Rajawali Emas Jilid 12
Beberapa hari kemudian Kun Hong tiba di sebuah kota kecil yang cukup ramai. Karena hari sudah menjelang senja ketika ia tiba di kota Tiang-bun ini, ia lalu menuju ke sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan datang menyambut dengan muka menyesal sambil berkata,
"Maaf, Tuan Muda. Semua kamar di sini sudah terisi penuh, sayang sekali kau terlambat datang karena kamar terakhir yang cukup besar telah disewa oleh seorang kongcu."
Kun Hong kecewa sekali. "Apakah di kota ini tidak terdapat rumah penginapan lain?"
Pelayan itu menggelengkan kepala dan memandang dengan kasihan melihat pemuda ini kelihatan lelah sekali. "Ada dua jalan untuk menolongmu, Tuan Muda. Pertama, harap kau menjumpai kongcu yang menyewa kamar besar itu karena dia hanya seorang diri dan kamar itu cukup besar sehingga jika dia tidak keberatan, tentu kongcu itu dapat membagi kamarnya denganmu. Jalan ke dua, kalau toh dia berkeberatan, yaaah, untuk melepas lelah saja, kiranya Tuan Muda dapat tidur di bangku di ruangan tengah.”
Kun Hong menghela napas. Apa boleh buat, dalam keadaan seperti itu terpaksa harus menerima usul ini.
"Sebetulnya aku tidak suka mengganggu lain orang, akan tetapi karena menurut katamu dia seorang kongcu, kiraku tiada salahnya untuk mencoba. Twako, antarkan aku ke kamar pemuda itu."
Dengan gembira karena mengharapkan hadiah, pelayan itu segera mendahuluinya. Kun Hong yang berjalan di belakang pelayan itu ketika sampai di ruangan tengah, melihat dua orang laki-laki tinggi besar duduk menghadapi arak di atas meja. Ketika Kun Hong lewat, dua orang yang tadinya bercakap-cakap itu tiba-tiba berhenti dan biar pun mereka tidak berkata apa-apa, namun mereka memandang penuh kecurigaan ketika melihat pelayan itu membawa Kun Hong ke kamar yang berada di ujung belakang.
Kun Hong bermata tajam dan ia dapat melihat betapa sinar mata kedua orang itu amat tajam dan mengandung kecurigaan terhadap dirinya. Akan tetapi dia tidak mengacuhkan mereka karena tidak merasa mengenal orang-orang itu.
Sementara itu, pelayan tadi sudah mengetuk pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara yang tidak begitu jelas karena pintu itu rapat sekali.
"Siapa?"
"Maaf, Kongcu, aku pelayan!" kata pelayan itu dengan suara manis, "Harap Kongcu suka membuka pintu sebentar, ini ada seorang tuan muda yang tidak kebagian kamar, hendak mohon Kongcu sudi membagi kamar dengan dia."
"Hemm, aku tidak suka diganggu!" terdengar jawaban dan pintu kamar di buka dari dalam.
Begitu pintu kamar dibuka dan Kun Hong melihat seorang pemuda di ambang pintu, dia segera membuang muka dan menarik tangan pelayan itu sambil berkata, "Twako, aku lebih suka tidur di bangku di luar atau kalau perlu di emper rumah penginapan ini dari pada tidur di kamar ini!"
Kemarahan dan kemendongkolan hati Kun Hong ini dapat dimengerti ketika ia mengenal ‘kongcu’ itu bukan lain adalah Si Pesolek tadi.
"Hemm, siapa sudi tidur sekamar dengan kutu buku jembel ini?" kata Si Pemuda dengan nada menghina sambil menutupkan pintunya kembali, akan tetapi seperti kilat pandang matanya menyambar ke arah dua orang laki-laki tinggi besar yang mendengar dan melihat semua itu dari ruangan tengah.
Pelayan itu hanya bisa melongo dan mengangkat pundak, tapi dengan baik hati dia lalu menyediakan sebuah bangku panjang yang dia letakkan di dalam ruang belakang untuk memberi tempat istirahat kepada Kun Hong. Setelah mandi dan makan, saking lelahnya Kun Hong langsung saja menggeletak berbaring di atas bangku panjang, berselimutkan sebuah baju luar yang lebar.
Ia masih dapat mendengar betapa pemuda sombong itu berteriak memanggil pelayan dan memerintahkan pelayan menyediakan air hangat untuk mandi, banyak sekali air yang dimintanya, kemudian memesan makanan yang mahal-mahal. Hemmm, seorang pemuda kaya yang mewah dan pesolek, pikirnya.
Juga dilihatnya betapa dua orang laki-laki tinggi besar tadi beberapa kali memandang ke arah kamar pemuda itu sambil mereka bicara berbisik-bisik. Diam-diam ia menaruh curiga.
Dasar pemuda mewah yang bodoh, pikirnya. Melakukan perjalanan dengan cara demikian mencolok, jelas sekali membayangkan bahwa kantongnya penuh berbekal emas sehingga menarik perhatian kaum penjahat.
Biar pun dia sendiri masih belum matang pengalamannya dalam perjalanan jauh, akan tetapi kiranya tidak setolol pemuda itu. Akan tetapi karena ia masih merasa jengkel akibat beberapa kali dimaki kutu-buku, jembel, ia pun tidak mengacuhkan pemuda itu dan kalau pemuda itu keluar kamar, ia pura-pura tidur mendengkur. Akan tetapi entah mengapa, mungkin karena gangguan kegemasannya terhadap pemuda yang tentu enak sekali tidur di dalam kamar yang hangat, tidak seperti dia yang kedinginan karena angin malam bebas menghembus memasuki ruangan itu, dia tidak segera dapat pulas.
Keadaan rumah penginapan itu sudah sunyi sekali, agaknya semua tamu sudah tertidur pulas. Hanya Kun Hong saja masih gelisah dan mendongkol karena bayangan nyamuk yang mengiang-ngiang di sekitar telinganya.
Ia menimpakan kemendongkolannya kepada pemuda sombong itu. Andai kata pemuda itu tidak sesombong itu, atau andai kata tamu itu orang lain, sudah tentu ia akan mendapat bagian di dalam kamar dan tidak menderita seperti ini.
Dalam kemendongkolannya, Kun Hong tidak ingat bahwa sebenarnya bukan hawa dingin atau nyamuk yang membuat ia tidak dapat tidur karena biasanya ia dapat tidur nyenyak walau di atas atau di bawah pohon dalam hutan. Sesungguhnya, wajah pemuda itu selalu terbayang di pelupuk matanya, mendatangkan rasa mengkal di dalam hatinya.
Tiba-tiba saja ia mendengar suara perlahan sekali. Dari balik selimutnya ia mengintai dan melihat sesosok bayangan melayang turun ke dalam ruangan itu. Ternyata dia adalah seorang laki-laki tinggi kurus yang gerakannya amat gesit dan ringan, tanda bahwa orang itu memiliki kepandaian tinggi.
Orang itu menghampiri kamar dua orang laki-laki tinggi besar tadi dan mengetuk perlahan. Pintu segera dibuka dan orang itu masuk, lalu pintu kamar segera ditutup lagi. Kun Hong menjadi curiga sekali dan merasa tidak enak hatinya.
Dua orang tinggi besar tadi selalu memandang ke arah kamar Si Pemuda, sekarang ada tamu yang demikian mencurigakan dan aneh, tentu mereka mempunyai niat yang tidak baik. Pikirannya berjalan cepat. Ia lalu mengatur bantalnya memanjang dan diselimutinya seperti orang tidur berselimut, sedangkan dia sendiri lalu melompat turun dengan hati-hati, kemudian dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh ia lantas melompat ke atas genteng.
Hatinya berdebar keras karena baru sekarang inilah ia mempergunakan ilmu yang telah dipelajarinya di puncak itu untuk melompat naik ke atas genteng dengan maksud akan mengintai kamar orang lain! Di puncak dahulu dia sudah biasa melompati jurang-jurang lebar, tentu saja meloncat ke atas genteng merupakan pekerjaan mudah baginya.
Akan tetapi karena belum terbiasa, ia menjadi berdebar dari berhati-hati sekali. Cepat ia bersembunyi di belakang wuwungan rumah, kemudian memasang telinga mendengarkan percakapan di dalam kamar dua orang laki-laki tinggi besar itu. Segera dia mendengar suara orang laki-iaki yang parau, agaknya suara orang yang baru datang tadi.
"Ji-wi laote, Twako kita melarang kalian untuk mengganggu pemuda yang hendak pergi ke Thai-san itu. Menurut Twako, apa bila kita turun tangan di sini, paling banyak hanya dapat merampas bekal dan pedangnya, sedangkan resikonya kalau sampai hal ini terdengar oleh Thai-san-pai, tentu mereka akan berhati-hati."
"Hemm, habis, apa yang harus kita lakukan?" terdengar suara lain.
"Sekarang Twako sedang mengumpulkan semua saudara kita, malah kabarnya Ji-ko dan Sam-ko (Kakak ke Dua dan ke Tiga) juga datang, bersama Hui-liong Sam-heng-te yang bersedia membantu pula. Twako menyuruhku datang memberi tahu Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bersamaku sekarang juga datang ke sana, mendengar petunjuk-petunjuk lebih jauh dan mengadakan perundingan."
"Baiklah."
Terdengar jendela dibuka dari dalam kemudian berturut-turut tiga sosok bayangan orang melesat keluar terus meloncat ke atas genteng.
Kun Hong bersembunyi cepat dan ia berhati-hati sekali, tidak segera memperlihatkan diri. Perbuatannya ini menolongnya karena dia melihat bayangan lain yang gerakannya cepat sekali berkelebat mengejar tiga sosok bayangan yang sudah berlari lebih dulu itu.
Ia menahan napas. Untung tadi ia tidak cepat-cepat muncul, kalau demikian halnya tentu orang ke empat itu akan melihatnya. Ia merasa heran, menduga-duga siapakah adanya orang ke empat itu yang seperti juga dia, melakukan pengintaian.
Muka orang itu tidak terlihat, hanya bayangannya memperlihatkan tubuh yang ramping kecil. Karena ia tidak ingin dilihat orang, baik oleh tiga orang pertama mau pun oleh orang ke empat yang mengikuti tiga orang itu, Kun Hong sengaja berlari mengejar dari jauh.
Kurang lebih sejam mereka berkejaran di dalam gelap dan akhirnya ternyata tiga orang itu memasuki sebuah kuil tua yang sudah rusak, terletak di luar kota dekat sebuah rawa yang sunyi. Kun Hong membiarkan pengintai di depannya itu melompat ke atas genteng lebih dulu, baru kemudian dia menyelinap di antara pohon-pohon di belakang kuil dan mencari tempat sembunyi dan pengintaian dari sebuah jendela yang sudah tidak dipakai dan rusak daun jendelanya.
Di dalam kuil itu terdapat ruang yang luas dan kotor, akan tetapi sekarang di situ tengah berkumpul beberapa orang mengelilingi meja bobrok, agaknya bekas meja sembahyang. Lima batang lilin menyala menerangi ruangan dan keadaan amat seram dengan beberapa patung rusak menghias pojok ruangan. Seorang penakut tentu akan menyangka mereka itu setan-setan yang berpesta-pora di dalam kuil tua itu. Karena ruangan itu cukup terang, Kun Hong dapat melihat wajah mereka itu.
Pertama-tama ia melihat wajah dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di rumah penginapan. Dua orang laki-laki ini berusia empat puluh tahun. Orang ke tiga yang duduk dekat mereka agaknya adalah orang yang menyusul ke rumah penginapan tadi, orangnya kecil kurus dengan muka ciut seperti tikus dan pada punggungnya tergantung pedang, agaknya pedang pasangan karena kelihatan dua gagang pedang.
Sekarang Kun Hong mencurahkan perhatian kepada orang-orang yang duduk di kepala meja. Ia seorang bertubuh pendek gemuk berperut besar, berusia lima puluh tahun lebih tetapi mukanya segar kemerahan dan bundar seperti muka kanak-kanak. Gerak-geriknya halus, akan tetapi setelah membaca kitab-kitab ilmu pengobatan dari Yok-mo, Kun Hong tahu bahwa orang itu adalah seorang ahli Iweekeh (tenaga dalam) yang sangat lihai. Dari percakapan mereka, orang inilah yang dipanggil Twako (Kakak Tertua) tadi.
Orang di sebelah kirinya adalah seorang yang usianya lebih tua, rambutnya sudah putih semua. Tubuhnya sedang akan tetapi punggungnya agak bongkok. Matanya juling, pada punggungnya tampak gagang senjata ruyung. Orang ini disebut Ji-ko (Kakak ke Dua).
Orang yang disebut Sam-ko (Kakak ke Tiga) oleh Si Muka Tikus adalah seorang yang masih muda, paling banyak baru tiga puluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan dan di pinggangnya kelihatan ruyung lemas semacam cambuk.
Diam-diam Kun Hong heran dengan panggilan-panggilan mereka itu. Kakak ke dua lebih tua dari pada kakak tertua, sedangkan yang disebut kakak ke tiga oleh Si Muka Tikus adalah seorang yang masih muda. Ia tidak tahu bahwa empat orang termasuk Si Muka Tikus ini adalah tokoh-tokoh terkenal di daerah selatan yang disebut Lam-thian Si-houw (Empat Harimau Dunia Selatan)!
Girang hati Kun Hong ketika ia mendengar Si Muka Tikus itu tiba-tiba memperkenalkan dua orang tinggi besar tadi dengan tiga orang yang duduk berendeng di sebelah kanan. Hal ini sama dengan memberi tahu kepadanya siapa adanya orang-orang itu.
Dari perkenalan itu ia tahu bahwa tiga orang yang berendeng di sebelah kanan itulah yang tadi oleh Si Muka Tikus disebut Hui-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Si Naga Terbang). Ada pun dua orang laki-laki tinggi besar yang bermalam di rumah penginapan itu adalah dua orang saudara she Kam, lengkapnya Kam Ki Hoat dan Kam Siong.
"Ji-wi Kam-laote," antara lain Si Twako yang bermuka kanak-kanak itu berkata kepada kedua orang saudara Kam, "menurut keterangan Si-te (Adik Ke Empat), Ji-wi (Kalian Berdua) hendak mengenyahkan seorang muda dari Thai-san-pai. Betulkah itu?"
"Betul sekali, karena dua pasang mata kami tak akan salah melihat orang. Sungguh pun tldak jelas bagi kami siapa sebenarnya dia, namun yang sudah pasti sekali kami pernah melihat dia itu di Thai-san. Siapa tahu dia itu orang Thai-san-pai yang sengaja bertugas memata-matai gerakan kita, bukankah celaka kalau begitu? Kami rasa lebih baik turun tangan di jalan sebelum terlambat. Akan tetapi Twako menghendaki lain, habis bagaimana selanjutnya?"
Twako itu tersenyum. "Seorang muda dari Thai-san-pai memata-matai kita? Heh-heh, lucu kalau benar demikian. Apakah dia berkepala tiga berlengan enam?"
Kun Hong yang mendengar pertanyaan ini bingung, tidak tahu maksudnya. Akan tetapi Kam Ki Hoat menjawab,
"Lagaknya bagaikan seorang pemuda kaya raya yang ahli dalam bun (ilmu sastra) dan sedikit mengerti ilmu silat. Akan tetapi aku sendiri sangsi apakah dia itu ada isinya."
"Kalau begitu, kenapa harus takut dia dapat memata-matai kita? Jangan pedulikan bocah masih ingusan itu, Ji-wi Kam-laote. Sekarang dengarlah rencanaku yang tadi sudah kuberi tahukan kepada Hui-liong Sam-heng-te. Kita naik ke Thai-san dengan cara berpencaran, mempergunakan kesempatan pembukaan berdirinya Thai-san-pai. Kita mengaku sebagai orang-orang kang-ouw yang hendak memberi ucapan selamat dan menghaturkan sekedar sumbangan atau barang perkenalan. Akan tetapi setelah tiba di sana kita semua harus dapat berkumpul di dekat meja penerimaan sumbangan dan hadiah. Seorang tokoh besar seperti orang she Tan itu, sudah pasti akan menerima barang-barang luar biasa dari para tokoh kang-ouw di empat penjuru. Nah, bila telah saatnya tiba, mudah untuk kita sembilan orang menyikat barang-barang itu, tentu saja yang tidak berharga kita tinggalkan."
"Twako, apakah kau sudah merasa yakin benar bahwa saat keributan itu pasti akan tiba?" Kam Ki Hoat bertanya ragu.
Si Twako ini tertawa lagi, mukanya menjadi makin bulat. "Siapa bilang tak akan tiba? Aku yakin dan berani bertaruh memotong daun telinga! Saat ini sudah pasti akan digunakan oleh mereka yang pernah dihina oleh Si Raja Pedang. Bahkan aku dapat menduga bahwa iblis-iblis dari empat penjuru akan muncul, berlomba untuk menjatuhkan Si Sombong yang hendak membentuk Thai-san-pai itu."
