Jaka Lola Jilid 10
Sunyi di tempat itu setelah ketua Siauw-lim-pai pergi. Masing-masing merenung dan baru terasa betapa hebat akibat dari pada pertempuran itu. Raja Pedang masih duduk bersila, berulang kali menarik nafas panjang. Pendekar Buta juga duduk bersila, berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kesehatannya secepat mungkin. Hui Kauw dan Cui Sian saling pandang dengan sinar mata terharu karena mereka telah menjadi korban fitnah sehingga hampir saja saling bunuh.
Yo Wan masih berdiri seperti patung, merasakan betapa hebatnya kakek Siauw-lim yang tadi menjadi lawannya. Hanya Lee Si yang kini terisak kembali.
Isak tangis ini menyadarkan mereka. Raja Pedang Tan Beng San berkata kepada Lee Si, "Lee Si, hentikan tangismu. Ayahmu tewas sebagai seorang laki-laki gagah, tidak perlu disedihkan. Lebih baik sekarang kita urus jenazahnya."
Kun Hong yang juga sudah sadar dari keadaan termenung dan merasa perlu segera bertindak, segera berkata kepada Yo Wan, "Wan-ji (anak Wan), hanya kau yang tidak terluka. Jangan takut lelah, kau galilah lubang untuk semua mayat-mayat ini dan kubur mereka baik-baik."
Yo Wan menyanggupi. Pemuda ini segera menggunakan patahan pedang Pek-giok-kiam untuk menggali lubang yang besar. Melihat pemuda ini mengerahkan tenaga bekerja, tanpa diminta lagi Lee Si bangkit dan membantunya, juga Cui Sian dan Hui Kauw, biar pun terluka, segera membantu sedapatnya.
Pertama-tama mereka mengubur jenazahnya Tan Kong Bu dengan sikap hormat akan tetapi sederhana tanpa upacara, hanya diiringi tangis Lee Si yang sampai tiga kali jatuh pingsan saking sedihnya, dihibur oleh Cui Sian dan Hui Kauw yang juga ikut menangis. Kemudian mereka menggali lubang besar untuk mengubur semua jenazah itu sekaligus, jenazah Ang-hwa Nio-nio, Maharsi, Bo Wi Sianjin, dan anak buah Ang-hwa Nio-nio.
Setelah lebih setengah hari mereka bekerja, selesailah penguburan itu. Pada waktu itu, Kun Hong yang mengerti akan ilmu pengobatan sudah berhasil menyembuhkan lukanya sendiri, bahkan dia membantu penyembuhan luka yang diderita Raja Pedang. la bersila di belakang Raja Pedang dan menempelkan tangan kiri di punggung ketua Thai-san-pai itu sambil mengurut jalan darah pada pundak dengan jari-jari tangan kanannya.
"Cukuplah, Kun Hong. Sekarang tidak berbahaya lagi." Akhirnya Raja Pedang berkata dan mereka berdua bangkit berdiri.
Tiba-tiba Lee Si berlari menghampiri Raja Pedang dan berlutut di depan kakinya sambil menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah, Lee Si." Tan Beng San mengangkat bangun cucunya. "Kehendak Thian tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Aku hanya bingung memikirkan bagaimana cara kita harus menyampaikan berita ini kepada ibumu..."
Mendengar ini, Lee Si makin keras tangisnya.
"Betapa pun juga, pembunuh ayahmu telah kita ketahui, dan dia sudah tewas pula."
Akan tetapi Lee Si masih menangis dan Raja Pedang berkali-kali menghela nafas karena dia dapat menduga bahwa kali ini Lee Si menangis karena mengingat keadaan dirinya sendiri. Betapa pun juga, gadis ini telah mengalami hinaan dan fitnah yang merusakkan namanya. Maka dia membiarkan cucunya menangis.
Ada pun Hui Kauw yang mendekati Cui Sian, dengan wajah pucat bertanya, "Sian-moi, kau tadi bilang tentang Swan Bu... bagaimanakah dia? Siapa yang sudah membuntungi lengannya?"
Jelas nyonya ini mengeraskan hati dan menggigit bibir untuk menahan tangisnya. Cemas dan ngeri hatinya membayangkan puteranya itu menjadi buntung lengannya.
Cui Sian memeluk Hui Kauw. "Maafkan aku, Cici. Kau... kau sudah mengalami tekanan batin berkali-kali, difitnah dan dituduh, lalu sekarang puteramu menjadi korban lagi. Akan tetapi, hal-hal yang sudah terjadi tak perlu melemahkan hati dan semangat kita, bukan? Swan Bu telah dibuntungi lengannya oleh gadis liar yang bernama Siu Bi..."
"Ahhh...!" Hui Kauw menahan seruannya.
Pendekar Buta yang juga mendengarkan penuturan ini, mengerutkan kening. Diam-diam dia merasa menyesal sekali bahwa dulu dia telah menanam bibit permusuhan yang tiada berkesudahan. Terbayang dia akan musuh lamanya, The Sun, yang agaknya sekarang menimbulkan bencana hebat, bukan langsung olehnya sendiri, tetapi oleh keturunannya.
"Aku sudah menangkapnya, menghajarnya, bahkan Lee Si hampir membunuhnya. Akan tetapi... Swan Bu sendiri yang dibuntungi lengannya oleh iblis betina itu mencegah, dan malah minta supaya Siu Bi dibebaskan."
Berdebar jantung Hui Kauw. Sungguh aneh! Adakah suatu rahasia di balik itu, ataukah Swan Bu menjadi seorang pemuda yang berwatak aneh dan kadang kala penuh welas asih seperti watak ayahnya. Orang telah membuntungi lengannya, dan orang itu hendak memusuhi ayah bundanya, akan tetapi dia malah membebaskannya!
Teringat dia akan wajah Siu Bi. Gadis yang cantik jelita tetapi berwatak iblis, hampir saja berhasil membunuh dia serta suaminya. Mendadak dia merasa khawatir. Jangan-jangan kecantikan gadis itu telah melemahkan hati puteranya.
"Di mana dia sekarang, Sian-moi?"
"Aku tidak tahu, Cici. Ketika dia dan aku menemukan jenazah Kong Bu koko aku lalu meninggalkan dia di sini. Agaknya dia yang menguburkan jenazah Kong Bu koko, yang kemudian, tentu saja dibongkar kembali oleh penjahat-penjahat itu untuk dirusak dalam usaha mereka mengadu domba antara kita. Ada pun Swan Bu sendiri, entah ke mana dia pergi."
Tak dapat ditahan lagi Hui Kauw menangis karena dia membayangkan puteranya dalam keadaan buntung lengannya itu masih bersusah payah untuk mengubur jenazah Kong Bu! Pendekar Buta menghampiri isterinya dan menghiburnya.
"Tahan air matamu. Swan Bu tidak apa-apa. Dia tentu akan pulang ke Liong-thouw-san. Sedikit banyak dia mengerti mengenai ilmu pengobatan, luka pada lengannya pasti akan sembuh."
Amarah Hui Kauw bangkit mendengar sikap suaminya yang begitu dingin, seakan-akan soal buntungnya lengan Swan Bu ‘bukan apa-apa’ bagi suaminya. la ingin membentak, menyatakan kemarahannya dan menyatakan kehendaknya untuk mencari Siu Bi untuk dibuntungi kedua lengan berikut kakinya!
Akan tetapi, begitu dia mengangkat muka dan melihat sepasang mata suaminya, hatinya menjadi tertusuk dan kekerasan amarahnya mencair seketika. la tadi sampai lupa saking marahnya, lupa bahwa suaminya sendiri adalah seorang yang cacad, seorang yang buta kedua matanya, namun tetap menjadi pendekar yang tak terkalahkan, menjadi Pendekar Buta yang terkenal. Apakah artinya buntung lengan kirinya apa bila dibandingkan dengan buta kedua matanya? Masih ringan, hanya cacad yang kecil tak berarti. Itulah sebabnya Pendekar Buta tadi mengatakan ‘tidak apa-apa dan akan sembuh’.
"Tetapi... tapi... dia terlunta-lunta melakukan perjalanan dalam keadaan terluka, tidak ada yang merawatnya..."
Yo Wan yang mendengar percakapan ini segera menghampiri mereka, dan dia berkata, "Suhu dan Subo, harap tenangkan hati. Biarlah teecu yang akan pergi mencari Swan Bu dan menemaninya pulang ke Liong-thouw-san."
Girang hati Pendekar Buta mendengar ini. Memang tidak ada orang yang lebih dapat dia percaya untuk ini kecuali Yo Wan. la melangkah maju dan tangan kanannya merangkul pundak pemuda itu.
"Yo Wan, kau anak baik. Kau tahu betapa besar rasa syukur di hati kami terhadapmu. Wan-ji, kau carilah Swan Bu dan ajak dia pulang bersama." Suara Kun Hong terdengar menggetar penuh keharuan sehingga tanpa terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu mata Yo Wan. Cepat dia mengusapnya, memberi hormat kepada suhu dan subo-nya.
"Teecu berangkat sekarang juga," katanya.
Kemudian dia memberi hormat kepada Raja Pedang yang memandangnya dengan sinar mata kagum. Sungguh di luar sangkaannya sama sekali bahwa murid tunggal Pendekar Buta ternyata begini hebat, kuat menghadapi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio yang kepandaiannya sangat luar biasa sehingga dia sendiri pun belum tentu akan dapat mengalahkannya. Diam-diam dia tertarik dan kagum, dan makin gembiralah di dalam hati kakek perkasa ini ketika Yo Wan menjura kepada Cui Sian dan berkata halus,
"Adik Cui Sian, selamat berpisah, semoga kita dapat saling bertemu kembali."
Wajah gadis itu menjadi merah. Kerling matanya terang membayangkan hati yang gugup dan jengah saat ia balas menghormat. "Yo-twako, semoga kau lekas dapat menemukan Swan Bu."
Yo Wan kemudian berjalan cepat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata yang mengandung bermacam perasaan.
"Kun Hong, muridmu itu... hemmm, ajaklah dia ke Thai-san sekali waktu. Aku perlu sekali bicara denganmu tentang dia." Ucapan Raja Pedang Tan Beng San ini terdengar jelas dan artinya pun mudah ditangkap sehingga Cui Sian makin merah mukanya. Cepat-cepat gadis ini menundukkan mukanya untuk menyembunyikan debar jantungnya.
Kwa Kun Hong mengangguk-angguk. Dia pun tentu saja mengerti bahwa pendekar tua itu bermaksud menjajaki kemungkinan terikatnya jodoh antara Cui Sian dengan Yo Wan. Akan tetapi sebagai seorang yang berperasaan halus, dia tidak berkata apa-apa supaya jangan membuat Cui Sian menjadi malu.
"Kongkong (Kakek), saya tak berani pulang sendiri, tak berani menyampaikan kematian ayah kepada ibu. Harap Kongkong suka memperkenankan bibi Cui Sian menemani saya ke Min-san," kata Lee Si.
"Tidak hanya Cui Sian yang menemanimu, aku sendiri akan ke sana untuk menghibur ibumu. Malah kalau kalian tidak keberatan, Kun Hong dan isterimu, lebih baik kita semua pergi ke Min-san. Selain tempat itu paling dekat dari sini sehingga kita dapat beristirahat dan memulihkan kesehatan di sana, juga dengan hadirnya kalian berdua, kurasa akan mengurangi kedukaan ibunya Lee Si."
"Bukan itu saja, kuharap Suheng dan Cici ikut ke Min-san untuk membicarakan hal yang amat penting," tiba-tiba Cui Sian berkata.
"Hal penting apakah?" tanya Pendekar Buta dan Raja Pedang hampir berbareng.
"Aku sudah ceritakan hal itu kepada cici Hui Kauw yang telah menyetujui pula. Marilah kita berangkat, nanti di dalam perjalanan aku akan ceritakan hal itu kepada Ayah, biar cici Hui Kauw menceritakannya kepada Kwa-suheng," jawab Cui Sian dan kali ini Lee Si yang menundukkan mukanya karena gadis ini sudah dapat menduga apa yang akan dikemukakan oleh Cui Sian itu.
Diam-diam ia amat berterima kasih kepada Cui Sian, karena ia pun tadi, biar pun kurang jelas, bisa mendengar percakapan antara Cui Sian dan Hui Kauw. Dan ia pun maklum sedalam-dalamnya bahwa satu-satunya jalan untuk mencuci bersih namanya, dan untuk menghapus kesalah pahaman antara mereka, untuk mencuci habis kejadian yang hampir merusak hubungan di antara mereka, hanya satu itulah yaitu ikatan jodoh antara dia dan Swan Bu! Dan ia sudah setuju seratus prosen di dalam hatinya yang telah tercuri oleh Swan Bu yang gagah dan tampan, biar pun ada satu hal yang merupakan ganjalan dan merupakan duri dalam daging, yaitu Siu Bi!
Sesungguhnya tidaklah terlalu sukar mencari keterangan tentang Swan Bu. Tidak banyak terdapat seorang pemuda tampan dengan tangan kiri buntung. Namun karena tidak tahu ke jurusan mana pemuda itu pergi, Yo Wan harus menjelajahi semua dusun di sekitar tempat itu.
Sesudah berkeliling sampai sehari lamanya, di sebuah dusun kecil dia baru mendengar keterangan tentang Swan Bu. Di dusun ini orang melihat pemuda tampan berlengan kiri buntung yang berjalan menuju ke utara.
Yo Wan segera mengejar ke utara dan terpaksa dia bermalam di sebuah dusun karena terhalang malam. Pada keesokan harinya, dia melanjutkan pengejarannya sambil terus bertanya-tanya. Keterangan yang dia peroleh kemudian sungguh-sungguh membuat dia mengerutkan alisnya.
Orang melihat Swan Bu melakukan perjalanan bersama seorang wanita cantik jelita yang merawat luka pemuda itu. Dari keterangan yang didapat, Yo Wan dapat menduga bahwa gadis itu adalah Siu Bi! Swan Bu agaknya bertemu dengan Siu Bi kemudian melakukan perjalanan bersama!
Hatinya amat gelisah. Tak salah dugaannya, Swan Bu saling mencinta dengan gadis itu, gadis yang telah membuntungi lengannya. Dia sudah menduga akan perasaan Swan Bu ini ketika dahulu Swan Bu minta agar Siu Bi yang membuntungi lengannya dibebaskan.
Akan tetapi tadinya dia tidak tahu bahwa Siu Bi pun ternyata membalas cinta kasih itu. Baru sekarang, mendengar gadis itu mengawani Swan Bu dan merawat lukanya dalam perjalanan yang mereka lakukan berdua, dia dapat menduga akan hal itu. Akan tetapi, mengapa Siu Bi membuntungi lengan Swan Bu?
Yo Wan benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi dia cukup mengenal watak Siu Bi yang aneh dan liar dan tentu saja gadis seperti itu dapat melakukan hal yang aneh-aneh dan tak masuk akal, seperti misalnya membuntungi lengan orang yang dicintanya.
Yang membuat Yo Wan mengerutkan keningnya adalah karena dia merasa tidak senang bila benar-benar mereka berdua saling mencinta. Menurut pendapatnya, Swan Bu harus berjodoh dengan Lee Si. Gadis yang malang itu selain kehilangan ayahnya, juga sudah difitnah dan dicemarkan nama baiknya. Swan Bu harus mengambil Lee Si sebagai isteri, karena jalan inilah satu-satunya untuk mencuci noda pada nama baiknya. Kalau Swan Bu berjodoh dengan Siu Bi, hal ini akan menimbulkan banyak akibat yang tidak baik dan tentu saja orang tua pemuda itu akan menentangnya.
