Rajawali Emas Jilid 08


Hati Kun Hong penuh kedukaan dan kemarahan. Sama sekali di luar dugaannya bahwa ayah bundanya, juga para tosu Hoa-san-pai yang setiap hari belajar tentang kebajikan, sekarang berubah menjadi pembunuh-pembunuh yang amat kejam menurut pendapatnya. Puluhan orang manusia dibunuh di puncak Hoa-san.

"Aku tidak mau melihat mereka lagi, aku tidak sudi lagi kembali ke Hoa-san-pai!" demikian hatinya menjerit penuh kengerian saat di depan matanya terbayang mayat mayat manusia yang menggeletak tumpang-tindih itu. Celaka, pikirnya. Ayahnya, ibunya dan semua tosu Hoa-san-pai tentu akan ditangkap dan dimasukkan penjara!

Biar pun ia, tidak pernah belajar ilmu silat, namun Kun Hong memang pada dasarnya memiliki tubuh yang sehat kuat dan berkat kemauannya yang luar biasa kokoh kuatnya, ia tidak merasakan kelelahan kedua kakinya. Ia berlari terus menuruni puncak. Maksudnya hendak mencari dusun terdekat untuk menemui kepala dusun dan melaporkan mengenai pertempuran di puncak itu, Biarlah yang berwajib yang mengurusnya, tetapi ia tidak akan kembali ke sana, pikirnya.

Tiba-tiba ia melihat orang berjalan terhuyung-huyung, mengeluh lalu roboh tak jauh dari tempat ia berdiri. Cepat Kun Hong lari menghampiri dan kagetlah ia ketika melihat bahwa orang itu tak lain adalah Toat-beng Yok-mo, kakek bongkok yang tadi ia lihat mengamuk di Puncak Hoa-san.

Hatinya memang penuh welas asih. Melihat kakek itu luka-luka di pundak dan lambung, mengucurkan darah, ia segera berlutut dan bertanya, "Toat-beng Yok-mo, kau kenapa?"

Kakek itu mengeluh dan membuka matanya, kelihatan kesakitan sekali. Ketika ia melihat Kun Hong, sekejap ia kelihatan kaget, akan tetapi kemudian terheran-heran.

"Lekas... tolong kau ambilkan bumbung (tabung bambu) dalam buntalanku di punggung ini... lekas... dan hati-hati, jangan sampai menyentuh tanganku...," katanya dengan suara terengah-engah.

Kun Hong melihat ke arah kedua tangan kakek itu dan bergidik ngeri. Kedua tangan kakek itu sudah menghitam seperti hangus terbakar dan teringatlah ia akan racun hebat yang mengakibatkan kematian tosu Hoa-san-pai dan kemudian karena dipegang oleh Bu Tosu mengakibatkan hal yang amat mengerikan.

Ingin ia lari pergi menjauhi kakek yang seperti iblis ini, akan tetapi melihat orang tua itu terluka dan berada dalam keadaan payah sekali, hatinya tidak tega. Ia lalu menurunkan bungkusan dari punggung kakek itu dan membukanya. Di antara bungkusan-bungkusan obat dan pakaian, ia mengambil sebatang bambu besar dan pendek yang disumbat kayu dan tabung itu diberi lubang untuk hawa, seperti tempat jangkerik akan tetapi tabung itu besar.

"Inikah bumbung itu?" tanyanya.
"Betul, buka sumbatnya dan keluarkan isinya. Hati-hati, katak putih hijau ini jangan sampai terlepas. Kau peganglah erat-erat!" Toat-beng Yok-mo berkata tergesa-gesa dan sinar kegembiraan terpancar keluar dari sepasang matanya yang tadi nampak sayu dan penuh kegelisahan.
"Katak?" kata Kun Hong terheran-heran sambil membuka sumbatnya dan tiba-tiba seekor katak yang besar dan berkulit seperti salju meloncat keluar dari tabung itu.
"Wah, terlepas...!" kata Kun Hong.
"Goblok kau! Celaka... lekas tangkap, jangan sampai hilang. Kalau dia hilang aku mati...!"

Mendengar ucapan ini Kun Hong menjadi pucat, lalu ia mengejar katak itu sampai jatuh bangun. Ini urusan nyawa orang, pikirnya.

Katak itu tidak begitu cepat gerakannya, akan tetapi selambat-lambatnya katak, ia pandai melompat sehingga tiap kali Kun Hong menubruk, katak itu melompat membuat pemuda itu terpaksa mengejar lagi dan menubruk lagi sampai jatuh bangun dan pakaiannya kotor semua. Akan tetapi akhirnya dapat juga ia menangkap katak itu.

Biar pun pakaiannya kotor semua dan kedua lengannya babak-belur tertusuk duri, namun Kun Hong girang sekali karena dapat menangkap kembali katak itu. Pemuda ini segera lari kepada Toat-beng Yok-mo sambil membawa katak itu.

"Sudah dapat kutangkap kembali, Yok-mo," katanya girang.

Keadaan Toat-beng Yok-mo makin payah, napasnya terengah-engah. "Lekas... dekatkan katak itu ke mulutku..."

Kedua tangan yang hangus itu tidak dapat digerakkan lagi. Kun Hong mendekatkan katak itu ke mulut Yok-mo dengan heran karena tidak tahu apa yang dimaksudkan. Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat kakek itu membuka mulut dan... menggigit kaki belakang katak itu sampai mengucurkan darah yang lalu dihisap!

"Eh... ehh, kau mau makan katak hidup ini?" teriaknya heran dan mencoba untuk menarik katak itu.

Akan tetapi tiba-tiba kaki Yok-mo bergerak menendang dan tubuh Kun Hong mencelat jauh. Pemuda ini merayap bangun dan bersungut-sungut.

"Kau memang jahat! Katak tidak berdosa kau gigit dan kau juga menendangku!"

Akan tetapi ia melihat keanehan setelah kakek itu minum darah katak. Kedua tangannya yang tadinya hangus itu cepat sekali pulih kembali dan lenyaplah warna hitam tadi. Tak lama kemudian kakek itu mengambil katak dari mulutnya, memasukkannya kembali ke dalam tabung dan... tertidurlah kakek itu mengorok enak sekali!

Kun Hong adalah seorang yang cerdik. Melihat ini tahulah ia bahwa darah katak itu adalah obat yang amat mujarab bagi racun hitam. Ia ingin sekali bertanya karena merasa tertarik bukan main. Akan tetapi karena kakek itu tertidur nyenyak, ia tidak mau mengganggunya dan perhatiannya segera tertarik oleh tiga jilid kitab yang terletak di dalam bungkusan kakek itu yang masih terbuka.

Segera ia mendekati, kemudian mengambil buku-buku itu. Ternyata itu adalah kitab-kitab pengobatan. Kitab pertama berjudul ‘SELAKSA MACAM OBAT’, dan kitab kedua berjudul ‘SELAKSA MACAM CARA PENGOBATAN’ sedangkan yang ketiga berjudul ‘RAHASIA PEREDARAN DARAH DALAM TUBUH’.

Kun Hong adalah seorang kutu buku. Melihat kitab sama dengan orang kelaparan melihat roti. Dengan lahapnya ia lalu membuka kitab-kitab itu dan membacanya. Yang dibukanya adalah kitab rahasia tentang peredaran darah dalam tubuh.
Biar pun pusing kepalanya membaca huruf-huruf kuno dengan gambar tentang perjalanan darah disertai ribuan macam istilah yang asing baginya, tetapi karena nafsunya membaca amat luar biasa, ia memaksa diri membaca terus.

Setengah hari Yok-mo tidur nyenyak dan setengah hari pula Kun Hong membaca kitab itu. Sekarang dia baru mengerti bahwa peredaran darah erat sekali hubungannya dengan pernapasan dan bahwa pernapasan menjadi sumber dari tenaga dalam di tubuh manusia. Asyik sekali ia membaca dan mulai banyaklah hal-hal menarik dalam kitab itu, terutama pengertian tentang keadaan tubuh yang berhubungan dengan cara pengobatan.

"Aduh... keparat... pundak dan lambungku panas sekali..."

Tiba-tiba saja suara ini membangunkannya dari alam mimpi yang amat menarik hati. Akan tetapi ia segera mengerti bahwa yang mengeluh itu adalah Toat-beng Yok-mo, maka ia tidak mempedulikan dan melanjutkan bacaannya.

"Uh... uhh... sakit dan panas... heee! Jangan baca kitab-kitabku!”

Kun Hong menutup buku itu dan meletakkannya dalam bungkusan, lalu menoleh. Kakek itu masih rebah telentang, nampak lemah dan kesakitan. Ia cepat menghampiri.

"Bagaimana, Yok-mo? Sudah sembuhkah tanganmu?"

Tiba-tiba tangan kakek itu bergerak dan tahu-tahu pergelangan tangan Kun Hong sudah dicengkeram erat-erat. Pemuda ini merasa tangannya amat kesakitan. Ia mencoba untuk melepaskan cengkeraman itu, namun tak berhasil.

"Ehh, kau ini ada apakah? Lepaskan tanganku!" teriak Kun Hong sambil terus mencoba menarik tangannya.
"Tak boleh kau membaca kitab-kitabku!"
"Baca saja apa salahnya, sih? Kalau kau tidak membolehkannya, aku pun tidak memaksa. Hemm, tanganmu panas sekali, lepaskan aku."

Yok-mo melepaskan pegangannya. Dia mengeluh lagi dan berkata dengan napas sesak, "Luka-lukaku... mengakibatkan demam panas... lekas kau carikan daun pohon sari darah, akar buah ular dan cacing hitam..."

Kun Hong menjadi bingung. "Ke mana aku mencari? Dan yang bagaimanakah macamnya daun dan akar serta cacing yang kau sebutkan itu?"

"Ah... benar juga... kau mana tahu? Celaka..., selain demam aku pun... banyak kehilangan darah... ahh, kau tolonglah aku, orang muda..."

Kun Hong merasa kasihan sekali. Ia meraba jidat kakek itu dan ternyata panas sekali. "Ah, Yok-mo, aku benar-benar ingin sekali menolongmu. Akan tetapi bagaimana caranya? Jika hanya mencarikan obat-obat yang kau sebutkan tadi aku tentu mau, akan tetapi aku tidak tahu..."

"Tak usah kau mencari... kau antarkan saja aku... ke tempat tinggalku... di sana terdapat segala obat yang kubutuhkan..."
"Mengantar kau kembali ke tempat tinggalmu? Tentu, boleh saja. Mari kuantar kau..." jawab Kun Hong cepat.

Tentu saja pemuda yang berwatak jujur ini tidak tahu akan maksud kakek itu sebenarnya. Toat-beng Yok-mo maklum bahwa dalam keadaan terluka seperti sekarang ini, kalau dia sampai bertemu dengan musuh-musuhnya, dalam hal ini orang-orang Hoa-san-pai, tentu ia akan celaka dan tidak dapat melakukan perlawanan. Dengan membawa Kun Hong di dekatnya, ia dapat rnempergunakan pemuda ini sebagai jaminan untuk keselamatannya!

"Kau baik sekali... uhh... uhhh..." Ia mencoba berdiri akan tetapi kepalanya terasa pusing dan terguling kembali.
"Bagaimana? Apakah kau tidak bisa jalan...?" tanya Kun Hong kuatir dan penuh perasaan iba.

Sebagai seorang cerdik yang sudah banyak pengalaman, Toat-beng Yok-mo sudah dapat menyelami watak Kun Hong, maka kembali ia sengaja mengeluh dan mengaduh untuk memperdalam perasaan iba di hati pemuda itu.

Kemudian, dengan suara bisik-bisik seperti orang yang amat payah keadaannya, ia pun berkata, "Aku... aku tidak bisa jalan... berdiri pun tidak kuat... ah, anak yang baik... kalau kau kasihan kepada aku orang tua... kau gendonglah aku..."

Kun Hong benar-benar sudah tergerak hatinya dan merasa amat kasihan kepada kakek itu. "Baiklah, Yok-mo, kau akan kugendong."

