Jaka Lola Jilid 03
Kita tinggalkan dahulu Yo Wan yang sedang turun dari Pegunungan Himalaya, memulai perjalanannya yang amat sunyi dan jauh serta sukar untuk mulai dengan perantauannya, dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Siu Bi, gadis lincah dan berhati tabah itu.
Seperti sudah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Siu Bi, puteri tunggal The Sun, meninggalkan Go-bi-san dengan hati sakit. Setelah mengetahui bahwa dia bukan puteri The Sun, bukan keturunan keluarga The, simpatinya lalu tertumpah pada mendiang Hek Lojin yang telah terbunuh oleh The Sun. Dia merasa menyesal dan kecewa. Kiranya dia bukan puteri The Sun. Siapakah orang tuanya? Apakah dia bukan anak ibunya pula?
Mengingat ini, menangislah Siu Bi di sepanjang jalan. Dia sangat mencinta ibunya, dan sekarang dia pergi tanpa pamit. Biar pun orang yang selama ini mengaku ayahnya telah mengecewakan hatinya dengan memukul mati Hek Lojin dan dengan kenyataan bahwa orang itu bukan ayahnya yang sejati, namun ibunya tidak pernah melukai hatinya. Ibunya selalu sayang kepadanya sehingga andai kata dia bukan ibunya yang sejati, Siu Bi tetap akan mencintanya.
Betapa pun juga, Siu Bi dapat menguasai perasaannya. Ia melakukan perjalanan dengan tabah. Tujuannya hanyalah satu, yaitu mencari dan membalas dendam kepada Kwa Kun Hong! la akan menantang Pendekar Buta itu sebagai wakil dari Hek Lojin dan berusaha sedapatnya untuk membuntungi sebelah lengan Pendekar Buta itu, juga lengan isterinya dan anak-anaknya.
la telah bersumpah di dalam hati kepada kongkong-nya, Hek Lojin. la merasa yakin akan dapat melakukan tugas ini. Sesudah mewarisi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang, ia merasa dirinya cukup kuat dan tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun juga.
Ingat akan hal ini, Siu Bi menjadi bersemangat dan di bawah sebatang pohon besar ia berhenti kemudian berlatih dengan kedua ilmu silat itu. Memang hebat sekali ilmunya ini. Pedangnya hanya sebatang pedang biasa saja, namun berubah menjadi gulungan sinar putih yang naik turun menyambar-nyambar di antara awan menghitam yang merupakan uap dari pukulan-pukulan Hek-in-kang.
Ketika ia berhenti berlatih satu jam kemudian, di bawah pohon sudah penuh daun-daun pohon yang terbabat putus tangkainya oleh sinar pedangnya dan yang rontok oleh hawa pukulan Hek-in-kang! Siu Bi berdiri tegak, kepalanya tunduk memandangi daun-daun itu dengan hati puas. Pendekar Buta, pikirnya, lenganmu dan lengan-lengan anak isterimu akan putus seperti daun-daun ini!
Sebagai seorang gadis remaja, gadis yang baru berusia tujuh belas tahun lebih, Siu Bi melakukan perjalanan yang amat jauh dan sulit. Go-bi-san merupakan pegunungan yang luas sedang jalan menuruni pegunungan ini sama sukarnya dengan jalan pendakiannya. Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi Siu Bi tidak menemui kesukaran.
Tubuhnya bergerak lincah dan ringan, kadang kala dia harus melompat jurang. Dengan ginkang-nya yang amat tinggi ia dapat melompat bagaikan terbang saja, tubuhnya ringan meluncur di atas jurang, dilihat dari jauh tidak ada ubahnya seorang dewi dari kahyangan yang terbang melayang turun ke dunia.
Pakaiannya yang terbuat dari sutera halus berwarna merah muda, biru dan kuning itu berkibar-kibar tertiup angin ketika ia melompat. Ronce-ronce pedang yang tergantung di punggungnya menambah kecantikan dan kegagahannya.
Berpekan-pekan Siu Bi keluar masuk hutan, naik turun gunung, melalui banyak dusun di kaki gunung dan melalui beberapa kota pegunungan. Setiap kali dia bertemu orang, tentu dia menjadi pusat perhatian. Apa lagi kaum pria, melihat seorang gadis remaja demikian cantik jelitanya, memandang penuh kekaguman.
Namun tiada orang berani mengganggu, karena tidak hanya pedang di punggung Siu Bi yang membuktikan bahwa gadis remaja jelita itu seorang ahli silat. Akan tetapi juga Siu Bi tidak menyembunyikan gerak-geriknya yang lincah dan ringan, sehingga setiap orang tahu bahwa dia adalah seorang pendekar wanita muda yang tak boleh dibuat main-main!
Pada suatu hari tibalah ia di kota Pau-ling di tepi Sungai Huang-ho, setelah melakukan perjalanan sebulan lebih ke selatan. Sebetulnya Pau-ling tidak patut disebut kota, tetapi sebuah dusun yang menghasilkan banyak padi dan gandum.
Tanah di lembah Sungai Huang-ho ini amat subur sehingga pertanian banyak maju dan hasilnya berlimpah-limpah. Karena letaknya dekat dengan sungai besar, maka dusun ini makin lama makin ramai dengan perdagangan melalui sungai. Hasil-hasil sawah ladang diangkut melalui sungai dengan perahu-perahu besar.
Ketika Siu Bi lewat di pelabuhan sungai, ia melihat banyak orang mengangkat padi dan gandum berkarung-karung ke atas perahu-perahu besar. Orang-orang ini bekerja dengan wajah muram, tubuh mereka kurus-kurus dan pakaian mereka penuh tambalan.
Beberapa orang yang memegang cambuk dan berpakaian sebagai mandor, membentak-bentak dan ada kalanya mengayunkan cambuk ke punggung seorang pengangkut yang kurang cepat kerjanya. Ada lima enam orang mandor yang galak-galak, dan melihat Siu Bi lewat, mereka tertawa-tawa sambil memandang dengan mata kurang ajar. Ada yang bersiul-siul dan menuding-nuding ke arah Siu Bi.
Panas hati Siu Bi. Namun ia menahan sabar, karena ia tidak mau kalau perjalanannya tertunda hanya karena ada beberapa orang laki-laki yang memperlihatkan kekaguman terhadap kecantikannya secara kurang ajar. la mempercepat langkahnya dan sebentar saja ia sudah tiba di luar dusun Pau-ling.
Akan tetapi kembali di luar dusun, di kanan kiri jalan di mana sawah ladang membentang luas, ia disuguhi pemandangan yang amat mencolok mata. Belasan orang laki-laki yang keadaannya miskin dan bertubuh kurus seperti para kuli angkut karung gandum dan padi tadi, tampak sedang menuai gandum di sawah. Tampak pula belasan orang wanita yang juga bekerja.
Mereka bekerja dengan penuh semangat, tapi jelas bukan semangat yang mengandung kegembiraan, melainkan semangat karena ketakutan. Beberapa orang mandor menjaga mereka dengan cambuk di tangan pula. Di sana-sini terdengar cambuk berbunyi ketika melecut punggung, diiringi jerit kesakitan.
Siu Bi berdiri terpaku. Hatinya mulai panas. Akan tetapi kiranya ia tak akan sembarangan mau mencampuri urusan orang bila saja tidak melihat kejadian yang membuat wajahnya yang jelita menjadi kemerahan saking marahnya.
la melihat betapa seorang wanita setengah tua yang tampaknya sakit, roboh terpelanting sesudah menerima cambukan pada punggungnya. Seorang gadis yang usianya sebaya dengan dia menjerit dan menubruk wanita itu, menangisi ibunya yang telah pingsan. Dua orang mandor cepat menghampiri mereka, lalu dengan sekali sambar yang seorang telah mengangkat tubuh gadis itu dan... menciuminya sambil terkekeh-kekeh dan berkata,
"Ha-ha-ha, jangan kau besar kepala setelah terpakai oleh majikan! Lain hari kau tentu akan diberikan kepadaku. Ha-ha-ha…!"
Ada pun mandor kedua dengan marahnya menghajar wanita setengah tua itu dengan cambuk, memaki-maki, "Anjing betina! Siapa suruh kau pura-pura mampus di sini? Hayo berdiri dan bekerja, kalau tidak kucambuki sampai hancur badanmu!"
Siu Bi tidak dapat menahan kesabarannya lagi. "Keparat jahanam, lepaskan mereka!"
Bagaikan seekor burung walet cepat dan ringannya, tubuh Siu Bi sudah melayang dekat orang yang menciumi gadis tadi. Sekali kakinya bergerak menendang terdengar suara berdebuk dan mandor yang galak serta ceriwis itu terlempar sampai empat meter lebih kemudian jatuh terbanting ke dalam lumpur.
“Ngekkk!” terdengar suara lain beberapa detik kemudian.
Ternyata orang kedua yang mencambuki wanita setengah tua itu terlempar pula oleh tendangan Siu Bi, hampir menimpa kawannya yang baru merangkak-rangkak bangun.
Semua pekerja serentak menghentikan pekerjaan mereka, berdiri terpaku. Muka mereka pucat dan hampir saja mereka tidak percaya apa yang mereka lihat tadi. Seperti dalam mimpi saja. Siapakah orangnya berani melawan para mandor? Kiranya hanya seorang gadis yang cantik jelita, seorang gadis remaja.
"Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwa Im) menolong kita...," bisik seorang lelaki tua dan serentak mereka menjatuhkan diri berlutut menghadapi Siu Bi.
Di jaman itu kepercayaan orang-orang, terutama orang-orang dusun, tentang kesaktian Dewi Kwan Im yang sering kali muncul atau menjelma untuk membersihkan kekeruhan dunia dan menolong orang-orang sengsara, masih amat tebal. Dewi Kwan Im terkenal sebagai Dewi Welas Asih, dewi lambang kasih sayang dan penolong yang juga terkenal amat cantik jelita. Kini melihat seorang dara jelita berani melawan dua orang mandor, dan sekali tendang dapat membuat dua orang mandor galak itu terpelanting dan roboh, otomatis mereka menganggap bahwa Dewi Kwan Im yang menolong mereka.
Namun dua orang mandor itu tidak berpendapat demikian. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, yang tahu akan wanita-wanita pandai ilmu silat semacam Siu Bi. Mereka malu dan marah sekali, akan tetapi untuk beberapa menit mereka tidak berdaya karena ketika terbanting tadi, muka mereka mencium lumpur sehingga kini mereka sibuk membersihkan lumpur dari wajah mereka, menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah.
Empat orang kawan mereka sudah datang berlari, diikuti para pekerja yang ingin melihat apa yang sedang terjadi di situ. Pada saat para pekerja melihat teman-temannya berlutut menghadapi Siu Bi dan melihat pula dua orang mandor merangkak dengan muka penuh lumpur seperti monyet, mereka segera mengerti atau dapat menduga duduknya perkara. Tanpa banyak komentar lagi mereka segera menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Dewi Kwan Im yang menjelma sebagai gadis cantik jelita dan sedang menolong mereka itu!
Empat orang mandor tadinya masih belum menduga apa yang terjadi, akan tetapi dua orang mandor yang merangkak di lumpur itu segera berkaok-kaok, “Tangkap gadis setan itu, berikan padaku nanti!"
Mendengar ini, empat orang mandor lari menghampiri Siu Bi. Seorang di antara mereka yang berkumis tikus membentak, "Bocah, siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?"
"Yang menjadi persoalan adalah apa yang kalian lakukan, bukan apa yang aku lakukan," suara Siu Bi merdu dan nyaring sehingga para pekerja miskin itu makin percaya bahwa dara ini, tentulah penjelmaan Kwan Im Pouwsat!
"Kalian berenam ini manusia ataukah sekumpulan binatang buas, menekan orang-orang miskin ini, mencambuki mereka, menghina wanitanya. Yang barusan kulakukan hanyalah menendang dua orang kawanmu itu sebagai pelajaran. Apa bila ternyata kalian serupa dengan mereka, kalian berempat pun akan kuberi tendangan seorang sekali."
Dapat dibayangkan betapa marahnya empat orang itu. Mereka adalah mandor-mandor jagoan alias para tukang pukul dari Bhong-loya (tuan tua she Bhong) yang menjadi lurah dan orang paling kaya di Pau-ling. Semua sawah ladang adalah milik Bhong-loya, semua perahu besar adalah milik Bhong-loya.
Siapa berani menentang Bhong-loya yang mempunyai pengaruh besar pula di kota raja? Para pembesar dari kota raja merupakan teman-temannya, para buaya darat adalah kaki tangannya, serta para mandor adalah bekas-bekas jagoan dan perampok yang memiliki kepandaian. Sekarang anak perempuan yang masih hijau itu berani memandang rendah mereka?
"Bocah setan, kau harus diseret ke hadapan Bhong-loya dan ditelanjangi, terus dipecut seratus kali sampai kau menjerit-jerit minta ampun, baru tahu rasa!" bentak seorang di antara mereka. Akan tetapi baru saja mulutnya tertutup, tubuhnya sudah terlempar ke dalam lumpur oleh sebuah tendangan kaki kiri Siu Bi!
Gerakan Siu Bi tadi cepat bukan main, tendangannya hanya tampak perlahan saja akan tetapi akibatnya terlihat oleh semua orang. Tubuh si tukang pukul yang tinggi besar itu melayang bagaikan sehelai daun kering tertiup angin.
Tiga mandor yang lain dengan marah menerkam maju. Mereka tak menggunakan aturan perkelahian lagi, karena di samping kemarahan mereka, juga mereka merasa kagum dan tergila-gila akan kecantikan serta kejelitaan yang jarang bandingannya di kota Pau-ling. Maka seakan berlomba mereka berusaha meringkus dan memeluk gadis galak itu untuk memuaskan kemarahan dan kegairahan mereka.
"Brukkk!"
Ketiga orang itu mengaduh karena mereka saling tabrak dan saling adu kepala. Dalam kegemasan tadi mereka menubruk berbareng, bagaikan tiga ekor kucing menubruk tikus. Akan tetapi yang ditubruk hilang, yang menubruk saling beradu kepala.
Siu Bi tidak mau bertindak kepalang tanggung. Dengan gerakan yang cepat sekali kedua kakinya menendang dan di lain saat tiga orang tukang pukul itu juga sudah terpelanting masuk ke dalam lumpur di sawah.
"Lopek, kenapa mereka itu amat kejam terhadap kalian?" tanya Siu Bi kepada seorang petani tua yang berlutut paling dekat di depannya, sama sekali ia tidak peduli lagi pada enam orang mandor yang kini sibuk berusaha membuka mata yang kemasukan lumpur.
"Pouwsat (Dewi) yang mulia... kami adalah petani-petani dusun yang sengsara dan amat miskin... tolonglah kami, karena sekarang sekedar untuk dapat makan kami telah diperas dan ditekan oleh Bhong-loya... mereka itu adalah tukang-tukang pukul Bhong-loya..."
"Tan-lopek, mengapa kau begitu lancang mulut...?" tegur seorang petani di belakangnya yang nampak ketakutan sekali. "Apa kau tidak takut akan akibatnya kalau Pouwsat sudah kembali ke kahyangan?"
Siu Bi menahan senyum, geli hatinya mendengar bahwa ia disebut Pouwsat. Dianggap Kwan Im! Mengapa tidak? Kwan Im Pouwsat merupakan seorang dewi yang penuh kasih kepada manusia. Kata kongkong-nya, dunia kang-ouw banyak orang-orang pandai yang mempunyai nama julukan. Dia telah mewarisi kepandaian tinggi, maka sudah sepatutnya memiliki nama julukan pula. Kwan Im? Nama julukan yang baik sekali.
"Jangan takut. Aku akan membela kalian dan memberi hajaran kepada mereka yang jahat. Apakah mandor-mandor ini jahat terhadap kalian?"
"Jahat?" Petani tua yang disebut Tan-lopek oleh temannya tadi mengulang kata-kata ini, mukanya memperlihatkan bayangan kemarahan yang memuncak. "Mereka itu lebih jahat dari pada Bhong-loya sendiri! Mereka seperti serigala-serigala kelaparan, entah berapa banyak di antara kami yang mereka bunuh, mereka aniaya menjadi manusia-manusia cacad dan selanjutnya hidup sebagai jembel."
Semakin panaslah hati Siu Bi. Orang-orang jahat yang suka menganiaya dan membunuh orang patut dihukum, pikirnya. Ketika ia membalikkan tubuh ke arah enam orang mandor itu, ternyata mereka telah bangkit dari lumpur, berhasil mencuci muka dengan air sawah, lalu sekarang melangkah lebar sambil mencabut pedang. Dengan sikap penuh ancaman mereka menghampiri Siu Bi, pedang di tangan, nafsu membunuh terbayang pada mata mereka yang merah.
"Setan betina. Berani kau main gila dengan para ngohouw (tukang pukul) Bhong-loya? Bersiaplah untuk mampus dengan tubuh tercincang hancur!" teriak si kumis tikus sambil menerjang lebih dulu dengan ayunan pedangnya.
Melihat gerakan mereka, Siu Bi memandang rendah. Mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan kekuasaan saja, sama sekali tidak memiliki ilmu kepandaian yang berarti. Oleh karena ini ia merasa tak perlu harus menggunakan pedangnya. Tanpa mencabut pedang, ia menghadapi serangan si kumis tikus.
Dengan ringan ia miringkan tubuh, tangan kirinya menyambar. Pada waktu itu tangan kiri Siu Bi sudah amat terlatih dan penuh terisi hawa Hek-in-kang. Ada bayangan sinar hitam berkelebat ketika tangan kirinya bergerak. Tahu-tahu si kumis tikus berteriak keras dan terpelanting roboh, pedang di tangan kanannya sudah berpindah ke tangan Siu Bi. Cepat laksana kilat menyambar, pedang itu membabat ke bawah dan buntunglah tangan kanan si kumis tikus itu sebatas siku. Orangnya menjerit dan pingsan!
Lima orang kawannya segera menerjang dengan marah. Namun kali ini Siu Bi tidak mau memberi ampun lagi. Pedang rampasan di tangannya berkelebat dan lenyap bentuknya sebagai pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung.
Terdengar jeritan susul-menyusul dan dalam beberapa jurus saja, lima orang itu sudah kehilangan lengan kanan mereka sebatas siku. Agaknya, teringat akan janjinya kepada kakeknya, Hek Lojin, gadis ini apa bila marah terdorong oleh nafsu membuntungi lengan orang, terutama orang-orang jahat, seperti enam orang mandor ini, dan seperti Pendekar Buta Kwa Kun Hong beserta anak isterinya!
Dengan tenang Siu Bi membalikkan tubuh menghadapi para petani yang masih berlutut dan yang kini semua pucat wajahnya karena ngeri menyaksikan peristiwa pembuntungan enam orang mandor itu. Di dalam hati mereka merasa puas sebab ada ‘Sang Dewi’ yang membalaskan dendam mereka terhadap mandor-mandor yang kejam itu, tetapi mereka juga amat takut akan akibatnya. Alangkah akan marahnya Bhong-loya, pikir mereka.
"Para paman dan bibi, jangan kalian takut. Sekarang mari antarkan aku ke rumah orang she Bhong yang sewenang-wenang itu. Jangan takut, aku akan menanggung semua perkara ini, kalian hanya mengantar dan menonton saja."
Pada mulanya para petani itu ketakutan. Mendatangi rumah Bhong-loya? Sama dengan mencari penyakit, mencari celaka. Akan tetapi petani tua itu bangkit berdiri.
"Mari, Pouwsat, saya antarkan. Biar nanti aku akan dipukul sampai mati, aku sudah puas melihat ada yang berani membela kami dan memberi hajaran kepada manusia-manusia berwatak binatang itu."
Melihat semangat empek tua ini banyak pula yang ikut bangkit, tetapi hanya beberapa belas orang saja dan semua laki-laki. Yang lain-lain tetap berlutut tak berani mengangkat muka. Akan tetapi bukan maksud Siu Bi untuk mengajak banyak orang, karena yang ia kehendaki hanya petunjuk jalan agar ia tidak usah mencari-cari di mana rumah manusia she Bhong itu.
