Pendekar Bodoh Jilid 12


Cin Hai dan Kwee An sambil tertawa-tawa mengenangkan peristiwa pertemuan dengan Kui Sianseng tadi, lalu berjalan cepat meninggalkan Tiang-an. Mereka keluar dari kota itu dari jurusan timur dan tidak melewati Kelenteng Ban-hok-tong yang berada di sebelah barat kota itu. Hari telah agak gelap ketika mereka tiba di sebuah hutan di luar kota.

Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berseru minta tolong dan ketika mereka berlari menghampiri, ternyata seorang laki-laki tua yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) sedang dikeroyok oleh lima orang perampok. Meski piauwsu ini melawan secara nekad sambil memutar-mutar goloknya, namun pengeroyoknya ternyata memiliki kepandaian yang lihai hingga pundak kiri piauwsu itu telah berlumur darah akibat mendapat luka bacokan pedang. Akan tetapi, sambil berseru minta tolong, piauwsu itu terus saja melawan dengan nekad.

Cin Hai marah sekali melihat pengeroyokan ini dan sekali pandang saja ia maklum bahwa piauwsu ini tentu tengah dirampok, oleh karena di pinggir tampak sebuah kereta dan para pendorongnya yang terdiri dari empat orang telah berjongkok sambil menggigil ketakutan di belakang kereta.

“Perampok ganas, pergilah dari sini!” katanya dan tubuhnya langsung menyambar cepat ke arah tempat pertempuran.

Cin Hai tidak mau membuang banyak waktu, ia segera mempergunakan kepandaian Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na yang hebat. Memang ilmu silat yang belum lama ia pelajari dari Bu Pun Su ini lihai sekali.

Begitu kedua tangannya bergerak, pedang kelima orang perampok itu tahu-tahu sudah kena dibikin terpental dan sebelum kelima orang perampok yang juga memiliki ilmu silat lumayan itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka sudah dipegang oleh tangan kanan kiri pemuda itu dan dilempar-lemparkan ke kanan kiri seperti orang melempar-lemparkan kentang busuk saja.

Tentu saja mereka merasa jeri dan ngeri melihat ilmu kepandaian sehebat ini dan tanpa menoleh lagi mereka lalu berlari secepatnya ke jurusan yang sama sehingga merupakan balap lari yang ramai. Kwee An tertawa bergelak, sedangkan Cin Hai hanya tersenyum saja melihat pemandangan yang lucu itu.

Sedangkan piauwsu itu ketika melihat pemuda luar biasa lihainya yang sudah menolong jiwanya, segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai sambil berkata dengan suara terharu,

“Taihiap yang gagah perkasa sudah menolong jiwaku yang tak berharga, aku tua bangka lemah tidak akan dapat membalas budi besar ini dan untuk menyatakan terima kasihku, biarlah Taihiap menyebut nama Taihiap yang mulia agar dapat kuingat selama hidupku!”

Cin Hai merasa tidak enak sekali melihat dirinya sedemikian dihormati oleh piauwsu itu, maka buru-buru ia memegang pundak piauwsu itu dan menariknya berdiri sambil berkata,

“Lo-piauwsu janganlah berlaku demikian. Pertolongan yang tak ada artinya ini untuk apa dibesar-besarkan?”

Ketika piauwsu tua itu mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang luar biasa lebar, Cin Hai merasa bahwa dia seperti pernah melihat muka ini, akan tetapi tidak ingat lagi di mana dan bila mana. Tiba-tiba Kwee An berseru sambil meloncat menghampiri,

“Tan-kauwsu! Kaukah ini?”

Memang benar, piauwsu itu ternyata adalah Tan-kauwsu, guru silat yang dahulu pernah mengajar silat kepada putera-putera keluarga Kwee In Liang! Tan-kauwsu memandang heran dan dia segera mengenali Kwee An, maka sambil menjura ia berkata girang,

“Kwee-kongcu! Tak kuduga kita telah bertemu di sini! Ah, aku orang tua telah mendengar tentang kemajuan dan kelihaianmu dan telah mendengar pula bahwa kau sudah menjadi murid Eng Yang Cu Locianpwe tokoh Kim-san-pai yang lihai itu! Sukurlah, kepandaianmu tentu telah berlipat ganda dan aku orang tua yang tidak berguna ini hanya turut merasa gembira!”

Kemudian dia memandang kepada Cin Hai dengan mata kagum dan dia pun melanjutkan kata-katanya,

“Akan tetapi, siapakah Taihiap yang muda akan tetapi telah mempunyai kepandaian yang demikian lihainya sehingga belum pernah mataku yang tua menyaksikan kelihaian seperti yang telah Taihiap lakukan tadi?”

Ketika mengingat bahwa piauwsu ini bukan lain adalah Tan-kauwsu yang dulu membenci dirinya dan bahkan mengejarnya untuk membunuh, timbul pula rasa benci Cin Hai, maka ia tidak mau menjawab dan hanya memandang tajam dengan muka tidak senang.

Kwee An belum pernah mendengar tentang kekejaman Tan-kauwsu kepada Cin Hai, oleh karena Cin Hai memang tidak menceritakan hal itu kepada siapa pun juga, maka Kwee An lalu tertawa girang dan berkata,

“Tan-kauwsu, sebenarnya pemuda kawanku ini pun bukan orang luar, akan tetapi kurasa kau tak akan dapat menduganya dia ini siapa biar pun kau akan mengingat-ingat sampai semalam penuh! Biarlah aku membantumu. Dia ini adalah Cin Hai anak gundul yang dulu pernah pula belajar silat padamu!”

Tiba-tiba saja pucatlah wajah Tan-kauwsu mendengar bahwa anak muda yang luar biasa gagahnya yang baru saja telah menolong jiwanya itu, bukan lain adalah Si Cin Hai, anak gundul yang dahulu hendak diambil jiwanya! Kedua kaki Tan-kauwsu menggigil dan ia tak dapat menahan dirinya lagi. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Cin Hai dan tak tertahan lagi kedua matanya mengucurkan air mata!

“Taihiap... aku... aku... ahh, apakah yang harus kukatakan? Kalau Taihiap suka, ambillah jiwaku. Aku tua bangka yang tak tahu diri akan mati dengan rela di dalam tanganmu!”

Kwee An memandang heran dan segera berkata, “Ehh, ehhh, apa-apan ini? Tan-kauwsu, apakah kau mendadak telah menjadi mabok?”

Akan tetapi Cin Hai mengejapkan mata pada kawannya itu dan kini ia tidak mengangkat bangun tubuh orang tua yang berlutut di depannya.

“Tan-kauwsu, memang benarlah kata ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa apa yang diperbuat orang pada masa mudanya, akan mendatangkan sesal pada masa tuanya. Kau dulu berkeras hendak membunuhku, namun sekarang kau bahkan minta dibunuh olehku dengan rela. Bukankah ini merupakan buah dari pohon kebencian yang dulu kau tanam dengan dua tanganmu sendiri? Kau minta aku membalas dendam? Tidak, Tan-kauwsu! Akan terlalu senang bagimu. Biarlah kau pikir-pikirkan lagi perbuatanmu yang sewenang-wenang dulu itu dan menyesalinya. Kau tak berhutang jiwa padaku, maka bagaimana aku bisa membunuhmu? Nah, selamat tinggal! Mari, Kwee An, kita pergi dari sini!”

Sesudah berkata demikian, Cin Hai lalu melompat pergi dan terpaksa Kwee An menyusul kawannya itu dengan heran. Kemudian, atas desakan Kwee An, Cin Hai lalu menuturkan pengalamannya. Kwee An menghela napas dan berkata,

“Memang nasib manusia itu tidak tentu. Sekali waktu ia boleh berada di bawah, di tempat yang serendah-rendahnya, akan tetapi akan datang masanya dia akan berada di atas, di tempat yang setinggi-tingginya.”

Setelah meninggalkan Tiang-an, kedua pemuda itu lalu menuju ke kota raja, oleh karena selain mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, keduanya juga tidak pernah lupa untuk mencari Hai Kong Hosiang, hwesio yang kini merupakan musuh besar satu-satunya yang masih belum berhasil mereka balas. Dan ke mana lagi mencari hwesio itu kalau tidak di kota raja? Mereka merasa ragu-ragu apakah Hai Kong Hosiang berada di sana, akan tetapi karena tidak mempunyai pandangan lain di mana hwesio itu mungkin berada, mereka pun hendak mencoba-coba dan pergi ke kota raja.

Mereka langsung menuju ke Enghiong-koan, gedung perhimpunan para perwira Sayap Garuda di mana dahulu mereka pernah datang mengacau dan berhasil membunuh mati musuh-musuhnya. Pada waktu mereka tiba di atas genteng gedung itu, mereka melihat dua orang sedang bertempur mengeroyok seorang kakek, ada pun di sekeliling tempat pertempuran, para perwira Sayap Garuda menonton sambil berseru-seru membesarkan hati kakek yang dikeroyok itu.

Melihat gerakan kakek tua renta itu, terkejut Kwee An dan Cin Hai oleh karena gerakan kakek ini yang benar-benar luar biasa hebatnya sehingga kedua pengeroyoknya terdesak mundur terus. Dan ketika Cin Hai memandang tegas, ternyata bahwa kakek tua renta itu adalah Kiam Ki Sianjin sedangkan dua pengeroyoknya adalah Eng Yang Cu guru Kwee An dan Nelayan Cengeng sendiri.

Melihat betapa Eng Yang Cu dan Kong Hwat Lojin terdesak hebat oleh ilmu silat Kiam Ki Sianjin yang hebat luar biasa, kedua pemuda itu segera melompat turun.

“Kwee An, jangan kau ikut turun tangan, biarlah aku sendiri menghadapi kakek tua renta itu. Ia adalah supek dari Hai Kong Hosiang.”

Kwee An kaget sekali dan menjadi jeri. Kalau Hai Kong Hosiang saja telah begitu hebat, apa lagi supek-nya.

Cin Hai melompat masuk ke gelanggang pertempuran dan berkata dengan suara hormat kepada Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu,

“Jiwi Locianpwe, biarkan teecu yang menghadapi setan ini, dan kalau teecu tidak dapat menandinginya, barulah jiwi berdua maju memberi hajaran kepadanya.”

Sesungguhnya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng telah terdesak sekali, dan kata-kata yang diucapkan oleh Cin Hai ini terang menandakan bahwa pemuda ini pandai membawa diri dan menghormat mereka, maka keduanya lalu melompat mundur.

“Kiam Ki Sianjin!” kata Cin Hai dengan tenang, “dahulu Suhu-ku Bu Pun Su sudah pernah mengampuni kau, maka apakah sekarang kau yang begini tua masih mau memamerkan kepandaian di depan mata umum?”

Kiam Ki Sianjin memandang kepada Cin Hai dengan sepasang matanya yang telah tua akan tetapi masih awas itu, lalu dia pun tertawa cekikikan dan tangan kanannya membuat gerakan merendah seperti hendak berkata bahwa Cin Hai masih kanak-kanak dan masih kecil, sedang tangan kirinya menuding keluar. Dengan gerakan ini Kiam Ki Sianjin hendak berkata bahwa Cin Hai yang masih muda dan masih kanak-kanak itu jangan datang untuk mengantar kematian, lebih baik keluar dan pergi saja sebelum terlambat!

“Kiam Ki Sianjin, tak perlu kau menggertak. Keluarkanlah semua kepandaianmu jika kau memang gagah!” Cin Hai menantang akan tetapi sikapnya tetap tenang dan waspada.

Kiam Ki Sianjin menjadi marah sekali. Sambil mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, dia lalu menerjang maju dengan hebat sekali!

Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi menghadapi Kiam Ki Sianjin, mereka berdua terdesak hebat setelah bertempur dua ratus jurus lebih, oleh karena itu kini mereka memandang ke arah Cin Hai dengan penuh kekuatiran. Mereka maklum bahwa sebagai murid tunggal Bu Pun Su, pemuda itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi sekali, akan tetapi, tetap saja mereka merasa ragu-ragu dan cemas oleh karena sekarang pemuda itu menghadapi seorang lawan yang jauh lebih berpengalaman dan yang telah mereka rasakan sendiri kehebatan ilmu kepandaiannya!

Akan tetapi, mereka menjadi kagum sekali ketika melihat betapa dengan lincahnya Cin Hai dapat mengimbangi ginkang dari kakek itu. Bahkan ketika melihat betapa pemuda itu berani mengadu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, tanpa terasa pula Nelayan Cengeng lalu tertawa terbahak-bahak sambil mengalirkan air mata dari kedua matanya. Ini merupakan tanda bahwa Nelayan Tua ini merasa gembira sekali.

Tadi ia pernah beradu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi adu lengan yang sekali itu saja sudah cukup membuatnya kapok oleh karena betapa lengannya sakit sekali dan seakan-akan ada puluhan jarum yang menusuk-nusuk ke dalam daging lengannya! Kini dia melihat betapa Cin Hai berani beradu tenaga dengan kakek sakti itu tanpa merasa sakit dan bahkan agaknya Kiam Ki Sianjin tidak saja nampak terkejut, akan tetapi juga terdorong sedikit tiap kali keduanya mengadu tenaga dalam!
Image result for Pendekar Bodoh
Sementara itu, Kwee An memandang pertempuran hebat itu dengan bengong dan anak muda ini merasa heran sekali kenapa kini kepandaian Cin Hai agaknya telah bertambah berlipat ganda! Tadinya Kwee An merasa bangga bahwa dia telah menerima pelajaran ilmu silat dari ayah angkatnya, yaitu Hek Mo-ko dan diam-diam ia mengharapkan bahwa sekarang tingkat ilmu kepandaiannya sudah menyusul kepandaian Cin Hai. Tak tahunya kepandaian Cin Hai kini pun meningkat luar biasa sekali dan bahkan ia merasa bahwa kepandaian pemuda ini sekarang berada di tingkat yang lebih tinggi dari pada kepandaian Hek Pek Mo-ko sendiri.

