Pendekar Sakti Jilid 04
Ang-bin Sin-kai melihat bakat yang amat baik dalam diri muridnya, maka dia tidak berlaku kepalang tanggung dalam melatih ilmu silat. Dia melatih bhesi dan gerakan kaki dengan amat cermat, sehingga dalam beberapa bulan, dia masih belum memberi pelajaran ilmu pukulan, melainkan ilmu pelajaran pasang kuda-kuda kaki dan mengatur tenaga dalam kedudukan badan.
Selain itu, dia memberi pelajaran cara bersiulian dan mengatur napas. Biar pun pelajaran ini menjemukan dan tidak menarik hati, akan tetapi Kwan Cu mempelajari dan melatih diri dengan amat tekun. Tubuhnya telah kehilangan tenaga lweekang yang dahulu dilatihnya menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu, maka boleh dibilang bahwa dia mulai melatih diri dari tingkat bawah lagi.
Akan tetapi, dalam hal latihan ginkang dan ilmu berlari cepat, Kwan Cu sungguh-sungguh mendapat kemajuan pesat sekali. Hal ini adalah karena perjalanan itu sendiri merupakan latihan yang terus menerus baginya. Tanpa memberi tahu kepada muridnya, makin lama Ang-bin Sin-kai semakin cepat menggerakkan kedua kakinya sehingga secara otomatis, ilmu lari cepat Kwan Cu maju pesat sekali.
Kadang kala, pada waktu melompati jurang-jurang kecil, kakek ini tidak membantu Kwan Cu ketika melompati jurang-jurang. Karena itu, makin lama semakin hebat dan semakin lebarlah jurang yang dapat dilompatinya.
Pada suatu hari mereka mengaso di dalam sebuah hutan. Ang-bin Sin-kai langsung tidur mendengkur sambil bersandar pada sebatang pohon besar. Kwan Cu berjalan di dalam hutan mencari bahan makan siang. Ia tahu bahwa suhu-nya doyan sekali makan daging kelinci panggang, maka dia mencari-cari binatang itu untuk ditangkapnya.
Setelah mencari beberapa lama, akhirnya dia melihat seekor kelinci gemuk yang sedang menggerak-gerakkan dua telinganya dengan lagak lucu sekali. Kelinci itu pun mendengar kedatangannya, dan cepat sekali binatang ini melompat ke dalam semak-semak. Kwan Cu mengejarnya sambil mengambil beberapa potong batu kecil. Di goyang-goyangnya rumpun di mana kelinci itu bersembunyi.
Binatang ini menjadi ketakutan dan melompat keluar lalu berlari cepat. Akan tetapi Kwan Cu lebih cepat gerakannya dan tangannya menyambar. Sebuah batu kecil meluncur ke arah binatang itu.
Kwan Cu merasa yakin bahwa sambitannya pasti akan mengenai sasaran, karena dia sudah mempelajari Pek-po Coan-yang (Ilmu Timpuk Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki). Akan tetapi, ketika batu itu sudah menyambar dekat dengan tubuh kelinci, tiba-tiba dari lain jurusan menyambar sebutir batu bundar yang meluncur cepat sekali dan membentur batu yang disambitkan Kwan Cu.
Kwan Cu terkejut dan juga heran sekali. Ia menoleh ke sana ke mari namun tidak melihat orang. Kelinci itu sudah berlari pergi dan sebentar saja lenyap.
“Binatang yang begitu lucu mengapa harus dibunuh?” terdengar suara nyaring menegur.
Mendadak melompatlah bayangan seorang anak kecil keluar dari balik sebatang pohon besar. Ketika Kwan Cu memandang, ternyata bahwa anak itu adalah The Kun Beng, murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Kun Beng keluar sambil tersenyum-senyum ramah dan wajahnya yang tampan tampak menarik sekali. Kwan Cu tidak menjadi marah kehilangan kelincinya.
“Maksudku bukan untuk membunuh, akan tetapi makan dagingnya,” bantahnya sambil tersenyum juga.
Kun Beng membelalakkan kedua matanya. “Apa bedanya? Bukankah makan dagingnya berarti membunuh juga?”
Dengan wajah sungguh-sungguh, Kwan Cu menggelengkan kepalanya. “Bedanya sangat jauh! Membunuh karena marah dan mata gelap, itu bodoh namanya. Membunuh untuk memuaskan hati dan memperlihatkan keunggulan, itu kejam namanya. Tapi membunuh untuk mengisi perut karena lapar, itu lain lagi, bukan membunuh lagi namanya!”
Kun Beng tertegun. “Ahh, lidahmu lemas sekali, Kawan. Ucapanmu itu benar-benar aku tidak mengerti maksudnya. Cara kau bicara seperti suhu saja, membingungkan. Bukan bicara anak-anak dan aku tak suka. Lebih baik kita main gundu, lebih menggembirakan.”
“Main gundu?” kini Kwan Cu yang terheran-heran.
Anak aneh, datang-datang dan bertemu di tengah hutan mengajak main gundu! Pula, dia tidak bisa main gundu. Kun Beng mengeluarkan kelereng yang dipegangnya. Semua ada tujuh butir, terbuat dari pada batu-batu hitam yang keras.
“Sebetulnya harus delapan butir, akan tetapi yang sebutir tadi kupakai menolong nyawa kelinci,” kata Kun Beng sambil tertawa. “Akan tetapi tidak mengapa, pakai tujuh butir pun sudah cukup.”
“Bagaimana cara memainkannya?” tanya Kwan Cu yang ikut pula berjongkok seperti Kun Beng.
“Kau lihatlah baik-baik! Yang enam butir kulemparkan di atas tanah dan berpencaran, kemudian dengan sebutir ini aku akan membidik sehingga berganti-ganti dapat mengenai enam butir kelerang itu.” Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu membidikkan sebutir kelereng dari jarak lima kaki.
Kelereng itu meluncur dari tangannya dan menggelinding, dengan jitu sekali mengenai kelereng pertama, terus mental kepada kelereng kedua, ketiga dan seterusnya sampai enam butir kelereng itu itu terkena benturan semua!
“Bagus!” kata Kwan Cu memuji, “Kau pandai sekali!”
“Nah, yang berhasil membenturkan kelereng jagonya sampai mengenai enam yang lain, boleh main terus. Kalau tidak kena, baru kau boleh dapat giliran.”
Demikianlah, dua orang anak-anak ini sambil berjongkok bermain gundu di tengah hutan! Akan tetapi karena tidak terlatih, tentu saja Kwan Cu selalu kalah.
“Kau benar-benar pandai. Siapa sih namamu?’
“Namaku The Kun Beng. Aku sudah tahu namamu, Lu Kwan Cu, bukan?”
Kwan Cu mengangguk. “Suhu-mu itu amat lihai dan terkenal. Suhu-ku sering kali memuji namanya. Dan suheng-mu yang galak itu, siapa namanya?’
“Suheng bernama Gouw Swi Kiat, meski pun galak akan tetapi hatinya baik dan dia lihai mainkan sepasang kipas.”
“Kau pun tentu lihai main kipas.”
Kun Beng menggelengkan kepalanya. “Aku lebih suka memainkan tombak dan pedang, terutama sekali tombak. Kau sendiri belajar apakah dari suhu-mu?”
Kwan Cu menggelengkan kepalanya yang gundul. “Tidak belajar apa-apa, hanya belajar gerakan kaki saja. Eh, Kun Beng, kau kenapa bisa berada di tempat ini? Mana suhu-mu dan suheng-mu?”
“Mereka masih di belakang. Aku mendahului mereka masuk ke dalam hutan. Aku paling senang berada di dalam hutan, dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan daun-daun. Nah, itu dia suheng-ku datang.”
Benar saja, Swi Kiat muncul dan datang-datang ia menegur sute-nya.
“Sute, kau terlalu sekali. Suhu menyuruh aku mencarimu di mana-mana hingga kucari sampai berputaran di dalam hutan ini. Ehhh, bukankah ini Lu Kwan Cu, bocah yang mengacaukan urusan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil memandang tajam kepada Kwan Cu.
“Suheng, Kwan Cu kalah main kelereng denganku!” kata Kun Beng.
“Main kelereng? Ahh, kau seperti anak kecil saja. Mengapa tidak mengalahkan dalam dia main silat?”
“Kwan Cu belum belajar silat, Suheng. Bagaimana bisa minta dia untuk pibu (mengadu kepandaian silat)?”
“Dia bohong! Mana bisa murid Ang-bin Sin-kai tidak mengerti ilmu silat? Hm, orang yang suka menyembunyikan kepandaiannya, dia tentu memiliki hati curang dan licik. Ehh, Lu Kwan Cu, beranikah kau mengadu kepandaian dengan aku?” Gouw Swi Kiat menantang dengan sikap sombong.
“Berani sih tentu saja berani. Takut atau tidak berani hanya bersarang dalam hati orang yang bersalah, sedangkan aku tidak bersalah sesuatu terhadapmu. Akan tetapi, tentang mengadu kepandaian denganmu, apanya yang harus diadu? Aku tak punya kepandaian apa-apa,” jawab Kwan Cu sejujurnya.
Memang, semenjak suhu-nya mengeluarkan semua tenaga yang dipelajarinya dari kitab palsu, sekarang dia tidak mempunyai kepandaian silat sama sekali, kecuali ginkang dan lweekang yang masih dimiliki tanpa disadarinya.
“Mulutmu lemas sekali bagaikan perempuan! Kau hanya mempergunakan lidahmu untuk mencari alasan, padahal sesungguhnya kau takut padaku. Hayo bilang saja kau takut!” Swi Kiat membentak sambil mengejek.
“Aku tidak takut!” jawab Kwan Cu menggelengkan kepala.
“Bagus, kalau begitu marilah kita mengukur kepandaian!” Dan sebelum Kwan Cu sempat menjawab, Swi Kiat sudah menyerang dengan pukulan tangan kiri ke arah dada!
Walau pun belum menerima latihan ilmu pukulan dari suhu-nya, namun Kwan Cu sudah mempelajari cara pergerakan kaki serta kedudukan tubuh, maka dia memiliki kegesitan dan gerakan otomatis dari seorang ahli silat tinggi. Menghadapi pukulan ini, dia miringkan tubuh dan menarik kaki yang berada di depan sehingga pukulan itu mengenai angin! Swi Kiat menjadi penasaran dan menyerang bertubi-tubi!
Swi Kiat adalah murid pertama yang berbakat dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Tentu saja ilmu silatnya sudah baik dan tinggi. Seorang pria dewasa saja, dalam satu dua gebrakan tentu akan roboh olehnya. Usianya sebaya dengan Kwan Cu dan dalam hal ilmu silat, dia masih menang jauh. Karena itu, setelah dapat mengelak beberapa jurus, akhirnya kepala Kwan Cu yang gundul itu terkena pukulan tangan kiri Swi Kiat.
“Bukkk!”
Tubuh Kwan Cu berputaran saking kerasnya pukulan Swi Kiat. Untuk sejenak kepalanya terasa pening dan seolah-olah kepalanya terasa bengkak membesar. Akan tetapi hanya sebentar saja, karena di dalam darah Kwan Cu telah mengalir darah ular dan sari buah coa-ko, ditambah pula latihan lweekang yang tanpa disadarinya sudah mencapai tingkat tinggi juga.
“Suheng, jangan pukul dia! Dia betul-betul tidak mempunyai kepandaian silat!” Kwan Cu mendengar suara Kun Beng mencegah suheng-nya.
Akan tetapi sambil bertolak pinggang Swi Kiat berkata kepada Kwan Cu, “Hayo lekas kau mengaku kalah padaku!”
“Kita tidak berkelahi, bagaimana aku dapat mengaku kalah?” Kwan Cu berkata sambil menggelengkan kepalanya.
“Ehh, gilakah kau? Bukankah baru saja kau kuserang dan kepalamu terpukul?”
“Memang kau menyerangku, akan tetapi tidak berkelahi!”
“Suheng, dia benar! Dia sama sekali tidak membalas seranganmu, bagaimana disebut berkelahi?”
“Kalau begitu, sekarang aku akan memaksa dia supaya berkelahi dengan aku!” seru Swi Kiat yang segera menyerang pula. Akan tetapi, tiba-tiba Kun Beng melompat menangkis serangan suheng-nya itu.
“Ehh, Kun Beng. Apa kau sudah gila?”
“Tidak segila engkau, Suheng! Seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak mau membalas!” jawab Kun Beng.
Swi Kiat ragu-ragu. Ia harus akui bahwa tingkat kepandaian sute-nya tidak kalah olehnya, kalau tidak mau dibilang lebih tinggi dan lebih maju. Pula, dia sayang kepada sute-nya ini dan tentu saja tidak mau cekcok dengan sute-nya hanya karena Kwan Cu, bocah gundul itu.
“Kau pergilah!” bentaknya kepada Kwan Cu yang memandang semua itu dengan mata yang bersinar-sinar.
Mendengar bentakan ini, sebetulnya kalau menurut wataknya yang keras dan tidak mau tunduk, Kwan Cu tidak mau mengambil perhatian. Akan tetapi Kun Beng berkata halus,
“Kwan Cu, lebih baik kau tinggalkan kami saja. Untuk apa mencari keributan?”
Kwan Cu mengangguk dan berjalanlah dia untuk kembali kepada suhu-nya. Di tengah jalan, dia berhasil menimpuk mati seekor kelinci dan dengan girang dibawanya kelinci itu kepada suhu-nya. Ia mendapatkan gurunya telah bangun dari tidurnya dan kini gurunya itu duduk bersandar pada pohon dan memandangnya.
“Suhu, teecu mendapatkan seekor kelinci!” kata anak itu girang.
Akan tetapi gurunya tidak ikut bergembira, bahkan menegurnya.
“Kwan Cu, kau membikin malu kepadaku! Kau hanya berani menyerang seekor kelinci, akan tetapi tidak berani membalas serangan seorang lawan yang menghinamu! Kenapa kau biarkan kepalamu yang gundul itu dijadikan permainan pukulan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Bukankah itu amat memalukan dan merendahkan nama guru?”
Kwan Cu tertegun. Gurunya tadi masih tidur pulas di bawah pohon, bagaimana suhu-nya ini tahu akan peristiwa yang terjadi antara dia dan Swi Kiat?
“Suhu, teecu tidak berniat untuk berkelahi. Untuk apakah berkelahi dengan orang? Tidak ada alasan bagi teecu untuk membalas serangannya. Dan pula, bagaimana teecu dapat membalas? Dia lihai sekali.”
Merah muka Ang-bin Sin-kai yang memang sudah merah itu, “Murid goblok! Kalau tiada hujan tiada angin kau mengamuk dan memukul orang, itu memang tidak baik dan tidak beralasan. Akan tetapi kau dihina dan dipukul. Itu sudah merupakan alasan kuat sekali bagimu untuk balas memukulnya!”
“Akan tetapi, Suhu...”
“Tidak ada tapi! Lekas kau kembali dan membalas pukulannya!”
“Dia lihai, Suhu...”
“Ehh, kau takut?”
Mata bocah gundul itu bersinar penasaran, “Takut?! Siapa takut, Suhu? Biar kepada iblis sekali pun teecu tidak takut!”
“Kalau begitu, kau lekas kembali kepadanya. Tanya apakah dia masih mau memukulmu, kalau dia menyerang, balas!”
“Teecu belum pernah suhu ajari ilmu pukulan.”
“Untuk apa kedua tangan dan kakimu? Belajar atau tidak, memukul dan menendang tak bisa lain harus menggunakan kaki tangan. Dan kaki tanganmu masih ada, bukan?”
Kwan Cu mengaku kalah dan segera dia kembali mencari Swi Kiat! Di dalam hutan, dia melihat Swi Kiat dan Kun Beng sedang duduk di bawah pohon bersama gurunya, yakni Pak-lo-sian Siangkoan Hai!
Keder juga hati Kwan Cu melihat orang tua yang bertubuh pendek kecil itu, akan tetapi memang dia seorang anak yang tidak mengenal arti takut. Pendiriannya sungguh teguh, seteguh batu karang di pinggir laut, bahwa apa bila tidak bersalah dia tidak boleh takut kepada siapa pun juga!
“Ehh, Swi Kiat. Apakah kau masih juga mau memukulku seperti tadi?” tanyanya sambil menghampiri Swi Kiat yang memandangnya dengan mata terheran.
Juga Kun Beng merasa heran sekali sehingga tidak dapat lagi mengeluarkan kata-kata. Ada pun Siangkoan Hai memandang dengan mata penuh perhatian, lalu berkata, “Ahh, bukankah bocah gundul itu murid Gui Tin?”
“Teecu sekarang murid Ang-bin Sin-kai, Locianpwe,” Kwan Cu menjawab dengan suara tenang.
Siangkoan Hai tertawa bergelak. “Bersemangat juga anak ini. Ehh, Swi Kiat, dia datang menegurmu hendak apakah?”
“Tadinya teecu telah menghajar dia, agaknya dia masih kurang dan minta tambah lagi,” kata Swi Kiat sambil bangun berdiri, “Kwan Cu, apakah kau datang karena hendak minta digebuk kepalamu yang gundul itu lagi? Jangan kurang ajar, lekaslah pergi dari sini!”
“Aku datang hendak menyatakan bahwa kalau kau menyerangku, sekarang aku akan membalasmu!”
Swi Kiat tertawa geli, bahkan Kun Beng juga tertawa. Akan tetapi murid kedua dari Siangkoan Hai ini lalu berkata, “Kwan Cu, jangan berlaku bodoh. Kau bukan tandingan Suheng, untuk apa mencari penyakit?”
“Aku tidak ingin menyerangnya. Akan tetapi kalau dia berani memukulku, pasti kali ini aku akan membalasnya,” kata Kwan Cu masih tetap tenang.
“Kalau begitu aku akan memukulmu!” kata Swi Kiat sambil bersiap-siap menyerang Kwan Cu.
Sikap bocah gundul ini tidak seperti tadi, sekarang dia pun bersiap-siap dan memasang kuda-kuda.
Melihat sikap Kwan Cu ini, Pak-lo-sian tertawa bergelak. “Ehh, bocah gundul, apakah kau benar-benar murid Ang-bin Sin-kai? Apa bila benar kau murid Ang-bin Sin-kai, kau biasa mempelajari ilmu senjata apa sajakah?”
Kini Kwan Cu mengerti bahwa tinggi rendahnya nama suhu-nya tergantung dari sikap dan sepak terjangnya, maka kini dia hendak menebus kesalahannya yang tadi membuat malu nama gurunya. Ia melihat sebatang ranting pohon di depan kakinya, maka ranting itu dipungutnya dan dia menjawab, “Apa pun juga yang berada di tangan suhu, menjadi senjatanya yang ampuh. Kalau Lociapwe bertanya tentang senjata, pada waktu ini teecu memegang ranting dan inilah pula senjataku!”
“Bagus! Eh, Kun Beng kau lawan bocah gundul ini. Kau pun boleh menggunakan ranting pohon!”
Kun Beng tertegun, akan tetapi dia pikir bagi Kwan Cu lebih baik melawan dia dari pada menghadapi suheng-nya, “Kwan Cu, sekarang kita mengukur kepandaian, jika kau roboh berarti kau kalah!”
“Sesukamulah!” kata Kwan Cu karena baginya, bertanding dengan siapa pun sama juga, asal dia sudah dapat menebus nama baik suhu-nya dengan melawan. “Siapa saja yang memukul dan menyerangku, tentu kubalas.”
Kun Beng menggerakkan rantingnya seperti kalau dia bermain tombak. Memang sejak kecil Kun Beng lebih suka mempelajari ilmu tombak, dan berbeda dengan suheng-nya, dia mewarisi ilmu tombak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
“Awas senjata!” serunya.
Kwan Cu bingung sekali melihat betapa setelah ranting itu digerakkan oleh tangan Kun Beng, ujung ranting seolah-olah berubah menjadi banyak sekali yang semuanya serentak menyerang tubuhnya dengan hebat! Dia kemudian menggerakkan rantingnya menangkis sejadi-jadinya, namun karena tenaga lweekang-nya memang sudah boleh juga, dia pun berhasil menyampok ranting di tangan Kun Beng.
Akan tetapi, ilmu tombak yang dipelajari oleh Kun Beng termasuk ilmu silat tinggi yang jarang bandingannya. Sebab itu, begitu terkena tangkisan, ranting itu meluncur turun dan tanpa dapat dicegah lagi, kaki Kwan Cu kena dikait dan terjungkallah bocah gundul itu!
“Ha-ha-ha! Pukul kepalanya yang gundul, Sute, biar dia tahu rasa!” kata Swi Kiat tertawa gembira.
Sebaliknya, Siangkoan Hai lantas melongo. Bagaimana Ang-bin Sin-kai dapat mengambil seorang murid yang begini tolol? Dia akui bahwa memang si gundul ini bertulang baik, akan tetapi agaknya otaknya tidak genap!
Watak Kwan Cu memang bandel dan juga tubuhnya sudah kuat sekali. Begitu terjungkal dia segera bangun lagi dan siap sedia bertempur lagi.
“Ehh, Kwan Cu. Kau sudah kalah, mengakulah,” kata Kun Beng. Murid kedua Siangkoan Hai ini memang memiliki perasaan yang halus dan dia tidak tega untuk melawan Kwan Cu lagi yang terang-terangan tidak mempunyai kepandaian silat.
“Menyerah kalah tak mungkin. Tapi kalau kau menyerang lagi, aku tetap akan melawan!” Kwan Cu membandel.
Kun Beng tidak mau menyerang lagi, bahkan melempar rantingnya ke atas tanah. “Suhu, dia tidak bisa ilmu silat, bagaimana teecu dapat melawannya?”
Tiba-tiba Swi Kiat melompat maju. “Anak ini memang bandel sekali dan dia tidak akan tahu kelihaian ilmu Suhu kalau belum diberi hajaran. Ehh, Kwan Cu, apakah kau berani menghadapiku?”
“Mengapa tidak berani?” jawab Kwan Cu tenang.
“Kau boleh menggunakan rantingmu, biarlah aku menyerangmu dengan tangan kosong!” kata Swi Kiat.
“Aku bukan pengecut yang menghadapi orang bertangan kosong dengan senjata,” Kwan Cu juga membuang rantingnya.
Diam-diam Siangkoan Hai memuji. “Hemm, anak gundul ini benar-benar mempunyai sifat gagah, sayang sekali otaknya agak miring. Mana bisa dia belajar silat? Sungguh kali ini Ang-bin Sin-kai menggelikan sekali.”
Swi Kiat sudah maju menyerang. Kwan Cu segera mengelak dan menangkis. Dalam hal mempertahankan diri, dia boleh juga dan beberapa jurus lewat tanpa ada pukulan atau tendangan Swi Kiat yang mengenai tubuh Kwan Cu. Namun Kwan Cu hanya membalas dengan pukulan-pukulan ngawur saja, asal pukul dan asal menendang.
Ketika dia menendang, Swi Kiat menangkap tumitnya dan sekali mendorong ke depan, tubuh Kwan Cu terlempar ke belakang lantas dengan suara keras tubuhnya menyusur tanah! Namun dia bangkit kembali dan sebelum dia dapat memperbaiki kedudukannya kembali Swi Kiat menyerbu dengan pukulannya yang membuat Kwan Cu untuk kedua kalinya jatuh tersungkur.
“Kau masih belum mengaku kalah?” bentak Swi Kiat.
Kekerasan hati Kwan Cu memang luar biasa sekali. Ia menggeleng kepala dan mencoba untuk merayap bangun lagi, akan tetapi sebuah tendangan membuatnya terguling-guling. Sampai lima kali dia mencoba bangun dan terpaksa harus mencium tanah lagi, bahkan pukulan yang kelima kalinya membuat bibirnya pecah dan berdarah. Namun pukulan itu seperti tidak terasa olehnya karena sedikit pun dia tidak mengeluh dan begitu roboh, dia merayap bangun kembali.
“Cukup, Suheng!” kata Kun Beng.
“Diam kau, Sute. Di dalam pibu, yang kalah harus mengaku kalah!” jawab Swi Kiat yang mengejar Kwan Cu lagi.
Sementara itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya tertawa-tawa saja. Kakek ini merasa bangga sekali dan diam-diam dia pun mengakui kekuatan Kwan Cu. Jangankan seorang anak-anak, biar pun orang dewasa menghadapi pukulan bertubi-tubi dari Swi Kiat yang sudah memiliki tenaga lweekang lumayan itu, pasti akan terluka hebat. Bagaimana bocah gundul ini tubuhnya seakan-akan terbuat dari pada baja dan tidak pernah merasa sakit?
Bila saja dia melihat bocah gundul itu terluka, tentu segera dia akan mencegah Swi Kiat melanjutkan serangannya. Akan tetapi karena ia tahu betul bahwa Kwan Cu tidak terluka di dalam tubuhnya, maka dia hanya menonton saja.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa, disusul oleh kata-kata, “Bagus sekali! Memang orang yang kalah dalam pibu harus mengakui kebodohannya. Hayo Kwan Cu, kau harus mengakui kekalahan dan kelemahanmu!”
