Rajawali Emas Jilid 11


Kita tinggalkan dulu Li Eng dan Kong Bu, dua orang muda yang sama-sama berwatak aneh dan berhati keras, yang bersitegang di sepanjang jalan, saling mengejek dan saling menawan. Marilah kita mengikuti kisah Hui Cu yang pada malam hari itu dirampas oleh seorang tak dikenal, sesosok bayangan yang amat lihai sehingga dapat merampas gadis ini dari tangan Kakek Song-bun-kwi yang sakti.

Bayangan lihai yang sanggup menggempur Song-bun-kwi kemudian merampas Hui Cu itu ternyata ialah seorang pemuda tampan yang bibirnya selalu tersenyum-senyum, matanya lebar dan tajam pandangannya, hidungnya mancung dan membayangkan kejujuran dan kekerasan hati. Tubuhnya tinggi semampai, gerak-geriknya gagah membayangkan tenaga yang kuat. Siapakah dia? Kita sudah mengenalnya. Dia ini bukan lain adalah Tan Sin Lee, putera dari Kwa Hong!

Seperti sudah kita ketahui, Sin Lee turun dari puncak Lu-liang-san, turun gunung untuk melaksanakan tugas yang sudah diberikan kepadanya oleh ibunya. Ia disuruh mencari musuh-musuh ibunya, disuruh membunuh mereka itu dan disuruh pula menangkap dan menyeret Tan Beng San ke Lu-liang-san, ke depan kaki ibunya. Di dalam hatinya Sin Lee tidak dapat menerima tugas membunuh-bunuhi orang yang tidak bermusuhan dengannya itu, akan tetapi ia sudah berjanji untuk memenuhi permintaan ibunya dan menyeret Tang Beng San ke Lu-liang-san.

Dalam perjalanannya, orang muda ini tertarik pula untuk melihat keadaan kota raja selatan yang tersohor indah dan ramai. Dan kebetulan sekali pada malam hari itu dia melihat seorang kakek tinggi besar berlari secepat terbang sambil mengempit tubuh dua orang wanita muda. Kakek ini adalah Song-bun-kwi yang berhasil merampas Hui Cu dan Li Eng dari dalam Istana Kembang.

Diam-diam Sin Lee menjadi penasaran dan mengikuti dari belakang. Ia kaget sekali ketika melihat betapa larinya kakek itu cepat sekali, tanda bahwa kakek itu memiliki kepandaian tinggi. Ia tidak berani gegabah turun tangan karena selain maklum bahwa kakek itu tentu seorang berilmu tinggi, juga dia tidak tahu urusan mereka, tidak tahu siapa salah siapa benar. Karena itulah maka ia terus secara diam-diam mengikuti dari jauh dan mengintai ketika kakek itu masuk ke dalam kelenteng.

Ketika ia mendengar kata-kata kakek itu bahwa dua orang gadis ini adalah anak murid Hoa-san-pai, Sin Lee semakin kaget dan menaruh perhatian. Kata ibunya, kongkong-nya, kakeknya adalah ketua dari Hoa-san-pai! Jadi dua orang gadis ini adalah anak murid dari kakeknya! Kagum dia ketika menyaksikan keberanian dua orang gadis itu menghadapi kakek ini yang ia tidak tahu siapa adanya.

Keheranan Sin Lee makin meningkat ketika ia melihat dua orang itu nekat melarikan diri keluar dari kelenteng dikejar oleh kakek itu dan mendengar ucapan Hui Cu yang hendak membujuk kakek itu agar jangan mengganggu mereka karena mereka adalah keponakan-keponakan dari Tan Beng San dan hendak pergi ke Thai-san!

Mendengar ini, Sin Lee mendapat pikiran baik sekali. Ia harus menolong dua orang gadis itu karena mereka adalah anak murid Hoa-san-pai, berarti anak murid kakeknya pula, dan selain itu, mereka itu bisa menjadi perantara agar ia dapat naik ke Thai-san tanpa banyak rintangan, mencari Tan Beng San dan menangkapnya!

Inilah sebabnya maka tanpa ragu-ragu lagi Sin Lee menyerang kakek itu dan alangkah heran serta kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu ternyata mempunyai kepandaian yang hebat sekali. Ia menjadi gembira dan sekiranya ia tidak memiliki maksud menolong dua orang gadis itu, ingin dia menguji kepandaiannya dan melawan kakek itu sampai puas.

Akan tetapi keinginannya ini buyar ketika ia mendengar suara melengking dari jauh dan segera tahu bahwa kakek ini mempunyai pembantu yang sama lihainya, maka cepat ia menyambar Hui Cu dan dibawa lari dari tempat itu. Dari pada tidak menolong sama sekali, lumayan juga dapat menolong seorang di antara kedua murid Hoa-san-pai itu.

Hui Cu merasa sangat kaget ketika tahu-tahu ia dibawa lari seperti terbang oleh seorang laki-laki yang tidak ia lihat mukanya karena keadaan gelap. Ia tidak tahu apakah orang ini lawan ataukah kawan, akan tetapi dalam pondongan orang ini ia sama sekali tidak dapat bergerak.

Sin Lee berlari terus cepat-cepat karena ia tidak ingin kakek itu bersama pembantunya mengejarnya. Andai kata ia tidak hendak menolong orang, tentu saja ia tidak takut. Akan tetapi dengan adanya gadis yang ditolongnya ini, tentu takkan leluasa ia bergerak dan akhirnya gadis ini pun akan tertawan pula.

Sampai malam terganti pagi Sin Lee masih terus berlari keluar hutan. Pada waktu Hui Cu mendapat kesempatan memandang wajah pemondongnya di antara kesuraman cuaca fajar, gadis ini melihat wajah seorang pemuda yang gagah dan tampan. Hatinya berdebar penuh kekuatiran, terutama sekali kalau dia teringat akan nasib Li Eng di tangan kakek yang menyeramkan itu.

"Kau siapakah? Kawan ataukah lawan? Ke mana kau membawaku pergi?" Dia tak dapat menguasai hatinya, akhirnya Hui Cu lalu bertanya.

Sin Lee juga kaget sekali. Ia tadi berlari sambil termenung memikirkan apa yang telah ia lakukan. Selama hidupnya baru sekali ini ia memondong wanita. Jangankan memondong, biasanya bercakap-cakap atau berdekatan pun belum pernah! Benar-benar pengalaman yang membikin ia bingung dan mendebarkan jantungnya.

Ia sampai kaget mendengar suara halus di pinggir kepalanya itu yang menyeret ia kembali kepada kesadarannya. Segera dia berhenti berlari, kemudian menurunkan gadis itu dari pondongannya, dan akhirnya memandang dengan muka merah. Dadanya makin berdebar tak karuan saat ia menatap wajah yang cantik manis, penuh ketenangan dan keberanian. Apa lagi sesudah dia bertemu pandang dengan sepasang mata bening yang memandang kepadanya penuh selidik, seakan-akan sinar mata gadis itu mampu menembus dada dan menjenguk isi hatinya.

"Ehh... maaf... aku bukanlah kawan bukan pula lawan. Tapi... aku harus menyelamatkan Nona dari tangan kakek iblis itu," katanya agak gugup.
Hui Cu cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat. "Banyak terima kasih atas pertolongan Saudara, akan tetapi... ahh, mengapa Saudara kepalang tanggung menolong kami? Apa artinya aku dapat bebas kalau adikku masih di sana? Sekali lagi terima kasih dan selamat tinggal." Hui Cu lalu membalikkan tubuhnya dan lari kembali ke arah hutan.

"Ehh, Nona... mau ke manakah kau?"
"Ke mana lagi kalau tidak kembali ke sana? Aku harus menolong adikku!" jawab Hui Cu tanpa mengurangi kecepatannya berlari.

Pemuda itu melompat dan cepat mengejarnya. Mereka kini lari berendeng.

"Apa kau gila? Kakek itu lihai sekali, kau akan ditawannya kembali."
"Jangankan ditawan, biar harus berkorban nyawa, aku rela untuk menolong adikku. Kami berdua berangkat bersama, harus pulang bersama atau mati bersama."

Sinar mata pemuda itu membayangkan kekaguman besar. "Kau hebat sekali, Nona. Inilah namanya setia kawan. Dan ilmu lari cepatmu pun boleh juga."

Senang hati Hui Cu dipuji oleh pemuda penolongnya yang ia tahu kepandaiannya sangat tinggi itu. "Ahh, mana bisa dibandingkan dengan kau?"

Ia melirik, justru Sin Lee pun mengerling. Dua pasang mata bertemu dalam kerlingan, dua buah mulut tersenyum dan sekaligus dua muka para remaja itu menjadi merah, jantung mereka berdetak liar. Mereka berlari terus tanpa mengeluarkan kata-kata lagi.

"Ehh, ke arah mana jalannya? Aku bingung, tidak ingat lagi..." kata Hui Cu. Malam tadi ia dipondong, tentu saja tidak tahu jalan.

Pemuda itu tersenyum lalu berkata singkat, "Kau ikutilah aku!" kemudian ia membelok dan memasuki hutan.

Sin Lee sengaja tidak mau mengambil jalan semalam karena ia masih kuatir kalau-kalau bertemu dengan para pengejarnya. Ia kuatir kalau-kalau gadis yang luar biasa ini akan tertawan lagi oleh lawan-lawan yang amat sakti itu. Akan tetapi ia mengambil jalan yang terdekat menuju ke tengah hutan di mana terdapat kelenteng tua itu.

Ketika kelenteng itu sudah tampak, Sin Lee menahan Hui Cu. "Nona, kau bersembunyilah di sini. Biar aku yang pergi menyelidiki ke sana dan kalau ada kesempatan, akan kucoba untuk merampas adikmu itu."

Hui Cu maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu penolongnya ini melawan kakek yang sakti itu. Maka, ia mengangguk dan memandang kepada Sin Lee dengan mesra, penuh pernyataan syukur dan terima kasih.

Jantung pemuda ini serasa berloncatan ketika ia melihat pandang mata itu. Dengan hati senang sekali mulailah ia menyelinap dan menyusup ke dalam semak-semak, berloncatan di antara pohon-pohon mendekati kelenteng.

Dari jauh Hui Cu memandang dengan kagum karena gerakan Sin Lee memang luar biasa sekali gesitnya. Kadang kala pemuda itu melayang ke atas pohon seperti seekor burung garuda saja sikapnya.

Tak lama kemudian, Sin Lee sudah kembali ke depan Hui Cu. Wajah pemuda ini kelihatan kecewa dan suaranya membayangkan kekecewaan pula ketika ia berkata, "Nona, aku tak melihat seorang pun di antara mereka di sana. Kelenteng itu kosong sama sekali."

Wajah Hui Cu seketika menjadi pucat. Dengan isak tertahan gadis ini melompat dan lari menuju kelenteng itu, diikuti dari belakang oleh Sin Lee. Hui Cu langsung menyerbu ke dalam kelenteng, mencari ke depan, ke belakang sambil terus memanggil-manggil nama Li Eng. Namun sia-sia belaka, di sana sunyi tidak terdapat orang yang dicarinya, bahkan bekasnya pun tidak nampak.

"Eng-moi... aduh Eng-moi... bagaimana nasibmu...?"

Hui Cu menjatuhkan diri terduduk di atas lantai dan menutupi muka. Ia tidak menangis keras-keras, akan tetapi dari pundaknya yang bergoyang-goyang dan dari celah-celah jari tangan yang membasah tahulah Sin Lee bahwa gadis ini menangis sedih sekali. Akhirnya Hui Cu dapat menguasai perasaannya dan ia bangun berdiri, mengeringkan air mata yang membasahi pipinya, lalu memandang kepada Sin Lee dengan sedih dan berkata sambil membanting kaki,

"Celaka sekali, kemana aku harus mencari Eng-moi? Ahh, kalau dia sampai kena celaka, bagaimana aku harus bicara dengan Paman dan Bibi?"

Sin Lee mengerutkan keningnya tanda bahwa ia pun ikut berpikir keras. Ia mengandung maksud hati hendak mempergunakan anak murid Hoa-san-pai yang mengaku sebagai keponakan Tan Beng San ini untuk memaksa musuh besar ibunya itu supaya memenuhi permintaannya, yaitu pergi menghadap ibunya di Lu-liang-san.

Diam-diam ia tadinya hendak menjadikan gadis ini sebagai tawanannya untuk memaksa Tan Beng San. Akan tetapi satelah ia melihat wajah Hui Cu dan melihat keadaan gadis ini, entah bagaimana timbul perasaan kasihan dalam hatinya.

"Nona, menyesal sekali malam tadi aku tidak mampu menolong adikmu. Jadi dia itu anak pamanmu? Hemm, agaknya dia dibawa pergi oleh kakek siluman itu. Kalau saja kau bisa beri tahukan kepadaku siapa adanya kakek iblis itu, kiranya aku suka untuk membantumu mengejarnya dan merampas kembali adik misanmu. Siapakah kakek itu?"
"Aku sendiri tidak tahu." Hui Cu menarik napas panjang, bingung sekali tampaknya. "Ah... benar-benar nasib kami buruk. Paman Hong masih belum kuketahui bagaimana nasibnya di tangan Pangeran jahat itu, sekarang Adik Eng terculik oleh kakek iblis pula..."
"Paman Hong siapakah?"

