Rajawali Emas Jilid 09


Semenjak dunia berkembang, sudah menjadi kenyataan bahwa di dalam hidup menderita sengsara, manusia akan mencari Tuhan karena sudah kehabisan akal dan tidak berdaya untuk memperbaiki hidupnya yang penuh derita itu. Berpalinglah manusia yang menderita sengsara, mencari-cari Kekuasaan Tertinggi yang tadinya terlupa olehnya di kala ia tidak berada dalam penderitaan hidup.

Sebaliknya, di kala menikmati hidup penuh kesenangan dan kecukupan, manusia sama sekali lupa akan Tuhannya, lupa bahwa segala kesenangan yang dapat ia rasakan pada hakekatnya adalah rahmat dari Tuhan. Dalam mabuk kesenangan manusia jadi sombong, mabuk kemenangan dan kemuliaan duniawi, merasa seakan-akan semua hasil gemilang itu adalah hasil kepandaiannya sendiri.

Manusia yang sedang ditimpa kesengsaraan sering kali mencari kesalahan sendiri yang menyebabkan ia menderita, sering mengakui kesalahannya dan bertobat, berjanji takkan mengulangi perbuatannya yang sesat. Sebaliknya, di dalam mabuk kemuliaan, manusia hanya bisa menyalahkan orang lain mengira bahwa dirinya sendiri yang benar dan karena kebenarannya itulah maka ia dapat hidup dalam kemuliaan.

Alangkah bodohnya manusia, alangkah pelupa dan mudahnya mabuk oleh kesenangan duniawi! Lupa sudah bahwa segala apa yang dipisah-pisahkan manusia dan diberi istilah kesenangan atau kesengsaraan itu adalah sesuatu yang sifatnya sementara belaka. Baik kesenangan dan kesengsaraan yang sebetulnya bukanlah merupakan sifat dari sesuatu keadaan, melainkan lebih merupakan pendapat menurut selera seorang, takkan abadi dan tidak merupakan hal yang sementara terasa, malahan umurnya amat pendek, sependek umur manusia di dunia ini.

Baik mereka yang mabuk kemenangan pada waktu usahanya berhasil gemilang, mau pun mereka yang putus asa dan nelangsa di waktu mengalami derita kekalahan, mereka ini adalah manusia-manusia yang bodoh dan mau membiarkan dirinya diombang-ambingkan dan dipermainkan oleh perasaannya sendiri.

Bahagialah orang yang selalu berpegang kepada kebenaran, yang selalu waspada akan langkah hidupnya sendiri supaya tidak menyeleweng dari kebenaran, dan dalam pada itu selalu mendasarkan segala sesuatu yang menimpa dirinya, baik itu menyenangkan badan mau pun sebaliknya, sebagai kehendak dari pada Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang menentukan segalanya, yang tak dapat diubah oleh kekuasaan mana pun juga di dunia ini.

Apa bila kita adakan perbandingan, maka mereka yang tertimpa kesengsaraan hidup dan membuat mereka berpaling mencari Tuhannya, jauh lebih bahagia dari pada mereka yang hidup bergelimang dalam kemewahan dan membuat mereka lupa akan Tuhannya.

Demikian pula dengan Kaisar dan para pembesar Kerajaan Beng. Pada mulanya, dalam perjuangan mereka mengusir penjajahan Mongol dari tanah air, mereka berpegang pada kebenaran jiwa, mereka penuh dengan sifat patriotisme, sepak terjang dalam perjuangan hanya didasarkan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Dalam keadaan seperti itu mereka yakin sepenuhnya akan kebenaran mereka, dan yakin bahwa manusia dalam kebenaran sepak terjang hidupnya selalu akan diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Namun, sungguh menyedihkan. Setelah usaha perjuangan mereka berhasil, terjadilah hal yang agaknya merupakan penyakit turunan bagi seluruh manusia. Terjadilah perebutan kemuliaan! Lebih menyedihkan lagi, setelah mereka yang berhasil dalam perebutan ini menduduki tempat tinggi dan mengenyam kemuliaan, mereka lalu mabuk!

Banyak di antara pembesar, malah sampai Kaisar sendiri, yang dulunya terkenal sebagai pejuang-pejuang patriotik, setelah mendapatkan kemuliaan dan kebesaran, lalu lupa akan kebenaran. Mereka dirangsang oleh nafsu-nafsu mereka sendiri.

Ada yang tamak akan harta benda, kerjanya hanya mengumpulkan harta dengan jalan yang tidak halal, melakukan korupsi besar-besaran tanpa menghiraukan sedikit pun nasib rakyat jelata yang dahulunya mereka bela dengan perjuangan mati-matian. Ada yang menurutkan nafsu binatang saja, tanpa mengenal malu mengumpulkan wanita-wanita muda dan cantik untuk mereka jadikan alat pengumbar nafsu. Banyaklah macamnya maksiat yang dilakukan oleh orang-orang mabuk kemulian duniawi ini.

Akibat dari semua ini, pemerintah yang dipimpin oleh bangsa sendiri tetap saja tidak dapat mengangkat rakyat jelata dari kemiskinan dan kesengsaraan hidup. Tetap saja rakyat yang dijadikan sapi perah, diperas keringat dan darahnya oleh pemimpin-pemimpin kecil.

Di lain pihak pemimpin-pemimpin kecil ini diperas oleh atasan mereka, dan si atasan ini diperas lagi oleh atasannya yang lebih tinggi kedudukannya. Sogok dan fitnah merajalela dan kebenaran yang berlaku bukanlah kebenaran sejati karena siapa yang memiliki uang, dialah yang menang.

Semenjak penjajah Mongol terusir dan Ciu Goan Ciang menjadi kaisar, rakyat tetap saja masih menderita. Penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan oleh bangsa Mongol dari utara, pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku bangsa kecil di barat dan utara, gangguan bajak-bajak laut bangsa Jepang, menambah beban hidup rakyat yang sudah menderita.

Seperti tercatat dalam sejarah, di mana pun tidak atau belum ada kemakmuran dalam kehidupan rakyat jelata, di situ tentulah muncul rasa penasaran, dan kembali yang kuat merajalela dan pada umumnya lalu berlakulah hukum rimba, siapa kuat dia yang menang. Orang-orang jahat bermunculan, mengganas sewenang-wenang karena para pembesar dan alat-alat pemerintah hanya mengurus isi kantongnya sendiri.

Karena banyaknya orang-orang jahat, maka di sana-sini muncullah kelompok-kelompok atau gerombolan-gerombolan yang mempunyai wilayah sendiri-sendiri. Dan hal ini tentu saja mengakibatkan permusuhan dan persaingan di antara golongan ini.

Syukurlah bahwa masih banyak terdapat orang-orang gagah yang tidak sudi ikut-ikutan memperebutkan kedudukan dan kemuliaan untuk diri sendiri. Banyak di antara para bekas pejuang yang masih terbuka mata batinnya, dapat melihat betapa tersesatnya mereka yang mabuk kemuliaan itu.

Mereka orang-orang gagah sejati ini tetap hidup di antara rakyat jelata, tidak segan-segan untuk mencari nafkah dengan pekerjaan kasar, bahkan cukup banyak yang hidup hanya mengandalkan belas kasihan orang! Makin lama semakin banyaklah orang-orang yang hidupnya seperti pengemis. Sudah tentu saja sebagian besar di antara mereka ini adalah orang-orang malas.

Karena makin lama jumlahnya semakin banyak, mulailah orang jahat mengincar mereka yang dianggap sebagai golongan tersendiri yang bukan tidak kuat. Maka dimasukinyalah kelompok ini dan didirikan perkumpulan-perkumpulan pengemis!

Celakanya, kaipang (perkumpulan pengemis) ini dibentuk atas prakarsa orang-orang yang memang jahat sehingga pendirian ini sama sekali bukan diadakan untuk usaha perbaikan nasib orang-orang gelandangan itu, sama sekali bukan. Memang, ada juga manfaatnya bagi keadaan hidup para pengemis ini, namun dengan cara yang tiada bedanya dengan penjahat.

Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan ini, para pengemis lalu diharuskan mentaati peraturan perkumpulan. Hasil mengemis harus dikumpulkan dan tak boleh dipakai sendiri, sebaliknya soal makan mereka dijamin oleh perkumpulan.

Melihat para pengemis yang bergabung ini, tidak ada yang berani menolak permintaan mereka, karena hal ini bisa mengakibatkan si penolak itu celaka, dianiaya dan dirampok hartanya! Jadi tegasnya, cara para pengemis dari kaipang-kaipang itu bekerja hanya tampaknya saja mengulurkan tangan minta sedekah, akan tetapi pada hakekatnya sama dengan perampok yang datang mengacungkan golok!

Pada mulanya memang penduduk setiap kota dan para pembesar dan petugas berusaha membasmi kaipang-kaipang ini. Akan tetapi, karena para pengemis itu sudah bercampur dengan para penjahat yang merasa lebih aman bersembunyi di antara kaum jembel itu, usaha ini sia-sia belaka. Apa lagi setelah organisasi pengemis itu makin meluas sehingga di setiap tempat ada cabangnya, kemudian para pengurus pengemis terdiri dari ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi, petugas-petugas keamanan menjadi tak berdaya.

Seperti dikatakan tadi, syukur bahwa tidak semua manusia di dunia ini berpikiran cupat dan berwatak remeh. Orang-orang gagah yang melihat adanya gejala-gejala tak baik ini, yang berarti akan menambahi beban rakyat jelata karena pemerasan oleh para perampok berpakaian pengemis ini, segera turun tangan.

Ada yang secara langsung menggunakan kekerasan menentang para kaipang ini. Tetapi akhirnya mereka itu dikeroyok dan kalah, malah ada yang tewas. Ada yang menentang secara diam-diam, menunggu saat baik, kemudian mereka ini malah memasuki kaipang-kaipang itu, menjadi anggota dengan maksud membelokkan kejahatan para pengemis ke arah kebaikan.

Demikianlah, jangan dikira bahwa semua anggota kaipang itu jahat karena di dalamnya juga banyak terdapat orang-orang gagah yang senantiasa menanti kesempatan baik untuk menggulingkan kedudukan ketua masing-masing sehingga jika pimpinan sudah jatuh ke dalam tangan orang-orang yang tidak jahat ini, sudah tentu perkumpulan itu akan dibawa ke jalan benar.

Karena hal ini terjadi selama penjajah jatuh, jadi dua puluh tahunan, maka sekarang telah banyaklah perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh ketua-ketua yang baik sehingga perkumpulan ini betul-betul menjadi perkumpulan untuk memperbaiki nasib para anggota. Di dalam kaipang yang bersih ini diadakan latihan-latihan semacam sekolah, di mana para anggotanya diajar untuk memiliki sesuatu kepandaian tertentu, misalnya pertukangan dan lain-lain. Sesudah itu mereka itu diharuskan mencari pekerjaan sebagai sumber nafkah dan setelah mendapatkan pekerjaan sudah tentu mereka ini tak diperbolehkan mengemis lagi dan tidak lagi menjadi anggota biar pun masih ada hubungan persaudaraan.

Nah, demikianlah keadaan di waktu itu. Di satu pihak kaipang-kaipang yang dipimpin oleh orang-orang jahat masih mengganas, di lain pihak ada pula kaipang-kaipang yang bersih sehingga kemudian terkenallah sebutan Pek-kaipang (Perkumpulan Pengemis Putih) dan Hek-kaipang (Perkumpulan Pengemis Hitam). Sudah tentu Pek-kaipang adalah golongan yang baik sedangkan Hek-kaipang golongan yang jahat. Karena ada dua golongan yang berlainan sifatnya, tidak dapat dicegah lagi adanya persaingan dan permusuhan di antara dua golongan ini sehingga sering kali terjadi pertempuran-pertempuran dan pertumpahan-pertumpahan darah.

Di antara Pek-kaipang, perkumpulan pengemis Hwa-i Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah yang paling terkenal dan kuat. Perkumpulan pengemis ini memiliki anak buah paling banyak dan karena ketuanya seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan pengurusnya juga mendapat latihan ilmu silat tinggi, maka banyak kaipang lain yang tunduk kepada Hwa-i Kaipang.

Pusat perkumpulan ini di kaki Gunung Ta-pie-san, sebelah barat kota raja Nanking. Ada pun ketuanya adalah seorang kakek gagah perkasa yang usianya sudah tinggi sekali tapi memiliki kepandaian yang amat hebat. Kakek pengemis ini tidak pernah memperkenalkan namanya dan hanya mengaku berjuluk Hwa-i Lo-kai (Pengemis Tua Berbaju Kembang).

Sesudah para pengemis berkali-kali ditolong oleh kakek yang berkepandaian tinggi ini, maka ia lalu diangkat menjadi ketua dan perkumpulan yang dipimpinnya lalu diberi nama Hwa-i Kaipang. Semua anggota Hwa-i Kaipang selalu memakai baju berkembang, biar pun sudah lapuk atau penuh tambalan!

Pada suatu hari terjadilah berita yang menggemparkan ‘dunia pengemis’ itu. Pengemis mana yang tidak akan terkejut mendengar berita bahwa Ketua Hwa-i Kaipang hendak mengundurkan diri dan di pusat perkumpulan itu hendak diadakan pemilihan pengurus baru? Hal itu menjadi bahan percakapan yang ramai, tidak saja di antara para pengemis, bahkan boleh dibilang juga di antara para orang gagah di dunia kang-ouw karena sebagai perkumpulan besar, Hwa-i Kaipang mengundang para orang gagah untuk menjadi saksi dalam pemilihan ketua baru ini.

Menjelang datangnya hari pemilihan ketua, keadaan di sekitar kaki Gunung Ta-pie-san menjadi ramai sekali. Banyak tokoh-tokoh perkumpulan pengemis dari daerah lain datang dengan pakaian mereka yang beraneka ragam dan beraneka macam.

Kalau melihat banyak pengemis dari berbagai aliran berkumpul di tempat yang luas itu, benar-benar mereka itu seperti bukan pengemis-pengemis, melainkan anak buah dari pasukan-pasukan! Biar pun pakaian mereka tambal-tambalan, ada pula yang sudah lapuk, namun warnanya seragam. Ada yang serba hitam, ada yang serba merah, ada yang putih, hijau, biru dan banyak lagi macam warnanya. Para anggota Hwa-i Kaipang tentu saja berbaju kembang semua!

Mereka yang sudah datang bertanya-tanya mengapa Hwa-i Lo-kai hendak mengundurkan diri dan mencari penggantinya. Akan tetapi tak seorang pun dapat menjawab pertanyaan ini, bahkan para anggota Hwa-i Kaipang sendiri tak ada yang dapat memberi keterangan.

Hwa-i Kaipang atau Perkumpulan Pengemis Baju Kembang pada waktu itu sudah merupakan perkumpulan yang besar, mungkin terbesar di antara perkumpulan pengemis yang ada di daerah itu. Malah dapat dikatakan bahwa perkumpulan ini paling makmur, mempunyai rumah pertemuan yang besar dengan perabot-perabot rumah yang lengkap, memiliki ruangan tempat para pengemis cilik belajar sesuatu pekerjaan dan lain-lain. Hal ini adalah karena sepak terjang perkumpulan ini yang betul-betul merupakan perkumpulan sosial hendak memberi bimbingan kepada kaum gelandangan itu supaya bisa hidup lebih baik dan terangkat nasibnya, telah menarik hati banyak dermawan yang banyak memberi sumbangan-sumbangan kepada Hwa-i Kaipang.

Tidak hanya dalam soal usaha memperbaiki nasib para pengemis. Juga dalam organisasi sendiri, makin lama perkumpulan ini menjadi makin kuat. Makin banyak saja pemuda yang tinggi ilmu silatnya dan ini boleh dibilang semua telah menjadi murid Hwa-i Lo-kai.

Tentu saja para pengurus ini tadinya memang sudah memiliki kepandaian dari berbagai macam aliran. Akan tetapi sesudah mereka menggabungkan diri di Hwa-i Kaipang, dan menyaksikan sendiri betapa tingginya ilmu silat ketuanya, mereka kemudian minta diberi pelajaran ilmu silat.

Ketua Hwa-i Kaipang ini selalu suka menurunkan kepandaiannya dan ia mengajarkan beberapa ilmu pukulan yang ia sesuaikan dengan watak dan keadaan jasmani si murid. Makin lama makin banyaklah anggota Hwa-i Kaipang yang mendapatkan kemajuan hebat dalam kepandaian ilmu silat mereka. Bahkan kemudian hampir tidak ada seorang pun anggota pengurus yang tidak berilmu tinggi.

Hwa-i Lo-kai sendiri maklum bahwa di antara perkumpulan pengemis yang amat banyak itu, tidak jarang merupakan perkumpulan pengemis palsu yang sesungguhnya lebih patut disebut perkumpulan penjahat. Juga ia tahu betapa perkumpulan-perkumpulan jahat ini mengandalkan kekerasan, tidak hanya melakukan pemerasan terhadap penduduk, juga kadang-kadang berani menindas perkumpulan lain yang lebih lemah.

Karena itu, kakek ini melihat betapa penting bagi perkumpulan yang dipegangnya untuk memperkuat diri dengan pengurus-pengurus yang pandai ilmu silat. Hal ini pulalah yang membuat ia mulai mengadakan susunan dalam pengurusnya, membagi-bagi tugas sesuai dengan kemampuan dan kepandaian mereka.

Untuk membedakan tingkat kepandaian ilmu silat, dia mengadakan ujian lalu memberi tanda tingkat kepada para muridnya itu. Tanda tingkat ini merupakan tali ikat pinggang berwarna putih dari serat biasa. Makin banyak tali ini yang mengikat pinggang seorang pengemis Hwa-i Kaipang, makin tinggilah tingkat ilmu silatnya.

Di antara para pengurus dan pembantu ketua itu, rata-rata hanya memiliki empat helai ikat pinggang. Jumlahnya ada dua puluh orang lebih. Yang mempunyai lebih dari empat helai amat jarang. Yang paling tinggi tingkatnya di antara mereka hanya tiga orang. Mereka ini telah mempunyai tujuh helai tali putih yang mengikat pinggang mereka.

Tiga orang inilah yang dalam segala hal mewakili Hwa-i Lo-kai dan mereka boleh dibilang sudah memegang seluruh urusan perkumpulan itu sebagai wakil ketua. Mereka adalah Coa-lokai, Beng-lokai, dan Sun-lokai. Lokai artinya ‘pengemis tua’ akan tetapi sebutan ini dalam perkumpulan itu berarti menghormat, karena yang berhak menyebut diri lokai hanyalah ketua mereka dan tiga orang tangan kanan inilah!