Di dunia ini memang terjadi hal aneh-aneh. Cinta memang aneh, seperti anehnya sikap Cui Sian tadi!
Terang bahwa hatinya sudah bertekuk lutut dan mencinta puteri Raja Pedang itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani nekat. la mengenal diri sendiri, seorang yatim piatu yang bodoh dan miskin, dan dia cukup mengenal pula siapa Cui Sian, Puteri tunggal Raja Pedang, ketua Thai-san-pai!
Betapa pun juga, dia tak dapat menahan gelora di hatinya dan tak dapat menghapuskan harapan hampa di hatinya bahwa gadis itu akan membalas cintanya, harapan bahwa kelak gadis itu akan menjadi jodohnya. Betapa pun gila harapan-harapan itu! Akan tetapi sikap Cui Sian tadi ahhh, siapa tahu, cinta memang aneh. Ataukah orang-orang yang terjerat cinta lalu menjadi sinting dan melakukan hal-hal aneh?
Di dalam perjalanannya mencari Swan Bu, Yo Wan mendengar banyak hal yang selama ini tak pernah menjadi perhatiannya. Hal-hal mengenai keadaan. Agaknya ucapan ketua Siauw-lim-pai telah mengukir kesan mendalam dalam hatinya, membuat dia sadar bahwa selama ini hidupnya hampa, tidak ada isinya, karena dia sudah lalai akan kewajibannya sebagai seorang anak bangsa. Kesan inilah yang membuat dia menaruh perhatian akan berita yang didengarnya di sepanjang jalan.
Sejak Kaisar Yung Lo, pendiri kota raja utara (Peking), memegang tampuk pemerintahan, keadaan di dalam negeri boleh dikata menjadi tenteram. Kaisar yang semenjak mudanya menjadi panglima perang ini memerintah dengan tangan besi. Sayangnya bahwa pada waktu itu, kerajaannya masih mengalami banyak gangguan dari luar, terutama sekali dari bangsa Mongol dan suku bangsa lain di utara, yang berusaha keras menebus kekalahan bangsanya setengah abad yang lalu.
Selain ini, para bajak laut di pantai timur yang terdiri dari bangsa Jepang merupakan gangguan pula. Akan tetapi tentu saja gangguan para bajak laut ini tidaklah sebesar gangguan dari utara. Oleh karena inilah Kaisar Yung Lo mencurahkan perhatiannya ke arah utara.
Tembok besar yang melintang di utara itu dia betulkan dengan mengerahkan ratusan ribu tenaga manusia. Tadinya, sebagian tembok besar ini boleh dibilang sudah runtuh, atau sengaja diruntuhkan di jaman Kerajaan Mongol berkuasa, karena bagi Kerajaan Mongol tentu saja tidak perlu adanya tembok besar yang memisahkan negara jajahan dengan negara asal mereka.
Sesudah Kerajaan Mongol runtuh dan Kerajaan Beng-tiauw berdiri, tembok besar yang seakan-akan menjadi tanggul pencegah banjirnya serbuan lawan dari utara itu dibangun kembali. Dan ketika Yung Lo menjadi kaisar, pembangunan ini dipergiat, juga Kota Raja Peking dibangun dengan hebatnya.
Akan tetapi, semua pembangunan ini oleh kaisar diserahkan kepada para pembantunya, karena kaisar sendiri, sebagai seorang bekas panglima perang yang berpengalaman, sibuk memimpin pasukan-pasukan menyerbu ke utara untuk memerangi bangsa Mongol yang selalu merupakan ancaman itu.
Agaknya karena terlalu sering kaisar meninggalkan istana untuk memimpin barisannya berperang itulah yang mengakibatkan merajalelanya kaum koruptor, golongan-golongan pembesar yang menyalah gunakan kedudukan dan wewenangnya, terjadi pertentangan dalam perebutan kekuasaan antara para penjilat dan para penentang, antara pangeran yang mencalonkan diri menjadi pengganti kelak bila kaisar meninggal dunia. Terjadilah perpecahan, terjadi beberapa golongan yang berdiri di belakang pangeran yang menjadi calon atau jago aduan masing-masing, dengan mereka sebagai ‘botoh-botohnya’.
Yo Wan mendengar betapa banyak orang gagah pergi ke utara dan menjadi barisan suka rela membantu kaisar memerangi orang-orang Mongol. Ternyata bahwa musuh dari utara itu tidak boleh dipandang ringan. Biar pun mereka tidak pernah berhasil menyerbu ke selatan melalui tembok besar, akan tetapi perlawanan yang mereka lakukan di utara cukup sengit sehingga di pihak tentara kerajaan banyak jatuh korban.
Orang-orang Mongol memiliki panglima-panglima yang pandai, malah kabarnya dibantu oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Bantuan dari orang-orang sakti inilah yang lalu menarik banyak orang kang-ouw menjadi suka relawan, karena sudah menjadi semacam penyakit pada ahli-ahli silat kelas tinggi untuk mencoba-coba ilmu mereka apa bila mereka mendengar tentang musuh yang berilmu tinggi pula.
Penyakit macam ini terdapat pula dalam diri Yo Wan. Ketika suatu hari dia mendengar dongeng dari seorang bekas suka relawan akan adanya seorang jagoan Mongol yang sekaligus menewaskan enam orang jagoan kerajaan hanya dalam sebuah pertempuran, dia menjadi penasaran sekali.
Kemudian pada saat mendengar akan kegagahan kaisar yang memimpin setiap perang tanding besar-besaran dengan gagah perkasa, ikut pula mengayun pedang dan memutar tombak sebagai panglima yang tidak hanya mengomando dari belakang dan dari tempat yang aman saja, hati Yo Wan ikut bergelora penuh semangat dan amat tertarik. Alangkah senangnya ikut berjuang di bawah pimpinan seorang kaisar segagah itu, pikirnya, dan ucapan dari ketua Siauw-lim-pai makin jelas berdengung di telinganya.
"Apa gunanya memiliki kepandaian kalau hanya untuk saling bunuh dengan saudara dan bangsa sendiri?" demikian ucapan ketua Siauw-lim-pai yang berdengung di telinganya.
Diam-diam Yo Wan merasa heran ketika jejak Swan Bu terus menuju ke utara, bahkan agaknya ke kota raja. la telah mengeluarkan kepandaiannya untuk menyusul, akan tetapi ternyata selalu dia tertinggal di belakang.
Soalnya adalah karena kedua orang itu agaknya melakukan perjalanan secara sembunyi sehingga kadang-kadang mereka lenyap, tidak dapat dia mendengar keterangan. Kalau akhirnya dia mendapatkan lagi keterangan tentang Swan Bu dan Siu Bi, ternyata mereka itu sudah mengambil jalan memutar secara diam-diam, seakan-akan mereka memang sengaja menghilangkan jejak agar jangan mudah disusul orang.
Inilah yang membuat Yo Wan kewalahan dan sampai sekian lamanya belum juga dapat menyusul. Akan tetapi, hatinya lega selama dia masih dapat mendengar berita tentang Swan Bu. Ke mana pun juga dia akan mengejar sampai dapat bertemu.....
Pada suatu hari sampailah dia ke kota Leng-si-bun, sebuah kota kecil di sebelah timur Cin-an, di lembah Sungai Huang-ho. Kota raja baru berada di sebelah utara daerah ini, tidak begitu jauh lagi, paling jauh dua ratus li. Laut timur, yaitu Lautan Po-hai, tidak jauh pula dari tempat ini, hanya, terpisah seratus li kurang lebih.
Ramai di kota Leng-si-bun ini, karena tempat ini merupakan pelabuhan bagi perahu-perahu yang mengangkut barang hasil bumi yang hendak dilayarkan ke laut timur. Yo Wan memasuki kota Leng-si-bun karena dua hari yang lalu dia mendengar keterangan bahwa pemuda lengan buntung dan gadis cantik yang dicarinya menuju ke kota ini.
Hari telah siang ketika dia memasuki kota itu. Dimasukinya sebuah rumah makan yang cukup besar, yang berada di tengah-tengah kota. Ia merasa amat lelah dan juga kecewa karena di kota ini pun dia tidak melihat Swan Bu, biar pun dia tadi sudah berputar-putar di sepanjang jalan yang panas berdebu.
Rumah makan itu mempunyai sepuluh buah meja, meja-meja bundar lebar dan dikelilingi delapan buah bangku tiap meja. Akan tetapi pada saat itu hanya ada tiga buah meja saja yang dihadapi tamu. Sebuah meja di sudut luar dikelilingi enam orang lelaki yang minum arak sambil makan mie dan bersendau-gurau dengan suara parau. Agaknya mereka itu adalah juragan-juragan perahu bersama pedagang-pedagang.
Yo Wan mengerutkan keningnya ketika mendengar percakapan yang mereka lakukan dengan suara keras itu, karena percakapan ini kotor dan cabul. Mereka membicarakan pengalaman mereka dengan perempuan-perempuan lacur di kota itu sambil percakapan mereka diseling tertawa terkekeh-kekeh.
Tentu saja Yo Wan tidak akan mempedulikan mereka kalau saja dia tidak mengerling ke arah meja kedua yang dihadapi tamu. Di meja sebelah dalam, duduk dua orang muda, seorang gadis dan seorang laki-laki muda.
Tadi pada saat dia lewat di depan restoran ini, hatinya berdebar tegang karena mengira bahwa mereka adalah Swan Bu dan Siu Bi. Akan tetapi setelah dia masuk, dia mendapat kenyataan bahwa sepasang orang muda itu bukanlah orang-orang yang dia cari.
Si pemuda mengenakan jubah biru muda dengan ikat pinggang dan ikat kepala berwarna kuning. Pemuda itu berwajah tampan dan gagah, sikapnya tenang dan umurnya paling banyak dua puluh dua tahun.
Si gadis berpakaian serba merah muda, cantik jelita, antara dua puluh tahun usianya, di punggungnya tampak menonjol gagang pedang. Gadis ini kelihatan kereng dan angkuh. Keduanya sedang makan mie dan masakan daging sambil minum arak, sama sekali tidak bicara mau pun memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Akan tetapi karena Yo Wan duduk menghadap ke arah gadis yang kebetulan juga duduk menghadap ke arahnya, dia dapat mencuri pandang dan melihat betapa sepasang mata gadis itu menyambar-nyambar dari sudut mata, mengerling dengan ketajaman bagaikan gunting. Namun sikapnya tenang sekali.
Dengan hadirnya seorang gadis di situlah yang membuat Yo Wan merasa mendongkol dan tidak senang hatinya mendengar kelakar enam orang laki-laki kasar itu, yang sama sekali tidak tahu sopan, bicara kotor dan cabul di dekat seorang wanita muda. Hati Yo Wan semakin mendongkol ketika melihat betapa orang-orang kasar itu kadang-kadang menengok ke arah si gadis baju merah sambil menyeringai memperlihatkan gigi kuning.
Akan tetapi diam-diam dia kagum melihat betapa gadis itu tetap tenang dan sama sekali tidak memperlihatkan perasaan apa-apa. Juga si pemuda tetap makan dengan tenang-tenang saja.
Salah seorang di antara mereka, yang bermuka lonjong dan pipinya sebelah kiri cacat, agaknya sudah setengah mabuk. Dengan kepala bergoyang-goyang dia berkata kepada laki-laki pendek muka kuning yang agaknya menjadi pemimpin rombongan itu.
"He-heh-heh, Pui-twako, yang kau dapatkan hanya kembang-kembang mawar kota yang sudah layu, yang tiada durinya sama sekali. Itu sih membosankan! Lain lagi kalau bisa memperoleh mawar hutan yang liar, yang harumnya semerbak asli, yang berduri runcing, yang segar..."
"Ha-ha-ha-ha!" sambung seorang yang matanya sipit hampir meram dengan ketawanya yang kasar. "Pui-twako tentu saja berhati-hati, apa lagi menghadapi mawar merah yang selain berduri, juga dijaga siang malam oleh tukang kebunnya! Jangan-jangan tangan akan tertusuk pedang dan kepala akan dikemplang tukang kebun! Ha-ha-ha!" Si mata sipit mengerling ke arah meja muda-muda itu.
"Ahh, mana Pui-twako takut akan semua itu? Pedang itu hanya untuk berlagak supaya harganya naik menjadi mahal, apa lagi tukang kebunnya kecil kurus, bisa berbuat apa terhadap Pui-twako? Tak percuma Pui-twako dijuluki Tiat-houw (Macan Besi), siapa yang tidak mengenal Harimau dari Huang-ho?"
Orang yang disebut Pui-twako dan berjuluk Harimau Besi itu hanya tersenyum-senyum dan mengerling ke arah meja muda-mudi itu. Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya pendek tetapi tegap dan kelihatan kuat. Sikapnya seorang jagoan asli, tersenyum-senyum mengejek dengan pandangan mata acuh tak acuh dan memandang rendah segala di sekelilingnya. Mukanya yang kekuningan itu kini menjadi merah oleh pengaruh arak dan jelas sekali dia menjadi bangga mendengar pujian-pujian teman-temannya.
"Aku bukan termasuk laki-laki rendah yang suka mengganggu wanita baik-baik," katanya dengan suara lantang, agaknya sengaja dikeluarkan agar supaya didengar oleh gadis di seberang itu.
Yo Wan mengenal orang macam ini. Seorang dengan hati palsu dan mulut pandai bicara, pandai berlagak dan pandai pura-pura menjadi seorang gagah dan seorang yang baik hati. Akan tetapi ucapan ini dikeluarkan berlawanan dengan isi hatinya, hanya dengan maksud agar supaya dia kelihatan ‘berharga’ dalam pandang mata wanita itu. Yo Wan tahu betul akan hal ini, karena suara dan pandang mata orang she Pui itu berlawanan, seperti bumi dengan langit.
"Ahhh, Pui-twako. Siapa yang tidak tahu bahwa engkau adalah seorang gagah perkasa? Mengganggu sama sekali beda dengan mengajak berkenalan. Gagah sama gagah, dari pada berkenalan dengan segala macam cacing busuk yang lemah, lebih baik berkenalan dengan Harimau Besi, sedikit banyak bisa ketularan kegagahannya!" kata si muka cacat sambil mengerling ke arah meja muda-mudi itu penuh arti.
Yo Wan makin mendongkol. Alangkah kurang ajar dan beraninya enam orang itu. Terang bahwa si pemuda yang diejek dan dihina, karena memang sikap dan pakaian pemuda itu seperti seorang pelajar yang pada masa itu sering kali diejek dengan sebutan kutu buku atau cacing buku.
Akan tetapi muda-mudi yang dijadikan bahan percakapan atau bahan ejekan itu masih saja makan dengan lambat dan tenang, sama sekali tak menghiraukan mereka berenam. Hanya terdengar gadis itu berkata, suaranya halus dan perlahan, seakan-akan berbicara pada diri sendiri, tanpa melirik ke arah enam orang itu.
"Hemmm, banyak lalat-lalat kotor menjemukan di sini. Sayang... meski bukan gangguan besar, sedikitnya mengurangi selera makan..."
"Biarlah, Sumoi... biasanya dekat sungai besar memang banyak lalat kotor. Tapi mereka tidak ada artinya...," kata pemuda itu menghibur.
