Rajawali Emas Jilid 07
‘Kakek Waktu’ mempunyai kekuasaan yang amat mengherankan dan tidak dapat dilawan oleh siapa dan apa pun juga. Segala yang berada di dalam dunia ini ditelan oleh waktu, tanpa pengecualian, mempergunakan daya keampuhannya yang berupa usia tua. Benda paling keras macam besi pun akhirnya menyerah kepada waktu, diganyang hancur oleh usia tua. Manusia yang paling pandai, yang paling gagah perkasa dengan kedudukan tertinggi, kekuasaan terbesar, akhirnya akan menyerah kepada ‘Kakek Waktu’. Semua akan musnah sedangkan waktu akan berjalan terus, menelan segala apa yang berada di hadapannya.
Yang sudah lampau hanya merupakan kenangan sepintas lalu saja, seakan-akan masa puluhan tahun hanya terjadi dalam sekejap mata. Sebaliknya, semua yang akan datang merupakan dugaan dan teka-teki yang takkan diketahui oleh seorang pun manusia. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang dapat menguasai ‘Kakek Waktu’, karena Tuhanlah sang pengatur dan pengisi waktu dengan segala macam peristiwa di dunia seperti yang dikehendaki-Nya.
Waktu memang amat aneh. Kalau diperhatikan dan diikuti jalannya, amatlah lambat ia merayap, lebih lambat dari pada jalannya siput. Akan tetapi kalau tidak diperhatikan, amat cepatlah ia melewat, lebih cepat dari pada terbangnya pesawat jet atau roket sekali pun.
Demikian pula dengan keadaan waktu di dalam cerita ini. Tanpa kita sadari lagi, tahu-tahu kita sudah dibawa oleh waktu terbang cepat tujuh belas tahun lamanya semenjak Kwa Tin Siong datang kembali ke Hoa-san-pai dan menjadi Ketua Hoa-san-pai sebagai pengganti gurunya, Lian Bu Tojin yang telah tewas oleh Kwa Hong dan Koai Atong. Tujuh belas tahun telah lewat bagaikan dalam sekejap mata saja!
Selama itu, tidak terjadi hal-hal penting. Memang harus diakui bahwa setelah Kaisar yang baru berhasil menghalau dan membasmi semua bekas teman seperjuangan yang hendak memberontak, keadaan pada umumnya menjadi aman tenteram.
Di Puncak Hoa-san-pai juga terlihat aman dan damai semenjak terjadi keributan belasan tahun yang lalu akibat sepak terjang Kwa Hong. Sekarang banyak kelihatan para tosu Hoa-san-pai bekerja di sawah ladang, memikuli kaleng-kaleng air dari sumber. Bahkan dengan gembira mereka selalu terlihat berlatih ilmu silat Hoa-san-pai di halaman belakang kuil Hoa-san-pai yang besar itu.
Berbeda dengan belasan tahun yang lalu ketika Hoa-san-pai masih diketuai oleh Lian Bu Tojin, kini Hoa-san-pai tak lagi memiliki murid-murid muda yang bukan tojin. Orang-orang kelihatan berlatih ilmu silat di situ semua adalah tosu-tosu Hoa-san-pai belaka.
Para tosu amatlah maju kalau dibandingkan dengan dahulu. Dulu para tosu Hoa-san-pai kurang memperhatikan pelajaran ilmu silat yang agaknya diborong oleh murid-murid yang bukan tosu. Akan tetapi sekarang para tosu itu lekas kelihatan amat maju dalam pelajaran ini. Ilmu silat yang mereka mainkan amat baik dan gerakan mereka menunjukkan latihan matang.
Tujuh belas tahun bukanlah waktu singkat untuk mematangkan ilmu silat bagi para murid Hoa-san-pai yang tadinya memang sudah mempunyai kepandaian dasar. Apa lagi yang melatih mereka adalah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, sepasang suami isteri yang sudah mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai, terutama sekali ilmu pedangnya.
Juga Thio Ki yang sekarang telah menjadi tosu itu amat maju. Kini dia merupakan murid kepala dan sering kali mewakili Ketua Hoa-san-pai untuk melatih para tosu di pelataran belakang kuil.
Thio Ki yang sudah menjadi tosu mempunyai nama pendeta Thian Beng Tosu dan ia merupakan tosu yang amat tekun mempelajari ilmu kebatinan untuk menghibur hatinya yang tertekan hebat. Patut dikasihani nasib Thio Ki. Kalau ia terkenang kepada isterinya, Lee Giok yang menurut anggapannya sudah terbunuh oleh Kwa Hong, hatinya menjadi sangat perih. Hanya dengan membaca kitab-kitab Agama To yang membuat kedukaannya dapat terhibur.
Berbeda dengan Thio Ki yang sudah menjadi tosu, Kwa Tin Siong tidak masuk menjadi tosu. Hal ini adalah karena ia mempunyai isteri, maka biar pun ia sudah menjadi Ketua Hoa-san-pai, namun ia tetap menjadi ‘orang biasa’ dan bukan pendeta. Oleh karena itu pula, sebagai ketua umum Hoa-san-pai, ia lalu mengangkat Thian Beng Tosu (Thio Ki) menjadi ketua bagian Agama To, dibantu oleh beberapa orang tosu tua yang menjadi ahli dalam keagamaan ini.
Kwa Tin Siong sendiri hidup rukun damai dengan isterinya dan puteranya. Pekerjaannya sehari-hari selain memimpin para tosu Hoa-san-pai dalam ilmu silat, juga sering kali tampak ketua ini bekerja di sawah ladang bersama para tosu lainnya.
Seperti juga halnya dengan keadaan apa saja di jagat ini, bahwa segala sesuatu takkan kekal adanya, tak akan ada hujan atau terang tiada akhir, tak akan pula ada kedukaan atau kesenangan tiada akhir. Selama Kwa Tin Siong menjadi Ketua Hoa-san-pai, keadaan di puncak bukit itu memang tampak aman tenteram, penuh damai yang menyamankan hati.
Pada suatu hari yang amat sejuk hawa udaranya, amat nyaman cahaya matahari pagi menembusi halimun gunung, tanpa disangka-sangka datanglah hal-hal yang mengganggu ketenteraman Hoa-san-pai. Gangguan itu mula-mula terjadi pada malam hari tanpa ada seorang pun anggota Hoa-san-pai yang tahu.
Ketika pagi-pagi hari para tosu mulai dengan pekerjaan mereka sehari-hari, tiba-tiba saja seorang tosu berseru heran sambil menuding ke arah atas kuil. Seperti biasa, di puncak kuil itu berkibar bendera Hoa-san-pai yang berdasar kuning dengan tuiisan biru, tanda dari perkumpulan Hoa-san-pai.
Akan tetapi sekarang bendera itu agak turun dan di puncak tiang bendera berkibar sebuah bendera kecil yang asing. Akan tetapi dari bawah jelas terlihat bahwa bendera itu adalah sebuah bendera berdasar warna merah dengan sulaman macan hitam. Menaruh bendera di atas bendera Hoa-san-pai hanya mempunyai satu arti, yaitu orang hendak menghina dan merendahkan Hoa-san-pai.
Ribut-ribut di luar kuil ini menarik hati Thian Beng Tosu yang segera berlari keluar. Melihat bendera kecil itu, wajahnya segera berubah merah dan dia mengepal tinjunya menahan marah.
Tidak lama kemudian Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa juga berlari keluar diikuti oleh seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang berwajah tampan dan bersikap halus. Dia ini bukan lain adalah Kwa Kun Hong. Mereka diberi laporan oleh seorang tosu tentang peristiwa itu, maka tergesa-gesa keluar untuk rnenyaksikan.
Kwa Tin Siong sendiri, juga isterinya, tidak mengenal bendera merah dengan gambar harimau hitam itu. Akan tetapi ketika Kwa Tin Siong melihat sikap Thian Beng Tosu (Thio Ki) yang nampak marah, ia segera bertanya,
"Apakah kau mengenal bendera itu? Apa artinya ini?"
Thian Beng Tosu segera menjawab pertanyaan supek-nya. "Teecu mengenal baik. Tak nyana sama sekali bahwa kumpulan bangsat itu berani mengejar teecu (murid) ke sini, malah berani menghina Hoa-san-pai!" Ia menarik napas panjang. "Hemmm, tentu mereka telah mempunyai pimpinan orang pandai sehingga pada malam hari tanpa kita ketahui sama sekali dapat memasangkan bendera itu."
Liem Sian Hwa adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang semenjak dulu berwatak keras dan gagah. Kedua telinganya sudah merah ketika ia menyaksikan penghinaan bendera itu. Sekarang mendengar kata-kata murid keponakannya ia menjadi makin panas hatinya. "Huh, memasang bendera begitu saja apa sih hebatnya?"
Baru saja ia berkata demikian, tubuhnya sudah melesat ke atas dengan gerakan ringan sekali dan tahu-tahu ia sudah meloncat tinggi di puncak tiang bendera! Tangan kirinya bergerak menyambar tiang bendera sehingga tubuhnya berjungkir-balik dengan lurus, lalu tangan kanannya membetot bendera kecil itu hingga lepas dari tiang. Kemudian, dengan sebelah tangan pula ia menaikkan bendera Hoa-san-pai di puncak tiang seperti semula.
Setelah semua ini ia lakukan dengan berjungkir balik dan dengan tangan kiri menahan tubuh di puncak tiang itu, ia menekan tiang dan tubuhnya melayang turun lagi. Ia hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara dan mukanya sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah mempergunakan banyak tenaga.
Para tosu berseru kagum dan memuji Sang Nyonya Ketua yang memang patut dipuji. Tak percuma Liem Sian Hwa mendapat julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang), karena memang ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya telah mencapai tingkat tinggi sekali.
Kun Hong bersorak memuji, "Hebat...! Ibu seperti burung saja, ah... bukan main indahnya gerakan Hui-liong Cai-thian (Naga Terbang ke Langit) tadi!"
Seketika wajah Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong berubah terheran-heran. Mereka saling pandang, kemudian keduanya memandang kepada putera mereka dengan mata penuh selidik dan penuh pertanyaan.
Tentu saja mereka amat terheran-heran karena bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa gerakan tadi adalah gerakan Hui-liong Cai-thian? Padahal di antara para tosu, kiranya hanya Thian Beng Tosu seorang yang tahu akan ilmu meloncat Hoa-san-pai yang sukar ini, sedangkan Kun Hong sama sekali tidak pernah belajar silat semenjak kecilnya.
Hampir saja Kwa Tin Siong mengajukan pertanyaan, akan tetapi perhatian mereka tertarik oleh seruan Thian Beng Tosu, "Ahh, surat apakah yang tertempel di bendera itu?"
Semua orang melihat. Benar saja. Pada bendera kecil itu ada sehelai surat yang ditempel dengan tusukan jarum. Liem Sian Hwa lalu menyerahkan bendera berikut surat kepada suaminya yang segera mengambil surat itu dan membacanya. Keningnya berkerut setelah membaca, dan berkatalah Ketua Hoa-sanpai ini kepada semua tosu yang mengerumuni tempat itu.
"Gerombolan penjahat bermaksud buruk terhadap kita. Mulai saat ini kalian semua boleh terus bekerja seperti biasa, akan tetapi jangan berpisahan, harus berkelompok sedikitnya lima orang. Kalau ada orang asing naik ke gunung, jangan sembrono dan jangan mencari perkara. Langsung laporkan kepada kami."
Sambil berbisik-bisik dengan hati tegang para tosu itu ialu melanjutkan pekerjaan mereka. Kwa Tin Siong seanak isteri lalu masuk ke dalam mengajak Thian Beng Tosu.
"Ki-ji (Anak Ki)," kata Kwa Tin Siong. Memang sudah biasa ia memanggil Thio Ki dengan sebutan anak Ki, maka sampai Thio Ki menjadi tosu pun masih disebut demikian. "Apakah kau mengenal penulis surat ini?" Ia menyerahkan surat kecil itu kepada Thian Beng Tosu yang segera membacanya.
Apa bila dalam waktu dua belas jam Thio Ki tidak turun untuk mengantarkan nyawanya ke Im-kan-kok, terpaksa kami tidak melihat muka Ketua Hoa-san-pai lagi dan akan menyerbu Hoa-san-pai untuk mengambil nyawa Thio Ki.
Surat itu ditandai gambar harimau hitam dan tulisannya kasar lagi buruk, bukan tulisan seorang ahli. Membaca ini, seketika wajah Thio Ki atau sekarang bernama Thian Beng Tosu ini menjadi pucat, giginya beradu dan tangannya mengepal, surat itu diremasnya.
"Keparat betul Bhe Lam Si Macan Hitam itu!" katanya.
Thio Ki atau Thian Beng Tosu lalu bercerita. Dahulu sebelum ia menjadi tosu Hoa-san-pai dan masih menjadi seorang piauwsu (pengawal barang) di Sin-yang, pernah pada suatu hari barang kawalannya dirampok oleh segerombolan perampok yang dipimpin Hek-houw Bhe Lam. Seorang pembantunya tewas dan barang kawalan itu dirampas.
Thio Beng Tosu atau dahulu masih bernama Thio Ki bersama isterinya, Lee Giok, lalu mendatangi sarang perampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya mereka dapat mengalahkan Bhe Lam dan merampas kembali barang kawalannya. Bhe Lam berhasil melarikan diri setelah menderita luka berat.
"Demikianlah, Supek. Agaknya Bhe Lam itu tidak melupakan urusan lama dan biar pun teecu sudah menjadi tosu di sini, dia masih terus mencari teecu dan hendak membalas dendam. Perkenankan teecu pergi untuk menemuinya dan sekali ini teecu tidak akan tanggung-tanggung membasminya agar ia tidak mengacau ketenteraman dunia." Setelah berkata demikiah Thian Beng Tosu lalu bergerak hendak pergi mencari musuh besarnya.
Kwa Tin Siong menggerakkan tangan mencegah.
"Nanti dulu, jangan kau terlalu sembrono dan tergesa-gesa. Kalau dahulu dia pernah kau kalahkan dan sekarang berani datang menantang, sudah tentu dia mempunyai andalan yang kuat. Kalau tidak demikian, tak mungkin ia bersikap menantang. Pula, kalau hendak menuntut balas, mengapa harus sampai belasan tahun lamanya? Kita harus hati-hati dan jangan gegabah. Dengan mendatangi Hoa-san-pai, memasang bendera untuk menghina bendera kita, itu saja menunjukkan bahwa ia memandang rendah kepada Hoa-san-pai. Setelah ia berbuat demikian jauh, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"
"Yang amat mengherankan adalah tempat ia menanti di Im-kan-kok," kata Liem Sian Hwa sambil mengerutkan keningnya. "Im-kan-kok adalah tempat suci yang juga menjadi tempat larangan bagi kita, kenapa musuh justru menanti di sana? Thio Ki, kau harus berhati-hati, benar pendapat supek-mu, kita semua harus menghadapi urusan ini bersama."
Tiba-tiba Kun Hong tertawa, "Orang itu sungguh tak tahu diri sekali berani mengganggu Hoa-san-pai. Twa-suko jangan takut, orang itu memberi waktu dua belas jam, tentu nanti tengah hari ia datang. Biarkan ia datang, hendak kita lihat bagaimana macamnya. Untuk mendatangi undangannya ke Im-kan-kok hanya akan membuat dia lebih leluasa mengatur jebakan."
"Hushh, kau tahu apa tentang urusan ini?" ibunya membentak.
Kwa Tin Siong teringat akan sesuatu dan dia lalu bertanya dengan suara bengis, "Kun Hong, kau tadi tahu akan gerakan ibumu, dari mana kau tahu? Hayo bicara, jangan kau sembunyikan sesuatu dariku!"
Leher Kun Hong mengkeret ketika ia dibentak ayahnya, wajahnya menjadi merah dan ia menjawab gugup, "Ahh, tidak sekali-kali aku melanggar larangan Ayah. Aku tidak pernah mempelajari ilmu silat, hanya aku telah membaca catatan Ayah dan Ibu tentang ilmu silat Hoa-san-pai. Mempelajari tidak boleh, kalau membaca kan tidak ada larangan, bukan? Aku memang suka membaca apa saja, Ayah."
Diam-diam Ketua Hoa-san-pai ini tertegun. Membaca begitu saja tanpa mempelajari prakteknya, namun sudah dapat melihat gerakan orang, benar-benar hal ini amat luar biasa dan membutuhkan kecerdikan yang jarang bandingannya. Ia kagum dan juga bangga sekali, akan tetapi mulutnya berkata, "Hemm, lain kali kau tidak boleh membaca segala macam kitab pelajaran ilmu silat"
"Baik, Ayah," kata Kun Hong sambil tunduk.
Karena menguatirkan keselamatan puteranya yang tidak pandai ilmu silat, Kwa Tin Siong hendak menyuruh puteranya itu tinggal saja di kamarnya. Akan tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan perintah, tiba-tiba seorang tosu masuk dan melaporkan bahwa ada tiga orang tosu tua yaitu Pak-thian Sam-lojin datang berkunjung.
Wajah Kwa Tin Siong menunjukkan perasaan girang dan heran akan kunjungan yang tak disangka-sangka ini.....
Tiga Orang Tua dari Utara itu adalah sahabat-sahabat baik mendiang gurunya, Lian Bu Tojin. Tentu saja kunjungan ini sangat menyenangkan hatinya, apa lagi terjadi pada waktu Hoa-san-pai sedang menghadapi ancaman musuh. Dari tiga orang kakek yang memiliki kepandaian tinggi itu dapat diharapkan bantuannya.
"Persilakan mereka masuk," katanya, lalu dia bersama isterinya, juga Thian Beng Tosu yang masih ingat akan nama tiga orang kakek itu segera menyambut di pintu ruangan.