Kun Hong yang mendengarkan semua ini mulai agak mengerti persoalannya. Dia dapat menduga bahwa orang-orang ini yang berjumlah sembilan dan terdiri dari tiga rombongan atau tiga golongan, adalah sekumpulan orang jahat yang hendak merampok Thai-san-pai, mempergunakan kesempatan di waktu pertemuan itu kacau karena terjadinya keributan.
Agaknya Tan Beng San yang amat dikagumi ayahnya, yang sudah sering kali ia dengar namanya, yang digelari orang Raja Pedang itu, sudah menanam bibit permusuhan yang banyak sekali. Diam-diam Kun Hong mengerutkan keningnya.
Andai kata sembilan orang yang ada di ruangan kuil bobrok ini mempunyai hati dendam terhadap Tan Beng San dan ingin membalasnya dengan cara bertempur, tentu ia takkan dapat berpihak sebelum tahu sebab-sebab permusuhannya. Akan tetapi sembilan orang ini hendak merampok benda-benda berharga.
Hemm, kalau sudah begini tak perlu diselidiki lagi sebab-sebab permusuhan, karena jelas bahwa mereka ini bukan orang-orang baik. Aku harus dapat mendahului mereka, pikirnya, mendahului mereka naik ke Thai-san dan memberi tahukan apa yang ia lihat ini kepada Tan Beng San. Apa bila sudah diberi tahu tentu dapat berjaga-jaga dan kalau sembilan orang ini kelak naik ke Thai-san boleh diusir saja!
Baru saja dia hendak keluar dari tempat persembunyian dan pergi, tiba-tiba pengintai di depan itu pun bergerak perlahan dan segera lari meninggalkan tempat itu. Kun Hong heran. Siapakah dia itu? Gerakannya demikian gesit dan ringan, sebentar saja lenyap.
Ahh, kiranya kalau tadi ia dapat mengikuti bayangan itu adalah karena bayangan itu pun mengikuti Si Muka Tikus dan dua orang saudara Kam. Maka gerakan dan larinya juga tidak begitu cepat. Sekarang kembalinya, karena tidak mengikuti orang-orang yang lebih rendah tingkatnya, ternyata bayangan ini dapat melesat seperti burung terbang cepatnya, membuat Kun Hong melongo dan makin kagum terheran-heran.
Hati-hati ia memasuki rumah penginapan, tersenyum melihat bantal guling yang tadi dia selimuti masih tetap tidak berubah, lalu tidur lagi, pulas sampai pagi hari. Dia terbangun karena mendengar suara pemuda pesolek itu berteriak-teriak memanggil pelayan,
"Hee, pelayan, tulikah engkau? Lekas ambilkan air hangat, cepat! Aku hendak berangkat pagi-pagi!"
Kun Hong memang malam tadi berniat bangun dan berangkat pagi-pagi untuk mendahului orang-orang itu ke Thai-san. Akan tetapi pada saat melihat pemuda itu ribut-ribut tanpa menghiraukan orang lain yang masih tidur, ia mendongkol dan berkata, "Benar-benar tak tahu adat! Apakah tidak melihat orang lain masih tidur?"
Pemuda itu hanya menoleh dan mencibirkan bibirnya mengejek, kemudian masuk lagi ke kamar tanpa mempedulikan Kun Hong. Dengan hati mengkal Kun Hong lalu berkemas, membersihkan mata dan membeli sarapan di warung depan rumah penginapan. Ketika ia kembali ke rumah penginapan untuk membayar sewa bermalam, ia mendapat kenyataan bahwa pemuda yang menyebalkan hatinya itu telah berangkat.
"Hemm, anak manja itu sudah pergi?" tanyanya kepada pelayan yang memberinya tempat bermalam.
Pelayan itu tertawa, mengangguk. "Anak orang kaya memang sudah biasa dimanja, Tuan Muda," katanya. "Segala keinginannya harus terkabul."
Pada saat itu Kun Hong melihat dua orang laki-laki tinggi besar semalam, yaitu Kam Ki Hoat dan Kam Siong, juga sudah siap. Dengan suara keras mereka memanggil pelayan, mengadakan perhitungan lalu meninggalkan rumah penginapan itu tanpa menoleh sedikit pun kepada Kun Hong.
Pemuda ini kaget. Ahh, sama sekali ia tidak mengira kalau mereka pun berangkat sepagi itu. Lebih baik jika ia mengikuti mereka. Tidak akan terlambat kiranya mendahului mereka kelak di kaki Gunung Thai-san.
Siapa tahu dengan mengikuti mereka secara diam-diam, nanti ia akan dapat lebih banyak memberi keterangan penting kepada Paman Tan Beng San, demikian pikirnya. Dan siapa tahu kalau-kalau mereka yang memusuhi Raja Pedang ini ternyata juga ada hubungannya dengan mereka yang menculik Li Eng dan Hui Cu.
Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hatinya ketika melihat betapa ternyata dua orang itu mempunyai dua ekor kuda yang dititipkan di dalam kandang kuda di belakang rumah penginapan dan sekarang mereka sudah menunggang kuda dan membalap keluar. Mau rasanya Kun Hong menempeleng kepalanya sendiri. Mengapa ia tidak menduga akan hal ini?
Terpaksa dia melanjutkan perjalanan dengan bersungut-sungut. Tidak mungkin dia harus berlari-lari mengejar dua ekor kuda itu. Hal ini tentu akan menimbulkan keheranan dan kecurigaan orang-orang yang melihatnya. Setelah dia keluar dari dusun itu dan berada di tempat yang sunyi, barulah dia berani berlari-lari cepat untuk sedapat mungkin menyusul dua orang penunggang kuda tadi.
Dia telah sampai di dalam hutan malam tadi dan dari jauh ia sudah melihat kuil tua yang dijadikan tempat pertemuan orang-orang yang memusuhi Tan Beng San. Berdebar-debar hatinya melihat beberapa orang di depan kuil dan mendengar suara pertengkaran. Cepat ia menyusup-nyusup di antara pohon dan semak-semak mendekati tempat itu.
Alangkah kaget dan herannya ketika dia melihat pemuda pesolek sombong itu berdiri di depan kuil berhadapan dengan sembilan orang yang semalam telah dia lihat di dalam kuil. Dia merasa kuatir sekali karena dapat menduga bahwa akhirnya sembilan orang penjahat itu toh akan mengganggu juga pemuda yang mereka anggap sebagai seorang anak murid Thai-san-pai.
Yang membuat Kun Hong mendongkol adalah melihat sikap pemuda itu sendiri. Di depan sembilan orang yang terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw dengan julukan nama-nama menyeramkan, kenapa dia masih tersenyum-senyum dengan bibir yang selalu mengejek? Alangkah sombongnya!
Meski hatinya menjadi gemas dan ingin dia melihat pemuda pesolek macam ini menerima hajaran keras, akan tetapi mengingat bahwa pemuda itu boleh jadi benar-benar adalah orang Thai-san-pai, tak enak kalau ia harus membiarkan saja pemuda itu dalam bahaya. Diam-diam Kun Hong bersiap sedia, apa bila nanti melihat pemuda itu terancam, pasti ia akan keluar dan membantunya. Sementara ini, ia akan mencari persembunyian yang lebih dekat dan menonton saja.
Orang pendek gemuk bermuka kanak-kanak yang mengepalai rombongan sembilan orang itu terdengar berkata sambil tertawa, "Orang muda, apakah niatmu menghadang kami di sini? Siapakah kau?"
Pemuda itu dengan lagak sombong mengerutkan kening, menjawab, "Kong Houw si perut gendut, tidak usah kau berpura-pura lagi. Kau tahu bahwa aku datang dari Thai-san-pai, akulah anak murid Thai-san-pai."
"Kau kenal namaku?" Si Gendut itu berseru kaget.
"Hemm, siapa tidak mengenal nama busukmu? Kau tokoh tertua dari Lam-thian Si-houw, di selatan menjadi momok yang ditakuti rakyat. Akan tetapi jangan kira Thai-san-pai takut kepadamu!"
Kang Houw melirik pada teman-temannya, kemudian ia tertawa lagi dengan muka ramah dan berkata, "Aha, kiranya saudara ini adalah orang Thai-san-pai. Bagus sekali, kalau begitu kita adalah orang-orang sendiri. Saudara muda, ketahuilah bahwa kami sembilan orang ini adalah orang-orang yang mengagumi ketuamu, Raja Pedang Tan-Taihiap dan kami sengaja hendak pergi ke Thai-san untuk memberi selamat dan hormat atas pendirian Thai-san-pai. Harap kau orang muda jangan salah duga."
Orang muda itu mencibirkan bibirnya, satu kebiasaan yang memanaskan perut Kun Hong karena gerakan ini benar-benar membuat orang menjadi gemas dan mendongkol!
"Kang Houw si perut gendut! Siapa sudi membeli daganganmu? Kalian hanya pura-pura saja hendak memberi selamat kepada Thai-san-pai, akan tetapi kalian sebetulnya adalah kumpulan maling-maling kecil yang sudah mengilar begitu mengingat akan barang-barang sumbangan yang berada di meja penerimaan di Thai-san-pai! Siapa yang tidak tahu akan hal itu? Hemmm, kalian ini sama dengan tikus-tikus kecil yang mau coba-coba meraba kumis harimau."
Mendengar kata-kata ini, sikap sembilan orang itu berubah, juga Kun Hong yang berada di tempat persembunyiannya tercengang keheranan. Bagaimana pemuda itu bisa tahu akan hal ini? Hatinya berdebar penuh dugaan. Jangan-jangan bayangan yang bergerak cepat bagai iblis malam tadi ialah dia ini! Mungkinkah pemuda sombong ini memiliki kepandaian begitu tinggi?
"Twako, ternyata dia mata-mata seperti yang kami sangka. Menghadapi bocah seperti ini perlu apa banyak bicara lagi? Twako, biarlah kami berdua membereskannya di sini, siapa yang akan tahu?" kata Kam Ki Hoat.
Ketika melihat Kang Houw si gendut muka kanan-kanak itu mengangguk perlahan, Kam Ki Hoat berkata kepada adiknya, "Mari kita tamatkan setan ini."
Dengan sikap mengancam dan menakutkan, kedua orang tinggi besar yang kelihatan amat kuat itu menghampiri pemuda yang tubuhnya kecil dan kelihatan lemah itu.
"Bocah yang telalu lebar telinganya, terlalu besar matanya dan terlalu lebar mulutnya! Kau bersiaplah menghadap raja akhirat!" teriak Kam Ki Hoat.
Kun Hong memandang tajam. Akan tetapi melihat sikap yang tenang sekali dari pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pemuda itu belum terancam bahaya. Oleh karena itu ia hanya memegangi dua buah batu kecil di kedua tangannya, siap menolong.
Pemuda itu benar-benar nampak amat tenang menghadapi dua orang yang tinggi besar dan mengancamnya itu. Dengan tersenyum mengejek ia berkata, "Dua ekor monyet besar menjual lagak. Siapa takut gertakanmu?"
Kam Ki Hoat dan Kam Siong berseru keras, dengan berbareng mereka maju menerjang dari kanan kiri. Kam Ki Hoat menggunakan gerakan Harimau Menerkam Domba, kedua tangannya meluncur ke arah leher pemuda itu untuk memukul patah atau mencengkeram leher itu.
Dari kiri Kam Siong menggunakan gerakan Kilat Menyambar Batu. Kedua tangannya yang terkepal sebesar kepala orang itu memukul bergantian ke arah lambung serta ulu hati lawan.
Sekaligus pemuda itu diserang dari kanan kiri ke arah atas dan bawah tubuhnya, dengan penyerangan yang dahsyat dan penuh tenaga yang amat kuat. Anehnya, pemuda itu diam saja tak bergerak, seakan-akan tidak tahu bahwa dia diserang orang dari kanan kiri!
Akan tetapi, ketika empat buah tangan itu sudah mendekati tubuhnya, tiba-tiba tubuhnya berkelebatan, tangan kakinya bergerak dan... dua orang saudara Kam itu lantas berteriak kesakitan. Apa yang terjadi?
Ternyata serangan Kam Hoat malah berbalik mengancam leher Kam Siong, sedangkan pukulan-pukulan Kam Siong mengancam ulu hati dan lambung kakaknya! Mereka kaget dan berusaha menarik kembali serangan, akan tetapi tetap saja masih saling menggebuk yang membuat keduanya terpental dan jatuh terduduk, saling memandang dengan mata melotot heran. Ada pun pemuda itu masih berdiri di tempat tadi, tersenyum penuh ejekan yang memanaskan perut.
Tujuh orang lainnya yang melihat ini menjadi terbelalak, terheran-heran karena mereka tidak dapat melihat nyata gerakan pemuda itu, tahu-tahu dua orang saudara Kam sudah saling memukul sendiri. Sudah gilakah dua orang saudara Kam itu? Ataukah memang tadi gerakan mereka itu keliru dan justru saling bertentangan?
Hanya Kun Hong yang diam-diam kagum sekali juga kaget bukan main karena ternyata olehnya bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang pandai sekali. Sekarang semakin besar dugaannya bahwa bayangan hitam tadi tentulah pemuda ini pula orangnya.
Ia tidak mengenal gerakan Si Pemuda ketika menjatuhkan kedua lawan tadi, akan tetapi dapat mengikuti dengan pandang matanya. Ia tahu bahwa tadi pemuda itu menggunakan kelincahannya dalam ilmu ‘menggunakan sedikit tenaga meminjam tenaga lawan’. Sambil mengelak cepat sekali ia menggencet kaki kedua lawannya bergantian selagi kedua lawan itu menyerang, melejit ke kanan mendorong Kam Ki Hiat ke depan sehingga tanpa dapat dicegah lagi dua saudara itu berubah arah penyerangan mereka dan terjadi saling gebuk sendiri!
Tentu saja Kam Ki Hoat dan Kam Siong marah sekali, juga malu karena terang-terangan mereka tadi dipermainkan oleh pemuda itu. Sambil mengeluarkan gerengan bagai macan kelaparan, keduanya menerjang kembali dari kanan kiri.
Kam Ki Hoat mengeluarkan ilmu tendangan yang jarang dapat dihadapi lawan, tendangan geledek yang akan sanggup menumbangkan sebatang pohon besar. Sedangkan dari kiri Kam Siong juga mengeluarkan ilmu pukulannya, pukulan geledek yang tentu akan dapat meremukkan kepala seekor harimau! Pendeknya, sekali ini dua orang saudara ini hendak menghancurkan tubuh pemuda kurus itu dari atas dan bawah agar menjadi hancur dan lumat seperti tahu dicacah!
Seperti juga tadi, pemuda itu kelihatannya tenang saja dan sama sekali tak bergerak dari tempatnya. Kini tujuh orang penjahat lainnya memandang penuh perhatian. Takkan salah lagi, pikir mereka, sekarang pemuda ini pasti akan mampus!
Hanya Kun Hong yang diam-diam tersenyum karena timbul kekaguman dan kepercayaan besar dalam hatinya terhadap kelihaian pemuda ini. Ia juga memandang penuh perhatian, ingin sekali melihat dengan cara apa pemuda ini akan mengalahkan lawan-lawannya. Dan Kun Hong kembali terkagum-kagum melihat cara pemuda itu berkelebat mengelak sambil mengerahkan ginkang-nya, menyelinap di antara pukulan dan tendangan.
Pada saat kaki Kam Ki Hoat menyambar lewat, tangan kirinya bergerak menangkap tumit lawan dan mendorong. Pada saat yang hampir bersamaan, pukulan geledek Kam Siong juga meluncur lewat, dan tangan kanannya bergerak menangkap pergelangan tangan itu kemudian mendorong.
Akibatnya... tubuh Kam Ki Hoat terlempar ke atas sampai tiga meter, sedangkan tubuh Kam Siong terdorong ke depan berjungkir-balik lantas terguling-guling sampai lima enam meter! Kedua orang ini agak nanar, menggerak-gerakkan kepala dengan mata menjuling dan berkunang-kunang.
Beberapa waktu kemudian keduanya dapat merangkak bangun dan kemarahan mereka memuncak. Tampak benda berkilat ketika kedua orang saudara Kam ini mencabut golok mereka yang besar, tajam dan meruncing.
"Bocah iblis, rasakan pembalasanku!" Kam Ki Hoat berteriak sambil lari menerjang.
"Mampuslah kau, setan!" Kam Siong juga berseru marah sambil memutar-mutar goloknya menyerang.
Agak kuatir juga hati Kun Hong melihat betapa dua orang tinggi besar itu mainkan golok yang demikian tajamnya. Mengerikan sekali. Apa lagi karena ia dapat melihat bahwa ilmu mereka bermain golok agaknya lebih lihai dari pada ilmu pukulan mereka.
