Si Pedang Tumpul Jilid 02


"Tosu-tosu lancang, sombong dan busuk. Apakah kalian telah bosan hidup semua? Tidak tahukah kalian siapa aku?!" 

Sekarang, sesudah hanya seorang diri saja berhadapan dengan tiga orang tosu itu, Se Jit Kong segera menumpahkan seluruh kemarahannya. Isterinya tidak ada iagi di situ untuk mengendalikannya.

"Heh... heh... heh, Se Jit Kong. Tentu saja kami tahu benar siapa engkau. Engkau adalah Se Jit Kong, peranakan Uigur yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, akan tetapi menjadi hamba iblis dan tidak pantang melakukan segala macam kejahatan demi mencari nama besar dan harta kekayaan. Engkau berjuluk Si Tangan Api, Iblis Tangan Api karena engkau memiliki ilmu yang membuat dua tanganmu mengandung panasnya api. Engkau sudah mengacau di timur, mencuri benda-benda pusaka dari istana, membunuh banyak tokoh pendekar, mengalahkan para pimpinan partai persilatan, dan mengaduk-aduk dunia persilatan dengan kekejaman dan kecongkakanmu," kata Ciu-sian Tong Kui.

"Engkau pun seorang ahli pedang yang sukar dikalahkan. Entah berapa ratus orang roboh oleh tangan dan pedangmu. Entah berapa banyak darah yang telah diminum pedangmu. Engkau bukan manusia, melainkan iblis sendiri, maka engkau harus bertanggung jawab terhadap para pimpinan partai-partai persilatan besar," kata Kiam-sian Louw Sun.
"Se Jit Kong, dengan menggunakan sihir engkau telah mencuri benda-benda pusaka dari gudang pusaka istana. Sungguh engkau berdosa besar, bukan saja terhadap kaisar, akan tetapi juga terhadap negara dan bangsa. Baru saja Kaisar Thai-cu sudah membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah Mongol. Sepatutnya kita berterima kasih dan bersuka ria. Akan tetapi engkau bahkan mengganggu dengan pencurian pusaka. Engkau memang keturunan bangsa biadab yang tidak mengenal terima kasih." Pek-mau-sian Thio Ki yang biasanya halus itu pun kini mencela dengan kata-kata yang keras.

Hal ini tidaklah mengherankan. Pemimpin rakyat Cu Goan Ciang yang berasal dari rakyat petani biasa, telah berhasil memberontak terhadap pemerintah Mongol, bahkan kemudian berhasil menghancurkan dan menghalau penjajah Mongol yang sudah menguasai daratan Cina selama seratus tahun. Tentu saja Cu Goan Ciang dianggap pahlawan besar ketika dia mendirikan Kerajaan Beng-tiauw dan menjadi kaisarnya yang pertama berjuluk Kaisar Thai-cu (1368-1398).

Sekarang giliran Se Jit Kong yang tertawa bergelak dan suara tawanya itu amat dahsyat, karena bukan saja mengandung tenaga khikang yang hebat, juga mengandung kekuatan sihir yang membuat tiga orang tosu itu harus mengerahkan sinkang (tenaga sakti) mereka untuk melindungi diri agar tidak terpengaruh.

"Ha-ha-ha-ha, kalian tiga orang tosu jahanam. Sudah tahu betapa semua pimpinan partai persilatan besar tidak ada yang mampu menandingiku, akan tetapi kalian tiga orang tosu tak ternama berani mencariku sampai ke sini! Ha-ha-ha, kalau mencari mampus, kenapa susah-susah dan jauh-jauh sampai ke sini?" 

Tentu saja Se Jit Kong belum tahu bahwa dia berhadapan dengan tiga orang sakti yang selama puluhan tahun memang tidak pernah muncul di dunia persilatan sehingga ketika dia merajalela di timur, dia tidak pernah mendengar nama mereka. Akan tetapi dia merasa terkejut juga ketika melihat betapa tiga orang tosu itu tenang-tenang saja dan sama sekali tak terpengaruh oleh suaranya yang dahsyat tadi. Padahal tidak banyak orang yang akan sanggup bertahan, baik terhadap pengaruh khikang mau pun ilmu sihir yang terkandung di dalam tawanya tadi.

"Se Jit Kong, ketahuilah bahwa kami tidak biasa dan tidak suka membunuh orang. Oleh karena itu mari kita membuat perjanjian. Kalau kami kalah bertanding denganmu, terserah kepadamu mau diapakan kami ini. Kalau engkau hendak membunuh kami pun terserah. Kami tahu akan resiko tugas kami. Akan tetapi apa bila engkau yang kalah, maka engkau harus menyerahkan kembali semua pusaka istana yang telah kau curi, dan engkau harus dengan suka rela ikut bersama kami untuk menghadap para pimpinan partai persilatan," kata Pek-mau-sian Thio Ki.
"Bagus! Kalian memang sudah bosan hidup. Nah, kalian hendak maju satu demi satu atau dengan keroyokan? Bagiku sama saja!" Ucapan ini saja sudah menunjukkan watak yang takabur dari datuk itu. Akan tetapi di balik itu juga mengandung kecerdikan sebab ucapan itu kalau diterima oleh orang-orang yang merasa diri mereka mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tentu akan mendatangkan perasaan malu dan tidak enak untuk maju bersama dan melakukan pengeroyokan.

"Kami bukan orang-orang pengecut yang suka main keroyokan, Se Jit Kong,” jawab Dewa Rambut Putih. “Kami mendengar bahwa engkau menguasai tiga ilmu yang hebat. Pertama ilmu silat tangan kosong serta ginkang dan sinkang yang sukar dicari bandingnya. Kedua, engkau adalah ahli pedang yang hebat pula. Dan ketiga, engkau memiliki Ilmu sihir yang kuat. Nah, kau akan kami imbangi dengan ilmu-ilmu itu. Pertama, engkau akan ditandingi Dewa Arak dalam ilmu silat tangan kosong. Kedua, engkau akan dihadapi Dewa Pedang dalam ilmu pedang, dan terakhir, aku sendiri yang akan mencoba kekuatan sihirmu. Kalau dua orang di antara kita kalah, biarlah kami mengaku kalah. Bagaimana pendapatmu?”

Tentu saja syarat ini sangat menguntungkan bagi Se Jit Kong. Dia tidak dikeroyok, dan kalau dapat mengalahkan dua orang, biar pun andai kata yang seorang menang, dia tetap keluar sebagai pemenang.

"Bagus! Nah, majulah kau, tosu pemabok! Aku akan membuat perut gendutmu menjadi kempis!" ejeknya sambil menghadapi Ciu-sian Tong Kui.
"Heh-heh-heh-heh, perut ini berisi hawa arak, bagaimana engkau akan mampu membikin kempis tanpa terkena gasnya? Heh-heh-heh!" Biar pun dia membadut, namun Dewa Arak tidak pernah lengah karena dia maklum bahwa sekarang dia sedang berhadapan dengan seorang datuk sesat yang amat lihai dan licik. 

Benar saja! Belum habis dia tertawa, tubuh tinggi besar itu sudah menyerangnya secara curang dan dahsyat sekali. Kalau saja dia tadi lengah dan belum siap siaga, setidaknya serangan itu tentu akan membuat Dewa Arak kelabakan!

Akan tetapi dia sudah siap siaga. Dengan cepat kakinya bergeser secara aneh dan cepat sekali, dan dia pun telah berhasil menghindarkan diri dari terkaman lawan, bahkan sambil memutar tubuh dia segera membalas dengan totokan ke arah lambung lawan.

Se Jit Kong menangkis sambil mengerahkan sinkang. Ia ingin mematahkan tulang lengan lawan, juga hendak mengukur sampai di mana kekuatan sinkang lawannya yang memiliki gerakan aneh dan seperti ugal-ugalan itu.

Dewa Arak justru mengharapkan tangkisan lawan karena dia pun ingin mengadu sinkang. Bukankah mereka berdua memang bertanding untuk mengadu sinkang dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sambil menguji pula ilmu silat tangan kosong masing-masing?

"Dukkkk!"

Keduanya terdorong ke belakang. Se Jit Kong terdorong sampai tiga langkah, sedangkan Dewa Arak terdorong ke belakang dua langkah. Dari hasil adu tenaga ini saja sudah dapat diketahui bahwa Dewa Arak masih lebih kuat sedikit!

Tentu saja Se Jit Kong menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa lawan yang perutnya cacingan ini mempunyai tenaga yang sedemikian kuatnya. Dia tidak tahu bahwa Ciu-sian Tong Kui adalah seorang ahli sinkang yang sudah menguasai Thian-te Sinkang (Tenaga Sakti Langit Bumi)!

Dia mangeluarkan teriakan marah dan kini dia mengandalkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) untuk menyerang lawan. Gerakannya amat cepat hingga tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar.

Namun kembali Dewa Arak mengeluarkan suara tawanya yang nyaring, kemudian dia pun mengimbangi dengan gerakan kaki yang berloncatan atau bergeser, dan semua serangan lawan dapat dielakkannya. Kalau gerakan lawan sangat cepat, gerakannya sendiri begitu aneh, seakan-akan setiap gerakan kaki yang bergeser ke sana sini atau berloncatan itu seperti sepasang kaki burung yang amat lincahnya. Dan memang si gendut ini menguasai ilmu meringankan tubuh atau ilmu langkah ajaib yang diberi nama Hui-niauw Poan-soan (Burung Terbang Berputaran).

Pada saat itu Ju Bi Ta dan Sin Wan sudah berada tidak jauh dari situ, menjadi penonton pertandingan. Hanya mereka berdualah yang menjadi penonton sebab tempat itu sepi dan tidak ada orang lain yang berada di situ.

Ju Bi Ta sengaja berdiri di tempat terbuka agar suaminya dapat melihatnya. Dia ingin agar suaminya tahu akan kehadirannya sehingga suaminya tidak akan bertindak keterlaluan, tidak akan melakukan pembunuhan seperti yang telah dipesannya tadi. 

Dan memang Se Jit Kong telah melihat kehadiran isterinya dan puteranya. Tentu saja hal ini membuat dia kurang leluasa bergerak. Biasanya, kalau bertanding, apa lagi melawan seorang yang demikian lihainya, dia akan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk membunuh lawan. Akan tetapi sekarang isterinya hadir dan tadi isterinya berpesan agar dia tidak membunuh tiga orang tosu itu!

Hal ini membuat serangannya tidak begitu ganas lagi. Dia hanya ingin merobohkan dan mengalahkan lawan, tidak mau membunuhnya karena kalau hal ini terjadi, isterinya tentu akan marah.

Semenjak dia memperisteri Ju Bi Ta, dia begitu sayang kepada isterinya. Ia merasa amat berbahagia kalau isterinya bersikap manis kepadanya, akan tetapi sorga berubah menjadi neraka baginya kalau isterinya marah dan tidak menyambutnya dengan manis.

Setiap orang pria yang normal, siapa pun dia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, dari kaisar sampai buruh kecil, yang sudah dewasa, pasti mempunyai suatu kerinduan akan seorang wanita yang dapat dicintanya dengan sepenuh hati. Seorang wanita yang akan membangkitkan kejantanannya, yang akan berbahagia oleh cintanya, seperti tanah subur bagi benih cintanya yang akan bersemi dan tumbuh dengan suburnya. Pria akan selalu merasa bangga kalau ada wanita yang menghargai cintanya, membuat dia merasa jantan, perkasa dan mampu membahagiakan wanita.

Demikian pula dengan Se Jit Kong. Biar pun dia seorang datuk besar kaum sesat, dia pun seorang pria normal. Sudah kerap kali dia menikah, namun selalu pernikahannya gagal, walau pun kegagalan ini disebabkan oleh wataknya sendiri yang kasar dan kejam.

Akan tetapi, sejak dia memperisteri Ju Bi Ta kurang lebih sebelas tahun yang silam, atau sepuluh tahun lebih, dia benar-benar menemukan seorang wanita yang memenuhi segala keinginannya. Karena itu dia pun takut akan kehilangan sikap isterinya, dan ini membuat dia menjadi taat karena takut kalau isterinya marah kepadanya.

Tentu saja keadaan Se Jit Kong yang demikian itu menguntungkan Dewa Arak. Memang ilmu silat tangan kosong, ilmu meringankan tubuh serta tenaga sakti mereka berimbang, atau Dewa Arak lebih menang sedikit. Dengan kehadiran Ju Bi Ta yang membuat Se Jit Kong tidak leluasa bergerak, kini kedudukan Dewa Arak menjadi lebih unggul.

Akan tetapi sebaliknya, Dewa Arak juga tidak ingin membunuh datuk besar itu. Meski dia adalah seorang yang berwatak riang gembira dan ugal-ugalan seperti orang yang selalu mabuk arak, namun dia adalah seorang pertapa yang sudah melepaskan nafsu-nafsunya, terutama sekali nafsu ingin menang dan nafsu membenci dan ingin mencelakai orang lain. Dia tidak mau membunuh, bahkan kalau bisa hanya menangkan pertandingan itu tanpa membuat lawan terluka parah.

Lima puluh jurus sudah lewat, dan pertandingan tangan kosong itu berlangsung semakin seru dan hebat. Biar pun mereka berdiri agak jauh namun Ju Bi Ta dan Sin Wan masih dapat merasakan sambaran angin pukulan yang membuat ranting-ranting pohon di sekitar tempat itu seperti diamuk angin kuat, bahkan daun-daun kering yang berserakan di bawah beterbangan ketika dua pasang kaki itu bergerak dan berloncatan dengan amat cepatnya! Sukar bagi Ju Bi Ta untuk membedakan mana suaminya dan mana orang lain dari dua bayangan yang berkelebatan itu. 

Sin Wan yang sejak berusia lima tahun telah digembleng ilmu oleh ayahnya, sudah dilatih siu-lian (semedhi) sehingga mempunyai pandangan yang tajam, biar pun dapat mengikuti gerakan mereka, tetap saja dia tidak dapat menilai siapa yang mendesak dan siapa yang terdesak. Gerakan mereka terlalu cepat.

Namun diam-diam Se Jit Kong mengeluh. Kedua lengannya sudah berubah merah seperti baja membara, dan dia sudah mengeluarkan ilmu silatnya, akan tetapi lawannya sungguh tangguh. Lengannya yang mengandung hawa panas membakar itu bertemu dengan dua lengan yang kadang keras kadang lunak, akan tetapi selalu dingin dan tidak terbakar oleh tangan apinya! 

Tahulah dia bahwa kalau pertandingan itu terus diianjutkan, andai kata dia tidak kalah pun dia akan kebabisan tenaga, padahal dia masih harus bertanding melawan dua orang lagi yang tentu juga amat lihai seperti Si Dewa Arak ini. Maka dia mulai ragu-ragu.

Dewa Arak melihat keraguannya ini dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia lalu mengerahkan llmu ginkang-nya dan kakinya bergeser aneh ke depan, bahkan seolah-olah hendak menerima tamparan tangan kanan Se Jit Kong yang melayang dari atas ke arah kepalanya. Tapi secepat kilat tubuhnya mendadak menyelinap ke bawah dan tiba-tiba Se Jit Kong terhuyung ke belakang karena lambungnya sudah didorong oleh telapak tangan Dewa Arak. 

Kalau Dewa Arak menghendaki, dorongan itu dapat saja menjadi pukulan maut yang akan merusak isi perut lawan. Akan tetapi dia hanya mendorong dan membuat lawan terhuyung saja untuk membuktikan bahwa dia sudah memenangkan pertandingan itu.

Tetapi Se Jit Kong bukanlah orang yang mau mengaku kalah begitu saja. Bahkan selama hidupnya belum pernah dia mengaku kalah! Semenjak berguru kepada seorang pertapa sakti di India, dia merasa dirinya tidak terkalahkan, bahkan dia tidak pernah mau percaya bahwa dia dapat dikalahkan!

Kesombongan adalah penyakit yang selalu menyeret kita ke alam pikiran sesat. Nafsu daya rendah yang mencengkeram hati dan akal pikiran kita mendorong kita untuk merasa bahwa kita ini yang paling pandai, paling benar, paling baik dan paling segala! Kalau kita pandai, kita membanggakan pikiran kita, kalau kita kuat, kita membanggakan tubuh kita. Kita selalu lupa bahwa kita ini hanya alat! 

Seluruh tubuh, hati serta akal pikiran ini hanyalah alat untuk hidup sebagai manusia, alat yang semula dimaksudkan untuk mengabdi kepada jiwa yang menjadi penghuni diri kita. Tetapi sayang, alat-alat itu kemudian digelimangi nafsu daya rendah sehingga kita dibawa menyeleweng. 

