Pusaka Pulau Es Jilid 10


Bhe Seng Kok adalah seorang pria berusia empat puluh lima tahun dan tinggal di kota Cian-an. Sepuluh tahun yang lalu, pada saat diadakan pemilihan bengcu, dia juga hadir. Tadinya semua orang sudah sepakat untuk memilih serta menunjuk Pendekar Sakti Yo Han untuk menjadi bengcu baru, akan tetapi Yo Han yang pada waktu itu sudah menjadi ketua Thian-li-pang menolak.
Atas usul Yo Han yang mengenal baik Bhe Seng Kok, pendekar Siauw-lim-pai inilah yang kemudian dipilih menjadi bengcu. Bhe Seng Kok menerimanya dan sejak itu dialah yang menjadi bengcu.

Tugas seorang bengcu adalah mengepalai seluruh dunia kang-ouw dan kalau terjadi bentrokan di antara orang kang-ouw, bengcu inilah yang akan menyelesaikannya. Akan tetapi ketika terjadi perang antara pemberontak dan pemerintah, dia sama sekali tidak mau mencampurinya. Biar pun banyak anggota kang-ouw yang terlibat, akan tetapi Bhe Seng Kok menganggap itu urusan pemerintah dan dia tidak mau melibatkan diri, hanya mendengar laporan dari orang-orang kang-ouw saja.

Bhe Seng Kok hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga dan tidak pernah menikah. Bahkan ada keinginan dalam hatinya untuk kembali ke biara Siauw-lim-pai dan menjadi hwesio di sana.

Pada suatu hari Bhe Seng Kok sedang duduk sendiri di dalam rumahnya yang tidak besar. Tiba-tiba terdengar langkah kaki orang di depan rumahnya dan dia cepat keluar untuk menyambut tamu yang datang. Ternyata yang datang adalah dua orang, seorang pemuda yang gagah dan seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja.

Sebagai seorang bengcu, tentu saja Bhe Seng Kok mengenal hampir semua orang dari kalangan kang-ouw, apa lagi tokoh-tokoh golongan tua. Maka begitu melihat kakek yang memegang dayung baja, dia teringat dan segera menyambut dengan ramah.

“Ahh, kiranya Tung-hai Lo-mo yang datang berkunjung. Selamat datang dan marilah kita duduk di dalam agar dapat bicara dengan leluasa.”
“Terima kasih, Bengcu,” kata Tung-hai Lo-mo.

Tung-hai Lo-mo masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Gulam Sang, pemuda gagah itu. Bhe Seng Kok lalu mempersilakan dua orang tamunya.

“Silakan Ji-wi (kalian berdua) duduk!”
“Terima kasih, Bengcu,” kata Tung-hai Lo-mo sambil tersenyum. “Perkenalkan pemuda ini bernama Gulam Sang, seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi bukan main.”

Bhe Seng Kok mengangguk, lalu dia memandang kepada Gulam Sang sambil berkata, “Maafkan kalau aku belum mengenal Sicu, karena Sicu masih muda dan baru muncul di dunia kang-ouw. Tung-hai Lo-mo, ada keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini?”

“Yang mempunyai keperluan justru Gulam Sang kongcu ini. Aku hanya mengantarkan dia saja.”
“Ahh, begitukah? Sicu, ada keperluan apakah maka Sicu datang menemuiku?”

Gulam Sang tersenyum mengejek. “Aku mendengar bahwa engkau adalah bengcu yang mengepalai seluruh dunia kang-ouw. Benarkah?”

“Benar, dan aku menjadi bengcu karena dipilih dan didorong oleh para saudara di dunia kang-ouw.”
“Seorang bengcu tentu mempunyai ilmu silat yang tak terkalahkan. Karena tertarik dan ingin sekali membuktikan sendiri bagaimana hebatnya ilmu silat bengcu, maka sekarang aku sengaja datang untuk menantangmu mengadu ilmu silat!” kata Gulam Sang terus terang.

Bhe Seng Kok tersenyum lebar dan berkata, “Orang muda, menjadi bengcu bukan diukur dari ilmu silatnya saja, melainkan harus pula memiliki kebijaksanaan dan rasa keadilan. Bengcu bukan jagoan yang membanggakan ilmu silatnya, maka tidak perlu kita harus mengadakan pibu (mengadu ilmu silat).”

“Maaf, Bengcu. Kurasa pendapat itu tidak benar,” kata Tung-hai Lo-mo. “Kongcu Gulam Sang ini datang dari jauh di Barat. Kalau permintaannya untuk pibu tidak dipenuhi, tentu dia akan menceritakan kepada semua orang bahwa Bengcu takut bertanding dengan dia.”

Gulam Sang tertawa. “Ha-ha-ha, kalau memang Bengcu takut bertanding melawanku, akuilah saja. Asalkan engkau suka berlutut memberi hormat tiga kali padaku, aku tidak akan memaksamu lagi.”

Berkerut alis Bhe Seng Kok. “Tidak ada yang takut dan tidak ada yang perlu berlutut! Aku menolak diadakan pibu hanya karena menyayangkan Sicu yang masih muda. Kalau sampai Sicu terluka dalam pibu, aku akan ditertawakan orang sedunia. Seorang bengcu melayani tantangan seorang pemuda yang tidak ternama tanpa alasan. Tidak, aku tidak mau pibu denganmu!”

Gulam Sang bangkit dan mencabut pedangnya. “Engkau telah menghinaku Pendeknya, mau atau tidak engkau harus melawanku untuk menentukan siapa di antara kita yang lebilh lihai!”

Melihat kenekatan Gulam Sang, Bhe Seng Kok mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Begitukah yang kau kehendaki? Kalau begitu terpaksa aku akan melayanimu!” Setelah berkata demikian, Bhe Seng Kok menyambar pedangnya yang tergantung di dinding. “Mari kita pergi ke kebun di belakang agar lebih leluasa bertanding!”

Mereka pergi ke kebun di belakang rumah itu. Di kebun ini biasanya Bhe Seng Kok bercocok tanam.

“Nah, di sini tempatnya luas dan engkau boleh mulai, orang muda!”
“Bengcu, jagalah seranganku!” kata Gulam Sang dan dia sudah menyerang dengan ganasnya.

Melihat serangan ini, diam-diam Bhe Seng Kok terkejut karena dia mengenal ilmu silat yang dahsyat. Maka dia pun menangkis dengan pedangnya, lalu membalas serangan itu. Gulam Sang juga dapat menghindarkan diri dan mereka sudah bertanding dengan seru.

Melihat betapa semua serangan Gulam Sang bukan sekedar untuk menguji kepandaian, melainkan benar-benar menyerang dengan serangan maut yang berbahaya, Bhe Seng Kok terpaksa mengimbanginya dengan ilmu pedangnya yang kokoh kuat. Bengcu ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi.

Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Gulam Sang yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dahsyat dari Dalai Lama, maka pertandingan itu berlangsung seimbang dan amat hebatnya. Sinar kedua pedang itu bergulung-gulung dan dua orang yang bertanding itu merasa betapa tangguh lawannya. Seratus jurus telah lewat tanpa ada yang terdesak dan ternyata tingkat mereka seimbang!

Mendadak sebatang dayung baja yang kuat dan berat menyambar ke arah Bhe Seng Kok. Bengcu itu terkejut bukan main. Segera dia mengelak dan menahan pedangnya, kemudian menudingkan telunjuknya kepada Tung-hai Lo-mo.

“Lo-mo, kau...!” Bhe Seng Kok berseru.

Akan tetapi pada saat itu pedang di tangan Gulam Sang sudah menyerangnya dari belakang. Bhe Seng Kok sedang mencurahkan perhatiannya kepada Tung-hai Lo-mo, maka dia tidak tahu akan kecurangan itu dan tahu-tahu punggungnya sudah ditembusi pedang.

Bengcu itu roboh terlentang, matanya mendelik ke arah kedua orang itu dan berseru, “Kalian keji dan curang...!” Dan dia pun terkulai, menghembuskan napas terakhir.

“Bagus!” kata Tung-hai Lamo. “Perkelahian ini tidak nampak oleh orang lain. Mari cepat pergi dari sini, jangan sampai terlihat orang lain!”

Keduanya lalu cepat melarikan diri, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon kemudian melompat keluar dari pagar tembok rumah itu. Tidak ada orang lain yang melihatnya dan baru beberapa hari kemudian mayat Bhe Seng Kok ditemukan tetangganya yang mencium bau mayat.

Tidak ada orang mengetahuinya siapa yang membunuh bengcu itu. Melihat bengcu itu tewas dengan luka di punggung dan masih memegang sebatang pedang, semua orang tahu bahwa bengcu itu terbunuh dalam suatu perkelahian, akan tetapi tidak ada yang tahu siapa pembunuh itu.

Matinya bengcu ini segera tersiar ke seluruh pelosok negeri. Hanya dua hari setelah kematian bengcu itu, Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw dan ketua partai-partai besar untuk datang ke Bu-tong-san. Bu-tong-pai hendak menjadi pelopor untuk pemilihan bengcu baru.

Undangan ini pun tersiar cepat sehingga terdengar sampai ke kota raja. Maka The Sun Tek juga mendengar tentang undangan Bu-tong-pai itu walau pun dia belum mendengar akan kematian Bhe Seng Kok.

Orang yang memiliki pamrih besar yang dia sendiri sebut sebagai cita-cita, memang mempunyai seribu satu macam akal untuk mencapai apa yang dituju. Dia tidak peduli lagi akan caranya, segala macam cara akan dianggap halal dan pantas dilakukan demi mencapai apa yang dicita-citakan.

Seperti Gulam Sang dan kawan-kawannya itu. Baru saja mereka gagal dalam usaha membunuh kaisar dan pangeran mahkota, juga penyerbuan ke kota raja gagal, mereka kini sudah menjalankan siasat lain. Dan untuk keberhasilan siasat itu, mereka pun tidak segan-segan membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah.

Siapa pun yang dianggap menghalangi jalan mereka tentu akan dihancurkan…..

********************
Mereka bertiga melakukan perjalanan dengan cepat dan pada suatu hari tibalah mereka di kaki Beng-san. The Sun Tek berjalan paling depan, kemudian di belakangnya Cu In berjalan di samping Keng Han.

Cu In yang menjadi penunjuk jalan. “Di depan itu terdapat jalan simpangan ke kiri. Jalan itulah yang harus diambil, Ayah. Membelok ke kiri.” Kini Cu In sudah tidak asing lagi menyebut ayah kepada The Sun Tek dan sebutan ini benar-benar membahagiakan hati panglima itu dan juga menyenangkan hati Keng Han.

“Kita sudah berjalan lebih dari setengah hari, apakah tidak baik kalau kita beristirahat lebih dulu?” Keng Han mengusulkan. Dia sendiri sebetulnya masih dapat bertahan, akan tetapi dia melihat betapa dahi Cu In sudah berkeringat dan dia merasa kasihan kepada gadis itu.

Mendengar ini, The Sun Tek tersenyum dan menghentikan langkahnya. “Engkau benar, Keng Han. Saking besarnya semangatku ingin cepat-cepat bertemu isteriku, aku sampai lupa akan kelelahan, dahaga dan kelaparan. Mari kita beristirahat sejenak sambil makan bekal kita.”

Cu In diam saja, akan tetapi juga tidak membantah. Mereka memilih tempat yang teduh di bawah pohon besar dan duduk di atas batu yang terdapat di situ. Keng Han lalu membuka buntalan dan mengeiuarkan beberapa potong roti kering dan dendeng kering. Juga seguci anggur dan tiga buah cawan.

Tanpa banyak cakap lagi mereka duduk makan dan minum. Karena mereka sudah lelah dan lapar, maka makanan sederhana itu bagi mereka terasa nikmat sekali. Sesudah selesai makan mereka lalu duduk beristirahat melepas lelah.

“Cu In, anakku. Engkau mengenakan cadar di mukamu karena tekanan ibumu supaya mukamu tidak sampai terlihat pria yang dianggapnya semua jahat. Akan tetapi, kukira sekarang pendapat ibumu itu lain lagi, maka pantangan itu pun harus dapat kau buang jauh-jauh. Tidak semua pria merupakan orang jahat. Contohnya Keng Han ini. Apakah engkau dapat mengatakan bahwa dia seorang laki-laki yang jahat?”

“Tidak, Ayah,” kata Cu In sambil menundukkan mukanya.

“Apakah engkau menganggap ayahmu ini laki-laki yang jahat pula?”

“Tidak juga, Ayah.”

“Nah, kalau begitu kenapa engkau selalu memakai cadar itu menyembunyikan mukamu dari kami? Aku ini ayahmu, Cu In. Aku ingin sekali melihat mukamu. Maka kuminta, bukalah cadar itu, Cu In.”

Melihat gadis itu menjadi kebingungan, Keng Han lalu berkata dengan lembut. “Cu In, bukalah cadarmu dan biarkan ayahmu melihatmu. Seorang ayah yang baik tentu akan tetap menyayang anaknya, bagaimana pun juga wajah anaknya itu.“

“Ayah, kau berjanji tidak akan membenciku atau malu mengakui aku sebagai anakmu setelah melihat wajahku?”

“Ahh, bagaimana mungkin? Engkau tetap anakku, tidak peduli bagaimana pun bentuk wajahmu. Bukalah cadar itu sebentar saja, untukku.”

Cu In lalu menghadapi ayahnya dan berkata, “Lihatlah Ayah, betapa buruk rupaku!” Ia menyingkap cadarnya dan The Sun Tek sampai melangkah mundur dua langkah saking kagetnya.

“Engkau... jijik melihatku, Ayah?”
“Tidak, ah, tidak...!” Ayah itu menghampiri dan memeluk Cu In yang sudah menutupkan lagi cadarnya. “Aku tetap sayang kepadamu, bahkan aku iba kepadamu. Tapi kenapa mukamu sampai begini, anakku? Kenapa?”
“Ketika kecil aku diserang penyakit cacar yang berat sehingga setelah sembuh mukaku bercacat seperti ini.”
“Nah, apa kataku, Cu In. Orang yang mencinta dengan hati tulus tidak akan berubah hanya karena melihat muka yang dicintanya itu cacat. Bahkan rasa iba memperdalam rasa cinta itu. Jangan khawatir, kelak aku akan mengobati dan menghilangkan cacat di mukamu itu!”

