Jaka Lola Jilid 01


THE SUN memasuki dusun Ling-chung dengan langkah seenaknya. Pemandangan di sepanjang perjalanan tadi amat indah, mendatangkan rasa tenang dan tenteram di hati, menggembirakan perasaannya. Setelah bertahun-tahun berkecimpung di kota dan sibuk dengan segala macam urusan kerajaan, pertempuran dan peperangan, kini keadaan di dusun-dusun terasa amat aman dan tenteram baginya.

Musim panen sudah hampir tiba, padi dan gandum di sawah sudah hamil tua, siap untuk dipotong. Penduduk dusun, tua muda lelaki perempuan agaknya enggan meninggalkan sawah ladang yang mereka pelihara setiap hari seperti memelihara anak-anak sendiri, enggan meninggalkan harta pusaka yang juga merupakan penyambung nyawa mereka, yaitu padi-padi yang sudah menguning. Mereka siang malam menjaga keras terhadap gangguan burung di waktu siang dan tikus-tikus pada waktu malam.

The Sun adalah anak murid Go-Bi-san, putera mendiang The Siu Kai seorang pembesar militer Mongol yang sekeluarganya terbasmi habis oleh Ahala Beng, kecuali The Sun yang dapat menyelamatkan diri.

Di dalam cerita PENDEKAR BUTA, diceritakan betapa The Sun yang cerdik, lihai dan bercita-cita tinggi, berhasil menjadi orang kepercayaan Kaisar Hui Ti atau Kian Bun Ti. Akan tetapi dalam perang saudara antara Hui Ti dan pamannya, Raja Muda Yung Lo, Hui Ti kalah dan kerajaan dirampas oleh Raja Muda Yung Lo.

Dalam pertempuran hebat, The Sun beserta teman-temannya kalah oleh Pendekar Buta dan teman-temannya. Nyaris dia tewas kalau saja dia tidak ditolong oleh kakek gurunya, Hek Lojin, yang berhasil membawanya lari. Namun Hek Lojin, tokoh Go-bi itu, juga telah terluka oleh Pendekar Buta, lengan kirinya menjadi buntung! Peristiwa itu baru beberapa bulan saja terjadi.

Setelah mengantar kakek gurunya yang terluka itu ke puncak Go bi-san, The Sun yang tidak betah tinggal di puncak gunung yang sunyi dan dingin itu lalu turun gunung. Akan tetapi alangkah jauh bedanya The Sun dahulu dan sekarang.

la masih tetap tampan dan gagah, gerak-geriknya lemah-lembut, namun pakaiannya kini adalah pakaian sederhana, bukan pakaian pembesar atau pun pelajar yang pesolek lagi. Malah dia tidak membawa-bawa pedang.

la harus menyamar sebagai seorang penduduk biasa, karena tentu saja dia merupakan seorang yang dicari oleh pemerintah baru, yaitu pemerintah Kaisar Yung Lo atau yang sekarang disebut Kaisar Cheng Tsu. Meski kota raja telah dipindahkan ke utara (Peking), namun masih banyak orang-orangnya kaisar baru ini yang akan mengenalnya dan akan senang menangkapnya untuk mencari pahala.

Oleh karena inilah The Sun tidak berani ke selatan, dan sekarang dia hendak melakukan perantauan ke utara. Seenaknya saja dia melakukan perjalanan, menikmati ketentraman dusun-dusun dan diam-diam dia merasa betapa bodohnya dia dahulu, mencari keributan dan kesenangan hampa belaka di kota raja.

Alangkah indah pemandangan di gunung-gunung, sawah-sawah hijau segar, gadis-gadis dusun yang memiliki kecantikan segar dan wajar, sehat dan pipinya merah jambu tanpa yanci (pemerah pipi). Penyamarannya membuat dia berlaku hati-hati sekali.

Biar pun hatinya masih jungkir balik kalau melihat gadis-gadis dusun yang manis segar itu, akan tetapi tidak seperti dahulu kalau melihat wanita cantik dia terus saja berusaha mendapatkannya secara kasar mau pun halus, dia sekarang hanya bisa menelan ludah, menekan perasaan dan kalau gadis itu terlalu cantik apa lagi membalas senyumannya, dia sengaja membuang muka dan mempercepat langkah meninggalkannya.

The Sun sesungguhnya merupakan keturunan orang besar. la menjadi rusak dan dahulu berwatak sombong, mau menang sendiri, mata keranjang, adalah karena dipengaruhi oleh lingkungan dan hubungannya. Buktinya sekarang setelah dia berkelana seorang diri, tidak mempunyai kedudukan dan tidak memiliki sandaran, tidak ada sesuatu yang boleh dia andalkan, dia dapat menguasai perasaan dan nafsunya.

Memang betul kata-kata orang bijak bahwa kesempatan membuat orang menjadi lemah, yaitu lemah terhadap dorongan nafsu-nafsu buruk. Setiap perbuatan maksiat, pertama kali dilakukan orang tentu karena mendapat kesempatan inilah. Kemudian akan menjadi kebiasaan dan membentuk watak.

Dusun Ling-chung tampak amat sunyi karena sebagian besar penghuninya sedang sibuk menjaga sawah dengan wajah gembira penuh harapan. The Sun melihat ke kanan kiri, mencari-cari sebuah warung nasi dengan pandangan matanya, karena pagi hari itu dia merasa amat lapar setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tanpa berhenti.

Mendadak dia mendengar samar-samar suara wanita menjerit. Telinganya yang terlatih dapat menangkap ini. Seketika dia meloncat dan lari menuju ke utara, ke arah suara itu. Di sebelah utara dusun ini sunyi sekali, tak tampak seorang pun manusia, bahkan bagian ini merupakan bagian yang tidak subur dari dusun itu, banyak terdapat rawa yang tidak terurus. Di sudut sana tampak sebuah rumah tua yang agaknya tidak ditinggali orang.

"Tolong...!" sekali lagi terdengar jeritan lemah dan The Sun segera mempercepat larinya menuju ke rumah tua karena dari sanalah pekik itu datangnya.

Dengan gerakan seperti seekor burung garuda melayang, dia melompat dan setibanya di dalam rumah tua melalui pintu yang tak berdaun lagi, dia menjadi tertegun dan matanya membelalak memandang ke dalam.

Mukanya seketika menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api. Apa yang tampak olehnya di sebelah dalam rumah rusak itu benar-benar membuat The Sun marah sekali.

Di atas lantai yang kotor tengah duduk menangis seorang wanita muda yang pakaiannya robek-robek di bagian atas sehingga tampak pundak dan sebagian dadanya yang berkulit putih seperti salju. Wanita ini cantik jelita dan mukanya pucat, rambutnya awut-awutan. Di sana-sini terlihat robekan kain pakaiannya, dan sebagian dari robekan kain masih berada di tangan seorang laki-laki yang berdiri membungkuk di depan wanita itu.

Laki-laki yang amat menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, rambut panjang terurai, mukanya buruk serta sikapnya kasar dan canggung sekali. Sepasang matanya membuat orang bergidik, karena mata seperti itu biasanya hanya terdapat pada muka orang gila. Mata yang liar, bodoh dan aneh.

"Bangsat kurang ajar! Berani kau mengganggu wanita?" bentak The Sun sambil meloncat ke dalam.

Lelaki tinggi besar itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan mengeluarkan suara menggereng seperti harimau. Mendadak dia tertawa bergelak dan suaranya seperti gembreng pecah. "Pergi kau! jangan ikut campur, dia milikku, heh-heh-heh."

The Sun termangu dan meragu, lalu menoleh kepada wanita itu. Mungkinkah si jelita ini milik orang gila itu? Isterinya?

Sambil tertawa-tawa si gila itu kembali maju mendekat, tangannya yang besar dan kasar hendak meraih si cantik.

Wanita itu bergidik dan berseru lemah, "Jangan sentuh aku...! Kang Moh, jangan... kau... kau bunuh saja aku..."

The Sun makin bingung. "Nona... eh, Nyonya... dia siapakah? Apakah suamimu?"

”Bukan...! Sama sekali bukan! Dia orang gila di dusun ini... ah, Tuan, tolonglah, suruh dia pergi dan jangan biarkan dia ganggu aku... lebih baik aku mati, ya Tuhan…." Ia menangis sedih sekali.
"Keparat! Mundur dan minggat kau!" The Sun kini maju dengan hati tetap. Lega hatinya bahwa wanita ini bukan isteri si gila ini dan kemarahannya timbul kembali, malah lebih hebat dari pada tadi.

Kang Moh buaya gila itu tiba-tiba memekik keras dan menerjang maju, menghantam The Sun. Gerakannya kuat sekali, membayangkan tenaga yang luar biasa besar, sedangkan gerakan tangan kakinya menunjukkan bahwa sedikit banyak orang ini juga pernah belajar silat.

Namun yang diserang kini adalah The Sun. Orang sekampung itu boleh takut kepadanya, akan tetapi menghadapi The Sun, dia bagaikan menghadapi kakek gurunya. Sekali dia memiringkan tubuh dan menggeser kaki ke kiri, The Sun sudah menghindarkan diri dari terjangan lawan, kemudian dua kali tangannya bergerak, sekali menotok leher dan kedua kalinya menusuk ulu hati dengan jari-jari terbuka.

“Ngekkk!”

Terdengar suara dan tubuh Kang Moh yang tinggi besar itu roboh terjengkang seperti pohon ditebang dan... dia tidak bergerak-gerak lagi karena dua kali pukulan tadi ternyata sudah mengirim nyawanya meninggalkan badan. Matanya mendelik, ada pun dari mulut, hidung, dan telinganya keluar darah!

The Sun bekerja cepat. Sekali renggut dia telah membuka jubah si gila itu.

"Nona, kau pakailah ini, untuk sementara lumayan guna menutupi pundakmu."

Wanita itu berdiri dengan lemah, muka yang tadinya pucat menjadi agak merah, tampak gugup dan malu-malu. Kemudian, setelah menutupkan jubah yang berbau apek itu ke atas pundaknya, fia menjatuhkan diri berlutut di depan The Sun.

"Terima kasih... terima kasih, Tuan... tapi tiada gunanya...,. ahh, tiada gunanya lagi aku hidup..." la menangis terisak-isak dan tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Sementara itu, The Sun sudah mendapat kesempatan memandang. Wanita ini bukan main cantik jelitanya dan aneh sekali, jantungnya berdegup tidak karuan. Sudah banyak dia mengenal wanita cantik, akan tetapi agaknya baru kali ini ada seorang wanita yang dapat membuat dia marah bukan main tadi, dan sekarang membuat jantungnya berdebar keras.

Wajah manis itu laksana pisau belati menikam ulu hatinya, mendatangkan rasa kasihan yang tidak ada dasarnya. Mata itu, hidung dan mulut itu, seakan-akan menggurat-gurat kalbunya, menggores-gores jantungnya, minta dikasihani.

Dengan dua kaki lemas, The Sun lalu berlutut pula di depannya. "Jangan berduka, Nona. Kesukaran apakah yang kau hadapi? Dia itu kurang ajar kepadamu? Lihat, sudah kubikin mampus dia! Manusia macam dia berani mengganggumu? Biar pun ada seratus orang macam dia, semua akan kubasmi kalau mereka berani mengganggumu!"

Mendengar ucapan yang penuh dengan kemarahan ini, wanita itu lalu mengangkat muka memandang. Muka yang kini pucat kembali, yang amat sayu dan patut dikasihani, yang basah air mata.

"Saya berterima kasih sekali bahwa Tuan sudah menolong saya dari tangan Kang Moh yang gila itu, akan tetapi... Inkong (Tuan Penolong) semua itu percuma... belum dapat membebaskan diri saya dari kesengsaraan... dan jalan satu-satunya bagi saya hanyalah mati..."
"Tidak ada kesulitan di dunia ini yang tidak dapat diatasi. Memilih jalan kematian adalah pikiran sesat. Nona, percayalah kepadaku, aku The Sun siap untuk menolongmu sampai titik darah terakhir. Kau ceritakan saja kepadaku kesukaran apa yang kau derita."

Mendengar ucapan yang tegas dan sikap yang sungguh-sungguh ini, wanita itu menjadi terharu sekali, lalu terisak-isak ia menceritakan penderitaannya.

la bernama Ciu Kim Hoa, semenjak kecil ia sudah diberikan oleh ayah bundanya kepada seorang pamannya, karena ayah bundanya bercerai dan kawin lagi. Pamannya bukanlah orang baik-baik. Selama hidup di rumah pamannya, ia diperas tenaganya, bekerja kasar dan berat. Beberapa kali sudah ia mencoba untuk minggat, akan tetapi selalu gagal dan hasilnya hanya gebukan dan tendangan.

"Kekejaman itu masih dapat saya tahan, Inkong, karena kadang-kadang paman itu pun bersikap baik sehingga kedukaan saya terhibur. Akan tetapi, setahun yang lalu dia sudah menjual saya kepada keluarga Lee di dusun ini dan mulailah penderitaan batin yang tak tertahankan lagi..." la menangis terisak-isak.

Diam-diam The Sun menaruh kasihan. Wanita begini lemah dan cantik jelita, mengapa nasibnya demikian buruk? Dia membiarkan nona itu menangis sejenak, lalu menghibur, "Sudahlah, Nona. Semua penderitaan itu takkan terulang kembali, ceritakan selanjutnya, mengapa kau menderita di rumah keluarga Lee?"

Sesudah menghapus air matanya, wanita itu melanjutkan, "Kalau di rumah paman saya hanya menderita lahir, di rumah keluarga Lee saya menderita lahir batin. Pada mulanya kedua orang tua dari keluarga itu baik terhadap saya, akan tetapi tiga bulan kemudian saya dijadikan permainan oleh tiga orang anak laki-laki keluarga Lee. Usia mereka antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, dan mereka laki-laki yang kejam. Saya tidak dapat menolak, tidak dapat melarikan diri, beberapa kali mencoba membunuh diri juga mereka halang-halangi, ahhh... In-kong... apa artinya lagi hidup ini...?"

The Sun menggigit gigi hingga mengeluarkan bunyi berkerot. Di samping kasihan kepada wanita ini, dia pun merasa hatinya panas dan marah sekali.

"Teruskan... teruskan...!" Desaknya dengan suara keras dan nafas memburu.
"In-kong... betapa hancur hati saya ketika saya mendapatkan diri saya... mengandung! Saya ceritakan kepada mereka dan menuntut supaya dinikahi dengan sah. Namun apa yang saya dapatkan? Mereka marah-marah. Saya diusir dengan tuduhan telah main gila dengan laki-laki luar, padahal mereka bertigalah yang memaksa serta mempermainkan saya".
"Keparat jahanam!!" The Sun memaki, akan tetapi tiba-tiba mukanya merah sekali dan dia termenung.

Teringatlah ketika dia masih dalam keadaan jaya dahulu, entah berapa banyak wanita yang dia permainkan tanpa mempedulikan akibatnya. Heran sekali. Biasanya mendengar cerita semacam ini baginya malah terasa lucu sekali, dan biasanya mungkin dia akan mentertawakan wanita yang mengalami nasib demikian.

Akan tetapi mengapa sekarang, di depan wanita ini, timbul rasa kasihan dan marah? Apakah ini kemarahan karena dia tidak senang mendengar orang melakukan perbuatan jahat dan sewenang-wenang, ataukah kemarahan ini timbul justru karena wanita inilah yang dipermainkan? The Sun tidak tahu, pendeknya waktu itu dia marah sekali terhadap mereka yang telah mempermainkan wanita itu.

"Kemudian bagaimana, Nona? Teruskan…"
"Saya diusir dari rumah mereka tanpa diberi apa-apa dan diancam akan dipukuli sampai mati kalau tidak lekas pergi. Dengan hati remuk saya terpaksa pergi dan sampai di rumah tua ini karena tiada lain tempat yang dapat saya datangi. Tak lama kemudian datanglah Kang Moh ini..."

la memandang ke arah mayat itu dan bergidik ngeri. "Dia ini juga orangnya keluarga Lee, dan tadinya saya kira dia menyusul dengan pesan dan maksud baik dari mereka. Tidak tahunya Kang Moh hendak melakukan perbuatan keji dan melanggar susila. Baiknya kau datang menolong, In-kong... akan tetapi setelah In-kong menolong saya, apa artinya bagi saya? Keadaan saya masih belum lagi terlepas dari penderitaan, saya tak punya sanak keluarga, tiada handai taulan, tak ada sahabat. Ke mana saya harus pergi? Bagaimana saya dapat hidup?" Kembali ia menangis sesenggukan.

The Sun bangkit berdiri. Dalam sinar matanya tampak api yang penuh ancaman. "Nona, di mana tempat tinggal keluarga Lee itu? Katakan di mana mereka itu, akan saya paksa mereka menerimamu kembali dan mengawinimu sebagaimana mestinya."

"Percuma, In-kong. Mereka tak akan mau dan harap In-kong jangan memandang rendah mereka. Mereka itu orang-orang kejam dan ganas, pandai main silat dan di dalam dusun ini selain terkenal sebagai keluarga terkaya, mempunyai tanah yang luas, juga terkenal sebagai jagoan-jagoannya. Tiga orang itu ditakuti semua orang di dusun. Jangan-jangan kau akan dipukuli, In-kong, dan kalau hal ini terjadi, ahh, aku akan menyesal karena kau tertimpa mala petaka oleh karena aku."

The Sun tertawa. "Anjing-anjing itu mampu memukul saya? Ha-ha-ha-ha, Nona, boleh mereka coba! Kau tunggu saja di sini sebentar, Nona. Aku tanggung bahwa mereka akan menerimamu secara baik-baik atau mampus, karena hanya itulah pilihan mereka. Nah, di sebelah mana rumah mereka?"

