Pendekar Buta Jilid 08


Setelah Kian Bun Ti menduduki singgasana menjadi kaisar dan terkenal juga dengan nama Hui Ti (tahun 1399), timbullah persaingan hebat di kota raja untuk memperebutkan kedudukan. Sebagian banyak pangeran tua merasa tidak puas melihat Hui Ti menjadi kaisar, karena mereka sudah mengenal Pangeran Kian Bun Ti sebagai orang muda yang hanya mengejar kesenangan belaka.

Akan tetapi, para pangeran muda dan para pembesar yang mendapat kedudukan baik setelah Kian Bun Ti naik tahta, tentu saja mati-matian membela kaisar baru ini. Dengan demikian, maka diam-diam terjadilah permusuhan. Keadaan kota raja seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu tentu akan meletus.

Walau pun kaisar Hui Ti yang muda itu sendiri adalah seorang yang keahliannya hanya mengejar wanita cantik dan bersenang-senang, akan tetapi para pembantunya yang juga mempertahankan kedudukan mereka masing-masing merupakan orang-orang pintar yang banyak pengalaman. Oleh karena itu, untuk memperkuat kedudukan kaisar baru ini, para menteri dan pembesar tinggi, terutama dari golongan bu (militer) segera memperkuat penjagaan, memperkuat barisan dan mendatangkan banyak ahli-ahli dari luar. Selain itu, setiap hari selalu diadakan pembersihan untuk membasmi mereka yang dianggap sebagai lawan, mereka yang dianggap membahayakan kedudukan Hui Ti beserta para pembesar pendukungnya.

Seperti sudah lazim terjadi, bila mana ada angin puyuh bertiup, yang rontok bukan hanya daun-daun kering dan buah-buah busuk, juga daun-daun segar dan buah-buah muda bisa saja turut terlanda angin puyuh dan rontok semua. Dalam keadaan negara pun demikian. Bila mana keributan terjadi, yang menjadi korban bukan hanya mereka yang memang tersangkut, juga yang tidak tahu apa-apa bisa saja menjadi korban.

Sudah tentu saja menurut rencana para pembesar yang mengatur ini semua, yang harus dibersihkan adalah mereka yang berbahaya, mereka yang diam-diam memiliki niat untuk melawan dan menumbangkan kekuasaan kaisar baru untuk diganti dengan kaisar pilihan mereka sendiri. Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak sekali terjadi penyelewengan dan penyalah gunaan kekuasaan sehingga banyaklah terjadi pemerasan, penyelewengan dan kejahatan yang berdasafkan fitnah.

Bisa saja terjadi seorang petugas kecil mendatangi seorang hartawan dan melancarkan fitnah keji bahwa hartawan itu termasuk anti kaisar baru. Kemudian dengan alasan akan ‘melindungi’, si petugas kecil itu menerima ‘uang jasa’ yang jumlahnya melebihi besarnya jumlah upahnya sepuluh tahun! Ini baru contoh kecil-kecilan saja, banyak terjadi hal yang lebih hebat dari pada contoh itu.

Kota raja goncang karena pertentangan-pertentangan ini. Penduduk kota raja dicekam kekuatiran. Banyak malah yang pergi mengungsi keluar daerah, memilih tempat tinggal di dusun-dusun jauh dari kota raja, di mana rakyatnya tidak sedikit pun merasakan akibat ketegangan politik di kota raja.

Akan tetapi ketenteraman ini pun hanya sementara saja mereka rasakan, karena tak lama kemudian pembersihan dilakukan sampai ke dusun-dusun pula di mana tangan-tangan iseng dari manusia-manusia berbatin rendah itu menyebar fitnah ke sana ke mari sambil mencari kesempatan mengeduk kekayaan sebanyak mungkin.

Kota raja dijaga ketat. Semua pintu gerbang kota raja dijaga oleh para pasukan pilihan, dan di dalam kota raja sendiri penuh dengan mata-mata yang melakukan penyelidikan supaya jangan sampai kota raja diselundupi kaki tangan lawan. Memang paling repot menghadapi lawan yang tidak diketahui dari mana datangnya ini. Lawan-lawan yang bisa saja menyelundup ke dalam golongan pedagang, pengemis, buruh, seniman, malah bisa jadi menyelundup ke dalam golongan pembesar dan prajurit sendiri.

Pada suatu pagi, pagi-pagi sekali di luar pintu gerbang sebelah utara, tampak seorang laki-laki muda yang pakaiannya sederhana tapi bersih, berdiri dengan tongkat di tangan dan kepala tunduk. Orang ini bukan lain adalah Si Pendekar Buta, Kwa Kun Hong.

Telah kita ketahui bahwa setelah berpisah dari Song-bun-kwi, Pendekar Buta ini pergi ke kota raja. Banyak hal harus dia selidiki, selain persoalan yang menyangkut Thai-san-pai juga soal mahkota kuno yang mengandung rahasia kenegaraan besar itu, yang sekarang berada dalam bungkusan pakaian yang digendongnya. Biar pun dia buta, namun karena kepandaiannya yang tinggi, dia dapat juga melakukan perjalanan cepat.

Sambil bertanya-tanya di sepanjang jalan, akhirnya dia sampai juga di luar pintu gerbang sebelah utara. Baru saja dia mendengar keterangan bahwa tidak mudah untuk memasuki kota raja, karena setiap orang pasti dicurigai dan pintu gerbang dijaga keras. Sedikit saja menimbulkan kecurigaan para penjaga, tentu akan ditangkap dan dimasukkan tahanan.

Inilah yang membuat Kun Hong ragu-ragu dan hati-hati. Dia tidak takut dicurigai, tidak takut pula ditangkap. Akan tetapi karena mahkota kuno itu berada padanya, amatlah tidak baik kalau sampai dia tertawan. Mahkota itu harus dia jaga, kalau perlu berkorban nyawa.

Betapa pun juga, pada dasarnya Kun Hong sudah mempunyai watak berhati-hati, tidak mau sembarangan mempercayai berita yang didengamya tentang keburukan seseorang. Dia sudah mendengar dari Tan Hok tentang Pangeran Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi kaisar dan bahwa hal ini amatlah buruk akibatnya.

Pangeran itu bukanlah seorang yang patut menjadi kaisar. Karena itulah maka mendiang kaisar tua sudah meninggalkan surat rahasia yang disimpan di dalam mahkota kuno itu, surat rahasia yang memberi kuasa penuh kepada Pangeran Tua Yung Lo di utara untuk bertindak terhadap kaisar baru.

Akan tetapi, Kun Hong tidak merasa puas kalau tidak mendengar sendiri keadaan di kota raja. Oleh karena ini, dia sengaja pergi ke kota raja hendak melakukan penyelidikan dan mencari sahabat-sahabatnya, yaitu perkumpulan Hwa-i Kaipang. Dia dapat mempercayai Hwa-i Kaipang, karenanya dia hendak minta bantuan kepada mereka, selain menyelidiki tentang keadaan kaisar baru, juga menyelidiki tentang musuh-musuh Thai-san-pai itu.

Selagi Kun Hong berdiri ragu-ragu di luar pintu gerbang tembok kota raja, menimbang-nimbang bagaimana dia dapat memasuki kota raja yang terjaga kuat itu, tiba-tiba saja dia mendengar langkah kaki dua orang mendekatinya dari arah belakang.

Dia mengira bahwa dua orang itu tentulah orang-orang yang lewat dan akan memasuki pintu gerbang, maka dia tidak menaruh perhatian. Baru dia kaget dan heran ketika dua orang itu berhenti di depannya dan terdengar suara halus seorang laki-laki muda,

"Aduh kasihan, semuda ini menanggung derita, tak pandai melihat! Saudara yang buta, kau hendak pergi ke manakah? Biarlah aku menunjukkan jalan yang hendak kau tuju."

Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang pria muda, paling banyak hanya beberapa tahun lebih tua dari padanya, seorang yang gerak-gerik dan tutur bahasanya halus, pantasnya seorang muda terpelajar. Akan tetapi dalam suara itu juga terkandung tenaga seorang ahli tenaga dalam, seorang yang biasa melakukan semedhi dan menguasai peraturan bernapas.

Kun Hong cepat menjura dengan hormat dan berkata sambil tersenyum, "Terima kasih banyak. Anda baik hati benar, sudi memperhatikan seorang buta seperti saya."

Orang itu tertawa, suara ketawanya lembut seperti ketawa wanita. "Aku dapat menduga bahwa kau bukanlah seorang buta biasa saja. Wajah dan pakaianmu menunjukkan bahwa kau seorang yang berpengetahuan dan terdidik. Kata-kata yang kau ucapkan memperkuat dugaanku. Sahabat, jangan kau curiga. Aku The Sun bermaksud baik terhadap seorang buta yang menarik hatiku. Apakah kau hendak memasuki kota raja? Hayo, engkau boleh bersamaku dan aku tanggung kau takkan diganggu para penjaga goblok itu. Aku sudah mereka kenal baik."

Berdebar hati Kun Hong. Ia memang tadinya menaruh hati curiga, akan tetapi mendengar penawaran ini, dia benar-benar bersyukur di dalam hati. Ini kesempatan terbaik baginya. Cepat-cepat dia menjura lagi dan berkata,

"Saudara The benar-benar budiman. Aku Kwa Kun Hong seorang buta sangat berterima kasih padamu. Sesungguhnyalah, aku bermaksud memasuki kota raja mengadu untung, siapa tahu di kota raja aku dapat menolong banyak orang dan mendapat banyak rejeki."

Hening sejenak, agaknya The Sun itu mengamat-amatinya baik-baik, lalu terdengar dia berkata, "Ahh, saudara Kwa, apakah kau seorang tukang gwamia (ahli nujum)!"

Memang banyak terdapat orang-orang buta yang membuka praktek sebagai ahli nujum, menceritakan nasib orang-orang dengan cara meraba telapak tangan mereka. Tentu saja, seperti biasa, ahli-ahli nujum ini sebagian besar hanyalah tukang bohong belaka, mencari korban di antara orang-orang bodoh yang mudah ‘dikempongi’ dan ditarik uangnya.

Kun Hong menggeleng kepala. "Bukan, aku hanyalah seorang tukang obat biasa, saudara The."

"Ah, begitukah? Baiklah, mari kita memasuki kota raja dan kau akan kuantarkan ke pusat kota yang paling ramai. Mudah-mudahan saja kau akan dapat menyembuhkan banyak orang sakit dan mendapatkan banyak rejeki seperti yang kau harapkan."

Sambil berkata demikian, orang itu menggerakkan tangannya hendak menangkap tongkat Kun Hong. Akan tetapi ternyata dia hanya menangkap angin saja karena seperti tanpa sengaja, Kun Hong sudah lebih dahulu menarik tongkatnya sambil tertawa.

"Terima kasih atas kebaikanmu. Marilah, aku akan mengikuti di belakangmu."

The Sun tertawa, lalu berjalanlah dia perlahan-lahan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh Kun Hong. Dengan pendengaran telinganya Kun Hong tahu bahwa orang ke dua juga ikut berjalan di samping The Sun dan diam-diam dia terkejut juga karena orang itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat, akan tetapi masih juga tidak mampu menandingi kepandaian The Sun yang muda karena jejak kaki The Sun ini sama sekali tidak mengeluarkan suara dan oleh pendengarannya yang amat tajam sekali pun hanya terdengar sedikit seperti langkah seekor kucing saja.

Kun Hong mulai menaruh curiga. Terang bahwa orang yang mengaku bernama The Sun bersama temannya yang tak diperkenalkan kepadanya ini adalah dua orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Kebetulankah The Sun ini seorang yang berbudi dan menaruh kasihan kepadanya? Ataukah memang sengaja hendak mendekatinya?

Dia harus berhati-hati. Karena kehati-hatiannya ini pulalah maka tadi dia sengaja tidak membiarkan tongkatnya dipegang orang itu. Tongkatnya merupakan senjata yang paling dia andalkan.

Ketika mereka melewati pintu gerbang memasuki kota raja, Kun Hong melangkah dengan hati-hati dan telinganya mendengarkan penuh perhatian. Tak terjadi sesuatu pun, kecuali agaknya ada seorang di antara para penjaga yang menegur dengan suara menghormat.

"Sepagi ini The-kongcu (tuan muda The) baru pulang, agaknya mendapatkan kesenangan malam tadi. Selamat pagi, Kongcu!"

Kemudian disusul suara penjaga ke dua, "Lo-ji, kau benar lancang mulut! Seorang siucai (lulusan pelajar) seperti The-kongcu mana dapat kau samakan dengan kau yang suka keluyuran di waktu malam? Kongcu, kalau Kongcu kehendaki, biar saya mewakili Kongcu menampar muka Lo-ji yang kurang ajar ini!"

The Sun itu tertawa perlahan, agaknya dia amat dihormati, disegani, dan juga disukai para penjaga, terbukti dari keramahannya dan dari sikap para penjaga yang walau pun sangat menghormatinya dan sangat takut kepadanya, namun berani pula bermain-main.

"Sudahlah, sepagi ini sudah berkelakar. Jaga saja baik-baik sampai kalian diganti penjaga baru. Aku hendak mengajak sahabat buta tukang obat ini memasuki pintu gerbang, aku yang menanggung dia."
"Silakan... silakan...," serempak mulut penjaga berkata ramah.

Setelah mereka berhasil melewati pintu gerbang dan tiga lapis penjagaan lagi, Kun Hong mendengar The Sun berkata, "Mulai sekarang tidak ada penjagaan lagi."

Kun Hong menjura dengan hormat, "Saudara ternyata adalah seorang kongcu dan juga seorang siucai, harap suka memaafkan karena mata saya buta, saya tidak tahu dan telah berlaku kurang hormat. Budi Kongcu sangat besar, Kongcu amat baik kepada saya dan terima kasih saya ucapkan."

"Ah, saudara Kwa Kun Hong, kenapa begini banyak sungkan? Biar pun kau seorang yang menderita kebutaan, akan tetapi aku pun dapat menduga bahwa kau bukan seorang biasa yang tidak tahu apa-apa, Sikapmu penuh sopan dan kau tahu aturan, tanda bahwa kau pun seorang yang pernah mempelajari kebudayaan. Marilah, mari kuantar kau ke tempat yang ramai agar di sana kau dapat mulai dengan pekerjaan itu."

Kembali Kun Hong menjura. Di dalam hati dia merasa amat curiga, akan tetapi di luarnya dia pura-pura bersikap tidak enak.

"Mana saya berani mengganggu Kongcu lebih lama lagi? Budi Kongcu membawa saya masuk saja sudah amat besar. Harap Kongcu meninggalkan saya di sini saja, biar saya berjalan perlahan sambil mencari-cari langganan. Dengan tanya-tanya agaknya saya akan sampai juga ke tempat ramai."
"Ihh, mana bisa begitu? Aku pun hendak menuju sejalan denganmu. Marilah, tidak usah sungkan."

Telinga Kun Hong yang tajam mendengar betapa orang ke dua yang sejak tadi berjalan bersama The Sun, kini berjalan cepat sekali meninggalkan tempat itu. Dia heran, akan tetapi tidak bertanya dan pura-pura tidak tahu. Karena The Sun mendesaknya, tak dapat pula dia menolak dan terpaksa Kun Hong mengikuti pemuda itu menuju ke tengah kota.

Makin lama makin ramailah orang hilir-mudik dan makin ramai orang bercakap-cakap. Biar pun sepasang mata Kun Hong tidak dapat melihat lagi, akan tetapi dahulu sebelum dia menjadi buta kedua matanya, pernah dia datang ke kota raja, malah pernah dia menjadi tamu dari Pangeran Kian Bun Ti yang sekarang menjadi kaisar. Oleh karena itu, sekarang dia dapat membayangkan keadaan kota raja ini dengan hanya mendengar keramaian di sekelilingnya dengan pendengaran saja.

"Saudara Kwa, mari kita masuk ke rumah makan ini dulu. Makan dahulu sebelum bekerja adalah hal yang paling baik," kata The Sun sambil tertawa gembira.

Kun Hong mengerutkan keningnya. Terlalu baik orang ini. Apakah dia benar-benar baik terhadapnya, ataukah ada sesuatu yang tersembunyi di balik keramahan ini? Mana ada seorang siucai yang agaknya kaya raya dan berpengaruh di kota raja suka menolong, malah sekarang hendak menjamu seorang buta seperti dia? Akan tetapi, semua ini baru dugaan dan amatlah tidak baik kalau dia menolak tawaran dan keramahan orang, apa lagi memang dia merasa tertarik hatinya untuk mengetahui apa gerangan yang menjadi dasar keramahan orang ini.

Sambil mengangguk-angguk dan berucap terima kasih dia mengikuti The Sun memasuki rumah makan yang sudah menyambut mereka dengan asap dan uap yang gurih dan sedap. Diam-diam timbul pula harapannya untuk dapat bertemu dengan seorang anggota Hwa-i Kaipang, karena bukankah sudah lazim kalau pengemis-pengemis berada di dekat rumah makan untuk mengemis sisa makanan?

Pesanan masakan The Sun cepat dilayani oleh para pelayan yang juga menyebutnya kongcu dan melayaninya dengan sikap hormat.

"Mari silakan, saudara Kwa," pemuda itu berkata sambil mengisi cawan arak, kemudian menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong.

Orang buta ini dengan berterima kasih tetapi tetap berhati-hati segera mulai makan minum dengan pengundangnya yang aneh dan ramah.