Dari ucapan ini The Sun Tek dapat menduga bahwa pemuda itu pun sudah pernah melihat muka anaknya yang cacat. Sudah melihat bahwa muka gadis itu mengerikan akan tetapi tetap mencintanya, sungguh merupakan seorang pemuda yang sulit dicari keduanya di dunia ini.

“Ucapan Keng Han benar, anakku. Kami akan mencarikan tabib yang terpandai untuk mengobatimu. Nanti sesudah kita hidup serumah dengan ibumu, aku akan menyebar anak buahku untuk mencarikan tabib itu. Nah, sesudah sekarang engkau melihat bukti bahwa kami tidak berubah sikap terhadapmu setelah melihat mukamu yang cacat, tentu engkau menyadari bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini jahat seperti yang diajarkan ibumu. Baru dua orang yang melihat wajahmu, yaitu aku dan Keng Han, akan tetapi kami tidak menjadi jijik atau membencimu.”

“Bukan baru Ayah dan Keng Han yang melihatnya. Ada seorang lain yang melihatnya dan begitu dia melihatku, langsung saja aku akan dibunuh.”
“Siapakah orang itu, Cu In?” tanya Keng Han dengan cepat.
“Tung-hai Lo-mo. Kau ingat, Keng Han ketika engkau menolongku dari tangan Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai Lo-kwi? Nah, ketika itu Tung-hai Lo-mo yang menawanku sempat membuka cadarku dan begitu dia melihat wajahku, dia hendak membunuhku. Baiknya engkau datang dan menolong.”

“Tung-hai Lo-mo? Datuk sesat itu memang orang yang jahat. Biar pun tidak membuka cadarmu pun dia tetap seorang jahat yang harus dibasmi! Orang laki-laki macam dia tidak masuk hitungan, Cu In. Seperti juga julukannya, dia memang seorang iblis!” kata The Sun Tek marah.
“Aku sendiri akan membunuhnya, Ayah, sesuai dengan sumpahku dahulu bahwa siapa yang berani membuka cadarku, dia harus mati di tanganku.”
“Ahhh, sumpah itu mengerikan sekali anakku. Aku sendiri dan Keng Han juga sudah melihat wajahmu, apakah engkau juga akan membunuh kami?”

“Tidak, Ayah. Sumpahku itu sudah kuanggap habis begitu aku bertemu dengan Keng Han dan kemudian melihat bahwa kebencian ibuku terhadap laki-laki hanyalah sekedar pelampiasan amarahnya terhadapmu. Akan tetapi perkenankan aku memakai cadar ini, Ayah. Pertama, karena aku sudah terbiasa memakainya sehingga kalau ditanggalkan aku merasa malu seolah telanjang, dan kedua kupakai supaya tidak menjadi perhatian orang. Ketiga, agar engkau dan Keng Han tidak akan menjadi malu.”

“Aku? Malu? Kenapa aku harus malu?”
“Punya anak yang cacat wajahnya.”
“Aku adalah seorang yang berani menghadapi kenyataan betapa pun pahitnya, Cu In. Cacatnya wajahmu tidak mengurangi kasih sayangku kepada engkau sebagai puteriku!”

“Dan kenapa aku harus malu, Cu In?” tanya Keng Han dengan suara mengandung rasa penasaran.
“Kalau orang-orang melihat wajahku lalu mendengar bahwa engkau... mencinta padaku, bukankah engkau akan menjadi bahan tertawaan?”

Keng Han terkejut. Gadis ini membuka rahasia hatinya begitu saja di depan ayahnya! Dia menjadi tersipu dan salah tingkah, lalu memandang kepada The Sun Tek. Panglima ini juga memandangnya, wajahnya berseri dan mulutnya pun tersenyum, lalu kepalanya mengangguk perlahan.

“Cu In, apa pun yang terjadi padaku, aku tidak peduli. Orang boleh menertawakan aku sesuka hati mereka, namun aku tetap seorang sahabat yang amat mencintamu.”
“Ayah, kau dengar itu? Apakah ucapan seperti itu bisa dipercaya? Bagaimana mungkin seorang pemuda yang amat tampan dan gagah tanpa cacat dapat mencinta aku yang berwajah buruk mengerikan ini? Aku belum dapat percaya sepenuhnya!”

“Cu In, engkau belum mengerti tentang cinta. Bagaikan aku dan ibumu. Apa pun yang telah dilakukan oleh ibumu, aku tetap mencinta dan menyayangnya. Bagi seorang yang mencinta dengan tulus, segala macam cacat pada diri orang yang dicintanya tidak ada artinya. Bukankah begitu, Keng Han?”
“Benar sekali, Paman. Aku mencinta Cu In karena kepribadiannya, bukan hanya karena wajahnya. Setelah melihat wajahnya, aku bahkan merasa semakin sayang karena iba, dan kelak aku akan mencarikan tabib yang pandai untuk mengobati cacatnya itu.”
“Nah, anakku. Engkau beruntung sekali menemukan pemuda seperti ini. Cintanya tulus dan suci, dan aku pun setuju sekali kalau dia menjadi menantuku!”
“Ayah. Apakah Ayah telah tahu siapa dia? Dia adalah putera Tao Seng, pangeran yang memberontak itu! Nah, apakah Ayah masih setuju juga berbesan dengan pengkhianat Pangeran Tao Seng itu?”
“Menilai orang dengan melihat ayahnya adalah picik. Belum tentu seorang ayah yang baik budi memiliki anak yang baik pula dan tidak semua ayah yang jahat memiliki anak yang jahat pula. Aku tidak peduli calon menantuku itu anak siapa, yang penting asal pribadinya baik. Dan kulihat Keng Han adalah seorang pendekar yang baik dan gagah perkasa.”

Cu In menundukkan mukanya, akan tetapi terlihat betapa sepasang mata itu mencorong berseri. “Aku sendiri tidak dapat menjawab sekarang. Kita lihat nanti sajalah. Sekarang yang penting kita harus bertemu ibu dulu. Masih ada ibuku yang mempunyai hak untuk menentukan siapa calon menantunya.”

Keng Han diam saja, akan tetapi The Sun Tek mengerutkan alisnya. Dia sudah tahu akan watak isterinya yang keras. Kalau isterinya tidak menyetujui Keng Han, sampai mati pun ia tentu tidak akan menyetujuinya!

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang cantik jelita. Usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun, cantik jelita, kulit mukanya putih mulus, pipinya kemerahan, mata dan bibirnya begitu manisnya sehingga tiap pria pasti akan tertarik. Rambutnya yang dibiarkan terurai panjang di punggungnya itu diikat sutera merah dekat kepala. Punggungnya membawa sebatang pedang.

“Suci kiranya engkau!” tegur Cu In.

Keng Han merasa tidak enak juga kalau tidak menyapa wanita itu.
“Subo...!” katanya, terpaksa menyebut subo kepada Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok karena dia pernah diberi pelajaran cara menghindarkan totokannya yang amat lihai.

Akan tetapi Bi-kiam Niocu mengerutkan alisnya dan memandang kepada Keng Han dengan mata bersinar marah. Ia sudah merendahkan diri begitu rupa terhadap pemuda itu, bahkan menemani pemuda itu sampai dapat menghadap Dalai Lama, akan tetapi apa balasan Keng Han kepadanya? Saat diajak berjodoh dan lari minggat meninggalkan subo-nya, pemuda itu tidak mau! Dan sekarang nampak bergaul akrab sekali dengan sumoi-nya!

Niocu menudingkan telunjuknya yang runcing ke arah muka bercadar itu dan terdengar suaranya yang lantang. “Sumoi, apa artinya ini? Engkau bukan saja sudah melanggar pantangan subo, bahkan engkau berani membawa dua orang laki-laki ke sini! Apa kau sudah bosan hidup? Hayo lekas bunuh dua orang laki-laki itu, atau aku akan segera melaporkan kepada subo!”

“Kebetulan sekali kalau begitu, Suci. Cepat laporkan kepada subo bahwa aku datang menghadap bersama ayahku dan saudara Keng Han yang sudah berulang-ulang kali menyelamatkan diriku.”
“Apa kau bilang? Ayahmu...?” Niocu mengamati The Sun Tek dengan penuh perhatian.
“Ya, Ayahku. Sudahlah jangan bertanya panjang lebar. Beri tahukan saja bahwa aku datang bersama ayahku dan sahabat baikku, tentu subo akan mengerti.”

Betapa pun marahnya, Niocu yang galak dan kejam ini masih jeri terhadap Cu In yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi darinya.

“Baik, dan kalian tentu akan dibunuh semua!” Ia pun berkelebat dan pergi.
“Cu In, itukah yang terkenal dengan julukan Bi-kiam Niocu? “ tanya The Sun Tek kepada puterinya.
“Benar, Ayah. Ia suci-ku dan patuh sekali kepada guru kami sehingga ia melaksanakan semua perintah guru. Entah berapa banyak laki-laki yang telah dibunuh olehnya karena berani bersikap ceriwis kepadanya.”

The Sun Tek menghela napas panjang. “Mudah-mudahan nanti aku bisa menghentikan semua perintah ibumu yang keterlaluan itu.”

Mereka mendaki bukit Beng-san dengan cepat.

“Kita akan mengambil jalan pintas, Ayah, agar supaya lebih dekat. Akan tetapi kita harus berhati-hati karena daerah ini termasuk wilayah yang dilindungi oleh keluarga Gak.”
“Keluarga Gak…?” Keng Han bertanya sambil mengingat-ingat.

Sambil terus berjalan, Cu In kemudian menjelaskan tentang keluarga Gak yang tadi dia sebutkan.

“Keluarga Gak adalah keluarga yang sakti. Paman Gak Ciang Hun sendiri adalah orang yang dekat dengan keluarga Pulau Es. Ilmu silatnya lihai sekali. Juga isterinya memiliki ilmu silat yang hebat. Bahkan subo sendiri kalau tidak perlu sekali tidak mau lewat di daerah ini.”

Keng Han tertarik sekali. “Kalau begitu, dia tentu mengenal baik Paman Yo Han.”
“Kiranya demikian. Sudah lama aku mendengar akan nama besar Pendekar Tangan Sakti Yo Han. Apa lagi isterinya yang berjuluk Bangau Merah adalah seorang wanita sakti. Kabarnya ia pernah belajar dari locianpwe Suma Ceng Liong yang merupakan keturunan langsung dari Keluarga Pulau Es.”

Keng Han mengangguk-angguk. “Kalau begitu tidak salah lagi bahwa Pulau Hantu itu adalah Pulau Es yang dulu tenggelam dan kini muncul lagi. Paman Yo Han mengenal semua ilmu silat yang kupelajari dari pulau itu.”

“Ahh, kalau begitu engkau adalah pewaris ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!” seru The Sun Tek dengan kagum.
“Ahh, hanya kebetulan saja aku menemukan dan mempelajari, Paman. Dibandingkan dengan orang-orang keturunan keluarga itu tentu kepandaianku tidak ada artinya. Aku belajar sendiri tanpa ada yang membimbing.”
“Jangan merendahkan diri, Keng Han. Aku sendiri sudah melihat betapa hebatnya ilmu kepandaianmu, dapat menandingi ilmu silat para datuk sesat.”
“Engkau terlalu memuji, Cu In. Ilmumu sendiri juga hebat sekali.”

Dua orang muda itu saling memuji dan saling merendahkan diri mereka sehingga The Ciangkun yang mendengarnya menjadi senang. Pertanda baik bagi orang yang saling mencinta dan calon berjodoh.

Akan tetapi mereka tak menemui halangan sehingga mereka menduga bahwa keluarga Gak itu disegani dan ditakuti orang karena adalah pendekar-pendekar yang lihai. Akan tetapi mereka sendiri tidak pernah usil mencampuri urusan orang lain sehingga biar pun ada orang asing memasuki wilayah mereka asal orang asing itu tidak mengganggu, juga tidak dilarang.

Ketika mereka tiba di pondok tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio, ternyata wanita itu sudah menunggu di serambi depan bersama Bi-kiam Niocu. Wanita itu agaknya mengenakan pakaian yang masih baru dan rambutnya tersisir rapi dengan hiasan kembang merah. Agaknya ia sudah diberi tahu oleh Niocu akan kedatangan Cu In, Keng Han, dan laki-laki setengah tua itu.
Image result for PUSAKA PULAU ES
Ketika melihat The Ciangkun, Ang Hwa Nio-nio menyambutnya dengan ucapan dingin. “Hemmm, kiranya engkau memenuhi janjimu, menemukan dan membawa Cu In ke sini.”

Mendengar sikap dan mendengar ucapan yang nadanya dingin itu, Cu In merasa marah sekali kepada wanita yang menjadi ibu dan gurunya itu. Dia pun berkata, “Kalau tidak dibujuk Ayah dan Keng Han, sampai mati pun aku tidak akan mau datang ke sini lagi!”

Ang Hwa Nio-nio memandang kepada Cu In. Hatinya bagaikan ditusuk rasanya. Puteri kandungnya sendiri berkata seperti itu!

“Cu In, jangan berkata begitu, Nak!” katanya.
“Mengapa baru sekarang ibu memanggilku seperti itu? Mengapa ibu mengingkari dan mengatakan bahwa aku yatim piatu dan dipungut menjadi murid, kemudian bahkan aku disuruh membunuh ayah kandungku sendiri? Mengapa?” Sekarang dalam suara gadis berkerudung itu terdengar isak tangis.

Ang Hwa Nio-nio menghela napas panjang. “Engkau tidak mengetahui penderitaanku selama itu, Cu In. Hidup seorang diri, menahan semua rasa rindu. Bahkan peristiwa itu membuat aku membenci dan ingin membunuh semua pria! Akan tetapi setelah bertemu dengan ayahmu, aku menginsyafi kekeliruanku. Ternyata tidak semua laki-laki itu jahat. Juga ayahmu sama sekali bukan seorang laki-laki jahat.”

Mendengar semua percakapan itu, Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok menjadi terheran-heran. Ia membelalakkan matanya yang indah, memandang kepada The Sun Tek, lalu kepada gurunya.

“Jadi... Paman ini... dia suami Subo?” tanyanya dengan suara lirih terputus-putus.

Ang Hwa Nio-nio hanya mengangguk dan kedua matanya menjadi basah, berlinang air mata! Makin heranlah Niocu. Belum pernah selama ini ia melihat subo-nya menangis.

“Aku... aku memang bersalah diracuni sakit hatiku, Cu In. Maafkan ibumu, Nak...”

The Sun Tek lalu berkata, “Sudahlah, mari kita lupakan semua yang terjadi dan memulai hidup baru yang penuh kasih sayang dan berbahagia. Cu In, ibumu telah minta maaf. Cairkan perasaan hatimu yang membeku itu.”