Bagaikan kilat menyambar-nyambar, dua batang golok itu menyerang dari kanan dan kiri, sedangkan pemuda itu tetap saja bertangan kosong, tidak mau mencabut pedangnya dan malah enak-enak saja menanti datangnya dua batang golok yang mengancamnya!
Serangan maut kali ini akibatnya hebat sekali. Tujuh orang penjahat itu sampai terbelalak mata mereka saking kaget dan herannya. Hanya tampak dua tubuh saudara Kam yang tinggi besar itu seperti bola-bola yang ditendang melayang ke arah pohon besar, disusul melayangnya dua benda gemerlapan dan tahu-tahu kedua orang saudara Kam itu sudah tergantung di batang pohon dengan leher baju mereka terpantek pada batang itu oleh golok mereka sendiri!
Agaknya pemuda yang aneh dan luar biasa itu secara cepat bukan main sudah berhasil melontarkan tubuh mereka ke arah pohon sambil merampas goloknya, lalu menggunakan golok-golok itu sebagai golok terbang yang langsung memantek dua orang tinggi besar itu melalui leher baju mereka. Sekarang tubuh dua orang itu tergantung, kedua kaki mereka bergerak-gerak dan mereka kelihatan ketakutan sekali karena golok mereka sendiri begitu dekat dengan leher!
Kun Hong mengerutkan keningnya. Hatinya memang girang sekali melihat bahwa pemuda ini walau pun sombong, kiranya tidak kejam dan tidak mau menbunuh atau melukai berat kepada lawan. Akan tetapi diam-diam dia mulai ragu apakah perlu dia membantu karena melihat gerakan-gerakan tadi, terutama pada waktu menyambit dengan golok-golok itu, ia sangsi apakah dia sendiri becus melakukannya. Ia juga sangsi apakah dia sendiri mampu mengalahkan pemuda yang benar-benar luar biasa ini.
Dua buah batu yang tadi dipegangnya dalam persiapan untuk menolong, tanpa terasa lagi terlepas dari tangannya dan ia menonton kembali dengan penuh perhatian dan dengan hati tertarik.
Tiba-tiba dua bayangan orang melesat ke arah pohon itu dan cepat sekali dua bayangan itu sudah kembali melayang turun lagi sambil mengempit tubuh kedua saudara Kam dan memegang golok yang tadi memantek dua orang ini pada pohon. Hebat sekali gerakan itu, sekaligus melayang, mencabut golok dan mengempit orang sambil melayang turun kembali.
Kiranya kedua bayangan ini adalah dua orang di antara Hui-liong Sam-heng-te. Setelah menurunkan kedua orang saudara Kam itu, tiga orang kakak beradik Si Naga Terbang ini maju menghampiri pemuda tadi. Sikap mereka tenang akan tetapi pandang mata mereka penuh ancaman.
Tiga orang ini berusia lebih dari empat puluh tahun, bertubuh kurus-kurus sesuai dengan keahlian mereka, yaitu ilmu meringankan tubuh sehingga membuat mereka dijuluki Naga Terbang. Mereka ini adalah kakak beradik she Cong berasal dari daerah Kang-lam dan nama mereka sudah amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai ahli-ahli ginkang dan ahli pedang yang jarang bandingnya.
Pemuda itu tersenyum. "Ah, memang pantas bila kalian dijuluki Hui-liong (Naga Terbang), hanya sayang bahwa julukan itu terlalu muluk untuk tiga saudara maling kecil. Sayang sekali orang-orang yang sudah memiliki kepandaian sebaik itu merusak nama sendiri dan menjadi maling-maling tak tahu malu."
Tiga orang itu terkejut juga. Pemuda ini kelihatannya masih hijau, akan tetapi ternyata sudah mengenal nama mereka. Apakah karena nama mereka yang sudah terlalu populer. Akan tetapi berbareng mereka juga merasa marah sekali dimaki sebagai maling-maling kecil.
"Bocah bermulut lancang! Kami Hui-liong Sam-heng-te bukanlah sebangsa maling-maling kecil, keparat!"
"Ahhh? Betulkah? Kalau begitu tentulah maling-maling besar. Bukankah kalian juga ingin mencuri barang-barang berharga dari Thai-san-pai nanti?"
Merah muka tiga orang kurus itu. Tidak dapat disangkal lagi, memang mereka menerima ajakan Lam-thian Si-houw untuk merampok barang-barang hadiah di Thai-san-pai, akan tetapi hal itu bukan hanya karena barang-barang itu tentulah merupakan barang-barang pusaka yang luar biasa, melainkan juga untuk melampiaskan dendam kemarahan mereka terhadap Raja Pedang yang pernah merobohkan mereka beberapa tahun yang lalu. Niat usaha mereka ini sama sekali tak boleh dianggap sebagai perbuatan ‘maling-maling kecil’!
"Jika kami bermusuhan dengan Tan Beng San Ketua Thai-san-pai ada sangkutan apakah denganmu? Kau siapa?" tanya seorang di antara mereka, yang tertua.
Pemuda itu tersenyum mengejek, matanya berkilat. "Bukankah kalian tadi menganggap bahwa aku adalah anak murid Thai-san-pai? Nah, aku memang murid Thai-san-pai. Dan kalian ini monyet-monyet kurus memiliki kemampuan apakah berani bermusuhan dengan Ketua Thai-san-pai? Ih, benar-benar tak tahu diri! Bercerminlah terlebih dahulu dan lihat, apakah monyet-monyet macam kalian ini cukup patut untuk mengganggu Thai-san-pai!"
Kemarahan Hui-liong Sam-heng-te tidak dapat mereka kendalikan lagi. Sekali bergerak, mereka telah mencabut pedang mereka yang tajam berkilauan. Pemuda tampan itu tetap tersenyum-senyum tenang, seperti seorang tua melihat kenakalan tiga orang bocah.
Tiba-tiba tiga orang kurus itu menggerakkan pedang dan berpencar mengurung pemuda itu dari tiga jurusan. Berbareng mereka memekik dan pedang mereka serentak berkelebat menyerang. Pemuda itu berkelebat dan tiga serangan tadi mengenai tempat kosong.
"Ehh, ehhh, kalian menggunakan jurus-jurus dari Kun-lun-pai!" pemuda itu berseru.
Tiga orang itu tertegun dan saling memandang, karena herannya menunda penyerangan mereka.
"Hemmm, lucu benar. Melakukan jurus-jurus Kun-lun Kiam-hoat saja kalian masih belum becus, sudah menyerang aku. Hi-hi, melihat tingkat, kalian ini lebih patut menyebut kakek guru kepadaku!"
"Bocah sombong, kau tahu apa tentang Kun-lun Kiam-hoat?" teriak orang yang termuda.
"Ehh, kalian tidak percaya? Nih, lihat!"
Pemuda itu lalu memungut sebatang ranting kering dan memegangnya di tangan kanan seperti sebatang pedang.
"Kalian tadi menggunakan jurus Iblis Menukar Bayangan, yang seorang lagi menyerang dengan gerakan Burung Sakti Membuka Sayap, dan yang ke tiga dengan jurus Ayam Emas Mematuk Gabah. Bukankah begitu? Nah, jurus-jurus yang kalian mainkan tadi salah semua, bukan ilmu Kun-lun yang asli, melainkan sudah campur aduk seperti masakan cap-cai! Kalau tidak percaya, jurus-jurus kalian tadi dapat dipunahkan semua dengan ilmu pedang Kun-lun-pai yang bernama Ilmu Pedang Lima Serangkai."
Tiga orang Naga Terbang itu saling pandang, lalu tertawa. Memang tepat sekali ucapan pemuda itu saat menyebutkan jurus-jurus yang mereka mainkan. Memang mengherankan sekali bagaimana dalam keadaan diserang berbareng, selain dapat menyelamatkan diri, juga sekaligus pemuda itu dapat mengenal jurus-jurus mereka.
Namun mendengar bahwa pemuda itu akan menggunakan Ilmu Pedang Lima Serangkai dari Kun-lun-pai, mereka mau tidak mau tertawa. Karena ilmu pedang yang disebutkan itu adalah ilmu pedang yang paling rendah dari Kun-lun-pai, merupakan dasar pelajaran bagi para murid yang baru akan belajar ilmu pedang. Mana dapat dipakai untuk menghadapi mereka? Biar pun mereka bukan murid-murid asli dari Kun-lun-pai, namun ilmu pedang Kun-lun-pai yang tinggi telah mereka pelajari dan dicampur dengan ilmu-ilmu pedang lain.
"Manusia sombong, kau agaknya sudah ingin mampus! Nah, sambutlah kami dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai! Keluarkan pedangmu," orang tertua dari ketiga Naga Terbang itu berkata.
Pemuda itu hanya membolang-balingkan ranting di tangannya. "Menghadapi ilmu pedang cap-cai kalian itu untuk apa harus menggunakan pedang. Dengan ranting ini dan dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai, aku akan menghadapi kalian. Majulah!"
Selama mereka hidup, tiga orang ini belum pernah dihina seperti sekarang. Mereka malu sekali kalau harus mengeroyok seorang pemuda yang hanya bersenjata ranting. Akan tetapi karena sikap pemuda itu benar-benar amat menghina, mereka tidak mempedulikan aturan-aturan di kalangan kang-ouw lagi dan serentak mereka menyerang, mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai. Bagaikan tiga ekor naga terbang, pedang mereka berubah menjadi gulungan sinar panjang yang menyambar dari tiga jurusan ke arah pemuda itu.
Alangkah besar keheranan mereka ketika pemuda itu benar-benar memainkan Ilmu Silat Pedang Lima Serangkai! Mereka menahan gelak ketawa mereka dan dengan sungguh-sungguh mereka menyerang untuk merobohkan pemuda sombong ini.
Akan tetapi, ranting yang digerakkan secara lambat dan perlahan itu kiranya benar-benar dapat menyusup di antara pedang mereka sedemikian rupa dan mengancam jalan darah pergelangan tangan mereka bertiga! Tentu saja mereka tak mau membiarkan jalan darah yang terpenting ini tertotok dan tidak pernah jurus serangan mereka dapat dilanjutkan.
Nampaknya memang lucu sekali. Tiap kali salah seorang di antara mereka menusuk atau membacok, sebelum serangan ini mengenai tubuh Si Pemuda, sudah buru-buru ditarik kembali oleh penyerangnya untuk diubah dengan jurus lain.
"Ha-ha, lihat, bukankah ilmu pedang cap-cai kalian ini tidak ada gunanya sama sekali?" pemuda ini masih dapat mengejek ketika ia melompat ke sana ke mari untuk memapaki setiap serangan dengan totokan-totokan yang benar-benar dilakukannya sesuai dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Lima Serangkai!
Tiga orang itu betul-betul dibikin bingung dan tidak mengerti. Akhirnya mereka penasaran, merasa malu dan marah sekali, lalu melakukan serangan bertubi-tubi secara nekat dan lebih gencar.
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan seruan panjang. Ranting di tangannya cepat sekali berkelebat dan di lain saat ia sudah melompat keluar dari gelanggang pertempuran sambil tertawa-tawa.
Kun Hong kagum bukan main, akan tetapi enam orang teman penjahat itu menjadi merah muka mereka melihat betapa Hui-liong Sam-heng-te itu ternyata berdiri seperti patung, dalam sikap masing-masing, sikap orang bersilat. Mereka telah kaku tak dapat bergerak karena masing-masing telah kena ditotok oleh pemuda itu.
Melihat hal ini, Kang Houw Si Twako melangkah maju mendekati tiga orang yang telah tertotok itu, lalu berseru tiga kali sambil menotok dengan dua jari tangannya. Seketika itu terbukalah jalan darah tiga orang yang segera mengeluh dan roboh terguling.
Demikian hebatnya pengaruh totokan pemuda itu sehingga tubuh mereka terasa lemas dan baru beberapa lama kemudian mereka dapat berdiri kembali. Akan tetapi mereka sekarang seperti tiga ekor naga yang sudah dicabuti kuku dan siungnya, tidak berani lagi mengeluarkan suara.
Sementara itu, Si Pemuda dengan lagak sombong kemudian berkata, "Ehh, bagaimana sekarang? Apakah Lam-thian Si-houw juga hendak memperlihatkan kuku dan taringnya? Kalau begitu, majulah dan rasai kelihaian anak murid Thai-san-pai sebelum kalian tak tahu diri berani naik ke Thai-san."
Wajah Kang Houw menjadi merah. Ia merasa marah, penasaran, dan malu bukan main. Benarkah pemuda ini adalah anak murid Thai-san-pai? Jika hanya anak murid yang masih muda saja begini lihai, ahh, kiranya tak akan mungkin bergerak di Thai-san.
"Tuan Muda, sebenarnya siapakah kau?"
"Hi-hi-hik, sudah kalian tahu, anak murid Thai-san-pai, mengapa tanya-tanya lagi?"
Bi Houw Si Muka Tikus melangkah maju. "Twako, biarkanlah Si-te mencoba-coba bocah ini."
Twako-nya mengangguk.
"He-he-he, Si Muka Tikus yang suka merayap ke penginapan!" seru Si Pemuda. "Apakah kehendakmu? Lebih baik kau ajak saja tiga orang saudaramu itu maju bersama, supaya segera beres urusan ini!"
Bi Houw mencabut pedangnya yang ternyata adalah pedang pasangan yang berhiaskan benang-benang merah. "Bocah mulut besar, tuanmu saja sudah cukup untuk memenggal lehermu."
Pemuda itu mengulur lehernya yang kecil panjang, seperti lagak seekor kura-kura.
"Ihh, leher hanya sebuah hendak dipenggal? Habis ke mana aku mencari gantinya nanti? Jangan sembrono, tikus, jangan-jangan ekormu malah yang akan kau penggal sendiri."
"Bangsat, lihat pedang!"
Dua gulung sinar pedang menyambar ke arah pemuda itu yang berseru lucu, "Hayaaaa, ada tikus bermain siang-kiam (pedang pasangan). Jangan-jangan buntutmu sendiri yang akan putus!"
Karena melihat betapa pemuda itu dengan mudah bisa menghindarkan diri dari sambaran sepasang pedangnya, Bi Houw lalu mempercepat gerakan pedangnya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan atau sebaliknya.
Sungguh mengagumkan sekali gerakan pemuda itu. Seperti sebuah bayang-bayang saja, tubuhnya tak pernah terbabat pedang. Atau, lebih tepat seperti asap saja tubuhnya, selalu menyelinap di antara sinar pedang dengan gerakan seenaknya.
"Awas, pedangmu beradu!" pemuda itu berseru di antara bacokan-bacokan itu dan…
"Traaanggg!"
Benar saja! Dengan sentuhan-sentuhan dan sentilan di belakang telapak tangan Si Muka Tikus, membuat pedang kanan Bi Houw itu menyeleweng dan membentur pedang kirinya sendiri.....
"Iihhh!" Bi Houw sampai melompat kaget atas kejadian yang luar biasa ini, namun ia tidak menghentikan serangannya, bahkan makin gencar ia membabat.
"Awas, buntutmu putus!"
Entah bagaimana pedang yang tadinya menyambar leher pemuda itu, tahu-tahu menyelonong balik dan membabat leher Bi Houw sendiri. Tentu saja Bi Houw kaget bukan main dan menahan gerakan tangannya itu. Akan tetapi, agaknya tangan kanannya sudah tidak mau menurut perintah hatinya sehingga...
"Brettt!" kepalanya terbabat pedang membuat ikat kepala dan rambutnya putus, membuat ia setengah gundul!
"Heh-heh-heh, tikus gundul... tikus gundul...!"
Bi Houw yang marah hendak, menubruk , dengan pedangnya, namun tahu-tahu ia merasa tubuhnya terlempar ke belakang dan pedangnya terlepas dari kedua tangan. Ia berusaha untuk menahan diri, namun tidak kuat dan tubuhnya menggelinding terus.
Tahu-tahu tubuhnya tertahan sesuatu dan ketika ia melihat, ternyata yang menahannya itu adalah sepasang pedangnya yang entah datang dari mana tahu-tahu sudah menancap di atas tanah dan menahan tubuhnya yang menggelinding tadi! Dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya, Si Muka Tikus ini berdiri dan mencabut sepasang pedangnya, kemudian hanya dapat memandang pemuda itu dengan mata melotot tanpa berani membuka suara.
"Bocah, kau benar-benar menghina orang!" terdengar seruan.
Orang ke tiga dari Lam-thian Si-houw yang tampan dan berusia tiga puluhan lebih, sudah menerjang maju sambil meloloskan senjatanya, yaitu sebuah cambuk baja yang panjang.
"Eh, kau ini gembala bebek hendak berlagak? Lebih baik kakakmu yang matanya juling itu kau suruh maju!" Pemuda itu mengejek sambil menudingkan telunjuknya kearah orang ke dua yang berambut putih, bertubuh bongkok dan bermata juling.
"Sombong, rasakan cambukku!"
