Si Tangan Sakti Jilid 09
Gadis itu duduk di bawah pohon, agak jauh dari jalan raya dan tidak nampak dari jalan karena tempat itu agak tertutup oleh hutan kecil yang berada di luar tembok kota raja. Gadis yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun itu anggun dan cantik jelita.
Pakaiannya indah. Rambutnya digelung tinggi dan dihias tiara kecil. Melihat pakaiannya pantasnya ia adalah seorang puteri bangsawan yang kaya raya. Namun sungguh aneh, ia berada seorang diri di tempat sunyi itu, bahkan lebih aneh lagi, ia duduk termenung dengan air mata mengalir menuruni kedua pipinya.
Bila orang mengetahui sikap gadis itu, dia tentu akan semakin terheran-heran. Gadis itu adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang ketika itu disebut Sang Puteri atau Nona Dewi. Oleh semua anggota Pao-beng-pai dan bahkan di dunia kang-ouw, dia dikenal sebagai puteri ketua Pao-beng-pai Siangkoan Kok, dan nama gadis itu adalah Siangkoan Eng atau biasa dipanggil ayah ibunya Eng Eng saja.
Akan tetapi, sudah terjadi peristiwa hebat yang mendatangkan perubahan besar dan yang membuat Eng Eng kini duduk termenung di bawah pohon itu sambil mencucurkan air mata! Padahal, dahulu sebagai puteri ketua Pao-beng-pai ia dikenal sebagai seorang wanita perkasa yang dingin dan keras, belum pernah menangis! Jika orang yang pernah mengenalnya melihat ia kini duduk menangis, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran bukan main.
Bagaimana ia tidak akan menangis? Setabah-tabahnya, sekeras-keras hatinya, saat itu Eng Eng dilanda perasaan yang hancur lebur. Ia berduka, kecewa, penuh penasaran dan dendam. Karena membebaskan Yo Han dan Cia Sun, ia hampir dibunuh ayahnya. Kemudian ayahnya menyakiti hati ibunya dengan memaksa Tio Sui Lan, murid ayahnya dan sahabat baiknya, menjadi isteri pengganti ibunya. Sui Lan diperkosa ayahnya tanpa ia dan ibunya dapat berbuat sesuatu!
Dan setelah dia terluka parah oleh pukulan ayahnya, terjadi hal yang lebih hebat lagi, yaitu ibunya membuka rahasia bahwa ayahnya itu, Siangkoan Kok, sebetulnya hanyalah ayah tirinya! Dan pada saat ia bertanya kepada ibunya, siapa ayah kandungnya, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa ibunya itu amat membenci ayah kandungnya.
Semua peristiwa itu membuat dirinya merasa sedih bukan main. Orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri, ternyata orang lain dan sangat kejam terhadap ibunya dan terhadap dirinya sendiri. Kemudian, ibunya malah sangat membenci ayah kandungnya dan tidak mau memberi tahukan siapa nama ayah kandungnya, masih hidup ataukah sudah mati.
Semua ini menghancurkan hatinya dan ia pun malam itu juga melarikan diri dari rumah, meninggalkan Pao-beng-pai dan bersembunyi di sebuah goa yang banyak terdapat di Ban-kwi-kok. Di Lembah Selaksa Setan ini terdapat goa-goa besar yang ditakuti orang, yang menurut tahyul dijadikan tempat tinggal para setan dan iblis. Karena itu, jangankan rakyat biasa, bahkan para anggota Ban-kwi-kok sendiri jarang ada yang berani datang, apa lagi bermalam di goa-goa itu.
Dalam kedukaannya, Eng Eng tidak mengenal takut. Ia bersembunyi di sebuah goa dan setiap hari dan malam dia hanya duduk bersemedhi, menghimpun tenaga sakti untuk mengobati luka dalam yang diderita akibat pukulan ayah tirinya! Ayah tirinya amat jahat, hampir membunuhnya, memperkosa Sui Lan, dan menurut ibunya, ayah kandungnya juga amat jahat sehingga dibenci ibunya. Dunia seperti hancur rasanya bagi Eng Eng.
Pada keesokan hatinya, selagi bersemedhi, dia mendengar suara ribut-ribut. Agaknya terjadi pertempuran di Ban-kwi-kok! Kalau saja ia tidak terluka, dan kalau saja ia belum bentrok dengan ayah tirinya, tentu ia akan membela Pao-beng-pai dengan taruhan nyawa. Akan tetapi, sekali ini ia diam saja, tidak bergerak dan tetap duduk bersila.
Ia masih belum pulih. Kalau ia bertempur melawan musuh yang agak tangguh saja, ia akan celaka. Selain itu, ia tidak sudi membantu ayah tirinya lagi. Bahkan hatinya kini condong untuk menentang dan melawan! Kalau saja ia tidak ingat betapa sejak kecil ia dididik dan digembleng oleh ayah tirinya yang ia tahu sayang kepadanya, tentu kini dia sudah menganggap ayah tiri itu musuhnya!
Karena perasaan itu, dia pun diam saja dan tidak keluar dari dalam goa. Akan tetapi setelah pertempuran itu berhenti, baru dia teringat akan ibunya! Betapa pun dia marah kepada ibunya yang mengatakan membenci ayah kandungnya, tetap saja sekarang dia mengkhawatirkan ibunya.
Ayah kandungnya sakti, juga ibunya mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sehingga mereka akan mampu membela diri dengan baik. Akan tetapi, dia tidak tahu siapa yang melakukan penyerbuan ke Pao-beng-pai. Dia harus melihat bagaimana keadaan ibunya, agar supaya hatinya menjadi lega.
Karena keadaan sangat sunyi, maka dia pun keluar dari dalam goa dan pergi ke sarang Pao-beng-pai. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat para anggota Pao-beng-pai banyak yang tewas, sisanya entah lari ke mana. Yang lebih mengejutkan hatinya lagi adalah ketika ia menemukan mayat ibunya dan mayat Sui Lan!
Ia lalu menubruk dan menangisi mayat ibunya. Ketika dua orang anggota Pao-beng-pai yang melihat munculnya nona mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, Eng Eng bertanya apa yang telah terjadi.
Dua orang anggota Pao-beng-pai itu lalu bercerita bahwa pasukan pemerintah datang menyerbu Pao-beng-pai. Tanpa bertanya lagi Eng Eng dengan sendirinya menganggap bahwa Sui Lan dan ibunya tewas di tangan para penyerbu!
"Dan di mana Pangcu (Ketua)?" Ia tidak mau menyebut ayah.
"Kami tidak tahu, Nona. Melihat bahwa tidak ada jenazah Pangcu di sini, tentu beliau telah berhasil menyelamatkan diri."
"Bagaimana pasukan pemerintah mampu naik ke tempat ini dan melalui semua jebakan rahasia?" tanyanya penasaran.
"Kami sempat melihat bayangan Cia Ceng Sun yang pernah menjadi tawanan di sini, Nona. Tentu dialah yang menjadi penunjuk jalan."
Eng Eng terkejut, bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia mengepal tinju. Hatinya berteriak memaki Cia Sun. Tahulah ia. Tentu pangeran Mancu itu yang telah membawa pasukan datang menyerbu! Pangeran itu tentu dahulu datang sebagai mata-mata.
Laki-laki berhati palsu! Kelak aku akan membuat perhitungan denganmu, geramnya di dalam hati. Dibantu dua orang anggota Pao-beng-pai itu, Eng Eng kemudian mengubur jenazah ibunya dan Sui Lan, di lereng sebuah bukit yang bersih.
Demikianlah, kini ia berada di luar kota raja, bersembunyi di hutan itu dan menangis. Ia bukan seorang wanita cengeng yang menangisi kematian ibunya berulang kali. Sudah cukup ia menangisi di depan jenazah dan di depan makam sederhana ibunya. Kini ia mencucurkan air mata bukan karena teringat kematian ibunya.
Ia menangis karena teringat akan Cia Sun! Ia akan mencari, menangkap dan menyiksa, lalu membunuh Cia Sun! Akan tetapi, sukar membayangkan bagaimana ia akan dapat melakukan itu. Ia amat mencinta pangeran itu! Mengenangkan sikap manis dan mesra pangeran itu, bagaimana mungkin tangan ini akan mampu melukainya, menyakitinya, apa lagi membunuhnya? Inilah yang membuat ia bercucuran air mata menangis!
Senja datang dan suasana semakin sepi. Eng Eng mengepal kedua tangannya.
"Cengeng! Lemah!" Ia memaki diri sendiri.
Bagaimana pun juga, dia adalah musuh besar. Dialah yang menyebabkan Pao-beng-pai runtuh dan habis terbasmi, bahkan ia pula yang menyebabkan ibunya tewas! Dia bukan membalas dendam untuk Pao-beng-pai, bukan pula membalas dendam bagi Siangkoan Kok, tetapi ia harus membalas dendamnya atas kematian Sui Lan dan ibunya, terutama ibunya. Pangeran Cia Sun harus membayar lunas hutangnya!
Sesudah menghapus air matanya dan mengeraskan hatinya, Eng Eng memasuki pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Karena ia nampak seperti seorang gadis bangsawan atau hartawan, tidak pula membawa senjata sebab senjata istimewanya, yaitu sebatang hud-tim (kebutan) terselip di pinggang, di balik baju, maka para penjaga di pintu gerbang hanya memandang kagum, tidak mengganggunya.
Malam itu gelap. Udara mendung. Gelap dan dingin karena angin malam meniupkan hawa yang lembab. Karena gelap dan dingin, orang-orang lebih suka tinggal di dalam rumah mereka yang lebih hangat dibandingkan hawa di luar.
Apa lagi di rumah kaum bangsawan dan hartawan, di mana terdapat perapian yang bisa mendatangkan hawa hangat. Kalau tidak mempunyai keperluan yang penting sekali, tak ada yang mau meninggalkan rumah. Sebab itu jalan-jalan raya juga sepi dari lalu lintas.
Kesepian itu amat membantu Eng Eng yang sudah mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya digelung dan diikat ke belakang, tidak disanggul rapi seperti biasa, juga tak dihias tiara. Pakaiannya yang serba hitam dan ringkas itu membuat gerakannya yang cepat sukar diikuti pandang mata.
Senjata kebutan yang berbulu merah dan bergagang emas terselip di pinggang depan, dengan bulunya sudah digulung rapi, sedangkan pedang beronce merah tergantung di punggung. Sekuntum jarum hitam juga tergantung di pinggang. Eng Eng kini membekali diri dengan senjata lengkap karena ia hendak menangkap Pangeran Cia Sun di rumah gedung keluarga pangeran itu.
Sore tadi setelah memasuki kota raja, ia telah melakukan penyelidikan dan tidak sukar untuk mendapat keterangan tentang rumah tinggal Pangeran Cia Sun. Sebuah gedung besar dan megah berdiri di sudut kanan kota raja. Itulah tempat tinggal Pangeran Cia Sun dengan keluarga ayahnya, yaitu Pangeran Cia Yan seorang di antara putera-putera Kaisar Kian Liong (1736 - 1796).
Seperti telah kita ketahui, biar pun secara resmi Pangeran Cia Yan adalah anak angkat Kaisar Kian Liong, yaitu seorang keponakan yang diangkat menjadi putera, akan tetapi sesungguhnya, Pangeran Cia Yan adalah putera kaisar itu sendiri, hasil hubungan gelap dengan kakak iparnya. Oleh karena itu, biar pun resminya pangeran akuan, atau anak angkat, namun Kaisar Kian Liong menyayangnya seperti anaknya sendiri. Pangeran Cia Yan tidak dapat diangkat menjadi putera mahkota, akan tetapi dia merupakan seorang di antara para pangeran yang disayang oleh kaisar.
Malam itu, di sekitar gedung milik Pangeran Cia Yan juga sunyi. Karena dia sendiri tidak memegang jabatan penting, juga tak merasa mempunyai musuh, maka gedung tempat tinggal keluarga Pangeran Cia Yan ini tidak dijaga ketat seperti tempat kediaman para pangeran lain. Hanya ada enam orang yang berjaga malam dan melakukan perondaan di sekitar gedung besar itu untuk menjaga keamanan.
Tentu saja amat mudah bagi Eng Eng untuk menyusup masuk dengan melompati pagar tembok tanpa diketahui para penjaga. Ia melompat pagar tembok belakang dan masuk ke taman bunga yang terpelihara rapi. Sambil menyelinap di antara pohon dan semak bunga, ia menghampiri bangunan besar dan beberapa menit kemudian, ia sudah dapat meloncat ke atas genteng dan melakukan pengintaian dari atas.
Lampu-lampu di luar genteng sudah banyak yang dipadamkan sehingga gerakan Eng Eng tidak dapat terlihat ketika ia berkelebatan di atas genteng. Dengan cara mengintai dari atas, akhirnya dia mendengar percakapan di bawah yang dilakukan dengan suara keras. Jantungnya berdebar tegang saat ia mendengar suara Pangeran Cia Sun! Suara yang lembut namun kuat.
"Ayah dan Ibu, sekali lagi saya mohon maaf, bukan sekali-kali saya ingin membantah dan tidak mau mentaati perintah Ayah dan Ibu. Bukan sekali-kali saya menolak karena menganggap pilihan Ayah dan Ibu itu kurang baik untuk saya. Sama sekali tidak! Saya sudah mendengar tentang Si Bangau Merah, mendengar bahwa dia seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, berwatak gagah perkasa serta berbudi baik. Juga ia cantik jelita, keturunan keluarga pendekar sakti yang terkenal."
"Nah, kau mau apa lagi? Engkau sendiri bilang, ia keturunan pendekar besar, ia gagah perkasa, berbudi baik dan cantik jelita. Apakah semua hal itu belum memenuhi syarat bagimu untuk menjadi isterimu?" terdengar suara Pangeran Cia Yan, ayah pemuda itu, membentak.
"Benar sekali kata Ayahmu, anakku. Selain gadis itu amat baik bagimu, juga kami telah mengikat janji dengan orang tuanya, yaitu Pendekar Bangau Putih dan isterinya. Masih kurang apakah Si Bangau Merah itu, anakku?"
Kalau tadinya Eng Eng yang mendengar semua itu sudah merasa gemas dan ingin segera menangkap orang yang menyebabkan kehancuran Pao-beng-pai dan terutama kematian ibunya, kini mendengar apa yang dipercakapkan, dia tertarik sekali dan ingin ia mendengar apa yang akan dikatakan pangeran itu tentang ikatan jodoh.
Ia sendiri tentu saja tadinya mencinta pangeran itu dan mengharapkan dapat menjadi isterinya, dan tentu ia akan marah sekali kalau mendengar pangeran itu akan menikah dengan orang lain. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Ia tidak mungkin menjadi isteri Cia Sun, dan tidak semestinya mencintanya, bahkan sudah sepatutnya ia membencinya karena pria yang tadinya menjadi kekasihnya itu sekarang telah menjadi musuh besarnya.
Meski ia tidak peduli lagi apakah pangeran itu akan menikah dengan gadis lain ataukah tidak, tetap saja ia tidak dapat membohongi hatinya sendiri. Ia ingin sekali mengetahui apa jawaban pangeran itu dan bagaimana isi hatinya! Maka, dia pun mendengarkan dengan jantung berdebar tegang.