Jadi panggilan lokai ini seakan-akan merupakan panggilan penghormatan seperti lajimnya sebutan ‘yang mulia’ dan ‘paduka’! Memang dalam perkumpulan yang aneh ini banyak terdapat aturan dan hal-hal aneh pula.

Sudah bisa dibayangkan bahwa jika Hwa-i Lo-kai mengundurkan diri, calon penggantinya tentulah seorang di antara tiga kakek ini. Hal ini tidak hanya menjadi pendapat para anggota, malah juga pendapat orang-orang luar dan juga demikianlah kata hati tiga orang itu sendiri.

Oleh karena itu, diam-diam seperti ada persaingan di antara mereka dan secara diam-diam pula tiga orang pembantu ini mendekati para anggota dan sedapat mungkin menarik sebanyak-banyaknya sahabat agar mendukungnya dalam ‘pemilihan umum’ itu nanti. Sudah bukan hal aneh lagi apa bila mereka ini menjanjikan hal-hal yang muluk-muluk kepada para anggota yang suka memilihnya.

Pagi hari pada waktu pemilihan, para anggota sudah berkumpul di pekarangan yang amat luas di depan rumah pertemuan Hwa-i Kaipang. Pengemis-pengemis berpakaian baju kembang yang tidak kurang dari seratus orang jumlahnya duduk di belakang ketua dan para pengurus mereka.

Ada pun para tamu merupakan kelompok-kelompok yang duduk di atas tanah juga, menghadap tuan rumah. Ada kelompok pengemis berpakaian hijau, merah, hitam, putih dan lain-lain yang dipimpin oleh ketua atau wakil masing-masing. Uniknya, pertemuan ini sama sekali tidak dilengkapi kursi, bangku atau pun meja dan semua yang hadir duduk begitu saja di atas tanah, ada yang bersila, ada yang berjongkok.

Hwa-i Lo-kai tampak duduk bersila sambil meramkan mata. Dia adalah seorang kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus. Rambutnya yang panjang tidak terawat, pakaiannya berkembang sederhana, terdapat tiga tambalan di pundak dan dada. Pinggangnya diikat dengan tali putih terbuat dari sutera. Di pinggang kiri tergantung sebuah guci arak dari perak dan ia tidak kelihatan membawa senjata.

Di sebelah kanannya duduklah tiga orang pembantunya yang terkenal, yaitu Coa-lokai yang bertubuh tinggi besar bermata lebar dan gerak-geriknya kasar. Beng-lokai orangnya gemuk pendek berkulit kuning dan bermata sipit, tersenyum-senyum gembira. Sun-lokai orangnya kecil agak bongkok, matanya tajam bergerak ke sana ke mari.

Tiga orang pembantu ini semuanya memakai baju berkembang dengan ikat pinggang tali putih tujuh helai yang membelit pinggang. Berbeda dengan Sang Ketua, ketiga orang ini masing-masing memanggul sebatang pedang di punggungnya.

Para pembantu lain yang lebih rendah tingkatnya, yaitu yang bertali pinggang enam ada dua orang, yang bertali pinggang lima ada tujuh orang dan sebelas orang bertali pinggang empat duduk di sebelah kiri ketua ini dengan sikap menghormat.

Keadaan di situ cukup ramai. Walau pun semua orang sudah duduk di atas tanah tanpa seorang pun kelihatan berdiri, namun mereka saling bicara perlahan, ada yang berbisik-bisik sehingga tempat itu menjadi berisik juga.....

Akhirnya Hwa-i Lokai membuka kedua matanya, memandang ke kanan kiri kemudian ia mengangkat tangan kanannya ke atas. Siraplah suara berisik. Semua orang memandang kakek ini dengan penuh perhatian.

"Para tamu sekalian dan saudara-saudaraku anggota Hwa-i Kaipang yang tercinta. Tidak kepada seorang pun pernah kuberi tahu, bahkan para pembantuku juga tidak, mengapa secara mendadak aku hendak meninggalkan Hwa-i Kaipang dan menyerahkan pimpinan kepada seorang saudara. Sekarang, untuk menghilangkan dugaan yang bukan-bukan, terus terang saja aku jelaskan bahwa aku mempunyai seorang musuh pribadi..."

Kembali keadaan menjadi sangat berisik, terutama di kalangan anggota Hwa-i Kaipang yang banyak mengeluarkan suara marah. Kalau ada musuh, kenapa harus meninggalkan kedudukan? Apakah takut? Hwa-i Kaipang sangat kuat, siapa yang berani mengganggu ketuanya?

Kembali Hwa-i Lokai mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua orang jangan berisik. "Urusan ini merupakan urusan pribadiku, dan hari ini adalah hari janji kami berdua untuk membuat perhitungan terakhir. Aku tidak suka membawa-bawa perkumpulan dalam urusan pribadi, juga aku tak mau menyeret musuh pribadiku menjadi musuh perkumpulan. Biarlah hal ini akan kuselesaikan sendiri sebagai urusan pribadi yang tak boleh orang lain mencampurinya. Nah, sekarang hatiku telah lega sebab saudara semua telah mendengar penjelasanku. Sekarang, marilah kita semua memilih seorang ketua baru yang tepat, yang kiranya akan dapat memimpin saudara-saudara sekalian lebih baik dari pada yang telah kulakukan."

Kembali para anggota Hwa-i Kaipang menjadi berisik karena mereka saling berbisik dan banyak terdengar suara-suara tidak setuju. Malah tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari Coa-lokai, yang bicara dengan sepasang mata lebar membelalak.

"Saya tidak setuju dengan uraian Lokai! Selama saya membantu Lokai, tak pernah satu kali pun saya ragu-ragu dan membangkang terhadap perintah, akan tetapi kali ini terpaksa saya tidak setuju! Lokai tidak saja menjadi ketua, bahkan merupakan pendiri dari Hwa-i Kaipang. Oleh karena itu segala urusan Hwa-i Kaipang adalah urusan Lokai, sebaliknya urusan Lokai berarti juga urusan semua anggota Hwa-i Kaipang! Dulu kita semua sudah bersumpah, susah sama dipikul, senang sama dinikmati. Mana ada peraturan sekarang Lokai hendak meninggalkan kita hanya karena ada urusan pribadi? Apa bila ada musuh Lokai, katakan saja siapa dan di mana, saya Coa-lokai tak akan mundur untuk mewakili Lokai, walau pun nyawaku yang tidak berharga ini akan melayang karenanya!" Setelah berkata demikian, pengemis tinggi besar yang usianya belum ada lima puluh itu meloncat berdiri, tegak siap sedia dengan mata memandang ke sana ke mari seolah-olah hendak mencari musuh pribadi ketuanya.

Hwa-i Lokai menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. "Coa-lokai, terima kasih atas kesetiaanmu ini. Akan tetapi urusan ini benar-benar adalah urusan pribadiku dan kali ini terpaksa aku harus menebus sifatku yang pengecut, yang sudah kupertahankan hingga belasan tahun lamanya. Ya... aku sudah bersikap pengecut sehingga belasan tahun aku menyembunyikan nama dan paling akhir aku menggunakan nama Hwa-i Lokai. Dahulu... hemmm, sekarang sudah tiba saatnya aku meninggalkan sikap pengecut dan membuka rahasiaku sendiri, dahulu aku bernama Sin-chio (Tombak Sakti) The Kok."

Semua pengemis dan yang hadir di situ, terutama kaum tuanya tercengang mendengar nama ini. Belasan tahun yang lalu nama Sin-chio The Kok amat terkenal sebagai seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi.

Kabarnya ilmu tombaknya belum pernah terkalahkan sehingga dia dijuluki orang Sin-chio (Tombak Sakti). Setelah mendengar siapa adanya Hwa-i Lokai, semua orang menjadi berisik.

Ada yang merasa kecewa bahwa Hwa-i Kaipang ternyata dipimpin oleh seorang bekas perampok, akan tetapi ada suara yang membantah dengan pernyataan bahwa biar pun seorang perampok, tapi nama The Kok tetap bersih sebagai perampok budiman yang tak sembarang merampok orang. Yang selalu menjadi sasaran dan korbannya adalah para pembesar jahat dan hartawan-hartawan kikir, malah kabarnya hasil rampokannya selalu ia bagi-bagikan kepada rakyat yang miskin.

Hwa-i Lokai atau Sin-chio The Kok mengangkat tangannya dan suara berisik segera sirap. "Nah, sekarang saudara sekalian tahu siapa saya dan saya sendiri merasa tidak pantas menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Bukan karena saya bekas perampok, akan tetapi terutama sekali karena saya seorang pengecut yang karena takut menghadapi musuh lalu bersembunyi di balik nama palsu. Sekarang musuh besarku telah mengetahui dan hendak menuntut balas, karena inilah aku akan meninggalkan Hwa-i Kaipang untuk membereskan perhitungan dengan dia dan sebelum aku pergi, aku ingin melihat bahwa perkumpulan kita mendapatkan seorang ketua baru yang tepat."

Beng-lokai yang gemuk pendek segera berdiri dan dengan senyuman yang tidak pernah meninggalkan bibirnya ia berkata, "Memang tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangcu (Ketua). Harap Pangcu segera tetapkan saja calon-calon pengganti Pangcu agar supaya pemilihan dapat dilakukan segera."

"Siapa lagi yang kucalonkan kecuali kalian bertiga pembantu-pembantuku? Kalian bertiga adalah calon-calon ketua dan pemilihannya siapa di antara kalian bertiga terserah kepada para anggota," jawab Ketua itu.
"Saya tidak setuju...!" Coa-lokai kembali berkata dengan suaranya yang nyaring. "Setelah kita ketahui bahwa ketua kita adalah Sin-chio The Kok, seharusnya kita bangga memiliki seorang ketua yang gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang yang budiman. Biar pun sekarang Lokai menghadapi urusan itu tapi saya percaya Lokai akan bisa mengatasinya dengan baik. Setelah itu, bukankah Lokai dapat kembali memimpin perkumpulan kita?"
"Heh, Coa-lokai banyak cerewet!" Terdengar suara yang parau seperti kaleng dipukul dan pembicara ini adalah Sun-lokai yang sudah berdiri dan memandang tajam. "Apakah kau hendak membangkang terhadap perintah Pangcu? Lupakah kau apa hukumannya kalau seorang anggota membangkang terhadap perintah?"

Pengemis tinggi besar itu membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Sun-lokai dengan mata berapi-api. "Ho-ho, Sun-lokai, tak usah kau mengingatkan. Aku sendiri tahu bahwa tugasku meneliti dan menghukum para anggota yang menyeleweng, tentu aku maklum akan aturan-aturan di perkumpulan kita. Kalau ketua kita memerintah kepadaku untuk melaksanakan sebuah tugas, walau pun harus mempertaruhkah nyawa, aku tidak akan mundur. Akan tetapi sekarang ini lain lagi. Pangcu kita hendak pergi meninggalkan kita dan menunjuk seorang di antara kita untuk menjadi ketua. Aku tidak setuju sama sekali untuk memilih ketua baru selama Lokai masih hidup! Sun-lokai, agaknya kau sudah terlalu mengilar untuk memperoleh kursi ketua?"

Sepasang mata dari pengemis bongkok ini bersinar dan bercahaya. "Hemm, Pangcu tadi mencalonkan kita bertiga, bukan hanya aku. Kau sendiri pun, kalau mampu membuktikan bahwa kau lebih gagah dan pandai dari aku dan Beng-lokai, kau boleh menjadi ketua."

"Aku tidak sudi selama Lokai masih ada, aku tidak sudi menjadi ketua dan juga tidak sudi membiarkan seorang di antara kalian menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Apa lagi seorang seperti kau!" Coa-lokai menudingkan telunjuknya ke muka Sun-lokai sehingga pengemis bongkok ini menjadi marah sekali.
"Berani kau menghinaku di depan banyak orang?"
"Aku tidak menghina, melainkan bicara sejujurnya. Kau tahu aku suka berterus terang dan aku pun terus terang saja menyatakan bahwa aku tidak suka melihat dan mendengar kau berhubungan erat dengan golongan merah dan hijau."
"Kau keparat, kau menuduh yang bukan-bukan. Apakah kau mau mengajak berkelahi?" Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Berkelahi atau apa saja masa aku takut?" Coa-lokai juga marah.

Dua orang ini sudah saling berhadapan dan saling mendekat, siap hendak menggunakan kekerasan.

"Coa-lokai, Sun-lokai, sudahlah. Tak perlu ribut-ribut!" Hwa-i Lokai berseru untuk melerai mereka.
"Biarlah, Lokai, biar kuberi hajaran kepada si Bongkok ini!" Coa-lokai berkata keras.
"Pengemis busuk, kaulah yang akan mampus di tanganku!" Sun-lokai yang tidak pandai bicara itu mendengus.

Ada pun para anggota Hwa-i Kaipang yang berada di situ memang sudah terpecah-pecah dalam pemilihan ketua, ada yang pro Coa-lokai, dan ada yang pro Sun-lokai. Melihat dua orang jagoan mereka itu sudah saling berhadapan, mereka menjadi tegang dan terdengar seruan-seruan kedua pihak untuk memberi semangat kepada jagoan mereka.

Keadaan menjadi berisik bukan main sehingga suara Hwa-i Lokai yang hendak mencegah pertarungan itu tidak terdengar nyata. Dua orang pengemis tua itu sekarang sudah saling serang.

Mula-mula Sun-lokai yang membuka serangan. Dia adalah seorang ahli Cu-see-ciang, yaitu kedua tangannya telah digembleng dan diperkeras dengan latihan mencacah pasir panas. Ia bersilat dengan kedua tangan terbuka, dengan jari-jari lurus dan ibu jari ditekuk ke dalam sehingga kedua tangannya itu seakan-akan sepasang golok yang diserangkan dengan bacokan atau tusukan maut.

Di lain pihak, Coa-lokai ialah seorang ahli gwakang, tenaganya seperti gajah, gerakannya tenang. Kalau sambaran tangan Sun-lokai bagaikan sambaran golok yang tajam, adalah sambaran kepalan tangan Coa-lokai yang besar itu seperti sambaran toya baja yang amat keras dan berat.

Keduanya adalah ahli-ahli silat yang kemudian mendapat latihan dari Hwa-I Lokai, maka biar pun mereka memiliki keistimewaan masing-masing, boleh dibilang tingkat mereka kini seimbang. Para pengemis yang menonton pertempuran ini menjadi tegang dan gembira, dari sana sini terdengar seruan-seruan memihak.

Hwa-i Lokai menjadi bingung. Tentu saja mudah baginya untuk datang memisah, namun apa gunanya? Sekali mereka menanam bibit kebencian satu kepada yang lain, hal itu tak akan mudah dipadamkan. Biarlah mereka menentukan siapa yang lebih kuat, bahkan ini merupakan saringan pula untuk memilih seorang ketua baru. Ia hanya berdiri dengan dua lengan di belakang tubuh, akan tetapi siap setiap saat apa bila seorang di antara kedua pembantunya itu terancam bahaya maut, tentu ia akan turun tangan mencegah.

Ketika dua orang itu sedang saling gempur dengan ramainya, tiba-tiba dari jauh terdengar orang berteriak-teriak, nyaring menusuk telinga semua orang.

“Heiii... dua orang pengemis tua saling tempur memperebutkan apa sih?"

Karena suara ini hebat dan nyaring, maka semua orang menengok, bahkan Coa-lokai dan Sun-lokai juga otomatis berhenti untuk melihat siapa orangnya yang berteriak sedemikian nyaringnya itu. Dari jauh tampak dua orang berjalan menuju ke tempat itu.

Yang di depan adalah seorang pemuda tampan yang pakaiannya sama lapuknya dengan pakaiannya para pengemis, sungguh pun potongan pakaian itu seperti pakaian seorang pemuda terpelajar. Pemuda inilah yang berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya tidak keruan seperti orang gendeng.

Ada pun orang yang berjalan di sampingnya, agak di belakang, adalah seorang kakek tua sekali, terbongkok-bongkok jalannya. Pakaiannya juga compang-camping, dengan tangan memegang tongkat yang diperlukannya untuk membantu ia berjalan.

Siapakah dua orang ini? Pemuda itu bukan lain orang adalah Kwa Kun Hong! Seperti kita ketahui, pemuda ini telah turun dari puncak Bukit Kepala Naga, kenapa dia bisa berada di sini dan datang bersama seorang kakek pengemis tua renta itu? Baiklah kita mengikuti perjalanannya sebentar sejak pemuda ini meninggalkan Bukit Kepala Naga dan sampai ke tempat ini, yaitu di kaki Pegunungan Ta-pie-san, pusat dari perkumpulan Hwa-i Kaipang.

Telah dituturkan pada bagian depan betapa Kun Hong meninggalkan Bukit Kepala Naga dengan maksud mencari dusun untuk bertanya kepada orang ke mana arah perjalanan menuju ke Hoa-san. Memang tidak lama kemudian ia bertemu dengan penduduk dusun, akan tetapi penduduk dusun yang jarang meninggalkan kampung halaman itu, mana ada yang tahu tentang Hoa-san?

Keterangan yang didapat oleh Kun Hong sama sekali tidak mendekatkan dirinya dengan tempat tinggalnya, malah membuat ia tersesat semakin jauh dari Hoa-san. Akhirnya ia mendengar bahwa ia sudah tiba di daerah kota raja selatan (Nanking).

Ia tertegun ketika mendengar dari orang yang mengetahui bahwa ia salah jalan dan malah menjauhi Hoa-san. Akan tetapi sebaliknya ia gembira ketika mendengar bahwa ia sudah berada di kota raja.

Setelah ia berada di tempat yang dekat dengan kota raja, apa salahnya untuk sekalian melihat-lihat keadaan kota raja? Sudah lama ia mendengar tentang kota raja yang hanya dapat ia lihat dalam alam mimpi saja. Sekarang, tanpa disengaja ia mendekati kota raja, sudah tentu ia tidak akan melewatkan kesempatan sebaik ini.

Ketika Kun Hong melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja, ia melalui Pegunungan Ta-pie-san. Setelah turun naik lereng bukit, dia merasa lelah dan beristirahat di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di lereng gunung.

Pemandangan indah, hawa amat nyaman. Kun Hong lalu menuruni jurang kecil di mana terdapat air terjun yang kecil akan tetapi amat jernih airnya. Dengan sedap dan segar ia minum air itu, lalu mencuci muka, tangan, dan kakinya.

Setelah merasa tubuhnya segar lagi, perutnya menggeliat minta isi. Kun Hong kembali ke bawah pohon dan mengeluarkan bekalnya roti kering yang ia terima dari seorang hwesio sebuah kelenteng tua yang amat baik hati, di mana ia semalam menginap.

Terpaksa ia menunda tangannya yang sudah mengantar roti kering ke mulutnya, ia kaget dan terheran-heran kenapa di tempat sesunyi itu terdengar suara orang. Orang itu bicara dengan keras suaranya terbawa angin, sayup-sayup sampai tak dapat ia tangkap artinya.

