Jaka Lola Jilid 12
Selama tiga hari Yo Wan dirawat oleh Yosiko di dalam goa. Selama tiga hari tiga malam itu Yosiko merawatnya penuh ketekunan, hanya pergi meninggalkan pemuda itu untuk mengambil obat dan makanan.
"Obat ini merupakan obat yang amat manjur untuk membersihkan darah, dan bisa untuk menyembuhkan luka dengan cepat. Obat ini dari Jepang, akan tetapi sekarang ibu telah pandai membuat sendiri," kata Yosiko dengan suara bernada bangga.
"Terima kasih kepada ibumu, dia baik hati."
Yosiko terkekeh, "Hi-hik, kau kira dia memberi obat karena baik hati kepadamu? Sama sekali tidak. la ingin kau lekas-lekas sembuh agar dia segera dapat datang untuk menguji kepandaianmu."
Yo Wan tercengang. Aneh sekali wanita setengah tua keponakan Raja Pedang itu.
"Kemarin ibu bilang, hari ini kau pasti sudah sembuh betul dan nanti ibu tentu datang, kau diminta siap melayaninya."
Memang Yo Wan sudah merasa sembuh dan dia bersyukur sekali. Sebetulnya kalau dia mau, bisa saja dia pergi sekarang juga. Akan tetapi dia bukan seorang pengecut yang melarikan diri dari seseorang, apa lagi dia harus bertemu dengan ibu gadis ini. Pertama dia harus mengucapkan terima kasih atas pemberian obat, dan kedua untuk menjelaskan keadaan Yosiko agar niat buruk tentang pemilihan calon jodoh itu diubah.
"Biarlah ibumu datang, aku memang ingin sekali bertemu dengan ibumu. Bukan untuk bertanding, melainkan untuk bicara."
Yosiko tersenyum. "Bicara tentang perjodohan kita? Ibu tetap tidak percaya bahwa kau dapat menangkan dia, malah ibu juga tidak percaya bahwa kau adalah murid Pendekar Buta Kwa Kun Hong."
"Ehh, ibumu mengenal suhu?"
"Tentu saja! Sahabat baik sekali, kata ibu, malah bekas kekasih, kata ibu."
"Apa...?!" Kini Yo Wan yang tidak percaya. Suhu-nya seorang pria yang sakti dan gagah, berbatin mulia dan tangguh, setia kepada isteri, mana mungkin main gila dengan nenek galak itu?
Tiba-tiba di depan goa berkelebat bayangan yang amat gesit. Yo Wan sudah melompat dan mengejar pada saat Yosiko baru saja melihat bayangan itu. Gadis ini menyambar pedang dan loncat mengejar pula.
"Dia bukan ibu! Tentu mata-mata musuh!" teriak Yosiko.
Akan tetapi Yo Wan sudah mengejar lebih dulu. Bayangan itu gesit sekali, sebentar saja sudah lenyap di dalam hutan.
"Adik Cui Sian...!" Yo Wan berteriak dengan jantung berdebar ketika dia sempat melihat bayangan tadi sebelum lenyap.
Tidak salah lagi, gadis itu tentu Cui Sian! Mengapa berada di sini dan apa sebabnya melarikan diri darinya? Karena bayangan gadis itu sudah lenyap, dan melihat sikapnya jelas tidak mau bertemu dengannya, Yo Wan menghentikan pengejarannya, lalu berdiri termenung dengan bengong.
Dengan terengah-engah karena kalah cepat larinya, Yosiko akhirnya tiba juga di situ.
"Mana dia, Yo Wan? Siapa dia...?"
Akan tetapi Yo Wan tidak menjawab karena pemuda ini dalam bingungnya teringat akan bayangan gesit di luar goa pada beberapa hari yang lalu, di waktu malam. Bayangan itu ternyata bukan ibu Yosiko, juga agaknya bukan Hwat Ki dan Cui Kim. Apakah bayangan tiga malam yang lalu itu juga bayangan Cui Sin? Berpikir sampai di sini tiba-tiba saja wajahnya berubah.
Celaka! Kalau benar bayangan itu bayangan Cui Sian, tentu gadis pujaan hatinya itu mengetahui pula bahwa selama tiga hari tiga malam ini dia tinggal berdua saja dengan Yosiko, gadis cantik! Itukah sebabnya mengapa Cui Sian menghindarkan pertemuannya dengan dirinya?
"Yo Wan, kenapa engkau? Siapa yang kau panggil-panggil tadi?" Kini Yosiko memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya.
Yo Wan menggelengkan kepalanya, menarik napas panjang. "Kau yang mendatangkan gara-gara ini."
"Aku? Lho! Apa maksudmu?" Yosiko terheran dan penasaran.
"Kalau saja kau membiarkan aku pergi tiga hari yang lalu..."
"...tentu kau akan mampus karena luka-lukamu!" sambung Yosiko.
Mendengar kata-kata Yosiko, Yo Wan sadar dari lamunannya dan memandang. Mereka saling pandang dan melihat wajah yang ayu itu cemberut sehingga wajahnya berubah lucu, mau tidak mau Yo Wan tersenyum dan menghela napas lagi.
"Lebih baik mampus dari pada dia menyangka yang bukan-bukan, Yosiko."
"Dia? Siapa dia? Laki-laki atau wanita tadi? Larinya cepat amat!"
Yo Wan merasa tidak perlu lagi untuk menyembunyikan sesuatu kepada gadis ini, malah lebih baik dia berbicara sejujurnya untuk menghapus lamunan kosong gadis ini mengenai perjodohan.
"Tentu saja ia lihai dan larinya cepat, dia itu bibimu!"
Saking kagetnya, hampir Yosiko meloncat tinggi. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka dan lidahnya dikeluarkan sedikit.
"Jangan main-main kau! Siapa bibiku?"
"Dia itu Tan Cui Sian, puteri tunggal Raja Pedang Tan Beng San. Karena ibumu adalah keponakan Raja Pedang, maka berarti dia itu saudara misan ibumu dan dia itu bibimu!"
"Ahhh...!" Yosiko mengeluh.
"Dan dia agaknya sudah memata-matai kita sejak tiga malam yang lalu."
"Ohhh...!" Yosiko mengeluh lagi.
"Mengapa ah-oh-ah-oh? Apa kau kehilangan suaramu?"
"Yo Wan, kau tadi bilang lebih baik mampus dari pada ia menyangka yang bukan-bukan! Kalau begitu... kalau begitu... kau tidak suka dia menyangka yang bukan-bukan?"
"Tentu saja tidak suka!"
"Jadi kau... kau suka kepadanya?"
Yo Wan mengangguk. "Aku sangat cinta kepadanya dan kalau ada wanita di dunia ini yang kuinginkan menjadi jodohku, maka satu-satunya wanita itu adalah dia orangnya!"
"Ihhhh...!" Kali ini Yosiko benar-benar meloncat mundur, kemudian mulutnya mewek dan terdengar suara, "Uhhhu..hu..hu...!" dan dia menangis!
"Yosiko, tak usah kau menangis. Sudah kukatakan, perjodohan hanya dapat terjadi atas dasar saling mencinta," kata Yo Wan sambil melangkah maju dan memegang pundak gadis itu.
Betapa pun juga, dia merasa amat kasihan kepada gadis ini yang kembali telah menjadi kecewa. Mula-mula gadis ini memilih Hwat Ki yang mengecewakannya karena ternyata pemuda itu memusuhi serta membunuhi orang-orangnya, kini pilihannya kepada dirinya kembali keliru.
Mendadak gadis itu menghentikan tangisnya. "Kubunuh dia! Kubunuh dia!"
Dia meronta lepas dan meloncat, mengejar ke arah larinya bayangan tadi. Akan tetapi dengan loncatan panjang Yo Wan sudah mengejarnya dan memegangi tangannya.
"Jangan, Yosiko. Kau tak akan menang!"
"Peduli amat! Aku menang dia mampus, aku kalah aku mampus!"
"Hush, jangan. Adikku yang baik, kau bersabarlah. Bukan begini caranya mencari jodoh. Dunia tidaklah sesempit telapak tangan, masih terdapat banyak sekali laki-laki yang jauh melebihi pilihanmu sekarang."
Yosiko memandang kepadanya dengan mata terbelalak beberapa lamanya seakan-akan hendak menyelidiki isi hatinya, kemudian ia menggelengkan kepalanya.
"Tidak! Kau bohong!"
"Ahh, kau benar-benar seperti katak dalam tempurung. Yosiko, sudah kukatakan bahwa memilih jodoh dengan dasar tingkat ilmu silat merupakan cara yang sangat bodoh. Ilmu kepandaian adalah seperti tingginya langit, sukar diukur. Gunung Thai-san yang tinggi masih kalah oleh awan, awan yang tinggi masih kalah oleh langit. Kalau kau memilih aku berdasarkan ilmu kepandaian, bagaimana kalau di sana ada beberapa ratus orang pria yang melampaui aku tingkat kepandaiannya? Apakah kelak kalau ada laki-laki yang lebih pandai, kau akan menyesal dan memilih dia?"
Kembali Yosiko tertegun, memandang dengan mata terbelalak. Agaknya gadis ini mulai mengerti akan maksud kata-kata Yo Wan dan mulai bimbang akan sikapnya. Yo Wan girang sekali, tersenyum dan berkata halus,
"Nah, kau agaknya mulai mengerti sekarang. Bagaimana, andai kata ada seorang kakek tua masih jejaka yang rupanya buruk, tangan kiri dan kaki kanannya buntung, mata dan telinga kiri tidak ada, hidungnya patah, tapi kepandaiannya mengalahkan aku? Apa kau akan memilih dia sebagai jodohmu?"
Mata yang indah jeli itu bergerak-gerak, tapi tiba-tiba gadis itu menubruk dan merangkul lehernya, menangis. "Tidak! Tidak! Aku tidak mau memilih siapa pun juga. Biar dia lebih pandai dari pada engkau, tetapi tidak ada yang seperti engkau, Yo Wan aku tidak mau memilih orang lain!"
Mampus kau sekarang! Yo Wan menyumpahi dirinya sendiri. Kenapa tiga hari yang lalu dia tidak pergi saja diam-diam meninggalkan goa? Celaka sekarang, celaka sekali kalau gadis peranakan Jepang ini mulai jatuh hati kepadanya, mulai mencintainya!
"Ehh, Yosiko, jangan begitu, ehh... nanti dulu..." Yo Wan melepaskan sepasang lengan halus yang merangkul lehernya seperti dua ekor ular itu.
Dengan terisak dan ujung hidungnya merah Yosiko memandang kepadanya.
"Lihat siapa yang datang!" kata Yo Wan sambil memandang ke depan.
Yosiko menoleh dan wajahnya berubah. Segera gadis ini menghapus air matanya dan menyusut hidungnya dengan ujung baju, dengan gerak dan sikap sewajarnya di depan Yo Wan, sama sekali tidak sungkan-sungkan!
Ternyata yang datang itu adalah seorang wanita setengah tua, ibu Yosiko. Wanita ini masih kelihatan amat cantik dan gagah, sikapnya galak dan cekatan sekali, pakaiannya ringkas, wajahnya yang masih cantik itu tidak dirias, akan tetapi kesederhanaan rias dan pakaiannya menambahkan kesegarannya yang asli.
Inilah ibu Yosiko yang bernama Tan Loan Ki yang pada waktu mudanya dahulu terkenal dengan julukan Bi-yan-cu (Walet Jelita), yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan kelincahan, kepandaian dan keberaniannya! (baca cerita Pendekar Buta)!
Dengan gerakan lari cepat yang tangkas sebentar saja wanita ini sudah tiba di tempat itu, menghadapi Yo Wan dengan pandang mata penuh seiidik, seakan-akan seorang yang ingin menaksir barang dagangan sebelum dibelinya! Ada lima detik ia menatap wajah Yo Wan, keningnya berkerut. Kemudian ia menoleh ke arah Yosiko.
"Kenapa kau menangis?" tanyanya tiba-tiba.
Yosiko menjadi merah mukanya. Agaknya merupakan hal yang memalukan baginya dan aneh bagi ibunya melihat gadis ini menangis. Memang semenjak Yosiko remaja dan suka memakai pakaian pria, belum pernah ibunya melihat puterinya itu menangis.
"Aku menangis karena girang melihat Yo Wan sembuh, Ibu. Lekas kau uji dia dan kalau dia menang, kau tidak boleh membohongi aku, Ibu."
"Hemmm, bohong apa?" tanya wanita itu agak gelisah karena anaknya demikian berterus terang di depan Yo Wan yang belum dikenalnya.
"Kalau Yo Wan menang, Ibu harus mengawinkan aku dengan dia. Kalau tidak tentu aku akan menganggap Ibu tukang bohong dan penipu!"
"Anak setan! Selain belum tentu dia mampu mengalahkan aku, laki-laki ini pun tidak ada harganya menjadi suamimu! Seperti orang gunung..."
"Memang aku tidak berharga menjadi mantumu, Twanio (Nyonya Besar)," kata Yo Wan sambil menjura kepada wanita itu.