Yo Wan hampir tak dapat menahan ketawanya. Bagus, pikirnya. Kiranya mereka adalah kakak beradik seperguruan, dan tepat sekali sindiran mereka itu yang diam-diam memaki enam orang kasar itu sebagai lalat-lalat hijau yang kotor.
Tentu saja enam orang itu mengerti pula akan sindirian ini. Si pipi cacat bangkit berdiri menepuk meja. "Pui-twako, masa diam saja dihina orang? Kalau suheng-nya kutu buku, tentulah pedang sumoi-nya itu hanya hiasan belaka, untuk menakut-nakuti orang supaya dianggap pendekar-pendekar jempolan. Hayo minta maaf pada..."
"Sssttttt, Gong-lote, jangan mencari gara-gara di sini!" tiba-tiba si Harimau Besi berkata tajam dan si pipi cacat itu segera duduk kembali.
"Pui-twako, orang-orang bilang singa-singaan batu di restoran ini beratnya lebih dari tiga ratus kati dan tidak pernah ada yang kuat mengangkat. Dasar orang-orang lemah, siapa bilang tidak ada yang kuat angkat? Harap Pui-twako suka membantah kabar itu dengan membuktikan kepada mereka!"
Si Harimau Besi hanya tersenyum-senyum saja. "Ahh, kalian ini ada-ada saja," katanya ketika teman-teman yang lain juga membujuknya.
"Hee, pelayan-pelayan, ke sinilah!" teriak si mata sipit.
Lima orang pelayan berlarian menghampiri mereka sambil tertawa-tawa. Agaknya enam orang itu memang langganan mereka.
"Apakah betul selama ini tidak ada orang yang mampu mengangkut singa-singaan batu di depan itu?" si sipit bertanya sambil menuding ke arah sebuah singa-singaan batu yang terukir kasar dan diletakkan di depan pintu restoran sebagai hiasan.
"Betul, Loya. Singa itu berat sekali. Empat orang baru sanggup mengangkatnya, itu pun harus orang-orang kuat dan menggunakan bantuan tambang," jawab seorang pelayan yang kurus.
"Ahh, dasar orang-orang tiada guna. Lihat, Pui-twako akan mengangkatnya seorang diri tanpa bantuan siapa pun juga!" kata si mata sipit sambil memandang kepada orang she Pui.
"Ahhh, harap Loya jangan main-main! Singa itu beratnya lebih dari tiga ratus kati! Jangan kata mengangkat, jika hanya sendiri, menggeser saja tak ada yang mampu melakukan!"
Si mata sipit melotot, akan tetapi tetap sipit, karena memang lubang pelupuk matanya sempit. "Menggeser? Huh, dasar kalian ini gentong-gentong kosong. Lihat!"
la melangkah lebar menghampiri singa-singaan batu. Dua lengannya memegang kepala singa-singaan itu dan dia pun berseru,
"Hiyaaahhh!"
la berhasil menggeser singa-singaan itu beberapa dim jauhnya!
"Wah, Loya kuat sekali!" lima orang pelayan itu memuji dan memandang kagum.
Si mata sipit mengangkat dadanya yang tipis dan yang bersengal-sengal.
"Ini belum!" Dia menyombong. "Tapi Pui-twako yang di sana itu, dia mampu mengangkat singa-singaan ini. Kalian tidak tahu siapa itu Tiat-houw Pui-enghiong, Harimau Besi dari Huang-ho! Aku sendiri, tenagaku tidak sebesar Pui-twako, akan tetapi sepasang golokku ini siapa yang berani melawan Huang-ho Siang-to (Sepasang Golok Huang-ho), inilah dia orangnya! Dan saudaraku di sana itu…" Ia menudingkan telunjuknya ke arah pipi cacat, "siapa tidak pernah mendengar nama Huang-ho Sin-piauw (Piauw Sakti dari Huang-ho)? Kami bertiga sudah malang melintang di sepanjang Huang-ho, akan tetapi baru sekarang berkesempatan memperkenalkan diri di Leng-si-bun."
Mendengar ucapan ini, lima orang pelayan itu segera menjura dengan muka berseri-seri, “Kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) tiga orang gagah juragan-juragan perahu yang terkenal itu? Maaf, kami tidak tahu dan kurang hormat. He, teman-teman, lekas sediakan arak wangi, untuk menghormati tamu-tamu besar!"
Melihat sikap para pelayan yang sangat menghormat terhadap mereka, diam-diam Yo Wan memperhatikan. Kiranya mereka itu adalah tiga orang juragan perahu yang terkenal juga. Dan agaknya yang tiga lagi adalah pedagang-pedagang langganan mereka.
"Pui-twako, sesudah kita memperkenalkan diri, harap suka turun tangan sedikit supaya cacing-cacing buku tidak tertutup matanya!" kata pula Huang-ho Siang-to yang bermata sipit.
"Bhe-lote, apa sih artinya angkat-angkat batu macam ini? Tidak ada artinya bagiku!" kata orang she Pui.
Akan tetapi dia melangkah juga ke arah singa-singaan batu, membungkuk, memegang dengan kedua tangannya lantas sekali dia berseru keras, singa-singaan batu itu sudah terangkat ke atas kepalanya!
Tepuk tangan menyambut demonstrasi ini, tepuk tangan para pelayan dan kelima orang teman-teman si Harimau Besi. Ketika singa-singaan batu itu sudah diturunkan kembali, si Harimau Besi tidak kelihatan tersengal nafasnya, hanya mukanya yang kuning berubah merah.
Yo Wan yang memandang dari sudut matanya tentu saja tak merasa heran menyaksikan demonstrasi itu dan dia sekaligus maklum bahwa si Harimau Besi ini adalah seorang ahli gwakang yang bertenaga besar. Ketika dia melirik ke arah muda-mudi itu, dia melihat si gadis tersenyum mengejek.
Diam-diam Yo Wan terkejut juga. Bila gadis itu masih berani tersenyum mengejek setelah menyaksikan demonstrasi ini, tentu saja gadis itu mempunyai andalan dan menganggap demonstrasi itu bukan apa-apa.
Mulailah dia menaruh perhatian, dan kalau tadi dia agak mengkhawatirkan keselamatan muda-mudi itu, kini perhatiannya terbalik dan dia malah mengkhawatirkan keselamatan enam orang itu. Dia sempat melihat kilatan mata yang penuh ancaman di atas bibir yang tersenyum mengejek.
"Dasar manusia-manusia tak tahu diri," diam-diam Yo Wan berpikir, "benar-benar seperti rombongan monyet berlagak, mencari penyakit sendiri."
Ahli golok bermata sipit she Bhe itu cengar-cengir, kini terang-terangan memandang ke arah meja si muda-mudi sambil berkata, "Kalau si kutu buku dan sumoi-nya sanggup mengangkat batu ini, biarlah kami tidak akan banyak bicara lagi. Akan tetapi kalau tidak sanggup, si kutu buku harus membiarkan sumoi-nya yang cantik manis untuk menemani kami minum beberapa cawan arak."
Sungguh keterlaluan si mata sipit ini, kekurang ajarannya kini sudah memuncak. Yo Wan ingin sekali memberi tahu supaya muda-mudi itu pergi saja meninggalkan restoran dan menjauhi keributan. Akan tetapi muda-mudi itu enak-enak saja makan, lalu terdengar si gadis berkata mengomel,
"Suheng, makin lama lalat-lalat hijau busuk itu makin membosankan. Bagaimana kalau aku tepuk mampus binatang-binatang hina itu?"
"Ihhh, apa perlunya melayani segala macam lalat bau, Sumoi? Biarkan saja, memang biasanya lalat-lalat hijau itu hanya berkeliaran di tempat-tempat kotor, lalu menimbulkan suara ribut dan menyebarkan penyakit. Biarkan saja, mereka tentu akan mampus sendiri kelak."
Muda-mudi itu tertawa geli sambil melanjutkan makan minum. Muka tiga orang jagoan itu kelihatan marah sekali, juga si pendek yang mengangkat batu tadi. Mukanya yang kuning menjadi merah, matanya melotot.
la lalu mengangkat lagi singa-singaan batu, mengerahkan tenaga kemudian melontarkan singa-singaan itu ke atas, ke arah meja si muda-mudi. la sudah memperhitungkan bahwa kedua orang muda itu tentu akan mengelak dan melompat pergi sehingga singa-singaan batu akan menimpa dan menghancurkan meja dan mereka akan dapat mentertawakan dua orang itu.
Batu besar itu berputaran ke atas, lalu menyambar ke arah meja si muda-mudi itu yang masih enak-enak saja makan minum seakan-akan tidak melihat datangnya bahaya! Akan tetapi setelah singa-singaan batu itu melayang di atas kepala mereka dan agaknya akan menimpa mereka berdua dan meja di depan mereka, si nona cantik itu menggerakkan tangan kiri, dengan jari-jari terbuka, jari-jari tangan yang kecil meruncing dan halus itu hanya menyentuh batu itu tampaknya, akan tetapi batu itu tiba-tiba terputar di udara dan melayang kembali ke arah meja enam orang itu!
"Wah, celaka, lariii...!" teriak si mata sipit.
Karena tiga orang saudagar yang menjadi langganan mereka itu tak pandai silat, maka si mata sipit, si pendek, dan si pipi cacat masing-masing menarik tangan seorang saudagar dan dibawa meloncat pergi dari dekat meja.
Terdengar suara hiruk-pikuk ketika singa-singaan batu jatuh menimpa meja. Meja pecah, keempat kakinya patah-patah, mangkok piring hancur berantakan, sumpit beterbangan dan cawan-cawan arak tumpah.
"Ha-ha-ha!" Si pemuda tertawa.
"Hi-hi-hik!" Si pemudi mengikutinya.
Akan tetapi mereka tetap saja makan minum tanpa pedulikan ketiga orang jagoan yang melotot marah dan tiga orang saudagar yang menjadi pucat mukanya. Ada pun Yo Wan yang masih duduk tenang, memandang kagum, akan tetapi juga merasa betapa gadis itu agak terlalu ganas. Enak saja bermain-main dengan batu seberat itu. Bagaimana kalau tadi menimpa kepala orang? Tentu akan remuk dan mati seketika juga.
"Kurang ajar!" Tiat-houw atau si Harimau Besi berseru marah.
Dengan muka merah dia menarik singa-singaan batu dari atas meja yang sudah ringsek, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan kini dia melontarkan batu itu sekuatnya ke arah si nona manis.
"Kau terimalah ini!"
Kali ini singa-singaan batu itu tidak melayang seperti tadi yang hanya dilontarkan ke atas ke arah meja si muda-mudi, melainkan langsung menyambar ke arah nona itu sehingga merupakan sambitan keras dan berbahaya. Namun, seperti juga tadi, nona itu dengan amat tenang masih terus asyik makan minum, bahkan pada waktu singa-singaan batu sudah menyambar dekat sekali, nona itu dengan tangan kirinya mengangkat cawan arak dan meminumnya!
Para pelayan memandang dengan muka pucat, bahkan ada yang meramkan mata, tidak sampai hati menyaksikan nona cantik jelita yang sedang minum itu remuk kepalanya oleh singa-singaan batu. Hanya Yo Wan yang bisa menduga apa yang akan terjadi, maka dia pun enak-enak minum araknya.
Tepat seperti dugaan Yo Wan, nona itu dengan tangan kanannya mengangkat sepasang sumpitnya, dan secara mudah dan enak saja ia ‘menerima’ batu itu dengan sumpit. Batu besar berbentuk singa itu terputar-putar di ujung sumpit, kemudian sekali menggerakkan lengan kanan, singa batu itu terbang dari ujung sumpitnya, kembali ke alamat pengirim. Semua ini dilakukan dengan cawan arak masih menempel di bibir!
"Aiiihhhhh...!" Orang she Pui yang berjuluk Harimau Besi itu berteriak kaget sekali ketika melihat singa-singaan batu itu tiba-tiba menyambar ke arahnya.
Dia tidak sempat lagi mengelak, terpaksa dia menggerakkan kedua lengannya menerima singa-singaan batu itu. Sambil mengerahkan tenaganya dia menerima, namun alangkah kagetnya ketika singa-singaan batu itu ternyata berlipat kali lebih berat dari pada tadi. Hal ini adalah karena batu itu dilontarkan dengan tenaga sinkang.
Si pendek sombong berusaha menahan, akan tetapi dia terhuyung-huyung ke belakang, singa batu menghimpit dadanya dan sesudah terhuyung-huyung sampai lima meter ke belakang dan menabrak meja, barulah dia berhenti.
Singa-singaan batu itu dia lemparkan ke sebelah kanannya dan dia batuk-batuk. Ketika dia batuk-batuk itu darah segar tersembur keluar dari mulutnya, kemudian dengan lemas dia menjatuhkan diri ke atas kursi, nafasnya terengah-engah, mukanya pucat, matanya meram. Jelas bahwa ia telah menderita luka di sebelah dalam dadanya, luka yang cukup hebat!
Kini terbukalah mata si mata sipit dan si pipi cacat bahwa gadis yang mereka sebut-sebut tadi sebagai bunga hutan liar itu benar-benar liar dan tentang durinya, jangan tanya lagi! Melihat teman mereka terluka hebat, si pipi cacat yang berjuluk Huang-ho Sin-piauw dan she Gong menjadi sangat marah.
Dengan gerakan yang tidak dapat diikuti pandangan mata saking cepatnya, tahu-tahu dia telah mengayun dua tangannya secara bergantian ke arah muda-mudi itu dan terdengar teriakannya.
"Bocah-bocah mau mampus, makanlah ini!"
Sinar hitam berkelebat menyambar ke arah meja muda-mudi itu ketika beberapa batang piauw menyambar. Tidak heran bila si pipi cacat ini berjuluk Piauw Sakti dari Huang-ho. Kiranya dia pandai sekali memainkan piauw dan dapat menyambitkan senjata rahasia itu dengan gerakan yang cepat. Agaknya orang akan kalah cepat apa bila harus berlomba mencabut dan menggunakan senjata rahasia dengan si pipi cacat yang bermuka lonjong buruk itu.
"Menjemukan!" seru si gadis, matanya yang bening dan indah itu memancarkan cahaya kemarahan.
"Biarlah, Sumoi...!" kata si pemuda yang mendului sumoi-nya, menggerakkan sumpitnya. Sumpit itu bergerak-gerak seperti tergetar.
“Cring-cring-cring…!"
Terdengarlah suara beberapa kali disusul berkelebatnya sinar-sinar hitam ke atas, lalu…
"Cap-cap-cap-cap-cap!" empat batang piauw sudah menancap pada langit-langit di atas pemuda itu!
Si pemuda yang wajahnya masih belum terlihat oleh Yo Wan karena pemuda itu duduk membelakangi Yo Wan, kini bersikap seperti tak pernah terjadi apa-apa, minum araknya kemudian berdongak ke atas dan dari mulutnya tersembur arak lembut seperti uap yang terus menyambar ke langit-langit. Terdengar suara nyaring dan... empat batang piauw yang menancap pada langit-langit itu rontok dan runtuh semua ke bawah!
"Hebat...!"
"Luar biasa...!"
"Bagus sekali...!"
Demikian teriakan para pelayan yang menjadi amat gembira menyaksikan kesudahan-kesudahan dari serangan-serangan yang tadinya amat mengkhawatirkan itu.
Yo Wan masih enak-enakan minum araknya. Semua ini sudah diduganya dan dia tidak heran, hanya dia merasa kagum terhadap sikap muda-mudi yang begitu tenang. Timbul keinginan keras di hatinya untuk mengenal mereka.
