Si Tangan Sakti Jilid 08


Gadis itu berdiri termenung di lereng itu. Dia memandang lurus ke depan, ke arah bukit menghitam yang disebut orang Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan). Memang nampak menyeramkan dari lereng itu, seolah-olah lembah itu memang sepantasnya dihuni oleh setan dan iblis.

Para penduduk dusun di sekitar kaki Bukit Setan itu menganggap Ban-kwi-kok sebagai lembah yang keramat sehingga tiada seorang pun berani mendaki ke sana. Akan tetapi, menurut keterangan para penghuni dusun, baru sebulan yang silam lembah itu diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.

Kabar itu mengatakan bahwa terjadi pertempuran besar, kemudian pasukan pemerintah turun dan membawa banyak tawanan, kemudian lembah itu nampak terbakar. Biar pun desas-desus mengatakan bahwa gerombolan yang bersembunyi di lembah itu sudah terbasmi habis, dan lembah itu telah kosong, perkampungan gerombolan pemberontak telah dibakar, namun masih saja tidak ada seorang pun yang berani naik ke sana.

Gadis itu masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya. Cantik manis dan nampak gagah dengan pakaiannya yang sederhana namun serasi dengan bentuk tubuhnya yang padat dan ramping, dan pakaian itu bersih.

Wajahnya yang manis, dengan sepasang matanya yang indah dan bersinar tajam, juga sederhana, tanpa dipoles bedak dan gincu. Akan tetapi, kulit mukanya memang sudah halus dan putih, dan kedua pipinya kemerahan karena sehat, demikian pula sepasang bibirnya merah tanpa gincu.

Biar pun dia muda dan cantik manis, namun di sepanjang perjalanan tidak pernah atau jarang sekali ada pria yang berani mengganggunya. Hal ini karena penampilannya yang pendiam dan gagah, dengan sebatang pedang di punggungnya sehingga mudah diduga bahwa ia bukan wanita sembarangan yang boleh diganggu begitu saja, tetapi seorang wanita kang-ouw, seorang pendekar wanita.

Dan memang dugaan itu benar. Gadis muda ini adalah Cu Kim Giok, puteri tunggal dari pendekar Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian.

Cu Kun Tek adalah pendekar yang merupakan keturunan para pendekar Cu, majikan Lembah Naga Siluman. Cu Kun Tek terkenal mewarisi ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman). Juga ilmu tangan kosongnya Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) dan Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) hebat sekali.

Ada pun ibu gadis itu, yang bernama Pouw Li Sian, bahkan lebih lihai bila dibandingkan suaminya. Pouw Li Sian ini adalah murid mendiang Bu Beng Lokai yang sakti.

Ketika Cu Kim Giok diajak oleh ayah ibunya menghadiri ulang tahun dan pertemuan tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong, gadis ini merasa gembira bukan main. Dan bangkitlah keinginannya untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan dengan jalan merantau seperti yang dilakukan para pendekar.

Ayah ibunya tidak merasa keberatan. Mereka sendiri adalah pendekar-pendekar yang dahulu di waktu mudanya sudah biasa melakukan penjalanan merantau memperluas pengalaman. Pula, puteri mereka sudah mewarisi ilmu kepandaian mereka dan tingkat kepandaian gadis itu hanya sedikit selisihnya dengan tingkat mereka sehingga Kim Giok telah memiliki bekal yang cukup untuk melindungi dan menjaga diri sendiri.

Tentu saja Kim Giok juga sangat tertarik dengan peristiwa yang terjadi di rumah Suma Ceng Liong, yaitu munculnya seorang gadis cantik lihai yang mengaku sebagai seorang puteri tokoh Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar. Oleh karena itulah, pada siang hari itu, ia tiba di Kwi-san dan sekarang termangu berdiri di lereng itu setelah ia mendengar keterangan penduduk tentang penyerbuan pasukan pemerintah yang sudah membasmi gerombolan Pao-beng-pai di Lembah Selaksa Setan.

Ahh, pikirnya, sayang aku datang terlambat. Andai kata tidak terlambat, tentu akan bisa menyaksikan terbasminya gerombolan itu, dan kalau perlu ia akan membantu pasukan.

Bukan semata karena ia ingin membantu pemerintah. Ayah ibunya berpesan supaya ia tidak melibatkan diri dengan pemerintah Mancu. Akan tetapi, ia dapat mempergunakan kesempatan selagi gerombolan itu ditumpas, untuk bisa membalas sikap sombong dara gadis Pao-beng-pai itu terhadap tiga keluarga besar. Ia lalu menduga-duga, bagaimana dengan nasib gadis cantik itu? Apakah ikut terbunuh? Atau tertawan?

Tidak ada gunanya lagi mendaki ke lembah yang sudah hancur itu. Tentu tidak ada lagi orang di sana. Cu Kim Giok membalikkan tubuhnya hendak pergi meninggalkan lereng itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, tiba-tiba pendengarannya yang tajam terlatih mendengar gerakan orang.

Ia berhenti melangkah dan memandang ke sekeliling penuh kewaspadaan dan tiba-tiba bermunculan lima orang laki-laki yang nampak bengis. Mereka itu berloncatan dari balik semak belukar. Melihat bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang cantik manis, mereka cengar-cengir dan menyeringai dengan sikap kurang ajar, dengan mata yang liar dan bengis.

Kim Giok bersikap tenang, akan tetapi matanya yang indah tajam itu menyapu mereka. Lima orang itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Tubuh mereka rata-rata kekar dan kuat. Pakaian mereka butut dan kotor, tentu sudah lama tidak pernah berganti pakaian.

Melihat pakaian kotor itu seperti seragam abu-abu, teringatlah ia akan beberapa orang lelaki yang ikut datang mengawal gadis Pao-beng-pai yang berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong tempo hari. Agaknya mereka ini sisa anggota Pao-beng-pai, pikir gadis yang cukup cerdik ini. Dan memang dugaannya benar.

Lima orang itu adalah mereka yang berhasil lolos dari penyerbuan pasukan pemerintah. Karena takut muncul di tempat umum, lima orang ini bersembunyi saja di Kwi-san, tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai.

Mereka mengharapkan dapat bertemu dengan seorang di antara para pimpinan mereka karena mereka tahu bahwa ketua mereka tidak tewas, juga tidak ikut tertawan. Hanya nyonya ketua mereka yang tewas. Bahkan nona puteri ketua juga tidak ikut tertawan.

Ketika dari tempat persembunyian mereka nampak ada gadis yang datang ke tempat itu, mereka tadinya mengira bahwa gadis itu tentulah Siangkoan Eng sehingga mereka merasa girang sekali. Akan tetapi setelah mereka muncul, mereka melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan puteri ketua mereka, melainkan seorang gadis lain yang asing sama sekali, akan tetapi gadis itu cantik manis dan menarik.

Seorang di antara mereka, yang berhidung besar dan bermata lebar, agaknya menjadi pimpinan mereka, melangkah maju sambil tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu nampak karena bajunya kehilangan kancing dan terbuka. Perut itu terguncang-guncang naik turun ketika dia tertawa.

"Ha-ha-ha-ha-ha, kawan-kawan, alangkah beruntungnya kita hari ini! Kita kedatangan seorang bidadari yang cantik jelita, yang agaknya menaruh iba kepada kita dan datang untuk menghibur kita. Ha-ha-ha-ha-ha!"

Teman-temannya ikut pula tertawa. Selama sebulan lebih mereka dicekam ketakutan, kekurangan dan kedukaan. Dan hari ini, tiba-tiba saja, tanpa disangka-sangka, mereka berhadapan dengan seorang gadis cantik! Tentu saja mereka bergembira.

Anak buah Pao-beng-pai terdiri dari bermacam-macam orang, akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berjiwa sesat. Kalau membutuhkan, mereka tidak segan untuk melakukan perampokan dan berbagai kejahatan lainnya. Dan kini, melihat seorang gadis seorang diri di tempat sunyi itu, tentu saja timbul gairah mereka, seperti lima ekor harimau kelaparan melihat munculnya seekor domba seorang diri.

"He-he-heh-heh, Nona manis, siapakah engkau, siapa namamu dan mengapa engkau berada di sini seorang diri? Apakah engkau sengaja datang hendak menghibur kami berlima? Ha-ha-ha!" Si hidung besar kembali berkata dan kini mereka berlima, sambil tersenyum menyeringai, sudah mengambil posisi mengepung gadis itu agar tidak dapat melarikan diri.

Akan tetapi, sebetulnya lima orang itu harus tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang bukan gadis sembarangan saja. Hal ini sebetulnya dapat dilihat dari sikap Kim Giok. Biar pun sudah dikepung lima orang itu, ia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada sesuatu yang mengancam dirinya, tidak ada sesuatu yang perlu ditakuti.

"Aneh... aneh sekali..." Kim Giok tidak menjawab pertanyaan, bahkan bergumam sambil menggelengkan kepalanya.
"Apanya yang aneh, Nona manis? Kami bukan orang-orang aneh, kami adalah laki-laki sejati dan engkau sebentar lagi akan membuktikannya sendiri, heh-heh!" kata si hidung besar sambil melangkah maju mendekat.
"Aneh, kenapa masih ada sisa anak buah Pao-beng-pai? Kenapa kalian tidak mampus atau tertawan?" kata Kim Giok, masih tenang saja.

Mendengar ucapan gadis itu, lima orang bekas anak buah Pao-beng-pai nampak sangat terkejut. Mereka saling pandang dan kini mengepung lebih ketat dengan sikap bengis dan mengancam.

"Nona, siapakah engkau sebenarnya dan mau apa engkau datang ke tempat ini?" Suara si hidung besar kini galak dan mengandung ancaman, tidak lagi menggoda seperti tadi.
"Namaku tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian. Juga aku tidak mempunyai sangkut paut dengan pembasmian Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah. Aku hanya heran mengapa kalian tidak ikut mampus atau tertawan. Nah, karena di antara kita tidak ada urusan, minggirlah dan biarkan aku lewat!" kata Kim Giok.

Dia memang tidak ingin mencari keributan dengan bekas anak buah Pao-beng-pai yang sudah hancur itu. Tapi kalau ia bertemu dengan gadis tokoh Pao-beng-pai yang pernah mengacau di rumah Suma Ceng Liong, tentu akan lain lagi sikapnya.

Akan tetapi, ketika ia mulai melangkah, lima orang itu cepat menghadangnya dan tetap mengepungnya. Bahkan kini sikap mereka kembali seperti tadi, dengan pandang mata yang tidak sopan.

"Hemmm, engkau tak boleh pergi sebelum menghibur kami, Nona manis!" Dan si hidung besar cepat menggerakkan kedua lengannya yang panjang, jari-jari tangan yang besar panjang itu hendak merangkul.
"Wuuut... plakkk! Aughhh...!"

Tubuh tinggi besar si hidung besar itu terjengkang. Ternyata ketika kedua tangannya sudah hampir menyentuh kedua pundak gadis itu untuk merangkul, gadis itu dengan gerakan cepat sekali menyelinap ke samping sehingga tubrukan itu luput dan sekali Kim Giok menggerakkan tangan kiri menampar, leher di bawah telinga si hidung besar kena ditampar dan orang itu pun terjengkang dan terbanting, melotot dan meraba lehernya dengan mata terbelalak dan mulut mengaduh-aduh.

Empat orang temannya menjadi kaget dan marah. Mereka berempat cepat menyerbu, seolah-olah hendak berlomba untuk lebih dulu dapat meringkus gadis manis itu. Namun, sekali ini mereka membentur karang. Gerakan Kim Giok cepat bukan main, tangan dan kakinya menyambar-nyambar dan dalam segebrakan saja, empat orang itu pun sudah terpelanting dan roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya!

Kelima orang itu mengaduh-ngaduh dan menyumpah-nyumpah. Dasar golongan kasar yang tidak tahu diri dan yang selalu merasa diri mereka paling pandai, lima orang itu tidak melihat kenyataan bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan gadis manis yang mereka sangka domba itu. Mereka tidak menyadari bahwa yang disangka domba itu sesungguhnya seekor singa betina yang amat tangguh!

Mereka merasa penasaran. Sekarang nafsu birahi mereka terbang lenyap, terganti oleh nafsu amarah yang hanya bisa diredakan dengan darah! Mereka cepat mencabut golok mereka dan berloncatan berdiri.

Kim Giok sudah dapat menilai sampai di mana kemampuan lima orang lawannya, maka dia pun tidak mau mencabut pedangnya, hanya berdiri tegak sambil tersenyum manis. Kelima orang itu sudah menggerakkan golok mereka. Bagaikan binatang-binatang yang haus darah, mereka sudah menyerang Kim Giok, serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh!

Akan tetapi, pandangan mata mereka menjadi kabur ketika gadis itu bergerak cepat dan lenyap bentuk tubuhnya, hanya nampak bayangannya berkelebat menyambar-nyambar bagaikan seekor capung. Itulah Pat-hong Sin-kun yang membuat tubuh gadis itu seolah-olah bergerak dari delapan penjuru angin!

Dan ketika kelima orang itu membacok-bacok secara membabi-buta ke arah bayangan tubuh gadis itu tanpa hasil, Kim Giok kembali membagi tamparan dan tendangan. Kini ia menambah tenaganya hingga lima orang lawan yang terkena tamparan atau tendangan, roboh untuk tidak dapat bangkit dengan cepat, hanya mengaduh-aduh, ada yang patah tulang, ada yang nanar dan ada pula yang mendadak mulas perutnya!

Kim Giok berdiri sambil bertolak pinggang, memandang kelima orang lawan yang masih mengeluh kesakitan itu.

"Hemmm, pantas saja Pao-beng-pai terbasmi oleh pasukan pemerintah. Kiranya kalian ini hanya mengaku sebagai pejuang, akan tetapi sesungguhnya hanyalah segerombolan penjahat kecil yang tidak tahu malu. Perampok dan pengganggu wanita. Orang-orang macam kalian ini berani mengaku pejuang?"
"Nona, ucapanmu itu lancang sekali!" tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan dalam, juga amat berwibawa karena Kim Giok merasa betapa isi dadanya tergetar oleh suara itu.

Ia terkejut dan cepat menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara dan semakin kagetlah ia ketika melihat bayangan mendaki lereng itu dari arah kanan. Kalau orang itu yang tadi mengeluarkan suara, alangkah kuatnya khikang dari orang itu. Jelas bahwa dia mampu mengirim suara dari jauh dengan demikian kuatnya, dan hal ini menunjukkan bahwa dia akan berhadapan dengan seorang yang amat lihai.

Gerakan orang itu pun cepat bukan main. Sebentar saja dia telah berada di situ, berdiri tegak berhadapan dengan Kim Giok. Gadis ini memang penuh perhatian.

Seorang pria jantan berusia lima puluh lima tahun yang sangat gagah. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat bagaikan batu karang. Mukanya persegi merah dan jenggotnya terpelihara rapi, di punggungnya nampak gagang pedang dengan ronce merah.

"Pangcu...!" lima orang itu segera memaksa diri untuk memberi hormat dengan berlutut kepada orang yang baru tiba ini.

Tahulah Kim Giok bahwa pria ini adalah ketua Pao-beng-pai! Tentu orang ini ayah dari gadis lihai yang dulu pernah mengacau pesta pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong! Biar pun maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang amat lihai, namun puteri dari sepasang pendekar Lembah Naga Siluman ini sedikit pun tak merasa gentar. Hanya ia bersikap waspada.

Pria itu menengok ke arah lima orang anggota Pao-beng-pai itu dan mendengus marah, lalu dia menghadapi Kim Giok lagi. Pandang matanya yang sangat tajam mencorong itu mengamati Kim Giok penuh selidik, dari kepala sampai ke kakinya.

Seperti sudah diceriterakan di bagian depan, pada waktu Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah, Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini, telah dikepung oleh belasan orang jagoan istana yang datang bersama muridnya, Tio Sui Lan, murid utama yang kemudian dia paksa menjadi isterinya setelah dia bercekcok dengan isterinya, Lauw Cu Si.

Dia berhasil membunuh Sui Lan dan melukai Cu Si, akan tetapi ketika dia menghadapi pengeroyokan belasan orang jagoan istana yang membuatnya amat terdesak, kemudian mendengar keributan di luar dengan adanya penyerbuan pasukan pemerintah, dia cepat meninggalkan para pengeroyoknya. Setelah tiba di luar, dia melihat betapa tempat itu diserbu oleh pasukan yang besar sekali jumlahnya. Tahulah ia bahwa semua usahanya telah gagal, gerakannya hancur.

Karena maklum bahwa melawan pasukan itu pun tidak akan ada gunanya dan akhirnya bahkan hanya akan membahayakan diri sendiri, dia pun meninggalkan Ban-kwi-kok! Dia melarikan diri bukan karena takut, melainkan karena maklum betapa akan sia-sianya melakukan perlawanan terus.
Image result for SI TANGAN SAKTI
Sebagai seorang yang amat cerdik dan licik, dia tidak mau berlaku nekat yang akhirnya mengorbankan dirinya sendiri. Tidak, demi cita-citanya, biar pun sekali ini kelompoknya dihancurkan, apa bila dia masih hidup, dia dapat membentuk dan membangun kembali Pao-beng-pai, berjuang terus sampai dapat menjatuhkan kerajaan Ceng, serta mengusir orang-orang Mancu dari tanah air!

Karena dia ingin mengetahui keadaan bekas markas Pao-beng-pai yang telah dibasmi dan dibakar, maka siang hari itu dia mendaki Kwi-san dan kebetulan dia melihat dan mendengar apa yang terjadi di lereng itu biar pun dia masih jauh.

"Nona, siapakah engkau yang begitu lancang memaki dan menghina Pao-beng-pai?" bentaknya dengan alis berkerut dan wajah bengis.

Kim Giok adalah seorang gadis yang sejak kecil telah dilatih ayah ibunya sendiri. Bukan hanya ilmu silat tinggi, akan tetapi juga kebudayaan sehingga dia tahu sopan santun. Menghadapi seorang yang kedudukannya tinggi seperti ketua Pao-beng-pai, ia memang ada menaruh hormat. Akan tetapi mengingat betapa puteri orang ini pernah menghina dan mengacau dalam pertemuan tiga keluarga besar, ia merasa tidak senang dan ia pun tidak memberi hormat.