Rumah makan itu tidak banyak didatangi tamu pada saat itu. Kun Hong mendengar ada beberapa orang tamu saja di meja sebelah kanannya. Tiba-tiba dia mendengar beberapa orang memasuki rumah makan itu. Dari bunyi derap langkah mereka tahulah dia bahwa orang-orang ini adalah ahli-ahli silat, malah beberapa orang di antaranya adalah ahli silat tinggi. Dia mulai waspada.

Sukar menghitung tepat di tempat gaduh itu, akan tetapi dia tahu bahwa sedikitnya tentu ada lima orang yang datang ini. Lalu terdengarlah ribut-ribut di sebelah kanannya, dan terdengar suara kereng berkata, "Diam semua, duduk di tempat. Buka semua buntalan, kami datang melakukan penggeledahan!"

Kun Hong mengerutkan keningnya dan bertanya lirih kepada The Sun, "Saudara The Sun, apakah yang terjadi di sana?"

The Sun tertawa, "Ah, tidak apa-apa, biasa saja terjadi di kota raja. Penggeledahan, apa lagi? Di kota raja sekarang ini banyak terdapat orang-orang jahat, dan semenjak kaisar muda menggantikan mendiang kaisar tua, banyak sekali terjadi keributan. Hampir setiap hari ada orang yang ditangkap dan dihukum mati karena dia menjadi mata-mata musuh dan pengkhianat."

Kun Hong kaget sekali, "Kalau begitu, kita nanti juga akan digeledah?"

Dia tahu bahwa kalau buntalannya digeledah dan mahkota itu dilihat oleh para pemeriksa, tentu dia akan ditangkap. Ini masih tidak hebat, lebih celaka lagi mahkota itu tentu akan dirampas dan dengan demikian, surat rahasia itu ikut terampas pula sehingga segala yang telah dia lakukan selama ini untuk mendapatkan kembali mahkota itu sia-sia belaka!

"Ahh, terhadap aku mereka takkan menggeledah," kata The Sun tertawa, "karena mereka semua sudah mengenalku. Mereka hanya menggeledah orang-orang asing yang datang ke kota raja dan orang-orang yang mencurigakan saja."

Meski pun Kun Hong tidak gentar menghadapi para penggeledah itu, akan tetapi dia juga merasa tidak enak kalau belum apa-apa dia harus menimbulkan keributan di kota raja. Selama dia belum dapat menemukan orang-orang Hwa-i Kaipang dan masih membawa mahkota itu, tidak baik menimbulkan keributan dan menjadi perhatian para penjaga kota. Dia segera bangkit berdiri dan berkata,

"Saudara The, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu. Kini aku sudah kenyang dan hendak pergi saja, mulai dengan pekerjaanku."

The Sun memperdengarkan suara kaget, "Ehhh, saudara Kwa. Mengapa tergesa-gesa? Apakah kau takut digeledah? Kau kan hanya tukang obat, yang kau bawa di buntalanmu, tentu hanya pakaian dan obat-obatan. Mengapa takut kelihatannya?"

"Tidak... tidak takut. Akan tetapi segan juga aku kalau harus digeledah. Siapa tahu kalau obat-obatku bisa hilang sebagian."

Tiba-tiba The Sun memegang tangan kiri Kun Hong. "Saudara Kwa, percayalah kepadaku. Aku akan melindungimu dari tangan anjing-anjing itu," bisiknya.

Kun Hong berdebar hatinya. Tidak salahkah pendengarannya? Siapa yang menyebut para pembantu kaisar dengan sebutan ‘anjing’ atau ‘anjing penjilat’, berarti orang itu termasuk golongan anti kaisar? Betulkan The Sun ini seorang yang segolongan dengan Tan Hok? Segolongan dengan Pek-lian-pai dan para orang gagah yang menentang kaisar baru yang dikatakan tidak tepat menduduki singgasana karena wataknya yang tidak baik? Dia tidak mau percaya begitu saja karena suara orang muda ini mengandung getaran yang sukar ditangkap dasarnya.

The Sun meneriaki pelayan dan cepat membayar harga makanan sambil memberi persen besar kepada pelayan. Kemudian dia menggandeng tangan Kun Hong dan diajak keluar. Bisiknya perlahan, "Saudara Kwa, apakah kau membawa sesuatu yang kau tidak suka dilihat oleh anjing-anjing itu?"

Sukar bagi Kun Hong untuk menjawab, maka dia diam saja.

Selagi mereka berdua berjalan menuju ke pintu, tiba-tiba terdengar oleh Kun Hong orang membentak, "Hei, orang buta! Berhenti dulu kau, tidak boleh ke luar sebelum digeledah!"

Kun Hong berhenti, siap melawan untuk menyelamatkan surat rahasia di dalam mahkota.

The Sun segera berkata nyaring, "Sahabat Kwa yang buta ini datang bersamaku, apa kalian tidak lihat? Dia tamuku, seorang ahli pengobatan yang hanya membawa pakaian dan obat-obatan. Apa perlunya digeledah kalau aku sudah menanggungnya?"

Terdengar oleh Kun Hong suara pimpinan para penggeledah itu yang cukup keras dan mengandung tenaga, "Maaf The-kongcu. Kami mendapat perintah atasan agar hari ini kami menggeledah setiap orang yang belum pernah kami geledah. Orang buta ini belum pernah kami lihat, terpaksa kami tidak berani lepaskan sebelum digeledah karena kalau kami lakukan hal ini, tentu kami akan mendapat hukuman."

The Sun berkata mengejek, "Hemmm, kalau begitu lekas selesaikan dulu penggeledahan orang-orang itu, kami menanti di sini." Dia menarik tangan Kun Hong diajak duduk di atas bangku di pojok. Lalu berbisik. "Lekas, kau titipkan surat rahasia itu kepadaku!"

Kun Hong kaget dan heran bukan main. Apa yang dimaksudkan oleh The Sun? Apakah yang dimaksudkan surat rahasia yang berada di dalam mahkota? Bagaimana orang ini bisa tahu? Dia sendiri yang selalu membawa mahkota itu, tidak tahu di mana disimpannya surat itu.

"Apa maksudmu?" bisiknya tak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti. "Aku tidak membawa surat apa-apa."
"Ah, Saudara Kwa yang baik, masih tidak percayakah kau kepadaku?" bisik The Sun, lalu ditambahkan lebih lirih lagi, "Aku segolongan denganmu... aku membantu perjuangan... aku membantu utara..."

Kun Hong lebih tidak mengerti lagi. Dia sendiri pun tidak tahu dia itu termasuk golongan mana karena biar pun dia mendengar dari Tan Hok tentang pergerakan dan pertentangan di kota raja, namun kalau dia belum mendapat kepastian siapa yang tidak benar dalam hal ini, bagaimana dia bisa membantu satu pihak?

Hanya dia dapat menduga bahwa agaknya pemuda she The ini adalah pendukung Raja Muda Yung Lo di utara. Padahal surat yang disimpan di dalam mahkota itu pun adalah surat rahasia dari mendiang kaisar untuk diserahkan kepada Raja Muda Yung Lo. Tidak akan kelirukah dia kalau mahkota itu dia berikan kepada pemuda ini supaya disampaikan kepada yang berhak menerimanya?

Karena keraguan Kun Hong ini, dia terlambat. Terdengar derap langkah menghampiri dan bentakan orang tadi.
"Heii, orang buta. Hayo turunkan buntalanmu itu dan buka. Juga pakaian luarmu, biarkan kami menggeledahmu!"

Kun Hong berdebar, lalu menjawab, "Saya hanya seorang tukang obat biasa saja, tidak membawa sesuatu, harap kalian jangan mengganggu aku seorang buta..."
"Ha-ha-ha, kau kira akan mampu mengelabui aku Bhe Hap Si Malaikat Bumi? Ha-ha-ha, orang buta, kau menyerahlah!"

Angin cengkeraman yang amat dahsyat menuju dada Kun Hong. Dia merasa kaget sekali. Ini bukanlah serangan orang biasa, melainkan jurus yang dikeluarkan oleh seorang ahli silat kelas tinggi! Masa kalau pangkatnya hanya tukang geledah saja memiliki kepandaian begini tinggi?

Pada saat itu juga dari kanan dan kiri menyambar pula angin pukulan yang membuktikan jelas bahwa penyerang-penyerangnya merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian hebat. Kun Hong cepat menggerakkan kedua kakinya dan dengan langkah ajaib dia dapat menghindarkan tiga serangan sekaligus itu.

"Ha-ha-ha, kau bilang seorang buta biasa?" Bhe Hap berseru mengejek dan merasa amat penasaran sekali, lalu menerjang dengan hebat.

Kun Hong diam-diam mengeluh. Mau tidak mau, belum apa-apa dia sudah menimbulkan keributan yang tentu akan berekor tidak baik. Dia telah siap menggunakan kepandaiannya untuk merobohkan orang-orang ini ketika tiba-tiba The Sun membentak,
"Orang-orang tak tahu aturan. Kalian berani menghina tamuku?"

Kun Hong merasa betapa angin menyambar di sampingnya ketika pemuda yang ramah itu berkelebat ke depannya. Terdengar suara gaduh disusul keluhan orang.
"The-kongcu jangan ikut campur!" Bhe Hap membentak.

Akan tetapi The Sun menjawab. "Menyerang tamuku sama dengan menghinaku!"
"The-kongcu, kami bukan bermaksud begitu..." Bhe Hap membantah.
"Sudahlah, bebaskan saudara Kwa ini dari pemeriksaan, kalau tidak, terpaksa aku akan melawan kalian."
"Hemmm, terpaksa pula kami menggunakan kekerasan!" bantah Bhe Hap.

Terjadilah pertandingan hebat di rumah makan itu. Kun Hong bingung. Haruskah dia turut membantu? Dengan pendengaran telinganya, dia dapat menangkap betapa gerakan Bhe Hap dan empat orang pembantunya yang lain amat kuat, cepat dan juga memiliki tenaga lweekang yang tinggi.

Akan tetapi agaknya orang muda she The ini benar-benar mempunyai kepandaian hebat seperti yang sudah diduga oleh Kun Hong. Buktinya tadi hanya dalam segebrakan saja telah merobohkan seorang lawan dan kini dikeroyok lima tidak terdesak sama sekali.

Meja kursi beterbangan dan secara kebetulan agaknya beberapa kali dengan amat keras meja dan kursi melayang ke arah tubuh Kun Hong. Terpaksa pemuda ini mengelak dan hal ini tentu saja mengherankan mereka yang melihatnya. Seorang buta bagaimana bisa mengelak dari sambaran meja kursi itu?

Kun Hong yang berdiri tegak dan diam memperhatikan jalannya pertandingan, menjadi terheran-heran ketika tiba-tiba saja Bhe Hap dan teman-temannya meloncat keluar rumah makan dan orang itu berkata, "Hebat kepandaianmu, The-kongcu. Akan tetapi, si buta itu pasti akan dapat tertawan oleh kami!" Lalu terdengar mereka itu berlarian pergi.

The Sun menangkap tangan Kun Hong.

"Lekas," bisiknya, "mereka itu hanya untuk sementara saja mampu kuusir. Mereka tentu akan datang kembali dengan teman yang lebih banyak, malah jika tokoh-tokoh pengawal yang lebih kosen datang, kita bisa celaka. Mari cepat kau ikut denganku."

Kun Hong tidak mendapat jalan lain kecuali ikut berlarian cepat bersama The Sun, Dia tidak tahu ke mana dia dibawa, jalannya berliku-liku dan lebih satu jam lamanya mereka melarikan diri. Akhirnya mereka berhenti di tempat yang sunyi dan The Sun mengajak Kun Hong memasuki sebuah rumah tua di pinggir kota yang sunyi ini.

"Di manakah kita ini?" Kun Hong bertanya, tongkatnya meraba lantai yang sudah bolong-bolong dan dinding yang tua dan retak-retak.
"Dalam sebuah bangunan bekas kuil tua yang tak dipakai lagi. Di sini kita aman, takkan ada yang menduga bahwa kau akan bersembunyi di tempat ini. Mari masuklah saja, di belakang ada sebuah kamar yang cukup bersih, kau boleh bersembunyi di sana."
"Saudara The Sun, kau baik sekali..."

Kun Hong menangkap lengan tangan kanan orang muda itu. Gerakannya ini cepat sekali dan memang sangat mengherankan bagaimana seorang yang tidak pandai melihat dapat menangkap lengan orang hanya dengan mendengarkan gerakan orang itu.

"Ahhh...!" Kun Hong menghentikan kata-katanya tadi dan kini dia berseru kaget sambil meraba-raba lengan kanan The Sun. "Saudara The, kau... kau terluka...?"
"Wah, hebat sekali kau, Kwa-lote! Begitu memegang lenganku kau sudah tahu bahwa aku terluka. Benar-benar ilmu pengobatan yang kau miliki amat tinggi!" The Sun berseru kaget dan heran.

Tapi Kun Hong tidak mempedulikan pujian ini, melainkan segera memeriksa lengan kanan sampai ke pundak, "Luka ini baru saja. The-kongcu... kau terluka ketika bertempur tadi!" Suara Kun Hong agak gemetar saking terharu mengingat betapa orang yang baru saja bertemu dengannya ini telah membelanya sampai terluka.

"Kwa-lote, jangan panggil kongcu kepadaku, bikin aku tidak enak saja. Aku sedikit lebih tua darimu, sebut saja twako kepadaku. Tentang luka ini..." dia menarik napas panjang. "Memang anjing-anjing itu amat lihai, maka untung tadi kita sempat melarikan diri. Kalau datang tokoh yang lebih sakti, celaka..."

Kun Hong terheran. "Tapi... bukankah kau tadi berhasil mengusir mereka? Bagaimana kau bisa terluka?"

The Sun tertawa mengejek. "Kadang-kadang dengan kepandaian silat saja tidak cukup untuk mencapai kemenangan, Kwa-lote. Sering kali terjadi, kecerdikan dan akal bahkan dapat mengalahkan kepandaian silat. Di antara para petugas istana tadi, terdapat seorang ahli pukulan Gin-kong-jiu (Tangan Sinar Perak) yang lihai, karena selain ilmu pukulan ini mengandung hawa beracun, juga dilakukan dengan mengerahkan tenaga Jeng-kin-kang (Tenaga Seribu Kati). Tadi dalam pengeroyokan dia sudah menyerangku dengan pukulan itu. Karena menghadapi pengeroyokan orang-orang yang berkepandaian tinggi, aku tidak memiliki kesempatan mengelak lagi, terpaksa aku menyambut pukulan itu dengan tangan kananku. Aku tahu bahwa pada saat itu aku menderita luka dalam, akan tetapi kalau hal itu kuperlihatkan, kita tentu sudah celaka tadi. Aku pura-pura tidak merasa akan hal ini, malah menyerang mereka kalang-kabut. Hal inilah yang membuat mereka kaget dan jeri, mengira bahwa pukulan hebat itu sama sekali tidak mempengaruhiku dan ini pula yang menyebabkan mereka mengaku kalah dan melarikan diri. Ha-ha-ha, Kwa-lote, kau pikir, bukankah sekali ini ilmu silat kalah oleh akal dan kecerdikan?"

"The-twako sungguh-sungguh gagah dan berbudi. Untuk aku seorang buta, engkau sudah mengorbankan diri menderita luka, membuat aku merasa tidak enak sekali."
"Kwa-lote, di antara kita, perlu apa bicara sungkan seperti itu? Sekali bertemu muka aku tahu bahwa kau bukanlah seorang tukang obat buta biasa saja. Malah aku hampir merasa yakin sekali bahwa kaulah orangnya yang disebut-sebut para teman seperjuangan yang mendesas-desuskan bahwa surat rahasia itu berada di tanganmu."
"Surat rahasia ? Apa maksudmu ?"

The Sun terdengar kecewa sekali. "Ah, sampai sekarang kau agaknya masih belum mau percaya padaku, Kwa-lote. Semua orang di antara para pejuang tahu bahwa surat rahasia peninggalan mendiang kaisar tua berada di tangan bekas pembesar Tan Hok, kemudian dikabarkan bahwa kaulah yang agaknya sudah menguasai surat itu. Kalau memang betul demikian, akulah orangnya yang akan membawa dan mengantarkan surat itu kepada Raja Muda Yung Lo di utara."

Berdebar jantung Kun Hong. Ah, kiranya pemuda gagah ini adalah utusan atau pembantu dari raja muda dari utara itu! Sungguh kebetulan. Memang dia sedang mencari orang yang berhak menerima mahkota kuno berikut rahasianya itu untuk disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo.

Akan tetapi, kehati-hatiannya membuat dia berpikir lebih jauh lagi. Baru sekarang ini dia berkenalan dengan The Sun. Bagaimana dia dapat menyerahkan mahkota demikian saja?

"The-twako, nanti saja kita bicara tentang itu. Sekarang biarkan aku mengobati lukamu," katanya sambil menotok dan mengurut jalan-jalan darah di seluruh lengan dan pundak The Sun, kemudian menyalurkan hawa murni melalui telapak tangan kanan pemuda itu. The Sun terkejut dan berkali-kali mengeluarkan suara memuji sesudah luka dalam itu sembuh oleh pengobatan Kun Hong yang mempergunakan sinkang di tubuhnya.

The Sun menarik napas panjang dan berkata, "Ahhh, ternyata biar pun aku bermata, aku lebih buta dari pada kau, Kwa-lote. Aku mengira bahwa kau hanyalah seorang di antara saudara-saudara seperjuangan yang menentang kekuasaan kaisar muda yang talim. Tak tahunya kau adalah seorang ahli yang memiliki kesaktian seperti ini! Benar-benar amat memalukan kalau kuingat betapa tadi aku memperlihatkan kebodohan dan kedangkalan ilmu silatku di depan seorang sakti!"