Ia lalu membungkus kembali bawaan kakek itu dan mengikatnya di punggung Toat-beng Yok-mo, setelah itu lalu menggendong kakek ini di punggungnya sendiri dan berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Toat-beng Yok-mo! Kun Hong bertubuh kuat dan bertenaga besar, maka menggendong tubuh yang kecil kering dan tua itu tidaklah sukar baginya. Akan tetapi karena tubuhnya tidak terlatih dan tidak biasa bekerja berat, perjalanan mereka ini berlangsung lambat sekali dan sering kali terpaksa beristirahat.

Diam-diam Toat-beng Yok-mo terheran-heran mengapa Ketua Hoa-san-pai yang gagah itu mempunyai seorang putera yang begini tidak ada gunanya. Karena ia membutuhkan bantuan Kun Hong untuk menggendongnya dan dijadikan jaminan akan keselamatannya, maka pada waktu istirahat ini dia mengajar Kun Hong cara berduduk diam (bersemedhi), mengatur pernapasan untuk memperkuat daya tahan tubuh sehingga membuat pemuda ini lebih tahan berjalan jauh.

"Toat-beng Yok-mo, aku sudah membaca kitab-kitabmu biar pun hanya sedikit, dan aku tertarik sekali. Baik sekali memiliki kepandaian untuk mengobati orang sakit. Kalau kau suka mengajarku dalam ilmu pengobatan, aku suka menjadi muridmu."

Diam-diam kakek ini menyeringai. Dia sudah mengambil keputusan hendak membawa kepandaiannya sampai mati, tidak akan ia turunkan kepada siapa pun juga. Kecuali kalau ada murid yang suka berjanji bahwa murid itu akan membunuh setiap orang yang sudah diobatinya. Akan tetapi ia tahu pula bahwa pemuda ini tak mungkin mau menerima syarat itu, maka ia berpura-pura.

"Kau anak baik sekali, tentu saja aku suka menerima kau menjadi muridku. Dan kau tahu, pelajaran semedhi dan mengatur napas yang kuajarkan ini adalah tingkat pertama dari ilmu pengobatan. Maka kau berlatihlah baik-baik setiap kali kita beristirahat."

Oleh karena kurang pengalaman, Kun Hong mempercayai omongan ini. Dan betul saja, ia berlatih giat sekali di waktu beristirahat dan di waktu malam. Ia sama sekali tidak tahu bahwa kakek itu melatih ia semedhi dan mengatur pernapasan agar badannya kuat dan tahan lebih lama melakukan perjalanan jauh itu sambil menggendong!

Baiknya kakek itu ternyata mempunyai simpanan banyak emas dalam buntalan sehingga untuk makan dan menyewa rumah penginapan bukan soal yang sulit lagi bagi mereka. Sebetulnya, setelah makan obat yang dibeli di kota yang mereka lalui, kakek itu sakitnya sudah banyak mendingan dan sudah kuat berjalan lagi. Akan tetapi, kesehatannya belum pulih semua dan andai kata ia bertemu lawan tangguh, ia masih belum sanggup melawan. Maka untuk membuat Kun Hong sungkan meninggalkannya, ia berpura-pura masih tidak kuat jalan dan membiarkan pemuda itu terus menggendongnya sepanjang jalan!

Pada suatu hari, menjelang tengah hari yang panas bukan main, Kun Hong dan Yok-mo beristirahat di sebuah hutan yang amat liar. Mereka sudah tiba di daerah lembah Sungai Huai di mana banyak sekali terdapat hutan-hutan lebat dan gunung-gunung yang masih liar. Daerah ini sudah dekat dengan tempat tinggal Toat-beng Yok-mo, yaitu di pusat gerombolan Ngo-lian-kauw yang dikepalai oleh Kim-thouw Thian-li.

Karena merasa bahwa dia sudah berada di daerah sendiri dan sekarang tidak mungkin kiranya orang-orang Hoa-san-pai bisa mengejarnya, Yok-mo mengambil keputusan untuk mencabut nyawa pemuda yang selama ini mengantar dan menggendongnya. Ia tidak lagi memerlukan pemuda ini, baik sebagai pengantar mau pun sebagai jaminan.

Sesungguhnya dalam beberapa hari ini ia sudah merasa bosan sekali digendong oleh pemuda yang tidak dapat berjalan cepat itu. Andai kata ia melakukan perjalanan sendiri, dengan ilmunya berlari cepat, kiranya ia sudah sampai di rumahnya. Semata-mata untuk menjamin keselamatannya belaka maka ia terpaksa membiarkan dirinya digendong oleh Kun Hong.

Melihat betapa pemuda ini sekarang sedang tekun duduk bersila, mengumpulkan panca inderanya dan mengatur pernapasan, kakek ini tersenyum menyeringai. Diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda ini sesungguhnya memiliki tulang bersih dan bakat yang amat baik, pula amat cerdas sehingga sekali membaca atau mendengar sudah hafal dan tak akan melupakannya lagi.

"He, Kun Hong... bangunlah jangan tidur saja!" ia menegur.

Kun Hong membuka matanya. Ia terheran-heran melihat kakek itu duduk bersandar pohon seperti biasanya sambil tersenyum-senyum aneh.

"Yok-mo, aku tidak tidur, melainkan melatih semedhi seperti biasa. Latihan ini baik sekali, aku merasa sehat dan kuat semenjak berlatih. Kitabmu itu benar-benar mengandung pelajaran pengobatan yang luar biasa."
"Heh-heh-heh, apa kau ingin membaca lagi?"

Wajah Kun Hong nampak kecewa. "Semenjak pertemuan kita dahulu kau sudah tahu jelas bahwa tidak ada keinginan lain padaku kecuali membaca tiga kitabmu itu. Tapi kau selalu melarang."

"Heh-heh-heh, kau benar-benar ingin membacanya? Kun Hong, kau sudah melepas budi kepadaku, merawat dan mengantarkan aku sampai sini. Jika sekarang aku membolehkan kau membaca ketiga kitabku, apakah aku boleh menganggap budimu itu sudah terbalas dan sudah lunas?"

Kun Hong memang seorang yang berwatak polos dan bersih. Ia menolong kakek itu tanpa pamrih apa-apa, tanpa mengharap balasan malah sama sekali tidak ada ingatan dalam hatinya bahwa ia telah melepas budi kepada orang.

Mendengar kakek itu membolehkan ia membaca kitab-kitab itu, ia menjadi girang sekali dan berkata, "Terima kasih, Yok-mo, kau baik sekali!"

Tanpa mempedulikan yang lain-lain lagi ia lalu membuka buntalan yang ditaruh di bawah pohon, lalu mengeluarkan ketiga kitab itu dan segera ia mulai membaca. Belum lama ia membaca, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan isi hutan itu.

Kun Hong terkejut sekali dan lebih-lebih herannya ketika dia melihat kakek bongkok itu sudah berdiri dengan tongkat di tangan, memandang ke depan dengan mata terbelalak. Keheranannya ini bercampur rasa girang karena kalau kakek itu sudah dapat berdiri, berarti kesehatannya sudah mulai pulih.

Akan tetapi segera ia terkejut sekali melihat cahaya kuning emas menyambar turun dari atas, tidak jauh dari tempat itu. Seekor burung yang sangat besar meluncur turun untuk menyusup ke dalam semak-semak. Akan tetapi burung itu cepat sekali gerakannya, dan tahu-tahu seekor kelinci sudah dapat dicengkeramnya. Akan tetapi, sebelum burung itu dapat terbang kembali, dengan satu kali melompat saja Toat-beng Yok-mo sudah berada di dekatnya.

"Rajawali emas! Bagus sekali... aku harus dapat menangkap burung ini!" sambil berkata demikian kakek itu menerjang dengan kedua tangan terpentang, siap menangkap burung besar itu.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika burung itu tiba-tiba menggerakkan sayap kanannya menghantam ke arah kepalanya. Yok-mo cepat mengelak akan tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah terpukul oleh sayap kiri burung itu yang ternyata menggunakan cara penyerangan yang aneh sehingga kelihatannya sayap kanan yang menampar, tidak tahunya sayap kiri yang betul-betul bergerak.

Akan tetapi Yok-mo adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi. Pukulan itu membuat tubuhnya terpental akan tetapi tidak melukainya. Ia cepat meloncat bangun dan sepasang matanya bersinar-sinar.

"Hebat...! Inilah kim-tiauw (rajawali emas) yang jarang ada bandingannya! Jantung dan otaknya akan menjadi bahan obat kuat yang mukjijat!" Ia melompat lagi dan kembali ia menyerang.

Burung itu agaknya menjadi marah dan anehnya, ia tidak mau terbang pergi. Bahkan kini dia melepaskan bangkai kelinci tadi dan berdiri tegak, seperti seorang pendekar yang siap menghadapi datangnya penyerangan lawan.

Toat-beng Yok-mo dengan hati-hati sekali menerjang maju, siap untuk mencengkeram leher burung itu sambil memperhatikan gerakan binatang ini, agar jangan tertipu seperti tadi. Ia sengaja memukul ke arah dada burung dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah leher. Hebat sekali serangannya ini.

Akan tetapi kembali ia melengak ketika melihat betapa dengan langkah-langkah kaki yang amat aneh, diikuti gerakan kedua sayapnya, burung itu telah dapat mengelakkan kedua serangannya ini dengan sangat mudahnya. Malah bukan sekedar mengelak, burung itu dengan kecepatan yang luar biasa sudah menggerakkan kepala dan mematuk mata kiri Toat-beng Yok-mo!

"Celaka...!"

Yok-mo cepat melompat ke kanan. Tetapi gerakannya belum cepat karena kesehatannya memang belum pulih benar-benar. Kagetnya bukan kepalang melihat penyerangan yang lebih dahsyat dari pada tusukan pedang itu. Akan tetapi, sekali lagi ia tertipu karena begitu ia melompat ke kanan, burung itu menarik kembali kepalanya dan kaki kirinya bergerak ke depan menendang.

Sekali lagi tubuh kakek itu terlempar, kali ini malah bergulingan seperti seekor trenggiling! Hebatnya, gerakan kaki burung itu persis sekali dengan tendangan kaki manusia, dan digerakkan secara cepat serta mengandung tenaga yang amat kuat.

Yok-mo mengeluh dan merangkak bangun. Bermacam perasaan mengaduk di hatinya ketika ia memandang kepada burung itu dengan mata terbelalak. Heran, kaget dan marah sekali.....

Sudah bertahun-tahun dia ingin mendapatkan seekor burung seperti ini, burung rajawali emas yang jarang sekali terdapat di dunia ini dan hanya muncul dalam dongeng-dongeng kuno. Menurut pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, jantung burung rajawali emas dapat dibuat menjadi obat penguat tubuh yang luar biasa sedangkan otak burung itu dapat dibuat menjadi bahan obat terhadap bermacam-macam luka berbisa.

Sekarang, tanpa terduga-duga olehnya, dia bertemu burung ini. Akan tetapi siapa sangka bahwa burung ini ternyata bukanlah burung biasa, gerakan-gerakannya hebat sekali bagai seorang ahli silat kelas tinggi!

Betapa pun juga, Yok-mo menjadi penasaran. Ia masih belum mau kalah. Mungkin karena tubuhnya masih belum pulih benar maka tenaganya berkurang dan kecepatannya pun tak seperti biasanya sehingga dua kali dia dibikin roboh oleh burung itu. Sekarang dia telah mengeluarkan tongkatnya, tongkat hitam yang selama ini dia sembunyikan saja di balik bajunya. Dengan kemarahan meluap-luap kakek ini lalu melompat maju dan menyerang burung itu dengan tongkat hitamnya.

Aneh sekali, burung itu agaknya tahu akan keampuhan tongkat hitam itu. Ia mengeluarkan bunyi melengking lalu terbang dan dari atas dia menyambar kepala Toat-beng Yok-mo. Kakek ini sudah siap sedia, cepat mengelak dan membalas dengan tusukan tongkatnya. Burung ini ternyata merasa gentar menghadapi tongkat hitam itu sehingga serangannya selalu gagal karena ia harus mengelak dari sambaran tongkat yang ampuh itu.

Pertempuran itu menjadi seru sekali. Burung itu menang gesit, tapi dengan mengandalkan tongkatnya yang ditakuti lawannya, Yok-mo dapat mempertahankan dirinya, malah dapat balas menyerang dengan hebat.

