Si Pedang Tumpul Jilid 01


Pegunungan yang berderet sepanjang sembilan puluh kilometer itu memang patut dengan nama yang diberikan orang kepadanya sejak ribuan tahun yang silam, yaitu Gunung Api. Menakjubkan bila melihat pegunungan yang berkilauan merah seperti api yang membara itu. Baru melihat bentuk dan warnanya saja sudah menimbulkan perasaan panas, seperti orang melihat gunung yang terbakar membara. Terlebih lagi jika mengingat bahwa di kaki pegunungan itu sebelah selatan adalah daerah Turfan, yaitu daerah yang dikenal sebagai tempat yang paling panas di seluruh daratan Cina.

Daerah Turfan merupakan daerah berlekuk seperti mangkuk yang letaknya amat rendah. Para musafir kelana atau rombongan pedagang yang melawat ke See-thian (dunia barat, yang dimaksudkan India), atau datang dari sana menuju ke timur, ketika melewati daerah Turfan yang mereka takuti ini dan memandang ke utara, selalu menganggap bahwa hawa panas itu tentu datang dari Gunung Api itu!

Sebenarnya tidaklah demikian. Pegunungan ini tidak mengandung api, bukan pula gunung berapi. Akan tetapi pegunungan ini terdiri dari batu padas yang warnanya merah laksana api membara. Tingginya sekitar lima ratus meter dari permukaan laut dan hawanya tidak begitu panas, meski pun pegunungan padas itu terlihat gundul karena jarang ada tumbuh-tumbuhan yang dapat hidup di sana.

Hanya binatang onta dan kuda dari daerah itu saja yang sanggup membawa rombongan kafilah melintasi daerah Turfan. Pada saat tengah hari kadang-kadang hawanya demikian panas menyengat, bahkan lebih panas dari pada hawa di Gurun Gobi.

Namun, apa bila tidak memikirkan hal-hal yang merugikan dan membahayakan manusia, pemandangan alam di daerah itu memang sangatlah indahnya, keindahan yang tidak bisa didapatkan di daerah lain. Pantaslah kalau penduduk sekitar yang tinggal di wilayah yang lebih subur menganggap daerah ini sebagai tempat kediaman Dewa Api dan keluarganya.

Menurut dongeng setempat, Dewa Api telah melakukan kesalahan di kahyangan sehingga oleh Yang Maha Kuasa lalu dibuang ke Gunung Api dan menjadi penunggu pegunungan itu. Indah dan agung, pegunungan membara yang melintang tiada putusnya, seolah-olah menjadi benteng penghalang bagi para pedagang dari timur dan barat. 

Di sepanjang jalan yang dibuat oleh kafilah, terdapat tulang rangka manusia dan binatang berserakan, tanda bahwa sudah banyak korban yang jatuh ketika melewati daerah Turfan. Maka timbullah kepercayaan bahwa Dewa Api telah menyuruh anak-anak buahnya untuk membantai orang-orang berdosa yang kebetulan melewati daerah itu. Makin lama makin jarang kafilah melalui daerah ini, dan kalau ada yang berani, tentu rombongan itu dikawal oleh sepasukan pengawal yang gagah berani dan berkepandaian tinggi.

Matahari telah bergeser ke langit barat ketika rombongan yang cukup besar itu memasuki daerah Turfan. Sepuluh ekor unta, lima belas ekor kuda, membawa tujuh belas orang dan banyak barang dagangan. Mereka datang dari timur, hendak menuju ke barat.

Dua orang yang bertubuh gemuk dan menunggang unta-unta terbesar adalah dua orang pedagang berbangsa Han. Lima belas orang berkuda adalah orang-orang dari suku Kasak yang terkenal gagah perkasa dan pandai menunggang kuda. Pada jaman itu, orang-orang Kasak yang terkenal jagoan mendapat banyak keuntungan dari pekerjaan mereka sebagai pengawal-pengawal yang boleh diandalkan.

Dua orang pedagang bangsa Han itu sama-sama berusia kurang lebih lima puluh tahun. Mereka adalah pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman, tetapi biasanya mereka berdagang ke Tibet, Bhutan dan Nepal. Baru sekali ini mereka menuju ke See-thian untuk berdagang dan membawa barang dagangan yang sangat berharga, antara lain sutera dan batu-batu mulia yang di dunia barat mempunyai harga tinggi.

Begitu memasuki daerah Turfan mereka langsung disambut sengatan sinar matahari yang membuat mereka mengeluh. Beberapa kali mereka menoleh kepada pasukan pengawal, meminta agar dicarikan tempat teduh untuk beristirahat.

Kepala pasukan pengawal, seorang Kasak yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan bertubuh tinggi kurus, mengangkat tangan dan menggoyangnya sebagai tanda tak setuju.

"Kita harus dapat melewati Turfan sebelum malam tiba!"

Dan dia pun membunyikan cambuknya di belakang dua ekor onta itu, membuat dua ekor onta itu terkejut dan melangkah lebih cepat. Dua orang pedagang di atas punggung onta terangguk-angguk dan tidak berani membantah, karena dalam perjalanan yang berbahaya itu mereka harus tunduk kepada kepala pengawal yang mengatur keamanan perjalanan itu.

Mereka hanya dapat minum air teh jeruk untuk melarutkan ketidak senangan hati mereka. Setelah hati mereka sejuk kembali, dua orang saudagar itu terangguk-angguk melenggut di atas onta, sengatan matahari membuat mereka mengantuk sekali.

Tiba-tiba dua orang pedagang itu dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Begitu membuka mata, mereka melihat betapa sepuluh orang pengawal berkuda sudah mengelilingi onta mereka dengan sikap siaga, sedangkan lima orang lainnya, dipimpin kepala pengawal berhadapan dengan seorang laki-laki asing yang berdiri dengan sikap angkuh.

Laki-laki itu berusia hampir enam puluh tahun, tubuhnva tinggi tegap dengan dada yang bidang. Dua lengan bajunya digulung sampai siku membuat sepasang lengan itu nampak kekar dan dihias otot melingkar-lingkar. Rambutnya sudah bercampur uban, diikat ke atas dan tertutup sebuah caping lebar yang melindungi wajahnya dari sengatan matahari.

Telinganya yang lebar, bukit hidung yang tinggi, mata sipit yang kedua ujungnya menurun, bentuk pakaiannya, jelas menunjukkan bahwa pria itu adalah Bangsa Uigur. Suku Uigur dan suku Kasak merupakan dua suku bangsa yang paling banyak berada di daerah Sin-kiang atau daerah barat ini.

Kedua orang saudagar itu melihat betapa kepala pengawal marah-marah dan mengusir orang Uigur itu agar tidak menghalang di jalan. Akan tetapi orang Uigur itu hanya tertawa saja, suara ketawanya lantang dan bernada meremehkan. 

Kepala pasukan semakin marah, kemudian bersama empat orang anak buahnya dia pun berloncatan turun dari atas kuda mereka dan segera menyerang orang Uigur tinggi besar itu dengan golok mereka. Penghadang itu tidak bersenjata, namun tubuhnya berkelebatan di antara sinar lima batang golok yang menyambar-nyambar itu. Sungguh mengherankan dan mengagumkan sekali melihat tubuh yang tinggi besar itu dapat bergerak seringan itu, dengan kecepatan gerak seperti. seekor burung walet saja.

"Siapakah dia dan mengapa mereka berkelahi?" Saudagar gendut yang kepalanya botak bertanya kepada seorang anggota pengawal terdekat.
"Orang itu adalah seorang perampok."
"Ahhh...!" Dua orang saudagar memandang terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali.
"Tidak perlu khawatir. Sebentar lagi dia tentu dapat dibunuh," pengawal itu menghibur.

Akan tetapi, melihat betapa perampok itu belum juga dapat dirobohkan dan gerakannya seperti seekor burung walet saja, sepuluh orang pengawal yang bertugas melindungi dua orang pedagang itu sudah berloncatan turun dari atas kuda dan sekarang mereka semua telah mencabut senjata golok melengkung. 

Sesudah belasan jurus lewat tanpa ada sebatang pun golok yang mampu menyentuhnya, perampok tinggi besar itu tertawa bergelak, kemudian kaki tangannya bergerak cepat dan dia mulai membalas serangan para pengeroyoknya. Dia memainkan ilmu silat yang aneh, kakinya berloncatan ke sana sini dan dua tangannya diputar-putar, seperti gerakan seekor burung. Akan tetapi akibatnya bukan main! 

Empat orang pengeroyok roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali karena di kepala mereka telah terdapat luka berlubang bekas ditembusi jari tangan perampok itu! Bahkan kepala pengawal juga hanya mampu menghindarkan maut setelah dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh.

Kepala pengawal segera meloncat berdiri dan mukanya menjadi merah saking marahnya. Dia menudingkan goloknya ke arah wajah perampok itu. "Siapakah engkau? Orang Uigur biasanya tidak saling mengganggu dengan kami Bangsa Kasak. Mengapa engkau hendak mengganggu pekerjaan kami?"

"Ha-ha-ha! Kalian orang-orang Kasak yang pelit! Aku hanya menghendaki batu-batu giok (kemala) itu. Serahkan kepadaku dan kalian boleh ambil semua sisa barangnya. Dua ekor babi gemuk ini kita sembelih saja!" kata si perampok yang tinggi besar itu.
"Orang rendah! Kami adalah orang-orang Kasak yang gagah! Kami bukan sahabat orang Han, akan tetapi sekali kami menerima tugas dan tanggung jawab, maka akan kami bela sampai mati! Jangan harap engkau akan bisa mengambil sepotong pun benda yang kami lindungi sebelum kami menggeletak sebagai mayat!" teriak pemimpin pengawal Kasak itu dengan suara lantang dan sikap gagah. 

Kemudian dia menoleh ke arah anak buahnya. "Bentuk barisan pedang bintang!"

Sepuluh orang pengawal yang tengah melindungi dua orang pedagang itu kini berloncatan mengepung perampok itu bersama kepala pasukan. Mereka segera membentuk barisan pedang bintang yang memiliki gerakan teratur, mengelilingi si perampok sambil berlarian dan memainkan golok yang digerak-gerakkan dari atas ke bawah, lantas diputar ke atas kembali. Gerakan ini mendatangkan sinar berkilauan karena tertimpa sinar matahari.

Akan tetapi perampok tinggi besar itu tidak menjadi gentar, bahkan tertawa. Kemudian dia mengeluarkan suara melengking nyaring sambil menggerak-gerakkan dua lengannya, dan semua perampok melihat betapa sepasang lengan yang berkulit kecoklatan terbakar sinar matahari itu kini sudah berubah menjadi merah bagaikan api membara! Melihat ini, kepala pengawal terkejut bukan main.

"Kau... kau... adalah Datuk Besar Tangan Api?" Dia tergagap. "Bukankah engkau sudah mengundurkan diri bahkan kini tinggal di daerah kami Bangsa Kasak dan diterima dengan baik?"
"Ha-ha-ha, matamu masih awas. Nah, cepat serahkan kemala-kemala itu dan aku akan mengampuni kalian!" Si Tangan Api itu berkata.
"Bukan watak kami Bangsa Kasak untuk menyerah tanpa melawan!” kepala pengawal itu berseru. "Kami adalah orang-orang yang setia kepada tugas sampai mati!"
"Bagus, kalau begitu kalian akan mati!” bentak Si Tangan Api. 

