Pendekar Buta Jilid 07


Telah terlalu lama kita meninggalkan Kwa Kun Hong, pendekar kita yang buta itu. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, sesudah pertemuannya dengan Tan Hok kemudian mendengar keterangan-keterangan tentang kepahlawanan, bangkit semangat Kun Hong. Dia ingin sekali berdarma bakti terhadap nusa bangsa. Ingin sekali dia menyumbangkan tenaganya untuk tanah air.

Dia tahu betapa pentingnya arti mahkota kuno yang menyimpan rahasia besar itu dan alangkah akan baiknya kalau dia dapat merampas kembali benda itu dan memberikannya kepada Tan Hok. Akan tetapi apa dayanya. Dia seorang buta, bagaimana mungkin dapat pergi seorang diri ke pulau itu? Selain pulau itu penuh dengan rahasia-rahasia yang amat berbahaya, ular-ular yang berbisa, juga di sana terdapat orang-orang yang amat lihai.

Sepeninggal Tan Hok, Kun Hong duduk termenung di dalam kuil rusak itu, dia menyesali keadaannya yang buta, bingung tak tahu apa yang harus dia lakukan mengenai niatnya hendak merampas kembali mahkota. Baru pertama kali ini semenjak dia buta, dia merasa menyesal bukan main. Teringat dia akan Cui Bi sehingga berkali-kali dia menarik napas panjang sambil di dalam hati menyebut nama kekasihnya yang telah tiada.

Siapa pun juga yang melihat keadaan Kun Hong di saat itu tentu akan merasa kasihan. Seorang pemuda buta yang pakaiannya kotor dan kumal, rambutnya juga awut-awutan karena pembungkusnya tidak rapi lagi, sepatunya penuh lumpur dan sudah bolong-bolong pula, duduk bersandar dalam sebuah kuil rusak yang juga kumal dan kotor seperti dirinya, menarik napas berkali-kali, kelihatan susah sekali. Dia merupakan seorang jembel muda buta yang amat miskin.

Padahal bukanlah demikian sifat Kun Hong. Dia amat benci akan keadaan yang kotor dan walau pun pakaiannya sederhana, biasanya amat bersih. Sekali ini, karena keributan dan pengalamannya di Pulau Chin-coa-to, maka pakaiannya menjadi seperti itu dan dia belum mendapat kesempatan untuk mencari pengganti pakaiannya.

Agaknya pada saat itu memang ada orang yang menaruh kasihan kepadanya, buktinya orang itu semenjak tadi berdiri memandangi wajah orang buta yang duduk menarik napas panjang berkali-kali sambil menunduk itu. Orang ini menggeleng kepala dan mendesislah helaan napasnya.

Helaan napas yang halus panjang, namun cukup bagi Kun Hong untuk mengetahui bahwa ada orang yang secara diam-diam mengintainya. Tanpa bangkit dari tempat duduknya di lantai yang kotor itu, dia menoleh dan menegur lirih,
"Sahabat di luar, kalau ada keperluan dengan aku si buta, masuklah saja."

Pendengaran Kun Hong yang tajam menangkap bunyi napas tertahan, lalu ada sambaran angin meliuk masuk lewat jendela dan sepasang kaki yang amat ringan gerakannya turun di atas lantai dalam ruangan itu, di depannya. Dia kaget karena dapat menduga bahwa yang datang ini adalah seorang yang berkepandaian tinggi.

Akan tetapi segera jantungnya berdebar tidak karuan ketika alat penggandanya bekerja. Lubang hidungnya kembang-kempis dan dia melompat bangun.

"Nona Hui Kauw...!"

Kedua kakinya gemetar pada saat dia berdiri dengan tubuh agak membungkuk memberi hormat. Orang yang baru masuk itu memang Hui Kauw adanya.

Tentu saja Hui Kauw kaget dan heran bagaimana pemuda buta ini dapat mengenalinya sebelum ia membuka suara. Akan tetapi ia tidak peduli akan hal ini dan suaranya yang halus merdu itu terdengar penuh sesal,

"Kwa Kun Hong, aku datang untuk perhitungan. Mari ke luar dan pedang kita yang akan menentukan siapa yang harus mati menebus hinaan."

Perih rasa hati Kun Hong. Dia menunduk, dahinya berkerut dan dia berkata, "Aku tahu, Nona, tanpa kusadari, aku sudah melukai hati serta perasaanmu, aku telah menimpakan hinaan besar pada dirimu. Aku tak hendak menyangkal lagi. Kau maafkanlah aku, Nona."

Hui Kauw memandang tajam. "Apa maksudmu? Kau... kau... tahukah kau apa yang telah menyakitkan hatiku?"

Dengan kepala masih tunduk Kun Hong menjawab, suaranya lirih dan lambat, satu-satu seakan-akan amat sukar keluar dari lubuk hatinya.

"Aku tahu, Nona, atau setidak-tidaknya aku dapat menduga. Karena bujukan dan tipuan, kau mau menjalani upacara sembahyangan perkawinan dengan aku, mengira bahwa aku pun sudah tahu dan sudah setuju akan hal itu. Kemudian, di depan banyak orang, aku seakan-akan menolakmu. Inilah hinaan yang tiada taranya, yang paling besar yang dapat menimpa diri seorang gadis seperti Nona."

Mendadak Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut di atas lantai, pedangnya berkerontangan jatuh dan ia menangis terisak-isak. Sedih sekali tangis ini dan Kun Hong maklum betapa perasaan gadis itu amat sakit, dendam dan penuh rasa malu, tertahan-tahan dalam dada bagaikan api dalam sekam.

Hal ini berbahaya sekali bagi kesehatan, dan cara terbaik untuk memberikan jalan keluar adalah melalui tangis dan air mata. Karena itu, meski pun dia amat terharu dan berduka mendengar tangis ini, dia diam saja tak bergerak, hanya perlahan dia duduk bersila dan tunduk mendengarkan dengan kerut merut di antara kedua matanya yang buta.

Lama nona itu menangis. Derita dan sakit hati yang selama bertahun-tahun sengaja dia tahan di dalam dadanya, sekarang seperti gunung berapi meletus dan hawa panas dapat mengalir keluar melalui tangisnya itu. Tiada hentinya air matanya bercucuran, terisak-isak dan sesenggukan sampai napasnya terasa sesak. Akhirnya reda juga desakan hawa dari dada melalui tangisnya ini. Dadanya terasa ringan kosong, dan seluruh tubuhnya menjadi lelah sekali.

Tangisnya terhenti, tinggal isak kecil-kecil dan jarang. Ia mengangkat muka memandang laki-laki yang sedang duduk bersila dengan tubuh diam tak bergerak bagaikan patung. Di muka dengan mata meram itu kelihatan kerut merut, amat menyedihkan.

"Siapa orangnya dapat menahan semua ini?" dia berkata lirih seperti kepada diri sendiri, suaranya sudah tenang tapi masih terputus-putus menahan isak. "Perbuatanmu yang kau lakukan tanpa maksud menyakiti hatiku itu hanyalah merupakan pukulan terakhir yang mematikan kesabaranku dan membangkitkan perlawanan dalam hatiku. Tadinya aku telah putus asa. Ibu memaksa aku supaya menikah dengan pangeran Mongol yang kubenci itu. Kemudian muncul engkau yang mengakibatkan serangkaian peristiwa di pulau. Hampir aku mati disiksa ibu, kau melupakan keselamatan sendiri membela dan melindungi aku. Bahkan akhirnya kau pula yang memulihkan kesehatanku. Sesudah apa yang terjadi di dalam kamar pada saat kau mengobatiku, aku tak dapat menolak ketika ibu membujukku untuk menikah denganmu. Kata ibu kau pun sudah setuju, dan semua ini dilakukan demi menjaga nama baikku serta nama keluarga ibu. Tidak ada pilihan lain bagiku. Dari pada menjadi isteri pangeran Mongol yang kubenci, dan pula... kau amat baik kepadaku, dan seorang pendekar sejati... maka aku pun menurut. Tetapi siapa tahu..." kembali gadis itu menangis.

"Aku sudah dapat menduga semua itu, Nona. Memang terlalu sekali ibumu, anak sendiri dibujuk dan ditipu, dibantu oleh orang-orang seperti Ka Chong Hoatsu. Benar-benar aneh sekali. Kenapa pula ibumu mau mengambil aku sebagai... ehh, sebagai mantu, padahal aku seorang buta tiada guna dan malah mendatangkan keributan di pulaunya?"
"Kau pandai, ilmu silatmu tinggi dan luar biasa. Ibu dapat mempergunakan tenaga dan kepandaianmu..."
"Hemmm, benar-benar jahat, demi kepentingan diri sendiri sampai hati mengorbankan anaknya. Nona, aku tidak percaya seorang ibu sejahat itu dapat mempunyai anak seperti kau."

Hening sejenak, kemudian terdengar suara nona itu amat lirih, "Memang dia bukanlah ibu kandungku..." Ia menahan isak lalu melanjutkan. "Meski pun kau orang luar, kau adalah penolongku dan kuanggap orang sendiri, maka biarlah rahasia ini kubuka padamu. Dahulu ketika aku masih kecil, ibu menculikku dari rumah ayah bundaku yang asli dan semenjak itu aku dijadikan anaknya. Dia amat kasih dan sayang kepadaku... sampai Hui Siang lahir. Memang mereka itu baik kepadaku, namun kadang-kadang... ahhh, entah mengapa, aku tersiksa batin... tak perlu kuceritakan sejelasnya. Sampai kau muncul dan... penolakanmu itu merupakan pukulan terakhir. Aku tak kuat lagi, lalu aku lari. Aku hendak mencari orang tuaku. Menurut penuturan seorang pelayan tua, orang tuaku seorang hartawan di kota raja, she Kwee!"

"Sungguh baik niatmu itu, Nona, kuharap saja kau akan dapat berjumpa dan berkumpul kembali dengan orang tuamu," kata Kun Hong sejujurnya, suaranya mengandung iba.
"Tapi masih ada ganjalan di hatiku..." gadis itu melanjutkan, suaranya gemetar, “ganjalan terhadap kau. Aku merasa sangat terhina oleh penolakanmu... betapa tidak... karena itu, menurutkan nafsu hati dan amarah, aku sengaja menantimu untuk membuat perhitungan. Maksudku, lebih baik salah seorang di antara kita tewas... takkan menjadi kenangan yang memalukan lagi..."

Kun Hong bangkit berdiri, wajahnya membayangkan kedukaan.

"Kau keliru, Nona. Kita berdua menjadi korban fitnah. Kau sekarang tahu, bahwa sama sekali tiada niat dalam hatiku untuk menghinamu, juga kau tidak pernah menghinaku. Kita hanya menjadi korban. Akan tetapi kalau kau memang merasa terhina olehku, nah, kau tancapkan pedangmu itu di dadaku, aku Kwa Kun Hong sanggup menerima kematian di tanganmu!"
"Tidak... tidak... sekarang aku sudah insyaf. Kau sama sekali bukan menghina atau ingin mempermainkan, akan tetapi karena... kau memang... ahhh, siapa sih yang akan tertarik hatinya... inilah yang meragukan hatiku, ayah ibu sendiri andai kata melihat, belum tentu sudi mengakui..."
"Apa maksudmu, Nona?" tanya Kun Hong kaget mendengar betapa suara yang halus itu menggetar-getar penuh kesedihan.
"Tidak apa-apa. Nah, selamat tinggal saudara Kwa Kun Hong, aku hendak pergi mencari orang tuaku di kota raja." Terdengar gadis itu menggeser kaki hendak ke luar dari kuil itu.

Mendengar disebutnya ‘kota raja’ ini, teringatlah Kun Kong akan urusan mahkota kuno, maka cepat sekali dia berseru memanggil, "Nona Hui Kauw, tunggu dulu...!"

Gadis itu serentak berhenti dan cepat sekali sudah kembali lagi ke hadapan Kun Hong, seakan-akan memang ia mengharapkan pemuda buta itu memanggilnya kembali.

"Ada apakah?" tanya Hui Kauw, suaranya penuh harapan aneh.
"Nona, aku hendak mohon sesuatu darimu, mohon bantuanmu, sekiranya kau tidak akan keberatan."
"Tentu saja aku tidak keberatan! Beberapa kali kau telah menolong dan menyelamatkan nyawaku dari pada maut, tentu saja aku siap sedia membantumu!"

Tak enak hati Kun Hong ketika nona itu menyebut-nyebut tentang pertolongannya, karena itu cepat-cepat dia berkata untuk menghabisi hal itu, "Aku hanya ingin kau memberikan petunjuk kepadaku, menjadi penunjuk jalan ke Ching-coa-to, Nona."

Hui Kauw kaget bukan main dan memandang dengan mata melebar. "Apa? Kau minta aku mengantarkan kau kembali ke pulau?" lalu dia menghapus kebimbangannya dengan pertanyaan, "Kun Hong, apa kehendakmu hendak kembali ke sana?"

Berdebar-debar hati Kun Hong mendengar betapa nona itu memanggil namanya begitu saja seakan-akan seorang sahabat lama yang sudah biasa saling menyebut nama tanpa banyak peraturan lagi.

"Aku harus kembali ke sana untuk mengambil mahkota yang dirampas mereka dari tangan Loan Ki," katanya dengan suara biasa.
"Tapi mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu! Dia lihai sekali, belum lagi yang lain-lain. Meski aku suka membantumu, agaknya kita berdua takkan menangkan mereka, mana bisa mengambil kembali mahkota?" Kemudian gadis itu menyambung cepat-cepat, "Jangan salah duga bahwa aku takut, sama sekali tidak, aku suka membantumu. Akan tetapi, aku hanya mengkhawatirkan bahwa usahamu tidak akan berhasil dan malah kau akan tertimpa mala petaka."

Kun Hong menjura, penuh rasa terima kasih. "Meski menghadapi bahaya, akan kutempuh karena hal ini penting sekali, lebih penting dari pada nyawaku." Ucapan ini keluar begitu saja sebagai gema dari ucapan Tan Hok.

"Aku tidak berani mengharapkan tenagamu untuk melawan mereka, Nona. Dan andai kata aku dapat pergi ke sana sendiri, sudah tentu aku pun tidak akan berani minta bantuanmu karena aku maklum betapa berat memintamu kembali ke tempat yang telah menimpakan banyak kesengsaraan padamu itu. Namun apa dayaku, aku seorang buta, tidak mungkin dapat masuk ke pulau itu tanpa bantuanmu." Dia berhenti sebentar, tersenyum-senyum dan memukul-mukulkan tongkatnya di atas lantai di depannya. "Sebelum sampai di sana mungkin aku sudah terjungkal ke dalam selokan!"

Akan tetapi kelakar ini diterima oleh Hui Kauw dengan alis berkerut, sama sekali tak lucu baginya.

"Marilah, Kun Hong, mari kuantarkan kau ke Pulau Ching-coa-to!" katanya dan seketika hati Kun Hong berdebar tidak karuan ketika tangannya dipegang oleh gadis itu dan ditarik keluar dari kuil. Telapak tangan yang halus itu seakan-akan menyalurkan getaran yang membuat jantungnya meloncat-loncat seperti katak kepanasan.

Segera dia menekan perasaannya dan diam-diam dia memaki-maki diri sendiri, "Kau betul mata keranjang, hidung belang seperti yang dikatakan Loan Ki padamu! Gadis ini dengan hati jujur dan bersih menuntun tanganmu karena mengingat kebutaanmu, kenapa hatimu jadi geger tidak karuan?"

Tidaklah aneh bila dengan bantuan Hui Kauw, Kun Hong dengan mudah dapat memasuki Pulau Ching-coa-to. Hui Kauw dikenal oleh para anak buah dan penjaga sebagai puteri Ching-toanio. Memang mereka sudah mendengar desas-desus mengenai keributan yang terjadi antara nona ini dengan ibunya, tetapi tetap saja mereka tak berani memperlihatkan sikap berbeda terhadap Hui Kauw.

Apa lagi mereka tahu betul betapa lihai nona ini. Bahkan selain amat lihai, juga nona ini merupakan satu-satunya orang Ching-coa-to yang disegani oleh semua anak buah karena sikapnya yang selalu baik, sabar, dan suka menolong. Seperti bumi dan langit bedanya antara nona ini dengan ibu dan saudaranya yang kejam dan mudah saja membunuhi anak buah yang bersalah.

Hui Kauw mudah mendapatkan perahu dan bersama Kun Hong ia mendayung perahu itu cepat-cepat ke darat. Ia tidak mempedulikan pandang mata para anak buah ibunya yang terheran-heran melihat ia datang bersama Kun Hong, orang buta yang tadinya dianggap musuh yang datang mengacau Ching-coa-to.

Akan tetapi keheranan ini pun hanya sebentar saja. Para anak buah Ching-coa-to sudah terlalu sering menyaksikan keanehan-keanehan di antara para tamu pulau itu, keanehan orang-orang kang-ouw sehingga mereka juga tidak begitu mempedulikan kejadian kali ini di pulau.

Setelah menyeberangi telaga dan tiba di pulau, Hui Kauw mengajak Kun Hong mendarat. Tegang juga hati Kun Hong pada waktu kakinya sudah menginjak daratan pulau itu dan hidungnya segera mencium bau aneka bunga.

"Apakah kita tiba di taman...?" tanyanya perlahan.
"Betul, inilah tempat terbaik untuk mendarat dan dari sini mudah kita pergi menyelidiki tentang benda itu."
"Hui Kauw…," Kun Hong memegang tangan gadis itu tanpa ragu-ragu lagi karena dia merasa berterima kasih sekali dan pula sikap gadis itu yang amat ramah dan sewajarnya membuat dia tidak menjadi sungkan atau malu lagi, "Kau tunggulah saja di sini, jangan sampai ada yang melihatmu. Biar aku sendiri yang akan mencari Ka Chong Hoatsu dan terang-terangan meminta kembali mahkota itu. Apa bila sudah berhasil, baru aku minta bantuanmu lagi untuk mengajak aku menyeberangi telaga."

Kali ini mau tidak mau Hui Kauw tersenyum dan menarik tangannya. "Kun Hong, kau benar-benar berlaku sungkan kepadaku. Jangan kau kira bahwa aku demikian pengecut, membiarkan kau sendirian menghadapi mereka yang lihai. Tidak, Kun Hong. Aku sudah sanggup dan hanya ada dua pilihan bagiku. Berhasil merampas kembali mahkota dan dengan selamat bersamamu meninggalkan pulau ini, atau kita gagal dan mati bersama di sini."

Terharu hati Kun Hong. Dia menjura sampai dalam dan berkata lirih, "Kau baik sekali, kau benar-benar bidadari lahir batin. Aku berterima kasih kepadamu..."

"Hushhh, diam, ada orang-orang datang," Hui Kauw cepat menarik tangan Kun Hong dan diajak menyusup ke dalam gerombolan pohon kembang.

Tentu saja Kun Hong dapat mendengar pula suara orang, hanya tadi karena dia terharu, maka dia kurang perhatian dan kalah dulu oleh nona itu yang selain mampu mendengar juga dapat melihat.

Yang datang adalah dua orang, mereka berjalan perlahan-lahan sambil bercakap-cakap. Setelah jarak antara mereka dengan tempat persembunyian Kun Hong tinggal sepuluh meter kurang lebih, Kun Hong mengenal suara mereka yang bukan lain adalah Hui Siang dan Bun Wan, putera ketua Kun-lun-pai.

Tadinya dia sama sekali tidak merasa heran karena dia memang sudah tahu bahwa putera Kun-lun-pai itu menjadi tamu di Ching-coa-to. Akan tetapi setelah dia mendengar percakapan dua orang muda yang kini berhenti dan duduk di atas rumput tebal tak jauh dari situ, dia kaget dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Dia merasa segan dan sungkan sekali terpaksa harus mencuri dengar percakapan antara dua orang muda yang agaknya sedang bercumbu berkasih mesra!

Terdengar suara Hui Siang yang merdu merayu, suaranya mengandung kegenitan serta penuh kemanjaan. "Kanda Bun Wan, kau sudah tahu dan tentu sudah yakin akan cintaku yang suci murni terhadapmu. Akan tetapi, sebaliknya... mana dapat aku tahu akan isi hatimu? Mana bisa aku yakin bahwa cintamu kepadaku pun sama sucinya? Kanda Bun Wan, kalau sekarang kau tinggalkan pulau ini... ahh, bagaimana kalau kau tidak akan kembali kepadaku?"

Kun Hong mendengar ini merasa bulu tengkuknya meremang dan dia sudah bergerak hendak pergi diam-diam dari tempat itu, menjauhi mereka dan tidak sudi mencuri dengar percakapan semacam itu. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh tangan Hui Kauw yang mencengkeram erat-erat, diguncang-guncang sedikit seperti memberi isyarat supaya dia jangan bergerak.

Kun Hong merasa heran sekali mengapa tangan nona itu dingin dan gemetar. Tentu saja dia tidak tahu betapa dengan muka pucat gadis ini melihat betapa adiknya itu membujuk rayu, memeluk-meluk dengan sikap yang tidak tahu malu.

Tiba-tiba Kun Hong merasa dadanya sakit. Teringatlah dia ketika dahulu mencuri dengar percakapan antara Hui Kauw dan ibu angkatnya. Ching-toanio pernah memaki Hui Kauw bahwa dia tergila-gila kepada Bun Wan! Hemmm, apakah sekarang Hui Kauw menjadi cemburu dan iri hati melihat pemuda Kun-lun yang digilainya itu bercumbu rayu dengan Hui Siang?

Aneh sekali, pikiran ini yang menimbulkan rasa perih di hatinya, sekaligus membuat dia mengambil keputusan untuk mendengarkan terus dan melihat Hui Kauw tersiksa karena cemburu dan iri! Memang aneh sekali watak orang muda kalau sudah terbius asmara!

"Hui Siang, kau begini manis, begini cantik jelita. Mana mungkin aku tidak cinta padamu dengan seluruh hatiku?" terdengar oleh Kun Hong suara Bun Wan, namun aneh baginya, dia menangkap nada suara agak mengkal.
"Ahhh, kanda Bun Wan, mana aku bisa percaya begitu saja? Cinta kasihku sudah aku buktikan, aku sudah menyerahkan raga dan kesucianku kepadamu. Tapi kau? Wan-koko, kau bersumpahlah..."

Suara Bun Wan menghibur, tetapi tetap saja kemengkalan yang tadi masih tertangkap oleh pendengaran Kun Hong yang amat tajam.

"Hui Siang... yang sudah-sudah mengapa kau tonjol-tonjolkan kembali? Kau tahu benar bahwa bukan salahku semata, tapi kau... ah, kenapa kau begini cantik dan kau pula yang mendorongku dengan sikapmu? Aku cinta padamu, tak perlu bersumpah."
"Aku percaya, kau seorang laki-laki gagah, tentu takkan menjilat ludah sendiri. Tapi... kau tentu segera mengajak orang tuamu datang untuk melamarku kepada ibu, bukan? Betul ya, Koko? Jangan terlalu lama, ya?"
"Hemm... soal itu... aku belum berani memastikan, kekasihku. Ayahku amat keras hati..."

Terdengar isak tangis tertahan. "Kau harus dapat membujuknya, Koko... kau harus bisa... kalau kau tidak lekas-lekas datang kembali, aku akan menyusulmu ke Kun-lun, aku tidak peduli...!"

"Baiklah... kau tenang dan sabarlah. Dan jangan menangis, sayang pipimu yang halus menjadi basah. Sekarang, buktikan bahwa kau benar-benar cinta padaku. Malam tadi kau berjanji hendak mengambil benda itu dan memberikan kepadaku. Mana?"

Suara Hui Siang tiba-tiba berubah manja ketika ia menjawab sambil memeluk leher Bun Wan, "Koko yang nakal, kau masih tak percaya setelah semua yang kulakukan padamu? Badan dan nyawa sudah kuserahkan, apa lagi hanya benda macam ini. Sudah sejak tadi kubawa."

Kiranya gadis itu mengeluarkan sebuah benda yang bukan lain adalah mahkota kuno itu dan diberikannya kepada Bun Wan! Pemuda itu menerimanya, memandangi dan menarik napas panjang.

"Heran sekali, benda macam ini saja diperebutkan orang. Hui Siang, andai kata ibumu dan orang-orang lain tidak sedang pergi meninggalkan pulau, kiraku kau tidak akan berani mengambilkan benda ini untukku."
"Ihh, siapa bilang? Sebaliknya, mana kau berani datang dan malam-malam mencari aku? Hi-hik, agaknya kau sudah amat rindu kepadaku, ya? Dapat kulihat dari pandang matamu ketika kau datang dahulu..."
"Hemmm, sebaliknya kau pun selalu mengharapkan kedatanganku. Hayo sangkal kalau berani!" Dua orang itu kini tertawa-tawa, diselingi cumbu rayu yang memanaskan telinga Kun Hong dan membuatnya tidak betah tinggal di tempat persembunyiannya itu.
"Hui Siang, kalau aku sudah membawa pergi mahkota ini dan ibumu kembali, bagaimana kalau dia bertanya tentang mahkota ini padamu?" Mendengar pertanyaan Bun Wan ini, seketika Kun Hong menaruh perhatian penuh.

Eh, kiranya mahkota yang dia cari-cari itukah yang tadi disebut-sebut sebagai benda oleh mereka? Baru sekarang dia tahu dan perhatiannya tertarik pula.

Hui Siang yang tadi baru menangis sekarang tertawa-tawa genit. "Apa sukarnya mencari jawaban itu? Aku bilang saja bahwa enci Hui Kauw yang datang dan memaksaku minta mahkota itu. Habis perkara!"