Tidak lama kemudian masuklah tiga orang kakek itu. Usia mereka sudah tua sekali, akan tapi sikap mereka masih gagah. Tiga orang tosu itu mengenakan pakaian longgar, dengan wajah kereng dan tindakan kaki ringan, tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Melihat mereka, Kwa Tin Siong, isterinya dan Thian Beng Tosu segera menjura dengan hormat. Tiga orang kakek itu mengelus jenggot dan seorang di antara mereka yang tertua dan yang berjenggot panjang sekali segera berkata,
"Sudah lama kami mendengar bahwa Hoa-san-pai sudah berganti ketua. Menyesal kami tidak dapat datang ketika terjadi mala petaka di Hoa-san. Mula-mula memang kami ingin datang dan membalaskan sakit hati sahabat kami Lian Bu Tojin, akan tetapi kemudian kami mendengar bahwa Sicu telah menggantikan kedudukan mendiang sahabat kami itu. Betapa pun juga, kami ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Hoa-san-pai sudah bangun kembali. Siapa kira di tengah perjalanan kami melihat adanya gerombolan orang jahat yang mengancam Hoa-san-pai. Apakah Sicu sudah mengetahuinya?"
Kwa Tin Siong mempersilakan para tamunya duduk, lalu ia menghaturkan terima kasih. "Sam-wi Locianpwe benar-benar sudah mencapaikan diri untuk memperhatikan keadaan Hoa-san-pai. Untuk budi kecintaan itu kami menghaturkan banyak terirna kasih. Memang benar seperti yang Locianpwe katakan tadi, ada segerombolan penjahat hendak datang mengganggu, akan tetapi kiranya hal ini tidak patut untuk membikin Sam-wi capai hati. Hanya urusan kecil saja."
Kui Tosu, yaitu tosu tertua dari tiga kakek itu, mengerutkan alisnya yang sudah putih. Ia memang berwatak berangasan. "Hemm, Sicu sebagai murid dari Lian Bu Tojin sudah tentu telah mewarisi ilmu yang hebat dari Hoa-san-pai. Akan tetapi harap diketahui bahwa kepandaian tiada batasnya dan kiraku hari ini belum tentu kepandaian Hoa-san-pai akan dapat diandalkan untuk mengalahkan musuh. Apakah Sicu sudah tahu siapa yang datang mengganggu?"
Diam-diam Kwa Tin Siong tidak senang mendengar ucapan ini. Dia adalah seorang gagah yang tidak pernah takut menghadapi lawan. Akan tetapi, oleh karena tiga orang kakek ini datang sebagai tamu dan merupakan sahabat-sahabat mendiang gurunya, dia menahan kesabaran dan bertanya,
"Yang baru saya ketahui hanyalah bahwa orang yang memimpin gerombolan pengacau itu bernama Bhe Lam, seorang penjahat Sin-yang berjuluk Hek-houw (Harimau Hitam). Penjahat cilik macam itu perlu apa diributkan?"
Tosu termuda dari tiga orang kakek itu yang bernama Lai Tosu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Kalau hanya harimau hitam saja apa artinya? Besar atau kecil kalau hanya Hek-houw saja tak lebih dari pada seekor kucing hitam! Ketahuilah, Kwa-sicu, di belakang si Harimau Hitam itu masih ada dua makhluk yang lebih menakutkan lagi. Kau tahu siapa mereka? Yang seorang adalah Kim-thouw Thian-li Ketua Ngo-lian-kauw dan yang ke dua adalah Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa)!"
Kwa Tin Siong terkejut sekali mendengar nama-nama ini. Tentu saja ia sudah mengenal Kim-thouw Thian-li yang sudah berkali-kali membikin keruh keadaan Hoa-san-pai, bahkan wanita inilah yang mula-mula merusak Hoa-san-pai sehingga terjadi hal yang berlarut-larut dan permusuhan yang menjadi-jadi.
Kim-thouw Thian-li merupakan musuh besar Hoa-san-pai, berarti musuh besarnya pula. Kepandaian wanita itu memang hebat sekali, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa gentar untuk menghadapinya. Yang membikin Ketua Hoa-san-pai ini kaget sekali adalah disebutnya nama Toat-beng Yok-mo. Kakek iblis itu sudah belasan tahun menghilang dari dunia kangouw, mengapa sekarang bisa muncul bersama Kim-thouw Thian-li membantu Hek-houw Bhe Lam?
Melihat kekuatiran di wajah tuan rumah, Bu Tosu orang ke tiga dari Pak-khia Sam-lojin dengan sombong berkata, "Kwa-sicu tidak usah kuatir, Kim-thouw Sian-li dan Toat-beng Yok-mo boleh menakuti orang lain, akan tetapi lihat saja, ada pinto bertiga di sini yang siap untuk meghancurkannya!"
Kwa Tin Siong belum hilang rasa kagetnya dan ia berkata, "Terima kasih atas janji Sam-wi untuk membantu kami. Akan tetapi benar-benar saya tidak mengerti mengapa Toat-beng Yok-mo dapat berada dengan mereka?"
"Ha-ha-ha-ha, Kwa-sicu masih belum mendengar? Agaknya karena belasan tahun sibuk mengurus Hoa-san-pai, tidak tahu akan kejadian di dunia luar! Kakek tua bangka tukang obat itu tergila-gila kepada Kim-thouw Thian-li dan kabarnya ia telah memperisteri Ketua Ngo-lian-kauw itu. Ha-ha-ha, benar-benar tua bangka tak tahu malu!" kata Lai Tosu.
"Akan tetapi Sicu tak perlu merasa kuatir," sambung Kui Tosu tenang. "Biarkan mereka datang, kita akan atur jebakan untuk mereka. Para tosu supaya mengatur bai-hok (barisan terpendam) di sekeliling puncak, siap dengan senjata lengkap. Kami sudah melihat bahwa gerombolan mereka hanya terdiri dari tiga puluh orang lebih. Jumlah kita menang banyak. Kita biarkan mereka masuk dan Sicu boleh menghadapi Bhe Lam sedangkan kami bertiga akan menggempur Toat-beng Yok-mo. Tentang Kim-thouw Thian-li, kami rasa cukup bila dihadapi oleh isterimu dan murid-muridmu. Sementara itu, para tosu datang mengurung dan mengeroyok anak buah mereka yang tidak banyak jumlahnya itu. Dengan cara ini, kami rasa kita akan dapat membunuh mereka semua, jangan ada yang bisa lolos supaya kelak mereka tidak mendatangkan bencana pula!"
Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa mengangguk-angguk, setuju dengan rencana siasat ini.
Akan tetapi tiba-tiba Kun Hong berseru marah, "Tidak boleh...! Tidak boleh, jahat sekali itu! Masa kita Hoa-San-pai harus membunuhi orang-orang itu? Tidak boleh, mana ada aturan manusia membunuh manusia lain? Ini perbuatan terkutuk oleh Thian!"
Semua orang kaget, apa lagi Pak-thian Sam-lojin. Mereka menengok memandang kepada pemuda itu dengan heran.
"Kwa-sicu, siapakah orang muda ini?" tanya Kui Tosu.
"Dia adalah Kun Hong, anak kami yang bodoh," Kwa Tin Siong menjawab dan ia sudah melototkan matanya untuk menegur anaknya.
Akan tetapi Kui Tosu sudah mendahuluinya, bertanya dengan kereng. "Orang muda, kalau kau menganggap rencana kami itu tidak boleh dijalankan, habis kalau menurut pikiranmu bagaimana baiknya menghadapi musuh-musuh yang akan menyerbu?"
"Ha-ha, bocah berlagak pintar!" kata Lui Tosu. "Apakah kau ingin agar mereka itu datang menyerbu dan membunuh kita semua?"
"Tidak demikian maksudku. Harap Sam-wi Totiang tidak salah sangka," jawab Kun Hong, suaranya tetap dan tegas. "Kalau ada seorang gila memaki-maki seorang waras, lalu si waras itu balas memaki-maki si gila, lalu bagaimana perbedaan antara mereka? Mana si waras dan mana pula si gila? Demikian juga kalau ada orang jahat berencana hendak membunuh kita, lalu kita berencana pula untuk membunuh mereka, bukankah watak kita tiada bedanya dengan orang jahat itu? Mereka hendak membunuh kita, kita pun hendak membunuh mereka. Siapa di antara kita yang jahat? Siapa benar siapa salah?"
Kwa Tin Siong sendiri melengak mendengar omongan puteranya ini. Memang ia sudah tahu bahwa watak puteranya sangat keras dan juga amat berani dalam mengemukakan pendapatnya, akan tetapi tidak disangkanya akan seberani ini.
Tiga orang kakek itu saling pandang dengan terheran-heran. Kui Tosu lalu membantah.
"Tentu ada bedanya! Kita hendak membunuh mereka dengan dasar hendak membasmi orang-orang jahat!"
"Apa Totiang mengira bahwa mereka tidak mempunyai dasar dengan kehendak mereka membunuh kita? Setiap perbuatan tentu ada dasarnya, yaitu dasar untuk kemenangan diri sendiri, untuk kebaikan sendiri. Pendapat seorang takkan sama, dasar yang dipakai orang tidak sama pula. Semua orang memperebutkan kebenaran, kebenaran diri sendiri tentu!"
"Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" Kui Tosu mulai marah.
Oleh karena bocah ini adalah putera Ketua Hoa-san-pai, maka ia mau melayaninya. Kalau bukan putera Kwa Tin Siong, tentu tidak sudi bicara dengannya.
"Maaf, Totiang. Harap Totiang, juga Ayah dan Ibu beserta para susiok dan suheng suka menjawab dulu pertanyaanku. Kalau kukatakan bahwa yang berhak atas sesuatu benda adalah pembuatnya, apakah salah kata-kataku ini?"
"Tentu saja begitu," jawab Thian Beng Tosu karena yang lain-lain tidak menjawab.
"Nah, Suheng sudah menjawab dan membetulkan kata-kataku. Yang berhak atas sesuatu adalah pembuatnya. Lalu, siapakah yang membuat manusia ini hidup di dunia? Salahkah kalau kukatakan bahwa Tuhan yang memberi hidup?"
Kembali pemuda ini berhenti dan memandangi mereka dengan sepasang matanya yang bersinar tajam.
"Benar pula, Kun Hong," jawab Thian Beng Tosu.
"Nah, kalau kita semua mengakui bahwa yang memberi hidup adalah Tuhan, berarti hidup kita ini millk Tuhan. Oleh karena itu pula, hanya Tuhanlah yang berhak untuk mengakhiri hidup kita, jadi hanya Tuhan pula yang berhak membunuh manusia. Kalau kita sudah tahu akan hal ini, mudah saja bagi kita menjawab. Perbuatan membunuh itu baik atau jahat?"
Tidak ada yang menjawab, Kun Hong penasaran dan menghadapi ayahnya.
"Ayah selalu mengajar agar supaya aku hanya mengatakan apa yang menjadi isi hatiku. Mengapa sekarang pertanyaanku tidak ada yang menjawab? Ayah, bukankah menurut sebab-sebab tadi, membunuh itu adalah perbuatan jahat?"
"Memang, membunuh adalah perbuatan yang tidak baik," akhirnya ayahnya pun berkata perlahan.
Mata Kun Hong berseri-seri dan bersinar-sinar. "Nah, apa bila perbuatan membunuh ini termasuk perbuatan jahat, mengapa kita malah merencanakan hendak membunuh orang? Mengapa kita hendak membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau orang lain yang hendak membunuh termasuk golongan penjahat, habis kita ini golongan apa kalau juga meniru perbuatan mereka? Membalas perbuatan baik dengan kebaikan pula adalah sikap seorang budiman. Membalas kejahatan dengan kebaikan hanya mungkin dapat dilakukan oleh alam, hanya mungkin dapat dilakukan oleh Tuhan. Hanya manusia yang sudah dapat menyatukan diri dengan alam saja yang akan mencapai kebajikan ini, yaitu membalas kejahatan dengan kebaikan. Tapi seorang manusia bijaksana, seorang budiman biar pun belum dapat membalas kejahatan dengan kebaikan, paling sedikit harus bisa membalas kejahatan dengan keadilan!"
Semua orang yang berada di situ maklum bahwa semua yang dikemukakan oleh pemuda itu adalah ajaran-ajaran dalam agama dan filsafat yang memang telah dipelajarinya sejak ia kecil.
"Semua orang sudah mempelajari kebenaran, akan tetapi tidak berani mempertahankan dan membela kebenaran yang dipelajarinya itu! Ayah dan ibu beserta semua susiok dan suheng, Hoa-san pai tak akan bernama kalau dibangun dengan darah dan pembunuhan. Hoa-san-pai merupakan perkumpulan untuk menuntun orang-orang mempelajari Agama Tao supaya manusia dapat membersihkan diri dari pada kejahatan, bagaimana mungkin mengajar orang membersihkan diri dari kejahatan dengan jalan terjun ke dalam kejahatan itu sendiri?"
Melihat pemuda ini makin lama semakin bersemangat, Kwa Tin Siong merasa tidak enak hati, maka dia lalu membentak, "Kun Hong, kau ini anak kecil hendak memberi pelajaran kepada orang-orang tua? Kalau soal begitu saja, kita semua sudah tahu, apa lagi Sam-wi Locianpwe ini. Yang kau kemukakan itu adalah pelajaran-pelajaran yang masih rendah dan semua juga sudah mengetahuinya."
“Tahu tidak sama dengan mengerti, malah mengerti pun tidak sama dengan sadar, Ayah! Tahu saja tanpa mengerti isinya percuma. Mengerti sekali pun tanpa kesadaran tak akan ada gunanya. Yang penting tahu, lalu mengerti akan isinya, dan sadar untuk menerapkan pengertian ini dengan batinnya, kemudian harus disusul dengan ketaatan bulat terhadap pengertian ini. Apa gunanya kalau kita hanya tahu dan mengerti bahwa membunuh itu jahat, akan tetapi kita malah nekat melakukannya? Pendeknya, anak tidak setuju kalau Hoa-san-pai mempunyai orang-orang yang suka menjadi pembunuh sesama manusia!"
"Hemm, hemmm, aneh sekali anakmu ini, Kwa-sicu!" kata Kui Tosu dengan muka merah. Tosu tua yang berangasan ini tak dapat menahan lagi kesabarannya.
"Ehhh, kongcu cilik, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana kita akan menghadapi gerombolan Harimau Hitam itu?"
"Alam mempunyai hukum yang diatur oleh Tuhan. Manusia pun mempunyai hukum yang diatur oleh pemerintahan negara. Kita sebagai manusia harus tunduk kepada hukum pula. Masyarakat telah diatur dengan adanya petugas-petugas yang berkewajiban mengatur hukum-hukum itu. Kalau ada hal yang tidak beres dan melanggar hukum, merekalah yang wajib mengurusnya. Sekarang gerombolan itu kalau sudah datang ke sini, kita ajak bicara secara aturan. Kalau mereka tidak mau terima uluran dan hendak melanggar hukum, biar kita laporkan kepada lurah dan para petugas di dusun, tak jauh di kaki gunung sana."
Meledak suara ketawa tiga orang tosu tua itu pada saat mendengar omongan ini. Kwa Tin Siong menjadi amat merah mukanya sebab sikap Kun Hong ini jelas membuka kenyataan bahwa puteranya itu tidak tahu menahu tentang dunia persilatan, di mana hukum yang dipakai adalah hukum persilatan yang jauh bedanya dengan hukum pemerintah.
"Kwa-sicu, kau benar-benar aneh sekali mendidik anakmu seperti ini! Ha-ha-ha, tak nyana mendiang Lian Bu Tojin mempunyai cucu murid seperti ini!" Kun Tosu tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking geli.
"Locianpwe, harap maafkan puteraku. Memang semenjak kecil dia tidak pernah diberikan pendidikan ilmu silat, melainkan hanya ilmu surat dan filsafat. Betapa pun juga, menurut pendapatku yang bodoh, jauh lebih baik tidak tahu akan ilmu silat sehingga jauh dari pada bermusuh-musuhan seperti dalam penghidupan kita orang-orang persilatan."
Pada saat itu terdengar suara nyaring di luar pintu, suara wanita yang berteriak-teriak, "Hayo, mana dia si orang she Kwa? Suruh dia lekas keluar menyerahkan pedang Hoa-san Po-kiam dan kepalanya!"
Semua orang kaget sekali. Bagaimana bisa ada seorang musuh datang begitu saja tanpa diketahui oleh para penjaga yang sudah diatur serapi-rapinya? Kwa Tin Siong menyangka bahwa yang datang tentulah Kim-thouw Thian-li, maka dia lalu melangkah keluar, diikuti semua orang termasuk Pak-thian Sam-lojin.
Setelah mereka tiba di luar, semua orang ini dibikin bengong saking herannya. Bukan Kim-thouw Thian-li yang berdiri di situ, melainkan seorang gadis tanggung berusia sekitar tujuh belas tahun, yang berdiri dengan tegak di tengah pelataran depan kuil.
Gadis ini cantik sekali. Sepasang matanya tajam bergerak-gerak cepat memandang ke kiri kanan, mulut kecil yang berbibir merah itu manis tersenyum-senyum setengah mengejek. Pakaiannya sangat sederhana, hanya terbuat dari kain kasar dengan jahitan sederhana seperti biasanya pakaian gadis-gadis gunung, juga tidak kelihatan membawa senjata apa pun sehingga benar-benar seperti seorang dara gunung yang cantik manis sekali.
Karena ia tidak bersenjata, maka ia mirip seorang gadis yang kurang waras pikirannya. Kalau tidak demikian, bagaimana seorang gadis seperti dia berani bicara tidak karuan di Hoa-san-pai? Berbeda kiranya kalau dia membawa senjata, tentu dia merupakan seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat maka berani membuka suara besar.
Melihat banyak orang keluar dari kuil dan sikap mereka rata-rata gagah, gadis itu kembali berteriak, suaranya nyaring, meski pun merdu dan halus akan tetapi jelas bernada keras mengancam, "Mana Ketua Hoa-san-pai she Kwa?"
Dengan tenang dan sabar Kwa Tin Siong melangkah maju dan balas bertanya, "Nona siapa dan dari mana? Ada keperluan apakah kau mencari Ketua Hoa-san-pai she Kwa?"
Dengan pandang matanya yang tajam gadis itu memandang Kwa Tin Siong penuh selidik, lalu berkata, "Sudah kukatakan tadi, dia harus menyerahkan Hoa-san Po-kiam kepadaku, juga kepalanya. Pedang dan kepalanya harus kubawa pergi."
Jawaban ini demikian sewajarnya sehingga para pendengarnya menjadi bengong. Banyak tosu menganggap bahwa gadis ini tentu miring otaknya, apa bila tidak demikian, masakah mengajukan permintaan yang begitu gila?