"Apa kau bilang?" Tan Loan Ki membentak.
"Terus terang saja, aku sama sekali tidak cukup berharga untuk menjadi suami seorang gadis seperti nona Yosiko."
"Apa? Kau berani menolaknya setelah dia setengah mati merawatmu dan kalian tinggal tiga hari tiga malam dalam satu goa?"
Wajah Yo Wan menjadi merah padam, dan kembali dia menjura. "Harap Twanio sudi memaafkan. Aku sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi. Akan tetapi Yosiko... ehh, nona Yosiko ini memaksaku dan mengobatiku. Aku amat berterima kasih padanya, dan juga sangat berterima kasih kepadamu, Twanio, yang sudah memberi obat padaku. Percayalah, Yo Wan akan menganggap Twanio sebagai seorang locianpwe terhormat dan Yo... ehh, nona Yosiko sebagai seorang sahabat yang baik..."
"Cukup! Muak aku mendengar pidatomu! Kutanya mengapa kau menolak anakku! Kau anggap kurang cantik dia? Kurang pandai? Apa kau terlalu bagus untuknya? Kau merasa terlalu pandai menjadi suaminya, terlalu berharga?"
"Bukan begitu, Twanio. Sama sekali tidak, bahkan aku merasa diri sendiri yang kurang berharga. Aku tidak berani menerima maksud hati nona Yosiko karena... sesungguhnya aku tidak setuju dengan dasar pemilihan jodoh itu. Menurut nona Yosiko, Twanio dan dia sendiri sudah mengambil keputusan untuk mencari jodoh bagi nona Yosiko dengan cara menguji kepandaian. Siapa saja yang dapat mengalahkan dia dan Twanio akan menjadi pilihannya."
"Kalau betul begitu, mengapa?"
"Maaf, Twanio. Kurasa hal ini amatlah tidak baik, karena perjodohan harus didasari saling pengertian, saling kasih sayang dan saling cocok. Jika dasarnya hanya kepandaian ilmu silat, aku khawatir sekali kelak nona Yosiko akan mendapat jodoh yang wataknya tidak cocok dan akhirnya akan menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya."
"Cerewet! Baru kali ini aku melihat laki-laki yang cerewet! Yosiko, benarkah kau memilih orang macam ini? Dia cerewet sekali, apakah kau tidak menyesal kelak?
"Tidak, Ibu. Aku tidak mau menikah dengan orang lain kecuali dengan Yo Wan!"
"Kalau dia kalah olehku?"
"Tak mungkin. Kau tak akan menang, Ibu!"
Mendengar ini, diam-diam Yo Wan mengambil keputusan untuk mengalah dan sengaja memberi kemenangan kepada ibu Yosiko apa bila dia dicoba kepandaiannya. Akan tetapi maksud hatinya ini seketika buyar sama sekali pada waktu dia mendengar wanita itu mendengus dan berkata,
"Huh, belum tentu! Dan biarlah aku mengalah dan membolehkan dia menjadi suamimu jika aku kalah, biar pun dia cerewet dan aku tidak menyukai laki-laki cerewet. Mendiang ayahmu tak banyak cakap, seorang jantan sejati! Akan tetapi kalau si lidah tak bertulang ini kalah olehku, dia harus mampus karena dia berani menolakmu, Yosiko!"
“Ibu takkan menang!" Yosiko bersungut-sungut.
Tan Loan Ki tidak bicara lagi melainkan meloncat mundur sambil mencabut pedangnya. "Keluarkan senjatamu!" bentaknya.
"Twanio, aku tidak mempunyai senjata," jawab Yo Wan sejujurnya karena memang tiga macam senjatanya telah habis semua, rusak ketika dia melawan Bhok Hwesio yang amat sakti.
"Hemm, lekas kau cari senjata, aku tidak sudi menyerang orang bertangan kosong!"
Pikiran baik menyelinap pada benak Yo Wan. "Twanio, memang aku tak ingin bertempur denganmu, dan aku tidak bersenjata. Nah, selamat tinggal..." Sambil berkata demikian dia melangkah hendak pergi.
"Berhenti" Tan Loan Ki berteriak keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang lantas menghadang di depan pemuda itu. "Aku tidak menyerang lawan bertangan kosong, akan tetapi aku akan membunuhmu sekarang juga apa bila kau berani menghina dan tidak menerima tantanganku. Hayo lawan!"
Diam-diam Yo Wan mendongkol juga. Wanita ini sangat galak dan perlu ditundukkan. Akan tetapi dia menjadi serba salah. Kalau dia menang, berarti dia ‘lulus’ sebagai calon menantu. Kalau kalah, tentu dia dibunuh. Tak mungkin dia mau dibunuh dan mati konyol. Matanya mencari-cari.....
"Yo Wan, kau pakailah pedangku ini!" kata Yosiko dengan suara manis.
Yo Wan hendak menerima pedang, akan tetapi cepat-cepat menarik kembali tangannya yang sudah sedikit dia gerakkan. Tidak baik ini. Kalau dia menang dan kemenangannya menggunakan pedang Yosiko, hal itu lebih-lebih akan menguatkan mereka mengikatnya sebagai calon jodoh Yosiko.
"Terima kasih, Yosiko. Aku tidak perlu menggunakan pedang, cukup dengan ini, karena aku memang tidak ingin bertempur sungguh-sungguh dengan ibumu. Bukankah ini hanya ujian saja?"
Sambil berkata demikian, dengan sepatu barunya pemberian Yosiko, Yo Wan mencukil sepotong kayu, agaknya ranting pohon kering yang terletak di atas tanah. Kayu sebesar ibu jari kaki itu tersontek ke atas dan dia sambar di tangan kanan. Ranting yang kecil ini panjangnya kurang lebih empat kaki, kecil dan hanya kayu kering, mana mungkin bisa dipakai senjata menghadapi pedang pusaka?
Wajah Tan Loan Ki menjadi merah sekali. Selama hidupnya baru sekarang ini ia merasa dipandang rendah orang! Wajah yang merah berubah pucat, kemudian merah lagi, tanda bahwa hatinya bergolak dan kemarahannya memuncak.
“Bocah sombong! Kau hendak menghadapi aku dengan ranting itu?"
"Twanio, karena pertempuran ini hanya coba-coba saja, aku yakin kau tidak bermaksud melukaiku, maka dengan sebatang ranting sudah cukuplah."
"Setan! Kau memandang rendah kepadaku, ya? Berjanjilah, kalau pedangku mengantar nyawamu ke neraka, jangan rohmu menjadi penasaran kepadaku kelak!"
Yo Wan menggelengkan kepalanya dengan sabar. "Aku yakin Twanio tak akan sanggup membunuhku."
"Apa?! Kau begini sombong??" Nyonya itu menjerit.
"Bukan sombong, Twanio. Akan tetapi hidupku adalah pemberian Tuhan, bagaimana kau akan dapat mengakhiri hidupku? Hanya Tuhan yang akan dapat melakukan hal itu!"
"Wah, kau bersilat lidah! Lidahmu bercabang, tak bertulang! Kau lihat pedangku!" Sambil berkata demikian, Tan Loan Ki segera menerjang dengan pedangnya, menusuk ke arah dada dengan gerakan yang sangat cepat dan kuat. Ujung pedang itu bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya melayang merupakan kilatan menyilaukan mata.
"Cring! Cring! Cring!" Tiga kali pedang itu berkelebat dan tiga kali pula membalik seperti terbentur tembok baja.
"liihhhhh!" Tan Loan Ki berseru kaget.
Nyonya itu cepat meloncat ke belakang dengan gerakan memutar, diam-diam ia merasa terkejut dan mulai percaya akan kata-kata puterinya. Betapa mungkin ranting kayu kecil itu menangkis pedangnya menerbitkan bunyi senyaring itu seakan-akan ranting itu telah menjadi sebatang besi baja pilihan?
Namun ia tidak gentar, dan cepat ia menubruk maju lagi dengan cekatan sekali. Kini ia memainkan ilmu pedang keturunan yang ia pelajari dari ayahnya dahulu. Ayahnya adalah Tan Beng Kui yang dahulu berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) yang menjadi raja kecil di hutan Pek-tiok-lim (Hutan Bambu Putih), di tepi pantai Po-hai.
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui ini adalah murid terkasih dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan (Raja Pedang Tanpa Tanding), dan menjadi suheng dari isteri Raja Pedang kedua, yaitu adik kandungnya sendiri. Sebagai murid terkasih Cia Hui Gan, tentu saja dia mewarisi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari) yang gerakannya indah dan lemah gemulai, tapi mengandung daya serang dan daya tahan yang luar biasa.
Demikianlah, sekarang Tan Loan Ki memainkan IImu Pedang Sian-li Kiam-sut dengan hebat, dan ditambah dengan gerak langkah Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Amblas ke Bumi) yang dulu pernah ia pelajari dari Kwa Kun Hong.
Dengan penggabungan kedua ilmu yang sangat ampuh ini, tidaklah mengherankan apa bila nyonya setengah tua yang masih cantik serta galak ini jarang menemui tandingan. Dan tidaklah mengherankan pula bahwa puteri tunggalnya menjadi jagoan di antara para bajak sehingga diangkat menjadi ketua.
Namun kali ini ia menghadapi Yo Wan! Seperti kita ketahui, Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te yang dimainkan Tan Loan Ki itu hanya merupakan sebagian saja dari Si-cap-it Sin-po yang berdasarkan pada Kim-tiauw-kun, sedangkan Yo Wan sudah hafal semua, bahkan sudah menguasai dengan sempurna semua langkah Si-cap-it Sin-po.
Tentu saja langkah dari nyonya itu dikenalnya baik-baik, seperti seorang guru mengenal langkah muridnya! Ada pun ilmu pedang yang dimainkan nyonya itu, Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang sukar sekali dikalahkan orang lain, juga tidak membingungkan Yo Wan.
Seperti kita ketahui orang muda ini telah digembleng secara hebat oleh dua orang guru sakti yang memiliki tingkat ilmu amat tinggi, sejajar dengan tingkat tokoh besar seperti Si Raja Pedang sendiri. Bahkan ilmu yang dia warisi dari Sin-eng-cu merupakan ilmu yang bersumber sama dengan Sian-li Kiam-sut, yaitu ilmu lemas tapi menyembunyikan tenaga keras. Sebaliknya, dari pendeta Bhewakala dia mempelajari ilmu sakti yang terlihat kasar akan tetapi menyembunyikan tenaga lemas.
Sambil membuat gerakan bagai orang menari-nari, Tan Loan Ki memainkan pedangnya. Pedang itu sama sekali tidak menyerang, melainkan digerakkan bagaikan orang menari, indah dan lemas sekali. Akan tetapi kadang kala dari gulungan sinar pedang yang indah itu menyambar keluar kilatan pedang yang merupakan tangan maut.
Ketika kilatan pedang macam itu menyambar ke arah leher Yo Wan, pemuda ini cepat menangkis dengan rantingnya. Semenjak tadi sudah lebih dari lima puluh kali rantingnya menangkis dan membalikkan pedang lawan. Kini dia menangkis lagi.
"Prakkk!" Patahlah ranting kayu itu.
Yo Wan terkejut dan diam-diam memuji kecerdikan lawan. Kiranya Tan Loan Ki maklum bahwa pemuda luar biasa ini sudah mengetahui rahasia ilmu pedangnya. Yo Wan dapat menangkis pedang hanya dengan sebuah ranting saja karena pemuda ini mengimbangi permainannya. Setiap kali menangkis pedang yang digerakkan secara lemas akan tetapi mengandung tenaga keras itu ditangkis dengan pengerahan tenaga Im yang lemas dan lembek.
Oleh karena itu, dalam penyerangan ke arah leher, diam-diam Tan Loan Ki membalikkan tenaganya, menyimpan tenaga keras dan mempergunakan tenaga Iweekang yang lemas disalurkan melalui pedangnya. Inilah sebabnya maka ketika ranting yang mengandung tenaga lemas yang sama itu bertemu pedang yang juga mengandung hawa Im, ranting yang pada dasarnya jauh kalah kuat dari pada pedang itu menjadi patah!
"Hemmm, bocah sombong, kau tak mengaku kalah?" bentak Tan Loan Ki. Akan tetapi di dalam hatinya dia diam-diam merasa kagum bukan main dan mulailah ia percaya bahwa pemuda macam ini sangat boleh jadi murid Kwa Kun Hong!
Yo Wan menjura dan melemparkan ranting di tangannya. "Twanio betul-betul lihai bukan main, aku tidak kuat menahan dan mengaku kalah!"
Yosiko meloncat ke atas. "Tidak bisa! Tidak adil! Ibu, kau dengan pedang pusaka hanya dilawannya dengan ranting, sampai lima puluh jurus lebih. Dan rantingnya patah setelah menangkis puluhan kali, apa anehnya? Dia sengaja mengalah, dia tidak kalah olehmu!"
Tan Loan Ki biar pun galak dan keras wataknya namun dia adalah seorang gagah yang jujur. Mendengar ucapan anaknya ia mengangguk.