Sementara itu, semenjak tadi Kun Hong melongo. Kagumnya bukan main melihat burung yang indah sekali, dengan bulu mengkilap berwarna kuning keemasan itu. Segera saja ia merasa suka dan sayang kepada binatang itu. Lebih-lebih kagumnya pada saat ia melihat betapa burung itu dengan mudah dapat membuat Toat-beng Yok-mo yang berkepandaian tinggi itu terguling-guling.

Pemuda ini sebetulnya mempunyai rasa kagum dan suka akan kegagahan sungguh pun ia benci sekali terhadap pembunuhan dan penyiksaan. Baginya, kegagahan seharusnya dipergunakan untuk menegakkan keadilan tanpa melakukan pembunuhan, cukup dengan mengalahkan yang jahat dan memaksanya kembali ke jalan benar.

Melihat burung indah itu mengalahkan Yok-mo, ia merasa kagum sekali. Akan tetapi rasa kekagumannya itu berubah menjadi kekuatiran besar saat Yok-mo mengeluarkan tongkat hitamnya yang mengerikan dan terjadi pertempuran seru antara dua lawan yang memiliki gerakan cepat sehingga membuat ia bingung memandangnya itu.

Karena tadi Kun Hong terpesona oleh keindahan burung dan sekarang menjadi bingung menyaksikan pertempuran mati-matian itu, tanpa disadari tiga jilid kitab yang dipegangnya itu ia masukkan dalam saku bajunya yang lebar. Ia lalu berdiri dan menyambar tabung bambu terisi katak putih. Hanya itulah yang akan dapat mengobati luka mengerikan yang diakibatkan oleh tongkat hitam itu, pikirnya.

Sambil membawa tabung itu dia lalu berlari sambil berteriak, "Jangan bunuh burung itu, Yok-mo! Sayang sekali kalau sampai ia terluka...!"

Setelah dekat dengan tempat pertempuran, Kun Hong semakin suka dan kagum melihat burung itu yang memang indah luar biasa. Juga ia melihat adanya sebuah kalung mutiara tergantung di leher burung itu. Maka tahulah ia bahwa burung ini tentulah ada yang punya, tentu burung peliharaan orang.

"Yok-mo, jangan bunuh dia, tentu ada pemiliknya. Lihat kalung itu!"

Tentu saja Toat-beng Yok-mo sudah melihat kalung mutiara besar-besar yang tergantung di leher burung itu pula. Akan tetapi sudah tentu saja dia tidak ambil peduli. Ada yang punya atau tidak, burung ini harus ia tangkap, ia bunuh untuk diambil jantung dan otaknya. Ia memperhebat permainan tongkatnya dan semakin lama ia bersilat, ia merasa bahwa kekuatannya mulai pulih kembali.

Burung itu pun mulai menjadi marah sekali. Apa lagi ketika ia meiihat Kun Hong datang berlari-lari, dianggapnya bahwa tentu ia akan dikeroyok. Ia memekik keras dan menerjang Yok-mo dengan serbuan yang dahsyat sekali.

Yok-mo juga kaget, tak menduga bahwa burung itu dapat melakukan serangan demikian hebatnya. Dalam kegugupannya melihat sepasang sayap berikut sepasang cakar serta sebuah paruh yang kuat dan runcing itu sekaligus menyerangnya, Yok-mo cepat memutar tongkatnya untuk melindungi diri. Akan tetapi, secara aneh sekali cakar kiri burung itu dapat menyelinap di antara gulungan sinar tongkatnya dan mencengkeram ke arah muka Yok-mo.

"Mati aku...!" Yok-mo berteriak kaget dan ia menjadi nekat.

Ia menarik tongkatnya itu lalu ia tusukkan ke arah kaki berkuku runcing mengerikan yang hendak mencengkeram mukanya. Tepat sekali ujung tongkatnya menusuk telapak kaki burung itu. Akan tetapi, pada saat itu pula sayap kanan burung itu menghantam kepala dan pundaknya.

"Blukkk!"

Tubuh Toat-beng Yok-mo terlempar jauh dan kakek ini lantas roboh pingsan. Bukan main hebatnya hantaman sayap tadi yang akan dapat menghancurkan kepala seekor harimau.

Burung itu menjerit-jerit kesakitan dan anehnya, kaki kirinya menjadi putih sekali seperti kaki mati. Dalam kesakitan itu ia menjadi makin marah dan segera ia melompat ke arah tubuh Yok-mo.

"Hee... jangan... dia sudah kalah, jangan kau serang lagi!" Kun Hong berteriak mencegah sambil menghadang di antara Yok-mo dan burung itu.

Kebetulan sekali tadi tubuh Yok-mo terlempar ke arahnya sehingga ia dapat mendahului burung itu dan menghadang di tengah jalan sambil mengacungkan tabung bambu untuk menakuti.

Akan tetapi burung itu mana takut terhadap Kun Hong? Ia memekik keras dan menerjang. Sebelum Kun Hong tahu apa yang terjadi, dia merasa tubuhnya melayang ke atas dan kiranya baju pada punggungnya telah dicengkeram oleh kaki kanan burung itu dan dibawa terbang tinggi!

Dulu, di waktu ia dikerek oleh Li Eng ke atas sebatang pohon tinggi, ia sudah ketakutan sekali. Sekarang ia dibawa terbang jauh lebih tinggi lagi di atas pohon-pohon yang paling tinggi, bagaimana ia tidak akan ketakutan setengah mati? Melihat pohon-pohon yang ada di bawahnya makin lama makin kecil, Kun Hong berteriak-teriak.

"Heee... lepaskan aku... ehh, jangan lepas… jangan lepas! Kau... turunkanlah aku, burung yang baik..."

Akan tetapi jawaban burung itu hanya memekik-mekik marah dan kesakitan. Mendengar ini, Kun Hong teringat bahwa burung itu terluka kaki kirinya. Ia memandang dan melihat betapa kaki kiri burung itu berubah putih semua, seputih kukunya. Ia teringat akan tabung yang masih dipegangnya. Cepat ia membuka sumbat tabung itu dan berkata,
"Kau terluka oleh tongkat Yok-mo, lekas kau minumlah sedikit darah katak putih di dalam tabung ini..."

Baru saja dia berkata demikian, dia melihat bayangan putih melompat keluar dari dalam tabung. Kun Hong kaget sekali sampai tabung kosong itu terlepas dari tangannya.

"Celaka... dia terlepas lagi..."

Akan tetapi burung itu segera berbunyi nyaring. Tubuhnya menyambar ke depan sampai Kun Hong merasa matanya berkunang karena tubuhnya sendiri pun terbawa melayang cepat ke depan. Dengan paruhnya yang runcing dan terbuka lebar, burung itu mematuk katak yang tadi melompat keluar dari dalam tabung, kemudian langsung menelan katak itu sehingga binatang kecil itu lenyap ke dalam perutnya!

Kembali ia melengking girang sampai berkali-kali. Tiba-tiba ia melepaskan cengkeraman kakinya pada baju Kun Hong. Setelah dilepaskan, tentu saja tubuh pemuda ini melayang ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia merasa makin ketakutan.

"Waah...!" teriaknya ketika makin lama semakin cepatlah tubuhnya meluncur ke bawah, disambut pohon-pohon yang makin membesar dan kelihatan mengerikan sekali.

Tiba-tiba Kun Hong yang sudah setengah pingsan itu merasa tubuhnya terapung lagi ke atas, tertahan luncurannya ke bawah tadi. Kiranya burung itu sudah menangkapnya lagi dan mencengkeram bajunya dengan tepat.

Kemudian perlahan-lahan burung itu melayang turun dan sesampainya di atas tanah ia melepaskan Kun Hong. Kun Hong yang tadinya sudah ketakutan dan tidak mengharapkan akan dapat hidup lagi, serta merta memeluk burung itu.

"Kim-tiauw-heng (Kakak Rajawali Emas) yang baik, kau telah menolong nyawaku. Terima kasih!" Ia menjura di depan burung itu seolah-olah ia sedang berhadapan dengan seorang manusia!

Aneh sekali! Burung itu mengeluarkan bunyi mencicit dan... segera berlutut kemudian mendekam di depan Kun Hong. Ketika pemuda ini dengan terheran-heran melihat dengan teliti, ternyata bahwa kaki kiri burung itu sudah pulih menjadi merah seperti sedia kala. Ia menengok ke kanan kiri mencari-cari, akan tetapi ternyata Toat-beng Yok-mo telah lenyap bersama tongkat dan buntalan pakaiannya.

"Dia sudah dapat berjalan sendiri, mengapa selama ini menipu?" Gemas juga kalau ia teringat betapa setiap hari ia harus menggendong kakek itu yang sebetulnya malah lebih kuat dari padanya.
"Kim-tiauw-heng, kau datang dari manakah? Aku suka sekali kepadamu, kau baik dan mengenal budi orang, tidak seperti Toat-beng Yok-mo yang hati dan pikirannya penuh terisi kehendak jahat. Kim-tiauw-heng, kau tentu milik seorang gagah, siapakah pemilikmu dan di mana tempat tinggalmu?"

Burung itu mengeluarkan bunyi mencicit lagi, kemudian dia maju mendekati Kun Hong. Dengan lehernya yang berbulu halus dan hangat itu ia membelai leher Kun Hong, lalu ia berlutut dan dari belakang menyelinapkan kepalanya di bawah kedua kaki pemuda itu. Dengan begini maka Kun Hong duduk pada punggungnya, lalu burung itu menggerakkan kedua sayapnya membawa Kun Hong terbang lagi!

"Heee... bagaimana ini... aduh, aku bisa jatuh...!” Kun Hong panik lagi dan ketakutan.

Akan tetapi karena burung itu terbang perlahan dan tubuhnya sama sekali tak bergoyang, Kun Hong akhirnya dapat duduk dengan enak. Ia mulai menyesuaikan, malah ia segera berpegang pada kalung yang melingkari leher burung itu. Makin lama burung itu terbang makin tinggi, berputaran di atas hutan itu dan makin memuncak pula ketakutan Kun Hong.

Akan tetapi segera ia tertarik oleh pemandangan di bawah dan tak terasa lagi mulutnya berseru kegirangan. "Aduh... bagus sekali, betapa indahnya pemandangan alam di bawah itu. Hee, hati-hati Kim-tiauw-heng, jangan sampai aku jatuh!"

Demikianlah, di antara rasa takut dan rasa girang serta kekaguman melihat keindahan pemandangan di bawah, Kun Hong tak berdaya membiarkan dirinya dibawa terbang oleh burung rajawali emas yang aneh itu.

Mudah saja diduga burung apakah yang telah membawa terbang Kun Hong itu. Memang dugaan Toat-beng Yok-mo tidak keliru bahwa burung seperti itu tak ada dicari keduanya di dunia ini. Burung itu bukan lain adalah burung rajawali emas sakti, yang pernah kita kenal sebagai burung tunggangan Kwa Hong, juga burung yang secara tidak langsung menjadi guru dari Kwa Hong.

Seperti telah kita ketahui bahwa tujuh belas tahun yang lalu, pada saat Kwa Hong untuk penghabisan kali mendatangi Hoa-san-pai dan hendak membunuh Thio Ki, dia bertemu muka dengan ayahnya, Kwa Tin Siong sehingga hampir saja ia tewas karena membiarkan dirinya diserang oleh ayahnya yang marah itu.

Burung rajawali emas menolongnya dan membawanya pergi, kembali ke tempat ia semula tinggal, yaitu di puncak Pegunungan Lu-liang-san. Semenjak itu, Kwa Hong tidak berani lagi memperlihatkan mukanya di dunia ramai.

Ketika ia pergi ke Hoa-san itu, ia pun meninggalkan puteranya yang baru berusia setahun dalam asuhan seorang inang pengasuh yang ia dapatkan dari penduduk di kaki Gunung Lu-liang-san. Semenjak saat itu, Kwa Hong berdiam di Lu-liang-san, jauh dari keramaian dunia dan agaknya sudah tak mau mengurus persoalan duniawi lagi. Semua perhatiannya ia tumpahkan kepada puteranya yang ia beri nama Sin Lee.