"Kalau aku tidak salah duga, tentulah engkau ini ketua Pao-beng-pai yang telah dibasmi pasukan pemerintah!" katanya, dan dia pun menentang pandang mata pria itu dengan penuh keberanian.
"Benar, akulah Siangkoan Kok. Sekarang katakan, siapa engkau dan kenapa engkau menghina Pao-beng-pai!"
"Maaf, Pangcu. Aku sama sekali tak berniat menghina Pao-beng-pai. Bahkan aku akan menghormati Pao-beng-pai jika memang perkumpulan itu sungguh-sungguh merupakan perkumpulan para orang gagah yang berjuang menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya saja. Aku mendengar tentang penyerbuan pasukan pemerintah terhadap Pao-beng-pai dan aku ingin melihat keadaan di sini. Aku, Cu Kim Giok, ingin meluaskan pengalaman dan kesempatan ini tidak kulewatkan begitu saja. Akan tetapi, apa yang kudapatkan? Lima orang itu muncul dan mengaku sebagai anggota Pao-beng-pai. Mereka bersikap sebagai penjahat-penjahat kecil yang hendak merampok dan mengganggu wanita. Kalau memang para anggota Pao-beng-pai seperti itu, lalu apa yang harus kukatakan terhadap Pao-beng-pai?"

Siangkoan Kok melirik ke arah anak buahnya yang kini telah bangkit berdiri bergerombol sambil memandang penuh harapan, ingin melihat ketua mereka menundukkan gadis yang sudah menghajar mereka itu. Lalu dia berkata, "Tidak sembarang orang boleh menilai kami. Nona, aku ingin melihat lebih dulu sampai di mana kepandaianmu, baru aku akan mengambil keputusan, apa yang harus kulakukan terhadap dirimu."

"Pangcu, kalau engkau membela mereka itu, aku berani mengatakan bahwa memang Pao-beng-pai dipimpin oleh orang yang tidak baik!" kata Kim Giok berani.
"Kita bicara lagi setelah kita mengadu kepandaian. Nah, sambutlah seranganku ini!"

Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala gadis itu. Angin yang dahsyat menyambar, disusul angin yang menyambar dari samping karena tangannya yang kedua sudah mengikuti serangan pertama itu dengan mencengkeram ke arah perut.

Kim Giok memang kurang pengalaman bertanding, namun dia sudah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil, maka ia segera mengenal serangan yang berbahaya. Cepat dia pun mengerahkan ginkang-nya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang untuk mengelak sehingga serangan kedua tangan Siangkoan Kok yang beruntun itu luput.

Diam-diam Siangkoan Kok maklum bahwa gadis ini meski pun masih muda, memang cukup berisi, agaknya tak kalah jika dibandingkan dengan mendiang Tio Sui Lan, murid pertamanya. Ia kembali mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berpusing.

Kembali Kim Giok menggunakan ginkang dan mengelak dengan gerakan cepat sekali, membuat tubuhnya hanya merupakan bayangan yang berkelebatan mengelak di antara hujan serangan lawan. Oleh karena maklum bahwa lawannya benar-benar tangguh, Kim Giok cepat mencabut pedangnya. Nampaklah sinar berkilat dan terdengar bunyi desing yang aneh, seperti gerengan binatang buas, bagaikan auman harimau. Itulah Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman), pedang milik ayahnya yang diberikan padanya agar gadis itu dapat melindungi diri dengan baik.

Melihat sinar pedang dan dengungnya yang menyeramkan itu, diam-diam Siangkoan Kok terkejut dan kagum bukan main.

"Ahhh, po-kiam (pedang pusaka) yang hebat!" teriaknya.

Begitu Kim Giok memainkan pedangnya, dia pun semakin kaget dan cepat mencabut pedangnya sendiri. Dia kaget karena dia maklum bahwa walau pun dia memiliki tingkat kepandaian tinggi, namun terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi pedang seperti itu dengan tangan kosong saja. Apa lagi gerakan ilmu pedang gadis itu pun hebat dan dahsyat, bagaikan seekor naga yang mengamuk.

Segera terjadi pertandingan pedang yang amat seru.

Setelah lewat belasan jurus, mendadak Siangkoan Kok meloncat jauh ke belakang dan berseru, "Tahan dulu!"

Kim Giok berdiri tegak, pedang juga tegak lurus di depan dadanya.

"Nona, bukankah itu Koai-liong Kiamsut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang barusan kau mainkan? Dan tentu pedang itu Koai-liong Pokiam! Apa hubunganmu dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman?"

Kim Giok tersenyum. "Namaku Cu Kim Giok, tentu engkau bisa menduganya, Pangcu."

"Ahh, benar! Engkau tentu keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman! Sudah lama aku mendengar tentang keluarga Cu yang gagah perkasa. Ah, sungguh beruntung hari ini dapat menguji kepandaian seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman. Nah, kini sambutlah seranganku ini dan keluarkan seluruh ilmu pedang Naga Siluman itu, Nona!"

Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menerjang ke depan dengan dahsyat karena dia tahu betapa lihainya pedang dan ilmu pedang gadis muda itu. Dia memang sejak dahulu ingin sekali menguasai semua ilmu silat tinggi di seluruh dunia, maka dia sejak dahulu memancing para tokoh persilatan untuk mengadu ilmu dan dengan cara itu, dia dapat mempelajari ilmu mereka.

Kini, berhadapan dengan seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu untuk memaksa Kim Giok memainkan ilmu pedang itu. Justru kelihaian Siangkoan Kok terletak kepada kekuatan ingatannya sehingga sekali melihat, dia sudah hampir dapat mengingat dan menguasai gerakan itu. Karena pengetahuannya yang luas tentang ilmu-ilmu dari para tokoh besar, maka dia pun tentu saja menjadi lihai bukan main.

Karena didesak lawan yang lihai, tentu saja terpaksa Kim Giok memainkan Kaoi-liong Kiam-sut sepenuhnya, bahkan ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat memang ilmu pedang gadis ini. Pedangnya langsung berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan mengeluarkan suara mengaung, seolah-olah ada naga yang melayang-layang dan mengamuk.

Melihat hal ini, lima orang anak buah Pao-beng-pai itu diam-diam memaki diri mereka sendiri. Mereka seperti buta, tak melihat bahwa gadis itu adalah seorang yang demikian lihainya. Bergidik mereka membayangkan betapa tadi mereka berani hendak kurang ajar kepada gadis itu. Apa bila tadi gadis itu mencabut pedangnya, mungkin sekarang mereka telah menjadi setan-setan tanpa kepala!

Betapa pun hebatnya ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut, namun ketangguhan seseorang bukan hanya bergantung sepenuhnya pada ilmu silatnya, melainkan lebih banyak pada keadaan orang itu sendiri. Jika dibandingkan Siangkoan Kok, tentu saja Kim Giok kalah segala-galanya, walau pun mungkin ilmu pedangnya tidak kalah bila dibandingkan ilmu pedang lawan. Ia kalah tenaga, kalah pengalaman bertanding, juga jauh kalah matang dalam gerakan ilmu pedang.

Setelah lewat seratus jurus, karena ditekan terus sehingga ia harus berulang-ulang kali memainkan ilmu pedangnya, dia sudah mandi keringat dan napasnya mulai tersengal. Tahulah gadis ini bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan roboh oleh pedang lawan.

Namun, ia sudah dilatih ayah ibunya untuk tidak mengenal takut dan pantang menyerah kepada orang yang jahat. Lebih baik mati dengan pedang di tangan dari pada menyerah kepada pada seorang yang jahat dan yang tentu akan membuat ia lebih menderita dari pada kalau ia roboh dan tewas. Baru lima orang anak buahnya saja sudah seperti itu, apa lagi ketuanya! Maka, ia pun terus menggerakkan pedangnya dengan nekat, walau pun tenaganya sudah banyak berkurang.

Makin lama, semakin repotlah Kim Giok, hanya mampu mengelak dan menangkis saja, itu pun setiap kali menangkis, pedangnya terpental dan lengannya tergetar hebat. Pada saat itu terdengar suara tertawa yang aneh, tawa mengejek yang mengandung getaran yang membuat dua orang yang sedang bertanding itu terpaksa menghentikan gerakan mereka karena mereka merasa betapa jantung mereka terguncang.

Menggunakan kesempatan terlepas dari desakan karena lawan menghentikan gerakan pedangnya, Kim Giok segera melompat ke belakang dan menengok ke arah orang yang tertawa itu. Juga Siangkoan Kok menoleh.

Yang tertawa itu adalah seorang laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun, gagah dan tampan sekali. Alisnya hitam tebal dan panjang, matanya mencorong. Hidungnya mancung dan mulutnya yang tersenyum itu manis. Dagunya juga kokoh dan mukanya bersih. Tubuhnya tegap berisi otot yang membuat dia nampak gagah. Pakaian yang dikenakan pemuda itu tidak mewah, namun rapi dan bersih.

Pemuda itu sudah menghentikan tawanya dan kebetulan dia memandang kepada Kim Giok. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, kemudian wajah Kim Giok berubah kemerahan dan ia pun menundukkan mukanya. Hatinya berdebar aneh dan harus diakui bahwa ia merasa amat tertarik kepada pemuda yang tampan dan gagah itu.

Akan tetapi, sebaliknya Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, matanya melotot marah. Tentu saja dia memandang rendah kepada pemuda yang tidak dikenalnya itu, yang berarti tidak terkenal pula.

"Heh siapa engkau berani mentertawakan aku dan mencampuri urusanku?"

Pemuda tampan itu bukan lain adalah Ouw Seng Bu yang belum lama ini telah berhasil menguasai Thian-li-pang dan menjadi ketuanya. Dia mendengar mengenai kehancuran Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah. Dia ingin sekali melihat bagaimana keadaan Pao-beng-pai sekarang karena dia ingin memperkuat Thian-li-pang dengan bersekutu dan bekerja sama dengan para perkumpulan lainnya yang besar seperti Pek-lian-kauw, Pat-kwa-pai, dan Pao-beng-pai.

Biar pun dia sendiri belum pernah melihat Siangkoan Kok, namun dia sudah menyelidiki dan mendengar bagaimana keadaan ketua Pao-beng-pai itu. Maka, ketika melihat pria setengah tua yang gagah perkasa itu bertanding melawan seorang gadis yang juga lihai, akan tetapi gadis itu terdesak, Ouw Seng sengaja mengeluarkan suara tawa yang dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga kedua orang yang sedang bertanding itu terkejut dan menghentikan pertandingan mereka.

Mendengar teguran dari Siangkoan Kok, Seng Bu yang datang untuk mencari kawan, tersenyum. "Bukankah kini aku tengah berhadapan dengan Siangkoan Kok, pangcu dari Pao-beng-pai?" tanyanya, kini sikapnya sopan dan ramah.

Siangkoan Kok mengamati pemuda itu. Dia seorang yang berpengalaman. Dari suara tawa pemuda itu tadi saja, dia pun dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang lemah. Akan tetapi karena dia tidak mengenalnya, maka dia memandang rendah.

"Engkau sudah tahu namaku, mengapa masih berani lancang mencampuri urusanku?!" bentaknya. "Siapa engkau?!"
"Namaku Ouw Seng Bu dan seperti juga engkau, aku seorang pengcu (ketua) pula. Aku adalah pangcu dari Thian-li-pang."
"Bohong!" Siangkoan Kok membentak marah.

Sementara itu, kelima orang bekas anak buahnya kini sudah memegang golok mereka masing-masing dan siap untuk membantu ketua mereka kalau diperintahkan. Ada pun Kim Giok, walau pun tidak mengenal siapa pemuda itu, akan tetapi di dalam hatinya ia sudah condong untuk berpihak kepadanya sehingga kalau sampai pemuda itu terancam bahaya, tanpa diminta pun ia pasti akan membantunya.

"Ha-ha-ha, orang muda. Jangan engkau mencoba untuk membohongi aku. Kau kira aku tidak tahu siapa ketua Thian-li-pang? Ketuanya adalah Lauw Kang Hui, dan pemimpin besarnya adalah Sin-ciang Taihiap Yo Han. Bukankah begitu? Dan engkau ini, orang bernama Ouw Seng Bu tidak pernah dikenal sebagai ketua Thian-li-pang!"

Seng Bu tersenyum dan menggeleng kepala. "Itu menandakan bahwa Pao-beng-pai yang telah hancur tak lagi pandai meneliti keadaan di dunia kang-ouw. Engkau agaknya tidak tahu, Pangcu, bahwa Lauw Pangcu dari Thian-li-pang telah tewas dan akulah yang menjadi penggantinya. Ada pun Yo Han, ahh, dia bukan orang Thian-li-pang dan dia tak mempunyai urusan apa pun dengan Thian-li-pang."

Siangkoan Kok masih sangsi, akan tetapi karena dia memang tidak tahu perkembangan di dunia kang-ouw, maka dia tidak membantah lagi.

"Walau engkau benar ketua Thian-li-pang, itu pun tidak memberi hak kepadamu untuk mencampuri urusanku! Nah, mau apa engkau datang ke sini?"

"Pangcu, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah. Begitulah jadinya kalau kita tidak mau bekerja sama antara perkumpulan pejuang. Aku datang hendak mengulurkan tangan kepadamu, mengajakmu bekerja sama. Thian-li-pang sejak dahulu terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gigih. Beberapa kali kami sudah menyusup ke istana dan biar pun belum berhasil, namun nama kami cukup ditakuti. Akan tetapi setelah tiba di sini, markas Pao-beng-pai sudah hancur, dan aku melihat Pangcu bahkan sedang bertanding melawan seorang gadis muda. Siapakah Nona ini dan mengapa pula bertanding melawan Pangcu?"

"Huh, dia berani berkeliaran di sini dan memukul anak buahku!" kata Siangkoan Kok dengan singkat karena dia tidak menghendaki orang luar mencampuri urusannya.

Akan tetapi Seng Bu yang amat tertarik kepada gadis cantik manis yang juga lihai ilmu pedangnya itu, kini sudah menghadapi Kim Giok lalu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat.

"Nona telah mengenal namaku. Aku Ouw Seng Bu, ketua Thian-li-pang dan kalau boleh aku bertanya, siapakah Nona dan mengapa engkau bertanding melawan Pangcu dari Pao-beng-pai yang amat lihai?"

Kim Giok cepat membalas penghormatan itu dengan senyum ramah, lalu ia menjawab, "Namaku Cu Kim Giok dan aku sedang merantau untuk meluaskan pengalaman. Ketika tiba di sini aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dibasmi pasukan pemerintah, maka aku sengaja hendak melihat bekas-bekasnya di sini. Tiba-tiba muncul lima orang itu yang hendak merampok dan bersikap kurang ajar kepadaku. Aku menghajar mereka. Lalu muncul Pangcu dari Pao-beng-pai ini yang memaksaku untuk bertanding."

Mendengar ini, Seng Bu kembali menghadapi Siangkoan Kok, "Aih, Pangcu semestinya malu terhadap Cu-siocia (nona Cu) ini. Anak buahmu yang bersalah, dan sepantasnya engkau yang minta maaf kepadanya dan menghukum anak-anak buahmu, bukan malah menantang Cu-siocia untuk bertanding." katanya mencela.

Wajah ketua Pao-beng-pai menjadi merah sekali dan matanya mencorong tajam. "Ouw Seng Bu, engkau ini siapa berani berkata seperti itu kepadaku? Kalau engkau memang mengulurkan tangan ingin bekerja sama dengan aku, setidaknya aku tentu harus tahu orang macam apa engkau ini dan apakah engkau pantas duduk sejajar dengan aku!"

"Hemmm, sudah kudengar bahwa Siangkoan Kok adalah orang yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah orang lain. Baiklah, akan tetapi bagaimana kalau aku mampu menandingi ilmu silatmu?"
"Ouw Seng Bu, jika memang engkau dapat mengalahkan aku, barulah aku mau menjadi sekutumu, bahkan aku akan membantu Thian-li-pang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mampu menandingi aku, engkau harus cepat berlutut minta ampun kepadaku dan tidak mencampuri urusanku lagi. Kalau engkau bukan ketua Thian-li-pang, tentu engkau akan kubunuh."
"Bagus! Nah, aku sudah siap, Siangkoan Pangcu. Tetapi karena aku ingin bersahabat denganmu, bukan bermusuhan, maka sebaiknya kita bertanding dengan tangan kosong saja."
"Baik, sambutlah seranganku ini, orang she Ouw!"

Setelah berkata begitu, Siangkoan Kok yang sudah menyimpan pedangnya, menerjang dengan pukulannya yang mengandung tenaga sinkang yang dahsyat. Karena dia ingin cepat-cepat mengalahkan lawannya, maka dia mengerahkan tenaganya yang disebut Kang-kin Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi) dan begitu kedua tangan kakinya bergerak menggunakan ilmu ini, terdengar suara berkerotokan pada buku-buku tulangnya!

Walau pun masih menderita nyeri, lima orang anak buah Pao-beng-pai kini memandang dengan wajah gembira. Mereka merasa yakin sekali bahwa ketua mereka yang sakti akan dapat mengalahkan pemuda itu pula.

Akan tetapi, Kim Giok memandang dengan sinar mata penuh khawatir. Pemuda itu jelas muncul dan membantunya, bahkan dia berani menegur bekas ketua Pao-beng-pai untuk membelanya. Dan ia tahu betapa lihainya Siangkoan Kok, apa lagi kini mengeluarkan ilmu yang demikian mengerikan.

Dia tidak dapat maju membantu, karena satu di antara pesan yang ditekankan ayah dan bundanya adalah supaya dia menjadi seorang yang gagah dan pantang untuk bertindak curang. Dan maju melakukan pengeroyokan merupakan suatu perbuatan yang curang dan ia tak mau melakukannya. Maka ia hanya menjadi penonton yang risau, dan hanya siap untuk melindungi kalau pemuda she Ouw itu terancam maut.

Menghadapi serangan yang sangat dahsyat dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu juga maklum bahwa kalau dia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Lauw Kang Hui saja, dia tak akan menang. Bahkan mendiang gurunya itu, Lauw Kang Hui, masih kalah setingkat dibandingkan bekas ketua Pao-beng-pai ini.

Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa gentar. Dia sudah cepat mengeluarkan ilmu rahasianya, yaitu Bu-kek Hoat-keng! Begitu kedua tangannya bergerak, terdengar bunyi aneh bersiutan dan angin pukulan dari dua tangannya mendatangkan angin berpusing. Dengan mudah saja dia menangkis lima kali pukulan lawan yang datang beruntun susul menyusul, kemudian dia pun membalas dengan cepat dan tak kalah dahsyatnya!

Siangkoan Kok terkejut bukan main. Sedikit banyak, dia sudah mengenal ilmu andalan dari Lauw Kang Hui. Walau pun dia belum dapat menirukan, namun dia sudah banyak mendengar dua ilmu andalan Thian-li-pang, yaitu Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang.

Dia sudah mengenali kedua ilmu ini. Dan karena mengenal, setidaknya dia akan lebih mudah menghadapi dan melawannya. Akan tetapi, gerakan pemuda ini sama sekali tak dikenalnya! Dia hanya merasa ada angin berpusing datang menyambar dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambutnya.

"Plak! Desss...!!"

Siangkoan Kok berjungkir balik ke belakang, dan setelah membuat salto tiga kali baru dia terbebas dari dorongan tenaga yang tentu akan membuatnya terjengkang kalau saja dia tidak membuat salto tadi.

Seng Bu sendiri terkejut dan kagum melihat ginkang yang diperlihatkan lawan. Akan tetapi dia menyerang terus dan sekali ini, Siangkoan Kok yang maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang mukjijat, tidak mau mengadu tenaga secara langsung, melainkan menggunakan kecepatan gerakan untuk menghindar kemudian membalas serangan itu dengan sepenuh tenaga.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat! Beberapa kali bila kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya terdorong mundur. Tanpa diketahui orang lain, terjadilah perubahan pada diri Seng Bu, seperti biasa kalau dia memainkan ilmunya itu. Sepasang matanya berubah liar, senyumnya menjadi dingin mengerikan dan beberapa kali ia mengeluarkan suara tawa yang aneh.

"Siangkoan Kok, engkau takkan menang melawanku!" beberapa kali dia mengeluarkan ucapan ini yang didahului dan diakhiri suara tawa ha-ha-hi-hi-hi seperti orang gila.

Hal ini membuat Siangkoan Kok merasa amat penasaran dan semakin marah. Dia telah mengerahkan semua jurus yang menjadi andalannya, tapi dia tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, meski pun lawannya juga belum mampu merobohkan atau mendesaknya. Mereka memiliki tingkat yang seimbang!

"Ouw Seng Bu, marilah kita bertanding dengan senjata!" bentaknya sambil meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya.

Seng Bu hanya terkekeh dan melihat pemuda itu agaknya tidak membawa senjata, Kim Giok cepat menghampiri dan menyodorkan pedangnya.

"Kau pergunakanlah pedangku ini!"

Ouw Seng Bu memandang gadis itu dengan matanya yang mencorong liar hingga Kim Giok terkejut. Akan tetapi pemuda itu menerima juga Koai-liong-kiam, lalu menghadap Siangkoan Kok sambil tertawa.

"He-he-heh, Siangkoan Kok. Apakah perlu diteruskan? Kalau aku membiarkan saja pun engkau akan mampus. Lihat baik-baik kedua telapak tanganmu."

Mendengar ini, Siangkoan Kok cepat-cepat memeriksa kedua tangannya dan wajahnya berubah pucat. Kedua telapak tangannya berwarna menghitam dan terasa panas bukan main!

"Kau...! Aku... keracunan...!" katanya.
"Ha-ha-ha, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak kusedot kembali hawa beracun itu, engkau akan mati. Perlukah dilanjutkan? Atau engkau mengaku kalah?"

Siangkoan Kok menarik napas panjang dan kembali menyarungkan pedangnya. Dia harus mengaku kalah, kalau ingin hidup!

"Baiklah, Ouw-pangcu. Aku mengaku kalah. Akan tetapi sebelum kita bicara, punahkan dulu racun dari kedua tanganku."
"Baik, duduklah bersila, Siangkoan Pangcu, dan acungkan kedua telapak tanganmu ke atas, menghadap ke belakang," kata Seng Bu.

Siangkoan Kok duduk bersila, mengangkat kedua tangan ke atas dan menghadapkan kedua telapak tangan yang menghitam itu ke belakang! Seng Bu yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng secara keliru, memang telah mendapatkan suatu ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun.

Jika Siangkoan Kok tidak memiliki sinkang yang amat kuat, tentu ia telah tewas dengan tubuh hangus. Untung bahwa ketua Pao-beng-pai itu mempunyai sinkang kuat sehingga hawa beracun itu hanya berhenti sampai di pergelangan tangannya saja, dihambat oleh sinkang-nya.

Sekarang Seng Bu menjulurkan kedua tangannya dan ditempelkan pada kedua tangan Siangkoan Kok. Sampai beberapa menit lamanya dia terus mengerahkan sinkang-nya sehingga tubuh kedua orang itu menggigil. Perlahan-lahan, warna menghitam di kedua tangan Siangkoan Kok menjadi hilang, tersedot ke dalam kedua tangan Seng Bu!

Setelah Seng Bu melepaskan kedua tangannya dan meloncat ke belakang, Siangkoan Kok memeriksa kedua tangannya dan ternyata kedua telapak tangannya sudah bersih. Dia lalu memandang kepada Seng Bu dengan kagum.

"Ouw-pangcu, sekarang aku percaya. Engkau masih muda akan tetapi lihai bukan main, dan aku akan suka menjadi sekutumu. Karena Pao-beng-pai sudah terbasmi pasukan pemerintah penjajah, maka biarlah aku membantumu untuk memperkuat Thian-li-pang dan kita bersama akan menjatuhkan pemerintah kerajaan Mancu!"
"Nanti dulu, Siangkoan Pangcu. Urusan di sini harus dibereskan dulu. Sebaiknya kalau engkau minta maaf kepada Nona Cu, dan memberi hukuman kepada lima orang bekas anak buahmu."

Siangkoan Kok menghela napas panjang. Dia maklum bahwa pemuda yang mengaku ketua Thian-li-pang itu lihai bukan main, mempunyai ilmu pukulan yang amat aneh dan berbahaya. Dia akan melihat dulu keadaan di Thian-li-pang. Kalau memang pantas dia bantu, apa salahnya? Baginya, yang penting adalah menggulingkan pemerintah Mancu! Dan memang tidak menguntungkan kalau dia bermusuhan dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman.

"Nona Cu, maafkan sikapku tadi." Dia menjura kepada gadis itu. Tentu saja Kim Giok segera membalas penghormatan ketua Pao-beng-pai itu.
"Tidak mengapa, Pangcu, hanya kesalah pahaman saja," katanya.

Sekarang Siangkoan Kok menoleh ke arah lima orang anak buahnya yang menyeringai. Ketika dia melangkah maju menghampiri mereka, lima orang itu memandang dengan wajah pucat dan mata ketakutan. Melihat sikap ketua mereka yang sudah amat mereka kenal, mereka ketakutan dan maklum bahwa ketua mereka itu marah kepada mereka. Dengan kaki menggigil, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.

Akan tetapi, Siangkoan Kok menggerakkan tangan kirinya lima kali dan lima orang itu pun terjengkang dan tewas seketika! Melihat ini, terkejutlah Kim Giok. Lima orang itu memang jahat dan patut dihajar, akan tetapi hukuman mati itu ia anggap terlalu keras. Akan tetapi karena yang membunuh adalah ketua mereka sendiri, ia pun tidak dapat mencampuri.

Sementara itu, Seng Bu merasa sangat senang dan puas melihat cara Siangkoan Kok membuktikan kesungguhan niat kerja sama dengan dia. Dia kini menghadapi Kim Giok dan berkata, sikapnya pun sudah pulih, ramah dan sopan.

"Nona Cu, secara kebetulan kita saling bertemu dan berkenalan di sini. Mendengar tadi Nona berkata bahwa Nona sedang merantau untuk meluaskan pengalaman, sudikah Nona menerima undanganku untuk berkunjung ke Thian-li-pang bersama Siangkoan Pangcu ini? Pasti Nona akan mendapat pengalaman dan pengetahuan lebih luas."

Karena memang merasa tertarik dan kagum sekali melihat pemuda yang ternyata mampu menundukkan Siangkoan Kok, lagi pula ia pun tahu bahwa tanpa bantuan Ouw Seng Bu, mungkin ia sudah menderita celaka di tangan ketua Pao-beng-pai dan anak buahnya, maka Kim Giok mengangguk dan mengucapkan terima kasihnya.

Tetapi, Siangkoan Kok agaknya merasa tidak enak kalau harus melakukan perjalanan bersama mereka.

"Ouw-pangcu, aku bukan seorang yang suka mengingkari janji. Aku pasti akan datang berkunjung ke Thian-li-pang, karena bukan hanya engkau yang membutuhkan bantuan dariku, tetapi juga aku sendiri amat membutuhkan kerja sama dengan orang sepertimu. Memang engkau benar, tanpa adanya kerja sama antara kekuatan-kekuatan yang ada, perjuangan kita menentang penjajah tidak akan berhasil. Nah, silakan engkau dan Nona Cu pergi dulu, Ouw-pangcu, aku akan segera menyusul berkunjung ke sana."

Ketua Thian-li-pang itu setuju dan demikianlah, dia mengajak Cu Kim Giok untuk pergi lebih dahulu.

Setelah mereka pergi, Siangkoan Kok menjatuhkan diri duduk di atas batu, termenung memandang ke arah mayat lima orang anak buahnya yang terbaring malang melintang. Dia mengerutkan alisnya. Terpaksa dia membunuh mereka, untuk memuaskan hati Ouw Seng Bu.

Kini hatinya panas bukan main. Ketua Thian-li-pang itu memaksanya membunuh anak buahnya sendiri. Dia, Siangkoan Kok, adalah keturunan kaisar kerajaan Beng, berdarah bangsawan tinggi. Bagaimana mungkin dia begitu direndahkan untuk menjadi pembantu saja dari seorang pemuda ingusan macam Ouw Seng Bu, betapa pun lihainya pemuda itu karena menguasai ilmu pukulan beracun yang hebat?

Tidak, dia harus menjadi kepala, dia harus menjadi pemimpin, dia harus menjadi yang nomor satu. Dia akan mencari akal untuk mengalahkan dan menjatuhkan Ouw Seng Bu. Dia mengepal tinju, kemudian dia melempar-lemparkan lima buah mayat itu ke dalam jurang yang dalam agar tidak kelihatan terlantar di tempat itu.....
********************
Siangkoan Kok menuruni lembah Bukit Setan. Tiba di lembah terakhir dia berhenti dan memutar tubuhnya, lalu memandang ke arah Ban-kwi-kok yang nampak menghitam dari situ. Selama bertahun-tahun ia membangun kekuatan di tempat itu. Dan terpaksa kini ia harus meninggalkan tempat itu yang sudah kosong dan hancur. Selama belasan tahun dia menghimpun tenaga para anak buahnya, hanya untuk hancur dalam waktu sehari saja!

Dia merasa berduka dan menyesal sekali, maklum bahwa dia memang telah bersikap sangat bodoh. Dia terlalu mengandalkan kekuatan perkumpulannya. Perkumpulan yang menentang pemerintah harusnya menyembunyikan diri, menghimpun kekuatan secara diam-diam pula, tidak boleh memamerkan kekuatan sehingga terbasmi sebelum sempat memberontak.

Ia harus mulai lagi dari permulaan, menghimpun pembantu-pembantu yang lebih cakap dari pada yang sudah. Akan tetapi dia tahu betapa sukarnya hal itu tercapai. Yang jelas, dahulu dia dibantu oleh isterinya, Lauw Cu Si yang selain setia juga amat lihai ilmunya, sebagai keturunan para pimpinan Beng-kauw. Tidak mudah mencari seorang pengganti isteri seperti Lauw Cu Si yang pandai dan lihai.

Kemudian dia berhasil menggembleng Eng Eng yang dianggapnya seperti anak sendiri sehingga Eng Eng yang tinggal bersamanya sejak berusia dua setengah tahun, menjadi seorang gadis yang mempunyai kelihaian melebihi ibunya! Dua orang wanita itu tadinya merupakan pembantu-pembantu yang amat boleh diandalkan, terutama Eng Eng.

Akan tetapi sekarang, semuanya telah hancur. Bahkan isterinya telah tewas, dan Eng Eng sudah lari. Dan dia tahu bahwa sekarang Eng Eng bukan lagi anaknya, melainkan musuhnya! Dan semua pembantu yang telah dididiknya, juga murid-muridnya, kini telah habis, entah tewas entah ditawan pasukan pemerintah. Dia hanya seorang diri di dunia ini. Bahkan lima orang bekas anak buahnya tadi pun terpaksa dibunuhnya.

"Aku tak boleh putus asa," bisik Siangkoan Kok kepada dirinya sendiri sambil mengepal tinju. "Aku harus mencari lagi pembantu-pembantu yang lebih kuat lagi."

Seandainya saja orang-orang seperti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok tadi dapat menjadi pembantu-pembantunya! Jika tadi Ouw-pangcu tidak muncul, mungkin dia sudah dapat membujuk atau memaksa Cu Kim Giok menjadi pembantunya yang baru, atau menjadi selirnya! Dia bukan tergila-gila karena kecantikan dan kemudaan Kim Giok, melainkan ingin memiliki gadis itu agar dapat menjadi pembantunya yang setia.

Dengan keputusan hati yang penuh harapan, penuh semangat, kemudian pria perkasa ini melanjutkan perjalanan, dengan langkah lebar dia menuruni lereng terakhir. Di dalam sakunya masih terdapat banyak emas permata untuk bekal perjalanannya, walau pun hal ini tidak dipentingkan benar karena kalau dia membutuhkan biaya, tak sukar baginya untuk mengambil dari rumah orang yang mana pun.

Ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup ramai di kaki Kwi-san, matahari telah condong ke barat dan cuaca sudah mulai remang-remang. Karena itu Siangkoan Kok mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu.

Meski pun dia bekas ketua Pao-beng-pai yang bermarkas di Lembah Selaksa Setan, di lereng Bukit Setan itu, namun penduduk dusun di kaki bukit ini tidak pernah melihatnya. Oleh karena itu, tak seorang pun mengenal pria tinggi besar gagah perkasa yang pada senja hari itu memasuki dusun.

Akan tetapi, walau pun dia sendiri belum pernah memasuki dusun itu, Siangkoan Kok sudah mendengar dari anak buahnya bahwa dusun itu cukup ramai, penduduknya hidup cukup makmur karena sawah dan ladang di daerah itu amat subur, juga bahwa kepala dusunnya kaya raya.

So-chungcu (Kepala dusun So) bersama isterinya dan puterinya yang pada sore hari itu sedang duduk di serambi depan, tidak menduga buruk ketika melihat seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, berpakaian cukup pantas seperti seorang kota yang pakaiannya dari kain sutera, memasuki pekarangan rumah mereka. Bahkan Lurah So segera bangkit berdiri sambil memandang penuh perhatian ketika orang itu datang menghampiri mereka. Akan tetapi dia merasa heran karena merasa tidak mengenal tamu yang datang itu. Kalau seorang pejabat dari kota, kenapa datang tanpa pengawal?

Sekarang mereka berdiri berhadapan. Juga isteri Lurah So dan puterinya yang berusia delapan belas tahun, bangkit berdiri dan memandang pada tamu itu. Oleh karena tamu pria itu sudah setengah tua, maka dua orang wanita itu tidak merasa sungkan. Andai kata yang datang itu seorang laki-laki muda, tentu So Biauw Hwa, puteri lurah itu, akan masuk ke dalam bersama ibunya.

"Apakah engkau kepala dusun di sini?" kata tamu itu tiba-tiba, mendahului tuan rumah. Suaranya menggelegar dan sikapnya berwibawa, namun sikapnya ini tidak menghormat si kepala dusun seperti sikap penduduk dusun di situ pada umumnya.

Akan tetapi, So-chungcu tidak marah karena dia menduga bahwa tentu tamu ini seorang dari kota, mungkin seorang pejabat atau pedagang. Dia hanya memandang sejenak lalu mengangguk. "Benar, saya adalah kepala dusun di sini. Siapakah Saudara serta dari mana dan hendak ke mana? Ada keperluan apa Saudara berkunjung ke rumah kami?"

Siangkoan Kok mengamati lurah itu. Seorang laki-laki yang sebaya dengannya, tinggi kurus. Isterinya berusia empat puluhan tahun, masih cantik, dan puterinya yang berusia delapan belas tahun itu berwajah manis dan matanya lebar indah seperti mata kelinci. Ruangan depan itu pun memiliki prabot rumah yang cukup mewah, tanda bahwa lurah ini memang cukup keadaannya.

"Saya hanyalah orang yang kebetulan lewat di dusun ini dan karena kemalaman, saya ingin melewatkan malam di sini, di rumah ini," kata Siangkoan Kok dengan sikap acuh, seolah-olah dia sudah merasa yakin bahwa permintaannya itu pasti dikabulkan.

Mulailah Lurah So mengerutkan alisnya, juga isteri dan puterinya memandang dengan alis berkerut. Tamu ini sungguh tidak sopan, dan permintaannya agak keterlaluan. Tidak mengenalkan nama, tidak menceritakan maksud kedatangannya, namun datang-datang menyatakan ingin menginap di rumah itu, bahkan tidak memohon agar diterima!

"Hemmm, kalau ada tamu kemalaman di sini, kami sudah menyediakan tempat umum untuk bermalam, yaitu di balai dusun. Tetapi setiap tamu harus mendaftarkan namanya, tempat tinggalnya, supaya kami tahu siapa yang datang bermalam. Nah, Saudara boleh pergi ke balai dusun, itu di sebelah kiri, rumah ketiga dari sini, dan di sana sudah ada petugas yang akan melayanimu. Silakan!" kata tuan rumah itu, mengusir dengan nada halus.

Tetapi, jawaban yang diberikan tamu itu sungguh membuat keluarga lurah itu menjadi terbelalak. Siangkoan Kok berkata dengan nada suara marah.

"Lurah So, tak perlu banyak cakap lagi. Cepat sediakan sebuah kamar terbaik di rumah ini untukku! Sediakan air hangat untuk mandi. Setelah itu, aku ingin makan malam yang enak. Karena itu sediakan masakan yang lengkap, sembelih ayam dan bebek, dan aku ingin makan dilayanioleh wanita yang muda-muda dan cantik-cantik!" berkata demikian, Siangkoan Kok mengerling ke arah isteri dan puteri lurah itu.