Dengan wajah membayangkan perasaan geram dan nekat, belasan orang laki-laki yang sebagian besar bertelanjang kaki dan berpakaian penuh tambalan itu mengantar Siu Bi menuju ke dalam dusun. Rombongan ini tentu saja menarik perhatian banyak orang, apa lagi ketika mereka mendengar dari para pengiring Siu Bi tentang perbuatan gadis jelita itu membuntungi lengan enam orang mandor di sawah.
Seketika keadaan dusun Pau-ling menjadi gempar, lebih-lebih saat para petani miskin itu menyatakan tanpa keraguan bahwa dara jelita yang sedang mereka iringkan ini adalah penjelmaan Kwan Im Pouwsat! Segera banyak orang ikut mengiringkan walau pun dari jarak agak jauh sebagai penonton, karena mereka tidak ingin menimbulkan kemarahan Bhong-loya, maka tidak menggabungkan diri dengan rombongan petani itu, melainkan sebagai rombongan penonton.
Gedung besar yang menjadi tempat tinggal Bhong-loya memang amat besar dan amat menyolok kalau dibandingkan dengan kemelaratan di sekelilingnya. Bhong-loya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, menjadi lurah di dusun itu sudah bertahun-tahun. Karena korupsi besar-besaran dan penghisapan atas tenaga murah para petani yang dulunya sebagian besar merupakan pengungsi dari banjir besar Sungai Huang-ho, maka dia menjadi kaya-raya.
Betapa pun juga harus diakui bahwa Bhong-loya (tuan tua Bhong) yang sesungguhnya bernama Bhong Ciat itu tidaklah seganas atau sekeji orang-orangnya. Bukan menjadi rahasia lagi bahwasannya anjing-anjing peliharaan penjaga rumah jauh lebih galak dan ganas dari pada majikannya. Para petugas rendahan merupakan serigala-serigala buas yang selalu mengganggu rakyat miskin, tentu saja dengan bersandar kepada kekuasaan dan pengaruh Bhong Ciat.
Ransum untuk para pekerja kasar yang telah ditentukan oleh Bhong Ciat hanya sebagian kecil saja sampai di tangan para pekerja itu. Upah pun demikian pula, dicatut, dipotong, dikurangi banyak tangan-tangan kotor sebelum sisanya yang tidak berapa itu masuk ke kantong para pekerja.
Celakanya, Bhong Ciat sudah terlalu mabuk dengan kesenangan serta kemuliaan, sama sekali tidak memperhatikan keadaan rakyatnya, tidak tahu bahwa orang-orangnya sudah melakukan tekanan yang amat keji. Dikiranya bahwa semua berjalan lancar dan licin, dan dia merasa bahagia di dalam rumah gedungnya, setiap hari menikmati makanan lezat dilayani oleh selir-selir muda dan cantik.
Lebih celaka lagi bagi para penduduk miskin di Pau-ling, lurah Bhong memiliki seorang anak laki-laki, bukan anak sendiri tetapi anak pungut karena Bhong Ciat tidak mempunyai keturunan sendiri, yaitu seorang anak laki-laki yang sudah dewasa bernama Bhong Lam.
Pemuda inilah yang membuat keadaan menjadi makin berat bagi para penduduk karena Bhong Lam merupakan pemuda yang selalu mengumbar nafsu-nafsu buruknya. Tak ada seorang pun wanita yang muda dan cantik di dusun itu yang dapat hidup aman. Tidak peduli anak orang, isteri orang, siapa saja asal gadis itu termasuk keluarga miskin, pasti akan dicengkeramnya.
Untuk maksud-maksud keji ini, Bhong Lam tidak segan-segan menghambur-hamburkan uang ayah angkatnya. Setiap hari dia berpesta-pora, kadang-kadang bila sudah bosan di dusun lalu pergi pesiar ke kota-kota lain diikuti rombongan tukang pukulnya dan di kota inilah dia menghamburkan uang dan main gila.
Bhong Lam tidak hanya ditakuti karena dia putera angkat Bhong-loya, akan tetapi juga karena dia merupakan seorang pemuda yang lihai ilmu silatnya. Dia pernah belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim perantauan, dan terutama sekali permainan toyanya amat kuat sehingga semua tukang pukul keluarga Bhong tidak seorang pun yang dapat mengalahkannya. Agaknya kepandaiannya inilah yang membuat Bhong Lam makin lama semakin bertingkah, merasa seakan-akan dia sudah menjadi seorang pangeran!
Sebagai keluarga yang paling berkuasa di Pau-ling, tentu saja banyak kaki tangannya. Banyak pula petani-petani miskin yang berbatin rendah sehingga suka menjadi penjilat. Oleh karena itu, peristiwa di sawah tadi sudah pula sampai kabarnya di rumah gedung Bhong Ciat sebelum rombongan yang mengiringkan Siu Bi tiba di situ. Ada saja petani miskin yang lari lebih dulu dan dengan maksud menjilat mencari muka, lalu melaporkan peristiwa di sawah kepada Bhong-loya.
Pada waktu itu, kebetulan sekali Bhong Lam juga berada di rumah. Mendengar tentang peristiwa itu marahlah pemuda ini. Cepat-cepat dia menyambar toyanya dan menyatakan kepada ayah angkatnya bahwa orang tua itu tidak perlu khawatir karena dia sendiri yang akan memberi hajaran kepada ‘dewi palsu’ itu.
Dengan geram Bhong Lam melompat dan lari keluar dari dalam gedung saat mendengar suara ribut-ribut di luar gedung karena rombongan petani itu memang sudah tiba di sana. Kemarahan Bhong Lam memuncak. Akan dia bunuh wanita jahat itu dan semua petani yang mengiringkannya. Tidak seorang pun akan diberi ampun karena hal ini perlu untuk menakuti hati para petani agar tidak memberontak lagi.
"Setan betina, berani kau main gila?!" Bhong Lam melompat keluar sambil menudingkan telunjuknya.
Akan tetapi tiba-tiba dia berdiri terpaku dan biar pun telunjuk kirinya masih menuding dan toyanya dipegang di tangan erat-erat, namun matanya terbelalak mulutnya ternganga. la melongo tanpa dapat mengeluarkan suara, memandang wajah Siu Bi, seperti terpesona dan kehilangan semangat. Sungguh mati dia tidak mengira sama sekali bahwa wanita yang telah membuntungi lengan enam orang mandornya adalah dara secantik bidadari. Pantas saja disebut-sebut sebagai Dewi Kwan Im!
Belum pernah selama hidupnya dia melihat dara secantik ini, kecuali dalam alam mimpi dan dalam gambar. Lebih suka dia rasanya untuk maju berlutut dan menyatakan cinta kasihnya dari pada harus menghadapi dara ini sebagai lawan yang harus dibunuhnya.
Dibunuh? Wah, sayang! Lebih baik ditangkap dan... ah, belum pernah dia mendapatkan seorang dara pendekar. Alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan gadis yang pandai ilmu silat pula seperti dia! Senyum lebar menghias wajahnya yang tampan juga dan kini mulutnya dapat bergerak.
"Nona... eh, kau siapakah dan... eh, kudengar kau bertengkar dengan orang-orang kami? Bila mereka berbuat salah terhadap Nona, jangan khawatir, aku yang akan menegur dan menghukum mereka!"
Jika saja dalam perjalanan ke rumah keluarga Bhong itu Siu Bi tak mendengar penuturan petani tua tentang keadaan Bhong Ciat dan putera angkatnya, Bhong Lam, tentu ia akan tercengang dan heran menyaksikan sikap dan mendengar omongan pemuda ini. Karena ia sudah mendengar bahwa pemuda yang menjadi putera angkat keluarga Bhong, seorang ahli main toya, adalah pemuda yang paling jahat dan yang mata kerajang, maka baginya sikap Bhong Lam ini merupakan sikap ceriwis, bukan sikap ramah tamah.
Berkerut aiisnya yang kecil panjang ketika Siu Bi menodongkan pedang rampasannya sambit bertanya, "Kaukah yang bernama Bhong Lam?"
"Aduh mati aku..." Bhong Lam bersambat dalam batinnya mendengar suara yang merdu itu. Baru bertanya dengan nada marah saja sudah begitu merdu, apa lagi kalau suara itu dipergunakan untuk merayunya.
"Hayo jawab!" Siu Bi tak sabar lagl melihat pemuda itu memandangnya tak berkedip.
Bhong Lam sadar dan tersenyum dibuat-buat. "Betul, Nona. Silakan Nona masuk." Pada para petani itu Bhong Lam berseru, "Kalian pergilah, kembali ke sawah. Tak ada urusan apa-apa di sini. Nona ini adalah tamu agung kami, kesalah pahaman di sawah tadi habis sampai di sini saja."
"Siapa sudi mendengar omongan manismu yang beracun?!" Siu Bi membentak. "Kau adalah seorang yang sangat jahat, mengandalkan kedudukan orang tua, mengandalkan harta benda dan kekuasaan untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Manusia macam engkau ini tidak ada harganya diberi hidup lebih lama lagi."
Memang Siu Bi sangat marah dan benci kepada pemuda ini setelah tadi ia mendengar penuturan para petani betapa pemuda ini sudah menghabiskan semua gadis muda dan cantik di dusun itu, juga merampas isteri-isteri orang sehingga banyak timbul hal-hal yang mengerikan, banyak di antara wanita-wanita itu membunuh diri. Sekarang melihat sikap pemuda ini yang ceriwis, matanya yang berminyak itu menatap wajahnya dengan lahap, kemarahannya memuncak.
"Nona, antara kita tidak ada permusuhan. Aku mengundang Nona menjadi tamu..."
"Jahanam perusak wanita! Tidak usah kau berkedok bulu domba karena aku sudah tahu bahwa kau adalah seekor serigala yang busuk dan jahat!"
Bhong Lam adalah seorang pemuda yang selalu dihormati serta ditakuti orang. Selama hidupnya, baru sekali inilah dia dimaki-maki dan dihina. Walau pun dia tergila-gila akan kecantikan Siu Bi, namun darah mudahnya bergolak ketika dia dimaki-maki seperti itu. Mukanya menjadi merah sekali, apa lagi melihat betapa para petani itu masih belum mau pergi, memandang kepadanya dengan mata penuh kebencian.
"Keparat, kau benar-benar lancang mulut, tidak bisa menerima penghormatan orang. Kau kira aku takut kepadamu? Kalau belum dihajar, kau belum tahu rasa, karena itu biarlah aku memaksamu tunduk kepadaku dengan jalan kekerasaan!" Setelah berkata demikian, Bhong Lam menerjang maju sambil memutar toyanya.
Dengan senyum mengejek Siu Bi berkelebat, menghindarkan terjangan toya dan balas menyerang. la mendapat kenyataan bahwa kepandaian pemuda ini memang jauh lebih tinggi dari pada para mandor dan tukang pukul yang tiada gunanya tadi, namun baginya, pemuda ini pun merupakan lawan yang empuk saja.....
Pada saat itu, terdengar suara berisik dan para tukang pukul berdatangan ke tempat itu sambil membawa senjata. Jumlah tukang pukul keluarga Bhong ada dua puluh orang, dan kini mendengar berita bahwa gedung majikan mereka didatangi seorang wanita yang mengamuk, tergesa-gesa mereka lari mendatangi.
Ketika mendengar bahwa ada enam orang teman mereka yang dibuntungi lengannya, mereka menjadi marah sekali. Apa lagi saat melihat betapa Bhong-siauw-ya (tuan muda Bhong) mereka sekarang telah bertempur melawan wanita itu dan sedang berada dalam keadaan terdesak, kemarahan mereka memuncak dan tanpa diberi komando lagi, empat belas orang tukang pukul itu serentak maju mengeroyok.
Siu Bi tadi sudah mendengar keterangan para petani bahwa lurah itu mempunyai dua puluh orang tukang pukul, maka melihat serbuan ini, maklumlah ia bahwa mereka semua sudah lengkap berkumpul di situ. Memang inilah yang ia kehendaki, maka tadi ia tidak lekas-lekas merobohkan Bhong Lam, yaitu hendak memancing datangnya semua tukang pukul, baru ia hendak turun tangan.
"Para paman, lihatlah aku membalaskan dendam kalian!" terdengar bentakan merdu dan nyaring di antara hujan senjata itu. Para petani sudah gelisah sekali dan menggigil, maka mereka menjadi girang mendengar suara ini.
Seiring dengan bentakan merdu dan nyaring itu, lenyaplah tubuh Siu Bi, berubah menjadi bayangan berkelebat yang dibungkus sinar kehitaman. Pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang dipergunakan oleh gadis itu, dan akibatnya mengerikan sekali. Jerit dan tangis terdengar susul-menyusul.
Tubuh para tukang pukul roboh bergelimpangan satu demi satu dengan cara yang cepat sekali. Paling akhir Bhong Lam yang tadinya mainkan toya dengan ganas itu pun roboh tersungkur tak dapat berkutik lagi.
Tak sampai seperempat jam lamanya, empat belas orang tukang pukul itu roboh semua dengan lengan kanan terbabat putus. Sedangkan Bhong Lam sendiri roboh tak berkutik dan darah mengucur dari dadanya yang telah tertembus pedang. Mandi darah dan hujan rintihan memenuhi halaman itu.
Para petani yang tadinya menonton dengan jantung berdebar-debar, sekarang tak berani memandang lagi. Mereka adalah korban-korban kekejaman yang sudah sering disiksa, akan tetapi menyaksikan ini membuat mereka menggigil dan tak berani memandang lagi. Mereka memang menaruh dendam dan ingin sekali menyaksikan para penyiksa mereka itu terbalas dan terhukum, akan tetapi apa yang barusan dilakukan oleh ‘Dewi Kwan Im’ ini benar-benar amat menyeramkan.
Empat belas orang dan enam orang mandor di sawah dibuntungi lengannya, sedangkan Bhong-kongcu tewas. Semua tukang pukul merintih-rintih memegangi lengan kanan yang buntung dengan tangan kiri, bingung melihat darahnya sendiri mengucur bagai pancuran.
Siu Bi bagaikan seekor harimau betina mencium darah. Dengan sikap beringas karena mengira bahwa akan datang lagi antek-antek keluarga Bhong, dia kemudian menantang, "Hayo, bila masih ada binatang-binatang keji penindas orang-orang miskin, majulah dan inilah lawanmu, aku Cui-beng Kwan Im!"
Seorang laki-laki setengah tua, yaitu Bhong-loya sendiri, alias lurah Bhong Ciat, diiringi isterinya, berlari tersaruk-saruk keluar gedung dan menangislah pasangan suami isteri ini setelah melihat putera tunggal mereka menggeletak mandi darah tak bernyawa lagi.
Pada waktu itu terdengar derap kaki kuda dan datanglah serombongan orang berkuda. Melihat pakaian mereka, terang bahwa mereka adalah prajurit-prajurit istana, berjumlah dua puluh empat orang, dikepalai oleh seorang muda yang amat gagah dan tampan.
"Minggir! Bun-enghiong (pendekar Bun) telah datang...!" teriak orang-orang yang tadinya berkumpul memenuhi tempat itu, menonton kejadian yang hebat di depan gedung lurah Bhong.
Pemuda tampan itu memberi tanda dengan tangan, menyuruh barisannya berhenti. Dia sendiri melompat turun dan atas kudanya dan lari memasuki pekarangan. Alisnya yang tebal itu bergerak-gerak dan matanya terbelalak heran menyaksikan empat belas orang tukang pukul merintih-rintih dengan lengan buntung serta Bhong-kongcu tewas ditangisi ayah bundanya.
Ada pun Bhong Ciat, ketika mendengar seruan orang-orang dan melihat pemuda gagah itu, segera menangis sambil menyambut dan berlutut di depan pemuda itu.
"Aduh, Bun-enghiong... tolonglah kami... mala petaka telah menimpa keluarga kami, anak kami tewas... orang-orang kami buntung semua lengan mereka... penasaran... sungguh penasaran...."
"Paman Bhong, siapa yang melakukan perbuatan keji itu?" Si pemuda tampan bertanya, pandang matanya mencari-cari.
"Aku yang melakukan!" tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Pemuda itu cepat memandang dan dia melongo. Sinar matanya yang tajam itu jelas tidak percaya, dan sampai lama dia memandang Siu Bi. Kemudian dia tersenyum, sama sekali tidak mau percaya ketika dia berkata,
"Nona, harap kau jangan main-main dalam urusan yang begini hebat. Lebih baik Nona tolong memberi tahu siapa mereka yang telah melakukan pengamukan seperti ini."
"Siapa yang main-main? Huh, kalau hanya memberi hajaran kepada anjing-anjing ini saja apa sih sukarnya? Biar mereka ada sepuluh kali banyaknya, semua akan aku robohkan!" Siu Bi menyombong, ada pun pedangnya digerakkan melintang di depan dada, gerakan yang amat indah dan gagah.
Seketika berubah wajah pemuda tampan itu, sinar matanya menyinarkan kekerasan dan kekagetan.
"Nona siapakah?"
"Huh, baru bertemu tanya-tanya nama segala, mau apa sih? Kau sendiri siapa, lagaknya kayak pembesar, datang-datang main urus persoalan orang lain!"
Pemuda itu cepat-cepat memberi hormat sambil menjura, bibirnya tersenyum dan untuk sedetik matanya menyinarkan kegembiraan. "Nona, ketahuilah, aku yang rendah adalah Bun Hui. Bolehkah sekarang aku tahu, siapa Nona?"
"Aku Cui-beng Kwan Im!" jawab Siu Bi berlagak, mengedikkan kepala membusungkan dada serta pandang matanya menantang, memandang rendah, sungguh pun diam-diam dia kagum melihat pemuda yang tampan dan gagah ini,
Bun Hui tercengang. Dia tahu bahwa nona itu menggunakan nama samaran atau nama julukan. Julukan yang hebat dan tepat. Memang cantik jelita seperti Kwan Im, dan ganas seperti setan pengejar nyawa!
Dia mengingat-ingat. Sudah banyak dia mengenal tokoh-tokoh di dunia kang-ouw, lebih banyak lagi yang sudah dia dengar namanya, namun belum pernah dia mendengar nama julukan Cui-beng Kwan Im! Apa lagi kalau yang mempunyai nama itu seorang dara jelita seperti ini!
Sementara itu, petani tua yang tadi mempelopori kawan-kawannya kini mendekati Siu Bi dan berbisik, "Pouwsat (dewi), dia adalah Bun-enghiong, putera Bun-goanswe (Jenderal Bun) yang amat berkuasa di kota raja dan terkenal sebagai keluarga yang amat adil dan ditakuti pembesar macam Bhong-loya."
Siu Bi mengangguk-angguk, akan tetapi hatinya merasa dongkol. Jadi pemuda ini putera pembesar tinggi yang ditakuti semua orang? Hemmm, dia tidak takut!
"Ehh, orang she Bun, kiranya kau putera pembesar yang katanya adil? Huh, siapa sudi percaya? Apa bila kau atau ayahmu benar-benar adil, tentu tidak akan membiarkan para penduduk miskin dusun ini ditekan dan dicekik oleh lurah Bhong beserta kaki tangannya. Karena kau dan ayahmu, meski pun merupakan pembesar-pembesar tinggi namun tidak becus memberi hajaran kepada bawahanmu semacam anjing-anjing ini, maka aku yang turun tangan memberi hajaran. Sekarang kau mau apa? Mau membela mereka? Boleh! Aku tidak takut!"
Bun Hui terheran-heran dan diam-diam dia amat kagum di samping kemarahannya akan kesombongan dara ini. Ia menoleh ke arah Bhong Ciat yang masih berlutut, lalu bertanya, "Betulkah apa yang dikatakan Nona ini, paman Bhong?"
Bhong Ciat adalah seorang yang pandai mengambil hati, karena kekayaannya dia pandai bermuka-muka sehingga banyak pembesar di kota raja yang dapat dikelabui, mengira dia seorang yang baik dan pandai mengurus kewajibannya. Tadinya Bun Hui juga mendapat kesan baik akan diri lurah ini, maka hari itu dia hendak membelokkan tugas kelilingnya ke dusun Pau-ling.
"Bohong, Bun-enghiong, Nona itu mengatakan fitnah!" Bhong Ciat segera membantah. "Siapa yang menindas orang? Harap tanyakan saja kepada para saudara petani."