Kini barisan bintang yang terdiri dari sebelas orang itu sudah menggerakkan golok mereka dan melakukan penyerangan dengan serentak dan teratur. Yang mereka sebut Barisan Pedang Bintang itu sesungguhnya adalah barisan pedang yang teratur rapi dan mereka mempelajarinya dari seorang perwira Bangsa Mongol ketika pasukan Mongol menyerbu ke Barat. Akan tetapi karena mereka biasa mempergunakan senjata golok, maka mereka bukan memainkan pedang melainkan golok.

Melihat senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar dengan ganas dan teratur sekali, Si Tangan Api bersikap tenang saja, bahkan senyumnya tidak pernah meninggalkan bibir. Dia menggunakan kedua tangannya yang telanjang sampai ke siku, kedua lengan yang kulitnya kemerahan seperti api membara, seperti Gunung Api yang nampak dari situ.

Ketika dia menggerakkan kedua lengannya menangkis, maka terdengar suara berdenting seolah-olah dua lengan itu terbuat dari pada baja! Dan setiap kali lengannya menangkis, pada saat golok lawan terpental, secepat kilat tangannya yang kedua menyambar.

"Bukkk!"

Yang kena terpukul berteriak, tubuhnya terjengkang dan tak mampu bergerak lagi. Bagian tubuh yang terkena pukulan tangan terbuka itu berwarna hitam seperti terbakar dan ada bekas telapak tangan di bagian itu, dan orangnya tewas seketika!

Terdengar teriakan susul menyusul lantas sebelas orang pengeroyok itu roboh satu demi satu! Si Tangan Api menyapu dengan pandang matanya. Melihat lima belas orang Kasak itu sudah roboh semua dan tidak ada yang bargerak lagi, dia pun mengangkat muka ke atas lalu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh.

Dua orang saudagar yang menjadi ketakutan sudah merosot turun dari onta mereka dan melihat seluruh pengawal mereka sudah tewas, mereka lalu melarikan diri. Perut mereka yang gendut bergayutan karena tidak biasa bekerja keras apa lagi berlari. Mereka jatuh bangun dan belum ada seratus langkah, mereka sudah terengah-engah kehabisan napas. Melihat mereka lari, Si Tangan Api mengangkat tangan kanan ke atas lantas dia berteriak lantang, suaranya amat berpengaruh.

"Heiii...! Kalian berdua, berhenti...!"

Tiba-tiba saja dua orang yang lari terhuyung-huyung itu berhenti, seolah-olah kaki mereka mendadak melekat pada tanah yang mereka injak.

“Kembalilah kalian ke sini!” teriak pula Si Tangan Api.

Teriakan itu membuat mereka makin ketakutan. Mereka ingin melarikan diri secepatnya, ingin meninggalkan tempat itu sejauhnya, akan tetapi sungguh aneh. Kaki mereka bukan saja tidak mau diajak berlari, bahkan sekarang kaki itu membawa mereka membalik dan berlawanan dengan kehendak mereka, kedua kaki mereka justru melangkah menghampiri perampok yang telah membunuh semua pengawal mereka. 

Tentu saja kedua orang ini menggigil ketakutan ketika berdiri di hadapan perampok yang menatap mereka sambil tersenyum itu. Mereka merasa bingung sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka merasa seperti dalam mimpi dan tidak mampu menguasai tubuh mereka lagi.

"Berlututlah kalian!" teriak pula Si Tangan Api.

Kini dua saudagar itu menjatuhkan diri berlutut. Bukan saja karena kaki mereka memang menghendaki begitu, akan tetapi juga karena rasa takut yang menghantui hati. Si Tangan Api menggunakan kakinya menendang dua batang golok yang banyak berserakan di situ, ke arah dua orang saudagar itu.

"Kalian ambil golok itu!"

Sungguh aneh. Perintah ini seolah tak mungkin dapat dibantah. Di luar kemauan mereka, dua orang pedagang itu menjulurkan tangan mengambil golok pada gagangnya.

"Nah, sekarang kalian bunuh diri dengan golok itu! Penggal leher kalian sendiri!"

Perintah yang benar-benar aneh. Tentu saja dalam hati kecil mereka, dua orang saudagar ini menentang dan tidak mau. Akan tetapi kekuatan yang sangat besar mendorong dalam benak mereka, dan tanpa dapat dicegah lagi tangan yang memegang golok itu mengayun golok dan dua orang pedagang itu menebas leher sendiri dengan golok di tangan masing-masing. Mereka tidak sempat mengeluarkan suara, roboh mandi darah yang bercucuran keluar dari luka parah pada leher mereka!

"Ha-ha-ha-ha, bagus! Baik ilmu silatku, tenagaku, mau pun ilmu sihirku, semuanya masih ampuh, ha-ha-ha!"

Sambil tertawa-tawa dia lalu memeriksa semua barang bawaan, mengambil kantung terisi perhiasan emas permata dan terutama sekali ukiran batu giok (kemala), memilih tiga ekor kuda, meloncat ke atas punggung seekor kuda dan menarik tali kendali dua ekor yang lain kemudian dia melarikan kuda meninggalkan tempat itu.

Sunyi senyap di tempat pembantaian manusia itu. Kesunyian yang amat mencekam dan mengerikan. Tiga ekor burung semacam rajawali terbang lalu, dan mereka mengeluarkan bunyi mencicit panjang. Agaknya tiga ekor burung itu juga turut merasa ngeri dan prihatin menyaksikan akibat ulah manusia yang dikenal sebagai makhluk paling mulia dan paling tinggi derajatnya di seluruh permukaan bumi. 

Bagi burung-burung itu, tidak ada makhluk yang lebih ganas dari pada manusia. Manusia membunuhi makhluk lain hanya demi mengejar kepuasan dan kesenangan, bukan karena kebutuhan mutlak.

Hawa udara yang biasanya memang sangat panas itu menjadi semakin panas saja. Nafsu adalah api yang paling panas, yang dapat membakar segala sesuatu dengan liar apa bila tidak terkendali. Bahkan sekarang matahari bersembunyi di balik segumpal awan, seolah merasa malu melihat apa yang terjadi di daerah Turfan itu. 

Hanya untuk satu kantung emas permata seorang manusia tega membunuh tujuh belas orang manusia lain dengan hati dan tangan dingin. Hanya untuk merampas satu kantung benda mati, karena benda itu dianggap dapat mendatangkan kesenangan dan kepuasan bagi gairah nafsunya.

Kurang lebih satu jam setelah Si Tangan Api pergi, muncul tiga orang pria lain di daerah yang panas itu. Mereka berusia sekitar lima puluh tahun dan mereka berpakaian seperti pendeta atau pertapa, pakaian yang sangat sederhana dari kain kasar berwarna putih dan kuning. 

Di daerah barat ini terdapat banyak pertapa yang mengasingkan diri dari kehidupan ramai, maka kehadiran tiga orang ini tentu bukan merupakan hal yang aneh lagi. Akan tetapi jika mereka berada di timur tentu dunia persilatan akan mengenal mereka dengan baik karena mereka ini merupakan tiga orang manusia sakti yang dijuluki Sam Sian (Tiga Dewa)! 

Biar pun selama ini mereka bertiga itu tidak pernah muncul berbareng di dunia persilatan, akan tetapi karena ketiganya merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingnya, maka mereka mendapat julukan Sam Sian. Mereka sudah jarang sekali muncul di dunia ramai semenjak mereka mengundurkan diri pada belasan tahun yang lalu.

Ciu-sian (Dewa Arak) diberikan sebagai julukan Tong Kui yang bermuka selalu kemerahan seperti orang mabok. Wataknya ugal-ugalan seperti orang mabok, perutnya gendut walau pun tubuhnya tidak terlampau gemuk sehingga dia nampak seperti kanak-kanak bertubuh besar yang berpenyakit cacingan. Pakaiannya penuh tambalan. 

Dilihat sepintas lalu, tidak ada apa-apanya yang mengesankan. Namun orang ini memiliki ilmu kepandaian silat tangan kosong yang sulit ditemukan keduanya, dan ia pun memiliki sinkang (tenaga sakti) dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat dahsyat.

Orang ke dua bersama Louw Sun. Dia dijuluki Kiam-sian (Dewa Pedang) karena memang ilmu pedangnya sulit dikalahkan, bahkan selama ini belum pernah ada orang yang mampu menandinginya. Mukanya kekuningan dan tubuhnya tinggi kurus. 

Walau pun julukannya Dewa Pedang, namun tidak nampak dia membawa pedang seperti para pendekar lainnya yang menaruh pedang di punggung atau di pinggang. Selain ilmu pedang dia juga ahli dalam banyak macam ilmu silat, ahli pula tentang filsafat Agama To. Kepalanya dilindungi dengan sebuah caping lebar dan pakaiannya yang juga sederhana itu nampak bersih. 

Orang ke tiga bernama Thio Ki dan dia dijuluki Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Entah kenapa, sejak berusia tiga puluh tahun rambutnya telah berubah putih semua. Wajahnya tampan dan dia selalu tersenyum ramah sehingga rambut yang kesemuanya sudah putih itu tidak membuat dia nampak tua. Tubuhnya kurus sedang dengan pakaian yang terbuat dari kain sederhana akan tetapi potongannya rapi walau pun tetap longgar seperti pakaian pendeta. Pada pinggangnya terselip sebuah kipas bergagang gading, lagak dan bicaranya menunjukkan bahwa dia seorang sasterawan atau setidaknya terpelajar. 

Penampilannya menunjukkan seorang yang lemah. Akan tetapi justru penampilannya ini yang menyembunyikan kepandaian hebat. Selain ahli silat yang tingkatnya tidak di bawah dua orang rekannya, Dewa Rambut Putih ini pun memiliki ilmu sihir yang cukup kuat!

Tiga orang sakti itu segera melihat beberapa ekor kuda yang berlarian liar. Kuda-kuda itu masih dipasangi kendali. Tentu saja mereka merasa penasaran, namun mereka langsung bisa menduga bahwa para penunggang kuda-kuda ini tentu akan merasa kehilangan. Dan peristiwa ini membuktikan adanya kejadian yang tak wajar. Tanpa bicara lagi mereka pun segera menggunakan ilmu berlari cepat, menuju ke arah dari mana datangnya kuda-kuda itu.

Tak lama kemudian mereka sudah tiba di tempat pembantaian tadi. Mereka menghampiri dan sejenak mengamati mayat-mayat itu, kemudian tahu bahwa mereka itu telah menjadi korban pembantaian.

"Siancai (damai)...! Di mana-mana nafsu menguasai manusia sehingga terjadi kejahatan keji! Sungguh menyedihkan sekali, siancai...!"

Kiam-sian Louw Sun menarik napas panjang. 

"Pek-mau-sian, engkau pernah bilang bahwa seluruh alam mayapada ini berputar karena keseimbangan antara Im (negatif) dan Yang (positif). Kalau tidak ada malam, mana ada siang? Kalau tidak ada kejahatan, mana ada kebajikan? Yang disebut baik baru ada kalau ada keburukan. Nah, kenapa sekarang engkau merasa bersedih?"
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Ciu-sian Tong Kui tertawa sambil berjalan di antara mayat-mayat yang berserakan dan barang-barang dagangan serba mahal yang juga berserakan, di antaranya gulungan sutera-sutera indah. ”Mati bukan persoalan, semua manusia mesti mati. Hanya, cara kematian itulah yang paling penting! Mereka semua ini mati konyol namanya, mati penasaran sehingga roh-roh mereka menjadi setan penasaran!" Tiba-tiba Dewa Arak itu berhenti tertawa. "Ihhh...! Dia ini belum mati!” teriaknya.

