Pendekar Sakti Jilid 03
Enam bulan telah lewat. Kini Gui Tin telah menyelesaikan pekerjaannya menterjemahkan ilmu perang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Terjemahan itu diambil oleh An Lu Shan untuk dipraktekkan, ada pun kitab aslinya masih berada di dalam kamar, karena Gui Tin harus menterjemahkan ilmu-ilmu yang lain!
Dan pada petang hari itu terjadilah hal yang hebat! Baru saja Gui Tin menutup kitab itu setelah mulai menterjemahkan bagian pertama dari ilmu silat, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kamar dan tak lama kemudian pintu kamar itu terbuka lebar.
Seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan baju terbuka di bagian dada sehingga nampak dadanya itu brewok, juga mukanya penuh brewok, meloncat masuk! Gui Tin dan Kwan Cu melihat betapa beberapa orang penjaga yang tadinya menjaga di luar pintu kamar itu kini menggeletak malang melintang dalam keadaan tidak bernyawa pula!
Laki-laki brewok ini melihat kitab yang sudah dimasukkan ke dalam peti hitam dan ditaruh di atas meja. Tanpa banyak cakap, dia melompat ke dekat meja, memegang peti hitam itu dan berpaling kepada Gui Tin.
"Gui-siucai, inikah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang lagi kau terjemahkan?" tanyanya kepada Gui Tin dengan suaranya yang parau dan kasar sekali.
Gui Tin mengangguk dengan wajah pucat. Orang itu menyambar peti dan juga tangan kanannya menyambar Gui Tin yang terus dikempitnya dan hendak pergi dari situ.
"Jangan kau culik guruku!"
Mendadak orang itu merasa ada sambaran keras dari belakang menuju ke arah pundak kanannya! Sambaran ini merupakan angin pukulan yang hebat, maka dia terkejut sekali. Terpaksa dia melepaskan tubuh Gui Tin dan mengangkat tangan menangkis.
Ternyata yang menyerang adalah Kwan Cu! Melihat gurunya hendak dibawa orang, anak ini menjadi nekad dan memukul ke arah pundak orang itu dengan maksud merampas gurunya. Tidak tahunya bahwa pukulan itu mengandung tenaga lweekang yang didapat dari melakukan latihan siulian itu, maka juga hebat sekali datangnya.
Akan tetapi, orang itu lihai sekali. Dengan keras lengannya menangkis dan tubuh Kwan Cu terpental membentur tembok!
Orang itu tertawa dan hendak menyambar tubuh Gui Tin. Akan tetapi pada saat itu dari luar terdengar suara teriakan berkali-kali.
“Tangkap penjahat!”
Orang yang mencuri kitab itu melompat keluar dan disambut oleh An Lu Shan, An Lu Kui dan Li Kong Hoat-ong sendiri dan di belakang mereka ini masih terdapat puluhan orang perwira!
Ketika melihat orang brewokan ini, Li Kong Hoat-ong, An Lu Shan dan An Lu Kui menjadi terkejut sekali. Sebaliknya si brewok ini hanya tertawa saja menghina, sama sekali tidak merasa gentar dan bahkan suara ketawanya menyatakan bahwa dia memandang rendah semua orang itu.
“Ahhh, tidak tahunya Hek-mo-ong Lo-taihiap yang datang berkunjung,” kata An Lu Shan sambil menjura.
“An-ciangkun, kau seorang perwira, untuk apakah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Apa lagi Gui-siucai telah menterjemahkan bagian ilmu perangnya, yang lain-lain kau tak perlu lagi. Oleh karena itu aku datang untuk mengambilnya, dan sekalian membawa Gui-siucai pergi bersamaku.”
An Lu Shan tidak berani membantah dan terlalu banyak berbicara. Dia sudah kenal akan kelihaian Hek-mo-ong (Raja Iblis Hitam) ini yang di daerah utara namanya hanya sebelah bawah Pak-lo-sian Siangkoan Hai saja. Akan tetapi, Li Kong Hoat-ong tentu saja menjadi marah melihat lagak orang.
“Hek-mo-ong, sudah lama aku mendengar namamu tetapi baru sekarang aku mendapat kehormatan untuk bertemu muka. Tidak tahunya Hek-mo-ong yang memiliki nama besar itu hanya seorang sombong yang tidak memandang muka orang lain dan hendak berlaku sewenang-wenang tanpa kesopanan sedikit pun juga.”
Wajah Hek-mo-ong tak berubah, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat ketika dia berpaling kepada Li Kong Hoat-ong.
“Hemm…” Dia mengeluarkan suara dari hidung, sikapnya menghina sekali, “Kalau tidak salah kau adalah Li Kong Hoat-ong, raja yang sudah kehilangan mahkotanya itu? Perlu apa kau mencampuri urusanku? Kalau memang betul aku kurang sopan dan sombong, habis kau mau apakah?”
“Hek-mo-ong, kau benar-benar tidak melihat orang! Kalau tidak ada aku di sini, kau boleh berbuat sesuka hatimu, akan tetapi setelah aku berada di sini, apakah kau masih mau banyak lagak?”
“Li Kong Hoat-ong, apa kehendakmu?!” suara Hek-mo-ong dahsyat sekali, mengandung ancaman maut.
“Tinggalkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau tidak jangan harap dapat keluar dari sini!” berkata Li Kong Hoat-ong dan bekas raja yang memiliki kepandaian tinggi ini telah meloloskan senjatanya, yakni sebatang pedang kerajaan Yu-yan pada tangan kanan dan sebatang tongkat tanda pangkat di tangan kiri!
An Lu Shan hendak mencegah akan tetapi dia sudah terlambat, karena telah terdengar suara ketawa ngakak seperti suara burung goak dari mulut Hek-mo-ong dan terdengar suara keras, disusul oleh melayangnya daun pintu yang sudah dicabut oleh Hek-mo-ong dan kini menyambar ke arah Li Kong Hoat-ong!
Li Kong Hoat-ong cepat menghantam dengan tongkat di tangan kirinya dan terdengarlah suara keras lain. Daun pintu itu sudah pecah menjadi beberapa potong dan pecahannya menyambar ke kanan kiri!
An Lu Shan dan An Lu Kui cepat-cepat mengelak, akan tetapi beberapa orang perwira lain yang kurang cepat sudah terkena sambaran potongan serta pecahan daun pintu ini sehingga terdengar jerit mengerikan. Pecahan-pecahan daun pintu itu menembus baju perang bagaikan pelor-pelor baja dan beberapa orang perwira tewas pada saat itu juga!
Pertempuran segera terjadi dengan hebatnya. An Lu Shan tak berdaya dan hanya bisa menyuruh para perwira menjauhkan diri, karena setelah dua orang sakti ini bertanding, siapa yang dapat dan berani memisahkan mereka? Sekejap saja yang nampak hanyalah berkelebatnya pedang serta tongkat pada kedua tangan Li Kong Hoat-ong, serta tubuh Hek-mo-ong yang berubah menjadi sesosok bayangan yang gesit sekali.
Sebentar saja kelihatan betapa hebatnya kepandaian Hek-mo-ong, karena meski pun dia bertangan kosong, akan tetapi tongkat dan pedang ini sama sekali tidak dapat mengenai tubuhnya. Tiap kali kedua tangannya bergerak, menyambar angin pukulan yang dahsyat, yang tidak saja membuat kedua senjata itu terpental mundur, juga membuat bangunan di situ seakan-akan tergetar-getar!
Berkat tubuhnya yang kuat, Kwan Cu yang tadi terlempar akibat tangkisan Hek-mo-ong dan membentur tembok, tidak mengalami luka hebat dan kini dia telah menolong gurunya bangun. Gui Tin cepat menyingkir ke tepi karena gentar melihat pertempuran yang amat dahsyat itu, sebaliknya Kwan Cu malahan menonton dekat-dekat.
Anak ini telah menghafal isi pelajaran ilmu silat dari kitab yang diperebutkan itu, dan biar pun pengetahuannya terbatas pada teori saja, namun pengertian ini telah mendatangkan dorongan sehingga dia mulai memperhatikan gerakan-gerakan kedua tokoh besar ini! Ia diam-diam merasa gembira sekali bisa menyaksikan pertandingan yang begitu hebatnya, dan biar pun dia merasa ngeri juga, akan tetapi dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari kedua orang itu.
Setelah bertempur puluhan jurus, perlahan-lahan Hek-mo-ong mendesak lawannya. Raja Iblis Hitam ini mempergunakan pukulan berdasarkan lweekang yang cukup tinggi dan baginya untuk merobohkan lawan tidak usah mempergunakan tenaga tangan, cukup oleh hawa pukulannya saja.
Li Kong Hoat-ong maklum akan kehebatan lawan, maka dia pun mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi permainan lawan. Akan tetapi sia-sia saja. Pada saat dia membacok dengan pedangnya dan berbarengan mengemplang dengan tongkatnya, tiba-tiba Hek-mo-ong berseru keras sekali.
Kwan Cu yang tadinya berdiri sampai roboh dan terlempar ke lantai saking hebatnya getaran seruan ini yang menyerang serta melumpuhkan dirinya melalui pendengarannya! Demikian pula orang-orang yang berada di sekitar tempat itu, semua merasa seolah-olah lumpuh!
Berbareng dengan pekik yang dahsyat ini, Hek-mo-ong tidak mengelak dari serangan lawan, bahkan menubruk maju. Tangan kanannya mencengkeram ke arah pedang dan dia membiarkan kepalanya dipukul tongkat!
Terdengar suara keras pada saat tongkat memukul kepalanya. Tongkat itu terpental dan Hek-mo-ong merasa kepalanya sedikit pening, akan tetapi dia berhasil mencengkeram pedang yang patah menjadi dua potong! Sebelum rasa terkejut Li Kong Hoat-ong hilang, Hek-mo-ong sudah menyeruduk maju dan menubruk dengan kepalanya ke dada Li Kong Hoat-ong.
Terdengar pekik mengerikan dan tubuh bekas raja itu terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Tulang-tulang dadanya sudah remuk akibat terkena benturan kepala lawannya dan dia tewas pada saat itu juga setelah tubuhnya roboh terlentang!
Keadaan menjadi sunyi, kemudian dipecahkan oleh suara ketawa Hek-mo-ong. Tak ada seorang pun berani bergerak.
“Ha-ha-ha! An-ciangkun, lebih baik kau mengurus bala tentaramu baik-baik dan jangan meributkan urusan kitab ini,” kata Hek-mo-ong.
An Lu Shan maklum bahwa tiada gunanya menyerang orang luar biasa ini. Akan tetapi dia tahu bahwa apa bila Gui Tin sampai dibawa pergi, amat berbahayalah bagi dirinya. Hanya Gui Tin dan muridnya saja yang tahu bahwa ia telah mempelajari ilmu perang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kalau sampai orang luar mengetahuinya…, mungkin rencananya yang sudah terkandung di dalam hati selama bertahun-tahun akan gagal!
Oleh karena itu dia lalu menjura dan berkata,
“Lo-enghiong, kami tak akan meributkan urusan ini, akan tetapi kami harap Lo-enghiong juga suka berlaku adil. Kitab itu sudah kau ambil, biarlah. Akan tetapi harap kau jangan membawa pergi Gui-siucai, karena sebenarnya masih banyak sekali penjelasan tentang terjemahan yang kami perlukan darinya. Apa bila kami sudah selesai dengan dia, boleh Lo-enghiong membawanya. Hal ini penting sekali, dan kami harap saja Lo-enghiong tidak akan menggunakan kekerasan terhadap puluhan ribu anak buah barisan kami yang telah teratur dan menjaga berlapis-lapis di benteng ini.”
Hek-mo-ong terdiam sejenak. Ia juga tahu bahwa An Lu Shan adalah seorang komandan yang pandai sekali mengatur barisan. Kalau dia berkeras, dia akan menghadapi puluhan ribu tentara dan hal ini tidak boleh dibuat sembarangan.
Biar pun kepandaiannya tinggi dan dia tidak takut akan keroyokan, akan tetapi jika harus membobolkan pertahanan puluhan ribu orang, sebelum bebas tentu dia akan kehabisan tenaga dan akhirnya usahanya akan sia-sia belaka. Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya, mengapa dia harus bertindak tergesa-gesa? Masih banyak waktu untuk mempelajari kitab itu, pikirnya.
Setelah berpikir begitu, dia mengangguk. “Baiklah, An-ciangkun. Aku minta maaf karena sudah kesalahan tangan membunuh gurumu, namun seperti kalian menyaksikan sendiri, gurumulah yang mulai lebih dulu.”
“Tidak mengapa, Lo-enghiong. Mati hidup bukan di tangan kita dan sudah lajim di dalam pertempuran kalau tidak menang, tentu kalah dan mati,” jawab An Lu Shan.
Kembali Hek-mo-ong tertawa. Kemudian dia melihat Kwan Cu masih berdiri di pinggir. kedua matanya mendelik dan dia kelihatannya akan menyerang anak ini. Akan tetapi dia membatalkan niatnya, lalu tertawa dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah melompat keluar dari rumah itu.
Pada saat dia berlari keluar dari benteng, benar saja dia melihat betapa tempat itu sudah terkurung rapat oleh lapisan-lapisan tentara yang kuat sekali. Dia merasa girang bahwa tadi dia tidak mempergunakan kekerasan. Mudah kelak menculik Gui-siucai, pikirnya.
Mengapa An Lu Shan berlaku demikian lemahnya? Mengapa dia tidak mengeroyok dan mengerahkan pasukannya untuk membunuh Hek-mo-ong? An Lu Shan tidak sedemikian bodoh untuk mengorbankan anak buahnya. Ia adalah seorang yang amat cerdik.
Pada waktu dia tadi melihat peti kitab itu tercuri oleh Hek-mo-ong, dia telah yakin bahwa Hek-mo-ong tidak akan dapat hidup lama di dunia ini. Selain peti itu mengandung rahasia sehingga kalau dibuka akan ada tujuh batang anak panah beracun yang menyambar ke luar, juga peti itu telah dilabur dengan racun yang amat jahat.
Jika tangan Hek-mo-ong telah terkena racun itu, sedikit racun masuk ke dalam mulutnya, pasti Raja Iblis Hitam itu akan mampus! Perlu apa mengeroyoknya? Dia tahu ke mana harus mencari Hek-mo-ong, maka nanti saja dia akan menyuruh para penyelidik supaya mendatangi tempat tinggal Hek-mo-ong di dusun Thian-bun di Gunung Hek-mo-san. Bila iblis itu sudah mati, mudah saja mengambil kembali peti itu.
Dan dia sengaja menahan Gui Tin, sebab selain dia sendiri, hanya sastrawan tua itu saja yang pernah membaca Im-yang Bu-tek Cin-keng. Biar pun kitab itu sekarang berada di tangan Hek-mo-ong, takkan ada gunanya kalau tidak diterjemahkan!
Karena itu, setelah Hek-mo-ong pergi, An Lu Shan lalu mengumpulkan orang-orangnya yang paling cakap untuk pergi menyusul ke Hek-mo-san dan menyelidiki keadaan iblis itu, sekalian kalau iblis itu sudah mampus terkena racun, supaya mengambil kembali peti kitab tadi.
Akan tetapi, setelah serbuan Hek-mo-ong yang mencuri kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, berturut-turut terjadilah hal-hal yang luar biasa dan mengerikan hati An Lu Shan.
Pada keesokan harinya, baru saja dia beserta yang lain-lain selesai mengubur jenazah Li Kong Hoat-ong dan sedang duduk berunding di dalam ruangan tengah, tiba-tiba datang penjaga-penjaga di pintu depan yang melaporkan dengan napas tersengal-sengal bahwa ada seorang tokouw (pertapa wanita) yang sangat galak dan memaksa masuk ke dalam benteng. Siapa saja yang menghalanginya lantas dirobohkan dengan amat mudah!
An Lu Shan dan An Lu Kui bergegas keluar, diikuti oleh beberapa orang perwira. Betapa kaget hati mereka ketika melihat pemandangan yang amat aneh dan luar biasa. Seorang tokouw yang tua akan tetapi tubuhnya masih nampak sehat seperti tubuh seorang gadis berusia delapan belas tahun, jalan mendatangi.
Tangan kirinya menggandeng seorang anak perempuan berusia enam tahun yang cantik mungil, tangan kanannya memegang sebatang ranting pohon yang panjang. Dia berjalan maju terus dan setiap kali ada prajurit yang hendak menghalanginya, dia menudingkan ranting itu kepada prajurit yang menghadang dan prajurit itu roboh sambil memekik keras dan ternyata bahwa prajurit itu telah tewas!
Berdiri bulu tengkuk An Lu Shan saat menyaksikan keganasan dan kekejaman yang luar biasa ini! Siapakah iblis wanita ini, pikirnya. Cepat dia lalu mengeluarkan aba-aba untuk melarang orang-orangnya menghalangi majunya wanita pertapa itu dan dia sendiri lalu cepat mundur dan menanti di ruang tengah, akan tetapi diam-diam dia menyuruh barisan panah mengurung tempat itu untuk bergerak apa bila tokouw itu datang dengan maksud kurang baik.
Sambil tersenyum-senyum mengejek, tokouw itu bersama anak perempuan tadi lantas memasuki benteng dan menuju ke ruangan besar di mana An Lu Shan duduk menanti. Dengan melihat bendera yang berkibar di atas ruangan itu, mudah saja bagi tokouw ini untuk mencari di mana adanya komandan benteng. Dia melangkah masuk dengan sikap tenang seperti memasuki rumahnya sendiri saja.
Setelah masuk ke dalam ruangan itu tokouw ini berdiri tegak dan memandang kepada An Lu Shan. Perwira ini segera berdiri dan menyambut dengan penghormatan. Akan tetapi sebelum dia membuka mulut, terdengar seruan nyaring.
“Ehh, adik Ceng...! Kau di sini...?”
“Hee...! Bukankah kau adalah Kwan Cu?” jawab anak perempuan yang masih digandeng tangannya oleh tokouw itu.
Kwan Cu yang kebetulan keluar bersama gurunya, melihat bahwa anak perempuan itu adalah Bun Sui Ceng, puteri dari Thio Loan Eng, segera menegur. Juga Gui Tin yang telah banyak merantau dan banyak sekali pengalamannya, ketika melihat tokouw itu, dia tersaruk-saruk maju menghampiri dan menjura.
“Dunia ini ternyata sempit sekali,” katanya kepada tokouw itu, “sehingga di ujung utara ini akan dapat bertemu muka dengan Kiu-bwe Coa-li Suthai dari ujung selatan!”
Tokouw itu nampak tertegun, kemudian ia mengerutkan keningnya. Setelah memandang beberapa lama, dia lalu tersenyum dan berkata dingin, “Hemm, tubuhmu sudah reyot dan lelah, akan tetapi matamu masih tajam sekali, Gui-siucai. Kita bertemu baru satu kali ketika masih muda, namun kau betul-betul tidak melupakan muka orang.”
“Siapa dapat melupakan wajah dan bentuk badan Kii-bwe Coa-li Suthai dari selatan?” jawab Gui Tin sambil tersenyum pula.
Sementara itu, pada saat mendengar bahwa tokouw yang berada di depannya itu adalah Kiu-bwe Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan) yang namanya amat terkenal dan ditakuti oleh semua orang kang-ouw, An Lu Shan menjadi terkejut sekali sehingga dia merasa betapa belakang lehernya menjadi dingin. Ia cepat maju dan menjura dan berkata,
“Ah, tak tahunya Locianpwe yang datang mengunjungi tempatku yang bobrok ini. Mohon banyak maaf karena siauwte tidak tahu maka tidak keluar menyambut.”
Tokouw itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya.
“Anak buahmu sudah menyambut baik-baik, mengapa kau bersungkan? Lagi pula, siapa sih yang mengharapkan sambutan? Aku bukan kaisar!”
Muka An Lu Shan menjadi merah. Akan tetapi biar pun dia disindir, toh hatinya senang juga mendengar bahwa tokouw ini tidak suka kepada kaisar.
“Maaf, maafkan!” katanya merendah. “Bolehkah kiranya siauwte mengetahui kedatangan Locianpwe ini membawa maksud mulia yang manakah?”
“Tidak bermaksud apa-apa, hanya minta kau menyerahkan padaku kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.”
Hemm, ini hebat, pikir An Lu Shan. Jadi kitab itu sudah demikian digilai oleh orang-orang pandai di dunia. Baiknya dia telah mendahului mempelajari bagian ilmu perangnya.
“Bagaimana?” tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li mendesak sambil menggerak-gerakkan ranting di tangannya.
Ternyata bahwa itu bukan ranting biasa, melainkan gagang sebatang pecut yang panjang dan halus sekali. Pecut itu terdiri dari sembilan helai tali yang halus akan tetapi kuat dan merupakan senjatanya yang luar biasa. Oleh karena tali-tali yang sembilan helai ini bisa bergerak-gerak hidup bagaikan ular-ular kecil, maka dia lalu dijuluki Ular Betina Berekor Sembilan!
Satu saja dari sembilan helai tali ini ia gerakkan untuk menotok jalan darah seperti yang diperlihatkan tadi terhadap para prajurit yang menghadangnya cukup untuk membunuh seorang manusia. Dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya kepandaian tokouw ini!
“Locianpwe, sungguh kebetulan sekali. Kalau saja siauwte tidak kehilangan guru siauwte dalam urusan ini, tentu siauwte sudah tertawa geli mendengar Locianpwe datang hendak minta kitab itu.”
“Apa yang telah terjadi?” Sepasang alis tokouw itu bergerak-gerak dan kedua matanya demikian tajam sehingga An Lu Shan tidak kuat untuk menentang lama-lama.
“Baru terjadi kemarin, Locianpwe. Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang kau minta itu telah dirampas orang dan suhu-ku Li Kong Hoat-ong bahkan sampai tewas melawan orang itu.”
“Lekas bilang, siapa yang merampasnya?” seru tokouw itu yang sama sekali tidak peduli tentang kematian Li Kong Hoat-ong.
“Dia adalah Hek-mo-ong yang tinggal di Hek-mo-san...”
Secepat kilat Kiu-bwe Coa-li memutar tubuhnya menghadapi Gui Tin.
“Betulkah demikian?”
Gui Tin hanya mengangguk dan diam-diam sastrawan ini tidak suka melihat sikap tokouw ini. Apa lagi setelah dia melihat bahwa tokouw ini sudah membunuh banyak penjaga di luar benteng!
Kiu-bwe Coa-li hendak pergi, akan tetapi ternyata Sui Ceng yang tadi masih digandeng, telah melepaskan gandengan tangannya dan anak itu sekarang nampak bercakap-cakap dengan seorang anak laki-laki gundul.
“Sui Ceng, mari!” seru tokouw ini dan sekali ia mengulur tangannya, ia mendorong Kwan Cu sehingga anak ini menggelundung seperti bola.
Akan tetapi Kwan Cu cepat melompat lagi dan menuding kepada Kiu-bwe Coa-li sambil berkata, “Mengapa kau begitu galak? Aku tidak suka melihat adik Ceng menjadi murid seorang galak! Ketahuilah, adik Ceng sudah diserahkan kepadaku untuk kujaga dan bila kau memperlakukan buruk padanya...”
Melihat betapa anak laki-laki gundul yang didorongnya itu tidak apa-apa, bahkan barusan mengeluarkan ucapan yang mengancam kepadanya untuk membela Sui Ceng, Kiu-bwe Coa-li menengok dan memandang terheran-heran. Hebat sekali anak gundul ini, pikirnya. Dia lalu ia berbisik kepada Sui Ceng dan anak perempuan ini berkata,
“Engko Kwan Cu, guruku ini baik sekali kepadaku! Ehh, aku ingin tanya, betul-betulkah penuturan mereka tentang Hek-mo-ong?”
