Pendekar Buta Jilid 09
Waktu itu tengah malam sudah jauh terlewat, malah hari sudah hampir pagi. Ayam-ayam jantan sudah mulai berkokok dan sungguh pun belum kelihatan orang-orang keluar dari rumah masing-masing, tetapi kegelapan malam sudah mulai melepaskan dunia dari pada cengkramannya yang memabukkan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kun Hong dan Hui Kauw ketika mereka meloncat turun ke halaman rumah kecil janda Yo, mereka mendengar suara tangis seorang anak kecil yang menggerung-gerung penuh kedukaan.
"A Wan, ada apakah...?" Kun Hong tidak sabar lagi dan segera mendorong pintu yang sudah berada di depannya. Bersama Hui Kauw dia lari memasuki pondok kecil itu.
"Ahhhhh...!" Tangan Hui Kauw yang menggandeng tangannya menggigil dan suara gadis ini gemetar.
"Ada apa? Hui Kauw, kau melihat apa? A Wan, mengapa kau menangis?"
"Paman...!" A Wan menubruk kaki Kun Hong dan tangisnya makin menjadi-jadi sampai akhirnya dia menjadi sesak napas dan terguling pingsan di kaki Pendekar Buta itu.
“Kun Hong... dia... Yo-twaso itu... entah kenapa dia..."
"Mana Yo-twaso? Mana...?"
Hui Kauw menarik tubuh A Wan, dikempitnya dan dengan hati tidak karuan ia menuntun Kun Hong maju.
"Dia di lantai...," bisiknya.
Kun Hong berlutut, tangannya meraba dan... begitu menyentuh tubuh janda Yo, jari-jari tangannya cepat bergerak memeriksa nadi tangan, memeriksa detik jantung, lalu meraba leher. Dia mengeluh panjang, melepaskan tangan mayat itu, kemudian menutupi mukanya dengan tangan. Mulutnya berkata lirih,
"Yo-twaso... engkau sudah berkorban untukku... alangkah besar budi yang kau limpahkan kepadaku. Yo-twaso, biarlah aku bersumpah, aku tidak mau menjadi orang sebelum aku membalas ini semua kepada si keparat The Sun..."
"Tidak...!" Tiba-tiba A Wan yang sudah siuman melepaskan diri dari pangkuan Hui Kauw yang juga menangis perlahan saking terharunya.
A Wan berlari menghampiri dan memeluk tubuh ibunya, lalu memandang Kun Hong dan berkata lagi. "Tidak, Paman, tidak boleh begitu. Akulah yang akan membalas dendam Ibu terhadap The Sun! Sebelum... sebelum Ibu mati, ia sudah meninggalkan pesan kepadaku supaya membalas budi Paman dan membalas dendam kepada The Sun. Ah, Ibu... Ibu...!"
Tiba-tiba Kun Hong yang sudah mampu menguasai perasaannya itu bangkit berdiri dan sekali tarik dia sudah membuat A Wan berdiri pula. "Cukup bertangis-tangisan ini! Tanpa kegagahan, mana dapat kau membalas dendam itu? Dan kalau mempelajari kegagahan, harus pantang menangis kau dengar? A Wan, mulai sekarang kau menjadi muridku!"
"Suhu (guru)...!" A Wan lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kun Hong, terisak-isak menahan tangisnya.
"Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi dengan ibumu!"
Sambil menahan isaknya A Wan kemudian menceritakan pengalamannya semenjak dia dan ibunya menolong Kun Hong yang sudah menggeletak pingsan di belakang rumah. Kemudian betapa dia disuruh ibunya memanggil sinshe Thio, akan tetapi meski pun dia membujuk-bujuk namun sinshe itu tidak mau menolong, malah memaki dan memukulnya.
Lalu dia bercerita dengan air mata bercucuran akan tetapi tidak berani mengeluarkan suara tangisan, betapa ketika dia pulang, dia mendengar jerit ibunya memanggil namanya dan pada waktu dia memasuki rumah, ibunya sudah menggantung lehernya dengan ikat pinggang.
Kun Hong menarik napas panjang dan menoleh kepada Hui Kauw, berkata dengan suara tergetar, "Dia mencuci noda dengan nyawa. Hui Kauw, adakah orang yang lebih mulia dari padanya?"
Hui Kauw tidak menjawab, hanya terisak perlahan menekan keharuan hatinya ketika dia memandang ke arah mayat nyonya Yo yang masih menggeletak di lantai. Perlahan-lahan dia melangkah maju, mengangkat mayat itu dengan hati-hati dan meletakkannya di atas pembaringan, lalu menggunakan selimut butut yang berada di situ untuk menutupi tubuh dan muka mayat itu. Semua ini dia lakukan penuh hormat dan dengan diam-diam, diikuti pandang mata A Wan dan pendengaran Kun Hong.
Ketika menyingkap selimut tadi, Hui Kauw melihat tongkat Kun Hong. Diambilnya tongkat itu dan diserahkan kepada Kun Hong tanpa berkata-kata. Kun Hong merasa tangannya tersentuh tongkat, dengan hati lega dia menerima senjata ini.
"A Wan, dahulu kau dan ibumu diantar Lao Tui pergi ke kota Cin-an, bagaimana kau dan ibumu bisa tinggal di kota raja ini?"
Dengan singkat anak itu lalu menuturkan pengalamannya yang penuh duka dan derita. Memang sangatlah buruk nasib dia dan ibunya. Lao Tui yang berhati palsu itu kiranya berlaku curang. Anak dan ibu ini tidak diantar ke Cin-an sebagaimana yang dikehendaki nyonya Yo, melainkan diam-diam dia bawa ke kota raja!
Sesudah sampai di kota raja mereka menginap dalam sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah diam-diam Lao Tui kabur membawa semua uang pemberian Song-wangwe, membiarkan janda muda itu bersama anaknya sendirian di kota raja yang besar dan ramai itu!
Dapat dibayangkan betapa bingung dan susahnya hati nyonya janda Yo. Seorang wanita dari dusun seperti dia, kini tahu-tahu berada di kota besar tanpa uang tanpa sandaran!
Dengan amat sengsara janda muda ini bekerja keras sebagai tukang cuci, sekedar untuk dapat mencegah kelaparan dan hidup dalam keadaan yang amat miskin dengan anaknya. Tentu saja banyak gangguan yang dia alami, namun janda muda ini berhati keras dan dapat menjaga diri sehingga biar pun ia dan anaknya hidup miskin dan serba kekurangan, menyewa sebuah pondok seperti gubuk, namun di dalam kemiskinan itu dia tetap dapat menjaga kebersihan diri dan namanya.
"Ibu dan teecu (murid) hidup dalam kemiskinan, Ibu bekerja mencuci pakaian dan teecu membantu dengan bekerja sebagai penggembala, sampai pada malam hari itu kebetulan sekali kami bertemu lagi dengan Suhu," A Wan mengakhiri ceritanya yang didengarkan dengan penuh keharuan hati oleh Kun Hong dan Hui Kauw.
"Memang nasib ibumu amat buruk, akan tetapi besarkan hatimu, Wan-ji, karena segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bukanlah kehendak manusia. Sudah ditakdirkan ibumu pergi menyusul arwah ayahmu di waktu dia masih muda. Mereka itu, ayah bundamu itu, meninggalkan kau seorang diri di dunia, tentu mereka percaya dengan penuh keyakinan bahwa sebagai ahli waris mereka engkau akan mewarisi pula budi pekerti ayahmu yang wataknya gagah perkasa dan ibumu yang suci budinya."
A Wan mendengarkan dengan kepala tertunduk untuk menyembunyikan mukanya yang kembali menjadi merah lagi.
"Wan-ji (anak Wan), ketika kau dan ibumu menolongku ketika aku pingsan, apakah kau melihat buntalan pakaianku? Adakah kau melihat sesuatu dalam buntalan pakaian itu?"
"Suhu maksudkan sebuah benda seperti topi yang gilang-gemilang berwarna kuning?"
"Betul...," Kun Hong berdebar gembira. "Di mana berada benda itu?"
"Ada teecu simpan. Suhu jangan khawatir, teecu sembunyikan di tempat rahasia. Begitu melihat benda itu, teecu bisa menduga bahwa tentu Suhu sedang memperebutkan benda itu dengan musuh-musuh Suhu, maka sengaja teecu sembunyikan selagi Suhu pingsan. Tunggu sebentar Suhu, teecu hendak mengambilnya, teecu simpan di belakang rumah." Anak itu lalu keluar melalui pintu belakang.
"Kun Hong, cerdik sekali Wan-ji itu, pantas dia menjadi muridmu, pula sudah sepatutnya kalau kita membalas budi mendiang Yo-twaso...," kata Hui Kauw terharu.
"Kau betul, Hui Kauw, dan kita harus membantu Wan-ji mengurus penguburan jenazah Yo-twaso. Sambil menanti Wan-ji dan datangnya pagi, baik kau ceritakan pengalamanmu. Tadi itu rumah siapakah? Apakah kau berhasil bertemu dengan orang tuamu?"
Dua orang muda itu duduk berhadapan di atas lantai tanah yang hanya bertikar rombeng di rumah itu. Di dekat mereka, jenazah nyonya janda Yo terbaring kaku. Api lampu minyak kecil membuat ruangan itu remang-remang.
Suara Hui Kauw yang halus itu terdengar ketika dia mulai menceritakan pengalamannya setengah berbisik-bisik. Sebaiknya kita ikuti saja pengalaman nona ini sejak dia berpisah dari Kun Hong setelah membantu pemuda buta itu memperoleh kembali mahkota kuno dari tangan Hui Siang dan Bun Wan di Pulau Ching-coa-to.
Hui Kauw meninggalkan Pulau Ching-coa-to dengan perasaan hancur dan hati penuh duka nestapa. Memang baginya pulau itu bukanlah tempat yang mendatangkan kenangan indah dan andai kata ia dapat pergi meninggalkan pulau ini setahun yang lalu, agaknya ia akan merasa gembira, bahagia dan bebas seperti burung terlepas dari sangkarnya.
Ching-toanio dan Hui Siang bukan merupakan orang-orang yang mengasihinya, sungguh pun ia sendiri cukup berusaha untuk memaksa hati menyayang mereka untuk membalas budi mereka, terutama budi Ching-toanio yang sudah memeliharanya semenjak dia kecil, sungguh pun wanita itu telah menculiknya dari tangan ayah bundanya yang asli.
Andai kata sebelum terjadi peristiwa keributan karena kedatangan Kun Hong di pulau itu ia bisa berhasil meninggalkan pulau, hal itu akan merupakan kebebasan dan kebahagiaan baginya. Akan tetapi, apa hendak dikata. Nasibnya menghendaki lain.
Nasib sudah mempertemukan ia dengan Kun Hong Pendekar Buta itu, orang muda buta yang sekaligus menarik hatinya dan menjatuhkan cinta kasihnya. Harapannya untuk bisa hidup berbahagia sebagai isteri Kwa Kun Hong timbul ketika Ching-toanio membujuknya untuk melakukan upacara pernikahan dengan Si Pendekar Buta.
Menyaksikan wajah Si Pendekar Buta yang simpatik, budi pekertinya yang baik, sikapnya yang gagah perkasa dan kepandaiannya yang tinggi, di dalam hatinya Hui Kauw sudah jatuh benar-benar. Kebutaan mata Kun Hong sama sekali tidak mengecewakan hatinya, bahkan merupakan hiburan baginya karena dengan demikian laki-laki yang dia harapkan menjadi suaminya itu tidak akan dapat melihat betapa wajahnya yang berkulit halus itu berwarna kehitaman yang menurut pandang mata setiap orang laki-laki tentu menjemukan dan buruk sekali!
Siapa dapat mengira bahwa semua itu hanyalah tipuan belaka, siasat yang dijalankan oleh Ching-toanio dan kawan-kawannya untuk menjebak Kun Hong dan menarik pemuda perkasa itu sebagai pihak mereka. Sebagai seorang laki-laki gagah, tentu saja Kun Hong merasa terhina sehingga menolak pernikahan yang hanya merupakan siasat. Akibatnya perasaan Hui Kauw hancur luluh, remuk redam dan buyarlah semua khayal dan lamunan yang muluk-muluk tentang hidup bahagia bersama Kun Hong.
Kini sia sudah terpisah dari Kun Hong, meninggalkan pemuda itu sesudah membantunya mendapatkan mahkota kuno kembali. Sedikitnya hatinya telah terhibur. Tidak saja ia telah berjasa dan membalas budi Kun Hong, juga dia mendapat kenyataan bahwa Pendekar Buta itu sebetulnya menaruh hati cinta kasih pula kepadanya. Dia tidak bertepuk tangan sebelah.
Kalau teringat akan ini, ingin rasanya Hui Kauw menari-nari saking bahagia rasa hatinya. Kun Hong juga mencintainya! Kebahagiaan apakah di dunia ini yang lebih besar dari pada keyakinan bahwa orang yang dicintanya itu ternyata membalas dengan cinta kasih yang sama besarnya pula?
Namun, duka dan suka memanglah sepasang saudara kembar. Masing-masing tak dapat berjauhan dan masing-masing siap menggantikan kedudukan saudara kembarnya. Rasa suka karena mengetahui tentang cinta kasih Kun Hong kepadanya ini segera tertutup oleh duka yang amat besar, yaitu kenyataan bahwa Kun Hong tidak akan dapat mengawininya karena pemuda buta itu seluruh hati dan perasaannya masih terikat oleh cinta kasihnya kepada mendiang Cui Bi, dan perasaan ini memaksa Si Pendekar Buta untuk bersetia terus kepada mendiang kekasihnya itu!
Demikianlah, dengan dada kosong karena hatinya sudah tertinggal bersama Si Pendekar Buta, dan perasaan amat berat karena semenjak saat itu ia harus hidup sendiri, Hui Kauw melakukan perjalanan cepat sekali dengan tujuan kota raja. Selama hidup belum pernah ia melakukan perjalanan jauh, apa lagi ke kota raja, karena ia seakan-akan ‘dikurung’ oleh Ching-toanio di dalam pulau. Kalau nenek itu bepergian, tentu Hui Siang yang diajak serta.
Justru hal ini malah mendatangkan hiburan bukan kecil bagi Hui Kauw. Biasanya ia hanya melihat pemandangan di sekitar pulau saja, kali ini setelah melakukan perjalanan jauh melalui gunung-gunung, ia terpesona dan beberapa kali sampai terhenti untuk menikmati tamasya alam yang amat indahnya.
Selain minggat dari pulau Ching-coa-to, tujuan perjalanannya adalah untuk mencari ayah bundanya di kota raja. Hal ini sebenarnya telah menjadi niat hatinya sejak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi ia selalu kurang berani melakukannya. Sekarang karena keadaan memaksanya, ia dapat melaksanakan niatnya itu.
Meski pun perasaan ini mendatangkan kegirangan di hatinya, namun juga mendatangkan keraguan dan kekhawatiran. Dia sudah tidak ingat lagi bagaimana wajah ayah bundanya, juga tak tahu nama mereka. Yang pernah ia dengar dari pelayan tua di Ching-coa-to yang merasa sakit hati karena disiksa oleh Ching-toa-nio dan membuka rahasia ini kepadanya hanyalah bahwa ia bukanlah anak Ching-toanio, bahwa ketika masih amat kecil ia diculik oleh Ching-toanio dari kota raja dan bahwa dia adalah anak keluarga kaya raya she Kwee!
Ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat berjumpa dengan ayah bundanya, apakah ia akan berhasil mencari seorang she Kwee di kota raja tanpa bahaya keliru cari? Bagai mana kalau ia bertemu dengan keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja akan tetapi sebetulnya keluarga itu bukanlah keluarganya? Mungkinkah ayah bundanya akan dapat mengenal puterinya yang lenyap ketika masih amat kecil? Apa lagi kalau ia ingat bahwa sekarang mukanya telah menjadi hitam! Kalau berpikir sampai di sini, Hui Kauw menjadi amat gelisah.
Para penjaga pintu gerbang tembok kota raja, tentu saja tidak membiarkan gadis ini lewat begitu saja tanpa diperiksa. Akan tetapi melihat sikap yang lemah lembut namun kereng, melihat pedang yang tergantung di punggung Hui Kauw, mereka maklum bahwa gadis ini adalah seorang gadis kong-ouw yang berkepandaian, maka mereka pun tidak berani main gila.
Tentu saja hal ini sebagian besar dikarenakan wajah Hui Kauw yang hitam dan karenanya tidak menarik. Andai kata wajahnya yang sebetulnya amat cantik jelita itu tidak bercacat dengan warna kehitaman itu, kiranya ia tak akan terluput dari pada godaan dan kekurang ajaran para penjaga itu. Setelah diperiksa sebentar ia lalu diperbolehkan masuk.
Dapat dibayangkan betapa kagum dan herannya hati gadis ini ketika ia sudah memasuki kota raja dan melihat keramaian yang luar biasa itu. Bingung ia dibuatnya. Hal pertama yang ia lakukan adalah mencari sebuah rumah penginapan.
Seorang pelayan muda dengan muka cengar-cengir maju menyambutnya. Hampir semua pelayan rumah penginapan di kota raja mengenal orang-orang kang-ouw, maka pelayan muda ini pun tentu saja dengan mudah dapat menduga bahwa tamunya seorang wanita muda yang datang sendirian ini tentu seorang wanita kangouw.
"Nona mencari kamar? Kebetulan masih ada yang kosong di sebelah belakang. Silakan Nona mengikuti saya."
Hui Kauw merasa tidak senang dan sangat sebal melihat muka pelayan muda yang terus mesam-mesem ini. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berjalan perlahan mengikuti pelayan itu.