Betapa pun juga, wanita ini belum juga dapat melupakan cinta kasih terhadap Beng San berikut perasaan iri hati dan cemburu terhadap wanita yang telah berhasil menjadi isteri kekasihnya itu. Oleh karena ini pula ia tekun mendidik puteranya itu yang semenjak kecil sudah dilatihnya dengan ilmu silat sehingga semenjak kecilnya Sin Lee menjadi seorang anak laki-laki yang bertubuh kuat dan bertenaga besar.

Sudah menjadi sifat pembawaan bahwa anak laki-laki lebih nakal dari pada anak-anak perempuan karena anak laki-laki pada umumnya lebih bandel dan lebih berani. Kenakalan anak laki-laki bisa dikendalikan oleh perhatian orang tuanya yang mendidik dan menuntun agar kebandelan dan keberanian ini menjurus kepada kebenaran.

Akan tetapi Kwa Hong yang mendidik anaknya seorang diri tanpa disertai suami, hanya mencurahkan perhatian kepada ilmu silat saja, malah terlalu memanjakan puteranya. Hal inilah kiranya yang menjadi sebab hingga Sin Lee menjadi seorang anak yang luar biasa nakalnya, luar biasa berani dan nekatnya. Tidak ada orang di dunia ini yang ditakutinya, dan satu-satunya orang yang kiranya akan ia takuti, yaitu ibunya, terlalu menyayangnya sehingga ia menjadi seorang anak yang tak kenal takut lagi.

Anak yang masih kecil ini kalau tidak bermain-main dengan burung rajawali emas, tentu pergi jauh ke bawah gunung dan bermain-main dengan anak-anak penduduk di situ. Dan sebentar saja semua anak sudah takut kepadanya karena siapa yang tidak mau menuruti kehendaknya tentu dipukulnya. Bahkan setelah ia berusia sepuluh tahun, tak seorang pun laki-laki dewasa berani menentangnya. Kalau ada yang menentang, biar orang tua akan ia pukul.

Mula-mula, pada waktu ia masih belum kuat benar, orang-orang itu takut mengganggunya karena takut kepada Toanio (Nyonya besar) yang tinggal di puncak. Akan tetapi setelah Sin Lee menjadi seorang anak yang benar-benar memiliki kepandaian silat yang hebat, orang-orang takut kepadanya karena memang takut dipukuli oleh anak yang luar biasa itu.

Sudah terlalu sering Sin Lee membuat gara-gara. Apa bila tidak memukul orang, ia tentu menyerang kampung lain yang belum dikenalnya dan memaksa orang-orang kampung itu mengakui dia sebagai ‘jagoan cllik’ yang tak terkalahkan!

Pada suatu hari ia malah membikin ribut di sebuah kelenteng yang berada di kaki gunung sebelah timur. Kelenteng tua ini hanya ditinggali oleh lima orang hwesio dan menjadi tempat sembahyang para penduduk kampung di sekitar kaki Gunung Lu-liang-san.

Lima orang hwesio ini hidup dengan aman dan tenteram. Setiap hari mereka bekerja di ladang, menanam sayur-sayuran atau buah-buahan untuk bahan makanan mereka dan melayani setiap keperluan bersembahyang dari penduduk.

Karena tidak ada pekerjaan lain, maka tanaman sayuran mereka terpelihara baik dan ladang sayuran hwesio-hwesio itu terkenal sebagai ladang sayuran yang paling subur dan menghasilkan sayur-sayuran pilihan.

Pada suatu hati yang cerah, seorang hwesio tinggi besar tengah bekerja di ladang sayur itu dengan wajah berseru gembira. Betapa tidak? Ladang itu ditumbuhi bermacam-macam sayur yang sangat subur, juga buah labu yang sudah dekat masanya dipetik, besar-besar dan gemuk-gemuk menyenangkan. Hwesio itu tengah bekerja mencabuti rumput liar yang mengganggu kesuburan tanaman.

Tiba-tiba serombongan anak-anak berusia antara sepuluh sampai tiga belas tahun, semua laki-laki, muncul dari lereng gunung. Jumlah mereka ada sekitar lima belas orang dan kelihatannya nakal-nakal. Setelah dekat dengan ladang itu, kemudian terdengar mereka berteriak-teriak.

"Lo-suhu, minta labunya!"
"Lo-suhu, berilah kami seorang satu!"

Simpang siur anak-anak itu berteriak-teriak sambil tertawa-tawa.

Hwesio tinggi besar itu bangkit berdiri menoleh dan dengan muka sabar ia tersenyum lalu menjawab, "Belum waktunya, anak-anak. Labu-labu ini belum waktunya dipetik.. Nanti apa bila pinceng panen labu, tentu selebihnya pinceng bagi-bagikan kepada orang tua kalian, sudahlah, main-main ke sana, jangan mengganggu pinceng yang sedang bekerja."

Seperti telah diatur sebelumnya, anak-anak itu segera berteriak-teriak.

"Hwesio pelit!"
"Hwesio medit, kikir!"

Hwesio itu diam saja, tidak ambil peduli dan mulai bekerja lagi mencabuti rumput-rumput liar. Anak-anak itu makin berani, malah ada yang memaki-makinya.

"Kalau malam babi-babi hutan mengambil labu kau diam saja, tapi kalau kami yang minta tidak diberi. Dasar hwesio busuk!" terdengar suara seorang anak.

Hwesio itu kembali berdiri. Keningnya berkerut ketika ia memandang kumpulan anak-anak nakal itu.

"Hemmm, karena mereka itu babi hutan termasuk golongan binatang maka mereka tidak mengenal aturan dan makan apa saja yang ada karena mereka lapar. Akan tetapi kalian adalah anak manusia, mengerti aturan. Apakah kalian mau jika pinceng samakan dengan anak-anak babi hutan?"

"Ahh.. hwesio pelit. Banyak alasan untuk menutupi kepelitannya!" anak-anak itu ribut-ribut lagi, mengejek dan memaki.

Sesabar-sabarnya orang, namun menghadapi ejekan dan makian anak-anak ini memang merupakan ujian berat. Jarang sekali ada orang mampu mempertahankan kesabarannya.

Hwesio itu mulai membelalakkan kedua matanya. Akan tetapi karena ia masih ingat akan kesabaran, maka ia pun bertanya, "Anak-anak, kalian minta labu untuk apakah? Apakah kalian lapar dan hendak memakannya?"

"Aku mau yang bundar untuk main bola!"
"Aku yang panjang untuk bikin kereta!"

Hwesio itu menjadi marah. "Enak saja kalian bicara! Pinceng menanam sayur dan labu untuk bahan makan, bukan untuk main-main. Hayo kalian pergi, tidak boleh minta labu!"

Kembali anak-anak itu memaki-maki, tetapi hwesio itu tidak mempedulikan mereka lagi, malah melanjutkan pekerjaannya. Sekarang ia ke ladang sayur-sayuran untuk memeriksa kalau-kalau sayur-sayurnya dihinggapi ulat. Kesempatan ini dipergunakan oleh anak-anak nakal itu untuk menyerbu ladang dan mengambil labu yang besar-besar.

"Ehh, anak-anak nakal, kalian tiada bedanya dengan babi hutan!"

Hwesio itu melompat dan menampar anak-anak yang dekat dengannya. Anak-anak itu berteriak-teriak, ada yang menangis dan mereka berserabutan lari.

"Kalian perlu dihajar supaya kelak tidak menjadi manusia-manusia berwatak babi hutan!" hwesio itu masih memaki sambil menempiling anak-anak yang terdekat.

Pada waktu itu, sesosok bayangan berkelebat di belakangnya dibarengi bentakan suara anak-anak, "Hwesio gundul, berani kau memukuli teman-temanku?"

Hwesio itu kaget sekali. Akan tetapi ia tak sempat membalikkan tubuhnya sebab tiba-tiba bayangan yang ternyata adalah Sin Lee anak berusia sepuluh tahun itu sudah menampar kepalanya yang gundul. Walau pun hanya tamparan seorang anak kecil, namun karena tamparan itu menggunakan gerakan ilmu silat dan tangan anak itu semenjak kecil sudah terlatih, hwesio ini menjadi pening dan terhuyung-huyung lalu roboh tertelungkup.

Sin Lee berseru girang dan menindih tubuh hwesio yang tertelungkup di atas tanah itu dan memukulinya. Malah ia berteriak-teriak, "Kawan-kawan, hayo kalian hajar hwesio ini!"

Anak-anak yang tadi berlari serabutan, sekarang dengan girang lalu datang dan dengan tangan-tangan kecil mereka anak-anak itu memukuli tubuh dan kepala hwesio tadi! Tentu saja hwesio yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat itu tak merasakan pukulan anak-anak itu. Akan tetapi pukulan yang jatuh oleh tangan Sin Lee benar-benar membuat ia luka-luka parah juga sehingga membuat ia pingsan.

"Omitohud... anak-anak, jangan nakal!" tiba-tiba terdengar bentakan halus.

Nampak seorang hwesio tua menggerakkan dua lengan bajunya ke arah anak-anak yang memukuli hwesio tinggi besar tadi. Lima orang anak langsung terlempar, kemudian jatuh bergulingan. Mereka menangis, lalu semua orang anak itu berlari pergi.

Hwesio tua itu terheran-heran melihat seorang anak kecil tidak bergeming oleh sambaran lengan bajunya tadi, malah sekarang anak itu sudah meloncat bangun dan berdiri tegak di depannya dengan mata bersinar-sinar marah!

"Hwesio tua! berani kau memukul teman-temanku? Tidak malukah kau? Aturan mana yang membolehkan orang tua seperti kau ini memukul anak-anak kecil?"

Diam-diam hwesio tua itu tertegun. Ucapan anak nakal berusia antara sepuluh tahun ini tidak patut keluar dari mulut seorang anak sekecil ini. Dan melihat keadaan muridnya yang pingsan itu sudah dapat diduga bahwa tentulah anak ini yang merobohkannya. Diam-diam ia heran dan kagum.

Jika anak sekecil ini bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu, apa lagi dapat merobohkan muridnya, sudah dapat dipastikan bahwa anak ini bukanlah anak sembarangan dan kalau bukan putera tentulah murid seorang pandai. Maka berhati-hatilah kakek itu dan sambil tersenyum sabar ia bertanya,

"Ehh, anak yang baik, kalau kau bilang bahwa seorang kakek seperti pinceng memberi penghajaran kepada anak-anak nakal adalah tidak menurut aturan, apakah kau bersama teman-temanmu yang menyerang dan memukul seorang hwesio sampai pingsan ini juga termasuk aturan benar?"
"Tentu saja benar! Tadi hwesio ini tidak mau memberi labu kepada anak-anak dan ketika anak-anak mengambil sendiri, malah dia pukul."

Kembali hwesio tua itu melengak. Memang amat tidak patut apa bila anak-anak kecil itu mengeroyok dan memukuli muridnya, akan tetapi lebih keterlaluan lagi kalau muridnya itu yang telah menjadi hwesio, berurusan dengan anak-anak kecil saja tak mampu menahan nafsu dan menggunakan tangan memukul.

Dia menarik napas panjang memandang muridnya. Sebagai seorang ahli silat yang sudah matang kepandaiannya, ia mengerti bahwa biar pun mukanya matang biru dan kepalanya benjol-benjol, muridnya itu hanya terluka di luar saja dan tidak berbahaya.

"Sudahlah, jika betul murid pinceng ini yang salah, pinceng yang memintakan maaf. Kau pergilah."
"Tidak bisa!" Sin Lee membantah. "Kau pun tadi sudah mempergunakan kepandaianmu memukul teman-temanku. Kau mengandalkan kegagahan sendiri, apa kaukira aku takut?"

Merah muka kakek itu. Anak ini benar-benar aneh dan liar silatnya.

"Hemm... hemmm... kalau begitu kau mau apakah?"
"Aku harus balas memukulmu."
"Begitu? Kau benar-benar nekat. Nah, kau boleh coba pukul kalau bisa, anak bandel."

Sin Lee mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya seperti seekor burung saja menerjang maju. Dua kepalannya yang kecil memukul bertubi-tubi dari kanan kiri, sulit diketahui yang mana yang betul-betul memukul dan sementara itu, kedua kakinya menendang-nendang.

"Omitohud..." hwesio tua itu menyebut nama Buddha saking merasa kagum dan heran serta kagetnya.

Akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan bajunya saja tubuh Sin Lee terguling seperti tertiup angin puyuh. Sebentar Sin Lee nanar, akan tetapi dia segera merangkak bangun. Ia kembali menyerang, malah lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi kembali ia terguling, bahkan lebih hebat lagi.

Beberapa kali ia bangun dan menyerang lagi, akan tetapi semakin keras ia menyerang, semakin keras pula ia roboh sehingga akhirnya ia menyerah. Ia maklum bahwa ia tidak mampu menandingi kakek tua itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia bangun setelah agak lama ia nanar, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.

"Hee... anak yang aneh, kau tunggu dulu, aku hendak bicara denganmu!" Hwesio tua itu mengejar.

Tiba-tiba Sin Lee membalikkan tubuh, sikapnya angkuh dan matanya berapi.
"Aku sudah kalah, kenapa kau masih banyak cerewet lagi?" Setelah berkata demikian ia mengeluarkan bunyi melengking keras.

Pada saat itu juga dari udara terdengar bunyi lengking yang lebih nyaring lagi dan seekor burung menyambar turun seperti kilat menyambar. Sin Lee meloncat ke atas punggung burung itu yang segera terbang meninggi, meninggalkan kakek tua itu yang masih berdiri terlongong di bawah.

"Omitohud... apakah itu yang oleh orang-orang disebut kim-tiauw milik orang sakti yang dipanggil toanio dan anak itu, kiranya puteranya... benarkah di dunia ada hal seaneh dan sehebat ini...?” Ia menarik nafas berulang-ulang dan diam-diam dia menguatirkan bahwa kelak di dunia kang-ouw pasti akan muncul seorang tokoh luar biasa, yaitu bocah tadi.
“Semoga ia tidak tersesat..." demikian doanya.

Betapa pun juga nakalnya, Sin Lee memiliki watak gagah yang jarang terdapat dalam diri anak kecil berusia sepuluh tahun. Contohnya, kekalahan terhadap hwesio tua itu sama sekali tidak ia beri tahukan kepada ibunya. Ia tidak mendendam malah tidak ada dalam pikirannya sama sekali pada waktu itu untuk minta bantuan burungnya. Juga ia tidak mau minta ibunya supaya membalaskan kekalahannya.

Banyak sekali kenakalan dilakukan oleh Sin Lee, akan tetapi semenjak kekalahannya oleh kakek itu, ia mendapat pengalaman pahit sekali. Belum pernah ia mengalami kekalahan dalam perkelahian, maka semenjak ia kalah oleh kakek tua itu, ia makin tekun belajar ilmu silat dari ibunya. Tentu saja Kwa Hong yang tidak menyangka sesuatu, menjadi gembira sekali dan menurunkan seluruh kepandaiannya.

Watak keras yang dulu dimiliki Kwa Hong kiranya menurun pula kepada Sin Lee, malah lebih hebat lagi. Ketika ia berusia enam belas tahun, Sin Lee melakukan perbuatan yang amat merugikan dia sendiri dan ibunya.

Sudah menjadi kebiasaan binatang peliharaan, sekali-kali tentu ingin bebas lepas tak ingin terganggu. Demikian pula burung rajawali emas. Meski pun kelihatan amat setia kepada Kwa Hong dan Sin Lee, namun ada kalanya burung ini terbang pergi sampai beberapa hari tidak kembali. Mungkin burung ini terbang untuk pergi mencari teman-temannya, atau mungkin juga mencari mangsa di tempat-tempat jauh.

Ini hanya dugaan Kwa Hong dan Sin Lee saja. Padahal sebenarnya burung itu sering kali pergi pulang ke tempat asalnya, yaitu di puncak sebuah gunung yang tak pernah didatangi manusia, tempat di mana ia tinggal sebelum ia bertemu dengan Kwa Hong dan kemudian dipeliharanya.

Pada suatu hari, seperti sudah sering kali tejadi, Sin Lee marah-marah karena rajawali itu tidak pulang. Sudah hampir sebulan rajawali itu tidak pulang dan telah payah pula Sin Lee mencari ke dalam hutan-hutan, bersuit-suit memanggil tanpa ada jawaban.

Pemuda berusia enam belas tahun ini sampai tak enak makan tak enak tidur memikirkan burungnya. Dan ia menjadi marah bukan main ketika pada suatu pagi, burung itu datang!

"Keparat, kau benar-benar menggemaskan!" kata Sin Lee yang menyambut kedatangan burungnya.

Tanpa banyak pikir lagi ia lalu... mencabuti bulu-bulu sayap burung itu. Bukan sekali-kali ia bermaksud untuk menyiksa, melainkan saking marahnya ia bermaksud untuk menghukum burung itu agar burung itu tidak mampu terbang lagi.

Burung adalah seekor binatang biasa. Kalau ia dibaiki tentu ia akan membalas kebaikan itu dengan kesetiaan. Akan tetapi kalau ia disakiti, siapa pun yang melakukannya tentu akan dilawannya.

Sekali dua kali bulunya dicabut ia diam saja, hanya memekik-mekik. Akan tetapi setelah Sin Lee terus saja mencabuti bulunya, ia menjadi marah dan menampar. Pemuda itu yang tidak menduga akan ditampar, terlempar tubuhnya.

"Setan, kau menantang berkelahi?”

Bagi Sin Lee, siapa pun yang menantangnya berkelahi pasti akan dilayani. Kemarahannya memuncak ketika burung yang ia anggap bersalah dan hendak ia hukum itu malah berani menyerangnya.

"Kita lihat siapa yang akan menang! Kalau aku kalah, aku tidak akan mencabuti bulumu, akan tetapi kalau kau yang kalah, tidak hanya sayapmu, malah ekormu akan kucabut habis untuk hukumanmu!" Kemudian ia menerjang maju, menyerang burungnya.

Sudah menjadi kebiasaan Kwa Hong di waktu Sin Lee masih kecil untuk melatih anaknya itu bertempur melawan rajawali, akan tetapi dalam latihan ini rajawali emas tak bertempur sungguh-sungguh. Betapa pun juga, makin besar anak itu, semakin hebat kepandaiannya dan akhirnya dalam setiap latihan, akhirnya burung itulah yang kalah. Sin Lee pun tidak mau menyakitinya, apa lagi membunuhnya, cukup dia dianggap menang kalau ia dapat menangkap leher burung dalam kempitannya membuat burung itu tak mampu bergerak lagi.

Akan tetapi sekarang keduanya berhadapan sebagai lawan yang sungguh-sungguh akan bertempur. Sin Lee dalam kemarahannya hendak menghukum burung yang dianggapnya jahat itu, sebaliknya rajawali emas itu dengan nalurinya merasa bahwa pemuda ini hendak berbuat jahat kepadanya, hendak menyakitinya, maka ia pun tidak mau main-main lagi.

Melihat penyerangan hebat dari Sin Lee, burung rajawali emas itu pun cepat mengelak dan mengibaskan sayapnya. Biar pun burung itu sudah termasuk berusia tua, akan tetapi tenaganya tidak berkurang semenjak dahulu. Kibasan sayapnya memiliki tenaga ratusan kati.

Sin Lee yang melihat tamparan sayap ini pun maklum bahwa burungnya tidak main-main, maka ia menjadi makin marah. Cepat tubuhnya berkelebat mengelak dan dengan keras ia memukul kepala binatang itu.

Gerakan rajawali emas tetap gesit. Serangan itu dapat ia elakkan pula dan dibalasnya dengan tendangannya yang biasanya hebat sekali. Namun Sin Lee yang sudah hafal akan semua gerakan burungnya, dapat menghindar.

Terjadilah pertandingan yang bukan main serunya. Tubuh burung dan manusia itu sama berkelebatan sampai tidak kelihatan lagi, hanya tampak gulungan sinar kuning emas dan bayangan-bayangan yang menjadi satu. Debu mengebul tinggi dan daun-daun pohon di dekat tempat pertandingan itu bergerak-gerak bagaikan tertiup angin, malah daun-daun yang sudah menguning pada rontok berhamburan.

Sejam lebih mereka bertempur, akhirnya burung itu harus mengakui keunggulan Sin Lee. Dua kali dadanya terkena pukulan dan segenggam bulu di lehernya sudah copot karena cengkeraman pemuda itu. Sambil mengeluarkan keluhan panjang burung itu lalu terbang pergi. Ia tidak mau turun kembali, biar pun dipanggil dan dimaki-maki oleh Sin Lee.

Kwa Hong menyesal sekali setelah mendengar tentang pertempuran ini. Dia mendapat kenyataan bahwa kali ini burung rajawali itu benar-benar tak mau pulang ke Lu-liang-san. Akan tetapi Sin Lee tidak pernah memperlihatkan rasa sesalnya.

"Bila dia tidak mau lagi ikut kita, kenapa kita harus menyesal? Biarlah dia tidak kembali lagi, tidak apa-apa."
"Lee-ji, kenapa kau berkata begini? Burung itu sudah belasan tahun ikut dengan aku, aku sayang padanya dan... ah, bukankah kalau ada dia mudah sekali kita hendak pergi ke mana-mana? Dia adalah seekor binatang tunggangan yang jarang ada keduanya di dunia ini."
"Aku masih mempunyai kedua kakiku, kalau tidak ada dia, aku dapat pergi ke mana saja dengan jalan kaki. Ibu, bukankah ibu sering kali mengatakan bahwa hidup di dunia ini terutama sekali harus mengandalkan diri sendiri dan tidak boleh bersandar kepada orang lain?"

Kwa Hong telalu menyayangi puteranya, maka dia pun tidak tega untuk memarahinya. Diam-diam ia girang karena anaknya ini ternyata mendapatkan kemajuan pesat sehingga burung rajawali emas yang tidak mudah dikalahkan orang itu akhirnya kalah juga ketika menghadapi puteranya. Maka, ia kemudian lebih tekun menggembleng Sin Lee sehingga akhirnya dia sendiri dengan pedang di tangan kanan dan cambuk anak panah di tangan kiri tidak mampu menandingi pedang puteranya, lebih dari lima puluh jurus!

Usia Sin Lee sudah delapan belas tahun ketika Kwa Hong membuka rahasia hatinya yang terpendam selama belasan tahun ini.

"Lee-ji puteraku sayang, kau sekarang telah mewarisi semua kepandaian ibumu, dan kau sudah terlalu besar untuk tinggal terus di puncak gunung ini. Sudah tiba waktunya kau harus turun gunung memperluas pengetahuan dan... mencari jodoh."
"Aku tidak inginkan jodoh!" Sin Lee memotong cepat dengan kedua pipinya kemerahan.

Ibunya memandang penuh kasih, dengan mata berseri-seri sambil tersenyum. Alangkah tampan puteranya, melampaui Beng San! Teringat Beng San, jantungnya berdebaran dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu dan perasaannya menjadi panas.

"Dengar, puteraku. Dulu kau sering kali menanyakan ayahmu dan selalu kujawab bahwa ayahmu telah mati. Itu memang benar, akan tetapi baru sekarang hendak kuceritakan kepadamu sebab kematian ayahmu."

Sin Lee segera memandang ibunya dan mendengarkan penuh perhatian. Sejak kecil dia merasa berduka dan kecewa sekali mendengar bahwa ayahnya telah mati.

"Apakah sebab kematian ayahku, Ibu?" tanyanya mendesak.

Kwa Hong menarik napas panjang berulang-ulang, agaknya berat hendak mengeluarkan kata-kata. Akhirnya ia bicara dengan suara serak.

"Anakku..., ayahmu she Tan jadi namamu Tan Sin Lee. Ada pun kematian ayahmu tidak sewajarnya, melainkan dibunuh orang."

Tldak ada reaksi apa-apa pada pemuda itu. Memang Sin Lee aneh orangnya. Ia tidak bisa menaruh hati dendam karena selama ia hidup di gunung itu ia tidak pernah menghadapi sesuatu dan segala peristiwa yang menimpa siapa pun juga ia anggap sudah sewajarnya, pasti ada sebab menjadikan peristiwa itu.