Kwan Cu maklum bahwa tokouw ini masih tidak percaya penuh kepada An-ciangkun dan Gui-siucai, maka menggunakan Sui Ceng untuk bertanya kepadanya. Dengan demikian, itu berarti bahwa tokouw itu lebih percaya kepadanya! Hanya dalam sekejap mata saja anak yang berkepala gundul dan berotak cerdik ini bisa menghubung-hubungkan sesuatu dan menarik kesimpulannya pada saat itu juga!
“Adik Ceng, biasanya, orang yang tidak mudah percaya kepada orang lain itu mempunyai watak yang tak dapat dipercayai pula. Karena hendak mengukur watak orang lain seperti wataknya sendiri, maka dia selalu merasa khawatir kalau dibohongi orang!”
Sui Ceng tentu saja tidak mengerti akan maksud jawaban yang menyimpang dari pada pertanyaannya tadi, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li merasa sekali akan sindiran yang amat tepat ini. Anak gundul itu seakan-akan dapat membaca pikirannya!
“Keparat gundul!” bisiknya.
Sekali dia menarik tangan muridnya, kemudian menggerakkan tubuhnya, berkelebatlah bayangannya dan lenyaplah tokouw ini dari hadapan mereka! Kali ini, ketika berlari cepat keluar dari benteng, bayangannya hampir tidak dapat terlihat oleh para penjaga!
“Hebat...!” An Lu Shan berkata. “Celakalah Hek-mo-ong kalau bertemu dengan dia!”
Baru saja keadaan mereda setelah tokouw itu pergi, tiba-tiba terdengar suara di atas genteng, suara yang kecil tinggi. “Omitohud! Pinceng hanya datang mengganggu saja!”
Dan tiba-tiba genteng di atas ruangan itu pecah beterbangan, lalu tubuh seorang hwesio yang gemuk seperti gajah menerobos turun dari lubang di atas genteng itu! Walau pun tubuhnya besar dan gemuk, hampir sama dengan tubuh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, akan tetapi ketika kaki hwesio ini menyentuh lantai sama sekali tidak terdengar suara apa pun, sungguh pun An Lu Shan yang masih duduk dapat merasakan betapa bangkunya tergetar dan dia terpental sedikit ke atas!
Pada saat semua mata memandang, ternyata bahwa hwesio ini berkulit agak kehitaman, bermata lebar dan misainya tergantung menutupi dagunya. Jubahnya hitam seluruhnya, hitam arang sehingga membuat mukanya yang berkulit kehitaman itu kelihatannya agak bersih. Tangan kiri hwesio gemuk ini memegang serangkaian tasbih, tangan kanannya memegang sebatang tongkat berkepala naga terbuat dari logam kuning seperti emas.
“Hek-i Hui-mo...,” terdengar Gui Tin berkata.
Hwesio ini segera menjura kepada sastrawan ini.
“Gui-siucai, kau masih tetap muda. Ha-ha-ha-ha, agaknya nasib akan menjodohkan kita sehingga tak lama lagi pinceng akan berkumpul dengan Gui-siucai, bersama mempelajari isi kitab!”
Setelah suaranya yang halus mengeluarkan kata-kata ini, mendadak dia menggerakkan tongkatnya ke depan An Lu Shan dan…
“Brakk!” meja di depan An Lu Shan menjadi hancur sama sekali tertimpa tongkat itu, biar pun dia hanya memukulkan perlahan saja.
An Lu Shan terkejut luar biasa dan mencelat ke belakang, bersiap sedia karena maklum bahwa dia kini berhadapan dengan tokoh besar dari barat, yaitu hwesio Tibet yang telah menyeleweng dan sekarang mengadakan permusuhan besar dengan hwesio Tibet aliran jubah kuning. Oleh karena penyelewengan inilah maka nama Hek-i Hui-mo (Iblis Terbang Berjubah Hitam) amat terkenal.
“An-ciangkun, pinceng tidak mau membuang banyak waktu. Lekas kau serahkan Im-yang Bu-tek Cin-keng kepada pinceng!” kini suaranya berbeda sekali karena terdengar amat ketus dan galak, mengandung ancaman hebat.
Akan tetapi An Lu Shan sudah menjadi mendongkol sekali. Kalau sekiranya yang datang bukanlah tokoh besar yang amat berbahaya ini, tentu dia akan menyerang mati-matian dan menyuruh seluruh barisannya untuk maju mengeroyok.
“Hemm, celaka sekali,” katanya, “kenapa hari ini aku betul-betul sial? Losuhu, ketahuilah bahwa kemarin kitab itu sudah dicuri oleh Hek-mo-ong, bahkan baru tadi Kiu-bwe Coa-li juga datang menanyakan. Sekarang Kiu-bwe Coa-li telah menyusul ke Hek-mo-san.”
Seperti juga Kiu-bwe Coa-li tadi, kini hwesio itu berpaling kepada Gui Tin dan bertanya. “Betulkah itu, Gui-siucai?”
“Memang betul demikian,” kata Gui Tin.
“Baiklah, kau beristirahat dulu baik-baik di sini, Gui-siucai. Kalau sudah terdapat kitab itu, pinceng akan menjemputmu di tempat ini!”
Sesudah berkata demikian, sekali dia menggerakkan kakinya, tubuhnya yang gemuk itu telah melayang naik dan menerobos melalui lubang yang tadi! Betul-betul hebat ginkang dari hwesio gemuk ini, karena itu tidak mengherankan apa bila julukannya adalah Iblis Terbang!
Celaka, pikir An Lu Shan. Sekarang benar-benar hebat! Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah dikejar oleh demikian banyak orang lihai. Tidak ada harapan sama sekali baginya untuk mendapatkan kitab itu kembali!
Sesungguhnya, yang pertama kali mendapatkan kitab itu adalah suhu-nya, yaitu Li Kong Hoat-ong. Maka setelah suhu-nya itu meninggal, An Lu Shan menganggap kitab itu telah menjadi haknya. Kalau tadinya dia masih mengandung harapan besar untuk mengambil kembali kitab itu dari tangan Hek-mo-ong yang lihai, tidak tahunya kini muncul banyak tokoh yang masih jauh lebih lihai dan berbahaya dari pada Hek-mo-ong sendiri! Habislah harapannya dan diam-diam dia mengerling ke arah Gui Tin. Untuk apa sastrawan tua ini dibiarkan hidup?
“Ia harus mati!” demikian An Lu Shan mengambil keputusan.
Kalau dia mati, biar pun seorang di antara tokoh-tokoh besar itu berhasil mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, namun apa gunanya? Tak seorang pun selain Gui-siucai mengerti akan bahasa tulisan kitab itu. Kalau sastrawan ini dibiarkan hidup sehingga ada orang lain yang mampu membaca kitab rahasia itu, bukankah hal itu berbahaya sekali?
Sekarang dia sudah mempunyai barisan yang kuat dan siasat-siasat perang yang lihai. Apa bila sampai ada yang mengerti rahasianya kemudian siasat-siasatnya itu dipecahkan orang, bukankah itu akan celaka sekali?
Sementara itu, terdengar Kwan Cu mengomel, “Benar-benar orang-orang tua itu sudah miring otaknya semua! Kitab palsu diperebutkan!” Baru saja dia bicara demikian, Gui Tin membentaknya dan baru Kwan Cu sadar bahwa dia telah berbicara terlalu banyak. Ia menyesal sekali dan mendekap mulutnya sendiri.
Akan tetapi An Lu Shan sudah bangkit dari tempat duduknya, lalu menghampiri mereka.
“Coba katakan, apa artinya ucapan tadi, Kwan Cu? Kitab palsu, apakah maksudmu?”
Kwan Cu tak dapat menjawab, hanya berdiri memandang kepada komandan itu dengan mata terbuka lebar-lebar.
Akan tetapi An Lu Shan sudah menaruh kecurigaan dan tidak percaya akan keterangan ini. Memang dia hendak mencari-cari alasan untuk melenyapkan guru serta murid ini. Dia memegang tangan Kwan Cu dan menekannya keras-keras.
“Hayo kau mengaku terus terang, benarkah kitab itu palsu?”
Kwan Cu merasa tangannya sakit sekali, akan tetapi pada saat dia mengerahkan tenaga lweekang-nya yang selama ini dilatih menurut petunjuk kitab itu, mendadak An Lu Shan melepaskan pegangannya sambil berteriak kesakitan. Dari lengan anak itu seakan-akan menolak hawa yang panas sekali.
“Keparat! Kau bahkan sudah mempelajari isi kitab itu, ya? Hayo lekas katakan terus terang!”
Kwan Cu hanya tertawa, dan suara ketawanya ini mengobarkan kemarahan komandan itu. Sekali dia mengayun tangannya, dada Kwan Cu telah dipukulnya.
Bila menurut keadaan biasa, tentu dada anak ini akan pecah dan binasa di saat itu juga. Akan tetapi, tubuh anak ini hanya terlempar jauh dan kembali seperti ketika dia tertangkis oleh Hek-mo-ong, tubuhnya lalu membentur dinding. Anehnya, dia tidak apa-apa, karena ketika dipukul dia kerahkan hawa murni yang dikumpulkan di bagian dada yang terpukul sambil menahan napas sehingga tubuhnya seakan-akan terisi hawa yang kuat dan tidak terluka!
Melihat keanehan ini, semakin yakinlah An Lu Shan. Ia lalu menubruk maju dan kini dia memegang lengan Gui-siucai.
“Kau berbicaralah terus terang!”
Akan tetapi Gui Tin menggeleng-gelengkan kepala dan tidak mau menjawab pertanyaan ini. An Lu Shan menggunakan tenaganya menekan dan…
“Krakk!” terdengar suara dan ternyata tulang lengan Gui Tin telah remuk! Sastrawan tua ini berjengkit kesakitan. Namun dia tetap menutup mulut.
“Jangan kau sakiti guruku!” tiba-tiba Kwan Cu berseru keras.
Sekali melompat, dia telah berada di depan An Lu Shan dan merenggutkan lengan An Lu Shan yang menekan lengan Gui Tin. An Lu Shan merasakan sambaran angin datang dari serangan Kwan Cu, maka cepat dia mengelak dan kakinya menyambar. Sekali lagi Kwan Cu terlempar jauh.
An Lu Shan sudah marah sekali. Dia berteriak memanggil penjaga-penjaga dan berkata keras, “Tangkap mereka, rangket sampai mereka mengaku tentang kitab itu!”
Lima orang tentara yang biasa menjalankan perintah menyiksa tawanan atau lebih tepat disebut algojo-algojo, segera menyerbu dan sebentar saja Gui Tin dan Kwan Cu sudah ditangkap, lalu diseret keluar! Seorang di antara mereka mengeluarkan sebatang cambuk hitam dan mulailah guru dan murid ini dihajar, dicambuki seperti dua ekor binatang yang mogok kerja.
Darah mengalir dari kulit tubuh mereka yang tertimpa oleh cambuk. Tidak hanya pakaian mereka yang butut itu yang terobek, bahkan kulit dan muka mereka juga pecah-pecah mengeluarkan darah.
“Kwan Cu...” Giu-siucai mengeluh dengan tubuh lemah terkulai, menggantung di tangan seorang algojo yang memegangnya. “Carilah kitab aslinya, kau pelajari baik-baik, jangan seperti aku... lemah... kepandaian bu penting sekali agar dapat menghadapi orang-orang macam ini.”
Akan tetapi dia tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya karena sebuah tendangan tepat sekali mengenai ulu hatinya sehingga orang tua ini tiba-tiba merasa napasnya terhenti dan dia megap-megap seperti ikan dilempar di darat.
“Kejam! Kalian ini bukan manusia. Kejam!”
Kwan Cu meronta dan berhasil melepaskan diri, lalu menubruk gurunya. Akan tetapi satu ketokan dengan belakang golok membuat ia roboh terguling dan tangannya telah dicekal lagi, lalu dicambuki sampai pakaiannya hancur dan anak ini menjadi setengah telanjang!
Gui Tin sudah payah sekali. Dan betapa pun kuat tubuh Kwan Cu, tanpa memiliki ilmu silat, dia tidak berdaya dan agaknya guru dan murid ini tentu akan menemui kematian di tangan para algojo ini yang sudah mendapat perintah dari An Lu Shan untuk membunuh mereka.
Akan tetapi, pada waktu itu terdengar bunyi gembreng dan tambur dari luar benteng dan masuklah satu rombongan orang yang disambut dengan penghormatan besar oleh para penjaga.
Penyiksaan terhadap Gui Tin dan Kwan Cu otomatis dihentikan. An Lu Shan bersama An Lui Kui nampak tergesa-gesa menyambut kedatangan tamu agung itu. Ternyata bahwa yang datang adalah Menteri Lu Pin yang mendapat tugas dari kaisar untuk menaikkan pangkat An Lu Shan!
Dari jauh Lu Pin melihat kakek dan bocah pengemis itu dicambuki, maka begitu bertemu dengan An Lu Shan yang menjalankan penghormatan, dia lalu bertanya,
“Siapakah mereka itu dan mengapa dicambuki?”
“Ahh, Taijin. Mereka itu adalah dua orang penipu besar. Mereka adalah guru dan murid yang mengaku sebagai sastrawan dan yang kami perintahkan untuk menterjemahkan sebuah kitab kuno. Tiada tahunya mereka menipu kami dan menyatakan bahwa kitab itu palsu adanya.”
“Kitab kuno? Apakah An-ciangkun maksudkan bahwa kitab itu adalah Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
Pucatlah muka An Lu Shan mendengar ini. “Ahh, Taijin sudah mendengar pula tentang kitab itu? Agaknya semua orang tahu akan kitab itu.”
“Tentu saja. Siapa yang tak mendengar akan kitab yang diperebutkan oleh semua orang di negeri ini? An-ciangkun, apakah kau benar-benar sudah menemukan kitab itu? Kalau benar begitu, kenapa tidak kau antarkan ke kota raja?” Menteri tua ini memandang penuh curiga dan selidik.
“Itulah Lu-taijin. Kami memang telah mendapatkan kitab, akan tetapi kami masih merasa ragu-ragu apakah kitab itu kitab yang asli, karena banyak kitab-kitab yang dipalsukan orang. Dan karena itu pula kami segera memerintahkan kepada sastrawan tua itu untuk menterjemahkannya. Tidak tahunya, dia menipu kami dan kitab itu dinyatakan palsu.”
“Mana kitab itu?”
An Lu Shan menarik napas panjang. Kini dia merasa puas dan lega bahwa kitab itu telah dirampas orang! Jauh lebih baik kitab itu jatuh ke dalam tangan para tokoh kang-ouw dari pada jatuh ke dalam tangan pemerintah! Ia kemudian menuturkan bahwa kitab itu telah dirampas orang. Menteri Lu Pin menghela napas dan menyatakan sayangnya. Lalu dia menyuruh orang membawa datang dua orang pengemis yang disiksanya tadi.
Setelah Gui Tin dan Kwan Cu diseret di hadapan Menteri Lu Pin, kebetulan sekali Gui Tin siuman dari pingsannya. Keadaannya sudah payah sekali, akan tetapi begitu dia melirik dan bertemu muka dengan Menteri Lu Pin, dia segera membuang muka dan meludah ke atas tanah.
Lu Pin memandang dengan penuh perhatian. “Ahh, bukankah kau ini Gui-twako?”
Gui Tin tetap saja membuang muka dan pandangan matanya penuh hinaan terhadap menteri itu.
“Benarkah kau Gui Tin...? Benarkah aku berhadapan dengan Gui-twako?” Menteri Lu Pin kembali bertanya, bahkan kini dia turun dari tempat duduknya yang tadi disediakan oleh seorang pengawalnya, lalu dihampirinya Gui Tin.
“Aku tidak sudi berkenalan dengan manusia she Lu!” mendadak Gui Tin berkata dengan suara keras dan marah sekali sehingga kembali dadanya terasa sakit dan dia pun roboh pingsan!
“Lekas tolong dia!” kata Lu Pin. “Dia adalah kenalan lama dariku. Hayo cepat tolong dan rawat dia baik-baik?”
An Lu Shan menjadi kaget sekali melihat bahwa menteri ini kenal baik dengan Gui Tin, karena itu dia cepat menyuruh orang-orangnya untuk menolong Gui Tin dan Kwan Cu. Kemudian Menteri Lu Pin lalu dibawa ke rumah gedung An Lu Shan yang berada di luar benteng. Memang komandan An ini telah membawa keluarganya dari kota raja ke tempat itu, akan tetapi karena merasa tak enak untuk tinggal bersama keluarga dalam benteng, dia lalu membuah sebuah rumah gedung di luar benteng.
Lu Pin lalu menyuruh An Lu Shan untuk membawa Gui Tin dan muridnya ke rumah itu pula untuk dirawat. Akan tetapi keadaan Gui Tin demikian parah sehingga dia tak pernah siuman lagi, kecuali satu kali di tengah malam ketika dia meninggalkan pesan kepada Kwan Cu bahwa anak ini harus mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
“Kwan Cu.” bisiknya di atas pembaringan. “Untuk mendapatkan kitab itu, satu-satunya jalan hanya membaca dan mempelajari kitab sejarah yang masih kusimpan di dalam goa di hutan siong di lereng Bukit Liang-san. Di dalam dusun di lereng bukit sebelah barat, asal kau tanyakan di mana tempat tinggal Gui-lokai (pengemis tua she Gui), tentu semua orang akan dapat memberi tahu. Goa itu kosong dan aku menyimpan peti besi di bawah tanah. Bukalah dan carilah kitab sejarah yang tulisannya sama dengan isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kau pelajari sejarah itu dan kemudian kau carilah kitab itu. Dunia kacau balau, kekerasan dan kekuatan selalu memegang peranan penting, kalau tidak dilawan oleh kekerasan dan tenaga pula, kita tidak berdaya. Taatilah pesanku ini, Kwan Cu.”
Kwan Cu mengangguk-angguk sambil mencegah keluarnya air matanya. Ia tidak mudah terharu, tetapi melihat keadaan gurunya yang sangat dikasihinya ini, dia merasa kasihan juga.
Gui Tin meninggal dunia dan berkat pengaruh Lu Pin, dia dimakamkan dengan pantas di dusun itu. Ada pun Kwan Cu yang bersembahyang di depan makam bekas gurunya ini, merasa sunyi sekali. Tiba-tiba dia disuruh datang menghadap Menteri Lu Pin.
Setelah dia berhadapan dengan menteri ini, Kwan Cu mendapat kenyataan bahwa wajah menteri ini benar-benar sangat agung dan mendatangkan rasa sayang. Gerak-geriknya halus seperti Gui-siucai, dan amat peramah pula.
“Anak, apakah kau murid dari Gui-twako?”
“Benar, Taijin.”
“Apa saja yang kau pelajari dari gurumu itu?”
“Membaca, menulis, dan mempelajari syair-syair dan ujar-ujar kuno,” Kwan Cu menjawab terus terang.
Mendengar jawaban yang lancar serta melihat sikap Kwan Cu yang sopan-santun, jujur, dan tidak merendah ini, Lu Pin merasa suka juga.
“Anak baik, siapakah namamu?”
“Nama hamba Kwan Cu.”
“Nama keluargamu?”
“Hamba she Lu”
Menteri Lu Pin tercengang.
“Siapa orang tuamu?”
“Hamba tidak tahu. Nama dan she hamba juga hamba terima sebagai pemberian orang lain kepada hamba,” kata Kwan Cu terus terang.
Mau tidak mau Lu Pin tertawa juga. “Ahh, aneh sekali. Siapakah orangnya yang memberi she Lu kepadamu?”
“Hamba menerima she Lu itu dari pemberian seorang tua yang gagah perkasa, Ang-bin Sin-kai.”
“Ang-bin Sin-kai?!” Lu Pin benar-benar terkejut. “Ehhh, anak baik, masih ada hubungan apakah antara kau dan dia?”
“Tidak ada hubungan apa-apa, Taijin. Hanya Ang-bin Sin-kai hendak mengambil murid kepada hamba, akan tetapi hamba tidak mau.”
Lu Pin tertawa gembira. “Dia orang aneh, akan tetapi kau seorang bocah yang lebih aneh lagi. Dan namamu itu, Kwan Cu, pemberian siapa pula?”
“Nama hamba diberi oleh seorang hwesio gemuk bernama Kak Thong Taisu.”
Kembali menteri tua itu tertegun. “Ahh, benar-benar kau bocah aneh sekali. Masih sekecil ini sudah mengalami hal yang tidak sembarangan anak dapat mengalaminya. Diberi she oleh Ang-bin Sin-kai, diberi nama oleh Kak Thong Taisu, menjadi murid dari Gui-siucai, kini kau bercakap-cakap dengan aku! Ah, Lu Kwan Cu, apakah kau tidak ingat lagi siapa adanya ayah bundamu?”
Kwan Cu menggelengkan kepalanya. “Ayah hamba adalah langit dan ibu hamba adalah bumi. Saudara-saudara hamba adalah semua manusia di dunia ini,” Kwan Cu menjawab sambil meniru ujar-ujar yang pernah dibacanya.
Bukan main terharunya hati Lu Pin mendengar ini. Ia melambaikan tangannya dan ketika Kwan Cu mendekat, menteri tua ini lalu memeluknya dan mengelus-elus kepalanya yang gundul.....
Sebagaimana diketahui, Menteri Lu Pin hanya mempunyai seorang putera dan seorang cucunya amat tidak berkenan dalam hatinya. Kini melihat Kwan Cu, timbul sukanya.
“Kwan Cu, marilah kau ikut dengan aku saja ke kota raja. Kau akan kudidik dengan ilmu kesusastraan, dan sungguh pun aku tidak sepandai mendiang gurumu, akan tetapi kau akan berhasil dengan cita-citamu. Kau tinggallah bersama aku, kau kuanggap sebagai cucuku sendiri, Kwan Cu.”
Terharu sekali hati Kwan Cu. Belum pernah ada orang yang sikapnya demikian halus dan ramah tamah kepadanya, apa lagi seorang pembesar tinggi seperti Menteri Lu Pin ini.
“Hamba boleh menyebut kongkong kepada Taijin?”
“Tentu saja, karena dalam pandanganku, kau adalah cucuku sendiri, Kwan Cu.”
Saking girangnya Kwan Cu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan menteri tua itu dan tak tertahankan pula dua titik air mata kemudian mengalir turun ke pipinya yang kurus. “Kongkong...” katanya.
Lu Pin juga merasa terharu, segera dipeluknya anak itu. “Kau harus berganti pakaian, cucuku, dan besok kau ikut aku ke kota raja.”
“Tidak, Kongkong. Tidak sekarang. Biarlah kelak aku akan mencari Kongkong. Sekarang aku mempunyai tugas lain yang lebih penting.”
“Tugas...?” Menteri Lu Pin membelalakkan matanya. “Kau...? Tugas apa dan dari siapa, cucuku?”
“Tugas yang telah dipesankan oleh mendiang Gui-lopek, dan tugas itu adalah...” Anak ini menengok ke kanan kiri, kemudian melanjutkan dengan perlahan, “tugas mencari kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng.”
Kembali untuk ke sekian kalinya menteri tua itu tertegun. Kemudian dia menghela napas. “Memang kau seorang anak ajaib! Benar-benar kau bocah ajaib! Baiklah, aku juga tahu bahwa orang-orang aneh seperti Ang-bin Sin-kai dan kau tak akan mudah dibantah. Kau pergilah, akan tetapi ingat bahwa aku selalu menanti kau sebagai kongkong-mu!”
