Rajawali Emas Jilid 01
PEGUNUNGAN Lu-liang-san terkenal sebagai gunung yang indah dan subur, terutama sekali hal ini disebabkan oleh Sungai Kuning yang mengalir di antara pegunungan ini. Banyak terdapat hutan-hutan lebat dan bagian-bagian yang amat indah penuh dengan pohon-pohon berbuah dan tanaman berbunga.
Hutan-hutan ini sebagian besar masih merupakan hutan liar yang asli, belum terjamah tangan dan terinjak kaki manusia. Oleh karena itu, penghuni asli hutan-hutan itu, yaitu binatang-binatang besar kecil berkembang biak dengan amat subur sehingga daerah Pegunungan Lu-liang-san terkenal sebagai tempat yang sangat baik akan tetapi juga amat berbahaya bagi para pemburu.
Keindahan alam yang belum terjamah tangan manusia memang merupakan keindahan asli. Apalagi di musim semi pada waktu pohon-pohon penuh dedaunan, sedangkan di musim rontok saja terdapat keindahan asli yang menggerakkan hati setiap orang yang dapat menghargai keindahan alam yang asli.
Lihatlah daun-daun yang melayang turun saat rontok dari tangkainya. Melayang-layang bebas lepas seakan-akan kupu-kupu bercanda menimbulkan suara gemerisik yang tak ada hentinya. Daun-daun kering rontok, dan dengan rela memberi kesempatan untuk berseminya daun-daun baru yang akan menggantikan kedudukannya. Daun-daun kering merontok untuk membusuk dan menjadi pupuk bagi daun-daun baru.
Rontok dan semi, hilang yang tua muncullah yang baru. Di dunia ini mana yang tidak terlewat oleh hukum alam ini? Yang tua lenyap untuk memberi tempat bagi yang muda, yang muda akhirnya pun tua dan lenyap untuk mengulang sejarah yang lalu.
Gemerisik daun-daun kering rontok melayang turun diselingi suara air Sungai Huang-ho yang tidak penuh airnya. Air bermain dengan batu-batu, berdendang lagu bahagia tak kunjung henti. Suara daun kering rontok dan bunyi air sungai berdendang merupakan perpaduan suara yang amat indah, kadang-kadang diramaikan suara burung di pohon dan sekali-kali terdengar raungan binatang buas dari dalam semak-semak belukar.
Betapa pun besar bahaya rnengancam keselamatan manusia yang berani memasuki hutan-hutan ini, yaitu bahaya dari ancaman binatang-binatang buas, akan tetapi tetap saja akhirnya ternyata bahwa manusialah makhluk yang paling kuat di antara segala makhluk hidup di dunia ini.
Pagi hari itu, di kala sinar matahari berebutan menerobos ke celah-celah daun pohon yang mulai menggundul dan burung-burung tengah ramai bersaing kemerduan kicau mereka terdengar suara lain di dalam hutan itu. Suara manusia!
Burung-burung yang terdekat dengan tempat itu menghentikan kicaunya, sebagian lalu terbang pergi ketakutan. Binatang-binatang kecil berlarian menyelinap masuk ke dalam semak-semak. Binatang-binatang besar mengintai dengan penuh kecurigaan dari balik gerombolan belukar. Seluruh perhatian para mahkluk dalam hutan tertuju kepada mahkluk aneh yang tak pernah mereka lihat itu. Manusia!
Manusiakah yang menjadi pusat perhatian para binatang itu? Jangankan para binatang yang tak pernah atau jarang sekali melihat manusia, sedangkan manusia-manusia sendiri kiranya akan tercengang keheran-heranan apa bila melihat orang yang tengah berada di dalam hutan seorang diri ini.
Dia adalah seorang lelaki tinggi besar. Pakaiannya berpotongan longgar dan terbuat dari bemacam-macam kain warna-warni yang disambung-sambung. Sepatunya, sepatu besar, juga berkembang!
Sukar menaksir umur orang ini. Yang terang dia sudah lewat dewasa, karena tubuhnya demikian tinggi besar. Melihat perawakan dan wajahnya yang sudah masak, sedikitnya dia telah berusia empat puluh lima tahun. Akan tetapi melihat kebodohan kanak-kanak yang membayang pada wajahnya, melihat bentuk pakaian dan warna sepatunya serta sikapnya yang sedang bermain-main seorang diri, dia masih seperti seorang kanak-kanak!
Memang dia seorang kanak-kanak yang sudah tua, atau seorang tua yang memiliki jiwa kanak-kanak. Karena keanehan inilah maka di dunia kang-ouw ia terkenal sekali dengan nama poyokan Koai Atong (Bocah Aneh).
Jangan dipandang rendah Koai Atong ini. Banyak orang Kang-ouw, jagoan ternama yang berkepandaian tinggi, akhirnya kecele pada saat mereka berani memandang rendah Koai Atong. Dia adalah murid tunggal seorang sakti dari Tibet, seorang hwesio yang bernama Ban-tok-sim Giam Kong.
Melihat nama julukannya saja, Ban-tok-sim (Hati Selaksa Racun), mudahlah dibayangkan orang macam apa hwesio Tibet ini. Namanya saja sudah cukup membuat seorang tokoh kang-ouw lari tunggang langgang.
Koai Atong tertawa-tawa dan berkata-kata seorang diri di dalam hutan itu. Dia sedang melatih Jing-tok-ciang (Tangan Racun Hijau), yaitu semacam ilmu pukulan yang paling diandalkan oleh suhu-nya. Walau pun anak tua ini kelihatan ketolol-tololan, akan tetapi bakatnya dalam hal ilmu silat bukan main hebatnya.
Kalau tidak demikian, tak mungkin seorang sakti seperti Ban-tok-sim Giam Kong mau mengambilnya sebagai murid tunggal. Hampir seluruh ilmu kepandaian Giam Kong sudah diwarisi Koai Atong, malah dalam hal ilmu Pukulan Jing-tok-ciang, Koai Atong tak pernah berhenti untuk berlatih dan memperdalam.
“Kau harus roboh, harus roboh!” katanya sambil memutar-mutar lengan kirinya laksana orang memutar gilingan kopi, kemudian tiba-tiba tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah sebatang pohon.
Tidak terdengar suara apa-apa, akan tetapi semua daun kering di pohon itu merontok dan... pohon yang batangnya sebesar paha orang itu mulai tumbang karena batangnya sudah membusuk. Bukan main lihainya pukulan Jing-tok-ciang ini, dan demikian jahatnya sehingga batang pohon yang tadinya masih segar menjadi busuk terkena hawanya yang beracun.
Koai Atong terkekeh-kekeh gembira, lalu melanjutkan latihannya dengan memukul pohon yang lebih besar. Sebentar saja di situ telah rebah beberapa batang pohon, akan tetapi ia juga terduduk kelelahan karena terlampau banyak mengerahkan tenaga Iweekang dalam latihan pukulan mukjijat ini. Seperti orang gendeng anak tua ini tertawa-tawa girang karena hasil latihannya tadi memuaskan hatinya.
Akan tetapi tiba-tiba ia kaget mendengar bunyi kelepak sayap burung besar dan ia melihat seekor burung rajawali berbulu putih sedang menukik turun tak jauh dari tempat ia duduk beristirahat. Cepat ia melompat dan berindap-indap mendekati tempat itu.
Bukan main hebatnya burung ini. Besar bukan main, kalau berdiri semeter lebih tingginya. Burung ini menukik turun lantas menerjang ke arah semak-semak dan... dalam sekejap mata saja dia menerkam seekor kijang yang bersembunyi di situ.
Kasihan kijang ini, sama sekali tak dapat melawan. Sekali cengkeram, kuku-kuku runcing melengkung itu menusuk perut menembus kulit dan daging. Kijang berkelojotan sebentar dan mati tak lama kemudian.
Rajawali dengan sepasang matanya yang bening berapi itu mendengus dan melepaskan korbannya, kemudian terbang pergi meninggalkan bangkai kijang begitu saja. Koai Atong terheran-heran. Gilakah burung itu, pikirnya. Sudah membunuh kijang kenapa tidak terus dimakan, malah ditinggal pergi? ia masih bersembunyi, seperti anak kecil ia girang dapat mengintai perbuatan ‘orang’ lain.
Akhirnya dia jemu juga karena si rajawali yang sangat gagah dan bagus itu tidak datang kembali. Tadinya dia berniat menanti, kalau burung itu datang kembali akan ditubruk dan ditangkapnya.
Baru saja ia hendak keluar dari tempat sembunyinya untuk mengambil bangkai kijang dan dipanggang dagingnya, terdengar auman keras dan muncullah seekor harimau dari balik semak belukar. Harimau itu keluar dengan perlahan-lahan, hidungnya mendengus-dengus dan mulutnya menyeringai dengan air liur menetes-netes turun. Agaknya ia telah mencium bangkai kijang, atau bau darah maka ia datang ke tempat itu.
Begitu melirik ke kanan kiri tidak terdapat bahaya, harimau itu memburu ke arah bangkai kijang. Akan tetapi mendadak dari arah lain muncul seekor harimau hitam yang langsung menerjang harimau belang itu.
Terjadi pergumulan seru, cakar-mencakar, gigit-menggigit sangat hebatnya. Koai Atong terkekeh-kekeh senang, bertepuk-tepuk tangan seperti anak kecil menonton pertunjukan wayang di mana tokoh-tokohnya berperang tanding.
"Hayo gigit hidungnya, cakar kupingnya. Hah-hah, heh-heh-heh!"
Akhirnya si harimau belang harus tunduk terhadap hukum rimba yang berlaku semenjak dunia berkembang sampai sekarang ini. Siapa kuat dia benar dan menang. Siapa lemah dia salah dan kalah!
Sambil meraung-raung dengan leher yang terluka hingga berdarah, harimau belang berlari tunggang-langgang. Lawannya, si harimau hitam itu tidak mengejarnya, sebaliknya segera menghampiri biang keladi pertempuran tadi, si bangkai kijang. Ia mencium-cium, agaknya menikmati bau bangkai dan darah kijang, lalu menjilat-jilat darah yang mulai mengering.
"Heh-heh-heh, sergap! Sergap dari atas!" tiba-tiba Koai Atong berteriak-teriak girang.
Anak tua itu dengan pandangan matanya yang tajam dan telinganya yang terlatih dapat mendengar suara menggelesernya tubuh ular besar di pohon, sebelah atas harimau hitam itu.
Mendengar suara Koai Atong, si harimau menjadi kaget. Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi lebih terkejut dan marah lagi ketika pada saat itu ada seekor ular sebesar paha manusia meluncur dari atas dan serta-merta menyerang. Kembali terjadi pertandingan mati-matian untuk menentukan berlakunya hukum rimba.
Harimau hitam itu ganas sekali, mencakar, menggigit sampai kulit ular robek-robek. Akan tetapi setelah ia kena dibelit, mulailah ia merasa-payah, lalu membanting diri ke kanan kiri. Si ular tidak mau melepaskan belitannya, malah segera menggigit leher harimau itu, tak mau melepaskan lagi.
Ramai sekali pertandingan ini dan makin sukalah hati Koai Atong. Akhirnya harimau roboh tak berkutik lagi, mati karena gigitan dan belitan ular yang amat kuatnya itu. Binatang yang kali ini menang, melepaskan lilitannya, lalu terjadilah hal lucu yang membuat Koai Atong terkekeh-kekeh di tempat persembunyiannya.
Ular besar itu agaknya bimbang ragu, yang mana harus dia ganyang lebih dulu di antara dua hidangan lezat ini. Sebentar dia merayap ke bangkai kijang, menjilat-jilat, lalu kembali merayap ke bangkai harimau hitam. Ada empat lima kali dia beragu seperti itu.