Tentu saja mereka ini tidak tahu bahwa Cin Hai sudah mengeluarkan llmu Silat Pek-in Hoat-sut atau Ilmu Silat Awan Putih! Kedua lengan tangannya mengeluarkan uap putih yang menimbulkan tenaga hebat sekali hingga lweekang yang tinggi dari Kiam Ki Sianjin masih saja tidak cukup kuat menghadapi ilmu pukulan ini!

Selama hidupnya baru sekali Kiam Ki Sianjin menerima tandingan yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya dari kepandaiannya sendiri, yaitu ketika dia berhadapan dengan Bu Pun Su. Sudah tiga kali selama hidupnya ia bertemu dengan Bu Pun Su dan tiap kali bertemu ia selalu dipermainkan oleh kakek jembel itu.

Sekarang baru pertama kalinya dia menghadapi seorang pemuda yang dapat menandingi kelihaiannya sehingga tentu saja dia menjadi marah, penasaran dan gemas sekali! Ia tadi ketika menghadapi Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng walau pun dapat mendesak, tapi agak sukar merobohkan kedua orang lawan yang bukan sembarang orang itu dan yang telah termasuk tingkat tokoh besar dalam lapangan ilmu silat, maka ia telah mengerahkan tenaganya, hingga membuat tubuhnya yang telah tua sekali itu menjadi lelah luar biasa.

Kini ketika menghadapi Cin Hai yang ternyata lebih lihai lagi dari pada kedua kakek itu, ia benar-benar merasa terkejut dan marah. Namanya yang sudah terkenal menjulang tinggi sampai ke langit itu akan runtuh kalau dia tak dapat mengalahkan pemuda ini. Jika diingat bahwa pemuda ini adalah murid Bu Pun Su, maka ia merasa makin penasaran dan ingin membalas kekalahannya yang dulu-dulu dari Bu Pun Su kepada muridnya ini.

Karena marahnya, Kiam Ki Sianjin lalu melupakan sumpahnya sendiri dan tiba-tiba saja dia mencabut keluar sebatang pedang yang aneh bentuknya. Pedang ini tipis sekali dan seakan-akan lemas tak bertenaga, akan tetapi, di bawah ujungnya yang runcing terdapat dua buah kaitan di kanan-kirinya dan pedang ini mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya.

Beberapa tahun yang lalu pada saat dia merasa bahwa dirinya telah amat tua dan telah banyak darah dia alirkan melalui pedang ini, dia merasa menyesal sekali dan takut untuk menerima hukuman dari semua dosanya. Maka ia lalu bersumpah takkan menggunakan pedang ini untuk membunuh orang lagi. Akan tetapi, oleh karena sekarang dia merasa marah sekali, dia tidak ingat lagi akan sumpah itu dan mencabut keluar senjatanya yang hebat.

Cin Hai terkejut melihat gerakan ini. Dia tidak mempunyai permusuhan dengan Kiam Ki Sianjin dan tadi pun dia hanya ingin menolong Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saja serta hendak mencoba kepandaian kakek luar biasa ini. Sekarang melihat betapa kakek itu mencabut keluar pedangnya, maka tahulah bahwa kakek itu sudah marah sekali dan bermaksud mengadu jiwa.

“Kiam Ki Sianjin!” Cin Hai berkata keras-keras, “kita tak pernah saling bermusuhan hingga tak perlu mengadu jiwa!”

Kiam Ki Sianjin telah salah mengerti dan menduga bahwa pemuda itu merasa jeri melihat pedangnya. Maka, sambil tertawa cekikikan dia lalu menerjang maju dengan cepatnya.

“Baiklah, agaknya kau hendak membela muridmu yang durhaka Hai Kong Hosiang itu!” kata Cin Hai.

Secepat kilat pemuda ini pun kemudian mengelak sambil mencabut keluar pedangnya, Liong-coan-kiam. Karena maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini hebat sekali dan dia takkan dapat mengambil kemenangan apa bila ia hanya mengandalkan pengertian pokok persilatan dan hanya mengikuti gerakan serangan orang tua itu tanpa membalas dengan serangan berbahaya, maka dengan ilmu pedang yang dia ciptakan bersama Ang I Niocu dan yang telah diyakinkan sempurna itu, pedangnya lantas bergerak-gerak aneh laksana terbang ke udara dan tiada ubahnya dengan seekor naga sakti yang keluar dari surga dan menyambar-nyambar ke arah Kiam Ki Sianjin dengan garangnya.

Akan tetapi, Kiam Ki Sianjin benar-benar hebat dan luar biasa sekali ilmu silatnya. Walau pun dia merasa sangat terkejut melihat ilmu pedang yang seumur hidupnya belum pernah disaksikan itu, namun pengalamannya membuat dia dapat menduga ke mana arah tujuan pedang Cin Hai dan sanggup menjaga diri dengan baiknya serta dapat pula melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

Kedua orang ini bertempur mengadu ilmu sampai tiga ratus jurus lebih dan para penonton sudah merasa pening karena terpengaruh oleh gerakan pedang yang dimainkan secara hebat itu. Bahkan Kwee An sampai menjadi merah matanya karena tidak tahan melihat menyambarnya sinar pedang. Juga para perwira yang tadinya berseru-seru, kini diam tak bergerak dan hanya memandang dengan muka pucat. Banyak di antara mereka yang mengalirkan air mata karena mata mereka terasa pedas sekali sehingga terpaksa mereka mengalihkan pandangan matanya dan tidak langsung memandang ke arah pertempuran.

Hanya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng saja yang masih sanggup menonton dengan tertariknya, akan tetapi juga kedua orang ini agak pucat karena maklum bahwa sekarang sedang berlangsung pertandingan tingkat tinggi yang langka terlihat. Kini mereka makin kagum saja kepada Cin Hai yang bagaikan sebuah batu mustika, baru sekarang tergosok dan kelihatan betul-betul sinar dan nilainya. Kedua tokoh besar ini diam-diam menghela napas saking tertarik dan kagumnya.

Biar pun di luarnya tidak menyatakan perubahan, namun sebetulnya Kiam Ki Sianjin telah merasa lelah sekali. Rasa penasaran dan marah telah berkobar di dalam dadanya yang membuat seluruh tubuhnya terasa panas sekali. Inilah kesalahannya dan ia pun maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak berdaya. Nafsu marah dan penasaran yang sudah lama dapat ditenggelamkan pada dasar hatinya, kini tiba-tiba melonjak dan timbul pula dengan serentak, maka tentu saja tangannya menjadi semakin lemah.

Baiknya Cin Hai memang tidak bermaksud membunuh atau melukainya, karena betapa pun juga, pemuda ini merasa kasihan melihat kakek yang sangat tua hingga merupakan rangka hidup ini. Ia dapat menduga bahwa kakek ini telah mulai lelah, maka ia mendesak makin hebat dengan maksud agar kakek ini dapat menyerah karena kelelahannya.

Benar saja, desakannya sudah membuat Kiam Ki Sianjin merasa lelah sekali. Tubuhnya sudah penuh keringat dan napasnya mulai terengah-engah hingga membuat gerakannya menjadi lambat.

Pada suatu kesempatan yang baik, tiba-tiba saja pedang Cin Hai menusuk ke arah leher kakek itu. Kiam Ki Sianjin mendadak melakukan gerakan nekad sekali dan tanpa peduli akan tikaman pedang Cin Hai, dia membalas menikam ke arah dada Cin Hai. Ternyata bahwa dalam keadaan putus asa, kakek ini hendak mengajak mati bersama.

Cin Hai merasa terkejut sekali. Cepat dia menarik kembali pedangnya dan dihentakkan untuk menangkis pedang lawannya. Kiam Ki Sianjin merasa betapa pedang pemuda itu menempel keras pada pedangnya, karena itu ia pun lalu mengerahkan tenaga dalam dan mengait pedang Cin Hai dengan kaitan pedangnya.

Kedua lawan tua dan muda ini saling mengerahkan tenaga lweekang dan pedang mereka saling melengket bagaikan menjadi satu. Keduanya tak bergerak, saling pandang seperti dua buah patung, tangan kanan memegang pedang yang saling menempel, tangan kiri diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka seakan-akan menerima kekuatan dari atas.

“Krakk…!” mendadak terdengar suara keras sekali dan pedang di tangan Kiam Ki Sianjin telah patah menjadi dua.

Secepat kilat Cin Hai melompat mundur lantas berjungkir balik di udara sampai lima kali untuk menghindarkan diri dari serangan tenaga dalam kakek luar biasa itu. Ternyata tadi ketika ia mengerahkan tenaga dalamnya sampai sepenuhnya, tiba-tiba kakek itu menarik kembali tenaganya sehingga pedangnya menjadi patah. Cin Hai terkejut dan menyangka bahwa penarikan tenaga ini merupakan siasat yang akan digunakan untuk memukulnya selagi dia kehabisan tenaga, maka ia lalu berjungkir balik di udara.

Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa sebenarnya kakek itu telah kehabisan napas dan tenaga. Ia telah amat tua dan tenaganya banyak berkurang maka sekarang menghadapi Cin Hai setelah tadi melawan keroyokan Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng, ia tidak-kuat lagi dan tenaganya runtuh. Ketika semua orang memandang ternyata Kiam Ki Sianjin masih berdiri dengan pedang potong di tangan, tanpa bergerak sedikit pun dan kedua matanya masih meram.

Cin Hai mendekati dan melihat keadaan Kiam Ki Sianjin, ia menjadi terkejut dan merasa menyesal, karena dia tahu bahwa kakek itu sudah putus nyawanya karena serangan dari dalam. Ini hanya terjadi kalau orang terlalu marah.

Seorang perwira menghampiri tubuh Kiam Ki Sianjin yang masih berdiri diam dan hendak menariknya.

“Jangan!” teriak Cin Hai dan maju melompat hendak mencegah.

Akan tetapi terlambat. Ketika perwira itu memegang lengan Kiam Ki Sianjin serta hendak menolong dan menuntunnya, tiba-tiba saja ia menjerit ngeri dan terjengkang ke belakang bagaikan mendapat pukulan hebat. Sementara itu tubuh Kiam Ki Sianjin lantas roboh ke depan dalam keadaan masih kaku.

Perwira itu roboh dan tewas pada saat itu juga oleh karena ia terkena hawa dari tenaga dalam yang masih terkumpul di lengan tangan kakek itu dan biar pun ia telah mati, akan tetapi tubuhnya masih hangat dan hawa tenaga keluar serta menghantam perwira itu hingga binasa.

Dengan menyesal, Cin Hai segera mengajak kawan-kawannya lari dari tempat itu untuk menghindari pertempuran-pertempuran selanjutnya, oleh karena mereka maklum bahwa kematian kakek ini tentu tak akan dibiarkan saja oleh para perwira tadi!

Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu tiada habisnya memuji-muji kelihaian Cin Hai yang diterima dengan ucapan merendah oleh pemuda ini. Juga Kwee An, walau pun dia tidak mengucapkan sesuatu, namun pandangan matanya kepada pemuda itu berubah penuh hormat dan bangga serta memandang tinggi.

Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam usahanya mencari jejak Lin Lin serta Ma Hoa, di jalan ia bertemu dengan Eng Yang Cu yang telah dikenal baik. Eng Yang Cu mendengar tentang penderitaan yang dialami oleh muridnya, karena itu mereka berdua merasa marah sekali kepada Hai Kong Hosiang kemudian mencarinya ke kota raja untuk mengadu kepandaian dan membalas sakit hati keluarga Kwee An. Akan tetapi, ternyata bahwa mereka tidak dapat menemukan Hai Kong Hosiang, sebaliknya bertemu dengan Kiam Ki Sianjin yang menyerang mereka dengan hebat ketika mendengar bahwa mereka datang hendak membunuh Hai Kong Hosiang!

Sesudah menceritakan pengalaman masing-masing, Cin Hai lantas menceritakan kepada Eng Yang Cu tentang ikatan jodoh antara Kwee An dan Ma Hoa dan minta pertimbangan orang tua ini. Cin Hai yang tahu bahwa Kwee An tentu tidak berani bicara sendiri, telah mewakili pemuda itu. Eng Yang Cu tertawa bergelak-gelak ketika mendengar ini.

“Ha-ha-ha! Aku sudah tahu tentang hal ini dan telah berunding dengan Nelayan Cengeng. Tentu saja pinto merasa bersyukur sekali, dan pinto yakin bahwa murid Si Cengeng ini tentu seorang nona yang sangat baik, asal saja sifat cengeng dari gurunya tidak menurun kepadanya!”

Nelayan Cengeng tertawa bergelak.

“Eng Yang Cu, begitulah jika orang selamanya membujang! Tidak tahu akan sifat wanita. Wanita manakah yang tidak cengeng? Ha-ha-ha!”

Ketika mereka berempat sedang mengobrol gembira, tiba-tiba saja terdengar suara yang datangnya dari jauh sekali akan tetapi cukup jelas.

“Orang Turki dan kedua nona berada di bukit utara dekat tapal batas!”

Mendengar suara tanpa rupa ini, Cin Hai segera berlutut memberi hormat ke arah suara itu.

“Siapakah yang bicara dan memiliki khikang mukjijat itu?” tanya Eng Yang Cu.
“Suhu sendiri yang memberi tahu bahwa mereka berada di utara!” kata Cin Hai yang lalu mengangguk-anggukkan kepala menghaturkan terima kasih kepada gurunya.

Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saling pandang dan mereka ini kagum sekali akan kelihaian Bu Pun Su yang telah dapat mengirim suara dari tempat jauh. Kwee An merasa girang sekali dan sesudah kedua orang tua itu berjanji hendak menghadiri perjodohan mereka, keduanya lalu pergi ke lain jurusan. Kwee An dan Cin Hai dengan hati girang lalu mempergunakan ilmu lari cepat untuk menuju ke utara, di mana kekasih mereka sudah menanti dengan hati rindu!

Kwee An dan Cin Hai yang melakukan perjalanan dengan cepat sekali, beberapa hari kemudian telah tiba di pegunungan di utara dekat tapal batas. Mereka mulai mencari-cari hingga akhirnya tibalah mereka di dalam sebuah dusun di dekat lereng tempat tinggal Yousuf.

Ketika mereka bertanya pada penduduk kampung tentang rumah seorang Turki dengan dua orang nona Han, mereka segera disambut oleh kepala kampung itu yang ternyata juga seorang Han dan berpakaian sebagai pembesar kampungan. Orang ini tubuhnya pendek dan ramah tamah sekali. Ia menyatakan kenal baik kepada Yousuf karena sering kali saling mengunjungi dan bercakap-cakap.

Bukan main girangnya hati Kwee An dan Cin Hai yang langsung menjadi berdebar ketika mengetahui bahwa rumah kekasih mereka sudah dekat di depan! Kepala kampung yang baik hati dan ramah tamah itu bahkan lalu mengantar mereka menuju ke rumah Yousuf yang berada di lereng sebelah kiri dusun itu.

Ketika dari jauh mereka telah melihat rumah kecil indah yang dikelilingi bunga-bunga itu tiba-tiba dari atas bukit yang tak jauh dari situ terdengar suara pekik burung merak yang nyaring sekali. Cin Hai teringat akan cerita Nelayan Cengeng tentang Merak Sakti, maka hatinya tertarik sekali dan ia lalu berkata kepada Kwee An,

“Saudara Kwee An, kau pergilah ke sana dulu dengan Chungcu (Kepala kampung), aku ingin sekali melihat burung aneh itu.”

Kwee An tersenyum dan ia maklum bahwa selain tertarik hatinya oleh burung merak itu, juga Cin Hai hendak menyembunyikan rasa girang dan malunya karena hendak bertemu dengan Lin Lin!

“Akan tetapi jangan terlalu lama,” katanya. “Aku tidak tanggung jawab kalau nanti adikku marah-marah!”

Cin Hai mendelikkan mata dan melompat cepat ke arah puncak bukit itu hingga membuat kepala kampung merasa heran dan kagum sekali! Kwee An sambil tersenyum-senyum melanjutkan perjalanan menuju ke rumah dengan hati berdebar.

Kebetulan sekali, ketika mereka sampai di dekat rumah, Kwee An melihat seorang gadis yang sedang menyirami kembang mawar hutan yang indah dan sedang mekar dengan segarnya. Gadis ini cantik jelita dan mengenakan pakaian bertitik-titik hijau dengan leher warna merah. Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul ke belakang dan agak kusut karena tertiup oleh angin gunung, akan tetapi kekusutan rambutnya ini malah menambah kemanisannya.

Kwee An tiba-tiba berhenti dan memberi isyarat kepada kepala kampung itu supaya tidak mengeluarkan suara. Kemudian dia menghampiri gadis itu dengan meringankan tindakan kakinya dari belakang. Setelah berada dekat di belakang gadis itu, Kwee An sudah tidak dapat menahan lagi perasaan girang dan debaran jantungnya yang mengeras, kemudian mengeluarkan panggilan yang diucapkan dengan bibir gemetar,

“Hoa-moi...”

Ma Hoa cepat menengok sambil berdiri. Matanya yang indah dan lebar terbelalak, lantas wajahnya mendadak menjadi merah. Tanpa terasa lagi tempat air yang tadi dipegangnya terjatuh ke atas tanah dan hanya dapat berkata,

“Kau... kau... An-ko...”

Kemudian, setelah dua pasang mata itu saling bertemu dan saling pandang dalam seribu satu bahasa, dan sinar mata itu mewakili hati masing-masing yang melepas kerinduan dengan pandangan mesra, Ma Hoa menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan,

“Koko, mengapa baru sekarang kau datang?” Ucapan ini biar pun terdengar seakan-akan gadis itu menegur, akan tetapi bagi telinga Kwee An adalah sebuah pengakuan bahwa gadis itu telah lama merindukannya!

“Moi-moi, maafkanlah bahwa baru sekarang aku berhasil menemukan tempat ini. Kau semakin cantik dan manis, hingga bunga ini nampak buruk berada di dekatmu!”

Ma Hoa mengerling dengan tajam dan bibirnya tersenyum senang, karena wanita mana yang tak akan merasa bahagia dan bangga apa bila mendapat pujian dari kekasihnya?

Dalam kebahagiaan pertemuan ini, Kwee An sama sekali lupa bahwa dia datang dengan kepala kampung yang kini berdiri menjauhinya dan duduk di atas sebuah batu karena merasa jengah dan malu apa bila harus mendekati mereka. Juga Kwee An lupa untuk bertanya tentang Lin Lin atau Yousuf.

Sebaliknya Ma Hoa juga sama sekali tidak ingat untuk bertanya mengenai Cin Hai atau orang-orang lain. Pendek kata, pada saat itu, mereka merasakan bahwa di atas dunia ini hanya ada mereka berdua saja.

Tiba-tiba, ketika kedua teruna remaja ini sedang bercakap-cakap dengan suara bisikan mesra, terdengar bentakan keras dari dalam rumah kecil itu.

“Ada tamu datang! Silakan kau minum air teh, anak muda!”

Dan berbareng dengan bentakan ini tubuh Yousuf muncul dari pintu dan orang Turki yang berilmu tinggi ini lalu melempar sebuah poci yang tadi dipegangnya ke arah Kwee An! Melihat hal ini, kepala kampung yang tadi duduk segera bangkit berdiri dan memandang dengan hati kuatir. Dia tahu akan keanehan sikap orang Turki ini.

Ia juga pernah mendengar tentang lemparan poci teh dan mengerti pula akan maksudnya oleh karena dahulu pernah ada beberapa orang pemuda kampung yang tertarik dengan kecantikan kedua orang gadis itu dan datang pula ke situ. Akan tetapi, mereka ini pun mendapat sambutan lemparan poci teh yang membuat mereka lari tunggang langgang, oleh karena mereka tak sanggup menerima poci yang menyambar mereka bagai seekor burung yang dapat beterbangan dan bergerak-gerak!

Ternyata bahwa Yousuf menggunakan poci teh itu untuk mencoba pemuda yang berani mendekati Ma Hoa atau Lin Lin dan lemparan poci ini adalah semacam kepandaian sihir yang digerakkan oleh tenaga khikang.

Melihat menyambarnya poci teh ke arah kepalanya, Kwee An terkejut sekali karena dia telah merasa datangnya serangan angin sambaran benda itu. Namun Kwee An tidak saja sudah mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi, bahkan sekarang setelah lama melakukan perjalanan dengan Cin Hai, ia mendapat petunjuk-petunjuk berharga dari pemuda itu dan kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan. Di samping itu, Cin Hai juga memberi petunjuk tentang penyempurnaan latihan lweekang hingga dalam hal tenaga lweekang dan khikang, Kwee An juga mendapat kemajuan pesat.

Melihat datangnya poci teh yang menyambar, Kwee An lalu mengulur tangan kanannya dan dia semakin terkejut ketika merasa betapa poci itu terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi dia dapat mengerahkan lweekang-nya dan menerima poci teh dengan baik, bahkan air teh yang di dalam poci sama sekali tidak tumpah keluar!

“Bagus, bagus! Ma Hoa, siapakah pemuda yang gagah ini?” tanya Yousuf yang segera melangkah menghampiri.
“Lekas kau minum air teh dari poci. Ini adalah Yo-peh-peh,” bisik Ma Hoa.

Tanpa ragu-ragu Kwee An melakukan apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu dan dia minum air teh dari mulut poci begitu saja tanpa cawan. Yousuf makin girang dan tertawa bergelak-gelak.

“Yo-peh-peh, ini adalah An-koko yang sering kali kau dengar namanya itu.”

Yousuf terkejut dan tahu bahwa dia tadi telah salah sangka. Maka cepat dia menghampiri dan membungkuk. “Maaf, Kwee-taihiap, aku tua bangka sembrono sudah berlaku kurang ajar.”

Akan tetapi, dengan hormat sekali Kwee An lalu menjura sesudah memberikan poci teh kepada kekasihnya dan berkata, “Yo-peh-peh, setelah Hoa-moi menyebut kau Peh-peh, maka kau bukanlah orang lain dan perkenankanlah aku menyebut Peh-peh pula padamu yang baik hati dan berkepandaian tinggi!”

Yousuf makin girang melihat sikap yang sopan santun dari pemuda ini, maka dia segera maju memeluknya. “Bagus, Ma-Hoa tidak keliru memilih. Memang Nelayan Cengeng itu pandai memilih jodoh muridnya!”

Ia lalu melihat kepala kampung itu dan segera memanggilnya, dan beramai-ramai mereka lalu masuk ke dalam rumah.

“Di mana Lin Lin?” tanya Kwee An dan baru sekarang ia teringat kepada adiknya.

Ma Hoa memandangnya dengan mata berseri, lalu menjawab, “Entahlah, semenjak tadi dia keluar dengan Sin-kong-ciak. Sebentar lagi tentu dia datang. Dan di manakah adanya Sie-taihiap? Mengapa ia tidak datang bersamamu?”

“Kebetulan sekali! Dia tadi mendengar suara kong-ciak dan pergi mencarinya, tentu dia telah bertemu dengan Lin Lin!”

Kemudian ketiga orang itu saling menceritakan tentang pengalaman mereka, disaksikan dan didengar oleh kepala kampung…..
********************
Ketika Cin Hai lari cepat ke arah puncak di mana dia mendengar burung merak memekik nyaring, dia mendengar lagi pekik burung merak itu yang agaknya sedang marah. Cin Hai mempercepat larinya dan ketika dia tiba di puncak, dia melihat pertempuran yang hebat antara seekor burung merak yang bulunya indah dan bertubuh besar sekali melawan seorang hwesio tinggi besar. Alangkah kaget dan girangnya ketika melihat bahwa hwesio itu bukan lain Hai Kong Hosiang!

Ternyata bahwa hwesio jahat ini dapat mengetahui tempat tinggal Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa. Maka timbullah niatnya hendak mengganggu gadis itu, terutama Lin Lin oleh karena ia tahu bahwa gadis ini adalah puteri Kwee-ciangkun yang menjadi musuh besarnya!

Demikianlah, saat ia mengintai ke bukit itu, kebetulan sekali ia melihat Lin Lin dan burung merak, maka segera ia muncul untuk menangkap Lin Lin. Tidak dinyana, burung merak itu dengan ganas sekali telah menyerangnya dan sebentar saja manusia dan burung ini bertempur sengit.

Ketika Cin Hai tiba di situ, burung merak sedang menyambar-nyambar dari atas dan Hai Kong Hosiang melawan dari bawah. Pertempuran berjalan ramai sekali, akan tetapi pada saat Cin Hai memperhatikan, dia menjadi terkejut oleh karena melihat betapa gerakan burung itu kaku sekali, seakan-akan telah mendapat luka berat!

Memang benar, sebelum Cin Hai datang, Hai Kong Hosiang yang kosen itu telah berhasil melukai Sin-kong-ciak dengan sebuah pukulan tangannya. Pukulan ini tepat mengenai dada kanan Merak Sakti itu dan kalau saja Merak Sakti tidak mempunyai kekebalan dan tenaga luar biasa, pasti ia telah tewas dan dadanya hancur pada saat itu juga! Namun, Merak Sakti telah mendapat gemblengan luar biasa dari Bu Pun Su dan sute-nya yang sakti dan sudah menjadi seekor binatang sakti yang memiliki kekuatan luar biasa maka pukulan ini biar pun telah melukainya, akan tetapi tidak dapat membunuhnya.

Betapa pun juga, kepandaian Hai Kong Hosiang terlampau tinggi baginya dan kini meski pun dia menyambar-nyambar namun dia tak berdaya menyerang Hai Kong Hosiang dan bahkan tiap kali mereka bergebrak hampir saja Merak Sakti itu terkena serangan dahsyat dari Hai Kong Hosiang!

Melihat ini Cin Hai menjadi marah dan sekali loncat saja ia telah berada di dekat tempat pertempuran. Alangkah herannya ketika melihat seekor kuda yang dikenalnya baik-baik berada pula di situ, makan rumput hijau tanpa mempedulikan.

Kuda itu adalah kuda Pek-gin-ma atau Kuda Perak Putih kepunyaan Pangeran Vayami yang dulu telah dibawa oleh Bu Pun Su untuk dikembalikan kepada yang punya. Ia dapat menduga bahwa kuda ini terjatuh ke dalam tangan Hai Kong Hosiang dan dugaannya memang betul. Hai Kong Hosiang datang ke bukit itu sambil menunggang Pek-gin-ma yang semenjak dia pergi dengan Pangeran Vayami ke Pulau Kim-san-to, memang sudah berada di tangannya dan dipelihara baik-baik di kota raja.