"Enak saja kau membohong, apa ibumu bisa percaya? Kalau hanya ia yang datang, apa kau tidak bisa melawan? Paling sedikitnya kepandaianmu tidak berada di sebelah bawah tingkatnya," bantah Bun Wan. "Ibumu tentu tidak percaya."
"Koko yang tampan tapi bodoh. Kalau aku bilang bahwa enci Hui Kauw datang bersama si setan buta yang membantunya, tentu ibu percaya."

Tiba-tiba Kun Hong merasa betapa tubuh Hui Kauw menggigil, napasnya agak memburu, tanda bahwa gadis itu sedang marah bukan main. Benar saja dugaannya, karena Hui Kauw segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan membentak,

"Hui Siang apa yang kau lakukan ini? Ke mana harga dirimu sebagai seorang wanita? Kau membiarkan dirimu dipermainkan nafsu dan tiada hentinya kau hendak melakukan fitnah! Dan kau manusia Bun, sungguh kurang ajar berani kau melanggar susila di sini, keparat!"

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati dua orang muda yang sedang tenggelam dalam permainan nafsu, ketika tiba-tiba Hui Kauw muncul sambil membentak marah itu. Lebih lagi Hui Siang yang merasa sangat malu, terkejut dan heran. Perasaan-perasaan itu lalu berkumpul menjadi satu dan berubah menjadi kemarahan besar.

"Budak hitam, tutup mulutmu! Ibu sudah tidak mengakui lagi kau sebagai anak angkatnya, kau bukan apa-apa denganku, mau apa kau mencampuri urusanku? Hayo minggat, kau hanya mengotori pulau ini dengan telapak kakimu!" Sambil berkata demikian Hui Siang sudah mencabut pedang dan serta menyerang bekas enci angkatnya itu dengan tusukan kilat.

Hui Kauw tenang saja. Dia menghindar sambil berkata, "Hui Siang, betapa pun juga, aku masih mengingat hubungan antara kita semenjak kecil. Kau sudah tersesat...," suaranya mengandung kedukaan besar.

"Siapa sudi nasihatmu? Tengok dirimu sendiri, berjinah dengan jembel buta masih hendak rnengganggu orang bercinta. Wan-koko, kau bantu aku bunuh mampus setan betina ini!"

Kembali Hui Siang menyerang, kini lebih hebat lagi. Dasar dia memang mempunyai ilmu pedang yang ganas dan gerakan yang lincah, maka serangan ini tidak boleh dipandang ringan.

Hui Kauw maklum pula betapa lihainya adik angkat ini, maka sambil melompat menjauhi ia pun mencabut pedangnya. Ia tidak berlaku sungkan lagi dan segera mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang selama ini dirahasiakan.

Kaget bukan main Hui Siang karena tiba-tiba lawannya itu menggerakkan pedang secara aneh dan membingungkan, sama sekali tak dikenalnya. Hebatnya, semua serangannya tenggelam tanpa bekas menghadapi sinar pedang Hui Kauw yang aneh itu. Malah tidak demikian saja, selewatnya sepuluh jurus gulungan sinar pedang Hui Kauw sudah sangat rapat menyelimuti dirinya, menghadang semua jalan keluar dan ia terkurung rapat tanpa dapat balas menyerang lagi.

Tiada habis keheranan menekan hati Hui Siang. Selama ini, walau pun dia tidak berani menyatakan bahwa tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada Hui Kauw yang pendiam dan tidak suka pamer, akan tetapi jika dibilang ia lebih rendah juga tidak mungkin. Sering kali mereka berlatih dan dalam latihan ini tak pernah ia terdesak, biar pun mereka sudah berlatih pedang sampai seratus jurus lebih.

Akan tetapi mengapa baru belasan jurus saja ia sudah tidak berdaya oleh jurus-jurus yang amat aneh ini? Mungkinkah ibu menurunkan ilmu istimewa kepadanya tanpa kuketahui? Tak mungkin, pikirnya. Malah beberapa macam ilmu warisan ayahnya telah ia pelajari, di antaranya ilmu menguasai ular-ular, sedangkan Hui Kauw tidak suka mempelajari ilmu ini kecuali ilmu untuk menolak ular.

"Wan-koko... kau bantulah aku...!" Tanpa malu-malu lagi Hui Siang berseru minta tolong kepada kekasihnya.

Sementara itu, Bun Wan tadi berdiri terlongong dengan muka merah padam. Sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa adegan antara dia dengan Hui Siang disaksikan oleh orang lain. Malunya bukan main, apa lagi terhadap Hui Kauw yang sudah dia ketahui wataknya yang halus dan budi pekertinya yang jauh berbeda kalau dibandingkan dengan Hui Siang atau ibunya.

Sudah beberapa kali dia datang berkunjung ke pulau ini dan diam-diam dia selalu merasa kagum kepada Hui Kauw, nona bermuka hitam itu. Siapa kira nona yang dia segani dan kagumi ini sekarang menjadi saksi hidup akan perbuatan dirinya bersama Hui Siang yang melanggar susila.

"Bun Wan koko, hayo kau bantu aku!" kembali Hui Siang berseru, kini suaranya penuh penyesalan mengapa kekasihnya itu masih saja bengong dan tidak segera turun tangan membantunya yang sudah sangat terdesak oleh gelombang sinar pedang Hui Kauw yang amat aneh.

Bun Wan sadar dari lamunannya dan ketika dia memandang, dia kaget menyaksikan betapa Hui Siang yang ilmu pedangnya sudah amat lihai itu tidak berdaya menghadapi gempuran-gempuran Hui Kauw. Cepat dia mencabut pedangnya dan pada saat tubuhnya berkelebat ke depan, sinar pedangnya yang sangat kuat itu bergulung bagaikan naga mengamuk.

"Nona Hui Kauw harap mundur!" bentaknya dengan suara nyaring.

Dua gulungan sinar pedang bertemu dan keduanya lalu melompat mundur tiga langkah dengan kaget. Masing-masing mengagumi getaran hebat yang keluar dari pedang lawan.

Ilmu pedang Bun Wan adalah Kun-lun Kiam-sut yang sudah terkenal sekali di seluruh permukaan bumi akan kehebatannya. Juga pemuda ini adalah putera tunggal dari ketua Kun-lun-pai, tentu saja dapat diketahui betapa hebat kepandaiannya apa lagi kalau diingat bahwa semenjak kecil memang pemuda ini sangat gemar berlatih silat dan memang dia memiliki bakat yang baik.

Tadi ketika dia menerjang maju untuk mengundurkan Hui Kauw dan menolong kekasihnya yang terdesak, dia hanya mengeluarkan jurus sederhana dengan penggunaan setengah bagian tenaga saja. Akan tetapi, kagetlah dia ketika dia merasa betapa pedangnya telah membentur hawa pedang yang amat ampuh dan luar biasa sehingga memaksa dia harus melompat mundur tiga langkah.

Sebaliknya, Hui Kauw kaget dan kagum sekali ketika ia dipaksa mundur oleh sinar pedang pemuda Kun-lun ini dalam satu gebrakan saja. Masing-masing berdiri dalam jarak enam tujuh langkah dan saling memandang seperti hendak mengukur keadaan dan kekuatan masing-masing.

Akan tetapi Hui Siang yang sudah amat marah itu segera menerjang lagi, menyerang Hui Kauw dengan besar hati karena ia kini mengandalkan bantuan kekasihnya.

"Hui Siang, kedatanganku ini bukan untuk bertempur denganmu, juga tidak ada urusanku dengan orang Kun-lun ini. Akan tetapi menyaksikan perbuatan kalian yang tak tahu malu, benar-benar aku prihatin. Hui Siang, kau dengarkan kata-kataku...!" Hui Kauw mencoba menyabarkan adiknya dan menghindarkan diri dari beberapa tusukan.
"Tutup mulut, budak hitam. Kau harus mampus! Wan-koko, hayo kita binasakan budak hitam kurang ajar ini!" Hui Siang memaki sambil menerjang terus. Dengan terpaksa Hui Kauw mengangkat pedangnya dan kembali dua orang gadis itu bertempur hebat.

Bun Wan sudah menggerakkan pedang hendak membantu, akan tetapi tiba-tiba berkesiur angin dari belakang tubuhnya. Cepat dia membabitkan pedangnya ke belakang, kemudian membalikkan tubuh dan mengganti kedudukan kaki sekaligus melakukan tusukan ke arah belakang dengan lengan diputar.

Hebat gerakan ini dan seorang lawan yang membokongnya pasti akan dapat dirobohkan dengan jurus yang hebat ini karena tidak akan menduganya. Akan tetapi, matanya hanya melihat bayangan berkelebat lenyap. Begitu cepat gerakan bayangan ini. Tahu-tahu dia merasa punggungnya dilanggar tangan.

Cepat bagaikan kilat Bun Wan membalikkan tubuh dan kakinya mendahului dengan satu tendangan maut ke bawah pusar dan pedangnya berkelebat dari atas pundak menyambar ke arah leher. Dia merasa yakin bahwa serangannya kali ini pasti berhasil. Memang hebat bukan main gerakan pemuda Kun-lun ini.

"Bagus...!" terdengar suara orang memuji dan bayangan itu melompat mundur lima atau enam langkah menghindarkan jurus dahsyat dari Bun Wan ini.

Kiranya bayangan itu adalah Kun Hong yang kini berdiri dengan tongkat di tangan kanan dan... mahkota kuno di tangan kiri, tersenyum-senyum dan matanya yang buta tak berbiji itu menggetar.

Berdetak hati Bun Wan ketika melihat siapa orangnya yang tadi diserangnya itu, apa lagi saat melihat mahkota itu. Otomatis tangan kirinya meraba punggung di mana buntalannya tersimpan. Mahkota kuno yang dia terima dari Hui Siang tadi telah disimpannya di dalam buntalan pakaiannya. Tangan kirinya meraba-raba dan hatinya mengeluh.

Mahkota itu sudah lenyap dan terang bahwa yang dipegang Kun Hong itulah mahkota tadi. Wajahnya seketika menjadi pucat. Dia cukup maklum akan kesaktian Kun Hong yang pernah dia saksikan beberapa tahun yang lalu di puncak Thai-san, akan tetapi setelah orang ini menjadi buta, bagaimana agaknya malah lebih lihai dari pada dahulu?

Betapa pun juga, Bun Wan tidak takut dan dia melangkah maju sambil membentak, "Kwa Kun Hong! Berkali-kali kau menghinaku dan agaknya sengaja hendak menjadi perintang jalan hidupku."

Kun Hong tersenyum pahit dan menggelengkan kepala sambil menarik napas. "Saudara Bun Wan. Memang hidup ini ada kalanya aneh sekali. Agaknya jalan hidup kita sudah ditakdirkan oleh Thian selalu saling memotong. Dahulu aku bersalah padamu, akan tetapi kesalahan yang tidak aku sengaja sama sekali, dan untuk kesalahan itu pun aku sudah mengorbankan banyak sekali. Nyawa orang yang paling kusayang di dunia ini beserta anggota badan yang paling kusayang pula kukorbankan. Akan tetapi sekarang lain lagi, saudara Bun Wan. Aku berdiri di depanmu dan menentangmu bukan tidak sengaja malah, karena kau yang berada di jalan sesat!"

Wajah yang pucat itu menjadi merah lagi, merah padam. Ucapan ini merupakan ujung pedang yang seakan-akan menancap dl ulu hatinya.

"Kwa Kun Hong, agaknya kau memang seorang laki-laki yang tidak suka melihat orang lain bahagia. Aku berbaik dengan seorang gadis cantik, ada hubungan apakah urusan ini denganmu? Apakah kau iri hati dan berusaha hendak merampas lagi seperti dulu? Ho-ho, belum tentu bisa sekarang, sahabat, karena matamu yang buta itu tidak menarik lagi untuk dipandang!"

Kun Hong menggeleng kepala, suaranya terdengar kereng, "Bun Wan, biar pun urusanmu dengan orang-orang wanita tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, tetapi aku mengingat akan hubungan antara orang-orang tua kita, maka sudah sepatutnya pula apa bila aku menegur sikapmu yang tidak baik. Bukanlah seorang gagah kalau suka mempermainkan wanita secara rendah! Meminang dan berjodoh sudah ada aturan-aturannya sendiri dan kau maklum bahwa siapa yang melakukan hubungan di luar nikah, dia adalah manusia berwatak rendah seperti binatang! Akan tetapi, kali ini aku tidak ada waktu mengurus hal itu. Yang kumaksudkan tadi adalah mengenai mahkota ini. Benda ini bukan milikmu, juga bukan milik penghuni Ching-coa-to. Aku tahu siapa yang berhak memiliki mahkota ini, oleh karena itu harus kuambil kembali."

"Kun Hong, kau terlalu menghinaku! Kembalikan mahkota itu!" bentak Bun Wan sambil menerjang dengan pedangnya.

Kun Hong cepat mengelak dan diam-diam dia mengagumi gerakan pedang yang hebat ini. Terpaksa dia pun menggunakan tongkatnya untuk menghadapi lawan tangguh ini. Tiga belas kali berturut-turut dia menangkis sambil berkata,
"Bun Wan, aku tidak ingin bertempur denganmu, juga tidak ingin bermusuhan denganmu. Percayalah, mahkota ini akan kuserahkan kepada yang berhak menerima. Kau biarkan aku pergi dengan aman dari pulau ini."

Akan tetapi mana Bun Wan mau mengalah begitu saja? Dia menghendaki mahkota itu bukan semata-mata karena ingin memilikinya atau untuk dijadikan tanda cinta kasih Hui Siang, sama sekali bukan. Ada alasan yang lebih kuat baginya untuk memiliki mahkota itu, maka dia sekarang menjadi nekat dan melawan.

Pedang di tangan Bun Wan meluncur dengan gerakan miring dari samping kiri, menjurus ke arah tubuh bagian bawah lengan atau iga kanan Kun Hong. Gerakan ini selain miring juga agak diputar sehingga sekelebatan hawa tusukannya akan terasa datang mengarah punggung, sedangkan kaki kanan Bun Wan dibanting ke depan untuk disusul tendangan kaki kiri ke arah sambungan lutut lawan. Inilah gerak tipu dalam jurus Sin-seng Kan-goat (Bintang Sakti Mengejar Bulan) dari Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut. Cepat dan kuatnya bukan kepalang!

Kun Hong yang hanya mengandalkan pendengaran dan perasaannya, terkejut juga akan perubahan angin tusukan pedang yang berubah-ubah itu. Cepat-cepat dia menekuk lutut mendoyongkan tubuh ke belakang, mencokel dengan tongkatnya ke arah ujung pedang lawan. Kemudian, maklum akan gerak susulan tendangan itu, siku lengannya memapaki untuk menotok pergelangan kaki lawan dengan ujung siku.

Aneh dan cepat gerakannya Kun Hong ini dan hampir saja kaki Bun Wan kena dihajar. Pemuda Kun-lun ini mengeluarkan seruan kaget dan heran, cepat dia menahan kakinya dan menggeser kaki itu ke kanan untuk meluputkan diri dari serangan susulan lawannya. Akan tetapi ternyata Kun Hong tidak menyerangnya. Orang buta ini hanya diam tidak bergerak, siap sedia menanti penyerangan berikutnya.

Bun Wan mengeluarkan bentakan nyaring, mengumpulkan seluruh tenaga dalam, lantas pedangnya berputaran cepat berubah menjadi gulungan sinar seperti payung. Kemudian, dari gulungan sinar itu menyambar cahaya tiga kali berturut-turut, sekali mengarah ke tenggorokan, kedua kali mengarah ulu hati dan ketiga kalinya mengarah pusar.

Kiranya pemuda Kun-lun itu dalam penasarannya telah mempergunakan beberapa jurus simpanannya. Gerakan pertama tadi adalah jurus yang disebut Kim-mo Sam-bu (Payung Emas Menari Tiga Kali) disusul gerakan menyerang Lian-cu Sam-kiam (Tiga Kali Tikaman Berantai).

"Hebat...!" Kun Hong memuji.

Terpaksa dia pun mengeluarkan kepandaian simpanannya untuk menghadapi serangan yang amat dahsyat ini. Dari angin serangan saja dia maklum bahwa jangankan ujung pedang, baru angin yang datang karena gerakan menikam ini saja mengandung bahaya besar karena mampu membolongi baju menembus kulit daging.

Dia berseru keras dan tongkat di tangannya berubah menjadi kemerahan yang bergulung-gulung dan mengeluarkan hawa dingin. Tidak terdengar suara benturan senjata, namun tahu-tahu pedang di tangan Bun Wan tiga kali terpental balik, bahkan yang ketiga kalinya hampir saja melanggar pundak pemuda itu sendiri. Hampir saja senjata makan tuan jika Bun Wan tidak segera melepaskan pegangannya dan membiarkan pedangnya terpukul runtuh!

Dia berdiri dengan muka pucat, memandang pedangnya di atas tanah dan bergantian memandang pemuda buta yang kini berdiri tegak di depannya dengan tongkat melintang di depan dada. Dada Bun Wan serasa akan meledak. Dahulu pernah dia terhina oleh Kun Hong dalam urusan tunangannya, Cui Bi, yang ‘diserobot’ pemuda ini. Sekarang, untuk kedua kalinya dia menerima penghinaan, malah lebih hebat lagi.
Image result for pendekar buta
Sementara itu, Hui Siang juga mati kutunya menghadapi Hui Kauw. Kalau Hui Kauw mau sudah sejak tadi dia dapat merobohkan adiknya. Akan tetapi dia tidak tega dan sekarang melihat betapa Bun Wan sudah kalah ia pun berseru nyaring, terdengar suara keras dan pedang di tangan Hui Siang mencelat dan terbang entah ke mana!

Gadis cantik jelita yang galak itu, seperti juga Bun Wan, telah dilucuti. Kini ia pun berdiri tegak di depan Hui Kauw dengan mata mendelik penuh kebencian. Akan tetapi Hui Kauw tidak peduli kepadanya, melainkan bergerak melangkah ke depan Bun Wan.

Matanya mengeluarkan sinar berapi-api yang membuat Bun Wan bergidik. Ada sesuatu dalam sikap nona muka hitam ini yang membuat dia tunduk dan bergidik.

"Orang she Bun! Tanpa sengaja aku tadi sudah mendengar semua perbuatanmu yang tak senonoh dan sangat merusak kehormatan nama penghuni Ching-coa-to. Ingat baik-baik ucapanku ini. Biar pun mulai sekarang aku tidak menjadi penghuni Ching-coa-to lagi, akan tetapi kalau kelak aku mendengar bahwa kau tidak mau bertanggung jawab dan tidak mau menikah dengan adikku Hui Siang secara sah, aku bersumpah akan mencarimu sampai dapat, dan mengadu nyawa!"

"Saudara Bun Wan, ucapan nona Hui Kauw ini memang betul. Sebagai laki-laki sudah berani berbuat harus berani bertanggung jawab," kata pula Kun Hong.

Bun Wan tidak menjawab, hanya menarik napas panjang menekan perasaannya, ada pun Hui Siang yang mendengar betapa saudara angkat yang dibencinya itu juga si mata buta bicara untuk kepentingannya, ia hanya bisa terisak menangis.

"Kun Hong, mari kita pergi!"

Hui Kauw menyambar tangan Kun Hong dan keduanya dengan gerakan cepat laksana burung-burung terbang, pergi dari pulau itu menuju pantai. Mereka tidak bicara sesuatu, tenggelam dalam perasaan masing-masing ketika menyeberangi telaga.....

Baru setelah mereka berdua meloncat ke daratan, Kun Hong berkata, "Nona..."
"Kun Hong, kuharap kau tidak menggunakan sebutan itu," potong Hui Kauw cepat-cepat.
"Hui Kauw, budi pertolonganmu kali ini besar sekali artinya. Aku sangat berterima kasih kepadamu dan takkan melupakan bantuan ini selamanya. Kau benar seorang yang amat berbudi dan berhati mulia."

Sampai lama Hui Kauw tidak menjawab, membuat Kun Hong heran dan menduga-duga sambil memasang telinga. Akan tetapi dia menjadi kaget ketika mendengar betapa gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih seperti orang mengerang atau merintih.
"Hui Kauw, kau kenapakah...?" tanyanya sambil melangkah maju. "Apakah kau sakit? Kau terluka...?"

Mendengar suara yang mengandung penuh kekuatiran ini dan melihat wajah pemuda buta itu kerut merut, Hui Kauw terisak perlahan tapi lalu ditahannya.
"Memang sakit, tak terperikan nyerinya... memang terluka, perih dan seperti ditusuk-tusuk jarum beracun rasanya..."

Kun Hong seperti kena pukul, tunduk dan kerut di antara kedua matanya makin jelas. Dia lalu menarik napas panjang, maklum apa yang dimaksud oleh gadis itu. Yang sakit adalah perasaannya, yang terluka adalah hatinya. Dia maklum akan keadaan gadis itu. Dengan suara menggetar penuh keharuan dia berkata, mukanya tetap tunduk,

"Hui Kauw, akulah orangnya yang membuat kau menjadi begini. Dosaku telah bertumpuk terhadapmu, sebaliknya budimu amat besar bagiku sehingga tidak mungkin aku sanggup membalasnya. Kiranya tidak mungkin selama hidupku aku akan dapat membalas budimu, biarlah kelak di penjelmaan lain aku terlahir sebagai anjingmu atau kudamu..."
"Kun Hong... jangan kau bilang begitu...," suara Hui Kauw mengandung tangis.
"Hui Kauw, ucapanku tidak berlebihan. Tadinya kau hidup sebagai seorang nona majikan Ching-coa-to, hidup aman tenteram dan berbahagia di pulau itu bersama ibu dan adikmu. Setelah aku datang, terjadi mala petaka hebat menimpa dirimu. Malah paling akhir aku melakukan penghinaan, menolakmu di depan umum. Hebat sekali penghinaan ini. Dan apa balasmu? Kau malah tadi membantuku untuk mendapatkan kembali mahkota yang amat penting ini. Dengan pengorbanan terakhir lagi, yaitu permusuhan antara kau dan Hui Siang. Aku tahu, peristiwa itu tidak memungkinkan kau kembali ke pulau lagi. Padahal kau hidup sebatang kara... ahhh, Hui Kauw, bagaimana aku dapat balas menolongmu?"

Tiba-tiba Hui Kauw melangkah maju dan memegang kedua lengan Kun Hong. Pemuda buta ini merasa betapa tangan itu agak dingin menggigil dan mencengkeram tangannya erat-erat. Dia pun balas menggenggam sehingga dua puluh jari-jemari tangan itu saling genggam, menyalurkan perasaan hati masing-masing yang menggelora.

"Kun Hong... Kun Hong... di samping perasaan iba di hatimu terhadapku, tidak adakah... rasa kasih sayang sedikit saja?"

Suara hati Kun Hong meluap melalui mulutnya tanpa dia sadari lagi. "Demi Tuhan Yang Maha kasih, Hui Kauw, aku... aku amat sayang kepadamu, aku amat kasih kepadamu semenjak pertama kali aku mendengar suaramu..."

Hui Kauw mengeluarkan suara perlahan seperti orang merintih, lalu ia tiba-tiba merangkul leher Kun Hong dan menangis di dada pemuda itu. Kun Hong menepuk-nepuk pundak serta mengelus-elus rambut yang halus dan berbau harum itu sambil menghela napas berkali-kali.

"Terima kasih, Kun Hong. Kalau begitu... biarlah aku ikut denganmu ke mana saja kau pergi."

Sampai lama Kun Hong tak dapat menjawab. Kesadarannya kembali. Kemudian tergetar suaranya ketika berkata, "Tidak mungkin, Hui Kauw... tidak mungkin... biar pun aku amat cinta kepadamu, tak mungkin aku melakukan itu..."

"Mengapa tidak, Kun Hong? Bukankah kita berdua sudah pernah berlutut bersama-sama di depan meja sembahyang biar pun kau kemudian menolaknya? Kun Hong, aku... aku... menganggap bahwa aku… aku sudah menjadi... isterimu... apa pun yang terjadi... aku telah berhutang nyawa kepadamu dan aku... ahhh... aku cinta kepadamu, Kun Hong..."

Kun Hong merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Dia lalu menggelengkan kepala keras-keras karena terbayang dia akan wajah Cui Bi.

"Tidak, Hui Kauw, jangan begitu. Aku seorang buta, aku tidak berharga... tak berani aku membawa kau turut menderita. Kau mulia dan agung, kau adalah seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, kau patut bersuamikan seorang pemuda yang berbudi dan gagah perkasa, menjadi isteri seorang pria yang terhormat, bukan seorang jembel buta macam aku..."
"Tidak, tidak...! Kun Hong, engkau selalu merendahkan diri sendiri. Kau semulia-mulianya orang dalam pandanganku. Walau pun kau buta, hatimu tidak buta. Tentang aku... ahhh, alangkah indahnya kata-katamu yang memujiku seperti bidadari. Sebenarnya aku buruk rupa, Kun Hong."
"Siapa bilang? Kau secantik-cantiknya orang, kaulah bidadari!" pemuda itu membantah dengan suara keras.

Hui Kauw mengeluarkan suara ketawa aneh, pahit dan perih, kemudian ia melepaskan rangkulannya. "Kun Hong, bagaimana kau begini yakin akan kecantikanku? Bukankah kau tak pandai… melihat?"
"Cukup dengan mendengar suaramu, Hui Kauw. Kalau aku... ehh, andai kata aku dapat meraba mukamu, tentu aku akan lebih yakin lagi... tapi maaf, ini hanya seandainya..."
"Nah, kau rabalah! Kau rabalah biar kau tahu betapa mukaku hitam dan buruk."
"Aku tidak berani, Hui Kauw... aku tak berani kurang ajar padamu..." Kun Hong menolak akan tetapi suaranya gemetar karena betapa pun juga, amat sangat inginnya dia meraba muka gadis itu untuk dapat membayangkan bentuk mukanya.
"Kun Hong, aku telah dapat melihat mukamu sepuas hatiku, tapi kau... ahhh, kau rabalah supaya kau dapat mengenalku, dapat mengenal seorang wanita yang selama hidup akan selalu mengenangmu, akan mencintaimu selama hayat di kandung badan, biar kau telah menolaknya, biar kau tidak mau menerimanya..." Sampai di sini Hui Kauw menangis.
"Hui Kauw...! Jangan bilang begitu."