Muncullah Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa. Melihat kakek ini, Swi Kiat melompat ke belakang dan tidak melanjutkan serangannya lagi. Ada pun Kwan Cu setelah mendengar kata-kata suhu-nya ini, merahlah mukanya.
Ingin dia menangis keras, akan tetapi semangat serta kekerasan hatinya melarang air matanya mengucur keluar. Ia amat taat kepada suhu-nya, maka sambil menghadapi Swi Kiat yang berdiri dengan dada terangkat, dia berkata, “Swi Kiat, aku mengaku kalah.”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak dan berkata keras-keras. “Kwan Cu, dengan pengakuan ini, kau berarti menang! Orang yang menangkan orang lain, belum boleh disebut gagah. Hanya orang yang sudah bisa mengalahkan kesombongan dan nafsunya sendirilah yang patut disebut gagah! Orang menangkan orang lain tak akan kekal, akan datang masanya dia dikalahkan oleh orang lain. Tetapi kau telah dapat mengakui kelemahan, kebodohan dan kekalahanmu, inilah yang penting sekali. Kelak kau akan berlaku berhati-hati dan tidak akan terkalahkan untuk kedua kalinya. Ha-ha-ha!”
“Bagus, bagus!” Siangkoan Hai bertepuk tangan memuji dengan kagum. “Tak kusangka bahwa jembel tua ini benar-benar pandai menjadi guru. Ehh, Swi Kiat dan Kun Beng, kau perhatikan baik-baik ajaran tadi. Memang bagus dan tepat sekali!”
Sambil tersenyum Ang-bin Sin-kai menghampiri Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan bertanya, “Ehh, jago tua utara! Kenapa kau bisa tersesat sampai di sini?”
“Kau kira aku akan membiarkan Hek-i Hui-mo berlaku kurang ajar begitu saja? Meski pun kitab itu palsu, aku harus mengejarnya dan memberi hajaran padanya!” kata Siangkoan Hai.
“Hemm, kau sudah tua akan tetapi masih berkepala batu. Kau hendak menyusulnya ke Tibet?”
“Biar ke neraka sekali pun pasti akan kususul! Mana bisa orang merampas sesuatu dari depan hidungku begitu saja?”
Kembali Ang-bin Sin-kai tertawa. “Kau benar-benar orang tua sombong sekali. Pantas muridmu juga memiliki sifat tidak baik itu.”
“Bukan muridku yang sombong, tetapi muridmu yang terlalu bodoh. Ehh, Ang-bin Sin-kai, kenapa kau memilih murid seorang bocah gendeng yang pikirannya miring?” Siangkoan Hai memandang ke arah Kwan Cu yang diam saja mendengarkan percakapan antara dua orang tokoh besar ini, sama sekali tidak bergerak, hanya hatinya saja terasa panas sekali. Ia tidak berdarah lagi pada bibirnya, karena luka di bibir itu telah rapat kembali.
“Biarlah dia bodoh, dan biar kau menganggap miring otaknya. Akan tetapi coba saja kau lihat lima tahun lagi. Kukira dua orang muridmu ini tak akan mampu mempermainkannya seperti tadi.”
“Begitukah? Berani kau bertaruh, Ang-bin Sin-kai?” tantang Siangkoan Hai. “Lima tahun lagi kita adukan mereka, guru yang kalah harus memberi hadiah semacam ilmu pukulan kepada murid yang menang! Setujukah?”
Berseri muka Ang-bin Sin-kai. Dia tahu bahwa di antara para tokoh besar, Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini termasuk seorang yang baik hatinya, akan tetapi dia sombong sekali.
“Jadi bila muridku kalah, aku harus memberi hadiah ilmu pukulan kepada murid-muridmu, sebaliknya kalau muridku menang, kau akan memberi padanya semacam ilmu pukulan?” tanya Ang-bin Sin-kai Lu Sin kepadanya.
“Benar, benar begitu. Bukankah adil sekali namanya?”
“Baik. Kelak, lima tahun kemudian, aku akan membawa muridku mencarimu!” Siangkoan Hai lalu memberi tanda kepada murid-muridnya. “Hayo kita pergi, Hek-i Hui-mo tak akan jauh dari tempat ini!” tanpa berpamit dan tanpa menoleh lagi, Siangkoan Hai dan kedua muridnya lalu pergi dari dalam hutan itu.
Ang-bin Sin-kai menoleh kepada Kwan Cu yang menundukkan mukanya.
“Suhu, apakah kekalahanku tadi membikin malu nama Suhu?” tanyanya perlahan.
“Bukan memalukan aku, melainkan kuharap akan dapat membuka kedua matamu bahwa ilmu silat itu bukan tidak perlu sama sekali seperti yang kau kira. Coba kau dahulu tidak membenci ilmu silat, bukankah kau sudah mampu membela diri dan belum tentu begitu mudah dipermainkan orang.”
“Mulai sekarang teecu akan belajar ilmu pukulan dengan baik-baik, Suhu.”
“Hemm, tidak mudah. Kau mempunyai watak tidak mau menyakiti orang lain. Ini sukar sekali. Apa bila kau belum mempunyai kekerasan hati dan ketegaan untuk memukul dan merobohkan orang, bagaimana kau dapat mempelajari ilmu pukulan? Kau harus berlatih ketabahan lebih dulu, baru ilmu pukulan ada gunanya. Hayo kau ikut aku!”
Ang-bin Sin-kai melompat dan berlari pergi. Kwan Cu cepat mengejar suhu-nya. Sampai malam tiba, Ang-bin Sin-kai masih terus berlari, tanpa berhenti untuk makan, sedikit pun tidak pernah bicara.
Diam-diam Kwan Cu mengerti bahwa gurunya ini marah dan kecewa kepadanya, karena kalau dia pikir-pikir, peristiwa dengan murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi, tentu saja amat memalukan gurunya!
“Aku harus belajar ilmu silat, aku harus dapat mengalahkan mereka,” demikian Kwan Cu berpikir sambil berlari di belakang suhu-nya.
Setelah memasuki sebuah hutan besar, hari sudah malam dan Ang-bin Sin-kai berhenti lalu mengaso di bawah pohon.
“Kau lihat ini baik-baik!” kata kakek jembel itu.
Setelah memasang kuda-kuda, dia lalu menggerakkan kedua kakinya. Terdengar suara keras dan tahu-tahu dua batang pohon yang besarnya setubuh orang menjadi tumbang!
Semenjak tadi Kwan Cu memasang mata baik-baik dan dia mencatat di dalam otaknya bagaimana tadi suhu-nya menggerakkan kedua tangan, bagaimana menggeser kaki dan cara memukul ke depan dan kanan kiri!
“Nah, kau latih gerakan pukulan Sam-hoan-ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) tadi!”
“Teecu sudah melihat Suhu.”
“Coba kau tiru gerakan Sam-hoan-ciang.”
Kwan Cu memasang kuda-kuda seperti gurunya tadi, kemudian sambil mengerjakan otak mengingat bagaimana tadi suhu-nya bergerak, dia lalu memukul dengan kedua tangan dan menggeserkan kakinya, kemudian mainkan tiga jurus Sam-hoan-ciang seperti yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai tadi. Dari sepasang kepalan tangannya yang kecil lantas menyambar angin yang membuat daun-daun pohon kecil bergoyang-goyang!
Ang-bin Sin-kai mengangguk sesudah Kwan Cu menyelesaikan gerakan tadi. “Gerakan tanganmu sudah baik, hanya saja tenaga pukulan jangan kau buyarkan. Tenaga dalam pukulan Sam-hoan-ciang harus dikumpulkan, ditujukan kepada bagian tubuh yang lemah dan jalan darah yang penting, ketika tangan kanan memukul, mulut harus mengeluarkan suara ‘hah!’ dan kalau tangan kiri memukul harus berbunyi ‘heh!’ Ingat, Sam-hoan-ciang dilakukan tiga jurus, jurus pertama pukulan tangan kanan, jurus kedua pukulan tangan kiri, dan jurus ke tiga pukulan kedua tangan dibarengkan, mendorong ke depan, dengan agak jongkok dan tenaga dari pusar disalurkan kepada kedua lengan. Mengertikah?”
Kwan Cu mengangguk. “Mengerti, Suhu.”
“Coba lagi! Sekarang anggap aku sebagai lawanmu dan lakukan tiga macam pukulan itu terhadap tubuhku! Mulai!”
Demikianlah, dalam keadaan yang remang-remang di dalam hutan itu, dan dengan perut kosong, Ang-bin Sin-kai mulai melatih muridnya. Kwan Cu memasang kuda-kuda, lalu mulai menggerakkan dua kakinya, dan melihat suhu-nya berdiri di depannya, ia lalu mulai menyerang dengan jurus pertama. Dia menyalurkan seluruh tenaganya di ujung tangan kanannya, menyerang ke arah ulu hati gurunya sambil membentak, “Hah!”
Dengan sedikit gerakan saja Ang-bin Sin-kai bisa mengelak dari pukulan muridnya. Kwan Cu lalu menyusul dengan jurus serangan kedua. Tangan kirinya yang sudah diisi dengan tenaga lweekang yang dipindah dari tangan kanan, segera menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah lambung suhu-nya dan mulutnya berbunyi, “Heh!”
Kembali Ang-bin Sin-kai mengelak lagi, lalu kakek jembel ini sengaja berdiri tegak untuk menanti datangnya pukulan ketiga dari muridnya. Kwan Cu lantas menyerangnya dengan jurus ketiga dari ilmu Sam-hoan-ciang. Sekarang anak ini memukul dengan dua tangan, mengerahkan tenaga dan mendorong ke arah tubuh suhu-nya bagian bawah.
Kali ini Ang-bin Sin-kai tidak mengelak, namun mengulur kedua tangan pula menyambut dorongan muridnya. Dua pasang tangan bertemu dan Kwan Cu terlempar ke belakang, bergulingan sampai beberapa kaki jauhnya! Dia menjadi agak nanar, akan tetapi cepat bangkit kembali dan menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
“Mohon Suhu memberi petunjuk tentang bagian yang salah dari gerakan teecu,” katanya.
“Kakimu yang salah, jika tidak masa kau akan jatuh berguling-guling? Kau menghabiskan seluruh tenagamu pada lengan, sama sekali tidak mempedulikan kedudukan kaki. Kalau kau bertemu dengan lawan yang tenaganya kecil, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau kau menyerang orang yang tenaganya lebih besar, tentu kedua kakimu tidak kuasa menahan pertemuan tenaga dan kau akan terpelanting seperti tadi! Lupakah kau kenapa aku selama ini hanya mengajarmu dengan gerakan kaki dan pemasangan kuda-kuda? Karena pokok dasar ilmu silat terletak pada keteguhan pemasangan kuda-kuda, seperti bangunan berdasar pada tiang-tiang yang kuat. Nah, berlatihlah lagi, dan kini perhatikan gerakan kaki, aku hanya akan memberi contoh sekali lagi.”
Ang-bin Sin-kai kembali melakukan gerakan Sam-hoan-ciang. Kwan Cu memperhatikan dengan mata yang tak pernah berkedip. Setelah kakek jembel ini melakukan gerakannya, kembali dua batang pohon besar menjadi tumbang!
Kwan Cu merasa kagum bukan main. Dan setelah memberi contoh untuk kedua kalinya, Ang-bin Sin-kai lalu duduk menyandar di pohon dan sebentar saja dia sudah tidur pulas! Sudah dua malam kakek ini tidak makan, namun dia dapat tidur begitu mudah, sungguh membuktikan adatnya aneh.
Akan tetapi, Kwan Cu lebih aneh lagi. Kekerasan hatinya serta ketekunan hatinya boleh dipuji. Sebenarnya dia merasa sangat lapar, akan tetapi pelajaran baru ini membuat dia lupa akan keperihan perutnya. Dia terus berlatih ilmu pukulan Sam-hoan-ciang. Ia ulangi dan ulangi lagi dan mempergunakan batang pohon sebagai lawan!
Makin lama tenaganya bukan makin lemah, bahkan karena menghadapi kekuatan pohon, dia makin dapat mengatur tenaganya sedemikain rupa sehingga lambat laun dapatlah dia mengerahkan tenaga sampai pada titik yang tepat! Bila tadinya pukulannya pada pohon membuat kulit kepalan tangannya merah-merah sampai akhirnya lecet-lecet, menjelang fajar, dia telah dapat memukul pohon itu sampai menjadi doyong!
Ketika Ang-bin Sin-kai pada keesokan harinya membuka matanya, kakek ini amat girang dan kagum melihat muridnya masih berlatih diri dan melihat betapa gerakan Kwan Cu kini tidak kaku lagi!
“Cukup! Jangan menghabiskan tenagamu!” serunya.
Kwan Cu berhenti bersilat. Barulah dia merasa letih bukan main sehingga untuk berdiri saja kedua kakinya gemetar dan terpaksa dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Akan tetapi kepalanya yang gundul dan mukanya yang berkilau karena peluh itu berseri-seri ketika suhu-nya memujinya.
“Bagus, Kwan Cu, kau telah maju banyak sekali.”
“Masih jauh, Suhu. Tanpa menyentuh pohon Suhu sudah bisa merobohkan pohon-pohon dalam jarak lima kaki lebih. Sedangkan teecu, sampai rusak kulit tangan, tetap saja tidak dapat merobohkan sebatang pohon juga.”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Bocah bodoh. Kau lihat pohon ini, bukankah biar pun luarnya lecet kulitnya, akan tetapi dalamnya telah menderita pukulanmu yang bertubi-tubi itu? Kau lihat!”
Setelah berkata demikian, kakek ini lalu mendorong pohon tadi dan sambil mengeluarkan suara keras, pohon itu tumbang. Ternyata bahwa di bagian dalamnya telah banyak yang remuk menjadi bubuk seperti dimakan kutu. Kwan Cu lantas meleletkan lidahnya melihat kehebatan akibat pukulan-pukulannya yang telah membuat tangan-tangannya lecet-lecet malam tadi!
“Harus kau ketahui bahwa ilmu pukulan Sam-hoan-ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) mesti mengandalkan tenaga lweekang. Jika malam tadi kau memukul dengan tenaga gwakang dan mengandalkan kekerasan kulit tangan, kulitmu tak akan lecet sedang pohon ini pun hanya akan rusak luarnya saja. Akan tetapi karena kau menggunakan tenga lweekang, kulit tanganmu yang tak terjaga oleh tenaga gwakang menjadi rusak, sebaliknya pohon ini terluka pada bagian dalamnya! Oleh karena itu, penggunaan tenaga lweekang tidak boleh dilakukan secara membabi buta, harus sekali pukul dengan tepat seperti contoh ini. Lihat!”
Ang-bin Sin-kai lalu melakukan pukulan jurus kedua dari Sam-hoan-ciang dengan tangan kirinya, diarahkan pada pohon yang terpisah beberapa kaki dari tempat dia berdiri dan…
“Krakkk...!” pohon itu roboh!
Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih atas petunjuk yang amat berharga dari Suhu.”
“Bangunlah,” kata Ang-bin Sin-kai sambil tertawa. “Kau seperti anak kecil yang mendapat permainan baru. Ketahuilah, ilmu pukulan Sam-hoan-ciang ini hanya merupakan pukulan pertama saja, dan kalau sudah mempelajari semua ilmu-ilmu silat dari aku, maka pukulan Sam-hoan-ciang ini belum ada seperseratusnya! Apa artinya mempunyai ilmu menyerang jika tidak dapat mempertahankan diri? Di dalam ilmu silat, kepandaian harus dibagi dua. Mempertahankan diri dan menyerang, dan seorang ahli silat yang baik, mengisi dirinya dengan enam puluh bagian ilmu menjaga diri dan hanya empat puluh bagian ilmu untuk menyerang lawan. Dalam setiap gerakan menjaga diri tersembunyi gerakan menyerang, sebaliknya kalau kau menyerang, berarti kau membuka kesempatan bagi lawan untuk membobolkan pertahananmu. Maka berlatihlah yang giat, karena ilmu silat bukanlah ilmu yang semudah orang kira!”
Demikianlah, Ang-bin Sin-kai mulai membuka rahasia ilmu silat kepada muridnya dan semua kata-kata suhu-nya itu masuk ke dalam kepala yang gundul itu.
“Apa kau tidak merasa lapar?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.
Mendengar ini, perut Kwan Cu berkeruyuk, mendahului mulutnya menjawab pertanyaan suhu-nya. Merahlah wajah Kwan Cu dan mengharap mudah-mudahan suara perutnya itu tak terdengar oleh suhu-nya. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai mempunyai pendengaran yang amat tajam. Jangankan suara perut berkeruyuk, biar sehelai daun yang jatuh ke tanah saja dia akan mendengarnya. Maka tertawalah kakek itu.
“Setelah latihan yang menggunakan banyak tenaga lweekang, tiada daging yang lebih baik melebihi daging ular besar. Hayo kita mencari daging ular. Di hutan depan banyak ular-ular besar!” Kakek ini lalu berlari ke hutan yang nampak kehijau-hijauan, dan Kwan Cu cepat menyusul gurunya.
Ang-bin Sin-kai memasuki sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar sekali sehingga Kwan Cu yang berjalan di belakang gurunya itu merasa betapa dirinya sangat kecil tak berarti di bawah pohon-pohon raksasa itu. Ketika mereka sudah tiba di tengah hutan, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke depan dan berkata,
"Nah, itu dia calon daging untuk perut kita. Kau tangkaplah yang paling gemuk!" Setelah berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu duduk bersandar pada sebatang pohon.
Kwan Cu berdiri terpaku untuk beberapa lama. Di tempat itu, dia melihat beberapa ekor ular yang amat besar. Yang paling kecil saja ukuran perutnya sama dengan pahanya dan panjangnya sekitar tujuh atau delapan kaki! Tubuh ular itu berwarna kekuning-kuningan, lidahnya panjang warna merah, demikian pula matanya, ada pun mulutnya lebar sekali.
Berdebar juga hati Kwan Cu saking ngerinya sungguh pun dia tidak merasa takut sama sekali. Untuk menangkap yang paling kecil saja, agaknya sangat sukar dan mengerikan, apa lagi suhu-nya minta dia menangkap yang paling gemuk, yang berarti ular yang paling besar!
Akan tetapi Kwan Cu tidak merasa jeri. Apa lagi ada gurunya di situ, apakah yang perlu ditakutkan lagi? Sebagian besar ular-ular itu membelitkan tubuhnya pada cabang-cabang pohon, dengan kepala bergantung, atau kepala mereka tersembunyi dalam lilitan tubuh.
Pada waktu Kwan Cu mencari-cari dengan matanya untuk memilih, dia melihat seekor di antara ular-ular itu yang melingkar di bawah pohon. Ular ini besar sekali lagi amat gemuk. Agaknya lebih mudah menangkap yang melingkar di bawah ini karena dia sedang tidur, sedikit pun tidak bergerak, seakan-akan ular mati yang tidak bernapas sama sekali.
"Suhu, teecu akan menangkap yang itu!" katanya sambil menunjuk ke arah ular terbesar yang melingkar di bawah pohon.
"Bagus, kau tangkaplah, hitung-hitung latihan bagimu. Jangan takut, ular itu tak berbisa. Makin besar, semakin tidak berbahaya. Hanya dia kuat sekali, dan kalau sampai tergigit, sukar untuk melepaskan diri dari gigi-giginya yang doyong ke sebelah dalam itu," berkata Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.
Suara suhu-nya ini mendatangkan semangat dan keberanian dalam hati Kwan Cu, maka anak ini dengan hati-hati lalu mendekati ular besar itu.
Biar pun tadinya kelihatan seperti mati atau tidur, namun ketika Kwan Cu sudah sangat dekat, ular itu mulai hidup. Ia mengangkat kepalanya dan sepasang matanya yang merah itu ditujukan kepada Kwan Cu. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis. Mengebullah uap putih dari mulutnya yang terbuka lebar-lebar. Kini kelihatan betapa lebar mulutnya dan betapa mengerikan gigi-gigi yang runcing dan doyong ke dalam itu. Lidahnya yang panjang menjulur keluar dan bergerak-gerak keluar masuk cepat sekali.
Kwan Cu tidak mau membuang waktu lagi. Melihat ular itu sudah mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dia segera melangkah maju dan melakukan serangan dengan ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, karena untuk bertindak dengan ilmu silat lain dia masih belum bisa. Ia melakukan jurus kedua, yakni tangan kiri bergerak maju, hanya mengubah sedikit. Kalau biasanya gerakan ini dilakukan dengan tangan terkepal untuk memukul, dia membuka jari tangannya dan kini menggunakan tangan kirinya untuk menerkam leher ular!
Ular itu gesit sekali. Melihat tangan bocah gundul ini bergerak ke arah leher, dia cepat mengelak ke kiri. Namun Kwan Cu adalah anak yang amat cerdik. Walau pun dia baru mempelajari Sam-hoan-ciang, akan tetapi kecerdikannya membuat dia dapat memecah gerakan-gerakan ini sehingga jurus ke dua yang dia pergunakan tadi sebenarnya adalah semacam pancingan belaka!
Dia tidak melanjutkan serangan, bahkan segera menarik kembali serangannya dan kini disusul cepat dengan jurus ketiga, yakni kedua tangannya maju berbareng dan tubuhnya agak berjongkok. Dan gerakan ini berhasil. Ia berhasil menangkap leher ular itu dengan kedua tangannya dan mencekiknya sekuat tenaganya.
Ular itu marah bukan main. Beberapa kali ia menggerakkan kepala dan menggoyangkan lehernya, meronta-ronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi Kwan Cu mencengkeram semakin keras karena merasa betapa ular itu licin sekali.
Tiba-tiba ular itu berganti siasat dan seluruh tubuhnya bergerak, terus melilit tubuh Kwan Cu dengan ekornya. Sebentar saja tubuh bocah gundul ini sudah dililit sedemikian rupa sehingga dari paha sampai dada tidak kelihatan lagi.
Kwan Cu terkejut sekali dan sedapat mungkin dia mempertahankan kedua kakinya. Akan tetapi aneh sekali, tenaga ular itu makin lama semakin hebat dan lilitannya makin lama makin erat. Ketika ular itu menggoyang-goyang tubuhnya, dia tidak dapat bertahan lebih lama dan tergulinglah Kwan Cu! Betapa pun juga, dia masih dapat mengatur jatuhnya dan dia hanya jatuh duduk dengan tubuh masih dibelit-belit ular yang licin, dingin dan kuat. Ia memperkuat cekikannya, mengerahkan seluruh tenaga yang disalurkan kepada lengan tangannya.
Akan tetapi, tiba-tiba Kwan Cu merasa betapa perut dan dadanya terhimpit keras sekali sehingga dia sukar untuk bernapas! Dengan menekan napas ke arah perut, dia membuat perut dan dadanya mengembung dan sanggup menahan himpitan ular, akan tetapi oleh karena itu, tenaga pada kedua lengannya berkurang.
Sementara itu, ular tadi menjadi makin penasaran dan marah. Biasanya, kalau ia sudah mengerahkan tenaga dalam lilitannya, seekor kijang pun akan remuk-remuk tulangnya! Mengapa bocah gundul ini dari perut dan dadanya keluar hawa panas sekali? Apa lagi, cekikan pada lehernya itu pun mendatangkan rasa sakit.
Sambil mendesis hebat, ular itu membuka lebar-lebar mulutnya yang bergerak di depan muka Kwan Cu dan bergerak hendak menggigit kepala gundul itu. Kalau gigitannya ini berhasil, agaknya kepala Kwan Cu yang gundul itu akan masuk ke dalam mulutnya!
Kwan Cu terkejut dan menahan dengan kedua tanganya, akan tetapi tiba-tiba dia merasa kepalanya yang gundul itu gatal-gatal. Dia mengerti bahwa ini tentulah akibat dari pada semburan uap yang keluar dari mulut ular itu. Tadi ketika ular itu menyemburkan uap putih yang mengarah ke mukanya, dia menundukkan kepala untuk melindungi mukanya, maka kepalanya yang gundul itulah yang terkena uap putih dan kini gatal-gatal.
Rasa gatalnya tidak tertahankan lagi, maka terpaksa dia melepaskan tangan kanan yang mencekik leher ular untuk digunakan menggaruk kepala gundulnya yang gatal setengah mati itu! Ular tadi setelah kini merasa bahwa yang mencekik lehernya hanya satu tangan saja, cepat memberontak sehingga cekikan tangan kiri Kwan Cu terlepas! Ular itu segera menggerakkan lehernya dan dengan kecepatan luar biasa sekali mulutnya yang lebar itu menyerang kepala Kwan Cu.
Akan tetapi Kwan Cu tidak berkurang waspada. Bocah gundul ini cepat mengelak ke kiri sehingga mulut itu hanya meluncur lewat di samping telinga kanannya. Cepat Kwan Cu menggerakkan kedua tangan mencekik lagi dan kembali terjadi pergulatan mati-matian.