Rumah penginapan itu cukup besar dan mereka berjalan melalui beberapa ruangan. Di ruangan sebelah dalam terdapat tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang duduk bercakap-cakap. Ketika Hui Kauw lewat, mereka menghentikan percakapan itu dan tiga pasang mata dengan cara yang tidak sembunyi-sembunyi menatap gadis ini yang berjalan dengan tenang tanpa menoleh ke sana ke mari.
Akan tetapi diam-diam Hui Kauw melirik dan memperhatikan keadaan di situ sehingga ia bisa mengetahui betapa kamar-kamar penginapan itu penuh dengan para tamu yang juga semua menengok dan memandangnya dari jendela atau pintu kamar mereka. Diam-diam ia mendongkol sekali dan menganggap bahwa para lelaki di kota raja adalah sebangsa laki-laki kasar dan tidak sopan terhadap wanita.
Kamar itu biar pun kecil tetapi cukup bersih, biar pun baunya apek dan menyebalkan hati Hui Kauw. Nona ini cepat mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan diberikannya kepada pelayan itu.
Setelah menerima persenan yang besar ini sikap pelayan itu otomatis berubah. Tubuhnya membungkuk-bungkuk, mukanya berseri dan senyumnya melebar memamerkan deretan gigi menguning.
"Terima kasih, Nona yang gagah. Terima kasih. Apakah ada sesuatu perintah dari Nona? Barang kali Nona membutuhkan bantuan saya...," katanya menjilat.
Oleh karena pelayan ini merupakan orang pertama yang dihubunginya dan yang dapat diajaknya bercakap-cakap, Hui Kauw segera berkata, "Barang kali kau bisa menunjukkan kepadaku di mana rumah keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja ini."
Biar pun Hui Kauw sudah memandang tajam, ia merasa sukar untuk dapat menangkap perasaan pelayan itu sebab mukanya berubah-ubah. Mula-mula matanya terbelalak bagai orang keheranan, kemudian terbayang ketakutan, akhirnya keningnya berkerut bagaikan orang bercuriga, tapi mulutnya masih tersenyum.
"Keluarga Kwee...? Kaya raya...? Ehm, di mana, ya? Nona, di sini banyak sekali keluarga Kwee. Yang kaya raya juga sangat banyak, apa lagi yang miskin. Keluarga mana yang Nona maksudkan? Siapa nama hartawan itu?"
Mendengar ini saja Hui Kauw sudah kecewa. Mana dia bisa tahu namanya? Dan kalau ia sendiri tahu yang ia maksudkan, tentu ia tak akan bertanya-tanya lagi, pikirnya mengkal.
"Aku tidak tahu namanya, yang kuketahui hanya bahwa dia adalah seorang hartawan she Kwee."
Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang gepeng. "Wah, susah kalau begitu, Nona. Di sini banyak hartawan she Kwee, entah ada berapa puluh orang!"
Hui Kauw menggerakkan tangan dan pada lain saat dia telah memperlihatkan dua potong uang emas. "Kau suka menerima hadiah ini?"
Pelayan itu bengong, tidak dapat segera menjawab, hanya kala-menjing di lehernya yang kecil itu bergerak naik turun. Setahun bekerja penuh di penginapan itu, tak mungkin bisa mendapatkan emas dua potong itu, pikirnya mengilar. Saking kacau hatinya, dia tak dapat menjawab, hanya mengangguk-angguk seperti ayam mematuki beras.
Hui Kauw menahan senyum. "Aku tidak mempunyai kenalan di kota raja ini, oleh karena itu aku membutuhkan bantuanmu. Kau carilah keterangan tentang keluarga hartawan Kwee yang anak perempuannya pernah diculik orang belasan tahun yang lalu. Nah, emas ini menjadi milikmu apa bila kau bisa mendapatkan keterangan itu, malah akan kutambah kalau kelak ternyata bahwa keteranganmu tidak keliru."
"Boleh... baik, Nona... akan segera saya kerjakan perintah Nona setelah selesai pekerjaan saya nanti." Akhirnya si pelayan dapat juga menjawab, lalu cepat-cepat dia keluar dari kamar itu.
Hui Kauw juga melangkah ke luar kamar dan matanya bersinar-sinar ketika dia melihat berkelebatnya sesosok bayangan yang agaknya mempunyai niat tidak baik. Akan tetapi karena berada di tempat asing, ia diam saja, hanya bersiap menjaga diri dari pada segala kemungkinan.
Malam itu sehabis makan sekedarnya, Hui Kauw merebahkan diri di atas pembaringan. Jengkel juga hatinya menanti-nanti pelayan yang belum kunjung datang. Akan tetapi dia menghibur hati sendiri dengan pikiran bahwa tentu tidak mudah melakukan penyelidikan tentang orang yang tak diketahui betul keadaannya di dalam kota sebesar itu.
Ia menutup kelambu, akan tetapi sengaja ia tidak membuka pakaian, malah ia berbaring dengan pakaian lengkap dan pedang di dekat bantal. Lilin sudah ia tiup padam karena memang ia ingin mengaso sambil menenteramkan pikirannya yang risau.
Sukar sekali ia tidur. Pikirannya kacau-balau, sebagian besar berpikir tentang Kun Hong dengan hati duka, sebagian lagi membayangkan pertemuannya dengan ayah bundanya. Masih hidupkah mereka? Andai kata masih hidup dan dapat bertemu muka dengannya, sukakah mereka menerimanya sebagai anak? Bagaimana nanti sikap mereka terhadap dia? Masih adakah kasih sayang mereka? Bagaimana nanti sikapnya sendiri terhadap mereka? Semua ini membuat dadanya berdebar-debar dan membuat sepasang matanya terbuka lebar tidak mau dimeramkan.
Menjelang tengah malam, suara-suara di dalam rumah penginapan besar itu telah lenyap. Keadaan sunyi menandakan bahwa para tamu sudah tidur. Dari dalam kamarnya, Hui Kauw dapat mendengar suara orang-orang mendengkur dari kamar lain. Hal ini semakin memusingkan kepalanya dan menjengkelkan hatinya.
Jemu sekali ia di dalam penginapan ini. Seribu kali dia lebih suka bermalam di sebuah hutan, di atas dahan pohon besar, lebih segar dan nikmat, dapat mengaso betul-betul. Hawa di dalam kamar itu pengap, membuat napas menjadi sesak.
Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara di jendela kamarnya. Tapi, sebagai seorang gadis pendekar yang berilmu tinggi, hanya beberapa detik saja dia tegang, selanjutnya sambil tersenyum mengejek dia tenang-tenang rebah sambil menunggu apa yang akan datang.
Hatinya terasa geli mendengar betapa daun jendela dikorek-korek dengan senjata tajam. Agaknya ada pencuri yang hendak membuka jendela kamar, pikirnya. Akan tetapi ketika ia mencurahkan perhatian dan menggunakan pendengarannya, terdengar lebih dari pada dua buah kaki yang berpijak di lantai.
Hemmm, apakah di kota raja yang begini ramainya terdapat juga perampok-perampok? Sungguh-sungguh berani mati penjahat-penjahat ini, pikirnya. Rumah penginapan adalah tempat umum dan di sana banyak terdapat tamu, bagaimana mereka ini berani datang melakukan kejahatan di sini? Kalau ketahuan, apakah mereka tak akan dikeroyok sampai mampus?
"Kraaakkk!"
Akhirnya daun jendela terbuka. Tiga sosok bayangan yang gerakannya ringan meloncat memasuki kamar melalui jendela itu.
Diam-diam Hui Kauw terkejut karena gerakan tiga orang itu menunjukkan bahwa mereka bukanlah merupakan penjahat-penjahat biasa, akan tetapi orang-orang yang mempunyai kepandaian lumayan. Akan tetapi ia tetap rebah saja sambil mempersiapkan pedangnya.
Hui Kauw lalu membentak halus. "Tiga orang tikus kecil apakah sudah bosan hidup? Hayo lekas keluar lagi sebelum nonamu habis sabar!" Memang ia tidak mau mencari perkara di kota raja yang asing baginya ini.
Tiga orang itu tidak bergerak, malah seorang di antaranya menyalakan lilin sehingga Hui Kauw dapat melihat bahwa mereka adalah tiga orang tinggi besar yang siang tadi duduk di ruangan tengah.
"Nona muka hitam, jangan sombong," cela seorang di antara mereka.
"Hemm, benar-benar tidak tahu telah diberi kelonggaran," kata orang ke dua.
Orang ke tiga yang menyalakan lampu itu berkata sambil memandang Hui Kauw yang sudah bangun dan duduk di pinggir pembaringannya, "Nona, kami bertiga sudah banyak mengalah, sengaja tidak membikin ribut di depan umum agar kau tak mendapatkan malu. Karena itulah maka kami diam-diam mendatangimu pada waktu malam-malam begini agar orang-orang tidak ada yang tahu."
Hui Kauw mengerutkan kening, membentak, "Orang-orang kurang ajar, kalian bicara apa? Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian, hayo lekas minggat dari sini!"
Gadis ini sekarang sudah marah dan sudah turun dari pembaringan, berdiri tegak dengan sikap kereng dan dengan pedang di tangan.
Seorang di antara mereka yang matanya juling tertawa mengejek, sambil cengar-cengir berkata, "Nona, agaknya kau belum tahu siapa kami, maka sikapmu kasar. Ketahuilah, kami adalah petugas-petugas dari istana, kami mata-mata dan penyelidik yang bertugas di rumah penginapan ini. Entah sudah berapa banyak mata-mata pengkhianat dan kaum pemberontak kami tangkap! Nah, lebih baik sekarang simpan kembali pedangmu dan kau baik-baik membiarkan kami menggeledah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan."
"Siapa peduli tentang keadaan kalian? Siapa pun juga kalian, tidak patut memasuki kamar orang seperti pencuri-pencuri busuk. Kalau ada keperluan datanglah besok dengan cara yang sopan. Aku bukan pengkhianat, bukan pula pemberontak, peduli apa dengan segala kedudukan kalian? Hayo minggat!"
"Ha-ha-ha, galak benar," orang ke dua yang kumisnya panjang tertawa,
"Biar pun mungkin bukan pemberontak, akan tetapi setidaknya tentu sebangsa perampok atau maling tunggal yang datang dari luar kota raja hendak mengacau atau mencuri di sini. Nona tangan panjang, kau menyelidiki keadaan seorang hartawan di kota raja, apa maksudmu selain hendak memindahkan sebagian hartanya ke tanganmu?"
"Keparat, berani kalian menghina orang!"
Tubuh Hui Kauw bergerak dan terdengarlah suara…
"Plak-plak, blukk, ngekkk!"
Lalu terdengar pula susulan suara pekik tiga orang itu mengaduh-aduh diakhiri dengan melayangnya ketiga tubuh mereka keluar melalui lubang jendela. Mereka masih terdengar mengaduh-aduh, lalu merangkak-rangkak dan akhirnya terdengar berderap-derap langkah mereka pergi meninggalkan tempat itu!
Hui Kauw tersenyum mengejek dan juga merasa geli hatinya. Begitu sajakah penyelidik-penyelidik dari istana? Ia membersihkan kedua tangannya dengan taplak meja di kamar itu. Dua tangannya baru saja ‘makan’ muka dan kepalannya menjotos dada orang-orang itu. Dengan tenang Hui Kauw menutupkan daun pintu jendelanya kembali, menyimpan pedangnya kemudian merebahkan diri di atas pembaringan seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
Menjelang pagi nona itu tiba-tiba terbangun. Enak juga ia tidur dari tengah malam tadi. Tidur pulas tiga empat jam baginya cukup sudah. Kini dia terbangun karena mendengar suara ribut-ribut di luar kamarnya. Banyak orang berkumpul di luar kamarnya, sedikitnya ada sepuluh orang.
“Di sini kamarnya…!” terdengar suara.
Mendengar suara ini Hui Kauw cepat turun dari pembaringan, menggosok-gosok mukanya dengan sapu tangan, membereskan rambut beserta pakaiannya yang kusut, mengikatkan pedang di pinggangnya dan mengencangkan tali sepatunya. Malah untuk menjaga segala kemungkinan ia mengikatkan pula buntalan pakaian di atas punggungnya.
"Duk-duk-duk!” Pintunya mulai digedor orang.
"Buka pintu! Kami pengawal istana hendak memeriksa!"
Huh, menyebalkan, pikir Hui Kauw. Kiranya di kota raja berkeliaran segala anjing istana yang kerjanya hanya mengganggu orang. Hemmm, lihat mereka hendak apa terhadapku. Kakinya melangkah ringan dan sekali tangannya bergerak, pengganjal daun pintu terlepas dan daun-pintu terbuka lebar-lebar.
Dengan tenang Hui Kauw berdiri tegak. Sikapnya gagah dan matanya tajam menatap ke luar kamar. Kiranya di luar kamarnya telah berkumpul sedikitnya selosin orang, dikepalai laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang bersikap gagah dan sombong. Sebuah senjata ruyung baja yang besar tergantung di pinggangnya.
Melihat pakaian orang ini lebih mewah dan berbeda dari orang-orang yang lain, dapatlah Hui Kauw menduga bahwa tentunya orang ini pemimpin mereka itu. Dengan tenang dia melangkahkan kaki keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut berhadapan dengan selosin laki-laki yang tampaknya tinggi-tinggi besar dan gagah-gagah itu.
"Hemmm, kiranya orang-orang lelaki di kota raja ini hanya kelihatannya saja gagah dan sombong," kata Hui Kauw perlahan akan tetapi suaranya mengandung penuh penyesalan dan ejekan, "Malam tadi tiga ekor anjing menggonggong dan berlagak membuat orang sukar tidur enak, dan sekarang pagi-pagi sekali serombongan orang kasar menggedor pintu. Apa kehendak kalian?" Hui-Kauw sengaja berkata demikian ketika melihat bahwa tiga orang laki-laki malam tadi berada di dalam rombongan ini pula.
Tiga orang laki-laki itu menjadi merah mukanya, mata mereka melotot lebar akan tetapi jelas mereka kelihatan gentar. Siapa orangnya yang tidak menjadi gentar jika malam tadi mengalami hal seperti mereka?
Tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, tadi malam gadis bermuka hitam itu sudah membuat mereka kalang-kabut dan babak-belur sehingga dalam keadaan hampir pingsan tahu-tahu mereka mendapatkan diri sendiri telah berada di luar kamar! Tentu saja mereka merasa seperti telah bertemu dan melawan setan karena mereka yang terkenal sebagai orang-orang berkepandaian tinggi bagaimana bisa mengalami hal seperti itu anehnya.
Semalam dengan tubuh sakit-sakit dan semangat terbang melayang, mereka menyeret kedua kaki melarikan diri dan langsung melaporkan hal aneh itu pada seorang pengawal istana yang menjadi kepala mereka.
Pengawal istana yang sekarang membawa sebelas anak buahnya, yang pagi-pagi sekali mendatangi kamar tamu hotel yang aneh dan mencurigakan itu, bukan lain adalah Tiat-jiu Souw Ki yang sudah kita kenal lama! Seperti telah kita ketahui, semenjak masih sebagai pangeran, kaisar yang sekarang, yaitu dahulunya Pangeran Kian Bun Ti, sudah banyak mempunyai kaki tangan terdiri dari jago-jago silat. Dahulu dia terkenal mempunyai tujuh orang pengawal jagoan yang terdiri dari orang-orang gagah, di antaranya adalah Tiat-jiu Souw Ki itulah.
Setelah Kian Bun Ti menjadi kaisar, hanya tinggal tiga orang di antara tujuh jagoannya yang masih ada dan yang masih dia pergunakan tenaganya sebagai pengawal istana. Mereka ini adalah Tiat-jiu Souw Ki, Bhong Lo-koai dan Ang Mo-ko.
Dua orang kakek ini ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada Tiat-jiu Souw Ki, akan tetapi karena watak mereka yang aneh, jarang sekali mereka keluar bila tidak menghadapi urusan besar. Mereka lebih suka bertugas di dalam istana menjaga keselamatan kaisar.
Berbeda dengan Tiat-jiu Souw Ki yang lebih suka berkeliaran di luar. Baginya, bertugas di luar istana memiliki kesempatan lebih banyak untuk dapat melampiaskan nafsu-nafsunya, mudah mencari ‘rejeki’ dengan memeras atau merampas, mudah pula mempermainkan anak isteri orang yang menjadi sebuah di antara hobby-nya (kegemarannya)!
Di bagian awal cerita ini sudah dituturkan betapa Tiat-jiu Souw Ki yang tadinya berhasil merampas kembali mahkota kuno yang dicuri oleh Tan Hok dari dalam istana kemudian ‘ketemu batunya’ saat Tan Loan Ki Si Walet Jelita mempermainkan dan mengalahkannya serta merampas kembali mahkota itu.
Hati Souw Ki amat penasaran. Dia, seorang pengawal kaisar, berjuluk Tiat-jiu (Si Tangan Besi), ahli bermain ruyung baja, masih dibantu pula oleh anak buah perampok-perampok Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang serta si tosu bopeng Ban Kwan Tojin, kalah oleh seorang dara jelita yang masih setengah kanak-kanak! Mulai saat itu Tiat-jiu Souw Ki menaruh hati benci terhadap wanita-wanita kang-ouw.
Maka begitu mendengar dari anak buahnya bahwa di dalam penginapan di kota raja itu terdapat seorang wanita kang-ouw yang mencurigakan akan tetapi berilmu tinggi, hatinya tertarik dan penasaran. Mana bisa di dunia ini ada wanita ke dua yang boleh begitu saja menghinanya? Demikianlah, pagi-pagi benar dia mengajak sebelas orang anak buahnya yang pilihan mendatangi penginapan itu dan menggedor pintu kamar Hui Kauw.