"Kau benar, Yosiko. Orang muda ini memang amat hebat dan kalau dia melawan secara sungguh-sungguh, agaknya aku takkan mudah mencapai kemenangan. He, orang muda yang bernama Yo Wan. Apakah betul kau murid Kwa Kun Hong?"
"Betul, Twanio. Beliau adalah guruku, meski pun aku malu sekali harus mengaku sebagai muridnya karena kepandaianku tidak ada sepersepuluh kepandaian suhu yang sakti."
"Dahulu aku pernah diajar Hui-thian Jip-te oleh Kun Hong. Kau agaknya pandai pula ilmu langkah itu, akan tetapi mengapa lebih lengkap dari pada aku? Apakah kau dilatih pula ilmu itu oleh Kun Hong?"
"Ahh, mana bisa aku yang bodoh disamakan dengan suhu? Aku hanya dapat menerima sedikit sekali, dan suhu pernah menurunkan Si-cap-it Sin-po kepadaku."
Tan Loan Ki berdiam sejenak, matanya kini memandang penuh selidik. Hemm, pikirnya, wajah bocah ini tidak buruk. Malah tampan, walau pun sederhana dan kelihatan bodoh. Akan tetapi tidak muda lagi!
"Yo Wan, berapa usiamu sekarang?"
Yo Wan kaget. Pertanyaan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Sungguh sukar mengikuti jalan pikiran nyonya ini yang cepat berubah-ubah seperti angin laut! Setengah terpaksa dia menjawab,
"Kalau tidak salah, tahun ini aku berusia dua puluh delapan tahun, Twanio."
"Berapa orang anakmu?"
"Heh… ?! Anak…?”
"Ya, berapa orang anakmu. Berapa laki-laki dan berapa perempuan?"
Seketika wajah Yo Wan menjadi merah sekali. Sinting! Mau dibawa ke mana dia dengan pertanyaan-pertanyaan macam ini?
"Twanio, aku... aku tidak punya anak..."
Terdengar suara cekikikan tertawa. Yosiko yang tertawa ini dan ia berkata lantang, "Ah, Ibu, dia adalah Jaka Lola!"
"Apa? Jaka Lola?"
"Ya, dia tidak berayah ibu lagi, tidak bersanak kadang, tentu saja tidak punya anak atau isteri. Dia masih perjaka!"
Nyonya itu mencibirkan bibirnya mengejek. "Biasa! Biar pun anaknya sudah sepuluh, di luaran laki-laki selalu mengaku jejaka! Usia dua puluh delapan tahun tapi belum kawin? Bohong! Sekali berhadapan dengan perawan cantik, laki-laki lupa isteri lupa anak."
Muka Yo Wan makin merah. "Twanio! Aku bukanlah laki-laki macam itu. Aku betul-betul belum pernah menikah dan sama sekali tidak punya anak."
"Bagus! Kalau begitu, biar agak tua, aku terima kau menjadi suami Yosiko!"
Hampir saja Yo Wan mengemplang mulut sendiri dan dia hanya bengong memandang Yosiko yang lari dan menubruk ibunya, merangkul leher dan menciumi kedua pipi ibunya. Menyaksikan adegan macam ini, terharu juga Yo Wan. Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa dia terpaksa tak mungkin memenuhi maksud hati ibu dan anak ini. Kalau saja di sana tidak ada Cui Sian agaknya... agaknya... hemmm!
"Maaf, Twanio...," katanya dengan suara gemetar. "Maaf, terpaksa sekali aku tidak dapat memenuhi kehendak Twanio yang suci ini. Betapa pun juga, aku merasa amat berterima kasih dan walau pun aku tidak mungkin dapat menjadi suami Yosiko, biar dia kuanggap sebagai adikku..."
"Apa kau bilang?!" Tan Loan Ki berseru dan mendorong anaknya. Sepasang matanya berkilat.
"Kau... kau menolak menjadi suami Yosiko?"
"Bukan aku menolak, Twanio, akan tetapi... tapi menyesal sekali, aku... aku tidak dapat memenuhi kehendakmu, aku..., tak mungkin menjadi suaminya..."
"Keparat, kalau begitu kau harus mampus!" Sambil memekik nyaring nyonya itu lantas menerjang Yo Wan dengan pedangnya, dengan sebuah tusukan maut yang dilancarkan penuh kemarahan.
Yo Wan cepat-cepat menghindar. Dari gerakan ini tahulah dia sekarang bahwa sekali ini lawannya tidak main-main lagi, tapi menyerang dengan penuh nafsu hendak membunuh. Ngeri juga hatinya. Kepandaian wanita ini sudah hebat, apa-lagi dalam keadaan marah. Sama sekali dia tak boleh memandang ringan, dan tidak boleh membuang waktu, karena kalau dia terlena sedikit saja pasti akan tewas.
"Maaf, Twanio...!" katanya berkelebat cepat.
Tan Loan Ki berseru kaget karena kehilangan lawannya. Saat membabatkan pedangnya ke belakangnya di mana ia mendengar angin gerakan lawan, tiba-tiba ia merasa tangan kanannya lumpuh dan pedangnya mencelat sampai lima meter lebih jauhnya. Segera ia membalik dan dilihatnya Yo Wan berdiri sambil menjura dan berkata,
"Maaf, Twanio, bukan maksudku hendak pamer.”
Tan Loan Ki mendengus. Ia semakin kagum dan diam-diam ia kini mengharapkan sekali mendapatkan mantu seperti ini. “Uhhh, kau...! Biar kucari Kwa Kun Hong. Biar dia yang mengadili dan dia yang memaksamu. Kalau tidak, kutantang Kun Hong!"
Sambil berkata demikian, nyonya itu lari, menyambar pedangnya dan dengan loncatan-loncatan jauh menghilang dari situ.
Yo Wan menghela napas panjang. la mendengar isak tangis. Pada saat dia menengok, dilihatnya Yosiko berdiri sambil memandangnya dengan air mata bercucuran membasahi kedua pipinya.
“Maafkan aku, Yosiko. Aku... kau tahu sendiri... aku mencinta gadis lain. Ahh, mengapa kita tidak menceritakan hal itu kepada ibumu tadi..."
Dengan terisak-isak Yosiko berkata, "Aku akan mencari Tan Cui Sian dan membunuh dia!"
Maka larilah gadis ini, lenyap ke dalam semak-semak di hutan itu, meninggalkan Yo Wan yang berdiri bengong dan menggeleng-geleng kepala berkali-kali dengan hati bingung. Akhirnya dia melangkah pergi dari situ dengan maksud mencari Tan Hwat Ki.
Kiranya di dunia ini tidak ada rasa sakit hati yang lebih hebat bagi seorang wanita dari pada rasa sakit hati karena ditolak oleh seorang pria! Dan kiranya tidak ada rasa sakit yang lebih parah dan sengsara dari pada rasa sakit dirundung asmara!
Bagi yang sudah mengerti, tentu saja perasaan sengsara ini adalah dibuat-buat sendiri, perasaan sakit hati dan hancur merana yang tanpa disadarinya sengaja ia timpakan pada dirinya sendiri. Perasaan sengsara yang bersumber kepada rasa kasihan terhadap diri pribadi (self pity) yang merupakan cabang terdekat dari rasa mementingkan diri pribadi (egoism).
Namun bagi Yosiko yang tidak memiliki self-pity dan egoism yang terlalu besar, sakit hatinya tidak membuat ia berduka, melainkan membuat ia marah dan penasaran. la tetap tidak mau menerima kenyataan bahwa Yo Wan menolak dia karena mencinta Tan Cui Sian. la marah kepada Cui Sian dan ingin membunuhnya karena ia menganggap Cui Sian telah merampas calon suaminya.
la pun penasaran dan ingin memaksa supaya Yo Wan tetap menjadi jodohnya. Perasaan ini memang tidak wajar bagi seorang gadis, akan tetapi Yosiko adalah seorang gadis yang lain dari pada yang lain. la dibesarkan dalam asuhan ibunya yang keras hati dan yang selama ini hidup di alam bebas yang liar, di tengah-tengah para bajak laut, setiap hari menyaksikan pertempuran-pertempuran dan peristiwa yang kejam dan mengerikan. Hal inilah yang mempengaruhi dirinya karena sesungguhnyalah benar kalau dikatakan orang bahwa keadaan sekeliling inilah yang membentuk watak seseorang.
Yosiko menyusup-nyusup di dalam hutan di sepanjang Sungai Kuning yang amat luas. Tiba-tiba saja ia menyelinap ke dalam semak-semak. Dilihatnya beberapa orang anggota tentara kerajaan berkelompok dan menjaga di situ.
Dengan hati-hati dan cepat Yosiko mengambil jalan lain menjauhi mereka. Dia tidak takut terhadap mereka, tetapi karena dia maklum bahwa orang-orang ini dipimpin oleh putera Bun-goanswe yang lihai, dibantu pula oleh Tan Hwat Ki serta sumoi-nya, maka dia tidak berani sembarangan turun tangan. Kini maksud perjalanannya sudah lain, bukan sebagai ketua Kipas Hitam lagi, melainkan sebagai seorang gadis yang mencari saingannya!
Akan tetapi ketika dia menyusup-nyusup mengambil jalan ke timur, kembali dia melihat kelompok lain yang sudah menjaga di sana. Bahkan di sini terdapat sebuah tenda dan samar-samar ia melihat Tan Hwat Ki dan orang-orang lain berada di dalam tenda!
Cepat dia memutar lagi dan diam-diam dia merasa khawatir. Tahulah ia sekarang bahwa goa yang menjadi tempat persembunyiannya itu, yang sudah diketahui oleh Tan Hwat Ki, kini sudah dikurung dari segala penjuru. Apakah kehendak mereka? Hendak menangkap dirinya? Yosiko mengulum senyum mengejek. Jangan mengira mudah untuk menangkap ketua Kipas Hitam!
Kalau saja ia tidak sedang mencari Tan Cui Sian, agaknya ia akan menggunakan akal dan membasmi mereka. Setidaknya ia tentu akan berhasil membunuh beberapa puluh orang di antara mereka! Akan tetapi ia tidak ada waktu dan terutama sekali tidak punya nafsu untuk ‘main-main’ dengan nyawa mereka.
Yosiko memasuki sebuah hutan bambu yang dahulu menjadi tempat tinggal kakeknya, yaitu Pek-tiok-lim, lalu dari tengah-tengah rumpun bambu ia menggulingkan sebuah batu hitam yang menyembunyikan sebuah lubang. Orang lain tentu tak akan menduga bahwa di bawah batu ini ada lubangnya. Andai kata pun ada orang lain mendapatkan lubang ini, tentu ia mengira bahwa lubang itu adalah lubang ular atau binatang lain yang berbahaya sehingga tak mungkin orang berani masuk.
Akan tetapi Yosiko segera memasuki lubang ini, lalu menutupnya dari dalam. Lubang ini bukanlah lubang ular atau lubang binatang lain, melainkan sebuah lubang yang menuju ke terowongan kecil di bawah tanah.
Yosiko merayap di dalam gelap sampai beberapa menit lamanya. Ketika keluar, ia telah berada jauh di luar hutan, keluarnya dari sebuah goa di antara batu-batu karang di mana terdapat banyak goa kecil. Juga goa ini mempunyai sebuah pintu rahasia, karena itu tak tidak pernah ada orang dapat memasukinya, mengiranya sebuah goa buntu.
Yosiko tersenyum karena ia telah keluar dari kepungan. Ia percaya bahwa ibunya tadi agaknya juga mengambil jalan ini dan dugaannya ini memang tidak keliru.
Yosiko berpikir sejenak. Tan Cui Sian tadi mengintai ke goa. Tentu gadis saingannya ini tidak berada jauh. Mungkin berada bersama Tan Hwat Ki dan kawan-kawannya. la harus dapat mencari kesempatan untuk berjumpa berdua dengan Cui Sian dan menantangnya berkelahi mati-matian memperebutkan Yo Wan!
Perutnya terasa lapar bukan main. Dia harus mencari makanan. Celakanya, hutan yang mengandung buah-buahan dan binatang-binatang yang dapat dijadikan makanan adalah hutan yang terkepung prajurit-prajurit kerajaan tadi. Dan satu-satunya cara mendapatkan makanan hanya pergi ke dusun-dusun untuk membelinya dari warung-warung nasi. Akan tetapi ia harus mencari dusun yang agak jauh, siapa tahu di situ terdapat mata-mata atau penjaga-penjaga yang tentu akan langsung mengepung dan mengejarnya, mengacaukan urusannya sendiri.
Yosiko berjalan menuju sebuah dusun yang agak jauh. Akan tetapi di tengah perjalanan, tiba-tiba ia menyelinap dan bersembunyi ketika ia melihat dua orang mendatangi dengan langkah perlahan. la tertarik sekali ketika melihat betapa mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis cantik. Mula-mula ia kaget dan mengira bahwa mereka adalah Tan Hwat Ki dan sumoi-nya, tetapi setelah mereka datang dekat, ternyata mereka adalah dua orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Gadis itu cantik sekali, juga gagah dan membayangkan bahwa gadis itu bukanlah gadis sembarangan. Akan tetapi pada saat itu, gadis itu wajahnya pucat, kedua pipinya basah air mata, rambutnya kusut dan matanya merah.