Kwan Cu mencekik sekuatnya, ada pun ular itu melilit perut serta dada Kwan Cu sambil meronta-ronta hendak melepaskan diri dari cekikan. Jari-jari tangan Kwan Cu tidak cukup panjang untuk mencengkeram leher ular yang besarnya seperti betis kakinya sendiri itu, maka beberapa kali terpaksa dia melepaskan cekikannya dari kulit leher yang amat licin itu dan beberapa kali pula ular itu menyerang kepalanya yang dapat dihindarkan dengan elakan-elakan cepat.
Tak dapat terus-terusan begini, pikir Kwan Cu. Dadanya terasa sesak dan tenaga kedua tangannya makin lama makin lemah. Ia memutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari-cari akal.
Akhirnya dia mendapat akal.....
Sambil mencekik leher ular dengan kedua tangan, dia menggelundung ke kiri di mana dia melihat beberapa potong batu karang. Sesudah mengambil sepotong batu karang yang sebesar kepalanya dan yang tajam runcing pinggirnya, dia lalu melepaskan cekikannya.
Ular itu menyerang lagi dengan mulut terbuka dan Kwan Cu secepat kilat memasukkan batu itu ke dalam mulut ular! Karena dia memasukkan dengan tenaga kuat dan gigi-gigi ular itu mendoyong ke dalam, maka sesudah batu karang ini memasuki mulut sampai di belakang gigi-gigi ular, batu itu tidak dapat keluar kembali akibat terganjal oleh gigi atas dan bawah!
"Bagus, Kwan Cu!" Ang-bin Sin-kai tertawa-tawa memuji.
Mendengar pujian guru ini, besarlah hati Kwan Cu. Ia tidak takut akan gigitan ular itu lagi. Kini ular itu pun menjadi bingung sekali, terus menggerak-gerakkan kepalanya berusaha hendak melepaskan benda aneh yang mengganjal mulutnya. Saking bingungnya, lilitan pada tubuh Kwan Cu yang untuk sesaat luar biasa eratnya, makin lama semakin kendor dan akhirnya dia melepaskan tubuh yang dililitnya. Ular itu menggeliat-geliat, memukul-mukulkan kepalanya pada tanah dan Kwan Cu segera bertindak. Ia mengambil sepotong batu lagi dan sekali pukul saja pecahlah kepala ular itu!
"Hemm, bagus! Lekas bikin api dan panggang sebelum darahnya kering. Jangan terlalu lama, dibikin setengah matang saja!" Ang-bin Sin-kai berkata dengan air liur memenuhi mulutnya dan beberapa kali menelan ludah.
Setelah daging ular matang dan merasai daging itu, Kwan Cu harus mengakui kebenaran kata-kata suhu-nya. Daging itu terasa manis dan gurih sekali biar pun dipanggang tanpa diberi bumbu dan garam, hanya saja setelah memasuki tubuh, membuat perut dan dada terasa panas dan darah mengalir lebih cepat dari biasanya.
Setelah makan kenyang. Ang-bin Sin-kai berkata kepada Kwan Cu.
"Perkelahianmu dengan ular tadi merupakan pengalaman baik sekali. Kau sekarang tahu bahwa ular itu mempunyai tenaga lemas. Kelihatannya saja ia lambat dan lemah, namun lilitannya makin lama makin kuat karena ia mempergunakan tenaga dalam yang mengalir di dalam tubuhnya. Menghadapi lawan yang memiliki tenaga lweekang (tenaga dalam), memang kita harus melayani dengan kelicikan pula. Kalau kau mempergunakan tenaga kasar, kau akan kalah. Maka baik sekali kau tadi mengerahkan ambekan (pernapasan) untuk menghadapi lilitan tubuh ular. Kalau kau menggunakan kekerasan, tentu akan ada tulangmu yang patah dan uratmu tergelincir dari tempatnya. Lain kali biar kau melatih diri menghadapi binatang yang selalu mempergunakan tenaga kasar, yakni harimau.”
Terbelalak sepasang mata Kwan Cu memandang suhu-nya.
"Waaah, Suhu. Bagaimana teecu menghadapi seekor harimau? Binatang itu galak sekali dan telah terkenal sebagai raja hutan. Apakah teecu kiranya akan sanggup mengalahkan harimau?"
"Kau baru saja mempunyai kepandaian ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, tentu saja masih berat. Biar sekarang aku melatihmu dengan ilmu mempertahankan diri yang di sebut Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to (Mengatur Pintu Menghadapi Ratusan Golok). Kalau kau sudah bisa mainkan ilmu silat ini, agaknya tak akan mudah kau diserang lawan."
Dengan girang Kwan Cu kemudian mulai mempelajari Pai-bun Tui-pek-to, yang dilakukan mengandalkan ginkang yang sangat tinggi. Isinya hanya ilmu-ilmu untuk mengelak dan menangkis serangan lawan serta melindungi diri mempergunakan kecepatan tubuh dan mengatur pada saat bagaimana mempergunakan tenaga lweekang dan saat bagaimana pula mempergunakan gwakang. Terlalu panjang untuk dituturkan sejelasnya, pendeknya ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to ini sangat baik untuk seorang ahli silat tangan kosong kalau menghadapi lawan-lawan yang bersenjata.
Beberapa bulan berlalu tanpa terasa dan Kwan Cu sudah memperoleh kemajuan pesat. Belum boleh dikata bahwa dia sudah menyempurnakan ilmu Pai-bun Tui-pek-to, karena tak seperti Sam-hoan-ciang yang hanya mempunyai tiga jurus, ilmu mempertahankan diri ini meski pun hanya mempunyai delapan belas macam jurus, namun setiap jurus dapat dipecah-pecah menjadi puluhan bagian. Semua tergantung dari pada kedudukan lawan menyerang.
Kini Ang-bin Sin-kai menurut kehendak muridnya lagi, yaitu mencari Bukit Liang-san yang masih amat jauh. Pada saat mereka tiba di kota Thiat-ang-bun, kota kecil yang berpintu gerbang besi berwarna merah, mereka berhenti selama tiga hari.
Di dalam kota kecil itu banyak terdapat pemandangan indah, bahkan di sebelah selatan kota itu terdapat telaga kecil yang airnya sangat biru serta dikelilingi pohon-pohon dan kembang-kembang. Ang-bin Sin-kai senang sekali pelesir di daerah ini, maka dia sengaja bermalas-malasan untuk pergi meninggalkannya.
Pada hari ketiga, pada waktu Kwan Cu dan gurunya tengah berjalan di dekat telaga itu, tanpa sengaja mereka melihat berkelebatnya seorang Tartar yang wajahnya tampan dan berpakaian perwira.
Ang-bin Sin-kai tak mengenal orang ini, akan tetapi Kwan Cu mengenalnya dengan baik. Apa lagi, sejak mereka memasuki kota Thiat-ang-bun, Kwan Cu yang selalu mengambil perhatian pada apa yang berada di sekitarnya, melihat orang ini beberapa kali sehingga timbul pikirannya bahwa orang ini tentulah sedang menyelidiki keadaan dia dan gurunya. Dan orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari Panglima An Lu Shan.
Akan tetapi An Lu Kui seperti yang tidak mengenal lagi kepada Kwan Cu dan anak ini pun tidak mempedulikannya. Ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan perwira ini, tidak ada sangkut-pautnya lagi.
Kwan Cu tidak tahu bahwa sebetulnya, setelah bertemu dengan dia dan gurunya, An Lu Kui diam-diam melakukan penyelidikan dan selalu mengikutinya. Siapa tahu kalau-kalau anak aneh ini hendak mengambil kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tulen. Sedangkan kakek jembel yang bersama dengan bocah itu, Lu Kui tidak mengenalnya sama sekali. Bila saja dia tahu bahwa kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai, agaknya siang-siang dia telah angkat kaki dan kabur.
"Suhu, ada orang mengikuti kita," kata Kwan Cu perlahan kepada suhu-nya.
"Mana dia?"
"Entah, dia sudah pergi lagi, Suhu. Akan tetapi, telah beberapa kali teecu melihatnya dan agaknya dia memperhatikan kita."
"Siapa sih orangnya?"
"Dia adalah penculik yang dahulu membawa teecu dan Gui-siucai ke markas Panglima An Lu Shan, yaitu adik dari panglima itu sendiri yang bernama An Lu Kui."
"Hemm, dia mau apa?"
"Entahlah, Suhu. Akan tetapi, lebih baik kalau Suhu mengetahuinya, karena dia lihai juga. Dulu pernah teecu melihat dia mendorong roboh sebatang pohon besar, sungguh pun dia tidak berdaya menghadang Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya."
Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya ketika diculik oleh An Lu Kui dahulu. Gurunya tersenyum dan berkata gembira,
"Bagus, kalu begitu, biarlah dia menjadi pengujimu."
"Penguji bagaimana, Suhu?"
"Kau sudah mempelajari ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to, coba kau hadapi dia, hitung-hitung untuk berlatih. Kalau dia muncul lagi, kau pancing dia ke luar kota, ke tempat sunyi."
Kwan Cu mengangguk, dan hatinya berdebar. Ia tahu bahwa An Lu Kui murid mendiang Li Kong Hoat-ong itu tak boleh dibuat main-main. Ia adalah seorang perwira yang pandai dan gagah perkasa, lalu bagaimana dia yang baru melatih ilmu silat beberapa bulan saja sanggup menghadapinya? Akan tetapi karena dia bersama suhu-nya dan perlawanannya adalah atas perintah suhu-nya, hatinya menjadi besar.
Tidak lama kemudian, benar saja dia melihat An Lu Kui muncul lagi, berjalan di sebelah belakang. Kwan Cu menengok dan sengaja memperlihatkan muka ketakutan, kemudian menggandeng tangan suhu-nya dibawa berjalan menuju ke pegunungan kecil yang tidak jauh dari sana letaknya. Pancingannya berhasil karena melihat wajah Kwan Cu nampak ketakutan dan bergesa-gesa ke bukit kecil, An Lu Kui lalu mengejar!
Sesudah berada di tempat yang sunyi di bukit kecil itu, Kwan Cu berhenti dan bersama suhu-nya menengok ke belakang. Tampak An Lu Kui berlari cepat menghampiri mereka dan setelah berhadapan, dia menegur.
"Ehh, tidak tahunya kau Kwan Cu bocah itu! Kau hendak pergi ke manakah?"
Kwan Cu memang telah mendapat perintah dari gurunya untuk mencoba kepandaiannya dengan perwira ini, maka dia memancing keributan dengan meniru jawaban Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ketika dahulu bertemu dengan dia di pintu gerbang kota raja, maka dia menjawab, "Aku datang dari belakang dan menuju ke depan. Ada urusan apakah kau menyusulku, An-sianseng?"
Mendengar jawaban yang kurang ajar ini tentu saja An Lu Kui mendelikkan matanya.
"Bocah gundul! Ketika dahulu menjadi murid Gui-suicai, kau masih mengerti aturan dan bersikap sopan, sekarang kau telah menjadi seorang berandalan. Jawab yang betul, kau hendak pergi ke mana?"
"Ke mana pun aku pergi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!" kata Kwan Cu dengan sengaja agar perwira ini marah dan menyerangnya sehingga dia dapat mempraktekkan ilmu silatnya Pai-bun Tui-pek-to.
"Setan cilik! Bukankah kau hendak pergi ke tempat disembunyikan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Hayo jawab yang betul, kalau tidak, akan kukemplang kepalamu yang gundul itu sampai pecah!"
Tiba-tiba saja terdengar suara meledak dari Ang-bin Sin-kai. "Ha-ha-ha! Agaknya semua orang sudah tergila-gila kepada kitab tiada guna itu! Eh, Kwan Cu, kenapa kau meladeni badut ini? Kait saja kakinya, biar dia menggelundung ke bawah!"
Bukan main marahnya An Lu Kui mendengar ejekan ini. "Bangsat tua bangka! Apakah matamu buta dan tak mengenal orang? Kau sedang berhadapan dengan An Lu Kui, adik dari panglima besar An Lu Shan! Berlutut kau!"
Kwan Cu melangkah maju. "Orang she An, jangan kau menghina guruku!"
"Kau setan gundul mau apa?" bentak An Lu Kui yang cepat menampar dengan tangan kanannya ke arah kepala Kwan Cu yang gundul.
Akan tetapi dengan sedikit menundukkan kepala saja, Kwan Cu sudah dapat mengelak dari pukulan ini. An Lu Kui menjadi penasaran dan marah sekali. Oleh karena itu, sambil menggereng bagaikan seekor harimau buas, dia menubruk maju dan mengirim pukulan bertubi-tubi, diselingi dengan tendangan kakinya!
Akan tetapi, sebentar saja dia menjadi tertegun ketika melihat betapa dengan gerakan amat lincah, Kwan Cu dapat mengelak dari semua pukulan dan tendangannya itu. Bukan main! Baru beberapa bulan berselang, bocah gundul ini masih belum memiliki gerakan demikian lincah.
Ahh, jangan-jangan gurunya yang seperti pengemis jembel itu berkepandaian tinggi pula, pikirnya. Maka dia mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan ilmu silatnya disertai pengerahan tenaga lweekang!
Kwan Cu baru saja belajar beberapa bulan. Ada pun An Lu Kui telah memiliki kepandaian tinggi, karena itu menghadapi serangan-serangan hebat ini, tentu saja Kwan Cu menjadi repot sekali. Memang betul bahwa dengan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to, dia masih dapat mengelak mau pun menangkis, akan tetapi dia tidak dapat membalas sama sekali dan seakan-akan untuk bernapas pun tiada kesempatan!
"Kau menyia-nyiakan banyak kesempatan baik!" kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya. "Campur Pai-bun Tui-pek-to dengan Sam-hoan-ciang!"
Kwan Cu maklum akan maksud suhu-nya. Namun karena kurang pengalaman tetap saja dia tidak dapat membalas serangan-serangan An Lu Kui yang mengamuk semakin hebat itu.
An Lu Kui kali ini benar-benar penasaran dan marah sekali. Sudah dua puluh jurus lebih dia menyerang, namun tetap saja belum pernah dia dapat menempiling kepala lawannya si bocah gundul ini. Kini mendengar ucapan kakek itu, mengertilah dia bahwa kakek ini memang benar-benar lihai dan terang bahwa si bocah gundul mendapat latihan dari dia.
Celaka, keluh An Lu Kui, bila aku tidak lekas-lekas mengalahkan setan cilik ini, aku bisa dipermainkan oleh setan besar itu. Maka, dia lalu mencabut sepasang siang-kek (senjata tombak bercagak) dari punggungnya dan lantas memutar dua senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.
"Kwan Cu kau melompatlah ke punggungku dan lihat baik-baik cara aku mainkan Pai-bun Tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang!" kata Ang-bin Sin-kai.
Kwan Cu tertawa gembira dan sekali dia mengenjotkan kedua kakinya, bagaikan seekor monyet dia telah melompat ke atas punggung suhu-nya. An Lu Kui merasa kepalang dan dia sudah merasa malu serta marah dijadikan permainan oleh Kwan Cu, maka kini dia menyerang kakek jembel itu dengan ilmu silatnya yang lihai dan berbahaya.
Kwan Cu melihat gerakan tubuh suhu-nya dengan penuh perhatian. Dengan digendong di punggung suhu-nya, dia merasa seakan-akan dia sendiri yang menghadapi An Lu Kui dan dia mengintai dari balik punggung gurunya itu kepada semua gerakan An Lu Kui dan gerakan suhu-nya. Benar saja, gurunya menghadapi sepasang tombak cagak An Lu Kui dengan ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to!
Melihat betapa gerakan gurunya amat sederhana, namun dapat dengan tepat dan tenang menghindarkan semua serangan sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui, Kwan Cu menjadi kagum sekali. Kini terbukalah matanya dan tahulah dia bahwa tadi pada waktu menghadapi serangan An Lu Kui ia terlalu gugup dan terlalu banyak membuang gerakan sendiri. Sebenarnya, kalau dia bisa tenang seperti suhu-nya, tidak usah terlalu banyak bergerak dan hanya bergerak seperlunya saja, Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to sudah dapat menyelamatkan diri dari serangan lawan.
"Kau lihat lowongan-lowongan itu?" kata Ang-bin Sin-kai pada muridnya. "Buka matamu baik-baik, setiap kali dia melakukan serangan, tentu terbuka sebuah pintu! Mengertikah kau? Coba sekarang kau mencari dan menemukan pintu yang terbuka dan kau gunakan tanganmu menyerang pintu terbuka itu!"
Kwan Cu mengerti. Yang dimaksud oleh gurunya mengenai pintu terbuka adalah bagian-bagian tubuh yang terbuka atau tidak terlindung dari lawan dan sekarang setelah berada di punggung suhu-nya dan tidak gugup karena dia sendiri tidak menghadapi serangan, memang matanya terbuka dan dia bisa melihat betapa setiap kali menyerang, An Lu Kui membuka sebagian tubuhnya yang tidak terlindung sama sekali.
Mendengar perintah suhu-nya ini, maka mulailah Kwan Cu menyerang dengan pukulan Sam-hoan-ciang! Tiap kali An Lu Kui menyerang, tentu terbuka sebuah pintu di dadanya, lambungnya, pundaknya, lehernya, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Kwan Cu tidak ingin menyia-nyiakan waktu baik ini dan tiap kali serangan datang, suhu-nya mengelak dan dia menghantam dengan tangannya.
“Bak! Buk! Bak! Buk!” terdengar suara ketika tubuh An Lu Kui terpukul secara tepat oleh tangan Kwan Cu yang kecil!
An Lu Kui menyumpah-nyumpah, Ang-bin Sin-kai tertawa tergelak-gelak dan Kwan Cu bersorak girang. Bocah gundul itu kini duduk di punggung gurunya dengan tangan kanan terangkat, siap untuk menempiling, menampar, dan menghantam dan menyodok ke arah ‘pintu terbuka’ dari lawannya!
Ada pun bagi An Lu Kui, Ang-bin Sin-kai seakan-akan merupakan manusia asap saja. Ke mana pun sepasang tombaknya menyerang, selalu tidak mampu mengenai tubuh kakek aneh itu. Ia mulai menjadi gentar dan tamparan-tamparan tangan Kwan Cu biar pun tidak bisa melukainya, akan tetapi terasa cukup pedas dan memanaskan kulit, terutama sekali memanaskan hatinya.
"Orang Tartar, kau masih belum cukup?" tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Entah dengan gerakan apa, karena Kwan Cu sendiri tidak mengenal gerakan gurunya ini, tahu-tahu sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui itu telah pindah tangan. Ang-bin Sin-kai menggerakkan kedua tombak itu dan…
“Krakk!” terdengar suara dan patahlah dua batang tombak itu menjadi empat batang!
Sambil tersenyum Ang-bin Sin-kai melemparkan potongan-potongan tombak itu ke dalam jurang, kemudian berkata kepada An Lu Kui yang berdiri dengan muka merah dan hati terheran-heran.
"Tidak patut sekali seorang perwira seperti engkau ini menghina seorang bocah kecil. Pergilah!"
An Lu Kui menjadi malu sekali. Ia menjura sambil berkata, "Mohon banyak maaf siauwte tidak mengenal orang pandai. Siauwte An Lu Kui hendak mohon tanya, siapakah nama Lo-enghiong yang terhormat?"
Ang-bin Sin-kai tidak mau melayaninya, bahkan lalu menggerakkan kedua kakinya dan melompatlah dia turun dari bukit.
"An-sian-seng (tuan An), suhu-ku itu adalah Ang-bin Sin-kai!" berkata Kwan Cu yang lalu cepat-cepat berlari turun gunung mengikuti suhu-nya.
An Lu Kui tertinggal di bukit itu, berdiri tak bergerak bagaikan patung. Celaka tiga belas, pikirnya. Mengapa aku selalu bertemu dengan setan-setan itu? Dia lantas teringat akan pengalamannya dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan belum lagi sakit hatinya karena terhina oleh kakek itu terbalas, sekarang dia mengalami hinaan pula dari Ang-bin Sin-kai!
Ahhh, alangkah banyak orang Han yang hebat dan luar biasa sekali, keluhnya. Baiknya mereka itu tidak ambil peduli tentang kedudukan dan keadaan pemerintah. Kalau kaisar tidak demikian bodoh dan dapat menghargai orang-orang seperti itu, negara manakah di dunia ini yang dapat menandingi Tiongkok?
Dengan hati mengkal sekali, An Lu Kui lalu turun dari bukit itu untuk kembali ke markas besar kakaknya di mana dia melatih diri dalam ilmu silat dan ilmu perang dengan sangat tekunnya. Dalam hal ilmu perang, barisan yang dipimpin oleh An Lu Shan benar-benar mendapat kemajuan yang hebat sekali, berkat petunjuk dan pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng palsu yang diterjemahkan Gui Tin atau Gui-siucai itu…..
********************
Ada pun Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya dengan Ang-bin Sin-kai, dan semenjak itu, Kwan Cu makin tekun mempelajari ilmu silat, karena kini terlihatlah olehnya kegunaan dari pada ilmu ini. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan murid-murid tokoh lain, dia tetap saja terhitung yang paling bodoh.
Terhitung beberapa bulan yang lalu, ketika menghadapi kedua orang murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dia masih dipermainkan dan beberapa hari kemudian semenjak bertemu dengan An Lu Kui, terjadilah peristiwa lain yang di samping menunjukkan bahwa ia masih kalah jauh oleh murid tokoh lain, juga membikin tubuh dan hatinya sakit sekali.
Hal itu terjadi ketika mereka sudah sampai di kaki bukit Liang-san. Ketika itu, Kwan Cu sedang hendak bertanya keterangan pada penduduk dusun tentang mendiang gurunya yang dahulu di tempat ini terkenal dengan sebutan Gui-lokai (pengemis tua she Gui). Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti gembreng dipukul dan disusul oleh suara yang keras.
"Lu Thong, lihat ini adalah saudara misanmu!"
Di depan Kwan Cu muncullah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, hwesio gundul yang bundar seperti bal tubuhnya itu, tokoh utama dari selatan! Dan di sampingnya berjalan seorang anak laki-laki yang dikenal baik oleh Kwan Cu sebagai putera bangsawan yang dahulu menghina Gui Tin dan yang memerintah anjingnya untuk mengeroyok Gui-suicai!
Memang benar, anak itu adalah putera dari Lu Seng Hok, atau cucu dari Menteri Lu Pin! Seperti biasanya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu melakukan perantauannya, kali ini diikuti oleh muridnya.
Semenjak menjadi murid Kak Thong Taisu, sikap Lu Thong benar-benar berubah sekali. Dia mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya dan menurut segala nasihat suhu-nya. Di luarnya, anak ini bersikap baik sekali, pendiam dan tidak jahat atau sombong seperti dahulu. Bahkan pakaiannya, menurut petunjuk dari suhu-nya, tidak mewah seperti dulu pula, melainkan pakaian sederhana saja.
Biar pun dia dibawa merantau dan hidup sengsara, dia tidak pernah mengeluh, bahkan tidak menolak ketika suhu-nya menyuruh dia mengemis makanan! Lu Thong mempunyai kekerasan hati dan ketekunan luar biasa sekali sehingga segala keinginan dan nafsunya dapat dia tekan sedemikian rupa hingga seolah dia merupakan seorang murid yang baik sekali. Tentu saja gurunya amat sayang kepadanya dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi sehingga sebentar saja Lu Thong memperoleh kemajuan pesat sekali.
Ketika melihat Kwan Cu dan Ang-bin Sin-kai, tentu saja Jeng-kin-jiu menjadi girang sekali dan diam-diam dia mengandung hati iri terhadap Ang-bin Sin-kai. Sesungguhnya, adalah pengharapannya untuk menurunkan kepandaiannya bersama Ang-bin Sin-kai di tepi Laut Po-hai itu.
Sebaliknya, Lu Thong mengenal Kwan Cu sebagai bocah jembel yang dahulu menolong jembel tua di halaman rumahnya, maka diam-diam dia menjadi gemas sekali. Dulu dia mudah ditakut-takuti oleh bocah gundul ini, akan tetapi sekarang, sesudah dia merasa mempunyai kepandaian ilmu silat, dia tidak takut lagi dan bahkan ingin dia membalasnya! Tetapi dia tidak kenal kepada Ang-bin Sin-kai, yang sesungguhnya masih kongkong-nya sendiri, karena ayahnya adalah keponakan dari pengemis tua ini.
"Gundul bangkotan! Kau di sini?" Ang-bin Sin-kai menegur dengan muka girang.
Di antara para tokoh persilatan, dia lebih suka hwesio gemuk ini yang selain lucu, juga mempunyai kejujuran dan berhati baik. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak.
"Lucu, lucu sekali. Ha-ha-ha! Sekeluarga bertemu di sini, ha-ha-ha! Dan alangkah hebat dan lucunya keluarga ini. Ehh, pengemis kelaparan, kau tahu siapa anak yang menjadi muridku ini?"
Ang-bin Sin-kai memandang, akan tetapi dia tidak mengenal cucunya sendiri. Tadi ketika Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memanggil Lu Thong, dia tidak memperhatikan. Maka dia lalu menggelengkan kepalanya.
