Jaka Lola Jilid 04


Pada saat tersadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya dalam keadaan terikat kaki tangannya serta rebah di atas pembaringan dalam perahu, Siu Bi menjadi marah dan mendongkol sekali. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak merasakan sesuatu, juga tidak menderita luka. Akan tetapi ketika ia mencoba untuk mengerahkan tenaga melepaskan diri dari belenggu, ia mendapat kenyataan bahwa tali-tali yang mengikat kaki tangannya amatlah kuat, tak mungkin diputus mempergunakan tenaga.

la mengeluh dan mulailah ia menyesal. Kenapa ia melarikan diri meninggalkan Yo Wan? Kalau ada Yo Wan di dekatnya, tak mungkin ia sampai mengalami bencana seperti ini. Lebih menyesal lagi ia mengapa pedangnya, Cui-beng-kiam, ia tinggalkan di depan kaki Yo Wan. Kalau perginya membawa senjatanya yang ampuh itu lebih baik lagi. Kalau ia tidak bertanding melawan Yo Wan, kalau... kalau... ahh, tidak akan ada habisnya hal-hal yang sudah terlanjur dan sudah lalu disesalkan. Sesal kemudian tiada guna.

Perahu itu dengan cepatnya meluncur sepanjang Sungai Fen-ho, sampai masuk Sungai Kuning di selatan. Kemudian membelok ke timur melalui Sungai Kuning yang lebar dan diam.

Selama beberapa hari melakukan perjalanan melalui air ini, Siu Bi tetap dalam belenggu. Akan tetapi gadis ini tidak diganggu dan karena mengharapkan sewaktu-waktu mendapat kesempatan membebaskan diri, Siu Bi tidak menolak suguhan makan minum yang setiap hari diberi oleh dua orang penawannya. la harus menjaga kesehatannya dan memelihara tenaga agar dapat dipergunakan sewaktu ada kesempatan.

Perjalanan dilanjutkan melalui darat. Kedua orang itu dengan mudah mendapatkan tiga ekor kuda dari kawan-kawan mereka yang memang banyak terdapat di sekitar daerah itu, merajalela dan boleh dibilang menguasai keadaan di sebelah selatan dan barat dan kota raja.

Akhirnya mereka menyeberang telaga dan mendarat di Pulau Ching-coa-to di tengah telaga. Pulau ini sekarang berubah keadaannya jika dibandingkan belasan tahun yang lalu. Setelah Ang-hwa-pai berdiri dan pulau ini dijadikan pusat, pulau ini dibangun dan dari jauh saja sudah tampak bangunan-bangunar yang besar dan megah. Taman bunga yang dulu menjadi kebanggaan Ching-toanio dan puteri-puterinya, terpelihara baik-baik, malah dilengkapi pondok-pondok mungil karena tempat ini terkenal pula sebagai tempat Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam bersenang-senang.

Siu Bi merasa heran dan kagum juga sesudah ia dibawa mendarat dari perahu yang menyeberangi telaga. Pulau itu benar-benar indah, juga megah. Apa lagi ketika mereka mendarat di pulau, mereka disambut oleh sepasukan penjaga yang berpakaian lengkap, berseragam dan bersikap gagah. Di dada kiri mereka tampak sebuah lencana, yaitu sulaman berbentuk bunga merah.

Si rambut putih yang agaknya mempunyai kedudukan lumayan tinggi di pulau ini, segera menyuruh seorang penjaga lari melapor kepada pangcu (ketua) dan kongcu (tuan muda). Penjaga itu berlari cepat. Siu Bi digiring berjalan memasuki pulau itu dengan perlahan, diiringkan sepasukan penjaga dan diapit oleh kedua orang penawannya.

Tak lama kemudian rombongan ini berhenti dan dari depan tampak serombongan orang berjalan datang dengan cepat. Siu Bi membelalakkan mata, menatap penuh perhatian.
la melihat barisan wanita-wanita muda cantik yang gagah sikapnya, memegang pedang telanjang di tangan, berjalan dengan teratur di kanan dan kiri. Di tengah-tengah tampak berjalan dua orang.

Yang seorang adalah wanita tua yang berkulit hitam dan pakaiannya biar pun terdiri dari sutera mahal dan amat mewah, akan tetapi benar-benar tidak serasi karena warnanya merah darah dan berkembang-kembang, amat tidak cocok dengan kulit hitam itu. Apa lagi karena muka itu meski pun dibedaki dan ditutupi gincu, tetap saja memperlihatkan keriput-keriput usia tua.

Seorang nenek yang amat pesolek dan sinar matanya tajam dan liar. Akan tetapi langkah kakinya sedemikian ringannya seakan-akan tidak menginjak bumi, menandakan bahwa ginkang dari nenek ini luar biasa hebatnya.

Orang kedua adalah seorang laki-laki muda, kurang lebih dua puluh tahun. Tubuhnya tegap, agak pendek namun wajahnya tampan sekali dengan kulit yang putih kuning, alis hitam panjang dan matanya bersinar-sinar.

Mereka ini bukan lain adalah Ang-hwa Nio-nio atau paicu, ketua dari Ang-hwa-pai, dan Ouwyang Lam atau kongcu yang sesungguhnya mempunyai kekuasaan tertinggi di sana karena si ketua itu berada di telapak tangan si pemuda ganteng!

Tempat itu kini penuh dengan para anggota Ang-hwa-pai dan semua orang memandang Siu Bi penuh perhatian. Mereka bersikap hormat ketika ketua mereka muncul. Si rambut putih dan si brewok juga segera berlutut memberi hormat, lalu berdiri lagi.

Pandang mata Ouwyang Lam untuk sejenak menjelajahi Siu Bi, dari rambut sampai ke kaki, kemudian dia menoleh kepada si rambut putih. Ada pun Ang-hwa Nio-nio segera menegur.

"Betulkah seperti yang kudengar bahwa bocah ini sudah membunuh A Bian? Mengapa kalian tidak segera membunuhnya dan perlu apa dibawa-bawa ke sini?"
"Maaf, kami sengaja menangkap dan membawanya ke sini supaya mendapat putusan sendiri tentang hukumannya dari Paicu dan Kongcu," kata si rambut putih dengan nada suara menjilat. "Lagi pula, bagaimana kami dapat membuktikan tentang kematian A Bian kalau pembunuhnya tidak kami seret ke sini?"
"Hemmm, bocah yang berani membunuh seorang pembantuku, apa lagi hukumannya selain mampus? Biar aku sendiri membunuhnya!" Tangan nenek ini bergerak, terdengar angin bercuitan ketika angin pukulan meluncur ke arah dada Siu Bi.

Gadis ini terkejut bukan main. Hebat pukulan ini dan karena kedua tangannya masih dibelenggu, hanya kedua kakinya saja yang bebas, ia terpaksa melompat cepat ke kiri.

"Srrrttt…!"

Pinggir bajunya tersambar angin pukulan, pecah dan hancur berantakan. Wajah Siu Bi berubah. la maklum bahwa nenek ini merupakan lawan yang berat, seorang yang amat lihai ilmunya.

"Ihhh, kau berani mengelak?" Nenek itu memekik, suaranya melengking tinggi.

Kembali tangannya bergerak, sekarang angin yang berciutan itu menyambar ke arah leher Siu Bi. Gadis ini kembali mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya terhajar. Baiknya ia telah siap dan mengerahkan Hek-in-kang di tubuhnya, maka ia tidak mengalami luka, hanya terhuyung dan roboh miring di atas tanah.

Muka nenek itu berubah. Baru kali ini ia mengalami hal yang seaneh ini. Biasanya, kalau pukulannya sudah dilakukan, tentu seorang lawan akan roboh binasa. Apa lagi kalau pukulannya yang mengandung hawa racun merah ini mengenai sasaran, tentu yang terkena akan terluka dalam.

Akan tetapi gadis ini hanya terhuyung dan roboh, tetapi tidak terluka. Ini membuktikan bahwa gadis ini ‘ada isinya’. Saking penasaran, ia lalu mengerahkan tenaga dan hendak memukul lagi. Akan tetapi Ouwyang Lam mencegah, menyentuh lengan nenek itu sambil berkata,

"Nio-nio, harap sabar dulu..."
"Apa?" Kau masih belum puas dengan mereka itu dan hendak mengambil dia? Hati-hati, perempuan seperti ia bukan untuk hiburan, sekali ia lolos akan mendatangkan bencana!" kata Ang-hwa Nio-nio sambil menuding ke arah Siu Bi yang sudah melompat bangun lagi dan memandang mereka dengan mata terbelalak penuh hawa amarah dan kebencian. Sedikit pun gadis ini tidak memperlihatkan rasa takut.
"Bukan begitu, Nio-nio. Ingat, Nona ini mempunyai kepandaian, akan tetapi menghadapi seorang nona muda, dua orang kita menawannya dan membelenggunya seperti itu, sudah merupakan hal yang meremehkan nama besar kita. Apa lagi sekarang kau hendak membunuhnya dalam keadaan terbelenggu, aku khawatir nama besarmu akan ternoda. Nio-nio, biarkan aku menghadapinya setelah belenggunya dilepas, agaknya ia lihai, patut aku berlatih dengannya. Ehh, Nona, sesudah kau lancang tangan membunuh seorang pembantu kami dan kau telah ditangkap ke sini, kau hendak berkata apa lagi?"

Siu Bi mengerutkan alisnya, matanya seolah-olah mengeluarkan api ketika memandang kepada wajah tampan itu. "Kenapa banyak cerewet lagi? Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mampus? Pura-pura akan membebaskan, hemmm, kalau benar-benar kedua kakiku bebas, aku akan membunuh kalian semua, tak seekor pun akan kuberi ampun!"

Inilah makian dan hinaan yang sangat hebat. Semua orang sampai melongo. Alangkah beraninya bocah ini. Sudah tertawan, sedang berada di tangan musuh dan tak berdaya, nyawanya tergantung di ujung rambut, tapi masih begitu besar nyalinya. Benar-benar hal yang amat mengherankan untuk seorang gadis remaja seperti ini.

Akan tetapi Ouwyang Lam tertawa girang. Hatinya amat tertarik kepada gadis ini. Cantik jelita dan gagah perkasa. Walau pun baginya tidaklah sukar untuk mencari gadis cantik, malah boleh jadi lebih cantik dari pada Siu Bi, akan tetapi takkan mudah mendapatkan seorang gadis yang begini gagah perkasa dan bernyali harimau.

Kalau dia bisa mendapatkan seorang seperti itu di sampingnya, selain dia mendapatkan pasangan yang setimpal, juga gadis ini dapat merupakan tambahan tenaga yang amat penting dan memperkuat kedudukan mereka. Memang Ouwyang Lam orangnya cerdik, penuh tipu muslihat dan akal yang halus sehingga biar pun di hatinya dia mempunyai niat yang tidak baik, namun pada lahirnya dia bisa kelihatan amat baik dan peramah.

"Nona, karena kau seorang gagah, maka kuberi kesempatan untuk membela diri. Kami dari Ang-hwa-pai juga orang-orang gagah dan menghargai kegagahan. Kau kubebaskan dari belenggu dan boleh membela diri dengan kepandaianmu!"

Tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu belenggu pada kedua tangan Siu Bi sudah putus. Kiranya itu tadi adalah sinar pedang di tangan Ouwyang Lam!

Siu Bi kagum. Ia maklum bahwa pemuda ini juga merupakan lawan yang berat. Namun, mana ia menjadi gentar karenanya? la tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir rasa pegal.

Berhari-hari sudah dia dibelenggu dan hal ini membuat kedua lengannya terasa pegal. la mengerahkan tenaga sinkang untuk mendorong peredaran darahnya, terutama di bagian kedua lengan sehingga ia dapat mengusir semua rasa kaku dan dapat bergerak lincah kembali. Setelah merasa dirinya sehat kembali, ia lalu menghadapi Ouwyang Lam dan berkata,

"Nah, aku telah siap. Siapa yang akan maju menghadapi aku? Ataukah barangkali kalian hendak mengandalkan kegagahan dengan cara pengeroyokan?" Ucapan ini merupakan tantangan yang mengandung ejekan.

Saking marahnya muka Ang-hwa Nio-nio yang hitam sampai berubah menjadi semakin hitam. Gadis ini benar-benar memandang rendah Ang-hwa-pai. Akan tetapi Ouwyang Lam tersenyum dan melangkah maju. Pedangnya masih berada di tangan, akan tetapi dia tidak segera menyerang, melainkan berkata halus,

"Nona, aku sudah siap dengan pedangku. Harap kau suka mengeluarkan senjatamu."

Diam-diam Siu Bi menghargai sikap pemuda tampan ini, setidaknya pemuda ini memiliki watak yang gagah, tidak seperti nenek yang tak tahu malu menyerangnya ketika masih terbelenggu kedua tangannya tadi. Akan tetapi pedang Cui-beng-kiam dia tinggalkan di depan kaki Yo Wan.

”Aku mengandalkan kedua kepalan tangan dan kakiku. Kalau pedangku Cui-beng-kiam berada di sini, mana orang-orangmu mampu menghinaku?"

Rasa kagum Ouwyang Lam makin besar dan dia yakin bahwa gadis ini tentulah seorang pendekar wanita yang gagah. Dia segera menyimpan kembali pedangnya dan berkata, "Kalau begitu, marilah kita main-main dengan tangan kosong. Majulah, Nona."

Siu Bi tak mau sungkan-sungkan lagi. Setelah sekarang ia ditantang dan tidak dikeroyok, ini merupakan keuntungannya dan ia harus membela diri sekuat tenaga. Sambil berseru panjang ia lalu menerjang maju. Akan tetapi betapa pun juga, ia ingat akan budi pemuda ini.

Biar pun merupakan seorang musuh, pemuda ini harus ia akui telah menolong nyawanya tadi ketika ia hendak dibunuh dalam keadaan terbelenggu oleh nenek yang lihai itu. Maka ia pun hanya ingin merobohkan pemuda ini saja, kalau mungkin tanpa melukainya, apa lagi membunuhnya. Oleh karena inilah maka ia lalu memainkan ilmu silat biasa yang ia pelajari dari ayahnya dan dari Hek Lojin. Gerakannya sangat gesit, serangannya ganas dan dahsyat, juga tenaga dalamnya amat kuat.

"Bagus!" Ouwyang Lam berseru ketika menyaksikan ketangkasan lawannya.

la juga menggerakkan kaki tangannya, bersilat dengan gaya yang indah. Dalam sekejap mata saja, keduanya sudah saling terjang, saling serang dengan hebat. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata karena bayangan itu sudah menjadi satu. Angin pukulan dan gerakan tubuh menyambar-nyambar ke kanan kiri dan empat puluh jurus lewat dengan amat cepatnya.

Diam-diam Ang-hwa Nio-nio mendongkol melihat murid dan kekasihnya itu tidak segera menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Hui-seng Kun-hoat, yaitu Ilmu Silat Bintang Terbang yang merupakan ilmu silat tertinggi yang dimilikinya.