"Sebagai seorang gadis, memang harus saya akui bahwa Si Bangau Merah itu baik dan tidak ada kekurangannya, Ayah dan Ibu. Akan tetapi untuk menjadi isteriku, ia memiliki kekurangan yang amat besar artinya, yaitu ia tak memiliki cinta! Saya tidak mencintanya dan ia pun tidak mencintaku. Dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta!"
Eng Eng merasa betapa kedua kakinya gemetar. Ia cepat mengerahkan tenaga untuk melawannya karena ia tidak ingin gerakan tubuhnya terdengar orang. Ucapan pangeran itu terasa begitu nyaman di hatinya, seolah-olah hatinya dibelai oleh tangan yang amat lembut. Dia musuh besarku, aku benci dia, demikian dengan pengerahan tenaga Eng Eng melawan perasaan hatinya sendiri dan mendengarkan terus.
"Omong kosong!" kata sang ayah. "Kalau nanti kalian sudah saling bertemu dan saling bergaul, cinta itu akan datang dengan sendirinya. Ia cantik dan engkau tampan, kalian sama-sama suka ilmu silat, kalau kalian saling bergaul, pasti kalian akan saling jatuh cinta."
"Itu mungkin saja kalau saya belum jatuh cinta kepada orang lain, Ayah. Akan tetapi saya telah mencinta seorang gadis lain, dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta itu."
Kini kedua kaki Eng Eng menggigil dan hampir saja dia tak mampu bertahan lagi. Dia memejamkan mata, menahan napas dan dengan susah payah baru berhasil menguasai jantungnya yang melonjak-lonjak mendengar pengakuan itu.
"Dia musuhku, aku benci padanya, dia musuhku!" demikian berulang-ulang dia melawan gejolak hatinya sendiri. Dan dia mendengarkan terus.
"Jika engkau jatuh cinta kepada gadis lain, hal itu pun tidak menjadi persoalan. Engkau menikah dengan Si Bangau Merah, dan gadis yang kau cinta itu menjadi selirmu..." kata sang ibu.
"Maaf, Ibu. Saya tidak mau mempunyai selir!"
"Hemmm, apa salahnya dengan hal itu?" bantah ayahnya. "Engkau seorang pangeran, sudah sepatutnya mempunyai selir. Semua pangeran di sini memiliki selir, tidak hanya seorang malah."
"Akan tetapi saya berbeda, Ayah. Saya hanya mencinta gadis itu, dan saya tidak mau menikah dengan wanita lain." Pangeran itu berkeras.
"Aihhh, engkau keras kepala, Cia Sun. Siapa sih gadis yang telah menjatuhkan hatimu seperti ini? Siapa namanya?" tanya sang ibu.
Di atas genteng, di luar kehendaknya sendiri, Eng Eng menerawang. Matanya setengah terpejam, mulutnya tersenyum simpul, hatinya senang sekali. Semua ucapan pangeran itu terdengar olehnya bagaikan sebuah lagu yang amat merdu. Dan dia mendengarkan terus, siap untuk mengembangkan senyum mendengar ibu pangeran itu menanyakan namanya!
"Ibu, gadis yang saya cinta itu, yang saya pilih untuk menjadi calon isteri saya, ia she (bermarga) Sim dan namanya Hui Eng..."
Terdengar gerakan di atas genteng. Cia Sun dapat mendengar suara itu, akan tetapi dia mengira itu suara kucing.
Saat mendengar disebutnya nama itu, seketika wajah Eng Eng yang tadinya tersenyum itu menjadi pucat. Mulutnya yang tersenyum berubah menjadi ternganga, dan matanya terbelalak. Kemudian wajah yang pucat itu berubah kemerahan ketika kedua tangannya dikepal.
"Jahanam keparat kau!" bentaknya di dalam hatinya. Kini kebenciannya terhadap Cia Sun memuncak. "Engkau membohongi aku, engkau merayu dan menipuku!"
Sekarang dia pun mengerti. Cia Sun telah menyelundup ke dalam Pao-beng-pai untuk menyelidiki keadaan perkumpulan itu. Ketika orang-orang mulai mencurigainya, dengan ketampanan dan kehalusan budinya, pangeran itu merayunya dan menjatuhkan hatinya. Semua itu palsu! Semua itu hanya untuk berhasil dalam tugasnya sebagai mata-mata. Pangeran itu telah mempunyai seorang kekasih yang akan dijadikan isterinya. Namanya Sim Hui Eng! Keparat! Dan dia masih berani berpura-pura meminangku!
"Jahanam kau!"
Eng Eng tidak dapat menahan lagi kemarahannya dan beberapa kali loncatan membuat ia berada di luar jendela ruangan di mana pangeran dan ayah ibunya bercakap-cakap. Ia mengerahkan tenaga dan menerjang daun jendela.
"Brakkk...!"
Daun jendela pecah berantakan dan Eng Eng sudah berdiri di depan pangeran itu yang terbelalak memandang kepadanya.
"Kau...!" seru Cia Sun.
Akan tetapi pada saat itu, dari jarak dekat sekali, selagi pangeran itu tertegun karena sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dalam keadaan seperti itu dengan kekasihnya, Eng Eng menggerakkan tangan kirinya. Dua batang jarum hitam langsung menyambar cepat, mengenai kedua pundak Cia Sun.
"Ahhhhh...!" Pemuda itu mengeluh dan roboh terpelanting.
Sebelum tubuhnya terbanting, dengan cepat Eng Eng sudah menggerakkan tubuhnya. Lengan kirinya mengempit tubuh Cia Sun yang terkulai lemas dan sekali meloncat, dia sudah keluar dari rongga jendela yang berlubang.
Suami isteri yang tadinya terbelalak itu, baru sempat berteriak-teriak melihat betapa putera mereka diculik seorang wanita yang cantik dan berpakaian serba hitam.
"Tolong...! Pangeran diculik...!" teriak isteri Pangeran Cia Yan.
"Tangkap penculik! Tangkap penjahat!" Pangeran Cia Yan juga berteriak-teriak. Suami isteri itu mencoba untuk mengejar lewat pintu.
Akan tetapi, dua orang penjaga yang mencoba untuk menghalangi bayangan hitam yang mengempit tubuh Pangeran Cia Sun, roboh oleh tendangan Eng Eng dan gadis itu pun menghilang di dalam kegelapan malam.
Karena malam itu sunyi, gelap dan dingin, maka tidak sukar bagi Eng Eng untuk dapat melarikan Cia Sun dari rumahnya. Sejenak pemuda itu sendiri tertegun dan bingung. Kedua pundaknya terasa panas sekali dan tubuhnya lemas. Akan tetapi dia menahan rasa nyeri itu dan setelah gadis itu tidak berlari lagi, dia berkata dengan heran.
"Bukankah engkau Eng-moi? Eng-moi, kenapa kau lakukan ini kepadaku?"
Eng Eng diam saja, tidak menjawab, ia sedang memikirkan bagaimana dapat membawa pangeran ini keluar dari kota raja. Sebentar lagi, kota raja tentu akan penuh dengan pasukan yang melakukan pengejaran dan pencarian. Untuk keluar begitu saja dari pintu gerbang sambil mengempit tubuh Pangeran Cia Sun, tentu menimbulkan kecurigaan dan ia akan segera dikepung prajurit.
Sementara itu, Pangeran Cia Sun berpkir, apa yang membuat orang yang dicintainya dan yang dia tahu juga amat mencintanya kini bersikap seperti ini, bahkan tega untuk melukainya dan menculiknya. Dan dia pun teringat.
Ketika terjadi penyerbuan ke Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah, dia pun nampak di antara para penyerbu. Tentu Eng Eng mengira bahwa dia yang membawa pasukan itu melakukan penyerbuan.
"Eng-moi, kini engkau hendak membalas dendam atas penyerbuan ke Pao-beng-pai? Eng-moi, bukan... bukan aku yang melakukan. Engkau salah duga. Marilah kita bicara baik-baik dan kau dengarkan semua keteranganku."
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Eng Eng mendapat akal untuk dapat membawa keluar pangeran ini dari kota raja tanpa kesulitan. Dia harus dapat membawa pangeran ini keluar. Ia akan menyiksanya, memaksanya mengakui dosanya dan ia akan membunuh pangeran ini di depan makam ibunya!
"Aku memang ingin bicara denganmu, tapi di luar kota raja. Kalau engkau membawaku keluar dari pintu gerbang, aku mau berbicara denganmu di sana. Kalau tidak, aku akan membunuhmu di sini juga tanpa banyak cakap lagi."
Cia Sun bergidik. Dia tidak takut mati. Meski dia seorang pangeran, namun dia berjiwa pendekar dan kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya. Yang membuat dia merasa ngeri adalah sikap dan suara gadis yang dicintanya itu. Begitu tak wajar, begitu dingin dan penuh ancaman maut! Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu sedang dibakar api dendam dan kebencian.
"Baiklah, Eng-moi. Bebaskan totokanmu dan hentikan kenyerian ini agar tidak ada orang curiga. Aku akan mencari dua ekor kuda untuk kita."
"Jangan mengira engkau akan dapat lari dariku. Sebelum kau lari, aku akan membunuh dirimu!" kata Eng Eng.
Setelah membebaskan totokannya Eng Eng kemudian memberi sebuah pil merah untuk ditelan oleh Cia Sun. Dan sesudah menelan pil itu, Cia Sun tidak begitu menderita lagi.
Kebetulan nampak serombongan penjaga keamanan kota terdiri dari enam orang yang menunggang kuda sedang datang dari depan. Cia Sun segera memberi isyarat kepada rombongan berkuda. Pada waktu mereka telah dekat dan melihat siapa yang menahan mereka, enam orang itu terkejut, lalu turun dari atas kuda dan memberi hormat kepada Pangeran Cia Sun.
"Kami membutuhkan dua ekor kuda, berikan dua ekor yang terbaik," kata pangeran itu.
Enam orang itu tergopoh memilihkan dua ekor kuda. Cia Sun segera mengajak Eng Eng untuk menunggang kuda itu dan segera melarikan kuda ke pintu gerbang selatan seperti yang dikehendaki oleh Eng Eng.
Satu jam kemudian, kota raja geger karena Pangeran Cia Yan minta bantuan pasukan keamanan untuk menangkap penculik yang melarikan Pangeran Cia Sun. Terjadilah geger dan kekacauan, apa lagi ketika ada prajurit yang melapor bahwa Pangeran Cia Sun tidak diculik, melainkan pergi dengan suka rela bersama seorang yang berpakaian hitam. Bahkan pangeran itu sendiri yang meminta dua ekor kuda kepada rombongan prajurit dan kemudian menunggang kuda keluar dari pintu gerbang selatan.
Tentu saja berita ini membuat para perwira yang memimpin pengejaran itu menjadi ragu dan bingung. Bagaimana kalau Pangeran Cia Sun tidak diculik, melainkan pergi dengan suka rela? Tentu pangeran itu akan marah kalau pasukan melakukan pengejaran.
Akibat kebingungan inilah maka pengejaran dilakukan setengah hati. Andai kata mereka dapat bertemu Pangeran Cia Sun, tentu mereka tidak akan berani lancang menangkap gadis berpakaian hitam seperti diperintahkan Pangeran Cia Yan. Mereka tentu akan melihat lebih dahulu bagaimana sikap Pangeran Muda Cia Sun.
Karena memang sudah merencanakan lebih dulu, tanpa ragu-ragu Eng Eng mengajak pangeran itu memasuki hutan kecil di mana tadi ia menangis. Mereka lalu turun dari atas kuda, menambatkan kuda dan membiarkan saja dua ekor kuda itu makan rumput.
Karena tubuhnya masih terasa sakit akibat tusukan dua batang jarum di pundaknya, jarum-jarum hitam yang mengandung racun, Cia Sun lalu menjatuhkan diri di atas rumput, memandang kepada gadis itu yang berdiri memandangnya dengan sinar mata yang bernyala-nyala. Walau pun tempat itu gelap, namun Cia Sun seakan-akan dapat melihat sepasang mata yang sedang memandang marah itu.
Malam masih teramat dingin, akan tetapi mendung telah tersapu angin dan langit kini nampak bersih dengan sinar bulan sepotong sehingga mereka dapat saling melihat, biar pun hanya remang-remang.
"Nah, katakanlah, Eng-moi, apakah artinya semua ini? Benarkah dugaanku tadi bahwa engkau marah kepadaku karena menyangka akulah yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai?"
Sejak tadi Eng Eng menahan kemarahannya, terutama kemarahan karena mendengar percakapan antara pangeran itu dan orang tuanya tadi. Kini, kemarahannya meledak!
"Engkau manusia paling busuk di dunia! Engkau manusia palsu, jahanam keparat yang berbudi rendah!"
"Silakan memaki dan mencaci, bahkan engkau boleh saja membunuhku, Eng-moi, akan tetapi, setidaknya jelaskan dahulu mengapa engkau begini marah kepadaku, agar andai kata engkau membunuhku, aku tidak akan mati penasaran.”
"Huh, tidak perlu engkau merayuku lagi dengan omonganmu yang seperti madu berbisa! Engkaulah yang membuat banyak orang mati penasaran, termasuk ibuku dan Tio Sui Lan! Engkau menyamar, kemudian menyelundup ke Pao-beng-pai untuk memata-matai Pao-beng-pai. Engkau bahkan merayuku sehingga aku terbujuk dan membebaskanmu, mengkhianati Pao-beng-pai sendiri. Ternyata semua perbuatanmu hanya palsu. Engkau mempermainkan aku, engkau memimpin pasukan membasmi Pao-beng-pai, membunuh keluargaku! Engkau sungguh keji, kejam dan curang!" Suara Eng Eng terkandung isak tangis.
"Hemmm, kalau begitu tepat dugaanku. Engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai. Semua itu tidak benar, Eng-moi! Aku tidak memimpin pasukan itu! Baru sebentar aku pergi, bagaimana caranya aku dapat mengumpulkan pasukan besar untuk menyerbu Pao-beng-pai? Tidak, bukan aku yang mengerahkan pasukan itu. Aku mendengar bahwa ada pasukan yang pergi menyerbu Pao-beng-pai, karena tempatnya telah diketahui. Pada saat Pao-beng-pai mengadakan pertemuan itu, di antara para tamu terdapat orang-orang yang menentang. Merekalah yang memberi laporan kepada pemerintah. Panglima Ciong yang memimpin pasukan itu menyerbu, dan aku cepat-cepat menyusul untuk menyelamatkan engkau dan ibumu."
"Omong kosong! Rayuan gombal! Siapa yang dapat percaya? Jika bukan engkau yang menjadi penunjuk jalan, bagaimana mungkin pasukan itu dapat naik ke Lembah Selaksa Setan, dapat melampaui semua jebakan dan membasmi Pao-beng-pai? Tidak perlu lagi engkau mencoba untuk membohongi aku!" Saking marahnya, tubuh Eng Eng bergerak, tangannya menyambar ke arah dada Cia Sun.