“Benar, Cu In. Bagaimana pun juga, beliau adalah ibu kandungmu yang melahirkanmu kemudian memeliharamu sampai menjadi dewasa,” kata Keng Han membujuk.

Semenjak melihat ibunya menangis dan bicara dengan suara terputus-putus mengakui kesalahannya, Cu In sudah menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran akan tetapi tidak kelihatan karena ia menundukkan mukanya. Kini mendengar bujukan ayahnya dan Keng Han, ia lalu bangkit dan berlari menubruk kedua kaki ibunya.

“Ibuku...!”
“Cu In... Cu In... engkau anakku, anak tunggal. Kau maafkan ibumu, ya?” Ibunya juga merangkul dan keduanya bertangisan.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ibu. Aku dapat memaklumi perasaan Ibu.”
“Subo, bagaimanakah ini? Jadi Sumoi adalah puteri Subo sendiri dan Paman ini adalah suami Subo?”

Keng Han pun melangkah maju dan menghampiri Niocu sambil berkata, “Sesungguhnya begitulah, Subo.”

“Jangan kau panggil subo kepadaku! Seperti orang mengejek saja. Panggil saja Niocu seperti dulu. Siapa yang tidak tahu bahwa ilmumu jauh lebih tinggi dari ilmuku? Jangan sekali-kali panggil subo lagi atau aku akan menganggap engkau menghinaku.”

Ang Hwa Nio-nio yang tahu benar bahwa hati para muridnya itu penuh rasa kebencian kepada pria seperti yang sejak dulu ia tekankan, tahu pula akan watak Bi-kiam Niocu. “Bi Kiok, sudahlah. Mulai sekarang, jangan membenci setiap pria. Hanya yang jahat saja boleh kau benci. Akan tetapi kalau pria itu baik, tak ada salahnya menjadi sahabatnya.”

“Ibu, bagaimana kalau ada pria yang mencinta Suci? Apakah dia harus dibunuh?”

“Tidak, tidak. Dulu itu aku sudah gila. Jatuh cinta bukanlah hal yang jahat. Kalau ada pria yang jatuh cinta dan Bi Kiok tidak membalas cintanya, jauhi saja dan katakan terus terang.”

“Bagaimana kalau teecu yang jatuh cinta, Subo? Apakah pria itu harus dibunuh?”

“Tidak! Kalau engkau mencinta seseorang dan orang itu pun mencintamu, maka tiada halangannya engkau berjodoh dengan dia.”

“Aihh, terima kasih, Subo! Adik Cu In, mulai sekarang engkau tidak perlu lagi menutupi mukamu. Kutukan itu telah dihapuskan oleh Subo!”

“Suci, aku tidak mau menjadi buah tertawaan orang dengan mukaku yang penuh cacat ini! Tidak, aku kini mempunyai sumpah bahwa aku tak akan membuka cadar ini sebelum aku menikah. Pada waktu malam pengantin aku akan membuka dan membuang cadar ini untuk selamanya!”

“Sumoi...!” kata Niocu sambil memandang kepada Keng Han.

Dari sikap mereka dia dapat menduga bahwa keduanya saling mencinta. Akan tetapi bila kelak Keng Han melihat wajah sumoi-nya itu, apakah Keng Han akan mau menjadi suaminya?

“Bi Kiok, Cu In sudah mempunyai pendirian begitu, engkau tidak boleh mencampurinya!” kata Ang Hwa Nio-nio sambil tersenyum.

Niocu memandang bengong. Belum pernah dilihatnya gurunya itu tersenyum, apa lagi tertawa. Dan ia melihat wajah subo-nya itu kini penuh senyuman dan ternyata gurunya itu masih cantik walau pun usianya sudah lima puluh tahun!

“Hong Bwe, anak kita ini sudah memiliki calon jodohnya, bahkan sudah pernah melihat mukanya.”
“Ayah...!” Cu In berseru dan dahinya nampak kemerahan.
“Cu In, engkau tidak dapat menyembunyikan perasaanmu di depan ayahmu, Ha-ha-ha!”
“Benarkah itu?” Ang Hwa Nio-nio berseru, dari nada suaranya terdengar gembira bukan main, “Siapakah laki-laki yang bijaksana itu?”
“Orangnya dekat di sini, apa engkau tidak dapat menduganya, Hong Bwe?”
“Ahh, engkaukah itu, orang muda? Benarkah engkau mencinta Cu In dengan setulus hatimu?”

Biar pun dengan perasaan sungkan dan tersipu, Keng Han menjawab dengan lantang, “Benar, Bibi. Saya mencinta Cu In dengan segenap jiwa ragaku.”

“Ahhh, tidak mungkin!” mendadak Bikiam Niocu berseru nyaring. “Sama sekali tidak mungkin!”

Tentu saja dia merasa sangat terkejut mendengar ucapan Keng Han itu. Dia pernah mencinta Keng Han dan mengharapkan pemuda itu bisa menjadi suaminya. Akan tetapi Keng Han menolaknya. Dan sekarang Keng Han menyatakan bahwa dia mencinta Cu In? Rasanya tidak mungkin.

Ia sendiri seorang wanita cantik dan ia menyadari benar akan hal ini. Sebaliknya, ia pun sudah melihat wajah sumoi-nya yang totol-totol hitam dan buruk sekali. Kalau Keng Han pernah melihat wajah itu, bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta kepada wanita yang wajahnya sedemikian buruknya?

The Sun Tek berkata, suaranya tegas dan berwibawa, “Mengapa tidak mungkin? Ada dua macam cinta di dunia ini. Yang pertama cinta murni yang tidak dipengaruhi oleh buruknya rupa, buruknya nama atau kemiskinan. Yang kedua adalah cinta nafsu yang digerakkan oleh keadaan yang dicinta seperti wajah elok, terkenal, berkuasa atau kaya raya. Dan cinta Keng Han seperti cinta yang pertama tadi.”

“Ucapan suamiku ini benar, Bi Kiok. Lihat cinta suamiku kepadaku. Walau pun namaku buruk dan terkenal sebagai seorang yang disebut kejam dan sesat, akan tetapi cintanya kepadaku sama sekali tidak pernah berkurang. Usahakan supaya engkau menemukan seorang pria seperti itu, yang mencintamu bukan sekedar pelampiasan nafsu belaka!”

The Sun Tek berkata kepada Ang Hwa Nio-nio, “Hong Bwe, sebaiknya engkau segera berkemas karena sekarang juga kita akan pergi ke kota raja, pulang ke rumah kita.”

“Pulang...?” Ang Hwa Nio-nio bertanya, suaranya seperti orang kebingungan, seperti di dalam mimpi.
“Ya, pulang ke rumah kita di kota raja.”
“Aku sudah bersiap-siap, lama sebelum engkau datang,” kata Ang Hwa Nio-nio dengan kedua pipinya berubah kemerahan. “Aku hanya membawa sebuah buntalan saja.”
“Subo, apakah Subo akan pergi meninggalkan tempat ini?” tanya Bi-kiam Niocu.
“Benar, Bi Kiok. Aku akan pergi, akan pulang ke kota raja, meninggalkan Beng-san dan tak akan kembali ke sini lagi. Rumah beserta isinya ini kutinggalkan kepadamu, menjadi milikmu.”

Ang Hwa Nio-nio lalu mengambil buntalan yang menjadi bekalnya, kemudian mengajak suami dan puterinya untuk segera berangkat.

Keng Han tidak ikut. “Paman, sebagai seorang anak, saya harus mencari ayah saya, membujuknya agar dia menghentikan usahanya memberontak dan mengajaknya pulang ke Khitan. Setelah itu barulah orang tua saya akan mengajukan peminangan resmi atas diri Cu In.”

The Sun Tek mengangguk-angguk, diam-diam memuji calon mantunya itu. “Itu adalah suatu niat yang mulia sekali. Pergilah, kami akan menunggumu di kota raja. Memang sudah semestinya kalau orang tuamu merestui perjodohanmu.”

The Sun Tek, Ang Hwa Nio-nio dan Cu In segera berangkat. Akan tetapi belum jauh mereka pergi, Cu In membalikkan tubuhnya dan lari menghampiri Keng Han.

“Keng Han, kuharap engkau suka menyimpan ini baik-baik!” Ia pun meloloskan sabuk suteranya yang putih. “Selama ini sabukku menjadi temanku yang setia.”

Keng Han merasa terharu sekali ketika menerima sabuk sutera putih itu. Dia pun lalu mengambil pedang bengkoknya dan diserahkan kepada Cu In.

“Terima kasih, Cu In. Dan ini pedangku harap kau simpan baik-baik. Pedang ini adalah pemberian ibuku dan biarlah sekarang untuk sementara ini disimpan oleh calon isteriku yang tercinta.”
“Selamat tinggal, Keng Han,” kata Cu In sambil menerima pedang bengkok itu.
“Selamat jalan dan selamat berpisah untuk sementara, Cu In,” kata Keng Han. Gadis itu lalu pergi dengan cepat menyusul orang tuanya.
“Hi-hik-hik, sungguh lucu. Seperti orang bermain sandiwara saja. Alangkah mesranya, Keng Han!” Bi-kiam Niocu mengejek sambil tertawa.
“Kalau dua hati sudah bertemu dalam cinta, tentu saja timbul kemesraan, Niocu.“
“Aku heran sekali. Apakah matamu sudah buta, Keng Han?”
“Niocu, harap engkau jangan menghinaku. Kenapa engkau mengatakan mataku buta?”
“Benarkah engkau sudah menyaksikan bagaimana bentuk wajah sumoi Cu In?”
“Sudah, mengapa?”
“Wajahnya begitu buruk dan menjijikkan! Engkau dapat mencinta gadis dengan wajah seperti itu?”
“Niocu, engkau belum mengenal apa artinya cinta. Aku mencinta Cu In sejak ia belum memperlihatkan mukanya. Aku mencinta dia, aku mencinta pribadinya, bukan mencinta wajahnya. Setelah aku melihat mukanya, cintaku semakin kuat karena ada dorongan perasaan iba kepadanya. Aku kelak akan mencarikan tabib terpandai di seluruh dunia untuk mengobatinya!”

“Hi-hik-hik, percuma saja. Cacat di mukanya itu menurut kata subo dan sumoi sendiri, adalah cacat bekas cacar. Mana mungkin pulih kembali? Kelak engkau akan menyesal. Kalau semua orang menertawakanmu ketika engkau bersanding dengan isterimu yang wajahnya seperti setan...!”
“Cukup, Niocu! Jangan engkau menghina Cu In atau aku akan menghajarmu!”
“Eh-eh-eh, engkau akan menghajarku? Lupakah, engkau bahwa aku ini gurumu?”
“Hemmm, memang engkau pernah mengajari cara menghadapi tok-ciang, akan tetapi tadi engkau sendiri yang menyuruh aku memanggil Niocu. Jadi sekarang aku bukan lagi muridmu.”
“Hemmm, pedangmu sudah kau berikan kepada kekasihmu, bagaimana engkau akan melawan aku? Dengan sabuk sutera putih pemberian kekasihmu itu?”
“Niocu, untuk melawanmu tidak perlu aku menggunakan senjata!” kata Keng Han sambil mengikatkan sabuk sutera putih itu di pinggangnya.
“Keparat! Berulang kali engkau menghinaku, menolakku, dan sekaranglah kesempatan bagiku untuk membunuhmu! Jika aku tidak dapat memperolehmu, orang lain juga tidak boleh!” Berkata demikian, Bi-kiam Niocu mencabut pedangnya lalu menyerang dengan cepat dan dahsyat.

Namun Keng Han dengan tenang saja menggerakkan tubuhnya mengelak dari tusukan ke arah dada itu.

“Percuma, Niocu. Engkau tidak akan menang. Hentikanlah seranganmu itu dan jangan ganggu aku lagi!” Keng Han masih mencoba untuk memperingatkan lawannya.
“Mampuslah!” Niocu membentak dan menyerang lebih hebat lagi.
“Wuuuuuttt... singgg...!”

Pedang yang menebas ke arah leher itu luput karena dielakkan oleh Keng Han. Keng Han mengalah dan terus mengelak sampai sepuluh jurus. Ketika melihat gadis itu makin nekat menyerangnya, dia pun lalu membalas.

Tangan kirinya menampar ke arah leher Niocu, akan tetapi ketika Niocu mengelak, dia langsung disambut oleh tangan kanan Keng Han yang menjotos ke arah lambungnya. Niocu berseru kaget dan melompat mundur ke belakang sehingga jotosan ke lambung itu luput.

Keng Han segera bersilat dengan ilmu Toat-beng Bian-kun, sebuah di antara ilmu silat pusaka Pulau Es. Nampaknya saja ilmu silat ini lemah lembut seperti kapas, akan tetapi di dalamnya terkandung tenaga sinkang yang mengancam lawan dengan dahsyatnya! Menghadapi ilmu silat aneh dan berbahaya sekali ini, Niocu terdesak mundur terus.

“Hentikan seranganmu, Niocu. Hentikan!” Keng Han berkali-kali membujuk.

Akan tetapi Niocu yang sudah menjadi penasaran itu tidak mempedulikan seruannya dan menyerang terus. Tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya ke belakang dan gelungan rambutnya terlepas sehingga rambut itu pun menjadi riap-riapan dan panjang sampai ke pinggang.

Rambut ini, yang lembut dan berbau harum, adalah senjata yang tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan kanan Niocu. Bahkan gerakan rambut ini datangnya bisa tidak terduga-duga, dapat dipergunakan untuk menyolok mata, melibat dan mencekik leher, bahkan menotok ke arah jalan darah lawan.

Tapi Keng Han telah mengenal kelihaian rambut panjang itu. Ketika Niocu menusukkan pedangnya ke arah perut, tiba-tiba saja rambutnya melibat leher Keng Han! Keng Han mengelak ke kiri akan tetapi tidak dapat lagi mengelak dari rambut yang sudah melilit lehernya. Dia menggunakan tangan kirinya, menangkap rambut itu dan sekali tarik, rambut itu putus setengahnya!

Niocu menjerit kaget. Rambutnya yang tadinya sepanjang pinggang kini hanya tinggal sepundak! Akan, tetapi ketika sedang mundur dan kaget melihat rambutnya, Keng Han sudah maju dan menendang ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.