Sementara itu, diam-diam Siu Bi mengeluh. Kiranya pemuda ini benar-benar lihai sekali sehingga jangankan bicara tentang merobohkan tanpa melukai, mengalahkan pemuda ini saja masih merupakan hal yang belum tentu kecuali kalau ia mainkan Hek-in-kang. Akan tetapi kalau dia keluarkan ilmu ini, tak mungkin lagi mengalahkan tanpa membahayakan jiwa lawannya.

"Kenapa tidak keluarkan Hui-seng (Bintang Terbang)?" tiba-tiba saja nenek itu berseru menegur murid dan kekasihnya.

Melihat Ouwyang Lam sampai puluhan jurus belum juga mampu mengalahkan lawan, Ang-hwa Nio-nio menjadi marah dan penasaran. Hal ini akan membikin malu dirinya, merendahkan nama Ang-hwa Nio-nio sekaligus Ang-hwa-pai! Memang hal ini amat luar biasa bagi para anggota Ang-hwa-pai.

Biasanya, Ouwyang Kongcu adalah orang yang amat lihai, hanya kalah oleh Ang-hwa Nio-nio dan begitu ia turun tangan semua tentu beres. Belum pernah para anggota ini melihat ada lawan yang mampu melawan Ouwyang Kongcu lebih dari sepuluh jurus.....
Namun sekarang, dara remaja yang menjadi tawanan dua orang pembantu itu ternyata dapat menahan terjangan Ouwyang Kongcu sampai begitu lama tanpa terlihat terdesak! Tentu saja hal ini tidak mengherankan bagi Ouwyang Kongcu dan bagi Ang-hwa Nio-nio karena kedua orang ini cukup maklum bahwa dua orang pembantu mereka sama sekali bukanlah lawan gadis ini. Mereka dapat menawannya tentu karena hasil dari Ang-tok-san yaitu bubuk racun merah yang dapat membius lawan.

Mendengar seruan Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam menjadi ragu-ragu. Betapa pun juga, dia belum kalah dan biar pun dia tidak dapat mendesak gadis itu, namun sebaliknya dia pun tidak terdesak. Mereka sama kuat dan hal ini membuat hatinya gembira dan kagum bukan main. Selama hidup belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis yang begini hebat.

Tadinya dia sama sekali tidak mengira bahwa Siu Bi akan begini kosen sehingga dapat mengimbangi permainan silatnya. Tentu saja hal ini membuat rasa sayangnya terhadap Siu Bi makin menebal. la tidak tega untuk mempergunakan ilmu silat yang lebih dahsyat, khawatir kalau-kalau melukai Siu Bi dan membikin gadis itu menjadi sakit hati. la hendak membaiki gadis ini, hendak memikat hatinya karena dia betul-betul jatuh hati yang baru pertama kali ini dia alami.

Akan tetapi, di pihak Siu Bi, seruan itu merupakan tanda bahaya. Jika lawannya memiliki ‘simpanan’ yang belum dikeluarkan, ini berbahaya. la tidak mau didahului, maka tiba-tiba Siu Bi mengeluarkan seruan nyaring laksana pekik burung elang dan kedua lengannya bergerak aneh, diputar-putar secara luar biasa.

Segera tampak sinar menghitam menyambar-nyambar. Dari dua lengan itu tampak uap hitam dan Ouwyang Lam merasakan sambaran hawa pukulan yang amat dahsyat. Ketika dia menangkis, lengannya terasa panas sekali dan nyeri sampai menembus ke ulu hati. Kagetlah dia dan sambil terhuyung-huyung dia mundur ke belakang dengan muka pucat.

Akan tetapi karena maklum bahwa lawannya ini betul-betul hebat, mempunyai simpanan ilmu dahsyat yang baru sekarang ini dikeluarkan, segera Ouwyang Kongcu mengerahkan tenaga mengusir rasa nyeri, berbareng dia membentak keras dan tubuhnya mumbul ke atas, lalu menukik ke bawah melakukan penyerangan balasan. Inilah sebuah jurus dari Ilmu Silat Hui-seng Kun-hoat, ilmu silat Bintang Terbang yang di samping gerak-geriknya hebat sekali, juga mengandung hawa pukulan beracun, racun ang-tok (racun merah)!

Pada waktu Siu Bi menangkis dengan tenaga Hek-in-kang, keduanya terhuyung mundur dengan muka berubah. Tahulah mereka bahwa masing-masing kini sudah mengeluarkan kepandaian dan tenaga simpanan. Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang mengandung racun hitam kini bertemu tanding dengan hawa pukulan racun merah.

Akan tetapi keduanya menyesal bukan main karena apa bila dilanjutkan, mereka berdua terpaksa akan mempergunakan dua macam ilmu dahsyat ini dan akibatnya, yang kalah tentu akan celaka, apa bila tidak tewas paling sedikit tentu akan terluka parah di sebelah dalam tubuh!

"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Ang-hwa Nio-nio berseru.

Tubuhnya segera melayang menengahi kedua orang muda yang sedang bertanding itu. Karena nenek ini menggunakan kedua tangan mendorong, dua orang muda itu terpaksa meloncat ke belakang.

"Kau mau mengeroyok?" Siu Bi mendahului membentak.

Bentakan yang merupakan gertak belaka karena sesungguhnya di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau nenek ini benar-benar mengeroyoknya. Kalau benar demikian, biar pun ia tidak akan mundur, akan tetapi boleh dipastikan bahwa ia akan kalah dan roboh.

Dalam pertemuan tenaga dengan pemuda itu tadi saja sudah dapat ia bayangkan bahwa tidak akan mudah baginya mengalahkan Ouwyang Lam. Apa lagi kalau nenek ini yang agaknya malah lebih lihai lagi dari pada si pemuda, turun tangan mengeroyoknya.

Akan tetapi Ang-hwa Nio-nio tidak bergerak menyerang. Wajahnya kereng dan suaranya berwibawa, "Bocah, kau jangan sombong terhadap Ang-hwa Nio-nio! Kau tadi mainkan Hek-in-kang, orang tua Hek Lojin masih terhitung apamukah?"

Siu Bi kaget. Baru kali ini semenjak ia turun gunung, ada orang yang mampu mengenal Hek-in-kang. Banyak orang lihai dia temui, termasuk Jenderal Bun, isterinya, puteranya dan Si Jaka Lola. Akan tetapi mereka semua tidak mengenal ilmunya. Bagaimana nenek genit ini dapat mengenal Hek-in-kang? Malah tahu pula bahwa Hek-in-kang adalah ilmu mendiang kakeknya, Hek Lojin yang dikenalnya pula?

Setelah nenek ini mengetahui semuanya, agaknya tidak perlu lagi berbohong, malah dia hendak menyombongkan kakeknya yang dia tahu amat lihai dan sangat terkenal di dunia kang-ouw.

"Hek Lojin adalah kakekku. Mau apa kau tanya-tanya?" jawab Siu Bi dengan nada suara sombong dan tidak mau kalah.
”Kakekmu?!" Keriput-keriput pada wajah nenek itu semakin mendalam. ”Bagaimana bisa jadi? Maksudmu kakek guru? Kau mengenal The Sun?"

Berdebar jantung Siu Bi. Terang bahwa nenek ini bukanlah orang asing bagi ayah dan kakeknya. Biar pun di dalam hati ia tidak mau lagi mengakui The Sun sebagai ayahnya karena ia pun maklum sekarang bahwa The Sun memang bukan ayahnya, akan tetapi agaknya nama The Sun dan Hek Lojin akan dapat menolongnya pada saat itu.

Meski pun Siu Bi seorang yang amat tabah dan tidak takut mati, namun ia bukan gadis bodoh. la sangat cerdik dan ia maklum bahwa saat ini ia berada di sarang harimau. la berada di pulau orang, musuh-musuhnya lihai dan berjumlah banyak. Nekat memusuhi mereka berarti mati. Maka ia lalu menekan perasaannya dan menjawab,

"Dia adalah ayahku." Segan hatinya menyebut nama The Sun, maka ia hanya menyebut ‘dia’ saja.

Tiba-tiba terjadi perubahan hebat pada muka nenek itu. Sejenak dia memandang Siu Bi dengan mata terbelalak, mulut ternganga, lalu perlahan-lahan kedua mata itu menitikkan air mata dan ia kemudian lari merangkul Siu Bi sambil menangis! Tentu saja Siu Bi jadi tercengang keheranan.

"Aihhh, siapa kira... kita adalah orang-orang sendiri, anakku...!"

Meremang bulu tengkuk Siu Bi dan tiba-tiba saja perutnya menjadi mulas mendengar ini karena timbul dugaan yang mengerikan dalam hatinya. Jangan jangan... jangan jangan... dia tidak saja bukan anaknya The Sun, akan tetapi juga bukan anak ibunya dan... dan... perempuan mengerikan ini adalah ibu kandungnya!

Dengan muka pucat diam-diam dia berdoa semoga dugaan ini tidak benar adanya. Akan tetapi hatinya demikian risau, membuat tenggorokannya serasa tercekik sehingga ia tidak mampu bertanya apa yang dimaksudkan oleh nenek ini dengan kata-kata ‘orang-orang sendiri’ tadi.

Adalah Ouwyang Lam yang juga amat terheran-heran itu yang mengajukan pertanyaan, "Nio-nio, apakah artinya ini? Siapakah Nona ini?"

Ang-hwa Nio-nio tersenyum dibalik air matanya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Siu Bi.

"Mari kita pulang, mari... kita adalah orang sendiri. Mari dengarkan semua keteranganku di rumah... ahhh, untung tadi kau keluarkan Hek-in-kang itu, anakku..."

Mual rasa perut Siu Bi mendengar nenek ini menyebutnya ‘anakku’. Akan tetapi karena bekas lawan bersikap begini ramah, tak mungkin ia mempertahankan sikap bermusuhan lagi. Betapa pun juga, ia masih ragu-ragu. Siapa tahu ada apa-apanya di balik sikap aneh ini. Siapa tahu ada kutang di balik baju… ehh, udang di balik batu!

"Sungguh aneh sekali sikapmu, Paicu. Kalau memang benar aku ini orang sendiri, masa orang-orangmu memperlakukan aku sedemikian rupa? Ini penghinaan besar yang tiada taranya, menjadikan aku tawanan berhari-hari dan membelenggu kaki tangan.”
"Ohhh, mereka tidak tahu...."
"Kalau pun tidak tahu, bila sudah melakukan penghinaan kepada orang sendiri, apa yang akan kau lakukan kepada mereka?"

Ang-hwa Nio-nio segera sadar dan mengedikkan kepalanya, memutar tubuh memandang ke sana ke mari mencari-cari. Akhirnya dia dapat menemukan mereka dengan pandang matanya, si rambut putih dan si brewok. Seakan-akan dari pandang matanya itu keluar perintah, karena tanpa kata-kata lagi kedua orang ini sudah maju dan menjatuhkan diri berlutut!

"Kami... kami betul-betul tidak tahu...," kata si rambut putih, suaranya sudah gemetar tak karuan.
"Kalian menghina puteri sahabat baikku The Sun, kalian sudah menjadikan cucu murid orang tua Hek Lojin sebagai tawanan? Ahh, kalau di Ang-hwa-pai masih ada orang-orang macam kalian, perkumpulan kita takkan dapat lama berdiri tegak."

Tiba-tiba, tanpa peringatan lagi, kedua tangan Ang-hwa Nio-nio bergerak. Terdengar jerit dua kali dan tubuh dua orang pembantu itu lantas terjengkang ke belakang, mata mereka mendelik, muka mereka berubah merah laksana darah dan nafas mereka sudah putus! Kedua orang itu sudah terkena pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga beracun ang-tok sepenuhnya!

Ang-hwa Nio-nio tersenyum ketika menoleh kepada Siu Bi. "Nah, itulah hukuman mereka yang berani menghinamu, anakku. Mari, mari... marilah ikut bibi Kui Ciauw, sahabat baik ayahmu..."

Siu Bi merasa begitu lega, seolah-olah batu sebesar gunung yang tadi menindih hatinya diangkat orang ketika mendengar ucapan terakhir itu. Kiranya nenek ini yang bernama Kui Ciauw, berjuluk Ang-hwa Nio-nio, adalah sahabat baik ‘ayahnya’, jadi bukanlah ibu kandung seperti yang ia khawatirkan. Oleh karena hati yang lega dan puas ini, dia tidak membantah lagi ketika digandeng pergi, malah ia tersenyum kepada ‘bibi Kui Ciauw’ dan membalas senyum Ouwyang Lam yang berjalan di sebelahnya!

Sikap Kui Ciauw atau Ang-hwa Nio-nio terhadap Siu Bi itu sebetulnya bukan dibuat-buat, juga tidaklah aneh. Belasan tahun yang silam wanita ini bersama dua orang saudaranya disebut Ang-hwa Sam-cimoi (Tiga Kakak Beradik Bunga Merah). Mereka bertiga bekerja sama dengan The Sun dan Hek Lojin, melakukan perang terhadap Pendekar Buta dan kawan-kawannya.

Kemudian mereka semua ini dikalahkan oleh Pendekar Buta, malah dua orang adiknya tewas, The Sun terluka hebat dan Hek Lojin buntung sebelah lengannya. Oleh karena itulah, maka begitu mendengar bahwa gadis ini adalah puteri The Sun dan cucu murid Hek Lojin, sikap Ang-hwa Nio-nio seketika berubah. la menganggap Siu Bi sebagai orang segolongan yang menaruh dendam kepada Pendekar Buta.

Dia tadi sudah menyaksikan betapa kepandaian Hek Lojin telah diwariskan kepada gadis ini, maka sebagai orang segolongan, tentu saja dia menganggap gadis ini amat penting untuk bersama-sama menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Buta. Tentu saja mendapatkan tenaga bantuan seperti gadis ini jauh lebih berharga dari pada orang-orang seperti si rambut putih dan si brewok, maka sebagai pengganti mereka, ia rela menerima Siu Bi dan menewaskan dua orang pembantu itu untuk menyenangkan hati Siu Bi.

Siu Bi kagum bukan main ketika melihat bangunan-bangunan indah di atas pulau dan memasuki gedung besar tempat tinggal Ang-hwa Nio-nio serta Ouwyang Lam. Perabot rumah serba indah dan mahal, gambar-gambar indah, tulisan-tulisan dengan sajak-sajak kuno menghias dinding, membuat gedung itu kelihatan seperti sebuah istana.

Setelah mereka bertiga duduk di ruang tengah dan para pelayan cantik menghidangkan minuman, Ang-hwa Nio-nio mulai bercerita, "Anak baik, ketahuilah, aku adalah Ang-hwa Nio-nio atau ketua dari Ang-hwa-pai, namun kau boleh menyebutku bibi Kui Ciauw saja, karena aku adalah sahabat baik dan teman seperjuangan dengan ayahmu. Dia ini adalah muridku, Ouwyang Kongcu atau Ouwyang Lam, muridku yang tersayang, dan karenanya dia ini masih terhitung saudara segolongan denganmu. Anak baik, siapa namamu tadi? 

"Namaku Siu Bi."
"The Siu Bi, hemmm, bagus sekali. Tak kunyana bahwa The Sun bisa memiliki seorang anak secantik engkau. Dan ilmu kepandaianmu juga hebat, agaknya bahkan lebih hebat dari pada ayahmu sendiri. Siu Bi, apakah ayah dan kakekmu sama sekali tidak pernah bercerita tentang aku?"