Kun Hong tersenyum dan menjura. "The-twako, kau orang yang lihai, tak perlu merendah seperti ini. Aku bukan apa-apa, hanya mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Terus terang saja, aku bukanlah anggota pejuang, aku tak bisa disamakan dengan kau seorang patriot. Secara kebetulan saja aku mempunyai tugas yang ada hubungannya dengan perjuangan menentang kaisar baru."

"Sudah kuduga, sudah kuduga sebelumnya, kau tentu bukanlah seorang biasa. Betulkah desas-desus itu bahwa kau telah menerima surat rahasia dari bekas pembesar Tan Hok? Atau... masih belum percayakah kau kepadaku?"

Bimbang hati Kun Hong. Pikirannya bekerja keras dan dia mendapat akal.....

"Bukan begitu, The-twako, akan tetapi soalnya karena aku harus berhubungan dengan orang yang berhak. Sesungguhnya, walau pun aku mempunyai hubungan dengan paman Tan Hok, akan tetapi aku tidak pernah diserahi sebuah pun surat rahasia, hanya aku telah merampas kembali sebuah mahkota kuno yang tadinya terampas dari tangan paman Tan Hok."
"Mahkota kuno? Ah, segala benda berharga, apa artinya diperebutkan?" terdengar suara The Sun kecewa.

Diam-diam Kun Hong mengambil kesimpulan bahwa pemuda pejuang ini ternyata belum tahu akan rahasia mahkota kuno yang menjadi tempat penyimpanan surat rahasia yang diperebutkan itu.

"Ahh, sayang sekali kalau kau tidak tahu tentang surat itu, Kwa-lote. Surat itu luar biasa pentingnya bagi perjuangan dan celakalah kalau sampai terjatuh ke tangan musuh."
"Surat apakah yang kau maksudkan itu, The-twako?" Kun Hong memancing.

The Sun tidak segera menjawab, dari gerakannya tahulah Kun Hong bahwa pemuda itu pergi mendekati pintu, agaknya menyelidik kalau-kalau ada orang yang mendengarkan di tempat itu. Akan tetapi dengan ketajaman telinganya Kun Hong yakin bahwa di tempat itu, selain mereka berdua, tidak ada orang lain lagi.

Kemudian The Sun datang lagi mendekati Kun Hong dan berkata lirih. "Surat itu adalah surat peninggalan mendiang kaisar tua yang diserahkan kepada bekas pembesar Tan Hok. Isi surat itu mengatakan bahwa kaisar tua memberi kekuasaan penuh kepada Raja Muda Yung Lo dari utara untuk mewakilinya memberi hukuman kepada kaisar muda yang baru ini andai kata kaisar baru ini menyeleweng. Nah, bukankah amat penting surat itu? Jika surat itu diperlihatkan kepada para menteri dan pembesar yang berada di kota raja, tentu menimbulkan keributan besar karena sebagian besar tentu saja akan tunduk kepada pesan terakhir kaisar tua pendiri Kerajaan Beng. Sebaliknya apa bila terjatuh ke tangan musuh dan dimusnahkan, tentu amat merugikan perjuangan."

Mendengar ini, makin menipis keraguan hati Kun Hong. Tak salah lagi, pemuda gagah ini tentulah seorang pejuang yang diberi kepercayaan dari Raja Muda Yung Lo. Memang patut diberi kepercayaan karena orang ini amat cerdik. Kalau tidak cerdik, mana mungkin seorang yang bertugas mata-mata dapat seenaknya tinggal di kota raja, malah dikenal oleh para penjaga dan pengawal istana sebagai seorang kongcu dan siucai?

Ingin sekali dia tahu murid siapakah pemuda ini dan sampai di mana tingkat ilmu silatnya. Tentu saja Kun Hong tidak berani bertanya tentang ini, apa lagi menguji kepandaiannya, namun diam-diam dia sudah menjadi makin kagum saja.

"Wah, kalau begitu benar-benar amat penting surat rahasia itu, The-twako. Sayang aku tidak tahu akan hal itu. Tentang mahkota kuno ini, aku bermaksud untuk menyerahkannya kepada seorang sahabat baikku. Karena itu kuharap kau sudi menolongku mencarikan sahabatku itu. Dia seorang pejuang kawakan dan tentu kau mengenalnya."
"Siapakah dia?"
"Dia adalah Hwa-i Lokai ketua dari perkumpulan pengemis Hwa-i Kaipang."
"Ahh, dia...?" Suara The Sun terdengar seperti orang kaget. Akan tetapi menjadi tenang kembali ketika dia berkata. "Tentu saja aku mengenalnya dengan baik. Siapa yang tidak mengenal Hwa-i Lokai yang sangat lihai? Akan tetapi, mencari Hwa-i Lokai kiranya lebih sulit dari pada mencari iblis sendiri. Perkumpulan pengemis itu merupakan perkumpulan rahasia, pengaruhnya sama besar seperti perkumpulan Pek-lian-pai yang juga menentang kaisar."

Kun Hong mengangguk-angguk. "Kurasa kalau kau dapat mencari seorang dua orang anggota Hwa-i Kaipang dan dapat mengajak mereka, tentu akan mudah menjumpai Hwa-i Lokai. Tolonglah kau cari dia dan ajak Hwa-i Lokai datang ke sini menemuiku. Asal kau katakan bahwa Kwa Kun Hong yang minta dia datang, pasti dia akan datang ke sini."

"Wah-wah, kiranya kau begini berpengaruh, Kwa-lote? Benar-benar membuat aku makin tunduk dan kagum."
"Bukan, bukan... hal ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan. Soalnya karena... beberapa tahun yang lalu aku pernah mencampuri urusan dalam mereka, urusan Hwa-i Kaipang dan akhirnya aku diangkat mereka menjadi ketua kehormatan. Itulah, tidak ada sebab lain."

The Sun diam sampai lama, agaknya bimbang dan ragu apakah dia akan mampu mencari kakek itu. Kemudian katanya lagi, "Kwa-lote, dari pada susah-susah mencari Hwa-i Lokai, apakah bedanya kalau kau serahkan saja tugas itu kepadaku? Disuruh ke mana pun aku akan pergi, asal saja urusan itu penting untuk perjuangan."
"Maaf, The-twako, soalnya bukan tidak percaya kepadamu, akan tetapi aku harus tidak mau mengecewakan paman Tan Hok yang sudah menaruh kepercayaan kepadaku."

Akhirnya The Sun pergi setelah berkata, "Baik, akan kucari Hwa-i Lokai. Kau tunggulah saja di sini, lote."

Ternyata Kun Hong harus menunggu sehari penuh. Hari telah mulai sore dan Kun Hong sudah kehabisan sabar. Selain merasa lelah menunggu dan lapar, dia juga tidak suka berada dalam keadaan yang serba tidak pasti itu. Dia sudah hampir pergi meninggalkan tempat itu untuk mencoba mencari sendiri ketika terdengar derap langkah beberapa orang memasuki bangunan tua ini.

Kun Hong cepat berdiri tegak menanti dengan sikap tenang namun penuh kesiap siagaan. Kiranya The Sun yang datang itu, bersama tiga orang kakek pengemis.

"Kwa-lote, tak mungkin bertemu dengan Hwa-i Lokai karena dia sedang pergi keluar kota, agaknya ke utara. Akan tetapi aku bertemu dengan tiga orang tokoh Hwa-i Kaipang, dan sekarang mereka kuajak ke sini."

Sedangkan ketiga orang pengemis tua yang pakaiannya berkembang-kembang itu begitu melihat Kun Hong lalu serentak menjatuhkan diri berlutut dan seorang di antara mereka berkata,
"Ah, kiranya Kwa-pangcu (ketua pengemis Kwa) berada di sini! Kami bertiga pengemis tua menyampaikan hormat kepada Kwa-pangcu."
"Sam-wi lokai (Saudara pengemis tua bertiga) tidak usah berlutut dan terlalu sungkan, akan tetapi aku tidak mengenal suara sam-wi. Maaf, sam-wi siapakah dan apa kedudukan sam-wi di Hwa I Kai-pang?"
"Tidak aneh jika Kwa-pangcu belum mengenal kami bertiga sebab sudah bertahun-tahun Kwa-pangcu tidak pernah datang mengunjungi Hwa-i Kaipang. Kami bertiga merupakan pembantu-pembantu Lo-pangcu di samping Coa Lokai, sebagai pengganti dari Sun Lokai dan Beng Lokai yang telah diusir. Kami bertiga tahu semua akan kejadian beberapa tahun yang lalu saat Kwa-pangcu datang dan membereskan keruwetan yang terjadi pada Hwa-i Kaipang."

Kun Hong mengangguk-angguk. Teringat ia akan semua pengalamannya beberapa tahun yang lalu sebelum kedua matanya menjadi cacat. Memang, karena dia pernah berhasil membereskan keributan yang terjadi karena perebutan kedudukan ketua di perkumpulan Hwa-i Kaipang, dia malah diangkat menjadi ketua mereka! Dengan mempergunakan akal untuk mencegah terjadinya keributan, dia lalu menerima kedudukan ketua, akan tetapi dia mewakilkannya kembali kepada Hwa-i Lokai yang dia angkat menjadi ji-pangcu (ketua ke dua).

Tiba-tiba muka Kun Hong mengerut di bagian antara kedua matanya yang buta. Kenapa ketiga orang pengemis tua ini menyebut Hwa-i Lokai sebagai lo-pangcu, tidak ji-pangcu?

"Lo-pangcu kami sedang pergi ke utara untuk tugas perjuangan, namun pangcu sudah memesan kepada kami bahwa kalau ada orang mencarinya untuk menyampaikan pesan rahasia atau surat rahasia, boleh kami mewakilinya. Oleh karena itu, setelah mendengar keterangan mengenai Kwa-pangcu dari The-kongcu, kami segera datang menghadap ke sini. Sekarang, kami menanti perintah dan petunjuk Kwa-pangcu."

Mendadak Kun Hong membuat gerakan kilat dan tahu-tahu tangannya sudah menangkap pergelangan lengan pengemis terdekat, lalu dia membentak.
"Siapakah kalian? Jangan coba-coba mengelabui orang buta! Aku tahu pasti, kalian bukan pembantu-pembantu Hwa-i Lokai!"

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar bangunan itu dan ternyata banyak sekali orang berpakaian pengawal istana berlompatan masuk. Di antara suara mereka, Kun Hong mengenal suara Tiat-jiu Souw Ki yang berseru, "Betul dia si buta yang merampas mahkota kuno. Hati-hati dia lihai!"
cerita silat online karya kho ping hoo
Pengemis yang dipegang pergelangan tangannya oleh Kun Hong itu berseru keras dan meronta. Kun Hong terpaksa melepaskan pegangannya karena dia harus menghadapi bahaya baru yang datang dari luar. Dia taksir bahwa yang datang ini ada belasan orang banyaknya dan segera terdengar suara senjata tajam dicabut dan digerakkan.

"Kwa Kun Hong, kau sudah terkepung! Lebih baik menyerah dan serahkan mahkota serta surat rahasia yang dipercayakan Tan Hok kepadamu!" terdengar suara seorang laki-laki tua yang suaranya tinggi melengking.

Dari suara gerak-gerik mereka itu Kun Hong tahu bahwa dia dikepung oleh orang-orang pandai yang memiliki kepandaian tinggi. Namun dia tidak gentar, siap mempertahankan mahkota kuno itu dengan taruhan nyawanya. Hanya satu hal yang membuat dia gelisah, yaitu keselamatan The Sun. Kasihan bila pemuda itu sampai ikut celaka akibat menolong dirinya. Dia hendak memancing pertempuran supaya semua orang mengeroyoknya, dan dalam keributan itu memberi kesempatan kepada The Sun untuk melarikan diri. Dia lalu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, anjing-anjing penjilat kaisar lalim! Kalau memang kaisar muda yang baru ini seorang yang benar, mengapa takut akan segala surat rahasia peninggalan kaisar tua? Aku tidak tahu di mana surat yang kalian cari-cari itu, akan tetapi kalau mahkota kuno memang berada padaku. Akan tetapi jangan harap aku sudi menyerah dan memberikan mahkota kuno itu kepada siapa pun juga di antara kalian! Kalau kalian memang sanggup, boleh tangkap aku!"

Tentu saja para pengawal istana itu marah sekali mendengar betapa ada seorang buta menantang mereka. Mereka itu memaki-maki dan mulai mendesak maju untuk berlomba menangkap atau merobohkan Kun Hong.

Tiba-tiba tiga orang berpakaian pengemis itu yang berdiri paling dekat dengan Kun Hong dan yang diam-diam sudah menyiapkan senjata mereka, yaitu masing-masing sebatang tongkat, serentak menyerang Kun Hong!

Bila saja Kun Hong tadinya tidak menaruh hati curiga kepada tiga orang ini, agaknya dia akan terkena serangan gelap, atau setidaknya akan terkejut sekali. Akan tetapi dia tadi memang sudah menduga bahwa tiga orang pengemis ini adalah anggota-anggota Hwa-i Kaipang yang palsu, yang agaknya sengaja menyamar sebagai anggota-anggota Hwa-i Kaipang untuk menipunya.

Maka sekarang menghadapi serangan mereka, dia malah tertawa mengejek. Tubuhnya berkelebat cepat dan aneh, kedua tangannya bekerja dan... berturut-turut tubuh tiga orang pengemis tua itu melayang ke arah para pengawal yang maju hendak mengeroyoknya.

Akan tetapi Kun Hong segera harus mencurahkan seluruh perhatiannya guna menghadapi pengeroyokan para pengawal istana yang mulai dengan penyerangan mereka itu. Pada mulanya dia hanya mempergunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari setiap sambaran senjata, akan tetapi karena para pengeroyoknya terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi, Kun Hong mulai menggerakkan tongkatnya untuk menangkis.

"The-twako, harap lekas kau pergi!" Kun Hong sempat berseru beberapa kali karena dia benar-benar merasa khawatir kalau-kalau penolongnya itu akan terbawa-bawa.

Akan tetapi tak mungkin dia dapat memperhatikan dan mencari tahu keadaan pemuda itu karena kepungan dan pengeroyokan ketat para pengawal istana itu benar-benar membuat dia sangat sibuk. Sudah ada beberapa buah senjata lawan dapat dia pukul dan terlepas dari pegangan, sedangkan tangan kirinya juga telah merobohkan tiga orang yang terkena dorongannya.

Akan tetapi serbuan para pengeroyok semakin hebat sehingga terpaksa Kun Hong kini memainkan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam sambil tidak lupa mencelat ke sana ke mari mempergunakan langkah sakti dari ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Ributlah para pengeroyok itu, terdengar seruan-seruan kaget dan beberapa orang roboh lagi. Akan tetapi mereka itu roboh hanya untuk sejenak saja karena Kun Hong sama sekali tidak mau menggunakan pukulan maut, cukup baginya kalau dapat mendorong orang roboh atau membuat senjata mereka terlempar.

"The-twako, tinggalkan aku...!" Dia sempat berseru lagi sambil berusaha membuka jalan untuk ke luar dari rumah itu. Dia dapat menduga bahwa waktunya sekarang tentu hampir malam, karena dia tadi telah menunggu sehari penuh dan hawa siang yang panas telah mulai menghilang tadi.
"The-twako, pergilah, biar aku menghadapi sendiri anjing-anjing ini!" serunya lagi.

Kun Hong berpikir bahwa kalau hari sudah menjadi gelap dan dia sudah berhasil ke luar dari kepungan dan lari ke luar rumah, agaknya akan lebih mudah baginya untuk melarikan diri. Tentu saja dia akan dikejar, akan tetapi dia dapat merobohkan setiap orang pengejar dan mencoba untuk lari keluar dari tembok kota raja, atau mencari tempat sembunyi yang lebih baik.

"Kwa-lote, jangan khawatir, aku membantumu!" mendadak terdengar suara The Sun dan tahu-tahu pemuda itu telah berada di dekatnya, malah kini The Sun juga menggerakkan pedangnya menangkis beberapa senjata para pengeroyok.
"Ahh, jangan, The-twako. Tidak perlu kau membantuku, larilah...!" kata Kun Hong sambil menghantam runtuh sebuah tombak panjang dengan tangan kirinya yang dimiringkan.
"Aha, kau hebat, Lote. Tetapi jangan kira aku pengecut! Aku pun berani mengorbankan nyawa untuk perjuangan..."
"Ahh, jangan..." Kun Hong terharu dan saking marahnya kepada para pengeroyok, sekali kaki kirinya menendang, dua orang berteriak kesakitan dan terlempar ke belakang.
"Kwa-lote, kulihat para perwira kerajaan datang. Mereka lihai... aku tidak takut, akan tetapi sayang... bagaimana kalau sampai rahasia yang kau bawa terjatuh ke tangan mereka? Lebih baik kau serahkan padaku. Katakan ke mana harus kusampaikan, rahasia itu lebih penting dari pada nyawa kita."

Kun Hong memutar otaknya sambil menghadapi pengeroyokan yang semakin ketat itu. Benar juga, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan mahkota kuno dengan rahasianya, hanya menyerahkan kepada The Sun.

"Lekas, ambil mahkota di buntalanku... kau bawa lari..."
"...mahkota...?" The Sun berbisik, suaranya kecewa, "untuk apa benda itu? Surat rahasia itu yang penting!"
"Tiada waktu bicara panjang lebar..."