Orang ketiga yang bernama Teng Houw segera menyerang. Cambuknya mengeluarkan bunyi bergeletar keras dan ujung cambuk itu bergerak-gerak menyambar di atas kepala pemuda itu.
Akan tetapi hebat sekali pemuda ini. Ia hanya sejenak mengerling ke arah ujung cambuk dan sama sekali tidak mau mengelak kalau ujung cambuk itu belum mendekati tubuhnya benar. Agaknya dia maklum bahwa Si Pemegang Cambuk itu membunyikan cambuk dan mengamang-amangkannya hanya untuk menggertak saja.
Melihat hal ini, Teng Houw menjadi panas hatinya. Seperti juga saudara-saudaranya, dia tadinya merasa jengah pula untuk menyerang seorang pemuda bertangan kosong dengan cambuknya yang sudah amat terkenal ganas dan entah sudah merenggut berapa banyak nyawa lawan. Akan tetapi pemuda aneh itu hanya tersenyum-senyum sambil memandang cambuknya seperti sebuah benda mainan yang tiada harganya.
"Awas senjata!" Akhirnya ia berseru dan kali ini cambuknya betul-betul menerjang dengan serangan yang amat dahsyat dan ganas.
Namun, pemuda itu masih tersenyum-senyum ketika tubuhnya mulai bergerak mendahului gerakan cambuk. Sedikit pun juga ujung cambuk tak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Bahkan dia masih mengejek ke arah Si Mata Juling yang maju mendekat dengan maksud mempelaiari gerakan-gerakan pemuda lihai itu.
"Hei mata juling, kenapa hanya menonton saja dan tidak ikut turun tangan? Matamu akan menjadi makin juling nanti kalau kau banyak menonton."
Si Mata Juling agaknya tak dapat dibikin panas hatinya, hanya berdiri menonton dengan penuh perhatian. Akan tetapi tidak lama kemudian, benar saja matanya menjadi semakin juling pada waktu ia melihat betapa pemuda itu bergerak bagaikan seekor lalat gesitnya, berputar-putar beterbangan di sekeliling tubuh Teng Houw.
Orang ke tiga dari Lam-thian Sin-houw ini masih mencoba menyabet bayangan lawannya yang luar biasa gesitnya itu dengan cambuknya, namun sia-sia belaka. Dia hanya dapat menyerang dengan sabetan-sabetan yang membabi buta, seolah-olah sedang menyerang bayangan setan.
Tiba-tiba saja terdengar pemuda itu tertawa dan Teng Houw terkejut bukan main. Entah bagaimana, tahu-tahu ujung cambuknya telah melilit batang lehernya sendiri. Ia berusaha membetot gagangnya, namun makin dibetot semakin erat lilitan itu sehingga ia mendelik karena lehernya tercekik!
Kiranya dalam kegesitannya, pemuda itu tadi dapat menyambar ujung cambuk kemudian melilitkannya di leher lawannya sambil tertawa-tawa. Saking bingung dan kuatirnya, Teng Houw melompat keluar dari kalangan dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar.
Baru setelah twako-nya menghampiri dan melepaskan lilitan cambuknya, ia sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali saking malunya, dan di lehernya terlihat garis-garis merah bekas lilitan cambuknya sendiri. Orang ini tidak bisa berbuat lain kecuali memandang ke arah pemuda itu dengan heran dan gentar.
"Sudah kukatakan tadi, lebih baik maju sekaligus agar cepat beres. Kalian benar-benar tak tahu diri, Lam-thian Si-houw!" Pemuda itu menantang dan menertawakan ketika melihat Si Mata Juling, Ban Houw, melangkah maju dengan ruyung di tangan kanan.
Ban Houw ini adalah seorang jagoan tua yang jarang menemui tandingannya di daerah pantai selatan. Dia sudah memiliki banyak pengalaman, maka tak berani ia memandang rendah kepada pemuda aneh itu.
Melihat gerak-gerik pemuda ini dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, diam-diam kakek juling ini dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah murid seorang yang sangat sakti. Diam-diam ia menghubungkan pemuda ini dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, yang hanya pernah ia dengar namanya dan kelihaiannya.
"Orang muda, kau benar-benar lihai sekali. Sebegini muda sudah mempunyai kepandaian sehebat itu. Orang muda, aku tak percaya bahwa kau hanyalah seorang anak murid biasa saja dari Thai-san-pai. Si Raja Pedang Ketua Thai-san-pai itu apamukah?"
Pemuda itu memang kurang ajar sekali. Orang tua bicara baik-baik, ia tetap menyambut dengan ejekan, "Ehh, kakek mata juling, kau tanya-tanya tentang aku apakah kau ingin menarik aku sebagai mantumu? Apakah anak gadismu tidak juling seperti kau? Sudahlah, jangan banyak tanya dan cukup kukatakan kalau aku anak murid Thai-san-pai. Kalian ini orang-orang banyak lagak, akan tetapi tidak becus apa-apa dan berani hendak mengacau Thai-san-pai? Hayo, kalian boleh kalahkan aku lebih dulu, murid kecil dari Thai-san-pai!”
Diam-diam Kun Hong mendongkol juga menyaksikan sikap pemuda itu. Harus dia akui bahwa kepandaian pemuda itu hebat sekali. Dari gerak-geriknya tadi ketika bertempur, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa walau pun masih amat muda, orang itu benar-benar telah matang kepandaiannya dan mempunyai dasar yang amat kuat, baik lweekang mau pun ginkang-nya dari tingkat tinggi.
Akan tetapi ia menganggap pemuda itu terlalu sombong dan agaknya mata keranjang pula. Sudah dua kali ia mendengar pemuda itu bicara tentang perempuan, yaitu ketika di gedung Tan-taijin dahulu pemuda ini menyatakan iri hati kepada Pangeran Mahkota yang selalu rnendapatkan wanita cantik untuk menjadi selir. Sekarang terhadap Si Mata Juling lagi-lagi pemuda ini memperlihatkan sikap ceriwisnya.
Ban Houw tidak marah mendengar ejekan-ejekan pemuda itu. Dia melintangkan ruyung di depan dadanya, lalu berkata, "Orang muda, setidaknya kau tentu suka memberi tahukan siapa namamu? Kau sudah mengenal kami semua, memang kau mempunyai mata yang amat tajam, dan harus kuakui bahwa kami tidak dapat menduga siapakah sebetulnya kau orang muda yang lihai ini?"
Agaknya kesabaran dan ketenangan Ban Houw ini membuat pemuda ini berhati-hati, hal ini ternyata dari jawabannya yang tidak main-main lagi.
"Orang tua, namaku tidak ada artinya bagimu. Jika kuberi tahu juga kau takkan pernah mendengarnya dan tidak akan mengenalnya. Yang jelas bahwa aku adalah anak murid Thai-san-pai dan jika kalian hendak mengganggu Thai-san-pai, harus dapat mengalahkan aku lebih dulu."
Kakek juling itu mengangguk-angguk. "Kau memang takabur, akan tetapi juga sesuai dengan kepandaianmu. Marilah kau layani ruyungku ini! Apakah menghadapi aku kau pun akan bertangan kosong saja?"
Pemuda itu sejenak meragu. Biar pun ia masih muda, namun agaknya ia sudah mengerti bahwa menghadapi seorang lawan yang begini tenang, ia harus berhati-hati sekali. Akan tetapi dasar wataknya memang manja seperti biasanya anak orang berpangkat atau orang kaya, agaknya ia sudah biasa dipuji dan diangkat, maka kini pun ia merasa segan untuk mengurangi kesan setelah beberapa kali ia mendapat kemenangan.
"Kau sudah tua, aku masih muda sudah sepatutnya kalau aku mengalah sedikit, boleh kau serang aku, kakek juling."
Ucapan ini betul-betul amat takabur sebab keadaannya terbalik. Yang patut mengeluarkan kata-kata itu adalah Si Tua, bukan Si Muda karena dalam hal ilmu silat, pada umumnya yang lebih tua itu lebih matang dan mempunyai pengalaman lebih banyak sehingga lebih patut pula kalau yang tua yang mengalah.
Akan tetapi kakek juling itu tidak menjadi panas perutnya seperti yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh pemuda itu, sebaliknya kakek ini lalu memasang kuda-kuda dan berkata, "Kau sendiri yang menetapkan, jangan menyesal nanti. Nah, kau lihat senjataku!"
Baru saja habis ucapannya ini, ruyung sudah menyambar dekat sekali dengan kepala pemuda itu. Bukan main cepatnya gerakan kakek itu dan yang paling hebat, ruyungnya yang amat berat itu bergerak tanpa mendatangkan angin dan tahu-tahu sudah mendekati kepala lawannya!
"Bagus!" Pemuda itu berseru nyaring.
Ia benar-benar kaget dan tahu bahwa lawannya kali ini benar-benar seorang yang ‘berisi’, jauh bedanya dengan yang sudah-sudah. Maka dia berlaku waspada, cepat menggeser kedua kakinya dan mempergunakan langkah-langkah yang amat teratur dan amat indah, sementara kedua tangannya bergerak-gerak untuk mengimbangi tubuh dan kadang kala juga digunakan untuk balas menyerang. Anehnya, dua tangan itu gerakannya sama sekali berlainan dan bahkan berlawanan sehingga memperlihatkan cara bersilat yang janggal sekali, aneh, dan membingungkan.
Kalau tadi pemuda ini hanya mempermainkan sekalian lawannya, kali ini ia tidak hanya main loncat dan kelit, akan tetapi tiap kali mendapat kesempatan juga balas menyerang dengan sengit. Hebatnya tidak pernah ada serangan lawan yang tidak dibalasnya. Sambil mengelak atau mendorong ruyung dari samping, tentu ia segera balas menyerang dengan pukulan atau tendangan.
Berkali-kali kakek juling itu harus berseru memuji karena segera ternyata bahwa serangan balasan pemuda itu dengan tangan atau kakinya ternyata tidak kalah hebatnya dengan serangan ruyungnya. Dan yang sangat membingungkan hatinya adalah gerakan tangan pemuda itu.
Sebegitu jauh belum juga ia dapat mengenal ilmu silat itu. Maka ia segera menggerakkan ruyungnya lebih gencar pula agar pemuda itu mengeluarkan simpanannya dan dia dapat mengenal ilmu silatnya.
Hebat gerakan ruyung ini. Kalau tadi gerakannya sama sekali tidak mendatangkan angin, sekarang begitu ruyung diputar, angin menderu dan terdengar angin mengiung. Ruyung itu kelihatannya menjadi puluhan buah banyaknya, mengancam pemuda ini dari segala jurusan.
Melihat hal ini, Kun Hong mengerutkan keningnya dan otomatis kedua tangannya sudah memegang lagi dua buah batu kecil yang tadi dilepasnya. Si Juling ini benar-benar hebat, pikirnya, sekali saja kepala pemuda itu terlanggar ruyung, tentu akan pecah berantakan dan habislah riwayat pemuda sombong dan nakal ini.
Betapa pun tidak senangnya terhadap pemuda itu, melihat orang membela mati-matian kepada Thai-san-pai yaitu perkumpulan yang didirikan oleh Tan Beng San, orang yang dipuji-puji dan dihormati ayahnya, tentu saja ia tak akan membiarkan pemuda ini tertimpa bencana. Di samping ini, dia pun mempunyai kesan baik atas sikap pemuda yang tidak mau membunuh lawannya itu.
Dua hal inilah, yaitu membela Thai-san-pai dan tidak mau membunuh lawan, merupakan penawar dari kebenciannya terhadap Si Pemuda, kebencian yang dia sendiri tidak tahu mengapa bisa mengotori hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bisa membenci orang seperti perasaannya terhadap pemuda ini. Banyak sudah ia melihat orang sombong, juga banyak melihat orang manja, akan tetapi belum pernah dia merasakan kebencian dalam hatinya seperti terhadap pemuda ini.
Agaknya desakan ruyung yang dimainkan secara ganas itu membuat si pemuda harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan bersilat dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring sekali sampai memekakkan telinga, lalu tubuhnya melesat ke sana ke mari sambil kedua tangannya mengirim serangan-serangan jarak jauh yang membuat si pemegang ruyung beberapa kali mengeluarkan seruan tertahan.
Pada saat si mata juling menghantamkan ruyungnya untuk menyerang pinggang, pemuda itu meloncat ke atas dengan gerakan yang sangat ringan seperti burung walet terbang. Akan tetapi lawannya juga gesit sekali karena ruyung itu tidak dibiarkan melewat, hanya langsung ia babatkan ke atas untuk memukul kedua kaki pemuda yang tubuhnya masih berada di udara itu!
Kedua tangan Kun Hong sudah gemetar dan menegang, siap melontarkan sambitan batu untuk menolong si pemuda ketika terjadi pertunjukan yang amat luar biasa oleh pemuda itu.
Biar pun dirinya diserang selagi berada di udara, pemuda itu tidak menjadi gugup, malah ujung kaki kirinya dari samping ditotolkan kepada ujung ruyung lawannya dan… tubuhnya mencelat mumbul lagi ke atas berjungkir-balik. Ketika tubuhnya turun dan dia disambut hantaman ruyung, kembali dia menotolkan ujung kaki pada ruyung dan kembali tubuhnya mencelat ke atas.
Pertunjukan ini amat hebat sampai-sampai semua orang yang memandang mengeluarkan seruan memuji. Betul-betul ginkang yang sangat hebat disertai kelincahan dan kegesitan yang luar biasa!
Agaknya si mata juling menjadi penasaran. Ia sudah menang di atas angin, pemuda itu tak dapat turun lagi dan posisinya amat buruk, masa ia tidak mampu mengalahkannya? Dengan penuh semangat, ketika pemuda itu kembali melayang turun, ruyungnya segera melakukan hantaman dari kiri ke kanan sehingga tak mungkin disambut oleh kaki pemuda itu lagi!
"Cringgg! Aduhhh...!"
Tampaklah bunga api berpijar dan Si Mata Juling terhuyung-huyung ke belakang dengan ujung ruyungnya yang sudah sapat, sedangkan pemuda itu sudah turun dengan wajah tersenyum dan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya berada pada tangan kanannya!
Entah kapan ia mencabut pedangnya, tahu-tahu ia sudah dapat mempergunakan itu, tidak hanya untuk menangkis saja, bahkan untuk membikin sapat senjata lawan dan sekaligus mendesak lawannya mundur terhuyung-huyung.
"Lepas senjata!” serunya dengan suara nyaring.
Tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan, pedangnya bergerak seperti kilat berputaran ke arah tangan Si Pemegang Ruyung dan... mau tak mau Si Mata juling harus melepaskan ruyungnya karena pedang lawan yang hebat itu sudah berputaran di sekitar pergelangan tangannya yang memegang gagang ruyung!
Pemuda itu melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya.
Dengan wajah pucat Si Mata Juling memandang, mulutnya berkata gagap, "Kau... kau… apanya Si Raja Pedang...?"
Pemuda itu hanya tersenyum tidak menjawab, sebaliknya menghadapi orang pertama dari Lan-thouw Si-houw, yaitu orang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh pendek gemuk berperut gendut dengan muka seperti kanak-kanak.
"Kau adalah orang pertama dari Lam-thian Si-houw. Nah, sesudah semua bawahanmu kalah, apakah kau pun ingin coba-coba?"
Si Gendut ini tersenyum lebar, matanya jelas membayangkan kekaguman.
"Hebat... hebat... aku orang kasar yang puluhan tahun berkelana di dunia kang-ouw, belum pernah bertemu dengan seorang muda seperti kau ini! Beranikah kau menyambut sebuah pukulanku?"
Pemuda itu memandang tajam, bibirnya tersenyum manis tetapi matanya bergerak-gerak penuh kecerdikan. "Mengapa tidak berani? Kau adalah seorang ahli lweekang, akan tetapi Thai-san-pai tidak pernah gentar terhadap ahli lweekang!”
"Bagus, kau boleh coba menyambut ini!"
Kakek gendut itu lalu memukul dengan tangan kiri terbuka jari-jarinya ke arah ulu hati Si Pemuda. Melihat ini, pemuda itu dengan berani sekali segera menyambut pukulan dengan tangan kanannya.
“Celaka!” Kun Hong yang melihat dari tempat persembunyiannya diam-diam berseru.
Kun Hong maklum bahwa Si Gendut itu mempunyai tenaga lweekang yang sangat lihai, bagaimana pemuda itu demikian bodoh menyambut? Tidak tahukah bahwa pemuda itu kena dipancing dan dijebak oleh Si Gemuk?
Terang bahwa Si Gemuk maklum akan kelihaian permainan pedang pemuda itu, maka ia sengaja mengajak adu tenaga lweekang dan sengaja pula menggunakan tangan kiri agar disambut tangan kanan pemuda itu. Kalau tangan kanan pemuda itu sudah tertempel di tangan kirinya, lalu datang lain serangan, tentu pemuda itu takkan dapat menggunakan pedangnya! Sekali lagi batu-batu kecil tergenggam erat tangan Kun Hong.