"Bukkk!"
Pukulan tangan terbuka itu keras sekali sehingga tubuh Cia Sun langsung terjengkang dan terguling-guling. Eng Eng lari mengejar dan kembali tangannya menampar ke arah kepala orang yang sudah rebah di atas tanah itu. Akan tetapi tangan itu hanya tertahan di udara, tidak jadi memukul.
Cia Sun terbatuk-batuk, dadanya terasa sesak. Akan tetapi dia masih tersenyum ketika mengangkat kepala memandang. "Kenapa tidak kau lanjutkan, Eng-moi? Pukullah, hajar dan siksalah aku, bunuhlah kalau hal itu akan dapat meredakan kemarahanmu."
"Kenapa... kenapa engkau tidak melawan? Tidak mengelak atau menangkis?!” Bentak Eng Eng.
"Untuk apa? Aku rela mati di tanganmu kalau engkau menghendaki itu, Eng-moi. Hanya kuminta, sebelum engkau membunuhku, dengarlah dulu keteranganku..."
"Huh, keterangan bohong! Penuh tipuan!"
"Andai kata benar aku berbohong sekali pun, kumohon padamu, lebih dahulu dengarlah kebohonganku sebelum engkau membunuhku. Setelah aku memberi keterangan, nah, engkau boleh percaya atau tidak, boleh membunuhku atau tidak, terserah padamu."
"Bohong! Kau penipu! Ahh, untuk kebohongan itu saja, aku dapat membunuhmu seratus kali!"
Dan kini Eng Eng kembali menampar, menendang dan menampar lagi sampai Cia Sun terguling-guling dan tidak mampu bergerak lagi. Pingsan! Pada waktu Eng Eng hendak memberi pukulan terakhir, ia teringat akan niat semula, yaitu membunuh pemuda itu di depan makam ibunya, maka ia pun menahan diri.
"Biar aku bersabar sampai besok. Engkau pasti akan mampus di depan makam ibuku, bedebah!" katanya.
Dia pun duduk di bawah pohon untuk bersemedhi. Akan tetapi, semedhinya tak pernah berhasil. Ia bahkan amat gelisah dan beberapa kali mendekati Cia Sun, untuk mendapat kepastian bahwa pemuda itu belum tewas.
Malam terganti pagi. Pagi yang amat indah. Sinar matahari pagi agaknya telah mengusir semua kegelapan, kegelapan alam yang berpengaruh terhadap keadaan hati tiap insan. Sinar matahari mendatangkan kehidupan. Burung-burung berkicau, sibuk menyiapkan diri untuk bekerja. Ayam jantan berkeruyuk saling sahut. Semua nampak cerah gembira, bahkan daun-daun nampak berseri.
Seluruh makhluk seolah-olah menyambut munculnya sinar kehidupan dengan puja-puji kepada Yang Maha Kasih. Sang Maha Pencipta melalui keharuman, melalui keindahan, melalui suara. Keharuman rumput dan tanah basah, daun dan bunga, keharuman udara itu sendiri.
Eng Eng juga terpengaruh oleh semua keindahan itu. Sekarang hatinya terasa ringan dan perasaan marahnya tidak terasa lagi olehnya. Namun, ketika ia menengok ke arah Pangeran Cia Sun, ia teringat segalanya dan ia pun segera bangkit menghampiri.
Cia Sun sudah siuman, namun seluruh tubuhnya masih terasa nyeri. Melihat gadis itu menghampiri, dia pun bangkit duduk, memandang kepada gadis itu dengan senyum sedih! Senyum itu seperti pisau menusuk kalbu bagi Eng Eng.
"Eng-moi, kenapa bekerja kepalang tanggung? Mengapa engkau tidak membunuh aku semalam?" tanya Cia Sun.
Eng Eng hampir tidak percaya. Pemuda bangsawan ini masih bersikap demikian manis kepadanya. Bukan, bukan sikap yang terdorong rasa takut, namun sikap yang demikian wajar. Masih tersenyum, dan pandang mata kepadanya itu demikian lembut dan mesra, jelas nampak sinar kasih sayang di dalamnya. Padahal, dia sudah menyiksanya sampai pingsan, bahkan nyaris membunuhnya!
"Aku akan membunuhmu di depan makam ibuku!" katanya singkat.
"Eng-moi, arwah ibumu akan berduka jika engkau melakukan itu. Aku bukan pembunuh ibumu, aku bahkan berusaha berusaha menyelamatkannya, dan ia meninggal dunia di dalam rangkulanku."
"Bohong!!"
"Eng-moi, untuk apa pula aku berbohong? Aku tidak takut mati, bahkan aku tidak akan penasaran mati di tanganmu. Aku hanya tidak ingin melihat engkau salah tindakan dan menyesal di kemudian hari. aku hanya ingin supaya engkau mengetahui dengan betul siapa sebetulnya dirimu. Aku telah mengetahui rahasia besar tentang dirimu, Eng-moi, dan aku akan menceritakan semua itu, kalau engkau bersedia mendengarkan. Memang semua akan kedengaran sangat aneh bagimu, dan mungkin engkau akan menganggap aku berbohong, akan tetapi demi Tuhan, aku tidak berbohong."
Agaknya sinar matahari memang berpengaruh besar terhadap hati manusia, setidaknya terhadap Eng Eng. Gadis itu merasa agak tenang dan ia bisa melihat kenyataan bahwa tidak ada ruginya mendengarkan apa yang akan diceritakan oleh pemuda itu. Bohong atau tidak, pemuda itu memang berhak untuk membela diri.
Dan melihat wajah yang tampan dan yang tadinya amat disayangnya itu agak bengkak-bengkak oleh tamparannya semalam, timbul juga perasaan iba di dalam hatinya.
"Bicaralah, tapi aku tetap tak akan percaya padamu," katanya dengan sikap ketus yang dipaksakan.
Eng Eng bahkan tidak menatap langsung wajah yang bengkak-bengkak itu. Dia merasa tidak enak, mengingatkan ia betapa ia telah bertindak kejam terhadap satu-satunya pria di dunia ini yang dicintanya.
Lega rasa hati Cia Sun. Dia sama sekali tidak akan menyesal kalau dia dibunuh wanita yang dicintanya ini, hanya dia akan merasa menyesal karena perbuatan itu merupakan suatu perbuatan yang berdosa bagi Eng Eng. Dia tidak ingin melihat kekasihnya ini menjadi seorang yang jahat.
"Eng-moi, setelah engkau membebaskan aku, aku lalu cepat pulang ke kota raja. Akan tetapi, setelah tiba di sana, aku mendengar bahwa Panglima Ciong memimpin pasukan untuk menyerbu Pao-beng-pai. Aku terkejut dan cepat aku kembali lagi ke sana untuk menyusul pasukan itu karena aku mengkhawatirkan keselamatanmu dan keselamatan ibumu. Namun aku terlambat. Setelah tiba di Ban-kwi-kok, pasukan telah menyerbu ke perkampungan Pao-beng-pai..."
"Tanpa adanya penunjuk jalan, tidak mungkin pasukan akan mudah memasuki daerah Pao-beng-pai yang dipasangi banyak jebakan rahasia!" Eng Eng memotong dan kini sepasang matanya mengamati wajah pemuda itu penuh selidik dan hatinya menuduh bahwa tentu pemuda itu yang menjadi penunjuk jalan.
"Dugaanmu memang benar, Eng-moi. Hal ini pun kuketahui kemudian dari perwira yang memimpin penyerbuan itu. Memang ada penunjuk jalan yang memungkinkan pasukan itu dapat menyerbu dengan mudah..."
"Engkaulah penunjuk jalan itu!" bentak Eng Eng.
Cia Sun tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Bukan, Eng-moi, bukan aku. Penunjuk jalan itu adalah seorang gadis, murid Pao-beng-pai sendiri, bernama Tio Sui Lan..."
"Bohong! Tidak mungkin...!" teriak Eng Eng.
Akan tetapi teriakan mulutnya ini tidak sesuai dengan perasaan hatinya yang menjadi bimbang. Setelah apa yang dilakukan Siangkoan Kok terhadap Sui Lan, memaksanya menjadi isteri dan memperkosanya, bukan hal yang tidak mungkin kalau Sui Lan lalu berkhianat.
Pula, Sui Lan tentu saja mengenal semua jalan rahasia naik ke sarang Pao-beng-pai, sedangkan Cia Sun tidak akan mengetahui banyak tentang jebakan-jebakan itu. Kalau Sui Lan yang menjadi penunjuk jalan, tentu saja pasukan itu akan dapat menyerbu naik dengan mudah.
"Engkau mau percaya atau tidak, terserah kepadamu, Eng-moi. Aku hanya mendengar keterangan para perwira. Ketika pasukan tiba di kaki bukit dan mulai mendaki, tiba-tiba muncul gadis itu yang kemudian menawarkan diri menjadi penunjuk jalan. Saat pasukan menyerbu, Siangkoan Kok sedang berkelahi dengan isterinya dan ibumu telah terdesak. Gadis yang mengkhianati gurunya itu kemudian menyerang Siangkoan Kok, akan tetapi dengan mudah ia dirobohkan dan tewas di tangan gurunya sendiri!"
"Tapi ibuku...! Tentu ia terbunuh oleh pasukan pemerintah!" kata Eng Eng, mulai tertarik karena apa yang diceritakan Cia Sun itu agaknya memang masuk akal. Ia sudah melihat mayat Sui Lan dan luka yang mengakibatkan kematiannya memang luka beracun yang dikenalnya sebagai racun dari pedang Siangkoan Kok!
Dengan sikap tenang Cia Sun menggeleng kepala. Kini senyumnya menghilang dan dia mengerutkan alisnya, mengenang kembali peristiwa menyedihkan itu.
"Sudah kuceritakan tadi, ketika pasukan menyerbu, aku cepat ikut di barisan depan karena aku ingin mencegah agar engkau dan ibumu tidak sampai ikut diserang. Ketika kami tiba di sana, kami melihat ibumu berkelahi dengan ayahmu dan ibumu lalu roboh tertendang ayahmu. Aku cepat mencegah ketika pasukan hendak menyerang ibumu yang sudah roboh, dan memerintahkan mereka mengejar ayahmu yang melarikan diri. Aku kemudian memondong tubuh ibumu yang pingsan dan ternyata ia telah menderita luka-luka parah, tentu ketika berkelahi melawan ayahmu…." Cia Sun berhenti sebentar untuk mengamati wajah Eng Eng dan melihat bagaimana tanggapan dan sikap gadis itu terhadap ceritanya.
"Terus, lalu bagaimana?" Eng Eng mulai tertarik dan pada saat seperti itu, ia lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap Cia Sun.
"Aku membawa ibumu ke dalam rumah, kemudian kurebahkan di bangku panjang. Aku telah mencoba untuk merawatnya, akan tetapi sia-sia. Ibumu hanya siuman untuk bicara sedikit kepadaku, meninggalkan pesan-pesan dan akhirnya dia meninggal dunia dalam rangkulanku."
"Ibuku..., bagaimana aku bisa mempercayaimu? Engkau berbohong. Pada saat engkau merayuku, engkau hanya pura-pura..."
"Tidak, Eng-moi. Langit dan Bumi menjadi saksi bahwa aku sungguh mencintamu, sejak pertama kali kita bertemu, sampai sekarang..."
"Bohong! Pendusta!" Eng Eng kembali marah karena ia ingat akan percakapan antara pemuda ini dan orang tuanya, tentang pengakuan Cia Sun kepada ayah ibunya bahwa pemuda itu telah mencinta seorang gadis lain.
"Eng-moi, mengapa engkau tidak percaya kepadaku dan menuduhku berbohong?" Cia Sun bertanya.
Dia merasa kepalanya pening sekali, bumi seperti berputaran. Itu adalah akibat racun dari jarum Eng Eng, juga karena dia mengalami tamparan-tamparan malam tadi. Tetapi dia mempertahankan diri agar tidak jatuh pingsan lagi. Ia memandang gadis itu dengan sinar mata penuh permohonan.
Eng Eng melompat berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada pangeran itu dengan sinar mata membakar. Makin diingat tentang percakapan keluarga pangeran itu, semakin panaslah hatinya.
"Bagaimana aku dapat percaya omongan perayu busuk macam engkau? Engkau telah mencinta seorang gadis yang lain dan masih engkau berani mengatakan bahwa engkau mencintaku?"
Biar pun kepalanya sudah pening sekali, akan tetapi mendengar ucapan itu, Cia Sun membelalakkan matanya dan berkata dengan suara mengandung penasaran. "Sekali ini, engkau yang berbohong, Eng-moi! Aku tidak pernah dan tidak akan mencinta gadis lain kecuali engkau seorang!"
"Pendusta besar! Kedua telingaku sendiri mendengar pengakuanmu kepada ayah dan ibumu bahwa engkau mencinta gadis lain yang bernama Sim Hui Eng! Hayo sangkal kalau engkau berani! Kuhancurkan mulutmu kalau engkau berdusta!"
Cia Sun mencoba untuk tersenyum, akan tetapi karena rasa nyeri berdenyut-denyut di kepalanya, membuat kepalanya seperti akan pecah rasanya, senyumnya menjadi pahit sekali.
"Aku tidak berdusta, Eng-moi. Memang benarlah, aku mencinta Sim Hui Eng, semenjak pertama kali jumpa sampai sekarang dan aku akan tetap mencintanya karena Sim Hui Eng adalah engkau sendiri, Eng-moi... ahhh..." Cia Sun tidak dapat menahan lagi rasa nyeri di dada dan kepalanya. Dia pingsan lagi.
Cia Sun tidak tahu betapa Eng Eng memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat. Sampai lama Eng Eng mengamati wajah Cia Sun, pandang matanya meragu.
Ia bernama Sim Hui Eng? Apa pula artinya ini? Benarkah semua yang diceritakan Cia Sun? Dia harus tahu apa artinya semua itu. Cia Sun mengaku kepada orang tuanya bahwa dia hanya mencinta gadis yang bernama Sim Hui Eng, dan kini dia menjelaskan bahwa Sim Hui Eng adalah ia sendiri! Bagaimana pula ini?
Namanya seperti dikenal Cia Sun adalah Siangkoan Eng. Kemudian karena ibunya membuka rahasia bahwa ia bukan puteri kandung Siangkoan Kok, ia pun tidak sudi lagi memakai nama keluarga Siangkoan, lebih memilih marga ibunya, yaitu Lauw. Dan kini, tiba-tiba saja Pangeran Cia Sun mengatakan bahwa ia she Sim, dan nama lengkapnya Hui Eng!
Jangan-jangan pangeran ini tidak bohong dan sudah mengenal ayah kandungnya. Ayah kandungnya! Ibunya amat membenci ayah kandungnya. Benarkah ayah kandungnya she Sim? Benarkah semua cerita Cia Sun? Sayang bahwa pemuda ini keburu jatuh pingsan sehingga tidak dapat melanjutkan keterangannya.