Ada pun yang seorang lagi, adalah pemuda yang mempunyai wajah tampan bukan main. Belum pernah Yosiko melihat seorang pemuda setampan itu, dengan sikap yang gagah pula, sepasang mata bersinar-sinar seperti bintang. Sayang sekali, pemuda itu buntung lengan kirinya, sebatas siku! Mereka berjalan perlahan dan bercakap-cakap, keduanya memperlihatkan kesedihan dan kemuraman.
Siapakah mereka ini? Demikian pikir Yosiko dengan heran. la tertarik sekali karena jelas terbayang bahwa dua orang ini adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian, bukan orang-orang biasa. Apakah mereka ini juga merupakan anggota rombongan orang gagah yang hendak membasmi bajak laut di sekitar Lautan Po-hai? Akan tetapi kenapa mereka berdua jalan di sini dan kelihatan sedih sekali? Bahkan terang bahwa si gadis itu bekas menangis, matanya merah, pipinya masih basah dan hidungnya merah.
Yosiko tidak mengenal mereka, akan tetapi pembaca tentu mengenal mereka. Mereka itu bukan lain adalah Kwa Swan Bu dan The Siu Bi! Sudah lama sekali kita meninggalkan mereka.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Swan Bu yang masih menderita itu bersama Siu Bi melarikan diri setelah Siu Bi berhasil membunuh Ouwyang Lam dan kemudian mereka ditolong oleh The Sun yang mengorbankan nyawa untuk anak tirinya di tangan Ang-hwa Nio-nio. Dua orang muda-mudi yang saling mencinta tetapi sekaligus juga terlibat dalam permusuhan dendam-mendendam antara orang-orang tua mereka, sedang melarikan diri tanpa tujuan, dengan niat menjauhkan diri dari ancaman pihak musuh.
Rasa sakit pada lengannya tidak membuat Swan Bu terlalu berduka. Yang membuat dia merasa amat bersedih adalah karena urusannya membuat hal-hal yang amat ruwet dan hebat terjadi. Nama baik Lee Si ternoda sebagai seorang gadis, bahkan ayah gadis itu telah dibunuh orang dengan pedang ibunya menancap di dada, pedang yang kini berada di tangannya.
Dengan terjadinya peristiwa ini, dia tidak berani pulang! Bagaimana kalau ternyata ibunya yang membunuh ayah Lee Si? Bagaimana kalau paman Tan Kong Bu benar-benar telah dibunuh oleh ibunya karena kesalah pahaman? Ahh, hebat perkara itu dan dia tidak ada keberanian untuk menghadapi peristiwa menyedihkan itu.
Di samping itu, juga dia tidak dapat berpisah dari Siu Bi. Andai kata ayah Siu Bi tidak meninggal, dia tentu akan memaksa diri meninggalkan Siu Bi. Akan tetapi sekarang Siu Bi tidak berayah ibu lagi, tidak ada sanak saudara, hidup sebatang kara. Bagaimana dia tega melepaskan Siu Bi merawat seorang diri begitu saja?
Perjalanan mereka penuh dengan kenang-kenangan yang memilukan. Ada saat mereka memadu kasih dan janji, hendak sehidup semati. Ada kalanya mereka bertangis-tangisan mengingat keadaan keluarga mereka. Bahkan ada kalanya mereka cekcok mulut karena berbeda pendapat. Namun betapa pun juga, Siu Bi selalu tekun dan rajin merawat Swan Bu sehingga luka pada lengannya berangsur sembuh.
Pada hari itu mereka tiba di lembah Sungai Huang-ho. Mereka bermaksud melanjutkan perjalanan dengan perahu karena perjalanan dengan perahu tak akan melelahkan tubuh Swan Bu yang perlu banyak istirahat.
Akan tetapi sejak pagi tadi, sambil berjalan perlahan, mereka bertengkar kembali. Swan Bu mendesak supaya Siu Bi suka ikut dia pulang saja ke Liong-thouw-san, menghadap ayah bundanya dan berterus terang, mengaku bahwa mereka sudah saling mencinta dan tak dapat terpisah lagi.
"Aku takut, Swan Bu. Aku takut untuk bertemu dengan ayah ibumu. Bagaimana kalau mereka tidak memperbolehkan aku dekat denganmu? Bagaimana kalau aku diusir? Aku pernah hendak membunuh mereka. Ibumu amat benci kepadaku! Ah, Swan Bu... jangan paksa aku ke sana, lebih baik kita pergi yang jauh, biar kita mencari pulau kosong, hidup berdua sampai kematian memisahkan kita...," demikian keluh-kesah Siu Bi.
"Siu Bi!" Swan Bu membentak marah. "Kau hanya ingat kepada dirimu sendiri saja! Apa kau tidak ingat betapa aku pun tidak mungkin selamanya harus berpisah dengan ayah bundaku? Kalau begitu halnya, aku ini anak macam apa? Apa kau hendak memaksa aku menjadi seorang anak yang paling puthauw (murtad) di dunia ini?"
"Sesukamulah! Boleh kau tinggalkan aku, akan tetapi kau harus membunuh aku terlebih dahulu. Swan Bu, aku lebih baik mati dari pada kau tinggalkan!"
Demikianlah percekcokan itu yang dilanjutkan di sepanjang jalan. Ketika mereka tiba di dekat tempat sembunyi Yosiko, percekcokan mereka sudah memuncak sehingga jelas terdengar oleh Yosiko ketika Siu Bi berseru keras,
"Sudahlah! Kau boleh pergi dan jika kau tidak mau membunuh aku, aku akan membunuh diriku sendiri di depanmu sebelum kau pergi!" Sambil berkata demikian, Siu Bi mencabut pedangnya dan sinar menghitam menyambar ke arah lehernya.
Hampir saja Yosiko mengeluarkan jeritan ngeri karena gadis ini melihat betapa gerakan pedang di tangan Siu Bi amat cepat sehingga agaknya sukar untuk menghindarkan gadis itu dari kematian. Akan tetapi alangkah kagum hatinya ketika tiba-tiba saja pemuda itu menggerakkan tangan kanannya dan sinar keemasan berkelebat kemudian membentur sinar hitam menerbitkan suara berkerontangan nyaring. Kiranya pedang bersinar hitam di tangan gadis itu sudah ditangkis dan bahkan runtuh di atas tanah!
"Siu Bi, jangan gila kau! Apa bila kau membunuh diri, mana aku dapat hidup lebih lama lagi?" berkata Swan Bu sambil menyimpan pedangnya yang bersinar emas, yaitu pedang Kim-seng-kiam, pedang ibunya yang dia cabut dari dada jenazah Tan Kong Bu.
Siu Bi menangis. Swan Bu mendekatinya dan keduanya lalu berpelukan mesra sambil bertangisan.
"Siu Bi, bukankah kau sudah setuju bahwa aku harus mengawini Lee Si? Kau pun tahu, hanya itu satu-satunya jalan untuk mengusir awan kegelapan yang meliputi keluargaku. Hanya pengorbanan itu yang bisa kulakukan untuk menebus nama baik keluarga paman Tan Kong Bu. Kemudian bersama Lee Si aku harus mencari keterangan bagaimana matinya paman Tan Kong Bu. Betapa pun juga, aku masih belum percaya benar bahwa ibuku yang membunuh paman Kong Bu."
"Swan Bu, kau sudah bersumpah sehidup semati dengan aku. Walau pun tidak secara resmi, bukankah aku ini isterimu yang sah karena sumpah kita? Bukankah Tuhan yang menyaksikan, juga langit, bumi, bintang dan bulan? Swan Bu, aku tidak akan melarang kau mengawini Lee Si, akan tetapi... jangan kau tinggalkan aku."
Swan Bu mencium dan mengelus-elus rambut Siu Bi sehingga tangis gadis itu mereda.
"Siu Bi, harap kau suka berpikir secara panjang. Aku mengajakmu menemui ayah ibuku, tapi kau merasa takut dan tidak mau. Kemudian kalau aku pulang lebih dulu seorang diri untuk kelak kita bertemu lagi, kau tidak membolehkan aku meninggalkanmu. Bagaimana ini? Siu Bi, kau tahu betapa aku mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku. Aku sudah bersumpah dan apa pun yang akan terjadi, sudah pasti aku akan kembali kepadamu. Sebaiknya bila untuk sementara kita berpisah. Biarkan aku menghadap orang tuaku dan menyelesaikan urusan kami. Syukur kalau mereka tidak memaksaku mengawini Lee Si. Andai kata begitu, aku tetap hendak menceritakan pada mereka tentang dirimu dan aku tetap hendak mengajukan syarat, yaitu aku mau menikah dengan Lee Si asal kau juga menjadi isteriku."
Untuk sejenak Siu Bi terdiam. Dia hanya menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. "Betulkah kau tidak akan lupa kepadaku?"
"Apa kau kira aku sudah gila? Marilah kita mencari tempat untukmu, di mana kau dapat menantiku. Begitu urusanku selesai, aku pasti akan datang menjemputmu dan kau tidak perlu merasa khawatir lagi bertemu dengan orang tuaku."
Keduanya berjalan lagi perlahan.
Yosiko yang berada di tempat sembunyinya merasa kasihan kepada Siu Bi. Gerak-gerik gadis itu menarik hatinya, menimbulkan perasaan suka. Agaknya, seperti juga dia, gadis bernama Siu Bi itu pun tidak beruntung dalam soal perjodohan.
Dia ingin berjodoh dengan Yo Wan tapi pemuda itu memilih Tan Cui Sian. Agaknya gadis bernama Siu Bi itu pun ingin bersuamikan pemuda buntung itu, akan tetapi si pemuda itu hendak mengawini gadis lain! Dengan orang yang senasib ini boleh sekali ia berkawan.
Tiba-tiba terdengar seruan, "Swan Bu...!"
Swan Bu dan Siu Bi terkejut, berhenti dan menengok. Seorang gadis tampak datang dengan berlarian cepat sekali dan sebentar saja sudah tiba di tempat itu. Dari tempat sembunyinya Yosiko menyaksikan ini dan menjadi kagum.
Gadis yang baru datang ini pun hebat sekali ilmu lari cepatnya dan kini ia mulai merasa heran. Kenapa begini banyak berkumpul orang-orang muda yang amat lihai? Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia mendengar pemuda buntung itu menyebut nama gadis yang baru tiba.
"Sukouw (Bibi Guru) Cui Sian...!" Swan Bu berteriak kaget karena dia benar-benar sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu dapat datang ke tempat sejauh ini.
Yang datang memang benar adalah Tan Cui Sian, gadis Thai-san, puteri Raja Pedang yang amat lihai. Dengan pandang mata tajam Cui Sian mengerling ke arah Siu Bi yang biar pun tadi sudah didorong dari dadanya oleh Swan Bu, masih saja memegangi tangan kanan pemuda itu dengan erat, seakan-akan ia khawatir kalau-kalau kekasihnya itu akan direnggut orang.
"Swan Bu, kenapa kau berada di sini... dengan dia ini? Ayah ibumu mencarimu, mereka amat mengharapkan kau pulang. Mau apa kau berkeliaran di sini bersama dia?" Kembali ia melirik tajam ke arah Siu Bi, jelas wajahnya memperlihatkan hati tidak senang
"Sukouw..." bingung sekali hati Swan Bu.
Mau tak mau dia harus melepaskan tangannya dari pegangan Siu Bi sebab merasa tidak enak bila di depan bibi gurunya itu memperlihatkan kasih sayangnya pada Siu Bi, gadis yang tentu saja oleh bibinya dianggap musuh karena sudah membuntungi lengannya.
"Sukouw, bagaimana dengan... ibu? Tidak apa-apakah? Siapa... yang membunuh paman Kong Bu?"
"Tidak usah khawatir, bukan ibumu yang membunuhnya, melainkan... kawan bocah liar ini," kata Cui Sian sambil melirik lagi ke arah Siu Bi.
Watak Siu Bi memang sangat keras dan ia pantang mundur menghadapi musuh yang bagaimana pun. Tadi ia sudah mendongkol melihat sikap Cui Sian, akan tetapi ditahan-tahannya. Mendengar bahwa yang membunuh ayah Lee Si bukan ibu Swan Bu, Siu Bi diam-diam merasa lega dan girang juga. Akan tetapi mendengar dia disebut-sebut gadis liar dan pembunuh itu adalah kawannya, kemarahannya bangkit, lalu segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke muka Cui Sian sambil berseru nyaring.
"Enak saja kau bicara! Aku tidak punya kawan pembunuh! Hayo buktikan bahwa yang membunuh adalah kawanku, jangan hanya pandai melempar fitnah!"
Cui Sian tersenyum mengejek. "Yang biasa melakukan fitnah adalah manusia semacam kau dan teman-temanmu. Pembunuh kakakku Kong Bu adalah Ang-hwa Nio-nio! Nah, bukankah dia kawanmu?"