Kun Hong mengambil keluar mahkota itu dan menyerahkannya kepada The Sun dengan tangan kiri, sedangkan tongkatnya diputar melindungi mereka berdua. "Bawa ini kepada anggota-anggota Pek-lian-pai, tentu mereka mengerti... lekas kau pergi..."

The Sun menerima mahkota itu. Pada waktu itu, empat orang perwira yang bersenjata golok telah menerjang masuk. Gerakan golok mereka berat dan cepat. Desir angin senjata mereka membuat Kun Hong maklum bahwa sekali ini dia harus mempertahankan dirinya mati-matian karena selain jumlah musuh sangat banyak, juga ternyata makin lama yang datang mengeroyoknya adalah orang-orang yang makin tinggi ilmu kepandaiannya.

"The-twako lekas pergi! Menanti apa lagi?" bentaknya ketika belum juga dia mendengar sahabatnya itu melompat pergi meninggalkannya.

Lama The Sun tidak menjawab, kemudian terdengar suaranya. "Nanti dulu, aku menanti saat baik..."

Pada saat itu pula, empat buah golok besar yang bergerak bagaikan empat ekor naga menyambar, bercuitan di atas kepala Kun Hong, dibarengi bentakan seorang di antara para perwira.

"Pemberontak buta, lebih baik kau menyerah!"

Kun Hong terkejut sekali. Jurus keempat buah golok yang dipersatukan ini benar-benar amat berbahaya. Cepat dia melintangkan tongkatnya di depan dada dan kakinya yang kiri tiba-tiba menyapu dengan gerakan cepat tak terduga.

Empat orang perwira itu terkejut dan meloncat sambil membabatkan golok mereka. Kun Hong menangkis sekaligus, tongkatnya seakan-akan tergencet empat batang golok dari empat orang perwira yang mempersatukan tenaga.

Kun Hong menunggu saat baik untuk memperoleh kemenangan, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar The Sun mendekatinya. Dia mengira bahwa sahabatnya ini hendak membantu dirinya karena mengkhawatirkan keadaannya.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika mendadak dia merasa betapa jalan darahnya di punggung ditotok orang. Seketika tubuhnya menjadi lemas seperti lumpuh dan pada saat itu, sebatang pedang tajam yang datang dari tempat The Sun menyambar, menikam ke arah lambungnya!

Kun Hong mengerahkan seluruh tenaga sakti di dalam tubuhnya. Dia berhasil mengusir pengaruh totokan dan jalan darahnya normal kembali, akan tetapi karena pengerahan tenaga ini, gerakannya kurang cepat ketika mengelak dan…

"Craattt!"

Ujung pedang itu biar pun tidak mengenai lambungnya, masih menancap dan mengiris robek kulit dan daging pada pangkal pahanya bagian belakang!

"The Sun keparat jahanam!" Kun Hong menggereng.

Tubuhnya menubruk maju, tongkat serta tangan kirinya dikerjakan. Gerakannya cepat laksana kilat menyambar sehingga dia berhasil merampas kembali mahkota dari tangan The Sun, akan tetapi dia tidak berhasil merobohkan The Sun yang cepat menghindar pergi sambil tertawa mengejek. Agaknya pemuda yang ternyata adalah seorang di antara para musuh itu sudah maklum akan kelihaian Kun Hong dan tidak mau secara ceroboh menyambut serangan tadi.

Kun Hong cepat menyimpan mahkota dalam buntalannya lagi dan dadanya penuh hawa amarah, penuh dendam dan penasaran. Ternyata dia telah ditipu oleh The Sun! Dia telah dipermainkan, dan tahulah pula dia sekarang bahwa tiga orang pengemis tua tadi pun adalah kaki tangan The Sun ini yang menyamar sebagai anggota-anggota Hwa-i Kaipang!

"The Sun, jahanam pengecut! Hayo maju lawan aku, jangan sembunyi seperti seorang pengecut hina!" Kun Hong menantang-nantang dengan kemarahan luar biasa.

Kun Hong tidak lagi bergerak lincah seperti tadi, melainkan berdiri seperti seekor harimau kepepet. Akan tetapi tiap ada senjata pengeroyok melayang dekat, sekali menggerakkan tongkat senjata itu akan terpental kembali.

Dari jauh terdengar The Sun menjawab dengan suara mengejek. "Pengemis buta hina, tak usah kau sombong! Lebih baik menyerah dan takluk. Kalau tidak, sebentar lagi pun kau akan roboh oleh luka itu, ha-ha-ha!"

Kun Hong menggerakkan tubuhnya, mencelat ke arah suara. Tongkat dan tangan kirinya bergerak aneh ke depan. Terdengar jerit mengerikan ketika dua orang perwira yang tidak sempat menyingkir, tahu-tahu pinggang mereka telah terbabat putus dan kepala mereka hancur mengerikan terkena hantaman atau cengkeraman tangan kiri Kun Hong. Kiranya dalam keadaan marah luar biasa ini, tanpa disadarinya Kun Hong telah mempergunakan jurus ‘Sakit Hati’ hasil ciptaannya sendiri yang ditunjukkan oleh kakek sakti Song-bun-kwi!

Bukan main marahnya para perwira ketika melihat dua orang teman mereka roboh tanpa bernyawa dalam keadaan yang begitu mengerikan. Mereka merasa ngeri, akan tetapi kemarahan membuat mereka nekat menyerbu sambil berteriak-teriak. Kini yang menyerbu adalah para perwira pilihan yang memiliki kepandaian tinggi, karena yang berkepandaian lebih rendah tingkatnya dari pada dua orang perwira yang tewas itu tidak ada yang berani maju mendekat!

Seorang perwira tinggi besar bermuka hitam, dia ini adalah orang yang siang tadi datang bersama The Sun dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun, seorang yang mempunyai kepandaian tinggi dan senjatanya adalah sepasang ruyung baja yang dipasangi duri-duri, sekarang maju dan menerjang Kun Hong dengan sepasang ruyungnya menyambar dari kiri dan dari atas.

Berbareng dengan serangan ini, seorang perwira lain yang bertubuh gemuk pendek sudah menerjang pula dengan pedangnya dari belakang, menusuk punggung Kun Hong sambil menggerakkan tangan kiri dengan pengerahan tenaga lweekang untuk bersiap menyusul dengan pukulan apa bila pedangnya tidak berhasil.

Beberapa detik kemudian dari pada serangan pedang ini, seorang perwira lain yang kurus dan bermuka kuning menyerang pula dari sebelah kanan. Senjatanya adalah sepasang kongce (tombak cagak) yang bergagang pendek. Gerakannya cepat bertenaga dan ujung kongce itu tergetar dengan hebat ketika dia menusuk ke arah lambung Kun Hong.

Kun Hong sudah seperti orang keranjingan. Dia tidak bergerak, seperti sebuah patung, akan tetapi andai kata Song-bun-kwi berada di situ, tentu kakek yang dijuluki iblis ini akan merasa ngeri melihat kedudukan tubuh atau pasangan kuda-kuda pemuda buta itu, sebab dia mengenal betul kuda-kuda mukjijat itu.

Tubuh pemuda buta ini tak bergerak seperti patung, kaki kanan di depan dengan ujungnya berjungkit, kaki kiri di belakang dengan lututnya ditekuk, tangan kanan memegang tongkat melintang di atas kepala, tangan kirinya dengan jari-jari tangan terbuka bagaikan hendak mencengkeram sesuatu dari tanah, mulutnya agak terbuka, hidungnya kembang-kempis, dadanya turun naik dan dari ubun-ubun serta kedua lengannya mengepul uap putih! Inilah kuda-kuda dari jurus Sakit Hati yang amat dahsyat dan mukjijat itu!

Kun Hong seakan-akan membiarkan tiga orang perwira dengan senjata masing-masing itu menerjangnya, dan seakan-akan sepasang ruyung baja itu sudah tentu akan meremukkan kepalanya, pedang si gemuk pendek sudah hampir menembus punggungnya dan senjata kongce itu pasti akan menembus lambungnya.

"Haiiiiittttttt!"

Tiba-tiba suara nyaring bagai guntur ini memekakkan telinga semua pengeroyok. Tampak sinar kemerahan menyambar menyilaukan mata, tubuh Kun Hong bergerak sedikit dan... ketiga orang perwira itu seakan-akan tertahan gerakannya karena tiba-tiba saja gerakan mereka terhenti, tubuh mereka berdiri kaku bagaikan disambar halilintar, sedangkan Kun Hong sudah memasang kuda-kuda lagi seperti tadi.

Semua pengeroyok berdiri bengong, lantas muka mereka menjadi pucat dan hati mereka ngeri bukan main ketika tiga orang perwira yang tadinya berdiri tegak kaku itu mendadak roboh ke atas tanah dan tubuh mereka putus menjadi dua di bagian pinggang sedangkan kepala mereka hancur!

Tanpa ada orang yang dapat melihat atau mengetahui bagaimana caranya, tiga orang perwira itu tadi sudah mati seketika karena pinggang mereka terbabat putus dan kepala mereka dihantam remuk! Inilah akibat dari jurus Sakit Hati yang kembali telah merobohkan tiga orang korban dalam waktu beberapa detik saja.

Kun Hong menggigit bibirnya menahan sakit. Luka pada pangkal paha sebelah belakang amat perih dan panas, juga ada rasa gatal-gatal yang amat nyeri. Seluruh punggungnya terasa kaku. Dia tahu bahwa lukanya itu amat berbahaya, tertusuk pedang yang ujungnya diberi racun yang amat berbahaya, mungkin racun ular.

Tentu saja dia akan dapat menyembuhkan luka itu kalau dia mendapat kesempatan. Akan tetapi dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk itu, maka satu-satunya jalan yang dapat dia lakukan hanyalah mengerahkan tenaga dalam dan mendorong hawa sakti di tubuhnya untuk menahan racun itu agar jangan menjalar ke dalam tubuh.

Sementara itu hatinya risau bukan main. Dia telah membunuh lima orang dalam waktu beberapa detik saja. Dia dapat membayangkan betapa hebat dan mengerikan kematian lima orang lawannya itu. Akan tetapi pada saat itu, walau pun agak risau dan tak enak hatinya, pikirannya memaksanya untuk tidak ambil peduli. Dia didesak, diancam maut, dan perasaannya dilukai oleh penipuan The Sun.

Betapa pun marahnya, Kun Hong bukanlah orang nekat yang hendak mengadu nyawa dengan musuh-musuhnya. Setelah merobohkan tiga orang dan tidak lagi mendengar ada pengeroyok bergerak menyerang, kakinya otomatis bergerak melangkah, menggunakan langkah-langkah yang dia namakan Hui-thian Jip-te itu menuju ke pintu bangunan tua. Dia bermaksud untuk melarikan diri, menghindarkan pertempuran lebih jauh.

Tadinya dia melayani pertempuran hanya karena dia hendak melindungi mahkota itu. Dan hampir tanpa dia sadari dia telah menggunakan jurus dahsyat itu sampai menewaskan lima orang akibat terdorong amarah yang hebat terhadap The Sun yang telah menipunya.

"Penjahat buta jangan lari!" terdengar bentakan. Kembali belasan senjata mengepungnya.

Kun Hong tersenyum mengejek, akan tetapi hatinya mengeluh. Agaknya para perwira ini benar-benar merupakan anjing-anjing penjilat yang beraninya hanya mengeroyok.

"Aku bosan mendengar suara kalian, aku hendak pergi dari sini. Siapa berani melarang?" Katanya perlahan sambil melanjutkan langkahnya keluar.

Sebatang toya dengan kuatnya menghantam belakang kepalanya dari kanan, digerakkan oleh dua buah tangan yang bertenaga besar.

"Blukkk!"

Ujung toya menghantam kepala demikian kerasnya sehingga robohlah seketika orang itu dengan kepala keluar kecap! Tetapi orang itu bukan Kun Hong, melainkan si pemegang toya sendiri.

Pada saat toya tadi menyambar, Kun Hong melejit ke samping, tongkatnya bergerak dan dengan tenaga ‘menempel’ tongkatnya seolah-olah menangkap toya itu, lalu meneruskan dengan meminjam tenaga malah ditambahnya dengan tenaga sendiri, memaksa toya itu terayun balik dan menghantam kepala si pemegangnya sendiri!

Para perwira bengong. Inilah aneh! Mana mungkin seorang perwira berkepandaian tinggi, terkenal sebagai ahli toya di antara mereka, mempunyai jurus yang demikian aneh dan goblok sehingga toya itu berbalik menghantam kepala sendiri? Memang bagi orang luar, nampaknya di pemegang toya tadi seperti memukul kepala dengan toyanya sendiri karena gerakan Kun Hong demikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata.

Hanya sebentar saja para perwira itu bengong, segera mereka menerjang kembali, lebih marah dan penasaran lagi. Mana patut jika sekian banyaknya perwira pilihan dari istana mengepung seorang pemuda buta saja sampai tak mampu merobohkan atau menawan?

Kun Hong terpaksa menggerakkan tongkatnya lagi. Tak mungkin ia hanya mengandalkan langkah-langkah ajaib saja menghadapi pengeroyokan dan pengepungan demikian ketat. Kembali dia mengeluh karena terpaksa dia berlaku kejam, menggunakan kepandaiannya untuk merobohkan setiap orang yang menghalang jalannya.

Dia tidak mau memberi hati, tidak mau bersabar lagi karena soalnya sekarang adalah mati atau hidup. Kalau dia kalah, tentu dia akan mati dan kalau dia ingin hidup, dia terpaksa harus merobohkan, melukai bahkan mungkin membunuh orang!

Hebat pertempuran itu. Bagaikan hujan bermacam-macam senjata menerjang Kun Hong dari semua jurusan. Dan semua orang kaget, heran, kagum tiada habisnya. Orang buta itu seperti orang memiliki puluhan pasang mata saja, seakan-akan semua bagian tubuhnya bermata! Gerakannya aneh dan tampak amat lambat, tapi pada hakekatnya cepat sekali. Pukulan dan hantaman tongkatnya perlahan tapi pada hakekatnya amatlah kuat melihat betapa setiap benturan senjata pasti membuat senjata pengeroyok terlepas.

Sudah belasan orang roboh oleh tongkat, tamparan tangan kiri, atau tendangan kaki Kun Hong. Sedikit demi sedikit dia telah mendekati pintu. Biar pun belum lama dia tinggal di rumah tua ini, dia telah hafal dan sekarang tahulah dia bahwa dia sudah berada dekat dengan pintu keluar.

Dia mengeluarkan suara keras, tongkatnya berkelebat dan kembali robohlah tiga orang pengeroyoknya yang menghadang di depannya. Sekali dia menggenjot tubuh, dia sudah berhasil menerobos pintu dan kini dia telah berada di luar rumah.

Hawa malam yang dingin segar menyambutnya setelah dia keluar dari bangunan itu. Timbul semangatnya dan dia sudah siap melompat dan menggunakan ilmu lari cepatnya dengan untung-untungan karena kalau dia menabrak pohon atau terjerumus jurang, tentu dia akan celaka, Dia harus dapat membebaskan diri dari orang-orang itu, apa lagi kini selain luka itu membuat dia lelah dan kaku, juga terasa amat nyeri.

"Kwa Kun Hong, kau hendak lari ke mana? Lebih baik menyerah dan kalau kau bersedia takluk, aku yang tanggung kau akan mendapat kedudukan besar sebagai tabib negara!" tiba-tiba terdengar suara orang.

Mendengar suara ini seketika muka Kun Hong menjadi merah saking marahnya. Itulah suara The Sun!

Munculnya The Sun ini tiba-tiba menghentikan semua pengeroyokan. Dengan telinganya Kun Hong dapat mendengar betapa para perwira yang mengepungnya tadi dan yang kini sudah mengejar sampai di luar, membuat lingkaran lebar seakan-akan memberi tempat kepadanya untuk berhadapan dengan The Sun. Depan bangunan itu memang merupakan pekarangan rumput yang luas.

Kun Hong berhati-hati, tidak mau berlaku sembrono. Dia telah mendengar pula suara api menyala-nyala, dan dapat menduga bahwa tempat itu tentu diterangi oleh banyak obor yang dipegang oleh para pengawal dan penjaga.

Dia maklum bahwa The Sun memiliki kepandaian tinggi, hal ini dapat dibuktikan tadi ketika dia menerjang The Sun, dia tidak berhasil mengenai pemuda itu, hanya dapat merampas kembali mahkota kuno. Akan tetapi sebaliknya dia kena dicurangi dan dilukai.

Juga dia tahu bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran di tempat yang diterangi api obor itu, menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai sedangkan dia sudah menderita luka parah, akhirnya dia akan roboh. Hal ini tidak ada gunanya.

Dia tidak takut mati, akan tetapi khawatir kalau-kalau mahkota berikut rahasianya itu dapat dirampas orang-orang ini. Yang paling penting menyelamatkan mahkota itu lebih dahulu, menyerahkan kepada orang yang dapat dipercaya, baru kemudian menghadapi The Sun dan menghajar orang ini.

Pikiran ini membuat Kun Hong menahan amarahnya, mendengar kata-kata The Sun yang membujuknya supaya menyerah dengan janji diberi kedudukan mulia. Tanpa menjawab, secara cepat dan sangat tiba-tiba, dia melayang ke arah orang itu sambil menggerakkan tongkatnya yang berkelebat lenyap berubah menjadi sinar kemerahan itu.