Karena Sin Lee dianggapnya satu-satunya orang yang pada saat itu boleh ia ajak bicara, dengan singkat Hui Cu lalu menceritakan pengalamannya, yaitu semenjak ia dan Li Eng turun dari Hoa-san dengan tujuan pergi ke Thai-san menghadiri pesta upacara pendirian partai Thai-san-pai, mewakili Hoa-san-pai.

Kemudian di tengah jalan mereka bertemu dengan Kwa Kun Hong, paman seperguruan mereka dan bersama melanjutkan perjalanan dengan singgah ke kota raja. Diceritakannya pula tentang undangan Pangeran Kian Bun Ti yang menyebabkan mereka ditahan karena menolak pemberian anugerah.

"Aku dan Adik Eng dipisahkan dari Paman Hong. Kemudian pada malam hari itu kakek iblis merampas kami dari tempat tahanan di Istana Kembang, lalu kakek itu membawa kami ke kelenteng ini, sampai akhirnya kau datang menolongku."

Sin Lee tertarik sekali, terutama mendengar tentang maksud gadis ini pergi ke Thai-san untuk memberi selamat kepada Tan Beng San. Ingin ia bertanya lebih jelas tentang ini, akan tetapi Sin Lee adalah orang yang cerdik. Ia tak mau mengutarakan rahasia hatinya dan ia berkata heran,

"Aneh sekali kakek iblis itu. Mengapa dia begitu benci kepada kau dan adik misanmu, Nona? Apakah di antara dia dan kalian ada permusuhan?"

Hui Cu menggeleng kepalanya. Akan tetapi entah bagaimana, ia menaruh kepercayaan besar kepada pemuda yang telah menolongnya ini, maka ia berkata secara terus terang, "Melihat sikap dan mendengar bicaranya, dia amat membenci Hoa-san-pai, apa lagi anak murid Hoa-san-pai yang wanita. Agaknya kakek itu mengandung sakit hati yang sangat hebat terhadap seorang wanita anak murid Hoa-san-pai." Dia mengangguk-angguk untuk meyakinkan dugaannya.

Jantung Sin Lee berdebar-debar. "Siapakah anak murid wanita Hoa-san-pai yang dapat membuat sakit hati seorang kakek begitu lihai?"

"Aku sendiri pun tidak tahu, akan tetapi aku dapat menduga... hemmm, tidak bisa lain, kalau ada tokoh kang-ouw seperti kakek itu bisa sakit hati terhadap seorang murid wanita Hoa-san-pai, tentulah... dia, siapa lagi?"
"Dia... dia siapakah, Nona? Atau... barangkali sebagai orang luar aku tidak berhak untuk mengetahui?"

Mendengar suara pemuda itu mengandung kekecewaan, hati Hui Cu menjadi tak enak. Tidak apa diberi tahu, pikirnya.

"Menurut dugaanku, murid wanita dari Hoa-san-pai yang sangat banyak musuhnya adalah bibi guruku sendiri, namanya Hong, she Kwa, entah di mana dia sekarang..."

Sin Lee menjadi pucat sekali mukanya. Dia cepat-cepat membungkuk sambil pura-pura membersihkan sepatunya yang penuh lumpur. Pada waktu ia mengangkat lagi tubuhnya, mukanya menjadi merah sekali.

"Apakah... apakah bibi gurumu itu... dahulunya amat jahat maka banyak musuhnya?" dia bertanya, suaranya biasa akan tetapi perlahan sekali.
"Banyak orang bilang begitu, tetapi ibuku tidak! Kata Ibu, Bibi Kwa Hong itulah yang telah menyelamatkan nyawa Ibu dan aku ketika dalam kandungannya, dan kata Ibu, Bibi Kwa Hong jadi berubah perangainya karena patah hati, entah apa maksudnya Ibu tidak mau menceritakan kepadaku."

Sunyi sesaat, dan suara Sin Lee semakin perlahan ketika dia bertanya, sambil lalu saja, "Jadi kau tidak membencinya?"

"Ahh, tidak...! Malah aku kasihan kepada Bibi Kwa Hong dan ingin sekali aku bertemu dengannya. Kata Ibu, Bibi Kwa Hong orangnya lincah gembira seperti Adik Eng dan cantik sekali."

Gadis itu tidak tahu bahwa ucapannya ini membuat hati Sin Lee girang bukan main! Mana dia tahu bahwa orang yang dibicarakan itu, yaitu Kwa Hong, adalah ibu dari pemuda yang sekarang berada di depannya.

"Nona, percayalah, aku Sin Lee akan berusaha menemukan kembali adik misanmu Nona Li Eng itu dan aku... aku sekarang dapat menduga siapa adanya kakek iblis itu. Hemmm, kalau saja aku tahu sebelumnya bahwa dia adalah iblis itu, takkan mungkin kutinggalkan dia sebelum berhasil membunuhnya. Kiranya ia benar-benar jahat sekali."
"Kau... kau tahu siapa kakek itu?"
"Aku dapat menduga, kalau tidak salah dialah yang berjuluk Song-bun-kwi."
"Ahh, dia...?" Wajah Hui Cu menjadi pucat. "Pernah Ibu bercerita kepadaku tentang dia... dia tokoh besar puluhan tahun yang lalu. Benarkah dia itu Song-bun-kwi?"
"Kiraku tidak keliru dugaanku. Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?"

Pandang mata Hui Cu menunduk. Pemuda ini benar-benar amat baik, sopan dan ramah, tapi juga agak aneh sikapnya. "Aku Hui Cu, she Thio. Kau sendiri she apakah?"

"Aku she Tiauw, Tiauw Sin Lee." Ia sengaja menggunakan she (nama keturunan) Tiauw yang berarti rajawali karena setelah gadis ini tahu soal ibunya, ia tidak berani memakai she Kwa atau she Tan agar gadis ini tidak mencurigainya.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Nona? Apakah kau akan melanjutkan kembali perjalananmu ke Thai-san?"

Hui Cu menggelengkan kepala. "Mana bisa aku pergi ke sana kalau Paman Hong masih ditahan di kota raja? Aku harus berusaha membebaskan Paman Hong dari tahanan."

"Di dalam ceritamu tadi kau bilang bahwa pamanmu Kwa Kun Hong itu adalah putera tunggal Ketua Hoa-san-pai, Kakek gurumu. Tentu ia lihai sekali, lalu bagaimana ia bisa tertawan?"

Hui Cu menarik napas panjang. "Kau tidak tahu tentang Paman Hong. Dia itu orang aneh sekali. Biar pun dia itu putera Ketua Hoa-san-pai, namun sedikit pun ia tidak pandai ilmu silat, malah tidak pernah belajar ilmu silat. Ia adalah ahli dalam ilmu kesusastraan, akan tetapi keberaniannya luar biasa melebihi jago silat yang mana pun juga."

Lalu ia menceritakan betapa Kun Hong berani menolak anugerah Pangeran, bahkan juga menceritakan betapa pamannya yang tidak pandai ilmu silat itu menggegerkan pemilihan ketua Hwa-i Kaipang dan akhirnya malah diangkat menjadi ketua perkumpulan pengemis yang berpengaruh itu!

Sin Lee mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman. "Hebat pamanmu itu, ingin sekali aku berjumpa dan bercakap-cakap dengan dia. Marilah kita tolong dia keluar dari tahanan, Nona. Akan tetapi karena kau sudah banyak dikenal, tentu kemunculanmu di kota raja akan mendatangkan keributan dan kesukaran, maka kurasa lebih baik kau bersembunyi di luar tembok kota dan biarlah aku seorang diri pergi menyelidiki keadaan pamanmu itu. Kalau mungkin aku akan turun tangan, kalau sekiranya sukar, kita berdua bisa bergerak malam nanti.”

Hui Cu girang sekali. "Saudara Tiauw, kau benar-benar telah melepas budi amat banyak kepadaku. Kau baik hati sekali dan ilmu silatmu amat lihai. Tidak tahu kau ini murid siapa dan dari golongan manakah?"

Sin Lee tersenyum. "Tak usah merasa sungkan, Nona. Sudah semestinya manusia saling menolong dalam kesukaran dan sudah menjadi kewajibanku untuk menentang yang jahat membela yang tertindas. Ada pun ilmu silatku yang masih dangkal ini kupelajari dari ibuku sendiri, bukan dari golongan mana pun juga. Harap kau jangan memuji terlalu tinggi."

Demikianlah, keduanya kemudian meninggalkan kelenteng itu menuju ke kota raja. Inilah sebabnya Song-bun-kwi tidak dapat mengejar mereka karena kakek itu tentu saja sama sekali tak pernah mengira bahwa dua orang itu malah kembali ke kelenteng mengambil jalan lain kemudian malah pergi kota raja!

Ditemani Sin Lee yang gagah perkasa sopan terhadap dirinya, Hui Cu menjadi besar hati dan ia hampir merasa yakin bahwa kalau pemuda ini mau membantunya, pasti pamannya akan dapat dibebaskannya dan agaknya soal Li Eng juga akan dapat dibereskan.

Pada saat itu Hui Cu sedang diliputi kekuatiran hebat, kuatir memikirkan nasib Kun Hong. Oleh karena inilah maka ia tidak dapat merasa terlalu sungkan berduaan dengan Sin Lee, pemuda kenalan barunya itu. Andai kata dia tidak sedang menghadapi dua perkara yang menggerogoti hatinya ini, kiranya ia akan merasa sungkan dan malu untuk mengadakan perjalanan berdua saja dengan seorang pemuda asing.

Setibanya di luar tembok kota raja, Hui Cu lalu bersembunyi di suatu tempat dan Sin Lee meninggalkannya, masuk seorang diri ke kota raja. Segera dia mencari keterangan dan kabar untuk mengetahui di mana ditahannya pemuda Hoa-san-pai yang bernama Kwa Kun Hong itu. Tetapi keterangan yang ia dapatkan membuat ia terkejut dan juga bingung.

Keterangan apakah yang ia dapat? Tidak hanya dari satu dua orang. Malah ia sengaja menangkap seorang pengawal istana dan di tempat tersembunyi ia mengancam pengawal itu untuk mengaku dan memberi keterangan mengenai Kwa Kun Hong. Dan keterangan pengawal ini sama dengan keterangan yang ia dapat di luaran, yaitu bahwa pemuda dari Hoa-san-pai yang telah ditahan karena berani membangkang terhadap perintah Pangeran Mahkota itu sudah ditolong oleh... setan dan lenyap tak berbekas!

"Hanya setan yang dapat menolong dia secara itu," demikian keterangan yang ia dapat. "Pemuda itu tahu-tahu lenyap dari dalam kamar tahanan dan sebagai gantinya Pangeran Mahkota sendiri yang berada di sana, yang marah-marah kepada penjaga minta segera dibebaskan. Setelah para penjaga membuka pintu, Pangeran Mahkota keluar kemudian memerintahkan semua penjaga masuk dalam kamar tahanan lalu dikunci dari luar. Nah, bukankah itu aneh? Padahal Pangeran Mahkota berada di dalam istananya, tidak pernah keluar, apa lagi ke kamar tahanan. Masa pemuda itu dapat berubah menjadi Pangeran? Hanya setan yang dapat menolongnya seperti itu."

Hui Cu juga bengong terlongong mendengar cerita Sin Lee atas hasil penyelidikannya ini. "Heran sekali, mana bisa terjadi begitu? Paman Hong memang sangat aneh dan berani, akan tetapi ia sama sekali tidak mempunyai kepandaian silat. Siapa gerangan yang telah menolongnya? Apa bila memang ada seorang sakti yang menolongnya, mengapa caranya seaneh itu?"

Sin Lee tersenyum. "Berita ini tidak bohong, aku malah mendapatkan keterangan ini dari seorang pengawal istana yang kutangkap. Setan atau pun bukan, sudah terang pamanmu telah ditolong dan sudah tidak ditahan lagi. Sekarang, apa kehendakmu, Nona?"

"Semua ini aneh sekali. Adik Eng berada di tangan seorang sakti, juga Paman Hong kalau dibawa oleh penolongnya, berarti dia berada di tangan orang yang sakti dan aneh. Kupikir lebih baik aku pergi ke Thai-san menjumpai Paman Tan Beng San yang oleh ayah ibuku dianggap orang terpandai di dunia ini. Kalau tidak Paman Tan Beng San yang menolong, siapa lagi?"

Ucapan gadis ini menimbulkan perasaan campur aduk di hati Sin Lee. Ia girang karena memang itulah kehendaknya, dapat pergi ke Thai-san bersama gadis ini yang hendak ia pergunakan sebagai alat untuk memaksa agar Tan Beng San mau menghadap ibunya. Akan tetapi ia juga tak senang mendengar betapa gadis ini memuji Tan Beng San musuh besar ibunya itu sebagai ‘orang terpandai di dunia’. Huh, ingin dia membuktikan sendiri sampai di mana kelihaian Tan Beng San itu.

"Baiklah kalau begitu, Nona Thio. Mari kuantar kau ke Thai-san."

Merah wajah Hui Cu. Kalau begini sudah keterlaluan, pikirnya. "Ah, Saudara Tiauw, mana aku berani membikin kau repot? Budimu sudah terlalu besar bagiku, tak usah kau tambah lagi dengan mengantar aku ke Thai-san. Kau membikin aku menjadi malu saja."

