Pendekar Remaja Jilid 04


Pada suatu hari, ketika Lie Siong tiba di sebuah jalan yang sunyi, dia melihat dua orang laki-laki sedang bertengkar. Tadinya dia tidak hendak mempedulikan kedua orang yang bercekcok itu, akan tetapi karena ia mendengar suara yang seorang amat aneh dan kaku seperti orang asing, ia tertarik juga dan segera menghampiri mereka sambil bersembunyi di balik pohon besar.

Laki-laki yang bicaranya terdengar kaku itu adalah seorang setengah tua yang berkumis dan berjenggot panjang, nampaknya gagah sekali dan matanya bersinar tajam. Ada pun orang yang bercekcok dengan dia adalah seorang muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka kasar dengan mulut selalu menyeringai sombong.

“Gui-kongcu (Tuan Muda Gui), sudah berkali-kali aku menegur dan menasehatimu agar kau jangan menggoda anakku lagi, akan tetapi agaknya kau sengaja bahkan menghina puteriku. Aku biasanya amat sabar, akan tetapi jangan kira bahwa kesabaranku ini tanda bahwa aku takut kepadamu!”

Laki-laki muda itu tertawa bergelak dengan sikap menghina sekali.
“Paman Manako, kau orang tua mengapa tidak memaklumi hati orang-orang muda? Aku mencinta Lilani, kenapa aku menghina? Aku pernah melamar anakmu itu, mengapa pula kau berani menampik pinanganku? Ingat, Paman Manako, kau datang sebagai seorang perantau, dan kalau tidak ada aku dan ayahku, tidak mungkin kau dapat tinggal di daerah ini!”

“Kurang ajar!” bentak lelaki berkumis yang bernama Manako itu. “Gui-kongcu, kau sudah mengucapkan kata-kata menghina terhadap seorang laki-laki Haimi. Kalau aku tak ingat bahwa kau masih kanak-kanak dan tidak ingat bahwa ayahmu sudah menolongku, untuk ucapanmu itu saja aku dapat membunuhmu! Memilih mantu tidak dapat dipaksa. Anakku Lilani tak suka kepadamu, bagaimana aku harus menerima pinanganmu? Sungguh amat tidak tahu malu bagi seorang pemuda yang sudah ditolak pinangannya, tetapi masih saja mendesak dengan cara yang kurang ajar sekali!”

“Manako!” pemuda itu membentak marah, kini tanpa menggunakan sebutan paman lagi. “Lupakah kau sedang bicara dengan siapa?” Pemuda ini kemudian mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.

Orang tua berjenggot itu tersenyum dan dengan tenang ia pun lalu mencabut pedangnya pula. “Tentu saja aku tidak lupa. Aku berhadapan dan bicara dengan Gui-kongcu, putera dari Kepala Daerah Ki-ciang. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa aku Manako bukan seorang penjilat. Tidak peduli siapa saja kalau berani menghinaku, akan kulawan!”

“Orang Haimi yang sombong, rasakan tajamnya pedangku!” teriak pemuda tinggi besar itu dan segera dia menyerang dengan sebuah tusukan hebat.

Gerak tipunya ini ialah yang disebut Han-ya Pok-cui (Burung Gagak Menyambar Kelinci), sebuah gerakan tipuan dari Ilmu Pedang Tat-mo Kiam-hoat, yakni ilmu pedang ciptaan pendekar besar Tat Mo Couwsu. Akan tetapi, dengan tenang orang Haimi itu menangkis dengan pedangnya sehingga Pemuda she Gui itu terkejut sekali karena ternyata bahwa tenaga lawannya amat besar, membuat pedangnya terpental ke belakang!

Ia berseru keras dan segera menyerang lagi dengan gerak tipu Hui-eng Bok-thou (Elang Terbang Menyambar Kelinci). Kedua kakinya melompat ke atas dan pedangnya ganas menyambar. Akan tetapi Manako, orang Haimi itu dengan amat gesitnya lalu mengubah kedudukan kakinya, melangkah dengan kaki kanan ke belakang, lalu memutar tubuhnya dengan gerak tipu Monyet Sakti Memasuki Goa. Dengan gerakan ini dia segera berhasil menghindarkan diri dari serangan lawan, kemudian ia membalas menyerang dengan tak kurang hebatnya.
Image result for PENDEKAR REMAJA
Sebentar saja ternyata bahwa ilmu pedang orang Haimi ini jauh lebih unggul dari pada ilmu pedang lawannya. Maka, cepat dia mendesak serta mengurung pemuda itu dengan pedangnya yang menyambar-nyambar!

Lie Siong yang mengintai dari balik pohon maklum bahwa orang tua itu tak berniat buruk, karena kalau ia mau, dengan mudah saja ia pasti akan dapat merobohkan pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu ternyata tak tahu diri dan ia tidak tahu bahwa orang tua itu telah berlaku murah hati dan mengalah. Kalau ia tahu diri, tentu ia tidak akan melawan terus. Sebaliknya, ia malah memaki-maki dan menyerang dengan membuta tuli.

“Kau benar-benar tak tahu diri!” teriak Manako.

Lalu, sebuah serangan dengan pedang diputar dibarengi gerakan menggetarkan pedang, membuat pedang pemuda itu terkurung dan tertempel, kemudian orang tua itu membetot sambil membentak,
“Lepas senjata!” maka pedang pemuda itu pun terlempar dan terlepas dari pegangan!

Pada saat itu, tujuh orang yang berpakaian seperti perwira kerajaan lari mendatangi dan mereka segera mencabut senjata golok dan pedang.

“Orang Haimi yang sudah bosan hidup!” teriak seorang di antara para perwira itu. “Kau berlaku kurang ajar terhadap Gui-kongcu?”
“Bukan aku yang mulai lebih dulu!” jawab Manako dengan berani, akan tetapi tujuh orang perwira itu segera mengurung dan menyerangnya.

Manako melawan sekuatnya, akan tetapi tujuh orang perwira itu kepandaiannya rata-rata lebih tinggi dari pada kepandaian pemuda she Gui tadi sehingga sebentar saja Manako terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali.

Pada saat orang tua itu berada dalam keadaan yang amat berbahaya, tiba-tiba nampak berkelebat bayangan putih dari belakang pohon. Lie Siong yang menyaksikan keroyokan yang berat sebelah itu tidak mau tinggal diam dan dia sudah melompat keluar, langsung mengamuk dan mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na.

Tubuhnya bergerak cepat bagaikan halilintar menyambar, maka ke mana saja tubuhnya berkelebat, seorang perwira lalu menjerit, pedang atau goloknya terampas dan tubuhnya menerima pukulan atau tendangan yang cukup membuatnya mencium tanah tanpa dapat bangun kembali!

Pemuda she Gui yang melihat kehebatan lawan baru ini, dengan cerdik lalu diam-diam segera melarikan diri dari situ. Tujuh orang perwira itu dalam waktu pendek saja sudah dirobohkan oleh Lie Siong yang tidak menggunakan senjata sehingga orang tua Haimi itu telah memandang dengan bengong.

Manako cepat menghampiri Lie Siong, memberi hormat dan berkata kagum, “Kau hebat sekali, anak muda. Kehebatanmu mengingatkan aku akan Sie Taihiap!”
“Siapakah Sie Taihiap itu?” tanya Lie Siong.
“Sie Taihiap ialah Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh! Seperti kau inilah sepak terjangnya kalau menghadapi orang-orang jahat.”

Lie Siong tadi membantu Manako tanpa mengandung maksud sesuatu, hanya terdorong oleh hatinya yang tak senang melihat keroyokan yang tidak adil. Kini mendengar betapa orang tua itu memuji-muji nama Pendekar Bodoh, dia menjadi sebal sekali. Telah sering kali ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh hingga nama Pendekar Bodoh ini seakan-akan merupakan lidi yang ditusuk-tusukkan ke dalam telinganya, sekarang ketika mendengar lagi ada orang memujinya, langsung membuat ia merasa tidak puas.

“Sudahlah, aku tak kenal segala Pendekar Bodoh. Kau pergilah sebelum orang-orang ini sempat mengeroyokmu lagi!”

Manako memandang heran kepada pemuda yang bersikap dingin ini, akan tetapi ia lalu teringat bahwa tadi dia telah melawan perwira-perwira, bahkan bertempur dengan putera Kepala Daerah. Maka, dengan cepat dia lalu memberi hormat lagi dan berlari pergi dari situ.

Akan tetapi, baru saja dia membelok di sebuah tikungan jalan, tiba-tiba dia telah dicegat oleh belasan orang perwira yang tadi mengantarkan pemuda she Gui! Ternyata bahwa Gui-kongcu setelah berlari cepat lalu memanggil lebih banyak perwira untuk mengeroyok pemuda yang lihai dan Manako.

“Penggal leher orang Haimi jahat ini!” Gui-kongcu berseru marah.

Sebentar saja Manako sudah dikeroyok oleh belasan orang perwira itu. Perwira-perwira yang datang ini tingkatnya lebih tinggi dari pada tujuh orang perwira yang tadi, bahkan di antara mereka terdapat seorang panglima tamu dari kota raja yang kegagahannya amat terkenal. Panglima muda ini bernama Kam Liong dan orang ini bukan lain adalah anak dari Panglima Besar Kam Hong Sin yang sangat tersohor karena kegagahannya (baca Pendekar Bodoh).

Tentu saja Manako bukan tandingan para perwira ini. Panglima muda yang mempunyai kepandaian tinggi itu sama sekali tidak mau turun tangan karena ia merasa rendah untuk mengeroyok seorang Haimi! Akan tetapi, perwira-perwira yang lainnya sudah cukup kuat untuk merobohkan Manako sehingga hanya dalam waktu sebentar saja orang Haimi ini roboh dengan beberapa luka parah pada tubuhnya.

Lie Siong yang hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba mendengar bentakan-bentakan para perwira yang mengeroyok Manako. Oleh karena pertempuran itu terjadi di belakang tikungan dan tidak kelihatan dari tempatnya, maka dia cepat berlari menghampiri tempat itu. Alangkah marah dan terkejutnya ketika dia melihat betapa Manako telah roboh mandi darah, dikeroyok oleh belasan orang perwira.

“Pengecut hina dina!” Lie Siong berseru sambil mencabut keluar Sin-liong-kiam dari balik jubahnya.

Sekali dia berkelebat, tubuhnya sudah menjadi bayangan putih yang cepat gerakannya laksana seekor burung garuda. Seperti juga tadi ketika menghadapi tujuh orang perwira, kini begitu dia menggerakkan pedangnya, maka golok serta pedang perwira beterbangan kemudian terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dibarengi jatuhnya tubuh mereka bertumpang tindih.

Bukan main kagetnya Panglima Muda Kam Liong ketika menyaksikan kelihaian pemuda baju putih ini. Terpaksa dia harus bertindak, kalau tidak, mungkin belasan orang perwira itu akan roboh semua! Ia lantas mencabut keluar pedangnya yang mengeluarkan cahaya berkilauan, kemudian sekali mengenjot tubuh, ia telah melayang dan menyambut pedang Lie Siong yang mengeluarkan sinar kuning keemasan.

“Trang...!” Sepasang pedang itu bertemu, menimbulkan bunga api berpancaran.
“Tahan dulu!” seru Kam Liong.

Lie Siong yang merasa tercengang menyaksikan ada pedang yang mampu menyambut Sin-liong-kiam-nya, segera menahan senjata dan memandang dengan sinar mata tajam.

Kedua laki-laki muda yang sama tampan dan sama gagahnya ini saling pandang dengan penuh perhatian. Lie Siong melihat seorang pemuda yang mengenakan pakaian sebagai seorang panglima, pakaiannya gagah dan mentereng sekali, wajahnya membayangkan kegagahan. Sedangkan Kam Liong tercengang pada saat melihat bahwa orang yang lihai sekali kepandaiannya itu ternyata hanyalah seorang pemuda berkulit muka halus dengan sikap lemah lembut!

“Saudara yang gagah, kau siapakah dan mengapa kau membela seorang pemberontak bangsa Haimi?”
“Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan pemberontak, dan juga aku tak peduli apa yang menjadi persoalannya, akan tetapi yang sudah jelas bahwa orang tua ini kalian keroyok secara tidak tahu malu sekali. Pengecut-pengecut macam kalian ini tidak dapat kuberi ampun!”

Marahlah Kam Liong mendengar ucapan ini yang dianggapnya sombong bukan main dan kurang ajar. “Orang sombong!” teriaknya sambil menggerakkan pedang di tangan. “Kau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Tidak tahukah bahwa kau berhadapan dengan Panglima Muda she Kam dari kota raja?”

Mendengar disebutnya she Kam ini, Lie Siong lalu memandang dengan penuh perhatian. Ibunya pernah menuturkan kepadanya tentang panglima kosen bernama Kam Hong Sin.

“Ada hubungan apakah kau dengan Panglima Kam Hong Sin?” tanyanya tiba-tiba.
“Dia adalah ayahku, bagaimana kau dapat mengetahui namanya? Siapa kau sebetulnya dan siapa pula guru atau orang tuamu!”

Akan tetapi Lie Siong tidak menjawab pertanyaan ini, bahkan dia melangkah maju dan berkata, “Bagus! Kalau begitu biarlah kita menguji kepandaian masing-masing dan tidak perlu banyak mengobrol lagi!”

Dia lalu memutar pedangnya yang aneh bentuknya itu. Kam Liong yang maklum akan kelihaian lawan, tidak mau berlaku lambat dan cepat sekali dia menangkis lalu membalas dengan serangannya yang tak kalah hebatnya.

Kam Liong adalah putera tunggal dari Panglima Kam Hong Sin yang tinggi ilmu silatnya. Pemuda ini mengikuti jejak ayahnya dan kini telah menduduki pangkat yang tinggi dalam ketentaraan di kota raja, telah mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya. Dia sangat lihai, terutama dalam ilmu pedang yang berasal dari ilmu pedang Partai Kun-lun-pai.

Gerakan pedangnya cukup cepat serta kuat, apa lagi ditambah pula dengan pedangnya yang bukan pedang sembarangan, melainkan sebuah pedang mustika hadiah dari kaisar, tentu saja dia jarang menemukan tandingan dalam ilmu pedang.

Akan tetapi, setelah dia bertempur menghadapi Lie Siong, ia menjadi terkejut sekali oleh karena ilmu silat pemuda elok ini benar-benar hebat dan lihai sekali. Pedang aneh yang berbentuk naga itu di samping sangat keras sehingga tidak menjadi rusak oleh pedang mustikanya, juga amat berbahaya.