Akan tetapi mengapa tidak pernah ada suara lain yang menjawabnya? Biasanya orang bercakap-cakap tentu sedikitnya membutuhkan dua orang. Suara itu makin jelas dan kini tertangkap oleh telinga Kun Hong, suara orang mencari sesuatu!

"Ahhh, di manakah dia? Haaa, boleh jadi inilah! Ya betul, inilah agaknya yang kucari-cari puluhan tahun sampai sampai saat ini. Tak mungkin salah lagi..., akan tetapi betulkah ini dia? Jangan-jangan aku salah duga dan akan kecele lagi..."

Tergerak hati Kun Hong. Suara itu agak menggetar, dan bisa diduga pembicaranya tentu seorang yang sudah tua. Ia menyimpan kembali roti keringnya, lalu berdiri dan berjalan menuju arah suara tadi.

Setelah ia melalui sebuah gundukan batu karang, tampaklah olehnya seorang kakek yang berpakaian compang-camping. Kakek ini berdiri dengan tongkat tertekan tangan sehingga seakan-akan tongkat itulah yang membantu ia berdiri. Tangan kirinya ditaruh melintang di kening untuk melindungi kedua mata tuanya dari sinar matahari, dan menoleh kian ke mari memandangi tamasya alam di bawah gunung. Ataukah sedang mencari sesuatu?

Segera timbul welas dalam hati Kun Hong melihat kakek yang amat tua ini. Tubuhnya kurus, tinggal kulit dan tulang. Pakaiannya sudah tak patut disebut pakaian lagi, hanya robekan-robekan kain menutupi tubuh di sana sini. Sepatunya sudah bolong sehingga tampak beberapa buah jari kaki tersembul keluar dari pinggir sepatu.

Aduh kasihan, pikir Kun Hong. Sudah begini tua mengapa pergi susah payah ke gunung yang tidak mudah dilalui jalannya? Begitu kurus, tentu sudah berhari-hari tidak makan.

"Kakek yang baik, kau sudah begini tua dan lemah mengapa sampai di tempat seperti ini? Kau sedang mencari apakah, Kek?" tanyanya sambil maju mendekat.
"Ya, aku memang mencari sesuatu," jawab kakek itu tanpa menoleh kepada Si Penanya.
"Mencari apakah yang hilang? Di mana hilangnya? Biarlah kubantu kau mencarinya," kata Kun Hong dengan ramah dan dengan suara mengandung hiburan yang membesarkan hati.
"Heh... tidak ada yang hilang... tapi sudah puluhan tahun aku mencarinya..."

Tiba-tiba ia menoleh dan terkejutlah Kun Hong ketika bertemu pandang dengan sepasang mata yang luar biasa tajamnya seakan-akan menembus sampai ke dalam dadanya. Tak kuat Kun Hong menatap sepasang mata yang hebat itu, maka terpaksa ia menundukkan pandang matanya.

"Kau bilang hendak bantu aku mencarinya? Huh, betulkah itu? Aku yang sudah puluhan tahun mencari belum juga bertemu. Tapi... hemmm, mungkin sekali ini aku akan dapat bertemu dengannya!" Kata-kata ini penuh semangat dan kakek itu berdongak memandang ke atas.

Otomatis Kun Hong juga mendongakkan kepalanya, akan tetapi di atas sana tidak ada apa-apa, kecuali mega-mega putih berarak di angkasa. Celaka, pikirnya, kasihan benar kakek ini, agaknya dia sudah miring otaknya! Kun Hong menggeleng-geleng kepalanya, lalu memegang tangan kakek itu, menuntunnya perlahan menuju ke bawah pohon.

"Kakek yang baik, marilah kita beristirahat di tempat yang teduh di sana, aku mempunyai beberapa potong roti kering, marilah kita makan bersama," bujuknya.

Kakek itu sejenak memandang kepadanya dengan heran tapi menurut saja ketika dituntun ke bawah pohon. Malah ia segera ikut Kun Hong duduk di bawah pohon itu dan menerima pemberian roti kering dari Kun Hong yang dimakannya lambat-lambat.

"Orang muda, jarang ada orang semacam kau ini di jaman yang sulit ini... hemm, senang juga bertemu dengan orang macam kau di tempat sunyi."

Kun Hong memadang penuh perhatian dan sekarang ia merasa yakin bahwa tak mungkin kakek ini miring otaknya. Mungkin hanya karena berwatak aneh saja maka dia kelihatan seperti orang yang tidak waras pikirannya.

"Aku pun merasa gembira sekali dapat berjumpa dengan kau di sini, kakek yang baik. Sebetulnya, siapakah yang kau cari itu? Benda atau manusia? Aku akan merasa girang kalau kau segera dapat bertemu dengannya, Kek."

Kakek itu tiba-tiba tampak gembira dan wajahnya berseri-seri. "Ya, betul sekali, pasti aku akan dapat bertemu dengannya setelah aku membunuh manusia she The itu!"

Ia nampak bersemangat dan gembira sekali, tak melihat betapa muka Kun Hong sekilas menjadi pucat dan kembali menjadi merah.

"Waaahhh... jangan, Kek. Tidak boleh kau membunuh orang biar dia itu she The atau she apa pun!"

Kini kakek itu menatap tajam wajah Kun Hong, agaknya marah. Roti kering yang baru dimakan separuh itu lalu dilemparkannya ke atas tanah.

"Siapa bilang tidak boleh? Dia itu musuh besarku, dia sudah membunuh muridku yang tercinta. Belasan tahun aku mengejar-ngejarnya, mencari-carinya dan akhirnya aku tahu bahwa dia sudah berganti nama... ha-ha-ha... berganti nama menjadi Hwa-i Lokai ketua perkumpulan Hwa-i Kaipang. Ha-ha-ha, manusia she The, ke mana pun kau bersembunyi, pasti kau akan terpegang olehku."

"Kau salah, Kek. Bagaimana pun juga, tidak boleh membunuh orang. Berdosa sekali perbuatan itu, dan manusia takkan terlepas dari hukum karma, kecuali kalau dengan budi kebaikan dia melepaskan diri dari hukum karma masa yang lalu, barulah dia itu seorang manusia yang bebas dan mulia."

"Uahhh, kau anak kecil tahu apa? Aku hendak membunuh orang she The itu sekali-kali bukan hanya karena dia telah membunuh muridku. Aku akan membunuhnya karena aku ingin mencari kebahagiaan, kau tahu? Tidak pernah aku dapat menemukan kebahagiaan. Seluruh dunia kujelajahi, perbuatan apa pun kulakukan, semedhi, bertapa, menyiksa diri, tapi kebahagiaan belum pernah dapat kumiliki. Orang bilang harta benda mendatangkan kebahagiaan? Phuah! Itu omong kosongnya seorang kepala angin. Kau lihat ini? Emas murni. Bahhh, jemu aku melihatnya karena mengingatkan aku akan manusia kepala angin yang menyatakan bahwa kebahagiaan dapat dicapai kalau orang mempunyai harta benda sebanyaknya!" Setelah berkata demikian kakek itu mengeluarkan sebongkah emas murni yang berkilauan, lalu ia melempar emas murni itu jauh ke dalam jurang yang tak mungkin dapat didatangi manusia!

Kun Hong mendengarkan dengan tenang dan sabar, kemudian mengangguk-angguk. Dia tidak heran melihat orang membuang sebongkah emas yang berharga itu.

"Kau betul, Kek. Memang kebahagiaan tidak dapat dimiliki melalui emas itu."
"Bagus, kau sependapat. Jika kau menyayangkan emas tadi, kau pun akan kulempar ke dalam jurang itu!" Kakek aneh itu berkata lagi. "Ada pula orang tolol bilang bahwa kalau mempunyai kesaktian sehingga tak terkalahkan orang lain, barulah memiliki kebahagiaan. Uhhh, si goblok. Apa artinya kepandaian tinggi? Hemm, apakah ini yang dianggap dapat membahagiakan manusia?"

Kakek itu menoleh ke kiri, lalu tangan kirinya meremas dan batu hitam itu bagaikan tanah lempung saja dalam tangannya, sekali remas hancur lebur!

"Apakah ini yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Celaka, si manusia sombong. Bila penyakit datang, usia lanjut menggerayang, kematian menjangkit, bisa apakah dia dengan ilmu saktinya? Ha-ha-ha, pikiran katak dalam tempurung!"

Diam-diam Kun Hong terkejut. Dia sama sekali tak mengira bahwa kakek yang ia anggap hampir mati kelaparan ini ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.

Sekali remas saja batu hitam tadi hancur lebur. Wah, hampir ia tidak percaya kalau tidak melihat sendiri. Akan tetapi ia lebih tertarik oleh filsafat yang terkandung dalam ucapan Si Kakek itu, maka ia lalu mengangguk-angguk kembali dan membenarkan.

"Kembali kau benar, Kek. Kebahagiaan memang tidak terletak pada ilmu kepandaian atau kesaktian."
"Juga tidak dalam kedudukan dan pangkat kemuliaan dan harta?"
"Betul, tidak dalam kedudukan dan pangkat"
"He-he-he, kau pintar juga, orang muda. Kaisar-kaisar di jaman dahulu kurang begaimana hebatnya? Kedudukannya setinggi langit, dianggap putera Tuhan, pangkatnya nomor satu di dunia, mulia dan dihormat semua orang, kekayaannya berlimpah, tapi mana ada kaisar yang tak pernah bermusuh-musuhan dan selalu terancam keselamatannya, tidak pernah marah-marah dan jengkel? Mana ada kaisar yang telah memiliki kebahagiaan di samping segala yang dimilikinya itu?"

"Mungkin kau betul, kakek yang baik. Mungkin mereka yang berlimpahan dengan harta dan kemuliaan dunia, malah tidak memiliki kebahagiaan. Akan tetapi agaknya kau sendiri pun sedang mencari kebahagiaan. Mengapa kau tadi katakan bahwa kau akan bahagia kalau kau sudah dapat membunuh seorang she The? Bagaimana ini? Harap kau jelaskan, Kek, agar hatiku tidak mengandung penasaran.”

"Heh-heh-heh, baik… baik, biarlah kujelaskan. Puluhan tahun aku mencari tapi tidak dapat menemukan kebahagiaan. Selain itu, aku pun selalu mencari musuh besarku, yaitu The Kok yang telah membunuh muridku. Kini aku sudah mendapatkan tempat persembunyian The Kok. Nah, timbullah pikiran dalam otakku bahwa agaknya yang menjadi penghalang kebahagiaanku adalah karena aku belum berhasil membalaskan sakit hatiku. Kalau aku telah berhasil membunuh manusia she The itu, sudah pasti aku akan dapat menemukan kebahagiaan. Ha-ha-ha, orang muda yang baik, yang pintar, bukankah betul pendapatku ini?"

Kun Hong mengerutkan keningnya, menarik napas panjang kemudian menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang sekali, Kek. Terpaksa aku tidak dapat membenarkan pendapatmu itu. Menurut perkiraanku, apa bila kau sudah berhasil membunuh orang she The yang kau maksudkan itu, kau malah makin jauh dari kebahagiaan yang kau cari. Hal ini aku merasa yakin sekali, seyakin kenyataan bahwa kau berhadapan dengan aku pada saat ini." 

Di waktu bicara, Kun Hong mengerutkan kening, matanya menatap tajam dan suaranya begitu sungguh-sungguh. Pada mulanya kakek itu melengak heran, lalu mukanya merah dan ia menjadi marah sekali.

"Hati-hati kalau bicara orang muda. Jangan-jangan kau malah akan kubunuh lebih dulu, sebelum membunuh The Kok."
"Apa boleh buat jika kau bermaksud begitu, Kek, Akan tetapi kalau demikian makin tebal keyakinanku bahwa kau selama hidupmu tak akan dapat menemui kebahagiaan."
"Keparat, kau kurang ajar sekali. Akan tetapi... hemmm, kau juga aneh dan bukan main beraninya. Heiii, orang muda yang bernyali naga bermulut wanita, apa alasanmu bahwa orang membunuh orang, akan menjauhkannya dari kebahagiaan?"
"Aku yakin akan hal ini, Kek. Apa lagi setelah aku membaca tulisan yang ditinggalkan oleh suhu-ku, betapa dia merana dan menderita hebat sekali karena sudah terlampau banyak membunuh orang, meski yang dibunuhnya itu menurut anggapannya adalah orang-orang jahat belaka. Kau hendak membunuh The Kok, katakanlah bahwa menurut anggapanmu, dia telah membunuh muridmu dan dia itu jahat. Akan tetapi apakah demikian pula dengan anggapan sahabat-sahabatnya, sanak keluarganya, gurunya, muridnya, orang tua serta anak-anaknya? Ketika muridmu dibunuhnya, kau menjadi sakit hati. Kalau kau sekarang membunuhnya, apakah kau kira mereka-mereka yang dekat dengan dia tidak akan sakit hati? Kau tentu akan dicari-cari oleh mereka, musuh-musuhmu akan makin banyak dan hidupmu tidak tenteram lagi! Kalau sudah begitu, mana bisa kau bilang bahwa kau sudah menemui kebahagiaan?"

Kakek itu tertegun, memandang aneh, matanya agak dipejamkan, tampak memutar otak. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya memandang tajam dan bertanya, "Orang muda, kau murid siapakah? Siapa itu gurumu yang meninggalkan pesan penyesalannya akibat sudah banyak membunuh orang?"

"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan suhu-ku, hanya membaca dari kitabnya dan peninggalan tulisan-tulisannya. Dia menuliskan namanya sebagai Bu Beng Cu, aku hanya sempat bertemu dengan burung rajawali emas, agaknya binatang peliharaannya."
"Dia...?! Bu Beng Cu...? Kau muridnya?!" Kakek itu terkejut sekali dan kedua tangannya memegang pundak Kun Hong.

Pemuda ini merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih gunung, merasa seakan-akan tulang-tulangnya remuk dan patah-patah. Ia cepat mengempos semangat dan hawa murni mengalir dari pusarnya menuju ke pundak sehingga penderitaannya berkurang banyak.

"Heh, kau bilang muridnya? Bohong kau! Sedikit kepandaianmu ini mana membolehkan kau mengaku sebagai muridnya? Dia itu suheng-ku (kakak seperguruan), kau tahu? Kalau benar kau sudah mewarisi tulisan-tulisan peninggalannya, harap kau jelaskan bagaimana bunyi tulisan-tulisan itu!"

Kun Hong mendongkol sekali, akan tetapi ia menyabarkan hatinya. Ia tahu bahwa kini ia berhadapan dengan orang sakti yang berwatak aneh dan kiranya soal membunuh orang bukanlah soal baru bagi kakek ini. Akan tetapi ia tidak takut dan malah ia mengambil keputusan untuk sedapat mungkin menyadarkan kakek itu agar tidak sampai membunuh orang!

"Percaya atau tidak terserah. Aku masih hafal akan tulisan peninggalan Locianpwe itu, begini: ‘Telah bertumpuk dosaku. Ratusan orang telah kubunuh dengan anggapan bahwa itu adalah perbuatan baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap jahat. Anggapan yang sesat! Aku tidak mampu memberi kehidupan, lalu bagaimana aku berhak mengakhiri kehidupan? Aku sangat berdosa! Mengandalkan kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapa pun jahat si manusia itu, bukanlah perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula’. Nah, begitulah tulisan peninggalan Locianpwe Bu Beng Cu, Kek."

Kakek itu terlongong kembali, lalu tiba-tiba ia berkata, "Keluarkan pedangmu itu, hendak kulhat apakah benar pedang suheng-ku!"

Kun Hong kaget sekali. Bagaimana kakek ini bisa tahu akan pedangnya yang selalu dia sembunyikan di balik jubahnya itu? Ia tidak membantah, lalu mengeluarkan pedangnya yang selama dalam perjalanan selalu dia sembunyikan itu. Kakek itu menerima pedang, menghunusnya dan tiba-tiba ia menangis terisak-isak!

"Ahh... Ang-hong-kiam... Ang-hong-kiam... ahh, Twa-suheng... jadi kau benar-benar telah mati lebih dulu dan... meninggalkan pesan melalui mulut bocah ini..."
"Agaknya betul dugaanmu itu, Locianpwe," berkata Kun Hong yang sekarang menyebut ‘locianpwe’ karena tahu bahwa kakek ini sebetulnya adalah seorang berilmu tinggi yang wataknya aneh sekali. "Kiranya Locianpwe Bu Beng Cu sengaja meninggalkan pesan itu untukmu. Kau lihat sendiri, sesudah membunuh ratusan orang, Locianpwe Bu Beng Cu merasa berdosa dan menyesal, karena itu apa bila kau tadi menyatakan bahwa dengan membunuh si orang The Kok lalu kau akan menemukan kebahagiaan, alangkah jauhnya menyeleweng dari kebenaran!"

Sepasang mata kakek itu tidak mengucurkan air mata lagi, sekarang memandang kepada Kun Hong penuh kebingungan, tangannya gemetar ketika mengembalikan pedang. Kun Hong menerima pedangnya dan menyimpannya kembali.

"Kau betul... orang muda yang aneh, kau benar sekali. Ahh... selamanya suheng-ku itu memang bijaksana... agaknya kau pun mewarisi kebijaksanaannya... memang aku bodoh, Suheng sudah kakek-kakek ketika aku masih menjelang dewasa. Orang muda yang baik, kau sebagai wakil Suheng, lekas kau katakan kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan!"

Kun Hong kaget sekali. Dia seorang pemuda yang masih hijau, pengetahuannya tentang filsafat kehidupan hanya diperolehnya dari membaca kitab-kitab kuno yang ia selaraskan dengan suara hati nuraninya sendiri. Bagaimana dia bisa menerangkan pada kakek yang hendak mencari kebahagiaan ini? Akan tetapi dia bertekad untuk mencegah kakek ini melakukan pembunuhan, maka ia akan mencobanya.

"Locianpwe, aku mau bicara tentang kebahagiaan kalau kau suka berjanji bahwa kau tak akan membunuh orang bernama The Kok itu."
"Baik... baik... setelah mendengar pesan Suheng, kini aku sendiri ngeri untuk membunuh orang. Aku berjanji mulai sekarang aku takkan mau membunuh orang lagi. Tapi kau harus segera memberi tahukan kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan."

Lega hati Kun Hong. Betapa pun juga, kakek ini adalah seorang cianpwe, tidak mungkin mau menarik kembali janjinya atau melanggarnya. Dengan demikian berarti dia telah bisa membatalkan niat orang untuk membunuh. Tentang pendapatnya mengenai kebahagiaan, adalah menurut jalan pikirannya, sesuai pula dengan hati nuraninya yang disesuaikan dengan ilmu kebatinan yang ia baca dari kitab-kitab filsafat kuno.

