik bermata juling yang tegak di sebelah belakang Raja Dukun gelengkan kepala sambil menggoyangkan tangan kanan. Wiro jadi heran tapi juga berpikir. “Aneh, mereka muncul berdua. Si katai minta batu, si cantik berdada montok memberi isyarat agar aku tidak menyerahkan batu. Bagaimana ini?”
Akhirnya Wiro berkata, “Sahabat, sesuai perjanjian sebenarnya batu putih ini hanya boleh aku perlihatkan dan diserahkan pada Sri Maharaja Mataram…”
“Sahabat muda Ksatria Panggilan. Kami berdua justru datang mewakili dan atas perintah Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.”
Wiro diam saja, hanya menggaruk kepala. Melihat tanda orang tidak akan mau menyerahkan batu putih segi tiga yang diminta, Raja Dukun berpaling pada Ratu Randang dan bertanya dengan suara yang hanya terdengar mengiang.
“Aku rasa kita harus membunuh pemuda ini sekarang juga!”
Ratu Randang kedipkan sepasang mata julingnya.
“Sahabat muda,” kata Raja Dukun Batu Berlumut. “Aku sudah melihat batu putih segi tiga. Itu kurasa sudah cukup. Kau tidak mau menyerahkan tidak jadi apa. Bersiaplah untuk aku antar menemui Raja Mataram…”
Wiro ingat, sesuai rencana sesampainya di Bhumi Mataram kuda lumping yang akan membawa dirinya menemui Raja Mataram. Kini kuda lumping itu entah berada di mana. Maka dia bertanya. “Aku gembira akan bertemu Raja. Saat ini berada di manakah beliau…?”
“Di Bukit Batu Hangus. Sebuah bukit tak jauh di pinggiran Kotaraja. Bukit ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Ujudnya pasti juga ada di dalam alammu. Hanya mungkin bernama lain…” Menerangkan Raja Dukun. Dia maju satu langkah lagi mendekati Pendekar 212. “Aku akan menyerahkan sebatang tongkat pembimbing langkah padamu. Ini bukan tongkat sembarangan. Merupakan benda alam gaib. Dengan membawa tongkat ini kau selalu berada dalam perlindungan Yang Maha Kuasa selama kau berada di negeri ini. Kau harus tahu, ada banyak orang dan makhluk gaib yang ingin membunuhmu! Kau sudah mengalami sendiri sejak pertama kali menginjakkan kaki di Bhumi Mataram!”
Apa yang dikatakan Raja Dukun diakui kebenarannya oleh Pendekar 212. Yang pertama delapan bocah merah telanjang. Yang kedua seratus makhluk hitam bugil bercula berlidah panjang. Namun untuk menerima pemberian orang dia merasa segan.
Sebelum Wiro sempat menjawab menolak maksud baik orang, tangan kanan Raja Dukun mengeluarkan cahaya berpijar hitam. Di lain kejap dalam genggamannya terlihat sebatang tongkat terbuat dari besi hitam berujud tubuh lurus seekor ular yang pada keningnya ada delapan titik merah.
“Ksatria Panggilan ambil tongkat ini. Susupkan di balik punggung bajumu!” Ucap si Raja Dukun Batu Berlumut sambil tangan kiri diletakkan di atas dada, kepala sedikit ditundukkan penuh takzim seolah tongkat yang diberikan benar-benar sebuah senjata sakti mandraguna dan sakral!
Tongkat diulurkan pada Wiro. Namun setengah jalan, wuuut…! Dengan gerakan luar biasa cepat tongkat kepala ular dihantamkan ke arah kepala sang pendekar! Cahaya hitam berkiblat ditimpai delapan larik sinar merah!
Jangankan kepala manusia, kepala seekor gajah bahkan batu sebesar rumahpun akan hancur mengerikan jika sampai kena hantaman tongkat kepala ular berbenjol delapan!
“Jambal Ungu. Cukup sampai di sini aku mengikuti sandiwaramu! Hik… hik… hik!”
Di sebelah belakang Ratu Randang keluarkan ucapan. Lalu lebih cepat dari gerakan memukul tongkat ke kepala Wiro yang dilakukan oleh Raja Dukun tiba-tiba sekali perempuan itu pukulkan tangan kanannya ke batok kepala Raja Dukun.
Praakk!
Sekali hantam saja Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut terjengkang di tanah, tak berkutik lagi. Kepala pecah! Delapan benjolan di kepala mengebul lalu hilang.
Manusia katai ini menemui ajal tanpa keluarkan suara sedikitpun! Tongkat yang tadi tergenggam di tangannya jatuh ke tanah lalu sirna begitu saja!
***
DELAPAN
KEJUT Wiro bukan alang kepalang. Namun sebelum dia sempat mengatakan sesuatu perempuan di hadapannya mendahului bicara. “Tinggalkan tempat ini! Cepat ikuti aku!”
“Hai! Tunggu dulu! Aku mau tanya!”
“Jangan banyak bicara! Tutup mulut dan ikuti aku kalau tidak mau celaka!”
Wiro tertegun garuk-garuk kepala.
“Si cantik aneh! Siapa perempuan ini adanya! Membunuh orang sambil tertawa cekikikan!” Wiro membatin.
Habis berucap Ratu Randang segera berkelebat. Dia sengaja melompat melayang di atas telaga yang cukup lebar. Maksudnya sengaja hendak menguji apakah Wiro akan melakukan hal yang sama atau melompat memutari telaga pertanda dia tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi. Namun alangkah terkejutnya perempuan cantik berdada besar ini ketika dia berhenti di seberang telaga dan menunggu kedatangan Wiro tahu-tahu ada yang menepuk bahunya.
“Sahabat cantik! Aku ada di sini.”
Ratu Randang tersentak kaget. Cepat berbalik. Di hadapannya berdiri Pendekar 212 sambil tertawa dan kedip-kedipkan mata!
“Benar-benar pemuda konyol!” Ratu Randang menggerutu dalam hati. Namun diam-diam dia merasa gembira. Ternyata Ksatria Panggilan yang diharapkan dapat menyelamatkan Mataram itu walau punya sifat aneh tapi memang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Sekarang aku mau ikut kau ke mana?” Wiro bertanya.
Tiba-tiba di langit sebelah timur bertebar selarik cahaya merah. Ratu Randang cepat tarik Wiro ke balik semak belukar. Sambil memegang bahu si pemuda dia berbisik. Bisikannya terdengar merupakan ngiangan di telinga Wiro.
“Salah satu dari dua makhluk keparat itu sudah datang…”
“Makhluk keparat siapa maksudmu?” tanya Wiro dengan suara biasa-biasa saja.
“Anak muda, apakah kau tidak punya ilmu kepandaian! Bicara padaku dengan suara halus mengiang hingga tidak ada orang lain yang mendengar. Di negeri ini orang pandai bisa punya seribu telinga!”
Wiro jadi garuk-garuk kepala. Seperti diketahui, sang pendekar memang tidak memiliki ilmu mengirimkan suara secara mengiang ke telinga orang.
“Aku tidak memiliki ilmu itu. Ilmu kepandaianku tidak setinggi yang kau miliki. Kau pasti orang hebat di negeri ini!” Wiro menjawab dengan suara perlahan. Mengakui terus terang tidak punya ilmu mengirimkan suara dan sekaligus memuji orang.
Ratu Randang tersenyum kecil. Tangan kanan masih diletakkan di bahu sang pendekar. Wiro menatap wajah cantik di sampingnya lalu berkata.
“Aku mendengar cerita. Semua orang di Bhumi Mataram memiliki delapan benjolan merah di jidat. Kenapa aku lihat keningmu licin-licin saja. Atau mungkin benjolan pada dirimu tumbuh di bagian tubuh yang lain? He… he… he!”
Ratu Randang menutup mulut menahan tawa. Lalu dia mencubit punggung sang pendekar dan berkata, “Memangnya kau tahu apa tentang tubuhku?”
Wiro menjawab dengan menatap perempuan di sampingnya dari rambut sampai ke kaki lalu berulang kali keluarkan suara berdecak tanda kagum.
“Baru sekali ini aku bertemu orang paling konyol sepertimu! Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bersenda gurau!” Sekali lagi dia mencubit punggung Wiro.
Wiro meringis kesakitan. Ketika dia hendak membuka mulut, Ratu Randang cepat berucap.
“Sudah, lain kali saja kau teruskan kekonyolanmu. Aku harus menyelidik keadaan di sekitar sini.”
Ratu Randang memperhatikan dengan sepasang mata julingnya ke arah kegelapan. Terutama lurus-lurus ke arah seberang telaga di mana mereka sebelumnya berada dan mayat si katai Raja Dukun Batu Berlumut masih terkapar tergeletak.
“Aneh, tadi sudah kelihatan cahayanya. Tapi mengapa aku masih belum melihat ujudnya? Pasti dia mempergunakan Ilmu Tabir Langit Turun ke Bumi atau Insan Berjalan Tanpa Bayangan…”
“Dari namanya pasti itu ilmu-ilmu kesaktian hebat. Tapi kurasa aku bisa menembus ilmu kesaktian itu.”
“Anak muda, jangan sombong kalau bicara. Kalau kau sudah berhadapan dengan manusia biang racun itu kau bisa terkencing di celana!”
Murid Sinto Gendeng menyeringai.
“Aku tidak pernah kencing di celana. Buka celana dulu baru kencing. Kau mau lihat bagaimana caranya aku kencing?!” Murid Sinto Gendeng pura-pura menggerakkan tangan ke pinggang celana.
Sepasang mata juling Ratu Randang mendelik besar. Dua kaki tersurut satu langkah.
“Aku suka mata julingmu yang bagus itu.” Wiro kembali menggoda.
“Benar-benar sinting!” Ucap Ratu Randang sambil goleng-goleng kepala.
Wiro melintangkan jari telunjuk di depan bibir. Sepasang mata menatap ke seberang telaga. Lalu dia berbisik, “Aku sudah melihat orang yang datang. Ternyata ada dua orang.”
Ratu Randang terkejut. Sampai saat itu dia masih belum melihat apa-apa.
“Kau melihat dua orang katamu. Aku tidak melihat sepotong manusiapun! Yang aku lihat gelap dan kelam.”
“Orang cantik, maaf saja. Kau melihat dengan mata biasa. Aku melihat dengan mata biasa ditambah sedikit ilmu.” Jawab Pendekar 212 sambil senyum-senyum.
“Kau jangan mempermainkan diriku! Sampai saat ini aku tidak melihat satu orang pun!”
“Dua orang yang barusan datang saat ini ada di seberang telaga. Satu seorang pemuda gagah berpakaian hijau. Satunya lagi lelaki berusia sekitar setengah abad mengenakan selempang kain biru dan berdestar biru. Mereka tengah melangkah mendekati mayat si katai yang tadi kau pecahkan kepalanya.”
Penjelasan Wiro ini membuat Ratu Randang tersentak kaget.