Sesudah berkata demikian, Menteri Lu Pin lalu memberi bekal sekantong uang emas kepada Kwan Cu, dan memberitahukan An Lu Shan agar semua anak buahnya jangan mengganggu anak ini. Sesudah berpamit dan menghaturkan terima kasihnya, Kwan Cu bersembahyang lagi di hadapan makam Gui Tin, lalu pergilah anak ini, menuju ke Goa Liang-san untuk mencari simpanan kitab-kitab mendiang gurunya…..
********************
Sesudah berhasil merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dengan hati gembira sekali Hek-mo-ong berlari cepat sambil tertawa-tawa menuju ke rumahnya di puncak gunung Hek-mo-san. Ia tinggal bersama dua orang adiknya dan isteri serta ipar-iparnya di dalam satu rumah besar di kampung yang cukup ramai, di mana dia dianggap sebagai seorang tuan tanah yang cukup kaya-raya. Memang sejak bertahun-tahun yang lalu, Hek-mo-ong tidak berkelana lagi di dunia kang-ouw, melainkan hidup aman di dalam kampung ini.
Ketika dia melangkah masuk ke dalam rumahnya, dia disambut oleh dua orang adiknya yang juga dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kasar, yang menyambutnya bersama isteri-isterinya yang cantik. Isteri Hek-mo-ong sendiri masih muda, lagi cantik dan genit sekali. Melihat kegembiraan Hek-mo-ong, mereka beramai-ramai mengajukan pertanyaan.
Akan tetapi Hek-mo-ong hanya menjawab sambil tertawa-tawa. “Lekas bikin masakan yang enak, keluarkan arak yang wangi! Kita rayakan hari besar ini, karena tak lama lagi aku Hek-mo-ong akan menjagoi di seluruh permukaan bumi! Tunggu saja kalian, Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu, Pak-lo-sian, Hek-i Hui-mo, dan Kiu-bwe Coa-li! Sebentar lagi, kalian terpaksa harus bertekuk lutut dan tunduk kepadaku, mengakui keunggulan Hek-mo-ong sebagai orang yang terpandai! Ha-ha-ha-ha-ha!”
Adik-adiknya, ipar-iparnya, juga isterinya sudah tahu akan keanehan watak Hek-mo-ong, karena itu mereka tidak berani bertanya lagi sebelum orang ini menceritakannya sendiri. Maka, segera makanan dan arak disediakan lalu mereka makan minum dengan gembira sekali.
Setelah makan kenyang, barulah Hek-mo-ong mengeluarkan peti hitam itu dari sakunya, meletakkannya di atas meja sambil berkata bangga.
“Lihat, inilah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
“Twa-pek (Uwa), mengapa kitab seperti kotak kayu?” memotong seorang anak kecil yang menjadi putera dari saudara termuda.
“Kau tahu apa?!” bentak ayahnya atau adik termuda dari Hek-mo-ong. “Kotak itu hanya tempat saja, tentunya.”
Karena tidak sabar lagi, mereka lalu mendesak kepada Hek-mo-ong untuk membuka peti itu. Pada waktu peti itu dibuka, kedua orang adik Hek-mo-ong menjenguk dari kanan kiri. Hek-mo-ong tertawa-tawa, lalu menggunakan kedua tangannya untuk membuka peti itu.
“Ser! Serr! Serrr…!”
Berturut-turut, tujuh batang anak panah yang secara pandai dipasang oleh An Lu Shan itu menyambar ke atas cepat sekali. Kalau saja bukan Hek-mo-ong, tentu orang yang membukanya akan mati saat itu juga, terpanggang oleh anak-anak panah itu.
Akan tetapi Hek-mo-ong sudah mempunyai kepandaian yang amat tinggi. Begitu melihat menyambarnya cahaya hitam dari dalam peti, dia berseru keras dan kedua tangannya bergerak menangkis sehingga anak-anak panah itu terpental ke kanan kiri.
Celaka sekali, kedua adiknya yang menjenguk dari kanan kiri itu tidak sempat mengelak dan tepat sekali muka mereka tertembus anak-anak panah sehingga mereka roboh tak berkutik lagi. Muka itu menjadi bengkak dan biru, amat mengerikan.
Tentu saja isteri-isteri mereka menangis dan menjerit-jerit memeluki mayat dua orang itu. Hek-mo-ong sendiri untuk beberapa lama berdiri bagaikan patung, akan tetapi sesudah mengeluarkan kitab itu dan membalik-balikkan lembarannya, timbul lagi kegembiraannya.
“Sudah, jangan menangis lagi. Mereka sudah mati, sudahlah. Sudah patut kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng didapatkan dengan pengorbanan besar. Urus jenazah mereka baik-baik, dan kalian ini tidak usah menangis, mulai sekarang boleh ikut aku saja sebagai pengganti suami-suamimu.”
Tidak seorang pun berani membantah, akan tetapi ucapan ini saja sudah cukup dipakai ukuran orang macam apa adanya Hek-mo-ong ini! Tanpa menghiraukan perkabungan dan sambil tertawa-tawa, dia lalu minum arak dan membalik-balik lembaran kitab yang baru saja dirampasnya itu.
Akan tetapi, mendadak dia menjadi pucat sekali dan mukanya meringis-ringis menahan sakit. Kedua tangannya bergerak memegangi perut, dada, dan leher karena dia merasa betapa bagian-bagian tubuh itu terasa amat panas dan sakit.
“Celaka... keparat An Lu Shan... aduh...!” Ia terhuyung-huyung, menubruk meja sehingga kitab itu terlempar ke atas lantai.
Isterinya beserta ipar-iparnya memburu dan menubruknya.
“Aduh...” Hek-mo-ong menjerit-jerit, ada pun mulutnya mulai berbusa. “Awas... peti itu... jangan disentuh... aduh, mati aku!” tubuhnya kaku, matanya mendelik, mulutnya berbusa dan dia tidak bernapas lagi!
Apa bila orang lain, tentu sudah semenjak tadi mati karena pengaruh racun. Tadi dia memegang-megang peti, kemudian makan. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang kasar seperti Hek-mo-ong, biar pun tangannya kotor, kalau mau makan terus saja makan tanpa mencuci atau membersihkan tangannya, maka sebentar saja racun di tangannya terbawa masuk ke perut. Akan tetapi dia memang bertubuh kuat sehingga racun itu agak lama merobohkannya.
Isteri-isteri dari tiga orang itu beserta anak-anak dan keluarganya, tentu saja menangis dan sebentar saja di situ terdengar jerit tangis ramai sekali. Pada waktu dua orang adik Hek-mo-ong tadi tewas, mereka tidak berani menangis karena takut kepada Hek-mo-ong. Setelah sekarang Hek-mo-ong sendiri mati, semua orang menangis sepuasnya!
Dengan dibantu oleh para tetangga dan orang sedusun yang datang berlayat, keluarga itu lalu mengurus tiga jenazah itu. Dan atas perintah isteri Hek-mo-ong, peti hitam itu lalu dibakar, ada pun kitabnya lalu ditaruh di atas meja sembahyang yang diletakkan di depan peti mati Hek-mo-ong. Tiga peti mati dijajarkan dan peti mati Hek-mo-ong ditempatkan di tengah-tengah. Juga meja sembahyangnya paling besar.
Pada keesokan harinya, pada waktu orang-orang masih ramai bersembahyang dan hio mengebulkan asapnya bergulung-gulung, seorang tokouw datang ke tempat itu! Tangan kanan tokouw itu memegang cambuk berbulu sembilan helai, sedangkan tangan kirinya menggandeng tangan seorang anak perempuan yang mungil dan cantik manis. Tokouw ini bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li dan muridnya Bun Sui Ceng!
Pada saat Kiu-bwe Coa-li melihat tiga peti mati itu berjajar di halaman dan semua orang menangis dan berkabung, dia mengerutkan keningnya. Ada pun keluarga Hek-mo-ong segera menyambut tokouw ini, bagai layaknya menyambut seorang pertapa wanita yang mereka anggap datang untuk memberi hiburan kepada warga yang mati.
“Silakan duduk, Suthai,” kata mereka.
Kiu-bwe Coa-li tidak menjawab, melainkan memandang ke arah peti-peti mati, kemudian matanya mencari-cari sesuatu dengan pandangan yang tajam sekali.
“Di mana Hek-mo-ong?” tanyanya tiba-tiba dengan suara kereng.
Ditanya demikian, isteri dari Hek-mo-ong melangkah maju dan menangis.
“Suthai yang mulia, suamiku telah meninggal dunia,” lalu tangisnya makin menjadi.
Kiu-bwe Coa-li tertegun dan memandang tajam. “Yang mana petinya?” tanyanya pula.
Karena tidak menyangka buruk, isteri Hek-mo-ong lalu menunjuk ke arah peti mati yang berada di tengah-tengah sambil berkata, “Itulah peti mati suamiku.”
Dengan langkah perlahan Kiu-bwe Coa-li lalu menghampiri peti itu. Sui Ceng tak senang melihat peti mati, maka semenjak tadi dia sudah melepaskan tangannya dari gandengan gurunya. Sekarang anak ini duduk di atas sebuah bangku dan memandang ke arah meja sembahyang dengan perasaan heran serta kagum melihat hiasan-hiasan dalam upacara sembahyang itu.
Kiu-bwe Coa-li mendekati peti mati Hek-mo-ong, kemudian mengulur tangan kirinya dan menepuk-nepuk peti mati itu beberapa kali secara perlahan. Semua orang menyangka bahwa pendeta wanita itu memberi berkah kepada yang mati, maka mereka menjadi terharu dan girang. Tidak seorang pun di antara mereka pernah mengira bahwa tepukan-tepukan perlahan itu adalah serangan-serangan pukulan lweekang yang dahsyat bukan main!
Ternyata bahwa Kiu-bwe Coa-li masih belum percaya penuh akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati itu. Kemudian dia melirik ke arah peti mati yang berada di kanan kiri peti mati Hek-mo-ong.
“Siapa yang berada di dalam dua peti mati itu?” tanyanya kepada isteri Hek-mo-ong.
“Mereka adalah kedua adik suamiku, Suthai,” jawab nyonya itu sambil sesunggukan. Dan kembali ramai orang-orang menangis di tempat itu.
Pada saat itu terdengarlah suara ketawa keras. Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan peti-peti mati itu sudah berdiri seorang hwesio gemuk bundar berpakaian serba hitam yang berkali-kali menyebut nama Buddha.
“Omitohud!” Kemudian, sambil mengoceh seorang diri, dia berkata lagi, “Tidak tahunya iblis neraka telah mendahului pinceng (aku) dan merenggut nyawa Hek-mo-ong.”
“Hemm, Hek-i Hui-mo, alat penciumanmu lebih tajam dari seekor anjing buduk!” berkata Kiu-bwe Coa-li dengan senyum mengejek.
Hwesio itu yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo, tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Kiu-bwe Coa-li, kau benar-benar cepat. Hampir saja pinceng ketinggalan!”
Setelah berkata demikian, hwesio ini lalu melakukan upacara sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong. Akan tetapi yang dia pakai sembahyang bukannya hio yang dibakar, melainkan tiga batang hio hitam yang tidak dibakar. Orang-orang merasa heran sekali, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li maklum bahwa tiga batang hio hitam itu sebenarnya bukanlah hio, melainkan tiga batang jarum hitam yang disebut Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam)!
Mulut hwesio ini berkemak-kemik membaca doa, kemudian setelah selesai sembahyang dia menggerakkan tangannya dan lenyaplah tiga batang hio hitam itu! Orang-orang lain tidak tahu ke mana perginya benda-benda hitam itu dan mereka mengira hwesio gemuk ini main sulap.
Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan tahu bahwa hwesio Tibet yang lihai ini telah menyambitkan jarum-jarum itu yang meluncur laksana kilat ke arah tiga buah peti mati dan telah menembusi peti-peti itu untuk menyerang isinya! Jadi seperti juga dia sendiri, Hek-i Hui-mo Si Iblis Terbang Baju Hitam ini tidak percaya akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati!
“Sebelum mati, suamimu membawa sebuah peti kecil terisi kitab, di manakah ditaruhnya peti itu? Peti itu adalah milikku, sekarang harap dikeluarkan dan dikembalikan kepadaku!” Kata Kiu-bwe Coa-li kepada isteri Hek-mo-ong.
“Peti celaka itu!” seru isteri Hek-mo-ong. “Peti hitam celaka itulah yang telah membunuh suamiku dan adik-adiknya! Kami telah membakar peti siluman itu, Suthai!”
Terdengar seruan tertahan dan tahu-tahu Kiu-bwe Coa-li bersama Hek-i Hui-mo sudah bergerak dan berdiri di depan nyonya itu, sikap mereka mengancam dan beringas sekali.
“Sudah dibakar?!” tanya Hek-i Hui-mo dengan suara parau dan keras sehingga nyonya Hek-mo-ong terkejut sekali.
“Dan isinya, kitab itu... apakah terbakar pula?” tanya Kiu-bwe Coa-li, pandang matanya mengancam.
Kalau nyonya itu menganggukkan kepala, tak salah lagi dia tentu akan mati dalam sekali pukul oleh dua orang tokoh kang-ouw yang amat mengerikan itu. Akan tetapi nyonya itu menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah meja sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong.
“Itulah dia kitab setan itu, yang tadinya berada di dalam peti hitam.”
Tubuh Kiu-bwe Coa-li berkelebat ke arah meja hendak mengambil kitab itu. Akan tetapi tahu-tahu di dekat kitab itu, di atas meja, terdengar bunyi nyaring dan tiga batang jarum hitam telah menancap di situ! Kiu-bwe Coa-li cepat melompat ke belakang dan menoleh pada Hek-i Hui-mo yang berdiri tersenyum-senyum!
“Aha, Hek-i Hui-mo! Kau hendak main-main dengan pinni?” tanya Kiu-bwe Coa-li dengan pandang mata tajam dan cambuknya digerak-gerakkan dalam tangannya.
“Kiu-bwe Coa-li, kita datang di tempat yang sama dan dengan maksud yang sama pula. Tidak boleh kau mau menang sendiri saja! Aku pun membutuhkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Dua orang tokoh besar itu berdiri saling pandang dengan sikap mengancam. Keduanya sama jauhnya dari meja sembahyang di mana keduanya maklum bahwa bergerak lebih dahulu berarti bahaya maut. Mereka saling menanti, dan sekali lawannya bergerak, tentu akan mengirim serangan.
Ada pun keluarga Hek-mo-ong, ketika sadar dan tahu bahwa dua orang ini sebenarnya sama sekali bukanlah orang-orang suci yang datang hendak menghibur mereka, bahkan sebaliknya adalah orang-orang jahat yang datang hendak mengacau, menjadi panik dan makin bersedih. Terdengar tangisan-tangisan dan sebentar saja keadaan di situ menjadi gaduh sekali.
Tiba-tiba terdengar suara orang mencela, “Hee, kalian ini apakah sudah gila? Menangis tidak karuan padahal seharusnya bersyukur! Hayo diam semua jangan menangis, kalau tidak akan kutampar mulutnya siapa yang menangis!”
Semua orang terheran dan kaget sehingga suara tangisan benar-benar lenyap. Memang, seperti biasanya di dalam sebuah kematian, sebagian besar tangisan orang hanyalah air mata buaya belaka, yaitu tangis palsu asal keluar air mata saja agar membuktikan bahwa mereka benar-benar berduka!
Ternyata yang baru saja menegur adalah seorang kakek berpakaian seperti pengemis yang tubuhnya kurus tinggi. Sesudah semua orang berhenti menangis, kakek ini lantas bernyanyi! Suara nyanyinya yang parau itu mengucapkan kata-kata yang cukup aneh!
Ahh, Hek-mo-ong!
Kau benar-benar amat berbahagia!
Kau telah kembali ke asalmu semula,
tidak seperti kami yang masih menjadi manusia!
Ahh, kau benar-benar berbahagia, Hek-mo-ong!
Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo yang tadinya saling pandang dan sudah bersiap-siap untuk memperebutkan kitab di atas meja sembahyang itu, seketika air mukanya berubah ketika melihat pengemis kurus kering ini.
“Ang-bin Sin-kai, engkau juga datang? Kau tidak mau ketinggalan pula?” Kiu-bwe Coa-li menyindir.
“Ha-ha-ha-ha, tua bangka dari timur mana mau mengalah? Ada tulang baik dan daging gemuk, tentu datang anjing!” Hek-i Hui-mo juga menyindir.
Akan tetapi baik Hek-I Hui-mo mau pun Kiu-bwe Coa-li kini lebih waspada dan bersiap lagi mengawasi gerak-gerik Ang-bin Sin-kai, menjaga jangan sampai pengemis kurus itu mendahului mereka mengambil kitab di atas meja!
“Kau benar, Setan Hitam! Memang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tidak boleh terjatuh ke dalam tanganmu yang kotor!” Ang-bin Sin-kai yang dimaki itu tersenyum-senyum saja.
Mendadak menyambar angin keras dan tubuh seorang lain yang gemuk bundar seperti tubuh Hek-i Hui-mo, datang bagaikan ‘menggelundung’! Ternyata dia adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Tiasu, tokoh pertama dari selatan.
“Omitohud, bakal ramai sekarang!” katanya sambil matanya yang bundar itu jelalatan ke kanan kiri. “Pengemis bangkotan, kau juga sudah ada di sini?” katanya kepada Ang-bin Sin-kai.
Pembaca tentu masih ingat akan hwesio gemuk ini, karena pada permulaan cerita ini, dia sudah muncul bersama Ang-bin Sin-kai dan mengadu kepandaian di pinggir pantai Laut Po-hai, maka tak perlu kiranya dituturkan pula betapa hebat dan lihai kepandaian hwesio gemuk ini!
“Bagus, bagus! Dengan munculnya si gundul gendut ini, benar-benar menggembirakan!” berkata Ang-bin Sin-kai yang segera menyambar sebuah bangku dan menduduki bangku itu. Matanya terus mengincar ke arah kitab yang terletak di atas meja sembahyang.
Empat tokoh besar ini telah mengetahui kepandaian masing-masing dan tak seorang pun di antara mereka berani lancang bergerak untuk mengambil kitab itu. Sudah jelas bahwa mereka semua datang untuk memperebutkan kitab itu, namun karena kitab itu berada di atas meja dan mereka berempat sudah berada di sana, siapakah yang berani lancang turun tangan lebih dulu? Oleh karena itu, Ang-bin Sin-kai memilih tempat duduk, karena dia tahu bahwa menanti sambil berdiri saja amat melelahkan.
Tidak tahunya, akalnya ini diketahui pula oleh yang lain-lain, maka yang tiga orang lagi pun segera menyambar bangku dan ikut duduk! Empat orang itu kini duduk tak bergerak mengelilingi meja sembahyang dalam jarak yang sama jauhnya. Masing-masing memutar otak mencari akal bagaimana dapat mengambil kitab itu!
Tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li berseru nyaring dan tahu-tahu pecutnya yang berbulu sembilan helai itu menyambar ke arah meja. Ia hendak mencoba mengambil kitab itu dengan ujung cambuknya.
Akan tetapi, sebelum pecut itu mencapai kitab, sebatang tongkat berkepala naga datang menyambar dan menangkis pecut itu sehingga terpental kembali! Ternyata Hek-i Hui-mo yang duduknya paling dekat dengan Kiu-bwe Coa-li telah menangkis dan menggagalkan niat wanita sakti itu!
“Eh, ehh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li,” kata hwesio dari Tibet ini sambil tertawa terkekeh.
Pada saat Kiu-bwe Coa-li memandang, dia melihat Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu juga memandangnya dengan senyum penuh arti. Senyum yang menyatakan bahwa mereka berdua ini pun tidak akan tinggal diam saja kalau wanita tua itu turun tangan.
“Hemm, berat nih...,” pikir Kiu-bwe Coa-li, lalu ia duduk kembali sambil mengerling ke kiri kanan. “Apakah kalian begitu pengecut tidak berani mendahului turun tangan mengambil kitab itu?” tanyanya.
Akan tetapi, tiga orang kakek itu tidak menjawab, hanya duduk saja sambil tersenyum-senyum. Benar-benar keadaan mereka lucu sekali, kini hanya duduk diam saja, bagaikan empat orang kawan lawan yang baru bertemu dan mengobrol mengitari meja!
“Bagus, baiknya aku belum terlambat!” mendadak terdengar suara halus dan datanglah seorang kakek bertubuh pendek kecil diikuti oleh dua orang anak laki-laki di tempat itu.
Semua orang menengok dan ternyata kakek ini adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, tokoh besar dari utara! Ada pun dua orang anak kecil itu adalah murid-muridnya, yakni Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng.
Dua orang anak-anak ini sudah sering kali mendengar dari suhu mereka tentang empat orang tokoh yang kini duduk mengelilingi meja sembahyang. Maka, mereka tidak berani mendekat, lalu menghampiri Ben Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li, karena melihat anak perempuan yang mungil dan cantik duduk di tempat agak jauh sambil menonton.
“Bagus, tua bangka dari utara sekarang sudah datang, kaulah yang boleh mulai mencoba mengambil kitab itu. Bukankah untuk itu kau datang?” tanya Kiu-bwe Coa-li.
Akan tetapi Siangkoan Hai Si Dewa Dari Utara bukanlah seorang bodoh. Hanya melihat sekelebatan saja, dia tahu bahwa empat orang ini tidak berani mengambil kitab, karena kalau seorang mengambil, yang lain tentu akan mencegahnya. Ia tertawa terkekeh-kekeh sambil memandang mereka berempat itu berganti-ganti.
“Heh-heh-heh! Dunia ini ternyata tak lebih lebar dari pada setapak tangan. Tak kusangka bahwa aku di sini akan bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Jen-kin-jiu Kak Thong Taisu dari selatan! Hek-i Hui-mo dari barat dan Ang-bin Sin-kai dari timur! Hebat benar! Apakah seluruh dunia sudah terbakar oleh api neraka sehingga iblis-iblis dan setan-setan datang berkumpul di sini? Dan berkumpul mengelilingi meja kematian pula! Heh-heh-heh! Orang yang berada di dalam peti mati ini benar-benar seorang yang beruntung dan terhormat. Kaisar sendiri kalau mati tak mungkin dapat mengundang datang setan-setan dari barat, timur dan selatan!”
“Ehh, tua bangka kecil, kau lupa menyebutkan iblis dari utara!” kata Ang-bin Sin-kai.
“Ha-ha-ha!” Jeng-kin-jiu tertawa. “Memaki orang lain memang mudah, mana bisa memaki diri sendiri?”
Disindir oleh dua orang kakek itu, Siangkoan Hai hanya tersenyum-senyum saja, lalu dia menghampiri peti mati di mana tersimpan jenazah Hek-mo-ong. Empat orang yang lain segera memandang dengan penuh perhatian dan kecurigaan. Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang peti mati itu, lalu berkata lagi,
“Ingin aku melihat orang yang mendapat kehormatan demikian besar!” sambil berkata demikian, dua tangannya bergerak ke arah peti dan tiba-tiba sambil mengeluarkan suara keras, tutup peti itu telah dibukanya!
Semua keluarga yang mati berseru keras dan lari berserabutan ke belakang dan keluar, cepat-cepat pergi dari tempat itu. Mereka ketakutan setengah mati karena kedatangan lima orang yang seperti iblis-iblis berkeliaran itu.
Pemandangan yang nampak di dalam peti memang mengerikan sekali. Tadinya, karena pengaruh racun jahat yang memasuki perut Hek-mo-ong, muka orang ini sudah menjadi hitam kebiruan. Akan tetapi sekarang, kepalanya telah pecah sedangkan di ulu hatinya menancap jarum hitam! Inilah akibat dari pukulan lweekang dari Kiu-bwe Coa-li yang tadi meraba-raba peti dan serangan jarum hitam dari Hek-i Hui-mo!