Kwa Kun Hong menjadi marah. Dengan mata melotot ia melangkah maju dan berdiri dekat sekali di depan gadis itu. Lagaknya seperti seorang guru memarahi muridnya yang goblok. Telunjuknya menuding ke arah muka yang cantik.
"Nona cilik, apakah kau tidak pernah diajar orang tuamu? Ucapan apa yang kau keluarkan itu? Sungguh tidak patut! Mana ada aturan orang seperti kau ini hendak membunuh orang dan minta kepalanya? Ah, dosa... dosa..., benar-benar kau berdosa besar sekali. Apa kau tidak takut ditangkap oleh yang berwajib dan dijebloskan ke dalam penjara? Kalau terjadi demikian, aduh… kasihan sekali kau yang masih begini muda!"
Gadis muda itu nampak bingung dan memandang kepada Kun Hong dengan hati tertarik. "Penjara? Apa itu? Yang berwajib itu siapa? Kenapa aku hendak ditangkap?"
Kun Hong mengira bahwa gadis itu tentu takut dengan gertakannya, karena itu hatinya menjadi girang. "Nah, belum apa-apa kau sudah takut! Maka jangan sembarangan bicara. Yang berwajib itu tentu saja petugas pemerintah yang menjadi penegak hukum. Penjara adalah tempat orang-orang jahat dihukum. Nona, kau masih muda, seorang gadis yang semestinya bersikap lemah lembut dan membantu pekerjaan ibu di rumah. Aku kasihan sekali kepadamu dan sungguh mati aku tidak ingin melihat kau sampai ditangkap dan dimasukkan penjara."
Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa hanya bisa menarik napas panjang menyaksikan sikap putera mereka yang tentu dianggap tolol oleh semua orang itu. Akan tetapi karena gadis itu pun kelihatannya bodoh, maka mereka itu mendiamkannya saja.
Tiba-tiba gadis muda itu kelihatan marah. "Siapa berani menangkap aku? Aku tidak takut! Kau ini... kau menakut-nakuti aku. Apakah kau she Kwa?"
Kun Hong tersenyum lebar. "Ehh, ehh, kiranya kau sudah mengenal aku? Di mana kita pernah bertemu? Bagiku, mimpi pun belum pernah bertemu dengan kau yang lucu ini."
"Siapa pernah bertemu dengan engkau? Apakah kau she Kwa?"
"Kalau belum pernah bertemu, bagaimana kau mengenalku dan mengerti bahwa aku she Kwa? Aneh sekali, aku memang betul she Kwa!"
Secepat kilat tangan gadis itu bergerak dan tahu-tahu leher baju Kun Hong telah berhasil ditangkapnya dan sekali tarik Kun Hong sudah berada di dalam kekuasaannya. Semua orang kaget, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa sudah bersiap menolong puteranya. Akan tetapi gadis itu hanya mengancam.
"Apakah kau Ketua Hoa-san-pai?"
Kun Hong kaget bukan main, lalu berkata gemas, "Kau ini wanita apa laki-laki? Tenagamu amat besar dan kau tarik-tarik aku mau apa sih?"
"Kalau kau Ketua Hoa-san-pai akan kupenggal kepalamu!"
Kun Hong meleletkan lidahnya mengejek. "Kau kira aku takut dengan ancamanmu? Andai kata aku benar-benar Ketua Hoa-san-pai, tentu aku akan mengaku dan tidak takut kau sembelih seperti ayam. Sayangnya aku bukan Ketua Hoa-san-pai."
Gadis itu melepaskan leher bajunya dan mendorongnya perlahan, akan tetapi dorongan ini cukup membuat Kun Hong terlempar dan terguling.
"Benar-benar kau jahat sekali, tak tahu dikasihani orang!" kata Kun Hong setelah bangkit berdiri.
Gadis itu mengomel, "Syukur kau bukan Ketua Hoa-san-pai, aku tidak senang kalau harus membunuh orang lemah seperti kau. Lagi pula tak mungkin kalau kau Ketua Hoa-san-pai. Menurut keterangan ibu, Ketua Hoa-san-pai sangat jahat. Kau... tidak mungkin jahat, kau laki-laki lemah tak berguna."
Kun Hong hendak membantah lagi, akan tetapi Kwa Tin Siong menariknya ke belakang lalu menghadapi gadis itu. Suaranya kereng ketika dia bertanya, "Nona, sebenarnya kau ini siapa dan apa kehendakmu mengacau di Hoa-san-pai?"
"Apakah kau she Kwa? Dan siapa Ketua Hoa-san-pai?"
"Betul, akulah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai."
Gadis itu memandang tajam, tampaknya ragu-ragu. "Kau pun tidak pantas menjadi orang amat jahat. Jangan kau membohong. Kalau benar kau orang she Kwa Ketua Hoa-san-pai, mana pedang pusaka Hoa-san Po-kiam?"
Kwa Tin Siong tersenyum. Sikap gadis cilik itu amat menarik hatinya, biar pun aneh dan agak sombong, namun lucu dan banyak memiliki sifat-sifat yang dapat menimbulkan rasa sayang. Ia mencabut Hoa-san Po-kiam sambil berkata,
"Inilah Hoa-san Po-kiam. Nah, apakah sekarang kau sudah percaya bahwa aku adalah Ketua Hoa-san-pai? Sekarang katakanlah, kau ini bernama siapa dan sesungguhnya apa yang menyebabkan kau bersikap begini aneh?"
Gadis itu tak menjawab, hanya matanya memandang tajam ke arah wajah Kwa Tin Siong. Sejenak kemudian, mendadak gadis itu menggerakkan kedua tangannya dan menyerang Ketua Hoa-san-pai itu dengan pukulan-pukulan yang cepat dan bertubi-tubi.
Kwa Tin Siong kaget bukan kepalang. Bukan kaget akibat diserang, baginya sudah terlalu biasa menghadapi serangan-serangan mendadak. Akan tetapi dia kaget dan heran sekali melihat cara menyerang dari gadis itu.
Melihat gerakan lengan kiri yang pertama-tama memukul dadanya, tak bisa salah lagi itu merupakan gerak tipu Burung Hong Mematuk Hati dari ilmu silat Hoa-san-pai. Akan tetapi digerakkan amat aneh dan dengan kecepatan luar biasa sehingga hampir saja dadanya kena pukul!
Sebelum ia kehilangan kagetnya setelah berhasil mengelak, serangan ke dua sudah tiba pula. Kali ini juga sebuah gerak tipu dari ilmu silat Hoa-san-pai yang disebut Sepasang Naga Mengejar Awan. Lagi-lagi ia melengak dan repot sekali menggunakan tangan kirinya menangkis sambil membuang diri ke belakang karena kedua kepalan gadis itu bergerak terlalu cepat dan juga aneh sekali.
Dia adalah Ketua Hoa-san-pai, dan semenjak kecil ia sudah melatih diri dengan ilmu silat Hoa-san-pai dan sudah hafal, malah ilmu silat ini sudah mendarah daging dalam dirinya. Akan tetapi mengapa diserang dua kali dengan tipu dari ilmu silat ini dia menjadi repot sekali?
Yang amat hebat adalah perubahan-perubahan yang susul-menyusul dari serangan gadis itu. Karena begitu Kwa Tin Siong membuang diri ke belakang, tahu-tahu gadis itu sudah menyerangnya lagi, sekarang dengan gerak tipu yang amat dahsyat, yaitu yang disebut Harimau Sakti Menerkam Kuda. Dengan kedua tangan terbuka gadis itu sudah meloncat dan menyambar ke arah punggungnya dengan jari-jari tangan terbuka.
Tentu saja Kwa Tin Siong merasa amat tidak enak untuk balas menyerang seorang gadis cilik seperti itu. Apa lagi gadis itu ternyata selalu mempergunakan jurus-jurus dari ilmu silat Hoa-san-pai dalam menyerangnya.
Akan tetapi karena diam-diam ia mengakui bahwa gerakan gadis ini agak berbeda dengan ilmu silatnya sendiri walau pun jurus-jurus itu sama benar, malah diam-diam ia terkejut karena daya penyerangan gadis cilik ini amat dahsyat, ia lalu mengambil keputusan untuk memberi sedikit hukuman kepadanya.
Melihat gadis itu kembali menerjangnya dengan gerakan Harimau Sakti Menerkam Kuda, ia membiarkan gadis itu sudah melayang dekat, lalu tiba-tiba ia menggerakkan tangan kiri menangkis ke depan dengan pengerahan tenaga lweekang-nya. Terdengar seruan kaget dari kedua pihak.
Gadis itu kaget sekali saat tangan kanannya tergetar dalam pertemuan dengan tangkisan Ketua Hoa-san-pai itu sampai seluruh tubuhnya ikut tergetar. Akan tetapi, Kwan Tin Siong kaget bukan main ketika dalam keadaan seperti itu, tanpa tersangka-sangka sama sekali, tangan kiri gadis itu tiba-tiba sudah menotok ke arah pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang dan sekaligus dapat merampas pedang itu dari tangannya!
Merah kini wajah Kwa Tin Siong. Pedang pusaka Hoa-san-pai dapat terampas dari tangan Ketua Hoa-san-pai, benar-benar hal ini merupakan hal yang amat memalukan! Ia harus mengakui bahwa gerakan-gerakan gadis ini dalam ilmu silat Hoa-san-pai amat mahir dan juga amat aneh, akan tetapi perampasan pedang tadi terjadi karena ia tidak menyangka sama sekali dan karena ia sudah banyak mengalah terhadap gadis muda itu.
"Bocah tidak tahu diri! Kau benar-benar semakin kurang ajar. Hayo lekas kau kembalikan pedangku!" katanya kereng.
Gadis muda itu menjebirkan bibirnya yang merah. "Pedang ini aku yang berhak. Karena aku merasa bahwa bukan kau orang yang kumaksudkan, maka kau tidak kubunuh. Orang yang kumaksudkan itu biar pun she Kwa juga, akan tetapi jauh lebih jahat dari padamu."
Diam-diam hati Kwa Tin Siong berdebar. Tidak salah lagi, tentu yang dimaksudkan oleh gadis ini adalah Kwa Hong.
"Kau siapakah? Siapa namamu dan siapa orang tuamu?"
"Namaku Li Eng, orang tuaku... hemm, mereka tak ada sangkut-pautnya dengan urusanku ini, kau tidak perlu mengenal mereka." Setelah berkata demikian, gadis itu menengok ke belakang dan agaknya takut-takut.
"Ha, kau bocah nakal!" mendadak Kun Hong berseru sambil tertawa. "Aku tahu sekarang! Kau tentu minggat di luar tahunya orang tuamu, maka kau tidak berani menyebut nama mereka karena takut kami memberi tahu orang tuamu."
Gadis ini nampak semakin ketakutan. "Jangan..." katanya seperti anak kecil ditakut-takuti. "Jangan katakan kepada orang tuaku...!"
Kun Hong tertawa menggoda. "Nah, begitu baru anak baik, takut kepada orang tua! Hayo lekas kau kembalikan pedang ayah jika kau tak mau telingamu dijewer oleh ibumu nanti!"
Gadis itu ragu-ragu. "Tapi... tapi... kata ibu... pedang ini adalah hak ayah ibu dan... dan..."
"Lekas berikan, jika tidak awas, nanti kuberi tahukan ayah ibumu!" Kun Hong mengancam. "Tidak boleh mempergunakan pedang untuk membunuh orang."
"Aku tidak membunuh... boleh kau bawa dulu pedang ini, tetapi aku harus mencoba dulu sampai di mana hebatnya kepandaian Ketua Hoa-san-pai, mengapa dia berani menghina orang lain. Bawalah, tapi jangan kau berikan kepada siapa pun juga."
"Nah, begitu baru disebut gagah! Memang sudah sepantasnya bila kau hendak mencoba kepandaianmu. Tanpa pedang ini mana kau mampu mengalahkan ayahku? Baik, kubawa pedang ini dan kau boleh coba-coba dengan ayah. Kalau kau kalah, kau harus mengaku semuanya dan minta ampun atas kekurang ajaranmu."
"Huh, enak saja. Mana mungkin aku bisa kalah? Kalau aku menang, pedang itu harus kau kembalikan kepadaku dan Ketua Hoa-san-pai harus meninggalkan Hoa-san!"
"Ha-ha-ha, boleh, boleh...," kata Kun Hong yang tidak mau percaya kalau ayahnya akan kalah oleh gadis ini. "Gerakanmu ketiga-tiganya tadi salah semua. Agaknya kau pun telah mempelajari ilmu silat Hoa-san-pai, mana bisa kau menandingi ayah dalam ilmu silat ini? Gerakanmu yang pertama Burung Hong Mematuk Hati, kemudian disusul Sepasang Naga Mengejar Awan lalu yang terakhir tadi Harimau Sakti Menerkam Kuda semuanya salah dan aneh, jelas bukan ilmu silat Hoa-san-pai yang asli, sama sekali tidak cocok dengan catatan ayah!"
Lagi-lagi Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa melengak terheran karena sekali lagi putera mereka membuktikan bahwa hanya dengan melihat catatan anak itu sudah bisa mengenal ilmu yang dimainkan oleh gadis aneh ini.
Juga gadis itu terheran, tapi makin penasaran. Ia memberikan pedang Hoa-san Po-kiam kepada Kun Hong, lalu memasang kuda-kuda menghadapi Kwa Tin Siong.
"Kalau benar engkau adalah Ketua Hoa-san-pai, majulah. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu," tantangnya.
Semenjak tadi Kwa Tin Siong sudah menaruh curiga kepada anak perempuan itu. Tidak salah lagi bahwa gerakan-gerakannya tadi adalah Hoa-san Kun-hoat, namun bagaimana gerakannya demikian aneh? Memang betul Kun Hong, gerakan-gerakan itu agak berbeda dan menurut pandangannya sendiri adalah dilakukan dengan keliru, akan tetapi harus ia akui bahwa kekeliruan itu justru agaknya memperhebat daya penyerangannya!
Kwa Tin Siong menjadi ragu-ragu. Siapakah gadis ini dan apa maksud kedatangannya? Siapa yang menyuruhnya?
"Hayo, apakah kau takut kepadaku?" gadis itu menantang lagi melihat keraguan Kwa Tin Siong.
"Bocah tak tahu diri!" Liem Sian Hwa yang memang berwatak keras tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Sudah jelas bahwa ilmu silatmu adalah ilmu silat Hoa-san-pai, biar pun kurang matang. Bagaimana kau sekarang datang menantang Ketua Hoa-san-pai? Kau terhitung murid Hoa-san-pai juga, walau pun entah dari mana kau mencuri ilmu silat kami. Pergilah, kami tidak sudi berurusan dengan anak kecil!"
Gadis itu memandang Sian Hwa dengan matanya yang jeli. "Hemm, kau cantik, seperti ibu. Apakah kau juga she Kwa? Kalau kau she Kwa, kau majulah!"
"Hush, jangan kau kurang ajar kepada ibuku!” Kun Hong membentak dari samping.
"Aha, jadi dia ini ibumu? Kalau begitu juga tidak becus apa-apa seperti kau?"
Kui Tosu, orang pertama dari Pak-thian Sam-lojin, walau pun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun tapi wataknya amat berangasan. Sebagai tamu terhormat dia menjadi marah sekali menyaksikan lagak bocah itu, maka sekarang sambil mengebutkan ujung lengan bajunya, ia melangkah maju dan berkata,
"Siancai... siancai... alangkah buruk takdir Hoa-san-pai. Saudara Lian Bu Tojin tewas di tangan murid jahat, sekarang agaknya ada lagi murid Hoa-san-pai yang jahat dan datang-datang hendak mengacau perguruannya sendiri. Ehh, bocah, cepatlah kau minggat dari sini. Kami bersama Kwa-sicu sedang menghadapi urusan penting, tiada waktu meladeni anak-anak macam kau ini!"
Gadis itu memandang lucu, tertawa-tawa geli ketika melihat jenggot yang panjang dari Kui Tosu. "He-he-he, kau ini seperti kambing tua mengembik saja. Baru menghadapi penjahat kecil yang berkumpul di Im-kan-kok sudah ribut-ribut. Aku datang untuk berurusan dengan Ketua Hoa-san-pai she Kwa, kau ini kambing tua datang-datang menjual lagak mau apa sih?"
"Bocah kurang ajar!" Kui Tosu tak dapat menahan kemarahannya lagi, lalu tangan kirinya bergerak dan ujung lengan baju yang lebar itu menyambar merupakan tamparan keras ke arah kepala gadis itu.
"Ehh-ehh, kambing tua keluar tanduknya? Suruh dua ekor kambing tua temanmu itu maju semual" Gadis yang mengaku bernama Li Eng itu mengejek.
Serangan yang hebat itu dapat ia elakkan hanya dengan penggeseran kaki ke belakang dan miringkan kepala saja. Hebatnya, sambil mengelak ini kakinya yang kiri menyambar ke depan, ke arah lambung kakek itu!
Kui Tosu kaget sekali melihat tendangan yang amat cepat dan hebat ini. Ia sudah lama mengenal Lian Bu Tojin, karena itu ia pun sudah mengenal ilmu silat Hoa-san-pai. Jelas bahwa tendangan dan gerakan gadis ini adalah dari ilmu silat Hoa-san-pai.
Andai kata yang mainkan ilmu silat itu adalah Lian Bu Tojin sendiri atau setidaknya Kwa Tin Siong, ia tidak akan merasa aneh kalau melihat kehebatan ilmu silat itu. Akan tetapi sekarang yang memainkannya hanya seorang gadis belasan tahun usianya, bagaimana bisa demikian cepat dan juga aneh?
Serangan balasan dengan tendangan ini sebetulnya tidak pada tempatnya untuk melayani tamparan tadi, bahkan membahayakan si penendang sendiri. Maka Kui Tosu juga tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk memberi hajaran dan membikin malu gadis nekat ini. Tangan kirinya menyambar dari bawah dengan maksud menangkap kaki yang menendang untuk kemudian didorong supaya gadis itu jatuh.
