Jaka Lola Jilid 05


Sementara itu, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam sejenak tercengang. Heran mereka mengapa hari ini, setelah Siu Bi muncul pula orang-orang muda yang amat lihai, padahal orang-orang muda ini sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw.

Namun, melihat betapa pemuda sederhana berpakaian putih itu memondong tubuh Cui Sian yang pingsan, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam menjadi marah. Sambil berseru keras Ang-hwa Nio-nio melompat diikuti oleh Ouwyang Lam.

"Jahanam, jangan harap dapat keluar dari Ching-coa-to dalam keadaan bernyawa!" seru Ang-hwa Nio-nio.

Tangannya bergerak dan sinar kemerahan meluncur ke arah punggung Yo Wan. Itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang ampuh serta tak kalah jahatnya dengan Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang dahulu dimiliki oleh majikan pulau itu.

Kedua-duanya memang merupakan senjata rahasia yang ampuh dan sekali menyentuh kulit dan menimbulkan luka, korban itu takkan tertolong lagi nyawanya. Akan tetapi, tentu saja Ang-hwa Nio-nio lebih lihai dalam menggunakan senjata halus ini karena memang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada mendiang Ching-toanio. Oleh karena itu pelepasan jarum-jarum itu amat berbahaya.

Bagi si penyambit dan orang lain, jarum-jarum yang sudah berubah menjadi segulungan sinar merah itu agaknya pasti akan mengenai punggung Yo Wan yang lari memondong tubuh Cui Sian. Akan tetapi, aneh bin ajaib akan tetapi nyata terjadi, pemuda itu masih berlari-lari dan jarum-jarum itu melayang ke depan, hilang di antara pepohonan, sama sekali tidak menyentuh baju Yo Wan!

Hal ini sebenarnya tidak mengherankan, oleh karena dalam larinya, Yo Wan yang selalu berhati-hati, apa lagi maklum bahwa dia dikejar orang-orang pandai, telah menggunakan langkah ajaib Si-cap-it Sin-po. Dengan langkah-langkah ajaib ini, apa lagi ditambah oleh pendengarannya yang sangat tajam karena terlatih sehingga dia dapat mendengar angin sambaran senjata rahasia, tentu saja dengan mudah dia dapat menghindarkan serangan gelap dari belakang.

Betapa pun lihainya Yo Wan, dia adalah seorang asing di pulau itu, sama sekali tidak mengenal jalan. Dia hanya berlari dengan tujuan ke pantai telaga, karena itu dalam kejar mengejar ini sebentar saja Ouwyang Lam serta Ang-hwa Nio-nio yang mengambil jalan memotong dapat menyusulnya. Bahkan dua orang ini tahu-tahu sudah muncul di depan, menghadang larinya Yo Wan!

Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Tadinya dia tidak ingin bertempur, apa lagi dengan tubuh gadis itu dalam pondongannya. Akan tetapi agaknya dia tak dapat menghindarkan pertempuran kalau menghendaki selamat.

Segera dia meraih pedang di tangan gadis itu yang walau pun dalam keadaan pingsan masih memegangnya erat-erat. Sekali renggut dia dapat merampas pedang ini dan tepat di saat itu, pedang Ang-hwa Nio-nio serta pedang Ouwyang Lam sudah menyerangnya dengan ganas.

Yo Wan memondong tubuh Cui Sian dengan lengan kirinya. Tangan kanannya memutar pedang dan sekali bergerak dia berhasil menangkis dua pedang lawannya. Pertempuran hebat segera terjadi dan karena tiga batang pedang itu kesemuanya merupakan pedang-pedang pusaka, maka berhamburanlah bunga api setiap kali ada pedang beradu.

”Uuhhh..." Cui Sian mengeluh meronta.

Yo Wan yang memondongnya cepat-cepat melepaskan nona itu sambil menariknya ke belakang agar menjauh dari sinar pedang dua orang pengeroyoknya.

"Nona, kau sudah kuat betul?"

Cui Sian adalah seorang gadis yang sudah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil. Sinkang di tubuhnya sudah amat kuat, maka pengaruh racun tadi tidak lama menguasai dirinya. Setelah siuman hanya sejenak ia nanar, akan tetapi segera teringat akan segala pengalamannya dan seketika dia maklum bahwa pemuda yang dikeroyok oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dengan mempergunakan pedangnya secara aneh itu adalah penolongnya.

"Sudah, terima kasih. Harap kau kembalikan pedangku dan biarkan aku melawan mereka yang curang ini!"

Yo Wan menggunakan tenaganya menangkis dan sekaligus menerjang ganas sehingga dua orang lawannya terpaksa menghindar ke belakang. Kesempatan ini dia pergunakan untuk mengembalikan pedang Liong-cu-kiam kepada pemiliknya. Dengan hati gemas Cui Sian lalu memutar pedang itu dan menerjang kedua orang lawannya.

"Nona, tidak baik mengacau tempat orang lain, lebih baik lari selagi ada kesempatan," kata Yo Wan sambil mencabut pedang kayu dari balik jubahnya.

Pemuda ini sebetulnya mempunyai sebatang pedang pusaka pula, yaitu pedang pusaka pemberian isteri Pendekar Buta. Akan tetapi dia tidak pernah mempergunakan pedang ini dan hanya menggunakan pedang kayu cendana yang dibuatnya sendiri di Pegunungan Himalaya. Ilmu batin yang dalam dipelajarinya dari Bhewakala membuat hatinya dingin terhadap pertempuran dan permusuhan, maka dia tak akan menggunakan senjata tajam untuk menyerang orang apa bila keselamatannya sudah cukup dilindungi dengan pedang kayunya.

Serangan Cui Sian yang dahsyat diterima Ouwyang Lam. Ang-hwa Nio-mo menghadapi Yo Wan yang dia tahu malah lebih lihai dari pada puteri Raja Pedang itu. Bukan main kaget, heran, dan kagumnya pada saat dia mendapat kenyataan bahwa pedang kayu di tangan pemuda itu sanggup menahan senjata pusakanya, Ang-hwa-kiam! Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan muda yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, merupakan lawan yang amat berat.

Ada pun Ouwyang Lam yang kini menghadapi Cui Sian sendirian saja, dalam beberapa gebrakan sudah nampak terdesak hebat. Untung baginya, Cui Sian dapat menangkap kata-kata Yo Wan.

Gadis ini diam-diam membenarkan bahwa tiada gunanya melanjutkan pertempuran. Biar pun dia akan dapat menangkan pemuda ini, akan tetapi tempat itu merupakan sebuah pulau yang terkurung air, dan anak buah Ang-hwa-pai amat banyak. Selain ini, pulau itu sangat berbahaya dengan ular-ularnya, juga Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya pandai menggunakan racun-racun jahat. Melanjutkan pertempuran hanya berarti mengundang bahaya bagi diri sendiri. la pribadi tidak mempunyai urusan, apa lagi permusuhan dengan orang-orang ini, apa perlunya bertempur mati-matian?

"Kau benar, Sahabat, mari kita pergi!” katanya.

Yo Wan kagum dan girang sekali. Gadis ini ternyata seorang yang berpengalaman dan berpandangan jauh, alangkah bedanya dengan Siu Bi yang tindakannya amat sembrono. Mereka berdua lalu melompat jauh ke belakang, kemudian lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju ke pantai.

Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu menangkan dua orang itu, maka mereka tidak mengejar. Ang-hwa Nio-nio dengan muka keruh memberi tanda rahasia dengan suitan nyaring kepada anak buahnya agar supaya menghalangi kedua orang musuh itu, dan berusaha menangkap mereka di dalam air.

Akan tetapi, Yo Wan dan Cui Sian sudah melompat ke sebuah perahu kecil dan begitu mereka menggerakkan dayung di kanan kiri perahu, tidak mungkin lagi ada anak buah Ang-hwa-pai yang akan dapat mengejar mereka. Perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa karena digerakkan oleh tangan-tangan sakti, maka gagallah harapan terakhir Ang-hwa Nio-nio untuk menangkap mereka dengan cara menggulingkan perahu.

Ketika dua orang ini kembali ke tengah pulau, ternyata Siu Bi sudah lenyap, tidak berada di situ lagi. Ouwyang Lam kelabakan dan mencari-cari, memanggil-manggil, namun gadis yang dicarinya tidak ada, karena memang dalam keributan tadi, diam-diam Siu Bi sudah lari meninggalkan pulau itu.

Setelah kedua orang muda pelarian itu melompat ke darat dengan selamat, barulah Cui Sian sempat berhadapan dengan Yo Wan. Dengan perasaan kagum gadis ini kemudian menjura memberi hormat yang dibalas cepat-cepat oleh Yo Wan.

"Hari ini saya, Tan Cui Sian, menerima bantuan yang amat berharga dari sahabat yang gagah perkasa. Saya amat berterima kasih dan bolehkah saya mengetahui nama dan julukan sahabat yang mulia?"

Akan tetapi orang yang ditanya membelalakkan kedua matanya, lalu menatap wajah Cui Sian penuh selidik. Kadang-kadang kepala pemuda itu miring ke kanan, kadang-kadang ke kiri, wajahnya membayangkan rasa keheranan dan kegirangan yang besar.

Cui Sian mengerutkan alisnya, dan kecewalah hatinya. Apakah pemuda yang tadinya ia anggap luar biasa, gagah perkasa dan sederhana ini sebenarnya seorang laki-laki yang kurang ajar? Kedua pipinya mulai menjadi merah, pandang matanya yang penuh kagum dan hormat mulai berapi-api.

Akan tetapi semua ini buyar seketika dan berubah menjadi keheranan ketika pemuda itu tertawa bergelak dengan amat gembira, kemudian seperti orang gila hendak memegang tangannya sambil berseru,

"Ya Tuhan...! Benar sekali, tidak salah lagi... ahhh, kau Cui San... ehh, maksudku, kau... ehhh, Tan-siocia (nona Tan). Ha-ha-ha, sungguh hal yang tidak tersangka-sangka sama sekali. Serasa mimpi!"

Tentu saja Cui Sian tidak membolehkan tangannya dipegang. Dia mengelak dan dengan suara ketus dia bertanya, "Apa artinya ini? Siapa kau dan apa kehendakmu?"

"Ha-ha-ha, tidak aneh kalau Anda lupa, sudah lewat dua puluh tahun! Nona Tan, saya adalah Yo Wan!"
"...Yo Wan..? Yang mana... siapa...?" Cui Sian mengingat-ingat.

"Wah, sudah lupa benar-benar? Saya A Wan, masa lupa kepada A Wan yang dahulu pernah... ha-ha-ha, pernah menggendongmu, bermain-main di Liong-thouw-san bersama kakek Sin-eng-cu Lui Bok?"

Mendadak wajah yang ayu itu berseri, matanya bersinar-sinar dan kini Cui Sian yang melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu. "A Wan! Ahh, tentu saja aku ingat...! A Wan, kau... kau A Wan? Ahh, siapa duga..."

Sejenak jari-jari tangannya menggenggam tangan pemuda itu, namun segera dilepasnya kembali dan kedua pipinya menjadi merah. "...ahhh... ehh, sungguh tidak sangka... siapa kira kau sendiri yang akan menolongku? Tentu saja aku tak dapat segera mengenalmu, kau sekarang menjadi begini... begini, gagah perkasa dan lihai. Benar-benar aku kagum sekali!"

Wajah Yo Wan juga menjadi merah karena jengah dan malu, biar pun hatinya berdebar girang dengan pujian itu. "Kaulah yang hebat, Nona... tidak mengecewakan kau menjadi puteri Raja Pedang Tan-locianpwe ketua Thai-san-pai."

"A Wan, di antara kita tak perlu pujian-pujian kosong itu, dan apa artinya kau menyebut nona kepadaku? Namaku Cui Sian, kau tahu akan ini. Aku mendengar dari ayah bahwa Pendekar Buta hanya mempunyai seorang murid, yaitu engkau, akan tetapi mengapa gerakan pedangmu tadi... serasa asing bagiku?"

Yo Wan menarik nafas panjang, "Memang sebetulnya aku adalah murid suhu Kwa Kun Hong, akan tetapi... aneh memang, aku menerima pelajaran ilmu dari orang lain, yaitu dari mendiang Sin-eng-cu locianpwe dan mendiang Bhewakala locianpwe."

Sejenak kedua orang muda ini berdiri saling pandang. Yo Wan kagum, sama sekali tidak mengira bahwa bocah perempuan yang dulu itu, yang sering digodanya akan tetapi juga sering dia ajak bermain-main di Pegunungan Liong-thouw-san, dia carikan kembang atau dia tangkapkan kupu-kupu, pernah ketika gadis ini jatuh dia gendong di belakang, bocah yang dahulu itu sekarang telah menjadi seorang gadis yang begini hebat. Berkepandaian amat tinggi, berpandangan luas, bersikap gagah perkasa, wajahnya cantik sekali, bentuk tubuhnya langsing dan luwes. Pendeknya, seorang dara yang hebat.

Cui Sian segera menundukkan muka. Kedua pipinya menjadi makin merah, jantungnya berdegupan secara aneh. Mengapa dadanya bergelora, jalan darahnya berdenyar serta kepalanya menjadi pening? Mengapa ia yang tadinya berani menghadapi siapa pun juga dengan hati terbuka, tabah dan tidak pemalu, sekarang tiba-tiba merasa amat canggung dan malu terhadap pemuda ini, yang sama sekali bukanlah seorang asing baginya? Dia merasa benar-benar bingung dan tidak mengerti. Belum pernah Cui Sian merasakan hal seperti ini.

Biasanya dia amat pandai membawa diri, pandai bicara dan tidak canggung meski pun berhadapan dengan siapa pun juga. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan A Wan yang kini telah berubah menjadi seorang lelaki yang berpakaian sederhana, wajah yang membayangkan kematangan jiwa, dengan kepandaian yang sudah terbukti amat tinggi, ia benar-benar kehilangan akal!

"Non... eh, adik Cui Sian. Bagaimanakah kau bisa tersesat ke pulau yang menjadi sarang orang-orang jahat berbahaya itu? Bukankah kau masih tetap tinggal di Thai-san bersama orang tuamu?"

Di dalam hatinya Yo Wan menghitung-hitung dan dapat menduga bahwa usia Cui Sian tentu sekitar dua puluh tiga tahun. Dalam usia demikian, sudah semestinya kalau puteri ketua Thai-san-pai ini telah menjadi isteri orang. Mungkin suaminya tinggal tak jauh dari tempat ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya secara langsung dan karenanya dia bertanya dengan cara memutar.

Cui Sian amat cerdik. la setengah dapat menduga isi hati Yo Wan, maka cepat-cepat ia menjawab, "Aku masih tinggal dengan ayah bundaku di Thai-san dan sekarang ini... aku memang sedang merantau, turun gunung. Kebetulan di telaga ini aku bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai yang dihina orang-orang Ang-hwa-pai. Karena Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar dan kenalan baik ayahku, maka aku tidak tinggal diam dan membantu mereka. Siapa sangka, dengan cara amat curang Ang-hwa-pai menawanku..." selanjutnya dengan singkat ia menceritakan pengalamannya di telaga itu.
"Baiknya bagaikan dari langit turunnya, muncul engkau sehingga aku dapat terbebas dari maut. Kau sendiri, bagaimana bisa kebetulan berada di sini? Apakah tempat tinggalmu sekarang dekat-dekat sini... ehh, Twako? Kau lebih tua dari padaku, sepatutnya kusebut twako, Yo-twako!"

Yo Wan tersenyum. "Memang sebaiknya begitulah, Sian-moi (adik Sian). Tadi kau tanya tentang tempat tinggalku? Ahh, aku tiada tempat tinggal, juga tiada sanak kadang, hidup sebatang kara dan merantau tanpa tujuan."

"Oohhh..." Cui Sian menghela nafas dan hatinya pun berbisik, "Dia masih... sendiri, seperti aku, dia kesepian, seperti aku pula."

Dengan kepala tunduk Cui Sian lalu mendengarkan cerita Yo Wan.

"Datangku ke Ching-coa-to hanya kebetulan saja, gara-gara... seorang gadis yang aneh. Dia lihai, wataknya aneh, akan tetapi sebetulnya berjiwa gagah." Secara singkat Yo Wan bercerita tentang pertemuannya dengan Siu Bi, betapa gadis lincah galak itu karena menolong para petani yang tertindas, dimasukkan dalam tahanan, kemudian dia bantu membebaskannya.

"Dia aneh sekali," Yo Wan menutup ceritanya, "tanpa sebab dia menguji kepandaian denganku, tetapi kemudian setelah terdesak, ia melarikan diri, meninggalkan pedangnya. Aku lalu mengejarnya untuk mengembalikan pedang, dan ternyata jejaknya membawaku ke Ching-coa-to dan agaknya bukan dia yang membutuhkan pertolongan, melainkan kau yang sama sekali tak pernah kuduga!"

Cui Sian mengangguk. "Dia memang seorang gadis gagah, sayang dia bergaul dengan orang-orang jahat dari Ang-hwa-pai. Bagaimana pun juga, dia telah menolongku dengan mengembalikan pedangku ketika aku dikeroyok ular."

"Aku pun heran sekali, sepak terjangnya gagah. Akan tetapi bagaimana dia bisa berada di sana? Ahh, agaknya dia memang memiliki hubungan dengan Ang-hwa-pai... sungguh tak kuduga sama sekali!" Wajah Yo Wan membayangkan kekecewaan besar.

Diam-diam Cui Sian yang menaruh perhatian, perasaannya tertusuk. Menurut cerita Yo Wan tadi, pemuda ini baru saja bertemu dengan Siu Bi, akan tetapi agaknya telah begitu tertarik dan amat memperhatikan keadaannya. Cui Sian mencoba untuk membayangkan wajah Siu Bi. Gadis yang masih muda sekali, cantik jelita, akan tetapi memiliki sifat-sifat keras dan ganas.

"Agaknya dia hanya seorang tamu di sana. Sepanjang dugaanku ketika aku dikeroyok di sana, dia tetap tidak sudi melakukan pengeroyokan biar pun mereka belum juga berhasil merobohkan aku. Ini saja menjadi tanda bahwa dia berbeda dengan orang-orang pulau itu. Akan tetapi, jika ia selalu berdekatan dengan mereka, akhirnya ia pun mungkin akan rusak..."

Tiba-tiba saja Cui Sian dan Yo Wan bergerak berbareng, melompat ke arah gerombolan pohon di sebelah kiri.

Siu Bi muncul dari balik pohon, pedang Cui-beng-kiam di tangan. Wajahnya keruh dan matanya berapi-api memandang Cui Sian yang menjadi tercengang setelah mengenal siapa orangnya yang bersembunyi di balik pohon-pohon itu. Juga Yo Wan tercengang, sama sekali tidak disangkanya bahwa Siu Bi sudah menyusul.