“Siancai, siancai...!” Pak-lo-sian menyebut sambil cepat-cepat menutupkan peti kembali. “Benar-benar Hek-mo-ong telah mampus. Bahkan tiga kali mampus.”
Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li, dan kedua orang murid Pak-lo-sian, segera berdiri menonton semua itu. Mereka bertiga sama sekali tidak takut melihat pemandangan yang mengerikan itu. Bahkan Sui Ceng dengan senyuman yang membuat pipi kirinya dekik, melirik ke arah The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, lalu berkata,
“Guru kalian itu bertubuh kecil, akan tetapi berkepala besar. Orang sombong seperti dia mana bisa mendapatkan kitab?”
Mendengar ucapan ini, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas lalu menjawab, “Kau bocah ingusan tahu apa? Lihat betapa suhu kami akan merampas kitab itu!”
“Huh! Sebelum dia menyentuh kitab, kepalanya akan hancur seperti kepala Hek-mo-ong oleh tangan guruku!” kata Sui Ceng sambil menjebikan bibirnya yang merah.
“Betulkah?” seru Swi Kiat penasaran. “Atau kepalamu yang akan pecah terlebih dulu oleh tanganku?” Sikapnya mengancam dan dia seakan-akan hendak menyerang nona cilik itu.
“Suheng, kenapa mencari perkara? Tiada salahnya dia ini membela dan memenangkan gurunya sendiri. Kita lihat sajalah buktinya nanti.” The Kun Beng mencegah suheng-nya.
Mendengar ini, Sui Ceng melirik ke arah Kun Beng dan diam-diam di dalam hatinya Sui Ceng merasa jauh lebih suka kepada Kun Beng dari pada Swi Kiat.
Sementara itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang tak mau membuang-buang banyak waktu untuk menanti sambil memandangi kitab yang amat diinginkannya itu, tiba-tiba melompat dan sekali sambar saja dia sudah mengambil kitab itu. Akibatnya hebat sekali. Serentak empat orang tokoh yang lain bangun dan bergerak menyerang.
“Lepaskan kitab itu!” seru Kiu-bwe Coa-li yang lebih dulu menyerang dengan cambuknya.
Siangkoan Hai cepat mengelak, akan tetapi dia disambut oleh serangan bertubi-tubi dari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan Ang-bin Sin-kai! Serangan-serangan tiga orang ini tentu saja tak bisa dipandang ringan, sebab kepandaian mereka setingkat dengan kepandaian Siangkoan Hai.
Dengan kaget Siangkoan Hai mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya melompat ke belakang secepatnya, namun masih saja sebuah pukulan dari jauh yang dilancarkan oleh Ang-bin Sin-kai mengenai pundaknya sehingga dia menjadi terhuyung-huyung!
Pada saat itu, Kiu-bwe Coa-li telah menubruk lagi dan sekali renggut, dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Merampas Bunga, kitab di tangan Siangkoan Hai itu telah dapat dirampas olehnya!
Kiu-bwe Coa-li yang sudah dapat merampas kitab hendak melompat ke arah muridnya dan hendak melarikan diri sambil membawa muridnya itu. Akan tetapi sebelum ia tiba di depan Sui Ceng, di depannya telah menghadang Hek-i Hui-mo!
“Enak saja kau mau membawa pergi kitab itu? Lepaskan!” kata Iblis Terbang Baju Hitam ini dan tasbihnya di tangan kiri menyambar ke arah dada Kiu-bwe Coa-li!
Serangan hebat ini dapat mendatangkan maut, karena meski pun hanya berupa tasbih, namun senjata aneh ini bukan main lihainya, merupakan segundukan cahaya putih yang bulatan tasbih itu menghantam ke arah jalan darah di dada.
Kiu-bwe Coa-li cepat menggerakkan pecutnya menangkis. Terdengar suara keras sekali dan bunga api berpijar ketika dua senjata aneh ini bertemu. Keduanya tergetar mundur dan sebelum Kiu-bwe Coa-li sadar, ia hanya merasa kitab itu dibetot orang dan terlepas dari pegangannya!
Ketika ia menoleh, ternyata bahwa kitab itu telah berpindah ke dalam tangan Ang-bin Sin-kai! Kakek pengemis ini tertawa-tawa sambil memegang kitab itu tinggi-tinggi, seperti sikap seorang kanak-kanak yang menggoda kawan-kawannya.
“Jembel tua, kau serahkan kitab itu kepadaku!” seru Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil mengulur tangan hendak merampas. Tangan kirinya diulur hendak merampas, ada pun tangan kanannya menonjok dada pengemis tua itu!
Pada saat yang sama Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga tidak tinggal diam dan sebentar saja Ang-bin Sin-kai telah dikeroyok empat!
Ang-bin Sin-kai maklum bahwa dia tak mungkin dapat melawan empat orang lihai ini, dan walau pun dia melarikan diri, ilmu lari cepat mereka pun tidak kalah olehnya. Maka dia cepat berseru, “Tahan serangan!”
Berkata begini, dia melempar kitab ke atas meja sembahyang kembali.
Empat orang yang menyerangnya tertegun dan tidak jadi menyerang, karena serangan mereka itu pun hanya berdasarkan ingin merampas kitab, sedangkan kini kitab sudah berada di atas meja lagi, untuk apa menyerang lawan yang sama lihainya itu?
“Hayo, siapa berani mengambil kitab itu, dialah jagoan sejati!” Ang-bin Sin-kai tertawa dan kembali menduduki bangkunya yang tadi.
Empat orang yang lain merasa ragu-ragu dan akhirnya mereka pun menduduki bangku dan duduk lagi mengelilingi meja sembahyang di mana terdapat kitab itu. Semua orang maklum bahwa apa bila dia memberanikan diri mengambil kitab itu, tentu akan langsung diserang oleh empat orang lainnya dan hal ini tidak mungkin, karena bahayanya terlalu besar. Akhirnya, tak seorang pun di antara mereka berani turun tangan mengambil kitab, dan kelima orang ini hanya saling pandang dan tertawa ha-ha-hi-hi-hi, tertawa masam!
Terdengar suara ketawa kanak-kanak dan yang tertawa adalah Sui Ceng dan Kun Beng. Dua orang anak ini merasa geli karena pemandangan itu benar-benar terlihat lucu sekali! Sebaliknya, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas itu merasa mendongkol sekali. Benar suhu-nya tidak mampu mengambil kitab itu dan kini gurunya, seperti yang lain-lain, hanya duduk saja menghadapi meja sembahyang seperti patung.
Dari sikap mereka ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sui Ceng dan Kun Beng memiliki sifat periang yang sama, ada pun Swi Kiat mempunyai sifat pemarah dan keras.
“Suhu, apa sih sukarnya mengambil kitab? Ambil dan lawan mereka, masa Suhu akan kalah?” seru Swi Kiat kepada suhu-nya.
“Hush, diam kau. Tahu apa kau tentang urusan ini?” bentak suhu-nya dan Swi Kiat makin mendongkol.
“Sayang kepandaianku masih belum sempurna. Kalau tidak, aku sama sekali tidak takut menghadapi mereka!” ia mengomel.
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
“Pak-lo-sian, muridmu yang itu benar-benar keras seperti batu. Tidak seperti muridmu yang ke dua itu, yang lunak seperti air!” katanya.
Keluarga dari Hek-mo-ong yang melihat betapa lima orang itu bertempur tak karuan rupa, kemudian kini duduk lagi mengelilingi meja sembahyang, menjadi terheran-heran, takut, dan juga cemas. Akhirnya, isteri Hek-mo-ong memberikan diri maju sambil membungkuk-bungkuk.
“Mau apa kau?” Kiu-bwe Coa-li membentak sehingga nyonya itu menjadi pucat.
“Kami bermaksud hendak mengubur jenazah tiga orang keluarga kami ini, apakah tidak boleh?” tanya nyonya itu dengan suara gemetar.
Di antara kelima orang tokoh yang aneh serta menyeramkan itu, Ang-bin Sin-kai boleh dibilang memiliki watak yang paling lembut. Ia menaruh kasih kepada nyonya ini, maka sambil menggerakkan tangan dia berkata, “Uruslah jenazah itu baik-baik dan bawa pergi dari sini. Akan tetapi, jangan sekali-kali berani menyentuh meja sembahyang kalau kalian sayang kepada nyawa sendiri.”
Setelah mendengar kata-kata ini, nyonya Hek-mo-ong lalu segera memberi tanda kepada keluarganya dan beramai-ramai akan tetapi hati-hati sekali supaya jangan mengganggu lima orang aneh itu, mereka lalu mengangkat tiga buah peti mati itu untuk dikuburkan.
Akan tetapi, lima orang itu tetap saja duduk mengelilingi meja sembahyang tanpa berani turun tangan, akan tetapi juga tidak sudi mengalah dan tidak mau meninggalkan tempat itu!
Hari sudah mulai senja. Tiba-tiba Sui Ceng yang merasa kesal berkata kepada gurunya, “Suthai, perutku lapar, hidangan di meja sembahyang itu tidak diperlukan, bukan? Lebih baik berikan kepada teecu!”
Kiu-bwe Coa-li boleh jadi seorang wanita sakti yang berhati baja dan terkenal ganas, akan tetapi terhadap muridnya ini, ia menaruh hati kasih sayang yang besar. Mendengar kata-kata muridnya ini, ia lalu bangkit dari tempat duduknya dan menggerakkan pecutnya yang berbulu sembilan itu ke arah meja. Secara luar biasa sekali dua helai bulu pecutnya melibat pinggir piring sebelah bawah dan mengangkat piring itu yang terus dilontarkan ke belakang dimana muridnya berdiri!
Hebat sekali demonstrasi tenaga lweekang ini, karena piring yang penuh kue mangkok itu melayang tanpa kuenya jatuh sama sekali! Sui Ceng menyambut piring ini dengan kedua tangannya dan ternyata selama ikut dengan gurunya, anak perempuan ini sudah memiliki kepandaian yang lumayan juga karena ia dapat menyambut piring itu tanpa ada kue yang jatuh.
Bocah ini lalu mengambil sebuah mangkok dan makan kue dengan enaknya. Pada saat makan kue, dia melirik ke arah Kun Beng dan tiba-tiba saja dia menyodorkan piring kue mangkok itu kepada Kun Beng.
Anak laki-laki ini tersenyum dan mengambil sebuah kue mangkok, lalu dimakannya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Sui Ceng juga menyodorkan piringnya kepada Swi Kiat, akan tetapi Swi Kiat membuang muka kemudian berjalan ke dalam rumah untuk minta makanan dari tuan rumah yang segera melayaninya dengan ramah karena takut kepada gurunya. Benar-benar keras hati anak ini.
Akan tetapi Sui Ceng tidak menghiraukannya, bahkan lantas mencela kepada Kun Beng, “Suheng-mu itu kepala batu. Aku tidak suka kepadanya!”
Sebaliknya Kun Beng memuji nona kecil ini, “Kau baik hati, aku suka kepadamu.”
“Hm, memberi kue bukan berarti bahwa aku suka kepadamu!” jawab Sui Ceng merengut. “Hanya karena aku tadi mendengar suara perutmu berkeruyuk!”
Dia menyodorkan lagi piringnya dan tanpa sungkan-sungkan Kun Beng lalu mengambil sebuah kue lagi. Keduanya saling pandang dan tertawa. Diam-diam kedua anak kecil ini telah mendapat kecocokan dalam pertemuan yang aneh ini.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa melihat ini. “Eh, Ular Betina Buntut Sembilan (Kiu-bwe Coa-li)! Muridmu itu baik sekali, tidak seperti engkau! Kelak kalau ada jodoh, aku akan menemuimu untuk membicarakan urusan mereka berdua itu!”
Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li diam saja, bahkan memperlihatkan muka yang tidak senang. “Kalian ini orang-orang lelaki sungguh menjemukan dan menggemaskan sekali!” katanya sambil membanting kaki kirinya. “Masa kita harus duduk diam saja dan menjadi patung di sini? Baik diatur begini saja. Aku hendak menantang kalian maju melawan aku seorang demi seorang, jangan main keroyokan! Kalau ada yang dapat mengalahkan cambukku ini, biarlah aku mengalah dan tidak mengharapkan kitab itu lagi. Hayo, siapa berani maju lebih dulu?”
Sambil berkata demikian, wanita sakti ini kemudian bangkit berdiri dan mengayun-ayun cambuknya dengan sikap menantang sekali. “Akan kuhancurkan kepala kalian empat orang laki-laki tolol.”
Melihat sikap gurunya, Sui Ceng merasa girang dan bangga sekali. Ia menoleh kepada Kun Beng dan Swi Kiat lalu berkata, “Lihat, guruku lebih gagah perkasa. Mana orang seperti gurumu dapat melawan dan mengalahkannya?”
Karena kata-kata ini diucapkan dengan keras, maka terdengar pula oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang menjadi panas perutnya juga. Ia melompat bangun dari bangkunya menghadapi Kiu-bwe Coa-li. Memang watak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini sombong dan dalam hal ilmu silat, dia tidak pernah mau mengalah terhadap siapa pun juga.
“Kiu-bwe Coa-li, siapa sih yang takut menghadapi cambukmu sembilan ekor itu? Mari kita main-main sebentar!” Sambil berkata demikian, orang pendek kecil ini lalu mengeluarkan sepasang kipas.
Inilah senjata yang amat lihai dari Siangkoan Hai, yakni sepasang kipas warna hitam dan putih. Ia mempunyai ilmu silat kipas yang disebut Im-yang San-hoat, yang permainannya membutuhkan tenaga lweekang dan gwakang yang dimainkan berbareng.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempunyai dua macam ilmu silat yang tinggi dan lihai, yakni ilmu kipas ini dan ilmu tombak. Selain dua macam ilmu silat dengan senjata yang amat lihai ini, juga dia mempunyai ilmu silat tangan kosong yang jarang ada bandingannya di dunia ini. Sekarang, karena dia menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang memegang sebuah cambuk, yakni senjata yang lemas, dia merasa rugi kalau harus menghadapinya dengan tombak, maka dia memilih sepasang kipasnya untuk menghadapinya.
Dua orang sakti itu telah saling berhadapan dan agaknya tidak lama lagi mereka akan bergebrak ramai.
“Nanti dulu!” berkata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil melompat maju dan tubuhnya yang bulat itu seakan-akan menggelundung maju dan tahu-tahu telah berada di tengah, di antara kedua jago tua yang hendak bertanding. “Harus diadakan perjanjian lebih dulu yang adil!”
“Apa maksudmu, keledai gundul?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.
“Kalau dalam pertandingan ini ada yang kalah dan sampai mampus, itu lebih baik lagi. Akan tetapi kalau tidak sampai mati dan dia sudah dirobohkan, dia harus pergi dan tidak berhak lagi menginginkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Yang menanglah yang akan menghadapi lawan ke dua!” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu menerangkan.
Ang-bin Sin-kai maklum dalam pertandingan antara orang-orang lihai ini, sukar dibilang bahwa yang kalah masih dapat hidup, maka dia segera melompat maju juga dan sambil tertawa-tawa dia mengacung-acungkan tangannya seperti yang hendak mengusulkan sesuatu dalam rapat!
“Nanti dulu, aku pun mau mengajukan saran yang adil! Kata-kata si gundul gendut ini ada betulnya, akan tetapi masih kurang adil.”
“Cecak kering, bagaimana kau bilang masih kurang adil?” Jeng-kin-jiu bertanya sambil tertawa lebar.
“Kalau dibiarkan dua orang berhantam, biar pun ada yang menang, tentu si pemenang itu sudah empas-empis napasnya dan sudah habis tenaganya, maka bagaimana dia harus menghadapi lawan ke dua? Ini tidak adil, karena tentu dia akan kalah oleh tenaga baru! Lebih baik kalau dalam tiap pertandingan dibatasi, yakni dengan pembakaran hio pendek yang kering. Begitu pertempuran dimulai, hio dinyalakan dan setelah hio terbakar habis, pertempuran harus dihentikan.”
“Hmm, hio akan terbakar habis setelah ilmu silat dimainkan tiga puluh jurus kurang lebih. Bagaimana kalau tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang?” tanya Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Ang-bin Sin-kai menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau tidak ada yang kalah, dapat diulang kembali untuk kedua kalinya.”
Semua orang menyatakan setuju, maka Ang-bin Sin-kai cepat-cepat menyalakan hio dan ditancapkan di tempat hio yang berada diatas meja sembahyang.
“Mulai!” kata Ang-bin Sin-kai sambil mengangkat tangan ke atas seperti seorang wasit pertandingan!
“Lihat senjata!” Kiu-bwe Coa-li berseru dan menggerakkan pecut menyerang lawannya.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai menangkis dengan kipas di tangan kiri yang berwarna putih. Inilah kipas yang dimainkan dengan tenaga lweekang dan yang cepat sekali digunakan untuk menangkis.
Seperti diketahui, ujung pecut adalah benda lemas, maka walau pun oleh pemegangnya digerakkan dengan pengerahan tenaga dalam, saat tertangkis oleh kipas yang mengebut akan bertolak kembali. Akan tetapi, Siangkoan Hai tidak berani berlaku lambat. Cepat dia membalas serangan lawan dengan kipas kanan yang berwarna hitam sambil kerahkan tenaga gwakang.
Wanita sakti itu cepat mengelak. Ketika ia mengayun cambuknya, kembali sembilan helai bulu cambuk bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular yang hidup dan mengancam nyawa lawan!
“Satu jurus!” seru Ang-bin Sin-kai menghitung, seakan-akan anak kecil yang bergembira melihat dua orang kawan berhantam!
Serangan Kiu-bwe Coa-li benar-benar lihai. Cambuknya itu walau pun hanya bergagang satu, akan tetapi karena ujungnya memiliki sembilan helai bulu panjang yang bergerak masing-masing dari segala jurusan, maka merupakan sembilan senjata yang amat lihai.
Namun Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga bukan orang sembarangan. Sepasang kipasnya bisa digerakkan hingga menimbulkan angin berputar. Dari mana pun juga bulu-bulu pecut itu menyerang, selalu dia dapat mengebut senjata lawannya sehingga dia terhindar dari bahaya maut. Ada pun kipas hitamnya juga berkali-kali menyerang yang semuanya dapat pula dihindarkan oleh Kiu-bwe Coa-li.
“Guruku pasti menang!” kata Sui Ceng sambil mulutnya terus bergerak-gerak makan kue mangkok. Dalam ketegangannya, tak terasa pula makin cepat ia makan kue itu sehingga mulutnya yang kecil itu bergerak-gerak lucu.
“Tak mungkin! Guruku yang akan membikin mampus gurumu!” kata Swi Kiat.
Sui Ceng mendelikkan matanya. “Siapa bilang? Kalau gurumu sampai terkena cambukan guruku, nyawanya tentu melayang ke akhirat!”
“Ssttt……! Jangan ribut-ribut!” Kun Beng mencela kedua orang anak itu. “Kita lihat saja siapa yang yang akan menang.”
Pertempuran itu benar-benar hebat sekali. Bahkan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Ang-bin Sin-kai, mau tidak mau harus memuji kelihaian dua orang itu. Ang-bin Sin-kai yang merasa gembira sampai seperti anak kecil dan menghitung terus.
“Dua puluh delapan jurus! Dua puluh sembilan…! Ahh, cukup! Hio-nya sudah padam lagi. Tahan!”
Mendengar ini Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai lalu melompat mundur sambil menahan senjata masing-masing. Nampak bayangan kecewa di muka Kiu-bwe Coa-li, sedangkan Siangkoan Hai juga merasa penasaran sekali karena tak dapat mengalahkan lawannya.
“Kau hebat, Ular Betina! Benar-benar aku kagum sekali!” katanya.
“Dalam babak ke dua nanti kau pasti akan kurobohkan, Pak-lo-sian,” kata Kiu-bwe Coa-li dengan muka merah. “Sekarang siapakah yang akan melawan aku?” tantangnya.
“Hee, kau jangan begitu bernafsu dan serakah, Kiu-bwe Coa-li!” Ang-bin Sin-kai mencela, “Sekarang giliran orang-orang lain, jangan main borong semua.”
Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sudah melompat dan saling berhadapan sehingga Kiu-bwe Coa-li terpaksa mengundurkan diri, duduk di tempatnya yang tadi.
“Eh, ehh, aku dulu!” Ang-bin Sin-kai berkata kebingungan setelah melihat dua orang yang sama gundul, sama bundar bulat itu saling berhadapan. “Siapa nanti lawanku?”
“Cecak kurus, kau minggirlah dan nyalakan lain hio!” Kak Thong Taisu berkata, “Hek-i Hui-mo Si Setan Hitam patut menjadi lawanku!”
Ketika Ang-bin Sin-kai menyalakan lain hio, terdengar suara gelak terbahak yang merdu dan nyaring. Ternyata Sui Ceng dan Kun Beng tertawa bergelak sambil menudingkan jari tangan ke arah Jeng-kin-kiu dan Hek-i Hui-mo.
Memang lucu sekali dua orang ini. Keduanya gendut sekali dan kelihatannya seperti dua ekor babi kebiri yang gemuk sedang berhadapan. Wajah Hek-i Hui-mo kelihatan seram dan galak, sedangkan Kak Thong Taisu memang selalu kelihatan tertawa-tawa. Mereka ini tiada ubahnya seperti dua orang pelawak yang beraksi.
Akan tetapi, ketika keduanya sudah bergerak saling serang, hebatnya bukan main. Meja sembahyang yang terkena sambaran pukulan mereka sampai bergerak-gerak, juga lantai sampai tergetar dan beberapa macam barang yang letaknya terlalu tinggi dan berada di atas meja, roboh terguling!
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mainkan sebuah toya besar yang berat. Memang hwesio tokoh selatan ini adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti gajah, maka toya yang berat itu di tangannya hanya merupakan ranting yang ringan saja dan ketika diputarnya, merupakan segulungan sinar yang mendatangkan angin ribut!
Sebaliknya, Hek-i Hui-mo juga memiliki tenaga besar, sedangkan Tongkat Kepala Naga (Liong-thouw-tung) pada tangan kanannya, ditambah pula dengan tasbih di tangan kiri, merupakan sepasang senjata aneh yang dapat mengimbangi ancaman toya Jeng-kin-jiu.
“Tang! Tung! Tang! Tung!” berkali-kali terdengar suara dibarengi bunga api berpencaran ke sana ke mari kalau senjata-senjata itu bertemu dengan kerasnya.
Menghadapi pertandingan yang dilakukan dengan tenaga kasar dan nampak dahsyat sekali ini, Sui Ceng, Kun Beng, dan Swi Kiat sampai berdiri melongo saking tertarik dan juga merasa ngeri. Mereka yang semenjak kecil telah terdidik ilmu dapat membayangkan kehebatan sambaran-sambaran senjata itu yang akan dapat meremukkan batu karang, apa lagi kepala manusia yang gundul-gundul seperti Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo itu! Tentu akan pecah berantakan.
“Cukup! Hio sudah padam!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Pertandingan kali ini lebih cepat habisnya. Hal ini oleh karena sambaran senjata mereka yang digerakkan tenaga luar biasa itu mendatangkan angin dan membuat nyala api hio makin membesar dan cepat menghabiskan hio itu.....
Kedua orang hwesio itu ‘menggelundung’ mundur dan saling menjura.
“Omitohud! Jeng-kin-jiu benar-benar bertenaga besar. Pinceng merasa amat kewalahan menghadapimu,” kata Hek-i Hui-mo.