Begitu dua telapak tangan itu bertemu, tubuh keduanya tergetar. Akan tetapi bukan main kaget hati Si Gemuk ketika merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan kulit yang halus dan lunak seperti kapas, akan tetapi yang memiliki dasar kuat sekali sehingga tidak bergeming oleh daya dorongannya. Ia kini maklum bahwa pemuda lihai itu karena merasa kalah tenaga, telah mempergunakan tenaga lemas dan menyerah saja di ‘tempel’.
Inilah yang dia kehendaki. Sambil tersenyum tangan kanannya lalu mengeluarkan sehelai cambuk yang dililitkan pada pinggangnya, memutar-mutar cemeti itu di atas kepala lalu cemeti atau cambuk itu menyambar ke arah leher lawan! Akan tetapi tangan kiri pemuda itu bergerak cepat. Tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu tangan kiri itu telah memegang sebatang pedang yang digunakan untuk membabat cambuk.
Si Gemuk menarik kembali cambuknya dan mainkan cambuk itu dengan hebat sehingga cambuk bergulung-gulung di atas kepalanya seperti seekor ular hidup. Ia mengira bahwa dengan pedang di tangan kiri tentu Si Pemuda tidak akan dapat main dengan baik. Siapa kira gerakan pemuda itu dengan tangan kirinya sangat cekatan dan tangkas tidak kalah oleh gerakan tangan kanan. Ia tidak dapat menghindar lagi ketika pedang itu menyambar, terpaksa menangkis dengan cambuk dan...
"Bretttt…!" ujung cambuknya putus.
"Ayaaaa…!"
Si Gemuk mengerahkan tenaga mendorong sehingga perlahan kedua telapak tangan itu terlepas. Dia sendiri cepat-cepat menggulingkan tubuh di atas tanah untuk membebaskan diri dari tenaga lweekang yang membalik. Sedangkan pemuda itu dengan teriakan nyaring melompat dan berjumpalitan di udara.
Sama-sama mereka membebaskan diri dari serangan tenaga lweekang yang membalik. Namun tentu saja jauh lebih indah gerakan pemuda itu dengan berjungkir-balik beberapa kali di udara, membuat salto yang amat manisnya.
Si Gemuk bangun berdiri dengan pakaian kotor semua. Pemuda itu telah turun kembali, berdiri tegak dengan senyum dan pedang di tangan kiri. Jelas bahwa dalam pertandingan gebrakan pertama ini Si Gemuk kalah setingkat karena ujung cambuknya telah putus.
"Twako, buat apa memberi ampun kepadanya? Mari kita serbu bersama!" teriak Bi Houw Si Muka Tikus dengan marah sambil memegang kedua pedang di tangan kanan kiri, juga yang lain sudah mengambil senjata dan mengurung pemuda itu.
"Ha-ha-ha, sudah semenjak tadi kukatakan, lebih baik maju bersama, biar kalian merasai ketajaman pedangku!" kata pemuda itu dengan sikap menantang dan sama sekali tidak gentar.
Merah muka Si Gemuk. Sebagai pemimpin rombongan itu, dia merasa tepukul dan malu sekali. Masa mereka sembilan orang lelaki gagah yang namanya tidak asing lagi di dunia persilatan, kini hendak mengeroyok seorang pemuda yang masih setengah kanak-kanak? Akan tetapi, jika pemuda ini tidak dibinasakan, tidak saja usaha mereka akan gagal, juga nama mereka akan rusak, maka ia lalu melangkah maju dan membentak,
"Orang muda, biar pun kau berkepala tiga berlengan enam, menghadapi kami sembilan orang tentu kau tak dapat keluar dengan selamat!"
Pemuda itu sekali lagi tersenyum, pedangnya lalu bergerak-gerak indah sekali di depan dadanya. Gerakan yang amat aneh, akan tetapi indah bukan main seperti seorang penari ulung memperlihatkan keahliannya.
"Siapa takut kepada kalian? Kalau aku tidak sanggup merobohkan kalian sembilan tikus kecil, percuma saja aku mengaku datang dari Thai-san-pai!"
Kun Hong mengerutkan kening. Pertempuran ini harus dicegah, pikirnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, keadaannya benar-benar berbahaya. Walau pun seorang melawan seorang dia sudah menang, akan tetapi dikeroyok sembilan orang yang kesemuanya merupakan ahli-ahli silat pandai ini, bukanlah hal yang boleh dipandang ringan begitu saja.
Selain ini, bila dikeroyok kiranya pemuda itu takkan dapat mengalahkan tanpa membunuh seperti tadi dan tentulah akan terjadi pembunuhan besar-besaran. Ia harus turun tangan mencegah.
Setelah berpikir sejenak, pemuda ini lalu melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru keras, "Tahan dulu, jangan berkelahi!"
Semua orang menunda gerakan masing-masing dan menoleh heran. Terutama sekali dua orang saudara Kam yang tinggi besar dan pemuda pesolek itu, yang mengenal Kun Hong. Pemuda itu sendiri tampak kaget karena ia sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu dengan Kun Hong di tempat ini.
"Kau siapa? Mau apa?" Kang Houw bertanya dengan suara bentakan.
Kun Hong cepat mengerahkan tenaga batin seperti yang dia pelajari dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok, menatap wajah sembilan orang itu berganti-ganti, kemudian dengan suara aneh ia berkata, "Kalian ini sembilan orang benar-benar tak tahu diri. Kalian sudah kalah semua, tidak tahukah betapa lihainya saudara muda ini? Tidak melihatkah kalian bahwa dia benar-benar berkepala tiga dan berlengan enam? Lihatlah baik-baik dan akan lebih selamat kalau kalian lekas pergi saja sebelum mampus oleh manusia berkepala tiga berlengan enam ini!"
Hampir saja pemuda itu tertawa bergelak mendengar kata-kata yang dianggapnya lucu ini. Benar-benar keterlaluan Si Kutu Buku ini, pikirnya. Tapi mulutnya yang sudah tersenyum itu tiba-tiba terbuka, ternganga keheranan melihat orang-orang itu.
Muka sembilan orang itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak memandang kepadanya. Tubuh kedua saudara Kam menggigil dengan bibir yang membiru. Tiga saudara Hui-liong Sam-heng-te memandang dengan mata melotot, biji mata mereka seakan-akan hendak keluar dari ruangnya.
Si Muka Tikus gemetar seluruh tubuhnya sampai giginya mengeluarkan bunyi. Teng Houw berdiri bagai patung, memegang cambuk dan menggigit gagang cambuknya. Kakek juling itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk ‘mengatur’ matanya yang juling, seakan-akan tidak percaya akan pandangan matanya yang semakin menjuling.
Yang lucu adalah sikap Kang Houw Si Gendut. Ia menggosok-gosok kedua matanya, lalu menggaruk-garuk rambutnya, menggosok-gosok lagi matanya, akhirnya dia berteriak,
"Siluman...!"
"Iblis...!"
"Setan! Lebih baik pergi."
"Lari...!" teriak Kang Houw yang tak dapat menahan rasa takutnya lagi.
Berserabutan mereka lari. Ada yang masih mencoba untuk menengok, akan tetapi begitu menengok dia menjadi makin ketakutan sampai jatuh bangun ketika lari.
Pemuda itu berdiri bengong. Bulu tengkuknya meremang dan otomatis ia pun menengok ke belakangnya. Mana siluman atau iblis yang ditakuti mereka? Ia memandang ke sana ke mari, akhirnya memandang Kun Hong yang berdiri tersenyum-senyum saja.
"Kenapa... kenapa mereka itu...?" pemuda itu berkata dengan suara perlahan, masih belum lenyap keheranannya melihat peristiwa yang luar biasa anehnya itu.
"Kenapa lagi kalau tidak takut kepadamu, orang berkepala tiga berlengan enam?" jawab Kun Hong, nadanya mengejek.
Pemuda itu matanya berkilat, marah. "Jangan main-main kau!"
"Ehhh, siapa main-main? Bukankah mereka bilang kau berkepala tiga berlengan enam? Apakah tidak senang berkepala tiga berlengan enam?"
"Siapa sudi jadi tontonan orang?!"
"Kan bagus jadi tontonan orang, tinggal masuk pasar pukul tambur mengumpulkan uang."
"Ehh, kutu buku busuk! Jangan kau mempermainkan aku, ya?"
"Siapa yang mempermainkan? Aku sama sekali tidak ingin mempermainkan orang, apa lagi mengandalkan kepandaian. Ahh, aku tidak berkepandaian apa-apa."
Pemuda ini merasa dirinya disindir, tangannya diangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya kembali.
Kun Hong melangkah maju, mukanya merah sekali saking marahnya. Ia maklum apa arti gerakan tangan seperti seorang dewasa menggertak anak kecil yang hendak ditempeleng itu.
"Kau mau pukul lagi? Boleh, pukullah. Memang kau manusia sombong, manja dan selalu mengandalkan kepandaian, bisanya cuma pukul orang. Huh!"
Mata pemuda itu semakin membara. "Siapa sombong? Kau sendiri yang sombong, kutu buku! Orang macam kau ini berani memaki-maki Tan-pek-hu! Kau berlagak pintar, berani memberi nasihat kepada Tan-pek-hu. Sudah patut kalau kutampar. Aku tidak menyesal menamparmu dahulu itu."
Dada Kun Hong terasa panas seakan hendak meledak. "Kau memang anak jahat. Heran aku mengapa Thai-san-pai bisa mempunyai murid begini jahat."
Pemuda itu tiba-tiba membentak, "He, kenapa kau mengintai aku? Kenapa kau mengikuti aku?"
"Setan, siapa mengintai? Siapa yang mengikuti? Aku hendak ke Thai-san, apa urusannya dengan kau?"
Kun Hong diam-diam merasa heran sekali mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, ia tak dapat menguasai diri lagi dan menjadi pemarah. Dan ia tidak tahu pula kenapa ia marah-marah, mungkin sebal karena melihat sikap pemuda itu terhadapnya demikian sombong dan memandang rendah.
"Kau hendak ke Thai-san? Mau apa ke sana? Apakah mau mengacau seperti sembilan ekor tikus tadi?"
"Jangan kau menyangka yang bukan-bukan. Aku datang hendak mengunjungi Paman Tan Beng San, menyampaikan hormatku dan salam dari Ayah. Ketua Thai-san-pai merupakan sahabat yang amat baik dari Ayahku, seperti saudara saja, masa aku hendak mengacau, bagaimana caranya? Aku tidak becus apa-apa."
Pemuda itu tersenyum, agak berkurang marahnya. "Kau anak siapa, sih? Gampang saja mengaku-aku sahabat Ketua Thai-san-pai."
Mengkal bukan main hati Kun Hong. Bocah ini terlalu sekali, terlalu memandang rendah kepadanya. Ia segera menjawab, "Jelek-jelek aku ini adalah orang Hoa-san-pai."
Pemuda itu mendengus, "Siapa yang tidak tahu? Dua orang gadis itu keponakanmu, jika mereka anak Hoa-san-pai, kau pun tentulah orang Hoa-san-pai. Anehnya kau tidak belajar silat, malah belajar menjadi kutu buku dan menjadi sombong."
"Tidak sesombong engkau! Padahal kau hanya anak murid Thai-san-pai biasa saja, biar pun kepandaianmu tinggi. Hemmm, hendak kulihat nanti apa kata Paman Tan Beng San kalau mendengar tentang sepak terjang muridnya seperti kau ini!”
Pemuda itu nampak terkejut sekali, terbelalak memandang Kun Hong. "Hee! Apa kau mau mengadu kepada... Ketua Thai-san-pai tentang aku? Siapa sih kau berani berbuat begitu? Siapa ayahmu?"
"Ayah hanyalah Ketua Hoa-san-pai."
Pemuda itu kelihatan makin kaget. Ia tak menyembunyikan kekagetannya saat bertanya, "Apa? Kau... kau anak dari... Kwa Tin Siong Lo-enghiong, yang berjuluk Hoa-san It-kiam, ketua dari Hoa-san-pai?"
Kun Hong merasa dadanya mengembung. Mungkin kalau orang lain yang bersikap begini, dia akan merendahkan diri, lahir batin. Akan tetapi terhadap pemuda ini, benar-benar sikapnya membuat ia merasa bangga.
"Betul, Kwa Tin Siong adalah ayahku, karena itu aku hendak menjumpai Paman Tan Beng San di Thai-san."
Pemuda itu semakin panik. "Jadi kau... kau hendak mengadukan aku kepada... kepada… pamanmu itu?"
"Hemm, kau maksud gurumu? Bukankah kau ini anak murid Thai-san-pai dan kau menjadi murid Paman Tan Beng San?"
"Betul," suara pemuda itu sekarang terdengar perlahan dan lemah, mukanya menunduk. "Kau akan mengadu kepada Suhu tentang apa?"
"Tentang apa lagi? Tentang kesombonganmu, tentang sikapmu terhadap aku, tentang..." Tanpa terasa Kun Hong mengusap kedua pipinya, seakan-akan masih terasa gaplokan di pipinya.
Pemuda itu mengangkat muka memandang. "Ah, kau mau mengadukan bahwa aku telah menampar pipimu?"
"Hemmm, mungkin juga. Dan tentang kesombonganmu yang tidak mau membagi kamar, tentang sikapmu yang takabur. Tidak patut kau menjadi murid seorang pendekar perkasa seperti Paman Tan Beng San."
"Apakah kau pernah bertemu dengan dia?"
"Belum, akan tetapi kalau Paman mendengar bahwa aku anak Kwa Tin Siong, kiraku dia akan percaya."
Hening sejenak, pemuda itu duduk di atas rumput, tangannya mencabuti rumput, nampak bingung sehingga diam-diam Kun Hong tersenyum dengan puas. Rasakan kau sekarang anak manja. Kau ketakutan sekarang!
Pemuda itu kemudian mengangkat mukanya memandang Kun Hong, berkata perlahan dan dengan memohon, "Kuharap kau tidak akan menceritakan hal begini kepada Suhu!"
Kun Hong tersenyum mengejek. Kepalanya dikedikkan, bukan main girang hatinya akan kemenangan ini.
"Mengapa tidak? Orang seperti kau ini memang patut diberi hajaran, biarlah kulihat nanti betapa Paman Tan Beng San akan memaki, mungkin memukulmu. Ha-ha-ha!"
Kun Hong membereskan bungkusan, siap untuk melanjutkan perjalanan.
"Kakak yang baik..., jangan kau adukan aku..."
Makin girang hati Kun Hong. Ia mencibirkan bibirnya, membuang muka seperti orang tak peduli. Namun aneh sekali, dadanya berdebar saking girangnya. Huh, baru sekarang kau menyebutku kakak yang baik, pikirnya. Heran bukan main akan dirinya sendiri. Kenapa sekarang kebenciannya terhadap pemuda itu lenyap seperti awan tipis dihembus angin?
Akan tetapi mulutnya hanya mendengus, "Huhh...!"
"Kakak yang baik, aku... aku minta maaf kepadamu. Kalau kau suka, nih... kau boleh tampar pipiku sebagai pembalasan..."
Kun Hong menoleh dan melihat pemuda itu mengajukan mukanya, memberikan pipinya yang putih halus itu untuk ditampar. Kembali Kun Hong menjadi heran. Kalau tadinya ia ingin sekali menampar muka bocah ini, sekarang mendadak ia menjadi tidak tega dan penyesalan serta permohonan maaf bocah ini sudah lebih dari cukup, sudah menebus sakit hatinya, habislah yang sudah-sudah, tak teringat lagi.
"Aku bukan orang yang suka menampar muka orang!" Ia masih memaksa diri berkata ketus.
Pemuda itu memandang penuh pertanyaan. "Jadi... kau masih tetap hendak melaporkan aku...?"
"Hemmm..." Kun Hong pura-pura merasa ragu.
Akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.
"Twako (Kakak) yang baik, kau benar-benar sudi memaafkan aku? Tidak mendendam lagi?"
"Hemmm, aku bukanlah orang yang suka menaruh dendam dan tentang maaf, ehhh... sebetulnya, ehhh... tidak ada apa-apa yang harus dimaafkan."
Kun Hong memaki dirinya sendiri. Mengapa hati ini begini lemah? Hemm, keenakan benar bocah ini!
Pemuda itu dengan girang kemudian menyambar tangan Kun Hong, akan tetapi segera dilepaskannya kembali, bagaikan sikap seorang anak kecil yang kegirangan akan tetapi malu-malu.
"Ahh, Twako yang baik, terima kasih. Kau tentu takkan melaporkan aku kepada... Suhu, bukan?"
Mau tak mau Kun Hong tertawa juga, walau pun hanya tertawa ditahan. Sikap bocah ini mengingatkan ia akan sikap Li Eng. Hemm, setelah dilihat dari dekat, pemuda ini nampak benar-benar masih bocah. Heran sekali, kenapa sedemikian tinggi ilmu silatnya.