“Hai Kong Hosiang, mari kita menentukan perhitungan terakhir hari ini!” kata Cin Hai yang menyambung ucapannya itu dengan suara halus ke arah Merak Sakti.
“Sin-kong-ciak-ko, biarlah siauwte menghadapi hwesio gundul kurang ajar ini dan engkau beristirahatiah dulu!”

Merak Sakti ini agaknya maklum bahwa pemuda yang datang adalah seorang yang boleh dipercaya, maka ia lalu terbang ke atas dahan pohon di dekat situ dan setelah hinggap di sana dia lalu menggunakan paruh serta kepalanya untuk mengusap-usap dada kanannya yang terluka dan terasa sakit.

Ketika Hai Kong Hosiang melihat siapa yang datang, bukan kepalang marahnya.

“Bangsat besar, akhirnya aku dapat juga bertemu dengan engkau!” katanya dan sedikit pun dia tidak merasa jeri.

Memang dia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tinggi sekali sebagaimana sudah dia rasakan ketika mereka bertempur di atas perahu Pangeran Vayami, akan tetapi kini dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi supek-nya.

Setelah mengeluarkan makian marah, Hai Kong Hosiang langsung maju dengan tongkat ularnya. Cin Hai mencabut pedangnya Liong-coan-kiam dan menangkis hingga sebentar saja dua orang musuh besar ini sudah bertempur mati-matian di atas bukit itu, disaksikan oleh Sin-kong-ciak yang bertengger di atas dahan pohon.

Setelah bertempur beberapa puluh jurus, keduanya tercengang dan kaget sekali melihat kemajuan ilmu silat lawan. Akan tetapi kekagetan Hai Kong Hosiang lebih besar lagi oleh karena tenaga lweekang-nya yang telah dilatih sempurna itu tidak berdaya menghadapi Cin Hai! Ia merasa betapa pemuda ini sekarang memiliki tenaga lweekang yang berlipat ganda hebatnya dari pada dulu.

Dan ketika Cin Hai membuka serangan dengan ilmu pedangnya yang baru diciptakannya sendiri itu, maklumlah Hai Kong Hosiang bahwa pemuda ini sekarang sudah memiliki ilmu kepandaian hampir menyamai tingkat Bu Pun Su sendiri! Diam-diam dia menjadi bingung dan jeri terutama sekali ketika Cin Hai dengan senyum sindir berkata,

“Hai Kong, sekarang kau harus menghadap Supek-mu!”

Hai Kong Hosiang maklum bahwa supek-nya telah meninggal dunia dan hal ini membuat ia semakin jeri lagi. Ia tak perlu bertanya bagaimana supek-nya meninggal namun dapat menduga bahwa tentulah pemuda ini yang merobohkannya, kalau tidak, tidak nanti Cin Hai mengeluarkan kata-kata yang bermaksud melemahkan pertahanannya dan membuat kacau pikirannya itu.

Dengan nekad Hai Kong Hosiang kemudian menyerang lagi dengan Ilmu Silat Tongkat Jian-coa Tung-hoat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang menjadi kebanggaannya. Akan tetapi, serangan dengan ilmu tongkat yang telah dikenal baik-baik oleh Cin Hai ini, hanya memperlebar senyum di mulut pemuda itu saja.

Ketika Cin Hai mengeluarkan seruan keras dan menggerakkan jurus ke dua puluh satu dari ilmu pedangnya, mendadak tongkat di tangan Hai Kong Hosiang terlempar ke udara dan terdengar sayap mengibas karena saat melihat tongkat hwesio itu melayang ke atas, Merak Sakti cepat menyambarnya dan membawa terbang tongkat itu untuk dilempar jauh ke dalam sebuah jurang yang curam sekali!

Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali dan tiba-tiba ia berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki bergerak-gerak di atas! Gerakannya sangat cepat dan hebat, dan kedua kakinya mengeluarkan tenaga luar biasa karena anginnya saja menyambar-nyambar membuat daun-daun pohon yang bergantungan di situ bergoyang-goyang bagai tertiup angin keras!

Namun Hai Kong Hosiang tak dapat menakut-nakuti Cin Hai dengan ilmunya ini, bahkan pemuda ini lalu dengan tenangnya menyimpan kembali pedangnya, oleh karena dia tidak mau disebut licin akibat melawan seorang bertangan kosong dengan senjata di tangan! Ia maju menghadapi Hai Kong Hosiang yang telah berdiri dengan terbalik itu.

Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan keras dan mengerikan kemudian kedua kakinya menyambar dalam serangan-serangan kilat dan maut! Cin Hai segera menyambutnya dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang ajaib, dan benar saja. Ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh terbalik ini tidak berdaya menghadapi Pek-in Hoat-sut dan setiap kali hawa pukulan kaki itu menyambar dan terpukul balik oleh uap putih yang keluar dari sepasang lengan Cin Hai, maka kaki Hai Kong lantas terpental kembali yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang.

Cin Hai maklum bahwa dalam keadaan terbalik itu, agak sulit baginya untuk mencari jalan darah lawan dalam keadaan jungkir balik itu. Kalau saja Hai Kong Hosiang bertempur sambil berdiri di atas kedua kakinya, tak akan sukar agaknya bagi dia untuk merobohkan hwesio itu.

Cin Hai yang sejak tadi memperhatikan gerakan Hai Kong Hosiang, tiba-tiba mengambil keputusan untuk meniru gerakan lawannya ini. Segera dia berseru keras dan berjungkir balik, kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas. Maka bertempurlah mereka dalam keadaan aneh itu dengan hebatnya.....
Kembali Hai Kong Hosiang menjadi terkejut setengah mati. Bagaimana pemuda ini dapat melakukan ilmu silat ini dengan sama baiknya?

“Siluman!” bentaknya dengan hati ngeri dan menyerang kembali dengan nekad.

Tubuhnya berputar-putar di atas kepala dan kedua kakinya menyambar-nyambar, akan tetapi oleh karena kini Cin Hai juga berdiri di atas kepalanya seperti dia, sedangkan ilmu silatnya ini khusus diadakan untuk menghadapi seorang yang berkelahi dengan normal, maka semua pukulan kakinya ini menjadi ngawur. Kaki yang tadinya harus menyerang ke pundak lawan yang berdiri biasa, kini menyerang tumit kaki Cin Hai.

Hai Kong Hosiang benar-benar bingung hingga kepalanya menjadi pening. Ia lalu berseru keras dan berdiri lagi di atas kedua kakinya, akan tetapi Cin Hai juga sudah berdiri dan menyerangnya dengan hebat.

Menghadapi Pek-in Hoat-sut dengan berdiri di atas kedua kakinya, Hai Kong Hosiang tak kuat menahan lagi dan dengan telak jari tangan Cin Hai berhasil menotok pundaknya dan tangan kiri anak muda itu menepuk pinggangnya. Hai Kong Hosiang tanpa mengeluarkan suara lalu roboh terbanting dalam keadaan lumpuh kaki tangannya.

Sebelum Cin Hai sempat mengeluarkan kata-kata atau menurunkan tangan keras untuk menghabisi jiwa hwesio itu, tiba-tiba Merak Sakti turun menyambar. Agaknya Merak Sakti ini hendak membalas dendamnya oleh karena dadanya dilukai oleh Hai Kong Hosiang, dan kini sambil memekik-mekik marah dia menyambar dan mematuk ke arah kedua mata Hai Kong Hosiang.

Biar pun kedua kaki tangannya telah lumpuh, namun hwesio ini masih mempunyai tenaga untuk mengguling-gulingkan tubuhnya sehingga ia dapat berhasil mengelak paruh merak yang hendak mematuk matanya.

Cin Hai melangkah mundur, kemudian berdiri di dekat Pek-gin-ma yang masih enak-enak makan rumput. Sambil bertolak pinggang Cin Hai melihat pergulatan ini dan berkata,
“Kong-ciak-ko, jangan kau habisi jiwanya. Itu bukan tugasmu.”

Setelah beberapa kali menggulingkan tubuhnya untuk menghindarkan sepasang matanya dari serangan Merak Sakti, akhirnya Hai Kong Hosiang terpaksa menyerah juga. Sambil mengeluarkan jeritan ngeri, Hai Kong Hosiang masih berusaha mengelak, akan tetapi dia terlambat. Patuk yang merah dan kecil runcing dari Merak Sakti itu telah bergerak dua kali dan kedua mata Hai Kong Hosiang menjadi buta!

Pada saat itu pula terdengar seruan girang, “Hai-ko!”

Cin Hai cepat berpaling dan melihat bahwa yang berseru itu tak lain adalah Lin Lin! Gadis ini ternyata tadi sudah terjun ke dalam sebuah jurang dan bersembunyi ketika diserang hebat oleh Hai Kong Hosiang! Lin Lin maklum bahwa ia bukan lawan hwesio ini, maka ia berusaha melarikan diri dan memanggil Ma Hoa dan Yousuf untuk membantunya, akan tetapi ia kehabisan jalan dan akhirnya jalan satu-satunya ialah terjun ke dalam jurang itu! Untung baginya bahwa jurang itu dangkal dan pada saat itu, Sin-kong-ciak sudah datang membelanya.

“Lin Lin...!” Cin Hai berseru girang sekali. Mereka lalu saling berpegangan tangan dengan hati penuh kebahagiaan. “Lihat, Hai Kong yang jahat pun harus makan buah yang sudah ditanamnya sendiri!” Mereka sambil berpegang tangan lalu menonton betapa Merak Sakti menyerang Hai Kong Hosiang.

Setelah berhasil membalas sakit hatinya, Merak Sakti terbang melayang ke angkasa dan memekik-mekik girang. Dan pada saat itu, dari lereng bukit berlari-lari Kwee An, Ma Hoa, dan Yousuf menuju ke tempat itu. Mereka juga mendengar pekik Merak Sakti dan merasa kuatir, maka ketiga orang ini lalu berlari cepat menyusul Cin Hai.

Melihat Hai Kong Hosiang sudah rebah di tanah dengan mata buta dan tak berdaya lagi, Kwee An segera mencabut pedangnya dan hendak menusuk tubuh musuh besarnya itu.

Akan tetapi tiba-tiba Ma Hoa menjerit, “Koko, jangan!”

Kalau orang lain yang mencegah, mungkin takkan dihiraukan oleh Kwee An yang sedang merasa marah sekali. Akan tetapi suara Ma Hoa ini memiliki pengaruh yang melemaskan tubuhnya dan memadamkan api kemarahannya.

“Jangan, An-ko, biarlah kita ampuni jiwa anjing ini supaya jangan menodai kegembiraan pertemuan kita!”

Kwee An memandang kepada kekasihnya lama sekali, kemudian ia menghela napas dan segera berpaling kepada Lin Lin. Ia melihat betapa adik perempuannya yang masih saling berpegang tangan dengan Cin Hai juga tidak berniat menurunkan tangan membunuh Hai Kong Hosiang, maka mereka lalu hanya saling pandang dengan bingung.

Yousuf tertawa. “'Anak-anak! Demikianlah seharusnya orang yang memiliki pribudi tinggi. Jangan terlalu mengandalkan kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah mengambil nyawa orang lain, betapa besar pun dosanya terhadap kita! Ada kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan mengadili segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur sendiri hukuman yang akan ditimpakan kepadanya!”

Cin Hai merasa kagum sekali mendengar ucapan ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan kekasihnya untuk mendekati Yousuf. “Ayah, inilah calon mantumu dan Hai-ko, ketahuilah bahwa orang tua ini adalah ayah angkatku!”

Cin Hai memberi hormat dan dibalas dengan selayaknya oleh Yousuf.

Mendadak tubuh Hai Kong Hosiang bergerak dan bergulingan sambil mulutnya berteriak, “Bangsat-bangsat rendah, kalian kira aku tak akan dapat membalas dendam? Tunggulah pembalasanku!”

Sambil memaki-maki dan berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya cepat sekali dan tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang amat dalam!

“Nah, begitulah hukuman seorang jahat!” kata lagi Yousuf dan dia lalu mengajak mereka semua kembali ke rumahnya. Cin Hai tak lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka.

Malam yang indah. Bulan bersinar gemilang dan penuh hingga keadaan malam itu sama dengan siang, akan tetapi lebih indah. Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.

Di bawah pohon nampak dua orang muda berdiri dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra. Mereka ini adalah Lin Lin dan Cin Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua orang ini saling menuturkan pengalaman masing-masing diselingi pandangan mata yang menyatakan betapa besarnya cinta kasih mereka.

Ketika Lin Lin mendengar tentang nasib Ang I Niocu, gadis ini menangis karena terharu dan kasihan sehingga Cin Hai lalu mengelus dan membelai rambutnya sambil berkata,

“Lin Lin, kita tak boleh melupakan Ang I Niocu yang sudah mengorbankan jiwanya dalam usahanya mempertemukan kita. Akan tetapi, kita pun tak boleh terlalu bersedih. Biar pun dia telah pergi ke alam akhir, akan tetapi dia juga meninggalkan sesuatu untuk kita buat sebagai kenangan.”

Sesudah berkata demikian, Cin Hai lalu mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian Ang I Niocu yang dia temukan di permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu sedannya dan mendekap kain itu ke dadanya.

“Enci Im Giok....” bisiknya pelan, “kau... kau di manakah?” Kemudian, matanya terbelalak memandang kepada Cin Hai sambil berkata, “Engko Hai, aku tidak percaya bahwa Enci Im Giok telah meninggal dunia! Kalau aku tidak melihat jenazahnya dengan mata kepala sendiri aku tidak percaya jika seorang seperti dia dapat meninggal dunia!”

Cin Hai menghela napas dan menjawab lirih, “Mudah-mudahan saja betul dugaanmu itu. Akan tetapi, menghadapi ledakan dan kebakaran hebat semacam itu, manusia manakah yang sanggup menyelamatkan dirinya?”