Melihat sikap Hui Kauw yang menantang dan kereng, Tiat-jiu Souw Ki menjadi panas perutnya. Dia seorang mata keranjang, dan agaknya kalau nona yang bentuk tubuhnya menggairahkan ini tidak hitam mukanya, agaknya siang-siang kemarahannya sudah akan mencair kembali.
Akan tetapi kehitaman muka Hui Kauw memang menyembunyikan kecantikannya dan hal ini agaknya membuat Souw Ki semakin panas perutnya sehingga meledaklah suaranya membentak.
"He, monyet betina muka hitam! Siapa kau berani bersikap sombong di depan Tiat-jiu Souw Ki? Mendengar laporan anak buahku, kukira kau seorang tokoh kang-ouw yang bernama besar sehingga pagi-pagi aku datang sendiri untuk melihat. Siapa tahu kiranya hanya seekor monyet hitam, lutung hitam. Hayo lekas berlutut menyerah!"
Sebetulnya Hui Kauw adalah seorang yang memiliki watak penyabar dan luas pandangan. Semalam sudah ia buktikan betapa wataknya sangat halus dan pemurah sehingga tiga orang laki-laki kasar yang sudah menghinanya itu masih dia ampuni dan hanya memberi hajaran sedikit dan tidak mengakibatkan luka-luka parah. Namun, sesabar-sabarnya hati wanita, kalau dimaki dan diperolok tentang keburukan mukanya, ia tentu akan marah juga.
Demikian pula Hui Kauw. Ia maklum bahwa mukanya memang hitam dan buruk, akan tetapi bukan untuk diperolok oleh seorang laki-laki macam Souw Ki ini. Dengan kilatan mata yang bercahaya, gadis itu menudingkan telunjuknya yang runcing ke muka Souw Ki sambil berkata.
"Bangsat rendah bermulut kotor, mukamu sendiri hitam dan buruk, masih berani memaki orang lain? Tidak peduli kau siapa, aku adalah seorang baik-baik yang tidak pernah dan tidak akan melakukan kejahatan. Mengenai maksud kedatanganku di kota raja adalah urusanku sendiri, siapa berhak mencampuri? Tadi malam aku masih mengampuni tiga ekor anjing kecil, akan tetapi sekarang kalau ada anjing besar berani menggonggong tak tahu malu, agaknya aku takkan puas kalau belum dapat menghajar moncongnya sampai tanggal semua giginya!"
Dapat dibayangkan betapa marahnya Tiat-jiu Souw Ki mendengar kata-kata menghina ini. Jelas bahwa gadis muka hitam ini memakinya sebagai anjing besar yang hendak dihajar moncongnya dan ditanggalkan giginya.
"Bangsat betina! Tidak biasa aku, Tiat-jiu Souw Ki Si Tangan Besi bertempur melawan perempuan, akan tetapi karena kau terlalu kurang ajar sudah semestinya kau mengenal tangan besiku."
"Hemm, kau mau mengeroyok? Aku tidak takut!" kata Hui Kauw, masih tenang sikapnya dan sama sekali ia tidak meraba gagang pedangnya.
Dia tahu bahwa kepandaian seseorang dapat diukur dari sikapnya. Sikap Souw Ki yang sombong ini sama sekali tidak mencerminkan ilmu yang tinggi sehingga tak perlu pula ia berkhawatir.
"Wah-wah, kau benar-benar memandang rendah, keparat! Agaknya kau memiliki sedikit kepandaian maka berani malang-melintang di kota raja. Siapa hendak mengeroyokmu? Dua buah jari tanganku saja sanggup membuat kau berkeok-keok minta ampun. Mari... mari... boleh kita bertanding di tempat yang lapang!"
Dia melangkah lebar ke ruangan dalam di mana terdapat ruangan yang lapang setelah meja kursi didorong ke pinggir tembok. Dengan lagak gagah dibuat-buat Souw Ki berdiri di tengah ruangan ini, menanti dengan sikap jagoan yang sudah pasti akan mendapatkan kemenangan, sama sekali tidak sadar bahwa sikapnya ini saja sudah menunjukkan sikap pengecut besar karena sebagai jago, yang dinanti bukanlah jago lain melainkan seekor ayam betina!
Hui Kauw dengan senyum dikulum dan menahan kemengkalan hati, melangkah pula ke ruangan ini. Dia mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada pemimpin orang istana ini agar selanjutnya dia tidak mendapat banyak gangguan lagi.
Panas juga hatinya melihat betapa laki-laki tinggi besar itu sudah memasang kuda-kuda, mulutnya menyeringai penuh ejekan dan cemooh, matanya melirik memandang rendah. Menurutkan gelora hati panas Hui Kauw lantas menggenjot tubuhnya dan melayangkan tubuhnya itu ke tengah ruangan, tepat berhadapan dengan Souw Ki.
Pengawal istana ini kaget, maklum bahwa lawannya ini kiranya benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, buktinya dia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan. Bagus, pikir si pongah, makin tinggi ilmunya makin baik sehingga aku tak akan ditertawai anak buahku, disangka hanya pandai mengalahkan wanita cantik dan lemah saja. Biarlah iblis betina ini kutundukkan dengan kepandaian, pikirnya.
Betapa pun juga, sesudah berhadapan dengan calon lawannya, Hui Kauw yang berhati lembut itu sudah merasa menyesal. Saat ini dia sedang berusaha mencari orang tuanya. Kedatangannya ke kota raja adalah untuk urusan itu, bukan untuk berkelahi! Sekarang, belum apa-apa dia sudah mendatangkan keonaran dan sudah hendak bentrok dengan petugas-petugas istana!
"Tiat-jiu Souw Ki," katanya dengan suara lembut akibat penyesalan ini. "Terus terang saja, aku sebenarnya tidak suka ribut-ribut karena kedatanganku di kota raja ini bukan untuk mencari keributan dengan siapa pun juga. Anak buahmu kuhalau pergi karena mereka malam-malam mengganggu dan memasuki kamarku. Melihat julukanmu, tentulah kau pun seorang kang-ouw yang tahu akan sopan-santun di dunia kang-ouw, dan biarkanlah aku melanjutkan urusanku sendiri dan kita tidak saling ganggu."
Belasan tahun yang lalu, sebelum bintangnya naik menjadi pengawal pangeran, Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang bajak sungai yang terkenal. Tentu saja dia tahu akan peraturan dunia persilatan, dunia perantauan dan dunia kaum hitam. Maka dia tertawa bergelak mendengar ucapan Hui Kauw ini dan menjawab.
"Ha-ha-ha, ucapanmu seperti kau ini seorang tokoh kang-ouw yang hebat saja! Bocah, aku Tiat-jiu Souw Ki sudah banyak mengenal tokoh kang-ouw dan andai kata kau seorang tokoh sekali pun, kau juga masih harus menghormati aku, apa lagi kau sama sekali tidak kukenal dan kau seorang pelonco dalam dunia kang-ouw, mana bisa aku berlaku sungkan lagi? Kecuali kalau kau mau berterus terang menyatakan siapa namamu, dari mana kau datang dan apa niatmu memasuki kota raja, baru aku mau menimbang-nimbang untuk mengampunimu."
Ucapan ini benar-benar amat sombong dan memandang rendah.....
Akan tetapi karena Hui Kauw benar-benar tidak menghendaki terjadinya keributan tanpa sebab penting, ia menahan kemendongkolan hatinya, menjura dan berkata, "Tiat-jiu Souw Ki, baiklah aku memperkenalkan diri. Namaku Hui Kauw dan aku datang ke kota raja ini untuk urusan pribadi, mencari keluargaku. Nah, sekali lagi harap kau dan orang-orangmu jangan mengganggu dan aku berjanji tidak akan mengganggu kalian di mana saja kalian berada."
Orang yang sombong selalu tak mau mengalah, sempit pandangan dan tidak menimbang keadaan. Sikap Hui Kauw ini diterima keliru oleh Souw Ki yang menyangka bahwa gadis muka hitam itu merasa jeri terhadap dia!
"Ha-ha-ha, mana bisa urusan begitu gampang? Kau telah bersikap amat garang terhadap orang-orangku, nah, sekarang kau harus berlutut tujuh kali minta ampun kepadaku, baru aku Tiat-jiu Souw Ki mau sudah!"
"Kau memang terlalu sombong!" Hui Kauw membentak.
"Ha-ha-ha, majulah kalau hendak merasai kelihaianku!" Souw Ki menantang.
Hui Kauw maklum bahwa tidak mungkin bersilat lidah dengan seorang manusia macam ini sombongnya.
"Lihat serangan!" dia membentak dan cepat laksana burung menyambar tubuhnya sudah bergerak maju sambil kedua tangannya bergerak melakukan penyerangan.
Souw Ki yang memandang rendah, melihat datangnya tusukan dengan jari tangan kiri ke arah lehernya, cepat menggerakkan tangan kanan untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Dia bermaksud untuk mengalahkan dalam satu gebrakan ini saja karena kalau dia berhasil menangkap tangan kecil itu berarti dia akan menang.
Hatinya girang bukan main ketika melihat tangan kiri itu masih terus melakukan tusukan, agaknya sama sekali tak peduli akan gerakan tangan kanannya yang hendak menangkap pergelangan tangan. Wah, begini gampangkah? Dia sudah tertawa dalam hatinya karena yakin bahwa pergelangan tangan kiri yang kecil itu sudah pasti akan dapat dia tangkap.
"Ayaaaaa... celaka...!"
Tubuh Souw Ki terjengkang dan roboh terus bergulingan ketika dia sengaja membanting diri ke belakang. Dia meloncat bangun lagi dengan muka sebentar pucat sebentar merah sedangkan keringat dingin membasahi lehernya. Dia sebentar marah, sebentar kemudian malu karena harus bersikap seperti itu di depan orang banyak.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya ketika dalam gebrakan pertama tadi saja dia sudah hampir celaka. Kiranya tusukan tangan kiri Hui Kauw barusan memang sengaja dilakukan sebagai umpan. Seakan-akan gadis itu membiarkan pergelangan tangan kirinya disambar, tapi tangan kanannya sudah cepat ‘memasuki’ lowongan kedudukan lawan dan menyodok ke arah lambung di bawah iga.
Andai kata tadi Souw Ki tidak cepat-cepat membanting diri ke belakang, walau pun tangan kanannya akan berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, akan tetapi dia sendiri juga pasti akan terkena pukulan maut yang akhirnya dapat mengguncangkan jantungnya dan banyak kemungkinan akan menewaskannya!
Hui Kauw sekarang tersenyum mengejek. "Tiat-jiu Souw Ki, sudah kukatakan bahwa aku tidak suka berkelahi mencari keributan. Masih belum terlambat apa bila kau sudahi saja pertempuran tiada guna ini."
Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang yang sudah mempunyai banyak pengalaman bertempur dan ilmu kepandaiannya pun tinggi, tentu saja dia tak menjadi gentar menghadapi bahaya yang tadi hampir membuatnya kalah itu. Dia maklum bahwa hal tadi dapat terjadi bukan semata-mata karena lawan terlalu lihai, melainkan karena kesalahannya sendiri.
Dia tadi terlalu memandang rendah lawannya, sama sekali tak mengira bahwa lawannya, seorang perempuan muda, mempunyai kecepatan dan kelihaian seperti itu. Dia sekarang menjadi penasaran dan marah. Dibantingnya kaki kanannya dan dia membentak.
"Bocah sombong, jangan banyak mulut. Lihat pukulan!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi kini Tiat-jiu Souw Ki kembali menerjang Hui Kauw dengan kedua kepalan tangannya yang kuat terlatih sehingga dia mendapat julukan Tiat-jiu atau Si Tangan Besi. Pukulannya sampai mendatangkan angin saking keras dan cepatnya.
Akan tetapi Hui Kauw memiliki keanehan yang telah matang. Sebagai puteri Ching-toanio yang sudah mewarisi kepandaian manusia iblis Siauw-coa-ong Giam Kin, tentu saja Hui Kauw memiliki dasar ilmu silat yang tinggi. Menghadapi penyerangan Souw Ki yang biar pun ganas namun sebagian besar hanya berdasarkan tenaga kasar itu, ia tidak menjadi gugup. Dengan tenang tapi cepat nona ini menggeser kakinya, mengelak dengan cekatan sekali sambil mengayunkan kaki kiri membalas dengan sebuah tendangan perlahan tetapi berbahaya karena yang dijadikan sasaran ujung sepatu adalah pusar lawan!
Tiat-jiu Souw Ki menggeram. Tangan kirinya menyambar kaki dengan niat mencengkeram hancur kaki mungil itu, sedangkan tangan kanannya menjotos kepala nona yang besarnya sebanding dengan kepalan tangannya.
Serangan balasan yang amat dahsyat ini dihadapi oleh Hui Kauw dengan memperlihatkan ginkang-nya yang mengagumkan. Tanpa menarik kakinya yang menendang itu, Hui Kauw sudah menjejakkan kaki kanannya ke atas tanah sehingga tubuhnya mumbul ke atas, lalu bergerak miring untuk membebaskan diri dari pukulan Souw Ki dan otomatis kaki yang menendang juga menyamping, akan tetapi bukan berarti membatalkan tendangan karena kaki itu masih terus menendang dari arah yang berlainan dengan sasaran berubah pula, kini dari ‘udara’ nona itu menendang ke arah belakang telinga kanan lawan.
"Setan!" Souw Ki memaki.
Terpaksa dia merendahkan tubuhnya karena tendangan dari atas itu tidak sempat untuk dia tangkis lagi. Dia hendak menyusuli serangan berikutnya, namun gadis itu lebih cepat lagi.
Ketika tendangannya luput Hui Kauw melayang turun dan langsung sambil meloncat turun ini ia mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka. Pukulan kedua tangannya yang kecil itu sangat cepat dan bertubi-tubi datangnya, bagai sebuah kitiran angin sehingga kelihatan seakan-akan kedua lengannya berubah menjadi belasan buah banyaknya yang serentak menghujankan pukulan-pukulan ke pelbagai sasaran berbahaya.
Souw Ki terpaksa meloncat kian ke mari sambil kedua tangannya sibuk bergerak untuk melindungi bagian tubuhnya yang lemah. Dia sampai berkeringat ketika lawannya sudah menerjangnya sebanyak belasan jurus, sebab dia betul-betul kalah cepat sehingga sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Jangankan balas menyerang, bernapas pun agaknya hampir tidak ada kesempatan. Tubuh Hui Kauw bergerak-gerak makin lama makin cepat, mengitari dirinya sehingga matanya menjadi berkunang dan dia sudah melihat empat lima orang Hui Kauw menari-nari di sekelilingnya!
"Plak-plak-plak!"
Tiga kali telapak tangan Hui Kauw menampar pipi, leher dan pundak. Panas rasanya dan membuat pandang mata Souw Ki berkunang.
Memang kembali Hui Kauw sudah memperlihatkan kemurahan hatinya. Tiga kali pukulan ini sudah menjadi bukti cukup bahwa dalam ilmu silat tangan kosong, dia jauh lebih lihai dan lebih cepat. Apa bila dia mau, sebagai seorang ahli silat tinggi, sekali menjatuhkan tangan tentu mampu mencari sasaran yang mematikan, akan tetapi sampai tiga kali dia hanya menampar saja.
Souw Ki mengeluh dan cepat dia melompat ke belakang sehingga menabrak kursi yang lantas menjadi remuk! Dua orang anak buahnya cepat menghampirinya untuk menolong pemimpin mereka yang terhuyung itu, akan tetapi Souw Ki membentak,
"Pergi kalian!"
Kakinya melayang dan... dua orang pembantu yang sial itu langsung terlempar kemudian mengaduh-aduh. Kiranya saking marah dan mendongkolnya, Si Tangan Besi ini mencari korban dan melampiaskan kepada dua orang anak buah yang hendak menolongnya.
"Tiat-jiu Souw Ki, kiranya sudah cukup sekarang." Hui Kauw kembali membujuk untuk menyudahi saja pertempuran yang tiada gunanya itu.
"Wuuuttttt!" Ruyung baja yang berat itu sudah berada di tangan kanan Souw Ki.
"Iblis betina, jangan mengira kau sudah mampu mengalahkan aku! Hemmm, memang kau menang cepat, tetapi cobalah kecepatanmu dengan ruyungku ini, akan hancur kepalamu. Hayo, cabut pedangmu itu!"
Terdengar suara berkerotan ketika Souw Ki menggertak gigi saking marah dan malunya karena dia telah ditelan mentah-mentah oleh seorang dara yang masih hijau. Tak sampai tiga puluh jurus dikalahkan. Hebat ini!
Ketika dia dikalahkan Bi-yan-cu Tan Loan Ki dalam memperebutkan mahkota, dia masih dapat menghadapi Walet Jelita itu sampai hampir seratus jurus. Masa sekarang terhadap gadis muka hitam ini, belum tiga puluh jurus dia sudah kena dikemplang tiga kali.
Kekalahannya dari Bi-yan-cu Tan Loan Ki masih bisa dia maklumi setelah dia mendengar bahwa dara lincah itu adalah puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Akan tetapi kekalahan terhadap seorang gadis muka hitam yang tidak ternama sama sekali? Benar-benar bisa membikin dia muntah darah segar saking dongkolnya!