"Bukan! Ngaco kau, dia bukan kawanku, aku benci kepadanya!"
"Siapa tidak tahu akan kejahatanmu? Ang-hwa Nio-nio sudah mampus dan sekarang kau pun harus mampus!"
Cepat sekali gerakan Cui Sian yang maju dan menerjang Siu Bi dengan pedangnya. Pedang hitam Siu Bi belum sempat ditarik untuk menangkis, namun gadis ini dengan gesit sudah meloncat ke kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang, kemudian ia sudah mencabut pula pedangnya, siap bertanding mati-matian.
"Tahan! Sukouw, harap jangan serang dia!" kata Swan Bu sambil melompat ke depan, menghadang Cui Sian. Biar pun pemuda buntung ini tidak mencabut pedangnya, namun sinar matanya jelas memperlihatkan bahwa dia tidak akan membiarkan Siu Bi diganggu.
Cui Sian ragu-ragu dan membentak, "Swan Bu! Kau membela bocah liar ini, setelah apa yang terjadi semua? Setelah lenganmu dibuntungi dan setelah keluarga kita hampir saja rusak berantakan?"
"Sukouw, dia... aku... aku cinta kepadanya."
Siu Bi sudah menyimpan pedangnya dan kini dia kembali menggandeng tangan kanan Swan Bu. Wajahnya berseri memperlihatkan sinar kemenangan dan mengejek.
Cui Sian tertegun! Dia heran dan tidak tahu harus berkata apa. Dengan tarikan napas panjang, dia menyimpan kembali pedangnya. Cinta memang aneh sekali, pikirnya, atau lebih tepat orang muda yang dilanda cinta memang tidak waras otaknya, seperti... seperti dia sendiri!
"Swan Bu, omongan apa yang barusan kau keluarkan ini? Kau diharapkan pulang dan perjodohanmu dengan Lee Si sudah diatur orang tuamu."
"Aku hanya mau menikah dengan Lee Si asal Siu Bi juga diperkenankan jadi isteriku."
Terbelalak mata Cui Sian, akan tetapi karena hal itu bukan urusannya, ia menjawab,
"Sudahlah, aku tidak tahu akan hal itu. Kau boleh bicara sendiri dengan orang tuamu dan dengan ibu Lee Si. Sekarang kau harus pulang dulu. Bocah ini kalau memang betul-betul mencintaimu... hemmm, aku masih ragu-ragu akan hal ini melihat betapa dia begitu tega membuntungi lenganmu, kalau betul ia mencinta, ia harus setia dan suka menantimu."
Swan Bu menoleh kepada Siu Bi. "Moimoi, kau mendengar sendiri. Memang sebaiknya aku pulang lebih dahulu. Aku yakin orang tuaku akan setuju dan kalau sudah demikian, baru aku akan menjemputmu."
"Tapi... tapi... aku akan tidak senang sekali kalau kau pergi..."
Cui Sian mendapat pikiran baik. Betapa pun juga, Swan Bu harus dipisahkan dari gadis liar ini dan sekaranglah terbukanya kesempatan itu. Maka ia cepat berkata,
"Yang tidak berani berkorban adalah cinta palsu! Kalau bocah ini tidak membolehkan kau pulang untuk membereskan semua urusan, maka cintanya itu pura-pura saja."
Usahanya berhasil. Memang Siu Bi orangnya keras dan jujur, tidak merasa diakali orang. Mukanya menjadi merah dan ia membentak, "Kalau kau bukan sukouw dari Swan Bu, sudah tadi-tadi kuterjang kau! Siapa bilang cintaku palsu? Swan Bu, kau pulanglah, aku akan menunggumu. Pulanglah, kau dan seluruh orang di dunia ini akan melihat bahwa cintaku tidak palsu dan aku setia kepadamu!"
Lega hati Swan Bu, akan tetapi khawatir juga.
"Siu Bi, kita harus mencari tempat untukmu, di mana kau dapat menantiku..."
"Bukankah di sini merupakan tempat juga? Aku akan tinggal di sini, Swan Bu, di lembah sungai ini, menanti sampai kau datang menjemputku. Pergilah!"
Swan Bu merasa betapa berat perasaan hatinya harus meninggalkan kekasihnya di situ seorang diri. Akan tetapi apa lagi yang dapat dia lakukan? Pertama, dia malu terhadap bibinya kalau terlalu memperlihatkan kelemahan hatinya akibat cinta kasih. Selain itu, kalau ia terlalu menahan dan tidak rela meninggalkan Siu Bi, tentu kekasihnya itu akan merasa rendah terhadap Cui Sian.
"Siu Bi, kau tunggulah dan carilah tempat di sekitar ini. Percayalah, nanti aku pasti akan datang menjemputmu. Percayalah..."
Siu Bi tersenyum sungguh pun kedua matanya menjadi basah. la pun merasa tidak rela dan berat harus berpisah dengan orang yang paling dia cinta di dunia ini, satu-satunya miliknya yang masih tersisa. Tanpa Swan Bu di sampingnya, hidup tak akan ada artinya baginya.
Akan tetapi, bagaimana pun juga, tak mungkin ia dapat merampas Swan Bu begitu saja dari orang tuanya. Kalau ia menghendaki agar selanjutnya ia boleh menghabiskan sisa hidupnya di dekat Swan Bu, maka urusan itu harus mendapat persetujuan orang tuanya. Baginya, tidak peduli Swan Bu akan menikah dengan Lee Si atau dengan siapa juga atas kehendak orang tuanya, asalkan hati dan cinta kasih pemuda itu dia yang memilikinya.
Bukan main terharunya hati Swan Bu menyaksikan gadis itu berdiri lemas dengan air mata di pipi dan senyum di bibir. Ingin dia memeluknya, ingin dia menghiburnya, namun ia malu melakukan hal ini di depan Cui Sian.
"Siu Bi, selamat berpisah untuk sementara..."
"Pergilah Swan Bu, dan jaga dirimu baik-baik. Aku akan tetap menantimu.”
Pergilah Swan Bu bersama Cui Sian. Ada tiga atau empat kali dia menengok sebelum bayangan mereka lenyap ditelan tetumbuhan.
Melihat wajah Swan Bu demikian sedih, diam-diam Cui Sian merasa terharu dan kasihan. Tentu saja, kalau menurutkan hatinya, ia tidak suka melihat Swan Bu berjodoh dengan Siu Bi, gadis liar yang semenjak kecil berdekatan dengan orang-orang jahat.
Jauh lebih baik bila Swan Bu berjodoh dengan Lee Si. Selain gadis itu memang berdarah ksatria, juga perjodohan ini akan merupakan penghapus bagi luka-luka yang diakibatkan oleh kesalah pahaman antara keluarga Pendekar Buta dan keluarga Raja Pedang.
Akan tetapi, oleh pengalamannya sendiri pada saat itu sebagai korban asmara, dia dapat merasakan pula keadaan hati pemuda ini. Maka, diam-diam dia menaruh rasa kasihan. Pemuda itu berjalan sambil menundukkan mukanya yang pucat, seakan-akan seluruh semangatnya tertinggal pada gadis kekasihnya yang tadi tersenyum dengan air mata bertitik.
"Swan Bu..."
Pemuda itu kaget dan menengok. "Ada apakah, Sukouw?"
"Kau tentu maklum, bukan maksudku hendak merusak kebahagiaanmu, akan tetapi aku memaksamu pergi menemui orang tuamu demi kebaikan kita bersama, demi kebaikan orang tuamu, kebaikan keluarga dan kebaikanmu sendiri!"
"Aku mengerti, Sukouw." Swan Bu menarik napas panjang.
"Sekarang, sebelum kita pulang, mari kita singgah dulu di perkemahan pantai Po-hai, di mana kau akan dapat bertemu dengan banyak sahabat baik dan saudara..."
Suara Cui Sian terdengar gembira, karena memang sengaja gadis ini hendak menghibur Swan Bu dan membangkitkan semangatnya. Kalau pemuda ini sudah bertemu dengan orang-orang gagah yang bertugas membasmi bajak-bajak laut, tentu akan terbangkit pula semangatnya sebagai keturunan seorang pendekar sakti seperti Pendekar Buta.
"Mereka siapakah, Sukouw?" Suara Swan Bu dalam pertanyaan ini terdengar acuh tidak acuh. Sesudah berpisah dengan orang yang paling dia sayangi di dunia ini di samping ayah bundanya, siapa pulakah yang dapat menggembirakan hatinya dalam perjumpaan?
"Kau akan bertemu dengan Bun Hui!"
"Mengapa saudara Bun Hui berada di tempat ini?"
"Dia mewakili ayahnya untuk memimpin pasukan dari Tai-goan yang bertugas membasmi bajak-bajak laut di daerah Po-hai."
Swan Bu mengangguk-angguk, akan tetapi pikirannya kembali melayang-layang. Dia tak begitu tertarik urusan pembasmian bajak laut yang dianggapnya bukanlah urusannya.
"Di sana engkau akan menemui banyak orang-orang gagah, di antaranya adalah seorang yang sama sekali takkan dapat kau duga-duga siapa adanya!" Cui Sian sengaja berkata dengan suara gembira agar pemuda itu tertarik. Memang berhasil dia karena Swan Bu benar-benar memperhatikan.
"Sukouw, siapakah dia?"
"Seorang pendekar muda yang hebat, dan dia masih keponakanku sendiri!"
Wajah Swan Bu mulai berseri. "Apa? Sukouw maksudkan... dia... Hwat Ki?"
Pada waktu Cui Sian mengangguk membenarkan, wajah pemuda ini sudah mulai berseri gembira. Pernah dia berkenalan dan bertemu dengan Tan Hwat Ki pada waktu mereka berdua masih kecil, baru berusia belasan tahun. la membayangkan cucu Raja Pedang itu yang tampan dan gagah.
"Dia berada di sana bersama sumoi-nya, seorang gadis cantik dan gagah perkasa."
Akan tetapi Swan Bu tidak terlalu memperhatikan ucapan ini karena pikirannya penuh dengan bayangan Tan Hwat Ki yang akan dijumpainya. Kini perjalanan mereka dilakukan dengan cepat…..
********************
Yosiko yang semenjak tadi bersembunyi dan mengintai, tentu saja menjadi kaget sekali ketika tadi pemuda buntung itu memanggil nama gadis yang baru tiba. Gadis itu disebut ‘sukouw Cui Sian’! Jadi inikah Cui Sian, gadis yang menjadi pilihan hati Yo Wan? Hatinya dipenuhi kebencian dan ingin dia melompat ke luar untuk menyerang serta membunuh gadis itu. Memang dia meninggalkan tempatnya dengan satu niat di hatinya, membunuh gadis yang bernama Cui Sian.
Akan tetapi Yosiko bukanlah seorang gadis yang bodoh dan ceroboh. Tadi dia pun sudah menyaksikan gerakan gadis yang hendak membunuh diri dan gerakan pemuda buntung yang mencegahnya. Gerakan mereka amat hebat, membayangkan kepandaian ilmu silat yang amat tinggi.
Pemuda buntung itu sudah lihai sekali, kalau Cui Sian adalah sukouw-nya (bibi gurunya), dapat dibayangkan bagaimana hebatnya kepandaian Cui Sian! Yosiko tak mau bertindak sembrono menurutkan nafsu amarah kemudian sekali turun tangan dan gagal. Apa lagi kalau diingat bahwa Cui Sian pada waktu itu mempunyai dua orang kawan yang kalau mengeroyoknya tentu akan lebih sukar mencapai kemenangan.
Dia tertarik sekali ketika menyaksikan dan mendengar percakapan ketiga orang muda itu. Keadaan Siu Bi selain menarik perhatiannya, juga mendatangkan sebuah pikiran yang baik sekali. Oleh karena ini, maka Yosiko mendiamkan saja ketika Cui Sian dan Swan Bu pergi. Untuk beberapa lamanya dia memandang Siu Bi yang sepergi kedua orang itu lalu duduk di atas tanah dan menangis.
Memang hati Siu Bi berduka sekali. Dia tidak dapat menahan kepergian kekasihnya. Dia maklum bahwa kalau dia tidak memperbolehkan Swan Bu pulang lebih dahulu menemui orang tuanya, selamanya ia tidak akan dapat membereskan urusannya dengan Swan Bu. la percaya penuh akan cinta kasih pemuda yang lengannya ia buntungi itu, akan tetapi ia pun maklum betapa Swan Bu tak akan dapat membantah orang tuanya.
la takut sekali kalau-kalau ia akan kehilangan pemuda itu dan andai kata hal ini terjadi, hidup tiada artinya lagi baginya. Kekhawatiran inilah yang mengamuk di hatinya setelah di situ tidak ada siapa-siapa dan ia boleh puas menangis. Di depan Cui Sian tadi, tak sudi ia memperlihatkan kelemahan hatinya.
Yosiko keluar dari tempat sembunyinya menghampiri Siu Bi dengan perlahan. la melihat gadis itu menangis sedih sekali dan agaknya tidak tahu akan kedatangannya, maka dia pun duduk pula di hadapan Siu Bi yang menyembunyikan mukanya di belakang kedua tangan. Air mata bercucuran keluar dari celah-celah jari tangannya.