Akan tetapi yang paling marah adalah si Piauw Sakti! Bagaimana julukannya Piauw Sakti akan dapat bertahan terus kalau permainan piauw-nya diperlakukan bagaikan lalat-lalat menyambar oleh pemuda tak terkenal itu? Timbul pikiran yang licik dalam benaknya.
Tadi si gadis mendemonstrasikan tenaga yang hebat ketika menghadapi singa-singaan batu. Kini yang menghadapi piauw-nya adalah si pemuda, agaknya hal ini membuktikan bahwa si gadis tidaklah sehebat si pemuda dalam menghadapi piauw. Untuk menebus kekalahannya, si pipi cacat kembali mengayun senjata-senjata rahasianya, dan sekali ini sekaligus dia menyambitkan enam batang piauw yang kesemuanya menyambar ke arah si gadis, bahkan menyambar ke enam bagian tubuh yang berbahaya.
"Suheng, kali ini jangan larang aku!” terdengar si gadis berkata halus.
Mendadak dia meloncat bangun dan sepasang sumpit telah berada di kedua tangannya. Dengan gerakan yang amat cepat kedua tangan yang memegang sumpit itu menangkis. Terdengarlah suara nyaring berkali-kali dan sinar-sinar hitam itu menyambar kembali ke arah penyerangnya!
Si pipi cacat kaget sekali. Cepat dia mengelak, namun dia hanya dapat menghindarkan diri dari empat batang piauw, sedangkan yang dua batang lagi telah menancap di pundak dan pahanya. Dia memekik dan roboh, termakan oleh senjatanya sendiri seperti keadaan kawannya si pendek tadi!
Melihat perkembangan peristiwa itu menjadi pertandingan yang mengakibatkan luka dan darah, para pelayan yang tadi amat gembira menyaksikan demonstrasi kepandaian yang mengagumkan, sekarang menjadi bingung dan ketakutan. Mereka ingin melerai, mereka ingin minta agar supaya orang keluar dari restoran kalau hendak berkelahi, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka berani bicara. Karena itu mereka hanya lari ke sana ke mari dan saling pandang dengan muka pucat, tak tahu harus berbuat apa seperti ayam hendak bertelur.
Kini tinggallah seorang jagoan lagi, yaitu si mata sipit yang berjuluk Huang-ho Siang-to. Orang she Bhe ini melihat dua orang kawannya sudah terluka, diam-diam merasa gentar juga. Ia maklum bahwa ternyata mereka bertiga yang selama ini menjagoi daerah lembah Sungai Huang-ho di bagian Leng-si-bun, kiranya hari ini telah tersandung batu!
la maklum bahwa kedua orang muda itu adalah pendekar-pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi melihat dua orang kawannya terluka, tak mungkin dia diam saja. Ke mana dia akan menyembunyikan mukanya kalau dia tidak maju membela? Nama besarnya tentu akan menjadi bahan ejekan orang. Maju dan kalah oleh lawan yang lebih lihai bukanlah hal memalukan, akan tetapi mundur teratur tanpa melawan, benar-benar tidak mungkin dapat dia lakukan.
"Bocah-bocah sombong, siapakah kalian berani bermain gila di daerah ini? Hayo layani sepasang golok dari Huang-ho Siang-to, kalau sanggup mengalahkan sepasang golokku, barulah boleh disebut gagah!"
Pemuda itu hanya tersenyum, akan tetapi si pemudi mendengus dengan sikap mengejek. "Suheng, agaknya tukang cacah daging bakso ini sudah sinting, mau apa dia bawa-bawa golok pencacah bakso? Biar kuhabiskan saja dia..."
"Ssttt, jangan. Biarkan, kita lihat mau apa tikus ini...," kata si pemuda.
Tentu saja si mata sipit tahu bahwa dirinya yang dimaki tukang cacah bakso dan tikus, maka kemarahannya memuncak. Matanya menjadi semakin sipit dan mukanya merah sekali.
"Keparat, kalian yang akan kujadikan bakso...!" Sambil berkata demikian, dia mengayun dan menggerakkan sepasang goloknya di atas kepala. Sepasang golok itu berkelebatan mengeluarkan sinap berkeredepan.
Mendadak gerakannya terhenti dan si mata sipit terkejut serta heran karena dia merasa betapa sepasang goloknya terhenti di tengah udara, di belakang kepalanya seakan-akan tersangkut sesuatu. Betapa pun dia berusaha membetotnya, tapi sia-sia.
Cepat dia membalikkan tubuh dengan bulu tengkuk meremang dan terpaksa melepaskan kedua goloknya. Apa yang dilihatnya? Ketika dia membalikkan tubuh, di depannya telah berdiri seorang laki-laki bertubuh pendek, berkepala botak.
Laki-laki ini mengangkat kedua tangannya dan ternyata kedua goloknya itu telah dijepit oleh jari tengah dan telunjuk yang ditekuk. Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga orang ini, karena hanya dengan dua jari menjepit sebuah punggung golok, tetapi si mata sipit tak mampu membetotnya!
Ketika si mata sipit melihat bahwa di belakang orang pendek ini masih terdapat tujuh orang pendek lainnya, semuanya berdiri tegak dan angker, tiba-tiba tubuhnya menggigil dan dia berkata gagap,
"Ki... kipas... Kipas Hitam..." Mendengar suara ini, para pelayan berserabutan lari melalui pintu belakang restoran dan sebentar saja mereka tidak tampak lagi.
Diam-diam Yo Wan memperhatikan hal ini dan dia dapat menduga bahwa nama Kipas Hitam tentu sudah terkenal dan ditakuti orang. Cepat dia memandang penuh perhatian.
Lelaki yang tadi menjepit sepasang golok dengan jari tangannya itu, benar-benar pendek tubuhnya, pendek gempal dan tegap, sepasang lengannya yang juga pendek itu tampak amat kuat. Di pinggangnya tergantung sarung pedang yang panjang dan agak bengkok, sedangkan di ikat pinggang depan terselip sebuah kipas berwarna hitam. Tujuh orang di belakangnya juga seperti itu dandanannya, hanya bedanya, orang yang berdiri di depan itu sarung pedangnya lebih indah.
Agaknya kipas-kipas hitam yang berada di pinggang mereka itulah yang menjadi tanda bahwa mereka adalah anggota-anggota Kipas Hitam. Dan lucunya, mereka semua, yaitu delapan orang ini kepalanya dicukur botak tinggal di atas kedua telinga dan di sebelah belakang saja.
Laki-laki pendek yang menjepit golok itu kemudian berkata, suaranya terdengar kaku dan asing, "Tiga ekor cumi-cumi banyak tingkah!"
Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan entah bagaimana, tahu-tahu tubuh si mata sipit sudah melayang keluar dari restoran dan baru jatuh lagi ke tanah sesudah melalui jarak belasan meter. Dua orang jagoan lainnya, si pipi cacat dan si pendek muka kuning yang sudah terluka, tahu-tahu sudah melarikan diri diikuti oleh ketiga orang saudagar. Mereka inilah yang mengangkat si golok sakti dan setengah diseret pergi dari tempat itu!
Sekarang Yo Wan dapat menduga. Agaknya rombongan Kipas Hitam adalah perampok-perampok atau lebih tepat agaknya bajak-bajak laut, mengingat akan makiannya tadi. Hanya orang-orang yang biasa berlayar saja agaknya yang akan menggunakan nama binatang laut cumi-cumi untuk memaki orang, Apa lagi orang pendek ini suaranya kaku dan asing. Mereka inilah bajak laut-bajak laut Jepang seperti yang pernah didengar Yo Wan dari percakapan orang-orang di sepanjang perjalanan!
Sementara itu, sepasang muda-mudi yang tadinya kelihatan tenang-tenang saja itu, kini bangkit dari tempat duduk mereka. Agaknya sebutan Kipas Hitam tadi yang membuat mereka serentak bangkit dan memandang tajam kepada delapan orang yang baru tiba.
Kini Yo Wan dapat melihat bahwa si pemuda juga sangat tampan dan gagah, tubuhnya tegap dan biar pun tidak nampak, Yo Wan dapat mengetahui bahwa pemuda itu sudah menyembunyikan sebatang pedang di balik jubahnya, jubah seorang pelajar.
Pandang mata yang luar biasa tajam dari pemuda itu satu kali melirik ke arahnya, dan tercenganglah hati Yo Wan. Walau pun hanya melirik satu kali, namun pandang mata itu tajam menembus hati, seakan-akan si pemuda itu sudah dapat menilainya hanya dengan sekali lirikan saja!
"Hemmm, bukan pemuda sembarangan. Harus hati-hati menghadapi orang seperti ini...," pikirnya.
Kini keadaan di restoran itu tegang. Para pelayan sudah lari menyingkir, juga di depan restoran tampak sunyi. Agaknya orang-orang di situ sudah mendengar akan kedatangan delapan orang pendek-pendek rombongan Kipas Hitam.
Muda-mudi itu sudah berdiri berhadapan dengan pemimpin rombongan, saling pandang bagai lagak jago-jago mengukur pandang dan saling menaksir lawan. Akhirnya si pendek itu bertanya, suaranya ketus, kasar dan kaku,
"Kalian berdua yang membunuhi teman-teman kami di pantai Laut Po-hai seminggu yang lalu?"
Gadis itu melangkah maju dan dengan sikap menantang ia berkata nyaring, "Kalau betul, kalian mau apa? Kalian inikah bajak laut Kipas Hitam? Apakah kau kepalanya?"
Kepala rombongan itu mengeluarkan suara makian dalam bahasa asing, sikapnya amat mengancam. "Kami tidak diberi perintah untuk membunuh kalian, hanya diperintah untuk mengajak kalian ikut menghadapi kongcu (tuan muda) kami.”
"Mau apa dia? Siapa kongcu kalian itu?" tanya si gadis, lalu terdengar bisiknya kepada suheng-nya, "Suheng, kau awasi tikus di belakang kita itu, dia mencurigakan..."
Si pemuda membalikkan tubuhnya dan sekali lagi Yo Wan tercengang pada saat melihat sinar mata tajam menyambarnya di samping senyuman mengejek. Ia tahu bahwa dirinya dicurigai, maka untuk menyembunyikan wajahnya, dia menenggak araknya dan berkata seperti orang sinting, “Ahhh... arak habis malah para pelayan pergi semua. Ke manakah orang-orang tolol itu?"
Sementara itu, si pendek menerangkan dengan suara kaku, "Kongcu adalah pemimpin kami, sekarang kongcu menunggu di pantai. Kalian harus ikut dengan kami menghadap kongcu."
"Mau apa dia?"
"Nanti kalian bicara sendiri dengan kongcu, kami hanya diperintah untuk mengajak kalian secara baik-baik, harap kalian jangan membantah lagi..."
"Kalau kami tidak mau?" tanya pultt si gadis.
"Hemmm... hemmmmm... mudah-mudahan jangan begitu. Mau tidak mau kalian harus menghadap kongcu. Kongcu bilang bahwa kalian bukanlah orang-orang pengecut yang tidak berani menghadapi pemimpin Kipas Hitam."
"Aku tidak mau! Persetan dengan kongcu kalian! Pergi dari sini, kalian mau apa kalau aku tidak mau?!" tantang si gadis dengan sikap menantang, sedangkan si pemuda tetap tenang saja, kadang-kadang melirik ke arah Yo Wan yang dicurigai.
Si pendek itu sejenak memandang dengan mata mengancam, kemudian menarik nafas panjang. "Sayang," katanya, "Sudah lama aku tidak bertemu lawan yang pandai. Segala macam cumi-cumi seperti juragan-juragan perahu tadi hanya menjemukan saja. Betapa senangnya apa bila dapat mengadu ilmu dengan kalian yang kabarnya lihai. Sayangnya, kongcu tidak mengijinkan kami mengganggu kalian. Kongcu mengundang kalian dengan baik-baik, untuk diajak bercakap-cakap entah urusan apa. Kalau saja tak ada pesan dari kongcu, sudah sejak tadi samuraiku bicara!" Sambil berkata begitu dia menepuk-nepuk pedang panjang yang tergantung di pinggangnya sambil berkata, "Cakar Naga, jangan kecewa, mereka bukan musuh..."
"Sumoi, jika orang yang mereka sebut kongcu itu hendak bicara, mari kita pergi menemui dia. Kita bukanlah pengecut, takut apa bertemu dengan pemimpin Kipas Hitam?" kata si pemuda, agaknya tertarik juga menyaksikan sikap orang Jepang itu.
"Wah, tidak ada alasan untuk bersikap murah dan mengalah, Suheng. Kalau memang ingin bicara, mengapa yang menyebut dirinya kongcu itu tidak datang sendiri menemui kita? Heee, orang pendek. Pedangmu kau sebut Cakar Naga, tentu kau pandai bermain pedang. Dengarlah! Bila kau dapat mengalahkan aku dengan pedangmu, baru kuanggap kau cukup pantas menjadi utusan untuk mengundang kami. Kalau tidak mampu, jangan banyak cerewet lagi!"
Orang Jepang itu mengangkat muka, keningnya berkerut lalu dia menepuk dada dengan tangan kirinya. "Aku Kamatari tak pernah mundur menghadapi tantangan siapa pun juga, akan tetapi aku taat kepada perintah kongcu. Nona, mungkin kau berkepandaian, akan tetapi harap kau jangan memandang rendah samurai Cakar Naga di tanganku. Lihatlah betapa saktinya Cakar Naga!" Sambil berkata demikian, Kamatari menggunakan kakinya menendang sebuah bangku kayu yang berada di dekatnya.
Bangku itu terlempar ke atas dan pada saat bangku melayang turun, tiba-tiba tampak sinar berkeredepan berkelebat beberapa kali.
“Crak-crak!” terdengar suara perlahan.
Dalam sekejap mata, sinar berkeredepan itu lenyap dan... bangku yang sudah terbelah menjadi tiga potong itu runtuh ke bawah. Anehnya, yang sepotong melayang ke arah meja Yo Wan, menimpa atas meja dan membikin pecah mangkok serta menggulingkan cawan arak!
Yo Wan tak berkata apa-apa, hanya berdiri sebentar, mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena percikan arak, kemudian duduk kembali dengan tenang. la maklum bahwa orang Jepang yang lihai ilmu pedangnya dan besar tenaga dalamnya itu agaknya mencurigai dirinya dan sengaja mementalkan sepotong kayu bangku ke arahnya untuk memancing.
Tentu saja dia dapat melihat betapa tadi orang pendek itu mencabut pedang samurainya dengan gerakan yang betul-betul cepat serta mengandung tenaga yang hebat. Demikian cepat gerakan Kamatari sehingga bagi mata orang biasa, orang pendek ini sama sekali tidak berbuat apa pun, karena sebelum potongan-potongan bangku itu jatuh ke tanah, samurainya sudah kembali ke sarungnya. Seperti main sulapan saja!
Kamatari mengerling sekejap ke arah Yo Wan, lalu kembali dia menghadapi nona itu, wajahnya membayangkan kepuasan dan harapan bahwa kali ini gadis itu akan menjadi jeri dan suka menurut. Akan tetapi dugaannya meleset jauh.
Gadis itu berpaling pada suheng-nya dan berkata, "Suheng, bukankah lucu sekali badut pendek ini?"