Sin Lee tersenyum, diam-diam ia makin kagum akan sikap gadis ini. Sederhana, tenang, tabah, dan bicaranya sungguh-sungguh tanpa dibuat-buat serta memiliki pandangan jauh.

"Nona, sama sekali bukan begitu. Mana bisa kau merepotkan aku kalau aku sendiri pun juga hendak pergi ke sana? Aku memang hendak mengunjungi Thai-san, hendak melihat upacara serta hendak bertemu dengan Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San yang namanya bahkan lebih tinggi dari pada puncak Gunung Thai-san itu." Dalam kata-kata terakhir ini terkandung ejekan.
"Betulkah begitu?" Hui Cu berkata girang, "Kalau memang begitu, tentu saja aku... senang sekali dapat melakukan perjalanan bersama denganmu, Saudara Tiauw."

Sin Lee menjura dan tersenyum "Syukur sekali kau sudi, Nona, inilah jawaban yang amat kuharapkan."

Demikianlah, dua orang muda itu melakukan perjalanan bersama menuju ke Thai-san. Mula-mula Hui Cu memang merasa agak tidak enak dan likat harus melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang bukan kerabatnya. Akan tetapi berkat sikap Sin Lee yang sopan dan memang pemuda ini wataknya riang gembira, akhirnya lenyap ketidak enakan hati gadis itu dan mereka bergaul seperti sahabat-sahabat lama…..
********************
Sekarang kita perlu menyelidiki mengenai keadaan Kun Hong. Betulkah pemuda ini sudah ditolong setan atau ditolong seorang sakti? Seperti telah kita ketahui, Kun Hong diperiksa oleh Tan-taijin yang dahulu adalah sahabat baik tokoh-tokoh Hoa-san-pai dan karenanya merasa suka dan simpati kepada putera Ketua Hoa-san-pai ini.

Oleh karena Tan-taijin ingin sekali menolong dua orang gadis murid Hoa-san-pai itu dari cengkeraman Pangeran Mahkota, maka dia menyuruh para pengawal menahan kembali Kun Hong dalam penjara dengan pesan agar Kun Hong diperlakukan sebagai tamu. Tapi betapa pun juga, para pengawal yang tidak mau mengambil resiko terlalu besar tentu saja tidak membiarkan Kun Hong bebas. Pemuda ini tidak dibelenggu, akan tetapi dimasukkan kamar tahanan yang terkunci dari luar dan pemuda ini kelihatan dari luar melalui sebuah jendela yang dipalangi ruji-ruji besi.

Setelah dimasukkan lagi ke dalam kamar tahanan. Kun Hong merenung. Celaka, pikirnya, sama sekali ia tidak sangka akan begini berlarut-larut urusan itu. Ia memikirkan nasib dua orang keponakannya. Bagaimana andai kata pangeran mata keranjang itu menggunakan kekuasaannya dan melakukan paksaan?

Ahhh, dialah yang harus bertanggung jawab atas keselamatan dua orang keponakannya. Bukankah mereka itu hanya dua orang gadis muda dan bukankah dia menjadi pamannya? 

Celaka, semua adalah salahku. Seandainya mereka tidak bertemu dengan aku, kiranya mereka takkan mengalami nasib seperti sekarang ini. Ah, bagaimana pun juga aku harus menolong mereka, menolong mereka bebas dari cengkeraman Pangeran Mahkota. Harus! Aku harus menolong mereka. Tapi, bagaimana caranya?

Ketika seorang pengawal membuka pintu kamarnya membawa satu baki penuh dengan hidangan yang lezat, teringatlah Kun Hong peristiwa dengan Sin-eng-cu Lui Bok yang dahulu menyihirnya sehingga roti kering berubah menjadi roti lunak dan air tawar berubah menjadi arak! Mengapa tidak ia coba kepandaian ini?

Sudah lama ia mempelajari ilmu menguasai semangat yang kitabnya ia terima dari kakek sakti itu. Belum pernah ia mencobanya, akan tetapi sekarang menghadapi mala petaka yang mengancam kedua orang keponakannya, terpaksa harus dia coba dalam usahanya menolong mereka.

"Orang muda, silakan makan. Masih baik nasibmu bahwa Tan-taijin memerintahkan agar supaya kau diperlakukan dengan baik, kalau tidak, hemm... jangan harap bisa mendapat hidangan seperti ini," kata pengawal itu yang merasa mendongkol juga.

Biasanya, apa bila ada seorang tahanan, ia dan teman-temannya mendapat kesempatan untuk memeras tahanan itu sehingga keluarga si tahanan mengeluarkan ‘uang arak’ agar si tahanan diperlakukan baik-baik. Tapi terhadap Kun Hong mereka tidak bisa memeras karena takut kepada Tan-taijin.

Kun Hong tiba-tiba bangkit berdiri dari bangkunya dan membentak sambil memandang tajam, "Heii, pengawal! Terhadap aku, Pangeran Mahkota, kau berani bersikap kurang ajar? Apa kau minta dihukum mati?"

Pengawal itu kaget, memandang dan... matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Yang berdiri di depannya bukanlah pemuda itu tadi, tapi Pangeran Mahkota yang memandang marah. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut.

"Ini... ahhh, bagaimana... hamba mohon beribu ampun..." katanya gagap dengan seluruh tubuh menggigil ketakutan.

Gembira sekali hati Kun Hong ketika melihat percobaan ilmunya itu berhasil. Ia sudah berhasil menguasai semangat dan pikiran pengawal ini dengan pengaruh ilmunya.

"Lekas panggil semua pengawal ke sini. Cepat!" bentaknya.

Pengawal itu mengangguk-angguk lalu merangkak mundur, keluar dari kamar tahanan itu dan berlari-lari memanggil teman-temannya.

Sementara itu Kun Hong mengerahkan seluruh kekuatan ilmunya untuk dapat menguasai belasan orang pengawal yang memasuki kamar tahanan itu. Mereka semua menjatuhkan diri berlutut di dalam kamar itu, seperti pengawal tadi mereka mohon ampun!

"Karena orang muda itu tak bersalah, aku telah membebaskannya. Kalian ceroboh benar, sampai tidak melihat masukku dan keluarnya orang muda itu. Hemm! kalian semua harus dihukum," bentaknya.

Belasan orang itu cepat-cepat mengangguk-angguk minta ampun. Takut bukan main hati mereka karena Pangeran Mahkota terkenal bengis terhadap para pengawal.

“Sementara kalian tinggal di kamar ini, jangan keluar. Berikan kuncinya!"

Pengawal yang mengantar makanan tadi cepat merangkak maju dan menyerahkan kunci kamar itu. Kun Hong segera menyambarnya, terus berjalan keluar dengan tenangnya dan mengunci pintu kamar tahanan itu dari luar. Kemudian, seperti orang berjalan keluar dari rumahnya sendiri, dia keluar dari rumah tahanan itu tanpa ada yang merintanginya karena semua pengawal sudah ia keram dalam kamar tahanan.

Ia berjalan terus di jalan besar, bercampur dengan orang banyak dan pergi menuju ke Istana Kembang. Akan tetapi alangkah susah hatinya ketika ia mendengar peristiwa hebat yang menjadi buah bibir penduduk kota raja, yaitu tentang seorang kakek yang menyerbu Istana Kembang, membunuhi para pengawal dan seisi istana, dan menculik pergi dua orang keponakannya.

Ia bingung dan tidak tahu siapakah kakek itu, penolongkah atau penjahatkah? Bila dilihat bahwa dua orang keponakannya dibebaskan dari istana, berarti menolong, akan tetapi kalau diingat bahwa kakek itu sangat kejam, membunuhi semua pengawal dan pelayan, benar-benar mengerikan sekali, seperti bukan perbuatan manusia.

Ke mana aku harus mencari mereka? Ke mana gerangan kakek iblis itu membawa pergi Li Eng dan Hui Cu? Benar-benar gelisah hati Kun Hong memikirkan nasib kedua orang keponakannya itu dan menyesallah ia mengapa ia mengajak mereka menerima undangan Pangeran Mahkota. Alangkah gembira tadinya mereka bertiga melakukan perjalanan, dan sekarang, gara-gara pangeran mata keranjang, mereka berpisah dan ia tidak tahu harus menyusul ke mana.

Ke mana lagi jika tidak ke Thai-san, pikirnya. Li Eng dan Hui Cu bermaksud hendak pergi ke Thai-san. Bukan tidak mungkin sesudah ditolong oleh kakek itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Thai-san.

Hanya satu hal yang membuat ia ragu-ragu. Kalau dua orang gadis itu selamat, mengapa mereka tidak berusaha menolongnya? Ia merasa yakin bahwa dua orang keponakannya itu pasti tidak akan meninggalkannya begitu saja.

Tak ada lain jalan lagi bagiku, pikirnya, selain melanjutkan perjalanan ke Thai-san. Syukur kalau di sana aku dapat bertemu dengan mereka, bila tidak, aku akan minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk mempergunakan kekuatannya sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan, untuk mencari dan menolong Li Eng dan Li Cu.

Setelah mendapat keterangan tentang jurusan jalan menuju ke Thai-san, Kun Hong tidak mau membuang waktu lagi, langsung ia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Thai-san. Sekarang ia melakukan perjalanan seorang diri, maka ia melakukan perjalanan cepat. Keindahan pemandangan di sepanjang jalan tidak terasa indah lagi karena hatinya terganggu oleh persoalan hilangnya Li Eng serta Hui Cu yang masih belum dia ketahui nasibnya.

Tanpa ia sadari, Kun Hong sekarang telah mempunyai tubuh yang amat kuat dan dapat melakukan perjalanan dengan cepat. Hatinya risau kalau ia teringat akan pengalaman-pengalamannya di kota raja. Menguatirkan keadaan Li Eng dan Hui Cu, juga kecewa dan mendongkol sekali kalau ia teringat tentang pedang Ang-hong-kiam yang dirampas oleh pemuda pesolek yang kurang ajar di rumah Tan-taijin itu.

Kalau saja dia tidak ingin cepat-cepat ke Thai-san untuk mencari kalau-kalau dua orang keponakannya selamat berada di sana, tentu lebih dulu ia akan mencari pemuda tampan yang menampar pipinya itu di rumah Tan-taijin untuk ia minta kembali pedangnya. Biarlah, sepulangnya dari Thai-san, kalau semua urusan ini sudah beres, dia pasti akan mencari pemuda itu di rumah Tan-taijin dan dengan baik ia akan minta kembali pedangnya. Kalau tidak diberikan, terpaksa ia akan menggunakan kekerasan.

Pedang itu adalah pemberian dari gurunya Bu Beng Cu. Meski sebenarnya ia tidak suka membawa-bawa apa lagi menggunakan pedang, ia tahu bahwa pedang itu benda pusaka dan akan ia berikan kepada ayahnya.

Ketika ia mulai memasuki sebuah hutan yang besar dan penuh ditumbuhi pohon-pohon raksasa, tiba-tiba dari jauh ia melihat tiga bayangan orang berlari cepat sekali. Semenjak mengalami hal-hal yang pahit di kota raja, Kun Hong menjadi sangat hati-hati.

Cepat ia menyelinap ke belakang sebatang pohon besar dan mengintai. Tiga orang itu makin dekat dan berdebarlah hati Kun Hong ketika mengenal mereka sebagai tiga orang di antara tujuh jagoan istana pengawal Pangeran Mahkota!

Ia mengingat-ingat tujuh orang jagoan yang pernah diperkenalkan kepadanya dan tahu bahwa yang sekarang berlari cepat memasuki hutan itu adalah Tiat-jiu Souw Ki Si Tangan Besi yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam bersama sepasang saudara kembar Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa dari Ho-pak).

Setelah mereka lewat, Kun Hong diam-diam mengikuti mereka dari belakang, menyelinap di antara pepohonan. Mereka itu adalah kaki tangan Pangeran Mahkota, sangat boleh jadi kedatangannya ini ada hubungannya dengan dua orang keponakannya.

Heran hati Kun Hong ketika ia mengikuti tiga orang itu sampai di tengah hutan ia melihat sebuah sungai besar dan di pinggir sungai itu di antara pohon-pohon tampak bangunan tembok. Kiranya di tempat terpencil ini terdapat bangunan yang sangat berbeda dengan dusun-dusun biasa, pikirnya. Ia mengikuti terus. Ketika tiga orang itu berhenti di depan sebuah jembatan, ia pun berhenti, bersembunyi dan mengintai.

Ternyata bahwa bangunan-bangunan yang besar-besar berjumlah lima, terkurung pagar tembok yang tinggi dan di sekeliling pagar tembok itu terdapat anak sungai yang agaknya menjadi cabang sungai besar yang mengalir di sebelah utara dusun ini. Jalan dari darat menuju ke dalam dusun itu hanya dihubungkan dengan jembatan kecil itu, jembatan yang bentuknya seperti bunga teratai, terbuat dari kayu berukir indah dan di atas jembatan ini terdapat belasan orang penjaga yang berpakaian seperti pendeta Agama To.

Kun Hong memperhatikan dan menduga-duga. Apakah dusun itu merupakan sekumpulan kuil besar dari para tosu. Namun, biasanya tosu-tosu kuil pegangannya hanya kitab-kitab, tasbeh dan paling-paling kipas atau kebutan, kenapa belasan orang tosu yang menjaga di jembatan itu tubuhnya tegap-tegap dan semua membawa senjata pedang atau golok?