Alat-alat yang seharusnya dipergunakan oleh jiwa telah diambil alih oleh nafsu, diperalat oleh nafsu sehingga apa pun yang dilakukan tubuh, hati dan akal pikiran selalu ditujukan untuk memuaskan nafsu daya rendah. Nafsu daya rendah atau setan ini selalu mengejar kesenangan, memperalat dan menyelewengkan kita sehingga membawa pula kita kepada kesombongan diri, kebencian, iri hati, ketakutan, kemurkaan, dan sebagainya.

Kalau kita melakukan sesuatu, kita menjadi bangga dan menganggap bahwa kita yang pandai! Kita lupa bahwa kepandaian yang berada di dalam kepala kita itu hanya alat-alat belaka, terdiri dari sel-sel otak, darah dan syaraf. Ada sedikit saja kerusakan pada alat itu, ada satu saja syaraf lembut itu yang putus, maka akan sirnalah seluruh kepandaian yang kita banggakan semula! 

Demikian pula kekuatan pada tubuh. Kita membanggakan tubuh kita yang kuat. Padahal tubuh pun hanya merupakan alat dan ada sedikit saja kerusakan pada tubuh, kekuatan yang dibanggakan itu pun sirna. Jelas bahwa kita pandai karena kita diberi kepandaian, kita kuat karena diberi kekuatan! 

Kita lupa bahwa ADA yang memberi! Setan sudah membisikkan kesombongan kepada kita sehingga kita lupa kepada SANG PEMBERI. Orang. yang sadar akan hal ini takkan berani memuji diri sendiri yang hanya merupakan alat, melainkan memuji kepada SANG PEMBERI yang telah memberikan semua itu kepada kita sebagai alat, memuji kepada SANG PEMBERI atau Tuhan Yang Maha Kasih, Allah Yang Maha Esa!

Karena merasa terdesak, sebelum dirobohkan Se Jit Kong sudah meloncat lagi dan kini tangannya memegang sebatang pedang terhunus yang mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya. Itulah Gin-kong Pokiam (Pedang Pusaka Sinar Perak), sebuah di antara benda pusaka yang dicurinya dari gudang pusaka istana.

"Tranggg...l"

Sebatang pedang lain menangkis pedang bersinar perak yang menyambar ke arah Dewa Arak. Ternyata Dewa Pedang telah meloncat dan menangkis pedang yang menyambar ke arah rekannya itu.

Kini Dewa Pedang dan Se Jit Kong saling berhadapan dengan pedang di tangan. Pedang di tangan Dewa Pedang juga mengeluarkan sinar kekuningan. Pedang itu pun merupakan sebuah pedang pusaka ampuh yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari).

"Heh-heh-heh-heh, Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong, engkau sudah kalah dalam pertandingan pertama denganku! Lihat saja baju di lambungmu," kata Dewa Arak yang sudah meloncat jauh ke belakang, mengambil guci araknya dan minum arak dari gucinya beberapa teguk.

Se Jit Kong maklum akan kebenaran ucapan itu, maka dia tidak mau lagi melirik ke arah baju di lambungnya yang berlubang sebesar telapak tangan lawan. Ia pun maklum bahwa jika tadi Dewa Arak menghendaki, tentu bukan hanya bajunya yang berlubang, melainkan lambungnya dan tentu dia telah tewas. 

Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang itu, hanya diam-diam dia merasa heran mengapa ada orang setolol itu, mendapat kesempatan baik tapi tak mau menggunakannya! Karena merasa kalah dalam pertandingan pertama, dia hendak mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memenangkan dua pertandingan yang lain. 

Dia merasa yakin akan menang karena dia memiliki ilmu pedang yang hebat, campuran dari ilmu pedang Bangsa Kasak yang ahli bertempur itu dengan ilmu pedang dari India. Dia sudah mengolah ilmu-ilmu yang dikuasai itu menjadi ilmu pedang yang ampuh sekali, yang selama ini belum terkalahkan. 

Ketika dia mengadu ilmu pedang dengan tokoh Kun-lun-pai, kemudian tokoh Bu-tong-pai, walau pun dia tidak mampu menang dan hanya dapat mengimbangi ilmu pedang lawan, namun dia pun tidak dikalahkan. Dan dia menang dalam perkelahian itu dengan bantuan ilmu sihirnya dan ilmu pukulan Tangan Api.

"Hyaaaatttt...!" 

Se Jit Kong mengeluarkan bentakan lantang dan pedangnya segera menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia telah kalah dalam pertandingan pertama tadi, kini dia melupakan pesan isterinya, lupa bahwa isterinya berada tak jauh dari situ menjadi penonton. Dia tidak peduli lagi karena kalau dia tidak mampu menang berarti dia kalah dan dia harus menepati janjinya. 

Menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu tak begitu besar artinya bagi dia, tetapi kalau dia menyerah untuk ditangkap dan dibawa ke timur, hal itu sungguh merupakan penghinaan besar dan juga belum tentu para tokoh partai persilatan itu akan suka memaafkannya. Dia pasti akan dihukum mati oleh mereka! Maka dia harus memenangkan dua pertandingan berikutnya dan dia akan mamaksakan kemenangan itu, kalau. perlu membunuh lawannya!

Dari gerakan serangan itu tahulah Kiam-sian Louw Sun bahwa lawannya sudah nekat dan mengirim serangan maut. Maka dia pun segera memutar Jit-kong-kiam untuk melindungi tubuhnya, kemudian membalas dengan tidak kalah dahsyatnya.

Dua orang ahli pedang itu segera terlibat dalam pertandingan yang lebih menegangkan dari pada tadi, karena kini kedua pedang itu berkelebatan, lenyap bentuknya menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata, saling belit dan merupakan kilat yang membawa maut.

Ilmu pedang yang dimainkan Se Jit Kong memang aneh sekali dan juga amat berbahaya. Akan tetapi sekali ini dia menghadapi seorang ahli pedang yang sakti, bahkan mempunyai julukan Dewa Pedang. Dari julukannya saja mudah diketahui bahwa tentu Dewa Pedang memiliki ilmu pedang yang sudah mencapai tingkat yang amat tlnggi. 

Apa lagi pedang di tangan tosu yang sakti itu juga merupakan pedang pusaka ampuh. Kalau Se Jit Kong tidak memegang pedang pusaka dari gudang istana kaisar, pedang lain tentu akan mudah patah kalau bertemu dengan Jit-kong-kiam.

llmu pedang yang dimainkan Dewa Pedang itu di samping cepat juga mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, dapat menekan, membelit dan menempel. Itulah Ilmu pedang Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang cahaya Matahari) yang selama ini belum terkalahkan.

Dua orang itu memang satu tingkat. Pedang mereka sama-sama kuat dan ampuh sebagai pedang pusaka pilihan. Ilmu pedang mereka pun dahsyat dan aneh, sedangkan dalam hal tenaga, mereka pun seimbang. Sampai seratus jurus lebih, belum juga ada yang nampak kalah atau menang.

Mereka saling serang sambil mengerahkan segala kemampuan dan tenaga mereka. Sinar pedang menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing dan kadang kala bercuitan. Daun-daun pohon di dekat mereka berhamburan seperti disayat-sayat.

Sejak tadi Ju Bi Ta dan Sin Wan melihat pertandingan dengan hati tegang. Sin Wan mulai merasa khawatir. Biar pun tidak main keroyokan seperti belasan orang beberapa hari yang lalu, akan tetapi tiga orang yang menjadi lawan ayahnya itu masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak kalah oleh ayahnya. 

Tadi pun ketika selesai bertanding tangan kosong dengan tosu berperut gendut, Sin Wan melihat betapa baju ayahnya pada bagian lambung berlubang sebesar telapak tangan. Dia mengerti bahwa hal itu menjadi pertanda bahwa ayahnya teiah kalah, dan dia pun kagum bahwa si pemenang itu tidak membunuh ayahnya, bahkan melukainya pun tidak. Dan kini orang kedua dapat memainkan pedang sedemikian cepatnya sehingga bisa mengimbangi permainan ayahnya.

Se Jit Kong mulai merasa lelah. Uap putih mengepul keluar dari ubun-ubun kepalanya dan napasnya mulai terengah-engah. Tentu saja daya tahannya kalah jika dibandingkan Dewa Pedang. Kiam-sian Louw Sun adalah seorang pertapa yang selama dua puluhan tahun ini hidup bersih, tubuhnya tidak terlalu diperalat nafsu sehingga tubuhnya menjadi kuat, tidak seperti Se Jit Kong yang hidupnya bergelimang nafsu.

Karena dia merasa mulai lelah sedangkan lawannya masih kelihatan segar, Se Jlt Kong tahu bahwa bila dilanjutkan akhirnya dia akan kalah karena kehabisan napas dan tenaga. Maka diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya, matanya mencorong tajam dan tiba-tiba saja dia membentak dengan suaranya yang mengandung kekuatan sihir.

"Robohlah kau...!"

Kiam-sian Louw Sun terkejut sekali karena tiba-tlba tubuhnya seperti terdorong kuat dan sungguh pun dia telah mempertahankan diri, akan tetapi tetap saja dia terhuyung-huyung dan hampir saja terjengkang jatuh kalau saja tidak dengan cepatnya Pek-mau-sian Thio Ki menangkap lengannya.

"Tangan Api, engkau menggunakan kecurangan lagi! Engkau bertanding pedang dengan Dewa Pedang, bukan bertanding sihir. Kalau engkau hendak memamerkan ilmu sihirmu, akulah lawanmu. Dalam hal ilmu pedang, engkau pun tadi kalah, buktinya engkau hampir putus napas dan kau menggunakan ilmu sihir dengan curang!" tegur Dewa Rambut Putih.

Dalam keadaan terhimpit itu Se Jit Kong berusaha untuk mencapai kemenangan dengan sekali pukulan. Dia pun mengerahkan seluruh tenaga ilmu sihirnya, matanya mencorong, tubuhnya menggigil dan dia membentangkan kedua lengan lantas berkata dengan suara yang lantang dan menggetar,

"Kalian semua belum mengenal siapa aku! Lihatlah baik-baik, aku adalah Naga Api yang datang untuk membasmi kalian semua!"

Dia memekik, suara pekikannya melengking nyaring hingga menggetarkan seluruh orang yang berada di sana. Sin Wan yang belum pernah melihat ayahnya bersikap seperti itu menjadi terkejut sekali dan dia pun terbelalak ketika memandang dengan penuh perhatian. Kini ayahnya sudah lenyap dan di tempat ayahnya berdiri tadi nampak seekor naga yang mengeluarkan api dari mulutnya.

Naga itu sebesar orang dewasa dan panjangnya puluhan kaki! Dua matanya mencorong, lidahnya yang terjulur keluar itu seperti api membara. Dari mulutnya keluar api bernyala-nyala bercampur asap, juga dari hidungnya keluar api. Sungguh merupakan makhluk yang mengerikan sekali. Naga Api! 

Ketika dia menoleh kepada ibunya, agaknya ibunya juga melihat peristiwa ini, akan tetapi ibunya tidak nampak heran, hanya ngeri dan takut. Melihat ibunya ketakutan, Sin Wan lalu memegang tangan ibunya. Dia merasa betapa jari-jari tangan ibunya mencengkeram jari-jari tangannya dan tangan ibunya itu terasa amat dingin.

Dewa Arak dan Dewa Pedang sudah duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang yang melakukan semedhi. Mereka mengerahkan tenaga batin agar tidak terpengaruh dan terseret oleh ilmu sihir yang kuat itu, lantas sambil memejamkan mata mereka melawan getaran sihir. Namun Dewa Rambut Putih tidak ikut duduk bersemedhi, melainkan berdiri berhadapan dengan Se Jit Kong yang sudah ‘berubah’ menjadi naga api itu.

"Ha-ha-ha, Se Jit Kong, permainan kanak-kanak ini tidak ada artinya bagiku!" 

Dewa Rambut Putih segera mengeluarkan sulingnya lalu dia meniup suling itu. Terdengar lengking suara yang turun naik, terdengar aneh dan mengandung getaran kuat sekali. 

Sin Wan memandang dengan mata terbelalak, dan biar pun hatinya amat tegang, namun dia ingin sekali tahu bagaimana kelanjutan pertandlngan adu ilmu sihir yang aneh ini.

Naga Api itu menggereng-gereng dan suara suling melengking-lengking. Namun gerengan naga api terdengar semakin lemah dan akhirnya nampak asap mengepul, lantas lenyaplah naga jadi-jadian itu dan nampak tubuh Se Jit Kong. Suara suling pun terhenti dan muka Se Jit Kong menjadi merah sekali saking marahnya.

"Pek-mau-sian, aku atau engkau yang mampus!" bentaknya, kemudian dia mengangkat pedangnya tlnggi-tinggi di atas kepala, mulutnya berkemak kemik dan dia berseru lantang, "Pek-mau-sian, nagaku ini akan membunuhmu!" Dan dia melontarkan pedang itu ke atas.

Terdengar suara keras seperti ledakan, lantas pedang itu lenyap berubah menjadi seekor naga lagi. Walau pun tidak begitu menyeramkan seperti naga api tadi, akan tetapi naga ini bergerak dengan lincahnya seperti burung terbang dan berputaran di atas, seperti sedang mengintai korban.

Melihat ini, Pek-mau-sian Thio Ki tertawa lagi. "Udara jernih menjadi keruh, langit terang menjadi gelap, munculnya naga jadi-jadian yang jahat perlu diberantas!" 

Ucapannya terdengar seperti nyanyian, kemudan dia pun melontarkan sulingnya ke atas. Terdengar lengkingan suara meninggi dan suling itu pun berubah bentuk menjadi seekor naga putih kekuningan seperti warna suling bambu itu. Kedua naga itu bertemu di udara dan terjadilah pertandingan dan pergulatan yang hebat.
Tetapi kejadian itu tidak berlangsung lama karena terdengar suara Pek-mau-sian lantang. “Pedang curian harus kembali ke pemiliknya!"

Dan kedua ‘naga’ itu pun meluncur ke bawah, ke arah Dewa Rambut Putih, lantas lenyap berubah menjadi suling dan pedang yang kini berada di kedua tangan tosu itu.

Wajah Se Jit Kong menjadi pucat sekali. Dia maklum bahwa dalam ilmu sihir pun dia tidak mampu menandingi Pek-mau-sian Thio Ki.

Dalam ilmu pedang dia kewalahan melawan Kiam-sian Louw Sun, dan dalam ilmu silat tangan kosong dan tenaga sinkang, dia pun terdesak oleh Ciu-sian Tong Kui. Tiga orang lawan itu memang tangguh sekali dan kalau dilanjutkan pun akhirnya dia akan mendapat malu dan akan roboh.

Se Jit Kong mencabut sebatang pisau dari pinggangnya. Melihat ini tiga orang tosu yang semuanya sudah bangkit berdiri itu siap siaga, mengira bahwa datuk ini akan mengamuk dan melawan mati-matian. Akan tetapi Se Jit Kong memandang kepada mereka dengan penuh kebencian dan suaranya terdengar kaku penuh kemarahan.

"Sam Sian (Tiga Dewa), kalian sudah mampu menandingi dan mengalahkan aku, akan tetapi jangan harap aku akan sudi mengembalikan benda-benda pusaka itu dan menyerah untuk kalian tangkap. Tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang boleh membuat aku menyerah dan memaksaku! Ha-ha-ha-ha…!”

Sambil tertawa bergelak Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong lantas menggerakkan pisau itu. Tiga orang tosu terbelalak keget. Mereka tidak menyangka sama sekall bahwa Tangan Api itu akan mengambil keputusan demikian nekat.

Pisau itu, di tangan ahli Se Jit Kong, telah menyelinap di bawah tulang iga dan langsung menembus jantungnya sendiri! Dia masih tertawa bergelak ketika roboh dengan sepasang mata terbelalak dan begitu suara tawanya terhenti, dia pun sudah menghembuskan napas terakhir!!

"Ayaaaahhh...!" Sin Wan menjerit dan lari menghampiri tubuh ayahnya yang menggeletak telentang tak bernyawa lagi itu.
"Ayah...! Ayahhh...!" Dia menubruk dan merangkul tubuh yang sudah menjadi mayat akan tetapi masih hangat itu. Dia tak peduli tangan dan bajunya terkena darah yang bercucuran keluar dari lambung ayahnya. 