"Sumoi, jangan main-main. Agaknya dia jujur dan mari kita menemui kongcu itu, kita lihat apa kehendaknya," jawab suheng-nya yang agaknya tidak ingin mencari keributan.
"Suheng, sesudah dia mengeluarkan pedang cakar ayamnya, apa bila kita menurut saja, bukankah orang akan menganggap kita ini tidak becus apa-apa? Biarkan aku main-main sebentar dengannya."
Si pemuda menghela nafas, kemudian jawabnya lirih, "Sesukamulah, akan tetapi jangan menimbulkan gara-gara."
Si gadis tersenyum manis. "Aku hanya ingin main-main, siapa yang ingin menimbulkan gara-gara?" Kemudian dia menghampiri Kamatari dan berkata, "Namamu Kamatari dan pedangmu yang bengkok adalah pedang cakar ayam, ya?” Sengaja dia mengganti Cakar Naga dengan cakar ayam.
"Bagus, aku pun punya pedang yang saat ini kuberi nama pedang penyembelih ayam. Boleh kau coba-coba layani pedangku ini, Kamatari. Sekali lagi kunyatakan bahwa kalau kau tidak bisa memenangkan pedangku ini, aku tidak sudi bertemu dengan kongcu-mu!" Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut sebatang pedang dengan perlahan.
Orang-orang Jepang yang berada di belakang Kamatari semuanya tertawa ketika melihat sebatang pedang pendek dengan ukuran kurang lebih dua puluh cun (satu cun ±2 senti meter), warnanya hitam sama sekali tidak mengkilap, bahkan warna hitamnya hitam kotor seperti tanah. Dari jauh tampak seperti pedang terbuat dari tanah lempung saja. Tentu saja semua orang Jepang yang terkenal dengan pedang-pedang samurai mereka yang terbuat dari baja tulen dan berkilauan saking tajamnya itu tertawa mengejek menyaksikan pedang si nona yang begitu buruk dan pendek.
Akan tetapi diam-diam Yo Wan kagum. Ia maklum bahwa pusaka yang ampuh tampak sederhana, seperti juga orang pandai kelihatan bodoh dan air dalam kelihatan tenang.
Kamatari juga tertawa. Suara ketawanya pendek-pendek susul-menyusul dan kepalanya bergoyang-goyang, kemudian dia menoleh kepada teman-temannya yang masih berdiri seperti barisan dengan tubuh tegak di belakangnya.
"Kalian mendengar sendiri, dia yang memaksaku bermain-main, harap kalian nanti dapat melaporkan kepada kongcu agar aku tidak dipersalahkan." Setelah berkata demikian, dia melangkah maju menghadapi gadis itu sambil berkata, lagaknya sombong.
"Aku sudah siap Nona!"
Nona itu tersenyum mengejek, akan tetapi alisnya yang hitam kecil itu bergerak-gerak. "Cabut pedangmu, orang sombong!"
"Cakar Naga tak pernah meninggalkan sarungnya kalau tidak perlu. Nona boleh mulai menyerang."
"Cih, siapa sudi? Aku bukan orang yang suka menyerang orang tak memegang senjata. Kalau kau mengajak kami menemui kongcu-mu, kau harus menyerang dan mengalahkan pedangku. Habis perkara!"
"Begitukah? Nah, lihat pedangku!"
Kamatari tiba-tba mengeluarkan pekik yang sangat menyeramkan. Tubuhnya menerjang maju dengan didahului sinar berkilauan. Bagi mata orang biasa, gerakan mencabut dan mempergunakan pedang samurai tidak akan tampak, yang kelihatan hanya sinar pedang yang menyilaukan mata. Akan tetapi gadis itu agaknya dapat melihat jelas karena sekali menggeser kaki ia telah mengelak ke kiri.
"Crakkk!" terdengar suara kayu terbelah.
Kamatari sudah berdiri tegak lagi, tangan kiri dengan jari terbuka melindungi dadanya dan tangan kanan tergantung di pinggang, dekat gagang pedang, akan tetapi pedangnya sendiri sudah bersarang di dalam sarung pedangnya lagi. Meja yang tadi berada di dekat gadis itu, meja yang kosong, bergoyang-goyang, tidak kelihatan disentuh, tidak kelihatan rusak, akan tetapi perlahan-lahan miring lalu roboh menjadi dua potong. Begitu tajamnya samurainya, seakan-akan meja itu terbuat dari agar-agar saja!
"Hi-hi-hik, kenapa kau berhenti, Kamatari? Kalau hanya membelah meja, anak kecil pun bisa!"
"Jagalah ini. Haiiiiittttt!" Kamatari sudah menerjang lagi, didahului sinar samurainya yang berkelebatan menyambar-nyambar.
Sambaran pertama dihindarkan oleh gadis itu dengan melejit ke kanan, sambaran kedua yang menyerampang kakinya dia hindarkan dengan satu loncatan indah ringan ke atas melalui meja. Sedangkan serangan ketiga yang luar biasa sebat dan berbahayanya, dia tangkis dengan pedang hitamnya.
"Cring... tranggggg...!!"
Dua kali samurai tajam mengkilat bertemu dengan pedang pendek hitam buruk. Bunga api berpijar menyilaukan mata dan tampak Kamatari terhuyung ke belakang sedangkan gadis itu berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tersenyum.
"Kenapa berhenti lagi? Kau mau merusak pedangku?" Gadis itu mengejek.
Kini Kamatari mengurangi lagaknya. Pedang samurai tidak dimasukkan ke dalam sarung pedangnya, melainkan dipegang di tangan kanan. la tadi terkejut setengah mati karena selain pedang buruk lawannya itu dapat menahan samurainya, juga telapak tangannya terasa hendak pecah-pecah dan kuda-kuda kakinya tergempur hebat. Tahulah dia bahwa gadis di depannya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan.
Kini dia tidak main-main aksi-aksian lagi, namun menyerang dengan sungguh-sungguh. Terdengar mulutnya mengeluarkan pekikan berkali-kali, pekik serangan, dan samurainya menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar memanjang. Gerakannya penuh tenaga dan gesit, samurainya selalu membalik dan mengikuti gerakan si gadis yang mengelak ke sana ke mari. Akan tetapi dia seakan-akan menyerang bayangannya sendiri. Ke mana pun dia menyabet, selalu samurainya membelah angin belaka.
Diam-diam Yo Wan kaget dan matanya terbelalak, jantungnya berdebar-debar. Baginya, pemandangan di depan mata ini mengejutkan. Betapa tidak? Ia mengenal baik gerakan dara ini, gerakan mengelak sambil berloncatan, terhuyung-huyung, jongkok, berdiri.
Biar pun ada beberapa perbedaan, namun tidak salah lagi, itulah gerakan-gerakan yang mirip sekali dengan Si-cap-it Sin-po, yaitu empat puluh satu jurus langkah ajaib yang dia pelajari dan suhu-nya, Pendekar Buta. Memang gaya dan perkembangannya berbeda, namun dasarnya mempunyai persamaan yang tidak dapat diragukan lagi tentu dari satu sumber. Keduanya memiliki ciri-ciri yang khas dari gerakan seekor burung, atau jelasnya, gerakan seekor burung rajawali.
Setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus lamanya, mendadak gadis itu membuat gerakan aneh, tubuhnya meloncat ke atas bagaikan hendak menubruk. Kamatari berseru heran, pedangnya menyambar memapaki tubuh itu, akan tetapi secara indah dan sangat mengagumkan kaki kiri gadis itu menendang dari samping hingga sekaligus mengancam pergelangan tangan lawan sedangkan pedang hitamnya berkelebat tepat di depan muka Kamatari.
Sebelum jago Jepang itu dapat menyelami jurus yang aneh ini, tiba-tiba saja dia merasa pundaknya sakit dan terhuyunglah dia ke belakang. Kiranya pundak kirinya sudah terluka oleh ujung pedang hitam, membuat tangan kirinya serasa lumpuh!
Segera dia menyimpan samurainya dan menutupi lukanya, lalu menjura sampai dalam. "Ilmu pedang Nona sungguh hebat...”.
Pada saat itu pula berkelebat bayangan putih, cepat dan tak terduga gerakannya, seperti seekor burung dara melayang memasuki restoran itu.
"Sumoi, awas...!" seru si pemuda yang sudah melompat maju.
Gadis itu cepat mengangkat pedangnya, akan tetapi dia tertahan dan tertegun pada saat melihat bahwa yang meloncat masuk ini adalah seorang pemuda berpakaian serba putih berkembang-kembang kuning yang indah sekali, sebuah muka yang tampan luar biasa, dengan sepasang mata bersinar-sinar seperti bintang pagi, sepasang bibir yang merah dan tersenyum amat tampannya!
Begitu kaki pemuda ini menginjak tanah, tangannya bergerak dan dua bayangan putih melayang ke depan, langsung sinar ini menyambar mengarah leher si gadis. Gadis itu berseru keras dan mengelak ke belakang, tetapi tiba-tiba sinar putih kedua menyambar pedangnya dan pada lain saat pedang itu sudah terlibat sesuatu kemudian terampas dari tangannya!
"Kembalikan pedang, Sumoi!" Si pemuda menerjang maju, gerakannya cepat dan amat kuat sehingga diam-diam Yo Wan kagum melihatnya.
Akan tetapi lebih kagum lagi hati Yo Wan menyaksikan gerakan pemuda baju putih yang baru masuk, karena sekali menjejakkan kedua kaki, tubuh pemuda baju putih itu sudah melayang keluar restoran, meninggalkan dua sinar putih menyambar yang diikuti dengan teriakannya yang nyaring, "Awas senjata rahasia!"
Si pemuda kaget sekali, apa lagi ketika melihat dua sinar putih berkilauan menyambar ke arah jalan darah yang berbahaya di tubuhnya. Cepat dia mengibaskan lengan baju dan runtuhlah kedua senjata rahasia itu. Anehnya, senjata rahasia itu ternyata hanyalah dua potong uang perak!
Uang perak digunakan sebagai senjata rahasia benar-benar merupakan hal yang langka. Pemboros mana yang menghamburkan uang perak begitu saja? Ketika kemudian dia memburu keluar, pemuda baju putih itu sudah lenyap!
Marahlah si pemuda. Sekali dia bergerak, dia sudah menangkap Kamatari, menjambak baju pada punggungnya dan mengangkatnya ke atas seperti orang mengangkat seekor kelinci saja!
"Tikus busuk! Apa bila kami menghendaki, apa susahnya mencabut nyawamu yang tidak berharga? Hayo katakan, siapa bangsat tadi!"
Kamatari kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa si pemuda begini galak dan begini kuat. Tentu saja dia tidak sudi diperlakukan seperti ini, maka dia membentak, "Lepaskan bajuku!" dan tangannya memukul.
Akan tetapi tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi kaku. Dua lengannya yang tadi bergerak hendak memukul seakan-akan berubah menjadi dua batang kayu kering!
"Keparat, jangan banyak lagak kau! Hayo bilang, siapa dia tadi?!"
Tahulah kini Kamatari bahwa pemuda ini memiliki ilmu yang luar biasa. Percuma untuk berkeras kepala lagi, maka dengan suara merintih dia berkata,
"Dia adalah kongcu kami. Baiknya kongcu masih tidak berniat memusuhi kalian. Apa bila kalian memiliki kepandaian, boleh datang merampas pedang di pantai Po-hai di dusun Kui-bun, cari gedung Yo-kongcu!"
Dengan sekali gerakan, pemuda itu melempar tubuh Kamatari ke belakang. Jago Jepang ini menabrak kawan-kawannya dan roboh terguling, kemudian ditolong teman-temannya. Akhirnya mereka pergi dari tempat itu dengan cepat.....
Si pemuda teringat akan Yo Wan, segera dia melompat dan membalikkan tubuh. Akan tetapi pemuda tenang yang mencurigakan hatinya tadi sudah lenyap dari sana. Di atas mejanya tergeletak beberapa potong uang perak, agaknya untuk membayar makanan dan minuman. Makin curigalah pemuda itu.
"Sumoi, kita harus mengejar si baju putih she Yo itu."
"Mari, Suheng. Aku pun gemas sekali terhadap manusia itu. Kalau dia tidak menyerang secara menggelap, jangan harap dia dapat merampas pedangku Hek-kim-kiam (Pedang Emas Hitam)!"
Walau pun mulutnya berkata demikian, diam-diam hatinya berdebar. Matanya terbayang wajah yang tampan itu dan ia sendiri merasa sangsi apakan ia akan mampu menandingi pemuda luar biasa itu.
Dengan suara nyaring pemuda itu memanggil pelayan. Seorang pelayan segera datang berlari-larian, diikuti oleh empat orang temannya. Agaknya para pelayan yang sejak tadi sibuk bersembunyi, sekarang sudah berani keluar lagi setelah keadaan menjadi reda dan pertempuran berhenti.
"Hitung semua, termasuk pengganti kerusakan-kerusakan di sini akan saya bayar."
Pelayan itu lalu membungkuk-bungkuk sambil bibirnya tersenyum-senyum penuh hormat. "Harap Kongcu jangan repot-repot, semua sudah dibayar lunas."
"Siapa yang membayar?" Pemuda itu mengangkat alisnya.
"Yang membayar adalah pemberi benda ini kepada Kongcu, semua sudah dibayarnya dan meninggalkan benda ini yang harus saya serahkan kepada Kongcu." Sambil berkata demikian, pelayan itu menyerahkan sebuah kipas dari sutera hitam.
Pemuda itu mengerutkan kening, akan tetapi menerima juga kipas itu sambil bertanya, "Siapa dia?"
"Siapa lagi kalau bukan yang terhormat pangcu (ketua) dari Hek-san-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) yang tersohor? Kiranya Kongcu dan Siocia (Tuan Muda dan Nona) adalah sahabat-sahabat Hek-san-pangcu, maaf kalau kami berlaku kurang hormat..."
Pemuda itu mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala lalu meninggalkan restoran itu bersama sumoi-nya.
"Benar-benar manusia aneh. Apa artinya dia membayari semua hidangan, lalu mengganti semua kerusakan dan memberi kipas hitam ini kepada kita? Apakah ini semacam hinaan lain lagi? Keparat!"
"Kurasa kalau orang itu membayar makan minum kita dan memberikan kipasnya, hal itu bukanlah berarti penghinaan, Suheng. Coba kau buka kipasnya, barang kali ada maksud di dalamnya."
Pemuda itu membuka kipas sutera hitam itu. Benar saja, kipas sutera hitam yang amat indah dan berbau semerbak harum itu ditulisi dengan tinta putih, merupakan huruf-huruf bersyair yang halus indah gayanya,
Berkawan sebatang pedang menjelajah laut bebas
sunyi sendiri merindukan kawan dan lawan seimbang
hati mencari-cari...
"Bagus...!" tak terasa lagi ucapan ini keluar dari mulut mungil gadis itu.
Si pemuda cepat menoleh dan memandang sehingga kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali. la merasa seolah-olah sajak itu ditujukan khusus kepadanya. Pemuda yang aneh luar biasa, tampan dan berkepandaian tinggi, merasa sunyi dan merindukan kawan yang memiliki kepandaian seimbang! Dan pedangnya dirampasnya, dengan maksud supaya ia datang ke sana!
"Pemuda sombong, atau cengeng..." Si pemuda malah mencela.
Sumoi-nya hanya diam saja, takut kalau-kalau tanpa disadarinya mengucapkan sesuatu yang membuka rahasia hatinya. Mereka segera melakukan perjalanan cepat menuju ke timur, melalui sepanjang lembah Sungai Kuning, menuju ke pantai Po-hai.
