Jaka Lola Jilid 11


Keheranan ini belum seberapa kalau dibandingkan dengan keheranan ketika dia melihat betapa gadis peranakan Jepang ini menggerakkan kakinya dalam langkah-langkah ajaib yang sangat dikenalnya. Itulah inti sari ilmu langkah ajaib yang dahulu pernah dia pelajari dari suhu-nya, Pendekar Buta!

Hanya bedanya, yang dia pelajari adalah lebih lengkap berjumlah empat puluh satu jurus, sedangkan yang dikuasai gadis Jepang itu adalah dua puluh empat jurus Hui-thian Jip-te! Benar-benar amat luar biasa dan hal ini membuat hatinya menjadi ragu untuk memusuhi apa lagi membasmi ketua Kipas Hitam ini.

Demikianlah, ketika dia melihat Hwat Ki telah mendesak hebat, seperti juga Cui Kim, dia khawatir kalau-kalau dalam kemarahannya Hwat Ki lantas membunuh ketua Kipas Hitam itu, maka dia bersiap-siap untuk menghentikan pertandingan mati-matian itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat Cui Kim roboh pingsan, disusul oleh Hwat Ki dan mendengar ucapan Yosiko, dia mengerutkan kening. Gadis peranakan Jepang itu benar-benar lihai, berani, juga liar dan curang, maka sambil mengejek dia lalu menampakkan diri.

Marahlah hati Yosiko ketika melihat munculnya seorang asing secara mendadak. Cepat dia bertepuk tangan tiga kali dan muncullah enam orang pendek-pendek yang ternyata bukan lain adalah Kamatari bersama lima orang temannya.

Si Pedang Cakar Naga ini bersama lima orang temannya menjura dalam-dalam sampai jidat mereka hampir menyentuh tanah di depan Yosiko.

"Apa yang dapat kami lakukan untuk Yo-kongcu yang terhormat?" tanya Kamatari dalam bahasa Jepang.
"Kalian sekelompok udang goblok, bagaimana dengan tugasmu menjaga sehingga orang dusun ini bisa masuk ke sini tanpa ijin?" bentak Yosiko sambil menudingkan telunjuknya ke arah Yo Wan.

Kamatari melirik dan tampak kaget ketika melihat Yo Wan. "Dia... dia adalah orang yang kelihatan di dalam rumah makan di Leng-si-bun!" katanya gagap dan heran.

"Goblok, seret dia keluar!" bentak Yosiko.

Diikuti lima orang temannya, Kamatari melangkah maju, lambat-lambat, selangkah demi selangkah, dengan gerak kaki menurutkan ilmu silatnya, kedua tangannya tergantung di kanan kiri, sikunya sedikit ditekuk dan jari-jari tangannya terbuka dan tertutup, sikapnya mengancam sekali!

Gerakan lima orang temannya juga seperti itu, bahkan dengan teratur mereka berenam kemudian membuat gerakan mengelilingi Yo Wan.

"Ehhh, cakar nagamu ke mana? Apakah sudah kau tukar dengan cakar ayam maka kau malu mengeluarkannya?" Yo Wan berkata sambil menghadapi Kamatari, sebab di antara enam orang itu, Si Cakar Naga inilah yang paling kuat.

Merah muka dan kepala yang botak itu, kemudian tiba-tiba Kamatari mengeluarkan pekik nyaring yang agaknya keluar dari dalam perutnya, disusul dengan gerakannya laksana katak melompat dan tahu-tahu pedang samurainya telah menyambar ke arah Yo Wan. Pada detik-detik berikutnya, lima orang temannya juga sudah menerjang dengan samurai terhunus sehingga dari enam penjuru menyambarlah kilatan enam sinar samurai yang amat tajam!

"Cring-crang-cring!"

Tampak bunga api berpijar menyilaukan mata pada saat enam batang samurai itu saling bentur dalam keadaan kacau yang membingungkan. Tadinya Kamatari dan kelima orang temannya merasa yakin bahwa samurai-samurai mereka pasti akan mencincang hancur tubuh si pemuda desa yang agaknya sudah tidak dapat mengelak ke mana-mana karena semua jalan keluar sudah tertutup oleh enam buah samurai. Enam buah samurai yang menghantam ke satu titik, yaitu di mana Yo Wan berada.

Akan tetapi, ketika tepat tiba di sasaran, ternyata pemuda itu tidak tampak bayangannya lagi sehingga enam buah samurai itu saling bentur. Karuan saja enam orang itu terkejut dan terheran-heran sekali, dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, mereka merasa didorong dari belakang oleh sebuah tenaga mukjijat dan... berturut-turut terdengar suara beradunya kepala sama kepala dan bergelimpanglah enam orang itu dengan tambahan benjol sebesar telor ayam pada botak kepala masing-masing. Mereka pingsan seketika.

"Hek-san Pangcu (ketua Kipas Hitam), udang-udang busuk begini kau pergunakan untuk menakut-nakuti orang? Memalukan sekali!" kata Yo Wan, kedua tangannya bergerak dan enam orang itu terlempar keluar pintu depan satu demi satu seperti rumput-rumput kering ditiup angin saja.

Sepasang alis Yosiko terangkat naik, lalu turun dan hampir bersambung. Marahlah dia, juga heran karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ‘orang desa’ ini ternyata lihai juga.

"Hemmm, kau boleh juga, akan tetapi belum cukup berharga untuk bertanding denganku. Pouw-lopek, harap wakili aku beri hajaran kepada bocah dusun ini!"

Kakek tinggi kurus yang kulitnya sudah berkeriput semua, melangkah lebar. Kagetlah Yo Wan karena sekali melangkah saja kakek itu sudah berada di depannya! Mana mungkin begini? Kalau tadi kakek itu melompat, dia tidak merasa heran, bahkan hal itu biasa saja. Akan tetapi kakek itu sama sekali bukan melompat, melainkan melangkah. Betapa pun panjang kakinya, tak mungkin bisa sampai di depannya hanya dengan sekali melangkah, padahal jaraknya kurang lebih lima tombak (kurang lebih sepuluh meter)! Ilmu apa ini?

Yo Wan memutar otak dan dapat menduga bahwa kakek tinggi kurus ini tentu memiliki ilmu luar biasa yang mengandalkan kedua kakinya, dan hal ini mudah diduga bahwa ilmu itu tentulah ilmu tendangan. Apa lagi yang mampu dikerjakan oleh sepasang kaki dalam pertandingan untuk menyerang lawan kecuali menendang? Maka dia bersikap waspada, mencurahkan sebagian besar perhatian pada gerakan sepasang kaki calon lawannya.

"Orang muda," kata kakek itu, suaranya jelas menyatakan bahwa dia orang dari daerah pesisir selatan, "kau sungguh seorang yang tak tahu diri, tidak mengenal luasnya lautan tingginya langit. Siapakah kau ini yang berani lancang memasuki gedung tempat tinggal ketua Hek-san-pang dan menjual lagak di sini? Dan apakah kehendakmu?"

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang amat berwibawa, Yo Wan dapat menduga bahwa kakek ini tentunya mempunyai kedudukan yang cukup tinggi dalam perkumpulan Hek-san-pang, maka dia pun bersikap hormat. Setelah menjura dia menjawab,

"Namaku Yo Wan. Secara kebetulan aku turut menyaksikan peristiwa di rumah makan. Karena tertarik mendengar bahwa ketua kalian juga she Yo, apa lagi ditambah dengan sepak terjangnya merampas pedang, meski pun urusan itu dengan aku tidak ada sangkut pautnya, akan tetapi memaksa aku untuk datang ke sini dan menonton. Kiranya ketuanya seorang wanita yang begitu curang merobohkan dua orang muda ini dengan racun. Hal ini aku Yo Wan tak mungkin diam saja membiarkan kecurangan.”

Yosiko membentak marah, "Bocah dusun lancang. Kau sombong sekali. Apa maksudmu dengan kata-kata bahwa Hek-san-pang dipimpin oleh seorang wanita?"

"Seorang wanita curang kataku tadi," Yo Wan menjawab sambil tersenyum kepada ketua Hek-san-pang itu. "Mata orang lain boleh kau kelabui, akan tetapi bagiku jelas bahwa kau seorang wanita, mengapa memakai sebutan kongcu (tuan muda) segala macam? Dan memang kau curang sekali, mengambil kemenangan menggunakan racun..."
"Pouw-lopek, hajar dia!" bentak Yosiko, tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Orang tua tinggi kurus itu sebetulnya adalah seorang bajak laut tunggal di pantai selatan yang bernama Pouw Beng. Akhirnya ia ditarik oleh Kipas Hitam menjadi pembantu utama di samping dua orang lain yang selalu mendampingi ketua Kipas Hitam.

Ketika tadi menyaksikan gerak-gerik Yo Wan, kakek yang bermata tajam ini pun maklum bahwa Yo Wan adalah seorang ‘pemuda gunung’ (istilah murid pertapa di gunung) yang tak boleh dipandang ringan, maka dia bersikap sabar dan bertanya lebih dulu. Sekarang mendengar kemarahan Yosiko yang mendesaknya, dia segera memasang kuda-kuda, kedua kakinya dipentang lebar pada bagian lutut, namun mata kakinya saling bertemu.

"Orang muda she Yo, lihat serangan!" bentaknya mengguntur.

Sekali meraba punggungnya, kakek ini sudah mencabut keluar sebatang ruyung lemas (joan-pian) yang berwarna hitam, lalu menerjang dengan senjata seperti pecut ini dengan gerakan yang dahsyat.

"Wuuuttttt!"

Angin pukulan joan-pian ini menyambar ke arah kepala ketika Yo Wan mengelak. Namun dengan kelincahannya, mudah saja Yo Wan melompat lagi ke samping. Ketika joan-pian ini bagai seekor ular hidup mengejarnya terus dengan cepat, Yo Wan diam-diam menjadi kagum dan memuji kepandaian si kakek mainkan joan-pian yang dapat terus menerus melakukan serangan sambung-menyambung.

Dia masih belum dapat melihat bahayanya ancaman joan-pian ini, maka Yo Wan tetap saja mengelak ke sana kemari sambil tiada hentinya memperhatikan kedua kaki lawan. Benar saja dugaannya! Gerakan joan-pian yang menyerang kalang kabut ini hanyalah usaha untuk membingungkan lawan, karena tiba-tiba saja kedua kaki kakek itu bergerak menyambar, susul menyusul dengan kecepatan yang tak terduga-duga dan mengandung kekuatan yang luar biasa!

Yo Wan amat kagum. Hal ini sudah diduganya, dan memang sesungguhnya tendangan-tendangan inilah yang merupakan inti dari penyerangan kakek kurus itu. Seorang lawan yang kurang waspada pasti akan roboh oleh tipu muslihat ini, karena hanya tampaknya saja joan-pian yang mengancam, akan tetapi sesungguhnya bukan demikian, sehingga lawan yang terlalu mencurahkan perhatiannya pada serangan joan-pian yang dilancarkan secara bertubi-tubi, akan celaka oleh tendangan-tendangan tersembunyi ini.

Yo Wan bukan seorang pemuda sombong. Dia tidak suka memamerkan kepandaiannya, akan tetapi keadaan saat ini memaksa dia untuk mengeluarkan semua kepandaiannya. Pertama, karena dia berada di sarang harimau yang berbahaya, kedua untuk menolong muda-mudi putera ketua Lu-liang-pai atau cucu Raja Pedang itu, ketiga memang sudah menjadi tugasnya untuk membasmi bajak laut, apa lagi setelah dia teringat akan ucapan penuh sindiran dari ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian Seng Losu.

Karena itu, melihat datangnya tendangan, dia sengaja bersikap seakan-akan dia kurang waspada dan memberi kesempatan orang menendangnya!

Karuan saja Pouw Beng girang bukan main.

"Pergilah!" bentaknya sambil mengerahkan tenaga pada tendangannya ketika lawannya yang muda itu sibuk mengelak dari sambaran joan-pian.
"Dukkk!"

Bukan tubuh Yo Wan yang mencelat seperti yang telah dibayangkan si penendang dan teman-temannya, akan tetapi kakek itu sendiri yang terpelanting dan bergulingan, tidak mampu bangkit lagi karena tulang kakinya yang menendang tadi telah remuk sedangkan joan-pian di tangannya pun sudah mencelat entah ke mana!

Kiranya tadi saat kakinya sudah hampir mengenai sasaran, yaitu perut Yo Wan, pemuda ini secepat kilat menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah lalu menggencet. Oleh karena dia mempergunakan jurus ampuh Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang dia warisi dari kakek sakti Sin-eng-cu, seketika remuklah tulang kaki lawannya, ada pun tangan kanan Yo Wan pada detik yang sama juga menghantam pergelangan lengan yang memegang joan-pian sehingga joan-pian itu terpental dan mencelat entah ke mana.

Yosiko melongo. Sama sekali tak pernah diduganya bahwa pemuda dusun itu demikian lihainya. Pouw Beng dirobohkan hanya dalam beberapa gebrakan saja! Tendangan maut itu diterima tangan kiri dan kaki Pouw Beng remuk! Mana mungkin ini? Apakah pemuda sederhana baju putih itu main sihir? Dia sendiri yang sudah mengenal kelihaian Pouw Beng, agaknya sebelum seratus jurus tak mungkin dapat mengalahkannya!

"Paman Sakisoto, majulah!" teriaknya karena dia masih merasa penasaran.

Kalau terhadap Tan Hwat Ki, tadi dia maju sendiri karena dia sudah yakin akan kelihaian pemuda Lu-liang-pai itu. Akan tetapi pemuda dusun yang tak ternama ini, yang kelihatan begitu lemah dan sederhana, mana berharga menghadapinya?

Para pelayan lalu mengangkat pergi tubuh Pouw Beng yang masih pingsan, sedangkan kakek yang botak dan pendek sekali itu sudah melangkah maju menghampiri Yo Wan. Kakek tua yang pendek botak ini adalah seorang jagoan Jepang yang terkenal dengan ilmunya Yiu-yit-su. Dia seorang jago gulat yang selama ini jarang menemui tandingan di antara sekalian bajak laut, dan menjadi juara di kalangan Kipas Hitam.

Kedudukannya tinggi, sejajar dengan kedudukan Pouw Beng dan dia pun menjadi tangan kanan Yosiko, terutama untuk urusan mengendalikan anak buah bajak laut Kipas Hitam. Semua anak buah bajak laut, terutama yang berasal dari Jepang, takut belaka kepada Sakisoto, demikian nama jagoan tua ini.

Selain ahli dalam ilmu gulat dan ilmu tangkap Yiu-yit-su, dia pun termasuk seorang jago samurai yang ampuh. Apa bila dibandingkan dengan Pouw Beng, sukarlah untuk menilai karena keduanya memiliki keistimewaan masing-masing.

"Bocah sombong, hayo lekas kau berlutut menyerahkan diri sebelum kubanting tubuhmu sampai remuk!" bentak Sakisoto, karena bagaimana pun juga dia merasa malu kalau harus melawan seorang pemuda tak ternama, apa lagi kelihatannya kurus kering dan lemah begitu, maka dia memberi peringatan lebih dulu agar bocah itu menyerah saja.

Yo Wan tentu saja sudah pernah mendengar tentang ilmu gulat dan ilmu tangkap dari Jepang, tentu sejenis Ilmu Silat Sauw-kin Na-jiu-hoat, pikirnya. la maklum akan kelihaian ilmu ini yang sama sekali tidak membolehkan anggota badan tertangkap.

Akan tetapi menyaksikan gerakan kakek ini, dia berbesar hati. Langkah kakek ini sedikit banyak telah membayangkan keadaan tenaga Iweekang yang dimilikinya dan dia merasa sanggup untuk menghadapinya.

"Orang tua, kau tentunya seorang ahli membanting orang. Biarlah, aku ingin merasakan bantinganmu, kalau aku kalah tidak usah kau suruh menyerah, tentu saja aku sudah tak berdaya lagi. Silakan!" la sengaja bicara dengan lambat supaya kakek Jepang itu dapat mengikuti kata-katanya karena tadi ketika bicara, orang Jepang ini juga lambat-lambat dan agak sukar.
"Bocah sombong, kau cari mampus!" Sakisoto berseru.

Dua kakinya yang pendek itu lalu bergerak maju, kedua lengannya menyambar dengan gerakan kuat dan jari-jari tangan terbuka. Alangkah heran dan juga girangnya ketika dia melihat lawannya sama sekali tidak mengelak sehingga begitu dia menggerakkan kedua tangannya, Yo Wan sudah kena dicengkeram lengan kiri dan pundak kanannya!