Akan tetapi belum juga Bun Hui melakukan pertanyaan, para petani itu sudah serempak berteriak-teriak,
"Memang benar ucapan Pouwsat! Bertahun-tahun kami ditindas dan hidup sengsara di bawah telapak kaki Bhong-kongcu dan kaki tangannya yang kejam! Bhong-loya tak tahu apa-apa, enak-enak saja di dalam gedung tidak peduli akan keganasan puteranya, selalu berpihak kepada puteranya!"
Biar pun orang-orang itu bicara tidak karuan dan saling susul, namun isi teriakan-teriakan itu adalah cukup bagi Bun Hui. Dia kini menghadapi Siu Bi kembali, yang masih berdiri tegak menantang.
"Nah, apakah kau masih hendak memihak lurah yang bejat moralnya ini? Boleh, aku tetap berpihak kepada mereka yang tertindas!"
"Sabar, Nona. Aku tak berpihak kepada siapa-siapa, melainkan berpihak kepada hukum. Ketahuilah, oleh yang mulia kaisar, ayahku diberi tugas untuk meneliti serta mengawasi sepak-terjang para petugas negara. Kini, sebagai wakil ayah, aku menghadapi peristiwa ini. Bukanlah kewajibanku untuk mengambil keputusan di sini, khawatir kalau-kalau aku terpengaruh oleh salah satu pihak kemudian dianggap tidak adil. Oleh karena itu, aku persilakan Nona suka ikut bersamaku, juga paman Bhong, dan beberapa orang saudara petani sebagai saksi. Apakah Nona berani menghadapi pemeriksaan pengadilan yang berwenang?"
Biar pun masih muda, baru dua puluh lewat usianya, Bun Hui memiliki kecerdikan yang berhubungan dengan tugasnya mewakili ayahnya. Karena kecerdikannya inilah dia dapat menghadapi Siu Bi. Dia dapat menyelami watak dara lincah yang tidak mungkin mau mengalah itu, oleh karena itu sengaja dia menantang apakah Siu Bi berani menghadapi pemeriksaan pengadilan. Benar saja dugaannya, dengan mata berapi gadis itu langsung membentaknya,
"Mengapa tidak berani? Hayo, biar pun malaikat sendiri datang mengadili, aku tidak takut karena aku membela keadilan!" serunya.
"Bagus sekali!" Bun Hui berseru girang. "Nona betul-betul gagah perkasa. Banyak orang kang-ouw yang tak mau tahu akan pemeriksaan pengadilan negara, seolah-olah mereka itu tidak bernegara dan tidak mengenal hukum. Mereka lebih suka menjadi hakim sendiri menurut kehendak hati mereka, sehingga terjadilah balas-membalas dan permusuhan di mana-mana."
Siu Bi mengerutkan keningnya. Ucapan ini tidak menyenangkan hatinya, sebab ia sendiri menganggap dirinya merupakan seorang tokoh kang-ouw pula, biar pun belum ternama. "Karena mereka itu tidak berani!" serunya ingin menang.
"Memang, karena mereka itu tidak berani, dan Nona tentu saja berani menghadapi apa saja."
"Tentu aku berani, takut apa? Kalau aku tidak bersalah, siapa pun juga akan kulawan dan kuhadapi dengan pedangku!"
Bun Hui tersenyum. Ia segera memberi perintah kepada anak buahnya agar menyiapkan kuda. la sendiri lalu memberikan kudanya kepada Siu Bi.
"Mari, Nona, ayo kita berangkat." Kepada para petani yang tidak ikut menjadi saksi, dia berkata, "Paman sekalian harap rawat mereka yang terluka. Mulai saat ini juga di dusun Pau-ling tak lagi boleh terjadi keributan, tidak boleh ada yang menggunakan kekerasan. Kalau terjadi sesuatu penasaran, harap lapor kepadaku."
Berangkatlah rombongan itu. Siu Bi naik kuda di samping Bun Hui, di depan barisan. Lurah Bhong dan enam orang petani saksi berada di tengah rombongan.
Para penduduk Pau-ling mengantar rombongan itu dengan pandangan mata mereka. Banyak yang berlinang air mata karena girang, terharu akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Siu Bi. Nama Cui-beng Kwan Im akan tetap terukir di sanubari para petani miskin di Pau-ling karena sesungguhnya, sejak Siu Bi turun tangan, penderitaan mereka lenyap, setelah di dusun itu diperintah oleh seorang lurah baru yang adil sehingga tidak ada lagi terjadi pemerasan dan penindasan di situ.
Tak ada seorang pun yang tahu bahwa semenjak Siu Bi dikeroyok tadi, semua peristiwa dilihat oleh sepasang mata yang sangat tajam, yang tadi memandang kagum, kemudian memandang khawatir ketika melihat gadis itu turut pergi bersama rombongan Bun Hui. Tanpa diketahui siapa pun, pemilik sepasang mata ini diam-diam mengikuti rombongan. Hebatnya, biar pun rombongan itu berkuda, dia dapat berlari cepat dan tetap mengikuti di belakang rombongan.
Dia adalah seorang laki-laki muda, kurang dari tiga puluh tahun, pakaiannya sederhana, sikapnya halus dan pendiam. Siapa lagi kalau bukan Si Jaka Lola, Yo Wan!
Seperti diketahui, Yo Wan meninggalkan Pegunungan Himalaya, dalam perantauannya menuju ke timur. Tiba-tiba saja timbul pikirannya untuk mengunjungi Hoa-san. Ketika dia mengenangkan peristiwa di Hoa-san beberapa tahun yang silam, dia menyesalkan akan sikapnya sendiri yang telah mendatangkan gara-gara di sana. la tidak perlu merasa takut, karena maksud kedatangannya sekarang hanya ingin mengunjungi suhu dan subo-nya, untuk memberi hormat dan melihat keadaan kedua orang tua itu.
Gembira juga hatinya kalau memikirkan bahwa tentu sekarang Swan Bu, anak yang dulu sangat manja itu, kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Tampan dan gagah, tak salah lagi. Dahulu pada waktu kecil saja sudah memperlihatkan ketampanan dan kegagahan. la akan merasa bangga melihat adik seperguruan ini.
Pada hari itu, secara kebetulan sekali dia tiba di dusun Pau-ling dan mendengar adanya keributan. Ketika dia memasuki dusun, tepat dilihatnya seorang gadis remaja dikeroyok oleh banyak orang.
Dia tidak tahu akan persoalannya, maka ditanyakannya kepada seorang petani di antara banyak penonton itu. Dan apa yang didengarnya benar-benar membuatnya kagum luar biasa. Gadis itu, yang berjuluk Cui-beng Kwan Im, ternyata membela para petani miskin yang ditindas lurah, dan sekarang tengah dikeroyok oleh tukang pukul-tukang pukul yang biasanya menyiksa penghidupan para petani miskin.
la kagum, akan tetapi juga khawatir kalau-kalau gadis pendekar itu akan celaka di tangan para tukang pukul yang galak. Akan tetapi, betapa kagumnya menyaksikan sepak terjang gadis itu, sepak terjang yang amat ganas dengan ilmu pedang serta ilmu pukulan yang dahsyat dan ganas pula.
Uap hitam yang keluar dari tangan kiri gadis itu! Terang merupakan ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun, sedangkan ilmu pedang yang juga bersinar hitam, semua ini membuktikan bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian dari golongan hitam. Akan tetapi harus diakui bahwa kepandaian gadis itu benar-benar luar biasa!
Munculnya pemuda bernama Bun Hui mengagumkan hatinya, juga gerak-gerik pemuda itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Sekali pandang saja Yo Wan dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Langkah kakinya yang mantap, semua gerak-geriknya yang ringan, terang menjadi tanda-tanda seorang ahli silat tinggi.
Maka diam-diam dia mentertawai gadis itu yang amat tinggi hati. Kau terlalu memandang rendah pemuda ini, pikirnya. Betapa pun juga, dia mengkhawatirkan gadis perkasa yang agaknya masih hijau ini dan diam-diam dia mengikuti dari jauh.
Gembira juga hati Siu Bi, kegembiraan yang timbul oleh kebanggaan. Ketika rombongan memasuki kota Tai-goan, sebuah kota besar di sebelah barat kota raja, rombongan itu lantas menjadi tontonan banyak orang. Dan terutama sekali, dirinya yang menjadi pusat perhatian para penonton. Dengan lagak angkuh ia duduk di atas kudanya yang berjalan berendeng dengan kuda Bun Hui.
Di sepanjang jalan tadi ia tidak mempedulikan pemuda ini, juga Bun Hui tidak satu kali pun bicara dengan Siu Bi. Walau pun di dalam hatinya Bun Hui amat kagum dan tertarik dengan gadis ini, akan tetapi dia adalah seorang pemuda gagah yang menjunjung tinggi kesopanan, maka dia menahan perasaannya dan tidak mau mengajak bicara Siu Bi di depan orang banyak.
Akan tetapi tidak sedetik pun perhatiannya beralih dari diri gadis di sampingnya. la heran sekali bagaimana seorang gadis semuda dan sejelita ini dapat bersikap demikian ganas. Diam-diam dia menduga-duga, murid siapakah gerangan gadis ini, siapa pula namanya. Ingin dia segera sampai di kota raja agar dalam pemeriksaan dia akan dapat mendengar riwayat dara yang telah menjatuh bangunkan hatinya itu.
Siapakah pemuda ini sesungguhnya? Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu telah mengenal ayah pemuda ini yang bukan lain adalah Bun Wan, putera tunggal dari ketua Kun-lun-pai! Di dalam cerita Pendekar Buta telah dituturkan bahwa Bun Wan menikah dengan seorang gadis lihai puteri majikan Pulau Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau) yang bernama Giam Hui Siang.
Kemudian, karena jasa-jasanya dalam perjuangan membantu Raja Muda Yung Lo yang mengalahkan keponakannya sendiri, setelah Yung Lo menggantikan kedudukan sebagai kaisar dan memindahkan ibu kota dari selatan ke utara, Bun Wan diberi kedudukan tinggi sesuai dengan jasanya, malah pernah menjabat sebagai seorang jenderal.
Dari perkawinannya dengan Giam Hui Siang, dia memperoleh seorang putera yang diberi nama Hui. Kemudian, melihat watak Jenderal Bun yang sangat jujur keras dan adil, oleh kaisar Jenderal Bun diangkat menjadi pengawas dan pemeriksa semua alat negara.
Kekuasaannya amat tinggi sehingga dengan pedang kekuasaannya yang diberikan oleh kaisar, Jenderal Bun berkuasa memeriksa semua petugas, dari yang terendah sampai yang paling tinggi. Inilah yang menyebabkan dia ditakuti dan disegani oleh para menteri sekali pun, karena jenderal ini terkenal sebagai seorang yang berdisiplin, keras dan adil, tak mungkin bisa disuap dan tidak mengenal ampun pada para pembesar yang korup.
Di samping keseganan, tentu saja Jenderal Bun ini mendapatkan banyak sekali musuh yang membencinya secara diam-diam. Tetapi siapakah orangnya berani menentangnya secara berterang? Jenderal Bun selain lihai ilmu silatnya, memiliki prajurit-prajurit pilihan, disayang dan dipercaya kaisar, dan di samping ini, masih ada Kun-lun-pai sebagai partai persilatan besar yang seratus persen berdiri di belakangnya!
Jenderal Bun adalah seorang ahli silat Kun-lun-pai yang memiliki kepandaian tinggi. Juga Giam Hui Siang isterinya adalah seorang ahli silat tinggi yang telah mewarisi kepandaian Ching-toanio majikan Pulau Ching-coa-to. Tentu saja, sebagai putera Bun Hui semenjak kecil digembleng ayah bundanya sendiri sehingga memiliki kepandaian yang hebat.
Pemuda ini mewarisi watak ayahnya, keras, jujur dan adil. Oleh karena inilah maka dia dipercaya oleh ayahnya dan sering kali mewakili ayahnya yang sibuk dengan pekerjaan di Tai-goan, untuk mengadakan pemeriksaan di wilayah yang dikuasakan oleh kaisar.
Pada hari itu, Bun-goanswe (Jenderal Bun) yang tengah sibuk di kamar kerjanya menjadi terheran-heran ketika melihat puteranya pulang bersama seorang gadis cantik jelita yang sikapnya angkuh dan gagah, diiringkan pula oleh lurah Bhong dari dusun Pau-ling dan beberapa orang petani miskin.
Lurah Bhong dan para petani segera menjatuhkan diri berlutut di depan meja jenderal itu. Akan tetapi Siu Bi tentu saja tidak sudi berlutut, malah berdiri tegak dan memandang pria tinggi besar yang duduk di belakang meja.
Dia melihat seorang laki-laki yang gagah, berusia sepantar ayahnya, pakaiannya seperti seorang panglima perang. Matanya yang sebelah kanan buta, akan tetapi hal ini malah menambah keangkerannya. Mau tidak mau Siu Bi menaruh segan dan hormat terhadap orang tua ini, maka dia diam saja, hanya memandang.
Sejenak Bun-goanswe menatap wajah Siu Bi, maklum bahwa gadis ini tentulah seorang gadis kang-ouw yang tinggi hati dan merasa dirinya paling pandai. Maka dia tersenyum di dalam hati dan tidak menjadi kurang senang melihat gadis remaja itu tidak mau memberi hormat kepadanya.
Dengan tenang Bun-goanswe mendengarkan penuturan Bun Hui mengenai keributan di dusun Pau-ling. Tampak mata yang tinggal sebelah itu bersinar marah dan alisnya yang tebal hitam berkerut. Segera dia menoleh ke arah lurah Bhong yang masih berlutut tanpa berani mengangkat mukanya.
"Lurah Bhong, benarkah pendengaranku bahwa kau memperlakukan penduduk desamu secara tidak adil, melakukan tindakan sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu?"
"Mohon ampun, Taijin... hamba... hamba tidak merasa melakukan perbuatan sewenang-wenang. Ham... hamba sudah tua... sudah jarang bekerja di luar... semua urusan hamba serahkan kepada petugas petugas hamba..."
"Hemmm, sudah keenakan lalu bermalas-malasan dan bersenang di dalam gedung saja, ya? Melalaikan kewajiban, tidak peduli akan keadaan penduduk, bersikap masa bodoh asal kau sendiri senang? Begitukah sikap seorang kepala kampung? Tentang keributan antara anakmu dan orang-orangmu dengan Nona ini, bagaimana?"
"Hamba kurang jelas... hanya gadis liar ini datang menyerang, membunuh anak hamba... juga melukai semua petugas, membuntungi lengan mereka, tidak seorang pun selamat. Hamba... hamba mohon Taijin sudi menghukum gadis liar ini, dia sangat jahat!"
Bun-goanswe menoleh ke arah Siu Bi, sinar matanya penuh selidik. Dia tak senang juga mendengar gadis ini sudah membunuh orang dan membuntungi lengan dua puluh orang lebih. Sungguh ganas!
Akan tetapi Siu Bi menentang pandang matanya dengan berani, bahkan berkedip pun tidak. Sepasang mata yang amat tajam, penuh ketabahan dan kekerasan hati. Seorang gadis berbahaya, apa lagi kalau berkepandaian tinggi.
"Nona, kau siapakah?"
"Orang-orang dusun menyebutku Kwan Im Pouwsat, tetapi aku lebih senang memakai nama Cui-beng Kwan-im," jawab Siu Bi, suaranya merdu dan lantang.
Bun-goanswe tak dapat menahan senyumnya, senyum maklum dan setengah mengejek. la pernah muda, pernah dia melihat gadis-gadis kang-ouw seperti ini di waktu mudanya. Malah isterinya sendiri, dahulu lebih ganas dari pada gadis ini!
"Namamu siapa? Siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu?"
Siu Bi mengerutkan kening. Untuk apa tanya-tanya orang tua ini, pikirnya. Akan tetapi ia tidak berani menjawab secara kurang ajar, hanya menjawab sewajarnya, "Tentang orang tuaku, kiranya tidak perlu disebut-sebut di sini. Namaku Siu Bi, dan mengenai guruku... hemmm, mendiang guruku berjuluk Hek Lojin."
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bun-goanswe mendengar nama ini. Di dalam cerita Pendekar Buta telah diceritakan betapa dia dan isterinya pernah bertemu dengan Hek Lojin dan terluka hebat, mungkin binasa kalau tidak ditolong oleh Kwan Kun Hong Si Pendekar Buta!
Hek Lojin adalah seorang kakek iblis, yang dulu pernah hampir membunuh dia bersama isterinya. Dan sekarang muridnya, gadis yang tentu juga seorang gadis iblis pula, berdiri di depannya Kalau saja Bun-goanswe bukan seorang tua yang pengalamannya sudah matang, berwatak adil dan pandai menyembunyikan perasaan, tentu dia sudah melompat untuk menerjang murid bekas musuhnya ini. la menekan perasaannya dan mengangguk-angguk.
“Mengapa kau membunuh putera lurah Bhong dan membuntungi lengan banyak orang?" tanyanya, sikapnya masih tetap tenang akan tetapi suaranya sekarang tidak sehalus tadi, terdengar agak ketus sehingga Bun Hui yang mengenal watak ayahnya, mengangkat muka memandang.
Siu Bi mengedikkan kepala, mengangkat kedua pundak, gerakan yang membayangkan bahwa dia tidak peduli. "Harap kau orang tua suka tanya saja kepada para petani ini bagaimana duduknya perkara yang sebenarnya. Kalau benar seperti yang kudengar dari paman tani bahwa kau seorang pembesar yang adil, tentu kau akan menghukum lurah brengsek ini, kalau tidak, akulah yang akan turun tangan memberi hajaran kepadanya!" Siu Bi mengerling kepada lurah Bhong dengan pandang mata jijik.
Merah muka Bun-goanswe. Seorang bocah berbicara seperti itu di depan banyak orang, benar-benar hal ini amat merendahkannya. Akan tetapi dia bertanya, "Dengan cara apa kau hendak menghajarnya?"
Siu Bu menepuk gagang pedangnya. "Dengan ini! Mungkin akan kulepaskan kedua daun telinganya yang terlalu lebar itu.”
Menggigil tubuh lurah Bhong mendengar ini, bahkan kedua telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci saking ngeri hatinya. Bun Hui yang otomatis melirik ke arah telinga lurah itu, menahan rasa geli di dalam hatinya.
Bun-goanswe lalu bertanya kepada para petani. Mereka ini serta-merta, sambil berlutut dan menempelkan jidat pada lantai, menceritakan penderitaan mereka sedusun, tentang perbuatan sewenang-wenang dari Bhong-kongcu dan para kaki tangannya, juga tentang perampasan wanita, perampasan sawah ladang, pemerasan dan mengenai upah yang tidak cukup mereka makan sendiri.
Kemarahan Bun-goanswe membuat mukanya semakin merah lagi. Ada seorang lurah macam ini di dalam wilayah yang dikuasakan kepadanya, benar-benar amat memalukan!
"Hemmm, urusan ini harus kuselidiki sendiri di Pau-ling. Kalau betul lurah ini sewenang-wenang, akan kuhukum dan kuganti. Sebaliknya, pembunuhan dan penganiayaan berat sampai membuntungi lengan dua puluh orang, bukanlah hal kecil seakan-akan di sini tak ada hukum yang berlaku lagi. Perkara ini akan diputuskan besok setelah aku meninjau ke sana. Nona, kau harus ditahan semalam ini, serahkan pedangmu padaku. Tidak ada tahanan yang boleh membawa pedang atau senjata lain."
Siu Bi merah mukanya, hendak marah. Akan tetapi Bun Hui melangkah maju dan berkata halus, "Harap Nona suka mengindahkan peraturan dan hukum di sini, percayalah bahwa ayah akan memberi keadilan yang seadil-adilnya. Melawan akan menjerumuskan Nona ke dalam urusan yang lebih besar lagi. Pedang itu hanya disimpan dulu di sini, tidak akan hilang. Besok kalau urusan selesai, Nona tentu akan menerimanya kembali."
Karena sikap Bun Hui yang ramah dan halus sopan, Siu Bi mengalah. Dia pikir tidak ada gunanya mengamuk di sini. Dia melihat jenderal mata satu itu sangat berwibawa, juga tampaknya gagah perkasa, demikian pula pemuda ini. Dan di situ tampak pula barisan pengawal yang bersenjata lengkap, sungguh tak boleh dipandang ringan. Jika melawan seorang pembesar tinggi sama dengan memberontak, pengetahuan ini sedikit banyak ia dapatkan dari ayah dan mendiang kakek gurunya.