Pedang itu bila menyabet tidak akan melukai kulit, akan tetapi akan meremukkan tulang dan otot, sedangkan tanduk pedang naga itu dapat dipergunakan untuk menusuk bagian tubuh yang berbahaya. Yang lebih istimewa lagi adalah lidah pedang naga yang panjang itu, karena lidah ini dapat berputar-putar melakukan sambaran-sambaran tersendiri dan menotok jalan darah. Bahkan telah beberapa kali lidah merah ini mencoba untuk melibat pedang di tangannya untuk dirampasnya!

Kam Liong teringat akan beberapa nama pendekar besar yang pernah dia dengar dari ayahnya. Menurut ayahnya, ilmu pedangnya atau ilmu silatnya harus digunakan dengan amat hati-hati apa bila menghadapi mereka atau murid dan keturunan mereka.

“Apakah kau putera Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh?” Ia bertanya sambil menangkis satu tusukan ke arah lehernya.
“Aku tidak kenal Pendekar Bodohl” jawab Lie Siong dengan hati mangkel karena lagi-lagi ia mendengar nama pendekar ini disebut-sebut orang!

Ia segera menyerang lebih hebat lagi dan mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-sut. Pedangnya berputar demikian hebatnya seolah-olah telah berubah menjadi lima putaran sehingga kelihatan bagaikan lima bunga teratai dan sesuai sekali dengan namanya, yaitu Ngo-lian-hoan Kiam-sut (Ilmu Pedang Lima Bunga Teratai).

Kam Liong terkejut melihat ilmu pedang ini dan terpaksa dia harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri, dan untuk sementara dia mencurahkan perhatiannya terhadap pertahanannya sehingga tak sempat bertanya lagi. Akan tetapi, setelah ia amat terdesak, ia segera menggunakan gerak tipu Pek-hong Koan-jit (Bianglala Putih Menutup Matahari). Pedang mustikanya berputar cepat sekali hingga merupakan payung penutup tubuhnya yang amat rapat dan kuat.

“Jika begitu, tentulah putera Kwee An Locianpwe!” kata Kam Liong lagi, menduga-duga. Oleh karena apa bila bukan putera Pendekar Bodoh, hanya putera atau murid Kwee An Locianpwe saja yang memiliki kepandalan sedemikian hebatnya, demikian ia berpikir.
“Jangan mengobrol! Aku tak kenal orang she Kwee itu!” jawab Lie Siong dengan marah.

Dia pun merasa penasaran sekali karena sudah bertempur lima puluh jurus lebih, namun belum juga dapat mengalahkan panglima muda yang lihai ini. Dia lalu berseru keras dan dengan pedang di tangan kanan mainkan Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang diciptakan oleh ibunya sendiri untuk menyesuaikan pedang yang dipergunakannya, sambil ia menggunakan tangan kirinya untuk menyerang dengan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang membuat tangan kirinya lantas mengeluarkan uap putih.....

Pek-in Hoat-sut sudah terkenal sekali kelihaiannya, dan kepandaian ini adalah warisan dari Guru Besar Bu Pun Su. Tidak saja pukulannya yang amat lihai, bahkan uap putih itu saja bila menyambar lawan bisa mematahkan tenaga lweekang dan bisa mendatangkan luka di dalam tubuh.

Akan tetapi ilmu pedang itu pun luar biasa hebatnya. Pada saat Ang I Niocu menciptakan ilmu pedang ini untuk puteranya, ilmu pedang ini disesuaikan dengan bentuk Pedang Naga Sakti itu, sehingga di dalam gerakannya ini terdapat totokan-totokan jalan darah, dan juga lidah pedang naga yang panjang itu digunakan dengan ilmu melempar tali yang merupakan kepandaian tunggal dari Lie Kong Sian!

Bukan main terkejutnya hati Kam Liong pada saat menyaksikan serangan lawannya yang hebat ini. Dia terkejut dan cepat mengelak dari serangan pukulan Pek-in Hoat-sut, akan tetapi lidah pedang naga itu telah berhasil membelit pedangnya sehingga saat Lie Siong mengerahkan tenaga, pedang itu telah terbetot terlepas dari pegangan Kam Liong!

Kam Liong kaget sekali dan berteriak keras sambil melempar tubuhnya ke belakang, lalu membuat gerakan melompat berjungkir balik beberapa kali ke belakang. Inilah gerakan Naga Sakti Menembus Awan yang sangat indah sehingga diam-diam Lie Siong kagum juga melihat gerakan lawannya.

“Pergi...! Pergi kalian dari sini!” bentaknya sambil menggerakkan tangan kanan sehingga pedang Kam Liong yang terampas tadi tahu-tahu sudah terlepas dan meluncur ke arah dada pemiliknya!

Kam Liong tidak keburu menyambut dan terpaksa cepat menjatuhkan tubuhnya sehingga pedangnya itu meluncur terus lalu menancap pada dada seorang perwira yang berdiri di belakangnya! Perwira itu menjerit dan tewas dengan dada tertembus pedang!

“Kau... kau tentu putera Ang I Niocu!” seru Kam Liong masih dalam dugaannya, sambil mencabut pedangnya dan memandang kagum. Mendengar ini, Lie Siong terkejut sekali dan juga marah.
“Apakah kau ingin mampus?” bentaknya sambil menggerakkan tubuh menerjang.

Akan tetapi Kam Liong yang sudah tahu akan kelihaian pemuda elok ini tidak lagi berani melawan dan cepat melarikan diri! Lie Siong hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba saja dia mendengar keluhan orang Haimi yang menggeletak mandi darah itu, oleh karena itu dia menunda niatnya hendak mengejar dan menghampiri orang tua yang terluka tadi.

Ketika ia berlutut, ternyata orang tua itu keadaannya payah sekali. Tubuhnya penuh luka dan darah telah keluar cukup banyak sehingga napasnya tinggal satu-satu.

“Orang muda...,” katanya terengah-engah, “engkau gagah sekali... tak ubahnya Pendekar Bodoh sendiri... kau pun tentu berbudi... seperti Pendekar Bodoh pula... kau tolonglah puteriku… Lilani... ia tentu mendapat susah dari putera kepala daerah she Gui itu! Lekas, tolonglah... dia yatim piatu... tolong anakku...!”

Melihat keadaan orang tua itu sudah tak ada harapan lagi, Lie Siong lalu bertanya,
“Di mana dia...? Di mana anakmu itu?”
“Di... di rumahku, di ujung barat kota Tatung, tak jauh dari sini... kau cepat tolonglah dia... hanya kaulah orang satu-satunya yang menjadi harapanku...” tiba-tiba saja orang tua itu menarik napas panjang dan ternyata napas itu adalah tarikan yang terakhir!

Lie Siong cepat bangun berdiri dan membentak kepada perwira yang terluka dan yang ditinggalkan oleh kawan-kawannya. “Kau harus rawat jenazahnya baik-baik, kalau tidak, awas! Lain kali aku datang mengambil kepalamu!”

Perwira itu mengangguk-angguk dengan muka pucat. “Baik, baik... Hohan!”

Lie Siong kemudian melompat pergi dan berlari cepat sekali menuju ke kota Tatung yang berada di sebelah selatan hutan itu.
Setibanya di kota itu, Lie Siong lalu menuju ke ujung barat dan dengan mudah saja dia mencari keterangan tentang rumah tempat tinggal seorang bangsa Haimi yang bernama Manako. Ketika ia menanyakan kepada seorang tetangga orang Haimi itu, karena rumah yang dicarinya ini ternyata dalam keadaan tertutup, tetangga itu memandangnya dengan ragu-ragu dan muka takut.

“Kongcu, kau mencari Manako, apakah kau masih keluarganya?”
“Bukan, aku hanya sahabatnya. Aku mau bertemu dengan Nona Lilani, puterinya.”

Muka orang yang nampak ketakutan itu menjadi makin pucat. Ia memberi isyarat dengan jari tangannya ditaruh ke depan mulut lalu berkata perlahan,

“Ssstt, Kongcu, janganlah kau bicara terlalu keras tentang gadis itu. Lebih baik lekas kau pergilah dari sini dan jangan katakan kepada siapa pun juga bahwa kau sudah mengenal Nona itu...! Aku kasihan kepadamu karena kau adalah orang Han, bukan bangsa Haimi.”

Lie Siong memandang tajam dan sekali ia menggerakkan tangannya, ia telah memegang tengkuk orang itu dengan keras sehingga orang yang dipegangnya menjadi terkejut dan ketakutan. Tangan yang mencekik tengkuknya seakan-akan sepasang jepitan baja yang kuat sekali.

“Hayo, lekas katakan, apa yang telah terjadi dengan Lilani, dan di mana dia berada!”
“Am... ampun, Hohan...! Gadis itu baru tadi telah dibawa pergi oleh sepasukan prajurit, ditangkap oleh Gui-siauwya!”
“Kau maksudkan Gui-siauwya putera Kepala Daerah?”
“Benar, Hohan.”
“Di mana rumah Kepala Daerah itu?”

Orang itu cepat-cepat menunjuk ke arah timur dan berkata, “Di tengah kota ini, bangunan yang tertinggi dan terbesar.”

Lie Siong melepaskan pegangannya dan sekali dia berkelebat, maka lenyaplah tubuhnya dari depan orang yang menjadi bengong dan bergemetaran seluruh tubuhnya itu.

Sangat mudah untuk mencari gedung besar Kepala Daerah she Gui di kota itu, karena gedungnya besar dan tinggi, berada di tengah-tengah kota. Tanpa banyak peraturan lagi, Lie Siong lalu memasuki pintu gerbang dan ketika empat orang penjaga pintu menegur dan menghampirinya, dengan beberapa kali menggerakkan kaki tangannya, empat orang penjaga itu lalu terlempar ke kanan kiri. Ia terus masuk ke dalam didahului oleh seorang penjaga yang bergegas lari masuk untuk memberi laporan tentang kedatangan seorang pengamuk muda yang lihai sekali.

Dengan diiringkan oleh serombongan penjaga, Gui-taijin sendiri keluar dari ruang dalam bersama Kam Liong, panglima muda yang menjadi tamunya.

Begitu melihat pembesar ini, Lie Siong melompat dan menangkap lengannya.

“Hayo lepaskan Lilani, kalau tidak kepalamu akan kuhancurkan!” katanya dengan bengis.

Pembesar Gui yang sudah setengah tua itu memandang dengan heran dan gelisah, lalu bentaknya marah, “Siapakah kau dan apa maksudmu?!”

Juga Kam Siong lalu maju dan menjura ke arah Lie Siong.

“Taihiap, harap kau bersabar dahulu, ada urusan dapat diurus dan ada persoalan dapat dirundingkan. Sesungguhnya kami tidak mengerti akan maksud kedatanganmu ini, dan siapakah adanya Lilani?”

Lie Siong mengerling tajam dan dengan heran ia melihat bahwa wajah panglima muda itu tidak membayangkan kebohongan. Akan tetapi ia lalu berkata dengan penuh sindiran.

“Bagus! Kalian telah membunuh orang Haimi itu dan merampas puterinya, dan sekarang masih berpura-pura tidak tahu?”
“Siapa yang membunuh orang dan siapa yang merampas puterinya?” Gui Taijin berseru marah. “Jangan menuduh sembarangan saja!”

Kam Liong yang berdiri di samping dengan muka merah kemudian berkata kepadanya, “Sesungguhnya memang ada pembunuhan atas diri orang Haimi itu. Akan tetapi menurut keterangan puteramu, orang Halmi itu adalah seorang pemberontak, oleh karena itulah maka ketika aku dimintai bantuan, aku segera membantu puteramu. Akan tetapi tentang perampasan gadis itu, aku sama sekali tidak tahu!”

Sesungguhnya, Gui Taijin ini tak tahu sama sekali tentang urusan puteranya, dan segala peristiwa yang terjadi tadi adalah di luar kehendak dan pengetahuannya. Puteranya telah bertindak seorang diri untuk melampiaskan nafsu jahatnya dan menggunakan kedudukan dirinya sebagai putera Kepala Daerah.

“Apakah artinya semua ini?” Gui Taijin membentak marah kepada para penjaga yang kini berdiri dengan ketakutan. “Di mana adanya Gui Kongcu? Benarkah dia sudah merampas anak gadis orang?”

Salah seorang penjaga dengan ketakutan lantas memberi hormat dan melapor, “Kongcu telah membawa gadis itu ke rumah peristirahatan Taijin di dekat sungai.”

“Keparat...!” seru Gui Taijin, akan tetapi pada saat itu, Lie Siong sudah melompat maju dan dengan mudah dia sudah menangkap penjaga yang bicara tadi, mengempitnya dan membawanya lompat keluar dari situ.
“Kau harus tunjukkan kepadaku di mana adanya tempat itu!” katanya.

Biar pun dia sedang marah kepada puteranya, kini melihat betapa pemuda yang lihai itu hendak mengejar ke sana, Gui Taijin merasa berkhawatir juga. Dia segera mengerahkan prajurit-prajuritnya dan dengan cepat melakukan pengejaran pula, didampingi oleh Kam Liong yang diam-diam merasa benci kepada putera Kepala Daerah itu.

Prajurit yang dikempit dan dibawa berlari oleh Lie Siong itu merasa seakan-akan dibawa terbang oleh seekor burung besar, maka dengan muka pucat dia lalu menunjukkan jalan yang menuju ke sebuah dusun di pinggir Sungai Yung-ting. Di tempat ini, Kepala Daerah Gui memang mempunyai sebuah gedung indah di mana dia dan keluarganya menghibur diri di musim panas.

Setelah tiba di tempat yang dicari, Lie Siong lalu melempar tubuh penjaga itu ke samping jalan di mana penjaga itu rebah dengan tubuh menggigil tanpa berani bangun. Kemudian pemuda perkasa itu lalu cepat melompat ke atas tembok tinggi yang mengelilingi gedung itu.

Beberapa orang penjaga melihatnya dan berteriak-teriak sambil mengejar. Akan tetapi Lie Siong tidak mempedulikan mereka dan terus saja melompat masuk dan menyerbu ke dalam. Ia bertemu dengan beberapa orang penjaga yang berlari keluar mendengar akibat teriakan kawan-kawannya, akan tetapi bagaikan orang membabat rumput saja, Lie Siong merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan kakinya.

Ketika dia telah merobohkan para penjaga, tiba-tiba dia mendengar suara jeritan wanita, maka cepat ia mengejar ke dalam dari mana jeritan itu terdengar. Ternyata bahwa jeritan itu terdengar dari ruangan belakang, di mana bangunan didirikan di atas air. Memang gedung yang indah ini bagian belakangnya berada di atas air Sungai Yung-ting, sehingga kalau orang duduk di belakang, ia akan menikmati pemandangan yang indah sekali.