Umpamanya ketika ia kalah oleh hwesio tua, ia anggap hal itu terjadi karena ia memang kalah pandai dan habis perkara. Ia tidak menaruh dendam. Dan kini, mendengar ayahnya mati dibunuh orang, otomatis ia menganggap bahwa ayahnya dibunuh akibat kalah dalam pertempuran, jadi menurut pendapatnya, ayahnya yang bersalah mengapa sampai kalah!

"Banyak orang yang membunuh ayahmu. Pertama-tama adalah seorang lelaki bernama... Tan Beng San!" ia berhenti sebentar dan menahan air matanya, memandang puteranya.

Sin Lee kelihatan mengerutkan keningnya karena terheran-heran. "Dia pun she Tan, Ibu? Bukankah orang yang sama she-nya itu berarti masih keluarga?"

"Tidak... tidak... banyak orang she-nya sama tapi bukan apa-apa," jawab Kwa Hong cepat.
"Hemmm, lalu siapa lagi, Ibu?"
"Orang ke dua adalah seorang wanita bernama Cia Li Cu, isteri dari Tan Beng San itu."

Ia memang sudah mendengar bahwa Beng San sudah menikah dengan Li Cu, maka dia menyebut nama wanita yang dibencinya karena iri hati dan cemburu ini.

"Ada pun orang ke tiga... dia adalah Song-bun-kwi Kwee Lun. Nah, tiga orang itulah yang telah membunuh ayahmu dan yang membuat ibumu hidup menderita. Kau harus mencari mereka. Kau bunuhlah Cia Li Cu dan Song-bun-kwi Kwee Lun, tapi... kau jangan bunuh Tan Beng San, kau tangkap saja dan kau seret dia ke sini!"

Sin Lee memandang ibunya dengan mata membelalak, "Kenapa, Ibu? Kenapa aku harus membunuh mereka? Mereka tidak mempunyai urusan apa-apa denganku."
Kwa Hong balas memandang dengan marah. "Apa?! Kau tidak mau mewakili ibumu untuk membalas sakit hati? Percuma sajakah aku mempunyai seorang anak laki-laki seperti kau, hidup menderita untukmu dan menurunkan semua kepandaianku untukmu?"

Sin Lee cepat-cepat memeluk ibunya yang telah menangis. "Sudahlah, Ibu. Sama sekali bukan begitu maksudku. Aku hanya menyatakan isi hatiku bahwa aku tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Akan tetapi jika Ibu memerintah anakmu ini, biar pun harus melawan naga berapi akan kujalani. Terangkanlah maksud Ibu bagaimana, anak akan segera melaksanakan semua kehendakmu."

Dengan terharu dan girang Kwa Hong memeluk puteranya, lalu berkata dengan sungguh-sungguh.

"Tugas yang kuserahkan kepadamu ini bukanlah tugas ringan, Anakku. Tiga orang yang kusebut-sebut tadi adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian luar biasa tingginya. Song-bun-kwi Kwee Lun adalah seorang kakek sakti yang kepandaiannya dahsyat sekali. Dia terkenal dengan ilmu pedangnya Yang-sin Kiam-sut dan suling tangisnya yang dapat melumpuhkan semangat lawan. Dahulu, Song-bun-kwi Kwee Lun ini adalah tokoh nomor satu dari barat. Nah, kau harus cari orang ini di puncak Min-san, bunuhlah dia karena dia telah menjadi sebab rusaknya kehidupan ibumu," sambil berkata demikian, dengan gemas Kwa Hong mengenangkan Bi Goat yang dianggap telah merampas cinta kasih Beng San.

Sekarang Bi Goat sudah meninggal dunia, maka ia anggap sudah semestinya kalau dia menyuruh puteranya membunuh kakek itu. Padahal ia mempunyai maksud lain dengan perintah ini. Ia tahu bahwa putera Bi Goat diambil oleh Song-bun-kwi maka mencari kakek itu berarti mencari putera Bi Goat dan Beng San!

"Kalau kau sudah bertemu dengan kakek itu, selain dia kau harus pula membinasakan seorang pemuda sebaya engkau yang menjadi cucunya atau putera seorang wanita bernama Bi Goat."

Sin Lee mengerutkan keningnya, di dalam hatinya sebetulnya ia tidak setuju dengan tugas membunuh-bunuhi orang yang sama sekali tak dikenalnya itu. Akan tetapi ia tidak mau mengecewakan hati ibunya, orang yang amat dikasihinya itu.

"Hemmm, jadi kakek itu tinggal di Min-san, Ibu? Lalu yang lain-lain itu tinggal di mana?"
"Orang yang harus kau bunuh lagi adalah Cia Li Cu. Kau harus sangat berhati-hati kalau berhadapan dengan dia ini. Dia adalah murid mendiang Raja Pedang. Ilmu pedangnya hebat sekali. Dia tinggal di Thai-san bersama... orang ke tiga itu, yang bernama Tan Beng San."
"Jadi Cia Li Cu itu isteri dari Tan Beng San?" tanya Sin Lee.

"...ehh, hemm... betul. Cia Li Cu harus kau bunuh. Kemudian kau seret Tan Beng San itu ke sini, kau hadapkan padaku. Ingat betul, jangan kau bunuh dia itu, boleh kau lukai kalau dia melawan, akan tetapi jangan sekali-kali kau bunuh. Aku yang hendak membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri!"

Melihat pandang mata dan gerakan tangan ibunya, diam-diam Sin Lee terkejut sekali.

"Ibu, kenapa kau amat membenci Tan Beng San ini?"

Sampai lama Kwa Hong tak dapat menjawab. Mata yang tadinya bersinar ganas dan liar itu pelan-pelan melunak dan air matanya hampir menitik turun. Cepat-cepat ia mengusap kedua matanya, kemudian berkata perlahan, "Dia itulah yang menghancurkan hidupku, memaksa ibumu hidup menyendiri di puncak gunung ini. Kau harus berhasil menangkap dia, tak peduli apa pun yang terjadi. Dia harus kau tangkap, kau seret ke sini, Anakku..."

Suaranya ibunya yang penuh permohonan ini membanjirkan perasaan haru dan kasihan dalam dada Sin Lee. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan ibunya ini, apa pun yang akan terjadi dengan dirinya.

"Ibu, agaknya aku akan berhasil menangkapnya dan menyeretnya ke depan kakimu. Akan tetapi... dia itu orang macam apakah?"

Kwa Hong menarik napas panjang. "Kau tidak boleh memandang rendah Song-bun-kwi Kwee Lun, kau harus berhati-hati terhadap Cia Li Cu. Akan tetapi menghadapi orang ini, Anakku... aku sungguh-sungguh sangsi apakah kau akan mampu melawannya. Dia itulah Raja Pedang sesungguhnya. Ilmu pedang serta ilmu silatnya luar biasa sekali, belum pernah aku melihat dia dikalahkan orang. Dia hebat... dia hebat..."

Kwa Hong merenung, wajahnya agak berseri. Bangkit kembali cinta kasihnya kalau dia merenungkan bekas kekasihnya itu.

"Dia laki-laki hebat..." kembali ia berkata dan kali ini dengan keluhan.

Panas hati Sin Lee mendengar ini. Biasanya ibunya hanya menganggap bahwa dialah orang yang paling pandai di dunia ini, sekarang ibunya memuji seorang musuh!

"Ibu, aku bersumpah akan menyeret Tan Beng San itu ke hadapan kakimu. Kalau belum terjadi hal ini, aku bersumpah tak akan kembali ke sini."

Sin Lee segera berkemas, membawa pedang pusaka pemberian ibunya dan membuntal pakaian serta membawa beberapa potong emas, lalu turun gunung. Kwa Hong mengantar puteranya sampai di lereng gunung dan membekalinya banyak nasihat dan memesannya agar berhati-hati.....

********************
Kun Hong dibawa terbang jauh sekali oleh rajawali emas. Semenjak pergi meninggalkan Lu-liang-san burung ajaib ini tidak mau kembali lagi dan selama itu ia terbang dan tinggal di tempatnya yang lama, yaitu di puncak sebuah bukit yang tak pernah didatangi manusia.

Kadang-kadang ia meninggalkan tempatnya ini. Tidak seperti dulu ketika masih dipelihara oleh Kwa Hong, sekarang ia bebas lepas dan bisa pergi ke mana saja ia suka. Kebetulan sekali ia bertemu dengan Kun Hong.

Binatang ini memang amat mengenal budi orang. Sekali saja orang sudah melepas budi kepadanya, ia tentu akan membalasnya dengan penuh kesetiaan. Akan tetapi sebaliknya, kalau ia disakiti, ia pun akan membenci yang menyakitinya.

Tanpa disengaja Kun Hong sudah memberi katak putih yang segera dikenal dan ditelan oleh burung ajaib ini, dan karena itu selamatlah ia dari racun hebat yang melukai kakinya. Pertolongan ini membuat dia sangat suka dan setia kepada Kun Hong dan sekarang dia hendak membawa pemuda itu terbang ke tempat tinggalnya, di puncak sebuah bukit yang pada jaman dahulu dikenal sebagai Bukit Kepala Naga. Puncak ini disebut Kepala Naga karena bentuknya dilihat dari barat memang menyerupai bentuk kepala naga.

Kun Hong tidak tahu ke mana ia sedang dibawa oleh burung itu. Anehnya, pada waktu tengah hari dan malam, burung itu selalu berhenti di sebuah hutan dan tanpa diminta lagi lalu mencarikan buah-buahan yang segar dan enak untuk pemuda itu. Tentu saja Kun Hong girang sekali mendapatkan kawan yang baik. Apa lagi selamanya dia tidak pernah turun gunung, sekarang begitu turun gunung ia mengalami hal-hal yang amat aneh.

Biar pun ayahnya adalah Kwa Tin Siong dan juga menjadi ayah Kwa Hong, namun Kun Hong belum pernah diceritakah mengenai kakak perempuannya lain ibu itu, maka ia pun tak pernah mendengar tentang adanya rajawali emas. Para tosu Hoa-san-pai yang sudah dipesan keras oleh Kwa Tin Siong, tidak ada yang pernah bercerita tentang peristiwa yang mencemarkan nama baik Ketua Hoa-san-pai itu. Andai kata ia pernah mendengar tentang Kwa Hong yang datang menyerbu ke Hoa-san-pai naik rajawali emas, kiranya pemuda ini akan dapat mengenal burung itu.

Setelah lewat lima hari, tibalah burung rajawali emas itu ke puncak gunung Kepala Naga. Ia menukik ke bawah dan Kun Hong pun merangkul leher burung, mencengkeram kalung mutiara itu sambil meramkan matanya. Ia merasa ngeri sekali melihat betapa dia dibawa burung itu meluncur turun, seakan-akan hendak ditumbukkan kepada jurang-jurang dan batu-batu yang menanti di bawah, jurang-jurang yang menganga laksana mulut harimau dan batu-batu meruncing seperti ujung pedang dan golok.

Setelah burung itu hinggap di atas tanah barulah ia berani membuka sepasang matanya. Alangkah herannya pada saat ia melihat bahwa burung rajawali itu telah berdiri di depan sebuah goa yang bentuknya seperti mulut naga.

Goa batu itu amat lebar dan dalam, letaknya di depan jurang yang sangat terjal sehingga kalau bukan burung yang pandai terbang, manusia biasa kiranya tidak mungkin sanggup mendatangi tempat ini. Pemandangan alam dari tempat itu, dari depan goa itu, alangkah indahnya, seakan-akan dunia terletak di bawah kaki goa.

Kun Hong segera melompat turun dari punggung rajawali. Ia mendekati goa, akan tetapi tidak berani masuk karena ia merasa seakan-akan sedang berdiri di depan tempat tinggal seseorang sehingga ia tidak berani masuk begitu saja tanpa perkenan si pemilik tempat tinggal! Namun tiba-tiba burung itu mengeluarkan suara perlahan dan dari belakangnya burung itu pelan-pelan mendorong punggungnya, seakan-akan hendak menyuruh pemuda itu memasuki goa.

Melihat letak goa itu yang demikian sulit untuk didatangi manusia, Kun Hon lalu menduga bahwa goa itu tidak mungkin didiami oleh manusia, dan karena itu dia lalu memasukinya. Ia terheran-heran melihat bahwa di dalam goa itu terbagi menjadi tiga, yaitu bagian depan dan di sebelah dalam terdapat dua buah ruangan tertutup. Pintunya juga merupakan pintu batu, akan tetapi bentuknya jelas adalah buatan manusia!