"Tranggggg!" Pedang di tangan The Sun menangkis dan bertemu dengan tongkat itu.

Kun Hong merasa betapa pedang pemuda itu adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh sehingga tidak rusak oleh pedang di dalam tongkatnya, juga ternyata betapa tenaga The Sun amat kuat. Tergetarlah telapak tangannya ketika kedua senjata tadi bertemu.
Di lain pihak, The Sun semakin kagum karena pedang pusakanya yang ampuh itu tidak mampu membikin patah tongkat si buta ini dan telapak tangannya bahkan terasa sakit.

Siapakah sebetulnya The Sun, pemuda yang amat cerdik, juga amat lihai ini? Baiklah kita menjenguk keadaan pemuda itu.

Di pegunungan Go-bi-san terdapat banyak sekali puncak-puncak yang menjulang tinggi di angkasa. Karena keadaan pegunungan yang amat luas dan penuh dengan rahasia alam ini, maka banyaklah pertapa-pertapa, orang-orang pandai dan sakti yang mengasingkan diri di sana. Malah partai Go-bi-pai terkenal sebagai partai persilatan besar yang memiliki banyak murid pandai.

Akan tetapi bukan hanya Go-bi-pai saja yang terdapat di pegunungan itu. Masih banyak lagi orang-orang pandai yang tak bergabung di partai Go-bi-pai ini, diam-diam melakukan pertapaan, bahkan kadang-kadang mereka mempunyai seorang dua orang murid rahasia yang tiada sangkut-pautnya dengan Go-bi-pai yang besar.

The Sun adalah seorang pemuda dari Go-bi-san. Ayahnya seorang bekas pembesar pada Pemerintahan Mongol yang melarikan diri setelah bangsa Mongol terusir oleh Ciu Goan Ciang dan para pejuang. Ayahnya yang bernama The Siu Kai adalah seorang pembesar militer yang mempunyai kepandaian tinggi dan merupakan seorang tokoh dari Go-bi-san pula. The Sun masih kecil sekali ketika dibawa lari mengungsi oleh ayahnya, sedangkan keluarga lain semuanya tewas dalam kekacauan perang.

The Siu Kai yang terluka hebat ketika lari ke Go-bi-san membawa puteranya, akhirnya mampu juga mencapai sebuah puncak di mana tinggal gurunya, yaitu seorang tosu tua yang bermuka dan berkulit hitam, yang puluhan tahun bertapa di puncak itu tanpa mau mencampuri urusan dunia ramai. Tosu tua ini karena kulitnya yang hitam disebut orang Hek Lojin (Orang Tua Hitam). Luka parah ditambah penderitaan selama melarikan diri ini tak dapat tertahan lagi oleh The Siu Kai dan dia pun tewas di depan kaki gurunya setelah berhasil membujuk gurunya agar supaya sudi mendidik The Sun putera tunggalnya.

Demikianlah, The Sun yang masih kecil itu akhirnya dipelihara dan dididik oleh Hek Lojin, diberi pelajaran ilmu silat dan ilmu sastera sehingga akhirnya menjadi seorang pemuda yang amat pandai, lihai dan cerdik. Makin lama Hek Lojin makin cinta kepada murid cilik ini sehingga bangkit pula gairahnya untuk urusan duniawi, akan tetapi bukan demi dirinya sendiri, melainkan demi muridnya terkasih itulah.

Dia sengaja membawa The Sun turun gunung ke kota raja, malah menyuruh muridnya ini menempuh ujian di kota raja sehingga berhasil memperoleh gelar siucai. Akhirnya karena kepandaiannya, The Sun mendapat kepercayaan dari Pangeran Kian Bun Ti dan sesudah pangeran ini menjadi kaisar, The Sun tetap menjadi orang kepercayaannya, bahkan dia mendapat tugas untuk menghimpun kekuatan, mengumpulkan orang-orang pandai untuk memperkuat kedudukan kaisar baru ini yang maklum akan adanya ancaman-ancaman terhadap kedudukannya.

Memang The Sun orang yang cerdik sekali. Dia lalu menyebar mata-mata untuk menjaga keamanan kota raja, menyebar orang-orang pandai untuk menghubungi para tokoh besar di dunia kang-ouw, malah dia berhasil mendatangkan banyak orang pandai, di antaranya beberapa orang sakti yang kini sudah tinggal di kota raja pula.

"Sayang, orang muda begini cerdik pandai dan lihai merendahkan diri menjadi anjing kaisar!" tak terasa lagi Kun Hong berseru ketika pemuda itu dapat menangkis tongkatnya dengan tenaga lweekang yang mengagumkan!

The Sun tertawa mengejek. "Kaulah yang patut disayangkan, seorang pendekar buta ahli pengobatan tetapi merendahkan diri menjadi pemberontak, mudah saja dihasut oleh para pengkhianat yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah!"

Akan tetapi Kun Hong tidak mendengarkan ejekan ini karena kembali dia sudah bergerak, kini ke kiri untuk mencari jalan ke luar. Akan tetapi angin bertiup dari arah The Sun dan kembali pedang The Sun dengan amat cepatnya telah menghadang di depannya, bahkan mengirim tusukan maut yang amat dahsyat.

Pedang yang ampuh serta digerakkan dengan jurus-jurus ilmu pedang dari Go-bi-san ini benar-benar luar biasa. Bagi mereka yang bisa melihat tampak sinar yang berkeredepan, bagi Kun Hong terdengar bunyi berdesing-desing laksana sebuah gasing berputar cepat atau seperti kitiran angin dilanda angin kencang.

"Hebat!" Dia memuji dan cepat menggerakkan tongkat.

"Trang-tring-trang-tring!”

Kembali terdengar bunyi nyaring pada saat tongkat bertemu dengan pedang dan sesudah saling serang bertukar tikaman dan babatan maut sampai tujuh jurus, keduanya kembali terpental ke belakang oleh benturan senjata yang amat keras.

Kun Hong diam-diam mengeluh di dalam hatinya. Pemuda ini benar-benar lihai. Agaknya kalau dilawan dengan Kim-tiauw-kun atau Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam saja, walau pun akan menang akan tetapi akan mempergunakan banyak waktu karena ilmu kepandaian pemuda itu memang tinggi sekali. Untuk menggunakan jurus sakit Hati, dia merasa tidak tega, Sayang seorang pemuda begini hebat dibunuh.

"Kwa Kun Hong, kau tidak mungkin dapat meloloskan diri. Lebih baik kau menyerah dan takluk, mari kita bekerja sama!" kembali The Sun membujuk.
"Tutup mulut dan tak perlu kau membujukku." Kun Hong membentak marah.
"Hemmm, kalau begitu kau memang harus mampus!" The Sun juga membentak dan dia segera menerjang dengan kilatan pedangnya yang diputar cepat di depan dadanya.

Kun Hong tahu akan kelihaian lawan ini, maka dia cepat menggerakkan tongkatnya untuk menghadapi dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam. Hebat sekali ilmu pedang warisan Si Raja Pedang Tan Beng San ini karena ke arah mana pun pedang The Sun bergerak, pada akhirnya selalu terbentur oleh tongkat yang bahkan otomatis dapat pula membalas, bacokan demi bacokan atau tusukan dengan tusukan. Mengagumkan melihat dua orang muda itu bertanding.

Keduanya sama tampan, sama lincah cekatan, sama tinggi ilmu pedangnya. Baru kali ini Kun Hong menghadapi lawan yang kuat dalam ilmu pedang sehingga dia makin kagum dan makin menyesal mengapa orang seperti ini harus menjadi lawannya.

Karena tiada niat di dalam hatinya untuk bertempur terus, dia mencari kesempatan baik. Dengan gerakan memutar, tongkatnya melakukan tusukan tujuh kali ke arah punggung lawan. Menghadapi jurus aneh dari Im-yang Sin-kiam ini, The Sun kaget. Lawan berada di depan, bagaimana ujung tongkatnya seakan-akan mengarah tengkuk dan punggungnya? Cepat dia melompat ke kiri dan memutar pedangnya melindungi tubuh.

Kesempatan ini dipergunakan Kun Hong untuk lari ke kanan, menggunakan langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun sehingga beberapa bacokan golok dari para perwira yang berdiri di tempat itu mampu dia hindarkan dengan mudah. Tiga orang perwira lainnya yang sudah menghadang dia robohkan dengan dua kali dorongan tangan kirinya, sedangkan kakinya melangkah terus berloncatan ke sana ke mari ketika mainkan langkah-langkah Hui-thian Jip-te. Sebentar saja Kun Hong sudah berhasil lolos dari kepungan yang begitu ketatnya!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan berpengaruh di sebelah depannya.
"Pemberontak buta, jangan lari! The-siucai, serahkan dia padaku!" kata-kata ini dibarengi desir angin tusukan pedang.

Kun Hong terkejut sekali dan segera dia membanting diri ke kiri. Gerakan menyelematkan diri ini dia lakukan tergesa-gesa sehingga luka pada pangkal pahanya terasa nyeri sekali, akan tetapi dia selamat dari pada sebuah tusukan yang hampir tidak mengeluarkan suara, demikian halus akan tetapi demikian kuatnya. Celaka, pikirnya, ilmu pedang orang ini luar biasa sekali.

Karena maklum bahwa yang dihadapinya seorang ahli pedang kawakan yang amat lihai, Kun Hong cepat menggerakkan tongkatnya membalas serangan tadi. Segera dia terlibat dalam pertandingan pedang sampai belasan jurus dengan penyerang baru ini. Makin lama makin heran dan terkejut hati Kun Hong.

Pada jurus ke lima belas, dia menggunakan tongkatnya menangkis keras sehingga kedua senjata yang bertemu itu terpental ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Hong untuk berseru.

"Bukankah tuan ini Sin-kiam-eng Tan Beng Kui lo-enghiong?"
"Hemmm, kalau sudah kenal baik lekas menyerah, tak perlu melawan," jawab orang itu yang bukan lain adalah Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, majikan Pek-tiok-lim di pantai Po-hai, yaitu ayah dari Tan Loan Ki si dara lincah!

Kun Hong cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat, wajahnya berubah penuh harapan ketika dia berkata, "Lo-enghiong, harap jangan lanjutkan pertempuran, kita orang sendiri! Bukankah adik Loan Ki baik-baik saja? Dia dan aku sudah seperti saudara sendiri, kami bertemu dan bersama mengalami hal-hal hebat di Pulau Ching-coa-to, dan..."

"Tutup mulutmu! Tak perlu membawa-bawa nama anakku ke sini, keparat!" Sin-kiam-eng membentak sambil menerjang lagi, kini malah lebih hebat karena dia marah sekali.

Kun Hong cepat mengelak dan mengeluh. Celaka, pikirnya, agaknya gadis nakal lincah itu tidak pernah bercerita kepada ayahnya tentang dia sehingga sekarang Sin-kiam-eng tidak mengenalnya dan tentu saja pendekar itu amat marah mendengar puterinya disebut-sebut namanya oleh seorang yang tidak dikenal!

Sesungguhnya bukan demikianlah soalnya. Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang sudah sejak tadi melihat sepak terjang dan gerakan Kun Hong, diam-diam terkejut dan heran sekali karena gerakan dan langkah-langkah ajaib yang dilakukan oleh pemuda buta ini persis seperti yang dia lihat dilakukan oleh Loan Ki ketika menghadapi serangan-serangan kakek Song-bun-kwi!

Diam-diam dia terheran-heran akan tetapi juga penasaran dan amat marah. Jadi puterinya itu dalam perantauannya telah melakukan hubungan dengan seorang buta, dan menerima pelajaran dari seorang buta yang kini ternyata adalah seorang mata-mata pemberontak pula.

Inilah sebabnya ketika melihat betapa The Sun tidak sanggup mengalahkan Kun Hong, dia segera turun tangan, tidak saja untuk menyatakan kemarahannya karena persamaan ilmu pemuda ini dengan puterinya, juga untuk mencari jasa. Sebagai seorang pendatang baru yang diterima oleh The Sun, Tan Beng Kui yang bercita-cita besar ini segera ingin memperoleh kedudukan tinggi dengan jasa besar.

Ilmu pedang Sin-kiam-eng Tan Beng Kui memang hebat bukan main. Dia adalah murid kepala dari mendiang Bu-Tek Kiam-ong Cia Hui Gan ayah Cia Li Cu yang sekarang menjadi Nyonya Tan Beng San. Nyonya ini saja ilmu pedangnya sudah hebat luar biasa, apa lagi ilmu pedang Sin-kiam-eng yang menjadi kakak seperguruannya.

Memang dahulu ketika masih muda, Tan Beng Kui menjadi harapan mendiang gurunya, karena itu semua kepandaiannya diturunkan kepadanya. Ilmu Pedang Sian-Ii Kiam-sut adalah ilmu pedang turunan yang sesumber dengan Im-yang Sin-kiam, apa lagi dimainkan oleh seorang pendekar besar yang sudah matang dalam pengalaman seperti Tan Beng Kui, benar-benar membuat Kun Hong kelabakan ketika dia diterjang dengan dahsyat oleh Sin-kiam-eng.

Dengan langkah-langkah Hui-thian Jip-te, Kun Hong berusaha menghindarkan diri dari kurungan sinar pedang lawan. Dia merasa segan untuk balas menyerang setelah kini dia tahu bahwa orang ini adalah ayah dari Loan Ki.

Tidak sampai hatinya, kalau dia teringat akan suara ketawa dan celoteh Loan Ki yang nakal dan lincah itu. Betapa dia ada hati untuk melawan ayah gadis jenaka itu. Dia merasa menyesal bukan main, menyesal mengapa justru ayah dara lincah itu yang kini sedang menghalangi jalan larinya, mengapa ayah Loan Ki justru menjadi pembantu kaisar baru?

Selain kebimbangan ini, ditambah lagi luka di pangkal pahanya yang parah membuat Kun Hong kurang gesit menghadapi ilmu pedang yang hebat dari Tan Beng Kui. Betapa pun lihai dan aneh langkah-langkah ajaibnya, tapi menghadapi seorang jago kawakan seperti Tan Beng Kui, tanpa melakukan perlawanan sungguh-sungguh, akhirnya dia celaka juga.

"Lo-enghiong, aku tak mau bertempur melawanmu...," kata Kun Hong dan kesempatan ini digunakan oleh lawannya untuk mendesak, memainkan jurus yang paling sulit dihadapi.

Kun Hong kaget dan masih berusaha menjatuhkan diri ke belakang, namun ujung pedang lawannya masih sempat menggores dagunya, terus merobek baju di dada dan merobek pula kulit dadanya sehingga darah bercucuran membasahi bajunya.....

Kun Hong terkejut juga karena baru saja dia terhindar dari bahaya maut, sebab ujung pedang itu sebenarnya tadi mengarah leher dilanjutkan ke ulu hatinya. Lebih hebat lagi, pada saat itu dari belakang menyambar gerakan pedang yang amat cepat membabat ke arah lehernya.

Inilah pedang di tangan The Sun yang kemudian membentak pula, "Mampuslah engkau, jembel buta!"

Akan tetapi The Sun terlalu memandang rendah kepada Kun Hong kalau mengira bahwa sekali babat akan berhasil memenggal leher Pendekar Buta. Tongkat di tangan Kun Hong bergerak cepat.

"Tranggg...!"

The Sun kaget setengah mati karena begitu bertemu, tongkat itu terus menyerong melalui bawah lengannya, menusuk ke arah tenggorokannya secara amat aneh dan sama sekali tidak disangka-sangka olehnya.

"Celaka...!" Dia berseru keras dan cepat tubuhnya mencelat ke belakang dalam usahanya menghindarkan diri dari bahaya maut ini.

Kun Hong yang sudah marah sekali kepada The Sun juga melesat dalam pengejarannya tanpa menghentikan ancaman tongkatnya ke arah tenggorokan lawan.

"Penjahat buta, jangan sombong kau!" tiba-tiba terdengar seruan yang amat berpengaruh, dibarengi melayangnya lengan baju yang membawa serta angin pukulan dahsyat sekali.
"Plakkk!"

Tanpa dapat ditangkis atau dihindarkan lagi oleh Kun Hong yang pada saat itu tubuhnya sedang mengapung dalam usahanya mengejar The Sun, ujung lengan baju itu tahu-tahu sudah menghantam punggungnya. Kun Hong segera mengerahkan tenaga Iweekang-nya untuk menahan pukulan, akan tetapi pukulan itu hebat bukan main sehingga dia merasa seolah-olah terpukul benda keras yang ribuan kati beratnya.

Tubuh Kun Hong terlempar dan terbanting ke atas tanah sampai bergulingan! Dua batang pedang lain mengejarnya dan langsung menyambar dari kanan kiri.

"Wuuuttt! Singgg!"

Kun Hong melenting ke atas. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, otomatis dia telah membuat gerakan jurus Sakit Hati.

"Tranggg! Wesss!"

Tongkat dan tangan kirinya telah bergerak tanpa dapat dicegah lagi. Dua orang perwira yang tadi berlomba untuk membunuhnya setelah melihat dia terluka dan bergulingan, kini berdiri tegak bagai patung, kemudian pelan-pelan roboh terguling dan... pinggang mereka ternyata telah putus dan kepala mereka remuk-remuk!
Bukan main ngerinya hati para perwira menyaksikan ini. Malah orang-orang sakti yang kini sudah berada di situ melengak heran.

"Penjahat keji!" Terdengar Sin-kiam-eng Tan Beng Kui berseru marah dan pedangnya menyambar dengan suara mendesing-desing.