Hui Kauw makin gelisah. Celaka, pikirnya, monyet tua ini sungguh-sungguh tidak tahu diri. Kepandaiannya hanya sekian saja tapi mau digunakan untuk menjual lagak. Tidak dilayani tidak mungkin, kalau dia dilayani dan bertempur menggunakan senjata, tentu lebih hebat ekornya. Maka dia hanya berdiri dan memandang ragu ketika Souw Ki memutar-mutar ruyung berat itu di atas kepala dengan sikap beringas.
Melihat keraguan Hui Kauw, kembali Souw Ki si pengung (si tolol) itu salah tafsir, mengira nona ini takut menghadapi senjatanya yang menyeramkan itu.
"Tidak lekas mencabut senjatamu? Nah, rasakan ini ruyung pencabut nyawa!"
"Weerrr!"
Ruyung yang beratnya tidak kalah dengan tiga perempat karung beras itu melayang dan angin pukulannya saja sudah membuat rambut halus di kepala Hui Kauw berkibar.
"Singgggg!"
Senjata itu lewat di atas telinga Hui Kauw yang cepat-cepat menundukkan kepala untuk mengelak. Nona ini maklum bahwa biar pun lawannya hanya mengandalkan tenaga besar dan senjata berat, namun ruyung itu dapat merupakan bahaya juga baginya.
Tangannya bergerak dan pada lain detik pedangnya telah terhunus dan berada di tangan kanan. Kakinya menggeser ke belakang membentuk kuda-kuda yang ringan, kaki kanan berdiri lurus dengan tumit diangkat, kaki kiri menyilang lutut, tangan kiri dikepal dan hanya jari telunjuk dan jari tengah menuding ke atas di belakang kepala, pedang di tangan kanan melintang di depan dada dari kiri ke kanan dengan pergelangan tangan ditekuk membalik. Kuda-kuda yang sukar akan tetapi memperlihatkan sikap yang gagah dan manis.
Tiat-jiu Souw Ki mendapat hati ketika gadis itu tadi mengelak dan sekarang mencabut pedang. Terang bahwa gadis itu menganggap ruyungnya ampuh dan berbahaya. Sambil berseru keras dia kembali menggerakkan ruyungnya sekuat tenaga. Kalau gadis ini berani menangkis, aku akan membikin pedangnya patah atau terpental, pikirnya sombong.
Namun tentu saja Hui Kauw bukanlah sebodoh yang disangka Souw Ki. Gadis ini sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklum pula akan bahayanya jika ia mengadu senjatanya secara keras melawan keras dengan ruyung lawan, sebab ia kalah tenaga dan senjatanya pun kalah berat. Dia mengandalkan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari semua amukan ruyung itu, sedangkan pedangnya berkelebat merupakan sinar yang bergulung-gulung mencari kesempatan baik untuk menggores kulit lawan.
Memang hebat juga permainan ruyung dari Tiat-jiu Souw Ki ini. Kalau dalam hal ilmu silat tangan kosong ia adalah seorang nekat yang hanya mengandalkan kekuatan otot-ototnya, kini dalam permainan ruyungnya, dia benar-benar memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak hanya menggunakan tenaga otot namun juga mempergunakan kecerdikan otaknya sesuai dengan siasat ilmu ruyungnya. Biar pun ruyung itu merupakan senjata yang berat, namun di tangan Souw Ki berubah menjadi senjata ringan dan cepat sekali diputarnya, mendatangkan angin dan mengeluarkan bunyi.
Hui Kauw melayaninya dengan ilmu pedang yang ia pelajari dari ibunya, yaitu dari Ching-toanio. Ilmu pedang Ching-toanio ini pada dasarnya adalah Ilmu Pedang Kong-thong-pai, karena nyonya ini dahulu pernah belajar ilmu pedang dari seorang tokoh Kong-thong-pai yang merahasiakan namanya.
Akan tetapi karena semenjak mudanya Ching-toanio berkecimpung dalam dunia golongan hitam, tentu saja ia mempelajari banyak jenis ilmu silat dan juga termasuk ilmu pedang. Oleh karena inilah, terdorong pula oleh bakat dan kecerdikannya, ia bisa menggabungkan beberapa macam jurus ilmu pedang menjadi satu dengan Ilmu Pedang Kong-thong-pai.
Malah sesudah menjadi kekasih Siauw-coa-ong Giam Kin si manusia iblis, ia banyak pula mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dari Giam Kin. Ia mencampuri pula ilmu pedangnya dengan ilmu yang ia dapat dari kekasihnya ini. Tidaklah heran apa bila ilmu pedang yang kini dimainkan oleh Hui Kauw merupakan ilmu pedang campuran yang selain lihai, juga amat sukar untuk dikenal oleh Souw Ki.
Setelah lewat dari tiga puluh jurus dan selama itu Hui Kauw hanya mengambil kedudukan mempertahankan dan menjaga diri saja, mulailah Souw Ki kaget dan gentar. Dia maklum bahwa ternyata gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, malah agaknya lebih hebat dari pada si dara lincah Loan Ki, buktinya kalau dulu Loan Ki melawannya dengan keras dan balas menyerang, adalah gadis ini seenaknya saja mempertahankan diri tanpa balas menyerang.
Kadang-kadang malah gadis ini membenturkan pedangnya dengan ruyung, bukan untuk mengadu senjata atau tenaga, melainkan untuk mempermainkannya saja karena begitu bertemu, pedang itu menyelinap di antara gulungan bayang ruyung lalu menyambar dekat bagian-bagian berbahaya seperti leher, ulu hati, lambung dan tempat-tempat yang sekali tusuk tentu akan menghentikan perjalanan napas!
Memang demikianlah kehendak Hui Kauw. Ia ingin memperlihatkan kepada Tiat-jiu Souw Ki bahwa kalau ia menghendaki, sudah sejak tadi ia dapat merobohkan orang itu. Akan tetapi, dasar lawannya yang hendak menang sendiri saja.
Tiat-jiu Souw Ki pantang mengalah, apa lagi dia berada di kota raja di mana berkumpul banyak sekali anak buahnya dan juga atasan-atasannya serta teman-teman sekerjanya yang masih lebih lihai dari padanya. Bukannya mengaku kalah, dia malah penasaran dan memutar ruyungnya lebih ganas lagi.
"Manusia tak tahu diri, lepaskan ruyung!" tiba-tiba Hui Kauw membentak.
Pedangnya berkelebat menyerang dan... Tiat-jiu Souw Ki berteriak kesakitan, meloncat mundur sambil terpaksa melepaskan senjatanya karena lengan kanannya serasa terbabat pedang!
Dengan muka pucat dia memeriksa lengannya yang mengeluarkan darah dari siku sampai ke pergelangan, takut kalau-kalau lengannya itu akan menjadi buntung atau cacad. Akan tetapi lega hatinya melihat bahwa lengannya itu hanya luka ringan tergurat ujung pedang, namun memanjang dari siku sampai pergelangan sehingga mengeluarkan banyak sekali darah.
Sebetulnya macam dari lukanya ini saja cukup menjadikan bukti bahwa lawannya si gadis muda itu merupakan seorang yang amat lihai dan juga yang telah menaruh belas kasihan kepadanya. Akan tetapi kesombongan sudah membutakan matanya terhadap kenyataan, bahkan rasa malu dan penasaran membuat dia berseru keras.
"Serbu! Tangkap pemberontak ini!"
Serentak sebelas orang anak buahnya segera maju mengeroyok dengan senjata mereka. Hui Kauw marah bukan main dan terpaksa dia harus mengangkat pedangnya menangkis dan melakukan perlawanan.
Dengan kecepatannya, belum sepuluh jurus dia berhasil melukai lengan dan pundak dua orang pengeroyok sehingga mereka ini terpaksa melepaskan senjata masing-masing, lalu menendang roboh seorang lagi. Akan tetapi keributan ini akhirnya menarik datang para penjaga lainnya sehingga pertempuran di ruangan rumah penginapan itu makin ramai.
Hui Kauw merasa makin marah, penasaran, juga menyesal. Tahulah ia sekarang bahwa ia berada dalam keadaan yang sulit sekali. Mencari orang tua belum ketemu, tahu-tahu berada dalam keadaan sesulit ini.
Tiba-tiba terdengar seruan keras dan semua pengeroyok itu melompat mundur, memberi jalan kepada dua orang yang baru tiba. Hui Kauw merasa lega hatinya, akan tetapi dia tetap waspada.
Ketika ia melirik, ia melihat dua orang laki-laki yang baru datang memasuki ruangan itu, dipandang oleh para pengeroyoknya tadi dengan sikap menghormat. Ia dapat menduga bahwa dua orang ini tentulah orang lihai yang mempunyai kedudukan tinggi sehingga ia makin memperhatikan.
Seorang diantara mereka adalah pemuda yang berpakaian gagah dan berwajah tampan serta halus gerak-geriknya. Senyumnya menarik dan matanya tajam, namun Hui Kauw yang berperasaan halus dapat menangkap sesuatu yang menyeramkan di balik senyum dan kerling menarik ini, sesuatu yang tak dapat ia mengerti apa adanya akan tetapi yang membuat ia waspada, seperti kalau orang melihat keindahan pada muka dan kulit harimau atau ular yang menyembunyikan sesuatu yang menyeramkan dan mengancam di balik keindahannya itu.
Orang ke dua adalah seorang kakek yang kurus kecil, usianya lima puluhan. Pakaiannya sederhana tapi penutup kepalanya mewah dan berhias permata. Mukanya biasa seperti orang kurang tidur sehingga mata itu nampaknya hendak meram saja saking ngantuknya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bengkok.
Melihat kedua orang ini, diam-diam Hui Kauw menduga bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian tinggi, ada pun orang muda tampan itu sebaliknya malah ia pandang rendah. Mungkin dia hanya seorang putera bangsawan yang berlagak dan sombong.
Pemuda itu bukanlah sembarang orang seperti yang diduga Hui Kauw, karena sebetulnya dia bukan lain adalah The Sun, jago muda Go-bi-pai yang amat lihai itu. Kebetulan dia lewat di jalan raya depan rumah penginapan itu bersama katek yang bukan lain orang adalah Bhong Lo-koai, seorang di antara para pengawal kaisar.
Pada saat itu mereka berdua bertemu dengan Tiat-jiu Souw Ki yang dengan muka pucat dan lengan berdarah berlari ke luar dari rumah penginapan untuk mencari bala bantuan. Mendengar bahwa di dalam rumah penginapan ada seorang gadis lihai sedang dikeroyok, The Sun tertarik dan mengajak Bhong Lo-koai untuk melihat.
Begitu memasuki ruangan dan melihat sepak-terjang Hui Kauw yang luar biasa dan yang jelas memperlihatkan sebagai seorang ahli silat tinggi, The Sun segera membentak dan menyuruh mundur semua pengeroyok. Tentu saja mereka semua mengenal ‘The-kongcu’ ini, orang yang boleh dibilang duduk di tingkat tinggi dari pada deretan orang-orang yang dijadikan tangan kanan kaisar baru.
Kini pemuda itu tersenyum-senyum sambil memandang Hui Kauw yang cepat membuang muka, tidak sudi bertemu pandang lebih lama lagi dengan pemuda tampan yang menjual lagak sambil cengar-cengir itu.
"Nona yang gagah perkasa, agaknya kau masih amat asing di kota raja ini sehingga tidak mengenal siapa para pengeroyokmu ini dan siapa pula aku dan Lo-enghiong ini. Andai kata kau mengenal kami, baik kau datang dari golongan hitam atau pun putih, agaknya kau tidak nekat membuat ribut." Ucapan ini halus, tetapi penuh teguran dan mengandung sikap memperlihatkan kekuasaan.
Hui Kauw bukanlah tergolong wanita galak, malah sebaliknya ia mempunyai watak halus dan penyabar. Akan tetapi karena ia sudah mengalami pengeroyokan yang memanaskan hatinya, juga karena pertemuan pertama dengan The Sun mendatangkan kesan yang tak sedap di hatinya maka ia pun tidak mau tunduk begitu saja dan menjawab dengan sama dinginnya.
"Memang aku adalah seorang asing di sini, akan tetapi apakah ini merupakan alasan bagi orang-orangmu untuk bisa berlaku sewenang-wenang? Aku tak mencari keributan, adalah orang-orangmu dan si Tiat-jiu Souw ki yang sombong tadilah yang memaksaku. Sekarang juga aku minta kalian pergilah dari sini, tinggalkan dan jangan ganggu aku, aku pun tidak ingin bertempur dengan siapa pun juga!"
Kembali The Sun tersenyum-senyum yang amat mencurigakan hati Hui Kauw. Pemuda ini tentu saja sudah mendengar semua persoalannya dari Souw Ki bahwa gadis ini sangat mencurigakan, dan segera menyuruh pelayan menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dahulu kehilangan anak perempuannya.
"Nona harus tahu bahwa di kota raja ini, kami para petugas yang berkuasa dan berhak mengawasi keamanan kota raja. Kau adalah orang asing, tetapi datang-datang melakukan penyelidikan tentang seorang hartawan, bukankah hal itu amat mencurigakan? Tapi yang sudah biarlah lalu, sekarang kuharap kau suka memperkenalkan diri dan mengaku terus terang apa maksudmu melakukan penyelidikan itu dan apa pula maksud kedatangan Nona di kota raja ini?"
Hui Kauw bukan seorang bodoh. Ia dapat mengerti kebenaran dalam ucapan orang muda ini. Akan tetapi karena tadi sudah terlanjur dikeroyok, ia tidak dapat menekan kedongkolan hatinya begitu saja.
"Sudah kukatakan tadi bahwa namaku Hui Kauw, dan bahwa aku datang untuk urusan pribadi mencari keluarga, tidak menyinggung siapa pun juga dan tidak berniat membikin ribut. Sudahlah, harap kalian pergi meninggalkan aku!"
"He-heh-heh, anak ini memiliki kepandaian, tentu dia mengandalkan kepandaiannya dan perguruannya," tiba-tiba kakek dengan tongkat bengkok itu berkata perlahan dengan mata masih mengantuk. "Nona, kau murid siapa? Tentu gurumu sudah mengenal aku Bhong Lo-koai."
"Betul, Nona. Katakan siapa gurumu, mungkin aku The Sun sudah pernah mendengar namanya pula," sambung The Sun.
"Aku tidak mempunyai guru, sudahlah, aku tidak ingin diganggu," jawab Hui Kauw yang merasa gemas bukan main karena nama-nama itu tidak ada artinya sama sekali baginya.
The Sun dari Bhong Lo-koai adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, semua penjaga kota raja menaruh hormat kepada mereka. Sekarang, di depan para penjaga itu, gadis ini tidak memandang mata kepada mereka, tentu saja mereka menjadi gemas juga.
Hemmm, kau mengandalkan apamu? Demikian The Sun berpikir gemas. Mukamu hitam buruk, siapa yang tertarik? Biar kepandaianmu setinggi langit, mana mampu melawanku.
"Bhong-lo-enghiong, dapatkah kau mencari tahu dari perguruan mana nona ini?”
Bhong Lo-koai tertawa, kemudian melangkah maju menghadapi Hui Kauw sambil berkata, "Nona, pedangmu masih di tangan. Nah, kau boleh coba hadapi tongkat bututku, dalam sepuluh jurus kalau kau belum kalah berarti kau termasuk orang pandai. Dan kau boleh balas menyerangku, aku bukan Bhong Lo-koai kalau tak dapat mengenal ilmu pedangmu."
Hui Kauw semakin mendongkol. Tua-tua sudah kurang tidur begitu masih bisa berlagak, pikirnya.
"Aku hanya mau membela diri, sama sekali tak sudi mencari ribut dengan siapa pun juga. Kalau kau mau mengganggu aku, silakan, aku tidak takut. Kalau tidak, jangan banyak bicara, pergilah tinggalkan aku!"
"Heh-heh-heh, lihat serangan!"
Bhong Lo-koai menggerakkan tongkatnya dan Hui Kauw membenarkan dugaannya tadi bahwa kakek ini adalah seorang yang ‘berisi’, tidak seperti Tiat-jiu Souw Ki. Sambaran tongkat bengkok itu tidak mengeluarkan suara, namun ujung tongkat menggetar-getar dan tusukannya mengandung tenaga dalam yang hebat.
Cepat Hui Kauw mengubah kedudukan kaki, agak miring untuk menghindarkan tusukan sambil mengelebatkan pedang mencari kesempatan membalas. Tiga kali Bhong Lo-koai menyerang hebat dan tiga kali Hui Kauw mengelak, namun belum juga Bhong Lo-koai dapat mengenal gerakan mengelak sampai tiga kali ini. Memang tidak gampang mengenal ilmu silat Hui Kauw karena seperti telah diterangkan tadi, ilmu silat nona ini adalah ciptaan Ching-toanio yang mengawinkan banyak macam ilmu silat.
Karena penasaran, Bhong Lo-koai tidak berani memandang rendah lagi. Kini tongkatnya menyambar-nyambar laksana seekor ular terbang, mengurung tubuh Hui Kauw dari empat jurusan! Bila tidak dapat mengenal ilmu nona ini, setidaknya dia harus dapat merobohkan gadis ini!
Namun benar-benar perhitungannya meleset. Ilmu tongkat dari Bhong Lo-koai memang aneh sehingga dia memperoleh julukan Koai-tung (Si Tongkat Aneh), akan tetapi betapa pun hebatnya ilmu tongkatnya, dia tidak sanggup menembus dinding sinar pedang Hui Kauw yang amat kokoh kuat.