Kembali Niocu menjerit kaget dan pedangnya terlepas dari pegangan, mencelat ke atas. Mendadak nampak bayangan tubuh orang yang menangkis pedang yang terpental itu. Ketika bayangan itu turun, ternyata dia seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Wajahnya penuh berewok seperti muka harimau dan berewok serta rambutnya sudah putih semua!

“Bi-kiam Niocu, ini pedangmu! Apa engkau perlu bantuanku menghadapi bocah lancang ini?”

Bi-kiam Niocu bukan seorang yang curang. Sebaliknya, dia menghargai kegagahan dan tanpa malu lagi ia mengaku dalam hati bahwa kepandaiannya tidak mampu menandingi kepandaian Keng Han. Ia menyimpan kembali pedangnya dan menyanggul rambutnya yang tinggal sepundak, lalu berkata kepada orang itu.

“Pek-thou-houw (Harimau Kepala Putih), tidak perlu engkau mencampuri urusanku. Dan ada keperluan apakah engkau datang ke sini?”

Orang yang berjuluk Harimau Kepala Putih itu menghela napas panjang. Bi-kiam Niocu ini ternyata masih sama angkuhnya dengan dulu. Seorang wanita yang amat dingin dan angkuh! Maka dia pun tidak mau bicara panjang lebar, hanya menyampaikan tugasnya saja.

“Bi-kiam Niocu, aku diutus oleh Thian It Tosu dari Bu-tong-pai untuk mengundang Ang Hwa Nio-nio ke Bu-tong-san, karena di sana akan diadakan rapat besar antara para datuk dan tokoh kang-ouw. Harap engkau suka minta pada gurumu untuk menemuiku atau aku yang menghadap ke dalam,” kata Pek-thou-houw sambil memandang ke arah rumah itu.
“Guruku sudah pergi dan tidak akan kembali,” kata Bi-kiam Niocu, “maka tidak mungkin dapat pergi. Akan tetapi aku yang akan mewakilinya datang ke Bu-tong-san.”
“Begitu juga bagus, Niocu. Kami semua sudah mendengar nama besar Bi-kiam Niocu. Niocu, bagaimana kalau sebelum aku pergi, aku memberi hajaran kepada bocah ini agar lain kali dia tidak akan menggodamu lagi?”

Bi-kiam Niocu tersenyum mengejek. “Sesukamulah!” katanya.

Pek-thou-houw menghampiri Keng Han yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja. “Heh, orang muda, siapa namamu? Aku tidak biasa membunuh orang yang tak memiliki nama!” bentak Harimau Kepala Putih itu dengan sikap bengis.

“Namaku Si Keng Han dan kuharap engkau tidak mencampuri urusan antara aku dan Niocu,” kata Keng Han dengan lembut.
“Apa katamu? Kalau aku mencampuri, kau mau apa?”
“Sesukamulah kalau begitu. Tapi aku sudah memperingatkan!” kata Keng Han, kini tidak lembut lagi bahkan suaranya mengandung gertakan.
“Awas seranganku. Heh-heiiiiittt!”

Si Kepala Putih itu mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau dan tubuhnya sudah meloncat ke depan, sikapnya persis harimau yang hendak menerkam korbannya, kedua tangan dibentangkan dengan jari-jari membentuk cakar harimau.

“Hemmm...!”

Keng Han mengenal ilmu silat harimau ini. Akan tetapi harus diakui bahwa Si Harimau Kepala Putih ini sudah mempelajari segala bentuk gerakan harimau dengan seksama dan seorang ahli dalam Houw-kun (silat Harimau) itu. Dia percaya bahwa dua cakar itu sanggup merobek kulit dan daging lawan! Karena sudah mengenal ilmu itu, dengan mudah dia mengelak dengan lompatan ke kiri dan begitu ‘harimau’ itu turun ke atas tanah, dia sudah menampar dengan tangan kiri.

“Wuuuuuttt... plakkk...!”

Keng Han terkejut sendiri. Tanpa dia sadari, tangan kirinya masih memegang potongan rambut Niocu sehingga ketika dia menampar, rambut itu yang melecut ke arah muka Pek-thou-houw!

Pek-thou-houw berteriak kesakitan. Lecutan cambuk istimewa itu keras sekali sehingga meninggalkan jalur merah pada pipi dan lehernya. Sementara itu, Keng Han yang baru ingat akan rambut itu sudah mendekati Niocu dan menjulurkan tangan mengembalikan rambut.

“Maafkan aku, Niocu. Aku menyesal sekali.” katanya.

Bi-kiam Niocu menyambar rambutnya sambil menggigit bibir dan menahan keluarnya air mata, lalu ia membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu.

Pek-thou-houw tertegun. Saat melihat bahwa Bi-kiam Niocu lari pergi, dan teringat akan lecutan rambut tadi, dia pun merasa jeri. Tahulah dia bahwa Bi-kiam Niocu tadi agaknya kalah oleh pemuda itu, apa lagi dia! Maka, tanpa pamit lagi dia pun lari meninggalkan Keng Han.

Keng Han memandang ke arah bayangan Niocu dan berulang kali dia menghela napas panjang. Mudah-mudahan kelak dia bisa mendapatkan seorang pria yang benar-benar mengasihinya, pikirnya.

Dia merasa kasihan pada Bi-kiam Niocu. Dia mengerti bahwa Bi-kiam Niocu mencintai dirinya, bahkan pernah mengajaknya menikah lalu lari minggat dari subo-nya. Sekarang, melihat dia saling mencinta dengan Cu In, tentu hati wanita itu penuh iri dan cemburu, maka berusaha mati-matian untuk membunuhnya.

Dia tahu bahwa Bi-kiam Niocu bukan orang jahat, dan kalau wataknya menjadi kejam terhadap kaum pria, hal itu adalah karena sejak kecil dara ini dididik untuk membenci pria. Akan tetapi mulai sekarang, dia berharap gadis itu berubah pula setelah melihat betapa subo-nya kembali kepada kekasihnya, bahkan merestui perjodohan antara dia dan Cu In.

“Semoga engkau kelak menemukan jodohmu yang tepat, Niocu,” kata Keng Han sambil menarik napas panjang dan dia pun pergi ke Bu-tong-san.

Dia tertarik mendengar dari Pek-thou-houw tadi bahwa Bu-tong-pai akan mengadakan pertemuan besar. Siapa tahu dia akan dapat kembali bertemu dengan ayahnya di sana, mengingat bahwa gerakan ayahnya itu sejalan dengan sikap Bu-tong-pai yang hendak memberontak.....

********************
Sebuah kereta kuda berhenti di halaman depan gedung istana Pangeran Mahkota Tao Kuang. Setelah kepala jaga memeriksa siapa yang berada di dalam kereta itu, dia lalu memberi hormat dan kereta itu diperbolehkan masuk sampai ke pintu depan istana.

Pangeran Tao Kuang sedang bercakap-cakap dengan Kwi Hong, Kai-ong dan Han Li di ruangan perpustakaan yang luas ketika penjaga melapor akan kedatangan tamu-tamu berkereta itu. Mendengar siapa yang datang berkunjung, Pangeran Mahkota tersenyum dan berseri wajahnya, lalu mengajak mereka semua untuk keluar menyambut.

“Ayo kalian ikutlah, akan kuperkenalkan kepada seorang pangeran adik sepupuku yang menjadi sahabat baikku! Dialah satu-satunya orang di kalangan keluarga kami yang bisa kupercaya sepenuhnya.” katanya kepada Kai-ong dan Han Li.

Ketika mereka tiba di luar, mereka semua melihat tiga orang berada di serambi depan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang tampan dan lembut sikapnya, seorang wanita cantik yang agung dan anggun, berusia sebaya dengan pria itu. Dan di belakang mereka berjalan seorang pemuda yang tampan dan gagah.

Begitu melihat mereka, Han Li berubah air mukanya, menjadi kikuk dan salah tingkah karena ia mengenal mereka itu sebagai suami isteri Pangeran Cia Sun dan isterinya, Sim Hui Eng dan putera mereka, Cia Kun. Suami isteri dan putera mereka itu belum lama ini telah datang ke Bukit Naga untuk meminang dirinya yang hendak dijodohkan dengan putera mereka itu!

Begitu pun Kwi Hong. Ketika ia melihat siapa yang datang, kedua pipinya lalu menjadi kemerahan karena ayah bundanya pernah bertanya kepadanya, bagaimana kalau ia dijodohkan dengan putera Cia Sun, saudara sepupu ayahnya. Sudah lebih dari tiga tahun dara ini tidak pernah bertemu dengan Cia Kun dan kini pemuda itu telah menjadi seorang dewasa yang ganteng!

Demikian pula dengan Cia Kun. Dia terheran melihat Han Li berada di situ dan dia juga terpesona melihat Kwi Hong yang kini demikian cantik jelita.

Pangeran Cia Sun beserta isterinya juga merasa heran melihat Han Li. “Ehh, bukankah engkau Yo Han Li? Bagaimana bisa berada di sini?”

Sebelum Han Li dapat menjawab, Pangeran Tao Kuang berkata sambil tertawa, “Bagus, kiranya kalian sudah saling mengenal sehingga tidak perlu kuperkenalkan lagi.”

“Akan tetapi siapa Locianpwe ini? Kami tidak mengenalnya.”
“Ah, Paman ini adalah seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw, Dinda Pangeran. Tentu engkau pernah mendengar akan julukan Kai-ong, bukan?”
“Bukankah Kai-ong Lu Tong Ki?” tanya Pangeran Cia Sun.
“Benar, dia dan muridnya, nona Han Li, menjadi tamu kehormatan kami. Paman Lu, ini adalah Pangeran Cia Sun yang dahulu sering bertualang di dunia kang-ouw.”

Pangeran Cia Sun dan pengemis tua itu saling memberi hormat.

“Nah, mari kita semua masuk ke dalam dan bicara di sana!” kata Pangeran Tao Kuang dengan ramah.

Mereka semua diajak masuk ruangan tamu yang luas dan sejuk karena di ruangan itu terdapat banyak jendela sehingga hawa dapat masuk dengan leluasa.

“Kanda Pangeran, kedatangan kami untuk menjenguk Kanda karena kami mendengar bahwa Kanda baru saja diserbu orang-orang yang hendak membunuh. Kami bersyukur sekali mendengar bahwa Kanda Pangeran terlepas dari bahaya maut.”
“Benar, Adinda Pangeran. Semua ini adalah jasanya Tao Keng Han dan nona Souw Cu In yang membongkar rencana pemberontakan dan pembunuhan itu. Karena kami telah mengetahui lebih dulu, maka kami sekeluarga dibantu Paman Lu dan muridnya Han Li yang telah bersiap-siap. Juga penjagaan oleh pasukan dilakukan dengan ketat. Dengan ayahanda Kaisar pun demikian. Bahkan sepasang pendekar itu pun menyamar sebagai pengawal pribadi Kaisar.”
“Ahh, kami merasa gembira sekali mendengar itu, Kanda. Untuk itu, biarlah kuucapkan selamat dan menyulangi Kanda dengan tiga cawan arak!”

Karena di situ memang sudah dipersiapkan dan disediakan arak, maka kedua orang pangeran, diikuti yang lain minum tiga cawan arak.

“Bagaimana pun juga, kalau tidak ada bantuan nona Yo Han Li dan gurunya, tetap saja kami terancam bahaya maut. Mereka berdua yang bisa menandingi pihak pemberontak itu.”

Cia Sun tersenyum memandang kepada Han Li. “Tentu saja. Han Li adalah puteri Si Tangan Sakti Yo Han dan isterinya Si Bangau Merah Tan Sian Li. Apa lagi sekarang menjadi murid Kai-ong! Tentu ilmu kepandaiannya menjadi luar biasa sekali!”

“Aihh, Paman Cia terlalu memujiku, membuat aku merasa malu saja.”
“Li-moi, ayahku hanya berkata sebenarnya, mengapa harus malu? Dan aku percaya bahwa Hong-moi sekarang tentu telah menjadi seorang gadis yang lihai pula. Kabarnya Hong-moi menerima pelajaran dari para ahli silat yang menjadi panglima pengawal, berganti-ganti guru sehingga tentu mempunyai banyak macam ilmu silat!” kata Cia Kun sambil memandang adik sepupunya itu dengan sinar mata penuh kagum.

Pemuda ini sudah mendengar dari ayahnya bahwa pinangan mereka atas diri Han Li ditolak secara halus oleh orang tua gadis itu, maka dia tidak mengharapkan lagi dan kini perhatiannya beralih kepada Kwi Hong yang tidak kalah cantiknya dibandingkan Han Li.

“Aih, Kun-ko, engkau pandai memuji orang. Mana aku dapat dibandingkan dengan enci Han Li? Kalau dibandingkan dengan engkau saja aku sudah kalah jauh! Selain Paman Pangeran Cia sendiri memiliki ilmu yang tinggi, Bibi yang menjadi ibumu memiliki ilmu silat yang lebih hebat pula. Engkau tentu telah mewarisi semua ilmunya!”

“Ahh, Ayah dan terutama ibu memang pandai, akan tetapi aku yang bodoh, tidak dapat maju-maju dalam pelajaran ilmu silat,” bantah Cia Kun sambil memandang kepada adik sepupunya itu dengan senyum.
“Kwi Hong, kenapa engkau tidak mengajak Han Li dan Cia Kun untuk bicara di taman? Biarkan kami yang tua-tua bicara di sini,” kata Pangeran Tao Kuang kepada puterinya.
“Ah, taman bunga sedang indah karena bunga-bunga sedang mekar, di mana hawanya sejuk sekali. Marilah, enci Han Li dan kanda Cia Kun, kita bermain-main dan bicara di sana!”

Karena ajakan nona rumah ini, Han Li dan Cia Kun tidak dapat menolak dan pergilah tiga orang muda itu ke taman bunga.

Setelah tiga orang muda itu pergi, bertanyalah Cia Sun kepada Pangeran Tao Kuang, “Kanda Pangeran, sebetulnya apakah yang sudah terjadi? Siapakah yang mendalangi pemberontakan itu?”

Pangeran Tao Kuang menghela napas panjang. “Sungguh memalukan bila dipikir. Yang menjadi dalangnya adalah Tao Seng dan Tao San.”