"Menurut pendapatku, Locianpwe. Kebahagiaan hidup itu tidak dapat dikejar, karena bagai mana pun orang mengejar-ngejarnya, takkan mungkin dia dapat menemukannya. Bahagia tak dapat dicari-cari..."
"Apa kau kata? Kebahagiaan tak dapat dikejar, tak dapat dicari, kalau begitu kebahagiaan itu tidak ada? Jangan kau main-main!"

Berkerut kening Kun Hong, tanda bahwa dia sedang berpikir keras untuk mencari cara menjelaskan tentang persoalan sulit yang mengandung filsafat hidup itu.

"Locianpwe, bukan maksudku mengatakan bahwa kebahagiaan itu sebenarnya tidak ada. Kebahagiaan itu memang ada. Akan tetapi janganlah keliru menafsirkan apa sebetulnya kebahagiaan itu. Banyak sekali orang tertipu oleh kesenangan dan menganggap bahwa kesenangan itulah kebahagiaan. Yang dapat dikejar dan dapat dicari adalah kesenangan, bukan kebahagiaan. Ada pun kesenangan itu bukan lain adalah pemuasan nafsu jasmani dan nafsu perasaan. Kesenangan duniawi adalah pemuasan kehendak yang terdorong oleh nafsu semata. Contohnya keinginan Locianpwe tadi hendak membunuh The Kok, tak lain adalah karena dorongan kehendak memuaskan nafsu dendam dan andai kata hal itu terjadi, kiranya akan dapat merasakan kesenangan karena nafsu dendam itu dipuaskan. Akan tetapi orang lupa bahwa kesenangan mempunyai saudara kembar yang bernama kesusahan. Di mana kesenangan berada, di sana akan muncul pula saudara kembarnya, yaitu kesusahan. Kalau orang mencari kesenangan, memang dia akan mendapatkannya, namun sifat kesenangan hanyalah sementara saja. Rasa senang akan segera lenyap dan kalau sudah begitu, muncullah kesusahan dan ia akan kecewa karena segera ternyata bahwa kesenangan yang dicari-carinya itu setelah didapatkannya ternyata tidaklah begitu menyenangkan, apa lagi membahagiakan. Siapa mencari dia akan kecewa, karena yang dicarinya itu hanyalah kehendak dari nafsunya, bukanlah kebutuhan jiwanya."

Sampai berkeringat kening pemuda itu karena pengerahan otaknya yang diperas untuk menerangkan hal yang amat gawat ini. Akan tetapi hasilnya hebat sekali. Muka kakek itu mula-mula membayangkan keharuan, lalu matanya membelalak dan akhirnya wajahnya berseri-seri.

"Aduh, kau hebat..., kau orang muda luar biasa... teruskanlah, teruskanlah uraianmu yang menarik ini. Kau barusan bicara tentang kesenangan dunia, sekarang bagaimana dengan kebahagiaan yang ajaib itu? Selama ini aku sendiri telah tertipu dan mengacau-balaukan kesenangan dengan kebahagiaan. Orang muda yang hebat, apakah kebahagiaan itu dan mengapa tidak boleh dikejar dan dicari?"

"Locianpwe, maafkan kalau aku yang muda dan bodoh ini lancang berani bicara tentang hal yang pelik ini."
"Tidak apa, tidak apa, teruskanlah..."

"Lebih dulu aku akan mengulangi sajak yang pernah kubaca, hasil karya seorang pujangga kuno yang tidak diketahui namanya, begini sajak itu:
Kebahagiaan seperti bayangan,
serasa tergenggam di jari, tanpa bekas kau lari
tak dikejar mendekati, dikejar kau menjauhi
memang kau bayanganku, tak pernah berpisah dariku
bagaimana orang dapat mengejar bayangan sendiri…?”

Kun Hong berhenti sejenak dan menarik napas panjang, kemudian melanjutkan kembali, "Demikianlah, Locianpwe. Kebahagiaan adalah keadaan, memang ada, yaitu sudah ada di dalam diri setiap makhluk. Setiap yang mengejarnya akan tersesat jauh karena memang tak dapat dan tak semestinya dikejar. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang sudah sadar akan keadaan hidupnya, yang sadar bahwa ada yang menghidupkannya. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang tenang tenteram damai dan tahu bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu ia dapat menerima dengan hati ikhlas, tak dapat kecewa, tak dapat berduka, adanya hanya puas dan dapat menikmati kekuasaan Tuhan yang sudah dilimpahkan atas dirinya, baik kekuasaan yang mendatangkan rasa tidak enak atau pun yang sebaliknya bagi badan dan pikiran. Hanya manusia yang sadar akan kekuasaan Tuhan, dapat menerima segala yang terjadi atas dirinya dengan penuh penyerahan, dengan tunduk dan taat serta menganggap segala peristiwa, baik yang dianggap menyenangkan atau menyusahkan oleh badan dan pikiran serta perasaannya, sebagai berkah Tuhan. Manusia seperti itulah yang berhasil menemukan kebahagiaan yang sebetulnya memang sudah berada dalam dirinya. Karena menghadapi keadaan yang bagaimana pun juga, dia akan tetap tenang, tenteram dan menerima dengan hati tulus ikhlas, dan kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan takkan tergoyahkan. Nah, hanya sekian saja pendapatku, Locianpwe, sekali lagi maaf kalau kau anggap tidak cocok dengan pendapat Locianpwe."

Kakek itu merangkul Kun Hong. "Ahh, anak yang baik... kau telah membuka mataku yang buta! Kau benar sekali... anak yang baik, coba kau terangkan, bila ada orang membunuh muridku, mengapa aku tidak boleh membunuhnya juga sebagai hukumannya?"

"Menurut pendapatku, pendirian itu keliru, Locianpwe. Locianpwe sendiri mengakui bahwa membunuh murid Locianpwe adalah suatu perbuatan jahat, dan sudah menjadi anggapan umum bahwa membunuh sesama manusia adalah perbuatan jahat. Kalau kita sudah tahu bahwa membunuh itu jahat, mengapa justru untuk menghadapi kejahatan membunuh kita pun harus berlaku jahat dan membunuh pula? Kalau sudah terjadi bunuh-membunuh, bagaimana kita dapat membedakan mana yang jahat mana yang baik, mana yang benar mana yang salah? Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, dan untuk itu manusia sudah mengadakan hukum bagi yang jahat. Kalau ada yang melakukan pembunuhan, tangkaplah dan hadapkan kepada yang berwajib yang berhak mengurus tentang hukuman bagi si jahat dengan mengadakan pengadilan ciptaan manusia. Akan tetapi menghukumnya sendiri dengan jalan membunuh? Ahh, Locianpwe, hendak kutanyakan kepada Locianpwe, apa perbedaannya dalam soal kejahatan antara pembunuhan yang dilakukan The Kok terhadap murid Locianpwe dengan pembunuhan yang akan dilakukan oleh Locianpwe terhadap The Kok?"

Kakek itu merenung sejenak. "Bedanya, karena kalau aku membunuhnya, aku memiliki alasan untuk membalaskan sakit hati muridku."

"Ah, Locianpwe, setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti mempunyai alasan untuk perbuatannya. Ada akibat pasti bersebab. Apakah kiranya orang yang bernama The Kok itu ketika membunuh murid Locianpwe juga tidak mempunyai alasan? Kiraku pasti ada alasannya. Betapa pun juga, dia bersalah besar ketika membunuh muridmu dan bagiku, dia telah melakukan perbuatan jahat. Jika Locianpwe membunuhnya pula, apa pun alasan yang Locianpwe ajukan, perbuatan membunuh itu tak bisa tidak juga termasuk perbuatan jahat. Dan kebahagiaan tak mungkin dicapai dengan melalui perbuatan jahat. Di samping penyerahan akan kekuasaan Tuhan, juga setiap tindakan dalam hidup haruslah menjauhi kejahatan dan memupuk kebaikan sebanyak mungkin. Inilah yang disebut menyesuaikan diri dengan sifat-sifat alam. Adakah alam pernah menuntun sesuatu demi kesenangannya sendiri? Tidak pernah, alam dan segala isinya selalu memberi kebaikan kepada siapa saja tanpa pernah meminta dan menuntut. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, tiada yang dikecualikan, berkah-Nya melimpah-limpah seperti aliran Sungai Kuning yang tak pernah kering, akan tetapi, pernahkah Tuhan menuntut dan minta sesuatu dari kita? Alam adalah cermin kecil dari sifat Maha Pengasih dan Penyayang itu. Coba lihatlah pohon berbuah itu, Locianpwe. Tanpa diminta ia siap memberikan segala-galanya, batangnya, daunnya, bunganya, buahnya kepada siapa saja yang membutuhkan. Ia memberikan dengan segala keikhlasan tanpa diminta, segala kenikmatan kepada yang mampu menikmatinya. Akan tetapi, pernahkah pohon itu minta sesuatu, menuntut sesuatu dari siapa pun juga? Ah, alangkah akan indahnya dunia ini kalau manusia dapat memetik pelajaran dari sikap pohon buah itu, di mana manusia hanya mengenal pemupukan kebaikan dari sifat alam tanpa menuntut kesenangan bagi diri sendiri."

"Ahhh... kau betul, Anakku... kau betul sekali... ha-ha-ha-ha, Lui Bok, kau dijuluki orang Sin-eng-cu (Garuda Sakti), akan tetapi kau goblok dan patut berguru kepada bocah ini!" Ia menepuk-nepuk kepalanya sendiri dan kelihatan girang sekali. "Ehhh orang muda, kau masih murid keponakanku sendiri, tapi aku patut menjadi muridmu. Siapakah namamu?"
"Aku bernama Kwa Kun Hong, Locianpwe. Aku banyak mengharapkan banyak petunjuk dari Locianpwe."
"Heran sekali... kau menjadi pewaris kitab peninggalan suheng-ku, tetapi mengapa kau tidak memiliki kepandaian silat sebaliknya malah menjadi ahli filsafat? Kun Hong, coba kau bersilat dari pelajaran dalam kitab yang kau hafal itu, hendak kulihat."

Merah muka Kun Hong. "Ah, sesungguhnya Locianpwe, aku hanya menghafal saja akan tetapi aku tidak dapat bersilat."
"Hee...?! Habis untuk apa kau menghafal kitab itu?"
"Menurut pendapatku, ilmu silat yang diwariskan dalam kitab Suhu hanya untuk menjaga diri agar jangan sampai dicelakakan orang. Akan tetapi kalau hendak dipergunakan untuk memukul orang... ahh, aku tidak sudi melakukannya, Locianpwe."

Kembali kakek itu melengak, lalu mengangguk-angguk. Tiba-tiba dia berseru, "Aku akan menyerangmu dan kalau kau terkena pukulanku, mungkin kau akan mati!"

Cepat sekali, tidak sesuai dengan tubuhnya yang kelihatan lemah itu, kakek ini lalu maju memukul dengan pukulan kilat. Serangan ini dilakukan dengan cepat serta mengandung tenaga yang amat dahsyat.

Kun Hong kaget bukan main. Otomatis kedua kakinya melangkah dengan langkah ajaib yang ia pelajari dari kitab. Kedua lengannya bergerak-gerak sebagai imbangan tubuhnya dan... pukulan itu tidak mengenai tubuhnya.

Kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan menyerang terus, makin lama makin cepat dan keras. Kun Hong terpaksa terus melangkah ke sana ke mari, langkah-langkahnya ganjil dan kacau, namun sampai sepuluh jurus kakek itu hanya memukul angin belaka.

Tiba-tiba kakek itu berhenti dan bertepuk tangan.

"Bagus... bagus sekali! Inilah agaknya Kim-tiauw-kun yang dahulu hendak diciptakan oleh Suheng berdasarkan Im-yang bu-tek-cin-keng! Hebat... hebat!"

Ia merangkul lagi Kun Hong diajak duduk bawah pohon.

"Mana roti keringmu tadi? Keluarkan aku lapar sekali!"

Girang hati Kun Hong. Memang masih ada ia menyimpan roti kering dalam buntalannya. Kemudian ia mengeluarkan roti-roti kering itu dan memberikan kepada kakek aneh yang menyebut namanya Sin-eng-cu Lui Bok ini.

"Silakan makan, Locianpwe, tapi hanya roti kering yang keras dan tengik."
"Heh-heh-heh, jangan kau merendah, Kun Hong. Rotimu begini empuk, harum, masih hangat dan di dalamnya diberi cacahan daging yang begini gurih, kau katakan roti kering tengik? Ha-ha-ha benar-benar kau merendah. Bukan main sedapnya roti ini!"

Tiba-tiba Kun Hong terbelalak matanya. Mimpikah dia? Roti kering yang tadinya keras dan memang agak tengik yang dipegangnya, sekarang kenapa sudah berubah sama sekali? Roti itu menjadi roti yang besar dan empuk, benar-benar masih hangat dan berbau harum malah ketika ia melihat bagian yang sudah ia gigit, tampak cacahan daging matang yang benar-benar gurih!

"Ehh..., ini... ini... bagaimanakah ini? Kenapa bisa begini, Locianpwe...?" tanyanya gagap saking herannya.
"Ha-ha-ha! Biar pun kesenangan bukan termasuk kebahagiaan sejati, namun kesenangan pun anugerah Tuhan dan kita berhak menikmatinya, bukan? Nah, marilah kita menikmati roti yang enak ini!"
"Memang benar, Locianpwe. Tapi... tapi... bagaimana ini...? Mengapa roti keringku bisa berubah?"
"Tidak usah tanya-tanya, nanti kuberi penjelasan. Makan dulu." Keduanya lalu makan dan Kun Hong harus mengakui bahwa selama ini belum pernah ia makan roti seenak itu.
"Wah, habis makan roti tidak ada minuman. Kalau saja ada arak baik di sini, alangkah sedapnya."

Melihat kakek itu agaknya kesereten, Kun Hong menjadi kasihan dan segera dia berlari mencari air mancur dan menyendok air menggunakan daun yang lebar. Dibawanya air itu ke bawah pohon.

"Heh-heh-heh, kau betul-betul hebat. Orang ingin minum arak kau datang membawa arak wangi dalam cawan perak. Ha-ha-ha!"
"Ahh, Locianpwe, hanya air biasa dalam daun, mana ada arak?"

Kun Hong tertawa dan memandang daun di tangannya yang penuh air. Tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget dan heran karena yang berada di tangannya adalah benar-benar arak di dalam cawan perak yang indah.

"Ehhh, bagaimana pula ini...?! Locianpwe, apakah aku sudah gila? Ataukah aku sedang mimpi...?!" teriaknya terkejut.
"Ha-ha-ha, minumlah, nikmatilah kesenangan untuk lidah dan mulut kita. Nanti akan aku ceritakan," kata kakek itu sambil menenggak arak dalam cawannya.

Terpaksa Kun Hong juga minum araknya dan ternyata, betul seperti dikatakan kakek itu, arak di dalam cawannya amat harum dan enak.

"Kau lihat baik-baik, yang di dalam tanganmu itu hanya daun biasa."

Kun Hong melihat dan... betul saja, cawan yang kosong tadi sudah berubah pula menjadi daun yang tadi, tanpa ia ketahui.

"Ini... kau main sulap, Locianpwe," katanya tertawa.
"Kau sudah menggirangkan hatiku, Kun Hong. Maka aku harus membikin senang sedikit hatimu. Ketahuilah, yang kuperlihatkan tadi adalah ilmu yang disebut menguasai pikiran orang lain (semacam hypnotisme). Memang amat berbahaya kalau memiliki ilmu ini dan sebagian orang yang tidak mengerti akan menganggapnya sebagai hoat-sut (ilmu sihir) yang jahat, semacam ilmu hitam. Akan tetapi anggapan itu keliru. Ilmu kepandaian tidak ada yang jahat. Hitam atau putihnya, jahat atau pun baiknya, tergantung dari pemilik ilmu itu sendiri. Hoat-sut (menguasai pikiran orang) ini kalau dimiliki oleh orang yang berjiwa bersih, tentu akan banyak mendatangkan kebaikan seperti yang baru saja kuperlihatkan. Bukankah makan roti kering dan minum air tawar tidak begitu sedap? Dan bukankah akan menambah kenikmatan kalau ingatanmu kukuasai sehingga kau menganggapnya sebagai roti enak dan arak wangi? Nah, untuk segala petunjukmu tadi tentang kebahagiaan, aku harus membalas. Kau adalah ahli membaca kitab, nah, ilmu ini terdapat dalam kitab ini. Kau baca dan pelajarilah, tentu kelak berguna untukmu. Ilmu yang kuperlihatkan tadi baru sepersepuluhnya saja dari isi kitab ini."

Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kitab yang sudah lapuk dan Kun Hong menerimanya dengan pernyataan terima kasih. Tentu saja ia girang bukan main mendapat hadiah kitab istimewa itu.

"Sekarang marilah kau ikut denganku, Kun Hong. Ikutlah dengan aku pergi ke kaki gunung ini untuk menjumpai The Kok yang sekarang menjadi Ketua Hwa-I Kaipang."’

Kun Hong terkejut dan memandang. "Locianpwe, kau tidak..."

Kakek itu tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Jangan kuatir. Sudah lenyap semua nafsuku untuk membunuh orang. Aku harus menemuinya. Ha-ha-ha! Kau benar. Dia telah membunuh muridku, biarlah kesadarannya sendiri yang akan menghukumnya." Kakek itu lalu berdiri dan mengajak Kun Hong turun gunung.

Demikianlah kisah pertemuan antara Kun Hong dengan Sin-eng-cu Lui Bok seperti telah diceritakan di bagian depan.....

Kun Hong dan Sin-eng-cu Lui Bok telah tiba di tempat para pengemis Hwa-i Kaipang. Dari jauh Kun Hong melihat ribut-ribut di antara pengemis yang memenuhi pekarangan depan rumah perkumpulan itu. Ia mendapat keterangan dari pengemis yang dijumpainya bahwa dua orang pembantu ketua sedang ribut hendak bertempur dalam perebutan kedudukan ketua.

Kun Hong merasa kuatir sekali. Dari jauh dia segera berteriak-teriak, "Heeiii..., berhenti... dua orang pengemis tua saling pukul memperebutkan apa sih?"

Semua pengemis dan para tamu yang hadir di tempat pertemuan itu terkejut dan segera menengok. Bahkan dua orang pembantu ketua yang sedang bertempur itu pun langsung menghentikan perkelahian mereka dan menengok karena suara teriakan itu benar-benar nyaring dan mengejutkan semua orang.

Sementara itu, Kun Hong sudah mendahului Sin-eng-cu Lui Bok, memasuki gelanggang pertempuran menghadapi Coa-lokai dan Sun-lokai yang memandangnya dengan heran.