Akan tetapi begitu tangan kakek ini menyentuh sepatu Li Eng, dengan kaget ia terhuyung mundur karena pada saat itu tanpa disangka-sangka sama sekali Li Eng dapat memutar kakinya yang langsung menendang ke pundak Kui Tosu. Serangan ini sama sekali tidak tersangka-sangka olehnya karena amat aneh, maka tanpa dapat ia hindarkan, pundaknya telah didorong ujung sepatu, biar pun tidak mengakibatkan luka parah, akan tetapi cukup membuat ia terhuyung-huyung dan kehilangan muka!
Marah sekali kakek ini. Tanpa berkata apa-apa ia kemudian menerjang kembali, sekarang mengeluarkan serangan yang hebat. Bahkan kakek ke dua, Bu Tosu, juga membentak sambil menyerang.
"Heh-heh, kambing tua yang satu lagi kenapa tidak maju?" Li Eng mengejek.
Tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebatan ke sana ke mari, menyelinap di antara serangan dua orang kakek dari utara itu. Bagaikan seekor burung walet yang amat gesit tubuhnya berloncatan, menyelundup, mengelak dan semua itu digerakkan dengan langkah-langkah ilmu silat Hoa-san-pai yang amat sempurna sehingga Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, dua orang ahli ilmu silat Hoa-san-pai, yang melihat itu jadi saling pandang dengan penuh keheranan.
Apa lagi ketika Lie Eng menggunakan langkah-langkah Hoa-san Pat-kwa-pouw, tak terasa lagi Kwa Tin Siong berbisik kepada isterinya, "Dari mana dia mempelajari ini?"
Sementara itu, Kui Tosu dan Bu Tosu menjadi makin penasaran karena sudah beberapa belas jurus mereka menyerang, belum juga mampu mengalahkan gadis aneh itu. Jangan kata mengalahkan, menyentuh ujung bajunya saja tak mampu.
Melihat ini, Lai Tosu tiba-tiba teringat akan sesuatu dan ia maju pula sambil membentak, "Siluman cilik, apakah kau anggota rombongan di Im-kan-kok yang hendak mengacau Hoa-san-pai?"
"Hi-hik, kambing tua, kau majulah sekalian, mengapa banyak bertanya? Kalau benar aku anggota rombongan, apakah kau takut?"
"Bagus, kalau begitu kami akan menangkapmu lebih dulu!"
Lai Tosu segera menyerbu dan pertandingan menjadi makin ramai karena sekarang Lie Eng di keroyok tiga oleh Pak-thian Sam-lojin. Sungguh pemandangan yang luar biasa lucu apa bila melihat betapa seorang gadis belasan tahun kini dikeroyok tiga oleh tokoh-tokoh ternama seperti Pak-thian Sam-lojin.
Kwa Tin Siong mengerutkan kening. Dua macam perasaan mengaduk dan menguatirkan hatinya. Pertama-tama, sungguh pun Pak-thian Sam-lojin adalah tamunya dan bertindak untuk membantu Hoa-san-pai, namun sungguh amat tidak layak kalau tiga orang tokoh persilatan mengeroyok seorang gadis cilik.
Kedua kalinya, jika betul gadis ini adalah anggota rombongan yang menyerbu Im-kan-kok, benar-benar berbahaya sekali. Baru gadis cilik ini saja sudah begini lihai, apa lagi yang lain-lain?
Heran dia, bagaimana seorang seperti Hek-houw Bhe Lam dapat mengajak seorang gadis selihai ini? Dan lebih aneh lagi, kini jelas baginya bahwa gadis ini benar-benar seorang ahli silat Hoa-san Kun-hoat, sungguh pun gerakan-gerakannya sangat aneh dan bahkan lebih cepat dan lebih hebat dari pada ilmu silat Hoa-san-pai yang asli.
Selagi ia hendak turun tangan mencegah dilanjutkannya pertempuran yang seimbang itu, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara suitan panjang yang mengagetkan semua orang. Apa lagi setelah melihat betapa tubuh gadis itu lenyap berubah bayangan yang cepat bukan main.
Tiga orang kakek itu mengeluarkan suara kaget, apa lagi Kui Tosu dan Bu Tosu karena entah bagaimana caranya, tahu-tahu gadis itu sudah dapat menyambar jenggot mereka yang panjang, lalu melilitnya menjadi satu, dan menarik-narik jenggot itu sehingga dengan gerakan kacau-balau dua orang tosu ini terpaksa berjingkrakan.
Mereka merasa kesakitan. Apa lagi sekarang Li Eng lari berputaran dan dalam keadaan yang kacau balau itu dia malah memutari tubuh Lai Tosu sehingga tosu ke tiga ini terbelit jenggot-jenggot itul Tiga orang tosu itu saling bertabrakan dengan kacau dan dua orang tosu yang dipegangi jenggotnya berteriak-teriak,
"Lepaskan jenggot! Lepaskan jenggot!"
Keadaan benar-benar sangat lucu dan terdengarlah suara ketawa Kun Hong, "Ha-ha-ha, lucu sekali."
"Apakah yang lucu?" Kwa Tin Siong membentak marah. "Bocah itu kurang ajar sekali." Ia melompat maju dan mencengkeram ke arah lengan tangan gadis itu sambil membentak, "Bocah kurang ajar, pergilah!"
Serangan Kwa Tin Siong ini hebat bukan main karena ia telah menggunakan jurus Dewa Menangkap Geledek. Namun ternyata bocah itu lebih lihai lagi karena dengan kecepatan luar biasa ia lalu mencengkeram jenggot-jenggot itu sambil berseru keras. Seketika itu pula jenggot-jenggot itu putus di tengah-tengah dan sebelum sempat tangan Kwa Tin Siong menyentuhnya ia telah menyambitkan rambut jenggot dalam genggamannya itu ke arah muka Ketua Hoa-san-pai.
"Aiiih!" Kwa Tin Siong cepat membuang diri ke samping dan rambut jenggot itu meluncur cepat di samping kepalanya. Bukan main hebatnya tenaga dalam gadis itu yang mampu menyambitkan rambut menjadi senjata rahasia yang ampuh.
Sementara itu, Pak-thian Sam-lojin benar-benar marah. Hinaan ini membuat mereka bagai kebakaran jenggot dan mencak-mencak saking marahnya. Juga Lai Tosu yang tidak putus jenggotnya, yang tadi tubuhnya terbelit jenggot kedua saudaranya sampai pakaiannya robek-robek, menjadi marah sekali.
Seperti dikomando saja ketiganya menggerakkan tangan dan tahu-tahu tangan mereka telah memegang sebatang pedang. Dengan muka merah mata melotot dan sikap penuh ancaman, ketiganya menghadapi Li Eng yang tersenyum-senyum mengejek.
Kwa Tin Siong hendak membuka mulut mencegah tiga orang tamunya itu mengeroyok gadis aneh tadi dengan pedang di tangan.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara keras, "Aih, tiga orang tua bangka mengeroyok seorang bocah? Ha-ha, betul-betul tak tahu malu Pak-thian Sam-lojin menghadapi lawan yang patut menjadi cucunya!"
Ucapan ini keras dan parau, lalu disusul melayangnya sesosok tubuh ke tengah pelataran itu. Ketika tubuh ini jatuh berdebuk di atas tanah kiranya itu adalah tubuh seorang tosu Hoa-san-pai yang sudah mati dan tubuhnya hitam hangus seperti terbakar.
Li Eng gadis aneh itu tertawa, lalu sekali mengenjot tubuhnya ia telah meloncat ke atas sebuah pohon, duduk ‘nongkrong’ di atas cabang pohon itu, duduk dengan enak seperti orang hendak menonton pertunjukan yang menarik hati.
Dan sementara itu, dari luar pelataran datang beberapa orang aneh. Yang paling depan adalah seorang kakek tua yang bongkok, giginya sudah ompong dan matanya besar sebelah, pakaiannya tambal-tambalan dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam. Di sampingnya berjalan seorang wanita yang biar pun usianya sudah lima puluh tahun lebih namun pakaiannya masih mewah dan wajahnya masih cantik.
Kwa Tin Siong dan isterinya, juga Pak-thian Sam-lojin segera mengenal dua orang ini yang bukan lain adalah Toat-beng Yok-mo dan Kim-thouw Thian-li, dua orang kang-ouw yang sudah tersohor karena kejahatan dan kelihaiannya.
Toat-beng Yok-mo, sesuai dengan nama julukannya Yok-mo (Setan Obat), adalah ahli pengobatan yang tiada duanya di dunia kang-ouw. Kepandaiannya mengobati luar biasa sekali sehingga boleh dibilang segala macam penyakit ia sanggup mengobatinya sampai sembuh. Akan tetapi hebatnya, setelah orang yang diobati sembuh, ia tentu akan turun tangan membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa ia mendapat julukan Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa). Ada pun Kim-thouw Thian-li adalah Ketua Ngo-lian-kauw yang terkenal jahat, kejam, dan curang sekali.
Di belakang dua orang tokoh ini kelihatan seorang laki-laki tinggi besar dengan mata bundar, di punggungnya terlihat sebatang golok yang mengkilap dan besar. Kwa Tin Siong dan yang lain-lain tidak mengenal orang ini, akan tetapi Thio Ki atau Thian Beng Tosu segera mengenalnya. Itulah musuh lamanya, Hek-houw Bhe Lam! Di belakang tiga orang ini masih terdapat sekelompok orang berjumlah tiga puluh dan rata-rata mempunyai air muka yang kasar dan kejam.
Dengan keberanian luar biasa, sebelum orang lain bergerak, Kun Hong sudah melangkah lebar menyambut kedatangan rombongan yang dikepalai oleh kakek bongkok seperti iblis itu. Dengan nada suara marah Kun Hong berkata, "Apakah kalian ini yang menulis surat dan hendak mengacau Hoa-san-pai?"
Kim-thouw Thian-li yang semenjak dulu berwatak genit dan gila laki-laki, melihat pemuda yang tampan ini menjadi tertarik hatinya dan memandang kagum. Ia selamanya kagum sekali melihat pemuda tampan yang mempunyai keberanian besar seperti Kun Hong ini. Diam-diam ia mengira bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar muda yang memiliki kepandaian tinggi.
Sementara itu, Toat-beng Yok-mo tertawa ha-ha-he-he lalu menjawab, "Yang menulis surat adalah Bhe-sicu ini, aku hanya turut datang saja. Orang muda, kau mau apakah? Orang tidak memiliki ilmu silat seperti kau ini tak perlu maju. Heh-heh!" Sekali pandang dapat melihat bahwa Kun Hong tidak mengerti ilmu silat, hal ini saja sudah membuktikan ketajaman mata kakek ini.
"Aku tidak akan bicara tentang ilmu silat, juga tentang maksud kedatangan kalian biar kita bicarakan belakangan. Yang sekarang penting untuk kita bicarakan adalah tentang ini!" Kun Hong makin marah ketika menudingkan telunjuknya ke arah muka tosu yang rebah menggeletak di atas tanah dalam keadaan mengerikan itu.
"Apakah kalian yang membunuh seorang saudara kami ini?"
"He-heh-heh..." Toat-beng Yok-mo terkekeh geli dan bertukar pandang dengan Kim-thouw Thian-li.
Wanita genit ini merasa semakin kagum saja menyaksikan ketabahan pemuda tampan itu. Diam-diam ia masih tidak percaya kata-kata Toat-beng Yok-mo yang tadi menganggap pemuda ini tiada kepandaian. Seorang tanpa kepandaian silat mana seberani ini?
"Pemuda tolol, kalau betul kami yang membunuh lalu kau mau apa?" Kakek ompong itu kembali tertawa sehingga tampak mulutnya yang tak bergigi lagi.
Kun Hong makin marah. "Mana ada aturan ini? Kalian ini benar-benar jahat sekali, apa kalian tidak patut dihukum? Mana bisa kalian membunuh begitu saja? Aku tidak terima!"
"Habis, kau mau apa?" Hek-houw Bhe Lam melangkah maju menantang.
"Apa kau yang bernama Hek-houw?" Kun Hong bertanya.
"Betul Kau siapa dan apa maksudmu berlagak?" jawab kepala rampok ini.
“Betul-betul tak kenal aturan. Datang-datang membunuh orang. Jika kulaporkan kau tentu ditangkap dan dihukum mati. Apa bila kau dan teman-temanmu datang hendak mengadu kepandaian, itu sih masih mendingan. Akan tetapi kalian datang-datang telah melakukan pembunuhan, benar-benar penasaran! Tunggu saja aku akan menyuruh seorang saudara melaporkan kepada kepala kampung di kaki gunung, kau tentu akan ditangkap dan diseret ke pengadilan!"
Hek-Houw Bhe Lam melengak heran dan terdengarlah suara ketawa ramai di antara para pendatang itu. Bhe Lam akhirnya tertawa juga, tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha, kiranya di Hoa-san-pai ada orang gila berotak miring. Jangan banyak mulut, pergilah!" Tangannya bergerak memukul dada Kun Hong.
Kwa Tin Siong kaget sekali dan melompat hendak menolong puteranya, akan tetapi.....
Pada saat itu pula Bhe Lam berseru kesakitan dan menarik kembali tangannya. Ternyata bahwa tangannya itu tersambit sebutir buah mentah yang dilempar dari atas.
Tiba-tiba dari atas pohon meluncur benda panjang hitam yang secara kilat telah membelit pinggang Kun Hong dan... pemuda itu seperti terbang melayang ke atas pohon. Kun Hong berteriak-teriak kaget dan tahu-tahu dia sudah duduk di atas cabang pohon dekat Li Eng yang tertawa-tawa sambil mengomel.
"Kenapa kau begini tolol, membiarkan dirimu menjadi buah tertawaan orang dan menjadi bahan pukulan? Lebih baik duduk di sini menonton, kan enak?"
Kun Hong berpegangan kuat-kuat pada batang pohon yang didudukinya, masih kaget dan terheran-heran. Ketika ia melihat, ternyata bahwa gadis itu tadi telah mengereknya naik dengan sehelai sabuk sutera yang hitam dan panjang sekali. Diam-diam ia merasa kagum dan juga heran. Akan tetapi wajahnya segera berubah pucat karena tubuhnya bergoyang, ia merasa ngeri duduk di tempat yang begitu tinggi.
"Apa kau takut jatuh?"
"Ti...tidak!" Kun Hong dapat menetapkan hatinya.
Ia merasa malu kepada gadis cilik ini kalau duduk di atas cabang pohon saja ketakutan. Ia memandang ke bawah dan melihat bahwa semua orang sedang memandang ke atas.
Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa tadinya terkejut sekali, akan tetapi sesudah melihat putera mereka duduk dengan aman di dekat gadis bernama Li Eng itu serta mendengar percakapan mereka, kini keduanya merasa lega dan juga geli. Di atas pohon itu putera mereka akan aman, apa lagi gadis aneh itu agaknya melindunginya.
Karena ada urusan yang lebih penting dihadapi, maka mereka lalu menujukan perhatian pada Hek-houw Bhe Lam dan teman-temannya. Sekarang Kwa Tin Siong bisa menduga dengan hati lega bahwa gadis yang amat lihai itu kiranya bukan teman rombongan musuh ini, buktinya tadi menyambit tangan Bhe Lam untuk menolong Kun Hong.
Li Eng berbisik di dekat telinga Kun Hong, "Kakek ompong itu lihai sekali. Dia membunuh tosu itu dengan racun ular laut hitam yang sangat berbahaya. Hemmm, hendak kulihat siapa yang berani menjamah mayat itu..."
Kun Hong bergidik, "Dia pembunuh keji, harus ditangkap, harus diseret ke pengadilan!"
Gadis itu terkikik tertawa lalu menutup telinga Kun Hong seperti anak kecil bermain-main menggoda temannya. "Kau ini orang aneh... hi-hi-hi, menggelikan sekali. Bagaimana bisa menangkap dia?"
"Tak peduli dia lihai, dia harus tunduk kepada hukum!"
"Ssttt, jangan ribut-ribut, kau lihat saja...," gadis itu berbisik lagi.
Kun Hong merasa tidak enak sekali. Gadis itu duduk terlalu dekat dengannya, tidak hanya berendeng melainkan berhimpitan sehingga pundaknya menyentuh pundak gadis itu. Saat gadis itu berbisik, lehernya tertiup napas hangat dan hidungnya mencium bau harum yang keluar dari rambut gadis itu yang berkibar tertiup angin mengenai leher dan mukanya.
Ingin ia menjauhkan diri, akan tetapi ia tidak berani bergerak karena cabang itu demikian kecil dan bergoyang-goyang terus. Mengerikan! Terpaksa dia mengalihkan perhatiannya dan memandang ke bawah.
Pak-thian Sam-lojin baru saja menderita penghinaan hebat dari Li Eng. Oleh gadis cilik itu mereka seolah-olah dipermainkan di depan anggota Hoa-san-pai. Betul-betul memalukan betapa tiga orang tokoh besar seperti mereka telah dipermainkan sedemikian rupa oleh gadis yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw, malah yang mempergunakan ilmu silat Hoa-san-pai untuk mempermainkan mereka itu.
Mereka bertiga dapat menduga bahwa meski di luarnya Ketua Hoa-san-pai tidak senang melihat gadis itu mempermainkan mereka, namun karena gadis itu memainkan ilmu silat Hoa-san-pai, sudah barang tentu para tosu Hoa-san-pai sedikit banyak merasa bangga dan senang. Hati mereka masih penuh dengan dendam dan amarah, maka kedatangan rombongan musuh-musuh Hoa-san-pai ini hendak mereka gunakan untuk ‘mencuci muka’ mereka dan memperlihatkan kegagahan.
Orang pertama yang melangkah maju adalah Bu Tosu yang jenggotnya tinggal sepotong, sekarang panjangnya hanya sebatas leher karena tadi telah direnggut putus oleh Li Eng yang nakal. Begitu melangkah maju ia membuka mulut dan berkata dengan nyaring,
"Yok-mo, keadaan negara sedang aman dan damai, mengapa kau orang tua mencari perkara di Hoa-san-pai? Kau lihat, kami bertiga orang-orang tua dari Pak-thian sengaja datang ke Hoa-san untuk bertemu dan beramah-tamah dengan Ketua Hoa-san-pai, Kwa Sicu yang gagah. Setelah melihat kami bertiga, apa kau tidak dapat mengingat hubungan lama dan menjadi tamu yang terhormat agar kita dapat minum arak bersama?"