"Kenalkah kau kepada pengemis kelaparan ini?" Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bertanya kepada muridnya.
Juga Lu Thong menggelengkan kepala sesudah memandang tajam. "Teecu tidak kenal, Suhu."
"Lu Thong, inilah Kongkong-mu yang tidak mau mengajarkan ilmu silat kepadamu!" kata Kak Thong Taisu.
Terbelalak mata Lu Thong.
"Ang-bin Sin-kai...?" katanya perlahan.
"Ya, ya! Dialah Ang-bin Sin-kai Lu Sin, Twa-pek (Uwa) dari ayahmu!"
Ada pun Ang-bin Sin-kai juga terkejut mendengar kata-kata ini.
"Gundul jahat! Apakah muridmu ini putera Lu Seng Hok?"
Lu Thong sekarang telah dapat mengubah sikapnya dan dia pun sangat cerdik. Dia tahu bahwa Ang-bin Sin-kai ini merupakan seorang tokoh yang pandai, maka dia cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan pengemis tua itu.
"Kongkong, harap maafkan cucumu yang tidak tahu adat!" katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Diam-diam Kwan Cu merasa heran sekali mengapa anak yang begitu jahat seperti ketika dilihatnya di depan gedung itu, kini dapat bersikap sopan santun dan baik.
Walau pun Ang-bin Sin-kai Lu Sin tidak setuju dengan pendirian adiknya Lu Pin yang bekerja membantu kaisar yang dianggapnya lemah dan tidak baik, akan tetapi melihat cucunya ini, timbul juga rasa terharu dalam hatinya.
"Baguslah kalau kau menjadi murid Jeng-kin-jiu, belajarlah baik-baik," berkata Ang-bin Sin-kai sambil mengelus-elus kepala Lu Thong yang berambut hitam panjang itu.
"Kongkong, biar pun cucumu ini menjadi murid dari Suhu Kak Thong Taisu, namun masih amat mengharapkan semacam ilmu silat dari Kongkong sebagai warisan sehingga kelak jangan ada yang mengatakan bahwa sebagai cucu Ang-bin Sin-kai yang terkenal, namun cucumu ini tidak tahu sama sekali tentang kepandaian Kongkong-nya sendiri. Bukankah itu amat tidak baik bagi keluarga kita?"
Semua orang termasuk Kwan Cu, tertegun mendengar ini. Ucapan itu selain tepat, juga cerdik sekali. Jeng-kin-jiu menegur muridnya.
"Ehh, Lu Thong. Apakah kau tidak puas dengan pelajaran yang kau dapat dari pinceng?"
Buru-buru Lu Thong memberi hormat kepada suhu-nya. "Tidak sama sekali, Suhu. Teecu merasa girang dan puas menerima pelajaran yang amat berharga dari Suhu. Hanya saja, teecu minta tanda mata sebagai warisan dari Kongkong, apakah ini salah?"
Terdengar Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
"Tidak mengecewakan kau menjadi cucunya Lu Pin, karena kau mempunyai kecerdikan. Ha-ha-ha! Jangan bicara tentang kekeluargaan, sebab aku Lu Sin telah menjadi keluarga dari bumi dan langit. Tak ada manusia yang bukan keluargaku, karena bukankah semua manusia di seluruh dunia ini bersaudara belaka? Betapa pun juga, untuk kecerdikanmu itu, biarlah aku menurunkan ilmu silat keturunanku, yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa)! He, hwesio gundul, kau terimalah Kong-jiu Toat-beng untuk diajarkan kepada muridmu ini, akan tetapi bersumpahlah bahwa selama hidupmu kau tak akan mempergunakan ilmu ini!" katanya kemudian kepada Kak Thong Taisu.
Kak Thong Taisu tertawa bergelak. "Pengemis kelaparan! Apa kau kira aku sudah begitu rakus untuk mengambil ilmu silatmu? Tanpa meniru aku pun tak dapat kau kalahkan. Aku bersumpah!" dia mengangkat kedua tangan di depan dada seperti menghormat kepada Buddha.
Ang-bin Sin-kai mengangguk puas, lalu kakek ini segera bersilat tangan kosong. Dalam pandangan Lu Thong dan Kwan Cu, kakek ini bergerak luar biasa cepatnya bagai orang menari-nari dengan jari-jari tangan terbuka. Tetapi sesudah Ang-bin Sin-kai mengulangi sampai dua kali ilmu silat tangan kosong yang seluruhnya terdiri dari dua puluh empat jurus itu, Jeng-kin-jiu sudah dapat menghafalnya!
"Hebat, hebat! Pinceng sudah hafal semua," kata hwesio gemuk itu.
Ang-bin Sin-kai tertawa lagi. "Eh, Thong-ji (anak Thong), sekarang coba kau menghadapi Kwan Cu, hendak kulihat hwesio bundar ini sampai seberapa jauhnya memberi pelajaran kepadamu!" Kemudian Ang-bin Sin-kai menoleh kepada Kwan Cu. "Coba kau layani Lu Thong, hitung-hitung berlatih!"
Kwan Cu baru saja mempelajari dua macam ilmu silat, yakni ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to dan ilmu menyerang Sam-hoan-ciang. Mendengar ucapan suhu-nya, dengan taat dia lalu berdiri menghadapi Lu Thong sambil memasang kuda-kuda.
"Lu Thong, kau hadapi dia dengan Lam-hai Kong-jiu (Tangan kosong Dari Laut Selatan)!" kata Jeng-kin-jiu sambil tertawa-tawa gembira.
Bagi dia dan juga Ang-bin Sin-kai, tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan dari pada pertandingan silat, bagaikan dua orang kakek yang sudah ‘nyandu’ adu ayam melihat dua jago berlaga.
Berbeda dengan Kwan Cu, Lu Thong sudah banyak mempelajari ilmu silat dari gurunya. Juga dalam hal tingkat kepandaian silat, Lu Thong juga cerdik dan berbakat, terutama sekali karena Kwan Cu baru-baru ini saja mulai mempelajari ilmu pukulan dari Ang-bin Sin-kai, juga baru saja anak ini mulai suka mempelajari ilmu silat yang tadinya dianggap sebagai ilmu memukul orang yang tiada gunanya.
Akan tetapi, kalau dilihat dari isinya, dasar dalam diri Kwan Cu jauh lebih kuat. Bocah gundul ini memiliki tubuh yang kuat, di tambah pula oleh nasibnya yang baik sehingga dia tanpa sengaja telah makan coa-ko (buah ular), kemudian Ang-bin Sin-kai yang memang sengaja terus-menerus melatihnya kuda-kuda sehingga memiliki dasar kuat sekali.
Begitu Lu Thong sudah siap, cucu menteri ini serentak melancarkan serangan-serangan hebat dengan kedua kepalan tangannya. Kwan Cu cepat memainkan Pai-bun Tui-pek-to, ilmu silat mempertahankan diri yang baru saja dipelajarinya. Pada saat lengan tangannya beradu dengan lengan tangan Lu Thong, dia merasa kulit lengannya amat pedas, maka tahulah dia bahwa Lu Thong memiliki tenaga gwakang yang lihai sekali.
Memang, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu merupakan seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga hebat. Semenjak belajar kepadanya, dia telah melatih kedua tangan muridnya ini secara tekun dan menggembleng tangan Lu Thong melalui latihan-latihan memukul pasir panas. Meski pun usianya masih delapan tahun, akan tetapi Lu Thong kini sudah berani mempergunakan lengannya untuk menangkis serangan tongkat!
Kwan Cu berlaku sangat hati-hati dan dalam menghadapi serangan lawannya, dia selalu menggunakan tenaga lweekang. Dia tidak mau mengadu kekerasan, dan hanya menolak lengan lawan dengan meminjam tenaga.
Kagetlah Lu Thong ketika dia merasa betapa kedua tangan Kwan Cu seperti karet saja, amat lunak dan setiap pukulannya dapat ditangkis dengan tak banyak tenaga. Ia menjadi penasaran, kemudian mengeluarkan ilmu silatnya, menyerang dengan Ilmu Silat Lam-hai Kong-jiu yang ganasnya seperti gelombang Laut Selatan mengamuk.
Kwan Cu terdesak hebat dan payah juga. Biar pun ilmu silatnya Pai-bun Tui-pek-to dapat digunakan untuk menghindarkan semua serangan lawan, dan meski dia melihat adanya pintu-pintu terbuka dalam kedudukan Lu Thong, akan tetapi dia tidak sempat membalas serangan lawan. Dia belum memahami benar cara mengombinasikan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang.
Namun dengan sekuat tenaga dia melakukan perlawanan. Beberapa kali kepalan tangan Lu Thong sudah mengenai tubuhnya, namun berkat tenaga lweekang, pukulan itu tidak sampai membuat dia terjungkal.
Menarik sekali kalau dilihat sikap kedua orang kakek yang menonton murid-murid mereka bertempur. Ang-bin Sin-kai duduk di atas tanah, bersandar kepada pohon dan menonton dengan mata merem melek, sedikit pun tak mengeluarkan suara dan tidak pula bergerak.
Akan tetapi sebaliknya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tak mau diam, seperti orang melihat ayamnya diadu. Dia berjingkrak-jingkrak, sebentar-sebentar berseru "ah!", "bagus!" atau mencela "salah!" sambil memperhatikan semua gerakan muridnya. Kaki tangannya juga bergerak-gerak seakan-akan dia sendiri yang bertempur.
"Untuk apa kau sudah mempelajari tendangan Liong-jiauw-twi (Tendangan Kaki Naga)?" tiba-tiba dia berkata seperti mencela muridnya.
Padahal ucapan ini merupakan petunjuk dan mendengar ini, Lu Thong lalu menambah serangannya dengan tendangan yang datangnya bertubi-tubi dan cepatnya bukan main. Menghadapi serangan ini Kwan Cu tak berdaya dan sebuah tendangan dengan kerasnya mengenai pahanya sehingga tubuhnya terlempar jauh dan jatuh berduduk ke atas tanah!
"Ha-ha-ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu kalah!"
Kwan Cu menjadi merah mukanya dan teringat akan nasihat suhu-nya, dia lalu menjura kepada Lu Thong dan berkata, "Kepandaianmu hebat. Aku mengaku kalah!"
Lu Thong lalu mengangkat dadanya dan memandang bangga. Gurunya menepuk-nepuk pundaknya dengan gembira. Ang-bin Sin-kai segera bangkit berdiri dan pada wajahnya terbayang sinar kegembiraan pula. Ia merasa gembira melihat jalannya pertandingan tadi, karena dia maklum bahwa dasar dari kedua orang anak itu sudah terlihat nyata.
Kwan Cu jauh lebih kuat. Kalau saja anak gundul itu sudah mempelajari ilmu menyerang yang hebat, sekali terkena pukulannya Lu Thong tentu tak akan dapat bangun kembali tanpa menderita luka hebat. Sedangkan Kwan Cu yang berkali-kali mengalami pukulan dan sekali tendangan hebat, sama sekali tidak terluka! Pula, dia pun senang melihat cara muridnya mengaku kalah.
"Hwesio gendut. Yang baik-baik kau melatih Lu Thong agar kelak tidak mengecewakan. Sepuluh tahun dari saat ini, kita bertemu lagi dan kita akan mengadu murid-murid kita. Beranikah kau?"
"Ha-ha-ha! Pengemis kurus, tentu saja aku berani. Boleh, boleh! Sepuluh tahun dari saat ini kita bertaruh dalam pibu murid-murid kita."
"Bagus! Taruhanku begini. Kalau muridku menang kau harus memberi hadiah semacam ilmu silat, sebaliknya kalau Lu Thong menang aku akan menambah dengan semacam ilmu silat pula kepadanya. Bagaimana?"
"Ha-ha-ha! Kau memang pengemis kelaparan yang licik! Bagimu, menambah pelajaran kepada muridku tak ada ruginya karena dia adalah cucumu sendiri. Akan tetapi bolehlah, aku pun sudah berjanji ingin menjadi guru dari bocah gundul goblok ini!"
Ang-bin Sin-kai lalu mengajak muridnya pergi, akan tetapi sebelum pergi, dia menoleh kepada Lu Thong dan memandang dengan tajam sambil berkata, "Thong-ji, karena kau adalah cucu dari Lu Pin, maka aku hendak memberi nasihat. Hilangkanlah semua sifat kesombonganmu, karena apa bila kau pelihara sifat itu, kelak kau tentu akan mengalami kekecewan karena kesombonganmu."
Ketika mengangkat muka memandang, Lu Thong merasa terkejut sekali melihat sinar mata kakek itu demikian tajam dan seakan-akan menembus sampai menjenguk ke dalam lubuk hatinya! Ia buru-buru menundukkan mukanya dan belakang lehernya terasa dingin.
“Baik, Kongkong," katanya perlahan.
Ang-bin Sin-kai lalu pergi bersama Kwan Cu. Bocah gundul ini merasa penasaran dan tidak hanya tubuhnya merasa sakit sekali. Begitu bertemu, gurunya sudah menurunkan ilmu silat yang hebat kepada Lu Thong seperti yang dilihatnya tadi. Sedangkan dia hanya menerima ilmu-ilmu silat yang digunakan untuk menahan serangan Lu Thong saja masih tidak sanggup! Akan tetapi, dasar dia memang anak yang taat dan penerima, dia tak mau berkata apa-apa dan diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kelak dia akan mencari ilmu silat sendiri yang membuat dia tidak terkalahkan…..
********************
Setelah berhasil menggondol pergi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, Hek-i Hui-mo (Iblis Tebang Baju Hitam) lantas melarikan diri secepatnya. Dia tidak percaya akan keterangan Kwan Cu bocah gundul itu, bahwa kitab itu palsu, karena kalau palsu, kenapa Panglima An Lu Shan begitu mau bersusah payah untuk menterjemahkannya?
Hek-i Hui-mo adalah seorang pendeta Tibet yang selain berkepandaian tinggi sekali, juga di Tibet dia membentuk sebuah perkumpulan agama yang memisahkan diri dari Lama atau juga dari aliran pendeta Buddha jubah kuning. Semua murid-muridnya atau anak buahnya mengenakan jubah hitam seperti dia pula.
Hwesio ini mempunyai cita-cita untuk menguasai daerah Tibet dan untuk keperluan ini, perlu sekali menterjemahkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, selain untuk mempertinggi ilmu silat, juga untuk melatih ilmu perang kepada murid-muridnya. Kalau tokoh besar lain menganggap kitab itu tidak ada gunanya lagi, selain dianggap palsu juga dianggap tidak ada orang yang mampu menterjemahkannya, Hek-i Hui-mo beranggapan lain.
Dia tahu bahwa di Tiongkok tidak hanya Gui Tin yang pandai tentang sastra kuno. Dia mengenal pula nama dua orang sastrawan yang kepandaiannya mungkin tak kalah oleh Gui Tin. Yang seorang adalah Li Po, dan orang ke dua adalah Tu Fu.
Tidak ada harapan untuk minta bantuan Li Po karena sastrawan besar ini orangnya aneh dan keras. Maka ia hendak mencoba untuk minta bantuan sastrawan besar Tu Fu karena kebetulan sekali dia tahu di mana adanya sastrawan perantau ini pada waktu itu.
Di samping Li Po, Tu Fu merupakan seorang sastrawan yang amat pandai dan terkenal. (Bahkan sampai jaman atom ini hasil-hasil karyanya masih terkenal). Dia adalah seorang dari keluarga terpelajar dan berpangkat. Ia masih keturunan dari Tu Yu, seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan terkenal sekali dari Kerajaan Cin barat.
Kakeknya juga seorang sastrawan besar yang ternama, bernama Tu Shen Yan, ada pun ayahnya pernah menjadi seorang jaksa. Namun Tu Fu berwatak jujur dan berjiwa patriot. Ia amat mencinta nusa bangsanya dan melihat keadaan pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang korup, ia tidak mau menduduki pangkat dan bahkan rela hidup sebagai perantau yang miskin, seperti halnya mendiang Gui Tin yang semasa hidupnya dia kenal baik.
Hek-i Hui-mo maklum bahwa selain Gui Tin yang sudah tewas, orang-orang yang kiranya dapat menterjemahkan kitab kuno yang telah berada di tangannya, hanya Tu Fu dan Li Po, akan tetapi yang dapat dia mintai tolong hanya Tu Fu seorang. Maka pergilah dia ke Ho-nan di mana dia tahu sastrawan muda itu berada pada waktu itu. Memang kini Tu Fu sudah menjadi seorang perantau yang menjelajah di propinsi-propinsi Kiang-su, Ce-king, Ho-nan, dan Shan-tung.
Di kota Kai-feng sebelah timur ibukota Ceng-cou, di dekat pintu gerbang sebelah timur, terdapat sebuah rumah bobrok, bentuknya laksana kelenteng. Memang rumah ini adalah bekas kelenteng yang telah rusak dan yang gentingnya sudah hampir tidak ada sehingga kalau hujan, tempat itu menjadi basah semua sedangkan di waktu panas tidak terlindung sama sekali.
Agaknya yang sanggup hidup di tempat rusak dan kotor ini hanya ayam dan babi belaka. Akan tetapi, pada waktu itu di sebelah dalam kelenteng ini ada seorang manusia yang tinggal.
Orang ini belum tua benar, usianya kurang lebih tiga puluh tiga tahun atau tidak lebih dari tiga puluh lima tahun. Melihat potongan pakaiannya, meski pun kain bajunya sudah lapuk dan penuh tambalan, jelas dapat dilihat bahwa dia seorang terpelajar. Pakaiannya seperti pakaian pendeta, panjang sampai ke kaki, dengan ikat pinggang terbuat dari tali hitam.
Kumisnya hitam serta panjang, menggantung di kanan kiri mulutnya. Jenggotnya sedikit saja, di tengah-tengah dagu dan tergantung sepanjang lehernya. Kepalanya tertutup oleh sebuah topi butut, topi sastrawan pula. Tubuhnya kecil kurus, tulang-tulang pipinya agak menonjol. Sepasang matanya lebar dan bersinar tajam, sedangkan dahinya lebar sekali.
Inilah dia Tu Fu, sastrawan yang rela hidup dalam kemiskinan karena dia tidak suka pada pemerintah sekarang yang dipimpin oleh orang-orang tidak jujur. Ia rela menderita seperti bangsanya, yakni rakyat kecil yang banyak sekali menderita seperti dia pula.
Di dalam kehidupannya yang miskin, kelaparan, dia berduka sekali dan menangis, bukan hanya karena kehilangan puteranya, terutama sekali karena penderitaan keluarganya ini mengingatkan dia akan keadaan para petani miskin, rakyat kecil yang banyak menderita kelaparan seperti keluarganya!
Sejak itu dia pergi merantau, membuat sajak-sajak yang isinya selain memuji alam indah permai sebagaimana menjadi kesukaan para sastrawan, juga dia membuat sajak-sajak keluhan dan protes terhadap pemerintah yang lalim! Betapa pun miskinnya Tu Fu, kalau orang menjenguk ke dalam kelenteng bobrok itu, dia akan melihat bahwa sastrawan ini tidak pernah berpisah dari alat tulisnya, yakni pena bulu, kertas, dan tinta!
Pada waktu itu, matahari telah condong ke barat dan keadaan di dalam kelenteng sudah mulai remang-remang. Akan tetapi, Tu Fu seperti tidak merasai ini semua dan dia masih saja duduk termenung seperti orang sedang bersemedhi, tangkai pena di tangan kanan dan sebuah kipas bobrok di tangan kiri.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang hwesio berpakaian hitam yang tubuhnya amat gendut, kulit mukanya hitam dan misainya panjang. Hwesio itu merangkapkan kedua tangan di depan dadanya dan berkata,
"Omitohud! Tu-siucai benar-benar rajin sekali. Untuk apakah kau bekerja begitu keras?" tanya hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo adanya.
Bagaikan dalam mimpi, Tu Fu menjawab, "Aku takkan berhenti bekerja sebelum berhasil menuliskan sesuatu yang berguna!"
"Tu-siucai bersusah payah menulis sajak, untuk apakah gerangan?" bertanya pula Hek-i Hui-mo.
"Untuk siapa?" Tu Fu mengerutkan kening. "Tentu saja untuk rakyat sebagai penambah semangat dan untuk negara sebagai obat pahit yang manjur!" Sambil berkata demikian, Tu Fu bangkit berdiri.
Baru sekarang dia memandang kepada pengunjungnya dengan mata terbelalak karena dia heran sekali siapa adanya pendeta yang tak dikenalnya ini. Namun, sebagai seorang terpelajar dan sopan, dia memberi hormat lalu bertanya,
"Siapakah Losuhu ini? Dan mengapa datang mengunjungi siauwte yang miskin? Harap dimaafkan, di sini siauwte tak mampu mengeluarkan air teh atau arak untuk disuguhkan."
Hek-i Hui-mo tertawa bergelak. "Mengapa Siucai memikirkan keadaan orang lain? Bagi pinceng tidak membutuhkan makan minum, tetapi sebaliknya kaulah yang memerlukan makan dan minum. Lihat, pinceng membawa sedikit daging dan arak untukmu!" Sambil berkata demikian, Hek-I Hui-mo mengeluarkan seguci arak wangi dan sebungkus daging panggang dari saku bajunya yang lebar.
To Fu menerima pemberian ini sambil menghela napas, "Apa artinya haus dan lapar? Kadang-kadang sampai sepuluh hari aku tidak makan minum dan bajuku mempunyai tambalan lebih seratus jumlahnya, akan tetapi, apakah artinya bila dibandingkan dengan penderitaan rakyat kecil? Jika mengingat penderitaan mereka itu, perutku terasa kenyang sendiri dan bajuku telah terlampau baik! Ah, Losuhu, agaknya hidupmu sebagai pendeta lebih bahagia dari pada hidupku sebagai seorang sastrawan!"
"Keliru, keliru! Tu-siucai keliru sekali!" jawab Hek-i Hui-mo sambil menggoyang-goyang dua tangannya. "Suka dan duka timbul karena hati dan pikiran diri sendiri. Kebahagiaan berada di dalam hati kita sendiri, demikian pula keadaan. Kebahagiaan dapat diusahakan secara mudah, mengapa kau masih saja duduk merenung menyusahkan keadaan orang lain? Jika kau suka menerima jabatan, apa lagi yang menyusahkanmu? Kau mempunyai kepandaian tinggi."
"Cukup!" tiba-tiba Tu Fu membentak dan suaranya keras saking marahnya. "Siapa sudi membantu orang-orang yang hidup seperti lintah menghisap darah petani miskin? Tidak! Lebih baik mati!" Kemudian, teringat bahwa dia sudah bersikap kasar terhadap seorang suci, dia lalu memberi hormat dan berkata dengan sikap halus, "Maaf, Losuhu. Kalau tadi siauwte dikuasai oleh nafsu amarah. Siapakah sebenarnya Losuhu?" ulangnya, karena pertanyaannya tadi belum terjawab.
"Nama pinceng Thian Seng Hwesio dan pinceng datang dari Tibet," jawab Hek-i Hui-mo. Memang sebenarnya dia bernama Thian Seng Hwesio, dan di kalangan kang-ouw saja dia disebut Hek-i Hui-mo.
Mendengar keterangan ini, Tu Fu memandang dengan mata lebar. "Dari barat? Ahhh, Losuhu melakukan perjalanan begitu jauh menjumpai siauwte, ada keperluan apakah?"
"Tu-siucai, pinceng tak mempedulikan perjalanan ribuan li jauhnya dengan maksud ingin memohon sedikit pertolongan darimu, maka pinceng mengharap kemurahan hatimu dan mengharap Tu-siucai takkan menolak."
Biar pun terkenal kejam dan ganas, namun Hek-i Hui-mo juga seorang cerdik dan banyak pengalaman. Menghadapi seorang sastrawan seperti Tu Fu yang meski kepandaiannya tinggi tapi tidak mau menduduki jabatan dan rela hidup menderita, maka dia tahu bahwa orang ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa, dan seperti juga Gui Tin, tiada gunanya menghadapi orang seperti ini menggunakan kekerasan.
Andai kata ia menggunakan kekerasan kemudian memaksa sastrawan ini membantunya menterjemahkan kitab, hati sastrawan ini hanya akan tersinggung saja dan kalau sampai terjadi demikian, maka agaknya walau pun dia akan memukul sampai mati, sastrawan muda ini takkan sudi membantunya! Oleh karena itulah maka Hek-i Hui-mo menjalankan siasat licin dan bersikap halus dan manis budi.
Berbeda dengan Gui Tin yang lebih tua dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw, Tu Fu tidak mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, maka dia tidak mengenal Hek-i Hui-mo dan keganasannya. Ia memang seorang yang berhati mulia dan suka menolong, apa lagi menolong seorang hwesio yang lajimnya menuntut kehidupan beribadat suci, tentu saja dia bersiap sedia untuk menolong.
"Tu-siucai tak perlu tergesa-gesa. Silakan makan terlebih dahulu, baru nanti kita bicara kembali," kata Hek-i Hui-mo.