Nona itu menuding ke arah timur. "Rumah mereka mudah dikenal, rumah paling besar, merupakan gedung tembok dan di depannya terdapat banyak gentong-gentong tempat gandum. Mereka siap menerima hasil panen dan gentong-gentong itu sudah dijajarkan di pekarangan depan."

"Nona, kau tunggu saja sebentar di sini, aku akan segera datang lagi." The Sun berkata sambil melangkah lebar menghampiri mayat Kang Moh, lalu dia mencengkeram rambut mayat itu dan menyeretnya ke luar dari dalam rumah tua.

Tentu saja orang-orang menjadi heran dan terbelalak memandang seorang lelaki muda dan tampan berjalan cepat di jalan dusun sambil menyeret tubuh Kang Moh yang sudah menjadi mayat!

Semua orang dusun mengenal siapa Kang Moh dan amat takut kepadanya, karena Kang Moh merupakan tukang pukul keluarga Lee. Siapa kira sekarang Kang Moh sudah mati dan mayatnya diseret-seret seperti bangkai anjing saja oleh seorang pemuda yang tidak mereka kenal.

Apa lagi melihat pemuda itu menuju ke rumah gedung keluarga Lee, keheranan mereka bertambah dan berbondong-bondonglah orang dusun mengikuti The Sun dari belakang. Akan tetapi, karena rasa ngeri, takut dan juga jeri akan kemarahan keluarga Lee, mereka mengikuti dari jauh dan secara setengah sembunyi.

Memang mudah mengenali gedung keluarga Lee. Di dalam pekarangan depan rumah itu terdapat banyak gentong yang masih kosong dan sebuah alat timbangan digantungkan di sudut. The Sun menyeret mayat Kang Moh ke dalam pekarangan yang masih sunyi itu, kemudian dia mengangkat mayat itu, dilemparkan ke ruangan dalam. Mayat itu melayang ke depan menubruk pintu yang segera terbuka dan menimbulkan suara hiruk-pikuk.

Terdengar pekik kaget di sebelah dalam rumah. "Kau kenapa, Kang Moh? Hei,..dia... dia mati...!”

Di dalam rumah menjadi ribut dan terdengar bentakan keras, "Siapa yang main gila di sini?!"

Lalu melompatlah sesosok bayangan orang tinggi kurus dari dalam. Ketika sudah tiba di luar dan melihat The Sun berdiri sambil bertolak pinggang di dalam pekarangan, orang itu melangkah lebar, menghampiri The Sun.

The Sun memandang dengan senyum mengejek. Orang ini umurnya kira-kira tiga puluh tahun, kelihatan kuat dan gerak-geriknya gesit, tanda bahwa dia juga mengerti ilmu silat. Teringat akan cerita nona itu, dia segera mendahului,

"Apakah kau putera keluarga Lee yang tertua?"
"Jembel busuk, kau ini siapa? Benar, aku tuanmu adalah putera sulung. Mau apa kau mencari Lee-toaya? Eh, mayat Kang Moh itu..." Orang itu ragu-ragu dan melirik ke dalam rumah.
"Tak usah bingung. Mayat itu aku yang melemparkannya ke dalam, malah akulah yang telah membunuhnya."

Orang she Lee Itu kaget setengah mati, juga marah sampai mukanya merah. "Siapa kau dan mengapa kau main gila di sini?"

"Aku The Sun, tadi kulihat anjing gila peliharaanmu itu hendak mengganggu nona yang seharusnya menjadi nyonya rumah di sini. Orang she Lee, kau dan dua orang adikmu sudah berlaku sewenang-wenang terhadap nona Ciu Kim Hoa. Sesudah kalian berbuat mengapa tidak berani bertanggung jawab? Mengapa kalian bahkan mengutus anjing gila peliharaan kalian itu untuk menggigitnya?"

Muka yang pucat itu kini berubah merah. Kemarahan putera sulung Lee ini tidak dapat dikendalikannya lagi.

"Bangsat rendah, jembel busuk, berani kau bicara begini di hadapanku? Beraninya kau mencampuri urusan kami? Setan, kau mau apa?!"

Kalau menurutkan nafsu hatinya, ingin sekali pukul The Sun membinasakan orang ini. Namun dia ingat akan Ciu Kim Hoa dan dia menahan kesabarannya.

"Orang she Lee, sekarang kau pilihlah salah satu. Pertama, kau harus menerima kembali nona Ciu, mohon ampun kepadanya, kemudian mengawininya secara sah, menyerahkan hak kepadanya sebagai nyonya rumah dan diperlakukan sebagaimana mestinya. Atau yang kedua, kau dan adik-adikmu itu boleh memilih kematian di tanganku, karena demi roh nenek moyangmu, kalau kau tidak memenuhi tuntutanku itu, aku akan membunuh kalian bertiga!"

"Keparat, kau kira aku takut akan ancamanmu yang kosong itu? Kau malah yang harus membayar hutangmu atas nyawa Kang Moh!" Orang she Lee itu lalu membentak keras dan menerjang maju, mengirim pukulan tangan kanan yang keras ke arah dada The Sun.

Melihat gerakan ini, The Sun tersenyum. Seorang ahli silat biasa saja. Kalau dia mau, sekali sodok dia akan dapat membuat nyawa orang ini melayang ke neraka. Akan tetapi dia tak mau menuruti nafsu hatinya dan hendak memperlihatkan kepandaiannya supaya orang ini kapok dan taat.

Dengan mudah dia mengelak, hanya dengan miringkan tubuh, kemudian tangan kirinya menyambar dan…

"Plak-plak!"

Kedua pipi di muka orang she Lee itu dia tampar dengan keras. Seketika kedua pipi itu menjadi bengkak dan orang itu mengusap-usap kedua pipinya sambil meringis saking nyerinya.

Namun dia membentak lagi dan menerjang makin marah, malah dibarengi teriakan keras memanggil adik-adiknya. Sebetulnya tak perlu dia berteriak karena dua orang adiknya itu setelah tadi ribut-ribut memeriksa tubuh Kang Moh, sekarang sudah berlari ke luar dan mereka marah sekali melihat betapa kakak mereka bertempur dengan seorang pemuda yang tak mereka kenal. Siapa orangnya yang berani berkelahi dengan Lee Kong, kakak mereka? Kurang ajar!

Tanpa berkata apa-apa lagi dua orang pemuda yang usianya kira-kira dua puluh empat dan dua puluh delapan tahun ini serta merta menyerbu dan mengeroyok The Sun.

"Ha-ha-ha, jadi kalian bertiga inikah putera-putera keluarga Lee? Bagus, sekarang dapat kuberi hajaran sekaligus."

Begitu ucapannya terhenti, terdengar pekik kesakitan tiga kali dan tiga orang muda itu terlempar ke belakang lantas roboh bergulingan. Baiknya The Sun hanya ingin memberi hajaran saja, maka mereka tidak terluka hebat, hanya dilemparkan dan roboh saja.

"Nah, sekarang bersumpahlah untuk menerima kembali nona Ciu serta mengawininya secara sah. Kalau kalian tidak mau, sekali lagi roboh kalian takkan mampu bangun lagi!"

Namun dasar pemuda-pemuda hartawan yang semenjak kecil sudah terlalu biasa diberi kemenangan terus, ketiga orang she Lee ini tentu saja enggan mengalah. Selama hidup mereka baru kali ini mereka mendapat pengalaman pahit seperti ini. Biasanya, jangankan merobohkan mereka, melawan pun tidak ada yang berani.

"Jembel busuk, kaulah yang akan mampus!" teriak mereka.

Seperti tiga ekor anjing galak, mereka menyerbu lagi. Sekarang malah dengan senjata di tangan. Kiranya mereka itu masing-masing selalu menyimpan sebatang pisau panjang yang tadi mereka selipkan di ikat pinggang.

Habislah kesabaran The Sun. la maklum bahwa andai kata mereka terpaksa menerima kembali Kim Hoa karena dia tekan, kiranya nona itu kelak takkan terjamin keselamatan dan kebahagiaannya hidup di tengah orang-orang semacam ini. Kasihan nona itu kalau harus menjadi keluarga mereka, tentu hanya siksa dan derita saja yang akan dia alami selama hidupnya.

Kemarahannya memuncak, apa lagi melihat berkelebatnya tiga batang pisau panjang itu, baginya seperti seekor harimau mencium darah. The Sun berseru panjang, melengking tinggi suaranya dan sangat cepat gerakannya sehingga tiba-tiba saja lenyaplah dia dari pandangan mata ketiga orang pengeroyoknya.

Jerit yang terdengar beruntun tiga kali itu sekarang amat mengerikan karena itulah jerit kematian dari tiga orang pengeroyok itu. Tahu-tahu mereka telah roboh berkelojotan dan tepat pada ulu hati mereka tertancap pisau masing-masing, sangat dalam sampai hanya tersisa gagangnya dan ujung pisau tembus sedikit di punggung! Ada pun The Sun sudah tak tampak lagi di tempat itu!

Gegerlah dusun itu. Orang-orang yang tadi menonton sambil sembunyi, sekarang keluar dari tempat persembunyian. Namun ketiga orang muda itu tak tertolong lagi, begitu pisau dicabut nyawa mereka ikut tercabut.

Tinggallah kakek dan nenek keluarga Lee yang menangis meraung-raung. Tampak juga orang-orang dusun, terutama yang wanita, menangis karena terharu. Akan tetapi banyak orang laki-laki dusun itu diam-diam tertawa, bahkan wanita-wanita itu setelah pulang ke gubuk masing-masing juga tertawa lega. Sudah terlalu banyak penderitaan lahir batin yang harus mereka alami dari tiga orang pemuda Lee itu.
cerita silat online karya kho ping hoo
The Sun sudah kembali ke dalam rumah tua. Hatinya berdebar cemas, dan dia kembali merasa heran kepada dirinya sendiri. Kenapa dia cemas dan takut kalau-kalau wanita itu sudah tidak berada lagi di situ? Mengapa dia khawatir kalau-kalau Kim Hoa membunuh diri? Bagaikan terbang dia tadi kembali ke tempat ini dan kedua kakinya gemetar ketika dia memasuki rumah tua.

Wajahnya seketika berseri ketika dia lihat Kim Hoa masih berada di situ, berdiri di sudut dengan mata selalu memandang ke luar, agaknya mengharapkan kembalinya. Memang betul dugaannya karena begitu melihat dia muncul, Kim Hoa segera berlari menghampiri.

"Bagaimana, In-kong?"

The Sun tersenyum dan hendak menggodanya. "Mereka dengan senang hati suka untuk menerimamu kembali, Nona, bahkan bersedia mengawinimu. Kau akan menjadi nyonya muda di sana, dihormati dan disegani di samping nyonya tua ibu mereka."

Tiba-tiba nona itu kembali menangis sesenggukan sambil menutupi mukanya. The Sun mengerutkan keningnya, tetapi sepasang matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum karena dia senang melihat bahwa dugaannya benar. la sudah menduga bahwa gadis itu pasti tidak suka kembali ke sana, biar pun dikawini secara sah, dijadikan nyonya rumah, karena memang watak tiga orang laki-laki itu amat buruk.

"Nona, kenapa kau menangis? Bukanlah hal itu baik sekali?"

Kim Hoa menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis, sukar baginya mengeluarkan suara karena menangis tersedu-sedu itu. Akhirnya dia mampu menguasai tangisnya dan berkata, "Tidak, In-kong... saya tidak sudi kembali ke sana. Mereka mau menerima saya dan mengawini saya hanya karena kau paksa. Kalau In-kong sudah pergi, tentu mereka akan melampiaskan kedongkolan hati kepada saya, …aahh... ngeri saya memikirkan hal itu."

”Nona, apakah kau tidak... tidak cinta kepada mereka? Kepada salah seorang di antara mereka?"
"Tidak! Tidak! Aku benci kepada mereka semua! Aku benci kepada yang muda-muda, juga benci kepada yang tua! Mereka orang-orang jahat dan keji!"

The Sun mengerutkan kening dan ragu-ragu untuk mengeluarkan pertanyaan ini, namun dipaksanya, "Maaf, Nona. Tetapi... tapi... bukankah mereka... seorang di antara mereka adalah... ayah dari anak dalam kandunganmu?"

Tiba-tiba Kim Hoa menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis dengan sedih.

"Biarkan aku mati... biarlah aku mati saja... ya Tuhan, apa dosa hamba sehingga harus menanggung derita dan hinaan seperti ini?" Nona itu mengeluh panjang dan pingsan.

The Sun berlutut, menggeleng-gelengkan kepala. "Kasihan..."

Dengan hati-hati sekali dia lalu mengurut jalan darah di leher dan punggung. Kembali dia merasa heran dan tak mengerti mengapa dadanya berdebar begitu keras ketika ujung jari tangannya menyentuh kulit leher dan punggung. Apa yang aneh dalam diri nona ini sehingga seakan-akan mempunyai besi sembrani yang menariknya amat kuat?

Kim Hoa siuman kembali, mula-mula hanya termenung memandang kosong, kemudian dia mengeluh panjang. "In-kong, pertanyaanmu tadi... bagaimana saya harus menjawab? Saya dipaksa, saya tak berdaya... saya benci mereka, saya benci diri sendiri dan saya benci anak dalam kandungan ini...”

"Hushhh, jangan bicara demikian. Anak itu tidak berdosa."
"Lebih baik aku bunuh diri, biarlah anak ini tidak sempat terlahir."
”Hushhh, tidak boleh. Kau harus hidup, hidup bahagia, juga anak itu harus lahir dalam rumah tangga bahagia."
"Bagaimana...? Apa maksudmu, In-kong... ?”

Kini The Sun tidak tersenyum lagi, wajahnya yang tampan nampak bersungguh-sungguh. Matanya menatap tajam pada saat dia membantu Kim Hoa duduk.

"Nona, aku The Sun seorang laki-laki sejati, sekali bicara tidak akan kutarik kembali. Aku juga hidup sebatang kara. Terus terang saja, saat melihat kau, hatiku timbul kasihan dan cinta. Aku cinta kepadamu dan kalau kau sudi menerima, aku bersedia menjadi suamimu dan menjadi ayah dari anak di kandunganmu. Sekarang juga, jawablah, kalau kau mau akan kubawa ke Go-bi-san di mana kita hidup berbahagia di tempat yang jauh dari dunia ramai. Kalau kau tidak mau, terpaksa aku harus meninggalkanmu dan kau boleh pilih apa yang baik untukmu, aku tidak berhak mencampuri lagi."

Dapat dibayangkan betapa sukar keadaan Kim Hoa di saat itu. la belum mengenal The Sun, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa di dunia ini ada orang seperti ini, yang tampan, gagah perkasa dan aneh. la tahu bahwa ia harus dapat menjawab sekarang juga, tanpa ragu-ragu.

Terang bahwa pemuda ini berbeda dengan keluarga Lee, berbeda dengan pamannya, berbeda dengan ayahnya dulu. Pemuda ini tampan dan memiliki kepandaian luar biasa. Hidup di sampingnya berarti hidup aman tenteram, terbebas dari gangguan orang-orang jahat. Sebaliknya apa bila ia menolak, jalan satu-satunya hanya membunuh diri. la ngeri kalau memikirkan ini.

"Bagaimana, Nona?" The Sun mendesak.
"Aduh, In-kong, bagaimana saya harus menjawab? Saya seorang wanita... bagaimana... ahhh..."

The Sun mengangguk senang. Keadaan lahir nona ini sudah dia lihat, dan dia sangat tertarik dan suka akan kecantikannya. Keadaan batinnya belum dia ketahui, akan tetapi melihat sikap gadis ini, dia pun dapat menduga bahwa Kim Hoa berperasaan halus dan bersusila tinggi. Hanya karena nasibnya yang buruk, tidak mempunyai andalan di dunia ini, maka dia terjerumus ke dalam jurang kesengsaraan seperti itu.

"Aku tahu betapa sukarnya bagimu untuk menjawab, Nona. Sekarang jawablah dengan anggukan saja. Jika kau mengangguk, berarti kau sudi menerima tawaranku untuk hidup berdua. Apa bila kau menggeleng kepala, aku akan pergi sekarang juga dan tidak akan mengganggumu lebih lama lagi."

Dengan air mata bercucuran saking terharu dan merasa bahagia karena baru sekarang selama hidupnya ia mendapatkan orang yang begini memperhatikan nasibnya, Kim Hoa menganggukkan kepalanya sampai berulang-ulang!

The Sun tertawa bergelak, menubruk maju dan di lain saat Kim Hoa sudah dipondongnya dan dibawa lari ke luar rumah tua. Kim Hoa kaget sekali, apa lagi merasa betapa ia bagai dibawa terbang. Ngeri hatinya. Sedetik ia curiga. Manusiakah atau bukan pemuda ini?

Bagaimana bisa terbang kalau manusia? Akan tetapi ia menyerahkan diri kepada orang ini, yang dekapannya begitu kokoh kuat, begitu sentosa. la meramkan mata dan merasa aman. Desir angin yang mengaung di kedua telinganya makin lama makin merdu seperti dendang yang menina-bobokkannya

Sesudah bertemu dengan Ciu Kim Hoa, The Sun benar-benar sudah berubah menjadi seorang manusia lain. Dia merasa hidupnya tenteram dan penuh damai, tidak bernafsu untuk merantau lagi. Kakek gurunya, yaitu Hek Lojin yang sudah buntung lengan kirinya, menerimanya dengan girang. The Sun bersama Kim Hoa yang ia aku sebagai isterinya, selanjutnya tinggal di puncak Go-bi-san ini bersama Hek Lojin.