Dengan sepasang mata sipitnya berseri-seri saking gembiranya akan hasil ini, Sakisoto mengerahkan tenaga dari perut, disalurkan kepada jari-jari tangannya dengan maksud untuk meremas hancur pergelangan lengan kiri dan pundak kanan pemuda kurang ajar itu. Jari-jari tangannya mengeras, menggigil karena terisi getaran tenaga yang dahsyat, tenaga yang membuat jari-jari tangan itu mampu meremas hancur batu karang!

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika jari-jari tangannya meremas kulit yang lunak dan licin bagaikan kulit belut, lunak tetapi ulet seperti karet sehingga tenaga remasan jari-jari tangannya lenyap tertelan atau tenggelam, sama sekali tidak ada hasilnya seperti orang meremas kapas!

Dalam kagetnya jago tua Jepang yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki tenaga dalam dari orang-orang daratan yang memang amat luar biasa. Maka, secepat kilat dia mengubah getaran tenaganya, kini jari-jarinya tidak mencengkeram untuk meremukkan lagi melainkan mencengkeram erat-erat, kemudian ia mengerahkan tenaga perut untuk mendongkel dan melontarkan lawannya dengan gerak tipu dalam Ilmu Yiu-jit-su. Kakinya menjegal dan tangannya yang satu mendorong yang lain menyentak kuat.

Tetapi, orang yang disentaknya tidak bergeming sama sekali. Hal ini tidak mengherankan karena mendadak Yo Wan juga telah mengganti tenaga dalamnya, kini dia mengerahkan tenaga Selaksa Kati yang disalurkan ke arah kedua kaki dan berdiri dengan kuda-kuda Siang-kak Jip-te (Sepasang Kaki Berakar di Tanah), Jangankan baru seorang Sakisoto, biar kedua kaki itu ditarik oleh lima ekor kuda kiranya belum tentu akan dapat terangkat!

Mulut jago tua Jepang itu mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh pada waktu dia beberapa kali mengganti kedudukan dan jurus untuk berusaha mengangkat kaki lawannya untuk terus dilontarkan di atas pundak dan dibanting remuk. Keringatnya sudah memenuhi muka, otot-ototnya menonjol keluar, nafasnya terengah-engah, namun hasilnya sia-sia belaka.

Pemuda yang kurus itu masih berdiri tegak dengan senyum manis, malah sedikit pun tak kelihatan mengerahkan tenaga. Hal ini selain membuat Sakisoto merasa penasaran, juga membuatnya menjadi malu dan marah sekali.

“Mampus kau!" bentaknya.

Secepat kilat kedua tangannya melepaskan cengkeraman pada lengan dan pundak, kini berganti dengan serangan memukul dengan telapak tangan dimiringkan. Tangan kanan memukul leher dan tangan kiri memukul lambung!

Jangan memandang ringan serangan ini karena kedua tangan itu sudah terlatih, ampuh sekali. Kepala orang bisa remuk terpukul oleh tangan miring ini, apa lagi tempat-tempat gawat macam leher dan lambung. Sekali pukul tentu nyawa akan melayang!

Mendengar menyambarnya hawa pukulan, Yo Wan maklum bahwa serangan ini cukup berbahaya. Cepat dia menyambar dengan kedua tangannya, jauh lebih cepat dari pada datangnya pukulan. Tahu-tahu kedua pergelangan tangan jago tua itu sudah dia tangkap dan semua urat syaraf dalam tubuh Sakisoto seketika bagaikan dilolosi. Tiba-tiba saja Yo Wan berseru keras.

Tubuh pendek tegap itu melayang ke atas dan terbang sampai sepuluh meter jauhnya. Akan tetapi, begitu dilepas, jago tua yang sudah berpengalaman ini dapat menggerakkan tubuhnya sehingga saat terbanting ke bawah, dia dapat mendulukan daging belakangnya sehingga hanya terdengar suara berdebuk.
Tubuhnya membal ke atas, lalu turun lagi dalam keadaan berdiri dan mulutnya meringis karena daging tua pada belakang pantatnya terasa kesemutan dan sakit! Kemarahannya memuncak, kemudian dengan kerongkongan mengeluarkan gerengan laksana beruang, dia menubruk maju, didahului pedang samurainya yang panjang dan besar.

Yo Wan cepat miringkan tubuh, membiarkan sinar berkelebat pedang panjang itu lewat. Jari tangannya bekerja dan di lain saat sekali lagi tubuh Sakisoto terguling, kali ini jatuh tersungkur tak marnpu bangkit untuk beberapa menit lamanya karena jari-jari tangan Yo Wan telah berhasil menyentil sambungan tulang pundak kanan dan menotok jalan darah di punggung kiri! Jago tua Jepang itu hanya mampu mengulet dan merintih perlahan.

Bila tadi sepasang mata Yosiko berapi-api marah, kini mulai bersinar penuh kekaguman. Dua orang jagonya dirobohkap demikian mudahhya. Bukan main pemuda sederhana ini. Mungkinkah ada pemuda yang lebih pandai dari pada jago tampan dari Lu-liang-pai?

Diam-diam dia melirik ke arah Hwat Ki yang masih pingsan di dekat sumoi-nya, di sudut ruangan. Kemudian dia memberi tanda. Para pelayan datang membangunkan Sakisoto dan mengangkatnya keluar dari ruangan itu.

Yo Wan tersenyum menghadap Yosiko. "Bagaimana? Cukupkah?"

"Hemmm, setelah kau mampu merobohkan dua orang pembantuku, kau mau apa?"
"Tidak apa-apa, hanya minta supaya kau bebaskan kedua orang muda dari Lu-liang-san itu, kemudian gulung tikar dan kembali ke Jepang, jangan lagi kau atau anak buahmu mengganggu pantai dan perairan Po-hai."
"Peduli apa dengan kau? Kau murid siapa? Dari partai apa?"
"Mengherankan sekali. Kau masih tanya peduli apa denganku? Tentu saja aku tidak bisa membiarkan kau mengganggu keamanan wilayah ini dan mengacau ketenteraman hidup bangsaku. Soal aku murid siapa, tidak ada sangkut pautnya denganmu dan aku tidak punyai partai. Nona, kulihat kepandaianmu lumayan, mengapa kau memilih jalan sesat? Mengapa kau mendirikan perkumpulan bajak laut Kipas Hitam? Sayang sekali, kau lihai dan sepatutnya menjadi seorang pendekar wanita yang cantik, gagah, serta terhormat, berguna bagi bangsamu di Jepang..."
"Tutup mulutmu yang lancang!" Yosiko berteriak nyaring.

Kini penyamarannya gagal karena sesudah dia marah-marah, sepasang pipinya menjadi kemerahan, merah jambu yang hanya dapat timbul pada pipi seorang gadis, sedangkan teriakannya pun teriakan marah seorang gadis, tidak lagi suara berat pria seperti yang ia tirukan dalam percakapan biasa.

"Kau begini sombong! Apa kau kira aku takut padamu? Kami belum kalah. Gak-lopek, harap kau beri hajaran bocah sombong ini!”

Kakek ketiga yang gendut perutnya melompat maju. Gerakannya perlahan dan lambat saja, seakan-akan dia terlalu malas untuk bergerak, apa lagi main silat, patutnya orang ini bertiduran di atas kursi malas sambil mengisap huncwe (pipa tembakau) dengan mata meram melek.

Akan tetapi Yo Wan cukup waspada dan dia maklum bahwa di antara tiga orang kakek tadi, si gendut inilah yang paling lihai. Wajahnya yang agak pucat kekuningan, kedua lengannya yang tidak kelihatan ada otot menonjol, langkahnya yang tenang serta terlihat berat dan seolah-olah kakinya menempel dan lengket pada lantai yang diinjaknya, semua ini menandakan bahwa dia seorang ahli Iweekeh (ahli tenaga dalam) yang kuat.

Diam-diam Yo Wan mengumpulkan hawa murni di dalam pusarnya, lalu mendesaknya ke seluruh bagian tubuh, terutama pada kedua lengannya untuk berjaga-jaga. Pemuda ini pernah mendapat gemblengan tenaga dalam dari dua orang sakti, yaitu Sin-eng-cu dan Bhewakala, apa lagi latihan tenaga dalam ini kemudian dia sempurnakan dengan tekun di pertapaan Bhewakala, yaitu di Pegunungan Himalaya.

Oleh pendeta sakti ini, Yo Wan digembleng hebat, malah sudah mengalami gemblengan terakhir yang luar biasa berat, bahkan yang dilakukan dengan taruhan nyawa, yaitu kalau tidak tahan dapat mati seketika. Latihan ini adalah latihan bersemedhi mengumpulkan sinkang dan memutar-mutar hawa murni ke seluruh tubuh dengan cara bertapa telanjang bulat selama tujuh hari di bawah hujan salju di puncak gunung. Apa bila dia tidak dapat menahan, dia akan mati dalam keadaan beku dan terbungkus es!

"Orang muda, kau benar-benar lihai sekali! Akan tetapi, untuk dianggap cukup berharga melayani Yo-kongcu, kau harus dapat menandingi aku terlebih dahulu! Perkenalkan, aku bernama Gak Tong Sek!"

Sambil berkata demikian, seperti seorang yang menghormat tamu, dia menjura dengan kedua tangan dirangkap didepan dada, selayaknya orang memperkenalkan diri.

Tepat seperti dugaan Yo Wan, begitu kakek gendut ahli Iweekeh ini mengangkat kedua lengannya memberi hormat, dadanya terasa sesak karena terserang oleh hawa pukulan tersembunyi yang sangat kuat, yang menyambar keluar dari gerakan kedua tangan yang dirangkapkan itu.

Cepat Yo Wan menggerakkan kedua lengannya, diangkat ke atas sebagai pembalasan hormat sambil diam-diam mengerahkan sinkang mendorong ke depan. Hawa pukulannya amat kuat dan hal ini terasa betul oleh Gak Tong Sek karena wajahnya tiba-tiba berubah kaget dan jelas tampak dia mengerahkan tenaga untuk menahan dorongan lawan yang amat kuatnya itu.

la merasa heran karena tidak mengira bahwa lawan yang demikian muda ini tidak saja sanggup menahan dorongan pukulan jarak jauhnya, tetapi bahkan mengembalikan hawa pukulan itu dengan tambahan dorongan yang lebih kuat lagi. Tentu saja dia tidak mau menyerah kalah, merasa malu apa bila dia pergi menghindar. Maka, sambil memasang kuda-kuda sekuatnya pada kedua kaki, dia menahan dorongan lawan.

Yo Wan merasa betapa dorongannya tertahan secara kuat. Dia menambah tenaganya dan terus mendorong. Gak Tong Sek mempertahankan dengan sangat kuatnya, namun yang mendorong lebih kuat lagi.

Terdengar suara keras. Tubuh kakek gendut itu terdorong mundur, akan tetapi sepasang kakinya tetap dalam keadaan memasang kuda-kuda, sedikit pun tidak terangkat dan dia tidak roboh terguling, akan tetapi terdorong ke belakang dengan kedua kakinya menyeret lantai sehingga retak-retaklah lantai batu yang terseret kedua kakinya!

Makin jauh kakek ini terdorong, maka semakin berkuranglah kekuatan dorongan Yo Wan, sehingga setelah terdorong tiga kaki jauhnya, tubuh kakek ini berhenti. Wajahnya pucat dan dua butir keringat tampak di dahinya.

"Orang tua, kau benar-benar amat lihai, aku yang muda merasa kagum sekali," kata Yo Wan tersenyum.

Yo Wan memang berkata sejujurnya karena dia merasa sangat kagum akan daya tahan kakek itu sehingga dia tak mampu merobohkan, malah membuat kakek itu mengangkat kaki pun tidak sanggup. Sungguh-sungguh seorang kakek yang selain memiliki tenaga Iweekang tinggi, juga amat ulet dan tahan uji.

Akan tetapi bagi kakek Gak, ucapan tadi dianggapnya sebagai ejekan, maka dia menjadi penasaran dan marah bukan main. Biar pun dia maklum akan besarnya tenaga sinkang pemuda itu, namun belum tentu dia akan kalah dalam ilmu pukulan yang telah dilatihnya puluhan tahun lamanya, yang agaknya telah dia miliki sebelum orang muda ini lahir.

Selama ini, hanyalah ketua Kipas Hitam saja orang muda yang mampu menandinginya dan hal ini tidak membuat dia kecil hati karena dia cukup maklum bahwa pangcu-nya itu mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa dari orang tuanya. Namun dia anggap bahwa di dunia ini tidak ada keduanya orang muda seperti pangcu (ketua) dari Hek-san-pang.

"Bocah sombong, belum tentu aku kalah!" bentaknya marah sambil mengayunkan kedua tangannya, melancarkan pukulan-pukulan maut dari jarak jauh.

Terdengar suara angin menyambar bersiutan sehingga api penerangan di empat penjuru ruangan itu bergoyang-goyang hampir padam. Demikianlah hebatnya ilmu pukulan jarak jauh dari kakek Gak Tong Sek yang dia sendiri namakan Swat-hong Sin-ciang (Pukulan Sakti Angin Puyuh).

Para pelayan yang tahu akan hebatnya ilmu pukulan ini, tanpa diperintah lagi segera mundur dan menyelinap ke balik pintu. Hanya Yosiko yang masih berdiri tegak, pakaian dan penutup rambutnya berkibar-kibar oleh angin pukulan, tapi dia sendiri tidak apa-apa karena dia pun telah mengerahkan sinkang melindungi seluruh tubuhnya.

"Bagus!” Mau tak mau Yo Wan memuji kehebatan ilmu pukulan ini.

Akan tetapi tidak sia-sia ia digembleng habis-habisan di puncak Himalaya. Dengan amat tenang, penuh kepercayaan akan diri sendiri, dia melangkah maju sambil memangku dua lengannya, sama sekali tidak mengelak atau menangkis.

Pukulan-pukulan jarak jauh datang bagaikan hujan badai menimpa dirinya, namun hanya pakaian beserta rambutnya saja yang berkibar-kibar, sedangkan semua hawa pukulan itu terbentur dan membalik saat bertemu dengan hawa sinkang yang menyelubungi seluruh tubuhnya!

Sudah penuh keringat muka dan leher Gak Tong Sek, namun semua pukulannya sia-sia belaka. Saking marah dan penasarannya, dia melompat maju, kini menggunakan kedua tangannya memukul dari jarak dekat dengan pengerahan tenaga Iweekang sepenuhnya.

Tentu saja Yo Wan maklum bahwa pukulan ini terlalu berbahaya untuk diterima seperti dia menerima pukulan jarak jauh tadi. Cepat kedua tangannya bergerak.

"Dukkk-dukkk!"

Dua kali empat buah lengan itu bertemu dan tubuh kakek Gak Tong Sek melayang keluar dari pintu ruangan, jatuh berdebuk di luar ruangan itu. Dia tak dapat bangun lagi, hanya terdengar mengorok seperti kerbau disembelih. Di antara tiga orang kakek yang melawan Yo Wan, kakek Gak inilah yang paling berat lukanya. Hal ini adalah karena dia terpukul oleh tenaga lweekang-nya sendiri, sehingga walau pun tidak akan kehilangan nyawanya, namun sedikitnya tiga bulan dia harus berbaring!

Kini lenyaplah sama sekali kemarahan dari wajah Yosiko, terganti bayangan kekaguman di wajahnya yang tampan berseri. Sepasang matanya berkilauan, dengan bola matanya yang bening bergerak-gerak cepat menandakan kecerdikan otaknya, bibirnya tersenyum-senyum ketika ia melangkah maju dengan senjata di tangan.

Seperti tadi ketika menghadapi Hwat Ki, kini tangan kanannya memegang pedang, dan tangan kirinya memegang sabuk sutera putih. Dengan langkah cepat ia bertindak maju, sepasang matanya tak pernah mengalihkan pandangannya dari wajah Yo Wan.

"Hebat... kau... kau lebih lihai dari pada Tan Hwat Ki... kau hebat...!"

Ketua Hek-san-pang yang muda dan oleh Yo Wan dianggap wanita itu melangkah maju. "Tapi... kau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu, baru dapat kunilai apakah kau lebih patut dari pada dia..."