"Ji-wi Lo-enghiong, mengapa saling hantam sendiri ? Aku mendengar bahwa Ji-wi hendak memperebutkan kedudukan Ketua Hwa-i Kaipang. Kalau tak salah Hwa-i Kaipang adalah perkumpulan pengemis, mengapa yang hendak menjadi ketuanya malah harus memakai kekerasan? Apakah hendak menjadi ketua perkumpulan tukang pukul? Benar-benar salah sekali."

Coa-lokai memandang dengan mata terbelalak marah. "Kau ini bocah kurang ajar datang dari mana dan apa urusanmu dengan kami?"

Beng-lokai pengemis tua gemuk pendek yang semenjak tadi hanya diam saja melihat dua orang temannya saling serang, sekarang berdiri dan dengan marah membentak, "Bocah tak tahu adat! Kau ini datang-datang mengacau, kau disuruh kaipang dari manakah?"

Diserang dengan bentakan-bentakan ini, Kun Hong tenang saja. Akan tetapi sebelum dia menjawab, kakek pengemis tua yang berdiri di situ, Hwa-i Lokai, berseru keras. "Bagus sekali, Sin-eng-cu Lui Bok! Kau akhirnya datang juga mencariku. Akan tetapi, kuharap kau tidak membawa Hwa-i Kaipang ke dalam urusan pribadi kita berdua. Kau tunggulah aku menyelesaikan dulu pemilihan ketua baru, setelah itu aku siap untuk mati di tanganmu!"

Semua mata sekarang menengok dan memandang ke arah kakek yang memasuki tempat itu yang bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok.

"He-he-heh, Sin-chio The Kok. Tak nyana orang gagah seperti engkau ternyata wataknya pengecut, berani berbuat tidak berani bertanggung jawab dan kasihan sekali melihat kau melarikan diri dan bersembunyi sampai belasan tahun." Kakek ini sampai terkekeh-kekeh menertawakan.

Muka Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai menjadi merah sekali. Ia merasa malu dikatakan pengecut di depan begitu banyak orang dan namanya tentu akan menjadi buah tertawaan di dunia kang-ouw. Maka cepat ia menjawab dengan suara keras,

"Heii, Sin-eng-cu Liu Bok, dengarlah baik-baik. Memang perbuatanku melarikan diri dan bersembunyi darimu itu adalah perbuatan pengecut, akan tetapi adalah sebab-sebabnya. Secara kebetulan aku bermusuhan dengan muridmu pada waktu aku merampok seorang pembesar korup dan muridmu itu membela pembesar tadi, Terjadi pertempuran antara kami dan dalam pertempuran itu ia tewas di ujung tombakku. Celakanya, setelah ia tewas, barulah aku mendengar bahwa dia adalah murid Sin-eng-cu Lui Bok. Hatiku menyesal bukan main. Telah puluhan tahun aku kagum dan menjunjung tinggi nama pendekar besar Sin-eng-cu Lui Bok, tapi sekarang aku telah membunuh muridnya. Aku menyesal dan ada dua hal yang menyebabkan aku melarikan dan menyembunyikan diri. Pertama, karena aku maklum bahwa aku takkan menang, ke dua dan ini sebetulnya yang terberat bagiku, aku tidak mungkin dapat bertanding sebagai musuh dengan pendekar yang sejak lama kukagumi dan kujunjung tinggi sebagai seorang pendekar budiman. Sin-eng-cu, hal itulah yang menyebabkan aku menebalkan muka melarikan diri dan bersembunyi. Akan tetapi hukum karma tak dapat dihindarkan manusia. Agaknya Thian yang menuntunmu sampai ke sini sehingga kau dapat menantang padaku dan agaknya memang Tuhan hendak menghabisi nyawaku sekarang juga. Hanya permintaanku, biarkanlah aku menyelesaikan lebih dulu pemilihan ketua Hwa-i Kaipang, setelah itu terserah kepadamu, aku tidak takut mati karena aku memang sudah cukup tua, Sin-eng-cu."

Lega hati Sin-chio The Kok setelah dia mengeluarkan isi hatinya yang juga didengar oleh semua orang itu.

Akan tetapi Sin-eng-cu Lui Bok hanya tertawa-tawa saja. Diam-diam hati kakek ini pun girang bahwa dia sebelumnya bertemu dengan Kun Hong. Kalau sampai dia membunuh orang yang segagah ini memang sayang sekali. Apa lagi ia pun maklum bahwa muridnya memang telah membela orang yang dikenal sebagai seorang pembesar korup dan sering bertindak sewenang-wenang, sungguh pun pembesar itu adalah paman muridnya.

Akan tetapi Coa-lokai yang sangat setia terhadap Hwa-i Lokai, ketika mendengar bahwa kakek tua renta yang kelihatan kurus kering itu merupakan musuh besar ketuanya, segera membentak marah, "Kau tua bangka berani menghina pangcu kami! Rasakan tanganku!" Coa-lokai menerjang dan langsung menyerang.
"Coa-lokai, jangan...!" Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai mencegah, akan tetapi terlambat sudah.

Coa-lokai sudah menyerang dengan hebat, bahkan mempergunakan pedangnya. Semua orang melihat betapa pedang di tangan Coa-lokai itu menyambar ganas. Semua orang juga melihat betapa kakek yang diserangnya itu sama sekali tidak bergerak. Akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu terdengar pedang berkerontangan di atas lantai dan tubuh Coa-lokai terlempar ke belakang. Padahal kakek itu hanya mengangkat sedikit tongkatnya yang butut! Ketika dilihat ternyata Coa-lokai yang merintih-rintih itu sudah patah tulang lengannya!

Sin-chio The Kok terkejut sekali. Bukan main hebatnya kepandaian Sin-eng-cu Lui Bok ini. Ia cepat menjura dan berkata, "Pembantuku telah tak tahu diri menyerangmu, akulah yang mintakan maaf. Harap Sin-eng-cu suka bersabar menanti hingga aku selesai mengadakan pemilihan ketua."

Sin-eng-cu Lui Bok tertawa dan hanya berkata, "Silakan..., silakan..."

Kun Hong melangkah maju dan menjura kepada Ketua Hwa-i Kaipang itu.

"Tak tahunya Locianpwe ini yang bernama Sin-chio The Kok dan kini menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Pangcu, aku kebetulan datang bersama Susiok Sin-eng-cu sesudah mendengar bahwa di sini hendak diadakan pemilihan ketua yang baru. Kenapa kau membiarkan saja orang-orangmu berebutan kedudukan ketua? Kalau kau sendiri yang menjadi ketuanya, perlu apa diganti lagi? Kulihat kau seorang yang berjiwa gagah, kenapa hendak mundur? Kalau perkumpulan yang bertujuan memperbaiki nasib orang-orang jembel yang sengsara ini terjatuh ke dalam tangan ketua tukang berkelahi, bukankah akan celaka?"

"Ha, betul sekali omonganmu, Siauw-kongcu!" Tiba-tiba Coa-lokai yang sudah berdiri lagi dengan tangan dibalut berkata keras. "Memang Pangcu tidak perlu diganti lagi!"
"Pangcu, apa bila terpaksa dilakukan penggantian ketua, kurasa satu-satunya orang yang patut menggantimu adalah orang tua tinggi besar ini," Kun Hong menudingkan telunjuknya ke arah Coa-lokai. "Dia jujur dan setia sekali kepadamu."

Memang biar pun masih muda, pandangan mata Kun Hong amat mendalam dan sekali melihat saja dia sudah tahu bahwa Coa-lokai adalah seorang yang setia dan jujur, sama sekali tak memiliki pamrih untuk memperebutkan kedudukan, terbukti dari pembelaannya kepada ketuanya dan menyerang Sin-eng-cu tadi, juga dari kata-katanya barusan.

Diam-diam Hwa-i Lokai kagum memandang Kun Hong. Bocah ini benar-benar luar biasa dan ucapannya seperti orang yang sudah matang pengalamannya saja. Kalau bocah ini menyebut susiok (paman guru) kepada Sin-eng-cu, tentulah ia memiliki kepandaian hebat pula.

Pada saat itu, Sun-lokai dan Beng-lokai sudah siap mendekati Kun Hong. Sun-lokai lalu berseru marah, "Untuk apa mendengarkan omongan bocah gila itu? Usir saja dia dari sini, dia hendak mengacaukan pemilihan ketua!"

"Betul, Pangcu. Bocah ini mencampuri urusan kita. He, bocah tak tahu aturan, lebih baik kau tutup mulutmu dan pergi dari sini. Kalau tidak, mulutmu akan kuhancurkan dengan kepalanku!"

"Ji-wi Lokai jangan kurang ajar terhadap tamu!" Hwa-i Lokai cepat mencegah karena dia merasa tidak enak sekali terhadap Sin-eng-cu.

Kun Hong tersenyum dan Sin-eng-cu hanya tersenyum-senyum juga. "Pangcu, apakah dua orang ini juga pembantu-pembantumu? Alangkah jauh bedanya dengan Coa-lokai."

"Ehhh, orang muda, kau tadi datang-datang melawan kami bertempur untuk menentukan kemenangan. Ada hak apakah kau hendak mencampuri urusan Hwa-i Kaipang?" bentak Sun-lokai.

Kini Kun Hong berbicara dengan muka sungguh-sungguh, "Lokai, aku mendengar bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan Hwa-i Kaipang dan perkumpulan pengemis tentulah bertujuan untuk menolong para pengemis serta memperbaiki nasib mereka. Akan tetapi kenapa untuk menentukan seorang ketua harus memilih yang pandai ilmu silat dan kalian tadi saling gempur sendiri? Apakah Hwa-i Kaipang hendak dijadikan perkumpulan tukang pukul?"

"Kau mengaku sebagai keponakan Sin-eng-cu, tetapi omongan apa yang kau keluarkan ini?" Sun-lokai membentak, makin marah, "Kalau ketua kita seorang yang lemah, mana bisa memimpin Hwa-i Kaipang?"
"Ah, salah sama sekali!" Kun Hong berseru penasaran, "Apakah hanya seorang tukang pukul saja yang dapat memimpin? Memimpin dengan cara kekerasan dan kekuatan sama sekali tidak baik."

Kini Beng-lokai juga mendekati Kun Hong. "Kau anak kecil bicara besar! Kalau seorang pemimpin tidak mempunyai ilmu silat tinggi dan menggunakan kekerasan, mana bisa para anggota dipimpin dan mana mereka bisa menaati ketuanya?"

Kun Hong mengalihkan pandangnya kepada pengemis tua gemuk pendek ini.

"Inilah sebabnya kenapa aku katakan salah. Memimpin dengan kekerasan mengandalkan kepandaian silat memang bisa membikin anggotanya taat, akan tetapi hanya taat karena terpaksa! Bukan taat yang timbul dari hati yang sejujurnya, melainkan taat untuk menjilat. Seharusnya kalian mempunyai seorang ketua yang bijaksana, yang betul-betul mampu mengatur sehingga di antara para pengemis tidak saling gempur, dapat menuntun mereka ke arah kejujuran, kesetiaan dan jalan benar sehingga mereka dapat menemukan kembali lapangan pekerjaan yang terhormat."

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang membuat semua orang menengok karena yang tertawa terkekeh-kekeh ini adalah Sin-eng-cu Lui Bok yang kini semua orang di situ tahu bahwa kakek ini adalah musuh besar Ketua Hwa-i Kaipang.

"He-he-heh, Sin-chio The Kok, kalau benar-benar sayang kepada perkumpulanmu, kalau kau ingin melihat perkumpulanmu menjadi maju dan sempurna, kau angkatlah Kwa Kun Hong ini menjadi ketua menggantikanmu!"

Merah muka Ketua Hwa-i Kaipang itu dan ia pun memandang tajam. "Sin-eng-cu, apakah selain datang hendak mengambil nyawaku kau pun bermaksud merampas kedudukan kaipang untuk murid keponakanmu?" Pertanyaan ini terdengar keras dan pedas sehingga para anggota Hwa-i Kaipang juga menjadi berisik.

"Ho-ho-ho, setelah berkumpul dengan orang-orang jahat kau makin tersesat, Sin-chio The Kok. Memang tadinya pada saat aku mengabarkan kedatanganku kepadamu, sudah bulat dalam hatiku untuk membunuhmu, membalaskan muridku yang kau bunuh dahulu. Akan tetapi ketahuilah, setelah bertemu dengan murid keponakanku yang hebat ini, sekaligus dia bisa mengusir niatku itu dari otakku! Kini aku tidak ingin membunuhmu lagi, The Kok. Ha-ha-ha, benar dia ini, kau sudah cukup tersiksa akibat perbuatanmu sendiri. Walau pun dia ini murid keponakanku, tetapi dalam hal kebijaksanaan aku boleh berguru kepadanya. Karena itu, apa bila dia yang menjadi ketua, aku tanggung Hwa-i Kaipang akan menjadi perkumpulan yang besar dan maju, dan anak buahmu ini sebentar saja akan berubah menjadi manusia-manusia benar. Berbeda kalau kau atau pengemis-pengemis bangkotan ini yang menjadi ketua, para pengemis diajar silat, kelak dari pengemis berubah menjadi perampok. Heh-heh-heh!"

Kaget bukan main hati The Kok mendengar ini. Ada perasaan lega, girang, terharu dan juga malu. Ia lalu menoleh dan memandang kepada Kun Hong yang masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Jadi bocah yang sikapnya aneh ini malah telah menolong nyawanya dari ancaman Sin-eng-cu!

Ia tadinya sudah maklum bahwa ia pasti akan tewas di tangan Sin-eng-cu karena dalam hal ilmu silat, ia jauh di bawah tingkat kakek itu. Sekarang Sin-eng-cu malah mengusulkan supaya pemuda yang bernama Kwa Kun Hong ini menjadi ketua Hwa-i Kaipang.

"Sin-eng-cu, kau mengaku dia sebagai murid keponakanmu, sebetulnya pemuda ini murid siapakah?" tanyanya agak meragu.

Kakek kurus itu tertawa lagi, "Ha-ha-ha-ha, jangan bicara tentang ilmu silat dengan Kun Hong, karena mungkin dia tidak akan mampu dan suka membunuh seekor kucing pun. Akan tetapi dia ini murid suheng-ku, gurunya adalah mendiang Bu Beng Cu."

Tidak ada yang mengenal Bu Beng Cu, juga Sin-chio The Kok tak pernah mendengarnya. Akan tetapi jika pemuda ini adalah murid suheng dari Sin-eng-cu, sudah dapat dipastikan kepandaiannya tinggi juga.

Persoalan Ketua Hwa-i Kaipang bukanlah hal yang remeh, untuk memilih ketua harus dipilih orang yang betul-betul tepat. Bagaimana ia bisa menerima seorang pemuda yang sama sekali belum dia ketahui keadaannya ini untuk memimpin anggota Hwa-i Kaipang yang ratusan orang jumlahnya?

Selagi ia ragu-ragu, Beng-lokai dan Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Beng-lokai berkata kepada Kun Hong, "Bocah ini mau menjadi ketua kami? Boleh saja, asalkan dia mampu mengalahkan aku, ha-ha-ha!"

"Juga dia harus bisa merobohkan aku, baru berhak menjadi ketua!" kata Sun-lokai sambil menggeser kaki mendekati.

Melihat ini, tiba-tiba saja Sin-chio The Kok mendapatkan pikiran amat bagus. Dua orang pembantunya ini memang tepat untuk menguji kepandaian pemuda itu. Maka ia berkata kepada Sin-eng-cu, "Kalau pemuda ini berani menghadapi Beng-lokai dan Sun-lokai serta mengalahkan mereka, aku menerimanya menjadi ketua Hwa-i Kaipang menggantikan aku. Memang betul bahwa untuk membimbing para anggota tak perlu dipergunakan ilmu silat, akan tetapi tanpa mempunyai kepandaian tinggi, mana mampu menjaga keamanan perkumpulan dan mana bisa menghalau segala orang-orang jahat?"

"Orang muda, kau sudah mendengar sendiri. Ketua kami sudah mengijinkan kami berdua menghadapimu. Hayo kau robohkanlah kami!" berkata Beng-lokai dengan sikap mengejek dan terdengarlah suara tertawa para pengemis pengikut kedua orang pembantu ini.

Kun Hong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah berkelahi dan aku pun tidak mau berkelahi. Aku bukanlah tukang pukul!"

Ucapan ini kembali memancing datangnya tertawaan di kalangan anggota Hwa-i Kaipang. Perkumpulan ini mengutamakan ilmu silat serta kegagahan, bahkan semua anggotanya mempelajari ilmu silat. Bagaimana sekarang hendak mengangkat seorang pemuda lemah seperti itu sebagai ketua?

Kun Hong tidak peduli akan suara tertawa dan ejekan yang dilontarkan kepadanya, akan tetapi Sin-eng-cu menjadi merah mukanya.

"Ehhh, Kun Hong, kau memalukan aku saja. Apakah kau takut menghadapi dua orang pengemis busuk ini?"

Sepasang mata Kun Hong berkilat. Dia adalah keturunan seorang pendekar besar, ibunya pun seorang pendekar wanita, darah kesatria mengalir di tubuhnya dan bagi keluarganya, kata-kata takut tidak terdapat dalam kamus.

"Aku tidak pernah takut kepada siapa pun juga. Aku hanya takut kalau-kalau aku akan menyimpang dari kebenaran." Jawaban Kun Hong ini adalah ucapan kuno yang pernah ia baca dalam kitab-kitabnya.
"Ha-ha-ha, bocah sombong, kalau kau tidak takut, hayo lawan kami berdua!" Beng-lokai berkata lagi.

Karena maklum bahwa Kun Hong tidak mungkin mau menyerang orang, Sin-eng-cu lalu berkata kepada dua orang pembantu ketua itu, "Heh, dua orang jembel busuk, terhadap dua orang badut seperti kalian yang jauh lebih rendah tingkatnya, murid keponakanku mana mau turun tangan? Jangan kalian hanya petentang-petenteng menjual lagak, kalau ada kepandaian, hayo kalian boleh menyerang.”

Sun-lokai orangnya cerdik. Kalau kakek ini mencampuri dan turun tangan tentu mereka akan kalah. Tadi sudah terbukti betapa hebatnya kepandaian kakek ini ketika merobohkan Coa-lokai. Malah Hwa-i Lokai sendiri kelihatan takut kepada kakek ini. Ia lalu tertawa dan berkata,

"Sin-eng-cu Lui Bok adalah seorang Locianpwe yang tingkatannya lebih tinggi dari kami yang bodoh. Kalau Locianpwe maju membantu bocah ini nanti, meski kami pasti akan kalah akan tetapi bukan kami yang akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw."