Di lain pihak, Hui Kauw masih saja mainkan ilmu pedang warisan ibu angkatnya, karena dengan ilmu pedang ini pun ia masih mampu menandingi ilmu tongkat kakek itu. Ia tidak menghendaki pertumpahan darah, tidak mau sembarangan melukai apa lagi membunuh orang, maka juga ia tidak sampai menggunakan ilmu pedang simpanannya yang bersifat ganas dan yang ia tahu amat ampuh dan sekali turun tangan mungkin akan menjatuhkan korban itu.
Lima puluh jurus telah lewat. Mendafak kakek itu berseru keras sekali ketika pedang Hui Kauw membentur tongkatnya dan tahu-tahu pedang itu melenting ke atas, lalu dengan gerakan aneh berlenggang-lenggok mengarah lehernya. Sambil berseru ini Bhong Lo-koai menarik tongkatnya dan cepat melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri dari pada tusukan pedang.
"Tahan dulu!" demikian teriaknya dan sepasang mata yang biasanya mengantuk itu kini terbuka agak lebar karena herannya. "Nona, jawablah yang betul, kau masih terhitung apa dengan Siauw-coa-ong Giam Kin?"
Hui Kauw maklum bahwa agaknya kakek ini mengenalnya dari ilmu pedang yang memang mengandung pula inti sari ilmu silat ayah angkatnya itu, malah dahulu pernah pula dia langsung mendapat petunjuk dan latihan dari ayah angkatnya itu.
"Dia adalah ayah angkatku, apa sangkut-pautnya denganmu?" jawabnya dengan suara masih tetap dingin.
Mendadak kakek itu tertawa dan menoleh kepada The Sun yang juga kelihatan girang. "Aha, The-kongcu, kiranya orang sendiri! Nona, jika begitu kau she Giam pula! Ha-ha-ha, kalau tidak bertempur mana kenal? Nona yang baik, aku adalah kenalan baiknya, malah sahabat baik."
The Sun juga menjura dengan sikap hormat. "Kiranya Giam-lihiap adalah puteri angkat mendiang Giam lo-enghiong. Pantas begini lihai. Aku The Sun mengharap supaya kau sudi memaafkan orang-orangku yang salah mata. Tentu saja terhadap puteri angkat Giam lo-enghiong, kami tidak menganggap musuh dan sama sekali tak berani menaruh curiga. Sesungguhnya di antara kita masih ada hubungan persahabatan!"
The Sun lalu mengusir semua penjaga, malah segera memerintah para pengurus rumah penginapan itu untuk menyediakan hidangan untuk menghormati Nona Giam Hui Kauw. Ruangan yang tadinya dijadikan arena pertempuran, dalam sekejap mata saja lalu diubah menjadi tempat pesta, dengan meja yang ditilami kain merah berkembang dan sebentar kemudian berdatanganlah arak wangi dan masakan-masakan lezat yang masih panas, diambilkan cepat-cepat dari restoran terbesar yang berdekatan.
Hui Kauw merasa tidak enak sekali. Jangan dikira hatinya lantas menjadi girang karena permusuhan berubah menjadi persahabatan, karena makin rendah saja nilai orang-orang ini di dalam pandangannya. Ia sendiri sudah cukup tahu orang apa adanya Giam Kin ayah angkatnya itu, maka kalau orang-orang ini mengaku sebagai sahabat ayah angkatnya, terang bahwa mereka ini biar pun memiliki kedudukan tinggi di kota raja, juga bukan terdiri dari orang-orang yang baik.
Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak uluran tangan mereka, dan tidak dapat menolak pula penghormatan berupa hidangan itu. Diam-diam ia lega juga bahwa ia tidak jadi menimbulkan keonaran di kota raja dan dapat mencari orang tuanya dengan leluasa.
Beberapa kali The Sun dengan sikap menghormat dan manis menuangkan arak dan mengajak nona itu minum, kemudian dalam percakapan itu The Sun bertanya,
"Nona, saya mendengar dari Souw Ki bahwa kau sedang mencari keluargamu dan kau menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dulu pernah kehilangan puterinya. Sebetulnya, kau mencari siapakah? Kau percayalah kepadaku, kalau orang yang kau cari itu betul-betul berada di kota raja, aku The Sun pasti akan dapat menemukannya. Anak buahku tersebar di seluruh kota dan mengenal setiap orang penduduk."
"Betul ucapan The Sun ini, Nona," sambung pula Bhong Lo-koai. "Kami pasti akan dapat mencarikan orang itu. Tidak baik kalau Nona sendiri pergi mencari karena khawatir akan terjadinya hal-hal tidak enak akibat salah mengerti."
Diam-diam Hui Kauw mempertimbangkan hal ini. Tentu saja dia tidak bermaksud untuk membuka rahasianya sendiri, akan tetapi jika dibantu oleh The Sun, tentu lebih mudahlah untuk dapat bertemu dengan ayah bundanya. Ia meneguk araknya lalu berkata manis,
"Terima kasih banyak, ji-wi (kalian berdua) baik sekali. Sebetulnya aku masih keluarga jauh dari seorang she Kwee yang tinggal di kota raja semenjak belasan tahun yang lalu. Sayangnya, karena aku hanya mendengar hal ini dari mendiang kakekku, aku yang sejak kecil tak pernah bertemu muka dengan keluarga Kwee itu hanya tahu bahwa di kota raja dan belasan tahun yang lalu, keluarga ini kehilangan seorang anak perempuan. Tentu saja aku tak bermaksud untuk menyusahkan dan merepotkan ji-wi, akan tetapi kalau ji-wi dapat mencarikan keluarga ini untukku aku akan berterima kasih sekali."
The Sun menoleh pada Bhong Lo-koai yang tampak termenung. "Lo-enghiong, kau yang lebih lama tinggal di sini dari pada aku, apakah tidak mengenal orang yang dimaksudkan oleh Nona Giam?"
"Nanti dulu... nanti dulu..." kakek itu meraba-raba keningnya, kemudian dia mengangkat mukanya memandang Hui Kauw. "Kau maksudkan hartawan Kwee yang kehilangan anak perempuannya? Anak perempuan yang diculik penjahat belasan tahun yang lalu? Ahh... ahh... jangan-jangan yang engkau maksudkan adalah Kwee-taijin (pembesar Kwee) yang sekarang menjabat pegawai tinggi bagian benda-benda pusaka di istana. Aku ingat betul kejadian itu, kurang lebih tujuh belas tahun atau delapan belas tahun yang lampau, pada suatu malam kota raja gempar karena puteri Kwee-wangwe (hartawan Kwee) yang pada waktu itu belum menjadi pembesar namun sudah menjadi kenalan baik dari pangeran mahkota, kabarnya diculik seorang penjahat wanita yang amat lihai. Banyak penjaga dan pengawal melakukan pengejaran namun banyak yang jatuh menjadi korban penjahat wanita yang lihai itu. Aku ikut pula mengejar akan tetapi sayang tidak bertemu dengan penjahat itu. Kabarnya, penjahat wanita itu akhirnya kena dikepung oleh para pengawal, akan tetapi secara aneh dapat meloloskan diri karena tertolong oleh seorang sakti yang tidak memperlihatkan diri. Benar-benar aneh... dan... jangan-jangan dia itu orang yang kau maksudkan?"
Hui Kauw menahan debaran jantungnya. Tidak bisa salah lagi, tentu mereka itulah ayah bundanya. Anak kecil yang diculik itu, siapa lagi kalau bukan dia? Penculik itu, penjahat wanita yang lihai, siapa lagi kalau bukan ibu angkatnya, Ching-toanio yang dahulu masih bernama Liu Bwee Lan? Dan penolong sakti itu, tentu saja mendiang Giam Kin! Dengan kekuatan batinnya dia menekan perasaan supaya mukanya tidak menyatakan sesuatu, kemudian dia berkata dengan sikap gembira.
"Ahh, tentu dia orangnya! Dia masih pamanku, paman jauh... ahh, Bhong lo-enghiong, tolonglah, dapatkah kau menunjukkan kepadaku, di mana rumahnya?"
The Sun dan Bhong Lo-koai saling bertukar pandang. Kwee-taijin adalah seorang yang penting kedudukannya, dia pemegang kunci gudang benda-benda pusaka istana. Dalam keadaan politik sekacau itu, mana bisa menaruh kepercayaan begitu saja kepada gadis lihai ini untuk mendatangi Kwee-taijin? Siapa tahu gadis ini mengandung maksud buruk terhadap pembesar itu?
The Sun tersenyum. "Mudah saja, Nona. Kami mengenal baik pada Kwee-taijin. Marilah, sekarang juga kami antar kau menghadap Kwee-taijin di rumahnya."
Orang yang berperasaan halus seperti Hui Kauw tentu saja dapat menangkap kecurigaan yang terkandung dalam sikap dan pandang mata The Sun dan Bhong Lo-koai, akan tetapi ia tidak mempedulikannya karena hatinya sudah terlampau girang mendengar keterangan tentang ayah bundanya ini. Soal ayahnya menjadi pembesar atau bukan, itu urusan nanti. Yang penting baginya, ia dapat bertemu dengan ayah bundanya yang asli, yang selama ini sering dikenangnya dan dirindukan semenjak ia mendengar penuturan pelayan tua di Ching-coa-to.
"Aku tidak bermaksud merepotkah ji-wi, tapi..." dia bersungkan.
"Ah, tidak apa, Nona. Bukankah di antara kita adalah di antara orang segolongan sendiri? Tidak usah sungkan, apa lagi memang kami adalah kenalan baik Kwee-taijin. Marilah."
Tiga orang itu segera meninggalkan penginapan, diantar oleh anggukan dan sikap sangat menghormat oleh para pelayan dan pengurus rumah penginapan. Kiranya di depan rumah penginapan sudah tersedia sebuah kereta kuda dan The Sun mempersilakan Hui Kauw naik bersama dia dan Bhong Lo-koai.
Hui Kauw merasa sungkan sekali. Akan tetapi karena hatinya dipenuhi kegembiraan dan ketegangan hendak bertemu orang tuanya, dia tidak banyak menolak dan berangkatlah mereka sebagai pembesar-pembesar yang berkendaraan di kota raja!
Rumah Kwee-taijin amat besar dan mewah sehingga begitu memasuki pekarangan depan itu, hati Hui Kauw sudah berdebaran dan dia merasa dirinya amat kecil. Rumah Ching-toanio di Ching-coa-to memang juga besar dan indah, akan tetapi dibandingkan dengan bangunan-bangunan di kota raja, benar-benar tidak ada artinya.
Rumah depannya itu dijaga beberapa orang prajurit yang memberi hormat ketika melihat The Sun dan Bhong Lo-koai. Otomatis mereka menghormat Hui Kauw pula karena gadis ini datang bersama dua orang tokoh itu. Apa lagi melihat gadis muka hitam ini membawa pedang di pinggang, para penjaga maklum bahwa gadis ini tentulah juga seorang tokoh kang-ouw yang banyak berkeliaran di kota raja karena bantuan mereka dibutuhkan oleh kaisar.
Penjaga pintu depan segera melapor ke dalam setelah mempersilakan tiga orang tamu ini duduk di ruang tamu yang berada di depan, sebuah ruangan lebar yang penuh gambar-gambar indah dan tulisan-tulisan sajak yang digantung pada sepanjang dinding tebal yang dikapur putih. Diam-diam Hai Kauw membandingkan lukisan dan sajak-sajak itu dengan milik ibu angkatnya di Ching-coa-to dan merasa bahwa lukisan-lukisan yang berada di sini tidak mampu melawan keindahan kumpulan lukisan ibu angkatnya.
Tak lama kemudian terdengar derap kaki dari dalam. Hati Hui Kauw sudah berdegupan tidak karuan, akan tetapi ia terheran ketika melihat bahwa yang muncul dari pintu dalam adalah dua orang muda. Yaitu seorang gadis dan seorang pemuda. Mereka masih muda benar, kurang lebih tujuh belas atau enam belas tahun, akan tetapi sikap mereka gesit dan lincah, pakaian mereka mewah dan wajah mereka tampan dan cantik.
"The-kongcu...!" dara remaja itu menegur sambil memberi hormat, suaranya berirama manja dan manis.
Diam-diam Hui Kauw mengerutkan keningnya. Gadis ini terlalu dimanja dan agaknya telah tergila-gila kepada The Sun yang tampan! Bukan hal yang pantas kalau seorang dara remaja seperti dia itu keluar menyambut tamu pria dengan sikap semanis itu.
"Nona Kwee, sepagi ini kau sudah tampak begini gembira dan segar cantik. Hendak ke manakah?" The Sun menegur.
Diam-diam Hui Kauw dapat merasa betapa sikap The Sun ini dibuat-buat manis, seperti sikap seorang dewasa terhadap anak-anak. Hemmm, agaknya pemuda berpengaruh ini tidak seceriwis yang disangkanya, pikir Hui Kauw.
"Aku hendak pergi berburu dengan Kian-koko (kakak Kian)! Ah, kalau saja kau bisa ikut, The-kongcu, tentu akan banyak hasilnya. Panahmu selalu tepat mengenai sasaran!" Dara lincah dan jelita itu berkata pula.
The Sun tersenyum dan menggeleng kepala. "Lain kali saja, sekarang aku lagi banyak urusan. Adik Kian, hati-hati bila berburu, jangan terlalu jauh meninggalkan tembok kota," pesannya kepada pemuda remaja itu yang sejak tadi memandang kepada Hui Kauw.
"Pelayan memberi tahu bahwa ada Bhong-Locianpwe dan The-kongcu bersama seorang nona mencari ayah," katanya dengan suaranya yang besar dan keras.
"Ayah sedang mandi, kami dipesan agar mempersilakan kalian bertiga menanti sebentar."
"Baik, baik... tidak apa, hanya ada sedikit urusan," kata The Sun.
Sementara itu, pelayan datang membawa hidangan minuman. Hui Kauw merasa sangat canggung karena dua orang muda itu tiada henti memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik. Ia merasa tidak enak, juga bingung, hatinya menduga-duga.
Dari percakapan ini ia dapat menduga bahwa dara remaja itu tentu adik si pemuda, apa lagi kalau dilihat pada wajah mereka memang terdapat persamaan. Akan tetapi pemuda ini menyebut Kwee-taijin sebagai ayahnya. Kalau ayah mereka ini, yaitu Kwee-taijin yang dimaksudkan itu, benar-benar adalah ayahnya yang sejati, dengan sendirinya dua orang muda ini adalah adik-adiknya! Berpikir sampai di sini, hatinya berdebar tidak karuan dan ia pun balas memandang penuh perhatian.
Makin berdebar hatinya ketika muncul pelayan yang berkata hormat. "Taijin menanti para tamu di ruangan depan. Silakan sam-wi masuk."
The Sun dan Bhong Lo-koai bangkit berdiri. Hui Kauw juga mengikuti gerakan dua orang itu. Dua orang anak muda tadi pun berdiri dan sambil tersenyum manis dara remaja itu berkata kepada The Sun,
"Kami juga akan berangkat, The-kongcu. Kalau kau sudah selesai dengan urusanmu dan ada waktu, kami akan girang sekali jika kau menyusul kami ke hutan sebelah selatan."
The Sun hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandang dua orang muda itu yang berlarian ke luar rumah di mana menanti para pelayan yang sudah menyiapkan dua ekor kuda besar. Sebentar kemudian terdengarlah derap kuda mereka meninggalkan tempat itu.
The Sun memberi isyarat kepada Hui Kauw untuk ikut memasuki ruangan depan yang ternyata lebih luas dan lebih mewah dari pada ruangan tamu. Dengan mata tak berkedip Hui Kauw memandang lelaki setengah tua yang segera bangun dari kursinya menyambut kedatangan mereka bertiga.
Laki-laki ini usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Rambutnya sudah berwarna dua, akan tetapi yang amat menarik adalah alisnya yang sudah putih seluruhnya. Wajahnya kurus, kelihatan lebih kurus dari pada badannya yang berkerangka besar, tampan serta gerak-geriknya halus. Jari-jari tangan yang diangkat ke dada untuk memberi hormat itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan terawat, kuku seorang sasterawan pada jaman itu. Senyumnya melebar, menyembunyikan sinar duka yang tergores pada wajahnya sebagai bekas kepahitan hidup.
"Ah, kiranya The-kongcu dan Bhong-losu yang datang berkunjung. Tidak tahu siapa Nona ini?" pembesar itu menyambut dengan suaranya yang halus.
Sikap yang tidak angkuh dan halus itu serta merta mendatangkan kesan baik dan amat mengharukan di hati Hui Kauw yang cepat-cepat memberi hormat bersama The Sun dan Bhong Lo-koai.
"Kwee-taijin," kata Bhong Lo-koai setelah mereka dipersilakan duduk, "Justru kedatangan kami berdua ini untuk mengantar Nona ini yang katanya masih terhitung keluarga dengan Kwee-taijin."
Hening sejenak, hening yang mencekam hati Hui Kauw, tetapi mendatangkan heran bagi Kwee-taijin. Kedua orang jagoan itu hanya menanti sambil memandang penuh perhatian.
"Nona siapakah...?" Sepasang mata itu mengeluarkan sinar menyusuri wajah dan bentuk tubuh Hui Kauw, lalu kembali ke wajah gadis itu dan menjadi ragu-ragu dan malah curiga ketika melihat muka yang menghitam itu.
Rasa kecewa memenuhi hati Hui Kauw, membuat dia ingin sekali menangis. Kalau benar dia ini ayahnya, mengapa tak mengenalnya lagi? Bagaimana mungkin ia mengaku begitu saja sebagai puterinya? Puteri seorang bangsawan kaya raya? Apakah semua orang tak akan menyangka bahwa dia seorang penipu? Apa buktinya bahwa ia anak pembesar ini? Dan bagaimana pula kalau ternyata bukan anaknya?