“Seharusnya aku singkirkan dulu mayat dukun celaka itu. Mengapa tadi tidak aku ceburkan ke dalam telaga. Tapi sekarang sudah terlambat…” Lalu Ratu Randang bertanya pada Wiro.
“Pemuda berpakaian hijau yang kau lihat apakah dia memelihara kumis, janggut dan berewok tipis? Kepala diikat kain hijau?”
Wiro anggukkan kepala. “Kau kenal pemuda itu?”
Ratu Randang tidak menjawab. Dia usap dua mata berulang-ulang tapi tetap saja tidak melihat dua orang yang dikatakan Wiro. Sambil tersenyum Wiro tekap kedua matanya sendiri dengan tangan kanan. Lalu telapak tangan kanan disapukan di atas sepasang mata juling Ratu Randang.
“Jangan jahil! Apa yang kau lakukan?!”
“Ssttt… Tenang saja. Sekarang coba kau lihat ke seberang telaga di depan sana.”
Ratu Randang ikuti apa yang dikatakan Wiro. Berubahlah paras perempuan cantik berusia setengah abad ini. Alisnya yang hitam kereng mencuat ke atas. Kuncir di atas kepala bergoyang-goyang. Dia kini melihat dua orang yang dikatakan Wiro tadi dan berada di seberang telaga.
“Kau kini bisa melihat dua orang yang tadi aku katakan?”
Ratu Randang mengangguk.
“Siapa mereka. Dari sini kelihatan mereka tengah memeriksa mayat lelaki katai yang kau sebut sebagai Raja Dukun itu.”
“Siapa mereka tidak penting. Ada yang jauh lebih penting,” menyahuti Ratu Randang. “Aku ingin bertanya.”
“Apa?” Tanya Wiro.
“Kau bisa lebih dulu melihat dari aku. Katamu kau melihat dengan mata biasa ditambah sedikit ilmu. Ilmu apa?”
Wiro tertawa, tidak menjawab.
Ratu Randang jadi penasaran.
“Dengar, aku akan berikan padamu ilmu bicara mengiang ke telinga orang yang ingin kau ajak bicara. Kau berikan padaku ilmu yang bisa melihat dalam gelap sampai ke tempat jauh itu.”
“Hanya bertukar ilmu itu tawaranmu?” Wiro seperti jual mahal.
“Apa itu kurang adil?! Memangnya kau mau apa? Hemmm…” Ratu Randang bergumam berpikir-pikir. Lalu sambil tersenyum dia berkata. “Aku tahu maunya laki-laki… Dengar, aku akan tambah tawaranku dengan memberikan seratus pelukan dan seratus ciuman!”
Ditawari seperti itu murid Sinto Gendeng semakin menggoda.
“Sedap! Seratus pelukan seratus ciuman. Ciumannya di sebelah mana? Di pipi atau di bibir?”
“Kalau kau mau dicium di bibir aku tidak keberatan…” Jawab Ratu Randang dengan raut wajah bersungguh­sungguh.
“Hanya seratus ciuman?” tanya Wiro lagi.
“Memangnya kau mau berapa kali? Mau lima ratus kali?!”
“Wah! Bisa jontor bibirku!” Kata Wiro pula sambil tertawa lebar.
“Baik. Aku akan menciummu sampai lima ratus kali! Biar cepatan dan biar kau percaya aku akan melakukannya sekarang!” Perempuan tinggi semampai ini rangkulkan tangan ke punggung Wiro. Lalu sambil menarik tubuh sang pendekar dia dekatkan bibirnya ke mulut Wiro. Namun gerakannya tiba-tiba terhenti. Sepasang matanya yang tak sengaja memandang ke arah seberang telaga melihat tanda-tanda bahaya.
“Tunggu, jangan kau mengira aku mendustaimu. Aku lihat dua orang di seberang telaga sana bicara sambil memandang ke arah kita. Aku rasa mereka sudah tahu kehadiran kita di sini. Mungkin karena kau dari tadi bicara terlalu keras dan tidak karuan…”
“Biarkan saja mereka. Bagaimana janjimu hendak menciumku. Tidak mau dilanjutkan?”
Ratu Randang tidak menjawab. Dia menarik tangan Wiro. Wiro merasa dua kakinya terangkat dari tanah. Sesaat kemudian ketika memandang ke bawah ternyata dia telah dibawa melayang di antara kerapatan pepohonan di malam gelap.
“Ilmu terbang yang kau miliki ini apa namanya? Ilmu Jalan-jalan di Malam Gelap dan Sunyi?”
“Jangan bergurau terus. Kita belum lepas dari bahaya!” Kata Ratu Randang pula.
Sambil mencekal tangan Wiro, Ratu Randang berkomat­kamit. Lalu tangannya dipukulkan ke bawah.
Wuttt!
Terdengar sambaran angin sangat halus.
“Apa yang kau lakukan? Mengeluarkan ilmu lagi?” Bertanya Wiro.
“Aku menciptakan telaga kedua. Untuk mengelabuhi kedua orang itu jika mereka mengejar kita.”
“Apa?! Telaga kedua? Semudah dan secepat kau membalikkan tangan?!”
“Kalau tidak percaya lihat saja ke bawah. Pergunakan ilmu kepandaianmu yang bisa melihat jauh di dalam gelap.”
Pendekar 212 memandang ke bawah. Astaga! Apa yang dikatakan Ratu Randang bukan dusta. Saat itu di bawah sana Wiro melihat sebuah telaga sementara lebih jauh ke selatan telaga di mana sebelumnya dia berada masih terlihat walau agak samar. Kemudian dia melihat dua orang berkelebat di sekitar telaga kedua.
“Hebat! Belum pernah aku melihat tukang sihir secantikmu!” Wiro memuji.
Ratu Randang dongakkan kepala.
“Aku jelas cantik! Tapi jelas aku bukan tukang sihir!”
Wiro tertawa.
Tawa sang pendekar lenyap ketika, cuuppp!
Bibir Ratu Randang menempel ketat di bibir Wiro hingga sang pendekar gelagapan. Ratu Randang tertawa cekikikan.
“Itu ciuman pertama! Masih ada empat ratus sembilan puluh sembilan ciuman lagi! Hik… hik… hik!”
***
SEMBILAN
DUA ORANG di tepi telaga yang memeriksa mayat Raja Dukun Batu Berlumut untuk beberapa lama sama­sama terdiam. Agaknya mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Akhirnya pemuda berpakaian hijau membuka mulut. “Swara Pancala, apa pendapatmu?”
Melihat kepada umur, orang berpakaian dan berdestar biru jauh lebih tua dari si pemuda yang bertanya. Namun jika pemuda itu langsung menyebut nama maka ini adalah satu kejanggalan mengandung keanehan.
Orang yang ditanya menghirup udara malam di tepi telaga dalam-dalam baru menjawab. “Dari udara yang ada di tempat ini saya mencium Ratu Randang dan sahabat malang ini sebelumnya memang sama-sama berada di sini. Namun di mana sekarang beradanya Ratu Randang dan siapa yang membunuh Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut ini masih merupakan satu tanda tanya besar. Saya juga mencium kalau orang dari negeri delapan ratus tahun mendatang yang disebut dengan nama Ksatria Panggilan itu sebelumnya mungkin juga berada di tempat ini. Apakah dia pergi bersama Ratu Randang…”
“Swara Pancala, harap bicara memakai pertimbangan. Apa kau lupa kalau Ratu Randang adalah kekasih nyawa kembarku? Apakah mungkin dia mengkhianati nyawa kembarku?!” Pemuda berpakaian hijau memotong ucapan orang bernama Swara Pancala.
“Maafkan saya Sinuhun Muda. Saya tahu Ratu Randang yang cantik itu adalah kekasih Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Saya tidak mengatakan bahwa Ratu Randang telah berkhianat. Saya hanya memberi tahu apa yang saya ketahui. Raja Dukun berilmu tinggi. Agaknya dia dibunuh dalam keadaan lengah. Melihat bagian belakang kepala yang hancur parah saya yakin dia telah dihantam dari belakang. Lalu melihat bentuk hancurnya kepala, mohon dimaafkan kalau saya mengatakan Raja Dukun telah dihantam dengan ilmu pukulan bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat.”
Sepasang mata pemuda berpakaian hijau membesar. Dia usap dagu dan cambang bawuknya sebelum keluarkan ucapan. “Ilmu pukulan itu adalah salah satu ilmu yang dimiliki Ratu Randang!”
“Maafkan saya Sinuhun Muda Ghama Karadipa.” Orang bernama Swara Pancala cepat-cepat tundukkan kepala lalu memandang ke arah lain.
“Swara Pancala, sebenarnya tadi-tadi aku sudah menduga kalau Ratu Randang telah melakukan pengkhianatan. Aku tidak mengerti. Dia bercinta denganku. Menjadi kekasihku walau belum terlalu lama. Lalu mengapa dia menjadi musuh dalam selimut? Apakah kesetiaannya pada Raja Mataram melebihi kesetiaannya dan cintanya terhadap diriku?”
“Sinuhun Muda, saya tidak berani memberikan tanggapan. Namun saya menduga apa yang dilakukan Ratu Randang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Mengapa dia tidak pernah menemui Arwah Ketua sebagaimana yang Sinuhun Muda perintahkan, itu cukup pula menjadi pertanda bahwa ada satu kerahasiaan dalam diri perempuan itu. Mohon saya dimaafkan kalau salah bicara…”
Sinuhun Muda menarik nafas dalam.
“Aku telah berbuat kesalahan besar menyuruhnya pergi bersama Raja Dukun. Saat itu kau tengah menjaga roh Sedayu Galiwardhana. Aku sendiri dalam ujud nyawa kembar yang lain tengah menjemput Ksatria Roh Jemputan di Gunung Merapi di alam delapan ratus tahun mendatang…”
Sinuhun Muda berhenti bicara dan menatap tajam­tajam ke wajah orang di hadapannya. Melihat hal ini Swara Pancala yang jadi gelisah segera saja berkata.
“Mohon saya diberi tahu apa yang ada di pikiran Sinuhun Muda. Ada sesuatu yang hendak Sinuhun Muda katakan?”
“Benar. Aku khawatir kau kelak akan berbuat culas, sama dengan Ratu Randang. Sampai saat ini pihak kerajaan tidak tahu menahu apa yang kau lakukan. Kalau kau telah menjadi orang kepercayaanku dan berkhianat pada Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Raja Mataram…”
“Sinuhun Muda, kalau saya boleh berkata. Arwah kedua orang tua saya, istri dan seorang anak yang tewas ketika kerajaan menumpas pemberontakan beberapa tahun silam, apakah itu tidak cukup menjadi sumber dendam kesumat yang sangat besar bagi saya? Rasanya dalam hal ini kita banyak kesamaan.”
“Aku tahu hal itu,” sahut Sinuhun Muda pula. Namun wajahnya masih tetap menunjukkan sesuatu yang tidak mengenakkan bagi Swara Pancala.