Beberapa bulan kemudian Kim Hoa melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan sehat. The Sun menerima kehadiran anak ini dengan gembira dan bahagia, dengan tulus menganggapnya sebagai anak sendiri. Anak itu diberi nama Siu Bi dan diberi nama keturunan The.

Juga Hek Lojin amat sayang kepada bayi ini, sehingga dalam masa tuanya kakek itu pun merasakan kebahagiaan. Memang, kebahagiaan dapat dinikmati dalam hal apa pun juga, dalam soal-soal sederhana, asalkan orang dapat mengenalnya.

Yang paling berbahagia adalah Kim Hoa. Dia bahagia, juga sangat terharu akan sikap suaminya yang benar-benar menganggap Siu Bi seperti anak keturunannya sendiri. Dia sangat kagum akan kebijaksanaan suaminya dan bagi Kim Hoa, manusia yang paling mulia di dunia adalah suaminya, The Sun!

Memang ganjil dunia ini. Banyak sekali orang menganggap The Sun sebagai seorang manusia jahat, keji, pendeknya bukan manusia baik-baik. Akan tetapi coba tanya Kim Hoa, apakah bagi dia ada manusia yang lebih mulia dari pada The Sun? Kelihatannya saja ganjil dan aneh. Keganjilan yang tidak aneh, atau keanehan yang tidak ganjil bagi yang mau memperhatikan.

Hidup manusia dikuasai seluruhnya oleh egoisme (ke-akuan). Maka tidak mengherankan apa bila pandangan orang terhadap orang lain juga terbungkus sifat ke-akuan ini. Orang lain yang menguntungkan dirinya, tentu dipandang sebagai orang baik, sebaliknya orang lain yang merugikan dirinya, tentu dipandang sebagai orang tidak baik.

Dalam hal ini, keuntungan atau kerugian diartikan luas dan mengenai lahir batin. Sifat ke-akuan yang sudah menyelubungi seluruh kehidupan manusia ini sudah menjadi satu dengan kehidupan itu sendiri sehingga sifat ini dianggap umum. Siapa menyeleweng dari sifat ini, dialah yang dianggap tidak umum, malah dianggap tidak normal! Inilah dunia dan manusianya, panggung sandiwara dengan manusia sebagai badut-badutnya.

Dengan The Sun sebagai ayah dan Hek Lojin sebagai kakek guru, tentu saja semenjak kecil Siu Bi sudah digembleng dengan ilmu silat. Hek Lojin bahkan mengajarnya dengan sungguh-sungguh, sedangkan ayahnya, The Sun, adalah seorang ahli dalam ilmu surat. Oleh karena itu, semenjak kecil Siu Bi menerima gemblengan ilmu surat dan ilmu silat, malah oleh ibunya juga dilatih dalam ilmu kewanitaan, memasak dan menyulam.

Maka, biar pun anak ini hidup di puncak gunung, tidak pernah melihat kota besar kecuali dusun-dusun di sekitar pegunungan, akan tetapi ia menerima pendidikan anak kota, tidak hanya pandai bermain pedang, berlatih ginkang, lweekang dan memelihara sinkang di dalam tubuh, tetapi juga tidak asing akan tata cara dan sopan santun, pandai menulis sanjak, juga tahu akan sejarah, pandai meniup suling dan dapat pula mengganti pedang dengan jarum halus untuk menyulam!

Siu Bi menjadi seorang gadis cantik, secantik ibunya. Rasa kecintaan yang dicurahkan kepadanya oleh ayah, ibu, dan kakeknya, membuat ia menjadi seorang gadis manja dan nakal. Segala keinginannya selalu dituruti dan karenanya gadis ini tak biasa menghadapi penolakan terhadap keinginannya. Apa yang ia kehendaki harus dituruti dan dipenuhi!

Dalam hal ilmu silat, dia sudah mewarisi semua kepandaian ayahnya, bahkan Hek Lojin tidak tanggung-tanggung menurunkan ilmunya yang paling hebat, yaitu ilmu tongkat yang diubah menjadi ilmu pedang untuk disesuaikan dengan gadis itu.

"Ilmu ini kuberi nama Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengejar Roh), cucuku. Jangankan orang lain, bahkan ayahmu sendiri tidak pernah kuwarisi ilmu pedang yang tadinya adalah ilmu tongkatku ini."
"Kongkong, apakah ilmu pedang ini tidak ada tandingannya lagi di dunia ini? Ibu bilang bahwa ayah adalah seorang yang sakti, malah katanya di dunia ini jarang ada yang bisa melawan. Kongkong sebagai gurunya tentu merupakan jago utama di dunia ini, karena itu aku ingin kau beri ilmu yang nomor satu di dunia, agar jangan ada orang lain dapat mengalahkan aku.”
"Ha-ha-ha-ha, kau cerdik… kau sangat pintar." Dengan tangan kanannya, kakek hitam itu mengelus-elus hidungnya. "Mari kau datang ke kamarku, jangan sampai ketahuan ayah ibumu dan aku akan menurunkan ilmu yang paling hebat ini kepadamu."

Siu Bi yang sekarang sudah berusia enam belas tahun itu berjingkrak kegirangan, lalu menggandeng tangan kanan kakeknya dan menyeret orang tua itu ke dalam kamar Hek Lojin yang lebar dan gelap.

"Nah, sekarang kau harus berlutut dan bersumpah, baru aku akan menurunkan Cui-beng Kiam-hoat."
"Bersumpah segala apa perlunya, Kongkong? Apakah kau tidak rela menurunkan ilmu itu kepadaku?" Siu Bi mulai merengek manja.
"Hisss, anak bodoh. Mempelajari ilmu ini ada syaratnya, dan kalau kau mau bersumpah untuk memenuhi syarat itu, kelak baru aku mau menurunkannya dan mati pun aku akan meram." Kakek itu menghela nafas panjang.
"Lho, kau susah, Kek? Ada apakah? Bilang saja, cucumu akan dapat menolongmu." Siu Bi menyombong.
"Kau lihat lengan kiriku ini?" Kakek itu menggerakkan sisa lengan kirinya yang buntung sebatas siku. Tentu saja Siu Bi yang sudah melihatnya sejak kecil tidak merasa ngeri dan sudah biasa.
"Bukankah dahulu kau bilang karena kecelakaan maka lenganmu buntung, Kek? Ataukah ada cerita lain?"

Siu Bi memang cerdik sekali orangnya, jalan pikirannya cepat dan mungkin karena hidup di tempat sunyi dan dekat dengan seorang sakti aneh seperti Hek Lojin, sedikit banyak wataknya juga terbawa aneh. Gadis ini tidak pernah memperlihatkan perasaan terharu. Perasaannya kuat dan tidak mudah terpengaruh.

"Memang akibat kecelakaan, akan tetapi kecelakaan yang dibuat oleh orang lain. Lengan kiriku buntung oleh seorang musuhku yang bernama Kwa Kun Hong, berjuluk Pendekar Buta."
"Buta? Dia buta...? Wah, mana bisa hal ini terjadi? Aku tidak percaya, Kek. Kau bohong!"

Hek Lojin menarik nafas panjang. Ucapan cucunya yang manja dan telah biasa bersikap kasar terhadapnya itu pada saat lain tentu akan membuat dia terkekeh geli, akan tetapi saat itu dia menerimanya seperti sebuah tusukan pada jantungnya.

Memang sungguh memalukan sekali. Dia, tokoh besar Go-bi-san yang namanya sudah sejajar dengan tokoh-tokoh kelas satu di dunia persilatan, menjadi buntung lengan kirinya menghadapi seorang lawan yang buta, dan masih muda lagi!

"Aku tidak bodoh, dan memang dia itu buta kedua matanya, tapi amat lihai."
"Bagaimana kau bisa kalah, Kek? Bukankah kau orang terpandai di kolong langit?"
"Pada waktu itu, delapan belas tahun yang lalu, aku belum lagi menciptakan Cui-beng Kiam-hoat, ilmuku masih merupakan ilmu tongkat yang liar. Juga aku belum menciptakan Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang juga hendak kuajarkan kepadamu sebagai imbangan dari Cui-beng Kiam-hoat."
"Sekarang kau sudah mempunyai kedua ilmu itu, mengapa tidak mencari dia dan balas membuntungi lengannya?"

Karena sejak kecil berada di puncak Go-bi dan tidak pernah menyaksikan sepak terjang Hek Lojin terhadap orang lain, hanya sehari-hari menyaksikan sikap kakek itu terhadap dirinya amat baik dan mencinta, tentu saja Siu Bi juga menganggap kakek ini orang yang amat mulia dan baik hatinya.

Kembali Hek Lojin menarik nafas panjang, tampak berduka sekali. "Aku sudah makin tua, usiaku sudah delapan puluh lebih, sudah lemah, tenaga sudah hampir habis, mana bisa membalas dendam? Musuhku itu sekarang paling banyak setua ayahmu, bahkan masih lebih muda lagi, sedang kuat-kuatnya. Selain itu, dengan hanya sebuah lengan, mana aku dapat menang?

Untuk melawan ilmu pedangnya, dengan pedang yang bersembunyi dalam tongkat, dan menghadapi ilmu pukulannya yang mengeluarkan uap putih, harus memainkan Cui-beng Kiam-hoat dan sekaligus tangan kiri memainkan Hek-in-kang. Bagiku tiada harapan lagi, harus kutelan kekalahan dan penghinaan ini dan aku akan mati dengan mata terbelalak kalau tidak ada orang yang dapat membalaskan dendamku."

"Hemmm, kalau begitu, engkau mau menurunkan kedua ilmu itu kepadaku dengan syarat bahwa aku harus membalaskan dendammu terhadap Pendekar Buta itu, Kek?"

Dengan lengan kanannya, Hek Lojin memeluk pundak cucunya. "Siu Bi, kau benar-benar menggembirakan hatiku. Kau cerdik, kau pintar, kau tahu akan isi hatiku. Benar, cucuku, kau bersumpahlah bahwa kelak kau akan membalaskan hinaan terhadap diriku ini pada Pendekar Buta, dan sekarang juga aku akan wariskan kedua ilmu itu kepadamu."

"Kongkong, tanpa hadiah apa pun juga, sudah menjadi kewajibanku untuk membalaskan sakit hatimu. Terlalu sekali Pendekar Buta itu. Sudah buta matanya, buta pula hatinya, menghina orang sesukanya. Lengan orang dibuntungi, hemmm, padahal kau seorang tua yang baik dan tidak berdosa, apa dikiranya dia seorang saja yang paling pandai di dunia ini? Jangan khawatir, Kek, aku bersumpah, kelak kalau ada kesempatan tentu aku akan membuntungi lengan kirinya, persis seperti yang telah dia lakukan kepadamu."

"Orang hutang harus ada bunganya, Siu Bi. Keenakan dia kalau hanya dibuntungi lengan kirinya seperti aku, harus ada tebusan bagi penderitaanku belasan tahun ini. Tidak hanya dia, juga kalau dia mempunyai anak, semua anaknya harus kau buntungi pula lengan kirinya."
"Bapaknya jahat anaknya pun tentu jahat. Baik, Kek, akan kutaati permintaanmu itu."

Bukan main girangnya hati Hek Lojin dan semenjak hari itu dia menurunkan Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang kalau dimainkan dengan sempurna, dari tangan si pemain akan keluar uap kehitaman yang mengandung racun.

Tanpa ia sadari, gadis yang bersih itu kini dikotori oleh ilmu silat yang mengandung ilmu hitam. Tidak ini saja, malah di dalam hatinya sudah ditanamkan bibit permusuhan yang hanya dapat dipuaskan dengan aliran darah dan buntungnya lengan entah berapa orang banyaknya!

Tidak mudah mewarisi dua macam ilmu itu. Meski pun Siu Bi sudah mempunyai dasar yang kuat, namun untuk memahami dua buah ilmu itu ia harus berlatih sampai setahun lebih lamanya!

Bukan main cepatnya kemajuan gadis Itu setelah ia mewarisi dua macam ilmu silat ini dari kakeknya. The Sun sama sekali tidak tahu akan hal ini, karena kakek dan gadis itu tidak memberi tahu kepadanya. Memang keduanya merahasiakan hal ini, bahkan The Sun sama sekali tidak mengira bahwa kakek itu telah menciptakan ilmu silat yang begitu hebat dan dahsyat.

Pada suatu senja, secara iseng-iseng ayah ini mengintai kamar anaknya, karena dia merasa heran mengapa sekarang sore-sore gadis itu sudah masuk ke kamar sehabis makan sore. Alangkah herannya saat dia melihat gadis itu berjungkir balik di atas tempat tidurnya, kepala di atas kasur dan kedua kaki lurus ke atas, kemudian kedua tangannya bergerak-gerak aneh.

Yang amat mengagetkan hatinya adalah cara gadis itu berlatih pernafasan. Mengapa secara berjungkir seperti itu.....?
Diam-diam dia merasa heran, akan tetapi dia tidak mau mengganggu, hanya mengintai terus sampai jauh malam. Ketika menjelang tengah malam anaknya itu melompat keluar jendela secara diam-diam dan pergi ke pekarangan belakang, The Sun terus mengikuti dengan hati tidak enak.

Dia melihat anaknya itu mencabut pedang dan bersilat di bawah sinar bulan purnama. Bukan main hebatnya. The Sun sampai melongo ketika menyaksikan betapa pedang itu bergulung-gulung mengeluarkan hawa dingin dengan sinar menghitam. Kemudian makin terkejut dia ketika tangan kiri anaknya itu diputar-putar dan digerakkan sedemikian rupa sehingga mengeluarkan uap berwarna hitam pula!

Tiba-tiba muncul bayangan hitam yang dikenal oleh The Sun biar pun keadaan remang-remang, karena orang ini bukan lain adalah Hek Lojin. Kakek itu keluar sambil tertawa bergelak.

"Bagus, bagus! Kau malah lebih hebat dari pada aku sepuluh tahun yang lalu. Cucuku yang pintar, cucuku yang manis, engkaulah yang akan membikin aku dapat mati meram. Sekarang tinggal aku menagih janji, kau harus memenuhi janji dan sumpahmu."
"Di mana adanya Pendekar Buta itu, Kek?"
"Ha-ha-ha, dia manusia sombong itu berdiam di puncak Liong-thouw-san. Dia sebetulnya putera ketua Hoa-san-pai. Kau cari dia di Liong-thouw-san, apa bila tidak ada, susul dia ke Hoa-san-pai, buntungi lengannya dan lengan isterinya, juga lengan semua anaknya. Ha-ha-ha, aku akan mati meram."

Tiba-tiba The Sun melompat ke luar, bulu tengkuknya berdiri. "Suhu (guru)! Siu Bi! Apa artinya ini semua? Dari mana kau mendapatkan ilmu setan itu?"
"Ayah, ilmu warisan Kongkong bagai-mana kau berani menyebutnya ilmu setan?"

The Sun makin tercengang, lalu memandang kakek itu yang diam saja. "Suhu, benarkah Suhu yang mewariskan kedua ilmu itu?"

"Hemmm, memang benar. Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-hoat adalah perubahan dari ilmu tongkat hitamku dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang itu adalah inti sari semua Iweekang yang kupelajari. Dua ilmu ini diperlukan untuk menghadapi kepandaian Kun Hong si manusia buta."
"Suhu!" The Sun berseru keras, kemudian berpaling kepada Siu Bi sambil membentak keras. "Hayo kau kembali ke kamarmu!" Bentakan ini ketus dan marah.

Siu Bi selama hidupnya belum pernah dibentak seperti ini oleh ayahnya, maka dia terisak menangis sambil berlari masuk ke kamarnya! Akan tetapi, gadis yang sangat cerdik ini tentu saja tidak merasa puas kalau harus menangis begitu saja.

la merasa sangat penasaran dan diam-diam ia mempergunakan ginkang-nya yang tinggi untuk keluar lagi dari dalam kamarnya, lalu berindap-indap mengintai dan mendengarkan percakapan antara kakeknya dan ayahnya. Dan apa yang dia dengar malam itu baginya merupakan tusukan-tusukan pedang beracun yang berkesan hebat dan menggores amat dalam di kalbunya.

"Suhu," dia mendengar ayahnya mencela, "Bagaimanakah Suhu mempunyai niat yang begitu berbahaya? Mengapa Siu Bi Suhu bawa-bawa, Suhu seret ke dalam gelombang permusuhan pribadi? Teecu menyesal sekali, karena menurut pendapat teecu (murid), permusuhan dengan Pendekar Buta bukan merupakan permusuhan pribadi, akan tetapi permusuhan karena negara. Teecu tidak suka dia diseret ke dalam permusuhan Suhu itu, malah teecu mempunyai keinginan untuk menjodohkan dia dengan seorang di antara para ksatria dari Hoa-san-pai atau Thai-san-pai, supaya keturunan teecu kelak menjadi orang-orang gagah perkasa yang terhormat dan membuat nama besar di dunia."

"Huh, The Sun. Kau sekarang mau pura-pura menjadi orang alim? Apa kau tidak melihat lenganku yang buntung ini? Apakah sakit hati ini harus kita diamkan saja ? Bukankah ini berarti merendahkan nama besar Go-bi-san? The Sun, ke mana kegagahanmu? Mana baktimu terhadap guru? Ahhh, dia lebih gagah dari pada kau, lebih setia dan berbakti!"

"Suhu, terang bahwa Pendekar Buta bukan musuh teecu. Andai kata teecu tidak yakin betul bahwa teecu tak akan mampu menandinginya, tentu teecu sudah lama mencarinya untuk diajak bertanding. Apa bila memang Suhu demikian menaruh dendam kepadanya, mengapa tidak Suhu sendiri turun gunung, mencarinya dan menantangnya? Masa gadis remaja seperti dia disuruh turun gunung? Teecu tidak setuju dan tidak boleh!" Suara The Sun mengeras.