"Hek-san Pangcu, kau bicara apa ini? Aku tidak ingin bermusuhan dengan engkau, akan tetapi jika kau mendesakku, jangan menyesal bila aku turun tangan besi dan membasmi gerombolan bajak yang kau pimpin. Biar pun kau mengerti Ilmu Langkah Kim-tiauw-kun, jangan kau mengira tidak akan ada yang dapat melawanmu. Justru karena kau mengenal Kim-tiauw-kun, aku makin berkeras untuk melarangmu melakukan perbuatan jahat!"

Berubah wajah Yosiko, akan tetapi sinar matanya makin berseri. "Kau... kau tahu tentang langkah-langkah ajaib?"

"Tentu saja aku mengenal Hui-thian Jip-te. Orang yang mempergunakan ilmu ini harus menjadi pembela kebenaran dan keadilan, sama sekali tidak boleh menjadi penjahat!"

Yosiko tersenyum. "Wah, kiranya kau pun bukan orang sembarangan, dapat mengenal Hui-thian Jip-te. Kau bilang tadi namamu Yo Wan? Kau ini murid siapakah? Apakah kau kenal dengan Tan Hwat Ki dan sumoi-nya dari Lu-liang-pai ini?"

Dalam mengajukan pertanyaan ini, lenyaplah sikap bermusuhan, seakan-akan Yo Wan sedang menghadapi seorang kenalan baru saja. Ketua Hek-san-pai itu demikian ramah. Akan tetapi Yo Wan tak ingin memperkenalkan diri, apa lagi jika sampai membawa-bawa nama Pendekar Buta.

"Namaku Yo Wan dan habis perkara. Aku seorang yatim piatu, tak bersanak tidak pula berkadang."
"Dan belum menikah?"

Merah wajah Yo Wan. Celaka orang ini benar-benar cerewet dan tak tahu malu. Karena sungkan dan jengah, dia tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Yosiko tersenyum lagi.

"Wah, seorang jaka lola kalau begitu. Ehh, jaka lola yang lihai, dengar baik-baik. Adikku mencari jodoh dan agaknya kau patut menjadi jodohnya karena agaknya kau lebih lihai dari pada Tan Hwat Ki. Namun kau harus dapat mengalahkan aku untuk membuktikan kelihaianmu."
"Pangcu, harap kau jangan main-main. Aku tidak peduli adikmu itu akan menikah dengan siapa pun juga, bukan urusanku. Aku pun sekali-kali tidak ingin membuktikan kelihaianku. Aku hanya minta agar kau bebaskan dua orang muda itu dan tarik mundur semua anak buahmu, jangan pernah lagi mengganggu daerah Po-hai. Kalau tidak, terpaksa aku akan membasmi Kipas Hitam!"

Yosiko tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih berkilauan dan rapi.

"Yo Wan, kalau kau bisa menangkan aku dan menikah dengan adikku, kau akan menjadi ketua Kipas Hitam dan terserah apa yang hendak kau lakukan. Lihat senjata!"

Secepat kilat pedang di tangan Yosiko menyambar, menjadi sebuah tusukan sutera putih di tangan kirinya sudah bergerak pula menjadi lingkaran bundar yang melayang dari atas mengarah kepala Yo Wan. Sudah tentu saja pedang itu sangat berbahaya, akan tetapi sinar putih sabuk sutera itu kiranya tidak kalah bahayanya, karena ujung sabuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang sekali mengenai kepala akan merenggut nyawa!

Mendongkol juga hati Yo Wan. Sebenarnya dia merasa sayang bahwa seorang muda seperti Yosiko, baik ia gadis seperti dugaannya atau pun betul laki-laki, yang jelas adalah seorang peranakan Jepang, tidak dapat dia sadarkan kembali ke jalan benar. Akan tetapi orang ini terlalu memandang rendah padanya, bila tidak diberi hajaran tentu tidak kapok!

"Kau menghendaki kekerasan? Baik!" katanya.

Segera kakinya mempergunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan serangan pedang dan sabuk sutera. Malah dia segera balas menyerang dengan tangan kosong, menggunakan Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang sangat lihai. Dia merasa sayang sekali bahwa dia sekarang sudah tidak memiliki senjata apa pun, karena dalam pertandingan mati-matian melawan Bhok Hwesio yang sakti, tiga buah senjatanya rusak semua.

Liong-kut-pian (Cambuk Tulang Naga) pemberian mendiang Bhewakala telah putus pada waktu dia berebutan dengan Bhok Hwesio. Pedang Pek-giok-kiam pemberian subo-nya (ibu gurunya) telah patah menjadi tiga potong, sedang pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Wangi) yang dia buat di Himalaya hancur remuk, semua berkat kesaktian Bhok Hwesio, lawan paling hebat yang pernah dia tandingi di dunia ini!

Sekarang dia bertangan kosong dan menghadapi lawan seperti ketua Hek-san-pang ini, sungguh tidak menguntungkan kalau hanya dengan tangan kosong.

Terdengar berkali-kali Yosiko berseru kagum dan heran. Tentu saja dia merasa heran karena pemuda dusun lawannya ini ternyata mampu bermain langkah ajaib yang malah lebih hebat, lebih lengkap dan lebih lincah dari pada kepandaiannya sendiri!

Keheranannya membuat dia gugup dan pada saat sabuk sutera putihnya menyambar, ujung sabuk ini kena dicengkeram oleh Yo Wan yang cepat mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga ke arah lengan kiri lawannya. Hawa pukulan dahsyat lantas menyambar dan Yosiko berteriak kaget, terpaksa dia melepaskan sabuk sutera putihnya sambil meloncat mundur sampai tiga meter jauhnya!

Yo Wan berdiri sambil tersenyum, mempermainkan sabuk sutera putih yang halus dan berbau harum itu. Makin yakinlah hatinya bahwa Yosiko pastilah seorang gadis.

"Bagaimana? Menyerahkah kau sekarang?" ujarnya, nadanya mengejek.

Sepasang pipi itu merah padam. Bukan main, pikirnya. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja, pemuda ini dengan tangan kosong telah mampu merampas sabuk suteranya! Padahal tadi Hwat Ki dengan pedang di tangan tidak mampu merobohkannya sampai puluhan jurus lamanya.

Benar-benar pemuda aneh dan memiliki kepandaian yang luar biasa sekali. Bahkan ilmu langkah dari Hwat Ki sekali pun tidak seindah dan sehebat ilmu langkah pemuda yang sederhana ini. Jantungnya berdebar penuh kekaguman, namun ia masih penasaran.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ia menerjang lagi. Kini dia memutar pedangnya sehingga pedang itu lenyap berganti gulungan sinar seperti payung di depan dadanya, langsung menerjang Yo Wan.

"Tar-tar-tar-tar-tar!"

Nyaring sekali suara ledakan-ledakan kecil ini yang tercipta dari ujung sabuk sutera yang diledakkan seperti cambuk oleh Yo Wan.

Bukan main kagetnya hati Yosiko ketika melihat betapa sabuk suteranya, yang biasanya sangat dia andalkan sebagai senjata di samping pedangnya, kini di tangan pemuda itu berubah menjadi senjata yang malah lebih ampuh lagi. Sabuk suteranya itu kini berubah menjadi sinar putih yang panjang, membentuk lingkaran-lingkaran aneh yang saling susul menyusul dan telan menelan, lingkaran kecil yang ditelan lingkaran lebih besar, berubah ubah dan sukar diikuti perkembangannya, namun dibarengi ledakan-ledakan kecil yang mengancam semua jalan darah di tubuhnya secara bertubi-tubi!

Tentu saja Yo Wan pandai memainkan sabuk sutera ini sebagai senjata karena memang inilah salah satu di antara ilmu-ilmunya yang sakti, yaitu Ilmu Cambuk Ngo-sin Hoan-kun yang merupakan gerakan dari pada lingkaran sakti yang terbuat dari pada ujung cambuk atau benda lemas panjang.

Kalang kabutlah permainan pedang Yosiko. Selama hidupnya, baru kali ini ia mengalami hal macam itu, baru kali ini ia menghadapi lawan yang begini lihainya. Saking kagetnya, ia sampai lupa akan ilmu pedangnya dan gerakannya menjadi kacau-balau.

Mendadak dia menjerit dan pedangnya ‘terbang’ meninggalkan tangan kanannya karena pedang itu ternyata sudah terlibat sabuk sutera dan terbetot tanpa dapat dia pertahankan lagi. Kemudian ujung sabuk itu seperti cemeti meledak-ledak dan mencambuknya.

"Aduhh...! Ihhh...! Aduhhh...!" Yosiko berteriak-teriak karena setiap kali sabuk sutera itu berbunyi pasti menghantam tubuhnya, membuat pakaiannya robek di tempat yang dicium ujung sabuk itu, serta kulitnya menjadi merah-merah dan matang biru, rasanya bagaikan ditampar atau dicubit keras!

Yo Wan tidak tega untuk merobohkan ketua Hek-san-pang ini, akan tetapi dia memang hendak memberi hajaran. Mengingat bahwa ketua itu ialah seorang wanita muda, maka dia hanya menggunakan sabuk sutera itu untuk mencambukinya agar kapok!

"Sahabat yang gagah, tolong kau bantu kami menangkap dia! Dia adalah ketua bajak, kami harus menangkapnya untuk dihadapkan kepada Bun-goanswe di Tai-goan!"

Tiba-tiba terdengar suara Hwat Ki yang kebetulan pada saat itu sudah sadar. Pemuda ini meloncat bangun, disusul oleh Cui Kim yang juga sudah tersadar. Memang racun yang dipergunakan oleh ketua Kipas Hitam dalam jamuan makan tadi hanyalah racun untuk membuat mabuk orang untuk sementara waktu saja, sama sekali tidak berbahaya, hanya sekedar membuat lawan tidak berdaya.

Begitu sadar dari pingsannya serta melihat betapa Yosiko dicambuki secara aneh oleh pemuda asing yang dia kenal sebagai pemuda di rumah makan di dusun Leng-si-bun, Hwat Ki segera| berseru untuk menangkapnya. Pemuda Lu-liang-san ini dapat menduga bahwa Yo Wan tentu adalah seorang pendekar yang berpihak kepadanya dan memusuhi bajak laut.

Mendengar seruan ini, sejenak Yo Wan bingung dan agaknya kesempatan ini tidak ingin disia-siakan oleh Yosiko. Diam-diam ia telah mengeluarkan sebuah kipas hitam dan pada waktu ia menekan gagangnya, dari kedua ujung kipas itu menyambarlah sinar hitam ke depan.

"Awas...!" Yo Wan berseru.

Sekali sabuk sutera putihnya dia gerakkan, Hwat Ki dan Cui Kim roboh oleh sabuk itu, terpelanting karena kaki mereka telah terlibat dan dibetot. Yo Wan sengaja melakukan ini karena dapat menduga akan bahayanya sinar hitam itu.

Namun usahanya menyelamatkan kedua orang muda itu membuat dia kurang waspada akan dirinya sendiri. la sudah mengebutkan tangan kiri menyampok, namun dia merasa pundak kirinya sakit dan panas, maka maklumlah dia bahwa dia sudah terkena senjata rahasia yang halus dan beracun. Rasa panas bercampur rasa gatal membuat dia kaget sekali dan cepat dia melompat ke depan mengejar Yosiko yang lari.

"Berhenti, serahkan obat pemunah racun!" teriak Yo Wan marah.

Karena ginkang-nya memang jauh lebih menang dari pada Yosiko, sebentar saja dia hampir dapat menangkapnya di luar gedung itu. Namun tiba-tiba Yosiko melompat dan...

"Byurrrrr...!" ketua Kipas Hitam itu sudah terjun ke dalam air laut yang berbuih-buih.

Biar pun bukan ahli, namun kalau hanya berenang saja Yo Wan dapat juga. la maklum bahwa tubuhnya sudah terkena senjata beracun, dan ketua Hek-san-pang itu merupakan satu-satunya orang yang memiliki obat penawarnya, maka harus dia tangkap. Dengan pikiran ini, Yo Wan menjadi nekat dan...

"Byurrrrrr...!" air laut yang hitam gelap itu untuk kedua kalinya muncrat ketika tubuh Yo Wan terjun ke dalamnya.

Yo Wan melihat di bawah sinar bulan yang remang-remang itu lawannya berenang ke tengah di mana terdapat beberapa buah perahu nelayan.

"Hemmm, ke mana pun kau lari, jangan harap dapat terlepas dari tanganku," pikirnya dan dia merasa girang ketika mendapat kenyataan bahwa sesudah berada agak ke tengah, ternyata laut itu airnya tenang, memudahkan dia berenang melakukan pengejaran.

Perahu-perahu di depan itu adalah perahu yang berlabuh, kelihatannya sunyi dan gelap. Tak mungkin kalau perahu nelayan berlabuh dalam keadaan gelap dan berada di tengah. Agaknya perahu-perahu bajak laut.

Yo Wan tak mempedulikan perahu-perahu itu. Ke mana pun juga Yosiko pergi, harus dia kejar sampai dapat, karena kalau tidak, keadaannya akan berbahaya. Mulailah Yo Wan menduga-duga.

Agaknya senjata rahasia yang halus itu merupakan jarum-jarum kecil halus yang dapat menembus kulit dan menyusup ke bawah kulit sehingga kalau beracun maka racunnya dapat langsung terbawa oleh darah. Pundak kirinya mulai terasa kejang-kejang. Air laut mengurangi rasa sakit, akan tetapi makin lama pundaknya terasa makin kaku dan lengan kirinya hampir tidak dapat digunakan lagi. Dia berenang mengandalkan kedua kaki dan lengan kanannya sehingga tiap kali tubuhnya miring ke kiri, mukanya terbenam ke dalam air.

Akan tetapi girang hatinya karena agaknya Yosiko tidak dapat berenang cepat. Buktinya sebentar saja dia sudah hampir berhasil menyusulnya. Dia mengerahkan tenaganya dan terus bergerak maju, berseru keras,

"Pangcu dari Kipas Hitam, berhentilah! Kau berikan obat pemunah racun dan baru aku mau memberi ampun kepadamu!"

Yosiko menoleh sambil tertawa, kemudian, tiba-tiba lenyaplah kepala yang tertawa itu. Yo Wan terkejut. Celaka, pikirnya. Apakah orang itu tenggelam? Jangan-jangan kakinya diseret ikan buas! Kalau Yosiko kena celaka, berarti dia sendiri pun menghadapi bahaya maut.

Akan tetapi mendadak bulu tengkuknya meremang saking ngeri dan kagetnya ketika dia merasa betapa kakinya terjepit sesuatu dan dia ditarik ke bawah! Celaka, pikirnya, tentu ikan buas. Yosiko telah menjadi korban ikan buas dan kini ikan-ikan itu mulai menyambar kakinya dan menarik ke bawah.

Cepat dia mengerahkan tenaga dan menggerakkan kaki sehingga sepatunya terlepas. Akan tetapi berbareng dengan terlepasnya sepatu kanannya, ikan yang tengah menggigit kakinya itu pun terlepas.

Mendadak ada suara orang tertawa di sebelah belakangnya. Cepat dia menengok dan... kiranya Yosiko yang tertawa, mentertawakannya.

"Mana kegagahanmu, Yo Wan? Agaknya di air kau tidak segagah di darat!"

Yo Wan menggerakkan tangan kanan meraih untuk menangkap lawan itu, akan tetapi tiba-tiba kepala itu lenyap lagi. Yo Wan terkejut dan maklumlah dia bahwa Yosiko kiranya adalah seorang ahli bermain dalam air! Tentu yang mempermainkannya, yang mencopot sepatunya adalah Yosiko inilah!

Berabe, pikirnya. Apa bila harus bertanding di air, melihat gerakan Yosiko yang demikian cepatnya, dia pasti takkan berdaya. Benar saja, Yosiko muncul di sana-sini, seperti main kucing-kucingan, sedangkan Yo Wan sudah payah dan lelah sekali.

Mendadak perahu-perahu yang sunyi dan gelap itu tiba-tiba menjadi terang benderang, agaknya ada tanda rahasia yang membuat orang-orang yang bersembunyi dalam perahu secara serentak memasang lampu penerangan. Terdengar teriakan-teriakan gaduh.

"Itu dia! Benar dia kepala bajak Kipas Hitam. Serbu!”
"Tangkap!"
"Bunuh...!"
"Hadiahnya besar kalau bisa tangkap dia, hidup atau mati!"
"Mari serbu, hadiahnya bagi rata!"