Lie Siong terus berlari ke arah belakang. Dua orang penjaga yang menghadang di jalan kembali dirobohkannya dengan sekali pukul. Sekali lagi ia mendengar jeritan wanita dan kali ini terdengar keras sekali dari balik sebuah pintu.

Dengan marah Lie Siong lalu menendang daun pintu itu dan alangkah marahnya ketika ia melihat seorang pemuda, yaitu pemuda yang tadi bertempur dengan orang Haimi itu, sedang menarik-narik tangan seorang gadis muda yang meronta-ronta, menjerit-jerit, dan memaki-maki!

Muka laki-laki jahanam yang tadinya menyeringai seakan-akan merasa gembira melihat perlawanan gadis itu, tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat ketika dia mendengar pintu kamar itu mengeluarkan bunyi keras dan melihat daun pintu itu roboh. Lebih kagetlah dia ketika melihat munculnya Lie Siong, pemuda gagah perkasa yang telah menghajar para perwira pembantunya siang tadi dengan hebatnya.

Betapa pun juga, melihat Lie Siong melangkah menghampirinya dengan mata bersinar marah, Gui Kongcu masih ingat akan pedangnya yang diletakkan di atas pembaringan. Ia menyambar pedangnya dan menyambut kedatangan Lie Siong dengan sebuah bacokan hebat. Akan tetapi tanpa berkejap sedikit pun, Lie Siong lalu mengangkat tangannya dan dengan gerak tipu Tangan Kapak Membacok Cabang ia kemudian menangkis sambaran pedang itu dengan babatan tangannya dari samping ke arah pinggir pedang.

“Krakk!”

Pedang itu menjadi patah ketika terkena sambaran tangan Lie Siong yang dimiringkan. Pukulan ini hebat sekali dan tidak sembarangan ahli silat berani mempergunakan untuk menangkis pedang. Biar bagaimana pun juga tangan terbuat dari pada kulit dan daging pembungkus tulang, tentu saja tak mungkin dipergunakan untuk diadu dengan tajamnya pedang.

Akan tetapi gerakan Tangan Kapak Membacok Cabang ini mengandalkan kecepatan dan ketangkasan, disertai tenaga lweekang yang sangat kuat. Penggunaannya bukan untuk menyambut datangnya pedang yang tajam, akan tetapi digerakkan dari pinggir dengan memukul pedang itu dari samping pada mukanya dengan mempergunakan tangan yang dimiringkan. Tentu saja kalau gerakan ini kurang cepat atau kurang tepat, maka banyak bahayanya tangan akan bertemu dengan mata pedang dan akan terluka!

“Bangsat hina dina!” Lie Siong membentak marah dan sekali ia majukan tangan kiri, ia telah mencekik batang leher pemuda cabul itu. “Pergilah!” serunya.

Dan tubuh Gui Kongcu yang dilempar itu melayang laju keluar dari jendela kamar dan langsung meluncur ke dalam sungai yang sangat dalam itu, kemudian terdengar suara…
“Byurrr…!” tanda bahwa air telah menyambutnya dan setelah itu sunyi.

Gadis itu memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar.

“Siapakah kau...?” Dengan jujur gadis ini tidak menyembunyikan kekaguman yang keluar dari suara dan pandangan matanya.

Lie Song balas memandang. Ia melihat seorang gadis yang berusia paling banyak enam belas tahun, berwajah cantik jelita, kecantikan yang sangat aneh dan berbeda dengan kecantikan wanita biasa. Mungkin karena matanya yang lebar sekali itu atau rambut dan manik matanya yang hitam, atau mungkin suaranya yang bernada lain dari pada suara gadis biasa.

“Apakah kau yang bernama Lilani?” tanya Lie Siong yang lebih heran dari pada tertarik melihat kecantikan ini.

Gadis ini mengangguk. “Dan kau siapakah?”
“Aku datang menolongmu untuk memenuhi pesanan ayahmu.”

Tiba-tiba saja gadis itu memegang lengan Siong kemudian bertanya dengan muka pucat, “Bagaimana dengan Ayah? Di mana dia...?”

Benar-benar gadis yang amat aneh, pikir Lie Siong dengan hati tidak enak sebab merasa betapa telapak tangan gadis itu dengan halus sudah memegang lengannya. Di mana ada seorang gadis yang belum dikenalnya memegang lengan seorang pemuda begitu saja?

Ia menarik lengannya dan menggeleng kepala, lalu berkata singkat, “Kita pergi dulu dari tempat ini!”

Karena maklum bahwa gadis ini tidak memiliki kepandaian tinggi, dia segera memegang tangan Lilani dan menariknya keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kamar ternyata bahwa gedung itu telah penuh dengan perwira yang menghadang jalan keluarnya.

Para perwira dan penjaga dengan senjata tajam di tangan telah menyerbu masuk untuk menolong putera Kepala Daerah. Ketika melihat pemuda baju putih itu bejalan sambil menggandeng tangan Lilani, mereka berseru keras dan menyerang.

Bagi Lie Siong, tidak sukarlah menghadapi mereka itu dan mencari jalan keluar melalui jalan darah, akan tetapi ia lalu teringat akan gadis itu. Kedatangannya bukanlah dengan maksud untuk mengamuk dan mencari permusuhan dengan para perwira itu, akan tetapi khusus untuk menolong Lilani. Melihat para perwira itu menyerbu, Lie Siong kemudian membalikkan tubuh dan menarik tangan Lilani memasuki kamar itu kembali.

“Celaka, mereka mengejar kita!” kata Lilani akan tetapi gadis ini tidak nampak takut. “Kau pergilah, jangan sampai kau menjadi korban karena menolongku. Aku sanggup melawan mereka dan sebelum aku mati, pasti aku akan dapat membunuh seorang dua orang!”
“Bodoh!” kata Lie Siong.

Dia cepat bertindak ke arah jendela, lalu menjenguk keluar. Kamar ini berada di bagian terbelakang, maka di luar jendela itu kosong dan di bawah jendela adalah air Sungai Yung-ting yang nampak kebiruan. Tidak mungkin membawa gadis itu melompat keluar, karena tubuh mereka tentu akan terjatuh ke dalam air dan dia tidak pandai berenang.

Sementara itu, suara kaki para pengejar telah semakin dekat sehingga Lie Siong merasa bingung juga. Kemudian ia mendapat akal. Pedang Sin-liong-kiam dicabut dan tubuhnya tiba-tiba telah melayang naik sambil memutar pedang itu pada langit-langit di atas kamar.

Terdengar suara keras dan langit-langit itu berlubang besar, sedangkan potongan kayu jatuh berhamburan di dalam kamar itu. Lie Siong melompat turun kembali dan cepat dia menyambar tubuh gadis itu tanpa banyak cakap lagi.

Ketika itu, para pengejar sudah tiba di depan kamar. Lie Siong menggunakan tangan kiri mengempit pinggang Lilani yang ramping, lalu menyambar daun pintu yang sudah roboh ketika ditendangnya tadi. Daun pintu yang berat itu dia lemparkan ke arah para penyerbu sehingga tiga orang terdepan menjadi terjengkang tertimpa oleh daun pintu itu.

Kawan-kawannya di belakang mereka tertimpa pula, sehingga mereka menjadi tumpang tindih dan untuk sesaat lamanya tak dapat melanjutkan pengejaran. Lie Siong pun cepat melompat naik sambil mengempit Lilani.

Ketika para pengejar sampai di dalam kamar, ternyata bahwa dua orang muda itu sudah lenyap! Tidak lama kemudian Kam Liong dan Gui Taijin datang pula, akan tetapi mereka tak dapat menemukan Lie Siong mau pun Lilani. Sedangkan Gui Kongcu pun tak nampak bayangannya!

Sesungguhnya, dengan kepandaiannya yang sangat tinggi, Kam Liong tentu saja dapat mengejar Lie Siong yang melarikan diri dari atas genteng. Akan tetapi panglima muda ini tidak mau melakukannya.

Pertama ia memang segan bermusuhan dengan Lie Siong yang gagah perkasa dan lihai itu. Kedua kalinya dia tidak suka akan kebiasaan Gui Kongcu dan tidak mau membantu perbuatan jahat.

Dia tahu bahwa pendekar muda baju putih itu tentu mengambil jalan genteng, maka dia hanya memberitahukan ini kepada para perwira yang segera melompat dan mengejar ke atas genteng. Namun gerakan mereka tidak secepat Lie Siong.

Pada saat melihat para pengejarnya kacau-balau akibat serangannya dengan daun pintu tadi, Lie Siong lalu melompat ke atas langit-langit yang telah berlubang. Dengan mudah dia menghancurkan genteng dari bawah, lalu keluar dari lubang di genteng itu. Setelah berada di atas genteng, cepat dia melarikan diri, berlompatan bagaikan seekor garuda putih terbang sehingga Lilani terpaksa meramkan mata saking ngerinya melihat tubuhnya melayang-layang di atas genteng yang begitu tinggi.

Lie Siong membawa Lilani ke tepi sungai dan melihat perahu-perahu kecil para nelayan ditambatkan di pinggir sungai, dia cepat melompat ke sebuah perahu kecil yang terbaik, memutuskan talinya dan segera mendayung perahu itu ke tengah sungai.

“Hai...!” Pemilik perahu itu berteriak. “Hendak kau bawa kemana perahuku itu?”

Sementara itu, Lilani yang sudah berada di dalam perahu itu berkata, “Tidak baik mencuri perahu orang, siapa tahu kalau-kalau nelayan miskin itu akan kehilangan sumber nafkah bagi keluarganya kalau perahu ini kita bawa pergi.”

Lie Siong memandang kepada gadis itu dengan heran dan juga kagum. Ia tak menjawab, akan tetapi merogoh buntalannya dan mengeluarkan sepotong emas murni. Pada waktu berangkat dia mendapat bekal tiga puluh potong lebih emas murni seperti ini dari ibunya.

“Ini cukup?” tanyanya sambil memperlihatkan emas itu kepada Lilani.

Gadis ini memandang dengan mata terbelalak. Dia tahu akan nilai emas dan sepotong emas di tangan Lie Siong ini kalau dijual dapat digunakan untuk membeli sedikitnya tiga atau empat buah perahu kecil seperti ini.

“Terlalu banyak,” jawabnya, “sepertiga juga sudah cukup.”

Akan tetapi setelah mendengar jawaban ini, tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengayun tangannya dan melemparkan potongan emas itu ke arah orang yang berteriak-teriak tadi.

“Perahumu kubeli, inilah uangnya!” seru Lie Siong.

Ketika orang itu memungut potongan emas yang jatuh tepat di depannya, tentu saja dia menjadi girang sekali. Karena itu berlari-larilah dia pulang sambil berjingkrak-jingkrak dan menari-nari karena merasa mendapat keuntungan yang besar sekali.

Lie Siong membiarkan perahunya dihanyutkan oleh aliran air yang deras dan dia hanya mempergunakan dayung untuk mengemudikan jalannya perahu. Sejak mereka duduk di dalam perahu, yaitu pada siang hari tadi, sampai sekarang sudah hampir senja, mereka tak pernah bicara sepatah kata pun!

Lilani hanya duduk sambil menundukkan kepala, kadang-kadang memandang ke pinggir sungai dan hanya sewaktu-waktu saja mengerling kepadanya. Gadis itu nampak susah, bingung dan juga malu-malu.

Akhirnya dia tidak dapat menahan lagi. Berada dekat seseorang yang sama sekali tidak pernah bicara, tidak menengok kepadanya, dan tidak mempedulikannya, jauh lebih sunyi rasanya dari pada kalau dia berada seorang diri tanpa kawan!

“Kita mau ke mana?” tanyanya sambil mengerling tajam ke arah pemuda yang angkuh dan tinggi hati itu.
“Ke mana saja air ini membawa perahu yang kita tumpangi,” Lie Siong menjawab tanpa memandang.
“Ke mana akan dibawanya?”
“Entahlah!”

Lilani menarik napas panjang. Aneh dan sukar benar pemuda ini. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi seorang pemuda seperti ini. Hampir setiap laki-laki yang pernah ditemuinya, baik pemuda mau pun sudah tua, selalu akan memandangnya dengan mata bergairah, tersenyum-senyum dan segera mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda atau memuji.

Akan tetapi pemuda ini... menengok pun tidak, bahkan diam saja bagai patung! Sungguh hampir tak dapat dipercaya bahwa wajah pemuda yang seelok dan setampan itu ternyata didamping oleh watak yang demikian angkuh dan aneh.

“Kau telah menolongku dari bahaya maut...”
“Hal sekecil itu tak perlu dibicarakan,” Lie Siong memotong.

Lilani berpaling dan menggigit bibir. Alangkah sukarnya menghadapi orang ini, pikirnya.

“Bolehkah aku mengetahui namamu?”
“Aku she Lie dan namaku Siong.”

Lilani menarik napas lega. Sedikitnya pemuda ini tidak merahasiakan namanya. Akan tetapi ia masih merasa penasaran karena dalam menjawab pertanyaannya, pemuda itu sama sekali belum mau menengoknya, bahkan duduknya pun membelakanginya!

“Di manakah ayahku? Di mana dia?” tanya Lilani.

Tiba-tiba pemuda itu menarik napas panjang, lalu mendayung perahunya ke pinggir. Dia menghentikan perahunya di tempat yang dangkal, lalu memutar tubuhnya, menghadapi gadis itu.

Ternyata bahwa Lie Siong bukan karena keangkuhannya semata maka dia tidak mau menengok gadis itu, akan tetapi sebagian besar karena rasa terharu mengingat akan nasib gadis ini. Sebelum tewas orang tua berbangsa Haimi itu mengatakan bahwa Lilani sudah menjadi yatim piatu, maka itu berarti bahwa ibu gadis ini telah meninggal dunia pula.

Melihat sikap pemuda itu, wajah Lilani menjadi pucat kemudian mengulang pertanyaan lagi. “Katakanlah, di mana dia?”
“Ayahmu telah tewas.”

Gadis itu tidak kelihatan terkejut, juga tidak menangis menjerit-jerit. Ia hanya meramkan kedua matanya dengan kening berkerut. Akan tetapi, keadaannya ini lebih mengharukan hati Lie Siong yang mungkin tak akan demikian terharu kalau melihat gadis itu menangis tersedu-sedu.