Sin-eng-cu memandang dengan mata melotot. "Monyet kau! Kalau aku memang punya kehendak merobohkan manusia-manusia monyet semacam kau, perlu apa aku banyak cerewet lagi? Kalian boleh serang dia, biar pun dia sampai terpukul mampus oleh kalian, aku tidak akan membantunya. Dengar janjiku ini!"

Lega dan girang hati Sun-lokai mendengar ini. Ia sudah berhasll membakar hati kakek itu dan sekarang ia dan Beng-lokai tidak usah takut akan turun tangannya kakek yang lihai itu. Mereka berdua saling memberi isyarat dengan pandang mata, lalu berbareng mereka menyerang Kun Hong sambil berkata, "Bocah sombong, awas, kalau sakit atau mati kau jangan persalahkan kami!"

Selama hidupnya Kun Hong belum pernah berkelahi. Kini menghadapi dua orang yang tiba-tiba menyerangnya dengan pukulan-pukulan hebat, ia menjadi amat kaget dan gugup. Akan tetapi hanya dengan beberapa langkah saja ia sudah dapat menghindarkan diri dari penyerangan dua orang itu.

Dalam pandangannya, serangan dua orang ini amat lambat dan mudah dikelit. Rajawali Emas kalau sedang melatihnya jauh lebih gesit dan berbahaya. Oleh karena itu, dengan tenang-tenang dan mudah Kun Hong berhasil mengelakkan semua serangan yang datang bertubi-tubi dari dua orang pengemis lihai tadi.

Bagi semua orang, kecuali Sin-eng-cu Lui Bok, gerakan-gerakan Kun Hong tidak karuan dan kacau-balau, kelihatan seperti orang ketakutan dan beberapa kali terhuyung-huyung hendak roboh. Kadang-kadang dia berjongkok, berdiri, berlari kecil, malah kadang-kadang merangkak. Namun semua serangan selalu mengenai tempat kosong, bahkan menyentuh ujung bajunya pun tidak dapat.

Semakin lama para pengemis yang menonton menjadi semakin tegang dan kemudian bersorak-sorak karena perkelahian yang tidak seimbang itu memang amat lucu. Kun Hong seperti seekor tikus yang dikejar dan diperebutkan dua ekor kucing, ditubruk sini nyelinap sana, diterkam sana mengelak ke sini. Tak seorang pun menganggap bahwa pemuda itu pandai ilmu silat karena gerakan-gerakan yang kacau balau dan tidak teratur itu mana bisa disebut ilmu silat?

Bagi mereka, dianggapnya bahwa Kun Hong ketakutan dan kebingungan dan bahwa dua orang lokai itu memang sengaja tidak mau melukainya atau hendak mempermainkannya terlebih dulu. Tak seorang pun tahu bahwa diam-diam dua kakek pengemis itu kaget dan heran bukan main, tengkuk mereka terasa dingin dan bulunya pada berdiri.

Hampir mereka itu tak dapat mempercayai kalau tidak mereka hadapi sendiri. Siapa tidak merasa seram jika telah mengeluarkan seluruh kepandaian untuk memukul roboh pemuda lemah ini, akan tetapi tak pernah mengenai sasaran?

Padahal tampaknya baik pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan sudah tepat. Namun heran sekali, begitu tiba pada sasaran, mendadak yang dijadikan sasaran telah berpindah tempat. Maka setelah lewat lima puluh jurus, kedua orang pengemis ini menjadi pucat dan penuh keringat.

Selain Sin-eng-cu yang diam-diam mengagumi Kim-tiauw-kun ciptaan suheng-nya, juga Sin-chio The Kok memandang dengan mata terbelalak. Ia pun bingung dan merasa heran, apa lagi kalau melihat gerakan Kun Hong begitu kacau-balau seperti orang mabuk. Akan tetapi karena memang tingkat kepandaian The Kok sudah amat tinggi, makin lama makin teranglah baginya bahwa gerakan atau langkah-langkah kaki Kun Hong itu meski terlihat kacau, sebenarnya adalah langkah-langkah ajaib yang luar biasa sekali.

Begitu ia memperhatikan langkah-langkah itu, terasa matanya berkunang dan kepalanya pening. Ia terkejut dan cepat-cepat mengumpulkan lweekang untuk menahan kepusingan. Ia mengerahkan tenaga untuk memperhatikan terus, namun akhirnya ia harus mengalah, harus mengalihkah perhatiannya. Langkah itu demikian ajaibnya dan luar biasa sehingga kalau ia paksakan, mungkin akan membuat ia jatuh pingsan!

Ketua Hwa-i Kaipang ini maklum bahwa pemuda aneh itu benar-benar telah mewarisi ilmu yang ajaib dan tahu bahwa kedua orang pembantunya tentu akan menderita celaka kalau dilanjutkan, maka ia bermaksud menghentikan pertempuran itu. Akan tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gesit sekali dibarengi bentakan halus.

"Dua orang tua bangka tak tahu malu, berani kalian menghina pamanku?"

Gerakan bayangan ini gesit sekali, berbareng menyambar pula sinar hitam dan tahu-tahu Beng-lokai dan Sun-lokai terhuyung-huyung ke belakang!

Ketika semua orang memperhatikan, bayangan itu adalah seorang gadis yang cantik dan gagah, yang memegang sehelai sabuk hitam yang tadi ia pergunakan untuk menyerang dua orang itu sehingga mereka terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat berikutnya, kembali berkelebat bayangan orang dan seorang gadis lain yang juga cantik manis sudah berdiri di situ dengan sikap gagah.

Beng-lokai dan Sun-lokai kaget sekali, akan tetapi mereka menjadi marah saat mendapat kenyataan bahwa yang menyerang mereka tadi hanyalah seorang gadis muda. Berbareng mereka mencabut pedang dan siap menerjang dua orang gadis itu.

Gadis yang memegang sutera hitam itu tersenyum mengejek, sedangkan gadis kedua juga mendadak menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis tajam sudah berada di tangannya.

"Hi-hik, kalian ini dua ekor keledai tua apakah sudah bosan hidup? Cu-cici (Kakak Cu), mari kita basmi dua ekor keledai yang sudah berani kurang ajar terhadap Paman Hong ini!"

Kun Hong segera mengenal gadis pertama, seorang gadis lincah jenaka dan cantik yang bermata seperti bintang pagi. Teringatlah ia ketika ia dahulu dikerek oleh gadis ini ke atas pohon mempergunakan sabuk sutera hitam itu.

"Ehh... ehhh... kau... anak nakal... jangan berkelahi!" katanya mencegah.

Sementara itu, Hwa-i Lokai juga mernbentak kedua orang pembantunya, "Beng-lokai dan Sun-lokai, harap kalian mundur dan simpan senjata!"

Suaranya berpengaruh dan tegas sehingga dua orang pembantunya yang masih merasa penasaran itu tidak berani membantah lagi. Dengan muka keruh mereka segera mundur.

Sementara itu, Kun Hong memandang kepada gadis-gadis itu, memandang heran dan keningnya berkerut. Ia mengenal gadis pertama yang dalam anggapannya adalah gadis yang berwatak nakal dan jahat, suka berkelahi dan kejam. Ia merasa kuatir kalau-kalau kedatangan gadis ini lagi-lagi akan mendatangkan bencana, bunuh membunuh di antara sesama manusia seperti yang ia saksikan di Hoa-san dahulu itu. Akan tetapi ia juga heran mengapa gadis itu tadi menyebutnya sebagai pamannya!

"Eh, Nona yang nakal, bagaimana kau sampai tersesat ke tempat ini dan sejak kapan aku menjadi pamanmu?" tegurnya dengan suara galak.

Gadis itu yang bukan lain adalah Kui Li Eng, berseri mukanya, matanya bercahaya jenaka dan ia tidak menjawab, melainkan menoleh kepada gadis ke dua yang bukan lain adalah Thio Hui Cu.

"Cu-cici, benar tidak ceritaku? Paman Hong ini orangnya lucu, aneh dan keberaniannya membuat aku terheran-heran. Seorang yang tidak memiliki kepandaian silat, tetapi berani merantau sampai ke sini. Malah baru saja kita lihat tadi dia dikejar-kejar dua ekor keledai, akan tetapi sedikit pun tidak takut. Agaknya di samping kelucuan dan keanehannya, dia pun memiliki nyawa rangkap."

Hui Cu yang alim dan pendiam menyembunyikan senyumnya, hanya sekilas saja berani menatap wajah Kun Hong, lalu mengalihkan pandangnya.

"Hee, jangan kau memperolok aku! Kau belum menjawab pertanyaanku. Sejak kapan dan berdasarkan apa kau mengaku sebagai keponakanku?"

Senyum Li Eng melebar, membuat wajahnya yang jelita itu makin manis dan ramah. Akan tetapi di balik keramahan dan kejenakaannya tersembunyi pula sifat nakal yang terpancar keluar dari sepasang matanya.

"Paman Hong yang tercinta..."
"Hush...!" Merah muka Kun Hong. "Bicara yang benar, jangan berolok-olok!"
"Kau memang pamanku sejak aku dilahirkan dan berdasarkan kenyataan bahwa ayahmu adalah kakek guruku. Kau anaknya, kalau bukan pamanku habis apaku? Bukan hanya aku, malah Cici Hui Cu ini pun keponakanmu, karena dia adalah anak tunggal dari Supek (Uwa Guru) Thio Ki."

Kun Hong sampai meloncat-loncat saking kaget, heran, dan bingungnya. "Apa kau bilang? Mana bisa Suko (kakak Seperguruan) Thian Beng Tosu mempunyai anak?"

Li Eng terkikik sambil menutupi mulutnya. "Tentu saja yang beranak bukan Supek, akan tetapi isterinya, hi-hi-hik."

Hui Cu tidak dapat menahan geli hatinya, ditutupnya mulutnya yang kecil dengan tangan kanan. "Ihh, Eng-moi, jangan bicara tidak karuan."

Juga muka Kun Hong tampak bodoh, matanya terbelalak lebar. Ia sungguh-sungguh tidak mengerti. Memang banyak hal yang tidak ia mengerti, di antaranya adalah tentang riwayat suko-nya itu, tidak tahu sama sekali bahwa suko-nya yang dahulu bernama Thio Ki itu pernah punya isteri.

"Jangan kau main-main! Apakah sepeninggalku dari Hoa-san Suko telah menikah?"

Kembali Li Eng menoleh kepada Hui Cu. "Kau lihat, Cici. Alangkah lucunya. Di samping lucu, aneh dan berani, juga ininya... kurang sekali." Ia menunjuk ke arah dahinya yang halus untuk menyindirkan tentang kebodohan Kun Hong.

"Paman Hong, nanti kalau kau sudah pulang, kau akan mendengar sendiri semuanya. Pendeknya, Cici Cu ini adalah anak tunggal dari Supek Thian Beng Tosu."

Bukan main girangnya hati Kun Hong. Dia memang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan di samping pengetahuannya yang mendalam tentang ilmu kebatinan dan filsafat yang membuatnya kadang-kadang bicara seperti seorang kakek-kakek. Mendengar ini, saking girangnya ia melompat ke depan memegang pundak Hui Cu. Dipandangnya muka nona itu dan berkatalah dia kegirangan.

"Aduh senangnya...! Aku memiliki keponakan dan tahu-tahu sudah begini besar, begini... ehhh, cantik dan manisnya. Kau bernama Hui Cu? Tentu namamu Hui Cu... tapi kenapa kau tidak mirip Suko? Ahh…, tentu mirip ibumu."

Memang watak Kun Hong aneh bukan main. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang pasti akan menganggap ia gendeng atau setidaknya kurang ajar, padahal semua itu timbul dari lubuk hatinya yang benar-benar menjadi girang bukan main.

Karuan saja Hui Cu yang alim, pendiam dan pemalu menjadi merah mukanya. Dia hanya tersenyum sedikit, memandang sekilas kemudian tunduk dengan telinga merah, apa lagi ditertawakan oleh Li Eng dan malah terdengar pula suara ketawa dari banyak pengemis yang hadir di situ.

"Iihh, Paman Hong. Kau membuat aku mengiri. Aku bisa marah, lho! Bukan hanya Enci Cu keponakanmu, aku pun keponakanmu, apa kau lupa?"

Kun Hong melepaskan pegangannya pada kedua pundak Hui Cu, lalu memandang Li Eng, keningnya berkerut. "Dia ini puteri Suko, tentu saja seperti keponakanku sendiri. Tapi kau ini, kau bocah nakal, kau anak siapa berani mengaku sebagai keponakanku?"

Li Eng cemberut. "Sudahlah, kalau kau tidak mau mengakui ayah bundaku, sudahlah...! Memang orang macam aku mana patut menjadi keponakanmu?"

Hui Cu merangkul Li Eng. "Adik Eng, jangan ngambek. Ehh, Paman Hong, sesungguhnya Eng-moi adalah keponakanmu karena dia adalah puteri tunggal dari Bibi Thio Bwee dan Paman Kui Lok yang sekarang sudah berkumpul di Hoa-san-pai."
"Begitukah?" Kun Hong sampai berteriak keras saking girangnya.

Kun Hong lalu menyambar tangan Li Eng, ditariknya dan seperti gila ia menari-nari sambil menggandeng tangan gadis itu mengelilingi lapangan.

"Bagus, kau puteri mereka? Ha-ha-ha, mereka jadinya masih hidup dan sudah kembali ke Hoa-san-pai? Aduh senangnya!"
"Hush... apa-apaan kau ini, Paman Hong?" Li Eng menjadi malu juga karena dia dipaksa menari-nari tidak karuan, "Dilihat banyak orang, apa tidak malu? Hayo kita pergi dari sini, kembali ke Hoa-san. Sukong mengharap-harap kembalimu."

Kun Hong melepaskan gandengannya. "Memang tadinya aku pun hendak kembali, apa lagi sekarang setelah semuanya berada di sana."

Kun Hong lalu menoleh kepada Sin-eng-cu Lui Bok yang sejak tadi hanya melihat dan mendengarkan sambil tersenyum-senyum gembira. Terhadap kakek ini Kun Hong segera menjura dan berkata, "Susiok, perkenankan teecu pergi, karena teecu harus kembali ke Hoa-san."

Sin-eng-cu Lui Bok tersenyum dan berkata, "Pulanglah, Kun Hong dan berbahagialah kau. Aku pun akan mencapai kebahagiaan di puncak Bukit Kepala Naga, mendekati mendiang Suheng yang bijaksana."

Setelah berkata demikian, Sin-eng-cu Lui Bok lalu berjalan membungkuk-bungkuk sambil memutar-mutar tongkatnya. Biar pun kelihatannya jalan seenaknya, namun sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mata.

Kun Hong lalu berpaling kepada Hwa-i Lokai dan menjura. "Pangcu, harap maafkan kalau kedatanganku ini mengganggu urusanmu. Sesudah Susiok pergi, urusan antara dia dan Pangcu sudah habis, perkara pemilihan ketua terserah kepadamu."

Ia menoleh kepada Li Eng dan Hui Cu, lalu berkata gembira, "Hayo, anak-anak! Hui Cu dan... ehhh, kau yang nakal siapa namamu?"

Dua orang gadis itu menutupi mulut dengan geli melihat sikap Kun Hong yang lucu dan tolol ini. "Paman Hong, namaku Kui Li Eng, jangan lupa lagi!"
"Hayo kita pergi dari sini!" kata lagi Kun Hong.

Akan tetapi Hwa-i Lokai segera melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Nanti dulu, Siauw-sicu. Aku atas nama Hwa-i Kaipang menerima usul Locianpwe Lui Bok tadi untuk menyerahkan Hwa-i Kaipang ke dalam bimbinganmu. Aku mengangkat kau sebagai ketua baru dari Hwa-i Kaipang!"

Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai adalah orang yang amat luas pandangannya. Memang ia bercita-cita membuat perkumpulan Hwa-i Kaipang menjadi perkumpulan yang kuat dan sekarang ia melihat ke sempatan yang amat baik untuk memperkuat perkumpulannya itu.

Pemuda ini terang adalah seorang luar biasa. Sungguh pun kelihatannya tidak memiliki kepandaian ilmu silat, namun memiliki pribudi tinggi dan pengetahuan luas. Apa lagi yang mengusulkan supaya pemuda ini diangkat menjadi ketua adalah seorang tokoh besar, yaitu Sin-eng-cu Lui Bok yang ternyata masih susiok pemuda ini.

Sekarang, melihat sepak terjang dua orang gadis itu, jelas bahwa pemuda ini selain murid keponakan Sin-eng-cu Lui Bok, kiranya masih mempunyai hubungan erat dengan pihak Hoa-san-pai. Jika Hwa-i Kaipang dapat mengangkat pemuda ini menjadi ketua, bukankah berarti bersekutu dengan Sin-eng-cu dan Hoa-san-pai sehingga menjadi amat kuat?

Di lain pihak, Kun Hong gelagapan dan bingung setengah mati mendengar ucapan kakek itu. Dia mengangkat tangan dan menggerak-gerakkan tangannya tanda menolak. "Tidak bisa... tidak bisa, Pangcu. Aku yang bodoh mana bisa menjadi Ketua Hwa-i Kaipang?"’

Pada saat itu terdengar suara Coa-lokai yang keras dan kasar, "Saudara-saudara para anggota Hwa-i Kaipang yang masih setia kepada Hwa-i Lokai, hayo kita lekas berlutut memberi hormat kepada pangcu yang baru!"

Pengemis tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong. Tampak di belakangnya banyak sekali para pengemis ikut berlutut. Hanya beberapa orang pengemis yang berpihak kepada Beng-lokai dan Sun-lokai tidak mau berlutut, hanya memandang kepada dua orang pemimpin mereka yang berdiri dengan muka merah.

Kun Hong menjadi semakin gugup, apa lagi ketika melihat Hwa-i Lokai sendiri menjura kemudian mengangguk-angguk berkali-kali. Ketika ia memandang kepada Coa-lokai yang memelopori para anggota itu, dia melihat wajah pengemis tua ini berpeluh, dan kelihatan jelas ia menderita rasa sakit yang hebat, sedangkan lengan pergelangan membengkak. Teringatlah ia betapa dalam membela ketuanya, pengemis ini tadi terluka oleh Sin-eng-cu Lui Bok.

Ia segera memberi isyarat dengan tangannya, berkata, "Lokai, kau ke sinilah!"

Dengan sikap hormat dan juga terheran-heran, Coa-lokai bangkit dan menghampiri Kun Hong. Pemuda ini tanpa ragu-ragu lagi lalu memegang lengan kanan Coa-lokai. Beberapa kali memijat saja tahulah Kun Hong bahwa tulang lengan itu tidak patah, tetapi terlepas sambungannya. Memang sejak membaca kitab pelajaran ilmu pengobatan dari Toat-beng Yokmo, pengetahuan Kun Hong tentang luka dalam dari segala macam penyakit menjadi luar biasa sekali.