Dengan jujur Siu Bi menggeleng kepalanya, dan Ang-hwa Nio-nio mengerutkan alisnya. "Ah, bagaimana mereka bisa begitu cepat melupakan aku? Tidak ingat akan perjuangan bersama dan penderitaan senasib? Siu Bi, anakku yang baik, apakah mereka juga tidak pernah bicara tentang Pendekar Buta?"

Mendengar disebutnya musuh besarnya ini, bangkitlah semangat Siu Bi. "Aku memang sengaja turun gunung untuk mencari Pendekar Buta. Aku hendak membalaskan dendam mendiang kakek dan membuntungi lengan tangan Pendekar Buta sekeluarga."

Berubah wajah Ang-hwa Nio-nio. "Tadi kau bilang... mendiang kakek? Apakah Hek Lojin si orang tua sudah meninggal?"

Siu Bi mengangguk dan wanita itu meramkan sepasang matanya. "Ahh, sungguh sayang sekali. Akan tetapi, sekarang ada kau penggantinya, anakku. Biarlah, mari sama-sama kita menggempur Pendekar Buta, kita hancurkan kepalanya, kita cabut keluar jantungnya untuk kita pakai sembahyang kepada roh-roh yang penasaran!"

Siu Bi boleh jadi seorang gadis yang luar biasa tabah, akan tetapi mendengar ancaman menyeramkan ini dia bergidik juga. "Bibi, aku sudah bersumpah hendak mencarinya dan dengan tanganku sendiri aku akan membuntungi lengannya, juga lengan isterinya serta anak-anaknya."

"Aku akan membantumu..."
"Aku tidak perlu bantuan, Bibi. Aku sendiri cukup untuk menghadapinya."
"Dia lihai sekali."
"Tidak peduli. Aku tidak takut!"

Ang-hwa Nio-nio membelalakkan kedua matanya. Dia tak berdaya menghadapi gadis ini yang begini sukar untuk diajak berunding. Dia mulai tidak sabar dan hal ini dapat dilihat oleh Ouwyang Lam yang segera berkata sambil tersenyum.

”Tentu saja adik Siu Bi tidak takut. Masa terhadap seorang musuh yang kedua matanya buta saja takut? Kalau takut kan bukan orang gagah namanya! Akan tetapi kami yang lemah memerlukan bantuan dan kami mohon bantuan adik Siu Bi yang gagah perkasa untuk bersama-sama menghadapi Pendekar Buta. Kita memiliki kepentingan bersama dan kita sama-sama bersakit hati terhadap dia."

Enak didengar ucapan Ouwyang Lam ini dan seketika hati Siu Bi pun dapat dikalahkan. Gadis ini menjadi tidak enak sendiri mendengar dia diangkat-angkat dan mereka berdua yang ia tahu tidak kalah lihai itu merendahkan diri. Untuk menghilangkan rasa tidak enak ini ia bertanya. "Mengapakah kalian juga bermusuh dengan Pendekar Buta? Kalau kakek sudah terang dibuntungi lengannya."

Ang-hwa Nio-nio girang melihat hasil bujukan dan kata-kata halus muridnya, maka kini ia yang memberi penjelasan.

"Siu Bi, agaknya kakek dan ayahmu tidak memberi penuturan yang lengkap kepadamu. Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, sebelum kau dilahirkan, ayahmu merupakan musuh besar Pendekar Buta, dan karena ayahmu tidak sanggup menangkan musuhnya, maka kakekmu Hek Lojin datang membantu. Tetapi ternyata kakekmu juga kalah, malah lengannya dibuntungi. Ada pun aku sendiri, bersama dua orang adik perempuanku, juga memusuhi Pendekar Buta untuk membalas dendam suci (kakak seperguruan) kami, akan tetapi dalam pertempuran itu, dua orang adikku tewas, hanya aku seorang yang berhasil menyelamatkan diri. Karena itulah, aku kemudian bersumpah untuk membalas dendam atas kematian saudara-saudaraku dan juga atas kekalahan para kawan segolonganku, termasuk ayah dan kakekmu. Dengan demikian, bukankah kita ini orang sendiri dan satu golongan?"

Siu Bi diam-diam terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa Pendekar Buta sedemikian lihainya sehingga dikeroyok begitu banyak orang sakti masih dapat menang! Dia semakin ragu-ragu, apakah dia akan dapat menangkap musuh besar itu? Dan mulailah ia melihat kenyataan akan pentingnya bekerja sama dengan orang-orang pandai seperti Ang-hwa Nio-nio dan muridnya yang tampan ini. Apa lagi dengan adanya Ang-hwa Nio-nio akan lebih mudah baginya untuk bisa mengenal kelemahan-kelemahan lawan karena Ang-hwa Nio-nio pernah bertempur menghadapi Pendekar Buta.

"Kau betul, Bibi. Maafkan keraguanku tadi. Kalau begitu, marilah kita berangkat bersama ke Liong-thouw-san mencari musuh besar kita."

Ang-hwa Nio-nio tertawa. "Hi-hi-hik, kau benar-benar seorang gadis yang keras hati dan penuh semangat Siu Bi. Tak mudah menyerbu ke Liong-thouw-san. Kita harus lebih dulu menghubungi teman-teman segolongan. Banyak yang akan suka ikut menyerbu ke sana untuk menyelesaikan perhitungan lama. Di antaranya ada pamanku Ang Moko yang telah menyanggupi. Di samping itu, kau harus membantu kami lebih dahulu, karena pada saat ini kami sedang menunggu kedatangan musuh-musuh kami yang datang dari Kun-lun. Sebagai orang segolongan, tentu kau tidak suka melihat kami dihina orang dan tentu kau mau membantu kami, bukan?"

"Tentu saja, Bibi. Akan tetapi tidak enaklah membantu sesuatu tanpa mengetahui pokok persoalannya. Mengapa kau bermusuhan dengan orang-orang Kun-lun itu? Aku pernah mendengar dari kakek bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar."

Ang-hwa Nio-nio menarik nafas panjang dan mengangguk-angguk, "Sebetulnya, dengan Kun-lun-pai langsung kami tak mempunyai urusan. Yang menjadi biang keladinya adalah Bun-goanswe sehingga menyeret Kun-lun-pai berhadapan dengan kami."
"Jenderal Bun di Tai-goan?" tanya Siu Bi, kaget.

Tercenganglah Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam mendengar ini. "Kau kenal dia?"

"Tidak kenal, tapi aku tahu. Pernah aku dijadikan tahanan di sana karena aku membantu para petani yang ditindas."
"Dia memang sombong!" kata Ouwyang Lam. "Puteranya juga sombong sekali. Dumeh (mentang-mentang) jenderal itu putera dari ketua Kun-lun-pai dan sahabat baik Pendekar Buta, sama sekali tidak memandang mata kepada orang-orang seperti kita!"

Mendengar bahwa Jenderal Bun itu adalah sahabat baik musuh besarnya, tentu saja Siu Bi menjadi makin tak senang kepada keluarga Bun.

"Apakah yang terjadi?" tanyanya.
"Ketahuilah, adik Siu Bi. Kami dari Ang-hwa-pai selalu melakukan hubungan baik dengan para pembesar, malah kami tak pernah berlaku pelit. Semua pembesar dari yang rendah sampai yang tertinggi di wilayah ini, apa bila mengalami kesukaran, tentu minta bantuan kami dan tidak pernah kami menolak mereka. Akan tetapi, Jenderal Bun dan puteranya itu malah menghina kami, dan ada empat orang anak buah Ang-hwa-pai mereka tangkap dan mereka jatuhi hukuman. Tiga orang anak buah kami yang melawan mereka bunuh. Coba kau pikir, bukankah mereka itu sudah bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kepandaian?"
"Hemmm, lalu apa yang terjadi?"

"Agaknya urusan ini terdengar oleh ketua Kun-lun-pai yang menjadi ayah dari Jenderal Bun. Kun-lun-pai mengirim utusan memberi teguran kepada partai kami, dinyatakan oleh partai Kun-lun bahwa sesudah negara menjadi aman, tidak semestinya kami mengacau. Tentu saja aku tidak sanggup menahan kemarahan mendengar pernyataan yang amat memandang rendah ini, kumaki utusan itu dan terjadi pertandingan yang mengakibatkan utusan Kun-lun-pai itu tewas. Karena itu, dalam beberapa hari ini kurasa akan datang pula utusan Kun-lun-pai ke sini. Apa bila terjadi keributan dengan pihak Kun-lun-pai yang sombong, kuharap saja kau suka membantu kami, adik Siu Bi."

Siu Bi kembali mengangguk-angguk. Dia sendiri memang tidak suka kepada Jenderal Bun, apa lagi karena jenderal itu adalah sahabat musuh besarnya. Dengan Kun-lun-pai ia tak mempunyai hubungan apa-apa, sedangkan orang-orang Ching-coa-to ini merupakan orang segolongan dengannya, sama-sama musuh besar Pendekar Buta.

"Baiklah, tentu aku akan membantu. Setelah melihat lurah Bhong yang jahat itu dan sikap Jenderal Bun, aku pun tidak suka kepada para pembesar itu. Kalau mereka keterlaluan harus kita lawan."

Hidangan yang mewah dikeluarkan oleh para pelayan cantik dan tiga orang ini berpesta pora. Diam-diam Siu Bi merasa girang juga karena nenek dan pemuda itu benar-benar sangat ramah kepadanya, bahkan pesta itu diadakan untuk menghormatinya! la merasa beruntung bisa bertemu dengan Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam, sebab jelas bahwa pertemuan ini akan mendekatkan ia pada hasil gemilang tujuan perjalanannya.

Juga di samping ini, ia tertarik dan suka kepada Ouwyang Lam yang tampan, gagah perkasa dan sangat manis budi terhadapnya. Tidak mengecewakan mempunyai seorang sahabat seperti dia, pikirnya.

Baru saja mereka selesai makan dan minum, seorang penjaga berlari masuk, memberi laporan bahwa ada dua orang tosu sedang menyeberangi telaga dan datang berkunjung ke pulau.

"Mereka mengaku datang dari Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Paicu," penjaga itu mengakhiri laporannya.

Ouwyang Lam meloncat berdiri. "Biarkan aku saja yang pergi menemui mereka," katanya kepada Ang-hwa Nio-nio, kemudian menoleh kepada Siu Bi. "Adik Siu Bi, adakah hasrat main-main dengan orang-orang Kun-lun-pai?"

Dasar Siu Bi berwatak nakal dan pemberani. Mendengar bahwa dua orang Kun-lun-pai datang ke pulau ini, tentu dengan maksud mencari perkara, dia menjadi ingin tahu dan gembira sekali kalau dia dipercaya mewakili tuan rumah. Dia menoleh ke arah Ang-hwa Nio-nio yang tersenyum kepadanya dan berkata,

"Pergilah, Siu Bi, dan bergembiralah bersama kakakmu Ouwyang Lam."

Pemuda itu sudah meloncat ke luar, diikuti Siu Bi dan dua orang muda ini berlari-lari menuju ke pantai. Benar saja seperti yang dilaporkan oleh penjaga tadi, di pantai berdiri dua orang tosu setengah tua yang sikapnya kereng dan angker. Perahu mereka yang kecil telah berada di darat dan tak jauh dari tempat itu tampak orang-orang Ang-hwa-pai berjaga-jaga sambil memasang mata penuh perhatian.

Semenjak terjadi peristiwa ada utusan Kun-lun-pai tewas di situ, mereka telah menerima perintah dari ketua mereka supaya jangan bertindak sembrono apa bila bertemu dengan orang-orang Kun-lun-pai, akan tetapi langsung melaporkan pada ketua. Inilah sebabnya mengapa para anggota Ang-hwa-pai tidak mengganggu dua orang tosu itu.

Saat melihat munculnya dua orang muda-mudi yang tampan dan cantik jelita, dua orang tosu itu menjadi tercengang dan saling pandang. Apa lagi ketika melihat dua orang muda itu langsung menghampiri mereka kemudian menatap mereka sambil tersenyum-senyum mengejek.

Ouwyang Lam segera bertanya, "Apakah Ji-wi (Kalian) tosu dari Kun-lun-pai?"

Tosu yang bertahi lalat besar di bawah mulutnya menjawab, "Betul, orang muda. Pinto (Aku) adalah Kung Thi Tosu dan ini sute Kung Lo Tosu. Kami berdua mentaati perintah ketua kami mengantar seorang suheng (kakak seperguruan) kami menyampaikan pesan ketua kami kepada Ang-hwa-pai. Oleh karena itu, harap kau orang muda suka memberi tahu kepada Ang-hwa-pai bahwa kami datang berkunjung."

Ouwyang Lam tertawa. "Totiang berdua tak perlu sungkan-sungkan. Kalau ada perkara, beri tahukan saja kepadaku. Aku Ouwyang Lam mewakili ketua kami dan segala urusan cukup kalian bicarakan dengan aku."

"Hemmm, begitukah?" Kung Thi Tosu berkata sambil menatap tajam wajah Ouwyang Lam. "Sudah lama pinto mendengar nama Ouwyang Kongcu. Kedatangan kami ini tidak lain akan menanyakan tentang suheng kami yang beberapa hari yang lalu datang ke sini. Di manakah suheng kami itu?"

Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Totiang, apa kau kira aku ini seorang gembala keledai maka kau tanya-tanya kepadaku mengenai keledai yang hilang? Sudahlah, lebih baik kalian pergi, cari di tempat lain. Pulau kami bukan tempat bagi para tosu."

Meski pun terdengar lemas akan tetapi jawaban ini sangat menghina dan menyakitkan hati karena menyamakan suheng mereka dengan keledai! Kung Lo Tosu yang bermuka kuning menjadi semakin pucat mukanya ketika dia melangkah maju dan berkata dengan suara keras.

"Orang muda she Ouwyang bermulut lancang! Kami dari Kun-lun-pai tidak biasa menelan hinaan-hinaan tanpa sebab. Ketua kami mendengar tentang sepak terjang Ang-hwa-pai yang mengacau ketenteraman, kemudian ketua kami mengutus suheng dan kami berdua untuk datang mengunjungi kalian guna memberi peringatan secara halus, mengingat kita sama-sama partai persilatan. Akan tetapi suheng yang sangat hati-hati dan tidak ingin kalian salah paham, menyuruh kami menanti di seberang dan suheng seorang diri yang datang ke sini empat hari yang lalu. Suheng tidak kelihatan kembali, maka kami datang menyusul. Kiranya datang-datang kami hanya kau sambut dengan ucapan menghina. Orang muda, lekas katakan di mana adanya Kun Be Suheng”.

Berubah wajah Ouwyang Lam, agak merah karena dia menahan kemarahannya.

”Aku tidak tahu yang mana itu suheng-mu, akan tetapi beberapa hari yang lalu memang ada seseorang kurang ajar yang mengacau di sini. Karena dia tidak mau disuruh pergi, terpaksa aku turun tangan dan dia sudah tewas.”
”Keparat! Jadi kau... kau membunuh suheng...?" Kun Thi Tosu kini pun menjadi marah sekali. "Kalau begitu Ang-hwa-pai memang benar-benar jahat sekali, membunuh seorang utusan..."