Lama mereka duduk berhadapan dalam keadaan demikian. Lilani duduk seperti patung, adapun Lie Siong duduk memandangnya dengan penuh keharuan hati, akan tetapi tidak diperlihatkannya.

“Sudah kuduga...” Akhirnya Lilani dapat juga mengeluarkan kata-kata seperti berbisik.

Ketika ia membuka kembali matanya, selaput matanya menjadi merah, tanda bahwa dia telah mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan membanjirnya air mata. Betapa pun juga masih terlihat beberapa titik air mata yang mengalir perlahan menuruni pipinya yang pucat.

“Tentu oleh anak buah keparat she Gui itu, bukan?”

Kata-kata ini merupakan pertanyaan dan tuntutan kepada Lie Siong untuk menceritakan semua peristiwa yang terjadi, maka ia pun lalu menceritakannya tentang pertempurannya membantu Manako dan betapa orang tua itu terbunuh oleh keroyokan para perwira.

Mendengar penuturan ini, gadis itu memandang ke arah awan yang bergerak perlahan di angkasa, mengepal kedua tangannya yang kecil, menggigit bibirnya dan membiarkan air matanya mengalir turun bagaikan sumber air kecil, lalu, berkata,

“Bangsaku dimusnahkan! Ibuku terbunuh, sekarang ayahku terbunuh pula! Terkutuklah manusia-manusia berjiwa iblis itu...!”

Mendengar ucapan ini, Lie Siong merasa tertarik dan lalu ia minta gadis itu menuturkan riwayatnya. Dia mulai merasa kagum melihat ketabahan hati gadis cantik ini, yang dapat menahan perasaannya sehingga tak menangis menjerit-jerit seperti gadis-gadis lain yang tertimpa bencana sehebat itu.

“Benar-benarkah kau ingin mengetahui riwayat seorang yang rendah dan bodoh seperti aku, Taihiap?” tanya Lilani sambil memandang melalui air matanya ketika ia mendengar permintaan Lie Siong.
“Tentu saja. Setelah ayahmu minta kepadaku untuk menolongmu, sudah sepatutnya aku mengetahui keadaanmu supaya nanti aku dapat menetapkan apa yang selanjutnya harus kulakukan dengan kau.”

Lilani menghela napas, menghapus air matanya dengan ujung baju, kemudian dia mulai menuturkan riwayatnya dengan singkat.

Lilani adalah puteri tunggal dari Manako, kepala suku bangsa Haimi yang terdiri tiga ratus orang suku bangsa Haimi yang hidup berkelompok dan selalu berpindah-pindah. Manako adalah suami dari Meilani dan suami-isteri ini hidup dengan rukun dan saling mencintai, memimpin bangsanya dengan penuh keadilan dan ketenteraman.

Manako dan Meilani pernah tertolong oleh Pendekar Bodoh. Bahkan sebelum menikah dengan Manako, antara Meilani dan Kwee An pernah terjadi hal yang amat lucu sehingga Kwee An hampir dipaksa menikah dengan Meilani yang cantik jelita akan tetapi bergigi hitam itu!

Sesudah mereka berkenalan dengan pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa ini, maka banyak kemajuan yang diperoleh Meilani dan Manako, sehingga pada saat mereka memperoleh seorang puteri, yaitu Lilani, gigi anak ini tidak dihitamkan seperti yang telah menjadi kebiasaan suku bangsa Haimi. Manako dan Meilani melatih ilmu silat kepada puteri mereka itu dan mereka semua hidup penuh kebahagiaan.

Akan tetapi, pada waktu Lilani berusia empat belas tahun, mala petaka besar menimpa keluarga suku bangsa Haimi itu. Kelompok mereka terdesak oleh bangsa Mongol yang hendak menawan mereka untuk dijadikan pekerja paksa sehingga setelah mengadakan perlawanan sengit dan kehilangan beberapa puluh jiwa, mereka pun terpaksa melarikan diri ke selatan, keluar dari tapal batas Mongolia,.

Pada waktu itu, golongan yang lemah dan kecil tentu selalu tertindas dan terinjak oleh yang besar. Sesudah mereka melalui tapal batas, mereka tidak menemui kebahagiaan, bahkan sepasukan tentara kerajaan yang menjaga tapal batas itu, kemudian menyerbu mereka, membunuh yang laki-laki sambil menculik yang wanita!

Pertempuran hebat terjadi. Manako dan Meilani melakukan perlawanan sekuat tenaga, bahkan Meilani yang pernah menerima petunjuk-petunjuk ilmu silat dari Ma Hoa isteri Kwee An dan dari Lin Lin isteri Pendekar Bodoh, lalu mengamuk bagaikan seekor naga betina. Juga Lilani yang baru berusia empat belas tahun itu ikut pula memainkan pedang, membantu ibu dan ayahnya.

Akan tetapi kekuatan musuh terlampau besar dan akhirnya terpaksa Manako membawa Lilani melarikan diri dengan hati hancur setelah melihat Meilani roboh tak bernyawa lagi di bawah tusukan banyak pedang musuh! Kelompok suku bangsa Haimi hancur dan lari cerai berai. Banyak yang tewas atau tertawan, dan ada pula yang mampu melarikan diri secara berpencaran.

Manako berhasil melarikan diri bersama puterinya, kemudian selama dua tahun lebih dia merantau bersama Lilani, pindah dari satu kota ke lain kota. Akhirnya sampailah dia di kota Tatung dan tinggal di situ bersama puterinya.

Dia tidak khawatir akan biaya hidupnya sehari-hari, karena ketika melarikan diri, ia masih menyimpan berbagai barang dari emas, bahkan ia pun mempunyai sebatang golok yang seluruhnya terbuat dari pada emas. Juga keamanannya terjamin, karena pada masa itu, hanya suku-suku bangsa kecil yang berkelompok saja yang mendapatkan gangguan dan dicurigai. Akan tetapi kalau hanya satu dua orang saja takkan mendapat gangguan dari siapa pun juga, asalkan taat akan peraturan-peraturan kota setempat.

Manako dan Lilani hidup berdua dengan hati menderita kesedihan, dan selalu mereka teringat akan keadaan suku bangsanya yang sudah musnah, dan terutama sekali teringat akan Meilani yang gugur dalam pertempuran itu. Akan tetapi apakah yang dapat mereka lakukan?

Lilani menjadi dewasa dan semakin cantik jelita seperti mendiang ibunya. Sudah biasa dikatakan orang bahwa kecantikan dan kepandaian merupakan karunia dan berkah dari Thian Yang Maha Kuasa. Akan tetapi bagi Manako dan Lilani, ternyata bahwa kecantikan Lilani bukan merupakan berkah bahkan merupakan sebab bencana besar!

Ketika menyaksikan keindahan bentuk tubuh dan kemanisan wajah Lilani gadis Haimi itu, putera kepala daerah she Gui menjadi tergerak hatinya. Dia lalu mengajukan pinangan kepada Manako untuk minta gadis itu sebagai selirnya.

Manako adalah bekas kepala suku bangsa, dan betapa pun juga, dia boleh disebut raja kecil. Tentu saja dia mempunyai keangkuhan dan mendengar pinangan ini, dia merasa terhina sekali. Mana ia sudi memberikan puterinya yang tunggal untuk dijadikan selir oleh putera seorang Kepala Daerah?

Demikianlah, ia lalu menolak pinangan itu yang berakhir mala petaka besar baginya. Gui Kongcu merasa sakit hati dan sebagaimana telah dituturkan di atas, akhirnya pemuda bangsawan jahanam ini lalu melakukan kekerasan, membunuh Manako serta menculik Lilani!

Sesudah menuturkan riwayatnya, sambil menghela napas Lilani lalu berkata, “Dulu ibuku pernah menceritakan kepadaku bahwa di antara orang-orang bangsa Han terdapat pula pendekar-pendekar seperti Kwee An Enghiong dan Pendekar Bodoh, akan tetapi setelah menderita akibat kejahatan bangsamu yang menjadi perwira-perwira kaisar kukira bahwa sekarang tidak ada lagi pendekar-pendekar seperti itu! Ternyata sekarang, aku bertemu dengan engkau yang berbudi dan gagah perkasa. Ahhh, Lie Taihiap, dengan jalan bagai manakah aku dapat membalas budimu yang besar ini?”

Lie Siong merasa kasihan sekali mendengar riwayat gadis ini.

“Apakah kau tidak mempunyai keluarga lain?”

Gadis itu menggeleng kepalanya dengan sedih.

“Tidak mempunyai sahabat-sahabat yang boleh kau tumpangi?”

Kembali Lilani menggelengkan kepalanya yang cantik sambil termenung. Lie Siong tidak dapat berkata-kata lagi, hanya duduk diam dengan hati bingung. Apakah yang harus dia lakukan? Bagaimana ia dapat menolong gadis ini selanjutnya? Ia sendiri adalah seorang perantau, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.

“Dan... ke manakah tujuanmu? Kau hendak pergi ke manakah?” Lie Siong lalu bertanya perlahan.

Lilani yang sejak tadi dapat menahan kesedihan hatinya, ketika mendengar pertanyaan ini, hanya dapat memandang dengan sinar mata amat mengharukan, lalu dia menangis tersedu-sedu! Ia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan air mata mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya sedangkan tubuhnya terisak-isak.

Lie Siong menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Selama hidupnya, baru kali ini ia merasa bingung dan menghadapi perkara yang luar biasa sukarnya.

“Lilani, ayahmu berpesan kepadaku untuk menolongmu dari tangan jahanam she Gui itu. Aku sudah melakukannya dan setelah kau kini bebas dan selamat, aku tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Ketahuilah, bahwa aku sendiri tidak mempunyai tempat tinggal, merantau seorang diri, juga tidak mempunyai tujuan tertentu...”

Tiba-tiba Lilani menghentikan tangisnya, kemudian ia mengangkat mukanya memandang pemuda itu. Sebelum bicara, beberapa kali dia menelan ludah karena tenggorokannya terasa seakan-akan terganjal sesuatu.

“Lie Taihiap, aku maklum akan maksudmu. Tak perlu kau menyusahkan keadaanku dan janganlah aku menjadi penghalang dari kebebasanmu. Aku tahu bahwa dengan adanya aku, kau tidak merasa senang, tidak dapat bergerak bebas. Pertama karena aku seorang gadis, kedua karena aku lemah. Janganlah kau menjadi bingung, Taihiap, juga jangan kau memikirkan aku lagi. Pergilah kau melanjutkan perjalananmu, biar aku seorang diri di perahu ini sampai... sampai... entah ke mana saja perahu dan air sungai ini membawa diriku!”

Lie Siong lalu berdiri dan merogoh buntalannya, lalu mengeluarkan sepuluh potong emas murni. Ia memberikan benda berharga ini kepada Lilani dan berkata, “Kau cukup maklum akan keadaanku dan ini sedikit bekal untuk biaya perjalananmu.”

Dengan air mata masih menitik turun, Lilani memandang tangan yang mengangsurkan potongan-potongan emas itu. Ia menggelengkan kepala dan berkata tegas. “Taihiap, kau telah menolongku dan untuk itu saja aku telah merasa amat berat serta tidak tahu harus membalas budimu dengan cara bagaimana. Oleh karena itulah maka aku tidak berani memberatkan kau lagi, apa lagi menerima pemberianmu ini. Ahh, tidak, aku tidak dapat menerima emas ini. Hidupku takkan lama lagi... untuk apakah benda itu...?”

Tertegun hati Lie Siong mendengar ucapan ini, akan tetapi ia pun tak mau banyak cakap, memasukkan emas itu ke dalam buntalan kembali lalu ia melompat ke darat.

“Kalau begitu, selamat berpisah!” katanya lalu melompat pergi.

Lilani duduk di perahu dan memandang bayangan pemuda itu dengan lemas. Ia merasa seolah-olah semangatnya telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya. Merasa betapa seluruh perasaannya telah terbawa pergi oleh pemuda yang gagah perkasa, tampan dan juga aneh serta amat pendiam itu.

Ia maklum bahwa hatinya telah terampas oleh kegagahan Lie Siong dan jantungnya telah tertembus oleh sinar mata pemuda itu. Ia juga maklum bahwa tanpa adanya pemuda itu didekatnya, hidupnya tidak ada artinya lagi. Bangsanya sudah musnah, ayah bundanya juga telah tewas.

Tadinya ia mempunyai cita-cita untuk membangun suku bangsanya, untuk menggantikan kedudukan ayahnya kemudian bersama bangsanya, berjuang memperbaiki nasib. Akan tetapi kini semua itu lenyap, lenyap bersama bayangan Lie Siong. Dengan Lie Siong di sampingnya, ia merasa pasti dan yakin bahwa cita-citanya itu akan terlaksana.

Tanpa tertahan lagi dia lalu menjatuhkan mukanya di atas kedua telapak tangannya dan menangis dengan hati terasa disayat-sayat. Dalam kesedihannya yang sangat hebat ini, terbayanglah wajah ibunya yang cantik jelita dan teringatlah dia betapa ibunya pernah menuturkan kepadanya mengenai perhubungan ibunya dengan seorang pendekar besar bernama Kwee An yang sekarang bertempat tinggal di Tiang-an. Ibunya, Meilani, pernah menuturkan kepadanya betapa ibunya itu pun pernah jatuh hati kepada pendekar itu.

Ahh, mengapa dia harus putus asa? Sahabat-sahabat baik ibunya masih banyak. Kalau saja dia dapat mencari Kwee An dan Ma Hoa, atau Pendekar Bodoh dan Lin Lin, tentu mereka akan mau menolong, menolong puteri tunggal Meilani!

Akan tetapi teringat akan kejahatan putera kepala daerah she Gui itu, hatinya menjadi gentar lagi. Banyak sekali manusia-manusia jahat semacam pemuda she Gui itu di dunia ini! Ah, alangkah jauh bedanya dengan Lie Siong pemuda yang sopan santun dan gagah perkasa itu. Pemuda yang sedikit pun tak mau mengganggunya, jangankan mengganggu dirinya, bahkan menengok pun tidak. Agaknya dia bukan seorang gadis cantik! Mungkin di dalam pandangan Lie Siong, dia hanyalah seorang perempuan yang buruk rupa dan menjemukan!

Mengingat akan hal ini, kembali hatinya terasa bagai disayat-sayat sehingga air matanya mengucur makin deras. Tiba-tiba saja ia mendengar suara yang halus datang di sebelah belakangnya.

“Lilani, sudahlah, jangan kau terlalu berduka.”

Seketika itu juga air matanya yang mengucur berhenti mengalir seakan-akan sumbernya tertutup rapat, kedua matanya dibuka lebar-lebar dan dia cepat memutar lehernya untuk menengok. Ternyata bahwa Lie Siong telah berdiri di darat sambil bertolak pinggang!