Sesudah mengguncang-guncang tubuh ayahnya dan memanggil-manggil, namun ayahnya tetap tidak bergerak, mati dengan mata melotot, Sin Wan maklum bahwa ayahnya sudah tewas. Dengan terisak dia lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk menutup sepasang pelupuk mata yang terbelalak itu sehingga kedua mata itu kini terpejam. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, memutar tubuh menghadapi tiga orang tosu yang memandang dengan sikap tenang.

"Kalian... tiga orang pendeta yang kelihatannya saja alim dan baik, akan tetapi kalian telah membunuh ayahku! Aku bersumpah kelak aku akan...”
"Sin Wan, diam kau...!" Tiba-tiba ibunya membentak dan ternyata ibunya telah berada di sisinya. Sin Wan tidak melanjutkan ucapan sumpahnya yang hendak membalas dendam, dan dia menoleh kepada ibunya, lalu merangkul pinggang ibunya.
"Ibuuuu... ayah telah tewas...!" isaknya.
"Aku tahu, anakku."
"Ayah telah dibunuh oleh tiga orang jahat itu...”
''Hushhh, diam kau, Sin Wan. Bukan mereka yang membunuh. Ayahmu bunuh diri, kita juga melihatnya tadi."
"Tetapi dia bunuh diri karena tersudut oleh mereka, ibu. Mengapa ibu tidak menyalahkan mereka dan tidak membela ayah?"
"Sin Wan, ayahmu tewas karena ulahnya sendiri..." 

Wanita itu lalu berlutut dan menggunakan kedua tangannya untuk mencabut pisau yang masih menancap di lambung suaminya. Pisau itu berlumuran darah, akan tetapi kini tidak banyak lagi darah mengucur keluar dari luka di lambung itu.

"Ibuuu...!" 

Sin Wan berseru kaget ketika melihat ibunya mencabut pisau yang berlumuran darah itu. Dia melihat ibunya bercucuran air mata, menangis. Dia pun merasa terharu dan sangat sedih, mengira ibunya menangisi kematian ayahnya. 

"Ibu, ayah mati karena ulah mereka, bagaimana kita tidak menjadi sakit hati? Ibu, jangan menangis, kelak anakmu yang akan..."
"Husssh, Sin Wan, jangan blcara sembarangan," kata ibunya sambil menghentikan tangis dan menghapus air matanya. "Ibumu bukan menangisi kematian ayahmu."

Sepasang mata anak itu terbelalak. "Ibu... apa maksudmu, ibu? Bagaimana mungkin ibu berkata demikian? Ayah amat mencinta ibu dan juga menyayangku, dan ibu pun mencinta ayah. Kenapa ibu mengatakan bukan menangisi kematian ayahku?"

"Sin Wan, dia ini bukan ayahmu."
"Heeeii...! Ibu...! Apa... apa maksudmu?” Wajah anak itu berubah pucat dan dia menatap wajah ibunya dengan mata terbelalak.

Tiga orang tosu itu pun saling pandang dan mereka diam saja, hanya kini mereka duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan juga untuk tidak mengganggu ibu dan anak itu.....

"Sin Wan, anakku, sekarang tibalah saatnya ibumu membuka semua rahasia ini, di depan jenazah Se Jit Kong ini. Dengarkan baik-baik dan ingat semua kata-kataku, anakku. Lebih dari sepuluh tahun yang silam, ketika usiaku baru delapan belas tahun, namaku Jubaidah dan aku hidup berbahagia di samping suamiku yang baru setahun lebih menjadi suamiku. Suamiku bernama Abdullah dan dia adalah putera seorang kepala dusun di perkampungan bangsa kita, yaitu bangsa Uigur. Ketika itu engkau sudah berada di dalam kandunganku, Sin Wan, berumur tiga empat bulan."

"Aahhh..., jadi ayahku... ayah kandungku, yang bernama Abduilah itu...?" Suara Sin Wan berbisik lirih dan dia menoleh ke arah wajah Se Jit Kong, orang yang selama ini dianggap ayahnya.
"Mendiang Abdullah, anakku. Pada suatu hari Se Jit Kong ini datang ke dusun kami dan dia... dia menginginkan diriku. Dia lalu membunuh ayah kandungmu, mendiang Abdullah suamiku itu...”
"Ya Tuhan...!" Sin Wan menjadi lemas, wajahnya semakin pucat dan matanya seperti tak bersinar lagi mengamati wajah Se Jit Kong. Orang yang menyayangnya dan disayangnya seperti ayah ini kiranya malah pembunuh ayah kandungnya!

"Tenanglah Sin Wan. Engkau harus mendengarkan penuh perhatian dan mengingat baik-baik semua keteranganku ini. Suamiku Abdullah dibunuh oleh Se Jit Kong ini, lantas aku diculiknya. Aku adalah seorang wanita yang taat beragama. Aku sudah bersuami dan biar pun suamiku tewas, aku tidak akan sudi menyerahkan diri kepada pria lain, apa lagi kalau pria itu pembunuh suamiku. Menurut suara hatiku, seharusnya aku membunuh diri pada saat suamiku dibunuh itu. Akan tetapi… semoga Tuhan mengampuniku, aku... aku tidak tega karena engkau berada di dalam perutku, anakku. Kalau aku bunuh diri, berarti aku juga membunuh engkau. Aku ingin engkau terlahir dan hidup, anakku. Aku ingin engkau dapat menjadi saksi tunggal bahwa aku sama sekali bukan wanita yang demikian mudah melupakan suami dan menyeleweng dengan penyerahan diri kepada pria lain..." Wanita itu memejamkan mata dan menahan agar tangisnya tidak datang lagi.

Sin Wan tidak mengeluarkan suara, hanya memegang tangan ibunya dan menggenggam tangan itu seolah-olah memberi kekuatan kepada ibunya. Tangan kiri ibunya dingin sekali, sedangkan tangan kanan wanita itu masih menggenggam gagang pisau yang berlumuran darah Se Jit Kong.

Agaknya sentuhan tangan puteranya memberi kekuatan kepada Ju Bi Ta atau Jubaidah ini, maka dia pun melanjutkan bicaranya.

"Dia ini memaksaku menjadi isterinya. Dia tidak memaksa dengan kekerasan, melainkan membujuk dengan lembut dan tampaknya ia amat sayang kepadaku. Aku lalu menyerah, akan tetapi demi Tuhan, semua ini kulakukan hanya untuk menyelamatkan anak di dalam kandunganku. Aku menyerah dengan syarat bahwa dia harus menanti sampai anak dalam kandungan terlahir, kemudian syarat kedua adalah bahwa dia harus menganggap anakku seperti anak sendiri dan menyayangnya. Jika sampai kelak dia melanggar janji maka aku akan membunuh diri. Dan dia... ya Tuhan ampunkan hamba, dia begitu sayang kepadaku, dia memenuhi semua permintaanku dan tdak pernah melanggar syarat-syaratku. Setelah engkau terlahir, dia begitu sayang kepadamu dan aku merasa benar bahwa dia amat cinta padaku. Maka, terpaksa sekali, walau pun di dalam hati aku menangis dan mohon ampun dan pengertian dari mendiang suamiku, aku menyerah dan menjadi isterinya..." Kembali wanita ini menghentikan ceritanya, berulang kali menghela napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan.

Sin Wan memandang bingung. Dia belum cukup dewasa untuk dapat menyelami keadaan ibunya, karena itu dia menjadi bingung dan tidak dapat mempertimbangkan baik buruknya keadaan itu.

"Akan tetapi, betapa pun besar cintanya kepadaku dan sayangnya kepadamu, bagaimana aku dapat mencinta orang seperti dia, anakku? Bukan saja dia telah membunuh suamiku dan menculikku, akan tetapi dia... ohhh, dia jahat sekali. Dia seorang datuk besar dunia hitam dan dia tidak pantang melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun juga. Hanya satu yang tidak pernah dia lakukan setelah memiliki aku sebagai isterinya, yaitu mengganggu wanita. Hal ini pun karena permintaanku. Berulang kali aku membujuk, tapi dia melakukan segala macam kejahatan secara diam-diam, di luar pengetahuanku. Bahkan kabarnya dia menjadi jagoan nomor satu dengan mengalahkan semua tokoh di timur. Dia jahat sekali, anakku, ahhh, bagaimana mungkin aku dapat membalas cintanya? Aku hanya ingin mati, akan tetapi aku khawatir sesudah aku mati dia akan bersikap jahat terhadap dirimu. Aku harus menjagamu... dan untuk melindungimu, aku rela menderita lahir batin...”

"Ibu...!" Sin Wan merangkul ibunya. Sekarang dia dapat merasakan benar alangkah besar pengorbanan ibunya terhadap dirinya.
"Akhirnya aku berhasil membujuk dia supaya kembali ke barat sini. Aku tidak tahu bahwa ternyata dia telah mencuri benda-benda pusaka dari istana. Aku hanya ingin agar engkau dapat tumbuh menjadi remaja dan cukup kuat untuk meninggalkan dia, melarikan diri dan selamat dari jangkauannya. Aku baru mau mati kalau engkau benar-benar sudah terbebas dari tangannya, Sin Wan. Dan sekarang, karena ulahnya sendiri, akhirnya dia tewas. Kita sudah bebas, Sin Wan. Engkau bebas, tidak terancam bahaya lagi, dan aku pun bebas... bebas untuk menebus dosaku selama ini. Aku bebas untuk pergi menyusul suamiku, untuk mengadukan semua ini kepadanya. Ya Allah, ampunilah dosa hamba... Abdullah suamiku, tunggulah aku..." 

Tiba-tiba saja wanita itu lalu menggunakan pisau yang masih berlumuran darah itu untuk menusuk dadanya sendiri sekuat tenaga.

"Ibuuuuu...!" Sin Wan menjerit dan cepat menangkap tangan ibunya.

Akan tetapi dia terlambat karena tadinya dia tidak menyangka sama sekali bahwa ibunya akan senekat itu. Pisau itu telah menancap di dada ibunya sampai ke gagang, dan ibunya terkulai di rangkulannya dalam keadaan mandi darah.

'Ibuuu... ibuuuu...! Ya Allah, tolonglah ibu...," Sin Wan meratap dan menangis,

Wanita itu membuka matanya. Nampak senyum lemah menghias bibir yang pucat itu dan kedua tangannya bergerak lemah ke atas, mengusap air mata dari pipi Sin Wan.
"Sin Wan... anakku... biarkan ibumu menebus dosa... Engkau berjanjilah... akan menjadi manusia yang baik... taat kepada Allah... dan tidak berwatak jahat, jangan seperti Se Jit Kong..." Suaranya semakin lemah sehingga berbisik-bisik.

Di antara tangis sesenggukan Sin Wan mengangguk, "aku... berjanji..., ibu..." Kemudian dia pun menjerit dan pingsan di atas dada ibunya ketika melihat ibunya terkulai lemas.

Tiga orang tosu yang duduk bersila itu membuka mata mereka. Pek-mau-sian Thio Ki, Si Dewa Rambut Putih, menarik napas panjang dan dia pun bersanjak dengan suara lembut.

Sependek suka
sepanjang duka
sejumput manis
setumpuk pahit
ada gelap ada terang
ada senang ada susah
yang tidak mengejar kesenangan
takkan bertemu kesusahan!

Tiga orang tosu itu lalu menyadarkan Sin Wan. Mereka membantu anak itu mengangkat jenazah Se Jit Kong dan Ju Bi Ta untuk dibawa ke rumah keluarga mereka. Tiga orang tosu itu mewakili Sin Wan untuk memberi tahu kepada para tetangga bahwa kematian suami isteri itu karena terbunuh musuh yang tidak mereka ketahui siapa…..

********************
Dua buah peti mati Itu berada di ruangan depan, akan tetapi terpisah jauh seperti yang dikehendaki Sin Wan. Peti mati Se Jit Kong berada di sudut kiri ruangan itu, sedangkan peti jenazah Ju Bi Ta berada di sudut kanan. Sin Wan berlutut di depan peti mati ibunya, kadang menangis lirih, kadang termenung seperti kehilangan semangat.

Hanya karena peringatan dari tiga orang tosu yang membantunya mengurus jenazah, Sin Wan memaksa diri untuk membalas penghormatan para pengunjung, yaitu para tetangga yang datang memberi penghormatan terakhir kepada suami isteri yang tewas secara aneh itu. Mereka hanya mendengar bahwa suami isteri itu tewas di tangan musuh mereka, tapi mereka tidak tahu siapa musuh itu dan mereka pun tidak ingin mencampuri urusan itu.

Sesudah yang datang melayat berkumpul, dua peti jenazah kemudian diangkut ke tempat pemakaman. Juga atas permintaan yang sangat aneh dari Sin Wan, dua peti jenazah itu dikuburkan secara terpisah pula, di kedua ujung yang berlawanan dari tanah pekuburan itu. Para pelayat pulang meninggalkan dua gundukan tanah kuburan yang baru, sehingga yang tinggal di sana kini hanya Sin Wan bersama tiga orang tosu Sam Sian (Tiga Dewa).

Sam Sian masih menunggu sebab mereka belum selesai dengan tugas mereka. Tiga tosu ini belum mengambil kembali benda-benda pusaka, dan mereka hendak menanti sampai Sin Wan selesai berkabung dan sudah tenang kembali.

Sekarang Sin Wan menangis di depan makam ibunya, merasa kesepian, merasa khawatir karena secara mendadak dia dihadapkan dengan kenyataan yang sangat pahit. Pertama, melihat ayahnya bunuh diri dan tewas, kemudian mendengar cerita ibunya bahwa orang yang dianggap ayahnya itu ternyata sama sekali bukan ayahnya, bahkan seorang datuk penjahat besar yang sudah membunuh ayah kandungnya dan memaksa ibu kandungnya menjadi isteri. Berarti bahwa sebenarnya Se Jit Kong adalah musuh besarnya!

Kemudian disusul pula dengan kematian ibunya yang juga membunuh diri. Kini dia sudah kehilangan segalanya! Perubahan mendadak yang membuat anak berusia sepuluh tahun itu menjadi nanar dan gelap, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Suara tangis Sin Wan tidak keras lagi karena dia telah kehabisan suara dan tenaga, akan tetapi masih sesenggukan penuh kesedihan. Makin diingat keadaan dirinya yang sebatang kara di dunia ini, semakin pedihlah hatinya, dan semakin mengguguk pula tangisnya. 

Sunyi senyap di tanah kuburan itu. Hanya tangis Sin Wan merupakan satu-satunya suara yang hanyut dalam kesunyian. Bahkan pohon-pohon di sekitar tanah kuburan itu tidak ada yang bergerak. Angin berhenti bertiup, entah sedang beristirahat di mana. Agaknya segala sesuatu ikut pula prihatin melihat duka nestapa yang dltanggung remaja itu.

Mendadak suara tangis lirih itu ditimpa suara tawa bergelak. Suara tawa yang lepas dan tidak ditahan-tahan sehingga terdengar janggal karena menurut umum suasana berkabung itu tidak sepantasnya diisi suara tawa sebebas itu!

Sungguh aneh mendengar suara tangis yang kini dibarengi suara tawa itu. Dewa Rambut Putih Thio Ki mengerutkan alisnya dan menengok ke arah rekannya, Dewa Arak Tong Kui yang mengeluarkan suara tawa itu.

"Dewa Arak, apa yang kau tertawakan ini?" tegurnya dengan alis berkerut.
"Ha-ha-ha, apa yang aku tertawakan? Dan apa pula yang ditangiskan anak itu? Apa pula yang membuat kalian berdua berwajah demikian serius dan muram? Ha-ha-ha-ha, tangis dan tawa sama-sama menggerakkan mulut, kenapa tidak memilih tertawa saja dari pada menangis? Tangis itu tidak sehat bahkan membuat wajah terlihat buruk, sebaliknya orang berwajah jelek pun akan menjadi menarik bila tertawa, juga menyehatkan. Ha-ha-ha-ha!" Si Dewa Arak tertawa lagi, kemudian meneguk arak dari gucinya.
"Aku mentertawakan semua kepalsuan ini. Kenapa kalau ada kematian lalu ada tangisan? Apa yang ditangisi? Bukankah orang yang bersangkutan tidak menangis malah wajahnya nampak tenang dan penuh damai! Sebaliknya, mengapa kelahiran disambut dengan tawa gembira, sedangkan yang bersangkutan begitu terlahir langsung menangisi kelahirannya sampai menjerit-jerit? Ha-ha-ha...!"

Mendengar ucapan itu seketika tangis Sin Wan terhenti. Semua ucapan itu memasuki hati serta benaknya dan berkesan sekali. Dia memang suka sekali membaca kitab-kitab kuno, sejarah, dongeng dan filsafat, juga pelajaran tentang hidup dalam kitab-kitab agama.