Untuk beberapa lama mereka berdiam diri saja, seakan-akan berdoa kepada Thian Yang Maha Kuasa untuk keselamatan Ang I Niocu yang mereka sayangi. Kemudian, sesudah keharuan hatinya agak mereda, Lin Lin lalu menceritakan kepada kekasihnya mengenai pertemuannya dengan Bu Pun Su dan tentang pedang pendek Han-le-kiam yang dibuat oleh kakek sakti dan diberikan kepadanya. Kemudian ia berkata,
“Hai-ko, Suhu-mu berpesan agar supaya engkau memberi pelajaran ilmu pedang padaku, karena setelah aku memiliki pedang ini aku berhak pula mempelajari ilmu pedangnya.”

Cin Hai menghela napas dan berkata, “Lin-moi, ketahuilah. Dulu ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu, aku diharuskan bersumpah.”
“Aku pun bersedia bersumpah!” memotong Lin Lin sambil cemberut.

Cin Hai tersenyum. “Bukan begitu maksudku Lin-moi. Aku dulu harus bersumpah bahwa selain harus mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk kebenaran dan keadilan juga aku tidak boleh mengajarkan kepada orang lain, siapa pun juga orang itu.”
“Apa kau tidak percaya kepadaku?” Lin Lin memotongnya lagi.

Cin Hai memegang lengan kekasihnya. “Kau harus belajar bersabar, Lin-moi. Aku hanya hendak menyatakan kepadamu bahwa apa bila bukan atas kehendak Suhu sendiri, walau pun di dalam hati aku ingin sekali memberi pelajaran kepadamu, namun aku tidak akan berani. Sekarang Suhu bahkan menyuruh aku memimpinmu, tentu saja aku merasa amat girang dan berbahagia! Akan tetapi, oleh karena telah menjadi keharusan, kau pun harus mengucapkan sumpah, Lin-moi. Dengan demikian, sungguh pun Suhu tidak menyaksikan sendiri, akan tetapi kita tidak melakukan pelanggaran, oleh karena syarat terutama bagi seorang murid kepada gurunya yang terpenting ialah ketaatan dan kesetiaan!”

Lin Lin mengangguk girang. Kemudian ia lalu memegang pedang pendek Han-le-kiam itu dengan dua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berlutut. Dengan suaranya yang nyaring dan merdu, dara jelita itu bersumpah,

“Teecu Kwee Lin, dengan disaksikan oleh Pedang Han-le-kiam pemberian Suhu Bu Pun Su, dan disaksikan pula oleh Hai-ko, dan oleh bulan purnama, oleh langit dan bumi, teecu bersumpah bahwa kalau teecu sudah mempelajari ilmu silat dan ilmu pedang dari Hai-ko sebagai wakil Suhu Bu Pun Su, kepandaian itu akan teecu gunakan semata-mata untuk menjaga diri dari serangan orang jahat, untuk menolong sesama hidup yang menderita, dan untuk membasmi penjahat-penjahat dan penindas rakyat.”

Cin Hai menyaksikan sumpah ini sambil berdiri di bawah pohon dan memandang dengan wajah sungguh-sungguh. Kemudian mereka lalu kembali ke pondok kecil di lereng bukit itu.

Keadaan di bukit itu demikian indahnya hingga Cin Hai dan Kwee An merasa kerasan sekali. Mereka mengambil keputusan untuk berdiam di tempat indah itu beberapa bulan sebelum mengajak dua orang gadis kekasih mereka kembali ke pedalaman.

Dan mulai keesokan harinya Cin Hai mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang dia dapatkan dari Bu Pun Su. Akan tetapi, untuk dapat memiliki kepandaian mengenai dasar ilmu silat sebagaimana yang sudah dia miliki, bukanlah pelajaran yang dapat dipahamkan dalam beberapa bulan saja, maka Cin Hai lalu menurunkan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na kepada Lin Lin. Juga memberi pelajaran ilmu pedang yang dulu sudah diciptakannya sendiri itu.

“Apakah namanya kiam-hoat (ilmu pedang) ini?” tanya Lin Lin.

Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh, oleh karena sesungguhnya ia sendiri juga tidak tahu. Ia telah ciptakan ilmu pedangnya dan bahkan ilmu pedangnya yang luar biasa itu telah berjasa ketika digunakan dalam pertempuran hebat menghadapi Kiam Ki Sianjin yang tangguh, akan tetapi sampai sekarang, ia sendiri masih belum tahu apa nama ilmu pedang ini.

“Ehh, kenapa kau hanya bengong saja?” Lin Lin bertanya. “Kau bilang bahwa kau sendiri pencipta ilmu pedang ini, masa tidak tahu namanya?”
“Lin-moi, bayi yang baru terlahir tidak membawa nama pula.”

Lin Lin tertawa geli. “Jadi kau menganggap ilmu pedangmu ini seperti bayi? Kalau begitu kau terlambat memberi nama kepada bayimu! Jangan-jangan dia sudah jenggotan masih belum mempunyai nama!”

Cin Hai tertawa juga mendengar kelakar ini, kemudian dia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,
“Lin-moi, ilmu pedang ini kuciptakan atas anjuran dan desakan Ang I Niocu, kalau tidak dia yang mendesak dan memberi saran, mungkin sampai sekarang atau selamanya aku tak akan bisa menciptakan kiam-hoat sendiri. Pada waktu aku menciptakan kiam-hoat ini, selain Ang I Niocu yang memberi petunjuk-petunjuk, juga aku mendapat bantuan yang amat berharga dari daun-daun bambu.”

Lin Lin merasa heran sekali mendengar ini, sehingga Cin Hai harus menceritakan bagai mana dia mencipta ilmu pedangnya itu, dan betapa Ang I Niocu telah memberi petunjuk-petunjuk pula tentang gaya gerakan untuk memperindah kiam-hoatnya.

“Aku sudah mempelajari Tari Bidadari dari Ang I Niocu dan karenanya, selain suka akan seni suara, aku pun suka akan seni tari. Menurut pikiranku, ilmu silat tiada jauh bedanya dengan seni tari, atau boleh kusebut saja bahwa ilmu silat adalah seni tari yang tidak saja mempunyai gerakan indah dan manis dipandang, akan tetapi juga memerlukan bakat dan darah seni untuk dapat melakukannya dengan sempurna. Bedanya antara keduanya itu, yaitu antara tarian biasa dengan ilmu silat adalah bahwa tarian hanya menggambarkan keindahan, sebaliknya ilmu silat khusus mengatur gerakan kaki tangan yang seluruhnya ditujukan untuk menjadi gerakan yang cepat, baik dalam menyerang dan menangkis atau mengelak.”

“Eh, ehh, Hai-ko, biar pun uraianmu itu amat menarik hati, akan tetapi telah melantur jauh dari pada inti percakapan kita semula,” kata Lin Lin menggoda sambil tersenyum karena melihat betapa pandangan mata pemuda itu telah melayang jauh seperti orang melamun. “Kalau kau bercakap seperti ini, kau seperti seorang kakek-kakek saja.”

Cin Hai bagaikan terbetot kembali dari alam renungan dan turut tersenyum pula. “Oh ya, kita sedang mempercakapkan soal nama ilmu pedang kita. Hm, apakah gerangan nama yang terbaik? Akan tetapi, apa pula artinya memberi nama yang indah?” ia lalu mencela sendiri.

Tak tertahan pula geli hati Lin Lin hingga ia tertawa. “Bagaimana sih kau ini? Berbantah-bantah seorang diri, seolah-olah dalam dirimu terdapat dua orang yang sekarang sedang bertengkar!”
“Biarlah kuberi nama Ilmu Pedang Daun Bambu saja!”

Sepasang mata Lin Lin yang indah itu bersinar gembira. “Alangkah lucu dan anehnya nama itu. Ilmu Pedang Daun Bambu! Aneh seperti... penciptanya!”

Cin Hai memandang dengan mata terbelalak. “Apa? Apakah dalam pandanganmu aku ini orang aneh?”
“Memang, aneh sekali! Karena di seluruh dunia ini tidak mungkin aku berjumpa dengan seorang pemuda seperti engkau. Engkau berbeda dengan orang-orang lain, bukankah itu aneh namanya?”
“Kalau begitu sama saja dengan kau. Aku pun belum pernah dan rasanya takkan pernah bertemu dengan gadis seperti kau, semanis kau, secantik kau, dan se... nakal engkau!”

Lin Lin mengulurkan tangannya dan jari-jari yang halus itu mencubit lengan Cin Hai yang tertawa dengan hati beruntung.

“Sudahlah, Moi-moi, kalau kita bersendau-gurau saja, sampai kapan engkau akan dapat menghafal pelajaran Kiam-hoat-mu?”
“Tapi aku tidak suka nama kiam-hoat itu. Ilmu Pedang Daun Bambu, sungguh lucu! Kalau aku bertanding dengan seorang lawan mempergunakan ilmu pedang ini, kemudian lawan itu kalah sehingga aku menjadi bangga, tetapi apa bila lawan yang kalah itu menanyakan nama ilmu pedangku, bukankah kebanggaanku akan musnah dan terganti rasa malu bila aku menyebutkan bahwa ilmu pedang yang hebat itu, yang telah dapat mengalahkannya, namanya tak kurang tak lebih hanya Ilmu Pedang Daun Bambu saja? Murah sekali!”
“Apa yang murah?”
“Daun bambu itu!”

Cin Hai hanya tertawa. “Kalau begitu, biarlah ilmu pedangku ini akan dirubah sedikit untuk sekalian disesuaikan dengan gerakan-gerakanmu serta dengan pedangmu yang pendek ini. Kemudian, setelah kau dengan aku menciptakan ilmu pedang baru berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, kau lalu memberi nama sendiri. Bagaimana?”

Bersinar-sinar mata Lin Lin mendengar ini. “Bagus! Hai-ko! Bagus sekali, bahkan aku sudah dapat nama itu!”
Cin Hai terheran. ”Sudah ada namanya? Ini lebih aneh lagi! Bayinya belum terlahir sudah diberi nama! Apakah namanya?”
“Namanya Han-le Kiam-sut, sesuai dengan nama pedang pemberian Suhu.”

Cin Hai merasa girang karena menurut pikirannya, nama itu pun baik dan cocok sekali. Begitulah, mulai saat itu Cin Hai mengajar ilmu pedang kepada Lin Lin, berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, namun diadakan perubahan di sana-sini untuk disesuaikan dengan pedang pendek di tangan Lin Lin.

Memang gerakan-gerakan pedang pendek berbeda dengan pedang panjang, oleh karena pedang pendek yang merupakan sebilah belati atau pisau itu harus digunakan lebih cepat supaya jangan didahului oleh ujung senjata yang lebih panjang. Senjata yang pendek ini harus dipergunakan dalam pertempuran secara mendekat dan rapat baru dapat berhasil, dan ini pun ada kebaikannya, karena dalam menghadapi seorang lawan yang bersenjata toya, lebih menguntungkan apa bila menghadapinya secara rapat sehingga gerak senjata yang panjang itu menjadi kurang leluasa. Sudah tentu hal ini membutuhkan keberanian dasar dan ketenangan serta kewaspadaan, juga terutama sekali harus memiliki ginkang (ilmu meringankan badan) yang tinggi hingga gerakan bisa dilakukan dengan lincah dan cepat.

Akan tetapi, Lin Lin memang sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat yang cukup baik dan tinggi serta ginkang-nya memang sudah hebat, apa lagi kini mendapat petunjuk dan latihan lweekang dan ginkang, maka dalam beberapa hari saja ilmu kepandaiannya telah maju dengan pesatnya.

Tak hanya Cin Hai dan Lin Lin yang hidup penuh kebahagiaan di lereng bukit yang indah itu. Kwee An dan Ma Hoa juga hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka berdua saling mencinta dan saling mengindahkan, saling menghormati dan seperti halnya Cin Hai dan Lin Lin, kedua teruna remaja ini pun bergaul dengan mesra akan tetapi penuh kesopanan dan jangankan dalam perbuatan, bahkan di dalam pikiran pun sama sekali tidak terdapat hal-hal yang melanggar norma kesusilaan.

Keadaan ini membuat Yousuf merasa girang dan kagum sekali. Diam-diam orang tua ini, seperti halnya orang-orang tua lain, amat memperhatikan pergaulan anak-anak muda itu. Tadinya timbul juga perasaan curiga dan tidak senang melihat pergaulan yang bebas itu, yang tidak dapat dilarangnya oleh karena memang sudah biasa bagi orang-orang gagah untuk bergaul secara bebas.

Akan tetapi, melihat betapa keempat anak muda itu bergaul dengan penuh kesopanan, ia menjadi amat kagum. Makin yakin dan pasti perasaan hatinya bahwa mereka itu memang cocok untuk menjadi jodoh masing-masing, sama-sama cakap, sama-sama gagah, dan jsama-sama sopan pula!

Biar pun selalu memilih tempat terpisah dari Lin Lin dan Cin Hai, tiap hari Kwee An dan Ma Hoa berjalan-jalan di pegunungan yang luas itu, menikmati keindahan tamasya alam sambil membicarakan mengenai ilmu silat. Tidak jarang mereka berlatih bersama, saling mengisi kekurangan dan saling belajar. Pada saat itu, tingkat kepandaian Kwee An lebih tinggi setingkat dari Ma Hoa, maka dia lalu memberi pelajaran kepada kekasihnya itu.