Tiba-tiba Koai Atong berseru, "Ha-ha-ha, pemiliknya datang!"
Benar saja. Dari atas melayang turun dua ekor burung rajawali putih. Sekarang tahulah Koai Atong bahwa rajawali yang menerkam kijang tadi pergi untuk memanggil anaknya. Sekarang ia telah datang kembali bersama seekor rajawali putih lain yang lebih kecil dan kelihatan masih amat muda.
Dan sekarang ternyata bahwa binatang ular itu agaknya lebih cerdik dari pada binatang-binatang yang lain. Begitu melihat dua ekor burung yang besar dan kuat ia maklum bahwa ia takkan kuat melawannya. Ia mengeluarkan suara mendesis karena kecewa dan marah, akan tetapi lalu menggeleser lari bersembunyi ke dalam semak-semak.
"Heei! Pengecut kau! Datang yang kuat lari tunggang-langgang!" Koai Atong berteriak-teriak dan memaki-maki ular.
Dua ekor burung rajawali putih itu kaget mendengar suara orang. Mereka menengok ke kanan kiri, nampaknya marah sekali. Pada saat itu Koai Atong sudah siap sedia untuk meloncat keluar dan menangkap burung yang lebih besar. Akan tetapi kembali ia terkejut ketika mendengar suara melengking yang amat nyaring dari atas dan daun-daun pohon bergerak-gerak tertiup angin keras.
Mendadak tanpa memperdengarkan kelepak sayap seperti dua ekor rajawali putih tadi, dari atas menyambar turun bayangan kuning keemasan yang menyilaukan mata. Ternyata yang menyambar turun ini adalah seekor burung rajawali pula. Besarnya tidak luar biasa, tidak lebih besar dari pada rajawali putih itu, malah kepalanya lebih kecil dan dadanya lebih kurus. Akan tetapi yang aneh adalah bulunya yang berwarna kuning keemasan, bersih dan mengkilap amat indahnya, seakan-akan bulu-bulunya terbuat dari pada sutera emas.
Ketika dua ekor burung rajawali putih itu melihat si rajawali emas, mereka kelihatan amat ketakutan, mengeluarkan suara merintih-rintih. Tetapi sebaliknya, rajawali emas yang baru datang mengeluarkan suara melengking yang nyaring hingga menyakitkan anak telinga, nampaknya marah sekali, kemudian tiba-tiba wajahnya bergerak ke depan, patuknya yang runcing agak melengkung itu bergerak-gerak seperti bibir orang bicara, lehernya bergerak dan... Koai Atong mengeluarkan seruan heran, kaget, dan kagum.
Dia adalah seorang ahli silat yang berpemandangan tajam. Walau pun dia dalam urusan umum merupakan seorang yang tolol seperti kanak-kanak, akan tetapi dalam hal ilmu silat dia termasuk seorang ahli.
Namun gerakan rajawali emas tadi sama sekali tak dapat ia ikuti dengan penglihatannya, tahu-tahu kedua ekor rajawali putih tadi sudah roboh dengan kepala berlubang dan mati pada saat itu juga! Saking herannya Koai Atong sampai berdiri bengong dan melihat ke arah rajawali emas itu.
Rajawali emas itu berdiri dengan gagahnya, mengangkat dada, mengeluarkan suara tiga kali lalu menghampiri bangkai harimau yang menggeletak di sana. Kepalanya bergerak, paruhnya meyambar.
“Crattt!”
Ketika paruhnya dicabut ternyata paruh itu telah menggigit sebuah benda merah, yaitu jantung harimau tadi. Sekali telan lenyaplah jantung itu, kemudian ia menghampiri kijang dan seperti juga tadi, sekali paruhnya menyambar dia sudah berhasil mengambil jantung kijang. Setelah itu ia mengambil dan makan jantung dua ekor rajawali putih itu seperti cara tadi.
Koai Atong tak bisa menahan kekagumannya melihat gerakan ini. Ternyata paruh rajawali emas itu lebih hebat dari pada sebatang pedang di tangan seorang ahli. Ahli pedang yang mana pun juga kiranya takkan mungkin dapat meniru rajawali emas itu, sekali tusuk dapat mengambil jantung di dalam dada binatang-binatang tadi.
"Hebat! Kim-tiauw-heng (Kakak Rajawali Emas) kau benar-benar lihai sekali!"
Sambil berkata demikian Koai Atong berjingkrak-jingkrak keluar dari tempat sembunyinya, menghampiri rajawali emas itu dan mengacung-acungkan ibu jari tangan kanannya.
"Serrr…!"
Secepat kilat sayap kanan burung itu menyambar, didahului angin pukulan yang sangat dahsyat ke arah tubuh Koai Atong.
"Heee..., jangan...!" Koai Atong berseru kaget.
Cepat ia mengelak sambil merebahkan diri ke kanan, akan tetapi celaka baginya, gerakan sayap kanan burung itu ternyata hanya merupakan tipuan belaka karena yang bergerak sesungguhnya adalah sayap kirinya yang menyambar tanpa menerbitkan angin. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Koai Atong terpukul oleh sayap kiri. Kekuatan pukulan ini hebat luar biasa sehingga tubuh Koai Atong mencelat dan menggelundung sampai lima meter jauhnya!
Baiknya Koai Atong sudah memiliki ilmu tinggi dan ketika merasa bahwa ia tidak dapat menghindarkan diri dari pukulan tadi, ia cepat menggerahkan Iweekang dan membiarkan tubuhnya didorong sampai bergulingan. Dia hanya merasa kepalanya agak pusing, tapi tidak terluka. Cepat ia bangun berdiri dan matanya membelalak lebar.
Pukulan rajawali itu benar-benar membuatnya makin kagum dan terheran-heran lagi. Seorang ahli silat kelas tinggi belum tentu akan sanggup merobohkannya dalam satu jurus saja! Dan gerakan burung ini benar-benar mengandung gerak tipu silat yang luar biasa.
"Kim-tiauw-heng, apa kau hendak bermain-main denganku? Hemmm, kalau kau mampu merobohkan aku lagi, benar-benar kau lihai dan aku mengangkatmu menjadi guruku!"
Dia meloncat maju lagi ke depan burung itu yang memandang kepadanya dengan mata emasnya yang mengandung sinar mengejek dan menghina. Koai Atong sekarang sudah siap sedia untuk bertempur, maka begitu burung itu menyerangnya lagi dengan gerakan seperti tadi, yang memukul dengan sayap kanan yang mengeluarkan angin menderu, ia tidak mengelak ke kanan dan selalu memperhatikan gerakan sayap kiri.
Akan tetapi ternyata burung itu tidak mengubah gerakannya. Sseperti tadi sayap kirinya menyusul dengan tamparan yang tidak mengeluarkan angin, tamparan yang tadi sudah membuat Koai Atong terguling-guling.
"Ha-ha-ha, tidak kena sekarang, kakak rajawali!"
Koai Atong tertawa-tawa mengejek sambil cepat-cepat mengelak dari serangan sayap kiri yang berbahaya ini. Akan tetapi suara tertawanya segera disusul seruan terkejut ketika mendadak burung itu menyambar ke depan dengan kedua kaki digerak-gerakkan seperti orang melakukan tendangan! Kedua kaki itu menendang secara bergantian, saling susul menyusul sehingga sukar diduga kaki mana yang sesungguhnya akan menyerang.
Koai Atong tak dapat menghadapi serangan yang luar biasa ini dan sekali lagi tubuhnya mencelat dan terguling-guling, malah lebih jauh dari pada tadi!
Dengan pipi agak membengkak dan mata terbelalak heran Koai Atong merayap bangun. Dalam pandangan matanya, burung itu seperti tersenyum mengejek dan mata burung itu seperti berseri-seri menertawakannya. Timbul marah dalam hatinya.
"Kau curang! Kau licik! Aku masih belum kalah."
Dia melompat maju sambil memutar-mutar lengan kirinya, kemudian dia memukul ke arah sebatang pohon. Pohon itu segera roboh dalam keadaan layu!
Rajawali emas agaknya kaget melihat ini. Dia mengeluarkan suara aneh, lalu terbang ke atas tetapi bukan untuk melarikan diri, melainkan dari atas ia lalu menukik ke bawah dan menyerang Koai Atong dengan dahsyatnya!
Tadi berhadapan di atas tanah saja sudah dua kali Koai Atong roboh dalam segebrakan saja, apalagi sekarang burung itu menyerangnya dari atas. Betapa pun juga, Koai Atong seorang ahli silat yang sudah banyak menghadapi lawan-lawan lihai, tidak menjadi gugup atau takut.
Tadi dia memukul roboh pohon untuk memamerkan kepandaian dirinya. Sekarang melihat bahwa burung itu tetap tidak takut kepadanya, dia segera memutar lengan kirinya dan mendorong ke arah burung yang menyerangnya dari atas.
"Plakkk!"
Lengan tangannya bertemu dengan kaki burung yang bergerak seperti menangkisnya. Koai Atong terlempar oleh dorongan tenaga yang mukjijat, sebaliknya burung itu pun mencelat dan hinggap di atas tanah. Sekali lagi Koai Atong tertegun.
Meski seorang ahli silat yang lihai sekali pun belum tentu akan dapat menangkis pukulan Jing-tok-ciang dari tangan kirinya tapi agaknya burung itu sama sekali tidak terluka. Koai Atong makin penasaran. Masa ia kalah oleh seekor burung? Memalukan sekali!
Sambil berseru marah ia kembali menerjang maju, dan sekali ini tanpa ragu-ragu lagi dia mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan Ilmu Pukulan Jing-tok-ciang. Akan tetapi ia kecele, burung itu cerdik bukan main dan mengenal kelihaian pukulan lawan. Kali ini rajawali tidak mau menangkis, dan kedua kakinya dibantu pergerakan sepasang sayapnya bergerak ke sana ke mari mengelak.
Bukan main gerakan kaki ini. Selain gesit dan ringan, juga teratur dalam langkah-langkah tertentu yang ajaib sehingga pukulan-pukulan Jing-tok-ciang itu satu kali pun tidak pernah mengenai tubuhnya. Sebaliknya, tiap kali burung itu menghantam dengan sayapnya, tentu Koai Atong roboh terguling-guling. Kadang-kadang, bagaikan seorang pemain bola yang ulung, kaki burung itu menendang dan membuat tubuh Koai Atong menggelinding seperti bola pula.
Koai Atong marah luar biasa. Begitu marahnya sampai dia menangis berkaok-kaok sambil memaki-maki, persis tingkah laku seorang anak kecil nakal kalau kalah berkelahi. Sambil menangis dan memaki ia mengeluarkan senjatanya yang paling lihai, yaitu sebatang anak panah berwarna hijau. Inilah anak panah yang mengandung racun hijau yang bukan main lihainya. Lawan yang terkena tusukan anak panah ini tubuhnya akan diracuni oleh racun hijau dan jangan harap bisa hidup lagi. Dengan anak panah ditangan kanan Koai Atong maju lagi.
Burung itu agaknya jeri melihat anak panah ini. Dia kini selalu mengelak dan sudah lewat puluhan jurus belum juga Koai Atong dapat mengenai tubuh lawannya, sebaliknya sudah lima kali ia terguling-guling oleh sambaran sayap burung. Diam-diam dia mengeluh karena andai kata tubuhnya tidak kebal dan andai kata sambaran sayap itu rnerupakan pukulan manusia yang mengandung lweekang, tentu dia sudah mampus!
“Alangkah malu kalau tak dapat membalas,” pikirnya.
Pikiran ini membuat ia nekat. Betapa pun juga, pikiran seorang manusia biar pun berjiwa kanak-kanak agaknya masih lebih berakal dari pada pikiran seekor burung. Ketika burung itu untuk kesekian kalinya menampar, Koai Atong sengaja menerima tamparan ini dan berbareng menggunakan anak panahnya memapaki sayap burung.