Pemuda dan sumoi-nya itu bukan pendekar-pendekar biasa, bukan petualang-petualang biasa di dunia kang-ouw. Si pemuda adalah putera tunggal dari pendekar besar Tan Sin Lee.
Seperti telah kita ketahui, pendekar besar putera Raja Pedang ini tinggal di Lu-liang-san, bersama isterinya yang bernama Thio Hui Cu murid Hoa-san-pai. Pemuda inilah putera sepasang suami isteri pendekar itu yang bernama Tan Hwat Ki, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, seorang pemuda yang sejak kecil sudah digembleng oleh orang tuanya dan mewarisi ilmu silat tinggi.
Ada pun sumoi-nya, gadis jelita itu, bernama Bu Cu Kim. Pendekar besar Tan Sin Lee memiliki murid sepuluh orang jumlahnya, termasuk putera mereka. Akan tetapi di antara para murid, yang paling menonjol kepandaiannya adalah Bu Cui Kim.
Cui Kim adalah anak yatim piatu, ayah bundanya sudah meninggal dunia akibat penyakit yang merajalela di dusunnya. Karena kasihan kepada anak yang bertulang baik ini, Tan Sin Lee lalu mengambilnya sebagai murid, bahkan karena mereka tidak mempunyai anak perempuan sedangkan Cui Kim semenjak kecil kelihatan sangat rukun dengan Hwat Ki, Cui Kim lalu dianggap sebagai anak sendiri.
Demikianlah, sejak kecil Cui Kim seakan-akan menjadi adik angkat Hwat Ki dan bersama putera suhu-nya itu mempelajari ilmu silat tinggi.
Pada suatu hari, puncak Lu-liang-san menerima kunjungan seorang tamu yang tidak lain adalah Bun Hui, putera Bun-goanswe yang tinggal di Tai-goan. Boleh dibilang, di antara pendekar-pendekar keturunan Raja Pedang, Tan Sin Lee inilah yang tempat tinggalnya paling dekat dengan Tai-goan dan kota raja.
Lu-liang-san terletak di sebelah barat kota Tai-goan, bahkan dari kota itu sudah kelihatan puncaknya. Sebab itu, begitu menghadapi kesulitan, Bun-goanswe teringat akan sahabat baiknya ini dan menyuruh puteranya mengunjungi Tan Sin Lee.
Di dalam suratnya, Bun-goanswe minta bantuan Tan Sin Lee dan para muridnya untuk membantu negara yang sedang menghadapi banyak gangguan. Di dalam surat itu, dia ceritakan betapa gangguan dari pihak Mongol di utara masih makin menghebat sehingga kaisar sendiri berkenan memimpin barisan untuk menumpas perusuh-perusuh dari utara itu.
Diceritakan pula betapa bajak-bajak laut di laut timur kini juga telah menjadi pengganggu-pengganggu keamanan, tidak saja bagi para nelayan di laut, akan tetapi juga di daratan sepanjang pesisir Laut Po-hai. Demikian besar gangguan ini sehingga kaisar sendiri telah memerintahkan kepada Bun-goanswe untuk mengerahkan tenaga menumpas para bajak laut itu kalau mereka berani mendarat.
Sebenarnya Bun-goanswe sudah melakukan usaha ini, tetapi ternyata bahwa para bajak laut Jepang itu bersama-sama bajak laut bangsa sendiri, memiliki banyak orang-orang yang berilmu tinggi sehingga banyak sudah perwira dari kota raja yang tewas di tangan para bajak laut. Karena inilah Bun-goanswe mengharapkan pertolongan Tan Sin Lee dan murid-muridnya. Dan inilah pula sebabnya maka pendekar Lu-liang-san itu lalu menyuruh puteranya sendiri ditemani oleh Cui Im, turun gunung melakukan penyelidikan ke pantai Po-hai.
Sepasang orang muda ini sengaja menyewa perahu berlayar di sepanjang pantai Po-hai. Betul saja, pada suatu hari perahu itu diganggu bajak laut yang menggunakan bendera Kipas Hitam. Akan tetapi kali ini para bajak laut menemui hari naas karena mereka itu kocar-kacir dan banyak yang tewas di tangan sepasang pendekar dari Lu-liang-san ini.
Kemudian karena mendengar bahwa banyak bajak mengganas pula di sepanjang Sungai Huang-ho, Hwat Ki bersama sumoi-nya lalu pergi ke kota Leng-si-bun di pinggir Sungai Huang-ho, memasuki rumah makan dan terjadi peristiwa dengan anak buah Kipas Hitam seperti yang telah dituturkan di bagian depan.
Tentu saja Hwat Ki dan Cui Im menjadi girang karena mereka mendapatkan jejak ketua perkumpulan Kipas Hitam yang merupakan gerombolan bajak laut yang paling terkenal, di samping bajak-bajak laut lainnya yang banyak mengganas di sepanjang pantai timur.
Hari telah menjadi hampir malam ketika kedua orang pendekar muda dari Lu-liang-san ini tiba di dusun Kui-bun. Dusun ini bukanlah dusun besar, hanya didiami oleh para nelayan yang tidak lebih dari tiga puluh buah keluarga banyaknya.
Di setiap rumah nelayan itu nampak jala-jala dibentangkan, dan di pinggir rumah banyak terdapat bekas-bekas perahu dan tiang-tiang layar. Di ujung yang paling jauh dari pantai, terlihat sebuah rumah gedung besar yang kelihatan ganjil karena jarang terdapat gedung sedemikian besarnya di dusun sekecil itu.
Di pantai laut itu sendiri banyak terdapat para nelayan besar kecil sibuk bekerja, agaknya mereka itu sedang memasang atau pun menarik jaring dari pantai. Biasanya kalau hari mulai gelap itulah mereka menarik jaring dan apa bila untung mereka baik, mereka akan menarik banyak ikan di dalam jaring.
Hwat Ki dan Cui Kim segera tertarik oleh rumah gedung itu.
"Kiranya tidak akan salah lagi, tentu gedung ini sarang mereka," Hwat Ki berkata kepada sumoi-nya.
"Akan tetapi sebaiknya kalau kita mencari keterangan lebih dulu, Suheng. Di tempat yang asing ini, sungguh tak baik kalau kita keliru memasuki rumah orang."
Hwat Ki mengangguk, menyuruh adik seperguruannya itu menanti di tempat gelap, lalu dia sendiri melangkah cepat menuju ke pantai. Dengan lagak bagai sudah mengenal baik orang yang dicarinya, dia bertanya dengan lantang kepada seorang nelayan,
"Sahabat, ingin saya bertanya. Di manakah tempat tinggal seorang bernama Yo-kongcu? Apakah rumah gedung itu?"
Mendadak sekali orang-orang yang tadinya sibuk bekerja itu berhenti bergerak kemudian memandang kepada Hwat Ki. Melihat ini, pemuda itu dapat menduga bahwa agaknya mereka ini pun anak buah pimpinan Kipas Hitam itu, atau setidaknya tentu teman-teman baik, maka cepat-cepat dia menyambung, "Saya adalah sahabat baiknya, belum pernah datang ke sini, tidak tahu di mana rumahnya. Apakah gedung besar itu?"
Seorang nelayan setengah tua mengangguk pendek. "Betul."
Kemudian dia memberi aba-aba kepada kawan-kawannya untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Hwat Ki lega hatinya, cepat dia kembali ke tempat Cui Kim menanti.
"Sudah kuduga bahwa orang she Yo itu tentu berkuasa di sini. Orang-orang itu agaknya takut kepadanya. Sumoi, mari kita ke sana."
Keduanya lalu berjalan menghampiri gedung besar. Di sekitar gedung itu sangat gelap, akan tetapi tampak sinar lampu-lampu menerangi sebelah dalam gedung yang dikelilingi oleh tembok setinggi satu setengah tinggi orang. Hwat Ki dan adiknya mengelilingi luar tembok dan mendapat kenyataan bahwa pintu satu-satunya hanyalah pintu depan yang tertutup rapat.
"Kita ketuk saja pintunya," kata Cui Kim.
"Hemmm, tidak akan ada gunanya. Mengunjungi tempat lawan tidak perlu banyak aturan. Mengetuk pintu berarti membuat mereka siap untuk menjebak kita. Mari!"
Pemuda itu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang naik ke atas tembok, diikuti oleh Cui Kim. Bagaikan dua ekor burung walet mereka sudah meloncat dan berdiri di atas tembok.
Terang sekali di sebelah dalam tembok. Ruangan depan rumah gedung itu pun sangat terang dan bersih, akan tetapi sunyi tidak tampak ada orangnya.
"Orang she Yo! Kami datang untuk minta kembali pedang!" Tan Hwat Ki berteriak dengan suara lantang. Sedangkan Cui Kim berdiri di dekatnya dengan tegak, siap menghadapi segala kemungkinan.
Sunyi sepi menyambut suara teriakan Hwat Ki yang sedikit bergema di dalam gedung itu. Kemudian terdengarlah suara halus dan nyaring, "Silakan masuk, pintu tidak dikunci dan kami menanti di ruangan tengah!"
"Hati-hati, Suheng, jangan-jangan musuh mengatur perangkap!" bisik Cui Kim.
"Tak usah takut, marilah!" kata Hwat Ki yang melayang turun ke ruangan depan.
Dengan gerakan lincah sekali Cui Kim mengikutinya, melompat turun ke atas lantai ruang depan yang licin dan bersih itu tanpa mengeluarkan suara. Sejenak keduanya berdiri dan memandang ke sekeliling dengan sikap waspada. Ruangan ini, yang merupakan ruangan depan menyambung halaman, amat bersih dan indah.
Ketika mereka memandang ke dalam, di sebelah kiri dinding ruangan itu penuh dengan tulisan-tulisan bersajak. Mereka kemudian melangkah ke dalam melalui pintu besar yang memang tidak tertutup.
Ruangan tengah itu luasnya ada lima belas meter persegi, juga terhias lukisan-lukisan indah. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar dikelilingi bangku-bangku terukir burung hong. Tampak empat orang duduk mengelilingi meja dan seorang di antaranya adalah kongcu yang berpakaian serba putih.
Melihat pemuda baju putih ini duduk di kepala meja, dapatlah diduga bahwa dia menjadi pemimpinnya. Tiga orang yang lain adalah dua orang laki-laki setengah tua dan seorang wanita berusia empat puluh tahun yang rambutnya sudah berwarna dua dan di gelung tinggi-tinggi di atas kepala. Melihat sikap mereka, tiga orang setengah tua ini tentu bukan orang sembarangan pula.
Seorang di antara dua laki-laki itu bertubuh pendek gemuk, modelnya seperti Kamatari, juga di pinggang orang ini tergantung pedang samurai. Mudah diduga bahwa dia seorang Jepang. Tubuh dan mukanya tidak bergerak-gerak, akan tetapi sepasang matanya lincah bergerak ke kanan kiri.
Yang seorang lagi bertubuh tinggi kurus. Bajunya lebar dengan lengan baju panjang dan kumisnya tipis panjang sehingga bertemu dengan jenggotnya yang menutupi dagu serta leher. Mereka berempat sekarang memandang kepada sepasang orang muda yang baru datang.
Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang lembut dari pemuda baju putih, tiba-tiba saja jantung Cui Kim terasa berdebar tidak karuan. Akan tetapi begitu dia melihat pedang hitamnya terletak di atas meja depan pemuda itu, timbul kemarahannya. Seketika sinar matanya berapi-api dan dia berteriak dengan nyaring.
"Dengan muslihat curang kau telah merampas pedangku. Orang she Yo, kalau memang kau jantan, kembalikan pedangku dan kita boleh bertanding sampai seribu jurus!"
Pemuda itu tersenyum, cepat bangkit dari bangkunya kemudian memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam.
"Bukan salahku...!" jawabnya sambil tersenyum ramah. "Aku sudah mengutus orang dan mengundang kalian baik-baik, kalian tidak datang malah menyerang orangku. Kalau tidak merampas pedang, mana bisa aku memancing kalian datang pada malam ini?" Berkata demikian, pemuda baju putih itu menatap wajah Hwat Ki dengan tajam, dengan pandang mata penuh selidik.
Hwat Ki tetap tenang, memang pemuda ini semenjak kecil memiliki sikap yang tenang. la maklum bahwa bersama sumoi-nya dia telah memasuki goa harimau, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar.
"Setelah kami datang untuk minta kembali pedang, apa lagi yang hendak kau bicarakan dengan kami?" tanyanya.
Pemuda baju putih itu kembali tersenyum lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi. Hwat Ki harus mengakui bahwa wajah orang ini memang amat tampan.
"Banyak yang ingin kami bicarakan. Akan tetapi, kalian berdua adalah tamu-tamu kami, silakan duduk. Sebelum menjamu tamu terhormat, mana bisa bicarakan urusan penting? Silakan duduk, atau... barang kali kalian takut kalau-kalau kami menipu? Apakah kalian tidak berani duduk?"
Hwat Ki tersenyum mengejek. "Takut apa?"
Dia lalu melangkah maju, diikuti sumoi-nya. Keduanya kemudian duduk di atas bangku, berhadap-hadapan dengan empat orang itu. Tiga orang setengah tua itu pun berdiri dan mengangguk, dibalas oleh Hwat Ki dan Cui Kim yang merasa heran dan aneh, karena sama sekali tak menyangka mereka akan diterima sebagai tamu. Hanya adanya pedang Hek-kim-kiam di atas meja itu yang membikin suasana menjadi kaku.
Agaknya tuan rumah merasakan hal ini. Dipungutnya Hek-kim-kiam dan disodorkannya pedang itu kepada Cui Kim sambil berkata, "Silakan, Nona. Inilah pedangmu, maaf atas kelancanganku tadi."
Cui Kim menerima pedangnya dengan dua pipi merah dan kembali jantungnya berdebar tak karuan. Semangatnya serasa terbetot oleh senyum dan pandang mata yang menarik itu. Sesudah menyimpan pedang ke dalam sarung pedangnya, kembali ia duduk dengan muka tunduk.
Si pemuda baju putih bertepuk tangan tiga kali. Segera bermunculan lima orang pelayan wanita yang muda-muda serta cantik-cantik. Mereka sibuk membawa datang hidangan-hidangan lezat dan arak wangi yang mereka tuangkan ke dalam cawan enam orang itu dengan gerakan dan gaya yang manis. Si pemuda baju putih itu dengan ramah-tamah mempersilakan kedua orang tamunya makan dan minum arak.
Memang sehari itu Hwat Ki dan sumoi-nya baru makan sekali, yaitu di rumah makan kota Leng-si-bun sebelum tengah hari, tentu saja pada saat itu mereka sudah merasa lapar. Hwat Ki yang tahu bahwa pihak tuan rumah menguji ketabahan mereka, tentu saja tidak sudi memperlihatkan kekhawatiran. Dengan wajar dan tenang dia mulai makan minum menemani tuan rumah dengan enaknya.
Hanya Cui Kim yang merasa agak canggung. Sebagai seorang gadis, ia berbeda dengan gadis biasa. Bagi dirinya yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, makan bersama orang-orang lelaki bukanlah hal yang menyulitkan. Akan tetapi entah bagaimana, ketika berhadapan dengan tuan rumah she Yo yang muda, tampan dan luar biasa itu, membuat hatinya bergoncang dan sepasang sumpit yang dipegangnya agak gemetar!