Dua orang rekannya berkelebat cepat dan kini mereka bertiga sudah berjongkok di dekat tubuh kepala pengawal. Dia mempunyai tubuh yang lebih kuat dari pada teman-temannya, maka kalau semua anak buahnya mati seketika terkena hantaman lawan, dia juga roboh akan tetapi masih dapat bertahan. 

Setelah tiga orang sakti itu memeriksanya sejenak, tahulah mereka bahwa orang ini tidak mungkin dapat diselamatkan pula. Ciu-sian Tong Kui menotok jalan darah di tengkuk dan kedua pundak, lalu mengurut dada. Kepala pengawal itu mengeluh lirih, membuka kedua matanya dan memandang tiga wajah di atasnya itu dengan mata kuyu.

"Apa yang terjadi ? Siapa yang membunuh kalian?" tanya Dewa Pedang.

Si kepala pengawal memejamkan mata, mengerahkan tenaga terakhir, lantas membuka matanya lagi. Dengan sukar mulutnya bergerak mengeluarkan suara yang parau sesudah dia muntah darah menghitam.

"Si... Tangan... Api..."

Dia terkulai dan matanya terpejam. Tiga orang itu terbelalak dan kelihatan bersemangat ketika mendengar disebutnya nama Si Tangan Api. Melihat keadaan orang yang terluka parah itu, Dewa Rambut Putih segera mengerahkan kekuatan batinnya, mengusap muka dan dada orang itu. Dan sungguh aneh, kepala pengawal yang tadi kelihatan sudah putus napasnya itu membuka matanya yang sudah kosong sinar, seperti orang mimpi saja.

"Cepat katakan, di mana Si Tangan Api?" kata Dewa Rambut Putih, suaranya tidak wajar, melengking dan penuh getaran yang berwibawa.

Kiranya orang sakti ini sedang menggunakan seluruh tenaga dan kekuatan sihirnya untuk memberi dorongan semangat sehingga pada saat-saat terakhir orang yang sudah sekarat itu masih akan dapat memberi keterangan yang diinginkannya.
"...di... Yin-ning... Yi-li..." Hanya sekian saja orang itu dapat bicara. Dia pun terkulai dan tewas. Akan tetapi disebutnya Yin-ning dan Yi-li itu saja sudah cukup bagi Tiga Dewa.

Telah berbulan-bulan mereka berkeliaran di daerah barat ini, bahkan menjelajahi Tibet dan Sin-kiang untuk mencari satu orang saja, yaitu Si Tangan Api! Mereka tahu bahwa Yin-ning adalah sebuah kota yang terdapat di daerah Yi-li, daerah yang menjadi pusat tempat tinggal orang-orang Kasak.

Siapakah Tiga Dewa dan apa hubungan mereka dengan Si Tangan Api? Seperti telah kita ketahui, Tiga Dewa adalah tiga orang tokoh persilatan yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sebenarnya sejak belasan tahun yang silam mereka sudah menarik diri dari dunia persilatan, tekun bertapa untuk memajukan perkembangan jiwa mereka. 

Namun akhirnya mereka keluar juga ketika mereka mendengar bahwa di dunia persilatan terjadi kegemparan. Di dunia persilatan muncul seorang jagoan, seorang datuk golongan sesat yang berjuluk Si Tangan Api. 

Datuk ini bukan hanya menguasai dunia kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan), akan tetapi dia juga mempergunakan ilmu kepandaiannya yang hebat untuk menaklukkan para pimpinan perguruan-perguruan silat besar seperti Kun-lun-pai, Kong-thong-pai, Bu-tong-pai, bahkan berani pula menghina pimpinan Siauw-lim-pai! Mendengar akan hal ini, Tiga Dewa terpaksa keluar dari tempat pertapaan mereka dan memenuhi permintaan para pimpinan perguruan-perguruan silat itu untuk menghadapi Si Tangan Api!

Akan tetapi, mereka terlambat. Si Tangan Api telah melarikan diri setelah melakukan hal yang amat menggemparkan, yaitu dia sudah memasuki gudang pusaka dari istana kaisar dan mencuri belasan buah benda pusaka!

Tentu saja Kaisar Thai-cu, yaitu kaisar pertama Dinasti Beng menjadi sangat marah dan melalui para jagoan-jagoan istana dan penasehatnya, Kaisar Thai-cu juga minta bantuan Tiga Dewa untuk menangkap Si Tangan Api dan merampas kembali benda-benda pusaka itu.

Demikianlah, Tiga Dewa kemudian melakukan penyelidikan dan mereka mengikuti jejak Si Tangan Api yang memboyong keluarganya ke barat. Tetapi sesampainya di barat mereka kehilangan jejak. Mereka mencari-cari sampai berbulan-bulan lamanya, namun belum juga berhasil menemukan datuk sesat yang mereka cari itu. 

Kalau di timur, dunia persilatan mengenal Si Tangan Api sehingga akan mudah mencari jejaknya. Akan tetapi di daerah barat ini, agaknya tak seorang pun mengenal namanya. 

Akhirnya tibalah mereka di daerah Turfan dan secara kebetulan mereka melihat korban keganasan tangan Si Tangan Api, dan kebetulan pula seorang di antara para korban itu masih sempat memberi keterangan kepada mereka sebelum mati.

Setelah mendengar keterangan dari kepala pengawal, tiga orang sakti itu saling pandang, kemudian Ciu-sian Tong Kui tertawa bergelak-gelak.

"Ha-ha-ha-ha, akhirnya Tuhan berkenan mengulurkan bantuan kepada kita!"
"Hwe-siang-kwi (Iblis Tangan Api), sekali ini engkau tidak akan lolos dari tanganku!" kata pula Kiam-sian Louw Sun sambil meraba gagang pedang yang tak pernah meninggalkan pinggangnya. Dari luar tidak nampak dia membawa pedang, tapi sesungguhnya sebatang pedang yang aneh, pedang yang lentur tipis, melilit pinggangnya di dalam sarung pedang dari kulit ular. 

Pek-mou-sian Thio Ki tersenyum lebar dan menengadah memandang langit. 

"Cepat atau lambat setiap pohon yang buruk pasti akan menghasilkan buah yang buruk pula. Setiap kejahatan membawa hukumannya sendiri, seperti setiap kebaikan membawa pahalanya sendiri. Tuhan Maha Adil dan Maha Kuasa.”
"Lalu bagaimana dengan mayat-mayat ini? Tak mungkin kita dapat meninggalkan mereka begini saja," kata Dewa Arak.
"Engkau benar, Ciu-sian. Aku pun tidak akan tega membiarkan mereka seperti itu," Dewa Pedang membenarkan. " Entah bagaimana pendapat Pek-mou-sian,"
"Tentu saja kita harus mengubur mayat-mayat itu lebih dulu," jawab Dewa Rambut Putih.
"Kenapa tidak dibakar saja, Pek-mou-sian?" tanya Ciu-sian Si Dewa Arak.
"Itu sama saja. Jasmani kita terdiri dari empat unsur, api, air, tanah, dan udara. Sesudah jasmani ditinggalkan jiwa, maka dia kembali ke asalnya, empat unsur itu kembali kepada sumbernya. Dalam keadaan seperti ini, paling mudah dan tepat kalau kita menguburkan mereka. Untuk membakar mereka, kita kekurangan bahan bakar dan akan makan waktu, sedangkan kita perlu segera mencari Si Tangan Api ke daerah Yi-li.”

Dua orang yang lain mengangguk setuju. Di antara mereka bertiga memang Dewa Rambut Putih yang paling pandai mengeluarkan pendapat dan mengambil keputusan. Tiga orang sakti itu lalu bekerja dengan cepat menggali sebuah lubang yang besar, mempergunakan golok-golok yang berserakan di situ. Sebelum senja tiba, mereka sudah selesai mengubur tujuh belas mayat itu ke dalam sebuah lubang yang besar dan menimbuni lubang itu.

Kemudian mereka pun meninggalkan tempat itu untuk melakukan pengejaran terhadap Si Tangan Api. Dewa Arak tidak lupa mengambil beberapa meter sutera putih dan kuning untuk pengganti pakaian mereka kelak kalau ada kesempatan untuk membuatnya…..
********************
Daerah Yi-li adalah nama yang diberikan kepada daerah subur di lembah Sungai Yi-li yang letaknya di perbatasan Cina bagian barat laut. Lembah itu sangat subur, di sini terbentang luas padang yang hijau dan subur, indah permai. Padang inilah yang disebut daerah Yi-li, yang termasuk wilayah Sin-kiang. Daerah ini menjadi pusat tempat tinggal Suku Bangsa Uigur dan Kasak. 

Dua suku bangsa ini merupakan penghuni yang paling besar jumlahnya dan yang sudah turun temurun tinggal di daerah itu. Sebetulnya masih banyak lagi suku-suku bangsa yang tinggal di sana, namun jumlah mereka hanya sedikit saja, misalnya suku Mongol, Mancu, Usbek, Tartar, Sipo, dan sebagainya. Bahkan ada pula suku Han yang merupakan suku terbesar dan mengaku sebagai pribumi di Cina.

Walau pun bangsa Han hanya merupakan kelompok kecil saja, namun tentu saja mereka tetap terpandang karena setelah kekuasaan Mongol jatuh, kini Cina kembali dikuasai oleh kerajaan baru yang disebut Dinasti Beng (Terang), yang dipimpin oleh orang-orang Han. Padahal, kalau silsilah seseorang ditelusuri benar-benar, maka sukarlah dipastikan bahwa seseorang itu benar-benar asli!

Pernikahan antar suku sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, apa lagi dalam sebuah negara yang daerahnya luas dan memiliki puluhan macam suku. Tapi rupa-rupanya kaum peranakan, yaitu keturunan dari hasil kawin campuran itu, tetap mempertahankan kelas mereka dan mengaku sebagai Suku Han, karena cap pribumi ini agaknya mendatangkan semacam perasaan unggul dan bangga. Mereka lupa atau sengaja lupa bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah bermacam-macam suku, hasil perkawinan nenek moyang mereka dengan suku-suku lain, baik dari pihak nenek moyang ayah mau pun ibu.

Di daerah Yi-li, yang paling kuat karena jumlahnya paling banyak adalah Suku Kasak dan Suku Uigur. Mereka hidup berkelompok tapi terpisah, meski dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap bergaul karena saling membutuhkan. Di dalam pasar mereka bersatu, juga warung-warung teh atau rumah-rumah makan menjadi tempat pertemuan dan pergaulan antar suku yang tidak membeda-bedakan.

Kota Yin-ning adalah sebuah kota di daerah Yi-li yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang Kasak. Namun di kota ini pun tinggal banyak orang dari suku bangsa lain, terutama Suku Bangsa Uigur yang sebagian besar beragama Islam. 

Biar pun ada kemiripan pada wajah dan kulit mereka, tetapi mudah membedakan mereka dari pakaian mereka, terutama pelindung kepala. Kaum pria suku Uigur yang beragama Islam hampir semuanya mengenakan semacam peci berwarna putih atau hitam atau juga belang-belang seperti kulit harimau, sedangkan para wanitanya sebagian besar memakai kerudung dengan warna-warni indah.