"Tidak, siapa hendak melapor? Aku bukan seorang yang panjang mulut."
"Aduh, terima kasih. Kau berjanji?"
"Janji!"
"Sumpah?"
Kun Hong cemberut. "Janji seorang laki-laki lebih berharga dari nyawa. Selama hidup aku tak pernah bersumpah!"
"Ahh, Twako, harap jangan marah. Aku percaya kepadamu!"
Tiba-tiba ia melompat ke atas dan kelihatan girang sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang amat tajam itu bersinar-sinar.
Kun Hong melongo. Bukan main tampannya anak ini, pikirnya. Tak mungkin orang bisa benci kepadanya. Akan tetapi kenapa sebelum ini dia amat benci, ya amat membencinya sehingga ingin dia memukulnya? Ia benar-benar tidak mengerti.
"Ehh, kau tadi bilang siapa namamu, Twako?"
"Aku tidak pernah bilang siapa namaku."
"Ahh, ya. Aku yang lupa. Siapa sih namamu, Twako? Kau tentu she Kwa, dan namamu siapa?"
"Hemm, kau lebih muda. Kau harus memperkenalkan lebih dulu."
Pemuda itu tertawa. Makin tampan wajahnya pada waktu tertawa. "Namaku Cui Bi. Nah, sekarang katakan, siapa namamu, Twako?"
"Namaku Kun Hong."
"Kwa Kun Hong. Hemm, kalau begitu kau kupanggil Hong-ko (Kakak Hong)."
Sejenak mereka diam. Nama pemuda itu sama sekali tidak menarik perhatian Kun Hong. Dia lebih tertarik oleh gerak-gerik pemuda yang lincah jenaka dan gembira ini.
"Hong-ko, kedua orang keponakanmu itu lenyap. Ke manakah mereka?"
"Siapa tahu mereka di mana? Yang menculik mereka adalah Song-bun-kwi, aku pernah mendengar sendiri waktu iblis itu mengaku di depan para pengawal istana. Karena itu aku hendak minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk menolong mereka."
Pemuda itu nampak terkejut sekali. "Song-bun-kwi...? Ah, sudah kuduga...! Celaka, dia itu lihai sekali... apakah kau betul-betul telah bertemu dengan Song-bun-kwi?"
"Siapa membohong padamu? Aku melihat sendiri Song-bun-kwi mengaku di depan para pengawal istana, di tempat kediaman Ngo-lian-kauw, kemudian Song-bun-kwi dikeroyok oleh para pengawal, dibantu oleh Toat-beng Yok-mo dan Ngo-lian Kauwcu. Song-bun-kwi lalu lari sambil menyeret aku, dan ia bertemu dengan iblis yang bernama Siauw-ong-kwi. Mereka kemudian bertempur dan aku lari lalu... bertemu dengan kau."
Cui Bi pemuda itu menggeleng-geleng kepala, nampak keheranan sekali.
"Aneh benar, Hong-ko. Kau putera Ketua Hoa-san-pai, tetapi tidak pandai silat. Kau tidak pandai silat, namun bertemu dengan tokoh-tokoh jahat seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, Ngo-lian Kauwcu dan lain-lain. Hebat!" Pemuda ini menggeleng-geleng kepala dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan bunyi berdecak tanda bahwa dia benar-benar keheranan.
Kun Hong tiada hentinya memandangi wajah pemuda ini, makin dipandang ia pun makin kagum. Pemuda ini benar-benar tampan dan lincah. Ahhh, alangkah cocoknya dengan Li Eng!
"Hong-ko, apakah selama ini kau melakukan perjalanan dengan dua orang keponakanmu itu? Siapa sih mereka itu? Siapa saja nama mereka? Aku ingin sekali berkenalan dengan mereka."
Kembali ada rasa tidak enak di hati Kun Hong. Teringat dia akan sikap pemuda ini yang agaknya mata keranjang! Hemm, perlu diperkenalkan supaya pemuda ini tahu anak siapa mereka itu sehingga tidak akan berani main-main.
"Yang seorang bernama Kui Li Eng, anak Paman Kui Lok dan Bibi Thio Bwee. Seorang lagi bernama Thio Hui Cu, anak Paman Thio Ki dan Bibi Lee Giok."
Wajah Cui Bi makin berseri, "Kau maksudkan Bibi Lee Giok? Bukankah itu bibi guruku, murid dari Sukong Cia Hui Gan?"
"Betul, karena itu kau tidak boleh main-main."
Cui Bi mengerling dan memainkan bibirnya, setengah tersenyum ketika berkata, agaknya sengaja memanaskan hati, "Hong-ko, apakah... apakah mereka itu... ehh, cantik jelita?"
Merah wajah Kun Hong dan kembali hatinya tak sedap rasanya. Ia memandang tajam dan membentak, "Kau tanya-tanya mau apa sih?"
Cui Bi tertawa. "Ahh, tanya saja apa salahnya? Hong-ko, engkau mengadakan perjalanan bertiga saja dengan mereka. Hemmm, senang sekali, ya?"
"Kau bilang apa?!" Kun Hong mendelik marah.
"Hisss, jangan marah, Twako. Aku hanya main-main. Kok engkau gampang sekali marah. Pemarah benar kau, ya?"
"Siapa suruh kau bercakap-cakap tidak karuan?"
"Twako, bukanlah menggirangkan hati kalau mendengar bahwa aku mempunyai saudara-saudara seperguruan? Mareka itu, apa lagi... Nona Hui Cu itu, terhitung masih saudara seperguruan denganku karena ia pun cucu murid dari kakek guruku, bukan? Nah, sudah sepatutnya kalau aku ingin mendengar tentang diri mereka. Katakanlah, apakah mereka itu cantik? Bagaimana kepandaian mereka?"
Diam-diam Kun Hong harus membenarkan kata-kata ini. Pula, bocah masih sebegini kecil, masih kekanak-kanakan, masa mempunyai pikiran yang bukan-bukan?
"Tunggu saja, kalau kau sudah bertemu dengan Li Eng. Hemmm, pasti kau takkan bisa bicara main-main. Kau akan kalah bicara dengan dia."
"Cantik benarkah dia?"
"Cantik, seperti bidadari, seperti... seperti bunga mawar hutan."
Cui Bi tertawa geli. "Aha, kiranya kau pria yang amat romantis, Twako. Pintar mengambil perumpamaan. Mengapa kau bilang dia seperti bunga mawar hutan?"
Merah wajah Kun Hong. Bocah ini benar-benar menggemaskan, kadang-kadang dia kalah bicara dengannya, selalu kena goda. Benar-benar harus bertemu dengan Li Eng, baru tahu rasa kau, pikirnya.
"Dia tidak hanya cantik, namun juga jenaka, gembira, lincah dan pandai bicara, sifat-sifat liar menarik yang ada pada bunga mawar hutan."
"Aih-aih... hebat sekali. Dan kepandaiannya?"
"Wah, jangan ditanya soal kepandaiannya. Ilmu silatnya hebat sekali. Dialah satu-satunya orang yang paling pandai tentang ilmu silat Hoa-san-pai pada saat ini."
Cui Bi melengak, suaranya tidak main-main lagi ketika dia bertanya, "Aneh sekali, Twako. Bukankah ayahmu yang terpandai?"
Kun Hong menggeleng kepala. "Bukan, yang terpandai adalah ayah bunda Li Eng itulah. Mereka telah bertemu dengan Sukong Lian Ti Tojin yang telah memiliki dan mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai yang asli dan mengangkat mereka sebagai murid. Li Eng mewarisinya dari ayah bundanya. Lihainya bukan main. Kau akan kalah segala-galanya dengan dia."
Aneh benar. Pemuda itu kelihatan penasaran.
"Hemm, hemm... ingin aku bertemu dengannya dan mencoba-coba!"
Pada saat ia menoleh dan bertemu pandang dengan Kun Hong yang memandang tajam penuh selidik, ia tersenyum lagi, lenyap wajah bersungguh-sungguh tadi dan ia bertanya, "Dan bagaimana dengan... Nona Hui Cu, saudara seperguruanku itu? Apakah dia juga cantik dan pandai? Seperti... bunga apakah dia?"
"Dia? Hemmm, dia seperti bunga seruni, alim pendiam, serius dan pandangannya jauh, pikirannya luas dan cerdik. Tentang ilmu silat, dia kalah oleh Li Eng, akan tetapi dia pun lihai karena selain menerima pelajaran ilmu silat Hoa-sai-pai, dia pun sudah mempelajari ilmu pedang dari ibunya."
"Heee, kalau begitu ilmu pedangnya tentu sama dengan ilmu pedang Subo (Ibu Guru). Wah-wah-wah, dan kau selama ini melakukan perjalanan dengan dua orang bidadari? Hemm, kau pamannya, tapi masih begini muda... agaknya kau dan mereka tidak banyak selisih usianya, bukan?"
"Hush, kau bicara apa? Aku bukan laki-laki seperti kau!"
"Betulkah?" Cui Bi mengerling dengan sikap menggoda dan tidak percaya.
"Sudahlah. Hatiku gelisah mengingat nasib mereka, kau hanya bicara main-main saja."
Agaknya pemuda itu baru ingat akan hal ini. "Ah, betul juga. Hayo kita cepat-cepat pergi ke Thai-san menjumpai Suhu. Kalau Suhu turun tangan, jangankan baru Song-bun-kwi, biar ada sepuluh Song-bun-kwi tak perlu takut lagi!"
Mereka lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Diam-diam Kun Hong mendapat kesan aneh akan diri pemuda di sampingnya ini. Sombong, sudah jelas. Ucapan terakhir tentang suhu-nya saja amat sombong. Binal, seperti kuda liar. Gembira dan jenaka, hampir sama dengan Li Eng. Kadang-kadang mendatangkan rasa suka, kadang-kadang menimbulkan kegemasan yang luar biasa.
Pemuda yang aneh, pikirnya. Akan tetapi Pamannya Tan Beng San itu, kabarnya adalah seorang Raja Pedang, seorang sakti. Seorang sakti tentu aneh dan tidak mengherankan kalau muridnya pun aneh. Hanya saja, masih begini muda...!
Mereka berhenti istirahat di sebuah hutan. Hari itu sangat terik. Sudah tiga hari mereka melakukan perjalanan dan selalu bermalam di hutan. Malam tadi tak dapat tidur karena banyak sekali nyamuk di hutan itu. Karena kurang tidur, hari ini baru berjalan setengah hari saja mereka sudah lelah dan beristirahat di situ.
Namun kegembiraan dan kejenakaan Cui Bi banyak menolong menggembirakan suasana. Pandai benar pemuda ini bicara, dan selalu ada saja yang dipercakapkan. Pandai pula dia memancing-mancing sehingga banyak Kun Hong bercerita tentang dirinya, walau pun ia berhasil menyembunyikan segala kepandaian silat yang pernah dipelajarinya.
Tentu saja Kun Hong tidak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa sedikit banyak dia mengerti ilmu silat. "Aku hanya mempelajari teorinya, tidak suka mempelajari prakteknya. Ayah tidak membolehkan," demikian katanya.
"Hong-ko, betul-betulkah kau sama sekali tidak bisa mainkan ilmu silat?" sambil duduk mengaso di bawah pohon yang teduh, pemuda itu bertanya.
Kun Hong hanya menggelengkan kepala, menguap dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, mencoba untuk tidur. Melihat kawannya ini lelah benar, Cui Bi tidak mau mengganggu lebih jauh lagi dan ia pun menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang berdekatan.
Angin semilir menggerakkan daun-daun pohon, menimbulkan suara yang berirama dan mendatangkan hawa yang nyaman, membuat kedua orang muda itu terkantuk-kantuk dan tidur ayam. Mendadak terdengar suara keras,
"Nah, inilah mereka!"
Kun Hong dan Cui Bi terkejut dan membuka mata. Tiba-tiba melayang sebuah benda di dekat kedua orang muda itu, terdengar ledakan keras dan asap tebal memenuhi tempat itu.
"Celaka, Hong-ko... awas...!" terdengar suara Cui Bi dan selanjutnya sunyi.
Kun Hong mencium bau yang amat harum menyengat hidung. Cepat ia menekan hawa murni dari pusar ke atas dan mendorong keluar asap yang sedikit memasuki dadanya, kemudian dengan pengerahan tenaga murni ini ia dapat menahan napas dan terhuyung-huyung menghampiri Cui Bi. Dilihatnya Cui Bi bergerak lemah, merangkak hendak pergi dari daerah berasap.
Melihat keadaan pemuda itu, Kun Hong cepat menangkap tangannya dan diseret, dibawa lari ke tempat bersih. Untung bahwa asap itu sebentar saja lenyap, terbawa angin yang bertiup agak kencang. Akan tetapi dengan lemas Cui Bi menjatuhkan tubuhnya di atas tanah ketika Kun Hong melepaskan tangannya.
Kun Hong tidak apa-apa, dan ia amat kuatir melihat keadaan Cui Bi yang agaknya jatuh pingsan itu. Ia berdiri dan menoleh ke belakang. Alangkah kagetnya ketika ia melihat tiga orang berdiri di situ.
Seorang adalah Kang Houw, orang tertua dari Lam-thian Si-houw yang gemuk pendek bermuka kanak-kanak. Orang kedua adalah seorang hwesio tinggi kurus berkepala gundul licin dan beralis tebal sampai hampir menutupi kedua matanya, dan orang ke tiga adalah... Toat-beng Yok-mo sendiri!
Kun Hong menjadi gelisah dan gugup. Jelas bahwa kedatangan tiga orang ini tidak akan mendatangkan kebaikan, buktinya datang-datang mereka lantas menyerang dengan obat peledak dengan racun memabukkan, sehingga Cui Bi yang boleh ia harapkan akan dapat melawan mereka ini sekarang pingsan dan tidak berdaya.
Tentu saja Kun Hong tidak tahu bahwa Cui Bi hanya sebentar saja nanar. llmu lweekang pemuda ini juga sudah tinggi sekali, maka sebentar saja ia bisa mendorong asap beracun itu dari tubuhnya, keluar dan ia sudah tidak apa-apa lagi. Hanya tadi karena keheranan melihat Kun Hong juga tidak apa-apa dan bahkan dapat menolongnya, timbul keinginan hati pemuda ini untuk mencoba Kun Hong yang berkali-kali menyatakan tidak mempunyai kepandaian.
Ia sengaja pura-pura pingsan sambil diam-diam siap sedia melindungi Kun Hong. Ingin ia melihat bagaimana Kun Hong akan menghadapi tiga orang lawan berat ini.....
"Susiok, (Paman Guru), inilah pemuda Thai-san-pai itu. Lebih baik kubinasakan saja agar jangan berkepanjangan!" Kata Si Muka Kanak-kanak kepada hwesio itu.
Tertegun hati Kun Hong mendengar bahwa hwesio itu masih paman guru Kang Houw. Murid keponakannya saja sudah sedemikian lihainya, apa lagi paman gurunya. Dan di situ masih ada Toat-beng Yok-mo yang dia ketahui bagaimana jahat wataknya. Akan tetapi melihat bahwa paman gurunya itu adalah seorang pendeta Buddha, timbul harapannya.
"Jangan main bunuh!" Kun Hong berseru sambil mengangkat tangannya ke atas. "Losuhu, katakanlah kepada murid keponakanmu itu bahwa membunuh dilarang dalam agama."
Akan tetapi hwesio itu tersenyum menyeringai memperiihatkan deretan gigi kuning, malah mengangguk ke arah Kang Houw. Si Gendut ini lalu meloloskan sabuk yang merupakan cambuk senjatanya, melompat ke arah Cui Bi.
"Hei, tidak boleh kau membunuh dia! Selama aku masih hidup dan berada di sini, kau tak boleh membunuh orang! Losuhu, kau ini seorang hwesio, bukankah membunuh orang itu bertentangan keras dengan pelajaran agamamu?"
Melihat dengan nekat Kun Hong menghadangnya, Kang Houw menjadi marah.
"Kau ini kutu busuk jembel, mau apa petentang-petenteng? Lebih baik kau kubunuh lebih dulu agar jangan banyak rewel!"
''Hemmm, Kang Houw, alangkah jahatnya kau! Apa kau kira aku takut kepadamu? Lihat baik-baik, aku Kwa Kun Hong berjanji tidak akan lari dan sanggup menerima pukulanmu seratus kali. Bagaimana? Kalau aku lari atau mampus sebelum kau pukul seratus kali, barulah kau boleh mengganggu temanku ini."
Diam-diam Cui Bi memaki pemuda yang dianggapnya tolol dan gila itu. Andai kata orang berkepandaian juga, mana mungkin bisa menahan pukulan seorang ahli lweekang sampai seratus kali? Bila saja tidak ingat bahwa pemuda itu berbuat demikian penuh keberanian dan pengorbanan untuk melindungi dirinya, tentu ia sudah meloncat bangun dan memaki kebodohannya.