Ramai sorak-sorai itu dan perahu-perahu hitam tadi mulai bergerak mengurung tempat Yo Wan dan Yosiko main kucing-kucingan di dalam air. Kemudian telinga Yo Wan yang tajam dapat menangkap mengaungnya suara anak-anak panah menyambar.....
la terkejut sekali, akan tetapi apa dayanya. Di dalam air, dia tidak dapat mengelak atau bergerak secepat di darat, apa lagi sekarang pundak kirinya mulai kena pengaruh racun. Tiba-tiba...

"Ceppp!"

Pundak kirinya sebelah belakang terkena anak panah yang menancap cukup dalam. Yo Wan mengeluh.

Yosiko mengeluarkan seruan kaget. "Cepat tahan nafasmu...!"

Suara ini hanya terdengar seperti bisikan di dekat telinga Yo Wan, akan tetapi dia cepat mentaatinya, segera menahan nafasnya. Sebagai seorang ahli Iweekeh tentu saja hal ini mudah dilakukannya.

Pada saat itu dia merasa betapa tubuhnya ditarik ke bawah permukaan air, lalu dibawa berenang sambil menyelam dengan kecepatan luar biasa. Beberapa menit kemudian Yo Wan tidak ingat apa-apa lagi.

Yo Wan bermimpi. la melihat seorang lelaki sederhana, berpakaian seperti petani, tetapi berwajah tampan dan bersikap gagah, berdiri tegak bersama seorang wanita cantik yang wajahnya diliputi kedukaan. Mereka tersenyum-senyum kepadanya, melambaikan tangan ketika mereka berjalan meninggalkannya.

"Ayah...! Ibu...!" Yo Wan memanggil, mengeluh karena tidak dapat menggerakkan tubuh untuk mengejar mereka.

la merasa seperti dalam neraka. Api neraka membakarnya, tenaganya habis dan dia tak berdaya menyingkir dari api yang mengelilinginya itu. Dadanya terasa sesak, kepalanya panas dan serasa hampir meledak. Sekali lagi dia memanggil ayah ibunya untuk minta pertolongan, namun mereka sudah terlalu jauh, hanya nampak bayang-bayang mereka saja, tidak jelas lagi. Betapa pun, Yo Wan masih dapat mengenal mereka, ayahnya yang gagah berani, ibunya yang cantik peramah.

Tiba-tiba muncul bayangan seorang gadis jelita. Sejenak dia bingung dan tidak mengenal siapa gadis ini. Wajahnya aneh, sebentar seperti Siu Bi, kemudian berubah seperti Lee Si, berubah lagi seperti wajah Bu Cui Kim, akhirnya menjadi wajah Cui Sian.

Gembira hatinya. Berdebar jantungnya. Mulutnya bergerak hendak memanggil Cui Sian, akan tetapi rasa malu dan rendah diri menahan niatnya. Cui Sian puteri Raja Pedang, mana bisa disejajarkan dengan dia? Dia seorang jaka lola, miskin dan bodoh.

Mendadak semua bayangan itu ienyap. Yo Wan kecewa dan menyesal, dia mencari-cari Cui Sian, namun gadis itu tetap tidak tampak lagi. Sadarlah dia dari mimpi, sebuah mimpi kacau balau ketika dia pingsan.

Kini terasa betapa tubuhnya panas sekali dan sakit-sakit. Dia mengeluh, lalu membuka matanya, merasa heran dan bingung. Teringat dia kini betapa dia tenggelam, menahan nafas, kemudian dibawa berenang di bawah permukaan air oleh Yosiko.

Otomatis dia menahan nafasnya, takut kalau-kalau air memasuki hidung dan mulut. Akan tetapi dia tidak merasakan air lagi di sekeliling tubuhnya. Perlahan dibukanya mata yang tadi sudah dia tutup kembali. Sekali lagi dia melihat bahwa dia tidak berada di dalam air, kini lebih jelas.

Ada air tampak olehnya, namun di bawah, dan dia sedang rebah di atas sebuah perahu yang bergerak perlahan dan tenang. Badannya panas bagaikan terbakar, pundak kirinya sakit sekali. Teringatlah dia bahwa pundaknya terluka oleh senjata rahasia beracun yang dilepas oleh Yosiko.

Di manakah dia sekarang? Masih hidupkah? Apakah ini perjalanan menuju ke alam baka melalui sungai dan naik perahu? Kembali dia mengeluh, tenggorokannya terasa sangat haus. la mengumpulkan tenaga dalam tubuhnya yang lemas, mencoba untuk bangkit dan duduk.

"Uuhhhh..."

Pundak kirinya terasa sakit sekali dan ketika tangan kanannya meraba, kiranya di pundak kiri sebelah belakang masih menancap sebatang anak panah! Teringatlah kini Yo Wan bahwa sebelum dia tenggelam, ada anak panah yang mengenai pundaknya.

"Ee-e-eeeh... tidak boleh bangun dulu... kau harus rebah terus, miring kanan..." tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita dan ada jari-jari tangan yang halus pula merangkul pundak kanannya, lalu dengan tekanan perlahan menyuruh dia rebah kembali, terlentang agak miring ke kanan agar anak panah di pundak kirinya tidak menyentuh lantai perahu.

Yo Wan serasa mengenal suara ini, dan ini membuat hatinya kecewa. Pada saat untuk pertama kali mendengar suara wanita itu tanpa melihat orangnya, sepenuh hatinya dia berharap bahwa orang itu Cui Sian adanya. Akan tetapi kini dia merasa pasti bahwa itu bukanlah suara Cui Sian, dan kenyataannya ini mengecewakan hatinya.

Suara siapakah? Serasa mengenalnya, akan tetapi dia tidak dapat memastikan siapakah wanita ini. Setelah rebah, dia memutar leher dan memandang. Seorang gadis cantik jelita sedang sibuk mendayung perahu itu.

Gadis itu memandangnya dengan bibir tersenyum dan mata bersinar-sinar. Mata itu! la tidak mengenal wajah ini, akan tetapi dia mengenal benar mata itu. Di mana gerangan? Dan suara itu! Payah Yo Wan mengingat-ingat, namun dia tetap tidak tahu di mana dan bila mana dia pernah mendengar suara ini dan melihat mata itu. Rasa panas terasa menyesakkan nafasnya.

"Uhh-uhhh... panas... haus...," bisiknya.

Gadis itu dengan gerakan perlahan menancapkan sebatang bambu panjang ke bagian yang dangkal di pinggir sungai dan perahu itu kini terikat pada bambu. Kemudian dia menghampiri Yo Wan.

"Haus? Minumlah ini, jangan banyak-banyak. Kau sedang terserang demam, akan tetapi tidak berbahaya, jangan khawatir. Nanti setelah tiba di hutan Jeng-hwa-lim (Hutan Seribu Bunga), di sana banyak tanaman obat untuk mengusir demam, juga untuk menghentikan keluarnya darah. Karena itu, biar sementara kita diamkan anak panah itu, sesampainya di sana baru dicabut."

Gadis itu bicara dengan halus dan ramah seakan-akan mereka sudah menjadi kenalan baik sejak bertahun-tahun. Tiada canggung, tiada keraguan, tidak sungkan-sungkan lagi. Siapakah gadis jelita ini? Matanya begitu tajam dan bening, bersinar-sinar seperti bintang pagi yang pada saat itu masih berkedap-kedip di angkasa, menghias pagi yang sangat dingin. Hidungnya kecil mancung, menjadi imbangan yang amat manis dari bibirnya yang lunak, merah dan berbentuk indah.

"Kau siapakah, Nona?" Tak tahan lagi Yo Wan bertanya, matanya memandang wajah itu, akan tetapi keningnya berkerut-kerut menahan sakit.

Sebelum menjawab, gadis itu mengulurkan tangan kanannya. Gerakan kecil ini membuat ujung lengan bajunya tersingkap sehingga tampaklah lengannya yang berkulit putih halus sampai ke siku membayang di balik lengan baju. Jari-jemarinya kecil meruncing dengan kuku mengkilap terpelihara.

Tangan halus itu dengan gerakan lembut dan mesra menyentuh kening Yo Wan seperti biasanya orang hendak melihat panas seorang terserang demam. Kemudian dicabutnya sehelai sapu tangan merah muda dari balik bajunya dan dihapusnya kening yang penuh keringat itu, terus ke pipi dan leher Yo Wan.

Walau pun sedang menderita demam dan sakit, perbuatan ini membuat jantung Yo Wan berdebar jengah dan malu. Siapakah gadis jelita ini yang begini mesra dan begini telaten merawatnya?

"Kau... kau siapa...?" tanyanya lagi.
"Kau minum dulu ini, bukankah tadi kau bilang haus?" kata si gadis yang tanpa ragu-ragu menyorongkan lengan kirinya yang kecil ke bawah leher Yo Wan dan mengangkat kepala pemuda itu sedikit ke atas, kemudian tangan kanannya mendekatkan sebuah cawan ke mulut Yo Wan.

Pemuda ini merasakan hal yang luar biasa aneh di dalam hatinya. Seluruh isi dadanya serasa bergejolak, darahnya berdenyar-denyar dan bergelora. Betapa tidak? Meski pun usia Yo Wan sudah cukup dewasa, sudah dua puluh delapan tahun, akan tetapi baru kali ini lehernya dirangkul lengan seorang wanita!

Kepalanya seakan-akan bersandar kepada pundak dan dada orang, hidungnya mencium aroma harum yang asing baginya, dan hampir saja dia tidak sanggup menelan air yang diminumnya karena tenggorokannya serasa tercekik. Namun, sebagai seorang ahli tapa, dia dapat menenteramkan hatinya dan walau pun dia sedang menderita sakit, dia dapat merasakan betapa lengan kiri yang lembut dan kecil halus itu mengandung tenaga yang hebat!

"Siapakah kau, Nona?" tanyanya lagi setelah gadis itu merebahkannya kembali.

Si gadis tersenyum. Dekik kecil pada ujung mulut sebelah kiri membuatnya manis sekali. Dekik pipi kiri ini mengingatkan Yo Wan akan sesuatu, akan tetapi dia tidak tahu benar apa dan siapakah ‘sesuatu’ itu. Hanya saja dia merasa pasti bahwa dekik ini bukan baru sekarang dia lihat!

"Apakah kau tidak bisa menduga? Aku adalah adik dari ketua Kipas Hitam! Kau terluka dan hampir saja celaka di laut. Kakakku menolongmu, kemudian menyerahkan kepadaku untuk merawatmu sampai sembuh."

Yo Wan memandang penuh perhatian. Salahkah dugaannya? Apakah betul Yosiko ketua Kipas Hitam itu mempunyai seorang adik perempuan? Wajahnya serupa benar dan kini teringatlah dia bahwa sinar mata serta dekik pada ujung mulut itu dia lihat pada wajah Yosiko! Hemmm, gadis ini adalah Yosiko sendiri, dia hampir merasa pasti akan hal itu.

Hanya ada sebuah kemungkinan lagi, yaitu bisa juga gadis ini adiknya, akan tetapi adik kembar. Hanya adik kembar yang bisa mempunyai persamaan seperti ini, bagai pinang dibelah dua. Akan tetapi, andai kata benar adiknya, mengapa begini hebat? Sebaliknya, apa bila gadis ini adalah Yosiko sendiri, mengapa harus seaneh ini sikapnya?

la tidak mau meributkan soal itu, mengingat akan keadaannya. Akan tetapi dia pun tidak mau berhutang budi kepada kepala bajak. Dengan menahan rasa sakit, Yo Wan bangun lagi, tidak peduli akan cegahan gadis itu.

"Ehh, jangan bangun... kau mau apa...?" Gadis itu bertanya, memegang lengannya.
"Aku... aku harus pergi dari sini."
"Ehh, jangan! Kau masih terluka hebat, racun di pundakmu belum keluar habis, dan anak panah itu berbahaya sekali. Kau hendak pergi dari sini, pergi kemanakah?"
"Aku harus menolong muda-mudi dari Lu-liang-san. Di manakah mereka? Dan apa yang terjadi?"

Kini mereka duduk berhadapan di atas perahu dan terlihatlah kini dengan jelas oleh Yo Wan bahwa gadis di depannya itu benar cantik jelita, akan tetapi pada wajah yang elok itu terbayang sifat liar dan terbuka, bebas dan lincah seperti terdapat pada wajah Siu Bi si gadis liar dari Go-bi-san.

Gadis ini masih muda, tak akan lewat dua puluh tahun usianya. Melihat kulit muka serta kulit tangan yang agak gelap dapatlah diduga bahwa gadis ini banyak berada di alam terbuka, banyak terkena cahaya matahari. Bagian yang paling menarik pada wajahnya adalah mata dan mulutnya.

Mendengar pertanyaan Yo Wan tentang muda-mudi dari Lu-liang-san, segera mata gadis itu berkilat. "Bocah-bocah kurang ajar itu! Menyesal kenapa aku tidak membunuh mereka saja. Hemmm, semestinya kakakku membunuh mereka dan melempar mayat mereka ke laut agar menjadi makanan ikan hiu ketika mereka kena tawan!"

Yo Wan mengerutkan kening. Gadis ini benar-benar seperti Siu Bi, liar dan ganas. Akan tetapi ucapan itu melegakan hatiriya, karena dalam kegemasannya gadis itu sudah jelas menyatakan bahwa muda-mudi Lu-liang-san itu tidak tewas, malah mungkin telah bebas. Kelegaan hati ini membuatnya tersenyum, akan tetapi karena pundaknya tiba-tiba terasa nyeri, senyumnya menjadi senyum menyeringai masam.

"Apa yang terjadi? Siapakah orang-orang di dalam perahu yang menyerang kita... ehhh, yang menyerang aku dan... kakakmu?"
"Mereka adalah orang-orang yang dipimpin oleh Jenderal Bun di Tai-goan, dipimpin oleh putera jenderal itu sendiri. Mereka berusaha hendak menangkap... kakakku. Hemmm, tikus-tikus itu mana mampu menangkap ketua Kipas Hitam? Apa lagi membasmi Kipas Hitam! Kau lihat saja betapa kami akan menghancurkan mereka nanti."

Diam-diam Yo Wan terkejut. Kiranya mereka yang menyergap dia dengan Yosiko, yang sudah melukai pundaknya, adalah orang-orang pemerintah yang bermaksud membasmi bajak laut. Dan di dalam kegelapan malam tentu saja dia yang bersama-sama dengan Yosiko disangka bajak pula! Diam-diam dia mengeluh.

"Dan mereka itu, muda-mudi Lu-liang-san itu, bagaimana dengan mereka?"
"Uhh, mereka? Biar mereka itu dimakan setan neraka. Mereka sudah bergabung dengan orang-orang Tai-goan, menyebar kematian di antara anak buah kami. Awas bila mereka terjatuh ke tanganku!"
Yo Wan girang sekali. Tak salah dugaannya dan tidak salah pula ketika dia membantu muda-mudi Lu-liang-san itu. Mereka merupakan pendekar-pendekar muda yang perkasa, sedangkan Yosiko, dan... adiknya ini kalau benar adiknya, serta semua anak buahnya adalah bajak laut-bajak laut yang ganas dan patut dibasmi.

Berpikir demikian, tiba-tiba saja dia merasa malu. Mengapa dia harus membiarkan dirinya dirawat oleh seorang pemimpin bajak laut? Bila para pendekar kang-ouw mengetahui hal ini, alangkah akan rendah dan malunya. Pikiran ini membuat dia serentak bangkit.

Gadis itu kaget. "Ehh, mau apa kau? Mau ke mana?"
"Aku harus pergi dari sini! Harus!" la mengeluh karena pundak kirinya sakit sekali.

Dengan tangan kanan dia meraba ke belakang pundak kirinya, memegang gagang anak panah dan mengerahkan tenaga mencabutnya. Anak panah itu tercabut, darah muncrat keluar dan gadis itu menjerit berbareng dengan robohnya tubuh Yo Wan, pingsan di atas perahu!

Gadis itu cepat menerima tubuhnya sehingga tidak sampai terbanting, kemudian dengan cekatan dan kelihatan ringan sekali dia memondong tubuh Yo Wan ke darat dan berlari-larilah gadis itu menuju ke sebuah hutan yang penuh dengan bunga, hutan Jeng-hwa-lim.

Bagaikan berlarian di dalam taman bunga miliknya sendiri, gadis itu dengan cepatnya menuju ke sebuah goa yang berada di hutan ini. Indah sekali tempat ini. Letaknya tepat di tepi Sungai Kuning yang terjun ke dalam air Laut Po-hai, sungguh lembah yang subur dan indah. Air sungai yang amat tenang itu mengalir tak jauh di depan goa.