“Lie Taihiap…!” Dalam seruan ini terkandung kegirangan yang luar biasa sekali.
“Aku merasa tidak enak hati meninggalkan kau dalam keadaan begini.” kata pemuda itu sambil mengerutkan kening seakan-akan tak puas akan kelemahannya sendiri. “Apa bila sampai terjadi sesuatu dengan kau, maka akan sia-sialah usahaku membebaskan kau dari cengkeraman orang jahat, dan berarti aku telah melanggar janji kepada ayahmu.”
“Taihiap... Thian Yang Agung telah mengirimmu kembali padaku...” Lilani berkata dengan bisikan terharu.
“Akan tetapi aku masih tidak tahu harus membawa kau ke mana, Lilani. Sekarang kau carilah tujuan tertentu supaya aku dapat mengantarkan kau ke tempat yang aman, baru kemudian aku akan melanjutkan perantauanku.”
“Taihiap, aku sudah mendapat pikiran pada saat kau pergi tadi. Aku teringat akan Kwee Lo-enghiong dan Pendekar Bodoh. Kalau saja kau sudi mengantarkan aku sampai ke tempat tinggal mereka, aku akan mendapat perlindungan yang sentosa. Budimu tak akan kulupakan selama hidupku, Taihiap.”
“Sudahlah, jangan bicarakan tentang budi,” kata Lie Siong yang segera masuk ke dalam perahu itu. “Aku pernah mendengar bahwa Kwee Lo-enghiong tinggal di kota Tiang-an. Baiknya kita mengambil jalan sungai ini sampai ke kota raja, kemudian kita menuju ke Tiang-an dengan jalan darat.”

Saking girang hatinya, Lilani tak menjawab, hanya mengangguk-angguk sambil menatap pemuda itu dengan mata berseri. Lenyaplah segala kesedihannya, segala keraguannya. Dengan pemuda ini di sampingnya, dunia seakan-akan menjadi lebih lebar dan terang, air Sungai Yang-ting pun seolah-olah merupakan sutera kehijauan yang dibentangkan di depannya, bunyi riak air berdendang merdu dan ia mendengar hatinya bernyanyi-nyanyi gembira!

Lie Siong tidak banyak bicara, hanya mendayung perahu itu dengan cepat ke tengah dan lajulah perahu itu terbawa aliran air sungai, ditambah dengan tenaga dayung dari tangan Lie Siong yang kuat…..
********************
Kita tinggalkan dulu Lie Siong dan Lilani yang melakukan pelayaran dalam usaha mereka mencari tempat tinggal Kwee An atau Pendekar Bodoh agar mendapatkan tempat tinggal dan tempat menumpang bagi gadis itu. Marilah kita menengok keadaan Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, Lin Lin, yang melakukan perjalanan hingga perbatasan utara, bahkan memasuki daerah Mongol untuk mencari Ang I Niocu!

Dengan hati dipenuhi keharuan dan kegelisahan Cin Hai dan Lin Lin hendak kembali ke selatan perbatasan Mongol di mana dahulu Ang I Niocu dan Lin Lin pernah mengadakan perantauan. Mereka mencari keterangan di sana-sini, mengadakan kunjungan ke banyak tempat dan pegunungan, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka.

Pada suatu hari, ketika dengan putus harapan Cin Hai serta Lin Lin hendak kembali ke selatan dan sampai di dalam sebuah hutan, mereka mendengar orang bernyanyi dengan suara nyaring.

Ahh, kipas sial, kipas butut!
Apakah jasamu terhadapku?
Hanya mendatangkan nama besar yang kosong.
Menambah musuh menjauhkan sahabat.
Kau tidak mampu merenggut nyawaku.
Yang jemu dan telah lama terkurung.
Kau tetap hanya menghibur badan.
Mengusir hawa panas mendatangkan angin.
Ahh, kipas butut, kipas sial!

Hutan itu liar dan sunyi, maka tentu saja Cin Hai dan Lin Lin terheran-heran mendengar nyanyian ini, karena selain kata-katanya amat aneh, juga suara itu nyaring sekali hingga menggema di seluruh hutan!

Suami isteri ini saling pandang dan cepat menghampiri arah datangnya suara. Mereka tertegun melihat seorang kakek tua sekali tengah duduk di bawah sebatang pohon besar sambil memakai sebuah kipas yang benar-benar sudah butut untuk mengipasi tubuhnya yang gemuk.

Pakaian kakek ini hampir telanjang tidak terurus dan tubuhnya sudah kotor penuh debu dan lumpur. Kalau saja tidak melihat kipas yang terbuat dari pada kulit harimau itu tentu suami isteri pendekar ini tidak mengenal orangnya. Cin Hai yang lebih dulu mengenalnya dan segera berseru keras,

“Swie Kiat Siansu! Locianpwe, mengapa kau berada di sini?” Dia kemudian menghampiri bersama isterinya, dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

Kakek tua renta yang gemuk itu memandang dengan bermalas-malasan, kemudian dia tertawa bergelak dan memukul-mukul kepalanya dengan kipasnya.

“Ha-ha-ha! Pendekar Bodoh...! Agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadaku maka di saat terakhir masih dapat bertemu dengan engkau! Alangkah sempitnya dunia ini? Dan alangkah cepatnya sang waktu berlari.” Ia memandang kepada Lin Lin dan berkata pula, “Agaknya kalian sedang menderita, akan tetapi jangan ceritakan hal itu kepadaku, aku sudah cukup kenyang mendengar penderitaan manusia sehingga menjadi bosan. Ehhh, Nyonya muda, coba kau buatkan masakan yang cocok untukku, nanti kuberikan kipasku yang butut ini kepadamu.”

Lin Lin diam-diam merasa mendongkol bukan main. Untuk apa kipas butut itu baginya? Akan tetapi dengan muka girang Cin Hai berkata kepadanya,
“Kau tangkaplah seekor kelinci dan panggang itu untuk Locianpwe.”

Lin Lin memandang kepada suaminya, akan tetapi karena ia telah percaya penuh kepada suaminya yang sesungguhnya tidak bodoh itu, dia pun segera bangkit berdiri dan berlari memasuki hutan.

“Ha-ha-ha, Pendekar Bodoh, kau baik sekali. Berapa orangkah anakmu sekarang?”
“Dua orang, Locianpwe, seorang anak perempuan dan seorang lagi anak laki-laki. Putera teecu itu kini sedang belajar di bawah asuhan Pok Pok Sianjin.”

Kembali kakek gemuk itu tertawa bergelak-gelak. “Bagus, bagus! Setan tua dari barat itu agaknya tak mau mampus sambil membawa kepandaiannya yang akan membikin pusing saja di neraka! Baiklah, kalau begitu, aku pun akan meninggalkan kipas ini untuk anakmu yang perempuan itu. Akan tetapi aku harus makan dulu, telah dua pekan lebih aku tidak makan sama sekali!” Sambil berkata begitu, kakek gemuk ini lalu menggunakan tangan kanannya untuk menekan tanah dan berpindah tempat duduk.

Terkejutlah Cin Hai ketika melihat bahwa kakek ini ternyata sedang menderita penyakit yang hebat sekali, agaknya tangan dan kaki kirinya sudah lumpuh tak dapat digerakkan lagi! Sungguh mengherankan, dalam keadaan demikian apa lagi ditambah dengan dua pekan tidak makan, kakek ini masih saja nampak gemuk dan sehat!

“Maafkan, Locianpe. Apakah Locianpwe menderita sakit?”

Swie Kiat Siansu mengangguk-angguk sambil menghela napas. “Agaknya dosaku terlalu besar sehingga sebelum mampus harus menderita lebih dulu. Setelah tua, darahku jalan terlampau cepat sehingga memecahkan urat-urat syaraf dan membuat semua urat-urat di setengah tubuhku pecah-pecah. Akan tetapi tidak apa, dalam keadaan sakit atau tidak, kematian akan datang juga akhirnya!”

Cin Hai lalu teringat akan keadaan orang tua ini pada belasan tahun yang lalu. Swie Kiat Siansu adalah seorang di antara ‘empat besar’ yang menjagoi seluruh daratan Tiongkok. Pada masa itu, Bu Pun Su (guru Cin Hai dan Lin Lin) dan Hok Peng Taisu (guru Ma Hoa) merupakan tokoh besar dari selatan dan timur, ada pun Pok Pok Sianjin adalah tokoh dari barat. Tokoh dari utara yang paling terkenal adalah Swie Kiat Siansu inilah!

Keempat orang ini, yakni Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swie Kiat Siansu terkenal sebagai empat besar dan kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi hingga jarang bertemu tandingan! Hanya sayang sekali bahwa Swie Kiat Siansu telah salah dalam memilih murid. Dua orang muridnya yang bernama Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu menjadi perwira-perwira Mongol dan berwatak jahat sekali. Dulu Swie Kiat Siansu ini bersama Pok Pok Sianjin pernah mengadakan pibu (adu kepandaian silat) di puncak Hoa-san menghadapi Hok Peng Taisu dan Bu Pun yang diwakili Pendekar Bodoh.

Kini melihat keadaan orang tua ini, diam-diam Cin Hai menghela napas dan teringatlah ia bahwa ia sendiri kelak tak akan terlepas dari pada pengaruh usia tua dan kematian. Akan tetapi, mendengar bahwa kakek ini hendak menyerahkan kipasnya kepada puterinya, ia menjadi girang sekali. Menyerahkan senjata berarti menyerahkan atau menurunkan ilmu silat, dan kipas kakek ini memang merupakan senjatanya yang paling lihai dan yang telah membuat namanya menjadi terkenal sekali.

Tak lama kemudian, Lin Lin datang sambil membawa dua ekor kelinci putih yang gemuk. Ia tertawa manis sekali dan berkata,
“Aku sengaja menangkap keduanya supaya pasangan ini tidak terpisah, biar pun sudah berpindah tempat ke dalam perut!”

Swie Kiat Siansu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha! Pantas saja kau dan suamimu Pendekar Bodoh ini dapat hidup rukun dan damai, tidak tahunya kau dapat menghargai kesetiaan dan kecintaan! Lekas masak... lekas masak... aku tidak tahan lagi menghadapi cacing-cacing perutku!”

Cin Hai segera membuat api dan setelah kedua kelinci itu disembelih serta dibersihkan, dagingnya kemudian dipanggang. Tidak lama kemudian sudah tercium bau yang sedap dan menimbulkan selera. Swie Kiat Siansu menahan air liurnya ketika tercium bau sedap ini olehnya.

“Aduh, cacing perutku makin menggeliat-geliat. Lekas bawa ke sini!”

Lin Lin tersenyum senang, karena ucapan ini secara tidak langsung menyatakan pujian atas pekerjaannya. Wanita mana pun juga di dunia ini memiliki dua macam kesenangan yang sama, yaitu mendapat pujian tentang kecantikannya atau kelezatan masakannya. Ia lalu membawa daging yang sudah merah dan mengebulkan uap dan aroma kesedapan itu kepada Swie Kiat Siansu.

Kakek tua yang hanya dapat menggerakkan tangan kanannya itu cepat menerima daging itu dan makan dengan amat lahapnya. Cin Hai dan Lin Lin memandang kagum karena biar pun daging itu baru saja keluar dari api dan amat panas, akan tetapi kakek itu dapat memakannya demikian enak dan sekali-kali tidak kelihatan kepanasan!

Tanpa menawarkan kepada Cin Hai dan Lin Lin yang terpaksa memandang saja sambil menelan ludah, kakek itu makan terus dengan enak dan lahap sekali sampai lenyaplah daging dua ekor kelinci itu berpindah ke dalam perutnya!

Swie Kiat Siansu kemudian menggunakan tangan kanannya yang masih penuh dengan minyak untuk mengelus-elus perutnya yang gendut, lalu dia tertawa dan berkata,

“Ahh, yang senang saja kalian sepasang ketinci tinggal di dalam perutku!” ia tertawa lagi, kemudian berkata. “Sayang tidak ada arak...”
“Jangan khawatir, Locianpwe, kebetulan teecu membawa bekal arak,” kata Cin Hai yang cepat mengeluarkan seguci arak dari buntalannya.

Berserilah wajah kakek itu. “Bagus, bagus! Kau baik sekali! Ahh, benar-benar Thian telah memimpin kalian suami isteri ke tempat ini untuk menyenangkan hatiku di saat terakhir ini dan untuk menerima warisan dariku!”

Dia lalu minum arak itu dan nampak senang sekali. Tiap kali habis menenggak arak, dia menjulurkan lidah dari mulut dan diputarnya lidah itu menghapus kedua bibirnya dengan puas sekali.

Lin Lin juga merasa girang ketika mendengar bahwa kakek itu hendak menurunkan ilmu silat dan kepandaian memainkan senjata kipas itu kepada puterinya, maka ia pun bersiap sedia untuk memasak apa saja yang dibutuhkan kakek ini.

Dua pekan lebih Cin Hai dengan tekun mempelajari ilmu silat tinggi dari Swie Kiat Siansu untuk kemudian dipelajarkan kepada puterinya. Karena Cin Hai telah memiliki dasar ilmu silat tinggi serta mempunyai pengertian dasar dan pokok segala macam ilmu silat, maka setelah memperhatikan dan mempelajari selama dua pekan, dia sudah dapat menerima semua kepandaian itu.

Pada malam yang ke lima belas, setelah memberikan keterangan-keterangan terakhir dan memberikan kipas itu kepada Cin Hai, Swie Kiat Siansu berkata puas, “Nah, kini bebaslah aku dari kipas sial dan butut itu! Ehh, Nyonya muda, tolong kau panggangkan sepasang kelinci lagi untukku!”

“Baik, Locianpwe,” jawab Lin Lin yang selama itu selalu mengurus keperluan Swie Kiat Siansu yang membawa mereka tinggal di sebuah goa di hutan itu.

Sesudah sepasang kelinci didapatkan dan dagingnya dimasak, kembali kakek itu makan dengan enaknya dan menghabiskan persediaan arak milik Cin Hai yang tinggal seguci lagi. Sesudah makan kenyang, dia lalu menjatuhkan tubuhnya terlentang di atas tanah, berkata, “Besok kalian boleh pergi!” dan sebentar kemudian ia tidur mendengkur!

Cin Hai dan Lin Lin teringat akan Bu Pun Su, guru mereka yang juga memiliki adat yang sangat aneh seperti kakek ini pula. Dengan perlahan mereka lalu keluar dari goa itu dan makan buah-buahan yang dikumpulkan oleh Lin Lin.