Dia bukan seorang mata keranjang, tapi dia hanya ingin memperlihatkan kekuasaannya, ingin dihormati secara berlebihan. Kalau pun dia pernah memaksa muridnya, mendiang Tio Sui Lan, karena dia marah kepada isterinya dan ingin mendapatkan ganti isterinya. Dan Sui Lan pada saat itu yang paling dekat dengannya, maka dia mengambil murid itu sebagai isteri secara paksa.

Sebelum peristiwa itu, dia tidak pernah mengganggu wanita lain. Curahan nafsu dalam diri Siangkoan Kok bukan kepada wanita cantik, tetapi kepada pengejaran cita-citanya, yaitu membangun kembali kerajaan Beng dan dia yang menjadi kaisar!

Tentu saja Lurah So marah bukan main mendengar permintaan kurang ajar seperti itu. Seorang pejabat tinggi dari kota pun tentu tidak akan mengajukan permintaan seperti itu secara langsung, seolah-olah dia merupakan abdi dari orang itu!

Lurah So tidak mau banyak cakap lagi, lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah lima orang dari samping rumah, membawa seekor anjing yang dirantai. Anjing itu besar dan nampaknya menyeramkan. Lima orang itu adalah penjaga atau peronda yang malam itu akan bertugas jaga di dusun itu, melakukan perondaan dan memang rumah samping Lurah So menjadi pusat penjagaan.

"Usir orang yang tidak sopan ini keluar dari dusun!" perintah Lurah So dengan geram sambil menunjuk ke arah Siangkoan Kok.

Lima orang itu segera menghampiri dengan sikap bengis. Para petugas ronda di dusun itu memang dipilih warga dusun yang bertubuh kuat dan masih muda. Biar pun mereka bukan tukang pukul, akan tetapi lima orang itu yang merasa mendapat wewenang, lalu menghampiri Siangkoan Kok dengan sikap bengis mengancam. Sementara itu, isteri dan puteri Lurah So yang merasa ketakutan, sudah lari masuk ke dalam rumah.

"Hayo engkau cepat pergi dari sini!" kata seorang penjaga.
"Kalau tidak cepat pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!" bentak orang kedua.

Siangkoan Kok memandang kepada mereka dengan senyum mengejek. "Aku tidak mau pergi dan hendak kulihat, kekerasan macam apa yang hendak kalian lakukan terhadap diriku!"

Mendengar kata-kata serta melihat sikap yang penuh tantangan ini, lima orang penjaga menjadi marah. Mereka berlima maju dan mengulur tangan hendak menangkap orang setengah tua itu. Akan tetapi, begitu Siangkoan Kok menggerakkan kedua tangannya, lima orang itu terdorong dan terjengkang, lalu terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya!

Anjing yang tadinya dipegang ujung rantainya oleh seorang dari mereka, kini terlepas. Dan anjing itu menggonggong, lalu menubruk ke arah Siangkoan Kok dengan moncong dibuka lebar, memperlihatkan gigi bertaring yang runcing.

Melihat serangan anjing besar itu, Siangkoan Kok menjadi marah. Dengan jari terbuka tangan kirinya menyambut tubrukan anjing itu, menyambar dari samping ke arah kepala anjing.

"Krekkk!" Anjing itu terbanting roboh dan berkelojotan dengan kepala pecah.

Lima orang penjaga itu terkejut. Mereka sudah mencabut golok masing-masing sambil berloncatan berdiri. Akan tetapi, saat Siangkoan Kok menggerakkan kakinya, tubuhnya berkelebat ke depan, kakinya dan tangannya bergerak, maka segera lima batang golok itu beterbangan lepas dari tangan pemegangnya.

"Apakah kalian ingin mampus seperti anjing itu?!" bentaknya dan sekali tangan kirinya meraih, dia sudah mencengkeram baju di tengkuk Lurah So.
"Kalau permintaanku yang pantas itu tidak dituruti, aku akan membunuh Lurah So serta keluarganya dan membakar rumah ini. Jika ada penghuni dusun ini berani melawanku, akan kubunuh mereka semua!"

Dia melepaskan lagi cengkeramannya, dan Lurah So dengan muka pucat lalu menyuruh para penjaga itu mundur. Lurah So kemudian membungkuk dan memberi hormat pada Siangkoan Kok.

"Maafkan kami... karena tidak tahu kami telah berani membangkang perintah Taihiap (Pendekar Besar)."
"Cukup sudah! Cepat sediakan yang kupinta tadi. Kamar terbaik, mandi air hangat, lalu makan malam yang meriah dilayani wanita-wanita muda dan cantik!"
"Silakan, Taihiap... silakan, biar Taihiap mempergunakan kamar kami sendiri. Silakan!"

Dengan langkah lebar Siangkoan Kok memasuki rumah lurah itu, diiringkan Lurah So yang masih ketakutan. Lima orang penjaga membawa pergi bangkai anjing dan dengan ketakutan mereka menceritakan apa yang terjadi di rumah Lurah So kepada penghuni dusun. Semua orang dusun dicekam ketakutan, akan tetapi mereka tidak berdaya, takut untuk melakukan sesuatu karena keselamatan keluarga Lurah So telah dicengkeram oleh tamu aneh itu.

Terpaksa Lurah So melayani tamunya, memberikan kamarnya sendiri untuk Siangkoan Kok, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi dan memerintahkan juru masak untuk menyembelih ayam dan bebek, membuat masakan dan mempersiapkan makan malam sebaik mungkin untuk tamu aneh yang amat ditakuti itu. Diam-diam dia menyuruh puterinya pergi meninggalkan rumah, mengungsi ke mana saja agar jangan sampai diganggu tamu itu.

Sementara itu, pada sore hari itu juga, seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih juga menuruni lereng Kwi-san. Gadis ini cantik jelita, dengan wajahnya yang bulat telur dan kulit putih kemerahan. Matanya lebar dengan sinar tajam, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum yang sangat manis karena ujung bibirnya dimeriahkan lesung pipit.

Dari pakaiannya yang serba merah, mudah diduga siapa adanya gadis jelita ini, apa lagi kalau nampak sebatang suling berselaput emas terselip di pinggangnya. Dia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li!

Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini hadir pula bersama ayah ibunya di dalam pesta ulang tahun dan pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong. Diam-diam ia kecewa karena tidak melihat Yo Han di sana, apa lagi kemudian terjadi pengacauan yang dilakukan Eng Eng dari Pao-beng-pai.

Hal ini dijadikan alasan oleh Sian Li untuk meninggalkan ayah ibunya dengan diam-diam di rumah Suma Ceng Liong. Ia hanya meninggalkan surat untuk ayah ibunya bahwa dia pergi untuk membantu Yo Han mencari puteri Sim Houw, yaitu Sim Hui Eng, dan juga untuk menyelidiki Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar.

Karena tidak tahu ke mana Yo Han pergi, maka Sian Li mencari tanpa tujuan tertentu. Ke mana pun dia pergi, dia bertanya-tanya mengenai pendekar yang berjuluk Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti), namun tidak pernah menemukan orang yang dapat menunjukkan di mana adanya pendekar yang dicarinya itu.

Akhirnya, dia menuju ke Bukit Setan untuk menyelidiki Pao-beng-pai. Dalam perjalanan menuju ke sana itulah dia mendengar akan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap gerombolan pemberontak itu, mendengar betapa Pao-beng-pai dibasmi oleh pasukan pemerintah. Namun ia tetap pergi ke sana dan berhasil naik sampai ke Lembah Selaksa Setan, melihat betapa bekas sarang Pao-beng-pai telah menjadi puing karena dibakar oleh pasukan pemerintah.

Sian Li sama sekali tidak tahu bahwa pada saat dia meninggalkan lembah itu, di lembah sebelah bawah tengah terjadi perkelahian antara Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok yang kemudian dibantu oleh Ouw Seng Bu. Hanya beberapa jam selisihnya ketika ia melewati lembah itu. Ia terus menuruni lembah dan ketika tiba di kaki bukit, ia lantas menuju ke dusun yang tadi dilihatnya dari lembah terakhir.

Pada saat dia memasuki hutan kecil yang berada di kaki bukit, untuk menuju ke dusun di seberang hutan, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya.
"Nona Tan Sian Li...!"

Sian Li terkejut. Ia menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya memandang. Segera ia mengenal pemuda yang datang berlari-lari menghampirinya itu.

"Twako (Kakak) Gak Ciang Hun...!" serunya girang dan juga heran sekali.

Terakhir ia berjumpa dengan pemuda itu di rumah Suma Ceng Liong ketika diadakan pertemuan antara tiga keluarga besar. "Bagaimana engkau dapat berada di sini?"

Dengan wajah berseri-seri karena gembira dapat menemukan gadis itu, Ciang Hun lalu menjawab, "Aku memang menyusul dan mencarimu setelah kami semua mengetahui kepergianmu."

Sian Li mengerutkan alisnya. "Kenapa, Gak-twako? Mau apa engkau menyusul dan mencariku?"

Ciang Hun menyadari kesalahannya. Hampir saja dia membuka rahasia hatinya. Tentu saja dia menyusul Sian Li karena mengkhawatirkan gadis itu dan ingin membantunya. Semua ini terdorong oleh perasaan cintanya kepada Sian Li! Akan tetapi, dia tidak berani menceritakan itu.

"Aku... aku pun ingin ikut mencari puteri paman Sim Houw yang hilang sejak kecil, aku ingin pula ikut menyelidiki Pao-beng-pai. Aku sudah mendapat perkenan ibu, maka aku cepat-cepat pergi menyusulmu, Nona. Kurasa, dengan tenaga kita berdua, akan lebih kuat dan..."
"Gak-twako, jangan menyebut aku nona. Engkau membuat aku merasa sungkan saja. Bagaimana pun juga, di antara kita masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau perguruan. Nah, kalau aku menyebutmu kakak, sudah sepatutnya kau menyebut aku adik, bukan?"

Wajah Ciang Hun menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. Memang pemuda ini, walau pun sudah berusia dua puluh sembilan tahun, akan tetapi belum berpengalaman dalam pergaulan dengan wanita, maka dia merasa canggung dan rikuh.

"Baiklah, Siauw-moi. Aku memang mencarimu ke Kwi-san, karena engkau ingin pula menyelidiki Pao-beng-pai. Akan tetapi aku menjadi bingung ketika mendengar bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah. Maka aku hanya berkeliaran di sekitar kaki bukit sampai tadi kebetulan sekali aku melihatmu, maka aku mengejarmu."

Siang Li yang merasa lelah, tidak begitu senang bila membayangkan dirinya melakukan perjalanan berdua saja dengan Ciang Hun. Bukan Ciang Hun yang diharapkannya, tapi Yo Han! Dan dia mendapat kesan bahwa pandang mata Gak Ciang Hun terhadapnya begitu penuh kagum, begitu mesra. Dan ini hanya berarti bahwa pemuda perkasa ini agaknya menaruh hati kepadanya, hal yang sama sekali tidak ia harapkan!

Sian Li adalah seorang gadis yang berwatak tegas dan keras. Ia lalu duduk di atas batu, di bawah pohon yang rindang. Matahari sudah condong ke barat, namun sinarnya masih cukup panas dan duduk di tempat teduh itu terasa sangat nyaman, apa lagi karena ia sudah melakukan perjalanan melelahkan menuruni Lembah Selaksa Setan tadi.

"Gak-twako, sesungguhnya, perjalananku meninggalkan ayah ibu tempo hari terutama sekali untuk mencari kanda Yo Han." Ia berkata dengan tekanan suara kepada nama pemuda itu, dan matanya memandang tajam.

Ciang Hun mengerutkan alisnya. "Yo Han? Kau maksudkan, Pendekar Tangan Sakti?"

Sian Li mengangguk dan ia semakin yakin akan dugaannya melihat betapa sinar mata pemuda itu menunduk dan alisnya berkerut, jelas nampak kalau dia terpukul. Sebaiknya aku berterus terang saja, pikir gadis itu, dari pada membiarkan dia berlarut-larut hanyut dalam khayal.

"Benar, Gak-twako. Aku ingin mencari Han-koko. Dia bertekad untuk menemukan puteri Paman Sim Houw yang hilang, maka aku akan mencarinya karena aku tidak ingin ikut ayah dan ibu ke kota raja."

Ciang Hun sudah dapat menguasai kekecewaan mendengar betapa gadis yang sejak pertemuannya pertama kali sudah merampas semangatnya ini mencari-cari Yo Han. Dia menduga bahwa tentu ada perhatian khusus dari gadis ini terhadap pendekar itu. Untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, dia bertanya, "Kenapa engkau tidak ingin ikut dengan orang tuamu ke kota raja, Nona... ehh, Siauw-moi?"

"Hemmm, orang tuaku hendak mengajak aku ke kota raja untuk membicarakan urusan perjodohanku. Aku tidak suka itu. Aku hendak dijodohkan dengan putera Pangeran Cia Yan, bahkan ikatan itu sudah dilakukan semenjak dahulu dan kini orang tuaku hendak mematangkan urusan itu. Aku tidak suka menjadi calon mantu pangeran!"

Ciang Hun memandang wajah gadis itu yang nampak cemberut, namun tak mengurangi kecantikannya.

"Akan tetapi, kenapa, Siauw-moi? Bukankah menjadi mantu pangeran merupakan suatu penghormatan yang besar? Engkau akan hidup mulia dan terhormat, dan kurasa putera pangeran itu pun seorang pemuda yang baik maka sampai diterima oleh ayah ibumu..."
"Tidak peduli bagaimana pun baiknya, aku tidak sudi! Ah, Twako, kurasa tidak perlu lagi aku merahasiakan. Hanya ada seorang saja pria yang aku inginkan menjadi suamiku, pria yang kucinta sejak dahulu, dia adalah Han-koko..."
"Sin-ciang Taihiap Yo Han?" Ciang Hun bertanya. Dia tidak merasa heran karena hal ini sudah diduganya.

Gadis itu mengangguk, merasa puas karena ia memang ingin berterus terang agar Gak Ciang Hun tidak lagi mengharapkannya.

"Ia memang seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku pun kagum dan menghormati dia. Pilihan hatimu tidak keliru, Siauw-moi. Akan tetapi bagaimana dengan pilihan orang tuamu, pangeran itu...?"
"Aku tidak mau! Ayah dan ibu harus dapat mengerti. Aku hanya mencinta Han-ko, aku akan mencarinya."
"Kalau begitu, aku akan membantumu, Siauw-moi. Aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan Yo Han!" kata Ciang Hun penuh semangat.

Ciang Hun memang berjiwa pendekar. Meski pun baru saja harapannya hancur lebur, bahwa cintanya kepada Sian Li tak akan mungkin terbalas, bahwa dia hanya bertepuk tangan sebelah, akan tetapi dia tidak menjadi patah hati. Tidak, dia dapat menerima dan menghadapi kenyataan. Apa lagi mendengar bahwa pilihan hati Sian Li adalah Yo Han, pendekar yang dia kagumi, dan dia tahu bahwa Yo Han jauh lebih baik dari dirinya sendiri!

Dia tahu bahwa dia bukan jodoh Sian Li, akan tetapi hal ini bukan berarti dia membenci Sian Li. Tidak, dia tetap menyayangnya, karena bagaimana pun juga, di antara mereka masih ada hubungan dan ikatan antara tiga keluarga besar. Dia harus membantu gadis itu menemukan kekasihnya, calon suaminya, menemukan kebahagiaannya.

Sian Li mengangkat muka memandang wajah yang menunduk itu. Diam-diam ia merasa terharu, dan juga kagum. Seorang pria yang hebat, pikirnya. Betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada pria ini, sekiranya di sana tidak ada Yo Han! Ia mengulur tangan dan menyentuh lengan Ciang Hun.

"Benarkah, Twako? Aihhh, engkau memang baik hati sekali. Engkau dan ibumu selalu berbuat baik. Terima kasih, Twako!"

Ciang Hun mengangkat muka dan tersenyum melihat Sian Li begitu gembira. Begitu kekanak-kenakan!

"Mari kita lanjutkan perjalanan, matahari sudah condong ke barat. Sebentar lagi gelap, dan kita harus dapat melintasi hutan ini sebelum malam tiba."
"Marilah, Gak-twako. Tadi kulihat dari atas bahwa di seberang hutan kecil ini terdapat sebuah dusun. Kita ke sana sebelum malam tiba, Twako."

Mereka memasuki hutan itu dengan langkah cepat. Akan tetapi ketika mereka hampir tiba di seberang, mereka mendengar isak tangis seorang wanita. Mereka terkejut dan heran, bahkan sempat bulu tengkuk mereka meremang karena di waktu senja ketika cuaca sudah hampir gelap, terdengar isak tangis di hutan.

Siapa lagi kalau bukan siluman atau iblis yang mengeluarkan suara seperti itu untuk menakut-nakuti mereka? Memang mereka merasa ngeri, akan tetapi mereka adalah dua orang pendekar yang tidak mudah lari ketakutan. Mereka menghentikan langkah dan memperhatikan. Suara tangis wanita itu ditanggapi suara seorang wanita lain.

"Sudahlah jangan menangis. Tidak ada yang tahu bahwa kita bersembunyi di sini..."

Orang yang menangis itu berkata dengan suara ketakutan, "Tetapi... Ibu... bagaimana dengan ayah? Bagaimana kalau dia dipukul atau dibunuh iblis jahat itu...?"

Mendengar percakapan ini, Sian Li cepat menghampiri, diikuti oleh Ciang Hun. Kedua orang wanita yang sedang duduk di dalam gubuk kecil tempat para pemburu beristirahat itu, menahan jerit mereka ketika mendadak muncul dua bayangan orang dalam cuaca yang sudah remang-remang itu. Akan tetapi mereka tidak jadi menjerit ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis cantik bersama seorang pemuda tampan.

"Jangan takut, Bibi dan Cici, kami bukan orang jahat. Namaku Tan Sian Li dan ini kakak Gak Ciang Hun. Kami kebetulan lewat di sini dan tadi mendengar percakapan kalian. Mengapa kalian bersembunyi di sini dan siapa yang mengancam keselamatan suami Bibi?"