Akan tetapi sambil menangis terisak-isak Hui Kauw menyambar kedua tangan Kun Hong, ditariknya ke arah mukanya sambil tersendat-sendat berkata, "Rabalah... rabalah..."

Sepuluh jari tangan yang amat halus perasaannya itu meraba muka Hui Kauw yang basah air mata. Seperti dalam mimpi Kun Hong meraba dahi yang halus tertutup rambut sinom berurai ke bawah, bergerak ke bawah meraba alis yang panjang melengkung, pelupuk mata tipis terhiasi dengan bulu mata panjang, sepasang pipi yang halus dengan bentuk sempurna, hidung yang kecil mancung, bibir yang lunak, dagu meruncing, telinga, leher... lalu kembali lagi ke atas. Bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan bisikan berkali-kali,

"Kau cantik jelita... kau cantik jelita... ahhh, Hui Kauw... alangkah cantiknya engkau..."

Kata-kata ini memperhebat tangis gadis itu yang kembali memeluknya dan menempelkan muka ke dadanya.

"Aduh, Kun Hong... selama aku hidup, baru sekali ini ada orang memuji kecantikanku... semua orang mengejekku, mengatakan aku si muka hitam, si muka buruk... Kun Hong, kau kasihanilah aku, kalau betul kau mencintaku seperti aku mencintamu, kau bawalah aku, biarlah aku ikut denganmu..."

Tiba-tiba Kun Hong sadar lagi. Dia memegang pundak gadis itu, didorong menjauhinya, lalu dia berkata, suaranya tegas, "Hui Kauw, cukup semuanya ini! Kau adalah seorang gadis perkasa, tidak seharusnya bersikap lemah. Aku pun harus malu akan kelemahan hatiku sendiri. Hui Kauw, mukamu tidak apa-apa. Warna hitam itu hanya karena racun dan aku sanggup untuk mengobatimu, membuat kulit mukamu kembali putih bersih. Biarlah aku mengobatimu agar kau mendapatkan kecantikanmu kembali, agar kau dapat bertemu dengan jodoh yang terhormat, yang gagah, yang baik dan..."

"Diam!" Tiba-tiba Hui Kauw berteriak keras, agaknya marah sekali. "Kun Hong, jangan kau kira aku seorang wanita semacam itu! Sekali aku sudah menyerahkan hatiku kepadamu, sampai mati aku akan tetap bersetia. Meski pun kau tidak suka menerimaku, aku tetap menganggap diriku telah menjadi isterimu dan selama hidup aku takkan menikah dengan orang lain. Biarlah mukaku tetap begini karena aku tidak berniat menarik hati orang lain. Tapi, setidaknya, kau katakanlah mengapa hatimu sekeras ini. Aku dapat merasa betapa kau pun benar-benar membalas cintaku, akan tetapi mengapa kau menolakku? Mengapa? Aku bisa mati penasaran kalau kau tidak memberi tahu sebabnya."

Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi pemuda buta itu. Hui Kauw perih hatinya melihat pemuda buta ini bisa pula menitikkan air mata. Ingin dia memeluknya, ingin dia menghapus air mata di muka si buta itu, tapi dia tetap berdiri, menanti penjelasan.

"Hui Kauw, ketahuilah. Aku pun seorang manusia yang sudah menyerahkan hati kepada seseorang dan berniat tetap bersetia kepadanya, biar pun ia sudah tiada lagi di dunia. Ia... ia mati karena aku, Hui Kauw..." Kemudian dengan suara terputus-putus saking terharu, Kun Hong menceritakan kepada gadis itu tentang Cui Bi, sekaligus mengenai kebutaan matanya.

Hui Kauw mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, dan dari pelupuk matanya mengucurlah air mata di sepanjang kedua pipinya. Dia demikian terpesona dan terharu oleh cerita itu sehingga ia seperti tak merasa akan membanjirnya air matanya ini dan ia tidak mengusapnya. Makin lama ia mendengarkan cerita Kun Hong, semakin tidak tahanlah ia dan akhirnya ia terisak-isak menangis ketika Kun Hong menceritakan peristiwa yang terjadi di puncak Thai-san-pai.

"Aduh, Kun Hong...!" Hui Kauw akhirnya menubruk pemuda itu dan memeluknya. "Kau… kasihan sekali kau... laki-laki yang berhati mulia, semulia-mulianya orang. Cinta kasihmu demikian suci murni... ah, alangkah bahagianya Cui Bi. Aku iri kepadanya, Kun Hong. Aku pun mau mati seribu kali kalau bisa mendapatkan cinta kasihmu seperti itu besarnya. Kasihan kau..."

Menghadapi gadis ini, tak dapat menahan pula Kun Hong akan jatuhnya dua titik air mata lagi di atas pipinya. Lalu dia mengerahkan kekuatan batin menekan perasaannya.

"Sudahlah, Hui Kauw. Tiada gunanya bertangis-tangisan seperti ini. Sekarang kau tahu sendiri betapa tidak mungkin aku memenuhi dorongan hatiku yang mengandung kasih sayang kepadamu. Kau maafkanlah aku."

Hui Kauw melangkah mundur, mengusap air matanya. Kedua matanya kini memandang penuh kekaguman, penuh perasaan kasih dan penuh iba. "Kau benar, Kun Hong. Biarlah aku mengalah dan memang sudah nasib hidupku harus banyak menderita. Biarlah aku tak akan mengganggumu lagi. Akan tetapi aku tetap bersumpah bahwa peristiwa di Pulau Ching-coa-to, di mana kau dan aku sudah berlutut di depan meja sembahyang, tak akan dapat terhapus dari hatiku. Sampai mati aku akan menganggap bahwa aku sudah menjadi milikmu lahir batin dan aku tidak akan menikah dengan orang lain. Selamat tinggal, Kun Hong, kita akan bertemu kembali kelak, kalau tidak di dunia tentu di akhirat. Di sana aku akan minta kepada Cui Bi agar ia rela membiarkan kau membagi cinta kasihmu sebagian untukku..." Gadis itu terisak dan melompat pergi jauh meninggalkan tempat itu.

"Hui Kauw...! Biarkan aku mengobati mukamu...!" Kun Hong berteriak memanggil.

Akan tetapi Hui Kauw tidak berhenti hanya menjawab sambil berlari cepat, "Biarlah, Kun Hong. Apa gunanya bagiku...?"

Dalam kalimat terakhir ini terkandung kepatahan hati yang membuat Kun Hong terduduk di atas tanah saking perihnya hati dan perasaannya. Sampai lama dia duduk bersila di atas tanah di pinggir telaga itu dan terbayanglah wajah Hui Kauw yang cantik jelita.

Sekarang dia sudah mengenal Hui Kauw, tidak hanya mengenal suaranya, juga mengenal bentuk mukanya. Berkali-kali dia mengeluh panjang pendek, bukan main penderitaan hati yang penuh rindu dendam. Dia merasa seakan-akan semangatnya sudah terbawa pergi oleh gadis itu. Dia berdongak dan mulutnya berkemak-kemik.

"Cui Bi... Cui Bi... bantulah aku, perkuatlah hatiku..."

Dengan bisikan-bisikan ini dia merasa mendapat kekuatan baru dan wajah Cui Bi yang riang jenaka itu perlahan-lahan mengusir bayangan Hui Kauw, dan memulihkan kembali ketenangan di dalam dadanya.

Entah beberapa jam lamanya dia duduk seperti itu, seperti seorang pertapa di tepi telaga. Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang besar dan dalam, mengandung tenaga hebat.

"Waahhhhh, mimpikah aku atau betul-betul bertemu dengan Kun Hong di sini?"

Karena tadinya dalam keadaan melamun, Kun Hong kaget dan tidak mendengar suara ini dengan segera. Akan tetapi dia merasa seperti telah mengenal suara ini, maka cepat dia bangun berdiri dan membalikkan tubuhnya ke arah suara itu.

"Locianpwe (orang tua gagah) siapakah?" tanyanya sambil membungkuk dengan hormat.
"Ha-ha-ha! Hebat sekali! Matanya buta akan tetapi begitu aku membuka suara segera tahu bahwa aku seorang tua bangka bangkotan. Ha-ha-ha!"
"Kakek Kwee...!" Kun Hong berseru girang sekali.

Song-bun-kwi Kwee Lun tertawa bergelak-gelak dan maju merangkul Kun Hong, memeluk pemuda buta itu.

"Kun Hong, kau sudah tak pandai melihat tetapi bisa berkeliaran sampai di sini! Apa saja yang kau kerjakan di sini? Wah tongkatmu itu entah sudah berapa banyak mengirim orang ke Giam-lo-ong (Raja Maut)?"

Kun Hong tertawa. "Locianpwe, mana saya berani menggunakan tongkat hadiahmu ini untuk membunuh orang? Locianpwe hendak ke manakah?"
"Ha-ha-ha-ha, bagus, kau masih menghargai pemberian seorang tua bangka. Kun Hong, tahukah kau di mana adanya Ching-coa-to?"

Kun Hong kaget. "Di seberang itulah Ching-coa-to. Locianpwe apakah mempunyai urusan dengan penghuni Ching-coa-to?"

Bingung Song-bun-kwi bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Seperti kita ketahui, dia pergi mencari Ching-coa-to hanya karena hatinya terkena ‘dibakar’ oleh si gadis nakal Loan Ki yang mengatakan bahwa kalau kakek itu ingin dijotosi orang sampai mukanya matang biru, harus pergi ke Ching-coa-to. Hanya karena kata-kata Loan Ki itu saja dia nekat mencari Ching-coa-to sampai dapat.

Bagaimana dia bisa mengatakan kepada Kun Hong bahwa dia mencari Ching-coa-to hanya karena itu? Terhadap lain orang kakek ini bersikap tidak peduli dan mau membawa kehendak sendiri, mau menang sendiri. Akan tetapi terhadap Kun Hong lain lagi sikapnya. Dia merasa kagum kepada pemuda ini dan tidak menganggap pemuda buta ini sebagai seorang muda yang dipandang rendah.

"Tidak ada urusan apa-apa, hanya aku mendengar di sana banyak orang pandai. Ingin aku menyaksikan dengan kedua mata dan kedua tanganku sendiri, ha-ha-ha!"

Kun Hong maklum akan watak kakek ini, juga tahu akan kesukaan kakek ini berkelahi mengadu kepandaian. "Locianpwe terlambat. Memang banyak orang pandai di pulau itu, akan tetapi pada waktu ini mereka semua sudah pergi meninggalkan pulau. Saya baru saja keluar dari sana."

"Kau? Ke sana? Wah-wah, agaknya banyak pengalaman hebat yang kau alami. Sayang, aku bermalas-malasan di gunung, kalau aku ikut pergi bersamamu, sedikitnya aku akan ikut menikmati pengalaman-pengalaman itu. Apa yang kau cari di sana?"

Dengan singkat tanpa menyebut-nyebut soal Loan Ki serta Hui Kauw, Kun Hong lalu bercerita mengenai mahkota yang dirampas dari tangan Tan Hok sampai mahkota itu terjatuh ke tangan orang-orang Ching-coa-to dan bagaimana dia berhasil merampasnya kembali. Akhirnya dia menutup penuturannya,

"Mahkota ini biar pun benda kuno, akan tetapi amat penting, Locianpwe. Karena itu saya mati-matian merampasnya kembali dan sekarang hendak saya antarkan kepada paman Tan Hok."
"Di mana adanya Tan Hok?"
"Tadinya paman Tan Hok pergi ke Thai-san-pai untuk minta bantuan paman Tan Beng San dalam hal merebut kembali mahkota ini. Karena itu saya pikir, lebih baik saya susul ke Thai-san-pai untuk menyerahkan mahkota ini kepadanya."
"Ke Thai-san-pai? Bagus sekali memang aku pun sudah lama kangen, hendak melancong ke Thai-san. Kebetulan pula, aku pun ingin bertemu dengan ketua Thai-san-pai, mantuku yang pintar itu agar dia memberi hajaran kepada anaknya yang goblok!"

Kun Hong melengak, tidak tahu apa maksud kata-kata ini. "Bagaimana dengan keadaan saudara Kong Bu dan isterinya? Ahh, mereka selamat-selamat saja, bukan?"

Kun Hong tersenyum karena dia teringat akan keponakannya, Kui Li Eng yang sekarang sudah menjadi nyonya Tan Kong Bu, ingat betapa keponakannya itu lincah jenaka, nakal seperti Loan Ki!

"Itulah. Mereka itulah yang menyakitkan hatiku dan hendak kuadukan kepada Beng San. Sialan betul aku mempunyai cucu goblok!"
"Ehhh, mengapa, Locianpwe? Apa kesalahan saudara Kong Bu dan isterinya? Kalau ada kesalahan, sayalah yang mintakan maaf dan ampun kepada Locianpwe..."
"Siapa orangnya yang tidak mendongkol. Di sini menanti-nanti, di sana enak-enak dan menganggap sepi saja. Masa sampai empat tahun aku mengharap-harap, belum juga mereka mempunyai anak! Coba pikir, apa ini tidak menjengkelkan?"

Mulut Kun Hong ternganga heran. "Anak...?"
"Ya, anak! Aku sampai mimpi setiap malam memondong cucu buyut. Dasar Kong Bu tidak becus!"

Hampir saja Kun Hong tak dapat menahan ledakan tawanya. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan tidak tertawa, maklum bahwa yang dia anggap lucu itu bagi kakek ini agaknya merupakan sebuah soal yang amat gawat. Maka dia malah menghibur,

"Harap Locianpwe bersabar. Saya merasa yakin bahwa seorang gagah perkasa seperti Locianpwe ini, kelak pasti dikurniai cucu buyut yang banyak!"

Benar saja. Omongan ini bagaikan segelas air es untuk seorang kehausan di tengah hari. Mendinginkan perasaan. Kakek itu tertawa-tawa lagi dan berkata, "Kun Hong, kau harus lekas-lekas kawin! Orang seperti kau ini tentu jauh lebih berharga dari pada cucuku Kong Bu. Aku tanggung bahwa kau kawin setahun aku sudah akan dapat memondong anakmu yang pasti akan kuanggap cucuku sendiri. Ha-ha-ha, alangkah senangnya kalau aku bisa menyaksikan anakmu dan menurunkan semua ilmuku padanya. Ha-ha-ha, Song-bun-kwi si setan bangkotan akan mati dengan mata meram!"

Merah muka Kun Hong. Dia merasa jengah, akan tetapi juga terharu sekali karena di dalam kekasarannya, kakek ini membayangkan kasih sayang yang sangat besar dan rasa kekeluargaan yang mendalam. Dia berterima kasih sekali, akan tetapi untuk mencegah kakek ini melantur dan berkepanjangan mengenai kawin, dia segera mengajak kakek itu berangkat ke Thai-san.

Akan tetapi, dia tidak dapat mencegah kakek itu menggali-gali soal lama ketika berkata, "Kun Hong, kau tidak boleh selalu mengenang Cui Bi. Yang sudah mati sudahlah. Kau masih hidup dan kau harus mencari gantinya. Seorang yang tidak berketurunan adalah orang yang paling puthauw (murtad) di dunia ini! Kau tirulah pamanmu Beng San. Dahulu dia sampai menjadi gila ditinggal mati oleh anakku, akan tetapi kemudian dia toh dapat berbahagia dengan Li Cu dan punya anak lagi!"

Kun Hong berdebar keras jantungnya, akan tetapi dia diam saja tidak menjawab, hanya hatinya berdoa supaya kakek itu tidak berkepanjangan bicara tentang hal yang amat tidak enak baginya itu.

Mendapat penunjuk jalan seperti Song-bun-kwi, tentu saja Kun Hong dapat melakukan perjalanan yang amat cepat. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Song-bun-kwi mengobrol dan hanya pada pemuda inilah dia dapat mencurahkan semua isi hatinya.

Beberapa hari kemudian sampailah mereka di lereng Thai-san. Keduanya lantas merasa terheran-heran melihat kesunyian daerah sekitar puncak. Kalau jantung Kun Hong merasa berdebar-debar karena teringat akan Cui Bi dan semua peristiwa yang terjadi di puncak ini empat tahun yang lalu, adalah Song-bun-kwi yang terheran-heran dan mulai merasa tidak enak hatinya.

"Kun Hong, mengapa begini sunyi di sini? Biasanya tentu ada anak murid Thai-san-pai yang hilir mudik. Mengapa Thai-san-pai sekarang begini sepi?"
"Locianpwe, lebih baik kita langsung naik ke puncak saja, agaknya para anak murid sedang dikumpulkan di puncak oleh paman Tan Beng San. Siapa tahu datangnya paman Tan Hok mendatangkan perubahan di Thai-san-pai karena menghadapi urusan penting."
"Huh, orang-orang muda itu selalu ribut-ribut saja tentang urusan negara. Huh, bosan aku! Kaisar dan para pembesar istana itu orang-orang apa sih? Mereka juga manusia biasa seperti kita! Akan tetapi mengapa untuk segelintir dua gelintir manusia seperti itu, untuk jatuh bangunnya seorang dua orang kaisar, selalu rakyat yang laksaan banyaknya harus dijadikan korban?"

Kalau saja Kun Hong belum mendengar filsafat dari mulut Tan Hok, tentu dia akan setuju seratus prosen terhadap pendapat kakek itu. Akan tetapi sekarang, berdasarkan filsafat dari Tan Hok, dia sudah mempunyai pendapat yang lebih jelas tentang urusan negara. Tanpa pemimpin yang menentukan hukum-hukum negara, tak akan ada kehidupan yang tenteram, tidak akan ada tata-tertib karena rakyat hanya akan mengenal hukum rimba, hukumnya dunia persilatan.

Bayangkan saja kalau yang berkuasa adalah orang macam kakek ini, yang tidak pedulian, yang aneh, kadang-kadang amat kejam, akan jadi apakah penghidupan ini? Negara harus ada pengaturnya, rakyat harus ada pemimpinnya, mencontoh keadaan alam semesta.

Alam semesta ini pun membutuhkan pimpinan dan penguasa yang mengatur segalanya. Bayangkan saja, tanpa adanya Tuhan Seru Sekalian Alam, tanpa ada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, alangkah akan kacau-balaunya alam semesta ini. Mungkin matahari akan kehilangan panasnya, bintang-bintang akan saling bertubrukan, akhirnya segalanya akan hancur lebur!

Demikianlah, rakyat dan negara harus mempunyai pimpinan. Dan segala keributan terjadi, segala perang saudara pecah, disebabkan masing-masing golongan, masing-masing fihak menghendaki calon pimpinan pilihan hati masing-masing. Tentu saja ini karena menurut keyakinan masing-masing, pilihan hati itu adalah orang-orang yang mereka percaya akan mampu menjadi pemimpin yang baik.

Sekarang terjadi perebutan tahta kerajaan, tentu saja bagi para pembesar itu karena mereka memperebutkan kedudukan yang akan menjamin hidup kaya raya dan terhormat. Tetapi bagi rakyat yang mati-matian membela mereka, dasarnya hanyalah ingin memiliki para pemimpin yang benar-benar akan dapat membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kehidupan rakyat.

Karena mempunyai dasar filsafat ini, maka Kun Hong hanya tersenyum saja mendengar ucapan Song-bun-kwi tadi. Ia tak menjawab melainkan mengajak kakek itu terus mendaki puncak. Kalau bukan Song-bun-kwi yang menjadi penunjuk jalannya, Kun Hong tak akan berani mengajak naik ke puncak karena dia maklum bahwa menaiki puncak Thai-san merupakan perjalanan yang jauh lebih sulit dan berbahaya dari pada memasuki Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi, kakek itu pernah tinggal di situ dan karenanya hafal benar akan semua rahasia di puncak Thai-san.

Setelah melalui jalan rahasia yang berakhir dengan sebuah terowongan, akhirnya mereka sampailah di puncak Thai-san. Mereka meloncat ke luar dari mulut terowongan yang juga merupakan sebuah goa rahasia.

Kagetlah Kun Hong ketika dia mendengar Song-bun-kwi berseru keras, "Celaka...!"

Hidung dan telinga Kun Hong meneliti penuh perhatian, namun tidak ada sesuatu yang aneh bagi penciuman serta pendengarannya. Terpaksa dia bertanya kuatir, "Locianpwe, ada apakah?"

Kakek itu melangkah maju, terus maju, diikuti dari belakang oleh Kun Hong yang mulai merasa gelisah karena tempat ini benar-benar sunyi. Setelah tiba di puncak, kenapa Beng San dan isterinya, juga murid-murid Thai-san-pai tidak ada yang keluar menyambut?

"Locianpwe, kenapa begini sunyi?" Ada apakah? Di mana mereka, mengapa tidak ada orang menyambut kita?"

Masih saja Song-bun-kwi berjalan ke sana ke mari, berputar-putaran di sekitar puncak. Kemudian dia membanting-banting kaki dan berkata, "Celaka... agaknya belum lama ini Thai-san-pai tertimpa mala petaka. Wah, hebat...! Kun Hong, Thai-san-pai telah dibakar orang, dibasmi sampai semua pohon-pohonnya habis dan rusak binasa."

"Apa...?!" Kun Hong berteriak, lalu melangkah ke sana ke mari, tangan yang memegang tongkat meraba-raba tanah yang sudah rata dan tidak ada sebatang pun pohon tumbuh lagi di sana. "Bagaimana hal ini bisa terjadi...?" pertanyaan ini keluar dari hatinya yang penuh kegelisahan, terdengar agak gemetar.
"Bagaimana kita bisa tahu? Tidak ada seorang pun tinggal di sini. Agaknya mereka semua sudah..." Song-bun-kwi sendiri yang biasanya tidak pedulian itu, kini sikap dan bicaranya tidak bisa percaya kalau Thai-san-pai dapat dibakar dan dibasmi orang dan semua penghuni puncak Thai-san sampai lenyap semua.
"Tidak mungkin, Locianpwe! Tak mungkin paman Beng San beserta bibi dan semua anak murid dapat dibasmi begitu saja! Aku tidak percaya!"
"Tuh di sana ada bayangan orang bergerak, mari kita ke sana!" tiba-tiba kakek itu berseru dan menarik tangan Kun Hong diajak lari menuruni puncak, lalu mendaki sebuah puncak yang lebih kecil.

Setelah tiba di situ, dia melihat bayangan orang tadi ternyata adalah seorang laki-laki yang kini sedang duduk bersila di sebuah kuburan yang puluhan jumlahnya. Kuburan-kuburan yang masih baru mengelilingi orang yang berpakaian putih itu, rambutnya awut-awutan seperti orang kurang waras.

Meremang bulu tengkuk Song-bun-kwi melihat kuburan-kuburan ini. Bukan karena merasa seram, karena dia sendiri adalah seorang iblis yang tidak takut akan sesuatu, apa lagi hanya kuburan dan orang aneh itu. Akan tetapi yang membuat dia merasa seram dan ngeri adalah dugaan yang timbul pada waktu melihat kuburan-kuburan itu. Siapa tahu di antaranya adalah kuburan Beng San dan Li Cu!

Segera dia melompat ke depan dan sekali sambar saja sudah berhasil mencengkeram leher laki-laki itu sambil membentak dengan suara menyeramkan, "Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?!"

Tubuh itu sudah dia angkat tinggi-tinggi dan siap dibantingkan ke atas batu-batu besar yang banyak terdapat di tanah kuburan itu. Akan tetapi dengan gerakan yang tangkas dan cekatan sekali, orang itu menggoyang tubuh dan...

"Brettttt!" leher bajunya robek akan tetapi dia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Song-bun-kwi!

Kakek ini kaget dan kagum. Jarang ada orang, apa lagi semuda itu, dapat melepaskan diri dari pada cengkeraman tangannya. Dia sudah siap untuk menerjang lagi karena sekaligus timbul rasa penasaran, juga kegembiraannya sebab akan mendapat lawan yang lumayan.

Akan tetapi tiba-tiba orang itu berseru, "Kwee-locianpwe...!"

Lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. Di antara tangisnya, dia menyebut nama Kun Hong.

"Kwa-taihiap... celaka...!" Sangat sukar dia bicara karena tangisnya terus menyesakkan kerongkongannya.

Bukan main kagetnya hati Song-bun-kwi ketika mengenal bahwa orang yang mukanya pucat seperti mayat, matanya cekung dan tubuhnya kurus dengan rambut awut-awutan dan pakaian putih seperti orang gila ini ternyata bukan lain ialah Su Ki Han, murid kepala Thai-san-pai!

"Ki Han, bukankah kau ini? Apakah yang terjadi? Hayo cepat ceritakan!" Sepasang mata Song-bun-kwi liar memandang ke arah tanah-tanah kuburan yang masih baru itu.

Ada pun Kun Hong yang mendadak merasa kedua kakinya lemas saking gelisahnya, lalu duduk di atas sebuah batu besar, telinganya mendengarkan penuh perhatian. Jantungnya berdebar-debar, karena kebutaannya membuat dia tidak dapat melihat sesuatu dan hal ini menambah kegelisahannya.

Alangkah besar keinginan hatinya untuk dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana keadaan puncak Thai-san yang dikatakan telah rusak binasa dan terbasmi itu. Hampir-hampir saja tak dapat dia percaya bahwa tempat tinggal pamannya yang demikian saktinya itu dapat dihancurkan oleh musuh.