“Besok kita disuruh pergi,” kata Cin Hai. “Karena Ang I Niocu tidak ada kabarnya, lebih baik kita kembali mencari anak kita dan mampir di Beng-san menengok putera kita.”

Teringat akan puteri mereka, Sie Hong Li atau Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti, Lin Lin tiba-tiba kembali merasa berduka sekali dan menunda makannya, memandang dengan mata melamun ke tempat jauh. Nampak dua titik air mata perlahan-lahan mengalir turun membasahi pipinya.

“Isteriku, janganlah kau berduka. Percayalah bahwa Thian pasti akan melindungi Lili,” Cin Hai menghibur sambil menepuk-nepuk pundak isterinya. Mendengar hiburan ini, Lin Lin merasa semakin terharu dan sedih sehingga ia lalu menangis terisak sambil menjatuhkan kepalanya di atas pundak suaminya.

Cin Hai membiarkan saja karena untuk melepaskan kedukaan, memang tidak ada yang lebih baik dari pada tangis dan air mata. Karena besok pagi mereka harus pergi, maka sekali lagi Cin Hai menghafalkan dan melatih ilmu silat yang diturunkan oleh Swie Kiat Siansu.

Malam itu mereka berada di luar goa dan melatih ilmu silat dengan amat rajinnya. Dasar suami isteri ini memang gemar sekali akan ilmu silat, maka berlatih semalam penuh di bawah sinar bulan itu merupakan hiburan yang sangat baik bagi kedukaan hati mereka akibat lenyapnya puteri mereka.

Akan tetapi, alangkah kagetnya sepasang suami isteri ini ketika pada keesokan harinya mereka memasuki goa tempat tinggal Swie Kiat Siansu, mereka mendapatkan kakek itu telah menggeletak tak bergerak dan tak bernapas lagi! Ternyata setelah makan kenyang dan tidur, kakek yang usianya sudah seratus lebih dan yang terserang penyakit berat ini telah menghembuskan napas terakhir, hal yang sudah lama dinanti-nantinya!

Dengan penuh penghormatan, Cin Hai dan isterinya lalu mengurus jenazah itu, menggali tanah dan mengubur jenazah itu sebagaimana mestinya. Mereka bersembahyang secara sederhana, menunda keberangkatan mereka sampai pada keesokan harinya lagi untuk memberi penghormatan terakhir. Kalau kiranya manusia mati masih mempunyai roh, dan apa bila rohnya ini pandai melihat dan berpikir, maka roh Swie Kiat Siansu tentu akan merasa berterima kasih sekali melihat sepasang suami isteri ini.

Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Hai dan isterinya meninggalkan tempat itu dan langsung menuju ke selatan. Di sepanjang jalan tiada hentinya mereka berdua mencari keterangan dan menyelidiki tentang Ang I Niocu dan juga tentang Bouw Hun Ti.

Tanpa mendengar sesuatu pun keterangan tentang kedua orang yang dicari-carinya itu, akhirnya mereka sampai di Beng-san dan mendaki gunung itu dengan cepat.
Baru saja mereka berdua tiba di lereng gunung, tiba-tiba terdengar suara yang nyaring memanggil mereka. “Ayah... lbu...!”

Cin Hai dan Lin Lin cepat menengok dengan wajah berubah, dan alangkah kaget, heran serta girang hati mereka ketika melihat di atas sebuah puncak berdiri Lili bersama Hong Beng dan seorang anak laki-laki lain lagi!

Lin Lin berlari seperti terbang cepatnya ke arah anaknya itu sambil menangis. Cin Hai juga berlari mengejar isterinya, akan tetapi kali ini dia kalah cepat! Kegirangan agaknya sudah membuat nyonya muda itu seakan-akan terbang saja dan ilmu berlari cepatnya mendadak menjadi makin hebat.

Juga Lili dan Hong Beng berlarian turun dari puncak. Sesudah saling berhadapan, Lin Lin lalu menubruk Lili sambil mencium anaknya itu dan menangis tersedu-sedu.

“Lili... Lili... anak nakal... kau selamat, Nak?” dengan megap-megap Lin Lin bertanya.

Lili juga menangis saking girangnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian dia menengok kepada ayahnya yang juga sudah datang ke situ lalu tersenyum!

“Ayah dan Ibu tidak marah...?” tanyanya.
“Mengapa marah? Tidak, anakku, tidak!” jawab Cin Hai.
“Mengapa Kongkong tidak ikut datang?” tanya lagi Lili dan mendengar pertanyaan ini, Lin Lin tiba-tiba menangis lagi.

Hong Beng maju mendekati ibunya dan melihat ibunya menangis sedih sekali ini, dia lalu menyentuh pundak ibunya yang masih berlutut memeluk Lili. “Ibu, apakah yang terjadi dengan Kongkong?”

Oleh karena Lin Lin tidak dapat menjawab, Cin Hai kemudian maju dan berkata tenang, “Kongkong-mu sudah ditewaskan oleh orang-orang yang menculik Lili. Karena itu kalian belajarlah baik-baik agar kelak dapat mencari musuh besar ini.”

Lili yang sangat sayang kepada engkong-nya, menjerit keras ketika mendengar berita ini. “Apa...?!” Ia memandang kepada ayahnya dengan mata bernyala. “Engkong di... dibunuh oleh bangsat itu...?”

Ketika Cin Hai menganggukkan kepalanya, Lili merangkul ibunya dan menangis keras. Ada pun Hong Beng yang juga sangat sayang kepada kongkong-nya itu, berdiri dengan muka muram. Pemuda cilik ini mengepal tinju dan membanting-banting kakinya sambil berkata perlahan,

“Jahanam...! Jahanam...!” Akan tetapi ia tidak mengeluarkan air mata.

Diam-diam Cin Hai menjadi bangga melihat ketenangan dan kekuatan hati puteranya ini, maka dia lalu menarik tangan Lili, mendekapnya dan berkata halus,
“Lili, lihat kakakmu itu. Kau tidak boleh berhati lemah dan menangis seperti seorang anak cengeng! Kewajibanmulah untuk kelak membalas sakit hati kongkong-mu.”

Mendengar ucapan ayahnya ini, bangkitlah semangat Lili dan dengan muka masih basah oleh air mata ia berkata, “Ayah, aku bersumpah untuk mencari keparat Bouw Hun Ti dan menghancurkan kepalanya!”

Lin Lin juga sudah dapat menguasai keharuan hatinya dan nyonya muda ini lalu teringat kepada pemuda cilik yang tadi bersama kedua anaknya. Ternyata pemuda itu masih berdiri tidak jauh dari mereka dan hanya berdiam saja sambil memandang dengan mata berduka.

Anak ini adalah Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang menjadi murid Sin-kai Lo Sian atau kini menjadi suheng dari Lili. Melihat betapa Lili dan Hong Beng berjumpa kembali dengan kedua orang tua mereka, hatinya menjadi perih dan teringatlah ia akan nasibnya sendiri yang sudah ditinggal mati oleh ayah ibunya.

“Ehh, anak itu siapakah?” tanya Lin Lin kepada Lili.

Baru Lili teringat kepada suheng-nya ini dan dia lalu melambaikan tangan kepadanya.
“Lili, siapakah kedua orang gagah ini?”
“Kam Seng, kau kesinilah bertemu dengan ayah bundaku!”

Dengan malu-malu Kam Seng lalu bertindak maju dan memberi hormat sambil menjura kepada Cin Hai dan Lin Lin.
“Dia bernama Thio Kam Seng, murid dari Suhu,” kata Lili.
“Suhu? Siapakah Suhu-mu?” tanya Cin Hai terheran.

Lili lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh Bouw Hun Ti, kemudian tertolong oleh Sin-kai Lo Sian dan dibawa ke atas Gunung Beng-san ini dan kemudian dilatih oleh Mo-kai Nyo Tiang Le, suheng dari Lo Sian atau supek mereka.

Cin Hai dan Lin Lin merasa girang sekali mendengar penuturan ini dan mereka sangat berterima kasih kepada Sin-kai Lo Sian, pengemis sakti yang namanya sudah pernah mereka dengar itu.

“Sekarang di mana dia, penolong dan suhu-mu itu? Kami harus bertemu dengan dia untuk menghaturkan terima kasih,” kata Lin Lin.
“Dia sudah turun gunung, Ibu. Katanya hendak pergi ke Shaning untuk mencari Ayah dan Ibu, melaporkan keadaanku yang sudah tertolong.”

Pada waktu itu, dari puncak gunung nampak bayangan orang yang cepat sekali berlari mendatangi.
“Nah, itu dia Supek datang!” kata Kam Seng ketika melihat bayangan itu.

Cin Hai dan Lin Lin cepat-cepat menengok. Mereka melihat seorang yang berpakaian sebagai pengemis datang berlari cepat sekali dari atas.

Mo-kai Nyo Tiang Le biar pun sudah sering kali mendengar nama Pendekar Bodoh akan tetapi belum pernah bertemu muka, maka ia tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Dari atas, dia tadi melihat seorang laki-laki dan seorang wanita bercakap-cakap dengan tiga orang anak itu, maka cepat ia menghampiri karena ia berkhawatir kalau-kalau kedua orang itu adalah orang-orang jahat. Pada saat melihat dua orang itu bersikap gagah dan berwajah elok, ia lalu bertanya kepada Lili,

“Lili, siapakah kedua orang gagah ini?”
“Supek, mereka ini adalah ayah bundaku!” kata Lili dengan girang dan tersenyum, sama sekali lenyap rasa dukanya yang tadi! Memang watak gadis cilik ini benar-benar sama dengan ibunya.

Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali mendengar pengakuan ini. Dia memandang dengan penuh perhatian kepada Cin Hai yang sementara itu bersama isterinya sudah menjura kepadanya untuk memberi hormat.

“Ahh, jadi kau ini adalah Pendekar Bodoh yang bernama Sie Cin Hai? Maaf, maaf! Aku tak mengenal orang pandai!” Nyo Tiang Le cepat menjura dan membalas penghormatan itu.
“Nyo Loheng (Saudara Tua Nyo) terlalu sungkan!” jawab Cin Hai merendah. “Sebetulnya justru kami berdua yang harus menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikan hatimu, terutama sekali kepada adikmu yang sudah menolong jiwa puteri kami. Mudah-mudahan saja budi ini akan terbalas oleh Thian apa bila kami tiada kesempatan untuk membalas semuanya.”

Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa terbahak-bahak dengan gembira sekali, sehingga Lili dan Kam Seng memandang dengan heran karena jarang mereka menyaksikan supek mereka ini sedemikian gembiranya.

“Pendekar Bodoh, kau seperti anak kecil saja!” kata Pengemis Iblis Mo-kai Nyo Tiang Le setelah tertawa bergelak. “Di antara kita masih perlukah bicara tentang budi? Sekarang Lili telah bertemu dengan kalian, suami isteri pendekar yang kepandaiannya tinggi sekali, maka sudah cukup lama kiranya aku tinggal di tempat ini mengganggu Pok Pok Sianjin! Lili, yang baik-baiklah kau belajar ilmu kepandaian supaya kelak jangan sampai terculik orang lagi. Ha-ha-ha-ha! Kam Seng, kau ikutlah padaku turun gunung!” Setelah berkata demikian, Mo-kai menyambar lengan tangan Kam Seng dan berlari pergi dari situ dengan cepat.

Lili tertegun menyaksikan sikap ini, akan tetapi Cin Hai hanya tersenyum saja kemudian berkata, “Memang orang-orang kang-ouw selalu mempunyai watak yang sangat aneh. Kita harus catat nama Mo-kai Nyo Tiang Le itu sebagai seorang sahabat baik. Marilah kita naik ke puncak untuk menghadap Pok Pok Sianjin!”

Mereka beramai-ramai lalu pergi ke atas puncak dan menghadap Pok Pok Sianjin yang menerima kedatangan mereka dengan girang.

“Pendekar Bodoh, kebetulan sekali kau dan isterimu sudah datang! Apakah kalian telah bertemu dengan Sin-kai Lo Sian?”

Setelah memberi hormat, Cin Hai menjawab, “Belum, Locianpwe.” Ia lalu menceritakan perjalanannya mencari Lili, dan betapa mereka bertemu pula dengan Swie Kiat Siansu yang meninggal dunia karena penyakit dan usia tua.

Pok Pok Sianjin menarik napas panjang. “Ahh, semua kawan-kawan telah meninggalkan aku! Mereka sudah bebas dan senang! Tinggal aku seorang tua bangka yang harus mengalami penderitaan entah berapa tahun lagi.”

Cin Hai dan Lin Lin tidak lama tinggal di tempat itu, hanya tiga hari, ini pun karena Hong Beng selalu menahan mereka. Akhirnya mereka pun turun gunung bersama Lili, setelah memesan kepada Hong Beng untuk belajar ilmu dari Pok Pok Sianjin dengan giat dan rajin.

Pemuda cilik ini diam-diam merasa sangat kesepian sesudah adik perempuannya turun gunung mengikuti ayah ibunya. Akan tetapi Hong Beng memang seorang pemuda yang pendiam dan selain berwatak tenang, dia juga memiliki kekuatan batin yang cukup tabah. Kesunyiannya ini lalu dia tutup dengan ketekunannya belajar ilmu silat sehingga Pok Pok Sianjin merasa makin gembira menurunkan ilmu-ilmunya kepada pemuda yang berbakat ini.

Demikianlah, apa bila Sie Hong Beng dengan rajin mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, Lili juga menerima latihan ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan ia menerima pula Ilmu Silat Kipas Maut yang diwariskan oleh Swie Kiat Siansu untuknya. Walau pun Lili memiliki watak yang lincah dan tidak dapat tekun belajar, akan tetapi apa bila dia teringat akan kematian kakeknya, dia lalu mengerahkan semangatnya dan mempelajari ilmu silat dengan giatnya sehingga ayah bundanya merasa girang juga melihat perubahan ini…..

********************
Seperti telah dikatakan oleh Swie Kiat Siansu, waktu memang berlari sangat pesatnya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun terbang berlalu dengan cepatnya sehingga kita sendiri tidak merasakan sesuatu, tahu-tahu usia selalu bertambah tua!

Memang aneh kalau direnungkan. Apa bila kita memperhatikan jalannya waktu, jangan kata setahun, sebulan atau pun sehari, baru satu jam saja kalau kita menanti datangnya sesuatu, maka nampaknya amat lama. Akan tetapi siapakah orangnya yang setiap saat memperhatikan jalannya waktu?