Maka Swara Pancalapun berkata. “Sinuhun Muda, kalau ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk membuat Sinuhun Muda percaya bahwa saya tidak akan mengkhianati Sinuhun Muda…”
Pemuda berpakaian dan berikat kepala hijau tersenyum. Dari kantong pakaiannya dia mengeluarkan sesuatu yang dibungkus dengan daun pisang kering. Perlahan­lahan daun pembungkus dibuka lalu dibuang ke tanah. Kini di telapak tangan kanan Sinuhun Muda tampak sebuah benda hitam bulat memancarkan cahaya berkilau.
“Swara Pancala, benda yang ada di tanganku ini adalah gumpalan Tiga Ratus Tuba Duri Bambu. Siapa saja yang berbuat jahat terhadap diriku dan telah menelan racun ini maka dia hanya mampu bertahan hidup selama dua puluh satu hari. Sebelum menemui ajal orang yang menelan akan muntah darah selama tujuh hari hingga seluruh cairan yang ada di dalam tubuhnya menjadi kering. Keadaannya akan berubah tidak beda seperti jerangkong hidup. Tetapi jika orang yang menelan memang tidak punya niat jahat terhadapku maka setelah dua puluh satu hari dia akan selamat. Nah, berikan kepercayaan padaku. Telan benda ini!”
Tampang Swara Pancala berubah pucat. Orang ini tertegun untuk beberapa lama.
“Swara Pancala. Aku menunggu. Tapi jangan terlalu lama. Aku akan menghitung sampai lima. Jika kau tidak bersedia menelan maka aku minta kau membenturkan kepalamu ke batu besar di tepi telaga sana.”
Swara Pancala melirik ke arah batu besar yang dikatakan lalu kembali memperhatikan benda hitam di atas telapak tangan Sinuhun Muda. Tengkuk terasa dingin tapi dada berdebar panas!
“Swara Pancala. Aku akan menghitung dengan sangat cepat! Satu! Dua! Tiga! Em…”
Pada hitungan ke empat Swara Pancala ulurkan tangan mengambil gumpalan racun Tiga Ratus Tuba Duri Bambu lalu memasukkan ke dalam mulut dan dengan cepat menelannya. Sesaat sepasang mata orang ini tampak mendelik dan muka serta tubuhnya basah dengan keringat.
“Sinuhun Muda,” ucap Swara Pancala dengan suara bergetar. “Saya telah membuktikan bahwa saya tidak sama dengan Ratu Randang.”
Sinuhun Muda angguk-anggukkan kepala. Memegang bahu Swara Pancala dan berkata. “Bagus. Pengabdianmu tidak akan aku lupakan.”
“Kalau begitu sekarang kita harus bertindak mengejar perempuan itu.”
Sinuhun Muda gelengkan kepala.
“Sampai sebelum matahari terbit kita tidak akan mampu mengetahui di mana perempuan pengkhianat itu berada dan dengan siapa. Aku merasa sangat menyesal telah memberikan Ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan padanya.”
“Kalau begitu agar kita tidak terpaut terlalu jauh dengannya, sebaiknya kita sekarang juga bergerak ke jurusan lenyapnya perempuan itu. Mudah-mudahan kita masih bisa tertolong dengan Ilmu Tanpa Mata Mengandalkan Penciuman. Kita berdua sudah sama mengetahui bau tubuh dan pekaian perempuan itu…”
“Tidak ada salahnya dicoba,” jawab Sinuhun Muda.
Lalu sekali berkelebat kedua orang ini telah melayang di atas telaga meninggalkan rimba belantara gelap di belakang mereka. Tak selang berapa lama Sinuhun Muda angkat tangan kanan dan berseru sambil melayang turun ke tanah.
“Swara Pancala! Lihat ke depan!”
Swara Pancala segera pula melayang turun ke tanah, berdiri di samping Sinuhun Muda dan memandang ke depan.
Astaga!
Di depan mereka terbentang sebuah telaga. Telaga yang sama dengan telaga sebelumnya di mana mereka berada. Yang berbeda adalah di tepi telaga tidak ada mayat Raja Dukun Batu Berlumut!
Masih tak percaya Sinuhun Muda dan Swara Pancala memandang berkeliling. Keadaan di sekitar telaga juga sama dengan telaga sebelumnya!
“Perempuan celaka itu telah mempergunakan Ilmu Sang Pencipta Berbuat Penuh Kuasa. Kita disesatkan dengan telaga jejadian ini yang baru akan lenyap kalau tersentuh sinar sang surya. Kecuali ada petunjuk lain. Percuma saja kita meneruskan pengejaran.”
Tiba-tiba tidak disangka-sangka ada suara menyahuti ucapan Sinuhun Muda. Suara perempuan.
“Kalau yang bernama Sinuhun Muda percaya, maka petunjuk itu ada padaku. Aku tahu di mana orang yang dicari saat ini berada. Apakah Sinuhun Muda masih ingat kata-kataku beberapa waktu lalu di alam delapan ratus tahun mendatang? Pada saat Sinuhun Muda muncul dengan ujud Sinuhun Merah Penghisap Arwah? Apakah itu ujud nyawa kembar Sinuhun Muda? Ingat? Waktu itu aku berkata. Suatu ketika kau akan memerlukan diriku. Mungkin untuk berbagi ilmu. Mungkin juga untuk berbagi
cinta. Hik… hik… hik…”
Sinuhun Muda terkesiap. Swara Pancala palingkan kepala ke arah datangnya suara tadi. Sinuhun Muda lalu berucap perlahan.
“Aku kenal suara itu. Aku juga ingat kata-kata itu. Tapi bagaimana dia tahu-tahu bisa berada di Bhumi Mataram ini…?”
***
SEPULUH
PENDEKAR 212 Wiro Sableng memandang seputar ruangan batu. Tak ada jendela tak ada pintu. Aneh, melalui bagian mana tadi dia dibawa masuk oleh perempuan cantik itu. Sementara sang pendekar masih tercengang-cengang, Ratu Randang melangkah mondar­mandir mengelilingi ruangan sambil sapukan tangan kanan pada empat din–ding. Sesekali mata dipejamkan dan bibir yang merah bergetar. Jelas dia tengah merapal sesuatu bacaan.
Tak lama kemudian perempuan ini memutar tubuh. Punggung dirapatkan ke dinding, kaki dikembang dan dada dibusungkan. Sepasang mata juling tapi bagus menatap lurus ke arah Wiro. Sikapnya berdiri sungguh menawan.
“Sahabat muda, apa benar namamu Wiro Sableng. Sableng yang artinya sinting?”
“Aku memang sableng tapi belum sinting,” jawab Wiro sambil tertawa. “Aku sendiri, sampai saat ini belum tahu namamu. Padahal aku sudah berhutang budi dan nyawa padamu.”
“Jangan menyebut segala macam hutang budi. Mungkin kelak aku yang akan menerima budi jauh lebih besar darimu.”
“Lalu namamu? Apa kau tidak mau memberi tahu?” tanya Wiro lagi.
“Namaku Ratu Randang…”
“Ratu Rendang! Nama bagus. Tapi mengapa seperti nama hidangan daging lezat?”
Si cantik di hadapan Wiro cemberut.
“Ih…! Namaku Ratu Randang. Bukan Rendang! Enak saja kau bicara! Kau sengaja mempermainkan aku!”
Wiro tertawa. “Maafkan kalau aku salah menyebut. Namamu benar-benar bagus. Kau memang secantik seorang ratu…” Wiro memuji. Dia lantas saja ingat pada Ratu Duyung, gadis cantik bermata biru yang mencintai dirinya.
“Sebenarnya aku adalah salah seorang pembantu dekat Raja Mataram. Aku seorang penasihat Istana Mataram…” Ratu Randang coba menjelaskan siapa dirinya.
Wiro tercengang.
“Jadi, ternyata kau bukan saja seorang sakti berkepandaian hebat Tapi juga seorang tokoh berkedudukan tinggi di Istana Mataram. Sungguh kau orang luar biasa. Tapi…” Wiro memandang seputar ruangan lalu bertanya. “Sahabat cantik, saat ini kita berada di mana. Ruangan batu ini tertutup rapat Tidak ada pintu tidak ada jendela. Heran ruangan ini bisa terang. Lalu dari mana tadi kau membawa aku masuk ke tempat ini.”
“Ketahuilah kita berada di dalam tanah di bawah Candi Prambanan.” Ratu Randang memberi tahu yang membuat murid Sinto Gendeng jadi melongo. “Aku membawamu ke sini dengan ilmu Menunggang Kabut Menembus Batu…”
Wiro keluarkan suara berdecak.
“Kau begitu polos mau memberi tahu ilmu kesaktian yang kau miliki. Jangan-jangan kau mau menukar dengan apa lagi? Lima ratus pelukan dan ciuman saja belum selesai. He… he.”
Wajah Ratu Randang bersemu merah. Kalau Wiro ada sepejangkauan tangannya pasti sudah dicubit perutnya sampai melintir!
“Kau masih saja bersenda gurau. Terus terang sebenarnya saat ini kita belum terlepas dari bahaya…”
Wiro menggaruk kepala.
“Jadi saat ini kita berada di bawah Candi Prambanan? Candi Prambanan di Mataram Kuna atau yang di negeriku?”
“Keduanya adalah candi yang sama walau berbeda alam. Sesepuh nenek moyangmu membuat Candi Prambanan di masa lalu. Candi tetap berdiri gagah sampai delapan ratus tahun kemudian. Walau saat ini keadaan memang aman namun aku tidak tahu kita bisa bertahan sampai berapa lama. Kalau kita keluar sekarang-sekarang dari tempat ini aku khawatir orang-orang yang mengejar bisa menemui kita. Saat ini aku punya kewajiban harus membawamu ke hadapan Sri Maharaja Mataram secepat­cepatnya. Padahal itu sebenarnya tugas orang lain. Namun keadaan berubah. Tindakan cepat harus dilakukan. Siapa sangka aku diperintahkan bersama si katai yang sudah mati itu menemuimu. Kau masih menyimpan baik-baik batu putih berbentuk segi tiga itu?”
Wiro menepuk-nepuk pinggang sebelah kiri tanda benda yang ditanyakan berada dalam keadaan aman.
“Siapa yang memerintahmu menemui aku bersama orang katai pemakan kemenyan itu?” Wiro bertanya.
“Satu makhluk yang memiliki dua nyawa kembar.” Jawab Ratu Randang.
“Nyawa kembar? Baru sekali ini aku mendengar ada nyawa kembar. Bagaimana mungkin…?”
“Akal sehat memang tidak bisa menerima. Namun begitulah kejadiannya. Dua nyawa kembar masuk ke dalam sosok makhluk yang punya dua ujud. Ujud pertama yang sebenarnya sudah menemui kematian beberapa tahun silam, dipanggil dengan nama Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Ujud kedua adalah pemuda berpakaian dan berikat kepala hijau yang tadi kau lihat di tepi telaga. Keduanya bisa berada di tempat berbeda dalam waktu yang bersamaan.”
Wiro menggaruk kepala.