Belum pernah dia mendengar orang berbicara mengenai kematian seperti yang diucapkan Dewa Arak itu, apa lagi mendengar ada orang tertawa-tawa menghadapi kematian, seolah-olah kematian adalah peristiwa yang menyenangkan, bukan merupakan peristiwa duka. Dia merasa penasaran sekali dan setelah menghentikan tangisnya, dia lalu memandang kepada Dewa Arak.

"Maaf, locianpwe (orang tua gagah). Locianpwe mencela saya menangis. Salahkah saya kalau menangisi kematian ibu saya yang tercinta?” suaranya lantang dan menuntut. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih diam-diam tersenyum. Dewa Arak memang pintar sekali, dapat mengalihkan kesedihan anak itu.
"Ha-ha-ha-ha, hendak kulihat dulu mengapa engkau menangis. Coba katakan, mengapa kau menangis, anak baik? Namamu Sin Wan, bukan? Nah, katakan, Sin Wan, kenapa engkau menangis, maka aku akan tahu apakah tangismu itu wajar ataukah palsu."
"Saya menangis karena ibu saya meninggal dunia, locianpwe. Bukankah itu wajar?"
"Ya, akan tetapi kenapa kalau ibumu mati engkau menangis? Yang kau tangisi itu ibumu ataukah dirimu sendiri?"
"Apa... apa maksud locianpwe?"
"Katakan saja bagaimana isi hatlmu. Jenguk isi hatimu lalu katakan apa sebenarnya yang membuat engkau menangis. Karena engkau kehilangan orang yang kau sayangi? Karena engkau ditinggal seorang diri kemudian engkau merasa kesepian? Karena meninggalnya orang kau sayang itu mendatangkan kesedihan karena engkau tidak akan menikmati lagi kesenangan dari orang yang meninggal itu?”

Sin Wan mengerutkan alisnya, berpikir-pikir kemudian mengangguk. "Memang begitulah, locianpwe. Hati siapa yang tidak akan bersedih ditinggal mati ibunya yang tercinta? Apa lagi sesudah mendengar bahwa ayah kandung saya telah tiada. Saya hanya hidup berdua dengan ibu, dan sekarang ibu meninggalkan saya seorang diri."

"Bagus, jadi engkau menangisi keadaan dirimu sendiri, bukan? Nah, itu namanya jawaban jujur. Engkau mencucurkan air mata karena engkau merasa kehilangan, karena engkau merasa iba terhadap diri sendiri. Air mata itu air mata karena iba diri, karenanya air mata seorang yang lemah! Lemah sekali hatinya, cengeng dan penakut!"

Sejak kecil Sin Wan digembleng oleh seorang datuk besar seperti Tangan Api. Meski pun ibu kandungnya selalu menekannya dan mengharuskan dia menjauhi kekerasan, namun bagaimana pun juga dia digembleng dengan sikap pemberani serta watak gagah seorang ahli silat oleh gurunya yang tadinya dianggap ayahnya sendiri itu. 

Kini, dicela sebagai orang yang hatinya lemah, cengeng dan penakut, tentu saja mukanya yang tadinya pucat itu berubah kemerahan, matanya mengeluarkan sinar tajam dan hal ini membuat tiga orang sakti itu memandang dengan wajah berseri.

"Locianpwe, kenapa locianpwe demikian kejam? Locianpwe mengetahui bahwa baru saja saya kehilangan ibu, bahkan juga kehilangan ayah kandung yang ternyata belum pernah saya lihat itu. Saya kehilangan segalanya, namun locianpwe malah mentertawakan saya. Saya bukan lemah, cengeng apa lagi penakut!"

"Ha-ha-ha-ha, bagus sekali!" Dewa Arak itu tertawa. "Aku bukan mentertawakan engkau, melainkan mentertawakan kepalsuan yang dilakukan oleh sebagian besar orang di dunia ini. Kalau engkau tidak cengeng dan lemah, hapus air matamu dan jangan tenggelam ke dalam iba diri. Dan tidak perlu engkau menangisi ibumu yang sudah tiada. Bahkan kalau bisa tertawalah, tertawa gembira karena ibumu baru saja terbebas dari pada kedukaan hidup. Ingat betapa ibumu selalu menderita lahir batin sejak kematian ayah kandungmu, dan baru sekarang ibumu terbebas dari himpitan penderitaan. Kenapa harus ditangisi?"

"Saya tidak menangisi kematiannya itu sendiri, tapi terharu dan kasihan kalau mengenang betapa selama ini ibu telah menderita hebat dan mengorbankan diri karena saya."
"Heiii, Dewa arak, apakah engkau masih mabuk?" teriak Dewa Pedang Louw Sun. "Anak ini belum juga dewasa, tapi sudah kau ajak bicara tentang hal-hal yang begitu mendalam. Dia bersedih, itu manusiawi karena dia manusia yang mempunyai perasaan. Tidak seperti engkau yang sudah tidak lumrah lagi. Semua orang di dunia ini kalau kematian tentu saja menangis, apa salahnya dengan itu? Tetapi engkau menganjurkan anak ini agar tertawa-tawa ketika ibunya mati. Apa kau ingin dia dianggap orang gila? Kalau mau gila, engkau gila sendiri saja, jangan ajak-ajak anak kecil.”

"Ha-ha-ha, lebih baik mabuk tapi bicara secara terbuka dari pada tidak mabuk akan tetapi bicaranya selalu palsu, bersembunyi di balik kedok sopan-santun dan aturan yang pada hakekatnya hanya menonjolkan diri sendiri. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, kalian sendiri bukan orang-orang yang dicengkeram oleh nafsu, kenapa nampak murung seperti orang berduka? Benarkah kalian berduka karena kematian Se Jit Kong dan ibu anak ini? Terharu setelah mendengar pengakuan ibu Sin Wan?"
"Aih, Dewa Arak, bagaimana orang-orang seperti kita masih terpengaruh perasaan hati dan mudah diombang-ambingkan antara suka dan duka? Tidak, Ciu-sian, pinto (aku) tidak murung, tidak berduka, hanya termenung heran mengapa orang-orang seperti mereka ini dengan cepat terbebas dari kurungan, sedangkan kita masih harus terhukum entah untuk berapa lama lagi," Dia menghela napas panjang. Dengan heran Dewa Arak memandang Dewa Pedang yang baru saja bicara itu.

“Siancai (damai)...! Engkau ini tosu macam apa? Baru sekarang aku mendengar pendeta To bicara sepertl ini! Bukankah biasanya para pendeta To bahkan berlomba mencari obat ajaib untuk membuat kalian berusia panjang sampai seribu tahun atau bahkan tidak akan mati selamanya?”
"Pinto bukan termasuk mereka yang senang berkhayal dan bermimpi yang muluk-muluk. Pinto juga tidak merasa menyesal, hanya merasa heran akan rahasia alam yang sangat gaib ini, saudaraku."
"Bagaimana dengan engkau, Dewa Rambut Putih? Engkau pun tidak nampak tersenyum seperti biasanya. Ke mana perginya senyum simpulmu yang manis itu? Apakah engkau juga ikut prihatin dan berkabung?” Suara Si Dewa Arak mengandung ejekan.

Pek-mau-sian Thio Ki menggerakkan bibirnya ke arah senyum, matanya menatap wajah rekannya dengan tajam dan dia menggerakkan telunjuknya menuding muka rekan itu.

"Dewa Arak, engkau ini selalu ugal-ugalan, akan tetapi hati dan pikiranmu terbuka. Seperti juga kalian, aku tidak mau terbelenggu nafsu dan perasaan, tak mau terikat oleh apa pun. Aku hanya termenung memikirkan kebodohan wanita itu. Dia telah mengambil jalan sesat. Bagaimana mungkin dia menebus dosa dengan cara membunuh diri? Itu namanya bukan menebus dosa, melainkan menambah dosa menjadi semakin besar lagi!"

Sejak tadi Sin Wan mendengarkan dengan hati tertarik sekali. Tiga orang tua itu memiliki pandangan yang aneh-aneh, yang berbeda dengan umum, namun diam-diam dia dapat menemukan kebenaran dalam ucapan mereka yang janggal itu. Akan tetapi, mendengar ucapan Pek-mau-sian Thio Ki, dia merasa terkejut dan penasaran, juga ingin sekali tahu.

"Maaf, locianpwe. Mengapa locianpwe mengatakan bahwa dengan membunuh diri, ibuku telah berdosa? Bukankah ibuku seorang wanita yang berhati bersih, yang tidak akan sudi diperisteri pembunuh suaminya kalau saja tidak ingin menyelamatkan aku? Sesudah aku tidak terancam lagi, ibu menebus semua aib itu dengan membunuh diri, kenapa locianpwe menganggap dia berdosa?”
"Ha-ha-ha-ha!" Dewa Arak tertawa, "Anak baik, aku tidak tahu apakah dia berdosa atau tidak, hanya Tuhan yang tahu! Akan tetapi aku tahu bahwa dia bodoh. Alangkah piciknya orang yang membunuh diri! Kita tidak bisa menghidupkan, bagaimana boleh mematikan? Mati hidup di tangan Tuhan, akan tetapi bunuh diri merupakan kematian yang dipaksakan, karena itu rohnya akan menjadi penasaran! Bodoh sekali ibumu, Sin Wan, perbuatannya itu tidak boleh kau tiru."

Sin Wan masih penasaran, maka dia menoleh kepada dua orang pendeta yang lain. Dewa Pedang mengelus jenggot dan menggelengkan kepala. Ia menarik napas panjang. "Bunuh diri merupakan perbuatan sesat. Bagaimana mungkin persoalan bisa diselesaikan dengan bunuh diri? Bunuh diri adalah perbuatan yang penuh nafsu dan nafsu akan melekat terus sehingga menjadi pengganggu yang tiada habisnya. Selama dalam kehidupan ini kita tidak mampu membebaskan diri dari ikatan dan cengkeraman nafsu. Ibumu benar-benar patut dikasihani, anak baik."

Sin Wan merasa semakin sedih. 

“Sejak muda sekali, semenjak berusia delapan belas tahun, baru saja setahun mengecap kebahagiaan bersama suaminya, ibumu telah direnggut dari kebahagiaan dan sejak itu dia menderita siksaan lahir batin, dan sekarang setelah mati masih menanggung dosa!” 

Sin Wan masih penasaran dan menoleh kepada Dewa Rambut Putih yang pertama kali mengatakan bahwa ibunya telah melakukan dosa karena membunuh diri.

"Locianpwe, mendiang ibuku adalah seorang wanita yang saleh, selalu taat kepada Allah, juga tidak pernah melakukan kejahatan terhadap orang lain. Dia menyerahkan diri kepada pembunuh suaminya dengan hanya satu tujuan mulia, yaitu ingin menyelamatkan nyawa anaknya. Apakah itu dapat dikatakan salah dan dosa?"

Karena anak itu bicara sambil memandang kepadanya, Dewa Rambut Putih tersenyum. "Sin Wan. ibumu telah terjebak ke dalam kekeliruan pendapat yang disilaukan oleh tujuan sehingga dia menghalalkan segala cara agar bisa mencapai tujuannya. Tujuannya adalah menyelamatkan anak dalam kandungan, kemudian menyelamatkan anaknya setelah lahir. Memang hal itu merupakan kewajiban seorang ibu, memelihara anaknya! Akan tetapi baik buruk dan benar salahnya bukan terletak pada tujuannya, melainkan dalam caranya atau pelaksanaannya. Karena silau oleh tujuannya dia memejamkan mata dan menempuh cara yang tidak selayaknya dia lakukan. Bagaimana mungkin cara yang salah dapat mencapai tujuan yang benar, cara yang kotor dapat mencapai tujuan yang bersih? Cara merupakan pohonnya, dan tujuan merupakan buahnya. Pohon yang buruk mana dapat menghasilkan buah yang baik?"

Sin Wan tertegun. Ucapan kakek rambut putih ini merupakan tusukan yang paling dalam dan membuka mata hatinya. Kasihan ibunya. Ibunya tidak sengaja melakukan perbuatan yang kotor dan salah. Dia harus sedapat mungkin membela lbunya!

"Akan tetapi, locianpwe, bukankah ibu telah berhasil menyelamatkan aku? Andai kata ibu menolak kehendak pembunuh suaminya, bukankah hal itu berarti ibu membunuhku pula? Padahal yang terutama baginya adalah menyelamatkan anaknya!"
"Siancai...! Anak baik, mati hidup berada di tangan Tuhan. Jika Dia menghendaki engkau mati, siapa yang akan sanggup menyelamatkanmu? Sebaliknya, kalau Dia menghendaki engkau hidup. siapa pula yang akan dapat membunuhmu?"

Kalimat terakhir ini langsung disambar dan dipegang oleh Sin Wan sebagai bahan untuk membela terhadap lbunya dan juga hiburan dalam hatinya.

"Kalau begitu, locianpwe, kematian ibuku tentu juga telah dihendaki oleh Tuhan. Benarkah demikian?"
“Tentu saja!" jawab Pek-mau-sian Thio Ki dengan pasti. "Kalau tidak dikehendaki Tuhan, tentu dia tidak akan mati."
"Nah, kalau begitu ibu tak berdosa! Ibu hanya melakukan sesuatu yang telah dikehendaki Tuhan!" kata anak itu dengan nada penuh kemenangan.

Tiga orang pertapa itu saling pandang dan ketiganya lalu tertawa. Sin Wan memandang kepada mereka bergantian dengan heran. 

"Mengapa samwi (anda bertiga) tertawa? Apakah aku mengeluarkan kata-kata yang tidak benar?" 
"Siancai... engkau ini seorang anak yang berpandangan luas dan mempunyai bakat baik untuk mempelajari ilmu tentang kehidupan, Sin Wan," kata Dewa Pedang. "Memang tidak keliru bahwa hidup dan mati berada di tangan Tuhan, karena memang Tuhan-lah yang menentukan segalanya. Ada pun sikap menyerah dan pasrah kepada Tuhan merupakan sikap yang sudah sepatutnya dilakukan manusia. Akan tetapi bukan berarti menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan tanpa kita melakukan apa-apa! Juga bukan berarti kita mempersekutu Tuhan, atau bahkan menuntut agar Tuhan bekerja demi kepentingan kita! Tuhan menciptakan kita terlahir di dunia ini lengkap dengan semua alat untuk hidup, untuk bekerja, untuk berikhtiar mempertahankan hidup kita, untuk memuja Tuhan melalui segala perbuatan kita. Jika kita tidak berbuat apa-apa, itu berarti kita melalaikan tugas hidup kita. Karena kita diberi hati akal pikiran, diberi pengertian mengenai baik dan buruk, tentu saja menjadi tugas kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik di dunia ini. Berarti kita membantu pekerjaan Tuhan! Bagaimana Tuhan dapat membantu kita kalau kita tidak berusaha membantu diri kita sendiri?"

"Maksud locianpwe?”
"Contohnya, untuk dapat hidup kita harus makan dan untuk kebutuhan itu Tuhan sudah menyediakan tanah, air, udara, bahkan bibit tanaman untuk kita. Akan tetapi untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan, maka kita harus mengolah tanah, menanam, memelihara, memetik hasilnya. Bahkan sesudah itu tugas kita masih belum selesai. Kita masih harus memasaknya dan bila sudah menjadi masakan terhidang di depan kita, kita masih harus mengunyah dan menelannya! Kalau kita diam saja, Tuhan tidak akan melakukan semua itu untuk kita! Dan kita diberi pula akal budi sehingga kita dapat mengerti bagaimana cara yang terbaik untuk bisa memperoleh makanan, yaitu dengan bekerja, bukan dengan jalan mencuri atau merampok misalnya. Pelaksanaannya itulah yang menjadi tugas kita. Tuhan tiada hentinya bekerja. Kita pun harus bekerja. Bukankah segala sesuatu di alam maya pada ini, baik yang bergerak mau pun yang tidak, hidup tumbuh dan bekerja? Pohon pun tiada hentinya bekerja, akarnya, daunnya, kembang dan buahnya. Mengertikah engkau, Sin Wan?"

Anak itu mengangguk, kemudian menundukkan kepalanya. Tiga orang pertapa itu seperti menguak kesadarannya, membuka hatinya dan mengisinya dengan kebenaran-kebenaran yang dapat dia rasakan.

Sekarang ibunya telah meninggal. Musuh besarnya juga telah meninggal. Semua itu telah dikehendaki Tuhan, Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa ibuku, demikian pikirnya dan teringat akan ajaran ibunya tentang agama Islam, yaitu agama ibunya, dia pun bergumam lirih. 