“Bukankah mereka telah dihukum buang ketika hendak membunuhmu dahulu itu, Kanda Pangeran?” tanya Cia Sun.
“Benar, akan tetapi hukuman mereka telah habis. Mereka lalu kembali ke kota raja dan menyamar sebagai orang-orang hartawan. Kita mengetahui akan hal itu, akan tetapi mendiamkan saja. Bagaimana pun juga mereka adalah saudara-saudara kita dan pada kenyataannya hukuman bagi mereka sudah habis. Akan tetapi sungguh tidak disangka sama sekali, diam-diam mereka menghimpun kekuatan, mempergunakan datuk-datuk dan tokoh-tokoh sesat untuk membunuh ayahanda Kaisar dan aku sendiri. Dan engkau tahu siapa yang membongkar rahasia mereka?”

“Kakanda tadi sudah memberi tahukan bahwa yang membongkar rahasia itu adalah seorang bernama Tao Keng Han dan nona Souw Cu In.”
“Benar dan tahukah engkau siapa Tao Keng Han itu? Dia adalah keponakan kita sendiri, yaitu putera dari kakanda Tao Seng.”

Pangeran Mahkota Tao Kuang lalu menceritakan betapa Keng Han hendak membunuh dia karena pemuda itu dihasut oleh ayahnya sendiri yang menyamar sebagai Hartawan Ji. Akan tetapi akhirnya pemuda itu dapat disadarkan akan kekeliruannya dan bahwa dia terkena hasutan.

Cia Sun mendengarkan dengan perasaan heran bercampur kagum. “Jadi pemuda itu memusuhi ayahnya sendiri dan membongkar rahasia pemberontakannya kepadamu?”

“Benar. Akan tetapi bukan berarti bahwa dia membenci ayah kandungnya. Dia berbuat demikian sebab melihat bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar. Sekarang dia hendak mencari ayahnya untuk dibujuk pulang ke Khitan. Ibunya adalah puteri kepala suku Khitan.”

Pangeran Cia Sun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar hebat pemuda itu. Dia tentu seorang pendekar yang besar!”

“Dia memang berjiwa pendekar dan menurut keponakanmu Kwi Hong, ilmu silatnya hebat sekali sehingga dia mampu mengalahkan para datuk sesat. Karena itu maka aku minta agar dia dan nona Souw Cu In yang juga lihai sekali untuk melindungi Kaisar dan tarnyata mereka berhasil merobohkan banyak penjahat yang menyamar sebagai prajurit pengawal, akan tetapi sayang, para datuk yang memimpin penyerbuan itu dapat kabur. Rencana pemberontakan itu keji sekali. Mereka hendak membunuh ayahanda Kaisar dan aku, dan mereka mempersiapkan pasukan di luar dan di dalam kota raja, berhasil pula mempengaruhi seorang panglima. Tujuan mereka, kalau Kaisar dan aku sudah tewas, istana akan dikuasainya dan dengan dalih singgasana kosong dan dia yang berhak duduk sebagai kakakku yang tertua, Pangeran Tao Seng akan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar.”

“Keterlaluan sekali kanda Tao Seng itu. Dan sekarang, apakah dia sudah tertangkap kembali?”
“Belum. Begitu gerakan mereka gagal, dia sudah menghilang entah ke mana. Kini para penyelidik sedang mencarinya dan kalau tertangkap, sekali ini tentu dia akan dijatuhi hukuman mati.”
“Aku dapat menduga siapa datuk-datuk sesat yang dipergunakan para pemberontak itu. Mereka tentu termasuk Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka adalah datuk-datuk yang tersesat, mau melakukan apa saja asalkan pahalanya besar,” kata Kai-ong Lu Tong Ki yang sejak tadi diam saja.

“Hemmm, tiga nama datuk itu sudah terkenal sekali. Kalau hanya menerima upah harta saja tentu mereka tidak mau membantu pemberontakan,” kata isteri Pangeran Cia Sun yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw, maka ia mengenal pula ketiga orang datuk yang disebutkan tadi. “Kurasa mereka itu mendapatkan janji akan diberi kedudukan tinggi kalau Pangeran Tao Seng berhasil menjadi Kaisar.”

Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk-angguk. “Dugaan itu memang tepat sekali. Tidak dapat disangsikan lagi, mereka tentu diberi janji yang muluk-muluk.”

“Akan tetapi masih ada satu hal lagi yang sangat mengherankan hatiku, Kanda Tao Kuang.”
“Apa yang kau herankan?”
“Hadirnya Yo Han Li di tempat ini. Kalau Locianpwe Kai-ong tidak aneh berada di sini sebagai tamu karena aku tahu bahwa Kanda Pangeran suka menghargai orang pandai. Akan tetapi Han Li, dia masih terhitung keponakanku sendiri karena ayahnya adalah kakak angkatku. Akan tetapi walau pun demikian, ayahnya itu juga ketua Thian-li-pang yang jelas-jelas merupakan perkumpulan para pejuang yang sewaktu-waktu juga dapat memberontak. Bukankah tersiar berita bahwa para penyerang yang hendak membunuh kaisar itu mengaku orang Thian-li-pang?”

Pangeran Tao Kuang tersenyum. “Berita itu bohong dan yang membongkar rahasianya adalah nona Yo Han Li. Ia tidak mengenal satu pun orang-orang itu sebagai anggota Thian-li-pang, bahkan kemudian diketahui bahwa para penyerang itu adalah orang dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Tadinya aku pun sangat curiga kepada nona Yo, akan tetapi selama ia di sini ia memperlihatkan sikap yang baik sekali, bahkan cocok dengan Kwi Hong. Oleh sebab itu, aku sepenuhnya menanggung bahwa nona Yo tidak berpihak kepada pemberontakan, bahkan ia pun ikut turun tangan melawan ketika gerombolan penjahat itu menyerbu ke istana ini.”

Pangeran Cia Sun mengangguk-angguk, dan Liang Siok Cu, selir Pangeran Tao Kuang yang mendampingi mereka bercakap-cakap, menambahkan, “Menurut penglihatanku, nona Yo sama sekali tidak jahat. Bahkan ia baik sekali, sopan dan ramah. Dengan terus terang dia pernah mengatakan kepada aku dan Kwi Hong, bahwa ayahnya memang pemimpin Thian-li-pang dan berjiwa patriot, tetapi sama sekali tidak membenci keluarga Kaisar. Yang dibencinya adalah penjajahan, dan kini mereka hanya bergerak melindungi rakyat dari penindasan pejabat-pejabat yang menyeleweng atau gangguan gerombolan perampok. Itulah sebabnya mengapa ia mau tinggal di sini menjadi tamu kami, bahkan telah ikut membantu menyelamatkan kami dari serbuan para pembunuh.”

Kembali Cia Sun mengangguk-angguk. “Aku sudah mengenal baik siapa itu Yo Han. Pendekar Tangan Sakti itu memang seorang pendekar tulen yang budiman. Dia hampir tak pernah membunuh orang. Orang-orang jahat hanya dia kalahkan dan dia taklukkan, kemudian diampuni asalkan mau mengubah jalan hidup mereka yang menyeleweng.”

Sementara itu, di taman bunga juga terjadi percakapan yang menarik hati.

“Taman begini indah, hawa pun begini sejuk, sungguh tepat sekali untuk menulis sajak, meniup suling dan menabuh yangkim. Akan tetapi, karena kita belum mempersiapkan peralatannya, bagaimana kalau kita isi dengan mempertunjukkan ilmu silat kita masing-masing?” kata Kwi Hong dengan gembira.
“Bagus!” Cia Kun memuji. “Engkau yang mengusulkan, sebaiknya engkau yang terlebih dulu mulai, Hong-moi!”
“Tidak, sebaiknya kalau enci Han Li yang mulai, mengingat bahwa ilmu silatnya yang paling tinggi di antara kita. Marilah, enci Han Li, bermainlah silat agar membuka mata kami yang bodoh!” kata pula Kwi Hong sambil menarik-narik tangan Han Li.

Han Li tersenyum. “Sudah lajim di mana-mana bahwa pria harus mengalah kepada wanita. Karena kita berdua wanita dan yang pria hanya Kun-ko, maka sepantasnyalah kalau dia mangalah dan bermain silat lebih dulu.”

Kwi Hong bertepuk tangan dan bersorak. “Setuju sekali. Nah, Kun-ko, kalau engkau menolak berarti engkau seorang laki-laki yang tidak bijaksana, tidak mau mengalah terhadap wanita!”

Menghadapi serangan Kwi Hong ini, Cia Kun menyeringai dan tidak mampu membantah lagi. “Baiklah aku akan mengalah. Aku mainkan ilmu pedang yang kupelajari dari ibuku.”

Kwi Hong bertepuk tangan. “Wah, tentu hebat sekali!”

Cia Kun lalu mengeluarkan sebatang pedang dari punggungnya dan mencabut sebuah kipas putih dari pinggangnya, kemudian dia berkata sambil tersenyum. “Ibuku biasanya memainkan pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri. Oleh karena aku tidak memainkan kebutan seperti seorang pendeta, ibu lalu mengganti kebutan itu dengan kipas. Nah, aku mulai, akan tetapi harap jangan ditertawakan!”

Cia Kun lalu melompat ke bagian yang luas dekat kolam ikan dan mulailah dia bermain pedang dan kipas. Gerakannya cepat dan indah sekali, seperti orang menari-nari dan terdengar suara berdesing dari pedangnya. Kipasnya melakukan totokan-totokan yang cepat dan kuat, kadang dikembangkan untuk menangkis serangan lawan.

Pemuda itu memainkan ilmu pedangnya yang sebanyak tiga puluh enam jurus itu, lalu berhenti. Lehernya sedikit berkeringat namun pernapasannya biasa saja, tanda bahwa dia sudah menguasai ilmu itu dengan baik dan dapat mengatur pernapasannya ketika berlatih tadi.

Kwi Hong bertepuk tangan, diikuti oleh Han Li. Dan Han Li berkata, “Sungguh kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!”

“Aihh, Li-moi, jangan memuji di mulut akan tetapi menertawakan di hati!” kata Cia Sun sambil menyimpan kembali pedang dan kipasnya.
“Siapa menertawakan, Kun-ko?” Tiga tahun yang lalu, ketika engkau dan orang tuamu datang berkunjung engkau juga memperlihatkan ilmu silatmu, akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan yang kau mainkan tadi. Dalam waktu tiga tahun saja ilmu silatmu telah maju pesat sekali.”
“Terima kasih atas pujianmu, Li-moi.”
“Haiii, kalian ini agaknya sudah lama berkenalan,” kata Kwi Hong sambil memandang wajah kakak misannya.
“Tentu saja!” jawab Cia Kun sambil tersenyum. “Bahkan Han Li ini boleh dibilang adikku sendiri. Ayahku dan ayahnya adalah saudara angkat!”
“Ah, pantas saja kalian demikian akrab. Nah, enci Han Li, sekarang tiba giliranmu untuk menunjukkan kepandaianmu!” kata Kwi Hong dengan gembira. Tadi ia merasa bangga dan kagum sekali melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh kakak misannya.
“Ihh, apakah engkau tidak mengenal lagi sopan santun, adik Kwi Hong. Engkau adalah nona rumah dan aku hanya tamu, maka sudah selayaknya kalau nona rumah memberi contoh lebih dulu, baru aku sebagai tamu mengikutinya!”
“Wah, kiranya yang lihai bukan hanya ilmu silatmu, enci. Han Li. Engkau lihai sekali berdebat dan bicara. Baiklah, sebagai nona rumah aku harus mengalah. Akan tetapi berjanjilah bahwa kalian berdua tidak mentertawakan ilmu pedangku.“
“Mana mungkin kami menertawakanmu? Kami percaya bahwa ilmu pedangmu tentu hebat sekali. Hayolah, adik Hong, perlihatkan kehebatan pedangmu!”
“Hong-moi, aku tadi sudah mengalah bermain pedang lebih dulu, maka kini engkau tidak dapat menolak lagi,” Cia Kun juga membujuk.
“Baiklah, boleh lihat baik-baik ilmu pedangku yang jelek dan dangkal.”

Kwi Hong lalu meloncat ke tempat dekat kolam tadi sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali gerakan mencabut pedang itu sehingga seperti bermain sulap saja, tahu-tahu pedang sudah berada di tangan kanannya. Ia memberi hormat dengan kedua tangan di dada terhadap dua orang penontonnya dan mulailah ia bermain silat pedang Ngo-heng Sin-kiam (Pedang Sakti Lima Unsur), yaitu ilmu silat yang secara kebetulan dia temukan bukunya di perpustakaan istana kaisar.

Dan kedua orang penontonnya tertegun. Hebat memang ilmu pedang itu, mengandung tenaga keras tetapi kadang lembut, kadang cepat dan kadang lambat. Dan Kwi Hong memainkannya dengan gerakan yang indah sekali.

Kini Yo Han Li yang merasa kagum. Belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti itu. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan ilmu pedang yang dimainkan Cia Kun tadi, jelas bahwa ilmu pedang yang dimainkan Kwi Hong ini lebih lihai. Juga Cia Kun kagum bukan main. Ilmu pedang itu tidak pernah dilihatnya, namun gerakannya demikian kuat dan cepat.

Setelah Kwi Hong menghentikan permainan pedangnya, Cia Kun dan Han Li langsung menyambutnya dengan tepuk tangan.

“Kiam-hoat itu sungguh hebat sekali!” kata Han Li.
“Wah, Hong-moi, kalau aku tahu bahwa ilmu pedangmu demikian hebat, aku tadi tidak akan berani memperlihatkan kebodohanku. Aku mengaku kalah!” kata Cia Kun sambil menghampiri adik misannya itu.
“Kalian berdua terlalu memujiku!” berkata Kwi Hong sambil menyapu dahi dan lehernya yang berkeringat itu dengan sapu tangan. “Sekarang aku minta enci Han Li yang memperlihatkan kepandaiannya.”
“Karena kalian tadi bermain pedang, biarlah aku pun menggunakan pedang,” kata Han Li sambil mencabut pedangnya. Pedang itu tipis dan tidak begitu panjang.

Setelah memberi hormat kepada dua orang penontonnya, Han Li mulai menggerakkan pedangnya. Mula-mula gerakannya lambat saja, akan tetapi makin lama semakin cepat sehingga tubuhnya lenyap tergulung sinar pedang. Pedang itu mengeluarkan angin dan kadang sinarnya membubung ke atas, lalu mencuat ke kanan kiri. Kalau sinar pedang itu mencuat ke atas, maka jatuhlah daun-daun pohon berhamburan! Sungguh ilmu silat yang luar biasa, baru sinar pedangnya saja mampu membuat daun-daun itu berjatuhan!

Cia Kun dan Kwi Hong menjadi bengong menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Han Li. Mereka tidak tahu bahwa itu adalah ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), sebuah ilmu pedang dari keluarga Lembah Naga. Mata mereka menjadi silau dan seolah mereka menahan napas saking kagumnya.