Ouwyang Lam tertawa mengejek. "Tosu bau, dengarlah baik-baik. Kalau terjadi sesuatu pertengkaran atau pun pertempuran, jelas bahwa yang salah adalah orang yang datang menyerbu. Aku membela tempatku sendiri yang hendak dikacau orang lain, mana bisa dianggap jahat? Adalah kalian ini yang bukan orang sini, datang-datang mengeluarkan omongan besar, kalianlah yang jahat!"

"Ang-hwa-pai partai gurem yang baru muncul berani memandang rendah Kun-lun-pai! Benar-benar keterlaluan. Bocah sombong, kau harus mengganti nyawa suheng!”

Ouwyang Lam menoleh ke arah Siu Bi. "Kau lihatlah, betapa menjemukan. Apa kau mau membantuku melempar mereka ke dalam telaga?"

Siu Bi sudah biasa dengan watak aneh kasar dan liar. Watak kakeknya, Hek Lojin, jauh lebih kasar, liar dan aneh lagi. Semenjak tadi dia pun sudah jemu menyaksikan tingkah orang-orang Kun-lun-pai ini dan dalam pertimbangannya, Ouwyang Lam berada di pihak benar.

Orang dihargai karena sikapnya, karena kebenarannya, dan sama sekali bukan karena kedudukannya, atau karena partainya yang besar. Dalam urusan ini Kun-lun-pai terlalu memandang rendah terhadap Ang-hwa-pai, tidak semestinya mencampuri urusan partai orang lain, apa lagi menegur. Orang-orang Kun-lun-pai mencari penyakit sendiri dengan sikap tinggi hati dan takabur.

"Mari...!" kata Siu Bi, juga dengan senyum mengejek.

Dua orang tosu itu sudah marah sekali mendengar betapa suheng mereka yang datang di pulau ini sebagai utusan, telah ditewaskan. Serentak mereka menerjang maju, dengan maksud untuk menangkap pemuda sombong ini untuk ditawan dan dipaksa ikut mereka ke Kun-lun, dihadapkan kepada ketua mereka agar diadili.

Akan tetapi mereka keliru apa bila mengira bahwa mereka akan dapat merobohkan dan menangkap Ouwyang Lam dengan mudah. Begitu pemuda itu menggerakkan kaki dan tangan, dia telah menyambut terjangan kedua orang ini dengan pukulan dan tendangan yang dahsyat, memaksa dua orang tosu itu mengelak sambil menyusul dengan serangan dari samping.

Akan tetapi, pada saat itu pula Siu Bi sudah membentak nyaring dan menerjang Kung Lo Tosu sehingga terpaksa tosu ini bertanding melawan Siu Bi. Hal ini tidak mengecilkan hati kedua orang tosu Kun-lun-pai. Siu Bi hanya seorang gadis remaja, juga Ouwyang Lam yang mereka pernah dengar sebagai Ouwyang Kongcu yang terkenal kiranya hanya seorang pemuda biasa saja. Dengan cepat mereka memainkan kaki dan tangan sambil mengeluarkan Ilmu Silat Kun-lun-pai.

Mereka adalah tosu-tosu tingkat ke empat di Kun-lun-pai, ilmu kepandaian mereka tinggi. Meski pun mereka percaya bahwa suheng mereka tewas, akan tetapi mereka mengira bahwa tewasnya sang suheng itu adalah karena pengeroyokan, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa tewasnya Kung Be Tosu adalah karena bertanding satu lawan satu dengan pemuda ini!
Image result for Jaka Lola
Setelah bergebrak beberapa jurus, barulah kedua orang tosu itu kaget dan mendapatkan kenyataan bahwa kedua orang lawannya ternyata lihai bukan main. Jangankan hendak menangkap, menyerang saja mereka tidak mampu lagi, hanya dapat mempertahankan diri, menangkis dan mengelak ke sana ke mari karena kedua orang muda itu mendesak mereka dengan pukulan-pukulan yang cepat dan luar biasa.

Kung Lo Tosu menjadi kabur matanya melihat sinar hitam bergulung-gulung dari kedua lengan lawannya, dan pukulan-pukulan gadis remaja ini mengandung hawa yang panas bukan main. Ada pun Kung Thi Tosu juga bingung menghadapi sinar merah dari pukulan Ouwyang Lam, kepalanya pening mencium bau harum yang aneh.

"Adik Siu Bi, kalau kita bunuh mereka, mereka tidak akan dapat mengingat-ingat akan kelihaian kita. Hayo berlomba lempar mereka ke telaga!" Ouwyang Lam berkata sambil tertawa.

Siu Bi memang tidak mempunyai maksud untuk membunuh lawannya karena ia sendiri tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan tosu Kun-lun-pai. Mendengar ajakan ini, ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah berhasil mencengkeram pundak lawannya dan dengan hentakan cepat ia melemparkan tubuh Kung Lo Tosu ke air telaga di depannya.

Tepat pada saat itu juga, Ouwyang Lam berhasil pula melemparkan lawannya sehingga tubuh dua orang tosu Kun-lun-pai ini melayang dan terbanting ke dalam air yang muncrat tinggi-tinggi. Mereka gelagapan, tenggelam dan beberapa saat kemudian timbul kembali megap-megap, berusaha berenang akan tetapi tak berani ke pinggir karena para anggota Ang-hwa-pai sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak.

"Mereka sudah diberi hajaran, biarkan mereka pergi," kata Siu Bi, kakinya bergerak dan... perahu kecil itu sudah ditendangnya sampai terbang melayang ke air, dekat kedua orang tosu yang gelagapan itu.

Cepat mereka berenang mendekati dan meraih perahu, terus mendayung perahu dengan kedua tangan mereka di kanan kiri perahu. Perahu bergerak perlahan ke tengah telaga, diikuti sorak-sorai dan ejekan para anggota Ang-hwa-pai.

Dapat dibayangkan alangkah malunya Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu. Mereka terus berusaha sedapat mungkin menggerakkan perahu tanpa dayung, menjauhi pulau dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Setelah perahu mereka bergerak sampai tengah telaga, jauh dari pulau itu, barulah mereka menyumpah-nyumpah dan mengancam akan melaporkan hal ini kepada ketua mereka.

"Pemuda jahanam, gadis liar!" Kung Thi Tosu memaki gemas. "Awas kalian orang-orang Ang-hwa-pai, Kun-lun-pai tidak akan mendiamkan saja penghinaan ini!"
"Sudahlah, Suheng. Mari kita gerakkan perahu mendarat dan cepat-cepat kita kembali ke Kun-lun untuk melapor kepada sucouw (kakek guru)." Kung Lo Tosu menghibur.

Mereka terus mendayung perahu menggunakan kedua lengan. Karena mereka memiliki kepandaian tinggi dan tenaga mereka besar, walau pun perahu hanya didayung dengan tangan, perahu dapat meluncur cepat menuju ke darat.

Tiba-tiba saja dari sebelah kanan terlihat meluncur sebuah perahu kecil. Penumpangnya hanya seorang wanita muda yang berdiri di tengah perahu dan menggerakkan dayung ke kanan kiri sambil berdiri saja. Akan tetapi perahunya dapat meluncur laksana digerakkan tenaga raksasa!

Melihat ini saja, dua orang tosu itu dapat menduga bahwa gadis yang cantik dan gagah ini tentulah seorang berilmu. Sebaliknya, gadis itu pun dapat mengerti bahwa dua orang tosu yang mendayung perahu dengan hanya memakai tangan itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu tidak mempedulikan gadis itu, malah mereka segera membuang muka. Mereka menyangka bahwa gadis yang lihai ini tentulah juga anggota Ang-hwa-pai, sama dengan gadis remaja yang tadi merobohkan Kung Lo Tosu. Mereka tak mau mencari penyakit, tak mau mencari gara-gara, maka lebih aman membungkam dan pura-pura tidak melihat.

Akan tetapi, tidak demikian dengan gadis itu. la sengaja memotong jalan, menghadang perahu mereka. Karena tidak ingin perahu mereka bertumbukan, terpaksa kedua tosu itu menahan lajunya perahu dan memandang.

Yang berdiri di tengah perahu kecil itu adalah seorang gadis yang masih muda, seorang gadis yang cantik manis. Senyumnya selalu menghias bibir, sepasang matanya nampak tajam serta berpengaruh, dan di balik kecantikan itu tersembunyi kegagahan. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang hitam dikuncir ke belakang, melambai-lambai tertiup angin telaga.

Dengan mempergunakan dayung, gadis itu menahan perahunya, memberi hormat sambil membungkuk dalam-dalam dan mengangkat kedua tangan yang memegang dayung ke depan dada, lalu berkata, suaranya halus merdu membayangkan watak yang halus pula.

"Maaf, Ji-wi Totiang. Bukan maksudku mengganggu Ji-wi, tetapi saya mohon bertanya, telaga ini telaga apakah namanya dan pulau di depan itu pulau apa, siapa yang tinggal di sana?"

Kung Thi Tosu dan sute-nya saling pandang, kemudian Kung Thi Tosu bertanya, "Nona bukan orang sana? Bukan anggota Ang-hwa-pai?"

Sekarang gadis itu yang memandang heran, "Bukan, Totiang. Kalau saya orang pulau itu, masa masih bertanya-tanya. Saya seorang pelancong yang tertarik akan keindahan telaga ini, dan ingin sekali tahu nama telaga dan pulau itu."

"Wah, kalau begitu lebih baik Nona lekas-lekas pergi dari tempat ini. Sangat berbahaya, Nona. Pulau di depan itu adalah Ching-coa-to, pusat perkumpulan Ang-hwa-pai. Kami berdua tosu dari Kun-lun-pai baru saja terlepas dari bahaya maut."
"Akan tetapi tidak terlepas dari penghinaan hebat!" sambung Kung Lo Tosu.

Gadis itu tampak mengerutkan alisnya yang hitam dan bagus bentuknya.

"Di sepanjang perjalanan sudah banyak kudengar sepak terjang yang sewenang-wenang dari Ang-hwa-pai. Siapa sangka sampai-sampai berani melakukan penghinaan terhadap Kun-lun-pai. Kiranya Ji-wi Totiang adalah anak murid Kun-lun-pai? Harap Ji-wi Totiang sudi menceritakan kepada saya apakah yang telah terjadi antara Ji-wi dan Ang-hwa-pai?"
"Nona siapakah? Pinto tidak dapat menceritakan hal ini kepada orang luar yang tidak pinto kenal, maaf," kata Kung Thi Tosu.

Nona itu mengangguk. "Memang seharusnya begitu. Akan tetapi biar pun Ji-wi Totiang tidak mengenal saya, tentu Bun Lo-sianjin ketua Kun-lun-pai tak akan asing mendengar nama saya dan tak akan marah kepada Ji-wi kalau mendengar bahwa Ji-wi menceritakan urusan ini kepada seorang gadis bernama Tan Cui Sian dari Thai-san."

Dua orang tosu itu belum pernah mendengar nama Tan Cui Sian, akan tetapi tentu saja mereka tahu apa artinya Thai-san-pai bagi Kun-lun-pai. Ketua Thai-san-pai yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan) merupakan sahabat baik ketua mereka dan kalau nona ini datang dari Thai-san, berarti seorang sahabat pula. KungThi Tosu lalu menjura dan memberi hormat.

"Ternyata Nona dari Thai-san-pai, maaf kalau tadi pinto ragu-ragu. Di antara sahabat sendiri, tentu saja pinto suka menceritakan urusan ini yang membuat hati menjadi sakit dan penasaran."

Kung Thi Tosu lalu bercerita tentang semua peristiwa yang telah terjadi. Suheng mereka yang menjadi utusan Kun-lun-pai dibunuh, dan mereka sendiri menerima hinaan dari dua orang muda yang amat lihai.

Sepasang mata gadis itu bersinar tajam, kerut keningnya mendalam. "Hemmm, terlalu sekali mereka itu. Apakah yang Ji-wi Totiang hendak lakukan sekarang?"

"Kami hendak pulang dan melaporkan hal ini kepada ketua kami."
"Memang sebaiknya begitu. Ini adalah urusan antara Kun-lun-pai dan Ang-hwa-pai, tentu saja saya tidak berhak mencampuri, tapi ingin sekali saya bertemu dengan pemuda dan gadis yang telah menghina Ji-wi. Mereka itu kurang ajar sekali dan terlalu mengandalkan kepandaian, hemmm..."
"Harap Nona jangan main-main di tempat ini. Mereka itu benar-benar lihai. Baru yang muda-muda saja sudah begitu lihai, belum lagi ketua mereka, Si nenek Ang-hwa Nio-nio. Juga anggota mereka jumlahnya banyak sekali, jahat-jahat pula. Lebih baik Nona cepat meninggalkan tempat ini agar jangan sampai mengalami penghinaan."

Gadis itu tersenyum. "Saya justru ingin mereka itu datang menghina saya. Selamat jalan, Totiang. Mendayung perahu hanya dengan tangan tentu tidak dapat cepat. Biarlah saya membantu sebentar!”

Sesudah berkata demikian, nona ini menggunakan dayungnya yang panjang itu untuk mendorong perahu kedua tosu. Tenaga dorongannya kuat bukan main sehingga perahu ini seakan-akan digerakkan tenaga raksasa, meluncur ke depan dengan amat cepatnya.

Kung Thi Tosu dan sute-nya kaget, heran dan juga girang sekali. Perahu nona itu sudah menyusul dan terus dia mendorong-dorong perahu di depan. Dengan cara begini, benar saja, dua orang tosu itu dapat mencapai daratan dalam waktu singkat. Mereka meloncat ke darat, memberi hormat ke arah nona berperahu yang sudah kembali menggerakkan perahunya ke tengah telaga.

Kung Thi Tosu menarik nafas panjang. "Sute, perjalanan kita kali ini benar-benar sudah membuka mata kita bahwa kepandaian kita sama sekali belum ada artinya. Dalam waktu sehari kita sudah bertemu dengan tiga orang muda yang mempunyai kepandaian jauh melampaui kita. Aku berjanji akan berlatih lebih tekun lagi kalau kita sudah kembali ke gunung," Mereka lalu membalikkan tubuh dan melakukan perjalanan secepatnya pulang ke Kun-lun-pai.

Siapakah sebenarnya gadis lihai berperahu itu? Dia bukanlah seorang pelancong biasa. Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu masih ingat akan nama ini, Tan Cui Sian. Gadis ini adalah puteri dari ketua Thai-san-pai, Si Raja Pedang Tan Beng San dan si pendekar wanita Cia Li Cu yang sekarang sudah menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek, memimpin perkumpulan Thai-san-pai yang makin maju dan terkenal. Suami isteri ini telah berusia empat puluh tahun lebih ketika Cui Sian terlahir, maka mereka sekarang menjadi tua setelah puteri mereka berusia dua puluh tiga tahun.