"Innalilahi wainna illahi rojiun...”
"Hemm, apa artinya ucapan itu, Sin Wan?" tanya Pek-mau sian Thio Ki.
"Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan, demikianlah yang diajarkan ibu kepadaku dalam menghadapi kematian."
"Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan! Ha-ha-ha…! Bagus sekali itu, Sin Wan!" kata Dewa Arak. "Itu merupakan penyerahan yang mutlak atas kekuasaan Tuhan. Bagus sekali!"
"Siancai… siancai! Semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan, semua agama mengajarkan bahwa ADA SESUATU YANG MAHA KUASA, yaitu yang kita sebut Tuhan. Sesudah kini engkau mengerti, kami ingin mengajak engkau pulang ke rumahmu karena ada satu urusan penting yang akan kami bicarakan denganmu, Sin Wan," kata Pek-mau-sian Thio Ki.

Sin Wan memandang kepada pertapa berambut putih itu. "Locianpwe tentu maksudkan benda-benda pusaka yang dicuri oleh... ayah tiriku dari gudang pusaka istana kaisar itu bukan?"

"Hemmm, engkau memang anak yang cerdik sekali," kata Dewa Pedang dengan kagum. "Memang benar, kami adalah utusan Sribaginda Kaisar untuk membawa kembali benda-benda pusaka yang dicuri Se Jit Kong itu."
"Sebentar, locianpwe. Aku belum memberi penghormatan terakhir kepada ayah tiriku." 

Sin Wan lalu berlari menuju ke makam Se Jit Kong yang berada di ujung yang berlawanan dari tanah perkuburan itu, dan dengan sikap hormat dia memberi penghormatan di depan makam itu. Tiga orang tosu itu mengikutinya dan memandang perbuatan Sin Wan dengan slnar mata yang kagum dan mereka mengangguk-angguk.

Setelah selesai, Sin Wan menghadapi mereka. "Mari, sam-wi locianpwe, peti terisi benda-benda pusaka itu akan kuserahkan kepada sam-wi."

Mereka berjalan meninggalkan tanah kuburan, dan karena tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk mengenal isi hati Sin Wan, Dewa Arak lalu bertanya, "Sin Wan, mengapa engkau tadi memberi hormat kepada makam Se Jit Kong? Bukankah dia telah membunuh ayah kandungmu dan juga telah menculik dan memaksa ibumu?" 

Sambil melangkah Sin Wan menundukkan kepalanya dan menggeleng, lantas menjawab, "Aku harus menghormati dia karena aku teringat akan kebaikan-kebaikannya. Dia selalu baik kepadaku, dan kulihat dia baik pula kepada ibuku."

"Ha-ha-ha, engkau sama juga dengan yang lain, Sin Wan, menilai kebaikan dari keadaan lahir saja. Kebaikan macam itu palsu adanya."
"Ehhh? Bagaimana locianpwe mengatakan palsu? Aku yang merasakan sendiri dan dia memang amat baik kepada ibu dan aku. Dia lembut dan mentaati ibu, dia menyayangku dan mengajarku dengan sepenuh hati."
"Ha-ha-ha-ha, tentu saja! Tentu saja dia baik kepadamu karena dia harus berbaik, kalau tidak, tentu ibumu takkan sudi menyerahkan diri kepadanya. Kebaikan macam itu datang dari nafsu, hanya merupakan akal-akalan saja karena kebaikan macam itu berpamrih. Itu bukan kebaikan namanya, melainkan cara yang licik untuk mendapatkan suatu hasil, ha-ha-ha!"

Walau pun masih kecil Sin Wan sudah membaca banyak macam kitab, maka dia dapat mengerti apa yang menjadi inti ucapan Dewa Arak. Dia menjadi semakin kagum terhadap tiga orang tua itu dan dia ingin sekali dapat menjadi murid mereka.

Bila dia berguru kepada mereka maka dia dapat mempelajari banyak macam ilmu. Bukan saja ilmu silat, akan tetapi juga lima pengetahuan tentang hidup. Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki kota Yin-ning karena tanah kuburan itu berada di luar kota. Matahari sudah condong rendah ke barat…..
********************
Ketika tiga orang pertapa dan Sin Wan memasuki pekarangan rumah itu, mereka terkejut sekali melihat salah seorang di antara para pelayan sudah rebah di ruangan depan dalam keadaan terluka parah. Sin Wan cepat berlutut di dekat pelayan itu.

"Apa yang terjadi?" tanyanya. Pek-mau-sian Thio Ki yang pandai ilmu pengobatan segera menolong pelayan itu.
"Celaka... tuan muda... tadi ada lima orang yang datang dengan kereta, kami kira tamu... mereka menyerbu dan melarikan peti hitam."
"Itu peti benda-benda pusaka!" kata Sin Wan kaget.
"Mari kita kejar mereka !" kata Ciu-sian.

Dia menyambar tubuh Sin Wan lantas berlari cepat seperti terbang saja. Di antara mereka bertiga memang Dewa Arak yang memiliki ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang paling tinggi tingkatnya, maka dia yang memondong tubuh Sin Wan. Dua orang tosu lainnya juga berlari mengejar dan sebentar saja mereka sudah keluar dari kota Yin-ning mengikuti jejak kereta yang meninggalkan jalur rodanya di tanah yang agak basah.

Karena tiga orang itu melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan ilmu berlari cepat yang membuat tubuh mereka seperti terbang saja, maka tak lama kemudian mereka telah berhasil menyusul sebuah kereta yang berada tidak jauh di depan, di luar sebuah hutan. Agaknya kereta itu hendak memasuki hutan dan bersembunyi sambil melewatkan malam di tempat gelap itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati kelima orang yang berada di kereta ketika tiba-tiba mereka melihat tiga orang dan seorang anak laki-laki berdiri menghadang di depan kereta. Seorang di antara mereka yang menjadi kusir cepat membentak sambil mencambuki dua ekor kudanya. Dua ekor kuda itu meringkik lantas meloncat ke depan, menubruk ke arah Tiga Dewa dan Sin Wan!

Dewa Arak tertawa, kemudian menyambar tubuh Sin Wan dan dia sudah meloncat tinggi melewati kuda lantas hinggap di atas kereta, sedangkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih menyambut dua ekor kuda itu dengan menangkap kendali di dekat mulut, lalu sekali tarik, dua ekor kuda itu segera jatuh berlutut dengan kaki depan mereka dan tak mampu berkutik lagi! 

Lima sosok bayangan hitam berloncatan dari kereta itu dan ternyata mereka adalah lima orang berpakaian hitam yang rata-rata nampak kokoh serta menyeramkan, berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Sebatang golok besar terselip di punggung mereka.

Dewa Arak meloncat turun lagi dan kini tiga oraag kakek itu berdiri menghadapi lima orang berpakaian hitam. Sin Wan berdiri agak di belakang Sam Sian sambil memandang penuh perhatian kepada lima orang itu.

Salah seorang di antara mereka, yang kumisnya melintang sekepal sebelah, melangkah maju dan dengan sikap gagah dan suara menggeledek dia mengajukan pertanyaan sambil menudingkan dua jari tangan kiri ke arah tiga orang kakek.

"Siapa kalian, berani mati menghadang perjalanan kami Hek I Ngo-liong (Lima Naga Baju Hitam)?"

Ciu Sian Si Dewa Arak tertawa. "Ha-ha-ha, banyak benar naga di jaman ini! Sekali muncul sampai ada lima ekor! Padahal di jaman dulu naga merupakan makhluk dewa yang dipuja sebagai penguasa lautan dan penguasa hujan! Hek I Ngo-liong, nama kami tiada harganya untuk kalian ketahui. Yang penting kami harap kalian bisa mempertahankan julukan naga sebagai makhluk sakti yang membantu pekerjaan Tuhan, juga mau mengembalikan peti yang kalian curi dari rumah Se Jit Kong!"

Lima orang itu otomatis menoleh ke arah kereta sehingga mudah diduga bahwa peti itu tentu disimpan di dalam kereta. Si kumis melintang mengerutkan alisnya mendengar olok-olok kakek yang mukanya merah dan sikapnya seperti pemabukan itu. 

"Agaknya kalian bertiga adalah orang-orang yang mengenal peraturan di dunia kangouw. Se Jit Kong mencuri pusaka dari gudang istana, lalu kami mencurinya dari dia. Semua itu menggunakan kekerasan. Dan kalian ingin minta begitu saja dari kami?"
“Heh-heh-heh, gagahnya! Lalu apa yang harus kami lakukan untuk dapat menerima peti berisi pusaka-pusaka istana itu?” tanya pula Dewa Arak.
"Kalian harus dapat mengalahkan golok kami!" 

Setelah berkata demikian, lima orang itu menggerakkan tangan kanan ke belakang. 

"Sing-sing-sing-sing-sing…!" 

Nampak lima sinar berkelebatan dan Hek I Ngo-liong telah mencabut golok besar mereka. Golok pada tangan mereka itu lebar dan putih berkilauan saking tajamnya, ujungnya agak melengkung ke belakang dan runcing, gagangnya dihias ronce-ronce kuning. Dari gerakan mereka ketika mencabut golok saja sudah dapat diketahui bahwa mereka berlima adalah ahli-ahli golok yang tangguh. 

Sekarang lima orang itu sudah berbaris setengah lingkaran menghadapi tiga orang kakek ini, tubuh mereka agak direndahkan, kaki kiri di depan kaki kanan di belakang, lengan kiri lurus dengan jari telunjuk menuding ke arah lawan, dan golok di tangan kanan diangkat di belakang kepala dengan lengan melengkung sehingga golok itu lurus menunjuk ke arah lawan di depan pula. Gagah sekali kuda-kuda mereka ini, dan melihat pasangan itu, Dewa Pedang mengangguk-angguk.

"Agaknya ini yang dikenal dengan sebutan Ngo-liong To-tin (Barisan Golok Lima Naga) itu, ya? Bagus, tentu cukup baik untuk pinto (aku) berlatih pedang!"

Tidak terdengar suara apa-apa, namun tiba-tiba saja ada kilat menyambar dan tahu-tahu Kiam-sian Louw Sun yang tinggi kurus itu, yang tadi tidak nampak membawa pedang kini telah memegang sebatang pedang yang tipis, pedang yang tali melilit pinggangnya. Itulah Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari)! Kakek ahli pedang ini tidak melepaskan jubahnya, juga tidak melepas capingnya yang menutupi kepala dan menyembunyikan mukanya.

Dewa Arak dan Dewa Rambut Putih juga sudah bersiap membantu Dewa Pedang, namun Kiam-sian Louw Sun berkata, "Kalian berdua menjadi penonton sajalah. Aku ingin sekali berlatih, dan sekarang kebetulan ada mereka yang menjadi teman berlatih baik sekali!"

Maka mengertilah Ciu-sian dan Pek-mau-sian bahwa rekan mereka ltu sedang ketagihan bermain pedang sehingga timbul kegembiraannya menghadapi Barisan Golok Lima Naga itu, tentu saja untuk melatih dan menguji ilmu pedangnya. Karena itu mereka pun mundur ke belakang dan hanya menjadi penonton saja. 

Sin Wan juga berdiri menonton dengan hati sedikit tegang. Dia mulai melihat kenyataan betapa kehidupan orang-orang yang menjadi ahli silat selalu dipenuhi pertentangan. Ayah tirinya sendiri selalu dimusuhi orang, dan sekarang ketiga orang pendeta ini pun demikian. Dan kalau bentuk kehidupan sudah sedemikian rupa, agaknya orang harus mengandalkan kepandaian silatnya untuk dapat bertahan, untuk dapat menang, bahkan agar dapat hidup lebih lama. 

Dia mulai penasaran! Dia teringat akan cerita ibunya. Ayahnya, atau orang yang tadinya dianggapnya sebagai ayahnya, adalah seorang jahat. Tetapi tiga orang pendeta ini adalah orang-orang yang baik. Akan tetapi kenapa sama saja?

Baik ayahnya mau pun tiga orang kakek ini selalu dihadapi musuh yang setiap saat siap mengadu nyawa! Dia tak dapat menahan perasaan penasaran dalam hatinya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia tidak mempunyai kesempatan untuk melontarkan perasaan ini menjadi pertanyaan kepada mereka.

Hek I Ngo-liong menjadi marah sekali karena mereka merasa diremehkan. Mereka adalah Hek I Ngo-liong yang sudah mendapatkan nama besar di dunia kang-ouw (sungai telaga, daerah persilatan) sehingga orang-orang kangouw yang tidak memiliki tingkat yang tinggi jarang ada yang berani menentang mereka.

Tapi kini laki-laki berpakaian pendeta ini melarang kawan-kawannya untuk membantunya dan hendak menghadapi Barisan Golok Lima Naga mereka seorang diri saja! Ini namanya penghinaan!

"Tosu sombong, engkau memang sudah bosan hidup!" bentak si kumis melintang dan dia mengelebatkan goloknya. 

Gerakan ini merupakan isyarat atau aba-aba kepada empat orang rekannya, dan mereka pun bergerak secara aneh, berputaran membentuk lingkaran mengepung Kiam-sian Louw Sun. Setelah mengepung, mereka terus berlari mengitari Si Dewa Pedang, hanya berhenti untuk berganti posisi kedua tangan kemudian berlari lagi.

Dewa Pedang yang berada di tengah-tengah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang agak ditekuk. Dia membuat kuda-kuda yang disebut Menunggang Kuda. Kedua lengannya bersilang di depan dada, pedang di tangan kanan dalam kedudukan tegak lurus mengarah ke luar pula. Tubuhnya tidak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak, melirik ke kanan kiri dengan tenang namun tidak pernah berkedip mengikuti gerakan lima orang lawannya.

Tiba-tiba si kumis melintang mengeluarkan bentakan nyaring dan pada saat itu dia berada di belakang Dewa Pedang. Bentakannya disusul menyambarnya golok besar di tangannya ke arah tengkuk Dewa Pedang.

"Syuuuuttt...!"

Biar pun golok menyambar dari belakang ke arah tengkuk, namun tubuh belakang Kiam–sian Louw Sun seolah mempunyai mata. Dengan tenang saja dia merendahkan tubuhnya hingga golok menyambar lewat di atas kepalanya. Pada detik berikutnya, seorang lawan dari kiri sudah membacokkan goloknya pula, kini golok itu menyambar dengan babatan ke arah kedua kakinya!

Dengan tubuh masih ditekuk rendah Dewa Pedang lalu melompat ke atas menghindarkan babatan pedang, hanya untuk menerima bacokan susulan dari kanan. Dia menggerakkan pedang menangkis.

"Tranggg...!"

Bunga api berpijar. Dewa Pedang memutar tubuh, sekarang pedangnya yang menangkis tadi menggunakan tenaga pentalan tangkisan, melindungi tubuhnya dari dua serangan lain dari golok berikutnya secara beruntun.

"Singgg...! Trang-tranggg...!" Lebih banyak lagi bunga api berpijar.

Kiranya barisan lima batang golok itu mempergunakan jurus yang mereka namakan Lima Rajawali Mengepung Ular. Sang lawan diibaratkan ular dan mereka mengepung kemudian mengirim serangan bertubi-tubi dan beruntun secara teratur sekali. Setiap serangan yang dihindarkan lawan langsung disusul serangan dari orang ke dua, ke tiga dan selanjutnya sehingga lawan yang dikepung tidak diberi kesempatan sama sekali untuk membalas!

Kiam-sian Louw Sun adalah seorang tokoh dunia persilatan yang sudah kenyang dengan pengalaman. Sebelum dia menjadi pertapa dan tak pernah atau jarang lagi terjun di dunia persilatan, ia telah menjadi petualang dan sering menghadapi lawan yang tangguh dengan berbagai macam ilmu yang aneh-aneh. Oleh karena itu, dalam segebrakan saja, tahulah dia bahwa dia dalam keadaan yang berbahaya dan tidak menguntungkan. 

Walau pun dia mampu melindungi dirinya dengan gulungan sinar pedangnya, namun lima orang lawannya bukan orang lemah, apa lagi mereka memegang golok yang tidak mudah dirusak oleh pedang pusakanya. Kalau dia harus selalu mengelak dan menangkis, tanpa dapat membalas, berarti dia dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya.

Mendadak Dewa Pedang mengeluarkan suara melengking tinggi, kini pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata, tubuhnya tertutup oleh benteng sinar pedang sehingga lima orang lawannya sukar untuk menembus sinar pedang itu dan tubuhnya lalu meloncat ke atas, lalu berjungkir balik membuat salto sampai tujuh kali baru dia turun dan sudah berada di luar kepungan! 