Kita semua tidak merasa dan sungguh pun masa kanak-kanak kadang kala masih suka terbayang di depan mata, peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu masih terbayang nyata, namun kalau dihitung-hitung kita telah menjadi makin tua. Belasan tahun itu kalau tidak kita rasakan, tahu-tahu telah lewat bagaikan baru kemarin saja!

Siapa bilang kalau hidup ini lama? Memang benarlah kata para pujangga bahwa hidup yang singkat ini harus kita isi dengan perbuatan-perbuatan yang berguna agar kita tidak menyesal kalau sudah terlambat!

Tak terasa lagi, sepuluh tahun telah berlalu cepat semenjak terjadinya peristiwa di atas. Telah sepuluh tahun anak-anak itu belajar ilmu silat dengan rajinnya. Lili sudah berusia delapan belas tahun dan dia kini menjadi seorang gadis yang amat cantik jelita berwatak gembira dan suka tertawa. Matanya kocak dan selalu berseri, bibirnya selalu tersenyum manis, gerakannya lincah sekali dan pendek kata, ia sama benar dengan ibunya, Lin Lin, pada waktu muda!

“Kalau aku melihat anak kita, aku teringat kepada dara yang bernama Lin Lin!” kata Cin Hai sambil menengok kepada isterinya yang duduk di dekatnya.

Lin Lin yang biar pun sudah berusia hampir empat puluh tahun tapi masih nampak cantik itu, mengerling sambil cemberut manja.

“Ah, kau ini memang tukang memuji! Lili memang hampir sama dengan aku, akan tetapi, siapa bilang dia cantik? Ibunya buruk rupa, bagaimana anaknya bisa cantik?”

Cin Hai tertawa karena dia sudah maklum sekali bahwa isterinya ini biar pun di mulutnya mengomel akan tetapi di dalam hatinya merasa girang sekali. Mereka duduk di kebun belakang memandang Lili yang sedang berlatih ilmu silat.

Lin Lin memandang kagum lalu menghela napas. “Betapa pun juga, ada satu hal yang menyusahkan hatiku. Dia sudah berusia delapan belas tahun, akan tetapi bertunangan pun belum! Sampai usia berapakah dia kelak menikah?”

“Hal itu tak perlu tergesa-gesa,” jawab suaminya dengan tenang, “ia cantik jelita dan ilmu silatnya tinggi, harus mendapat jodoh yang sesuai!”

Lin Lin mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang, satu hal sudah pasti bahwa ketika aku masih gadis, ilmu silatku tidak setinggi tingkat kepandaiannya. Lihat betapa indahnya gerakan Sian-li San-hwa (Bidadari Menyebar Bunga) yang dia mainkan itu!”

Cin Hai memandang lagi ke arah Lili yang masih bersilat. Memang, gadis itu kini sedang melatih Ilmu Silat Sianli Utauw (Ilmu Silat Bidadari) yang sangat indah dan cepat, dan gerakan Sian-li San-hwa adalah sebuah di antara tipu-tipu ilmu silat ini. Melihat gerakan puterinya itu, Cin Hai menjadi kagum dan diam-diam ia lalu membandingkan puterinya ini dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.

Anak gadisnya ini sungguh mengagumkan sekali, dan pikiran Cin Hai mulai mencari-cari pemuda manakah gerangan yang patut menjadi menantunya. Dia merasa puas dengan ikatan jodoh antara puteranya, Hong Beng, dengan Goat Lan, puteri dari Kwee An. Akan tetapi untuk Lili, dia belum dapat memilih seorang calon menantu yang cukup sesuai dan cocok.

Sementara itu, Lili sudah menghentikan permainannya dan seperti merasa bahwa kedua orang tuanya sedang memandangnya dan membicarakannya. Dia segera menengok dan berlari-lari menghampiri ayah ibunya. Dengan sikap manja dia lalu duduk di dekat ibunya sambil memeluk pundak Lin Lin yang menggunakan sapu tangannya untuk menghapus peluh yang membasahi jidat dan leher puterinya dengan penuh kasih sayang.

“Ibu, sekarang kau dan Ayah harus memberi perkenan padaku untuk pergi mengunjungi Enci Goat Lan, dan aku ingin sekali melakukan perjalanan seorang diri.”
“Tak baik bagi seorang gadis muda untuk melakukan perjalanan seorang diri,” kata Cin Hai.

Lili merengut. “Ahhh…, Ayah selalu berkata demikian untuk mencegah keinginan hatiku. Bukankah Ayah dan lbu sering bercerita betapa Ibu dulu juga sering kali pergi merantau menambah pengalaman? Lagi pula, aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan seorang gadis muda yang masih bodoh, usiaku sudah delapan belas tahun, Ayah!”

Cin Hai memandang dengan muka bersungguh-sungguh. “Lili, dahulu itu lain lagi, karena keadaan negara tidak sekacau ini. Orang jahat dahulu tidak sebanyak sekarang. Pula, ayah dan ibumu dahulu telah banyak membasmi penjahat sehingga banyak orang-orang jahat memusuhi kita. Kalau mereka tahu bahwa kau adalah anakku, mereka pasti akan turun tangan dan mengganggumu.”

Lili berdiri dan dengan sikap menantang berkata keras, “Aku tidak takut! Aku bukan puteri ayah dan ibu, bukan anak Pendekar Bodoh dan cucu murid Pendekar Sakti Bu Pun Su kalau aku takut! Ayah, apa perlunya aku semenjak kecil mempelajari segala macam ilmu silat itu tanpa mengenal lelah kalau sekarang aku takut mendengar tentang orang-orang jahat? Bukankah ayah sendiri sering berkata bahwa kepandaian yang kupelajari dengan susah payah tidak akan ada artinya apa bila tidak dipergunakan demi kepentingan orang banyak? Seorang ahli silat yang tidak mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya menolong orang tertindas, bukanlah pendekar namanya!”

Cin Hai tersenyum. Ia merasa betapa puterinya yang cerdik ini sering kali menggunakan ujar-ujar dan pelajaran yang ia berikan untuk melawan dia sendiri!

“Sudah, bicara dengan kau takkan ada orang yang bisa menang! Kalau kau hanya rindu kepada calon Soso-mu (Kakak Iparmu) Goat Lan, tunggulah beberapa hari lagi, nanti kita bertiga dapat melakukan perjalanan ke sana.”

Lili makin cemberut. “Tidak, aku ingin pergi seorang diri, bebas seperti burung di udara. Aku ingin merantau menambah pengalaman, ingin menggunakan kepandaian yang telah kupelajari untuk menolong orang-orang lemah yang tertindas. Di samping itu, aku ingin mencari si jahanam Bouw Hun Ti untuk membalas perhitungan lama! Kalau Ayah tidak boleh, aku... aku akan minggat!”

Cin Hai melongo dan Lin Lin segera memegang tangan puterinya.
“Hussh, Lili! Jangan kau berkata begitu!”

Lili memandang pada ibunya dan matanya berseri nakal ketika ia berkata mengingatkan, “Ibu, apakah kau sudah lupa bahwa kau dulu pernah minggat pada malam hari bersama Ang I Niocu? Ibu sendiri yang menceritakan hal itu kepadaku!”

Lin Lin tidak dapat menjawab, hanya memandang kepada suaminya dengan bohwat (tak berdaya).

“Lili,” kata Cin Hai menolong isterinya, “Ibumu lain lagi. Ketika itu ibumu bercita-cita untuk menyusulku dalam usaha untuk membalas dendam terhadap musuh-musuh yang sudah membasmi keluarga ibumu.”
“Apa bedanya? Sekarang pun aku hendak pergi untuk membalas dendam pada keparat Bouw Hun Ti!” Kemudian, dara yang manja ini lalu membanting kaki dengan muka merah dan berkata, “Ahh, sudahlah! Ibu dan Ayah tidak sayang kepadaku! Tidak ingin melihat aku senang. Kalau Beng-ko lain lagi, ia anak laki-laki, dicinta dan dimanja, semenjak kecil ikut berguru di Beng-san dan boleh merantau sesuka hatinya! Ahh, aku ingin menjadi seorang anak laki-laki saja!”

Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan bengong. Celaka dua belas, pikir Cin Hai di dalam hatinya. Anak ini lebih keras kepala dari pada ibunya! Akan tetapi Lin Lin berpikir lain lagi. Hebat, bisik hatinya, anak ini bahkan lebih gagah dan bersemangat dari pada ayahnya!

“Sudahlah, Lili, kau jangan marah-marah seperti kucing terinjak buntutnya!” kata Cin Hai. “Baiklah, kami akan merundingkan hal ini.”

Setelah Lili kembali ke dalam kamarnya, suami isteri ini masih duduk di tempat itu.

“Bagaimana baiknya?” bertanya Lin Lin dengan hati gelisah “Bila dia memaksa dan pergi, apakah kiranya tidak berbahaya?”
“Berbahaya sih tidak,” suaminya menjawab setelah berpikir keras. “Kepandaian Lili sudah lebih dari cukup, bahkan kiranya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Ang I Niocu ketika dia merantau dahulu. Tak mudah anak kita itu dirobohkan lawan. Akan tetapi, kau tahu sendiri akan bahayanya perantauan di dunia kang-ouw. Tak hanya kepandaian silat tinggi saja yang mampu menjaga keselamatan tubuh. Banyak akal-akal busuk yang jauh lebih berbahaya dari pada kepandaian silat lawan.”
“Kalau begitu, kita harus melarangnya pergi!” kata Lin Lin cepat dan penuh kekuatiran.

Pendekar Bodoh menggelengkan kepalanya. “Melarang pun tidak benar. Anak itu bahkan lebih keras kepala dari pada engkau!”
“Hmm, jadi aku keras kepala, ya? Kenapa kau dulu suka padaku yang keras kepala ini?”

Cin Hai tertawa. “Justeru kekerasan kepalamu itulah yang membuat aku suka kepadamu. Sudahlah, jangan kita bercekcok karena urusan ini. Kita berdua sudah cukup tua, bukan anak-anak lagi.”
“Kau yang mulai!”
“Sebaiknya begini saja. Mulai kini kita memberi pelajaran baru kepada Lili, membeberkan semua rahasia penjahat-penjahat di dunia kang-ouw supaya matanya terbuka terhadap tipu-tipu muslihat yang keji. Kalau dia sudah tahu akan segala hal itu, barulah kita dapat memberi perkenan kepadanya untuk pergi merantau dengan dibatasi waktunya. Pergi ke Tiang-an takkan lebih dari dua bulan pulang pergi, dan kalau memberi waktu tiga atau empat bulan saja, tentu dia tidak akan berani pergi terlalu jauh.”

Karena tidak dapat mencari jalan lain yang lebih baik, terpaksa Lin Lin pun menyatakan persetujuannya. Lili merasa girang sekali ketika mendengar keputusan orang tuanya ini. Dia segera menyatakan kesanggupannya untuk mempelajari semua tipu-tipu busuk dari orang-orang golongan hek-to (jalan hitam, yaitu para penjahat).

Sampai hampir dua pekan dia menerima wejangan dan nasehat, memperhatikan semua cerita dari ayah bundanya tentang kekejaman orang-orang jahat. Ia lalu mempelajari pula peta perjalanannya, yaitu dari Shaning di Propinsi An-hui tempat tinggal mereka, melalui Propinsi Honan kemudian memasuki Propinsi Hopei menuju ke Tiang-an yang terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho.

Lin Lin yang amat sayang pada puterinya itu memberi bekal yang cukup banyak, sambil tiada hentinya memberi nasehat-nasehat supaya dara itu berlaku hati-hati. Seekor kuda yang sangat kuat dan baik menjadi tunggangan Lili.

Gadis itu membawa bungkusan besar berisi pakaian, uang, bahkan juga obat-obat untuk menjaga diri. Pedang Liong-coan-kiam pemberian ayahnya tergantung di pinggangnya. Bajunya berkembang-kembang merah dengan pinggiran biru, celananya putih bersih dari sutera mahal, sepatunya berkembang hingga dia nampak cantik jelita dan gagah sekali. Kedua orang tuanya memandang dengan bangga ketika mereka melihat puteri mereka duduk di atas kuda bulu putih dengan sikap demikian gagahnya.

“Ayah, Ibu, aku berangkat!” katanya sekali lagi setelah duduk di atas kudanya.
“Hati-hatilah di perjalananmu,” kata Cin Hai.
“Sampaikan salam kami kepada Kwee-pekhu sekeluarga,” pesan Lin Lin.

Kemudian berangkatlah Lili. Dia membalapkan kudanya yang kuat itu keluar dari Shaning lalu langsung menuju ke utara. Ia merasa gembira sekali, wajahnya yang manis tampak berseri-seri, sepasang matanya bersinar gemilang. Ia benar-benar merasa seperti seekor burung yang terbang bebas merdeka di angkasa raya.

Apakah ia akan langsung menuju ke Tiang-an sebagaimana yang berkali-kali dipesankan oleh ayah ibunya? Ah, tidak! Dia bukan Lili yang nakal kalau ia menurut nasehat orang tuanya dan langsung menuju ke tempat tinggal pekhu-nya (uwaknya) di Tiang-an. Tidak, maksud tujuannya dengan perantauannya ini sebenarnya adalah untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti! Pergi mengunjungi Goat Lan di Tiang-an hanya menjadi alasan saja yang dipergunakan di hadapan orang tuanya agar ia diperbolehkan pergi!

Oleh karena inilah maka dia segera membelok ke barat setelah keluar dari kota Shaning! Bukan Tiang-an yang ditujunya, melainkan Tong-sin-bun, dusun tempat tinggal Ban Sai Cinjin! Ia hendak mencari Bouw Hun Ti di dalam kelenteng besar dalam hutan, kelenteng milik Ban Sai Cinjin di mana dulu ia dan Sin-kai Lo Sian menolong Thio Kam Seng!

Dulu ia suka menggigil ngeri kalau teringat akan Ban Sai Cinjin, orang tua yang aneh dan lihai itu. Akan tetapi sekarang, jangankan baru Ban Sai Cinjin meski pun raja iblis sendiri muncul di depannya, belum tentu Lili akan merasa takut!

Keadaan Lili yang pakaiannya begitu mewah, cantik jelita, gadis muda yang melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi melihat cara dia naik kuda serta melihat gagang pedangnya yang tergantung pada pinggangnya, membuat orang-orang maklum bahwa nona cantik ini tentulah seorang perantau yang pandai ilmu silat sehingga tak seorang pun berani mencoba-coba untuk mengganggunya.