"Hemmm, kau murid durhaka Aku sudah begini tua, bagaimana dapat membalas dendam sendiri? Apa artinya aku punya murid? Apa artinya menurunkan kepandaian? Kau sendiri kalau dahulu tidak lekas-lekas kubawa lari, apakah juga tidak akan mampus di tangan Pendekar Buta? Sekarang, Siu Bi suka membalaskan dendam, mengapa kau ribut-ribut? Kalau kau sendiri tidak becus membalas budi guru, biarlah dia yang pergi. Kau tidak mau ya sudah, tapi dia mau, perlu apa kau ribut lagi?"

"Tapi dia puteriku, Suhu. Dia anak tunggal... seorang gadis lagi...!"
"Siapa bilang dia puterimu? Ha-ha-ha, dia bukan anakmu!"
"Suhu...!!!"
"Ha-ha-ho-ho-ho, kau kira Hek Lojin sudah pikun dan bermata buta? Ha-ha-ha, The Sun, tentu saja aku tahu. Tetapi aku tidak akan membuka mulut kepada siapa pun juga, asal kau membiarkan dia membalaskan dendam terhadap Pendekar Buta."

"Tidak! Tidak boleh...! Suhu, jangan suruh dia!"
"Ha-ha-ha, dia telah bersumpah, tak mungkin menjilat ludah sendiri, tak mungkin seorang keturunan jago Go-bi mengingkari janji."
"Teecu akan melarangnya!" teriak The Sun, kemarahannya memuncak.
"Aku akan memaksanya, mengingatkan dia akan sumpahnya!" Hek Lojin bersikeras.
"Kau... kau jahat...!" The Sun lupa diri dan menerjang kakek itu.

Hek Lojin cepat-cepat menangkis, akan tetapi karena dia sudah amat tua, sudah hampir sembilan puluh tahun usianya, tangkisannya kurang kuat dan gerakannya kurang cepat.

"Bukkk... bukkk!" Dua kali dadanya terpukul oleh The Sun dan dia terguling roboh.
"Ayahhh...!" Siu Bi meloncat dan berlari menghampiri.

Sebutan ayah tadi tercekik di tenggorokannya karena ia teringat akan kata-kata Hek Lojin bahwa dia bukan anak The Sun! Akan tetapi pada saat itu ia tidak peduli dan menubruk Hek Lojin yang rebah terlentang.

Kakek itu terengah-engah, memandang pada Siu Bi dengan mata mendelik, kemudian... nyawanya melayang, nafasnya putus. Dia tewas dalam pelukan Siu Bi, tetapi matanya tetap mendelik memandang gadis itu.

"Kongkong...!" Siu Bi menangis dan memeluki kakek itu yang mencintanya semenjak ia masih kecil. Di dekat telinga kakek yang sudah mati itu ia berbisik perlahan, "Aku akan balaskan dendammu, Kek..."

Bisikan campur isak ini tidak terdengar oleh The Sun yang berdiri seperti patung dengan muka pucat. Akan tetapi anehnya, kedua mata yang mendelik dari kakek itu tiba-tiba kini tertutup rapat setelah Siu Bi berbisik. Hal ini terlihat oleh Siu Bi, di bawah sinar bulan. la terharu dan menangis lagi, menggerung-gerung.

The Sun menyesal bukan main, namun penyesalan yang sudah terlambat. Betapa pun juga, hatinya lega karena rahasia tentang Siu Bi yang entah bagaimana sudah diketahui oleh Hek Lojin itu, sekarang tertutup rapat-rapat. Sama sekali dia tidak menduga bahwa Siu Bi telah mendengarkan percakapan tadi!

Setelah jenazah Hek Lojin dikubur, pada malam harinya, secara diam-diam Siu Bi telah minggat tanpa pamit, meninggalkan puncak Go-bi-san! Ketika itulah The Sun baru sadar bahwa ternyata anaknya sudah tahu akan rahasia dirinya.

Tentu saja hal ini membuat The Sun hancur hatinya, dan lebih-lebih ibu Siu Bi sangat berduka sehingga berkali-kali ia jatuh pingsan. The Sun menghibur isterinya dengan janji bahwa mereka juga akan turun gunung setelah masa berkabung habis, untuk mencari anak mereka yang tercinta itu.

Suasana bahagia di puncak ini seketika berubah menjadi penuh kedukaan. Siapa kira, kehidupan yang tadinya serba bahagia itu dapat sekaligus hancur berantakan. Memang begitulah keadaan hidup di dunia ini…..
********************

Kita tinggalkan dahulu keluarga di puncak Go-bi-san yang sedang dicekam kedukaan itu dan mari kita menengok Pendekar Buta, orang yang menjadi sebab timbulnya peristiwa menyedihkan di puncak Go-bi-san.

Para pembaca cerita ‘Pendekar Buta’ tentunya tahu siapakah pendekar yang cacat ini, seorang tuna netra (buta) yang memiliki ilmu kepandaian dahsyat sehingga orang sakti seperti Hek Lojin dapat dibuntungi lengan kirinya.

Pendekar Buta adalah putera dari ketua Hoa-san-pai yang sekarang sudah sangat tua dan disebut Kwa Lojin. Ada pun Pendekar Buta sendiri bernama Kwa Kun Hong. Seperti telah diceritakan dalam cerita ‘Pendekar Buta’ yang ramai, setelah selesai pertempuran dan perang saudara antara Pangeran Kian Bun Ti dan pamannya, Raja Muda Yung Lo di mana Pendekar Buta membela Raja Muda Yung Lo sehingga mencapai kemenangan, Pendekar Buta lalu menikah dengan Kwee Hui Kauw, yaitu seorang gadis perkasa puteri Kwee-taijin yang semenjak kecil diculik oleh Ching-toanio dan dididik ilmu silat di Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau).

Setelah menikah, Kun Hong beserta isterinya mendiami puncak Liong-thouw-san, puncak gunung di mana dahulu dia menerima warisan ilmu dari seorang sakti bernama Bu Beng Cu, ditemani oleh seekor burung rajawali berbulu emas. Yang ikut ke Liong-thouw-san bersama suami isteri ini adalah seorang anak laki-laki berusia enam tahun yang menjadi muridnya. Siapakah anak laki-laki ini?

Dalam cerita ‘Pendekar Buta’ sudah dituturkan dengan jelas bahwa anak laki-laki yang menjadi murid Kun Hong ini adalah Yo Wan atau biasanya dipanggil A Wan. Dia anak keluarga petani sederhana, ayahnya tewas disiksa kaki tangan tuan tanah di dusunnya, sedangkan ibunya mati membunuh diri setelah membiarkan dirinya diperkosa oleh The Sun dalam usahanya menolong keselamatan Kun Hong yang ketika itu terluka di dalam rumahnya. Karena pertolongan yang mengorbankan kehormatan dan nyawa inilah maka Kun Hong merasa berhutang budi kepada ibu Yo Wan dan dia lalu membawa anak yatim piatu ini sebagai muridnya.

Yo Wan seorang anak yang sangat cerdik. Dengan tekun dia mempelajari semua ilmu yang diturunkan oleh Kun Hong kepadanya dan setiap hari anak ini tidak mau bersikap malas. Ia rajin sekali melayani segala keperluan gurunya dan ibu gurunya.

Mencari kayu bakar, mengambil air dari sungai, membersihkan pondok, malah kelebihan waktu dia pergunakan untuk menanam sayur mayur serta memeliharanya. Juga segala keperluan Kun Hong dan isterinya jika membutuhkan sesuatu ke bawah gunung, dialah yang turun dari puncak dan pergi ke dusun-dusun. Pendeknya, Yo Wan sangat rajin dan patuh sehingga tidaklah mengherankan apa bila Kun Hong dan isterinya Hui Kauw, amat mencinta anak itu.

Dua tahun setelah menikah, Hui Kauw pun mengandung. Kun Hong yang amat mencinta isterinya merasa khawatir. Dia sendiri adalah seorang buta. Sungguh pun dia ahli dalam hal pengobatan, namun belum pernah dia menolong wanita melahirkan dan tidak pernah pula dia mempelajari dalam kitab pengobatan.

Tempat tinggal mereka di puncak Liong-thouw-san yang tersembunyi dan jauh dari para tetangga. Bagaimana kalau sudah tiba saatnya isterinya melahirkan?

"Sebaiknya kita pindah dulu saja ke Hoa-san, isteriku," kata Kun Hong setelah isterinya mengandung tiga bulan lamanya.

Hui Kauw mengerutkan alisnya yang kecil melengkung panjang dan hitam. Di dalam hati ia merasa tidak setuju. Ia cukup maklum akan bahayanya hidup berdekatan dan tinggal bersama sanak keluarga. Betapa mudahnya terjadi bentrokan. Gedung besar orang lain kadang kala merupakan neraka, sebaliknya gubuk kecil milik sendiri adalah sorga, apa lagi di dekatnya ada suami yang tercinta. Akan tetapi, ia maklum pula bahwa suaminya mengusulkan hal ini karena mengingat akan kepentingan dan keselamatannya.

"Suamiku, perlukah kita pindah sejauh itu? Kurasa, kalau sudah sampai saatnya kita bisa minta bantuan seorang nenek dari dusun di bawah.” la mencoba untuk membantah.

Kun Hong memegang tangannya, mesra. "Hui Kauw, alangkah akan gelisahnya hati kita kalau saat itu tiba dan di sini tidak ada orang lain kecuali kau, aku, A Wan, dan seorang nenek pembantu. Sebaliknya, hati kita akan besar dan tenang, apa lagi kau melahirkan di tengah-tengah keluargaku, keluarga besar Hoa-san-pai, di mana terdapat banyak paman dan bibi yang lebih berpengalaman, juga dekat dengan orang tua. Selain itu, kita harus memikirkan juga pertumbuhan anak kita kelak. Tentu kau tidak ingin anak kita tumbuh besar di tempat sunyi seperti ini. Aku ingin anak kita hidup bahagia, gembira setiap hari dan disayang oleh banyak orang."

Hui Kauw amat mencinta suaminya, juga amat taat. Karena itu ia tidak mau membantah. Akan tetapi ketika teringat akan A Wan ia bertanya,

”Bagaimana dengan A Wan?"
"Tentu saja dia ikut! Mana bisa kita tinggalkan dia di sini seorang diri?"

Di dalam hatinya, Hui Kauw mengkhawatirkan keadaan murid itu. Dia cukup mengenal watak A Wan setelah anak itu tinggal di sana selama dua tahun. Anak itu pendiam dan taat, akan tetapi mempunyai watak yang amat halus. Belum tentu anak itu akan merasai kebahagiaan di Hoa-san-pai, karena merasa bahwa dia menumpang pada gurunya, dan sekarang gurunya sendiri akan menumpang di tempat orang lain.

"Apakah dia suka?” tanyanya ragu-ragu.
"Ha-ha-ha, isteriku, kenapa tidak akan suka? Coba panggil dia ke sini."

A Wan segera datang berlari ketika mendengar suara guru dan ibu gurunya memanggil. Anak ini meski pun usianya baru delapan tahun lebih, namun tubuhnya tegap dan kuat, berkat kerja setiap hari di sawah ladang. la cekatan sekali, wajahnya lebar dan terang, matanya memiliki sinar mata yang sayu tetapi kadang-kadang mengeluarkan sinar yang tajam. Dengan amat hormat anak ini menghadap suhu-nya.

"A Wan, kau bersiaplah. Kita akan pindah ke Hoa-san-pai, ke rumah kakek gurumu, ayahku yang menjadi ketua Hoa-san-pai," kata Kun Hong singkat.

Berubah wajah A Wan dan hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Hui Kauw.

"Bagaimana, A Wan? Kenapa kau diam saja?"

Sedih hati A Wan. la merasa bahagia hidup di Liong-thouw-san. la merasa bahwa tempat itu merupakan tempat tinggalnya dan dia amat sayang kepada tempat yang sunyi itu. la merasa bahagia dapat melayani kedua orang itu yang dia anggap sebagai pengganti orang tuanya, bahagia dapat belajar ilmu silat dari orang yang sejak dahulu dia anggap sebagai bintang penolongnya. Tapi sekarang, gurunya mengajak dia pindah dan gurunya akan mondok di rumah orang lain!

"Suhu... tempat ini... siapa yang akan mengurusnya? Kalau kita semua pergi... tempat ini tentu akan rusak..,.." Suaranya agak gemetar.

Kun Hong menarik nafas panjang. la pun tahu bahwa meski pun usianya masih kecil, namun A Wan sudah mempunyai pandangan yang jauh dan penuh pengertian, maka tak boleh dia diperlakukan sebagai anak kecil.

“A Wan, kau harus tahu bahwa ibu gurumu membutuhkan bantuan sanak keluarga kalau adikmu lahir. Untuk sementara tempat ini kita tinggalkan, kelak kita tentu dapat datang menengok."

Wajah A Wan berubah gembira. "Suhu, kalau begitu, biarlah teecu (murid) tinggal di sini merawat tempat ini. Kelak kalau Suhu dan Subo (Ibu Guru) kembali ke sini, tempat ini masih dalam keadaan baik. Lagi pula, tanpa adanya teecu yang mengganggu perjalanan, Suhu dan Subo akan dapat melakukan perjalanan yang lebih cepat."

Anak yang berpemandangan jauh, pikir Kun Hong kagum. Memang dengan adanya A Wan, mereka berdua takkan dapat mempergunakan ilmu lari cepat tanpa menggendong anak itu.

"Tetapi, mungkin kami akan lama di sana, entah kapan dapat kembali kesini." katanya meragu.
"Setahun dua tahun bukan apa-apa, Suhu. Teecu dapat menjaga diri sendiri dan juga merawat tempat ini. Sayur-mayur cukup, sebagian dapat teecu tukar gandum dan beras dengan penduduk di bawah. Kelak kalau Suhu dan Subo kembali membawa... adik yang sudah berusia setahun lebih, wah, alangkah akan senangnya...!"

Kun Hong adalah seorang yang senang mendengar kegagahan dan keberanian. Sikap muridnya ini benar-benar mengagumkan hatinya, bukan sikap seorang anak kecil yang cengeng merengek-rengek.

Biarlah dia digembleng oleh alam, merasakan hidup sendiri tanpa sandaran. Biarlah dia belajar hidup sendiri, karena hal ini akan memupuk rasa percaya pada diri sendiri. Malah sebaliknya dia ingin melihat ketekunan muridnya itu, bagaimana hasil latihan-latihannya selama dua tahun kelak tanpa pengawasan.

“Bagaimana, isteriku, apakah kau setuju dengan permintaan A Wan untuk tinggal di sini?" Kun Hong mengerti betapa isterinya amat sayang pula kepada A Wan, maka tak mau dia melewati isterinya.
"Kalau dia menghendaki demikian, kurasa baik kita setuju. Pula, memang sayang kalau tempat kita ini menjadi rusak. Kelak kita kembali ke sini dan tempat ini dalam keadaan baik. Aku setuju."

Di dalam hatinya, Hui Kauw amat kasihan kepada A Wan. Akan tetapi nyonya muda ini beranggapan bahwa kalau A Wan masih ditinggal di situ, sudah pasti suaminya kelak akan kembali ke Liong-thouw-san. Dan inilah yang ia inginkan!

Kun Hong tertawa. "Baiklah, A Wan. Kau tinggal di sini dan kau harus melatih diri dengan jurus-jurus yang sudah kuajarkan kepadamu. Latihan semedhi juga harus kau kerjakan dengan tekun. Aku ingin mendengar mengenai kemajuanmu beberapa tahun kemudian. Andai kata sudah lewat dua tahun aku tidak datang ke sini, dan kau merasa kangen, kau boleh sewaktu-waktu melakukan perjalanan ke Hoa-san-pai seorang diri menyusul kami."

"Anak sekecil ini...?" Hui Kauw mencela, kaget.

Kun Hong tertawa, "Beberapa tahun lagi dia sudah berusia belasan tahun, dan biar pun masih kecil, apa artinya melakukan perjalanan dari sini ke Hoa-san bagi seorang murid kita? Ha-ha-ha, kau tentu akan berani bukan?"

"Tentu saja, Suhu! Subo, harap jangan khawatir. Teecu mampu menjaga diri dan kalau teecu kangen dan Suhu berdua belum pulang, teecu akan menyusul ke Hoa-san!"

Demikianlah, setelah memilih hari baik, Kun Hong berdua Hui Kauw pergi meninggalkan Liong-thouw-san menuju ke Hoa-san, meninggalkan Yo Wan yang mengantar guru dan ibu gurunya sampai ke kaki gunung.

Beberapa kali Hui Kauw menoleh dan sepasang mata nyonya muda yang cantik ini berlinang air mata ketika dia melihat dari jauh tubuh Yo Wan masih berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dengan kedua tangan di belakang. Sesosok bayangan bocah yang walau pun masih kecil sudah membayangkan keteguhan hati yang luar biasa dan nyali yang besar.

Setelah suhu dan subo-nya lenyap dari pandang matanya, barulah A Wan merasa sunyi dan kosong rongga dadanya. Namun dia menekan perasaannya dan mendaki puncak Liong-thouw-san. Dahulu, puncak ini tidak mungkin dapat dinaiki orang, apa lagi orang biasa atau seorang anak kecil seperti A Wan.