“Berarti jika yang satu lagi asyik menyanyi di satu tempat, ujud yang lain bisa saja tengah membunuh orang! Hebat juga!” Setelah berpikir sejenak Wiro berkata. “Jika makhluk bernyawa kembar memberi perintah padamu dan orang katai yang sudah mati itu, berarti kalian berdua sebenarnya adalah anak buah Sinuhun-Sinuhun. Tadi kau mengatakan dirimu adalah penasihat Raja Mataram. Lalu mengapa pula kau membunuh si katai itu? Aku menduga kau membunuhnya bukan karena hendak menolongku saja, tapi ada penyebab lain…”
“Aku ingin menyelamatkan Raja Mataram, rakyat dan kerajaan. Dua sinuhun bersama para pengikutnya telah menjatuhkan malapetaka mengerikan di Bhumi Mataram.” Lalu Ratu Randang menceritakan apa yang telah terjadi.
“Jika begitu ceritanya berarti kau telah mengkhianati dua sinuhun. Tidak heran kalau makhluk bernyawa kembar itu akan mencarimu sampai ke langit ke tujuh sekalipun! Tapi dari caramu bercerita dan dari raut wajahmu aku melihat tidak ada perasaan takut dalam dirimu. Aku punya dugaan ada satu perkara yang tidak kau jelaskan padaku.”
Sepasang mata juling Ratu Randang menatap Pendekar 212 tak berkesip.
“Apa?” tanya perempuan itu. “Apa yang tidak aku ceritakan padamu?”
“Aku tidak tahu, tapi pasti ada. Aku bisa merasakan. Kau melakukan pengkhianatan. Dua sinuhun aku rasa bukan makhluk tolol yang bisa mempercayaimu begitu saja…”
Ratu Randang tertawa.
“Kau memang benar. Pengkhianatan itu harus aku bayar mahal, sangat mahal. Aku bercinta, berpura-pura menjadi kekasih dua sinuhun. Bahkan Sri Maharaja dan orang-orang penting di kerajaan tidak mengetahui hal ini. Semua aku rencanakan sendiri karena aku sadar dalam keadaan negeri dilanda malapetaka seperti ini terkadang sulit menduga mana kawan mana lawan.”
“Pengorbananmu sungguh luar biasa besar. Tapi tidak sia-sia karena ada enaknya.”
“Jangan menyindir! Kau marah? Atau cemburu?”
Wiro tertawa lebar dan gelengkan kepala.
“Hanya dengan cara begitu aku bisa mengabdi menyelamatkan raja dan kerajaan. Aku berhasil mencari tahu apa kelemahan dua sinuhun…”
“Kalau memang kau sudah tahu kelemahan mereka mengapa tidak membunuh saja keduanya? Raja dan kerajaan selamat. Cerita selesai! Aku tidak perlu jauh-jauh datang ke sini naik kuda lumping!”
“Tidak semudah itu membunuh dua makhluk bernyawa kembar itu. Seperti yang kau katakan tadi mereka bukan makhluk-makhluk tolol. Sekalipun aku tahu kelemahan mereka namun pasti mereka memiliki penangkal. Selain itu aku khawatir mereka tidak bisa dibunuh satu demi satu, tapi harus sekaligus. Kalau nyawa kembar yang satu mati yang lain masih hidup, celaka besar akan terjadi. Riwayatku akan tamat! Padahal aku masih ingin panjang umur menikmati hidup di dunia yang penuh keindahan ini. Hik… hik”
Setelah mengusap lehernya yang putih jenjang Ratu Randang teruskan ucapan. “Mengenai kuda lumping yang kau tunggangi bersama dua orang lain dari negeri delapan ratus tahun mendatang, benda sakti itu kini berada di tangan Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang menyamar menyerupai Kumara Gandamayana. Sulit bagimu untuk kembali ke negeri asalmu kalau tidak mendapatkan kuda lumping itu kembali.”
“Celaka biyung!” Ujar Wiro. “Agaknya sudah takdir aku akan berada di negeri ini sampai karatan.” Lalu Wiro bertanya. “Siapa orang bernama Kumara Gandamayana itu?”
“Seorang kakek sakti yang pernah datang ke negerimu, masuk ke dalam tubuh seorang anak perempuan dan bicara dengan seorang gadis bersunting lima tusuk konde perak. Gadis itu badan dan pakaiannya menebar bau sangat harum. Kini tusuk kondenya tinggal empat.”
“Yang pakai tusuk konde perak ditancap di batok kepala cuma ada satu orang. Guruku! Eyang Sinto Gendeng. Dan dia sudah nenek keriput, bukan gadis! Tubuhnya bau pesing karena suka kencing! Aneh kalau kau mengatakan tubuhnya sangat harum.”
“Agaknya telah terjadi satu keanehan. Semua orang di sini melihat gurumu itu sebagai seorang gadis cantik.”
“Hebatnya guruku! Tapi aku benar-benar tidak mengerti keadaan di negeri ini. Banyak aku melihat dan mengalami keanehan sebelumnya tapi tidak seperti di sini…”
“Wiro, aku sedih mengatakan gurumu sekarang berada di bawah kekuasaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Otaknya telah dicuci dengan Ilmu Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak. Dia akan melakukan apa saja yang diperintahkan sinuhun, termasuk membunuhmu!”
Wiro terlonjak kaget.
“Bagaimana kejadiannya?”
“Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil menipu gurumu. Merampas kuda lumping dan sekaligus mencuci otaknya dengan ilmu kesaktian yang aku sebutkan tadi. Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak.”
“Apakah kau punya obat penangkalnya?” Tanya Wiro.
Ratu Randang menggeleng. “Agaknya sulit menyembuhkan gurumu atau siapa saja yang sudah ditumbuhi delapan benjolan merah di keningnya…”
“Astaga! Jadi guruku sudah terserang benjolan aneh itu! Celaka! Benar-benar celaka! Sebenarnya nenek itu sudah dilarang untuk tidak ikut ke Mataram. Tapi dia memaksa. Aku menduga dia tergila-gila pada si Kumara itu. Sekarang dia jadi gila benaran!” Wiro tepuk-tepuk jidatnya sendiri. Lalu berkata. “Aku harus mencari guruku lebih dulu. Aku harus menyelamatkan dirinya.”
“Tapi raja dan rakyat Mataram menunggu dan memerlukan pertolonganmu.” Kata Ratu Randang pula.
Murid Sinto Gendeng jadi bingung. Dia lalu ingat seseorang. “Ratu, orang yang muncul bersama Sinuhun Muda, berpakaian dan berdestar biru. Siapakah dia?”
“Namanya Swara Pancala. Dialah pengkhianat sebenarnya.”
Wiro terkejut!
“Nama itu! Aku pernah mendengar sebelumnya…”
“Swara Pancala adalah salah seorang kepercayaan Raja Mataram. Namun dia kena dipengaruhi Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan secara diam-diam menjadi kaki tangannya. Aku khawatir banyak rahasia yang diketahuinya telah disampaikan kepada Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda. Termasuk mengenai dirimu dan batu segi tiga putih. Itu sebabnya Sinuhun mengirim si katai Raja Dukun dan diriku untuk merampas batu segi tiga putih. Maksudnya dia akan menyerahkan batu itu pada seorang makhluk alam roh yang didatangkan dari alam delapan ratus tahun mendatang. Konon makhluk itu diberi nama Ksatria Jemputan. Dengan berbekal batu, Ksatria Roh Jemputan akan mengaku diri sebagai Ksatria Panggilan menghadap raja, menipu lalu membunuhnya.”
“Roh Jemputan…” Wiro mengulang nama itu. “Ratu Randang, kau tahu siapa adanya makhluk yang disebut Roh Jemputan itu?”
“Aku tidak tahu. Tapi aku tahu Sinuhun Merah sendiri yang pergi ke negeri asalmu, menghisap arwah Roh Jemputan di puncak Gunung Merapi. Saat ini mungkin dia sudah masuk ke Bhumi Mataram. Satu hal lagi yang aku ketahui, Ksatria Roh Jemputan akan dikendalikan untuk membunuhmu!”
“Edan!” Wiro memaki. “Ratu, dua sinuhun yang berasal dari dua nyawa kembar itu, kau tahu siapa mereka sebenarnya? Mengapa mereka menjatuhkan tangan jahat terhadap raja dan rakyat Mataram yang tidak berdosa? Pasti ada sesuatu sebab makhluk dua nyawa kembar itu berbuat begitu. Sesuatu yang merupakan dendam kesumat yang terbawa di dalam dirinya seumur-umur dan baru akan lenyap jika dia sudah melakukan pembalasan…”
“Aku tidak bisa menduga. Selama beberapa kali aku bercinta dengan Sinuhun Muda Ghama Karadipa, pemuda itu selalu bicara tentang hal-hal yang aku tidak mengerti…”
“Misalnya?” tanya Wiro pula.
“Terkadang dia bersikap aneh. Seperti mau menangis sesenggukan. Lalu bicara tentang segala macam arwah keramat. Cerita tentang perang arwah! Pernah satu kali ketika dia terbaring setengah tertidur setelah bercinta denganku, tiba-tiba Sinuhun Muda berteriak. Ayahku!
Jangan dipenggal! Jangan! Jangan! Ibu… Ibu… kau di mana Ibu! Dewa Jagat Bathara! Mereka juga telah memancung Ibuku! Habis berteriak Sinuhun Muda lalu menangis tersedu-sedu.”
Wiro menggaruk kepala. Coba merenung.
“Agaknya ada satu peristiwa dahsyat di masa lalu yang sampai saat ini tidak bisa dilupakannya. Mungkin peristiwa itu yang menjadi pemicu dendam kesumat yang melekat di dalam dirinya seumur-umur dan baru akan lenyap jika dia sudah melakukan pembalasan. Ratu, tadi kau mengatakan telah berhasil mengetahui kelemahan dua sinuhun nyawa kembar itu. Kau mau memberi tahu padaku?”
“Aku sudah lama menduga-duga. Dugaanku itu tersingkap kebenarannya ketika belum lama ini aku hendak bercinta dengan Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Malah dia sendiri yang menyebut kelemahan dirinya. Waktu itu dia mengatakan…”
Mendadak Ratu Randang hentikan ucapan.
“Mengatakan apa? Ratu, mengapa kau tidak meneruskan keterangan?”
Ratu Randang memberi tanda agar Wiro tidak bicara. Perempuan ini menghirup udara dalam-dalam lalu berbisik.
“Kau mendengar sesuatu?”
Wiro raba telinga kirinya. “Aku mendengar suara seperti sesuatu melata di tanah. Mungkin seekor ular besar. Aku juga mencium bau harum semerbak. Tapi bukan bau harum manusia. Melainkah bau harum makhluk alam roh!”
“Kepalaku terasa pusing mencium bau itu,” kata Ratu Randang sambil memijit pelipis kiri kanan.
“Ratu, kita harus meninggalkan tempat ini! Aku curiga orang sudah mengetahui persembunyian kita.”