Eng Eng berlutut di dekat tubuh Cia Sun. Hatinya sempat berdegup ketika dia berada begitu dekat dengan pangeran itu, dan keharuan mulai menggigit perasaannya ketika ia melihat wajah yang tampan itu bengkak-bengkak. Ia cepat mengeluarkan sebutir pil, lalu menggunakan bekal air minumnya untuk memasukkan pil itu ke dalam mulut Cia Sun yang dibukanya dengan penekanan kepada rahang pemuda itu.
Pil itu sukar ditelan, maka terpaksa dia mendekatkan mulutnya dan meniup ke dalam mulut pemuda itu sehingga pil itu dapat tertelan karena ia telah menotok beberapa jalan darah, membuat pemuda itu hanya setengah pingsan. Kemudian ia mengurut sana sini, mengobati luka-luka memar itu dengan semacam obat gosok yang selalu dibawanya sebagai bekal. Lalu, ia menempelkan tangan kirinya ke dada pemuda itu, menyalurkan sinkang untuk membantu pemuda itu terbebas dari luka di sebelah dalam tubuhnya.
Akhirnya Cia Sun membuka matanya dan dia tersenyum melihat gadis itu bersimpuh di dekatnya sedang menempelkan telapak tangan ke dadanya. Terasa betapa lembutnya telapak tangan yang mengeluarkan hawa panas itu.
"Ah, Eng-moi, engkau masih mau mengobati dan menolongku? Terima kasih..." katanya lembut dan wajah yang kini hanya tinggal membiru karena bengkaknya sudah hilang itu tersenyum!
Senyum itulah yang menikam jantung Eng Eng. Kalau pangeran itu marah-marah dan memaki-makinya, kiranya hatinya tak akan sesakit itu. Sejak ditangkapnya tadi, sampai disiksanya, pangeran itu tidak pernah marah, bahkan selalu berbicara lembut, pandang matanya penuh kasih dan mulutnya tersenyum.
"Aku mengobatimu hanya supaya engkau tidak mampus sekarang," katanya, suaranya diketus-ketuskan. "Hayo katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu tadi bahwa aku bernama Sim Hui Eng! Jangan mempermainkan aku kalau kau tidak ingin kusiksa lebih berat lagi!"
"Sejak tadi aku tidak pernah mempermainkanmu, tak pernah berdusta, Eng-moi. Engkau yang kurang sabar mendengarkan keteranganku. Nah, sekarang aku lanjutkan ceritaku tadi. Sebelum ibumu meninggal dunia dalam rangkulanku, ia sempat menceritakan satu rahasia yang amat mengejutkan hatiku, juga tentu akan mengejutkan hatimu sehingga mungkin engkau semakin tak percaya kepadaku. Nah, sekarang sudah siapkah engkau mendengarkan ceritaku tentang pengakuan ibumu?"
Eng Eng merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kini ia hampir yakin bahwa pangeran ini tidak pernah berbohong kepadanya! Tidak pernah berbohong dan ia sudah menculiknya, menyiksanya dan bahkan nyaris membunuhnya. Kemungkinan ini membuat darahnya berdesir meninggalkan mukanya, membuat wajahnya menjadi pucat sekali.
"Ceritakan semua!" perintahnya.
"Rahasia yang dibuka oleh bibi Lauw Cu Si ini seluruhnya mengenai dirimu, Eng-moi. Pertama-tama, engkau bukanlah anak kandung Siangkoan Kok ketua Pao-beng-pai!"
Cia Sun mengira bahwa gadis itu akan terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi dia kecelik. Gadis itu sedikit pun tidak kelihatan kaget atau heran, bahkan mulutnya seperti membentuk senyum mengejek.
"Aku sudah tahu. Dia adalah ayah tiriku," katanya pendek.
Cia Sun menggeleng kepalanya. "Bukan, Eng-moi. Sama sekali bukan ayah tirimu. Dia bukan apa-apamu."
Eng Eng terbelalak. "Apa... apa maksudmu? Aku dibawa ibu ketika masih kecil, berusia dua tiga tahun ketika ibuku menikah dengan Siangkoan Kok! Kenapa kau katakan dia bukan ayah tiriku?"
"Inilah rahasia besar yang dibuka ibumu kepadaku, Eng-moi. Memang benar ketika bibi Lauw Cu Si itu menikah dengan Siangkoan Kok, dia membawa seorang anak kecil dan anak itu adalah engkau, Eng-moi. Akan tetapi, engkau bukan anak kandung bibi Lauw Cu Si!"
"Ehhh...?!!" Eng Eng berseru setengah menjerit. "Apa… apa maksudmu...?!" Tangan gadis itu menangkap lengan Cia Sun kemudian mencengkeramnya, seluruh tubuhnya gemetar dan wajahnya semakin pucat.
"Aku mendengar dari Nyonya Siangkoan Kok, yaitu bibi Lauw Cu Si, Eng-moi. Agaknya karena tahu bahwa dia akan tewas, maka dia membuka rahasia itu kepadaku. Engkau bukan anak kandungnya, engkau telah dia culik dari orang tuamu ketika engkau masih kecil, kemudian diakui sebagai anaknya sendiri."
"Tapi... tidak mungkin! Apa buktinya? Bagaimana aku dapat mengetahui benar tidaknya ceritamu ini?"
"Sabar dan tenanglah, Eng-moi. Aku pun tadinya terkejut dan kalau bukan bibi Lauw Cu Si sendiri yang bercerita, aku pun pasti tidak akan percaya. Akan tetapi, aku lalu teringat kepada Yo-toako! Engkau ingat Sin-ciang Taihiap Yo Han?"
Eng Eng mengerutkan alisnya. Tentu saja dia teringat kepada pendekar yang amat lihai itu. "Apa hubungannya dia dengan ceritamu itu?"
"Eng-moi, masih ingatkah engkau akan pengakuan Yo-toako bahwa dia sedang mencari seorang gadis yang diculik orang semenjak kecil? Gadis itu bernama Sim Hui Eng dan Yo-toako bertugas untuk mencarinya. Bahkan dia kemudian ditipu Siangkoan Kok yang menyuruh mendiang Tio Sui Lan untuk memancingnya ke dalam goa lalu menjebak dan menangkapnya. Nah, gadis yang dicari-carinya itu adalah engkau, Eng-moi. Engkaulah gadis yang ketika kecil diculik itu, dan penculiknya adalah bibi Lauw Cu Si yang selama ini kau anggap sebagai ibumu sendiri."
Eng Eng masih terbelalak dan seperti berubah menjadi patung. Tentu saja dia masih diombang-ambingkan kebimbangan.
"Tapi... tapi apa buktinya bahwa... ibuku meninggalkan pesan itu kepadamu, dan apa buktinya bahwa aku benar-benar gadis yang bernama Sim Hui Eng itu? Tanpa bukti, bagaimana mungkin aku dapat mempercayai ceritamu?"
Cia Sun menghela napas panjang. "Tentu saja aku tidak dapat membuktikan bahwa mendiang bibi Lauw Cu Si membuka rahasia itu kepadaku, juga ketika kami bicara, tidak ada seorang pun saksinya. Dan dia sudah meninggal dunia, jadi tidak mungkin lagi ditanyai. Akan tetapi, aku mempunyai suatu tanda rahasia yang ada pada dirimu, seperti yang diceritakan Yo-toako kepadaku. Ketika Yo-toako menerima tugas mencari anak yang hilang diculik itu, orang tua anak itu memberi tahukan kepadanya adanya dua tanda rahasia di badan anak itu yang merupakan ciri-ciri khas atau tanda sejak lahir. Jika aku katakan tanda-tanda itu dan kemudian ternyata cocok dengan keadaan dirimu, apakah engkau masih akan menganggap aku pendusta yang patut kau siksa dan kau bunuh di depan makam bibi Lauw Cu Si?"
Tentu saja Eng Eng menjadi sangat bingung dan salah tingkah. Ia merasa ngeri kalau membayangkan bahwa pangeran itu benar dan sama sekali tidak berdusta, sama sekali tidak menipunya, dan ia telah menyiksanya seperti itu!
"Katakanlah, tanda-tanda apa yang terdapat pada anak yang diculik itu?" tanyanya, suaranya jelas terdengar gemetar.
"Yo-toako hanya berpegang pada tanda-tanda itu saja untuk mencari anak yang hilang terculik itu, maka tentu saja amat sukar karena tanda-tanda itu terdapat di bagian tubuh yang selalu tertutup..."
"Katakan cepat, tanda-tanda apa itu?" tanya Eng Eng dengan suara nyaring karena ia sudah tidak sabar sekali.
"Pertama, anak itu mempunyai sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya, dan ke dua, ia pun mempunyai sebuah noda merah sebesar ibu jari kaki di telapak kaki kanannya."
Eng Eng meloncat ke belakang. Matanya terbelalak dan seluruh tubuhnya menggigil.....
Melihat ini, Cia Sun menguatkan tubuhnya dan bangkit berdiri, menghampiri dengan pandang mata khawatir.
"Kenapa, Eng-moi... dan be... benarkah ada tanda-tanda itu pada dirimu...? Benarkah bahwa engkau ini Sim Hui Eng?" Suara pangeran itu juga gemetar karena dia merasa tegang, khawatir kalau-kalau gadis ini bukan Sim Hui Eng seperti yang disangkanya.
Sampai lama Eng Eng tidak mampu bicara. Mukanya yang pucat kelihatan seperti mau menangis dan ketika ia bertanya, suaranya hampir tidak dapat didengar, "Bagaimana... perasaanmu terhadap aku kalau aku tidak mempunyai tanda-tanda itu, kalau aku bukan Sim Hui Eng?"
"Eng-moi, masihkah engkau meragukan cintaku kepadamu? Ketika aku jatuh cinta dan meminangmu, engkau adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan? Engkau tetap engkau bagiku, satu-satunya gadis yang kucinta, baik engkau mempunyai tanda atau tidak, baik engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau puteri siapa pun juga. Aku tetap cinta padamu, Eng-moi, biar engkau akan membunuhku sekali pun. Tapi... untuk meyakinkan, benarkah engkau memiliki tanda-tanda itu?"
Tiba-tiba Eng Eng menjatuhkan diri berlutut kemudian menangis terisak-isak. Tentu saja pangeran itu terkejut dan khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu.
"Eng-moi, kenapa, Eng-moi...? Ahhh, maafkan jika aku sudah membuat hatimu berduka, Eng-moi. Lebih baik aku melihat engkau marah-marah kepadaku seperti tadi dari pada melihat engkau bersedih seperti ini, Eng-moi."
Ucapan itu membuat Eng Eng semakin mengguguk. Cia Sun merasa hatinya bagaikan ditusuk-tusuk melihat keadaan kekasihnya itu dan dia pun menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.
"Eng-moi, ada apakah...?"
Akhirnya Eng Eng dapat bicara tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya.
"Kau... kau lihat sendiri... apakah... ada tanda-tanda itu..."
Ia lalu menyingkap baju di bagian pundak kiri dan melepas sepatu serta kaos kakinya yang kanan. Cia Sun memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana, jelas sekali nampak sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat. Dan pada telapak kaki yang putih kemerahan itu nampak pula noda merah.
"Kau... kau benar-benar Sim Hui Eng...!" serunya seperti bersorak gembira.
Eng Eng kini merangkul ke arah kaki Cia Sun, "Pangeran..., ampunkan aku... aku telah berbuat kejam dan tidak adil padamu... aku... aku layak kau pukul. Balaslah, Pangeran, pukullah aku, siksalah aku, bunuhlah aku... huuu-huhuuuuu...!"
Gadis itu tersedu-sedu, menangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah terhadap dirinya sendiri dan sangat iba kepada pria yang dicintanya namun yang telah disiksanya tanpa salah itu. Bahkan pangeran itu telah mencegah pasukan membunuh Lauw Cu Si sehingga ia merupakan satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia dirinya.
Pangeran ini telah berjasa kepadanya. Sebaliknya, ia menuduhnya sebagai pembunuh. Ia telah menyiksanya dengan kata-kata, dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu pangeran itu untuk menyatakan penyesalannya.
Melihat betapa gadis yang dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium sepatunya, Cia Sun cepat-cepat merangkul, menarik dan mendekap kepala itu, seolah-olah hendak membenamkannya ke dadanya untuk disimpan di dalam dada dan tak akan dilepaskan lagi selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya yang basah air mata ke dalam rambut itu.
Sampai beberapa lamanya mereka berpelukan dan bertangisan. Beberapa kali Eng Eng mengusap dan membelai muka yang masih ada bekas-bekas tamparan tangannya itu dengan jari-jari gemetar.
Setelah gelora keharuan hati mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar di dadanya. Dia membelai rambut yang kusut itu dan berbisik, "Sudahlah, Eng-moi, sudah cukup engkau menyesali diri. Aku tidak akan menyalahkanmu. Memang batinmu mengalami guncangan yang hebat. Akhirnya semua kegelapan lewat dan kini kita berdua tinggal menyongsong sinar kebahagiaan."
"Pangeran..."
Cia Sun menghentikan kata-kata itu dengan sentuhan bibirnya pada bibir Eng Eng. "Hushhh..., kalau kau menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan seluruh wanita yang menjadi kawula dan menyebutku seperti itu. Engkau adalah calon isteriku, engkau tunanganku, engkau kekasihku, ingat?"
Eng Eng tersipu, akan tetapi tersenyum penuh bahagia. "Kakanda... Cia Sun..." Betapa merdunya panggilan itu.
"Adinda Hui Eng..." Sang pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing baginya itu mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.
"Kakanda Pangeran, dengan hati berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menunggu engkau memberi tahu kepadaku, siapa sebenarnya orang tuaku? Apakah ayah ibuku masih hidup?"
"Engkau akan terkejut, berbahagia dan bangga sekali jika mendengar siapa ayah ibumu, Eng-moi. Pada saat engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku sudah kagum dan cinta padamu. Ketika aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa ayah dan ibumu, kekagumanku padamu bertambah-tambah. Ketahuilah bahwa ayahmu bernama Sim Houw dan ibumu bernama Can Bi Lan. Ehhh, kenapa kau, Eng-moi (adinda Eng)?"
Mendengar disebutnya kedua nama itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah meloncat berdiri sehingga terlepas dari rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Ayahku... Pendekar Suling Naga dan ibuku Si Setan Kecil...! Aihhhh... Kakanda... sekali ini celakalah aku..."
Cia Sun cepat bangkit dan merangkul gadis itu. "Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau berkata begitu? Bukankah sepatutnya engkau berbangga? Ayah ibumu adalah suami isteri pendekar yang sakti dan nama mereka terkenal sekali di dunia persilatan!"
"Aihh, engkau tidak tahu, Koko! Ahh, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka. Ketahuilah, aku pernah mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar para pendekar itu dan menantang mereka mengadu kepandaian. Bahkan dalam peristiwa itu, Siauw-kwi Can Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk menandingiku. Akan tetapi aku, si tinggi hati tak tahu diri ini, aku bahkan menghinanya dan menantang Pendekar Suling Naga, ayahku sendiri untuk maju menandingiku! Aku telah bersikap sangat angkuh dan menghina tiga keluarga besar, dan ternyata Pendekar Suling Naga itu adalah ayahku sendiri. Bagaimana aku dapat berhadapan dengan mereka, Koko?" Dalam rangkulan Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng gemetar seperti orang terserang demam.