Tiga orang pengawal Pangeran itu berdiri di mulut jembatan dan agaknya mereka tidak diperkenankan masuk. Kun Hong bisa mendengar suara Tiat-jiu Souw Ki yang parau dan keras,

"Heii, para tosu Ngo-lian-kauw! Kalian menganggap kami orang apakah? Bukalah mata dan telingamu baik-baik, aku adalah Tiat-jiu Souw Ki dan dua orang temanku lni adalah Ho-pak Siang-sai! Kami mana bisa bicarakan urusan dengan kalian? Hayo lekas kalian beri tahukan kepada Ngo-lian Kauwcu (Ketua Perkumpulan Agama Lima Teratai), bahwa kami bertiga adalah utusan-utusan Pangeran Mahkota, perlu bertemu dan bicara dengan Toat-beng Yok-mo!"

Jelas sekali kelihatan para tosu itu kaget dan gentar, juga Kun Hong ketika mendengar disebutnya nama Yok-mo, menjadi kaget dan heran. Apakah kakek itu berada di tempat ini?

"Ahh, kiranya para busu istana utusan Pangeran Mahkota yang datang. Harap Sam-wi (Tuan Bertiga) sudi menanti sebentar, kami hendak melaporkan kepada Kauwcu (Ketua Agama) tentang maksud kedatangan Sam-wi,” kata para tosu itu dengan sikap berubah hormat sekali.

Tiat-jiu Souw Ki dan dua orang temannya kelihatan tidak puas dan uring-uringan, akan tetapi karena mengindahkan nama besar dari Ngo-lian-kauw, mereka menanti di ujung jembatan dengan tidak sabar. Tak lama kemudian terdengar bunyi seruling ditiup orang, banyak sekali sehingga suaranya amat nyaring dan meriah.

Dari pintu di ujung jembatan sebelah dalam itu muncullah pasukan terdiri dari dua puluh orang wanita yang berpakaian lima warna dan di kepala masing-masing anggota pasukan terhias bunga-bunga teratai. Rata-rata para wanita ini cantik dan usianya takkan lebih dari tiga puluh tahun. Setiap anggota pasukan memegang pedang telanjang yang melintang di depan dada, nampak gagah dan berpengaruh sekali.

Di tengah pasukan ini berjalan seorang wanita tua. Umurnya tidak akan kurang dari lima puluh tahun, akan tetapi mukanya yang memang sudah cantik itu masih dibedaki dan diberi merah-merah. Pakaiannya mewah sekali, di punggungnya tergantung pedang dan pinggangnya diikat dengan sehelai sabuk merah.

Inilah Ketua Ngo-lian-kauw, Ngo-lian Kauwcu yang berjulukan Kim-thouw Thian-li (Dewi Kepala Emas) yang sangat terkenal di dunia kang-ouw. Di sebelahnya berjalan seorang kakek bongkok yang umurnya sudah tua sekali. Mulutnya yang selalu melongo itu sudah ompong semua sedangkan matanya besar sebelah. Kakek ini memegang sebuah tongkat hitam yang bengkak-bengkok. Inilah dia Toat-beng Yok-mo yang beberapa tahun terakhir ini mempunyai hubungan erat dengan Ketua Ngo-lian-kauw.

"Sungguh merupakan penghormatan besar sekali tempat kami yang buruk ini mendapat kunjungan Sam-wi Busu dari istana. Entah ada urusan apakah sampai Pangeran Mahkota mengutus Sam-wi datang ke sini?" terdengar Kim-thouw Thian-li bertanya, suaranya jelas menyatakan kebanggaan hatinya.

Tiga orang jagoan istana itu cukup mengenal siapa wanita di depan mereka itu. Bukan tergolong tokoh baik, malah dahulu terkenal sebagai pembela Kaisar Mongol dan dalam pemberontakan para pembesar belasan tahun yang lampau wanita ini pun turut campur. Pendeknya dalam perkara yang buruk-buruk sudah terlalu sering wanita ini mengotorkan tangannya. Oleh karena itu dengan suara keras dan angkuh Souw Ki berkata,

"Kami bertiga memang utusan Pangeran Mahkota, akan tetapi Pangeran Mahkota sama sekali tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Ngo-lian-kauw dan tidak mengutus kami pergi ke sini, melainkan mengutus kami menyelidiki seorang kakek yang telah mengacau di Istana Kembang."

Kim-thouw Thian-li merasa juga akan keangkuhan pengawal istana itu yang agaknya tak memandang mata kepada Ngo-lian-kauw, maka mukanya menjadi merah dan ia bertanya dengan nada mengejek, "Jika memang tidak ada urusan dengan Ngo-lian-kauw, kenapa Sam-wi Busu mencapaikan diri datang ke sini? Urusan di istana sudah tentu saja kami tidak bisa membantumu."

Tiat-jiauw Souw Ki adalah seorang bekas bajak. Wataknya keras dan kasar, tidak takut kepada siapa pun juga karena ia mengandalkan kedudukan dan teman-temannya. "Kami pun tak membutuhkan bantuan Ngo-lian-kauw. Akan tetapi kakek yang berani mengacau Istana Kembang, yang kami ketahui hanya seorang saja yang tinggal di Ngo-lian-kauw. Eh Toat-beng Yok-mo, mengaku sajalah, bukankah kau yang main-main di Istana Kembang? Kalau betul, kau menyerahlah kami tangkap, dan kembalikan dua orang gadis yang kau culik."

Mata Yok-mo yang besar sebelah itu menjadi semakin besar sebelah, yang besar jadi melotot dan yang kecil sampai meram, mulutnya mengeluarkan bunyi, "he-he-heh" tiada hentinya.

Bu Sek, yang pertama dari Ho-pak Sian-sai, berkata tak sabar, "Seorang laki-laki harus berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Sudah berani mengacau Istana Kembang, masa takut mengakui?"

Mendadak Yok-mo tertawa bergelak, "He-heh-heh, lucunya! Di sini pun tidak kekurangan gadis-gadis yang cantik manis, mengapa harus menculik ke istana? Harap kalian jangan main-main dengan seorang tua seperti aku!"

Souw Ki saling pandang dengan sepasang saudara kembar itu, lalu Si Tangan Besi berkata, "Bagaimana kami dapat meyakininya bahwa kau tidak melakukan perbuatan itu, Toat-beng Yok-mo?"

"Heh-heh-heh, urusan menculik tentu ada buktinya. Kalian bertiga boleh mencari, apakah benar dua orang gadis itu berada di sini, heh-heh-heh!"

Sebetulnya Yok-mo sudah marah sekali dan kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin ia turun tangan memberi hajaran terhadap ketiga orang ini. Akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah utusan Pangeran Mahkota, tentu saja ia tidak berani bertindak sembrono, maklum akan hebatnya pengaruh pangeran itu yang tentu akan membuat hidupnya tidak aman lagi kalau ia sampai mengadakan permusuhan.

"Baiklah, kami akan melakukan penggeledahan di Ngo-lian-kauw. Kalau betul-betul tidak terdapat dua orang gadis yang kami cari, untuk sementara kami akan mencabut tuduhan kami."

Setelah berkata demikian Souw Ki mengajak dua orang temannya untuk menyeberangi jembatan itu. Akan tetapi tiba-tiba Kim-thouw Thian-li memberi tanda dan pasukan wanita yang mengawalnya tadi bergerak memenuhi jembatan, menghadang tiga orang busu ini.

"Hemmm, apa pula artinya ini?" Souw Ki membentak sambil menoleh kepada Kim-thouw Thian-li.

Wanita ini tertawa, masih genit suara ketawanya dan masih terbayang kecantikan wajah nenek yang sudah tua ini.

"Tiat-jiu Souw Ki dan Ho-pak Sian-sai! Sudah lama aku mendengar nama besar kalian sebagai tiga di antara tujuh orang jagoan istana yang amat terkenal. Sebaliknya kiraku kalian bertiga juga sudah mendengar nama Ngo-lian-kauw yang selamanya tidak akan mengijinkan orang luar masuk tanpa persetujuanku. Andai kalian membawa surat perintah Pangeran Mahkota, sudah tentu kami sebagai rakyat tidak akan berani membangkang, karena bukan maksud kami akan rnemberontak terhadap pemerintah. Akan tetapi, kalian datang tanpa surat perintah, siapa tahu kalau kalian hanya mengandalkan kepandaian sendiri dan nama Pangeran untuk menghina kami? Bicara tentang kepandaian, kaiian mengandalkan apakah hendak melanggar larangan Ngo-lian-kauw?"

Tiat-jiu Souw Ki merupakan seorang tokoh yang terkenal dengan kekuatannya sehingga tangannya dianggap sebagai tangan besi. Juga permainan senjata ruyung bajanya amat terkenal, senjata yang sesuai dengan tenaganya yang besar. Mendengar ejekan Ketua Ngo-lian-kauw ini, mukanya yang hitam menjadi semakin gelap. Dia menghampiri sebuah singa-singaan batu di sebelah kiri jembatan, lalu berkata,

"Singa-singaan batu ini mengandalkan kekerasannya, akan tetapi aku ini mengandalkan apakah? Tak lain mengandalkan tanganku ini!" Tangan kanannya lalu bergerak memukul perlahan dan kepala singa batu itu remuk berhamburan.

Souw Ki tertawa bergelak, "Ha-ha, hanya kelihatannya saja keras singa batu ini, kiranya begini lunak!"

"Saudara Souw, setelah kami berdua datang, sepasang singa batu ini memang tidak berhak berdiri lagi. Tetapi mengapa kau hanya melenyapkan kepalanya?" kata Bu Sek, seorang di antara Ho-pak Siang-sai yang bermuka kuning dan karenanya memiliki julukan Ui-bin-sai (Singa Muka Kuning).

Adiknya, Bu Tai yang berjuluk Ang-bin-sai (Singa Muka Merah) juga tertawa dan berkata, "Sungguh tak enak melihat Souw-twako menghancurkan singa-singa batu. Bagi yang tidak tahu dikiranya Souw-twako menghina kami!"

Dua orang saudara kembar itu menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat, sebuah ke sebelah kiri jembatan, satu lagi ke sebelah kanannya dan tahu-tahu terdengar suara keras. Singa batu yang sudah pecah kepalanya tadi tahu-tahu terguling roboh, sedangkan yang berada di sebelah kanan jembatan juga roboh terbabat pedang. Gerakan pedang sepasang saudara kembar ini cepat sekali dan hanya kelihatan sinar pedangnya saja, dapat diduga bahwa ilmu pedang mereka memang hebat.

"Bagus, bagus! Tiga orang busu dari Pangeran Mahkota benar-benar hebat dan gagah, sudah menang melawan dua ekor singa batu, heh-heh-heh!" Toat-beng Yok-mo tertawa, setengah mengejek.

Akan tetapi Kim-thouw Thian-li menjadi merah mukanya saking menahan marah. Kalau bukan utusan Pangeran yang melakukan perusakan terhadap hiasan jembatannya, tentu ia sudah langsung turun tangan sendiri memberi hajaran.

"Yok-mo, kalau kami belum menggeledah ke dalam, bagaimana kami bisa merasa yakin bahwa kau tidak bersalah?" Souw Ki berkata nyaring, namun Kakek Setan Obat itu hanya tertawa ha-ha he-he saja.
"Souw-busu, Toat-beng Yok-mo hanya tamuku saja dan yang bertanggung jawab tentang tempat ini adalah aku. Ketahuilah bahwa tidak sembarang orang boleh memasuki tempat kami, kecuali orang yang dianggap cukup berharga dan gagah. Andai kata Sam-wi Busu sanggup melewati barisan Ngo-lian-tin kami yang ada tiga lapisan, biarlah kami anggap Sam-wi cukup berharga dan gagah untuk memasuki tempat kami."

Kim-thouw Thian-li memberi isyarat dengan tangannya dan para pengawalnya tadi segera bergerak.

Lima belas orang di antara para pengawalnya dengan pedang di tangan lalu berpencaran menjadi tiga kelompok, masing-masing terdiri dari lima orang, sekelompok menjaga dekat kepala jembatan, sekelompok kanan kiri. Mereka berdiri berjajar, sekelompok lima orang.

Souw Ki saling pandang dengan dua orang saudara kembar itu, lalu tertawa. "Kim-thouw Thian-li, kau benar-benar memandang rendah kepada kami. Jika kami tidak menunjukkan kepandaian, tentu kau tidak mengenal kelihaian kami!" kata Souw Ki sambil mengeluarkan ruyung bajanya yang berat.

"Bu-Siang-te, hayo kita gempur Ngo-lian-tin ini, tidak perlu kita sungkan-sungkan lagi!"

Bu Sek dan Bu Tai juga mencabut pedang mereka, kemudian masing-masing melompat menghadapi sekelompok Ngo-lian-tin.....

Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai) ini merupakan ciptaan Kim-touw thian-li sendiri, sebuah barisan terdiri dari lima orang wanita yang semua gerak-geriknya diatur berdasarkan pada Ngo-heng-tin. Lima orang wanita yang cukup tinggi ilmu pedangnya dilatih untuk bergerak saling bantu dengan cara yang amat berbahaya bagi lawan.