"Boleh, andai kata tidak dikembalikan pun, apakah aku tidak akan dapat mengambilnya kembali?" Siu Bi berkata sambil meloloskan pedang berikut sarung pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam ia letakkan di atas meja depan Bun-goanswe yang memandangnya penuh selidik.
Bun-goanswe memerintahkan orang-orangnya untuk menggiring Bhong Ciat serta enam orang petani ke dalam kamar tahanan, kemudian setelah semua orang itu dibawa pergi, dia berkata kepada puteranya, "Bawa Nona ini ke kamar tahanan di belakang, suruh jaga, jangan boleh dia bermain gila sebelum urusan ini selesai."
Mendongkol juga hati Siu Bi mendengar ini, "Orang tua, kuharap saja besok urusan ini sudah harus selesai. Aku tidak punya banyak waktu untuk tinggal di sini, apa lagi menjadi orang tahanan. Aku mempunyai urusan penting di Liong-thouw-san!"
Mendengar ini makin terkejutlah Bun-goanswe. Liong-thouw-san adalah tempat tinggal Pendekar Buta, sahabat sekaligus penolongnya. Mau apa murid Hek Lojin ini pergi ke Liong-thouw-san?
"Hemmm, ke Liong-thouw-san, ada urusan apakah? Atau, kau tidak berani mengatakan kepadaku karena di sana hendak melakukan sesuatu yang jahat?" Ternyata jenderal ini menggunakan akal seperti yang dipakai puteranya, memancing dengan memanfaatkan ketinggian hati gadis itu!
"Mengapa tidak berani? Apa yang hendak kulakukan di sana, siapa pun di dunia ini tidak bisa melarangku! Aku akan... membuntungi lengan beberapa orang di sana!" Gadis itu memandang Bun-goanswe dengan pandang mata seakan berkata, "kau mau apa?!"
Bun-goanswe tercengang. "Lengan siapa yang hendak kau buntungi lagi? Agaknya kau mempunyai penyakit ingin membuntungi lengan orang!" serunya.
Akan tetapi tanpa dijawab dia sudah dapat menduga. Lengan siapa lagi kalau bukan lengan Pendekar Buta yang akan dibuntungi gadis itu? Dia sudah mendengar tentang pertempuran hebat antara Pendekar Buta dan musuh-musuhnya, dan betapa lengan Hek Lojin buntung dalam pertandingan itu oleh Pendekar Buta.
Mengingat betapa gadis yang masih hijau ini mengancam hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, tak dapat ditahan lagi Bun-goanswe tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kau hendak membuntungi lengannya dengan pedang ini?" Dia lalu mencabut pedang itu dan tiba-tiba dia terbelalak.
Pedang itu adalah pedang yang mempunyai sinar hitam dan mengandung hawa dingin yang amat jahat. Diam-diam dia bergidik dan memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya.
"Hui-ji (anak Hui), antarkan dia ke dalam tahanan besar."
"Mari, Nona," ajak Bun Hui yang mukanya berubah pucat.
Pemuda ini tadi juga kaget sekali mendengar maksud gadis ini pergi ke Liong-thouw-san untuk membuntungi lengan orang. Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang Pendekar Buta, pendekar besar yang menjadi sahabat dan penolong ayahnya, orang yang paling dihormati ayahnya di dunia ini. Dan gadis ini hendak pergi ke sana membuntungi lengan pendekar itu!
Dia mengerti kehendak ayahnya. Gadis ini berbahaya dan merupakan musuh besar dari Pendekar Buta, harus ditahan di dalam kamar tahanan besar, yaitu kamar tahanan di belakang yang paling kuat, berpintu besi dengan jeruji baja yang amat kuat, cukup kuat untuk mengeram seekor harimau yang liar sekali pun!
Bun Hui berduka. Dia amat tertarik kepada gadis ini, ingin dia melihat gadis ini menjadi sahabat baiknya, melihat gadis ini berbahagia. Siapa duga, keadaan menghendaki lain. Gadis ini harus dikeram dalam kamar tahanan, dan justru dia yang harus melakukannya. Dia sedih, akan tetapi tanpa bicara sesuatu dia mengantarkan Siu Bi ke belakang. Gadis itu pun tanpa banyak cakap mengikuti, mengagumi gedung besar yang menjadi kantor dan rumah tinggal Jenderal Bun.
"Silakan masuk, Nona. Jangan khawatir, ayah adalah seorang yang adil. Nona pasti akan diperlakukan dengan baik," katanya, akan tetapi suaranya agak gemetar karena dia tidak percaya kepada omongannya sendiri.
Begitu Siu Bi masuk, pintu ditutup dan dikunci dari luar oleh Bun Hui. Siu Bi kaget dan marah. "Kenapa harus dikurung seperti binatang liar? Tempat apa ini?" teriaknya.
Bun Hui menjawab sambil menunduk. "Nona, sungguh aku menyesal sekali. Akan tetapi, kau... kau..." Bun Hui tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan segera berlari pergi dari situ. Wajahnya pucat, nafasnya terengah-engah dan dia langsung lari ke kamarnya untuk menenteramkan hatinya yang tidak karuan rasanya.
Siu Bi membanting-banting kedua kakinya. Didorongnya daun pintu, akan tetapi daun pintu yang dicat seperti daun pintu kayu itu ternyata terbuat dari besi yang amat kuat. la memeriksa ruangan tahanan itu. Cukup luas, akan tetapi di kanan kiri tembok tebal, di sebelah belakang terbuka dan dihalangi jeruji baja yang besar dan kokoh kuat.
Tidak mungkin dia sanggup merusak pintu atau jeruji itu untuk membebaskan diri hanya mengandalkan tenaganya saja. Namun Siu Bi masih penasaran. la mengerahkan tenaga Hek-in-kang, lalu menghantamkan kedua tangan ke arah jeruji.
Terdengar suara berdengung keras dan bergema, seluruh kamar tahanan itu tergetar, akan tetapi jeruji tidak menjadi patah. Dia mencoba pula untuk menarik jeruji agar lebar lubangnya supaya ia dapat lolos keluar, akan tetapi sia-sia. Jeruji baja itu amat kuat dan tenaga gwakang (tenaga luar) yang ia miliki tidak cukup besar. Tenaga Iweekang (tenaga dalam) memang tiada artinya lagi kalau menghadapi benda mati yang tak dapat bergerak seperti pintu dan jeruji yang terpasang mati di tempat itu.
Siu Bi membanting-banting kedua kakinya, berjalan hilir-mudik seperti seekor harimau liar yang baru saja dimasukkan kerangkeng. Biar pun besok ia akan dibebaskan, ia merasa terhina dengan dimasukkan dalam kamar tahanan seperti kerangkeng binatang ini.
Sore hari itu, hanya beberapa jam kemudian, seorang penjaga datang dan mengulurkan sebuah baki terisi mangkok nasi dan masakan, juga minuman yang cukup mahal. Namun hampir saja pengawal itu remuk lengannya kalau saja dia tidak cepat-cepat menariknya keluar karena Siu Bi sambil memaki telah menerkam tangan itu untuk dipatahkan!
Siu Bi marah sekali, lalu memaki-maki sambil menyambar baki dan isinya. Mangkok dan sumpit beterbangan menyambar keluar dari sela-sela jeruji dan menyerang pengawal itu yang segera lari tunggang-langgang! Siu Bi makin jengkel apa bila mengingat betapa dia telah menyerahkan pedangnya kepada Jenderal Bun. Andai kata pedang Cui-beng-kiam berada di tangannya, tentu dia dapat membabat putus jeruji-jeruji ini.
Malam tiba dan Siu Bi menjadi agak tenang. Akhirnya dia berpendapat bahwa semua kemarahannya itu tiada gunanya sama sekali. Tubuhnya menjadi letih sekali, pikirannya bingung dan... perutnya lapar! Mengapa dia tidak menerima sabar saja sampai besok. Kalau dia sudah bebas dan mendapatkan pedangnya kembali, mudah saja baginya untuk mengumbar nafsu amarah. Sedikitnya dia akan memaki-maki jenderal dan puteranya itu sebelum dia melanjutkan perjalanannya.
Pikiran ini membuat dia tenang. Dibaringkannya tubuhnya yang sangat lelah itu di atas sebuah dipan kayu yang terdapat di ujung kamar tahanan. Lebih baik mengaso sambil memulihkan tenaga, siapa tahu besok ia harus menggunakan banyak tenaga, pikirnya. la kemudian bangkit dan duduk bersila, bersemedhi mengumpulkan tenaga serta mengatur pernafasan.
"Nona... maafkan aku..."
Semenjak tadi memang agak sukar bagi Siu Bi untuk dapat bersemedhi dengan tenang. Perutnya sangat terganggu, berkeruyuk terus! la membuka mata dan menoleh. Biar pun kamar tahanan itu buruk, sedikitnya di waktu malam tidak gelap, mendapat sinar lampu besar yang dipasang di luar. Bun Hui berdiri di luar jeruji, membawa sebuah baki terisi makanan dan minuman.
"Mau apa kau?!" bentak Siu Bi timbul kembali kemarahannya.
"Nona, maafkan kalau tadi pelayan yang mengantar makanan kurang sopan. Sekarang aku sendiri yang mengantar makanan dan minuman, harap Nona sudi menerima. Tidak baik membiarkan perut kosong. Silakan, Nona."
Dengan kedua tangannya Bun Hui mengulurkan dan memasukkan baki itu ke dalam kamar tahanan melalui sela-sela jeruji yang cukup lebar untuk dimasuki baki yang kecil dan panjang itu.
Sejenak timbul niat di hati Siu Bi untuk membikin celaka pemuda putera Jenderal Bun ini dengan cara menangkap dan mematahkan kedua lengannya. Akan tetapi niat ini segera diurungkannya ketika dia memandang wajah yang ramah, tampan dan kelihatan agak bersedih ini.
"Ayahmu menahanku dalam kerangkeng, mengapa kau pura-pura berbaik hati padaku? Jangan kira kau akan dapat menyuapku hanya dengan makanan dan minuman ini. Apa artinya kau mengantar sendiri ini? Hayo katakan, kalau hendak menyuap, lebih baik aku mati kelaparan!"
"Ahh, kau terlalu berprasangka yang bukan-bukan dan yang buruk terhadap diriku, Nona. Di antara kita tak ada permusuhan, kenapa kami akan mencelakakanmu? Hanya karena persoalan itu baru beres besok, terpaksa ayah menahanmu, juga lurah Bhong dan para saksi. Harap Nona suka memaafkan aku dan suka bersabar untuk semalam ini."
”Hemmmm, begitukah? Muak aku akan segala aturan dan hukum ini!" kata Siu Bi, akan tetapi suaranya tidak seketus tadi.
Bun Hui girang hatinya, lalu berkata, "Silakan makan, Nona, aku takkan mengganggumu lagi."
Dan pemuda itu segera pergi dari situ. Andai kata pemuda itu tetap berada di tempat itu, agaknya Su Bi takkan sudi menyentuh makanan dan minuman itu. Akan tetapi sekarang, ditinggalkan seorang diri, matanya mulai melirik baki dan melihat masakan mengepulkan uap yang sedap dan gurih, perutnya makin menggeliat-geliat.
Setelah celingukan ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang yang melihatnya, mulailah Siu Bi makan. Setelah kenyang, ia sengaja melemparkan baki dan semua isinya keluar jeruji sehingga mangkok-mangkok itu pecah. Isinya, yaitu sisa yang ia makan, tumpah ruah tidak karuan. Dengan begitu, takkan ada yang tahu apakah tadi ia makan dan minum isi baki ataukah tidak!
Suara berisik ini diikuti datangnya Bun Hui. "Kenapa...? Kenapa kau buang makanan dan minuman itu, Nona?"
"Ihhh, siapa sudi…?" Siu Bi tidak melanjutkan kata-katanya dan diam-diam dia mengusap pinggir mulutnya dengan lengan baju.
"Nona, maafkan aku. Aku sengaja datang untuk bicara sedikit denganmu."
"Mau bicara, bicaralah, mengapa banyak cerewet?" Siu Bi sengaja bersikap galak.
Pemuda itu makin bingung dibuatnya, tampak maju mundur untuk mengeluarkan isi hati. "Nona Siu Bi, aku tidak tahu mengapa kau berniat mengacau ke Liong-thouw-san. Akan tetapi, ketahuilah bahwa yang tinggal di sana adalah pendekar besar Kwa Kun Hong yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta. Beliau adalah seorang pendekar besar yang menjagoi dunia persilatan, tidak hanya terkenal karena kesaktiannya, juga karena kegagahan dan pribudinya. Oleh karena itu Nona, kuharap dengan sangat, apa pun juga alasannya, kau batalkan saja niatmu itu.”
Siu Bi melotot. "Apa?! Apa pedulimu? Apamukah Pendekar Buta?"
"Bukan apa-apa, hanya dia satu-satunya manusia yang paling dihormati ayah!”
"Wah, celaka! Aku masuk perangkap musuh! He, orang she Bun, kalau memang kau dan ayahmu orang-orang gagah, kalau memang mau membela Pendekar Buta, hayo cepat lepaskan aku, kembalikan pedangku lalu kita bertempur dengan cara orang-orang gagah. Mengapa menggunakan akal curang untuk menahanku di sini?"
"Wah, harap Nona bersabar dan jangan salah sangka. Niatku hanya untuk menolongmu keluar dari kesulitan, Nona. Aku tak akan mencampuri urusanmu dengan siapa pun juga, sungguh pun sedih hatiku melihat engkau memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san. Maksudku, kalau saja besok kau suka berkata kepada ayah bahwa kau membatalkan niatmu memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san, tentu kau akan mudah dibebaskan. Setelah bebas, terserah kepadamu. Ini hanya untuk menolongmu, Nona..."
"Ihhh, apa maksudmu dengan pertolonganmu ini? Hayo bilang, orang she Bun, jangan bersembunyi di balik kata-kata manis. Kenapa kau begini ngotot hendak menolongku?"
Wajah pemuda itu merah seluruhnya. Sukar sekali menjawab pertanyaan yang berupa serangan tiba-tiba ini. "Kenapa? Ah... kenapa, ya? Aku sendiri tidak tahu pasti, Nona... hanya agaknya... aku tidak suka bila melihat kau mendapatkan kesukaran. Aku kagum kepadamu, Nona... aku... aku ingin menjadi sahabatmu. Nah, itulah! Aku ingin menjadi sahabat baikmu karena aku kagum dan suka padamu."
Kini Siu Bi yang tiba-tiba menjadi merah sekali wajahnya. Celaka, pikirnya. Pemuda ini benar-benar tidak tahu malu, terang-terangan bilang suka dan kagum dan ingin menjadi sahabat baik! Sekarang dia yang kebingungan dan tidak segera dapat membuka mulut.
"Sejak aku melihat kau menolong petani-petani miskin, lalu dengan gagah kau melawan tukang-tukang pukul jahat di Pau-ling itu, aku amat kagum dan tertarik kepadamu, Nona. Aku tahu, juga ayah tentu yakin bahwa dalam urusan ini kau tidak bersalah malah kau berjasa bagi peri kemanusiaan, bagi kebenaran dan keadilan, kau telah menolong yang tergencet, menghajar yang menindas. Akan tetapi, hukum tetap hukum yang harus ditaati dan dilaksanakan dengan tertib. Bila mana ayah mengambil keputusan begitu saja tanpa mengadili terus membenarkan kau, apa akan kata orang? Terhadap urusan di Pau-ling itu, aku tidak khawatir sama sekali. Akan tetapi urusan kedua ini... ahhh, kau tidak tahu, Nona. Ayah pasti akan mencegah maksud hatimu itu, bukan sekedar karena menjadi sahabat baik, akan tetapi masih ada ikatan keluarga. Ketahuilah bahwa isteri Pendekar Buta adalah enci angkat dari ibuku. Nah, kau tahu betapa tidak bijaksananya kalau kau mengaku akan hal itu di depan ayah!"
"Ahhh, begitukah? Jadi kau masih keponakan isteri musuh besarku? Wah, celaka, aku terjebak. Tentu kau mengajakku ke sini untuk menipuku... ahhh, mengapa aku begitu bodoh?"
"Nona, harap jangan bicara begitu. Urusan itu baru kami ketahui setelah kau berada di sini dan mengakuinya di depan ayah. Aku... aku tidak memandang kau sebagai musuh, sebaliknya dari itu. Aku bersedia menolongmu, Nona. Aku akan membujuk ayah untuk membebaskanmu, asal saja kau suka berjanji kepada ayah bahwa kau takkan memusuhi Pendekar Buta..."
"Aku mau memusuhi siapa pun juga, apa pedulinya dengan kau?"
"Nona..." suara Bun Hui penuh penyesalan, akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua yang cantik telah berdiri di sebelah Bun Hui.
"Ibu... kau di sini...?" Bun Hui bertanya gagap.
"Hui-ji (anak Hui), aku mendengar dari ayahmu bahwa ada seorang gadis liar yang mengancam hendak menyerbu ke Liong-thouw-san dan membuntungi lengan Kun Hong dan enci Hui Kauw? Mana dia? Apakah ini?" telunjuk yang runcing menuding ke arah Siu Bi yang memandang dengan bengong.
Wanita itu bukan main cantiknya, suaranya nyaring, matanya bersinar-sinar. Pakaiannya sangat indah namun tidak mengurangi gerakannya yang gesit tanda bahwa nyonya ini mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Siu Bi kagum. Alangkah jauh bedanya dengan ibunya sendiri. Ibunya wanita lemah.
"Betul, Ibu. Aku... aku sedang membujuknya supaya tidak melanjutkan maksud hatinya itu," kata Bun Hui sambil menundukkan muka, khawatir kalau-kalau ibunya akan dapat membaca isi hatinya.
Wanita itu adalah Giam Hui Siang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita ini adalah puteri dari Ching-toanio. Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan di waktu mudanya ia sendiri merupakan seorang gadis yang selain cantik dan lihai, juga amat ganas, malah pernah bentrok dengan cici angkatnya dan Kwa Kun Hong. Kini dia melangkah maju dan memandang Siu Bi penuh perhatian.
"Kau anak siapa? Kenapa hendak memusuhi Pendekar Buta dan isterinya?" la bertanya memandang tajam.
Ditanya tentang orang tuanya, hati Siu Bi menjadi panas dan jengkel. la bukan anak The Sun yang semenjak kecil ia anggap seperti ayah sendiri.....
Semenjak rahasia bahwa ia bukan anak The Sun ia ketahui dari ucapan Hek Lojin, ia pun tidak mau mengaku The Sun sebagai ayahnya lagi. la sendiri tidak tahu siapakah orang tuanya, atau lebih tepat lagi, siapa ayahnya.
la tidak pernah meragu bahwa ia bukan anak ibunya. Mudah saja diketahui akan hal ini. Wajahnya serupa benar dengan wajah ibunya. Akan tetapi ayahnya? la tidak tahu!
Karena pertanyaan itu membuatnya mendongkol, maka ia menjawab seenaknya. "Sejak tadi sudah kukatakan bahwa orang tuaku tidak perlu disebut-sebut di sini. Aku memusuhi Pendekar Buta karena aku benci kepadanya, karena dia memang musuh besarku. Habis perkara."
Giam Hui Siang tercengang mendengar jawaban dan melihat sifat berandalan ini. Dia lalu teringat akan masa mudanya. Dia dahulu juga seperti nona ini, penuh keberanian, penuh kepercayaan akan kepandaian sendiri. Apakah nona ini selihai dia? Mungkinkah ia dapat mengalahkan Pendekar Buta dan cici-nya yang amat lihai itu?
Diam-diam ia mengharapkan akan ada orang yang dapat mengalahkan Pendekar Buta, kalau perlu dapat membuntungi lengannya dan lengan Hui Kauw! Diam-diam nyonya ini masih merasa mendendam dan benci kepada Pendekar Buta dan isterinya. Hal ini ada sebabnya.