Baru setelah gulungan sinar itu lenyap dan nampak Han Li berdiri di situ dengan pedang bersembunyi di lengan kanarnya, mereka bertepuk tangan. Han Li menyimpan pedang dan menghampiri mereka dengan senyum simpul.

“Hebat! Hebat sekali ilmu pedangmu tadi, enci Han Li!” seru Kwi Hong.
“Memang hebat, akan tetapi ilmu pedangmu juga tidak kalah hebatnya, Hong-moi,” kata Cia Kun.
“Ahh, engkau bisa saja memuji orang, Kun-ko!”
“Aku tidak asal memuji. Memang ilmu pedangmu tadi bagus sekali. Tanyakan kepada nona Yo kalau tidak percaya!”

Yo Han Li mengangguk. “Memang hebat ilmu pedangmu tadi. Aku tidak pernah melihat ilmu pedang seperti itu. Apa namanya ilmu pedangmu itu, adik Kwi Hong?”

“Ilmu pedang itu kudapatkan secara kebetulan sekali. Pada saat aku mencari-cari buku bacaan di kamar perpustakaan istana, aku menemukan sebuah kitab lama yang sukar dibaca. Aku lalu minta tolong kepada para sastrawan di istana dan akhirnya mengetahui bahwa isinya adalah ilmu pedang yang namanya Ngo-heng Kiam-sut. Nah, aku pun lalu mempelajarinya.”
“Hebat sekali. Ilmu itu tentu peninggalan orang sakti dan engkau beruntung sekali dapat menemukannya, adik Kwi Hong.”
“Jangan terlalu memujiku, enci Han Li. Ilmu pedangmu tadilah yang sangat hebat. Apa sih namanya?”
“Itu adalah Koai-liong Kiam-sut yang kupelajari dari ibuku.”
“Dari kitab kuno dapat mempelajari ilmu pedang yang demikian kuat dan indah? Engkau sungguh seorang gadis yang cerdik dan tekun, Hong-moi. Aku sungguh merasa kagum sekali!” tiba-tiba Cia Kun berkata sambil memandang wajah gadis itu. Wajah Kwi Hong menjadi kemerahan.
“Ahh, Kun-ko. Sudahlah, jangan memuji-muji aku terlalu tinggi. Jangan-jangan kepala ini nanti membesar dan meledak karena bangga!” kata Kwi-Hong sambil tersenyum.

Cia Kun juga tertawa dan dia beradu pandang dengan Kwi Hong. Dari pandang mata ini mereka dapat mengetahui bahwa keduanya saling tertarik. Han Li melihat gelagat ini.

Tadinya Cia Kun menyatakan suka kepadanya, bahkan ayah dan ibunya sudah datang meminangnya. Akan tetapi karena ayah ibunya tidak menyetujui pinangan itu, agaknya Cia Kun tidak lagi mengharapkannya dan memindahkan perhatian kepada Kwi Hong.

Mereka memang pasangan yang sangat cocok, keduanya anak pangeran, sama-sama berdarah bangsawan. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin hadir terus di situ yang hanya akan merupakan gangguan bagi mereka.

“Ahh, kepalaku agak pening rasanya. Maafkan aku, adik Kwi Hong, aku permisi dahulu untuk rebahan di kamarku.”
“Ahhh, tentu saja, Enci Han Li. Apakah engkau sakit? Jangan-jangan masuk angin.“ Kwi Hong mendekatinya dan meraba dahi Han Li, “Perlukah kupanggilkan tabib?”
“Ah, tidak usah, adik Kwi Hong, terima kasih. Aku hanya merasa pening dan lelah. Ingin mengaso.”
“Kalau begitu baiklah, enci Han Li, aku akan bercakap-cakap dengan Kun-ko di sini.”

Han Li lalu pergi dari situ. Setelah agak jauh dia mendengar suara Kwi Hong dan Cia Kun. Keduanya tertawa-tawa dengan gembira.

“Semoga mereka berbahagia,” katanya dalam hati sambil memasuki gedung istana itu untuk menuju ke kamar yang disediakan untuknya.
“Nah, kebetulan sekali, Hong-moi. Kini kita ditinggalkan berdua saja. Aku memang ingin menyampaikan perasaan hatiku setelah bertemu denganmu. Sudah sekian lama tidak saling bertemu dan tadi begitu melihatmu, jantungku berdebar tidak karuan. Kini engkau sudah menjadi gadis dewasa yang cantik seperti bidadari dan juga tangguh seperti seorang pendekar wanita. Aku merasa kagum sekali, Hong-moi.”
“Wah, pujianmu terlalu muluk, Kun-ko. Aku hanya seorang gadis biasa, mana mungkin disamakan dengan bidadari?” Kwi Hong lalu tertawa dan Cia Kun juga tertawa. Inilah yang didengarnya oleh Han Li sebelum ia masuk ke dalam istana.
“Sungguh, Hong-moi. Aku tidak main-main. Di dalam istana ayahku ada sebuah patung Dewi Kwan Im, dan kulihat engkau mirip patung itu, lebih elok malah.”
“Aku kau samakan dengan Kwan Im Pousat? Ngaco! Engkau terlalu memujiku, padahal engkau sendiri seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Tentu banyak gadis puteri istana yang tergila-gila padamu.”
“Entahlah, aku tidak memperhatikan mereka. Tidak ada seorang pun puteri istana yang dapat menyamai engkau, Hong-moi. Karena itulah, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk meminangmu sebagai calon isteriku.”
“Ihh! Jangan bicara soal perjodohan, Kun-ko.” Kwi Hong membalikkan diri dan mukanya menjadi merah sekali. Cia Kun mengitarinya dan menghadapinya.
“Engkau marah, Hong-moi? Maafkan kelancanganku kalau begitu. Akan tetapi sebelum ayah bundaku melamarmu, aku ingin lebih dahulu mengetahui darimu, apakah hatimu sudah ada yang punya? Kalau engkau tidak setuju, katakan saja sekarang agar orang tuaku tidak usah melamar kalau kemudian kau akan menolaknya. Maka itu, katakanlah, bagaimana kalau ayah bundaku melamarmu?”

Kwi Hong merasa terharu sekali. Ia memang pernah jatuh cinta pada seorang pemuda, dan pemuda itu adalah Keng Han. Akan tetapi ternyata bahwa Keng Han adalah kakak sepupunya, satu marga sehingga tidak mungkin sekali mereka menjadi suami isteri.

Sekarang Cia Kun menyatakan cintanya. Ditanya seperti itu, tentu saja sukar baginya untuk menjawab. Di dalam hatinya, ia pun kagum dan suka kepada Cia Kun. Seorang pemuda bangsawan, putera pangeran yang terkenal berbudi, seorang pemuda yang juga tidak lemah, karena ibunya seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi. Mau apa lagi?

“Hong-moi, jawablah. Jangan biarkan aku dalam keraguan yang akan menyiksa hatiku. Aku tidak akan merasa sakit hati andai kata engkau menolakku. Aku hanya ingin adanya kepastian dan jawablah selagi kita hanya berdua di sini.”
“Ahhh, Kun-ko... urusan begituan... kuserahkan saja kepada ayah dan ibuku. Mari kita kembali kepada mereka.“

Dan tanpa menanti jawaban Kwi Hong lalu berlari masuk, disusul oleh Cia Kun. Pemuda ini merasa gembira bukan main. Dia tahu bahwa kalau seorang gadis setuju dipinang, ia pasti akan mengatakan seperti yang dikatakan gadis itu, yaitu menyerahkan kepada orang tuanya. Kalau tidak setuju, pasti terus terang dikatakan tidak setuju!

Ketika Cia Kun dan Sim Hui Eng melihat putera mereka kembali dari taman bersama Kwi Hong dan wajah pemuda itu berseri serta matanya bersinar-sinar, mereka sudah dapat menduga. Apa lagi saat melihat Kwi Hong malu-malu duduk sambil menundukkan mukanya!

Mereka berpamit dan diantar oleh Pangeran Tao Kuang dan selirnya sampai ke pintu depan. Dengan hati gembira dan tidak sabar lagi, Cia Kun lalu menceritakan kepada ayah bundanya bahwa dia telah menyatakan cintanya kepada Kwi Hong dan agaknya gadis itu tidak berkeberatan. Maka dia minta kepada ayah ibunya untuk meminang gadis itu.

Cia Sun dan isterinya gembira mendengar berita ini karena mereka tentu setuju sekali kalau mempunyai menantu puteri Pangeran Mahkota. Mereka berjanji akan melakukan pinangan secepat mungkin…..
********************
Bi-kiam Niocu Siok Bi Kiok melakukan perjalanan seorang diri. Berulang kali ia menarik napas panjang karena hatinya murung dan kecewa sekali. Sampai usianya yang dua puluh dua tahun, dia belum pernah merasa jatuh cinta terhadap seorang pria. Apa lagi akibat penekanan dari subo-nya bahwa semua pria adalah jahat dan palsu, dia bahkan membenci kaum pria.

Dan karena ia seorang gadis yang berwajah cantik, maka tentu saja dalam perjalanan ia banyak digoda pria yang mengakibatkan pria-pria itu tewas terbunuh olehnya. Akan tetapi sejak ia bertemu Keng Han, entah bagaimana ia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.

Ilmu kepandaian dan watak serta ketampanan wajah pemuda itu membuatnya tergila-gila. Bahkan saking cintanya, ia lalu menjadikan pemuda itu sebagai muridnya dan ikut membantunya menghadap Dalai Lama.

Akhirnya ia pun minta pemuda itu agar suka menjadi suaminya, walau pun maksud ini bertentangan dengan ajaran subo-nya. Ia berani menentang maut demi cintanya kepada pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu menolaknya.

Sakit sekali rasa hatinya. Ingin dia membunuh pemuda itu, akan tetapi kembali hatinya kecewa karena ternyata dia tidak mampu mengalahkan Keng Han, bahkan sebagian rambutnya putus di tangan pemuda itu. Rasa sakit hatinya bertambah.

Apa lagi ketika Keng Han mengakui bahwa dia mencintai Cu In yang berwajah cacat dan buruk! Dari pada memilih dirinya yang cantik jelita, pemuda itu malah memilih gadis yang cacat wajahnya! Hal ini amat menyakitkan dan mengecewakan hatinya dan kini ia pergi ke Bu-tong-pai untuk menghibur diri dan melihat apa yang terjadi di sana.

Pada suatu hari tibalah ia di kota Hue-nam. Kota ini cukup besar dan Niocu memasuki pintu gerbang kota itu. Karena hari telah senja, ia hendak melewatkan malam di kota itu. Mulailah dia mencari rumah makan yang juga merupakan penginapan. Setelah melihat rumah penginapan yang dari papan namanya diketahui bernama Losmen Hok-lai, ia lalu masuk ke rumah makan di depan penginapan itu.

Masuknya seorang wanita seperti Niocu, yang cantik jelita dan sendiri pula, tentu saja menarik perhatian banyak orang, terutama para prianya. Kebetulan dalam rumah makan itu maslh terdapat meja yang kosong dan Niocu disambut seorang pelayan serta diajak menuju ke sebuah meja kosong di sudut.

Puluhan pasang mata pria mengikutinya dan memandang dengan kagum. Akan tetapi Niocu tidak mengacuhkan. Sudah biasa baginya melihat mata pria menantapnya penuh kagum. Asal tidak ada yang berucap atau berbuat kurang ajar, ia tidak ambil peduli.

Akan tetapi hatinya tertarik sekali melihat seorang pemuda yang juga duduk seorang diri menghadapi meja. Pemuda itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, bertubuh tinggi besar, dan wajahnya berbentuk bundar dengan mata yang lebar. Pemuda itu duduk menghadap ke arahnya, akan tetapi pemuda itu bersikap tidak acuh.

Melihat ini hati Niocu menjadi penasaran. Belum pernah dara ini melihat laki-laki yang bersikap acuh tak acuh terhadap kehadirannya. Sekali pun pemuda itu tak memandang kepadanya!

Wanita memang aneh. Diperhatikan orang tidak suka, akan tetapi tidak diacuhkan juga tidak senang dan penasaran. Dengan sengaja Niocu menaruh pedangnya di atas meja sambil agak dibanting untuk menimbulkan suara agar pria di depan itu memperhatikan dirinya.

Akan tetapi pria itu mengangkat muka dan hanya memandang kepada pedangnya di atas meja, sama sekali tidak melirik kepadanya! Padahal semua pria yang berada di rumah makan itu menoleh kepadanya.

Kepada pelayan yang mengantarnya ke meja itu ia lalu memesan masakan yang mahal, juga dengan suara tinggi agar terdengar pemuda di depannya itu. Akan tetapi kembali sang pemuda tidak mengacuhkannya, bahkan mulai makan kacang goreng yang berada di mejanya sambil sesekali minum araknya dari cawan.

Bila pemuda itu tidak mempedulikan Niocu, sebaliknya ada empat orang pemuda yang tidak menyembunyikan kekaguman mereka. Empat orang pemuda ini jelas merupakan pemuda-pemuda bangsawan atau hartawan. Pakaian mereka mewah sekali dan usia mereka rata-rata dua puluh lima tahun.

“Bukan main cantiknya nona itu! Hatiku seketika jatuh!” terdengar seorang di antara mereka berkata, suaranya cukup lantang untuk dapat terdengar oleh Niocu.
“Kasihan ia makan seorang diri, bagaimana kalau kita undang ia makan di meja kita?” kata orang kedua.
“Bagus sekali. Meja kita cukup lebar untuk ditempati lima orang. Akan tetapi bagaimana kalau ia menolak undangan kita dan marah?” kata yang ketiga.
“Hemmm, siapa yang tidak mengenalku, si penakluk wanita? Belum, pernah ada wanita yang menolak undanganku. Kalian lihat saja!” berkata orang keempat, seorang pemuda yang paling pesolek di antara mereka dan memang wajahnya tampan sekali.

Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja Niocu. Kepada gadis itu dia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Niocu menghadapinya dengan dingin dan tenang, tidak membalas penghormatan itu.

“Maafkan aku, Nona. Namaku Teng Sin, dan melihat Nona duduk seorang diri, kami berempat merasa kasihan. Maka saya mengundang Nona untuk duduk makan bersama di meja kami. Kami yang akan membayar semua pesanan Nona! Marilah, Nona, kami mengundang dengan hormat!”