Kun Hong merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Luka di pangkal paha makin panas dan perih, gatal dan sukar ditahan nyerinya. Luka di dagu dan dada terus mengucurkan darah sedangkan punggungnya terasa patah-patah tulangnya oleh hantaman ujung lengan baju yang amat hebat tadi.

Dia terheran-heran, siapakah gerangan si pemukul ini. Melihat hebatnya hantaman itu, dia taksir tingkat kepandaian orang ini tidak di bawah Song-bun-kwi. Celaka, kiranya di kota raja telah berkumpul begini banyak orang sakti! Karena ini, dengan pikiran sudah pening, Kun Hong berlaku nekat dan menanti setiap lawan dengan jurus Sakit Hati!

Sambaran pedang yang datang cepat laksana kilat dari Sin-kiam-eng itu sudah ditunggu oleh Kun Hong. Dia tidak ingat lagi siapa lawannya, yang teringat olehnya hanya bahwa dia harus melindungi surat rahasia di dalam mahkota dan harus mengalahkan tiap orang musuhnya untuk dapat melarikan diri dari kepungan. Setelah serangan itu tiba, tubuhnya bergerak, tongkatnya menyambar berbareng dengan tangan kirinya mencengkeram.

"Ayaaaa…!" Sin-kiam-eng berteriak keras.

Tubuhnya melayang sampai lima enam meter jauhnya, lalu dia terbanting ke atas tanah dan terengah napasnya, mukanya pucat. Nyaris dia menjadi korban jurus Sakit Hati yang amat mukjijat itu.

Meski pun dia tidak menjadi korban, namun tetap saja hawa pukulan tangan kiri Kun Hong yang mengandung hawa Yang-kang itu telah membuat dadanya serasa panas terbakar. Cepat-cepat Sin-kiam-eng duduk bersila mengatur napas memulihkan tenaga agar jangan sampai isi dadanya terluka.

"Omitohud, ilmu siluman apakah ini?" kembali terdengar suara berpengaruh yang tadi dan segumpal hawa dingin menyambar ke arah Kun Hong.

Pemuda buta ini maklum bahwa lawannya yang bersenjata ujung lengan baju, yang tadi berhasil menghantam punggungnya, ternyata adalah seorang hwesio. Maklumlah dia kini bahwa semakin lama dia berada di tempat ini, semakin besar pula bahayanya. Hantaman kali ini yang mendatangkan segumpal hawa dingin menandakan bahwa dalam hal ilmu tenaga dalam hwesio ini sudah mencapai tingkat tertinggi sehingga sukar dilawan.

Akan tetapi dia sudah nekat. Tiada artinya kalau dia hanya mengelak ke sana ke mari, akhirnya tentu celaka juga. Lebih baik mengadu tenaga dan tinggal pilih satu antara dua. Menang dan lolos, atau kalah dan tewas! Dengan pikiran ini, sambaran dingin itu lalu dia sambut dengan jurus Sakit Hati.

"Dess! Bukkk!"

Tubuh Kun Hong serasa didorong oleh tenaga yang maha kuat sehingga kuda-kuda jurus Sakit Hati itu biar pun masih tetap, namun sudah tidak di tempatnya lagi karena kedua kakinya itu bergeser sejauh dua meter lebih, membuat garis pada tanah yang dalamnya sampai dua dim lebih!

Dari tempat lima enam meter jauhnya terdengar hwesio itu berseru heran, "Omitohud... hebat... hebat"

Diam-diam Kun Hong mengeluh. Tadi tongkat yang dia gerakkan bertemu dengan benda lemas, agaknya ujung lengan baju, ada pun tangan kirinya bertemu dengan lengan hwesio itu yang mengandung getaran tenaga dalam yang hebat pula.

Berkat dua ilmu sakti Kim-tiauw-kun dan Im-yang Sin-kiam, dia tadi dapat menggunakan tenaga mukjijat. Kalau diukur berdasarkan benturan tadi, dia sama sekali tidak kalah. Tapi hwesio yang dapat menyambut jurus Sakit Hati ini sudah terang merupakan lawan yang paling berat! Dia sudah memasang kuda-kuda lagi dan bersiap sedia mengadu nyawa.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk, dari atas terdengar pula suara bentakan nyaring.
"Jago-jago kawakan yang mengaku para tokoh istana, kiranya hanya cacing-cacing busuk yang beraninya mengeroyok seorang pemuda buta!”

Pada waktu itu terdengar sorak-sorai, disusul dengan suara senjata saling beradu, tanda terjadi pertempuran besar di tempat itu antara para perwira dan banyak orang yang baru datang dipimpin oleh orang yang membentak tadi. Kun Hong mengerutkan kening dan mencoba mengingat-ingat, dia merasa kenal suara tadi.

Pada saat itu pula suara tadi berkata perlahan kepadanya, "Pangcu (ketua), silakan pergi mengaso."
"Hwa-i Lokai...!" Kun Hong berseru kaget.

Memang benar. Yang datang adalah Hwa-i Lokai bersama anak buahnya yang dengan nekat sekarang bertanding melawan para jagoan istana itu. Karena tidak ada kesempatan untuk bicara lagi setelah Hwa-i Lokai kini bertanding melawan tokoh-tokoh istana, Kun Hong lantas mengamuk, menggunakan jurus Sakit Hati sambil melompat ke sana ke mari. Para perwira yang lancang berani menyambut atau menghadangnya langsung roboh tak bernyawa lagi.

Dengan jalan membuka jalan darah ini, akhirnya Kun Hong berhasil keluar dari kepungan yang ketat itu. Mulailah dia melarikan diri karena merasa betapa tubuhnya sudah makin lemas dan gemetar. Ia mengerahkan tenaga terakhir dan lari sekuatnya di malam gelap, lari secara ngawur karena tidak dapat melihat. Ia hanya menyerahkan nasibnya ke tangan Thian Yang Maha Kuasa.

Agaknya Thian memang masih melindunginya karena secara aneh sekali Kun Hong dapat berlari jauh meninggalkan tempat itu. Akan tetapi akhirnya, di tempat yang sunyi, agaknya daerah penduduk kota yang miskin, dia menabrak pohon besar yang berdiri di belakang sebuah pondok kecil. Karena dia tertumbuk pada batang pohon itu dengan dahi di depan, pendekar buta ini roboh terguling dalam keadaan pingsan!

Hening sejenak sesudah suara kepala beradu dengan batang pohon dan robohnya tubuh Kun Hong. Lalu pintu pondok berderit terbuka dan sinar lampu menyorot keluar mengantar bayangan seorang anak laki-laki yang agaknya kaget mendengar suara tadi.

Anak ini melangkah ke luar pintu belakang dan memandang ke kanan kiri. Seorang anak laki-laki yang tabah. Biasanya anak sebesar itu, berusia sekitar enam tujuh tahun, suka takut-takut terhadap tempat gelap. Akan tetapi anak ini meski pun tadi mendengar suara gedebukan aneh, masih berani membuka pintu belakang dan keluar di tempat gelap.

Tidak lama kemudian dia sudah menghampiri tubuh yang menggeletak miring di bawah pohon itu dan terdengar teriakannya.

"Ibu...! Ibu... mari ke sini, ada orang jatuh... mari bantu aku...!"

Tanpa ragu-ragu sedikit pun anak itu sudah mulai berusaha membangunkan Kun Hong yang masih pingsan. Kali ini kembali membayangkan ketabahan hati anak itu, bahkan juga membayangkan wataknya yang baik dan suka menolong orang lain.

Seorang wanita muda muncul dari pintu belakang. Dia ragu-ragu sejenak, ngeri melihat kesunyian dan kegelapan malam.

"A-wan...! Kau di mana? Siapa yang jatuh?"
"Di sini, Bu. Lekas, jangan-jangan dia mati."

Ibu muda itu datang menghampiri, tersentak kaget mendengar ucapan terakhir.

"Apa...? Ma... mati...?"
"Mungkin juga belum. Aduh beratnya, lekas bantu, Bu. Mari kita bawa masuk dan beri pertolongan."

Ibu muda itu membulatkan hatinya dan melangkah maju. Dengan susah payah Kun Hong diangkat dan setengah diseret oleh ibu dan anak itu, lalu dibawa masuk ke dalarn rumah melalui pintu belakang yang segera ditutup kembali.

"Inkong...!"
"Paman buta...! Betul, dia paman buta...!"

Ibu dan anaknya itu terbelalak memandang wajah Kun Hong yang kini sudah direbahkan di atas tempat tidur bambu yang sangat sederhana. Keduanya menubruk, memeluk serta mengguncang-guncang tubuh Kun Hong.

Terdengar Kun Kong mengeluh, bibirnya bergerak perlahan. "...terlalu banyak musuh... terlalu banyak..." Kemudian dia menjadi lemas dan mengigau tidak karuan.
"Inkong, ingatlah... Inkong, ini aku janda Yo..."
"Paman, aku A Wan..."

Kun Hong mendengar suara ini, nampak terheran-heran, lalu berkata lirih, "Yo-twaso...? A Wan...? Bagaimana... ahhhhh..." Dia menjadi lemas dan pingsan lagi.
"Celaka! Inkong terluka hebat. Lihat darahnya begini banyak. Wah, bagaimana ini? A Wan lekas kau buka pakaiannya, bersihkan luka-lukanya, aku akan memasak air..."

Janda itu dengan gugup sekali lalu lari ke sana ke mari mempersiapkan segala keperluan, akan tetapi sesungguhnya tidak tahu betul bagaimana ia harus menolong Kun Hong yang mandi darah itu.

A Wan adalah seorang anak yang tabah. Biar pun ngeri juga dia melihat semua baju Kun Kong penuh darah, akan tetapi dengan cepat dia membuka pakaian, lalu menurunkan buntalan dari punggung Kun Hong. Pada saat dia membuka buntalan itu untuk mencari pengganti baju, dia melihat mahkota kecil dari emas yang mencorong terkena sinar lampu. Terkejutlah dia dan diambilnya mahkota itu, diamat-amatinya penuh perhatian.

A Wan adalah anak yang cerdik, otaknya lantas bekerja. Tadi paman buta bicara tentang musuh banyak, tentu habis berkelahi dan dikeroyok oleh banyak musuh, pikirnya. Kenapa berkelahi? Paman buta ini adalah seorang miskin, pendekar berbudi yang miskin, lalu dari mana bisa mempunyai benda begini indah? Tak salah lagi, tentu paman buta berebutan benda ini dengan banyak orang jahat, akhirnya dikeroyok dan luka-luka.

Pikiran ini membuat A Wan cepat membawa lari mahkata itu keluar kamar. Agak lama dia pergi ke belakang rumah di luar tahu ibunya yang sibuk memasak air. Setelah dia kembali menyelinap ke dalam kamar, dia sudah tidak membawa mahkota tadi. Dengan cepat A Wan membersihkan luka-luka di badan Kun Hong, menggunakan sehelai kain bersih.

Ibunya datang membawa air panas. Janda ini cepat mengusir rasa jengah dan malu ketika melihat keadaan Kun Hong yang setengah telanjang itu, malah perasaan ini lenyap sama sekali dan terganti rasa ngeri dan cemas melihat betapa dada pemuda buta itu tergurat membujur dari atas ke bawah, juga dagunya terluka serta pangkal paha sebelah belakang biru mengembung, punggungnya pun kebiruan. Badan pemuda ini panas sekali, napasnya terengah-engah.

Dengan air mata mengalir saking bingung dan cemasnya, janda itu lalu membersihkan luka-luka Kun Hong dengan kain yang dicelup air panas. Hilang sudah semua rasa malu dan sungkan. Air matanya mengalir semakin deras ketika dia melihat betapa wajah yang tampan itu nampak pucat dan mulutnya terbuka menahan nyeri.

"A Wan, lekas kau pergi panggil sinshe (tukang obat) Thio di jalan raya utara. Katakan di rumah ada orang sakit, luka-luka, lekaslah!"
"Baik, Ibu. Kasihan paman buta, bagaimana kalau dia... mati...?"
"Hushh...? Jangan bicara dengan siapa juga mengenai dia, ini rahasia, mengerti? Lekas pergi dan lekas kembali!"

A Wan mengangguk dan melompat ke luar, lenyap di dalam kegelapan malam.

Setelah anak itu pergi, janda muda ini tak sanggup menahan sedu-sedannya lagi. Sambil membersihkan luka-luka itu, dia merangkul dan mengguncang-guncang tubuh Kun Hong sambil berseru lirih memanggil, "Inkong...! Inkong... sadarlah, Inkong..."

Melihat betapa muka itu makin lama seakan-akan makin pucat, dia menjadi amat cemas. Terbayanglah dia akan semua pengalamannya dulu ketika pemuda buta ini menolongnya, dan sekarang melihat penolong yang selama ini tak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu sedang menggeletak seperti mayat di depannya, nyonya janda Yo tak dapat menahan luapan perasaan hatinya.

"Inkong...!" Dia mendekap kepala itu, diciuminya penuh perasaan dan dibanjirinya dengan air mata. "Jangan mati, Inkong... jangan tinggalkan aku lagi setelah Thian mengembalikan kau kepadaku..."

Kemudian kegelisahan lebih menguasai hatinya. Dia berhenti menangis dan memeriksa dengan teliti luka-luka pada tubuh Kun Hong di bawah sinar lampu remang-remang. Dia bergidik, jelas bahwa luka-luka itu adalah luka bekas bacokan. Nampak tanda-tanda yang jelas bahwa penolongnya ini baru saja habis berkelahi dengan hebat.

Wajahnya tiba-tiba pucat. Kalau penolongnya terluka seperti ini, berarti musuh-musuhnya masih ada. Siapa tahu melakukan pengejaran sampai ke sini! Ia tahu bahwa penolongnya sakti, akan tetapi dalam keadaan pingsan seperti ini, jika musuh datang lalu bagaimana? Ia kembali bergidik dan merasa ngeri, lalu menoleh ke kanan kiri, matanya jelalatan penuh ketakutan.

Melihat tongkat Kun Hong menggeletak di atas lantai, cepat ia mengambilnya dan dengan tangan gemetar ia menyusupkan tongkat itu ke bawah tilam pembaringan. Matanya cepat mencari-cari lagi, siap menghapus tanda-tanda akan adanya Kun Hong di situ.

Pakaian Kun Hong yang penuh darah berada di sudut kamar. Cepat dia menyambarnya dan melemparkannya ke kolong pembaringan. Lalu dengan cekatan ia menggosok-gosok dan menghapus tanda-tanda darah di lantai dengan sehelai kain.

Setelah keadaan kamar itu normal kembali, dia lalu duduk lagi di pinggiran pembaringan, memegang lengan tangan Kun Hong dan memandang bingung. Bagaikan seekor kelinci bersembunyi dari kejaran harimau, sebentar-sebentar dia menoleh ke arah pintu depan, bibirnya gemetar berbisik lirih,

"A Wan... kenapa kau belum juga pulang...?"

Terdengar suara langkah kaki di luar rumah. Janda muda itu berseri wajahnya.

"A Wan dan sinshe datang...," pikirnya dan ia sudah bangkit berdiri.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendengar suara seorang laki-laki di luar pintu pondoknya itu, suara halus tapi penuh ejekan.

"Hemmm, si buta keparat itu menghilang di sini."
"Tok-tok-tok!" terdengar pintu itu diketuk dari luar.

Menggigil kedua kaki janda Yo, sesaat ia seperti terpaku dan tak mampu menjawab atau bergerak sedikit pun juga.

"Tok-tok-tok!” kembali pintu diketuk dari luar.
“Hee, sahabat pemilik rumah, harap buka pintu sebentar, aku ingin bertanya!" suara halus tadi kini terdengar berteriak.

Seperti kilat menyambar sebuah pikiran menyelinap ke dalam kepala janda muda itu. Dia tahu benar bahwa orang di luar pondoknya itu tentu musuh penolongnya yang datang membawa niat buruk. Berdegup jantungnya kalau ia ingat bahwa orang itu datang untuk membunuh Si Pendekar Buta!

Hanya beberapa detik pikiran ini memenuhi kepalanya dan timbullah akal seorang wanita yang dengan sepenuh perasaannya berusaha menolong seorang yang sangat dikasihinya dan dipujanya dari bahaya maut. Rasa takut dan cemas sekaligus lenyap ketika timbul kenekatan di dalam hatinya untuk membela serta melindungi penolongnya itu. Wajahnya memancarkan kecerdikan dan tubuhnya tidak menggigil lagi.

Cekatan sekali ia meraih selubung lampu minyak, menggosokkan jari-jari tangannya pada langes yang menempel pada selubung lampu, lalu menghampiri Kun Hong dan memupuri muka pemuda itu dengan langes. Dalam waktu sekejap saja muka itu sudah berubah jadi hitam, menyembunyikan muka yang asli dari pemuda itu. Tangan lain meraih dinding yang masih ada sisa kapurnya, digosok-gosokkan seperti tadi lalu ia menggosokkan kapur yang menempel di tangannya pada rambut Kun Hong.

Melihat hasilnya kurang memuaskan, ia segera memutar otak, memandang ke kanan kiri, lalu mengambil tempat bedaknya dan menaburkan bedak itu pada kepala Kun Hong yang kini berubah menjadi keputih-putihan seperti rambut ubanan seorang laki-laki tua!

"Tok-tok-tok! Sahabat, bukakan pintu, kalau tidak kau buka, terpaksa akan kurobohkan!" suara di luar mendesak tidak sabar lagi.
"Tunggu sebentar...!" Janda muda itu berseru kaget, menarik selimut menutupi tubuh Kun Hong sampai ke leher.