"Ahhh, Kwee-locianpwe... celaka sekali... mala petaka hebat menimpa Thai-san-pai, dua pekan yang lalu..."
"Ki Han, bukankah kau murid kepala Thai-san-pai? Mengapa sekarang menangis seperti anak kecil? Huh, mana jiwa pendekarmu? Memalukan sekali. Hayo, bangun kau bicara yang betul kalau tidak mau kutendang mampus!" bentak Song-bun-kwi.

Su Ki Han, murid Thai-san-pai yang hancur luluh perasaan hatinya oleh kedukaan itu jadi terbangun semangatnya. Dia segera bangkit berdiri, menunduk dan berkata, "Maafkan saya, Locianpwe, maafkan kelemahan hati saya yang tidak kuat menderita kedukaan ini. Siapa orangnya yang tidak akan hancur hatinya. Thai-san-pai hancur binasa, siauw-sumoi (adik seperguruan kecil) diculik orang, subo pun lenyap melakukan pengejaran, kemudian suhu juga turun gunung mengejar, bahkan menyatakan bahwa Thai-san-pai dibubarkan untuk sementara waktu. Sembilan orang sute-ku tewas, sisanya sekarang tersebar tidak karuan. Kwee-locianpwe, hati siapa takkan menjadi sedih?"

Terdengar teriakan menyeramkan keluar dari kerongkongan Kun Hong yang telah bangkit berdiri dengan muka pucat.

"Iblis jahanam! Siapa berani melakukan hal itu terhadap Thai-san-pai? Su Ki Han, hayo kau ceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi!" Suara Kun Hong menggeledek, tanda bahwa dia dalam keadaan marah besar sehingga mendatangkan rasa kaget dan heran pada Song-bun-kwi yang biasanya mengenal pemuda itu sebagai seorang yang sangat lemah lembut dan penyabar.

Sebetulnya hal ini tidaklah aneh. Kun Hong cukup maklum betapa hancur luluh hati ibu Cui Bi ketika gadis kekasihnya itu tewas secara menyedihkan. Sekarang, setelah memiliki seorang anak perempuan lagi sebagai pengganti diri Cui Bi, ternyata hilang diculik orang. Thai-san-pai dibasmi dan dibumi-hanguskan, anak-anak murid Thai-san-pai banyak yang tewas. Sungguh-sungguh ini merupakan mala petaka yang maha hebat dan inilah yang menyakitkan hatinya.

Dengan suara tersendat-sendat saking sedihnya, Ki Han kemudian bercerita, bagaimana orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai yang marah sekali datang menyerbu hingga terjadi pertempuran yang amat tak dikehendaki ketua Thai-san-pai, karena maklum bahwa bentrokan di antara mereka yang sehaluan itu adalah karena hasutan dan fitnah musuh rahasia. Diceritakan pula betapa kemarahan Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai itu adalah karena kematian Tan Hok dan murid-murid Kong-thong-pai yang terjadi di lereng Thai-san dan yang mereka katakan dilakukan oleh anak-anak murid Thai-san-pai.

Lalu bagaimana pada saat pertempuran berlangsung, puncak Thai-san-pai diserbu musuh yang tidak diketahui siapa. Nyonya ketua Thai-san-pai dengan gagah berani masih dapat menghalau pihak musuh, akan tetapi tidak dapat mencegah penculikan terhadap Cui Sian puterinya dan pembunuhan terhadap para pelayan.

Dengan air mata bercucuran Ki Han menutup ceritanya, "Kwee-locianpwe... Kwa-taihiap... alangkah hancur hati saya melihat suhu seperti itu. Suhu lalu mengamuk setelah subo (ibu guru) pergi melarikan diri untuk mencari puterinya... Suhu menghancurkan segala yang ada di puncak... lalu menyatakan pembubaran Thai-san-pai..."

"Iblis neraka!" Song-bun-kwi membanting kakinya saking marahnya. "Keparat Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai! Awas kalian, Song-bun-kwi akan melakukan pembalasan, membasmi semua orang Kong-thong-pai dari muka bumi."

Tiba-tiba Su Ki Han memandang terbelalak ke depan, lalu dia menjadi pucat dan berkata, "Kwa-taihiap..."

Song-bun-kwi cepat memutar tubuh memandang ke arah Kwa Kun Hong dan dia sendiri pun terbelalak. Bukan main keadaan Kun Hong pada waktu itu. Berdiri tegak dengan alis mata seolah-olah berdiri, sepasang mata yang buta itu terbuka lebar dan memperlihatkan rongga dalamnya yang kosong menghitam.

Mukanya berubah merah bagai terbakar, tubuhnya menggigil hingga mengeluarkan hawa getaran, hidungnya kembang-kempis, mulutnya terbuka berkali-kali tanpa mengeluarkan suara. Tangan kanannya memegang tongkat dan tangan kirinya bergerak-gerak perlahan dengan jari-jari terbuka tertutup seperti cakar harimau hendak mencengkeram.

Mendadak kedua tangannya membuat gerakan berbareng yang sangat aneh, tangan kiri mencengkeram ke depan dengan gerakan melengkung dari bawah ke atas miring ke kanan, sedangkan tangan kanan yang memegang tongkat membuat gerakan membabat dari kanan ke kiri, menyerong dari atas ke bawah. Gerakan yang berlawanan dari kedua tangan itu menimbulkan suara angin bersiut keras dibarengi bentakannya yang bukan main hebatnya.

"Haaiiiittttttt…!"

Hebat akibatnya. Batu besar berwarna hitam, sejenis batu gunung yang amat keras, yang tadi dia duduki, terkena serangan ini. Batu itu sama sekali tidak bergerak, seakan-akan tangan kiri dan tongkat tadi lewat begitu saja menembus batu, sedangkan kedua kaki Kun Hong membuat gerakan ke depan, langkah ajaib. Ketika tubuhnya menggeser lewat meninggalkan batu itu, mendadak batu itu bergoyang dan runtuh bagian atasnya, sapat di tengah-tengah seperti agar-agar teriris pisau tajam, belah menjadi dua dan bagian atas yang terkena cengkeraman tangan kiri tadi, perlahan-lahan runtuh hancur seperti tepung!

Song-bun-kwi memandang dengan dua mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap berwarna putih, betapa muka yang kini menjadi sangat menyeramkan itu mengeluarkan keringat besar-besar seperti kacang kedele, dan betapa dada pemuda buta itu melembung seperti hendak meletus.

Sekali lagi Kun Hong yang meraba-raba dengan tongkatnya mendapatkan batu besar dan langsung diserangnya seperti tadi. Sekali serang dengan gerakan aneh tadi, batu itu pun hancur lebur tanpa mengeluarkan suara!

Sekarang dia melangkah lagi dan mulutnya berbisik-bisik. "Keji... keji... manusia-manusia iblis... keji...!"

Tiba-tiba Song-bun-kwi melayang ke depan sambil berseru, "Kun Hong, ingat! Kau bisa mencelakakan dirimu sendiri. Ingatlah dan tekan perasaanmu...!"

Tubuh kakek itu menyambar ke depan dengan maksud hendak memegang pundak Kun Hong dan menyadarkannya. Akan tetapi alangkah kaget dan ngeri hatinya ketika tiba-tiba Kun Hong memapakinya dengan gerakan persis seperti tadi, tangan kiri mencengkeram dan tongkat membabat.

"Ayaaa... celaka...!" Kakek itu memekik.

Cepat dia mengerahkan segenap tenaganya, melejit merendahkan tubuh untuk mengelak dari pada sambaran maut tongkat itu sedangkan kedua tangannya dia pergunakan untuk menghantam lengan kiri Kun Hong yang bercuitan bunyinya mengarah iganya.

Juga kali ini tak terdengar suara ketika lengan kiri Kun Hong bertemu dengan dua lengan kakek itu. Akan tetapi akibatnya hebat bukan main.

Tubuh kakek itu terlempar seperti selembar layang-layang putus talinya, kemudian jatuh berdebuk dalam jarak enam tujuh meter jauhnya. Sedangkan tubuh Kun Hong dengan kedudukan kaki masih tetap seperti tadi, tergeser mundur sampai satu meter lebih, kedua kakinya membuat guratan dalam tanah sedalam sepuluh senti!

Song-bun-kwi tertawa bergelak dengan suara aneh menyeramkan, lalu dia merangkak bangun dan... darah segar tersembur ke luar dari mulutnya!
"Hebat... hebat... bukan main...!" Dia mengomel lalu menjatuhkan diri duduk bersila, sekali lagi muntahkan darah segar. Dia lalu meramkan mata mengatur napas karena benturan tadi telah mendatangkan sakit di dalam dadanya, tanda bahwa ia telah terluka dalam!

Ada pun Kun Hong yang tadinya seperti orang kemasukan setan, sekarang agaknya baru sadar. Dia melongo, menoleh ke sana ke mari, lalu... menangis terisak-isak, menyebut-nyebut nama Cui Bi. Kiranya pemuda ini karena sangat hancur hatinya mengingat akan nasib paman dan bibinya, sekaligus teringat kepada Cui Bi.

Ki Han tidak berani bergerak dari tempat dia berdiri. Dia tadi melihat kejadian yang amat hebat. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan ilmu kesaktian seperti tadi. Dia merasa seram dan ngeri, juga merasa sedih karena kedukaan Kun Hong itu seperti pisau yang merobek kembali luka dalam hatinya. Dia hanya berdiri dengan air mata bercucuran.

Berkat hawa murni dan tenaga dalam yang sudah amat kuat, benturan pukulan sakti tadi tidak mengakibatkan luka parah di dalam dada Song-bun-kwi. Beberapa menit kemudian dia telah dapat menyembuhkan akibat yang menimbulkan rasa nyeri di dada. Dia segera membuka mata, memandang Kun Hong yang sedang terisak-isak menangis. Cepat kakek ini melompat bangun dan dengan langkah-langkah lebar ia menghampiri Kun Hong, terus merangkulnya.

"Uhh, dengan jurus sakti yang kau miliki tadi, tidak patut kau mengeluarkan air mata, Kun Hong. Hebat sekali gerakanmu tadi dan hampir nyawaku yang sudah tua ini melayang kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengelak. Bukan main!" Dia memuji dengan muka berseri gembira sekali.
"Kwee-locianpwe, aku akan membalas dendam ini! Aku tidak terima paman Beng San dan bibi dihina dan diperlakukan seperti ini. Aku akan mencari Cui Sian sampai dapat dan aku bersumpah takkan mau hidup lagi kalau tidak dapat membalas kejahatan orang-orang itu!"
"Ha-ha-ha, ini baru ucapan seorang jantan! Benar, Kun Hong, kejahatan harus ditumpas habis. Dan dengan jurus yang kau miliki tadi, tak akan ada tokoh di dunia ini yang akan mampu melawanmu. Ha-ha-ha!"

Kun Hong yang sudah berhenti menangis itu terheran. "Locianpwe, jurus apa yang kau maksudkan? Aku tadi hampir pingsan oleh kemarahan yang menyesakkan dada, aku tidak sadar lagi yang kulakukan."
"Ha-ha-ha, hampir kau memukul mampus padaku, masa kau tidak ingat?"

Bukan main kaget hati Kun Hong. Disangkanya kakek yang biasanya memang berwatak aneh dan gila-gilaan ini main-main dengannya.

"Saudara Su Ki Han, betulkah kata-kata Kwee-locianpwe ini?"

Murid kepala Thai-san-pai itu sudah cukup memiliki dasar ilmu silat tinggi sehingga dia maklum apa yang telah terjadi tadi. Dia menjawab, "Saya tidak mengerti apa yang telah terjadi, Taihiap. Hanya tadi saya melihat Taihiap memukul hancur dua buah batu besar, kemudian ketika locianpwe mendekat, Taihiap menyerangnya sehingga terjadi benturan yang mengakibatkan..." Dia tidak berani melanjutkan.

Song-bun-kwi tertawa. "Ha-ha-ha, akibatnya aku terlempar dengan nyawa hampir putus! Hebat sekali, Kun Hong."
Pemuda itu bingung. "Tetapi... benar-benar saya tidak tahu dengan jurus apa saya telah berlancang tangan menyerang Locianpwe."

Song-bun-kwi adalah seorang tokoh besar dunia persilatan. Tentu saja pengetahuannya dalam hal ilmu silat amatlah mendalam dan luas. Dia dapat menduga bahwa kemarahan dalam batin si buta itu membuat dia melakukan gerakan otomatis yang timbul dari pada dasar tenaga sakti di dalam tubuhnya. Dengan demikian terciptalah sejurus pukulan yang luar biasa hebat tanpa disadari oleh pemuda itu sendiri. Dia tahu pula bahwa Kun Hong memiliki pendengaran yang amat tajam sebagai pengganti mata, maka dia lalu berkata,
"Kau pinjamkan sebentar tongkatmu kepadaku, biar kucoba tiru gerakanmu tadi. Nah, kau tadi membabat dengan tongkat begini!"

Song-bun-kwi seberapa dapat dan seingatnya melakukan gerakan seperti yang dilakukan Kun Hong tadi dengan tongkat itu, membabat dari kanan ke kiri miring dari atas ke bawah.

Kagetlah Kun Hong. Itulah sebagian dari pada jurus Pedang Im-yang Sin-kiam yang dulu dia dapatkan dari Tan Beng San.

"Dan berbareng tangan kirimu mencengkeram dari kiri ke kanan mengarah iga, bergerak dari bawah seperti ini, tetapi mengeluarkan suara bercuitan." Kembali kakek itu meniru pukulan atau cengkeraman dari tangan kiri Kun Hong tadi.

Sekali lagi Kun Hong terkejut. Itulah ilmu pukulan dari Kim-tiauw-kun yang paling hebat, seperti juga gerakan pedang tadi merupakan jurus simpanan yang rahasia dari Im-yang Sin-kiam.

"Kau melakukan dua gerakan ini sekaligus menjadi sebuah jurus yang sakti, tentu saja aku tidak mampu melakukannya, karena tampaknya berlawanan sekali gerakan itu, juga sambaran tenaga dari kedua tanganmu berlawanan. Benar-benar aneh dan hebat sekali. Kun Hong coba kau mainkan lagi jurus ini, dengan kedua tanganmu, ingin sekali aku menyaksikan sekali lagi!" Dia mengembalikan tongkatnya.

Kun Hong ragu-ragu. Menurut teori, tidak mungkin kedua macam pukulan itu disatukan, sungguh pun keduanya dia faham benar. Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat biar pun terdiri dari penggunaan dua macam tenaga, tetapi tenaga Im-kang dan Yang-kang selalu digunakan secara bergantian untuk membingungkan lawan. Karena pergantian-pergantian yang tidak terduga-duga inilah maka ilmu itu merupakan ilmu yang selama ini dapat merajai dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana mungkin mempergunakan dua macam tenaga dalam satu gerakan? Namun demikian, mendengar kesungguhan suara kakek itu, dia merasa tidak enak kalau tidak mau mencobanya.

"Baiklah, akan kucoba, Locianpwe. Mengharap petunjuk Locianpwe yang berharga..."

Setelah berkata demikian, Kun Hong memasang kuda-kuda dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, kemudian dia mengerahkan tenaga karena dia ingin bergerak sungguh-sungguh. Tangan kirinya menyambar dibarengi sambaran tongkatnya dari kanan. Terdengar suara bercuitan seperti tadi, akan tetapi tiba-tiba Kun Hong mengeluh, tubuhnya limbung dan... dia roboh pingsan dengan muka pucat!

"Ah-ahh... sudah kuduga... waah, tua bangka goblok." Song-bun-kwi memukuli kepalanya sendiri lalu cepat dia berlutut mendekati Kun Hong dan memeriksanya.

Napas pemuda buta itu empas-empis, tubuhnya sebentar panas dan sebentar dingin, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Kakek itu setelah memeriksa jalan darahnya, kaget mendapat kenyataan bahwa di dalam tubuh itu, dua kekuatan yang berlawanan sedang saling desak untuk menguasai tubuh itu.

Inilah berbahaya, pikirnya, karena gempuran-gempuran yang terjadi antara dua macam hawa sakti ini akan dapat merusak jantung Kun Hong. Dia sendiri adalah seorang yang ahli dalam tenaga sakti Yang-kang, maka segera dia menempelkan telapak tangannya pada dada Kun Hong, mengerahkan tenaga Yang-kang untuk membantu tenaga di dalam tubuh pemuda itu menindih tenaga Im.

Dengan penambahan tenaga Yang-kang yang amat kuat dari kakek ini, ternyata tenaga Im di tubuh Kun Hong yang meliar itu dapat ditundukkan. Muka pemuda buta ini sekarang lebih lama merahnya dari pada pucatnya, juga napasnya mulai kuat akan tetapi tubuhnya semakin panas saja. Hal ini adalah karena dia masih pingsan sehingga tidak mampu mengendalikan hawa Yang-kang di tubuhnya yang sekarang sudah mulai bisa menguasai tubuhnya.

Setengah jam kemudian Kun Hong sadar. Dia mengeluh dan cepat-cepat mengerahkan tenaga yang hampir saja membuat tubuhnya meledak saking panasnya itu berputaran di seluruh tubuh sehingga dia normal kembali.

Song-bun-kwi melepaskan tangannya, keringat membasahi seluruh tubuh dan setelah mengumpulkan tenaganya dia berkata, "Waahh, berbahaya sekali. Jurusmu itu memang hebat bukan main, Kun Hong, hebat dan amat berbahaya bagi lawan. Akan tetapi juga berbahaya bagi dirimu sendiri."

Kun Hong maklum bahwa dia telah ditolong, maka dia pun berlutut menghaturkan terima kasih. "Mohon petunjuk Locianpwe," katanya sederhana.

Song-bun-kwi menoleh kepada Su Ki Han yang menyaksikan semua itu dengan melongo penuh keheranan dan kekaguman. Lalu kakek itu meloncat berdiri, menarik tangan Kun Hong supaya berdiri.

"Marilah kita turun gunung, biar nanti kujelaskan kepadamu. Ki Han, kau adalah murid Thai-san-pai yang setia dan jujur, mudah-mudahan kejadian semua ini akan menambah pengertianmu dan memperdalam ilmumu. Kau berjagalah di sini, menunggu kembalinya gurumu. Kami berdua tentu takkan tinggal diam, akan kubantu gurumu mencari puterinya. Hayo, Kun Hong, kita pergi!"

Kakek itu mengandeng tangan Kun Hong. Keduanya melesat lenyap dari puncak itu.....
Di kaki gunung itu, di bawah pohon yang besar, Song-bun-kwi dan Kun Hong berhenti dan duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah.

"Jurusmu tadi benar-benar luar biasa sekali, kelak kalau kau sudah dapat melakukannya dengan sempurna, kiraku tidak akan ada orang yang mampu menahannya," Song-bun-kwi mulai bicara.
"Akan tetapi, Locianpwe. Ketika pertama kali saya menggunakan jurus itu, saya berada dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak ingat sama sekali tentang gerakan itu. Menurut permintaan Locianpwe, saya tadi melakukannya sungguh pun saya tahu bahwa jurus itu keduanya mengandung hawa pukulan yang bertentangan, sehingga akibatnya saya tidak kuat menahan dan roboh pingsan. Bagaimana bisa dibilang jurus lihai?"

Kakek itu tertawa. "Tadinya aku pun bingung dan heran sekali. Akan tetapi sekarang aku mengerti. Kau berhasil menggunakan jurus itu, justru karena kau sedang dalam keadaan sedih dan marah. Dalam kesedihan luar biasa, hawa Im di tubuhmu bergolak, sebaliknya ketika kau marah dan sakit hati, hawa Yang bergolak. Oleh karena inilah maka ketika kau melakukan pukulan-pukulan yang dua macam dan bertentangan itu, kedua hawa itu dapat kau pergunakan lewat pukulanmu dan dalam kemarahan serta kesedihan tadi kau dapat mendorong dua macam hawa yang berlawanan itu keluar tubuh. Itulah sebabnya kenapa pukulan-pukulan itu hebat bukan main sehingga aku sendiri hampir mampus karenanya. Ada pun ketika kau mencoba untuk melakukannya kembali, kau sudah dapat menguasai kesedihan dan kemarahanmu, karena kau tidak berniat menyerang orang, maka kau tidak mendorong keluar kedua hawa itu. Akibatnya kedua hawa berlawanan itu mengamuk di dalam tubuhmu dan saling gempur sendiri. Tentu saja kau tidak kuat menahan. Masih baik kau tidak mati tadi, ha-ha-ha!"

"Wah, kalau begitu jurus tadi jahat sifatnya, Locianpwe."

"Di dunia ini tidak ada sesuatu yang jahat atau baik. Tergantung dari orangnya sendiri yang mempergunakannya. Ilmu tetap ilmu, jurus tetap jurus dan jurus yang kau temukan secara tidak sengaja tadi merupakan anugerah yang harus kau pelajari baik-baik. Dengar baik-baik, Kun Hong. Dalam keadaan terdesak dan terpaksa ketika menghadapi ancaman lawan tangguh yang hendak mencelakakan dirimu, kau boleh mempergunakan jurus itu. Akan tetapi kau harus betul-betul berniat merobohkan lawan, sehingga dua macam hawa itu dapat kau salurkan dan dorong keluar menghantam lawan. Hanya kau seorang yang dapat mainkan jurus itu, karena kedua gerakan itu berdasarkan ilmu silat sakti yang telah kau pelajari. Nah, kau cobalah sekarang dan kau serang pohon ini dengan jurusmu tadi. Jangan kuatir, asal kau dapat menganggap pohon itu sebagai musuh besar yang sangat tangguh dan yang harus kau robohkan, pasti kau tidak akan mengalami hal seperti tadi."

Di dalam hatinya, Kun Hong tak suka dengan jurus yang dianggapnya keji dan ganas ini. Akan tetapi mendengar getaran penuh gairah, penuh kegembiraan dalam suara kakek itu, dia tidak tega dan merasa tidak enak apa bila harus menolak. Tidak apalah untuk berlatih dengan pohon saja, akan tetapi dia yakin bahwa akan sukar baginya untuk memaksa hati menggunakan jurus pukulan ini terhadap seorang manusia.

Dia bangkit berdiri, mengingat-ingat gerakan tadi, memasang kuda-kuda ajaib dengan kaki kanan di depan, ujungnya diangkat berjungkit dan kaki belakang ditekuk lututnya. Tangan kanan yang memegang tongkat agak diangkat ke atas dengan tongkat melintang, tangan kiri dibuka jari-jari tangannya, ditekuk ke bawah seperti orang hendak mengambil sesuatu dari tanah.

Song-bun-kwi memandang dengan mata bersinar-sinar saking kagum dan girang hatinya. Matanya sampai dipaksa supaya jangan berkedip agar dia bisa mengikuti semua gerakan pemuda itu dengan baik.

Kun Hong mengumpulkan seluruh tenaganya, namun merasa betapa dua macam tenaga yang berlawanan berkumpul dan berputaran di dada, membuat dadanya sesak. Dia ingin memaksa tenaga itu keluar melalui kedua lengannya, akan tetapi sulit sekali dan akhirnya dia menarik kembali tenaganya, menurunkan kedua tangan, tidak jadi menyerang ke arah depan.

"Ehh, kenapa?" Song-bun-kwi berteriak, kecewa dan marah. "Kenapa tidak kau teruskan? Sudah bagus sekali tadi!"

Kun Hong menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Saya tidak bisa, Locianpwe. Tidak bisa memaksa hati membenci pohon, apa lagi kalau membayangkan bahwa pohon ini adalah pengganti seorang manusia, hati menjadi ngeri..."

Song-bun-kwi membanting-banting kakinya. Benar-benar seorang pemuda yang berhati lemah dan berwatak halus. Masa terhadap sebatang pohon saja tidak tega menjatuhkan tangan maut?

"Bodoh kau! Ini penting untuk latihan. Anggap saja bahwa pohon itu musuhmu!"
"Saya tidak punya musuh, Locianpwe."
"Apa? Kau bisa bilang tidak punya musuh? Sudah lupa lagikah kau betapa Thai-san-pai dibakar orang, adikmu Cui Sian telah diculik orang dan rumah tangga pamanmu Beng San menjadi rusak berantakan? Yang berdiri di depanmu itu bukan lagi pohon biasa, akan tetapi dia adalah musuhmu yang telah berlaku keji dan jahat terhadap Thai-san-pai."

Mendadak Kun Hong mengeluarkan suara bentakan nyaring, tubuhnya bergerak seperti tadi, lalu bagaikan kilat menyambar kedua tangannya itu menyerang dengan berbareng, melakukan gerak jurus yang maha dahsyat itu.

Tongkat berkelebat menjadi sinar merah menembus pohon, tangan kiri mencengkeram dan... pohon itu masih tetap berdiri tanpa bergoyang sedikit pun sedangkan Kun Hong sudah melompat ke belakang dengan berjungkir balik beberapa kali.

"Hebat... hebat...!" kakek itu bersorak.

Angin datang bertiup menggerakkan daun-daun pohon itu dan... lambat-lambat pohon itu tumbang, patah di tengah-tengah di mana tadi dilalui sinar merah, roboh mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan batang sebelah atas remuk-remuk terkena cengkeraman tangan kiri Kun Hong tadi. Kiranya tadi hanya kelihatannya saja tidak apa-apa, padahal batang pohon itu telah patah-patah dan bagian yang dicengkeram telah remuk di bagian dalam!

"Bagus sekali, Kun Hong! Dengan jurus ini agaknya kau yang akan dapat membalaskan sakit hati pamanmu. Mudah diduga bahwa musuh yang dapat mengacau dan merusak ketenteraman di Thai-san-pai, pasti adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau kau berhasil bertemu dengan mereka dan tidak dapat mengalahkan mereka dengan ilmu silat biasa, kau pergunakanlah jurus ini."