Tu Fu tidak berlaku sungkan-sungkan dan sastrawan muda ini lalu makan habis daging dan minum arak itu sampai setengah guci.
Setelah Tu Fu selesai makan, barulah Hek-i Hui-mo mengeluarkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dari saku bajunya. Sambil memperlihatkan kitab itu kepada Tu Fu, dia berkata, "Pertama-tama pinceng ingin sekali mengetahui pendapat Tu-siucai mengenai kitab ini. Pinceng mendapat kitab kuno ini, akan tetapi tidak dapat mengerti huruf-hurufnya yang kuno dan sukar dibaca. Dan karena kitab ini bagi pinceng penting sekali, maka harap Siucai sudi menerangkan apakah kitab ini palsu atau bukan?"
Tu Fu menerima kitab itu seperti seorang kelaparan menerima sepotong kue.....
Sastrawan mana yang tidak tertarik dan penuh gairah melihat sejilid kitab? Ia menerima kitab itu dengan penuh khidmat, lalu mulai membuka lembaran-lembaran pertamanya.
"Hmm, sebuah kitab kuno yang menarik hati sekali," katanya perlahan, didengarkan oleh Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. "Usianya sudah ribuan tahun dan ditulis dengan bahasa dalam jaman Kerajaan Couw Timur!"
Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa kitab ini ditulis pada jaman Shia!"
Tu Fu menggelengkan kepalanya. "Tak mungkin! Sudah pasti sekali ditulis dalam bahasa Couw Timur, Losuhu, siauwte tahu betul akan hal ini."
"Kalau begitu, apakah kitab ini palsu?"
"Bagaimana orang dapat menyatakan palsu bila tidak melihat aslinya? Orang baru dapat mengenal kejahatan jika sudah mengenal kebaikan, maka orang pun baru bisa mengenal barang palsu apa bila sudah melihat barang tulennya. Siauwte tidak dapat mengatakan bahwa kitab ini palsu atau asli, namun kitab ini benar-benar amat menarik hati. Siauwte mengenal seorang yang benar-benar ahli dalam bahasa yang ditulis dalam kitab ini, yaitu Gui-siucai."
Kembali Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa Giu-suicai sudah meninggal dunia, akan tetapi, pinceng lebih suka mohon pertolongan kepadamu, Tu-siucai. Harap kau suka menterjemahkan kitab ini untuk pinceng."
Tu Fu tidak menjawab, melainkan membuka lembaran kitab itu dan membacanya. Baru membaca dan membalik-balikkan beberapa lembaran kitab itu, berkerutlah keningnya.
"Aneh sekali! Kitab ini bernama Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebuah kitab pelajaran yang luar biasa anehnya. Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kau, Losuhu. Kitab ini adalah pelajaran tentang ilmu silat dan ilmu perang, bagaimana seorang hwesio yang menuntut penghidupan suci seperti Losuhu ingin mempelajari isi kitab ini? Apakah gunanya untuk Losuhu?"
Hek-i Hui-mo merasa muaknya panas. Kalau saja kulit mukanya tidak begitu hitam, tentu akan terlihat betapa mukanya menjadi merah. Ia merasa mendongkol dan marah sekali. Hemm, pikirnya, kalau saja aku tidak membutuhkan pertolongan cacing buku ini, kuketok kepalanya sampai pecah! Ia menarik muka sungguh-sungguh ketika menjawab.
"Tu-siucai, harap jangan salah mengerti. Kitab ini seperti kau katakan tadi adalah kitab ilmu silat dan ilmu perang. Untuk pinceng pribadi memang tidak ada gunanya, sungguh pun harus pinceng akui bahwa semenjak kecil pinceng paling suka mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tidakkah kau lihat betapa buruknya keadaan negara? Jika pinceng bisa mempelajari ilmu silat dari dalam kitab ini yang juga belum tentu hebat, bukankah kelak pinceng dapat menurunkan ilmu kepandaian itu kepada para orang gagah sehingga bisa dipergunakan untuk membela negara?"
Pada saat Tu Fu hendak menjawab, mendadak terdengar suara ketawa nyaring dari luar kelenteng, disusul dengan suara seorang wanita berkata, "Bangsat gundul menjemukan! Kau kira dapat melarikan diri dariku? Kembalikan kitab itu!"
Hek-i Hui-mo terkejut sekali dan sekali dia melompat, dia sudah berada di luar kelenteng menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang datang bersama muridnya, Sui Ceng! Hati Tu Fu kaget bukan main pada waktu melihat betapa hwesio gendut itu seakan-akan menghilang dari depannya.
"Aduh..., setankah dia?" katanya perlahan.
Kemudian dia mendengar suara gaduh di luar kelenteng. Tu Fu segera memburu keluar dan bukan main heran dan terkejutnya ketika dia melihat dua bayangan orang bertempur di halaman kelenteng seperti iblis sedang menari-nari!
Memang Hek-i Hui-mo tak membuang waktu lagi. Begitu dia melihat bahwa yang datang adalah Kiu-bwe Coa-li, tanpa banyak cakap lagi dia kemudian mengeluarkan tasbih dan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan cepat menyerang dengan amat hebatnya. Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek dan wanita sakti ini pun lalu menggerakkan pecutnya yang bernama Kiu-bwe Sin-pian (Ruyung Lemas Berekor Sembilan).
Pertempuran kali ini bukan main dahsyatnya. Satu lawan satu, tanpa khawatir ada tokoh lain yang mengganggu mereka. Bun Sui Ceng berdiri di pinggir menonton pertempuran antara gurunya dan Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. Mukanya yang manis serta elok itu sama sekali tidak nampak gelisah, karena anak ini selain mempunyai hati yang tabah, juga percaya penuh bahwa gurunya pasti akan menang.
"Kiu-bwe Coa-li, kau manusia usilan mengganggu saja!" seru Hek-i Hui-mo dan Tongkat Kepala Naga di tangan kanannya menyambar bagaikan halilintar ke arah kepala wanita itu.
"Pendeta busuk, kau pencuri tidak tahu malu!" balas memaki Kiu-bwe Coa-li.
Sedikit miringkan kepala saja, serangan lawan dapat digagalkan. Pecut berekor sembilan di tangannya tidak tinggal menganggur, cepat melakukan serangan balasan, merupakan sembilan ekor ular yang bergerak dari segala jurusan, menyerang sembilan jalan darah di tubuh lawannya!
Hek-i Hui-mo terkejut sekali melihat serangan hebat ini. Ia maklum akan kelihaian lawan dan telah mendengar pula tentang keganasan Kiu-bwe Coa-li, yang terkenal sekali turun tangan tentu akan menewaskan lawan. Maka tanpa ayal lagi dia segera menggerakkan tasbihnya diputar sedemikian rupa dibantu oleh Tongkat kepala Naga untuk melindungi tubuhnya.
“Tar! Tar! Tar! Tar!” beberapa kali terdengar suara dari pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li, sungguh membikin hati menjadi ngeri.
Makin lama pertempuran berjalan makin seru dan gerakan mereka menjadi makin cepat. Tiga macam senjata berubah menjadi gulungan sinar dan yang paling menarik dan indah dipandang adalah gerakan cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li. Cambuk yang berujung sembilan itu merupakan segundukan sinar yang bertangan sembilan, seperti seekor ikan gurita yang berjari sembilan. Setiap ujung cambuk ini merupakan perenggut nyawa yang lihai sekali.
Namun ilmu silat Hek-i Hui-mo juga tidak kalah hebatnya. Dia adalah seorang tokoh barat yang pernah menggemparkan Tibet, yang sudah menjatuhkan jago-jago dan tokoh-tokoh dari barat dan boleh dibilang, selama dia melakukan perantauannya di dunia kang-ouw, Hek-i Hui-mo tidak pernah terkalahkan. Entah sudah berapa ratus orang lawan terpaksa mengakui kehebatan ilmu silatnya dan sudah berapa puluh lawan binasa di tangannya!
Tasbihnya berputar menjadi segundukan sinar bundar bagaikan mustika naga sakti. Ada pun tongkatnya yang merupakan naganya sehingga sepasang senjata di tangannya itu bergerak-gerak bagaikan seekor naga mengejar mustikanya!
Sukarlah untuk dikatakan siapakah yang lebih lihai di antara dua orang tokoh besar ini. Masing-masing memiliki keistimewaan sendiri dan keduanya mengaku bahwa selamanya baru kali ini mereka menghadapi tandingan yang benar-benar seimbang dan amat berat. Agaknya pertempuran ini akan menjadi sebuah pertandingan mati hidup yang berjalan lama sekali sebelum seorang di antara mereka menggeletak tak bernyawa lagi di depan kaki lawannya.
Pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar, saking kerasnya, sampai terdengar angin bersiutan. Oleh karena sembilan ekor bulu pecut itu menyambarnya dari berbagai jurusan dengan kecepatan yang tidak sama, maka suara angin itu terdengar aneh sekali, bagai sembilan buah suling ditiup berbareng.
Hek-i Hui-mo menangkis dengan tongkat yang disapukan dan sehelai dari pada ujung pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar dan melibat kaki meja sembahyang yang sudah berdiri miring. Tenaga wanita sakti ini hebat luar biasa, karena meja itu melayang ke atas dan bagaikan disambitkan, meja itu menimpa tempat di mana Sui Ceng berdiri.
Melihat hal itu, Tu Fu menjerit. Akan tetapi dia membelalakkan sepasang matanya saking kagum dan heran melihat anak perempuan yang manis itu menampar dengan tangan kirinya yang kecil.
"Brakkk!" meja itu pecah berkeping-keping!
Sekarang tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan Hek-i Hui-mo menyambar pinggang Kiu-bwe Coa-li. Serangan ini dilakukan sekuat tenaga sehingga wanita sakti itu tak berani menangkis. Tubuhnya melompat ke atas dan mundur.
Akan tetapi Hek-i Hui-mo tak mau memberi hati dan terus melangkah maju lalu menyapu lagi dengan tongkatnya, dibarengi memukul kepala lawan dengan tasbihnya! Kiu-bwe Coa-li segera mengelak dan tongkat yang kuat itu menyambar tiang kelenteng di bagian depan.
"Kraaaakk... bruuuk...!" Tiang itu patah dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk!
"Aduh, tahan...! Tahan…! Apa-apaan sih semua ini? Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) tidak malu? Orang-orang tua bertingkah bagaikan anak-anak kecil berebut kembang gula. Ada urusan dapat diurus, mohon mendengar kata-kata siauwte," Tu Fu berseru berkali-kali sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
Kalau saja mereka tidak mengingat bahwa Tu Fu adalah orang yang bisa dimintai tolong menterjemahkan kitab yang tidak dapat mereka baca sendiri itu, mana dua orang tokoh lihai ini mau mendengarkan ucapan seorang sastrawan lemah seperti Tu Fu? Keduanya melompat kebelakang dan saling pandang bagaikan dua ekor harimau sedang marah.
"Tu-siucai, kau menahan kami mau apakah?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan suara dingin.
Tiba-tiba saja Tu Fu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bukan main hebatnya wanita ini, pikirnya, sudah bukan merupakan manusia lagi!
"Harap Suthai suka bersabar, dan demikian pula Losuhu. Sebetulnya, mengapa Ji-wi bertempur mati-matian seakan-akan di dunia ini tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik dari pada saling gempur dan saling mencoba untuk membunuh?"
Hek-i Hui-mo menarik napas panjang. "Tak lain karena kitab itulah. Kami berebut Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!"
Tu Fu masih membawa kitab itu. Kini dia mengangkat kitab itu tinggi-tinggi dan berkata, "Memperebutkan kitab ini? Alangkah lucunya. Dan untuk dapat membaca dan mengerti isinya saja, Ji-wi tidak bisa dan sengaja datang untuk minta siauwte menterjemahkan isi buku ini?"
Kiu-bwe Coa-li mengangguk dan berkata tegas, "Orang she Tu, tak usah direntang lebih panjang lagi. Memang kami membutuhkan isi kitab itu. Akan tetapi karena di sini kami dua orang, terpaksa kami harus melenyapkan salah seorang lebih dulu, barulah nanti kau yang bekerja, menterjemahkan kitab itu. Hayo, Hek-i Hui-mo, kita lanjutkan pertempuran kita!"
"Baik, Kiu-bwe Coa-li. Awaslah kau!"
Dua orang jago tua ini sudah bersiap-siap lagi untuk bertempur mati-matian. Akan tetapi Tu Fu segera mencegah mereka. Sastrawan ini, seperti juga Gui Tin dan Li Po atau pun sastrawan dan seniman-seniman lainnya, tidak suka akan kekerasan dan amat mencinta kedamaian, maka tentu saja Tu Fu tidak mau melihat dua orang aneh itu saling gempur mati-matian seperti tadi.
"Tahan!" katanya keras. "Kalau Ji-wi berkeras hendak saling bunuh, aku Tu Fu tak akan mau menterjemahkan kitab ini. Walau Ji-wi memaksa dan membunuhku, aku takkan mau menterjemahkannya."
Mendengar ini, kedua orang tokoh kang-ouw itu tertegun dan saling pandang. Mereka amat maklum bahwa sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman sama anehnya dengan orang-orang kang-ouw, bahkan mereka itu lebih hebat pula. Biar pun mereka itu memiliki jasmani yang lemah, namun mereka berhati keras dan tidak takut mati.
Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo percaya dan tahu bahwa ucapan yang keluar dari mulut sastrawan ini menyatakan tidak mau membantu, biar dia dibunuh atau disiksa sekali pun, tetap dia tidak akan mau menterjemahkan isi kitab itu. Dan apa artinya kitab itu tanpa ada penterjemahnya? Tiada beda dengan kertas-kertas pembungkus belaka!
"Habis, kalau di sini ada kami berdua, bagaimana Tu-siucai hendak mengaturnya?" tanya Hek-i Hui-mo dengan suara minta pertimbangan.
Tu Fu mempersilakan mereka duduk di atas lantai di depan kelenteng. Kemudian dia melambaikan tangan kepada Sui Ceng yang tanpa ragu-ragu datang menghampiri.
"Anak baik, kau benar-benar hidup dalam alam yang aneh," kata sastrawan itu sambil mengelus-elus rambut Sui Ceng yang hitam, halus, dan panjang, kemudian sastrawan ini berkata kepada kedua orang tokoh dunia kang-ouw itu. "Harap Ji-wi dengarkan baik-baik keputusanku yang tidak mungkin dapat diubah lagi. Siauwte sanggup membantu serta menterjemahkan isi kitab ini, akan tetapi hanya dengan syarat. Pertama, siauwte hanya akan menterjemahkan dengan cara membacanya saja dan Ji-wi harap mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengingatnya baik-baik. Kedua, sehabis membaca semua isi kitab, kitab ini harus dibakar di depan siauwte, supaya kelak tidak menjadi perebutan mati-matian kembali. Hanya dengan dua macam syarat ini siauwte mau menolong, kalau tidak, meski Ji-wi akan membunuh siauwte, tak nanti siauwte mau menterjemahkannya. Bagaimana?"
Kedua orang tokoh kang-ouw itu saling pandang. Celaka, pikir mereka, bagaimana dapat menghafal isi kitab dengan sekali mendengar saja? Akan tetapi kalau mereka tidak mau menerima, selain sastrawan aneh ini tidak mungkin dipaksa, juga mereka masih saling berhadapan dan untuk mendapatkan kitab itu harus bertempur mati-matian dulu.
Andai kata menang, bagaimana pula isi kitab dapat diterjemahkan? Apa lagi jika sampai terdengar oleh tiga orang tokoh besar yang lainnya dan mereka datang pula, tentu akan makin berabe saja!
"Aku setuju!" kata Kiu-bwe Coa-li. "Hanya aku minta supaya pembacaan dilakukan dua kali!"
Kiu-bwe Coa-li memang amat cerdik. Ia datang bersama muridnya dan dia percaya akan kecerdikan otak Sui Ceng. Tentu muridnya akan dapat membantu dan mengingat-ingat bunyi isi kitab itu.
Hek-i Hui-mo tidak dapat mencari jalan lain. Ia pun tahu bahwa fihak Kiu-bwe Coa-li lebih untung dengan adanya Sui Ceng, maka dia merasa ragu-ragu, lalu berkata, "Tidak adil sekali. Kau dibantu oleh muridmu sedangkan aku hanya seorang diri!"
"Kau boleh mencari seorang pembantu pula," jawab Kiu-bwe Coa-li.
Tu Fu mengerti akan maksud pembicaraan dua orang itu, akan tetapi dia pun tidak dapat memecahkan persoalan ini. Kebetulan sekali pada saat itu, terdengar tindakan kaki dan muncullah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih delapan tahun.
"Tu-sianseng, hakseng (murid) datang membawa makanan," kata anak lelaki itu sambil memandang kepada tamu-tamu gurunya dengan mata terheran.
"Ehh, Tu-siucai, siapakah anak ini?" tanya Hek-i Hui-mo yang memandang tajam kepada anak laki-laki yang berwajah tampan dan jujur ini. Biar pun anak ini bertubuh kurus dan tinggi, namun dia memiliki bakat yang baik juga untuk belajar silat.
"Dia adalah Li Siang Pok, seorang anak dari kota Kai-feng. Ayahnya seorang sastrawan pula dan dia datang ke sini untuk belajar kesusastraan dari siauwte."
"Hemm, jadi dia boleh dibilang muridmu?"
Tu Fu mengangguk membenarkan.
"Bagus! Pinceng hendak mengambil dia sebagai pembantuku! Dengan adanya dia yang membantu pinceng, mengingat-ingat isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka keadaan pinceng dan Kiu-bwe Coa-li menjadi berimbang. Ini baru adil namanya!"
Tu Fu ragu-ragu, kemudian bertanya kepada Siang Pok, "Siang Pok, Losuhu ini minta bantuanmu untuk mengingat-ingat bunyi isi kitab kuno yang akan kubacakan. Maukah kau?"
Siang Pok adalah seorang anak yang suka sekali akan kesusastraan. Mendengar akan dibacanya kitab kuno, tentu saja tanpa berpikir panjang lagi dan tanpa bertanya lebih jelas, dia menganggukkan kepalanya.
"Hakseng bersedia, Sianseng!"
Demikianlah, mereka semua duduk bersila di atas kelenteng sebelah luar. Keadaan di situ sunyi dan ketika Tu Fu mulai membacakan isi kitab, suaranya terdengar lantang dan jelas. Empat orang yang duduk mengelilinginya, yakni Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, Sui Ceng, dan Siang Pok, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Kitab itu tidak terlalu tebal sehingga isinya pun tidak begitu banyak, karena seperti juga kitab-kitab kuno lainnya, yang ditulis hanya garis besarnya saja. Sebagaimana diketahui, kitab itu isinya dibagi menjadi dua soal, yakni tentang ilmu silat dan tentang ilmu perang. Dalam hal bahasa kuno, kepandaian Tu Fu ini tidak kalah oleh mendiang Gui Tin, maka dia dapat membacanya dengan amat lancar.
Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng, tidak mendengarkan atau lebih tepat, tidak memperhatikan sama sekali akan bunyi ilmu perang yang dibaca oleh Tu Fu. Guru dan murid ini hanya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada bunyi ilmu silat saja. Sebaliknya, karena tidak diberi tahu terlebih dahulu, anak laki-laki yang bernama Lai Siang Pok itu mendengarkan seluruh isi kitab, yaitu bagian ilmu silat dan bagian ilmu perangnya. Demikian pula, Hek-i Hui-mo, karena dia mempunyai cita-cita pemberontakan, dia juga memperhatikan kedua bagian ini.
Hampir satu hari lamanya Tu Fu membaca habis kitab itu untuk kedua kalinya dan semua fihak merasa puas. Karena mengerahkan seluruh ingatan untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah mereka dengarkan tadi, kini Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo melihat saja dan tidak mempedulikan lagi ketika Tu Fu menggunakan api membakar kitab itu di depan mereka!
Setelah melihat kitab itu habis terbakar, Hek-i Hui-mo tertawa bergelak dan dengan cepat sekali dia melompat lalu mengempit Lai Siang Pok, terus di bawa lari!
"He, Losuhu! Lepaskan muridku!" Tu Fu berteriak-teriak, akan tetapi hanya suara ketawa dari jauh sana menjawabnya.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li yang tidak mau terganggu pikirannya yang sedang menghafal itu lalu menggandeng tangan Sui Ceng dan pergi pula dari situ.
Tu Fu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata seorang diri. "Benar-benar aneh sekali orang-orang itu. Apa sih gunanya segala macam ilmu kekerasan yang kasar itu? Aneh... aneh...!" Sastrawan ini pun beberapa hari kemudian tidak kelihatan lagi di tempat itu, telah melanjutkan perantauannya…..
********************
Ketika sudah berada di tempat sunyi, Kiu-bwe Coa-li segera bertanya kepada muridnya. “Sui Ceng, coba kau ulangi kata-kata di dalam kitab yang dibaca oleh Tu-siucai tadi.”
Sui Ceng kemudian mengulangi kata-kata yang masih diingatnya. Kiu-bwe Coa-li tidak mempedulikan tentang peraturan latihan lweekang dan ginkang, yang paling diperhatikan hanya gerakan-gerakan ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu.
Semua ada tiga puluh enam pokok gerakan yang perkembangannya dapat timbul sendiri tergantung dari bakat dan kecerdikan masing-masing pelajar. Karena gerakan-gerakan itu hanya ditulis dan tidak digambar, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya.
Setelah dia mendengarkan apa yang yang masih diingat oleh Sui Ceng dan dikumpulkan dengan ingatannya sendiri, Kiu-bwe Coa-li ternyata hanya mampu mengumpulkan empat belas gerakan saja! Akan tetapi, empat belas jurus pokok gerakan silat Im-yang Bu-tek Cin-keng ini baginya sudah cukup berharga. Memang dia seorang yang ahli dalam ilmu silat dan ternyata olehnya betapa hebat, lihai, dan aneh isi gerakan-gerakan ini.
Segera ia lalu mempelajari gerakan-gerakan ini dan disesuaikan dengan kepandaiannya sendiri. Selama tiga bulan Kiu-bwe Coa-li seakan-akan lupa makan dan lupa tidur, setiap hari hanya berlatih ilmu silat baru yang sesungguhnya dia ciptakan sendiri berdasarkan apa yang ia dengar dari kitab itu. Dan terciptalah ilmu silat baru yang benar-benar luar biasa sekali. Kiu-bwe Coa-li menjadi girang dan berbareng ia pun lalu melatih muridnya dengan sungguh-sungguh.
“Sui Ceng, ilmu silat yang kita dapatkan ini entah Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli atau bukan, namun kau harus tahu bahwa ini memang benar-benar ilmu silat yang aneh dan hebat sekali. Setelah kuperbaiki semua yang kita berdua ingat, kurasa ilmu silat yang kuciptakan berdasarkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng ini, takkan mudah dikalahkan oleh lain orang. Mari kita mencari seorang di antara mereka, hendak kucoba sampai di mana kegunaan ilmu silat baru ini!”
Maka berangkatlah Kiu-bwe Coa-li bersama muridnya, untuk mencari seorang di antara empat besar, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin Jiu Kak Thong Taisu, Ang-bin Sin-kai atau juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk mengadu ilmu silatnya yang baru! Perjalanan ini dilakukan lambat sekali karena sepanjang hari Kiu-bwe Coa-li terus melatih diri dengan ilmu silat baru ini, dan juga berbareng memberikan latihan-latihan ilmu silat tinggi kepada muridnya.
Pada suatu hari mereka pun tiba di kota Cin-leng yang cukup besar dan ramai. Berbeda dengan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya, Kiu-bwe Coa-li paling teliti dalam memilih makan dan tempat menginap. Ia selalu memilih rumah penginapan yang terbersih dan memilih makanan dari restoran yang besar. Oleh karena itu, pakaian yang dipakai oleh Sui Ceng pun selalu bersih dan baik dan anak perempuan ini dibelikan pakaian beberapa stel yang dibungkus dengan kain kuning dan selalu buntalan itu digendong di atas punggungnya.
Di kota Cin-leng, begitu telah memasuki sebuah rumah penginapan yang besar, Kiu-bwe Coa-li terus saja berdiam dalam kamarnya, duduk di atas pembaringan dan bersemedhi. Sebaliknya, Sui Ceng yang ketika memasuki kota tadi melihat bangunan-bangunan indah dan keadaan kota yang ramai, lalu keluar dari hotel itu dan pergi berjalan-jalan.
Ketika tiba di depan sebuah restoran, perhatian Sui Ceng tertarik pada tujuh orang yang sedang makan di ruangan depan restoran itu. Mereka ini nampaknya seperti orang-orang gagah dan dari pakaian mereka, tahulah Sui Ceng bahwa mereka adalah serombongan piauwsu (pengawal kiriman barang berharga). Dari wajah mereka yang kelihatan muram dan percakapan mereka yang hangat, Sui Ceng dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat.