Sebetulnya bukan menyusul, malah Siu Bi lebih dulu meninggalkan Ching-coa-to. Ketika melihat Yo Wan menolong Cui Sian dan memondongnya pergi, hatinya menjadi panas dan tak senang. la marah-marah, dia sendiri tidak tahu marah kepada siapa, pendeknya ia amat marah, kepada siapa saja. Kepada Ouwyang Lam, kepada Ang-hwa Nio-nio dan kepada semua penghuni Ching-coa-to.

Diam-diam ia lalu pergi dari situ, menggunakan sebuah perahu dan mendayungnya cepat ke darat. Tak ada seorang pun anggota Ang-hwa-pai melihatnya karena mereka sedang bingung dan bersiap-siap melakukan pengepungan terhadap musuh apa bila diperintah. Andai ada yang melihatnya pun, mereka tentu tak akan berani mengganggu. Bukankah gadis ini sudah menjadi ‘orang sendiri’ dan sahabat baik kongcu?

Setibanya di darat, Siu Bi duduk termenung dan ketika melihat munculnya perahu yang didayung cepat oleh Cui Sian dan Yo Wan, ia cepat bersembunyi di balik pepohonan dan sempat mendengarkan percakapan mereka. Ucapan-ucapan terakhir yang menyinggung dirinya membuat ia tak dapat tenang, sehingga gerakannya segera dapat ditangkap oleh pendengaran Cui Sian dan Yo Wan yang amat tajam dan terlatih.

"Kalian berdua adalah orang-orang yang tak tahu malu! Kalau memang berani, hayo kita bermain pedang, kalau perlu boleh aku kalian keroyok dua. Apa perlunya bermain mulut, menggoyang lidah tak bertulang?"
"Eh-eh-ehh, Nona. Datang-datang kau marah besar tidak karuan, ada apakah?" Yo Wan mengangkat kedua alisnya, bertanya.

Cui Sian juga memandang heran dan diam-diam ia harus akui akan kebenaran kata-kata Yo Wan tadi, betapa aneh watak dara remaja itu. Akan tetapi diam-diam dia juga harus mengakui, betapa cantik moleknya Siu Bi.

"Marah-marah tidak karuan? Pandai memutar balikkan fakta!" Siu Bi membentak marah sekali, pedangnya yang terhunus itu ia acung-acungkan. "Kalian yang mengumbar mulut jahat, menggoyang lidah membicarakan orang semaunya dan tidak karuan! Hayo mau bilang apa sekarang, apakah kalian kira aku tak mendengarkan kasak-kusuk kalian yang busuk? Apakah ini sikap orang-orang gagah, laki-laki dan wanita kasak-kusuk di tempat sunyi, membicarakan orang lain?"

Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Tadinya ia kagum dan suka kepada Siu Bi, apa lagi dara remaja itu sudah menolongnya di Ching-coa-to. Akan tetapi ucapan yang galak ini benar-benar menyinggung hatinya, karena mengandung sindiran tentang dia berdua Yo Wan.

"Nanti dulu, adik yang baik. Kami memang telah bicara tentang dirimu, akan tetapi bukan membicarakan hal yang buruk..."
"Cih! Bicarakan hal buruk atau pun baik, aku melarang kalian bicara tentang diriku! Apa peduli kalian kalau aku rusak atau tidak? Apa sangkutannya kalian dengan apa yang aku lakukan, dengan siapa aku bergaul? Huh, sekarang aku sudah rusak, nah, kalian mau apa? Puteri Raja Pedang, hayo cabut pedangmu, kita bertanding sampai selaksa jurus, yang kalah boleh mampus!"
"Siu Bi...!" dalam kagetnya Yo Wan lupa menyebut ‘nona’. Dia takut gadis aneh ini akan kumat (kambuh) lagi penyakitnya, tiada hujan tiada angin menantang orang bertanding. "Sungguh mati, Sian-moi (adik Sian) sama sekali tidak bicara buruk tentang..."
"Diam kau! Atau... kau hendak membela moi-moi-mu yang manis ini? Boleh, boleh, kau boleh maju sekalian mengeroyokku. Aku tidak takut!"

Celaka benar, pikir Yo Wan kewalahan. Tanpa sengaja dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Melihat ini, Cui Sian menahan senyumnya. Gadis ini sudah cukup berpengalaman, cukup bijaksana sehingga dia tidak terseret ke dalam gelombang kemarahan akibat sikap gadis muda yang liar ini.

Akan tetapi hatinya terasa perih. Dia harus mengakui bahwa dalam pertemuan yang tidak terduga-duga dengan Yo Wan ini, hatinya yang selama ini tegak, kini menunduk, runtuh oleh kesederhanaan, kegagahan dan wajah Yo Wan. Akan tetapi berbareng ia pun dapat menduga bahwa pemuda yang menjatuhkan hatinya ini agaknya mencinta Siu Bi, dan kini, melihat sikap Siu Bi ia dapat menduga bahwa gadis remaja ini menjadi marah-marah seperti itu karena cemburu dan cemburu adalah sahabat cinta!

Dengan suara lembut dia lalu berkata, "Bertanding sih mudah, memang bermain pedang merupakan kesenanganku. Akan tetapi, aku selamanya tak sudi bertanding tanpa alasan tepat. Di pulau tadi, kau tidak mau mengeroyokku, malah kau telah membantuku dengan mengembalikan pedang ini. Sekarang kau menantangku, apa alasannya?"

"Peduli apa dengan alasan? Kalau memang kau berani, hayo lawan aku!"
"Berani sih berani, adik yang manis. Akan tetapi tanpa alasan, aku tidak mau bertempur dengan kau atau pun dengan siapa juga."

Panas hati Siu Bi. Gadis ini demikian tenang, demikian sabar. Tentu akan kelihatan amat baik hati dalam pandang mata Yo Wan! Atau agaknya karena di hadapan pemuda itulah maka gadis ini bersikap begitu sabar dan tenang, biar dipuji!

"Kau mau tahu alasannya? Karena kau puteri Raja Pedang, maka kutantang kau!”
"Itu bukan alasan, Biar ayahku berjuluk Raja Pedang, tapi kau tidak kenal dengan ayah, tak mungkin bermusuhan dengan ayah, mana bisa dijadikan alasan?"
"Aku memusuhi ayahmu!"
"Ihhh, kenapa?"
"Karena ayahmu sahabat baik, bahkan gurunya Pendekar Buta!"
"Ahhh...!" Yo Wan yang mengeluarkan suara ini dan makin panas hati Siu Bi.

Apakah nama Pendekar Buta demikian besar dan hebatnya sehingga Yo Wan juga kaget ketika mendengar dia memusuhi Pendekar Buta? Karena panasnya hati, ia melanjutkan, suaranya lantang dan ketus.

"Aku telah bersumpah, akan kubuntungi lengan Pendekar Buta, juga isterinya dan semua keturunannya, dan tentu saja semua sahabat baiknya adalah musuhku. Ayahmu Si Raja Pedang sahabat Pendekar Buta, kau pun tentu sahabatnya, maka kau musuhku. Hayo, berani tidak? Tak sudi aku bicara lagi!"

Wajah Yo Wan seketika menjadi pucat mendengar ini. Cui Sian maklum akan hal ini dan dapat merasakan juga pukulan hebat yang diterima pemuda itu. la tahu bahwa Pendekar Buta adalah penolong dan guru Yo Wan yang amat dikasihi, dan agaknya baru sekarang pemuda ini mendengar kenyataan yang amat menusuk perasaan, yaitu kenyataan bahwa gadis lincah dan liar ini adalah musuh besar Pendekar Buta.

Oleh karena itu, Cui Sian hanya tersenyum masam dan memberi kesempatan kepada Yo Wan untuk menguasai perasaannya yang tertikam. la tidak ingin menambah penderitaan Yo Wan dengan melayani kenekatan Siu Bi.

Sesudah berhasil menekan perasaannya yang kacau balau, Yo Wan segera melangkah maju. Matanya memandang tajam kepada Siu Bi ketika dia berkata,

"Nona, kau... kau benar-benar sudah tersesat jauh sekali! Harap kau singkirkan jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu, tidak mungkin itu... Beliau adalah seorang pendekar yang berbudi, seorang gagah perkasa dan bijaksana yang tiada duanya di dunia ini. Aku tak percaya bahwa kau pernah dibikin sakit hati oleh Pendekar Buta. Mana mungkin kau bersumpah hendak membuntungi lengannya dan lengan keluarganya? Tak mungkin ini!”

"Hemmm, begitukah pendapatmu? Kiranya kau hanya berpura-pura berlaku baik padaku karena hendak mengubah kehendakku? Tidak mungkin ini! Aku sudah mempertaruhkan nyawaku. Biar Pendekar Buta seorang yang memiliki tiga buah kepala dan enam buah lengan, aku tidak akan mundur setapak pun. Boleh jadi dia pendekar besar, boleh jadi dia berbudi dan bijaksana terhadap orang lain, akan tetapi terhadap mendiang kakek Hek Lojin, sama sekali tidak! Lengan Kakek Hek Lojin menjadi buntung oleh Pendekar Buta, dan karena itu, aku bersumpah hendak membalaskan sakit hati ini, aku telah bersumpah akan membuntungi lengan..."
"Jangan... jangan kau berkata begitu...,” Yo Wan melompat dan laksana seorang gila dia menggunakan tangannya mendekap mulut Siu Bi!
"Ahhh... aku... uppp, lepaskan… lepaskan...!"

Siu Bi tentu saja meronta ronta, berusaha memukulkan gagang pedangnya, bahkan dia lalu membalikkan pedangnya hendak menusuk. Akan tetapi Yo Wan sudah memegangi lengannya dan dia sama sekali tidak dapat melepaskan diri.

Diam-diam Cui Sian menjadi terharu sekali, berseru nyaring, "Yo-twako, aku pergi dulu ke Liong-thouw-san."

la melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. la memang seorang gadis yang luas dan tajam pikirannya, dapat menggunakan pikiran mengatasi perasaan hatinya. Cui Sian maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, lebih baik kalau dia pergi meninggalkan dua orang itu.

Siu Bi sedang dikuasai rasa cemburu dan tentu akan makin menggila dan menantangnya sehingga dia khawatir kalau-kalau dia akhirnya tidak kuat menahan kesabarannya. Juga, tak mungkin ia dapat memukul Siu Bi, pertama karena gadis liar itu pernah menolongnya, kedua kalinya karena ia tidak mempunyai permusuhan dengannya.

la pernah mendengar nama Hek Lojin dari ayah ibunya, dan maklum bahwa Hek Lojin adalah seorang tokoh hitam yang amat jahat seperti iblis, juga berilmu tinggi. Siapa duga, gadis yang tadinya dia sangka seorang gadis gagah perkasa itu, kiranya cucu murid Hek Lojin. Pantas demikian aneh dan liar seperti setan!

Yo Wan sedang gugup, bingung, berduka dan kecewa. Karena itulah maka dia hanya menyesal sebentar bahwa Cui Sian pergi dalam keadaan seperti itu. Baru setelah Siu Bi mengeluarkan suara seperti orang menangis terisak, dia sadar akan perbuatannya yang luar biasa ini.

Dia sedang merangkul Siu Bi, mendekap mulutnya dan memegangi lengannya. Setelah sadar, dengan tersipu-sipu ia cepat melepaskan pegangannya. Mukanya sebentar merah sebentar pucat.

"Kau... kau... mau kurang ajaran, ya? Kau mengandalkan kepandaianmu? Karena kau sudah dapat menangkan aku, kau lalu mengira boleh berbuat sesukamu kepadaku? Kau laki-laki kurang ajar, kau laki-laki sombong, kau... kau... jangan kira aku takut, kau harus mampus...!" Serta merta Siu Bi menerjang dengan pedangnya.

Tentu saja Yo Wan cepat mengelak dan berkata, "Siu Bi... ehh, Nona..., tunggu dulu...”

"Tunggu apa lagi? Tunggu kau kurang ajar lagi? Kau merangkul-rangkul aku, mendekap mulutku, siapa beri ijin? Kurang ajar! Kau kira aku sama seperti Cui Sian, kau kira aku akan tergila-gila kepadamu, karena kau tampan, karena kau gagah, karena kau lihai? Cih, tak bermalu!" Pedangnya menusuk leher dan kembali Yo Wan mengelak.
"Sabar...!" Dia sempat berkata, tetapi cepat mengelak lagi karena sinar pedang hitam itu sudah menyambar. "Siu Bi, jauh-jauh aku mengejarmu, di sepanjang jalan penuh gelisah setelah menemukan sapu tanganmu ini..." la mencabut sapu tangan kuning dari sakunya. "Kukira kau terancam bahaya maut... kiranya kau menyambutku dengan serangan nekat begini. Aku takut kau terancam bahaya, kau malah ingin aku mati..."
"Makan ini!" kembali pedang Siu Bi menyambar, kini menyabet ke arah hidung.

Cepat Yo Wan meloncat dan menggerakkan kedua kakinya dengan langkah ajaib karena penyerangan gadis itu benar-benar tak boleh dipandang rendah.

"Kau mau menggunakan lidah tak bertulang? Jangan coba bujuk aku, he... Jaka Lola tak tahu diri. Kau bilang gelisah memikirkan aku, tetapi kenyataannya, dengan menyolok kau hanya datang untuk membantu Cui Sian. Wah, kau gendong-gendong dia. Mesra, ya? Cih, tak bermalu! Sekarang kau hendak membela Pendekar Buta lagi? Nah, matilah!"

Mau tidak mau Yo Wan tersenyum geli. Gadis ini memang luar biasa aneh. Tapi... tapi... agaknya marah-marah karena dia telah menolong Cui Sian? Hatinya berdebar. Benarkah dugaannya ini? Benarkah Siu Bi tak senang dia menolong gadis lain? Cemburu? Susah berurusan dengan gadis yang begini galak, pikirnya.

"Nanti dulu, Siu Bi, berhenti dulu...”
"Berhenti kalau kau sudah mati!" teriak Siu Bi.

Siu Bi mengirim tusukan cepat dan kuat sekali. Kalau terkena lambung Yo Wan, tentu pemuda itu akan di ‘sate’ hidup-hidup. Akan tetapi langkah ajaib menolong Yo Wan dan pedang itu meluncur lewat belakang punggungnya. Cepat dia memutar tubuh ke kiri dan tangan berikut gagang pedang itu sudah dikempit di bawah lengannya. Siu Bi tak dapat bergerak lagi!

"Nanti dulu, dengarkan dulu omonganku. Bila sudah dengar dan tetap menganggap aku salah, boleh kau sembelih aku dan aku Yo Wan tak akan mengelak lagi!"

Tangan kiri Siu Bi tadinya sudah bergerak hendak mengirim pukulan. Mendengar ucapan ini dia tampak ragu-ragu dan bertanya. "Betulkah itu? Kau tak akan mengelak lagi kalau nanti kuserang?"

"Tidak, tapi kau harus dengarkan dulu omonganku, bersabar dulu, jangan terlalu galak."
"Sumpah?"
"Sumpah...? Sumpah apa?"
"Sumpah bahwa kau tak akan melanggar janji?"
"Pakai sumpah segala?" Yo Wan melepaskan kempitannya dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. "Aku..."
"Tidak usah, bersumpah pun percuma! Mana bisa dipegang sumpah laki-laki? Sebagai gantinya sumpah, hayo bersihkan tanganku ini!" la mengasurkan tangannya ke depan.

Yo Wan melongo. "Bersihkan tanganmu? Kenapa?" la mengerutkan alisnya. Tak sudi dia demikian direndahkan, apakah dia akan diperlakukan sebagai seorang bujang?

Siu Bi merengut, marah lagi, terbayang pada matanya yang bersinar-sinar seperti akan mengeluarkan api.

"Memang kau tak bertanggung jawab, berani berbuat tak berani menanggung akibatnya. Kau tadi mengempit tanganku di ketiakmu, apa tidak kotor?"

Hampir saja Yo Wan meledak ketawanya, begitu geli hatinya sehingga perutnya terasa mengkal dan mengeras. Gadis ini benar-benar... ah, gemas dia, kalau berani tentu sudah dicubitnya pipi dara itu.

Tapi ia maklum bahwa gadis ini tidak berpura-pura, memang benar-benar bersikap wajar, sikap kanak-kanak yang nakal dan manja. Yo Wan lalu menggunakan ujung baju untuk menyusuti tangan yang berjari dan berkulit halus itu. Makin berdebar jantungnya hingga jari-jari tangannya agak gemetar ketika bersentuhan dengan jari-jari tangan Siu Bi yang ‘dibersihkan’.

Tiba-tiba Siu Bi merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Yo Wan. "Sudahlah...! Lama-lama amat membersihkan saja, agaknya kau memang senang pegang-pegang tanganku, ya?"

Tentu saja kedua pipi Yo Wan seketika menjadi merah sekali saking malu dan jengah mendengar teguran yang benar-benar tidak mengenal sungkan lagi ini akan tetapi yang langsung menusuk hati dengan tepatnya.

"Nah, sekarang kau omonglah! Awas, jika dari omonganmu ternyata kau masih bersalah terhadapku, pedangku akan menyembelih lehermu!" Mata Siu Bi memandang ke arah leher Yo Wan, penuh ancaman.

Akan tetapi Yo Wan sama sekali tidak merasa ngeri. Meski gadis ini merupakan kenalan baru, akan tetapi dia seperti telah mengenal luar dalam, sudah hafal akan wataknya yang memang aneh itu. Dia yakin bahwa sampai mati Siu Bi tak akan sudi melakukan hal itu, menyembelih orang yang tidak melawan seperti orang menyembelih ayam saja!

Dia tersenyum dan duduk di atas rumput. Ketika Siu Bi juga menjatuhkan diri duduk di depannya, dia merasa gembira dan lega hatinya, timbul kembali rasa aneh yang sangat bahagia di hatinya seperti ketika dia bersama gadis itu makan berdua menghadapi api unggun.

"Aku tidak berbohong, tak pernah membohong dan juga takkan suka membohong kalau akibat perbuatan itu aku merugikan orang lain." Yo Wan mulai dengan kata-kata memutar karena dia maklum bahwa menghadapi seorang seperti Siu Bi, ada perlunya sekali-kali membohong, maka dia tadi sengaja menambahi kata-kata ‘kalau akibat membohong itu akan merugikan lain orang’! "Pada waktu kau lari itu, pedangmu tertinggal. Aku menyesal sekali telah membikin kau marah dan kecewa, maka aku mengambil pedangmu dan lari mengejar. Celaka, kiranya ilmu lari cepatmu luar biasa sekali. Mana aku mampu untuk mengejar? Aku tidak dapat mengejarmu dan ketika kulihat sapu tangan ini... ada darah di situ... aku menjadi gelisah bukan main. Aku khawatir kalau-kalau kau terjatuh ke tangan orang jahat...”