Apa yang diceritakan oleh gadis itu kepada Yo Wan memang tidak bohong. Orang-orang di dalam perahu-perahu sunyi gelap pada malam hari itu, bukan lain adalah orang-orang Bun-goanswe yang sedang berusaha untuk membasmi dan menangkap ketua bajak laut, dipimpin langsung oleh Bun Hui, pemuda putera Bun-goanswe yang tampan dan gagah perkasa.

Ada pun Hwat Ki dan Cui Kim, ketika sadar dari pada pengaruh obat memabukkan di dalam gedung tempat tinggal ketua Kipas Hitam, kembali dirobohkan oleh Yo Wan yang menyelamatkan mereka dari sambaran senjata-senjata rahasia ampuh serta berbahaya yang dilontarkan oleh si ketua Kipas Hitam.

Namun sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, Hwat Ki dan sumoi-nya sudah meloncat bangun lagi. Mereka tahu bahwa pemuda sederhana yang membantu mereka itu sudah terluka dan kini mengejar Yosiko, maka serentak mereka berdua pun meloncat melakukan pengejaran.

Akan tetapi begitu tiba di depan gedung, mereka dihadang oleh banyak sekali anak buah bajak laut Kipas Hitam yang bersenjata lengkap. Kemarahan Hwat Ki dan sumoi-nya lalu memuncak. Mereka tadi telah memungut pedang masing-masing dan kini sambil berseru marah muda-mudi Lu-liang-pai ini mengamuk. Pedang mereka berkelebatan seperti dua ekor naga sakti yang menyambar-nyambar.

Akan tetapi, para pengeroyok mereka ternyata bukan orang-orang sembarangan pula. Barisan bajak yang mengeroyok mereka berdua dipimpin oleh tiga orang kakek yang tadi dikalahkan Yo Wan. Karena maklum bahwa yang hendak dikeroyok adalah dua orang muda perkasa, maka yang maju adalah anggota-anggota bajak laut pilihan yang sedikit banyak sudah memiliki kepandaian silat lumayan.

Seorang demi seorang para bajak laut itu mulai roboh. Namun yang datang membantu jauh lebih banyak dari pada yang roboh, sedangkan muda-mudi Lu-liang-pai ini masih agak pening akibat pengaruh racun tadi. Karena itu keduanya lalu beradu punggung dan mempertahankan diri dari hujan senjata dari kanan kiri. Mereka masih dapat merobohkan seorang dua orang, akan tetapi tidak mampu keluar dari kepungan yang makin tebal itu.

Agaknya para bajak sudah mendapat instruksi dari atasannya untuk bertahan sampai dua orang itu dapat ditangkap atau dibunuh. Keadaan ini bukan tidak berbahaya. Hwat Ki maklum pula akan hal ini maka sambil mengeluarkan teriakan keras dia menubruk maju, tangan kirinya menggunakan pukulan-pukulan Jing-tok-ciang sehingga terdengar pekik berturut-turut ketika empat orang roboh oleh pukulan dahsyat ini!

Akan tetapi, pukulan yang dahsyat dan berhasil baik ini ternyata malah mendatangkan mala petaka, karena tiga orang kakek itu yang melihat akan hebatnya Jing-tok-ciang, lalu memberi aba-aba dan kini para bajak menggunakan obor untuk mengurung Hwat Ki dan Cui Kim!

Pucat wajah kakak beradik seperguruan ini. Menghadapi senjata-senjata tajam dari para pengeroyok, mereka masih mampu mempertahankan diri. Akan tetapi kalau sedemikian banyaknya pengeroyok menggunakan api untuk menyerang, celakalah mereka!

"Sumoi, terjang ke kiri, cari jalan keluar melalui darah mereka!" teriak Hwat Ki kepada adik seperguruan itu.

la mendapat akal untuk menggabung tenaga menerjang ke kiri, membuka jalan berdarah. Cui Kim mengerti akan maksud suheng-nya, karena itu dia segera memutar pedangnya sedemikian cepat sehingga seorang pengeroyok yang tidak sempat menangkis, terbabat putus bahu kiri berikut lengannya. Orang itu menjerit ngeri dan roboh.

Akan tetapi Cui Kim terpaksa kembali meloncat mundur karena ada empat orang yang menyorongkan obor kepadanya. la merasa ngeri juga dan takut. Api adalah benda yang amat berbahaya, sekali mencium ujung pakaiannya, akibatnya tentu amat mengerikan.

Hwat Ki juga berhasil merobohkan dua orang, akan tetapi para bajak itu ternyata dipimpin oleh orang-orang yang pandai juga, karena agaknya mereka tahu akan niat dua orang muda ini sehingga begitu mereka berdua menerjang ke kiri, bagian ini diperkuat sehingga sukarlah untuk membobolkannya.

"Gunakan jala!" Tiba-tiba terdengar perintah dan para bajak itu kini menyeret jala ikan.

Ketika mereka mulai menggunakan benda ini, Cui Kim dan Hwat Ki makin kaget. Kiranya jala ikan itu mereka lemparkan ke arah kaki kakak beradik ini. Hwat Ki dan Cui Kim cepat meloncat, akan tetapi obor-obor menyala menyambut mereka sehingga terpaksa mereka turun lagi menginjak jala. Bisa dibayangkan sukarnya orang bersilat di atas jala-jala ikan yang malang-melintang.

Mendadak terdengar Cui Kim memekik karena gadis ini terlibat kakinya dan terguling! Seorang bajak laut cepat menubruk maju. Para bajak yang terdiri dari orang-orang kasar dan liar itu di dalam hatinya saling berlomba untuk dapat menangkap si gadis cantik dari Lu-liang-san supaya sebelum menyerahkannya kepada ketua, mereka bisa memuaskan kekurang ajaran mereka.

Bajak yang menubruk maju ini berseru girang. Dia merasa menang dalam perlombaan ini sebab dapat lebih dulu memeluk Cui Kim. Akan tetapi seruan girang itu berubah seketika menjadi pekik mengerikan ketika lehernya ditembusi pedang yang berada di tangan Cui Kim.

Sebagai seorang murid Lu-liang-pai yang terkasih, tentu saja gadis ini bukanlah seorang gadis sembarangan. Meski pun dia sudah terlibat dan jatuh terguling, akan tetapi dalam robohnya dia sudah langsung membalikkan tubuh dan bersiap dengan pedangnya. Maka begitu ada bajak yang menubruknya, pedangnya bergerak dan berhasil menusuk tembus leher si bajak sehingga bajak itu seketika lantas tewas sambil membawa nafsu kekurang ajarannya ke neraka!

Cui Kim kaget sekali ketika pedangnya sukar dicabut kembali. Agaknya pedang ini sudah menembus tulang, maka tidak begitu mudah dicabut. Padahal pada saat itu, tiga orang bajak yang melihat kawannya mati dalam keadaan mengerikan, segera maju dengan obor dan golok di tangan.

Cui Kim sudah meramkan mata menunggu datangnya sang maut. Akan tetapi ia segera membuka matanya kembali ketika di sampingnya roboh berdebukan tiga orang bajak laut itu. Cepat ia bangkit berdiri dan sekuat tenaga menarik pedangnya, sambil melirik girang kepada suheng-nya yang dapat menolongnya dalam waktu yang tepat sekali. Akan tetapi suheng-nya sudah terlihat lelah sekali, juga dia merasa amat lelah biar pun kini berhasil membebaskan kakinya dari libatan jala.

Pada saat kedua orang jago muda dari Lu-liang-pai ini amat terancam kedudukannya, mendadak terdengar sorak-sorai yang riuh-rendah dan kacaulah barisan para bajak laut. Mereka yang mengeroyok Hwat Ki dan Cui Kim makin berkurang dan akhirnya sisa dari mereka yang roboh tewas, membuang obor mereka dan melarikan diri, menghilang ke dalam gelap setelah terdengar tanda suara seperti terompet.

Apakah yang terjadi? Selagi Hwat Ki dan Cui Kim menduga-duga dengan hati lega akibat terbebas dari pada bahaya, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang memegang pedang yang berlepotan darah.

"Saudara Hwat Ki...! Syukur kau dan sumoi-mu selamat...!"
"Eh, Bun-lote (adik Bun)! Kiranya kau yang menolong kami? Dengan siapa kau datang?" kata Hwat Ki gembira ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Bun Hui.
"Bersama pasukan khusus dari Tai-goan, dibantu pasukan dari Cin-an! Bajak laut Kipas Hitam itu harus dibasmi, mereka mengganas di mana-mana. Kau melihat ketuanya? Di mana dia?"
"Lari, tadi dikejar oleh saudara baju putih yang lihai sekali. Mudah-mudahan tertangkap," kata Hwat Ki.
"Ke mana larinya?"
"Ke sana!" kata Cui Kim yang juga girang melihat putera jenderal ini, yang pernah dia jumpai ketika pemuda itu naik ke puncak Lu-liang-san untuk bertemu dengan suhu-nya.
"Mari kita kejar!"

Mereka bertiga mengejar ke luar dan ternyata di sekitar tempat itu sudah penuh dengan anak buah yang dibawa Bun Hui. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi laut di mana anak buah Bun Hui dengan perahu-perahu mereka mengepung Yosiko, mereka kecewa sekali mendengar betapa ketua Kipas Hitam itu berhasil melenyapkan diri sambil menyelam.

Yang amat khawatir dan kaget hatinya adalah Hwat Ki dan Cui Kim. Mereka mendengar dari orang-orang kerajaan ini bahwa mereka berhasil memanah seorang pemuda, entah ketua Kipas Hitam entah bukan karena tadinya ada dua orang pemuda yang berenang seakan-akan berkejaran atau hendak melarikan diri. Hwat Ki dan sumoi-nya khawatir, jangan-jangan penolong mereka itu yang terkena anak panah!

Mereka semua terus melakukan pengejaran dan mencari-cari. Hwat Ki serta sumoi-nya memisahkan diri, juga mereka berdua mencari. Kalau Bun Hui dan para anak buahnya mencari jejak para bajak laut yang hendak mereka basmi, adalah kedua orang muda dari Lu-liang-san ini mencari jejak pemuda baju putih yang telah menolong mereka.

Mereka berdua dapat membayangkan betapa bahayanya keadaan mereka ketika mereka roboh oleh makanan yang mengandung racun. Mereka sudah pingsan dan tidak berdaya sama sekali. Entah apa yang akan dilakukan oleh ketua Kipas Hitam pada mereka dalam keadaan pingsan itu. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya kalau saja tidak muncul pemuda baju putih yang begitu aneh, yang tadinya sudah mereka lihat di dalam restoran di dusun Leng-si-bun.

Melihat cara pemuda pakaian putih itu menggempur Yosiko dan membuat ketua Kipas Hitam itu terdesak hebat, sudah membuktikan bahwa pemuda baju putih itu lihai bukan main. Mereka mencari terus, mencari di sepanjang lembah Huang-ho, menyusuri pantai Sungai Kuning ini…..

********************

Sementara itu, Yo Wan sadar dari pingsannya. Tubuhnya terasa enak dan nyaman, akan tetapi lemas sekali. Segera dia ingat akan segala peristiwa yang menimpa dirinya, maka cepat-cepat dia membuka matanya.

Heran dia ketika mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan yang terbuat dari kayu kasar sederhana, dan berada di dalam sebuah goa yang gelap. Akan tetapi harus dia akui bahwa goa ini bersih sekali, kering dan dari luar masuk bau semerbak harum dibawa oleh siliran angin.

Ketika melihat tubuhnya, dia merasa heran sekali karena bajunya sudah terganti dengan baju baru yang berwarna putih, terbuat dari sutera. Baju ini bersih dan baru, jauh berbeda dengan bajunya sendiri yang sudah agak kumal. Juga sepatunya yang lenyap ketika dia bergumul dengan Yosiko di dalam laut, kini telah mendapat penggantinya berupa sepatu baru yang mengkilap.

Yo Wan terheran-heran. Tentu gadis adik Yosiko itu yang memberi semua ini, karena dia sudah teringat akan peristiwa di atas perahu. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah sekali. Tidak mungkin! Siapa yang menggantikan pakaiannya selagi dia pingsan? Apakah gadis jelita itu?

Teringat akan ini, Yo Wan melompat bangun, jantungnya berdebar-debar. Dia mengeluh karena merasa jantung serta isi dadanya seakan-akan ditusuk-tusuk pisau. Tiba-tiba dia terbatuk dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya.

Terdengar suara kaki berlari-lari ringan memasuki goa. Gadis jelita itu masuk, bagaikan dewi, akan tetapi yang sedang cemas. Matanya yang indah terbelalak, kedua tangannya berkembang, dan mulutnya yang kecil berseru kaget.

"Ahh, kau sudah sadar... jangan berdiri, berbaringlah dulu. Yo Wan, kau terluka parah...!"

Hanya dengan pengerahan tenaga dalamnya Yo Wan sanggup menahan dorongan dari dalam untuk batuk dan muntah darah. Dia terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa dia benar-benar telah menderita luka yang hebat di sebelah dalam tubuhnya.

Akan tetapi dia merasa malu apa bila harus berbaring lagi, malu karena gadis ini sudah menggantikan pakaiannya. Sungguh tak tahu malu! Wajahnya menjadi merah sekali dan hampir dia tidak berani menentang pandang mata itu.

"Aku... aku harus pergi..." Dia memaksa bibirnya berkata demikian, sungguh pun hatinya merasa tidak enak. Gadis itu sudah begitu baik padanya, agaknya sudah mengobati luka di pundaknya karena pundak itu tidak terasa sakit lagi.

Dengan tenang tetapi ramah dan bebas, gadis itu melangkah dekat, memegang tangan Yo Wan sambil menuntunnya setengah memaksa, duduk di atas pembaringan kayu. Yo Wan merasa halusnya kulit tangan. Kehangatan yang keluar dari jari-jari tangan kecil itu menjalari seluruh tubuhnya, membuat dia menjadi makin bingung dan memaksa dirinya untuk tidak membantah.

"Yo Wan, ketahuilah. Biar pun luka di pundakmu sudah tidak berbahaya lagi, akan tetapi agaknya anak panah itu terlalu dalam menghujam di tubuhmu, mungkin melukai bagian penting dalam dadamu. Tadi kau muntahkan banyak darah, sudah kubersihkan, terpaksa kuganti pakaianmu dengan pakaian bersih. Tetapi sekarang kau batuk-batuk lagi, maka kau berbaringlah! Aku bukan ahli pengobatan, akan tetapi aku juga maklum bahwa dalam keadaan seperti ini, tak baik kau mengerahkan tenaga dan menggerakkan tubuh. Lebih baik kau berbaring, biar kuberi minuman yang mengandung khasiat menguatkan tubuh, kemudian akan mencari seorang tabib yang pandai untuk mengobatimu."

Mendengar ucapan ini, diam-diam Yo Wan kaget dan bingung. Omongan gadis ini sama sekali tidak mengandung maksud buruk, bahkan amat baik dan membuat dia berhutang budi.

"Kenapa... kenapa kau melakukan hal ini kepadaku?" tanyanya, suara lemah, akan tetapi karena maklum akan kebenaran kata-kata gadis itu, dia tidak ingin membantah lagi dan membaringkan tubuhnya.

Gadis itu memandang kepadanya, agaknya terheran mengapa Yo Wan masih bertanya macam itu. Akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, tiba-tiba warna merah menjalar ke arah kedua pipi sampai ke telinga, dan... aneh sekali, gadis itu menundukkan muka sambil menyembunyikan senyum dikulum.

Apa-apaan ini, pikir Yo Wan, namun jantungnya berdebar lagi sehingga cepat-cepat dia harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaannya yang berdebar dan yang akan menjadi bahaya bagi keselamatannya.

"Yo Wan, kau telah mengalahkan ketua Kipas Hitam, ingatkah? Kepandaian kakakku itu bukan apa-apa bagimu, kau jauh lebih lihai, bahkan sepuluh kali lipat lebih lihai dari pada kakakku. Karena itu, sudah sewajarnya dan seharusnya kalau aku merawatmu."

Yo Wan meramkan matanya, mengingat-ingat. Teringat dia akan ucapan Yosiko ketika hendak bertanding menghadapi Hwat Ki. Yosiko menyatakan bahwa adik perempuannya menghendaki jodoh yang mampu mengalahkan Yosiko! Dan kini, adik Yosiko ini agaknya kagum akan kepandaiannya.

Celaka! Hampir Yo Wan melompat bangun, kalau saja dia tidak merasa betapa dadanya yang sebelah kiri sakit sekali. Ini hanya berarti bahwa gadis liar dan bebas ini... sudah memilihnya sebagai calon jodoh!