Sebagai puteri sepasang pendekar besar yang memiliki ilmu kesaktian, tentu saja sejak kecilnya Cui Sian telah digembleng dan mewarisi kepandaian mereka berdua sehingga kini Cui Sian menjadi seorang gadis yang sakti. Wataknya pendiam seperti ayahnya, keras seperti ibunya, cerdik dan luas pandangannya.

Hanya satu hal yang menjengkelkan ayah bunda Cui Sian, yang membuat ibunya sering kali menangis sedih, yaitu watak bandel gadis ini mengenai perjodohan. Banyak sekali pendekar-pendekar muda, bangsawan-bangsawan berkedudukan tinggi yang tergila-gila kepadanya. Sudah banyak pula datang lamaran atas dirinya dari orang-orang muda yang memenuhi syarat, baik dipandang dari watak baiknya, kepandaian tinggi dan kedudukan yang mulia. Namun semua pinangan itu ditolak mentah-mentah oleh Cui Sian!

"Ibu, aku tidak mau terikat oleh perjodohan! Aku... aku tidak mau seperti enci Cui Bi...," demikian keputusan Cui Sian di depan ayah bundanya, lalu lari memasuki kamarnya.

Ketua Thai-san-pai bersama isterinya saling pandang. Si Raja Pedang ini mengelus-elus jenggotnya yang panjang sambil berkali-kali menarik nafas, memandang isterinya yang menjadi basah pelupuk matanya. Teringatlah mereka pada mendiang Tan Cui Bi, puteri mereka pertama yang tewas menjadi korban asmara gagal.

Dalam cerita Rajawali Emas dituturkan betapa mendiang Cui Bi yang sudah ditunangkan dengan Bun Wan (sekarang Jenderal Bun di Tai-goan) terlibat jalinan asmara dengan Kwa Kun Hong (Pendekar Buta) sehingga karena gagal, Cui Bi lalu membunuh diri dan Kun Hong membutakan matanya sendiri! Cerita tentang Cui Bi ini agaknya membuat hati Cui Sian sekarang menjadi ngeri, membuat dia tidak mau berbicara tentang perjodohan, bahkan membuat dia seperti membenci perjodohan.

"Dia menjadi takut bayangan sendiri, takut akan terulang kesedihan dan mala petaka yang menimpa diri cici-nya. Biarlah, kita serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena betapa pun juga, jodoh adalah kehendak Tuhan, tak dapat dipaksakan. Kalau dia sudah bertemu jodohnya, tak usah kita paksa lagi, dia tentu akan mau sendiri," demikian kata-kata hiburan ketua Thai-san-pai kepada isterinya.
"Tapi... tapi... tahun ini dia sudah berusia dua puluh tiga tahun..." Isterinya tidak dapat melanjutkan kata-katanya, menahan isak dan menghapus air mata.

Kembali Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San menarik nafas panjang. "Di dalam perjodohan, usia tidak menjadi soal, isteriku. Beberapa kali anak kita itu mohon untuk diberi ijin turun gunung dan kita selalu melarangnya karena khawatir kalau-kalau terjadi hal seperti yang telah menimpa diri Cui Bi. Kurasa inilah kesalahan kita. Biarkan ia turun gunung, biarkan ia mencari pengalaman, siapa tahu dalam perjalanannya, ia akan bertemu |odohnya. Dia kini sudah dewasa dan mengenai kepandaian, kurasa kita tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya. Cui Sian mampu menjaga diri."

Pernyataan suaminya bahwa si anak mungkin bertemu jodohnya dalam perantauan, melunakkan hati nyonya ketua Thai-san-pai ini. Dan alangkah girang hati Cui Sian ketika ibunya malam hari itu memberi tahu bahwa dia sekarang diperkenankan turun gunung melakukan perantauan. Dari ibunya dia menerima pedang Liong-cu-kiam yang pendek dan dari ayahnya ia dibekali pesan,

"Kau sudah mencatat semua alamat dari sahabat-sahabat ayah bundamu. Jangan lupa untuk mampir dan menyampaikan hormat kami kepada mereka. Terutama sekali jangan lupa mengunjungi Liong-thouw-san, Hoa-san, Kun-lun dan kalau kau pergi ke kota raja, jangan lupa singgah di rumah Jenderal Bun."
"Bekas tunangan cici Cui Bi?" Cui Sian mengerutkan kening.

Ayahnya tertawa. "Apa salahnya? Dahulu tunangan, tetapi sekarang hanya merupakan sahabat baik, karena Bun Wan adalah putera Kun-lun, sedangkan ketua Kun-lun-pai itu adalah sahabat baikku."

Setelah menerima nasehat-nasehat dan pesan supaya hati-hati dari ibunya, berangkatlah Cui Sian turun gunung, membawa bekal pakaian serta emas secukupnya, dengan hati gembira tentu saja.

Demikianlah sekelumit riwayat gadis yang kini berada di telaga itu, dekat Ching-coa-to dan bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai. Karena Kun-lun-pai adalah partai besar yang bersahabat dengan ayahnya, tentu saja Cui Sian menganggap kedua orang tosu itu sebagai sahabat dan dia ikut merasa mendongkol sekali ketika mendengar hinaan yang diderita orang-orang Kun-lun-pai dari dua orang muda Ching-coa-to. Setelah mengantar kedua orang tosu Kun-lun itu ke darat, Cui Sian lalu mendayung perahunya kembali ke tengah telaga, menyeberang hendak melihat-lihat sekeliling pulau.

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah mereka berhasil melemparkan kedua orang tosu ke dalam air.

"Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada anggota-anggota Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah bermaksud melepaskan anak panah, terpaksa membatalkan niatnya.

Siu Bi juga merasa gembira sekali. Dia sudah membuktikan bahwa dia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam menghadapi musuh besarnya.....
"Adik Siu Bi, bagaimana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang indah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!"

Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-lari menghampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Seperti dua orang anak-anak sedang bermain-main, mereka dengan gembira melepaskan perahu dan naik ke dalam perahu kecil itu. Ouwyang Lam mengambil dua buah dayung, lalu keduanya mendayung perahu itu ke tengah telaga, diikuti pandang mata penuh maklum oleh para anak buah Ang-hwa-pai.

"Wah, kongcu mendapatkan seorang kekasih baru," kata seorang anggota yang kurus kering tubuhnya, jelas dalam suaranya bahwa dia merasa iri.
"Hemmm, tapi yang satu ini sungguh tak boleh dibuat main-main. Ilmu kepandaiannya hebat. Saingan berat bagi pangcu...," kata temannya yang gendut.
"Sssttttt... apa kau bosan hidup?" cela si kurus sambil pergi ketakutan.

Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa gembira ketika mendayung perahu sekuat tenaga sehingga perahu itu meluncur seperti anak panah cepatnya. Pemuda itu menerangkan keadaan pulau dan Siu Bi beberapa kali berseru kagum. Memang bagus pulau ini, biar pun tidak berapa besar akan tetapi mempunyai bagian-bagian yang menarik. Ada bagian yang penuh bukit karang, ada bagian yang merupakan taman bunga yang amat indah.

"Lihat, di sana itu adalah pusat ular-ular hijau. Tidak ada musuh yang berani menyerbu ke Ching-coa-to, karena sekali kami melepaskan ular-ular itu, mereka akan menghadapi barisan ular yang lebih hebat dari pada barisan manusia bersenjata."

Siu Bi bergidik. Dia melihat banyak sekali ular-ular besar dan kecil berwarna hijau, keluar masuk di lubang-lubang batu karang.

"Apakah binatang-binatang itu tidak berkeliaran di seluruh pulau dan membahayakan kalian sendiri?" tanyanya.

Ouwyang Lam tersenyum. "Kami mempunyai minyak bunga yang ditakuti ular-ular hijau itu. Sekeliling daerah batu karang telah kami sirami minyak dan para penjaga selalu siap menyiram minyak baru jika yang lama sudah hilang pengaruhnya. Dengan pagar minyak itu, ular hijau tidak berani berkeliaran."

"Tapi... apa perlunya memelihara ular sebanyak itu?"
"Sebetulnya tenaga mereka tidak berapa kami butuhkan. Hanya racunnya... hemm, racun mereka kami ambil dan Nio-nio amat pandai membuat obat dan senjata dari racun-racun itu."
"Ahhh... hebat kalau begitu!" Siu Bi berseru kagum.

Perahu digerakkan lagi.

"Lihat, di sana itu adalah taman bunga kami. Bukan main senangnya beristirahat di sana, hawanya nyaman, baunya harum dan keadaan di situ betul-betul dapat menenteramkan perasaan orang."
"Aduh, bagusnya... mari kita mendarat ke sana... wah, indahnya seruni-seruni di ujung sana itu. Beraneka warna dan sedang mekar...!"

Ouwyang Lam melirik dengan hati gembira ke arah nona cantik di sebelahnya ini. Betapa akan bahagianya bila tiba saatnya ia dapat bersenang-senang dengan gadis ini di taman, sebagai kekasihnya!

"Nanti saja, Moi-moi, kita keliling dulu dengan perahu. Karena kau menjadi orang sendiri, seluruh pulau dan isinya ini anggap saja tempatmu sendiri. Tetapi untuk dapat menikmati tempat kita ini, terlebih dahulu kau harus mengenal bagian-bagian yang berbahaya, yang indah dan lain-lain. Jangan khawatir, masih banyak waktu untuk kau bermain sepuasmu di dalam taman itu. Di sana terdapat beberapa pondok kecil yang nyaman dan aku akan minta pada Nio-nio agar kau diperbolehkan menempati sebuah di antara pondok-pondok di taman itu. Aku juga tinggal di sebuah di antara pondok-pondok kecil di sana."

Sambil berkata demikian, Ouwyang Lam melirik dengan tajam, ingin melihat bagaimana reaksi dari gadis itu. Akan tetapi, Siu Bi bersikap biasa saja, hanya dia sangat gembira mendengar ini, namun sama sekali tidak memperlihatkan tanda bahwa ia mengerti akan isyarat dalam ucapan Ouwyang Lam. Memang, dia adalah seorang gadis remaja yang masih hijau, mana dia mengerti akan kata-kata menyimpang itu?

Perahu didayung lagi.

"Mari kita sekarang melihat taman air..." ucapan Ouwyang Lam terhenti.

Pada saat itu mereka berdua melihat sebuah perahu kecil yang meluncur laju dari depan. Seorang gadis mendayung perahu itu sambil berdiri di tengah perahu, memandang pada mereka dengan mata melotot.

Ouwyang Lam merasa kagum, mengapa hari ini peruntungannya begitu baik sehingga matanya kembali sempat melihat seorang gadis yang begini cantik jelita setelah bertemu dengan Siu Bi. Sedangkan Siu Bi sendiri juga kagum karena di dalam pandang matanya gadis yang sendirian di perahu itu mempunyai sifat yang gagah dalam kesederhanaan pakaiannya.

Perahu mereka kini sudah saling berhadapan dan kedua pihak menahan perahu dengan gerakan dayung. Sejenak tiga orang ini saling pandang, penuh selidik.

Ouwyang Lam yang selalu tidak mau melewatkan kesempatan untuk mencari muka dan bermanis-manis terhadap gadis cantik, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil tersenyum dan menegur.

"Nona, aku Ouwyang Lam tidak pernah bertemu muka denganmu. Agaknya Nona adalah seorang tamu yang hendak mengunjungi Ang-hwa-pai. Kalau memang demikian halnya, dapat Nona bicara dengan aku yang mewakili ketua Ang-hwa-pai."

Cui Sian sudah menduga bahwa tentu dua orang ini yang tadi telah menghina tosu-tosu Kun-lun-pai. Sekarang mendengar pemuda itu memperkenalkan nama, ia tidak ragu-ragu lagi.

"Aku seorang pelancong, sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Ang-hwa-pai atau perkumpulan jahat mana pun juga!" Sengaja Cui Sian menjawab ketus karena memang dia hendak mencari perkara kemudian memberi hajaran kepada orang-orang muda yang dianggapnya jahat itu.

Siu Bi mendengar ini dan tak dapat menahan tawanya. Memang Siu Bi wataknya aneh. Senang ia melihat gadis itu berani menghina Ang-hwa-pai secara begitu terang-terangan di depan Ouwyang Lam, maka ia tertawa, tentu saja mentertawakan pemuda itu.

Mendengar suara ketawa ditahan ini, Ouwyang Lam menjadi dongkol. Alisnya yang tebal berkerut dan matanya memandang galak kepada Cui Sian. Akan tetapi karena gadis di depannya itu benar-benar cantik jelita, tidak kalah oleh Siu Bi sendiri, dia masih menahan kemarahannya dan mempermainkan senyum pada bibirnya.

"Nona yang baik, ketahuilah bahwa telaga ini termasuk wilayah Ang-hwa-pai, jadi kau kini sudah berada di dalam wilayah kami. Karena itu berarti kau sudah menjadi tamu kami, maka tadi aku sengaja bertanya. Andai kata kau hanya pelancong biasa dan tidak punya urusan dengan Ang-hwa-pai, akan tetapi karena tanpa sadar kau telah menjadi tamuku, tiada buruknya kalau kita menjadi sahabat."

Kembali Siu Bi tersenyum dan mengejek, "Wah, kau benar-benar amat sabar dan ramah, Ouwyang-twako!"

Kalau Siu Bi mengejek karena mengira Ouwyang Lam takut-takut dan jeri, adalah Cui Sian yang menjadi muak perutnya. Gadis ini lebih berpengalaman atau setidaknya lebih mengenal watak pria dari pada Siu Bi yang hijau maka ia dapat menangkap nada suara kurang ajar dalam ucapan Ouwyang Lam. Dengan ketus ia menjawab,

"Kau manusia sombong. Kurasa telaga ini adalah buatan alam, bagaimana Ang-hwa-pai berani mengaku sebagai hak dan wilayahnya? Eh, bocah, apakah kau yang telah berani menghina bahkan membunuh tosu dari Kun-lun-pai?"

Ouwyang Lam terkejut dan hilang keramahannya. Juga Siu Bi hilang senyumnya. Mereka berdua bangkit berdiri dan memandang Cui Sian dengan curiga. Kalau gadis ini datang membela Kun-lun-pai, berarti dia itu musuh!

"Kalau betul begitu, kau mau apakah?" teriak Ouwyang Lam. "Apakah kau anak murid Kun-lun-pai yang hendak menuntut balas?"
”Aku bukan anak murid Kun-lun-pai, juga tidak tahu-menahu tentang permusuhan kalian dengan Kun-lun-pai. Akan tetapi kebetulan sekali aku berjumpa dengan dua orang tosu Kun-lun-pai yang sudah kalian hina. Tosu-tosu Kun-lun-pai bukanlah orang-orang jahat, maka kalau kalian sudah berani menghina mereka, berarti kalian benar-benar merupakan orang-orang kurang ajar dan mengandalkan kepandaian. Jika bicara tentang kegagahan, agaknya aku lebih condong menganggap kalianlah yang bersalah dan jahat."