Tiba-tiba terdengar suara mendesis. Bersamaan dengan itu dari bagian bawah dinding ruangan batu sebelah kanan menyembur asap kuning. Serta merta kedua orang itu merasa sesak dada masing-masing dan pemandangan menjadi kabur.
“Racun ular!” Teriak Pendekar 212.
Tidak menunggu lebih lama Ratu Randang segera menarik lengan Pendekar 212 sambil merapal ajian Menunggang Kabut Menembus Batu.
Saat itu juga tubuh Ratu Randang dan Wiro melesat ke atap ruangan. Seperti tadi ketika masuk Wiro merasakan sekujur tubuhnya dingin lalu, sett… sett! Di lain kejap sosok kedua orang itu sudah meninggalkan ruangan batu. Memandang berkeliling Wiro dapatkan dirinya berada di satu pedataran dan dia melihat tiga buah candi besar yang segera dikenalinya sebagai Candi Siwa atau Candi Loro Jonggrang, Candi Brahma dan Candi Wisnu.
Saat itu udara masih dibalut kegelapan malam dan hawa dingin. Tanah pedataran tampak basah oleh genangan air berwarna merah dan menebar bau busuk. Dua ekor sapi dan empat ekor kambing yang telah jadi bangkai tergeletak di kejauhan.
“Wiro aku memperkirakan ada beberapa orang sembunyi di balik candi di sebelah kanan. Lekas kau tinggalkan tempat ini. Pergi lurus-lurus ke arah utara. Kau akan menemukan sebuah bukit batu. Itulah Bukit Batu Hangus. Raja Mataram ada di sana! Segera temui beliau!”
“Kau sendiri mau ke mana? Mau berbuat apa?” Tanya Pendekar 212.
“Aku akan tetap di sini. Aku akan menghadang mereka!”
Wiro tekapkan kedua tangannya di wajah Ratu Randang dan berkata.
“Aku juga akan tetap di sini. Mati hidup kita berdua!”
Ratu Randang terkesiap mendengar ucapan sang pendekar.
“Tapi Wiro, raja dan rakyat Mataram membutuhkan pertolonganmu! Jika terjadi sesuatu dengan dirimu di tempat ini aku merasa bersalah dan harus bertanggung jawab…”
“Tenang saja. Tidak akan terjadi apa-apa dengan kita berdua.” Kata Wiro pula.
Saking girangnya Ratu Randang langsung saja mengecup bibir Pendekar 212 hangat dan mesra. Lalu sambil tersipu perempuan ini berkata. “Masih empat ratus sembilan puluh delapan ciuman…”
Wiro hanya bisa tersenyum.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara perempuan tertawa melengking panjang.
“Dasar pemuda mata keranjang! Di tanah delapan ratus tahun mendatang berbuat cabul! Sampai di sini masih juga berbuat mesum! Menyekap diri di dalam liang batu dengan perempuan dajal yang berusia dua kali lebih tua! Hik… hik… hik! Padahal kedatanganmu katanya untuk menolong. Ternyata malah enak-enakan berbuat serong! Hik… hik… hik!”
Wajah Ratu Randang tampak mengelam merah. Tubuh bergetar pertanda marah besar menyelimuti sekujur dirinya.
“Jangan perdulikan ucapan orang!” kata Wiro sambil pegang lengan Ratu Randang. “Aku punya dugaan perempuan bermulut kotor itu datang dari negeri yang sama dengan negeri asalku!”
Tiba-tiba dari balik Candi Wisnu tiga bayangan berkelebat!
***
SEBELAS
DARI tiga orang yang berdiri di hadapannya, Wiro segera mengenali orang pertama dan kedua yaitu orang-orang yang malam itu dilihatnya di tepi telaga dan telah dijelaskan siapa adanya oleh Ratu Randang. Kedua orang ini bukan lain adalah Sinuhun Muda Ghama Karadipa dan si pengkhianat Swara Pancala.
Di antara kedua orang itu berdiri seorang perempuan muda berwajah cantik mengenakan pakaian terbuat dari sutera halus berwarna hijau. Tubuhnya yang sintal serta pakaian bagusnya, menebar bau harum. Rambut hitam digerai lepas sepinggang. Di sebelah atas dada pakaian hijaunya agak tersingkap hingga menyembulkan sepasang payudara yang kencang putih. Di kepala sebelah depan terdapat sebuah mahkota kecil terbuat dari perak putih berkilat ditaburi batu permata aneka warna.
Sementara Pendekar 212 terperangah tidak percaya akan apa yang dilihatnya, Ratu Randang mengerenyit karena di pinggang perempuan muda cantik yang tidak dikenalnya itu melingkar seekor ular hitam besar berkepala putih. Dan yang membuat Ratu Randang jadi mengkirik bergidik, sebagian tubuh ular yakni di sebelah ekor masuk menembus ke dalam perut orang melalui pusar!
Sesaat Ratu Randang kerenyitkan kening, sebelum berbisik, bertanya pada Pendekar 212.
“Wiro, kau mengenali siapa perempuan muda yang tegak di antara dua makhluk jahanam itu? Benar dia orang yang juga datang dari negeri asalmu? Mengapa aku lihat ada ular. Aku punya dugaan dia bukan manusia biasa. Tapi makhluk alam roh.”
“Dewi Ular…” Ucap Wiro berkata dalam hati. “Aneh, bagaimana perempuan jahat yang sudah mati ini bisa muncul di Bhumi Mataram. Lebih aneh lagi mengapa dia tahu-tahu bergabung dengan orang bernama Sinuhun dan Swara Pancala. Pasti tadi dia yang menyemburkan asap beracun ke dalam liang batu…”
Karena tidak mendapat jawaban Ratu Randang kembali bertanya. “Wiro, kau kenal perempuan bermahkota yang perutnya ditancapi ular itu?”
Wiro mengangguk perlahan.
“Kau benar Ratu. Manusia satu ini sebenarnya sudah mati beberapa waktu lalu. Aku yang membunuhnya bersama seorang sahabat di sebuah jurang batu pualam. Ilmunya tinggi, secantik bidadari tapi hatinya lebih jahat dari iblis. Namanya Kunti Ambiri. Di negeri asalku ketika masih hidup dia lebih dikenal dengan panggilan Dewi Ular. Tadinya aku agak pangling karena biasanya dia memakai mahkota terbuat dari emas berbentuk kepala ular. Sekarang diganti dengan mahkota perak…” (Riwayat asal muasal Dewi Ular bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul “Dewi Ular” sedang kematian Dewi Ular diceritakan dalam serial berjudul “Bayi Titisan”).
“Kau menyebut mahkota emas! Wiro ketahuilah…”
Ratu Randang yang hendak memberi tahu kelemahan makhluk dua nyawa kembar tidak sempat menyelesaikan ucapan karena tiba-tiba di depan sana ular besar yang bergelung di pinggang Dewi Ular melesat ke depan, mendesis keras, menyambar satu jengkal di depan Ratu Randang, membuat perempuan ini terpekik lalu melompat mundur.
“Ratu, tenang saja. Jangan membalas. Perempuan iblis itu hanya menakut-nakuti. Mungkin sekedar menjajagi ilmu kepandaianmu…”
“Aku yakin Sinuhun Penghisap Arwah telah menghisap arwahnya hingga dia bisa datang ke sini. Pasti Sinuhun sudah menguasai pula dirinya. Tapi mengapa tidak ada delapan benjolan di keningnya seperti yang terjadi dengan gurumu. Perempuan bermahkota ini menjadi lebih berbahaya karena dia datang membekal dendam kesumat pembunuhan yang kau lakukan atas dirinya. Kau harus berhati-hati…”
“Ratu, tiga orang ini mengincar kita berdua. Kau pergi cepat dari sini. Aku titipkan batu putih segi tiga…”
“Kalau kau sudah berkata memilih mati berdua, aku juga akan melakukan hal yang sama!” Jawab Ratu Randang.
“Dua manusia salah kaprah! Apa berlama-lama di liang batu masih belum puas? Masih bercumbu berbisik-bisik di hadapan kami?! Sungguh menjijikkan! Luar biasa memalukan!” Tiba-tiba si cantik berbaju sutera hijau keluarkan seruan. Suaranya menggema keras dalam kegelapan malam. Menghadang alur hembusan angin di antara tiga candi besar.
Ratu Randang dongakkan kepala lalu tertawa panjang. Suara tawanya tidak kalah dahsyat dengan seruan Dewi Ular tadi.
“Disedot dari alam roh! Kesasar di Bhumi Mataram. Aku khawatir kau tidak tahu jalan pulang! Padahal bangkai busukmu tidak diterima tanah negeri ini! Mengapa berani bicara sombong? Mengandalkan dua orang yang mendampingi dirimu? Hik… hik… hik!”
“Berujud cantik padahal sudah nenek tua bangka! Perempuan tidak tahu diri. Pengkhianat busuk bermata juling! Berlutut di hadapan kami! Minta ampun pada Sinuhun. Maka selembar nyawamu akan diampuni!”
Mendengar ucapan Dewi Ular, Ratu Randang kembali tertawa panjang.
“Perempuan iblis roh busuk! Hik… hik! Kau menyuruh aku berlutut di hadapan Sinuhun?! Kau tidak tahu, aku sudah terlalu sering berlutut di hadapan Sinuhun! Yaitu pada saat kami bercinta! Hik… hik… hik! Walau penampilanmu seperti bidadari apa kau kira Sinuhun akan mengambilmu menjadi kekasih? Bagaimana mungkin bercinta dengan roh seorang iblis perempuan yang perut dan kemaluannya tersumpal ular jejadian? Hik… hik… hik!”
Pendekar 212 Wiro Sableng ikut-ikutan tertawa bergelak mendengar kata-kata Ratu Randang. Mulut dipencong­pencong dan mata dijereng-jerengkan
Marahlah Dewi Ular. Ular hitam besar di pinggangnya mendesis keras. Tiba-tiba dari sepasang mata, dua lobang hidung, dua liang telinga serta mulut, pusar, dubur dan aurat terlarangnya mencuat keluar sepuluh ular merah belang hitam. Didahului suara gemerisik sisik tubuh dan desis di mulut sepuluh binatang ini siap melesat ke arah Ratu Randang.
“Ilmu Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi!” Ucap Wiro yang mengenali serangan yang hendak dilancarkan Dewi Ular. Serta merta dia kembangkan telapak tangan dan meniup perlahan. Saat itu juga di telapak tangan sang pendekar muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau. Pukulan Harimau Dewa! Itulah pukulan sakti pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh!
Sementara itu Ratu Randang alirkan tenaga dalam penuh ke tangan kanan hingga tangannya mulai dari ujung jari sampai ke siku berubah menjadi merah.
Sinuhun Muda Ghama Karadipa tidak tahu ilmu pukulan sakti apa yang hendak dilepaskan pemuda berambut gondrong di hadapannya. Namun melihat perubahan tangan Ratu Randang dia menimbang-nimbang lalu cepat melangkah ke depan sambil membentak.