Akan tetapi, semenjak Kun Hong dan isterinya bertempat tinggal di situ, suami isteri pendekar yang memiliki kesaktian ini sudah membuat jalan menuju ke puncak. Bukan jalan biasa melainkan jalan yang juga amat sukar karena harus melalui dua buah jurang lebar dan amat dalam yang mereka pasangi jembatan berupa dua buah tali besar dan kuat.

Untuk menyeberangi jembatan-jembatan istimewa di atas dua buah jurang lebar ini orang harus berjalan di atas dua utas tali ini tanpa pegangan! Hanya orang-orang yang memiliki ginkang serta nyali besar saja berani menyeberangi jembatan istimewa ini. Kemudian, setelah mendekati puncak, untuk mencapai dataran puncak itu jalan satu-satunya hanya memanjat sebuah tangga terbuat dari tali pula, tingginya seratus kaki dan amat terjal.

Tentu saja memanjat tangga ini lebih mudah karena kedua tangan dapat berpegangan, akan tetapi juga membutuhkan nyali yang cukup besar di samping syaraf membaja. Akan tetapi, bagi Yo Wan semua ini bukan apa-apa lagi, dia sudah terbiasa dengan jembatan-jembatan dan tangga ini. Semenjak berusia enam tahun dia sudah dapat menggunakan alat-alat penyeberangan itu.

Biar pun baru berlatih silat dua tahun lamanya, namun berkat bimbingan dua orang yang mempunyai kepandaian tinggi, Yo Wan sudah memperoleh kemajuan lumayan. Gerak-geriknya gesit, nafasnya panjang, daya tahan tubuhnya luar biasa dan dia sudah kuat bersemedhi sampai setengah malam lamanya. Hebat dan luar biasa bagi seorang anak laki-laki yang belum sembilan tahun usianya!

Yo Wan memang seorang anak yang berhati teguh dan memiliki ketekadan hati yang besar. Memang tadinya dia merasa kesunyian, begitu dia tiba di pondok suhu-nya dan melihat betapa tempat itu kosong, sekosong hatinya, dia terduduk di atas bangku depan pondok dan termenung.

Ketika matanya terasa panas oleh desakan air mata, dia lantas menggigit bibirnya dan menggeleng-gelengkan kepala, melawan perasaannya sendiri. Akibat gerakan kepala ini, dua titik air mata yang tadinya menempel di bulu matanya, meluncur turun melalui pipi, terus ke ujung kanan kiri bibir. Dia mengecapnya. Rasa asin air matanya membuat dia sadar.

"Heh, kenapa menangis? Cengeng! Sejak dahulu kau sudah yatim piatu, kau si jaka lola (anak laki-laki yatim piatu), hidup di dunia seorang diri, mengapa bersedih hati ditinggal suhu dan subo? Ihhh, kalau subo melihatmu, kau tentu akan ditampar!”

A Wan tertawa kepada diri sendiri, tertawa bahagia karena teringat dia betapa selama dia berada di sini, belum pernah dia dibentak Kun Hong apa lagi ditampar Hui Kauw. Kedua orang itu amat baik kepadanya.

Mereka orang-orang mulia, maka aku tidak boleh mengganggu mereka. Harus kupelihara baik-baik tempat ini, kelak bila mana mereka kembali, tempat ini tetap bersih dan terjaga! Setelah berpikir demikian, anak ini bangkit dan lari berloncatan ke ladangnya. Mukanya sudah jernih kembali dan dia tertawa-tawa melihat burung-burung terkejut beterbangan oleh loncatannya itu.

Yo Wan selalu teringat akan nasehat suhu-nya. la amat tekun berlatih ilmu silat. Karena gurunya lebih mementingkan dasar ilmu silat, maka selama ini dia tidak banyak diajarkan ilmu pukulan, lebih diutamakan pelajaran pernafasan, semedhi dan mengatur jalan darah untuk menghimpun kemurnian hawa di dalam tubuhnya. Juga ilmu meringankan tubuh diajarkan lebih dahulu oleh subo-nya, karena hal ini amat perlu baginya untuk naik turun puncak.

Sebelum turun gunung suhu-nya mengajarkan ilmu langkah yang terdiri dari empat puluh satu langkah. Langkah-langkah ini merupakan perubahan-perubahan dalam kuda-kuda yang jika dilatih terus-menerus, selain dapat mempertinggi kegesitan dan memperkokoh kedudukan, juga dapat memperkuat tubuh, terutama kedua kaki.

Suhu-nya hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini dapat dilatih terus-menerus sampai belasan tahun, makin terlatih semakin baik dan kelak akan hebat kegunaannya. Kun Hong hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini diberi nama Si-cap-it Sin-po (Empat puluh Satu Langkah Sakti).

Tentu saja Yo Wan sama sekali tidak pernah mimpi bahwa langkah-langkah ini adalah langkah-langkah ajaib yang gerakan-gerakannya mencakup seluruh inti sari dari gerakan ilmu silat karena biar pun jurusnya hanya empat puluh satu, tetapi kalau dijalankan dan susunan jurusnya diubah-ubah, merupakan gerak jurus yang tak terhitung banyaknya!

Dua tahun sudah Yo Wan hidup seorang diri di puncak Liong-thouw-san. Tekun bekerja dan berlatih. Setiap hari dia mengharap-harapkan kedatangan suhu dan subo-nya, tetapi pengharapannya sia-sia belaka.

Setelah lewat tiga tahun, belum juga kedua orang yang dikasihinya itu pulang. Ingin dia menyusul ke Hoa-san karena sudah amat kangen, akan tetapi dia takut kalau-kalau dua orang itu akan menganggapnya kurang setia menanti.

Dia menanti terus, empat tahun, lima tahun! Waktu berjalan sangat pesatnya, tanpa dia rasakan, lima tahun sudah dia hidup menyendiri di tempat sunyi itu. Dan kedua orang yang dinanti-nantinya belum juga pulang!

"Sudah sangat lama aku menunggu, mengapa mereka belum juga pulang?" Yo Wan termenung duduk di atas bangku depan pondok. Bukan bangku lima tahun yang lalu.

Sudah ada lima kali dia mengganti bangku itu dengan bangku baru buatannya sendiri. Sudah penuh tiang pondok itu dengan guratan-guratannya. Setiap bulan purnama dia tentu menggurat di tiang. Tadi dihitungnya guratan-guratannya itu, sudah lebih dari enam puluh gurat!

"Besok aku menyusul ke Hoa-san," demikian dia mengambil keputusan karena sudah tidak kuat menanggung rindunya lagi.

Malam itu dia sibuk menambal pakaiannya yang robek-robek. Selama lima tahun ini, dia dapat mencari ganti pakaian ke dusun di bawah gunung dengan jalan menukarkan hasil ladangnya berupa sayur-sayuran segar yang tak mungkin bisa tumbuh di bawah puncak. Dasar watak Yo Wan sangat polos, jujur dan tidak serakah, dia hanya memilih pakaian sekedarnya saja, bersahaja asal kuat. Yang membuat dia kesal menanti lebih lama lagi, sesungguhnya adalah kalau dia teringat akan pelajaran ilmu silatnya.

Enam puluh bulan lebih dia ditinggal gurunya, hanya ditinggali ilmu langkah yang sudah dia latih tiap hari sampai dia menjadi bosan. Padahal dia bercita-cita untuk mempelajari ilmu silat tinggi dari suhu-nya karena dia masih ingat betul akan musuh besarnya, musuh besar yang menyebabkan kematian ibunya yang tercinta, The Sun! Muka orang ini masih selalu terbayang di depan matanya.

Dia mendengar dari gurunya bahwa The Sun mempunyai kepandaian yang amat tinggi. Sekarang dia hanya diberi pelajaran langkah-langkah yang aneh, bagaimana mungkin dia dapat membalas kematian ibunya pada musuh besar yang lihai itu kalau dia hanya pandai melangkah? la ingin menyusul untuk mohon diberi pelajaran ilmu silat berikutnya, untuk menjadi bekal mencari musuh besar yang sudah menyebabkan kematian ibunya yang mengerikan itu.

Masih terbayang di depan matanya betapa pada saat dia masih kecil, dia melihat ibunya menggantung diri, dengan susah payah dia tolong, akan tetapi ibunya tak tertolong lagi. Masih bergema di telinganya akan pesan ibunya, agar supaya dia memenuhi dua buah permintaan ibunya, dua buah tugas yang selama hidupnya pelaksanaannya harus dia usahakan, yaitu pertama membalas budi kebaikan Kwa Kun Hong Pendekar Buta, kedua membalas dendam kepada The Sun!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Yo Wan telah menutup pintu depan pondok dan berjalan ke luar halaman. Pada punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian dan dia pun melangkah lebar menuju ke jurang di mana terdapat tangga tali itu. Sebelum kakinya melangkah ke tangga, dia memandang sekeliling seakan-akan merasa kasihan kepada puncak yang akan ditinggalkan.

Tiga batang pohon cemara di depan pondok itu kini sudah besar, dia yang menanam semenjak suhu dan subo-nya pergi. Tadinya dia ingin sekali melihat suhu dan subo-nya memuji dan girang melihat tiga batang pohon yang indah itu, bahkan dia sudah memberi ‘nama’ pada tiga batang pohon itu, yaitu nama suhu-nya, nama subo-nya dan namanya sendiri!

Setelah menarik nafas panjang, Yo Wan kemudian melangkah dan menuruni tangga tali dengan kecepatan yang amat luar biasa, seakan-akan dia melorot saja tanpa melangkah turun. Setibanya di bawah, dia berlari-lari menuju ke jembatan pertama yang melintasi sebuah jurang lebar.

Tiba-tiba dia mendengar suara aneh sekali, suara mendesis-desis keras bercampur aduk dengan suara melengking tinggi. Suara itu datang dari seberang jurang pertama. Cepat dia lalu meloncat ke atas tambang dan berlari-lari menyeberang.

Melihat bocah tiga belas tahun ini menyeberang dan jalan di atas tambang, benar-benar membuat orang terheran-heran dan ngeri. Jurang itu dalamnya tidak dapat diukur lagi. Tambang itu sama sekali tak bergerak ketika dia berlari di atasnya, dan hebatnya, anak ini berlari seenaknya saja, sama sekali tidak melihat ke bawah lagi seakan-akan kedua kakinya sudah terlalu hafal dan dapat menginjak dengan tepat.

Setelah meloncat di atas tanah seberang, Yo Wan dapat melihat apa yang menimbulkan suara aneh itu. Kiranya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebat dan aneh.

Seorang di antaranya, yang berdesis-desis, adalah seorang lelaki yang tinggi kurus dan kulitnya hitam. Rambutnya yang keriting itu terbungkus sorban kuning, telinganya pakai anting-anting hitam, juga pada dua pergelangan memakai sepasang gelang hitam yang tampak ketika tangannya bergerak dan keluar dari lengan baju yang lebar.

Orang asing yang aneh bukan main. Usianya kurang lebih lima puluh tahun. Tangannya memegang cambuk kecil panjang dan agaknya cambuk inilah yang menimbulkan suara mendesis-desis aneh itu ketika digerakkan berputar-putar di udara.

Di depan orang bersorban ini tampak seorang kakek yang sudah tua sekali, kakek yang agak bongkok, yang kadang-kadang terkekeh dan kadang-kadang mengeluarkan suara melengking tinggi rendah menggetarkan lembah dan jurang. Kakek tua ini pun bergerak-gerak, tetapi tidak bersenjata, melainkan tubuhnya yang bergerak-gerak dengan tangan menuding dan menampar ke depan.

Yo Wan berdiri bengong. Walau pun dia murid seorang sakti seperti Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta, tapi selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan orang bertanding. Apa lagi kalau yang bertempur itu dua orang tingkat tinggi yang mempergunakan cara bertempur yang begini aneh, seperti dua orang badut sedang berlagak di panggung saja. la masih menduga-duga, apakah yang dilakukan oleh dua orang itu, karena biar pun dia menduga mereka sedang bertempur, namun dia masih ragu-ragu.

Tiba-tiba pandang matanya kabur dan cepat dia menutup telinganya yang terasa perih ketika lengking itu semakin meninggi dan desis semakin nyaring. Matanya dibuka lebar, namun tetap saja dia tidak dapat mengikuti gerakan mereka yang kini menjadi semakin cepat. Beberapa menit kemudian, gerakan dua orang aneh itu begitu cepatnya sehingga tubuh mereka lenyap dari pandangan mata Yo Wan yang hanya dapat melihat gulungan sinar yang berkelebatan.

Tiba-tiba sinar itu seperti pecah, gulungan sinar lenyap dan dia melihat kedua orang itu rebah telentang, terpisahkan jarak antara sepuluh meter. Keduanya terengah-engah dan terdengar mereka merintih perlahan.

"Bhewakala, kau hebat sekali..." Kakek tua itu berseru sambil ketawa terkekeh di antara rintihannya.
"Sin-eng-cu (Garuda Sakti), kau tua-tua merica, makin tua makin kuat...," terdengar orang asing bersorban itu pun memuji dengan suara terengah-engah dan nada suaranya kaku dan lucu.

Melihat kedua orang itu tak dapat bangun kembali, Yo Wan mengerti bahwa keduanya terluka. Dia cepat berlari menghampiri, keluar dari tempat persembunyiannya karena tadi dia mengintai dari balik batu gunung yang besar.

Tentu saja dia mengenal kakek itu. Sin-eng-cu Lui Bok, paman guru dari suhu-nya, yang dahulu membawa dirinya ke puncak Liong-thouw-san dan yang kemudian pergi merantau membawa kim-tiauw (rajawali emas) bersamanya.

"Susiok-couw... (Kakek Paman Guru)!" serunya sambil meloncat mendekati.

Akan tetapi Sin-eng-cu Lui Bok sudah tidak bergerak-gerak lagi, bahkan nafasnya sudah empas empis, tinggal satu-satu saja. Yo Wan kaget dan bingung, diguncang-guncangnya tubuh kakek itu, namun tetap tidak dapat menyadarkannya.

Alangkah kagetnya pada saat dia mengguncang-guncang ini, dia melihat muka kakek itu agak biru dan tubuh bagian depan, dari leher sampai ke perut, terluka dengan guratan memanjang yang menghancurkan pakaiannya. Selagi dia dalam keadaan bingung sekali, dia mendengar di belakangnya suara orang mengaduh-aduh.

Cepat dia bangkit dan membalik. Dilihatnya orang itu pun sedang mengerang kesakitan. Suaranya begitu mendatangkan rasa iba, maka tanpa ragu-ragu lagi Yo Wan lalu cepat menghampirinya dan berlutut di dekatnya.

Orang itu bermuka hitam. Matanya lebar, dilihat dari jauh tadi amat menakutkan, tetapi setelah dekat, sepasang mata yang agak biru itu ternyata mengandung sinar yang amat menyenangkan.

Tanpa diminta, Yo Wan kemudian membantu orang itu bangkit dan duduk. Terpaksa dia merangkul pundak orang asing ini karena begitu dilepas segera akan terguling kembali. Dia begitu lemas. Orang asing itu mengedip-ngedipkan matanya, melirik ke arah tubuh Sin-eng-cu, lalu memandang kepada Yo Wan.

"Dia susiok-couw-mu? Jadi, kau ini murid Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta?" Suaranya amat lemah, nafasnya terengah-engah.

Agak sukar bagi Yo Wan untuk dapat menangkap arti kata-kata yang kaku dan asing itu. Namun dia seorang bocah yang cerdik, maka dapat dia merangkai kata-kata itu menjadi kalimat yang berarti.

Yo Wan mengangguk, lantas menjawab lantang, "Betul Locianpwe (Orang Tua Gagah). Kenapa Locianpwe bertempur dengan susiok-couw? Ia terluka hebat, apakah Locianpwe juga terluka?"

Sejenak orang asing itu memandang tajam. Yo Wan merasa betapa sinar mata dari mata yang kebiruan itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hatinya. 

Kemudian suara orang itu terdengar makin kaku dan agak keras, "Kau murid Kwa Kun Hong? Kau melihat kami bertempur? Mengapa kau sekarang menolongku? Mengapa kau tidak segera menolong susiok-couw-mu yang pingsan itu?"

Diberondongi pertanyaan-pertanyaan ini, Yo Wan tidak menjadi gugup, karena memang dia tidak mempunyai maksud hati yang bukan-bukan. Semua yang dia lakukan adalah suatu kewajaran, tidak dibuat-buat dan tidak mengandung maksud lain kecuali menolong. Maka tenang saja dia menjawab,

"Sudah saya lihat keadaan susiok-couw. Dia terluka dari leher ke perut, dia tak bergerak lagi, saya tidak tahu bagaimana saya harus menolongnya. Karena Locianpwe saya lihat dapat bergerak dan bicara, maka saya membantu Locianpwe sehingga nanti Locianpwe dapat membantu saya untuk menolong susiok-couw."

Sepasang mata itu masih menyorotkan sinar bengis. "Kau tadi melihat kami bertempur?"

Yo Wan mengangguk. Tangan kanannya masih merangkul pundak orang asing itu dari belakang, menjaganya agar jangan roboh terlentang.

"Jadi kau tahu bahwa aku adalah musuh susiok-couw-mu, juga musuh gurumu?"

Yo Wan menggeleng kepala, pandang matanya penuh kejujuran.

"Apa bila kami saling serang, tentu berarti kami saling bermusuhan. Mengapa kau tidak membantu susiok-couw-mu, malah menolong aku? Hayo jawab, apa maksudmu? Aku musuh susiok-couw-mu, aku datang untuk memusuhi gurumu. Nah, kau mau apa?"

Yo Wan mengerutkan kening. Orang asing ini kasar sekali, akan tetapi kekasarannya itu mungkin disebabkan bahasanya yang kaku.