"Heei, kau orang liar dari mana datang-datang membuka mulut asal bunyi saja?" Siu Bi berseru marah. "Dua orang tosu bau itu memang kami berdua yang melempar ke dalam air, habis kau mau apa?!”
"Hemmm, aku tidak akan mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi aku pun tidak biasa membiarkan orang berlaku sewenang-wenang. Kau menghina dan melempar orang ke air, sekarang aku pun hendak melempar kalian ke dalam air!"
"Sombong amat! Twako, mari kita lempar bocah sombong ini dari perahunya!" Cepat Siu Bi menggerakkan dayungnya, diikuti oleh Ouwyang Lam yang bermaksud merobohkan dan menawan gadis cantik yang sombong itu.
"Plakkk! Plakkkkk!"

Siu Bi dan Ouwyang Lam berseru kaget sekali karena dayung mereka tertangkis oleh dayung di tangan Cui Sian. Demikian kuat dan hebatnya tangkisan itu sehingga hampir saja Siu Bi dan Ouwyang Lam tak mampu menahan dan melepaskan dayung. Telapak tangan mereka terasa panas dan sakit-sakit. Hal ini sama sekali tak pernah mereka duga karena tadi mereka memandang rendah sekali, dan sesaat mereka kaget dan bingung.

Sebelum mereka dapat memperbaiki kedudukan, perahu mereka tertumbuk oleh perahu Cui Sian dan dayung di tangan Cui Sian secara dahsyat sekali telah menerjang mereka. Perahu miring, dua orang muda itu hampir terjengkang ke belakang dan oleh karena kedudukan yang buruk sekali dan lemah ini, sampai dayung di tangan Cui Sian tak dapat mereka tangkis lagi dan jalan satu-satunya bagi mereka untuk menyelamatkan diri hanya melempar diri ke belakang.

“Byuurrrrr…! Byuurrrrr…!”

Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua orang itu terlempar ke dalam air, juga perahu mereka telah terbalik!

Ouwyang Lam yang pandai berenang itu cepat menyambar lengan tangan Siu Bi yang gelagapan dan menarik gadis itu ke arah perahu mereka yang terbalik. Karena dayung mereka terlempar dan mereka berada di bawah ancaman dayung Cui Sian, mereka tak dapat berbuat sesuatu apa pun kecuali memegangi perahu yang terbalik dengan muka dan kepala yang basah kuyup!

"Ketahuilah, aku bernama Tan Cui Sian, bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya seorang pelancong yang kebetulan lewat dan tak senang melihat kekurang ajaranmu. Harap kali ini kalian menganggap sebagai pelajaran agar lain kali jangan kurang ajar dan sombong lagi." Setelah berkata demikian Cui Sian mendayung perahunya pergi meninggalkan dua orang yang tak berdaya dan memegangi perahu terbalik itu.
"He, manusia curang!" Siu Bi berteriak marah, memaki-maki. "Tunggu aku di darat kalau kau memang benar-benar gagah dan kita bertanding sampai sepuluh ribu jurus! Tidak bisa kau menghina Cui-beng Kwan Im dan pergi enak-enak begitu saja!"

Cui Sian menoleh dan tersenyum mengejek. "Julukannya saja Cui-beng (Pengejar Roh), walau pun cantik seperti Kwan Im, tetap saja jahat. Bocah masih ingusan, siapa takut padamu? Kutunggu kau di darat dan aku tanggung kau akan kulempar sekali lagi ke dalam air!"

Siu Bi memaki-maki, akan tetapi apa dayanya? Mengejar perahu itu terang tak mungkin. Lain dengan Ouwyang Lam. Biar pun amat mendongkol dan malu, tetapi segera bersuit nyaring memberi aba-aba kepada anak buahnya. Beberapa buah perahu hitam meluncur cepat dari balik alang-alang, menghampiri Ouwyang Lam dan Siu Bi yang kini sudah berhasil membalikkan perahu dan melompat ke dalam perahu dengan pakaian basah kuyup.

"Kejar iblis betina itu, gulingkan perahunya dan tangkap dia. Ingat, harus gulingkan perahunya lebih dulu!"

Perintah Ouwyang Lam ini segera ditaati oleh tiga buah perahu yang masing-masing berpenumpang tiga orang. Sembilan orang ahli air Ang-hwa-pai melakukan pengejaran. Ouwyang Lam dan Siu Bi mengikuti dari belakang setelah Ouwyang Lam terjun dan berenang mengambil dayung-dayung mereka yang tadi terlempar.

Cui Sian yang sama sekali tidak menduga bahwa dia akan dikejar, dengan hati puas mendayung perahunya ke tengah telaga, tidak tergesa-gesa pergi mendarat karena dia ingin melihat-lihat pulau itu dari dekat. Tak lama kemudian barulah dia melihat tiga buah perahu hitam meluncur cepat mendekati perahunya.

la dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang Ang-hwa-pai, apa lagi setelah dekat ia melihat bunga merah tersulam di baju mereka. Akan tetapi tentu saja ia tidak takut, malah menanti kedatangan mereka dengan dayung di tangan, siap menghantam dan menghajar mereka yang berani mengganggunya.

Akan tetapi, ia mulai terkejut melihat sembilan orang di dalam tiga buah perahu itu semua melompat ke dalam air dan tidak muncul lagi. Mereka menyelam! Segera Cui Sian dapat menduga apa yang akan mereka lakukan. Cepat dia mendayung perahunya meluncur pergi, namun terlambat. Perahunya berguncang hebat.

la berdiri menggunakan ginkang-nya, mengatur keseimbangan tubuh agar jangan sampai terjungkal ke dalam air. Bahkan dayungnya berhasil mengemplang punggung seorang penyelam yang segera menyelam dan berenang pergi sambil merintih-rintih. Akan tetapi akhirnya perahunya terguling!

Namun dengan gerakan yang amat indah, tubuh Cui Sian mencelat ke atas dan dengan berjungkir balik beberapa kali, tubuhnya cukup lama berada di atas sehingga ketika dia meluncur turun, perahunya sudah terbalik dan terapung lagi. la mendarat di atas perahu yang terbalik itu, siap dengan dayungnya.

Para penyelam melihat ini menjadi kagum sekali, juga penasaran. Mereka menyelam lagi mendekati dan berusaha menggulingkan perahu yang sudah terbalik agar nona itu ikut tenggelam.

Namun Cui Sian dengan dayungnya mempertahankan perahunya. Dua orang penyelam kena dihajar tangan mereka sehingga tulangnya patah, seorang penyelam lagi terpaksa dibawa pergi temannya karena kemplangan pada kepalanya membuat dia pingsan.

Ouwyang Lam dan Siu Bi sudah tiba di situ. Melihat betapa gadis kosen itu masih belum dapat ditangkap, malah mengamuk dan mempertahankan perahu yang sudah terbalik itu, melukai beberapa orang penyelam, dia menjadi marah dan diam-diam kaget juga.

Gadis itu benar-benar lihai. Hatinya tidak enak sekali. Kemudian dia bersuit memberi tanda kepada ternan-temannya yang sudah muncul di permukaan air tetapi tidak berani mendekati perahu terbalik itu. Kini hanya tinggal empat orang penyelam yang belum terluka, akan tetapi mereka jeri, tidak berani mendekat. Setelah Ouwyang Lam bersuit, mereka menyelam lagi.

Ouwyang Lam mendayung perahunya yang meluncur cepat mendekati perahu Cui Sian yang terbalik. "Adik Siu Bi, kesempatan kita untuk membalas!" katanya.

Siu Bi sudah bersiap dengan dayungnya. Ketika perahu mereka sudah dekat, Ouwyang Lam dan Siu Bi menggerakkan dayung. Kali ini mereka berlaku hati-hati, dayung mereka menerjang hebat dengan pengerahan tenaga.

Sebaliknya, Cui Sian berada dalam keadaan yang amat buruk. Berdiri di atas perahu terbalik amat licin dan terlalu sempit, sedangkan dua buah dayung yang menyerangnya itu pun tak boleh dibuat main-main.

Tadi pun ia sudah dapat kenyataan bahwa kedua orang muda ini memiliki kepandaian tinggi, hanya karena tadi memandang rendah kepadanya maka dalam segebrakan saja ia berhasil melempar mereka ke air. la maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Namun, Cui Sian memiliki sifat yang amat tenang, juga tabah. la tidak menjadi gentar, malah mengejek,

"Beginikah cara orang gagah? Mengeroyok dengan cara yang licik?"

Merah muka Siu Bi. Sesungguhnya ia benci akan cara demikian ini, akan tetapi semua itu yang mengatur adalah Ouwyang Lam, ia sebagai tamu tak dapat berbuat lain. Untuk diam saja tidak ikut mengeroyok juga tidak enak, apa lagi ia tadi sudah dibikin basah kuyup dan merasa amat marah kepada gadis bernama Cui Sian itu.

Dengan tenaga dalamnya yang murni dan sangat kuat serta gerakan dayungnya yang hebat, Cui Sian masih mampu mempertahankan diri dari desakan kedua buah dayung lawannya. Akan tetapi tiba-tiba perahu yang diinjaknya berguncang hebat.

Kini ia tidak mungkin dapat melawan orang-orang yang berada di dalam air karena dua batang dayung yang mengancamnya dari depan sudah cukup berbahaya. la berusaha mempertahankan diri, akan tetapi ketika tiba-tiba perahu yang diinjaknya itu tenggelam, tak mungkin lagi ia mempertahankan diri.

la ikut tenggelam dan pada lain saat ia gelagapan karena seperti juga Siu Bi, ia adalah seorang puteri gunung dan tidak pandai berenang! Sungguh pun demikian, ketika dua orang penyelam berusaha menangkap dan memeluknya, mereka itu memekik kesakitan dan pingsan terkena sampokan tangannya!

Melihat ini, Ouwyang Lam terjun ke air. Cui Sian sudah gelagapan dan menelan air, tentu saja bukan lawan Ouwyang Lam yang selain berkepandaian tinggi, juga ahli bermain di air. Sebelum Cui Sian sempat mempertahankan diri, sebuah sapu tangan merah yang diambil pemuda itu dari saku bajunya, telah menutup mukanya. la mencium bau harum dan... tak ingat diri lagi.

Ouwyang Lam menyeretnya sambil berenang. Ketika sampai di pinggir perahu, pemuda itu memondongnya naik ke perahu, melempar tubuh yang pingsan dan basah kuyup itu ke dalam perahu.

Siu Bi mengerutkan keningnya. "Mau diapakan dia ini, Ouwyang-twako?"

Mendengar pertanyaan ini dan melihat pandang mata Siu Bi yang tajam penuh selidik, Ouwyang Lam menjadi agak gagap ketika menjawab. "Diapakan? Dia... ehhh, tentu saja harus ditawan. Soal ini harus dilaporkan kepada Nio-nio. Gadis ini mencurigakan sekali, Siauw-moi (Adik Kecil). Kepandaiannya amat tinggi dan andai kata dia betul-betul bukan orang Kun-lun-pai, mengapa ia memusuhi kita? Dan mengapa pula ia berperahu di sini?"

"Kan ia sudah bilang bahwa ia seorang pelancong...," bantah Siu Bi, tidak setuju melihat gadis ini ditawan secara begitu.

Ouwyang Lam tersenyum, maklum bahwa gadis ini mulai menaruh curiga. la harus lebih berhati-hati, pikirnya.

"Jangan kau khawatir, Moi-moi. Dia ini ditawan hanya untuk ditanyai kelak. Bila ternyata benar dia itu hanyalah seorang pelancong yang iseng dan gatal tangan, tentu saja kami akan membebaskannya. Biar dia ditawan beberapa hari, hitung-hitung untuk membalas penghinaannya atas diri kita berdua."

Puas hati Siu Bi dengan jawaban ini. Sambil mendayung perahu kembali ke pulau, Siu Bi diam-diam mengagumi kecantikan gadis yang telentang di depannya. Benar-benar cantik jelita dan manis sekali. Sayang dia sombong, pikirnya, dan pernah menghinaku. Kalau tidak, hemmm, senang juga mempunyai kawan yang juga memiliki kepandaian tinggi ini.

la melihat ada benda mengganjal di atas pinggang belakang. Dirabanya, ternyata gagang pedang. Dengan perlahan disingkapnya baju luar itu dan ditariknya pedang itu. Sebuah pedang pendek! Akan tetapi begitu Siu Bi mencabutnya dari sarung, matanya silau oleh sinar yang putih gemerlapan.

"Wahhh, pedang yang hebat, pusaka ampuh!" seru Ouwyang Lam. "Moi-moi, kau benar. Pedang itu harus dirampas, kalau,tidak dia bisa membikin kacau setelah siuman."

Ucapan ini membikin muka Siu Bi semakin merah. Sama sekali dia tidak mempunyai niat untuk merampas pedang orang, hanya ingin melihat saja. Akan tetapi tiba-tiba ia berpikir.

Pedang pusakanya sendiri ia tinggalkan kepada Jaka Lola. la tidak bersenjata. Tak ada salahnya ia menyimpan dulu pedang ini, dan kalau segala sesuatu beres, mudah saja dia kembalikan kepada yang punya. Dari pada dirampas oleh Ouwyang Lam. Ia masih belum percaya penuh kepada pemuda ini atau kepada ‘bibi Kui Ciauw’.

Dalam keadaan masih pingsan, Cui Sian dibawa ke daratan pulau, dihadapkan kepada Ang-hwa Nio-nio. Nenek ini mengerutkan alisnya ketika mendengar laporan Ouwyang Lam. la memeriksa buntalan pakaian Cui Sian yang juga dibawa ke situ oleh anak buah yang menemukannya dari perahu yang terbalik. Akan tetapi buntalan itu isinya hanyalah beberapa potong pakaian dan sekantung uang emas. Tidak ada sesuatu yang membuka rahasia tentang diri gadis aneh itu.

Ang-hwa Nio-nio lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan warna biru, mengebutkan sapu tangan itu ke arah hidung Cui Sian, kemudian dengan sapu tangan itu pula ia menotok belakang leher. Ujung sapu tangan dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, hal ini saja membuktikan kelihaian nenek ini.

Kiranya sapu tangan warna biru itu mengandung obat pemunah racun merah. Tak lama kemudian Cui Sian menggerakkan pelupuk matanya dan pada waktu matanya terbuka, gadis ini sudah melompat bangun dan berada dalam keadaan siap siaga!

la memandang ke sekelilingnya, melihat muda-mudi bekas lawannya tadi berada di situ bersama seorang nenek berpakaian serba merah dan beberapa orang laki-laki setengah tua yang memakai tanda bunga merah di dada. Di pinggir berdiri pelayan-pelayan wanita.

Maklum bahwa dirinya dikepung musuh, Cui Sian meraba pinggangnya. Pedangnya tidak ada! Akan tetapi gadis ini tenang-tenang saja, sama sekali tidak menjadi gentar atau gugup. la malah tersenyum mengejek dan berkata,

"Bagus! Kiranya Ang-hwa-pai penuh tipu muslihat. Kalian secara curang sudah berhasil menawan aku, mau apa?"

Ang-hwa Nio-nio membentak ketus, "Bocah sombong, berani kau berlagak di depanku?! Sudah diampuni jiwanya masih sombong. Kalau tadi kami turun tangan membunuhmu, kau akan bisa apa?"