"Saya akan mencari mereka, Locianpwe," kata Kun Hong dengan suara penuh dendam. "Saya akan mencari pembunuh paman Tan Hok, mencari mereka yang melakukan fitnah dan mengadu domba antara Thai-san-pai dengan orang-orang gagah, mencari penculik adik Cui Sian."
"Jurus tadi hanya kau seorang yang sanggup melakukan, namun karena tercipta di luar kesadaranmu dan aku yang pertama kali melihatnya, maka aku yang hendak memberi nama," kata kakek itu sambil tertawa bergelak, nampaknya puas sekali.
"Terserah kepada Locianpwe."
"Jurusmu tadi tercipta karena peluapan rasa duka dan amarah, jurus yang hanya dapat dilakukan tanpa membahayakan diri sendiri dengan landasan dendam, maka kuberi nama jurus serangan Sakit Hati. Bagaimana pikirmu, cocok tidak?"

Di dalam hatinya Kun Hong tidak setuju. Semenjak dahulu dia menganggap bahwa asas dendam dan sakit hati amatlah berlawanan dengan pribudi dan kebajikan. Kalau sekarang dia hendak mencari orang-orang yang merusak Thai-san-pai, mencari penculik Cui Sian, kalau perlu menghukum atau membasmi mereka, semata-mata karena dia menganggap orang-orang itu amatlah jahat dan kalau dibiarkan dan tidak ditentang tentu akan semakin merajalela dan mendatangkan banyak mala petaka di dunia ini. Sekali-kali bukan karena dendam dan sakit hatinya.

Akan tetapi, oleh karena dia sendiri maklum bahwa tanpa adanya Song-bun-kwi, ia sendiri tak akan dapat menemukan jurus hebat ini, maka dia anggap bahwa jurus itu adalah hasil ciptaan Song-bun-kwi, maka kakek itulah yang berhak memberi nama.

"Saya setuju, Locianpwe." Kemudian disambungnya, "Locianpwe, karena paman Beng San tertimpa mala petaka hebat, saya rasa hal yang paling dahulu harus dilakukan adalah memberi tahu kepada putera-puteranya."
“Betul katamu, memang harus demikianlah. Walau pun Kong Bu goblok, akan tetapi dia putera Beng San dan dia wajib membantu untuk mencari adiknya serta membalas sakit hati ini. Juga Sin Lee di Lu-liang-san harus diberi tahu. Kun Hong, biarlah aku sendiri yang akan memberi tahu kepada dua orang itu, ini termasuk kewajibanku. Kau sendiri hendak ke mana sekarang?"
"Saya adalah seorang buta, Locianpwe, tentu amatlah sulit untuk melakukan penyelidikan seorang diri. Oleh karena itu, saya bermaksud pergi dulu ke kota raja untuk mencari para anggota kaipang (perkumpulan pengemis), karena dari mereka inilah agaknya saya akan dapat mencari keterangan tentang orang-orang jahat yang memusuhi Thai-san-pai. Selain itu, juga saya mempunyai urusan penting yang ada hubungannya dengan mahkota ini, untuk saya sampaikan kepada yang berhak."

Song-bun-kwi sebetulnya amat suka berada dekat dengan Kun Hong dan bercakap-cakap dengan si buta ini. Akan tetapi sebagai seorang tokoh besar, tentu saja dia tidak suka melakukan perjalanan berkawan. Apa lagi sekarang mereka mempunyai tujuan masing-masing, maka dia segera menepuk-nepuk pundak Kun Hong dan berkata,
"Kita berpisah di sini. Ingat, Kun Hong, lekas kau mencari jodoh dan jangan lupa, anakmu kelak akan menjadi muridku!"

Kun Hong tersenyum pahit dan mukanya menjadi merah. Dia tak dapat menjawab, hanya mengangguk-angguk, lalu menjura dalam-dalam ketika dia mendengar betapa kakek itu berkelebat cepat pergi dari situ. Hanya suara ketawanya saja terdengar dari tempat yang sudah jauh.

Dia menarik napas panjang dan kagum sekali. Kakek itu memang aneh, kadang-kadang amat kejam seperti iblis kata orang, akan tetapi Kun Hong maklum bahwa pada dasarnya kakek ini hanyalah seorang manusia biasa yang mempunyai kelemahan-kelemahannya.

Dia pun lalu berjalan perlahan, meraba-raba dengan tongkatnya dengan tujuan bertanya orang jalan ke kota raja…..
********************
Loan Ki adalah seorang gadis yang berdarah perantau. Dia tidak dapat bertahan terlalu lama untuk tinggal di rumah. Semenjak kecil dia sudah biasa melakukan perjalanan jauh, merantau bersama ayahnya. Bahkan semenjak berusia lima belas tahun, ketika ayahnya menganggap bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk menjaga diri sendiri, dara lincah ini sudah melakukan perantauan seorang diri!

Telah dituturkan di bagian depan betapa Pek-tiok-lim, tempat tinggal Tan Beng Kui di tepi laut Po-hai, didatangi Song-bun-kwi sehingga menimbulkan kekacauan, bahkan beberapa orang anak buah Pek-tiok-lim tewas dan akhirnya oleh kecerdikan dan kepandaian bicara Loan Ki, Song-bun-kwi suka pergi dari tempat itu.

Tan Beng Kui adalah seorang yang memiliki ambisi (cita-cita) besar. Di dalam cerita Raja Pedang dan Rajawali Emas dapat kita baca betapa tokoh ini telah beberapa kali berusaha untuk mencari kedudukan tinggi, tetapi selalu usahanya mengalami kegagalan. Sekarang, biar pun usianya sudah agak tua, ketika dia mendengar tentang perebutan kekuasaan dan tentang kekacauan di kota raja, timbul lagi penyakit lama ini.

"Loan Ki," dia berkata, sehari setelah terjadi keributan karena kedatangan Song-bun-kwi, "kini kau harus tinggal dan berjaga di rumah. Kedatangan Song-bun-kwi yang dibawa oleh seorang kaki tangan kota raja tentu ada sebabnya dan aku ingin sekali ke kota raja untuk menyelidiki dan melihat, apakah yang sedang terjadi di sana."

Maka pergilah Tan Beng Kui dari Pek-tiok-lim, meninggalkan anak gadisnya seorang diri, tentu saja bersama para anak buah Pek-tiok-lim yang puluhan orang banyaknya. Biar pun tak berhasil menduduki pangkat di kota raja, Tan Beng Kui telah berhasil menjadi seorang yang kaya raya dan hidup bagai raja kecil di Pek-tiok-lim itu, dengan rumah-rumah gedung mewah dan besar di tengah hutan dan mempunyai anak buah yang kuat-kuat.

Di dalam rumah gedung, Loan Ki dilayani oleh para pelayan yang banyak pula jumlahnya, hidup sebagai seorang puteri. Ada pun ibu anak ini sudah lama meninggal ketika Loan Ki masih kecil.

Baru beberapa hari setelah ayahnya pergi, Loan Ki sudah tidak dapat tahan lagi tinggal di rumah seorang diri. Karena itu, tanpa mempedulikan pencegahan para pelayan tua yang mengingatkannya bahwa ayahnya tentu akan marah kalau pulang tidak melihatnya, Loan Ki memaksa diri pergi meninggalkan Pek-tiok-lim.

Beberapa jam kemudian dia sudah meninggalkan Pek-tiok-lim seorang diri, menggendong sebungkus pakaian, membekal potongan-potongan emas dan perak, serta tak ketinggalan tiga butir mutiara itu dibawanya pula.

Pakaiannya serba hitam, terbuat dari pada kain yang mengkilap seperti sutera. Potongan pakaiannya ringkas dan ketat, dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek. Rambutnya yang hitam dan panjang itu ia gelung ke atas dan ditutup dengan kain kepala berwarna hitam pula. Ikat pinggangnya dari sutera kuning emas, begitu pula warna sapu tangan yang mengikat lehernya serta sepatunya.

Dari jauh ia seperti seorang pemuda saja. Namun segala gerak-geriknya secara menyolok menyatakan bahwa ia adalah orang muda kang-ouw yang sedang melakukan perjalanan mengandalkan perlindungan pedang dan ilmu silatnya.

Siapa pun dia yang menyaksikan Loan Ki melakukan perjalanan pasti akan ikut gembira. Gadis yang berwajah cantik jelita ini selalu berseri mukanya, mulut yang manis itu selalu tersenyum dan kedua matanya bersinar-sinar. Memang sudah biasa bagi Loan Ki untuk memandang segala keadaan di dunia ini dari segi yang menggembirakan. Ia gadis jenaka yang tak pernah mau mengenal susah.

Beberapa jam setelah keluar dari Pek-tiok-lim, ia sudah tampak berjalan ke arah selatan, kadang-kadang berloncatan dan berlarian cepat, kadang kala berjalan perlahan menikmati keindahan tamasya alam di sepanjang jalan. Kalau sudah melakukan perjalanan seorang diri seperti ini, baru gadis ini merasakan kebahagiaan hidup bebas.

Sekerat roti kering rasanya jauh lebih lezat dari pada bermacam masakan yang biasa dihidangkan di rumahnya. Air pancuran di gunung rasanya lebih segar dari pada air teh wangi di rumahnya. Tidur di atas cabang pohon besar lebih nikmat dari pada tidur di atas ranjang dalam kamarnya yang mewah.

Tiga hari semenjak ia meninggalkan Pek-tiok-lim, tibalah ia di dalam hutan Pegunungan Shan-tung yang amat lebat dan liar. Hutan besar itu sama sekali tidak menakutkan hati Loan Ki, sebaliknya malah mendatangkan kegembiraannya.

Alangkah indahnya sinar matahari menerobos di antara daun-daun pohon yang rindang. Suara auman binatang-binatang buas bagi gadis perkasa ini malah menambah suasana gembira.

Tiba-tiba ia mendengarkan penuh perhatian. Sebagai seorang gadis perantau yang sudah sering menghadapi bahaya serangan binatang buas di tengah hutan, dia dapat mengenal suara harimau yang sedang marah dan bertemu lawan. Dara ini merasa kuatir kalau-kalau binatang buas itu sedang mengancam keselamatan seorang manusia, maka cepat ia lalu berlari menuju ke arah suara itu.

Benar saja dugaannya. Ia melihat seekor harimau yang besar sekali, sebesar anak lembu sedang berhadapan dengan seorang laki-laki yang kelihatan tenang-tenang saja. Harimau itu berindap-indap maju dengan perut diseret di atas tanah, kadang-kadang mengeluarkan auman yang dapat membuat seorang penakut menggigil ketakutan. Akan tetapi lelaki itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, matanya tajam menentang, sikapnya tenang waspada, malah mulutnya agak tersenyum seakan-akan ia merasa amat gembira.

Loan Ki dapat menduga bahwa laki-laki yang berpakaian aneh itu tentu orang yang kuat, maka ia cepat meloncat ke atas sebatang pohon besar, duduk di atas cabang pohon itu dan diam-diam mempersiapkan diri untuk melayang turun dan menolong andai kata orang itu terancam bahaya. Dengan mata kagum ia memperhatikan orang itu.

Usianya masih muda, kira-kira sebaya dengan Kun Hong Si Pendekar Buta. Akan tetapi tubuh orang ini jauh lebih tegap dan nampak kuat sekali. Pakaiannya aneh. Bajunya telah dibuka dan baju itu kini tergantung pada pundaknya. Agaknya dia tadi merasa panas dan membuka bajunya. Tinggal celananya yang berwarna kebiruan, ringkas dan pada bagian bawahnya tertutup pembalut kaki sebagai pengganti kaos kaki.

Sepatunya dari kulit. Tubuh atas yang telanjang itu berkilat-kilat karena peluh, urat-uratnya melingkar-lingkar membayangkan tenaga yang dahsyat. Rambut laki-laki itu aneh pula. Digelung ke atas dan di tengah-tengah rambut ditusuk dengan sebuah tusuk konde hitam, ujung rambut dibiarkan terurai ke belakang. Seperti bentuk rambut seorang pendeta tosu, tapi lain lagi. Pendeknya, aneh dalam pandangan Loan Ki dan belum pernah dia melihat seorang laki-laki dengan gelung rambut seperti itu.

Di pinggang laki-laki itu tergantung sebatang pedang dengan sarung pedang indah, terukir dan berwarna keemasan. Demikian pula gagang pedang itu. Akan tetapi anehnya, sarung pedang itu agak melengkung dan gagang pedang itu terlalu panjang menurut ukuran dan anggapan Loan Ki. Wajah laki-laki itu gagah dan tampan. Pendeknya, dalam pandangan Loan Ki, laki-laki itu amat menarik hati dan aneh sekali.

Ketika harimau itu sudah dekat, laki-laki itu mendadak mengeluarkan suara seperti orang berkata-kata dan tertawa-tawa. Kadang-kadang nampaklah giginya yang putih berkilau ketika dia tertawa. Loan Ki makin tertarik.

Jelas bahwa laki-laki ini seorang yang memiliki kepandaian. Kalau tidak, mana mungkin bisa tertawa-tawa seenak itu menghadapi seekor harimau yang amat besar dan buas ini. Kekhawatirannya berkurang, biar pun ada keraguan di dalam hatinya. Harimau itu adalah harimau betina yang amat galak, dan ia cukup mengenal kehebatan harimau seperti ini. Tidak sembarang orang akan dapat mengalahkannya.

Benarkah laki-laki aneh itu memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menyelamatkan diri? Atau, jangan-jangan dia seorang yang miring otaknya? Ucapan yang keluar dari mulutnya tadi seperti ucapan orang gila, sama sekali dia tidak mengerti artinya.

Pada saat melihat betapa laki-laki itu menghentak-hentakkan kakinya dan berteriak-teriak seperti orang menghardik dan mengancam, wajahnya pun berseri-seri kelihatan gembira sekali, Loan Ki mengerutkan kening. Agaknya benar telah gila orang ini, kenapa mengajak harimau itu bermain-main, tidak lekas mencabut pedangnya?

Anehnya, harimau itu pun agaknya selama hidupnya baru kali ini bertemu dengan seorang manusia seberani itu, maka tampak ragu-ragu, ekornya yang panjang bergerak perlahan. Harimau itu tiba-tiba mendekam dan Loan Ki berdebar jantungnya. Ia tahu apa artinya itu. Harimau itu hendak melompat dan menerkam, dan biasanya gerakan ini amat hebat, kuat dan cepat sekali. Dan lelaki itu masih tenang-tenang saja berdiri mengejek, seakan-akan tidak akan terjadi sesuatu.

Harimau itu lalu mengeluarkan gerengan yang hebat, seakan-akan menggetarkan seluruh hutan. Tubuhnya yang besar itu menerkam dengan loncatan yang tak dapat dibayangkan cepatnya, menubruk dengan dua cakar kaki depan dan taring mulut yang terbuka lebar.

Celaka, pikir Loan Ki, menolong pun terlambat sekarang. Mengapa dia begitu sombong sehingga aku enggan menolongnya? Dia merasa agak ngeri, tetapi dasar gadis pendekar yang tabah, matanya terbelalak memandang penuh perhatian.

Ia melihat betapa dengan cekatan orang muda itu melompat ke kiri, disusul kilatan sinar pedang dan jeritan,
"Yaaatt...! Yaaat!!"

Dua kali sinar pedang berkelebat, dua kali menyilaukan mata dan... tubuh harimau besar itu terbanting roboh tak bergerak lagi, lehernya hampir putus sedangkan perutnya robek berantakan!

Loan Ki melongo. Ilmu pedang apa itu? Pemuda itu masih memegangi pedangnya yang berkilauan saking tajamnya. Cara memegangnya aneh, dengan kedua tangan memegangi gagang pedang yang panjang dan pedang itu agak melengkung bentuknya. Bukan main!

Ilmu pedang yang sangat aneh dan juga lucu, akan tetapi ganas luar biasa. Yang amat mengagumkan hati Loan Ki adalah kehebatan tenaga orang itu, di samping ketabahan dan ketenangannya yang patut dipuji.

Dengan tenang dan muka berseri, pemuda aneh itu membersihkan pedangnya dari darah dengan cara menggosok-gosok senjata itu pada kulit harimau yang berbulu indah, baru dia memasukkan pedang di dalam sarungnya lagi. Lalu dengan muka gembira sekali dia mencabut sebatang pisau pendek yang amat tajam. Tangannya bekerja cepat sekali dan tahu-tahu dia telah mengiris putus paha kanan sebelah belakang dari binatang itu, terus dipanggulnya pergi ke arah sebatang anak sungai yang mengalir tak jauh dari tempat itu. Sisa bangkai harimau itu dia tinggalkan begitu saja.

Loan Ki dalam keheranan dan kekagumannya terus mengikuti dari jauh. Ia bersembunyi di balik gerombolan pohon-pohon, mengintai dan ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan pemuda aneh itu. Tadi ketika melihat pemuda itu menggunakan pisau, ia mengira bahwa pemuda itu seorang pemburu. Akan tetapi kemudian perkiraan ini ia bantah sendiri. Tak mungkin seorang pemburu akan meninggalkan kulit harimau yang begitu berharga dan hanya pergi membawa sebuah paha.

Pemuda aneh itu berjongkok di pinggir anak sungai menyalakan api, membuat gantungan di kanan kiri api dan ternyata dia mulai memanggang paha harimau itu. Dia tertawa-tawa senang dan hidungnya kembang-kempis, beberapa kali dia bicara dengan bahasa yang tak dimengerti Loan Ki.

Gadis ini pun hidungnya mulai kembang-kempis ketika mencium bau sedap dan gurih dari daging harimau yang dipanggang itu. Perutnya memang sudah lapar, sekarang mencium bau daging panggang, alangkah sedapnya!

Tiba-tiba saja keningnya berkerut, matanya terbelalak, kemudian mendadak ia membuang muka dan meramkan mata. Apa yang terjadi? Pernuda itu ternyata menanggalkan semua pakaiannya dan dengan bertelanjang bulat pemuda itu terjun ke dalam air anak sungai yang amat jernih.

"Anak setan!" Loan Ki memaki, geli sendiri. "Kurang ajar betul dia, berani bertelanjang di depan mataku?"

Kemudian dia teringat bahwa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa ada orang yang mengintai, maka tentu saja tidak dapat dibilang kurang ajar. Wajahnya memerah karena sebetulnya ia sendirilah yang kurang ajar, mengintai orang yang sedang mandi. Kemudian timbul pikiran yang amat nakal. Memang Loan Ki seorang gadis remaja yang nakal sekali.

Ia memandang lagi dan lega hatinya melihat bahwa orang itu mandi dengan merendam tubuh sebatas dada, jadi leluasa ia memandang. Ia melihat betapa pemuda itu dengan tubuhnya yang berotot kekar berkali-kali menyelam ke dalam air. Cepat ia menyelinap di antara pepohonan menanti saat baik.

Sementara itu, daging paha harimau itu agaknya sudah matang, baunya membuat ia tak kuat menahan laparnya lagi. Pada saat pemuda itu sekali lagi menyelam, cepat laksana kijang melompat, Loan Ki keluar dari tempat sembunyinya dan sekali sambar kayu yang menusuk paha itu telah berada di tangannya. Ia cepat melompat dan lenyap menyelinap di balik semak-semak belukar.

Di lain saat, gadis itu sudah duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon yang tinggi, repot sendiri. Ia sibuk sekali meniup-niup daging yang panas, menggigit, mengunyah dan tertawa-tawa ditahan sambil mendesis-desis kepanasan dan keenakan. Gurih dan sedap bukan main paha harimau yang setengah matang itu.

Tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang di bawah. Kiranya ada dua puluh orang lebih lewat di bawah pohon dan kagetlah ia ketika mengenal bahwa yang lewat itu adalah para perampok, anak buah Hui-houw-pang. Ia bisa mengenal mereka karena yang mengepalai rombongan ini tak lain adalah ketua Hui-houw-pang yang bernama Lauw Teng, si kepala rampok gemuk pendek bermuka kuning yang pernah ia permainkan dahulu itu.

Orang-orang itu agaknya sudah melihat si pemuda aneh yang sedang mandi, buktinya mereka berseru dan pergi ke tempat itu.

Sekali lagi terpaksa Loan Ki meramkan mata. Kali ini ia tidak membuang muka karena sedang asyik menggerogoti paha harimau, akan tetapi dia meramkan mata rapat-rapat ketika melihat betapa laki-laki itu meloncat ke luar dari dalam air sambil mengeluarkan suara yang tidak dimengertinya, tetapi ia dapat menduga bahwa orang itu tentu sedang memaki-maki.

Geli juga hatinya dan sejenak kemudian ia mengintai dari balik bulu matanya yang panjang. Belum berani ia membuka matanya dan mata kiri yang dibuka sedikit saja itu siap ditutup kembali cepat-cepat kalau orang aneh itu masih juga belum berpakaian.

Akan tetapi setelah mengintai dari balik bulu mata, ia menjadi lega. Dibukanya sepasang mata yang lebar itu, dan jelita itu terbelalak. Dia melihat betapa laki-laki aneh itu sudah berpakaian, malah sedang memakai bajunya. Dia marah-marah dan memaki-maki dengan bahasa asing itu sambil menuding-nuding ke arah rombongan Lauw Teng dan ke arah api unggun yang sudah mulai padam di mana tadi paha harimau dipanggangnya.

Lauw Teng dan rombongannya agaknya juga bingung menghadapi orang yang tak dapat dimengerti bahasanya itu. Tiba-tiba seorang anak buah perampok itu berseru,
"Wah, dia orang Jepangl Dia tentu bajak laut Jepang, entah bagaimana bisa kesasar ke sini!"

Ramai mereka bicara dan semua orang sudah mencabut senjata untuk mengeroyok bajak laut Jepang yang selalu dimusuhi oleh semua orang itu.

Mendadak orang aneh itu bicara dalam bahasa daerah yang kaku, akan tetapi cukup jelas dan lancar. "Tutup mulut! Enak saja kalian menyangka orang. Aku memang orang Jepang, akan tetapi sama sekali bukan bajak laut!"

Tiba-tiba matanya memandang ke arah belakang rombongan di mana terdapat beberapa orang wanita yang dibelenggu kedua tangannya dan ujung rantai panjang dipegang oleh beberapa orang pula seperti orang-orang menuntun domba saja. Orang itu memaki-maki lagi dalam bahasa Jepang, lalu menudingkan telunjuknya ke arah orang-orang perempuan itu dan bertanya,
"Siapa mereka itu? Kalian ini mau apa menangkapi mereka? Heh, kalian menyebut aku bajak laut, agaknya kalian inilah bangsa penjahat yang menculik gadis-gadis orang!"

Lauw Teng melangkah maju, suaranya kereng, "Hei, orang asing, jangan kau berlancang mulut! Ketahuilah, kau berhadapan dengan Hui-houw-pang, dan akulah Hui-houw Pangcu Lauw Teng. Hayo menyerah menjadi tawanan kami, agar sekalian kami bawa ke kota raja, dari pada kau menjadi makanan golokku yang tak akan mengenal ampun lagi."

Laki-laki Jepang itu tertawa pendek, lalu menepuk dada dengan tangan kiri dan menepuk gagang pedangnya dengan tangan kanan "Huh, kiranya kalian ini hanya ular-ular tanah biasa. Wah, memang nasibku, jauh-jauh datang dari negeriku untuk mencari guru yang pandai di sini, kiranya yang kujumpai sama sekali bukan guru-guru pandai, melainkan penjahat-penjahat biadab. Ehh, Lauw Teng, tentang menangkap aku menjadi tawanan mudah saja, akan tetapi katakan lebih dulu, siapakah wanita-wanita itu dan mengapa kau menculiknya? Seorang laki-laki harus berani mempertanggung jawabkan perbuatannya."

Lauw Teng tertawa bergelak. Agaknya ucapan ini menggelikan hatinya. Dia mengangkat dada dan berkata, "Hei, orang gila... dengarlah baik-baik. Memang pekerjaan kami adalah penjaga gunung dan hutan, akan tetapi kami bukan tukang menculik gadis-gadis cantik. Ketahuilah, semua gadis-gadis ini akan kami bawa ke kota raja sebab kaisar baru sedang mengadakan pemilihan gadis-gadis cantik untuk menambah jumlah selir barunya. Gadis yang dengan suka rela hendak memasuki pemilihan itu tentu diangkut dengan tandu, akan tetapi gadis-gadis kepala batu yang menolak ini terpaksa kami belenggu dan kami bawa dengan paksa."

Laki-laki itu menyumpah-nyumpah dalam bahasa Jepang, membanting kaki kanannya, lalu berkata, "Keparat... Kiranya di mana-mana sama saja. Orang-orang besar kerjanya hanya memuaskan nafsu jahatnya, tenggelam dalam kemewahan dan kesenangan. Aha, penjahat-penjahat rendah. Untuk perbuatan kalian mencuri daging panggangku, aku mau memberi ampun. Akan tetapi untuk perbuatan menculik gadis itu, jangan harap aku dapat mengampuni kalau kalian tidak segera membebaskan mereka!"
"Aduh...!" Loan Ki baiknya dapat menahan jeritnya sambil menutup mulut dengan tangan.

Ia tadi sedang makan daging sambil seluruh perhatiannya tertuju ke bawah, amat kagum mendengar ucapan orang asing yang ternyata seorang Jepang itu. Begitu asyiknya dia mendengarkan sampai-sampai beberapa kali ia kena menggigit tulang paha, malah baru saja ia salah menggigit bibir sehingga tanpa terasa ia mengeluarkan keluhan mengaduh!

"Huh, dasar daging curian, dimakan pun dapat mendatangkan celaka!" gerutunya sambil melempar paha yang tinggal tulang-tulangnya saja itu.

Bibirnya agak menyendol oleh gigitan tadi. Ia kini nongkrong di atas cabang dan mengintai terus, hatinya tertarik sekali dan kegembiraan memenuhi hatinya karena ia merasa yakin akan menyaksikan pertandingan yang menarik.