Hebat pukulan itu, membuat Koai Atong terlempar dan terbanting sampai matanya terasa berkunang-kunang. Akan tetapi burung itu sendiri mengeluarkan suara kesakitan. Anak panah hijau itu telah menancap di sayap kirinya. Ia kebingungan, sayap kirinya menjadi lumpuh dan dengan paruhnya ia menggigit gagang anak panah, lalu dicabutnya.
Dengan kemarahan berkobar-kobar burung itu menggunakan paruh dan kaki kanannya mencengkeram dan... anak panah itu patah dan dilemparnya ke tanah. Sekarang burung itu marah sekali, mengeluarkan bunyi melengking tinggi.
Ia menggerak-gerakkan sayap hendak terbang, akan tetapi sayapnya yang kiri tidak dapat digerakkan. Burung itu mematuk-matuk ke arah sayap kirinya. Ternyata bahwa ujung anak panah hijau masih tertinggal disayapnya itu. Ketika dia tadi mencabut anak panah, saking kuat gerakannya, anak panah itu patah pada ujungnya.
Koai Atong juga marah karena pukulan terakhir itu membuat tubuhnya terasa sakit-sakit semua. Dia lalu meniru suara burung itu, memekik-mekik juga, malah lebih keras sambil memutar-mutar lengan kirinya, siap mengirim pukulan Jing-tok-ciang lagi karena sekarang senjatanya telah rusak.
Sekali lagi Koai Atong memukul dengan Jing-tok-ciang dan biar pun sudah terluka, sekali lagi pula burung itu dapat mengelak menggunakan gerak kaki yang aneh sekali. Sebelum sempat memperbaiki kedudukannya, Koai Atong sudah terdorong lagi oleh pukulan sayap kanan sampai terguling-guling.
Koai Atong bangun lagi sambil menggoyang-goyang kepala keras-keras karena matanya makin berkunang. Sekarang timbul akalnya. Setelah pusingnya hilang dia lalu menyerang membabi-buta, mengeluarkan semua kepandaian yang pernah ia pelajari, akan tetapi kini semua serangannya ia tujukan dari arah kiri burung itu.
Memang bagaimana pun juga, akal Koai Atong lebih menang dari pada akal binatang itu sehingga kali ini burung rajawali itu menjadi sibuk sekali mengelak tanpa bisa menyerang kembali karena sayap kirinya sudah terluka dan tak dapat digerakkan lagi. Agaknya hal ini membuat ia menjadi gentar. Sambil memekik-mekik burung itu lalu lari meninggalkan Koai Atong.
"Kau hendak lari ke mana? Sebelum berlutut minta ampun mana aku mau melepaskan kau?" Koai Atong memaki-maki dan mengejar.
Akan tetapi larinya burung itu bukan main cepatnya! Seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak tanah, padahal sayapnya yang kiri sudah tidak dapat digunakan untuk terbang lagi. Apalagi kali ini agaknya pembawaan binatang itu mengatasi akal manusia, karena kini larinya menyusup-nyusup melalui semak belukar sehingga payahlah bagi Koai Atong untuk dapat mengikuti terus.
Akhirnya ia tertinggal jauh dan sesampainya di tengah hutan yang lebat ia bingung karena tidak tahu harus mengejar ke mana. Burung rajawali emas itu lenyap seperti ditelan bumi. Namun, orang seperti Koai Atong mana mau sudah begitu saja? Ia seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainan bagus, maka sambil memaki-maki dan marah-marah ia pun mencari terus…..
********************
Seorang wanita muda berjalan seorang diri di dalam hutan itu. Wanita ini masih muda sekali, baru berusia sekitar dua puluh satu tahun. Sungguh pun badannya tidak terpelihara baik-baik, dapat dilihat dari pakaiannya yang tidak teratur serta rambutnya yang kusut, namun tak dapat disangkal oleh siapa pun juga bahwa dia adalah seorang wanita muda yang amat cantik jelita.
Sayang bahwa pada waktu itu, tidak saja pakaian dan badannya tidak terawat baik-baik, juga pada wajah yang cantik manis itu nampak kedukaan dan kesengsaraan hati yang amat hebat. Wajah itu sungguh suram dan pada pipinya nampak bekas-bekas air mata.
Sambil menundukkan mukanya, wanita itu berjalan di dalam hutan. Kakinya melangkah tanpa tujuan seperti orang berjalan dalam tidur. Berulang-ulang ia menarik nafas panjang, kadang-kadang mengeluarkan air mata.
Tiba-tiba ia dibangunkan dari lamunannya oleh suara lirih yang datang dari semak-semak belukar. Suara yang mengandung keluh kesakitan, merintih-rintih.
Wanita itu tertarik hatinya dan menyelinap memasuki belakang semak-semak yang amat rapat dan liar. Ternyata di situ mendekam seekor burung yang merintih-rintih kesakitan. Wajah wanita itu nampak kaget melihat seekor burung yang begitu besarnya dan bulunya seperti emas berkilauan.
Ketika melihat sayap kiri burung itu tergantung lemas dan darah bercucuran dari luka nya yang masih tertancap ujung anak panah, wanita itu berkata, suaranya penuh perasaan kasihan. "Ahhh, sayapmu terluka? Kasihan sekali, mari kucabut ujung anak panah itu. Siapa orangnya yang begitu kurang ajar melukai burung begini indah?"
Dari suaranya saja mudah diketahui bahwa pada dasarnya wanita ini bersikap gagah dan pembela kaum lemah, sayang bahwa dia sedang disiksa oleh penderitaan batin agaknya.
Burung itu bukan lain adalah rajawali emas yang terluka oleh anak panah Koai Atong. Biar pun dia hanya seekor burung, namun ia termasuk binatang yang cerdik juga dan dapat mengenal kawan atau lawan. Agaknya ia berkesan baik terhadap wanita ini, buktinya ia lalu mengeluarkan suara merintih dan menjulurkan sayap kirinya bagai seorang anak kecil memperlihatkan tangannya yang sakit kepada ibunya.
Wanita itu meraba sayap itu, memeriksa sebentar.
"Ah, kasihan sekali kau, alangkah kejam orang yang melukaimu. Tentu sakit dan perih..." tiba-tiba ia meramkan mata dan menyarnbung, "namun, burung yang baik, betapa pun sakitnya sayapmu, tak akan sesakit hatiku..."
la membuka mata lagi lalu menggunakan jari-jari tangan yang runcing mungil mencabut ujung anak panah yang masih menancap dalam-dalam di sayap kiri burung itu. Dengan amat mudahnya anak panah tercabut dan darah hijau menghitam bercucuran keluar. Dari gerakan cara mencabut ini saja dapat diketahui bahwa wanita muda yang cantik jelita ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga.
Melihat darah agak kehijauan itu wanita ini nampak kaget hingga berseru, "Celaka, anak panah ini beracun! Ahh, mungkin kau tak akan tertolong lagi..." suaranya terdengar sedih sekali. "Tapi biarlah kucoba mengobatinya dengan obat luka yang kubawa dari Hoa-san."
Wanita itu mengeluarkan bungkusan kecil, lalu mengobati luka di sayap burung itu dengan obat bubuk putih. Burung itu diam saja hanya merintih-rintih perlahan, kemudian dengan mesra lehernya dia gosok-gosokkan kepada leher dan kepala wanita itu.
Wanita itu pun membelai kepala burung itu sambil berkata terharu, "Ah, burung yang baik, kau seekor binatang saja tahu terima kasih..."
Tiba-tiba terdengar suara berisik daun-daun kering terinjak disusul bentakan parau, "Ah, kiranya kau bersembunyi di sini, rajawali iblis?" Dan muncullah Koai Atong yang mukanya masih bengkak-bengkak dan matang biru karena tadi beberapa kali dihajar oleh burung rajawali itu sampai terguling-guling.
Akan tetapi begitu pandang matanya bertemu dengan wanita cantik itu, kemarahan Koai Atong seketika lenyap dan matanya terbelalak memandang wanita itu. Mulutnya yang masih membengkak tlba-tiba terbuka dan tertawa lebar, wajahnya berseri-seri gembira.
"Enci Hong...! Ha-ha-ha, benar, engkau adalah Enci Hong...!" dia bersorak gembira dan meloncat-loncat seperti anak kecil menari-nari mendekati wanita muda itu.
Wanita muda itu menarik napas panjang. "Hemm, Koai Atong, jadi kaukah yang melukai burung ini?"
"Ahhh, jadi dia ini burungmu, Enci Hong?"
Wanita itu meragu sebentar, lalu mengangguk, "Betul."
"Waduh, celaka! Kalau aku tahu dia burungmu, tentu aku tidak berani mengganggunya." Koai Atong lalu menghampiri burung itu dan menjura sangat dalam. "Kim-tiauw-ko (Kakak Burung Rajawali Emas), kau maafkan aku, ya? Aku tidak tahu bahwa kau adalah milik dan peliharaan Enci Hong."
Melihat Koai Atong mendekat, burung itu marah dan hendak mematuk, tetapi wanita itu mencegahnya sambil merangkul lehernya. "Dia ini orang sendiri, jangan diganggu." Dan aneh sekali, burung itu tidak jadi menyerang.
"Koai Atong, jadi burung ini adalah seekor kim-tiauw (rajawali emas)?"
"Lho, kok aneh sekali kau ini. Masa tidak mengenal burung peliharaan sendiri?"
"Baru sekarang aku mendengar bahwa dia adalah rajawali emas. Koai Atong, kau telah melukainya dengan racun hijau, sekarang kau harus memberi obat padanya."
"Baik... baik... ahh, Enci Hong. Jika dia burungmu, benar-benar aku harus dipukul!" Koai Atong cepat mengeluarkan obat bubuk dari dalam sakunya.
Sebagai seorang ahli Jing-tok (Racun Hijau), tentu saja dia juga tahu bagaimana harus mengobati luka karena Jing-tok itu. Beberapa kali ia menyedot luka di sayap itu dengan mulutnya, kemudian ia menaruhkan obat bubuknya yang berwarna kuning. Benar saja, dalam waktu tak berapa lama burung itu sudah dapat menggerak-gerakkan kembali sayap kirinya.
Siapakah wanita muda itu? Dia bernama Kwa Hong cucu murid Hoa-san-pai akan tetapi oleh karena dia secara langsung menerima gemblengan dari kakek gurunya, yaitu ketua Hoa-san-pai yang bernama Lian Bu Tojin, maka ilmu silatnya amat tinggi.
Beberapa bulan yang lalu Kwa Hong gadis gagah perkasa ini mengalami peristiwa yang amat menghancurkan hatinya. Dia tertawan musuh dan ditahan di benteng bala tentara Mongol. Beng San, pemuda sakti yang telah menjatuhkan hatinya, telah menolongnya dan kemudian mereka berdua terjebak oleh tipu daya musuh.
Musuh yang jahat telah menaruhkan obat mukjijat dalam makanan sehingga dia dan Tan Beng San dalam keadaan tidak sadar telah jatuh dalam kekuasaan obat mukjijat itu dan telah melakukan pelanggaran susila, telah melakukan hubungan seperti suami isteri.
Hal ini sesungguhnya tidak mendukakan hati Kwa Hong karena memang ia mencinta Tan Beng San dengan seluruh jiwa raganya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika pada keesokan harinya setelah sadar dari pengaruh obat itu, Beng San menyatakan penyesalannya, minta mati dan malah mengaku Beng San tak mungkin dapat memperisterinya karena pemuda itu sudah jatuh cinta kepada seorang gadis lain!