Cui Sian memandang nenek itu, pandang matanya tajam bukan main, membuat si nenek diam-diam tercengang dan menduga-duga, siapakah gerangan gadis yang bernyali besar dan penuh wibawa ini.

"Agaknya kau adalah ketua Ang-hwa-pai. Nah, katakan kehendakmu. Soal mati hidup, kau membunuhku pun aku tidak takut, kau membebaskan aku pun tak merasa berhutang budi."
"Bocah, lebih baik larutkan keangkuhanmu ini dan lekas kau mengaku, siapakah yang menyuruh kau datang memata-matai Ang-hwa-pai dan membikin kacau? Jika tidak ada yang menyuruh, apa maksud kedatanganmu? Jawab sebenarnya, jangan membikin aku habis sabar. Apa hubunganmu dengan Kun-lun-pai?"
"Tidak ada yang menyuruhku, Kun-lun-pai tiada sangkut-pautnya denganku. Aku seorang pelancong, kebetulan lewat dan berpesiar di telaga, lalu bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai. Kuanggap dua orang bocah ini keterlaluan sekali, maka aku sengaja hendak memberi hajaran. Dengan curang mereka berhasil menawan aku, terserah kalian mau apa sekarang. Mau bertanding sampai seribu jurus, hayo!"

Kembali Ang-hwa Nio-nio tercengang dan diam-diam harus dia akui bahwa gadis seperti ini tentu tak boleh dipandang ringan. "Siapakah kau dan dari mana kau datang?"

"Sudah kukatakan pada dua orang bocah ini, namaku Tan Cui Sian dan aku bukan orang Kun-lun-pai, sungguh pun Kun-lun-pai adalah partai segolongan dengan Thai-san-pai."

Berubah wajah Ang-hwa Nio-nio. "Kau anak murid Thai-san-pai? Dan kau... kau she Tan, apamukah Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San si kakek ketua Thai-san-pai?"
"Dia ayahku..."
"Keparat! Kiranya kini kau menyerahkan nyawa anakmu kepadaku, manusia she Tan?" Sambil berseru keras Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju, tangannya menghantam dan sinar merah membayang pada pukulannya ini.

Cui Sian sudah siap sejak tadi. la maklum bahwa nenek ini tentulah seorang sakti dan alangkah kecewanya bahwa dia tadi sudah mengaku dan menyebut nama ayahnya dan Thai-san-pai. Ternyata pengakuan itu hanya mendatangkan bahaya bagi dirinya karena ternyata bahwa nenek ini kiranya adalah musuh ayahnya.

Ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, memang mempunyai banyak sekali musuh, terutama dari golongan hitam. Setelah terlanjur membuat pengakuan, ia sekarang harus menghadapi bahaya dengan tabah.

Cui Sian bukan seorang gadis nekat seperti Siu Bi. Dia seorang yang berpemandangan luas, cerdik dan dapat melihat gelagat. Tentu saja ia maklum bahwa, amatlah berbahaya baginya untuk seorang diri saja menghadapi orang-orang Ang-hwa-pai di tempat mereka sendiri. Apa lagi ia bertangan kosong, kalau ada Liong-cu-kiam di tangannya masih boleh diandalkan.

Maka, melihat datangnya pukulan maut yang mengandung sinar merah, dia cepat-cepat miringkan tubuh dan mainkan jurus Im-yang Kun-hoat yang ia warisi dari ayahnya. Kedua tangannya dengan pengerahan dua macam tenaga Im dan Yang, menangkis sambaran tangan Ang-hwa Nio-nio yang tak mungkin dapat dielakkan lagi itu.

"Dukkk!"

Tubuh Cui Sian terlempar sampai ke luar dari pintu ruangan, ada pun ketua Ang-hwa-pai itu kelihatan meringis kesakitan.

Terlemparnya tubuh Cui Sian memang disengaja oleh gadis itu sendiri karena pertemuan tenaga mukjijat itu memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri, atau setidaknya keluar dari ruangan yang sempit itu agar kalau dikeroyok, ia dapat melawan lebih leluasa di tempat yang luas di luar rumah.

"Bocah setan, mau lari ke mana engkau?" Ang-hwa Nio-nio berseru, kemudian menoleh kepada Siu Bi dan Ouwyang Lam berkata, "Kejar, ia dan ayahnya adalah sekutu musuh besar kita, Pendekar Buta!"

Mendengar seruan ini, Ouwyang Lam dan Siu Bi cepat berkelebat melakukan pengejaran di belakang Ang-hwa Nio-nio. Juga para pembantu pengurus Ang-hwa-pai beramai-ramai ikut mengejar. Tentu saja Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam dan Siu Bi yang paling cepat gerakannya sehingga para pembantu itu tertinggal jauh.

Ternyata Cui Sian memiliki ginkang yang hebat, larinya cepat seperti kijang. Akan tetapi karena dia tidak mengenal tempat itu, tanpa dia ketahui dia telah lari ke daerah karang. Melihat ini, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam tertawa dan sengaja tidak mempercepat larinya, hanya mengejar dari belakang.

Siu Bi merasa heran, tetapi segera ia melihat kenyataan dan mengetahui persoalannya. Wajahnya seketika berubah pucat. Gadis yang dikejar itu telah lari memasuki sarang ular hijau! Dia bergidik dan diam-diam dia merasa tidak senang. Boleh saja mendesak dan menyerang musuh, akan tetapi tidak secara pengecut dan menggunakan akal busuk.

Melihat di depannya batu-batu karang yang sukar dilalui, apa lagi tiga orang pengejarnya masih terus mengejar dari belakang, Cui Sian terpaksa berhenti, membalikkan tubuh dan tersenyum mengejek.

"Kalian bertiga hendak mengeroyokku yang bertangan kosong? Bagus, memang benar gagah orang-orang Ang-hwa-pai! Setelah merampas pedang, kini mengeroyok."

Ouwyang Lam yang tadinya tertarik sekali akan kecantikan Cui Sian sekarang timbul kemarahannya. la telah dibikin malu, dan sekarang tiba saat baginya untuk membalas. la memang pernah dirobohkan, akan tetapi hal itu terjadi karena dia memandang rendah dan kejadian itu hanya dapat dialami secara tidak tersangka-sangka.

Sekarang mereka saling berhadapan dan dapat mengandalkan ilmu kepandaian mereka. la tidak percaya bahwa dia takkan dapat menangkan seorang gadis! Mendengar ejekan ini dia berkata, "Nio-nio, biarkan aku menghadapi gadis sombong ini!"

Dia melompat maju dan dengan nada suara mengejek pula dia menjawab Cui Sian,

"Perempuan sombong. Kau kira di dunia ini tidak ada yang dapat mengalahkanmu? Kau bertangan kosong? Lihat, aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, kau kira aku tidak berani? Akan tetapi kalau nanti kau tidak berlutut dan minta-minta ampun tujuh kali kepadaku, aku tidak akan melepaskanmu!"

Cui Sian menggigit bibirnya saking gemas dan marahnya. Baginya, ucapan pemuda ini pun mengandung arti yang kotor dan menghina. Tak sudi ia banyak cakap lagi, tubuhnya segera menerjang maju dengan seruan nyaring. "Lihat pukulan!"

Seruan begini adalah lazim dilakukan oleh pendekar-pendekar yang pantang menyerang orang tanpa peringatan lebih dulu, berbeda dengan sifat rendah tokoh-tokoh dunia hitam yang selalu menyerang secara sembunyi, malah menggunakan kesempatan selagi lawan lengah untuk merobohkan lawan itu.

Ouwyang Lam cepat mengelak dan sambaran angin pukulan gadis ini cukup meyakinkan hatinya bahwa dia tidak boleh main-main menghadapinya. Maka dia pun lalu cepat-cepat menggerakkan kaki tangan, memainkan Ilmu Silat Bintang Terbang sambil mengerahkan tenaga Ang-tok-ciang sehingga dari dua tangannya itu menyambar-nyambar sinar merah karena hawa beracun Ang-tok sudah memenuhi pukulan-pukulan itu.

Akan tetapi, Cui Sian bukanlah gadis sembarangan. Dia puteri Raja Pedang dan ketua Thai-san-pai yang sakti, yang semenjak kecil telah menggemblengnya dengan ilmu-ilmu kesaktian. Raja Pedang cukup mengenal ilmu-ilmu dari dunia hitam, maka pengertiannya tentang hal ini ia turunkan semua kepada puterinya sehingga kini, menghadapi pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun bersinar merah, Cui Sian sama sekali tidak menjadi gentar.

Kalau tadi ia dapat ditangkap, hal itu adalah karena ia tidak pandai berenang. Sekarang, sama-sama menggunakan tangan kosong, jangan harap Ouwyang Lam akan sanggup mengatasinya.

Dengan jurus-jurus Im-yang Sin-kun yang luar biasa, Cui Sian mampu menolak semua terjangan lawan, bahkan mulai balas mendesak dengan hebat. Ouwyang Lam terkejut setengah mati. Selama menjadi murid dan kekasih Ang-hwa Nio-nio dan telah mewarisi ilmu kesaktian wanita ini, belum pernah ia menemui tanding yang begini hebat selain Siu Bi.

Dia menjadi bingung oleh gerakan Cui Sian yang mengandung dua unsur tenaga yang berlawanan itu. Di suatu saat, pukulan Cui Sian bersifat keras, di lain detik merupakan pukulan lunak tetapi berbahaya. Memang di sini letak kehebatan Im-yang Sin-kun, ilmu silat yang berbeda dengan ilmu silat lain.

Ilmu-ilmu silat yang lain hanya mempunyai satu sifat, lembek atau keras, kalau lembek mengandalkan tenaga Iweekang, kalau keras mengandalkan gwakang. Akan tetapi gadis cantik ini mencampur aduk Iweekang dan gwakang, mencampur aduk hawa Im dan Yang dalam terjangannya, pencampur adukan yang sangat rapi karena memang menurut Ilmu Sakti Im-yang Sin-kun yang ia warisi dari ayahnya.

Setelah lewat lima puluh jurus, Ouwyang Lam sudah tidak kuat lagi. Hendak mencabut pedangnya, dia merasa malu karena di situ terdapat Siu Bi yang turut menonton. Masa melawan seorang gadis, setelah tadi menyombong sama-sama dengan tangan kosong, kini dia harus mencabut pedang? Memalukan sekali, lebih memalukan dari pada kalau dia kalah dalam pertandingan ini.

la mengerahkan tenaga mengumpulkan semangat dan menerjang dengan buas. Kini dia menggunakan jurus Bintang Terbang Terjang Bulan, tubuhnya melayang ke depan, dua tangannya mencengkeram ke arah dada dan leher. Serangan hebat yang mematikan!

Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Di samping kehebatannya, serangan ini pun tidak sopan. la membiarkan kedua tangan lawan itu menyambar dekat, memperlihatkan sikap gugup dan bingung. Ouwyang Lam girang sekali, akan berhasil agaknya dia kali ini.

"Awas...!" Ang-hwa Nio-nio berseru dan melompat ke depan.

Terlambat sudah! Tubuh Ouwyang Lam terbanting dari samping dan pemuda ini roboh bergulingan di atas tanah berbatu yang keras! Kiranya tadi sikap gugup dan bingung Cui Sian hanya merupakan pancingan belaka membiarkan lawan menjadi girang berbesar hati dan karenanya lemah kedudukannya.

Secepat kilat Cui Sian membuang diri ke kiri, hanya tubuh bagian atas saja yang meliuk ke kiri, sebatas lutut ke atas, namun kedua kakinya masih memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Gerakan yang amat indah. Pada saat kedua tangan Ouwyang Lam sudah menyambar lewat, Cui Sian balas menghantam dengan sampokan kedua lengannya dari samping, jari-jari tangannya terbuka dan dua tangannya yang mengandung dua macam tenaga, yang kiri menghentak dengan tenaga Im sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga Yang.

Tak kuat Ouwyang Lam mempertahankan diri dari serangan balasan yang mendadak dan tidak terduga-duga ini sehingga dia terbanting cukup hebat. Untung baginya bahwa pada saat itu, Ang-hwa Nio-nio sudah melompat datang dan menerjang Cui Sian tanpa banyak cakap lagi. Bila tidak demikian halnya, dalam keadaan terbanting dan kepalanya masih pening tadi, dengan amat mudahnya Cui Sian akan dapat menyusulkan serangan berikutnya yang membahayakan keselamatannya.

Ouwyang Lam bangun dengan muka merah. Hatinya panas mendongkol, apa lagi ketika dia menoleh ke arah Siu Bi dilihatnya gadis itu memandang ke arah Cui Sian dengan sinar mata penuh kekaguman. Dia merasa malu di depan Siu Bi. Terang bahwa dalam pertandingan tangan kosong tadi, dia kalah oleh gadis lihai puteri Raja Pedang ini.

Dalam marahnya, ingin dia mencabut pedang dan menyerang lagi bekas lawannya, biar pun Cui Sian pada saat itu sedang bertanding melawan Ang-hwa Nio-nio dengan hebat. Akan tetapi kehadiran Siu Bi di situ membuat Ouwyang Lam terpaksa menahan sabar dan tidak ada muka untuk melakukan pengeroyokan.

Sementara itu, pertandingan antara Cui Sian dan Ang-hwa Nio-nio sudah berlangsung dengan hebatnya. Dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ouwyang Lam, tentu saja Ang-hwa Nio-nio jauh lebih tinggi.

Cui Sian maklum dan merasakan hal ini, namun gadis perkasa ini mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan ilmu kesaktian Im-yang Sin-kun sehingga biar pun ia tidak mampu melakukan desakan macam tadi terhadap ketua Ang-hwa-pai ini, namun pertahanannya kokoh kuat laksana benteng baja.

Seperti juga Ouwyang Lam, ketua Ang-hwa-pai ini merasa malu untuk mempergunakan senjatanya, bukan malu terhadap lawan, melainkan tak enak hati terhadap Siu Bi yang dianggap sebagai tamu dan orang luar. Jika tidak ada Siu Bi di situ, sudah tentu Cui Sian sejak tadi dikeroyok dan tak mungkin gadis perkasa itu dapat menyelamatkan dirinya.

Di samping hal ini, juga Ang-hwa Nio-nio merasa penasaran sekali. Ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang tinggi, malah ia sudah mematangkan kepandaiannya sehingga ia berpendapat bahwa tingkatnya sekarang sudah tak berbeda jauh dengan tingkat musuh besarnya, Pendekar Buta. Akan tetapi mengapa menghadapi seorang gadis muda saja ia tidak mampu mendesaknya?

Memang dia sudah tahu akan kesaktian Raja Pedang. Akan tetapi puterinya ini baru dua puluh usianya, betapa pun juga baru berlatih belasan tahun, bagaimana dapat menahan dia yang telah melatih diri puluhan tahun? Inilah yang membuat hatinya penasaran dan ia menguras semua ilmunya untuk memecahkan pertahanan Cui Sian.