Dengan cara demikian Dewa Pedang berhasil membuyarkan kepungan barisan golok itu. Dia tidak mau dikepung lagi. Untuk mencegah hal ini terjadi maka dia mendahului mereka dengan serangannya! Karena pedangnya memang lihai bukan main, orang yang diserang menjadi terhuyung dan baru dapat terhindar dari ciuman ujung pedangnya setelah dibantu oleh satu dua orang rekannya. 

Begitu gagal menyerang Dewa Pedang segera membalik dan meloncat untuk menyerang pengeroyok lain! Dengan cara demikian kelima orang itu sama sekali tidak sempat untuk melakukan pengepungan seperti tadi.

Barisan golok itu sekarang membuat bentuk barisan lain atas isyarat si kumis melintang. Mereka mempergunakan siasat Dua Golok Tiga Perisai untuk menghadapi gerakan Dewa Pedang itu. Mereka berkelompok dan setiap serangan Dewa Pedang selalu dihadapi oleh tiga orang pengeroyok yang saling bantu untuk menghalau serangan pedang, seolah-olah ketiga orang itu membentuk tiga perisai melindungi diri, dan pada saat itu pula dua orang pengeroyok lain sudah menyerang Dewa Pedang dari belakang atau kanan kiri! 

Siasat ini akhirnya merepotkan Kiam-sian Louw Sun pula. Serangan-serangannya selalu mengalami kegagalan karena dihadapi tiga orang sekaligus, sedangkan dua orang lainnya selalu membalas dengan cepat sehingga dia tidak mungkin dapat melanjutkan serangan tanpa membahayakan diri sendiri.

Sin Wan melihat betapa dua orang kakek lain sekarang malah duduk bersila dan menjadi penonton. Sedikit pun tidak bergerak membantu kawan yang nampaknya sedang terdesak dan terancam bahaya itu. Hal ini membuat Sin Wan penasaran.

"Mengapa ji-wi locianpwe (dua orang tua gagah) tidak segera membantu locianpwe yang terancam bahaya itu, malah enak-enakan menonton dan tersenyum-senyum?" tegurnya sambil memandang kepada Dewa Arak yang kini bahkan meneguk arak dari guci sambil tersenyum senang seperti orang yang menikmati pertunjukan wayang di panggung saja!
"Heh-heh-heh! Sin Wan, apa kau ingin melihat Dewa Pedang marah-marah kepada kami? Apa bila kami membantunya, dia akan menganggap itu suatu penghinaan dan dia bahkan akan menyambut bantuan kami dengan sambaran pedangnya yang lihai itu!” kata si Dewa Arak.
"Ahh, kenapa begitu?" Sin Wan bertanya, tak percaya.

Sekarang Dewa Rambut Putih yang berkata seperti orang bersajak.

"Seorang bijaksana memperhitungkan dengan matang sebelum bertindak.
Seorang pendekar menaruh kehormatan lebih tinggi dari pada nyawa.
Seorang gagah memegang janjinya sampai mati dan selamanya takkan pernah menyesali perbuatannya!"
"Ha-ha-ha-ha, dan si Dewa Pedang adalah seorang bijaksana dan seorang pendekar yang gagah!" Dewa Arak menyambung.

Sin Wan mengerti, lantas mengangguk kagum dan dia pun memandang kembali ke arah pertandingan. Ia kini mengerti bahwa pada saat maju menghadapi lima orang itu, pertapa berpedang itu sudah memperhitungkan bahwa dia akan mampu menandingi mereka, dan tindakannya melawan mereka merupakan suatu keputusan bahwa dia akan menghadapi segala akibatnya seperti sebuah janji yang tak akan dijilatnya kembali dan takkan pernah menyesal andai kata dia kalah dan tewas. .Karena itu, kalau dia dibantu, dia tentu akan menjadi marah karena bantuan kawan-kawannya itu sama dengan merendahkan dia!

Begitu memandang ke arah pertandingan, Sin Wan menjadi kagum. Kiranya kini pertapa itu sama sekali tidak terdesak lagi. Gerakannya demikian cepatnya seperti seekor burung walet dan pedangnya menjadi gulungan cahaya yang menyilaukan mata. Karena dia terus berloncatan ke sana sini, maka lima orang pengeroyoknya mendapatkan kesukaran untuk rnenyudutkannya. 

Mereka pun terpaksa mengejar ke sana sini dengan kacau sehingga tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membentuk atau mengatur barisan. Menghadapi seorang lawan seperti ini, mereka merasa seperti menghadapi lawan yang lebih banyak jumlahnya.

Memang benar seperti yang dikatakan Dewa Arak dan Dewa Rambut Putih tadi. Sebelum menghadapi lima orang itu seorang diri saja, Kiam-sian Louw Sun telah memperhitungkan bahwa dia akan mampu menandingi mereka. Dari gerakan mereka ketika meloncat turun dari kereta, juga ketika mereka mencabut golok dan memasang barisan, dia sudah dapat mengukur sampai di mana kira-kira kekuatan mereka. 

Kini, setelah dia berhasil keluar dari himpitan barisan golok, Dewa Pedang meloncat jauh ke kiri, ke lawan yang paling ujung dan begitu lawan ini menyambutnya dengan bacokan golok, ia menangkis sambil mengerahkan sinkang (tenaga sakti) disalurkan lewat pedang sehingga ketika pedang bertemu golok, pedang itu seperti mengandung semberani yang amat kuat, menyedot dan menempel golok. Si pemegang golok terkejut sekali ketika tidak mampu melepaskan goloknya dari tempelan pedang dan pada saat itu pula tangan Kiam-sian Louw Sun sudah meluncur ke depan.

"Cratt...!" Orang itu berteriak kesakitan, goloknya terlepas dan dia meloncat ke belakang, memegangi lengan kanan dengan tangan kiri karena lengan kanan yang tercium tangan kiri Kiam-sian tadi terluka dan berdarah seperti ditusuk pedang! Ternyata dengan tangan kirinya si Dewa Pedang mempergunakan ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kalau dia menggunakan ilmu itu, tangan kirinya seperti pedang saja, dapat melukai lawan!

Empat orang pengeroyok lain maju serentak, namun Dewa Pedang sudah menghindarkan diri dengan gerakannya yang sangat cepat, meloncat ke samping lantas meloncat ke atas membuat salto tiga kali dan ketika tubuhnya melayang turun, dia sudah menyerang orang yang berada di paling ujung! 

Bagaikan seekor garuda yang menerkam dari atas, pedangnya meluncur dan orang yang diserangnya cepat mengangkat golok menangkis. Namun begitu golok bertemu pedang, orang itu langsung berteriak lalu roboh, pundaknya berdarah terkena tusukan tangan kiri Kiam-sian Louw Sun.

Berturut-turut Dewa Pedang melukai lima orang lawannya, bukan luka berat akan tetapi cukup untuk membuat mereka merasa jeri sebab yang terluka adalah tangan, lengan atau pundak kanan mereka. Mengertilah Hek I Ngo-liong bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang yang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya. Tentu saja mereka merasa kecewa dan menyesal bukan main. 

Peti berisi pusaka-pusaka istana sudah terjatuh ke tangan mereka dengan mudah, dapat mereka curi dari rumah Si Tangan Api selagi pemilik rumah tak berada di rumah. Mereka lari ketakutan, takut bila sampai Iblis Tangan Api dapat menyusul mereka. Kiranya malah tiga orang pertapa ini yang mengalahkan mereka dan akan merampas pusaka-pusaka itu. Baru melawan seorang saja dari tiga pertapa itu, mereka tidak mampu menang. Apa lagi kalau mereka bertiga itu maju semua!

Si kumis melintang maju mewakili teman-temannya, membungkuk ke arah tiga orang itu lalu berkata, "Kami Hek I Ngo-liong mengaku kalah. Harap sam-wi suka memperkenalkan nama agar kami tahu oleh siapa kami dikalahkan."

"Ho-ho-ho, kami tidak perlu memperkenal diri, tidak ingin dikenal. Hanya ketahuilah bahwa kami yang berhak atas pusaka-pusaka itu, maka kami melarang kalian mencurinya," kata Dewa Arak.
"Locianpwe (orang tua gagah), berlakulah adil antara sesama orang kang-ouw. Pusaka itu cukup banyak dan kami akan berterima kasih sekali bila locianpwe memberi kepada kami seorang sebuah saja."
"Hemm, tidak boleh, tidak boleh..."
"Kalau begitu empat buah saja... atau tiga buah...”

Melihat Dewa Arak masih menggelengkan kepala, si kumis melintang cepat menurunkan permintaannya.

"Sudahlah, dua buah saja, locianpwe... atau sebuah saja untuk kami berlima!"

Dewa arak menghentikan tawanya lalu memandang dengan mata melotot. "Kami adalah utusan Sribaginda Kaisar untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu! Mestinya kalian kami tangkap dan kami seret ke kota raja supaya dihukum. Sekarang kalian masih berani rewel minta bagian?"

Mendengar ucapan itu, Hek I Ngo-liong amat terkejut dan ketakutan. Tanpa banyak cakap lagi mereka mengambil golok masing-masing dan hendak berloncatan ke kereta mereka. Akan tetapi Dewa Arak berseru.

"Berhenti! Kami telah memaafkan kalian dan tidak menangkap kalian, dan untuk itu kalian harus menerima hukuman lain sebagai penggantinya. Kereta dan kuda itu kami butuhkan. Nah, kalian pergilah..., ehh, nanti dulu. Kami harus memeriksa dahulu apakah pusaka itu masih lengkap!"

Sekali berkelebat Dewa Arak sudah meloncat ke dalam kereta dari jarak yang cukup jauh hingga mengejutkan lima orang itu. Peti itu berada di dalam kereta dan setelah membuka tutup peti dan melihat bahwa isinya masih lengkap, Dewa Arak lalu menjenguk keluar. 

"Sekarang kalian berlima boleh pergi, tetapi sekali lagi bertemu dengan kami, tentu kami akan menangkap dan menyeret kalian ke kota raja agar dihukum."

Lima orang itu saling pandang, di dalam batin menyumpah-nyumpah. Akan tetapi karena maklum bahwa mereka tidak mampu berbuat sesuatu, maka mereka pun cepat-cepat lari meninggalkan tempat itu.

Sam Sian mengajak Sin Wan naik kereta rampasan itu, lalu mereka kembali ke rumah anak itu. Para pelayan yang terluka oleh Hek I Ngo-liong mendapat pengobatan dari Sam Sian. Untung mereka tidak terluka parah dan setelah mendapat pengobatan, mereka tidak menderita lagi. Sam Sian selalu membawa bekal obat-obat luka yang amat manjur.

Malam itu Sam Sian mengajak Sin Wan bercakap-cakap di ruang tamu. Mereka merasa suka dan juga kasihan kepada anak itu yang kini sudah tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Ayah kandungnya sudah lama tewas oleh Se Jit Kong, ibunya dan ayah tirinya juga sudah tewas. Tidak ada sanak kadang, tidak ada handai taulan, anak ini hidup sebatang kara di dunia dalam usia sepuluh tahun! Mereka sudah sepakat untuk menolong anak itu.

"Sin Wan, besok kami akan pergi mengantar pusaka-pusaka ini ke kota raja. Kami ingin sekali mengetahui, apa rencanamu sekarang?" tanya Pek-mau-sian Thio Ki dengan suara lembut.

Pertanyaan ini seperti menyeret Sin Wan kembali ke kenyataan hidup yang sangat pahit, menyadarkannya dari lamunan. Semenjak tadi dia memang sedang memikirkan keadaan dirinya. Besok tiga orang kakek ini meninggalkannya, lantas apa yang harus dia lakukan? Tetap tinggal di rumah besar peninggalan Se Jit Kong dengan segala harta kekayaaanya itu? Bagaimana dia akan mampu mengurus rumah tangga seorang diri saja, mengepalai tujuh orang pelayan itu? Dan dia tahu betapa di dunia ini lebih banyak terdapat orang jahat dari pada yang baik.

Pengalamannya dalam beberapa hari ini saja sudah membuka matanya betapa orang-orang yang kelihatannya baik, ternyata adalah orang yang amat jahat. Seperti ayah tirinya itu! Seperti Bu-tek Cap-sha-kwi, tiga belas orang yang mencoba untuk merampas pusaka, kemudian Hek I Ngo-liong. Pertanyaan Dewa Rambut Putih justru merupakan pertanyaan yang sejak tadi terus mengganggunya.

"Locianpwe, saya... saya tidak tahu. Kalau sam-wi locianpwe mengijinkan, saya ingin ikut saja dengan sam-wi (anda bertiga)."

Tiga orang pertapa itu saling lirik. "Kami bertiga hanyalah orang-orang yang tidak biasa berada di tempat ramai, sebab kami hanya pertapa-pertapa. Mau apa engkau ikut kami, Sin Wan?" Dewa Arak memancing.

"Bila sam-wi sudi menerima saya, maka saya bersedia bekerja sebagai apa saja, sebagai bujang, kacung atau apa saja. Sam-wi locianpwe adalah orang-orang sakti yang budiman dan pandai. Saya akan dapat memetik banyak pelajaran jika menghambakan diri kepada sam-wi. Hanya sam-wi yang saya percaya di dunia ini "

Senang hati tiga orang kakek itu mendengar ucapan anak itu. Seperti yang telah mereka duga, selain memiliki bakat yang baik untuk belajar silat, anak ini juga mempunyai budi pekerti yang baik menurut didikan mendiang ibunya, sama sekali tidak mirip ayah tirinya, Iblis Tangan Api yang kejam dan jahat itu.

"Siancai...!" kata Kiam-sian. "Agaknya telah dikehendaki Tuhan engkau berjodoh dengan kami, Sin Wan. Bagaimana kalau engkau ikut dengan kami sebagai murid kami?"

Anak itu tertegun, matanya terbelalak, lalu wajahnya menjadi cerah gembira dan dengan gugup dan gemetar dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap tiga orang itu.

"Terima kasih kalau suhu bertiga sudi menerima teecu (murid) sebagai murid. Sebetulnya tidak ada yang lebih teecu inginkan dari pada menjadi murid sam-wi suhu (guru bertiga), akan tetapi tentu saja teecu tidak berani minta menjadi murid .... "
"Hemmm, mengapa tidak berani, Sin Wan? Kukira engkau bukan seorang anak penakut!" cela Dewa Arak.
“Maaf, suhu. Bagaimana pun juga sam-wi mengetahui bahwa teecu adalah anak tiri dari mendiang Se Jit Kong dan sejak bayi teecu sudah dididik olehnya. Teecu khawatir kalau sam-wi suhu menganggap teecu bukan anak yang terdidik dengan baik. Akan tetapi siapa kira sam-wi suhu yang mengambil teecu sebagai murid. Terima kasih kepada Allah Yang Maha Kasih..."

Tiga orang pertapa itu mengangguk-angguk. Anak ini tidak berani minta dijadikan murid bukan karena merasa takut, melainkan karena merasa rendah diri sebagai putera seorang datuk besar yang kejam seperti iblis

"Bangkit dan duduklah, Sin Wan. Kalau engkau ikut dengan kami, lalu bagaimana dengan rumah dan harta peninggalan Se Jit Kong ini?" tanya si Dewa Arak.
"Teecu tidak menginginkan sedikit pun dari harta peninggalan Se Jit Kong. Ayah kandung teecu sendiri tidak meninggalkan apa-apa ketika tewas, demiklan pula ibuku. Teecu akan meninggalkan rumah beserta seluruh harta ini kepada para pelayan. Teecu hendak pergi mengikuti suhu bertiga tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian teecu.”

Kembali tiga orang pendeta itu saling pandang dan mereka menjadi semakin kagum. Baru berusia sepuluh tahun akan tetapi Sin Wan tak terikat oleh harta benda! Ini membuktikan bahwa anak itu mempunyai keberanian dan harga diri. Anak seperti ini kelak kalau sudah dewasa tak akan mudah dicengkeram dan dipermainkan nafsu yang timbul oleh daya tarik benda yang amat kuat. 

Harta bendalah yang mendorong sebagian besar manusia menjadi lupa diri, dan dalam pengejaran terhadap harta benda ini, manusia terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan jahat. Mencuri, merampok, menipu atau lain macam perbuatan jahat lagi demi mengejar harta benda. Harta benda juga membuat manusia yang memilikinya menjadi sombong, merasa berkuasa dan merendahkan orang lain.

"Bagus! Kalau begitu malam ini juga harus dilakukan penyerahan harta benda itu supaya besok pagi kita dapat berangkat,” kata si Dewa Arak.