Ah, gerak-gerik gadis ini! Sepasang mata dan senyum itu! Salahkah dugaannya bahwa Yosiko ketua Kipas Hitam adalah penyamaran gadis ini? Akan tetapi mengapa gadis ini mengaku sebagai adiknya ketua Kipas Hitam? Andai kata betul gadis ini adiknya, dapat dipastikan bahwa mereka tentulah saudara kembar, karena wajah serta gerak-geriknya serupa benar. Hanya pakaian saja yang berbeda!

Sambil berbaring di atas dipan kayu itu, Yo Wan mengingat-ingat. Hatinya girang kalau dia teringat akan muda-mudi dari Lu-liang-san itu, terutama melihat betapa Tan Hwat Ki, cucu Raja Pedang, ternyata adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, patut menjadi cucu Raja Pedang, patut menjadi keponakan... Cui Sian! Berpikir sampai sini, mendadak saja semua lamunannya lenyap, yang nampak dan teringat hanyalah gadis puteri Raja Pedang itu, Cui Sian!

"Kenapa? Sakit sekalikah rasanya? Kau mengasolah, biar besok aku pergi mengundang seorang tabib yang pandai."

Yo Wan tidak menjawab, hanya mengangguk, akan tetapi keningnya berkerut. Dia sudah dirawat oleh keluarga bajak laut yang mengganas di pesisir Laut Po-hai! Dia berada di tangan orang jahat, akan tetapi ‘orang jahat’ itu justru merawat lukanya akibat serangan anak panah seorang anggota pasukan pemerintah!

Gadis ini amat mencurigakan. Apa alasannya merawat dia yang terang-terang memusuhi ketua Kipas Hitam? Tak mungkin! Gadis ini amat cantik jelita, dan kalau benar adik ketua Kipas Hitam, berarti seorang yang memiliki kedudukan, meski pun hanya menjadi ketua Hek-san-pang.

Mana mungkin seorang gadis jelita seperti ini mencintainya! Lalu apa pula kehendaknya? Merawat seorang musuh. Tentu ada apa-apanya yang tersembunyi di balik perawatan ini. Mendadak dia merasa amat mengantuk. Rasa kantuk yang tak tertahankan. Ingat dia akan obat yang diminumnya tadi, yang diminumkan oleh gadis itu.

Kecurigaannya makin menebal. Jangan-jangan dia sudah diberi minum obat bius. Ia ingin melompat dan menangkap gadis itu, lalu memaksanya membuat pengakuan. Akan tetapi rasa kantuknya tak dapat dia tahan lagi dan di lain saat Yo Wan sudah jatuh pulas.

Suara orang bercakap-cakap dengan bisikan-bisikan lirih membuat Yo Wan tersadar dari tidurnya. Akan tetapi Yo Wan tidak segera membuka mata, melainkan memperhatikan percakapan itu dengan rasa heran. Ada dua orang berbicara, seorang adalah gadis yang merawatnya, yang seorang lagi tentu seorang wanita pula, suaranya merdu dan tekanan kata-katanya tegas.

"Dia kelihatan lemah, aku tidak percaya...," kata suara ke dua.
"Pernahkah aku membohong?" kata suara si gadis, manja dan marah. "Dia amat hebat, kau sendiri tidak akan mampu menang..."
"Hemmm, sebelum mencoba, mana aku bisa percaya obrolanmu?"

Yo Wan membuka sedikit pelupuk matanya. Dari balik bulu matanya dia melihat pakaian-pakaian bergantungan di atas, agaknya pakaian-pakaian yang baru habis dicuci. Terlihat olehnya pakaiannya sendiri, dan pakaian sutera putih, pakaian Yosiko!

Ahhh, lagi-lagi pakaian ketua Kipas Hitam! Kalau pakaiannya berada di sini, bahkan bisa memberi pinjam pakaian kepadanya, orangnya tentu di sini pula. Dan siapa lagi kalau bukan gadis ini orangnya?

"Dia tidak tampan sekali, juga tidak muda lagi, sedikitnya enam tujuh tahun lebih tua dari padamu... hemmm, aku khawatir kau salah pilih..."
"Lihat, dia sadar..."
"Biar kucoba dia!"

Yo Wan cepat-cepat mempergunakan ginkang-nya untuk membuang tubuhnya dari atas pembaringan pada saat dia mendengar desir angin pukulan yang menggetar-getar. Angin pukulan itu tidak mengenai dirinya, hanya menyambar pembaringan kayu, akan tetapi tidak menimbulkan kerusakan pada pembaringan itu, melainkan tikar yang menjadi tilam pembaringan seperti tertiup angin.

Diam-diam Yo Wan terkejut. Lweekang wanita itu hebat, akan tetapi jelas bahwa wanita itu tidak mengirimkan pukulan maut. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan mencoba atau mengujinya!

Cepat dia membalikkan tubuh dan memandang. Kiranya di samping gadis itu telah berdiri seorang wanita setengah tua yang cantik pula, sikapnya kereng, kedua matanya amat tajam membayangkan kekerasan hati, bentuk mukanya serupa benar dengan gadis itu, dan di punggung wanita setengah tua ini tersembul gagang sebuah pedang.

Yang amat berbeda dengan gadis itu adalah pakaiannya. Kalau gadis itu mengenakan pakaian serba putih dengan hiasan warna merah muda, pakaian wanita setengah tua itu berwarna serba hitam.

Yo Wan hendak bertanya, akan tetapi dia tidak diberi kesempatan lagi karena wanita itu telah menerjangnya dengan pedang di tangan. Serangan-serangannya sangat hebat dan ganas, namun amat indah seperti orang menari-nari.

Menyaksikan ilmu pedang ini, jantung Yo Wan lantas berdebar. Ilmu pedang yang hebat! Serupa benar dengan ilmu pedang yang pernah dilihatnya dalam permainan pedang Cui Sian. Indah bagaikan tarian, namun mengandung daya serang yang sangat ganas! Dan gerakan kaki itu! Jelas adalah inti dari Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te, yang merupakan cabang dari Ilmu Langkah Kim-tiauw-kun. Siapakah wanita ini?

Karena dia bertangan kosong, Yo Wan terpaksa memainkan langkah-langkah ajaib untuk menyelamatkan diri. Ruangan dalam goa itu remang-remang, hanya diterangi oleh sinar penerangan pelita sumbu minyak sederhana, maka untuk menyelamatkan diri tak cukup mengandalkan penglihatan yang menjadi silau oleh berkelebatnya kilatan pedang.

Namun Yo Wan telah memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan perasaannya yang peka serta pendengarannya yang amat tajam dia dapat mengetahui dari mana senjata lawan menyambar dan bagaimana sifat-sifat penyerangan lawannya yang cukup lihai ini.

Berkali-kali wanita setengah tua itu mengeluarkan ucapan heran menyaksikan betapa Yo Wan selalu dapat menghindarkan serangannya, dan dari sikap heran menjadi penasaran, kemudian menjadi marah. Hal ini terbukti pada serangannya yang semakin gencar dan sungguh-sungguh, bahkan kini setiap sambaran pedangnya merupakan jurus-jurus maut.

Yo Wan terkejut dan khawatir. Dia merasa betapa nyeri di dalam dadanya masih hebat, punggungnya terasa panas dan setiap gerakan yang membutuhkan pengerahan tenaga agak banyak, terasa darah segar naik ke kerongkongannya. Dia maklum bahwa untuk membalas serangan wanita yang galak ini, tidak mungkin tanpa membahayakan lukanya sendiri. Maka, terpaksa dia hanya dapat mengelak dan seratus prosen mengandalkan keampuhan langkah-langkah ajaib Si-cap-it Sin-po.

Masih untung bagi Yo Wan bahwa ruangan dalam goa itu cukup luas sehingga dengan leluasa dia dapat mainkan Si-cap-it Sin-po. Dan lebih untung lagi bahwa wanita setengah tua ini agaknya hanya paham Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te yang tentu saja tidak seluas Si-cap-it Sin-po yang mempunyai ragam sebanyak empat puluh satu langkah. Hui-thian Jip-te hanya mempunyai dua puluh empat langkah.

Dengan demikian, maka sebegitu jauh Yo Wan selalu masih dapat meloloskan diri, biar pun kadang-kadang dia seperti sudah terkurung dan hanya mampu lolos melalui lubang jarum! Makin lama gerakan Yo Wan makin lemah karena rasa nyeri dalam dada dan di punggungnya makin menghebat. Dia telah mempertahankan diri sampai lebih dari lima puluh jurus, selalu diserang tanpa dapat membalas kembali.

"Cukup!" teriak si gadis dengan suara gelisah. "Dia dapat mempertahahkan diri sampai puluhan jurus, padahal dia terluka hebat di punggungnya, dan racun masih belum bersih betul! Bukankah itu sudah luar biasa sekali? Mana ada orang lain yang dapat menahan seranganmu sampai puluhan jurus dengan tangan kosong?"

Akan tetapi wanita setengah tua itu agaknya sudah terlanjur marah dan penasaran. Dia hanya mengeluarkan suara mendengus dengan hidungnya, pedangnya terus mendesak dan melancarkan serangan yang hebat.

Ketika itu Yo Wan sudah merasa pening kepalanya dan pandang matanya kabur. Pada waktu melangkah mundur, kakinya tertumbuk pembaringan sehingga tubuhnya terguling. Pedang di tangan wanita setengah tua itu menyambar ke arah lehernya.

"Tranggggg...!" Pedang itu tertangkis oleh pedang di tangan si gadis.
"Masa kau hendak berlaku curang terhadap dia?" Gadis itu memekik.

Si wanita setengah tua melompat mundur, lalu mendengus marah, "Hemmm, biarkan dia sembuh dan beri dia senjata. Dia harus bisa mengalahkah aku, baru hatiku puas!"

Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan melompat keluar dari dalam goa itu. Gadis itu menarik napas panjang dan melemparkan pedangnya ke atas meja.

Yo Wan sudah bangkit kembali dan dengan hati penuh kemarahan dia melompat maju, lalu menangkap tangan kanan gadis itu.

"Apa artinya semua ini? Siapa wanita itu tadi? Hayo kau lekas mengaku semuanya dan apa maksudmu menahan dan pura-pura menolongku di sini! Lekas kau mengaku, kalau tidak...!"

Gadis itu tersenyum manis. Bukan main cantiknya wajah di depan Yo Wan itu. Matanya terbuka, terbelalak lebar seperti orang kaget dan heran, mulutnya agak terbuka, dan dari balik sepasang bibirnya yang merah basah dan mungil itu terdengar suara seperti orang menahan tawa. Dia sama sekali tidak melawan ketika tangannya dipegang, bahkan dia merapatkan tubuhnya.

"Yo Wan, kau hebat! Dengan tangan kosong kau..."
"Cukup! Tak perlu kau melanjutkan permainan sandiwara ini. Hayo katakan semua, kalau tidak...!"
"Ihhh... dua kali kau bilang kalau tidak! Kalau tidak... kau mau apa sih?"
"Hemmm, biar pun kau sudah menolongku, mungkin pertolongan palsu, kalau kau tidak mau berterus terang, aku... aku akan mematahkan tanganmu ini!"

Mulut Yo Wan memang berkata demikian, akan tetapi hatinya ragu apakah ia akan tega merusak tangan yang berkulit halus dan hangat itu, apakah dia akan sanggup menyakiti gadis yang sejak bertemu telah menolong dan merawatnya ini.

Gadis itu semakin merapatkan tubuhnya sarnpai mukanya hampir menempel di dada Yo Wan. "Kau... betul-betul hendak mematahkan tanganku?"

"Kalau kau tidak berterus terang!"
"Wah, kau benar-benar amat tega..."

Ketika itu keduanya hampir berbareng merenggutkan tubuh masing-masing, melangkah mundur, bahkan si gadis cepat menyambar pedangnya dan melompat ke arah pintu goa itu. Tampak berkelebat bayangan orang yang amat gesit di luar goa itu.

Akan tetapi ketika si gadis mengejar, bayangan itu telah lenyap. Dengan muka berkerut gadis itu kembali ke dalam goa.

"Siapa?" tanya Yo Wan. Gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Agaknya yang akan berani mengintai ke sini tentu hanya ibu seorang, akan tetapi kalau ibu tak mungkin melakukan perbuatan seperti pencuri begitu."

Yo Wan menarik napas panjang. "Nona, kuharap kau tidak mempermainkan aku lagi dan sukalah kau bercerita terus terang. Bukankah kau ini yang menyamar sebagai pria yang menjadi ketua Kipas Hitam dan bernama Yosiko?"

Gadis itu melemparkan pedangnya di atas meja kayu. Dia menghela napas, kemudian menggandeng tangan Yo Wan, diajaknya duduk di atas pembaringan kayu yang kasar. "Duduklah dan dengarkan ceritaku."

Yo Wan tidak membantah karena sebenarnya perlawanannya terhadap wanita setengah tua yang lihai tadi membuat tubuhnya lelah dan gemetar. Pula, dia memang ingin sekali mendengar penuturan gadis yang aneh ini, gadis yang membuat hatinya bingung karena biar pun gadis ini seorang bajak laut, gerak-geriknya tidak patut menjadi bajak laut yang kejam dan ganas, lagi pula kepandaiannya sangat lihai dan mengenal langkah-langkah Kim-tiauw-kun!

"Tiada gunanya menipu orang yang berpemandangan tajam seperti kau," gadis itu mulai bicara. "Aku memang Yosiko atau Yo-kongcu bila berpakaian pria, juga ketua dari Kipas Hitam."

la berhenti untuk melihat reaksi pada wajah Yo Wan. Akan tetapi oleh karena pemuda ini sudah menduga akan hal itu, maka wajahnya tak membayangkan sesuatu, tetap tenang saja.

"Hemmm, kalau begitu kita berdua masih satu she (nama keturunan)," komentar Yo Wan, keningnya berkerut karena sungguh tak sedap hatinya mendapat kenyataan bahwa dia mempunyai seorang kerabat yang kepala bajak!

Akan tetapi Yosiko tertawa. Tidak ada keindahan pada wajah manusia melebihi di waktu dia tertawa. Seorang yang buruk rupa sekali pun akan tampak menyenangkan apa bila sedang tertawa. Apa lagi tawa seorang gadis jelita seperti Yosiko!

"Namaku memang Yosiko akan tetapi sama sekali bukan she Yo! Yosiko adalah nama Jepang, ayahku seorang Jepang, seorang tokoh besar pendekar samurai yang dijuluki orang Samurai Merah!" Agaknya Yosiko bangga sekali ketika menyebut ayahnya. "Ibuku yang tadi datang menggempurmu adalah seorang pendekar wanita. Dahulu dia berjuluk Bi-yan-cu (Walet Cantik) Tan Loan Ki. Kepandaiannya hebat, bukan?"

Akan tetapi Yo Wan amat terkejut ketika mendengar nama-nama ini karena dia pernah mendengar dari suhu-nya bahwa Raja Pedang memiliki seorang keponakan perempuan yang menikah dengan seorang pendekar Jepang. Kiranya wanita setengah tua yang tadi menyerangnya adalah keponakan Si Raja Pedang. Pantas saja wanita itu beserta anak gadisnya ini mengerti akan ilmu pedang indah seperti yang dimiliki Cui Sian!

Akan tetapi Yo Wan masih belum percaya begitu saja, oleh karena dia merasa ragu-ragu mengapa keponakan Raja Pedang sampai menjadi bajak laut!

"Hemmm, kiranya baik ayah mau pun ibumu keduanya adalah pendekar-pendekar besar! Sayang anaknya menjadi kepala bajak!"

Bibir yang merah itu merengut. "Apa salahnya menjadi bajak? Kami menjadi bajak secara terang-terangan, kami menuntut pajak bagi lalu lintas laut, minta bagian dari saudagar yang banyak untungnya, apa salahnya? Mana lebih jahat dari pada menjadi pembesar-pembesar yang memeras rakyat melebihi bajak? Terlebih lagi aku menjadi kepala Kipas Hitam karena terpaksa, karena kami harus menuntut balas dan melanjutkan pekerjaan mendiang ayahku."

"Hemmm, jadi ayahmu sudah meninggal dunia dan dahulunya juga bajak laut? Ibumu juga?" tanya Yo Wan yang kini menjadi sangat terheran-heran. Bagaimana keponakan Raja Pedang bisa menikah dengan seorang kepala bajak?
(Tentang Tan Loan Ki dan Samurai Merah, baca cerita PENDEKAR BUTA).....