"Memang aku terjatuh ke tangan orang jahat, anak buah Ang-hwa-pai yang menculikku setelah membuat aku pingsan dengan bubuk racun merah yang harum."
"Ahhh...! Sudah kukhawatirkan terjadi hal seperti itu...! Kemudian bagaimana?"

Siu Bi meruncingkan bibirnya. Yo Wan terpaksa meramkan kedua matanya melihat mulut yang kecil itu meruncing seperti hendak menusuk ulu hatinya. "Huh, yang mau omong ini engkau atau aku? Kaulah yang harus meneruskan omonganmu. Hayo, lalu bagaimana?"

Yo Wan tersenyum. Timbul lagi kegembiraannya. Ah, alangkah akan nikmat dan bahagia hidup jika bisa seperti ini terus. Heran dia, kenapa selalu terasa seperti ini, bunga-bunga makin indah, daun hijau makin segar, bahkan batang-batang pohon bentuknya menjadi penuh keindahan, semua hal aneh ini terjadi apa bila Siu Bi berada di dekatnya, dengan sikapnya yang nakal, aneh, menggemaskan dan kadang-kadang membingungkan.

"Aku lalu menyimpan sapu tangan pembungkus rambutmu ini yang... ehhh, yang harum baunya tapi ternoda darah... tadinya kusangka darahmu..."
"Bukan darahku. Kupukul seorang penjahat sampai berdarah. Pada waktu aku pingsan, agaknya dia sudah mengambil sapu tangan itu dan menggunakannya untuk mengusap darahnya..."
"Celaka..." pikir Yo Wan dan hidungnya dikernyitkan, alisnya berkerut.
"Ehhh, kenapa kau? Mukamu seperti... seperti monyet kalau begitu!"

Yo Wan tidak menjawab, hanya cemberut. Celaka, pikirnya. Teringat dia betapa kadang-kadang dia menciumi sapu tangan berdarah itu, mengira itu darah Siu Bi. Kiranya darah penjahat. Pantas baunya tak sedap.

"Sudahlah, sapu tanganku itu boleh kau miliki, teruskan omonganmu. Sampai di sini aku belum melihat kesalahan-kesalahan."

Belum ada kesalahan? Kesalahan besar yang patut diberi hukuman tamparan tiga kali, pikir Yo Wan.

"Aku mengejar terus sampai akhirnya aku berhenti di pinggir Sungai Fen-ho. Di sana aku dihadang oleh bajak sungai. Kukalahkan tiga orang itu, kutangkap seorang dan kupaksa mengaku. Dari bajak itulah aku tahu bahwa kau telah menjadi tawanan Ang-hwa-pai dan dibawa ke Ching-coa-to. Aku lalu melakukan pengejaran, akan tetapi karena aku belum mengenal jalan dan di sepanjang jalan harus berhenti untuk bertanya-tanya, maka tentu saja bajak itu sampai ke Ching-coa-to lebih dulu."
"Stop dulu! Awas, apakah pada bagian ini kau tidak membohong? Agaknya di jalan kau bertemu dengan Cui Sian dan itulah yang menyebabkan kau terlambat datang."
"Tidak sama sekali!"
"Kalau tidak, bagaimana bisa begitu kebetulan? Nah, lanjutkanlah,"
"Ketika mendarat di Ching-coa-to, aku sama sekali tidak tahu bahwa di situ ada Cui Sian, malah aku tidak pernah kenal siapa dia. Yang kukhawatirkan tentu saja kau, karena aku menyusul tergesa-gesa ke Ching-coa-to adalah karena hendak menolongmu."
"Hemmm..." Siu Bi menggerakkan mulut mengejek, tanda tak percaya. "Teruskanlah..." kata-kata ini membayangkan bahwa dia amat tertarik. Diam-diam Yo Wan geli hatinya.
"Tapi, ketika aku tiba di tempat pertempuran, aku melihat hal yang amat aneh dan sama sekali di luar dugaanku."
"Apa itu?"
"Ehh, kulihat kau yang kukhawatirkan setengah mati itu sedang berdampingan dengan seorang pemuda tampan dan ganteng, sama sekali kau tidak ditawan, apa lagi terancam! Sekali pandang saja aku maklum bahwa kau memang tidak membutuhkan pertolongan, maka perhatianku lalu tertarik oleh keadaan Cui Sian yang terancam bahaya maut. Tentu saja aku tidak bisa membiarkan orang-orang jahat menyiksa orang seperti itu, maka aku kemudian turun tangan menolongnya. Karena maklum bahwa berlama-lama di sana akan berbahaya, aku lalu membawa pergi Cui Sian yang masih pingsan, melarikan diri dengan perahu meninggalkan Ching-coa-to."
"Tanpa pedulikan aku lagi, ya?"
"Lho, kau kan tidak apa-apa! Aku sama sekali tidak merasa khawatir meninggalkan kau di sana karena agaknya kau tidak bermusuhan dengan orang-orang Ang-hwa-pai."
"Hemmm, tadi kau bilang tidak kenal Cui Sian, padahal sesudah kau dengan dia berada di sini, kalian bicara kasak-kusuk begitu mesra. Kau menyebutnya moi-moi segala!"

Yo Wan tersenyum dan mukahya menjadi merah. Benar-benar gadis ini belum mengenal sungkan, bicara secara blak-blakan tanpa malu-malu dan sungkan lagi, malah dia yang menjadi jengah dan untuk sejenak tak mampu menjawab.

"Pringas-pringis! Hayo beri keterangan, bagaimana? Atau, barangkali kau bohong ketika bilang tidak mengenal dia?"
"Begini, Nona..."
"Huh, aku yang lebih dulu kau kenal, masih kau sebut nona-nona segala. Dia baru saja kau jumpai, sudah kau sebut moi-moi. Coba pikir, bukankah hal ini sangat memanaskan perut?"

Senyum Yo Wan melebar. Benar-benar seperti anak kecil. "Kalau begitu, biar kusebut kau moi-moi. Aku tadinya takut menyebut kau moi-moi, kau begitu galak sih.”

”Siapa kegilaan dengan sebutanmu? Teruskan!”
"Begini sebenarnya. Ketika aku menolong Cui Sian, aku benar-benar tidak mengenal dia, dan aku menolong hanya karena tidak dapat berdiam diri saja melihat seorang wanita muda terancam maut. Akan tetapi sesudah kami berdua bercakap-cakap, baru aku tahu bahwa dia itu adalah seorang temanku bermain ketika kami masih kecil. Ketika itu dia baru berusia tiga empat tahun, dan aku berusia enam tujuh tahun. Tentu saja pertemuan yang tak terduga-duga itu menggembirakan dan kami bicara tentang masa lalu."

Siu Bi mengangguk-angguk, wajahnya agak berseri, tidak marah lagi seperti tadi.

"Dan kalian kasak-kusuk? Bicara tentang diriku, ya?"
"Tapi kami tidak bicara buruk. Cui Sian bukan macam gadis yang suka memburukkan orang lain."
"Aku tahu. Dia gagah perkasa memang. Tapi... tapi dia sahabatnya Pendekar Buta. Dan kau...!" Tiba-tiba Siu Bi berdiri, "Kau juga hendak membela Pendekar Buta? Mengapa? Kau siapa? Apamukah Pendekar Buta itu?"
"Eeittt, sabar dan tenanglah. Aku sama sekali tidak membelanya. Dengar baik-baik, Siu Bi Moi-moi. Aku mencegah kau memusuhi Pendekar Buta, sama sekali bukan dengan maksud lain kecuali untuk mencegah kau menghadapi bahaya maut. Kau tahu, Pendekar Buta adalah seorang yang teramat sakti, tak terkalahkan, dan mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat di dunia ini, sahabat-sahabat yang sakti-sakti pula. Karena itu, harap kau jangan sembarangan bicara dan ingat baik-baik lebih dulu sebelum memusuhinya, karena hal itu teramat berbahaya bagi keselamatanmu."

Sejenak Siu Bi termenung, kemudian matanya bersinar dan dia menyimpan pedangnya. Yo Wan menarik nafas panjang, dadanya lapang.....
"Yo-twako... nah, aku pun menyebutmu Yo-twako, seperti Cui Sian tadi. Yo-twako..."
“Hemmm…”
"Waduh, kau senang ya kusebut Yo-twako?"
"Tentu saja senang, Bi-moi. Kau hendak berkata apa tadi?"
"Yo-twako, apakah kau suka kepadaku?"

Yo Wan tersentak kaget. Benar-benar gila! Mana ada seorang gadis bertanya tentang hal ini seperti orang bertanya mengenai perut lapar atau tubuh lelah saja. Begitu biasa dan sederhana! Begitu langsung dan terus terang. Apakah tidak luar biasa?

"Tentu saja, Bi-moi. Aku... aku… suka kepadamu."
"Betul? Tidak bohong? Jangan-jangan di mulut bilang begitu, di hati berbunyi lain!"
"Sungguh mati, Bi-moi. Aku memang suka padamu, suka betulan, tidak main-main dan tidak bohong!"
"Betul suka? Dan kau mau menolongku, mau membantuku?"
"Tentu saja!"

Siu Bi memegang kedua tangan Yo Wan dan meloncat-loncat kecil seperti orang menari, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar, kedua pipinya merah, bibirnya yang manis dan merah membasah itu sedikit terbuka, terhias oleh senyum. Bukan main cantik manisnya, membuat Yo Wan terpesona dan tubuhnya serasa dingin.

"Yo-koko yang baik, koko yang perkasa. Terima kasih! Aku pun suka sekali kepadamu! Yo-twako, mari kau bantu aku untuk mencari Pendekar Buta dan membuat perhitungan, membalas sakit hati kakek Hek Lojin!"

Kepala Yo Wan serasa disambar geledek. Mampuslah kau sekarang! Mau rasanya dia menggejil (memukul dengan buku jari) kepalanya sendiri. Mampus kau si sembrono! Cih, terbujuk dan tertipu oleh kanak-kanak! Ingin dia marah marah kepada diri sendiri, marah kepada Siu Bi. Akan tetapi dia tidak tega memarahi dara yang begini gembira ria dan bahagia. Dia harus berlaku cerdik. Boleh juga membohong demi keselamatan hubungan mereka, demi kesenangan Siu Bi.

"Tentu saja aku akan membantumu dalam segala hal, Bi-moi. Tetapi mari kita duduk dulu dan kau ceritakan padaku riwayat hidupmu. Siapakah kakekmu yang bernama Hek Lojin itu? Dan mengapa kau memusuhi Pendekar Buta? Kemudian, kau juga belum ceritakan bagaimana kau yang tadinya terculik oleh anggota Ang-hwa-pai itu tahu-tahu bisa bebas dan kelihatannya tidak dimusuhi lagi di Ching coa to”.

Siu Bi duduk di atas rumput, wajahnya masih berseri. "Engkau baik sekali, Yo-twako. Aku sekarang takkan marah lagi padamu. Maafkan kelakuanku yang sudah-sudah, ya?"

Yo Wan terharu. Seorang gadis yang baik, baik sekali pada dasarnya. Kasihan, agaknya tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya di waktu kecil.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, adikku. Kau seorang gadis yang baik sekali.”
"Sebetulnya aku tidak suka menceritakan riwayatku kepada siapa pun juga, Twako. Akan tetapi kepadamu... lain lagi."

Aduhhh, jantung Yo Wan serasa cesssss... bagai direndam air es. la memandang wajah itu dan kedua matanya seakan-akan bergantung pada bibir yang bergerak-gerak lincah.

"Aku mau ceritakan semua, akan tetapi kau harus berjanji akan memberi pelajaran ilmu silat kepadaku, Twako."
"Ilmu silat? Tapi... ilmu silatmu sudah hebat sekali!"
"Hebat apanya? Cara engkau menghindarkan pedangku tadi. Bukan main! Aku ingin kau mengajarkan aku cara mengelak seperti itu, Twako."

Yo Wan terkejut, Si-cap-it Sin-po atau ilmu langkah ajaib itu dia pelajari dari Pendekar Buta! Mana boleh diajarkan kepada orang lain, apa lagi kepada orang yang jelas berniat memusuhi Pendekar Buta? Tetapi dia segera mendapat sebuah pikiran yang cerdik dan bagus, maka dia mengangguk. "Baiklah, nanti kuajarkan itu kepadamu!"

Siu Bi mulai dengan ceritanya secara singkat. "Aku anak tunggal seorang janda, sampai sekarang aku tak tahu siapa ayahku sebab ibu merahasiakannya. Aku lalu diambil anak oleh ayah angkatku, juga aku menerima pelajaran dari kakek guruku, yaitu Hek Lojin itu. Semenjak kecil aku belajar silat di Go-bi-san dan kakek Hek Lojin amat sayang padaku. Dia kehilangan lengannya, buntung sebatas siku kiri, dibuntungi oleh Pendekar Buta saat bertempur melawannya. Karena kakek amat baik padaku, dia sudah menurunkan semua ilmunya kepadaku dan aku sudah bersumpah sebelum dia meninggal dunia bahwa aku pasti akan mencari Pendekar Buta kemudian membalaskan dendam hatinya dengan cara membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya."

"Mengapa kakekmu bertempur dengan Pendekar Buta? Apakah dia tidak menceritakan kepadamu sebab-sebabnya sehingga kau dapat mengerti apakah sebetulnya kesalahan Pendekar Buta terhadap kakekmu?" Dengan hati-hati dan secara berputar, Yo Wan lalu bertanya dengan maksud mengingatkan gadis ini bahwa tidak baik mengancam hendak membuntungi lengan orang-orang tanpa tahu kesalahan mereka yang sesungguhnya.

Akan tetapi dia keliru. Siu Bi menggerakkan alisnya yang hitam panjang dan kecil seperti dilukis. "Apa peduliku tentang itu? Bukan urusanku! Urusan antara mendiang kakek dan Pendekar Buta, tiak ada sangkut-pautnya dengan aku. Urusanku dengan Pendekar Buta hanya untuk membalaskan sakit hati kakek yang sudah dibuntungi lengannya, tentu saja berikut tambahan bunganya karena kakek sudah menderita puluhan tahun lamanya. Ada pun bunganya adalah lengan isteri dan anak Pendekar Buta."

Jawaban ini membuat Yo Wan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik nafas panjang.

"Ehh, kau tidak setuju? Bukankah kau bilang hendak membantuku menghadapi mereka?"

Cepat Yo Wan menjawab. "Memang, aku akan membantumu dalam segala hal, Bi-moi. Akan tetapi, aku hanya ingin mengatakan bahwa tugasmu itu sama sekali bukanlah hal yang mudah dilaksanakan. Pendekar Buta Kwa Kun Hong ialah seorang pendekar besar yang sangat sakti. Isterinya pun memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga puteranya. Mereka bertiga merupakan keluarga yang sukar sekali dilawan, apa lagi dikalahkan secara yang kau katakan tadi, membuntungi lengan mereka. Wahhh, hal ini kurasa tak akan mungkin dapat kau lakukan."

"Hemmm, Yo-twako, kenapa kau begini kecil hati dan penakut? Aku sih sama sekali tidak takut! Apa lagi ada kau di sampingku yang akan membantuku, Menghadapi iblis-iblis dari neraka pun aku tidak takut! Kau tak usah khawatir, Twako. Kalau kita sudah berhadapan dengan mereka, biarkan aku menghadapi mereka sendiri. Kau tak usah ikut campur atau turun tangan. Terserah kepadamu apakah kau mau membantuku kalau melihat aku kalah oleh mereka. Aku hanya minta kau temani aku ke Liong-thouw-san. Bagaimana?"

Yo Wan merasa kasihan sekali dan hatinya tidak tega untuk menolak. Sungguh seorang gadis yang patut dikasihani. Tidak tahu siapakah ayahnya? Adakah kenyataan yang lebih pahit dari ini?

"Bi-moi, aku sendiri merasa heran mengapa ibumu merahasiakan siapa adanya ayahmu. Akan tetapi, siapakah itu ayah angkatmu?"
"Dia suami ibu!"
"Ahhh...!" Tak dapat Yo Wan menahan seruannya ini, karena memang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Melihat gadis itu memandang tajam karena seruan kagetnya, dia cepat-cepat menyambung. "Kalau begitu, dia itu bukan ayah angkatmu, melainkan ayah tirimu. Begitukah?"

Siu Bi mengangguk, lalu terus menundukkan mukanya. Betapa pun juga, hatinya tertusuk dan merasa sakit. Semenjak kakeknya terbunuh oleh The Sun dan ia mendengar bahwa orang yang selama itu ia anggap ayahnya ternyata bukan ayahnya sejati, timbul rasa tak senang, bahkan benci kepada diri ayah tirinya itu.

"Benar, dia itu ayah tiriku, namanya The Sun. Selama ini aku memakai she The, padahal bukan... ehh, kau kenapa?”

Ketika mengangkat muka memandang, Siu Bi melihat betapa Yo Wan melompat berdiri tegak, mukanya pucat bukan main dan sepasang matanya memandang padanya dengan terbelalak. Cepat dia menghampiri dan hendak memegang pundak pemuda itu sambil berkata gemas, "Yo-twako, kau kenapa? Sakitkah kau?"

"Tidak... tidak... jangan sentuh aku!" teriak Yo Wan sambil melompat mundur.
"Yo-twako, kenapakah...?” Siu Bi benar-benar gelisah melihat keadaan Yo Wan yang seperti tiba-tiba menjadi gila itu.
"Kenapa?" suara Yo Wan parau dan tiba-tiba dia tertawa, tetapi seperti mayat tertawa. "Huh-huh-huh kenapa katamu? Ayah tirimu itu, The Sun itu adalah pembunuh ibuku!" Sesudah berkata demikian, Yo Wan berkelebat dan sebentar saja dia sudah lenyap dari depan Siu Bi.

Gadis ini tercengang, berusaha mengejar, akan tetapi hatinya sendiri terlampau tegang sehingga kedua kakinya menjadi lemas. la berusaha memanggil, akan tetapi tidak ada suara yang dapat keluar dari mulutnya. Kemudian ia bersungut-sungut dan berbisik lirih, penuh kemarahan dan kegemasan.

"The Sun, kau benar-benar telah merusak hidupku... aku benci padamu... aku benci...!" dan gadis ini lalu menangis terisak-isak di bawah pohon.

Sementara itu, dengan hati perih dan perasaan tidak karuan Yo Wan berlari-larian cepat sekali, menjauhkan diri sejauh mungkin dari gadis yang ternyata adalah anak tiri dari The Sun. Dan anak tiri musuh besarnya yang sudah menghina ibunya dan menyebabkan kematian ibunya ini, sekarang bermaksud akan membuntungi lengan suhu dan subo-nya serta putera mereka…..!

********************
Tan Kong Bu bersama isterinya, Kui Li Eng dengan penuh kebahagiaan menikmati hidup mereka di puncak Min-san. Para pembaca cerita Rajawali Emas tentu sudah mengenal siapa adanya suami isteri pendekar ini, yang keduanya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.

Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San, sedangkan isterinya, Kui Li Eng adalah puteri dari Kui Sanjin ketua Hoa-san-pai. Yang laki-laki putera ketua Thai-san-pai, yang wanita puteri ketua Hoa-san-pai. Tentu saja mereka merupakan pasangan yang hebat. Akan tetapi, suami isteri ini lebih suka bersunyi diri, menjauhkan keramaian dunia, memperdalam ilmu dan menerima belasan orang murid di Min-san sehingga kelak akan muncul sebuah partai persilatan baru yang terkenal, yaitu Min-san-pai.

Walau pun belasan orang anak murid Min-san-pai itu merupakan anak-anak pilihan yang berbakat sehingga rata-rata mereka itu dapat mewarisi kepandaian yang diturunkan oleh kedua suami isteri pendekar ini, namun mereka itu tidak dapat menyamai kemajuan yang diperoleh puteri tunggal guru mereka.

Tan Kong Bu dan isterinya memang hanya mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Tan Lee Si. Seorang gadis yang kini berusia sembilan belas tahun, cantik dan berwajah agung, berwatak keras seperti ibunya dan jujur seperti ayahnya. Biar pun merupakan anak tunggal, Lee Si tidak biasa dimanja dan ia dapat berdiri dengan teguh di atas kaki sendiri, dalam arti kata segala sesuatu ingin ia putuskan dan laksanakan sendiri sehingga meski pun masih amat muda, namun ia telah mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang luar biasa.
Related image
Ilmu silat yang dimiliki Lee Si memang aneh, merupakan percampuran dari ilmu kedua orang tuanya. Ayahnya, Tan Kong Bu, memiliki ilmu warisan dari mendiang Song-bun-kwi Kwee Lun, terutama sekali Ilmu Silat Yang-sin-kun! Ada pun ibunya, Kui Li Eng, mewarisi ilmu silat asli dari Hoa-san-kun. Karena dia menerima gemblengan dari ayah bundanya, maka Lee Si tentu saja paham akan kedua ilmu itu, bahkan kedua ilmu yang sudah sangat mendarah daging di tubuh dan urat syarafnya itu telah bercampur dan terciptalah ilmu silat campuran yang aneh dan lihai.

Ayahnya memberi hadiah sebuah pedang yang bersinar kuning, sebuah pedang pusaka ampuh yang bernama pedang Oei-kong-kiam. Ada pun ibunya yang merupakan seorang ahli senjata rahasia Hoa-san-pai, setelah melatih puterinya dengan ilmu senjata rahasia, menghadiahi sekantung gin-ciam (jarum perak).

Tidak sembarang ahli silat mampu mempergunakan gin-ciam ini, karena jarum-jarum itu amatlah lembutnya, jika dipergunakan hampir tidak mengeluarkan suara dan sukar diikuti pandangan mata. Cara menggunakannya harus mengandalkan sinkang dan latihan yang masak.

Pada suatu pagi yang cerah, Lee Si berlatih ilmu silat pedang di dalam kebun di belakang rumahnya. Sejak kemarin dia melatih jurus campuran dari Yan-sin-kiam jurus ke delapan dengan Hoa-san Kiam-sut jurus ke lima. Kedua jurus ini mempunyai persamaan, akan tetapi mengandung daya serangan yang amat berlainan sehingga kalau kedua jurus ini dapat dikawinkan, akan merupakan jurus yang ampuh.

Akan tetapi Lee Si menemui kesulitan. Setiap kali dia memainkan kedua jurus ini dalam gerakan campuran, ia merasakan dadanya sesak. Beberapa kali sudah ia mencoba dan akhirnya ia kembali menyarungkan pedangnya di punggung, kemudian berdiri tegak dan mengumpulkan nafas, suatu ilmu berlatih nafas secara aneh yang pernah diajarkan oleh ayahnya untuk mengerahkan tenaga Yang-kang. Beberapa menit kemudian ketika sesak pada dadanya sudah lenyap, dia membuka matanya dan menarik nafas panjang. Pada saat itu terdengarlah suara orang perlahan,

"Anak baik, mengapa kau tidak mencoba dengan barengi cara Pi-ki Hu-hiat (Tutup Hawa Lindungi Jalan Darah)? Jurusmu itu terlalu kacau dan berbahaya, jika diulang-ulang bisa membahayakan diri sendiri."

Lee Si menengok dan tampaklah olehnya seorang lelaki berusia kurang lebih lima puluh tahun duduk berjongkok di atas tembok kebun. Orang itu dapat berada di sana tanpa ia ketahui sudah membuktikan bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi.

Lee Si berpandangan luas. Walau pun hatinya tidak senang ada orang tak dikenal berani menegur dan malah memberikan nasehat kepadanya yang berarti bahwa orang itu telah memandang rendah, namun ia dapat menekan perasaannya dan berkata,

"Orang tua, siapakah kau dan apa perlunya kau berada di sini mengintai orang?"

Laki-laki itu tersenyum dan wajahnya yang tenang itu berseri. "Aku adalah sahabat baik ayahmu, sengaja datang ke Min-san. Kebetulan tadi aku sempat mendengar sambaran angin pedangmu, membuat aku tertarik sekali dan secara lancang menonton. Gerakan-gerakanmu menyatakan bahwa kau tentulah puteri Kong Bu."

Keterangan ini dapat diterima, akan tetapi karena Lee Si belum pernah bertemu dengan orang ini dan sering kali ia mendengar dari ayah bundanya bahwa mereka dahulu banyak dimusuhi orang-orang jahat di dunia kang-ouw, maka ia tetap menaruh curiga.

"Maaf, Lopek (Paman Tua), kalau memang kau adalah seorang tamu dari ayah, kenapa tidak langsung masuk saja dari pintu depan? Sebelum bertemu dengan ayah, maaf kalau saya tidak berani melayanimu lebih jauh."

Orang itu tertawa. "Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Puteri Kong Bu benar-benar seorang yang berhati-hati dan tidak sembrono. Ketahuilah, anak baik, aku datang dari Thai-san. Beri tahukan ayahmu bahwa... ahhh, itu dia sendiri datang!"

Lee Si menengok dan kagumlah dia akan kelihaian orang tua itu. Benar saja, bayangan ayahnya tampak berkelebat keluar dari pintu belakang. Begitu ayahnya melihat laki-laki yang berjongkok di atas pagar tembok, dia tercengang sejenak, kemudian terdengar dia berseru girang,

"Haiii... bukankah ini suheng (kakak, seperguruan) Su Ki Han yang datang berkunjung?" Suara Kong Bu keras dan nyaring.

Pendekar ini biar pun usianya sudah empat puluh tahun lebih, masih tampak muda dan gagah. la tertawa dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah berada di dalam kebun. Tak lama kemudian berkelebat bayangan yang gesit dari seorang wanita cantik.

"Lihat siapa yang datang berkunjung ini!" Kong Bu berseru.

Wanita itu berdiri memandang, lalu tersenyum manis dan sepasang matanya yang masih bening itu bersinar-sinar. "Ahh, kiranya seorang tamu agung dari Thai-san!" Kui Li Eng wanita ini, juga berlompatan dalam kebun.

Lee Si menjadi girang sekali. Ia pun cepat memberi hormat kepada laki-laki yang sudah melompat turun dari atas pagar tembok dan kini berpelukan dengan Kong Bu itu. "Sudah lama saya mendengar nama Supek, harap maafkan kekurang ajaran saya tadi."

"Wah, kau anak nakal. Apakah tadi kau sudah berlaku kurang ajar kepada Su-suheng?" bentak Kong Bu.
"Ehh, jangan galak-galak, Sute. Dia anak baik, baik sekali, sama sekali tidak nakal atau kurang ajar. Malah aku yang tidak tahu diri, menerobos memasuki rumah orang melalui kebun belakang seperti maling dan mulutku yang gatal ini berani memberi komentar atas latihannya bermain pedang."
"Bagus sekali! Hayo cepat kau haturkan terima kasih kepada Supek-mu atas petunjuknya yang berharga!" kata Li Eng kepada puterinya.

Lee Si kembali menjura dengan hormat. "Supek, saya haturkan banyak terima kasih atas petunjuk Supek tadi yang tentu akan saya coba dan saya perhatikan."

Su Ki Han menggoyang-goyang kedua tangannya ke atas. "Wah-wah, kalian ini memang orang-orang yang berjiwa satria, pandai merendah diri. Pantas saja anak ini demikian maju dan hebat kepandaiannya, kiranya bermodalkan sikap merendahkan diri yang amat baik untuk mencapai kemajuan! Petunjukku tadi masih belum nampak buktinya, belum juga dicoba, bagaimana patut ditebus dengan ucapan terima kasih?"

"Supek, sebenarnya telah berhari-hari saya bingung menghadapi dua jurus yang hendak saya satukan itu, tapi belum menemukan jalan pemecahannya. Malah dada saya terasa sesak ketika bernafas."
"Kau memang sangat bandel!" Kong Bu mencela puterinya. "Ilmu silatku dan ilmu silat Ibumu semenjak dulu memang berlawanan, sudah berkali-kali Ibumu dan aku bertanding, selalu tiada yang menang tiada yang kalah. Bagaimana bisa kau satukan?"
"Ayah dan Ibu buktinya bisa bersatu, mengapa ilmunya tidak bisa?"
"Ehh, anak gila...!" Li Eng berseru dengan muka menjadi merah sekali.

"Ha-ha-ha, anak kalian ini memang benar. Meski pun ilmu silat itu berlawanan sifatnya, namun bukan tak mungkin dapat disatukan, asal pandai mengaturnya. Sifat Im dan Yang memang berlawanan, inilah yang menjadikan segala apa di dunia ini. Bukankah dalam kitab Ya-keng disebut bahwa IT IM IT YANG WI CI TO (sebuah Im dan sebuah Yang, itulah yang disebut TO)? Kekuasaaan alam selalu bekerja berdasarkan Im dan Yang, dua unsur berlawanan yang saling menarik juga saling menolak, saling menghancurkan tetapi juga saling menghidupkan. Dan dengan adanya perpaduan Im dan Yang, barulah tercipta Ngo-heng, sari pati dari SUI HO BOK KIM THO (air, api, kayu, logam, tanah). Cara kerja Ngo-heng pun berdasarkan Im dan Yang, saling menghidupkan juga saling mematikan. Air akan menghidupkan kayu, kayu menghidupkan api, api menghidupkan tanah, tanah menghidupkan logam, dan logam menghidupkan air. Sebaliknya, air mematikan api, api mematikan logam, logam mematikan kayu, kayu mematikan tanah, dan tanah mematikan air. Tentu saja arti kata menghidupkan boleh diganti menghasilkan, ada pun mematikan boleh memusnahkan atau memakan habis. Wah, aku jadi ngacau terus... ha-ha-ha!"

"Bagus, bagus, Supek. Saya mulai dapat menangkap rahasia Im dan Yang!" teriak Lee Si sambil bertepuk tangan kegirangan.
"Supek-mu adalah murid tertua dari kakekmu, tentu saja dia telah mewarisi Ilmu Im-yang Sin-hoat," kata Kong Bu tersenyum.

Kembali sambil tertawa Su Ki Han mengangkat kedua lengannya ke atas menolak pujian itu. "Kalau tentang ilmu kepandaian silat, mana bisa aku dibandingkan dengan Ayah dan Ibumu? Anak baik, kalau belajar ilmu silat, ayah bundamu inilah gurunya. Akan tetapi jika hanya mempelajari teori tentang Im Yang, mungkin aku akan dapat memberi penjelasan. Karena tadi kulihat bahwa gerakanmu dalam mempersatukan dua jurus itu mengandung hawa Im dan Yang, dua hawa yang berlawanan, maka kau gagal dan dadamu merasa sesak. Satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini hanyalah dengan Pi-ki Hu-hiat, karena dengan demikian kau akan dapat mengatur dua hawa yang berlawanan itu secara teratur dan bergiliran sehingga dapat menghasilkan jurus yang lihai dan sukar diduga lawan."

"Lee Si, sesudah mendapat petunjuk dari Supek-mu, mengapa tidak segera dicoba agar apa bila ada kekurangannya dapat minta penjelasan lagi?" kata Li Eng kepada puterinya. Ibu yang amat mencinta puterinya ini tentu saja menggunakan setiap kesempatan untuk kepentingan dan keuntungan puterinya.
"Singgg...!" Sinar kuning berkelebat ketika Lee Si mencabut pedang Oei-kong-kiam.
"Supek, mohon petunjuk Supek apa bila ada kekeliruan," katanya.

Sekali lagi, seperti yang sudah ia lakukan di luar tahu ayah bundanya selama beberapa hari ini tanpa hasil, ia bersilat mainkan jurus yang digabung itu. la mentaati petunjuk Su Ki Han dan sambil bersilat ia mengerahkan Ilmu Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah. Gerakan kedua jurus itu ia satukan dan... ia berhasil melakukannya dengan baik.

"Ehh, seperti Yang-sin-kiam jurus ke delapan!" seru Kong Bu.
"Tidak, seperti jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut!" seru Li Eng.

Dengan girang sekali Lee Si menghentikan gerakannya lantas bersorak, "Aku berhasil! Ayah, Ibu, memang itu tadi jurus ke delapan dari Yang-sin-kiam digabung dengan jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut. Supek, terima kasih."

Mereka tertawa-tawa dengan girang.

"Wah, kita ini tuan dan nyonya rumah macam apa?" Kong Bu tiba-tiba berseru mencela diri sendiri dan isterinya "Ada tamu agung yang datang, bukan lekas-lekas disambut dan dijamu, malah direpotkan dengan anak kita. Inilah kalau kita terlalu memanjakan anak!"
"Ahh, di antara saudara sendiri, mana ada aturan sungkan-sungkan segala macam?" Su Ki Han membantah.

Akan tetapi dia segera mengikuti mereka memasuki rumah di mana pemilik rumah cepat menyuguhkan minuman dan menanyakan keselamatan ayah bunda mereka di Thai-san. Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San dan mendiang Kwee Bi Goat. Nyonya Tan Beng San yang sekarang, yaitu Cia Li Cu, ibu Tan Cui Sian adalah ibu tiri Kong Bu.

"Keadaan suhu dan subo (ibu guru) sehat-sehat dan selamat. Juga Thai-san-pai semakin berkembang, tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk."
"Supek, mengapa bibi Cui Sian tidak ke sini? Saya sudah kangen betul. Sepuluh tahun sudah tak pernah bertemu dengannya. Tentu dia lihai sekali dan cantik jelita, ya?"

"Karena bibimu itulah maka hari ini aku berada di sini. Sumoi sudah sebulan lebih turun gunung ketika datang putera Bun-goanswe yang mengabarkan bahwa ada anak murid Hek Lojin yang sedang mencari Pendekar Buta untuk membalas dendam. Malah putera Jenderal Bun itu pun menceritakan pula bahwa kini ada kawanan penjahat yang bernama Ang-hwa-pai, bermarkas di Pulau Ching-coa-to dan dipimpin oleh Ang-hwa Nio-nio serta banyak orang sakti lainnya. Mereka juga tengah mengumpulkan tenaga untuk menyerbu Liong-thouw-san. Dalam perjalanannya ke Liong-thouw-san untuk memberi kabar, putera Jenderal Bun itu sengaja mampir ke Thai-san, seperti yang dipesankan oleh ayahnya. Mendengar berita ini, suhu menjadi tidak enak hatinya. Permusuhan berlarut-larut yang kini mengancam keselamatan keluarga Pendekar Buta sebenarnya terjadi karena suhu, sedangkan Pendekar Buta, Kwa-taihiap, hanya membantu suhu. Maka aku lalu disuruh turun gunung, mencari sumoi untuk bersama-sama pergi ke Liong-thouw-san, bila perlu membantu Kwa-taihiap menghadapi musuh-musuh yang menyerbu."

Mendengar ini, Kong Bu malah tertawa. "Ah, ayah terlalu mengkhawatirkan keselamatan Kwa Kun Hong, sungguh lucu! Suheng, di jaman ini siapakah orangnya yang akan dapat mengalahkan Pendekar Buta dan isterinya? Bila ada yang sakit hati dan ingin membalas dendam, biarkan saja mereka pergi menandingi Pendekar Buta, biar mereka tahu rasa. Ingin aku melihat mereka itu seorang demi seorang dirobohkan."

"Biar pun Paman Hong sudah buta, tapi penjahat-penjahat itu akan dapat berbuat apakah terhadapnya? Akan tetapi, ayah mertua benar juga. Adik Cui Sian tentu akan mendapat pengalaman yang amat berharga bila sempat menyaksikan paman Kun Hong menghajar para penjahat yang hendak menyerbu ke Liong-thouw-san."

Ucapan Li Eng ini disertai suara yang mengandung kebanggaan. Kwa Kun Hong masih terhitung pamannya seperguruan, oleh karena itu dia patut berbangga akan kelihaian dan ketenaran nama pamannya.

Su Ki Han tersenyum mendengar kata-kata suami isteri ini. Ternyata mereka ini masih sama dengan dahulu, tabah, berani dan gagah perkasa, juga jujur kalau bicara. Suami isteri yang cocok sekali, pantas mempunyai puteri sehebat Lee Si.

"Memang tak dapat disangkal bahwa Kwa-taihiap memiliki kepandaian yang sakti. Suhu sendiri sering kali memuji-mujinya, apa lagi karena sumber ilmu kepandaian Kwa-taihiap dan suhu adalah sama, yaitu dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi menurut suhu, sekarang banyak bermunculan orang-orang sakti di dunia hitam, apa lagi yang datang dari barat dan utara. Kaisar sendiri sampai bersusah payah dalam usahanya memperkuat serta memperbaiki Tembok Besar untuk mencegah perusuh dari barat dan utara. Namun, banyak tokoh-tokoh sakti mereka itu yang berhasil menerobos masuk dan selain melakukan penyelidikan untuk mengukur keadaan, juga mereka banyak menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh hitam di sini. Karena itulah, menurut suhu, sudah tiba saatnya kita semua harus bangkit, siap sedia membela negara dan bangsa menghadapi mereka itu. Pada saat ini, agaknya pribadi Pendekar Buta menjadi pusat perhatian para tokoh hitam yang banyak menaruh dendam. Karena itu, Kwa-taihiap boleh diumpamakan sebagai umpan untuk memancing datang tokoh-tokoh itu dan kita harus membantunya membasmi mereka agar negara ini bersih dari gangguan mereka. Bagaimana pendapat, Sute?"

Kong Bu mengangguk-angguk. "Ayah, selalu berpandangan luas. Tentu saja kami di sini, biar pun hanya terdiri dari kami bertiga dan beberapa belas anak murid yang kaku dan bodoh, selalu siap membantu apa bila diperlukan."