Diam-diam pemuda ini mengintai dan siap untuk menolong apa bila Kun Hong terancam bahaya. Ia tidak segera turun tangan karena ingin benar melihat apa yang akan dilakukan Kun Hong selanjutnya sebagai akibat dari tantangan yang tak masuk akal terhadap Kang Houw yang lihai itu.
Orang she Kang itu tertawa bergelak sampai tubuhnya yang gendut itu bergerak-gerak semua. "Ha-ha-ha! Betulkah janjimu ini? Aku akan menggebukmu dengan cambukku ini seratus kali dan kau tak akan lari dan menerima begitu saja?"
"Siapa akan membohongimu? Kau boleh menggebuk terus menerus sampai seratus kali jangan berhenti."
"Bagus, kalau kau mampus, dagingmu akan hancur lebur, tidak usah ribut dikubur lagi. Jika sampai seratus kali kau benar-benar tidak apa-apa, biarlah aku Kang Houw mengaku kalah dan berlutut seratus kali kepadamu. Ha-haha!"
"Mulailah, dan hitung baik-baik!" kata Kun Hong.
Suaranya tiba-tiba berubah aneh seperti suara yang datang dari angkasa, bergema kuat membuat Toat-beng Yok-mo dan hwesio itu saling pandang dan nampak kaget. Bahkan Cui Bi juga terkejut sekali mendengar suara ini. Ia lalu teringat bahwa ketika pemuda itu mula-mula muncul di hutan tiga hari yang lalu, juga pernah bersuara seperti itu.
"Awas, lihat cambuk. Satuuu...!"
“Tarrr!” terdengar bunyi susulan keras sekali.
Cui Bi sudah siap melompat, akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Kun Hong betul-betul tidak bergeming dari tempatnya dan anehnya... cambuk itu bukan digebukkan kepada kepala Kun Hong, melainkan kepada sebuah batu besar di sebelah kiri pemuda itu.
"Duaa... tarrr!”
Kang Houw mencambuk lagi, kelihatannya penasaran dan marah sekali. Debu-debu batu beterbangan terkena hantaman cambuk yang digerakkan tenaga lweekang raksasa itu.
"Tigaaa... tarrr!"
Kang Houw mencambuk terus sambil menghitung, peluh membasahi jidatnya. Sedangkan Kun Hong enak-enak berdiri, bahkan dengan tenang ia meninggalkan tempat itu, berjalan menghampiri Toat-beng Yok-mo dan hwesio itu yang berdiri terlongo-longo menyaksikan peristiwa luar biasa ini.
Cui Bi lupa akan peranannya berpura-pura pingsan tadi. Dia bangun dan duduk bengong menyaksikan betapa Kang Houw menggebuki batu sambil menghitung terus!
"Yok-mo, kau juga mencari aku mau apakah?" Kun Hong bertanya tenang-tenang saja kepada Yok-mo.
Sejenak kakek ini bingung. Ia memandang kepada Kun Hong lalu menoleh kepada Kang Houw, sampai lama berganti-ganti ia memandang. Sesudah terbatuk-batuk kemudian dia berkata, "Orang muda yang aneh, aku datang hendak bertanya kepadamu, apakah kau telah membaca habis tiga buah kitabku yang kau kembalikan itu?"
"Tentu saja! Bukankah dulu kau sendiri yang memberi ijin padaku untuk membacanya?" jawab Kun Hong sewajarnya, karena memang ia tidak membohong.
"Hemm, kalau begitu kau harus mampus. Tak seorang pun boleh mempelajari ilmuku."
"Nanti dulu, Yok-mo. Mampus ya mampus, tetapi biarlah aku bicara dulu dengan Losuhu ini. Losuhu, kau sebagai paman dari Kang Houw, apakah kau juga bermaksud membunuh aku?"
Hwesio itu nampak bingung. Sudah beberapa kali pemuda ini menyindirnya mengenai pelajaran Agama Buddha. Memang pada waktu itu banyak juga penjahat yang mencukur rambut masuk menjadi hwesio agar terbebas dari pengejaran yang berwajib. Selain ini, dengan menjadi hwesio mereka lebih leluasa melakukan kejahatan sambil memperdalam ilmu silat yang banyak dimiliki para hwesio. Hwesio ini adalah seorang di antara mereka itu.
"Pinceng (aku) datang untuk menangkap pemuda Thai-san-pai itu, pinceng tiada urusan denganmu. Lebih baik kau lekas pergi dari sini, jangan mencampuri urusan pinceng."
"Hemm, enak saja kau bicara, Losuhu. Sebetulnya, walau pun kau berjubah hwesio dan kepalamu gundul, namun isi hatimu tiada bedanya dengan orang sebangsa Kang Houw. Sebetulnya aku tak sudi melayani orang palsu seperti engkau, juga aku tidak sudi untuk berurusan dengan Yok-mo yang wataknya plin-plan ini. Akan tetapi karena kalian sudah datang, yang seorang hendak membunuh aku, seorang lagi hendak membunuh temanku, padahal temanku itu lagi tak dapat melawan dan akulah yang melindunginya. Nah, kalian berdua majulah berbareng. Kalau maju seorang demi seorang, aku tidak sudi melayani, seorang saja kurang berharga bagiku. Hayo, majulah jika memang berani melawan aku!" Setelah berkata demikian, Kun Hong mencabut pedang Ang-hong-kiam dari balik bajunya.
Cui Bi diam-diam memperhatikan dan ingin sekali ia melihat apakah betul-betul Kun Hong seorang ahli pedang seperti yang dia sangka. Akan tetapi hampir saja dia terkekeh geli saat melihat cara Kun Hong memegang pedang, sama persis seperti seorang pemotong kambing memegang golok penyembelihan atau seperti seorang tukang mencacah bakso memegang goloknya.
Juga Yok-mo dan hwesio itu saling pandang dengan ragu-ragu. Gilakah pemuda ini?
"Hayo maju, boleh kalian merasakan ilmu pedangku! Lihat baik-baik, pedang pusaka ini akan membereskan kalian dengan mudah saja. Ha-ha-ha!"
"Bocah edan, apakah kau betul-betul sudah bosan hidup?" Hwesio itu membentak.
"Kun Hong, kau pernah menggendongku. Kalau kau suka minta ampun dan bersumpah tak akan mengingat lagi isi kitab-kitabku, biarlah kuampuni jiwamu dan hanya mengambil sepuluh buah jari tanganmu agar kau tidak melanggar janji," kata Toat-beng Yok-mo.
Bergidik Kun Hong. Benar-benar dua orang ini iblis-iblis yang tidak patut disebut manusia lagi. Ia menyimpan kembali pedangnya dengan hati-hati. Lalu ia menepuk kedua telapak tangannya.
"Hemm, kalau aku menggunakan pedang, tentu darah kalian tercecer dan akan menjadi sialan bagiku kalau sampai terkena darah kalian berdua. Aku hanya akan membagi-bagi tempelengan kepadamu, majulah dua ekor iblis tua!"
Toat-beng Yok-mo adalah tokoh besar yang jarang bandingannya, juga hwesio itu yang bernama Tok Kak Hwesio, merupakan tokoh besar yang sangat lihai ilmunya, apa lagi ilmunya Kauw-jiauw-kang (Cengkeraman Tangan Monyet) sukar sekali dilawan, biar oleh lawan bersenjata sekali pun. Sekarang bocah yang lagaknya seperti orang berotak miring ini menantang mereka berdua maju bersama. Alangkah gilanya. Penghinaan yang tiada taranya.
"Yok-mo, bukan kita akan mengeroyok, tapi marilah kita berlomba, siapa yang lebih dulu mematahkan batang leher bocah ini, dialah yang menang!"
"Heh-heh-heh, bagus, Tok Kak Hwesio, mari mulai!"
Dua orang kakek itu lalu menubruk ke depan, seperti orang-orang menubruk swike (Katak Hijau) saja. Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depan mereka. Keduanya bingung dan Kun Hong sudah tertawa di belakang mereka.
"He, aku di sini!"
Keduanya membalik dan secepat kilat menerjang maju, mempergunakan pukulan-pukulan yang mematikan.
Diam-diam Cui Bi menonton dengan mata terbelalak. Sekali lagi dia melihat Kun Hong terhuyung-huyung ke samping, kedua lengan berkembang, tubuhnya berputaran dengan pantat ditarik-tarik ke atas seperti lagak burung hendak terbang. Lucu sekali gerakannya, akan tetapi anehnya, sekali lagi serangan kedua orang tokoh besar itu mengenai angin!
"Hayo serang terus... serang terus, aku membalas, awas. Heeiiiitt, ayaaa... awas, kanan... kiri... muka... belakang...!"
Cui Bi sekarang bangun berdiri. Bukan hanya matanya yang terbuka lebar melotot, malah mulutnya yang kecil itu juga terbuka lebar-lebar. Ia berdiri seperti patung saking herannya. Ia melihat Kun Hong berjalan melenggang tenang dan enak sekali keluar dari kalangan pertempuran dan dua orang jago tua itu kini saling serang dengan hebatnya!
"Ehh, kau berdiri dengan mulut terbuka lebar seperti itu, bagaimana kalau ada lalat yang masuk?"
Buru-buru Cui Bi menutup mulutnya dan ia seperti baru sadar dari mimpi. Saking heran dan bingungnya, ia merasa bulu tengkuknya berdiri dan ia menurut saja ketika Kun Hong menarik tangannya dan mengajaknya lari dari tempat itu.
Sekali lagi ia menengok dan memandang tajam. Sungguh gila betul! Apakah dia sudah gila sehingga pandang matanya kacau? Ataukah mereka bertiga itu yang gila? Ia masih melihat Kang Houw menggebuki batu yang sudah setengah hancur sambil menghitung,
"Lima puluh empat... tarrr!"
Juga masih terlihat Yok-mo bersama hwesio itu terengah-engah dan mati-matian saling gebuk, saling jotos! Sekali lagi ia mengkirik, lalu tak menoleh lagi, menurut saja diseret oleh Kun Hong.
Hari telah mulai gelap ketika keduanya berhenti dan memasuki sebuah kuil kosong di luar sebuah kampung kecil. Dengan napas terengah-engah, aneh sekali, bukan karena lelah melainkan saking ngeri dan seramnya, Cui Bi menjatuhkan diri di atas lantai yang kasar dan kotor, memandang Kun Hong.
"Eh, kenapa kau memandangku begini rupa? Laote (Adik), kulihat kau tadi sudah berdiri. Kau tidak pingsan lagi, kenapa kau tidak segera mempergunakan kepandaianmu memberi hajaran kepada mereka?" tanya Kun Hong.
Diam-diam Kun Hong merasa tidak enak karena ilmu yang dia pergunakan itu membuat pemuda ini terheran-heran dan sekarang ia sibuk mencari alasan untuk menyembunyikan kepandaiannya.
"Hong-ko... apa yang kau lakukan tadi…? Mimpikah aku…? Bagaimana mereka itu bisa... bisa..."
"Bisa apa?"
"Bisa begitu... ahhh, ngeri aku melihatnya. Apakah tiba-tiba Kang Houw itu sudah menjadi gila, memukuli batu seperti itu? Dan kenapa pula Yok-mo malah bertempur sendiri dengan hwesio itu?"
"Ha-ha-ha-ha, apanya yang aneh? Laote, agaknya kau tadi pingsan, kau tidak mendengar jelas percakapan kami. Aku menantang dia supaya mencambuki batu seratus kali, kalau batu itu dapat dihabiskan aku mengaku kalah. Ada pun Yok-mo dan hwesio itu, mereka berkelahi karena berebutan untuk membunuh aku. Mereka tidak mau saling mengalah, hendak berlomba untuk membunuhku. Memang untungku, juga untungmu, bisa terlepas dari tangan orang-orang jahat itu."
Cui Bi memandang tajam, tentu saja dia tidak dapat mempercayai keterangan ini. Akan tetapi kalau tidak begitu, habis apa pula sebabnya terjadi peristiwa yang begitu aneh? Ia benar-benar tidak mengerti.
"Hong-ko, apakah benar-benar kau tidak pandai bersilat? Apakah kau bukannya tengah berpura-pura padahal kau telah mewarisi semua kepandaian ayahmu?"
Kun Hong tersenyum. "Laote, sudah kuceritakan bahwa Ayah tidak suka aku belajar silat, bagaimana aku bisa mewarisi kepandaiannya? Tentu saja aku juga tahu banyak tentang Hoa-san Kun-hoat karena aku telah membaca semua kitab-kitabnya."
Cui Bi benar-benar tidak mengerti bagaimana orang bisa membaca kitab pelajaran ilmu silat tanpa melatihnya. Apa gunanya? Ada pun pemuda ini... benar-benar mengherankan!
Dikatakan pandai silat, gerakan-gerakannya tadi ketika berhadapan dengan lawan begitu kaku dan kacau, jelas membayangkan bahwa dia memang tidak pandai bersilat. Akan tetapi, dikatakan tak pandai, mengapa sikapnya demikian tabah dan berani, malah dapat menyelamatkan diri dari ancaman tokoh-tokoh seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, dan yang lain-lain secara begitu aneh!
Malam hari itu mereka bermalam di dalam kuil kosong, memilih tempat yang agak bersih di sebelah belakang. Cui Bi mengeluarkan roti kering yang dibelinya di dalam dusun yang mereka lewati tadi, lalu membaginya dengan Kun Hong. Mereka makan roti kering dan minum air dari sumur yang berada di belakang kuil. Kemudian mereka merebahkan diri, Cui Bi di atas meja sembahyang yang sudah tidak ada isinya apa-apa lagi, Kun Hong menemukan bangku panjang dan berbaring di situ.
Malam itu tidak terjadi sesuatu yang penting. Namun pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang muda itu mendengar suara orang di depan kuil. Kun Hong dan Cui Bi saling pandang ketika mendengar suara seorang laki-laki, suara yang keras dan nyaring penuh nada mengejek,
"Heeei, semalam suntuk kau nekat berjalan terus, setelah pagi malah berhenti! Agaknya sudah tidak waras otakmu!"
Terdengar jawaban, nyaring, akan tetapi ketus, "Tutup mulut! Kau tawananku, ingatkah? Aku hendak berbuat apa yang kusuka, kau tak punya hak membuka mulut mencampuri urusanku, mengerti?"
Mendengar suara ini seketika Kun Hong berseri wajahnya. Ia hendak menyerbu keluar. Cui Bi yang melihat gerakannya, cepat-cepat menangkap lengan tangan Kun Hong dan menaruh telunjuk pada bibirnya, minta temannya itu supaya jangan berisik.
"Dia itu... dia itu Li Eng...," bisik Kun Hong dekat telinga Cui Bi, akan tetapi segera ia menjauhkan mukanya dan bergidik karena mencium bau harum dari sekitar telinga itu. Alangkah pesoleknya laki-laki ini, memakai minyak segala!
Cui Bi nampak terkejut, akan tetapi dia tetap memberi isyarat supaya temannya tidak membuat gaduh dan mereka akan mengintai dahulu. Berindap-indap mereka keluar dan mengintai ke ruangan depan.
Kun Hong menuruti kehendak temannya karena ia pun lalu ingat bahwa mungkin Li Eng datang bersama musuh-musuh tangguh, juga ia ingin tahu siapakah laki-laki yang bicara dengan Li Eng itu. Benar juga dugaan Kun Hong. Memang yang datang sepagi itu di kuil ini adalah Li Eng dan tawanannya.
Seperti telah kita ketahui, karena mempergunakan kesempatan selagi Kong Bu, pemuda yang menawannya itu berusaha menyedot keluar racun dari luka di kakinya, Li Eng lalu memukul roboh Kong Bu dan balas menawannya. Tentu saja Li Eng tak sudi memanggul tubuh Kong Bu yang sengaja membalasnya dengan sikap ketus dan melawan, sehingga terpaksa gadis ini yang sudah membelenggu kaki Kong Bu, lalu mengikatnya dengan akar dan menyeretnya sepanjang jalan!
Li Eng cukup cerdik untuk mengambil jalan yang sunyi melalui hutan-hutan dan gunung-gunung. Sewaktu-waktu kalau terpaksa melalui dusun-dusun, ia berhenti dan melanjutkan perjalanan pada waktu malam. Ia tidak mau dijadikan tontonan karena tentu saja mereka menjadi perhatian orang. Mana ada seorang gadis melakukan perjalanan sambil menyeret seorang laki-laki yang terbelenggu?
Demikianlah, pagi hari itu dia tiba di kuil tua. Semalam suntuk dia telah berjalan sambil menyeret tubuh Kong Bu, lelahnya dan ngantuknya bukan main, maka ia lalu berhenti dan mengambil keputusan untuk beristirahat dan tidur di kuil tua ini. Tentu saja ia sama sekali tidak penah menyangka bahwa pamannya berada di belakang kuil dan bahwa sekarang ‘Paman Hong’ itu sedang mengintainya.