Dengan hati berdebar-debar ia mendorong pintu batu di sebelah kiri. Akan tetapi betapa pun ia mengerahkan tenaga, pintu batu itu bergerak sedikit pun tidak! Tiba-tiba terdengar burung itu bersuara di belakangnya, lalu dengan sayap kanannya burung itu mendorong perlahan dan... pintu batu itu terbuka!

"Tiauw-ko, kau benar-benar kuat sekali!" Kun Hong memuji dan makin berdebar hatinya ketika ia melangkah masuk.
"Locianpwe (sebutan untuk orang tua yang pandai) atau arwahnya yang mulia, harap sudi mengampuni kelancanganku ini," katanya dengan bisikan perlahan.

Mulailah ia merasa seram karena di dalam kamar batu ini ia melihat ada sebuah meja sembahyang! Tempat lilin yang amat kuno terletak di kanan kiri ujung meja dan di atas dua tempat lilin ini masih tertancap dua batang lliin merah. Lilin-lilin itu tak menyala, akan tetapi sisa-sisa lilin yang meleleh bekas terbakar masih kelihatan seakan-akan baru saja dipadamkan. Ketika Kun Hong mendekati, tampak nyata olehnya bahwa lilin sudah lama sekali tidak dinyalakan orang, buktinya di atasnya terdapat banyak sarang laba-laba. Di tengah-tengah meja kelihatan sebuah kitab yang tebal dan sudah tua sekali.

Ketika melihat sebuah kitab kuno, bukan main girangnya hati Kun Hong. Ingin segera dia menyambar kitab itu untuk dibacanya, akan tetapi karena sejak kecil ia dijejali pelajaran dan tata-susila, ia tidak berani melakukan hal itu.

Karena keinginannya melihat buku itu amat keras, ia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan meja sembahyang lalu berkata keras-keras,

"Locianpwe pemilik kitab di atas meja, harap sudi memberi perkenan kepada teecu untuk mengambilnya dan membaca isinya." Berkali-kali ia mengucapkan kata-kata ini sambil membentur-benturkan jidatnya pada lantai untuk memberi hormat kepada pemilik kitab yang tidak diketahuinya siapa dan yang ia tidak tahu masih hidup ataukah sudah mati itu.

Ketika sedang berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya di atas lantai depan meja sembahyang itu, matanya melihat ukiran-ukiran huruf kecil-kecil di bawah meja. Ukiran huruf-huruf itu sedemikian kecilnya sehingga apa bila orang tidak mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh lantai kiranya takkan dapat melihatnya.

Tidak akan ada huruf-huruf yang terlewat begitu saja oleh sepasang mata Kun Hong yang selalu haus akan bacaan, apa lagi kalau huruf-huruf itu berada di tempat yang begitu aneh dan goresan huruf-huruf itu amat indahnya. Ia segera membacanya,

'Dapat masuk berarti jodoh. Dapat membaca berarti tahu sopan santun dan murid yang baik. Untuk mengambil kitab singkirkan dahulu anak-anak panah di bawah meja. Setelah hafal kitab baru ambil pedang di kamar semedhi.'

Beberapa kali Kun Hong membaca tulisan kecil-kecil itu dan ia merasa seakan-akan surat itu ditujukan kepadanya! Setelah jelas akan pesan di dalam surat berukir yang aneh itu, ia lalu melongok ke bawah meja.

Dan betul saja, di bawah meja itu tersembunyi tiga batang anak panah yang dipasangi per sehingga kalau ada orang mengambil kitab di atas meja itu, per akan menggerakkan tiga batang anak panah tadi yang tentu akan tertendang dan menyerang orang yang berdiri di depan meja. Karena anak-anak panah itu akan menyerang dari bawah meja, kiranya tak mungkin orang akan dapat menghindarkan penyerangan gelap yang amat dekat ini.

Kun Hong bergidik. Dia cepat-cepat mengulur tangan mengambil tiga batang anak panah itu. Tercium bau yang harum dan di ujung tiga batang anak panah itu berwarna hijau. Pemuda ini dapat menduga bahwa ujung anak panah itu tentu diberi racun yang amat berbahaya.

Dengan jijik ia lalu menaruh ketiga batang anak panah itu di atas meja, lalu ia memberi hormat lagi sambil berkata, "Terima kasih atas kepercayaan dan petunjuk Locianpwe."

Ia lalu mengulurkan tangan mengambil kitab kuno itu dari tengah meja dan pada saat itu terdengarlah jepretan per di bawah meja. Biar pun sudah dapat menduga akan hal ini dan sudah yakin bahwa anak panah itu sudah ia singkirkan, namun kaget jugalah Kun Hong mendengar jepretan ini.

Dilihatnya bahwa di bawah kitab tadilah yang menghubungkan per-per itu sehingga apa bila kitab diambil per-per itu bekerja di bawah meja. Ah, kalau tadi ia berlaku lancang dan langsung saja mengambil kitab itu, sudah dapat dipastikan bahwa berbareng pada saat terdengar suara menjepret, ia akan roboh telentang dengan tiga anak panah tertancap di perutnya! Dengan kitab di tangan, Kun Hong cepat-cepat memberi hormat lalu keluar dari kamar itu.

Setibanya di ruangan depan, ternyata rajawali emas telah menantinya dan burung ini telah memperoleh banyak sekali buah-buahan, malah di antaranya terdapat seekor kelinci yang sudah mati.

"Aduh, kau mendapatkan kelinci gemuk? Sayang, Tiauw-ko, bagaimana kita akan dapat memakannya?"

Burung itu lalu mendorong Kun Hong ke pojok ruangan di mana terdapat sebuah batu halus rata berbentuk meja. Di situ bertumpuk rumput-rumput kering dan dengan paruhnya burung luar biasa ini mengambil sedikit rumput kering, di taruhnya di atas meja. Kemudian ia menggerakkan kepalanya, paruhnya yang runcing dan keras seperti baja itu memukul pinggir meja dan... bunga api berpijar.

Kun Hong girang sekali dan pemuda yang cerdik ini segera dapat menangkap maksud si burung. Ia cepat-cepat mengambil rumput kering lagi dan menaruh dekat pinggiran meja. Beberapa kali burung itu memukul batu itu dengan paruhnya hingga akhirnya bunga api menyentuh rumput kering dan terbakarlah rumput itu. Dengan cara demikian Kun Hong dapat membuat api unggun dan dapat memanggang daging kelinci.

Setelah makan dan perutnya kenyang, pemuda itu mulai membuka-buka lembaran kitab kuno tadi. Pada lembar pertama terdapat tulisan dengan huruf-huruf besar yang berbunyi: SALINAN IM YANG BU TEK CIN KENG.

Karena tidak tahu apa artinya Im-yang Bu-tek Cin-keng, Kun Hong membuka lembaran ke dua dan segera ia amat tertarik membaca tulisan yang bersifat keluhan dan penjelasan. Tulisan itu berbunyi demikian,

‘Telah bertumpuk dosa-dosaku. Ratusan orang sudah kubunuh dengan anggapan bahwa itu adalah perbuatan baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap jahat, Anggapan yang sesat! Aku tidak mampu memberi kehidupan, lalu bagaimana aku berhak mengakhiri kehidupan? Aku sangat berdosa! Mengandalkan kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapa pun jahat si manusia itu, bukanlah perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula.’

Sampai di sini Kun Hong menarik napas panjang, lalu mengangguk-angguk. Betul sekali Locianpwe ini, soal mati dan hidup manusia bukanlah urusan manusia, melainkan Yang Maha Kuasa. Membunuh orang lain, bukankah itu namanya melancangi dan mendahului Tuhan? Sayang, agaknya Locianpwe ini baru sadar setelah dia melakukan pembunuhan ratusan kali. Ia membaca terus tulisan yang merupakan permulaan isi kitab itu.

‘Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang mengandung pelajaran ilmu silat sakti, tiada duanya di dunia ini. Orang macam aku mana dapat menyalinnya? Pengertianku terbatas dan salinanku tentu banyak yang menyeleweng. Karena itu aku hanya menyalin apa yang kuketahui saja dan kucampur dengan gerakan-gerakan burungku rajawali emas. Karena itu maka ilmu di dalam kitab ini kuberi nama Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas). Muridku yang membaca kitab ini harus bersumpah dalam hatinya bahwa ke satu dia tidak boleh membunuh sesama manusia dengan alasan apa pun juga. Ke dua dia tidak boleh mempergunakan ilmu ini untuk menyerang orang. Ke tiga ilmu Kim-tiauw-kun ini hanya untuk membela diri dari serangan orang, serta hanya terbatas untuk mengalahkan lawan saja.’

Kun Hong makin tertarik. "Bagus," pikirnya. "Inilah ilmu yang baik sekali. Aku sendiri paling benci melihat pembunuhan antara sesama manusia. Kalau aku dapat mempelajari ilmu ini, kiranya aku akan mampu mencegah orang-orang berkepandaian main hakim sendiri membunuhi orang sesuka hati. Kalau ada orang jahat, aku dapat gunakan kepandaian ini untuk mengalahkannya dan menangkapnya untuk diserahkan kepada yang berwajib agar dijatuhi hukuman. Bagus sekali! Locianpwe, teecu bersumpah akan memenuhi semua syarat itu."

Semenjak saat itu, dengan tekun Kun Hong membaca kitab yang berisi pelajaran ilmu silat sakti itu. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa secara tak sengaja atau sadar ia telah mewarisi ilmu silat yang bukan main hebatnya, yang hanya setaraf dengan Im-yang Sin-hoat karena dari satu sumber. Ia tidak tahu pula siapa gurunya, siapa penulis kitab itu yang hanya menandainya dengan tiga buah huruf berbunyi ‘BU BENG CU’ yang artinya ‘TIADA NAMA’!

Di samping membaca kitab Kim-tiauw-kun ini, tidak lupa Kun Hong yang dengan girang mendapat kenyataan bahwa tiga buah kitab milik Yok-mo masih berada di saku jubahnya, membaca pula tiga buah kitab pengobatan itu. Pengetahuannya tentang perjalanan darah yang secara lengkap tertulis dalam kitab Yok-mo, memperlancar pengertiannya terhadap isi kitab Kim-tiauw-kun.

Kun Hong memang memiliki kecerdasan luar biasa. Dalam waktu setahun lebih saja ia sudah mampu membaca habis empat buah kitab itu, tidak hanya membaca habis, malah sudah dapat menghafalnya di luar kepala! Tentu saja, ilmu silat tidak dapat disamakan dengan ilmu pengobatan yang cukup dihafal, melainkan harus dilatih dalam praktek.

Oleh karena di dalam kitab Kim-tiauw-kun itu terdapat peringatan bahwa si murid harus betul-betul menyempurnakan latihan gerakan kaki, maka Kun Hong juga melatih dirinya dalam gerakan ini, dalam langkah-langkah ajaib yang kadang-kadang membuat kepalanya pening dan mau muntah-muntah.

Baiknya kalau ia sedang bergerak seperti itu, burung rajawali sambil mengeluarkan suara girang tentu mendekatinya lalu bergerak-gerak persis seperti langkah-langkah di dalam pelajaran itu, sengaja memberi contoh kepadanya! Bukan main girangnya hati Kun Hong dan mulai saat itu ia selalu berlatih bersama burung rajawali emas.

Orang yang menamakan dirinya Bu Beng Cu dan yang menyalin ilmu silat itu, sebenarnya adalah orang sakti yang menyembunyikan dirinya di tempat ini karena merasa menyesal sekali akan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang jahat yang sudah banyak ia lakukan. Bu Beng Cu ini telah mewarisi sebagian dari ilmu silat yang terdapat dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Setelah tua dan menyesali perbuatannya, Bu Beng Cu membawa burung peliharaannya ke puncak Gunung Kepala Naga ini, menyembunyikan diri dan menuliskan sari dan pokok dari semua ilmu yang dia miliki. Bu Beng Cu terus tinggal di tempat itu sampai kemudian ia meninggal dunia dengan hanya ditemani burungnya yang setia.