Sebetulnya kaum pria dari suku Kasak ada pula yang berpeci, akan tetapi pada umumnya mereka memakai kain pembungkus kepala dan pakaian mereka juga berbeda. Topi para wanitanya terbuat dari bulu, dan banyak pula kaum pria suku Kasak yang mengenakan topi bulu domba. Suku Kasak terkenal tangkas dan pandai menunggang kuda, sebaliknya Suku Uigur lebih ahli dalam memelihara ternak domba dan bertani.

Selain kota Yin-ning, di daerah Yi-li terdapat pula banyak kota lain seperti Cau-su, Capu-cai, Sui-ting dan lain-lainnya. Kota Yin-ning terletak pada lereng bukit yang pemandangan alamnya indah dan hawanya sejuk. Pegunungan di sana menghasilkan rumput yang baik dan padang-padang rumput terbentang luas di lereng-lereng bukit, di antara pohon-pohon cemara yang rimbun dan menjulang tinggi. 

Karena itu Yi-li menjadi tempat yang menguntungkan sekali bagi para pemelihara ternak. Maka terkenallah bulu-bulu domba yang gemuk dan halus dari daerah Yi-li, sehingga bulu domba merupakan hasil besar yang dikirim ke barat dan ke timur.

Hasil panen gandum dari sawah ladang dan buah-buahan dari kebun-kebun di sana juga membuat penduduk daerah Yi-li pada umumnya dan kota Yin-ning pada khususnya, hidup berkecukupan, bahkan boleh dibilang sangat makmur untuk ukuran kehidupan di daerah pegunungan.

Penghuni pegunungan tidak memiliki banyak kebutuhan. Mereka telah merasa kecukupan asalkan keluarga dalam keadaan sehat, cukup makan dan pakaian, serta memiliki rumah yang kokoh. Untuk bersenang-senang, mereka secara berkelompok sering mengadakan pertemuan, menikmati hasil panen, makan hidangan berupa masakan sendiri dan buah-buahan dari kebun sendiri, minuman buatan sendiri, dan mereka menari dan bernyanyi di bawah sinar bulan. Apa lagi yang dikehendaki seseorang dalam hidupnya?

Keluarga Si Tangan Api tinggal di sudut kota Yin-ning, mempunyai pekarangan dan kebun yang luas. Si Tangan Api datang kurang lebih setahun yang lalu, bersama seorang isteri dan seorang anak laki-laki, kemudian membeli rumah besar dengan pekarangan besar itu dan tinggal di situ sebagai orang yang dianggap kaya.

Si Tangan Api ini adalah keturunan Uigur yang belum beragama Islam, melainkan Agama Hindu karena sejak muda dia merantau ke India dan berguru kepada orang-orang sakti di India. Namanya Se Jit Kong dan sesudah pulang dari India, dia langsung mengembara ke daratan Cina sebelah timur kemudian muncul sebagai seorang jagoan, seorang datuk! Dia malang melintang di sepanjang perjalanan dari daerah barat ke timur sehingga namanya menjadi terkenal, bahkan sampai di kota raja Nan-king. 

Dia bukan saja terkenal dengan ilmu silatnya dan tenaganya yang dahsyat, akan tetapi terkenal pula dengan ilmu sihirnya. Kemenangan demi kemenangan membuat dia takabur dan sombong, bahkan dia mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia. Dia pun berani mendatangi partai-partai persilatan besar seperti Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai bahkan Siauw-lim-pai untuk menantang para pimpinan perguruan silat, dan dia sudah membunuh beberapa orang tokoh penting di dunia persilatan. 

Para pendekar menjadi marah, tapi sebegitu jauh belum ada seorang pun pendekar yang mampu menandingi Si Tangan Api. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk kembali ke barat, karena maklum bahwa dia dimusuhi oleh para pendekar. Apa lagi dia sudah mulai tua, usianya kini sudah hampir enam puluh tahun, dan dia ingin hidup tenang di kampung halamannya, yaitu di daerah Yi-li. 

Akan tetapi bukan Si Tangan Api kalau dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan nama besar dan perbuatan yang menggemparkan. Dia menyelundup ke dalam gudang pusaka milik Kaisar dan mencuri belasan buah benda pusaka yang amat berharga. Gegerlah kota raja, dan berita mengenai perbuatan Si Tangan Api ini segera terdengar di seluruh dunia kang-ouw.

Di Yin-ning Se Jit Kong terkenal sebagai seorang hartawan, bahkan ketika baru pindah dia segera menunjukkan kepandaiannya sehingga ditakuti orang. Nama julukannya Si Tangan Api segera dikenal orang di seluruh Yi-li. Akan tetapi, berkat permintaan isterinya, di Yi-li dia sama sekali tak pernah melakukan kejahatan dan hidup tenang tenteram seperti yang diidamkannya. 

Isteri Se Jit Kong adalah seorang wanita yang jauh lebih muda, berusia dua puluh delapan tahun dan mempunyai kecantikan yang khas Suku Uigur. Wanita Uigur memang memiliki kecantikan yang khas, manis dan anggun. 

Se Jit Kong amat sayang kepada isterinya ini dan hal ini terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan datuk itu sangat memanjakan isterinya, membelikan banyak pakaian sutera yang indah-indah, juga perhiasan yang mahal-mahal. Dan wanita itu pun kelihatan amat mencinta suaminya, biar pun dia berwatak pendiam dan tidak pernah mau bercerita tentang keadaan keluarganya.

Suami isteri ini mempunyai seorang anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun dan diberi nama Sin Wan oleh ayahnya. Datuk besar itu sangat sayang kepada Sin Wan dan sejak berusia lima tahun, anak itu telah digembleng oleh ayahnya sehingga dalam usia sepuluh tahun dia telah menjadi seorang anak yang bertubuh kuat dan pandai bersilat. 

Akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan watak ayahnya. Kalau ayahnya seorang datuk yang keras hati dan suka mencari musuh, ingin menonjol dan merasa diri paling jagoan, sebaliknya Sin Wan seorang anak yang pendiam dan sama sekali tidak bengal, bahkan penurut sekali, terutama terhadap ibunya. Mungkin dia sudah mewarisi watak ibunya yang juga pendiam dan lembut, wanita yang tak pernah kelihatan marah dan tidak pernah pula kelihatan ribut dengan suaminya.

Sebagai suami isteri, tentu saja Ju Bi Ta pernah ribut dengan suaminya. Hanya karena ia seorang wanita yang sopan dan lembut, dia tidak pernah mau ribut di depan orang lain, bahkan tidak mau ribut dengan suaminya di depan anak mereka. Ketika sudah berdua di kamar, wanita yang lembut ini baru menegur dan memprotes suaminya dan kalau sudah demikian, biasanya datuk besar yang keras hati serta keras kepala ini selalu tunduk dan mengalah!

Setelah satu tahun tinggal di Yin-ning dan hidup dengan tenteram, pada suatu hari Se Jit Kong pergi meninggalkan rumahnya. Ketika berpamit kepada isterinya, dia mengatakan bahwa dia hendak pergi mengunjungi sahabat-sahabat lamanya di sekitar pegunungan Api di daerah Turfan.

"Ilmuku Tangan Api kudapatkan di pegunungan itu pula. Aku ingin melihat apakah guruku masih berada di sana, dan aku ingin menjenguk teman-temanku."

Se Jit Kong pergi selama satu bulan dan ketika dia kembali, dia disambut oleh isteri dan puteranya dengan gembira. Akan tetapi malam hari itu, setelah Sin Wan tidur di kamarnya sendiri dan suami isteri itu tinggal berdua saja di kamar mereka, Ju Bi Ta nampak marah-marah kepada suaminya.

"Bukankah engkau sudah berjanji bahwa engkau akan cuci tangan, tidak lagi melakukan kejahatan di sini? Lupakah engkau akan janjimu kepadaku? Engkau sudah mengganas di timur dan terkenal sebagai seorang datuk besar, tidak pantang melakukan segala bentuk kekejaman. Tapi di sini kita berada di antara bangsa sendiri. Aku akan merasa malu sekali kalau di sini aku dikenal sebagai isteri seorang penjahat besar!"
"Ahh, kekasihku, isteriku yang manis. Kenapa engkau marah-marah? Lihat, kepergianku untuk mencarikan benda-benda yang amat indah untukmu. Lihat emas permata dan batu-batu giok ini. Tidak ternilai harganya. Semua ini kuserahkan kepadamu, semua untukmu, sayang."
"Tidak sudi aku!" 

Ju Bi Ta yang biasanya kelihatan pendiam dan lembut itu sekarang benar-benar marah, mukanya kemerahan dan matanya bersinar-sinar menatap wajah suaminya, lalu melihat ke arah peti hitam terbuka yang berisi emas permata dan batu kemala itu. Dia menuding ke arah peti itu.

"Dari mana engkau mencuri atau merampok benda-benda ini? Aku seperti melihat barang-barang itu bergelimang dan berlepotan darah! Kembalikan, aku tidak sudi menerimanya!"
"Bi Ta, isteriku yang kucinta, jangan begitu. Sungguh mati, aku tidak merampasnya dari orang-orang di sini. Aku telah memenuhi janji, tidak membikin ribut di sini. Aku merampas benda-benda ini dari kafilah orang Han di dekat Gunung Api sana, tidak ada orang tahu."

Wanita cantik itu mengerutkan alisnya. "Tidak ada orang tahu? Apakah engkau ini bukan orang? Iblis barang kali? Dan bagaimana pun juga, Tuhan melihat dan mengetahuinya! Ya Allah! Sampai kapankah engkau akan menyadari semua kesalahanmu? Sampai kapankah engkau akan bertobat dan minta ampun kepada Allah?"

"Sudahlah, kalau engkau belum mau menerimanya, maafkan aku, isteriku. Biar kusimpan dahulu benda-benda ini, akan tetapi jangan kau marah kepadaku. Aku merampas benda-benda ini hanya untuk menyenangkan hatimu, sayang,"
"Se Jit Kong, kalau engkau ingin menyenangkan hatiku, jangan melakukan kejahatan lagi, bertobatlah kepada Allah, bahkan gunakan kepandaian yang kau miliki untuk melakukan darma bakti kepada Allah, untuk menolong sesama umat manusia, menderma kepada fakir miskin, menentang yang jahat dan membela yang lemah tertindas. Bila engkau mau bersikap seperti itu, sungguh hatiku akan senang sekali."
"Baiklah... baiklah, aku berjanji, isteriku yang manis. Coba kau ingat, bukankah selama sepuluh tahun ini aku selalu memegang janjiku kepadamu? Bagaimana sikapku terhadap dirimu, dan terhadap anak kita Sin Wan? Pernahkah aku melanggar janji?"

Wanita itu termenung di tepi pembaringannya. Beberapa kali dia menarik napas panjang. "Kalau engkau tidak memegang janji, apakah kau kira aku masih suka hidup sampai saat ini? Engkau memang memenuhi janjimu itu, akan tetapi di luaran, engkau tiada hentinya menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendakmu. Biar pun di sini engkau tidak melakukan kejahatan, tetapi engkau sudah memamerkan kepandaian sehingga sebentar saja semua orang Kasak tahu belaka bahwa engkau adalah Si Tangan Api yang ditakuti itu."

Se Jit Kong menghela napas panjang dan menyimpan kembali peti hitam itu. Dia sendiri sering kali merasa heran, mengapa terhadap isterinya ini dia seperti kehilangan semua kekerasan hatinya, kehilangan semua keangkuhannya, bahkan kehilangan semangat. 