“Tunggu! Aku mau bicara dulu!”
Suara Sinuhun Muda Ghama Karadipa luar biasa keras. Udara bergaung, tanah basah bergetar. Genangan air merah busuk bermuncratan. Sepasang matanya memandang berapi-api ke arah Ratu Randang. Delapan benjolan merah memancar cahaya terang.
Melihat keadaan dan sikap Sinuhun Muda, murid Sinto Gendeng segera maklum bahwa sumber kekuatan orang ini terletak pada delapan benjolan di kening. Namun di mana letak kelemahannya? Sayang Ratu Randang masih belum sempat memberi tahu.
“Perempuan jahanam! Aku masih mau melupakan kau sebagai seorang pengkhianat. Nyawamu kuampuni. Dengan satu syarat! Pemuda berambut gondrong bernama Wiro Sableng ini harus menyerahkan batu segi tiga putih berikut nyawanya padaku!”
Sebagai jawaban Ratu Randang sunggingkan tawa mengejek.
“Batu dan nyawa bukan milikku. Tapi milik pemuda dari alam delapan ratus tahun mendatang. Jika kau merasa mampu mengapa tidak melakukan sendiri? Merampas batu dan merampas nyawanya?! Hik… hik! Kita memang beberapa kali bercinta! Tapi yang kuberikan padamu bukan tubuhku! Melainkan tubuh bangkai anjing! Hik… hik… hik!”
Tampang Sinuhun Muda merah membesi! Gemuruh amarah seperti hendak meledakkan tubuhnya!
“Kurang ajar! Dewi Ular! Bunuh kedua orang ini!” Teriak Sinuhun Muda.
***
DUA BELAS
RATU Randang tudingkan telunjuk tangan kiri tepat­tepat ke arah Sinuhun Muda. “Sungguh memalukan! Ternyata kau tidak punya nyali menghadapi Ksatria Panggilan! Kau bersembunyi di balik ketiak perempuan iblis itu! Apakah kau sudah pernah bercinta dan tidur dengan dia? Apakah enak gigitan ularnya? Hik… hik… hik!”
“Apakah ularmu tidak dipatuk ularnya?! Ha… ha… ha!” Wiro ikut menimpali.
Sinuhun Muda berteriak marah. Dewi ular menggembor keras. Sepuluh ular merah belang hitam yang meliuk-liuk di sekujur tubuhnya mendesis panjang dan menggeliat. Lidah di dalam mulut pancarkan cahaya kebiru-biruan.
“Keparat jahanam! Kau akan menjadi budakku di dunia dan alam roh!”
Delapan larik sinar merah menyembur keluar dari delapan benjolan di kening Sinuhun Muda. Yang diarah adalah kening Pendekar 212 Wiro Sableng. Jika serangan itu mengenai sasaran maka seperti apa yang terjadi dengan Sinto Gendeng, Wiro akan jatuh ke dalam kekuasaan dan kendali Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah!
Saat itulah Ratu Randang dengan tiba-tiba memeluk tubuh Pendekar 212 sambil berteriak.
“Wiro! Cepat balas memeluk tubuhku!”
Meskipun terkejut namun Wiro melakukan apa yang dikatakan Ratu Randang. Begitu keduanya saling berpelukan maka di tanah basah di bawah kaki mereka berpijar sinar putih.
Reettt!
Sinar putih menjalar ke atas.
“Dia menggunakan Ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan! Aku benar-benar menyesal memberikan ilmu itu pada perempuan keparat itu!” Teriak Sinuhun Muda. Lalu hantamkan tangan kanannya sementara dari delapan benjolan di kening masih terus melesat delapan sinar merah. Dua serangan ini diarahkan pada Ratu Randang dan Wiro yang saling berpelukan.
Di sebelah Sinuhun Muda sepuluh ular telah melesat laksana anak panah lepas dari busurnya. Namun terlambat! Sosok Wiro dan Ratu Randang telah terlebih dulu lenyap dari pemandangan bersama sirnanya pijaran sinar putih.
Malah saat itu ada sambaran cahaya putih kehijauan. Dewi Ular menjerit. Sinuhun Muda berteriak marah. Sepuluh ular merah yang keluar menyerang dari tubuh Dewi Ular terpental di udara, jatuh di tanah basah dalam keadaan hancur berkeping-keping. Dewi Ular terjajar ke belakang, nyaris jatuh ke tanah kalau tidak lekas ditolong Swara Pancala. Wajahnya yang cantik tampak pucat. Mahkota perak di atas kepala miring ke kiri.
Sinuhun Muda perhatikan lima jari tangan lalu meraba kening yang ada benjolan. Dalam hati dia membatin, “Luar biasa! Pemuda jahanam itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebelum lenyap bersama perempuan celaka itu agaknya dia masih sempat melepas serangan balasan! Untung delapan sinar merah masih bisa meredam. Kalau tidak bisa-bisa aku sudah celaka…”
Sinuhun Merah berpaling pada Dewi Ular. Lalu berkata. “Ternyata kau tidak punya kemampuan apa-apa. Ilmu kesaktianmu tidak sanggup membunuh pemuda itu. Apakah aku masih memerlukan dirimu?!”
“Jangan memandang rendah diriku. Kalau aku tidak menyerang dengan sepuluh ular jejadian, saat ini tubuh Sinuhun Muda mungkin sudah tercabik-cabik.”
“Dewi Ular, aku rasa aku tidak memerlukan dirimu lagi. Kau makhluk tidak berguna. Cepat menyingkir dari hadapanku!”
Mendengar ucapan orang Dewi Ular alias Kunti Ambiri ganda menyeringai. Mulut kemudian berucap, “Yang menghisap arwahku dan mendatangkan diriku ke Bhumi Mataram ini adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah walau pertama kali dia merasa ragu melakukan. Dia yang membutuhkan diriku! Sekarang terserah Sinuhun Muda. Kalau Sinuhun Muda merasa tidak memerlukan diriku lagi, aku akan pergi ke mana aku suka! Tapi jangan menyesal kalau kelak aku akan bergabung dengan orang-orang kerajaan. Harap Sinuhun Muda mau memberi tahu hal itu pada Sinuhun Merah…”
“Swara Pancala! Antarkan Dewi Ular ke gua di balik air terjun! Kalian berdua tunggu aku di sana. Awasi perempuan ini!”
“Aku tidak perlu pengawalan. Aku tidak berhasrat pergi ke gua di balik air terjun! Aku akan pergi ke mana aku suka!”
“Perempuan keparat! Kau mencari celaka berani menentangku!” Sinuhun Muda berteriak marah. Kaki kanannya dibantingkan ke tanah. Tanah bergetar. Genangan air merah busuk muncrat ke udara. Dewi Ular merasa ada hawa aneh memasuki tubuhnya. Sebelum dia menyadari bahaya dan melakukan sesuatu tiba-tiba sekujur tubuhnya berubah kaku tak bisa digerakkan lagi. Bahkan ular hitam kepala putih yang bergelung di pinggangnya ikut diam membatu!
“Swara Pancala! Bawa perempuan itu ke gua di balik air terjun. Setelah itu kau cepat menyusul aku ke Bukit Batu Hangus sebelum fajar menyingsing! Aku akan berusaha menghambat Ratu Randang dan pemuda gondrong itu menemui Raja Mataram dengan Ilmu Tabir Langit Turun Ke Bumi. Aku juga akan menerapkan Di Bumi Ada Enam Kesesatan, Di Langit Ada Tujuh Kesesalan, Dalam Air Ada Delapan Kesesatan. Kita terpaksa melaksanakan rencana cadangan. Raja Mataram harus menemui ajal sebelum Ksatria Panggilan lebih dulu menemuinya!”
Tidak tunggu lebih lama lagi Swara Pancala segera panggul tubuh Dewi Ular lalu berkelebat ke arah selatan. Dalam berlari secapat angin berhembus, dada lelaki ini berdebar keras. Sejak istrinya tewas beberapa tahun silam baru kali ini dia bersentuhan dengan tubuh molek seorang perempuan berwajah cantik penuh pesona.
***
Di dalam gua di balik air terjun di tempat mana Sinuhun Muda pernah bercinta dengan Ratu Randang, Swara Pancala membaringkan Dewi Ular di lantai batu. Pakaian mereka basah sewaktu melewati air terjun. Setelah membaringkan Dewi Ular, Swara Pancala cepat-cepat berbalik hendak meninggalkan gua.
“Swara, kita belum lama bersahabat Tapi aku tahu kau orang baik. Kau mau pergi ke mana?”
“Aku harus segera menuju Bukit Batu Hangus!” Jawab Swara Pancala.
“Kau tega meninggalkan aku seorang diri dalam keadaan tubuh tak berdaya seperti ini?”
“Aku hanya menjalankan perintah Sinuhun Muda.”
“Tapi saat ini Sinuhun Muda tidak ada di sini. Jika kau mau berbaik hati menolong diriku, aku tidak akan melupakan budimu. Apapun yang kau minta sebagai imbalan akan aku berikan…”
Dewi Ular layangkan senyum mesra sambil sepasang mata menatap mesra.
“Jangan memikatku! Aku harus pergi!”
Dewi Ular tertawa lepas. Barisan giginya tampak rata putih dan lidahnya kelihatan merah basah.
“Swara Pancala. Jangan berburuk kira. Aku tidak berusaha memikatmu. Persahabatan dan kebaikan itulah yang lebih utama. Kau telah melihat apa yang dilakukan Sinuhun Muda terhadap diriku. Aku khawatir hal yang serupa akan terjadi atas dirimu di kemudian hari. Kau memberikan seluruh pengabdian dan kepatuhan pada Sinuhun Muda. Apakah kau benar-benar bisa mempercayainya? Saat ini dia memerlukan bantuanmu karena ada urusan besar. Kalau urusan sudah selesai dan kau tidak diperlukan lagi mungkin saja kau akan dilempar ke comberan, itu yang paling baik. Karena tidak mustahil Sinuhun Muda akan membantaimu!”
“Aku lebih percaya pada Sinuhun Muda daripada mendengar ucapanmu!”
“Swara Pancala. Ketahuilah, penyesalan selalu datang belakangan.”
“Aku tidak akan pernah menyesal mengabdi pada Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah. Sekian belas tahun mengabdi kepada pada raja dan kerajaan Mataram sebenarnya aku hanya menunggu kesempatan. Raja Mataram Rakai Kayuwangi bertanggung jawab atas kematian dua orang tua, istri dan saudara-saudaraku. Mereka dibantai tanpa kemanusiaan sewaktu terjadi huru-hara besar penumpasan kaum pemberontak. Itu pula yang terjadi dengan Sinuhun Muda!”