"Bagus!" Li Eng menyambung. "Belasan tahun pedangku tinggal bersembunyi di dalam sarungnya, membuat aku menjadi malas. Berilah aku lawan yang jahat dan kuat, dan kegembiraan lama akan timbul kembali!"
"Wah-wah, kau kambuh lagi? Apa tidak takut ditertawakan anakmu? Kita sudah tua, tidak perlu menonjolkan semangat seperti di waktu muda." Kong Bu menggoda isterinya.
"Ayah, aku setuju dengan Ibu. Ibu gagah dan bersemangat, mengapa dicela? Dan aku percaya, kalau Ibu ikut terjun, segala macam penjahat itu mana berani menjual lagak?" Lee Si membela ibunya.

Su Ki Han tertawa bergelak. "Anak baik, apa bila Ibumu tidak begitu bersemangat dan gagah perkasa, mana bisa menjadi isteri Ayahmu? Sute berdua, kedatanganku ke sini, seperti sudah kukatakan tadi, adalah hendak mencari sumoi. Tadinya kusangka bahwa sumoi mengunjungi kalian. Apakah sumoi tak pernah datang ke sini?"

"Tidak, Su-suheng."
"Heran sekali, ke mana dia pergi? Apakah ke Lu-liang-san, ke rumah sute Tan Sin Lee? Ataukah pergi ke Hoa-san-pai? Dalam penyelidikanku, pernah dia terlihat di dekat daerah Taingpan, malah kabarnya dia telah pergi mengunjungi Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi sekarang dia tidak berada di sana, malah ketika kutanyakan kepada Bun-goanswe, juga tidak singgah di sana."
"Mana bisa mencari seorang yang sedang merantau? Suheng, lebih baik kau mendahului ke Liong-thouw-san dan menanti di sana. Akhirnya Cui Sian tentu juga akan singgah ke sana."
"Memang senang sekali melakukan perantauan seorang diri seperti Cui Sian. Dengan sebatang pedang menjelajah seribu gunung, memberi kesempatan kepada pedang untuk menghadapi seribu macam kesulitan. Wah, kau takkan berhasil mencarinya, Su-suheng. Memang sebaiknya kau menanti di Liong-thouw-san. Kelak kalau dia muncul di sini, tentu akan kuberi tahu," kata Li Eng dengan wajah berseri.

Nyonya ini dahulunya merupakan seorang gadis yang lincah dan suka sekali merantau. Tadi dia teringat akan masa mudanya dan timbul kegembiraannya.

"Cui Sian tidak seperti kau!" sela Kong Bu. "Kau dahulu selalu mencari perkara. Kalau semua gadis muda seperti kau akan kacaulah dunia. Ada gadis seperti kau lima saja, pasti dunia kang-ouw akan geger." Mereka tertawa-tawa lagi.

Pertemuan dengan murid kepala Thai-san-pai ini ternyata mendatangkan kegembiraan luar biasa dan mereka bertiga lalu bercakap-cakap sambil tertawa-tawa sampai hampir semalam suntuk. Banyak arak dan daging melewati tenggorokan mereka, dan ketiganya tidak memperhatikan lagi betapa sore-sore Lee Si sudah masuk ke kamarnya.

Baru pada keesokan harinya suami-isteri ini mendapat kenyataan bahwa puteri mereka tidak berada di dalam kamarnya dan bahwa pembaringannya tak pernah ditiduri malam itu. Di atas meja dalam kamar Lee Si terdapat kertas bertulisan huruf-huruf halus yang berbunyi,

TURUN GUNUNG MENCARI BIBI CUI SIAN

"Bocah lancang!" seru Kong Bu yang cepat memanggil murid-muridnya yang tinggal di puncak dalam bangunan lain.

Para murid yang berjumlah tiga belas orang ini juga tidak ada yang melihat bila Lee Si pergi turun gunung, karena malam hari itu, tahu bahwa suhu dan subo mereka menjamu seorang tamu dari Thai-san, maka para murid ini tidak berani berada di dalam bangunan tempat tinggal mereka.

"Mengapa ribut-ribut? Biarkan dia turun gunung mencari pengalaman. Dia bukan anak kecil lagi," kata Li Eng yang tidak puas melihat suaminya seperti seekor ayam kehilangan anaknya.
"Meski pun dia sudah dewasa dan kepandaiannya cukup, tetapi dia masih hijau. Dunia ini banyak sekali orang jahat, bagaimana kalau dia tertimpa bencana?"
"Ahhh, kau sebagai ayah terlalu memanjakannya! Apa bila dia tidak digembleng dengan kesulitan dan bahaya, mana patut menjadi puteri kita?"

Su Ki Han menjadi tidak enak. "Ahhh, akulah gara-garanya. Kalau tidak muncul di sini, agaknya Lee Si tidak akan pergi turun gunung. Biarlah aku minta diri sekarang dan akan kususul dia!"

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Suheng. Memang sudah lama anak itu ingin sekali turun gunung, tetapi selalu ditahan ayahnya. Sekarang ada kesempatan dan ada alasan, yaitu untuk mencari bibinya, Cui Sian, biar sajalah," kata Li Eng menghibur.

Juga Kong Bu menghibur, menyatakan bahwa bukan kesalahan Su Ki Han yang sudah menyebabkan Lee Si pergi. Akan tetapi Su Ki Han tetap pamit dan segera turun gunung dengan maksud mengejar Lee Si dan membujuk anak perempuan itu pulang ke puncak Min-san. Atau setidaknya ia bisa mengamat-amati dan menjaganya. Akan tetapi, betapa pun cepat dia menggunakan ilmunya lari turun gunung, tetap dia tak dapat menyusul Lee Si.

Gadis ini bukanlah orang bodoh dan ia pun tahu bahwa ayahnya tidak suka membiarkan ia pergi. Oleh karena itu, malam tadi ia berangkat dengan cepat dan menyusup-nyusup hutan, tidak mau melalui jalan besar.

Karena baru kali ini ia turun gunung dan ia tidak ingin ayahnya dapat mengejar lantas memaksanya kembali, ia sengaja turun dari lereng sebelah barat dan sesukanya ia lari tanpa tujuan sehingga tanpa ia sadari, gadis ini melakukan perjalanan menuju ke barat! Dari Pegunungan Min-san ke barat, melalui daerah pegunungan yang tak ada habisnya, dan beberapa pekan kemudian gadis ini masih belum terbebas dari daerah pegunungan karena ternyata ia telah masuk daerah Pegunungan Bayangkara!

Penduduk dusun di pegunungan ini adalah orang-orang gunung yang sama sekali tidak pernah meninggalkan daerah pegunungan. Karena itu tak seorang pun yang dijumpainya dapat menerangkannya ke mana jalan menuju ke Liong-thouw-san atau ke kota raja.

Hanya ada dua tempat di dunia ini yang menarik hati Lee Si dan yang mendorong dia turun gunung, yaitu pertama di Liong-thouw-san karena ia ingin sekali berjumpa dengan paman dari ibunya yang terkenal dengan nama Pendekar Buta, dan kedua, ia ingin sekali menyaksikan bagaimana keadaan kota raja yang hanya pernah didengarnya dari cerita ibunya.

Pada suatu hari, ketika ia menuruni sebuah puncak di Pegunungan Bayangkara dan baru saja keluar dari sebuah hutan, ia mendengar suara aneh. Suara melengking tinggi dan suara seperti seekor katak buduk ‘bernyanyi’ di musim hujan. Sebagai puteri suami-isteri pendekar yang berilmu tinggi, ia segera dapat menduga bahwa suara-suara itu tentulah suara yang keluar dari mulut orang-orang sakti yang mengerahkan khikang tinggi.

Cepat dia menyusup di antara pepohonan dan mengintai. Betul seperti telah diduganya, dari balik batang pohon dia mengintai dan melihat ada dua orang laki-laki aneh sedang berhadapan.

Yang melengking tinggi dan nyaring, lebih nyaring dari pada lengking suara ayahnya bila mengerahkan khikang, adalah seorang kakek berjenggot pendek yang tubuhnya sangat tinggi, lebih dua meter tingginya. Laki-laki ini berpakaian seperti orang asing, jubahnya berwarna kuning dan kepalanya dibungkus kain sorban warna kuning pula. Telinganya memakai anting-anting, dan melihat bentuk hidungnya yang panjang melengkung serta kulitnya yang agak coklat gelap, terang bahwa si jangkung ini adalah seorang asing.

Ada pun orang kedua yang memasang kuda-kuda dengan kedua lutut ditekuk setengah berjongkok dan mengeluarkan suara berkokok bagai suara katak buduk, adalah seorang kakek yang tubuhnya pendek gemuk berkepala gundul, kumisnya persis seperti tikus dan jenggotnya pendek.

Dengan hati tertarik Lee Si memandang. Pasangan kuda-kuda kakek pendek gendut itu baginya tidaklah asing. Itu adalah pasangan kuda-kuda yang sangat umum dan banyak dilakukan oleh ahli silat dari utara.

Akan tetapi pasangan kuda-kuda si jangkung itulah yang amat mengherankan hatinya. Si jangkung itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lurus, berdirinya bukan menghadapi lawan melainkan miring sehingga lawannya berada di sebelah kanannya, kedua lengan dikembangkan dengan jari-jari terbuka. Mukanya bagai orang kemasukan setan dan dari mulutnya keluarlah bunyi lengkingan yang kadang-kadang mendesis-desis.

Lee Si dapat menduga bahwa kedua orang itu tentu sedang berada dalam tahap awal pertandingan. Dia tidak mengenal mereka, juga tidak tahu mengapa dua orang aneh ini seperti hendak bertempur, maka dia hanya mengintai dan menjadi penonton.

Tiba-tiba si pendek gendut makin merendahkan tubuhnya dan terdengar suara berkokok dari mulutnya semakin dalam, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan. Kedua lengan itu tampak menggetar, penuh dengan tenaga mukjijat yang menerjang ke depan. Si tinggi itu menggerakkan kedua lengan seperti orang menangkis, namun tetap saja dia terhuyung ke kiri, mukanya berubah merah sekali.

Lee Si terkejut bukan kepalang. Hebat si pendek itu. Entah ilmu pukulan jarak jauh apa yang diperlihatkan tadi, akan tetapi terang bahwa si jangkung sudah terdesak hebat dan keadaannya berbahaya.

Mendadak si jangkung mengeluarkan suara melengking tinggi. Tubuhnya berjungkir balik tiga kali dan tahu-tahu dia telah melayang ke tempat yang tadi, kemudian dua lengannya bergerak dari atas kepala ke bawah seperti orang sedang menekan. Dari kedua lengan yang panjang ini lalu menyambar hawa pukulan sakti yang membuat debu mengebul di depan kakinya!

Si pendek gendut yang menerima serangan ini dengan dua tangannya, kali ini langsung terdorong mundur sampai satu meter lebih. Hanya dengan melempar tubuh ke belakang kemudian bergulingan seperti bola karet ia bisa mematahkan daya serangan lawan yang menggunakan pukulan jarak jauh mengandalkan tenaga mukjijat.

Keduanya lalu melompat dan berdiri berhadapan dalam keadaan biasa. Keduanya agak pucat dan si pendek gendut tertawa dengan suaranya yang parau dan dalam.

"Ha-ha-ha-ha, sobat Maharsi, sungguh hebat bukan main pukulanmu tadi. Aha, agaknya inilah Pai-san-jiu (Pukulan Mendorong Gunung) yang terkenal hebat itu!"
"Hemmm, Bo Wi Sianjin, kami orang-orang barat hanya mempunyai sedikit hasil latihan, mana dapat disamakan dengan engkau, seorang tokoh utara yang hidupnya menentang keadaan alam yang buas dan kuat? Sudah lama aku mendengar bahwa Ilmu Pukulan Katak Sakti darimu tiada bandingnya dan ternyata hari ini aku telah membuktikan sendiri kehebatannya. Kalau kau tidak memandang persahabatan, agaknya aku tadi takkan kuat menahan!"
"Ha-ha-ha-ha, kau orang barat memang pandai sekali mengelus hati merayu perasaan dengan pujian muluk! Bagiku, tidak ada kesenangan yang melebihi bertanding ilmu untuk membuktikan sampai di mana hasil jerih payah yang kita derita selama puluhan tahun. Akan tetapi, karena kita perlu sekali menyatukan tenaga menghadapi lawan yang lihai, biarlah aku bersabar dan kelak masih banyak waktu bagi kita untuk memuaskan hati dan menengok siapakah di antara kita yang lebih berhasil."
"Hemmm, aku selalu akan mengiringi keinginan hatimu, Sahabat. Akan tetapi betul sekali kata-katamu tadi, sekarang kita perlu menghimpun tenaga. Lawan-lawan kita bukanlah orang-orang yang mudah dikalahkan," jawab si jangkung dengan bahasa yang terdengar kaku namun cukup jelas bagi Lee Si yang masih mengintai sambil mendengarkan.

"Engkau benar, Maharsi. Kau katakan tadi bahwa kau menerima permintaan bantuan dari adik seperguruanmu Ang-hwa Nio-nio? Jadi sekarang kau hendak pergi mengunjunginya ke Ching-coa-ouw (Telaga Ular Hijau)?"
"Betul, Sianjin. Adikku Kui Ciauw itu sekarang sudah menjadi ketua Ang-hwa-pai di Pulau Ching-coa-to. Memang dulu telah kujanjikan akan membantu dia sebab dua orang adikku Kui Biauw dan Kui Siauw telah tewas di tangan Pendekar Buta beserta teman-temannya. Dan kau sendiri, kukira turun dari pegunungan utara untuk urusan kematian suheng-mu Ka Chong Hoatsu. Bukankah begitu?"
"Betul, Maharsi. Kakak seperguruanku itu tewas di tangan Raja Pedang yang sekarang menjadi ketua Thai-san-pai.”
"Hemmm, lawan kita memang berat. Pendekar Buta walau pun masih muda akan tetapi kepandaiannya luar biasa sekali. Untuk menghadapinya maka selama hampir dua puluh tahun aku melatih dengan Pai-san-jiu."

Si pendek gendut itu mengangguk-angguk. "Sama halnya dengan aku, Sahabat. Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San memiliki ilmu kepandaian yang lihai, terutama ilmu pedangnya Im-yang Sin-kiam. Karena itulah maka aku menyembunyikan diri selama dua puluh tahun lebih, khusus untuk melatih Ilmu Pukulan Katak Sakti guna menghadapinya. Semoga jerih payah kita tidak akan sia-sia dan roh-roh saudara kita akan dapat tenteram."

Lee Si yang mendengarkan percakapan ini menjadi terkejut sekali. Baiknya dia seorang gadis yang cukup cerdik dan tidak sembrono. Dia dapat menduga bahwa dua orang ini merupakan lawan-lawan yang sangat tangguh, maka dia tidak mau sembarangan keluar dari tempat persembunyiannya.

Pada saat itu pula terdengar suara orang tertawa bergelak, tepat di belakang Lee Si dan sebelum gadis ini sempat berbuat sesuatu, pundaknya sudah dicengkeram orang dan ternyata yang menangkapnya adalah seorang hwesio yang sudah sangat tua, mukanya pucat bagaikan mayat, tubuhnya tinggi besar dan kedua matanya selalu meram seperti orang buta. Bajunya yang terbuat dari kain kasar itu terbuka lebar pada bagian dadanya sehingga memperlihatkan sebagian perut yang gendut.

"Tokoh-tokoh utara dan barat diintai bocah di luar tahu mereka, benar-benar aneh!" kata hwesio itu dengan suara tak acuh, kemudian tangannya bergerak dan... tubuh Lee Si melayang ke arah dua orang aneh itu seperti sehelai daun kering tertiup angin!

Tentu saja Lee Si yang tadinya sudah kaget, kini menjadi takut setengah mati. la maklum bahwa tubuhnya melayang ke arah dua orang aneh itu dan tidak tahu bagaimana akan jadinya dengan dirinya.

Tentu saja dengan mempergunakan ginkang, setelah kini terbebas dari pegangan hwesio sakti itu, dia dapat melayang ke samping untuk melarikan diri. Akan tetapi dia pun cukup maklum bahwa hal ini akan sia-sia belaka. Tak mungkin dia melarikan diri dari tiga orang aneh ini kalau mereka tidak menghendaki demikian.

Dia teringat akan cerita ayah bundanya tentang keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia persilatan. Jalan satu-satunya bagi dia hanya menyerah tanpa mengeluarkan kepandaian sehingga tiga orang itu akan merasa malu untuk mengganggu seorang lawan yang tidak memiliki kepandaian seimbang. Ia harus menggunakan kecerdikan sebab kepandaiannya takkan dapat menolongnya. Oleh karena inilah, ia hanya memutar agar dalam melayang ini ia dapat memandang kepada kedua orang tokoh dari barat itu…..

Siapakah tiga orang sakti ini? Seperti dapat diketahui dari percakapan antara si jangkung dan si pendek yang didengarkan oleh Lee Si tadi, si jangkung adalah seorang tokoh dari barat berbangsa India sebelah timur, seorang pertapa dan pendeta yang disebut Maharsi (Pendeta Agung).

Maharsi ini merupakan kakak seperguruan dari Ang-hwa Sam-cimoi, yaitu Kui Ciauw, Kui Biauw dan Kui Siauw. Sebagaimana kita ketahui, Kui Biauw dan Kui Siauw sudah tewas ketika Ang-hwa Sam-cimoi bentrok dengan Pendekar Buta beserta teman-temannya, ada pun Kui Ciauw sekarang menjadi ketua Ang-hwa-pai yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio.

Sudah bertahun-tahun lamanya Ang-hwa Nio-nio menaruh dendam pada Pendekar Buta karena kematian kedua orang saudaranya, dan untuk membalas dendam dia telah minta bantuan Maharsi. Tetapi, karena maklum betapa lihainya Pendekar Buta, mereka berdua menunda niat membalas dendam ini dan masing-masing menggembleng diri lebih dahulu untuk membuat persiapan menghadapi musuh lama yang amat sakti itu.

Ada pun si pendek itu adalah seorang tokoh dari daerah Mongol. Bo Wi Sianjin dahulu mempunyai seorang suheng (kakak seperguruan) bernama Ka Chong Hoatsu yang telah tewas di tangan Raja Pedang Tan Beng San.

Oleh karena maklum betapa lihainya musuh besar ini, Bo Wi Sianjin tidak tergesa-gesa dan berlaku sembrono, tetapi dia malah menyembunyikan diri untuk meyakinkan sebuah ilmu ampuh untuk menghadapi musuhnya. Dia lalu menggembleng diri selama dua puluh tahun lebih dan sekarang dia mulai turun dari tempat persembunyiannya untuk mencari musuh lamanya, yaitu Raja Pedang ketua Thai-san-pai. Di tengah perjalanan kebetulan dia bertemu dengan Maharsi dan kebetulan pula terlihat oleh Lee Si.

Hwesio tua renta yang tinggi besar dan amat lihai itu bukanlah seorang yang tak dikenal para pembaca cerita Pendekar Buta. Dia bukan lain adalah Bhok Hwesio, seorang tokoh yang amat terkenal dari perkumpulan besar Siauw-lim-pai.