Dia tahu bahwa tanpa Ju Bi Ta, hidupnya tidak ada artinya. Bahkan dia harus mengakui dalam hati bahwa semua perbuatan yang dia lakukan, untuk menjadi orang gagah nomor satu di kolong langit, mengumpulkan benda-benda pusaka dan benda berharga, semua itu dia lakukan demi isterinya, dan menyenangkan hati isterinya!

"Baiklah, isteriku yang manis. Mulai saat ini juga aku akan mentaati semua kehendakmu. Engkau lihat saja, mulai sekarang harimau yang ganas ini akan berubah menjadi domba yang lemah dan jinak." 

Dia menghampiri isterinya lantas merangkul. Ju Bi Ta memejamkan matanya dan seperti biasa, dia tidak pernah menolak menerima tumpahan kasih sayang suaminya. Ia seorang isteri yang baik, yang tidak pernah mengurangi kewajibannya, dan biar pun baru saja dia menegur dan marah kepada suaminya, kini dia siap melayani suaminya dengan pasrah.

Malam itu Sin Wan asyik dengan oleh-oleh ayahnya, yaitu sebuah kitab dongeng sejarah. Sejak kecil, oleh ibunya Sin Wan diharuskan mempelajari ilmu sastera sehingga pada usia sepuluh tahun dia sudah pandai baca tulis. 

Ketika dulu mereka tinggal di timur, ibunya mengundang sasterawan untuk mengajarnya. Selain itu Ju Bi Ta juga mengharuskan dia supaya membaca kitab-kitab Agama Buddha, kitab-kitab guru besar Khong Hu Cu, juga ibu yang bijaksana ini mengajarkan pembacaan ayat kitab Al Quran. Ibunya mengajarkan budi pekerti, sehingga biar pun sejak kecil anak itu digembleng ilmu silat oleh ayahnya akan tetapi dia tetap berwatak lembut, percaya dan memuja Tuhan Allah, pencipta seluruh alam mayapada berikut isinya.

Pada esok harinya, ketika masih pagi sekali, muncul belasan orang di pekarangan rumah keluarga Se Jit Kong. Mereka adalah belasan orang lelaki yang berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun dan semuanya kelihatan gagah perkasa. Dari sikap, pakaian dan senjata yang ada pada mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa bertualang di dunia kang-ouw (sungai telaga), orang-orang yang sudah biasa hidup keras mengandalkan kepandaian silat, ketebalan kulit dan kekerasan tulang.

"Hwe-ciang-kwi (Iblis Tangan Api) Se Jit Kong, keluarlah dari tempat persembunyianmu!" teriak salah seorang di antara tiga belas orang itu yang usianya sudah lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermata satu karena mata kirinya buta.

Pada pagi hari itu Se Jit Kong masih tidur karena dia memang kelelahan akibat baru saja melakukan perjalanan jauh. Sejak pagi subuh tadi isterinya sudah bangun kemudian sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk suami dan anaknya, sedangkan Sin Wan juga sudah tekun melanjutkan pembacaan kitabnya.

Mendengar teriakan yang melengking lantang sekali akibat didorong kekuatan khikang itu, baik Sin Wan mau pun ibunya menjadi terkejut bukan main. Teriakan yang melengking itu menembus hingga ke seluruh bagian rumah itu, bahkan terdengar sampai ke seluruh kota Yin-ning. 

Dari dalam dapur Ju Bi Ta berlari keluar sehingga di ruangan tengah hampir bertabrakan dengan puteranya, kemudian mereka berdua cepat menuju ke pintu depan. Ketika mereka membuka pintu depan, mereka melihat tiga belas orang yang berdiri dengan sikap bengis dan mengancam.

Sin Wan adalah seorang anak yang lembut hati dan pendiam, akan tetapi sejak kecil oleh ibunya selalu ditekankan tentang susila dan sopan santun. Oleh karena itu dia merasa tak senang melihat sikap tiga belas orang itu.

"Cuwi (anda sekalian) adalah orang-orang tua yang kelihatan gagah, tetapi kenapa datang sebagai tamu tak diundang yang bersikap kurang ajar? Bersikaplah sopan kalau menjadi tamu!"

Tiga belas orang pria itu memandang kepada Sin Wan dan ibunya, dan tiga belas pasang mata itu memandang kepada Ju Bi Ta dengan kagum dan pandang mata liar, dan mereka memandang kepada Sin Wan dengan marah. Seorang di antara mereka, yang bertubuh pendek dan berkepala botak memaki,

"Bocah setan, jaga mulutmu itu, aku akan merobeknya!” 

Berbareng dengan kata terakhir, si botak pendek itu sudah menggerakkan tangan kirinya lalu meluncurlah sinar menyilaukan dari sebatang hui-to (pisau terbang) ke arah mulut Sin Wan! Apa bila anak lain yang menghadapi serangan ini, tentu pisau itu benar-benar akan merobek mulutnya. 

Namun semenjak kecil Sin Wan telah digembleng ilmu silat oleh ayahnya. Dia sama sekali tidak menjadi gugup menghadapi serangan itu. Tangan kanannya bergerak dan dia sudah menangkap pisau itu di antara jari-jari tangan yang menjepitnya, kemudian tanpa banyak cakap lagi Sin Wan melontarkan pisau itu ke arah penyambitnya!

"Ehhhh...?!" Si pendek botak terkejut, akan tetapi dia pun lihai dan dapat menangkap lagi senjata rahasianya.

Pada saat itu terdengar suara lantang dari dalam rumah. "Anjing-anjing dari mana sudah bosan hidup dan ingin menjadi bangkai?!”

Dari dalam rumah muncullah Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong dengan pakaian dan rambut yang sudah rapi. Agaknya dia tadi mendengar pula kedatangan tiga belas orang itu, akan tetapi dia tidak tergesa-gesa dan lebih dahulu berganti pakaian, mencuci muka serta menyisir rambutnya. Melihat suaminya muncul dan mendengar suaranya yang mengancam, isteri datuk itu segera berkata dengan nada suara yang serius.

"Berjanjilah bahwa engkau tidak akan membunuh orang!”

Sin Wan melihat ayahnya menatap wajah ibunya dan nampak ragu-ragu, dan belum juga menjawab ucapan isterinya itu.

"Berjanjilah!" desak pula Ju Bi Ta kepada suaminya. 

Datuk besar itu menghela napas lalu mengangguk. 

"Baiklah, aku berjanji tidak akan membunuh orang. Kalau anjing-anjing ini kurang ajar, aku hanya akan memberi ajaran kepada mereka agar tidak berani datang mengganggu lagi."

Ju Bi Ta kelihatan lega dan dia pun memegang tangan puteranya. 

"Sin Wan, mari kita masuk. Biar ayahmu yang menghadapi mereka itu." 

Sin Wan juga mengenal ketegasan serta nada perintah dalam suara ibunya yang lembut. Dia mengangguk, kemudian mereka berdua masuk kembali ke dalam rumah. Wanita itu lalu melanjutkan pekerjaannya di dapur, sedangkan Sin Wan mencoba untuk melanjutkan bacaannya, akan tetapi sia-sia karena ingatannya melayang ke luar rumah. 

Akhirnya dia tidak dapat menahan perasaan hatinya dan dia pun keluar dari ruangan itu, menuju ke depan kemudian mengintai dari balik pintu depan, melihat bagaimana ayahnya menghadapi tiga belas orang kasar dan tidak sopan itu.

Sesudah dia masuk tadi, agaknya tiga belas orang itu telah memperkenalkan diri kepada ayahnya sebab kini dia melihat ayahnya tertawa bergelak hingga perutnya terguncang dan mukanya menengadah. Betapa gagahnya sikap ayahnya itu dalam menghadapi tiga belas orang kasar yang nampak bengis mengancam itu.

"Ha-ha-ha, ternyata kalian ini yang di daerah pantai Pohai dikenal dengan julukan Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga belas Iblis Tanpa Tanding)? Ha-ha-ha, sungguh takabur menggunakan julukan seperti itu. Dulu pun aku sudah mendengar akan nama kalian, akan tetapi setelah mendengar bahwa kalian hanyalah penjahat-penjahat kecil yang menjadi antek-antek para bajak laut Jepang, aku pun tidak peduli. Sekarang kalian datang mencari aku, ada urusan apakah?" 

Kalau saja tidak ingat akan pesan isterinya, tentu datuk besar ini tidak sudi banyak cakap lagi dan sejak tadi dia sudah turun tangan membunuh mereka ini!

Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus dan kelihatan tenang, usianya lima puluh tahun lebih serta pada punggungnya terdapat sepasang pedang, melangkah maju. Agaknya dialah pemimpin rombongan itu. Sepasang matanya tajam mencorong, sikapnya angkuh dan dia memandang tuan rumah seperti seorang atasan memandang bawahan.

"Hwe-ciang-kwi, ketika engkau merajalela di timur sana, kami masih mendiamkan saja karena kita dari satu golongan dan seperti kami, engkau juga memusuhi para pendekar. Kami menganggap engkau sebagai orang segolongan maka kami tidak mau mencampuri. Tetapi engkau telah mencuri pusaka istana. Engkau seorang Suku Bangsa Uigur yang liar telah berani melarikan pusaka-pusaka istana. Hemm, kami sebagai orang-orang Han tidak bisa membiarkan saja perbuatanmu ini. Kembalikan pusaka-pusaka itu kepada kami!"
"Wah... wah, sungguh bebat. Tapi kalau aku tidak mau mengembalikan, kalian mau apa?" tantang Se Jit Kong sambil tersenyum mengejek.
"Terpaksa kami tidak akan memandang segolongan lagi, dan kami akan menangkap dan menyeretmu ke istana agar menerima hukuman sebagai pencuri!"

Kembali So Jit Kong tertawa bergelak. 

“Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali! Bu-tek Cap-sha-kwi sudah biasa membantu bajak-bajak laut Jepang, dan sekarang tiba-tiba ingin menjadi pahlawan? Kamu yang berjuluk Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) itu, dan yang memimpin gerombolan tiga belas orang ini? Katakan saja bahwa kalian menginginkan pusaka-pusaka itu untuk kalian miliki sendiri, bukan untuk dikembalikan kepada Kaisar! Bukankah demikian, Cap-sha-kaw (tiga belas ekor anjing)?"

Sengaja datuk besar itu mengubah julukan Cap-sha-kwi (Tiga Belas Iblis) menjadi Tiga Belas Anjing!

Si pendek botak yang tadi menyerang Sin Wan, menjadi marah sekali. Dia melangkah maju kemudian menudingkan telunjuknya ke arah muka Se Jit Kong, 

"Iblis sombong, berani kau menghina kami? Sekarang bukan saja semua pusaka itu harus kau serahkan kepada kami, juga wanita cantik tadi. Dia adalah isterimu, bukan? Dia pun harus diserahkan kepadaku sebagai hukuman atas sikapmu ini!"

Seketika wajah Se Jit Kong menjadi merah. Dia sudah biasa mendengar kata-kata kasar menghina, dan hal itu dianggap lumrah. Akan tetapi ada suatu pantangan baginya. Siapa pun juga di dunia ini tidak boleh menghina isterinya tersayang! 

Sinar matanya seperti berapi dan terasa panas ketika dia menatap wajah si pendek botak itu. Si botak ini memang berwatak mata keranjang. Dia merupakan seorang di antara tiga saudara berjuluk Bu-tek Sam-coa (Tiga Ular Tanpa Tanding) yang ikut bergabung menjadi anggota kelompok Tiga Belas Iblis Tanpa Tanding. 