Pertama karena ketika dia masih muda, dua orang itu pernah menjadi musuhnya. Kedua kalinya, karena suaminya, Bun Wan, menjadi buta sebelah matanya karena Pendekar Buta pula. Sungguh pun suaminya itu membutakan sebelah mata sendiri karena malu dan menyesal atas perbuatannya sendiri yang menyangka buruk kepada Pendekar Buta, tapi secara tidak langsung, suaminya buta karena Pendekar Buta)!
Inilah sebabnya terselip rasa dendam di sudut hati kecil nyonya ini. Akan tetapi, apakah mungkin dara remaja yang masih setengah kanak-kanak ini dapat melawan Kun Hong?
"Lihat senjata!" tiba-tiba Giam Hui Siang berseru nyaring.
Tangannya bergerak dan sinar hijau menyambar ke arah Siu Bi, melalui sela-sela jeruji baja. Itulah belasan batang jarum Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau), senjata rahasia maut dari Ching-coa-to yang sangat ditakuti lawan karena selain halus juga amat cepat menyambarnya, apa lagi racunnya amat ampuh. Lebih hebat lagi, serangan ini masih ia susul dengan pukulan jarak jauh oleh sepasang lengannya yang didorongkan ke depan!
"Ibu...!"
Bun Hui terkejut bukan main, namun tidak sempat mencegah karena gerakan ibunya itu sama sekali tidak pernah disangka sebelumnya. Dia maklum akan kehebatan serangan ibunya ini, maka dengan muka pucat dia memandang kepada Siu Bi.
Siu Bi juga terkejut menghadapi serangan mendadak itu. Akan tetapi karena sejak tadi ia sudah mengambil sikap bermusuhan, tentu saja ia waspada dan tidak kehilangan akal. la mengerahkan Hek-in-kang kemudian menggerakkan dua lengannya menyampok sambil mendoyongkan tubuh ke kiri, lalu ia susul dengan dorongan ke muka yang mengandung tenaga Hek-in-kang yang amat kuat.
Giam Hui Siang dan Bun Hui hanya melihat uap menghitam bergulung dari kedua lengan Siu Bi dan pada lain saat tubuh Hui Siang sudah terhuyung-huyung ke belakang. Hampir saja nyonya ini roboh terjengkang kalau dia tidak lekas-lekas melompat dan berjungkir balik. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Hebat...! Kau cukup lihai untuk menghadapi dia! Hui-ji, hayo kita pulang."
Bun Hui menghadapi Siu Bi, suaranya terdengar sedih, "Nona, harap kau suka maafkan ibuku yang sebetulnya hanya hendak mencoba kepandaianmu."
"Hemmm...!" Siu Bi mendengus, masih belum hilang kagetnya.
Nyonya itu benar-benar ganas dan galak, juga lihai bukan main. Jarum-jarum yang lewat di dekat tubuhnya tadi mengandung hawa panas yang luar biasa, juga pukulan jarak jauh tadi amat kuat. Baiknya ia memiliki Hek-in-kang, jika tidak, tentu ia akan menjadi korban jarum atau pukulan sinkang.
Setelah ibu dan anak itu pergi, Siu Bi kembali duduk di atas pembaringan di sudut kamar, berusaha untuk istirahat sambil mengumpulkan tenaga. la dapat duduk tenang, kemudian menjelang tengah malam yang sunyi, mendadak ia berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki yang tetap bersila itu di atas, untuk melatih Iweekang menurut ajaran Hek Lojin.
Belum ada setengah jam ia berlatih, terdengar suara orang perlahan.
"Selagi kesempatan lari terbuka, mengapa membiarkan diri terkurung?"
Cepat sekali gerakan Siu Bi, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke dekat jeruji. Di luar jeruji berdiri seorang laki-laki yang mengeluarkan seruan kagum akan gerakannya yang memang luar biasa tadi.
Laki-laki ini berdiri tegak, bersedekap dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. Sukar menduga apa yang berada di dalam pikiran laki-laki ini. Siu Bi memandang tajam, memperhatikan dan siap untuk memaki atau menyerang melalui sela-sela jeruji.
Akan tetapi dia mendapat kenyataan bahwa laki-laki itu bukanlah seorang penjaga atau pengawal. Pakaiannya sederhana berwarna serba putih, rambutnya digelung ke atas dan dibungkus kain putih. Mukanya membayangkan ketenangan luar biasa dengan sepasang mata yang sayu, membayangkan kematangan jiwa dan penderitaan lahir batin. Orang ini bukan lain adalah Si Jaka Lola, Yo Wan.
Seperti diketahui, Yo Wan melihat bagaimana gadis yang luar biasa dan mengagumkan hatinya itu merobohkan para tukang pukul, lalu ikut bersama pemuda yang memimpin barisan. la tidak tergesa turun tangan menolong karena ingin ia melihat apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, dan apa pula yang akan dilakukan oleh gadis itu untuk bisa menolong dirinya sendiri. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu membiarkan dirinya ditahan.
Malam tadi dia diam-diam memasuki bagian belakang gedung ini dan ia sempat melihat betapa ibu pemuda itu tiba-tiba menyerang dengan jarum hijau dan pukulan sinkang. la kaget sekali, akan tetapi kembali ia dibuat kagum oleh kepandaian Siu Bi. la tidak sempat mendengar percakapan mereka tentang niat Siu Bi untuk membuntungi lengan Pendekar Buta, karena kedatangannya tepat pada waktu Giam Hui Siang melakukan penyerangan tadi
Dia benar-benar merasa heran akan sikap tiga orang itu. Lebih-lebih lagi rasa herannya kenapa gadis ini membiarkan dirinya dijebloskan kamar tahanan. Oleh karena itu, ketika menyaksikan sampai jauh malam betapa gadis itu tidak berusaha melarikan diri, tetapi malah berlatih Iweekang secara aneh, dia tak dapat menahan keheranannya dan muncul sambil mengucapkan kata-kata tadi.
Kenapa ia terlambat muncul? Tadi ketika berhasil memasuki gedung, diam-diam Yo Wan menculik seorang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya. la lalu melompati tembok dan membawa lari penjaga itu ke luar kota, lalu memaksanya bercerita tentang gadis itu.
Si penjaga ketakutan setengah mati karena ia tidak dapat melihat siapa penculiknya dan baru dilepaskan ketika berada di tempat yang gelap dan sunyi di luar kota, di bawah pohon yang besar. Dia hanya merasa tubuhnya tidak mampu berkutik dan seakan-akan dibawa terbang. Saking takutnya mengira bahwa ia diculik iblis, tubuhnya menggigil dan ia tak berani membantah.
Dengan suara gemetar ia menceritakan betapa Bun-goanswe menahan gadis itu karena urusan ini akan diselidiki ke Pau-ling pada esok hari oleh Goanswe sendiri, dan besok baru akan diberi keputusannya. Juga ia menceritakan betapa gadis itu tidak membantah, malah menyerahkan pedangnya.
Demikianlah, dengan penuh keheranan Yo Wan cepat kembali ke dalam gedung setelah menotok penjaga itu dan meninggalkannya di tempat sunyi. la tahu bahwa penjaga itu tak mungkin akan dapat melepaskan diri sebelum besok pagi.
Dia tidak langsung mencari tempat gadis itu ditahan akan tetapi mencuri masuk secara diam-diam ke dalam kamar Bun-goanswe dan dengan kepandaiannya yang luar biasa ia berhasil mencuri pedang Siu Bi yang disimpan di dalam kamar itu! Setelah menyimpan pedang di balik jubahnya, barulah dia mencari tempat tahanan di belakang dan tepat kedatangannya pada saat Hui Siang menyerang Siu Bi.
Siu Bi kini berdiri dekat jeruji. Mereka saling pandang dan gadis itu berdebar jantungnya karena merasa seram melihat laki-laki itu berdiri seperti patung di luar kamar tahanan.
"Kau siapa? Apa maksud ucapanmu tadi?" Akhirnya ia menegur, sambil menatap wajah yang tampan dan agak pucat, tubuhnya yang kurus sehingga tulang pundaknya tampak menjendul di balik bajunya yang sederhana.
"Maksud ucapanku tadi sudah jelas, Nona. Selagi ada kesempatan untuk lari, mengapa membiarkan dirimu terkurung di sini?”
Siu Bi merasa heran. Apa kehendak orang ini dan siapa dia? Apa yang diucapkan orang ini memang menjadi suara hatinya. Memang ingin ia melarikan diri, tidak sudi ditahan seperti binatang buas. Akan tetapi bagaimana ia dapat melarikan diri kalau ia tidak kuat membongkar daun pintu dan jeruji baja? Bahkan pedangnya pun ditahan, bagaimana ia suka pergi tanpa mendapatkan pedangnya kembali?
Akan tetapi untuk menjawab kenyataan ini, tentu saja dia tidak sudi. Hal itu hanya akan merendahkan dirinya sendiri, mengakui kebodohan serta kelemahan dirinya. Maka ia pun menjawab dengan suara ketus,
"Kau peduli apa? Aku harus tunduk kepada hukum, aku bukan manusia liar yang tidak mengenal hukum."
Laki-laki muda itu tertawa, hanya sebentar saja. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik itu, selagi tertawa, laki-laki itu dalam pandang mata Siu Bi kelihatan tampan dan lenyap semua kekeruhan pada mukanya. Akan tetapi hanya sebentar saja, senyum dan tawa itu melenyap, kembali wajah itu tampak suram muram.
"Hukum, kau bilang? Nona, aku lebih banyak mengalami hal-hal yang berkaitan hukum. Semua pembesar bicara tentang hukum, bersembunyi di belakang hukum, dan tahukah kau apa arti hukum sebenarnya? Hukum hanya menjadi alat penyelamat mereka belaka, bahkan alat menindas mereka yang lebih lemah! Hukum dapat mereka putar balik, dapat ditekuk-tekuk ke arah yang menguntungkan dan memenangkan mereka. Kau nanti akan kecewa kalau kau mempercayakan keselamatanmu kepada hukum, Nona. Karena itu, pokok yang terpenting, kau tak bersalah dalam suatu persoalan. Perbuatanmu membela para petani miskin yang tertindas itu adalah perbuatan orang gagah, sama sekali tidak seharusnya dihukum atau ditahan."
Di dalam hatinya, Siu Bi setuju seribu persen. Tetapi bagaimana dia dapat menyatakan setuju kemudian menyatakan pula bahwa dia tidak mampu keluar?
"Eh, kau ini siapakah, berlagak pandai dan membelaku? Hemmm, lagaknya saja hendak menolong. Apa sih yang dapat kau lakukan untuk menolongku? Lagi pula, aku pun tidak membutuhkan pertolonganmu, dan andai kata kau mau menolong, mengapa pula kau yang sama sekali tidak kukenal ini hendak menolongku? Apakah bukan maksudmu untuk mencari muka belaka?"
Yo Wan tersenyum kecut. la kagum menyaksikan sepak terjang gadis ini, juga senang menyaksikan ketabahan dan kelincahannya, akan tetapi watak gadis ini sangat sombong. Yo Wan sudah mencapai tingkat tinggi, baik dalam ilmu silat mau pun ilmu batin, berkat gemblengan selama sepuluh tahun di puncak Pegunungan Himalaya. Karena itu ia tidak menjadi marah oleh sikap kasar dan ketus dari gadis itu.
Dengan tenang dia kemudian mengeluarkan pedang Cui-beng-kiam dari balik jubahnya, menaruh pedang itu di atas lantai, lalu dia menggunakan kedua tangannya memegang jeruji baja, mengerahkan sedikit sinkang dan... jeruji-jeruji itu pun melengkung, membuka lubang yang cukup lebar untuk dilalui tubuh orang!
"Aku datang sekedar memenuhi kewajiban membantu yang benar, tidak perlu berbicara tentang pertolongan. Tentang kau mau ke luar atau tidak, adalah menjadi hakmu untuk menentukan, Nona. Pedangmu ini tadi kuambil dari kamar Bun-goanswe. Tidak baik bila seorang gagah berjauhan dari senjatanya. Selamat tinggal."
Siu Bi bengong terlongong. Dia berdiri seperti patung memandang bayangan laki-laki itu yang berjalan perlahan, pergi meninggalkannya dan menghilang di dalam gelap. Setelah bayangan orang itu tidak tampak, baru ia sadar. Kerangkeng terbuka, pedangnya di situ, mau tunggu apa lagi?
Cepat ia menyelinap ke luar di antara dua jeruji yang sudah melengkung, disambarnya pedang Cui-beng-kiam dan di lain saat ia sudah melompat ke atas genteng, memandang ke sana ke mari. Namun sunyi di atas gedung itu, tidak tampak bayangan laki-laki tadi.
Hatinya merasa bimbang. Apakah ia akan pergi melarikan diri sekarang juga ke luar kota. Memang sesungguhnya lebih baik dan lebih aman begitu. Akan tetapi, setelah Jenderal Bun itu melakukan hal yang tidak patut terhadapnya, mengurungnya dalam kerangkeng seperti binatang, lalu nyonya jenderal itu tanpa sebab menyerangnya dengan jarum dan pukulan, masa ia harus pergi begitu saja seperti orang lari ketakutan?
Tidak, tidak ada penghinaan yang tidak dibalas. Sebelum pergi meninggalkan tempat itu dia harus menunjukkan kelihaiannya dan memberi sedikit hajaran kepada Jenderal Bun dan isterinya yang galak. Tentu saja Bun Hui tidak termasuk dalam daftarnya untuk diberi hukuman, karena pemuda itu bersikap baik sekali kepadanya.
Pikiran ini mendorong Siu Bi membatalkan niatnya untuk melarikan diri. Tubuhnya lantas bergerak-gerak bagaikan seekor kucing ringannya, meloncati genteng di atas gedung itu menuju ke bangunan besar, kemudian ia mengintai dan mencari di mana adanya kamar Jenderal Bun dan isterinya, mendekam serta mendengarkan. Mendadak dia mendengar suara Jenderal Bun dan isterinya.
"Masa tengah malam begini hendak pergi? Urusan bagaimana pentingnya pun, kan bisa diurus besok pagi?" terdengar suara nyonya Jenderal Bun, suara yang merdu dan halus.
"Harus sekarang juga kuselesaikan. Selain menyelidiki ke Pau-ling, aku juga harus cepat menyuruh seorang pengawal yang tangkas untuk mengabarkan kepada Kwa Kun Hong di Liong-thouw-san tentang ancaman gadis liar itu." Suara yang berat dari Jenderal Bun ini mendebarkan hati Siu Bi yang mendengarkan terus.
"Ahh, tentang urusan itu, apa sangkut-pautnya dengan kita? Kalau dia memiliki dendam pribadi dengan Kun Hong, biarkan dia menyelesaikannya sendiri. Urusan pribadi orang lain, bagaimana kita dapat ikut campur?" Isterinya mencela.
"Orang lain? Kurasa Kwa Kun Hong dengan keluarganya tidaklah dapat dikatakan orang lain!" Bun-goanswe berseru keras, suaranya mengandung penasaran besar. "Bukankah isterinya adalah cici-mu (kakakmu)?"
"Enci Hui Kauw hanyalah saudara pungut."
Hening sejenak, lalu terdengar suara jenderal itu penuh penyesalan.
"Hui Siang, isteriku, harap kau jangan merusak perasaan hatiku dengan sikapmu seperti ini terhadap mereka. Aku tahu bahwa kau masih menaruh dendam akan urusan lama, bukankah itu merupakan sifat kanak-kanak? Kita bukan kanak-kanak lagi. Perbuatanmu tadi mendatangi kamar tahanan dan menyerang gadis itu, juga merupakan sisa dari sifat di waktu mudamu. Ahh, Hui Siang, aku dapat menduga isi hatimu, setelah kau menguji gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa dia cukup lihai, kau ingin sekali melihat dia itu mengacau Liong-thouw-san. Begitukah?"
Nyonya itu berseru kaget. "Kau... kau mengintai...?" Kemudian disusul suaranya bernada menantang, "Benar, aku... aku memang masih benci terhadap Kun Hong dan enci Hui Kauw!" Disusul isak tangis tertahan dan tarikan nafas panjang jenderal itu,
"Hui Siang, mengapa kau masih juga belum dapat memadamkan api dendam terhadap mereka? Lupakah kau bahwa Kun Hong adalah penolong kita? Dia seorang pendekar besar yang telah terkenal kegagahan dan budi pekertinya. Dia merupakan penolong kita!"
Isak tangis itu semakin keras. "Aku... aku pun tidak bisa lupa... bahwa kau... kau sudah membutakan mata kananmu karena dia...!”
Bun-goanswe tertawa. "Ha-ha-ha-ha, itukah yang membuat dendammu tak dapat hilang? Tidak usah dipusingkan, isteriku. Kebutaan sebelah mataku ini dapat membuka kebutaan mata hatiku, bukankah itu baik sekali?"
"Lalu, apa yang hendak kau lakukan terhadap gadis itu?"
"Aku akan membujuknya agar supaya ia membatalkan niatnya mengacau tempat tinggal Kun Hong. Kalau dia bersikeras, apa boleh buat, aku akan memasukkannya ke dalam tahanan sampai dia bertobat."
"Jenderal busuk, kau benar-benar ingin menggunakan hukum untuk mencari kebenaran dan kemenangan sendiri. Aku, Cui-beng Kwan Im, mana sudi kau perlakukan demikian?" Sesosok bayangan melayang turun dari jendela dan sinar pedang hitam lalu menerjang Bun-goanswe.
Jenderal ini kaget sekali, cepat dia menghunus pedangnya dan menangkis. Ada pun Hui Siang, isteri jenderal itu, terkejut dan khawatir, untuk sejenak hanya dapat memandang dengan kaget. Akan tetapi, beberapa menit kemudian nyonya ini sudah mendapatkan pedangnya lalu menyerbu dan mengeroyok Siu Bi.
Dara ini tidak menjadi gentar, malah berseru keras. Segera pedangnya berubah menjadi gulungan sinar kehitaman, diselingi oleh pukulan-pukulannya yang mengandung tenaga Hek-in-kang! Memang hebat gadis ini. Ilmunya tinggi nyalinya pun sebesar nyali harimau, akan tetapi dia terlalu memandang rendah orang lain. Terjangannya yang dahsyat dan ganas itu memang membuat suami isteri itu kaget dan terdesak mundur.
Akan tetapi, jenderal itu adalah Bun Wan, putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya juga hebat. Dan isterinya adalah puteri dari Ching-toanio yang juga memiliki ilmu silat segolongan dengan Siu Bi, yaitu golongan hitam. Biar pun tingkat ilmu silat kedua orang suami isteri ini tidak sedahsyat ilmu silat Siu Bi warisan dari kakek sakti Hek Lojin, tapi gadis itu kalah ulet dan kalah pengalaman sehingga semua terjangannya meski pun mendesak dan mengejutkan, namun belum mampu merobohkan mereka.
Pada saat itu, Bun Hui datang berlari-lari dengan muka pucat. Cepat pemuda yang juga lihai ini memutar pedangnya menahan pedang Cui-beng-kiam, lalu dia berkata, suaranya menggetarkan penuh perasaan, "Nona...! Mengapa kau tidak memegang janjimu, malah melarikan diri dan menyerbu ke sini? Ah... Nona, kenapa kau menyerang ayah bundaku? Mengapa kau lakukan hal ini... Kau, yang kupandang gagah perkasa..."
Getaran suara yang terkandung di dalam ucapan Bun Hui ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya. Jelas terdengar dan terasa, baik oleh Siu Bi mau pun oleh ayah bunda pemuda itu, bahwa Bun Hui menaruh hati cinta kepada gadis ini!
"Hui-ji, mundur kau!" bentak Jenderal Bun.
"Hui-ji, kenapa kau merengek-rengek kepada bocah ini?" seru pula ibunya penuh teguran dan suami isteri itu sudah menerjang Siu Bi dengan hebat.
Terpaksa Siu Bi mundur tiga langkah karena terjangan kedua orang itu dalam serangan balasan bukanlah main-main. Namun dengan Hek-in-kang, dia berhasil mengusir mundur lagi kedua orang pengeroyoknya. Ternyata Hek-in-kang ampuh luar biasa, hawanya saja cukup membuat kedua orang suami isteri tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi itu tergetar mundur dan tidak berani terlalu mendekat.