"Untung Susiok tadi masih menaruh kasihan kepadamu," katanya perlahan. "Lain kali kau jangan memandang rendah orang seperti dia, Lokai."

Ia memijat sana menotok sini dan sebentar saja sambungan tulang pergelangan itu telah baik kembali dan lengan itu mengempis lagi. "Masukkan tanganmu yang ini ke dalam saku dan jangan digerak-gerakkan selama sehari semalam. Tentu akan sembuh kembali."

Tidak hanya Coa-lokai yang kegirangan dan terheran-heran, namun semua orang di situ terheran-heran, termasuk Li Eng dan Hui Cu.

"Terima kasih atas pertolongan Pangcu," kata Coa-lokai sambil melangkah mundur.
"Aku bukan ketuamu, ketuamu adalah Hwa-i Lokai itulah," kata Kun Hong.
"Tidak, kaulah Pangcu kami yang baru, Siauw-sicu. Dan inilah tanda ketua, harap kau sudi menerimanya dariku."

Hwa-i Lokai kemudian mengeluarkan sebatang tongkat kecil yang berlukiskan kembang-kembang indah, diangsurkan pada Kun Hong. Tentu saja Kun Hong tidak mau menerima tongkat itu.

"Jangan, Pangcu. Aku tak berani menerimanya. Kau tetaplah menjadi Pangcu atau pilihlah di antara pembantumu. Aku akan pulang ke Hoa-san."

Berkerut kening Hwa-i Lokai dan wajah kakek ini menjadi pucat. "Sicu, ada satu peraturan yang kami pegang keras, yaitu apa bila kami dihina, kami harus mempertahankan nyawa untuk menebus hinaan. Penolakanmu terhadap pemilihan ketua merupakan penghinaan bagi kami. Akan tetapi, oleh karena kau adalah seorang mulia dan budiman yang sudah menolong nyawaku dari ancaman mati di tangan Sin-eng-cu, bagaimana aku bisa berbuat dosa terhadapmu? Karena itu, apa bila kau tetap menolak untuk menerima tawaran kami menjadi Pangcu dari Hwa-i Kaipang, aku tua bangka ini akan membunuh diri di depan kakimu untuk menebus penghinaan ini. Selanjutnya tentang Hwa-i Kaipang kuserahkan kepadamu!" Setelah berkata demikian, kakek itu lalu mencabut pedangnya, siap untuk melakukan pembunuhan diri.

"Heiii, jangan...!" Kun Hong cepat maju dan memegang lengan Ketua itu yang memegang pedang, "Sabarlah, Pangcu... wah, bagaimana ini baiknya? Kau tidak boleh membunuh diri!"
"Kalau Sicu menolak, terpaksa aku membunuh diri menebus penghinaan."

Kun Hong memutar otaknya dan pemuda yang cerdik ini sudah mendapat jalan.

"Baiklah... baiklah, kau simpan dulu pedangmu."

Dengan muka girang Hwa-i Lokai menyimpan pedangnya dan memberikan tongkat kecil itu. Terpaksa Kun Hong menerimanya dan para pengemis anggota Hwa-i Kaipang lantas bersorak girang, kecuali mereka yang tidak setuju.

"Begini Hwa-i Lokai. Sesudah aku menjadi ketua, tentu semua anggota Hwa-i Kaipang, termasuk kau sendiri, akan taat dan menurut perintahku, bukan?"
"Tentu saja, walau pun disuruh menyerbu ke dalam lautan api, kami akan taat terhadap perintah pangcu" kata Hwa-i Lokai penuh semangat.

"Nah, bagus! Sekarang perintahku yang pertama. Aku mengangkat kau menjadi Ji-pangcu (ketua ke dua) yang mewakili aku memimpin Hwa-i Kaipang jika aku tidak berada di sini. Kau boleh memilih pembantu sendiri dan selama aku tidak berada di sini, kaulah yang menjadi wakilku dengan kuasa sepenuhnya. Sekarang aku mempunyai keperluan penting sekali, harus kembali ke Hoa-san, maka kaulah yang menjadi wakilku untuk sementara."

Semua orang tahu belaka bahwa ini merupakan akal pemuda itu, akan tetapi karena ini merupakan perintah, tentu saja tidak ada yang berani membantah.

"Tentu saja Lokai taat terhadap perintah Pangcu, akan tetapi harap saja Pangcu tidak menganggap ini sebagai main-main dan jangan berbuat tega terhadap Hwa-i Kaipang," kata kakek itu.

Li Eng adalah seorang gadis yang banyak pengertiannya tentang dunia kang-ouw, maka ia segera berkata kepada Hwa-i Lokai, "Lokai, harap kau maklumi keadaan Pamanku ini. Ketahuilah, dia adalah putera tunggal dari Ketua Hoa-san-pai, sebelum menerima ijin dari ayahnya, mana dia berani berdiam di sini menjadi ketua Hwa-i Kaipang?"

Hwa-i Lokai nampak terkejut. Memang sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda ini adalah putera Ketua Hoa-san-pai! Akan tetapi Kun Hong sudah menerima tongkat dan sudah menjadi Ketua Hwa-i Kaipang, maka diam-diam ia menjadi makin girang.

"Ah, kiranya Pangcu kita yang baru adalah putera Hoa-san-pai Ciang-bunjin! Tentu saja perintah Pangcu kami taati dan kami harap saja setelah tiba di Hoa-san dengan selamat, lain kali Pangcu memerlukan membuang waktu untuk menengok keadaan kami."

Kun Hong girang. Ia menganggap bahwa akalnya berhasil. Hanya namanya saja menjadi ketua, apa salahnya? Ia mengangguk-angguk dan tersenyum.

Akan tetapi dengan marah Beng-lokai dan Sun-lokai melompat maju. Beng-lokai bersama Sun-lokai ini tadinya masih tidak berani banyak tingkah ketika Sin-eng-cu Lui Bok masih berada di situ karena maklum akan kelihaian kakek itu. Akan tetapi sekarang setelah kakek itu pergi, mereka tidak takut lagi, lebih-lebih karena memang mereka ini mempunyai pendukung-pendukung di belakang mereka.

"Tidak adil sekali keputusan ini!" seru Sun-lokai.
"Aku tidak setuju kalau ketua baru dipilih orang luar!" seru Beng-lokai.
"Kalau Pangcu hendak mengundurkan diri, seharusnya yang menjadi calon adalah kami bertiga lokai, dan di antara kami bertiga dipilih yang paling cakap untuk menjadi ketua baru. Kenapa sekarang memilih seorang bocah luar yang masih ingusan? Aku tidak setuju akan keputusan ini!" kata pula Sun-lokai.

"Betul sekali ucapan Sun-lokai. aku pun tidak mau terima. Apa bila bocah tolol ini dapat memecahkan dadaku, baru aku mau mengakui dia sebagai Ketua Hwa-i Kaipang! Ehh, bocah sombong, hayo maju dan lawanlah aku!" Beng-lokai menantang.
"Hayo, perlihatkan kegagahanmu, kalau kau memang laki-laki!" tantang pula Sun-lokai.

Dua orang kakek itu sudah mencabut pedang masing-masing.

"Aku tidak bisa berkelahi, juga tidak mau berkelahi, Ji-wi Lokai harap sabar dan mundur karena mulai sekarang Ji-wi kuanggap bukan pengurus Hwa-i Kaipang lagi. Aku tidak mau melihat pengurus atau anggota Hwa-i Kaipang yang suka berkelahi dan kelihatan sekali hasratnya untuk memperebutkan pangkat dan kedudukan. Ji-wi akan memberikan contoh yang buruk kepada para anggota. Harap Ji-wi mundur."

Bukan main marahnya Beng-lokai. Terang-terangan mereka dipecat!

"Kau... kau...!" Beng-lokai hendak memaki akan tetapi saking marahnya tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, sedangkan Sun-lokai maju dengan sikap mengancam.

Hwa-i Lokai lalu membentak, "Beng-lokai dan Sun-lokai, kalian sudah mendengar perintah Pangcu. Mulai saat ini kalian bukan lagi pembantu pengurus dan juga dikeluarkan dari keanggotaan. Lepaskan tali-tali putih dari pinggang kalian."

Muka dua orang pengemis itu menjadi pucat saking marahnya. Tanpa berkata sesuatu mereka melepaskan tujuh helai ikat pinggang putih dari pinggang masing-masing, lalu dengan suara lantang mereka berkata kepada Kun Hong,

"Kami sekarang sebagai orang luar menantang kepada ketua baru dari Hwa-i Kaipang untuk mengadu kepandaian. Kalau tidak berani, maka ketua baru dari Hwa-i Kaipang hanyalah seorang pengecut hina..." Yang mengeluarkan kata-kata ini adalah Beng-lokai dan terpaksa ia berhenti bicara karena tiba-tiba Hui Cu sudah berdiri di depannya dengan pedang di tangan.

"Keparat bermulut kotor!" gadis ini membentak dengan suara nyaring dan mata berapi-api, "Manusia tak tahu diri, pamanku sengaja mengalah padamu akan tetapi malah membuat kepalamu membesar dan mulutmu jadi melebar. Siapa sih yang takut terhadap manusia macammu? Biar ada sepuluh orang macam kau, majulah semua dan tidak usah Paman Hong menggerakkan tangan, biar yang sepuluh itu dilawan oleh aku seorang!"
"Hi-hi-hik!" Li Eng mengeluarkan suara ketawa ditahan. "Biasanya Enci Cu pendiam dan penyabar, sekarang mendadak pintar memaki dan mudah marah!"

Kun Hong yang kuatir kalau-kalau keponakannya mencari gara-gara, segera maju dan berkata kepada Hui Cu, "Hui Cu, jangan kau sembarangan membunuh orang. Aku larang kau membunuh orang!"

Hui Cu mengerling sekilas ke arah Kun Hong sambil menjawab, "Paman Hong, yang begini ini sesungguhnya tidak patut disebut orang dan kalau tidak dibunuh hanya akan mengotori dunia. Akan tetapi karena kau melarang, baiklah, aku takkan membunuhnya, cukup membikin dia bertobat."

Tentu saja Beng-lokai menjadi semakin marah. Orang berbicara seenaknya saja tentang dirinya, seakan-akan dia ini seekor tikus saja. Dan yang bicara hanya seorang gadis muda yang lebih patut disebut kanak-kanak. Ia mengeluarkan suara menggereng,

"Ketua baru benar-benar pengecut! Tidak berani maju sendiri mengandalkan wanita..."
"Plakk!"

Entah bagaimana, tahu-tahu tangan kiri Hui Cu sudah menampar pipi kanan Beng-lokai, membuat kakek ini sempoyongan. Dia lalu meraba pipinya yang telah menjadi bengkak. Matanya melotot, mukanya merah dan napasnya memberat, tanda bahwa kemarahannya telah amat memuncak. Saking marahnya ia sampai tak memperhitungkan bahwa dengan gerakannya tadi Hui Cu sudah memperlihatkan kelihaiannya.

"Hi-hi-hik, Enci Cu. Kalau kau nanti tidak mencuci tanganmu dengan air panas, aku tidak mau menyentuh tangan kirimu yang berbau keledai!" Li Eng berkata dan terdengarlah suara ketawa di sana-sini, terutama dari pihak para anggota yang tidak suka terhadap Beng-lokai. Memang Li Eng seorang gadis yang berwatak nakal dan pandai bicara.

Beng-lokai yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi itu, sudah menerjang Hui Cu dengan serangan pedangnya. Hui Cu cepat meloncat ke tengah pelataran dan kakek itu mengejarnya. Di sinilah Hui Cu memperlihatkan kepandaiannya. Dengan gerakan yang amat indah ia mainkan pedangnya sehingga Kun Hong yang melihat menjadi melongo.

Sebagai putera pendekar, tentu saja dia sering kali melihat orang bermain pedang, akan tetapi belum pernah ia melihat permainan pedang yang begini indahnya, bagaikan orang menari saja.

Beng-lokai juga bermain pedang, akan tetapi dibandingkan dengan permainan Hui Cu, permainan pedangnya jelek sekali sehingga mereka merupakan pasangan penari pedang yang tidak seimbang. Hampir lupa Kun Hong bahwa dua orang itu sama sekali bukannya sedang menari, melainkan sedang saling serang dan bahwa dua pedang yang berkelebat itu sebetulnya sedang mengarah nyawa.....

Memang indah gerakan pedang Hui Cu. Hal ini tidak aneh kalau diingat bahwa ibunya, Lee Giok, adalah murid dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan dan biar pun ia belum mewarisi keseluruhan ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang hebat dan indah, sedikit banyak ia telah mewarisi gayanya yang indah seperti orang menari. Dan tentu saja Lee Giok menurunkan seluruh ilmu pedang dan kepandaiannya kepada puterinya ini.

Begitu bergerak, Li Eng yang jauh lebih tinggi tingkat ilmu pedangnya itu maklum bahwa Hui Cu tak akan kalah. Karena itu ia pun lalu menghampiri Sun-lokai dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung pengemis yang agak bongkok itu.

"Apa kau juga ingin menantang pamanku? Kalau betul, kau boleh keluarkan pedangmu dan menyerangku. Aku akan melayanimu dengan sabuk suteraku ini. Berani tidak kau?"

Kata-katanya bernada mengejek sekali sehingga pengemis tua yang bongkok itu menjadi marah. Biar pun tua dan bongkok, Sun-lokai memiliki watak mata keranjang. Menghadapi seorang gadis muda yang cantik jelita seperti Li Eng, belum apa-apa hati kakek ini sudah berdebar tidak karuan.

"Li Eng, kau pun tidak boleh membunuh orang!" Dengan hati kecut dan penuh kekuatiran Kun Hong membentak ke arah Li Eng.

Dia sudah tahu akan kenakalan dan keganasan gadis itu. Karena itu ia benar-benar kuatir kalau-kalau ‘keponakan’ ini akan menimbulkan kekacauan dan membunuh orang.

Li Eng membalikkan tubuhnya dan membungkuk ke arah Kun Hong dengan lagak seperti seorang hamba terhadap rajanya sambil berkata, "Hamba akan mentaati perintah Paduka Paman Raja!"

Akan tetapi Kun Hong tidak dapat menerima kelakar ini, malah membelalakkan matanya dan berseru kaget, "Li Eng, awas belakangmu!"

Pada saat Li Eng membelakanginya, Sun-lokai telah menerjang maju sambil menusukkan pedangnya ke punggung gadis itu. Menyaksikan ini, Hwa-i Lokai amat kaget sampai tanpa sadar dia membentak marah. Juga semua orang kaget sekali dan mengira bahwa tusukan yang cepat dan hebat ini pasti akan menewaskan Li Eng.

Tapi orang yang dikuatirkan enak saja. Tanpa menoleh Li Eng menggerakkan tangannya dan seperti ada mata tajam di belakang tubuhnya, sabuk sutera hitam di tangannya lantas menyambar ke belakang dan menangkis tusukan pedang itu.

Para pengemis bersorak gembira menyaksikan kehebatan gadis lincah ini. Apa lagi ketika Li Eng dengan gerakan yang amat lincahnya telah berputar dan kini sabuk sutera hitam itu berkelebat, mengeluarkan bunyi bergeletar seperti cambuk dan bertubi-tubi menyerang ke semua bagian tubuh yang berbahaya dari Sun-lokai!

Pertempuran terbagi menjadi dua bagian. Akan tetapi baik Beng-lokai mau pun Sun-lokai berada di pihak yang terdesak hebat. Beng-lokai juga amat payah menghadapi permainan pedang Hui Cu yang indah namun mempunyai daya serang yang amat ganas itu. Yang paling celaka adalah Sun-lokai karena sejak Li Eng menghadapinya, ia sama sekali tidak dapat balas menyerang, akan tetapi harus menangkis dan mengelak karena kedua ujung sabuk hitam itu bagaikan ular-ular hidup menyambar-nyambar cepat sekali.

Akhirnya sabuk itu membelit jari-jari tangan kanannya dan sekali renggut pedangnya lalu terlepas dari tangannya, jatuh ke atas tanah. Tak berhenti sampai di situ saja, ujung-ujung sabuk itu terus memecutinya ke muka, leher, dan dadanya.

Sun-lokai berteriak-teriak kesakitan dan berloncatan sambil mundur, akan tetapi sabuk itu mengejarnya terus. Bahkan pada saat ia membalikkan tubuh hendak keluar dari lapangan pertempuran, ujung sabuk itu mengeluarkan bunyi…

"Tar-tar-tar!" melecuti pantatnya, membuat ia berjingkrak-jingkrak kesakitan!

Dan pada saat itu pun Beng-lokai terluka lengan kanannya sehingga pedangnya terlempar pula.

"Li Eng, Hui Cu, sudah cukup, mundurlah!" Kun Hong membentak, kuatir kalau-kalau dua orang gadis itu akan turun tangan terus dan membunuh orang.

Sambil tertawa-tawa Li Eng menarik kembali sabuknya dan Hui Cu juga tidak menyerang terus, tetapi membiarkan lawannya mundur dengan muka merah padam kemalu-maluan. Terdengar seruan-seruan memuji dari para pengemis dan tahulah mereka bahwa kedua orang gadis keponakan ‘ketua baru’ itu benar-benar lihai sekaii, apa lagi gadis lincah yang bersenjata sabuk hitam.

"Hwa-i Lok-kai mengandalkan tenaga dari luar menghina anak buah sendiri, benar-benar bagus!" terdengar beberapa suara orang. Ternyata yang mengeluarkan suara ini adalah para pemimpin perkumpulan pengemis baju hijau dan baju merah. "Saudara-saudara, kita golongan pengemis harus diketuai oleh pengemis pula, mana bisa dipimpin oleh seorang sastrawan muda jembel? Yang tidak puas dengan pimpinan Hwa-i Kaipang, boleh datang ke tempat kami. Pintu kami terbuka lebar-lebar untuk saudara sekalian!"

Hwa-i Lokai tidak menjawab, hanya memandang dengan mata tajam ke arah rombongan tamu yang berangsur-angsur bergerak meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi. Yang membikin hatinya panas dan kecewa adalah pada saat ia melihat Beng-lokai, diikuti oleh banyak pengemis Hwa-i Kaipang, pergi pula meninggalkan tempat itu untuk menggabung kepada perkumpuan-perkumpulan lain.