Yosiko menarik napas panjang, "Dia memang seorang pemuda yang amat tampan dan gagah perkasa...," katanya lirih.
"Tidak ada pemuda lebih tampan dan gagah dari pada Swan Bu di dunia ini!" Serta merta Siu Bi menjawab tanpa menurunkan kedua tangan dari depan mukanya.
Kembali Yosiko menarik napas panjang. Apa bila bagi Siu Bi ucapan Yosiko tadi cocok benar dengan suara hatinya, adalah jawaban Siu Bi juga tepat dengan perasaan Yosiko. Tentu saja keduanya melamunkan dua macam pemuda!
"Pemuda sehebat itu patut dicinta sampai mati...," kembali Yosiko berkata seperti kepada dirinya sendiri.
Kembali seperti dalam mimpi, tanpa menurunkan kedua tangannya, Siu Bi menyambung. "Aku cinta kepada Swan Bu dengan sepenuh jiwa ragaku."
Hening pula sejenak. Siu Bi masih saja terisak-isak, Yosiko duduk termenung. Keduanya duduk saling berhadapan di atas tanah, akan tetapi seolah-olah tidak tahu akan keadaan masing-masing.....
"Perempuan yang bernama Cui Sian itu betul-betul menjemukan sekali," kembali Yosiko berkata.
"Aku benci kepadanya! Aku benci kepadanya!" Tiba-tiba Siu Bi berseru dan menurunkan kedua tangannya.
Tiba-tiba Siu Bi berseru keras dan meloncat bangun sambil mencabut pedangnya. Sinar hitam berkelebat ketika dia menerjang Yosiko dengan pedangnya itu. Akan tetapi Yosiko sudah menangkis dengan pedangnya pula sehingga keduanya terhuyung mundur.
"Siapa kau?!" bentak Siu Bi.
Yosiko tersenyum. "Adik yang baik, simpanlah pedangmu. Aku bukan musuh, aku bukan Cui Sian. Kita senasib sependeritaan, kita sama-sama dibikin sengsara oleh perempuan bernama Cui Sian tadi!"
"Apa kau bilang?”
"Namaku Yosiko, dan aku benar-benar suka padamu karena nasib kita sama. Kau harus berpisah dari kekasihmu karena Cui Sian, aku pun... aku pun terpaksa berpisah dari dia karena Cui Sian. Adik Siu Bi, sebaiknya kita bersatu untuk menghadapi Cui Sian."
"Kau mengerti namaku?"
Yosiko menyimpan pedangnya. "Mari kita bicara secara sahabat baik. Sudah sejak tadi aku melihat dan mendengar semua."
Siu Bi menjadi merah mukanya, akan tetapi karena melihat bahwa gadis cantik itu tidak bersikap sebagai musuh, ia pun menyimpan pedangnya dan kembali mereka duduk, tapi kali ini mereka saling memandang dan memperhatikan.
"Mengapa sikapmu begini aneh? Apa yang kau kehendaki dari padaku?"
"Begini, adik Siu Bi. Aku tadi tanpa kusengaja sudah mendengar dan melihat semua apa yang terjadi. Kau dan pemuda buntung yang tampan tadi saling mencinta, bersumpah sehidup semati, akan tetapi lalu datang Cui Sian yang mengajaknya pergi, dan kalau aku tidak salah... untuk menjodohkan pemuda kekasihmu itu dengan wanita lain, bukan?"
"Swan Bu tak akan mau melupakan aku!" teriak Siu Bi bernafsu.
"Aku percaya, tampaknya dia sangat mencintamu. Akan tetapi, jangan pandang rendah perempuan bernama Cui Sian itu. Mendengar percakapan tadi, dia adalah bibi gurunya, tentu akan dapat membujuk dan mengubah pendiriannya."
Pucat wajah Siu Bi. "Hemmm, tidak mungkin... andai kata begitu, apa kehendakmu?"
"Aku pun benci kepada Cui Sian. Lebih baik kita berdua mencarinya dan membunuhnya!"
"Huh, enak saja kau bicara. Namamu Yosiko, agaknya kau orang asing dan tidak tahu siapa Cui Sian! Kau kira gampang membunuh dia? Kau tahu siapa dia? Dia adalah puteri tunggal dari Raja Pedang, tahukah engkau?"
Yosiko mengangguk dingin. "Tentu saja aku tahu. Kalau tidak tahu bahwa dia lihai, tentu tadi aku sudah muncul dan kubunuh dia. Karena dia lihai itulah, maka aku mengajak kau bersekutu, mari kita berdua mengeroyok dan membunuhnya.”
"Hemmm, tidak segampang menggoyang lidah, Yosiko. Ehh, nanti dulu, kau ini siapakah dan mengapa tiada hujan tiada angin begini benci terhadap Cui Sian? Kalau kau tidak ceritakan persoalanmu lebih dahulu, aku tidak sudi bicara lebih lanjut denganmu." Siu Bi memandang curiga."
Yosiko kembali menarik napas panjang. "Baiklah, dan terserah padamu apakah kau suka berteman denganku atau tidak setelah kau mendengar keadaanku. Seorang sahabat tak perlu pura-pura. Aku bernama Yosiko dan aku adalah Hek-san Pangcu, ketua dari bajak laut Kipas Hitam!"
la berhenti sebentar untuk melihat reaksi pada wajah cantik itu. Akan tetapi karena Siu Bi tidak pernah mendengar tentang bajak-bajak laut, hanya ayem saja mendengarkan.
"Semenjak kecil aku dan ibu selalu bercita-cita supaya aku mendapatkan jodoh seorang pendekar yang tinggi ilmu silatnya, yang tidak saja mampu menangkan aku, akan tetapi bahkan dapat mengalahkan ibu!"
"Baik sekali," Siu Bi segera memberi komentar, "Swan Bu juga tiga kali lebih lihai dari pada aku! Akan tetapi bagiku, andai kata Swan Bu tidak lebih lihai dari pada aku, aku pun tetap akan cinta padanya!"
"Uhhh, salah besar! Aku tidak tahu tentang cinta, pendeknya, calon jodohku sudah cukup kalau kepandaiannya jauh melebihi aku!"
Siu Bi mengangkat pundak, tidak peduli. "Lalu bagaimana? Kepandaianmu tinggi, soal ini dapat kuketahui ketika kau menangkisku tadi. Adakah pria yang dapat menandingimu?"
"Bukan hanya menandingi!" kata Yosiko, wajahnya berseri-seri. "Dia malah patut menjadi guruku! Ibu sendiri tidak mampu menangkan dia! Dia hebat, wah, pendeknya di dunia ini tidak akan ada pria yang dapat mengalahkan dia!"
Siu Bi tersenyum mengejek. Belum tentu, pikirnya. Swan Bu memiliki kepandaian yang luar biasa! "Siapa sih namanya laki-laki pilihanmu itu dan mengapa kau membenci Cui Sian? Apa hubungannya dengan laki-laki pilihanmu itu"
Seketika wajah Yosiko menjadi muram. "Laki-laki itu bernama Yo Wan dan celakanya, dia mencinta Cui Sian."
Terbelalak mata Siu Bi memandang ketika ia mendengar disebutnya nama ini. "Yo Wan kau bilang? Yo Wan...? Yo Wan murid Pendekar Buta?"
Kini Yosiko yang menjadi tercengang dan kaget. "Apa?! Kau kenal dia?"
"Kenal dia?" Siu Bi tertawa dan lucu-lah melihat gadis yang matanya masih merah bekas menangis ini tertawa geli. "Aku mengenal Yo Wan? Ahhh, aku mengenalnya baik sekali! Suatu kebetulan yang amat tak terduga-duga, sahabatku! Tahukah kau siapa kekasihku, pemuda buntung yang paling tampan dan gagah di seluruh dunia tadi? Dia adalah putera tunggal Pendekar Buta!"
Untuk kedua kalinya Yosiko tercengang. Sesaat ia memandang Siu Bi dengan bengong, kemudiah ia merangkulnya.
"Kebetulan sekali! Kau mencinta putera Pendekar Buta, dan aku telah memilih muridnya. Bukankah dengan demikian kau dan aku masih ada hubungan dekat? Sudah sepatutnya kita saling tolong-menolong, sudah selayaknya kita bersatu. Kita sama-sama membenci Cui Sian yang agaknya menjadi perusak kebahagiaan kita!"
Siu Bi memandang ragu dan Yosiko yang cerdik sekali dapat menduga akan hal ini. Maka cepat-cepat Yosiko memutar otaknya dan berkata, "Kau dengar, Siu Bi adikku yang manis. Kau bantulah aku menghalau Cui Sian ini, dan kalau aku sudah berjodoh dengan Yo Wan, aku dapat membujuknya agar dia mau membantumu mendapatkan kekasihmu tanpa diganggu oleh siapa pun juga. Sebagai murid Pendekar Buta, tentu dia akan dapat membujuk suhu-nya untuk meluluskan puteranya agar menikah dengan engkau seorang. Bukankah ini kerja sama yang baik sekali namanya?"
Yosiko terus membujuk dan karena Siu Bi berwatak sederhana, akhirnya dia kena bujuk juga dan menyanggupi. Menghadapi Yosiko, ia kalah bicara dan memang kedua gadis ini memiliki watak yang cocok, maka sebentar saja mereka merasa senasib sependeritaan dan menjadi dua orang sahabat baik.
"Mereka berdua tak akan pergi jauh!" kata Yosiko. "Aku tahu bahwa Cui Sian itu hendak membantu pembasmian bajak-bajak laut di daerah Po-hai ini, dan kurasa pekerjaan itu tidak mudah, tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Kau lihat saja, tentu mereka masih berada di sekitar tempat ini, dan aku tahu ke mana harus mencari Cui Sian!"
Mereka bercakap-cakap dan sama sekali mereka tidak tahu bahwa semenjak tadi di sana ada seorang laki-laki yang mengintai, melihat serta mendengarkan percakapan mereka. Mendengar bujukan Yosiko, lelaki ini menggeleng-geleng kepala dan berkali-kali menarik napas panjang, keningnya berkerut.
Tak lama kemudian setelah tahu apa yang menjadi rencana dua orang gadis yang diliputi perasaan dendam itu, dia meninggalkan tempat itu dengan diam-diam. Laki-laki ini bukan lain adalah Yo Wan…..
********************
Apa yang dikatakan Yosiko memang betul. Bun Hui dengan dibantu oleh Tan Hwat Ki dan Bu Cui Kim, memimpin orang-orangnya untuk membasmi bajak-bajak laut yang telah merajalela di daerah Po-hai.
Akan tetapi tidaklah gampang membasmi gerombolan penjahat itu, karena selain jumlah mereka banyak, juga mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang pandai berkelahi dan dipimpin oleh orang-orang tangguh. Apa lagi semenjak digempur oleh pasukan kerajaan ini, para bajak laut lalu bersiap-siap dan bersatu, bahkan mereka lalu mengangkat ketua Kipas Hitam menjadi pemimpin untuk melakukan perlawanan. Semua gerombolan bajak laut sudah tahu belaka akan kelihaian Hek-san Pangcu (ketua dari Kipas Hitam), Yosiko!
Pada waktu mendengar penuturan Tan Hwat Ki dan sumoi-nya tentang Yo Wan, Bun Hui merasa menyesal sekali mengapa orang gagah yang aneh itu tidak mau datang untuk menggabungkan diri dan bersama-sama membasmi bajak laut. Pemuda bangsawan ini ingin sekali dapat menangkap ketua Kipas Hitam yang tersohor, untuk dibawa sebagai tawanan ke kota raja sehingga dengan jasa itu dia akan dapat mengangkat nama besar ayahnya.
Akan tetapi selama beberapa pekan ini, dia hanya dapat mendengar namanya saja yaitu Hek-san Pangcu yang bernama Yosiko, akan tetapi belum pernah dia melihat orangnya. Hampir dia tidak percaya ketika dua orang muda dari Lu-liang-san itu bercerita bahwa ketua Kipas Hitam adalah seorang gadis peranakan yang cantik jelita.
"Itulah sebabnya mengapa saudara Yo Wan melarang kami berdua menyerang Yosiko," demikian penuturan Tan Hwat Ki. "Saudara Yo Wan adalah murid Pendekar Buta, maka dia termasuk orang dalam dan dia tidak menghendaki apa bila di antara keluarga terjadi permusuhan. Memang sungguh aneh, kenapa segala hal bisa terjadi secara kebetulan sekali. Siapa kira kepala bajak laut itu adalah saudara misanku sendiri."
Bun Hui mengerutkan keningnya. "Kalau memang begitu, mengapa tidak menginsyafkan gadis itu? Kalau dia dapat diinsyafkan dan anak buahnya tidak melakukan perlawanan, bahkan suka menyerah, bukankah tidak akan terjadi ribut-ribut lagi? Kalau memang dia itu masih terhitung cucu Raja Pedang dan suka membubarkan perkumpulan bajak laut, aku bersedia untuk mintakan ampun ke kota raja."