“Ah, kalian berdua menanggung beban dendam luar biasa rupanya! Swara, saat ini kau telah melakukan hal yang terbaik. Kau hanya menunggu kesempatan membalas dendam pada Raja Mataram. Aku yakin kau akan berhasil membalaskan sakit hati dendam kesumat. Untuk itu aku akan berdoa bagi keberhasilanmu. Jika kau memang mau pergi aku tidak bisa melarang. Kau melihat ketidakadilan yang terjadi atas diriku. Aku tahu hatimu memelas namun karena kesetiaan pada sinuhun kau tidak bergeming. Seandainya diriku ini adik perempuanmu atau kekasihmu, apa kau akan tetap tidak perduli? Aku hanya minta satu hal…”
“Apa?” tanya Swara Pancala yang mulai terpengaruh.
“Kalau aku harus mati di dalam gua ini, aku tidak ingin diriku mengenakan mahkota di kepala dan pakaian di badan. Aku mohon, tanggalkan mahkota dan seluruh pakaianku. Dengan cara itu kelak aku akan lebih cepat kembali ke alam rohku di masa delapan ratus tahun mendatang…”
Swara Pancala tidak bergerak. Menjawabpun tidak.
“Mengapa kau hanya berdiam diri? Kau tidak mau menolongku? Apa yang aku minta tidak sulit untuk kau lakukan. Aku akan sangat berterima kasih…”
“Aku tidak yakin kau akan mati di tempat ini. Sinuhun Muda akan datang menemuimu begitu urusan di Bukit Batu Hangus selesai.”
“Bagaimana kalau Sinuhun Muda menemui ajal di bukit itu? Kau mau datang ke sini untuk membebaskan diriku?”
“Aku tidak berjanji.”
“Kau tak perlu berjanji. Hanya kuminta melakukan satu pekerjaan mudah. Tolong tanggalkan mahkota dan pakaianku.”
Swara Pancala terdiam, berpikir-pikir.
“Aku tahu kau akan memenuhi permintaanku. Karena kau orang baik…”
Swara Pencala tatap wajah Dewi Ular yang tersenyum padanya dengan mata setengah terpejam. Perlahan-lahan lelaki ini akhirnya membungkuk, berlutut di lantai batu lalu menanggalkan mahkota perak di atas kepala Dewi Ular. Ketika Swara Pancala hendak menanggalkan pakaian Dewi Ular, lelaki ini agak tertegun. Namun akhirnya hal itu dilakukannya juga.
“Swara, aku merasa sangat kedinginan. Sebelum kau pergi maukah kau memeluk tubuhku barang sebentar agar aku merasakan kehangatan…”
Sejak tadi sebenarnya Swara Pancala tidak sanggup lagi menahan gejolak darahnya yang mengalir cepat dan panas. Jantung berdegup kencang, nafas menyengat terbendung gelora nafsu yang membara.
Tidak berpikir lebih lama lagi lelaki ini jatuhkan diri di samping Dewi Ular lalu memeluk tubuh perempuan yang putih elok dan yang tidak lagi tertutup selembar benangpun!
Kemudian Swara mendengar bisikan itu. “Swara, tidakkah kau ingin menanggalkan pula pakaianmu?”
“Dewi, jika semua urusan gila di Bhumi Mataram ini selesai, apakah kau mau menjadi istriku?”
Sepasang mata Dewi Ular berbinar, bibir bergetar merenggang. Lidah merah basah dijulurkan lalu senyum dikulum. Dada yang putih besar bergerak mengikuti tarikan nafas bahagia.
“Swara, kau mungkin tidak percaya. Itulah yang aku harapkan ketika pertama kali aku melihat wajahmu. Apa yang barusan kau ucapkan adalah kata-kata paling indah yang pernah aku dengar. Kalau saja aku mampu menggerakkan kedua tangan dan kakiku, pasti saat ini tubuhmu sudah aku rangkul dan tidak akan aku lepaskan…”
“Aku bisa membuyarkan ilmu sinuhun yang membuatmu kaku tidak bisa bergerak…”
“Swara, aku bersumpah untuk menyerahkan diri dan jiwaku untukmu seorang.”
“Sumpahmu adalah sumpahku juga!” Sahut Swara Pancala.
Lalu dengan cepat seperti yang diminta Dewi Ular dia melepas pakaian yang melekat di tubuhnya.
***
TIGA BELAS
DINI hari di Bukit Batu Hangus. Ratusan orang berhamparan di lereng bukit dalam keadaan menyedihkan. Tidak terlindung dari hawa dingin, tubuh masih diserang demam panas dan kaki masih dalam keadaan lumpuh. Sejak persediaan air di bukit mulai berkurang, keadaan ratusan orang itu semakin tambah sengsara.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala duduk di atas sebuah batu besar memperhatikan Ni Gatri yang tengah memberi minum Rauh Kalidathi, nenek yang telah menyelamatkannya dari Ludra Bhawana, anak buah Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang hendak menculik dan membunuhnya. Setelah memberi minum si nenek anak perempuan ini berkeliling menolong orang-orang lainnya. Kebanyakan orang yang ada di atas bukit termasuk keluarga raja berada dalam keadaan lemah, tergolek tertidur dalam haus dan lapar serta diserang penyakit panas dan lumpuh. Jika sampai besok siang orang-orang itu tidak juga mendapat pertolongan, lepas dari penderitaan yang mengerikan itu, sudah dapat diduga apa yang akan terjadi. Satu persatu mereka akan menemui ajal!
Ketika Raja Mataram hendak memanjatkan doa mohon keselamatan pada Yang Maha Kuasa tiba-tiba di kejauhan di kaki bukit terdengar suara kuda meringkik.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi buka sepasang matanya yang baru saja terpejam. Memandang ke kaki bukit lalu menoleh ke jurusan Ni Gatri yang saat itu dilihatnya berdiri tertegun.
“Suara kuda meringkik. Masih adakah hewan peliharaan yang hidup di Bhumi Mataram? Mungkin ada seseorang dari jauh datang ke sini dengan menunggang kuda? Mudah-mudahan Ksatria Panggilan. Tapi menunggang kuda?” Raja Mataram berkata dalam hati yang penuh harapan namun juga ada perasaan khawatir.
Akan halnya Ni Gatri, ketika mendengar suara kuda meringkik, anak perempuan ini langsung ingat pada kuda lumpingnya.
“Kuda lumpingku, apakah kau yang meringkik. Kau berada di mana? Datanglah ke sini…”
Raja Mataram bangkit berdiri, turun dari atas batu lalu mendekati Ni Gatri.
“Anak perempuan, kau barusan bicara dengan siapa?”
“Gusti Yang Mulia, saya barusan mendengar suara kuda meringkik. Saya mengharap itu adalah ringkikan kuda lumping. Mungkin saya terlalu berharap dan mengada-ada. Kuda- kudaan dari bambu itu mana bisa mengeluarkan suara meringkik. Lagi pula kuda lumping saya tidak tahu berada di mana sekarang. Terakhir sekali masih ditunggangi nenek bernama Sinto Gendeng…”
“Nenek itu lenyap tidak diketahui di mana rimbanya. Pendekar panggilan bernama Wiro Sableng seharusnya sudah menemuiku. Kau beruntung dalam keadaan selamat sampai di bukit ini…”
Baru saja Raja Mataram Rakai Kayuwangi berucap tiba­tiba di kejauhan terdengar suara anjing meraung, panjang berhiba-hiba. Suara raungan ini ditimpali oleh suara anjing lain yang terdengar lebih kecil dan pendek.
Raja mengusap kumis dan janggutnya yang meranggas.
“Tadi ringkikan kuda, sekarang raungan anjing. Apa artinya semua ini…?” Pikir Raja Mataram. Lalu dia berkata pada Ni Gatri. “Kau pergilah ke atas. Tolong jaga anak­anakku, juga perhatikan orang-orang tua yang sakit…”
Ni Gatri membungkuk. Namun sebelum anak perempuan ini sempat beranjak tiba-tiba di kaki bukit ada kilauan cahaya merah. Di lain kejap satu sosok berpakaian dan berikat kepala putih berkelebat muncul berdiri di hadapan Raja Mataram. Ternyata dia adalah sosok Pendekar 212 Wiro Sableng. Sang pendekar membungkuk hormat seraya berkata.
“Yang Mulia Sri Maharaja Mataram, maafkan kalau kedatangan saya yang agak terlambat kurang berkenan di hati Yang Mulia. Izinkan saya memperkenalkan diri. Saya Wiro Sableng dari alam delapan ratus tahun mendatang menghatur hormat dan siap melaksanakan perintah Yang Mulia.”
Wiro berpaling pada Ni Gatri, kedipkan mata dan berkata. “Aku senang kau berada dalam keadaan selamat.”
Sri Maharaja Mataram merasa gembira mengetahui kalau pemuda yang berdiri di depannya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, sang Ksatria Panggilan. Dia tidak menyangka kalau sang pendekar begitu sopan sikap dan tutur katanya. Sebelumnya dia mendengar kalau Ksatria Panggilan walau berilmu tinggi adalah seorang pendekar urakan dan konyol kalau tidak mau dikatakan kurang ajar!
“Pendekar, aku berterima kasih padamu dan bersyukur pada Para Dewa kau telah hadir di Bhumi Mataram. Seharusnya ada yang mengantarmu ke sini…” Lalu dalam hati Raja Mataram berkata. “Kumara Gandamayana baru saja pergi dari sini sehabis mengantar aku dan Ni Gatri. Seharusnya pendekar ini datang diantar Swara Pancala. Di mana beradanya orang kepercayaanku itu. Aku khawatir dia mengalami nasib buruk seperti Ageng Daksa…”
Raden Ageng Daksa adalah orang kepercayaan Raja Mataram yang mati dibunuh dan sampai saat itu belum diketahui siapa pembunuhnya.
“Yang Mulia, tidak sulit mencari Bukit Batu Hangus ini. Nama dan letaknya tidak berubah dari delapan ratus tahun silam. Selain itu saya tidak mau merepotkan orang lain untuk mengantar segala.”
Pendekar 212 memandang berkeliling dan tarik nafas tercekat ketika melihat puluhan orang yang bergelimpangan di sekitarnya. Memandang ke bagian atas bukit dia melihat lebih banyak lagi orang yang sengsara.
“Yang Mulia, jika ada sesuatu yang harus saya lakukan, maka kita harus bertindak cepat.”
Sementara Pendeker 212 bicara dengan Raja Mataram, Ni Gatri terus-menerus memandangi sang pendekar. Dipandangi begitu rupa Wiro kedipkan mata.
“Ni Gatri, kau memperhatikan aku terus dari tadi. Pasti kau kangen dengan kakakmu ini.”
Ni Gatri tersenyum.
“Gatri gembira bertemu Kakak lagi. Hanya saja kuda lumping Gatri lenyap entah ke mana…”
“Tidak usah khawatir, nanti kita cari sama-sama. Pasti bertemu,” kata Wiro pula.
Ni Gatri dekati Wiro dan pegang lengan sang pendekar. Diam-diam anak ini menghirup udara dalam-dalam. Hidungnya diarahkan ke tubuh Wiro.
“Kakak, aku tak mau berpisah lagi denganmu,” kata Ni Gatri yang dijawab oleh Pendekar 212 dengan mengusap kepala anak perempuan itu.