"Jangan risaukan hal itu, Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu engkau mewakili Pao-beng-pai maka tentu saja engkau menganggap para pendekar itu sebagai musuh. Apa lagi engkau hanya melaksanakan tugas, karena pada waktu itu engkau menganggap bahwa kau adalah puteri ketua Pao-beng-pai. Dan aku mengerti mengapa engkau mendapat tugas itu. Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kau angap sebagai ibumu itulah yang mempunyai peran penting, sengaja membujuk Siangkoan Kok agar engkau melakukan penghinaan terhadap keluarga besar para pendekar itu."
Gadis itu menatap wajah Cia Sun. "Ehhh, kenapa begitu?"
"Aku sudah melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya mendiang bibi Lauw Cu Si itu. Ia adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur. Karena ia seorang tokoh sesat, tentu saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Siluman. Itu pula yang menyebabkan ia menculikmu, yaitu untuk membalas dendam terhadap Pendekar Suling Naga dan isterinya yang terkenal sebagai pendekar-pendekar yang menentang golongan sesat. Dengan mengadu dirimu melawan keluarga pendekar itu, melawan golongan orang tuamu sendiri, agaknya bibi Lauw Cu Si menemukan kepuasan tersendiri."
"Akan tetapi, Koko. Kalau orang tuaku itu Pendekar Suling Naga dan isterinya yang merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, mengapa aku sampai dapat terculik? Dan kenapa pula mereka tidak mencari si penculik dan merampasku kembali?"
"Pertanyaan seperti itu juga kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicarakan anak hilang itu. Menurut keterangan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah sejak kehilangan puteri mereka itu berusaha sampai bertahun-tahun untuk menemukan anak mereka kembali. Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka. Agaknya si penculik, yaitu bibi Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali sudah menghilang, yaitu menjadi isteri Siangkoan Kok sehingga tidak seorang pun mengira bahwa engkau adalah anak yang diculik itu. Semua orang, bahkan Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw Cu Si."
Eng Eng mengangguk-angguk, semua rasa penasarannya hilang. Akan tetapi tetap saja ia mengerutkan alisnya. Jika saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah orang-orang biasa, bahkan petani miskin sekali pun, dia tentu akan berbahagia sekali dan merasa rindu untuk segera dapat bertemu dengan orang tuanya yang asli.
Akan tetapi, Pendekar Suling Naga?! Semua pengalamannya ketika dia menantang tiga keluarga besar itu terkenang dan makin dikenang, semakin merah wajahnya karena ia merasa malu bukan main.
"Koko, aku... aku takut untuk bertemu dengan mereka, aku takut dan malu..."
Cia Sun merangkul pundaknya, dan mengajaknya menghampiri kuda mereka. Matahari telah naik tinggi dan di jalan raya sana lalu lintas sudah mulai ramai.
"Eng-moi, buang saja semua perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tak pernah berhenti memikirkanmu, bahkan sekarang pun masih minta bantuan Yo-toako untuk mencarimu. Mereka tentu akan berbahagia sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali. Dan mengenai kemunculanmu tempo hari, mereka tentu akan dapat mengerti. Jangan khawatir, akulah yang akan menemanimu ke sana menghadap mereka, dan aku yang tanggung bahwa mereka tentu akan menerima dengan bahagia dan tak akan ada yang menyesalkan tindakanmu dahulu."
"Aihh, aku merasa ngeri sekali bertemu mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah memperlihatkan diri saja kepada mereka? Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua saja. Aku... aku tidak mau membuat suami isteri pendekar itu mendapat malu besar dan nama baik mereka tercemar karena mempunyai anak seperti aku ..."
"Hushhhhh, jangan berkata begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku seperti aku mencintamu?"
"Apakah itu masih perlu ditanyakan lagi, Koko? Aku mencintamu, bahkan kekejamanku terhadapmu tadi pun karena terdorong cintaku padamu, akibat hatiku panas mendengar engkau mencinta Sim Hui Eng yang kukira gadis lain. Aku cinta padamu, Koko."
"Bagus, dan karena kita saling mencinta, apakah engkau mau menjadi isteriku?"
Gadis itu mengangguk. Sebagai puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hidup dalam suasana kekerasan, ia tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan cintanya, "Tentu saja aku mau, koko!"
"Nah, kalau begitu, karena aku seorang pangeran yang tak mungkin meninggalkan tata susila dan adat-istiadat, aku akan melamarmu dengan terhormat dan secara baik-baik. Dan untuk itu, engkau harus mempunyai wali, mempunyai orang tua. Sekarang, mari kita pergi ke Lok-yang, ke rumah orang tuamu. Setelah engkau diterima dengan baik, aku akan kembali ke kota raja, kemudian aku akan mengirim utusan untuk meminangmu secara terhormat."
Gadis itu mengerutkan alis, akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang mata pangeran itu, ia pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua ekor kuda mereka yang sedang makan rumput. Tidak lama kemudian, sepasang orang muda yang berbahagia ini pun sudah melarikan kuda, menuju ke Lok-yang.
Oleh karena Cia Sun merupakan seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran yang pandai bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di sepanjang perjalanan itu dengan mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh penghormatan, mendapat tempat bermalam di rumah para kepala daerah, dijamu pesta dan dapat menukar kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup menyenangkan bagi Eng Eng…..
********************
Yo Han mendaki lereng bukit itu. Bukit Naga. Thian-li-pang berada di lereng paling atas, dekat puncak. Sudah hampir setengah tahun dia merantau, mencari Sim Hui Eng, puteri Pendekar Suling Naga. Namun, usahanya sia-sia. Tak pernah dia berhasil mendengar keterangan tentang penculikan terhadap putri pendekar sakti itu.
Dia sudah memasuki dunia kang-ouw, bahkan banyak menundukkan tokoh-tokoh sesat, hanya untuk dimintai keterangan kalau-kalau ada yang mengetahui, siapa yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga dua puluh tahun yang lalu. Akan tetapi semua usahanya, dari bujukan halus sampai kekerasan, tidak ada hasilnya.
Agaknya tidak ada seorang pun tahu siapa gerangan yang menculik puteri pendekar itu. Penculiknya agaknya lihai dan cerdik bukan main sehingga setelah menculik anak itu, dia seperti menghilang ke dalam bumi membawa anak culikannya!
Akhirnya Yo Han mengambil kesimpulan bahwa tanpa banyak tenaga pembantu, akan sukarlah menemukan anak yang hilang itu. Dia teringat kepada Thian-li-pang. Dia telah dianggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang dan anak buah Thian-li-pang adalah orang-orang yang berpengalaman dan memiliki hubungan luas dalam dunia kang-ouw.
Mungkin para tokoh kang-ouw yang sudah ditanyainya, merasa enggan untuk membuka rahasia rekan mereka sendiri yang melakukan penculikan, karena dia dianggap sebagai Pendekar Tangan Sakti, seorang pendekar yang menentang kejahatan. Bila anak buah Thian-li-pang yang melakukan penyelidikan, mungkin akan lebih mudah. Orang-orang kang-ouw tentu akan bersikap lebih terbuka di antara golongan sendiri.
Benar sekali, kenapa sejak dahulu dia tidak minta bantuan para anggota Thian-li-pang, pikirnya menyesali diri sendiri. Paman Lauw Kang Hui tentu akan senang membantunya sehingga lebih besar harapannya untuk dapat menemukan orang yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga!
Demikianlah, pada pagi hari itu, Yo Han mendaki lereng Bukit Naga. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di Thian-li-pang telah terjadi perubahan yang amat besar. Tidak tahu bahwa Lauw Kang Hui dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang sudah tewas, terbunuh oleh Ouw Seng Bu, yang kini menjadi ketua Thian-li-pang…..
********************
Memang Thian-li-pang telah berubah sama sekali semenjak pimpinannya dipegang oleh Ouw Seng Bu. Pemuda tampan yang telah menemukan ilmu silat yang amat hebat ini membiarkan para anggota Thian-li-pang berbuat apa saja dengan bebasnya. Bahkan dia menjalin hubungan lagi dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, seperti yang dahulu pernah dilakukan Thian-li-pang sebelum muncul Yo Han yang kemudian membersihkan perkumpulan pejuang itu.
Ouw Seng Bu bahkan memiliki cita-cita untuk mempersatukan semua kelompok pejuang dengan dia yang menjadi pemimpin besar. Kalau semua kekuatan kelompok pejuang sudah dipersatukan, baik itu dari golongan pendekar mau pun golongan sesat, dan dia yang menjadi pemimpin besar, tentu perjuangan untuk mengusir penjajah Mancu akan berhasil. Dan jika sudah berhasil, dia yang menjadi pemimpin besar, tentu berhak untuk menjadi kaisar kerajaan baru! Besar sekali jangkauan cita-cita pemuda ini.
Setelah secara kebetulan bertemu dengan Cu Kim Giok di dekat Ban-kwi-kok, menolong gadis itu dari ancaman Siangkoan Kok, dan berhasil pula menundukkan bekas ketua Pao-beng-pai yang lalu berjanji untuk membantunya, Ouw Seng Bu mengajak, Kim Giok berkunjung ke Bukti Naga.
Kim Giok sudah mendengar tentang perkumpulan Thian-lipang yang di dunia kang-ouw (sungai telaga, atau persilatan) dikenal sebagai sebuah perkumpulan para patriot yang berjuang untuk menggulingkan pemerintah penjajah. Itulah sebabnya, ia merasa kagum dan tertarik sekali kepada Ouw Seng Bu, pemuda tampan dan gagah yang mengaku sebagai ketua Thian-li-pang. Dan di sepanjang perjalanan menuju ke Bukit Naga, Kim Giok melihat betapa sikap Seng Bu memang sangat baik. Pemuda itu pendiam, juga sopan dan ramah terhadap dirinya.
Cu Kim Giok merupakan puteri tunggal suami isteri pendekar. Ayahnya, Cu Kun Tek, adalah pendekar keturunan langsung dari keluarga Cu, majikan Lembah Naga Siluman. Ibunya tidak kalah lihai dibandingkan ayahnya, karena ibunya adalah murid mendiang Bu Beng Lokai.
Sebagai anak tunggal, tentu saja Kim Giok telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya. Dan biar pun usianya baru delapan belas tahun lebih, Kim Giok telah menjadi seorang pendekar wanita yang amat lihai.
Akan tetapi tentu saja ia kurang pengalaman karena ini merupakan yang pertama kali ia merantau seorang diri untuk meluaskan pengalamannya. Meski pun demikian, ia sudah membawa banyak bekal nasehat dan pesan kedua orang tuanya.
Andai kata Seng Bu bersikap ceriwis terhadapnya, terdapat kegenitan dalam pandang mata atau kata-katanya saja, tentu ia akan menjauhkan diri. Akan tetapi, sikap Seng Bu sungguh baik. Dia nampak seperti seorang pemuda pendiam yang sopan dan berwatak pendekar sejati! Inilah sebabnya mengapa Kim Giok merasa tertarik sekali, kagum dan merasa suka.
Rasa kagumnya semakin bertambah ketika Kim Giok dan Seng Bu tiba di Bukit Naga, di pusat perkampungan Thian-li-pang. Para anggota Thian-li-pang rata-rata terlihat gagah perkasa dengan pakaian yang rapi serta bersih, baik prianya mau pun wanitanya, dan mereka semua menyambut kedatangan Seng Bu dengan sikap yang amat menghormat!
Masih begitu muda, akan tetapi telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pejuang yang terkenal gagah perkasa. Dan melihat perkampungan Thian-li-pang itu, Kim Giok dapat menaksir bahwa anggota perkumpulan itu tidak kurang dari seratus orang banyaknya.
Akan tetapi, hati gadis itu merasa penasaran ketika pada keesokan harinya ia melihat lima orang tamu yang datang menghadap ketua Thian-li-pang. Dua orang di antara tamu-tamu itu adalah dua orang tosu (pendeta) berambut panjang yang pada baju di dadanya ada lukisan teratai putih. Orang-orang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)! Ada lagi tiga orang pendeta lainnya mengenakan gambar pat-kwa (segi delapan) pada dadanya. Ia pernah mendengar akan nama perkumpulan pemberontak yang namanya tidak bersih di dunia kang-ouw sebab para anggotanya tidak pantang melakukan segala macam kejahatan!
Setelah kelima orang tamu itu meninggalkan perkampungan Thian-li-pang, barulah Kim Giok memberanikan diri menemui ketua Thian-li-pang untuk melampiaskan penasaran dalam hatinya. Ia melihat pemuda itu sedang duduk di ruangan rapat yang luas, sedang memberi perintah kepada belasan orang pembantunya.
Melihat ini, Kim Giok yang sudah sampai di ambang pintu, mundur kembali. Akan tetapi Seng Bu telah melihatnya dan ketua ini berseru dengan ramah.
"Nona Cu, masuk sajalah. Di antara kita orang sendiri tidak ada rahasia. Masuk dan silakan duduk."
Setelah gadis itu memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari mereka yang sedang melakukan perundingan, Seng Bu melanjutkan, "Harap suka menunggu sebentar, Nona, pembicaraan kami sudah hampir selesai."
Kim Giok mengangguk dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka. Akan tetapi Seng Bu tidak melirihkan suaranya saat pemuda itu melanjutkan pengarahannya kepada para pembantunya.
"Kalian sudah tahu akan tugas-tugas kalian? Terserah kalian membagi tugas, tapi kalian harus ingat apa yang terpenting dalam tugas kalian. Yang pertama menghubungi semua kelompok pejuang, membujuk mereka agar suka bekerja sama dengan mengemukakan alasan seperti yang sudah kujelaskan tadi. Kalau ada yang tidak bersedia bekerja sama, kalian selidiki keadaan mereka, siapa para pemimpinnya dan sampai di mana tingkat kepandaian mereka agar aku bisa segera mengambil tindakan. Dan ke dua, selidiki pula kelemahan-kelemahan yang ada di dalam keluarga kaisar, terutama orang-orang yang dekat hubungannya dengan kaisar. Sudah mengerti semua?"
Belasan orang itu menyatakan bahwa mereka sudah mengerti, dan Seng Bu kemudian mempersilakan mereka keluar. Sikap pemuda itu demikian tegas dan berwibawa hingga Kim Giok yang ikut mendengarkan merasa kagum sekali.
Setelah belasan orang pembantunya keluar, Seng Bu menghampiri Kim Giok dan duduk berhadapan dengan gadis itu. Sikapnya seperti biasa, amat sopan dan ramah, sangat menghormati gadis yang dianggap sebagai seorang tamu agung di Thian-li-pang.
"Nona Cu, selamat pagi. Maafkan, bahwa tadi aku meninggalkanmu seorang diri karena kesibukanku menerima tamu malam tadi dan memberi tugas kepada para pembantuku. Apakah semalam Nona enak tidur, dan apakah pelayanan kepada Nona tidak ada yang mengecewakan?"