Demikianlah, dengan hati hancur, perasaan malu dan amat kecewa, Kwa Hong lalu lari pergi dengan maksud menjauhkan diri dari segala keramaian dunia. Apa lagi yang dapat ia harapkan? Orang yang dicintanya, yang tidak hanya merebut hati dan jiwanya, malah sudah pula memiliki badannya, tidak mau menerimanya dan menyatakan cinta kepada gadis lain!
Ibu dia sudah tidak punya. Ada pun ayahnya... ahh, makin sedih kalau Kwa Hong teringat ayahnya. Ayahnya adalah seorang pendekar besar yang ternama, seorang jagoan dari Hoa-san-pai, murid tertua dari Lian Bu Tojin.
Hoa-san It-kiam (Pedang Tunggal dari Hoa-san) Kwa Tin Siong adalah seorang tokoh persilatan yang mempunyai nama besar dan harum. Akan tetapi, nasib manusia memang tak dapat dipastikan. Ayahnya yang sudah lama menjadi duda itu teriibat dalam persoalan asmara dengan adik seperguruannya sendiri, yaitu Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) Lim Sian Hwa. Karena marahnya Lian Bu Tojin hendak membunuh Lim Sian Hwa, namun serangan pedangnya ditangkis oleh Kwa Tin Siong, membuat lengan kirinya putus dan ayahnya itu kemudian membawa lari Sian Hwa yang pingsan, pergi entah ke mana!
Siapa lagi yang dapat diharapkan oleh Kwa Hong? Hatinya perih sekali, dan lebih-lebih lagi bingung serta perih rasa hatinya ketika dalam perantauannya ini dia mendapatkan kenyataan bahwa ia telah mengandung! Tuhan menjatuhkan hukuman pada makhluk-Nya yang sesat!
Hubungannya dengan Tan Beng San tidak saja menghancurkan hatinya, tapi juga akan mendatangkan aib dan malu. Dia telah mengandung di luar pernikahan yang sah. Ia akan mempunyai anak tanpa mempunyai suami!
Setelah mendapat kenyataan ini, beberapa kali Kwa Hong hendak membunuh diri saja, namun wataknya yang keras menimbulkan satu tekad padanya. Ia tak boleh mati karena ia harus melakukan pembalasan! Kepada siapa? Kepada siapa saja yang telah membuat ia menjadi begini, kepada siapa saja yang telah membuat penghidupannya hancur lebur.
Demikianlah, secara kebetulan ia pun tiba di hutan itu dan bertemu dengan Koai Atong. Ia memang mengenal baik Koai Atong ini, semenjak dia kecil dahulu Koai Atong selalu baik kepadanya.
Setelah berjumpa dengan Koai Atong ini, teringatlah dia akan kata-katanya di depan Tan Beng San. Kata-kata terakhir untuk menyatakan kehancuran hatinya. "Aku akan menikah dengan laki-laki yang paling buruk dan paling bodoh yang pertama kali kujumpai."
"Ah, bukankah Koai Atong ini boleh dibilang laki-laki yang paling buruk dan paling bodoh?” Dan melihat ketaatan Koai Atong kepadanya... ha! Siapa lagi di dunia ini yang boleh ia percaya?
"Koai Atong, apakah kau masih suka kepadaku?" mendadak Kwa Hong bertanya sambil memandang tajam kepada laki-laki tinggi besar yang bermuka bodoh itu.
Koai Atong tertawa senang, "Tentu saja, Enci Hong. Aku suka sekali padamu, kau adalah seorang teman yang amat baik."
"Apakah kau suka menurut semua kata-kataku? Jika kau tidak suka menuruti permintaan dan kata-kataku, lebih baik kau tinggalkan aku dan selama hidup jangan lagi kau bertemu dengan aku!"
"Tentu... tentu..." jawab Koai Atong gugup, agaknya laki-laki satu ini memang takut sekali kalau-kalau dia tidak boleh lagi bertemu dengan Kwa Hong, "Aku akan menuruti semua kata-katamu, Enci Hong. Biar disuruh mati pun aku mau!"
Seketika kedua mata Kwa Hong menjadi basah, hatinya tertusuk sekali. Perih dan terharu dia melihat Koai Atong yang demikian mencinta dirinya sehingga bersedia mati untuknya. “Kasihan Koai Atong. Nasibmu tidak berbeda seperti aku,” demikian dia berpikir. Mencinta mati-matian tanpa mendapat balasan.
"Lho, kok menangis, Enci Hong? Siapa yang mengganggumu? Bilanglah, Koai Atong akan menghancurkan kepalanya!" ia berdiri dan mengepal-ngepal tinjunya, nampaknya marah sekali seakan-akan sudah melihat pengganggu Kwa Hong berada di depannya.
"Kau duduklah, Koai Atong," Kwa Hong memegang tangannya dan menariknya duduk di atas tanah.
Sementara itu, burung rajawali emas yang sudah sembuh juga mendekam di belakang Kwa Hong. Dia membelai-belai punggung gadis itu dengan kepala dan lehernya.
Koai Atong nampak girang sekali disuruh duduk dekat Kwa Hong. Sinar matanya seperti mata seorang anak kecil yang minta dipuji.
"Atong, kau dengarlah baik-baik. Aku sekarang hidup seorang diri di dunia ini. Maukah kau bersamaku? Menjadi temanku selamanya dan tak pernah meninggalkan aku?"
"Aku suka... aku suka sekali!"
“Tapi kau tidak boleh pergi ke mana pun juga, harus selalu mengikuti aku dan mentaati permintaanku."
"Boleh... boleh Enci Hong."
"Kalau suhu-mu datang dan meminta kau meninggalkan aku, lalu bagaimana?" Kwa Hong memancing.
Koai Atong menjadi bengong. Orang yang paling ditakuti di dunia ini hanyalah gurunya seorang, yaitu Ban-tok-sim (Hati Selaksa Racun) Giam Kong, hwesio dari Tibet yang amat terkenal sebagai tokoh dari Tibet, ahli Jing-tok-ciang.
Mendengar pertanyaan Kwa Hong ini, ia pun menjadi bingung dan nampak gugup. "Waah, kalau Suhu datang... sulit...!"
Kwa Hong cemberut, "Kalau kau lebih suka kepada suhu-mu, sudahlah, sekarang juga kau boleh tinggalkan aku!"
"Tidak... tidak begitu, Enci Hong. Mana bisa aku lebih suka kepada Suhu yang gundul dan galak? Aku lebih suka kepadamu tentu."
Diam-diam geli juga hati Kwa Hong mendengar ucapan dan melihat sikap Koai Atong ini. "Nah, kalau kau memang suka padaku, kau tak boleh membantah, harus menurut segala kata-kataku. Biar pun suhu-mu datang, kau harus berani menghadapinya dan selamanya kau tidak boleh meninggalkan aku, mengerti?"
Koai Atong mengangguk-angguk seperti ayam makan beras, "Mengerti... mengerti..."
"Jika begitu baru baik dan aku suka menjadi temanmu. Sekarang soal yang kedua. Mulai sekarang, kepada siapa pun juga, kepada gurumu sekali pun, kau harus bilang bahwa aku ini adalah... adalah isterimu."
Sepasang mata Koai Atong terbuka lebar hingga bundar, hidungnya kembang kempis dan mulutnya cengar-cengir seperti orang merasa nyeri dan ketakutan.
"Kau... kau adalah temanku yang baik, yang kubela sampai mati... mana bisa is... isteri segala...?”
Kembali Kwa Hong cemberut marah. "Lagi-lagi kau mau membantah. Ahhh, Koai Atong, kalau belum apa-apa kau sudah membantah saja dan tidak mau menuruti kehendakku, sudahlah kau pergi, biar aku mati seorang diri di sini!"
"Jangan... jangan usir aku, Enci Hong. Baiklah, kau isteriku. Biar kepada setan sekali pun aku akan bilang bahwa kau adalah isteriku. Nah, sudah senangkah hatimu?"
Kwa Hong mengangguk, kemudian dengan pandang mata jauh seperti orang melamun sedih, dia berkata lagi, "Mulai sekarang aku adalah isterimu dan kau... suamiku. Kelak kalau aku melahirkan anak kau harus bilang bahwa anak itu adalah anakmu."
Wajah Koai Atong sampai menjadi pucat mendengar ini, mulutnya ternganga dan matanya terbelalak. Kiranya dia akan terus begini bila saja tidak kebetulan sekali ada lalat terbang memasuki mulutnya, membuat ia mencak-mencak dan mau muntah.
"Kau mau menolak lagi? Mau membantah lagi?" Kwa Hong benar-benar jengkel kali ini.
Koai Atong ketakutan dan cepat ia menjatuhkan diri duduk lagi setelah dengan terpaksa menelan lalat yang nekat itu.
"Tidak, Enci Hong. Aku tidak membantah. Baiklah, anak itu anakku... eh, mana anak itu? Apa engkau mau melahirkan anak, Enci Hong?"
Sekarang Kwa Hong tersenyum, tersenyum sedih. Orang seperti Koai Atong ini bodohnya jauh lebih baik dan murni hatinya dari pada orang-orang yang tampan dan pandai. "Koai Atong, beberapa bulan lagi aku akan melahirkan anak dan ingat baik-baik, anak itu harus kau anggap anakmu sendiri. Aku isterimu dan anak itu anakmu, mengerti?"
"Baik... baik... aku mengerti."
"Andai kata gurumu sendiri datang dan marah, kau harus tetap mengakui aku isterimu dan anak itu anakmu, kau harus berani melawannya."
"Tapi..."
"Apa tapi lagi? Ahh, Koai Atong, janganlah kau bikin aku kehabisan sabar dengan terus membantah."
"Tidak membantah... tidak membantah, Enci Hong yang baik. Tapi Suhu lihai sekali... mana aku kuat melawannya? Kau dan aku akan tewas semua kalau melawannya."
"Takut apa? Kepandaianmu tinggi, dan sedikit-sedikit aku pun berkepandaian. Kita bisa melatih diri dan memperdalam ilmu. Apa bila kelak ada yang datang mengganggu, dengan kepandaian kita, masa kita harus takut?"
Akan tetapi Koai Atong ragu-ragu, menggeleng-geleng kepala. Biar pun dalam persoalan umum ia bodoh dan seperti anak kecil, namun dalam perkara ilmu silat ia jauh di atas Kwa Hong tingkatnya dan tahu bahwa melawan suhu-nya merupakan hal yang mustahil sekali. Tiba-tiba ia teringat dan seperti orang gila ia meloncat dan menari-nari, lalu ia merangkul burung rajawali emas yang mendekam di belakang Kwa Hong.
Burung itu kaget dan hendak menyerangnya, akan tetapi Kwa Hong segera membentak, "Kim-tiauw, jangan serang dia!" Kemudian ia membentak Koai Atong.
"Apa-apaan kau ini, kegirangan tidak karuan?"
"Ada jalan... ada jalan baik Enci Hong, Kim-tiauw-heng ini, kita bisa belajar ilmu silat dari dia. Wah, dia lihai sekali, kiranya suhu-ku sendiri takkan mampu melawannya!"
"Kau gila! Mana ada burung lebih lihai ilmu silatnya dari gurumu? Sedangkan melawanmu saja ia sampai terluka sayap kirinya."
Koai Atong tertawa geli, "Memang ia agak bodoh, tapi lihai bukan main. Kalau aku tidak sengaja mengakalinya, membiarkan diriku dihantam lalu membarengi menusuk sayapnya dengan anak panah, mana aku mampu melukai dia? Seratus kali aku menghantamnya, seratus kali luput pula. Namun setiap kali dia menyerangku, aku terguling-guling. Benar, gerakan-gerakannya adalah ilmu silat yang hebat, ilmu silat ajaib, ha-ha-ha!"