Mendengar suara ribut-ribut ini, beberapa orang pengawal menerjang masuk dan melihat betapa Jenderal Bun bersama isterinya bertempur melawan gadis tahanan yang entah bagaimana kini telah berada di situ, mereka cepat mencabut senjata masing-masing dan bersiap.
Sementara itu, dengan hati hancur saking menyesal dan kecewa, Bun Hui menggunakan pedangnya membantu ayah bundanya sambil berkata lirih, "Betapa pun berat bagiku, aku harus memihak ayah bundaku, Nona."
"Cih, cerewet amat. Mau keroyok, keroyoklah. Hayo semua orang di sini boleh masuk mengeroyokku. Aku Cui-beng Kwan Ini tidak gentar seujung rambut pun!"
Bukan main marahnya Bun-goanswe. "Hayo tangkap dia! Jangan bunuh, tangkap kataku. Mana akal kalian? Masa tidak mampu menangkap hidup-hidup seorang bocah nakal?"
Belasan orang pengawal yang cukup tinggi kepandaiannya datang, mereka membawa tali-tali yang besar dan kuat. Dengan senjata ini mereka mengurung Siu Bi dari segala penjuru, kemudian mereka mengayunkan tambang itu ke arah kaki untuk merobohkan Siu Bi.
Gadis ini kaget sekali karena suami isteri yang kosen itu, dibantu puteranya yang tak boleh dipandang ringan, membuat ia cukup repot menjaga diri. Sekarang ada tambang-tambang yang menyambar dari segala jurusan, melibat dan menjegal kedua kakinya.
Dia terpaksa berloncatan untuk menyelamatkan diri, menendang sana sini sambil tetap melayani tiga orang lawannya. Akan tetapi, mana dapat gadis yang kurang pengalaman bertempur ini memecah perhatiannya menghadapi serangan yang sekian banyaknya.
Tiga batang pedang dengan dahsyat mengurungnya dan mengancamnya dari atas, ini saja sudah membutuhkan pemusatan perhatian sebab tiga batang pedang itu digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Belasan jurus dia masih sanggup bertahan, akan tetapi karena kebingungannya, akhirnya kakinya terlibat tambang dan tanpa dapat ia pertahankan lagi, kakinya kena dijegal sehingga ia terguling dengan pedang masih di tangan.
Ketika itu, selagi Bun-goanswe dan para pengawalnya siap menubruk dan menangkap Siu Bi, mendadak mereka kelabakan karena lampu penerangan tiba-tiba menjadi padam. Perubahan seketika antara keadaan terang benderang menjadi gelap ini benar-benar membingungkan mereka.
"Pasang lampu...! Lekas pasang lampu...!" bentak Bun-goanswe.
Tak ada seorang pun berani menubruk ke depan untuk meringkus Siu Bi. Mereka cukup maklum akan kelihaian nona itu yang masih memegang pedang. Di dalam keadaan gelap itu, mana ada yang berani mempertaruhkan nyawa?
Setelah suasana gelap yang hiruk-pikuk ini diakhiri dengan penerangan lampu, keributan lain timbul ketika mereka melihat bahwa gadis yang tadinya terguling miring itu sudah tiada di tempatnya lagi. Gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, tidak meninggalkan bekas.
Bun-goanswe cepat memerintah para pengawalnya melakukan pengejaran. Dia sendiri menjatuhkan diri di atas kursi, penasaran, malu dan marah. Hui Siang dan Bun Hui saling pandang.
"Wah, dia dapat melarikan diri!" Kata Hui Siang, diam-diam girang karena sesungguhnya ia ingin sekali mendengar gadis itu menyerbu rumah tangga Kun Hong, apa lagi setelah sekarang ia yakin benar akan kelihaian gadis itu.
"Siapa bilang lari?" Jawab jenderal itu marah. "Terang ada orang sakti yang menolong dan membawanya lari. Siapa yang memadamkan lampu serentak seperti itu tadi? Tentu bukan gadis itu. Dan cara ia meloloskan diri, sama sekali tidak terdengar olehku."
"Mudah-mudahan ia tidak membikin ribut lagi...," Bun Hui menggumam seorang diri.
"He, kau Hui-ji. Sikapmu tadi sungguh memalukan! Apa maksudmu? Apakah kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu?"
Bentakan ayahnya ini membuat Bun Hui merah mukanya. Ia tergagap mencari jawaban, "Aku... aku... tidak begitu, Ayah. Aku hanya... kagum akan sepak terjangnya dan aku... aku kasihan…”
"Hemmm, menilai seseorang, apa lagi wanita, jangan sekali-kali dari kecantikan wajah atau kepandaiannya. Akan tetapi wataknya! Gadis itu wataknya keranjingan, seperti iblis betina. Hui-ji, besok pagi-pagi kau berangkatlah ke Liong-thouw-san menemui pamanmu Kwa Kun Hong kemudian berikan sepucuk suratku. Urusan ini terlampau penting untuk kuserahkan kepada seorang pengawal, maka harus kau sendiri yang membawanya ke Liong-thouw-san."
"Baik, Ayah."
Diam-diam pemuda ini menjadi girang juga, karena memang sudah amat lama ia ingin bertemu dengan orang yang selalu disebut-sebut ayahnya dengan penuh penghormatan, yaitu Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta…..
********************
Siu Bi mencoba tenaganya untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi sia-sia saja. Orang itu memanggulnya dengan menekan tengkuk serta punggungnya, di mana pusat tenaganya ditekan sehingga kekuatannya menjadi hilang. Dia merasa dibawa lari cepat sekali, sementara angin dingin membuat dia mengantuk sekali. Akhirnya, saking lelahnya bertempur tadi dan semalam tidak tidur sedikit pun juga, ia tertidur di atas pundak orang yang memanggulnya itu.
Ketika Siu Bi sadar dari tidurnya, sedetik ia tertegun, hendak mengulet (menggeliat) tidak dapat. Tubuhnya serasa kesemutan, sedangkan pipi kanannya yang berada di sebelah atas terasa panas. Kiranya matahari sudah menyorot agak tinggi juga.
Segera ia teringat. la masih berada di atas pundak orang, masih dipanggul! Sejak lewat tengah malam sampai sekarang, lewat pagi! Dan dia tertidur di dalam pondongan orang! Dan selama itu ia masih belum tahu siapa orang yang menculiknya ini, yang membawa lari tubuhnya dari dalam gedung Jenderal Bun selagi dia roboh dalam keroyokan para pengawal.
"Hemmm, perawan macam apa ini? Dipondong orang sejak malam, tapi enak-enak tidur mendengkur. Malas dan manja, ihhh, benar-benar celaka..." Orang yang memanggulnya itu terdengar bersungut-sungut.
Kemarahan memenuhi kepala Siu Bi. "Siapa mendengkur? Aku tak pernah mendengkur kalau tidur. Hayo lepaskan kau laki-laki kurang ajar!"
"He? Kau sudah bangun? Nah, turunlah!" Dengan gerakan tiba-tiba orang itu melepaskan pondongan sambil mendorong sedikit sehingga tubuh Siu Bi terlempar dan jatuh berdiri di depannya dalam jarak dua meter.
Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, dan marahnya ketika melihat bahwa orang yang memanggulnya tadi adalah laki-laki muda sederhana berpakaian putih yang tadi malam mengunjunginya di dalam kerangkengnya!
"Heeeiiiii! Kenapa kau memondongku? Aku bukan anak kecil!" Siu Bi membanting kaki dengan gemas.
Yo Wan, orang itu, tersenyum kecil. Cahaya matahari pagi serasa lebih gemilang bila menghadapi seorang dara lincah nakal ini.
"Kau masih kanak-kanak," katanya tenang.
"Siapa bilang? Aku bukan anak kecil, aku bukan kanak-kanak lagi!" Siu Bi bersitegang.
Disebut kanak-kanak baginya sama dengan penghinaan. Masa dia yang sudah memiliki julukan Cui-beng Kwan Im sekarang di-‘cap’ kanak-kanak?
"Aku Cui-beng Kwan Im, aku seorang dewasa. Jangan kau main-main!"
"Bagiku kau masih kanak-kanak," kata pula Yo Wan, memalingkan muka seperti seorang yang tidak acuh.
Padahal pemuda ini memalingkan muka karena merasa ‘silau’ akan kecantikan wajah Siu Bi. Kebetulan sekali cahaya matahari yang menerobos melalui celah-celah daun pohon menyoroti muka dan rambut itu, sehingga wajah gadis itu gilang gemilang dan rambutnya membayangkan warna indah, benar-benar laksana Dewi Kwan Im turun melalui sinar matahari pagi. Yo Wan memalingkan muka agar jangan melihat keindahan di depannya ini, yang membuat isi dadanya tergetar.
"Wah, kau ini kakek-kakek, ya? Aksinya!" Siu Bi membentak gemas.
"Aku jauh lebih tua dari padamu." Suara Yo Wan perlahan, seperti berkata kepada diri sendiri.
Memang ini suara hatinya yang membantah gelora di dalam dada, untuk memadamkan api aneh yang mulai menyala dengan peringatan bahwa dia jauh lebih tua dari pada gadis remaja yang berdiri di depannya dengan sikap menantang itu.
"Hanya beberapa tahun lebih tua. Hemmm, lagakmu seperti kakek-kakek berusia lima puluh tahun saja. Kurasa kau belum ada tiga puluh."
"Dua puluh enam tahun umurku, dan kau ini paling banyak lima belas..."
"Siapa bilang? Ngawur! Sudah tujuh belas lebih, hampir delapan belas aku."
"Ya itulah, masih kanak-kanak kataku."
"Setan kau. Delapan belas tahun kau anggap kanak-kanak? Kau baru umur dua puluh enam tahun sudah berlagak tua bangka. Biarlah kusebut kau lopek (paman tua) kalau begitu. Heh, Lopek yang sudah pikun, kenapa kau tadi memondongku? Siapa yang beri ijin kepadamu?"
Yo Wan panas perutnya. Masa dia disebut lopek? Ngenyek (ngece) benar bocah ini. Dia mengebut-ngebutkan ujung lengan baju di lehernya, seakan-akan kepanasan. Memang ada rasa panas, tapi bukan di kulit melainkan di hati. Lalu dia memilih akar yang bersih, akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah. Didudukinya akar itu tanpa menjawab pertanyaan Siu Bi.
"Hee, Lopek Apakah kau sudah terlalu tua sehingga telingamu sudah setengah tuli?" bentak Siu Bi dengan suara nyaring.
"Kau anak kecil jangan kurang ajar terhadap orang tua. Duduklah, anakku, duduk yang baik dan kakekmu akan mendongeng, kalau kau mendengarkan baik-baik, nanti kuberi mainan."
Siu Bi meloncat-loncat marah. "Nak-nak-nak? Aku bukan anakmu, juga bukan cucumu. Jangan sebut nak, aku bukan anak kecil!" la menjerit-jerit, kedua pipinya merah padam, kemarahannya melewati takaran.
Yo Wan bersungut-sungut, "Kalau kau bukan anak kecil, aku pun bukan kakek-kakek yang sudah tua renta, kenapa kau sebut aku lopek?"
"Kau yang mulai dulu!"
"Siapa mulai? Kau yang mulai," jawab Yo Wan mulai mendongkol hatinya.
"Kau yang mulai."
"Kau."
"Kau! Kau! Kau! Nah, aku bilang seribu kali, kau yang mulai, mau apa?" kata Siu Bi menantang.
Yo Wan mengeluh, kemudian menarik nafas panjang, menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar dara lincah nakal ini sudah menyeretnya kembali ke alam kanak-kanak dan berhasil mengaduk isi dada dan isi perutnya menjadi panas. Sepuluh tahun ia bertapa di Himalaya menguasai tujuh macam perasaan, sekarang perasaannya diawut-awut oleh gadis remaja ini.
"Dibebaskan dari bahaya, dipondong sampai setengah malam suntuk, tahu-tahu upahnya hanya diajak bertengkar. Di dunia ini mana ada aturan bo-cengli tidak benar macam ini?" Ia mengomel panjang pendek.
"Siapa suruh kau mondong aku? Siapa? Aku tidak sudi kau pondong, tahu?"
"Tidak sudi masa bodoh, pokoknya aku gudah memondongmu sampai setengah malam, tangan dan pundakku sampai pegal rasanya.”
Siu Bi semakin marah, kedua tangannya dikepal. "Aku tidak sudi, tidak sudi, tidak sudi! Hayo jawab, kenapa kau memondongku? Kalau kau tidak jawab, jangan menyesal kalau aku marah dan menghajarmu. Aku Cui-beng Kwan Im, ingat?"
"Kenapa aku memondongmu? Habis kalau tidak dipondong, apa minta digendong? Atau harus kuseret? Kau dikepung, berada dalam bahaya maut, tetapi masih membuka mulut besar. Tak tahu diri benar!"
"Biar aku dikepung, biar dicengkeram maut, apa pedulimu? Aku tak sudi pertolonganmu, mengapa kau menolong aku?"
"Aku pun tidak bermaksud menolongmu. Aku hanya tidak senang melihat seorang gadis dikeroyok oleh para pengawal jenderal itu, oleh karena itu aku berusaha menggagalkan pengeroyokan mereka dan membawamu pergi."
Siu Bi seakan-akan tidak mendengarkan omongan Yo Wan, ia termenung lalu berkata penuh penyesalan, "Celaka betul, karena kau membawaku pergi, pedangku hilang! Ahh, Cui-beng-kiam itu tentu ketinggalan di tempat pertempuran dan..."
Siu Bi menghentikan kata-katanya karena melihat sinar kehitaman pada saat pedang itu dicabut oleh Yo Wan dari balik jubahnya. Tanpa berkata sesuatu Yo Wan memberikan pedang kepada Siu Bi yang cepat menyambarnya.
"Kebetulan aku juga melihat pedang ini terlepas dari tanganmu, aku tidak ingin pengawal-pengawal itu merampasnya, maka kubawa sekalian. Nah, kiranya sudah cukup obrolan kita yang amat menyenangkan hati ini. Aku tak pernah tolong kau dan kau tak pernah ada urusan denganku. Kita sama-sama bebas, tak ada urusan apa-apa. Selamat tinggal." Yo Wan berdiri, lalu berjalan perlahan meninggalkan Siu Bi.
Seperti malam tadi, Siu Bi memandang dengan mata tak berkedip. Ketika bayangan Yo Wan hampir lenyap pada sebuah tikungan, ia baru teringat sesuatu dan cepat melompat mengejar sambil berseru,
"Heee, berhenti dulu!!"
Yo Wan berhenti dan perlahan membalikkan tubuhnya. Dilihatnya gadis itu berloncatan sambil membawa pedang. Hemmm, jangan-jangan gadis itu akan menyerangnya, siapa dapat menduga isi hati gadis liar dan buas seperti itu?
"Ada apa lagi? Hendak menghajarku?" tanyanya.
Siu Bi menggelengkan kepala, akan tetapi mulutnya masih cemberut. "Tergantung dari jawabanmu," katanya, lalu disambungnya cepat-cepat, "Aku tidak pernah mendengkur kalau tidur. Kau tadi bilang aku mendengkur, kau bohong! Aku tidak pernah mendengkur, memalukan sekali!"
Hampir Yo Wan ketawa terbahak-bahak. Benar-benar gadis yang liar dan aneh. Masa menyusulnya hanya akan bicara tentang itu?
"Tidak mendengkur, hanya... ngo…rok..."
"Bohong! Kau berani sumpah? Aku tak pernah ngorok, mendengkur pun tidak."
"Ngorok pun mana kau bisa tahu? Kan kau sedang tidur? Yang tahu hanya orang lain tentu."
"Tidak, tidak! Aku tidak ngorok, hayo katakan, aku tidak pernah ngorok!"
Siu Bi hampir menangis ketika membanting-banting kaki di depan Yo Wan. la marah dan malu sekali, kedua matanya sudah merah, air matanya sudah hampir runtuh. la bukan seorang gadis cengeng, malah jauh dari itu, menangis sebetulnya merupakan pantangan baginya. Hatinya amat keras, nyalinya besar, tak pernah ia mengenal takut. Akan tetapi dikatakan ngorok dalam tidur, sungguh-sungguh merupakan hal yang menyakitkan hati, memalukan dan menjengkelkan.
Kasihan juga hati Yo Wan melihat keadaan gadis ini. "Ya sudahlah, tidak mengorok ya sudah. Agaknya karena terlampau lelah bertanding dan terlalu enak kau pulas, nafasmu menjadi berat seperti orang mengorok. Tidurmu memang enak sekali sampai aku tidak tega untuk membangunkan dan terpaksa memondongmu terus sampai kau bangun."
Memang watak Siu Bi aneh. Mana bisa tidak aneh watak gadis ini yang semenjak kecil hidup dekat Hek Lojin, manusia aneh yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw? Kini dia memandang kepada Yo Wan dengan sinar mata berseri, melalui selapis air mata yang tidak jadi tumpah.
"Kau baik sekali..."
Yo Wan tertegun. Alangkah bedanya dengan tadi. Kini dia benar-benar melihat seorang Dewi Kwan Im di depannya, seorang dewi yang cantik jelita, yang bersuara lembut dan yang matanya bersinar mesra.
"Ahhh... sama sekali tidak baik, biasa saja," katanya. "Aku melihat kau menolong para petani miskin, tentu saja aku tidak suka melihat kau celaka di tangan para pengawal."
Hening sejenak, agaknya Yo Wan sudah lupa bahwa baru saja ia mengucapkan selamat tinggal. Juga Siu Bi bagaikan orang termenung, tidak memandang Yo Wan, melainkan memandang ke tempat jauh di sebelah kiri. Mendadak dia menengok, agak berdongak untuk mencari mata Yo Wan dengan pandangannya,
"Kau... lapar...?"
Yo Wan melongo beberapa detik.
"Lapar? Tentu saja..." jawabnya otomatis, karena memang perutnya terasa perih minta diisi.
Wajah Siu Bi berseri gembira. "Kau tunggu di sini sebentar, kutangkap kelinci gemuk di sana itu!" Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan pada lain saat dia telah menguber-uber seekor kelinci putih yang gemuk.
Yo Wan kembali tertegun, kemudian dia tersenyum geli dan menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. Lalu dia mengumpulkan daun dan ranting kering serta duduk di atas sebuah batu, menunggu dengan sabar.
Siu Bi datang sambil berloncatan dan menari-nari kegirangan. Seekor kelinci yang gemuk sekali meronta-ronta di bawah pegangannya. Siu Bi memegang kedua telinga itu.
"Lihat, wah gemuk sekali! Masih muda lagi!" teriaknya sambil tertawa-tawa.
Wajah Yo Wan berseri dan untuk sejenak lenyaplah kemuraman wajahnya.
”Hemmm, tentu lezat sekali dagingnya. Biar kubuatkan api."
la lalu membuat api sambil matanya melirik ke arah gadis itu yang dengan cekatan sekali menyembelih kelinci dengan pedangnya, lalu mengulitinya dengan cepat. Sambil bekerja, Siu Bi bersenandung dan Yo Wan beberapa kali melirik ke arah gadis ini. Seorang gadis yang benar-benar aneh, pikirnya. Watak yang luar biasa dan sukar diselami.
"Lihat nih, gajihnya sampai tebal? Hemmm... Makin lapar perutku," kata Siu Bi sambil mengangkat daging kelinci tinggi-tinggi.
"Lekas panggang, tak kuat lagi aku." Yo Wan berkata sambil beberapa kali menelan air ludah sendiri.
Bagaikan seorang anak kecil, sambil tertawa-tawa gembira Siu Bi lalu menusuk daging kelinci dengan bambu dan memanggangnya. Bau yang sedap gurih segera memenuhi udara, menambah rasa lapar di perut. Selama mengerjakan itu, Siu Bi tidak bicara, hanya beberapa kali melirik ke arah Yo Wan, tetapi kalau pemuda itu membalas pandangnya, ia mengalihkan kerling sambil tersenyum.
Biar pun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun di dalam hatinya Siu Bi tiada hentinya berkata-kata. Pikirannya diputar terus. Pemuda ini baik, pikirnya. Tidak kurang ajar, biar pun kelihatan agak tolol. Terang bahwa dia itu lihai sekali, sudah berkali-kali dibuktikan biar pun tidak berterang.