Tan Hwat Ki menggelengkan kepala. "Agaknya sukar. Dia itu biar pun wanita, lihai bukan main dan juga berwatak liar."
"Biar pun ada hubungan keluarga, kalau dia jahat patut dibasmi!" sambung Bu Cui Kim yang masih merasa cemburu.
Demikianlah, setiap hari Bun Hui masih terus melakukan pengejaran terhadap para bajak laut yang melakukan perlawanan secara sembuhyi-sembunyi, dipimpin oleh Yosiko yang amat licin. Banyak di antara anak buah Bun Hui menjadi korban dan selama ini belum pernah dia berhasil mendapatkan sarang bajak laut itu yang selalu berpindah-pindah.
Kedatangan Tan Cui Sian bersama Kwa Swan Bu menggirangkan hati semua orang. Tan Cui Sian adalah bantuan yang sangat hebat, karena semua maklum bahwa puteri Raja Pedang ini memiliki kepandaian yang luar biasa. Apa lagi setelah Bun Hui dan Tan Hwat Ki diperkenalkan kepada si pemuda buntung yang ternyata adalah putera Pendekar Buta, mereka menjadi girang bukan main. Mereka menjadi terharu sekali menyaksikan lengan yang buntung dari pemuda tampan ini, tetapi karena wajah pemuda itu kelihatan muram dan sedih, mereka pun tidak berani banyak bertanya.
Lebih besar lagi kegembiraan hati Bun Hui ketika mendengar dari Cui Sian bahwa gadis perkasa ini sudah tahu akan sarang Yosiko ketua Kipas Hitam. Malah di bawah pimpinan pendekar wanita ini mereka lalu melakukan penggerebekan, yaitu di dalam goa di mana Cui Sian melihat Yosiko bersama Yo Wan.
Sejak saat ia melihat Yo Wan tinggal bersama Yosiko itu, hati Cui Sian serasa bagaikan ditusuk-tusuk, penuh rasa cemburu. Akan tetapi dasar seorang wanita pendekar, ia dapat menyembunyikan perasaannya ini dengan baik.
Tapi mereka kecewa karena ketika mereka menggeropyok tempat itu, burungnya sudah terbang pergi dari kurungan. Yosiko tidak tampak bayangannya, dan di situ hanya tinggal terdapat bekas-bekas ditinggali orang saja.
Dan sewaktu Cui Sian bersama Swan Bu, Bun Hui, Hwat Ki, dan Cui Kim melakukan penggeropyokan di situ, ternyata perkemahan mereka yang hanya dijaga oleh pasukan dari tiga puluh orang lebih, malah diserbu oleh bajak laut yang jumlahnya dua kali lipat! Belasan orang penjaga tewas dan perkemahan itu dibakar!
Hal ini membuat Bun Hui semakin gemas dan pusing. Dan hal ini pula yang membuat Cui Sian terpaksa menunda perjalanannya, karena dia melihat para bajak laut itu tidak boleh dipandang ringan, dan sudah sepatutnya kalau ia membantu Bun Hui.
Swan Bu juga tidak keberatan. Sebagai seorang pendekar, dia pun tidak mungkin dapat melihat saja tanpa membantu usaha Bun Hui yang bertugas memulihkan keamanan dan membasmi bajak-bajak laut yang begitu lihai.
Setelah tinggal di situ beberapa hari lamanya, akhirnya Bun Hui dapat mendengar juga penuturan Swan Bu mengenai buntungnya lengannya. Swan Bu segera tertarik kepada Hwat Ki dan Bun Hui yang gagah. Mereka segera menjadi sahabat-sahabat baik dan mulai beranilah mereka saling membuka rahasia hati masing-masing. Akan tetapi betapa terkejut hati Bun Hui saat mendengar bahwa yang membuntungi lengan Swan Bu adalah The Siu Bi, gadis yang pernah mengacau gedung ayahnya, dan pernah pula mengacau hatinya!
"Ahh, kalau begitu betullah kekhawatiran ayah," komentar Bun Hui.
"Ayah telah melihat betapa sakit hati nona Siu Bi itu sungguh-sungguh, sehingga dahulu ayah sengaja menyuruhku pergi menemui ayahmu untuk menyampaikan peringatan agar berhati-hati. Kiranya ekornya begini hebat..."
Swan Bu tersenyum. "Tidak apa-apa, saudara Bun Hui, dan ini agaknya sudah kehendak Thian. Buktinya, buntungnya lenganku oleh Siu Bi, malah menjadi perantara ikatan jodoh antara dia dan aku.”
"Heee...?!" Bun Hui kaget bukan main, juga Hwat Ki menjadi bingung.
Akan tetapi Swan Bu hanya menarik napas panjang, tak melanjutkan kata-katanya yang tadi tanpa sengaja terloncat dari bibirnya. "Karena kalian adalah sahabat-sahabat baikku dan orang sendiri, kelak tentu akan mendengar juga."
Mereka tak berani mendesak, hanya diam-diam Bun Hui mencatat dalam hatinya bahwa Siu Bi bukanlah jodohnya, sungguh pun gadis itu dahulu pernah mengaduk-aduk hatinya dan pernah pula menjadi buah mimpinya pada setiap malam. Kiranya gadis yang hendak memusuhi Pendekar Buta itu, dan yang sudah berhasil membuntungi lengan Swan Bu, malah akan menjadi jodoh pemuda ini. Apa lagi kalau bukan gila namanya ini?
Bun Hui masih termenung, menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya mengeluarkan bunyi decak berkali-kali kalau dia teringat akan Siu Bi dan Swan Bu. Sukar dipercaya memang. Apakah Siu Bi sudah gila? Ataukah Swan Bu yang tolol? Atau juga barang kali dia yang miring otaknya?
Gadis itu dulu bersumpah untuk memusuhi Pendekar Buta sekeluarga. Kemudian gadis itu berhasil dalam balas dendamnya, yaitu membuntungi lengan Swan Bu. Akan tetapi sekarang menurut pengakuan Swan Bu, mereka akan berjodoh, berarti mereka saling mencinta! Adakah yang lebih aneh dari pada ini?
Betapa pun juga, diam-diam dia iri kepada Swan Bu. Ketika pemuda itu bercerita tentang Siu Bi, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar. Ah, alangkah senangnya mencinta dan dicinta. Kalau dia? Masih sunyi!
“Ahh, di dunia ini memang banyak terjadi hal aneh-aneh...!" la menghela napas dengan kata-kata agak keras.
Bun Hui tengah berada seorang diri di pinggir pantai yang sunyi, merenung dan menyepi karena hatinya sedang kesal. Siang hari itu panas sekali dan seorang diri dia pergi ke pantai, sekalian melihat-lihat dan mengintai. Beberapa hari ini dia merasa jengkel karena para penyelidiknya belum juga dapat mencari tempat sembunyi pimpinan bajak laut.
"Dunia memang aneh..." Sekali lagi dia berkata dan kakinya menumbuk-numbuk pasir.
"Lebih aneh lagi pertemuan ini!" tiba-tiba terdengar suara orang.
Bun Hui kaget sekali, cepat dia menengok dengan tangan meraba gagang pedangnya. Akan tetapi seketika tangannya lemas dan kekhawatirannya lenyap terganti kekaguman. Bukan musuh mengerikan atau bajak laut yang kejam liar yang dihadapinya, melainkan seorang gadis yang cantik molek dengan pakaian sutera tipis warna putih berkembang merah, berkibar-kibar ujung pakaian dan rambut hitam halus terkena angin laut!
Agaknya dewi laut yang datang hendak menggodanya! Kalau memang dewi laut atau siluman, biarlah dia digoda! Pandang mata Bun Hui lekat dan sukar dialihkan dari lesung pipit yang menghias ujung bibir.
"Bun-ciangkun (Perwira Bun), panglima muda dari Tai-goan, bukan?" Gadis cantik jelita itu menegur dan memperlebar senyum sehingga berkilatlah deretan gigi kecil-kecil putih yang membuat pandang mata Bun Hui makin silau.
Bun Hui terkejut dan heran sekali. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang cerdas, dalam beberapa detik saja dia sudah dapat menduga siapa adanya nona yang cantik dan tidak pemalu ini. Maka dia pun cepat-cepat menjura dan berkata,
"Dan kalau tidak salah dugaanku, kau adalah Yosiko, Hek-san Pangcu, bukan?"
Yosiko kembali tersenyum, akan tetapi pandang matanya berkilat. "Tak salah dugaanmu. Agaknya kau cukup cerdik untuk menduga pula apa yang harus kita lakukan setelah kita saling berjumpa di tempat ini. Sudah berpekan-pekan engkau memimpin orang-orangmu untuk membasmi aku beserta teman-temanku. Sekarang kita kebetulan saling bertemu di sini, berdua saja. Nah, orang she Bun, cabutlah pedangmu dan marilah kita selesaikan urusan antara kita."
Aneh sekali. Timbul keraguan dan kesangsian di hati Bun Hui. Padahal, tadinya sering kali dia ingin dapat menangkap ketua bajak laut Kipas Hitam dengan tangannya sendiri, atau membunuhnya dengan pedangnya sendiri.
Semestinya dia akan menyambut tantangan ini dengan penuh kegembiraan. Akan tetapi entah bagaimana, begitu bertemu dengan Yosiko, dia menjadi terpesona dan tidak tega untuk mengangkat senjata menghadapi nona jelita ini! Apa lagi ketika dia teringat akan penuturan Tan Hwat Ki bahwa gadis ini masih terhitung cucu keponakan Raja Pedang sendiri, makin tidak tegalah dia untuk memusuhinya.
"Hayo lekas siapkan senjatamu, mau tunggu apa lagi? Menanti kawan-kawanmu supaya dapat mengeroyokku?" Yosiko mengejek.
Gadis ini sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan kanan dan sabuk sutera putih di tangan kiri. Sikapnya gagah menantang, juga amat cantik.
"Hek-san Pangcu, dengarlah dulu omonganku," akhirnya Bun Hui dapat berkata sesudah dia menenteramkan jantungnya yang berdebaran keras. "Memang suatu kebetulan yang tidak tersangka-sangka aku dapat bertemu denganmu di sini dan memang hal ini sudah kuharapkan selalu. Ketahuilah, setelah aku mendengar siapa adanya ketua Kipas Hitam yang memimpin para bajak, sudah lama sekali keinginanku untuk memerangimu lenyap. Aku mendengar bahwa engkau adalah cucu keponakan locianpwe Tan Beng San, Raja Pedang ketua Thai-san-pai. Setelah sekarang aku berhadapan denganmu, serta melihat kau adalah seorang gadis muda yang gagah dan pantas menjadi cucu seorang pendekar sakti seperti Si Raja Pedang, kuharap kau suka mendengar omonganku dan marilah kita berdamai..."
"Apa? Kau perwira tinggi kerajaan mengajak damai bajak laut? Mengajak damai sesudah kau mengobrak-abrik orang-orangku, membunuhi banyak anak buahku?"
"Pangcu... Nona, ingatlah. Kita masih orang sendiri. Aku sangat menghormati keluarga Raja Pedang, dan kau adalah cucunya. Aku merasa sayang sekali melihat kau tersesat. Kembalilah ke jalan benar. Kau bubarkan para bajak, menyatakan takluk dan bertobat. Percayalah, aku yang akan menanggung, aku yang akan mintakan ampun agar kau tidak akan dituntut..."
"Huh, siapa minta kasihan darimu? Ehh, orang muda she Bun, mengapa kau mendadak sontak begini sayang kepadaku?"
Wajah Bun Hui menjadi merah. Gadis jelita ini selain gagah dan liar, juga lidahnya amat tajam!
"Sudah kukatakan tadi, Nona. Karena kau adalah seorang wanita muda, dan karena kau masih keluarga Raja Pedang."
"Hemmm, karena kau takut! Karena kau seorang diri, tidak dapat mengandalkan bantuan orang-orangmu, maka kau takut melawan aku! Huh, begini sajakah panglima muda dari Tai-goan?"
Wajah pemuda itu sebentar pucat sebentar merah. Perlahan-lahan dia menggerakkan tangannya, meraba gagang pedang, kemudian dengan sinar mata marah dia mencabut pedangnya.
"Hek-san Pangcu, aku adalah seorang lelaki sejati, kenapa harus takut? Aku tadi bicara dengan kesungguhan hati karena sayang melihat engkau tersesat, seberapa dapat ingin menyadarkanmu. Akan tetapi kalau kau menganggap sikapku itu karena takut, silakan maju!"
Yosiko tersenyum lagi. "Nah, ini baru namanya jantan. Orang she Bun, bersiaplah untuk mampus!" Pedangnya langsung berkelebat diikuti gerakan sabuk suteranya ketika gadis ini menyerang dengan hebat.
Terkejut juga hati Bun Hui. Tak disangkanya gadis ini demikian ganas dan serangannya begitu dahsyat. Segera dia memutar pedang menangkis sambil meloncat ke samping menghindarkan diri dari pada sambaran sabuk sutera yang mendatangkan angin pukulan hebat itu.
"Tranggggg...!" Sepasang pedang bertemu dan keduanya terhuyung mundur.