Telah beberapa hari ini, Ma Hoa selalu melepaskan rambutnya yang hitam dan kering indah di atas pundaknya. Rambutnya yang amat indah melambai-lambai tertiup angin dan mengeluarkan keharuman bunga yang selalu menghias rambutnya. Hal ini terjadi sejak malam terang bulan pada waktu ia berjalan-jalan bersama Kwee An bermandikan cahaya bulan yang sejuk.

Angin gunung bertiup perlahan dan tiba-tiba saja ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga rambutnya itu terurai ke atas pundaknya. Kebetulan sekali dia berdiri menghadapi bulan hingga mukanya tertimpa cahaya sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua tangannya hendak menyanggul dan mengikat rambutnya, Kwee An yang sedang berdiri memandang padanya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan berkata,

“Jangan... jangan sanggul rambutmu, Hoa-moi, biarkan saja...”
“Eh, ehh, kau kenapa, An-ko?” tanya Ma Hoa dengan heran sambil melepaskan kembali rambutnya yang telah dipegangnya.
“Kau... kau nampak cantik sekali dalam keadaan seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus hitam berombak-ombak di sekitar lehermu dan melambai-lambai tertiup angin, seakan-akan setiap lembar rambut itu hidup dan bernyawa, kau seperti seorang bidadari yang baru turun dari surga. Demi segala kecantikan dan keindahan, jangan kau sanggul rambutmu, Moi-moi, biarkan saja terurai di atas kedua pundakmu!”

Mata Ma Hoa sampai bertitik dua butir air mata karena merasa amat terharu dan girang mendengar pujian yang keluar dari mulut kekasihnya ini dan semenjak saat itu dia berjanji tidak akan menyanggul rambutnya lagi. Tentu saja dia tidak memberi tahu kepada orang lain tentang hal ini dan hanya mengatakan bahwa dia lebih suka mengurai rambutnya.

Lin Lin dan Cin Hai, begitu pula Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai rambutnya yang berombak menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya yang membulat telur.

Pada suatu hari, pada saat Kwee An bersama Ma Hoa sedang berdiri sambil mengagumi pemandangan di sebuah lereng yang baru kali itu mereka datangi, menikmati keindahan yang ditimbulkan oleh matahari yang baru muncul sehingga indah luar biasa itu, tiba-tiba mereka melihat dua orang mendaki bukit dengan tindakan kaki cepat sekali. Keduanya merasa terkejut oleh karena kedua orang itu berlari cepat sekali, tanda ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi.

Keduanya lalu berdiri menunggu dengan hati berdebar-debar dan menduga-duga, siapa gerangan orang asing itu. Ketika mereka datang dekat Kwee An dan Ma Hoa, ternyata bahwa mereka adalah seorang hwesio gundul yang tua dan seorang laki-laki muda yang rambutnya juga panjang terurai tertiup angin.

Di samping berambut panjang, laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali. Potongan baju itu berbeda dengan pakaian bangsa Han yang biasanya dipakai orang. Juga kakinya mengenakan sepatu yang panjang sampai ke atas betis. Akan tetapi gerak-gerik laki-laki ini gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya tidak di sebelah bawah hwesio gundul itu.

Agaknya kedua pendaki bukit yang aneh itu pun sudah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena mereka segera menuju ke arah kedua anak muda itu. Setelah sampai di hadapan Kwee An dan Ma Hoa yang memandang heran, hwesio tua itu lalu menjura dan bertanya,
“Jiwi mohon tanya di mana rumah seorang Turki bernama Yousuf?”

Kwee An dan Ma Hoa saling pandang, sedangkan orang muda berambut panjang itu memandang Ma Hoa dengan sinar mata kagum yang tidak disembunyikan.

“Suhu ini siapakah dan apakah perlunya mencari rumah Yo-sianseng?” tanya Kwee An yang berlaku hati-hati karena menaruh curiga kepada dua orang pengunjung ini.
“Ehh, siapakah nama Nona yang cantik bagaikan bidadari ini? Kumaksudkan rambutnya yang cantik dan indah, alangkah bagusnya,” kata pemuda berambut panjang itu dengan kagum.

Suaranya juga aneh, karena terdengar seperti suara wanita halus dan merdu. Akan tetapi tak perlu disangsikan lagi bahwa ia adalah seorang pria, sebab selain potongan tubuhnya yang kuat dan dadanya yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing di lehernya yang tak akan terdapat pada leher seorang wanita.

Ma Hoa menjadi marah sekali dan memandang dengan mata bernyala-nyala. Dia hendak menegur dan mendamprat, akan tetapi Kwee An memberi isyarat padanya agar supaya dia bersabar.

”Pinceng hendak mencari dua orang gadis yang berada dengan orang Turki itu. Kenalkah Jiwi kepada dua orang nona bernama Ma Hoa dan Lin Lin?”

Makin curiga dan terkejutlah Kwee An dan Ma Hoa mendengar pertanyaan ini.

“Akulah yang bernama Ma Hoa. Suhu mencari aku ada keperluan apakah?”

Tiba-tiba saja mata hwesio itu terbelalak dan dia tertawa terbahak-bahak dengan girang. “Ha-ha-ha! Dicari-cari sampai pusing tidak bertemu, tahu-tahu mencari keterangan pada orang yang dicari! Ini namanya memang harus mampus di tangan pinceng ini hari!”

Bukan main terkejutnya hati Kwee An dan Ma Hoa mendengar ini, karena sungguh tidak pernah mereka sangka bahwa kiranya hwesio tua ini mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan maksud jahat!

Kwee An melompat maju dengan marah. “Hwesio tua! Apa maksud kata-katamu yang jahat itu? Siapakah kau dan mengapa kau datang-datang mengandung niat yang buruk dan jahat?”

“Buka lebar-lebar mata dan telingamu! Pinceng adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip adalah muridku. Muridku itu telah terbunuh mati oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka sekarang pinceng mencari dua orang pembunuh itu untuk maksud apa lagi?” Sambil berkata begini, Bo Lang Hwesio tertawa lagi bergelak. “Dan ketahuilah bahwa anak muda kawanku ini adalah Ke Ce, pendekar gagah dari Mongolia Dalam. Dia adalah adik sepupu Pangeran Vayami dan datang hendak membalas dendam terhadap Yousuf! Karena Yousuf orang Turki itulah yang telah menggagalkan usaha Pangeran Vayami dan mungkin orang Turki itu pula yang telah membunuh Pangeran Vayami!”

Bukan main marahnya Kwee An mendengar ucapan ini. “Hm, jadi kau ini guru Boan Sip yang jahat? Pantas muridnya jahat, tidak tahu, gurunya juga berpemandangan sempit dan berpikiran dangkal! Ada pun pembunuh Vayami bukanlah Yo-sianseng akan tetapi Hek Pek Mo-ko dan tak perlu kau mencari kedua orang tua itu, cukup aku wakilnya!”

“Bagus!” Bo Lang Hwesio membentak marah dan dia segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim serangan kilat!
“Bo Lang Suhu, jangan kau bunuh bidadari itu, tangkap hidup-hidup untukku!” teriak Ke Ce sambil menyerbu dan menyerang Kwee An.
“Ha-ha-ha, dasar kau mata keranjang!” kata Bo Lang Hwesio.

Ma Hoa terkejut melihat serangan Bo Lang Hwesio yang mencengkeram dan hendak menangkap pundaknya, karena serangan ini mendatangkan angin gerakan yang lihai. Ia maklum bahwa lweekang hwesio tua ini tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh, maka dia cepat mempergunakan ginkang-nya untuk melompat ke pinggir dan mengelak.

Sementara itu, Kwee An dengan tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru heran dan kagum karena ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya terpental mundur karena hebatnya tenaga lawan. Diam-diam Kwee An terkejut karena tak disangkanya bahwa pendekar dari Mongolia Dalam ini memiliki tenaga dalam yang begitu besarnya sehingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia segera membalas dengan serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena maklum bahwa kali ini lawannya bukan orang lemah.

Pada waktu Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat tebing gunung yang curam sekali hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di bawah mereka. Oleh karena itu, ketika mereka berdua diserang, mereka sedang berdiri membelakangi tebing itu hingga keadaan mereka amat berbahaya.

Hal ini pun diketahui oleh Bo Lang Hwesio dan Ke Ce, maka mereka mendesak dengan hebat dan tidak mau memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berpindah tempat. Dengan ilmu silatnya yang tinggi Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari serbuan Ke Ce, bahkan pada saat dia membalas dengan serangan-serangannya, Ke Ce menjadi sibuk sekali karena harus berlaku awas untuk menghindarkan diri dari kaki dan tangan Kwee An yang mempunyai gerakan gesit dan tak terduga sama sekali itu.

Akan tetapi Ma Hoa yang menghadapi Bo Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali sehingga gadis ini makin mundur mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang melihat hal ini, merasa kuatir sekali, maka dia pun segera mengirim serangan kilat dengan tipu gerakan menyerampang dengan kaki kanan sambil membarengi memukul dengan tangan kanan hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan gerakan Ikan Leehi Melompati Ombak. Tubuh pemuda rambut panjang itu melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari serangan Kwee An yang berbahaya tadi.

Kesempatan ini digunakan oleh Kwee An untuk cepat melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru, “Hoa-moi, hati-hati di belakangmu tebing!”

Sambil berseru demikian, dia lantas menyerbu untuk menahan serangan Bo Lang Hwesio yang lihai itu. Akan tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah mengejarnya, lalu mengirim pukulan yang berupa dorongan dengan kedua telapak tangan dibarengi bentakan yang keras sekali, bagaikan seekor harimau mengaum!

Kwee An merasa terkejut sekali ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin yang luar biasa hingga ia terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang Hwesio yang tahu bahwa Kwee An mempunyai ilmu kepandaian cukup lihai, segera mengejar dan mengirim tendangan maut ke arah perut Kwee An yang sedang terhuyung ke belakang itu!

Ma Hoa menjerit ngeri melihat ini karena tendangan ini benar-benar berbahaya sekali dan agaknya Kwee An tidak akan dapat mengelak lagi. Akan tetapi, Kwee An sudah memiliki ketenangan serta kepandaian yang hampir sempurna, maka pada waktu merasa betapa tendangan maut mengancam perutnya, dia berseru keras dan tubuhnya mumbul ke atas dengan gesit seperti seekor burung walet. Cara menghindarkan diri dari tendangan maut ini sama sekali tidak diduga oleh Bo Lang Hwesio sendiri hingga tak terasa lagi hwesio ini mengeluarkan seruan kagum.

Akan tetapi, selagi tubuh Kwee An masih berada di udara, tiba-tiba Ke Ce menyerang lagi dengan pukulan atau dorongan kedua telapak tangannya dibarengi bentakan hebat tadi. Kembali Kwee An merasa betapa besar tenaga yang mendorongnya sedangkan pada saat itu tubuhnya masih terapung di udara. Tanpa dapat dicegah lagi ia terdorong mundur dan ketika tubuhnya melayang turun, ia telah berada di sebelah sana tebing.

Ma Hoa menjerit lagi dengan lebih ngeri dan ketika tubuh dara ini berkelebat, ternyata ia pun telah menyusul melompat ke dalam tebing yang curam itu, menyusul tubuh Kwee An yang sudah meluncur ke bawah. Keduanya jatuh ke dalam tebing yang tak dapat diukur dalamnya.

Pada saat Kwee An melihat betapa tubuh Ma Hoa juga jatuh menyusul dirinya, ia segera mengulur tangannya. Ma Hoa menangkap tangan itu dan keduanya lalu meluncur terus ke bawah sambil saling berpegangan tangan. Entah kenapa, setelah mereka berpegang tangan, rasa takut karena terjatuh itu lenyap sama sekali.

Inilah daya rasa cinta yang besar dan dia mengalahkan segala rasa takut. Bahkan maut sendiri tidak dapat melenyapkan perasaan sentosa dan aman yang ditimbulkan oleh rasa cinta…..

********************
Melihat betapa Ma Hoa ikut meloncat ke dalam jurang yang curam itu, Ke Ce menyatakan penyesalannya. “Sayang... sayang sekali…,” katanya. Akan tetapi sebaliknya Bo Lang Hwesio tertawa bergelak.

“Boan Sip, muridku!” teriaknya bagaikan gila sambil berdongak ke angkasa memandang awan, “seorang pembunuhmu telah tewas, kau terimalah nyawanya, dan sekarang tinggal yang seorang lagi!”
“Pendeta jahat dan rendah! Kau apakan kedua anak muda itu?” tiba-tiba terdengar suara yang keras dan Yousuf yang berlari mendatangi telah berada di situ.

Dari jauh tadi dia telah melihat betapa Kwee An dan Ma Hoa terguling ke dalam jurang, maka alangkah marah dan terkejutnya. Ketika ia memandang kepada pemuda berambut panjang itu, ia berkata lagi, “Hm, Ke Ce, kau juga menempuh kejahatan, apakah kau tidak takut akan tertimbun oleh dosa?”

Melihat kedatangan Yousuf, Ke Ce menjadi marah sekali. “Bangsat rendah!” ia memaki. “Kaulah yang berdosa besar, kau telah merintangi kehendak Kakanda Vayami yang suci, bahkan kau telah memberanikan diri untuk berusaha merampas Pulau Kim-san-to!”

Sambil berkata demikian, Ke Ce lalu menerjang dan menyerang dengan sengit. Yousuf yang merasa gelisah memikirkan nasib Kwee An dan Ma Hoa, segera menyambutnya dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Melihat bahwa kegesitan dan tenaga orang Turki ini masih mengatasi Ke Ce, Bo Lang Hwesio tidak mau membuang waktu lagi dan segera maju mengeroyok.