Suaranya gemetar ketika ia berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Taijin. Sesungguhnya, urusan ini mengharuskan kehadiran Nyonya Taijin. Apa bila diijinkan, saya mohon supaya Nyonya Taijin dipersilakan datang, baru saya akan bicara tentang urusan ini..."
Berubah wajah Kwee-taijin. Agaknya dia hendak marah, tetapi karena yang mengajukan permintaan yang aneh ini adalah seorang gadis, dia dapat menahan kesabarannya.
Ada pun Bhong Lo-koai dan The Sun tidak heran mendengar ini malah The Sun segera berkata, "Kwee-taijin, Nona ini tahu bahwa belasan tahun yang lalu puteri taijin lenyap diculik orang..."
"Ahh...!" Pembesar itu berseru kaget. "Kau tahu...? Di mana dia itu sebenarnya? Di mana anakku...?"
Kemudian pembesar ini sadar akan kegugupannya, maka dia segera bertepuk tangan memanggil pelayan, lalu katanya, "Pergi menghadap nyonya besar dan katakan bahwa aku minta ia datang ke ruangan depan sekarang juga."
Pelayan pergi dan keadaan hening kembali. Kini Kwee-taijin kembali menatap wajah Hui Kauw penuh perhatian dan seperti tadi, dia menjadi curiga dan ragu-ragu melihat wajah yang hitam itu karena sepanjang ingatannya, dia tidak mempunyai keluarga atau anak kemenakan yang berwajah hitam seperti nona ini.
"Kau betul-betul tahu tentang puteriku yang diculik orang itu?"
"Saya tahu betul, Taijin," jawab Hui Kauw perlahan dan di dalam hatinya nona ini berdoa semoga nyonya pembesar ini kalau memang betul-betul ibu kandungnya, akan mengenal dirinya.
Sementara itu, diam-diam The Sun dan Bhong Lo-koai telah siap siaga menjaga segala kemungkinan untuk melindungi pembesar itu dan isterinya, karena mereka pun merasa curiga kepada nona muka hitam itu. Dengan pandang mata tajam The Sun menatap wajah Hui Kauw dan melihat betapa wajah nona yang kehitaman itu mendadak menjadi pucat ketika terdengar langkah ringan dan halus dari sebelah dalam, langkah seorang wanita.
Benar saja, tak lama kemudian muncullah seorang wanita setengah tua yang masih amat cantik dan halus gerak-geriknya, tapi bermata sayu tanda penderitaan batin dan wajahnya yang pucat menandakan kesehatan yang buruk. Begitu melihat wajah nyonya ini, seketika Hui Kauw memandang dengan mata terbelalak dan ia seperti terkena pesona.
Inilah wajah yang sering kali dia lihat di dalam mimpi, dan sekaligus hatinya jatuh. Kasih sayang dan keharuan memenuhi hatinya, membuat dua matanya tak dapat menahan lagi bertitiknya dua air mata. Mulutnya serasa kering, lehernya serasa tercekik dan jantung di dalam dada meloncat-loncat.....
Nyonya itu juga seperti tercengang melihat Hui Kauw, keningnya berkerut mengingat-ingat karena ia merasa seperti pernah melihat wajah gadis ini. Hanya muka yang kehitaman itu membuat dia menjadi ragu-ragu karena seingatnya belum pernah dia mengenal seorang nona bermuka hitam seperti nona ini.
Melihat adanya The Sun dan Bhong Lo-koai yang sudah dikenalnya, ia segera menjura dengan hormat yang cepat dibalas oleh kedua orang tamu itu, kemudian ia menghadapi suaminya sambil berkata halus, "Ada keperluan apakah maka aku dipanggil ke sini?"
Karena hatinya masih merasa tegang, Kwee-taijin hanya menuding ke arah Hui Kauw sambil berkata, "Nona ini... dia bilang tahu tentang... Ling-ji (anak Ling)...”
Seketika wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, kedua mata yang sayu itu memandang terbelalak kepada Hui Kauw. Kedua kakinya yang kecil lalu melangkah maju sampai dekat. "Kau tahu... kau tahu... mana dia Ling Ling anakku...?"
Hati Hui Kauw seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia terharu sekali dan diam-diam ia merasa bahagia karena ibu ini ternyata sangat kasih kepada puterinya yang hilang diculik orang. Akan tetapi dia tidak boleh sembrono, tak boleh begitu saja mengaku-aku sebagai anak mereka, karena biar pun hubungan darah di antara mereka telah menggetarkan jiwanya, akan tetapi ia tidak mempunyai bukti yang sah. Bagaimana kalau wanita ini bukan ibunya?
"Nyonya...," suaranya gemetar dan sukar keluarnya, "Dapatkah Nyonya katakan, apakah anakmu yang hilang itu memiliki tanda-tanda atau ciri-ciri tertentu sehingga dapat dikenal kembali?"
Nyonya itu memejamkan kedua matanya, seakan-akan hendak membayangkan kembali anak kecil yang lenyap di waktu malam itu, ingat ketika dengan amat gembira dan penuh bahagia dia memandikan anak itu setiap hari, anak tunggal yang sangat disayanginya.
Dengan jelas tampak dalam bayangan ini betapa anaknya memiiki sebuah tanda merah di belakang leher, seperti tahi lalat tapi merah, dan dulu sering kali ia menggosok-gosok agar tanda itu hilang. Malah suaminya menghiburnya bahwa tanda tahi lalat seperti itu tidaklah buruk. Apa lagi bila anak itu sudah besar kelak, tentu tanda itu akan tertutup oleh rambut. Pula, tanda sekecil itu kiranya malah menjadi penambah manis pada leher yang berkulit putih.
"Ada... ada..." katanya sambil membuka mata dan memandang suaminya. "...kau tentu masih ingat, tahi lalat merah di belakang leher..."
Kwee-taijin mengerutkan kening mengingat-ingat, kemudian dia berkata sambil tersenyum penuh harapan, "Betul, ada tahi lalat merah di tengkuk, ibunya selalu meributkan hal itu."
Mendengar ini menggigil kedua kaki Hui Kauw dan serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan nyonya itu, memeluk kedua kakinya sambil menangis!
The Sun dan Bhong Lo-koai sudah mencelat dari tempat duduk masing-masing karena mereka tadinya mengira bahwa gadis aneh itu hendak melakukan penyerangan. Akan tetapi melihat Hui Kauw hanya menangis sambil memeluk dan menciumi kaki nyonya itu, mereka saling pandang dan berdiri bengong. Juga Kwee-taijin berdiri dari kusinya dan memandang dengan penuh keheranan.
"Nyonya... kau periksalah ini..."
Sambil menangis dan dengan kepala tunduk Hui Kauw menyingkap rambutnya sehingga kulit tengkuknya dapat terlihat. Nyonya Kwee, suaminya dan juga kedua orang tamu itu memandang. Karena Hui Kauw berlutut di atas lantai, mudah bagi mereka untuk melihat betapa pada kulit yang kuning halus dari tengkuk itu ternoda oleh sebuah tahi lalat merah sebesar kedele.
Hening sejenak di situ, semua orang bagai kena sihir, kemudian Nyonya Kwee mengeluh, membungkuk meraba tengkuk Hui Kauw, memandang lagi, mulutnya berbisik-bisik, "...ah, mungkinkah ini...? Kau... Ling Ling...? Kau anakku...?"
Juga Kwee-taijin tak dapat menahan diri berseru, "Mungkinkah ini? Tidak kelirukah...?"
Mendengar keraguan suami isteri itu, dengan terisak-isak Hui Kauw bangkit berdiri, tegak memandang suami isteri itu dan berkata, suaranya tegas.
"Taijin dan Nyonya, memang sangatlah berat bagiku untuk memperkenalkan diri setelah melihat bahwa ayah dan ibuku adalah orang-orang kaya raya dari golongan bangsawan berpangkat. Alangkah mudahnya aku dituduh sebagai penipu! Lihatlah baik-baik mukaku, mataku, diriku, dan andai kata Taijin berdua memang tak mengenalku sebagai anak yang diculik orang belasan tahun yang lalu, biarlah aku pergi dari sini."
Keadaan tegang sekali. The Sun dan Bhong Lo-koai merasai ketegangan ini dan mereka hanya berdiri tegak menjadi penonton. Kwee-taijin nampak bingung sekali, ragu-ragu dan pandang matanya tidak pernah lepas dari pada wajah Hui Kauw.
Harus dia akui bahwa wajah ini cantik sekali dan mirip wajah isterinya pada waktu muda, akan tetapi mengapa hitam sehingga tampak buruk? Dia ingat betul bahwa dahulu Ling-ji tidak berwajah hitam, malah kulit muka anaknya dahulu itu putih sekali. Bagaimana dia bisa menerima gadis yang bermuka hitam, yang menjadi seorang gadis kang-ouw dengan pedang selalu di pinggang ini sebagai puterinya?
Nyonya Kwee mengejar maju kemudian memegang tangan kiri Hui Kauw dengan kedua tangannya yang dingin dan gemetar, bibirnya berbisik lirih, "...lihat tanganmu... aku ingat betul... di bawah jari manis kiri terdapat guratan seperti huruf THIAN..."
Dia membalikkan tangan gadis itu, menariknya dekat dan memandang penuh perhatian. Benar saja, di situ di antara guratan-guratan telapak tangan itu, terdapat guratan yang mirip dengan huruf THIAN, yaitu dua tumpuk garis melintang dipotong garis tegak lurus yang di bawahnya bercabang dua!
"...ahh... kau betul Ling Ling... kau anakku...!"
"Ibuuuu...!" Dua orang wanita itu berpelukan, berciuman dan mereka bertangis-tangisan. Pertemuan yang amat mengharukan.
"Ling Ling... inilah Ayahmu... berilah hormat kepada Ayahmu..."
Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kwee-taijin dan sambil terisak berkata, "Ayahhhh..."
Kwee-taijin mengerutkan kening. Diam-diam dia merasa kecewa sekali melihat nona ini yang ternyata adalah puterinya sendiri yang dulu diculik orang. Kecewa melihat anaknya bermuka hitam seperti ini. Ia menarik napas dan mengelus-elus rambut Hui Kauw setelah menerima sambaran pandang mata isterinya yang seakan-akan mencelanya.
"Ling-ji... anakku, alangkah banyaknya engkau telah mendatangkan sengsara dalam hati ibumu...," akhirnya dapat juga Kwee-taijin berkata.
Sementara itu, The Sun dan Bhong Lo-koai juga tercengang, kemudian menjadi girang sekali bahwa nona yang kosen itu ternyata adalah puteri Kwee-taijin yang hilang! Cepat keduanya lalu menjura dan menghaturkan selamat kepada Kwee-taijin.
"Kionghi (selamat), Kwee-taijin, kionghi! Siapa kira hari ini begitu baik sehingga tanpa dinyana puterimu sudah kembali!" kata The Sun.
"Tidak hanya sudah kembali, bahkan membawa kepandaian yang hebat. Kionghi, Taijin, selamat bahwa kau mempunyai puteri yang menjadi anak angkat Siauw-coa-ong Giam Kin yang sakti. Ha-ha-ha!" Bhong Lo-koai juga memberi selamat.
Kekecewaan Kwee-taijin agak terhibur pada saat mendengar bahwa puterinya ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi. Apa lagi nama besar Siauw-coa-ong tentu saja pernah dia mendengarnya. Maka ketika dua orang tamunya itu berpamit hendak pergi, dia cepat menahan mereka dan berkata,
"Ji-wi yang membawa datang puteri kami, sudah sepantasnya saya menghaturkan terima kasih dengan tiga cawan arak."
Dua orang itu tertawa-tawa dan tidak dapat menolak. Cepat hidangan disiapkan di meja, sedangkan Kwee-hujin segera mengajak puterinya itu ke dalam sambil memeluknya dan menciuminya.
Setelah berada di rumah ayah bundanya yang asli, Hui Kauw atau Kwee Ling mendengar banyak. Ternyata ibunya hanya mempunyai anak dia seorang saja, ada pun dua orang remaja yang dilihatnya itu adalah anak dari isteri muda Kwee-taijin.
Sebagai seorang kaya raya dan bangsawan yang mempunyai pangkat tinggi pula, Kwee Taijin mempunyai tiga orang isteri di samping beberapa orang selir yang juga dianggap sebagai pelayan. Isteri pertama yang disebut Kwee-huijin adalah ibu Hui Kauw itulah, isteri ke dua atau Ji-huijin (nyonya ke dua) tidak mempunyai anak sedangkan Sam-huijin (nyonya ke tiga) mempunyai anak dua orang yaitu yang bernama Kwee Kian, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun dan yang ke dua adalah seorang dara remaja bernama Kwee Siok. Dua orang inilah yang berjumpa dengan Hui Kauw pada waktu dia pertama datang di rumah orang tuanya.
Hui Kauw bisa merasakan betapa kecuali ibu kandungnya, kehadirannya di rumah gedung itu sangat tidak disukai oleh keluarga Kwee. Terutama sekali Sam-hujin dan dua orang anaknya. Hal ini mudah sekali dimengerti karena sebelum hadir Hui Kauw, maka Kwee Kian dan Kwee Siok merupakan dua orang keturunan keluarga Kwee yang menjadi ahli waris. Sekarang datang Hui Kauw yang ternyata adalah anak dari isteri pertama, tentu saja mereka merasa dirugikan dan merasa terancam kedudukan mereka!
Hal ini karena dapat dimengerti oleh Hui Kauw, maka tidak mendatangkan rasa sesal di hatinya. Yang membuat gadis ini selalu murung dan tak enak hati adalah sikap ayahnya. Ayahnya itu adalah ayah kandung, mengapa terhadap dia dingin saja, sikapnya tidak semanis terhadap Kwee Kian dan Kwee Siok? Juga sikap ayahnya terhadap ibunya tidak semanis sikapnya terhadap dua orang isterinya yang lain.
Hui Kauw merasa amat kasihan kepada ibunya dan diam-diam dia tidak puas terhadap ayahnya. Agaknya perasaan tidak puas inilah yang membuat Hui Kauw menyatakan kepada ayah bundanya bahwa dia lebih suka bernama Hui Kauw dari pada Kwee Ling, karena nama ini sudah dipakainya semenjak kecil, maka ia minta agar nama Hui Kauw dijadikan nama alias atau namanya sehari-hari. Hanya ibu kandungnya sajalah yang tetap menyebutnya Ling Ling, sedangkan orang lain menyebut dirinya Hui Kauw, juga ayahnya sendiri.
Pada suatu hari Hui Kauw diajak ayahnya menghadiri pesta yang diadakan di dalam istana oleh kaisar! Kejadian yang luar biasa, apa lagi kalau diingat bahwa kehadiran Hui Kauw itu adalah kehendak kaisar sendiri yang mendengar tentang kelihaian gadis itu dari The Sun.
"Ayah, perlu benarkah itu sehingga saya yang harus ikut ke istana? Saya tidak senang dengan pesta-pesta besar," kata Hui Kauw kepada ayahnya.
Aneh ayahnya kali ini, sikapnya manis sekali dan kini ayahnya tersenyum. "Hui Kauw, anak baik, kau tidak tahu. Adalah kaisar sendiri yang minta supaya kau ikut datang karena beliau telah mendengar bahwa anakku yang diculik dahulu telah pulang dan selain beliau hendak memberi selamat kepadaku, juga ingin bertemu sendiri denganmu. Ini merupakan hal yang baik sekali dan merupakan kehormatan besar, anakku. Baiklah kita berdua akan menggunakan kesempatan ini untuk menghaturkan selamat kepada kaisar atas pemilihan beberapa orang selir baru."
Diam-diam Hui Kauw merasa muak dalam hatinya. Banyak sudah ia mendengar dongeng mengenai kaisar-kaisar dan para pembesar tinggi yang selalu mengumpulkan sebanyak mungkin gadis-gadis cantik untuk dijadikan selir. Kejadian ini amat memanaskan hatinya. Laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi benar-benar merupakan manusia-manusia yang hanya mau menangnya sendiri saja, yang bertindak sewenang-wenang dan menganggap wanita-wanita hanya sebagai benda permainan belaka!
Sebenarnya tak sudi ia harus menghadapi semua ini, tak sudi ia harus menghadiri pesta itu, akan tetapi bagaimana ia dapat membantah kehendak ayahnya? Baru beberapa hari ia berkumpul dengan ayahnya, tak mungkin ia mengecewakan hati orang tua itu.
Apa lagi dalam kesempatan ini, ayahnya juga mengajak Kwee Kian dan Kwee Siok yang kelihatan gembira bukan main. Pemuda dan gadis remaja ini berdandan dengan pakaian terbaru. Hui Kauw tidak dapat meniru ini, walau pun ia telah diberi banyak pakaian indah oleh orang tuanya. Gadis ini berpakaian sederhana saja, apa lagi ia pun maklum bahwa mukanya yang hitam itu membuat semua pakaian dan hiasan badan tetap tidak patut.
Bukan main meriahnya pesta yang diadakan dalam taman bunga istana itu. Kaisar baru muncul setelah para undangan memenuhi taman dan semua orang termasuk Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut ketika kaisar berjalan dengan sikap agung menuju ke tempat duduk kehormatan yang telah disediakan untuknya. Dengan kerling mata Hui Kauw dapat melihat bahwa kaisar ini masih muda, berwajah tampan dan bersikap gagah dengan mulut selalu memperlihatkan senyum yang menyembunyikan keangkuhannya.