Tujuh orang pelayan itu segera dipanggil dan dikumpulkan di ruangan tamu, juga kepala kampung yang mengepalai daerah tempat tinggal Se Jit Kong diundang menjadi saksi. Di hadapan kepala kampung Sin Wan lalu menerangkan bahwa dia akan pergi merantau dan seluruh harta kekayaan yang berada di rumah itu, berikut rumahnya, dia berikan kepada tujuh orang pelayan.

Tentu saja semua orang merasa terkejut dan terheran, akan tetapi tujuh orang pelayan itu pun menjadi gembira bukan main. Mereka segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Wan dan berulang-ulang menghaturkan terima kasih mereka. Biar dibagi tujuh sekali pun, mereka akan memperoleh bagian yang akan membuat masing-masing pelayan menjadi orang yang kaya! 

Juga kepala kampung sangat terkejut dan terheran. Akan tetapi ketika si Dewa Arak yang mewakili Sin Wan mengatur semua urusan itu mengatakan bahwa sebagai pengawas dan saksi agar pembagian itu dilakukan seadil-adilnya, kepala kampung mendapat pula upah yang cukup layak, kepala kampung menjadi gembira pula…..
********************
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Wan dan tiga orang gurunya meninggalkan rumah Se Jit Kong di Yin-ning itu dengan kereta rampasan mereka. Tujuh orang pelayan mengantarkan sampai di luar pintu gerbang, dan kereta segera membalap setelah berada di luar kota. 

Sin Wan menghela napas panjang, seolah-olah dia terlepas dari belenggu yang amat tidak menyenangkan hatinya. Belenggu itu terasa olehnya semenjak dia mendengar keterangan ibunya bahwa Se Jit Kong bukan ayah kandungnya, bahkan pembunuh ayah kandungnya, dan bahwa ibunya menjadi isteri Se Jit Kong karena terpaksa untuk menyelamatkannya! Sejak saat itu rumah dan harta milik Se Jit Kong itu seperti sebuah penjara baginya, lantai rumah terasa seperti api membara, harta kekayaan itu bagai lintah-lintah yang bergayutan di tubuhnya.

Kini dia merasa bersih dan ringan, maka dia dapat menatap ke depan dengan wajah cerah penuh harapan. Akan tetapi teringat akan penderitaan ibunya, sepasang matanya menjadi basah dan cepat dia menghapus air matanya.

Ibunya telah meninggal dunia, berarti sudah terbebas dari penderitaan hidup di dunia yang penuh kepalsuan. Dia hanya dapat berdoa dengan diam-diam, semoga Allah Yang Maha Pengampun sudi mengampuni semua dosa ibunya.

Semua keindahan pemandangan alam yang terbentang luas di sekitarnya menghilangkan semua kenangan sedih tentang ibunya. Baru sekarang ini Sin Wan melakukan perjalanan jauh, melalui daerah yang sama sekali tidak dikenalnya. Dan tiga orang pendeta itu juga merupakan pencinta alam. Setiap kali terdapat pemandangan yang sangat indah, si Dewa Arak yang duduk di tempat kusir bersama Dewa Pedang langsung menghentikan kuda penarik kereta dan mereka pun berhenti untuk menikmatl keindahan alam. 

Sin Wan memperhatikan mereka dan segera melihat perbedaan di antara mereka kalau menghadapi keindahan alam yang mempesona itu. Dewa Arak menikmati keindahan alam sambil meneguk araknya, Dewa Pedang melihat ke sekeliling seperti orang terpesona dan termenung, sedangkan Dewa Rambut Putih, kalau tidak meniup sulingnya tentu bersajak!

Belasan hari lewat tanpa ada gangguan di perjalanan. Pada suatu senja kereta berhenti di puncak sebuah bukit. Puncak itu datar dan dari tempat itu pemandangan alam sangatlah indahnya. Apa lagi mereka dapat melihat matahari senja mengundurkan diri di atas kaki langit di barat, hampir menyembunyikan diri di balik bayangan gunung-gunung.

Menatap matahari senja memang merupakan sebuah pengalaman yang mempesonakan. Langit di barat berwarna kemerahan, diselingi oleh warna perak, biru serta ungu, ada pula sebagian yang warnanya kuning keemasan. Matahari sendiri berwarna merah cerah tetapi tidak menyilaukan, seperti tersenyum memberi ucapan selamat berpisah, seperti hendak mengucapkan selamat tidur. 

Matahari menjadi bola merah yang besar, perlahan namun pasti makin menyelam ke balik bukit-bukit. Angin senja semilir menggoyang pucuk-pucuk ranting pohon, membuat pohon itu seperti kekasih-kekasih yang ditinggalkan orang yang dicintanya dan melambai-lambai mengucapkan selamat jalan untuk bersua kembali esok hari.

Burung-burung terbang melayang, berkelompok sambil mengeluarkan suara riuh-rendah, sekelompok makhluk yang setelah sehari rajin bekerja kini pulang ke sarang mereka yang hangat, atau berlindung pada ranting-ranting pohon berselimutkan kerimbunan daun-daun yang melindungi.

Tanpa diperintah lagi, setelah mendapat pengalaman selama beberapa hari dan tahu apa yang harus dilakukannya, Sin Wan mencari kayu dan daun kering lantas menumpuknya di atas tanah, tidak jauh dari kereta. Dia harus mengumpulkan cukup banyak kayu bakar untuk membuat api unggun malam ini. Apa bila mereka tidur di tempat terbuka, harus ada api unggun yang selain dapat memberikan penerangan, juga dapat mengusir nyamuk dan binatang lain. Dapat pula mengusir hawa dingin yang dibawa angin malam.

Tiga orang pendeta itu turun dari kereta, segera duduk bersila untuk memulihkan tenaga setelah kelelahan sehari penuh melakukan perjalanan dengan kereta. Sin Wan mengambil sebuah buntalan yang berisi bekal makanan dan minuman yang dibeli tiga orang suhu-nya di dusun yang mereka lewati siang tadi. 

Tanpa banyak bicara mereka lalu makan malam di dekat api unggun yang sudah dibuat oleh Sin Wan. Tiga orang kakek itu semakin suka kepada murid mereka. Meski pun sejak kecil hidup sebagai putera orang kaya raya, ternyata Sin Wan tidak manja, tidak cengeng, berani menghadapi kesukaran dan rajin, tidak canggung melakukan pekerjaan kasar.

Sesudah makan malam mereka duduk dekat api unggun dan Dewa Arak berkata kepada Sin Wan. "Sin Wan, sekarang engkau sudah menjadi murid kami. Kami ingin melihat apa saja yang pernah kau pelajari dari Iblis Tangan Api. Sekarang coba engkau mainkan ilmu-ilmu silat yang pernah kau pelajari darinya."

Sin Wan mengerutkan sepasang alisnya. Sebetulnya dia tidak suka memainkan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari pembunuh ayahnya. Akan tetapi dia tak berani membantah perintah gurunya. Melihat keraguan anak itu dan kerut di alisnya, Kiam-sian lalu bertanya,

“Kenapa, Si Wan? Engkau kelihatan tidak suka memainkan ilmu yang pernah kau pelajari dari Se Jit Kong?"
"Maaf, suhu, Se Jit Kong adalah seorang datuk sesat yang amat kejam dan jahat. Teecu hendak melupakan saja semua yang pernah teecu pelajari darinya karena kalau orangnya jahat, pasti ilmunya jahat juga."
"Siancai, engkau tak boleh berpendapat seperti itu, Sin Wan. Semua ilmu tetap saja ilmu pengetahuan yang menjadi alat bagi manusia dalam kehidupannya. Seperti alat-alat hidup yang lain, ilmu tidak ada sangkut pautnya dengan sifat jahat atau baik. Jahat atau baiknya ilmu, seperti jahat atau baiknya alat, tergantung dari pada orang yang menggunakannya. Apa bila orang itu memang berniat jahat, maka alat apa saja atau ilmu apa saja, dapat dia gunakan untuk berbuat jahat, Yang jahat bukan ilmunya, melainkan orangnya! Andai kata di waktu hidupnya Se Jit Kong menggunakan semua ilmunya untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan, apakah engkau akan mengatakan bahwa ilmu-ilmunya jahat?"

Mendengar ucapan Kiam-sian ini, Sin Wan segera menjadi sadar dan dia pun memberi hormat kepada Dewa Pedang itu. “Maafkan teecu, suhu, Pandangan teecu tadi memang keliru dan amat picik. Baiklah, teecu akan memainkan semua ilmu silat yang pernah teecu pelajari dari Se Jit Kong."

Anak itu lalu bersilat, diterangi sinar api unggun dan ditonton ketiga orang gurunya.

Se Jit Kong memang seorang datuk besar yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Sejak Sin Wan berusia empat tahun, anak itu telah digemblengnya. Bahkan tubuh anak itu telah dibikin kuat dengan obat-obat gosok mau pun minum. Semenjak berusia enam tahun Sin Wan telah diajar melakukan siulian (semedhi) dan latihan pernapasan untuk menghimpun teraga sakti. Maka tidak mengherankan kalau ketika berusia sepuluh tahun Sin Wan telah menjadi seorang anak yang cukup lihai, yang takkan begitu mudah dikalahkan oleh orang dewasa biasa, betapa pun kuatnya orang itu.

Sin Wan tidak ingin menyembunyikan sesuatu. Dia bersilat sepenuh hatinya, memainkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya, bahkan mengerahkan tenaga sinkang seperti yang pernah diajarkan Se Jit Kong kepadanya. Dan perlahan-lahan dari kedua tangan anak itu mengepul uap panas!

Tiga orang pertapa itu mengangguk-angguk. Dalam usia sepuluh tahun Sin Wan sudah dapat mencapai tingkat seperti itu. Benar-benar hebat! Walau pun dia belum sepenuhnya menguasai ilmu Tangan Api, namun kedua tangannya telah mengepulkan uap panas, dan pukulan-pukulannya mengandung hawa panas pula. Setelah anak itu selesai bersilat dan mengatur kembali pernapasannya yang agak terengah, Kiam-sian bertanya,

"Pernahkah diajari ilmu pedang?"

Sin Wan mengangguk, lantas Dewa Pedang menggerakkan tangan kirinya ke arah pohon yang berada di dekat rnereka. Diam-diam dia mengerahkan Kiam-ciang (Tangan Pedang), ilmu pukulan yang mengandung sinkang amat kuat. Maka terdengarlah suara gaduh saat dua batang cabang pohon itu runtuh. Ia mengambil dua batang cabang itu, membersihkan daunnya lalu menyerahkan sebatang kepada muridnya.

"Nah, pergunakan pedang ini dan seranglah aku!" katanya dan dia pun memegang kayu cabang yang kedua.
"Baik, suhu," kata Sin Wan, kemudian anak ini memutar-mutar kayu itu seperti sebatang pedang dan mulai melakukan serangan-serangan dengan sepenuh hati kepada gurunya.

Sambil mengamati gerakan muridnya, Kiam-sian lantas menangkis dan balas menyerang. Dengan cara mengajak muridnya bertanding seperti ini maka lebih mudah baginya untuk mengukur dalamnya ilmu yang telah dimiliki muridnya, dari pada kalau hanya melihat anak itu bersilat pedang seorang diri saja.

Setelah semua jurus dimainkan habis dan Sin Wan meloncat ke belakang menghentikan serangannya, Kiam-sian mengangguk-angguk.

"Duduklah kembali, Sin Wan."

Sin Wan duduk bersila lagi menghadapi api unggun. Tiba-tiba Dewa Arak sudah berada di belakangnya, juga duduk bersila dan gurunya ini berkata sambil tersenyum.

"Sin Wan, coba kau kerahkan seluruh tenaga sinkang yang pernah kau latih." 

Setelah berkata demikian, tangan kirinya ditempelkan di pundak, tangan kanan melingkari perut dan menempel di pusar.

Sin Wan tidak membantah. Dia pun mengangkat dua tangannya ke atas dengan telapak tangan tengadah. Oleh mendiang Se Jit Kong gerakan ini dinamakan ‘Menyambut Api dari Langit’. Dua tangan yang tengadah itu bergetar, kemudian perlahan-lahan turun ke bawah, kini kedua telapak tangan menempel dengan tanah. Inilah yang dinamakan ‘Menyedot Api Dari Bumi’. 

Dia menghimpun tenaga seperti yang diajarkan Se Jit Kong, merasakan betapa ada hawa panas memasuki pusarnya lantas berputaran. Seperti yang biasa dilatihnya, dia mencoba untuk menguasai hawa yang berputaran itu supaya dapat dia salurkan ke arah sepasang lengannya. Akan tetapi tiba-tiba ada hawa sejuk masuk ke dalam pusarnya. Ketika tenaga panas yang disalurkan ke lengan tiba di pundak, hawa itu terhenti dan kembali ke pusar.

"Cukup, hentikan latihanmu," terdengar suara lembut dan baru dia teringat bahwa Dewa Arak sedang bersila di belakangnya.
"Siancai, murid kita ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang bersifat ganas. Akan tetapi ilmu-ilmu itu jangan dilupakan begitu saja, Sin Wan. Engkau berhak menguasainya, dan jika pandai mempergunakannya untuk berbuat kebaikan, maka keganasan ilmu-ilmu itu akan hilang bahkan berubah menjadi ilmu yang amat bermanfaat bagimu," kata Dewa Rambut Putih.
"Teecu akan mentaati semua nasehat dan petunjuk suhu bertiga," jawab Sin Wan dengan kesungguhan hati.

Malam itu mereka beristirahat dan pada keesokan harinya, pada waktu mereka hendak melanjutkan perjalanan, Sin Wan minta ijin tiga orang gurunya untuk mencari sumber air atau anak sungai untuk mandi. Tiga orang pertapa itu tersenyum dan Dewa Arak berkata sambil tertawa.

"Ha-ha-ha-ha, kami sudah biasa bertapa tanpa mandi tanpa makan dan tanpa tidur hingga berbulan, maka pagi hari ini kami pun tidak membutuhkan air. Akan tetapi engkau terbiasa mandi setiap hari, bahkan kemarin engkau sudah mengeluh karena seharian tidak mandi. Pergilah, kurasa di sebelah kiri sana ada anak sungai yang airnya cukup jernih, Sin Wan."

Pemuda kecil itu berterima kasih, membawa ganti pakaian dan lari ke kiri. Benar saja, tak lama kemudian dia melihat sebuah anak sungai yang airnya cukup jernih karena seperti umumnya anak sungai di pegunungan, pada dasar sungai terdapat banyak pasir dan batu sehingga airnya tersaring jernih.

Dengan perasaan gembira Sin Wan menanggalkan pakaiannya, menaruhnya di tepi anak sungai bersama pakaian bersih yang dibawanya tadi, kemudian dengan bertelanjang bulat Sin Wan memasuki sungai kecil yang airnya jernih itu. Airnya sejuk dan segar!

Sin Wan memilih bagian yang airnya setinggi dadanya, kemudian mandi dengan gembira. Tubuhnya terasa nyaman bukan kepalang ketika berendam di air itu. Dia menggunakan sebuah batu halus untuk menggosok-gosok kulit tubuhnya dan membersihkan debu-debu yang menempel.

Dia tidak melihat atau mendengar betapa ada dua orang lain yang juga sedang mandi tak jauh dari tempat dia mandi namun tidak nampak dari situ karena berada di balik belokan sungai. Mereka menjadi marah sekali ketika mendengar ada orang yang turun ke sungai dan mandi di hulu tak jauh dari mereka. Perbuatan itu dengan sendirinya mengotorkan air yang mengalir ke arah mereka. Dengan bersungut-sungut keduanya naik ke tepi sungai, lalu secepatnya mereka mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian.

Mereka itu adalah dua orang wanita. Yang seorang berusia sekitar tiga puluh tahun akan tetapi masih nampak seperti gadis dua puluh tahun saja, cantik jelita serta anggun, akan tetapi sinar matanya keras dan tajam. Orang kedua adalah seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih baru sembilan tahun akan tetapi sudah kelihatan cantik manis!

"Subo (ibu guru), mari kita lihat siapa orangnya. Dia harus dihajar!" kata anak perempuan itu dengan wajah bersungut-sungut.

Wajah yang manis itu kulitnya kemerahan karena digosok-gosoknya ketika mandi tadi dan dia memang seorang anak perempuan yang manis. Rambutnya hitam dan gemuk sekali, dibiarkan panjang sampai ke punggung dan diikat pita merah. Wajahnya yang bentuknya bulat itu memiliki mata yang seperti sepasang bintang, hidungnya mancung dan mulutnya kecil, dagunya meruncing.