“Majulah, majulah! Biar kubinasakan sekalian kau hwesio jahat, untuk membalaskan dua anak muda itu!” teriak Yousuf dengan gemas karena kalau dia teringat akan kedua anak muda yang dilihatnya terguling ke dalam jurang tadi, rasanya dia mau berteriak keras dan menangis.

Akan tetapi, dia segera terkejut sekali oleh karena ilmu kepandaian dan tenaga hwesio gundul ini sungguh lihai sekali. Baru menghadapi Ke Ce saja, mungkin setelah bertempur lama baru dia akan dapat mengalahkannya, apa lagi sekarang ditambah dengan Bo Lang Hwesio yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi lagi.

Tanpa terasa lagi Yousuf lalu mengumpulkan khikang-nya dan berseru memanggil, “Lin Lin…! Cin Hai...! Lekas ke sini...!”
“Ha-ha-ha! Kau memanggil kawan-kawanmu, ha-ha-ha!” Ke Ce menyindir dengan tertawa menghina, “Panggillah semua agar lebih puas hatiku membasmi kau sekalian semua kaki tanganmu.”

Akan tetapi Bo Lang Hwesio menjadi girang sekali pada waktu mendengar nama Lin Lin disebut. Akan terlaksana agaknya usaha membalas dendam kali ini. Kalau benar-benar yang bernama Lin Lin itu adalah Kwee Lin pembunuh muridnya, maka akan bereslah tugasnya membalas dendam.

Teriakan Yousuf itu dilakukan dengan tenaga khikang sepenuhnya, karena itu suaranya bergema keras dan dapat terdengar sampai di tempat jauh. Ketika itu, Lin Lin dan Cin Hai sedang berlatih ilmu pedang di dekat rumah, maka ketika mendengar teriakan memanggil ini, keduanya terkejut sekali.

Lin Lin lalu segera meloncat tanpa membuang waktu lagi, sambil membawa Han-le-kiam di tangan kanannya. Cin Hai juga lalu meloncat bahkan ia mendahului Lin Lin oleh karena ia maklum bahwa Yousuf berada dalam bahaya. Pendengarannya yang lebih tajam dari pada pendengaran Lin Lin dapat menangkap suara yang penuh kecemasan itu.

Cin Hai yang datang terlebih dahulu dari pada Lin Lin, ketika melihat Yousuf didesak dan dikeroyok dua oleh seorang hwesio serta seorang pemuda gagah yang berpakaian aneh dan berambut panjang, tanpa banyak cakap lagi lalu menyerbu karena ia melihat betapa kedua orang lawan Yousuf itu tangguh dan hebat ilmu silatnya.

Ia tidak mau mencabut pedangnya karena melihat betapa ketiga orang itu pun bertempur dengan tangan kosong dan memang menjadi pantangan bagi Cin Hai untuk melawan musuh yang bertangan kosong dengan menggunakan senjata. Apa lagi memang dengan kedua tangannya dia cukup kuat menghadapi musuh yang bagaimana lihai pun, maka kalau tidak sangat terpaksa, dia pun tidak mau menggunakan Liong-coan-kiam.

Sebaliknya, pada saat Bo Lang Hwesio dan Ke Ce melihat sepak terjang anak muda ini, mereka terkejut sekali karena baik kegesitan mau pun tenaga Cin Hai benar-benar luar biasa, dan membuat mereka menjadi gentar! Bo Lang Hwesio menjadi penasaran oleh karena belum pernah dia melihat seorang yang masih begini muda dapat memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka dia kemudian mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan ilmu kepandaian untuk menghadapi Cin Hai seorang diri dan pertempuran berjalan seru dan hebat!

Tak lama kemudian sampailah Lin Lin di tempat pertempuran dan begitu melihat bahwa yang sedang bertempur dengan Cin Hai adalah hwesio tua yang telah dikenalnya sebagai guru Boan Sip, dia segera berteriak keras, “Hai-ko, iblis tua itu adalah Bo Lang Hwesio, suhu dari Boan Sip yang jahat!”

Cin Hai terkejut sekali dan tanpa terasa ia melompat mundur. Juga Bo Lang Hwesio yang melihat Lin Lin, segera bertanya, “Apakah kau yang bernama Kwee Lin dan yang telah membunuh muridku?”

“Benar!” Lin Lin menjawab tanpa merasa takut sedikit pun juga. “Aku dan Ma Hoa sudah menghancurkan kepala Boan Sip, kau mau apa?”
“Celaka dan sungguh sayang,“ Ke Ce yang juga berhenti sebentar dan bersama Yousuf memperhatikan percakapan mereka, tiba-tiba berkata, “Mengapa musuh-musuhmu begini cantik-cantik seperti bidadari, Bo Lang Suhu? Celaka, celaka dan sayang sekali!”
“Anak muda!” berkata Bo Lang Hwesio kepada Cin Hai. “Kau mendengar sendiri bahwa Nona itu adalah pembunuh muridku, karena itu janganlah kau turut campur. Biarkan aku bertempur mengadu jiwa dengan dia!” Ucapan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia merasa jeri terhadap Cin Hai yang lihai.

Akan tetapi sambil tersenyum, Cin Hai menjawab, “Bo Lang Hwesio, ketahuilah bahwa kalau kiranya aku bertemu dengan muridmu itu, aku pun tentu akan membunuhnya untuk yang kedua kalinya! Muridmu adalah pembunuh keluarga nona ini, dan kebetulan sekali ibu nona ini adalah bibiku pula! Muridmu sudah membunuh keluarganya dan dia telah membalas dan membunuh muridmu yang murtad itu, bukankah ini sudah pantas? Kalau sekarang kau hendak membela murid jahat itu, maka banyak kemungkinan semua orang akan menuduh bahwa kaulah orangnya yang salah dalam mendidik murid itu! Peribahasa menyatakan bahwa pohon yang tidak sehat menghasilkan buah yang masam, itu berarti bahwa guru yang buruk tentu menjadikan muridnya jahat pula.”

Merahlah muka Bo Lang Hwesio mendengar ini karena marahnya.

“Jangan banyak cakap, kalau kau mau membela perempuan ini, pinceng pun tidak takut!”
“Hai-ko, biarlah aku melawan sendiri pendeta siluman ini dengan pedangku!” seru Lin Lin.

Dan Cin Hai yang maklum bahwa gadis ini tentu hendak mencoba Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut yang baru dipelajarinya, segera berpikir bahwa baik juga membiarkan gadis itu mencoba ilmu pedangnya karena dia telah memberi latihan ginkang dan lweekang. Akan tetapi oleh karena ilmu pedang itu baru saja dipelajari sehingga tentu saja belum matang dan sempurna ia lalu berkata,
“Baik, Moi-moi, kau lawanlah dia, bila dia terlalu berat bagimu, baru aku yang akan turun tangan!”

Dengan seruan garang, Lin Lin lalu maju menerjang dengan pedang Han-le-kiam. Ketika mencipta ilmu pedang ini, Lin Lin yang berwatak jenaka dan gembira itu sudah memberi nama pada tiap jurus dan gerakan bersama dengan Cin Hai. Maka muncullah sebutan-sebutan aneh dan lucu dalam tiap gerakan yang hanya dikenal dan dimengerti oleh Lin Lin dan Cin Hai.

Ada gerak tipu-gerak tipu yang diberi nama Cin-hai Kwa-houw atau Cin Hai Menunggang Harimau, ada Pula Lin-lin Chio-cu atau Lin Lin Merebut Mustika, bahkan ada nama Ang-I Lo-be atau Ang I Niocu Turun Dari Kuda.

Ketika dia menerjang maju, dia menggunakan tipu gerakan Lin-lin Chio-cu. Tangan kanan yang memegang pedang menusuk tenggorokan Bo Lang Hwesio, sedangkan tangan kiri bukan diangkat ke belakang sebagai imbangan badan, akan tetapi bahkan melaksanakan serangan pula dengan sebuah gerakan dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na.

Hebatnya Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut ini ialah perkembangan atau perubahannya yang benar-benar tak terduga dan semua serangan hanya merupakan pancingan belaka yang kemudian disusul menurut gerak dan serangan pembalasan lawan.

Maka ketika Bo Lang Hwesio yang menggunakan kedua ujung lengan bajunya mengebut ke arah pedang pendek yang menyambar ke tenggorokan, dan lengan kiri dengan tenaga lweekang sepenuhnya menghantam pergelangan tangan kiri Lin Lin yang mencengkeram dada, tiba-tiba pedang pendek itu sudah meluncur ke bawah mengubah sasaran dan kini bergerak menusuk iga kiri, sedangkan tangan kiri dara itu yang tadi mencengkeram dada ketika hendak dihantam oleh tangan Bo Lang Hwesio, tiba-tiba ditarik mundur dan terus diluncurkan ke atas dengan dua jari terbuka, mengarah kedua mata lawan.

Hwesio itu terkejut bukan main melihat perubahan gerakan yang sekaligus mematahkan serangan atau tangkisannya itu dan yang terus dilanjutkan dengan serangan lainnya. Dia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya yang panjang untuk menangkis dan membelit pedang lawan yang mengarah iga kirinya, sedangkan untuk menghindarkan serangan jari pada matanya, ia menundukkan kepala.

Akan tetapi, kembali Lin Lin merubah gerakannya karena sebelum pedangnya tertangkis dan terlibat oleh ujung lengan baju, pedang itu dengan mengeluarkan suara angin sudah berkelebat dengan belokan indah dan kini melakukan serangan hendak memenggal leher hwesio yang sedang menundukkan kepala itu, sedangkan tangan kiri ditarik dan langsung menyodok perut.

Memang hebat bukan main llmu Pedang Han-le Kiam-sut ciptaan Cin Hai ini. Gerakan-gerakannya demikian cepat dan perubahannya amat tak terduga-duga sehingga tiap kali serangan tak berhasil, lalu disusul dengan gerak serangan lain yang disesuaikan dengan kedudukan atau posisi lawan.

Sungguh sayang bahwa Lin Lin belum mahir dan belum cepat betul dalam menjalankan serangan-serangan sehingga meski pun perubahannya cepat, tetapi semua masih dapat dilihat oleh lawan hingga masih sempat mengelak. Kalau saja yang mainkan itu Cin Hai atau Ang I Niocu yang sudah memiliki kecepatan tubuh yang otomatis dan memiliki gaya gerakan yang tidak sewajarnya hingga dapat membuat gerakan palsu yang tidak terduga, tentu ilmu pedang ini akan merupakan ilmu pedang yang amat sukar dilawan.

Betapa pun juga, Bo Lang Hwesio sudah dapat dibikin bingung dan untuk menghindari serangan-serangan selanjutnya yang bertubi-tubi dan yang seakan-akan otomatis serta timbul dari cara ia menangkis atau pun mengelak itu, dia lalu berseru dan melangkah ke belakang dua tombak lebih jauhnya.

Sesudah jauh dari Lin Lin barulah dia terhindar dari serangan yang bertubi-tubi dan kini dia menghadapi gadis itu dengan hati-hati sekali, lalu maju menyerang dengan cepat, memutar-mutar dua ujung lengan baju bagaikan kitiran angin cepatnya.....

Sementara itu, semenjak tadi Ke Ce hanya berdiri dan memandang dengan kagum, sama sekali lupa kepada Yousuf yang masih berdiri saja karena orang Turki ini tidak akan mau menyerang apa bila tak diserang. Yousuf hanya berdiri dengan tegak sambil memandang pertempuran itu dan ia pun merasa kagum sekali melihat kehebatan ilmu pedang Lin Lin. Karena ia maklum bahwa gadis itu mendapat latihan dan pelajaran dari Cin Hai, maka makin kagum dan hormatlah dia terhadap pemuda itu.

Tiba-tiba melihat betapa Bo Lang Hwesio agaknya tak dapat mengalahkan Lin Lin dalam waktu pendek, Ke Ce yang curang hatinya itu lantas membentak keras dan kedua lengan tangannya mendorong ke arah Lin Lin. Ini adalah Pukulan Angin Taufan yang hebat dan merupakan semacam pukulan khikang yang tinggi tingkatnya di daerah Mongolia Dalam dan yang tak sembarang orang bisa menguasai atau mempelajarinya dengan sempurna. Tenaga khikang Ke Ce sudah hampir sempurna, maka Kwee An sendiri sampai tak dapat menahan serangan ini!

Akan tetapi, kali ini Ke Ce tercengang sekali ketika tiba-tiba saja angin pukulannya yang dahsyat bagaikan tenaga angin taufan itu membalik dan membuat dia sendiri bergoyang-goyang! Ketika dia memandang, ternyata bahwa dari tempat di mana dia berdiri, Cin Hai dengan tubuh setengah membongkok juga mengulurkan dua tangannya dan melakukan gerakan yang sama dengan gerakannya sendiri dan ternyata bahwa tenaga pukulan atau dorongan yang keluar dari kedua lengan anak muda itu lebih kuat sehingga telah berhasil menggempur tenaga dorongannya!

Terbelalak mata Ke Ce memandang oleh karena bagaimana seorang bangsa Han dapat memiliki ilmu mendorong ini? Dia tidak tahu bahwa Cin Hai mengerti semua gerakan ilmu pukulan dan baru melihat gerakan pundak dan lengannya saja, pemuda itu sudah dapat menirunya kemudian pada saat yang tepat telah mengirim kembali tenaga yang tadinya ditujukan dengan maksud merobohkan Lin Lin itu.

“Ehh, jangan main curang, kawan!” kata Cin Hai sambil tersenyum memandang.