Sesudah semua orang diperkenankan duduk, Kwee Siok menyentuh lengannya sambil berkata, "Hui Kauw cici, lihat di sana itu duduk rombongan pengawal-pengawal istana dan jagoan-jagoan undangan, semua adalah tokoh-tokoh persilatan tingkat tertinggi."
Kwee Kian juga tidak mau ketinggalan berkata lirih. "Dan yang duduk di sebelah kiri itu, yang berpakaian serba merah, orang tua yang tinggi kurus dan tersenyum-senyum itu, dialah suhu (guru) kami. Dialah tokoh besar berilmu tinggi yang berjuluk Ang Mo-ko!"
Diam-diam Hui Kauw menaruh perhatian. Memang seorang kakek yang aneh, sudah tua tapi pakaiannya merah semua, duduknya tak jauh dari The Sun yang kelihatan berpakaian serba indah. Ia tahu bahwa dua orang adik tirinya ini belajar ilmu silat dari seorang tokoh pengawal istana yang berjuluk Ang Mo-ko, akan tetapi baru sekarang ia melihat orangnya.
"Cici," kata pula Kwee Siok, "di antara tujuh orang pengawal ketika kaisar masih menjadi pangeran mahkota, suhu adalah orang yang paling lihai di antara mereka."
"Mungkin tidak kalah oleh The-kongcu," kata Kwee Kian.
"Wah, kalau dibandingkan dengan The-kongcu mungkin masih kalah satu tingkat," kata Kwee Siok. "Kian-koko, kau tahu bahwa The-kongcu adalah seorang tokoh muda Go-bi yang mempunyai kesaktian luar biasa, masa di dunia ada keduanya? Akan tetapi, kalau hanya dengan Bhong Lo-koai saja sudah pasti suhu lebih menang!"
Hui Kauw tersenyum di dalam hatinya mendengar perdebatan antara kedua adik tirinya ini dan sekaligus ia dapat menduga bahwa adik tirinya Kwee Siok ini tergila-gila kepada The Sun. Ia termenung dan diam-diam ia berdoa semoga adik ini tak akan mengalami nasib buruk dalam percintaan seperti ia sendiri. Betapa pun adik tirinya ini di dalam hatinya tidak suka kepadanya, namun Hui Kauw memang memiliki watak yang penuh welas asih, dan pribudi yang mulia.
Dahulu pun di Pulau Ching-coa-to, meski ia tahu bahwa Hui Siang diam-diam membenci dirinya, namun ia selalu menaruh iba pada adik angkat ini. Apa lagi sekarang, dua orang ini betapa pun juga adalah adik tirinya, anak-anak dari ayah kandungnya!
Ternyata menurut percakapan yang ia dengar, Hui Kauw tahu bahwa kali ini kaisar telah memilih lima orang selir baru di antara puluhan orang gadis-gadis yang didatangkan dari pelbagai daerah. Seperti telah sering kali terjadi, gadis-gadis yang tidak diterima tentu saja menjadi bagian dari para pembesar yang mengurusnya. Tidaklah mengherankan apa bila mereka kini berpesta pora amat gembira, selain untuk memberi selamat kepada kaisar, juga untuk memberi selamat kepada diri mereka sendiri!
Hui Kauw merasa lega bahwa ayahnya tidak termasuk pembesar yang mengurus tentang penarikan gadis-gadis ini sehingga kali ini ayahnya tak ikut bergembira karena mendapat selir baru pula! Anehnya, selir-selir baru itu tidak hadir di tempat pesta dan yang tampak hanyalah para pengunjung yang membanjiri hadiah-hadiah berupa benda-benda berharga untuk para selir baru itu! Tentu saja hal ini dilakukan untuk menjilat kaisarnya, karena benda-benda berharga yang dikeluarkan itu hanya merupakan umpan untuk memancing ikan yang jauh lebih berharga dari pada umpannya, yaitu berupa kenaikan pangkat dan lain-lain.
Hui Kauw sudah merasa lega bahwa kaisar agaknya tak akan melihat dan mengenalnya, juga agaknya ayahnya tidak akan menyinggung-nyinggung tentang dirinya. Siapa kira tak lama kemudian, seorang pembesar mendatangi ayahnya dan berbisik-bisik. Wajah orang tua itu seketika menjadi berseri-seri gembira dan dengan suara bangga dia berkata,
"Hui Kauw... eh, Ling-ji... Kaisar memanggil aku dan kau menghadap. Mari...!"
Ayah yang bangga ini berdiri, lalu menggandeng tangan puterinya dan menjatuhkan diri berlutut di tempat itu juga untuk menghormati panggilan kaisar, kemudian dia mengajak Hui Kauw berdiri dan berjalan perlahan menuju ke tempat duduk kaisar. Di depan kaisar, ayah dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut lagi, menunduk tanpa berani mengangkat muka untuk memandang kaisar.
"Aha, inikah Nona yang lihai ilmu silatnya itu?"
Betapa pun juga, keadaan dan suara kaisar ini demikian berwibawa sehingga menekan perasaan Hui Kauw dan membuat nona ini merasa mulutnya kaku dan tenggorokannya kering. Tak dapat ia mengeluarkan suara untuk menjawab!
"Betul, Yang Mulia, inilah anak hamba Kwee... Hui Kauw yang bodoh. Hamba berdua menghaturkan selamat atas hari baik ini, semoga Yang Mulia bertambah kebahagiaan dan dikurniai panjang usia selaksa tahun!"
Kaisar ini tertawa senang. "Kwee Lai Kin, tidak kusangka kau mempunyai seorang anak perempuan yang lihai ilmu silatnya, yang katanya malah menjadi murid dan anak angkat Siauw-coa-ong Si Raja Ular! Ha-ha-ha! Eh, kau... Kwee Hui Kauw, benarkah kau diangkat anak oleh Si Raja Ular?"
Tanpa berani mengangkat muka sedikit pun, Hui Kauw yang telah mendapatkan kembali ketenangannya menjawab, "Tidak salah, Yang Mulia..."
"Bagus! Karena ayahmu adalah pembantuku, berarti kau pun pembantu istana pula. Hayo lekas kau mainkan beberapa jurus ilmu silat supaya dinilai oleh para pengawal dan agar menambah kegembiraan pesta ini."
Bingung dan mengkal hati Hui Kauw. Betapa ceriwisnya kaisar ini, pikirnya. Akan tetapi suasana di situ benar-benar amat berwibawa sehingga ia hampir kehilangan ketenangan hatinya, "Mohon ampun sebesarnya, Yang Mulia, hamba tidak berani memperlihatkan ilmu silat yang dangkal di hadapan Yang Mulia."
Semua orang yang hadir di situ kaget dan khawatir. Setiap penolakan kehendak kaisar dapat dianggap sebagai pembangkangan yang sama saja artinya dengan pemberontakan! Wajah Kwee Taijin sudah berubah pucat seperti kertas kosong.
The Sun mengerutkan keningnya. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini cepat berlutut dan berkata, "Mohon Yang Mulia sudi mengampuninya. Sebagai seorang gadis yang baru kali ini berhadapan dengan Yang Mulia, dan baru kali ini menghadiri pertemuan agung, tentu saja Nona Kwee Hui Kauw merasa malu-malu dan canggung sekali. Hamba usulkan agar supaya salah seorang di antara para pengawal suka mengawani dia sehingga selain Nona Kwee tidak akan sungkan, juga akan lebih indah untuk ditonton dan lebih mudah dijadikan ukuran bagi kepandaian Nona Kwee yang hebat!"
Kaisar tertawa girang dan bertepuk tangan. "Bagus, kau memang pintar sekali, The Sun! Kau yang memuji Nona ini kepadaku, tentu kau sudah tahu sampai di mana tingkatnya dan aku beri ijin kepadamu untuk melakukan pemilihan di antara para pengawal itu."
The Sun tentu saja dapat menduga sampai di mana tingkat kepandaian Hui Kauw karena pernah dia melihat gadis itu bertanding melawan Bhong Lo-koai. Tadinya dia hendak mengusulkan supaya Bhong Lo-koai maju melayani nona ini, akan tetapi dia ragu-ragu karena siapa tahu kalau-kalau Bhong Lo-koai akan kalah.
Biar pun pertandingan kali ini hanya sebagai iseng-iseng dan menguji kepandaian belaka, namun kalau sampai pihak istana kalah, bukankah hal ini akan merendahkan nama besar kaisar sendiri yang dianggap mempunyai pengawal yang tidak becus? Oleh karena itu, dia segera memandang Ang Mo-ko, tersenyum dan berkata,
"Menurut pendapat hamba, hanya Ang Mo-ko lo-enghiong yang pantas untuk melayani Nona Kwee, mengingat bahwa kepandaian Nona Kwee sudah amat tinggi dan kalau lain orang yang melayaninya, akan sukarlah dapat digunakan sebagai ukuran."
Semua orang terkejut mendengar ini, sedangkan Bhong Lo-koai menjadi merah mukanya. Terang bahwa The Sun tidak percaya kepadanya, maka mengajukan Ang Mo-ko yang dianggap lebih pandai. Memang semua pengawal di istana juga maklum bahwa sebelum datang The Sun dan para tokoh undangan, di antara para pengawal lama, Ang Mo-ko merupakan tenaga yang paling boleh diandalkan karena ilmu kepandaiannya memang hebat.
Akan tetapi, banyak di antara para pengawal istana merasa penasaran. Untuk menguji kepandaian seorang nona yang begitu muda, mengapa mesti mengajukan Ang Mo-ko? Agaknya beberapa orang pengawal muda saja sudah cukuplah. Benar-benar The-kongcu sekali ini keterlaluan, pikir mereka.
Malah diam-diam Kwee Taijin juga kaget sekali dan melirik ke arah orang muda itu. Apa yang dikehendaki oleh orang muda ini, pikirnya tidak enak. Masa anakku harus diadu dengan Ang Mo-ko yang lihai? Hemm, apakah dia sengaja hendak membikin malu kepada Hui Kauw dan aku?
Akan tetapi The Sun tak mempedulikan semua pandang mata yang ditujukan kepadanya penuh pertanyaan itu. Juga kaisar yang tadinya terkejut pula, setelah memandang wajah The Sun yang bersungguh-sungguh, diam-diam merasa amat kagum. Benarkah gadis ini mempunyai kepandaian demikian tinggi sehingga patut dipertemukan dalam pertandingan melawan Ang Mo-ko?
Kaisar tertawa dan menjawab, "The Sun, kau lebih tahu dalam hal ini. Usulmu diterima, lakukanlah!"
The Sun lalu menghampiri Ang Mo-ko, berkata sambil tersenyum, "Ang lo-enghiong harap suka turun tangan menggembirakan suasana pesta. Akan tetapi hati-hatilah, Nona Kwee benar-benar lihai."
Ang Mo-ko bangkit berdiri, mengangguk-angguk dan berkata, cukup keras sehingga dapat terdengar oleh Hui Kauw. "Sungguh sebuah kehormatan besar untuk berkenalan dengan kelihaian anak angkat Siauw-coa-ong Giam Kin yang sakti."
Yang paling merasa tegang di saat itu adalah Kwee Kian dan Kwee Siok. Dua orang muda ini saling pandang dan muka mereka berubah sebentar pucat sebentar merah. Memang dari ayah mereka, mereka telah mendengar bahwa kakak tiri mereka memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka sendiri yang menjadi murid tokoh besar di istana, Ang Mo-ko, diam-diam memandang rendah kepada Hui Kauw. Malah diam-diam mereka mencari kesempatan baik untuk ‘mencoba’ kepandaian nona muka hitam itu. Siapa tahu sekarang di dalam pesta agung, di hadapan kaisar, kakak tiri itu akan dipertandingkan dengan guru mereka!
Karena yang memerintahnya adalah kaisar sendiri, Hui Kauw tentu saja tidak berani membantah. Setelah memberi hormat dengan berlutut, ia lalu memenuhi isyarat The Sun, bangkit berdiri dan berjalan tenang ke tengah ruangan, di mana terdapat tempat yang agak tinggi dan memang sengaja dikosongkan.
Di dalam taman itu, Kaisar dan para tamu duduknya mengelilingi tempat ini sehingga tempat itu menjadi pusat perhatian. Ang Mo-ko yang bertubuh tinggi kurus sudah berdiri di sana, menunggu dengan sikap tenang.
Kaisar memerintahkan sesuatu kepada pengawal pribadinya yang cepat lari menghampiri The Sun. Pemuda ini tersenyum mengangguk-angguk, kemudian berlari pula ke arena pertandingan, berkata kepada Hui Kauw dan Ang Mo-ko yang sudah bediri berhadapan.
"Menurut perintah Kaisar, karena di antara para tamu banyak yang tidak tahu ilmu silat, maka untuk menjaga kesusilaan dan mencegah persentuhan tangan, ji-wi (anda berdua) diperintahkan menggunakan senjata dalam pertandingan persahabatan ini. Silakan Nona Kwee memilih senjata apa yang dikehendaki, akan saya sediakan."
Hui Kauw memandang Ang Mo-ko untuk mengetahui pendapat orang tua yang diharuskan menjadi lawannya itu. Dia melihat kakek itu sambil tersenyum lebar sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang huncwe (pipa tembakau) yang putih kemilau bagai perak.
Hun-cwe ini panjangnya ada tiga perempat meter, ujungnya meruncing dan beberapa sentimeter sebelum ujungnya terdapat ‘buahnya’, yaitu merupakan tempat tembakau yang biasanya dinyalakan. Tahulah Hui Kauw bahwa lawannya adalah seorang ahli totok yang berbahaya karena senjata seperti itu memang tepat untuk menotok jalan darah, bentuknya meruncing tapi ujungnya tumpul.
"Aku tidak ingin berkelahi sungguh-sungguh, mengapa harus memakai senjata?" katanya ragu-ragu. "Pula, aku tidak membawa pedangku."
Memang semua pengunjung tidak diperbolehkan membawa senjata, tentu saja kecuali para pengawal yang sudah dipercaya penuh. Aturan ini belum lama diadakan setelah terjadi perebutan kekuasaan dan makin lama makin banyak terdapat mata-mata dari pihak yang anti kaisar berkeliaran di kota raja.
The Sun tersenyum dan mencabut pedangnya, "Kalau kau biasa berpedang, kau boleh mempergunakan pedangku, Nona."
"Terima kasih." Hui Kauw terpaksa menerima pedang The Sun.
"Nah, Kaisar telah memberi tanda. Kalian boleh mulai," kata The Sun yang segera mundur dan berdiri di pinggiran.
Para tamu menahan napas, apa lagi Kwee Taijin ketika melihat betapa anak gadisnya sudah berdiri dengan pedang terhunus di hadapan Ang Mo-ko yang masih berdiri sambil tersenyum-senyum itu.
Dengan gaya lucu Ang Mo-ko sekali lagi berlutut memberi hormat kepada kaisar, lalu berdiri dan berkata, "Nona Kwee, aku yang tua banyak mengharapkan petunjuk darimu."
"Ahh, lo-enghiong mengapa berlaku sungkan? Lekaslah bergerak dan lekas pula akhiri permainan ini, aku mana bisa menang dibandingkan dengan seorang tokoh tua?" jawab Hui Kauw hati-hati, pedangnya sudah melintang di depan dadanya.
Ang Mo-ko tertawa lagi, lalu menggerakkan huncwe-nya sambil berseru, "Awas Nona, aku mulai!"
Hui Kauw maklum bahwa lawannya bukanlah orang lemah, hal ini tidak hanya dapat ia duga dari sikap kakek itu, juga sekarang jelas dapat dilihat dari dahsyatnya sambaran huncwe yang melakukan totokan ke arah leher dan lambungnya. Dua bagian tubuh ini letaknya tidak berdekatan, akan tetapi ujung huncwe itu dapat menotok secara beruntun dengan cepat sekali sehingga sukar diduga bagian mana yang akan diserang lebih dahulu karena seakan-akan ujungnya berubah menjadi dua menyerang dengan berbareng!
"Tring! Tranggggg!"
Bunga api berhamburan menyilaukan mata pada saat pedang yang diputar Hui Kauw itu sekaligus bertemu dua kali dengan huncwe itu. Karena ia menggunakan pedang orang lain, Hui Kauw dengan tabah berani menangkis sekalian hendak menguji tenaga lawan. Ia merasa betapa tangannya tergetar hebat, akan tetapi dengan pengerahan hawa murni ia dapat mengusir getaran itu.
Di lain pihak, Ang Mo-ko berseru keras. Ia melompat mundur, cepat menarik huncwe-nya dan diamat-amati dengan penuh perhatian dan kekhawatiran.
"Wah-wah-wah, untungnya huncwe yang menjadi jimat hidupku ini tidak rusak!" katanya kemudian sambil tertawa. Tadi dia memang takut kalau-kalau huncwe kesayangannya ini lecet. Dengan lagak lucu kakek ini menerjang maju lagi mengirim serangan-serangan kilat.
Hui Kauw juga mainkan pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar putih. Makin cepat kakek itu menyerangnya, makin cepat pula ia menggerakkan pedangnya, kini tidak hanya untuk mempertahankan diri, juga untuk balas menyerang.
Hebat pertandingan itu dan juga indah sekali karena sambaran huncwe yang bagaikan kilat menyambar itu selalu lenyap digulung awan putih sinar pedang Hui Kauw. Kadang-kadang dari dalam gulungan awan itu muncrat bunga api dibarengi suara nyaring sekali seakan-akan halilintar menyambar dari gulungan awan mendung.