Melihat sikap Sian Li yang gagah, juga pemuda di dekatnya itu bersikap gagah, wanita itu lalu memberi hormat dan berkata, "Aku adalah isteri Lurah So di dusun sana, dan ini So Biauw Hwa puteri kami. Baru saja rumah kami didatangi seorang laki-laki yang amat kasar dan jahat. Dia dengan paksa hendak bermalam di rumah kami, minta disediakan kamar terbaik, mandi air hangat, dan pesta-pesta, minta dilayani wanita-wanita cantik. Dia memukul para penjaga, dan membunuh anjing kami. Dia menakutkan sekali. Karena takut kalau anakku diganggu, maka ia kuajak melarikan diri dan bersembunyi di sini."

"Hemmm, apakah orang itu perampok dan mempunyai banyak teman?" tanya Sian Li penasaran dan sudah marah kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang.

Akan tetapi nyonya itu menggeleng kepala. "Dia hanya seorang diri, dan lagaknya tidak seperti perampok. Pakaiannya pantas, hanya sikapnya yang seperti raja memerintah kami. Ahh, kami takut sekali, khawatir kalau sampai suamiku dicelakakan olehnya..."

"Siauw-moi, mari kita ke sana!" kata Gak Ciang Hun yang juga sudah marah mendengar kelakuan tamu yang demikian kurang ajar.
"Mari, Bibi dan Cici, mari antar kami ke rumah kalian. Kami akan hajar dan usir tamu tak tahu diri itu!" kata Sian Li.

Melihat sikap pemuda dan pemudi itu, ibu dan anak ini menjadi berani dan timbul pula harapan mereka agar cepat terbebas dari ancaman tamu yang jahat itu.

Hari telah menjadi gelap pada saat mereka berempat memasuki dusun. Suasana dusun yang tadinya ramai itu sekarang mendadak menjadi sepi sekali karena semua rumah menutupkan pintu dan jendelanya. Tiada seorang pun berani menampakkan diri di luar rumah, mereka semua telah mendengar akan munculnya seorang manusia yang jahat dan amat lihai di rumah kepala dusun.

Ketika mereka berempat tiba di rumah Lurah So, dari luar mereka sudah mendengar ribut-ribut. Suara itu datangnya dari ruangan makan seperti yang diberi tahukan ibu dan anak itu, dan mereka semua langsung menuju ke ruangan makan di sebelah belakang. Mereka melihat betapa laki-laki setengah tua yang tinggi besar itu sedang bertanding melawan seorang gadis yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang).

Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat dengan dagu runcing dan rambutnya yang hitam itu lebat dan panjang sekali, digelung dua di belakang kepala. Matanya bersinar lembut dan mulutnya amat indah, dengan bibir yang kemerahan dan lekuknya amat menggairahkan. Tubuhnya ramping dan gadis ini memang cantik manis. Juga ilmu sepasang pedangnya cukup lumayan. Jelas bahwa ia sedang marah sekali, menyerang pria itu dengan mati-matian.

Akan tetapi, Ciang Hun dan Sian Li melihat betapa pria itu memang lihai bukan main, Biar pun hanya menggunakan tangan kosong, namun pria itu sama sekali tidak terdesak oleh sepasang pedang lawannya, bahkan dia menggulung lengan baju dan dengan lengan telanjang dia berani menangkis pedang, seolah-olah lengannya terbuat dari baja saja!

Sian Li dan Ciang Hun tidak mengenal wanita cantik manis yang meski pun melihat kehebatan lawan, namun tidak nampak gentar dan terus menyerang itu. Karena mereka tidak tahu siapa gadis itu, juga ibu dan anak itu tidak mengenalnya, maka Sian Li dan Ciang Hun meragu untuk turun tangan.

Gadis yang mulutnya menggairahkan itu adalah Gan Bi Kim! Para pembaca kisah Si Bangau Merah akan mengenal Gan Bi Kim. Dia adalah puteri seorang pejabat tinggi, yaitu kepala gudang pusaka kerajaan dan tinggal di kota raja, bernama Gan Seng.

Saat Yo Han telah tamat belajar ilmu silat dari kakek yang buntung lengan dan kakinya, yaitu mendiang Ciu Lam Hok, sebelum mati kakek itu memesan kepada muridnya agar suka berkunjung kepada cici-nya yang tinggal di kota raja. Cici dari kakek Ciu Lam Hok adalah nenek Ciu Cing, yaitu ibu kandung Gan Seng ayah Bi Kim.

Ketika Yo Han berkunjung ke sana, nenek Ciu Cing menangisi kematian adiknya Ciu Lam Hok dan ketika menyembahyangi arwah adiknya, di depan meja sembahyang itu nenek itu menjodohkan cucunya, Gan Bi Kim, dengan murid adiknya, yaitu Yo Han. Dan kebetulan sekali Bi Kim jatuh cinta pula kepada Yo Han, walau pun Yo Han sendiri tidak mencintanya karena semenjak remaja, Yo Han telah jatuh cinta kepada Tan Sian Li, Si Bangau Merah!

Yo Han meninggalkan keluarga Gan di kota raja. Bi Kim merasa amat penasaran karena belum mendapatkan kepastian dari Yo Han, maka ia pun lalu mendesak ayahnya untuk mengundang jagoan-jagoan istana dan mengajarkan ilmu silat kepadanya. Ternyata ia berbakat dan terutama sekali ia pandai memainkan sepasang pedang.

Setelah ditunggu-tunggu tidak juga Yo Han datang, bahkan tidak ada berita, Gan Bi Kim merasa penasaran. Dia merasa bahwa dia telah menguasai ilmu pedang dan pandai menjaga diri, maka pada suatu hari, dia pun lolos dari gedung ayahnya, meninggalkan sepucuk surat dan menyatakan kepada ayah ibunya bahwa dia pergi untuk mencari tunangannya, yaitu Yo Han!

Pada sore hari itu, kebetulan sekali ia pun tiba di dusun itu. Ia sudah lelah dan ingin bermalam di dusun itu. Akan tetapi betapa herannya melihat semua rumah di dusun itu tertutup pintu dan jendelanya, bahkan di jalan pun tidak nampak seorang pun manusia!

Akan tetapi, dia tahu benar bahwa dusun itu bukan dusun kosong. Pekarangan rumah bersih terpelihara, juga sawah ladang dan tanaman di sekeliling perumahan dusun. Dan lebih dari itu, ia pun dapat mendengar gerakan orang-orang di dalam rumah-rumah yang tertutup rapat dan yang tidak dipasangi lampu walau pun senja telah mendatang.

Karena merasa heran dan penasaran, ketika mendengar tangis anak kecil dari sebuah rumah dan tangis itu berhenti tiba-tiba seolah-olah mulut anak yang menangis itu sudah didekap tangan, ia tidak sabar lagi dan mengetuk daun pintu rumah itu.

"Paman atau bibi, bukalah pintunya. Aku bukan orang jahat. Aku seorang gadis yang kebetulan kemalaman dan ingin bermalam di dusun ini. Biarkan aku menginap semalam di rumah kalian, nanti akan kuberi pengganti kerugian!"

Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan berteriak, akhirnya terdengar juga jawaban seorang wanita dari dalam, tanpa membuka pintu. "Nona, maafkan kami... tempat kami penuh sesak... ehh, kalau Nona ingin bermalam... datanglah ke rumah kepala dusun, di sebelah itu, sepuluh rumah dari sini."

Terpaksa Bi Kim meninggalkan rumah itu, menuju ke kanan sampai ia tiba di depan rumah kepala dusun. Mudah saja menemukan rumah itu karena jauh lebih besar bila dibandingkan rumah-rumah lain. Dan memang hanya rumah besar ini saja yang daun pintu sebelah depan terbuka, dan di dalam rumah itu dipasangi lampu penerangan yang cukup banyak. Ketika Bi Kim memasuki pekarangan, beberapa orang bermunculan dari tempat gelap, agaknya mereka ini pun ketakutan.

"Nona mencari siapakah?" seorang setengah tua bertanya dengan suara gemetar, juga tiga orang temannya nampak ketakutan.
"Aku seorang yang kebetulan lewat dan kemalaman di dusun ini, aku hendak minta pertolongan lurah agar suka menerimaku semalam ini."

Empat orang itu saling pandang, kemudian menengok ke arah dalam rumah dan orang setengah tua tadi berbisik, "Nona, pergilah dari sini. Di rumah ini kedatangan seorang penjahat yang menakutkan. Dia sedang memaksa lurah untuk menjamunya dengan pesta. Dia jahat sekali!"

Mendengar ini, Gan Bi Kim tersenyum dan meraba gagang siang-kiam yang tergantung di punggungnya, "Aku tidak takut, bahkan kalau ada penjahat mengganggu rumah ini, aku akan mengusirnya."

Kembali empat orang itu saling pandang. "Kalau begitu, masuklah, pergilah ke ruangan belakang, ruangan makan. Akan tetapi, kami tidak berani mengantarmu, Nona." kata mereka dan kembali mereka menyelinap ke dalam bayangan-bayangan yang gelap.

Tentu saja Bi Kim merasa heran dan penasaran. Dengan langkah lebar ia memasuki rumah itu. Sunyi saja, agaknya semua orang, seperti empat orang pria tadi, sudah lari menyingkir dan bersembunyi ketakutan. Namun terdengar suara di ruangan belakang dan dia pun menuju ke sana.

Ruangan itu luas dan terang sekali. Sebuah meja makan besar penuh hidangan yang masih mengepulkan uap berada di tengah ruangan. Seorang pria tinggi besar duduk makan minum seorang diri, dilayani oleh tiga orang wanita muda. Seorang laki-laki lain berusia lima puluh tahun lebih, tinggi kurus, berdiri di sudut, memandang dengan sikap takut-takut.

Mendengar langkah kaki, pria yang sedang makan itu menoleh dan ketika melihat Bi Kim, wajahnya berseri, matanya memandang penuh selidik dan dengan suaranya yang parau berwibawa dia bertanya, "Siapa kau? Mau apa kau masuk ke sini?"

Karena tidak tahu mana lurah yang dia cari, Bi Kim memandang kepada pria yang sedang makan itu, bertanya, "Aku ingin bertemu dengan lurah dusun ini. Mana dia?"
"Aku... akulah Lurah So dari dusun ini, Nona..." Lurah So berkata dengan gagap.

Kini Bi Kim menoleh kepada pria tinggi besar yang bukan lain adalah Siangkoan Kok itu. "Hemmm, jadi orang inikah yang datang mengacau?" Bi Kim bertanya sambil menoleh kepada Lurah So.

Akan tetapi lurah ini tidak berani mengeluarkan suara, bahkan menunduk karena takut membuat marah tamunya. Juga tiga orang wanita muda itu tidak berani bergerak.

"Ha-ha-ha, engkau cantik manis, Nona. Engkau jauh lebih cantik dari pada tiga orang perempuan dusun ini. Sayang puteri lurah ini telah melarikan diri. Biar engkau menjadi penggantinya menemaniku makan minum. Mari, Nona, duduklah di sini, makan minum sepuasnya!"

"Hemmm, kiranya engkau ini jahanam busuk, manusia tak tahu diri, begitu datang ke rumah orang bertindak sewenang-wenang. Setelah aku datang, jangan harap engkau akan dapat menjual lagak lagi. Hayo pergilah cepat meninggalkan rumah ini, tinggalkan dusun ini, atau sepasang pedangku akan membuat engkau menjadi setan tanpa kepala!" Berkata demikian, untuk menggertak, Bi Kim mencabut sepasang pedangnya.

Sepasang pedang yang baik karena ayahnya mencarikan sepasang pedang pilihan untuk puterinya. Nampak kilat menyambar pada waktu gadis itu mencabut sepasang pedangnya.

Akan tetapi, Siangkoan Kok tertawa dan sama sekali tidak kelihatan gentar.
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Aku memang lebih senang kalau gadis cantik yang menemani aku makan minum bukan seorang wanita lemah. Nah, sekarang kita bertaruh, Nona. Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku pergi tanpa banyak cakap lagi. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk. Bagai mana?"

Wajah Bi Kim berubah merah sekali, matanya mencorong penuh kemarahan. "Jahanam busuk!" katanya melihat orang itu bangkit dan menghampirinya. "Engkau memang layak dibasmi!" Dan sepasang pedangnya sudah menyambar ganas.

Akan tetapi Siangkoan Kok dapat mengelak dengan mudah dan dia segera mengenal bahwa ilmu pedang nona ini bukan ilmu sembarangan, melainkan ilmu pedang yang tinggi nilainya. Hal ini tidak mengherankan sebab Bi Kim telah dilatih oleh jagoan-jagoan istana yang lihai.

Maka, timbul penyakit lama Siangkoan Kok. Dia tidak segera mengalahkan gadis yang tingkatnya masih jauh di bawahnya itu, bahkan dia menggulung kedua lengan bajunya agar tidak sampai robek, menggunakan dua lengan untuk menangkis serangan pedang sambil memperhatikan jurus-jurus ilmu pedang itu untuk menambah pengetahuannya yang sudah banyak.

Tentu saja Lurah So dan tiga orang gadis dusun yang dipaksa menjadi pelayan tadi merasa ketakutan. Apa lagi melihat betapa tamu yang ditakuti itu mampu melawan si gadis yang berpedang hanya dengan tangan kosong saja.

Juga Bi Kim sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa penjahat ini memang luar biasa, memiliki kesaktian. Apa lagi dia, bahkan guru-gurunya belum tentu mampu menandingi kakek ini!

Pada saat pertandingan itu berlangsung, muncullah Sian Li dan Ciang Hun. Akan tetapi karena kedua orang pendekar ini tidak mengenal Bi Kim, tentu saja mereka tidak dapat turun tangan membantu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, siapa gadis ber-siang-kiam itu dan mengapa pula berkelahi melawan kakek yang amat lihai itu.

Seperti yang mereka duga, kakek itu hanya mempermainkan lawannya dan setelah dia mengenal benar ilmu pedang berpasangan dari Bi Kim, tiba-tiba saja Siangkoan Kok membentak nyaring dan tahu-tahu sepasang pedang itu sudah berpindah tangan! Dia menyeringai ketika Bi Kim meloncat ke belakang dengan kaget.

"Ha-ha-ha, engkau telah kalah, Nona. Nah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk!"
"Tidak sudi! Sebelum mati aku tidak akan mengaku kalah!" bentak Bi Kim dan ia pun menerjang lagi, kini dengan tangan kosong.

Kini Sian Li dan Ciang Hun tidak ragu-ragu lagi. Jelas bahwa gadis itu merupakan orang yang menentang penjahat lihai itu, maka keduanya sudah melompat ke depan untuk mencegah Bi Kim bertindak nekat. Dengan sepasang pedang saja bukan lawan kakek itu, apa lagi bertangan kosong.

"Tahan...!" kata Sian Li dan dari samping dia sudah menangkap pergelangan tangan Bi Kim dan menariknya ke samping.

Bi Kim yang tertangkap pergelangan tangannya, merasa tenaganya lumpuh, maka ia terkejut sekali dan menurut saja ditarik ke samping.
Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, memandang pada Sian Li yang berpakaian merah dan Ciang Hun yang gagah.

"Huh, siapa lagi kalian ini yang datang mengganggu kesenanganku!" katanya sambil melemparkan sepasang pedang rampasan dari Bi Kim.

Biar pun hanya dilempar sambil lalu saja, namun sepasang pedang itu meluncur bagai anak panah ke arah Sian Li dan Ciang Hun! Jelas bahwa kakek yang lihai itu sengaja hendak menguji kepandaian dua orang muda yang baru muncul!

Dengan tenang Sian Li menangkap pedang yang meluncur ke arahnya dari samping, dengan jalan menjepitnya di antara telunjuk dan ibu jarinya, persis seperti anak-anak menangkap capung pada ekornya.

Sedangkan Ciang Hun lebih repot lagi, mengelak ke samping lalu memutar tubuh dan menangkap pedang itu pada gagangnya dari belakang! Dari cara menangkap pedang ini saja sudah dapat dinilai bahwa tingkat kepandaian Si Bangau Merah lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Gak Ciang Hun!

Siangkoan Kok agak terkejut. Kiranya dua orang muda ini amat hebat! Sama sekali tidak boleh dipandang ringan, tidak dapat disamakan dengan kepandaian Bi Kim.

Ciang Hun dan Sian Li menyerahkan sepasang pedang itu kembali kepada Bi Kim, kemudian Sian Li menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Siangkoan Kok.
"Engkau ini orang tua yang kelihatan gagah perkasa, juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Sungguh menjijikkan sikapmu di dusun ini, bertindak seperti perampok kecil saja!"

Wajah Siangkoan Kok berubah kemerahan.
"Bocah bermulut lancang!" Setelah berkata demikian, dia menubruk ke arah Sian Li dan mengirim serangan kilat.

Namun, nampak bayangan merah berkelebat dan Sian Li sudah dapat mengelak dari serangan dahsyat itu. Ketika tubuhnya turun di depan kakek itu, dia sudah memegang sebatang suling berselaput emas, sikapnya gagah dan tenang sekali.

Siangkoan Kok terkejut sekali, apa lagi ketika melihat suling emas itu. Alisnya berkerut mengingat-ingat. Pakaian merah! Tentu saja!

"Hemmm, apakah engkau ini yang berjuluk Si Bangau Merah?" tanya Siangkoan Kok sambil memandang penuh selidik.

Sian Li menggerakkan sulingnya. Terdengar suara berdesing, disusul ucapannya yang lantang, "Memang benar aku yang dijuluki Si Bangau Merah."
"Bagus! Ha-ha-ha, hari ini aku sungguh beruntung, dapat bertemu dengan tokoh-tokoh muda dunia kang-ouw. Dan engkau siapa orang muda?" tanyanya. "Tidak perlu engkau menjawab, biarkan aku menebak siapa engkau!"

Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat. Tangannya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Ciang Hun. Pemuda ini sama sekali tidak menduga akan diserang, maka dia tidak sempat mengelak lagi, lalu mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menggerakkan kedua tangan terbuka menyambut.

"Dukkkkk!" Keduanya terdorong ke belakang.

Ciang Hun sudah berjongkok dan berlutut dengan sebelah kakinya. Kedua tangannya di depan dada, dengan kedua telapak tangannya menghadap ke atas.