“Omitohud! Apa bila dibandingkan, tasbihmu itu benar-benar lebih lihai sepuluh kali lipat dari pada tongkatku.” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memuji.
Sesudah duduk kembali Ang-bin Sin-kai nampak termenung dan diam saja, agaknya dia sedang memutar otaknya.
“Ehh, pengemis bangkotan. Hayo kau maju melawan aku!” kata Siangkoan Hai dengan gembira.
Memang kelima orang ini adalah jago-jago tua yang berkepandaian tinggi. Dan di dalam dunia ini tidak ada kesukaan yang melebihi kesukaan mereka bertempur dan mengadu ilmu.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai diam saja dan keningnya nampak berkerut tanda dia sedang berpikir keras. Akhirnya dia mengangkat muka dan berkata dengan suara bersungguh-sungguh, “Kita semua sudah melakukan kebodohan besar! Benar-benar kita sudah tolol sekali, berebut mangkok butut yang kosong. Apa artinya kitab itu? Ambillah siapa saja yang suka mengambil. Aku tidak butuh lagi.”
Semua orang memandang heran.
“Ehh, apa maksudmu, Ang-bin Sin-kai? Apa kau takut menghadapi pertempuran?” tanya Kiu-bwe Coa-li.
Ang-bin Sin-kai menggeleng-gelengkan kepala. “Pertempuran adalah bagus sekali untuk menambah semangat di dalam kepala kita yang sudah tua. Akan tetapi untuk apa? Apa artinya kitab itu tanpa penterjemah? Di dunia ini hanya Gui Tin siucai seorang yang dapat menterjemahkan. Sekarang dia sudah mati, untuk apa kita berebut kitab itu? Sekarang kitab itu tiada gunanya lagi!”
Mendengar ucapan ini, bengonglah semua orang itu. Pikiran mereka baru terbuka dan mereka pun saling pandang dengan tertegun.
Sambil tertawa bergelak Ang-bin Sin-kai menghampiri meja dan berkata, “Nah, inilah. Kalian lihat sendiri, siapa di antara kita yang dapat membaca kitab kuno ini? Kalian tahu, aku seorang ahli sastra pula, dan aku tahu bahwa kitab ini usianya masih lebih tua dari pada usia nenek moyang kita ratusan tahun yang lalu!”
Ia lalu mengambil kitab itu dan yang lain-lain tidak bergerak untuk mencegah lagi. Sambil membuka kitab itu Ang-bin Sin-kai memperlihatkannya kepada semua orang, dan benar saja. Tulisan pada kitab itu tidak karuan macamnya dan tidak dapat dibaca sama sekali. Hanya pada halaman terdepan ditulis dengan huruf besar dan jelas ‘IM-YANG BU-TEK CIN-KENG’, akan tetapi selanjutnya tak ada satu huruf pun yang dapat mereka baca.
“Ha-ha-ha!” Ang-bin Sin-kai tertawa lagi sambil menuding ke arah huruf pertama. “Siapa di antara kita yang dapat membaca huruf pertama ini?”
Semua orang memandang.
“Huruf BENG!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
“Bukan, gundul! Huruf BENG di depannya pakai huruf JIT, akan tetapi ini pakai huruf GO!” Ang-bin Sin-kai membantah. “Huruf macam ini tidak terdapat dalam kata-kata kita. Siapa yang akan dapat menterjemahkan kecuali mendiang Gui-suicai?”
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melemparkan kitab itu ke atas meja, karena setelah membuka-buka lagi, mereka hanya melihat tulisan-tulisan yang bentuknya seperti gambar yang tidak karuan, ada gambar udang, gambar kepiting, gambar muka orang dan lain-lain yang tak dapat diartikan sama sekali.
“Aku tahu! Anak kecil itu…” kata Kiu-bwe Coa-li. Lalu ia menengok kepada muridnya dan berkata, “Sui Ceng, siapa namanya anak laki-laki murid Gui-suicai itu?”
“Namanya Lu Kwan Cu!” kata Sui Ceng
Muka Ang-bin Sin-kai berubah, “Anak kecil itu mana mengerti?”
“Belum tentu!” kata Hek-i Hui-mo. “Kita harus tangkap dia dan tanya dia, siapa tahu dia sudah mempelajari dari gurunya!”
Kembali mereka bersitegang dan kini timbul harapan baru, maka mereka saling pandang dengan penuh kecurigaan dan tak seorang pun berani mencoba untuk mengambil kitab itu lagi!
Ang-bin Sin-kai mengangguk. “Baik! Sekarang diatur begini saja. Di sini ada tiga orang anak murid Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Biarlah mereka membawa meja ini dan kita berjalan di belakang, lalu kita mencari Lu Kwan Cu. Kalau dia bisa menterjemahkan, kita lanjutkan pertandingan ini.”
Demikianlah The Kun Beng, Gouw Swi Kiat, dan Bun Sui Ceng lalu mengangkat meja sembahyang itu bertiga, diangkat tinggi-tinggi. Kecuali kitab itu yang berada di tengah-tengah, semua barang di atas meja itu telah dilemparkan. Lalu berangkatlah mereka.
Benar-benar lucu sekali rombongan ini. Yang di depan tiga orang anak kecil. Kun Beng dan Swi Kiat memegang kaki meja berjalan di depan. Sui Ceng kaki meja di belakang. Dan di belakang ‘meja berjalan’ ini berjalanlah lima orang tua yang aneh!
“Hee, kenapa meja ini menjadi berat?” Swi Kiat berkata dan ketika menoleh, dia segera membentak, “Bocah setan, jangan main-main!”
Kun Beng yang juga menengok, terdengar tertawa. Ternyata bahwa Sui Ceng yang nakal itu, kini tidak lagi ikut memanggul meja, melainkan dia bergantung pada kaki meja yang dipegangnya itu! Karena tubuhnya paling pendek, maka dia dapat begantung sehingga boleh dibilang dia dipikul oleh Kun Beng dan Swi Kiat. Setelah Swi Kiat membentaknya, barulah Sui Ceng menurunkan kakinya dan ikut memanggul lagi. Benar-benar seperti tiga orang anak kecil memanggul patung toapekong dari kelenteng yang diarak…..
********************
Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, anak gundul yang hidupnya selalu dirundung malang. Meski pun dia telah memiliki kekuatan batin yang timbul dari pembawaannya yang aneh, dan diperkuat pula dengan latihan-latihan semedhi semenjak dilatih oleh Loan Eng dan kemudian dilanjutkan menurut petunjuk dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang sudah diterjemahkan oleh suhu-nya, yakni Gui Tin, namun menghadapi keadaan hidupnya, dia merasa bersedih juga. Ia merasa amat kesunyian.
Tadinya, sesudah bertemu dengan Pek-cilan Thio Loan Eng, dia telah merasa bahagia, dan merasa suka sekali ikut pendekar wanita itu. Kemudian sesudah dia berpisah dari Loan Eng dan bertemu dengan Gui Tin si sastrawan, dia merasakan kebahagiaan lagi karena dia merasa ada orang yang harus dijaganya, yang dapat dikasihinya dan juga mencintainya. Maka dapatlah dibayangkan betapa sakit hatinya ketika dia menyaksikan kematian Gui Tin.
Ketika dia melakukan perjalanan seorang diri, pada suatu senja dia tiba di sebuah kaki gunung dan di luar sebuah dusun dia melihat ada sebuah rumah pondok yang reot dan kosong. Ia merasa girang dan memasuki rumah ini.
Perutnya terasa lapar sekali dan kantong uang yang dia dapat dari kakek angkatnya, yakni Menteri Lu Pin, dia taruh di atas lantai dalam rumah itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya terang sekali! Akan tetapi bagi Kwan Cu, bulan yang bundar itu bahkan menimbulkan rasa sunyi yang hampir tak tertahankan.
Kalau saja dia tidak mempunyai hati yang luar biasa kuatnya, tentu dia telah menangis tersedu-sedu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau menangis. Dia keluar dari rumah pondok reot itu dan duduk di luar rumah di atas sebuah batu. Ketika memandang ke arah bulan yang bundar dan putih kekuningan, dia melihat bulan itu seakan-akan berubah menjadi wajah Loan Eng yang peramah dan sebentar kemudian berubah lagi menjadi wajah Gui Tin yang sayang kepadanya.
Ia membuang muka dan tak berani memandang lagi. Di belakangnya terdapat sebatang pohon yang semua daunnya sudah rontok, tinggal cabang-cabangnya saja dan membuat keadaan menjadi makin sunyi.
Lu Kwan Cu duduk dengan tangan kiri menunjang dagunya. Dia duduk termenung, tidak bergerak seakan-akan dia telah menjadi patung batu. Kepalanya yang gundul kelimis itu tertimpa cahaya bulan sehingga mengkilap dan wajahnya yang tampan itu nampak sunyi dan sedih.
“Memang betul kata suhu Gui Tin,” pikirnya, “ilmu silat tak dapat dibilang buruk dan jahat. Tergantung dari orang yang menggunakannya. Thio-toanio bukanlah seorang yang jahat dan ilmu silatnya dia pergunakan untuk menolong orang. Kalau aku mengerti ilmu silat, tentu tak akan sampai begini keadaanku. Suhu Gui Tin takkan sampai tersiksa sehingga meninggal dunia. Ia pesan supaya aku dapat menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli dan mempelajari isinya. Akan tetapi dimana aku harus mencarinya? Aku harus menemukan petinya lebih dulu agar aku dapat mencari pula kitab itu di dalam buku peta dan sejarah.”
Selagi dia duduk termenung, mendadak dia melihat bayangan banyak orang mendatangi dari depan.
“Itu dia…!” Ia mendengar suara seorang anak perempuan. “Hei… Kwan Cu...!”
Kwan Cu mengenal suara ini. Ia berdiri dan menanti datangnya rombongan itu.
“Adik Ceng...!” teriaknya girang.
Di dalam kesunyian seperti itu, melihat orang yang di kenalnya, tentu saja mendatangkan rasa girang. Akan tetapi, dia segera menjadi terheran-heran karena melihat betapa Sui Ceng sedang memanggul sebuah meja bersama dua orang anak laki-laki yang segera dikenalnya pula sebagai dua orang anak laki-laki yang dahulu pernah mempermainkan dirinya, yakni murid-murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Lebih-lebih herannya ketika dia melihat di antara rombongan itu terdapat pula Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua orang kakek yang telah dikenalnya baik-baik.
“Anak baik! Kau sudah berada di tempat ini?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan suara girang.
“He, Kwan Cu! Kau masih ingat kepada pinceng, bukan?” berkata Jeng-kin-jiu kak Thong Taisu dengan suara gembira pula.
Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian juga mendekati Kwan Cu sehingga anak ini terkurung di tengah-tengah. Juga tiga orang tokoh ini mengeluarkan suara memuji dan manis.
Kwan Cu adalah seorang anak yang mempunyai otak cerdik sekali. Melihat orang-orang itu bersikap manis, dia melirik ke arah meja yang kini sudah diturunkan oleh tiga orang anak-anak itu. Pada saat melihat kitab di atas meja, tahulah dia bahwa tentu mereka ini membutuhkan pertolongannya untuk membaca buku itu!
“Cu-wi sekalian datang mengejar teecu apakah hendak bertanya sesuatu tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil menuding ke arah kitab di atas meja.
“Benar-benar! Kau benar-benar seorang anak yang cerdas!” kata lima orang itu hampir berbareng.
“Kau tentu dapat membacanya, bukan?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Kwan Cu, kau telah menjadi murid Gui Tin, tentu gurumu telah mengajarkan membaca huruf-huruf aneh di dalam kitab itu, bukan?” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu berkata penuh gairah.
“Bagaimana isinya? Tentang ilmu silatkah?” tanya Kiu-bwe Coa-li.
“Lekas kau baca agar kami mendengarnya, anak baik!” kata Pak-lo-sian.
Hanya Hek-i Hui-mo seorang yang tidak berbicara apa-apa, namun seluruh perhatiannya dicurahkan ke arah Kwan Cu dan kitab itu. Berbeda dengan empat orang lainnya, tokoh barat dari Tibet ini tidak khawatir takkan mendapatkan membaca kitab itu tanpa bantuan Gui Tin. Di Tibet terdapat sekumpulan buku-buku kamus di dalam gudang kesusastraan lama dan apa bila perlu, dia dapat mencuri kamus atau buku-buku tentang bahasa yang dipergunakan dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.
“Tidak ada gunanya bagi Ngo-wi (Tuan Berlima) untuk bersusah payah membaca kitab itu. Tidak tahukah Ngo-wi bahwa kitab itu adalah kitab palsu?” berkata Kwan Cu sambil menggelengkan kepala, kemudian memandang kepada lima orang itu dengan sinar mata menyatakan kasihan!
Terdengar seruan-seruan keras dan lima orang itu melompat mengelilingi Kwan Cu lebih dekat dengan sinar mata mengancam.
“Apa katamu?”
“Jangan bohong bocah!”
“Kuhancurkan kepalamu yang gundul kalau kau menipu kami!”
Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya yang gundul, yang tak mau tumbuh rambut lagi semenjak dia dijejali buah coa-ko oleh Tauw-cai-houw dahulu itu. Biar pun menghadapi ancaman, dia tetap tenang-tenang saja.
“Apa gunanya aku membohong? Teecu mendengar dari suhu Gui Tin bahwa kitab ini betul-betul palsu, bukan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aslinya.”
Di antara lima tokoh besar itu, Ang-bin Sin-kai yang paling sayang kepada Kwan Cu. Pengemis Sakti Muka Merah ini mendekati Kwan Cu dan dengan suara halus dia lalu berkata, “Lu Kwan Cu, jangan kau bicara sembarangan. Kau tidak tahu betapa besar arti ucapanmu tadi untuk kami. Dengar, kau menghadapi lima orang ahli silat terbesar di seluruh penjuru pada saat ini, maka jangan main-main. Sekali saja seorang di antara kami timbul hati marah, nyawamu tak akan dapat dipertahankan lagi. Kau bilang kitab ini palsu? Kwan Cu, buktikan. Beri alasannya yang masuk akal!”
Kwan Cu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan sinar mata tajam. Heran sekali hatinya, setelah pengemis tua ini bicara dengan halus, dia melihat persamaan yang amat mengherankan antara pengemis ini dengan Menteri Lu Pin kakek angkatnya!
“Locianpwe, selain suhu Gui Tin pernah menceritakan kepada teecu, juga teecu sudah mempelajari sedikit ilmu sejarah.” Kemudian dengan sepasang matanya yang lebar dan jeli, anak ini memandang kepada lima orang tokoh besar itu seorang demi seorang, lalu katanya, “Tentu Ngo-wi pernah mempelajari sejarah pula, bukan? Tahukah Ngo-wi, kitab ini ditulis jaman apa?”
Lima orang tua itu saling pandang.
“Aku tahu,” kata Ang-bin Sin-kai cepat-cepat, “ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, bukan begitu?”
“Pinceng pun tahu, memang betul ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu,” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
“Tidak salah lagi, pinceng juga tahu sedikit tentang sejarah,” menyambung Hek-i Hui-mo yang semenjak tadi berdiam diri saja. “Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng memang ditulis pada jaman Kerajaan Shia.”
Berseri wajah Kwan Cu. “Ehh, ternyata Ngo-wi adalah orang-orang terpelajar!” serunya. “Sayangnya kurang lengkap pengetahuan Ngo-wi. Kalau Ngo-wi tahu bahwa kitab ini di tulis di dalam jaman Shia, tentu Ngo-wi akan tahu pula bahwa kitab ini palsu!”
“Mengapa demikian?” suara Kiu-bwe Coa-li mengguntur.
“Oleh karena pada jaman Shia belum ada kertas! Menurut guruku Gui Tin, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tulen ditulis di atas sutera. Oleh karena itulah maka teecu berani katakan bahwa kitab ini palsu!”
Lima orang tua itu saling pandang dan menarik sekali untuk melihat keadaan air muka mereka yang tiba-tiba menjadi amat kecewa.
“Tar! Tarr!”
Tiba-tiba terdengar bunyi suara dan pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak melayang-layang, lalu sehelai bulu pecut itu menyambar ke arah leher Kwan Cu dan membelitnya!
“Hayo katakan, pelajaran apa saja yang tertulis di dalam kitab yang dianggap palsu ini! Katakan terus terang kalau tidak pecutku akan memanggang lehermu!”
Kwan Cu merasa bahwa bulu pecut itu melilit lehernya bagaikan ular hidup terasa dingin mencekik. Ia cepat mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya sesuai dengan pelajaran yang dia latih dari kitab itu, dan lenyaplah rasa dingin, juga kini tidak terasa amat mencekik lagi.
“Aku tidak tahu.” Kata Kwan Cu.
“Bohong!” bentak Kiu-bwe Coa-li.
Ia menggetarkan tangannya yang memegang cambuk sehingga lilitan makin erat. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa telapak tangannya agak kesemutan, tanda bahwa dari leher anak gundul itu keluar getaran tenaga perlawanan yang aneh!
Kekagetannya ini belum lenyap ketika tiba-tiba dia merasa bulu pecutnya mengendur dan ternyata Ang-bin Sin-kai dengan perlahan memegang bulu pecut yang melilit leher anak itu sambil berkata,
“Kiu-bwe Coa-li, kita semua memerlukan anak ini, jangan dia diganggu!” sambil berkata demikian, dengan pengerahan tenaga lweekang, dia lalu memencet bulu pecut itu dan memunahkan serangan Kiu-bwe Coa-li pada Kwan Cu dan otomatis lilitan itu terlepas lagi.
Kiu-bwe Coa-li mendelikkan matanya kepada Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia pun melihat betapa tiga orang tua yang lainnya sudah mendekatinya dengan sikap mengancam pula seperti ketika ia hendak mengambil kitab itu dulu. Ternyata bahwa kini anak gundul inilah yang diperebutkan!
“Di mana kitab aslinya?!” Kiu-bwe Coa-li membentak sambil memandang kepada Kwan Cu. “Awas, jangan membohong!”
“Siapa yang perlu membohong. Kalian ini orang-orang tua benar-benar aneh sekali. Kitab lapuk itu untuk apakah?” Kwan Cu berkata jengkel. “Guruku Gui Tin pernah mengatakan bahwa memang ada kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng, akan tetapi tidak menerangkan di mana, hanya samar dikatakan bahwa kitab itu berada di dalam sebuah pulau kosong yang sangat berbahaya di luar timur Tiongkok. Nah, aku sudah bicara terus terang, biar kalian akan membunuhku pun, aku tak dapat bicara lain dan habis perkara!”
Memang hebat sekali kalau dilihat. Lima orang tua itu sudah aneh sekali wataknya, tapi melihat ketabahan serta keberanian Kwan Cu menghadapi mereka, sungguh luar biasa sekali. Melihat sikap Kwan Cu, Sui Ceng menjadi kagum sekali dan anak perempuan ini mendekatinya.
\
“Kau hebat, Kwan Cu...,” katanya.
Kwan Cu hanya memandang dan tersenyum sedih kepadanya. “Apanya yang hebat, adik Ceng? Aku hanya menimbulkan keributan belaka...”
Pada saat itu, bulan yang tadinya bercahaya gemilang, tiba-tiba tertutup oleh datangnya awan hitam yang terbawa angin. Keadaan menjadi gelap gulita dan tiba-tiba menyambar bayangan Hek-i Hui-mo ke arah meja. Disambarnya kitab itu dari atas meja kemudian melompat pergi!
“Bangsat tua bangka curang!” teriak Kiu-bwe Coa-li dan pecutnya menyambar.
Hebat sekali serangan ini karena bulu pecut itu memang panjang, kalau diulur terus ada sepuluh kaki. Sembilan helai bulu pecut lantas meluncur ke arah bayangan Hek-i Hui-mo dengan kecepatan luar biasa.
Namun, Hek-i Hui-mo bukanlah seorang yang lemah. Ia masih tetap berlari pergi, namun dia telah menggerakkan tasbihnya di belakang tubuh, diputar sedemikian rupa sehingga tasbih ini merupakan segulungan sinar bundar yang menjadi perisai.
“Trang! Traaang!” terdengar suara nyaring dan rantaslah tasbih itu saat terhantam pecut Kiu-bwe Coa-li, sehingga untaiannya terputus dan biji-biji tasbihnya berserakan ke sana ke mari.
Hal ini dapat terjadi karena dalam larinya Hek-i Hui-mo tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sebaliknya, dalam kemarahannya Kiu-bwe Coa-li melakukan serangan sepenuh tenaga.
Hek-i Hui-mo tidak mempedulikan kehilangan senjata tasbih dan terus berlari. Mendadak menyambar angin besar dan tahu-tahu sebuah batu sebesar kerbau menimpanya dari atas. Cepat Hek-i Hui-mo mengerahkan ginkang-nya dan melompat jauh ke kiri.
Terdengar suara keras karena ketika batu besar itu jatuh menimpa, dua batang pohon menjadi tumbang. Ternyata bahwa batu besar itu tadi dilemparkan oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu untuk menghalangi larinya Hek-i Hui-mo.
Tentu saja Setan Terbang Baju Hitam ini mengeluarkan keringat dingin, karena biar pun dia lihai, kalau sampai tertimpa batu besar tadi, tubuhnya akan menjadi gepeng! Baru saja dia berlari beberapa langkah lagi, belasan sinar putih meluncur ke tubuhnya sambil mengeluarkan suara mengaung-ngaung bagai belasan ekor tawon. Inilah senjata rahasia Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang berbahaya.
Hek-i Hui-mo cepat mengelak sambil berloncatan, akan tetapi tetap saja sebatang paku menancap di pundaknya. Dia mengeluh dan menggigit bibirnya, kemudian mempercepat larinya.
Ia di juluki orang Hui-mo atau Iblis Terbang, maka tentu saja ilmu lari cepatnya luar biasa sekali. Apa lagi pada saat itu bulan tertutup awan hitam sehingga keadaan menjadi gelap sekali dan sebentar saja dia telah lenyap dari pandang mata. Empat orang tokoh besar tidak mengejar, karena untuk apa memperebutkan kitab palsu?
Apa lagi Ang-bin Sin-kai, kakek ini tertawa bergelak dan berkata, “Biarlah dia mempelajari kitab itu sampai ubanan, dengan ilmu yang tidak asli, aku takut apakah? Hayo Kwan Cu, kau turut aku!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menarik tangan anak gundul itu.
“Ang-bin Sin-kai, nanti dulu!” berkata Kiu-bwe Coa-li. “Kau mau membawa ke mana anak itu?”
“Dia? Dia adalah seorang anak yang sudah semenjak dulu kuanggap sebagai muridku!” jawab Ang-bin Sin-kai. “Kiu-bwe Coa-li, kulihat kau sudah mempunyai murid yang baik. Juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah mempunyai dua orang murid yang baik. Hanya Jeng-kin-jiu saja kulihat belum mempunyai murid.”
“Siapa bilang? Muridku masih kurahasiakan, tetapi kelak murid-murid kalian akan kalah olehnya. Ha-ha-ha!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
“Bagus!” kata Ang-bin Sin-kai. “Kalau begitu, sekarang aku mengambil anak ini sebagai muridku. Kita sama-sama lihat saja sepuluh tahun lagi, siapa di antara kita yang akan berhasil mengajar kepada murid masing-masing.”
Dia hendak membawa pergi Kwan Cu, namun Kiu-bwe Coa-li kembali mencegah dengan kata-katanya yang tajam dan mengancam, “Ang-bin Sin-kai! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu mengambil murid, dan aku pun tak butuh dengan anak gundul ini. Akan tetapi, aku masih curiga kepadanya. Bagaimana kalau dia tahu di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Dan siapa tahu kalau kau hanya pura-pura mengambil murid padanya akan tetapi sebenarnya hendak mencari kitab itu? Aku kenal kecurangan lelaki macam kau!”