Ni Gatri kembali berdiri di samping Raja Mataram.
“Ksatria Panggilan, apa yang kau katakan benar sekali. Kita harus bertindak cepat. Sebelum kuajak menemui beberapa tokoh yang ada di bukit ini untuk merundingkan hal apa saja yang harus kita laksanakan dan dahulukan, aku ingin bertanya apakah kau membawa sebuah benda titipan yang membuktikan jati dirimu memang sebenarnya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dari negeri delapan ratus tahun mendatang.”
“Tentu saja Yang Mulia. Saya memang membawanya. Bukankah batu itu berasal dari Yang Mulia juga, dititipkan pada makhluk yang memperkenalkan diri sebagai Mayat Aneh Keempat…”
“Bersyukur pada Yang Maha Kuasa, semuanya berjalan lancar.” Ucap Raja Mataram yang gembira mendengar kata-kata Wiro tadi yang menyatakan bahwa si pemuda berambut gondrong itu memang benar adalah Ksatria Panggilan yang diharapkan mampu menyelamatkan kerajaan.
Tiba-tiba di samping Raja Ni Gatri batuk-batuk berulang kali sampai tubuhnya terbungkuk-bungkuk dan wajah tampak merah.
“Ni Gatri kau pergilah ke atas bukit. Temui dan lihat anak-anakku…”
Ni Gatri mengangguk. Sambil batuk-batuk dia melangkah menuju ke bukit sebelah atas. Sewaktu berada di samping Raja Mataram tubuh anak ini mendadak tampak limbung. Sebelum jatuh Raja Mataram cepat memegangnya. Pada saat itulah anak perempuan ini berbisik pada sang raja.
“Gusti Yang Mulia, orang itu bukan kakak saya. Dia bukan Pendekar 212 Wiro Sableng. Lekas menjauh!”
Walau terkejut namun Raja Mataram Rakai Kayuwangi bisa bersikap tenang dan wajahnya pun tidak berubah. Dia mengusap kepala anak perempuan itu dan menyuruh naik ke bagian atas bukit. Namun Ni Gatri tidak mau beranjak dari tempatnya.
Ketika Raja berpaling pada Pendekar 212, sang pendekar saat itu telah mengeluarkan sebuah benda berwana putih yang bukan lain adalah batu pipih berbentuk segi tiga. Pada masing-masing sudut batu terdapat guratan angka berwarna biru: 212. Raja Mataram ingat apa yang tadi dibisikkan Ni Gatri. Dalam hati sang Raja berkata. “Apa ada yang tidak beres? Pemuda ini membawa batu titipanku. Berarti dia memang… Tapi mengapa anak perempuan itu tadi berkata…”
Di hadapan Raja, Pendekar 212 berdiri membungkukkan badan dan mengulurkan batu pipih putih berbentuk segi tiga.
“Yang Mulia, batu titipan saya kembalikan. Harap Yang Mulia sudi memeriksa keasliannya.”
“Aku melihat tidak ada kelainan pada batu itu,” jawab Sri Maharaja Mataram lalu mengulurkan tangan untuk mengambil batu segi tiga yang hendak diserahkan.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara dua ekor anjing menyalak. Lalu ada suara orang berteriak. Suara perempuan.
“Yang Mulia! Jangan sentuh batu putih! Lekas lari menjauh!”
Dalam keterkejutannya Raja Mataram sempat terkesiap tak bergerak. Lalu tanpa melihat ujud dia merasakan ada empat buah kaki secara aneh mendorong tubuhnya hingga dia jatuh terjengkang dan terguling-guling ke lereng bukit sebelah kiri.
Di saat yang sama Ni Gatri merasa ada sesuatu menggigit bagian bawah bajunya lalu tubuhnya ditarik hingga terseret cukup jauh.
***
EMPAT BELAS
HANYA sekejapan saja setelah sosok Raja Mataram jatuh tertelentang di batu bukit dan tubuh Ni Gatri terseret jauh, tiba-tiba batu putih segi tiga di tangan Pendekar 212 Wiro Sableng memancarkan cahaya terang lalu menyemburkan delapan larik sinar merah menyala!
Kedelapan sinar merah menyambar ke arah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi. Namun saat itu sosok Raja Mataram telah lebih dulu terhempas jatuh ke atas batu bukit. Bukan saja sang Raja selamat akibat dorongan empat kaki aneh tetapi juga karena sekaligus serangan delapan larik sinar merah yang ganas mematikan terhalang oleh sosok tubuh aneh berkaki empat tadi. Ketika sosok aneh ini ujudnya menampakkan diri, ternyata dia adalah seekor anjing betina besar mengenakan kalung emas tebal di leher! Sekujur kulit tubuhnya nyaris mengelupas dan mengepulkan asap akibat hantaman delapan sinar merah. Di sela mulut kelihatan ada lelehan darah. Anjing betina ini meraung panjang lalu melompat di samping tubuh Raja Mataram, seolah bertindak untuk melindungi.
Raja Mataram memandang tak berkesip. Dia merasa mengenali anjing betina ini.
“Sri Padmi Kameswari. Apakah ini kau…”
Anjing betina menggereng perlahan, berbalik dengan cepat, menatap galak ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu tampak sangat pucat wajahnya dan tegak terhuyung-huyung.
Di bagian lain Ni Gatri terpekik ketika melihat ada seekor anak anjing menarik-narik bagian bawah pakaiannya. Menyeret dirinya hingga menjauh ke tempat yang aman.
Tiba-tiba, dess… dess!
Sosok Pendekar 212 Wiro Sableng mengepulkan asap merah lalu lenyap. Di tempat sang pendekar berdiri kini kelihatan ujud Sinuhun Muda Ghama Karadipa, berpakaian dan berikat kepala hijau. Tampangnya tampak merah membatu. Kumis, janggut dan berewok tipis hitam yang membungkus wajahnya berjingkrak meranggas. Sepasang mata laksana berubah menjadi bara api.
“Binatang itu membuka rahasia diriku! Jahanam, ilmu apa yang dimilikinya?!” Sinuhun Muda merutuk dalam hati. Lalu dia berteriak dahsyat, “Anjing keparat! Aku tahu siapa kau! Sudah saatnya kau aku tenggelamkan ke dalam neraka alam roh lapis ke tujuh!”
Tubuh Sinuhun Muda bergerak ke udara lalu melesat ke arah anjing betina yang ada di samping Raja Mataram. Tangan kiri kanan di pentang lurus ke depan. Telapak dikembangkan memancar sinar merah. Saat itulah terlihat kalau setiap tangannya telah berubah, kini hanya memiliki empat buah jari, tanpa jari tengah!
Pukulan Delapan Sukma Merah!
Selama ini tidak ada satu manusia atau makhluk alam rohpun yang sanggup menghadapi pukulan dahsyat ini!
Tapi anjing betina yang hendak dibantai sedikitpun tidak bergeming, malah kepala didongak dan mulut keluarkan raungan panjang seolah menyambut senang serangan orang!
Tiba-tiba di langit sebelah timur Bukit Batu Hangus berkiblat cahaya kuning bersemu merah. Cahaya itu kelihatan hanya sebentar lalu lenyap! Lalu terdengar suara mencicit aneh riuh sekali. Kemudian ada suara lain. Suara anak lelaki kecil!
Suara itu mengiang begitu rupa dan hanya terdengar oleh Sinuhun Muda dan Raja Mataram Rakai Kayuwangi.
“Sinuhun! Buka mata besar-besar! Jangan kemarahan membutakan penglihatan. Perhatikan apa yang ada di leher anjing betina itu!”
Sinuhun Merah tersentak kaget. Gerakannya melesat segera dihentikan. Dia terjungkir balik satu kali. Melayang turun ke atas bukit batu. Begitu berdiri sepasang mata langsung memperhatikan leher anjing betina yang barusan hendak diserangnya dengan pukulan maut! Kagetnya sang Sinuhun bukan alang kepalang!
“Kalung emas!” ucap Sinuhun Muda dengan suara bergetar. Tengkuk terasa dingin! “Kalau saja Ksatria Junjungan tidak muncul dan mengingatkan diriku, walau anjing itu bisa aku bunuh tapi saat ini tubuhku mungkin sudah hancur berkeping-keping!”
Seperti diketahui dan dikatakan sendiri oleh Sinuhun Muda pada Ratu Randang saat mereka bercinta di gua di balik air terjun, dia memiliki pantangan yaitu tidak boleh tersentuh emas. Kalau hal itu sampai terjadi maka tubuhnya seperti meledak akan hancur berantakan tak karuan rupa!
“Binatang jahanam! Aku akan kembali! Kau dan raja keparat itu tidak akan bisa lolos dari tanganku!”
Sinuhun Muda hanya bisa keluarkan caci maki dan ancaman. Lalu tidak menunggu lebih lama dia segera melesat pergi meninggalkan Bukit Batu Hangus.
Namun tak jauh dari situ sekonyong-konyong ada suara perempuan berseru.
“Sinuhun Muda! Malam masih panjang. Mengapa pergi terburu-buru. Aku harap kau senang menyaksikan tontonan bagus ini!”
Sinuhun Muda mengenali suara perempuan itu. Dengan cepat dia hentikan lari lalu berkelebat ke balik sebuah gundukan batu. Dari lereng Bukit Batu Hangus sebelah timur tiba-tiba, wutt! Ada orang melemparkan sebuah benda menyerupai sosok manusia ke udara. Lalu, braakkk! Benda itu jatuh tergeletak di atas sebuah batu besar. Ketika Sinuhun Merah memperhatikan, berubahlah wajahnya. Kagetnya bukan alang kepalang. Keterkejutan yang sama juga terjadi atas diri Raja Mataram ketika dia mengenali siapa adanya orang yang terkapar di atas batu dalam keadaan sudah jadi mayat dengan kepala pecah! Sosok laki-laki itu berada dalam keadaan telanjang bulat. Sekujur tubuh penuh puluhan lubang luka dan bergelimang darah!
Semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus termasuk para tokoh istana Mataram terkejut gempar. Raja Mataram sendiri berucap setengah berteriak.
“Swara Pancala. Hyang Jagat Bathara, mengapa satu lagi orang kepercayaanku harus menemui ajal!’’
TAMAT
Mampukah Pendekar 212 Wiro Sableng membantu Raja Mataram menyelamatkan kerajaan dan rakyatnya sementara musuh yang dihadapi begitu banyak. Di antaranya dua musuh bebuyutan: Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan dan Kunti Ambiri alias Dewi Ular. Ditambah lagi dengan sang guru Eyang Sinto Gendeng yang telah dicuci otaknya dan diarahkan untuk membunuh sang murid! Sementara itu Keris Kanjeng Sepuh Pelangi belum diketahui di mana keberadaannya. Siapa pula gerangan Ksatria Junjungan yang telah memperingati dan menyelamatkan Sinuhun Muda Ghama Karadipa?
Ikuti serial berikutnya berjudul:
LihatTutupKomentar