Niocu mengerutkan alisnya. Meski pun pemuda itu secara tidak wajar mengundangnya makan bersama, namun ucapannya sopan dan ia masih dapat menahan diri. Pemuda ini tidak kurang ajar, hanya mengundang makan dengan hormat walau pun undangan itu tidak wajar karena mereka tidak saling mengenal.

“Terima kasih. Aku ingin makan sendirian di sini, tidak ingin ditemani siapa pun juga,” jawabnya dingin.
“Aih, Nona. Mengapa Nona menolak undangan kami? Kami bermaksud baik, Nona. Aku Teng Sin selalu memandang tinggi gadis-gadis cantik dan sangat menghargai mereka. Marilah, Nona, harap jangan malu-malu.”

Kalau tadinya Niocu hanya menunduk, kini ia mengangkat muka dan matanya bersinar tajam memandang kepada pemuda itu, mula-mula ke wajah lalu pakaiannya. Pemuda yang tampan dan pesolek, model pemuda-pemuda yang suka mempermainkan wanita.

“Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Cepat pergilah!” kata Niocu, masih dapat menahan kesabarannya. “Pergi atau engkau akan menyesal nanti!”

Akan tetapi mana pemuda itu mau pergi? Dia telah berdiri di dekat Niocu dan melihat betapa cantiknya gadis itu.

“Nona begini cantik seperti bidadari, tentu berbudi mulia seperti bidadari pula dan tidak akan menolak maksud baik kami. Marilah, nona manis, engkau tentu akan mendapatkan kegembiraan makan semeja dengan kami. Kami adalah pemuda-pemuda hartawan dan bahkan di antara kami ada yang menjadi putera jaksa. Engkau akan terhormat kalau memenuhi undangan kami.” Pemuda itu tidak mau kalah dan terus membujuk.
“Hemmm, sudah ditolak masih terus minta-minta dan merengek. Sungguh bermuka tebal dan tidak tahu malu!”

Terdengar suara orang dan ketika semua orang menoleh, ternyata yang bicara adalah pemuda yang makan kacang goreng itu. Niocu juga memandang dan melihat pemuda itu masih makan kacang goreng, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan kepada pemuda hartawan itu.

Pemuda hartawan itu menjadi marah sekali dan dengan langkah lebar dia menghampiri pemuda yang mengeluarkan kata-kata mengejeknya tadi.

“Siapa engkau? Berani mencampuri urusanku?” Dan tiga orang pemuda lain juga sudah bangkit berdiri siap mengeroyok pemuda bermata lebar itu.

Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum. Dia lalu mengambil empat biji kacang goreng, dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian dengan tiba-tiba dia menyemburkan empat biji kacang itu dari mulutnya dan empat orang pemuda itu mengaduh sambil meraba pipi mereka. Ternyata semburan kacang itu mengenai pipi mereka dan terasa nyeri bukan main seolah pipi mereka disambar benda keras yang membuat pipi itu lecet dan kulitnya pecah!

Empat orang pemuda itu adalah pemuda-pemuda kaya yang biasanya tidak pernah disentuh orang. Apa lagi di antara mereka terdapat putera jaksa yang membuat mereka berani melakukan apa saja. Kini, melihat ada orang berani menentang mereka bahkan melukai mereka, empat orang pemuda itu menjadi semakin marah.

“Orang lancang dan kurang ajar! Engkau pantas dihukum!” kata mereka dan empat orang itu maju hendak menghajar laki-laki itu.

Kini pria itu menenggak arak dari cawan dan kembali dia menyemburkan arak itu ke arah empat orang yang mengancamnya. Kini empat orang itu terhuyung ke belakang, muka mereka rasanya seperti ditusuk banyak jarum sehingga mata mereka juga sukar dibuka.

Barulah mereka menyadari bahwa pemuda itu seorang yang berilmu tinggi. Mereka menjadi ketakutan dan tanpa dikomando, mereka serentak mundur dan melarikan diri keluar dari rumah makan itu!

Niocu menjadi kagum. Orang itu tentu lihai sekali dan ketika laki-laki itu memandang kepadanya, ia mengangguk dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu.”

Pemuda itu pun mengangguk dan melanjutkan makan minum. Niocu juga makan minum seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Pemuda itu selesai makan dan setelah membayar harga makanan, dia keluar lebih dulu. Tidak lama kemudian, Niocu juga selesai makan, membayar harga makanan ia lalu berkata kepada pelayan bahwa ia hendak bermalam di rumah penginapan Hok-lai itu.

Si pelayan segera mengantar Niocu masuk ke dalam dan mendapatkan sebuah kamar di loteng. Kamar itu menghadap ke jalan sehingga dari jendela kamarnya Niocu dapat menjenguk keluar dan melihat lalu lintas di jalan raya yang berada di luar losmen itu.

Baru saja Niocu melepaskan buntalan pakaiannya dan bersiap hendak mandi, tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia menghampiri jendela dan menjenguk keluar.

Dan ia melihat betapa tidak begitu jauh dari losmen itu, terdapat seorang pemuda yang dikeroyok belasan orang. Ia segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang tadi sudah membantunya. Cepat ia turun dari loteng dan keluar.

Pemuda itu memang benar-benar tangguh. Para pengeroyoknya adalah tukang-tukang pukul yang memegang senjata golok dan ruyung, akan tetapi pemuda itu hanya dengan kedua tangan kosong saja melawan mereka, membagi pukulan dan tendangan.

Melihat ini, Niocu tidak sabar lagi dan segera berlari ke tempat itu dan terjun ke dalam perkelahian. Belasan orang itu yang tadinya memang sudah kewalahan mengeroyok si pemuda, kini menjadi kalang kabut diterjang oleh Niocu. Niocu juga tidak menggunakan pedangnya, hanya menggunakan kedua tangan dan kaki saja, akan tetapi dalam waktu singkat ia sudah merobohkan lima orang!

Pemuda itu pun dengan cepat merobohkan beberapa orang. Para pengeroyok menjadi jeri bukan main melihat sepak terjang dua orang yang sedang mereka keroyok. Mereka segera melarikan diri sambil memapah teman-teman mereka yang sudah roboh.

Pemuda itu berhadapan dengan Niocu.

“Terima kasih atas bantuanmu!” katanya sambil mengangguk.

Niocu balas mengangguk dan keduanya lalu pergi karena di situ terdapat banyak orang yang menonton. Niocu kembali ke losmen dan segera mandi serta bertukar pakaian. Akan tetapi sejak tadi dia tidak pernah dapat melupakan pemuda yang tadi dibantunya.

Seorang pemuda yang gagah, pikirnya dan diam-diam ia merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya. Bukan pemuda mata keranjang, bukan pemuda usil yang suka menggoda wanita. Akan tetapi pemuda itu sungguh gagah dan lihai.

Pada keesokan harinya, Niocu melanjutkan perjalanan menuju ke Bu-tong-pai. Ketika ia tiba di luar kota Hue-nam, ia melihat seorang pria berjalan di depannya, menuju arah yang sama. Meski ia hanya melihat dari belakang, namun hatinya berdebar karena dia mengenal orang itu sebagai pemuda yang kemarin.

Dia mempercepat langkahnya mengejar dan ternyata dugaannya benar. Ia melampaui pemuda itu, pura-pura tidak melihatnya karena rasanya tidak pantas kalau ia sebagai seorang wanita menegur lebih dulu.

“Perlahan dulu, Nona,” terdengar suara pemuda itu.

Niocu menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya. Kini dia berhadapan dengan pemuda itu.

“Ah, kiranya engkau!” katanya dengan wajar.
“Nona, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Kalau aku boleh bertanya, Nona hendak pergi ke manakah?”
“Aku hendak pergi ke Bu-tong-san.”

Wajah pemuda tampan itu berseri. “Ah, sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan. Aku pun sedang menuju ke Bu-tong-pai, Nona!”

Niocu memandang dengan tajam seolah-olah hendak menjenguk isi hati pemuda itu. “Apakah engkau murid Bu-tong-pai?”

“Sama sekali bukan. Akan tetapi aku mengenal baik ketua Bu-tong-pai dan aku menjadi tamu di sana. Kalau memang engkau hendak pergi ke Bu-tong-san, apa bila Nona tidak berkeberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama. ”Ucapan pemuda itu wajar saja. “Akan tetapi kalau Nona keberatan, aku pun tidak akan memaksa atau kecewa.”

Niocu diam-diam merasa gembira sekali. Ia sudah tertarik kepada pemuda ini dan ingin mengenalnya lebih baik. Ternyata secara kebetulan sekali bertemu di sini dan arah perjalanan mereka ternyata sama!

Tentu saja ia tidak tahu sama sekali betapa sejak pagi sekali tadi, pemuda itu dengan sembunyi sudah mengamatinya dan tahu bahwa dia meninggalkan losmen dan pergi keluar kota. Pemuda itu selalu membayanginya dan ketika melihat ia pergi ke jurusan itu, pemuda itu dengan jalan memutar mendahuluinya!

“Aku hendak ke Bu-tong-pai dan mendengar bahwa di sana akan diadakan pertemuan orang-orang kang-ouw, aku pergi ke sana untuk meluaskan pengalaman. Engkau tentu mengetahui tentang Bu-tong-pai, apakah benar akan ada pertemuan besar di sana?”
“Benar sekali, Nona. Bahkan aku baru pulang setelah mengirim undangan-undangan dari Bu-tong-pai. Aku dimintai bantuan oleh ketua Bu-tong-pai. Dan sekarang, biarlah kami mengundang juga Nona untuk menghadiri pertemuan itu sebagai tamu agung.”
“Aihh, kebetulan sekali kalau begitu.”
“Jadi Nona tidak keberatan kalau melakukan perjalanan bersamaku ke sana?”
“Tentu saja tidak.”
“Terima kasih atas kepercayaan Nona padaku. Nona, namaku Gulam Sang. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama Nona?”
“Namaku Siang Bi Kiok, akan tetapi dunia kang-ouw lebih mengenalku sebagai Bi-kiam Niocu.”
“Ahhh! Jadi Nona yang disebut Bi-kiam Niocu? Sudah lama sekali aku mendengar dan mengagumi Bi-kiam Niocu yang kabarnya pandai sekali menggunakan pedang. Kiranya Nonalah orang itu dan sekarang bahkan aku mendapat kehormatan untuk melakukan perjalanan bersama.”

Melihat kegembiraan pemuda itu Niocu merasa senang. Semua itu begitu wajar dan pemuda ini tidak bermuka-muka.

“Melihat namamu tentu engkau seorang asing. Boleh aku mengetahui dari mana engkau berasal?”

Gulam Sang menjawab cepat. “Memang aku berasal dari Tibet, Nona. Tetapi setelah berada di sini aku tidak merasa sebagai orang asing.”

“Mari kita lanjutkan perjalanan kita sambil bercakap-cakap, saudara Gulam Sang. Ahh, aku harus menyebut apa padamu?“
“Sebut saja namaku tanpa embel-embel, dan aku akan menyebut Niocu kepadamu,” kata Gulam Sang merendah.
“Baiklah, Gulam Sang. Aku melihat betapa hebat kepandaianmu ketika menghadapi empat pemuda di rumah makan dan ketika tadi dikeroyok banyak tukang pukul. Engkau dari perguruan manakah? Dan siapakah gurumu?”

“Guruku hanya satu, yaitu Sang Dalai Lama di Tibet.”
“Aihh, tidak mengherankan kalau begitu. Dalai Lama adalah seorang yang sakti. Aku pernah menghadap dia dan menyaksikan kehebatan ilmunya. Mengapa waktu aku ke sana engkau tidak berada di sana, Gulam Sang?”
“Aku sudah lama sekali meninggalkan Tibet. Sudah lebih dari lima tahun. Tentu aku sudah pergi dari sana ketika engkau menghadap guruku. Akan tetapi, mengapa engkau pergi menghadap guruku, Niocu? Ada keperluan apakah engkau dengan guruku?”
“Ahh, aku sendiri tidak memiliki urusan apa pun dengannya. Akan tetapi aku mengantar seorang kawan bernama Si Keng Han yang mendendam kepada Dalai Lama karena Dalai Lama menyuruh para Lama untuk membunuh gurunya yang namanya Gosang Lama.”

Berdebar jantung dalam dada Gulam Sang. Tentu saja dia telah mengetahui semuanya. Gosang Lama itu adalah ayah kandungnya sendiri yang dihukum mati oleh Dalai Lama karena telah memberontak. Dan dia pun pernah bertemu dengan Keng Han beberapa kali, bahkan pernah bertanding pula melawan pemuda itu yang dia tahu amat lihai. Dan Niocu ini agaknya bersahabat baik dengan Keng Han!

Pada saat itu dia membutuhkan pembantu yang pandai dan begitu bertemu dengan Niocu hatinya tertarik, apa lagi mendengar bahwa nona ini Bi-kiam Niocu yang namanya tersohor. Timbul niat di dalam hatinya untuk memikat gadis ini supaya suka menjadi pembantunya. Setelah menggunakan siasat, akhirnya dia pun dapat berkenalan dengan gadis ini.

“Niocu, sebagai seorang yang mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi seperti engkau ini, apakah engkau tidak mempunyai cita-cita untuk masa depan?”

Niocu menoleh sambil terus berjalan. “Cita-cita? Apakah maksudmu? Aku sudah puas dengan keadaanku yang sekarang.”

“Ahh, mana mungkin orang puas dengan keadaannya sekarang? Orang harus memiliki cita-cita untuk memperoleh kemajuan dalam hidupnya.”

Niocu menghela napas. Cita-cita apa? Dia mengharapkan menjadi jodoh Keng Han, tapi ternyata gagal dan ditolak pemuda itu! Dia pun tidak kerasan tinggal di Beng-san, di bekas rumah gurunya yang kini telah mengikuti The Ciangkun, hidup di kota raja!

“Saat ini aku belum mempunyai cita-cita, Gulam Sang. Dan bagaimana dengan engkau? Apakah engkau memiliki cita-cita yang muluk?”
“Tentu saja! Aku bercita-cita membantu gerakan Bu-tong-pai yang sedang berusaha menggulingkan pemerintah Mancu. Kalau gerakan itu berhasil, tentu aku memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai pahalaku. Alangkah senangnya kalau aku memperoleh kedudukan tinggi. Aku akan memiliki kekuasaan, harta, juga dihormati dan dimuliakan orang! Apakah engkau tidak ingin seperti itu?”