Siangkoan Kok terbelalak. "Wah, apakah engkau memiliki sinkang yang disebut Tenaga Inti Bumi? Engkau mengambil tenaga dari tanah?"

Diam-diam Gak Ciang Hun tertegun dan kagum. Sekali beradu tenaga yang membuat dia tadi terlempar dan terpaksa memasang kuda-kuda Dewa Menyangga Bumi untuk memulihkan tenaga dan siap menghadapi serangan lanjutan lawan, dan kakek itu sudah mengenal dasar ilmunya.

Memang dia tadi telah menggunakan tenaga yang menjadi ilmu warisan keluarga Gak. Bahkan mendiang kakeknya, Bu-beng Lo-kai atau dahulu bernama Gak Bun Beng, sebelum meninggal dunia sudah mengoperkan tenaga kepadanya sehingga meski pun bakatnya tidak sangat baik, namun dia telah dapat menghimpun tenaga sinkang itu.

"Orang muda, apakah hubunganmu dengan mendiang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?" tanyanya lagi.

Ciang Hun tak ingin menyombongkan dirinya, akan tetapi dia pun bangga dengan nama besar kedua ayahnya. "Mereka adalah ayah kandungku!" jawabnya gagah, sama sekali tidak merasa sungkan mengaku bahwa dia memiliki dua orang ayah kandung!

Memang suatu hal yang aneh dalam keluarga itu. Ayahnya adalah sepasang pendekar kembar yang mencintai seorang wanita, maka keduanya menjadi suami wanita itu dan lahirlah Ciang Hun, anak dari seorang ibu dan dua orang ayah.

"Ha-ha-ha-ha, pantas kalian berani mengganggu kesenanganku. Nah, mengingat bahwa kalian keturunan orang-orang pandai, mari kuundang kalian makan minum denganku, Bangau Merah dari orang muda she Gak! Dan engkau juga, Nona. Tadi permainan siang-kiam (sepasang pedang) darimu cukup lumayan, membuktikan bahwa engkau pun sudah dilatih oleh guru yang pandai. Ha-ha-ha, marilah orang-orang muda, kita mempererat perkenalan dengan makan minum!"

Siangkoan Kok tidak berpura-pura dengan keramahan ajakannya ini. Tadinya dia adalah majikan yang dihormati bagai seorang raja kecil. Akan tetapi sekarang semua kemuliaan itu habislah sudah.

Anak buahnya dibasmi pasukan pemerintah, Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) telah diobrak-abrik, seluruh hartanya habis. Habislah sudah semuanya, bahkan ia kehilangan anak yang disayangnya walau pun hanya anak tiri, juga kehilangan isteri yang dia bunuh sendiri, serta kehilangan murid tersayang yang diambilnya secara paksa menjadi isteri, juga murid ini dia bunuh.

Sekarang dia sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi. Karena itu, melihat tiga orang muda ini, yang gagah perkasa dan juga dua orang di antaranya adalah gadis-gadis perkasa yang cantik, timbul keinginan hatinya untuk bersahabat dengan mereka. Siapa tahu dia dapat menguasai mereka dan dengan bantuan tiga orang muda seperti ini dia tentu akan mampu membangun lagi perkumpulannya yang terbasmi dan dia akan jaya kembali.

Semenjak tadi Sian Li memperhatikan pria yang tinggi besar, gagah dan berwibawa itu. Pada waktu ia melakukan perjalanan untuk menyelidiki Pao-beng-pai, ia telah mencari keterangan tentang perkumpulan itu, tentang ketuanya dan tentang puteri ketua yang pernah datang mengacau pertemuan tiga keluarga besar. Pao-beng-pai telah terbasmi dan di tempat yang tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai, terdapat kakek yang lihai ini.

"Bukankah engkau yang bernama Siangkoan Kok, majikan di Ban-kwi-kok dan ketua Pao-beng-pai yang telah hancur?"

Pertanyaan yang dilontarkan Sian Li ini sungguh amat mengejutkan hati semua orang. Bukan hanya Gak Ciang Hun dan Bi Kim yang terkejut, juga Lurah So dan semua orang yang tadi sibuk melayani kakek itu.....
Lurah So dan para pembantunya menjadi pucat mendengar bahwa kakek itu ternyata adalah ketua Pao-beng-pai, perkumpulan yang mereka takuti. Mereka semua sudah mendengar akan Pao-beng-pai. Juga ketuanya, yaitu Siangkoan Kok majikan Lembah Selaksa Setan. Akan tetapi hanya namanya saja yang mereka ketahui, belum pernah melihat orangnya.

"Ha-ha-ha, engkau hebat, Si Bangau Merah! Tidak percuma engkau mendapat julukan itu karena engkau memang cerdik, lihai dan bermata tajam. Aku memang Siangkoan Kok!"
"Bagus! Kiranya benar engkaulah ketua Pao-beng-pai! Dan gadis siluman yang berani menantang keluarga kami itu adalah puterimu. Suruh dia keluar untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya!" Sian Li membentak.
"Sian-moi, kiranya tidak perlu bicara lagi dengan iblis seperti ini!" kata Ciang Hun yang sudah mencabut pedangnya.
"Benar, jahanam ini iblis yang kejam dan jahat yang harus dibasmi!" kata pula Gan Bi Kim yang sudah siap dengan sepasang pedangnya pula.
"Ha-ha-ha, kiranya kalian semua hanya pendekar-pendekar muda yang menjadi antek penjajah Mancu!" bekas ketua Pao-beng-pai itu berkata dengan nada mengejek sambil menertawakan mereka.

Wajah Sian Li berubah merah. "Jahanam busuk! Kalau kami menentangmu, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Bagi kami, engkau bukanlah pejuang, tetapi penjahat busuk yang suka mengganggu rakyat. Kini bersiaplah untuk mampus!"

Sian Li sudah menerjang dengan senjata sulingnya. Ciang Hun dan Bi Kim juga cepat menggerakkan senjata mereka, mengeroyok.

Siangkoan Kok adalah seorang datuk yang lihai sekali. Akan tetapi, kini dia menghadapi pengeroyokan tiga orang muda yang tangguh, terutama sekali Si Bangau Merah dan Gak Ciang Hun. Dua orang muda ini adalah keturunan pendekar-pendekar lihai, maka dia tak berani memandang rendah dan kakek itu sudah mencabut pedangnya, memutar senjata itu menyambut serangan para pengeroyoknya.

Apa bila ketiga orang muda itu menyerang dengan pengerahan seluruh kepandaian dan tenaga mereka, menyerang dengan semangat besar, sebaliknya Siangkoan Kok hanya melindungi diri dengan gulungan sinar pedang. Dia tidak bersemangat untuk berkelahi. Apa lagi mengingat bahwa dua orang di antara para pengeroyoknya adalah keturunan keluarga pendekar yang tangguh.

Dia tidak ingin menambah lagi jumlah musuhnya di luar pasukan pemerintah yang telah membasmi perkumpulannya. Bahkan mungkin dia ingin bekerja sama dengan kelompok lain untuk membalas dendam kepada pemerintah penjajah Mancu, seperti yang sudah ia janjikan kepada ketua Thian-li-pang di Bukit Setan. Selain itu, dia juga merasa gentar kalau-kalau Pendekar Bangau Putih, ayah Si Bangau Merah ini, dan juga Pendekar Tangan Sakti Yo Han akan muncul.

Maka, setelah memutar pedangnya dengan dahsyat, membuat tiga orang pengeroyok itu dengan hati-hati mundur menjaga jarak, mendadak saja Siangkoan Kok meloncat ke kiri. Dan sebelum tiga orang muda yang mengeroyoknya sempat mencegah, dia sudah mencengkeram leher baju Lurah So serta menempelkan pedangnya di leher lurah yang menjadi pucat ketakutan itu.

"Kalau ada yang menyerangku, terlebih dahulu aku akan menyembelih lurah ini!" bentak Siangkoan Kok sambil mendorong tubuh lurah itu di depannya dan terus mendorongnya keluar rumah.

Ciang Hun, Sian Li, dan Bi Kim tentu saja tidak berani menyerang lagi. Bagaimana pun juga, mereka tidak mau mengorbankan nyawa lurah yang tak berdosa itu. Mereka hanya mampu memandang ketika lurah itu didorong keluar oleh Siangkoan Kok. Sian Li hanya dapat mengancam ketua Pao-beng-pai itu.

"Siangkoan Kok, kalau engkau membunuhnya, aku bersumpah untuk mengejarmu dan tidak akan berhenti sampai aku dapat membunuhmu!"

Ketua Pao-beng-pai itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, aku sedang malas bertanding, Nona manis, dan kini aku menangkap dia hanya untuk mencegah kalian mendesakku, bukan untuk membunuhnya. Lurah ini telah begitu baik untuk melayaniku makan minum, tentu aku tidak akan membunuhnya."

Setelah tiba di luar rumah, Siangkoan Kok berlompatan jauh sambil tetap menggandeng Lurah So, dan setelah tiba di tepi sebuah hutan dia baru melepaskan lurah itu kemudian menghilang ke dalam hutan. Sian Li dan yang lain juga tidak mau mengejar, mengejar seorang seperti Siangkoan Kok yang melarikan diri ke dalam hutan amatlah berbahaya.

Melihat tiga orang muda yang berhasil mengusir ketua Pao-beng-pai itu, Lurah So yang dilepaskan oleh kakek itu tanpa dilukai sama sekali, segera menghampiri dan memberi hormat, menghaturkan terima kasih kepada mereka dan memohon supaya malam itu mereka suka bermalam di rumahnya.

"Pertama, supaya kami sekeluarga sempat menghaturkan terima kasih kepada Sam-wi (Kalian Bertiga), dan kedua, supaya hati kami sekeluarga merasa aman dan tenteram. Kalau Sam-wi pergi sekarang, malam ini pasti kami tidak dapat tidur dan ketakutan membayangkan iblis itu kembali datang ke rumah kami." Demikian antara lain Lurah So membujuk mereka. Karena alasan itu masuk akal juga, akhirnya Ciang Hun, Sian Li dan Bi Kim menerima undangan itu.

Seluruh penghuni dusun itu bersuka ria karena lurah mereka telah bebas dari gangguan ketua Pao-beng-pai yang mereka takuti. Para penghuni itu ramai memuji-muji pemuda dan dua orang gadis perkasa itu. Keluarga Lurah So juga menghaturkan terima kasih dan mengadakan pesta kecil untuk menyambut mereka.

Sehabis makan minum, akhirnya tiga orang muda-mudi itu mendapat kesempatan untuk bicara bertiga saja di ruangan belakang rumah Lurah So. Tiada anggota keluarga yang berani mengganggu mereka bertiga yang sedang bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Gan Bi Kim berkenalan dengan Gak Ciang Hun dan Tan Sian Li.

"Aku berterima kasih sekali kepada Taihiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar Wanita)," kata Gan Bi Kim. "Aku sungguh tidak tahu diri, dengan ilmu silatku yang masih rendah aku berani menentang ketua Pao-beng-pai yang lihai itu. Kalau Ji-wi (Anda Berdua) tidak datang, entah bagaimana jadinya dengan diriku," kata Bi Kim.
"Aihh, Nona, harap jangan merendahkan diri. Ilmu pedangmu sudah cukup hebat, hanya ilmu kepandaian ketua Pao-beng-pai itu memang luar biasa. Hanya setelah kita bertiga maju bersama, barulah kita dapat mengusirnya," kata Ciang Hun.

"Benar, Enci, di antara kita tidak perlu sungkan, kita adalah dari golongan yang sama, yaitu menentang perbuatan jahat. Siapakah engkau, Enci, dan bagaimana engkau dapat tiba di tempat ini dan berkelahi dengan ketua Pao-beng-pai itu?"

Gan Bi Kim menghela napas panjang. "Aku hanya orang biasa saja, adik yang gagah, tidak seperti engkau yang berjulukan Si Bangau Merah dan kakak ini yang keturunan orang-orang sakti. Ketua Pao-beng-pai itu sampai mengenal kalian dan merasa gentar. Aku bernama Gan Bi Kim, berasal dari kota raja dan aku sedang melakukan perjalanan mengembara untuk meluaskan pengalaman setelah aku mempelajari sedikit ilmu silat dari para guru di kota raja sebagai bekal untuk membela diri. Pada saat tiba di sini, aku mendengar akan kejahatan kakek tadi yang menguasai rumah keluarga Lurah So, maka aku datang untuk menegur dan mengusirnya, tidak tahu bahwa kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai yang sangat lihai. Nah, sekarang aku mengharapkan keterangan tentang kalian, karena aku hanya mendengar julukanmu, tidak tahu siapa namamu dan nama kakak ini."

"Namaku Tan Sian Li, enci Kim," kata Sian Li yang segera merasa akrab dengan gadis kota raja yang dari sikapnya saja telah dapat diduga bahwa ia seorang gadis terpelajar, bahkan ada sikap agung dan anggun seperti gadis pingitan atau gadis bangsawan.
"Dan namaku Gak Ciang Hun, nona Gan," Ciang Hun memperkenalkan diri.

Dia bagaikan terpesona memandang gadis itu. Ada sesuatu yang amat menarik hatinya pada gadis itu, entah sinar matanya yang lembut, atau pun mulutnya yang memiliki bibir yang mempesonakan.

"Aihh, Gan-toako, kita orang segolongan dan aku sudah merasa akrab dengan enci Kim. Kiranya tidak perlu bersungkan-sungkan menyebut ia nona segala!" kata Sian Li yang wataknya terbuka dan jujur.

Bi Kim tersenyum sambil memandang kepada pemuda itu. "Li-moi tadi berkata benar, Gak-toako. Aku pun merasa seolah-olah aku sudah mengenal kalian selama bertahun-tahun."

Ciang Hun tersenyum girang. "Baiklah, Kim-moi (adik Kim)."

"Enci Kim, engkau seorang gadis kota raja, lembut dan pandai, kenapa bersusah payah bertualang seperti gadis kang-ouw? Aku sendiri tentu lain lagi, karena memang aku dari keluarga petualang, aku seorang gadis kang-ouw yang sudah biasa hidup berkelana. Tapi engkau..."

Bi Kim tersenyum dan memegang lengan Sian Li. "Aihh, janganlah berkata seperti itu, Li-moi. Engkau lebih dalam segala-galanya dibandingkan aku, mengapa mesti memuji-muji aku? Engkau lebih lihai, engkau lebih cantik, lebih muda! Aku mendengar dari para guruku di kota raja tentang dunia persilatan yang luas, mendengar tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, bahkan aku juga pernah mendengar nama besar Si Bangau Putih dan puterinya, Si Bangau Merah. Sebab itu, aku tertarik dan ingin meluaskan pengalamanku dengan merantau."

Tentu saja Bi Kim tidak mau menceritakan bahwa kepergiannya adalah untuk mencari Yo Han, pemuda idamannya yang sudah ditunangkan dengannya oleh neneknya. "Dan engkau sendiri, dari mana hendak ke mana, Li-moi? Dan juga engkau, Gak-toako?"

"Panjang ceritanya," kata Sian Li. "Beberapa pekan yang lalu, diadakan pertemuan dari tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga Siluman. Aku pun hadir dan dalam pertemuan itu, muncul puteri ketua Pao-beng-pai yang menantang kami. Dia dapat dikalahkan dan kemudian pergi. Aku sendiri menjadi sangat penasaran dan pergi hendak menyelidiki Pao-beng-pai..."

"Dan karena aku mengkhawatirkan keselamatan siauw-moi Tan Sian Li, maka aku lalu mengejarnya dan berhasil, maka kami melakukan perjalanan bersama," sambung Ciang Hun.
"Tapi aku pernah mendengar berita bahwa Pao-beng-pai sudah dibasmi oleh pasukan pemerintah," kata Bi Kim.
"Benar, kami terlambat dan kami tidak dapat bertemu dengan gadis iblis itu, tapi malah bertemu dengan ayahnya di sini."
"Jadi kalian berdua saja berani datang untuk mencari puteri ketua Pao-beng-pai? Itu berbahaya sekali! Baru ketuanya saja tadi sudah selihai itu. Apa lagi kalau perkumpulan itu belum terbasmi dan terdapat banyak anak buahnya," kata Gan Bi Kim kagum akan keberanian dua orang itu.
"Aku bukan hanya hendak menyelidiki Pao-beng-pai, enci Kim. Sebetulnya, penyelidikan terhadap Pao-beng-pai hanya sambil lalu saja, yang terutama sekali kepergianku adalah untuk mencari Han-koko..." Sian Li berhenti sebentar sambil memandang kepada Gak Ciang Hun yang nampak tenang saja karena pemuda ini sudah mendengar pengakuan Si Bangau Merah.
"Han-koko? Siapa itu Han-koko?" tanya Bi Kim, tersenyum.

Sian Li baru ingat bahwa Bi Kim sama sekali tak mengenal kekasihnya itu, dan sebagai seorang gadis yang tidak merasa perlu untuk merahasiakan hubungannya dengan Yo Han terhadap seorang sahabat yang dipercayanya, dia pun tertawa.

"Aihh, aku sampai lupa bahwa engkau belum mengenal Han-ko, enci Kim. Dia berjuluk Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti) bernama Yo Han... ehhh, engkau kelihatan terkejut, apakah engkau sudah mengenalnya, Enci?"
"Tentu saja aku terkejut," Bi Kim tersenyum, menahan debaran jantungnya, "Siapa yang tidak pernah mendengar akan nama besar Sin-ciang Taihiap? Dan engkau menyebut dia Han-koko? Agaknya engkau mempunyai hubungan yang erat dengan dia. Masih ada hubungan keluargakah, Li-moi?"

Sian Li tersenyum dan tiba-tiba saja kedua pipinya berubah menjadi kemerahan. Sambil menundukkan mukanya dan dengan tersipu ia berkata, "Boleh dibilang begitulah karena dia... dan aku... kami saling mencinta dan mengharapkan kelak menjadi suami isteri."

Karena mukanya ditundukkan ketika mengatakan itu, Sian Li tidak melihat betapa mata Bi Kim tiba-tiba terbelalak, mukanya pucat dan napasnya terengah sejenak. Bahkan dia kemudian menunduk dan mengusapkan tangannya ke arah kedua matanya untuk cepat mengusir dua titik air matanya.

Akan tetapi Ciang Hun yang semenjak tadi mengamatinya, dapat melihat perubahan ini. Diam-diam dia pun merasa amat terkejut dan heran. Hatinya lalu menduga-duga.