"Nona, mengapa sungkan-sungkan? Marilah, harap kau suka mencoba masakan ini. Ini masakan sirip ikan Hiu Harimau, Nona pasti belum pernah mencoba masakan ini, bukan? Silakan!"
Pemuda Yo itu mengangkat mangkok masakan itu dan menawarkannya kepada Cui Kim. Dengan sangat ramah dia menawarkan beberapa macam masakan, malah menuangkan arak memenuhi cawan gadis itu sehingga si gadis menjadi makin canggung dan jengah.
Diam-diam Hwat Ki mendongkol sekali. Tuan rumah yang masih muda dan tampan ini, meski pun amat ramah, akan tetapi agaknya terlalu manis sikapnya terhadap Cui Kim. la diam-diam menduga bahwa orang she Yo ini tentulah seorang pemuda hidung belang, seorang kongcu yang gila akan wanita cantik. Buktinya para pelayannya tadi pun semua muda-muda cantik-cantik dan lagaknya menarik, membayangkan pendidikan cukup.
la takkan heran kalau para pelayan itu pandai bernyanyi, menari dan main musik untuk menghibur hati sang kongcu hidung belang. Oleh karena dugaan ini Hwat Ki lalu bersikap lebih waspada dan berhati-hati. Siapa tahu, pancingan ini pada hakekatnya hanya untuk menjadikan sumoi-nya yang cukup cantik sebagai korban!
Sikap pemuda she Yo itu makin manis kepada Cui Kim, selalu tersenyum dan mengajak Cui Kim bercakap-cakap. Malah kelancangannya makin menjadi-jadi ketika dia bertanya sambil tersenyum manis dan mengerling tajam.
"Nona, agaknya lebih patut aku menyebutmu adik. Aku berani bertaruh bahwa usia kita sebaya, akan tetapi lebih enak aku menyebut adik. Berapakah usiamu tahun ini dan eh... betul juga, aku belum mengetahui namamu. Namamu tentu indah, sama manis dengan orangnya.”
Muka Cui Kim menjadi merah sekali, sampai ke telinga dan lehernya. Karena sikap yang manis dan pembicaraan yang manis tadi dia sampai lupa akan kewaspadaan dan agak terlalu banyak minum arak. Mungkin inilah yang membuat dia sekarang merasa betapa badannya panas dingin dan jantungnya berdegup hampir meledak mendengar kata-kata itu.
Biasanya ia akan marah dan memukul, atau paling sedikitnya memaki orang yang berani bersikap begini lancang terhadap dirinya. Akan tetapi entah mengapa, kali ini ia hanya menundukkan muka dan mulutnya berkata gagap,
"Aku... namaku... Bu Cui Kim dan... dan..."
"Sumoi, tak perlu memperkenalkan diri pada orang yang belum kita ketahui keadaannya!" tiba-tiba saja Hwat Ki memotong, kemudian menarik bangkunya agak mundur dari meja, menggunakan ujung lengan baju menghapus bibirnya, lalu dia berkata, suaranya tenang dan penuh wibawa,
"Sahabat, kami berdua sudah menerima undanganmu, juga sudah makan serta minum hidanganmu, semua ini kami lakukan untuk melayanimu seperti lazimnya kebiasaan di dunia kang-ouw. Sebagai orang yang mengundang, berarti kau yang mempunyai urusan dengan kami, maka sudah selayaknya apa bila kau yang harus memperkenalkan dirimu kepada kami dan menyatakan secara terus terang apa yang tersembunyi dalam hatimu terhadap kami."
Begitu melihat sikap suheng-nya dan mendengar ucapan ini, sadarlah Cui Kim. Dia pun segera menarik bangkunya menjauhi meja, mukanya masih merah akan tetapi sekarang pandang matanya berkilat dan penuh curiga!
Pemuda berbaju putih itu tersenyum lebar, sebelum berbicara dia menggunakan sehelai sapu tangan putih bersih menghapus mulutnya. Agak keras ia menggosok-gosok bibirnya yang berlepotan minyak masakan itu sehingga ketika dia menurunkan sapu tangan itu, sepasang bibirnya menjadi merah bagai dipulas gincu. Makin tampan wajahnya sehingga kembali Cui Kim harus menekan perasaan hatinya yang bergelora.
Selama hidupnya baru kali ini Cui Kim mengalami hal seaneh ini ketika melihat seorang pemuda. Akan tetapi, memang pemuda ini luar biasa tampannya!
"Sayang, kalian masih belum percaya bahwa aku mengandung maksud hati yang baik. Padahal kalau dipikir-pikir, kau telah membunuhi belasan orang-orang kami, bahkan kau tadinya tak mengindahkan undangan kami. Baiklah aku memperkenalkan diri. Aku adalah keturunan campuran antara bangsamu dengan darah Jepang, namaku Yosiko atau boleh juga diubah menjadi Yo Si Kouw." la tersenyum.
Dengan masih berdiri dan sikapnya angker, Hwat Ki berkata, pandang matanya tajam menyelidik,
"Jadi kau bernama Yosiko dan menjadi ketua dari perkumpulan bajak Kipas Hitam yang mengganggu keamanan Laut Po-hai dan muara Sungai Kuning. Terus terang saja, kami berdua kakak beradik seperguruan memang ditugaskan untuk membersihkan daerah ini dari gangguan bajak! Karena itulah ketika anak buahmu mengganggu, maka kami bunuh mereka. Nah, sekarang kau mengundang kami, ada keperluan apakah?"
Ucapan Hwat Ki ini merupakan tantangan langsung. Akan tetapi Yosiko sama sekali tak menjadi marah, bahkan tersenyum dan memandang kagum.
"Kau sungguh gagah berani! Apa kau kira mudah saja membasmi kami? Apa kau berani menghadapi kami yang berjumlah banyak, sedangkan banyak perwira kerajaan tewas di tangan kami?"
"Orang she Yo, kalau tadi aku sudah berani mengaku terus terang di depanmu, berarti kami tidak takut menghadapi kalian! Akan tetapi karena sikapmu berbeda dengan para bajak yang kasar, bahkan sudah mengundang kami dan menjamu sebagai tamu, biarlah kunasehatkan agar kau cepat-cepat kembali ke tempat asalmu dan jangan melanjutkan pekerjaan kotor menjadi bajak di daerah ini. Aku sudah bicara dan jika tidak menghargai saranku, baiklah, terpaksa aku melupakan semua kebaikanmu dan akan menganggapmu sebagai musuh!"
Yo-kongcu tertawa, giginya yang putih berkilat. "Ahh, alangkah gagahnya! Kau tentu she Tan, bukan? Bukankah kau putera dari ketua Lu-liang-pai dan ayahmu bernama Tan Sin Lee?"
Hwat Ki tak menjadi heran. Sebagai seorang kepala bajak, tentu saja kepala bajak muda ini mempunyai banyak kaki tangan dan penyelidik sehingga dapat mengetahui keadaan dirinya.
"Memang aku Tan Hwat Ki dan ayahku bernama Tan Sin Lee, ketua dari Lu-liang-pai. Setelah tahu akan hal itu, lebih baik kau menerima saranku, hentikanlah pembajakan-pembajakan di daerah ini."
"Ahhh, benar dugaanku. Orang sendiri! Ehh, Tan Hwat Ki, enak saja kau menyuruh orang menghentikan pekerjaan. Kalau aku tidak mau mundur, bagaimana?"
"Pedangku akan membereskan segalanya!" kata Tan Hwat Ki sambil menepuk gagang pedangnya. Dia maklum bahwa menghadapi kepala bajak yang aneh dan lihai ini, perlu sikap tegas, karena mereka berdua sudah berada di sarang harimau.
"Tapi... tapi aku tidak ingin bermusuhan denganmu!"
Kini Cui Kim yang merasa tidak enak kalau diam saja, menjawab. "Kalau kau tidak ingin bermusuhan, lebih baik menerima saran suheng-ku, sebelum terlambat dan pedang kami membasmi kalian!"
"Wah… wah… wah, galaknya!" Yo-kongcu mengeluh. "Tan Hwat Ki, dengarlah sekarang maksud hatiku. Aku sengaja mengundang kau dan Sumoi-mu ke sini dengan maksud baik. Ketahuilah bahwa telah lama aku mendengar nama besar jago-jago di daratan, di antaranya jago dari Lu-liang-san. Aku mempunyai seorang adik perempuan yang sedang mencari jodoh, namun sukarnya, dia menghendaki jodoh seorang pemuda yang mampu mengalahkan aku! Kulihat kau cukup hebat, maka aku ingin mencoba kepandaianmu." Sesudah berkata demikian, Yo-kongcu yang aneh ini melolos sehelai sabuk sutera putih dan sebatang pedang yang kecil panjang.
Merah sekali wajah Hwat Ki, juga dia menjadi semakin marah. "Ucapanmu tidak karuan, orang she Yo! Siapa sudi melayani ucapan gila-gilaan itu? Hayo lekas kau memilih, mau mengundurkan diri dari wilayah ini dengan aman atau harus makan pedangku!"
"Bagus, Tan Hwat Ki, lekas kau majulah. Memang aku hendak menguji kepandaianmu!" tantang ketua Hek-sin-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) itu.
"Suheng, biarkan aku maju menghadapi bajak ini!" tiba-tiba saja Cui Kim meloncat maju dengan pedang Hek-kim-kiam di tangan.
Pemuda tampan baju putih itu tersenyum, membuat wajahnya menjadi ganteng sekali.
"Aha, adik yang manis. Apakah kau juga hendak memasuki sayembara?"
"Apa... apa maksudmu?"
"Agaknya kau sama dengan adik perempuanku, hendak mencari jodoh dengan menguji kepandaian pemuda yang disukainya. Kau hendak menguji kepandaianku?"
Wajah Cui Kim menjadi merah sekali.
"Setan kau...!"
"Sumoi, tunggu! Laki-laki ceriwis ini tidak perlu kau layani, serahkan kepadaku. He, orang she Yo! Apa bila kau memang laki-laki sejati, jangan mengganggu wanita dengan ucapan kotor. Hayo kau tandingi pedangku!"
"Sraattttt!"
Tampak sinar berkilauan ketika pemuda Lu-liang-san ini mencabut pedang. Pedangnya pendek saja, akan tetapi pedang ini mengeluarkan sinar menyilaukan dan mengandung hawa dingin.
Inilah pedang yang terbuat dari logam putih yang sudah terpendam di dalam salju ribuan tahun lamanya, maka diberi nama Swat-cu-kiam (Pedang Mustika Salju). Karena logam putih itu tidak tersedia cukup banyak, maka hanya bisa dibuat menjadi sebatang pedang pendek saja. Logam putih itu didapatkan oleh Tan Sin Lee di puncak gunung yang selalu tertutup salju, dibuat menjadi pedang pendek dan diberikan kepada puteranya.
Pada saat itu, dari pintu samping melompat masuk seorang pemuda. Pemuda ini pendek tegap tubuhnya, kelihatan kuat sekali, mukanya agak hitam karena sering terbakar sinar matahari. Pakaiannya ringkas sedang kepalanya dicukur botak semodel dua orang kakek yang duduk di sana. Tangannya memegang pedang samurai dan matanya berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Yosiko... eh, Yo-kongcu, tak ada laki-laki yang cukup berharga menandingimu sebelum menangkan Shatoku!"
Yo-kongcu kelihatan kaget dan membentak, "Shatoku, mundur...!"
"Maaf, dia harus mengalahkan aku lebih dulu!"
Sesudah berkata demikian, pemuda Jepang yang bernama Shatoku itu menerjang ke depan, ke arah Hwat Ki sambil memekik keras,
"Haaaiiiiittt!"
Pedang samurainya berkelebat bagai halilintar menyambar, amat kuat dan cepat bukan main, jauh lebih kuat dan lebih cepat dari pada gerakan samurai di tangan Kamatari.
Menyaksikan gerakan ini, Hwat Ki tidak berani memandang ringan. Dia dapat menduga apa yang terjadi. Tentu pemuda Jepang yang bernama Shatoku ini adalah seorang yang mencinta atau tergila-gila pada gadis adik ketua Kipas Hitam dan kini menjadi cemburu.
Diam-diam dia mendongkol sekali terhadap orang she Yo itu, juga dia marah kepada pemuda Jepang ini yang datang-datang langsung menerjangnya dengan mati-matian. la harus perlihatkan kepandaiannya. Cepat dia mempergunakan langkah-langkah Kim-tiauw Sin-po (Langkah Ajaib Rajawali Emas) yang dia warisi dari ayahnya.
Begitu dia mainkan langkah-langkah ini, sinar samurai yang menyambar-nyambar seperti halilintar itu selalu mengenai tempat kosong. Pemuda Jepang Shatoku itu menjadi sangat penasaran.
Dia seorang yang terkenal paling hebat di antara para pemuda bangsanya yang menjadi anggota Kipas Hitam. Masa sekarang dia tidak sanggup merobohkan seorang pemuda kurus yang kelihatan lemah? Samurainya diputar secepatnya dan sekarang serangannya mengeluarkan bunyi berdesingan selain menciptakan gulungan sinar yang melibat-libat di sekitar tubuh Hwat Ki.
Setelah mainkan Kim-tiauw Sin-po sampai tiga puluh jurus sambil terus memperhatikan gerakan lawan, sekarang tahulah Hwat Ki akan rahasia dan kelemahan ilmu silat pedang lawannya yang aneh itu. Ilmu pedang itu hanya mengandalkan tenaga dan kecepatan tanpa ada variasi atau kembangan, juga tenaga yang diandalkannya hanya tenaga kasar.
Memang harus diakui sangat cepat dan andai kata dia tidak mempunyai Ilmu Kim-tiauw Sin-po, agaknya serangan kalang-kabut seperti hujan badai itu sedikitnya akan membuat dia gugup dan kacau.
Setelah mempelajari gerakan lawan, tiba-tiba saja Hwat Ki mengeluarkan seruan nyaring. Tubuhnya berkelebat dan bagi pandangan Shatoku, tiba-tiba lawannya sudah lenyap dari pandangan matanya. Kemudian dia mendengar angin di belakangnya, cepat samurainya dia kelebatkan ke belakang. Akan tetapi hanya mengenai angin belaka dan tahu-tahu, sebelum dia sempat menjaga karena tidak tahu lawan menyerang dari mana, Shatoku merasa betapa dadanya dimasuki oleh sesuatu yang sangat dingin sehingga membuat dia menggigil.
Samurainya terlepas dari tangan, dia terhuyung-huyung lalu roboh miring. Dari dadanya mengucur keluar darah karena dada itu sudah ditebusi pedang Swat-cu-kiam!
"Yosiko...," bibirnya berbisik, sedangkan matanya yang sudah mulai pudar cahayanya itu ditujukan ke arah ketua Kipas Hitam.
Orang she Yo itu membuang muka dan berkata, "Salahmu sendiri, Shatoku. Kau tidak tahu diri, seperti si cebol merindukan bulan. Matilah dengan tenang, kau roboh di tangan seorang pendekar gagah!"
Mata Shatoku tertutup dan matilah pemuda Jepang itu. Atas isyarat Yo-kongcu, empat orang laki-laki muncul dan membawa pergi jenazah itu, sedangkan para pelayan wanita cepat membersihkan sisa-sisa darah di lantai dengan kain dan air. Cepat pekerjaan ini dilaksanakan dan sebentar saja keadaan sudah bersih kembali seperti semula.