Dapat memasuki rumah gedung Jenderal Bun tanpa diketahui, seperti setan saja, dapat membebaskannya dari kerangkeng, kemudian ia harus mengakui bahwa ketika ia roboh terjegal kakinya oleh tambang-tambang itu, keadaannya memang amat berbahaya.
Pemuda itu tiba-tiba saja muncul dalam gelap, dapat membawanya pergi tanpa diketahui semua pengeroyok, malah tidak lupa membawa pula pedangnya. Kalau tidak lihai sekali mana mungkin dia melakukan semua itu?
Kembali dia melirik Yo Wan duduk termenung, tapi lubang hidungnya kembang-kempis, jakunnya naik turun, jelas bahwa dalam termenung, pemuda itu tergoda hebat oleh asap panggang kelinci yang sedap dan gurih. Melihat ini, Siu Bi tertawa mengikik sehingga dia terpaksa menutupi mulutnya dengan tangan kiri.
Ibunya yang selalu marah kalau melihat ia ketawa tanpa menutupi mulutnya dan terlalu sering Siu Bi melupakan hal ini. Baiknya sekarang ia tidak lupa, mungkin karena sadar bahwa ada orang lain di dekatnya, laki-laki pula.
"Hemmm, mengapa kau tertawa?" Yo Wan bertanya, kaget dan sadar dari lamunannya.
"Tidak apa-apa, tidak bolehkah orang tertawa?" Siu Bi menjawab sambil melirik nakal, tangannya memutar-mutar daging kelinci di atas api.
Jawaban ini merupakan tangkisan yang membuat Yo Wan gelagapan. "A... a... aku tidak melarang... tentu saja, siapa pun boleh tertawa. Kau mentertawai aku?"
Siu Bi hanya tersenyum saja, tidak menjawab, melirik pun tidak. Daging itu sudah hampir matang. Yo Wan juga tidak mendesak, tapi cukup mendongkol hatinya. Gadis remaja ini benar-benar pandai mengobrak-abrik hati orang dengan sikapnya yang aneh, sebentar marah, sebentar ramah, sebentar kemudian menggoda.
Pemuda ini terang pandai sekali, Siu Bi melanjutkan lamunannya. Apa bila aku berbaik kepadanya dan kemudian mendapat bantuannya, agaknya akan lebih besar hasilnya di Liong-thouw-san.
Menurut ucapan Bun Hui pemuda putera jenderal itu, Pendekar Buta adalah seorang sakti yang sangat tinggi kepandaiannya. Tentu saja ia tidak takut, akan tetapi bagaimana kalau dia gagal? Tentu akan mengecewakan sekali jika dia tidak berhasil membalaskan dendam kakek Hek Lojin. Akan tetapi kalau bisa mendapat bantuan pemuda ini, hemmm, kepandaian mereka berdua dapat disatukan untuk menghadapi dan mengalahkan Kwa Kun Hong si Pendekar Buta.
Akan tetapi apakah benar-benar pemuda ini lihai? Kembali dia melirik. Yo Wan tampak mengantuk, sepasang matanya hampir meram dan kepalanya terangguk-angguk ke kiri dan kanan, seakan-akan lehernya tidak kuat pula menyangga kepalanya.
Kasihan! Tentu dia sangat mengantuk, mengantuk dan lapar karena semalam tidak tidur sama sekali, memondongnya pergi sejauh ini. Kalau sedang mengantuk dan ‘tidur ayam’ begini sama sekali tidak patut menjadi seorang yang berkepandaian tinggi. Juga tidak nampak membawa senjata.
Makin dia perhatikan, semakin tidak memuaskan kesan di hati Siu Bi. Pemuda yang tidak muda lagi, sungguh pun belum tua. Rambutnya kering akibat tidak terpelihara baik-baik. Wajahnya biar pun tampan, akan tetapi tampak muram seperti orang yang sedih selalu. Pakaiannya yang serba putih itu tidak bersih lagi, juga ada beberapa bagian yang robek. Pemuda miskin!
Tiba-tiba Yo Wan yang benar-benar sangat mengantuk itu terangguk ke depan, menjadi kaget dan membuka matanya, memandang bingung.
"Hi-hi-hik...!" kembali Siu Bi terkekeh. Lucu sekali keadaan pemuda itu.
"Kenapa kau tertawa?"
"Siapa yang tidak tertawa melihat kau terkantuk-kantuk seperti ayam keloren (menderita penyakit kelor)? Hayo bangun, dagingnya sudah matang!" Siu Bi mengangkat panggang daging kelinci dan menaruhnya di atas daun-daun bersih yang sudah disediakan di situ, di depan Yo Wan.
"Wah, gurih baunya!" Yo Wan memuji. "Hayo, kau ambil dulu."
"Kau ambillah dulu."
"Kau yang tangkap dan masak kelinci, masa aku harus makan dulu?"
"Sudahlah, kau ambil dulu, mengapa sih? Aku tidak selapar engkau!"
Yo Wan tidak berlaku sungkan lagi. Dengan penuh gairah ia segera merobek daging itu, mengambil bagian yang ada tulangnya, lalu langsung menggerogotinya dengan lahap.
"Wah, hebat...! Lezat bukan main...!" katanya sambil mengunyah.
Memang kelinci itu gemuk sekali, gajihnya banyak sehingga begitu daging tergigit, gajih yang mencair oleh api itu menitik dari kanan kiri bibir Yo Wan.
"Sayang tidak ada arak...Heee! Kau ke mana, Nona?"
"Tunggu dulu sebentar, aku ambil air minum!" Cepat Siu Bi berlari meninggalkan Yo Wan.
Pemuda ini mengunyah lambat-lambat dan pikirannya makin penuh oleh keadaan Siu Bi. Gadis itu benar-benar hebat, wataknya aneh sekali. Sekarang sangat ramah dan baik kepadanya. Siapakah dia ini?
Siu Bi kembali membawa dua buah kulit labu yang penuh air jernih, dan selain air, juga ia membawa banyak buah-buah manis yang dipetiknya dari dalam hutan. Dengan hati-hati agar jangan tumpah, dia menaruh kulit labu yang dipakai menjadi tempat air itu di atas tanah, kemudian ia pun mulai makan daging kelinci.
Keduanya makan dengan lahap, tanpa bicara, hanya kadang-kadang pandangan mata mereka bertemu sebentar. Yo Wan duduk di atas batu, Siu Bi duduk bersila di atas tanah berumput. Api bekas pemanggang daging masih bernyala sedikit.
Tak sampai sepuluh menit habislah daging kelinci, tinggal tulang-tulangnya saja. Setelah minum air dan mencuci mulut dengan air, keduanya lalu makan buah. Barulah Yo Wan berkata,
"Nona, kau baik sekali padaku. Terima kasih, daging kelinci tadi amat gurih dan langsung mengenyangkan perut. Airnya jernih, segar sekali. Dan buah-buah ini pun manis. Kau memang baik”.
"Terima kasih segala, untuk apa? Tidak ada kau pun aku toh harus makan dan minum. Kau berkali-kali menolongku, aku pun tidak bilang terima kasih padamu."
Yo Wan tersenyum. Dekat dan bercakap dengan nona ini memaksanya untuk sering tersenyum. "Aku tidak menolongmu, tak perlu berterima kasih, Nona."
"Siapakah kau ini? Siapa namamu?"
Yo Wan menggerakkan alisnya yang tebal. Baru terasa olehnya betapa lucu dan janggal keadaan mereka berdua.....
"Ahh, kita sudah cekcok bersama, makan minum bersama, mengobrol bersama, tetapi masih belum saling mengenal. Namaku… orang menyebutku Jaka Lola, Nona."
"Jaka Lola? Ayah bundamu... sudah tiada?"
Yo Wan mengangguk sunyi. Kemudian balas bertanya, "Kau sendiri? Siapakah namamu kalau aku boleh bertanya?"
"Orang-orang di dusun itu, para petani itu menyebutku Cui-beng Kwan Im. Sedangkan namaku... ahh, kau juga tidak memperkenalkan namamu, masa aku harus menyebutkan namaku?"
Kembali Yo Wan tersenyum. "Namaku Yo Wan, hidupku sebatang kara, tiada sanak tiada kadang, tiada tempat tinggal tertentu, rumahku dunia ini, atapnya langit, lantainya bumi, dindingnya pohon, lampu-lampunya matahari, bulan dan bintang."
Siu Bi tertawa, lalu bangkit berdiri dan menirukan lagak serta suara Yo Wan ia berkata, "Namaku Siu Bi, hidupku sebatang kara, tiada sanak kadang, tidak punya tempat tinggal tertentu, rumahku di mana aku berada, atap, lantai dan dindingnya, apa pun jadi!" Dan ia tertawa lagi.
Yo Wan mau tidak mau ikut pula tertawa. Kalau gadis ini sedang berjenaka, sukar bagi orang untuk tidak ikut gembira. Suara ketawa dan senyum gadis ini seakan menambah gemilangnya sinar matahari pagi.
"Nona, namamu bagus sekali. Akan tetapi siapakah she-mu (nama keturunan)"
"Cukup Siu Bi saja, tidak ada tambahan di depan mau pun embel-embel di belakangnya. Nah, sekarang kita sudah tahu akan nama masing-masing. Kau bersiaplah dan keluarkan senjatamu!" kata Siu Bi sambil mencabut Cui-beng-kiam yang tadinya ia selipkan di ikat pinggangnya. Pedang itu berada di tangannya, digerakkan di depan dada dengan sikap hendak menyerang.
Yo Wan terkejut. "Eh… ehh… ehhh, apa pula ini?"
"Artinya, aku hendak menguji kepandaianmu. Gerak-gerikmu penuh rahasia, aku masih belum yakin benar apakah kau memang memiliki kelihaian seperti yang kusangka."
"Wah, aneh-aneh saja kau ini, nona Siu Bi. Aku orang biasa, tidak punya kepandaian apa-apa, jangan kau main-main dengan pedang itu, Nona."
"Tak usah kau pura-pura, kau mau atau tidak, tetap harus melayani aku beberapa jurus. Bersiaplah! Awas, pedang!"
Serta merta Siu Bi menerjang dan mengirim tusukan secepat kilat.
"Wah, gila...!" Yo Wan mengeluh di dalam hatinya.
la cepat membuang diri mengelak, maklum akan keampuhan pedang bersinar hitam itu. Akan tetapi Siu Bi sudah menyerangnya secara bertubi-tubi, malah gadis itu sudah mulai menggerakkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Hek-in-kang!
Yo Wan yang menangkis sambaran tangan kiri ini terpental. Ia merasa betapa lengannya yang menangkis terasa panas dan sakit. Dia terkejut sekali dan timbul rasa gemasnya. Gadis ini benar-benar liar pikirnya.
Akan tetapi pedang bersinar hitam itu sudah datang lagi mengirim tusukan bertubi-tubi diseling pula dengan pukulan yang membawa uap berwarna kehitaman. Hebat! Gadis ini ternyata mempunyai ilmu yang amat ganas dan dahsyat. Jika aku tidak memperlihatkan kepandaian, ia akan terus berkepala batu dan tinggi hati.
Cepat tangan kanan Yo Wan merogoh ke balik jubahnya dan di lain saat pedang kayu cendana sudah berada di tangannya, pedang buatannya sendiri di Himalaya. Ketika sinar hitam menyambar dia menangkis.
"Dukkk!"
Siu Bi melangkah mundur tiga tindak, tangannya linu dan pegal. Heran ia kenapa pedang lawannya itu ketika bertemu dengan pedangnya terasa seperti benda lunak, seperti kayu, tidak menimbulkan suara nyaring. Ketika ia memandang lebih jelas, betul saja bahwa pedang itu memanglah sebatang pedang kayu!
Mukanya seketika menjadi amat merah. Ia penasaran, masa pedangnya, Cui-beng-kiam yang ampuh itu hanya dilawan oleh Yo Wan dengan sebatang pedang kayu? la segera mengeluarkan seruan keras dan kembali maju menerjang, mengerahkan seluruh tenaga Hek-in-kang untuk membabat putus pedang kayu itu.
Akan tetapi ia salah duga. Pedang di tangan Yo Wan biar pun hanya terbuat dari kayu cendana yang mengeluarkan bau harum kalau diayun, namun yang mengerahkan adalah tangan yang terisi ilmu, tangan yang mengandung hawa sinkang dan mempunyai tenaga dalam yang sudah amat tinggi tingkatnya. Bukan saja pedang kayu itu tidak rusak, malah dia sendiri beberapa kali hampir melepaskan pedangnya karena tangannya terasa panas dan sakit apa bila kedua senjata itu bertemu.
Ia mulai kagum bukan main. Tidak salah dugaannya. Pemuda ini lihai bukan main. Akan tetapi di samping kekagumannya, dia pun penasaran dan marah sekali. Masa dia yang berjulukan Cui-beng Kwan Im, hanya dilawan dengan pedang kayu saja? Bukan pedang sungguh-sungguh, melainkan pedang-pedangan yang hanya patut dipakai mainan anak kecil. Rasa penasaran dan marah membuat Siu Bi bergerak semakin ganas dan dahsyat.
Yo Wan diam-diam mengeluh. Kepandaian gadis ini kalau sudah matang, benar-benar berbahaya sekali, apa lagi pukulan-pukulan tangan kiri yang melontarkan hawa beracun, benar-benar sukar dilawan bila mana tidak mempergunakan sinkang yang kuat. Dia pun mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu pedangnya dari Sin-eng-cu.
Namun, ilmu pedangnya itu hanya sanggup menandingi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dari Siu Bi dan perlahan-lahan gadis itu mendesak dengan pukulan-pukulan Hek-in-kang. Sekarang Siu Bi tidak hanya menguji ilmu atau main-main, melainkan menyerang dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kalau tidak dilayani dengan sepenuhnya, tentu akan lama pertandingan itu dan akan berubah menjadi pertandingan mati-matian.
"Benar-benar kau aneh sekali, Nona,” seru Yo Wan ketika dia terpaksa berjungkir balik untuk menghindarkan sebuah pukulan tangan kiri gadis itu.
Tangan kiri itu kini mengeluarkan uap hitam dan makin lama makin dahsyat pukulannya sehingga Yo Wan tidak berani menangkis, bukan takut kalau ia terluka, namun khawatir kalau-kalau tangkisannya yang terlalu kuat akan mencelakai nona itu. Sambil berjungkir balik ini, dia mencabut keluar cambuknya yang melingkar di pinggang. Kini tangan kirinya memegang cambuk dan…
"Tar-tar-tar!" cambuk itu menyambar-nyambar bagaikan petir di atas kepala Siu Bi.
“Ayaaa...!" Siu Bi kaget bukan main. Apa lagi ketika melihat betapa cambuk itu berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang membingungkan.
Seketika itu juga keadaan menjadi berubah Dia terdesak hebat, beberapa kali pedangnya hampir terlibat cambuk lawan. Akan tetapi, bukan watak Siu Bi untuk menjadi gentar. Dia malah makin bersemangat.
"Wah, benar-benar keras hati dia...,” pikir Yo Wan dan cepat ia mempergunakan langkah-langkah Si-Cap-it Sin-po.
Seketika Yo Wan lenyap dari depan Siu Bi dan dalam kebingungannya, gadis itu cepat berbalik ketika mendengar desir cambuk dari belakang. Baru satu kali tangkis, pemuda itu kembali lenyap lagi dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya, lalu lenyap, muncul di sebelah kiri, lenyap lagi, muncul di sebelah kanannya. Bingung ia dibuatnya sehingga kepalanya menjadi pening!
"Sudahlah, cukup, Nona. Kau lihai sekali...," berkali-kali Yo Wan berseru.
Namun mana Siu Bi mau sudah dan mengalah? la menggigit bibir dan menerjang seperti seekor harimau gila, nekat dan tidak takut mati.
"Awas pedangmu!" Yo Wan berseru dan lenyap.
Pada waktu Siu Bi membalik, terasa sesuatu membelit pundaknya. la merasa ngeri dan menggeliat seakan-akan ada ular yang melilit pundak. Ternyata cambuk lawannya yang sudah melilitnya, membuat ia sukar bergerak dan pada saat itu, ujung pedang kayu Yo Wan menotok pergelangan tangan kanannya. Pedangnya jatuh!
Dengan marah sekali Siu Bi berdiri di depan Yo Wan, lalu membanting-banting kaki dan memandang penuh kebencian.
“Maaf, Nona, aku... aku tidak sengaja. Kau telah mengalah..."
Akan tetapi Siu Bi membanting kaki lagi, terisak lalu membalikkan tubuh dan lari cepat, tidak peduli lagi akan pedangnya yang tergeletak di atas tanah.
"Heee, nona Siu Bi... tunggu... pedangmu...!" Yo Wan mengambil pedang itu dan cepat mengejar. Akan tetapi Siu Bi sudah berlari jauh dan menghilang di balik pohon-pohon di dalam hutan.
Yo Wan berhenti sebentar, menggeleng-geleng kepala dan menarik nafas panjang.
"Wah, benar-benar luar biasa anak itu. Wataknya seperti setan!" Akan tetapi diam-diam ia mengagumi kepandaian Siu Bi yang memang jarang dicari bandingnya. "Entah anak siapa dia itu, dan entah siapa pula yang mewariskan kepandaian dan watak segila itu."
Kemudian ia mengejar lagi, tidak bermaksud segera menyusul karena ia maklum bahwa agaknya membutuhkan beberapa lama untuk membiarkan hati gadis itu agak mendingin. Kalau sedang panas dan marah seperti itu, agaknya tidak akan mudah dibujuk dan tentu sukar bukan main diajak bicara secara baik-baik.
Seorang gadis luar biasa yang masih amat muda. Mengapa sudah merantau seorang diri di dunia ini? Benarkah dia pun sebatang kara? Kasihan! Wataknya keras, berbahaya sekali kalau tidak ada yang mengamat-amati. Sayang kalau seorang dara masih remaja seperti itu mengalami mala petaka atau menjadi rusak.
Hati Yo Wan mulai gelisah ketika sudah mengejar seperempat jam lebih, belum juga ia melihat bayangan Siu Bi.
"Nona Siu Bi! Tunggu...!" Yo Wan berseru sambil mengerahkan khikang hingga suaranya bergema di seluruh hutan. Namun tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. la mengejar lebih cepat lagi.
Tiba-tiba ia tersentak kaget dan berhenti melangkah. Di depan kakinya tergeletak sehelai sapu tangan sutera kuning. Bukankah ini sapu tangan yang dia lihat tadi mengikat rambut Siu Bi? Dipungutnya sapu tangan itu dan jari-jari tangannya menggigil. Sapu tangan itu berlepotan darah! Sepasang matanya menjadi beringas ketika ia menoleh ke kanan kiri, lalu dia meloncat ke atas pohon, memandang ke sana ke mari.
"Nona Siu Bi! Di mana kau...?!" la berseru memanggil. Tetap sunyi tiada jawaban.
"Celaka, apa artinya ini...?" Yo Wan meloncat turun lagi, memandangi sapu tangan di tangannya. "Jangan-jangan..." la tidak berani melanjutkan kata-kata hatinya, melainkan mengantongi kain sutera itu dan berkelebat cepat ke depan untuk melakukan pengejaran lebih cepat lagi.
Apakah yang terjadi dengan diri Siu Bi?
Gadis itu merasa amat marah, penasaran, malu dan kecewa sekali setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaiannya jauh kalah oleh Yo Wan. Memang Siu Bi berwatak aneh, mudah sekali berubah. Tadinya ia hendak menguji kepandaian Yo Wan dan kalau ternyata Yo Wan benar lihai, akan dijadikan sahabatnya menghadapi musuh besarnya. Akan tetapi sesudah ternyata dia kalah jauh, dia menjadi kecewa dan marah, lalu pergi sambil menangis! Malah dia tinggalkan begitu saja pedangnya yang terlepas dari tangan.
Siu Bi menggunakan ilmu lari cepat. la maklum bahwa Yo Wan tentu akan mengejarnya, maka ia lari sekuat tenaga. Kemudian, sampai di pinggir hutan ia melihat bahwa daerah itu banyak terdapat batu-batu besar yang merupakan dinding lereng gunung dan tampak bahwa tempat itu terdapat banyak goanya yang gelap dan terbuka seperti mulut raksasa. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu membelok ke daerah ini, memilih sebuah goa yang paling gelap dan besar, lalu menyelinap masuk.