"Locianpwe, saya belum tahu urusannya, bagaimana saya berani turut campur? Suhu selalu berpesan agar supaya saya menjauhkan diri dari permusuhan-permusuhan, agar supaya saya jangan lancang mencampuri urusan orang lain, dan agar saya selalu siap menolong siapa saja yang patut ditolong, tanpa memandang bulu, tanpa pamrih untuk mendapat jasa. Saya lihat susiok-couw tak bergerak lagi, dan saya tidak tahu bagaimana harus menolongnya, maka saya segera membantu Locianpwe."

Sinar mata yang mengeras sekarang menjadi lunak kembali. Kumis di atas bibir itu sedkit bergerak-gerak. "Wah, suhu-mu hebat! Kau patut menjadi muridnya. Mana dia suhu-mu? Mengapa sampai sekarang dia belum muncul?"

"Suhu tidak berada di sini, Locianpwe. Sudah lima tahun suhu pergi dari sini, ke Hoa-san. Yang berada di sini hanya saya seorang diri."

Mata yang kebiruan itu melotot, wajah itu berubah agak pucat. "Celaka benar...! Heee, Sin-eng-cu, celaka! Kwa Kun Hong tidak berada di sini!"

Yo Wan menoleh dan melihat susiok-couw-nya bergerak-gerak hendak bangkit, namun sukar sekali dan mengeluh panjang. "Maaf, Locianpwe, saya harus menolongnya."

Orang asing itu mengangguk dan sekarang dia sudah bersila, kuat duduk sendiri. Yo Wan melepas rangkulannya kemudian tergesa-gesa menghampiri Sin-eng-cu Lui Bok. Ia cepat merangkul dan membangunkannya.

Nafas kakek ini terengah-engah dan dia terkekeh senang melihat Yo Wan. "Wah, engkau kan bocah yang dulu itu? Kau masih di sini? Aku lupa lagi, siapa namamu?"

"Teecu (murid) Yo Wan, Susiok-couw..."
"Ha-ha-ha, kau terus menjadi murid Kun Hong? Selama tujuh tahun ini? Sin-eng-cu, kita akan mampus di sini. Pendekar Buta ternyata tidak berada di sini lagi."

Sin-eng-cu Lui Bok menggerakkan alisnya yang sudah putih. "Apa?" la memandang Yo Wan. "Mana gurumu?"

"Susiok-couw, suhu dan subo telah pergi semenjak lima tahun yang lalu, mereka pergi ke Hoa-san meninggalkan teecu seorang diri di sini. Tadi teecu sedang turun dari puncak untuk menyusul karena sudah terlalu lama suhu dan subo pergi."
"Lima tahun? Wah-wah, guru macam apa dia itu? Eh, Yo Wan, jadi kau hanya untuk dua tahun saja menjadi muridnya? Ha-ha-ha, kutanggung kau belum becus apa-apa. Murid Pendekar Buta yang sudah belajar tujuh tahun belum becus apa-apa. Ha-ha-ha, bukan main!" Orang asing itu mencela dan mengejek.

Namun Sin-eng-cu tidak mempedulikannya. "Yo Wan, apakah suhu-mu pernah mengajar ilmu pengobatan kepadamu selama dua tahun itu?"

Yo Wan menggeleng kepalanya dan lagi-lagi orang asing itu yang mengeluarkan suara mengejek, "Sin-eng-cu, kau sudah terlalu tua, maka menjadi pikun. Lima tahun yang lalu anak ini paling-paling baru berusia delapan tahun. Dari usia enam sampai delapan tahun, mana bisa belajar ilmu pengobatan? He, tua bangka, umurmu hampir dua kali umurku. Apakah kau takut mampus? Tidak usah takut, ada aku yang akan menemanimu ke alam halus."

Akan tetapi Sin-eng-cu sudah bersila dan diam saja, kakek ini sudah bersemedhi untuk menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh untuk mengobati lukanya. Dalam hal ini Yo Wan mengerti maka ia pun lalu mundur dan membiarkan kakek itu tanpa berani mengganggu. Pada waktu dia menoleh, orang asing yang tadinya bicara sambil bergurau itu pun sudah meramkan mata bersemedhi.

Yo Wan pernah mendengar keterangan suhu-nya bahwa dengan hawa murni di dalam tubuh yang sudah terlatih dengan semedhi, orang tidak hanya dapat memperkuat tubuh, namun juga dapat mencegah atau mengobati luka-luka sebelah dalam. Maka dia maklum bahwa dua orang aneh ini sedang mengobati luka masing-masing, karena itu dia pun lalu duduk bersila, menanti dengan sabar.

Para pembaca cerita ‘Pendekar Buta’ tentu mengenal dua orang ini. Dua orang tokoh besar yang sakti. Sin-eng-cu Lui Bok adalah orang aneh yang suka merantau, dia adalah sute (adik seperguruan) dari Bu Beng Cu, mendiang guru Kwa Kun Hong.

Tujuh tahun yang lampau dia meninggalkan puncak Liong-thouw-san ini, pergi merantau dengan burung rajawali emas menuju ke utara. Kakek yang aneh ini merantau ke bagian paling utara dari dunia, menjelajahi daerah-daerah bersalju dan di tempat itulah burung rajawali emas yang sudah sangat tua itu menemui ajalnya, tidak kuat menahan serangan salju yang dingin sekali.

Pada waktu kakek ini kembali ke Liong-thouw-san, di tempat ini dia berjumpa dengan Bhewakala. Orang asing ini adalah seorang pendeta yang sakti pula, seorang tokoh dari barat, seorang pertapa di puncak Anapurna di Pegunungan Himalaya. Ia adalah seorang pendeta bangsa Nepal yang banyak melakukan perantauan di Tiongkok.

Tujuh tahun yang lalu dia pernah bertanding melawan Kwa Kun Hong dan dikalahkan. Akan tetapi karena melihat sifat-sifat baik dari pendeta ini, Kun Hong tidak membunuhnya dan Bhewakala yang sangat kagum terhadap Kun Hong ini berniat akan belajar lagi dan kelak mencari Kun Hong untuk diajak mengadu ilmu.

Keduanya adalah orang-orang sakti yang berwatak aneh. Begitu bertemu, mereka tidak mau saling mengalah dan keduanya setuju untuk mengadu ilmu di sana. Mereka adalah orang-orang yang selain sakti, juga mempunyai pribudi yang baik. Tentu saja mereka tak bermaksud mengadu ilmu dengan taruhan nyawa.

Akan tetapi setelah bertempur dengan hebat dari tengah malam sampai pagi, belum juga ada yang kalah atau menang. Akhirnya mereka setuju untuk mengeluarkan senjata dan menggunakan pukulan-pukulan yang dapat mendatangkan luka hebat.

"Takut apa dengan luka hebat?" kata Bhewakala ketika Sin-eng-cu menolak. "Bukankah Pendekar Buta berada di sini? Kalau seorang di antara kita terluka, dia pasti akan dapat menyembuhkan."

Memang, di samping kepandaiannya yang amat tinggi, Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta juga sangat terkenal akan kepandaiannya mengobati. Dengan jaminan inilah Sin-eng-cu akhirnya menerima tantangan Bhewakala dan bertempurlah mereka dengan lebih hebat lagi karena kini Bhewakala menggunakan cambuknya yang beracun, ada pun Sin-eng-cu mempergunakan pukulan-pukulan maut.

Seperti telah diketahui akibatnya, Sin-eng-cu terluka oleh cambuk, sebaliknya Bhewakala juga terkena pukulan yang mendatangkan luka dalam hebat sekali. Keduanya rebah, tapi tidak putus asa karena mereka yakin bahwa Kun Hong akan dapat mengobati mereka. Di samping penasaran mereka merasa lega, bahwa keadaan mereka tetap seimbang, tiada yang kalah tiada yang menang!

Siapa sangka, Kun Hong tidak berada di situ! Hal ini berarti bahwa mereka akan mati, karena masing-masing cukup maklum bahwa luka yang diakibatkan oleh masing-masing pukulan itu tak mungkin dapat diobati jika tidak oleh Kun Hong yang memiliki kepandaian luar biasa dalam hal pengobatan.

Maka, seperti telah diberi komando, keduanya lalu cepat-cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menjaga supaya luka itu tidak menjalar lebih hebat. Setidaknya mereka dapat memperpanjang nyawa untuk tinggal lebih lama di dalam tubuh yang sudah terluka berat di sebelah dalam.....
Kesabaran Yo Wan mendapat ujian pada saat itu. Sudah tiga jam lebih dia bersila di situ menanti. Tiba-tiba awan tebal menyelimuti tempat itu, menjadi halimun yang amat dingin. Pakaian Yo Wan basah semua, juga pakaian dan tubuh dua orang aneh itu.

Namun, Bhewakala dan Sin-eng-cu tetap duduk bersila bagaikan patung, tidak bergerak-gerak. Berkali-kali Yo Wan merasa khawatir, jangan-jangan dua orang itu sudah menjadi mayat, pikirnya. Akan tetapi tiap kali dia menjamah tubuh mereka masih hangat, malah sekarang wajah mereka tidak segelap tadi.

Setelah lewat enam jam, matahari sudah naik tinggi dan halimun telah terusir habis. Dua orang itu membuka mata dan menarik nafas panjang. Malah keduanya saling pandang.

"Bagaimana, Sin-eng-cu?" Bhewakala bertanya sambil tertawa lebar.
"Hebat pukulan cambukmu, Bhewakala. Racun dapat kuhalau atau setidaknya kucegah untuk menjalar, akan tetapi pukulanmu merusak pusat. Karena Kun Hong tidak berada di sini, maka tamatlah sudah riwayatku sebagai seorang ahli silat. Setiap kali aku mencoba mengerahkan Iweekang untuk mengeluarkan tenaga, pusarku malah terpukul dan kalau terus kupaksa, tentu aku akan mampus. Kau hebat! Dan bagaimana denganmu?"

Bhewakala menggeleng kepala. "Kau pun luar biasa. Pukulanmu meremukkan tulang iga. Hal ini masih tidak mengapa, tetapi menggetarkan pusat pengendalian tenaga Kundalini. Karena itu, tenagaku musnah dan mungkin akan dapat kembali sesudah minum obat dan berlatih sedikitnya sepuluh tahun! Hemmm, apa artinya bagi seorang seperti aku?"

Kini keduanya merasa amat menyesal, namun sudah terlambat. Ketika mereka menoleh dan melihat bahwa Yo Wan masih bersila tak jauh dari situ, mereka tercengang.

"Kau masih berada di sini?" Sin-eng-cu bertanya kaget.

Yo Wan mengangguk dan menghampiri kakek itu.

"Ha-ha-ha, Sin-eng-cu, bocah ini hebatl Sayang bakat dan sifat begini baik tidak dipupuk oleh Pendekar Buta. Ha-ha-ha, Pendekar Buta, kali ini benar-benar kau telah buta, sudah menyia-nyiakan anak orang begini rupa. Sin-eng-cu, kau menjadi saksi, selama hidup ini aku tidak suka menerima murid, akan tetapi kali ini aku ingin sekali meninggalkan inti sari kepandaianku kepada anak ini sebelum aku mampus."

Sin-eng-cu mengangguk-anggukkan kepala. "Yo Wan, lekas kau berlutut menghaturkan terima kasih kepada Bhewakala Locianpwe, untungmu baik sekali."

Yo Wan cepat berlutut di depan Bhewakala sambil berkata, suaranya nyaring dan tetap, "Saya menghaturkan banyak terima kasih atas maksud hati yang mulia dan kasih sayang Locianpwe terhadap saya, tetapi saya tidak berani menerima menjadi murid Locianpwe karena saya adalah muridnya suhu. Bagaimana saya berani mengangkat guru lain tanpa perkenan suhu?"

"Yo Wan, hal itu tidak apa-apa, ada aku di sini yang menjadi saksi!" kata Sin-eng-cu Lui Bok.
"Ha-ha-ha, anak baik, anak baik. Ini namanya ingat budi dan setia, teguh seperti gunung karang, tidak murka dan tamak! Ehh, Yo Wan, siapakah orang tuamu?"

Yo Wan menggigit bibir, matanya dimeramkan untuk menahan keluarnya dua butir air mata. Pertanyaan yang tiba-tiba itu merupakan ujung pedang yang menusuk ulu hatinya. Sampai lama dia tidak menjawab, kemudian dia membuka mata dan berkata perlahan, "Saya yatim piatu, Locianpwe..."

Kedua orang tua itu saling pandang, diam tak bersuara. Mereka itu sudah kenyang akan pengalaman pahit getir, perasaan mereka sudah kebal. Namun, membayangkan seorang bocah yang tinggal seorang diri di tempat sunyi itu bergulung dengan mega, tak ber-ayah ibu pula, benar-benar mereka merasa kasihan.

"Yo Wan, aku pun tidak bermaksud mengambil murid kepadamu, melainkan hanya ingin meninggalkan atau mewariskan kepandaianku saja. Gurumu tentu tak akan marah."
"Mohon maaf sebesarnya, Locianpwe. Saya cukup maklum bahwa Locianpwe memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan hanya Tuhan yang tahu betapa ingin hati saya memilikinya. Akan tetapi, tanpa perkenan suhu, bagaimana saya berani menerimanya? Suhu adalah tuan penolong saya dan mendiang ibu saya, suhu adalah pengganti orang tua saya, harap Locianpwe maklum..."

Suara Yo Wan tergetar saking terharu, dan kini tak dapat tertahan lagi olehnya, dua butir air matanya tergantung pada bulu matanya. Namun cepat dia menggunakan punggung kepalan tangannya mengusap air mata itu.

Tiba-tiba Sin-eng-cu tertawa bergelak dan suaranya terdengar gembira sekali ketika dia berkata, "Hee! Bhewakala pendeta koplok (goblok)! Dia seorang bocah yang tahu akan setia dan bakti, mana dapat dibandingkan dengan kau yang meski pun bertapa puluhan tahun dan belajar segala macam filsafat, kekenyangan pengetahuan lahirnya saja tanpa berhasil menyelami dan melaksanakan isinya sedikit pun juga? Lebih baik kita lanjutkan adu ilmu. Ingat, aku tua bangka belum kalah!"
"Huh, tua bangka tak tahu diri. Apa kau kira aku pun sudah kalah? Hayo kita pergunakan tenaga terakhir untuk mencari penentuan!"

Bhewakala bangkit berdiri dengan susah payah, tapi berdirinya tidak tegak, punggungnya tiba-tiba menjadi bongkok dan dia meringis, menahan sakit. Juga Sin-eng-cu tertatih-tatih bangkit berdiri, akan tetapi dia juga tidak sanggup berdiri tegak, kedua kakinya menggigil seakan-akan tubuh atasnya terlalu berat bagi tubuh bawahnya.

Yo Wan bingung dan gugup bukan main. "Susiok-couw... Locianpwe... ji-wi (Kalian) telah terluka hebat, bagaimana mau bertempur lagi? Harap suka saling mengalah, harap ji-wi sudahi saja pertempuran ini...!" Yo Wan berdiri di antara mereka berdua dengan sikap melerai.

"Ha-ha-ha, cucuku. Orang-orang macam kami berdua ini hanya nafsunya saja besar tapi tenaganya kurang, malah sudah habis tenaganya! Jangan khawatir, kami tidak mungkin dapat bertempur lagi, akan tetapi kami belum dapat menentukan siapa lebih unggul. He, Bhewakala, apa kau siap melanjutkan adu ilmu?"
"Boleh!" jawab Bhewakala dengan suara digagah-gagahkan. "Bila belum ada yang kalah menang, tentu penasaran dan kelak kalau sama-sama ke alam baka, tak mungkin dapat melanjutkan pertandingan."
"Bagus, kau laki-laki sejati, seperti juga aku! Sekarang kita lanjutkan!"
"Majulah kalau kau masih kuat melangkah!" tantang Bhewakala.
"Ho-ho-ho, sombongnya si pendeta koplok! Apa kau kira aku tidak tahu bahwa kau pun tidak sanggup maju selangkah pun? Ha-ha-ha-ha, tertiup angin pun kau akan roboh. Kita melanjutkan ilmu, bukan kepalan. Ada Yo Wan di sini, apa gunanya?"

Bhewakala tersenyum lebar, matanya yang besar itu berkedip-kedip. "Ha-ha-ha, engkau benar, tua bangkotan. Di sini ada Yo Wan, biarlah anak ini yang menjadi alat pengukur tingginya ilmu."

"Yo Wan, cucuku! Kau benar sekali, jangan sudi menjadi murid pendeta koplok ini! Kalau kau tadi mau menerimanya, aku yang tidak sudi, tidak memperbolehkan. Tapi kau tentu mau menjadi alat kami untuk mengukur kepandaian, bukan? Kau harus menolong kami, kalau tidak, kami berdua tak akan dapat mati meram."

Yo Wan cepat berlutut di depan kakek itu. "Susiok-couw, tak usah diperintah, teecu tentu bersedia menolong Ji-wi. Katakanlah, apa yang harus teecu lakukan?"

Selagi Yo Wan berlutut itu, Sin-eng-cu bertukar pandang dengan Bhewakala dan saling memberi isyarat dengan kedipan mata.

"Yo Wan, lebih dulu bawa kami ke puncak. Sanggupkah kau?"
"Teecu akan mencobanya." Ia menghampiri Sin-eng-cu dan berkata, "Maaf, teecu akan menggendong Susiok-couw."