Kemudian ia menghampiri burung itu dan berkata, "Enci Hong, kau lihat sendiri, ya? Aku akan menyerangnya dengan Jing-tok-ciang, ilmu pukulanku yang paling hebat. Tapi kalau dia nanti marah, kau harus menyabarkannya."
Setelah berkata demikian dia memutar-mutar lengan kirinya dan siap menyerang burung itu. Burung itu pun cepat berdiri dan melirik ke arahnya dengan marah.
"Hati-hati Koai Atong. Pukulanmu itu hebat sekali, jangan sampai kau bikin dia mati!" seru Kwa Hong yang sudah mengenal Jing-tok-ciang ini. Dia suka sekali kepada burung yang bulunya seperti emas itu.
"Jangan kuatir, kau lihat saja."
Tiba-tiba Koai Atong memukul, dan terus memukul secara bertubi-tubi sampai lima kali. Akan tetapi benar saja, dengan gerakan yang aneh sekali tapi mudah dan ajaib, burung itu melangkah ke sana ke mari dan... semua serangan itu tak mengenai sasaran. Kemudian, entah bagaimana caranya tahu-tahu sayap kanannya bergerak dan... Koai Atong lantas terdorong sampai terguling-guling. Burung itu mengejar dan dengan marahnya hendak mencengkeram. Koai Atong berteriak-teriak minta tolong.
"Kim-tiauw, jangan serang dia!" bentak Kwa Hong sambil meloncat maju.
Aneh, burung itu benar-benar tunduk kepada Kwa Hong. Dia membatalkan niatnya dan kelihatan girang ketika Kwa Hong merangkul lehernya.
"Hebat... kim-tiauw yang gagah. Kau benar-benar hebat...!" kata Kwa Hong yang sekarang percaya akan kelihaian burung itu.
Koai Atong merayap bangun dan pada jidatnya bertambah sebuah benjolan sebesar telur. Ia menyumpah-nyumpah tapi segera tertawa melihat wajah Kwa Hong berseri gembira.
"Ha-ha, kau tidak menangis lagi, Enci Hong. Baik, bagus, aku senang melihat kau gembira sekarang. Jangan kuatir, kalau aku sudah mempelajari ilmu silat burung kim-tiauw ini, biar ada lima orang selihai Suhu, aku tidak takut!"
Kwa Hong masih tidak mengerti bagaimana harus mempelajari ilmu silat dari seekor burung, akan tetapi melihat kesungguhan Koai Atong, ia percaya, maka ia menjadi girang sekali. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk mempelajari segala ilmu silat dari Koai Atong, kalau mungkin melalui Koai Atong mempelajari gerakan yang ajaib dari burung itu.
Kalau dia sudah mempunyai kepandaian yang tinggi, hemmm, akan tercapai maksudnya menghukum mereka yang membuat hidupnya merana.....
********************
Hoa-san-pai adalah partai persilatan yang besar dan sudah terkenal semenjak ratusan tahun. Sayang sekali partai besar ini menjelang berakhirnya pemerintahan Goan menjadi berantakan. Semenjak dahulu Hoa-san-pai menggembleng pendekar-pendekar budiman sehingga nama baiknya makin harum saja.
Mungkin sudah kehendak Tuhan bahwa segala apa di dunia ini, sampai nama sekali pun, tidak akan kekal adanya. Ada kalanya naik dan ada kalanya turun, ada pasang surutnya.
Nasib yang menimpa Hoa-san-pai ketika di bawah pimpinan Lian Bu Tojin memang amat menyedihkan. Akibat kesalah pahaman disebabkan hal-hal yang amat berbelit-belit dalam masa perjuangan meruntuhkan Kerajaan Mongol dan mengusir penjajah itu dari tanah air, Ketua Hoa-san-pai ini kehilangan semua muridnya yang paling ia andalkan dan sayang.
Empat orang muridnya yang dahulu terkenal sebagai Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san) sekarang sudah tidak ada lagi. Murid pertama, Kwa Tin Siong, sudah minggat entah ke mana setelah tangannya buntung oleh pedang gurunya, pergi bersama murid ke empat, Liem Sian Hwa. Dua yang lain, yaitu murid kedua dan ke tiga, telah tewas dalam permusuhan dengan Kun-lun-pai yang terjadi akibat kesalah pahaman yang hebat.
Memang masih ada empat orang cucu muridnya, yaitu Kwa Hong yang entah ke mana perginya, tetapi kemudian didengar oleh kakek Ketua Hoa-san-pai itu bahwa Kwa Hong sudah hidup bersama Koai Atong. Cucu murid yang lainnya adaiah Kui Lok yang sekarang menjaga Hoa-san-pai bersama Thio Bwee.
Kakek ini sudah rnengambil keputusan untuk merangkapkan dua orang cucu muridnya ini yaitu Kui Lok dan Thio Bwee menjadi suami isteri. Cucu murid ke empat adalah Thio Ki, yaitu kakak dari Thio Bwee yang kini telah bekerja sebagai kepala perusahaan piauw-kiok (pengawal pengantar barang) di Sin-yang. Juga Thio Ki sudah ia jodohkan dengan murid Raja Pedang Cia Hui Gan, yaitu Nona Lee Giok yang patriotik.
Akan tetapi Lian Bu sangat berduka kalau ia teringat akan muridnya yang terkasih, yaitu Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Ke manakah perginya dua orang itu? Pula, ia merasa sedih dan kecewa sekali apa bila dia teringat akan Kwa Hong yang kabarnya tinggal di puncak Lu-Liang-san bersama Koai Atong!
Jika perbuatan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa itu dapat dianggap merusak nama dan kehormatan Hoa-san-pai, maka yang merusak itu adalah dua orang murid Hoa-san-pai sendiri. Akan tetapi kalau sampai terdengar orang kang-ouw tentang Koai Atong dan Kwa Hong, bukankah itu berarti bahwa Koai Atong sengaja hendak menghina Hoa-san-pai dan memandang rendah dan ringan kepadanya?
Pikiran inilah yang selalu mengganggu kakek ini dan membuat ia mengambil keputusan untuk rnencari Ban-tok-sim Giam Kong untuk diminta pertanggungan jawabnya terhadap perbuatan Koai Atong dan kalau guru Tibet ini tidak mau mempertanggung jawabkannya, ia sendiri akan mencari Kwa Hong dan Koai Atong di Lu-liang-san. Dan adalah keputusan ini yang membuat pada suatu hari Lian Bu Tojin berhadapan dengan Ban-tok-sim Giam Kong di tepi gurun pasir di luar tembok besar sebelah utara.
Ban-tok-sim Giam Kong adalah seorang hwesio bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam sekali. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tetapi masih nampak kuat. Tongkat hwesio yang selalu berada di tangannya juga berat, tanda bahwa tenaga hwesio tua ini besar. Sepasang mata hwesio ini memancarkan sinar penuh semangat dan matanya sekarang juga bersinar-sinar ketika dia bertemu dengan Lian Bu Tojin di tempat yang tak disangka-sangkanya itu.
"Omitohud...!" dia mengeluarkan kata-kata pujian sambil merangkapkan kedua tangan ke depan dada, menyembah sebagai tanda hormat. "Angin apa yang meniup Toyu datang ke tempat ini?"
Lian Bu Tojin merangkapkan kedua tangan pula, lalu ia menjura, "Bagus sekali, agaknya memang Thian sudah menghendaki pertemuan kita ini. Losuhu, sengaja pinto mencarimu untuk membicarakan sesuatu urusan amat penting."
"Omitohud, pinceng tidak ingin mendahului kehendak Thian. Akan tetapi, bukankah Toyu mencari pinceng karena urusan muridmu dan muridku?"
"Siancai... siancai...," kata Lian Bu Tojin heran. "Kiranya Losuhu sudah maklum pula akan hal itu. Losuhu, di antara kita ada pertalian persahabatan ketika kita bersama menghadapi bangsa Mongol. Oleh karena itu pula, pinto mohon Losuhu sudi mengingat hubungan baik itu dan suka meluruskan jalan yang bengkok." Kata-kata meluruskan jalan yang bengkok ini berarti membetulkan sesuatu yang salah atau yang tidak wajar.
Giam Kong Hwesio tertawa sambil berdongak, giginya yang masih lengkap dan kuat itu berkilat-kilat putih di ballk kulit mukanya yang hitam.
"Lian Bu-toyu memakai kata-kata halus tetapi maksudnya hendak menyalahkan pinceng dalam hal ini, ha-ha-ha! Sebetulnya, pinceng sendiri pun sangat heran mengapa muridmu yang muda dan cantik jelita itu suka kepada murid pinceng yang bodoh dan gila. Kalau muridmu suka, mengapa hendak menyalahkan pinceng?"
Wajah Lian Bu Tojin yang putih itu berubah agak merah. Benar-benar memalukan sekali sikap Kwa Hong itu, akan tetapi betapa pun juga, ia harus menjaga nama dan kehormatan Hoa-san-pai.
"Pinto meragukan apakah Kwa Hong dengan suka rela ikut dengan muridmu. Harus diakui bahwa kepandaian muridmu itu jauh lebih tinggi dari pada Kwa Hong. Andai kata muridmu itu hendak mengambil Kwa Hong sebagai jodohnya, itu pun harus melalui saluran-saluran yang terhormat. Maka dari itu, Losuhu, telah jelas bahwa muridmu melanggar kesusilaan, menghina Hoa-san-pai. Apa bila Losuhu tidak mau turun tangan sendiri, terpaksa untuk menjaga nama baik Hoa-san-pai, pinto yang akan mewakili Losuhu."
Kali ini Ban-tok-sim Giam Kong tidak tertawa lagi, menarik muka sungguh-sungguh dan berkata, "Lian Bu-toyu, kau enak saja bicara seperti orang yang bersih mulus! Ketahuilah, di dalam urusan antara muridmu dan muridku ini terdapat rahasia yang pinceng sendiri masih belum dapat pecahkan. Kau tahu, Atong selama hidupnya sangat taat dan takut kepadaku, akan tetapi sekali ini dia membangkang dan sama sekali tidak mau kembali kepada pinceng. Ini tidak sewajarnya dan agaknya muridmu itulah yang memaksanya, entah dengan pengaruh apa. Selain dari itu, supaya kau tahu saja, pinceng yang menjadi gurunya tahu betul bahwa diri Koai Atong itu tidak normal lagi, tidak mungkin dia mampu menjadi seorang suami karena pinceng sendiri yang dulu sudah turun tangan mematikan pembangkit nafsunya. Dia akan tetap menjadi kanak-kanak sampai matinya kelak dan tak mungkin dia akan mampu melakukan hubungan dengan wanita sebagai suami isteri. Nah, setelah keadaan seperti ini, lalu sekarang pinceng mendengar dia mati-matian mengaku sebagai suami muridmu, bukankah hal ini aneh sekali?"
Lian Bu Tojin mengerutkan alisnya. Orang seperti Ban-tok-sim Giam Kong ini tidak aneh bila melakukan kekejian seperti yang dilakukan terhadap Koai Atong itu dan kata-katanya itu boleh dipercaya. Diam-diam ia merasa heran sekali.
Bukan tidak mungkin kalau sebaliknya Kwa Hong yang mempengaruhi bocah tua itu. Ia mengenal baik Kwa Hong yang keras hati dan tidak mau kalah dalam segala hal. Akan tetapi mengapa Kwa Hong melakukan hal itu?
"Giam Kong Losuhu, kalau begitu, karena hal ini menyangkut muridmu dan muridku, jadi menyangkut nama baik kedua pihak, maka marilah kita berdua pergi ke Lu-liang-san dan sama melihat, sebetulnya apakah yang terjadi di sana dan siapa di antara keduanya itu yang bersalah harus kita hukum."