"Hwa-i Lokai harap jangan berduka," berkata Kun Hong yang dapat melihat keadaan hati orang dan dapat menduga pula apa sebabnya. "Dua orang lokai itu memang mempunyai hati yang bengkok terhadap Hwa-i Kaipang. Karena mereka tidak memiliki harapan untuk menjadi ketua di sini, mereka pergi ke perkumpulan lain. Biarlah, orang-orang yang tidak setia kepada perkumpulan sendiri, berarti mempunyai watak yang tidak jujur dan lebih baik kalau perkumpulan ini dijauhi dari orang-orang semacam itu. Sekarang aku minta diri, Lokai, karena aku harus pulang ke Hoa-san."

Hwa-i Lokai dan Coa-lokai membujuk agar Kun Hong dan dua orang gadis itu suka tinggal di situ beberapa hari lagi, akan tetapi Kun Hong tetap menolaknya. Akhirnya Hwa-i Lokai terpaksa melepaskan mereka pergi setelah memberi bekal roti kering, potongan perak dan tiga ekor kuda yang bagus kepada ketua baru bersama dua orang keponakannya itu.

Baru saja tiga orang muda itu sampai di luar dusun menunggangi kuda mereka, tiba-tiba Kun Hong memberi tanda isyarat untuk berhenti. Hui Cu dan Li Eng cepat menahan kuda masing-masing.

"Hui Cu, Li Eng, mari kita turun. Aku tidak suka menunggang kuda," kata Kun Hong.

Dua orang gadis itu saling pandang dengan heran. Li Eng tentu saja segera membantah. "Paman Hong ini bagaimana sih? Perjalanan kita sangat jauh, dengan menunggang kuda saja belum tentu bisa sampai tiga empat bulan. Sudah ada kuda pada kita, bagaimana sekarang hendak turun lagi?"

"Kau anak kecil tahu apa?" Kun Hong membentak. "Tiga ekor kuda ini harganya tentu tidak murah. Hwa-i Kaipang lebih membutuhkan kuda-kuda ini dari pada kita. Kita masih muda, mempunyai sepasang kaki dan mampu berjalan, kalau perlu bisa lari. Kuda ini kita kembalikan saja."
"Ahh, Susiok (Paman Guru) aneh sekali... orang sudah memberikan kepada kita, kenapa hendak dikembalikan? Kalau memang tidak suka, kenapa tadi tidak ditolak saja?" lagi-lagi Li Eng membantah dengan bibir semberut.

Akan tetapi Kun Hong tidak mempedulikan protes gadis lincah itu dan kebetulan sekali dari depan tampak seorang pengemis baju kembang lewat di jalan itu. Kun Hong segera memanggilnya dan pengemis ini segera datang dengan membungkuk-bungkuk memberi hormat karena dia pun mengenal ketua baru ini bersama dua orang keponakannya yang lihai.

"Pangcu hendak memerintah apakah?" tanyanya.
"Lokai, kau tuntunlah tiga ekor kuda ini dan kembalikan kepada Hwa-i Lokai, katakan saja kepadanya bahwa kami bertiga hendak melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki saja. Nah, cepat bawalah."

Sejenak pengemis itu terlongong akan tetapi ia tidak berani membantah, lalu dituntunnya tiga ekor kuda itu kembali ke tempat semula, yaitu di kaki Pegunungan Ta-pie-san. Ada pun Kun Hong mengajak dua orang keponakannya melanjutkan perjalanan.

"Li Eng, kau jangan cemberut saja. Kau memang rewel sekali, tidak seperti Hui Cu yang pendiam dan manis," kata Kun Hong.

Semakin meruncing bibir Li Eng. "Kau memang tidak tahu disayang orang! Aku rewel dan cerewet bukan untuk diriku sendiri. Bagi aku dan Cici Hui Cu, jalan kaki apa sukarnya? Kami memiliki ilmu berlari cepat dan kiranya tidak akan kalah cepat dengan larinya kuda. Akan tetapi bagaimana dengan kau, Paman Hong? Kau tentu tidak kuat berjalan jauh, lagi pula jalanmu sangat pelan. Perjalanan kita masih jauh sekali, kalau menuruti kau berjalan seperti siput, sampai bertahun-tahun kita tak akan bisa pulang ke Hoa-san!"

Kun Hong tersenyum menggoda. "Biar sampai sepuluh tahun, jika melakukan perjalanan bersama kalian berdua aku tak akan menjadi bosan."


"Iihhh, dasar...," Li Eng melerok.

Hui Cu yang semenjak tadi diam saja, sekarang berkata kepada Kun Hong tanpa berani memandang wajah pemuda itu, "Paman agaknya masih belum tahu bahwa kita tidak akan menuju ke Hoa-san karena kami berdua memang diberi tugas oleh Sukong untuk pergi ke Thai-san."

"Heee...?! Ke Thai-san? Bukankah Thai-san itu tempat tinggal pendekar sakti Tan Beng San Taihiap yang dipuji-puji oleh Ayah dan katanya menjadi Raja Pedang?" Kun Hong bertanya dengan tercengang.
"Kalau dia raja, kau pun raja, Paman Hong," kata Li Eng yang sudah gembira kembali dari kecewanya akibat kehilangan kuda. "Cuma bedanya, kalau Tan Beng San Taihiap itu Raja Pedang, kau adalah raja pengemis!"

Senang hati Kun Hong melihat gadis lincah itu tidak marah lagi karena kehilangan kuda. "Bagus, bagus, kau pun hanya menjadi keponakan raja pengemis, Li Eng. Nah, jangan main-main lagi, lekas ceritakan betulkah kita akan ke Thai-san dan ada keperluan apakah Ayah menyuruh kalian ke sana?"

Li Eng menjura dengan tubuh membungkuk dalam. "Baiklah, Paman Raja. Hamba tidak berani main-main lagi. Hamba berdua diperintah pergi ke Thai-san untuk melihat apakah benar Sang Puteri dari Raja Pedang betul-betul cantik jelita dan gagah perkasa seperti yang disohorkan orang dan kalau betul begitu, hamba berdua disuruh... ehh, melamarnya untuk Paduka Paman Raja."

"Iihh, Adik Eng! Terlalu sekali kau mempermainkan Susiok!" Hui Cu menegur.

Li Eng tersenyum lebar dan memandang pada Kun Hong sambil berkata, "Apa salahnya, Cu-cici? Kalau bukan pamannya yang baik, yang sabar, yang budiman dan bijaksana, masa aku berani menggoda dan main-main. Betul tidak, Susiok?" pandang matanya dan senyumnya menjadi amat manja sehingga tak mungkin orang dapat marah kepada gadis remaja yang menggemaskan dan lucu ini.

Untuk sejenak Kun Hong melongo memandang tingkah Li Eng yang amat menarik hatinya ini. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata, "Sudahlah, memang sejak dahulu Li Eng suka menggoda orang. Hui Cu, coba kau ceritakan dengan jelas apa maksud kalian ke Thai-san."

Sambil berjalan perlahan Hui Cu bercerita, "Sukong mendapat kabar bahwa Tan-taihiap di Thai-san akan meresmikan pendirian Thai-san-pai sebagai perkumpulan persilatan baru di dunia kang-ouw. Peresmian ini disertai pesta dan banyak tokoh-tokoh di dunia kang-ouw diundang. Sukong sendiri tidak bisa pergi, maka mengutus kami berdua pergi ke Thai-san dan menyampaikan selamat serta barang sumbangan. Karena waktunya masih lama, kami berdua sengaja mengambil jalan ini dengan maksud melihat-lihat di kota raja lebih dulu. Siapa kira di sini bertemu dengan Susiok."

"Dicari-cari setengah mampus ke mana-mana tidak bisa bertemu, sampai Sukong menjadi berkuatir sekali. Hampir dua tahun Susiok pergi tak berbekas, kami pun sudah beberapa kali mencari ke segala penjuru dunia tanpa hasil. Eh, sekarang tahu-tahu nongol di sini!" Li Eng berkata sambii menggeleng-geleng kepalanya. "Siapa tidak menjadi gemas?"

Kun Hong kelihatan gembira bukan main. "Bagus, bagus!" dia bertepuk tangan. "Aku pun hendak ikut ke Thai-san. Dan kebetulan sekali, aku juga memang ingin melihat-lihat kota raja, sekarang ada kalian berdua menjadi teman, wah, senang sekali!"

"Tapi kita tidak boleh terlalu lama di kota raja, Susiok. Jangan sampai kita terlambat tiba di Thai-san," kata Hui Cu mengingatkan. Gadis ini jarang bicara, namun kalau sudah bicara selalu serius, tidak pernah main-main seperti Li Eng yang jenaka.

Kun Hong mengerutkan keningnya. "Berapa jauhnya sih Thai-san dari sini?"

"Kalau jalan kaki biasa sedikitnya satu bulan baru sampai," jawab Hui Cu.
"Kalau kami berlari cepat, seminggu juga sampai," sambung Li Eng. "Tapi Paman Hong mana bisa lari cepat?"
"Ah, ternyata begitu dekat? Sehari juga sampai bila naik kim-tiauw...," tiba-tiba Kun Hong menghentikan ucapannya karena teringat bahwa ia telah bicara terlanjur. Saking kagetnya ia menutupi mulut dengan tangan sendiri.

Dua orang gadis itu memandang heran, bahkan Li Eng tidak main-main lagi, melainkan memandang tajam penuh selidik. "Apa maksudmu, Susiok? Kau bilang tadi menunggang kim-tiauw? Apakah kau bertemu dengan rajawali emas?" tanya Hui Cu, mukanya berubah.

Li Eng memegang tangan Kun Hong. "Paman Hong, di mana kau melihat rajawali emas? Di mana? Lekas beri tahukan, di mana ada burung itu, tentu ada dia!"

Kun Hong menyesal sekali mengapa ia membuka rahasianya. Akan tetapi karena sudah terlanjur, apa boleh buat. "Pantas kalian terheran-heran, Memang di dunia ini tidak ada keduanya burung rajawali seindah itu, dengan bulunya berkilauan kuning keemasan dan sepasang matanya seperti kumala. Kalian tahu, malah burung rajawali emas itu memakai kalung mutiara yang indah!"

"Di mana dia? Di mana...?" Dua orang gadis itu bertanya mendesak, nampaknya mereka tidak sabar lagi. Hal ini tidak mengherankan karena keduanya memang telah mendengar tentang Kwa Hong dan rajawali emasnya dan mereka menganggap Kwa Hong sebagai musuh besar yang telah menghina dan menyusahkan kedua orang tua mereka.
"Ahh, kalian ini anak-anak perempuan. Baru mendengar tentang mutiara indah saja sudah begini ribut. Apa kalian kira akan bisa dengan mudah saja mengambil kalung mutiara itu? Rajawali emas itu hebat sekali, bahkan Toat-beng Yok-mo saja tidak mampu menandingi dia."

Kembali dua orang gadis itu saling pandang, nampak terheran. "Paman Hong, apakah kau bertemu pula dengan Toat-beng Yok-mo? Dan setelah bertemu dengan rajawali emas, tentu kau telah bertemu pula dengan... iblis betina itu?" tanya Hui Cu, suaranya sungguh-sungguh.

"Iblis apa? Aku tidak pernah bertemu dengan iblis, iblis betina mau pun iblis jantan," jawab Kun Hong, heran mendengar pertanyaan Hui Cu ini.
"Hong-susiok, ceritakan semua pengalamanmu itu, juga ceritakan tentang pertemuanmu dengan burung rajawali emas, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Li Eng sambil menggandeng tangan kanan pemuda itu.
"Kalian ingin mendengar? Baik, Hui Cu, ke sinilah dekat-dekat!" Ia menggunakan tangan kiri untuk menggandeng tangan Hui Cu sehingga mereka bertiga berjalan perlahan sambil bergandengan tangan.

Kun Hong merasa gembira sekali dan dianggapnya bahwa dua orang keponakannya ini benar-benar menyenangkan dan amat manis budi. Dahulu dia pernah benci dan gemas terhadap kenakalan Li Eng, akan tetapi setelah berdekatan, mana bisa orang membenci dara remaja itu?

"Ketika dahulu aku meninggalkan Hoa-san, aku sudah mengambil keputusan tidak akan kembali lagi ke sana karena aku benci sekali melihat bunuh-bunuhan yang terjadi di sana. Sekarang pun aku benci melihat pembunuhan. Apa bila kalian membunuh orang, aku pun akan membenci kalian. Di tengah perjalanan itu aku bertemu dengan Toat-beng Yok-mo yang terluka hebat, bahkan hampir mati."
"Hi-hik, dia boleh mampus karena racun tongkatnya sendiri dan terluka di dua tempat oleh ayah ibumu," kata Li Eng.

Mengkal hati Kun Hong diingatkan bahwa ayah bundanya sudah melukai, malah banyak membunuh orang. 

"Keadaannya amat menderita dan ia minta tolong padaku untuk mengantarkannya pulang ke lembah Sungai Huai. Karena merasa kasihan, aku lalu memenuhi permintaannya dan menggendongnya sepanjang jalan berpekan-pekan lamanya."

Li Eng tertawa. "Ayah ibunya yang melukai, akan tetapi anaknya yang menolong, malah menggendongnya sepanjang jalan, benar-benar lucu. Masih untung kau tidak dibunuhnya, Paman Hong. Hebat sekali, iblis macam Toat-beng Yok-mo ditolong, malah digendong-gendong!"

Akan tetapi Hui Cu diam saja dan... diam-diam gadis ini merasa terharu dan kagum sekali akan pribadi pemuda yang menjadi paman gurunya ini. "Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengan rajawali emas, Paman Hong?" tanyanya untuk menghentikan komentar Li Eng.

"Setelah kami tiba di dekat tempat tujuan, dalam sebuah hutan Toat-beng Yok-mo minta diturunkan dan ternyata ia sembuh kembali dan kuat."
"Hi-hik, memang ia sebetulnya tidak usah digendong. Tentu saja ia kuat karena memang ia hanya menggunakanmu sebagai perisai dan kau tentu akan dibunuhnya di tempat itu," kata pula Li Eng.
"Ehh, bagaimana kau bisa tahu?" Kun Hong terheran-heran.
"Hanya orang tolol saja yang tidak tahu!" jawab Li Eng. "Namanya saja sudah Toat-beng Yok-mo tukang mencabut nyawa. Dia terluka dan harus pergi jauh dari Hoa-san. Paman adalah putera Ketua Hoa-san-pai, tentu saja dapat dia jadikan perisai yang sangat baik. Hemm, lagi-lagi harus kukatakan bahwa untung sekali Paman tidak sampai dibunuhnya."
"Ehh, Adik Eng. Apakah kau berani mengatakan bahwa Susiok adalah seorang tolol?" Hui Cu menegur.

Li Eng pura-pura tidak mendengar jelas. "Berani mengatakan Susiok apa?"

"Bahwa Susiok adalah seorang tolol?" Hui Cu menjelaskan.
"Hi-hi-hik, kau mendengar sendiri, Paman Hong. Dua kali Cici Hui Cu memakimu sebagai orang tolol, bukan aku, lho!"
"Heee, kau memutar balikkan omongan!" Hui Cu memprotes.

Akan tetapi Li Eng hanya tertawa-tawa saja. Kun Hong yang dipermainkan ini sama sekali tidak merasa dirinya dipermainkan, hanya tersenyum saja.

"Kalau saja pada saat itu tidak muncul rajawali emas, kiranya aku pun akan dibunuh oleh Toat-beng Yok-mo seperti yang dikatakan oleh Li Eng tadi," dia melanjutkan ceritanya, "Entah dari mana datangnya, seekor burung rajawali emas yang besar dan hebat sekali menyambar turun dan menerkam seekor kelinci. Melihat burung itu, Toat-beng Yok-mo kemudian menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi berkali-kali Toat-beng Yok-mo roboh oleh burung itu, bahkan akhirnya kakek itu roboh pingsan oleh hantaman sayap burung."

Dua orang gadis remaja itu saling pandang, malah Li Eng menjulurkan lidahnya yang kecil merah itu keluar dari mulutnya tanda kagum dan terkejut. Kalau orang seperti Toat-beng Yok-mo dapat dikalahkan sedemikian mudahnya, alangkah lihainya burung itu. Apa lagi pemiliknya!

"Rajawali emas itu lalu menyambarku dan membawaku terbang jauh sekali, ke puncak sebuah gunung yang tidak kuketahui namanya. Di sana, di dalam sebuah goa, aku hidup bersama burung itu sampai satu setengah tahun lamanya."

Li Eng memandang tajam dan tidak mau main-main lagi. "Paman Hong, apakah kau tidak bertemu dengan pemilik burung, dengan iblis wanita itu?"

"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, Li Eng. Aku tidak melihat seorang pun manusia hidup di sana. Kemudian setelah aku mengenal burung itu baik-baik dan ia dapat mengerti kata-kataku, setelah satu setengah tahun, aku lalu menyuruh dia mengantarkan aku turun karena aku tidak sanggup turun sendiri dari tempat yang curam dan berbahaya itu. Nah, setelah sampai di bawah gunung, burung itu terbang kembali ke puncak dan aku hendak kembali ke Hoa-san. Celakanya, aku sesat jaian dan sampai ke sini. Karena sudah dekat kota raja, aku bermaksud melihat-lihat kota raja lebih dulu. Di sini aku bertemu dengan Sin-eng-cu Lui Bok yang mengakui aku sebagai murid keponakannya, lalu aku terlibat dalam urusan Hwa-i Kaipang sampai kalian berdua muncul."

Kun Hong sengaja tidak mau bercerita tentang kitab-kitab yang ia baca. Malah sekarang pun masih ada empat buah kitab yang ia bawa dalam saku bajunya, yaitu tiga buah kitab milik Toat-beng Yok-mo dan sebuah kitab pelajaran hoat-sut dari Sin-eng-cu Lui Bok.

Demikianlah, tiga orang muda itu lalu melakukan perjalanan dengan penuh kegembiraan, terutama sekali yang membuat mereka selalu bergembira adalah sifat Li Eng yang amat jenaka dan lincah.

Sementara itu, dengan amat tekunnya Kun Hong menggunakan setiap kesempatan waktu untuk membalik-balik lembaran kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok dan makin banyak ia membaca, makin tertariklah hatinya. Secara diam-diam dia mulai berlatih diri mempelajari ilmu yang amat aneh dan ajaib, yang erat hubungannya dengan ilmu batin karena ilmu ini hanya dapat dilakukan dengan pengerahan tenaga murni dan hawa sakti dalam tubuh.

Dengan petunjuk-petunjuk yang berada dalam kitab ini, makin teranglah bagi Kun Hong tentang rahasia semedhi dan mengatur pernapasan, serta memperkuat daya sakti dalam tubuhnya. Semua ini ia latih di luar sepengetahuan dua orang gadis remaja itu yang selalu yakin bahwa paman mereka adalah seorang pemuda yang tampan, berwatak halus dan berbudi, namun buta ilmu silat…..

********************
Selanjutnya baca
RAJAWALI EMAS : JILID-10
LihatTutupKomentar