Namun, Im-yang Sin-kun adalah ilmu yang bersumber kepada Im-yang Bu-tek Cin-keng, merupakan rajanya ilmu silat dan telah mencakup inti sari dari semua gerakan silat. Ilmu silat yang dimiliki Pendekar Buta sendiri pun bersumber pada ilmu silat ini, demikian pula ilmu-ilmu silat dari semua partai bersih. Andai masa latihan Cui Sian sedemikian lamanya seperti Ang-hwa Nio-nio, jangan harap ketua Ang-hwa-pai itu akan dapat menang.

Sekarang pun, karena kalah matang dalam latihan, biar tak dapat mendesak lawan, akan tetapi Cui Sian masih dapat mempertahankan diri dengan baik. Memang jika dilanjutkan akhirnya dia akan kalah juga karena terus-menerus mempertahankan diri tanpa mampu membalas, akan tetapi akan memakan waktu lama sekali.

Siu Bi menonton pertempuran Itu dengan hati tegang. Matanya yang sudah terlatih akan ilmu-ilmu silat tinggi dapat membedakan sifat-sifat kepandaian kedua orang yang sedang bertanding itu.

Terjangan-terjangan Ang-hwa Nio-nio bersifat ganas dan kasar, ditunjang dengan hawa pukulan bersinar merah yang menyelubungi seluruh tubuh berpakaian serba merah itu. Sebaliknya, Cui Sian bersilat dengan gerakan yang sifatnya tenang serta kokoh kuat, indah dalam setiap gerakan dan hawa pukulan dari kedua tangannya mengandung sinar jernih tak berwarna namun cukup kuat sehingga menolak bayangan sinar merah lawan.

Saking tegangnya dan memandang penuh perhatian, Siu Bi tidak melihat lagi kepada Ouwyang Lam. Pemuda ini diam-diam mengeluarkan sebungkus bubuk berwarna putih, menyebarkannya di sekeliling tempat mereka, kemudian memberi tanda isyarat kepada para anak buah Ang-hwa-pai.

Tidak lama kemudian terdengarlah suara melengking tinggi bagaikan suling ditiup, tiada putus-putusnya datang dari empat penjuru, makin lama semakin melengking. Beberapa menit kemudian, Siu Bi mengeluarkan seruan kaget.

Beratus-ratus ekor ular mendesis-desis dan bergerak cepat dari semua jurusan menuju ke pertempuran itu. Seekor ular hijau yang besar dan panjang, paling cepat sampai di situ dan serta merta binatang ini mengangkat kepala dan meloncat dengan mulut terbuka ke arah Cui Sian!

Gadis sakti ini pun sudah melihat adanya ular-ular hijau yang datang menyerbu. Maka, begitu mendengar desis keras dari arah kiri, cepat dia melangkah mundur dan tangan kirinya dengan jari terbuka menyabet miring, tepat mengenai leher ular.

"Trakkk!"

Ular sebesar pangkal lengan itu terpukul keras sehingga terlepas sambungan tulangnya, tak berdaya lagi, lalu terbanting dan hanya ekornya saja yang masih menggeliat-geliat, kepalanya tak dapat digerakkan lagi!

Akan tetapi, Cui Sian harus menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan karena pada saat ia menghadapi penyerangan ular tadi, Ang-hwa Nio-nio sudah melakukan serangan hebat sekali yang amat berbahaya. Segulung sinar merah menerjang ke arah dada dan lehernya, dan ternyata Ang-hwa Nio-nio sudah mencabut pedangnya dan menyerangnya pada saat gadis itu tidak kuat kedudukannya.

Hanya dengan cara membuang diri ke belakang dan bergulingan inilah Cui Sian mampu menyelamatkan diri. Dia segera melompat bangun. Wajahnya merah, sepasang matanya berapi-api saking marahnya.

Biar pun lawan sudah memegang pedang dan di sekelilingnya sudah berkumpul ular-ular hijau, namun dara perkasa ini sama sekali tidak menjadi gentar! la maklum bahwa tak mungkin melarikan diri setelah ular-ular itu mendatangi dari segala jurusan, jalan lari selain terhalang ular-ular berbisa dan gunung-gunungan batu karang, juga di bagian lain berdiri Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya yang amat banyak.

Cui Sian maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dan besar kemungkinan ia akan tewas di sini. Namun ia mengambil keputusan untuk melawan dengan nekat dan sampai titik darah yang terakhir, tewas sebagaimana layaknya puteri pendekar besar dan ketua Thai-san-pai!

"Ang-hwa-pai tak tahu malu! Mengandalkan pengeroyokan dan bantuan ular-ular berbisa! Ang-hwa Nio-nio, majulah, jangan kira aku takut menghadapi kecuranganmu!"

Ang-hwa Nio-nio merasa penasaran, malu dan marah sekali. Memang amat memalukan kalau dia tidak mampu mengalahkan gadis ini, gadis muda tak bersenjata, dan ia masih dibantu ular-ular-hya. Kalau ia tidak mampu membunuh Cui Sian, sekali ini benar-benar akan rusak nama besarnya.

"Iblis cilik, siaplah untuk mampus! 
"Nanti dulu, Nio-nio!" Tiba-tiba Siu Bi berseru dan melompat ke depan.

Ang-hwa Nio-nio kaget dan heran, lebih-lebih herannya ketika Siu Bi berkata lantang,

"Aku tidak suka melihat ini! Aku pun benci dia karena dia adalah sahabat baik Pendekar Buta musuh besarku, akan tetapi aku tak suka melihat pertandingan yang berat sebelah ini. Ang-hwa Nio-nio, karena aku dan kau sudah bersahabat, aku tidak mau sahabatku melakukan hal yang tidak pantas. Dia ini boleh saja dibunuh, akan tetapi sedikitnya harus memberi kesempatan melawan, itulah haknya. Ayah... ayahku selain menekankan bahwa dalam keadaan bagaimana pun juga, aku harus bersikap gagah dan sama sekali tidak boleh curang. Hee, Cui Sian, ini pedangmu, kukembalikan. Sebelum mampus, kau boleh melawan dan jangan bilang bahwa aku menyembunyikan pedangmu. Tetapi berjanjilah, bila mana nanti kau sudah mati, relakan pedangmu ini menjadi milikku!" Sambil berkata demikian Siu Bi melemparkan Liong-cu-kiam kepada Cui Sian.

Sejenak Cui Sian tertegun sambil memegangi Liong-cu-kiam di tangannya. Tentu saja hatinya menjadi sebesar Gunung Thai-san sendiri setelah pedang pusakanya kembali di tangannya. Namun dia menjadi terheran-heran melihat sikap dan mendengar kata-kata gadis cilik itu.

Tahulah dia bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan anak buah Ang-hwa-pai! Seorang tamu agaknya, dan tentu gadis cilik yang juga lihai itu anak seorang tokoh hitam pula. la tersenyum dan menatap mesra ke arah Siu Bi.

"Adik manis, kau adalah batu kumala terbenam lumpur, biar sekelilingmu kotor kau tetap cemerlang! Tentu saja, aku berjanji, rohku akan rela kalau setelah aku mati, pedang ini menjadi milikmu. Namun sayangnya, aku tak akan mati, Adik manis. Dan kelak akan tiba saatnya aku membalas kebaikanmu ini!"

Sementara itu, Ang-hwa Nio-nio marah sekali. "Siu Bi, kau... kau amat lancang dan tolol!”
Setelah berkata demikian ketua Ang-hwa-pai ini menerjang dengan pedangnya. Sinar merah berkelebat ketika pedangnya, pedang pusaka ampuh yang sudah direndam racun kembang merah dan diberi nama sesuai pula, yaitu Ang-hwa-kiam, digerakkan menusuk ke depan. Pada saat yang sama, empat ekor ular juga sudah menerjang dari belakang, menggigit ke arah kaki Cui Sian.

Akan tetapi, setelah kini Liong-cu-kiam ada di tangannya, Cui Sian seakan-akan menjadi seekor harimau betina yang tumbuh sayap. Sinar putih berkilat-kilat menyilaukan mata ketika Liong-cu-kiam di tangannya beraksi. Pedang pusaka ampuh ini sudah menangkis Ang-hwa-kiam dan tenaga benturan itu ia manfaatkan dengan cara mengayun pedang ke belakang sambil merubah kedudukan kaki dari kuda-kuda melintang menjadi kuda-kuda membujur.

“Cringgg!”

Tenaga benturan membuat Liong-cu-kiam bergerak cepat, mengeluarkan suara nyaring, dan... empat ekor ular yang menyerang dari belakang tubuhnya telah terbabat buntung menjadi delapan potong!

"Hebat...!" Siu Bi terbengong-bengong kagum tiada habisnya.
Indah sekali gerakan itu dan ia maklum bahwa dengan pedang pusaka di tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan lawan berat dan ia sendiri masih sangsi apakah ia dengan Cui-beng-kiam akan dapat mengimbangi kesaktian nona cantik langsing ini.

"Kenapa kau membantunya...?"

Siu Bi menengok. Alisnya berkerut ketika melihat bahwa yang mengeluarkan pertanyaan dengan suara ketus itu bukan lain adalah Ouwyang Lam. Pemuda itu sekarang berdiri dengan pedang terhunus, sikapnya mengancam.....
Siu Bi mengedikkan kepalanya. "Siapa membantunya? Aku tak sudi membantu sahabat baik musuh besarku, akan tetapi aku pun tidak sudi membantu kecurangan, walau pun yang curang adalah teman sendiri. Kau mau apa?!"

"Mari kita keroyok dia. Dia lihai sekali dan kalau sampai dia terlepas, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan di belakang hari."
"Kau mau keroyok, terserah. Twako, apakah kau tidak malu? Lihat, ketua Ang-hwa-pai telah melawannya dengan bantuan ular-ular mengerikan itu. Hal itu saja sudah tidak adil, masa kau mau ajak aku mengeroyok lagi? Aku tak sudi mengambil kemenangan secara rendah begitu!"
"Tetapi, Moi-moi, dia itu termasuk musuh kita. Ayahnya adalah ketua Thai-san-pai, bukan saja sahabat baik Pendekar Buta, malah masih terhitung gurunya!"
"Ahhh..."

Ouwyang Lam mengira bahwa seruan ini menyatakan perubahan di hati Siu Bi. Akan tetapi sebetulnya bukan demikian. Siu Bi terkejut memang, akan tetapi ia terkejut karena teringat bahwa gadis itu saja sudah begitu lihai, apa lagi Pendekar Buta!

"Lihat, Moi-moi, dia begitu lihai. Kalau kita tidak turun tangan, bisa berbahaya!"

Sesudah berkata demikian, dengan pedang terhunus Ouwyang Lam lantas menerjang ke medan pertempuran. Dia sudah menyebar bubuk anti ular pada sepatu serta celananya sehingga seperti halnya Ang-hwa Nio-nio, dia tak akan diganggu lagi oleh ular-ular itu.

Sesudah Liong-cu-kiam berada di tangannya, Cui Sian memang hebat luar biasa. Boleh jadi dalam hal keuletan, pengalaman, dan keahlian, dia masih belum mampu menandingi Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi biar pun belum matang betul karena usianya masih muda, akan tetapi ilmu pedang yang ia mainkan adalah raja sekalian ilmu pedang, yaitu Im-yang Sin-kiam.

Ilmu pedang inilah yang dulu sudah membuat ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, menjagoi di dunia persilatan dan membuat Raja Pedang itu berhasil mengalahkan semua lawannya yang sakti. Kini, dengan ilmu pedang sakti itu, ditambah pula dengan pedang pusaka Liong-cu-kiam yang amat ampuh di tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan seorang lawan yang sukar dikalahkan.

Betapa pun juga, keroyokan ular-ular itu membuat Cui Sian repot. Menghadapi Ang-hwa Nio-nio saja dia sudah harus mengerahkan seluruh perhatiannya karena memang wanita itu amat ganas dan berbahaya, apa lagi sekarang dibantu oleh Ouwyang Lam yang tidak rendah kepandaiannya.

Oleh karena itu, sambaran ular-ular dari belakang dan kanan kiri benar-benar membuat ia sibuk sekali dan ngeri. la maklum bahwa sekali saja tergigit ular hijau, maka nyawanya tidak akan dapat tertolong lagi. Sudah puluhan ekor ular terbabat mati oleh pedangnya, sehingga bangkai ular itu bertumpuk serta berserakan di sekelilingnya, menyiarkan bau yang amis dan memuakkan, bau yang mengandung racun pula.

Cui Sian terkejut bukan main. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menahan nafas sambil mengerahkan sinkang melawan bau yang sangat memuakkan itu. Akan tetapi karena di lain pihak ia diserang hebat oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dan diancam pula oleh semburan ular-ular beracun, berkali-kali perhatiannya terpecah dan tanpa sengaja ia menyedot dan terserang bau amis itu.

Kepalanya mulai pening, pandang matanya berputaran. Pedangnya masih dia gerakkan secara cepat, diputar-putar melindungi tubuhnya. Akan tetapi akibat matanya makin lama semakin gelap, akhirnya dia terkena tusukan ujung pedang Ouwyang Lam yang melukai pundaknya.

Dengan hati merasa muak Siu Bi memandang dan hatinya merasa ngeri juga karena sebentar lagi dia akan menyaksikan gadis perkasa itu roboh mandi darah dan dikeroyok ular-ular hijau. Untuk menolong, dia tidak sudi karena bukankah gadis perkasa itu masih sahabat bahkan saudara seperguruan dengan musuh besarnya?

la harus membenci gadis itu, biar pun perasaan hatinya tak memungkinkannya menaruh rasa itu, bahkan ada rasa kagum di lubuk hatinya. Namun, dia harus membenci semua yang ‘berbau’ Pendekar Buta! Betapa pun juga, rasa bencinya yang dipaksakan ini tidak melebihi rasa tidak senangnya terhadap Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam yang dia anggap berjiwa pengecut dan curang, sama sekali tidak memiliki sifat-sifat gagah sedikit pun juga.

"Tranggg! Tranggg!" Bunga api berpijar.

Ang-hwa Nio-nio, juga Ouwyang Lam, melompat ke belakang, kaget bukan main karena pedang mereka tersambar sinar hitam, telapak tangan mereka menjadi sakit dan hampir mereka terpaksa melepaskan pedang. Sinar hitam masih terus berkelebatan dan matilah ular-ular yang berada di sekeliling Cui Sian dalam jarak dua meter!

Siu Bi melompat kaget ketika melihat laki-laki yang memegang pedang bersinar hitam itu. Itulah pedangnya dan laki-laki itu bukan lain adalah Yo Wan!

"Kau...?!?" serunya, kaget dan heran.

Yo Wan cepat merangkul pundak Cui Sian yang terhuyung dan tidak ingat diri dengan Liong-cu-kiam masih tergenggam erat-erat. Kemudian Yo Wan menoleh ke arah Siu Bi, tersenyum getir dan melemparkan Cui-beng-kiam. "Nona, ini pedangmu kukembalikan. Terimalah!"

Pedang itu melayang dengan gagang di depan ke arah Siu Bi yang menangkapnya dengan mudah. Mata gadis ini terbelalak memandang. Entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, melihat Yo Wan memondong tubuh Cui Sian yang pingsan itu dan melangkah pergi dengan cepat, hatinya menjadi panas dan marah!

Selanjutnya baca
JAKA LOLA : JILID-05
LihatTutupKomentar