Ketika Sian Li kembali mengangkat muka memandang kepada sahabat barunya itu, Bi Kim telah dapat menguasai perasaan hatinya. Baru saja ia mengalami guncangan batin yang sangat hebat. Siapa orangnya yang tidak merasa seperti ditikam jantungnya ketika mendengar pengakuan seorang gadis yang dikaguminya bahwa gadis itu ternyata saling mencinta dengan laki-laki yang selama ini dicari dan dirindukannya karena laki-laki itu adalah tunangannya!

Menurut gejolak hatinya, ingin sekali dia marah-marah kepada Sian Li. Tetapi dia lalu mengingat-ingat kembali, membayangkan sikap Yo Han terhadap dirinya. Pemuda yang ditunangkan dengannya oleh neneknya itu belum pernah menyatakan cinta kepadanya, bahkan minta waktu untuk dapat memberi jawaban dan mengambil keputusan tentang niat neneknya menjodohkan mereka.

"Kau kenapakah, enci Kim? Engkau kelihatan termenung..." kata Sian Li.

Bi Kim mengangkat muka memandang kepadanya dan tersenyum manis! Kemudian dia menggelengkan kepalanya.

"Tidak apa-apa, adik manis. Aku hanya merasa terharu mendengar bahwa pendekar wanita Bangau Merah saling mencinta dengan Pendekar Tangan Sakti. Li-moi, melihat usiamu yang masih amat muda, tentu belum lama engkau berkenalan dengan Pendekar Tangan Sakti."

Sian Li memandang Bi Kim dengan lucu dan tertawa terkekeh. "Hi-hi-hik, engkau keliru sama sekali, enci Kim. Usiaku memang baru delapan belas tahun, akan tetapi aku telah berkenalan dan akrab dengan Han-ko sejak aku berusia empat tahun!"

Bi Kim terbelalak, memandang kepada Gak Ciang Hun, lalu menatap lagi wajah Sian Li. "Aku... aku tidak mengerti..." katanya bingung.

Sian Li tersenyum dan memegang lengan Bi Kim. "Engkau tidak perlu heran, enci Kim. Ketahuilah, ketika aku berusia empat tahun, Han-ko ikut orang tuaku, bahkan menjadi murid ayah dan ibu. Kemudian kami berpisah dan baru belasan tahun kemudian kami kembali saling bertemu dan langsung kami saling jatuh cinta kembali, maksudku... sejak kanak-kanak pun kami sudah saling mencinta, walau pun sifat cinta itu berubah..."

Kembali sepasang pipi itu menjadi merah sekali, semerah warna pakaiannya.

Setelah mendengar semua keterangan itu, tahulah Bi Kim bahwa tidak mungkin ia dapat mengharapkan Yo Han untuk menjadi calon jodohnya. Bukan Sian Li yang merampas tunangannya. Gadis ini dan Yo Han sudah saling mencinta, bahkan sejak kecil! Kalau ia berkeras mempertahankan usul neneknya mengenai perjodohan itu, berarti dialah yang merampas kekasih orang!

Keangkuhan yang timbul dari harga dirinya sebagai seorang dari keluarga bangsawan, membuat Bi Kim dapat menekan perasaannya dan saat itu juga ia sudah mematahkan hubungan batinnya dengan Yo Han. Dia tidak boleh dan tidak akan suka mencinta Yo Han yang telah menjadi kekasih si Bangau Merah!

Untuk mengalihkan perhatian dan melupakan rasa nyeri seperti ada pisau menikam ulu hatinya, Bi Kim lalu bertanya dengan suara heran, "Adik manis, kenapa engkau mencari kekasihmu itu? Dan kenapa pula dia meninggalkanmu?"

Pertanyaan yang wajar saja dari seorang gadis kepada gadis lain, meski sesungguhnya pertanyaan itu mengandung keinginan untuk mengetahui lebih jelas tentang hubungan antara Sian Li dan Yo Han.

"Ahhh, banyak sekali yang menyebabkannya, Enci, dan sebenarnya hal ini merupakan rahasiaku..."
"Siauw-moi, aku mulai merasa lelah dan mengantuk. Bagaimana kalau engkau lanjutkan percakapanmu dengan adik Bi Kim saja, dan aku beristirahat lebih dahulu?" kata Ciang Hun yang merasa tidak enak hati karena agaknya kehadirannya hanya akan membuat canggung dua orang gadis itu bercakap-cakap secara akrab.

Sian Li tersenyum dan mengangguk. Diam-diam dia merasa terharu dan juga senang karena pemuda itu sungguh tahu diri dan dapat memaklumi keadaan dirinya. Dia selalu merasa tidak enak kepada Ciang Hun kalau di depan pemuda itu harus menceritakan segala hal mengenai Yo Han, padahal Ciang Hun mencintanya.

"Gak-toako ini seorang pemuda yang bijaksana dan baik sekali. Aku amat kagum dan menghormatinya, apa lagi di antara dia dan aku masih ada hubungan kekeluargaan. Maksudku, dia masih keturunan keluarga dari perguruan Pulau Es, sedangkan kakekku keturunan keluarga Gurun Pasir dan nenekku keluarga Pulau Es," kata Sian Li kepada Bi Kim setelah mereka tinggal berdua saja.

"Aku pun kagum kepadanya. Dia seorang pemuda yang lihai, pendiam dan sopan," kata Bi Kim. "Akan tetapi, kalau engkau enggan menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu, aku pun tidak akan memaksamu, Li-moi."
"Ahh, tidak sama sekali, Enci. Kepadamu aku tidak merasa sungkan atau enggan untuk menceritakan, hanya kalau ada Gak-toako..., aku jadi tidak tega untuk banyak bercerita tentang Han-koko dan aku..."
"Tidak tega?" Bi Kim memandang penuh selidik, terheran-heran, "Kenapa tidak tega?"
"Karena dia mencintaku, enci Kim. Dan aku tentu saja tidak dapat membalas cintanya, walau pun aku suka dan hormat sekali kepadanya. Aku sudah menceritakan mengenai hubunganku dengan Han-koko, dan Gak-twako dapat menerima kenyataan itu dengan hati lapang. Dia bijaksana sekali! Dan aku tidak ingin menyinggung perasaannya kalau banyak bercerita tentang Han-ko di depannya."

Bi Kim semakin terheran-heran dan kagum. Dara ini sungguh luar biasa, pikirnya. Begitu jujur, begitu terbuka! "Aih, kasihan dia kalau begitu, Li-moi. Pahit sekali memang kalau orang bertepuk sebelah tangan dalam soal asmara. Nah, sekarang ceritakan, kenapa engkau saling berpisah dengan kekasihmu?"

Sian Li lalu bercerita. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Diceritakannya tentang ayah ibunya yang agaknya tidak menyetujui hubungan cintanya dengan Yo Han, bahkan ayah ibunya telah memilihkan jodoh untuknya, yaitu seorang pangeran!

"Akan tetapi aku tidak mau, Enci. Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran itu, walau pun pangeran itu terkenal gagah dan tampan, kabarnya pandai ilmu silat juga."
"Siapakah pangeran itu? Mungkin aku sudah tahu."
"Dia Pangeran Cia Sun."

Diam-diam Bi Kim semakin heran dan terkejut. Tentu saja dia tahu siapa pangeran itu. Seorang pangeran yang menjadi pujaan hampir semua gadis di kota raja. Setiap orang gadis merindukannya dan mengharapkan menjadi isterinya!

Bahkan dia sendiri, sebelum ditunangkan dengan Yo Han, pernah beberapa kali melihat pangeran itu dan dia sendiri pun merasa terpikat! Dan gadis ini... Si Bangau Merah ini, malah menolak dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun. Bukan main!

"Hemm, menurut penilaianku, dia seorang pangeran yang baik sekali, berbeda dengan para pangeran lainnya. Dia tidak congkak, manis budi dan dekat dengan rakyat."

"Biar seratus kali lebih baik dari itu, aku tetap tidak sudi, Enci. Aku hanya mau berjodoh dengan Han-ko! Nah, pada waktu ayah dan ibu mengajakku menghadiri pertemuan tiga keluarga besar, aku mengharapkan dapat bertemu dengan Han-koko di sana. Namun ternyata dia tidak ada. Lalu muncul puteri ketua Pao-beng-pai membuat kekacauan dan menantang-nantang kami. Setelah ia dapat diusir pergi, aku lalu meninggalkan ayah ibu secara diam-diam karena aku ingin mencari Han-koko dan menyelidiki Pao-beng-pai. Sebetulnya aku ingin membatalkan niat ayah dan ibu mempertemukan aku dengan pangeran itu di kota raja, dan mencari Han-koko sampai dapat."

"Ke mana sih perginya kekasihmu itu, Li-moi?" tanya Bi Kim, diam-diam merasa heran dan geli juga melihat betapa ada persamaan antara ia dan Si Bangau Merah ini.

Ia pun sedang mencari-cari Yo Han seperti yang dilakukan Sian Li. Hanya bedanya, ia mencari pemuda itu sebagai tunangan, sedangkan Sian Li sebagai kekasih! Amat besar bedanya memang, dan kenyataan ini menikam hatinya. Pertunangannya belum resmi itu atas kehendak neneknya, sedangkan saling mencinta tentu saja atas kehendak mereka yang bersangkutan!

"Han-koko menerima tugas berat, yaitu mencari puteri Pendekar Suling Naga Sim Houw yang hilang diculik orang sejak anak itu masih kecil sekali, baru dua tiga tahun usianya. Hingga kini, dua puluh tahun lebih sudah berlalu dan tak pernah ada berita tentang anak itu. Semua usaha yang dilakukan oleh Pendekar Suling Naga dan isterinya tak berhasil. Bahkan andai kata anak itu ditemukan juga, anak itu sudah tidak mengenal orang tua kandungnya, dan sebaliknya suami isteri itu pun takkan dapat mengenal puteri mereka. Dan Han-koko bertugas mencari anak yang hilang itu!"

"Aih, betapa sukarnya tugas itu. Bagaimana mungkin bisa mencarinya jika tidak pernah melihat anak yang kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa itu?" kata Bi Kim.

Dia merasa ikut merasa prihatin mendengar betapa tunangannya, pria yang dicintanya akan tetapi yang mencinta gadis lain itu dibebani tugas yang demikian sulitnya. Andai kata dapat menemukan gadis itu, bagaimana dapat yakin bahwa dia adalah anak yang hilang itu?

"Memang ada ciri khasnya, Enci. Menurut keterangan orang tuanya, anak itu memiliki dua buah tanda yang khas, yaitu sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya dan sebuah noda merah di telapak kaki kanannya. Nah, kurasa di dunia ini tidak ada dua orang yang memiliki tanda-tanda yang serupa seperti itu!"

"Aku akan ingat ciri itu, Li-moi, agar aku dapat membantu mencarinya."
"Terima kasih, enci Kim. Engkau baik sekali. Kini aku merasa bingung harus ke mana mencari kekasihku itu. Aku sangat merindukannya, Enci, dan dia tentu akan berbahagia sekali kalau dapat mencari gadis itu bersamaku."

Tanpa disadari oleh Sian Li, ucapan itu menikam ulu hati Bi Kim yang segera berpamit untuk beristirahat di kamarnya. Mereka bertiga mendapat masing-masing sebuah kamar di rumah keluarga Lurah So yang amat menghormati tiga orang pendekar itu.....

********************
Bi Kim rebah di atas pembaringan kamarnya, menelungkup dan menangis menahan isak supaya jangan sampai suara tangisnya terdengar oleh orang lain di luar kamar. Dia merasa hatinya bagai diremas-remas, pedih dan perih bukan main rasanya. Ingatannya melayang-layang pada segala peristiwa yang lalu, ketika untuk pertama kali ia bertemu dengan Yo Han.

Pertama kali Yo Han datang berkunjung ke rumah keluarga ayahnya sebagai murid dari mendiang paman kakeknya Ciu Lam Hok. Ketika itu keluarga ayahnya sedang dilanda mala petaka.

Ayahnya yang menjadi penanggung jawab gedung pusaka kerajaan, diancam hukuman berat karena banyak benda pusaka penting hilang dicuri orang. Yo Han menyelidiki dan ternyata yang melakukan pencurian adalah Coan-ciangkun yang sengaja melakukan hal itu untuk memaksa keluarga Gan menyerahkan ia untuk menjadi isteri panglima itu. Yo Han berhasil menyelamatkan Gan Seng, ayahnya. Dan dalam keadaan berbahagia itu, neneknya yang bersembahyang di depan meja sembahyang paman kakeknya, tiba-tiba menetapkan perjodohannya dengan Yo Han!

Semua itu terbayang kembali olehnya. Ikatan pertunangan itu pula yang mendorongnya untuk dengan tekun tanpa mengenal waktu, melatih diri dengan ilmu silat dari guru-guru silat yang pandai dari istana atas bantuan ayahnya, sehingga kini dia menguasai ilmu kepandaian silat yang lumayan.

Semua itu dilakukannya demi cintanya kepada Yo Han yang dianggap calon suaminya. Calon suaminya seorang pendekar besar, maka akan janggallah kalau ia tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Kemudian, karena merasa rindu kepada tunangannya itu yang tidak kunjung datang, dia lalu meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi mencari Yo Han!

Dan sekarang, Si Bangau Merah Tan Sian Li yang mengagumkan hatinya itu mengaku terus terang bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han, bahkan hubungan mereka jauh lebih dahulu dari pada pertemuannya dengan pemuda itu. Pantas saja Yo Han belum dapat menerima usul perjodohan yang diajukan oleh neneknya! Kiranya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih!

Bi Kim terpaksa mendekap mukanya dengan bantal karena tangisnya semakin menjadi-jadi. Nafasnya sampai terasa sesak karena dia menahan-nahan sekuatnya agar jangan sampai terdengar suara tangisnya.

Segala macam perasaan yang mengandung susah dan senang ialah permainan nafsu. Nafsu memang selalu memiliki satu arah tujuan, yaitu kesenangan yang dinikmati tubuh melalui panca indera. Jika penyebab kesenangan itu lepas dari tangan, kesenangan itu dalam sekejap mata dapat berubah menjadi kebalikannya, yaitu kesusahan.

Cinta asmara antara pria dan wanita merupakan suatu perasaan manusia yang paling rumit dan aneh. Dalam perasaan yang ada pada tiap diri seorang manusia yang normal ini, yang agaknya memang telah menjadi anugerah atau yang disertakan pada manusia sejak manusia itu dilahirkan, terkandung banyak hal.

Ada pengaruh naluri daya tarik antara lawan jenis yang alami, naluri yang ada pada tiap makhluk ciptaan Tuhan, yang bergerak mau pun yang tidak, daya tarik yang merupakan syarat mutlak bagi pengembang biakan makhluk itu. Daya tarik alami ini yang membuat lawan jenis kelamin saling tertarik, lalu saling mendekati sehingga terjadilah penyatuan yang melahirkan makhluk baru sebagai proses penciptaan yang amat indah dan suci.

Di samping naluri yang sifatnya suci dan alami, masuk pula pengaruhi nafsu dan dalam cinta asmara, nafsu memainkan peran sepenuhnya sehingga memberikan kesenangan selengkapnya kepada manusia yang dilanda cinta. Kenikmatan akan dirasakan manusia melalui kesenangan yang terkandung dalam panca indera. Bila orang sedang bercinta, mata akan melihat keindahan pada orang yang dicinta, telinga mendengar kemerduan, hidung mencium keharuman. Segala macam perasaan, sentuhan dan apa saja menjadi terasa teramat indah!

Namun, karena nafsu memegang peran yang begitu besarnya, maka seperti akibat dari pada permainan nafsu, semua kesenangan itu setiap saat dapat saja berubah menjadi kesusahan. Tidak ada kesenangan melebihi senangnya orang bercinta, dan tidak ada kesusahan hati melebihi orang gagal dalam bercinta! Dunia seakan kiamat, harapan seakan-akan hancur lebur, hidup seakan-akan tiada artinya lagi!

Dalam saat seperti itu, betapa banyaknya orang yang kurang tabah dan kurang sadar lalu melakukan perbuatan dungu seperti membunuh diri, atau membunuh orang yang menggagalkan cintanya termasuk orang yang dicintanya itu sendiri! Dalam mabuk cinta, kita lupa bahwa segala kesenangan itu ada batasnya, dan tidak abadi!

Jelas bahwa nafsu yang bermain-main di dalam cinta kasih tidak abadi pula. Yang abadi adalah sesuatu yang datangnya bukan dari nafsu yang menggelimangi hati akal pikiran. Yang asli dan abadi adalah cinta yang tidak dikotori nafsu dan cinta inilah yang menjadi dasar dari segala perasaan yang baik. Cinta ini yang mungkin biasa kita namakan kasih sayang!

Kasih ini terdapat di dalam sinar matahari, di dalam titik-titik air hujan, dalam gelombang samudera, dalam bersilirnya angin semilir, dalam merekahnya dan harumnya bunga-bunga, dalam senyum ranum dan matangnya buah-buahan, di dalam air mata seorang ibu, di dalam belaian tangannya, di dalam pandang mata seorang ayah, di dalam tangis seorang bayi dan masih banyak lagi.

Gan Bi Kim menjadi korban dari ulah nafsu itu. Ia merasa seolah-olah hidupnya hancur lebur. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak tahu bahwa kesusahan, seperti juga dengan kesenangan, tidak abadi, bahkan tidak akan panjang umurnya, walau pun dibandingkan kesenangan, kesusahan lebih lama dirasakan manusia.

Tidak mungkin senang terus tanpa kesusahan, seperti tidak mungkinnya susah terus tanpa ada kesenangan. Bahkan di waktu siang hari pun tidak selalu terang benderang, kadang-kadang digelapkan awan mendung, dan malam gelap gulita pun kadang-kadang diterangi bulan atau bintang-bintang!

Dalam keadaan senang, orang lupa bahwa kesusahan sudah berada di ambang pintu. Dalam keadaan susah, seseorang seolah-olah merasa bahwa tak ada harapan lagi dan selalu dia akan menderita susah, seperti sakit yang tak mungkin dapat diobati lagi! 