“Habis, kau mau apa?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Anak ini harus dibunuh! Dengan demikian barulah adil namanya jika kita saling berlomba mencari kitab itu tanpa bantuan siapa pun juga.”
“Betul, betul!” kata Siangkoan Hai.
Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak setuju dengan rencana ini. “Betapa pun juga, pinceng juga termasuk orang yang pernah menolong nyawa anak ini, bagaimana sekarang pinceng tega hati melihat nyawanya hendak direnggut orang? Apa lagi pinceng yang memberi nama kepadanya. Eh, Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, kalau kalian akan berkeras membunuh anak ini, tentu aku berdiri di pihak Ang-bin Sin-kai untuk membela dan melindunginya. Sebaiknya diatur begini saja. Percayakah kalian akan sumpah dari Ang-bin Sin-kai si bangsawan jembel ini?”
“Aku percaya!” kata Siangkoan Hai dengan suara tegas.
“Aku pun percaya!” kata Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu, “akan tetapi apa maksudmu?”
“Biar dia bersumpah bahwa dia tak akan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dari kitab yang didapatkan atas pertolongan anak gundul ini,” kata Kak Thong Taisu.
“Bagus, kalau begitu aku setuju!” kata Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menjadi makin merah mukanya. “Aku tidak sudi bersumpah! Kalian boleh percaya kepadaku atau tidak, habis perkara. Pendeknya aku berjanji takkan mempergunakan Kwan Cu untuk mencari kitab itu.”
Tiba-tiba Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ang-bin Sin-kai. Anak ini, dalam semua percakapan di dalam pertemuan itu, dapat menarik kesimpulan bahwa dia paling cocok dan suka kepada kakek jambel yang mukanya seperti kakek angkatnya itu, maka dia telah mengambil keputusan untuk berguru kepadanya.
“Suhu, teecu pun baru mau mau menjadi muridmu kalau Suhu suka bersumpah seperti yang diminta oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tadi.”
Ang-bin Sin-kai membelalakkan sepasang matanya dan memandang kepada Kwan Cu. “Ehh, bocah aneh. Bukankah dulu kau tidak sudi mempelajari ilmu memukul orang?”
“Sekarang teecu sudah berubah pikiran. Bukankah para nabi mengajarkan bahwa orang harus setiap hari berubah pikiran-pikirannya yang tadinya tidak benar dan sesat?” jawab Kwan Cu.
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Boleh, boleh, biarlah aku bersumpah bahwa kalau aku menggunakan Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku si pengemis jembel akan mampus seperti seekor anjing dan kelak nyawaku dilempar ke dalam neraka jahanam!” Kemudian ucapannya ini disambungnya dengan suara menyindir, “Andai kata orang lain mendapatkan kitab itu, apanya sih yang harus ditakuti?”
Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan tertawa nyaring, kemudian ia melompat ke arah Sui Ceng, memegang tangan muridnya dan sekali berkelebat saja ia dan muridnya telah lenyap dari situ. Siangkoan Hai juga mengajak dua orang muridnya pergi, demikian pula Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sambil tertawa-tawa dia ‘menggelundung’ pergi dari situ.
“Hayo kita pergi, Kwan Cu,” kata Ang-bin Sin-kai acuh tak acuh.
“Nanti dulu, Suhu. Teecu meninggalkan sesuatu di dalam pondok itu.” Anak itu berlari-lari ke dalam pondok mengambil kantongnya yang penuh uang emas pemberian dari kakek angkatnya.
“Apa itu?” tanya gurunya.
“Uang emas, Suhu.”
Ang-bin Sin-kai membuka kantong itu dan kedua matanya terbelalak melihat uang emas sebanyak itu. “Ehh, dari mana kau dapatkan uang ini?”
“Dari Kongkong (Kakek)!”
Mendengar jawaban ini, Ang-bin Sin-kai jadi semakin tertegun. “Bocah aneh, siapa pula kongkong-mu itu? Bukankah nenek moyangmu hanya samudera luas saja?”
Lu Kwan Cu tersenyum. “Ini mungkin salah Suhu sendiri. Suhu memberi she Lu kepada teecu dan sekarang Menteri Lu Pin mengangkat teecu sebagai cucunya!”
Ia lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan Menteri Lu Pin! Tentu saja Ang-bin Sin-kai yang sebenarnya bernama Lu Sin dan menjadi kakak dari Lu Pin, terkejut dan juga terharu sekali.
“Buang saja uang itu, untuk apa sih? Memberatkan dan mengotorkan saja.”
“Mengapa dibuang, Suhu? Bukankah bisa dipakai untuk membeli makanan kita?”
Kakek itu melototkan matanya. “Jadi kau termasuk orang-orang yang meributkan soal makan? Buang saja!”
“Sayang, Suhu.”
“Eh, bocah gundul! Baru pada saat pertama kau sudah berani membantah suhu-mu?”
“Rakyat banyak sekali yang menderita dan sengsara. Dari pada dibuang di sini, dan bila ditemukan orang hanya akan membuat orang itu menjadi tersesat hidupnya. bukankah lebih baik dibagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya?”
Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang. “Kau lebih terikat dengan dunia dari padaku. Sesukamulah.”
Maka berjalanlah Ang-bin Sin-kai, mula-mula lambat-lambat, akan tetapi ketika ia melihat betapa muridnya yang gundul itu sanggup mengikutinya, dia mempercepat jalannya. Dan walau pun terlihat gurunya hanya berjalan lambat-lambat saja, bagi Kwan Cu, dia harus mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk berlari cepat agar bisa mengimbangi kecepatan suhu-nya…..
********************
Di pinggiran sebuah hutan yang liar, menghadap sebuah anak gunung yang merupakan batu karang besar, nampak pemandangan yang sangat aneh dan menyeramkan sekali. Seorang anak lelaki berkepala gundul tergantung pada cabang pohon besar, tergantung dengan kaki terikat di atas dan kepala serta kedua tangannya bergantungan di bawah!
Baju anak itu yang sudah lapuk terbuka dan ikut bergantungan hingga nampak perutnya yang kecil, dadanya yang kurus dengan tulang-tulang iga menonjol. Anak ini diam tidak bergerak dan kelihatan seperti mayat saja, kedua matanya meram, akan tetapi wajahnya kelihatan berseri!
Ada pun di bawah pohon, seorang kakek pengemis berpakaian tambal-tambalan duduk bersandarkan batu. Tubuh pengemis itu pun kurus kering seperti orang yang menderita kelaparan. Apa lagi kalau melihat apa yang dia lakukan pada saat itu, tentu orang akan menganggapnya sudah kelaparan dan miring otaknya.
Ia memegang seekor ular hidup. Tangan kanannya mencekik leher ular, ada pun tangan kirinya memegang tubuh ular dekat ekornya, kemudian dia menggigit perut ular itu! Ular itu membuka mulutnya. Dan dari dalam mulut ular ini keluarlah suara mendesis-desis dan mengebulkan uap putih yang keruh. Siapakah mereka ini?
Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu, ada pun kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai! Apakah kakek ini sudah menjadi gila, menggantung tubuh muridnya secara terbalik dan makan ular beracun pula? Tidak demikianlah halnya.
Sesudah membagi-bagi habis uang emas pemberian Menteri Lu Pin, kedua orang guru dan murid ini melanjutkan perantauan mereka. Atas permintaan Kwan Cu, mereka lalu menuju ke bukit Liang-san.
Bagi Ang-bin Sin-kai, ke mana saja mereka pergi, dia tidak ambil peduli. Maka, dia pun tidak mau banyak bertanya kepada Kwan Cu, apa perlunya muridnya itu mengajaknya ke Liang-san. Akan tetapi dengan keras dia mulai mengajarkan ilmu silat kepada Kwan Cu.
“Dari mana kau dapat mempelajari lweekang dan ginkang yang aneh dan serba terbalik itu?” tanyanya.
“Teecu pertama-tama menerima pelajaran dari Pek-cilan Thio Loan Eng Toanio.”
“Hemm, seorang wanita yang baik dan gagah,” Ang-bin Sin-kai memuji.
“Kemudian, teecu menurut pada petunjuk dari kitab palsu yang dibawa pergi oleh Hek-i Hui-mo, yakni setelah diterjemahkan oleh suhu Gui Tin.”
Kali ini Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya. “Kau sudah membaca semua isi kitab palsu itu?”
Kwan Cu mengangguk. “Akan tetapi hanya sebagian siulian dan pengaturan napas saja yang teecu pelajari.”
“Coba kau tidur terlentang,” gurunya memerintah.
Kwan Cu menurut dan anak ini lalu membaringkan tubuhnya telentang.
Ang-bin Sin-kai menekan pusar muridnya, sambil berkata, “Kerahkan tenagamu yang kau dapat dari pelajaran kitab palsu.”
Kwan Cu mengerahkan tenaganya dengan cara pengaturan napas yang terbalik, yakni menyedot napas dengan mengembungkan perut dan mengempiskan dada! Dia merasa dadanya sakit, maka dia lalu melepaskan tenaganya itu.
Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai merasa betapa ada tenaga yang aneh tersembul keluar dari pusar anak itu. “Sakitkah dadamu?”
Kwan Cu mengangguk.
“Celaka sekali! Latihan itu telah merusak paru-parumu sendiri! Ahh, benar-benar kitab itu palsu. Akan tetapi jika ilmu ini dipelajari secara mendalam, benar-benar akan merupakan ilmu yang aneh dan juga dahsyat. Baru yang palsu saja begini hebat, apa lagi aslinya. Kwan Cu, kau sudah mempelajari ilmu yang salah, karena itu kau harus menurut segala petunjukku. Pertama-tama kau harus dapat mengusir tenaga yang salah itu dari dalam tubuhmu. Kau harus belajar menderita jasmani karena mesti melakukan latihan napas semedhi secara terbalik.”
Kemudian, sejak hari itu kedua kaki Kwan Cu diikat, kemudian ikatan itu digantungkan pada cabang pohon sehingga anak itu tergantung seperti seekor kalong!
“Dengan begini, pernapasanmu selalu akan berada di paru-paru dan akan menyehatkan paru-parumu yang sudah terluka. Perutmu akan selalu kempis dan kosong. Pusatkan perhatianmu dan tutup semua panca inderamu, jangan rasakan siksaan dari perjalanan darah yang secara terbalik ini akan terasa tidak enak sekali. Kulihat kau sudah pandai menutup hawa, tutuplah hawa di bagian kepalamu supaya aliran darahmu tidak merusak otak. Hati-hati, latihan ini bisa membuat kau menjadi gila karena banyaknya aliran darah di bagian otak. Akan tetapi kalau kau tekun dan berhasil, hanya inilah jalan satu-satunya untuk membersihkan tubuhmu dari tenaga palsu itu!”
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan Kwan Cu karena harus berlatih secara ini. Lebih hebat lagi, sering kali suhu-nya agaknya lupa untuk memberi makan kepadanya sehingga pernah selama dua hari dua malam Kwan Cu tergantung saja secara terbalik tanpa makan, hanya hidup dari hawa udara saja! Akan tetapi yang lebih aneh dan hebat lagi, anak ini tak pernah mengeluh dan tak pernah minta makan!
Akhirnya, beberapa bulan kemudian, dia telah dapat melakukan siulian (semedhi) secara tergantung kakinya ini selama tiga hari tiga malam tanpa makan! Juga pernapasannya menjadi normal kembali. Meski pun dalam keadaan tergantung, dia telah dapat bernapas dengan teratur, bahkan dia dapat mendesak isi perutnya supaya jangan tergantung dan tetap tinggal di dalam perut. Tubuhnya terasa ringan sekali dan jalan pikirannya terang.
Kini dia telah mendapatkan kepandaian yang istimewa. Bila dia hendak berlatih, gurunya tidak lagi membantu. Dia melompat ke atas sebatang cabang pohon sambil membawa kain pengikat kakinya, lalu mengikat kedua kakinya pada cabang itu dan menggantung dirinya!
Pada pagi hari itu, ketika mereka sampai di pinggir hutan yang telah disebutkan di atas, seperti biasa Kwan Cu menggantungkan dirinya secara terbalik pada cabang pohon dan gurunya duduk di bawah pohon. Sebentar saja Ang-bin Sin-kai sudah tidur mendengkur ada pun Kwan Cu sebentar saja juga sudah dapat mempersatukan panca inderanya dan mengheningkan cipta.
Baik guru mau pun murid ini sama sekali tidak tahu akan adanya bahaya yang mengintai dari atas pohon, yang merupakan seekor ular kecil panjang yang bermata dan berlidah merah! Inilah seekor ular beracun yang jahat sekali!
Walau pun gerakan ular yang merayap di antara ranting dan cabang pohon itu perlahan sekali, namun kalau saja Ang-bin Sin-kai tidak sedang tertidur dan Kwan Cu tidak sedang bersemedhi dan menutup panca indera, tubuh ular yang melanggar daun itu tentu akan terdengar oleh mereka, karena Kwan Cu sendiri pun kini telah mempunyai pendengaran yang amat tajam.
Tiba-tiba terdengar Kwan Cu menjerit. “Suhu...!”
Ang-bin Sin-kai melompat bangun dan betapa terkejutnya ketika dia melihat seekor ular melingkar di tali pengikat kaki Kwan Cu dan mulut ular itu menggigit kaki kanan muridnya itu!
“Kwan Cu...!” Ang-bin Sin-kai melompat ke atas dan sekali renggut, dia telah menangkap ular itu pada lehernya.
Sambil duduk di atas cabang itu, Ang-bin Sin-kai menggunakan tangan kirinya untuk meraba tubuh muridnya. Bukan main kagetnya, karena tubuh itu panas bukan main! Dia tahu bahwa muridnya telah terkena racun gigitan ular!
Ia tidak berani menurunkan muridnya, karena kalau Kwan Cu diturunkan, mungkin aliran darahnya akan kacau dan menyebabkan racun itu merangsang ke arah jantungnya yang berarti anak itu takkan dapat ditolong lagi.
“Mudah-mudahan tadi dia masih mengerahkan tenaga dan menyimpan hawa murni di dalam pusarnya,” pikir kakek ini yang segera melompat turun lagi sambil membawa ular itu.
Cara satu-satunya untuk menolak hawa racun ular itu, dia harus dapat mengambil darah ular yang menggigitnya ini. Akan tetapi di sana tidak ada mangkok atau apa saja untuk menadahi darah ular, juga sukar untuk memberi minum darah kepada Kwan Cu yang masih dalam keadaan tergantung dengan kepala di bawah. Satu-satunya cara adalah dia harus dapat menyimpan darah ular itu di dalam mulutnya, lalu dia akan menyemburkan darah itu dari mulutnya ke mulut Kwan Cu!
Demikianlah, maka terlihat pemandangan yang menyeramkan tadi. Kwan Cu tergantung bagaikan mayat, dan kakek itu duduk sambil menggigit perut ular! Ular itu berkelojotan, meronta-ronta dan Ang-bin Sin-kai tidak menggigit terlalu keras, sekedar untuk mencari lobang guna menyedot darah ular itu.
Lidahnya merasai darah yang asin manis dan amis sekali, juga terasa panas dan pedas pada lidahnya. Akan tetapi dia terus menyedot hingga darah ular itu terkumpul ke dalam mulutnya. Kedua pipinya yang kurus itu menggembung, karena mulutnya penuh dengan darah ular. Beberapa tetes darah mengalir turun ke dagunya, membuat kakek itu nampak menyeramkan sekali.
Gerakan ular itu makin lama makin lemah dan setelah darahnya habis, dia mati lemas. Ang-bin Sin-kai melemparkan bangkai ular, kemudian melompat lagi ke atas cabang. Dia menggantungkan dua kakinya pada cabang seperti keadaan Kwan Cu sehingga dengan membungkukkan punggungnya, mukanya berdekatan dengan muka muridnya.
Pada waktu dia mengulur tangan membukakan mulut muridnya, kakek ini terheran-heran karena melihat muka muridnya itu tersenyum-senyum dan mata anak itu sudah terbuka lagi! Akan tetapi dia tidak mau banyak membuang waktu, segera dia membuka mulut muridnya dan menempelkan mulut sendiri ke mulut muridnya yang terbuka, kemudian dia mengerahkan hawa dari dalam perutnya untuk menyemburkan darah itu ke dalam perut muridnya!
Kwan Cu yang sudah siuman itu maklum pula akan maksud suhu-nya, maka dia lalu menerima darah ular itu dan menelannya. “Lekas salurkan semua darah ke arah kaki yang luka!” seru Ang-bin Sin-kai setelah mulutnya kosong karena darah ular semua telah berpindah ke mulut dan perut muridnya. “Tahan napas kemudian biarkan darah ular itu memerangi racun yang mengalir dari luka di kakimu!”
Kwan Cu menurut pada petunjuk suhu-nya dan sebentar saja, dia merasa panas yang menyerang tubuhnya mulai hilang. Ang-bin Sin-kai lalu menaruh telapak tangannya pada pusar muridnya dan dari telapak tangan itu dia mengalirkan hawa murni untuk membantu kekuatan muridnya melawan racun ular tadi.
Setengah hari guru dan murid itu berada dalam keadaan tergantung dan akhirnya setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh muridnya sudah tidak panas lagi, Ang-bin Sin-kai baru menurunkan tubuh muridnya.
“Kau selamat!” katanya dengan lega. “Akan tetapi aneh sekali kenapa kau tidak muntah. Biasanya, kalau racun ular itu sudah dapat dikalahkan oleh darah ular, orang yang digigit ular tentu akan muntahkan darah ular beracun itu.”
Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Mohon diampunkan atas kelalaian teecu sehingga merepotkan kepada Suhu. Sungguh aneh sekali, Suhu. Sekarang teecu merasa bahwa tubuh teecu sangat nyaman dan ringan. Agaknya darah dan racun ular itu ada khasiatnya yang lihai.”
“Mana mungkin?” Gurunya menggeleng kepala. “Kecuali kalau kau sudah makan coa-ko (buah ular).”
“Teecu sudah makan coa-ko, Suhu!”
“Hushh! Kau kira mudah mendapat coa-ko? Aku yang sudah tua ini pun semenjak dulu mencari belum juga dapat.”
“Akan tetapi teecu tidak membohong, Suhu.”
Lalu Kwan Cu menuturkan betapa dia dulu diculik oleh Tauw-cai-houw dan dijejali sebutir buah ular. Gurunya girang sekali, akan tetapi tidak menyatakan kegirangannya itu. Hanya diam-diam dia berpikir bahwa Kwan Cu benar-benar seorang anak ajaib yang bernasib baik sekali.
“Hm, kalau aku tahu bahwa kau sudah makan buah coa-ko, tadi aku tidak akan begitu kebingungan seperti orang kebakaran jenggot. Dengan buah itu di dalam tubuhmu, kau takkan dapat tewas oleh racun ular yang mana pun juga!”
Maka, setelah melihat betapa tubuh Kwan Cu sudah bersih dari tenaga yang didapatnya dari latihan menurut kitab pelajaran palsu, Ang-bin Sin-kai lalu mulai melatih muridnya ini dengan ilmu-ilmu silat dari dia sendiri. Pengemis Sakti Muka Merah ini merupakan tokoh terbesar dari timur, maka tentu saja dia memiliki kepandaian silat yang luar biasa dan mempunyai keistimewaan dalam ilmu silat tangan kosong…..
********************
Agar pembaca tidak menjadi bingung melihat Bun Sui Ceng, yaitu anak perempuan dari Pek-cilan Thio Loan Eng itu tiba-tiba saja muncul menjadi murid Kiu-bwe Coa-li, baiklah kita menengok keadaan Thio Loan Eng dan mengikuti perjalanannya semenjak dia pergi meninggalkan rumahnya karena puterinya diangkat menjadi ketua oleh para anggota Sin-to-pang atau Perkumpulan Golok Sakti.
Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Thio Loan Eng meninggalkan dusun Tun-hang bersama Bun Sui Ceng, puterinya. Nyonya muda pendekar ini merasa amat gelisah dan khawatir memikirkan nasib puterinya kelak, karena itu timbul di dalam pikirannya untuk mengunjungi rumah seorang sahabat baiknya yang bernama Ong Kiat.
Ketika masih kecil, Ong Kiat ini merupakan kawan main dari Loan Eng karena orang tua mereka menjadi tetangga dan di antara dua orang anak kecil ini timbul rasa saling suka dan cocok. Akan tetapi, Loan Eng oleh orang tuanya dijodohkan dengan Bun Liok Si dan berpisahlah mereka.
Dengan terharu Loan Eng mendengar betapa Ong Kiat jatuh sakit hebat sampai hampir mati ketika dia menikah dengan Bun Liok Si. Diam-diam dia maklum bahwa pemuda she Ong itu cinta kepadanya.
Ong Kiat yang sejak kecil juga belajar ilmu silat, kemudian menjauhkan diri dari dunia ramai dan naik ke Pegunungan Thian-san, menjadi murid dari tokoh-tokoh Thian-san-pai. Selama itu mereka tidak pernah saling bertemu lagi.
Baru setelah Loan Eng membunuh suaminya sendiri karena cemburu dan nyonya janda muda ini sering merantau, terjadi pertemuan antara dua orang bekas sahabat di waktu kecil ini secara kebetulan sekali. Ketika itu, seperti biasanya, Loan Eng meninggalkan puterinya yang masih kecil dalam asuhan para pelayan-pelayannya, dan ia sendiri pergi merantau di dunia kang-ouw untuk melakukan tugas sebagai seorang lihiap (pendekar wanita).
Memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Loan Eng untuk pergi merantau dan mempergunakan kepandaiannya guna menolong orang-orang yang tertindas sehingga namanya amat terkenal sebagai pendekar wanita berbudi yang berjuluk Pek-cilan (Bunga Cilan Putih). Ia sering kali berpakaian warna putih dan karena kecantikannya disamakan dengan bunga cilan yang harum, maka ia pun mendapat julukan ini. Selain itu, Loan Eng memang suka kepada bunga cilan dan sering kali rambutnya dihias oleh setangkai bunga cilan.
Seorang diri Loan Eng menuju sebuah bukit kecil yang penuh dengan rimba raya. Inilah Bukit Lek-san yang berada di selatan kota Hak-keng. Loan Eng sengaja mendatangi bukit ini karena ia mendengar kabar bahwa di atas bukit ini bersarang sekawanan orang jahat yang baru-baru ini mengacau dusun-dusun dan kota-kota, dan bahkan sekawanan orang jahat ini lihai sekali.
Pek-cilan Thio Loan Eng memang tidak mengenal akan arti kata takut. Selain lihai ilmu pedangnya, juga nyonya janda muda yang cantik ini perkasa dan bernyali besar. Selama dalam perantauannya, entah sudah berapa banyak penjahat roboh dalam tangannya dan biar pun ia sudah sering kali menghadapi orang-orang jahat serta bahaya maut, namun berkat kegagahannya, ia selalu terhindar dan selamat.
Setelah Loan Eng mulai naik Bukit Lek-san, mulai kelihatanlah ketidak amanan daerah ini. Banyak dusun yang sudah kosong ditinggalkan begitu saja oleh para penghuninya. Makin ke atas mendaki puncak bukit menjadi makin sunyilah kedaannya dan hutan-hutan yang berada di atas bukit menjadi makin liar dan gelap saja.
Namun, Loan Eng tetap tabah dan melanjutkan perjalanannya menuju ke atas. Dia ingin sekali mendatangi sarang gerombolan itu dan hendak membasmi gerombolan itu sampai bersih.....