"Terima kasih, Pangcu (Ketua). Pelayanan cukup memuaskan dan aku merasa terlalu disanjung di sini. Pangcu, aku sengaja datang mencarimu karena aku melihat sesuatu yang membuat hatiku merasa penasaran sekali dan aku mengharapkan jawaban yang sejujurnya darimu."
Seng Bu menatap wajah gadis itu. Semenjak pertama kali berjumpa, ia telah terpesona. Dia bukanlah seorang pria yang mudah terpikat kecantikan wanita. Akan tetapi, belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis muda seperti Kim Giok. Gadis ini manis sekali dan terutama yang membuat dia terpesona adalah sepasang matanya. Mata itu demikian indahnya.
Selain ini, ilmu silat gadis itu pun cukup tinggi, dan sikapnya demikian pendiam dan gagah. Semua ini ditambah lagi kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri pendekar dari Lembah Naga Siluman! Kiranya sukar dicari keduanya gadis seperti ini.
Selama ini Seng Bu sibuk menggembleng diri dengan ilmu yang ditemukannya di dalam sumur maut, maka dia pun tidak sempat memikirkan hal lain. Apa lagi, dia memang bukan tergolong pemuda yang suka bergaul dengan gadis-gadis cantik. Dan baru sekarang dia merasa kagum dan tertarik kepada seorang gadis.
"Nona Cu, aku tidak menyembunyikan sesuatu darimu. Kalau ada hal yang membuat engkau merasa penasaran, tanyakanlah dan aku akan menjawab sejujurnya."
Kim Giok juga menatap tajam sehingga dua pasang mata mereka bertaut, seperti saling menyelidik, hingga kemudian Kim Giok berkata, "Pangcu, bukan aku sebagai tamu ingin mencampuri urusan tuan rumah. Akan tetapi, aku suka menjadi tamu di Thian-li-pang karena aku merasa yakin bahwa perkumpulanmu ini adalah perkumpulan orang-orang gagah yang merupakan pejuang-pejuang sejati, yang selalu menentang kejahatan dan berpihak kepada kebenaran, seperti yang pernah kudengar dibicarakan orang di dunia kang-ouw. Aku percaya itu, apa lagi setelah aku mengenalmu. Akan tetapi apa yang kulihat hari ini membuat aku merasa penasaran bukan main. Aku melihat para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai menjadi tamu Thian-li-pang! Bagaimana ini? Aku sudah mendengar bahwa kedua perkumpulan itu merupakan perkumpulan jahat yang banyak ditentang oleh para pendekar!"
Seng Bu tersenyum, dengan berani menentang pandang mata gadis itu tanpa merasa canggung. "Ahh, kiranya itu yang membuatmu penasaran, Nona. Hal ini membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, Nona. Akan tetapi, apakah Nona tertarik oleh urusan perjuangan? Lika-liku perjuangan amat rumit, Nona. Dipandang sepintas lalu dari segi kependekaranmu, memang rasanya janggal jika melihat kami juga berhubungan dengan orang-orang dari golongan yang ditentang oleh para pendekar. Tapi, dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan golongan terpaksa harus dikesampingkan. Yang paling penting adalah urusan perjuangan, urusan usaha untuk membebaskan bangsa dan negara dari cengkeraman penjajah Mancu."
"Maksudmu bagaimana, Pangcu?"
"Tentu engkau telah mengetahui, hampir satu setengah abad negara kita dijajah bangsa Mancu, dan selama satu setengah abad itu semua usaha perjuangan rakyat untuk merebut kembali tanah air selalu gagal. Mengapa begitu? Karena tidak ada persatuan di antara para kelompok yang berjuang! Bahkan banyak kelompok perjuangan yang saling gempur sendiri, bersaing dan memperebutkan kebenaran demi kepentingan pribadi atau golongan. Itulah penyebab utama dari kegagalan perjuangan selama ini, dan kami dari Thian-li-pang melihat kekeliruan itu, maka kini kami berusaha untuk mengubahnya.”
"Caranya?"
"Mempersatukan semua golongan, tanpa membedakan mana golongan putih mana pula golongan hitam, mana golongan pendekar atau mana yang dinamakan kaum sesat. Pendeknya, siapa saja, dari golongan mana pun, apa pun pekerjaannya, bagaimana bentuk sepak terjangnya, asalkan dia itu menentang pemerintah penjajah Mancu, dia adalah sekutu kita! Dengan cara ini, maka di seluruh negeri akan terdapat persatuan yang kokoh dan kalau sudah tercapai persatuan itu, maka menggulingkan pemerintah penjajah bukan merupakan masalah yang sukar lagi."
"Jadi pendirian itukah yang membuat Pangcu tidak memandang bulu dalam memilih sahabat, dan suka menerima Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai sebagai sahabat pula?"
"Benar, Nona. Kalau misalnya Thian-li-pang, Pek-lian-kauw, bersama Pat-kwa-pai, yang ketiganya merupakan perkumpulan para pejuang, bisa bersatu padu dan bersama-sama menentang penjajah, bukankah itu akan jauh lebih kuat dari pada kalau kami berjuang sendiri-sendiri secara terpisah? Apa lagi kalau seluruh kekuatan yang ada, baik dari golongan hitam mau pun putih, dapat bersatu padu!"
"Kebenaran pendapat itu tidak dapat disangkal, Pangcu. Akan tetapi kita kaum pendekar bagaimana mungkin bekerja sama dengan kaum sesat? Justru tugas utama kita adalah untuk menentang segala perbuatan jahat dari kaum sesat, serta membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat tetapi jahat!”
Ketua yang masih muda itu tersenyum ramah. Dia bicara penuh semangat, akan tetapi tidak terbawa perasaan, masih tetap tenang dan tersenyum sehingga membuat gadis itu pun tidak terbawa dan terseret dalam perbantahan yang memperebutkan kebenaran masing-masing.
"Sudah kukatakan tadi bahwa dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan kepentingan golongan harus disingkirkan lebih dahulu. Tanpa sikap seperti itu, bagaimana mungkin muncul persatuan, dan tanpa persatuan bagaimana mungkin ada kekuatan? Buktinya, semua usaha perjuangan yang lalu selama ini, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam, gagal semua. Karena terpecah-pecah! Kalau kita menuruti kepentingan pribadi dan golongan, misalnya kalau kita tidak mau bersatu dengan golongan sesat dan memusuhi mereka, maka kita akan terpecah belah dan akibatnya akan melemahkan diri sendiri. Dengan demikian, yang untung adalah pemerintah penjajah! Sudah mengertikah engkau, Nona?"
Cu Kim Giok bukan seorang gadis yang bodoh. Dia termenung dan menelan ucapan ketua itu dalam hatinya, dan mulailah ia mengerti akan apa yang dimaksudkan Seng Bu.
"Aku mengerti, Pangcu. Akan tetapi karena sejak kecil orang tuaku menanamkan jiwa kependekaran di dalam hatiku, rasanya sangat berat bagiku menerima kenyataan dari kebenaran pendapatmu tadi. Kalau kita para pendekar tidak menentang golongan sesat, bukankah kehidupan rakyat akan menjadi semakin parah dan sengsara, tertindas oleh kejahatan tanpa ada yang membela dan melindungi?"
"Tentu saja kita tidak hanya berdiam diri saja kalau terjadi kejahatan di depan mata kita, Nona. Kita wajib melindungi orang yang menjadi korban kejahatan. Akan tetapi, urusan itu bukan merupakan urusan yang diutamakan kepentingannya, lebih penting urusan perjuangan sehingga kalau pun kita menentang kejahatan, harus dicegah agar jangan sampai menimbulkan keretakan persatuan antara golongan. Ketahuilah, Nona, bahwa peristiwa kejahatan hanyalah merupakan akibat dari tidak sehatnya pemerintah. Seperti sebuah penyakit, kejahatan, ketidak amanan, ketidak makmuran, bahkan kesengsaraan rakyat hanya merupakan bintik-bintik kecil akibat penyakit itu. Bla kita memberantas dan mengobati bintik-bintiknya saja tak akan banyak manfaatnya karena bintik-bintik itu akan timbul lagi setelah diobati sebab penyakit itu masih ada. Kita harus lebih mementingkan pengobatan penyakitnya, sumber penyakit itu sendiri. Dalam hal ini, sumber penyakitnya terletak pada pemerintahan. Bangsa dan tanah air kita dicengkeram penjajah Mancu, tentu saja pemerintahnya tidak sehat dan memeras rakyat jelata. Kalau penjajahan itu dapat kita bongkar dan kita ganti dengan pemerintah bangsa sendiri, maka penyakit itu sembuh pada sumbernya dan tidak akan timbul bintik-bintik berbahaya. Segala bentuk kejahatan akan dapat kita tumpas. Penindasan yang dilakukan para penjahat itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan penindasan dan penghisapan yang dilakukan penjajah terhadap kita."
Kim Giok tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia kagum sekali dan sekarang ia dapat mengerti sepenuhnya. "Sekarang aku mengerti, Pangcu, dan aku tidak penasaran lagi melihat Thian-li-pang bersahabat dengan golongan sesat, jika maksudnya hanya untuk mempersatukan tenaga melawan penjajah."
Sejak percakapan itu, Kim Giok semakin kagum dan tartarik kepada ketua Thian-li-pang itu, dan sebaliknya Seng Bu juga telah jatuh hati kepada puteri Lembah Naga Siluman. Ketika Seng Bu minta agar gadis itu tinggal di Thian-li-pang sebagai tamu kehormatan selama beberapa hari, Kim Giok tidak menolak.
Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Yo Han mendaki Bukit Naga, Cu Kim Giok telah tinggal selama lima hari di perkampungan Thian-li-pang. Hubungannya dengan Seng Bu semakin akrab namun ketua itu masih tetap bersikap sopan dan tak pernah menyatakan perasaan hatinya.
Kim Giok sudah mendengar banyak dari Seng Bu tentang Thian-li-pang. Dan ia sudah mendengar pula kisah yang aneh, peristiwa mengerikan yang terjadi beberapa bulan yang lalu, yaitu tentang pembunuhan terhadap ketua Thian-li-pang yang dilakukan oleh seorang yang tadinya dianggap sebagai pemimpin Thian-li-pang, yaitu Sin-ciang Taihiap Yo Han.
Ia sudah pernah mendengar nama itu, maka menyatakan keheranannya kepada Seng Bu mengapa Yo Han yang dianggap sebagai pemimpin besar malah membunuh ketua Thian-li-pang. Dengan cerdik Seng Bu menceritakan bahwa pembunuhan itu dilakukan Yo Han untuk membalas dendam atas kematian gurunya yang bernama Ciu Lam Hok. Demikian pandainya Seng Bu bercerita sehingga Kim Giok percaya dan gadis ini pun merasa tidak senang kepada pendekar yang di juluki Si Tangan Sakti itu…..
********************
Kita kembali kepada Yo Han yang sedang mendaki Bukit Naga dengan santai. Kembali ke tempat ini, di mana selama bertahun-tahun dia hidup dalam sumur maut bersama gurunya, mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, mendatangkan segala macam kenangan lama padanya. Bahkan kenangan itu berkembang sampai akhirnya dia terkenang kepada Tan Sian Li, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya sejak dia masih seorang pemuda remaja.
Akan tetapi, percakapannya dengan Cia Sun, setidaknya kembali menimbulkan harapan baru dalam hatinya. Ketika dia meninggalkan Sian Li, di rumah orang tua gadis itu yang dulu pernah menjadi suhu dan subo-nya pertama kali, harapannya sudah hancur luluh. Ia mendengar betapa suhu dan subo-nya hendak menjodohkan Sian Li dengan seorang pangeran di kota raja!
Tentu saja seorang pangeran jauh lebih pantas menjadi suami seorang gadis seperti Si Bangau Merah itu dari pada dia! Dia yatim piatu miskin dan papa, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap!
Akan tetapi, kebetulan dia bertemu dengan Pangeran Cia Sun, lalu bersahabat, bahkan pernah senasib sependeritaan yang mendorong mereka mengangkat saudara. Dan dari adik angkatnya yang pangeran ini dia mendengar bahwa ternyata adik angkatnya itulah pangeran yang hendak dijodohkan dengan Sian Li!
Akan tetapi, di samping berita mengejutkan itu, terdapat kenyataan yang membuat dia tumbuh lagi semangatnya, timbul pula harapannya, yaitu bahwa Pangeran Cia Sun dan Tan Sian Li tidak saling mencinta. Pangeran itu bahkan mencinta gadis lain, yaitu puteri ketua Pao-beng-pai!
Dalam perjalanannya menuju ke Thian-li-pang, dia pun sudah mendengar mengenai pembasmian Pao-beng-pai yang dilakukan oleh pasukan pemerintah. Ia mengira bahwa tentu adik angkatnya, Pangeran Cia Sun, yang melakukan penyerbuan itu, walau pun ada kesangsian di hatinya apakah sang pangeran mau melakukan hal itu mengingat akan cintanya terhadap Siangkoan Eng.
Tiba-tiba Yo Han menghentikan langkahnya dan mengerutkan alisnya. Dia mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan suara itu makin mendekat, tanda bahwa mereka yang bercakap-cakap itu sedang berjalan menuruni lereng. Yo Han menyelinap ke balik pohon besar.
Sudah lama dia meninggalkan Thian-li-pang dan dia tidak tahu bagaimana keadaannya. Walau pun dia percaya sepenuhnya kepada Lauw Kang Hui yang diserahi pimpinan perkumpulan itu, akan tetapi sebaiknya kalau dia menyelidiki keadaannya karena bagai mana pun juga, kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak benar di Thian-li-pang, dialah yang bertanggung jawab. Gurunya berpesan agar dia menyelamatkan Thian-li-pang dari penyelewengan, maka biar pun tidak memimpin langsung, dia harus selalu mengawasi.
Mereka yang tertawa-tawa tadi sekarang telah datang mendekat dan dari balik batang pohon, Yo Han mengintai. Alisnya terangkat dan kemudian berkerut tidak senang ketika ia melihat dua orang anggota Thian-li-pang sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan dua orang pendeta muda yang dari tanda gambar di dadanya bisa diketahuinya sebagai dua orang anggota Pat-kwa-pai!
Ia merasa heran bukan main. Bagaimana mungkin anggota Thian-li-pang bergaul begitu demikian akrabnya dengan anggota Pat-kwa-pai yang terkenal sebagai golongan sesat yang menggunakan kedok perjuangan, atau bisa juga dikatakan sebagai pemberontak-pemberontak yang tidak segan-segan menggunakan kejahatan serta kekejaman dalam pemberontakan mereka?
Yo Han menahan diri, ingin tahu lebih banyak, maka dari jauh dia membayangi empat orang itu. Dia tidak mengenal para anggota Thian-li-pang. Yang dikenalnya hanyalah Lauw Kang Hui dan pimpinannya, bahkan dia tidak tahu nama para pimpinan mudanya satu demi satu. Akan tetapi, melihat sikap mereka, siapa lagi mereka itu kalau bukan anggota Thian-li-pang?