Tiga orang busu ini cepat menggerakkan senjata mereka dan masing-masing menyerbu satu kelompok Ngo-lian-tin. Ruyung baja di tangan Souw Ki mengeluarkan angin ketika ia memutarnya dan menerjang lima orang wanita cantik yang cepat menggunakan pedang untuk menghadapinya dalam bentuk Ngo-lian-tin itu.

Kaget juga jagoan istana ini ketika seorang anggota Ngo-lian-tin yang diserangnya sama sekali tidak mengelak, hanya mengangkat pedang menangkis. Akan tetapi empat batang pedang lainnya membarengi gerakannya, dari empat jurusan menyerang empat bagian berbahaya dari tubuhnya.

Terpaksa dia menarik kembali senjatanya dan menangkis serangan-serangan itu dengan memutar ruyung sekuat tenaga. Empat orang wanita itu mengeluarkan seruan tertahan karena hampir saja pedang mereka terlempar dari tangan, begitu hebat tenaga Si Tangan Besi ini.

Souw Ki kini maklum bahwa jika ia menyerang seorang lawan, yang empat tentu akan membarengi serangannya sehingga dasar Ngo-lian-tin ini adalah mengorbankan seorang anggota untuk mengalahkan lawan. Tentu saja ia tidak mau dan ia segera mengerahkan tenaganya memutar ruyungnya, mengambil keuntungan dari tenaganya yang besar untuk mengadu senjata dengan lima batang pedang itu. Usahanya itu berhasil baik karena lima orang wanita yang menjadi lawannya terdesak mundur sampai ke tengah jembatan!

Juga sepasang saudara kembar she Bu itu ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat dan cepat hingga kelompok Ngo-lian-tin yang mengeroyok mereka tak dapat mengimbanginya. Terdengar jerit susul-menyusul ketika beberapa orang wanita anggota Ngo-lian-tin terluka oleh pedang mereka, lantas disusul Souw Ki yang berhasil pula menendang dua orang pengeroyoknya masuk ke dalam anak sungai! Benar-benar tingkat kepandaian para busu yang menjadi tangan kanan Pangeran Mahkota ini tak boleh dipandang rendah.

Sampai pucat muka Kim-thouw Thian-li saking malu dan marahnya. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Tadi ia sudah berjanji bahwa kalau tiga orang itu dapat mengalahkan Ngo-lian-tin, mereka diperbolehkan masuk ke dalam untuk melakukan penggeledahan. Sebagai Ketua Ngo-lian-kauw tentu saja ia tidak suka menjilat ludah sendiri. Ia memberi isyarat dengan tepukan tangan dan sisa barisan Ngo-lian-tin itu yang tahu bahwa mereka tidak akan dapat menang, cepat mengundurkan diri.

Souw Ki tertawa bergelak dan bersama kedua Saudara Bu ia lalu menyeberangi jembatan memasuki lima bangunan berbentuk bunga teratai itu. Mereka melakukan penggeledahan, memasuki semua kamar dan ruangan, tetapi tentu saja mereka tidak bisa mendapatkan dua orang gadis pilihan Pangeran yang terculik pada malam itu, karena memang bukan Yok-mo penculiknya.

Tiga orang itu menjadi kecewa sekali oleh karena tadinya mereka menduga keras bahwa satu-satunya kakek yang selihai itu, yang berani mengacau Istana Kembang, siapa lagi kalau bukan kakek ini? Apa lagi kalau dipikir bahwa Yok-mo menjadi ‘teman baik’ Ketua Ngo-lian-kauw yang dahulu pernah memusuhi Kaisar.

Sementara itu, Kun Hong yang sedang bersembunyi sambil mengintai, melihat betapa jagoan-jagoan istana itu mencurigai Yok-mo, diam-diam juga ikut menjadi curiga. Ia cukup mengenal Yok-mo yang berwatak palsu, bukan tidak mungkin kakek ini yang menculik Li Eng dan Hui Cu! Maka ia menanti hasil penyelidikan tiga orang jagoan itu dengan hati berdebar. Ia pun ikut kecewa ketika tiga orang itu keluar dengan tangan kosong dan wajah muram.

Yok-mo terkekeh-kekeh mentertawakan, lalu berkata, "Heh-heh-heh, apakah kalian sudah menemukan dua orang gadis itu?"

Souw Ki semakin marah ketika ditertawakan. "Kakek jahat! Siapa tahu kalau kau sudah menyembunyikan dua orang gadis itu di tempat lain?"

"Heh-heh, andai kata memang benar kusembunyikan, kewajibanmulah untuk mencari dan menemukannya."

Souw Ki dan kedua orang Saudara Bu marah, akan tetapi karena tak ada bukti, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sudah hendak pergi, akan tetapi Kim-thouw Thian-li tiba-tiba menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan tiga orang itu, menghadang mereka.
Mulut Ketua Ngo-lian-kauw ini tersenyum mengejek, "Hemmm, kalian sewenang-wenang datang merusak hiasan jembatan, lalu memasuki tempat tinggal kami dengan fitnah jahat. Setelah semua itu, apakah kalian hendak pergi begitu saja?"

"Kim-thouw Thian-li, sesudah Ngo-lian-tin yang kau ajukan itu sanggup kami hancurkan, apakah kau masih belum puas juga?" Souw Ki mengejek sambil melintangkan ruyungnya di depan dada.
"Justru karena Sam-wi Busu telah memecahkan Ngo-lian-tin, aku yang bodoh ingin sekali berkenalan dengan kelihaian Sam-wi. Tak sekali-kali Ngo-lian-kauw hendak memandang rendah kepada Pangeran Mahkota, akan tetapi ini adalah urusan mengenai pribadi kita, tidak tahu apakah Sam-wi Busu sudi memberi petunjuk?" Biar pun kata-kata ini sifatnya halus, namun jelas mengandung tantangan.

Orang seperti Tiat-jiu Souw Ki yang semenjak mudanya mengumbar nafsu berkelahi, tak mau mengalah dan selalu menganggap diri sendiri paling jagoan, mana bisa menghadapi tantangan tanpa melayaninya? Ia tertawa bergelak lalu berkata,

"Kim-thow Thian-li! Telah lama aku mendengar namamu yang amat tenar. Tentu saja aku pun ingin sekali merasai kelihaianmu dan urusan di antara kita ini tiada sangkut-pautnya dengan Pangeran. Setelah kami bertindak sebagai utusan, sekarang kami akan bertindak atas nama diri pribadi kami sendiri. Kalau kau ada kepandaian, boleh memberi petunjuk!"

Kim-thouw Thian-li mendengus lalu tangannya bergerak, tahu-tahu tangan kanan sudah memegang pedang dan tangan kiri memegang sehelai sabuk berwarna merah.

"Tiat-jiu Souw Ki, ingin sekali aku berkenalan dengan ruyung bajamu yang ganas!" Sambil berkata demikian, pedangnya berubah menjadi sinar ketika bergerak menusuk ke arah dada Souw Ki.

Orang tinggi besar ini tidak berani memandang remeh karena ia pun sudah mendengar bahwa Ketua Ngo-lian-kauw ini adalah seorang wanita yang ganas dan dahsyat sekali sepak terjangnya. Cepat ia menggeser kakinya ke kiri sambil menyabetkan ruyungnya ke arah sinar pedang untuk menangkis.

Akan tetapi, Kim-thouw Thian-li telah menahan pedangnya dan sebagai gantinya, tangan kiri wanita itu bergerak dan sinar merah melayang-layang menotok ke arah ulu hati Souw Ki. Jangan dipandang rendah sabuk merah di tangan kiri Kim-thouw Thian-li ini. Biar pun hanya sehelai kain halus, namun, di tangan wanita ini berubah menjadi senjata yang amat ampuh, yang ujungnya mampu merobek jalan darah lawan dan karena lemasnya maka lebih berbahaya dan sukar dilawan oleh sebatang pedang!

Souw Ki mengeluarkan seruan panjang. Ruyungnya lantas diputar menjadi benteng baja melindungi dirinya sehingga totokan ujung sabuk sutera ini pun dapat ditangkisnya.

Akan tetapi Kim-thouw Thian-li kembali mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan, lalu pedangnya bergerak menjadi gulungan sinar memanjang, menyambar-nyambar tubuh Souw Ki dari pelbagai jurusan sehingga jagoan istana ini menjadi kaget dan sibuk sekali.

Kim-thouw Thian-li adalah murid tersayang dari tokoh besar Hek-hwa Kui-bo Si Iblis Betina, malah ilmu pedang Im-sin Kiam sut yang luar biasa hebatnya itu sebagian telah diajarkan kepada Kim-thouw Thian-li. Biar pun hanya sebagian saja Im-sin Kiam-sut yang dimiliki oleh Ketua Ngo-lian-kauw ini, namun cukup untuk menghadapi lawan yang sakti.

Souw Ki boleh mengagulkan dirinya sebagai jagoan yang bertangan besi dan bersenjata ruyung yang dahsyat, namun menghadapi Kim-thouw Thian-li dia repot sekali. Andai kata Ketua Ngo-lian-kouw ini hanya bermain pedang saja, ia pun sudah repot dan takkan dapat melawan wanita itu dengan ruyungnya, apa lagi sekarang Kim-thouw Thian-li membantu permainan pedangnya dengan sabuk merahnya, membuat jagoan yang galak itu menjadi makin kewalahan.

Untung sekali baginya bahwa Kim-thouw Thian-li masih jeri untuk mencelakai orangnya Pangeran Mahkota. Andai kata tidak, sekali saja Ketua Ngo-lian-kauw ini mengeluarkan senjata-senjatanya yang paling ampuh, yaitu senjata rahasia yang mengandung racun berbahaya, kiranya dalam waktu tak lama Souw Ki tentu akan roboh.

Sepasang saudara Bu yang tadinya hanya menonton pertandingan ini, pada saat melihat bahwa teman mereka terdesak hebat dan sekarang hanya main mundur dan berputaran untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan yang amat gencar itu, kini menjadi marah. Selama ini, tujuh orang jagoan istana pengawal Pangeran Mahkota adalah jagoan-jagoan yang ditakuti, yang sudah dianggap sebagai sekelompok jagoan tanpa tanding. Apa bila sekarang seorang di antara mereka dijatuhkan lawan, berarti nama tujuh orang jagoan ini akan tercemar.

Oleh karena itu, keduanya saling bertukar pandang, kemudian sepasang saudara kembar ini menggerakkan pedang dan Bu Sek membentak, "Kim-thouw Thian-li, jangan menjual lagak di depan kami!"

Ilmu pedang dari sepasang saudara Bu ini adalah ilmu pedang keturunan yang bersumber pada ilmu pedang Go-bi Kiam-hoat dari Go-bi-pai. Karena mereka adalah dua saudara kembar, maka dalam permainan pasangan ini mereka seakan-akan merupakan pasangan yang sangat cocok, laksana dua orang satu perasaan saja sehingga kalau maju bersama mereka kelihatan amat hebat.

Tadi saja mereka masing-masing bisa memecahkan Ngo-lian-tin, ini berarti bahwa tingkat mereka bukanlah tingkat jago silat sembarangan. Kini mereka maju bersama mengeroyok Kim-thouw Thian-li, sekali serang merupakan gulungan sepasang sinar pedang yang amat kuat.

Ketua Ngo-lian-kauw itu diam-diam amat terkejut. Ia cepat menahan desakannya terhadap Souw Ki untuk menghadapi dua orang lawan barunya ini. Cepat dan kuat gerakan dua pedang dari saudara kembar itu, maka terpaksa Kim-thouw Thian-li harus mengeluarkan Im-sin Kiam-sut lagi untuk menghadapinya. Wanita tua Ketua Ngo-lian-kauw ini sungguh hebat sekali, biar pun dikeroyok tiga ia masih dapat mengimbangi permainan lawannya.

Kun Hong yang menonton di balik batang pohon, merasa gembira juga karena sekarang ia dapat menonton dengan penuh pengertian. Ia dapat mengikuti semua permainan itu, bahkan dia dapat menduga bahwa kalau pertandingan ini dilanjutkan, Kim-thouw Thian-li akan kalah, biar pun mungkin wanita ini akan dapat melukai seorang di antara tiga orang pengeroyoknya. Ia ingin melerai mereka, akan tetapi dia pun merasa bahwa pertandingan itu bukanlah urusannya dan ia tidak mempunyai kepentingan sama sekali.

Agaknya penilaian Kun Hong ini sama persisi dengan penilaian Yok-mo. Setan Obat ini pun maklum bahwa setelah dua saudara Bu itu ikut memasuki gelanggang pertempuran, Kim-thouw Thian-li tentu takkan kuat menahan.

Tentu saja kalau ia membantu Ketua Ngo-lian-kauw itu, takkan sulit bagi mereka berdua untuk mengalahkan tiga orang busu ini. Akan tetapi mengingat bahwa mereka merupakan utusan-utusan Pangeran Mahkota, amatlah berbahaya untuk bermusuhan dengan ketiga orang ini.

Maka ia segera meloncat ke tengah lapangan, tongkat hitamnya bergerak dan mulutnya berseru, "Cukup... cukup...! Untuk apa bertempur terus?"
“Trang! Trang!”