Loan Eng tidak mengetahui bahwa banyak pasang mata manusia mulai memandang dan mengintai dirinya dari balik pohon-pohon, mata banyak orang laki-laki yang nampak buas dan kejam. Bibir-bibir tebal dan kotor menyeringai penuh gairah pada waktu mata mereka memandang wajah Loan Eng yang cantik jelita dan potongan tubuhnya yang langsing.
Setelah Loan Eng tiba di tempat terbuka di dalam hutan yang liar itu, tiba-tiba terdengar suitan keras sekali dan segera tampak berlompatan keluar anggota-anggota gerombolan yang jumlahnya dua puluh orang lebih diketuai oleh dua orang laki-laki muda bertubuh tinggi besar dan bermata liar. Inilah gerombolan yang belum lama ini bersarang di Bukit Lek-san, gerombolan yang amat ganas, yang sudah banyak merampok, menculik wanita, dan membakar rumah penduduk. Dua orang muda tinggi besar itu adalah kakak beradik bernama Sin Sai (Singa Sakti) dan Sin Houw (Harimau Sakti).
“Nona elok dan gagah siapakah yang bernyali demikian besar memasuki wilayah kami?” tanya Sin Sai sambil memandang kagum, ada pun Sin Houw adiknya juga memandang dengan mata penuh gairah.
“Namaku tak perlu diketahui oleh gerombolan perampok keji. Lebih baik kalian mengaku, apakah kalian ini yang suka mengganggu penduduk sekitar daerah ini? Jika betul, cepat berlututlah kalian semua agar menerima kematian tanpa menderita sakit lagi.”
Semua orang tertegun, karena mereka tidak mengira seorang wanita cantik akan berani mengucapkan kata-kata seperti itu. Sin Houw berkata kepada Sin Sai.
“Sai-ko, dia ini tentu mata-mata dari keparat she Ong itu, lebih baik tangkap saja!” sambil berkata demikian, dia menggerakkan golok besarnya untuk mengancam Loan Eng, lalu dengan mulut menyeringai dia berkata, “Nona manis, walau pun kau bersikap sombong, namun sikapmu tidak mengurangi rasa sukaku kepadamu. Marilah kau ikut saja dengan aku dan aku bersumpah bahwa kalau kau suka menjadi biniku, aku tidak akan mau lagi mengganggu lain wanita lagi!”
Sepasang mata Loan Eng yang jeli dan bagus lantas bernyala. Sekali dia menggerakkan tangannya, pedangnya yang mengkilat itu telah terhunus dan berada di tangan kanan.
“Bagus sekali, kau memilih kematian yang menyiksa dirimu. Hari ini, apa bila tidak dapat membasmi kalian anjing-anjing hina-dina ini, jangan sebut aku Pek-cilan lagi!” Sebagai penutup kata-katanya, Loan Eng lalu melompat maju dan menyambar ke arah leher Sin Houw!
Melihat sinar pedang yang mengkilat dan cepat ini, Sin Houw tidak berani memandang ringan. Dari gerakan ini dia maklum bahwa pendekar wanita di depannya itu mempunyai kepandaian tinggi, apa lagi nama julukan Pek-cilan bukan tidak terkenal dan dia pernah mendengar nama ini dipuji-puji orang.
Cepat dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya, dengan maksud hendak membuat pedang lawannya terpental dan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa pedang Loan Eng sama sekali tidak terpental, bahkan telapak tangan kepala rampok muda ini yang terasa sakit!
Dia berseru keras dan merasa terkejut sekali, akan tetapi tidak kehilangan kesigapannya karena goloknya juga terbuat dari baja yang amat baik maka tidak rusak. Ketika goloknya terpental oleh pedang lawan, dia lalu mengayun golok itu ke bawah dan menyerampang kedua kaki Loan Eng menggunakan gerak tipu Hong-sauw Pai-hio (Angin Menyapu Daun Rontok), sebuah gerak tipu serangan yang amat hebat dan berbahaya.
Diam-diam Loan Eng harus mengakui bahwa kepandaian kepala rampok muda ini tidak jelek, maka cepat ia memutar pedangnya berubah yang menjadi segundukkan sinar putih yang lihai sekali. Kepala rampok itu juga menahan dengan mengeluarkan ilmu goloknya yang ternyata adalah ilmu golok Go-bi-pai. Akan tetapi ilmu goloknya masih jauh untuk menandingi pedang di tangan Loan Eng sehingga dalam beberapa jurus saja Sin Houw sudah terdesak hebat.
Sin Sai berseru keras dan kepala rampok nomor satu ini lalu menerjang dengan goloknya yang ternyata masih lebih tinggi dan lebih lihai dari pada kepandaian adiknya. Juga para perampok diberi tanda sehingga sebentar saja Loan Eng dikeroyok hebat.
Pendekar wanita ini tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia makin gembira mainkan pedangnya. Tak lama kemudian, terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan tubuh beberapa orang anak buah perampok roboh terguling terkena sambaran pedang di tangan nyonya janda yang cantik dan gagah itu.
“Mundur...!” teriak Sin Sai ketika melihat sudah lima orang anak buahnya roboh.
“Kita tangkap dia hidup-hidup!” seru Sin Houw pula.
Mereka lantas berkelahi sambil mundur. Belasan batang golok merupakan perisai dan menangkis serangan-serangan pedang Loan Eng yang bergerak cepat.
Akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah yang besar sekali. Loan Eng menjadi terheran-heran, mengapa dalam hutan yang liar itu bisa terdapat sebuah rumah gedung ini? Tiba-tiba semua lawannya melompat masuk ke dalam rumah itu dan pintu depannya tertutup dengan mengeluarkan suara keras!
Pek-cilan Thio Loan Eng ragu-ragu. Dia memandang bangunan di depannya yang kini nampak senyap. Tidak salah lagi, rumah ini tentu dulunya adalah sebuah kelenteng tua, pikirnya. Bagaimana kini bisa menjadi sarang penyamun?
Dia tidak tahu bahwa kelenteng ini memang sudah lama ditinggalkan para hwesio yang mendapat gangguan perampok-perampok ini, dan bahwa perampok lalu memperbaikinya dan menggunakan sebagai sarang mereka. Juga para wanita yang diculik, semua berada di dalam gedung yang besar dan memiliki pekarangan belakang yang luas sekali ini.
“Hemm, mereka pasti akan menjebakku,” pikir Pek-cilan Thio Loan Eng.
Sebagai seorang pendekar wanita yang banyak merantau dan sudah sering menghadapi penjahat-penjahat, tentu saja dia banyak pengalaman dan berlaku hati-hati. Akan tetapi, keberaniannya luar biasa sekali dan biar pun dia sudah bercuriga dan menyangka akan adanya perangkap yang dipasang, Loan Eng tak merasa takut. Dihampirinya pintu rumah gedung itu dan beberapa kali bacok saja, sambil mengeluarkan suara gaduh, daun pintu itu pecah dan roboh!
“Syuuut-syuuuut! Syuuuuut!”
Banyak sekali anak panah menyambar ke arah pintu itu dari depan kanan dan kiri. Kalau saja Loan Eng tadi terus menerjang masuk ke dalam, tentu ia akan terancam oleh anak panah ini. Akan tetapi pendekar wanita ini sudah berlaku hati-hati sekali, dan setelah tadi merobohkan pintu, dia melompat ke samping sehingga semua anak panah itu mengenai tempat kosong.
Setelah semua anak panah yang terlepas dari tempat-tempat rahasia itu habis, barulah Loan Eng menerjang masuk sambil memutar pedangnya, memasuki pintu yang sudah tidak berdaun lagi itu. Dia melihat keadaan dalam rumah sunyi saja, dan tidak nampak seorang pun manusia.
Akan tetapi, baru saja ia melangkah beberapa tindak dengan amat hati-hati, tiba-tiba dari arah belakang gedung itu terdengar suara ribut-ribut dan di antara suara-suara manusia itu Loan Eng mendengar seruan-seruan.
“Tangkap penjahat! Padamkan api...!”
Loan Eng diam-diam tersenyum dan juga terheran. Pasti ada orang lain yang menyerbu sarang gerombolan ini. Akan tetapi dia tidak tertarik, malah ingin terus menerjang masuk untuk membasmi gerombolan penjahat itu. Tiba-tiba terdengar isak tangis dan dia dapat memastikan bahwa di sebelah kanannya di mana nampak sebuah daun pintu kamar, ada seorang wanita yang sedang menangis sedih sekali.
“Siapa dia? Kenapa menangis? Ah, tentu seorang wanita yang diculik oleh gerombolan,” pikir Loan Eng. “Aku harus menolong dia.” Setelah berpikir demikian, ia tidak jadi menuju ke ruang belakang, melainkan menghampiri daun pintu kamar itu.
Suara tangis itu makin mengeras dan tanpa banyak ragu-ragu lagi, Loan Eng membacok kedua pinggiran daun pintu hingga terlepaslah daun pintu itu dari tiangnya. Seperti juga tadi, Loan Eng tidak langsung menerjang masuk, bahkan mudur dua tindak ke belakang sambil memandang tajam.
Ia tak melihat apa-apa di dalam kamar itu, kosong melompong dan juga tidak kelihatan orang. Suara tangis wanita yang tadi kini sudah pindah ke belakang kamar itu. Loan Eng melihat bahwa di dalam kamar itu terdapat sebuah pintu lain yang agaknya menembus ke ruang tengah, maka ia lalu masuk ke dalam kamar ini.
Baru saja ia melangkah lima tindak di dalam kamar ini dengan hati-hati sekali, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar sebuah toya dari belakang. Pendekar wanita yang gagah ini tanpa menengok kemudian menggerakkan pedangnya ke belakang, diayun dari kanan sambil memutar tubuhnya. Akan tetapi anehnya, toya itu tidak dipegang oleh siapa pun juga dan kini sisanya tinggal sepotong masih tergantung di atas.
Ketika Loan Eng berdongak ke atas, ia tersenyum sindir. Ia tahu bahwa itulah sebuah senjata rahasia yang di gerakkan oleh alat-alat per dan yang otomatis bergerak memukul apa bila ada orang memasuki kamar dan alat penggeraknya kena terinjak. Tetapi ia tidak takut dan melangkah terus!
Baru dua tindak dia melangkah, agaknya ia kena menginjak alat-alat penggerak lagi yang dipasang di bawah permadani, karena mendadak terdengar suara keras dan tiga macam senjata menyerangnya dari tiga jurusan! Sebatang golok melayang keluar dari tembok dan menyambar ke arah kakinya dengan gerakan membabat, sebatang tombak yang runcing tiba-tiba saja keluar dari tembok sebelah depan dan menusuk ke arah perutnya, ada pun senjata ketiga adalah sebuah ruyung besar yang dengan kecepatan kilat menyambar kepalanya. Jadi, sekaligus Loan Eng diserang kaki, perut dan kepalanya!
Namun, Pek-cilan tidak gentar sedikit pun juga.
“Perampok busuk, siapa takut dengan senjata-senjatamu?” bentaknya.
Cepat dia merendahkan tubuh untuk menghindarkan kepala dari sambaran ruyung dan golok yang menyambar ke arah kakinya itu dapat di tendangnya secara luar biasa sekali! Memang Loan Eng memiliki ilmu tendang yang hebat sehingga nyonya muda ini berani menghadapi senjata musuh yang tajam atau runcing dengan kedua kakinya! Ada pun tombak yang menusuk ke arah perutnya dapat di babat putus dengan pedangnya.
“Gerombolan perampok, hari ini aku harus dapat membasmi kalian semua!” Loan Eng berseru dan hendak menerjang pintu yang berada di kamar itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja dari langit-langit kamar menyambar turun semacam jala yang lebarnya memenuhi kamar itu. Loan Eng terkejut sekali dan hendak melompat keluar dari kamar itu, namun tidak keburu. Sebelum ia tiba di pintu tadi, jala itu sudah menerkamnya dan ternyata bahwa itu bukanlah jala biasa melainkan jala yang terbuat dari kawat-kawat baja yang lemas akan tetapi kuat sekali!
Untuk beberapa lamanya, Loan Eng menjadi bingung dan gelagapan. Dia meronta-ronta ke sana ke mari di dalam jala, seperti seekor ikan emas di dalam jala seorang nelayan. Makin keras Loan Eng meronta, makin erat pula jala baja itu menekan tubuhnya!
Pendekar wanita ini lalu diam tak bergerak. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Dia tidak boleh gugup menghadapi bahaya ini, kemudian ia menggunakan pedangnya, digosokkan pada kawat jala seperti orang orang menggergaji.
Dengan pengerahan tenaga lweekang-nya, dia berhasil membuat kawat itu putus! Loan Eng girang sekali dan bekerja terus. Tak lama kemudian, ia telah dapat membikin putus beberapa helai kawat jala dan kini ia akan mudah saja dapat menerobos keluar dari jala yang sudah bocor itu. Akan tetapi dia tidak mau keluar, bahkan memegangi bagian jala yang sudah rantas, karena ia mendengar suara orang mendatangi.
Muncullah dari pintu depan dengan seorang anggota gerombolan yang tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, aku dapat menangkap seekor ikan duyung!” serunya girang. “Aduh cantiknya! Manis, kalau kau berjanji mau menjadi biniku, segera aku akan melepaskan kau dari jala itu. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi mendadak dia menjadi pucat dan selanjutnya dia takkan dapat tertawa atau menangis lagi karena pada saat dia tertawa tadi, Loan Eng sudah menerobos keluar dan sekali pedangnya berkelebat, tubuh anggota gerombolan ini sudah putus menjadi dua pada bagian pinggangnya!
Dengan marah sekali Loan Eng lantas menendang pintu dalam kamar itu yang menjadi pecah dan terbuka. Di situ ia melihat pemandangan yang bikin alisnya terangkat naik dan giginya digigitkan.
Ternyata di balik pintu itu adalah sebuah ruangan yang cukup luas dan di seberang sana dia melihat seorang wanita yang pakaiannya cobak-cabik sedang di seret-seret oleh Sin Houw, kepala perampok ke dua. Wanita itu masih muda sekali, mukanya pucat dan air matanya mengalir membasahi pipinya. Rambutnya yang hitam panjang itu terurai dan kini dijambak oleh Sin Houw yang menyeretnya ke arah lain.
“Jahanam keparat!” Loan Eng memaki dan cepat ia berlari mengejar.
Akan tetapi, celaka sekali baginya! Tak tahunya bahwa Sin Houw sengaja berlaku kejam kepada wanita itu, yakni seorang di antara banyak wanita yang diculik oleh gerombolan, hanya dengan maksud agar Loan Eng menjadi marah, menjadi kurang hati-hati dan terus mengejarnya.
Pada waktu pendekar wanita ini berlari mengejar sampai di tengah-tengah ruangan itu, tiba-tiba saja permadani yang diinjaknya menyeplos ke bawah! Di situ tidak ada lantainya sama sekali dan merupakan lobang yang bentuknya segi empat, besarnya ada sepuluh kaki dan dalam sekali, hanya luarnya ditutupi dengan permadani tebal. Tentu saja kalau diinjak lalu nyeplos ke bawah berikut permadaninya!
Bukan main kagetnya hati Loan Eng, bukan karena kejatuhan itu, melainkan karena yang menerima tubuhnya di bawah adalah air yang dingin! Ia masih berusaha berpegang pada permadani yang tebal dan lebar itu, akan tetapi permadani itu berat sekali dan sesudah terkena air, terus saja tenggelam!
Loan Eng terpaksa cepat-cepat melepaskan pegangannya dan merasa betapa tubuhnya akan tenggelam terus. Bukan main dalamnya sumur yang lebar sekali ini, sedangkan dia tidak pandai berenang!
Pada saat itu air bergolak dan permadani yang tadinya sudah tenggelam, kini tersembul kembali dengan cepatnya. Air muncrat tinggi dan pucatlah muka Loan Eng ketika melihat ujung ekor ikan yang besar!
Ternyata bahwa di dalam sumur lebar itu hidup seekor ikan yang besar dan tadi menjadi marah karena permadani itu tenggelam. Kini ikan itu mulai mengamuk dan menyerang permadani tadi. Terdengarlah suara kain robek dan sebentar saja permadani itu sudah cobak-cabik.
Ketika Loan Eng merasa tubuhnya hampir tenggelam, pendekar wanita ini menendang-nendangkan kedua kakinya ke bawah sehingga dia bisa mumbul kembali. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaganya menusuk dinding sumur dengan pedangnya yang tidak pernah lepas dari tangannya. Biar pun dinding sumur itu berbatu dan keras, namun pedang Loan Eng dengan mudah menancap sampai setengahnya.
Kini nyonya muda itu mempunyai pegangan, yakni gagang pedangnya dan karena tubuh di dalam air menjadi ringan sekali, maka ia dapat mengambang sambil berpegang pada pedangnya. Akan tetapi, setelah bahaya tenggelam tertolong, kini datang bahaya yang lebih hebat lagi, yaitu ikan itu!
Beberapa kali kepala ikan tersembul dan ngeri sekali hati Loan Eng melihatnya. Ikan itu di depan mulutnya memiliki sebatang senjata runcing seperti tombak dan tahulah Loan Eng bahwa itu ikan cucut yang jahat dan suka makan orang!
“Celaka,” pikirnya dengan hati berdebar.
Apa bila dia berada di darat, biar pun ada sepuluh ekor binatang macam ini, dia takkan merasa jeri. Akan tetapi, karena dia tidak berdaya dan di dalam air kepandaiannya tiada gunanya lagi, tentu saja bahaya yang kini dia hadapi adalah bahaya maut yang sukar dielakkan lagi.
“Betapa pun juga, aku harus dapat melawannya,” pikir Loan Eng dengan gemas.
Cepat-cepat nyonya muda ini mengerahkan tenaga lweekang-nya dan dengan tangan kiri berpegang pada gagang pedang, jari-jari tangan kanannya ditusukkan kepada dinding sumur. Hebat juga tenaga lweekang nyonya ini karena biar pun ia merasa ujung jari-jari tangannya sakit, namun dia berhasil mencengkeram dinding itu dan membuat lobang di mana ia bisa memegang atau menjadikan sebagai tempat tangannya berpegang pada lekukan lobang. Lalu ia cepat mencabut pedang dengan tangan kanan karena ia melihat air berombak dan ikan itu muncul lagi!
Bukan main dahsyatnya ikan itu. Panjangnya ada empat kaki dan kini ia menjadi marah sekali. Ketika ia melihat seorang manusia terapung, ia lalu menyerang dengan tombak di depan mulutnya dengan kecepatan luar biasa!
Loan Eng sudah bersiap sedia. Segera ia menggerakkan pedangnya menangkis tombak itu. Ia merasa seluruh lengannya kaku tergetar saking kuatnya ikan itu menyerang. Akan tetapi dia tidak menyangka bahwa ikan itu benar-benar cerdik, karena berbareng dengan memutarnya tubuhnya karena tangkisan tadi, ekornya menyabet ke depan!
Sebetulnya bagi Loan Eng serangan ini tidak hebat sekali, yang celaka adalah air yang muncrat ke arah mukanya sehingga dia sukar membuka mata! Akan tetapi nyonya ini masih sempat menggerakkan pedang, diputar di depannya dan ketika ekor itu menyabet, terlukalah tubuh ikan itu oleh ujung pedang yang runcing tajam.
Akan tetapi, berbareng dengan tubuh ikan yang meronta kesakitan, terdengar suara kain yang memberebet dan pecahlah ujung lengan baju Loan Eng terkena sambaran ekor ikan. Hebat sekali karena ujung lengan baju itu membelit pada ekor sehingga ketika ikan itu meluncur pergi, terdengar suara kain terobek dan tahu-tahu semua pakaian Loan Eng bagian atas sudah robek!
Pendekar wanita ini bingung sekali. Bajunya terlepas dan terobek dari tubuhnya, terbawa oleh ikan itu sehingga bagian atas tubuhnya hanya tertutup dengan pakaian dalam yang sempit dan tipis sehingga dia kini dalam keadaan setengah telanjang.
“Bedebah! Kau harus mampus!” seru Loan Eng dengan marah sekali.
Akan tetapi berbareng ia pun menjadi merah mukanya saking malu dan jengah. Andai kata ia tertolong dan dapat keluar dari sumur ini, bagaimana ia berani bertemu dengan orang?
Ikan itu kini tidak berani menyerang, tubuhnya berputar-putar karena ekornya terasa sakit sekali. Air sumur itu mulai menjadi kemerahan karena darahnya dan Loan Eng hampir menjadi pingsan oleh bau amis yang memuakkan perutnya.
Dia mengincar dan bersiap-siap. Ketika ikan itu berenang berputaran dan berada dekat dengan dia, cepat sekali pedangnya dia gerakkan ke arah perut, menusuk kuat-kuat lalu menggerakkan pedang ke belakang tubuh ikan sehingga perut itu terbelah! Ikan itu lalu meronta-ronta hebat sekali, air muncrat sehingga tubuh Loan Eng bergerak-gerak karena gelombang air. Akan tetapi hanya sebentar saja karena perut ikan itu sudah terbuka dan isi perutnya berhamburan keluar. Matilah binantang itu.
Akan tetapi, air menjadi semakin merah dan bau amis tak tertahankan lagi. Ia mengeluh dan pegangannya pada lobang di dinding sumur makin mengendur. Ia masih ingat untuk menancapkan pedang pada dinding sekuatnya dan kini ia dapat berpegang pada gagang pedang lagi. Demikianlah, pendekar wanita ini bergantung pada gagang pedang dalam keadaan setengah pingsan. Dia mulai putus asa karena tidak melihat jalan keluar sama sekali. Tubuhnya terasa kedinginan, karena dalam keadaan setengah telanjang itu, air yang dingin bagaikan menyusup ke dalam tulang-tulangnya.
Pada saat yang sangat berbahaya ini, tiba-tiba dari atas sumur terayun sehelai tambang dan terdengar suara orang.
“He, kawan yang berada di bawah. Lekas berpegang pada tambang!”
Pikiran Loan Eng sudah nanar dan pening. Ia tidak teringat akan apa-apa lagi, tidak ingat akan keadaan tubuhnya yang setengah telanjang. Melihat tambang terayun di dekatnya, ia cepat menyambar, mencabut pedangnya dan bergantung pada tambang itu. Bau amis membuat dia muak dan lemah sehingga tak kuasa lagi untuk merayap melalui tambang.
Perlahan-lahan tambang itu ditarik orang ke atas dan setibanya di lantai dalam ruang di mana dia tadi terjeblos, Loan Eng yang sudah pening sekali masih sempat melihat wajah seorang pemuda yang tampan. Ia berusaha mempertahankan rasa muaknya, akan tetapi tak tertahankan lagi dan ia muntah-muntah lalu tak sadarkan diri.
Akan tetapi tidak lama ia jatuh pingsan. Ketika kembali membuka mata, dia cepat-cepat melompat dan pada saat dia melompat itu, terbukalah sehelai baju panjang yang tadinya menutupi bagian atas tubuhnya. Dengan terkejut Loan Eng melihat betapa bagian atas tubuhnya itu setengah telanjang! Bukan main kagetnya dan cepat-cepat dia menyambar baju panjang itu dan dikerobongkan pada tubuhnya kembali. Ia menengok dan melihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari situ sambil memandangnya dengan senyum!
“Loan Eng, baiknya kau lekas sadar kembali. Aku sudah khawatir karena mereka masih mengancam keselamatan kita.”
“Ohhh...” Loan Eng terkejut sekali dan mukanya menjadi merah seperti kepiting di rebus. “Kau… Ong Kiat...? Bagaimana kau bisa berada di sini...?”