Ia lalu melangkah ke pintu kamar, menoleh sekali lagi. Lega hatinya melihat bahwa kini tak ada lagi tanda-tanda bahwa yang berbaring dalam kamar itu adalah seorang pemuda yang pingsan, akan tetapi kelihatan seperti seorang laki-laki tua tidur pulas!

Tergesa-gesa ia keluar kamar. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu, pikirannya yang cerdik bekerja keras dalam usahanya menolong Pendekar Buta itu. Dia melirik ke arah pakaian di tubuhnya dan cepat dia membuka dua buah kancing di dekat leher dan melonggarkan ikat pinggangnya, mengusutkan pakaiannya di sana sini, melepaskan sebagian rambut dari pita rambutnya yang ia kendurkan, kemudian cepat ia berlari-lari ke arah pintu yang sudah mulai digedor lagi oleh orang di luar itu.

"Aku datang...! Tunggu sebentar... siapa sih yang suka mengganggu orang tidur?" kata nyonya janda ini dengan suara yang tiba-tiba berubah genit!

Di ruang tengah ia menyambar lilin yang sudah menyala, kemudian dengan lilin dipegang tinggi-tinggi dengan tangan kiri, ia membuka palang pintu depan dengan tangan kanan.

"Kriiiiitt!"

Daun pintu berderit pada saat dibuka perlahan oleh tangan nyonya janda Yo yang sedikit gemetar. Sinar lilin bergerak-gerak tertiup angin, menerangi wajahnya serta wajah orang yang berdiri di luar pintu.

"Ohhhhh...!" Dua buah mulut mengeluarkan seruan sama dan dua pasang mata saling pandang.

Mata nyonya Yo memandang dengan perasaan cemas, heran dan seruannya tadi yang memang ia sengaja untuk melengkapi aksinya bergenit tadi menjadi sumbang karena rasa heranannya ini. Sama sekali dia tidak menyangka akan melihat seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang kongcu terpelajar, yang sikapnya halus dan sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda orang jahat. Hal ini membuatnya ragu-ragu dan sejenak dia hanya bengong, tidak tahu harus berbuat dan berkata apa.

Di lain pihak, seruan yang keluar dari mulut orang muda itu adalah seruan tercengang dan kagum, lalu sepasang matanya menjelajahi pemandangan di hadapannya itu dari atas ke bawah lalu kembali lagi dari bawah ke atas.

Sanggul rambut yang awut-awutan, sebagian rambut terurai menutupi sebuah muka yang berkulit putih kuning berbentuk bulat telur, mata yang jernih, hidung mancung mulut kecil manis. Pakaian yang biar pun sederhana akan tetapi membayangkan bentuk tubuh yang padat dan bagus, baju yang terbuka kancingnya di bagian atas memperlihatkan sebagian leher dan dada yang berkulit halus bersih.

Apa lagi di bawah cahaya api lilin yang mobat-mabit karena angin. Wanita yang berdiri di depannya benar-benar amat manis dan menggairahkan hati!

Orang muda itu bukan lain adalah The Sun. Pemuda cerdik ini diam-diam meninggalkan gelanggang pertempuran karena maklum bahwa para pengemis anggota Hwa-i Kaipang itu tidak akan mungkin dapat lepas dari pada hantaman para perwira yang selain menang banyak, juga dibantu oleh tokoh-tokoh lihai.

Yang dia pentingkan adalah Kwa Kun Hong, maka cepat dia mengejar ketika melihat Si Pendekar Buta itu mampu meloloskan diri dari pada kepungan. Akan tetapi karena dia pun maklum bahwa Pendekar buta itu memiliki jurus aneh yang amat dahsyat, dia lalu berlaku hati-hati dan mengejar secara diam-diam.

Dia maklum bahwa orang itu sudah terluka parah dan dia akan mencari kesempatan baik untuk turun tangan. Akan tetapi dia sama sekali tidak mengira bahwa lawannya itu yang bermata buta dapat berlari secepat itu sampai dia kehilangan jejaknya.

The Sun penasaran dan melakukan pengejaran ke sana ke mari. Dengan penuh perhatian dia mencari jejak si buta itu dan akhirnya pemuda cerdik ini dapat menyusul sampai ke pondok janda Yo!

Hanya sebentar saja The Sun terpesona oleh kemanisan wajah nyonya janda muda itu. Ia memang seorang pemuda yang romantis dan kadang kala tidak melewatkan kesempatan baik untuk melayani wanita-wanita cantik yang tergila-gila kepada ketampanan wajahnya atau kepada kedudukannya yang tinggi.

Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa The Sun adalah seorang mata keranjang atau hidung belang yang suka mengganggu wanita, sama sekali bukan. Hanya dapat dikatakan bahwa pertahanan terhadap kecantikan wanita tidaklah begitu kuat.

Ketika dia teringat lagi akan buronannya, secepat kilat dia menarik ke luar pedangnya dan mengelebatkan pedangnya yang tajam itu di depan muka nyonya Yo yang menjadi pucat seketika.

"Katakan di mana jahanam buta itu, hayo cepat mengaku sebelum pedangku memenggal lehermu yang putih itu!" The Sun mengancam, tapi matanya tak lepas dari kulit leher putih yang mengintai dari balik baju yang terbuka dua buah kancingnya.
"Apa... apa maksudmu? Ehh, Kong-cu, harap kau jangan main-main dan cepat simpanlah senjatamu itu yang bisa membikin aku mati ketakutan! Aku sedang pusing dan jengkel memikirkan suamiku tua bangka yang berpenyakitan ini, kau datang-datang mengganggu dengan gedoran pintu dan sekarang menuduh yang bukan-bukan, bicara tentang jahanam buta yang sama sekali tidak kumengerti artinya! Apa sih maksudmu sebenarnya dan kau ini siapakah, Kongcu?"

Aneh sekali, ucapan dan nada suara nyonya janda ini jauh berbeda dari pada biasanya. Sekarang kata-katanya centil, sikapnya genit dan matanya yang bagus itu menyambar-nyambar wajah tampan The Sun!

"Hemmm, tak usah kau pura-pura!" bentak The Sun tanpa menurunkan pedangnya. "Aku mengejar seorang penjahat buta dan jejaknya lenyap di tempat ini. Tentu dia bersembunyi di dalam rumahmu ini, hayo lekas mengaku dan tunjukkan aku di mana dia!"

Jantung di dalam dada nyonya janda itu serasa hendak meloncat ke luar saking takutnya. Akan tetapi ia pura-pura marah dan memandang kepada The Sun dengan mata melotot akan tetapi malah menambah kemanisan wajahnya karena bibir yang mungil itu mengarah senyum dan sikapnya menantang.

"Apa kau bilang, Kongcu? Hemmm... harap kau jangan pandang rendah kepadaku! Biar pun suamiku tua bangka dan berpenyakitan, tapi jangan kira aku mau berdekatan dengan seorang penjahat, apa lagi kalau dia itu buta. Cih, menjijikkan!" Kembali lirikan matanya menyambar dalam kerlingan yang amat manis memikat.

Mau tak mau The Sun tersenyum, jantungnya mulai berdebar. Hemm, jelas sekali wanita muda yang cantik manis ini ‘memberi hati’ kepadanya dengan sikapnya menantang sekali. Benarkah suaminya tua bangka serta berpenyakitan? Hal ini saja sudah menjadi alasan kuat. Akan tetapi, betulkah Kun Hong tidak bersembunyi di situ? Dia tidak boleh sembrono dan lebih baik menyelidiki lebih dulu.

"Aku tidak percaya! Hayo lekas kau tunjukkan di mana suamimu dan biar aku melakukan penggeledahan dulu. Dengan siapa saja kau di sini?"

Janda Yo sengaja cemberut, bibirnya yang merah itu diruncingkan ketika ia melangkah ke samping memberi jalan kepada The Sun. "Kongcu begini halus dan tampan, tapi galaknya bukan main!" ia bersungut-sungut. "Sudah terang suamiku tua bangka muka hitam yang buruk dan berpenyakitan, kau masih ingin menjenguknya lagi, apakah untuk bahan ejekan dan memperolokku?"

Kembali The Sun berdebar dan tersenyum. "Mana bisa aku percaya kalau belum melihat sendiri? Siapa dapat percaya seorang cantik jelita seperti kau ini suaminya tua bangka berpenyakitan?"

"Ihh, Kongcu ceriwis!" Janda Yo membuang muka dengan lagak yang genit dan memikat sekali. Di dalam hatinya nyonya janda ini berdoa supaya musuh penolongnya ini akan percaya dan tidak akan memeriksa ke dalam kamar.

Akan tetapi The Sun bukan orang bodoh. Dia amat cerdik dan biar pun kali ini jantungnya sudah berjungkir-balik terkena pengaruh kecantikan janda muda itu, akan tetapi dia tidak kehilangan kewaspadaannya dan mendahulukan tugasnya dari pada kesenangan hatinya.

"Hayo, perlihatkan aku kamar suamimu!"

Janda Yo mengangkat lilin dan dengan kaki agak menggigil ia melangkah ke arah pintu kamarnya. Dia berdoa semoga penolongnya itu masih pingsan seperti tadi.

Pada saat dia dan The Sun melangkahkan kaki ke ambang pintu kamar, janda Yo sengaja menggoyang-goyang tempat lilin sehingga api lilin itu bergerak-gerak dan keadaan dalam kamar itu tidak begitu jelas, hanya tampak remang-remang oleh The Sun betapa seorang laki-laki bermuka kehitaman dan berambut penuh uban sedang berbaring tidak bergerak, tidur pulas agaknya!

"Sshhhhh, harap jangan berisik. Kalau dia bangun, batuknya akan kumat dan akulah yang berabe harus terus mengurut-urut dadanya..." bisik nyonya janda Yo sambil mendekatkan mukanya di telinga The Sun sehingga orang muda itu mencium bau sedap yang agaknya keluar dari rambut wanita muda itu.

Terpikat oleh ini, The Sun tidak jadi melangkah masuk, hanya melepas pandang dengan tajamnya ke arah ‘kakek’ itu lalu sinar matanya berkeliaran ke seluruh kamar yang hanya kecil sederhana itu. Tiba-tiba pedangnya berkelebat dan mengeluarkan bunyi mendesing menyambar ke depan!

"Crakkk!" Papan ujung pembaringan itu tahu-tahu telah terbelah.
"Oh-ohh... jangan... ahh...!" Janda Yo kaget setengah mati dan menubruk lalu merangkul pundak The Sun, lilin yang dipegangnya jatuh dan padam.

The Sun tersenyum lega. Kakek itu ternyata masih enak tidur saja. Kalau di dalam kamar itu terdapat Kun Hong yang bersembunyi, sebagai seorang ahli silat sudah pasti akan keluar mendengar desingan pedangnya tadi. Terang di situ tidak terdapat orang yang dia kejar, sedangkan kakek tua bangka suami wanita muda yang cantik jelita ini jelas adalah orang yang tiada guna.

Dia menyimpan pedangnya kembali, kemudian tertawa perlahan sambil menarik tangan nyonya Yo yang masih gemetar ketakutan itu keluar kamar. Gelap pekat di luar kamar karena sekarang tidak ada lilin lagi.

"Kau cantik manis..."
"Ah, pergilah... jangan kau ganggu kami yang tidak berdosa... pergilah dari sini, kasihani aku dan suamiku yang tua dan sakit..."

The Sun tertawa, tidak halus seperti biasanya lagi, melainkan suara tertawa yang parau dan mengandung nafsu kotor. "Manis, kalau aku tidak kasihan dan cinta kepadamu, tentu pedangku tadi sudah memenggal leher suamimu si tua bangka tiada guna, ha-ha-ha!"

Tak lama kemudian yang terdengar hanya desah napas dan rintih perlahan…..

********************
The Sun sudah lama pergi meninggalkan pondok tempat tinggal janda muda itu. Kini dia tampak terguguk menangis menahan isaknya sambil memeluki dada Kun Hong. Dengan rambutnya yang kusut dan seluruh mukanya basah air mata, janda muda ini merintih-rintih dalam tangisnya.

"Inkong... bangunlah... jangan mati, Inkong, sembuhlah kembali, jangan engkau sia-siakan pengorbananku..." kembali ia menangis dengan amat sedihnya sampai-sampai napasnya menjadi sesak.

Pada saat itu pula, dari pintu kamar melayang masuk sesosok bayangan orang yang amat ringan dan gesit. Begitu masuk bayangan ini lantas menendang sehingga tubuh nyonya janda ini terguling roboh.

"Ahh... Ahh...!" Nyonya Yo bersambat lirih, tapi rasa nyeri pada tubuhnya tak ia pedulikan lagi karena hatinya dipenuhi kekhawatiran terhadap keselamatan Kun Hong yang masih pingsan.

Tadinya ia mengira bahwa sosok bayangan itu adalah orang muda musuh Kun Hong yang tadi datang dan sudah siap untuk menegur. Akan tetapi alangkah kaget dan heran serta takutnya ketika dia melihat wajah yang jauh berlainan tertimpa sinar api lilin di kamar itu.

Wajah seorang wanita! Tubuh ramping seorang wanita! Seorang wanita muda dengan muka kehitaman dan pedang di tangan, kelihatan berdiri dengan penuh amarah.

Nyonya Yo segera menubruk Kun Hong dan memeluk dadanya untuk melindungi pemuda itu. "Jangan ganggu dia...! Jangan bunuh dia...!" dia berteriak dengan suara mengandung isak tangis.

Wanita itu kembali bergerak. Sekali lagi tubuh nyonya Yo terlempar dari tepi pembaringan, malah kini terguling-guling sampai di sudut kamar.

"Perempuan jalang! Pelacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!" bentak wanita itu yang sudah menyarungkan pedangnya dan melangkah maju mendekati pembaringan. Cekatan sekali dia membungkuk dan kedua tangannya bergerak, tahu-tahu tubuh Kun Hong sudah dikempitnya.
"Heeeiiiii... jangan ganggu dia.….!"

Meski merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, dengan nekat Nyonya Yo berdiri dan hendak merampas tubuh Kun Hong dari tangan wanita itu.

"Diam kau, perempuan hina!" wanita itu membentak lagi. "Dia ini adalah sahabat baikku, tak boleh berada di tempat hina ini berdekatan dengan perempuan lacur macam kau!"

Mata janda muda itu terbelalak, diam-diam bersyukur bahwa orang ini bukanlah musuh penolongnya. "Aku... aku... tidak... ahhh, dia adalah... penolongku...," katanya gagap.

Wanita itu mendengus marah. "Huh, dia penolong semua orang, akan tetapi perempuan rendah macam engkau tidak perlu ditolong!"
"Nona, kau siapa? Mengapa engkau memaki-maki aku? Meski pun aku miskin... aku... aku betul-betul berusaha mengobatinya dan..."
"Tutup mulutmu! Apa kau kira aku tidak tahu betapa kau main gila dengan setiap orang laki-laki? Hemmm, siapa laki-laki yang barusan keluar dari sini? Bukankah dia kekasihmu pula? Huh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong? Menyebalkan!"

Bayangan wanita itu berkelebat dan dalam sekejap mata saja dia dan Kun Hong yang dipondongnya sudah lenyap dari situ.

Nyonya janda Yo berdiri terkesiap, mukanya pucat bagai mayat, matanya terbelalak lebar dan dari kedua matanya itu turun air mata bertitik-titik, deras mengalir di sepanjang kedua pipinya. Untuk sesaat tidak ada suara keluar dari mulutnya, kecuali napas yang terengah-engah. Teringat dia akan segala hal yang tadi menimpa dirinya, akan segala yang sudah dilakukannya.

Kedatangan The Sun tadi membuat ia berada dalam ketakutan hebat. Takut dan cemas akan keselamatan penolongnya membuat ia bertekat untuk melindungi dan membelanya, menyelamatkannya dengan jalan apa pun juga. Sebagai seorang wanita yang lemah dan tak berdaya, dia tahu bahwa satu-satunya senjata miliknya hanyalah kecantikannya. Dan dia sudah pergunakan itu, sudah memberikan dirinya dengan kata-kata manis dan mulut tersenyum namun dengan hati perih dan seperti disayat-sayat. Namun usahanya berhasil.

Dia telah menyelamatkan Kun Hong, telah membeli keselamatan penolongnya itu dengan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita lemah seperti dia. Akan tetapi sekarang muncul wanita gagah itu yang memaki-makinya, yang telah melihat perbuatannya tadi.

"Ya Tuhan... aku perempuan hina... perempuan rendah..." Janda Yo tak kuat lagi. Kedua lututnya lemas dan dia pun jatuh nglumpruk di atas lantai, menutupi muka dengan kedua tangannya.

Tiba-tiba dia terbelalak memandang ke kanan kiri, menatap pembaringan yang kini sudah kosong, telinganya terus mendengar gema wanita tadi memaki-makinya.

"Perempuan jalang! Pelacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!" lalu terdengar lagi, "Bukankah laki-laki tadi kekasihmu? Uh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong?"
"Ooohhhhh...!" Janda Yo menangis lagi, sekarang tersedu-sedan, kemudian dia menubruk pembaringan yang kosong itu. "Kwa Kun Hong... jadi namamu Kwa Kun Hong, Inkong? Setidaknya wanita itu berjasa memberi tahu namamu. Orang mengatakan aku kotor, hina, jalang, lacur... Inkong (Tuan penolong), tidak apalah, asalkan kau selamat. Badan dan namaku kotor bisa dicuci dengan... ini..."