Terdengar bunyi beradunya senjata. Baik ruyung baja di tangan Souw Ki mau pun pedang dl tangan kedua orang saudara Bu itu terpental ke belakang saat terbentur tongkat hitam. Tiga orang busu ini kaget dan melompat ke belakang, diam-diam mengakui kelihaian Si Setan Obat.

"Sam-wi Busu, setelah Sam-wi mendapat kenyataan bahwa aku bukan pengacau Istana Kembang, harap laporkan kepada Pangeran dan jangan melanjutkan pertempuran yang tak ada artinya ini. Kauwcu (Ketua), harap kau mengalah."

Kim-thouw Thian-li tersenyum dan mendengus lalu mengejek, "Ah, sekarang aku merasa sendiri betapa lihainya Sam-wi Busu!"

Wajah ketiga orang jagoan itu menjadi merah. Mereka merasa disindir karena tadi jelas bahwa mereka bertiga tidak mampu mengalahkan Ketua Ngo-lian-kauw yang lihai itu, apa lagi Yok-mo yang sekali menggerakkan tongkat telah mampu membuat senjata mereka terpental.

Mereka maklum bahwa Ketua Ngo-lian-kauw dan Yok-mo itu telah berlaku dan bersikap mengalah karena takut akan nama Pangeran Mahkota, maka mereka pun tidak bodoh untuk tidak tahu diri dan mencari perkara. Kedatangan mereka untuk menyelidik tentang kakek yang mengacau Istana Kembang, setelah sekarang tidak terdapat bukti, kiranya tak perlu mengacau di situ lebih lama lagi.

"Kauwcu sungguh lihai," berkata Souw Ki, "dan Yok-mo, karena tidak ada bukti terpaksa sementara ini kami mencabut dakwaan kami. Selamat tinggal!"

Setelah berkata demikian, tiga orang busu itu kemudian meninggalkan tempat itu dengan mengangkat dada. Betapa pun juga mereka belum kalah, dan andai kata mereka datang bertujuh, biar pun di situ ada Yok-mo, tanggung mereka takkan mendapat malu dan akan dapat mengalahkan pihak Ngo-lian-kauw.

Setelah tiga orang itu pergi, Yok-mo dan Kim-thouw Thian-li tertawa. Kim-thouw Thian-li lalu memerintahkan para pengawalnya untuk kembali ke dalam benteng Ngo-lian-kauw.

Akan tetapi Yok-mo tiba-tiba berkata, "Nanti dulu, ada tamu yang sejak tadi bersembunyi, harus kita sambut dulu." Dia lalu memandang ke arah tempat sembunyi Kun Hong dan berseru keras, "Sahabat tak perlu bersembunyi lagi, kalau ada perlu, keluarlah!"

Kun Hong kaget sekali dan diam-diam memuji ketajaman mata Yok-mo. Tentu tadi dalam keasyikannya menonton pertempuran dia kurang hati-hati dan sempat memperlihatkan diri dari balik batang pohon sehingga terlihat oleh kakek itu. Ia berjalan keluar dan berkata,

"Toat-beng Yok-mo, aku memang datang hendak menemui engkau untuk mengembalikan kitab-kitabmu!" Ia segera berjalan menghampiri dan mengambil tiga buah kitab dari dalam kantong bajunya yang selama ini ia simpan dan ia pelajari.

Sejenak Toat-beng Yok-mo memandang heran. Akan tetapi begitu melihat tiga buah kitab di tangan pemuda itu, ia segera teringat dan berseru girang dan heran, "Kau... kau masih hidup...?"

Tentu saja ia sekarang ingat akan pemuda yang telah menggendongnya ketika ia terluka dari Bukit Hoa-san, pemuda yang ia kira mati digondol burung rajawali emas yang lihai itu. Ia bukan girang karena pemuda itu masih hidup, tetapi girang karena tiga buah kitabnya yang ia sangka sudah lenyap itu kini ternyata masih utuh. Cepat dia menyambar tiga buah kitab itu dan segera disusulnya pertanyaan,

"Dan manakah katak putih dalam tabung itu?"
"Ahhh, menyesal sekali, Yok-mo, katak itu sudah ditelan habis oleh Kim-thiauw-ko (Kakak Rajawali Emas)." Lalu pemuda ini segera balas bertanya, "Yok-mo, aku tadi mendengar mengenai urusan para busu mencari dua orang gadis. Gadis-gadis itu adalah dua orang keponakanku. Betulkah kau tidak melihat mereka, Yok-mo?"

Pada saat itu, sebelum Yok-mo menjawab, terdengarlah suara, "Bagus sekali, Toat-beng Yok-mo, kau telah menipu kami!"

Dan muncullah Souw Ki, dua orang saudara kembar Bu, dan seorang tosu. Tosu ini bukan lain adalah Thian It Tosu tokoh Ngo-lian-kauw, tangan kanan Kim-thouw Thian-li.

Seperti kita ketahui, Thian It Tosu menggabungkan diri dan menjadi seorang di antara tujuh jagoan istana. Inilah sebabnya mengapa Kim-thouw Thian-li berlaku mengalah dan tadi tidak suka bermusuhan dengan Souw Ki bertiga, tetapi juga ini yang menyebabkan ia merasa penasaran melihat sikap Souw Ki yang sombong dan tidak mengindahkannya.

Pada saat Souw Ki bertiga kembali ke istana, di tengah jalan bertemulah mereka dengan teman mereka, Thian It Tosu. Tiga orang ini berterus terang tentang kecurigaan mereka terhadap Toat-beng Yok-mo dan menceritakan pula peristiwa di Ngo-lian-kauw tadi. Thian It Tosu mencela mereka dan merasa menyesal telah terjadi peristiwa itu.

"Marilah kita kembali ke sana, kalau tidak begitu, sungguh pinto akan merasa tidak enak sekali terhadap Kauwcu."

Souw Ki dan dua orang saudara kembar itu menurut, maka keempat orang ini segera kembali ke situ dan kebetulan sekali mereka melihat Kun Hong bercakap-cakap dengan Toat-beng Yok-mo, Tentu saja Souw Ki menjadi marah dan mengeluarkan bentakan tadi.

Mereka mengenal Kun Hong sebagai pemuda yang lenyap secara aneh dari tahanan. Sekarang ternyata pemuda ini bercakap-cakap dengan Yok-mo, siapa lagi kalau bukan Setan Obat yang menolongnya keluar dari tahanan?

Juga Thian It Tosu menjadi curiga. Tosu ini memang diam-diam merasa iri hati dan tidak suka melihat hubungan antara Yok-mo dengan ketuanya. Sebelum Yok-mo datang, dialah orang yang paling ‘dekat’ dengan Kim-thouw Thian-li dan setelah ia menjadi pengawal Pangeran lalu mendengar kedatangan Yok-mo tentu saja ia menjadi iri hati dan cemburu.

"Toat-beng Yok-mo, kau tadi bilang tidak tahu menahu mengenai pengacauan di Istana Kembang, namun ternyata kau mengenal baik orang muda ini. Hemmm, andai kata benar bukan kau yang mengacau di Istana Kembang, tapi sudah dapat dipastikan bahwa yang menolong pemuda ini keluar dari tahanan adalah kau!" kata Souw Ki dengan suara marah.
"Toat-beng Yok-mo, dengan perbuatanmu menentang Pangeran Mahkota ini, jangan kau menyeret-nyeret nama baik Ngo-lian-kauw. Seorang lelaki harus berani mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri!" berkata Thian It Tosu sambil melirik ke arah Kim-thouw Thian-li yang masih berdiri di jembatan.

Melihat empat orang jagoan istana ini bersikap hendak menyerangnya, Toat-beng Yok-mo hanya terkekeh lalu berkata, "Tidak kusangkal bahwa aku mengenal pemuda ini, habis kalian mau apakah? Heh-heh-heh!"

"Yok-mo, kami harus menangkap kau dan pemuda ini!" seru Souw Ki.

Sementara itu, pada saat Kun Hong melihat datangnya empat orang pengawal istana ini, mukanya segera menjadi pucat. Celaka, pikirnya, tentu aku akan ditangkap lagi. Ketika mendengar kata-kata Souw Ki yang terakhir, tanpa pikir panjang lagi Kun Hong segera membalikkan tubuh dan lari dari situ!

"Hee, hendak lari ke mana kau?!"

Souw Ki melompat dan ruyungnya digunakan untuk menyerampang kaki Kun Hong dari belakang. Ia memang gemas kepada pemuda ini dan ingin memberi hajaran. Akan tetapi alangkah herannya ketika sudah yakin hatinya akan dapat mematahkan dua kaki pemuda itu, ternyata ruyungnya hanya mengenai angin karena kaki pemuda itu bergeser ke arah yang berlawanan dan secara aneh sekali.

Ternyata dalam keadaan berbahaya itu Kun Hong sudah mempergunakan langkah dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun sehingga dengan mudah ia dapat menghindarkan kedua kakinya dari sambaran ruyung. Setelah terhindar dari serangan ruyung itu, segera kaki Kun Hong melanjutkan langkahnya melarikan diri.

Melihat pemuda itu hendak lari, sepasang saudara kembar Bu dan Thian It Tosu juga lari mengejar. Kun Hong lalu terkurung oleh empat orang busu. Sejenak pemuda ini bingung, lalu dia mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmu yang telah dipelajarinya, yaitu Kim-tiauw-kun untuk melakukan perlawanan. Kalau tidak terpaksa sekali, pemuda ini tidak suka mempergunakan ilmu ini untuk bertanding dengan orang lain.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara parau yang disusul dengan suara melengking yang menusuk telinga dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tinggi besar yang berpakaian serba putih.

Melihat kakek ini, Toat-beng Yok-mo serta Kim-thouw Thian-li segera menghampiri, lalu memberi hormat dan menegur, "Kiranya Locianpwe Song-bun-kwi yang datang, silakan... silakan."

Empat orang pengawal itu tentu saja pernah mendengar nama besar Song-bun-kwi, maka serantak mereka menegok. Thian It Tosu yang juga sudah pernah melihat kakek ini, cepat memberi hormat kepada Song-bun-kwi, akan tetapi kakek itu menerimanya acuh tak acuh.

Souw Ki dan dua orang saudara kembar, walau pun mereka pernah mendengar nama Song-bun-kwi, akan tetapi belum pernah bertemu muka. Mereka adalah pengawal istana kepercayaan Pangeran Mahkota, maka tentu saja sikap mereka angkuh dan terhadap Song-bun-kwi mereka tak memandang sebelah mata! Setelah memandang sejenak, Souw Ki dan dua orang saudara itu lalu mengurung Kun Hong lagi.

"Yok-mo, siapakah tiga manusia ini?" Song-bun-kwi bertanya.

Diam-diam kakek ini merasa heran sekali karena tadi ia melihat geseran kaki Kun Hong yang dalam pandangannya merupakan ilmu langkah yang ajaib sekali.

Yok-mo tertawa, "Heh-heh-heh, mereka adalah pengawal-pengawal istana yang datang dengan fitnah bahwa aku telah mengacau Istana Kembang, kemudian mengira lagi bahwa aku telah mengeluarkan pemuda itu dari dalam tahanan. Lucu sekali!"

"Ah, kiranya anjing-anjing istana. Hei, dengarlah kalian. Yang mengacau Istana Kembang, menculik dua orang gadis adalah aku. Kalian mau apa?"

Bukan main kagetnya Souw Ki dan teman-temannya, juga Thian It Tosu. Kalau Thian It Tosu merasa kaget dan gelisah, adalah Souw Ki dan kedua saudara Bu kaget berbareng girang.

"Aha, dicari susah payah tidak ketemu, sekarang datang sendiri menyerahkan diri. Bagus! Kakek, dosamu sudah terlalu besar, kau menyerahlah saja dari pada rusak badanmu oleh ruyungku!" Souw Ki menggertak dan serta merta bersama teman-temannya lupa akan Kun Hong, meninggalkan pemuda itu dan menghampiri Song-bun-kwi.

Song-bun-kwi tertawa bergelak dan ia melengking tinggi ketika melihat sambaran ruyung Souw Ki. Hebat dan dahsyat sekali sambaran ruyung baja itu dan sekiranya mengenai kepala kakek ini, kiranya akan pecah berhamburan karena ruyung baja ini di tangan Souw Ki sanggup menghancurkan batu karang yang keras. Karena maklum bahwa kakek ini sakti, di samping hantaman ruyungnya ke arah kepala, tangan kiri Souw Ki juga mengirim pukulan ke arah dada.

Hebat sekali Song-bun-kwi. Diserang seganas itu, kakek ini berdiri tak bergerak, dalam arti kata mengelak, seakan-akan dia tidak melihat datangnya dua serangan dahsyat itu. Setelah ruyung tinggal satu dim lagi dari keningnya barulah kakek ini membabat senjata lawan itu dari bawah dengan tangan kiri dimiringkan, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menerima pukulan tangan kiri Souw Ki.

"Souw-busu, jangan...!" Thian It Tosu coba untuk mencegah temannya yang sembrono menyerang Song-bun-kwi, namun terlambat.

Terdengar suara keras. Ruyung baja itu terpental dari tangan Souw Ki, melayang jauh, dan disusul jeritan Souw Ki ketika kepalan tangan kirinya kena dicengkeram oleh tangan kanan kakek itu.