"Usulmu baik sekali, Toyu."
Berangkatlah dua orang kakek pendeta itu menuju ke Lu-liang-san. Keadaan dua orang kakek ini amat jauh berbeda. Giam Kong Hwesio adalah seorang kakek tinggi besar yang bermuka hitam dan tangannya menyeret sebuah tongkat yang besar dan berat, tongkat hwesio yang kepalanya diukir kepala binatang sakti kilin.
Ada pun Lian Bu Tojin yang beberapa tahun lebih muda dari pada hwesio tua itu adalah seorang pendeta tosu yang tinggi kurus, jenggotnya panjang sampai ke perut, pakaiannya sederhana sekali dan tangannya membawa sebatang bambu yang ringan. Di punggung tosu ini tergantung pedang pusaka Hoa-san-pai.
Walau pun dua orang kakek ini sudah tua sekali, sudah lebih enam puluh tahun, namun berkat tingkat kepandaian mereka yang tinggi, dengan ilmu lari cepat mereka, dalam beberapa hari saja mereka sudah mulai mendekati Bukit Lu-liang-san yang sunyi. Akan tetapi mencari dua orang di atas pegunungan yang banyak puncaknya dan kaya akan hutan-hutan lebat itu bukanlah pekerjaan mudah.
Setelah berkeliaran beberapa hari barulah pada suatu pagi mereka berhasil menemukan Koai Atong. Ini pun kalau Koai Atong tidak sedang memanggang daging harimau kiranya masih belum akan dapat ditemukan oleh dua orang kakek itu.
Asap yang bergulung-gulung itulah yang menarik hati dua orang kakek ini dan akhirnya mereka melihat Koai Atong sedang memanggang daging dalam sebuah hutan yang lebat. Koai Atong tertawa-dan menyanyi seorang diri, nampaknya gembira bukan main.
Giam Kong Hwesio yang menghampiri dengan diam-diam merasa terharu juga. Ia sudah terlalu kenal akan watak muridnya ini dan ia dapat melihat betapa muridnya itu betul-betul merasa bahagia hidupnya. Maka meragulah ia, apakah ia harus mengganggu kehidupan yang begitu tenteram dan bahagia dari Koai Atong? Akan tetapi karena ada urusan yang menyangkut diri Kwa Hong murid Hoa-san-pai, tentu saja ia pun tidak dapat mendiamkan saja.
"Koai Atong, sedang apa kau di sini seorang diri?" tegur Giam Kong Hwesio.
Koai Atong nampak kaget, apalagi setelah menengok ia melihat gurunya bersama Lian Bu Tojin sudah berdiri di depannya. Saking gugupnya ia lalu mendekatkan daging yang baru dipanggangnya itu ke mulut, lalu... digigitnya daging setengah matang yang masih panas sekali itu. Ia seperti lupa diri dan terus makan daging yang masih mengebul itu dengan enaknya sambil kedua matanya memandang kepada dua orang kakek itu, terbelalak.
"Koai Atong, suhu-mu bertanya kenapa tidak kau jawab?" kata Lian Bu Tojin, suaranya terdengar tenang serta penuh kesabaran. Ketua Hoa-san-pai ini memang tidak pernah memperlihatkan kandungan hatinya sehingga di dalam keadaan marah atau duka ia bisa tertawa.
"Aku... aku sedang makan…" jawab Koai Atong gugup. "Suhu dan Totiang... apakah suka makan daging?"
Kalau saja pertanyaan barusan bukan diajukan oleh Koai Atong yang sudah mereka kenal wataknya yang kekanak-kanakan, sudah tentu akan merupakan pertanyaan yang sifatnya menghina. Masa dua orang pendeta yang pantang makan bernyawa ditawari daging?
"Atong, kedatangan pinceng dan Lian Bu-toyu ke sini bukan untuk makan daging, tetapi untuk mencari kau dan Nona Kwa Hong. Kabarnya kau dan Nona Kwa Hong berada di sini, sekarang di mana adanya nona itu?"
Mendengar pertanyaan gurunya, Koai Atong lalu berdiri, mulutnya masih bergerak-gerak makan daging panas.
"Ada keperluan apakah kau mencari isteriku?"
Terbelalak mata Giam Kong Hwesio mendengar kata-kata dan melihat sikap yang kurang ajar serta menantang ini. "Atong, apa kata mu? Sejak kapan kau memperisteri dia?"
"Semenjak... sejak lama, entah berapa lama. Enci Hong adalah isteriku dan kelak kalau anaknya terlahir, anak itu adalah anakku!" Otomatis Koai Atong meniru kata-kata yang harus ia janjikan kepada Kwa Hong dahulu.
Mendengar kata-kata ini, dua orang kakek itu saling pandang dan keduanya melangkah heran. Keheranan itu perlahan-lahan berubah menjadi kemarahan karena mereka berdua menganggap bahwa hal ini benar-benar keterlaluan.
Dua orang bersuami isteri sampai hampir punya anak dan semua itu terjadi di luar tahu guru masing-masing, terjadi begitu saja tanpa ada pengesahan. Benar-benar merupakan tamparan bagi orang yang menjadi gurunya.
"Atong, jangan kau main gila!" bentak Giam Kong Hwesio dengan muka makin menghitam karena menahan kemarahannya. "Benar-benarkah kau menjadi suami Nona Kwa Hong? Jangan berdusta, jawab terus terang!"
Biasanya apabila gurunya sudah membentaknya seperti itu, hati Koai Atong menjadi jeri dan takut, lalu serta-merta menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi kali ini ia tetap berdiri dan biar pun wajahnya berubah pucat dan tubuhnya menggigil, ia menjawab, "Betul, Suhu. Enci Hong adaiah isteriku, aku suaminya dan anaknya kelak akan menjadi..."
"Tutup mulut!" Giam Kong Hwesio membentak marah sekali. "Atong, lupakah kau bahwa dalam segala hal kau harus mendapat ijin terlebih dahulu dari pinceng? Diam-diam kau mengaku sebagai suami Nona Kwa Hong, siapa yang memaksamu berbuat demikian?"
"Enci Hong yang meminta begitu, Suhu... dan aku... aku tidak bisa menolaknya, tidak mau aku membikin Enci Hong marah dan berduka."
Giam Kong Hwesio lalu melirik ke arah Lian Bu Tojin, sinar matanya seolah-olah berkata, "Nah, semua adalah kesalahan muridmu!"
Akan tetapi Lian Bu Tojin tidak berkata apa-apa, dia hanya memandang ke sana ke mari, agaknya mencari Kwa Hong.
"Atong, sekarang juga kau harus tinggalkan tempat ini dan ikut bersama pinceng!"
Wajah Koai Atong semakin pucat. "Apa...? Pergi meninggalkan Enci Hong...? Tidak, Suhu. Aku tidak mau, aku tidak bisa berpisah dari Enci Hong. Karena itu aku tidak mau pergi ikut denganmu!"
"Setan! Atong, apakah kau hendak melawan gurumu?"
"Siapa pun juga tak boleh memisahkan aku dengan Enci Hong!" Koai Atong masih tetap membantah.
"Keparat, kalau begitu lebih baik pinceng melihat kau mati!"
Tiba-tiba tubuh yang tinggi besar dari Giam Kong Hwesio itu bergerak dan tahu-tahu dia sudah mengirim serangan maut ke arah kepala Koai Atong.
Ia sudah maklum sampai di mana tingkat kepandaian muridnya ini, yaitu tidak selisih jauh dengan tingkatnya sendiri, maka begitu turun tangan ia segera mengirim pukulan dengan jurus yang mematikan dan yang kiranya tak akan dapat dihindarkan oleh muridnya itu.
Akan tetapi, di luar dugaannya sama sekali, tubuh Koai Atong bergerak sedikit, kakinya menggeser dan kedua lengannya dikembangkan seperti sayap dan... serangan itu hanya mengenai tempat kosong Giam Kong Hwesio terkesiap, bukan karena dihindarkannya serangannya, melainkan cara muridnya itu bergerak menyelamatkan diri. Gerakan kaki dan kedua tangan muridnya itu sama sekali asing baginya.
"Murid murtad, kau sudah mempelajari ilmu silat lain pula? Nah, pergunakan ilmu silat barumu untuk menghadapi ini!"
Kembali Giam Kong Hwesio menyerang, kini dia menyerang sambil mengerahkan tenaga Jing-tok-ciang yang luar biasa hebatnya. Akan tetapi ia kembali kecele sampai berkali-kali. Serangannya susul-menyusul sampai dua puluh empat jurus tanpa berhenti, akan tetapi kesemuanya itu dapat dihindarkan dengan arnat mudahnya oleh Koai Atong.
Melihat hal ini tadinya Lian Bu Tojin sendiri mengira bahwa Giam Kong Hwesio hanya menggertak muridnya dan masih merasa sayang untuk menghukumnya. Tetapi sesudah melihat betapa Giam Kong Hwesio makin lama makin marah dan serangan-serangannya betul-betul amat berbahaya, ia mulai memperhatikan dan amat heranlah hatinya sendiri menyaksikan betapa luar biasa dan anehnya gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Koai Atong itu.
Tubuh Koai Atong yang tinggi besar itu agak membungkuk, kakinya berloncatan ke sana sini, kedua lengannya dikembangkan seperti burung yang hendak terbang. Dan setiap kali serangan datang selalu otomatis kaki dan tangannya bergerak secara aneh, tetapi selalu dapat menghindarkan semua pukulan pula.
"Kurang ajar, kau benar-benar hendak melawan gurumu sendiri? Atong, kalau begitu biar pinceng mengadu nyawa denganmu!" seru Giam Kong Hwesio yang menjadi marah luar biasa.
Tiba-tiba terdengar suara merdu dari atas, "Koai Atong, hwesio buruk itu bukan gurumu lagi, balaslah dengan Jing-tok-ciang yang baru kita latih kemarin!"
Wajah Koai Atong berseri-seri mendengar suara ini, lalu ia pun menjawab, "Baiklah, Enci Hong. Ehhh, hwesio buruk, kau bukan guruku lagi dan sekarang kau rebahlah!" Sambil berkata demikian Koai Atong memutar-mutar lengan kiri hendak menggunakan pukulan Jing-tok-ciang.
Tentu saja serangan ini dipandang ringan oleh Giam Kong Hwesio. Dialah yang dahulu menciptakan ilmu Pukulan Jing-tok-ciang ini, masa kini ia hendak diancam dengan ilmu pukulan ciptaannya itu? Hampir ia tertawa melihat bekas muridnya memutar-mutar tangan kirinya. Tepat seperti yang dahulu dia ajarkan, tangan kiri Koai Atong mendorong dengan tenaga Jing-tok-ciang.
Tentu saja sebagai penciptanya, Giam Kong Hwesio tahu cara pemecahannya, bahkan tahu cara untuk membalas secara hebat. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dan dengan Jing-tok-ciang pula tapi dengan tenaga ‘menyedot’ ia menangkis dengan tangan kanannya kepada dorongan tangan kiri muridnya itu.
Dua tangan bertemu dan saling menempel. Giam Kong Hwesio sudah merasa girang karena kali ini dia pasti akan dapat merobohkan bekas muridnya itu. Siapa kira tiba-tiba tangan kanan Koai Atong bergerak mendorong dan... ternyata tangan kanan inilah yang mengandung tenaga Jing-tok-ciang sepenuhnya sedangkan tangan kirinya tadi hanyalah gertak atau tipuan belaka.
"Bukkk!"
Tubuh Giam Kong Hwesio terhuyung-huyung, matanya terbelalak melotot memandang kepada Koai Atong, kemudian ia roboh terguling dengan mata masih melotot akan tetapi putus nyawanya. Hwesio Tibet ini sudah tewas di tangan muridnya sendiri, bahkan oleh ilmu pukulan yang dulu ia ciptakan sendiri.