Anak ini membungkuk di depan Sin-eng-cu, jongkok membelakanginya. Sin-eng-cu tidak sungkan-sungkan pula lalu menggemblok di punggung Yo Wan yang menggendongnya. Anak ini sendiri merasa sangat heran, karena tadinya dia meragu apakah dia akan kuat menggendong kakek itu.

la terkejut dan diam-diam merasa girang sekali serta memuji kehebatan Susiok-couw ini, karena dia merasa yakin bahwa kakeknya ini tentu menggunakan ginkang tingkat tinggi sehingga dapat membuat tubuhnya menjadi demikian ringannya! Dengan langkah lebar serta gerakan cepat dia lalu menyeberangi jurang melalui dua tambang, kemudian dia memanjat tangga tali itu ke atas puncak.

"Harap Susiok-couw beristirahat di sini lebih dulu, teecu akan menggendong Bhewakala Locianpwe ke sini."
"Yo Wan, apakah suhu-mu sudah mengajarkan Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas) kepadamu?" tiba-tiba saja kakek itu bertanya kepada anak yang sudah akan lari keluar kembali dari dalam pondok itu.

Yo Wan berhenti, membalikkan tubuh dan menjawab dengan sinar mata tidak mengerti dan kepala digelengkan. Pertanyaan itu tak ada artinya bagi dirinya, tetapi mengingatkan dia akan burung rajawali emas yang dahulu pergi bersama kakek ini, maka dia cepat bertanya,

"Susiok-couw, kenapa kim-tiauw (rajawali emas) tak ikut pulang bersama Susiok-couw?"

"la sudah terlalu tua dan tidak kuat menghadapi hujan salju di utara, dia sudah mati dan kukubur dalam tumpukan salju."

Yo Wan merasa menyesal sekali sehingga untuk semenit dia diam saja termenung. Dia kemudian teringat kembali akan tugasnya.

"Teecu pergi dulu, hendak menjemput Bhewakala Locianpwe."
"Pergilah, akan tetapi kau harus waspada, siapa tahu pendeta Nepal itu di tengah jalan mencekik dan membunuhmu, ha-ha-ha!"

Yo Wan terkejut, akan tetapi hanya sejenak saja dia terpaku dan ragu-ragu, kemudian kakinya melangkah lebar dan dia sudah berlari ke luar, terus menuruni puncak itu dan menyeberangi jurang pertama. Bhewakala masih berada di situ, duduk bersila. Pendeta hitam ini tersenyum lebar ketika dia melihat Yo Wan.

"Kau sudah kembali?"

Yo Wan mengangguk, lalu membelakangi pendeta itu sambil berjongkok.

"Harap Locianpwe suka membonceng di punggung saya, tapi saya harap Locianpwe sudi menggunakan kepandaian ginkang seperti Susiok-couw tadi, kalau tidak, saya khawatir tidak akan kuat menggendong Locianpwe."

Pendeta asing itu hanya mendengus, lalu merangkul pundak bocah ini dan menggemblok di punggungnya. Yo Wan bangkit berdiri dan diam-diam dia menjadi girang dan kagum. Ternyata pendeta ini pun amat sakti, ginkang-nya hebat sehingga tubuhnya yang jauh lebih besar dan tinggi dari pada susiok-couw-nya juga terasa ringan, hanya sedikit lebih berat dari pada tubuh kakek tadi. Ia mulai melangkah maju setengah berlari ke depan.

"Yo Wan, kenapa kau mau menolong aku, seorang asing yang tidak kau kenal?" tiba-tiba pendeta Nepal itu bertanya.
"Suhu berpesan kepada saya bahwa menolong orang tak boleh melihat siapa dia, hanya harus dilihat apakah dia benar-benar membutuhkan pertolongan dan apakah kita dapat menolongnya. Locianpwe sedang terluka, perlu beristirahat, dan saya mampu membawa Locianpwe ke puncak untuk beristirahat di pondok kediaman suhu, mengapa saya tidak mau menolong Locianpwe?"

Diam-diam Bhewakala kagum, bukan saja oleh jawaban ini, juga melihat betapa bocah ini dapat menggendongnya sambil berjalan cepat dan ketika menjawab pertanyaannya, nafasnya tidak memburu, kelihatan enak saja.

Ketika ia memandang ke arah kedua kaki bocah itu, dia terkejut. Bocah itu menggunakan langkah-langkah yang luar biasa, kadang-kadang berlarian di atas tumit, kadang-kadang dengan kaki miring!

"He, kau menggunakan langkah apa ini?" tak tertahan lagi Bhewakala bertanya nyaring.

Yo Wan menjadi merah mukanya. Karena selama lima tahun itu siang malam dia berlatih langkah-langkah Si-cap-it Sin-po, maka setiap kali berlari tanpa disengaja kedua kakinya melakukan gerak langkah-langkah itu secara otomatis!

"Bukan apa-apa, Locianpwe, saya berlari biasa," jawabnya dan kedua kakinya kini berlari biasa.

Seperti juga dengan susiok-couw-nya tadi, dia hendak membawa Bhewakala ke dalam pondok, akan tetapi pendeta Nepal ini tidak mau.

"Turunkan saja aku di luar sini. Aku lebih senang duduk di luar menikmati pemandangan alam yang amat hebat dan indah ini."

Yo Wan menurunkan pendeta itu di atas bangku di depan rumah dan Bhewakala duduk bersila di situ dengan wajah berseri gembira.

"Yo Wan! Pendeta koplok itu sudah datang? Hayo, bawa aku ke luar!" terdengar teriakan Sin-eng-cu dari dalam pondok.

Yo Wan berlari masuk dan tak lama kemudian kakek tua itu sudah digendongnya keluar. Sin-eng-cu minta diturunkan di atas sebuah batu halus yang memang dahulu menjadi tempat duduknya. Dia pun bersila di atas batu ini, kurang lebih lima meter jauhnya dari bangku yang diduduki Bhewakala.

"Sin-eng-cu, cucu muridmu ini benar-benar hebat, membuat aku gembira sekali!" berkata Bhewakala.
"Betapa tidak? Kalau tidak hebat berarti dia bukan cucu muridku!" Sin-eng-cu menjawab dengan nada suara bangga.

Yo Wan menjadi heran dan merasa malu. Yang hebat adalah mereka, pikirnya, biar pun sudah terluka hebat masih mampu mengerahkan ginkang sehingga tubuh mereka begitu ringannya ketika dia membawa mereka mendaki tangga tali tadi. Kalau tidak demikian, mana mungkin dia akan kuat?

Anak ini sama sekali tidak tahu bahwa kedua orang itu sama sekali tidak menggunakan ilmu untuk membuat tubuh mereka ringan. Hal ini tidak mungkin, apa lagi mereka terluka hebat sehingga tidak mampu menggunakan ilmu-ilmu mereka yang berhubungan dengan kekuatan di dalam tubuh.

Yang membuat dia merasa ringan pada waktu menggendong mereka bukan lain adalah karena kekuatan yang terkandung di dalam tubuhnya sendiri. la telah melatih diri tujuh tahun dengan pekerjaan yang membutuhkan tenaga serta kegesitan, di samping itu dia pun dengan amat tekun berlatih semedhi dan pernafasan. Hawa murni dalam tubuhnya sudah terkumpul, maka dia dapat mengerahkan tenaga besar luar biasa yang membuat dia dapat menggendong kakek-kakek itu secara mudah!

"Yo Wan, kau tadi sudah berjanji hendak menolong kami dua orang-orang tua. Apakah kau betul-betul suka menolong?" tanya Bhewakala dengan pandang mata penuh gairah.
"Betul, Yo Wan, kau harus menolong kami melanjutkan adu ilmu sampai ada keputusan siapa yang lebih unggul."

Yo Wan membungkuk, "Susiok-couw, teecu siap menolong dan membantu, akan tetapi teecu hanya seorang anak yang bodoh, mana bisa menjadi perantara dalam adu ilmu? Bagaimana caranya?"

"Mudah saja asal kau mau menolong. He, Bhewakala pendeta hitam! Di dalam pondok ini terdapat empat buah kamar, cukup untuk kita seorang sekamar. Kita lanjutkan adu ilmu. Kau tinggallah di kamar kiri, aku di kamar kanan, biar Yo Wan di kamar lain. Kau kuberi kesempatan untuk menyerang lebih dulu. Beritahukan jurus penyeranganmu kepada Yo Wan, dan kalau dia sudah memperlihatkan jurus itu, aku akan menghadapi dengan jurus pertahananku, lalu balas menyerang dengan jurus istimewa. Dua jurus itu kuberitahukan kepada Yo Wan yang akan menyampaikannya padamu. Kau harus dapat memecahkan jurusku dan boleh balas menyerang. Siapa yang tidak dapat memecahkan sebuah jurus serangan, dia itu harus mengakui keunggulan lawan. Bagaimana?"

"Setuju! Itulah yang kukehendaki. Hayo mulai sekarang juga!"
"Yo Wan, kau mendengar perjanjian kami untuk mengadu ilmu? Maukah kau menolong, hanya menjadi perantara begitu?"

Yo Wan adalah seorang anak yang baru berusia tiga belas tahun. Apa lagi dia kurang pengalaman, semenjak kecil selalu berada di tempat sunyi mengejar ilmu dan bekerja, mana dia mampu menandingi kelihaian otak dua orang sakti ini?

Secara tidak langsung, selain dua orang itu dapat memuaskan hati mencari keunggulan dalam ilmu silat, juga mereka ingin sekali menurunkan ilmu kepandaian masing-masing kepada bocah yang sudah menaklukkan hati dan cinta kasih mereka itu.

Yo Wan malah menganggap mereka berdua adalah kakek-kakek yang lucu dan aneh. Masak ada orang melanjutkan adu ilmu seperti itu? Seperti main-main saja. Keduanya sudah terluka tetapi masih tidak mau terima, masih ingin melanjutkan terus, benar-benar gila, pikirnya.

"Kalau kau keberatan pun tidak apa," sambung Sin-eng-cu, "kami bisa merangkak turun saling menghampiri, lalu saling cekik sampai mampus di sini!" sambil berkata demikian, Sin-eng-cu mengedipkan mata kepada Bhewakala.
"Jangan kira kau akan dapat mencekik leherku, Sin-eng-cu tua bangka bangkotan. Lebih dulu jari-jariku akan menusuk dadamu sampai bolong-bolong?” Bhewakala mengancam, juga tersenyum dan mengedipkan mata pula.
"Jangan...! Harap ji-wi jangan berkelahi lagi. Baiklah, saya bersedia mentaati permintaan ji-wi, menjadi perantara. Akan tetapi saya harap ji-wi betul-betul menghentikan adu ilmu ini apa bila seorang di antara ji-wi ada yang tidak sanggup memecahkan sebuah jurus. Sekarang harap ji-wi sudi menanti sebentar, saya hendak menyediakan makanan."

Tanpa menanti jawaban mereka, Yo Wan lalu menuju ke ladang, memetik sayur-mayur, kemudian membawanya ke dapur dan memasak sayur-mayur serta ubi kentang. Pandai dia memasak setelah berlatih selama lima tahun ini, dan di situ pun tersedia lengkap pula bumbu-bumbu yang dia tukar dari penduduk dusun dengan hasil ladangnya.

Di luar, tanpa sepengetahuan Yo Wan, dua orang kakek itu berunding. Karena mereka amat suka kepada Yo Wan dan maklum pula bahwa keadaan tubuh mereka sudah cacad akibat pertandingan semalam, agaknya tak mungkin dapat tertolong lagi karena Kwa Kun Hong tidak berada di situ, maka mereka mengambil keputusan untuk menurunkan semua ilmu-ilmu mereka yang paling lihai kepada Yo Wan.

"Jangan kau terlalu bernafsu merobohkan aku," kata Sin-eng-cu, "Kita turunkan dahulu jurus-jurus yang pernah kita mainkan malam tadi sehingga masing-masing tentu sudah mengenalnya dan mampu memecahkannya. Setelah itu, barulah kita bertanding secara sungguh-sungguh, mengeluarkan jurus-jurus baru yang harus dapat dipecahkan."

Bhewakala menyetujui usul kakek bekas lawannya ini. Sesudah masakan sayur-mayur matang dan dihidangkan oleh Yo Wan, mereka bertiga makan dengan tenang dan lahap. Kemudian dua orang sakti itu minta diantar ke kamar masing-masing dan mulai hari itu juga, Yo Wan menjadi perantara pertandingan yang aneh ini.

Mula-mula dia harus menghafal dan menggerakkan sebuah jurus yang diturunkan oleh Bhewakala. Oleh karena jurus ini harus digunakan untuk menyerang, tentu saja Yo Wan diharuskan dapat memainkannya dengan baik.

Pada hari-hari pertama, amat sukar bagi anak ini untuk dapat menghafal dan memainkan jurus-jurus itu, karena jurus yang diturunkan itu adalah jurus ilmu silat tingkat tinggi yang sukarnya bukan main. Andai kata dia belum pernah diberi dasar Ilmu Si-cap-it Sin-po, yaitu langkah-langkah ajaib yang sudah mengandung inti sari dari semua jenis langkah dalam persilatan, agaknya anak ini tak mungkin sanggup melakukan gerakan jurus yang diturunkan oleh dua orang sakti ini.

Jurus pertama yang diturunkan Bhewakala baru dapat dia lakukan setelah latihan selama dua minggu! Memang amat mengherankan bagi yang tidak tahu, akan tetapi jika diingat syarat-syaratnya, memang berat. Dalam setiap gerakan pada jurus ini, imbangan tubuh harus tepat bahkan keluar masuknya nafas juga harus disesuaikan dengan setiap gerak!

Biar pun Yo Wan belum dapat menikmati dan membuktikan sendiri kegunaan ilmu silat karena selama belajar di situ belum pernah dia menggunakan ilmu silat untuk bertempur, namun mengingat sukarnya jurus ini, dia mengira bahwa Sin-eng-cu tentu akan menjadi bingung dan tidak mudah memecahkannya.

Jari tengah dan telunjuk kanan menusuk mata, kemudian diteruskan dengan siku kanan menghantam jalan darah di bawah telinga, dibarengi pukulan tangan kiri pada pusar yang disusul lutut kaki kanan menyodok arah kemaluan, akhirnya dilanjutkan tendangan kaki kanan sebagai gerak terakhir. Sebuah jurus yang ‘berisi’ lima gerak serangan berbahaya! Bhewakala menamakan jurus ini Ngo-houw Lauw-yo (Lima Harimau Mencari Kambing), sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya yang paling lihai pada saat dia bertapa di Gunung Himalaya, yaitu ilmu silat yang dinamainya Ngo-sin Hoan-kun (Ilmu Silat Lima Lingkaran Sakti).

Akan tetapi alangkah herannya ketika Sin-eng-cu menyambut jurus yang dia mainkan di depan kakek ini dengan tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Pendeta koplok! Jurus cakar bebek beginian dipamerkan di depanku? Wah, terlalu gampang untuk memecahkannya!"

Yo Wan hanya memandang dengan kagum. Diam-diam dia pun girang karena ternyata susiok-couw-nya ini tak kalah lihainya oleh Bhewakala. Sudah tentu saja dalam adu ilmu yang luar biasa ini sedikit banyak dia berpihak kepada Sin-eng-cu dan mengharapkan kemenangan bagi kakek ini, karena betapa pun juga kakek ini adalah paman guru dari suhu-nya.

"Awas, dengarkan dan lihat baik-baik gerak tanganku. Sekaligus aku akan patahkan daya serang jurus cakar bebek ini." Dengan gerak tangan dan keterangan yang lambat serta jelas Sin-eng-cu mengajarkan jurusnya.

"Menghadapi serangan seorang berilmu seperti Bhewakala, kita harus bersikap waspada dan jangan mudah terpancing oleh gerak pertama, karena semua jurus ilmu silat tinggi selalu menggunakan pancingan dan semakin tersembunyi gerak pancingan ini akan lebih baik. Gerak pertama menyerang anggota tubuh bagian atas tidak perlu dihadapi dengan perhatian sepenuhnya, akan tetapi harus dielakkan sambil menunggu munculnya gerak susulan yang merupakan gerak inti. Serangan tangan kanan ke arah mata dan leher, kita hadapi dengan merendahkan tubuh sehingga tusukan mata beserta serangan siku kanan akan lewat di atas kepala. Serangan pukulan tangan kiri pada pusar kita tangkis dengan tangan kanan dan apa bila dia berani menggunakan lututnya, kita mendahului dengan pukulan sebagai tangkisan ke arah sambungan lutut. Inilah jurusku yang menghancurkan jurus Bhewakala itu, kunamai jurus Lo-han Pai-hud (Kakek Menyembah Buddha)."

Jurus ini dilatih oleh Yo Wan dengan susah payah, apa lagi karena segera disusul jurus kedua yang merupakan serangan balasan dari Sin-eng-cu, yaitu jurus yang dinamakan Liong-thouw Coan-po (Kepala Naga Terjang Ombak). Kedua buah jurus ini merupakan jurus-jurus dari ilmu silat ciptaan kakek ini yang dia beri nama Liong-thouw-kun (ilmu Silat Kepala Naga) atau ilmu silat dari Liong-thouw-san tempat dia bertapa di bekas kediaman mendiang kakak seperguruannya, Bu Beng Cu.

Untuk dua buah jurus ini Yo Wan menggunakan waktu dua puluh hari. Ia bangga sekali terhadap kakek itu dan mengira bahwa Bhewakala tentu akan repot menghadapi ketika Liong-thouw Coan-po. Eh, kembali dia tercengang dan kecewa karena pendeta Nepal ini terkekeh-kekeh, memandang rendah sekali jurus serangan balasan Sin-eng-cu ini.