Sambil tertawa bergelak-gelak Song-bun-kwi mendorong tubuh Souw Ki yang melayang seperti daun kering tertiup angin dan jatuh ke dalam air di dekat jembatan. Thian It Tosu cepat meloncat dan menolong Souw Ki keluar dari air, namun jagoan ini terpaksa harus digotong karena tulang tangan kirinya remuk dan mukanya biru serta matanya mendelik! Baiknya, Song-bun-kwi tidak menghendaki nyawa Souw Ki maka jagoan yang galak ini tidak sampai mati.

"Song-bun-kwi, iblis tua, lihat pedang!"

Sepasang saudara kembar she Bu itu marah sekali melihat teman mereka dirobohkan demikian mudahnya oleh kakek ini. Pedang mereka berkelebat dan mengurung diri kakek itu dengan ganas. Mereka bekerja sama baik sekali dan dalam gebrakan pertama Bu Sek menikam sedangkan Bu Tai melindungi kakaknya dari samping dengan memutar-mutar pedangnya, bersiap menanti kesempatan untuk menyerang apa bila serangan kakaknya gagal.

Song-bun-kwi mengeluarkan lengking tinggi tanda bahwa dia sudah marah sekali. Tentu saja sama sekali ia tidak gentar menghadapi serangan pedang ini. Dengan mengebutkan lengan bajunya arah pedang itu meleset sedangkan tangan Bu Sek serasa hendak robek kulitnya. Malah Bu Tai yang memutar pedangnya, terhuyung mundur dua langkah karena sambaran angin kebutan ujung lengan baju itu.

Thian It Tosu yang melihat betapa dua orang saudara kembar itu sudah maju bertempur mengeroyok Song-bun-kwi, segera meloncat pula ke depan sambil berkata, "Locianpwe Song-bun-kwi, terpaksa pinto kini berlaku kurang ajar karena kau sudah berani menghina utusan-utusan Pangeran Mahkota!"

Tosu ini mencabut pedangnya dan menerjang ke depan, pedangnya membabat ke arah pinggang Song-bun-kwi yang cepat mengelak sambil tertawa mengejek. Dikeroyok tiga orang jagoan istana yang lihai ini, Song-bun-kwi enak saja melayaninya dengan tangan kosong. Serangan senjata tiga orang lawannya itu apa bila tidak dilegos, tentu ditangkis dengan ujung lengan bajunya, kadang-kadang malah dengan tangan yang dimiringkan!

Kim-thouw Thian-li dan Toat-beng Yok-mo saling pandang. Wanita Ketua Ngo-lian-kauw itu merasa serba salah. Akan tetapi setelah melihat Thian It Tosu terjun dalam lapangan pertempuran, ia segera dapat memilih pihak mana yang harus dibantu.

Memihak Song-bun-kwi tidak ada keuntungannya sama sekali, sebaliknya kalau dia tidak membantu utusan-utusan Pangeran Mahkota, tentu akan menjadi bahaya bagi berdirinya Ngo-lian-kauw. Ia pun cepat melolos pedang dan sabuk merahnya, tubuhnya ringan ketika meloncat ke depan dan suaranya halus membentak,

"Song-bun-kwi, melawan utusan-utusan Pangeran Mahkota berarti memberontak dan aku harus menghalangimu!" Pedangnya menyambar-nyambar diikuti sinar merah sabuknya.
"Ha-ha-ha, Kim-thouw Thian-li, semenjak kapan kau menjadi anjing Pangeran? Baik, baik, bagus, majulah hendak kulihat apakah kau sudah mempelajari Im-sin Kiam-sut dengan baik!"

Marahlah Kim-thouw Thian-li dan benar saja ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat, Im-sin Kiam-sut! Sementara itu, Toat-beng Yok-mo setelah mengantongi tiga buah kitabnya lalu maju pula dengan tongkatnya.

"Song-bun-kwi, kau semakin tua semakin jahat, suka membikin kacau saja! Perbuatanmu mengacau Istana Kembang sudah membuat namaku rusak, orang mengira akulah yang melakukannya. Kau harus mencuci namaku!" Tongkatnya melayang dan sekali bergerak telah mengirim lima totokan ke arah tubuh kakek itu.
"Ha-ha-ha, maju semua, hayo majulah!" Song-bun-kwi berteriak.

Tiba-tiba dia mengeluarkan lengking tinggi memanjang dan tahu-tahu kedua saudara Bu telah menjerit kaget akibat pedang mereka terpental dan tangan mereka sampai berdarah sedangkan Thian It Tosu terjengkang ke belakang keserempet ujung lengan baju.

Song-bun-kwi tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat ke dekat Kun Hong, "Hayo kau ikut aku!"

Tangan Kun Hong sudah dicekalnya kemudian pemuda ini dibawanya lari seperti terbang cepatnya! Biar pun ganas dan tidak takut terhadap siapa pun juga, Song-bun-kwi masih cukup cerdik untuk menanam permusuhan dengan Ngo-lian-kauw. Maka ia lalu pergi saja setelah memperlihatkan kelihaiannya. Dia membawa pergi Kun Hong, karena tadi melihat gerakan pemuda itu yang aneh sekali ketika mengelak dari serangan Souw Ki.

"Heii, kakek tua, hendak kau bawa ke mana aku?" Kun Hong berteriak-teriak sepanjang jalan, akan tetapi kakek itu membisu saja dan menarik tangannya yang dicekal erat.
"Kakek tua, kalau kau ada urusan denganku, mari kita bicara baik-baik, kenapa kau lari seperti orang dikejar setan? Apakah kau takut kalau mereka itu mengejarmu?"

Kalau saja Kun Hong mengeluarkan ucapan lain, agaknya kakek aneh ini tidak akan mempedulikannya dan lari terus. Akan tetapi sekali Kun Hong mengucapkan sangkaan takut, kakek itu tiba-tiba berhenti dan memandang marah,

"Aku takut kepada mereka? Ehh, bocah, kau tidak tahu siapa aku!"
"Tentu saja aku tahu. Kau adalah seorang tokoh di Min-san bernama Kwee Lun berjuluk Song-bun-kwi," jawab Kun Hong.

Kakek tua itu nampak tercengang. Di Ngo-lian-kauw tadi, orang-orang hanya menyebut julukannya, bagaimana bocah ini bisa kenal namanya yang jarang disebut-sebut dunia kang-ouw?

"Bocah, kau siapakah dan bagaimana kau bisa kenal namaku?"
"Locianpwe, namaku Kwa Kun Hong dan aku telah banyak mendengar tentang Locianpwe dari Ayah."
"Siapa ayahmu? Lekas katakan!"
"Ayah adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai."

Tiba-tiba kakek itu mendelikkan matanya. "Kau anak Kwa Tin Siong? Kau adik siluman betina? Ha-ha-heh-heh, bagus sekali! Tak kusangka untungku sebaik ini. Ha-ha, Bi Goat anakku, lihat betapa adik musuhmu ini akan kuhancurkan kepalanya dan kucabut keluar jantungnya!" Dengan buas ia lalu maju menerkam Kun Hong.

Pemuda ini terkejut setengah mati karena penyerangan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu. Disangkanya tadi bahwa dengan mengenalkan nama ayahnya sebagai seorang tokoh kang-ouw juga, kakek ini tak akan mengganggunya lagi, siapa tahu justru nama ayahnya membuat kakek ini marah sekali.

Akan tetapi yang kaget sekali ternyata malah Song-bun-kwi sendiri ketika tubrukannya mengenai angin dan tubuh pemuda itu sudah melejit seperti seekor belut dengan geseran kaki yang ajaib. Tanpa menghentikan gerakannya Song-bun-kwi melempar tubuh ke kiri mengejar, sekarang tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala dan tangan kirinya menyambar lambung dengan gerak tipu yang ampuh dan tidak mungkin dapat ditangkis atau dihindarkan oleh orang yang diserangnya. Angin yang panas hawanya mendahului serangan ini.

Sekarang Song-bun-kwi mengeluarkan suara gerengan keras saking marah dan herannya karena kembali penyerangannya tadi hanya mengenai angin belaka, jangankan mengenai tubuh Si Pemuda, menyentuh ujung bajunya pun tidak. Kemarahan dan penasarannya memuncak. Kakek ini lantas menyerang lagi dengan segenap tenaga dan kepandaiannya, memukul-mukul dan menendang-nendang sambil terus mengeluarkan suara melengking.

Kun Hong mengerahkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk menahan isi dadanya yang mendadak tergetar-getar karena suara lengkingan itu. Untuk menghadapi serangan-serangan Song-bun-kwi, dia terpaksa mengeluarkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun. Namun belum pernah ia balas menyerang karena memang tidak ada niat di hatinya untuk menyerang orang yang sama sekali tak dikenalnya dan tidak mempunyai urusan dengannya ini.

"Locianpwe, kenapa kau menyerangku? Apa salahku?" berkali-kali ia bertanya.

Akan tetapi hal ini bahkan merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan Song-bun-kwi karena masih dapatnya pemuda itu mengajukan pertanyaan berarti bahwa semua serangannya itu dipandang rendah saja. Kalau saja ia tidak ingat bahwa lawannya seorang pemuda, tentu telah ia cabut pedangnya.

Song-bun-kwi adalah seorang tokoh sakti. Biar pun sampai belasan jurus ia belum mampu memukul roboh Kun Hong, namun sebenarnya dia cukup membuat pemuda itu bingung sekali. Hanya karena gerakan-gerakannya yang aneh serta langkah-langkah yang ajaib maka sebegitu lama pemuda ini masih dapat menyelamatkan diri.

Akan tetapi, karena ia tidak balas menyerang, kalau ia terus-menerus mengelak, kiranya lambat-laun kakek itu akan mengenal gerakan-gerakannya dan akan dapat memecahkan rahasia lalu memukulnya. Sekali saja terkena pukulan kakek ini, kiranya akan celakalah pemuda itu.

Kun Hong tidak berani mencobakan ilmu sihirnya atas diri kakek yang sakti ini. Celaka, pikirnya, apakah dia gila mendadak? Lebih baik lari saja.

Setelah berpikir demikian, ia menunggu kesempatan baik. Ketika dilihatnya Song-bun-kwi tiba-tiba berjongkok dengan dua tangan dibuka di kanan kiri seperti seekor katak hendak melompat, tanpa pikir panjang lagi Kun Hong lalu memutar tubuh dan melarikan diri.

Ia merasa datangnya hawa pukulan yang luar biasa dari belakang, cepat kakinya digeser ke kanan dan tubuhnya seperti terhuyung-huyung ke depan sedangkan kedua tangannya diam-diam menggunakan gerakan Dewa Menyambut Mustika. Ia merasa dua tangannya itu bertemu dengan hawa yang panas, akan tetapi dengan pengerahan lweekang yang dilatih selama berada di puncak bukit, ia dapat menolak serangan itu.

Kembali Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan heran dan kagum, lalu ia mengejar sambil mengerahkan ginkang-nya. Beberapa kali lompatan saja membuat ia dapat menyusul Kun Hong.

Akan tetapi anehnya, ketika sudah dekat, tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak aneh dan sudah menjauh lagi beberapa tombak jauhnya. Ada kalanya kalau ia melompat menyusul, tahu-tahu pemuda itu seperti mundur sehingga lompatannya terlewat jauh. Kalau sudah berhasil ia mendekat, selalu uluran tangannya tak berhasil mencengkeram pemuda aneh itu.

Keringat dingin mulai membasahi tubuh Song-bun-kwi. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami hal seaneh ini. Banyak sudah dia menghadapi lawan-lawan sakti dan sering mengalami pertempuran-pertempuran mati-matian dan hebat, akan tetapi belum pernah ia menghadapi perlawanan begini aneh.

Pemuda itu laksana bayangan saja, susah dijamah, akan tetapi juga sama sekali tidak pernah membalas. Ia kelihatan takut-takut dan bingung, bagai orang tidak bisa ilmu silat. Gerakan-gerakannya itu pun tidak patut disebut ilmu silat, lebih mirip seperti ayam dikejar atau seperti burung.

Mereka terus berkejaran keluar masuk hutan dan sudah setengah jam lebih Song-bun-kwi mengejar, belum juga ia dapat memegang pemuda itu. Saking marahnya ia lalu mencabut keluar pedangnya dan membentak, "Anak setan, rasakan ketajaman pedangku!"

Ia masih merasa malu kepada dirinya sendiri jika harus mempergunakan senjata rahasia. Menggunakan pedang saja sebetulnya sudah merupakan hal yang amat memalukan, apa lagi kalau harus menggunakan senjata gelap!

Sekali ini kehormatannya benar-benar tersinggung sekali. Diam-diam Song-bun-kwi hanya mengharap jangan sampai perbuatannya ini diketahui lain orang.

Akan tetapi pengharapannya itu ternyata bahkan sebaliknya karena mendadak terdengar suara orang mengejek, "Ha-ha, sejak kapan Song-bun-kwi tua bangka menjadi pengecut, mengejar-ngejar seorang pemuda dengan pedang di tangan? Ha-ha-ha!"

Kaget bukan main Song-bun-kwi, mukanya menjadi merah padam dan otomatis ia lantas menghentikan pengejarannya, kemudian membalikkan tubuh. Ia melihat seorang kakek bertubuh sedang, agak membungkuk saking tuanya. Segera ia mengenal kakek ini dan makin malulah ia. Dari malu ia menjadi marah sekali.