Wanita cantik itu tersenyum hingga lesung di kedua pipinya tampak melekuk manja. Yang paling mempesona pada diri wanita ini adalah mulutnya. Bentuk mulut itu demikian indah, dengan bibir merah membasah, penuh dan seperti gendewa terpentang, kalau tersenyum nampak kilatan gigi yang berderet putih seperti mutiara, kalau berbicara kadang nampak rongga mulut yang merah dan ujung lidah yang jambon. Bibir yang bawah dapat bergerak-gerak hidup, penuh gairah dan memiliki daya pikat yang kuat sekali.

"Lili, jangan terburu nafsu. Kita lihat dahulu apakah sikapnya buruk. Dia mandi di sana disengaja ataukah tidak. Kalau sikapnya buruk, baru kita hajar dia!" 

Di dalam suaranya yang merdu itu tersembunyi ancaman yang akan membuat orang yang mendengarnya menjadi ngeri. Wanita itu memang cantik sekali. Rambutnya yang halus dan hitam panjang digelung seperti model rambut seorang puteri bangsawan dan dihias dengan tusuk sanggul emas permata berbentuk burung Hong dan bunga teratai. 

Ketika mandi tadi, walau pun dia hanya mengenakan pakaian dalam, dia membenamkan dirinya hingga ke leher dan menjaga supaya rambutnya tidak sampai basah, tidak seperti anak perempuan yang mencuci rambutnya. Kini sesudah berpakaian, wanita itu semakin nampak seperti seorang wanita bangsawan.

Pakaiannya serba indah dan mewah. Lehernya memakai kalung dan dua lengannya dihias gelang emas. Alisnya melengkung hitam di atas sepasang mata yang bersinar tajam dan kadang amat keras sehingga nampak galak.

Hidungnya juga mancung dan manis, akan tetapi daya tarik yang paling memikat adalah mulutnya. Di dahinya nampak anak rambut halus berjuntai ke bawah, dan di depan telinga terdapat untaian rambut yang melengkung indah.

"Mari kita ke sana, subo!" anak perempuan itu nampak tergesa karena dia sudah marah sekali, merasa mandinya diganggu orang.

Dia juga mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera mahal, walau pun bentuknya amat sederhana, tidak ada kesan mewah seperti pakaian wanita cantik yang disebutnya subo. Anak ini hanya memakai sepasang gelang batu giok (kumala) sebagai perhiasannya.

Guru dan murid itu lalu mengitari semak-semak belukar di belokan sungai dan tidak lama kemudian mereka sudah melihat Sin Wan yang sedang mandi. Dengan gembiranya anak laki-laki itu berulang kali membenamkan kepalanya ke air.

"Kiranya hanya seorang bocah. Tentu dia anak yang nakal sekali," anak perempuan yang disebut Lili tadi mengomel. "Dia harus diberi hukuman atas kelancangannya yang sudah mengganggu kita." 

Dengan gerakan yang cepat sekali dia meloncat ke arah tumpukan pakaian Sin Wan. Dia menyambar tumpukan dua stel pakaian kotor dan bersih itu, meninggalkan sebuah celana pendek saja, kemudian meloncat kembali ke belakang semak-semak di mana subo-nya menunggu.

Meski pun gerakan anak perempuan itu cepat sekali, bagaikan seekor kelinci, namun Sin Wan masih sempat melihat bayangan orang berkelebat. Dia cepat menengok dan melihat bayangan itu lenyap ke balik semak belukar. Akan tetapi yang membuat ia amat terkejut, ketika dia menengok ke arah tumpukan pakaiannya, ternyata tumpukan itu sudah lenyap, hanya tinggal sepotong baju atau celana di sana.

"Heiiiii ...!" Dia berteriak dan hendak keluar dari sungai itu. Akan tetapi dia ingat bahwa dia kini bertelanjang bulat, maka dia meragu, lalu kembali dia berteriak. "Heii, siapa pun yang berada di darat! Aku akan keluar dari sungai dalam keadaan telanjang bulat. Kembalikan pakaianku!" 

Akan tetapi tidak terdengar suara dari balik semak, juga tidak ada gerakan apa pun. Tentu pencuri pakaian itu telah melarikan diri jauh-jauh, pikir Sin Wan. Dia lalu melompat ke atas daratan dan menyambar celana dalamnya yang masih tertinggal di tempat tumpukan yang lenyap tadi. Cepat dipakainya celana dalam itu, sebuah celana yang hanya menutup dari pinggang sampat ke paha, lalu larilah dia ke belakang semak untuk mengejar orang yang mencuri pakaiannya. Dan… hampir saja dia menabrak seorang wanita cantik dan seorang anak perempuan manis yang berdiri di belakang semak belukar itu.

"Ehhh, maaf!” kata Sin Wan dan cepat dia melempar diri ke kanan sehingga bergulingan akan tetapi dia tidak sampai menabrak orang.

Ketika dia bangkit berdiri lagi, dia melihat bahwa pakaiannya masih dipegang oleh anak perempuan yang manis itu, yang sekarang berdiri di situ memandang kepadanya dengan senyum mengejek dan pandang mata penuh kemarahan.

Guru dan murid itu pun memandang kepadanya. Kalau anak perempuan itu memandang dengan senyum geli dan mengejek, maka wajah wanita itu berubah kemerahan dan dia pun cepat membuang muka sambil berkata ketus,

"Anak laki-laki tak tahu malu!"

Sin Wan merasa penasaran. Tentu saja dia pun merasa canggung dan malu harus berdiri dalam keadaan tiga perempat telanjang di depan dua orang wanita yang tidak dikenalnya ini. Akan tetapi yang membuat dia hampir telanjang itu adalah anak perempuan ini! Bukan dia yang tidak tahu malu atau kurang ajar, tetapi anak perempuan itu yang telah mencuri pakaiannya selagi dia mandi. 

Meski pun dia menjadi marah sekali dan ingin memaki, ingin menampar anak perempuan itu, namun pendidikan mendiang ibunya membuat dia mampu menahan diri. Dia menekan perasaannya yang marah dan penasaran, lalu membungkuk depan anak perempuan itu dan berkata,

"Nona, harap pakaianku itu dikembalikan!" katanya, walau pun kata-katanya dan sikapnya sopan, namun suaranya keras mengandung kemarahan yang tertahan.

Akan tetapi anak perempuan itu membelalakkan matanya. “Apa kau bilang? Engkau tidak cepat berlutut minta ampun atas kesalahanmu malah menuntut pakaianmu dikembalikan? Hemm, engkau memang anak yang kurang ajar, nakal dan tak tahu diri!”

Sikap dan ucapan anak perempuan itu bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api bernyala. Sin Wan marah bukan main. Dia malah dimaki-maki oleh anak yang mencuri pakaiannya! Aturan apa macam ini?

"Nona sungguh tak tahu diri!" katanya, biar pun marah tapi masih menjaga kata-katanya. “Nona sudah mencuri pakaianku, sedangkan selama hidupku, aku tidak pernah bertemu denganmu, tidak pernah mengganggumu. Sekarang dengan hormat aku minta pakaianku yang nona curi agar dikembalikan, mengapa nona malah memaki-maki aku?!"
"Siapa bilang engkau tidak mengganggu kami? Guruku dan aku sedang enak-enak mandi di situ," ia menuding ke sebelah hilir, "dan engkau mengotori air dengan mandi di sebelah atas! Setan kurang ajar, sepatutnya engkau dihajar. Akan tetapi cukup engkau minta maaf kepada kami dan kehilangan pakaian ini!" Anak perempuan itu lalu merobek-robek semua pakaian Sin Wan yang berada di tangannya!

Saking marahnya Sin Wan sampai tidak menyadari bahwa sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali bagi seorang anak perempuan dapat merobek-robek pakaiannya seolah-olah pakaian itu terbuat dari pada kertas saja! Dia terlalu marah untuk menyadari hal itu.

"Engkau sungguh tak tahu aturan!" bentaknya. "Andai kata benar tuduhanmu tadi bahwa aku mandi di sebelah hulu sehingga membuat air menjadi keruh, hal itu kulakukan tanpa kusadari. Aku sama sekali tidak tahu bahwa ada orang sedang mandi di hilir. Dan engkau sekarang malah merobek-robek pakaianku. Sungguh engkau kurang ajar. Kalau tak ingat bahwa engkau ini anak perempuan, tentu hemmm ...…" 

Anak perempuan itu segera melangkah maju sampai berdiri dekat sekali di hadapan Sin Wan, hanya dalam jarak kurang dari satu meter. 

“Hemmm apa? Hemmm apa? Hayo katakan, mau apa kau?"
"Kalau bukan anak perempuan. tentu kupukul kau agar tahu aturan!" Sin Wan terpaksa melanjutkan ancamannya karena dia pun merasa penasaran dan marah sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang anak perempuan senakal dan segalak ini!”
"Apa? Kau? Mau memukul aku? Pukullah..., hayo pukullah...!" anak perempuan itu maju lagi sehingga dadanya membentur dada Sin Wan dan dua tangannya bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali.
"Aku bukan seorang pengecut yang suka memukul anak perempuan cengengl" Sin Wan menghardik.

Anak perempuan itu menjadi semakin marah. Kedua matanya yang lebar itu terbelalak, hidungnya mendengus-dengus seperti seekor kuda marah.

"Kau bilang aku cengeng? Setan iblis jahanam keparat kamu, ya? Hayo pukul, kalau kau tidak mau pukul, aku yang akan memukulmu!"

Akan tetapi Sin Wan tidak peduli lagi dan melangkah mundur untuk pergi saja dari situ, tidak mau melayani anak perempuan yang galaknya melebih ayam bertelur itu. Melihat dia tidak mau memukul dan malah mundur, anak perempuan itu menjadi semakin marah.

"Kalau kau tidak mau memukul, kau lihat pukulanku ini…!" Dia pun menerjang maju dan tangan kanannya memukul ke arah dada Sin Wan, juga kakinya bergerak menyambar dari pinggir, menyapu kedua kaki Sin Wan.

Tadinya Sin Wan menganggap bahwa pukulan seorang anak perempuan tentu tidak ada artinya. Apa lagi tubuhnya kebal dan sudah terlatih. Bahkan diam-diam dia ingin membuat anak perempuan itu menderita karena kegalakannya. Ia pun mengeraskan dadanya yang terpukul untuk menyambut pukulan dan membuat tangan yang memukul itu kesakitan.

"Dukkk...! Bressss...!" 

Sin Wan terpelanting dan terjengkang! Terpelanting karena sepasang kakinya disapu dari pinggir oleh sebuah kaki kecil yang sangat kuat, dan pukulan pada dadanya membuat dia terjengkang! Pukulan itu ternyata mengandung tenaga yang kuat sekali dan biar pun dia tidak terluka dan juga tidak menderita nyeri terlalu hebat, namun dia terjengkang sampai terguling-guling!

Dia meloncat bangkit kembali dan melihat betapa orang yang dipukulnya tidak menderita apa-apa, bahkan mampu bangkit dengan cepat. Anak perernpuan itu merasa penasaran, segera meloncat memberi serangan yang lebih hebat lagi. Gerakannya cepat dan kedua tangannya mengandung tenaga sehingga tiap kali digerakkan, terdengar suara angin.

Tahulah Sin Wan bahwa dia berhadapan dengan seorang anak perempuan yang sama sekali tidak lemah, bahkan pandai ilmu silat dan memiliki tenaga yang kuat. Maka, begitu melihat anak perempuan itu menerjangnya, dia pun cepat mengelak dan menangkis.

Tangkisannya yang disertai tenaga membuat lengan anak perempuan itu terpental dan hal ini membuatnya semakin galak dan ganas lagi. Serangan datang bertubi-tubi, bahkan kini kakinya juga ikut menyambar-nyambar.

Sin Wan sama sekali tidak ingin membalas, karena dia tetap berpendapat bahwa amat memalukan bagi seorang anak laki-laki untuk memukul perempuan. Biar pun dia terdesak, dia hanya menangkis dan mengelak saja. Akan tetapi anak perempuan itu ternyata bukan hanya mengerti sedikit ilmu silat. Sama sekali tidak! Bahkan andai kata dia melawan dan membalas dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia mampu memperoleh kemenangan dengan mudah! Anak ini sudah mendapat gemblengan dari seorang yang sakti, mungkin seperti mendiang Se Jit Kong saktinya!

"Desss...!"

Kembali dia terjengkang ketika sebuah tendangan yang tidak disangka-sangka memasuki pertahanannya dan menghantam perut yang untung dapat dia keraskan sehingga tidak sampai terluka.

Ketika dia meloncat bangkit kembali, dia melihat anak perempuan itu membuat gerakan dengan kedua tangan, mirip gerakan menghimpun sinkang seperti yang pernah dilatihnya, yaitu ‘Menyambut Api Dari Langit’, akan tetapi ketika turun, lanjutannya berbeda. Kedua tangan anak itu melengkung ke kanan kiri, kemudian ketika kedua tangan itu membuat gerakan mendorong terdengar suara yang seperti ular mendesis. Kedua tangan itu seperti kepala dua ekor ular menghantam ke arah dadanya.

Sin Wan cepat mengumpulkan tenaga sinkang dari pusarnya, lantas menyambut pukulan yang dia tahu merupakan pukulan berbahaya itu dengan kedua tangannya sendirl.

"Desss...!"

Kini tubuh anak perempuan itu yang terpental dan terhuyung, bahkan ia tentu akan roboh kalau saja lengannya tidak disambar oleh wanita cantik yang menjadi gurunya. 

"Kau tidak apa-apa?" Wanita cantik itu bertanya sambil meraba dada muridnya. Ailsnya berkerut ketika dia merasakan ada suatu ketidak wajaran pada muridnya.
"Subo, tangannya panas sekali...!" kata anak perempuan itu yang segera duduk bersila untuk mengatur pernapasan.

Wanita itu memandang kepada Sin wan dan melihat betapa kedua tangan anak laki-laki itu masih mengeluarkan uap tipis. Sekali tubuhnya bergerak, wanita itu telah meloncat dan berada di hadapan Sin Wan, membuat anak ini terkejut sekali. Gerakan wanita itu seperti menghilang saja!

"Katakan, apa hubunganmu dengan Iblis Tangan Api?!" wanita itu sekarang membentak, suaranya tetap halus namun mendesis seperti ular, dan dingin seperti salju, dan ketika Sin Wan memandang, sepasang mata itu mencorong seperti mata naga dalam dongeng.
"Tidak ada hubungan apa-apa," jawabnya singkat dan dia segera memutar tubuh hendak pergi dari tempat itu.
"Tunggu! Engkau tidak boleh pergi begitu saja setelah memukul muridku."

Sin Wan menghadapi wanita itu dengan penasaran. "Bibi, aku sama sekali tidak pernah memukulnya." 

"Hemm, coba kau pukul aku seperti gerakanmu tadi."
"Tapi aku tidak memukulnya, aku hanya menangkis pukulannya!" Sin Wan memprotes.
"Kalau begitu, kau tangkislah pukulanku ini!" Wanita itu lalu menggerakkan kedua tangan, cepat sekali seperti yang dilakukan oleh muridnya tadi, ke arah dada Sin Wan. Terpaksa, untuk menjaga diri, Sin Wan menyambut dengan dorongan kedua tangannya seperti tadi. 
"Desss...!"

Sekali ini tubuh Sin Wan yang terjengkang, bahkan terbanting keras sehingga dia merasa betapa dadanya terasa sesak dan sukar bernapas. Ketika bangkit duduk dia muntahkan darah segar dan merasa betapa dadanya nyeri.

Dengan terhuyung Sin Wan bangkit berdiri memandang kepada wanita itu dan bertanya, "Bibi, mengapa engkau memukulku? Apakah engkau akan membunuhku?" Pertanyaan itu mengandung keheranan dan penasaran, tapi sama sekali tidak membayangkan perasaan takut sedikit pun.

"Aku belum membunuhmu agar engkau dapat memberi tahu kepada Se Jit Kong bahwa aku akan membunuhnya!"

Mendengar bahwa wanita ini musuh Se Jit Kong, berkurang rasa tak senang dalam hati Sin Wan. 

"Bibi siapakah?”
"Katakan saja bahwa Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik) yang memukulmu!"

Sin Wan lalu membalikkan tubuhnya dan dengan terhuyung-huyung pergi dari tempat itu dalam keadaan hampir telanjang, hanya memakai celana dalam yang pendek…..

********************
Selanjutnya baca
SI PEDANG TUMPUL : JILID-03
LihatTutupKomentar