"Uwa-ha-ha-ha…! Tua bangka bangkotan itu sudah gila kalau mengira bahwa jurusnya monyet menari ini bisa menggertak aku. Lihat baik-baik jurusku yang akan memecahkan rahasianya dan sekali ini dengan jurus seranganku yang kedua, dia pasti akan mati kutu!" Kakek pendeta Nepal ini lalu mengajarkan dua buah jurus lain yang lebih sulit dan aneh lagi.

Demikianlah, setiap hari, siang malam hanya berhenti kalau mengurus keperluan mereka bertiga, makan dan tidur, Yo Wan melayani mereka berdua silih-berganti. Pada mulanya memang setiap jurus harus dia pelajari sampai hafal dan baru dapat dia mainkan setelah tekun mempelajarinya sampai beberapa hari, apa lagi jurus-jurus yang dikeluarkan kedua orang sakti itu makin lama makin sukar. Akan tetapi setelah lewat tiga bulan, dia mulai dapat melatihnya dengan lancar, dan dapat menyelesaikan setiap jurus dalam waktu satu hari saja!

Yo Wan tidak hanya harus menghafal dan dapat mainkan jurus-jurus ini untuk dimainkan di depan kedua orang sakti itu, namun karena tingkat itu makin tinggi, terpaksa dia harus menerima latihan siulian (semedhi), pernafasan serta cara menghimpun tenaga dalam tubuh.

"Tanpa mempelajari Iweekang dahulu, tak mungkin kau mainkan jurus ini," demikian kata Bhewakala.

Karena dia sudah berjanji untuk membantu kedua orang itu menjadi perantara dalam adu ilmu, terpaksa Yo Wan tak membantah dan mempelajari Iweekang yang aneh dari kakek Nepal ini. Begitu pula, dengan alasan yang sama, Sin-eng-cu juga menurunkan latihan Iweekang yang lain. Untuk latihan ini Yo Wan mengalami kelancaran karena Iweekang dari kakek ini sejalan dengan apa yang dia pelajari dari suhu-nya.

Tanpa terasa lagi, tiga tahun sudah lewat! Ngo-sin Hoan-kun (Ilmu Silat Lima Lingkaran Sakti) dari Bhewakala yang berjumlah lima puluh jurus itu sudah dia mainkan semua. Demikian pula Liong-thouw-kun dari Sin-eng-cu Lui Bok yang jumlahnya empat puluh delapan jurus.

Bukan ini saja. Dengan alasan bahwa ilmu pukulan tangan kosong tak dapat menentukan kemenangan, Bhewakala lalu menurunkan ilmu cambuk yang dapat dimainkan dengan pedang. Karena ilmu pedang ini pun berdasar pada Ngo-sin Hoan-kun, maka tidak sukar bagi Yo Wan untuk menghafal dan memainkannya. Sebagai imbangannya, Sin-eng-cu juga menurunkan ilmu pedangnya.

Pada bulan kedua dari tahun ketiga, Sin-eng-cu yang keadaannya sudah sangat payah saking tuanya dan juga karena kelemahan tubuhnya akibat pertempuran tiga tahun yang lalu, menurunkan jurus yang tadinya amat dirahasiakan.

"Yo Wan... Bhewakala memang hebat. Tapi coba kau perlihatkan jurus ini dan dia pasti akan kalah. Jurus ini dinamakan Pek-hong Ci-tiam (Bianglala Putih Keluarkan Kilat), jurus simpananku yang belum pernah kupergunakan dalam pertandingan karena amat ganas. Coba... bantu aku berdiri, jurus ini harus kumainkan sendiri, baru kau dapat menirunya. Ke sinikan pedangmu..."

Yo Wan yang tadinya berlutut menyerahkan pedangnya, pedang dari kayu cendana yang sengaja dibuat untuk perang adu ilmu itu, sambil membantu kakek yang sudah tua renta itu bangkit berdiri.

Diam-diam Yo Wan menyesal sekali mengapa kakek yang tua ini begini gemar mengadu ilmu. Selama tiga tahun ini sudah sering kali dia membujuk-bujuk kedua orang kakek itu untuk menghentikan adu ilmu, namun sia-sia belaka. Namun sebenarnya, di balik semua itu, dia pun mulai merasa senang sekali dengan pelajaran jurus-jurus itu.

"Nah, kau lihat baik-baik..."

Kakek itu menggerakkan pedang kayu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram dari atas. Memang gerakan yang amat hebat dan dahsyat. Bahkan kakek yang sudah kehabisan tenaga itu, ketika mainkan jurus tersebut kelihatan menyeramkan. Terdengar suara bercuitan dari pedang kayu dan tangan kirinya, kemudian... kakek itu roboh terguling.

"Susiok-couw...!" Yo Wan cepat menyambar tubuh kakek itu dan membantunya duduk sambil menempelkan dua telapak tangannya pada punggung kakek itu dan menyalurkan hawa murni sesuai dengan ajaran Sin-eng-cu.
"Sudah... eh, sudah baik... uh-uh-uh... tua bangka tak becus aku ini... Yo Wan, sudahkah kau dapat mengerti jurus tadi?"

Yo Wan mengangguk, dan maklum akan watak kakek ini. Seperti biasa setelah kakek itu duduk bersila, dia mengambil pedang kayu dan mainkan jurus tadi. Suara bercuitan lebih nyaring terdengar, dan kakek itu berseru gembira, tapi nafasnya terengah-engah.

"Bagus, bagus…! Nah, kalau sekali ini pendeta koplok itu sanggup memecahkan jurusku Pek-hong Ci-tiam, dia benar-benar patut kau puja sebagai gurumu!"

Dengan nafas terengah-engah kakek itu lalu melambaikan tangannya, mengusir Yo Wan keluar dari kamar itu untuk segera mendemonstrasikan jurus itu kepada lawannya.

Dengan hati sedih karena ketika meraba punggung tadi dia tahu bahwa keadaan kakek itu sangat payah, Yo Wan meninggalkan kamar, langsung memasuki kamar Bhewakala. Keadaan pendeta Nepal ini tidak lebih baik dari pada Sin-eng-cu Lui Bok. Dia pun amat payah karena selain kekuatan tubuhnya makin mundur akibat luka dalam, juga dia harus mengerahkan tenaga dan pikiran setiap hari untuk mengajar Yo Wan.

Ketika Yo Wan memasuki kamarnya dan mainkan jurus Pek-hong Ci-tiam, dia terkejut sekali. Sampai lama dia bengong saja, menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengeluh.

"Hebat... Sin-eng-cu Lui Bok hendak mengadu nyawa..."

Akan tetapi selanjutnya dia termenung. Dua tangannya bergerak-gerak menirukan gerak jurus itu, bicara perlahan seorang diri, mengerutkan kening dan akhirnya menggelengkan kepala seakan-akan pemecahannya tidak tepat. la memberi isyarat dengan tangan agar Yo Wan keluar dari kamarnya. Pemuda ini lalu mengundurkan diri dan masuk ke kamar sendiri karena waktu itu malam sudah agak larut.

Menjelang fajar, Yo Wan kaget mendengar suara Bhewakala memanggil namanya. la bangun dan cepat menuju ke kamar pendeta itu. Pintu kamarnya terbuka dan pendeta itu duduk di atas pembaringan. Cepat dia maju menghampiri.

"Yo Wan, jurus Sin-eng-cu ini hebat! Aku tidak dapat menangkis atau mengelaknya...," katanya dengan suara lesu.

Diam-diam Yo Wan menjadi girang. Akhirnya Sin-eng-cu yang menang, seperti yang dia harapkan. "Kalau begitu, Locianpwe menyerah...," katanya perlahan.

Mata yang lebar itu melotot. "Siapa yang menyerah? Karena Sin-eng-cu ingin mengadu nyawa, apa kau kira aku tidak berani? Jurus itu memang tidak dapat kutangkis atau pun kuhindarkan, akan tetapi dapat kuhadapi dengan jurusku yang istimewa pula. Mungkin aku akan mati oleh jurusnya, tapi dia pun pasti mampus bila melanjutkan serangannya. Kau lihat baik-baik!"

Bhewakala kemudian mengajar Yo Wan sebuah jurus sebagai imbangan dari Pek-hong Ci-tiam. Kemudian pendeta itu menyuruh Yo Wan memainkan cambuk dengan jurus itu. Hebat bukan main jurus ini. Cambuk itu melingkar-lingkar di udara kemudian melejit ke empat penjuru dengan suara nyaring sekali.

"Tar-tar-tar-tar!" Terjangan cambuk ini diiringi gempuran tangan kiri yang penuh dengan tenaga dalam ke arah pusar lawan.
"Cukup! Lekas kau perlihatkan kepada Sin-eng-cu," kata Bhewakala setelah dia merasa puas dengan gerakan Yo Wan.

Pemuda ini keluar dari kamar Bhewakala dan memasuki kamar Sin-eng-cu. Waktu itu matahari telah naik agak tinggi, akan tetapi lampu di dalam kamar kakek ini masih saja menyala.

"Susiok-couw, Locianpwe Bhewakala tidak dapat memecahkan Pek-hong Ci-tiam, akan tetapi menghadapi jurus itu dengan jurus serangan pula, seperti ini," kata Yo Wan sambil memainkan cambuk yang memang sengaja dibawanya ke dalam kamar itu. Cambuknya melejit-lejit dan tangan kirinya mengeluarkan angin yang mematikan lampu di atas meja ketika dia mainkan jurus itu.

Akan tetapi setelah dia berhenti mainkan jurus ini, Sin-eng-cu tidak memberi komentar apa-apa. Kakek itu tetap duduk bersila dengan tangan kanan terkepal di atas pangkuan, telentang, serta tangan kiri diangkat ke depan dada, jari-jari tengah terbuka dan telapak tangan menghadap keluar.

"Susiok-couw, bagaimana sekarang...?" Yo Wan menegur lagi sambil maju mendekat dan berlutut.
"Susiok-couw...!" la berseru agak keras sambil berdongak memandang.

Kakek itu masih duduk bersila dengan mata meram. Ketika Yo Wan melihat sikap yang tidak wajar ini, berubah air mukanya. Dirabanya kepalan tangan kanan di atas pangkuan itu dan dia menarik kembali tangannya. Kepalan itu dingin sekali. Dirabanya lagi nadi, tidak ada denyutan. Kakeknya itu seperti orang tidur tanpa bernafas.

"Susiok-couw...!"

Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. "Dia sudah mati. Ahhh, Sin-eng-cu, kau benar-benar hebat. Dengan jurus terakhir itu kau telah mengalahkan aku. Aku mengaku kalah!"

Yo Wan menoleh dengan sangat heran. Bhewakala sudah berdiri di situ dan walau pun kelihatannya masih amat lemah, kiranya pendeta ini sudah dapat berjalan dengan ringan sehingga dia tidak mendengar kedatangannya.

Akan tetapi Yo Wan segera menghadapi Sin-eng-cu lagi, berlutut sambil memberi hormat sebagaimana layaknya dan berkata, "Harap Susiok-couw sudi mengampuni teecu yang tidak bisa menolong Susiok-couw yang terluka sehingga hari ini Susiok-couw meninggal dunia." la tidak dapat menangis karena memang dia tidak ingin menangis.

"Yo Wan, orang selihai dia mana bisa mati hanya karena luka pukulanku? Seperti juga pukulannya, mana bisa membikin mati aku? Kami berdua hanya terluka yang akibatnya melenyapkan tenaga dalam karena pusat pengerahan sinkang di tubuh kami rusak akibat pukulan. Tanpa pukulanku, hari ini dia akan mati juga, kematian wajar dari usia tua."

Bhewakala maju menghampiri kakek yang masih duduk bersila itu, lalu tiba-tiba pendeta Nepal ini memeluknya.

"Sin-eng-cu, tua bangka... terima kasih. Belum pernah selama hidup aku merasa begitu senang dan gembira seperti selama tiga tahun kita mengadu ilmu ini. Kau sangat hebat, sahabatku, kau hebat. Jurusmu terakhir tak dapat kupecahkan, biarlah sisa hidupku akan dapat kupergunakan untuk memecahkan jurus itu agar kelak kalau kita bertemu kembali, dapat kumainkan di depanmu..."

Pendeta ini lalu membaringkan tubuh Sin-eng-cu. Tangan dan kaki kakek itu sudah kaku, namun begitu disentuh Bhewakala pada jalan darah dan sambungan-sambungan tulang yang membeku itu, bagian-bagian tubuh kakek itu segera lemas kembali sehingga dapat ditelentangkan. Kemudian pendeta hitam ini berpaling kepada Yo Wan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak heran. Memang pendeta hitam ini seorang yang aneh dan luar biasa, pikirnya.

“Yo Wan, kau adalah murid Pendekar Buta, akan tetapi tidak pernah menerima warisan ilmu silatnya kecuali pelajaran langkah-langkah yang tak ada artinya dalam menghadapi lawan. Kau bukan murid kami, namun kau sudah mewarisi inti sari dari ilmu silat kami berdua. Memang lucu. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dalam hatiku, aku menganggap kau sebagai murid tunggalku dan selalu menanti kunjunganmu ke Anapurna di Himalaya. Selamat tinggal, muridku."

Setelah berkata demikian, Bhewakala berjalan ke luar dari pondok itu. Wajahnya muram seakan-akan kegembiraannya lenyap bersama nyawa Sin-eng-cu.

Yo Wan tiba-tiba merasa dirinya sangat kesunyian. Yang seorang menjadi mayat, yang seorang lagi sudah pergi. Kembali dia hidup seorang diri di tempat sunyi itu. Namun dia segera dapat menguasai perasaannya. la bukan kanak-kanak lagi.

Ketika suhu dan subo-nya pergi, delapan tahun yang lalu, dia baru berusia delapan tahun lebih. Sekarang dia sudah menjadi seorang pemuda, enam belas tahun usianya seperti dikatakan oleh Sin-eng-cu beberapa hari yang lalu. Tadinya dia sendiri tidak tahu berapa usianya kalau saja bukan Sin-eng-cu yang menghitungnya.

Seorang jejaka, Jaka Lola. Tidak hanya yatim piatu, akan tetapi juga tiada sanak-kadang. Di dunia ini hanya ada suhu serta subo-nya, akan tetapi kedua orang itu sudah pergi meninggalkannya sampai delapan tahun tanpa berita.

Dengan hati berat Yo Wan mengubur jenazah Sin-eng-cu di belakang pondok. la tidak tahu bagaimana harus menghias kuburan ini, maka dia lalu mengangkuti batu-batu besar yang dia taruh berjajar di sekeliling kuburan. la masih belum sadar bahwa kini dia dapat mengangkat batu-batu yang demikian besarnya, tidak tahu pula bahwa setiap batu yang diangkatnya dengan ringan itu sedikitnya ada seribu kati beratnya!

"Aku harus pergi menyusul suhu dan subo ke Hoa-san." Inilah pikiran yang pertama-tama memasuki kepalanya.

Teringat akan niatnya pergi menyusul ke Hoa-san tiga tahun yang lalu, dia kini merasa menyesal sekali. Mengapa dia dahulu tidak jadi menyusul? Kalau tiga tahun yang lalu dia sudah pergi ke Hoa-san, tentu saat ini dia sudah berada bersama suhu dan subo-nya.

Akan tetapi, dia teringat lagi betapa dua orang kakek yang mengadu ilmu itu membuat dia betah, malah selama tiga tahun ini dia tidak merasa rindu kepada suhu dan subo-nya. Juga membuat dia tak pernah meninggalkan puncak karena dua orang itu melarangnya. Biar pun bumbu-bumbu habis, mereka tidak membolehkan dia turun puncak, dan sebagai pengganti bumbu-bumbu itu, Bhewakala menyuruh dia mengambil bermacam-macam daun di puncak yang ternyata dapat mengganti bumbu dapur.

Dengan pakaian penuh tambalan Yo Wan turun dari puncak. Cambuk Bhewakala yang ditinggalkan oleh pendeta itu digulungnya melingkari pinggangnya, tersembunyi di balik bajunya yang penuh tambalan dan tidak karuan potongannya. Juga pedang kayu buatan Sin-eng-cu yang dipakainya untuk bermain jurus di depan Bhewakala, dia bawa pula, dia selipkan di balik ikat pinggang.

Berangkatlah Yo Wan si Jaka Lola meninggalkan puncak Liong-thouw-san, berangkat dengan hati lapang dan penuh harapan untuk segera bertemu kembali dengan dua orang yang amat dikasihi, yaitu suhu dan subo-nya. la tidak sadar sama sekali, betapa dirinya telah mengalami perubahan hebat berkat latihan Iweekang menurut ajaran Sin-eng-cu dan Bhewakala, betapa dirinya selain mempunyai tenaga sinkang yang hebat juga sudah memiliki berbagai ilmu silat tingkat tinggi yang tidak mudah didapat orang!

Ketika penduduk sekitar kaki gunung yang sudah mengenalnya melihat Yo Wan, mereka segera menegur dan mempersilakan dia singgah. Mereka menyatakan rasa penyesalan mengapa pemuda itu selama tiga tahun ini bersembunyi saja. Malah yang mempunyai kelebihan pakaian segera memberi beberapa buah celana dan baju kepada Yo Wan ketika dilihatnya betapa pakaian pemuda ini penuh tambalan.

Yo Wan, menerima dengan penuh syukur dan terima kasih. Ia sendiri tak ingin suhu dan subo-nya marah dan malu melihat dia berpakaian seperti jembel. Segera dia menukar pakaiannya dan kini biar pun pakaiannya sederhana dan terbuat dari kain kasar, tetapi cukup rapi dan tidak robek, juga tidak ada tambalan menghiasnya…..

********************
Selanjutnya baca
JAKA LOLA : JILID-02
LihatTutupKomentar