Akan tetapi, berbeda dengan para hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal sebagai pendeta-pendeta berbudi yang hidup suci dan biasanya menggunakan ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang hebat untuk membela kebenaran dan keadilan, Bhok Hwesio ini semenjak dulu merupakan seorang anak murid atau tokoh yang murtad. Ilmu kepandaiannya memang tinggi dan lihai sekali. Bahkan boleh dibilang bahwa jarang ada tokoh Siauw-lim-pai yang dapat menandinginya, kecuali para pimpinan dan ketuanya saja.

Di dalam cerita Pendekar Buta diceritakan betapa Bhok Hwesio ini, dua puluh tahun yang lalu, dapat terbujuk oleh mereka yang memusuhi Pendekar Buta serta kawan-kawannya. Akhirnya dia ditawan oleh Thian Ki Losu, yaitu seorang tokoh Siauw-lim-pai yang sakti dan menjadi suheng-nya sendiri, lalu dibawa kembali ke Siauw-lim-pai.

Seperti sudah menjadi peraturan keras Siauw-lim-pai bila ada anak murid menyeleweng, Bhok Hwesio di ‘hukum’ di dalam ‘kamar penunduk nafsu’ selama sepuluh tahun! la tidak boleh keluar dari kamar yang pintunya di ‘segel’ dengan tulisan ‘hu’ (surat jimat), hanya diberi makan melalui lubang sehari sekali, dan diharuskan bersemedhi serta menindas hawa nafsu duniawi.

Karena yang menjaga agar hukuman ini terlaksana baik adalah Thian Ki Losu sendiri, Bhok Hwesio tidak berdaya dan terpaksa dia menyerah. Suheng-nya itu terlampau sakti baginya.

Akan tetapi sesungguhnya hanya pada lahirnya saja dia menyerah. Di dalam hatinya dia menjadi marah dan sakit hati terhadap Pendekar Buta, Raja Pedang, serta lain-lainnya yang dianggapnya menjadi biang keladi penderitaannya ini. Diam-diam dia bersemedhi untuk menggembleng diri, memupuk tenaga dan mendalami ilmu silat dan ilmu kesaktian di dalam kamar kecil dua meter persegi itu!

Saking tekunnya melatih diri, sudah sepuluh tahun lewat dan sudah lama Thian Ki Losu yang amat tua itu meninggal dunia, akan tetapi dia malah tidak mau keluar dari kamar hukuman ketika pintu dibuka sendiri oleh ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian Seng Losu. Akhirnya dia dibiarkan saja karena hal ini dianggap malah amat baik dan bahwa Bhok Hwesio agaknya sudah mendekati ambang pintu ‘kesempurnaan’!

Demikianlah, setelah bertapa menyiksa diri selama dua puluh tahun, pada suatu malam para hwesio Siauw-lim-pai kehilangan hwesio tua yang mereka anggap hampir berhasil dalam tapanya itu. Tidak ada seorang pun di antara para tokoh Siauw-lim-si itu menduga bahwa kepergian Bhok Hwesio kali ini adalah untuk mencari musuh-musuhnya yang dia anggap telah membuat dia menderita selama dua puluh tahun untuk membalas dendam!

Dan secara kebetulan sekali dia melihat Maharsi dan Bo Wi Sianjin yang sudah dia kenal namanya. Gembira hatinya mendengar bahwa mereka berdua itu pun mempunyai tujuan yang sama, maka ia kemudian muncul sambil menangkap dan melemparkan tubuh gadis yang dia ketahui sejak tadi mengintai.

Sengaja dia menggunakan tenaga sakti dalam lemparan itu untuk ‘menguji’ kelihaian dua orang tokoh utara dan barat yang akan menjadi teman seperjuangan dalam menghadapi musuh-musuh besarnya yang sakti, yaitu Pendekar Buta, Raja Pedang dan teman-teman mereka.

Maharsi dan Bo Wi Sianjin selama dua puluh tahun bersembunyi di tempat pertapaan masing-masing dan sudah lama tidak turun gunung. Karena itu mereka tidak mengenal hwesio tua renta yang tinggi besar dan bermuka pucat seperti mayat itu.

Ketika mereka tadi memandang wajah pucat tak berdarah itu, sebagai orang-orang sakti hanya dengan sekilas pandang saja mereka maklum bahwa hwesio tua itu benar-benar sudah menguasai ilmu mukjijat yang dinamakan I-kiong Hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah)! Hanya orang yang sinkang atau hawa sakti dalam tubuhnya sudah dapat diatur secara sempurnalah yang akan dapat menguasai ilmu ‘hoan-hiat’ ini yang berarti bahwa hwesio itu sudah mencapai titik yang sukar diukur tingginya.

Sekarang melihat tubuh seorang gadis muda melayang ke arah mereka, tahulah kedua orang itu bahwa hwesio tua ini hendak menguji kesaktian. Mereka tidak mengenal Lee Si dan biar pun jelas bahwa gadis itu mengintai, namun mereka tidak tahu apakah gadis ini musuh atau bukan.

Namun karena gadis itu sudah dilontarkan ke arah mereka, Maharsi mengeluarkan suara melengking tinggi sambil mendorongkan kedua lengannya ke depan, ke arah tubuh Lee Si sambil mengerahkan sinkang dengan tenaga lembut.

Demikian pula Bo Wi Sianjin yang mengeluarkan suara berkokok sambil mendorongkan lengannya, juga dengan tenaga lembut karena seperti Maharsi, dia pun tak mau melukai atau mencelakakan gadis yang tak dikenalnya.

Untung bagi Lee Si bahwa dia telah berlaku hati-hati dan cerdik, tadi tidak menggunakan ginkang untuk berusaha melarikan diri, karena ternyata Bhok Hwesio hanya sementara saja melepaskan dirinya. Begitu kedua orang kakek itu menyambut, Bhok Hwesio sudah menggerakkan lengan lagi ke arah tubuh yang melayang itu.

Lee Si merasa betapa ada tenaga berhawa panas yang hebat sekali datang menyambar dan menyangga punggungnya dari belakang. Ketika itu, dari depan datang menyambar dua tenaga gabungan dari kakek jangkung dan kakek pendek. Gabungan tenaga ini lalu bertemu dengan tenaga Bhok Hwesio sehingga tubuh Lee Si yang tergencet di tengah-tengah di antara dua tenaga sakti yang saling bertentangan itu berhenti di tengah udara, seakan-akan tertahan oleh tenaga mukjijat dan tidak dapat jatuh ke bawah.

Memang hal ini sebetulnya tampak amat tidak masuk di akal, karena menyalahi hukum alam. Akan tetapi harus diakui bahwa di dalam tubuh manusia terdapat banyak sekali rahasia-rahasia yang belum mampu dimengerti oleh manusia sendiri, dan sudah banyak yang mengakui bahwa terdapat tenaga-tenaga mukjijat yang masih merupakan rahasia di dalam diri manusia. Di antaranya adalah sinkang (hawa sakti) yang selalu terdapat dalam diri setiap orang manusia. Hanya sebagian besar orang tidak pernah sadar akan hal ini dan karena tidak mengenalnya maka tidak kuasa pula mempergunakannya.

Sebagai puteri suami-isteri pendekar yang berilmu tinggi, sungguh pun tingkatnya belum setinggi itu, namun Lee Si sudah maklum apa yang terjadi dengan dirinya. Dia dijadikan alat untuk mengukur tenaga sinkang. Andai kata diambil perumpamaan, dia merupakan sebatang tongkat yang dijadikan alat untuk main dorong-dorongan mengadu tenaga otot. Hanya dalam hal ini, bukan tenaga otot yang dipertandingkan, melainkan tenaga sinkang yang merupakan dorongan-dorongan dari jarak jauh!

Lee Si tidak begitu bodoh untuk mencoba-coba mengerahkan sinkang-nya sendiri dalam arena pertandingan ini, karena hal ini akan membahayakan nyawanya. Kecuali kalau dia memiliki tenaga yang mengatasi tenaga tiga orang itu, atau setidaknya mengimbangi.

Dia sengaja mengendurkan seluruh tenaga dan sedikit pun tidak melawan, tetapi dengan penuh perhatian dia lalu merasakan getaran-getaran hawa sakti yang saling mendorong melalui tubuhnya itu. Segera dia dapat menduga bahwa di antara tiga orang kakek itu, si hwesio tinggi besar inilah yang paling hebat tenaganya, juga tenaga sinkang hwesio ini yang mencengkeramnya.

Akan tetapi bila dibandingkan dengan tenaga si jangkung dan si pendek yang digabung menjadi satu, ternyata hwesio tua itu masih kalah kuat sedikit. Inilah yang perlu diselidiki oleh Lee Si dalam waktu singkat.

Tentu saja ia tak sudi menjadi ‘alat’ mengukur sinkang seperti itu, karena kalau dibiarkan saja, akibatnya amatlah buruk. Jika hanya berakibat tenaga sinkang-nya sendiri melemah saja masih belum apa-apa, akan tetapi kalau ada kurang hati-hati sedikit saja dari ketiga orang itu, ia bisa menderita luka parah di sebelah dalam tubuhnya.

Lee Si sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Setelah mengukur tenaga semua orang yang bertanding, tiba-tiba saja ia mengeluarkan jeritan keras sekali sambil mengerahkan sinkang di tubuhnya, membantu atau lebih tepatnya ‘menunggangi’ tenaga gabungan Si Jangkung dan Si Pendek, kemudian dia turut mendorong hawa hwesio tinggi besar yang mencengkeramnya.

Benar saja perhitungannya. Bhok Hwesio yang sudah merasa lelah dan tahu bahwa jika adu sinkang ini dilanjutkan dengan dikeroyok dua dia tentu akan kalah, tiba-tiba menjadi terkejut karena dorongan pihak lawan menjadi makin kuat. Terpaksa dia mendengus dan menurunkan kedua lengannya.

Begitu terlepas dari gencetan dari kedua pihak, tubuh Lee Si terlempar ke bawah. Namun gadis cerdik ini sudah menggunakan ginkang-nya dan melompat dengan selamat ke atas tanah. Sedikit pun ia tidak terpengaruh atau menjadi gugup meski baru saja ia terbebas dari ancaman bahaya maut. la malah segera menggunakan kesempatan untuk mengadu mereka demi keselamatannya sendiri, karena kalau tiga orang itu bersatu memusuhinya, terang ia akan celaka.

"Hemmm, hwesio sudah tua renta, mestinya berlaku alim dan budiman terhadap orang muda, kiranya justru sebaliknya, datang-datang kau menghina. Jelas bahwa kau sengaja hendak menyombongkan kepandaianmu kepada aku orang muda dan selain itu kau pun memandang rendah pada dua orang Locianpwe (Orang Tua Gagah) ini. Hemmm, hwesio tua renta, betapa pun ingin kau menyombongkan kepandaian, kenyataannya dalam adu tenaga tadi kau telah kalah!"

Bhok Hwesio tercengang, demikian pula Maharsi dan Bo Wi Sianjin. Ucapan terakhir dari gadis itu membuktikan bahwa Lee Si bukanlah orang sembarangan dan malah mengerti akan adu sinkang tadi serta dapat mengetahui pula siapa kalah siapa menang!

Perhitungan Lee Si memang tepat. Ucapannya tadi membuat kedua telinga Bhok Hwesio menjadi merah sehingga kelihatannya aneh sekali, mukanya demikian pucat tapi kedua telinga merah seperti dicat!

"Siapa yang kalah? Biar Maharsi dari barat dan Bo Wi Sianjin dari utara terkenal lihai, dikeroyok dua sekali pun pinceng tidak akan kalah! Bocah liar, kau lancang mulut!" Bhok Hwesio menggoyang-goyang lengan bajunya.

Akan tetapi Lee Si yang cerdik tidak bergerak dari tempatnya.

"Kalau menyerang dan merobohkan aku orang yang patut jadi cucu buyutmu, apa sih gagahnya? Tetapi mengalahkan kedua orang Locianpwe yang sakti ini? Huh, omong sih gampang! Kalau kau bisa menangkan mereka tak usah kau bunuh aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu!"

Di ‘bakar’ seperti itu, keangkuhan Bhok Hwesio langsung tersinggung. la tersenyum lebar menghampiri Maharsi dan Bo Wi Sianjin, mementang kedua lengannya sambil berkata, "Hayo kalian layani aku beberapa jurus, baru tahu bahwa pinceng (aku) lebih unggul dari pada kalian!" Setelah berkata demikian, hwesio tua tinggi besar ini sudah menggerakkan kedua lengan bajunya yang meniupkan angin pukulan seperti taufan.

Maharsi dan Bo Wi Sianjin sangat terkejut. Akan tetapi sebagai orang-orang sakti yang berkedudukan tinggi, tentu saja mereka tidak sudi dihina oleh hwesio yang tidak mereka kenal ini. Cepat mereka bersiap, Maharsi menangkis dengan gerakan lengan dari atas ke bawah, ada pun Bo Wi Sianjin telah berjongkok dan dari mulutnya keluar suara berkokok seperti katak buduk.

Di lain saat, tiga orang sakti ini sudah bertempur dengan gerakan lambat namun setiap gerakan mengandung sinkang dan Iweekang yang sanggup membunuh lawan dari jarak jauh. Hebat bukan main!

Inilah yang diharapkan oleh Lee Si. Jalan satu-satunya bagi keselamatan dirinya adalah mengadu tiga orang sakti itu agar supaya dia dapat menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Maka begitu tiga orang itu saling gempur dengan gerakan lambat namun mengandung tenaga dahsyat, Lee Si segera menyelinap ke belakang batang pohon dan siap hendak melarikan diri.

"Hendak lari ke mana kau, bocah liar?" Suara ini adalah suara Bhok Hwesio.

Tiba-tiba ada hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lee Si. Gadis ini terkejut bukan main, cepat mengelak sambil melompat dan...

"Brakkk!" pohon di sebelahnya tadi patah dan tumbang!

Wajah Lee Si menjadi pucat. Bukan main hebatnya hwesio tua itu yang dalam keadaan dikeroyok dua oleh Maharsi dan Bo Wi Sianjin, tetapi masih tetap dapat melihatnya dan mengetahui niatnya melarikan diri, bahkan dari jarak jauh dapat mengirim serangan yang demikian dahsyatnya.

"Huh, kau kira dapat lari dari Bhok Hwesio?"

Hwesio tinggi besar itu dengan sebelah tangannya menahan serangan Maharsi dan Bo Wi Sianjin, sedangkan tangan kirinya kembali melancarkan pukulan-pukulan jarak jauh yang membuat Lee Si melompat ke sana kemari dengan cepat.

"Ahh, kiranya Bhok-taisuhu (Guru Besar) dari Siauw-lim-pai? Maaf... maaf..."

Bo Wi Sianjin melompat mundur. Juga Maharsi yang sudah mendengar nama ini segera menghentikan serangannya.

Lee Si terkejut dan gelisah. Celaka, pikirnya. Tiga orang itu sudah saling mengenal dan agaknya tidak akan bermusuhan lagi, dan hal ini berarti dia akan celaka! Menggunakan kesempatan terakhir selagi Bhok Hwesio terpaksa membalas penghormatan dua orang itu, ia cepat melompat dan mengerahkan ginkang-nya.

Akan tetapi tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang. Lee Si secepat kilat membanting diri ke kiri sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan merogoh gin-ciam (jarum perak) dengan tangan kiri. Sambil membalik dengan gerakan Lee-hi Ta-teng (Ikan Lele Meloncat) dia segera menggerakkan tangan kirinya, menyerang dengan jarum perak ke arah bayangan Bhok Hwesio yang sudah melangkah lebar mengejarnya. Dalam keadaan terpojok ini, Lee Si lenyap rasa takutnya dan siap untuk melawan dengan gagah berani sebagaimana sikap seorang pendekar sejati.

Penyerangan Lee Si dengan jarum-jarum perak itu bukanlah hal yang boleh dipandang ringan. Ilmunya melepas jarum perak adalah ilmu senjata rahasia yang dia pelajari dari ibunya dan boleh dibilang dia telah mahir dengan Ilmu Pek-po Coan-yang (Timpuk Tepat Sejauh Seratus Kaki).

Serangannya tadi sebetulnya lebih bersifat menjaga diri, sambil membalik melepaskan segenggam jarum sebanyak belasan batang untuk mencegah desakan lawan. Biar pun jarum-jarum itu hanya disambitkan dengan sekali gerakan, namun benda-benda halus itu meluncur dalam keadaan terpisah dan langsung menerjang ke arah bagian-bagian yang berbahaya pada perut, dada, leher, dan mata.

Serangan ini masih disusul oleh terjangan Lee Si sendiri yang telah memutar pedangnya melakukan serangan. Ternyata gadis muda yang cerdik ini, yang sekarang tahu bahwa tidak mungkin dia akan dapat membebaskan diri kalau hanya lari dari hwesio kosen itu, telah menggunakan taktik menyerang lebih dulu untuk mencari kedudukan baik sehingga dapat mengurangi besarnya bahaya menghadapi lawan yang lebih tangguh.

"Eh, kau anak Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru pada saat lengan bajunya dikibaskan menyampok runtuh semua jarum perak dan cepat dia menggerakkan tubuh ke belakang karena melihat bahwa sinar pedang gadis muda itu tak boleh dipandang ringan.
"Kalau sudah tahu, masih berani menghinaku?" Lee Si menjawab dan kembali tangannya yang sudah menggenggam jarum perak bergerak menyambitkan jarum.

Sekarang karena berhadapan dan dapat mencurahkan perhatian, Lee Si memperlihatkan kepandaiannya, yaitu ia telah melepas jarum-jarum peraknya dengan gerakan Boan-thian Hoa-i (Hujan Bunga di Langit), gerakan yang tidak saja sangat indah, akan tetapi juga hasilnya luar biasa sekali karena jarum-jarum itu tersebar mekar laksana payung, atau seperti hujan mengurung tubuh Bhok Hwesio. Hebatnya, jarum-jarum itu kini mengarah jalan-jalan darah yang amat penting.

"Ho-hoh-hoh, siapa takut Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru.

Tubuhnya tiba-tiba rebah bergulingan dan di lain saat dia sudah melompat berdiri sambil menggerakkan kedua tangannya. Benda-benda hijau lalu meluncur ke depan, menangkis jarum-jarum itu sehingga di lain saat rumput dan daun hijau yang tertancap jarum perak runtuh ke atas tanah.

Kini Lee Si yang kaget setengah mati. Kiranya kepandaian hwesio itu luar biasa sekali, sudah amat tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada ibunya dalam hal menggunakan senjata rahasia.