Anggota gerombolan ini semuanya menggunakan julukan Bu Tek (Tanpa Tanding) yang menunjukkan kesombongan watak mereka. Dan di daerah Po-yang, di sepanjang pantai laut timur, mereka memang sangat ditakuti, apa lagi sesudah mereka bergabung dengan para bajak laut Jepang yang selalu mengganggu keamanan di perairan laut timur dan di sepanjang pantai.

"Jahanam busuk, aku harus menghancurkan mulutmu," bentak Se Jit Kong dan tiba-tiba saja tubuhnya yang tinggi tegap itu sudah melayang ke depan, ke arah si pendek botak.

Biar pun dia pendek, namun si botak ini terkenal dengan kecepatan gerakannya dan juga tenaganya yang besar. 

”Engkaulah yang akan mampus di tanganku!" bentaknya.

Dia pun sudah melolos rantai yang kedua ujungnya dipasangi pisau seperti pisau terbang yang biasa dia pergunakan sebagai senjata rahasia. Begitu Se Jit Kong meloncat dekat, dia langsung menyambut dengan serangan rantainya. Dua batang pisau itu menyambar-nyambar dahsyat dan terdengar suara bersiutan nyaring. 

Secara diam-diam Se Jit Kong menilai gerakan lawan, maka tahulah dia bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang remeh. Apa lagi ketika dua orang saudara si botak juga ikut maju mengeroyoknya. Mereka bersenjata golok besar dan gerakan mereka pun dahsyat. 

Se Jit Kong memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatnya, maka dia pun segera mempergunakan kelincahan gerakannya untuk mengelak, berloncatan menyelinap di antara gulungan sinar rantai dan golok. Namun dia tidak membalas kepada dua orang yang lain, karena perhatiannya dia tujukan kepada si botak pendek untuk melaksanakan ancamannya. Dia harus menghancurkan mulut yang telah berani menghina isterinya itu!

Sesudah lewat belasan jurus dikeroyok tiga orang yang berjuluk Tiga Ular Tanpa Tanding itu, Se Jit Kong melihat kesempatan baik. Ketika kedua ujung rantai yang dipasangi pisau itu menyambar kepadanya dengan berbareng, satu dari atas dan satu lagi dari samping, dia tidak mengelak melainkan menyambut dua batang pisau yang amat tajam berkilauan itu dengan kedua tangannya. 

Dia berhasil menangkap dan mencengkeram dua batang pisau itu, menangkap rantainya dan sebelum si botak tahu apa yang terjadi, sepasang lengannya telah terbelit rantai dan tubuhnya terangkat dari atas tanah kemudian diputar-putar menyambut golok kedua orang saudaranya. Tentu saja dua orang itu sangat terkejut dan menarik kembali golok mereka, bahkan meloncat ke belakang karena khawatir kalau golok mereka akan melukai saudara sendiri.
Se Jit Kong menghentikan putaran tubuh si pendek botak yang kedua lengannya sudah terbelit rantai, kemudian menurunkannya dan sekali dia menggerakkan tangan kiri, jari-jari tangannya yang panjang dan besar, yang kuat bagaikan baja mentah, sudah menampar ke arah mulut si botak.

"Prakkk...!" 

Tubuh si botak terpelanting dan dia pun roboh dengan muka bermandikan darah karena mulutnya telah remuk. Tulang rahang berikut semua giginya hancur dan biar pun dia tidak akan tewas dengan luka itu, tetapi sukar dibayangkan bagaimana dia akan mampu bicara dan bagaimana pula dia akan mengirim makanan ke dalam perutnya! 

Se Jit Kong selalu teringat akan janjinya kepada isterinya, maka pada waktu tangannya menampar tadi, dia membatasi tenaganya agar jangan membikin hancur kepala botak itu.

Melihat betapa si botak itu roboh dengan muka bagian bawah remuk, tentu saja dua belas orang lainnya menjadi marah bukan main. Bu-tek Kiam-mo yang memimpin rombongan itu segera mengeluarkan bentakan dan mencabut sepasang pedangnya, kemudian bersama rekan-rekannya dia lalu mengepung Se Jit Kong yang berdiri dengan tenang dan tegak di tengah-tengah, tanpa memegang senjata apa pun. 

Biar pun demikian, dia tetap waspada karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian para pengepungnya ini sama sekali tak boleh disamakan dengan kepandaian lima belas orang Kasak yang dibunuhnya baru-baru ini ketika dia merampas barang berharga dari kafilah itu. Kini yang mengeroyoknya adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal dan rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang besar.

Sin Wan yang menonton perkelahian itu, melihat dengan hati bangga dan kagum. Walau pun dia sendiri berwatak lembut dan ibunya selalu menekankan bahwa mempergunakan kekerasan untuk melukai, terlebih lagi membunuh orang lain, adalah perbuatan yang jahat dan tidak baik, namun kini melihat ayahnya dikeroyok dan ayahnya menghadapi orang-orang yang jahat itu, dia merasa bangga.

Apa lagi ketika melihat ayahnya bergerak sedemikian cepatnya sehingga tubuhnya tidak nampak lagi. Yang nampak hanyalah bayangan berkelebatan di antara sambaran banyak senjata, kemudian terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya para pengeroyok seorang demi seorang. 

Dalam waktu tidak lebih dari setengah jam, tiga belas orang tokoh sesat yang terkenal di dunia kang-ouw itu sudah roboh semua. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tewas. Ada yang patah tulang pundaknya, patah tulang kaki atau lengan, ada yang bocor kepalanya, ada yang pingsan, akan tetapi tidak ada yang tewas.

"Cap-sha-kwi, dengarkan baik-baik. Kalian harus berterima kasih kepada isteriku, karena kalau tidak ada dia maka kalian sekarang sudah menjadi bangkai semua! Nah, pergilah dan jangan injak lagi daerah ini!"

Bu-tek Kiam-mo sendiri hanya patah tulang pundak kanannya. Dia masih dapat berjalan dan menggerakkan lengan kirinya. Karena maklum bahwa dia dan kawan-kawannya tidak akan mampu menyerang lagi, dia lalu memimpin kawan-kawannya untuk saling bantu dan dengan terpincang-pincang, ada yang memapah kawan dan ada pula yang menggotong teman yang pingsan, mereka meninggalkan kota Yin-ning diikuti sorakan dan ejekan dari para penghuni kota yang tadi sempat menyaksikan pertempuran di pekarangan rumah Si Tangan Api itu.....

Sin Wan cepat lari ke dalam menemui ibunya di dapur. Dengan gembira dia menceritakan kepada ibunya betapa ayahnya dengan gagah perkasa berhasil mengusir tiga belas orang kasar itu.

"Ayah hebat sekali, ibu," kata Sin Wan. "Mereka itu rata-rata mempunyai ilmu kepandaian yang sangat hebat, dan mereka semua bersenjata, sedangkan ayah yang dikeroyok tidak memegang senjata. Dan mereka semua roboh dengan tubuh terluka, akan tetapi tak ada seorang pun yang dibunuh ayah."

Ibunya mengangguk, akan tetapi wajahnya tidak kelihatan gembira. Bagaimana dia akan dapat menikmati hidup tenteram kalau sesudah pindah begini jauh, masih saja suaminya didatangi orang-orang yang memusuhinya? Semua ini adalah akibat cara hidup suaminya yang lalu, cara hidup yang penuh kekerasan, penuh perkelahian dan permusuhan.

"Sin Wan, kuharap kelak setelah dewasa engkau tidak mempunyai banyak musuh seperti ayahmu."
"Aku tidak suka bermusuhan, ibu, akan tetapi di dunia ini banyak orang jahat. Kalau aku diserang orang seperti tadi, tentu aku harus membela diri. Tadi pun ayah hanya membela diri. Orang-orang itulah yang datang mencari perkara dan menyerang ayah."

Diam-diam wanita itu mengeluh dalam hatinya. Puteranya itu tidak tahu orang macam apa sebenarnya ayahnya itu. Sin Wan tidak tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk besar dunia sesat yang terkenal amat kejam dan tak pantang melakukan kejahatan bagaimana pun juga. Dia hanya tahu bahwa ayahnya seorang yang sakti, memiliki banyak ilmu yang dahsyat, dan bahwa ayahnya amat mencinta ibunya dan amat sayang kepadanya!

"Sudahlah. Sin Wan, Aku sedang sibuk masak, dan aku tak ingin membicarakan tentang perkelahian itu."

Sin Wan meninggalkan dapur dan mencari ayahnya. Se Jit Kong berada di kamarnya dan sedang mengagumi benda-benda yang dikeluarkan dari dalam sebuah peti hitam besar. Ketika Sin Wan memasuki kamar, dia menoleh kemudian tersenyum. 

"Masuklah, dan mari kau lihat benda-benda pusaka ini, Sin Wan. Ini adalah benda-benda yang tak ternilai harganya!"

Bagi Sin Wan, benda-benda itu ada yang indah dan ada pula yang aneh. Ada mainan dari batu giok yang diukir indah sekali, berbentuk naga, ada pula yang seperti bentuk burung Hong. Ada pula patung Dewi Kwan-Im yang amat indah, terbuat dari gading terukir halus. Juga terdapat dua batang pedang. Yang sebuah memiliki sarung dan gagang yang terbuat dari pada emas terukir indah sekali, bahkan sarung dan gagang itu dihiasi intan permata yang berkilauan. Akan tetapi ada pula sebatang pedang yang sarungnya terbuat dari kulit yang kasar, dan gagangnya juga sederhana sekali.

"Sudah pergikah semua orang kasar tadi, ayah?" Sin Wan bertanya sambil duduk di kursi dekat ayahnya, mengamati benda-benda indah dan aneh itu.
"Ha-ha-ha-ha, engkau melihat mereka tadi? Dan engkau telah menghalau serangan hui-to (pisau terbang), ya? Bagus! Mereka telah kuusir pergi, pencoleng-pencoleng cilik yang tak tahu diri itu. Kalau bukan ibumu yang melarangku, tentu mereka semua sudah kubunuh!"
"Mengapa mereka itu datang memusuhi ayah?”
"Tikus-tikus tak tahu diri itu ingin merampas benda-benda pusaka ini, Sin Wan."

Kini perhatian Sin Wan tertarik kepada benda-benda itu. Memang ada yang indah, banyak yang aneh, akan tetapi kenapa orang-orang datang memusuhi ayahnya untuk merampas benda-benda ini? 

"Apa sih hebatnya benda-benda ini sampai mereka datang ke sini hendak merampasnya dari ayah?"
"Ha-ha-ha, anak bodoh! Kau tahu, semua orang kang-ouw siap mempertaruhkan nyawa untuk dapat memiliki sebuah saja dari benda-benda pusaka ini!"
"Hemmm, alangkah anehnya," Sin Wan memperhatikan benda-benda itu satu demi satu. 
“Memang ada yang indah dan menarik, akan tetapi seperti pedang ini, apa sih bagusnya? Sebuah pedang yang sarungnya butut, gagangnya juga sangat kasar seperti pisau dapur saja. Kenapa ayah menyimpan pedang macam ini?”
"Ha-ha-ha-ha, engkau tidak tahu, anakku. Di antara semua benda pusaka ini, bagiku yang paling bernilai adalah pedang butut yang kau remehkan itul"
"Ahh, benarkah itu, ayah? Boleh aku mencabut dan melihatnya?"
"Lakukanlah. Tidak banyak orang di dunia ini yang pernah melihatnya, sedangkan seluruh pendekar di dunia ini ingin sekali mendapat kesempatan untuk melihatnya."