"Heh-heh-heh, Pak-thian Sam-lojin benar-benar seperti bunglon, plin-plan!" kata Yok-mo sambil tertawa terkokeh-kekeh, "Dahulu kau menjadi begundal Kaisar, diam-diam dahulu menganggap Hoa-san-pai sebagai musuh, walau pun di luarnya kalian berpura-pura baik. Sekarang kalian mendekati Hoa-san-pai, he-he-heh, bukankah karena kalian tertarik oleh kedudukan Ketua Hoa-san-pai? Memang bagus sekali, bagus untuk kalian tentu, itu pun kalau kalian bisa memimpin para tosu di Hoa-san."
Wajah tiga orang tosu itu menjadi merah sekali. Diam-diam Kwa Tin Siong merasa heran mendengar ini dan memandang ke arah tiga orang tamunya dengan tajam penuh selidik.
"Isteriku yang manis, katakan, bukankah tiga orang keledai tua ini teman seperjuanganmu membantu Kaisar Mongol? Heh-heh-heh."
Kim-thouw Thian-li menjebirkan bibirnya yang masih digincu merah sekali. "Memang betul, tetapi mereka ini hanya mendesak-desak apa bila ada rejeki untuk dibagikan, sebaliknya segera kabur pada waktu ada bahaya mengancam. Siapa sudi mengaku mereka sebagai teman?"
Makin merah wajah tiga orang kakek itu. "Jangan buka mulut seenaknyal" kata Kui Tosu sambil mencabut pedangnya. "Apakah kalian kira kami Pak-thian Sam-lojin takut kepada kalian?"
Bu Tosu segera menyambung. “Yok-mo, tadi aku bicara baik padamu tetapi kau malah menghina. Menurut pendapat kami, sesungguhnya tidak ada perlunya kalian memusuhi Hoa-san-pai. Apa lagi datang-datang kalian sudah membunuh seorang tosu Hoa-san-pai, benar-benar ini keterlaluan. Kalau kau mau bicara tunggulah aku menyingkirkan mayat ini, kasihan sekali saudara ini menggeletak di sini."
Dari atas pohon Kun Hong bicara perlahan, "Hemmm, aneh sekali. Tadinya ketiga orang kakek itu sombong dan keras, kenapa sekarang tosu itu begitu baik hatinya?"
"Hi-hi-hik, baik apanya? Sebentar lagi ia akan mampus!" jawab Li Eng.
"Apa maksudmu...?" Kun Hong kaget bukan main. Memang ia merasa paling ngeri kalau mendengar orang bicara tentang mati begitu gampangnya.
"Begitu ia menyentuh mayat ia akan mati...," kata pula Li Eng tak pedulikan.
Kun Hong terkejut dan cepat memandang ke bawah. Pada saat itu, dengan lagak gagah, dan hal ini terutama sekali untuk ‘mencuci muka’ mereka dari semua hinaan dan untuk memamerkan di depan para tosu Hoa-san-pai bahwa dia adalah seorang yang berhati penuh welas asih, Bu Tosu berlutut dan mengangkat mayat itu dengan kedua tangannya. Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget.
Disusul oleh suara ketawa terkekeh-kekeh dari Yok-mo, Bu Tosu melepaskan lagi mayat itu. Ia cepat meloncat berdiri, akan tetapi segera terhuyung-huyung ke belakang.
"Kenapakah, Suheng...?" tanya Lai Tosu dan hendak memegang kakak seperguruannya.
"Mundur dan jangan sentuh!" seru Kui Tosu sambil mendorong pergi Lai Tosu.
Sungguh keadaan Bu Tosu amat mengerikan. Kedua tangannya menjadi kehitaman dan dia menjerit-jerit kesakitan.
"Maaf Ji-sute, terpaksa untuk menolong nyawamu!" Kui Tosu berseru dan menggerakkan pedangnya membacok.
"Crokkk!"
Kedua lengan Bu Tosu terbabat putus sebatas pergelangan tangan. Dua buah tangan yang sudah hitam sekali itu jatuh ke atas tanah dan sedikit pun tidak ada darah keluar. Mengerikan sekali.
"Bagaimana, Ji-sute?" Kui Tosu melihat penuh perhatian.
Bu Tosu masih menjerit-jerit dan ternyata warna kehitaman sudah menjalar di lengannya yang sebelah kanan, ada pun lengan kirinya yang buntung mulai mengeluarkan darah. Hal ini berarti bahwa racun itu sudah menjalar terus ke lengannya yang kanan.
Melihat ini, dengan muka sedih sekali Kui Tosu kembali menggerakkan pedangnya dan...
“Crokk!”
Lengan kanan Bu Tosu sebatas pundak terbabat putus! Dari luka di pundak itu mengucur darah merah, berarti bahwa racun itu sudah tidak berada di tubuhnya.
"Tertolong jiwamu, Ji-sute...," kata Kui Tosu dengan lega.
Akan tetapi tiba-tiba Bu Tosu mengeluarkan suara serak yang amat keras dan tubuhnya yang sudah tak bertangan lagi itu menerjang maju, kepalanya menyeruduk ke arah perut Yok-mo.
Kakek iblis ini terkekeh-kekeh lagi, tangan kanannya bergerak dan ujung tongkat hitamnya menotok ubun-ubun kepala lawannya. Tanpa mengeluarkan suara lagi Bu Tosu langsung roboh dan... tubuhnya berubah menjadi hitam. Kiranya ujung tongkat itu mengeluarkan racun yang amat hebatnya.
"Keparat keji!" teriak Kui Tosu dan Lai Tosu yang cepat mengerjakan pedang mereka menggempur Yok-mo.
Oleh karena urusan Hoa-san-pai belum disinggung-singgung dan pertempuran antara tiga orang tamunya melawan pihak musuh ini terjadi karena pembunuhan atas diri Bu Tosu, maka Kwa Tin Siong ragu-ragu dan belum mau turun tangan. Dia hanya melihat betapa dua orang tosu itu mengeroyok Yok-mo.
Juga dari pihak Yok-mo, hanya seorang iblis tua ini saja yang bergerak dan menghadapi pengeroyokan itu. Kim-thouw Thian-li, Bhe Lam yang lain-lain hanya menonton. Bahkan Kim-thouw Thian-li hanya tersenyum mengejek saja, seolah-olah pertempuran yang terjadi antara suaminya dan dua orang tosu itu hanya main-main saja.
Di atas pohon terjadi keributan. Dengan muka pucat Kun Hong melihat semua itu. Hatinya ngeri bukan main, tubuhnya menggigil, tapi ia masih dapat memandang kepada Li Eng dengan mata melotot marah.
"Kau... kau gadis berhati kejam. Jadi kau sudah tahu bahwa siapa yang memegang mayat itu akan mati?"
Li Eng balas memandang, masih tersenyum lalu mengangguk lucu. Bibirnya tertutup tapi mulutnya bergerak-gerak seakan-akan giginya menggigit-gigit sesuatu dan kebiasaan ini membuat ia nampak makin manis saja.
Bukan kepalang kemarahan Kun Hong. "Kau... kau patut dihajar!"
Tangannya diangkat, lalu digerakkan menampar pipi kiri gadis itu. Li Eng dengan enaknya menundukkan kepalanya sehingga tamparan itu mengenai angin saja dan... tubuh Kun Hong terguling dari atas cabang.
Dalam kemarahannya tadi ia sampai lupa kalau ia duduk di atas cabang pohon, maka ia berani menampar sekuat tenaga. Karena tamparannya tidak mengenai sasaran, maka ia terpelanting dan jatuh!
Tubuh Kun Hong tiba-tiba terhenti di tengah udara. Ia merasa pinggangnya dilibat sutera hitam, lalu perlahan-lahan tubuhnya dikerek naik, bukan di cabang yang tadi, melainkan di sebuah cabang yang berada paling tinggi di pohon itu. Di situlah ia didudukkan, di atas cabang yang kecil sehingga cabang itu melengkung dan bergoyang-goyang pada saat ia duduk diatasnya. Li Eng sambil tertawa turun lagi dan duduk di atas cabang besar yang tadi, jauh di bawah Kun Hong.
"Heee..., turunkan aku...!" Kun Hong berteriak-teriak sambil memeluk ranting-ranting yang berada di dekatnya. Bukan main ngerinya melihat ke bawah, begitu tinggi tempatnya dan cabang itu bergoyang-goyang keras.
Li Eng menoleh ke atas, tersenyum mengejek. "Diamlah, jangan berteriak-teriak dan lebih baik nonton pertunjukan hebat di bawah. Kalau kali ini kau banyak bergerak dan jatuh, aku malas untuk menolongmu lagi."
Menghadapi gadis yang nakal itu, Kun Hong yang biasanya pandai berdebat dan tak mau kalah, menjadi diam dan memeluk cabang kuat-kuat sambil memandang ke bawah. Apa yang dilihatnya di bawah membuat ia semakin ngeri. Ia melihat betapa kedua pihak, yaitu pihak Hoa-san-pai dan pihak Bhe Lam dan teman-temannya, kini sudah mulai bertempur sehingga terlihat seperti perang kecil.
Ternyata bahwa Kui Tosu dan Lai Tosu tak dapat menandingi permainan tongkat Yok-mo yang luar biasa dan amat ganas itu. Kakek ompong bongkok ini biar pun dikeroyok dua oleh Kui Tosu dan Lai Tosu yang memiliki tingkat ilmu pedang yang tinggi, tidak menjadi gugup. Terutama sekali ia mengandalkan kepada tongkat hitamnya yang benar-benar membuat dua orang tosu itu agak jeri dan ngeri mengingat akan keampuhan racun yang berada dalam tongkat itu. Makin lama makin terdesaklah Kui Tosu dan Lai Tosu.
Melihat keadaan demikian itu, hati Kwa Tin Siong menjadi tidak enak sekali. Memang harus diakui bahwa kedua orang tosu ini bertempur untuk membalas kematian saudara mereka, dan tak ada hubungannya dengan Hoa-san-pai. Akan tetapi maksud kedatangan mereka mula-mula adalah untuk membantu Hoa-san-pai sungguh pun tadi ia meragukan akan maksud-maksud tersembunyi lain yang masih belum terbukti. Andai kata tiga orang tosu tua itu tidak datang ke Hoa-san-pai di saat Hoa-san-pai didatangi musuh-musuh, sudah pasti mereka takkan menemui kesulitan, Bu Tosu tak akan tewas dan kedua orang tosu itu tidak akan bertempur melawan Yok-mo yang lihai itu.
Namun, Kwa Tin Siong tetap merasa enggan untuk ikut mencampuri pertempuran ini. Dia adalah seorang Ketua Hoa-san-pai, maka untuk menjaga nama baik Hoa-san-pai, segala sepak terjangnya ia perhitungkan betul.
Pada saat ia meragu, tiba-tiba saja Hek-houw Bhe Lam sambil tertawa melangkah maju menghadapi Thian Beng Tosu dan berkata, "Thio Ki, meski pun kau sudah menyamar sebagai tosu, jangan kira kau akan terlepas dari tanganku!"
"Bhe Lam, sungguh sayang sekali bahwa selama belasan tahun ini kau masih belum mau kembali ke jalan benar. Pinto tidak menyamar, memang pinto sekarang bukan Thio Ki lagi melainkan Thian Beng Tosu dan kalau kau masih saja menaruh dendam atas hukuman yang jatuh kepadamu ketika kau melakukan kejahatan dahulu, majulah. Kali ini pinto tidak akan memberi ampun lagi kepadamu."
"Ha-ha-ha, keledai busuk yang sombong. Kematian sudah di depan mata masih hendak berlagak lagi?"
Hek-houw Bhe Lam meloloskan golok besarnya dan segera maju menerjang. Thian Beng Tosu juga sudah mencabut pedangnya dan dua orang musuh lama ini segera bertanding.
Melihat betapa pihak lawan sudah mulai menyerang, Kwa Tin Siong membuang keraguan hatinya dan segera dia berseru keras, "'Toat-beng Yok-mo, sebagai seorang tokoh besar tidak seharusnya kau mengacau Hoa-san-pai. Aku yang bertanggung jawab di sini, tidak bisa membiarkan kau menyebar kematian!"
Dengan Hoa-san Po-kiam di tangannya dia lantas melompat ke gelanggang pertempuran, membantu Kui Tosu dan Lai Tosu yang sudah terdesak hebat sekali oleh tongkat hitam di tangan Yok-mo itu. Makin hebat pertandingan itu, dan Toat-beng Yok-mo tetap melayani tiga orang lawannya sambil terkekeh-kekeh.
Kim-thouw Thian-li sudah mencabut pedangnya dan di lain saat ia sudah dihadapi oleh Liem Sian Hwa yang juga sudah memegang pedang telanjang. Dua orang musuh besar ini saling berhadapan dan saling memandang penuh kebencian.
Memang semenjak dahulu Sian Hwa sangat membenci Ketua Ngo-lian-kauw ini. Wanita inilah yang mendatangkan segala penderitaan bagi dia dan Hoa-san-pai, membuat dirinya harus kehilangan tunangannya, yaitu Kwee Sin murid Kun-lun-pai. Gara-gara wanita ini pula maka ia dan suaminya yaitu Kwa Tin Siong bekas suheng-nya, lari dari Hoa-san-pai dan suaminya itu sampai terbabat putus tangan kirinya.
Kini wanita ini berani kembali datang mengacau Hoa-san-pai, mengacau penghidupannya yang sudah belasan tahun dalam ketenteraman. Dapat dibayangkan betapa kemarahan dan kebenciannya memuncak.
"Siluman betina dari Ngo-lian-kauw, hari ini aku Liem Sian Hwa harus mengadu nyawa denganmu!"
"Hemmm, perempuan tak tahu malu, kebetulan sekali kalau kau sudah bosan hidup. Hayo majulah, aku akan mengantarmu ke neraka!" Kim-thouw Thian-li mengejek.
Sian Hwa berseru keras dan pedangnya berkelebat menyerang, ditangkis oleh Kim-thouw Thian-li. Mereka pun segera terlibat dalam pertempuran dahsyat yang mati-matian.
Sementara itu, tanpa dikomando lagi, para tosu Hoa-san-pai sudah maju menyerang tiga puluh orang pengikut Bhe Lam dan terjadilah perang kecil yang diikuti teriakan-teriakan sehingga keadaan di puncak Hoa-san-pai yang biasanya tenang dan damai itu sekarang menjadi kacau dan gaduh.
Dalam hal ini Hek-houw Bhe Lam salah hitung. Ia masih mengira bahwa tosu Hoa-san-pai adalah tosu-tosu yang hanya pandai membaca kitab saja. Ia tidak tahu akan perubahan di Hoa-san-pai semenjak Kwa Tin Siong menjadi ketua.
Sekarang jauh berbeda dengan dulu. Setiap orang tosu Hoa-san-pai adalah ahli-ahli silat yang tekun melatih diri sehingga rata-rata mereka mempunyai kepandaian yang lumayan. Apa lagi jumlah mereka jauh lebih banyak dari pada anak buah Bhe Lam sehingga anak buahnya itu setiap orang harus melawan sedikitnya tiga orang tosu!
Memang, apa bila melihat para pemimpinnya, terlihat Bhe Lam sudah memperhitungkan masak-masak bahwa tokoh-tokoh yang menyertainya itu akan mampu mengalahkan para pimpinan Hoa-san-pai. Akan tetapi, dalam hal anak buahnya, benar-benar ia salah hitung.
Anak buahnya memang para perampok yang kejam dan yang sudah biasa menghadapi pertempuran. Akan tetapi berhadapan dengan jumlah banyak, apa lagi yang memiliki ilmu silat Hoa-san-pai asli, anak buahnya tak dapat berkutik. Sebentar saja korban di pihaknya bergelimpangan!
Toat-beng Yok-mo tidak saja amat hebat dalam ilmu pengobatan, juga ilmu silatnya bukan main tingginya. Hal ini tidaklah aneh jika diingat bahwa ia masih keturunan langsung dari pada Yok-ong (Raja Obat) yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw ratusan tahun yang lalu. Walau pun dikeroyok tiga, ia masih mampu mengimbangi permainan tiga orang lawannya, malah dengan tongkatnya ia mampu mendesak Kui Tosu dan Lai Tosu.
Baiknya Kwa Tin Siong tadi segera maju. Terhadap pedang Ketua Hoa-san-pai ini dia tak berani main-main. Ilmu pedang Hoa-san-pai yang dimainkan Kwa Tin Siong benar-benar telah mencapai tingkat tinggi sehingga mengganggu pergerakannya. Apa lagi pedang itu adalah pedang Hoa-san Po-kiam yang ampuh.
Pertandingan antara Thian Beng Tosu dan Hek-houw Bhe Lam juga ramai sekali. Boleh dibilang kepandaian dua orang ini berimbang karena ternyata selama ini Bhe Lam sudah memperdalam ilmu kepandaiannya. Si Macan Hitam itu mainkan goloknya dengan ilmu golok dari utara yang mengandalkan tenaga, maka sekarang dilayani dengan ilmu pedang Hoa-san-pai yang mengandalkan tenaga lembut serta kecepatan, pertempuran ini ramai sekali dan seimbang. Sinar golok dan pedang bergulung-gulung menyilaukan mata dan di antara siutan desing kedua senjata ini terdengar seruan-seruan dan bentakan Hek-houw Bhe Lam.
Sementara itu, di lain bagian, Kim-thouw Thian-li mendesak Liem Sian Hwa dengan hebat. Ketua Ngo-lian-kauw ini seperti biasa bersenjatakan sebatang golok dan sehelai selampai merah. Ilmu pedang Liem Sian Hwa cepat dan ganas, gerakan tubuhnya ringan bagaikan burung menyambar-nyambar.
Memang tak mengecewakan nyonya ini memiliki julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) karena permainan pedangnya demikian cepat sehingga sinar pedang itu bergulung-gulung menelan lenyap bayangannya sendiri. Akan tetapi kini menghadapi Kim-thouw Thian-li, ia menemukan tandingan yang berat.