Baru saja hwesio tua itu mendemonstrasikan kelihaiannya menggunakan senjata rahasia dengan ilmu Cek-yap Hui-hwa, yaitu ilmu melepas senjata rahasia menggunakan bunga dan daun. Tadi hanya dengan rumput-rumput dan dedaunan yang direnggutnya sambil bergulingan, Bhok Hwesio berhasil memukul runtuh semua jarum yang dilepas oleh Lee Si.

Namun Lee Si sama sekali tidak menjadi gentar atau putus asa. Cepat pedangnya sudah bergerak dengan jurus-jurus yang dia gabungkan dari kedua ilmu pedang warisan ayah bundanya.

Bhok Hwesio tercengang ketika dia mengelak dan mengebutkan ujung lengan bajunya. la mengenal baik Ilmu Pedang Hoa-san-pai, akan tetapi yang diperlihatkan gadis ini hanya mirip-mirip Ilmu Pedang Hoa-san-pai, bukan Ilmu Pedang Hoa-san-pai asli, namun malah lebih hebat!

Yang amat mengherankan hatinya adalah hawa pukulan yang terkandung di dalam ilmu pedang ini, karena kadang kala mengandung hawa Im yang menyalurkan tenaga lemas, akan tetapi di lain detik berubah menjadi hawa Yang dengan tenaga kasar. Mirip dengan ilmu kepandaian yang dimiliki musuh besarnya, yaitu Pendekar Buta dan terutama Raja Pedang yang menjadi pewaris dari Ilmu Im-yang Sin-hoat.

Selama dua puluh tahun ini, di dalam kamar kecil yang menjadi tempat dia menderita hukuman ‘penebus dosa’ dan sekaligus menjadi tempat dia bertapa dan menggembleng diri, memang dia khusus mencari ilmu untuk menghadapi Im-yang Sin-hoat. Karena itu, sekarang menghadapi ilmu pedang Lee Si yang memang mengandung penggabungan kedua hawa yang bertentangan ini, dia tidak menjadi bingung. Sepasang lengan bajunya lantas bergerak seperti sepasang ular hidup yang mengandung dua macam tenaga pula sehingga sebentar saja Lee Si sudah terdesak hebat!

Memang kalau bicara tentang tingkat ilmu, tingkat Lee Si masih jauh di bawah tingkat kakek ini. Bhok Hwesio usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan selain memiliki ilmu yang amat iinggi dari Siauw-lim-pai, juga dia mempunyai pengalaman bertempur puluhan tahun lamanya. Hanya dua hal yang membuat Lee Si dapat bertahan sampai tiga puluh jurus lebih. Pertama, karena gadis ini memang memiliki ilmu kepandaian asli yang bersih dan sakti, kedua karena Bhok Hwesio sendiri merasa rendah untuk merobohkan gadis yang patut menjadi cucu buyutnya seperti dikatakan Lee Si tadi.

Apa bila dia mau mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang mematikan, agaknya sudah sejak tadi Lee Si roboh. Namun, kini Lee Si benar-benar terdesak hebat, pedangnya tidak leluasa lagi gerakannya karena sudah terbungkus oleh gulungan sinar dua ujung lengan baju Bhok Hwesio.

Gulungan sinar itu bagaikan lingkaran besar yang luar biasa kuatnya, yang meringkus sinar pedangnya, makin lama lingkaran itu menjadi makin kecil dan sempit. Ruang gerak pedang Lee Si juga makin sempit.

Gadis itu mulailah mengeluarkan peluh dingin. Maklum dia bahwa hwesio ini benar-benar amat kosen dan sekarang sengaja hendak mengalahkannya dengan tekanan yang makin lama makin berat untuk memamerkan kepandaiannya. Dia tahu bahwa akhirnya dia tak akan dapat menggerakkan pedangnya lagi kecuali untuk membacok tubuhnya sendiri!

"Hayo cepat kau berlutut dan minta ampun, mengaku murid siapa dan apa hubunganmu dengan ketua Thai-san-pai!" berkali-kali Bhok Hwesio membentak.

Karena melihat betapa ilmu pedang gadis ini mengandung gabungan hawa Im dan Yang, dia menduga bahwa tentu ada hubungan antara gadis ini dengan musuh besarnya, Si Raja Pedang.

Lee Si maklum bahwa hwesio ini tentu bukan sahabat baik kakeknya Si Raja Pedang. Akan tetapi ia pun mengerti bahwa akhirnya ia akan mati, maka lebih baik baginya mati sebagai cucu Raja Pedang yang berani dan tak takut mati dari pada harus mengingkari kakeknya yang merupakan seorang pendekar sakti yang bernama besar.

"Hwesio jahat! Tak sudi aku menyerah. Kalau mau tahu, Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San ketua Thai-san-pai adalah kakekku!"

Bhok Hwesio tidak menjadi kaget karena sudah menduga akan hal ini. Akan tetapi dia girang sekali karena sedikitnya dia dapat membalas penasaran terhadap Raja Pedang kepada cucunya.

"Bhok-taisuhu, kita tawan saja cucunya!" tiba-tiba Bo Wi Sianjin berteriak.
"Betul kita jadikan cucunya sebagai jaminan!" Maharsi menyambung.

Akan tetapi, tepat pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang dan terdengar seorang di antara mereka berseru, "Bhok-suheng, tahan...!"

Bhok Hwesio mengeluarkan seruan rendah bagaikan kerbau mendengus. Akan tetapi dia cepat-cepat mundur sehingga Lee Si merasa terhindar dari tekanan hebat.

Wajah Lee Si pucat, mukanya yang cantik penuh dengan keringat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh ketabahan. Menggunakan kesempatan ini, Lee Si melompat mundur dan memandang kepada tiga orang pendatang baru yang menyelamatkannya itu dengan teliti.

Orang pertama yang tadi berseru kepada Bhok Hwesio adalah seorang pendeta pula, seorang hwesio tua, sedikitnya berusia tujuh puluh tahun. Mukanya hitam dan ada cacad bekas korban penyakit cacar. Biar pun mukanya bopeng dan buruk, tapi sepasang mata hwesio ini membayangkan kehalusan budi dan kesabaran seorang pendeta yang sudah masak jiwanya.

Hwesio ini membawa sebatang tongkat kuningan dan kini dia berdiri tegak menghadapi Bhok Hwesio. Mereka saling pandang seolah-olah keduanya sedang mengukur kekuatan masing-masing dengan pandang mata.

Hwesio ini memang bukan orang sembarangan, sebab dia adalah Thian Ti Losu, seorang tokoh tingkat tiga dari Siauw-lim-pai, masih terhitung adik seperguruan Bhok Hwesio. Ada pun dua orang yang lainnya adalah tosu-tosu dari Kun-lun-pai dan Kong-thong-pai, yaitu Sung Bi Tosu tokoh tingkat tiga dari Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tosu tingkat dua dari Kong-thong-pai.

Thian Ti Losu ini adalah seorang utusan Siauw-lim-pai yang sengaja keluar dari pintu kuil untuk mencari Bhok Hwesio yang menghilang dari dalam kamar hukumannya. Di tengah jalan dia berjumpa dengan Leng Ek Cu, sahabat baiknya. Kemudian setelah mendengar bahwa suheng-nya itu tengah dalam perjalanan melalui Pegunungan Bayangkara, ia lalu mengejar dan ditemani oleh Leng Ek Cu yang maklum betapa lihai serta berbahayanya suheng temannya itu.

Belum lama mereka memasuki daerah pegunungan ini, mereka bertemu dengan Sung Bi Tosu yang juga mereka kenal sebagai tokoh Kun-lun-pai. Tosu ini sedang pulang menuju Kun-lun-san di sebelah barat, maka mereka kemudian mengadakan perjalanan bersama. Kebetulan sekali mereka datang pada saat Lee Si berada di ambang kematian di tangan Bhok Hwesio, maka cepat-cepat Thian Ti Losu mencegahnya.

"Thian Ti Sute, mau apa kau datang ke sini?" Bhok Hwesio menegur sute-nya dengan pandang mata penuh selidik dan curiga.
"Bhok-suheng, siauwte diutus oleh ketua kita untuk mencari Suheng, dan mengajak Suheng kembali ke Siauw-lim-si," jawab Thian Ti Losu dengan suara tenang.

Sepasang mata Bhok Hwesio yang biasanya setengah meram itu kini terbuka sebentar, memandang dengan sinar kemarahan, tapi lalu terpejam lagi, hanya mengintai dari balik bulu mata.

"Sute, pulanglah dan jangan membikin kacau pikiranku. Aku tidak punya urusan apa-apa lagi dengan kau atau dengan Siauw-lim-si."
"Tapi, Suheng. Siauwte hanya utusan dan ketua kita memanggilmu pulang."
"Cukup! Thian Seng Suheng boleh jadi ketua Siauw-lim-si, akan tetapi aku bukan orang Siauw-lim-pai lagi. Hukuman yang dijatuhkan padaku telah cukup kujalani sampai penuh. Mau apa lagi? Pergilah!"
"Kau tahu sendiri, Bhok-suheng, apa artinya menjadi utusan ketua. Biar dengan taruhan nyawa, tugas tetap harus dilaksanakan. Dan kau pun cukup maklum, lebih maklum dari pada siauwte yang lebih muda dari padamu, apa artinya tidak mentaati perintah ketua kita, berarti penghinaan. Marilah, Suheng, kau ikut denganku kembali menghadap ketua kita dan percayalah, apa bila kau minta diri dengan baik-baik, Suheng kita yang menjadi ketua itu tentu akan meluluskanmu."

"Thian Ti! Kautonjol-tonjolkan nama Thian Seng Suheng untuk menakut-nakuti aku? Huh, jangankan baru kau atau dia sendiri, biar Thian Ki Lo-suheng sendiri bangkit dari lubang kuburnya, aku tidak akan takut dan tidak sudi kembali ke Siauw-lim-si. Nah, kau mau apa lagi?"
"Inilah pengkhianatan paling hebat! Suheng, kalau ada seorang anak murid Siauw-lim-pai yang murtad dan berkhianat, setiap orang anak murid yang setia harus menentangnya. Suheng, sekali lagi, kau mau taat dan ikut dengan aku pulang atau tidak?"

Bhok Hwesio hanya tertawa mengejek. Dia maklum bahwa sute-nya ini juga mempunyai kepandaian hebat, terkenal dengan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai tingkat tinggi, terkenal pula sebagai seorang ahli lweekang yang tenaganya hampir sama dengan tingkat yang dimiliki mendiang Thian Ki Losu sendiri. Akan tetapi dia tidak takut dan merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan sute-nya ini.

"Bhok-taisuhu, mengapa masih terlalu banyak sabar menghadapi adik seperguruan yang cerewet?" tiba-tiba Bo Wi Sianjin berseru dari samping kanan Bhok Hwesio. "Kalau mau bicara tentang ketaatan, maka seorang adik seperguruanlah yang harusnya taat kepada suheng-nya!"
"Ha-ha-ha, benar-benar lucu ini. Bo Wi Sianjin dari Mongol bukannya anak kecil, bagai mana dapat bersikap begini tidak tahu malu mencampuri urusan dalam dua orang murid Siauw-lim-pai?" Sung Bi Tosu sudah melangkah maju menghadapi Bo Wi Sianjin dan memandang tajam.

Bo Wi Sianjin si kakek pendek gendut tertawa mengejek. Kenyataan bahwa tosu itu bisa mengenal namanya sedangkan dia sendiri tidak mengenal tosu itu membuktikan bahwa dia cukup dikenal oleh para tokoh kang-ouw.

"Ehh, kau ini tosu bau dari mana berani lancang mulut? Aku bicara dengan Bhok-taisuhu, ada sangkut-paut apa denganmu?"
"Pinto adalah Sung Bi Tosu dari Kun-lun-pai. Memang pinto tidak ada urusan denganmu, akan tetapi kau juga tidak ada urusan sama sekali untuk mencampuri persoalan saudara seperguruan Siauw-Lim-pai."
”Eh, keparat. Apa yang kau lakukan, bagaimana kau bisa ikut campur? Tosu Kun-lun-pai selamanya sombong, apa kau kira aku takut mendengar nama Kun-lun? Heh-heh-heh, tosu cilik, berani kau menentangku?"
"Menentang kelaliman adalah tugas setiap orang yang menjunjung kebenaran! Kalau kau mencari perkara, pinto tidak akan mundur setapak pun!" jawab tokoh Kun-lun-pai dengan suara gagah.

Si kakek pendek gendut dari Mongol mengeluarkan suara ketawa yang serak. "Bagus, kau sudah bosan hidup!"

Setelah berkata demikian, dia melompat maju ke depan Sung Bi Tosu, lalu memasang kuda-kuda dengan tubuh jongkok sehingga tubuh yang sudah pendek itu tampak menjadi semakin pendek lagi. Dari mulutnya terdengar suara berkokok, sedangkan kedua kakinya berloncatan dengan gerakan berbareng seperti katak meloncat.

”Hemmm, pendeta liar dari Mongol, apakah kau mau membadut di sini...?" Belum habis Sung Bi Tosu bicara, tiba-tiba kakek gendut pendek itu menggerakkan kedua tangan ke depan.

Tubuh Sung Bi Tosu terjengkang ke belakang, lantas roboh telentang dan bergulingan. Ternyata dia sudah terkena pukulan ilmu Katak Sakti yang dahsyat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang lihai, begitu tadi merasai datangnya pukulan jarak jauh yang luar biasa, dia telah mengerahkan sinkang-nya, sehingga biar pun dia telah terpukul dan roboh terjengkang, dia tidak tewas. Orang lain yang terkena hawa pukulan sehebat itu tentu akan tewas di saat itu juga, akan tetapi tokoh Kun-lun-pai ini hanya terluka dan masih kuat melompat bangun dengan muka pucat dan mata merah.

"Iblis jahat!" serunya. Tubuhnya sudah melayang maju, dan sinar pedangnya berkelebat cepat menyambar.

Akan tetapi sekali lagi terdengar suara berkokok dan sambil mengelak dari sambaran pedang, kakek gendut pendek itu sudah mengirim dua kali pukulannya. Pukulan pertama membuat pedang Sung Bi Tosu terpental, pukulan kedua membuat tubuhnya terlempar sampai lima meter lebih dan tosu Kun-lun-pai itu roboh tak bangun lagi karena nyawanya sudah melayang meninggalkan tubuhnya!

Muka Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pai menjadi pucat saking marahnya menyaksikan pembunuhan atas diri teman baiknya ini. Diam-diam dia juga merasa kagum dan ngeri menyaksikan kehebatan ilmu pukulan Bo Wi Sianjin yang demikian hebatnya sehingga seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah amat tinggi tingkatnya bisa terpukul binasa hanya oleh tiga pukulan jarak jauh.

"Keji... keji sekali...!" katanya sambil melangkah maju. "Mati hidup manusia bukanlah hal aneh, seperti angin lalu. Akan tetapi mengandalkan kepandaian untuk merenggut nyawa orang lain hanya untuk urusan tak berarti, benar-benar keji sekali. Apa lagi kalau yang melakukan itu seorang yang sudah menamakan dirinya tua dan pertapa pula. Bo Wi Sianjin, untuk kekejianmu itulah pinto terpaksa bertindak!" Sambil berkata demikian, Leng Ek Cu sudah mencabut pedangnya dan bersiap menghadapi lawannya yang tangguh.

Akan tetapi mendadak dia cepat miringkan tubuh dan menggeser kaki kiri ke belakang sambil mengibaskan pedangnya karena tahu-tahu dari sebelah kanan menyambar hawa pukulan. Kiranya pendeta tinggi bersorban itulah yang sudah menggerakkan lengannya yang panjang untuk mencengkeram pundaknya tanpa berkata sesuatu.

"Heh, siapa kau?! Pendeta asing, jangan mencampuri urusan orang lain!" bentak tokoh Kong-thong-pai itu sambil melintangkan pedang di depan dada.

Penyerangnya adalah Maharsi. Pendeta India yang jangkung ini lalu mengeluarkan suara tertawa seperti suara burung hantu, lalu berkata dengan kata-kata yang kaku dan suara asing. "Sudah berani mencabut pedang tentu berani menghadapi siapa juga, termasuk aku, Maharsi orang bodoh dari barat."

Setelah berkata demikian, dari kerongkongannya terdengar suara melengking tinggi yang memekakkan telinga. Dua lengannya mendorong-dorong setelah tubuhnya miring-miring dalam kedudukan kuda-kuda yang ganjil. Akan tetapi dari dua lengannya itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat. Inilah ilmu Pukulan Pai-san-jiu!

Leng Eng Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai. Ilmu pedangnya merupakan ilmu pedang kebanggaan partainya, cepat dan bergulung-gulung panjang, lagi pula dia memiliki ginkang yang membuat dia dapat bergerak cepat sekali. Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat Sung Bi Tosu.

Melihat gerakan aneh dari pendeta asing ini, Leng Ek Cu tak berani memandang rendah dan tidak mau menyambut langsung. Dia mengandalkan ginkang-nya, dengan lincah dia mengelak dan tubuhnya meliuk ke samping, terus balas mengirim tusukan diiringi tenaga Iweekang yang membuat pedang itu berdesing menuju ke arah sasarannya, yaitu perut si pendeta India!

Maharsi kembali mengeluarkan lengking tinggi dan tubuhnya tanpa berubah sedikit pun juga, agaknya tidak mengelak dan bersedia menerima tusukan pedang. Namun tidaklah demikian kiranya karena sebelum pedang itu mencium kulit perutnya lewat baju, tiba-tiba perutnya melesak ke dalam, lalu tangannya yang berlengan panjang itu telah menyambar ke depan mengarah leher dan kepala lawan.

Hebat memang pendeta ini, sebab begitu dia menjulurkan lengannya dan mengempiskan perutnya, selain pedang lawan tidak dapat mengenai perutnya, juga lengannya itu lebih panjang jangkauannya. Kalau Leng Ek Cu melanjutkan tusukannya, tentu lehernya akan patah dicengkeram dan kepalanya akan bolong-bolong!

Tentu saja Leng Ek Cu tidak sudi diperlakukan demikian. Andai kata tadi Sung Bi Tosu tidak berlaku sembrono dan tidak memandang rendah lawannya seperti halnya Leng Ek Cu sekarang, belum tentu dia dapat dirobohkan demikian mudahnya oleh Bo Wi Sianjin yang memiliki Ilmu Katak Sakti.

Leng Ek Cu amat hati-hati, dapat menduga bahwa lawannya, pendeta asing ini, memiliki kepandaian yang luar biasa dan aneh. Karena itu dia cepat-cepat menarik pedangnya yang dikelebatkan merupakan lingkaran membabat kedua lengan lawan. Gerakan ini dia lakukan dengan pengerahan tenaga Iweekang.

"Bagus!" Maharsi berseru gembira.