Ditanya demikian, wajah gadis itu menyuram, suaranya juga terdengar sangat sedih, dan sebelum menjawab dia menarik napas panjang. "Ayahku dahulunya bukan bajak. Sudah kukatakan, ayah seorang pendekar samurai dan karena tidak sudi diperbudak oleh kaum ningrat, ayah merantau ke Tiongkok dan di sini bertemu dengan ibuku, pendekar wanita Bi-yan-cu Tan Loan Ki. Mereka saling mencinta dan akhirnya ibu ikut dengan ayah ke Jepang. Akan tetapi, di negara Jepang, ayah menerima penghinaan dan ejekan dari para samurai lain karena sudah mengawini ibu, bukan gadis bangsa sendiri. Kemudian terjadi pertengkaran dan perkelahian. Karena dikeroyok, akhirnya ayah lari dan menjadi bajak laut antara laut Jepang dan Tiongkok. Akan tetapi, baru tiga tahun yang lalu ayah tewas karena keroyokan para pendekar Jepang dan Tiongkok. Aku melanjutkan pekerjaannya, memimpin Kipas Hitam dibantu ibu!"

Yo Wan mengangguk-angguk dan mulai teranglah sekarang baginya kenapa keponakan Raja Pedang menikah dengan seorang bajak laut. Hanya dia masih merasa heran bagai mana ibu dan anak ini dapat mainkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun, padahal Raja Pedang sendiri tidak mengerti akan ilmu ini.

Setahunya, selain dirinya, sekarang di dunia ini hanya ada dua orang yang mengerti ilmu langkah ajaib ini. Yang seorang adalah suhu-nya, yaitu Pendekar Buta, dan seorang lagi tentu saja Tan Sin Lee, ketua dari Lu-liang-pai.

"Hemmm, kiranya begitukah? Tetapi, Nona..."
"Namaku Yosiko, tak perlu kau repot-repot menambahi nona segala, biasanya aku malah disebut kongcu (tuan muda)...," potong Yosiko sambil tersenyum.

Hemmm, gadis ini lincah jenaka dan galak, sama persis seperti sifat-sifatnya Siu Bi gadis Go-bi-san itu.

"Baiklah, kusebut kau Yosiko. Setelah kau menjadi ketua bajak laut dan kau sudah tahu pula bahwa muda-mudi itu adalah putera dan murid Lu-liang-pai, kenapa kau memusuhi mereka?"
"Mereka adalah komplotan alat pemerintah, mereka agaknya mata-mata yang diperintah menyelidiki keadaan kami, dan mereka telah membunuh beberapa orangku! Tadinya aku masih mengampuni mereka! Hemmm, kalau saja aku tahu bahwa mereka itu berkomplot dengan tentara pemerintah, tentu kemarin sudah kubunuh mereka!"
"Kau menaruh murah hati ataukah... karena kau tertarik kepada Tan Hwat Ki yang gagah perkasa dan tampan? Tahukah kau bahwa Tan Hwat Ki adalah cucu pendekar sakti Raja Pedang Tan Beng San lo-kiam-ong (raja pedang tua) ketua Thai-san-pai? Bukankah dia itu masih saudara misanmu sendiri? Bagaimana kau hendak membunuhnya?"

Yosiko terkejut dan heran. "Wah… wah, agaknya engkau mengetahui banyak hal tentang diriku! Yo Wan, kau duduklah, mari kita bicara. Agaknya terhadap orang yang sudah tahu akan segala hal ini, tak perlu lagi aku menyimpan rahasia. Kau duduklah dan dengarkan penjelasanku."

Karena memang kesehatannya belum pulih benar, Yo Wan yang ingin sekali mengetahui keadaan gadis ini dan ingin tahu pula latar belakang mengapa dia dirawat setelah dilukai, dan mengapa pula ibu gadis ini tadi menyerangnya mati-matian, dia tidak membantah dan duduklah dia di atas pembaringan kayu.

Yosiko sendiri lalu duduk di atas sebuah bangku yang berdekatan. Sambil membetulkan dan memainkan kuncir rambutnya, gadis ini berkata,

"Aku tidak tahu bagaimana kau bisa mengetahui bahwa aku merupakan saudara misan dengan Tan Hwat Ki! Sesungguhnya, Raja Pedang Tan Beng San yang kau sohorkan itu adalah paman ibuku. Akan tetapi kami tidak peduli akan dia, karena dia bukanlah paman yang baik dari ibu!"

Yo Wan pernah mendengar pula akan hal ini. Kakak dari Raja Pedang Tan Beng San bernama Tan Beng Kui dan ibu dari Yosiko ini yang bernama Tan Loan Ki adalah puteri Tan Beng Kui itulah. la mendengar pula bahwa memang ada pertentangan antara kedua orang saudara itu, akan tetapi suhu-nya, Pendekar Buta, tak pernah menceritakan secara jelas. (baca kisah Raja Pedang dan Rajawali Emas)

"Apakah karena pertentangan antara kakekmu dan Raja Pedang itu maka kau hendak membunuh cucu Raja Pedang? Akan tetapi kau... tadinya kau kagum kepada Hwat Ki, bahkan kau berkata hendak menjodohkan dia dengan... adikmu yang ternyata adalah kau sendiri!"

Gadis lain yang ditegur seperti ini, yang sekaligus membuka rahasia hatinya, tentu akan menjadi malu dan marah. Akan tetapi Yosiko tersenyum dan mengangguk-angguk!

"Betul, begitulah! Akan tetapi setelah kau muncul, aku tidak kagum lagi kepada Tan Hwat Ki, bahkan setelah tahu dia berkomplot dengan bala tentara pemerintah yang membasmi kami, aku benci kepadanya."

Sekarang Yo Wan yang terheran-heran mendengar ucapan yang begini terus terang dari seorang gadis remaja. "Yosiko, benar-benar aku tak mengerti bagaimana seorang gadis sepandai engkau, memilih-milih pria seperti ini...?"

Kembali Yosiko tersenyum lagi, seakan-akan pertanyaan yang bagi gadis lain tentu akan merupakan pisau yang menusuk perasaan ini tapi baginya hanya merupakan pertanyaan yang wajar dan biasa.

"Mengapa tidak? Yo Wan, semenjak aku masih kecil, ibu dan aku bercita-cita agar aku mendapatkan jodoh seorang pria yang jauh lebih lihai dari pada aku. Hal ini adalah karena aku dan ibu tidak ingin melihat kematian seperti ayah terulang kembali. Ayah meninggal karena kurang pandai ilmunya, dan aku memang tidak sudi diperisteri laki-laki yang lemah, yang tak dapat menangkan aku. Akan tetapi selama beberapa tahun ini, di antara bajak laut, aku hanya melihat laki-laki yang tak becus, paling hebat hanya macam Shatoku murid ayah yang tewas oleh Tan Hwat Ki kemarin. Sedangkan di darat, aku pun belum pernah bertemu laki-laki yang mampu mengalahkan aku. Itulah sebabnya kenapa pertemuanku dengan Tan Hwat Ki menarik hatiku. Dia lebih lihai dari pada aku, biar pun hanya sedikit selisihnya. Tentu saja pada saat itu hatiku tertarik dan tadinya aku hendak mencalonkan dia sebagai jodohku. Akan tetapi, kemudian muncul kau yang hanya dalam beberapa gebrakan saja dapat mengalahkan aku. Terang bahwa tingkat kepandaianmu jauh melampaui Tan Hwat Ki, karena itu... karena itu..."

Tentu saja Yo Wan maklum akan apa yang dimaksudkan oleh gadis itu. Akan tetapi hal ini membuatnya menjadi mendongkol sekali. Boleh jadi Yosiko seorang gadis yang cantik jelita, yang sukar dicari bandingannya baik dalam hal kecantikan mau pun kepandaian. Akan tetapi dia bukanlah laki-laki yang boleh dipilih sebagai jodoh lalu jadi begitu saja! Kedongkolan hatinya membuat dia jadi tega untuk mendesak Yosiko yang mulai merasa jengah dan malu karena betapa pun juga dia adalah seorang gadis.

"Karena itu... bagaimana, Yosiko? Kau melukai aku dengan jarum beracunmu, kemudian kau menolongku di laut dan merawatku di sini. Apa kehendakmu?"

Yosiko masih tersenyum, akan tetapi sekarang tidak selancar tadi dia menjawab, bahkan kelihatan gagap, "Yo Wan, tak mengertikah kau? Aku... aku... karena kau jauh lebih lihai dari pada Tan Hwat Ki, aku... aku memilih engkau!"

Diam-diam Yo Wan merasa terharu sekali. Gadis ini amat polos dan jujur, terang bahwa di dalam sanubari seorang gadis semacam ini terkandung watak yang bersih dan tidak dibuat-buat. Mungkin gadis ini belum pernah mengenal rasa cinta kasih antar muda-mudi sehingga dalam soal pemilihan jodoh, sama sekali dia tidak mendasarkan pada cinta, melainkan pada ‘tingkat kepandaian’. Dan semua itu ia kemukakan dengan jujur dan apa adanya!

"Hemmmm...! Dan ibumu, mengapa tadi ia menyerangku mati-matian?"
"Ibu tidak percaya kepadaku akan kelihaianmu, tidak puas kalau tidak mencoba sendiri."

Ah, anaknya gila ibunya sinting, gerutu Yo Wan di dalam hatinya. la pernah tertarik sekali kepada Siu Bi dan agaknya kali ini dia akan jatuh cinta pada gadis aneh yang jelita ini kalau saja hatinya tidak sudah terampas oleh Cui Sian, puteri Raja Pedang!

Setelah dia mengenal Cui Sian yang berhasil menjatuhkan hatinya dan merenggut cinta kasihnya, kini Yo Wan menganggap Yosiko sebagai seorang bocah yang nakal. la harus segera membebaskan diri dari ibu dan anak ini, akan tetapi jika lukanya belum sembuh, agaknya tidak mungkin hal itu dia lakukan. Gadis ini sudah cukup berbahaya, apa lagi di situ masih ada ibunya yang lihai. la harus bersabar dan menanti sampai lukanya sembuh betul.

Berpikir demikian, Yo Wan lalu merebahkan dirinya tanpa berkata apa-apa.

"Bagaimana? Menarikkah penuturanku?” tanya Yosiko.
"Menarik juga, tapi sudahlah. Aku mau tidur."

Yosiko merengut gemas. "Bagaimana pendapatmu? Kau tentu tidak keberatan menjadi pilihanku?"

Edan, pikir Yo Wan. Terpaksa dia menjawab, "Yosiko, kau memandang terlalu rendah tentang perjodohan. Apa kau kira syarat kebahagiaan perjodohan adalah ilmu silat yang tinggi? Apakah kalau kau menjadi isteri seorang ahli silat yang lebih lihai dari padamu, hidupmu lalu bahagia?"

"Tentu saja!" jawab Yosiko tanpa ragu-ragu lagi. "Ayah tewas karena kepandaiannya kurang tinggi, sehingga ibu menjadi janda. Bukankah itu celaka sekali? Seandainya ayah berkepandaian tinggi seperti kau, kiranya sekarang ayah masih hidup. Dengan seorang suami berkepandaian paling tinggi, hidupku akan terjamin. Karena itu aku memilihmu!"

Yo Wan menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya, akan tetapi dia tidak bangkit dari pembaringan.

"Yosiko, agaknya semenjak kecil kau hidup dikelilingi kekerasan dan kekejaman hingga kau tak mempedulikan tentang perasaan. Apakah kau tidak mempunyai perasaan halus? Apakah ibumu tidak pernah memberi tahu kepadamu bahwa syarat perjodohan adalah kasih sayang?"
"Tentu saja sudah!" Yosiko tersenyum lagi, matanya bersinar-sinar gembira. "Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?"

Yo Wan mengeluh di dalam hatinya. Sukar bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. la harus bicara dengan ibu gadis ini yang tentu lebih mudah diajak berbicara. Diam-diam dia pun kasihan kepada Yosiko karena kalau dibiarkan demikian, kelak mungkin sekali berjodoh dengan seorang pria tanpa kasih sayang hingga akhirnya hidupnya akan merana dalam kesengsaraan batin.

Hatinya lega juga karena kini dia yakin bahwa perawatan gadis itu, juga sikap manisnya, bukan terdorong oleh rasa cinta yang dia khawatirkan, melainkan oleh rasa kagum akan kepandaiannya sehingga dia dipilih menjadi calon jodohnya dan karena itu harus dirawat hingga sembuh! Diam-diam Yo Wan merasa seolah-olah dirinya menjadi seekor binatang peliharaan terkasih yang sedang sakit!

"Bagaimana, Yo Wan? Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?"

Yo Wan menarik napas panjang. "Sudahlah, Yosiko, biarkan aku mengaso. Kelak kalau aku sudah sembuh, hal ini akan kita bicarakan bersama ibumu. Tentu saja aku sayang kepadamu, kau gadis yang baik."

Girang sekali hati Yosiko dan wajahnya berseri. la cepat mengambil sehelai selimut dan menyelimuti tubuh Yo Wan yang segera tertidur nyenyak. Yosiko juga berbaring di atas sebuah pembaringan kayu kecil di sudut ruangan, wajahnya kelihatan puas dan berseri.

Menjelang pagi, Yo Wan terbangun dari tidurnya ketika dia mendengar orang berseru girang, "Dia di sini...!"

Sebagai seorang ahli silat yang iihai, begitu sadar Yo Wan sudah meloncat turun dari pembaringannya, siap menghadapi bahaya. Akan tetapi wajahnya berubah ketika dia melihat sepasang muda-mudi dari Lu-liang-pai yang berdiri di mulut goa dan memandang kepadanya dengan terheran, apa lagi ketika mereka memandang kepada Yosiko yang juga sudah duduk di atas pembaringannya.

Tentu saja Yo Wan menjadi jengah dan bingung sekali. Betapa tidak? Orang melihat dia berduaan dengan seorang gadis cantik dalam sebuah goa, melewatkan malam di situ! Di lain fihak, Tan Hwat Ki dan sumoi-nya yang tidak mengenal keadaan Yo Wan, tentu saja mengira bahwa gadis ini tentu ada hubungannya dengan pendekar yang telah menolong mereka.

"Saudara yang gagah perkasa, kiranya kau berada di sini dan dalam keadaan selamat. Syukurlah...," kata Hwat Ki sambill melirik ke arah Yosiko.

Lirikan inilah yang membuat Yo Wan cepat-cepat memperkenalkan. "Aku juga gembira melihat kalian selamat dan... Nona ini... ehhh, dia nona Yosiko..."
"Apa...?! Dia... dia ketua Kipas Hitam...?"

Yosiko tersenyum, sepasang matanya yang puas tidur itu berseri.

"Aku adiknya!"
"Srattttt!"

Tampak cahaya hitam berkelebat ketika Bu Cui Kim mencabut Hek-kim-kiam dan sambil berseru nyaring nona ini menerjang maju ke arah Yosiko.

"Eh, ahh, galaknya...!" Yosiko mengejek dan sekali meloncat ia telah menghindarkan diri.
"Sumoi...!" Hwat Ki berseru bingung.
"Suheng, tidak lekas-lekas membantu aku membasmi bajak laut mau tunggu apa lagi?" Bu Cui Kim berseru dan terus menyerang lagi.

Hwat Ki menjadi merah mukanya, akan tetapi biar pun tadinya dia ragu-ragu, mengingat betapa lihainya Yosiko, dia sudah mencabut pedangnya pula dan melompat maju untuk membantu sumoi-nya.

"Tahan senjata!" Yo Wan berseru sambil melangkah maju. Suaranya berpengaruh sekali sehingga tidak saja Hwat Ki serta Cui Kim menghentikan penyerangannya, juga Yosiko yang sudah memegang pedangnya, berhenti dan memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang muda Lu-liang-san itu.
"Saudara Tan Hwat Ki, ketahuilah bahwa nona Yosiko ini bukanlah orang lain, melainkan saudara misanmu sendiri. Dia adalah puteri dari bibimu Tan Loan Ki yang telah menikah dengan seorang pendekar Jepang."

Tentu saja Hwat Ki sudah pernah mendengar nama-nama ini dari ayahnya, maka dia memandang dengan bingung, kemudian dia menatap wajah Yo Wan penuh curiga.
"Kau siapakah? Bagaimana mengetahui namaku?"

Yo Wan menjura sambil tersenyum. "Aku Yo Wan..."