"Siauw-ong-kwi, berani kau mengatakan aku pengecut? Kau sudah bosan hidup!"

Cepat ia lalu menyerang kakek itu dengan pedangnya tanpa memberi kesempatan lagi. Kakek itu memang benar Siauw-ong-kwi adanya, seorang tokoh besar dari utara. Belasan tahun kakek ini tidak pernah lagi memperlihatkan diri di dunia kang-ouw, seperti halnya Song-bun-kwi sendiri.

Seperti pembaca masih ingat, dalam cerita Raja Pedang sudah pernah diceritakan bahwa Siauw-ong-kwi ini adalah seorang di antara Empat Besar dan dia adalah jago nomor satu dari utara, guru dari Giam Kin. Mengapa ia tiba-tiba bisa muncul di situ?

Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Giam Kin telah bertemu dengan Kwa Hong dan disiksa setengah mati oleh rajawali emas dan Kwa Hong ketika Giam Kin menculik Lee Giok. Semenjak itu Giam Kin tak pernah ada kabar ceritanya lagi.

Karena inilah maka sekarang Siauw-ong-kwi yang selama ini mengasingkan diri, menjadi kuatir akan keselamatan muridnya. Sengaja ia sekarang turun gunung untuk mencarinya, sekalian ia hendak datang pada upacara pembukaan Thai-san-pai karena sebagai tokoh besar ia pun ingin mencoba lagi kelihaian Si Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi pendiri dari Thai-san-pai.

Kebetulan sekali di hutan ini dia melihat Song-bun-kwi sedang mengejar-ngejar seorang pemuda yang kelihatan lari ketakutan, maka ia lalu muncul dan mengejek. Ketika dengan marah Song-bun-kwi menyerangnya, Siauw-ong-kwi mengeluarkan teriakan keras sambil menggerakkan kedua lengan bajunya yang merupakan senjatanya yang ampuh.

Dua orang tokoh besar ini segera bertempur dengan hebatnya. Sambaran angin pukulan mereka membuat daun-daun di puncak pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar. Pertempuran hebat ini diselingi teriakan-teriakan aneh Siauw-ong-kwi serta suara melengking dari tenggorokan Song-bun-kwi. Selain bertarung dengan kepandaian silat, kedua tokoh ini juga saling mengadu kekuatan khikang mereka.

Sementara itu, untuk sejenak Kun Hong hanya berdiri bengong. Bukan main kagumnya dia menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu sampai pandang matanya berkunang melihatnya. Diam-diam ia menarik napas panjang dan harus mengakui bahwa dua orang kakek itu benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Ketika teringat bahwa mungkin ia akan celaka kalau tertawan oleh dua orang ini, segera ia mengangkat kaki melarikan diri secepat mungkin pergi dari tempat itu.

Ia masih berlari-lari ketika tiba-tiba ada orang menegurnya, "Heii, kenapa kau berlari-lari seperti dikejar setan?"

Kun Hong menoleh dengan kaget karena mengira bahwa yang berseru itu adalah kakek yang hendak menawannya. Akan tetapi ketika ia melihat seorang pemuda yang tampan sekali, timbul kemendongkolan hatinya. Ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda tampan pesolek yang pernah menampar pipinya di rumah gedung Tan-taijin! Segera dia berhenti dan memandang dengan muka merengut.

"Ada keperluan apa kau mencampuri urusanku?"

Pemuda itu balas memandang dan agaknya baru sekarang ia bisa mengenal Kun Hong. Alisnya yang hitam itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan ia lalu tersenyum.

"Ehhh, kiranya kaukah ini? Kutu buku yang sombong itu?" katanya dengan nada seakan kecewa sudah menegurnya tadi. Tanpa bilang apa-apa lagi pemuda itu lalu melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah dari mana Kun Hong datang.

Kun Hong mendongkol sekali kepada pemuda itu. Hemm, sampai-sampai di dalam hutan begini dan dalam melakukan perjalanan, pemuda itu masih berpakaian indah dan bersih, sepertl orang berjalan-jalan menjual aksi saja. Dan alangkah angkuh dan sombongnya!

Akan tetapi ketika melihat pemuda itu menuju ke arah dari mana ia datang, ia menjadi kuatir juga. Betapa pun juga, pemuda itu yang menyebut Tan-taijin pek-hu (uwa), berarti masih keponakan pembesar itu dan Tan-taijin berkesan baik di hati Kun Hong.

Apa lagi pembesar itu dulu menyatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayahnya. Kalau sampai pemuda angkuh ini bertemu dengan dua orang kakek sakti itu dan tertimpa mala petaka, tentu Tan-taijin akan menjadi susah hatinya.

"Heii, tunggu dulu!" teriaknya mengejar.

Pemuda itu menoleh. "Mau apa kau?" caranya bertanya memandang rendah sekali.

Kun Hong menahan gemas hatinya. "Jangan kau pergi ke sana, di sana ada dua orang kakek sakti sedang bertanding. Kalau kau terlihat oleh mereka, kau akan celaka!"

Pemuda itu mencibirkan bibir mengejek, "Huh, mana aku takut dengan segala obrolan kosongmu?"

"Sombong kau! Siapa mengobrol kosong? Song-bun-kwi dan seorang kakek lain bernama Siauw-ong-kwi sedang bertempur hebat di sana. Mereka benar-benar sakti dan jahat."

Berubah wajah pemuda itu mendengar nama-nama ini dan diam-diam Kun Hong merasa girang. Nah, baru tahu kau sekarang, baru takut mendengar dua nama itu.

Akan tetapi pemuda itu segera mencabut pedang dan berseru, "Betulkah Song-bun-kwi di sana?"

Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu kemudian berlari meninggalkan Kun Hong menuju ke hutan di depan.

Sejenak Kun Hong hanya terlongong. Apakah orang muda itu sudah gila? Ataukah saking sombongnya maka tidak mengenal keadaan seperti seekor anak kerbau yang tak gentar menghadapi singa?

Celaka, dia tentu mampus, pikirnya. Kembali ia merasa tidak enak terhadap Tan-taijin dan di luar kehendaknya kedua kakinya sudah bergerak, mengejar pemuda itu!

"Heee, jangan ke sana...!" serunya berkali-kali.

Kun Hong kagum sekali pada saat melihat betapa pemuda itu berlari cepat sekali laksana terbang. Tubuhnya demikian ringan sehingga terlihat dari belakang seakan-akan pemuda itu tidak menginjak tanah! Ia juga mempergunakan ilmu lari cepat yang ia miliki tanpa ia sadari, akan tetapi Kun Hong menjaga supaya jangan sampai dia menyusul pemuda itu, melainkan mengikuti dari belakang.

Ketika ia tiba di dalam hutan di mana tadi Song-bun-kwi bertempur, ia melihat pemuda itu berdiri tegak seorang diri, menanti kedatangannya dengan wajah tak senang. Begitu Kun Hong datang, pemuda itu menyambutnya dengan suara marah, "Kau pembohong besar! Mana dia Song-bun-kwi? Bayangannya pun tidak ada di sini?"

Kun Hong berpura-pura terengah-engah napasnya karena dia tidak ingin diketahui orang bahwa ia pun pandai ilmu lari cepat. "Wah! Kau lari seperti kijang melompat. Bagus sekali Song-bun-kwi sudah pergi, kalau tidak kau tentu akan dipukul mati dan aku pun tidak diampuni. Tadi dia berada di sini bertempur dengan kakek aneh itu. Siapa membohong? Hayo kau kembalikan pedangku yang kau rampas tempo hari!"

Pemuda itu mendengus marah. "Orang macam kau, mana pantas mempunyai pedang pusaka?"

"Ehh-ehh, soal pantas atau tidak bukan urusanmu. Yang terang pedang Ang-hong-kiam adalah pedangku, apakah kau nekat hendak merampas pedang orang? Benar-benar tak bermalu!"

Mendengar kata-kata ini, pemuda itu marah sekali. Pedang Ang-hong-kiam yang masih tergantung di pinggangnya itu segera diambilnya dan sekali tangannya diayun pedang itu berikut sarungnya amblas ke tanah sampai setengahnya!

"Nah, nih pedangmu pemotong ayam!"

Kun Hong menghampiri pedang itu dan dengan kedua tangannya mencabut. Pemuda itu memandang dengan mulut mengejek. Melihat sikap orang itu, Kun Hong malah sengaja berpura-pura mengerahkan seluruh tenaganya sehingga ketika pedang itu dapat tercabut ia terjengkang ke belakang dengan pedang di tangan.

Pemuda itu pun terkekeh geli, "Kutu buku macam kau mempunyai pedang itu untuk apa? Paling-paling di tengah jalan dirampas orang jahat. Kau telah berhasil lari dari tahanan, siapa yang menolongmu? Apakah Song-bun-kwi? Dan dua orang gadis Hoa-san-pai itu, ke mana mereka?"

"Aku... aku tidak tahu bagaimana aku bisa keluar. Ehhh... para penjaga tahanan yang mengeluarkan aku, kukira Tan-taijin yang memerintahkannya. Ada pun tentang dua orang keponakanku itu, justru aku hendak mencari mereka."
"Ke mana kau hendak mencari mereka?"
"Mungkin mereka ke Thai-san... ehhh, kau... kenapa kau memperhatikan mereka?" Kun Hong memandang dengan tajam penuh curiga.

Melihat pandang mata Kun Hong ini, pemuda itu mencibirkan bibir dan berkata, "Kudengar mereka cantik-cantik, aku senang gadis-gadis jelita!"

Wajah Kun Hong merah sekali. Dengan telunjuknya ia menuding ke arah hidung pemuda itu. Dengan lagak seorang tua memberi peringatan seorang anak nakal, ia lalu berkata, "Hemm, kau bocah kurang ajar, dengarlah baik-baik! Kalau bukan keponakan Tan-taijin yang menjadi sahabat ayahku, takkan sudi aku memberi nasihat kepadamu. Jangan kau mengumbar nafsumu yang bejat, janganlah kau bertingkah seperti laki-laki yang gagah sendiri, yang tampan sendiri, yang kaya sendiri. Kau berlagak seperti... seperti seorang banci, laki-laki pesolek yang mata keranjang. Apa kau kira semua perempuan akan jatuh olehmu? Awas kau kalau kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemm..."

Pemuda itu membusungkan dada, mengedikkan kepalanya kemudian berkata menantang, "Kalau aku ganggu mereka, kau mau apakah? Apa kau berani berkelahi melawanku?"

Merah muka Kun Hong. Ia tidak suka berkelahi, tidak sudi, apa lagi dengan pemuda yang seperti kanak-kanak ini. Juga ia tidak mau memperlihatkan kepada siapa pun juga bahwa ia pandai ilmu silat. Akan tetapi pemuda ini benar-benar memanaskan perutnya.

"Huh, lagakmu! Kalau kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemmm, tentu ada seorang laki-laki muda penuh aksi yang roboh dan mampus oleh dua orang gadis keponakanku itu! Sudah, tak sudi aku bicara lagi denganmu!"

Dengan marah Kun Hong lalu membalikkan tubuh hendak melanjutkan perjalanannya. Di dalam hatinya ia betul-betul marah kepada pemuda ini, belum pernah seingatnya ia marah dan mendongkol kepada orang lain seperti kepada orang muda sombong ini.

"He! kau bilang hendak ke Thai-san. Kenapa ke sana?"

Tanpa menoleh Kun Hong menjawab, "Banyak cerewet! Kalau ke sana mengapa?"

Terdengar pemuda itu tertawa mengejek, "Soalnya, tolol, Thai-san berada di sebelah sini, bukan sana!"

Kalau tadinya Kun Hong mengambil sikap tidak peduli, ketika mendengar kata-kata itu ia kaget dan cepat-cepat menghentikan tindakannya dan menengok.....

Pemuda itu dengan lagak angkuh sudah berjalan pergi ke jurusan yang berlawanan. Dia ragu-ragu. Betulkah kata pemuda itu bahwa ia menuju ke arah yang berlawanan dengan Thai-san? Tadi dalam kegugupannya ketika dibawa lari Song-bun-kwi, dia tidak sempat memperhatikan jalan lagi. Karena ia tidak kenal jalan dan pemuda itu agaknya tidak asing lagi dengan wilayah itu, terpaksa ia lalu berjalan ke arah perginya pemuda itu dengan hati mengkal.

Akan tetapi, di samping rasa mendongkol terhadap pemuda yang penuh aksi dan angkuh itu, juga hatinya amat senang karena Ang-hong-kiam telah dikembalikan. Ia tidak mengira bahwa pemuda congkak itu begitu mudah mau mengembalikan pedangnya, padahal jika melihat gerak-gerik pemuda itu, kiranya dia mempunyai kepandaian silat yang tinggi juga. Biasanya orang di kalangan kang-ouw bila melihat senjata pusaka, menjadi amat tamak dan ingin memilikinya.

Ketika melewati sebuah dusun di luar hutan, Kun Hong mencari keterangan dan dengan lega mendengar bahwa memang arah Thai-san yang ditempuh pemuda itu betul. Maka ia lalu mempercepat jalannya, akan tetapi tak dapat menyusul pemuda itu yang melakukan perjalanan cepat sekali.
Selanjutnya baca
RAJAWALI EMAS : JILID-12
LihatTutupKomentar