Tingkat kepandaian Ketua Ngo-lian-kauw ini memang lebih tinggi dari padanya, apa lagi setelah Kim-thouw Thian-li mewarisi ilmu pedang Im-sin Kiam-sut dari gurunya, Hek-hwa Kui-bo, biar pun hanya beberapa jurus. Di samping ini, ilmu pedangnya Ngo-lian Kiam-sut yang dibantu dengan sambaran-sambaran selampai merahnya, benar-benar sangat lihai dan berbahaya. Setelah mengerahkan seluruh kepandaiannya, barulah Sian Hwa dapat mengimbanginya, namun tetap saja pihak lawan lebih sering melancarkan serangan dari padanya.
Pada suatu saat, secara aneh selampai merah itu menyambar dan melibat pedang Sian Hwa. Terjadilah tarik menarik dan dalam saat yang berbahaya ini, golok di tangan kanan Kim-thouw Thian-li menyambar ke arah leher Sian Hwa!
Bingung sekali Sian Hwa menghadapi ini. Pedangnya belum dapat ia lepaskan dari libatan selampai dan serangan golok itu tak mungkin ia elakkan tanpa meloncat mundur. Apakah ia harus melepaskan pedangnya?
Selagi ia kebingungan, tiba-tiba Kim-thouw Thian-li menjerit, "Keparat curang!"
Dan Ketua Ngo-lian-kauw ini menarik kembali golok dan selampainya sambil melangkah mundur. Ternyata dari atas pohon sudah menyambar sebutir buah mentah yang tepat menghantam jalan darah di dekat sikunya sehingga ia merasa tangannya lumpuh. Itulah perbuatan Li Eng yang sekarang tertawa-tawa di atas pohon sambil menonton jalannya pertandingan. Tadi ketika ia melihat keadaan Sian Hwa terancam bahaya, ia segera turun tangan dan membantu.
Baik Sian Hwa mau pun Kim-thouw Thian-li tahu akan campur tangan gadis di atas pohon itu, karena tadi pun mereka sudah melihat kelihaian gadis aneh itu yang menolong Kun Hong dari serangan Bhe Lam menggunakan sambitan serupa.
"Siluman cilik, apa kau sudah bosan hidup?" Kim-thouw Thian-li memaki sambil goloknya diacung-acungkan ke arah Li Eng di atas pohon.
"Hi-hi-hi, siluman besar, kau sudah tua tentu kau akan mati lebih dulu dari padaku!" jawab Li Eng. Sambil menjawab sekaligus kedua tangannya diayun ke depan, maka puluhan butir buah mentah itu menyambar ke arah delapan belas jalan darah di tubuh Kim-thouw.
Ketua Ngo-lian-kauw ini kaget sekali. Ia cepat memutar goloknya menangkis, akan tetapi masih ada tiga butir ‘senjata rahasia’ yang mengenai tubuhnya. Baiknya buah itu biar pun masih mentah tapi tidak seberapa keras dan lweekang-nya sendiri sudah amat kuat maka ia tidak terluka parah, hanya merasa gemetar dan lumpuh di bagian yang kena sambit.
Pada saat itu, Sian Hwa tidak mau menyia-nyiakan waktu dan kesempatan ini. Bagaikan seekor burung walet ia lalu menerjang maju, pedangnya berkelebatan menyilaukan mata. Kim-thouw Thian-li berusaha menangkis, namun meleset tangkisannya karena pada saat itu ia masih belum dapat menguasai dirinya karena sambitan Li Eng tadi.
Pedang di tangan Sian Hwa bagaikan kilat menyambar menusuk lehernya. Ia membuang diri ke belakang sambil miringkan bagian atas tubuhnya sehingga pedang itu tidak tepat mengenai leher melainkan menyambar pundaknya.
Kim-thouw Thian-li menjerit kesakitan, pundaknya tertusuk pedang. Cepat dia melompat berjungkir-balik ke belakang lalu... melarikan diri secepatnya dengan pundak bercucuran darah!
Sebetulnya Lim Sian Hwa hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu ia mendengar pekik mengerikan dan ketika ia menengok ke arah gelanggang pertempuran, ternyata Kui Tosu terkena tusukan tongkat Toat-beng Yok-mo hingga tubuhnya menjadi hangus, sedangkan di saat berikutnya Lai Tosu terkena hantaman tangan kiri kakek bongkok yang lihai itu sehingga kepalanya pecah dan tewas di saat itu juga! Bukan main hebatnya kepandaian Yok-mo yang merobohkan dua orang lawannya dalam keadaan tertawa-tawa.
Terkejut hati Liem Sian-Hwa. Ia membatalkan niatnya mengejar Kim-thouw Thian-li dan cepat ia melompat dekat suaminya lalu langsung mengeroyok Yok-mo. Kalau tadi dibantu oleh dua orang tosu tua itu saja suaminya tidak mampu mengalahkan Yok-mo, apa lagi sekarang seorang diri. Karena inilah maka Sian Hwa lalu membantu suaminya dan suami isteri ini dengan mati-matian lalu mengeroyok Yok-mo yang masih saja melayani mereka sambil tertawa-tawa.
Baru setelah melihat Sian Hwa menerjangnya, kakek bongkok itu nampak kaget.
"Ehh, ehhh... mana isteriku?"
"Sudah terluka pundaknya dan kabur. Sekarang giliranmu untuk mampus!" bentak Sian Hwa.
Ucapan ini membuat Yok-mo marah bukan main. Dengan seruan seram seperti teriakan binatang buas ia menerjang dengan tongkatnya yang hebat, kini tidak tertawa-tawa lagi, dan gerakan tongkatnya benar-benar luar biasa sekali membuat suami isteri itu terdesak hebat.
Pertempuran antara anak-anak buah Hek-houw Bhe Lam dan para tosu Hoa-san-pai tidak berlangsung lama. Karena kalah banyak dan para tosu Hoa-san-pai sekarang rata-rata juga pandai ilmu silat, sebentar saja tiga puluh orang pengikut Bhe Lam itu roboh semua, tewas atau terluka. Tak seorang pun berhasil melarikan diri.
Melihat keadaan ini, apa lagi tadi melihat Kim-thouw Thian-li sudah melarikan diri, hati Bhe Lam menjadi keder juga dan karena itu permainan goloknya lantas menjadi kacau-balau. Kesempatan baik ini dipergunakan oleh Thian Beng Tosu untuk mempercepat permainan pedangnya dan dengan serangan miring dari samping kiri, sesudah memancing dengan sebuah tendangan, ia berhasil melukai lengan kanan Bhe Lam.
Kepala rampok ini terluka parah. Dia berteriak marah dan menyambitkan piauw dengan tangan kirinya ke depan. Thian Beng Tosu cepat membuang diri ke kanan dan dua buah senjata rahasia piauw meluncur lewat di dekat lehernya. Ketika ia memperbaiki kembali posisinya, ternyata lawannya sudah lari jauh.
"Hek-houw, kau hendak lari ke mana?" Thian Beng Tosu cepat melompat dan mengejar musuh besarnya itu.
Ada pun Kun Hong yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri pembunuhan secara besar-besaran yang terjadi di dalam pertempuran ini, mukanya menjadi pucat, napasnya sesak dan matanya melotot lebar.
"Celaka... celaka... bagaimana Hoa-san-pai bisa menjadi begini...?" Berulang-ulang dia berseru dengan ngeri dan panik.
Sekarang yang bertempur di bawah hanya tinggal kedua orang tuanya yang mengeroyok Toat-beng Yok-mo. Melihat betapa semua teman kakek bongkok itu tewas atau terluka dan ada yang lari, Kun Hong menjadi kasihan sekali. Peristiwa hebat yang ia saksikan di bawah itu sama sekali tak pernah terduga dapat terjadi.
Ia yang selalu belajar tentang kebajikan, tentang KeTuhanan dan peri kemanusiaan, tentu saja dalam mimpi pun belum pernah melihat manusia saling bunuh seperti ini. Semua ini membuat ia lupa akan ketakutan berada di atas cabang kecil di tempat begitu tinggi. Ia melihat gadis nakal itu masih saja duduk dengan kedua kaki tergantung dan tertawa-tawa.
Ia teringat bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang aneh. Maka cepat Kun Hong melorot turun dari cabang yang didudukinya dan tanpa takut sedikit pun ia melalui cabang-cabang mendekati Li Eng. Gadis itu sampai terkaget-kaget ketika tahu-tahu pemuda itu berada di dekatnya.
"Ehhh, kau berani turun?" tanyanya heran.
"Kau... kau tolonglah aku... kau turunlah dan pergunakan kepandaianmu untuk melerai mereka. Jangan biarkan ayah ibu membunuh orang atau terbunuh..."
Gadis itu tersenyum lebar sehingga kelihatan deretan giginya putih mengkilap dan teratur rapi seperti mutiara berderet. "Jadi kau ini anak mereka? Anak Ketua Hoa-san-pai? Kok aneh benar, orang-orang Hoa-san-pai itu biar pun kepandaiannya tidak tinggi tapi cukup bersemangat dan gagah, kenapa anaknya keluar tikus seperti kau?"
"Kau mau menolong tidak?" tanya Kun Hong gemas.
Gadis itu menggelengkan kepala. "Ketua Hoa-san-pai she Kwa adalah orang yang harus kubunuh, juga kakek bongkok itu aku tidak suka, mengapa aku harus melerai mereka? Biarlah mereka saling bunuh. Hi-hi-hik!"
Kun Hong tahu bahwa dia tidak dapat memaksa gadis itu, maka dia lalu melorot turun dengan susah payah dari pohon itu, ditertawai oleh gadis itu yang kembali menggodanya. "Hi-hi-hik, kau seperti anak monyet menuruni pohon!"
Kun Hong tidak pedulikan lagi padanya. Setelah tiba di bawah dia lalu lari menghampiri medan pertempuran. Ia bergidik pada waktu berlari melalui mayat-mayat manusia yang menggeletak di kanan kiri, ngerinya bukan main.
"Ayah... Ibu... sudahlah, jangan berkelahi lagi... sudah terlalu banyak korban...!" teriaknya berulang-ulang sambil mendekati pertempuran yang sedang hebat-hebatnya itu.
"Kun Hong, pergi...!" ibunya berteriak kaget melihat puteranya berani mendekati tempat itu.
Akan tetapi Kun Hong nekat dan makin dekat. "Jangan bunuh orang lagi, Ibu... ah, celaka sekali... bagaimana Hoa-san bisa menjadi tempat penyembelihan manusia...?" Kun Hong hampir menangis.
Akan tetapi pada saat itu ayahnya berseru, "Pergi kau...!"
Dan sebuah tendangan membuat Kun Hong terpelanting sejauh lima meter lebih. Ayahnya telah menendangnya! Biar pun ia tidak merasa sakit, tapi Kun Hong merangkak bangun dengan mata terpentang lebar. Bagaimana ayahnya sudah berubah begitu ganas? Dia sendiri malah ditendangnya!
Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak mengetahui bahwa dengan mendekati tempat pertempuran itu, nyawanya berada di dalam bahaya karena gerakan tongkat Yok-mo dan pedang ayah serta ibunya mengandung tenaga lweekang yang hawa pukulannya saja akan cukup membuat Kun Hong tewas. Tidak tahu pula ia bahwa tendangan ayahnya tadi adalah usaha untuk menjauhkan dia dari tempat berbahaya itu.
Kebetulan sekali Kun Hong terpelanting ke dekat tumpukan mayat-mayat para anak buah perampok. Ia melihat mayat-mayat itu dalam keadaan luka hebat, malah ada di antaranya yang belum mati, terluka parah dan mengaduh-aduh. Darah berceceran di mana-mana.
Kun Hong merasa hendak muntah melihat itu semua. Ia lalu bangkit berdiri, memegangi kepalanya sambil mengeluh, "Keji... kejam sekali... ah, tak sudi aku melihatnya...," Ia lalu lari tersaruk meninggalkan Puncak Hoa-san.
Sementara itu, Toat-beng Yok-mo masih terus mendesak suami isteri itu dengan tongkat hitamnya. Makin lama makin beratlah bagi Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Ternyata baik dalam tenaga lweekang, apa lagi dalam ilmu silat, kakek bongkok itu masih setingkat lebih tinggi dari pada mereka.
Apa lagi setelah Toat-beng Yok-mo mendengar tentang terlukanya Kim-thouw Thian-li. Ia menjadi marah bukan main sehingga gerakan-gerakan tongkatnya mengandung ancaman maut karena digerakkan dengan penuh nafsu membalas dendam dan membunuh.
Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa repot sekali menghadapi amukan kakek bongkok itu. Mereka maklum bahwa jika pertandingan ini dilanjutkan, mereka tentu akan celaka.
Anak buah Hoa-san-pai tidak ada yang berani mencoba untuk membantu tanpa menerima perintah ketua mereka. Selain ini, mereka juga tidak berani sembarangan mendekati pertempuran yang demikian dahsyatnya, karena maklum pula bahwa kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat mereka yang sedang bertanding.
Namun demikian, jika Kwa Tin Siong mau mengeluarkan perintah, para murid Hoa-san-pai tentu tidak akan ragu-ragu dan takut-takut untuk menyerbu. Meski di antara mereka tentu banyak yang roboh binasa, kakek bongkok itu sendiri sudah pasti takkan kuat menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang.
Akan tetapi, Kwa Tin Siong adalah seorang yang berjiwa gagah. Mana mungkin ia mau mengeluarkan perintah kepada para muridnya untuk melakukan pengeroyokan? Di dalam hukum persilatan, mengandalkan banyak teman untuk mengeroyok adalah perbuatan hina yang akan menjatuhkan nama baik. Sedangkan nama baik bagi seorang gagah lebih berharga dari pada selembar nyawa. Karena inilah maka baik Kwa Tin Siong mau pun isterinya, biar pun sudah terdesak hebat dan berada dalam ancaman maut, mereka tidak mau membuka mulut minta bantuan para murid Hoa-san-pai dan melawan mati-matian.
Pada saat itu terdengarlah teriakan dari atas pohon, "Heiii, kakek bongkok buruk! Ketua Hoa-san-pai masih ada urusan dengan aku, tak boleh kau membunuhnya!"
Suara ini adalah suara Li Eng yang segera dapat mengetahui bahwa suami isteri Ketua Hoa-san-pai itu tidak akan menang melawan Si Kakek Bongkok yang mengerikan dan amat lihai itu. Kedua tangannya segera bekerja, menyambit-nyambitkan buah mentah dari pohon yang ia duduki cabangnya itu.
Sambitan gadis ini bukan main-main dan tidak boleh dipandang ringan karena dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang yang luar biasa. Sambitannya susul-menyusul dan walau pun kakek bongkok itu dikeroyok dua oleh suami isieri Hoa-san-pai sehingga tubuh ketiga orang itu berkelebatan dan berloncatan ke sana ke mari, namun sambitan-sambitan Li Eng selalu tepat menuju sasarannya, yaitu bagian-bagian lemah dan jalan-jalan darah di tubuh Toat-beng Yok-mo! Akan tetapi alangkah kaget hati Li Eng ketika melihat bahwa semua buah mentah yang ia sambitkan itu, jatuh runtuh berserakan begitu mengenai tubuh Toat-beng Yok-mo.
"Siluman cilik, tunggu saja kau, akan datang giliranmu nanti!" Yok-mo membentak dengan nada mengejek sambil memperhebat tekanan tongkat hitamnya kepada suami isteri yang sudah mandi keringat dan sudah mulai kehabisan tenaga itu.
Li Eng segera memutar otaknya. Ia dapat menduga bahwa tentu kakek itu memiliki daya kekebalan yang dapat menutup jalan darah yang terkena sambitan, maka tidak terluka oleh sambitannya. Ia segera berseru nyaring mentertawakan,
"Hee, kakek ompong! Kau hendak menyombongkan kepandaianmu, ya? Baiklah, matamu yang besar sebelah itu amat tidak menyenangkan hatiku, hendak kubikin meram semua!"
Kembali kedua tangan Li Eng bergerak. Bagaikan peluru-peluru besi buah-buah mentah itu meluncur susul-menyusul, kini yang dijadikan sasaran adalah mata yang besar sebelah di muka Toat-beng Yok-mo!
Kali ini terdengar Tok-mo berseru marah sekali. Betapa pun saktinya, tidaklah mungkin manusia dapat membikin sepasang biji matanya kebal! Dan ia maklum bahwa satu kali saja matanya terkena sambitan itu, ia akan menjadi buta.
Repot juga tangan kirinya bergerak-gerak menyampok runtuh ‘senjata-senjata rahasia’ yang tiada habisnya menyerang matanya itu. Tentu saja perhatiannya menjadi terpecah, malah boleh dibilang sebagian besar ditujukan untuk menyelamatkan kedua matanya dari serangan hebat dari atas pohon itu.
Oleh karena inilah maka Kwa Tin Siong dan isterinya mendapatkan ‘angin baru’. Melihat kekosongan-kekosongan dan kelemahan-kelemahan pada lawan, maka mereka tak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik ini dan segera menghujankan serangan-serangan maut.
"Ceppp!"
Ujung pedang di tangan Liem Sian Hwa menancap di pundak kiri Yok-mo. Terdengar raungan mengerikan, tangan kiri Yok-mo mencengkeram ke depan dan...
“Pletakk!” ujung pedang Sian Hwa patah.
Akan tetapi, sekali lagi Yok-mo meraung hebat ketika pedang Kwa Tin Siong menusuk lambungnya. Cepat ia miringkan tubuh dan tongkat hitamnya menghantam pedang itu.
Bukan main kagetnya Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Tangkisan tongkat hitam itu hampir saja membuat pedang Hoa-san Po-kiam terlempar dari tangannya. Kwa Tin Siong cepat melompat mundur dan terhuyung-huyung, sedangkan Sian Hwa melompat mundur sambil melihat pedangnya yang sudah buntung. Bukan main hebatnya kakek tua itu, biar pun terluka di pundak dan lambung, namun masih demikian hebatnya sehingga hampir Kwa Tin Siong suami isteri celaka.
"Aduh, keparat...!" Yok-mo menjerit ketika pinggir mata kirinya tersambar buah mentah.
"Hi-hi-hik, siluman tua, sekarang kedua matanya sipit, tidak besar sebelah lagi, tapi lebih menjijikkan...!" Li Eng menggoda.