Oleh gurunya, Sui Ceng selalu dibekali uang, karena Kiu-bwe Coa-li berwatak terlalu angkuh untuk membiarkan muridnya mencuri atau mengemis makanan. Maka Sui Ceng lalu bertindak memasuki restoran itu dan mengambil tempat duduk tidak jauh dari para piauwsu yang sedang bercakap-cakap itu.
Tentu saja ada beberapa orang yang memandang padanya dengan heran, karena jarang terjadi seorang anak perempuan berusia kurang lebih tujuh tahun memasuki restoran seorang diri. Akan tetapi selanjutnya tidak ada lagi yang menaruh perhatian, karena dia disangka puteri seorang kaya raya yang suka jajan!
Sui Ceng tertarik sekali ketika mendengar seorang di antara para piauwsu itu berkata, “Jalan satu-satunya bagi kita untuk menolong mereka, tidak lain kita harus minta bantuan dari Bin Kong Siansu ketua Kim-pan-sai. Selain orang tua itu, agaknya siluman itu takkan dapat di lawan.”
Pada saat itu terdengar suara banyak orang mendatangi di luar restoran. Ketika Sui Ceng melirik, yang datang itu adalah belasan orang laki-laki yang kelihatan gagah dan yang pada saat itu nampak marah sekali.
“Hee, pengecut-pengecut dari Hui-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang)! Keluarlah untuk terima binasa!” teriak seorang di antara para pendatang itu.
“Hemm, menyebalkan sekali orang-orang Sin-to-pang itu!” kata seorang piauwsu sambil mencabut goloknya, lalu berjalan keluar diikuti oleh kawan-kawannya.
Sementara itu, ketika mendengar bahwa orang-orang yang datang adalah para anggota Sin-to-pang (Perkumpilan Golok Sakti), Sui Ceng terkejut sekali dan cepat berdiri lalu melihat dengan penuh perhatian.
“Kalian ini orang-orang Sin-to-pang mau apakah? Ketua kami dan isterinya mengalami bencana, namun kalian ini sebagai orang-orang yang menganggap diri gagah bukannya membantu bahkan mencari masalah!” kata piauwsu tadi sambil bersiap dengan golok di tanganya.
Seorang di antara anggota-anggota Sin-to-pang, yang semuanya juga memegang golok, menudingkan goloknya sambil memaki, “Orang-orang rendah! Kalau tidak ketua kalian si pemikat she Ong itu membujuk Thio-toanio, tidak nanti akan terjadi Thio-toanio sampai tertangkap oleh Toat-beng Hui-houw (Macan Terbang Pencabut Nyawa)! Sekarang mau atau tidak mau kalian harus menebus kesalahan ketuamu itu, baru kami akan menolong Thio-toanio.”
“Manusia-manusia sombong dan bodoh!” para piauwsu itu berseru.
Terjadilah perang tanding antara belasan anggota Sin-to-pang dan tujuh orang paiuwsu itu. Semua menggunakan golok dan pertempuran terjadi ramai sekali. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu menjadi ketakutan dan cepat-cepat melarikan diri.
Akan tetapi, pada saat itu, sesosok bayangan yang kecil melompat ke tengah medan pertandingan dan terdengar seruan nyaring, “Tahan semua senjata!”
Bayangan ini adalah Sui Ceng yang tadi bergerak dengan tubuh ringan dan cepat, juga suaranya dikeluarkan dengan mengerahkan tenaga khikang sehingga terdengar nyaring dan berpengaruh. Beberapa orang segera menahan senjata mereka dan mundur, akan tetapi ada tiga orang anggota Sin-to-pang dan dua orang piauwsu yang berangasan dan masih saja bertanding dengan hebatnya.
“Tahan kataku!” teriak Sui Ceng. Sekali saja dia menggerakkan tangannya dan tubuhnya menyambar, terdengar suara berkerontangan dan empat batang golok telah terlepas dari pegangan dan terlempar ke atas tanah mengenai batu-batu.
Orang-orang itu kaget bukan main karena ternyata bahwa yang membuat tangan mereka lumpuh untuk sesaat tadi hanyalah seorang anak perempuan! Sui Ceng memang telah menggunakan gerakan jari-jari tangan untuk menotok urat-urat nadi mereka, kemudian mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi, dia dapat melakukan serangan-serangan ini dengan amat mudah!
“Siauw-pangcu (ketua cilik)!!” para anggota-anggota Sin-to-pang berseru ketika mereka melihat Sui Ceng. Serta-merta orang-orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Sui Ceng!
Para piauwsu yang melihat hal ini menjadi tertegun dan kini dua orang di antara mereka mengenal pula Sui Ceng yang dulu pernah ikut ibunya, ketika ibunya menikah dengan Ong Kiat pemimpin mereka.
“Ah, tidak tahunya Siocia yang datang!” kata mereka sambil memberi hormat.
Menghadapi semua penghormatan ini, Sui Ceng sama sekali tidak merasa kikuk atau sungkan. Ia berdiri tegak, lalu berkata, “Mengapa di antara orang-orang sendiri sampai menimbulkan keributan yang tidak perlu? Ada urusan dapat diurus, ada persoalan dapat diselesaikan. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?”
Karena kini orang-orang datang lagi berduyun-duyun untuk mendengarkan pembicaraan mereka, para piauwsu itu mempersilakan Sui Ceng dan anggota-anggota Sin-to-pang untuk memasuki restoran. Mereka mengambil tempat di ruang atas dan di situ Sui Ceng duduk dikelilingi oleh orang-orang Sin-to-pang dan para piauwsu dari Hui-to Piauwkiok.
Maka berceritalah mereka tentang bencana yang menimpa Ong Kiat dan isterinya, yakni Thio Loan Eng. Bencana itu baru terjadi dua hari yang lalu. Pada saat itu, Ong Kiat yang menjadi ketua dari Hui-to Piauwkiok mengawal sendiri barang kiriman dari Hak-keng ke kota raja. Terpaksa dia turun tangan sendiri karena barang yang dikirim itu adalah barang berharga, yaitu sumbangan hartawan-hartawan di Hak-keng untuk para pembesar di kota raja.
Memang pada masa itu, di Tiongkok lajim terjadi pengiriman barang-barang ‘upeti’ yang amat mahal dari para hartawan kepada pembesar-pembesar tertentu sampai ke kaisar, akan tetapi tak seorang pun berani menyatakan bahwa kiriman itu merupakan ‘sogokan’.
Perjalanan dari Hak-keng ke kota raja harus melalui kota Cin-leng, dan sampai di kota ini rombongan yang terdiri dari dua gerobak kuda berisi barang kiriman dan dikawal oleh Ong Kiat beserta tujuh orang anak buahnya, tidak mengalami gangguan sesuatu. Para petualang di dunia liok-lim tidak ada yang berani mengganggu rombongan ini pada saat mereka melihat dua macam bendera yang tertancap di atas gerobak.
Yang pertama bendera berlukiskan sebuah golok terbang sebagai lambang dari Hui-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang), dan bendera kedua adalah bendera kuning bertuliskan merah ONG, tanda bahwa Ong Kiat sendiri mengawal barang-barang berharga itu. Rombongan itu kemudian bermalam di kota Cin-leng.
Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke kota raja. Akan tetapi perjalanan kali ini amat sukar, karena dari Cin-leng ke kota raja harus melalui hutan-hutan belukar yang amat liar dan di sana tidak terdapat jalan besar yang dapat dilalui gerobak dengan mudah. Terpaksa memperlebar jalan kecil di dalam hutan dengan membabat rumput dan pepohonan.
Baru saja mereka memasuki hutan kedua, kira-kira tiga puluh li dari kota Cin-leng di sebelah utara, senja telah tiba. Selagi Ong Kiat dan tujuh orang anak buahnya membabat alang-alang, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang keras dan menyeramkan sekali dan dari atas sebatang pohon besar menyambar turun bayangan orang yang tak dapat dilihat dengan jelas oleh karena cepatnya gerakan orang ini. Orang itu hanya melompat ke atas gerobak di depan dan menghilang lagi, meninggalkan gema ketawa yang menyeramkan.
“Ibliskah dia...?” tanya seorang anak buah, kawan Ong Kiat.
“Ssttt, jangan sembarangan bicara,” Ong Kiat mencela. “Apa kalian tak tahu bahwa orang itu sengaja mempermainkan kita? Lihat!” Ong Kiat menunjuk ke atas gerobak pertama dan ketika tujuh orang anak buahnya menengok, mereka menjadi pucat sekali.
Ternyata bahwa dua buah bendera yang tadinya tertancap di atas gerobak dan berkibar kibar tertiup angin, sekarang sudah lenyap tak meninggalkan bekas! Alangkah hebatnya kepandaian bayangan tadi, sekali melompat saja sudah dapat merampas dua bendera tanpa dapat mereka lihat sedikit pun juga.
Ong Kiat sendiri tidak dapat melihat gerakan orang tadi dengan jelas, akan tetapi karena ilmu silatnya lebih tinggi dari pada kawan-kawannya, dia masih dapat mengikuti ke mana bayangan tadi melayang sehingga dia juga sempat melihat lenyapnya dua benderanya. Ong Kiat lalu menghadap ke arah bayangan tadi menghilang, kemudian menjura sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan berkata,
“Siauwte Ong Kiat mengharap supaya sahabat yang di depan jangan mempermainkan kami dan sukalah memberi maaf apa bila kami tidak menyambut kedatanganmu karena tidak tahu. Apa bila sahabat berlaku murah, kami Hui-to Piauwkiok bukanlah orang-orang yang tak kenal budi dan tentu akan memenuhi permintaan yang pantas dari padamu.”
Setelah Ong Kiat mengakhiri kata-katanya, keadaan sunyi sekali. Semua orang menahan napas dan yang terdengar hanya berkereseknya daun-daun pohon dipermainkan oleh angin lalu. Tiba-tiba terdengar lagi suara ketawa yang menyeramkan seperti tadi dan dari jurusan depan, menyambar dua benda merupakan sinar kuning dan putih yang meluncur mengarah dada dan leher Ong Kiat!
Piauwsu ini bukan seorang lemah. Ia tahu bahwa dia diserang dengan senjata rahasia yang aneh, maka cepat dia miringkan tubuhnya ke kiri. Ketika dua tangannya bergerak dari samping, dia telah menangkap dua benda kuning dan putih itu.
Alangkah mendongkolnya ketika dia melihat bahwa benda-benda itu bukan lain adalah dua buah benderanya yang tadi dicabut orang! Akan tetapi, diam-diam dia terkejut sekali karena ketika dia menyambut bendera-bendera tadi, kedua tangannya tergetar. Bukan main hebatnya tenaga yang menyambitkan dua bendera bergagang kayu itu.
“Ong Kiat, manusia lancang!” terdengar suara yang parau dan kasar. “Kau sudah berani sekali mengambil Pek-cilan sebagai isterimu, padahal dia telah dipastikan akan mampus di dalam tanganku. Akan tetapi aku masih mau mengampuni jiwamu dan hanya akan menghukummu dengan merampas dua gerobak barang ini. Kau dan anak buahmu lekas pergi dari sini dan tinggalkan dua gerobak barang ini di sini!”
Wajah Ong Kiat sebentar berubah pucat sebentar merah saking marah dan dongkolnya mendengar kata-kata yang sangat menghina ini. Dia adalah seorang gagah, walau pun pekerjaannya sebagai piauwsu mengharuskannya untuk bersikap baik terhadap para perampok agar jangan banyak dimusuhi orang, akan tetapi kalau orang terlalu menghina, dia pasti akan melawan!
“Sahabat manakah yang begitu sombong? Harap keluar memperkenalkan diri. Aku Ong Kiat bukanlah orang yang lantas menjadi ketakutan oleh gertak kosong belaka!” Sambil berkata demikian, dia mencabut goloknya yang tajam mengkilap.
Tujuh orang kawannya juga sudah mencabut goloknya masing-masing. Ong Kiat terkenal sebagai seorang ahli golok yang lihai, seorang murid Thian-san-pai yang tak boleh dibuat permainan. Juga tujuh orang kawannya telah mempelajari ilmu golok sehingga rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tangguh.
Kembali terdengar suara ketawa dan kali ini disertai ejekan. “Kalian sudah bosan hidup, jangan bilang aku berlaku kejam!”
Sehabis ucapan ini, dari belakang rumpun menyambar keluar tubuh seorang kakek yang betul-betul menyeramkan. Bajunya yang berlengan lebar berwarna biru muda, celananya biru tua dan kakinya telanjang. Hidungnya bengkok dan besar, ada pun mulutnya tertutup oleh cambang dan jenggot putih.
Kepalanya botak kelimis, hanya pada kanan kirinya terdapat rambut hitam yang kaku dan berdiri. Yang hebat adalah jari-jari tangannya, karena sepuluh jari tangannya itu berkuku panjang dan runcing bagaikan kuku harimau! Ketika dia melompat keluar, kedua kakinya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, seperti kaki harimau saja.
“Kau tidak mengenal aku? Ha-ha-ha!” Kakek yang menyeramkan ini mengeluarkan suara ketawa seperti auman harimau.
Ong Kiat memandang takjub. Melihat keadaan kakek ini, dia teringat akan seorang tokoh hek-to (jalan hitam, dunia orang jahat) yang di juluki orang Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang Pencabut Nyawa). Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw kabarnya sudah lenyap dari dunia dan sudah puluhan tahun tak pernah memperlihatkan diri lagi.
Ong Kiat segera memberi hormat. “Siauwte bermata buta, tidak mengenal siapa adanya Locianpwe yang terhormat.”
Toat-beng Hui-houw sejak mudanya berwatak keras dan sombong sekali, maka begitu mendengar orang tidak mengenal namanya, dia menjadi makin marah. “Buka telingamu dan matamu lebar-lebar, Ong-piauwsu! Aku adalah Toat-beng Hui-houw, dan kau tentu sudah tahu bahwa siapa pun juga yang tidak mau mentaati perintah Toat-beng Hui-houw, berarti harus mati!” Sesudah berkata demikian, secepat kilat tangannya yang berkuku panjang itu menyambar ke arah kepala Ong Kiat!
Piauwsu muda ini terkejut sekali, tidak hanya karena nama itu, akan tetapi juga karena serangan yang datangnya tiba-tiba dan hebat bukan main ini. Cepat dia menggerakkan goloknya menangkis sekuat tenaga, bermaksud membabat putus kuku-kuku panjang dari lawannya itu.
“Traaang...!”
Ong Kiat berseru kaget. Cepat-cepat dia melompat ke belakang karena merasa betapa goloknya beradu dengan benda yang luar biasa keras dan kuatnya sehingga kalau dia tidak buru-buru menarik kembali goloknya dan melompat mundur, tentu golok itu akan terlepas dari pegangannya! Baiknya golok yang dipegangnya adalah golok pusaka yang ampuh dan kuat, kalau tidak demikian, agaknya golok itu sudah menjadi rusak pada saat bertemu dengan kuku-kuku yang demikian kerasnya!
“Ha-ha-ha! Kau harus mampus! Kau juga!” kata-kata ini diulangi terus.
Tubuhnya bergerak maju sambil menyerang dengan sepasang tangannya yang berkuku runcing dan panjang.
“Tranggg! Tranggg!”
Terdengar suara beberapa kali dan golok di tangan ketujuh orang kawan Ong Kiat itu terbang terlepas dari tangan, ada yang retak dan ada pula yang terpotong menjadi dua! Kemudian disusul jeritan-jeritan ngeri ketika kuku-kuku yang panjang itu mengenai tubuh mereka. Ada yang lehernya hampir putus, kulit perutnya robek dan sebentar saja tujuh orang piauwsu itu tergeletak tumpang tindih dalam keadaan yang amat mengerikan!
Keadaan mereka ini tiada bedanya dengan orang-orang yang telah diserang oleh seekor harimau yang ganas. Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw sengaja hanya melukai pundak salah seorang di antara ketujuh kawan Ong Kiat itu yang kini duduk merintih-rintih dan memegangi pundak kanannya yang berlumur darah.
Ong Kiat menjadi marah sekali. Dengan nekat dia lalu menyerang dengan goloknya. Serangannya tidak boleh dibuat permainan, oleh karena dia mempergunakan ilmu golok Thian-san-pai yang lihai.
Toat-beng Hui-houw maklum akan hal ini. Karena itu dia pun tidak berani sembarangan menangkis, melainkan mempergunakan ginkang-nya yang istimewa untuk mengelak ke sana kemari. Orang sudah tahu akan kegesitan seekor harimau, akan tetapi Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang) karena gerakannya itu seakan-akan seekor harimau yang bersayap!
Tidak saja dia pandai dan cepat sekali mengelak ke sana ke mari, bahkan kadang kala dia melompat tinggi seperti terbang saja. Selain mengelak atau menangkis serangan Ong Kiat yang mengamuk seperti gila karena sudah nekat sekali, juga Toat-beng Hui-houw membalas dengan serangan-serangan kukunya yang berbahaya.
Betapa pun pandainya Ong Kiat mainkan goloknya, namun menghadapi kakek yang luar biasa sekali ini dia hanya dapat betahan sampai tiga puluh jurus saja. Agaknya kalau Toat-beng Hui-houw menghendaki kematiannya, dalam sepuluh jurus juga Ong Kiat akan roboh binasa.
Tetapi kakek ini hendak menawannya hidup-hidup, maka dia hanya berusaha merampas golok. Akhirnya, ketika golok itu diputar dan menyerang lehernya, kakek itu berseru keras sekali dan kedua tangannya bergerak. Tangan kanan mendahului golok mencengkeram ke arah lambung lawan dan tangan kiri menyusul untuk merampas golok!
Ong Kiat tak berdaya. Kalau dia membiarkan lambungnya dicengkeram, tentu dia akan binasa dan goloknya yang datangnya kalah cepat belum tentu akan mengenai lawan. Terpaksa dia melompat ke belakang dan menarik pulang goloknya, namun terlambat. Golok itu telah kena dicengkeram dan sekali renggut saja sudah pindah tangan!
Toat-beng Hui-houw mendesak terus dan akhirnya jalan darah di pundak Ong Kiat telah kena dicengkeram oleh jari-jari itu. Kulit pundaknya pecah, lantas Ong Kiat roboh dalam keadaan lumpuh tak berdaya lagi!
“Ha-ha-ha! Baru kalian tahu betapa lihainya Toat-beng Hui-houw!”
Dia lalu mempergunakan kakinya yang telanjang itu untuk menendang bangun anggota piauwsu yang terluka pundaknya tadi. “Hei, kau!” Aku sengaja tidak membikin mampus padamu agar kau dapat memanggil Pek-cilan, datang ke sini! Katakan bahwa selambat-lambatnya besok pagi ia harus datang di sini, bila tidak, suaminya akan kucekik mampus dan dia pun akan kucari ke rumahnya. Pakai kuda itu!”
Piauwsu itu tidak berdaya. Terpaksa dia menangkap kembali kudanya dan mengaburkan kuda itu kembali ke Hak-keng. Dia melakukan perjalanan cepat sekali tanpa berhenti, sedangkan luka dipundaknya tidak dirawat, maka ketika dia tiba di depan Thio Loan Eng, dia roboh pingsan!
Dapat diduga betapa hebat kemarahan dan kekagetan hati Loan Eng mendengar tentang keadaan suaminya. Tanpa banyak cakap lagi, dia lalu cepat melarikan kuda menuju ke tempat itu, diikuti oleh semua anggota piauwkok, yakni piauwsu-piauwsu yang kebetulan berada di kota yang jumlahnya ada sepuluh orang. Begitu sampai di tempat yang dituju, Loan Eng mencabut pedangnya dan berseru dengan suara keras,
“Toat-beng Hui-houw siluman buas, kau keluarlah untuk terima binasa!”
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Toat-beng Hui-houw, lalu tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia telah berdiri di hadapan Loan Eng. Pendekar wanita ini pun belum pernah bertemu dengan kakek ini, maka seperti juga Ong Kiat, dia terkejut sekali menyaksikan keseraman kakek ini. Akan tetapi ia tidak pernah mengenal takut, dan karena itu sambil menudingkan pedangnya ke muka orang, ia pun berkata,
“Toat-beng Hui-houw, antara kita tidak pernah terjadi permusuhan, mengapa kau berlaku begitu kejam, membunuh kawan-kawan kami dan bahkan menawan suamiku?”
Kakek yang menyeramkan itu tertawa bergelak dengan suara mengejek lalu dia berkata, “Pek-cilan, kau terlalu mengandalkan kegagahan sendiri dan sama sekali tidak melihat orang! Kau telah membunuh sute-ku Tauw-cai-houw, maka sekarang aku datang untuk menagih hutang!”
Terkejut hati Loan Eng mendengar ini. Ahhh, tidak tahunya kakek mengerikan ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Tauw-cai-houw, manusia gila yang dulu menculik dan hendak memanggang Kwan Cu hidup-hidup dan yang telah terbunuh olehnya dalam satu pertempuran. Tauw-cai-houw saja sudah amat lihai, apa lagi suheng-nya ini!
Akan tetapi Loan Eng tidak menjadi jeri. Ia tersenyum mengejek dan berkata, “Toat-beng Hui-houw, kau mau menang sendiri saja. Sute-mu (adik seperguruanmu) Tauw-cai-houw itu adalah orang gila. Aku melihat jelas dia menangkap seorang anak kecil yang hendak dipanggang dan dimakan dagingnya. Apakah aku harus berpeluk tangan saja dan tidak mencegahnya? Kau tentu maklum bahwa kejahatan seperti itu tidak dapat diampunkan lagi. Sute-mu bertempur dengan aku dan dia binasa, mengapa hal ini kau jadikan alasan untuk membunuh orang-orangku dan menawan suamiku?”
“Tolol! Sute-ku sedang meyakinkan Ilmu Hoat-lek Kim-ciong-ko (Ilmu Kebal Berdasarkan Ilmu Gaib) dan untuk itu dia membutuhkan daging serta darah seorang anak sin-tong (anak ajaib)! Kau datang mengganggu dan bahkan membunuhnya. Sekarang aku yang akan mengambil darahmu untuk dijadikan obat panjang usia, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, Toat-beng Hui-houw lalu menubruk dengan kuku-kuku tangannya yang sangat panjang dan runcing.
Loan Eng maklum bahwa dia menghadapi seorang kakek yang selain lihai sekali, juga agaknya pun miring otaknya, maka ia lantas berlaku hati-hati sekali. Pedangnya diputar cepat sehingga berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.
Kalau dibandingkan dengan ilmu golok Ong Kiat, ilmu pedang Loan Eng ini ternyata lebih ganas dan berbahaya. Akan tetapi kini Toat-beng Hui-houw bergerak cepat sekali dan kakek ini mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Pandangan mata Loan Eng menjadi kabur dan gelap saking cepatnya gerakan kakek itu, apa lagi kini dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa dingin yang berbau sangat amis. Diam-diam Loan Eng bergidik.
Dia pernah mendengar akan kehebatan kakek ini, dan mendengar pula bahwa kuku-kuku yang panjang itu sewaktu-waktu apa bila menghadapi lawan tangguh, direndam dalam air obat terisi racun yang sangat jahat. Ia tahu bahwa sekali saja ia terkena kuku yang runcing seperti pisau itu, tentu ia akan terkena bisa dan celaka.
Akan tetapi Loan Eng memang terkenal seorang keras hati yang tak mau menyerah dan pantang mundur. Ia menyerang terus, mengerahkan tenaga dan seluruh kepandaiannya, menggerakkan pedangnya dalam tipu-tipu yang paling diandalkan.
Pertandingan terjadi luar biasa hebatnya, jauh lebih hebat dibandingkan ketika Toat-beng Hui-houw menghadapi Ong Kiat. Sepuluh orang piauwsu yang ikut datang bersama Loan Eng menjadi bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Ingin membantu, akan tetapi maklum akan kekurangan sendiri dan baru melihat pertandingan itu saja mereka telah menjadi pening dan tak dapat membedakan mana kawan dan lawan karena gerakan dua orang yang bertempur luar biasa cepatnya.
Baru kali ini Loan Eng merasa mendapat lawan yang amat tangguh. Toat-beng Hui-houw benar-benar jauh lebih tangguh dari pada Tauw-cai-houw dan setelah melawan sampai empat puluh jurus lebih, akhirnya ia pun harus menyerah kalah. Sepuluh buah kuku yang runcing itu berhasil mencengkeram pedangnya dan tanpa dapat ditahan lagi, pedangnya terlepas dari tangannya.
Kemudian Toat-beng Hui-houw menubruk maju, disambut oleh tendangan kaki Loan Eng yang menggunakan ilmu tendang Soan-hong-twi.
Namun, alangkah kagetnya ketika kaki kirinya dapat tertangkap pula! Sebelum ia sempat memukul, pundaknya dapat dicengkeram dan matanya menjadi gelap. Loan Eng roboh pingsan…..