Jalan masuk ke dalam kuil itu melalui anak tangga, lumayan juga tingginya, ada satu setengah meter.
"Hayo bangkit, kita masuk ke kuil! Tidak mau aku orang yang lewat di depan ini mellhat kita." Li Eng membentak sambil menarik-narik ujung tali akar yang kuat itu.
Kong Bu masih rebah telentang di atas tanah. Tubuh pemuda ini sudah tidak karuan lagi macamnya. Mukanya kotor penuh debu, rambutnya awut-awutan dan pakaian di bagian punggungnya sudah habis, robek-robek ketika tubuhnya terseret. Akan tetapi hebatnya, tiada sedikit pun kulit tubuhnya yang rusak biar pun gadis itu menyeretnya sepanjang hari.
Mendengar perintah Li Eng, Kong Bu tersenyum dan memandang dengan mata bersinar-sinar penuh ejekan, "Memang aku ingin sekali orang-orang melihat kita. Biarlah mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa liar dan buasnya gadis murid Hoa-san-pai. Ha, kau benar-benar hendak menyebarkan kebusukan Hoa-san-pai di depan umum. Seorang gadis menyeret-nyeret tawanannya seperti seekor binatang, hemm, di dunia ini mana ada keganasan melebihi ini? Huh, anak murid Hoa-san-pai, memang benar kata-kata Kakek. Anak murid Hoa-san-pai terutama yang perempuan, jahat seperti siluman."
"Tutup mulutmu!" Li Eng memekik marah. "Kau yang jahat, kau yang seperti iblis, kaulah yang palsu. Setelah menjadi tawananku, kau sengaja tidak mau menurut, tidak mau jalan mengikuti. Bila tidak menyeretmu, habis bagaimana aku bisa membawamu ke Thai-san? Dasar kau yang licik dan jahat."
"Itulah kalau dasarnya jahat. Ketika aku menawanmu, kau kugendong ke mana-mana, dan sekarang setelah kau berbalik menawan aku, kau seret-seret!"
"Cihhh, tak bermalu! Masa aku harus menggendongmu? Puuhhh! Hayo naik, masuk ke dalam kuil."
"Tidak sudi!" Kong Bu menjawab, tetap tersenyum mengejek, tersenyum lebar sehingga deretan giginya yang putih dan rata serta kuat itu tampak berkilat di atas dagunya yang membayangkan kekerasan hati yang luar biasa.
"Kepala batu!" seru Li Eng dan sekali ia membetot ujung tali akar itu, tubuh Kong Bu melayang melewati anak tangga, ke dalam kuil. Akan tetapi ketika tubuh itu turun ke atas lantai kuil, seperti sehelai daun kering saja, sama sekali tidak terbanting keras.
Diam-diam Cui Bi yang mengintai bersama Kun Hong, terkejut dan kagum sekali melihat ini. Cara gadis cantik jelita ini membetot tali dan membuat tubuh pemuda itu melayang ke dalam kuil, membuktikan kehebatan lweekang Si Gadis dan hanya seorang ahli silat tinggi saja yang dapat melakukan hal itu. Di lain pihak tubuh pemuda itu turun seperti sehelai daun kering, hal ini membuktikan pula kehebatan ginkang dari Si Pemuda. Jelas dalam pandang mata Cui Bi bahwa sepasang muda-mudi yang bermusuhan ini adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat!
Sementara itu, Kun Hong yang sejak tadi mengerutkan keningnya, tidak dapat menahan kemarahannya lagi melihat ‘keponakannya’ memperlakukan seorang tawanan seperti itu. Tanpa dapat dicegah lagi oleh Cui Bi, ia melompat keluar sambil berseru,
"Eng-ji, benar-benar kelakuanmu sekali ini tidak patut!"
Li Eng menengok kaget, wajahnya lalu berseri dan matanya bersinar-sinar. Tanpa terasa ia melepaskan ujung tali dan lari menubruk Kun Hong.
"Paman Hong...!” Gadis itu memegang kedua lengan Kun Hong, meloncat-loncat seperti anak kecil diberi permen. "Aduh, Paman Kun Hong... siapa mimpi bertemu dengan kau di sini?"
Kun Hong mengerutkan keningnya, menggeleng-geleng kepala dan berkata, suaranya tenang akan tetapi berpengaruh sekali.
"Li Eng, sebelum kita bicara lebih dulu kau harus lepaskan belenggu dia itu!"
Ia menuding ke arah Kong Bu yang memandang pertemuan itu dengan mata tajam, akan tetapi ia tidak mengerti siapa adanya pemuda yang pakaiannya seperti anak sekolah akan tetapi sudah butut, sikapnya lemah lembut dan dipanggil paman oleh Li Eng ini.
"Aih, mana bisa, Paman Hong! Dia ini adalah cucu dari iblis tua Song-bun-kwi yang telah menawan aku dan Enci Hui Cu. Enci Hui Cu dirampas pula oleh orang lain entah siapa, sedangkan aku oleh iblis tua Song-bun-kwi diserahkan kepada... iblis muda ini. Baiknya aku dapat... ehhh..."
"... menipu, berlaku curang dan membalas susu dengan air tuba," Kong Bu menyambung.
"Diam kau, setan alas!" Li Eng memaki.
"Li Eng, segala urusan dapat didamaikan, kesukaran dapat diatasi, pertikaian juga dapat dirundingkan. Tak patut kau memperlakukan seorang manusia seperti ini. Hayo, kau buka ikatan tangannya."
"Tetapi... tetapi dia berbahaya sekali, Paman Hong. Kalau dia terlepas, mungkin... aku... belum tentu dapat menguasainya. Dia lihai dan kejam sekali, seperti binatang buas..."
Sementara itu, Kun Hong memandangi wajah Kong Bu dengan penuh perhatian dan tajam sekali. Serasa dia mengenal wajah ini, akan tetapi entah di mana. Tidak mungkin wajah segagah dan setampan ini dihuni watak yang rendah.
"Kau lepaskan, aku yang tanggung."
Li Eng adalah seorang gadis yang manja dan selalu ingin menang sendiri. Akan tetapi sejak bertemu dengan Kun Hong, ia menjadi penurut dan lenyaplah segala kekerasannya. Baginya serasa tak mungkin ia membantah perintah pamannya yang muda ini.
Setelah menarik napas berulang-ulang, dia melangkah maju, mencabut pedangnya dan sekali tebas dia hendak memutuskan belenggu pada kedua tangan Kong Bu. Akan tetapi tiba-tiba dia melompat ke belakang tidak melanjutkan babatannya, matanya memandang dengan terbelalak dan wajahnya berubah.
Kiranya Kong Bu sambil tertawa sudah memberontak, menggerakkan kedua tangannya dan... belenggu akar pohon itu seketika putus-putus! Dengan gerakan ringan sekali Kong Bu meloncat bangun, berdiri dengan baju bagian belakang hancur sehingga punggungnya yang kuat itu tampak nyata berlumur debu. Pemuda ini dengan berdiri tegak memandang kepada Li Eng dengan mata memancarkan sinar penuh ejekan.
Gadis itu merah seluruh mukanya, hatinya mengkal bukan main. Kiranya pemuda itu kalau mau, dalam perjalanan mereka itu mampu melepaskan belenggunya. Kiranya, pemuda itu membiarkan dirinya ditawan, hanya untuk menggodanya.
"Setan kau!" desisnya dan pedangnya berkelebat hendak menyerang.
"Eng-ji, jangan…!" bentak Kun Hong dan... dengan lemas gadis itu menurunkan kembali pedangnya.
"Dia... dia musuh kita, Paman Hong. Dia menghina Hoa-san-pai, hendak kuseret dia ke depan Sukong (Kakek Guru) agar dihukum!"
Kun Hong bukanlah seorang bodoh. Biar pun ia kelihatan tak suka menonjolkan diri, akan tetapi sesungguhnya dia seorang yang cerdas dan cerdik. Dia pun dapat menduga bahwa pemuda yang gagah di depannya itu tertawan oleh Li Eng hanya pura-pura menyerah saja. Ginkang yang didemonstrasikan tadi, juga tenaga memutuskan tali yang terbuat dari akar yang amat kuat, cukup membuat ia dapat menduga bahwa kepandaian pemuda ini tidak di bawah tingkat Li Eng.
"Sahabat, harap kau maafkan jika keponakanku ini melakukan kekerasan terhadap dirimu. Aku percaya kau cukup jantan untuk menyudahi perselisihan dengan seorang gadis, yaitu keponakanku ini. Kau boleh meninggalkan kami tetapi kuharap kau suka memberi tahu mengapa kakekmu Song-bun-kwi menawan dua orang keponakanku dan ke mana pula perginya keponakanku yang seorang lagi."
Kalau tadi perhatian Kong Bu hanya tertuju kepada Li Eng untuk menggodanya, sekarang ia memandang kepada pemuda yang mengaku paman dari Li Eng ini. Dan ia tertegun.
Mata itu. Terang bukanlah mata biasa, begitu tajam menusuk jantung, penuh wibawa dan kekuasaan. Dan kata-kata yang halus itu! Diam-diam dia kagum, akan tetapi mendengar pertanyaan terakhir ini, ia tertawa!
"Sahabat, memang beralasan kalau kakekku membenci semua anak murid Hoa-san-pai. Ibuku mati karena anak murid perempuan Hoa-san-pai. Kakek menawan dua orang murid Hoa-san-pai, yang seorang sudah dirampas oleh orang lain, entah siapa, dan seorang lagi diserahkan kepadaku. Aku tawan keponakanmu ini, aku malah telah melemparnya kepada anjing-anjing hutan untuk dimakan. Akan tetapi aku menolongnya dan sepanjang jalan aku memanggulnya. Kemudian aku tertipu dan tertawan olehnya. Dia lalu menyeret-nyeret aku sepanjang jalan. Balas membalas sudah punah, sudah lunas untuk sementara ini. Tidak ada yang harus dimaafkan dan memaafkan. Kita sudah seri. Aku tidak mau menyalahkan siapa-siapa, tetapi juga tidak mau disalahkan."
Kun Hong mengerutkan kening. Begitu melihat dan mendengar omongan pemuda ini, ia dapat meraba isi hati orang, dapat menaksirkan watak orang. Pemuda ini berjiwa gagah, jujur dan sama sekali tidak jahat. Hanya keras hati dan aneh. Ia menggeleng kepala.
"Apakah yang menyebabkan kematian ibumu itu seorang di antara kedua keponakanku ini?" tanyanya menegur.
"Bukan! Akan tetapi mereka pun anak murid perempuan Hoa-san-pai."
"Hemmm, kau teracun oleh nafsu dendam kakekmu, sahabat. Salah seorang anak murid Hoa-san-pai membuatmu penasaran, apakah oleh karena itu kau harus memusuhi semua orang Hoa-san-pai? Bila begitu pendirianmu, apakah kalau ada seorang petani menyakiti hatimu, kau lalu memusuhi seluruh petani di permukaan bumi ini? Lagi, kalau kau disakiti hatimu oleh seorang manusia, apakah kau pun akan memusuhi seluruh manusia di jagat ini?"
"Ngaco!" Kong Bu membentak. "Itu lain lagi!"
"Bukan ngaco, apa bedanya? Kalau ada anak murid Hoa-san-pai yang bersalah, belum tentu semua anak murid Hoa-san-pai juga bersalah, sama halnya bila ada seorang petani bersalah, belum tentu seluruh petani harus bersalah, atau kalau ada seorang manusia bersalah, tidak semestinya kita menyalahkan seluruh umat manusia. Apa lagi kalau diingat bahwa menyalahkan orang lain sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan, setiap orang pun bisa melakukannya. Cobalah tengok diri sendiri dan mencari kesalahan sendiri, kalau bisa berbuat begitu barulah terhitung seorang gagah sejati."
Kong Bu termenung, memandang aneh, lalu menggaruk-garuk kepalanya. Dia kemudian membalikkan tubuh dan berkata, "Sudahlah, aku pergi!" Sambil mengerling ke arah Li Eng ia berkata, "Sampai berjumpa lagi."
"Apa?!" Li Eng menyerang ketus. "Sekali lagi berjumpa, kalau tidak ada Paman Hong aku ingin bertempur seribu jurus denganmu sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!"
Kong Bu tertawa mengejek, "Bagus, boleh sekali. Akan kunanti saat itu."
Kemudian ia meloncat jauh dan berlari cepat, sebentar saja lenyap di sebuah tikungan jalan.
Kun Hong menarik napas panjang, berbalik memandang Li Eng yang masih merah kedua pipinya. "Kenapa kau begitu membencinya, Li Eng?"
"Aku benci padanya! Benci... benci setengah mati! Dia kurang ajar sekali, Paman. Masa dia bilang semua murid Hoa-san-pai adalah orang jahat dan hina. Dia tidak memandang sebelah mata kepadaku!" Suara gadis ini makin parau seakan-akan ia hendak menangis, saking gemas dan mendongkolnya.
Kun Hong tersenyum. "Benci atau cinta itu sama saja..."
"Hisss! Kau bilang apa, Paman...?" Li Eng berseru sambil memandang dengan kedua matanya terbelalak.
Indah sekali sepasang mata itu dan Kun Hong harus mengakui dalam hatinya bahwa yang paling indah di antara seluruh anggota tubuh keponakannya ini adalah matanya yang seperti bintang itulah. Ia kagum sejenak, lalu menyambung sambil tersenyum,
"Baik cinta mau pun benci hanyalah merupakan pencetusan perasaan yang dipengaruhi oleh keadaan, berdasarkan sifat keakuan (egoisme) yang sudah menjadi watak dasar dari setiap manusia. Siapa yang menguntungkan dan menyenangkan akan diupah rasa cinta, sebaliknya siapa yang merugikan dan tidak menyenangkan diupah rasa benci. Karena itu, kalau hari ini kita membenci seseorang, bukan tak mungkin esok hari kita mencintanya."
"Apa...?" Merah sekali kedua pipi Li Eng, menambah kecantikannya. "Kau mau bilang aku akan mencinta... dia...?"
Kun Hong mengangkat tangan seperti hendak menangkis tamparan. Andai kata ia bukan paman Li Eng, agaknya gadis ini akan menamparnya.
"Bukan kau... bukan kau... aku hanya bicara menurutkan renungan, semua orang bisa saja mengalami hal ini dan... heee, mana dia?"
"Dia siapa?" Li Eng menengok ke kanan kiri belakang.
"Dia tadi berada di dalam kuil bersamaku. Heee, Bi-te (Adik Bi)... keluarlah!" Kun Hong memanggil-manggil, malah segera masuk ke dalam mencari-cari.
Namun orang yang dicarinya, Cui Bi, tidak nampak mata hidungnya lagi. Dan di belakang pintu, pada sebuah tiang kayu yang keras di mana mereka berdua tadi bersembunyi dan mengintai, terdapat tuiisan, ditulis dengan tekanan jari tangan pada kayu yang keras itu.
‘Hong-ko, aku pergi dulu, sampai jumpa pula’.
"Siapakah dia itu, Paman Hong?" tanya Li Eng tertarik setelah ia ikut membaca tulisan ini. "Hebat juga lweekang-nya!"
Kun Hong menarik napas panjang lalu tersenyum, sinar matanya berseri karena ia teringat akan persamaan watak antara Li Eng dan pemuda itu.
"Dia anak murid Thai-san-pai, ilmu silatnya lihai. Ahh, sayang dia pergi. Aku tidak tahu kenapa dia buru-buru pergi, aku ingin sekali mengenalkan dia kepadamu Eng-ji. Biarlah, kelak kita pasti akan bertemu juga dengan dia. Sekarang lebih baik kita lekas-lekas pergi ke Thai-san, banyak hal kita jumpai di jalan yang ada hubungannya dengan Thai-san-pai, agar supaya kita dapat memberi tahu kepada Paman Tan Beng San dan di sana dapat bersiap-siap menghadapi maksud orang-orang jahat."
"Baiklah, Paman Hong. Sayang, kalau aku ingat kepada Cici Hui Cu..." Li Eng nampak gelisah dan berduka.
"Jangan kuatir. Orang yang tidak melakukan kejahatan pasti akan dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Adil. Semoga saja kita akan dapat bertemu dengan Hui Cu dan aku seperti mendapat firasat bahwa kita akan berjumpa dengan dia di Thai-san juga."
Berangkatlah kedua orang muda itu dan aneh sekali, baik Li Eng mau pun Kun Hong melakukan perjalanan dengan wajah muram. Mereka itu seperti hendak memberi kesan kepada masing-masing bahwa mereka murung memikirkan Hui Cu, padahal keduanya merasai sesuatu yang kosong di dalam dada, yang diam-diam hendak mereka bantah sendiri bahwa hal itu bukan dikarenakan perpisahan mereka dengan orang-orang yang mereka ‘benci’ dan yang membikin mengkal hati mereka selama ini…..
********************
Selanjutnya baca
RAJAWALI EMAS : JILID-13