Kemarahan Yok-mo tak tertahankan lagi. Ia telah menderita dua luka tusukan oleh suami isteri Hoa-san-pai, dan luka di pinggir mata oleh gadis nakal di atas pohon itu. Semua ini adalah gara-gara gadis di pohon itu, maka kemarahannya segera tertumpah kepada Li Eng.
"Siluman cilik, kau harus mampus sekarang!"
Tubuhnya dienjot dan dengan cepat sekali ia telah melayang naik ke atas pohon sambil memutar tongkatnya karena ia hendak membunuh gadis itu dengah sekali serang untuk melampiaskan kemarahan hatinya.
"Celaka... kita harus bantu dia...," kata Kwa Tin Siong kepada Sian Hwa.
Isterinya mengangguk menyetujui karena sepadang suami isteri ini maklum bahwa tadi mereka telah ditolong dan dibantu oleh sambitan-sambitan gadis itu. Bagaikan sepasang burung garuda, kedua suami isteri ini meloncat dan menerjang Yok-mo dari belakang.
"Krakkk... bruuuukk!"
Cabang yang tadi dipakai duduk Li Eng menjadi patah dan tumbang oleh pukulan tongkat hitam Yok-mo. Akan tetapi Li Eng tidak ikut jatuh karena tanpa diketahui penyerangnya gadis itu telah berada di cabang yang lebih tinggi lagi.
"Hi-hi-hik, kakek bongkok ompong, aku di sini!"
Akan tetapi Toat-beng Yok-mo sekarang terpaksa melayani suami isteri yang ternyata sudah mengejar dan menyerangnya.
"Hei, kakek bongkok yang tak tahu malu, apakah kau sudah menyerah dan tidak berani mengejarku? Hi-hi-hik, beranimu hanya terhadap suami isteri yang tiada guna itu. Dan kalian, suami isteri Ketua Hoa-san-pai she Kwa, jangan begitu tak tahu malu. Aku tidak minta bantuan kalian, tahu?"
Mendengar ini, Yok-mo mengeluarkan seruan marah dan kembali dia meloncat ke atas dengan tongkat hitam diputar.
Li Eng sudah siap menanti, malah dia sempat berteriak, "Manusia she Kwa jangan bantu aku, aku tidak sudi!"
Ucapan ini tentu saja membuat Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa membatalkan niat mereka membantu dan membuat mereka marah juga malu. Terpaksa mereka lalu berdiri di tengah lapangan sambil menonton.
Kembali terdengar suara hiruk-pikuk. Cabang-cabang serta ranting-ranting pohon besar itu susul-menyusul patah dan tumbang karena hantaman tongkat Yok-mo. Akan tetapi, cepat dan ringan seperti seekor burung Li Eng sudah berpindah-pindah cabang sehingga dalam waktu yang tak begitu lama pohon itu sudah menjadi pohon gundul, hanya tinggal batangnya. Kemana perginya Li Eng?
Gadis yang lihai ini ternyata sudah melompat jauh dan telah berada di sebuah pohon lain yang lebih besar dan tinggi.
"Hi-hi-hik, Toat-beng Yok-mo. Benar-benarkah engkau hendak mencabut nyawaku? Aku berani mempertaruhkan kepalamu bahwa kau tak akan mampu?"
Digoda seperti ini, Yok-mo menjadi kehilangan kewaspadaannya, menjadi makin marah. Dengan tekad bulat untuk membunuh Li Eng, ia melompat juga mengejar ke arah pohon itu.
Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika tiba-tiba ada sinar hitam meluncur memapaki tubuh yang masih terapung di udara dalam lompatannya tadi. Benda itu bagaikan seekor ular hidup yang besar dan panjang, telah mematuk ke arah leher, dada dan pusarnya dengan gerakan bertubi-tubi dan berganti-ganti.
Kalau dia tidak sedang meloncat tentu dengan mudah dia akan menghadapi serangan macam itu, akan tetapi celakanya kini tubuhnya sedang di udara. Ia memutar tongkatnya untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba sinar hitam yang ternyata adalah sehelai sutera itu telah melibat-libat tongkat di tangannya. Yang hebat, sutera itu seperti hidup saja karena dengan tenaga terbagi-bagi sekarang membetot-betot tongkat hitamnya dengan kekuatan yang mengagetkan.
Karena Yok-mo memaksa diri mempertahankan tongkatnya agar jangan sampai dirampas lawan, maka kekuatan lompatannya menjadi patah setengah jalan dan sekarang tubuhnya mulai jatuh ke bawah. Ia masih memegangi tongkatnya yang terlibat sutera, karena itu sekarang ia jadi menggantung pada tongkatnya!
"He-he, Yok-mo, kau seperti seekor laba-laba besar hendak bertelur!" Li Eng mengejek sambil menarik-narik suteranya sehingga tubuh kakek itu pun ikut ‘menari-nari’ di bawah gantungan.
"Siluman cilik, akan kubetot jantungmu, akan kukorek otakmu, dan kujadikan bahan obat jin-sin-tan!" Yok-mo memaki-maki sekaligus mengancam, kemudian ia merambat ke atas melalui tongkatnya.
Sebentar kemudian ia telah berhasil menyambar sabuk hitam itu, melepaskan tongkatnya dan dengan sikap liar yang mengerikan ia mulai merayap naik melalui sabuk hitam, makin mendekati tempat Li Eng duduk, yaitu di sebuah cabang besar.
"Hemmm, bocah liar itu mencari penyakit!" gumam Kwa Tin Siong.
Ia sebetulnya tidak ingin melihat gadis yang aneh dan pandai ilmu silat Hoa-san-pai itu celaka di tangan Yok-mo, akan tetapi karena bocah itu sendiri melarang ia membantu, tentu saja ia malu untuk turun tangan.
"Melihat sikapnya, ia pun tentu bukan murid orang baik," kata Liem Sian Hwa. "Akan tetapi dia demikian cantik dan muda, kasihan kalau sampai mengorbankan nyawa di tangan Yok-mo. Apa lagi disengaja mau pun tidak dia tadi telah menolong kita. Tunggu saja, bila dia terancam, tidak peduli dia tidak suka dibantu, kita turun tangan."
Kwa Tin Siong menyetujui usui isterinya ini. Maka, mereka lalu siap-siap di bawah pohon untuk membantu apa bila sewaktu-waktu gadis itu terancam bahaya di tangan Yok-mo yang mukanya sudah merah hitam saking marahnya itu.
"Monyet tua, kau mau buah mentah? Nih, makan!"
Dan segera menghujanlah buah-buah mentah ke arah tubuh dan muka Yok-mo. Karena sambaran buah-buah itu sebagian besar ditujukan pada kedua matanya, terpaksa Yok-mo menundukkan muka, meramkan mata dan menutup jalan-jalan darah yang berbahaya agar jangan sampai tertotok oleh sambitan-sambitan itu.
Sementara itu ia merambat terus ke atas, semakin mendekati Li Eng. Ia merasa betapa luka-luka di pundak dan lambungnya mengucurkan darah dan terasa sakit sekali. Akan tetapi dengan mengeraskan hati, kakek yang sudah marah karena dipermainkan Li Eng ini terus mengerahkan tenaga merayap ke atas.
Hampir ia mencapai tempat Li Eng dan ia pun telah mengangkat tongkat hitamnya untuk menyerang gadis itu. Tiba-tiba saja tubuh Yok-mo meluncur ke bawah dan baru berhenti setelah ia hampir menyentuh tanah.
Yok-mo memaki-maki, kiranya sutera hitam itu diulur oleh Li Eng! Sambil memaki-maki Yok-mo merayap lagi, merambat ke atas dengan cepat sekali. Sebaliknya, Li Eng juga memaki-maki, mengejek sambil menyambit muka kakek itu dengan buah-buah mentah.
Biar pun kakek itu kebal dan tidak terluka oleh sambitan-sambitan itu, namun ia sedikitnya merasa mukanya sakit dan pedas. Ia mempercepat rambatannya ke atas dan sebentar saja ia sudah mendekati Li Eng lagi. Akan tetapi... tiba-tiba tubuhnya meluncur turun lagi sampai dekat tanah.
Sambil memutar tongkatnya melindungi muka dari sambitan buah, Yok-mo memandang dan dengan girang ia melihat bahwa kini gadis itu memegangi ujung sutera hitam. Hal ini berarti bahwa sutera yang panjang itu sudah habis dan tak akan dapat diulur lagi.
"Keparat cilik, kau hendak lari ke mana sekarang?" teriaknya sambil merambat lagi ke atas dengan cepat.
"Keparat gede!" Li Eng balas memaki. "Aku tidak lari ke mana-mana, kaulah yang jangan lari."
Begitu tubuh kakek itu sudah sampai di atas, gadis yang nakal ini sekaligus melepaskan sutera yang dipegangnya. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh kakek itu jatuh ke bawah! Baiknya ia memang lihai sekali sehingga jatuhnya enak saja dengan kedua kaki di atas tanah.....
Akan tetapi, bukan main herannya Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa ketika melihat betapa tiba-tiba kakek itu berteriak-teriak kesakitan, melepaskan tongkatnya, memandang kepada kedua tangannya yang sudah menjadi hitam dan... sambil menjerit-jerit kakek itu lantas lari secepatnya meninggalkan puncak Hoa-san-pai, diiringi suara ketawa nyaring gadis itu yang cepat-cepat melompat ke bawah.
"Hi-hi-hi-hik, termakan racunmu sendiri kau sekarang!" katanya puas sambil menggulung kembali sabuk suteranya.
Tahulah sekarang Kwa Tin Siong dan istarinya bahwa tadi ketika sabuk melibat tongkat, sabuk itu telah terkena racun yang keluar dari ujung tongkat. Ketika kakek itu merambat melalui sabuk otomatis kedua tangannya juga terkena racun hebat dari tongkat itu. Tidak mengherankan jika kedua tangannya itu menjadi hangus dan kakek itu lalu melarikan diri ketakutan.
Mengingat bahwa gadis itu telah menyelamatkan nyawanya, Kwa Tin Siong lalu berkata dengan nada menghormat, "Gadis yang gagah perkasa, entah sudah kau sengaja atau tidak, akan tetapi kau tadi telah menyelamatkan nyawa kami suami isteri. Maka, terimalah ucapan terima kasihku kepadamu."
Gadis itu menjebirkan bibirnya. "Siapa menyelamatkan siapa? Kakek bongkok itu sudah berani mengotori Im-kan-kok, tidak kubunuh juga sudah untung. Kau ini orang she Kwa yang menjadi Ketua Hoa-san-pai, sekarang juga kau harus menyerahkan pedang Hoa-san Po-kiam itu kepadaku berikut kepalamu."
Sambil berkata demikian ia melangkah maju dengan sikap tenang. Kwa Tin Siong yang mendengar itu lebih merasa heran dari pada marah. Sudah tentu ada sebab-sebab yang aneh kalau anak ini sampai memusuhinya, tak mungkin memusuhi tanpa sebab.
"Nanti dulu, kalau kau betul-betul datang hendak memusuhiku, hal itu adalah wajar asal ada alasannya yang kuat. Kau jelaskanlah lebih dahulu mengapa kau hendak merampas Hoa-san Po-kiam dan hendak membunuhku? Apa sebabnya?"
"Apa sebabnya kau tidak perlu tahu. Pendeknya aku harus merampas kembali Hoa-san Po-kiam dan membunuh Ketua Hoa-san-pai she Kwa! Hayo kau majulah dan serahkan pedang serta kepalamu, aku sudah hilang sabar!"
Kwa Tin Siong orangnya memang berwatak sabar, akan tetapi tidak demikian dengan Liem Sian Hwa. Nyonya ini menjadi marah bukan main, tak dapat ia menahan perasaan hatinya yang terbakar ketika ia mendengar orang menghina suaminya. Cepat ia mencabut pedangnya yang sudah buntung ujungnya tadi dan membentak,
"Siluman cilik, enak saja kau bicara! Siluman macam kau tak mungkin bisa diajak bicara baik-baik. Kalau memang kedatanganmu hendak memusuhi kami, kau matilah dan lawan pedangku!"
Li Eng tertawa mengejek dan memandang pedang buntung itu. "Hi-hik, dengan pedang itu kau hendak melawanku? Ahhh, sedangkan ilmu pedang Hoa-san Kiam-sut saja baru kau pelajari setengah-setengah, matang tidak mentah pun tidak, lalu bagaimana kau hendak melawanku menggunakan pedang buntung? Bibi yang cantik, aku hanya ingin mengambil kepala orang she Kwa. Kalau kau ingin mencoba kepandaianmu yang masih setengah matang, kau...majulah!"
Sampai pucat wajah Liem Sian Hwa mendengar ejekan ini. Dia merupakan seorang tokoh Hoa-san-pai, boleh dibilang menjadi orang ke dua sesudah suaminya. Semenjak kecil dia sudah mempelajari ilmu silat Hoa-san-pai dan untuk kehebatan ilmu pedangnya ia malah telah menggemparkan dunia kang-ouw hingga mendapat julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang). Masa sekarang ia dihina oleh seorang bocah cilik yang menyatakan bahwa ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-sut matang tidak mentah pun tidak? Biar pun hanya berpedang buntung, namun ia masih sanggup untuk menghadapi lawan yang tangguh.
"Bocah setan, kau benar-benar terlalu sombong. Keluarkan senjatamu dan mari kau boleh merasakan ilmu pedangku yang mentah tidak matang pun tidak ini!" tantangnya.
"Untuk menghadapi kau dan pedang buntungmu cukup dengan tangan kosong.”
"Sombong, lihat pedang!"
Sian Hwa tak dapat menahan kemarahannya lagi. Tubuhnya segera menerjang maju dan pedangnya bergerak menyerang. Dengan gerakan cepat sekali sehingga sinar pedangnya bergulung-gulung, ia mengirim tiga kali tikaman berantai dengan jurus Lian-cu Sam-kiam.
"Hemmm Lian-cu Sam-kiam yang baik sekali. Sayang tidak ada isinya!" Li Eng mengejek dan cepat mengelak.
Karena ia tahu benar agaknya akan perubahan gerak dari jurus ini, maka dengan mudah Li Eng dapat menyelamatkan diri. Sian Hwa merubah gerakannya, mengirim bacokan dari kanan kiri sambil mempergunakan kecepatannya.
"Aha, Hun-in Toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung)! Juga tidak mengandung inti sari, masih mentahl" Lagi-lagi Li Eng mengelak dan mengejek.
Sian Hwa makin marah, juga diam-diam terkejut sekali karena semua serangannya selalu dikenal oleh lawan. Dalam penyerangan-penyerangan berikutnya, baru saja dia bergerak gadis cilik itu sudah menyebutkan jurusnya dan malah mengelak dengan gerakan-gerakan dan langkah-langkah dari ilmu silat Hoa-san-pai asli.
"Tahan dulu!" tiba-tiba saja Kwa Tin Siong maju, melerai yang sedang bertempur setelah pertempuran itu berjalan puluhan jurus.
Ketua Hoa-san-pai ini menjadi curiga karena tadi ia melihat dengan jelas betapa ilmu silat gadis itu betul-betul asli Hoa-san Kun-hoat, akan tetapi dimainkannya demikian aneh dan hebat. "Nona kau sebetulnya murid siapakah?"
Juga Sian Hwa di samping kemarahan dan kegemasan karena penasaran, merasa heran sekali. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan yang begini muda tapi begini hebat ilmu silatnya, apa lagi ilmu silat dari Hoa-san-pai pula!
Li Eng tersenyum mengejek. "Murid siapa juga kau peduli apakah? Pendeknya, kau harus menyerahkan Po-kiam dari Hoa-san-pai berikut kepalamu. Kau tak berhak menjadi Ketua Hoa-san-pai!"
Kwa Tin Siong mencabut pedangnya, pedang Hoa-san Po-kiam, lalu dia melangkah maju. "Nah, ini pedangnya dan ini kepalaku, kau boleh ambil kalau kau bisa."
Kwa Tin Siong menjadi marah juga melihat sikap gadis yang bandel dan nekat ini dan ia ingin mencoba sendiri kepandaian gadis itu. Setelah suhu-nya meninggal, yaitu Lian Bu Tojin, kiranya tidak berlebihan kalau dia menganggap bahwa ahli silat Hoa-san-pai yang paling tinggi ilmunya pada saat itu adalah dia sendiri. Kalau gadis ini pun ahli ilmu silat Hoa-san-pai, mana mungkin lebih tinggi tingkatnya dari pada dia sendiri?
"Bagus, kau kehendaki kekerasan? Awas!"
Li Eng menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah pedang dan kakinya menyapu dengan kecepatan kilat. Akan tetapi Kwa Tin Siong melangkah mundur dan pedangnya berkelebat membacok tangan gadis itu. Li Eng menarik tangannya, meloncat ke kiri dan kembali menyerang dengan maksud hendak merampas pedang.
Kini tubuhnya bergerak-gerak cepat, kadang-kadang melakukan pukulan yang amat cepat dan berbahaya, lain saat ia berusaha merampas pedang dari tangan Kwa Tin Siong. Akan tetapi, kali ini ia betul-betul menghadapi seorang ahli silat yang sudah sangat matang oleh pengalaman, juga yang memiliki tenaga dalam kuat sekali. Sampai lima puluh jurus belum juga Li Eng berhasil merampas pedang.
Di lain pihak, diam-diam Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Harus ia akui bahwa ilmu silatnya sendiri kalau dibandingkan dengan ilmu silat gadis itu, ia jauh lebih ahli, juga lebih matang. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada ilmu silat yang dimainkan gadis cilik ini, gerakan-gerakannya mengandung daya serang yang hebat sekali, yang tak ada pada ilmu silat asli Hoa-san Kun-hoat.
"He, Nona kecil, apakah kau pernah belajar pada Supek Lian Ti Tojin?" Tiba-tiba Kwa Tin Siong bertanya karena ia mendapat dugaan yang aneh.
"Aku adalah murid ayah ibu sendiri. Sudahlah jangan banyak cakap, lihat dalam beberapa jurus aku akan merampas pedangmu!"