Akan tetapi Jing-tok-ciang yang dipergunakan oleh Koai Atong ini telah berubah banyak. Gerakannya sudah dicampur dengan gerakan aneh yang dia pelajari bersama Kwa Hong dari burung rajawali emas!
Lian Bu Tojin sejak tadi memandang ke atas, ke arah suara. Ternyata Kwa Hong sedang duduk di atas punggung seekor burung rajawali yang berbulu kuning emas. Agaknya burung itu tadi terbang mendatang dengan gerakan sayap yang amat halus sehingga tidak menimbulkan suara dan telah hinggap di cabang dengan Kwa Hong di punggungnya.
Hampir Lian Bu Tojin tidak mengenal muridnya ini lagi. Kwa Hong memakai pakaian serba putih, tidak merah seperti dulu lagi, dan ia duduk di atas punggung rajawali dengan lagak angkuh dan agung seperti seorang ratu duduk di atas singgasana dari emas!
Sama sekali Kwa Hong tidak pernah melirik ke arah Lian Bu Tojin. Begitu melihat Giam Kong Hwesio roboh dan tewas, Kwa Hong tertawa dengan suara yang membikin bulu tengkuk berdiri. Dalam pendengaran Lian Bu Tojin, suara itu setengah tertawa setengah menangis.
Betapa pun juga, melihat Koai Atong membunuh gurunya sendiri, Lian Bu Tojin menjadi marah sekali.
"Koai Atong, benar-benar kau murid durhaka. Berani kau membunuh gurumu sendiri?"
Sementara itu, Koai Atong berdiri seperti patung memandangi tubuh suhu-nya yang rebah telentang dengan mata mendelik dalam keadaan tak bernyawa lagi itu. Sekarang, setelah mendengar kata-kata yang diucapkan Lian Bu Tojin, Koai Atong segera berlutut sambil menangis menggerung-gerung.
"Suhu... Suhu... kenapa kau diam saja? Suhu... apakah betul-betul kau mati? Ahhh, Suhu, jangan tinggalkan murid seorang diri di dunia ini. Suhu... jangan mati, Suhu...!"
Tiba-tiba saja berkelebat bayangan putih dari atas pohon dan tahu-tahu Kwa Hong sudah berdiri di dekat Koai Atong, memegang pundak Koai Atong dan diguncang-guncang keras.
Lian Bu Tojin diam-diam merasa kaget dan kagum menyaksikan gerakan Kwa Hong saat melayang turun tadi, seperti seekor burung saja gerakannya dan demikian ringannya! Dari mana gadis ini mempelajari semua itu?
"Koai Atong, apakah kau sudah gila? Hwesio buruk ini sudah mati, kenapa kau menangis segala macam?"
Koai Atong bangkit berdiri sambil menyusuti air matanya, "Dia adalah guruku, Enci Hong. Dia guruku yang baik... uhh-uhhhuu... jika dia mati, bagaimana dengan diriku? Uhuhuu..."
"Goblok! Apa kau lupa ada aku di sini. Kau boleh pilih, mau ikut gurumu mampus atau mau hidup bersama aku di sini?"
Seketika berubah wajah Koai Atong. Ia nampak gugup dan cepat sekali tersenyum dan menyusut kering air matanya, "Ohh, benar juga. Aku keliru tadi, Enci Hong. Biarkan dia mampus, hwesio buruk itu yang mau membawa aku pergi darimu. Ha-ha-ha!"
Mendengar dan melihat ini semua, Lian Bu Tojin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekarang jelaslah baginya bahwa kesalahannya bukan terletak pada diri Koai Atong, melainkan sepenuhnya adalah karena perbuatan Kwa Hong. Terang bahwa Koai Atong hanya menurut saja apa kehendak Kwa Hong.
Yang ia tidak mengerti kenapa Kwa Hong melakukan ini semua? Mungkinkah Kwa Hong jatuh cinta kepada orang seperti Koai Atong? Ia menggeleng-gelengkan kepala. Kalau ada kemungkinan ini tentu ada kemungkinan lain, yaitu bahwa Kwa Hong telah menjadi gila!
"Ehh, tosu tua. Mau apa kau datang ke tempat kami ini?"
Lian Bu Tojin memandang kepada Kwa Hong dengan mata terpentang lebar sekali. Apa benar ini Kwa Hong gadis cucu muridnya yang dulu hanya takut kepadanya seorang?
"Hong Hong, benar-benarkah kau sudah lupa kepada pinto? Lupakah kau kepada kakek gurumu sendiri? Pinto adalah Lian Bu Tojin dari Hoa-san-pai, Hong Hong, setelah kakek gurumu datang, apakah kau tidak lekas berlutut memberi hormat?"
Koai Atong berkata, "Enci Hong, dia ini Ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin, kakek gurumu yang galak, Lekas berlutut, kau nanti mendapat marah bisa sulit!"
Akan tetapi tiba-tiba Kwa Hong tertawa bergelak-gelak, lalu berkata dengan nada suara galak, "Lian Bu Tojin, siapa tidak tahu bahwa kau adalah Ketua Hoa-san-pai yang mulia dan gagah perkasa, seorang guru besar yang hendak membunuh murid sendiri kemudian membuntungi lengan kiri murid sendiri? Hah, kau menjemukan hatiku. Tosu tua bangka bau, lekaslah pergi dari sini sebelum timbul seleraku untuk membuntungi tanganmu atau bahkan lehermu!"
Sesabar-sabarnya manusia, masih ada batasnya. Kalau yang memakinya itu seorang lain yang tidak ada hubungannya dengan dirinya, mungkin Lian Bu Tojin takkan melayaninya dan akan pergi begitu saja. Akan tetapi Kwa Hong adalah cucu muridnya. Seorang cucu murid berani memaki-maki kakek gurunya, hal ini benar-benar di luar batas kesabaran Lian Bu Tojin.
"Kwa Hong, kau benar-benar kurang ajar sekali. Kau sebagai anak murid Hoa-san-pai sudah mengotorkan serta mencemarkan nama Hoa-san-pai dengan perbuatanmu yang kotor tak tahu malu ini. Percuma pinto menjadi Ketua Hoa-san-pai jika tidak bisa memberi hukuman kepadamu!" Setelah berkata begitu, dengan amarah meluap-luap Lian Bu Tojin lalu menerjang maju sambil memutar tongkat bambunya, melakukan serangan kepada Kwa Hong.
Dengan amat mudah Kwa Hong mengelak, lantas membalas dengan pukulan yang aneh sekali gerakannya, dari samping. Melihat betapa gerakan tangan itu ketika memukul agak diputar, tak salah lagi tentu ini sebuah pukulan Jing-tok-ciang, akan tetapi juga lain sekali gerakannya dengan Jing-tok-ciang dari Giam Kong Hwesio yang pernah dilihat oleh Lian Bu Tojin.
Betapa pun juga Lian Bu Tojin tidak berlaku sembrono dan mengelak sambil menotokkan ujung tongkat bambunya ke arah jalan darah di pinggang bekas cucu murid itu. Lagi-lagi Kwa Hong mengelak dan diam-diam Lian Bu Tojin menjadi kagum. Gerakan Kwa Hong ini persis gerakan Koai Atong ketika mengelak dari serangan Giam Kong Hwesio tadi.
Gerakannya sederhana tapi aneh dan cepat bukan main, sedikit saja pindahkan kaki dan kembangkan kedua lengan, serangan yang sulit-sulit sudah dapat dihindarkannya. Dilihat sepintas lalu bagaikan Ilmu Silat Ho-kun dari Siauw-lim-si, akan tetapi kedudukan kakinya berbeda, lagi pula gerakan ini mengandung kegagahan yang tak dapat disamakan dengan burung ho (bangau) dari Ilmu Silat Ho-kun.
Karena tidak dapat mengenali ilmu silat apa yang dipergunakan oleh Kwa Hong untuk menghadapi serangan-serangan tongkat bambunya, kakek Ketua Hoa-san-pai itu menjadi penasaran sekali. Apalagi kalau diingat bahwa ia tadi menyerang dengan menggunakan senjata walau pun hanya sebatang tongkat bambu, sedangkan bekas cucu muridnya itu bertangan kosong!
Alangkah akan malunya kalau ada orang yang mendengar bahwa dia, Ketua Hoa-san-pai, menggunakan senjata tongkatnya yang sudah terkenal, dalam belasan jurus masih tidak mampu merobohkan cucu muridnya sendiri yang bertangan kosong.
Mengingat hal ini, Lian Bu Tojin lalu berseru keras dan mengeluarkan ilmu silatnya yang paling tinggi, inti dari pada Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang karena sulitnya memang belum pernah ia turunkan kepada Kwa Hong. Hanya ayah Kwa Hong, murid pertama dari Hoa-san-pai, Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong saja yang pernah mempelajari ilmu pedang ini, tapi juga belum sempurna betul.
Bukan main hebatnya ilmu pedang ini. Meski hanya dimainkan dengan sebatang tongkat bambu, akan tetapi bahayanya bukan main. Tongkat bambu itu berubah menjadi segulung sinar yang menyambar-nyambar dan mengurung diri Kwa Hong dari segala jurusan.
Tadi Kwa Hong selalu berhasil menghindarkan diri dari serangan bekas kakek gurunya karena ia memang sudah mengenal ilmu silat Hoa-san-pai dengan baik. Seperti juga Koai Atong, selama beberapa bulan di dalam hutan dia sudah berhasil mempelajari banyak gerakan dari burung rajawali emas itu dan bersama-sama Koai Atong yang memang amat cerdas dalam hal ilmu silat, mereka telah berhasil mengambil intisari dari pada gerakan-gerakan burung aneh itu sehingga dapat menggunakan dalam pertempuran.
Akan tetapi yang dapat mereka petik dalam beberapa bulan ini hanya gerakan mengelak saja. Dan itu pun belum sempurna betul, sungguh pun memang sudah amat hebat kalau dipergunakan dalam pertempuran.
Sekarang setelah Lian Bu Tojin mengeluarkan ilmu pedang yang menjadi inti dari pada Hoa-san Kiam-hoat, Kwa Hong menjadi terkejut. Tongkat bambu itu mengeluarkan hawa dingin dan membuat matanya berkunang. Baru ia tahu sekarang bahwa kakek gurunya ini, Ketua Hoa-san-pai memang tidak mempunyai nama kosong belaka.
Dia mengeluarkan pekik menyeramkan dan kini menggunakan segala ingatannya untuk mulai meniru gerakan-gerakan dari burung rajawali emas. Bukan hanya gerakan untuk mengelak dari bahaya, juga sedikit-sedikit ia mulai menggunakan gerakan menyerang dari burung itu.
Kedua kakinya kadang-kadang melompat dan menerjang dalam tendangan-tendangan sebagai pengganti kedua kaki burung kalau mencakar dan menendang, kedua tangannya secara aneh dan tiba-tiba menghantam dari samping seperti gerakan sayap dan kadang-kadang menotok lurus dari depan seperti gerakan patuk burung.
Bagaimana pun juga, Kwa Hong menjadi girang karena dia dalam beberapa puluh jurus gerakannya mengelak masih berhasil menyelamatkan dirinya dari ancaman senjata kakek itu. Akan tetapi, makin lama semakin terasa olehnya betapa gulungan sinar itu semakin menekan dan mengurung semakin rapat sehingga sudah tak mungkin lagi baginya untuk membalas. Repot juga kalau harus terus-menerus mengelak dari sinar tongkat yang amat berbahaya itu.
"Koai Atong, bantu aku!" Akhirnya Kwa Hong tidak tahan dan minta bantuan temannya.