Dengan hati tertarik sekali Sin Wan lalu menghunus pedang yang gagang dan sarungnya butut itu. Dia menduga bahwa meski pun sarung dan gagangnya nampak butut, pedang yang dianggap sebagai pusaka sangat bernilai oleh ayahnya itu tentu merupakan pedang yang amat baik, tajam dan berkilauan, terbuat dari pada baja terbaik. Akan tetapi, setelah pedang itu dia hunus, Sin Wan mengerutkan alisnya dan hatinya kecewa. 

Pedang itu sama sekali tidak menarik, bukan saja buatannya kasar seperti tempaan yang belum jadi, akan tetapi juga pedang itu tidak tajam dan tidak runcing. Sebatang pedang yang tumpul! Warnanya gelap kehijauan seperti pedang dari semacam batu karang yang warnanya hijau saja. Dan pedang itu pun tidak panjang, merupakan pedang pendek yang tumpul dan tidak menarik sama sekali!

"Aihh, ayah mempermainkan aku! Pedang ini hanyalah pedang yang belum jadi, tumpul dan jelek, bagaimana ayah sampai memuji-mujinya seperti itu?"
"Ha-ha-ha-ha, engkau tidak tahu, Sin Wan! Pedang ini terbuat dari pada Batu Dewa Hijau, dan di dunia ini tidak ada senjata yang mampu mengalahkan keampuhannya! Pedang ini mempunyai kisah yang amat menarik, Sin Wan, dan bila engkau sudah tahu riwayatnya, tentu akan kau hargai pula sebagai sebuah pusaka yang langka dan ampuh."

Sin Wan memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya, kemudian memasukkan ke dalam peti. 

"Ayah, ceritakanlah kisah itu, aku ingin sekali tahu riwayatnya."
"Kau tahu, kurang lebih seratus tahun yang silam, pedang ini adalah milik Kaisar Jenghis Khan, yaitu pendiri dari Kerajaan Goan-tiauw yang baru saja jatuh. Dan jatuhnya Dinasti Mongol itu pun sebagian gara-gara tidak menghargai pusaka ini!"

Tentu saja Sin Wan menjadi semakin tertarik. Memang dia senang sekali membaca atau mendengar riwayat-riwayat kuno yang menarik. 

“Sebelum Jenghis Khan menjadi kaisar, dia telah menemukan batu mustika yang disebut Batu Dewa Hijau atau Batu Asmara, dan batu bintang itu lantas dibikin menjadi sebatang pedang yang diberi nama Pedang Asmara. Semenjak mempunyai pedang itu bintangnya terus bersinar terang sampai akhirnya dia berhasil menjadi kaisar. Walau pun pedang itu pernah lepas dari tangannya, terjatuh ke tangan orang jahat, tetapi akhirnya bisa kembali kepadanya sehingga dinasti Mongol menjadi semakin jaya. Akan tetapi keturunan Jenghis Khan tidak dapat menghargai pedang yang bernama Pedang Asmara itu, karena mereka menganggap pedang itu melemahkan dan membuat orang menjadi budak nafsu asmara. Pedang itu lantas dibawa ke seorang pembuat pedang yang paling ahli di seluruh daratan Cina. Dengan susah payah akhirnya pedang itu dilebur lagi dan dihilangkan sarinya yang mempunyai pengaruh birahi bagi pemiliknya.”

Sin Wan mengangguk-angguk. Memang amat menarik dan entah bagaimana, dia merasa kasihan dan sayang kepada pedang yang seolah disia-siakan itu. Dia juga tidak bertanya dari mana ayahnya mendapat pedang yang tadinya milik Kaisar Jenghis Khan yang amat terkenal dalam sejarah yang pernah dibacanya itu. Bagi dia ayahnya adalah seorang sakti sehingga tidak aneh kalau benda-benda pusaka yang ampuh dan amat besar nilainya itu dapat terjatuh ke tangan ayahnya…..

********************
Tiga hari kemudian, pada suatu pagi yang cerah, tiga orang pria memasuki pekarangan rumah Se Jit Kong. Mereka itu bukan lain adalah Tiga Dewa, Ciu-sian Tong Kui, Kiam-sian Louw Sun, dan Pek-mau-sian Thio Ki. Kemarin mereka bertemu dengan rombongan Cap-sha-kwi dan dari rombongan inilah mereka mendapat kepastian babwa orang yang mereka cari, yaitu Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong memang benar berada di Yin-ning. 

Setelah memperoleh keterangan ini, Tiga Dewa mempercepat perjalanan menuju ke kota Yin-ning dan pada pagi hari itu mereka bertiga memasuki pekarangan rumah datuk yang mereka cari-cari selama hampir satu tahun ini.

Kepada seorang pelayan yang sedang menyapu pekarangan, mereka bertanya dengan sikap halus apakah tuan rumah sedang berada di rumah, dan kalau ada, mereka minta agar pelayan itu memberi tahukan majikannya tentang kedatangan mereka.

Si pelayan tidak menaruh curiga karena sikap tiga orang itu sangat lembut. Sikap mereka ini tidak seperti sikap tiga belas orang yang datang tiga hari yang silam. Pelayan itu lalu memberi laporan ke dalam. Akan tetapi pada waktu itu Se Jit Kong sedang bersemedhi, maka dia memberi laporan kepada nyonya majikannya.

"Nyonya, di depan ada tiga orang tamu yang hendak bertemu dengan tuan majikan,” kata pelayan itu. 

Ju Bi Ta mengerutkan alisnya, hatinya merasa tidak enak. "Siapakah mereka?"

Pelayan itu menggelengkan kepala. "Mereka tidak memberi tahukan nama, tetapi mereka adalah tiga orang laki-laki setengah tua yang bersikap ramah dan lembut. Pakaian mereka seperti pakaian pendeta atau pertapa."

"Tuan majikan sedang bersemedhi, aku tidak berani mengganggunya. Biar aku saja yang menemui mereka," kata Ju Bi Ta. 

Sin Wan yang juga berada di situ segera bangkit dan menemani ibunya. Ketika mereka tiba di luar, mereka melihat tiga orang berpakaian tosu (pendeta Agama To) berdiri di luar pintu. 

Begitu melihat yang muncul adalah seorang wanita cantik bersama seorang anak laki-laki, tiga orang itu segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk.

"Nyonya muda, harap maafkan kami bertiga kalau kedatangan kami ini telah mengganggu nyonya,” kata Pek-mau-sian Thio Ki yang menjadi juru bicara mereka karena dialah yang paling pandai bicara, juga sikapnya halus dan sopan, tidak seperti Ciu-sian yang biar pun pandai bicara pula, namun sering bertindak ugal-ugalan dan terbuka.

Melihat sikap mereka yang sopan, Ju Bi Ta juga membalas penghormatan mereka. "Tidak apa-apa, akan tetapi siapakah sam-wi totiang (bapak pendeta bertiga) dan ada keperluan apakah dengan kami?"

“Saya bernama Thio Ki, ada pun dua orang saudara ini bernama Tong Kui dan Louw Sun. Kami datang dari timur, dari kota raja Nan-king dan sengaja jauh-jauh berkunjung ke sini untuk bertemu dengan saudara Se Jit Kong karena kami mempunyai urusan penting yang harus dibicarakan dengan dia,” kata pula Dewa Rambut Putih.
"Hemm, apakah sam-wi (anda bertiga) datang untuk merampas benda-benda pusaka milik ayah?" mendadak Sin Wan bertanya dengan suara lantang dan terlambatlah ibunya untuk mencegah dia mengajukan pertanyaan yang dianggapnya tidak sopan itu.
"Ha-ha-ha-ha, anak baik. Apakah engkau putera Se Jit Kong?"
"Benar, aku adalah puteranya, namaku Sin Wan," kata anak itu dengan hati tabah. "Kalau sam-wi datang untuk merampas pusaka, lebih baik sam-wi segera pergi lagi saja, jangan sampai dihajar oleh ayahku seperti tiga belas orang tempo hari."
"Ha-ha-ha-ha, sungguh hebat. Engkau jujur dan juga lembut, menyenangkan sekali, Sin Wan. Anak baik, apakah kau llhat kami bertiga ini seperti perampok-perampok?" kata pula Dewa Arak sambil tersenyum lebar, mukanya menjadi semakin merah dan cerah.

Sin Wan memandang perut gendut itu, juga wajahnya yang penuh tawa sehingga tampak selalu gembira dan lucu. "Terus terang saja, totiang (bapak pendeta), kalau dilihat totiang ini bukan seperti perampok, tapi lebih mirip seperti seorang pemabok."

"Sin Wan...!" ibunya menegur lagi. Heran dia mengapa puteranya yang biasanya lembut itu kini nampak seperti orang yang tidak sabaran. Hal ini ditimbulkan karena peristiwa tiga hari yang lampau.
"Ha-ha-ha-ha! Engkau ini kecil-kecil sudah pandai melihat sampai ke dasarnya! Memang aku adalah seorang pemabok, memang aku tukang minum arak, ha-ha-ha!" kata pula Ciu-sian Tong Kai sambil tertawa bergelak. Suara tawanya yang lepas itu setengah disengaja, mengandung khikang sehingga suaranya bergema sampai ke dalam rumah.

Akalnya ini berhasil. Suara tawa yang amat nyaring itu menyusup hingga ke dalam kamar dan ke dalam telinga Se Jit Kong, menggugahnya dari semedhi. Se Jit Kong mengerutkan alisnya, merasa terganggu oleh suara tawa bergelak itu dan dia pun tahu bahwa kembali ada orang yang datang hendak mengganggunya. Mukanya menjadi kemerahan dan dia pun segera bangkit, berganti pakaian baru lalu keluar dari dalam kamar, langsung menuju keluar.

Dan begitu melihat laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu keluar. Tiga Dewa yang belum pernah berjumpa dengan Si Tangan Api itu segera memberi hormat kepadanya.

"Hemmm, apa yang terjadi di sini?" tanya Se Jit Kong tanpa mempedulikan penghormatan yang diberikan tiga orang tosu itu. Dia tidak membalas penghormatan mereka, sebaliknya malah mengajukan pertanyaan yang mengandung teguran itu.

Isterinya berkata dengan nada lembut dan menyabarkan. "Tiga orang totiang ini datang dari timur, dari Nan-king. Mereka mempunyai urusan untuk dibicarakan denganmu. Harap kau sambut tamu-tamu jauh ini dengan baik-baik."

Se Jit Kong mengerutkan alisnya lantas mengangguk. Hatinya masih mendongkol karena merasa terganggu, namun diam-diam dia terkejut juga setelah mendengar bahwa mereka datang dari Nan-king, dan segera dia dapat menduga bahwa tentu kedatangan mereka ini ada hubungannya dengan benda-benda pusaka yang dicurinya dari gedung pusaka kaisar di Nan-king.

"Aku tidak mengenal sam-wi (anda bertiga)...," katanya dengan setengah hati.
"Ayah, tadi mereka bilang tidak datang sebagai perampok yang hendak merampas benda-benda pusaka milik ayah," tiba-tiba Sin Wan berkata.
"Kalau ada urusan sebaiknya dibicarakan di dalam. Sam-wi totiang, mari silakan masuk ke ruangan tamu,” kata Ju Bi Ta dengan sikap ramah.