Sementara itu, ketua Hui-houw-pang sebetulnya kagum melihat pemuda Jepang yang bertubuh kokoh kuat dan bersikap gagah itu. Diam-diam dia merasa sayang dan alangkah baiknya kalau dia dapat menarik orang ini menjadi anak buahnya, karena selain dia dapat mempergunakan tenaganya, juga orang ini tentu akan dapat dijadikan perantara untuk berhubungan dengan para bajak Jepang yang terkenal itu sehingga menambah kekuatan Hui-houw-pang.

Maka dia kemudian berkata, "Orang muda Jepang, kau benar-benar sombong. Kalau kau hendak mencari guru, tidak usah jauh-jauh, sekarang juga kau sudah berhadapan dengan seorang guru. Siapakah namamu dan kalau kau mau, aku suka menerima kau sebagai muridku."

Pemuda itu mengerutkan alisnya yang tebal panjang berbentuk golok, memandang tajam. "Kau...? Kepala tukang culik gadis menjadi guruku? Hemmm, aku Nagai Ici, di negeriku terkenal dengan julukan Samurai Merah! Orang yang patut menjadi guruku harus dapat mengalahkan pedang samuraiku lebih dulu!"

"Buaya Jepang, jangan menjual lagak di sini!" bentak seorang anak buah Hui-houw-pang yang menjadi kaki tangan Lauw Teng.

Perampok itu bertubuh tinggi besar dan terkenal akan tenaganya yang kuat seperti gajah. Melihat betapa seorang pemuda Jepang yang ukuran tubuhnya hanya sedang saja berani menghina dan menantang kepalanya, dia tak dapat menahan sabar lagi.

"Pangcu (ketua), biarlah saya menghajarnya!"

Lauw Teng menganggukkan kepala. Memang dia ingin menguji kepandaian orang Jepang ini agar dia dapat menilai sampai di mana kemampuannya.

Pembantunya itu sambil berseru keras lalu menyerbu dengan tangan kosong, melakukan penyerangan dengan kedua lengannya yang besar dan kuat. Kepalan tangannya yang sebesar kepala orang itu menyambar, bertubi-tubi menghantam ke arah leher dan dada Nagai Ici.

Nagai Ici yang berjuluk Samurai Merah itu seperti semua pendekar di negerinya, sama pula dengan para pendekar di Tiongkok, tidak mau sembarangan menggunakan pedang bila tidak terpaksa. Melihat datangnya serangan yang biar pun amat kuat namun lamban ini, dia bersikap tenang-tenang saja.

Begitu kepalan tangan itu menyambarnya, dia tidak mengelak mundur, malah melangkah maju sambil miringkan tubuhnya, kemudian secepat kilat dari pinggir dia mencengkeram, sekaligus dia berhasil mencengkeram belakang siku kanan lawan dan belakang leher. Kakinya cepat digeser memasuki selangkangan lawan, tubuhnya direndahkan dan...sekali gentak tubuh lawannya yang tinggi besar itu terbang ke atas sampai tiga meter tingginya, lalu terbanting roboh seperti pohon tumbang. Orang itu terbanting keras dan tidak mampu bangun kembali!

Nagai Ici tersenyum mengejek. "Begini sajakah kemampuan orangmu? Hemmm, pantas pekerjaannya menculik gadis-gadis lemah!"

Dari tempat yang tinggi di atas pohon, Loan Ki menonton dengan penuh perhatian. Dia kagum karena ilmu gulat yang dipergunakan orang Jepang itu benar-benar cepat dan tangkas. Itulah ilmu yang mengandung tenaga lweekang dengan cara meminjam tenaga lawan, sekali gentak dapat membikin lawan terlempar dan terbanting. Benar-benar cerdik sekali gerakan tadi dan dia dapat menduga bahwa menghadapi orang Jepang ini amatlah tidak baik kalau lawan sampai kena terpegang.

Lauw Teng juga amat kagum dan gembira. Ternyata dugaannya tidak keliru. Orang muda Jepang ini kuat dan tangkas, cukup berharga untuk dijadikan pembantunya. Akan tetapi dia belum yakin betul, maka dia memberi tanda kepada tiga orang pembantunya untuk maju mengeroyok.

Tiga orang pembantu ini meloncat ke depan dan menghunus golok mereka. Mereka ini adalah tiga orang yang boleh diandalkan karena termasuk murid-murid pilihan dari Lauw Teng yang sudah menerima pelajaran ilmu golok ketua Hui-houw-pang itu,

"Eh-ehh, beginikah kegagahan Hui-houw-pang? Ha-ha-ha, macan terbang macam apa ini, beraninya melakukan pengeroyokan?" Nagai Ici mengejek.

Hui-houw-pang berarti Perkumpulan Macan Terbang, maka ejekan ini benar-benar sudah memanaskan hati orang-orang Hui-houw-pang. Akan tetapi Lauw Teng yang mempunyai maksud menarik pemuda Jepang itu untuk memperkuat kedudukan perkumpulannya tidak marah melainkan menjawab,

"Kau kalahkan dulu tiga orang pembantuku ini, kalau bisa mengalahkan mereka baru kau cukup berharga untuk melawanku." Dengan ucapan ini, sekaligus Lauw Teng menangkis ejekan itu dan malah mengangkat kedudukan dirinya sendiri.
"Bagus! Majulah!" Nagai Ici menantang tiga perampok itu tanpa mencabut pedangnya, akan tetapi kuda-kudanya yang kokoh kuat membayangkan bahwa setiap saat ia siap mencabut senjata itu karena tangan kirinya dengan jari-jari terbuka berdiri lurus di depan dada sedangkan tangan kanannya melintang di pinggang mendekati gagang pedang.
"Jepang sombong, cabut pedangmu!" bentak seorang di antara tiga pembantu Lauw Teng itu.

Mereka ini terkenal sebagai tukang-tukang pukul ketua Hui-houw-pang, ilmu golok mereka ditakuti orang, masa sekarang sekaligus maju bertiga menghadapi seorang Jepang yang bertangan kosong?

"Hehh, tidak biasa Samurai Merah diperintah orang untuk mencabut samurai atau tidak. Samurai dicabut untuk dipergunakan, bukan untuk pameran seperti golok kalian. Apa bila saatnya tiba, tak usah kalian minta, samurai tentu akan kucabut dan kalau sudah begitu, kalian menyesal pun sudah terlambat!"

Ucapan ini gagah dan tabah, akan tetapi juga memanaskan hati. Tiga orang itu menjadi marah sekali, sambil berteriak memaki lantas menggerakkan golok masing-masing. Sinar golok berkilauan segera menyambar dan mengurung diri Samurai Merah.

Pendekar muda dari Jepang itu berusaha untuk menggunakan kegesitannya menghindar dan mencari kesempatan untuk menangkap lengan lawan. Tetapi diam-diam dia merasa terkejut. Pendekar ini belum lama datang dari Jepang, belum banyak bertanding melawan jago-jago silat di Tiongkok sehingga dia tidak begitu mengerti akan sifat ilmu silat yang asing baginya ini.

Ilmu silat mengutamakan kecepatan, sama sekali tak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Apa lagi ilmu golok adalah ilmu permainan senjata yang paling cepat gerakannya, yang mengutamakan bacokan, guratan dan tusukan sehingga mata golok yang amat tajam dan ujungnya yang runcing itu tiada hentinya menyambar mencari kulit dan daging lawan.

Melihat betapa tiga batang golok itu mengurung dirinya dari semua penjuru, sibuk jugalah Nagai Ici. Baiknya dia memang memiliki kegesitan yang luar biasa sehingga biar pun dia harus pontang-panting, melejit dan berjumpalitan ke sana ke mari, masih dapat juga dia menyelamatkan dirinya. Dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat lima meter jauhnya keluar dari kalangan pertempuran.

Tiga orang pengeroyoknya mendapat hati, mengira bahwa jago Jepang itu terdesak dan ketakutan sehingga melarikan diri. Sambil memaki dan tertawa mengejek ketiganya lalu menyerbu sekaligus dan menghujani serangan kepada Nagai Ici Si Samurai Merah.

Tiba-tiba terdengar pekik dahsyat dari mulut jago Jepang itu,
"Yaaaat…! Yaaaat…! Yaaaat…!" disusul menyambarnya sinar kemerahan tiga kali pula.

Terdengar pekik kesakitan, golok jatuh berdencing dan pertempuran kacau balau. Ketika keadaan hening kembali, jago muda dari Jepang itu sudah berdiri dengan kuda-kudanya yang gagah, yaitu kedua kaki dipentang lebar, tubuh merendah, tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala dengan jari-jari terbuka lurus ke atas, tangan kanan di atas gagang pedang samurai yang ternyata sekarang sudah bersarang kembali ke dalam sarung pedang pada pinggangnya.

Sepasang matanya yang tajam berkilau itu menyapu kanan kiri. Sikapnya garang dan gagah seperti seekor harimau menghadapi bahaya!

Loan Ki kagum bukan main. Ini merupakan pemandangan yang baru baginya. Tiga orang pengeroyok tadi kini terhuyung-huyung ke belakang memegangi lengan kanan masing-masing yang sudah tidak bertangan lagi! Kiranya tangan kanan mereka sudah putus sebatas pergelangan dan jatuh berikut golok yang dipegangnya. Hebat sekali gerakan samurai tadi.

Di samping kekagumannya, Loan Ki juga gembira sekali. Selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan sikap dan gerak-gerik seorang jago silat seperti orang itu. Setiap orang jago silat yang dia ketahui, mengandalkan kecepatan yang wajar, mengambil inti sari ilmu silat yang praktis dan pada pertandingan langsung dipakai untuk mencapai kemenangan mendahului lawan. Akan tetapi jago Jepang ini lain lagi. Dia nampak tenang dan diam, seperti ayam jantan kalau lagi berlagak, diam tapi menanti saat untuk merobohkan lawan seperti yang dia perbuat tadi.

Samurai telah dicabut dan benar seperti katanya tadi, sekali mencabut samurai pasti akan digunakan dengan hasil baik dan sekarang, sebelum pulih mata yang menjadi silau oleh kelebatan samurai, pedang itu sendiri telah bersarang kembali di tempatnya!

Lauw Teng juga kagum. Meski tiga orang pembantunya menjadi orang-orang tiada guna lagi karena tangan kanan mereka buntung, namun dia tidak kehilangan kegembiraannya. Makin besar hasratnya menarik jago Jepang itu menjadi pembantunya, dan dia merasa bahwa dia tak akan kalah dalam hal ilmu silat melawan jago Jepang ini.

"Bagus, Nagai Ici. Kau benar-benar gagah perkasa. Makin suka aku untuk menerimamu sebagai murid atau pembantuku. Lebih baik kita sudahi saja pertentangan ini dan kau kuangkat menjadi pembantuku, juga muridku. Bagaimana?"

Pandang mata Nagai Ici melayang ke arah lima orang gadis tawanan itu dan mukanya menjadi merah. Dia berkata marah, "Siapa sudi menjadi penculik gadis-gadis!"

Lauw Teng tersenyum, lalu memberi isyarat kepada orang-orangnya. Kelima orang gadis tawanan yang ternyata sangat cantik-cantik itu digiring maju, juga dua orang memanggul dua buah peti kayu hitam.

Lauw Teng menghampiri dua peti kayu itu, lalu dibukanya. Kiranya terisi barang-barang perhiasan terbuat dari pada perak dan emas terhias batu-batu permata yang berkilauan!

"Nagai Ici, kau lihat ini. Indah dan berharga sekali, bukan? Nah, dua peti benda berharga ini kuhadiahkan kepadamu kalau kau suka menjadi pembantuku dan seterusnya kau akan hidup dalam kemewahan!"

Pemuda Jepang itu mendengus seperti kuda mencium asap. "Heh! Samurai Merah tidak tamak akan harta benda!" jawabnya dengan suara kereng. "Lauw Teng, tidak perlu kau membujukku dengan pameran emas permata. Biar kau tambah sepuluh kali itu, aku tidak sudi!"

Lauw Teng menutupkan kembali dua peti emas itu, lalu menarik tangan seorang gadis tawanan yang paling cantik di antara kelima orang gadis itu.

Gadis ini masih muda, paling tua lima belas tahun usianya, tubuhnya ramping wajahnya cantik jelita. Sayang gadis itu nampak berduka, matanya sayu dan mukanya agak pucat, kain penutup leher terbuka sehingga terbayang kulit lehernya yang putih kuning berkulit halus.

"Ehh, Nagai Ici, kau lihat gadis ini. Cantik jelita dan molek! Pantas ia menjadi selir baru terkasih dari kaisar. Akan tetapi, biarlah kuberikan ia kepadamu! Atau, kau boleh pilih di antara mereka ini, biar kuberikan kepadamu asal kau suka membantu kami. Apa katamu? Kau gagah dan masih muda, patut mempunyai kekasih secantik ia ini, ha-ha-ha!"

Sepasang mata pemuda Jepang itu memandangi gadis itu, dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi untuk kemudian berhenti menatapi wajah gadis itu. Yang dipandang menunduk saja. Pandang mata Nagai Ici kemudian beralih kembali kepada Lauw Teng yang sedang memandangnya dengan senyum penuh harap.

"Lauw-pangcu, aku suka sekali menjadi muridmu asal kau dapat memenuhi tiga macam syaratku."

Lauw Teng sama sekali bukan terlalu ingin menarik pemuda Jepang itu sebagai murid. Maksud sebenarnya dari pada keinginan hatinya ini berdasarkan kepada perhitungan agar melalui orang Jepang ini dia dapat mengadakan hubungan baik dan saling bantu dengan para bajak laut Jepang yang terkenal kuat. Hatinya tentu saja mendongkol sekali melihat sikap Nagai Ici yang demikian ‘jual mahal’.

Akan tetapi dia tersenyum dan menjawab. "Boleh... boleh..., katakan apa syarat-syaratmu yang tiga itu."

Loan Ki yang masih mengintai dan mendengarkan dari atas pohon, tertarik sekali dan alangkah kecewa, mendongkol dan marah hatinya ketika ia mendengar jawaban Nagai Ici yang mengemukakan syarat-syaratnya.

"Syarat pertama, dua peti harta itu diberikan kepadaku..."
"Ha-ha-ha, boleh... boleh...! Memang tadi pun hendak kuberikan kepadamu!" jawab Lauw Teng sambil tertawa bergelak.
"Syarat ke dua, lima orang nona itu semua diserahkan kepadaku..."

Sepasang mata Lauw Teng terbelalak melotot, kemudian dia tertawa berkakakan sampai perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang.

"Ha-ha-ha-ha, waduh lahapnya! Lima sekaligus? Ha-ha-ha, tidak kusangka kau begini... begini... Ha-ha-ha-ha!"
"Setuju tidak dengan syarat kedua ini?" desak Nagai Ici tanpa pedulikan kelakar orang. Wajahnya masih kereng dan sikapnya sungguh-sungguh.
"...eeehmmm, sebetulnya susah... mereka ini untuk kaisar... tetapi biarlah, kami akan cari penggantinya. Nah, kau boleh ambil semua gadis ini, memang mereka cantik-cantik dan masing-masing memiliki keindahan khas. Ha-ha-ha-ha, boleh kau ambil semua, Nagai Ici. Sekarang katakan, apa syarat ke tiga?"
"Nanti dulu, aku akan membereskan yang sudah diberikan padaku," kata pemuda Jepang itu sambil tersenyum. Wajahnya yang gagah tampan itu berseri ketika dia menghampiri lima orang gadis tawanan itu.

Gadis-gadis itu memandang kepadanya dengan pelbagai perasaan. Ada yang nampak girang penuh harapan, ada yang takut-takut, akan tetapi rata-rata mereka merasa lebih senang terjatuh ke dalam tangan pemuda asing yang ganteng ini dari pada berada di tangan para perampok yang kasar dan bermulut kotor itu.

Loan Ki merasa mukanya panas dan dadanya penuh hawa amarah. Ingin dia meloncat turun dan menyerang orang Jepang yang tamak dan mata keranjang itu. Masa lima orang gadis dimintanya semua? Ini sudah keranjingan namanya!

Akan tetapi dia menahan diri dan memandang terus, kali ini pandang matanya terhadap pemuda Jepang itu sudah tidak bersinar kagum seperti tadi, akan tetapi bersinar panas berapi-api.....
Nagai Ici dengan muka berseri-seri dan mulut tersenyum lalu mendekati gadis pertama, tangannya bergerak maju seperti orang hendak memeluk, mukanya pun mendekat seperti orang hendak mencium! Gadis itu menjadi merah mukanya dan mundur selangkah, akan tetapi Nagai Ici maju terus dan di lain saat tali yang membelenggu kedua tangan gadis itu sudah putus oleh sekali renggutan tangan Nagai Ici yang amat kuat.

Gadis itu tercengang, melihat kedua tangannya yang telah bebas dan dengan bingung kini memandang pemuda asing yang telah menghampiri gadis ke dua, melepaskan belenggu, kemudian maju untuk menolong gadis-gadis yang lain. Setelah lima orang gadis itu bebas semua, dia mundur dan membungkuk dengan dalam di depan lima orang gadis itu yang kini hanya dapat berdiri melongo memandangnya dengan sinar mata bingung, heran, dan juga terima kasih bercampur keraguan.

Nagai Ici kemudian menghampiri dua kotak tadi, membukanya dan mengambil perhiasan-perhiasan berharga itu, membagi-bagikan kepada kelima orang gadis tadi sekuat tenaga mereka membawa, malah ia membantu mengalung-ngalungkan perhiasan pada leher dan lengan mereka.

Semua ini ditonton oleh Lauw Teng yang tertawa-tawa, juga para perampok tertawa-tawa akibat merasa geli melihat tingkah laku pemuda Jepang yang agaknya hendak mengambil hati para gadis itu sebelum memaksa mereka menjadi selir-selirnya. Benar-benar seorang pemuda yang cerdik, pikir mereka. Hal pertama yang dia lakukan adalah membanjiri para gadis itu dengan barang-barang hadiah untuk merebut hati dan kasih!

Yang paling mendongkol adalah Loan Ki. Hatinya lantas memaki-maki, "Laki-laki ceriwis! Pemuda gila perempuan! Si mata keranjang menyebalkan!"

Akan tetapi semua orang menjadi terheran-heran, juga Loan Ki, ketika melihat Samurai Merah itu sekali lagi menjura dalam sampai kepalanya hampir menyentuh tanah di depan para gadis itu sambil berkata, "Sekarang, Nona sekalian silakan pulang ke rumah masing-masing. Kalian kubebaskan!"

Lima orang gadis itu menjadi lebih heran dan bingung lagi. Mereka saling pandang, tidak kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharu serta bingungnya, hanya nampak mereka menggeleng kepala, malah ada yang mulai menangis.

Nagai Ici memandang dengan mata terbelalak, kemudian mengerutkan alisnya yang tebal, menggeleng-geleng kepala dan berkata,
"Ahh, agaknya Nona sekalian tidak berani pulang sendiri? Baiklah, silakan kalian mengaso di sana, di bawah pohon besar itu, biar aku menyelesaikan urusanku dengan orang-orang ini. Nanti saya yang akan mengantar Nona semua pulang ke kampung dan rumah masing-masing.”

Lima orang gadis itu menjadi girang bukan main. Mulailah wajah mereka berseri-seri dan senyum-senyum manis tersembul di balik keharuan dan air mata, menambah jelita wajah dara-dara muda itu. Dengan langkah halus dan tertatih-tatih karena beban barang-barang berharga itu terlampau berat, mereka mentaati permintaan Nagai Ici dan pergi ke bawah pohon besar, lalu duduk bersimpuh di atas akar pohon.

Loan Ki yang bersembunyi di atas pohon itu, diam-diam menjadi merah mukanya, malu kepada diri sendiri yang tadi telah memaki-maki pemuda Jepang itu dengan tuduhan yang bukan-bukan. Sekarang ia kembali mencurahkan perhatiannya pada pendekar muda dari Jepang itu.

Sementara itu, Lauw Teng mulai curiga dan marah. Dia melangkah maju, meraba gagang goloknya dan suaranya sudah kehilangan keramahannya ketika dia bertanya, "Nagai Ici, apa maksudmu dengan semua ini? Jangan kau main-main denganku!"

Dengan senyum mengejeknya pemuda Jepang itu membalikkan tubuh menghadapi ketua Hui-houw-pang, membungkuk dengan caranya yang dalam pandangan Loan Ki amat lucu itu dan berkata, "Hui-houw Pangcu Lauw Teng. Kau tadi menyanggupi tiga macam syarat, dan yang dua sudah kau penuhi, terima kasih. Tinggal sebuah syarat lagi, kalau ini kau penuhi, aku Nagai Ici Si Samurai Merah berjanji akan suka menjadi muridmu atau malah pembantumu sekali pun."

"Hemmm, kau katakan lekas, apa syarat ke tiga itu?"
"Kau dan anak buahmu bukanlah manusia baik-baik. Orang macam kau ini mana patut menjadi guruku? Andai kata kau sepuluh kali lipat lebih pandai sekali pun, tidak sudi aku menjadi murid dari seorang penjahat keji yang suka menculik gadis dan merampok harta orang lain. Lauw Teng, dengarlah. Syaratku ketiga adalah, kalau kau bisa memenangkan samuraiku dan mampu memenggal batang leherku, barulah aku suka menjadi murid atau pembantumu."

Loan Ki di atas pohon terkikik menahan tawa. Geli hatinya melihat Lauw Teng si gendut yang menjadi melongo penuh amarah dan kecewa itu, di samping hatinya merasa girang bahwa pemuda Jepang yang menarik hatinya serta mengagumkannya itu ternyata benar seorang gagah yang hebat. Kembali ia bersiap sedia untuk membantu Samurai Merah itu andai kata terancam bahaya.

Memang marah sekali Lauw Teng. Sambil berseru keras dia mencabut goloknya yang tajam berkilauan. "Bagus, kau Jepang keparat! Kalau kau ingin mampus, mengapa tidak sejak tadi bilang terus terang? Manusia tak tahu diri, diberi hati merogoh jantung, keparat!"

Golok Lauw Teng berkelebat dan dengan kemarahan meluap-luap ketua Hui-houw-pang itu menerjang Ici. Serangannya hebat dan dahsyat, golok menyambar menjadi kilat maut menyilaukan mata.

Samurai Merah terkejut juga dan maklum bahwa kini dia menghadapi lawan yang pandai. Oleh karena itu ia pun tidak berani memandang ringan. Cepat dia melompat ke belakang sejauh dua meter dan tangannya meraih pinggang.

"Srattt!"

Sinar berkilau ketika samurai yang merupakan pedang panjang melengkung itu tercabut dari sarungnya.

Baru sekarang Loan Ki dapat melihat pedang itu dengan jelas. Dia kagum dan heran. Kagum karena sebagai puteri seorang pendekar pedang, tentu saja ia juga seorang ahli pedang dan tahu akan pedang-pedang baik. Biar pun hanya melihat dari tempat jauh, ia dapat menduga bahwa pedang aneh itu terbuat dari pada bahan yang baik sekali. Bukan baja yang baik kalau tidak dapat mengeluarkan suara mengaung seperti itu ketika dicabut dari sarungnya.

Pedang itu tajam seperti silet, bermata sebelah dan termasuk golongan pedang panjang. Akan tetapi karena agak melengkung, tentu cara memainkannya seperti orang bermain golok. Anehnya, gagangnya terlampau panjang sehingga Loan Ki meragu apakah dengan gagang pedang macam itu orang dapat bersilat dengan baik?

Dengan hati berdebar Loan Ki melihat betapa pemuda Jepang itu sudah siap, memasang kuda-kuda yang amat teguh. Tubuhnya merendah, mata tenang tajam memandang lawan dan... kedua tangannya memegang gagang pedang itu. Hampir Loan Ki tertawa. Inilah aneh, pikirnya.

Walau pun tadi sudah menyaksikan sendiri betapa lihainya Samurai Merah ini membabat buntung tangan ketiga orang pembantunya, akan tetapi melihat pasangan kuda-kuda jago muda Jepang itu, Lauw Teng hanya memandang rendah. Sambil membentak nyaring dia menerjang lagi, goloknya bagaikan baling-baling yang diputar makin lama semakin cepat, merupakan gulungan sinar putih mengurung diri lawan.

"Haiiiiit!" Samurai Merah mengayun samurai sambil meloncat.

Terdengar suara nyaring disusul bunga api muncrat pada saat dua senjata itu bertemu di udara. Diam-diam mereka memuji tenaga lawan yang sanggup membuat tangan masing-masing bergetar. Namun Lauw Teng yang sudah banyak pengalaman itu terus menerjang, mempergunakan kegesitannya karena melihat betapa ilmu pedang lawan ini kurang gesit nampaknya.

Dugaannya keliru. Biar pun gerak-geriknya kaku dan aneh, kiranya jago muda Jepang itu sanggup mengimbangi permainannya, melompat-lompat dan seakan-akan bukan dia yang memainkan pedang, tapi pedangnya yang bergerak-gerak dan membawa serta tubuhnya. Tubuh Nagai Ici dan pedangnya seakan-akan menjadi satu ketika mencelat ke kanan kiri untuk menangkis dan balas membacok!

Kalau sudah bersilat seperti itu, tidak banyak bedanya kedudukan tubuhnya dengan para ahli pedang di Tiongkok. Akan tetapi setiap kali ada kesempatan dan tidak terdesak, tentu dia akan berdiri tegak memasang kuda-kuda di atas tanah, diam tak bergerak bagaikan patung, hanya biji matanya saja yang liar bergerak mengikuti gerakan lawan, sedangkan pedangnya yang dipegang dengan kedua tangan itu diacungkan ke depan dada, ujungnya mengikuti gerakan lawan pula.