Tiba-tiba benda hitam panjang seperti ular hidup menyambar ke arah muka Kwa Tin Siong yang menjadi kaget luar biasa. Cepat Ketua Hoa-san-pai ini menyabet dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga untuk membabat putus benda itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika benda itu tiba-tiba malah melibat pedangnya dan tak dapat dllepaskan lagi. Ia cepat mengerahkan tenaga menarik dan gadis itu pun menahan sehingga keduanya saling betot. Kiranya benda itu adalah sutera hitam yang tadi dipakai mengerek tubuh Yok-mo dan sekarang sudah berada lagi di tangan gadis aneh itu.
Melihat keadaan suaminya dalam bahaya, Sian Hwa tidak dapat tinggal diam saja. Sambil berseru keras ia menggerakkan pedang buntungnya dan menerjang Li Eng.
Gadis ini tertawa. "Bagus, kalian boleh maju bersama-sama!"
Sabuk sutera hitam terlepas dan ia lalu bersilat dengan senjata aneh ini, kini dikeroyok dua!
Pada waktu itu, tingkat kepandaian suami isteri ini sudah sangat tinggi dan kiranya tidak sembarang lawan dapat mengalahkan mereka. Mereka merupakan pasangan yang amat hebat dengan ilmu pedang mereka.
Akan tetapi ternyata keduanya tidak dapat mendesak Li Eng, sungguh pun gadis ini harus mengaku bahwa kini dia menghadapi dua lawan yang amat tangguh. Gadis itu mainkan senjatanya yang aneh secara cepat dan yang hebat sekali adalah bahwa ilmu silatnya tak salah lagi adalah ilmu silat Hoa-san Kun-hoat!
Benar-benar penasaran bagi Kwa Tin Siong dan isterinya yang merupakan tokoh-tokoh pertama dari Hoa-san-pai. Mereka sekarang tak berdaya menghadapi seorang gadis yang juga mainkan ilmu silat Hoa-san-pai, padahal gadis itu hanya bersenjatakan sehelai sabuk sutera!
Makin lama pertempuran itu berjalan makin seru, bahkan akhirnya menjadi pertandingan mati-matian. Pada suatu saat, Kwa Tin Siong dan Sian Hwa dalam waktu yang sama menerjang sedemikian hebatnya sehingga tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh gadis itu.
Li Eng kaget dan berseru keras, tubuhnya mencelat ke belakang dan sabuk suteranya berkibar, seperti kilat menyambar cepat sekali dan seperti kupu-kupu melayang indahnya, kedua ujung sabuk itu tahu-tahu telah membelit kedua pedang di tangan Kwa Tin Siong dan Sian Hwa yang mengancamnya.
Gadis ini memegangi sabuk di tengah-tengah dan berada agak jauh sehingga suami isteri itu tak dapat menyerangnya lagi dengan tangan kiri karena mereka tidak suka mengambil resiko pedang mereka terampas. Ketiganya berdiri memasang kuda-kuda, mengerahkan tenaga dan terjadilah adu tenaga memperebutkan pedang.
Li Eng mulai berpeluh. Tak kuat dia dikeroyok dua dalam adu tenaga ini. Wajahnya agak pucat. Jika ia melepaskan libatan sabuknya, maka ia dapat terluka di dalam tubuhnya. Ia bertekad terus bertahan, akan tetapi kedudukannya mulai bergerak dan terseret ke depan sedikit demi sedikit.
Keringat dingin mulai membasahi jidat yang halus itu. Akan tetapi sepasang mata yang jeli dan bening itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut sedikit pun juga.
"Li Eng, jangan kurang ajar!" terdengar bentakan suara wanita.
"Kwa-supek, maafkan anakku yang nakal!" terdengar pula suara seorang laki-laki.
Dua suara ini disusul dengan berkelebatnya dua sosok bayangan yang tahu-tahu sudah tiba di tempat pertempuran dan langsung bayangan laki-laki itu maju menengahi. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa merasa betapa tenaga mereka yang tadi dipersatukan untuk mempertahankan pedang masing-masing itu seperti terlolos dan mencair, lenyap tak tentu sebabnya dan tahu-tahu pedang mereka telah terlepas dari libatan sabuk sutera yang juga sudah ditarik kembali oleh Li Eng.
Ketika suami isteri ini memandang, dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan girangnya hati mereka karena yang sekarang berdiri di depan mereka ini bukan lain adalah Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-san-pai yang dulu lenyap setelah terusir oleh Kwa Hong!
Kui Lok cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan paman guru dan bibi gurunya, sedangkan Thio Bwee juga cepat menyeret tangan Li Eng kemudian ia sendiri bersama gadis itu pun berlutut di depan suami isteri Ketua Hoa-san-pai.
Para tosu Hoa-san-pai yang juga mengenal Kui Lok dan Thio Bwee, menjadi gempar dan terdengarlah seruan-seruan gembira disertai isak tertahan. Memang mengharukan sekali pertemuan itu.
Kwa Tin Siong segera memeluk Kui Lok sedangkan Liem Sian Hwa lalu merangkul Thio Bwee. Mereka bertangisan. Hanya Li Eng gadis nakal itu yang sekarang berdiri bingung memandang kedua orang tuanya yang berpelukan sambil bertangisan dengan dua orang Ketua Hoa-san-pai yang baru saja bertanding mati-matian dengannya.
"Ayah, Ibu... dia ini adalah Ketua Hoa-san-pai she Kwa!" akhirnya dia tak dapat menahan lagi hatinya, menegur ayah bundanya.
Ibunya, Thio Bwee sudah dapat menetapkan hatinya dan melepaskan pelukan Liem Sian Hwa, bibi gurunya. Dia memandang kepada puterinya dengan mata penuh teguran, lalu berkata, "Li Eng, tanpa perkenan Ayahmu, mengapa kau berani lancang sampai ke sini dan mengacau Hoa-san-pai?" kemudian nyonya ini memandang ke sekeliling, ke arah mayat-mayat manusia yang amat banyak, kemudian suaranya makin bengis, "Kau telah mengacau dan membunuh orang-orang ini?"
"Aku... tidak, tidak, Ibu. Aku tidak membunuh siapa-siapa!" Li Eng menjawab cepat dan ketakutan, apa lagi ketika melihat ayahnya pun memandangnya dengan wajah bengis. "Aku... aku keluar dari tempat kita dan aku melihat serombongan orang di Im-kan-kok yang bicara mengenai maksud mereka menyerbu Hoa-san-pai. Karena mereka berbicara tentang Ketua Hoa-san-pai pula, hatiku jadi tertarik dan aku lalu datang ke sini untuk merampas kembali Hoa-san Po-kiam dari Ketua Hoa-san-pai dan membunuh orang she Kwa ini. Bukankah orang she Kwa ini yang ayah ibu katakan jahat dan sudah merusak Hoa-san-pai?"
"Anak tolol, sama sekali bukan! Dia ini adalah paman guruku, dan yang itu adalah bibi guruku, sekaligus juga paman guru dan bibi guru ibumu. Jadi kau masih terhitung cucu murid mereka. Hayo lekas berlutut dan minta ampun!" kata Kui Lok.
Li Eng kaget sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. "Kakek dan Nenek guru, aku Kui Li Eng mohon ampun..."
Liem Sian Hwa menubruk cucu muridnya itu dan memeluknya. "Tidak kusangka-sangka aku mempunyai cucu murid begini hebat..." katanya girang.
Kwa Tin Siong menarik napas panjang. "Sudahlah... sekarang aku tahu siapa yang dia maksudkan orang she Kwa itu. Tentu Kwa Hong bukan?"
Kui Lok dan Thio Bwee hanya mengangguk.
Pada saat itu terdengar suara berseru, suara wanita, "Supek...!"
Semua orang memandang dan melihat orang berlari cepat ke puncak itu. Mereka ini bukan lain adalah Thian Beng Tosu bersama dua orang wanita, yang seorang setengah tua dan yang kedua seorang gadis yang cantik dan berpakaian sederhana. Melihat wanita setengah tua itu, Liem Sian Hwa segera lari memapaki dan mereka berangkulan.
"Lee Giok... kau benar-benar telah membuat suamimu hidup menderita!"
Memang benar, wanita itu bukan lain adalah Lee Giok, isteri dari Thio Ki atau Thian Beng Tosu. Dan gadis cantik sederhana itu adalah puterinya! Bagaimana mereka bisa muncul di saat itu bersama Thian Beng Tosu? Untuk mengetahui hal ini marilah kita ikuti perjalanan Thian Beng Tosu beberapa saat yang lalu.
Telah diceritakan bagaimana Thian Beng Tosu berhasil mendesak musuh lamanya, yaitu Hek-houw Bhe Lam. Kepala rampok ini melarikan diri dikejar oleh Thian Beng Tosu dan kejar-mengejar ini membawa mereka turun dari puncak, hingga tiba di hutan tak jauh dari Im-kan-kok. Bhe Lam sudah terluka pangkal lengannya, tetapi larinya masih cepat sekali. Betapa pun juga, karena Thian Beng Tosu lebih biasa di tempat itu, setibanya di dalam hutan ini ia tersusul.
Tosu Hoa-san-pai ini membentak, "Hek-houw, percuma saja kau lari. Kejahatanmu sudah melampaui takaran, hari ini kau harus tewas di tanganku!"
Hek-houw Bhe Lam yang tahu bahwa dia tak mungkin dapat melarikan diri lagi mendadak membalikkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak. Belasan buah senjata piauw lantas melayang ke arah lawannya. Namun Thian Beng Tosu sudah menduga akan hal ini, cepat memutar pedangnya menangkis.
Pada saat itu Hek-houw Bhe Lam bersuit ketika ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawannya. Dengan perlahan namun pasti Thian Beng Tosu mendesak penjahat itu. Belasan jurus kemudian Bhe Lam masih dapat bertahan, walau pun keadaan kepala rampok ini terdesak makin hebat.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suitan dari dalam hutan dan tak lama kemudian muncullah tiga orang tinggi besar yang segera menerjang Thian Beng Tosu dengan golok di tangan. Mereka ini adalah orang-orang yang sengaja disuruh menjaga di situ oleh kepala rampok ini dan tadi ia memang sengaja memancing Thian Beng Tosu memasuki hutan ini agar ia bisa mendapatkan bantuan tiga orang temannya.
Setelah tiga orang itu mengeroyok, keadaan menjadi terbalik. Sekarang tosu inilah yang terdesak dan dihujani serangan dari kanan kiri, depan dan belakang. Ia mulai sibuk dan terpaksa hanya dapat mempertahankan dirinya tanpa mampu balas menyerang. Keadaan Thian Beng Tosu benar-benar berbahaya sekali dan Hek-houw Bhe Lam mulai mengejek serta mentertawakan.
Akan tetapi tiba-tlba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis muda yang cantik manis dengan pakaiannya yang sederhana, diikuti oleh seorang wanita setengah tua yang berpakaian seperti seorang pertapa tahu-tahu muncul dari balik pepohonan dan langsung kedua orang wanita itu menerjang empat orang penjahat tadi. Hebat sekali permainan pedang gadis sederhana itu, akan tetapi lebih hebat permainan silat wanita pertapa yang hanya memegang sebatang ranting kecil. Dalam beberapa gebrakan saja empat orang penjahat itu telah terjungkal dalam keadaan terluka.
Gadis itu dengan gemas menggerakkan pedang hendak membunuh Hek-houw Bhe Lam, akan tetapi tiba-tiba Thian Beng Tosu berseru, "Jangan bunuh!"
Gadis itu menahan pedangnya dan memandang kepada tosu Hoa-san-pai ini dengan sinar mata penuh keharuan. Sebaliknya Thian Beng Tosu dan wanita pertapa ini berdiri seperti patung dan saling pandang seperti terkena pesona.
"Lee Giok... kau Lee Giok..." bibir Thian Beng Tosu bergerak-gerak mengeluarkan bisikan.
Wanita pertapa itu meramkan kedua matanya dan menitiklah air mata pada kedua pipinya yang masih segar kemerahan. Memang benar ia adalah Lee Giok, isteri Thian Beng Tosu!
"Dan dia ini...?" lagi-lagi Thian Beng Tosu berkata amat perlahan sambil menoleh ke arah gadis cantik yang gagah perkasa itu.
"...dia Hui Cu... anak kita...," terdengar wanita pertapa itu berkata.
Mendengar ini, gadis itu yang bernama Thio Hui Cu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Beng Tosu sambil berkata, "Ayah...!"
Tosu ini membungkuk dan meraba kepala anaknya, air matanya bercucuran, kemudian ia menarik bangun anaknya, memandangi sampai lama sekali lalu berdongak ke atas dan berkata, "Siancai... Tuhan Maha Adil... siapa sangka aku akan dapat bertemu dengan kalian dalam keadaan selamat? Ya Tuhan, terima kasih atas kemurahan-Mu..."
Setelah keharuan mereka mereda, Lee Giok berkata, "Dia ini... bukankah dia penjahat Bhe Lam yang dahulu itu?"
Baru sekarang Thian Beng Tosu teringat akan empat orang penjahat yang masih berada di situ karena tidak berani melarikan diri. "Betul, dan mereka inilah yang menjadi lantaran pertemuan kita. Karena itu, biarlah kita ampunkan mereka. Bhe Lam, sekali lagi kami mengampunimu, harap saja kau dapat sadar dan insyaf bahwa menyimpang dari jalan kebenaran bukanlah hal yang akan dapat menyelamatkan dirimu. Nah, lekas pergilah dan semoga Thian akan memberi bimbingan kepada jiwamu."
Dengan malu sekali, juga merasa bersyukur karena kembali dia diampuni, Bhe Lam dan teman-temannya pergi terpincang-pincang. Setelah mereka pergi, suami isteri dan anak mereka ini saling berpandangan, penuh kebahagiaan dan penuh keharuan.
"Kau... selama ini di manakah? Kenapa tidak kembali ke Hoa-san mencariku?"
Dalam pertanyaan yang halus ini sama sekali tidak terkandung suara penyesalan, namun cukup membuat Lee Giok kembali mengucurkan air mata.
"Bagaimana aku berani? Aku... aku... telah ternoda oleh si jahat Giam Kin. Baiknya ada Adik Hong yang menolongku... dan aku lari ke sini, aku... aku bersembunyi dalam hutan, bertapa... kemudian mendidik anak kita ini... aku telah mengambil keputusan tidak akan menggangumu kecuali kau yang mendapatkan aku. Siapa duga... kau bertempur dengan mereka itu dan... dan... ahhh, kenapa kau sekarang telah menjadi tosu?"
Thian Beng Tosu tersenyum, kemudian dengan penuh kebahagiaan ia memegang tangan isterinya di tangan kanan, tangan Hui Ci di tangan kiri.
"Dan kau sendiri? Kau pun menjadi seorang tokouw (pendeta perempuan). Bagus sekali! Ternyata bukan aku saja yang sudah menemukan jalan benar, juga kau, isteriku Lee Giok, sekarang tinggal kita mendoakan saja demi kebahagiaan hidup anak kita. Marilah ikut aku ke puncak menemui Supek. Tahukah kau bahwa sekarang yang menjadi ketua adalah Supek Kwa Tin Siong?"
Dengan penuh kegembiraan Thian Beng Tosu bersama anak dan isterinya lalu menuju ke Puncak Hoa-san. Di tengah perjalanan mereka saling menceritakan pengalaman mereka yang pahit dan penuh penderitaan. Dapat dibayangkan betapa kebahagiaan ini menjadi makin berlimpah ketika mereka tiba di tempat pertempuran tadi melihat bahwa Kui Lok dan Thio Bwee berada pula di situ, malah Li Eng gadis nakal yang lihai itu ternyata adalah puteri mereka!
Hujan tangis terjadi pada saat Thian Beng Tosu muncul bersama Lee Giok dan Hui Cu. Segera Kwa Tin Siong memerintahkan para murid untuk mengurus mayat-mayat itu dan merawat mereka yang terluka. Dia sendiri dengan perasaan duka bercampur suka ria mengajak para murid Hoa-san-pai itu masuk ke dalam kuil.
Akan tetapi tiba-tiba Liem Sian Hwa berkata dengan kaget, "Ehh, di mana Kun Hong?"
Beberapa orang tosu menjawab bahwa mereka tadi melihat Kun Hong berlari pergi dari tempat itu, turun dari puncak. Ketika para tosu hendak mencegah dan memberi tahu bahwa mungkin ada orang jahat di lereng gunung, Kun Hong malah marah-marah dan membentak mereka.
"Jangan bicara padaku, kalian semua juga jahat, pembunuh-pembunuh kejam. Aku tidak sudi lagi tinggal di sini!"
Tentu saja Liem Sian Hwa berkuatir sekali. Akan tetapi Kwa Tin Siong yang sekarang merasa betapa puteranya itu amat lemah dan tak dapat dibandingkan dengan Li Eng atau Hui Cu yang biar pun merupakan anak-anak perempuan akan tetapi memiliki kegagahan, segera berkata,
"Biarkanlah, memang sudah tiba waktunya bagi dia untuk meluaskan pengalaman ke bawah gunung. Kalau sudah banyak menghadapi kesukaran, baru ia menjadi dewasa dan dia tentu akan kembali ke sini." Ia pun mencegah dan menghibur isterinya yang tadinya bermaksud untuk mengejar dan mencari puteranya.
Sian Hwa sendiri karena merasa malu kalau harus memperlihatkan kelemahan puteranya dan juga kelemahannya sendiri yang terlalu menguatirkan seorang anak laki-laki, terpaksa menurut walau pun hatinya penuh kegelisahan.
Mereka semua lalu masuk ke dalam kuil dan menceritakan pengalaman masing-masing. Yang membuat Ketua Hoa-san-pai ini girang dan bangga sekali adalah ketika mendengar bahwa Kui Lok dan Thio Bwee kini telah mewarisi ilmu kepandaian yang ditinggalkan oleh Lian Ti Tojin sehingga tingkat kepandaian dua orang murid keponakan ini jauh melampaui tingkatnya sendiri. Hal ini berarti memperkuat kedudukan Hoa-san-pai.
Keluarga besar keturunan Lian Bu Tojin ini sekarang telah berkumpul di Hoa-san-pai. Dan dengan adanya mereka, kiranya tidak akan ada sembarang orang yang berani mengacau Hoa-san-pai lagi…..
********************
Selanjutnya baca
RAJAWALI EMAS : JILID-08