Niocu diam saja, namun alisnya berkerut dan ia pun membayangkan, mengingat-ingat. Kemudian dia mengangguk. “Kalau bisa demikian, tentu aku akan senang sekali. Aku pun bercita-cita seperti itu, Gulam Sang. Akan tetapi bagaimana caranya?”

“Mudah saja, Niocu. Kalau engkau mau membantu aku, kelak tentu engkau juga akan memperoleh pahala yang besar. Aku yang menanggung itu. Kita bekerja sama dengan Bu-tong-pai serta dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mengadakan pemberontakan dan menggulingkan pemerintah Mancu. Nah, mudah saja, bukan? Aku sendiri ingin sekali bekerja sama denganmu. Kawan-kawan lain tentu akan bergembira mendengar bahwa Bi-kiam Niocu mau bekerja sama dengan kami!”

Hati Bi-kiam Niocu semakin tertarik. Dara ini tidak tahu betapa diam-diam Gulam Sang sejak tadi sudah mengerahkan ilmu sihirnya sehingga dalam penglihatan Niocu, Gulam Sang kelihatan sebagai orang yang amat baik hati dan wajahnya amat menarik hatinya.

Mereka melanjutkan perjalanan. Gulam Sang cukup cerdik sehingga dia bersikap sopan sekali terhadap Niocu. Bahkan pada suatu malam yang dingin, ketika mereka terpaksa melewatkan malam di hutan, ketika melihat Niocu seperti orang yang sudah pulas, padahal dia tahu betul wanita itu belum tidur nyenyak, dia melepaskan jubahnya dan dipergunakan untuk menyelimuti Niocu!

Niocu tahu akan hal itu, dan dia diam saja karena cara Gulam Sang menyelimutinya dilakukan dengan sopan, sedikit pun tangan pemuda itu tidak menyentuh kulit tubuhnya. Gulam Sang juga berjaga semalam suntuk untuk menjaga supaya perapian yang dibuat dari api unggun itu tidak sampai padam.

Demikian pula kalau mereka membutuhkan makanan, Gulam Sang selalu mencarikan untuk mereka. Dalam perjalanan bersama ini, Niocu melihat bahwa Gulam Sang lebih memperhatikan dirinya dibanding Keng Han dahulu.

Tanpa kata ia dapat mengerti bahwa Gulam Sang jatuh cinta kepadanya.....

Hal ini mendatangkan kebanggaan di hatinya. Kini ia pun sama sekali tidak membenci pria yang jatuh hati padanya, semenjak gurunya menyatakan bahwa semua pantangan dan larangan itu telah dihapus. Ia boleh menikah dengan pria yang dicinta dan mencinta dirinya.

Dan bagi Gulam Sang sendiri, Bi-kiam Niocu merupakan tenaga yang sangat penting. Selain gadis ini cantik jelita sehingga dia akan merasa puas dan senang kalau dapat memperisterinya, juga gadis ini memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga dapat menjadi pembantu yang berharga.

Berbeda dengan Liong Siok Hwa yang sekarang menjadi kekasihnya itu. Siok Hwa juga seorang gadis manis, namun masih kalah dibandingkan dengan Niocu. Dan Siok Hwa hanya memiliki ilmu silat rendah saja, tidak banyak gunanya untuk membantunya.

Juga tidak ada orang tahu bagaimana hubungannya dengan Siok Hwa yang kini berada di Bu-tong-pai. Para murid Bu-tong-pai hanya menganggap bahwa Siok Hwa adalah tamu dari ketua mereka dan sahabat dari Gulam Sang!

Saat mereka tiba di Bu-tong-pai, Gulam Sang disambut para murid dengan sikap hormat sebab orang ini merupakan tamu kehormatan ketua mereka. Pernah Thian It Tosu, tentu saja sebagai penyamaran Gulam Sang, memesan kepada para muridnya agar supaya memperlakukan Gulam Sang sebagai tamu terhormat karena Gulam Sang merupakan kenalan dekat dengan Thian It Tosu!

Bi-kiam Niocu sudah mempunyai nama besar, maka orang-orang Bu-tong-pai juga telah mendengar akan kelihaian pendekar wanita itu. Maka semua orang menghormatinya. Oleh Gulam Sang, Niocu diberi sebuah kamar yang bersih dan lengkap.

Ketika Niocu bertanya di mana adanya Thian It Tosu, Gulam Sang menjawab bahwa Thian It Tosu kini lebih sering kali mengurung diri di dalam ruangan bersemedhi dan tak mau diganggu. Pada waktunya dia akan keluar sendiri dari kamar semedhi itu. Sebelum dia keluar, tak seorang pun boleh mengganggunya.

Pada keesokan harinya, benar saja Thian It Tosu keluar dari dalam kamarnya dan murid kepala memberi laporan bahwa keadaan Bu-tong-pai baik-baik saja dan bahwa Gulam Sang telah pulang akan tetapi karena ada urusan ke dusun di kaki bukit, pagi-pagi tadi sudah berangkat meninggalkan Bu-tong-pai!

Dari kalangan Bu-tong-pai hanya Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang mengetahui bahwa Gulam Sang tidak turun gunung, melainkan menyamar sebagai Thian It Tosu yang sekarang ada di hadapan para murid itu. Selain dua orang itu, tidak ada orang lain yang tahu. Dua orang ini berada di bawah tekanan dan ancaman bahwa Thian It Tosu yang asli akan dibunuh kalau mereka membocorkan rahasia.

Orang ke tiga yang mengetahuinya adalah Liong Siok Hwa yang terpaksa mau dijadikan kekasih Gulam Sang. Ia telah ternoda, ayahnya telah tewas dan biar pun bagaimana juga, ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Gulam Sang.

Akan tetapi semenjak Bi-kiam Niocu datang bersama Gulam Sang dan mendapatkan sebuah kamar yang besar, hati Liong Siok Hwa menjadi tidak enak. Gadis itu terlalu cantik untuk tidak dicurigai. Apa lagi melihat sikap Gulam Sang terhadap gadis itu yang begitu manis budi dan menghormat, hati Liong Siok Hwa dipenuhi rasa cemburu yang hebat.

Dia sudah terlalu mengenal Gulam Sang sehingga ia tahu pula bahwa Gulam Sang mencinta gadis yang baru datang itu. Dan sejak kehadiran Bi-kiam Niocu di Bu-tong-pai, Gulam Sang tidak pernah berkunjung ke kamarnya di waktu malam seperti biasanya, seolah Gulam Sang telah lupa kepadanya.

Pada hari yang sudah ditentukan, berdatanganlah para tokoh kang-ouw di Bu-tong-pai. Sebuah panggung didirikan dan dikelilingi kursi-kursi untuk para tamu. Thian It Tosu sendiri sebagai tuan rumah duduk di belakang panggung, didampingi oleh Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang merupakan murid-murid kepala dari Bu-tong-pai.

Dua orang murid ini sama sekali tidak berani berkutik, apa lagi membongkar rahasia Gulam Sang karena orang ini telah mengancam akan membunuh guru mereka yang ditahan di ruangan tahanan bawah tanah oleh Gulam Sang dan dijaga siang malam oleh orang-orang Pek-lian-pai yang membantu Gulam Sang.

Di antara para tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi, termasuk ketua-ketua partai dan para datuk, hadir pula di situ Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan puterinya, Yo Han Li. Han Li telah meninggalkan kota raja bersama gurunya, Kai-ong Lu Tong Ki. Han Li mengatakan kepada Kai-ong bahwa sudah tiba saatnya ia harus pulang ke Bukit Naga, pusat Thian-li-pang.

“Engkau telah menguasai ilmu Tongkat Pemukul Iblis, maka tidak perlu lagi mengikuti aku. Pulanglah, Han Li, dan selalu bersikaplah sebagai seorang pendekar wanita yang menegakkan kebenaran dan keadilan.”
“Apakah Suhu tidak ikut bersama teecu ke Bukit Naga dan bertemu dengan ayah bundaku?”

Lu Tong Ki menggoyang-goyang tangan kirinya. “Bertemu Pendekar Tangan Sakti dan pendekar wanita Si Bangau Merah? Wah, tidak, aku malu sudah mengangkat engkau menjadi muridku.”

“Tidak apa-apa, Suhu. Aku yang menanggung kalau orang tuaku marah kepadamu.”
“Tidak, aku lebih senang merantau dan mencari makanan yang enak-enak. Selamat jalan!” kata kakek itu yang lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan muridnya itu.

Han Li merasa kehilangan. Sudah lama ia hidup di dekat kakek itu, menerima pelajaran Tongkat Pemukul Iblis dan ikut pula makan enak di dapur istana Pangeran Mahkota, bahkan sampai menjadi tamu pangeran itu selama beberapa pekan. Han Li tidak tahu betapa gurunya itu pergi dengan wajah muram dan hati yang merasa sengsara.

Manusia memang sukar membebaskan diri dari pada ikatan-ikatan antara manusia, ikatan dengan harta benda, dengan kedudukan, dengan kepandaian. Segala sesuatu yang menyenangkan segera melekat dan mengikat manusia sehingga dia merasa sedih kalau harus berpisah dengan yang menyenangkan itu.

Han Li pulang dan banyak sekali yang diceritakan kepada ayah bundanya. Juga tentang orang-orang yang hendak membunuh kaisar dan pangeran mahkota, dan orang-orang yang tertangkap hidup itu mengaku bahwa mereka itu orang dari Thian-li-pang, padahal kenyataannya mereka adalah orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.

“Keparat!” Yo Han marah sekali. “Kiranya begitu permainan mereka? Mereka melakukan fitnah keji untuk memburukkan nama Thian-li-pang. Jika pemerintah mendengar ini tentu kita akan diserbu pasukan!”
“Harap jangan khawatir, Ayah. Aku sudah menjadi saksi bahwa mereka bukan orang Thian-li-pang karena tidak ada yang dapat mengenali aku dan ketika kurobek baju di dada mereka terdapat tanda-tanda Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai di dada mereka. Baik kaisar mau pun pangeran mahkota melihat sendiri sehingga kita bebas dari tuduhan yang merupakan fitnah itu.”

Han Li kemudian bercerita betapa ia bertemu dengan Kai-ong Lu Tong Ki dan menjadi muridnya mempelajari ilmu Tongkat Pemukul Iblis, dan betapa dengan gurunya itu ia menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota.

“Aku melihat sendiri bahwa Pangeran Mahkota sekeluarganya adalah orang-orang yang baik dan dapat menghargai orang-orang gagah.”

Yo Han yang marah kepada Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ketika mendengar bahwa Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengadakan undangan kepada orang-orang gagah, lalu berangkat dan kini dia ditemani isterinya, Si Bangau Merah serta puterinya.

Nafsu memang menguasai manusia, tidak peduli orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Nafsu yang semula diikut-sertakan manusia agar manusia dapat hidup bahagia, ternyata nafsu yang tadinya hanya menjadi peserta dan alat, sebaliknya malah menjadi majikan manusia. Dalam segala tindakannya, manusia selalu dikendalikan nafsu. Rasa benci, marah, dendam, iri dan sebagainya adalah akibat dari batin yang dikuasai nafsu.

Nafsu menghendaki kesenangan dan kalau kesenangan itu diganggu maka timbullah marah dan benci yang akibatnya melahirkan duka. Sejak jaman dahulu kala sampai sekarang, orang sudah menyadari akan hal ini. Sudah banyak usaha dilakukan manusia untuk mengendalikan nafsu. Melalui agama, bertapa, menyiksa diri dan sebagainya.

Akan tetapi semua itu telah gagal. Kegagalan ini terbukti dari keadaan dunia di jaman dahulu sampai saat ini. Permusuhan terjadi di mana-mana, bukan hanya permusuhan antara negara dan bangsa, bahkan permusuhan antara bangsa sendiri, antara rekan, teman dan bahkan keluarga. Padahal mereka itu semua beragama, semua maklum akan bekerjanya nafsu yang menyeret manusia pada perbuatan jahat dan permusuhan.

Kenapa demikian? Karena pengertian mereka hanya sebatas akal pikiran saja. Padahal, nafsu daya rendah telah menguasai hati dan akal pikiran kita. Dalam keadaan demikian maka hati akal pikiran ini bahkan membela perbuatan-perbuatan kita yang sesat. Kalau dua orang bermusuhan, tentu hati akal pikiran selalu membela diri sendiri sebagai pihak yang benar dan lawannya sebagai pihak yang bersalah!

Bahkan seorang pencuri pun, yang tentu tahu bahwa mencuri itu tidak baik atau jahat, dibela hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu yang lalu mengatakan bahwa manusia mencuri karena kelaparan sehingga mereka membutuhkan uang, karena ini dan itu. Pendeknya, hati akal pikiran membela perbuatan mencuri itu sebagai perbuatan yang tidak jahat.

Karena hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu, maka pengertian tidak ada gunanya, tidak dapat mengekang dan mengendalikan nafsu yang sudah menyusup ke dalam diri kita sampai ke tulang sumsum, sampai ke pembuluh darah. Buktinya cukup banyak.

Orang-orang yang katanya berkepandaian tinggi, berilmu, para sarjana dan cerdik pandai banyak yang melakukan tindakan menyimpang dari kebenaran. Ada yang korup, ada yang menyalah gunakan kekuasaannya, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pengertian atau kepandaian hati akal pikiran tidak berdaya menghadapi nafsu yang selalu ingin mencari enak, ingin mencari senang dan kepuasan lahir mau pun batin.

Kalau sudah begitu, bagaimana agar kita dapat mengendalikan nafsu? Hanya satu yang dapat mengendalikan nafsu, yaitu Penciptanya. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu menyingkirkan nafsu, yang mampu mengembalikan nafsu ke tempatnya semula, yaitu menjadi peserta dan pembantu manusia dalam kehidupannya, tidak menjadi majikan dari manusia. Karena itu, jalan satu-satunya bagi kita adalah menyerah kepada Tuhan! Penyerahan yang tulus ikhlas, dengan segala kerendahan hati, dengan tawakal dan kesabaran. Kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, tidak ada lagi hal yang tidak mungkin dilakukan. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita dan menundukkan nafsu.

Yo Han, isterinya Tan Sian Li, dan puteri mereka Yo Han Li, berangkat meninggalkan rumah dan pergi berkunjung ke Bu-tong-pai. Semua urusan perkumpulan Thian-li-pang diserahkan kepada para murid kepala untuk bekerja seperti biasa dan menjauhkan diri dari pertikaian dan permusuhan…..

********************
Selanjutnya baca
PUSAKA PULAU ES : JILID-11
LihatTutupKomentar