Melihat hal ini, sepuluh orang piauwsu yang berada di sana menjadi terkejut dan marah sekali. Dengan golok di tangan mereka menyerbu Toat-beng Hui-houw. Kakek yang amat mengerikan ini hanya tertawa bergelak. Begitu tubuhnya bergerak didahului oleh kedua tangannya yang berkuku panjang, tiga orang piauwsu roboh tak bernyawa pula!
Melihat kehebatan ini, tujuh orang piauwsu yang lain lalu melompat ke atas kuda mereka dan melarikan diri dari situ! Kemudian mereka mengadakan perundingan dalam restoran untuk mencari jalan guna menolong Ong Kiat beserta Loan Eng dan kemudian datang rombongan anggota Sin-to-pang sehingga terjadi pertempuran sebagaimana yang sudah dituturkan di bagian depan.
Ada pun orang-orang Sin-to-pang kemudian menuturkan bahwa mereka mendengar pula mengenai bencana yang menimpa Loan Eng. Mereka menjadi marah sekali. Semenjak mendengar bahwa Loan Eng menikah dengan Ong Kiat, semua anggota Sin-to-pang ini sudah merasa sakit hati dan tidak senang kepada Hui-to Piauwkiok. Dan kini, mendengar bahwa Loan Eng mendapat bencana, mereka menganggap bahwa itu adalah kesalahan Ong Kiat. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa justru Toat-beng Hui-houw turun gunung mengganggu Ong Kiat karena Ong Kiat memperisteri Loan Eng dan karena Loan Eng telah membinasakan Tauw-cai-houw, sute dari Toat-beng Hui-houw!
Demikianlah, dua rombongan dari Sin-to-pang dan Hui-to Piauwkiok saling menuturkan apa yang mereka ketahui kepada Sui Ceng dan baru sekarang rombongan Sin-to-pang mengetahui duduk perkara yang sesungguhnya.
“Hanya ada dua jalan,” kata para piauwsu itu menutup penuturan mereka. “Pertama, kita minta bantuan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai, dan ke dua, kita harus minta bantuan Thian-san-pai untuk menghadapi Toat-beng Hui-houw yang lihai.”
Sementara itu, untuk beberapa lama Sui Ceng tidak dapat berkata-kata saking marahnya mendengar penuturan tentang bencana yang menimpa diri ibunya. Kini ia berseru keras dan mencela kata-kata mereka itu.
“Banyak cakap tanpa kerja tiada gunanya. Hayo kalian tunjukkan kepadaku di mana Ibu ditawan. Menghadapi siluman tua itu saja, kenapa mesti ribut-ribut minta bantuan orang lain?”
“Siauw-pangcu berkata benar! Sin-to-pang tak boleh memperlihatkan kelemahan. Hayo, kawan-kawan dari Hui-to Piauwkiok, marilah kita mengantar Pangcu ke tempat itu dan kita keroyok siluman itu!” kata orang-orang Sin-to-pang.
Akan tetapi, para piauwsu yang sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kelihaian Toat-beng Hui-houw, menjadi geli melihat sikap Sui Ceng dan para anggota Sin-to-pang. Ong Kiat dan Loan Eng sendiri dibantu oleh beberapa orang piauwsu yang tangguh, masih tidak berdaya menghadapi siluman tua itu, apa lagi anak kecil ini?
Melihat keraguan orang-orang Hui-to Piauwkiok, Sui Ceng membentak,
“Apakah kalian takut? Hemm, kalau aku berhasil menolong ayah tiriku, akan kuceritakan kepadanya bagaimana sikap kalian yang pengecut ini!”
Naik darah para piauwsu itu mendengar ejekan anak kecil ini.
“Siapa bilang kami takut? Hayo kita berangkat sekarang juga!” kata mereka.
Diam-diam Sui Ceng tersenyum karena dia telah berhasil membangunkan lagi semangat mereka. Orang-orang ini masih belum percaya kepadanya dan perlu dia memperlihatkan kepandaian agar mereka itu menjadi tenang dan bersemangat.
“Kalian boleh naik kuda dan maju secepatnya. Aku sendiri akan berlari cepat.”
Kembali diam-diam para piauwsu itu mentertawakan Sui Ceng.
“Hemm, anak ini sungguh sombong sekali dan keras seperti ibunya,” pikir mereka. Akan tetapi, karena rombongan Sin-to-pang yang datang berkuda itu pun telah mengaburkan kuda mereka, para piauwsu itu juga segera naik ke atas kuda dan menjalankan kuda mereka cepat sekali.
Pada saat mereka telah keluar dari kota Cin-leng, bukan main heran hati mereka ketika melihat seorang anak perempuan telah berlari-lari di depan kuda mereka. Ketika mereka memandang dengan penuh perhatian, tak salah lagi, anak kecil itu adalah Bun Sui Ceng adanya! Melihat kehebatan ilmu lari cepat dari ketua mereka, orang-orang Sin-to-pang bersorak,
“Hidup Siauw-pangcu!”
Ada pun orang-orang Hui-to Piauwkiok amat kagum dan diam-diam mereka pun menaruh harapan mudah-mudahan ketua mereka dan isterinya akan tertolong dari tangan siluman tua itu oleh anak perempuan yang ajaib ini. Ada pun Sui Ceng yang di depan, segera memberi tanda kepada orang-orang dari Hui-to Piauwkiok untuk menjadi penunjuk jalan karena dia sendiri belum tahu di mana adanya sarang Toat-beng Hui-houw.
Diam-diam Sui Ceng merasa agak khawatir juga. Bukan khawatir atau takut menghadapi Toat-beng Hui-houw, sama sekali tidak. Anak ini keberaniannya malah melebihi ibunya! Yang ia khawatirkan adalah gurunya. Ia tadi pergi tidak memberitahukan kepada Kiu-bwe Coa-li, dan takut kalau-kalau gurunya kelak akan menegur dan memarahinya.
Ketika tiba di tempat di mana kemarin harinya Loan Eng bertempur melawan Toat-beng Hui-houw, mereka semua kemudian berhenti dan turun dari kuda. Di situ masih nampak bekas-bekas pertempuran, bahkan mayat para piauwsu yang tidak keburu diambil oleh kawan-kawannya masih bergelimpangan di situ.
Kemudian Sui Ceng berseru menantang, “Toat-beng Hui-houw, lekas keluar! Marilah kita bertempur seribu jurus!”
Akan tetapi, biar pun berkali-kali ia berteriak, bahkan dibantu oleh para piauwsu bersama anggota Sin-to-pang yang memaki-maki, tidak terdengar jawaban dari iblis tua itu. Hanya gema suara mereka saja terdengar dari kanan dan kiri sehingga membuat burung-burung hutan beterbangan serta binatang-binatang kecil berlarian menyembunyikan diri di dalam semak-semak.
Ke mana perginya Toat-beng Hui-houw? Dan bagaimana nasib Loan Eng dan Ong Kiat? Tak jauh dari tempat Sui Ceng bersama kawan-kawannya berseru menantang, terdapat sebuah goa besar sekali di bukit batu karang. Goa inilah tempat sembunyi atau sarang Toat-beng Hui-houw dan ke dalam goa ini pula dia membawa Loan Eng dan Ong Kiat.
Pada saat itu, bukan dia tidak mendengar seruan-seruan yang ramai dari hutan itu, akan tetapi dia tengah asyik dengan perbuatannya yang amat terkutuk dan bukan merupakan perbuatan manusia lagi. Di dalam ruangan sebelah kiri goa itu, Loan Eng rebah di atas pembaringan batu dalam keadaan lumpuh dan tak dapat menggerakkan kaki tangannya karena jalan darahnya sudah dipukul dengan tiam-hoat (ilmu menotok) oleh iblis tua itu.
Biar pun ia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, namun Loan Eng masih sadar dan tahu bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang iblis yang jahat sekali. Beberapa kali dia melirik ke dalam ruangan yang suram-suram itu karena mendapat penerangan cahaya matahari yang masuk melalui mulut goa. Akan tetapi dia tidak melihat suaminya, dan dia diam-diam mengeluh.
Mendadak terdengar suara terkekeh-kekeh dan masuklah tubuh Toat-beng Hui-houw di dalam ruangan itu. Loan Eng mengerahkan seluruh tenaga untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, akan tetapi sia-sia belaka, bahkan usahanya ini melemaskan seluruh tubuhnya dan membuat luka di pundaknya terasa sakit sekali, hampir tak tertahankan.
“Ha-ha-ha! He-he-he! Pek-cilan, kau telah membunuh sute-ku dan sekarang kau sudah terjatuh ke dalam tanganku! Ha-ha-ha, kau benar-benar seperti bunga cilan putih. Cantik dan bersih. He-he-he! Darahmu tentu segar dan bersih pula, dan dapat membikin aku muda kembali!”
Sambil tertawa-tawa, kakek botak berkuku panjang ini menghampiri pembaringan batu di mana Loan Eng terlentang tak berdaya. Lebih dahulu kakek ini meraba kaki tangan Loan Eng, untuk melihat bahwa korbannya benar-benar masih berada dalam keadaan lumpuh tertotok sehingga tidak akan dapat melakukan serangan yang tiba-tiba.
Kemudian, dia mendekatkan mukanya pada muka Loan Eng yang tentu saja merasa jijik sekali. Akan tetapi apa dayanya? Dia menahan tekanan hatinya dan ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh manusia iblis ini terhadap dirinya. Masih banyak waktu untuk membalas dendam, pikirnya. Tunggu saja kalau aku sampai terbebas.
Akan tetapi, perbuatan yang kemudian dilakukan oleh Toat-beng Hui-houw benar-benar di luar dugaannya. Belum pernah ada seorang manusia, betapa gilanya pun, melakukan perbuatan keji seperti itu. Ketika dia sudah mendekatkan mukanya dengan muka Loan Eng, ternyata dia tidak berbuat kurang ajar, bahkan kini mukanya diarahkan pada leher Loan Eng yang berkulit halus.
Tiba-tiba Loan Eng merasa betapa mulut kakek itu menempel pada lehernya, membuat ia merasa ngeri dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia mengira bahwa kakek ini hanya ingin mencium lehernya saja. Akan tetapi, tidak tahunya, kakek ini tidak mau melepaskan lehernya lagi dan sampai lama, mulut kakek itu masih menempel pada lehernya.
Pelan-pelan Loan Eng merasa betapa kakek itu menggunakan giginya untuk menggigit lehernya yang terasa perih, kemudian ia merasa betapa mulut kakek itu mulai menghisap darah dari luka di leher bekas gigitan! Bukan main ngerinya hati Loan Eng menghadapi perbuatan kakek siluman ini sehingga kepalanya menjadi makin pening, tubuhnya makin lemas dan tak lama kemudian, nyonya muda ini menjadi pingsan!
Toat-beng Hui-houw ternyata membuktikan ancamannya. Dia hendak menghisap darah pembunuh sute-nya ini, bukan saja dengan maksud membalas dendam, akan tetapi juga untuk suatu maksud, yakni dia hendak ‘mengoper’ darah wanita muda yang cantik jelita itu agar supaya dia akan menjadi awet muda! Pikiran dari seorang yang telah lenyap peri kemanusiaannya, seorang yang telah berubah menjadi iblis jahat!
Sesudah kenyang menghisap darah Loan Eng, Toat-beng Hui-houw tertawa-tawa girang dan melompat-lompat keluar. Ia merasa telah menjadi muda kembali! Sebetulnya bukan karena isapan darah yang dilakukan seperti seorang iblis keji itu, melainkan disebabkan perasaan dan pikirannya yang sudah tidak normal lagi itulah yang membuat dia merasa seolah-olah menjadi muda kembali! Ia pun keluar dari goa dan kini dia mendengar suara tantangan yang keluar dari hutan.
“Ha-ha-ha, segala tikus busuk! Toat-beng Hui-houw berada disini, kalian mau apa?”
Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sepenuhnya hingga terdengar sampai jauh. Seperti tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, Toat-beng Hui-houw juga pandai Ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), maka tentu saja suaranya ini bergema jauh dan terdengar baik-baik oleh Sui Ceng dan kawan-kawannya.
Mendengar suara ini, Sui Ceng lalu melompat dan berlari cepat menuju ke arah suara itu, diikuti oleh kawan-kawannya yang segera tertinggal jauh. Dengan berkuda saja piauwsu dan anggota Sin-to-pang masih tidak dapat menandingi ilmu lari cepat Sui Ceng, apa lagi sekarang mereka berlari biasa!
Pada saat tiba di depan goa, Sui Ceng melihat seorang kakek yang mengerikan sedang menari-nari, berlompat-lompatan dan bernyanyi!
“Aku menjadi muda kembali, muda kembali...! Ha-ha-ha…! Toat-beng Hui-houw menjadi muda kembali!”
Untuk sesaat, Sui Ceng tertegun. Yang berada di hadapannya itu seperti bukan manusia lagi, melainkan seorang iblis yang mengerikan. Akan tetapi, Sui Ceng yang baru berusia delapan tahun itu tidak merasa takut sedikit pun juga. Dia bahkan melangkah maju dan menghadapi iblis tua itu dengan sikap tenang dan tabah.
“Ehh, kakek tua miring otak!”
Toat-beng Hui-houw segera menghentikan tariannya dan memandang heran. Bagaimana ada seorang anak perempuan kecil berani memakinya?
“Kaukah Toat-beng Hui-houw yang berani menangkap ibuku dan ayah tiriku? Lekas kau lepaskan mereka, barangkali nona kecilmu masih dapat mengampuni dosa-dosamu!”
Toat-beng Hui-houw menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan. Lagi mimpikah dia? Ataukah benar-benar ada seorang gadis cilik yang manis dan elok berdiri dengan gagah dan berani serta mengeluarkan ucapan macam itu kepadanya? Kemudian ia tertawa bergelak.
“Jadi kau memang puteri Pek-cilan? Ha-ha-ha! Memang bunga cantik berbiji manis pula! Agaknya darahmu lebih segar dari pada darah ibumu. Ha-ha-ha! Mari, mari! Kau hendak bertemu dengan ibumu bukan?” Sambil berkata demikian, dia cepat menubruk hendak menangkap Sui Ceng, seperti laku seorang kecil menubruk seekor burung yang indah.
Akan tetapi, betapa heran hati iblis ini ketika tiba-tiba tubuh kecil itu lenyap dan tahu-tahu sebuah kaki yang kecil mungil dalam sepatu merah bersulam bunga, bahkan menendang mukanya! Toat-beng Hui-houw terkejut dan heran, cepat dia miringkan kepalanya, akan tetapi ternyata bahwa tendangan ini adalah tendangan pancingan belaka dan sebelum Toat-beng Hui-houw sempat mengelak, perutnya sudah kena ditendang oleh sebuah kaki lain yang sama mungilnya!
“Bukkk!”
Kaki Sui Ceng tepat mengenai perut, akan tetapi bukan Toat-beng Hui-houw yang roboh, melainkan tubuh Sui Ceng sendiri yang terlempar ke belakang! Akan tetapi, bagai seekor burung walet, gadis cilik ini dapat berpoksai (membuat salto) di udara dan turun dengan ringan sekali.
Apa bila tadi Toat-beng Hui-houw sampai terkena tendangan Sui Ceng, bukan karena dia kurang lihai, akan tetapi karena kakek ini memandang rendah dan tidak mengira sama sekali bahwa bocah ini akan dapat melakukan gerakan sehebat itu!
Pada saat ditubruk tadi, secepat kilat Sui Ceng melakukan gerakan melompat Can-liong Seng-thian (Naga Terbang Naik ke Langit), kemudian disusul oleh tendangan Ji-liong-twi (Tendangan Sepasang Naga) yang bertubi-tubi sehingga dia berhasil menendang perut lawannya.
Akan tetapi, yang ditendangnya tertawa saja sedangkan dia sendiri terpental jauh. Bukan main kagetnya Sui Ceng dan anak ini maklum bahwa tenaga dan kepadaian lawannya betul-betul hebat sekali. Sebaliknya Toat-beng Hui-houw juga amat kagum menyaksikan kegesitan anak perempuan ini, namun kalau saja dia tahu bahwa anak ini adalah murid Kiu-bwe Coa-li, tentu akan lenyap keheranannya dan terganti oleh kekagetan hebat.
“Anak manis, aku harus mendapatkan darahmu!” katanya berkali-kali dan dia menubruk lagi.
Akan tetapi, berkat kegesitan dan ginkang-nya yang luar biasa, Sui Ceng lagi-lagi dapat menghindarkan diri. Pada waktu itu rombongan piauwsu dan para anak buah Sin-to-pang sudah datang di situ dan mereka menonton pertempuran dengan mata terbelalak kagum.
Anggota-anggota Sin-to-pang merasa bangga melihat ‘siauw-pangcu’ mereka itu berani menghadapi Toat-beng Hui-houw dengan tangan kosong. Melihat betapa kakek itu bagai seekor harimau buas yang menubruk ke sana sini, sedangkan tubuh Sui Ceng bagaikan seekor burung walet beterbangan dan berkelit cepat sekali, mereka itu tanpa terasa pula meleletkan lidah saking kagum dan tegangnya.
Kalau Toat-beng Hui-houw bermaksud membunuh Sui Ceng, tentu takkan sukar baginya. Biar pun untuk menjamah tubuh anak ini sulit sekali karena memang kegesitan Sui Ceng dapat mengimbangi kegesitan lawannya yang berjuluk Harimau Terbang, namun bila dia mau, dengan hawa pukulan tangannya, dia dapat merobohkan gadis cilik ini.
Akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Hui-houw mendapat pikiran lain. Tadi ia menghisap darah Loan Eng hanya karena hendak membalas sakit hati atas kematian sute-nya dan ingin awet muda. Sekarang melihat Sui Ceng yang masih terhitung anak-anak, dia takut kalau-kalau dia berubah menjadi anak-anak pula apa bila dia menghisap darah anak ini! Memang bodoh, gila, dan jahat merupakan satu keluarga, dan kakek ini telah mempunyai ketiga-tiganya.
“Aku tidak mau isap darahmu! Aku akan menangkapmu, memelihara dalam sangkar, kau burung cantik!” katanya berkali-kali dan kini dia menyerang dengan kedua tangannya.
Alangkah herannya hati Sui Ceng ketika melihat betapa kini sepuluh jari tangan iblis tua itu seperti tidak berkuku lagi. Ternyata bahwa kuku-kuku jarinya sudah dapat digulung ke dalam!
Berkali-kali dia mendesak hendak menangkap tanpa melukai tubuh Sui Ceng, namun hal ini benar-benar tidak mudah. Sui Ceng sudah mendapat gemblengan dari Kiu-bwe Coa-li, dan dalam hal ginkang dan kegesitan, memang semenjak kecil gadis cilik yang lincah ini berbakat baik sekali.
Ketika melihat betapa Sui Ceng terdesak, sambil berteriak-teriak nekat para piauwsu dan anak buah Sin-to-pang lalu menyerbu dengan golok di tangan. Baik anggota Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti), mau pun para piauwsu dari Hui-to Piauwkiok (Expedisi Golok Terbang) adalah ahli-ahli senjata golok, maka sekarang belasan batang golok berkilauan dan bergerak-gerak mengurung Toat-beng Hui-houw. Otomatis Sui Ceng juga terkurung karena dua orang ini bertempur begitu cepatnya sehingga mereka seakan-akan menjadi satu bayangan besar!
Para pengeroyok itu menjadi bingung. Mereka hanya dapat berteriak-teriak saja dan tidak berani sembarangan turun tangan, karena baru sedetik mereka melihat bayangan lawan, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan berganti dengan bayangan Sui Ceng! Kedua orang ini berputaran, melompat ke sana ke mari, bagaimana mereka dapat membantu Sui Ceng?
“Jangan bantu aku! Jangan datang mendekat!” Sui Ceng berseru, akan tetapi terlambat.
Ketika tubuh Toat-beng Hui-houw mendadak menerjang ke arah para pengeroyok sambil meninggalkan Sui Ceng, terdengarlah jeritan berturut-turut dan empat orang pengeroyok roboh tak bernyawa lagi!
“Siluman tua, kau kejam sekali!” teriak Sui Ceng.
Anak ini secepat kilat menyambar sebatang golok dari seorang piauwsu yang roboh, lalu dia segera menerjang lagi ke depan dengan nekat, memutar golok sehingga merupakan segunduk sinar yang menyilaukan.
“Ha-ha-ha, burung cantik, kau harus menjadi peliharaanku!” berkata Toat-beng Hui-houw sambil menghadapi serangan-serangan Sui Ceng dengan tenang.
Ada pun para pengeroyok, ketika melihat betapa empat orang kawan mereka terbunuh dengan demikian mudahnya, serta mendengar perintah Sui Ceng, lalu mengundurkan diri dan menonton dari jauh saja. Mereka bukan merasa takut atau tidak mau membantu, akan tetapi mereka maklum sepenuhnya bahwa bantuan mereka itu sia-sia belaka dan tidak akan sanggup menolong, bahkan mereka pasti akan mengantarkan nyawa dengan cuma-cuma saja.
Sekarang gerakan Sui Ceng tidak lagi secepat dan segesit tadi. Hal ini karena sekarang gadis cilik ini memegang sebatang golok yang besar dan cukup berat. Tadinya Sui Ceng sengaja mengambil golok karena dia hendak bertempur mati-matian mengadu jiwa, akan tetapi sebaliknya, dengan golok di tangan justru dia mendatangkan kerugian pada dirinya sendiri. Golok itu terhadap Toat-beng Hui-houw tidak ada artinya sama sekali, sebaliknya menghambat gerakan sendiri.
Hanya dalam beberapa jurus saja, masih sambil tertawa-tawa, Toat-beng Hui-houw telah berhasil menangkap pinggangnya dan sekali dia menotok jalan darah thian-hu-hiat pada pundak gadis cilik itu, lemaslah tubuh Sui Ceng dan golok itu terlepas dari pegangan!
Pada saat itu tampak menyambar beberapa sinar halus sekali. Sinar ini adalah bulu-bulu halus dan panjang yang sekaligus menyerang Toat-beng Hui-houw di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian dari bulu-bulu halus ini melibat tubuh Sui Ceng dan sekali renggut, tubuh Sui Ceng sudah terlepas dari pegangan Toat-beng Hui-houw, kemudian melayang ke depan!
Toat-beng Hui-houw terkejut bukan main menghadapi serangan ini. Dia telah terkejut dan jeri melihat macam senjata yang menyerangnya, karena dari senjata ini saja tahulah dia bahwa yang datang menyerangnya adalah Kiu-bwe Coa-li! Kalau ada rasa takut di dalam dada Toat-beng Hui-houw manusia siluman ini, maka rasa takut itu mungkin hanyalah tertuju kepada lima orang tokoh besar di kalangan kang-ouw, di antaranya ialah Kiu-bwe Coa-li ini!
“Kiu-bwe Coa-li, mengapa kau mencampuri urusanku, sedangkan aku selamanya belum pernah mengganggumu?” katanya penasaran.
Ia cepat melompat ke belakang sebab jeri menghadapi pecut sembilan bulu dari Kiu-bwe Coa-li yang kini telah berdiri di hadapannya sambil menggandeng tangan Sui Ceng yang sudah dibebaskan dari totokan pula.
Diam-diam Kiu-bwe Coa-li mengerti mengapa muridnya tadi sampai kalah oleh Toat-beng Hui-houw. Tadi begitu datang melihat muridnya berada dalam pelukan kakek siluman itu, dia lalu melakukan serangan pecutnya yang paling dan jarang sekali ada orang mampu menghindarkan diri, yakni ilmu serangan Kiu-seng Kan-goat (Sembilan Bintang Mengejar Bulan).
Sembilan helai bulu pecutnya menyerang dari berbagai jurusan. Akan tetapi dia hanya berhasil merampas kembali muridnya dan sama sekali tidak dapat melukai kakek itu. Dari sini saja dia ketahui bahwa kepandaian kakek itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaian muridnya.
“Siluman jahat, apa matamu sudah menjadi buta?” jawab Kiu-bwe Coa-li dan sepasang matanya mengeluarkan sinar membakar. “Kau berani mengganggu murid pinni (muridku), maka sekarang kau harus mati!”
Bukan main kagetnya Toat-beng Hui-houw.
“Dia ini muridmu...? Ahh, Kiu-bwe Coa-li, sungguh mati aku tidak tahu bahwa dia adalah muridmu. Akan tetapi, bukankah aku tidak mengganggunya? Kalau aku bermaksud untuk mengganggunya, apakah sekarang ia masih dapat bernapas?”
“Kau memang tidak melukainya, akan tetapi kau telah menghinanya, berarti kau sudah menghinaku pula. Maka bersiaplah untuk mati!”
Kembali Kiu-bwe Coa-li menggerakkan pecutnya, melakukan serangan-serangan dengan cara yang ganas dan tidak mengenal ampun sama sekali. Memang watak Kiu-bwe Coa-li luar biasa ganasnya. Sekali ia turun tangan, ia tidak akan merasa puas kalau lawannya belum roboh binasa!
Toat-beng Hui-houw bukannya orang lemah. Bangkit rasa penasarannya. Dia memang merasa segan bertempur melawan Kiu-bwe Coa-li dan tentu dia bersedia mengalah jika berurusan dengan orang yang dia anggap memiliki kedudukan lebih tinggi itu. Akan tetapi kalau dia didesak, dia terpaksa melawan.