Memang demikianlah wataknya. Makin tinggi tingkat kepandaian lawan, semakin gembira pula hatinya untuk melayaninya. Ilmu silatnya yang aneh, sebagian besar mengandalkan tenaga sinkang mukjijat yang bercampur dengan ilmu sihir, namun harus diakui bahwa tubuhnya yang jangkung itu dapat bergerak lemas dan lincah, walau pun kedua kakinya jarang sekali dipindahkan dengan cara diangkat, hanya selalu digeser-geserkan dengan menggerakkan kedua tumit.

Sepasang lengannya yang panjang itu bagaikan sepasang ular hidup, tapi setiap gerakan mengandung tenaga dahsyat dari ilmu pukulan sakti Pai-san-jiu. Makin lama makin cepat kedua lengannya bergerak. Kini kedua tangan dikembangkan jari-jarinya, sepuluh buah jari itu bergerak-gerak bagai ular-ular kecil dan terbentanglah jari-jemari yang menggeliat-geliat mengaburkan pandangan mata. Sepuluh batang jari itu bergerak-gerak amat cepat menjadi ratusan dan dari jari-jari itu menyambar hawa pukulan Pai-san-jiu!

Inilah ilmu yang hebat! Leng Ek Cu, tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai yang memiliki kiam-hoat pilihan, berusaha mengurung dirinya dengan selimut sinar pedangnya, namun dia hanya dapat bertahan sampai dua puluh lima jurus saja. Pandang matanya kabur, sinar pedangnya makin membuyar dihantam hawa pukulan yang merayap masuk antara sinar pedangnya bagaikan titik-titik air hujan. Pertahanannya semakin lemah, kepalanya pusing dan tubuhnya bermandi peluh.

Maharsi makin kuat saja. Kini hawa pukulan yang dapat menyelinap di antara sambaran sinar pedang makin membesar tenaganya, mengenai tubuh Leng Ek Cu bagaikan ribuan jarum beracun menusuk-nusuk. Pakaian tosu Kong-thong-pai itu sudah bolong-bolong, kulit tubuhnya yang terkena hawa pukulan mengakibatkan titik-titik hitam dan makin lama pukulan-pukulan yang sebetulnya hanyalah merupakan sentilan-sentilan jari tangan yang sepuluh buah banyaknya itu makin gencar datangnya.

Leng Ek Cu seorang gagah sejati, sedikit pun tidak mengeluh biar pun rasa nyeri pada tubuhnya hampir tidak tertahankan lagi. Akhirnya dia melakukan serangan balasan yang nekat, pedangnya membacok dengan disertai tenaga sepenuhnya, tubuhnya seolah-olah dia tubrukkan dengan tubuh lawan supaya bacokannya tidak dapat dihindarkan Maharsi.

Maharsi melengking tinggi. Dua tangannya bergerak dan dari atas dia mendahului lawan dengan pukulan Pai-san jiu sekerasnya.

"Hukkk!"

Demikianlah suara yang keluar dari mulut Leng Ek Cu. Tubuhnya sejenak berdiri tegak, seakan-akan tubuh itu kemasukan aliran listrik dari sambaran halilintar, kemudian tubuh yang tegak itu menggigil, makin lama semakin keras dan robohlah Leng Ek Cu dengan pedang di tangan. Tubuhnya tetap kaku, tapi sudah tak bernafas lagi!

Dapat dibayangkan betapa marah dan sedihnya hati Thian Ti Losu melihat kejadian ini. Dua orang tosu itu, tokoh Kun-lun-pai dan tokoh Kong-thong-pai, keduanya merupakan orang-orang gagah yang melakukan perjalanan bersamanya. Sekarang mereka berdua tewas dalam keadaan yang sangat menyedihkan, semua gara-gara urusan dia dengan suheng-nya, Bhong Hwesio yang murtad. Kalau tidak ada urusan Bhok Hwesio, kiranya tidak akan terjadi peristiwa ini dan kedua orang temannya itu tidak akan mengorbankan nyawa.

"Bhong-suheng, benar-benar kau telah tersesat jauh sekali," serunya dengan suara keras penuh kemarahan. "Kau membiarkan kawan-kawanmu membunuh dua orang tosu tidak berdosa dari Kun-lun dan Kong-thong. Bhok-suheng, kau insyaflah, jauhkan dirimu dari pergaulan sesat dan mari pulang bersama siauwte, menghadap twa-suheng Thian Seng Losu dan menebus dosa menghadap perjalanan ke alam asal!"

Akan tetapi Bhok Hwesio yang telah menyimpan rasa sakit hati dan juga rasa penasaran terhadap Siauw-lim-pai, mana mau mendengar nasehat ini? la membuka kedua matanya dan menegur,

"Thian Ti Losu, kau dan aku bukan saudara bukan teman bukan segolongan lagi, kenapa banyak cerewet? Mengingat akan perkenalan kita yang sudah puluhan tahun, mau aku mengampunimu. Lekaslah kau pergi dari sini dan jangan menggangguku lagi."

"Bhok Hwesio, kau benar-benar tidak mau insyaf? Terpaksa pinceng mentaati perintah twa-suheng, menjalankan peraturan Siauw-lim-pai yang kami junjung tinggi. Berlututlah!"

Thian Ti liosu mengangkat tangan kanan tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ditaruh miring berdiri di depan dada. Inilah pasangan kuda-kuda yang sudah biasa dilakukan oleh seorang tokoh Siauw-lim-pai untuk memberi hukuman kepada murid murtad.

Menurut peraturan, murid-murid yang sudah tak diakui lagi oleh Siauw-lim-pai menerima hukuman yang paling berat, yaitu dimusnahkan kepandaiannya sehingga ia akan menjadi seorang pendeta cacad di dalam tubuh yang tak dapat disembuhkan lagi, membuatnya menjadi seorang yang lemah dan tidak memiliki sinkang lagi.

"Hu-huh-huh, siapa sudi mendengar ocehanmu?!" bentak Bhok Hwesio marah.
"Bhok-taisuhu, kenapa begini sabar? Biarlah aku mewakilimu memberi hajaran kepada si sombong ini!" Bo Wi Sianjin si pendek gendut membentak marah, lalu melompat maju menghadapi Thian Ti Losu, tubuhnya berjongkok dan kedua lengannya didorongkan ke depan sambil mengeluarkan bunyi berkokok dari kerongkongannya.
"Omitohud, pendeta sesat!" Thian Ti Losu mengeluarkan teguran.

Dia pun mendorongkan kedua lengannya ke depan. Karena si pendek itu mendorong dari bawah ke atas, untuk mengimbangi tenaganya dari arah yang berlawanan, maka hwesio Siauw-lim ini mendorong dari atas ke bawah. Dua pasang telapak tangan itu tampaknya perlahan saja bertemu, akan tetapi akibatnya hebat.

Tubuh Thian Ti Losu mencelat ke atas sampai dua kakinya meninggalkan tanah setinggi setengah meter, ada pun tubuh Bo Wi Sianjin melesak ke dalam tanah sampai pinggang dalamnya! Ini saja telah membuktikan bahwa Ilmu Katak Sakti yang mengandung tenaga sinkang luar biasa itu ternyata masih belum sanggup melawan kekuatan si hwesio tokoh Siauw-lim-pai.

"Bi Wi Sianjin, biar pinceng bereskan sendiri bocah ini!" kata Bhok Hwesio.

Bhok Hwesio lalu menggerakkan kedua kakinya melangkah maju menghampiri sute-nya. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang seperti dua ekor jago tua yang sedang mengukur kekuatan dan keberanian hati sebelum mulai bertanding.

Ada pun Maharsi lalu menghampiri Bo Wi Sianjin. Sekali kakek jangkung ini menyendal tangan temannya, tokoh Mongol itu sudah ‘tercabut’ keluar dari tanah. Wajahnya menjadi merah karena dalam segebrakan tadi saja sudah bisa dibuktikan bahwa ilmu kepandaian tokoh Siauw-lim-pai itu masih terlampau kuat baginya.

Diam-diam dia harus mengakui kehebatan Siauw-lim-pai yang bukan kosong. Dua orang hwesio ini sudah cukup menyatakan bahwa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai memang hebat.

Sementara itu, Bhok Hwesio dan Thian Ti Losu sudah mulai bertanding. Karena maklum betapa lihainya hwesio murtad itu, Thian Ti Losu menyerang dengan senjata tongkatnya. Begitu bergebrak, dia telah mempergunakan ilmu tongkatnya yang amat kuat. Tongkat itu mengeluarkan bunyi mengaung-aung dan ujungnya bergetar lalu pecah menjadi banyak sekali, langsung menyerang bagian-bagian tubuh yang berbahaya.

Bo Wi Sianjin dan Maharsi memandang kagum penuh perhatian. Mereka sudah sering menyaksikan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai yang tersohor dimainkan orang, akan tetapi baru kali ini melihat permainan tongkat yang demikian dahsyatnya.

Bhok Hwesio sendiri pun maklum akan kelihaian sute-nya ini. Tentu saja sebagai tokoh Siauw-lim-pai, dia mengenal baik ilmu tongkat dari Siauw-lim, maka dengan tenang tapi tangkas dia melayani tongkat itu dengan kedua ujung lengan bajunya.

Thian Ti Losu baru merasa terkejut ketika gerakan tongkatnya menyeleweng setiap kali bertemu dengan dua ujung lengan baju Bhok Hwesio. Hal ini menandakan bahwa bekas suheng-nya itu luar biasa kuatnya dan dia kalah banyak dalam hal tenaga sakti.

Selain ini, dia melihat gerakan suheng-nya amat aneh. Meski pun dasar-dasarnya masih memakai dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai yang kokoh kuat, akan tetapi perkembangannya berubah banyak seakan-akan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang tidak asli lagi.

Memang demikianlah halnya. Selama dua puluh tahun menjalankan hukumannya sambil bertapa di dalam kamar, Bhok Hwesio sudah menciptakan ilmu pukulan dengan kedua lengan bajunya, yang sedianya dia ciptakan untuk menghadapi musuh-musuhnya yang lihai.

Ilmu pukulan ini dasarnya memang ilmu Silat Siauw-lim-pai yang dia pelajari sejak kecil, akan tetapi perkembangannya dia ciptakan sendiri, khusus untuk melayani ilmu silat yang mengandung penggabungan hawa Im dan Yang, karena kedua orang musuh besarnya, Pendekar Buta dan Raja Pedang, adalah ahli-ahli dalam hal ilmu silat gabungan tenaga itu. Kini, menghadapi bekas sute-nya dia malah mendapat kesempatan untuk sekali lagi, setelah tadi mencobanya atas diri Bo Wi Sianjin dan Maharsi, menggunakan sekaligus mencoba ilmu ciptaannya itu.

Kepandaian Bhok Hwesio memang amat hebat. Hawa sinkang dalam tubuhnya menjadi berlipat kuatnya setelah dia bertapa selama dua puluh tahun, berlatih setiap hari dengan tekun. Memang dasar latihan semedhi dan peraturan bernafas dari Siauw-lim-pai sangat kuatnya, berasal dari sumber yang bersih dan diperuntukkan bagi para pendeta Buddha untuk menguatkan batin dan mencapai kesempurnaan.

Agaknya dalam hal ini, Bhok Hwesio sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, sungguh pun setelah sampai pada batas yang tinggi, akhirnya ilmunya menjadi menyeleweng dari garis kesempurnaan karena dikotori oleh rasa dendam dan sakit hati sehingga tak dapat menembus rintangan yang dibentuk oleh nafsunya sendiri…..
Andai kata Bhok Hwesio tidak dikotori oleh dendam dan nafsu, kiranya dia akan mampu mencapai tingkat yang bahkan lebih tinggi dari pada yang pernah dicapai oleh semua tokoh Siauw-lim-pai karena memang pada dirinya terdapat bakat yang amat besar.

Thian Ti Losu baru sadar akan kehebatan bekas suheng-nya ini sesudah pertandingan berjalan selama lima puluh jurus. la terdesak hebat dan sinar tongkatnya selalu terbentur membalik oleh hawa pukulan lawan yang kuat sekali.

Akan tetapi, bagi tokoh Siauw-lim-pai ini, kiranya membela kebenaran merupakan tugas hidup dan merupakan pegangan sehingga dia tidak merasa gentar menghadapi apa pun. Mati dalam membela kebenaran adalah mati bahagia.

la mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya lebih cepat, berusaha sekuatnya untuk menghancurkan benteng hawa pukulan yang terus menghimpitnya itu. Dengan gerakan melingkar tongkatnya melepaskan diri dari tekanan ujung lengan baju, lalu dari samping dia mengirim tusukan ke arah lambung. Gerakan ini boleh dikatakan nekat karena dalam menyerang, dia membiarkan dirinya tidak terlindung. Jika lawannya membarengi dengan serangan balasan, walau pun tongkatnya akan mencapai sasaran dia sendiri tentu akan celaka.

Bhok Hwesio mengeluarkan dengus mengejek. la tidak mempergunakan kesempatan itu untuk balas menyerang, melainkan cepat sekali kedua ujung lengan baju dia sentakkan ke samping dan pada lain saat tongkat itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju, sedang ujung kedua menotok ke arah leher lawannya.

Thian Ti Losu kaget luar biasa, mengerahkan tenaga untuk merenggut lepas tongkatnya. Namun hasilnya sia-sia, tongkatnya seperti sudah berakar dan tak dapat dicabut kembali. Sementara itu, ujung lengan baju kiri Bhok Hwesio seperti seekor ular hidup sudah amat dekat meluncur.

Terpaksa sekali, untuk dapat menyelamatkan diri, Thian Ti Losu melepaskan tongkatnya dan melempar tubuh ke belakang sambil bergulingan. la selamat dari totokan maut, tetapi tongkatnya telah dirampas lawan. Bhok Hwesio tertawa pendek, tangannya lalu bergerak dan... tongkat itu amblas ke dalam tanah sampai tidak kelihatan lagi!

"Thian Ti Losu, terang kau bukanlah lawanku. Sekali lagi, cepatlah kau pergi dan jangan menggangguku lagi, aku akan maafkan kekurang ajaranmu untuk terakhir kali mengingat bahwa kau hanya menjalankan perintah. Nah, pergilah!"

Namun, mana Thian Ti Losu sudi mendengarkan kata-kata ini? Melarikan diri dari tugas hanya karena takut kalah atau mati adalah perbuatan pengecut dan akan mencemarkan nama baiknya dan terutama sekali, nama besar Siauw-lim-pai. Mati dalam menunaikan tugas jauh lebih mulia dari pada hidup sebagai pengecut yang mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai.

Sekarang Bhok Hwesio bekas suheng-nya, menganjurkan dia menjadi pengkhianat atau pengecut. Thian Ti Losu menengadahkan mukanya ke atas, tertawa bergelak kemudian mengerahkan seluruh lweekang-nya dan di lain saat dia sudah menerjang maju dengan kepala yang mengepulkan uap di depan, menubruk Bhok Hwesio.

Inilah jurus mematikan yang berbahaya bagi lawan dan diri sendiri! Karena jurus seperti ini, yang menggunakan kepala untuk menghantam tubuh lawan, merupakan tantangan untuk mengadu tenaga terakhir untuk menentukan siapa akan menang dan siapa harus mati. Kalau dielakkan, hal ini akan menunjukkan kelemahan yang diserang, tanda bahwa dia tidak berani menerima tantangan adu nyawa. Bagi seorang jagoan, apa lagi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio, tentu saja ini merupakan hal yang akan memalukan sekali.

"Huh, kau keras kepala!" ejek Bhok Hwesio sambil berdiri tegak, perutnya yang gendut besar ditonjolkan ke depan.

Bagaikan seekor lembu mengamuk, Thian Ti Losu menyeruduk ke depan, kepalanya dia arahkan perut bekas suheng-nya.

"Cappp!"

Kepala hwesio itu bertemu dengan perut suheng-nya dan menancap atau lebih tepat lagi amblas ke dalam ketika perut itu menggunakan tenaga menyedot. Hebatnya, tubuh Thian Ti Losu lurus seperti sebatang kayu balok. Kedua tangannya bergerak hendak memukul atau mencengkeram, namun Bhok Hwesio yang sudah siap mendahuluinya, mengetuk kedua pundaknya.

Terdengar suara tulang patah dan kedua lengan Thian Ti Losu menjadi lemas seketika, tergantung pada kedua pundak yang sudah patah sambungan tulangnya. Bhok Hwesio masih meneruskan gerakan tangannya. Tiga kali dia mengetuk punggung Thian Ti Losu dan tubuh yang tegak lurus itu menjadi lemas, tanda bahwa tenaganya lenyap. Ada pun kepala tokoh Siauw-lim-pai itu masih menancap di ‘dalam’ perut Bhok Hwesio.

"Nah, pergilah!" seru Bhok Hwesio.

Perutnya yang tadinya menyedot itu lalu dikembungkan dan... tubuh Thian Ti Losu yang sudah lemas itu terlempar ke belakang sampai lima meter lebih jauhnya, roboh di atas tanah dalam keadaan setengah duduk.

Thian Ti Losu maklum apa yang telah menimpa dirinya. Bhok Hwesio sudah melakukan tindakan yang amat kejam, bukan membunuhnya melainkan mematahkan tulang kedua pundak, tulang punggung dan menghancurkan saluran hawa sakti di punggung sehingga mulai saat itu dia tidak akan mungkin lagi mempergunakan Iweekang atau sinkang dan sudah menjadi seorang tapa daksa selama sisa hidupnya!

"Manusia keji...!" katanya terengah-engah sambil menahan nyeri, akan tetapi sepasang matanya masih memandang tajam, "bunuh saja aku sekalian..."
"Huh-hu-huh, Thian Ti Losu. Kau benar-benar seorang yang tak kenal budi. Aku sengaja tidak membunuhmu agar kau dapat kembali ke Siauw-lim-pai dan membuktikan bahwa kau seorang yang setia dan dapat menunaikan tugas sampai batas kemampuan terakhir. Dan kau masih mengomel?"
"Lempar saja dia ke dalam jurang!" kata Bo Wi Sianjin yang masih merasa penasaran dan marah karena tadi dia terbanting masuk ke dalam tanah oleh tokoh Siauw-lim-pai itu.
"Heeeiii...! Mana dia...?!"

Seruan Maharsi itu membuat Bhok Hwesio dan Bo Wi Sianjin menengok. Baru sekarang mereka teringat akan diri gadis cucu Raja Pedang ketua Thai-san-pai itu.

"Wah, dia melarikan diri. Hayo kejar, dia penting sekali harus kita tawan!" Bhok Hwesio berseru.

Ketiga orang kakek ini segera meloncat dan lenyap dari tempat itu mengejar Lee Si, meninggalkan Thian Ti Losu yang hanya dapat memandang dengan hati mendongkol. la ditinggal dalam keadaan cacad, bersama mayat dua orang temannya, yaitu Sung Bi Tosu tokoh Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pai.

Ke manakah perginya Lee Si? Apakah betul dugaan Bhok Hwesio tadi?

Selanjutnya baca
JAKA LOLA : JILID-06
LihatTutupKomentar