Hwat Ki terkejut. "Apa? Kau murid paman Kwa Kun Hong Pendekar Buta?"
"Ahhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Cui Kim dan mulut Yosiko.
"Beliau adalah suhuku yang terhormat," jawab Yo Wan sederhana.
"Saudara Yo... tapi... tapi mengapa dia menjadi... ehhh, ketua bajak laut? Dan di mana pula Bibi Loan Ki?"
"Suheng, walau pun masih ada ikatan keluarga, kalau jahat harus kita basmi!" Cui Kim berseru, matanya masih melotot marah.
"Yo Wan, dua orang ini bersekongkol dengan orang pemerintah, anak buahku banyak yang tewas. Biarkan kubunuh mereka!" bentak Yosiko pula.

Yo Wan maklum akan sulitnya keadaan. Kalau dibiarkan saja, tiga orang ini tentu akan bertanding mati-matian. la mengangkat kedua tangannya dan berkata, suaranya kereng.

"Tidak boleh! Saudara Hwat Ki, biarlah lain kali aku menerangkan semua ini kepadamu. Sekarang kuminta dengan hormat agar kau dan sumoi-mu meninggalkan tempat ini dan kuminta pula agar kau tidak memberi tahukan tempat ini kepada orang lain."

Hwat Ki meragu. Cui Kim mengomel, "Mana bisa? Dia bajak..."

Akhirnya Hwat Ki menjura kepada Yo Wan. "Saudara Yo Wan, oleh karena kau pernah menolong kami, maka aku percaya kepadamu, apa lagi mengingat bahwa engkau adalah murid paman Kwa Kun Hong. Akan tetapi, aku tetap mengharapkan penjelasanmu kelak mengapa kau melarang kami." Setelah berkata demikian, Hwat Ki mengajak sumoi-nya keluar dari goa itu.

Sesudah dua orang muda itu pergi, Yosiko lantas mengomel, "Yo Wan, mengapa kau menghalangi aku membunuh dua orang itu? Mereka musuh Kipas Hitam..."

"Mereka adalah pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa, pembasmi kejahatan, apa lagi Tan Hwat Ki adalah putera Lu-liang-pai, cucu Raja Pedang. Mana mungkin aku membiarkan dia terbunuh? Aku tidak menghendaki permusuhan dengan kau dan kalau kau menyerangnya, terpaksa aku membantunya."

Dengan muka masih cemberut Yosiko berkata, "Hemmm, kau memang tak kenal budi, tidak mengasihani orang. Hwat Ki sendiri saja kepandaiannya sudah lebih lihai dari pada aku, melawan dia saja aku belum tentu dapat menang, kau masih hendak membantunya. Sama saja dengan kau dan dia sengaja hendak membunuh aku!"

Aneh sekali, secara mendadak gadis itu menangis! Akan tetapi hanya sebentar saja air matanya bercucuran keluar, karena segera dihapusnya dan sikapnya kembali keras.

"Kau mau bunuh aku, kenapa masih memakai jalan memutar, plintat-plintut? Mau bunuh hayo bunuh!"
"Eh-ehh, kenapa kau mengamuk tidak karuan, Yosiko? Siapa ingin membunuhmu? Aku bilang membantu mereka, yaitu kalau kau hendak membunuh mereka, karena biar pun ilmu silatmu kalah lihai, namun akalmu lebih banyak dan tipu muslihatmu mungkin akan mengalahkan mereka berdua. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu mereka yang mengancam keselamatanmu dan hendak membunuhmu, sudah tentu akan kuhalangi niat mereka dan kubela engkau."

Seketika berubah wajah Yosiko, kemarahannya lenyap bagaikan awan tipis ditiup angin. Akan tetapi dia masih mencela, "Yo Wan, kalau memang kau suka kepadaku, mengapa kepalang tanggung? Kalau kau membenciku, juga kenapa tidak terus terang saja? Kau orang aneh... tapi sudahlah, kau mengaso biar sembuh, baru kita bicara lagi. Sebentar lagi ibu tentu akan mengantarkan obat yang kuminta, atau aku akan mencari ke sana."

Yo Wan tidak mau membantah lagi. la maklum bahwa menghadapi seorang gadis remaja yang galak ini, lebih baik jika dia menutup mulut dan bersabar sampai dia sembuh benar. Kalau dilawannya cekcok mulut tentu akan makin menjadi-jadi dan hal ini amat tidak baik baginya…..

********************

Di tempat lain, terjadi percekcokan lain lagi. Semenjak meninggalkan goa yang dijadikan tempat persernbunyian ketua Kipas Hitam itu, Bu Cui Kim tampak cemberut dan menjadi pendiam. Sudah beberapa kali Hwat Ki mengajaknya bicara, akan tetapi sumoi-nya yang biasanya amat ramah dan taat kepadanya, kini hanya menjawab secara singkat-singkat saja, kadang-kadang bahkan tak menjawab sama sekali. Seakan-akan kegembiraan dan semangat sumoi-nya tertinggal di goa!

Diam-diam Hwat Ki curiga. Hatinya sudah merasa sangat tidak enak ketika malam tadi mereka dijamu sebagai tamu ketua Kipas Hitam, karena dia menduga bahwa sumoi-nya tertarik oleh ketua Kipas Hitam yang tampan jenaka. Apakah sumoi-nya menjadi kecewa melihat ketua Kipas Hitam yang disangkanya seorang pemuda tampan gagah itu seorang wanita? Ataukah... sumoi-nya tertarik kepada Yo Wan, pemuda sederhana yang sangat sakti itu? Akhirnya Hwat Ki tidak dapat menahan perasaannya.

la berhenti di tempat yang amat indah di tepi sungai. Amat sejuk hawa pagi itu dengan sinar matahari dan air sungai yang mulai mengeluarkan suara berdendang saat alirannya bermain dengan batu-batu karang.

Burung-burung pagi berkicau dan menari-nari di atas dahan-dahan pohon. Angin pagi yang semilir merontokkan daun-daun tua dan mutiara-mutiara embun yang menempel di ujung daun-daun hijau. Daun bambu dilanda angin berkeresekan halus seperti sepasang kekasih berbisikan mesra. Pagi yang indah, akan tetapi anehnya, wajah muda-mudi dari Lu-liang-san ini muram!

Melihat Hwat Ki berhenti dan berdiri bersandarkan batu karang, Cui Kim juga berhenti, berdiri termenung memandang air sungai, sama sekali tidak mempedulikan suheng-nya. Suasana kaku serta tegang ini terasa benar oleh mereka dan Hwat Ki maklum bahwa sesuatu yang mengganjal ini bila tidak lekas ia dongkel dan singkirkan, akan merupakan penghalang yang amat tidak menyenangkan dalam pergaulannya dengan sumoi-nya.

Selama bertahun-tahun sumoi-nya menjadi murid ayahnya, sejak mereka berdua baru berusia dua tiga belas tahun, mereka telah bermain-main bersama, rukun dan tak pernah bercekcok, seperti kakak beradik kandung saja. Baru sekarang ini terjadi hal yang amat aneh, yang membuat mereka murung dan seakan-akan enggan menatap wajah masing-masing, hati penuh kemarahan dan ketidak puasan!

"Sumoi, apakah yang kau pikirkan?"
"Tidak apa-apa..."

Hemm, jawaban yang dipaksakan, sebetulnya enggan menjawab, dan kemarahan serta sakit hati yang amat besar terkandung dalam suara itu, pikir Hwat Ki. Rasa cemburunya makin membesar dan dia pun membuang muka. Sampai beberapa lama keduanya diam saja.

Hwat Ki berdiri dengan kaki kanan di atas batu karang, bersandar pada batu karang yang agak tinggi dan membelakangi sungai. Sebaliknya, Cui Kim berdiri menghadapi sungai, mukanya lurus memandang ke arah sungai, mulutnya yang biasanya manis itu cemberut. Karena keduanya berdiam diri, makin teganglah suasana.

"Sumoi, sungguh tidak enak keadaan begini!" Akhirnya berkatalah Hwat Ki dengan suara marah pula. "Semenjak pertemuan kita dengan ketua Kipas Hitam malam tadi, kau sudah berubah, kemudian setelah meninggalkan goa, kau benar-benar berbeda sekali..."

Dengan gerakan serentak Cui Kim membalikkan tubuh memandang, matanya bersinar penuh kemarahan dan suaranya keras kaku, "Suheng, apa perlunya kau memutar balik kenyataan? Siapakah yang berubah? Kau ataukah aku?"

Hwat Ki membelalakkan matanya. "Ehh… ehhh, bagaimana ini? Kau malah bilang aku yang berubah? Sumoi, kau mencari-cari. Aku berubah bagaimana?"

"Masa pura-pura bertanya lagi!" Kembali Cui Kim membuang muka, memutar tubuhnya membelakangi suheng-nya.

Benar-benar aneh sekali ini, pikir Hwat Ki. Belum pernah sumoi-nya ini bersikap seperti ini terhadapnya. "Sumoi, bilanglah, apa kesalahanku sehingga kau marah-marah macam ini?"

"Hemmm, setelah kau melihat bahwa ketua Kipas Hitam ternyata seorang gadis secantik bidadari, gadis jelita yang malam tadi menyatakan terang-terangan hendak menjodohkan kau dengan dirinya sendiri, kau... kau... melepaskan dia begitu saja?"
"Ehh… ehhh... aku hanya mentaati permintaan saudara Yo Wan..."
"Alasan kosong. Biar pun dewa yang minta dia dilepaskan, mengingat dialah ketua Kipas Hitam, mestinya kita membunuhnya atau setidaknya menangkapnya. Akan tetapi kau... dengan mudah kau melepaskannya, karena kau... karena kau cinta kepadanya..." Kini suara ini mengandung isak.

Hening sejenak. Hwat Ki mengerutkan kening, kepalanya dimiringkan, dia memutar otak. Kemudian mendadak dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha!"

"Apanya yang lucu?" Cui Kim yang tadinya kaget menengok, bertanya.

Hwat Ki masih tertawa terus, kemudian katanya, "Terang kau cemburu kepada Yosiko! Ha-ha-ha, dan malam tadi aku cemburu pula kepada Yosiko karena kau agaknya tertarik sekali kepadanya! Ha-ha-ha, kumaksudkan tentu saja aku cemburu kepada Yosiko pria dan kau cemburu kepada Yosiko wanita! Ha-ha-ha, kita berdua cemburu kepada satu orang. Malam tadi aku menyangka kau tergila-gila kepada Yosiko, sekarang kaulah yang menyangka aku tergila-gila kepada Yosiko pula. Bukankah lucu sekali ini?"

Seketika wajah Cui Kim pun menjadi merah dan jantungnya berdebar. Bagaimana pun juga ucapan ini mengenai perasaannya karena ia tidak dapat menyangkal hatinya sendiri bahwa malam tadi memang ia tertarik oleh gerak-gerik Yosiko yang disangkanya pemuda yang amat tampan dan gagah! Akan tetapi sebagai seorang gadis, tentu saja ia tidak sudi mengakui hal ini, maka dengan tersipu-sipu ia berkata,

"Cih! Siapa yang tergila-gila pada seorang bajak? Suheng, jangan kau hendak menutupi kesalahan sendiri dengan fitnah pada orang lain!"

Namun Hwat Ki yang sudah mengenal sumoi-nya semenjak kecil, dengan lega mendapat kenyataan bahwa adik seperguruannya ini tidak marah lagi seperti tadi. Dia melangkah maju mendekati Cui Kim dan menegur.

"Sumoi, sungguh mati, aku berani bersumpah bahwa tadi aku melepaskan Yosiko hanya karena memandang muka saudara Yo Wan, dan mungkin juga terdorong oleh kenyataan bahwa dia adalah puteri bibi Tan Loan Ki. Kau pun tahu, bibi Tan Loan Ki adalah saudara misan ayah. Akan tetapi, sudahlah, hal itu tak perlu dibicarakan lagi. Yang benar-benar membuat aku heran dan tidak mengerti, Sumoi, andai kata benar-benar aku jatuh cinta kepada Yosiko, kenapa kau menjadi marah-marah? Apakah... sebabnya? Andai kata aku mencinta dia dan dia mencintaku... ahhh, ini hanya andai kata, Sumoi..." Sambung Hwat Ki cepat-cepat karena melihat wajah sumoi-nya itu tiba-tiba menjadi pucat.

Sejenak mereka saling pandang. Lalu Cui Kim berkata, dengan suaranya yang gemetar, "Suheng, sebaliknya engkau sendiri... mengapa kau cemburukan Yosiko laki-laki? Andai kata aku benar mencinta seorang pemuda... mengapa engkau marah-marah...?"

Mereka saling pandang sampai lama dengan sinar mata penuh selidik. Seakan-akan baru kini mata mereka terbuka, baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa masing-masing merasa tidak rela kalau yang satu mencinta orang lain!

"Sumoi... kau tidak senang jika melihat aku mencinta gadis lain...?" Suara Hwat Ki juga gemetar kini. Cui Kim menggeleng kepala keras-keras.
"Aku pun tidak senang kalau melihat kau mencinta pemuda lain! Sumoi... kalau begitu... kau mencintaku?" Cui Kim menundukkan mukanya yang merah, akan tetapi akhirnya dia mengangguk perlahan.

Hwat Ki melangkah maju dan di lain saat dia sudah merangkul sumoi-nya, dan Cui Kim menyembunyikan muka pada dada suheng-nya sambil menangis. Hwat Ki lalu mendekap kepala dengan rambut yang harum itu, menengadah dan berkata lirih,

"Ah, alangkah bodoh kita! Seperti buta! Selama ini kusangka bahwa antara kita hanya ada kasih sayang seperti saudara. Sumoi... kiranya sekarang aku yakin betul bahwa aku tidak dapat mencinta wanita lain! Sumoi, mari kita kembali ke Lu-liang-san, biar aku yang akan beri tahukan ayah ibu tentang urusan kita!"

Cui Kim merenggangkan tubuhnya. Ketika mereka saling pandang, sinar mata mereka sudah jauh berbeda. Kini di antara mereka terdapat rahasia mereka berdua, sinar mata mereka membawa seribu satu macam pesan hati yang mesra, pandang mata bergulung menjadi satu, sepaham.

"Suheng," kata Cui Kim, suaranya penuh kesungguhan. "Aku pun semenjak dulu sudah yakin bahwa aku tak dapat mencinta laki-laki lain. Tentang urusan kita, terserah padamu, Suheng. Kelak kalau kita sudah pulang terserah kau yang menyampaikan kepada suhu dan subo. Akan tetapi sekarang kita belum boleh pulang. Bukankah kita bertugas untuk membasmi bajak? Suhu sendiri yang mewakilkan kepada kita. Bajak laut belum terbasmi habis, malah kepalanya, ketua Kipas Hitam, masih hidup berkeliaran. Apa yang akan kita katakan kepada suhu tentang ini?"

Hwat Ki menjadi bingung juga diingatkan demikian. "Habis, apa yang harus kita lakukan, Sumoi? Yo Wan itu adalah murid paman Kwa Kun Hong, dia sudah menolong nyawa kita, dan dia amat lihai. Apa bila dia melarang kita menangkap atau membunuh Yosiko, bagaimana baiknya?"

"Di dalam menunaikan tugas, kita tidak boleh mundur oleh kesukaran apa pun. Murid Pendekar Buta seharusnya seorang pendekar pula yang bertugas membasmi penjahat. Kalau Yo Wan melindungi ketua Kipas Hitam berarti dia menyeleweng dari kebenaran. Biar dia sepuluh kali lebih lihai, sudah menjadi kewajiban kita untuk menentangnya."

Mendengar kata-kata sumoi-nya yang tercinta, seketika bangkit semangat Hwat Ki. Kini pandangannya terhadap Cui Kim berbeda dan dia merasa bangga sekali mendengar ucapan kekasihnya itu.

"Kau betul, Sumoi. Akan tetapi Yo Wan sudah berjanji hendak memberi penjelasan. Mari kita awasi gerak-geriknya dan kita berunding dengan saudara Bun Hui agar supaya goa itu dikurung dan jangan sampai Yosiko dapat terbang."
"Itu benar, Suheng. Mari kita mencari saudara Bun Hui dan pasukannya."

Sambil bergandengan tangan mesra dua orang muda-mudi yang semenjak kecil menjadi teman baik dan selalu berkumpul, akan tetapi yang baru sekarang ini menemukan cinta kasih antara mereka, meninggalkan tempat yang indah dan sunyi itu…..

********************
Selanjutnya baca
JAKA LOLA : JILID-12
LihatTutupKomentar