Akan tetapi tiba-tiba saja Yosiko terguling dan hanya dengan berjungkir balik saja gadis ini dapat menahan dirinya agar tidak jatuh. Dia terheran-heran. Mungkinkah pemuda she Bun ini begitu kuat sehingga sekali benturan senjata membuat dia terguling hampir jatuh? Diam-diam ia kaget dan juga kagum. Yo Wan sendiri yang pernah ia uji kepandaiannya, tak mungkin sekuat ini!
Di lain pihak, Bun Hui juga kaget dan heran. la tadi merasa betapa pedangnya terbentur membalik oleh pedang gadis itu dan biar pun dia sudah menghindar, hampir saja ujung sabuk sutera putih itu menyentuh lambungnya. Akan tetapi entah kenapa, tiba-tiba sabuk itu berkibar pergi dan dia merasa ada sambaran hawa panas lewat di samping tubuhnya dan melihat gadis itu hampir jatuh.
la maklum bahwa nama besar ketua Kipas Hitam ini bukanlah nama kosong belaka. Dia juga maklum bahwa gadis jelita ini betul-betul lihai. Maka, dengan hati penuh kekaguman dan penyesalan, dia siap menghadapi serangan lawan.
Dengan hati penasaran Yosiko menerjang maju lagi, kini lebih hebat. Pedangnya diputar di atas kepalanya lalu melayang turun ke arah leher lawan, sedangkan sabuk suteranya meluncur maju menotok ulu hati yang akan mendatangkan maut bila mengenai sasaran dengan tepat. Kembali Bun Hui menggerakkan pedangnya menangkis, ada pun tangan kirinya dikebutkan untuk menyambar ujung sabuk yang menyerang dada.
"Tranggggg...!"
Kembali keduanya terhuyung.
Alangkah kaget hati Yosiko ketika tadi dia merasa betapa sabuknya tiba-tiba saja hilang kekuatannya dan bahkan membalik ke belakang kemudian menyerang dirinya sendiri! la membanting tubuh ke belakang dan bergulingan, wajahnya pucat.
Hebat pemuda ini! Ilmu siluman apakah yang digunakan pemuda itu sehingga dalam dua gebrakan saja dia hampir celaka, padahal pemuda itu bukannya menyerang, melainkan menghadapi serangannya?
Bukan Yosiko saja yang terheran-heran dan kagum, juga Bun Hui merasa heran sekali. la tadi merasa tangannya kesemutan dan kalau dilanjutkan, tentu serangan ujung sabuk akan mencelakakannya sungguh pun serangan pedang dapat ditangkisnya. Akan tetapi kembali dia merasa ada angin pukulan menyambar membantunya dan membuat gadis penyerangnya itu terserang sabuknya sendiri. la cepat menoleh, akan tetapi tidak melihat apa-apa.
Sekarang Yosiko mengeluarkan sebuah kipas hitam! la betul-betul merasa kagum, akan tetapi di samping kekagumannya ini terkandung rasa penasaran. Pemuda bangsawan yang tampan ini tidak kelihatan terlalu sakti, akan tetapi mengapa ia sama sekali tidak berdaya menghadapinya?
Bun Hui sudah mendengar akan jahatnya kipas hitam yang mengandung racun ini, maka dia khawatir sekali. "Nona, aku benar-benar tak ingin bertempur mati-matian melawanmu, marilah kita bicara baik-baik!"
"Terima ini!" Yosiko membentak dan sudah melompat maju.
Pedangnya menyambar, diikuti gerakan kipas yang dikibaskan ke arah Bun Hui. Uap hitam menyambar dan agaknya pemuda itu akan celaka kalau pada saat itu tidak tampak sinar menyilaukan berkelebat. Tahu-tahu Yosiko memekik kesakitan, kipasnya mencelat jauh dan pundaknya terluka ujung pedang Bun Hui. la roboh dan mengerang kesakitan.
Melihat ini, kagetlah Bun Hui. Kini dia merasa yakin, bahwa diam-diam ada orang yang membantunya. Tadi pedangnya bergerak menangkis lagi, akan tetapi entah bagaimana pedangnya itu meleset dan terus menusuk ke arah leher Yosiko, sedangkan sinar yang berkelebat dari belakangnya menghantam kipas. Baiknya dia masih dapat untuk menarik pedangnya sehingga tidak menembus leher yang indah, akan tetapi menyeleweng dan hanya melukai pundak.
Mungkin saking kaget, penasaran dan sakit, Yosiko rebah pingsan! Ketika dia membuka mata, dia rebah di tanah dan Bun Hui sedang mengobati pundaknya! Bukan main kaget dan herannya hati Yosiko, akan tetapi dia berpura-pura masih pingsan. Dari balik bulu matanya yang panjang dia memandang wajah tampan itu yang dengan penuh perhatian memeriksa lukanya dan kemudian mengobatinya dengan obat bubuk yang terasa dingin sekali.
Melihat gadis itu menggerakkan matanya, Bun Hui cepat menyelesaikan pengobatan itu dan berkata perlahan. "Maaf... maaf, aku menyesal sekali, bukan maksudku untuk..."
Yosiko sudah melompat bangun. Mukanya berubah merah dan ia memungut pedangnya yang menggeletak di atas tanah. Ketika ia melihat kipas hitamnya yang sudah remuk, ia menendang kipas itu jauh-jauh, lalu menarik napas panjang.
"Maaf, Nona, aku... aku tidak sengaja."
Yosiko berpaling, dan kembali wajahnya berubah ketika memandang Bun Hui. Pandang matanya masih penuh kekaguman, penuh keheranan, penuh penasaran.
"Kau hebat sekali! Gerakanmu begitu cepat sehingga aku tidak lahu bagaimana caranya kau mengalahkan aku. Agaknya aku kurang hati-hati. Bun-ciangkun, mari kita lanjutkan, aku masih penasaran. Apa bila kau dapat mengalahkan aku tanpa mempergunakan ilmu siluman itu, aku... aku bersedia menuruti segala kehendakmu, tanpa syarat apa pun!" la tersenyum dan diam-diam Bun Hui morat-marit hatinya.
Senyum dengan lesung pipit itu bukan main manisnya. la juga bingung. la tahu bahwa kepandaiannya hanya sanggup mengimbangi gadis ini. Kemenangan-kemenangan aneh yang oleh gadis itu dianggap ilmu siluman tadi adalah kemenangan karena ada bantuan dari orang sakti yang dia sendiri tidak tahu siapa adanya.
"Nona Yosiko, sudahlah, aku tidak ingin bertempur denganmu. Aku bahkan minta maaf dan ingin berdamai, kita habisi permusuhan ini..."
"Kalahkan dulu pedangku! Perlihatkan ilmu silatmu!"
Sambil membentak demikian kembali Yosiko menyerang, kini dia hanya mempergunakan pedang saja, tetapi ia mengerahkan seluruh ilmu pedangnya untuk menyerang. Karena ia mendapat kesan bahwa pemuda panglima dari Tai-goan ini memiliki ilmu kesaktian yang hebat, maka timbullah rasa sayangnya dan Yosiko tidak lagi ingin menggunakan senjata gelap, melainkan hendak menguji dengan ilmu pedangnya.
Melihat gerakan nona ini sungguh-sungguh tentu saja Bun Hui tidak mau tinggal diam. la pun segera menggerakkan pedangnya dan memainkan ilmu silatnya, yaitu Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat yang sangat kuat dan lihai.
Setelah bergerak beberapa jurus kembali Yosiko menahan pedangnya, meloncat mundur dan berseru, "Pernah aku menyaksikan Ilmu Pedang Kun-lun yang hebat. Apakah kau anak murid Kun-lun-pai?"
Dengan perasaan bangga di hati Bun Hui menjawab tenang, "Ketua Kun-lun-pai adalah kakekku."
Makin kagumlah hati Yosiko dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang lagi dengan jurus yang amat berbahaya.
Bun Hui amat terkejut dan cepat dia mengelak ke kiri. Akan tetapi gulungan sinar pedang lawannya bagaikan uap menyambarnya terus, sekarang mengancam lambung. Dengan pemutaran pergelangan tangan Bun Hui menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang bertemu, akan tetapi kali ini dengan cerdik sekali Yosiko sengaja mementalkan pedangnya, bukan ditarik ke belakang, melainkan menyeleweng ke depan terus menusuk dada. Inilah gerak tipu yang amat hebat dan tak tersangka-sangka.
Semua ini dibantu dengan langkah-langkah kaki gadis itu yang betul-betul membuat Bun Hui bingung. Jalan satu-satunya hanyalah menggerakkan pedang membabat kaki lawan yang terdekat, akan tetapi untuk melakukan hal ini dia merasa tidak tega. Pada saat yang berbahaya itu, kembali ada angin menyambar dan... tubuh Yosiko terhuyung-huyung ke samping, serangan pedangnya kembali menyeleweng.
"Kau menggunakan ilmu setan!" bentak Yosiko marah.
Pada saat itu muncullah Siu Bi. Melihat betapa Yosiko bertanding dengan Bun Hui, dia merasa khawatir. Bagaimana pun juga, pemuda putera jenderal di Tai-goan ini pernah bersikap baik sekali kepadanya, dahulu ketika ia menjadi tawanan Jenderal Bun.
"Yosiko, mari pergi! Dia seorang diri di sana, kesempatan baik. Mari!"
Yosiko merasa ragu-ragu, akan tetapi mendengar ucapan-ucapan terakhir itu dia segera membalikkan tubuh, lalu berlari meninggalkan Bun Hui sambil menoleh dan berkata, "Aku masih belum puas. Lain kali kita lanjutkan!”
Bun Hui berdiri bengong. la benar-benar bingung dan kaget melihat nona yang mengajak pergi Yosiko itu. Dia merasa mengenal baik nona itu, nona yang pernah mengobrak-abrik hatinya… Siu Bi. Siu Bi bersekutu dengan Kipas Hitam? Ini hebat.
Tetapi pengalamannya bertanding melawan Yosiko tadi masih meninggalkan ketegangan di hatinya. Apa lagi sesudah melihat munculnya Siu Bi di samping Yosiko, membuat dia termenung berdiri bagaikan patung dengan pedang masih di tangannya.
Dia tidak boleh mengharapkan diri Siu Bi lagi, yang dahulu pernah merampas cintanya. la mendengar pengakuan Swan Bu dan dari mulut pemuda itu sendiri ia tahu bahwa antara Swan Bu dan Siu Bi terjalin kasih sayang yang mendalam.
Jika Siu Bi mencinta Swan Bu, tentu dia tak akan mau mengganggunya. Biarlah mereka berbahagia dalam cinta kasih mereka. Akan tetapi... ketika tadi dia berhadapan dengan Yosiko, dia segera merasa bahwa gadis peranakan Jepang, gadis liar ketua bajak laut inilah yang menggantikan Siu Bi di hatinya. la jatuh cinta kepada Yosiko!
Bun Hui dapat mengetahui hal ini dengan cepat, karena sebagai putera bangsawan yang terkenal, tampan serta gagah, tentu saja sudah banyak dia bertemu dengan gadis-gadis kota, puteri-puteri bangsawan yang cantik dan yang oleh orang tuanya mau pun handai taulannya seakan-akan ditawarkan kepadanya untuk menjadi jodohnya.
Banyak sudah dia bertemu dengan gadis-gadis cantik, akan tetapi dia tak pernah merasa seperti dahulu ketika dia berhadapan dengan Siu Bi, atau saat tadi dia berurusan dengan Yosiko! Bukan hanya kecantikan kedua orang gadis itu agaknya yang mengguncangkan jantungnya dan membetot semangatnya, melainkan juga sikap mereka, agaknya karena keduanya sama lincah, sama liar, dan sama aneh!
Bun Hui menarik napas panjang, bingung memikirkan keadaan hatinya sendiri. Mengapa dia selalu jatuh cinta kepada wanita yang sebenarnya menjadi musuh! Ayahnya tentu tak akan setuju. Dan bagaimana dia dapat berjodoh dengan seorang seperti Yosiko? la tahu bahwa hal ini amatlah tidak mungkin, akan tetapi dia tidak dapat menyangkal perasaan hatinya yang benar-benar tertarik sekali oleh lesung pipit di sebelah pipi Yosiko tadi.
Dengan murung Bun Hui meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan orang yang kini berkelebat mengejar ke arah larinya Yosiko dan Siu Bi. Bayangan orang yang tadi secara rahasia sudah membantunya mengalahkan Yosiko dengan mudah.
Apa kata gadis aneh tadi? ‘Kalau dapat mengalahkan aku, aku bersedia menuruti segala kehendakmu tanpa syarat apa pun!’
Ucapan Yosiko ini terus berdengung-dengung dalam telinga Bun Hui ketika dia berjalan kembali ke perkemahannya. la kembali dalam keadaan yang jauh berbeda dari pada tadi ketika berangkat. Dia sudah menjadi seorang Bun Hui yang lain, seorang pemuda yang linglung terombang-ambing gelora asmara…..
********************
Selanjutnya baca
JAKA LOLA : JILID-13