Tentu saja Ang Mo-ko sudah maklum akan maksud pertandingan ini. Tadinya dia hanya bermaksud menguji, tentu saja dia tidak akan menyerang sungguh-sungguh puteri Kwee Taijin yang juga menjadi kakak dari pada kedua orang muridnya. Akan tetapi makin lama penyerangannya menjadi makin dahsyat ketika dia mendapat kenyataan bahwa nona ini ilmu pedangnya sungguh tak boleh dipandang ringan.
Dia harus memeras keringat dan mengerahkan tenaga dan kepandaian kalau tidak mau dikalahkan dan mendapat malu di dalam pertandingan agung itu! Setelah bertanding lima puluh jurus lebih, Ang Mo-ko tidak berani main-main lagi dan terpaksa dia mengeluarkan kepandaiannya agar jangan sampai kalah.
Pada lain pihak, Hui Kauw juga hendak menjaga namanya, selain juga hendak menjaga muka ayahnya. Kalau ia mudah saja dikalahkan, bukan hanya dia yang akan ditertawakan orang, apa lagi oleh kedua orang adik tirinya, juga ayahnya tidak luput dari pada ejekan.
Namun, ia tetap tidak mau mempergunakan ilmu silatnya yang ia rahasiakan. Ia sengaja hanya mainkan ilmu pedang yang ia pelajari dari ibu angkatnya dan ternyata ilmu pedang itu sudah cukup untuk menandingi huncwe di tangan Ang Mo-ko.
Kaisar menjadi amat gembira menyaksikan pertandingan pedang tingkat tinggi melawan huncwe maut ini. Berkali-kali dia bertepuk tangan memuji karena kaisar ini pun seorang yang suka sekali akan ilmu silat.
Setelah seratus jurus lewat, Ang Mo-ko menjadi gelisah dan dia merasa khawatir sekali kalau-kalau akan ditertawai kaisar serta pangkatnya akan diturunkan gara-gara dia tidak dapat lekas-lekas mengalahkan nona muda itu dalam pertandingan ini.
Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras. Tangan kirinya bergerak melakukan serangan pukulan yang aneh sekali, dengan jari tangan terbuka dan dilakukan dari bawah ke atas, akan tetapi pukulan ini membawa angin panas yang luar biasa hebatnya. Kiranya inilah ilmu pukulan simpanan dari Ang Mo-ko atau Iblis Merah, karena sebutan ini bukan saja menyindir pakaiannya yang serba merah, akan tetapi juga ilmu pukulannya Ang-tok-jiu (Tangan Racun Merah).
Ilmu pukulan ini bukan main hebatnya, apa bila dilakukan, tangan kirinya berubah menjadi merah seperti kepiting direbus dan dari tangan ini selain keluar hawa pukulan yang panas dan dapat meremukkan tulang membakar kulit daging, juga mengandung hawa beracun!
Hui Kauw kaget bukan main ketika merasai hawa pukulan yang amat panas ini. Ia adalah puteri angkat dari Ching-toanio dan semenjak kecil ia tinggal di Pulau Ular Hijau, tentu saja ia tahu akan racun-racun berbahaya. Ia dapat menduga bahwa pukulan lawan ini tentu mengandung racun, maka ia tidak berani menerimanya dan cepat mengelak.
Ang Mo-ko semakin penasaran, huncwe-nya terus mendesak diselingi pukulan-pukulan Ang-tok-jiu. Kali ini dia sama sekali tidak mau memberi hati dan niat satu-satunya adalah menjatuhkan atau mengalahkan gadis ini, baik secara halus mau pun kasar. Hal ini dia anggap penting sekali untuk menjaga nama dan kedudukannya di hadapan kaisar.
Setelah Ang Mo-ko menggunakan ilmu pukulan Ang-tok-jiu ini, segera Hui Kauw menjadi terdesak hebat. Gadis ini tidak sanggup mempertahankan diri lagi karena ia harus selalu mengelak dari pukulan tangan kiri lawan sehingga permainan pedangnya tidak dapat lagi membendung banjir serangan huncwe yang bertubi-tubi dan terus menerus mendesaknya dengan totokan-totokan berbahaya.
Celaka, pikirnya, kakek merah ini agaknya tidak main-main lagi dan terlalu bernafsu untuk mengalahkanku, pikirnya. Dan ia tahu bahwa kalau kali ini ia kalah, itu akan terjadi dalam keadaan yang amat berbahaya karena sekali terkena totokan huncwe atau kena pukulan beracun, ia akan terluka parah. Baginya, kalah dari kakek ini di depan kaisar bukanlah hal yang terlalu ditakuti, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi kalau harus menyerahkan diri untuk ditotok atau dipukul sampai terluka parah.
Mendadak dia mengeluarkan seruan nyaring dan ilmu pedangnya segera berubah hebat. Bila tadinya ilmu pedangnya bagaikan ombak-ombak kecil yang amat cepat menggelora, sekarang berubah tenang seperti gelombang lautan besar yang tampaknya tenang dan lambat, namun yang menelan segala yang dihadapinya. Gerakannya menjadi lambat dan aneh sekali.
Akan tetapi bagi Ang Mo-ko amat hebat kesudahannya, karena kakek ini tiba-tiba saja melihat betapa tangan kirinya tahu-tahu berhadapan dengan pedang yang mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Jika ia melanjutkan serangannya, berarti tangan kirinya akan buntung! Cepat dia menarik tangan kirinya.
Akan tetapi pedang itu dengan gerakan lambat dan aneh namun mengandung tenaga menempel yang luar biasa, tahu-tahu sudah menghantam huncwe-nya. Terdengar suara nyaring dan... huncwe itu terlepas dari tangan Ang Mo-ko yang tiba-tiba merasa betapa tangan kanannya setengah lumpuh!
Ang Mo-ko kaget sekali, mengeluarkan suara keras dan melompat ke belakang. Keringat dingin membasahi lehernya karena maklum bahwa tadi kalau lawannya berniat buruk, tentu dia akan terluka. Ternyata pedang itu tidak mengejarnya dan Hui Kauw hanya berdiri dengan pedang melintang di depan dada.
"Kiam-hoat bagus...!" Terdengar pujian dari salah seorang di antara mereka yang tempat duduknya di dekat The Sun, seorang laki-laki setengah tua yang gagah dan tampan, yang bermata tajam bersinar-sinar.
Terdengarlah tepuk tangan, ternyata kaisar sendiri yang bertepuk tangan memuji. Semua orang lalu mengikuti gerakan ini dan meledaklah tepuk tangan dan pujian di taman itu. Kaisar mengangkat tangan dan semua suara itu berhenti.
"Kwee Hui Kauw, sebagai seorang gadis muda, ilmu silatmu hebat bukan main. Apa bila engkau sampai mendapat pujian dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, itu berarti bahwa ilmu pedangmu sudah mencapai tingkat tinggi. Bagus sekali!" kaisar berkata dengan suara gembira.
Hui Kauw baru teringat bahwa ia berada di dalam pertemuan agung di mana kaisar hadir. Dan melihat betapa Ang Mo-ko sudah menjatuhkan diri berlutut, ia pun segera berlutut menghadap kepada kaisar dengan penuh hormat. Diam-diam ia mencatat ucapan kaisar tadi bahwa orang setengah tua yang memujinya itu adalah Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang amat tersohor sebagai juara ilmu pedang!
"Kwee Hui Kauw, menyaksikan kepandaianmu, kami mengangkatmu sebagai pembantu komandan pengawal istana. The Sun yang akan membagi tugas kepadamu. He, The Sun kau perkenalkan Nona perkasa ini kepada para enghiong yang hadir!"
Dengan sikap gembira sekali kaisar itu lalu melanjutkan makan minum dan suasana pesta makin gembira.
Hui Kauw hanya dapat menghaturkan terima kasih sambil berlutut, lalu ia mengiringkan The Sun yang mengajaknya untuk berkenalan dengan beberapa orang tokoh yang duduk di bagian tamu kehormatan. Pertama-tama ia diperkenalkan dengan orang setengah tua yang tadi memujinya, yaitu Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!
Tokoh pedang ini memandangnya dengan tajam penuh selidik, kemudian mengangguk dan berkata, "Nona Kwee, sebagai puteri angkat Giam Kin, aku tidak tahu dari mana kau mendapatkan ilmu pedang yang hebat tadi. Lain waktu bila ada kesempatan aku ingin sekali mengajak kau bercakap-cakap tentang ilmu pedangmu itu."
Suara itu terdengar manis memuji, akan tetapi mengandung sesuatu yang mendebarkan jantung Hui Kauw, karena jelas terasa olehnya bahwa tokoh pedang ini nampak tidak puas. Ia tidak dapat memperhatikan tokoh pedang ini lebih lanjut karena The Sun sudah memperkenalkan dia kepada tokoh-tokoh lain yang banyak terdapat di bagian itu.
Orang ke dua yang diperkenalkan oleh The Sun kepadanya adalah seorang kakek yang berpakaian seperti tosu tua, bertubuh pendek gemuk akan tetapi mempunyai sepasang lengan yang panjang sekali. Usianya sudah lebih dari lima puluh tahun namun mukanya halus seperti muka kanak-kanak. Tosu ini adalah seorang undangan dan dia bukanlah orang sembarangan karena dia ini bukan lain adalah paman guru The Sun sendiri!
Tosu pendek ini adalah seorang pertapa Go-bi, adik seperguruan Hek Lojin yang terkenal dengan sebutan Lui-kong atau Malaikat Guntur! Ada pun julukan atau nama pendetanya adalah Thian Te Cu.
Menilik dari sebutan dan julukan ini, Lui-kong Thian Te Cu, sudah membuktikan bahwa betapa tokoh ini mempunyai watak jumawa. Akan tetapi kejumawaannya tidaklah kosong belaka karena dia memang memiliki kepandaian yang amat luar biasa dan dia bahkan pernah membikin ribut di Go-bi-pai, yaitu partai persilatan Go-bi-san yang amat tersohor.
Berbeda dengan watak suheng-nya, Hek Lojin, yang lebih suka menyembunyikan diri di puncak gunung, tosu pendek ini menerima undangan The Sun dengan gembira karena sesungguhnya dia masih suka bersenang-senang menikmati kemuliaan duniawi.
"Heh-heh, Nona Kwee masih amat muda tapi hebat ilmunya," kata Lui-kong Thian Te Cu sambil memandang dengan matanya yang sipit dan menggerak-gerakkan dua lengannya yang panjang. "Muka yang cantik jelita disembunyikan di balik kehitaman yang disengaja. Heh-heh-heh, Giam Kin si iblis cilik benar-benar luar biasa, sudah mati meninggalkan keturunan begini hebat!"
Bukan main mengkalnya hati Hui Kauw mendengar ini dan diam-diam dia pun terkejut karena kakek pendek itu benar-benar awas pandang matanya sehingga secara menyindir sudah membuka rahasia mukanya yang hitam, agaknya dapat menduga bahwa mukanya menjadi hitam karena racun. Lebih-lebih kagetnya ketika suara ketawa terkekeh yang terakhir dari kakek itu membuat ia hampir roboh karena badannya serasa tertekan hebat membuat kedua kakinya seperti lemah tak bertenaga.
Cepat-cepat nona ini mengerahkan hawa murni di dalam tubuh melindungi jantung karena ia pun maklum bahwa dengan suara ketawa itu, si kakek aneh telah menyerangnya atau menguji tenaga dalamnya. Itulah semacam ilmu khikang yang hebat sekali, yang dapat menggunakan suara ketawa untuk menyerang orang yang dikehendaki tanpa membawa pengaruh terhadap orang lain di sekelilingnya. Hanya seorang yang lweekang-nya sudah tinggi sekali dapat melakukan hal ini!
Cepat ia menjura kepada kakek itu dan mengucapkan kata-kata merendah, "Saya yang muda dan bodoh mana berani menerima pujian Locianpwe?"
Orang ke tiga yang diperkenalkan oleh The Sun adalah seorang yang tidak kalah aneh dan menariknya. Dia ini seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar, berjubah sederhana dengan dada setengah terbuka sehingga tampak bulu dadanya yang lebat. Usianya tentu tidak kurang dari lima puluh tahun, kepalanya gundul kelimis dan besar sekali sesuai dengan tubuhnya. Matanya lebar bundar tetapi jarang dibuka karena sering kali meram, alisnya tebal berbentuk golok.
Wajah hwesio ini tampak angker dan berwibawa, tidak mencerminkan sifat welas asih melainkan mendatangkan rasa segan dan hormat karena jelas dari pribadinya bersinar sifat keras dan kuat yang sukar ditundukkan. Berbeda dengan para tamu lain, hwesio ini menghadapi meja kecil di mana terdapat hidangan dari sayur-sayuran tanpa daging, tanda bahwa dia seorang yang ciak-jai (pantang daging) akan tetapi suka minum arak, terbukti dari guci besar arak yang disediakan untuknya.
"Nona Kwee, losuhu ini adalah Bhok Hwesio, tokoh besar dari Siauw-lim, seorang patriot sejati yang siap mengorbankan tenaga dan jiwa untuk mempertahankan negara. Apa kau pernah mendengar mengenai Heng-san Ngo-lo-mo (Lima Iblis Tua dari Heng-san)? Nah, begitu Bhok losuhu ini menginjakkan kaki ke Heng-san dan turun tangan, lima iblis tua itu terbasmi habis, sarangnya dibakar dan semua dilakukan oleh Bhok losuhu seorang diri saja!"
Hui Kauw terkejut. Pernah dia mendengar ketika masih berada di Ching-coa-to mengenai Heng-san Ngo-lo-mo ini, yang terkenal kejam dan amat tinggi kepandaiannya, apa lagi kalau maju berlima. Ibu angkatnya sendiri pernah menyatakan rasa jerinya kalau harus menghadapi lima orang iblis tua itu dan sekarang hwesio tua ini seorang diri saja mampu membasminya!
"Omitohud, kaum pemberontak dan pengacau negara kalau tidak dibasmi, tentu membikin sengsara rakyat," komentar hwesio itu tanpa membuka matanya, akan tetapi senyum yang membayang di bibirnya yang tebal itu menjadi tanda bahwa dia merasa senang akan pujian The Sun. "Syukur Nona Kwee sudah terlepas dari ayah angkat macam Giam Kin yang jahat, seterusnya harap meneladani ayah sendiri yang mengabdi kepada negara."
Hwesio itu selanjutnya menutup mata dan mulut tidak peduli lagi kepada Hui Kauw.
Masih banyak tokoh-tokoh diperkenalkan oleh The Sun kepada Hui Kauw, akan tetapi selain dua orang yang sudah disebutnya tadi, hanya ada dua orang lagi yang menarik perhatian Hui Kauw, yaitu seorang laki-laki tinggi kurus berambut keriting berkulit hitam yang diperkenalkan sebagai Bhewakala, seorang pendeta Hindu yang tadinya adalah seorang pertapa di puncak Anapurna di Himalaya. Ia seorang bangsa Nepal yang berilmu tinggi dan dalam perantauannya di timur akhirnya dia bertemu dengan The Sun dan dapat dibujuk membantu kaisar baru dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Seorang lagi tokoh wanita yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, seorang ahli pedang dari Kun-lun-pai. Sebetulnya tokoh wanita ini merupakan seorang pelarian dari Kun-lun-pai beberapa tahun yang lampau karena sebagai anak murid Kun-lun dia sudah melakukan pelanggaran susila dan ketika ditegur oleh ketua Kun-lun-pai pada waktu itu, ialah Pek Gan Siansu, ia melawan dan akhirnya ia dikalahkan dan diusir oleh Pek Gan Siansu.
Semenjak itu, dia melakukan perantauan dan tidak berani kembali ke Kun-lun-pai. Akan tetapi dalam perantauannya ini dia malah mendapat penambahan ilmu kepandaian yang hebat sehingga dia kini merupakan tokoh yang lihai sekali. Wanita ini bernama Gui Hwa dan berjuluk It-to-kiam (Setangkai Pedang).
"Demikianlah, Kun Hong," berkata Hui Kauw mengakhiri penuturannya kepada Kun Hong. "Selanjutnya aku tinggal bersama orang tuaku. Karena tak berani menolak perintah kaisar, aku terpaksa membantu The Sun, akan tetapi bukan membantu di dalam istana, hanya aku berjanji kepada The Sun akan membantu setiap kali tenagaku dibutuhkan. Dia amat baik kepadaku dan memang keadaan di kota raja amat kuat, banyak terdapat tokoh-tokoh pandai. Oleh karena itu, pada saat mendengar bahwa ada seorang buta dikeroyok, hatiku terkejut bukan main. Cepat-cepat aku keluar dan menuju ke tempat pertempuran untuk mencegah mereka yang mengeroyokmu. Akan tetapi ternyata kau telah dapat melarikan diri dan aku tak berdaya melihat penyembelihan yang dilakukan para pengawal terhadap orang-orang Hwa-i Kaipang. Aku menyusul dan mencarimu dengan diam-diam dan aku melihat jejak The Sun di rumah ini..." Hui Kauw memandang kepada mayat janda Yo yang tak bergerak sambil menarik napas panjang. "Karena salah sangka setelah melihat The Sun dilayani janda ini aku pun menjadi marah, menghinanya dan merampasmu, Ah, aku menyesal sekali, Kun Hong."
Selama Hui Kauw berceritera, Kun Hong hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Terutama sekali penuturan Hui Kauw tentang orang-orang kosen di kota raja yang amat menarik hatinya. Agaknya hwesio yang mampu menghadapi jurusnya ‘Sakit Hati’ tentulah Bhok Hwesio, jago tua Siauw-lim itu. Wah, berat kalau begini.
Dia merasa bersyukur bahwa mahkota kuno itu tidak terampas oleh mereka.....
Selanjutnya baca
PENDEKAR BUTA : JILID-10