Orang muda itu tersenyum lagi, wajahnya tampan dan bagi Loan Eng, tak ada perubahan pada wajah yang dikenalnya baik-baik semenjak masa kanak-kanak itu.
“Tiada waktu bicara sekarang, Loan Eng. Lekas kau pakailah pakaian kering ini dan kita bersiap-siap menghadapi mereka!” Sambil berkata demikian, Ong Kiat lalu melemparkan segulung pakaian wanita kepada Loan Eng, lalu membalikkan tubuhnya, membelakangi Loan Eng.
Makin merah muka Loan Eng. Kalau bukan Ong Kiat yang sudah dipercaya penuh, dia tidak sudi berganti pakaian di dekat orang laki-laki, sungguh pun laki-laki itu telah berdiri membelakanginya. Akan tetapi dia harus berganti pakaian, karena kalau nanti bertempur melawan gerombolan, bagaimana ia dapat bergerak dengan baju panjang mengerobongi tubuhnya yang setengah telanjang itu? Cepat-cepat ia membuka semua pakaiannya dan apa bila pada waktu itu ada perlombaan berganti pakaian, pasti Loan Eng akan menjadi juaranya. Demikian cepatnya ia berganti pakaian!
“Jadi kaukah orang yang menolongku dari sumur tadi?” tanyanya perlahan.
“Tiada harganya untuk disebut-sebut, Loan Eng. Kau tahu bahwa aku selalu siap sedia untuk membelamu dengan taruhan nyawa sekali pun!”
Berdebar jantung janda muda itu. Dia memeras rambutnya, lalu di gelungnya.
“Punyamukah jubah panjang ini, Ong Kiat?”
“Ya, aku melihat kau... kau kedinginan, maka aku kerobongkan baju luarku.”
Dengan muka terasa panas biar pun masih basah oleh air, Loan Eng mengerling ke arah punggung orang muda itu. “Dan… kau... kau melihat...”
“Apa, Loan Eng?”
“...tidak apa-apa! Aku sudah selesai berpakaian, Ong Kiat!”
Orang muda itu memutar tubuhnya dan mereka saling pandang.
“Ahh, kau tidak berubah, Loan Eng. Masih seperti dulu.”
“Siapa bilang tidak berubah? Aku sekarang sudah tua.”
“Kau keliru! Setiap orang pasti akan mengatakan bahwa kau tidak ada ubahnya seorang gadis berusia tujuh belas tahun saja. Sungguh, kau tidak berubah, Loan Eng.”
“Kau pun tidak berubah, Ong Kiat, yakni... watakmu, masih baik seperti dulu.”
“Jadi keadaan jasmaniku berubah dalam pandanganmu?”
“Hanya pakaianmu!”
Ong Kiat tertawa dan biar pun usianya sudah hampir tiga puluh tahun, ketika tertawa dia nampak masih muda sekali.
“Memang aku telah menjadi piauwsu (pengantar dan pengawal barang kiriman) dan aku tinggal di kota Hak-keng, tidak jauh dari sini.”
Percakapan mereka terhenti karena terdengar suara orang dan dan tindakan kaki.
“Akan kubasmi semua gerombolan anjing itu!” kata Loan Eng perlahan dan tanpa berjanji dulu, kedua orang ini lalu melompat menerjang ke arah pintu, keluar dari ruangan itu.
Alangkah kagetnya Sin Sai dan Sin Houw yang memimpin orang-orangnya ketika melihat dua orang itu. Mereka tidak mengira bahwa Loan Eng sudah dapat keluar dari sumur itu. Namun Loan Eng dan Ong Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka untuk berheran-heran lebih lama lagi karena Loan Eng sudah lantas menggerakkan pedangnya dan menerjang dengan hebat sekali. Juga Ong Kiat telah menerjang dengan goloknya yang terkenal karena dia adalah anak murid Thian-san-pai yang berkepandaian tinggi.
Hebat sekali sepak terjang dua orang muda yang marah ini. Terutama sekali Loan Eng. Pendekar wanita ini mengarahkan serangannya khusus kepada Sin Sai dan Sin Houw yang mengeroyoknya, sedangkan Ong Kiat dengan enaknya membabati para anak buah gerombolan yang segera roboh sambil menjerit kesakitan.
Hanya dalam waktu tiga puluh jurus saja, berturut-turut Sin Sai dan Sin Houw roboh dan tewas di ujung pedang Loan Eng. Kemudian berdua Ong Kiat ia membasmi semua anak buah gerombolan. Tak seorang pun dapat melarikan diri.
Ong Kiat lalu mengajak Loan Eng menyerbu ke dalam gedung itu. Mereka membebaskan orang-orang wanita yang tadinya diculik oleh gerombolan itu dan jumlah mereka semua adalah sembilan orang, penduduk dusun-dusun dan juga ada dua orang berasal dari kota Hak-keng.
Ong Kiat segera mengumpulkan barang-barang kawalannya yang tadinya dirampok oleh gerombolan itu. Ia tak mau mengambil lain barang berharga untuk keperluannya sendiri, bahkan lalu membagi-bagikan barang-barang lainnya kepada sembilan orang wanita itu yang berlutut di depan Loan Eng dan Ong Kiat sambil menghaturkan terima kasih.
Mereka membakar gedung sarang gerombolan itu, lalu kedua orang gagah ini mengantar sembilan orang wanita itu menuju Hak-keng. Kiranya tidak perlu diceritakan betapa dua orang muda pendekar ini disambut dengan penuh kegembiraan dan rasa terima kasih oleh keluarga para korban itu. Terutama sekali Ong Kiat yang memang sudah terkenal di kota Hak-keng sebagai seorang pendekar yang budiman, mendapat sambutan hangat, bahkan kepala daerah di Hak-keng memberi gelar Hak-keng Taihiap kepadanya.
Kemudian, di ruang tamu di rumah Ong Kiat, dua orang pendekar itu duduk menghadap arak. Loan Eng merasa terharu melihat betapa keadaan rumah bekas kawannya ini sunyi saja, hanya ada dua orang pelayan wanita tua yang mengurus rumah tangga.
“Ong Kiat, di mana orang tuamu?”
Ong Kiat menarik napas panjang. “Mereka sudah meninggal dunia ketika wabah penyakit mengamuk di kota ini.”
“Dan kau hidup sebatang kara?”
Ong Kiat mengangguk.
“Apakah kau tidak… tidak beristri?”
Mendengar pertanyaan ini, seketika merahlah wajah Ong Kiat dan dia menjawab agak kasar, “Loan Eng, kau kira aku laki-laki macam apakah? Selama hidup, aku tidak akan melanggar sumpahku!”
Kini Loan Eng menghela napas sambil menundukkan mukanya. Ia masih ingat baik-baik akan sumpah Ong Kiat, bahwa pemuda ini tidak akan menikah dengan lain orang wanita kecuali dengan Thio Loan Eng yang sudah di jodohkan oleh orang tuanya kepada Bun Liok Si!
“Loan Eng, kau baik-baik saja selama ini? Bahagiakah hidupmu?”
“Ahh, Ong Kiat. Kau tidak tahu. Aku adalah seorang yang paling berdosa, seorang istri yang tidak baik. Aku... aku telah membunuh suamiku sendiri.”
Akan tetapi Ong Kiat tidak heran mendengar ini. “Aku sudah tahu, Loan Eng. Aku sudah mendengar tentang semua keadaanmu.” Kemudian untuk menggembirakan suasana, dia bertanya. “Ahh, ya, bagaimana dengan puterimu? Sudah besarkah?”
Berseri wajah Loan Eng. “Kalau tidak ada puteriku, agaknya aku takkan ada di dunia ini.” Setelah berhenti sebentar, Loan Eng lalu mengubah percakapan yang tak enak itu. “Ong Kiat, bagaimana kau bisa berada di sarang gerombolan itu dan kebetulan sekali dapat menolongku keluar dari dalam sumur?”
Ong Kiat lalu bercerita. Telah beberapa tahun dia menjadi piauwsu dan karena gagahnya dan jujurnya, maka dia dipercaya penuh oleh banyak pedagang dan bangsawan. Pada suatu hari, pembantu-pembantunya mengantarkan barang-barang berharga dari seorang bangsawan dan barang-barang itu harus diantarkan ke kota raja. Pada waktu itu, Ong Kiat tidak berada di Hak-keng karena piauwsu muda ini sedang mengantarkan sebuah keluarga yang melakukan perjalanan jauh. Ketika dia datang di Hak-keng kembali, dia mendengar bahwa barang kiriman itu dirampok oleh gerombolan di dalam hutan itu.
Marahlah Ong Kiat dan seorang diri saja dia kemudian membawa goloknya melakukan penyelidikan. Melihat gerombolan itu terdiri dari dua puluh orang lebih, ia lalu melakukan pembakaran di bagian belakang gedung itu, tidak tahu bahwa Loan Eng sudah menyerbu masuk ke dalam. Ong Kiat maklum akan kelihaian gerombolan ini, karena dia pun tahu bahwa bekas kelenteng ini memang mempunyai banyak bagian-bagian rahasia.
Dia lantas merobohkan beberapa orang anggota gerombolan dan menyerbu ke dalam. Ia datang pada saat yang tepat karena dia melihat empat orang gerombolan mengintai dari pintu sebuah ruangan besar, di mana terdapat sumur rahasia itu. Dia dapat merobohkan dua orang anggota gerombolan dan yang dua lagi lari keluar.
Maka waktu kedatangannya tepat sekali dan dia masih sempat menolong Loan Eng dari bahaya maut. Ia tadinya tidak tahu bahwa orang yang terjebak adalah Loan Eng, wanita satu-satunya di dunia ini yang menjadi pujaan kalbunya.
Melihat keadaan Loan Eng cepat Ong Kiat mengerobongi tubuh wanita yang dikasihinya ini dengan baju luarnya, kemudian dia menyerbu ke dalam kamar belakang dan meminta sesetel pakaian dari seorang wanita tawanan untuk diberikan kepada Loan Eng setelah pendekar manita ini siuman kembali.
Mendengar penuturan Ong Kiat ini, Loan Eng lalu berkata kagum, “Tak kusangka bahwa kepandaianmu telah maju demikian hebatnya, Ong Kiat.”
“Ahh, mana bisa dibandingkan dengan ilmu pedangmu?” jawab Ong Kiat merendah, lalu dengan wajah bersungguh-sungguh ia berkata, “Loan Eng, setelah kau sekarang menjadi janda, hanya hidup berdua saja dengan puterimu, kiranya adakah harapan bagiku untuk membantumu mendidik puterimu itu? Aku akan menganggap dia sebagai anakku sendiri, Loan Eng.” Sambil berkata demikian, dia menatap wajah bekas kawannya itu dengan penuh harapan.
Loan Eng tertegun dan menundukkan mukanya yang menjadi merah! Terus terang saja, dahulu sebelum dijodohkan dengan Bun Liok Si, diam-diam ia juga merasa suka kepada Ong Kiat, kawan mainnya semenjak ia kecil. Setelah mulai dewasa rasa suka ini menjadi perasaan cinta kasih yang terpendam.
Akan tetapi, setelah menjadi istri Bun Liok Si, perasaan terhadap Ong Kiat ini diusirnya jauh-jauh, dan tidak pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang istri, ia harus mencinta suaminya dan harus bersetia lahir dan batin! Biar pun suaminya telah meninggal dunia, namun andai kata ia tidak bertemu Ong Kiat, agaknya selama hidupnya ia pun tidak akan mengingat lagi kepada bekas kawan itu.
Akan tetapi, nasib agaknya menghendaki lain, karena dalam keadaan yang sangat tidak tersangka-sangka, ia bertemu dengan pemuda ini. Dan lebih hebat lagi, ternyata bahwa Ong Kiat masih tetap setia dan tidak mau menikah dengan wanita lain, bahkan sekarang mengajukan pinangan kepadanya! Dapat dibayangkan betapa gelisah serta bingungnya hati Loan Eng menghadapi pinangan pemuda ini.
Ia maklum akan kemuliaan hati dan kebaikan watak Ong Kiat, dan ia berani memastikan bahwa andai kata ia meneriman pinangan ini, ia akan dapat hidup beruntung. Dan juga puterinya, Sui Ceng, pasti akan menemukan seorang ayah tiri yang jauh lebih baik adat wataknya dari pada ayahnya sendiri yang sudah meninggal! Akan tetapi... hatinya masih terasa berat untuk menerima pinangan ini. Memang, pada masa itu di Tiongkok, adalah merupakan suatu hal yang langka dan tidak mungkin bagi seorang janda, apa lagi sudah mempunyai anak, untuk bisa menikah lagi.
Melihat sampai sekian lamanya Loan Eng tidak menjawab dan menunduk saja dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Ong Kiat lalu bertanya dengan nada mendesak. “Loan Eng, bagaimana jawabmu? Apakah masih juga aku tidak mempunyai harapan?”
Loan Eng mengangkat mukanya memandang dan Ong Kiat melihat betapa sepasang mata yang bening itu menjadi basah.
“Ong Kiat, bagaimana aku harus menjawabmu? Aku tidak ingin menyakitimu, tidak ingin mengecewakanmu, kau begitu baik... Sedangkan aku...”
“Hushh Loan Eng, jangan ucapkan kata-kata seperti itu. Aku bukan seorang anak-anak lagi. Marilah kita bicara dengan tenang, tidak baik kalau orang-orang yang sudah banyak menderita seperti kita ini masih dapat dikuasai oleh nafsu.”
Mendengar ucapan ini, legalah Loan Eng. Ia mengangkat mukanya lagi dan sekarang ia memandang dengan berani. Pandangan matanya penuh kekaguman.
“Loan Eng, aku dapat menduga isi hatimu. Kau tentu suka sekali menerima pinanganku, akan tetapi kau merasa tidak enak, sebagai seorang janda muda menikah lagi, bukan?”
Loan Eng mengangguk, “Bukan cuma itu saja, Ong Kiat. Aku sudah membunuh suamiku sendiri karena dia menyeleweng, karena cemburu. Apa bila sekarang aku menikah lagi dengan kau, apakah orang lain tidak akan mengatakan bahwa aku sengaja membunuh suamiku untuk dapat menikah lagi dengan orang lain?”
Ong Kiat mengerutkan keningnya. Beralasan juga kata-kata wanita yang dicintainya ini. “Akan tetapi, Loan Eng. Dalam hal pembentukan rumah tangga, suara orang luar selalu hanya mendatangkan kerusakan belaka. Apa sangkut pautnya orang lain dengan kita? Pula, hendak kulihat siapa orang-orangnya yang berani mencacimu? Pendeknya begini, Loan Eng. Kau pulanglah dan pikirkanlah masak-masak. Aku tak terburu-buru dan masih tetap bersabar, karena sudah bertahun-tahun aku menanti, bahkan aku telah mengambil keputusan tak akan menikah dengan orang lain. Masa aku tidak dapat bersabar menanti sampai kau dapat mengambil keputusan? Ingatlah selalu, bahwa di Hak-keng, aku selalu menanti kedatanganmu dan anakmu.”
Demikianlah, Loan Eng lalu pulang ke Tun-hang dengan berat hati dan ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Dan dalam perjalanan pulang inilah ia bertemu dan menolong Lu Kwan Cu dari tangan Tauw-cai-houw sebagaimana sudah dituturkan pada bagian depan.
Kemudian terjadilah peristiwa penculikan Sui Ceng oleh para anak buah suaminya, yakni anggota-anggota Sin-to-pang. Melihat keadaan ini, hati Loan Eng merasa ngeri. Dia takut kalau-kalau puterinya yang hanya satu-satunya dan sangat dikasihinya itu benar-benar akan menjadi ketua dari Sin-to-pang! Karena itu ia kemudian membawa pergi puterinya, meninggalkan Lu Kwan Cu.
Ke manakah perginya Loan Eng dan Sui Ceng. Mudah diduga. Ke mana lagi kalau tidak ke Hak-keng, ke tempat tinggal Ong Kiat, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi harapan Loan Eng. Bukan demi rasa cintanya kepada Ong Kiat maka ia datang kepada piauwsu muda itu, melainkan karena ia bingung bagaimana harus mendidik Sui Ceng tanpa ayah. Ia tahu bahwa di samping Ong Kiat, ia akan merasa kuat dan tabah, dan Sui Ceng akan mendapatkan rumah tangga yang kokoh kuat dan berbahagia.
Ong Kiat menerima mereka dengan gembira bukan main. Pernikahan lalu dilangsungkan secara amat sederhana. Ong Kiat cuma mengundang teman-teman dan kenalan-kenalan yang dekat, dan upacara pernikahan hanya cukup dengan sembahyang dan disaksikan oleh para tamu. Akan tetapi, dalam upacara ini, terjadilah hal yang sangat hebat sekali.
Selagi para tamu bergembira-ria minum arak dan makan hidangan, sedangkan Loan Eng telah kembali ke kamarnya, tiba-tiba dari luar datang seorang tokouw (pendekar wanita) yang tua akan tetapi berwajah kereng sekali. Pendeta wanita ini memegang sebatang cambuk berbulu sembilan. Dia bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li, tokoh besar ke dua dari selatan!
Pada saat itu Loan Eng tengah memeluk puterinya sambil menangis terisak-isak. Selama dilakukan upacara pernikahan, Sui Ceng marah-marah dan menangis saja. Anak ini tidak mau keluar dari kamar.
“Ibu, kau terlalu! Mengapa menikah dengan Paman Ong Kiat?” demikian berkali-kali anak kecil ini menegur ibunya dengan muka cemberut.
“Ssttt, anakku. Bukankah paman Ong sangat baik? Dia akan menjadi ayahmu yang baik sekali.”
“Ahh, aku tidak suka, Ibu. Ayahku ketua dari Sin-to-pang, baik mati atau hidup dia tetap ayahku!”
Mendengar ucapan ini, Loan Eng memeluk puterinya dan menangis. Ia tidak tahu harus berbuat dan berkata bagaimana. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di bagian luar.
Suaminya masih melayani tamu di depan, maka mendengar suara ribut-ribut itu, Loan Eng cepat-cepat melepaskan penutup kepalanya, dan memang ia berpakaian sederhana. Kemudian dia segera bertindak keluar, meninggalkan puterinya yang masih berbaring menangis di atas tempat tidur.
Ketika Loan Eng tiba di luar, ia terkejut sekali. Ia melihat seorang tokouw dikelilingi oleh banyak tamu dan suaminya menghadapi tokouw itu dengan marah-marah.
“Suthai, kau terlalu sekali! Bagaimana kau bisa minta begitu saja anak orang. Harap kau jangan mengganggu kami, Suthai. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan sehingga kau datang-datang hendak mengacau?”
Mendengar ucapan suaminya, Loan Eng terkejut sekali dan ia berseru keras, “Ong Kiat, jangan kurang ajar...!”
Semua orang menjadi terkejut dan lebih-lebih heran mereka ketika melihat betapa Loan Eng lalu berlari dan sesudah tiba di hadapan tokouw itu, Loan Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depannya dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Teecu mengaku salah, harap Locianpwe sudi memberi maaf kepada teecu sekalian...,” katanya dengan suara amat menghormat.
Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan lenyaplah kekakuan pada mukanya.
“Hemm, Loang Eng, kau masih muda, tentu saja kau ingin berumah tangga lagi. Pinni datang bukan hendak mengganggu, hanya untuk meminta anakmu, karena bukankah dia hanya mengganggu kebahagianmu saja?”
Pada saat itu Sui Ceng sudah muncul pula, karena anak ini tadi mengejar ibunya. Melihat tokouw itu, Sui Ceng tertegun. Mengapa ibunya berlutut di depan tokouw aneh ini?
Sementara itu ketika melihat Sui Ceng, Kiu-bwe Coa-li lalu menggerakkan cambuknya. Dua helai bulu cambuknya itu melayang dan tahu-tahu sudah melibat tubuh Sui Ceng. Dengan sekali betot saja, tubuh anak itu sudah melayang ke arahnya dan diterima terus dipondong oleh pendeta wanita itu. Sui Ceng bersorak girang.
“Hebat, hebat! Kau lihai sekali, Suthai,” kata Sui Ceng.
Kiu-bwe Coa-li tertawa. “Mau kau turut aku belajar silat? Di sini kau hanya mengganggu ibumu yang sedang bersenang-senang!”
Sui Ceng memandang kepada ibunya yang masih berlutut, kemudian memandangi Ong Kiat yang berdiri di dekat situ, lalu dia memandang kembali kepada Kiu-bwe Coa-li dan menganggukkan kepalanya.
“Aku ingin belajar silat, karena aku adalah ketua dari Sin-to-pang. Aku harus lihai!”
“Bagus, hayo kau ikut aku pergi!” Sambil berkata demikian, Kiu-bwe Coa-li membawa Sui Ceng.
“Sui Ceng...!” Loan Eng mengeluh akan tetapi tidak berani mengejar.
Tokouw itu menengok dan berkata dengan suara kereng, “Loan Eng, apa kau tidak rela memberikan anakmu sebagai muridku?”
“Bukan tidak rela, hanya teecu berat berpisah dari dia...,” jawab ibu ini.
Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek. “Bukankah kau sudah mendapatkan suami baru? Dia yang akan menghiburmu dan kau akan lupa kepada anakmu!”
“Suthai, kau terlalu sekali!” Ong Kiat membentak. “Kembalikan Sui Ceng kepada kami!” Piauwsu muda ini lalu melompat mengejar dan menubruk, hendak marampas Sui Ceng.
“Ong Kiat, jangan…!” Loan Eng memberi peringatan, namun terlambat.
Begitu Kiu-bwe Coa-li menggerakkan tangannya, tubuh Ong Kiat terpental ke belakang bagaikan tertiup angin puyuh.
“Hemm, kalau tidak ingat kau seorang pengantin baru, tentu kau sudah menggeletak tak bernyawa pula!” berkata Kiu-bwe Coa-li dan sekali ia menggerakkan tubuhnya, lenyaplah bayangan bersama Sui-Ceng.
Loan Eng menangis, dipeluk dan dihibur oleh suaminya yang masih saja terheran-heran bagaimana dia tadi sampai terpental ke belakang, karena dia tak dapat melihat tangkisan atau serangan wanita tua yang lihai itu.
“Sudahlah, Loan Eng. Tak perlu kita bersedih terus. Bukankah Sui Ceng berada dalam tangan orang sakti? Ia akan menerima latihan ilmu silat yang luar biasa. Guru-guruku sendiri di Thian-san tidak mungkin dapat menandingi kelihaian nenek tadi. Siapakah dia itu?”
Sesudah menyusut air matanya dan dapat menentramkan hatinya, Loan Eng berkata, ”Tidak tahukah kau siapa dia? Dia adalah Kiu-bwe Coa-li!”
“Ayaaa...! Pantas saja ia demikian lihai dan aneh. Baiknya ia masih tidak berlaku kejam padaku, kalau tidak demikian, bagaimana aku masih bisa hidup?” kata Ong Kiat.
“Dia telah beberapa kali menolongku dan aku percaya bahwa anakku tentu akan aman di dalam pendidikannya, akan tetapi, bagaimana aku bisa senang ditinggal oleh anakku?” Loan Eng mengeluh sedih.
Ong Kiat menghiburnya dengan penuh cinta kasih dan perhatian sehingga lambat laun dapat juga Loan Eng mengatasi kedukaannya.
Demikianlah keadaan dan pengalaman Loan Eng sehingga Kiu-bwe Coa-li dapat muncul memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng bersama Bun Sui Ceng yang kini telah menjadi muridnya. Sekarang baik kita mengikuti pengalaman dan perjalanan Lu Kwan Cu lebih lanjut…..
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR SAKTI : JILID-04