Koai Atong mengeluarkan suara melengking keras meniru suara lengking burung rajawali, kemudian tubuhnya yang tinggi besar itu menerjang maju sambil tangannya mengirimkan pukulan Jing-tok-ciang ke arah tubuh kakek Ketua Hoa-san-pai.
Lian Bu Tojin terkejut juga ketika merasa ada angin dingin menyambar dahsyat dari arah samping. Cepat ia mengelak dan memutar tongkatnya menotok sekaligus ke tiga tempat berbahaya di tubuh Koai Atong.
Tetapi sambil terkekeh Koai Atong mengelak dua kali, kemudian menangkis sekali tongkat bambu itu dengan sabetan lengannya dari samping. Lian Bu Tojin kaget ketika merasa betapa sabetan itu mengandung tenaga yang amat dahsyat dan lebih-lebih lagi kagetnya ketika melihat bahwa ujung tongkat bambunya telah remuk!
"Keparat, hari ini pinto harus memberi hajaran kepada kalian berdua!"
Lian Bu Tojin berseru sambil mencabut keluar pedang pusakanya. Cahaya berkelebat menyilaukan pada waktu pedang pusaka itu tercabut. Inilah pedang pusaka Hoa-san-pai (Hoa-san Po-kiam) yang menjadi tanda kekuasaan. Sejak Hoa-san-pai didirikan, pedang ini turun-temurun berada di tangan para ketua Hoa-san-pai.
Semenjak dulu, biasanya pedang pusaka ini hanya dipergunakan untuk upacara-upacara peringatan untuk menghormati para ketua Hoa-san-pai dan sangat jarang dipakai untuk bertempur. Akan tetapi kali ini karena menghadapi lawan berat dan pula harus menjaga nama baik Hoa-san-pai, maka Lian Bu Tojin tidak ragu-ragu lagi untuk menghunusnya dan mempergunakannya.
Memang pada hakekatnya tingkat ilmu kepandaian dua orang itu, Koai Atong dan Kwa Hong masih jauh di bawah tingkat Lian Bu Tojin. Jika tadi Koai Atong berhasil membunuh gurunya adalah karena Giam Kong Hwesio sama sekali tidak pernah menyangka bahwa muridnya sudah mendapatkan kepandaian yang sedemikian anehnya, padahal menurut tingkat, tentu saja Koai Atong masih belum dapat menyamai gurunya.
Walau pun Koai Atong dan Kwa Hong mendapatkan ilmu yang amat mukjijat, yaitu dari gerakan burung rajawali emas itu, namun mereka baru berlatih beberapa bulan saja. Lagi pula mereka baru berlatih gerakan untuk mempertahankan diri, maka mereka pun hanya kuat sekali dalam hal ini. Untuk balas menyerang ternyata ilmu kepandaian mereka masih belum dapat menyamai tingkat Lian Bu Tojin.
Apalagi sekarang mereka berdua bertangan kosong menghadapi Lian Bu Tojin yang amat marah dan yang bersenjatakan pedang pusaka Hoa-san-pai yang ampuh sekali itu. Meski pun mereka selalu mampu menghindar dari sambaran pedang, namun untuk membalas benar-benar merupakan hal yang amat sulit. Jika dibiarkan saja harus terus menghadapi gulungan sinar pedang yang menyilaukan mata ini, akhirnya tentu salah seorang di antara mereka akan terluka atau bahkan terbunuh.
"Kim-tiauw-heng! Hayo kau bantu kamil" Tiba-tiba Kwa Hong berteriak dan mengeluarkan suara bersuit nyaring.
Lian Bu Tojin terkejut ketika tiba-tiba ia melihat sinar kuning emas berkelebat dari atas dan tahu-tahu ia sudah diserang secara bertubi-tubi oleh sepasang cakar, sebuah patuk dan sepasang sayap. Serangan ini hebat luar biasa, akan tetapi sebagai seorang ahli, ia tidak menjadi gugup, malah memusatkan gerakan pedangnya menjadi sebuah lingkaran untuk menghantam ke arah burung rajawali itu.
Hebatnya, walau pun tadinya menyerang dengan dahsyat, begitu menghadapi serangan maut dari pedang pusaka itu, burung rajawali ini dapat secara aneh dan cepat sekali merubah gerakannya. Sekali melejit ia dapat menyelinap di antara gulungan sinar pedang dan berhasil menyelamatkan diri, lalu terbang berputaran di atas kepala Lian Bu Tojin, menanti kesempatan baik untuk menyerang lagi.
"Kim-tiauw-heng, kau rampas pedangnya!" kembali Kwa Hong berseru.
Lian Bu Tojin mengira bahwa ucapan ini hanya gertakan saja. Ia tidak mengenal rajawali emas. Burung itu lain dengan burung-burung biasa. Agaknya dulu pernah dipelihara orang sakti maka burung ini mudah sekali menangkap perintah manusia.
Begitu mendengar seruan ini, ia lalu menyambar-nyambar dan sekarang ia benar-benar berusaha merampas pedang, memukulkan kedua sayapnya ke arah kepala Lian Bu Tojin disusul cengkeraman-cengkeraman kedua kakinya ke arah pedang pusaka Hoa-san-pai!
Barulah hati Lian Bu Tojin amat terkejut. Menghadapi dua orang murid murtad itu sudah merupakan hal yang bukan ringan karena mereka memiliki ilmu mengelak yang benar-benar membuat ia sukar merobohkan mereka. Sekarang ditambah lagi seekor burung yang demikian dahsyat serangannya, benar-benar ia mengeluh di dalam hatinya.
Pada saat dengan gerakan-gerakan aneh Kwa Hong dan Koai Atong maju mendesaknya sedangkan burung itu tiada hentinya menyambar-nyambar di atas kepalanya, mau tak mau Lian Bu Tojin berseru, "Celaka...!"
Karena kemarahannya ditujukan kepada Kwa Hong, maka dengan nekat orang tua ini lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menyerang Kwa Hong. Biarlah aku mati asal aku dapat lebih dahulu membunuhnya agar nama baik Hoa-san-pai dapat dipertahankan, pikir kakek ini.
Serangannya hebat sekali. Biar pun Kwa Hong sudah mempergunakan gerakan yang ia pelajari dari rajawali emas, dengan gesit menggeser ke sana ke mari, namun ke mana saja dia bergerak, ujung pedang pusaka itu selalu mengikutinya dan mengarah kepada bagian-bagian tubuhnya yang paling berbahaya! Ketika mendapatkan kesempatan baik Lian Bu Tojin mempercepat gerakannya. Tanpa mempedulikan lagi bagian tubuhnya yang lain terbuka untuk masuknya serangan, ia menerjang dan maju menusuk leher Kwa Hong dengan sebuah tikaman maut!
Kwa Hong menjerit ngeri, namun masih ingat untuk menggerakkan kakinya secara aneh sambil melempar diri ke kiri. Namun ujung pedang di tangan Lian Bu Tojin masih terus mengejar lehernya.
Pada saat itu pula Koai Atong menghantam dari samping dengan pukulan Jing-tok-ciang. Keras sekali pukulan ini dan tubuh Lian Bu Tojin sampai tergoyang-goyang, namun tetap saja pedangnya ditusukkan terus. Andai kata ia tidak terpukul oleh pukulan Jing-tok-ciang begitu kerasnya, tentu nyawa Kwa Hong tidak dapat diselamatkan lagi. Sekarang karena pukulan yang hebat ini, tangannya tergetar dan tusukan pedangnya meleset dan hanya menancap di pundak Kwa Hong.
Gadis itu menjerit kesakitan dan pada saat itu dari atas menyambar bayangan kuning emas, kemudian sebuah sayap besar menghantam kepala Lian Bu Tojin. Kakek ini biar pun sudah terluka parah oleh pukulan Koai Atong, masih dapat mengangkat tangan kiri menangkis. Hantaman sayap demikian hebatnya, sama sekali tidak terduga oleh Lian Bu Tojin hingga tubuhnya terlempar sejauh empat meter lebih dan tahu-tahu pedangnya yang ia pakai menusuk Kwa Hong tadi telah berpindah ke dalam paruh si Rajawali Emas!
Kwa Hong cepat mengambil pedang pusaka itu dari paruh burungnya, lalu ia terhuyung-huyung maju sambil mendekap pundaknya yang mengucurkan darah. Ada pun Koai Atong ketika melihat Kwa Hong terluka dan berdarah, menjadi marah sekali. Sambil memekik keras ia menubruk maju hendak menyerang Lian Bu Tojin lagi.
Akan tetapi kakek ini sudah duduk bersila mengatur napas karena luka di dadanya akibat pukulan Jing-tok-ciang amat hebatnya. Agaknya ia takkan dapat menghindarkan bahaya maut lagi kalau Koai Atong menyerangnya.
"Jangan bunuh dia!" tiba-tiba Kwa Hong membentak.
Koai Atong kaget dan menahan pukulannya, dengan heran ia mundur memandang Kwa Hong. Kwa Hong yang kelihatan menyeramkan karena pundaknya mengucurkan darah yang membasahi bajunya itu, tersenyum dengan muka pucat, lalu berkata,
"Jangan bunuh dia, enak benar kalau dia mampus. Biar dia menderita, biarlah dia tahu rasanya bagaimana kalau orang terhina, bagaimana rasanya tangan dibikin buntung." Sambil berkata demikian tiba-tiba tangannya yang memegang pedang bergerak menyabet dan... tangan kanan Lian Bu Tojin sebatas pergelangannya terbabat buntung!
Kakek itu membuka matanya, menarik napas panjang lalu berdiri. Dengan tangan kirinya ia memijat pada beberapa tempat di lengan kanannya untuk menghentikan jalan darah sehingga darahnya tidak mengucur terus. Kemudian ia memandang ke arah Kwa Hong dengan sinar mata yang berubah seakan-akan kilat menyambar sehingga untuk sejenak Kwa Hong tertegun dan terkesima. Betapa pun juga, pengaruh yang keluar dari sinar mata itu membangkitkan kenangan lama dan membayangkan pengaruh kakek itu atas dirinya bertahun-tahun yang lalu.
Koai Atong tertawa, "He-heh-heh, tosu tua, kau datang bersama hwesio itu, kalau pergi jangan lupa membawa temanmu itu bersama!" Maksud Koai Atong dengan kata-kata ini bukan sekali-kali untuk mengejek atau menggoda, melainkan dengan maksud hati hendak menyenangkan Kwa Hong.
Lian Bu Tojin tidak berkata apa-apa dan ucapan Koai Atong ini menguntungkan Kwa Hong karena seketika sinar mata kakek itu menjadi biasa kembali. Lian Bu Tojin lalu memungut buntungan tangannya dari atas tanah, kemudian dengan lengan kiri ia memanggul tubuh Giam Kong Hwesio lalu berjalanlah ia cepat meninggalkan tempat itu.
Benar-benar hebat sekali Ketua Hoa-san-pai ini. Lukanya akibat pukulan Jing-tok-ciang dari Koai Atong tadi hebat bukan main, ditambah lagi tangan kanannya buntung, namun sedikit pun dia tidak pernah merintih, malah masih dapat pergi cepat sambil memondong jenazah Giam Kong Hwesio dan membawa buntungan tangannya!
Kejadian ini cukup hebat sehingga untuk beberapa lama Kwa Hong termenung, kemudian baru ia merawat luka di pundaknya. Diam-diam Kwa Hong girang sekali karena sekarang terbukti bahwa latihan-latihan yang mereka lakukan dengan ilmu silat yang gerakannya mengambil intisari dari gerakan rajawali emas itu benar-benar tadi telah memperlihatkan kehebatannya.....
********************
Selanjutnya baca
RAJAWALI EMAS : JILID-02