Bi Kim merasa semakin tidak tahan. Berduka di dalam kamar yang asing, seorang diri digerogoti kenangan lama, membuat ia merasa sumpek dan pengap. Malam telah tiba dan suasana sunyi. Ia membuka daun pintu dan melangkah keluar, melalui gang masuk ke dalam taman bunga milik keluarga lurah itu. Agak lega rasanya ketika ia berada di luar, di udara terbuka.

Ia melangkah terus. Malam tidak gelap benar karena ada banyak sekali bintang di langit, tidak terhitung banyaknya karena langit cerah tanpa mendung sehingga hampir semua bintang bermunculan, ada yang tersenyum, ada yang berkedip-kedip.

Bunga-bunga di taman itu banyak yang mekar indah, karena memang waktu itu musim bunga telah berumur dua bulan sehingga suasana taman itu indah sekali, bermandikan cahaya bintang yang kehijauan. Ditambah lagi suara jangkerik dan belalang laksana sekumpulan musik yang mendendangkan lagu malam dalam irama yang bebas namun tidak kacau, bahkan serasi.

Tiba-tiba suasana itu, yang pada mulanya menghibur, sekarang bagaikan menyentuh perasaannya, mendatangkan keharuan yang mendalam hingga ia terhuyung, menutupi muka dengan tangannya dan menangis. Kini ia berada di luar rumah dan ia tidak begitu menahan isak tangisnya, dan terdengar rintihan kalbunya keluar melalui mulutnya dalam bentuk tangis lirih dan sedu sedan.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa Gak Ciang Hun yang semenjak tadi duduk melamun seorang diri di dekat kolam ikan, kini bangkit dan memandang kepadanya dari sebelah kiri. Pemuda itu menghela napas panjang, dan alisnya berkerut.

Dia sudah melihat perubahan sikap gadis itu sejak Sian Li mengaku bahwa ia dan Yo Han saling mencinta. Dia melihat betapa Gan Bi Kim terbelalak dengan muka pucat dan napasnya terengah-engah ketika mendengar pengakuan Sian Li itu dan betapa gadis itu berusaha untuk menenangkan diri secepatnya. Dia menduga-duga, akan tetapi dia tidak menemukan jawabannya.

Dan kini, selagi dia melamun seorang diri di dalam taman mengenangkan nasib dirinya yang menderita penolakan cintanya terhadap Sian Li, atau lebih tepat lagi menderita putusnya cinta dikarenakan Sian Li mengaku bahwa gadis itu hanya mencinta Yo Han, tiba-tiba saja dia melihat Bi Kim menangis sedih seorang diri di dalam taman! Karena merasa terharu dan iba, bagaikan terkena pesona dan seperti tidak disadarinya, Ciang Hun melangkah perlahan menghampiri. Setelah dekat, dia berkata lirih.

"Adik Bi Kim..."

Bi Kim tersentak kaget, seperti diseret dari dunia lamunan kembali ke dunia kenyataan yang pahit dan membingungkan. Segera ia menghapus air mata dengan tangannya dan mengucek-ucek kedua matanya, memaksa bibirnya tersenyum.

"Aihh, kiranya Gak-toako... kaget sekali aku karena tidak mengira di sini ada orang lain."

Hati Ciang Hun makin terharu. Gadis ini jelas sedang menderita batin yang membuatnya berduka, akan tetapi masih berusaha untuk bersikap wajar yang sangat canggung. Dia pun tidak berpura-pura lagi karena dia merasa kasihan dan ingin sekali dapat membantu gadis itu, kalau memang gadis itu membutuhkan bantuan.

"Kim-moi, sejak tadi aku berada di sini, ingin menikmati malam musim bunga yang indah ini. Malam sangat cerah, langit bersih terhias bintang-bintang. Mengapa engkau malah berduka dan menangis, Kim-moi?"
"Aku... aku tidak berduka, tidak menangis..." Bi Kim cepat membantah, tetapi suaranya membuktikan bahwa ia memang habis menangis, bahkan masih terkandung sisa tangis di dalam getaran suaranya.
"Ahh, Kim-moi, biar pun kita baru berkenalan hari ini, akan tetapi tentu engkau juga telah merasakan seperti yang kami rasakan, yaitu bahwa kita berasal dari satu golongan dan seperti keluarga sendiri. Di antara saudara atau sahabat baik, kalau ada seorang yang mengalami kesulitan, sudah sepantasnya kalau yang lain membantu, bukan? Andai kata aku yang mengalami kesusahan, apakah engkau tidak bersedia untuk menolongku, Kim-moi?"

"Tentu saja, Toako! Engkau sendiri dan Li-moi tadi pun telah menolongku dari ancaman ketua Pao-beng-pai. Tentu aku pun akan mengulurkan tangan membantumu kalau aku bisa."
"Nah, begitu pula dengan aku, Kim-moi. Kini aku mengulurkan tangan dan aku bersedia membantu dirimu mengatasi kesusahanmu. Nah, maukah engkau menceritakan kenapa engkau begini bersedih?"

Ditanya orang lain tentang kesedihannya dengan suara yang demikian penuh perhatian dan seakan turut merasakan, keharuan memenuhi hati Bi Kim dan tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Akan tetapi ia menggigit bibir dan tak mau mengeluarkan suara tangis. Ia menggelengkan kepala dan menghapus air matanya dengan sapu tangannya yang sudah basah.

"Engkau... engkau atau siapa pun di dunia ini tidak akan dapat menolongku, Toako... memang sudah ditakdirkan bahwa nasibku amat buruk..." kembali ia mengusapkan sapu tangan ke arah kedua matanya.

"Siauw-moi, tidak ada nasib buruk itu! Segala sesuatu yang terjadi menimpa diri kita sudah sewajarnya, dan ada sebab akibatnya. Bukan nasib buruk, karena nasib buruk itu hanya pandangan orang yang kecil hati dan tidak tabah menghadapi kenyataan hidup. Kenyataan hidup memang tidak selalu putih, ada kalanya hitam, tidak selalu manis, ada kalanya pahit. Akan tetapi, manis atau pun pahit, kalau kita dapat menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup yang tidak terlepas dari hukum alam, maka kita akan mampu menghadapinya dengan tabah. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi, asalkan kita tabah, tidak meninggalkan daya ikhtiar dan didasari penyerahan kepada Yang Maha Kuasa, Kim-moi. Aku tadi sudah melihat perubahan pada sikapmu. Pada waktu Li-moi bercerita dengan terus terang, memang wataknya terbuka dan jujur, bahwa ia dan Yo Han saling mencinta, aku melihat engkau terbelalak kaget dan mukamu pucat sekali. Kim-moi, aku yakin bahwa kedukaanmu tentu ada hubungannya dengan cerita Li-moi itu, atau setidaknya, ada hubungannya dengan Yo Han. Benarkah dugaanku?"

Bi Kim menundukkan mukanya. Sampai lama ia tidak menjawab, hanya menarik napas panjang berulang kali. Ia tahu bahwa ia tidak dapat mengelak lagi, dan kalau sampai Sian Li mengetahui hal ini, sungguh amat tidak enak. Pemuda ini dapat dipercaya, dan dengan bantuan pemuda ini ia akan lebih mudah menyembunyikan rahasianya dari Sian Li.

"Gak-toako," katanya sambil memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam, "Kalau aku berterus terang kepadamu, maukah engkau berjanji untuk merahasiakan ini dari adik Sian Li?"
"Aku berjanji demi kehormatanku, Kim-moi."
"Ketahuilah, Toako, bahwa guru dari Sin-ciang Taihiap Yo Han adalah adiknya nenekku. Pada suatu hari, Yo-toako datang berkunjung ke kota raja dan dia berhasil menolong ayahku yang terancam mala petaka karena lenyapnya beberapa buah pusaka istana, padahal ayahku menjabat sebagai pengatur gedung pusaka itu. Karena rasa bersyukur, di depan meja sembahyang paman kakekku itu, nenekku lalu menjodohkan aku dengan Yo-toako."
"Ahhh, begitukah...?" Gak Ciang Hun menggumam lirih.
"Ya begitulah, Toako. Biar pun perjodohan itu belum diresmikan, akan tetapi sejak saat itu, aku sudah menganggap diriku sebagai calon isteri Yo Han. Dan tentu dapat kau bayangkan betapa kaget rasa hatiku ketika tadi aku mendengar bahwa adik Tan Sian Li saling mencinta dengan Yo Han."

Ciang Hun mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya. "Apakah Yo Han juga sudah menyetujui ikatan jodoh itu?"

Gadis itu menggeleng. "Belum, Toako. Bahkan dia minta supaya urusan perjodohan itu ditangguhkan sampai dia menyelesaikan tugas-tugasnya. Usul perjodohan itu datang dari nenek, dan dia belum menyatakan setuju atau tidak setuju."

"Akan tetapi... maafkan pertanyaanku ini, apakah kalian sudah saling mencinta?"

Gadis itu menarik napas panjang. Wajahnya nampak memelas sekali walau pun tidak kelihatan jelas di bawah sinar ribuan bintang yang lembut, akan tetapi tarikan muka itu membuat Ciang Hun maklum bahwa pertanyaannya mendatangkan kepedihan hati.

"Terus terang saja, Toako, aku amat kagum padanya dan selama ini aku menganggap bahwa aku cinta padanya. Akan tetapi... ahh, cinta sepihak tidak mungkin, bukan? Dia sudah saling mencinta dengan adik Sian Li... aku akan memberi tahu kepada nenekku dan orang tuaku bahwa aku tidak mungkin berjodoh dengannya."

Hening sejenak, kemudian Bi Kim tercengang melihat pemuda itu tertawa, akan tetapi suara tawanya sumbang. "Haha-ha-heh-heh, alangkah lucunya! Betapa lucunya...!!"

Tentu saja Bi Kim mengerutkan alisnya. Wajahnya berubah merah, pandang matanya bersinar tajam karena marah. Ia mengira bahwa pemuda itu mengejeknya! Padahal, ia telah mempercayainya dan menceritakan rahasia hatinya yang sebetulnya tidak harus diceritakan kepada siapa pun.

"Toako, kau... kau mentertawakan aku...?!" bentaknya marah.

Ciang Hun menyadari sikapnya yang dapat menimbulkan kesalah pahaman itu, maka ia menghentikan tawanya dan cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada meminta maaf.

"Maafkan aku, Siauw-moi. Aku sama sekali bukan mentertawakan engkau, melainkan mentertawakan diriku sendiri karena sungguh amat lucu keadaan kita berdua!" Kembali dia tertawa, akan tetapi menahan sehingga tawanya tidak bersuara.

Bi Kim masih mengerutkan alisnya. "Hemmm, apanya yang lucu dengan ceritaku tadi?"

"Dengarlah, Kim-moi. Sudah lama aku pun jatuh cinta kepada adik Tan Sian Li! Dan kau tahu, sebelum aku sempat menyatakan cintaku padanya, ia mengaku kepadaku seperti yang diceritakan kepadamu tadi, yaitu bahwa dia mencinta Yo Han dan hanya mau berjodoh dengan Yo Han. Kau tentu mengerti betapa hancurnya perasaan hatiku, tetapi aku dapat menerima kenyataan pahit itu. Sama sekali tidak aku duga bahwa engkau mengalami hal yang sama benar dengan aku, dan kita berdua sama-sama mendengar keputusan yang menghancurkan itu dari mulut Li-moi. Hanya bedanya di antara kita, engkau mencinta yang laki-laki, aku mencinta yang perempuan. Ha-ha-ha, bukankah lucu sekali?"

Ciang Hun tertawa-tawa lagi dan sekali ini, Bi Kim juga tertawa. Mereka berdua tertawa-tawa, akan tetapi tawa mereka terasa sumbang dan semakin lama, suara tawa mereka semakin sumbang hingga akhirnya Bi Kim menangis dan Ciang Hun juga mengeluh dan menahan tangisnya!

Dalam keadaan seperti itu keduanya dapat saling merasakan betapa sedih dan perihnya hati yang hampa karena cinta sepihak. Perasaan yang mendatangkan iba diri karena diri serasa tiada harganya, tidak ada yang menyayang! Dan timbullah perasaan iba yang mendalam satu lama lain.

"Kim-moi, kita harus dapat menerima kenyataan... Sudahlah, Kim-moi, jangan bersedih lagi..." karena merasa iba sekali, Ciang Hun mendekat dan menyentuh lengan gadis itu.

Bagaikan tanggul penahan air bah yang bobol, bendungan itu kini pecah dan setengah menjerit Bi Kim menangis dan merangkul Ciang Hun, menangis di dada pemuda itu sampai mengguguk. Semua perasaan pedih, perih dan duka yang semenjak tadi selalu ditahan-tahannya di dalam hati, sekarang dilepaskannya semua melalui tangisnya yang meledak-ledak.

Ciang Hun mengelus rambut itu. Dia pun berdongak memandang langit yang dipenuhi bintang-bintang, dua matanya sendiri basah. Dia maklum sekali bahwa gadis itu sedang ditekan perasaan yang amat berat, maka jalan terbaik adalah membiarkannya menangis melarutkan semua tekanan batin yang dapat menimbulkan penyakit luar dan dalam.

Setelah tangisnya itu agak mereda, bagai badai yang mereda, Ciang Hun berkata, "Ehh, Kim-moi, lihatlah betapa bodohnya kita. Apakah dengan gagalnya cinta kasih kita, lalu dunia ini akan kiamat? Lihat di langit itu, jutaan bintang mentertawakan kita yang lemah. Kita bukanlah orang lemah, kita harus mampu menanggulangi semua tantangan hidup. Kegagalan hanya akan memperkuat batin kita, mematangkan kita. Sama sekali keliru kalau kita putus asa dan membiarkan diri tenggelam dalam kecewa dan duka."

Bi Kim sadar dan ia pun seperti baru menyadari bahwa ia telah menangis di atas dada Ciang Hun. Ia melepaskan rangkulannya dan tersipu. Ia menghapus sisa air matanya, memandang kepada pemuda itu, mencoba untuk tersenyum.

"Engkau benar, Toako. Maafkan atas kelemahanku, dan maafkan kelakuanku tadi yang tidak pantas."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Siauw-moi, tidak ada yang tidak pantas. Aku mengerti perasaanmu dan aku dapat merasakan pula kepahitan yang melanda hatimu. Bukankah kita sama-sama mengalaminya? Akan tetapi, sama-sama pula kita dapat mengatasinya, bukan?"

"Terima kasih, Gak-toako."

Ciang Hun lalu menasehati agar gadis itu kembali ke kamarnya karena akan kurang baik dugaan orang kalau ada yang melihat mereka berada di taman berdua saja pada waktu malam seperti itu. Bi Kim menyetujui. Ia pun kembali ke kamarnya, meninggalkan Ciang Hun yang masih termenung seorang diri di taman itu.

Mulai saat itu, tumbuhlah perasaan aneh di dalam hati kedua orang itu. Mereka saling merasa kasihan, dan perasaan ini menumbuhkan suatu perasaan baru dari cinta kasih, ingin saling menghibur, ingin saling membahagiakan!

Pohon cinta memang bisa tumbuh dengan perantaraan belas kasihan, atau kekaguman, senasib, kesamaan pandangan, kesamaan selera dan banyak perasaan lain lagi. Dan sekali orang jatuh cinta, maka segala yang ada pada diri orang yang dicintai nampak indah, segala yang dilakukan orang yang dicinta selalu menyenangkan hati. Maka tidak terlalu berlebihan bila orang mengatakan bahwa cemberut seorang yang dicinta menjadi pemanis, sebaliknya senyum seorang yang dibenci makin menyebalkan!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah bangun dan mandi. Ketika dia keluar dari dalam kamarnya dengan mengenakan pakaian bersihnya, dan seperti biasa pakaiannya serba merah sehingga ia nampak segar dan jelita seperti setangkai bunga mawar merah di waktu pagi hari, masih segar membasah bermandikan embun pagi, ia melihat Gan Bi Kim dan Gak Ciang Hun juga sudah mandi. Mereka kemudian duduk di ruangan dalam di luar kamar mereka.

Setelah mereka duduk bertiga, Sian Li lantas berkata. "Pagi ini aku akan melanjutkan perjalananku, dan sebelum aku bertemu dengan Han-ko, aku tidak akan pulang."

"Memang, sebaiknya kalau kita bertiga pergi dari sini," kata Ciang Hun.
"Tidak enak kalau mengganggu keluarga Lurah So terlalu lama."
"Adik Sian Li, aku akan mencoba untuk membantumu, ikut mencarikan anak yang hilang itu. Siapa tahu aku akan bertemu dengan gadis yang mempunyai tanda-tanda di pundak kiri dan kaki kanan itu. Siapa namanya?"
"Namanya Sim Hui Eng," jawab Sian Li.
"Aku pun akan membantumu mencari Yo Han, kalau jumpa akan kuberi tahu bahwa engkau mencarinya. Paling lambat pada hari Sin-cia (Tahun Baru Imlek), berhasil atau tidak, aku akan memberi kabar kepadamu, di rumah orang tuamu di Ta-tung," berkata Ciang Hun.

Sian Li tersenyum memandang kepada dua orang sahabatnya itu. "Terima kasih, kalian baik sekali. Karena kita bertiga mencari orang, maka akan lebih besar harapannya akan berhasil kalau kita berpencar. Kita mencari dengan berpencar dan berjanji saling jumpa lagi pada hari Sin-cia. Bagaimana pendapat kalian?"

"Setuju!" kata Ciang Hun. "Pada hari Sin-cia, aku akan berkunjung ke rumahmu, Li-moi.”
“Dan bagaimana dengan kau, Kim-cici? Di mana kita akan bertemu hari Sin-cia nanti?"
"Aku setuju dengan pendapat Gak-toako. Aku pun akan berkunjung ke rumahmu pada hari Sin-cia, Li-moi."
"Bagus! Aku akan menanti kunjungan kalian dengan hati gembira. Ayah dan ibu pasti juga akan bergembira sekali bila menerima kunjungan kalian. Nah, mari sekarang kita berangkat!"

Tiga orang muda perkasa itu lalu berpamitan kepada Lurah So sekeluarga, kemudian meninggalkan rumah dan dusun itu. Setelah tiba di perempatan jalan, mereka berpisah. Sian Li menuju ke utara, Ciang Hun ke selatan dan Bi Kim ke timur.....

********************
Selanjutnya baca
SI TANGAN SAKTI : JILID-09
LihatTutupKomentar