Loan Ki tertawa senang. Boleh juga bocah ini, pikirnya. Apa lagi kalau dia sedang berdiri seperti itu mengikuti gerakan lawan, gagah juga!

"Keparat, mampuslah!" teriak Lauw Teng yang sudah menerjang lagi.

Sejenak dia berhenti dan mengkal hatinya melihat lawannya laksana patung tidak balas menyerang atau lebih tepat, tidak mau mendahului menyerang itu. Akan tetapi begitu dia kembali menyerang, Samurai Merah itu selain menangkis dan mengelak, juga cepat balas membacok. Bahkan kali ini tidak ada bacokan golok yang tidak dibalas. Setiap bacokan dibalas dengan bacokan pula sehingga pertandingan itu ramai bukan main. Amat seru dan setiap kali pedang atau golok berkilat, berarti tangan maut menjangkau mencari nyawa!

"Aduh sayang...," diam-diam Loan Ki menyesal melihat jalannya pertandingan seperti itu. "Ilmu pedangnya aneh dan boleh juga, akan tetapi mengapa demikian lambat dan banyak membiarkan kesempatan berlalu percuma? Kurang agresip, wah, sayang benar. Jika lebih agresip sedikit saja, hanya dalam belasan jurus saja si katak gendut itu tentu sudah dapat dikalahkan."

Memang pendapat Loan Ki ini benar. Ilmu pedang Samurai Merah itu sangat kuat dalam pertahanan, bahkan setiap kali bertahan selalu dirangkai dengan serangan balasan. Akan tetapi kurang cepat dan kurang agresip.

Biasanya, pemain pedang malah menghujani serangan dengan maksud membuat lawan bingung dan pertahanannya menjadi lemah sehingga banyak tercipta lowongan-lowongan untuk dimasuki. Akan tetapi, permainan pedang gaya Jepang ini agaknya hanya mencari lowongan di waktu lawan menyerang.

Memang hal itu benar juga karena setiap penyerangan berarti membuka pintu pertahanan, akan tetapi karena dia sendiri sudah diserang, maka tentu saja penyerangan balasannya kurang kuat karena tidak dilakukan dengan tenaga dan perhatian sepenuhnya. Sebagian tenaga dan perhatian sudah dipakai untuk mempertahankan diri dari penyerangan lawan.

Betapa pun juga, lambat laun Samurai Merah dapat pula mendesak Lauw Teng. Memang harus diakui bahwa selain ilmu pedangnya aneh dan sulit diduga perkembangannya, juga pemuda ini menang gesit dan menang kuat. Kini penyerangan Lauw Teng makin lemah dan balasan dari Samurai Merah itu makin hebat. Malah setiap bacokan dibalas dengan dua tiga kali bacokan sekaligus yang membuat Lauw Teng kelabakan!

Karena makin lama semakin repot, timbullah rasa takut di hati Lauw Teng sehingga ketua Hui-houw-pang yang amat terkenal di Propinsi Shan-tung sebagai perkumpulan perampok yang ganas ini mulai berteriak-teriak minta tolong dan bantuan dari anak buahnya!

Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh para perampok itu. Semenjak tadi mereka sudah mendongkol dan marah sekali terhadap pemuda yang agaknya akan diambil hatinya oleh ketua mereka. Begitu mendengar teriakan sang ketua, serentak mereka lalu melakukan pengeroyokan dengan senjata di tangan.

Samurai Merah tertawa bergelak, lalu mengamuk. Berkali-kali terdengar pekiknya yang dahsyat.

"Yaaaattt!"

Setiap kali dia memekik, tentu seorang di antara pengeroyoknya roboh mandi darah, dan samurainya selalu berhasil mendapatkan korban, membabat putus tangan, kaki, hidung, telinga, bahkan ada dua orang yang buntung lehernya!

Pertempuran semakin hebat mengerikan. Walau pun jagoan muda Jepang itu mengamuk seperti seekor harimau muda, menghadapi pengeroyokan para perampok yang nekat dan rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu, akhirnya dia kewalahan juga.

Loan Ki merasa sudah cukup lama menjadi penonton. Ia melayang turun dari atas cabang pohon, membuat kelima orang gadis yang sudah ketakutan setengah mati menyaksikan orang-orang bertempur, darah muncrat serta tubuh luka-luka itu, kini terkejut bukan main melihat betapa dari atas pohon tiba-tiba ada seorang manusia ‘terbang’ melewati kepala mereka!

"Hemmm, Lauw Teng perampok hina, masih beranikah kau menjual lagak mengandalkan pengeroyokan menghina orang?"

Lauw Teng menengok dan wajahnya seketika menjadi pucat. Tentu saja dia mengenal gadis yang berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang dengan sikap gagah itu. Siapa lagi kalau bukan dara lincah yang amat gagah perkasa, yang pernah tanpa gentar merobohkan banyak anak buah Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang digabung menjadi satu.

Apa lagi kalau dia ingat bahwa munculnya gadis sakti ini mungkin sekali disusul pula oleh pendekar buta yang seperti iblis itu. Hatinya sudah setengah membeku saking takut dan gentarnya.

"Kawan-kawan... mundur...!" Ia memekikkan aba-aba ini sambil mendahului anak buahnya lari tunggang-langgang meninggalkan gelanggang pertempuran.

Tentu saja para anak buahnya juga sangat ketakutan melihat munculnya Loan Ki yang sudah mereka kenal kelihaian pedangnya. Jago muda Jepang itu saja sudah cukup berat dilawan, apa lagi muncul dara hebat ini.

Maka terjadilah perlombaan yang menarik, yaitu lomba lari tunggang-langgang bersicepat meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan lagi teman-teman yang tewas atau terluka. Bahkan mereka yang terluka berusaha pula ikut melarikan diri, walau pun mereka harus merangkak-rangkak dan terhuyung-huyung.

Sebentar saja keadaan di situ sudah sunyi. Para penjahat yang tinggal hanyalah mereka yang sudah tewas, yaitu dua orang yang putus lehernya karena mereka ini tentu saja tak mungkin dapat berlari lagi. Selain mayat dua orang penjahat ini, di situ berserakan pula potongan-potongan tangan, kaki, hidung, telinga dan ceceran darah. Mengerikan sekali!

Sampai lama Nagai Ici berdiri melongo memandang Loan Ki yang masih tersenyum geli menyaksikan tingkah laku para perampok itu. Hampir saja jago muda dari Jepang ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri serta pendengaran telinga sendiri. Mimpikah dia? Ataukah dia betul-betul melihat bidadari turun dari kahyangan dan begitu melihat bidadari ini para perampok yang ganas dan kejam itu lari tunggang-langgang ketakutan?

Inilah hal aneh yang baru pertama kali selama hidupnya dia saksikan. Seorang dara jelita berpakaian bagai seorang pendekar, yang membawa-bawa pedang di pinggangnya, gadis cilik berusia belasan tahun, ditakuti kawanan perampok yang ganas dan kejam?

Hampir Nagai Ici tertawa geli. Melihat lima orang gadis tawanan tadi, timbul kasihan dalam hatinya karena sifat mereka itu sama dengan wanita-wanita di negerinya, lemah-lembut dan tidak berdaya, membutuhkan pertolongan pria yang kuat. Akan tetapi dara muda ini, yang membawa-bawa pedang, sama sekali tak membutuhkan perlindungan dan bantuan dirinya, malah sebaliknya seperti sudah membantunya karena kemunculannya mengusir para penjahat yang tadi sudah membuat dia kewalahan dan repot terdesak.

Laki-laki atau perempuankah orang ini? Melihat dari sikap dan gerak-geriknya yang begitu gesit cekatan dan gagah, patutnya seorang pria. Akan tetapi melihat wajah yang begitu manis dan kulit yang begitu halus, bentuk tubuh yang begitu ramping dan padat tanpa otot-otot tentunya seorang wanita. Malah wanita yang cantik jelita, dengan mata seperti bintang kejora, pipi sehat kemerahan, mulut yang amat manis. Bukan main! Manusiakah atau bidadarikah?

Setelah semua penjahat itu melarikan diri, tiba-tiba saja Loan Ki merasa seakan-akan ada sesuatu yang menarik dan memaksanya menoleh. Dia membalikkan tubuh memandang dan... dua pasang mata saling pandang, dua sinar mata bertemu di udara. Seakan-akan mengandung besi sembrani, sinar mata itu bertaut dan saling tempel sulit dilepaskan lagi! Pandang mata si pemuda penuh keheranan, kekaguman, dan penghormatan. Pandang mata si pemudi penuh keramahan, pengertian, kegigihan dan setengah mengejek bahkan menantang!

Bibir Loan Ki bergerak mengarah senyum. Geli dan senang hatinya melihat betapa orang itu melongo seperti orang yang lupa ingatan, pedang bengkok itu masih dipegang dengan kedua tangan, kedua kaki masih memasang kuda-kuda yang lucu dan aneh itu. Alangkah bagusnya kalau orang itu menjadi patung dan dipasang di depan jalan masuk Pek-tiok-lim tempat tinggal ayahnya, pikir dara nakal ini. Pikirannya itu membuat senyumnya melebar sehingga berkilatlah deretan gigi putih.

Agaknya kilauan gigi putih ini menyadarkan pula Nagai Ici yang terpesona itu. Dia menarik dua kakinya, memasukkan pedang Samurai ke dalam sarung pedang, merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, ditempelkan di depan dada lalu membungkuk dalam sekali sampai tubuhnya hampir berlipat dua.

Makin geli hati Loan Ki menyaksikan penghormatan seperti ini, tapi sebagai seorang gadis ia membalas pula dengan mengangkat dua tangan ke depan dada dalam bentuk kepalan, dan tubuhnya dibongkokkan sedikit dengan cara menekuk sedikit lutut kirinya.

"Bolehkah hamba bertanya... tuan ini siapakah? Manusia ataukah dewa?" tanya Nagai Ici dengan bahasanya yang kaku namun cukup jelas.

Segera dia melengak kaget dan kembali melongo pada saat melihat betapa makhluk yang disangkanya dewa itu mendadak terkekeh, tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan tangan, ciri kewanitaan yang berlaku juga di Jepang!

"Hi-hi-hik... aduh lucunya... hi-hi-hik, maafkan aku... tak tahan aku... ahh, kau lucu sekali. Ehh, Nagai Ici yang berjuluk Samurai Merah, pertanyaanmu tadi kukembalikan kepadamu, coba kau terka, aku ini manusia ataukah dewa? Wah, jangan-jangan kau malah tidak tahu pula dari jenis apa aku ini, laki-laki ataukah perempuan..."

Merah seluruh muka Nagai Ici. Makin bingunglah dia. Juga makin heran dan kaget. Kalau disebut dewa, terang bukan karena ujudnya jelas manusia, menginjak tanah, tak memiliki sayap, dan malah ada bau yang harum menyentuh hidungnya. Tetapi apa bila dikatakan manusia, mengapa begini aneh dan datang-datang sudah mengenal nama dan julukannya segala!

"Saya... saya tidak tahu... ehh, maksud saya... ehh, tuan seperti manusia... dan tentunya seorang wanita pula, tapi... ehh, kalau wanita masa ditakuti para perampok dan apa bila manusia, mana mungkin manusia wanita bisa meloncat turun dari atas pohon yang begitu tinggi? Dan tuan... ehh, sudah tahu akan nama saya pula..."

Kembali Loan Ki tertawa. "Nagai Ici, kau cukup gagah perkasa, akan tetapi sungguh amat bodoh. Sudah pasti aku manusia, dan sudah jelas aku bukan laki-laki, masa kau tidak dapat membedakan? Tentang namamu, tentu saja aku tahu karena sudah sejak tadi aku mengintai dari atas pohon. Tentang meloncat turun dari pohon, apa sih sukarnya? Yang lebih tinggi lagi aku sanggup meloncati. Perkara perampok-perampok itu takut kepadaku, apa pula anehnya kalau mereka itu pernah kuhajar?"

Kini pandang mata Nagai Ici berubah kagum, kagum bukan main karena baru pertama kali ini selama hidupnya dia menyaksikan seorang wanita yang begini perkasa.

"Maaf, Nona... wah, kau hebat sekali." Tiba-tiba pandang matanya berubah dan dia lalu mendekat, matanya lekat-lekat memandang arah mulut Loan Ki.
"Astaga! Jadi kau malah pencurinya?"

Kini Loan Ki yang menjadi bingung dan heran, juga geli melihat tingkah orang Jepang yang aneh ini. Baru saja begitu ketakutan seakan-akan hendak berlutut menyembahnya karena mengira ia dewa, kemudian berubah kemalu-maluan dan ramah, tetapi sekarang tiba-tiba seperti kurang ajar!

"Apa maksudmu? Pencuri apa?" tanyanya dengan kening berkerut.

Pemuda Jepang itu meloncat-loncat, kaki tangannya bergerak-gerak dan mukanya seperti orang marah, "Siapa lagi kalau bukan kau. Ya, kau pencurinya! Tidak usah menyangkal, kau gadis nakal. Kau minta pun akan kuberi, kenapa mencuri? Hayo kau mengaku!"

Loan Ki makin terheran dan makin lama ia makin marah. "Setan alas kau! Jangan kurang ajar, ya? Kau kira aku takut kepadamu?"

Nagai Ici tersenyum mengejek. "Wah, ini mana dapat dibilang gagah kalau tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatan sendiri? Sudah pandai mencuri, kemudian pandai berpura-pura dan menyangkal pula. Hayo, di kanan dan kiri bibirmu yang merah itu masih berlepotan minyak, malah ujung hidungmu yang mancung itu pun berminyak. Kau belum sempat mencucinya, ya? Wah, agaknya sudah habis kau ganyang semua panggang paha macan punyaku tadi. Celaka!"

Loan Ki melongo dan baru teringatlah ia akan perbuatannya yang nakal tadi, yaitu mencuri panggang paha macan orang yang sedang mandi. Tiba-tiba saja mukanya menjadi merah bagai udang direbus dan otomatis tangan kirinya diangkat untuk menghapus bibirnya yang kiranya benar-benar penuh minyak!

Wah, repotlah Loan Ki sekarang menggunakan dua tangannya. Karena malu dan bingung, Loan Ki menjadi marah sekali. Dengan telunjuknya yang runcing dia menuding ke arah hidung Nagai Ici, pandang matanya melotot.

"Setan kau! Berani kau memperolokku?"

Nagai Ici tertama, tubuhnya bergerak-gerak. "Kau... kau pencuri daging, tukang nyolong!"

Kemarahan Loan Ki bukan kepalang lagi, "Kau... tikus, cacing, kadal, anjing, monyet, babi, kuda!" Ia memaki-maki sejadinya dan menyebut nama semua binatang. Paling akhir dia mencabut pedangnya dan menantang. "Hayo kita buktikan di antara kita siapa yang lebih gagah!"

Memang sebenarnya inilah yang dikehendaki Samurai Merah. Begitu bertemu dengan dara ini, semangatnya langsung terbetot, perhatiannya tertarik, hatinya terpikat tanpa dia sadari lagi. Tadinya dia hampir percaya bahwa dara jelita dan gagah perkasa ini adalah sebangsa peri atau bidadari. Akan tetapi setelah ‘bidadari’ itu bersuara, tahulah dia bahwa makhluk ini ternyata adalah seorang dara jelita yang wajar, seorang manusia yang hidup dan segar gembira lahir batinnya.

Dia kagum bukan main dan melihat cara gadis ini tadi bergerak turun dari pohon, dia pun menduga bahwa tentu ilmu kepandaian gadis ini juga hebat. Apa lagi kalau diingat bahwa menurut kata gadis itu sendiri, para perampok jahat itu tadi ketakutan melihatnya karena pernah ia beri hajaran. Tentu saja hal ini dia sendiri tidak dapat begitu saja mempercayai.

Inilah sebabnya, ketika melihat bibir dan ujung hidung yang amat lucu indah itu berlepotan minyak, dia sengaja menuduh dan mengejek, dengan maksud membangkitkan amarah gadis itu dan mendapat alasan untuk menguji kepandaiannya. Dia kurang percaya kalau seorang gadis sehalus dan secantik ini, masih amat muda lagi, dapat ‘memberi hajaran’ kepada seorang kepala penjahat seperti Lauw Teng dan anak buahnya.

Akan tetapi dia juga dapat menduga bahwa gadis yang ‘besar mulut’ ini sedikitnya tentu memiliki ilmu pedang yang lumayan, terbukti dari caranya mencabut pedang yang cukup cepat dan cekatan itu. Karena itu dia tidak berani memandang rendah dan dia pun segera melolos pedang samurainya dari sarungnya.

"Nona cilik..."
"Jangan sebut-sebut nona cilik. Apa kau sudah tua bangka? Kau sendiri pun masih cilik, paling-paling hanya beberapa tahun lebih tua dari pada aku. Lagaknya seperti orang tua saja!"

Nagai Ici tertawa. Dia sebetulnya seorang yang berwatak pendiam dan serius (sungguh-sungguh), akan tetapi berhadapan dengan dara lincah seperti ini mau tidak mau bangkit kegembiraannya. Sepasang matanya yang biasanya tenang dan tajam itu kini bersinar-sinar, wajahnya yang gagah tampan berseri-seri.

"Hayo, kau mau bilang apa lekas bilang sebelum pedangku bicara, jangan cuma cengar-cengir seperti kunyuk mencium cuka!" Loan Ki membentak lagi. Dasar gadis lucu jenaka, sedang marah pun lucu, sama sekali tidak membuat orang takut.
"Nona... besar, maksudku... ehhh, apa perlunya kita mengadu senjata? Senjata pedang adalah benda tajam yang berbahaya, bagaimana kalau sampai melanggar tubuh? Lebih baik kita mengadu kepandaian dengan tangan kosong saja."
"Ihhh, siapa sudi? Tadi sudah kulihat bahwa hanya dengan pedangmu yang bengkok itu kau pandai berkelahi. Kalau bertangan kosong, kau hanya mengandalkan cengkeraman dan tangkapan. Mana aku sudi bersentuh tangan dengan kau? Hayo lekas serang dengan pedangmu!"

Nagai Ici tetap ragu-ragu. Ia telah belasan tahun mempelajari ilmu pedang, dan selama ini samurainya amat ganas dan dikenal sebagai Samurai Merah. Ilmu pedangnya adalah ilmu pedang khusus untuk merobohkan lawan, begitu samurainya berkelebat, tentu membabat putus sesuatu. Mana dia tega melukai nona yang dia kagumi ini?

"Wah, kenapa bengong saja? Apa kau kira aku takut melihat pedangmu yang bengkok dan jelek itu? Pedang apa itu, pantasnya untuk potong babi!"

Diejek begini, panas juga hati Nagai Ici. Ia akan memperlihatkan kepandaiannya dan tentu saja dia akan berhati-hati agar jangan sampai salah tangan melukai dara ini.

"Hemmm, kau hendak mengenal Samurai Merah? Bersiaplah!" bentaknya.
"Samurai Merah atau samurai belang bonteng, peduli apa aku? Hayo serang kalau berani, ngomong saja dari tadi kerjanya!" ejek Loan Ki.

Ia sendiri memang berwatak aneh, mudah marah, mudah gembira, namun lebih banyak gembiranya dari pada marahnya. Sekarang pun kemarahannya karena tadi dimaki tukang nyolong sudah mereda dan ia menghadapi pedang jago muda Jepang itu terutama sekali karena ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu pedang aneh itu.

"Awas!" teriak Nagai Ici.

Samurainya berkelebat membuat gerakan segitiga di depan tubuhnya. Indah sekali gaya pertahanan pertama ini. Dan dia lalu diam tak bergerak, hanya biji matanya yang hidup meneliti setiap gerakan lawan, terutama gerakan kedua lengan.

Loan Ki sudah tahu bahwa ilmu pedang orang ini memang aneh, sifatnya diam menanti serangan. Kalau ia pun diam menanti, agaknya mereka berdua akan berdiri berhadapan memasang kuda-kuda dan berdiam terus seperti patung sampai seorang di antara mereka kalah karena menjadi kesemutan akibat berdiri diam terlalu lama. Akan tetapi dia tak sudi menjadi patung. Cepat bagai kilat menyambar, pedangnya berkelebat menjadi segunduk sinar menerjang maju.

"Haaaaiiiiit!"

Nagai Ici berseru keras saking kagetnya melihat betapa seakan-akan ujung pedang gadis itu berubah menjadi belasan batang, tergetar dan menerjang kepadanya secara aneh, sukar diduga ke arah mana ujung pedang itu akan menusuk! Dia segera, memutar samurainya sekuat tenaga, membabat ke arah bayangan ujung-ujung pedang itu dengan maksud mempergunakan tenaganya untuk menghantam pedang gadis itu agar terlepas dari pegangan.

"Wuuuuuttttt!"

Samurainya yang berat, tajam dan bergerak cepat itu ternyata hanya menghantam angin belaka karena secara tiba-tiba belasan ujung pedang lawan itu sudah lenyap dan kembali berubah menjadi segundukan sinar pedang menyerangnya, kini dari kanan kiri atas bawah tak tentu ujung pangkalnya.

"Bagus...!" Mau tak mau Nagai Ici berseru memuji.

Inilah hebat, pikirnya. Ilmu pedang yang luar biasa, jauh lebih hebat dari pada ilmu golok ketua Hui-houw-pang tadi. Maklumlah dia bahwa gadis itu benar-benar bukan sekedar memiliki ilmu ‘gertak sambal’ belaka, tetapi benar-benar seorang gadis muda yang ‘berisi’, yaitu yang memiliki kepandaian tinggi.

Hatinya makin gembira dan berkurang keraguannya karena sekarang dia tidak takut lagi untuk salah tangan sebab maklum bahwa gadis itu cukup mampu menjaga diri. Cepat dia memutar samurainya sehingga sinar pedang samurai itu berkilat-kilat menyambar ke arah gulungan sinar pedang Loan Ki.

Dari angin sambaran pedang samurai, Loan Ki maklum bahwa orang muda itu memiliki tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat kuat, maka ia tidak berani mengadu pedang, kuatir kalau-kalau pedangnya akan rusak bertemu dengan samurai yang digerakkan oleh tenaga gajah itu. Ia menggunakan kegesitannya dan bersilat dengan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang luar biasa.

Gerakannya indah dan lemah lembut, seperti seorang bidadari kahyangan tengah menari. Pinggangnya yang ramping bergerak-gerak lemas dan lehernya ikut pula bergerak-gerak. Langkahnya berlenggang-lenggok dan untuk melengkapi ilmu pedang ini yang memang mengharuskannya sebagai taktik, ia pun tersenyum-senyum dan mengerling dengan amat manis dan ayunya.

Memang dahulu pencipta ilmu pedang ini, yaitu Si Pendekar Baju Merah Ang I Niocu, sengaja menciptakan ilmu pedang yang luar biasa untuk mengalahkan lawan-lawan berat. Bentuk tarian indah gemulai disertai senyum dikulum dan kerling memikat sesuai dengan wajah yang cantik jelita, semata-mata merupakan taktik untuk mengacaukan konsentrasi (pemusatan pikiran) dan melemahkan daya tempur lawan.

Tentu saja Nagai Ici pun melihat ini semua dan hatinya berdebar tak karuan. Bukan main indahnya ilmu pedang yang seperti tarian itu dan wajah gadis lincah itu makin lama makin cantik menarik.

Akan tetapi pemuda Jepang ini bukan seorang manusia biasa yang mudah lumpuh oleh kecantikan wanita. Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh seorang daimyo (pendekar bernama besar) yang sakti, tidak saja diwarisi ilmu bermain samurai yang ampuh, juga sudah digembleng memperkuat batin dengan cara bersemedhi dan menyatukan pikiran.

Oleh karena ini, biar pun dia amat tertarik dan kagum melihat lawannya, dia segera dapat menekan perasaannya dan memperhebat gerakan samurainya, malah kini dia menguras semua jurus pilihan dan yang paling rahasia dari ilmu pedangnya untuk menghadapi ilmu pedang lawan yang lemah-gemulai akan tetapi mengandung daya serangan yang sangat dahsyat.

Diam-diam Loan Ki kagum juga. Ilmu silat aneh dengan pedang aneh pula ini, sesudah bergebrak kiranya tidaklah selambat yang dia duga. Pertahanannya kokoh kuat dan biar pun serangannya tidak terlalu sering, namun tiap kali menyerang laksana kilat menyambar dari udara cerah.

Inilah inti ilmu pedang lawannya dan inilah pula yang membuat samurainya itu berkali-kali berhasil tiap kali berkelebat. Kiranya inti ilmu lawannya memang mengandung gerakan menyerang tersembunyi seperti kilat yang menyambar dari angkasa yang sehingga sama sekali tidak tersangka-sangka datangnya. Ia pun merasa malu kalau sampai kalah, maka ia kemudian mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua simpanan jurus ilmu pedangnya.

Hebat bukan main pertandingan itu. Jauh lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi sekarang tidak nampak mengerikan sehingga lima orang gadis tawanan itu yang sejak tadi melongo dan terheran-heran, sekarang pada berdiri menonton dengan kagum.

Bagi mereka yang tidak mengerti ilmu silat, dua orang muda itu terlihat seperti sedang menari-nari secara indah dan aneh. Pedang dan samurai itu lenyap dari pandangan mata mereka, yang tampak hanyalah segulung sinar pedang seperti awan putih bergerak-gerak, dibarengi melesatnya sinar seperti kilat menyambari awan itu!

Seratus jurus lebih mereka bertanding, hampir satu jam lamanya. Mereka berdua sudah gobyos (bermandi peluh) dan sudah mulai lelah karena dalam pertandingan itu mereka mempergunakan semua tenaga dan kepandaian.