Tentu saja setelah majikannya meninggal, burung itu merasa kesepian dan akhirnya ia terbang dari tempat itu sampai ia berjumpa dengan Kwa Hong dan dipelihara oleh Kwa Hong. Betapa pun juga, burung ini mempunyai perasaan atau naluri yang tajam.

Agaknya ia maklum bahwa Kwa Hong dan kemudian puteranya Sin Lee bukanlah orang yang memiliki budi luhur, maka tidak ia bawa mengunjungi goa di puncak Gunung Kepala Naga itu. Barulah setelah ia bertemu dengan Kun Hong, segera perasaan atau nalurinya menyatakan kepadanya bahwa pemuda inilah yang paling tepat untuk dihadapkan kepada peninggalan majikan tuanya.

Waktu satu setengah tahun bukanlah waktu lama untuk orang yang belajar. Akan tetapi, satu setengah tahun di dalam goa di puncak gunung yang tak pernah dikunjungi manusia, benar-benar membuat Kun Hong berubah menjadi manusia lain! Ilmu langkah ajaib itu ia sudah hafal benar sehingga dalam latihan-latihan, biar pun burung rajawali itu menyerang dirinya dengan hebat, namun tak pernah dapat menyentuh ujung bajunya.

Tidak hanya dalam ilmu silat, akan tetapi juga dalam pengertiannya tentang pengobatan, membuat ia seakan-akan terbuka mata batinnya akan diri manusia. Dari pelajaran ini ia seakan-akan lebih mengenal dirinya sendiri, lebih mengenal manusia pada umumnya, tidak hanya lahiriah, akan tetapi mendalam sampai ke jalan darahnya, sampai kepada alat-alat terkecil dalam tubuh. Semua pengertian baru ini ia gabungkan dengan pelajaran yang banyak ia dapatkan dahulu tentang kebatinan, tentang kehidupan, sehingga pemuda yang baru berusia dua puluh tahun ini sekarang memiliki pandangan yang amat tajam tentang diri manusia.

Setelah hafal benar akan isi kitab Kim-tiauw-kun, barulah Kun Hong berani menghampiri pintu kamar ke dua di dalam goa itu. Seperti pintu pertama, pintu ke dua ini pun terbuat dari batu yang tebal dan berat. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya dengan satu setengah tahun yang lalu, dengan sekali dorong saja Kun Hong dapat membuka daun pintu yang tebal itu!

Sama sekali ia tidak menjadi girang atau bangga dengan hal ini, karena sesungguhnya ia sudah tidak ingat lagi betapa dahulu tanpa bantuan rajawali emas, tidak mungkin ia dapat membuka pintu ini. Semua ini adalah hasil latihannya dalam semedhi dan pernapasan, sesuai dengan petunjuk dalam kitab Kim-tiauw-kun itu.

Tenaga dalamnya telah bangkit dan bergerak tanpa ia sadari. Hawa sakti dalam tubuh telah ada di dalam diri tiap manusia, hanya saja hawa ini seakan-akan tertidur karena semenjak kecil sampai mati tua, sebagian besar manusia di dunia ini kerjanya hanya mengumbar hawa nafsunya belaka.

Kun Hong yang sudah mengangkat sebelah kaki untuk melangkah memasuki kamar ke dua itu, mendadak menahan kakinya karena mendengar burung rajawali yang berdiri di belakangnya mengeluarkan suara aneh sekali. Seakan-akan burung itu bersusah hati dan menangis. Ketika ia menengok ke belakang, burung itu menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali lalu mencoba untuk menggigit baju Kun Hong dan menariknya mundur.

"Jangan Tiauw-ko. Bagaimana pun juga aku harus memasuki kamar ini, sesuai dengan petunjuk Locianpwe bahwa setelah aku hafal akan isi kitab, aku boleh masuk ke sana dan mengambil pedang. Bukan sekali-kali karena aku ingin sekali memiliki pedang, ah, bukan, Tiauw-ko. Bagiku, sebatang pedang apalah artinya? Untuk apa pula? Akan tetapi karena Locianpwe sudah memesan, mana aku berani membangkang?"

Sesudah berkata demikian dan menghindarkan diri dari gigitan patuk burung itu, dengan tabah Kun Hong melangkah memasuki kamar yang agak gelap itu. Begitu masuk ia pun tertegun dan memandang dengan mata terbelalak ke depan.

Di ujung kamar itu terdapat sebuah kursi batu dan di atas kursi batu ini duduk sebuah... kerangka manusia! Tengkorak manusia ini masih utuh dan sepasang lubang bekas mata itu seolah-olah tengah memandang padanya. Tangan kanan kerangka ini mencengkeram sebatang pedang yang bersinar kemerahan.

Dari kaget Kun Hong berbalik menjadi terharu. Inikah kiranya Bu Beng Cu, gurunya yang meninggalkan kitab itu? Tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong melangkah maju lagi, kemudian menjatuhkan dirinya berlutut di depan kerangka itu.

"Locianpwe, alangkah buruknya nasibmu, sampai meninggal pun tidak ada orang yang menguburmu..."

Ia terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba lantai yang diinjaknya bergoyang-goyang keras. Cepat ia meloncat bangun dan tiba-tiba dari sebelah kanannya menyambar anak panah! Kun Hong cepat menggeser kakinya, menarik tubuh untuk menghindarkan diri dari ancaman maut itu. Akan tetapi terdengar lagi suara…

"Ser-ser-ser!" dan banyak anak panah menyambarnya dari empat jurusan, sementara itu lantai masih bergoyang-goyang.

Kun Hong maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Ia segera memusatkan pikiran dan kedua kakinya cepat bergerak-gerak dalam langkah ajaib, tubuhnya bergerak-gerak dalam Ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Sedikitnya ada lima puluh batang anak panah yang terus menerus menyambar, akan tetapi setelah pemuda ini melakukan gerak langkah ajaib, semua penyerangan itu sama sekali tak dapat menyentuhnya. Setelah anak panah habis menyambar, lantai berhenti sendiri dan yang terlihat hanyalah puluhan batang anak panah berserakan di atas lantai.

Kun Hong tidak mengerti apa maksudnya penyerangan itu, siapa yang menyerang dan mengapa lantai bergoyang-goyang, Akan tetapi karena ia memasuki kamar ini atas pesan Locianpwe untuk mengambil pedang, ia melangkah maju terus dengan hati-hati sekali.

Dengan halus ia menarik pedang itu dari dalam tangan kerangka itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kerangka yang tadinya duduk itu menjadi runtuh dan terlepaslah tulang-tulang rangka itu berjatuhan ke atas lantai pula. Tengkoraknya pun menggelinding sampai ke tengah kamar.

Di antara tulang-tulang ini, melayang sehelai kain kuning yang ternyata ada tulisannya begini:

APA BILA KAU TERLUKA ATAU MATI, MAKA KAU TIDAK PATUT MENJADI PEWARIS KIM-TIAUW-KUN.

Setelah membawa tulisan itu, tersenyumlah Kun Hong. Kiranya semua itu merupakan ujian baginya. Locianpwe Bu Beng Cu yang aneh dan sakti ini telah mengatur sebelum tiba ajalnya, membuat semua alat rahasia itu agar setelah ia mati, ia masih dapat menguji calon muridnya, baik menguji pribudinya seperti yang ada di bawah meja sembahyang, juga menguji kepandaiannya setelah mempelajari ilmu silat itu.

Benar-benar seorang manusia yang hebat. Pantas saja burung rajawali tadi seakan-akan hendak mencegahnya memasuki kamar, agaknya burung itu sudah tahu akan bahaya ujian ini dan hendak mencegahnya memasuki kamar itu.

Sebagai seorang yang mempunyai pribudi luhur, tidak tegalah hati Kun Hong melihat kerangka orang sakti itu berserakan di dalam kamar. Ia lalu mengumpulkan kerangka itu dan dengan khidmat dibawanya kerangka itu keluar, kemudian digalinya lubang di ruang depan menggunakan pedang itu dan dikuburnya kerangka tadi. Selama dia melakukan semua ini, burung rajawali emas mengeluarkan suara keluhan seperti orang berkabung dan menangis!

Kun Hong lalu berkata kepada burung itu, "Tiauw-ko, sekarang sudah tiba waktunya aku harus pergi dari tempat ini. Kitab ini kutinggalkan di tempat semula karena aku sudah membaca semua isinya. Ada pun pedang yang indah ini, karena telah diberikan kepadaku oleh mendiang Locianpwe, akan kubawa dan kuserahkan kepada Ayah yang amat suka akan pedang-pedang pusaka."

Pemuda itu mengembalikan kitab Kim-tiauw-kun di atas meja sembahyang, sedangkan tiga buah kitab lain milik Yok-mo ia kantongi kembali karena ia hendak mengembalikan kitab itu kepada pemiliknya. Pedang indah itu ia masukkan ke dalam sarung pedang yang sederhana dan yang ia temukan juga di kamar ke dua, lalu ia ikat di pinggang, ditutupi jubahnya. Pakaian pemuda ini sudah lapuk dan berlubang di sana-sini, maklum sudah setahun setengah ia tidak pernah berganti pakaian.

Kim-tiauw agaknya maklum bahwa pemuda itu hendak pergi. Ia kelihatan berduka, akan tetapi karena tak dapat bicara, ia hanya mengeluarkan suara mencicit seperti burung kecil.

"Nah, Tiauw-ko, tolonglah kau antarkan aku turun dari puncak ini," kata Kun Hong setelah untuk penghabisan kali ia memberi hormat kepada kuburan kerangka Bu Beng Cu.

Burung itu lalu mendekam di hadapan Kun Hong. Pemuda ini segera meloncat ke atas punggungnya dan sekali lagi pemuda ini mengalami ‘terbang’ di angkasa.

Ia masih merasa ngeri seperti dulu. Akan tetapi entah bagaimana, setelah satu setengah tahun ia melatih diri di goa itu, ia merasa hatinya lebih tenang dan tabah. Dengan gembira ia sekali lagi menyaksikan pemandangan alam yang amat luar biasa dilihat dari angkasa, dari atas punggung burung raksasa itu.
Akan tetapi, pengalaman hebat ini tak lama ia rasakan sebab burung itu segera melayang turun ke bawah kaki gunung, kemudian hinggap di atas tanah. Ia mengeluarkan suara melengking yang tidak diketahui artinya oleh Kun Hong. Akan tetapi pemuda ini segera meloncat turun.

"Tiauw-ko, kenapa hanya sampai di sini? Kalau bisa, tolong kau antarkan aku kembali ke Hoa-san."

Burung itu kembali mengeluarkan suara melengking tinggi, lalu burung itu mengangguk di depan Kun Hong tiga kali, setelah itu ia pentang kedua sayapnya dan... terbang naik lagi ke puncak.

"Ahh, jadi dia tidak mau ikut dan hendak kembali ke sana? Baiklah, aku harus melanjutkan perjalanan ini dengan jalan kaki."

Kun Hong tidak menjadi kecewa, malah ia merasa berterima kasih sekali kepada burung itu. Sebetulnya kalau boleh ia tidak ingin berpisah dari sahabatnya yang baik itu.

"Kim-tiauw-ko, terima kasih atas semua kebaikanmu!" ia berteriak ke arah burung yang sudah terbang meninggi.

Ia kaget dan terheran sendiri ketika suaranya itu mendatangkan gema di empat penjuru, amat nyaring teriakannya. Semuanya ini adalah berkat kemajuannya dalam latihan-latihan sehingga tanpa disadarinya, ia telah memiliki tenaga khikang yang tinggi.

Setelah burung itu lenyap, baru Kun Hong melanjutkan perjalanannya. Ia tidak mengenal jalan, maka ia berjalan ke mana saja yang ia rasa senang dengan harapan untuk tiba di sebuah dusun, berjumpa orang dan menanyakan jalan ke Hoa-san.

Memang tadinya ia merasa tidak senang bila mengenang akan pembunuhan di Hoa-san dan tidak ada keinginan kembali. Akan tetapi betapa pun juga dia merasa rindu kepada orang tuanya dan ingin bertemu dengan mereka untuk menceritakan pengalamannya yang hebat bukan main…..

********************
Selanjutnya baca
RAJAWALI EMAS : JILID-09
LihatTutupKomentar