Hanya satu kali terjadi gangguan ketika ia masuk ke kota Lok-yang. Di kota ini terdapat seorang jagoan muda bermuka kuning yang berjuluk Oei-bin-liong (Naga Muka Kuning) bernama Lok Ceng. Ia adalah seorang ahli silat dari cabang Bu-tong-pai yang berwatak sombong dan berlagak tinggi.

Kebetulan sekali Lok Ceng sedang duduk di depan restoran terbesar di Lok-yang, ketika Lili menghentikan kudanya di depan restoran itu, lalu melompat turun dan memanggil seorang pelayan.
Seorang pelayan berlari menghampiri. Lili menyerahkan kendali kudanya sambil berkata,

“Kau urus baik-baik kudaku pada waktu aku makan. Berilah dia makan dan sikat bulunya sampai bersih. Hati-hati jangan sampai ada orang jahat mengganggu buntalanku di atas kuda itu dan jangan khawatir, hadiahnya akan besar!”

Pelayan itu tersenyum sambil mengangguk-angguk dengan hormat. “Tentu saja, Siocia. Akan kulakukan pesanmu baik-baik.” Ia lalu menuntun kuda itu ke pinggir restoran.

“Kuda yang bagus!” tiba-tiba terdengar suara parau dan keras sehingga Lili menengok ke arah orang yang memuji kudanya.

Orang ini bukan lain adalah Lok Ceng sendiri. Melihat ada seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, bermuka kuning dan bermata kurang ajar itu, Lili berlaku hati-hati dan segera membuang pandangan matanya. Tanpa mempedulikan orang itu, Lili terus saja memasuki restoran itu dan memesan makanan kepada pelayan yang cepat datang menghampirinya.

Restoran itu besar sekali dan para tamu yang makan di situ tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya. Mereka makan sambil bercakap-cakap gembira. Ketika Lili memasuki restoran itu, hampir semua mata menengok dan memandang kagum.

Akan tetapi Lili tak mempedulikan semua ini karena semenjak keluar dari rumah, ia telah menjadi biasa dengan pandangan kagum dari mata laki-laki. Ia telah menganggap hal ini biasa saja. Ibunya telah menasehatinya untuk bersikap dingin dan jangan mempedulikan hal ini.

“Lili, kau seorang gadis muda yang cantik manis,” kata ibunya memberi nasehat, “banyak sekali gangguan yang akan kau hadapi di perjalanan. Laki-laki memang bermata minyak, selalu tidak dapat menjaga mata mereka kalau melihat seorang gadis cantik. Akan tetapi, apa bila mereka itu memandangmu dengan mata kagum dan kurang ajar, janganlah kau hiraukan mereka. Asal mereka tak mengganggumu dengan ucapan atau perbuatan yang kurang ajar, anggap saja mereka itu seperti patung-patung hidup yang tak perlu dilayani.”

Oleh karena itu, maka Lili selalu menganggap sepi mata laki-laki yang memandang dia dengan kagum. Malah orang-orang yang tersenyum-senyum dengan penuh arti padanya, dianggapnya sebagai lalat saja!

Akan tetapi, ketika dia sedang menikmati hidangan yang telah dikeluarkan oleh pelayan, tiba-tiba telinganya yang amat tajam dapat menangkap perubahan yang terjadi di dalam warung itu. Suara yang tadinya riuh gembira, tiba-tiba terhenti dan ketika ia mengerling, ternyata orang muda bermuka kuning yang tadi memuji kudanya, telah memasuki ruang itu dengan langkah dibuat-buat dan dada diangkat!

Diam-diam Lili merasa heran mengapa semua orang agaknya takut kepada pemuda ini. Apa lagi ketika ia mendengar betapa setiap meja yang dilalui oleh pemuda itu, selalu ada orang yang menawarkan makan dengan sikap menghormat sekali.

Akan tetapi pemuda tinggi besar muka kuning itu menolak semua penawaran dengan gerakan tangan, lalu dia tersenyum-senyum menghampiri meja dekat meja di mana Lili sedang makan! Dia lalu mengambil tempat duduk dan memandang kepada Lili dengan cara yang sangat menjemukan. Mulutnya menyeringai bagaikan seekor kuda kelaparan dan terdengarlah dia berkata keras,

“Kudanya besar dan bagus, pemiliknya lebih bagus lagi!”

Semua orang yang duduk di situ maklum siapakah yang dimaksudkan oleh Lok Ceng ini. Lili juga maklum bahwa pemuda itu sedang berusaha mengganggunya, akan tetapi oleh karena ucapannya itu masih belum bersifat kurang ajar, ia pura-pura tidak mengerti dan melanjutkan makannya.

Melihat betapa gadis manis itu tidak menengok dan tidak mempedulikan pujiannya, Lok Ceng menjadi semakin berani. Dengan sikap kurang ajar sekali dan tertawa ha-ha hi-hi ia kemudian menggeser kursinya dan duduk di dekat meja Lili, menghadapi gadis itu sambil memandang dengan mata kurang ajar dan mulut menyeringai. Semua orang diam-diam tersenyum, ada yang merasa geli, ada yang merasa gembira, akan tetapi ada pula yang diam-diam merasa kuatir akan nasib gadis cantik jelita itu.

Semenjak tadi Lili menahan sabarnya, karena ia masih selalu ingat akan nasehat ibunya supaya menjauhkan diri dari setiap permusuhan. Akan tetapi karena orang itu kini duduk dekat di hadapannya, tentu saja dia merasa amat terganggu dan masakan yang tadinya nikmat itu, kini tidak enak lagi rasanya.

“Lalat kuning sungguh menjemukan!”

Ia lalu menunda makannya, kemudian dengan perlahan Lili menggebrak mejanya sambil mengerahkan tenaga lweekang ke arah mangkok masakan yang banyak kuahnya. Air kuah di dalam mangkok itu tiba-tiba saja memercik ke arah Lok Ceng dan tanpa dapat terelakkan lagi mengenai bajunya!

Semua orang terkejut mendengar gadis itu berkata demikian, karena siapa pun tentu akan maklum bahwa dengan sebutan lalat kuning, gadis itu sudah memaki Lok Ceng! Mana ada lalat yang berwarna kuning? Yang kuning ialah muka dari Lok Ceng!

Akan tetapi, tak ada seorang pun yang tahu bahwa air kuah yang memercik ke atas dan membasahi baju Lok Ceng itu adalah perbuatan yang disengaja oleh Lili. Mereka hanya mengira bahwa hal itu kebetulan saja. Bahkan Lok Ceng sendiri pun tidak menyangka bahwa gadis cantik itu memiliki kepandaian tinggi sehingga dapat menggerakkan tenaga lweekang untuk membuat air kuah itu muncrat ke arahnya.

Oleh karena itu, pemuda ini hanya tersenyum-senyum saja dan biar pun dia tahu bahwa dirinya dimaki ‘lalat kuning’, dia tidak menjadi marah. Ia lebih suka melihat seorang gadis yang melawan apa bila diganggunya, dari pada seorang gadis yang bahkan tersenyum-senyum melayani gangguannya.

“Aku ingin sekali menjadi potongan-potongan daging itu, untuk berkenalan dengan bibir dan mulut yang manis!” katanya lagi tak kenal malu dan orang-orang yang mendengar ucapannya ini lalu tertawa untuk mengambil hati jagoan muda yang disegani ini.

Mendengar ucapan dan melihat sikap orang muka kuning itu, Lili segera maklum bahwa kegagahan orang itu hanya pada lagaknya saja, akan tetapi sebetulnya tidak mempunyai kepandaian tinggi. Hal ini mudah saja diduga. Seorang yang berkepandaian tinggi, tentu akan tahu akan demonstrasi tenaga lweekang yang diperlihatkannya tadi. Akan tetapi, Si Muka Kuning ini agaknya tidak tahu akan hal ini, bahkan berani mengeluarkan ucapan yang demikian kurang ajar.

Lili sudah kehabisan kesabarannya. “Lalat kuning, kau lapar dan hendak makan daging? Nah, ini makanlah!”

Secepat kilat tangannya lalu menyambar mangkok yang berisi masakan penuh kuah dan sebelum Si Muka Kuning sempat mengelak, isi mangkok itu sudah menyiram mukanya, bahkan sepotong daging mengenai mulutnya demikian keras sehingga ia merasa sakit!

Suara tertawa dari para tamu tadi tiba-tiba saja tak terdengar lagi dan sekarang mereka memandang dengan muka pucat. Selama ini belum pernah ada orang berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng sedemikian hebatnya!

Sementara itu, untuk sesaat Lok Ceng merasa kedua matanya amat pedas dan tak dapat dibuka sehingga dia menjadi gelagapan kemudian menggunakan kedua tangannya untuk membersihkan mukanya. Keadaannya sangat lucu dan para penonton menahan suara ketawa mereka karena sungguh pun mereka merasa geli melihat orang yang ditakuti itu berada dalam keadaan begitu lucunya, akan tetapi mereka tak berani memperdengarkan suara ketawa.

Kini kegembiraan Lok Ceng lenyap sama sekali. Mukanya yang berwarna kuning menjadi kemerah-merahan karena marah dan berminyak akibat siraman kuah tadi. Matanya yang sudah bebas dari kepedasan kuah kini memandang dengan melotot.

“Gadis liar, apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng?” Ia membentak dan melangkah maju.
“Ehh, ehh, cacing muka kuning!” kata Lili mengejek dan sengaja mengganti sebutan naga menjadi cacing. “Apakah kau masih belum kenyang?”

Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak dan kini masakan lain yang penuh kecap berwarna merah dan masih ada setengah mangkok melayang cepat ke arah muka Lok Ceng.

Si Naga Muka Kuning cepat mengelak akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu mukanya telah tersiram oleh masakan kecap ini! Untung baginya ia cepat-cepat meramkan kedua matanya yang tadi melotot sehingga kecap itu tidak sempat memasuki kedua matanya. Akan tetapi celaka sekali, ia tidak dapat menutup kedua lubang hidungnya sehingga dua lubang hidungnya yang lebar itu diserbu oleh kecap yang membuat dia tersedak dan berbangkis-bangkis beberapa kali seakan-akan hendak copot hidungnya!

Kini para tamu di restoran itu terpaksa mendekap mulut masing-masing untuk menahan ketawa, karena melihat Lok Ceng berbangkis-bangkis sambil mencak-mencak, sungguh merupakan pemandangan yang amat lucu dan menggelikan.

Lok Ceng memaki-maki dan kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok yang terselip pada pinggangnya dan kini mengamuk hebat. Beberapa kali dia membacok ke kanan kiri dan meja kursi yang terkena bacokan golok itu menjadi terbelah. Ia masih menggerakkan kedua kakinya menendang ke sana ke mari sehingga meja kursi beterbangan ke mana mana.

Para tamu yang tadinya menahan ketawa, kini menjadi ketakutan dan segera mereka menyingkirkan diri ke tempat jauh, mepet pada dinding, berjajar merupakan pagar. Muka mereka menjadi pucat karena sekarang keadaan bukan main-main lagi. Gadis itu pasti akan menjadi korban golok Lok Ceng yang amat tajam.

Akan tetapi, Lili tak mau membuang banyak waktu untuk melayani Si Muka Kuning yang sombong itu. Biar pun Lok Ceng mengobat-abitkan golok dengan ganas sekali, ia tidak menjadi gentar dan dengan senyum mengejek tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah berada di depan si pengamuk itu.

“Gadis liar, kupenggal lehermu!” teriak Lok Ceng.
“Manusia tak tahu diri, kau harus diberi rasa sedikit!” Lili balas membentak.

Dengan gerak tipu Sianli-jip-pek-to (Bidadari Memasuki Ratusan Golok) sebuah gerakan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw, dia melompat maju dan dengan tubuh lincah sekali ia dapat masuk di antara kelebatan golok itu dan langsung menggerakkan tangan kanan ke arah iga lawannya.

“Dukk!” dengan tepat sekali jari tangannya mengirim tiam-hoat (totokan) yang mengenai jalan darah hong-twi-hiat dengan jitu sekali.

Terdengar Lok Ceng memekik keras dan aneh...! Orang muka kuning yang tinggi besar ini tidak dapat bergerak lagi. Tubuhnya menjadi kaku dan dalam keadaan masih berdiri dengan golok terpegang erat-erat di tangan kanannya.....
Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Mereka masih tidak mengerti kenapa Lok Ceng berdiri kaku seperti patung. Lili yang semenjak kecil memang telah mempunyai kesukaan berkelahi dan memang wataknya nakal dan jenaka itu, tersenyum-senyum dan dengan mata berseri-seri dia lalu mengambil semua mangkok di atas meja yang masih terisi masakan, lalu ia membalikkan mangkok itu ke atas kepala Lok Ceng, sehingga Lok Ceng sekarang memakai topi mangkok yang isinya tumpah dan mengalir di sepanjang hidungnya!

Semua orang yang merasa lebih heran dari pada lucu itu, tidak dapat tertawa dan masih memandang dengan bengong. Bahkan pelayan yang dipanggil oleh Lili seakan-akan tak mendengar panggilan gadis itu dan masih berdiri bengong sambil memandang ke arah Lok Ceng.

“He, aku mau membayar! Mana pelayan?” teriak Lili.

Barulah pelayan itu berlari menghampiri sambil membungkuk-bungkuk.

“Nah, ini untuk membayar masakan yang telah kumakan. Dan lebihnya untuk mengganti kerugian rumah makan ini karena barang-barang yang dirusak oleh lalat kuning ini!” Ia melemparkan sepotong uang perak yang berat ke atas meja, lalu keluar dari restoran itu, sama sekali tidak mempedulikan Lok Ceng yang masih berdiri seperti patung batu.

Pelayan yang mengurus kudanya mendapat hadiah yang lumayan pula.
“Ehh, Siocia...,” kata pelayan ini, ”bagaimana dengan Oei-bin-liong? Tubuhnya kaku dan dia tidak dapat menggerakkan kaki pergi dari rumah makan kami.”

Lili tertawa geli. “Biarlah, bukankah dia menjadi sebuah patung yang baik sekali untuk menarik perhatian langganan sehingga restoran selalu akan penuh dengan tamu?”
“Akan tetapi... tentu dia akan marah dan... bagaimana kalau dia mati?”

Lili berkata dengan sungguh-sungguh, “Janganlah kuatir. Aku sengaja memberi hukuman kepadanya. Dalam waktu pendek dia akan dalam keadaan demikian, nanti kesehatannya akan pulih kembali.” Setelah berkata demikian, Lili lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya itu cepat-cepat meninggalkan kota Lok-yang…..

********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR REMAJA : JILID-05
LihatTutupKomentar