Janda muda itu melolos ikat pinggangnya dan matanya memandang ke atas, mencari-cari tiang atau usuk genteng rumah itu.

"A Wan...!" Hanya jerit ini saja terdengar satu kali dari dalam pondok di malam sunyi itu, kemudian sunyi tak terdengar suara apa-apa lagi.
"Ibu...!" A Wan lari memasuki rumah itu.

Anak ini tidak berhasil mengundang datang sinshe Thio. Hal ini tidaklah mengherankan. Sinshe mana yang sudi dipanggil oleh keluarga miskin? Selain tidak dapat mengharapkan pembayaran yang banyak, jangan-jangan malah harus merogoh saku untuk membelikan obat!

Pada saat Sinshe Thio mendengar permintaan A Wan supaya suka datang ke rumahnya mengobati seorang paman yang ‘jatuh’ dan luka-luka, dia hanya menggelengkan kepala sambil mengebulkan asap huncwe (pipa tembakau) yang tebal dan berbau apek ke muka A Wan. Tanpa ‘uang muka’ dua tail perak dia tidak akan sudi berangkat, katanya. A Wan terus membujuk-bujuk, memohon dan bahkan menangis, akan tetapi sinshe Thio tetap tak melayaninya, malah ditinggal masuk.

A Wan adalah anak yang keras hati, dia tidak putus asa, terus saja dia mengetuk-ngetuk pintu dan merengek-rengek. Akhirnya, bukan dituruti permohonannya, malah kepalanya mendapat benjol-benjol karena pukulan huncwe sinshe itu pada kepalanya.

Sambil menangis akhirnya A Wan berlari pulang dan dia merasa hatinya amat tidak enak memikirkan keadaan si paman buta. Jarak ke rumahnya yang amat jauh itu ditempuhnya sambil berlari-lari. Seperti ada firasat tidak baik dia kemudian mempercepat larinya, malah telinganya serasa mendengar suara ibunya memanggil-manggilnya.

Dapat dibayangkan betapa kaget, ngeri, dan bingungnya ketika dia memasuki pondok, dia melihat tubuh ibunya sedang tergantung pada ikat pinggang yang ditalikan ke atas tiang. Ikat pinggang itu melilit leher ibunya dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa kedua kaki ibunya masih berkelojotan.

Biar pun merasa ngeri dan takut, namun A Wan adalah anak cerdik. Dia hanya terpaku sebentar saja. Cepat dia merayap naik tiang sambil memekik-mekik dan memanggil nama ibunya. Jari-jari tangannya gemetar pada saat dia merenggut-renggut ikat pinggang yang terikat kuat-kuat pada tiang.

Bagaikan seekor kera dia melorot kembali, berlari ke dapur mengambil pisau dan merayap naik lagi. Akhirnya dia dapat memotong ikat pinggang itu sampai putus dan tubuh ibunya jatuh berdebuk di atas tanah.

"Ibu...! Ibu...!"

A Wan menubruk dan merangkul ibunya, menangis sambil menciumi muka ibunya yang pucat membiru. "Ibu... kenapa Ibu... ahhh, bagaimana ini...? Ibuuuuu...!"

Jeritan terakhir yang keluar dari mulut A Wan ini seakan-akan sanggup membetot kembali semangat janda muda itu yang sudah mulai meninggalkan tubuhnya. Bibir yang biru itu berkomat-kamit, biji mata yang sudah melotot tanpa cahaya itu bergerak-gerak perlahan, lalu terdengar suara janda muda yang bernasib malang itu berbisik-bisik.

"A Wan... balas... budi Kwa Kun Hong... balas... dendam The Sun..."
"Ibu...! Ibuuu...!! Ibuuuuuu...!!!"

A Wan menggoncang-guncang tubuh ibunya yang makin lama makin lemas dan makin dingin karena pada saat itu janda muda ini sudah terbebas dari pada duka nestapa dan derita sengsara dunia. Matanya yang tadi melotot sudah meram, mulutnya menyungging senyum dan biar pun muka itu kini pucat dan rambutnya awut-awutan, namun kelihatan tenang dan damai, makin nyata kecantikan aslinya.

Sebaliknya, puteranya yang masih hidup, yang masih sedang berkembang dalam hidup, menangis menggerung-gerung dan memanggil-manggilnya. Alangkah ganjil penglihatan ini.

Yang hidup menangisi yang mati. Yang hidup merasa penuh duka lara. Yang mati tenang diam begitu damai dan tenteram. Tidak janggalkah ini? Sudah benarkah itu kalau yang hidup menangisi yang mati? Ataukah harus sebaliknya…..?
********************
Kita tinggalkan dulu Yo Wan atau A Wan yang sedang menangis menggerung-gerung memenuhi malam sunyi itu, suara tangisannya tersaing oleh kentung peronda dan dengan suara doa dari kelenteng-kelenteng berdekatan.

Mari kita mengikuti keadaan Kun Hong yang dalam keadaan pingsan dibawa lari oleh seorang gadis aneh. Kun Hong benar-benar tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan dirinya sejak dia menabrak pohon dan roboh pingsan di belakang pondok itu. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan janda Yo setelah dia siuman sebentar hanya untuk mengenal suara mereka ibu dan anak. Malah dia pun tidak sadar ketika tubuhnya dikempit oleh seorang wanita dan dibawa lari berlompatan di dalam gelap dengan gerakan ringan dan cepat.

Dengan kesigapan dan kecepatan gerakan yang luar biasa hebatnya, wanita itu akhirnya membawa tubuh Kun Hong meloncat tinggi ke atas genteng sebuah rumah gedung, kemudian bagaikan seekor kucing saja ringan dan cepatnya, ia telah melayang turun dan menerobos masuk ke sebuah kamar di dalam gedung itu melalui jendela yang terbuka daunnya.

Sebuah kamar yang besar dan sangat indah, dengan pembaringan, meja rias, kursi-kursi dan perabotan lain yang serba halus dan mahal. Sebuah kamar milik seorang gadis yang kaya-raya, atau patutnya kamar puteri seorang bangsawan besar.

Gadis itu dengan cepat merebahkan tubuh Kun Hong di atas pembaringan yang bertilam kasur dan kain merah berkembang. Dengan cekatan ia melakukan pemeriksaan di bawah penerangan lampu yang cukup terang dan besar. Keningnya berkerut dan sepasang mata yang bening itu menjadi cemas ketika ia melihat luka membiru di punggung dan kulit yang membengkak di pangkal paha karena sebuah luka bergurat panjang yang menghitam!

"Keji!" Perlahan dia memaki. "Senjata beracun dan pukulan maut yang amat kuat..."

Tanpa ragu-ragu lagi dia merobek lebih lebar pakaian yang menutupi pangkal paha Kun Hong, lalu mencabut pedangnya dan dengan ujung pedangnya yang tajam dan runcing itu ia menggurat luka membengkak yang darahnya sudah mengering. Pecahlah kulit itu dan keluar darah yang menghitam.

Gadis itu meletakkan pedangnya di atas ranjang, berlutut di atas ranjang di sebelah Kun Hong, lalu dia membungkuk dan... tanpa ragu-ragu lagi dia menggunakan mulutnya yang mungil untuk mengecup dan menyedot ke luar darah hitam dari luka di pangkal paha itu! Beberapa kali meludahkan darah yang telah disedotnya ke atas lantai, lalu menyedot lagi tanpa mempedulikan bau darah menghitam yang tidak enak itu. Baru ia berhenti setelah ia menyedot darah yang merah segar.

"Hebat..." gumamnya. "Kun Hong benar-benar mempunyai sinkang (hawa sakti) yang luar biasa di dalam tubuhnya sehingga meski pun dia pingsan, racun itu tidak dapat menjalar terus ke dalam tubuh, hanya berhenti di sekitar luka. Kalau tidak demikian, ahh, tentu dia tidak akan dapat disembuhkan lagi..."

Gadis itu kemudian duduk bersila, menempelkan dua telapak tangan pada punggung Kun Hong yang dia dorong miring, kemudian dia menyalurkan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk memulihkan tenaga dan menyembuhkan luka di dalam dada Kun Hong.

Sejam kemudian Kun Hong bergerak, mengeluh panjang. Gadis itu cepat menarik kembali kedua tangannya. Gerakan ini perlahan sekali akan tetapi cukup membuat Kun Hong maklum bahwa dia sedang berbaring dan di dekatnya ada seorang yang sedang duduk bersila. Serentak Kun Hong menggerakkan tubuhnya dan di lain saat dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan berdiri dengan bingung tetapi siap dan waspada.

"Kun Hong, syukur kau telah siuman..."
"Hui Kauw...!"

Hampir saja Kun Hong tidak percaya ketika mendengar suara itu, akan tetapi sekarang hidungnya mencium keharuman yang biasa keluar dari rambut gadis itu. Apa lagi suara itu tidak mungkin dapat dia lupakan. Di antara seribu macam suara orang dia pasti akan mengenal suara Hui Kauw si nona bidadari!

"Betul Kun Hong. Aku Hui Kauw dan kau berada di dalam kamarku."

Kini Kun Hong teringat segalanya dan dia meraba luka di belakang pangkal pahanya. Dia menjadi heran sekali. Luka itu sudah bersih dari pada racun yang tadinya mengeram di sekitar luka. Dia menunduk dan tiba-tiba tercium olehnya bau tak enak dari darah yang kotor oleh racun, bau darah yang agaknya berada di lantai.

"Hui Kauw... kau... kau... dengan cara bagaimana kau tadi mengeluarkan racun dari luka di pahaku?"
"Lukamu tadi menghitam, berbahaya sekali kalau menjalar sampai ke jantung. Aku tidak mengerti cara lain, maka tadi kusedot keluar sampai bersih."

Menjawab begini, agak berubah air muka gadis ini karena sekarang dia teringat betapa perbuatannya tadi sesungguhnya amat tidak sopan dan memalukan.

Kun Hong sudah menduga akan hal ini dan dia menyambar dan menggenggam tangan Hui Kauw, "Hui Kauw alangkah mulia hatimu. Kenapa kau menolongku sampai begitu?"

Dengan suara tegas akan tetapi agak gemetar gadis itu menjawab, "Kun Hong, ingatlah bahwa bagiku, kau adalah... suamiku, dan bagiku menolongmu adalah kewajibanku."
"Hui Kauw... Hui Kauw...." Kun Hong terharu sekali.

Untuk sejenak kedua orang muda ini saling berpegang kedua tangan. Mereka diam saja tidak berkata-kata, akan tetapi getaran dari dua pasang tangan itu merupakan pelepasan dari pada hati yang penuh keharuan dan kerinduan.....

Setelah mereda gelora perasaannya Kun Hong melepaskan kedua tangan Hui Kauw, celingukan ke kanan kiri lalu bertanya, "Mana dia...?"
"Kau mencari siapa?"
"Janda itu... Yo-twaso, di mana dia?"
"Oh, kau maksudkan perempuan hina, pelacur itu?" kata Hui Kauw, suaranya terdengar kaku karena hatinya mengkal kalau ia teringat akan wanita muda cantik yang genit cabul dan yang ia lihat memeluk Kun Hong itu.
"Perempuan hina? Pelacur? Apa maksudmu, Hui Kauw?" Kun Hong bertanya dengan perasaan amat heran mengapa gadis yang berperasaan halus dan berbudi mulia ini bisa tiba-tiba memaki-maki janda Yo sedemikian rupa!
"Dia bukan perempuan baik-baik, Kun Hong. Bagaimana kau yang tadinya di keroyok dan melarikan diri itu tiba-tiba saja bisa berada di dalam pondok perempuan itu? Sayang aku datang terlambat sehingga tahu-tahu sudah mendengar bahwa kau telah melarikan diri dan dikejar-kejar oleh para perwira istana."

Teringatlah sekarang Kun Hong akan pertempuran itu dan cepat-cepat dia bertanya, "Ah, habis bagaimana dengan para anggota Hwa-i Kaipang? Bagaimana jadinya dengan Hwa-i Lokai?" tanyanya penuh kekhawatiran.

Hui Kauw menarik napas panjang. "Sebagian besar dari mereka tewas. Lebih dua puluh orang tewas, termasuk ketuanya. Hanya beberapa orang saja selamat, tapi masih menjadi buruan sampai sekarang."

Kun Hong membanting-banting kaki dan dia menangis di dalam hatinya.

"Celaka, aku benar-benar telah membikin celaka banyak orang gagah. Ah... benar-benar celaka, dan benda yang kulindungi, yang sudah menjatuhkan korban banyak orang gagah itu sekarang masih tertinggal di rumah Yo-twaso..."
"Heee? Kau tinggalkan mahkota itu di sana? Tadi aku sudah merasa heran melihat kau menggeletak tanpa apa-apa, malah tongkatmu juga tidak nampak. Wah, berbahaya kalau begitu. Kun Hong aku tidak percaya kepada perempuan itu. Tentu sekarang mahkota dan tongkatmu sudah ia berikan kepada perwira istana."

Kun Hong menggelengkan kepala. "Kau salah sangka, Hui Kauw. Perempuan itu adalah seorang janda yang dahulu pernah kutolong. Yo-twaso orangnya baik, harap kau jangan keliru sangka yang bukan-bukan!"

"Dia baik? Huhh, kau tertipu, Kun Hong. Memang dia seorang janda muda yang cantik manis. Tapi wataknya tidak sebersih mukanya. Dia seorang perempuan genit dan cabul."
"Hee? Apa yang telah terjadi sampai kau menuduhnya demikian? Aku melarikan diri dan membentur pohon, tidak ingat apa-apa lagi. Ketika aku sadar, aku sudah berada dalam pondok Yo-twaso, lalu aku pingsan tidak ingat apa-apa lagi. Apakah yang telah terjadi? Apakah kau mengenal Yo-twaso?"
"Aku tidak kenal perempuan itu. Akan tetapi ketika aku mengejar dan mencarimu, aku melihat dia main gila dengan The Sun, orang kepercayaan kaisar, penghimpun para orang kang-ouw di istana. Coba saja bayangkan, dia main gila dengan The Sun dan sesudah kongcu hidung kerbau itu pergi, dia memelukimu dan menangisimu. Hemmm, masih baik aku tidak tusuk dia dengan pedangku, hanya menendangnya roboh ketika aku merampas dan membawamu ke sini."
"Celaka...!" Tiba-tiba Kun Hong berseru sambil melompat hingga mengagetkan Hui Kauw. Kemudian Pendekar Buta itu mengeluh dengan suara seperti orang akan menangis. "Ah, celaka betul... Yo-twaso... Yo-twaso... kenapa engkau berkorban untukku sampai sehebat itu?" Kun Hong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia benar-benar menangis.

Hui Kauw memegang tangan Kun Hong, suaranya gemetar karena dia menduga hal-hal yang hebat, "Kenapa? Apa artinya semua ini Kun Hong?"
"Ahhh, Hui Kauw, kau tidak tahu. Dia... dia telah berkorban untuk keselamatanku, dengan pengorbanan yang lebih hebat dari pada nyawa...! The Sun itulah orangnya yang sudah menipuku, dan dia pula yang telah melukai pangkal pahaku secara curang, kemudian dia yang mengejar ketika aku melarikan diri. Dan aku berada dalam pondok Yo-twaso dalam keadaan pingsan tak berdaya. Lalu kau melihat Yo-twaso... dan The Sun itu... ahhh, aku dapat membayangkan hal apa yang telah dilakukan oleh Yo-twaso untuk menyelamatkan nyawaku. Yo-twaso tentu tahu bahwa kalau The Sun melihat aku di sana tentu aku akan dibunuhnya. Yo-twaso mempergunakan senjata tunggalnya sebagai wanita lemah, yaitu kecantikannya dan dia... ahh, dia mempergunakan itu untuk memikat The Sun sehingga penjahat itu tidak memperhatikan dan tidak mencari aku lagi..."

Bukan main kagetnya hati Hui Kauw mendengar penjelasan ini.

"Wah... celaka... aku bahkan menendangnya dua kali! Dan kau... ketika rebah di kamar itu, kulihat mukamu berbedak langes hitam dan rambutrnu penuh pupur, sekelebatan kau seperti seorang kakek lagi berbaring... wah kau betul Kun Hong! Tentu Yo-twaso sudah sengaja menaruh semua itu agar kau disangka seorang tua untuk mengelabui mata The Sun. Celaka, ahhh... alangkah bodohku... Kun Hong, kau maafkan kebodohanku..." Hui Kauw benar-benar merasa menyesal sekali atas kesembronoannya telah menuduh yang bukan-bukan kepada seorang wanita yang demikian berbudi.

Kun Hong memegang lengan Hui Kauw. "Hui Kauw, hayo antar aku ke sana, sekarang juga. Selain aku harus menghaturkan rasa terima kasihku, juga aku merasa khawatir akan keselamatan Yo-twaso dan A Wan, anaknya. Lagi pula, aku harus mengambil kembali tongkatku dan mahkota itu sebelum terjatuh ke tangan The Sun dan kawan-kawannya."

Karena merasa sangat menyesal akan perbuatannya terhadap janda muda itu maka Hui Kauw tak berani membantah lagi. Segera digandengnya tangan Kun Hong dan dibawanya Pendekar Buta itu melesat keluar melalui jendela, terus meloncat naik ke atas genteng dan dua orang itu mempergunakan ginkang mereka berloncatan dari genteng ke genteng, cepat laksana bayangan hantu di malam gelap..

Selanjutnya baca
PENDEKAR BUTA : JILID-09
LihatTutupKomentar