Goa itu gelap sekali dan lebar. Begitu masuk, tubuhnya langsung diselimuti kegelapan, sama sekali tidak tampak dari luar. la masuk terus dan ternyata terowongan dalam goa itu membelok ke kiri sehingga ia terbebas sama sekali dari sinar matahari. Terlalu gelap di situ, melihat tangan sendiri pun hampir tidak kelihatan.
Siu Bi meraba-raba dan ketika mendapatkan sebuah batu yang licin dan bersih, ia duduk di situ terengah-engah. Disusutnya air matanya dengan ujung lengan bajunya.
Tiba-tiba ia hampir menjerit saking kagetnya ketika terdengar suara orang tertawa, apa lagi ketika disusul dengan dua buah tangan yang merangkul pundaknya! Secara otomatis tangan kirinya bergerak, menghantam ke belakang. Karena terkejut, maka sekaligus dia mengerahkan Hek-in-kang. Tangannya yang terbuka bertemu dengan bagian perut yang lunak.
"Bukkk!" orang yang punya perut itu merintih dan terlempar ke belakang.
Siu Bi melompat bangun. Akan tetapi mendadak ia mencium bau harum yang luar biasa, yang membuat kepalanya pening dan matanya melihat seribu bintang, terhuyung-huyung dan roboh dalam pelukan dua buah lengan yang kuat!
Beberapa detik kemudian, dua orang lelaki tinggi besar yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, melompat keluar dari dalam goa. Salah seorang di antara mereka, yang berjenggot kaku, memondong tubuh Siu Bi yang pingsan. Setibanya di luar goa, mereka memandang wajah Siu Bi dan si pemondong tertawa.
"Ha-ha-ha, luar biasa sekali, Bian-te (adik Bian). Kita menangkap seorang bidadari!"
Kawannya yang mukanya pucat tertawa masam. "Bidadari namun pukulannya seperti setan! Kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengerahkan sinkang, kiranya isi perutku sudah hancur dan hangus. Heran, gadis cilik secantik ini kepandaiannya hebat dan pukulannya dahsyat."
"Dia tentu murid orang pandai. Jangan-jangan berkawan yang lebih lihai lagi. Mari kita cepat bawa pergi. Gong-twako bersama perahunya tentu berada di pantai. Hayo, cepat!"
Dua orang itu berlari cepat sekali menuju ke barat. Tidak lama kemudian mereka tiba di pinggiran Sungai Fen-ho. Si muka pucat bersuit keras sekali dan tiba-tiba dari rumpun alang-alang muncul sebuah perahu kecil cat hitam yang didayung oleh seorang laki-laki berambut putih, berusia lima puluh tahunan.
"Hee, kalian membawa seorang gadis, untuk apa? Siapa dia?"
Dua orang tinggi besar itu melompat ke dalam perahu dengan gerakan yang ringan. Si jenggot kasar merebahkan tubuh Siu Bi yang masih pingsan itu ke dalam bilik perahu, kemudian ia keluar lagi untuk bercakap-cakap dengan dua orang temannya.
"Kami tidak tahu dia siapa. Seorang bidadari!" katanya.
"Bidadari yang pukulannya seperti setan!" sambung si muka pucat dan tiba-tiba meringis, lalu muntahkan darah yang menghitam.
Dua orang temannya kaget. Kakek rambut putih itu memandang dengan kening berkerut. "Bian-te, kau terluka dalam yang hebat."
"Lekas kita pergi ke Ching-coa-to. Gong-twako, gadis itu seorang yang cantik dan pandai, tentu kongcu (tuan muda) akan senang sekali mendapatkannya, dan kita akan mendapat jasa besar. Juga Bian-te perlu segera diobati. Agaknya hanya toanio (nyonya) seorang yang mampu mengobatinya. Pukulannya hebat sekali dan agaknya mengandung racun yang aneh."
Si rambut putih bersuit dan muncullah perahu kedua, didayung seorang laki-laki muda. "Kau menjaga di sini, kami akan ke pulau," pesannya dan didayunglah perahu hitam itu dengan cepat sekali, mengikuti aliran sungai sehingga meluncur dengan lajunya.
Beberapa jam kemudian, si muka pucat muntah-muntah lagi, keadaannya makin payah. Dua orang temannya berusaha untuk mengurut jalan darah dan menempelkan telapak tangan pada punggungnya untuk membantu pengerahan sinkang, namun hasilnya tidak banyak, hanya membuat si muka pucat itu dapat bernafas lebih leluasa. Mukanya makin pucat dan matanya beringas.
"Keparat, aku harus membalas ini." la bangkit hendak memasuki bilik perahu.
"Bian-te, sabarlah," cegah si brewok.
"Perjalanan ini masih lama, agaknya aku tak akan kuat. Tidak lama lagi aku mati, dan sebelum mati, aku harus melampiaskan penasaran."
"Jangan bunuh dia, Bian-te...," cegah si rambut putih. "Agaknya dia sudah terkena bius racun merah kita, ia tidak berdaya lagi. Itu sudah merupakan pembalasan dan nanti kalau ia terjatuh ke tangan kongcu, ha-ha-ha, tentu tak lama lagi dihadiahkan kepadamu. Masih banyak waktu untuk membalas penasaranmu."
"Aku tidak bisa menunggu lagi. Sesampainya di sana, tentu aku sudah menjadi mayat. Gong-twako, lukaku hebat, aku merasa ini. Biarkan aku memilikinya sebelum aku mati."
"Bian-te, dia hendak kami berikan kepada kongcu. Kalau kau mendahuluinya, tentu kau akan dihukum kongcu."
"Kongcu tidak tahu tentang dia, laginya, kalau sebentar lagi aku mati, kongcu mau bisa berbuat apa kepadaku?" Si muka pucat memasuki bilik dan dua orang kawannya hanya saling pandang.
"Dia sudah terluka hebat dan agaknya betul-betul tak akan dapat ditolong, biarkanlah dia menebus kekalahan dan membalas dendam," kata si rambut putih sambil mengeluarkan pipa tembakaunya dan mengisap. Si brewok juga mengangkat pundak.
Siu Bi sudah kena bubuk beracun Ang-hwa-tok (Racun Kembang Merah) yang membuat dia mabuk dan pingsan. Akan tetapi gadis ini adalah murid dari Hek Lojin, seorang tokoh dunia hitam. Ketika gadis ini mempelajari Iweekang, latihannya dengan berjungkir balik sehingga dalam pengerahan Hek-in-kang, jalan darahnya membalik dan sinkang dalam tubuhnya membentuk hawa Hek-in-kang yang beracun hitam.
Oleh karena itu, ketika ia terkena pengaruh racun Ang-hwa-tok, hanya sebentar saja ia tercengkeram dan pingsan. Pada saat itu, ia telah mulai bergerak biar pun masih pening, dan ketika ia membuka matanya, cepat ia meramkan lagi karena segala yang tampak berputaran sedangkan darahnya di kepala berdenyut-denyut.
Cepat-cepat ia mengerahkan sinkang untuk mengusir pengaruh memabukkan ini. Untung baginya, pada saat tadi terkena racun Ang-hwa-tok, dia baru mengerahkan Hek-in-kang sehingga tenaga mukjijat inilah yang menolak sebagian besar pengaruh racun. Sekarang dengan sinkang ia berhasil mengusir hawa beracun, akan tetapi pikirannya masih belum sadar benar dan ia merasa seakan-akan melayang di angkasa, belum sadar benar dan belum ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya. la merasa seperti dalam alam mimpi.
Mendadak ada orang menubruk dan memeluknya sambil mencengkeram pundak. Siu Bi kaget bukan main, cepat membuka matanya. Hampir dia menjerit ketika melihat bahwa yang menindihnya adalah seorang lelaki bermuka pucat bermata beringas dan mulutnya menyeringai liar, dari ujung bibirnya bertetesan darah menghitam!
Dia tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang mengerikan ini terhadap dirinya. Dia menyangka bahwa ia akan dibunuh dan dicekik, maka cepat Siu Bi mengerahkan seluruh tenaga Hek-in-kang yang ada pada dirinya, kemudian sambil meronta ia menggunakan kedua tangannya menghantam dengan pengerahan Hek-in-kang.
Lambung dan leher orang yang bermuka pucat itu dengan tepat kena dihantam. Dia memekik keras, tubuhnya terpental dan roboh terguling ke bawah dipan. Pada waktu Siu Bi melompat bangun, ternyata orang itu sudah rebah dengan mata mendelik dan dari mulutnya bercucuran darah, nafasnya sudah putus!
Siu Bi bergidik mengenangkan bahaya yang hampir menimpa dirinya. Dengan penuh kebencian ia lalu menendang mayat itu sehingga terlempar ke luar dari pintu bilik kecil.
Sementara itu, si brewok dan si rambut putih yang sedang enak-enakan duduk di atas perahu, terkejut bukan main mendengar pekik tadi. Cepat-cepat mereka melempar pipa tembakau ke samping dan melompat, langsung menyerbu ke dalam bilik.
Sesosok bayangan menyambar mereka. Si brewok menyampok dan bayangan itu adalah temannya sendiri, si muka pucat yang sekarang sudah menjadi mayat! Tentu saja di samping rasa kaget, mereka berdua marah sekali melihat seorang teman mereka tewas dalam keadaan seperti itu. Bagaikan dua ekor beruang luka mereka berteriak keras dan menyerbu ke dalam bilik.
Siu Bi menjadi nekat. la sudah siap dan telah mengerahkan Hek-in-kang untuk melawan. Akan tetapi sedikit banyak racun Ang-hwa-tok masih mempengaruhinya. Dia mencoba untuk menerjang kedua orang yang menyerbu itu dengan pukulan Hek-in-kang.
Namun dua orang lawannya bukanlah orang lemah. Mereka itu, terutama si rambut putih, adalah jagoan-jagoan dari Ching-coa-to. Mereka sudah tahu akan kelihaian ilmu pukulan Siu Bi, maka cepat mereka mengelak lalu balas menyerang.
"Gong-twako, kita tangkap hidup-hidup!" seru si brewok.
Si rambut putih maklum akan kehendak kawannya ini. Memang, setelah gadis ini berhasil membunuh seorang kawan, bila dapat menangkapnya dan menyerahkannya hidup-hidup kepada kongcu mereka di Ching-coa-to, jasanya tidak kecil. Pertama, dapat menangkap musuh yang membunuh seorang anggota Ang-hwa-pai (Perkumpulan Kembang Merah), kedua kalinya, dapat menghadiahkan seorang gadis yang cantik molek kepada kongcu!
Siu Bi melawan dengan nekat, menangkis sepenuh tenaga dan mencoba merobohkan mereka dengan pukulan Hek-in-kang. Namun, kedua orang musuhnya ini amat kuat dan gesit, sedangkan kepalanya masih terasa pening.
Tiba-tiba tampak sinar merah. Siu Bi cepat-cepat menahan nafasnya, namun terlambat. Kembali dia mencium bau yang amat harum dan tiba-tiba dia menjadi lemas dan roboh pingsan lagi! Ternyata bahwa si rambut putih sudah berhasil merobohkannya dengan bubuk racun merah, senjata rahasia yang menjadi andalan para tokoh Ching-coa-to.
Siapa mereka ini? Mereka bukan lain adalah tokoh-tokoh yang menjadi anggota sebuah perkumpulan yang disebut Ang-hwa-pai. Sesuai nama perkumpulannya, para tokoh ini memiliki tanda setangkai bunga berwarna merah, menghias sebagai sulaman pada baju yang menutupi dada kiri. Ang-hwa-pai bersarang di Pulau Ching-coa-to, yaitu Pulau Ular Hijau.
Kiranya para pembaca cerita Pendekar Buta masih ingat akan nama Ching-coa-to. Pulau ini adalah tempat tinggal Ching-toanio, ibu dari Giam Hui Siang dan ibu angkat dari Hui Kauw isteri Pendekar Buta. Setelah Ching-toanio meninggal dan kedua orang puterinya itu menikah serta meninggalkan Ching-coa-to, pulau itu menjadi kosong, hanya ditinggali bekas anak buah Ching-toanio yang hidup sebagai perampok dan bajak sungai.
Beberapa bulan kemudian, muncul seorang wanita yang kulitnya agak kehitaman dengan pakaiannya yang serba merah. Wanita galak yang genit, yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, akan tetapi masih kelihatan pesolek dan genit sekali. Dia ini bukanlah wanita sembarangan dan para pembaca dari cerita Pendekar Buta tentu mengenalnya. Dia merupakan seorang di antara tiga saudara Ang-hwa Sam-cimoi yang amat lihai ilmu silatnya.
Di dalam cerita Pendekar Buta, tiga orang kakak beradik ini bertanding hebat melawan Pendekar Buta. Dua di antara mereka, yaitu Kui Biauw dan Kui Siauw, tewas dan yang tertua, Kui Ciauw, berhasil melarikan diri sambil membawa mayat dua orang saudaranya. Wanita yang datang ke Ching-coa-to adalah Kui Ciauw inilah. Tentu saja para anak buah Ching-coa-to telah mengenalnya.
Di dunia hitam, siapa yang tidak mengenal Ang-hwa Sam-cimoi yang bahkan lebih lihai dari pada suci mereka, si wanita iblis Hek-hwa Kui-bo yang sudah tewas pula? Karena percaya akan kelihaian Kui Ciauw, para anak buah Ching-coa-to mengangkat Kui Ciauw menjadi kepala dan wanita ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Ang-hwa-pai, sesuai dengan julukannya, yaitu Ang-hwa Nio-nio.
la lalu mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, dipilih yang memiliki kepandaian tinggi. Malah ia lalu melatih mereka dan menurunkan kepandaian melepas bubuk racun kembang merah kepada para pembantunya. Setelah masa peralihan kekuasaan, dengan memanfaatkan keadaan yang kacau, perkumpulan hitam ini lantas merajalela, merampok membajak dan keadaan mereka menjadi makin kuat karena banyak perampok ternama dan lihai yang melihat kemajuan dan pengaruh Ang-hwa-pai, lalu menggabungkan diri.
Ang-hwa Nio-nio atau Kui Ciauw ini tidak pernah melupakan dendam hatinya terhadap Pendekar Buta yang sudah membunuh dua orang adiknya. Akan tetapi maklum bahwa tidak mudah membalas dendam kepada orang sakti itu, ia tekun memperdalam ilmunya. Bahkan ia lalu menyusun kekuatan partainya dengan maksud kelak akan menyerang ke Liong-thouw san.
Ang-hwa Nio-nio, seperti lainnya para tokoh dunia gelap, biar pun sudah berusia hampir setengah abad, namun masih merupakan seorang wanita cabul yang gila laki-laki. Maka, bukan rahasia lagi bagi para anak buahnya akan kesukaan ketua ini mengumpulkan pria yang masih muda dan tampan, menjadikan mereka itu kekasih atau ‘selir’. Tentu saja banyak di antara mereka yang melakukan hal ini karena dipaksa dengan ancaman maut.
Setelah muncul seorang pemuda tampan bernama Ouwyang Lam, kerakusannya dalam mengumpulkan pemuda-pemuda tampan baru berhenti. Ouwyang Lam adalah seorang pemuda dari daerah Shan-tung, bertubuh tegap kuat berwajah tampan, anak seorang bajak tunggal. Bersama ayahnya, Ouwyang Lam menggabungkan diri pada Ang-hwa-pai dan tentu saja pemuda tampan ini tidak terlepas dari incaran Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi, kali ini Ang-hwa Nio-nio betul-betul ‘jatuh hati’ kepada Ouwyang Lam.
Agaknya cinta tidak memilih umur sehingga dalam usia hampir setengah abad, Ang-hwa Nio-nio kali ini benar-benar jatuh cinta! Segala kehendak Ouwyang Lam selalu dituruti dan pertama-tama yang diminta oleh pemuda pintar ini adalah mengusir atau membunuhi puluhan orang ‘selir’ laki-laki itu! la ingin memonopoli ketua Ang-hwa-pai, bukan karena cantiknya, melainkan karena kedudukannya yang mulia dan karena pemuda ini ingin pula mewarisi kepandaiannya.
Dan demikianlah kenyataannya. Ouwyang Lam lalu diambil sebagai ‘putera angkat’ oleh Ang-hwa Nio-nio, mendapat sebutan kongcu (tuan muda), dihormat oleh seluruh anggota Ang-hwa-pai dan selain kedudukan yang tinggi ini, juga pemuda yang cerdik ini setiap hari memeras ilmu-ilmu kesaktian dari ‘ibu angkat" alias kekasihnya ini untuk dimilikinya.
Terdorong cinta kasih yang membuatnya tergila-gila, Ang-hwa Nio-nio tidak segan-segan menurunkan semua ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu beberapa tahun saja ilmu kepandaian Ouwyang Lam sangat hebat. Bahkan Ilmu Pedang Hui-seng Kiam-sut (Ilmu Pedang Bintang Terbang) yang menjadi kebanggaan Ang-hwa Sam-cimoi dahulu, telah diajarkan kepada Ouwyang Lam.
Dasar Ouwyang Lam memang pandai mengambil hati, maka dia bersumpah kepada kekasihnya bahwa kelak dia sendiri yang akan membalaskan dendam kekasihnya itu kepada Pendekar Buta. Tentu saja untuk ini dia memerlukan ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat berhasil.
Tidak ini saja, malah pemuda tampan ini begitu dimanja sehingga segala permintaannya dituruti, termasuk pula kegemarannya akan wanita cantik. Ang-hwa Nio-nio yang sudah setengah tua itu tidak memiliki hati cemburu, bahkan rela membagi cinta kasih Ouwyang Lam.
Demikianlah sekelumit keadaan Ang-hwa-pai di Ching-coa-to. Kalau kepalanya bergerak ke utara, tak mungkin ekornya menuju selatan demikian kata orang-orang tua. Dengan pimpinan macam Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam, dapat dibayangkan betapa bobrok moral para anak buah dan anggota Ang-hwa-pai.
Mereka seperti mendapat contoh dan demikianlah, seluruh wilayah di sebelah barat dan selatan kota raja, penuh dengan orang-orang Ang-hwa-pai yang bergerak dan merajalela menjadi perampok atau bajak yang malang-melintang tanpa ada yang berani melawan mereka. Asal ada penjahat yang memakai tanda bunga merah di dada yang melakukan gerakan, tidak ada yang berani berkutik!
Ouwyang Lam amat pandai dan cerdik sehingga untuk memperkuat kedudukannya, dia tidak segan-segan mempergunakan uang untuk menyuap sana-sini, menghubungi para pembesar dan menghamburkan uang secara royal kepada para pembesar korup yang memenuhi negara pada masa itu. Para pembesar korup sangat berterima kasih dan menganggap orang-orang Ang-hwa-pai amat baik. Mereka tidak peduli bahwa uang yang dipakai menyogok dan menyuap mereka itu adalah uang hasil rampokan!
Siu Bi sungguh malang nasibnya, terjatuh ke tangan tiga orang tokoh Ang-hwa-pai. Akan tetapi baiknya ia memiliki wajah yang amat jelita sehingga hal ini menggerakkan hati dua orang penawannya untuk mencari jasa hendak mempersembahkan dia kepada Ouwyang Lam!
Tentu saja hal ini baik baginya, karena dalam keadaan pingsan di perahu itu, nasibnya sudah berada di tangan si rambut putih dan si brewok. Namun, mengingat akan hadiah dan kedudukan yang mungkin dinaikkan, dua orang itu tidak berani mengganggu Siu Bi, ingin mempersembahkan gadis ini kepada kongcu mereka dalam keadaan utuh! Mereka hanya mengikat kaki tangan Siu Bi, kemudian cepat-cepat mereka mendayung perahu, langsung menuju ke Ching-coa-to.
Dan inilah sebabnya mengapa Yo Wan sia-sia saja mengejar. la tidak mengira bahwa Siu Bi ditangkap orang di dalam goa kemudian dilarikan dengan perahu. Terlalu lama dia mencari-cari di dalam hutan, berputar-putar tanpa hasil. Baru setelah menjelang senja, ia sampai di pinggir Sungai Fen-ho, berdiri termangu-mangu di tepi sungai…..
********************
Selanjutnya baca
JAKA LOLA : JILID-04