"Tan Hwat Ki, kepandaianmu cukup untuk menandingi aku. Hayo majulah!" Yo-kongcu berseru, pedangnya tegak lurus ke atas di depan keningnya, sabuk sutera putih di tangan kiri digulung. Gaya kuda-kuda ini indah dipandang, akan tetapi juga aneh dan asing.
"Orang she Yo, sekali lagi kunasehatkan supaya kau mundur dan menarik semua bajak dari daerah ini, segera kembalilah ke tempat asalmu. Contohnya orangmu tadi, terpaksa kurobohkan karena secara kurang ajar dia menyerangku tanpa sebab. Aku sungguh tidak ingin membunuh orang yang baru saja menjamu kami."
"Tak perlu banyak cakap lagi, Tan Hwat Ki. Kalau kau dapat menangkan aku, kau akan menjadi jodoh adikku, kalau tidak, terpaksa kami memberi hukuman atas kelancanganmu membunuh banyak orang anggota Kipas Hitam."
"Bagus, kau lihat baik-baik pedangku!"
Hwat Ki segera menikam dengan jurus Kim-tiauw Liak-sui (Rajawali Emas Sambar Air). Mula-mula jurus ini digerakkan dengan lambat, akan tetapi secara mendadak berubah cepat dan dahsyat sekali, yang dijadikan sasaran sekaligus adalah tiga tempat, yaitu ulu hati, pusar dan tenggorokan! Ujung pedangnya tergetar menjadi tiga, biar pun menusuk secara berturut-turut, akan tetapi saking cepatnya seakan-akan merupakan tiga batang pedang menusuk sekaligus.
"Bagus!" Yo-kongcu memuji dalam bahasa Jepang. Sepasang kakinya dengan cekatan melangkah ke samping dan sekaligus terhindarlah dia dari pedang lawan.
"Ehhh...!" Hwat Ki berseru kaget melihat cara lawannya menghindarkan diri.
Cepat Hwat Ki menerjang lagi bertubi-tubi dengan tiga jurus dirangkai sekaligus tanpa memberi kesempatan lawan balas menyerang. Pancingannya berhasil karena Yo-kongcu melanjutkan langkah-langkahnya untuk menghindar. Lincah sekali gerakan pemuda itu dan tiga jurus yang dilancarkan dengan cepat ini dapat dihindarkan dengan baik.
"Tahan!" teriak Hwat Ki yang tak dapat menahan keheranan hatinya lagi. "Orang she Yo, dari mana kau mencuri langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun?"
Yo-kongcu tertawa mengejek, mempermainkan sabuk sutera putih di tangan kirinya.
"Tan Hwat Ki, apa kau kira hanya engkau sendiri yang mampu mainkan langkah-langkah Kim-tiauw-kun? Ihhh.., kau terlampau memandang rendah kepadaku. Lihat seranganku!"
Dengan cepat sekali seberkas cahaya putih menyambar ke arah Hwat Ki. Pemuda ini mengenal sinar putih yang siang tadi telah merampas pedang Hek-kim-kiam dari tangan sumoi-nya. la tidak menjadi gentar, segera memutar tangan kirinya dan mendorong ke depan.
"Plakkk!"
Ujung sinar putih atau lebih tepat ujung sabuk sutera putih itu terpental kembali ketika bertemu dengan tangan kiri Hwat Ki yang pada waktu didorongkan mengeluarkan cahaya kehijauan itu. Kagetlah Yo-kongcu.
Pukulan tangan kiri Hwat Ki tadi jelas adalah pukulan jarak jauh yang luar biasa sekali. Memang sesungguhnya demikianlah. Hanya ada satu macam ilmu pukulan jarak jauh di dunia ini yang dilakukannya dengan cara memutar-mutar lengan kiri seperti itu, yaitu Ilmu Pukulan Ching-tok-ciang (Tangan Racun Hijau)!
Ilmu Pukulan Ching-tok-ciang ini diwarisi Hwat Ki dari ayahnya, sebab ilmu ini merupakan peninggalan neneknya, ibu dari Tan Sin Lee. Karena ilmu ini sifatnya ganas dan liar, lebih tepat dipergunakan oleh golongan hitam, maka Tan Sin Lee tidak mengajarkannya kepada murid-muridnya yang lain kecuali kepada putera tunggalnya, dengan pesan agar ilmu ini jangan dipergunakan kalau tidak perlu. Biar pun ilmu ini merupakan ilmu ganas, namun karena merupakan peninggalan ibunya, terpaksa dia wariskan kepada puteranya.
Akan tetapi pemuda she Yo yang tangkas itu hanya sebentar saja terkejut karena selain dia segera dapat mengatasi kekagetannya, juga sekarang pedangnya sudah menerjang dengan gerakan yang sangat ganas dan cepat. Sifat gerakan pedangnya jauh berbeda kalau dibandingkan dengan gerakan samurai di tangan Shatoku, pemuda Jepang tadi.
Gerakan samurai cepat bertenaga, akan tetapi tenaganya adalah tenaga kasar, ada pun kecepatannya wajar. Karena itu sifatnya sangat berbeda dengan ilmu silat pedang yang lebih banyak mengandalkan kecepatan ginkang, tenaga dalam dan gerak-gerak tipu dan pancingan-pancingan yang berbahaya.
Hwat Ki menjadi heran dan kagum juga. Pemuda Jepang darah campuran ini ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat dan aneh sekali, karena gerakan-gerakannya biar pun masih jelas merupakan ilmu pedang yang pilihan, juga tercampur gerakan silat Jepang. Ginkang-nya cukup tinggi, tenaga sinkang-nya juga sangat kuat, sedangkan pedang di tangannya itu pun terbuat dari bahan baja pilihan karena setiap kali bertemu dengan Swat-cu-kiam di tangannya, lantas mengeluarkan warna seperti perak dan mempunyai tenaga getaran tanda logam pusaka.
Di sampng ini, pemuda peranakan Jepang itu benar-benar lincah sekali menggunakan langkah-langkah bersumber Kim-tiauw-kun. Dia pernah mendengar dari ayahnya bahwa Kim-tiauw-kun merupakan sumber banyak macam ilmu langkah ajaib, di antaranya yang terhebat adalah Si-cap-it Sin-po dan yang kedua adalah Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te (Terbang di Langit Masuk ke Bumi).
Berbeda dengan Si-cap-it Sin-po yang mempunyai empat puluh satu langkah, Hui-thian Jip-te mempunyai dua puluh empat langkah. Agaknya, pemuda she Yo ini menggunakan Hui-thian Jip-te karena langkah-langkahnya tidak terlalu banyak macamnya namun cukup untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan berbahaya.
Yang lebih berbahaya adalah sabuk sutera putih ini berkelebatan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata, kadang kala bergulung-gulung menjadi lingkaran-lingkaran besar kecil yang selain dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan, juga sering digunakan untuk berusaha melibat pedang lawan dan merampasnya.
Akan tetapi Tan Hwat Ki tidak selemah sumoi-nya. Ilmu pedangnya mantap, gerakannya penuh tenaga dalam, sikapnya tenang dan pertahanannya pun kokoh kuat. Sama sekali sabuk sutera putih itu tidak membuat hatinya gugup, malah secara pelan-pelan dengan dorongan-dorongan Ching-tok-ciang dan tekanan pedang Swat-cu-kiam di tangan kanan, dia mulai mendesak lawannya setelah pertandingan berlangsung lebih dari seratus jurus dengan amat serunya.
Tiga orang tua yang masih duduk menghadapi meja, dan juga Bu Cui Kim, memandang penuh kekaguman. Diam-diam Cui Kim semakin kagum terhadap pemuda Jepang yang tampan sekali itu.
Tadinya dia menganggap bahwa di antara semua pemuda di dunia ini, sukarlah mencari tandingan suheng-nya yang mempunyai kepandaian luar biasa. Siapa kira, kini pemuda peranakan Jepang yang tampan sekali itu mampu menandingi Hwat Ki sampai lebih dari seratus jurus dalam pertandingan yang seru dan seimbang. Hatinya makin kagum dan ia memandang penuh perhatian.
Sesudah melihat betapa pelan-pelan pemuda peranakan Jepang itu mulai terdesak oleh lingkaran-lingkaran sinar pedang suheng-nya, diam-diam Cui Kim menaruh kekhawatiran kalau-kalau kakak seperguruannya itu akan menurunkan tangan besi dan membunuh si pemuda Jepang seperti yang dilakukannya terhadap Shatoku, pemuda Jepang tadi.
Memang Hwat Ki tidak mau memberi kesempatan lagi kepada Yosiko. la pikir lebih baik melenyapkan ketua Kipas Hitam ini karena kalau ketuanya sudah tewas, tentu akan lebih mudah membasmi gerombolan bajak laut yang mengganggu keamanan wilayah Po-hai. Maka dia makin hebat mendesak dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu pedangnya.
Ada pun Yo-kongcu yang terdesak itu, berkali-kali mengeluarkan seruan kagum atas ilmu kepandaian lawan. la tidak kelihatan gelisah, meski terdesak dan tertekan, seruan-seruan kagum dari mulutnya mengandung kegembiraan.
"Hebat, kau patut menjadi jodohnya..." demikian berkali-kali dia berseru. "Ilmu pedangmu hebat!"
"Tidak usah banyak cakap, bersiaplah untuk mampus!" bentak Hwat Ki dan pedangnya menyambar-nyambar seperti tangan maut mencari korban.
Mendadak dia mendengar suara Cui Kim berseru keras, "Suheng, celaka... kita tertipu...!"
Hwat Ki kaget dan menengok. Ternyata adik seperguruannya itu terhuyung-huyung lalu roboh pingsan di atas lantai! la tidak tahu apa yang terjadi atas diri sumoi-nya, cepat dia meloncat ke arah adik seperguruannya itu, akan tetapi mendadak dia merasa kepalanya pening, pandang matanya berkunang-kunang.
Tahulah dia sekarang. la, seperti juga sumoi-nya, terkena racun! Agaknya tadi karena dia bertanding dan mengerahkan sinkang, racun itu belum begitu terasa olehnya. Apa lagi memang sinkang yang dimiliki sumoi-nya tidak sekuat sinkang-nya.
Dengan penuh kemarahan Hwat Ki menengok. Dilihatnya Yosiko atau Yo-kongcu (tuan muda Yo) itu tersenyum, berdiri memandang kepadanya seperti orang mengejek.
"Keparat! Kau... curang! Kau meracuni kami...!" Hwat Ki menguatkan diri dan memaki.
Senyum itu melebar, akan tetapi kini pandangan mata Hwat Ki sudah remang-remang dan kurang jelas, hanya kelihatan gigi putih berkilat, kemudian terdengar suara pemuda Jepang kepala bajak itu berkata, terdengar oleh telinganya seperti suara yang datang dari jauh sekali,
“Tan Hwat Ki, kau belum mengenal kelihaian Kipas Hitam. Jika tadi kau kalah bertanding denganku, kau dan adikmu tentu sekarang sudah mati, sebab kau tidak ada harganya. Untung kau menang, maka kau dan adikmu harus menjadi tawananku. Jangan khawatir, kami tidak akan membunuh kalian, racun itu hanya beberapa menit saja membuat kalian pingsan..."
Apa yang diucapkan selanjutnya tak dapat terdengar lagi oleh Hwat Ki yang telah roboh pingsan di samping adik seperguruannya.
"Siauw-pangcu... (Ketua Muda), untuk apa menawan mereka? Lebih baik lekas dibunuh saja agar tidak menimbulkan keruwetan di belakang hari," berkata seorang di antara dua kakek itu, yang bertubuh kurus kering.
"Pauw-lopek (uwa Pauw), mereka itu masih orang sendiri, tidak mungkin aku membunuh mereka, kecuali... hemmm kecuali jika mereka tidak mau menurut memihak kita," jawab Yosiko dengan suara tegas.
"Bagus sekali! Kipas Hitam kiranya hanya perkumpulan bajak busuk yang dipimpin oleh seorang wanita curang!" tiba-tiba terdengar suara orang.
Kaget bukan main hati Yosiko, serentak dia meloncat dan siap, demikian pula tiga orang tua itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di sana sudah muncul seorang pemuda berpakaian serba putih yang sederhana, dengan wajah yang tenang dan penuh wibawa. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Wan!
Seperti kita ketahui, secara kebetulan sekali Yo Wan berada di rumah makan di dusun Leng-si-bun dan menyaksikan peristiwa yang terjadi antara muda-mudi Lu-liang-san itu dengan orang-orang Kipas Hitam. Pada saat muncul Yosiko yang mengaku she Yo dan memiliki gerakan yang sangat hebat, dia kaget dan heran sekali, juga ingin tahu karena bagaimana ketua Kipas Hitam itu memiliki she (nama keturunan) yang sama dengan dia?
Diam-diam dia menyelinap pergi sambil meninggalkan uang pembayaran makan minum, lantas membayangi si pemuda ketua Kipas Hitam itu ke dusun Kui-bun di pantai Po-hai. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Yo Wan berhasil membayangi terus sampai di gedung tempat kediaman ketua Kipas Hitam itu dan bersembunyi.
la dapat menduga bahwa muda-mudi yang dirampas pedangnya itu pasti akan menyusul ke Kui-bun. Maka, diam-diam dia bersembunyi sambil memasang mata, siap menolong muda-mudi itu bila mereka terancam bahaya.
Kalau muda-mudi itu bertentangan dengan golongan bajak laut yang telah mengganggu ketenteraman penghidupan para nelayan dan saudagar di tepi laut, tentu saja dia akan memihak mereka. Apa lagi karena timbul dugaan di dalam hatinya bahwa muda-mudi itu sedikit banyak tentu mempunyai hubungan dengan gurunya, Pendekar Buta.
Ketika dugaannya terbukti dengan munculnya muda-mudi di ruangan besar gedung itu, dia mendapat kenyataan yang menggirangkan, juga mengherankan hatinya. Pemuda itu ternyata bernama Tan Hwat Ki, putera Tan Sin Lee ketua Lu-liang-pai. Kini tidak heranlah dia mengapa pemuda itu dan sumoi-nya demikian lihai dan mempunyai gerakan langkah Kim-tiauw-kun. Tentu saja dia girang dan niatnya menolong atau membantu mereka lebih mantap lagi.
Akan tetapi, hal yang amat mengherankan hatinya adalah ketika dia melihat kenyataan pula bahwa pemuda baju putih yang disebut Yosiko atau Yo-kongcu dan menjadi ketua Kipas Hitam itu ternyata adalah seorang wanita! Pandang matanya yang tajam segera dapat membuka rahasia ini ketika Yosiko mulai bersilat melawan Hwat Ki. Ada gerakan-gerakan otomatis pada kaki dan lengan seorang wanita, yang sangat berbeda dengan gerakan otomatis kaki tangan pria.
Dalam menggerakkan lengannya, seorang wanita otomatis tidak mau membuka pangkal lengannya menjauhi dada, hal ini adalah sifat pembawaan tiap wanita. Tentu saja dalam mainkan ilmu silat, hal ini tidak mengikat benar, namun dalam ilmu silat pun tercampur dengan gerakan otomatis yang menjadi dasar menurut pembawaan masing-masing.
Melihat gerak ini, kemudian melihat wajah yang terlalu tampan itu, kulit yang terlalu halus untuk pria, mudah saja Yo Wan menduga bahwa pemuda tampan itu adalah seorang gadis cantik yang menyamar pria.....
Selanjutnya baca
JAKA LOLA : JILID-11