“Kiu-bwe Coa-li, kau terlalu sekali. Kau kira aku Toat-beng Hui-houw takut menghadapi Kiu-bwe Joan-pian-mu (Pecut Berbulu Sembilan)?”
“Siapa peduli takut atau tidak? Aku hanya ingin kau mampus, habis perkara!” Kiu-bwe Coa-li mendesak terus.
Toat-beng Hui-houw mengeluarkan suara nyaring dan kini sepuluh kuku jari tangannya telah mulur kembali, panjang-panjang, tajam dan runcing mengerikan! Ia cepat mengelak dari serangan lawannya lantas membalas dengan serangan pukulan yang mendatangkan hawa dingin dan berbau amis.
Ternyata bahwa siluman tua ini telah mengeluarkan pukulan-pukulan maut disertai racun yang keluar dari hawa pukulan kukunya ini! Kalau tadi dia mengeluarkan ilmu ini, dalam beberapa jurus saja Sui Ceng tentu telah roboh binasa.
Menghadapi pukulan-pukulan hebat ini, Kiu-bwe Coa-li pertama-tama mendorong tubuh muridnya sehingga Sui Ceng terpental dan terpaksa melompat jauh ke pinggir, kemudian wanita sakti ini lalu memutar pecutnya sampai berbunyi mengaung dan kadang-kadang diselingi suara bergeletar dan dari pecutnya yang berekor sembilan ini keluar hawa yang menyambar-nyambar dan yang menolak hawa pukulan berbisa dari Toat-beng Hui-houw.
Para piauwsu dan anggota Sin-to-pang, semenjak tadi berdiri seperti patung. Munculnya seorang tokouw yang memegang cambuk ini saja sudah membuat mereka heran sekali, karena tak seorang pun di antara mereka melihat kedatangannya. Kemudian cara pecut tokouw itu merampas Sui Ceng dan kemudian mendengar pula bahwa tokouw ini adalah Kiu-bwe Coa-li yang tersohor dan menjadi guru Sui Ceng, mereka makin terbelalak.
Kini, sesudah pertandingan antara Toat-beng Hui-houw dan Kiu-bwe Coa-li berlangsung, mereka lalu menjadi bengong dan melongo. Menurut pendapat mereka, pertandingan ini bukan pertempuran orang-orang pandai, karena keduanya berdiri tidak pernah berpindah dari tempat masing-masing dan hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak-gerak luar biasa cepat ke depan. Hampir saja ada yang tertawa menyaksikan pertandingan ini, karena gerakan kedua orang tua itu seakan-akan mereka sedang membadut.
Akan tetapi Sui Ceng menonton dengan wajah penuh ketegangan. Ia pun maklum bahwa permainan cambuk dari gurunya sedang dihadapi oleh lawan dengan ilmu pukulan berisi lweekang yang tinggi sekali tingkatnya. Pada waktu dua orang tua itu sedang bertempur dengan mengandalkan hawa pukulan lweekang, maka mereka hanya berdiri berhadapan dan saling memukul dari jauh, sama sekali tidak mengubah kedudukan kaki.
Akan tetapi, tak beberapa lama kemudian, Toat-beng Hui-houw terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya, oleh karena bulu-bulu pecut Kiu-bwe Coa-li makin lama semakin mendesaknya, makin lama semakin dekat serangan ujung cambuk itu, terus mendesak hawa pukulannya yang hendak menentangnya.
Ia maklum bahwa kalau sampai ujung cambuk itu mengenai tubuhnya, sukarlah baginya untuk menyelamatkan diri lagi. Dia cukup mengenal akan kelihaian totokan ujung cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara tokoh besar dunia persilatan.
“Cukup, siluman betina! Kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain kali aku pasti akan mengalahkanmu!” kata Toat-beng Hui-houw sambil melompat mundur.
“Keparat pengecut! Kau belum mampus, bagaimana bisa bilang cukup?” berseru Kiu-bwe Coa-li sambil mengejar dan melakukan serangan kilat.
Toat-beng Hui-houw cepat mengerahkan tenaganya menangkis sambil melompat jauh, namun tetap saja sebuah dari pada sembilan ekor pecut itu dengan tepat menghantam pahanya. Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya ke arah bagian tubuh ini sehingga ketika pecut itu dengan suara nyaring menampar paha, hanya kain dan kulitnya saja yang pecah, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam.
Gentarlah hati Toat-beng Hui-houw. Ia cepat melompat dan menyambar sebatang pohon besar. Sekali cabut saja jebollah pohon itu dan dia melontarkan pohon ke arah Kiu-bwe Coa-li yang mengejarnya! Terpaksa Kiu-bwe Coa-li melompat pergi dari sambaran pohon yang besar itu, dan ketika hendak melanjutkan pengejarannya, ia teringat pada muridnya.
“Mari, Sui Ceng, kita kejar siluman itu!” katanya sambil menggandeng tangan muridnya.
Akan tetapi Sui Ceng menarik tangannya dan berkata, “Nanti dulu, Suthai. Teecu harus menolong Ibu lebih dahulu.”
Kiu-bwe Coa-li menghentikan langkahnya. “Ibumu? Di mana dia?”
“Dia telah ditawan oleh Toat-beng Hui-houw. Karena itulah maka teecu datang ke tempat ini. Mungkin Ibu disembunyikan di dalam goa itu.” Sui Ceng menunjuk ke arah goa.
Kiu-bwe Coa-li mengerutkan keningnya. Dia sudah tahu persis akan kejahatan Toat-beng Hui-houw dan jika orang sudah terjatuh ke dalam tangan siluman itu, jangan harap akan tertolong lagi jiwanya.
“Kalau begitu, kita harus cepat-cepat melihat dan memeriksa goa itu,” katanya.
Guru dan murid ini kemudian berlari-larian memasuki goa. Para piauwsu beserta anggota Sin-to-pang juga mendekati goa, akan tetapi mereka tidak berani lancang memasuki goa, hanya menanti dan berkumpul di luar goa sambil membicarakan pertempuran dahsyat yang tadi mereka saksikan.
Ada pun Sui Ceng dan gurunya yang memasuki goa, mendapat kenyataan bahwa goa itu lebar sekali dan di dalamnya terbagi-bagi menjadi tiga ruangan. Mereka memasuki ruang sebelah kiri dan membuka pintu ruangan itu yang terbuat dari pada kayu. Cahaya yang memasuki ruangan ini suram-suram saja, namun Sui Ceng segera mengenal tubuh yang terbaring membujur di atas pembaringan batu, sebab yang terlentang itu tidak lain adalah Loan Eng, ibunya sendiri!
“Ibuuu...!” Sui Ceng melompat dan menubruk ibunya.
Kiu-bwe Coa-li yang berdiri di belakang muridnya, segera mengulur tangan dan dengan beberapa totokan di jalan darah nyonya muda yang nampak lemas dan tidak berdaya lagi itu, dapatlah Loan Eng menggerakkan tubuhnya. Akan tetapi dia sudah demikian lemas sehingga hampir tidak kuat mengangkat tangannya. Ternyata bahwa darahnya hampir habis terisap oleh Toat-beng Hui-houw, manusia iblis itu!
“Ibu... kau kenapakah...?” Sui Ceng menggoyang-goyang tubuh ibunya dan memandang dengan mata terbelalak.
“Sui Ceng... kau datang...?” Suara Loan Eng lemah sekali, dan hanya terdengar seperti bisik-bisik saja, “Kebetulan sekali... aku ada pesan untukmu...”
“Suthai, tolong Ibuku, mengapa dia begitu lemah?” kata Sui Ceng tanpa mempedulikan kata-kata ibunya, karena ia tidak mau percaya bahwa ibunya akan mati.
Kiu-bwe Coa-li memegang pergelangan tangan Loan Eng, dan dia nampak terkejut, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan ketika ia memeriksa leher sebelah kiri dari nyonya muda itu, terdengar wanita sakti ini menggertakkan giginya.
“Jahanam benar...” bisiknya.
Ternyata bahwa kulit leher dari Loan Eng yang putih halus itu kini telah terluka dan di luar luka ini masih terdapat tanda gigitan dan darah-darah yang telah mengering!
“Ibumu tidak akan tertolong lagi, Sui Ceng. Dia sudah kehabisan darah,” katanya tenang. Mendengar ini, Sui Ceng menubruk ibunya dan menangis.
“Sui Ceng, anakku selamanya tidak akan menangis sedih,” kata Loan Eng. Mendengar tangis anaknya, agaknya Loan Eng mendapat tambahan tenaga baru. “Agaknya memang aku harus menebus dosaku pada kematian ayahmu yang kubunuh sendiri. Aku berpesan kepadamu, Sui Ceng. Kelak kau harus menjadi jodohnya murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena aku telah menerima pinangan orang tua itu. Nama murid itu The Kun Beng. Nah... hanya sekian pesanku...!” Loan Eng makin lemas.
“Ibu..., aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini. Akan kucincang hancur tubuh iblis itu...!” kata Sui Ceng di antara tangisnya.
Meski tubuhnya telah lemas sekali, mendengar kata-kata anaknya, Loan Eng memaksa bibirnya tersenyum. Ia merasa senang dan bangga melihat sikap puterinya yang gagah.
“Kau tentu akan berhasil, Sui Ceng, di bawah pimpinan gurumu yang sakti... dan tentang Sin-to-pang... kau... kau benar, perkumpulan mendiang ayahmu itu amat baik…, mereka telah berusaha menolongku... jadilah ketua yang baik kelak...! Sui Ceng, jangan lupa kau tunangan The Kun Beng murid Pak-lo-sian... nah, selamat tinggal, anakku...”
Habislah tenaga nyonya itu dan Pek-cilan Thio Loan Eng, pendekar wanita yang cantik dan gagah perkasa itu, menghembuskan napas terakhir dalam pelukan puterinya.
“Ibu...! Ibu...!” Sui Ceng menangis, kemudian dengan mata beringas ia bangkit berdiri dan berdongak ke atas sambil berkata,
“Toat-beng Hui-houw, manusia iblis. Tunggulah, akan tiba waktunya aku Bun Sui Ceng menghancurkan kepalamu!”
“Tenanglah, Sui Ceng. Apa sih sukarnya membikin mampus manusia seperti Toat-beng Hui-houw itu? Sekarang juga aku dapat mengejarnya dan membikin tamat riwayatnya,” kata Kiu-bwe Coa-li yang merasa kasihan kepada muridnya yang tersayang itu.
“Tidak, Suthai, dia tidak boleh mati di tanganmu atau di tangan siapa juga. Teecu sendiri yang akan membalaskan sakit hati ini.”
Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk. “Boleh saja, Sui Ceng. Asalkan kau belajar dengan rajin, tak lama lagi kau akan dapat melaksanakan cita-citamu ini. Juga baik-baik saja kau menjadi ketua Sin-to-pang. Hanya aku merasa agak menyesal mengapa ibumu demikian tergesa-gesa menjodohkan kau dengan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai.”
Sui Ceng tidak menjawab oleh karena di dalam hati gadis cilik ini sama sekali belum ada pikiran mengenai jodoh, bahkan ia menganggap ibunya tadi bersenda gurau saja. Ia lalu melanjutkan pemeriksaan di dalam goa.
Di kamar lainnya mereka mendapatkan tubuh Ong Kiat, juga sudah tewas dengan tubuh penuh luka-luka. Walau pun ketika Ong Kiat masih hidup, Sui Ceng tidak suka kepada piauwsu ini karena sudah mengawini ibunya, namun kini melihat piauwsu muda itu yang telah menjadi suami ibunya tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan, ia lalu berlutut pula dan berkata perlahan dengan janji bahwa dia akan membalaskan sakit hati mendiang ayah tirinya ini.
Lalu Sui Ceng dan gurunya keluar dari goa, disambut oleh para anggota Sin-to-pang dan para piauwsu yang memandang penuh hormat.
“Saudara-saudara sekalian, Ibu beserta Ayah sudah tewas di tangan iblis itu. Kelak aku sendiri yang akan membalaskan sakit hati dan membunuh iblis keparat itu, supaya kalian semua bertenang hati. Sekarang, kalian lakukanlah tugas kewajiban masing-masing, dan tunggu hingga aku datang untuk memimpin Sin-to-pang. Ada pun para piauwsu, terserah, hendak menjadi anggota Sin-to-pang baik-baik saja, mau melanjutkan pekerjaan sebagai piauwsu pun boleh. Hanya pesanku, baik Hui-to Piauwkiok mau pun Sin-to-pang, harus bekerja sama dalam segala hal. Ingat bahwa akulah yang mewarisi keduanya dan aku pula yang bertanggung jawab atas segala sepak terjang kalian!”
Para anggota Sin-to-pang dan anggota Hui-to Piauwkiok menjadi sedih sekali mendengar betapa ketua mereka telah tewas, akan tetapi melihat sikap dan mendengar ucapan Sui Ceng yang benar-benar gagah dan bersemangat, yang sesungguhnya mengherankan sekali keluar dari mulut anak yang masih demikian hijau, terbangunlah semangat mereka dan serentak menyatakan setuju.
Jenazah Loan Eng dan Ong Kiat diurus dan dirawat baik-baik. Setelah memberi hormat terakhir kepada makam ibu dan ayah tirinya, Sui Ceng lalu melanjutkan perjalanannya mengikuti gurunya.
Sejak saat itu Sui Ceng makin tekun belajar dan semua ilmu kepandaian dari Kiu-bwe Coa-li direnggut dan diteguknya seperti seorang kehausan minum air segar. Juga dia dan gurunya sangat tekun mempelajari ilmu silat aneh yang mereka dengar dari Tu Fu yang membacakan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Sebagaimana diketahui, isi kitab ini sebenarnya palsu, bahkan di dalamnya terkandung pelajaran ilmu silat dan latihan tenaga dalam secara terbalik. Kalau sekiranya Sui Ceng sendiri yang melatih diri menurut bunyi kitab ini, tentu ia akan mendapatkan kepandaian palsu yang membahayakan tubuhnya seperti halnya Kwan Cu.
Akan tetapi, ia berada di bawah asuhan Kiu-bwe Coa-li, seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat tinggi kepandaiannya. Maka tentu saja Kiu-bwe Coa-li tidak dapat tertipu dan nenek yang sakti ini tahu bagaimana harus melatih ilmu silat aneh ini tanpa merusak tenaga sendiri.
Cara melatihnya bukan seperti yang dilakukan oleh Lu Kwan Cu, yang menjiplak begitu saja dan menelan semua pelajaran tanpa dipilih lagi. Kiu-bwe Coa-li tidak mau berlaku sembrono dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia tahu mana yang tidak betul dan mana yang berguna. Oleh sebab itu, di antara pelajaran-pelajaran yang masih ia ingat bersama muridnya, lalu dia saring dan pilih lagi, memilih mana yang sekiranya berguna dan dapat dipakai untuk mempertinggi kepandaiannya.
Melihat ketekunan muridnya, Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan nenek sakti ini lalu membatalkan niatnya yang hendak mencoba ilmu silat barunya kepada seorang di antara tokoh-tokoh besar, bahkan ia lalu mengajak muridnya tinggal di puncak Bukit Wu-yi-san yang berada di Tiongkok Selatan, perbatasan Propinsi Hok-kian dan Kiang-si.
Kiu-bwe Coa-li memang berasal dari Hok-kian, maka ia disebut tokoh besar selatan yang ke dua. Sebagaimana diketahui, tokoh besar selatan yang pertama adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yang selalu merantau di seluruh propinsi selatan dan tak tentu tempat tinggalnya…..
********************
Sementara itu, Hek-i Hui-mo dengan cepat membawa lari Lai Siang Pok yang menjadi ketakutan dan kaget setengah mati itu. Anak ini menangis dan minta dengan suara amat menyedihkan agar supaya dia dilepaskan kembali, namun Hek-i Hui-mo menjawab,
“Kau ingat baik-baik semua isi kitab yang di baca oleh Tu-siucai tadi, barulah kau ada harapan untuk hidup terus!”
Mendengar ini Siang Pok pun mengerti bahwa kakek yang menyeramkan ini benar-benar membutuhkan bantuan untuk mengingat bunyi isi kitab tadi, maka karena maklum bahwa hal itulah satu-satunya jalan baginya untuk dapat menolong diri sendiri dari bahaya, dia lalu mengumpulkan seluruh ingatan dan perhatiannya kepada bunyi isi kitab yang aneh itu.
Lai Siang Pok adalah seorang anak yang amat cerdik luar biasa dan semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah bundanya dalam ilmu kesusastraan. Oleh karena itu dia telah biasa menghafal, dan meski pun tadi dia mendengarkan isi kitab yang dibaca oleh Tu Fu dengan setengah hati saja, namun dia telah hampir dapat mengingat semuanya!
Setelah jauh dari kota Kai-feng, Hek-i Hui-mo menurunkan Lai Siang Pok dan berkata,
“Coba kau sekarang mengulang kembali isi kitab itu, hendak kudengar apakah kau ada gunanya bagiku atau tidak!”
Siang Pok mengumpulkan ingatannya, kemudian mengulang apa yang tadi didengarnya. Mendengar ini, Hek-i Hui-mo menjadi girang sekali karena semua yang diingat olehnya sendiri dari isi kitab itu, ternyata tidak ada seperempatnya dari apa yang dapat diingat oleh Siang Pok!
“Anak baik...! Kau patut menjadi muridku!” katanya girang sambil menepuk-nepuk pundak anak itu.
Tepukan ini bukanlah tepukan biasa, akan tetapi tepukan hendak memeriksa keadaan tubuh dan tulang dari anak laki-laki ini. Akan tetapi dia mempunyai watak yang tabah dan keras hati, maka digigitnya bibir untuk menahan rasa sakit.
“Bagus, tidak jelek!” kata Hek-i Hui-mo yang kemudian tertawa bergelak. “Hendak kulihat kelak, siapa yang paling pandai memilih dan mengajar muridnya. Ha-ha-ha, Siang Pok, kau menjadi muridku dan kelak kaulah yang akan menjagoi di antara murid-murid semua orang gila itu. Ha-ha-ha!”
Siang Pok tidak mengerti apa yang dimaksud oleh kakek hitam ini, akan tetapi diam-diam ia menjadi girang juga. Sering kali anak ini membaca cerita-cerita kuno tentang pendekar dan pahlawan, kemudian diam-diam dia mengagumi sepak terjang dan kegagahan para pendekar itu.
Sekarang mendengar bahwa dia hendak diambil murid oleh kakek yang telah ia saksikan sendiri kelihaiannya, tentu saja dia menjadi girang. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan Hek-i Hui-mo sambil berkata,
“Segala petunjuk dari Suhu akan teecu pelajari dengan rajin.”
“Bagus, mari kita cepat pulang agar kau bisa segera berlatih. Kau sudah tertinggal jauh oleh murid-murid mereka itu.”
“Pulang? Ke mana, Suhu?”
“Ha-ha-ha, tentu saja ke Tibet, ke barat! Hayo!” Sambil berkata demikian, Hek-i Hui-mo menyambar tubuh muridnya.
Sekejap kemudian terpaksa Siang Pok meramkan kedua matanya karena angin bertiup kencang sekali, membuat kedua matanya pedas ketika suhu-nya membawanya lari luar biasa cepatnya seakan-akan terbang!
Walau pun Hek-i Hui-mo melakukan perjalanan cepat sekali dan jarang berhenti di jalan, namun dia harus menggunakan waktu sebulan lebih baru tiba di Tibet, daerah barat yang jauh itu. Siang Pok diterima dengan penuh penghormatan dan juga perasaan iri hati oleh orang-orang di barat, karena bila menjadi murid Hek-i Hui-mo, selain dianggap mendapat kehormatan tinggi, juga dianggap sebagai yang menerima kurnia besar.
Namun Siang Pok tidak mempedulikan semua itu dan mulai saat gurunya menurunkan pelajaran ilmu silat kepadanya, dia belajar dengan amat rajin dan tekun sehingga boleh dibilang lupa makan dan lupa tidur! Melihat ini, Hek-i Hui-mo semakin sayang kepadanya, karena makin besar harapan di hatinya, murid ini kelak akan menjunjung tinggi namanya dan akan mengalahkan semua murid tokoh-tokoh besar yang sudah berlatih lebih dulu.
Seperti juga Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo yang bernama Thian Seng Hwesio ini, jarang sekali keluar dan bersembunyi saja di kelentengnya, memberi latihan-latihan kepada Lai Siang Pok, karena seperti juga Kiu-bwe Coa-li, dia ingin mempelajari isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang didengarnya dari Tu Fu, kemudian kalau sudah mempelajarinya dengan sempurna, bersama muridnya dia akan mencari tokoh-tokoh lain untuk ditantang pibu!
Seperti telah kita ketahui, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang terjatuh ke dalam tangan Hek-i Hui-mo dan yang kemudian isinya dibacakan oleh pujangga besar Tu Fu sambil didengarkan oleh Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo bersama murid-murid mereka, adalah kitab palsu. Akan tetapi biar pun palsu, kitab ini ditulis di jaman dahulu oleh orang yang pandai dan hafal akan isi kitab aslinya, maka biar pun palsu, isi kitab ini merupakan pelajaran yang aneh dan luar biasa sekali.
Bagi orang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja kitab ini tidak ada artinya sama sekali dan jika orang biasa melatih diri meniru pelajaran isi kitab ini, bukannya mendapat kemajuan dan kepandaian tinggi, malah tubuh orang itu akan menjadi rusak. Akan tetapi sebaliknya, apa bila yang mendengarnya adalah orang-orang berilmu tinggi seperti Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li, mereka dapat menangkap serta menerima isi kitab untuk disaring kembali dan untuk dijadikan bahan menyempurnakan kepandaian silat mereka.
Oleh karena inilah, maka hasil dari pada mendengarkan isi kitab itu bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li sangat jauh berlainan. Pelajaran yang mereka dengar itu, lalu diolah dan disaring sesuai dengan ilmu kepandaian yang sudah ada pada mereka, maka tentu saja tidak sama.
Bagi Kiu-bwe Coa-li, pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng yang telah didengarnya dari pujangga Tu Fu itu mendatangkan kemajuan yang hebat sekali dalam hal ilmu lweekang, yakni penggunaan tenaga dalam. Walau pun pelajaran lweekang di dalam kitab itu tidak karuan dan sengaja dibolak-balikkan oleh penulis kitab palsu, namun sungguh kebetulan sekali perhatian Kiu-bwe Coa-li dan muridnya, Sui Ceng, justru dikerahkan ke jurusan ini.
Dengan kecerdikannya yang luar biasa, Kiu-bwe Coa-li bertekun mengupas pelajaran ini dan akhirnya dia pun dapat menemukan ilmu aslinya dengan jalan meraba-raba serta menduga-duga. Ia lalu memperbaiki dengan caranya sendiri, sesuai dengan kepandaian yang telah dimilikinya, sehingga akhirnya dia pun mendapatkan ilmu silat berdasarkan pelajaran Im-yang Bu-tek Cin-keng yang seluruhnya menggunakan tenaga lweekang yang hebat luar biasa!
Sebaliknya, setelah mendengar dan mempelajari isi kitab itu, Hek-i Hui-mo mendapatkan gerakan-gerakan istimewa yang sesuai benar untuk menyempurnakan ilmu tongkatnya. Ilmu tongkat Hek-i Hui-mo, yakni permainan tongkat Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga), memang telah terkenal dan lihai sekali. Kini, setelah dia mempelajari isi kitab itu, dia mendapatkan sesuatu yang cocok sekali dan yang dapat dia olah sedemikian rupa sehingga ilmu tongkatnya menjadi maju dengan pesat dan kini merupakan ilmu tongkat yang aneh dan luar biasa!
Jika biasanya dia mainkan dua senjata, yakni tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan dan tasbih di tangan kiri, di mana tongkat menjadi alat penyerang dan tasbih sebagai alat penangkis, kini dengan hanya mainkan tongkatnya saja kelihaiannya sudah berlipat kali melebihi sepasang senjatanya itu. Sebab itu dia lalu tekun memperdalam kepandaiannya bermain tongkat yang kelak akan diturunkan kepada murid tunggalnya, yakni Lai Siang Pok.
Sebetulnya, kalau orang mengetahui isi dari pada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli, orang takkan merasa heran mengapa isi kitab yang dibaca Tu Fu itu mendatangkan dua macam ilmu jauh berlainan bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li. Kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng memang merupakan raja kitab ilmu silat di dunia ini!
Di situ terdapat pelajaran pokok dan dasar dari pada segala macam gerakan ilmu silat di atas dunia. Ilmu silat dengan tangan kosong mau pun dengan senjata yang bagaimana pun juga, kesemuanya berpokok dan berdasar sama, yakni berdasarkan menyerang dan bertahan. Ada pun inti sari dari pada dua gerakan ini memang menjadi isi dari Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli.....
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR SAKTI : JILID-05