Dan mereka telah berada di wilayah Thian-li-pang, maka kehadiran dua orang anggota Pat-kwa-pai itu sungguh mencurigakan sekali. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Yo Han untuk membayangi mereka, kadang malah demikian dekatnya sehingga dia dapat mendengarkan sebagian percakapan mereka. Setelah mendengar percakapan itu dia pun yakin bahwa dua orang itu adalah anggota Thian-li-pang.
"Kenapa kalian khawatir?" terdengar seorang di antara dua anggota Thian-li-pang itu berkata kepada dua orang tosu itu. "Kalau hanya kami berdua yang menghilang dari tempat penjagaan, tidak akan kentara. Pula siapa sih yang akan berani mendaki Bukit Naga dan mengganggu wilayah Thian-li-pang? Baru mendengar nama Thian-li-pang saja, nyali mereka sudah terbang melayang!" Mereka tertawa-tawa.
"Pula, berapa lamanya untuk sekedar bersenang-senang dengan kalian di dusun bawah sana? Andai kata para pimpinan mengetahui kalau kami pergi bersama kalian, tentu kita tidak akan dimarahi. Bukankah Thian-li-pang kini bersahabat baik dengan Pat-kwa-pai?"
Kembali mereka tertawa-tawa. Mereka tidak tahu betapa Yo Han mengepal tinju ketika mendengarkan percakapan itu.
Akhirnya empat orang itu tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Naga. Di dusun itu terdapat sebuah kedai arak dan ke sanalah mereka masuk. Yo Han yang memakai caping lebar, duduk pula dengan memilih tempat jauh di sudut dan capingnya tidak dilepas sehingga mukanya tertutup. Ketika pelayan datang menghampiri, dia memesan arak dan semangkuk bubur.
Terdengar ribut-ribut di meja empat orang itu. Agaknya pemilik kedai arak menghampiri mereka dan menuntut supaya mereka lebih dahulu mengeluarkan uang untuk membeli makanan dan minuman yang mereka pesan.
"Sudah terlalu sering teman-teman kalian makan minum di sini tanpa membayar! Aku tidak mau dirugikan lagi, harap kalian suka membayar lebih dulu," kata pemilik kedai itu, seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang kurus agak bongkok.
Seorang anggota Thian-li-pang yang tinggi bermuka kuning bangkit, kemudian bertolak pinggang. "Apa katamu tadi? Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Kami berdua adalah anggota Thian-ii-pang dan kedua orang sahabat kami ini adalah anggota Pat-kwa-pai. Kami adalah pejuang! Kami adalah pahlawan bangsa, pembela rakyat dan tanah air! Masa hanya mengeluarkan sedikit makanan dan minuman saja bagi kami engkau tidak rela? Kami berjuang dengan taruhan nyawa dan engkau tidak mau menjamu makan minum kepada kami?"
Seorang di antara dua orang tosu Pat-kwa-pai itu menggebrak meja dan dengan sikap bengis berkata, "Hayo cepat keluarkan hidangan untuk kami atau engkau ingin kedaimu ini kami hancurkan?!"
"Kalian sungguh kejam!" Pemilik kedai itu membantah dan mempertahankan miliknya. "Jika hanya dua tiga orang saja yang datang minta makan minum, kami pasti rela, akan tetapi kalau setiap hari datang dan jumlah kalian sampai puluhan orang selalu minta makan dan minum dengan gratis, kami bisa bangkrut! Kami pun mempunyai keluarga yang harus hidup dari hasil usaha kami yang kecil ini."
"Jahanam, masih banyak cakap? Engkau memang perlu dihajar!" bentak salah seorang anggota Thian-li-pang bermuka kuning tadi. Sekali kaki kanannya terayun menendang, pemilik kedai itu terpelanting keras.
"Penuhi permintaan kami tanpa banyak cakap lagi atau engkau akan kuhajar sampai mampus!" bentaknya.
"Ayah...!" Dari dalam berlari keluar seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Dia segera menubruk ayahnya yang sudah bangkit duduk sambil menyeringai kesakitan.
Melihat gadis itu, yang cukup manis, seorang di antara dua orang anggota Pat-kwa-pai tersenyum menyeringai dan segera menangkap lengan gadis itu dan menariknya lalu memaksanya duduk di sebuah bangku dekat meja mereka.
"Ha-ha-ha, tukang warung! Lekas keluarkan hidangan itu atau kami akan membawa pergi gadismu. Nona, kau temani kami makan minum di sini dan cepat suruh pelayan mengeluarkan hidangan dan arak terbaik," katanya.
Gadis itu tidak berani meronta, bahkan membujuk ayahnya yang sudah bangkit berdiri. "Ayah, turuti saja permintaan mereka."
Keempat orang itu tertawa bergelak melihat pemilik kedai dengan terhuyung memasuki dapur untuk menyediakan hidangan bagi empat orang itu.
"Manis, engkau lebih bijaksana dari pada ayahmu. Untung engkau muncul, kalau tidak tentu ayahmu telah menjadi mayat," kata si muka kuning sambil mencolek dagu gadis itu.
Gadis itu membuang muka dan berkata, "Kami sudah memenuhi permintaan kalian, menyuguhkan hidangan, harap jangan ganggu aku lagi." Gadis itu bangkit berdiri.
"Duduk saja, engkau tidak boleh pergi," kata seorang tosu Pat-kwa-pai.
"Aku akan membantu ayah mempersiapkan hidangan untuk kalian," bantah gadis itu.
"Dan menaruh racun dalam hidangannya, ya? Ha-ha-ha, kami tidak sebodoh itu, Manis. Kami berempat makan minum dan engkau harus menemani kami, ikut pula makan minum sehingga kalau hidangan itu beracun, engkau yang akan lebih dulu keracunan!" Si muka kuning menekan pundak gadis itu sehingga ia terduduk kembali.
Tiba-tiba terdengar suara lembut namun nadanya mengejek. "Ini rumah makan macam apa, membiarkan empat ekor buaya darat mengotorinya! Sungguh mendatangkan bau yang busuk sekali, empat orang maling kecil mengaku pejuang seperti empat ekor tikus mengaku harimau!"
Jelas sekali makna ucapan itu. Empat orang tadi tentu saja mengerti bahwa merekalah yang dimaki tikus dan maling! Hampir mereka tidak percaya ada orang berani memaki mereka seperti itu. Mengatakan mereka maling kecil dan tikus.
Tentu saja mereka terbelalak dan muka mereka berubah kemerahan pada saat mereka menoleh dan memandang ke arah meja di sudut kanan, di mana duduk seorang laki-laki yang mengenakan sebuah caping lebar sehingga muka dan kepala orang itu tertutup sama sekali.....
Akan tetapi tidak dapat diragukan lagi. Orang bercaping itulah yang tadi mengeluarkan ucapan menghina karena ucapannya datang dari arah itu dan di sudut itu tak ada orang lain kecuali dia. Serentak empat orang itu meninggalkan gadis puteri pemilik kedai dan dengan langkah lebar mereka menghampiri meja di mana Yo Han duduk.
Yo Han bersikap tenang saja, bahkan kini menuangkan arak ke dalam cawannya yang telah kosong.
"Heiii, kaukah yang tadi mengeluarkan ucapan menghina kami?!" bentak salah seorang di antara mereka.
Yo Han mengangkat cawan araknya dan membawanya ke mulut.
"Heiii, apakah engkau tuli? Kalau benar engkau yang tadi bicara, coba ulangi ucapanmu kalau engkau berani!" kata si muka kuning yang ingin mendapat kepastian bahwa orang bercaping ini yang tadi bicara. Apa lagi melihat orang bercaping itu ternyata masih muda, maka dia agak merasa ragu-ragu apakah benar pemuda itu berani mengeluarkan ucapan seperti itu.
"Kalian berempat memang maling kecil dan tikus-tikus busuk. Pergilah!" kata Yo Han, menahan kemarahannya mengingat bahwa dua di antara mereka adalah termasuk anak buahnya sendiri, anggota Thian-li-pang!
"Jahanam!"
"Keparat!"
Empat orang itu marah sekali dan menggerakkan tangan memukul dari depan belakang dan kanan kiri. Yo Han menggerakkan tangannya yang memegang cawan arak ke arah sekelilingnya dan empat orang itu berteriak dan terhuyung mundur karena muka mereka disiram arak. Biar pun hanya arak, dan tidak banyak pula karena isi cawan itu dibagi empat, namun ketika mengenai muka, terutama mata, membuat mereka sejenak tidak mampu membuka mata dan kulit muka terasa perih.
Setelah menggosok-gosok matanya dan dapat melihat lagi, empat orang itu mencabut golok mereka dan serentak menyerang sambil memaki dengan kamarahan memuncak. Orang-orang yang sedang makan minum di situ menjadi ketakutan dan berhamburan lari keluar. Juga pemilik kedai dan puterinya, beserta para pelayan, sudah bersembunyi di balik meja dengan tubuh gemetar ketakutan.
Yo Han masih tetap duduk, akan tetapi kedua tangannya mengambil sepasang sumpit dan juga dua buah mangkok yang kosong. Begitu empat orang dengan golok mereka menyerbu mendekat, kembali kedua tangan Yo Han bergerak.
Dua sumpit menembus pundak kanan dua orang tosu sehingga golok mereka terlepas dan mereka mengaduh-aduh, sedangkan dua buah mangkok menghantam muka dua orang anggota Thian-li-pang dengan kerasnya. Dua orang Thian-li-pang itu terjengkang roboh dengan muka berdarah karena mangkok yang menghantam muka mereka tadi pecah-pecah dan melukai mereka. Memang tidak sampai membunuh mereka, namun mereka terjengkang roboh dengan muka berlumuran darah dan pingsan!
Dua orang tosu terbelalak dan tidak berani melawan lagi, bahkan melarikan diri keluar dari rumah makan itu ketika Yo Han dengan sikap sembarangan saja mencengkeram baju di punggung kedua orang anggota Thian-li-pang itu dan melempar tubuh mereka yang pingsan ke sudut ruangan itu di mana mereka rebah bertumpuk. Kemudian, dia melanjutkan makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Pemilik rumah makan bersama puterinya segera menghampiri Yo Han, mengucapkan terima kasih sambil membungkuk-bungkuk.
"Terima kasih atas pertolongan Taihiap, akan tetapi... ahhh, bagaimana dengan nasib kami? Tentu mereka akan datang lagi dan akan menghancurkan rumah kami, bahkan mungkin kami pun akan mereka bunuh..."
"Benar apa yang dikatakan Ayah, Taihiap," berkata gadis itu sambil menangis. "Harap Taihiap suka melepaskan dua orang itu, karena sudah pasti kami yang akan menderita akibat pembalasan mereka."
"Paman dan Nona, harap jangan khawatir. Aku akan menunggu di sini sampai mereka semua datang. Aku yang akan menanggung bahwa kalian tidak akan diganggu lagi oleh mereka. Kalian tenang saja. Nanti akan kuganti semua kerugian karena kerusakan yang diakibatkan keributan ini. Sekarang, tolong tambahkan arak seguci untukku. Aku akan menanti mereka datang semua."
Biar pun khawatir sekali, ayah anak itu tidak berani membantah lagi. Mereka tadi sudah melihat betapa mudahnya pemuda bercaping ini mengalahkan empat orang pengacau. Akan tetapi mereka tahu belaka betapa kuatnya Thian-li-pang dan kalau mereka semua itu datang, apakah pemuda itu akan mampu menghadapi mereka seorang diri saja?
Dua orang tosu Pat-kwa-pai yang sedang bermain-main ke Thian-li-pang tadi, tentu saja tidak mau tinggal diam. Mereka terluka dan masing-masing menderita kesakitan dengan sebatang sumpit masih menancap dan menembusi pundak mematahkan tulang pundak, sedangkan dua orang teman mereka sudah ditawan.
Mereka cepat mendaki lereng Bukit Naga yang menjadi sarang Thian-li-pang dan sambil meringis kesakitan mereka melapor kepada para anggota Thian-li-pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang perkampungan perkumpulan itu.
Tentu saja para anggota Thian-li-pang menjadi gempar dan marah mendengar bahwa dua orang kawan mereka dirobohkan seorang asing di dusun yang berada di kaki bukit. Mereka cepat melapor kepada kepala jaga. Mereka menganggap urusan itu terlalu kecil untuk dilaporkan kepada ketua, bahkan mereka tidak ingin ketua mendengar bahwa mereka tidak mampu membereskan urusan kecil itu.
"Di mana jahanam itu sekarang? tanya seorang murid yang tingkatnya lebih tinggi.
"Di dalam kedai arak dusun itu," kata dua orang tosu itu.
Murid yang termasuk tingkat atas dari Thian-li-pang itu lalu mengumpulkan empat orang saudara lain. "Kalian tetap berjaga saja di sini, kami berlima yang akan menghajarnya," katanya dan lima orang yang memiliki tingkat tiga di Thian-li-pang itu segera turun dari lereng bukit sambil berlari cepat.
Sekejap saja, lima orang murid Thian-li-pang yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini telah tiba di depan kedai arak itu. Mereka melihat betapa kedai arak itu sepi sekali, dan ada beberapa orang yang mengitai dari jauh dengan sikap ketakutan.
Dengan sikap gagah kelima orang itu memasuki kedai. Di dalam ruangan kedai yang biasanya penuh tamu itu, ternyata sekarang kosong. Hanya ada seorang tamu sedang minum-minum seorang diri di sudut dan mereka melihat orang itu mengenakan caping lebar sehingga tak nampak mukanya. Mereka melihat pula dua orang adik seperguruan mereka duduk bersandar dinding di lantai sudut itu dengan muka berlumuran darah!
Pada saat dua orang itu melihat lima orang kakak seperguruan mereka muncul di pintu rumah makan, mereka segera bangkit.
"Suheng, tolonglah kami...," kata mereka setengah meratap.
Mereka hendak menghampiri kawan-kawan mereka, akan tetap begitu tangan Yo Han bergerak, dua butir kacang menyambar dan mengenai dada kedua orang itu, membuat mereka mengeluh dan roboh kembali! Melihat hal itu, lima orang yang baru datang tentu saja menjadi marah sekali.
"Jahanam busuk!" bentak salah seorang di antara mereka dan lima orang itu serentak menyerang Yo Han dari sekelilingnya.
Yo Han masih tetap duduk di atas bangkunya. Kedua tangannya bergerak, juga kedua kakinya menyambar dan empat orang pengeroyok lalu roboh terpelanting! Orang kelima yang melihat ini, terbelalak kaget dan dengan jeri dia melangkah mundur.
Empat orang yang roboh itu mencoba untuk mencabut pedang dan kembali menyerang. Akan tetapi sebelum mereka dapat melakukan serangan, kembali kaki tangan Yo Han bergerak tanpa dia turun dari bangkunya. Akibatnya, keempat orang itu roboh kembali, pedang mereka terlepas berkerontangan dan mereka tidak mampu bangkit.
Melihat ini orang ke lima segera meloncat keluar dan melarikan diri ketakutan. Dia tidak tahu bahwa memang Yo Han sengaja melepasnya, dengan maksud supaya dia melapor kepada pimpinan Thian-li-pang. Dengan tenang ia turun dari bangkunya, lalu tangannya mencengkeram punggung baju mereka dan melemparkan tubuh mereka satu demi satu ke sudut ruangan sehingga kini di situ berserakan dan bertumpuk enam orang anggota Thian-li-pang.