Loan Ki mulai penasaran dan tak sabar. Ia menanti kesempatan baik dan tiba-tiba dengan pengerahan tenaga lweekang-nya ia menghantam samurai lawan sekuatnya.

"Tranggggg!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang pedang itu bertemu dengan amat kerasnya. Nagai Ici mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan tubuhnya terhuyung mundur tiga langkah. Loan Ki sendiri tergetar telapak tangannya dan cepat dia memindahkan pedang pada tangan kirinya. Oleh karena sempat melompat ke samping, maka dia tidak sampai terhuyung seperti lawannya.

Keduanya memeriksa pedang, kemudian saling pandang dengan napas terengah-engah. Nagai Ici tertawa lebih dahulu. Kagumnya bukan kepalang, akan tetapi dia juga puas dan merasa bangga karena betapa pun juga, gadis luar biasa itu sudah berkenalan dengan samurainya yang lihai.

"Heh-heh, kau benar hebat, Nona. Selama hidupku baru kali ini aku melihat seorang gadis muda yang begini hebat. Sebelum ini, mendengar pun belum pernah. Ilmu pedangmu luar biasa, kepandaianmu hebat bukan main. Akan tetapi, betapa pun juga kau takkan mampu mengalahkan aku."
"Ihh, sombongnya! Baru mengandalkan pedang bengkok itu saja sudah berani membuka mulut besar. Kau tidak merasa bahwa aku tadi sengaja mengalah mengingat bahwa kau orang asing? Huh, benar-benar tidak punya perasaan dan tidak malu. Pedang bengkokmu itu siapa sih yang takut? Kalau mau, dalam segebrakan saja aku sanggup membikin putus lehermu, tahu?"

"Ha-ha-ha, Nona sungguh-sungguh pandai berkelakar! Sudah jelas kita bertanding sampai mandi keringat belum ada yang terluka, belum ada yang kalah atau menang, bagaimana kau bisa bilang dalam segebrakan dapat memenggal leherku? Ha-ha-ha, lucu!"
"Hemm, dasar tak tahu malu, tak berperasaan. Kau mau bukti?"

Tentu saja Nagai Ici tidak percaya, dia merasa penasaran sekali. Dia, Samurai Merah yang di Jepang sudah terkenal sekali, mana mungkin dalam segebrakan saja terpenggal lehernya oleh seorang gadis cilik?

"Boleh! Kau buktikanlah dan coba kau penggal leherku, jangan dalam segebrakan, malah dalam seribu gebrakan sekali pun boleh!" dia menantang dan sengaja dia mengulurkan lehernya.
"Huh, kau kira aku adalah algojo?" Loan Ki mendengus marah. "Biar pun kau kurang ajar setengah mati, tadi kau menentang penjahat, berarti kau bukan penjahat. Aku tidak biasa membunuh orang yang bukan penjahat. Tetapi aku bisa membuktikan bahwa aku seribu kali lebih pandai dari padamu dan bahwa tadi aku sudah sengaja mengalah, hanya kau yang buta perasaan dan tidak tahu diri."
"Heh-heh, kau tekebur sekali. Bagaimana kau akan membuktikan?"
"Kau boleh gunakan pedang bengkok pemotong babi itu untuk melawan aku yang akan melayanimu dengan bertangan kosong!" Loan Ki tersenyum mengejek. Tanpa pedulikan wajah lawan yang kelihatan kaget itu ia menyambung, "Lebih dari itu malah, dengar wahai kadal, kuda, babi! Tidak saja aku melayani pedang bengkokmu itu dengan tangan kosong, juga aku akan membiarkan kau menyerang sesukamu tanpa membalas. Kalau nanti aku membalas sekali pukulan saja boleh dianggap kalah!"

Nagai Ici melengak. Benar-benar terlalu gadis liar ini, pikirnya dengan perut terasa panas. Menghina orang tanpa takaran. Mana ada aturan seperti ini? Seorang jantan tulen seperti dia menyerang seorang gadis bertangan kosong menggunakan samurai? Dan gadis itu malah tidak akan membalas sama sekali? Waduh, dia dianggap anak kecil yang masih ingusan saja oleh gadis nakal itu. Keparat!

"Nona, apakah otakmu waras?"

Kini Loan Ki yang melengak, lalu membanting-banting kaki tanda marah. "Kau yang edan! Kau yang gila, gendeng dan miring otakmu!" Ia memaki-maki marah lagi sejadi-jadinya asal hatinya yang mengkal dapat merasa ‘plong’.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh itu, mulai meragulah hati Nagai Ici. Siapa tahu gadis ini bicara sungguh-sungguh? Wah, hebat kalau begitu.

"Nona, begini saja sekarang. Bukan watakku untuk menyerang seorang lawan, apa lagi seorang gadis seperti kau, menggunakan samurai sedangkan yang kuserang bertangan kosong dan tidak akan membalas. Sekarang begini saja, aku menerima tantanganmu tapi caranya begini. Aku akan menyerangmu selama tiga jurus dan aku tanggung dalam tiga jurus itu, aku akan dapat memilih dengan samuraiku satu di antara empat macam benda di tubuhmu, yaitu pertama pita rambutmu, ke dua ujung ikat pinggangmu, ke tiga ujung ronce pedangmu dan ke empat ujung lengan bajumu. Dalam tiga jurus saja pasti sebuah di antara yang empat tadi dapat kubabat putus, bahkan mungkin lebih dari satu atau keempatnya sekaligus! Tetapi kalau hal ini terjadi, kau harus menyatakan bahwa aku tidak kalah olehmu dan bahwa ilmu kepandaianku tidak berada di bawah kepandaianmu. Nah, bukankah ini adil namanya!"

Loan Ki mengernyitkan hidungnya, ditarik ke atas ujung hidungnya sehingga nampak lucu sekali. "Aduh-aduh, sombongnya! Tiga jurus katamu? Jadikan tiga puluh jurus baru aku sudi melayani. Nah, tiga puluh jurus kau boleh menyerangku dengan pedang pemotong babi itu. Kalau dapat kau tebas sedikit saja sebuah di antara yang empat itu, biarlah aku mengaku kalah. Akan tetapi kalau dalam tiga puluh jurus tak berhasil bagaimana?"
"Tiga puluh jurus? Tidak berhasil? Tak mungkin!"
"Janji tinggal janji, jangan menyombong dulu. Wah laki-laki kok ceriwis amat, bicara saja!"
"Biarlah aku berjanji, kalau dalam tiga puluh jurus pedangku ini tidak berhasil membabat putus sebuah di antara empat benda tadi, biarlah aku mengangkat kau menjadi guruku!"
"Hi-hi-hik, punya murid macam kau bikin repot saja! Kau berjanji akan merubah sikapmu, tidak ceriwis dan cerewet lagi dan akan taat serta menuruti segala perintahku, bersedia menjadi bujang atau pelayanku?"

Merah wajah Nagai Ici. Inilah penghinaan besar. Akan tetapi dia yakin sekali bahwa dia tidak mungkin kalah dalam taruhan ini. Andai kata dia kalah, hal itu berarti bahwa gadis ini benar-benar seorang dewi yang sakti, bahkan lebih sakti dari pada gurunya di Jepang, maka sudah sepatutnya kalau dia angkat menjadi gurunya yang baru dan sebagai murid, tentu saja dia harus mentaati gurunya dan rela mengabdi dan menjadi pelayan.

"Baik, aku berjanji!" Dia berkata sambil mengacungkan samurainya ke atas di depan dahi sebagai tanda sumpah.
"Nah, mulai seranglah!" seru Loan Ki setelah menyimpan pedangnya.

Sengaja ia memiringkan tubuh dan melambai-lambaikan ujung lengan baju, ikat pinggang, pita rambut dan ronce pedangnya agar mudah dibabat pedang lawan! Melihat ini, Nagai Ici berseru keras lalu mulai menyerang. Samurainya berkilat menyambar, kemerahan dan dengan kecepatan yang dahsyat.

Namun tiba-tiba jago muda Jepang itu berseru terheran-heran. Dia melihat betapa gadis itu sekarang bergerak amat aneh, jauh bedanya dengan gerakan tadi ketika melawannya dengan pedang.

Tadi gadis itu gerakannya lemah gemulai, seperti seorang penari dari surga, begitu indah menarik. Sekarang, gadis itu melangkah ke sana ke mari dengan gerakan kaku dan aneh, terhuyung-huyung serta meloncat-loncat sambil jongkok berdiri tidak karuan. Tubuhnya ditekuk ke sana ke mari, miring ke kanan kiri depan belakang.

Pendeknya gerakan gadis itu sekarang sangat buruk dilihat seperti gerakan orang mabuk. Akan tetapi hebatnya, semua sambaran samurainya mengenai angin belaka dan betapa pun cepat dan kuat dia menerjang, dia seakan-akan sedang menghadapi dan menyerang bayangannya sendiri.

Tentu saja jago muda Jepang ini tidak pernah mimpi bahwa gadis itu sekarang sedang menggunakan langkah ajaib dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, ilmu yang tergolong di deretan paling tinggi di dunia persilatan. Inilah ilmu langkah ajaib yang diberi nama Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Ambles ke Bumi) dan yang dipelajari oleh Loan Ki dari Si Pendekar Buta Kwa Kun Hong!

Kiranya karena memiliki modal ilmu ini maka Loan Ki berani menantang dan bersombong di depan Samurai Merah itu. Tadi ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun ia maklum bahwa untuk merobohkan lawan tangguh ini, bukanlah hal mudah baginya. Akan tetapi sebaliknya, Samurai Merah juga tak akan mungkin dapat merobohkannya, apa lagi kalau ia menggunakan Hui-thian Jip-te untuk menyelamatkan diri.

Makin lama Nagai Ici menjadi makin penasaran, ia pun bertekad mencapai kemenangan. Ia mengeluarkan pekiknya yang dahsyat, samurainya menyambar-nyambar laksana naga sakti mengamuk, namun hanya tampaknya saja samurainya hampir mengenai sasaran, kenyataannya selalu hanya berhasil membacok angin kosong.

Setelah belasan kali serangannya tidak berhasil, mulailah dia merasa terkejut, heran, dan kagum, bahkan kemudian bulu tengkuknya berdiri meremang saking ngerinya melihat betapa dengan berjongkok dan melompat-lompat seperti katak atau seperti seorang anak kecil bermain-main, gadis itu dengan sangat mudahnya menghindarkan diri dari sambaran samurainya! Ilmu ibliskah yang dipergunakan gadis ini?

Tiga puluh jurus lewat dan jangankan samurai itu mengenai sasaran. Mencium sedikit pun tak pernah. Nagai Ici adalah seorang lelaki sejati. Tepat sesudah jurus ke tiga puluh lewat tanpa hasil, dia lalu menghentikan serangannya, melempar samurainya ke atas tanah lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Loan Ki dan berkata, "Mulai saat ini murid mentaati segala petunjuk dan perintah Guru."

Terbelalak mata Loan Ki memandang. Namun yang dipandangnya tetap berlutut dengan kepala tunduk sehingga yang tampak olehnya hanya rambut hitam digelung ke atas itu. Inilah sama sekali tidak pernah diduganya! Sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa pemuda ini benar-benar hendak memenuhi janjinya dan mengangkatnya sebagai guru!

"Gila!" teriaknya. "Siapa sudi menjadi gurumu? Apa bila kau muridku, berarti aku gurumu dan kau akan menyebut ibu guru kepadaku? Setan, jangan kau menghina, ya? Aku belum tua, lebih muda dari padamu, mana bisa menjadi guru orang dewasa?"

Nagai Ici mengangkat kedua tangannya ke depan dada memberi hormat dalam keadaan masih berlutut. "Saya sudah menikmati kehebatan ilmu kepandaian Guru dan sudah kalah janji. Terserah bagaimana kehendak Guru, murid hanya akan menurut dan mentaati."
"Baik, kalau begitu dengarkan perintahku. Pertama, kau tidak boleh berlutut, hayo lekas berdiri. Aku bukan ratu, bukan pula puteri istana dan kau lebih tua dari padaku. Bisa kualat aku kalau kau sembah-sembah. Berdirilah!"

Nagai Ici bangkit berdiri dengan sikap hormat.

"Nah, sekarang dengarkan perintahku selanjutnya. Namaku Loan Ki, Tan Loan Ki dan di dunia kang-ouw aku diberi julukan Bi-yan-cu (Si Walet Jelita). Kau tidak boleh menyebut aku ibu guru, sebut saja namaku dan aku pun akan menyebutmu Nagai Ici begitu saja. Mengerti?!"

Nagai Ici mengangguk, di dalam hatinya bingung dan juga geli melihat sikap gadis yang luar biasa dan yang sekaligus meruntuhkan hatinya ini. Juga kelima orang gadis tawanan yang sejak tadi menonton, diam-diam saling pandang dan tersenyum simpul.....
"Sekarang tugasmu yang pertama adalah membantuku mengantar para gadis tawanan itu pulang ke kampung masing-masing."
"Baik, Nona. Tapi... izinkanlah murid mengubur..."

Nagai Ici berhenti bicara ketika melihat betapa Loan Ki melotot marah.

"Mengapa mesti menyebut diri sendiri murid? Aku bukan gurumu! Bilang saja aku, habis perkara!"
"Maaf, aku... aku akan mengubur mayat-mayat itu lebih dulu..."

Loan Ki mengangguk. Hatinya sangat setuju dan diam-diam dia memuji pribudi orang ini. Akan tetapi mulutnya mengomel. "Manusia yang jahat seperti binatang, mayatnya sama pula dengan bangkai, perlu apa banyak rewel? Hayo lekas, cepat saja kubur dan jangan biarkan aku terlalu lama menunggu."

Nagai Ici tersenyum dan cepat-cepat dia menggali lubang untuk mengubur mayat-mayat para penjahat yang menjadi korban samurainya tadi. Ada pun Loan Ki mendekati para gadis tawanan yang menyambutnya penuh hormat.

Dengan terharu mereka menjawab pertanyaan Loan Ki tentang kampung halaman mereka dan tentang pengalaman mereka diculik oleh para penjahat Hui-houw-pang untuk dibawa secara paksa ke kota raja. Mereka ini kiranya adalah gadis-gadis yang tinggal di kampung dekat Sungai Kuning, anak-anak dari para petani. Memang mereka cantik-cantik karena memang mereka adalah kembang yang paling cantik di dalam dusun masing-masing.

Menurut penuturan mereka, sudah terlalu sering terjadi perampokan gadis-gadis ini, baik oleh orang-orang Hui-houw-pang mau pun oleh para bajak Kiang-liong-pang atau para penjahat lain yang berusaha untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya atau mencari muka baik dari kaisar baru dan para pejabat tinggi di kota raja yang akan menyambut gembira persembahan berupa gadis-gadis cantik itu.

Loan Ki mendengarkan dengan hati sakit. Ia seorang gadis berjiwa sederhana yang tidak mengerti tentang tata negara, tidak tahu-menahu akan keadaan di kota raja dan tentang kehidupan para pembesar. Akan tetapi, mendengar penuturan yang disertai cucuran air mata oleh para gadis itu, pendekar wanita ini menggertak gigi dan langsung menyatakan kebenciannya terhadap kaisar baru beserta para kaki tangannya dengan memaki-maki sejadinya.

Memang, sangat menyedihkan apa bila dalam sebuah negara, para pembesar yang oleh rakyat dianggap pemimpin malah melakukan penyelewengan-penyelewengan dan hanya mementingkan kesenangan pribadi saja. Sudah terlampau banyak contoh terdapat dalam sejarah kuno betapa kaum ningrat, kaum berkuasa yang duduk di tampuk pemerintahan, selalu mabuk akan kekuasaan dan apa bila kekuasaan sudah berada di tangan, langsung dimabuk segala macam kemaksiatan! Mengapa begini?

Mengapa banyak sekali terjadi contoh-contoh menyolok, di mana bekas-bekas pejuang yang dahulu ikut berjuang menumbangkan kekuasaan Mongol, yang dahulu benar-benar menjadi seorang ksatria yang rela dan siap mengorbankan nyawa guna tanah air dan bangsa, setelah perjuangan berhasil dan dia mendapat kedudukan, lalu berubah tabiatnya seperti bumi dengan langit, berubah menjadi ningrat atau pembesar yang menimbun diri dengan perbuatan maksiat? Mengapa terjadi ini semua? Jawaban satu-satunya kiranya hanya terletak pada diri pribadi masing-masing!

Kemaksiatan timbul karena dorongan nafsu yang tak dapat dikekang dan yang memaksa manusianya melaksanakan dorongannya. Ini hanya dapat terjadi bila si manusia itu lemah batinnya, lemah pertahanan dalam hatinya sehingga tidak kuat menghadapi penyerbuan nafsu-nafsu yang laksana iblis setiap saat mendobrak pertahanan batin manusia.

Kekuatan batin melemah akibat pengaruh keadaan sekeliling, karena keadaan lingkungan hidupnya, karena contoh-contoh hidup yang diperlihatkan atasannya. Apa bila atasannya mabuk kedudukan, bawahannya pun tentulah demikian. Kalau atasannya mabuk wanita, bawahannya pun tak akan berbeda jauh dan demikian selanjutnya.

Bagaimana akibatnya kalau kaum ningrat dan para pembesar sudah tenggelam ke dalam gelombang perbuatan maksiat? Celakalah! Negara akan menjadi lemah dan rakyat akan menjadi sengsara. Tanda-tanda tentang keadaan para pembesar yang demikian itu, selalu dapat dilihat dari keadaan di kota raja.

Kalau seorang pembesar, baik dia berkedudukan tinggi sekali atau pun hanya rendahan, tenggelam dan mabuk atas kemewahan, itulah tanda bahwa pertahanan batinnya menjadi lemah dan dia akan mudah tergelincir ke dalam tindakan maksiat. Dan segala macam tindakan maksiat di dunia ini mempunyai pengaruh seperti madat. Diberi satu ingin dua, mendapat dua ingin empat dan seterusnya, tak kenal puas tak kenal kenyang.

Sekali seorang manusia mabuk akan kedudukan, biar dia sudah menjadi kaisar sekali pun, dia akan merasa tak puas dan iri melihat kaisar-kaisar di negara lain yang lebih besar kedudukannya, dan andai kata dia sudah menjadi kaisar yang paling tinggi kedudukannya di dunia, agaknya dia masih akan mengiri akan kedudukan Tuhan!

Sekali seorang manusia sudah mabuk akan wanita, biar dia sudah mempunyai isteri dan selir sebanyak seribu orang sekali pun, matanya yang berminyak kiranya masih selalu akan jelalatan (melotot ke sana-sini) untuk mencari seorang wanita lainnya yang belum dia miliki!

Setelah selesai mengubur mayat-mayat itu, Nagai Ici lalu diajak Loan Ki mengantar para gadis bekas tawanan itu. Untung bahwa perkampungan mereka tidak jauh dari hutan itu sehingga dalam waktu dua hari saja mereka telah dapat sampai di rumah masing-masing. Tentu saja mereka dan orang-orang tua mereka girang dan terharu bukan main, berlutut menghaturkan terima kasih kepada Loan Ki dan Nagai Ici. Akan tetapi kedua orang muda perkasa ini tidak mau menerima atau melayani penghormatan mereka dan cepat-cepat pergi tanpa pamit lagi.

Pada pagi hari berikutnya, Loan Ki dan Nagai Ici sudah menunggang kuda berendeng sambil bercakap-cakap. Nagai Ici kini sudah berubah pakaiannya, merupakan seorang pria muda yang berpakaian gagah, tidak aneh lagi kecuali pedang samurainya yang memang berbeda dengan pedang-pedang yang biasa dibawa oleh para ahli silat di situ.

Loan Ki yang memaksanya berganti pakaian karena gadis ini tidak ingin melihat teman seperjalanannya menjadi pusat perhatian dan keheranan orang. Dengan sisa-sisa uang rampasan dari para perampok Hui-houw-pang, mereka membeli pakaian dan membeli dua ekor kuda karena Loan Ki bermaksud untuk mengadakan perjalanan jauh, menyusul ayahnya ke kota raja!

Nagai Ici yang tunduk benar kepadanya, sungguh penurut dan tidak pernah membantah, betul-betul menyenangkan hati Loan Ki. Senang dan gembira juga mendapatkan seorang pengiring yang selain gagah dan tampan, juga amat penurut dan setia seperti pemuda Jepang itu. Dalam perjalanan pada pagi hari itu, Loan Ki minta kepada Nagai Ici untuk menceritakan keadaannya!

Menurut penuturan Nagai Ici, di Jepang pada waktu itu (sekitar tahun 1399-1400) baru saja terdapat perdamaian setelah puluhan tahun di negeri itu terjadi perebutan kekuasaan yang mengakibatkan perang saudara terus-menerus. Kemenangan terakhir pada tahun 1392 tercapai oleh Ashikaga Takauyi dan mulailah di tahun itu apa yang dinamakan jaman Maromaci karena Ashikaga Takauyi menempatkan markasnya di bagian kota Kyoto dan bernama Maromaci.

Sungguh pun kaisarnya masih keturunan keluarga Tenno yang berada di istana Tenno, tapi keadaan kaisar ini tidak ubahnya seperti boneka belaka. Kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Ashikaga Takauyi inilah.

Nagai Ici semenjak belasan tahun sudah menjadi yatim piatu. Selanjutnya dia dirawat dan dididik oleh gurunya, yaitu seorang daimyo (pendekar besar) yang membantu perjuangan Ashikaga Takauyi.

Setelah dalam usia lima belas tahun ikut pula mengayun samurai dan membantu perang saudara yang sudah hampir berakhir itu, Nagai Ici dinyatakan tamat dari perguruan dan dia pun diperbolehkan berdiri sendiri menjadi seorang di antara golongan Samurai! Sepak terjangnya sebagai seorang pendekar amat mengesankan sehingga pada beberapa tahun kemudian, dalam usia dua puluh tahun saja dia sudah dijuluki orang Samurai Merah.

Nagai Ici memiliki darah perantau atau mungkin juga jiwa petualangnya ingin dia puaskan dengan perantauan. Seluruh negeri Jepang sudah dia jelajahi dan akhirnya karena pada jaman itu hubungan Jepang dan Tiongkok sudah sangat baik, dia pun mendengar banyak tentang Tiongkok.

Kebudayaan dari negara besar itu, termasuk ilmu silatnya, terbawa ke Jepang dan amat terkenal. Banyak dongeng yang sering didengar Nagai Ici dalam perantauannya, betapa jago-jago silat di Tiongkok bagai dewa-dewa saja saktinya. Inilah mula-mula yang menjadi pendorong baginya untuk menyeberangi laut menuju ke Tiongkok dengan cita-cita untuk mencari seorang guru seperti dewa dan mempelajari kesaktian!

Lama sekali, setelah beberapa tahun lagi, barulah dia memperoleh kesempatan berlayar ke Tiongkok bersama perahu ikan yang dengan berani mati menempuh perjalanan yang amat berbahaya itu dengan perahu ikan yang kecil.

Seperti telah kita baca dalam bagian terdahulu, begitu mendarat, Nagai Ici dibikin kecewa dan marah menyaksikan perbuatan para bajak laut bangsanya yang merampoki sebuah kota pelabuhan. Oleh karena merasa malu akan perbuatan bangsanya yang di negerinya terkenal sebagai orang-orang kaya itu, Nagai Ici turun tangan membasmi dan mengusir para bajak laut Tengkorak Hitam. Dia kemudian menghilang karena tak ingin dilihat orang lain bahwa dia, seorang Jepang juga, mengamuk dan membasmi bajak laut bangsanya sendiri.

Sampai berpekan-pekan dalam perjalanan selanjutnya, Nagai Ici mulai kecewa karena ternyata bahwa di negara besar yang dahulunya dia sangka segalanya pasti serba hebat itu, kiranya tidak banyak bedanya dengan negerinya sendiri, kalau tidak mau dibilang lebih buruk.

Para petani demikian miskinnya sampai-sampai hidupnya tak layak lagi sebagai manusia. Di mana-mana banyak terdapat perampok dan para penjahat. Penghuni-penghuni dusun demikian sederhana hidupnya dan amatlah bodohnya sehingga kadang-kadang Nagai Ici kehabisan harapan dapat bertemu dengan seorang sakti seperti dewa di antara bangsa yang malah amat miskin ini.

Demikianlah, sehingga akhirnya pertemuan dengan Loan Ki sangat mengagumkan dan menggirangkan hatinya. Mulailah timbul harapannya. Apa bila ada seorang gadis remaja sehebat ini, tidak mustahil dia akan bertemu dengan seorang guru sesakti dewa. Baru gadis ini saja, bukan main! Belum pernah dia mendengar, apa lagi menyaksikan seorang dara remaja memiliki kepandaian seperti ini.

Samurainya itu tidak berdaya sama sekali terhadap gadis ini yang bertangan kosong! Bukankah ini aneh sekali? Gurunya sendiri, Daimyo Matsumori yang sangat terkenal di Jepang, belum tentu berani menghadapi tiga puluh jurus serangan samurainya dengan tangan kosong tanpa membalas!

Inilah yang membuat Nagai Ici menjadi penurut. Biasanya, di negerinya kaum wanita tidak mendapat tempat terlalu tinggi, dianggap sebagai mahkluk lemah yang tugasnya hanya menjadi penghibur kehidupan pria belaka. Kini dia bertemu ‘batunya’, seorang dara lincah yang hebat, yang sekaligus membangkitkan harapannya untuk mendapatkan guru pandai di samping sekaligus menjatuhkan hatinya pula, membuat dia bertekuk lutut di dalam hati, tak kuasa menentang sinar mata jeli dari si juwita itu.

Anehkah kalau jago muda dari Jepang itu tersenyum-senyum gembira, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar ketika dia mengendarai kuda di samping Loan Ki…..?

********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR BUTA : JILID-08
LihatTutupKomentar