Tiga orang tosu itu memandang kepada tuan rumah. "Terima kasih, nyonya. Kami suka sekali kalau saja sicu (orang gagah) Se Jit Kong mengijinkan," kata Thio Ki ragu-ragu.

"Hemm, isteriku sudah mempersilakan masuk, mengapa masih bertanya lagi? Masuklah dan cepat ceritakan apa maksud kedatangan kalian."

Tiga orang tosu itu lalu mengikuti tuan dan nyonya rumah memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri depan. Ruangan yang cukup luas, di mana terdapat meja kursi yang nyaman. 

Sekali ini Ju Bi Ta sengaja tidak meninggalkan suaminya, karena dia tidak ingin suaminya membuat ribut dan perkelahian Iagi. Dia merasa yakin bahwa kalau ada terjadi keributan, maka hanya dia seoranglah yang akan mampu mengendalikan suaminya dan mencegah terjadinya keributan.

Karena Ju Bi Ta tetap di ruangan tamu, Sin Wan juga mendapatkan kesempatan untuk ikut hadir dan mendengarkan pula. Dan biar pun Se Jit Kong merasa tidak senang dengan kehadiran isteri dan puteranya, dia tidak berani mengusir isterinya dan kemarahannya dia tumpahkan kepada tiga orang tamunya.

"Nah, cepat bicara. Siapa kalian dan mau apa kalian mencariku!" katanya ketus.

Sikap Se Jit Kong ini berwibawa sekali, dan biasanya para calon lawannya sudah merasa gentar dibuatnya, seperti wibawa seekor harimau kalau mengaum dan dengan auman itu sudah mampu melumpuhkan korbannya. Akan tetapi tiga orang tosu itu kelihatan tenang-tenang saja. 

Dewa Arak bersikap acuh, memandang sekeliling seperti mengagumi keindahan hiasan ruangan Itu, kemudian dia mengambil guci arak yang diselipkan pada gendongannya dan mengguncangnya untuk mengetahui isinya. Diteguknya arak dari mulut guci dan wajahnya nampak gembira sekali seperti menikmati araknya yang sedap.

Si Dewa Pedang nampak tenang, menatap wajah tuan rumah dan diam saja. Seperti juga Dewa Arak, dia menyerahkan pembicaraan kepada rekannya, yaitu Dewa Rambut Putih.

Pek-mau-sian Thio Ki tersenyum ramah. "Sicu (orang gagah), maafkan kalau kunjungan kami mengganggu. Saya bernama Thio Ki, dan dua orang teman saya ini bernama Tong Kui dan Louw Sun. Kami bertiga datang berkunjung dengan dua tugas."

"Aku tidak mengenal kalian dan tidak mempunyai urusan dengan kalian. Persetan dengan tugas kalian, tak ada sangkut pautnya dengan aku!" Se Jit Kong memotong dengan ketus pula.
"Justru kedua tugas kami ini mempunyai hubungan erat denganmu, sicu, sebagai akibat dari apa yang telah sicu lakukan."

Sepasang mata yang seperti mata harimau itu berkilat. Tak salah dugaannya, mereka ini tentu datang karena urusan pusaka-pusaka dari istana! Marahlah dia dan kalau saja di situ tidak ada isterinya, tentu tiga orang itu telah diterjangnya tanpa banyak peraturan lagi. Akan tetapi, ketika dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya sedang memandang kepadanya dan dalam pandang mata itu dia seperti melihat isterinya menggeleng kepala melarang dia membuat keributan.

“Kalian peduli apa dengan apa yang kulakukan? Cepat katakan apa urusan itu, tidak perlu bicara berbelit-belit seperti nenek-nenek yang bawel!" bentaknya.
"Heh-heh, Dewa Rambut Putih, percuma engkau menggunakan segala macam tata-susila saat menghadapi seorang kasar seperti Se Jit Kong ini. Katakan saja dengan singkat dan padat apa yang menjadi keperluan kita!" Si Dewa Arak mencela sambil tertawa.

Pek-mau-sian Thio Ki juga memperlebar senyumnya, dan seperti orang yang kegerahan dia membuka kipasnya lalu mengipasi tubuh bagian leher. Padahal sebenarnya dia bukan hanya mengipas untuk mencari angin saja, melainkan gerakan itu disertai kekuatan batin untuk menolak sihir yang diam-diam dilancarkan oleh Se Jit Kong untuk menyerangnya. 

Tuan rumah ahli silat dan ahli sihir itu ingin memaksanya berbicara menurut kehendak hati Se Jit Kong yang tidak ingin mereka berbicara sesukanya di depan isterinya! Se Jit Kong merasa betapa kekuatan sihirnya buyar seperti asap yang disambar angin dari kipas.

"Hayo bicara, jangan seperti kanak-kanak!" bentaknya semakin penasaran dan marah.
"Dengarlah baik-baik, Se Jit Kong. Tugas kami yang pertama merupakan tugas yang kami terima dari Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, dan inilah tanda kekuasaan yang telah diberikan kepada kami." 

Dewa Rambut Putih segera mengeluarkan sebuah tek-pai (bambu tanda kuasa) kemudian memperlihatkannya kepada Se Jit Kong yang memandang sambil lalu saja. Dewa Rambut Putih menyimpan kembali tek-pai itu ke dalam saku bajunya. 

"Ada pun tugas itu adalah untuk mencari dan merampas kembali benda-benda pusaka yang hilang dari gudang pusaka istana. Maka kami datang berkunjung dan minta kepada sicu untuk menyerahkan benda-benda pusaka itu kepada kami."

Ju Bi Ta memandang kepada suaminya dengan kedua mata terbelalak. 

"Ya Allah! Engkau mencuri pusaka dari istana kaisar? Kalau benar, kembalikan barang-barang haram itu!"

Se Jit Kong memandang kepada isterinya dan sungguh aneh, ketika dia berbicara, lenyap semua kekerasannya sehingga suaranya terdengar amat lembut. 

"Ju Bi Ta, harap engkau tidak mencampuri urusan ini." 

Cepat dia menoleh kepada tiga orang tamunya. 

"Cepat katakan, apa tugas yang kedua supaya aku dapat segera memberi keputusan dan jawaban!"

Si Dewa Rambut Putih Thio Ki memandang dengan wajah cerah. Datuk besar yang amat jahat ini ternyata mempunyai kelemahan yang sama sekali tidak disangkanya, yaitu takut dan tunduk kepada isterinya yang muda dan cantik! Mungkin kelemahan datuk ini akan membuat tugas mereka semakin mudah dan ringan, kalau bisa bahkan tanpa kekerasan!

"Tugas kedua datang dari ketua-ketua partai persilatan, yaitu dari Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Bu-tong-pai yang minta bantuan kami agar mengundangmu menghadiri pertemuan yang akan mereka adakan, di mana sicu akan diminta untuk mempertanggung jawabkan kematian dan terlukanya banyak tokoh mereka."

Se Jit Kong mengepal sepasang tangannya, mukanya menjadi merah sekali dan matanya seperti memancarkan api, bahkan kedua tangannya pelan-pelan berubah menjadi merah seperti baja membara hingga mengepulkan uap putih! Akan tetapi, begitu melirik kepada isterinya, kemarahannya langsung menurun seperti api yang tidak mendapat udara, akan tetapi suaranya masih ketus ketika dia berkata kepada tiga orang tamunya.

"Untuk kedua urusan itu, jawabanku hanya satu. Aku mendapatkan benda-benda pusaka itu dengan kepandaianku. Kalau kalian ingin mendapatkannya, maka kalian harus mampu merampasnya dariku! Dan kedua, kalau kalian ingin membawa aku ke timur, kalian harus mampu meringkusku. Pendeknya, kalian bertiga harus dapat mengalahkan aku!"
"Heh-heh-heh, sudah kuduga. Berurusan dengan datuk sesat tak mungkin menggunakan cara damai," kata pula Dewa Arak dan tiga orang tosu itu sudah bangkit berdiri. Juga Se Jit Kong bangkit berdiri.
"Aku tidak menghendaki kalian membikin ribut di dalam rumah ini!" kata Ju Bi Ta dengan suara mengandung kekhawatiran. 

Sedangkan Sin Wan hanya memandang saja. Diam-diam dia terkejut mendengar bahwa ayahnya sudah mencuri benda-benda pusaka dari istana kaisar. Kini tahulah dia bahwa benda-benda pusaka yang begitu dibanggakan ayahnya itu adalah barang-barang curian. 

Padahal ibunya selalu mengharamkan barang curian! Tentu hal itu dilakukan di luar tahu ibunya. Dan ayahnya sudah membunuh serta melukai para tokoh partai-partai persilatan besar sehingga kini mereka mengutus tiga orang tosu ini untuk menangkap ayahnya.

Pek-mau-sian Thio Ki menarik napas panjang. "Tidak ada jalan lain, Se Jit Kong, terpaksa kami menuruti keinginanmu. Kami akan mengalahkanmu agar engkau suka menyerahkan pusaka-pusaka istana itu dan ikut dengan kami menghadap para ketua partai persilatan. Akan tetapi kami menghormati isterimu dan kami tidak ingin membikin ribut di rumah ini, bahkan tidak ingin membikin ribut di kota ini. Kami akan menantimu di luar kota sebelah timur. Kami percaya bahwa Si Tangan Api bukan seorang pengecut yang melanggar janji dan melarikan diri." 

Dia memberi isyarat kepada dua orang rekannya. Mereka memberi hormat kepada tuan rumah dan isterinya, lantas meninggalkan ruangan itu, keluar dari rumah dan terus keluar dari kota itu pula. Mereka berhenti menanti di luar kota sebelah timur yang amat sunyi.

"Biar kubereskan mereka. Aku pergi takkan lama," kata Se Jit Kong kepada isterinya dan dia pun melangkah pergi.
"Se Jit Kong, jangan bunuh mereka!” Ju Bi Ta berseru dan suaminya berhenti, menengok dan mengangguk, kemudian sekali berkelebat dia pun lenyap.
"Ibu, aku ingin menonton pertandlngan itu," kata Sin Wan yang ingin melihat bagaimana ayahnya akan melawan tiga orang tosu itu.
"Jangan, Sin Wan. Untuk apa menonton orang berkelahi? Berkelahi merupakan perbuatan jahat. Antara sesama manusia harus saling mengasihi, bukan malah saling bermusuhan. Bermusuhan dan berkelahi hanya pekerjaan iblis."

Sin Wan merasa kecewa sekali, tetapi dia tidak berani membantah ibunya. Dia selalu taat kepada ibunya, seperti juga ayahnya. Hanya bedanya, kalau dia mentaati ibunya karena dia sayang dan kasihan kepada ibunya, tidak ingin menyakiti hati ibunya, sedangkan Se Jit Kong taat kepada isterinya karena takut isterinya marah kepadanya.

"Ibu, kalau ibu tidak berada di sana, bagaimana kalau nanti ayah lupa diri dan membunuh tiga orang tosu yang kelihatan sopan dan baik itu?" tiba-tiba Sin Wan berkata.
"Ah, engkau benar juga! Mari kita lihat ke sana, aku harus mencegah ayahmu melakukan pembunuhan lagi!"

Ju Bi Ta lalu menggandeng tangan puteranya dan diam-diam Sin Wan tersenyum girang. Mereka berjalan secepatnya menuju ke timur, keluar dari kota Yin-ning…..

********************
Selanjutnya baca
SI PEDANG TUMPUL : JILID-02
LihatTutupKomentar