Ketika melakukan hal ini, enam orang itu dapat sekilas melihat tampangnya dan dua di antara mereka terbelalak.
"Sin... ciang... Taihiap..." Mereka berbisik dan jatuh pingsan saking kaget dan takutnya.
Tentu saja mereka sangat ketakutan karena mereka sudah melawan pemimpin besar Thian-li-pang! Apa lagi mereka juga segera menyadari bahwa mereka sudah melakukan penyelewengan besar dari garis-garis yang ditentukan pemimpin besar ini, menyadari bahwa Thian-li-pang telah berubah semenjak ketua Lauw Kang Hui tewas dan pimpinan dipegang oleh Ouw Seng Bu.
Yo Han tidak peduli dan melanjutkan minum seorang diri. Dia harus meluruskan kembali Thian-li-pang seperti pesan mendiang suhu-nya, yaitu kakek Ciu Lam Hok. Dia sengaja merobohkan para anggota Thian-li-pang dan menumpuk tubuh mereka di sudut ruangan kedai itu untuk memancing kedatangan para pimpinan Thian-li-pang ke situ, terutama sekali Lauw Kang Hui.
Dia tidak langsung datang ke Thian-li-pang karena maklum betapa besar bahayanya kalau dia melakukan itu. Kalau benar para pemimpin Thian-li-pang sudah menyeleweng dan dia dimusuhi, maka mendatangi pusat Thian-li-pang sama saja dengan menghadapi bahaya besar.
Thian-li-pang mempunyai anggota yang rata-rata kuat, juga para pemimpinnya lihai, di samping tempat itu pun berbahaya dan penuh rahasia. Ia harus dapat memancing para pemimpinya keluar dan datang ke rumah makan ini, agar lebih leluasa dia turun tangan menghajar mereka dan memaksa mereka untuk kembali ke jalan yang benar seperti dikehendaki mendiang Ciu Lam Hok gurunya.
Sementara itu, anggota Thian-li-pang yang ketakutan dan lari pulang, membuat para anggota lainnya menjadi gempar. Mereka tidak berani menganggap persoalan itu kecil lagi, apa lagi ketika rekan mereka menceritakan betapa empat kawannya roboh dengan mudah sekali oleh si caping lebar yang aneh. Mereka lalu berangkat untuk melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.
Ketika itu, ketua Thian-li-pang yang baru, Ouw Seng Bu, sedang menjamu dua orang tamu yang dihormatinya, yaitu Cu Kim Giok dan Siangkoan Kok. Seperti diceritakan di bagian depan, Cu Kim Giok tertarik kepada Ouw Seng Bu dan menganggap pemuda itu seorang ketua perkumpulan besar Thian-li-pang yang amat tampan, gagah perkasa dan berjiwa patriot, membuat ia merasa tunduk dan kagum bukan main.
Ada pun Siangkoan Kok, bekas ketua Pao-beng-pai, juga dapat ditundukkan Ouw Seng Bu dengan ilmunya yang luar biasa sehingga kini Siankoan Kok yang perkumpulannya sudah hancur itu mau menggabungkan diri untuk menentang pemerintah dan mencari kedudukan yang tinggi.
Demikian besar rasa kagum Cu Kim Giok kepada Ouw Seng Bu sehingga dia tidak berkeberatan untuk makan bersama dua orang tosu wakil Pek-lian-kauw dan dua orang tosu wakil Pat-kwa-pai yang datang sebagai tamu Thian-li-pang. Padahal, sejak kecil ia telah mendengar dari ayah ibunya bahwa Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang banyak melakukan kejahatan, walau pun perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah Mancu. Alasan yang dikemukakan Ouw Seng Bu bahwa untuk menentang penjajah, semua kekuatan harus bersatu, tanpa membeda-bedakan antar golongan putih atau hitam, dapat ia terima bahkan membenarkannya.
Demikianlah, pada saat itu, Ouw Seng Bu, sedang makan minum semeja dengan Cu Kim Giok, Siangkoan Kok, dan empat orang tosu, yaitu dua tokoh Pat-kwa-pai dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw.
Wakil Pat-kwa-pai yang tubuhnya tinggi kurus bernama Im Yang Ji, murid kepala ketua Pat-kwa-pai yang lihai, yang datang bersama bersama adik seperguruannya. Ada pun wakil dari Pek-lian-kauw adalah Kui Thiancu yang sudah kita kenal ketika dia mewakili Pek-lian-kauw dan hadir dalam pesta yang diadakan Siangkoan Kok saat masih menjadi ketua Pao-beng-pai, yang datang bersama seorang adik seperguruannya pula.
Ouw Seng Bu yang merasa bergembira sekali sudah mendapat dua sekutu yang boleh dibanggakan, Siangkoan Kok yang selain amat lihai juga dapat diharapkan menghimpun banyak orang untuk menjadi anak buah mereka, dan Cu Kim Giok. Gadis puteri majikan Lembah Naga Siluman ini tentu saja merupakan seorang sekutu yang sangat besar artinya, karena tentu akan dapat menjadi jembatan agar para tokoh kang-ouw lainnya suka bergabung dengan Thian-li-pang.
Selain itu, semenjak pertemuan yang pertama kalinya, hati Ouw Seng Bu sudah terjerat. Dia tahu bahwa dia jatuh cinta kepada gadis yang bermata indah dan amat manis itu.
"Mari kita minum untuk persatuan di antara kita yang kokoh kuat untuk menumbangkan penjajah dan mengusir mereka dari tanah air tercinta!" dengan penuh semangat Ouw Seng Bu berkata.
Enam orang lainnya yang duduk semeja itu menyambut dengan penuh semangat pula. Bahkan Cu Kim Giok merasa bangga karena ia merasa yakin bahwa ayah ibunya tentu akan merasa bangga pula melihat puteri mereka kini bersekutu dengan para pejuang yang hendak menumbangkan pemerintah penjajah Mancu!
Baru saja mereka mengosongkan cawan, seorang anggota Thian-li-pang dengan sangat tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu. Dia adalah kepala jaga, dan biar pun dalam hal tingkatan, orang ini masih adik seperguruan Ouw Seng Bu, yaitu murid mendiang Lauw Kang Hui, akan tetapi karena kini Ouw Seng Bu telah menjadi ketua dan orang itu bukan lain hanya seorang anak buah, ketua Thian-li-pang yang masih muda itu mengerutkan alisnya dan merasa terganggu.
"Hemmm, ada urusan apa hingga engkau berani datang mengganggu kami?" bentaknya dengan sikap berwibawa.
"Harap maafkan kelancangan saya, Pangcu. Akan tetapi saya hendak melapor bahwa ada seseorang yang telah merobohkan dan menawan enam orang anggota kita di kedai arak di dusun bawah sana."
Kerut di antara mata Seng Bu semakin mendalam dan matanya mencorong marah. "Hemmm, muncul seorang pengacau saja kalian tidak mampu membereskannya sendiri dan masih melapor kepada kami?"
"Maaf, Pangcu. Mula-mula, dua orang anggota kita bersama seorang teman anggota Pat-kwa-pai dan seorang anggota Pek-lian-kauw minum di kedai itu, bertemu dengan si pengacau yang merobohkan dua orang anggota kita, akan tetapi hanya melukai dua orang tosu sahabat dan membiarkan mereka pergi. Dua orang anggota Thian-li-pang itu ditawannya di kedai. Kemudian, lima orang saudara tua kami turun lereng, bermaksud untuk memberi hajaran. Akan tetapi, empat orang di antara mereka roboh dan ditawan. Seorang dapat melarikan diri melapor dan menurut laporannya, empat orang saudara tua itu dalam segebrakan saja roboh oleh pengacau yang bercaping lebar itu."
"Hemmm...!" Ouw Seng Bu diam-diam terkejut.
Yang disebut saudara tua adalah para anggota yang tingkatnya sejajar dengan dirinya, yaitu murid atau murid keponakan dari mendiang Lauw Kang Hui. Kalau empat orang di antara mereka roboh dengan mudah oleh pengacau itu, dapat dibayangkan alangkah lihainya orang itu.
"Ahhh, siapa berani melukai anggota Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?" seru Im Yang Ji, tokoh Pat-kwa-pai dengan marah. Dia sudah mulai mabuk, maka hatinya mudah sekali panas mendengar bahwa seorang anak buahnya sudah dilukai orang. "Toyu, kita harus menghajar orang itu!" katanya kepada dua orang tosu Pek-lian-kauw.
Kui Thiancu mengangguk dan bangkit berdiri, memberi hormat kepada Seng Bu sambil berkata, "Pangcu, biarlah kami berempat yang menghajar orang itu dan menyeretnya ke sini agar Pangcu dapat menghukumnya. Pangcu tak perlu marah-marah dan terganggu makan minum. Sebaiknya, Pangcu, Nona dan Siangkoan Locianpwe tetap melanjutkan makan minum. Kami berempat akan segera kembali sambil menyeret si pengacau itu."
Ouw Seng Bu mengangguk dan bangkit berdiri membalas penghormatan empat orang tosu itu.
"Kalau Cuwi hendak menghajar si pengacau yang telah melukai anggota Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, silakan dan harap jangan membunuhnya karena saya ingin melihatnya dan menanyainya mengapa dia berani memusuhi kita."
Empat orang tosu itu mengangguk dan ke luar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Setelah mereka pergi, Ouw Seng Bu menoleh kepada Cu Kim Giok sambil tersenyum.
"Aihh, ada-ada saja. Sayang sekali masih terdapat orang-orang yang tidak menghargai perjuangan kita sehingga mereka itu bukan membantu kita, bahkan memusuhi kita dan lebih rela menjadi antek penjajah Mancu. Siapa yang tidak akan merasa menyesal kalau orang-orang pandai yang termasuk golongan para pendekar, seperti Sin-ciang Taihiap Yo Han itu, membiarkan dirinya menjadi anjing penjilat dan antek penjajah Mancu."
"Sangat menyakitkan hati memang!" kata Siangkoan Kok sambil menuangkan arak dari cawan ke dalam mulutnya. "Bahkan para pendekar dari keluarga pendekar terbesar di dunia persilatan, rela mengekor kepada penjajah Mancu. Harap maafkan aku, nona Cu. Selama ini aku pun belum pernah mendengar keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman menjadi antek Mancu, meski hubungan keluargamu dekat sekali dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Dua keluarga pendekar itulah yang sejak dulu membantu penjajah Mancu, sungguh mengecewakan sekali. Apakah mereka tak pernah tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa liar yang menjajah tanah air dan bangsa kita? Kita berjuang untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah, namun mereka tidak membantu kita dan malah memusuhi kita!"
Wajah Kim Giok berubah menjadi agak kemerahan. Selain pengaruh arak, juga hatinya tersentuh. Ia telah jatuh cinta kepada Ouw Seng Bu dan merasa yakin akan kebenaran pemuda itu, akan kemurnian perjuangan melawan penjajah.
Dia pun tahu bahwa di antara keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, memang terdapat hubungan yang akrab dengan kerajaan Mancu, bahkan ada pertalian hubungan darah. Walau pun ayah ibunya tidak pernah memusuhi kerajaan Mancu secara berterang, akan tetapi juga mereka tidak pernah menjadi pembantu langsung atau pejabat. Akan tetapi, harus diakui bahwa keluarga orang tuanya sangat dekat dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir.
Sekarang pandangannya terhadap Siangkoan Kok juga berubah. Kakek tua ini adalah seorang pejuang sejati, pikirnya, seperti juga Seng Bu, meski kakek ini berwatak keras dan aneh, tidak seperti Seng Bu yang halus dan tampan.
"Meski keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir tidak memusuhi kita secara terang-terangan, akan tetapi mereka tidak mau bersatu dengan kita untuk menghancurkan penjajah. Kita harap saja nona Cu akan dapat membujuk mereka dan membuka mata mereka betapa pentingnya perjuangan menentang penjajah. Yang kukhawatirkan hanyalah satu orang saja, yaitu Sin-ciang Taihiap..."
"Hemmm, orang itu memang amat berbahaya dan dia pun telah menjadi antek penjajah. Bahkan dia bergaul akrab sekali dengan seorang pangeran Mancu, yaitu Pangeran Cia Sun," kata Siangkoan Kok.
Dengan singkat Siangkoan Kok lalu menceritakan betapa Yo Han beserta Pangeran Cia Sun pernah menyelundup ke dalam perkumpulannya, Pao-beng-pai sehingga berakibat perkumpulannya itu dihancurkan pasukan pemerintah.
"Sudah jelas bahwa pasukan itu dibawa datang oleh Yo Han dan Cia Sun yang bekerja sebagai mata-mata," kata Siangkoan Kok mengakhiri ceritanya.
"Yo Han memang harus dibasmi. Dia pun merupakan ancaman bagi Thian-li-pang pula, karena dulu dia pernah diangkat oleh mendiang suhu Lauw Kang Hui sebagai pemimpin Thian-li-pang. Sewaktu-waktu dia bisa muncul di sini, dan kemudian menggunakan hak kekuasaannya untuk mengubah Thian-li-pang dari suatu perkumpulan pejuang menjadi perkumpulan pengekor kerajaan Mancu," kata Seng Bu penasaran.
"Biarkan saja dia datang, kita akan sambut dia dengan pedang. Aku akan membantumu menundukkannya, Pangcu," berkata Siangkoan Kok yang masih merasa sakit hati kalau teringat kepada Yo Han dan Cia Sun yang dianggapnya menjadi penyebab kehancuran Pao-beng-pai.
"Akan tetapi, dia lihai bukan main, paman Siangkoan," kata Seng Bu, "Sebaiknya kalau kita menggunakan siasat untuk menundukkannya, dan kuharap Paman dan juga nona Cu suka membantuku untuk menundukkannya kalau dia berani datang di sini."
"Tentu saja aku akan membantumu, Pangcu," kata Kim Giok tanpa ragu lagi.
Sin-ciang Taihiap adalah seorang yang jahat, pikirnya, telah mengkhianati Thian-li-pang, juga membunuh ketua Thian-li-pang, bahkan dia bergaul dengan Pangeran Cia Sun dari kerajaan Mancu. Yo Han sudah membunuh banyak tokoh Thian-li-pang dan orang yang sejahat itu memang harus ditentang.
"Kalau perlu, kita minta bantuan tenaga ketua Pek-lian-kauw dan ketua Pat-kwa-pai," kata Siangkoan Kok yang diam-diam juga merasa jeri terhadap Sin-ciang Taihiap.
"Memang aku sudah mempunyai rencana, dan sudah mengirim surat kepada mereka," kata Seng Bu.
Mereka kemudian melanjutkan makan minum dan merasa yakin bahwa dua orang tosu Pek-lian-kauw bersama dua orang tosu Pat-kwa-pai tadi akan mampu membereskan kerusuhan dan menyeret pengacaunya ke markas Thian-li-pang…..
********************
Selanjutnya baca
SI TANGAN SAKTI : JILID-10