Yousuf menjadi marah sekali melihat betapa dengan curangnya Ke Ce sudah menyerang Lin Lin yang masih bertempur ramai melawan Bo Lang Hwesio, maka ia berseru,
“Ke Ce, bila tubuhmu sudah gatal-gatal ingin dipukul, akulah lawanmu!” ia lalu menerjang dengan marah dan hebat hingga Ke Ce terpaksa melayani.

Cin Hai memandang dengan penuh perhatian dan sebentar saja maklumlah dia bahwa meski pun ilmu kepandaian kedua orang ini tidak jauh selisihnya, akan tetapi kepandaian Yousuf masih lebih kuat dan tak perlu dikuatirkan keadaannya. Maka ia lalu memusatkan perhatiannya kepada Lin Lin lagi.

Ia melihat betapa gadis itu dengan garang melakukan serangan, akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio dia kalah pengalaman. Bo Lang Hwesio ternyata gagah sekali dan Cin Hai maklum bahwa apa bila pergelangan tangan Lin Lin kena dikebut oleh ujung lengan baju atau pedang Han-le-kiam dilibat, tentu Lin Lin akan kalah dan mendapat celaka.

Baru saja dia berpikir demikian, tiba-tiba saja dengan membentak keras Bo Lang Hwesio menyerang dengan telapak tangan dimiringkan memukul leher gadis itu dan pada waktu Lin Lin dengan lincahnya berkelit, tiba-tiba ujung lengan baju hwesio yang kosen itu telah berhasil melibat ujung pedang Han-le-kiam. Lin Lin berusaha mencabutnya, tapi pedang itu seakan-akan telah melengket pada lengan baju dan tidak dapat ditarik kembali.

Cin Hai berseru keras, dan sekali tubuhnya berkelebat dia dapat mengirim serangan ke arah leher hwesio itu yang cepat mengangkat tangan yang tadinya dipakai memukul leher Lin Lin untuk menangkis karena sudah tidak ada jalan lain lagi baginya untuk mengelak. Pada saat kedua lengan tangan mereka beradu, Bo Lang Hwesio mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, maka ketika Lin Lin menarik pedangnya…..

“Brettt!” sobeklah ujung lengan bajunya! Sedangkan tubuhnya menjadi terhuyung mundur ketika tenaga Cin Hai yang luar biasa mendorongnya dari pertemuan lengan itu!
“Hebat!” serunya sambil meloncat mundur kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Aku yang tua dan lemah tak kuat melawan terus, biar lain kali bertemu pula! Ke Ce hayo kita pergi!” teriaknya kepada kawannya yang sementara itu telah didesak hebat oleh Yousuf!
“Sampai lain kali!” kata Ke Ce.

Pada saat itu juga tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik empat kali di udara dan turun melayang ke tempat agak jauh hingga tentu saja kegesitan ini membuat Yousuf dan yang lain-lainnya merasa kagum sekali. Memang sungguh hebat gerakan tadi dan jarang dapat dilakukan oleh orang yang ilmu ginkang-nya belum tinggi! Setelah kedua orang itu berlari turun gunung dengan cepat, Yousuf lalu menceritakan bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terdorong masuk ke dalam jurang!

“Celaka!” kata Cin Hai dan Lin Lin yang segera berlari ke pinggir jurang dan menjenguk.

Lin Lin menjerit ngeri dan menangis sedih ketika melihat betapa jurang itu dalamnya tak terkira hingga tidak kelihatan dasarnya! Cin Hai menggeleng-gelengkan kepala.

“Ayah, kenapa tidak semenjak tadi kau memberitahu?” kata Lin Lin sambil menangis dan membanting-banting kaki dengan gemasnya. “Kalau tadi aku tahu, tentu aku tidak akan melepaskan dua binatang kejam dan busuk itu!”

Juga Cin Hai merasa kecewa karena kalau dia tahu bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terbinasa dan terlempar ke dalam jurang oleh kedua orang tadi tentu dia juga tidak akan melepas mereka! Yousuf merasa menyesal sekali dan merasa bahwa ia telah lupa sama sekali untuk menceritakan hal itu.

“Biar aku mencari mereka di dalam jurang!” kata Yousuf yang lalu berlari secepat terbang ke rumahnya. Tidak lama kemudian dia kembali lagi membawa segulung tambang yang panjang sekali.
"Peganglah ini, Cin Hai, aku hendak turun dan mencari Kwee An dan Ma Hoa,” katanya sambil memberikan tambang itu kepada Cin Hai.
“Jangan, Yo-pe-peh, biar aku saja yang turun. Kau dan Lin Lin yang memegang tambang itu!” kata Cin Hai.
“Biarkanlah aku yang turun,” kata pula Yousuf dan tiba-tiba dari kedua mata orang tua ini mengalir turun air mata!

Lin Lin dan Cin Hai maklum bahwa orang tua ini merasa bersalah sekali dan dia merasa demikian menyesal sehingga sekarang ia hendak menebus kesalahannya dan ingin turun mencari mereka yang jatuh ke dalam jurang.
Lin Lin merasa sangat terharu dan lalu menubruk dan memeluk pundak ayah angkat itu, “Ayah... maafkanlah kami berdua... kami tidak menyalahkan kau. Ayah... biarkan Hai-ko saja yang turun.”

“Benar, Yo-peh-peh, kau sudah tua dan aku yang muda lebih bertanggung jawab akan tugas berat ini. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini dan soal kedua orang bangsat kecil itu, biar lain kali kita mencari mereka untuk membalas dendam!!”

Akhirnya Yousuf menurut juga dan tambang yang panjang itu lalu dilempar ke bawah dan ujungnya dipegang oleh Yousuf serta Lin Lin. Akan tetapi ternyata bahwa tambang yang panjangnya tak kurang dari seratus kaki itu masih bergoyang-goyang, yang menandakan bahwa tambang itu belum mencapai dasar jurang! Lin Lin bergidik dan ngeri.

“Alangkah dalamnya!” katanya dengan bibir gemetar.
“Di rumah sudah tidak ada tambang lagi,” kata Yousuf yang juga pucat wajahnya.
“Biarlah, sebegini juga cukuplah. Biar aku turun sampai di ujung tambang dan melihat apa yang berada di bawahnya,” Cin Hai berkata. “Peganglah tambang kuat-kuat!”

Pemuda itu melangkah ke pinggir jurang dan tiba-tiba Lin Lin memegang lengannya. Cin Hai menengok.

“Ko-ko... hati-hatilah kau...”

Cin Hai tersenyum dan meraba dagu gadis itu, kemudian dia segera turun ke bawah menyusur tambang. Karena dia telah memiliki kepandaian ginkang yang sempurna, maka mudah saja dia merayap melalui tambang itu. Ternyata bahwa tebing itu tinggi sekali dan di bawahnya tertutup oleh awan atau halimun tebal hingga keadaannya gelap benar.

Sesudah kedua kakinya merasa sudah tiba di ujung tambang paling bawah, Cin Hai lalu meraba-raba dengan kaki dan ternyata memang benar bahwa tambang itu masih dalam keadaan tergantung di udara dan belum sampai ke tanah. Ia lalu mengayun tubuhnya ke depan sehingga tambang itu ikut terayun.

Tubuhnya terayun-ayun beberapa kali, makin lama semakin keras dan akhirnya dia dapat menyentuh tanah di depannya. Ternyata bahwa tanah itu bukan batu karang yang keras, dan ditumbuhi rumput dan pohon kecil. Akan tetapi karena tanah itu letaknya tegak lurus ke arah atas, tentu saja tidak mungkin baginya untuk mendarat di sana. Dia berkali-kali memejamkan mata dan membukanya lagi untuk dapat membiasakan mata itu menembus halimun. Kemudian matanya memandang ke sekelilingnya mencari-cari.

Baik Cin Hai mau pun Lin Lin dan Yousuf sama sekali tidak pernah menyangka atau pun menaruh curiga terhadap Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya kedua orang itu masih belum pergi dari situ. Memang benar bahwa mereka sudah lari turun gunung, akan tetapi tiba-tiba Ke Ce berhenti berlari dan berkata perlahan, “Bo Lang Suhu, mari kita kembali ke atas!”

“Apa kau gila?” seru Bo Lang Hwesio yang tak dapat menangkap maksudnya,
“Dara manis itu... ia cantik jelita dan ia musuhmu, bukan? Kalau saja kita bisa menyergap dia, tanpa bantuan Yousuf dan pemuda lihai itu, kita berdua masa tak dapat menangkap dia?” Sambil berkata demikian, sepasang mata Ke Ce yang cerdik itu berputar-putar dan mulutnya tersenyum.

Untuk beberapa lama Bo Lang Hwesio tertegun karena merasa malu dan rendah untuk melakukan hal ini. Akan tetapi menghadapi mereka bertiga yang tangguh, sampai kapan dia dapat membalas sakit hati muridnya terhadap Lin Lin? Akhirnya dia menganggukkan kepalanya yang gundul. Mereka berdua dengan berindap-indap dan sembunyi-sembunyi lalu naik lagi ke atas bukit.

Pada saat mereka tiba di tempat itu sambil mengintai dan bersembunyi di balik pohon, Cin Hai masih berada di bawah dan ujung tambang masih dipegang oleh Yousuf dan Lin Lin. Bukan main girang hati Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Sambil tertawa dan membentak keras mereka berdua keluar dari tempat persembunyian mereka, dan lari cepat ke arah Yousuf dan Lin Lin yang masih memegang tambang di mana tubuh Cin Hai bergantung di bawah.

Tidak perlu diceritakan lagi alangkah terkejut hati Yousuf dan Lin Lin melihat kedatangan mereka. Keduanya memandang dengan wajah pucat sekali dan merasa bahwa sekarang mereka berdua berikut Cin Hai, pasti akan binasa.

“Pegang tambang itu kuat-kuat, aku melawan mereka mati-matian,” kata Yousuf.

Lin Lin lalu memegang tambang itu seorang diri dengan sekuat tenaga karena biar pun sesungguhnya tenaganya sudah lebih dari cukup untuk memegang ujung tambang yang digantungi tubuh kekasihnya, akan tetapi oleh karena merasa takut kalau-kalau tambang itu terlepas dari tangan dan ngeri memikirkan nasib Cin Hai kalau terjadi hal demikian, maka dia lalu memegangnya erat-erat, seakan-akan nyawanya sendiri yang tergantung di ujung tambang itu.

Yousuf yang tadi ketika mengambil tambang juga mengambil pedangnya, lalu mencabut pedang itu dan menyambut mereka sambil berlari agar pertempuran dapat dilakukan di tempat yang jauh dari Lin Lin. Akan tetapi, Bo Lang Hwesio dan Ke Ce yang hendak bertindak cepat, lalu menerjang dengan hebat hingga sebentar saja Yousuf terkurung dan terdesak hebat sekali.

Sementara itu, Cin Hai yang tidak tahu apa-apa tentang peristiwa yang sedang terjadi di atas, masih mencari-cari dengan matanya. Ketika dia menggunakan ketajaman matanya menembus halimun tebal dan melihat ke bawah, ia hanya melihat warna putih kebiruan yang bergerak-gerak di bawah kakinya, jauh di bawah. Dia menduga bahwa itu mungkin juga daun-daun pohon.

Cin Hai lalu mencari akal, dan ketika tangannya menyentuh akar-akar serta daun pohon kecil, ia segera memegang akar pohon itu kuat-kuat dan sambil menggantungkan kedua kakinya pada akar pohon, dia lalu mempergunakan kedua tangan untuk mengikat ujung tambang itu pada pinggangnya. Dengan demikian, dia mulai mencari-cari ke kanan-kiri sambil merayap dan berpegangan pada akar-akar pohon tanpa takut terpeleset atau akar itu patah, karena pinggangnya telah terikat tambang.

Pada waktu Lin Lin memandang dengan berdebar cemas betapa Yousuf terkurung hebat oleh dua orang musuh yang tangguh itu tiba-tiba ia mendengar suara di atas kepalanya. Alangkah girangnya karena melihat Merak Sakti terbang berkeliling di atasnya.

“Kong-ciak-ko, lekas tolong Ayah!” teriak Lin Lin dengan keras.

Merak Sakti menyambar turun bagaikan tahu akan perintah Lin Lin, dan juga berkat rasa kesetiaannya timbul melihat Yousuf dikeroyok, lalu dia menyambar ke arah Ke Ce sambil memekik keras!

Ke Ce terkejut sekali ketika melihat bayangan kuning kebiru-biruan menyambar turun dari angkasa ke arah kepalanya. Ia cepat mengelak dan mengeluarkan keringat dingin ketika patuk merak yang kecil merah serta tajam itu meluncur di dekat kepalanya, hampir saja berhasil mematuk matanya! Saat Merak Sakti menyambar lagi, ia cepat mengulur tangan dengan gerakan Eng-jiauw-kang untuk mencengkeram dan menangkap leher merak yang bagus itu.

Akan tetapi merak itu bukan burung sembarang burung, melainkan peliharaan orang sakti dan telah menerima latihan-latihan sehingga dia menjadi seekor merak sakti. Menghadapi serangan ini, dia tak menjadi gentar dan sambil terbang ia mengebut tangan yang hendak mencengkeramnya itu dengan sayap.

“Blekkk!”

Ke Ce hampir saja mengeluarkan pekik karena tangannya yang terpukul sayap itu terasa sakit dan pedas. Ternyata bahwa kebutan sayap merak itu mengandung tenaga yang bukan main besarnya! Ke Ce menjadi marah sekali dan mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan untuk mendorong jauh merak yang lihai itu.

Akan tetapi Merak Sakti yang agaknya sudah maklum pula akan kelihaian pukulan yang mendatangkan angin ini sehingga setiap kali Ke Ce memukul, dia selalu mengelak cepat. Betapa pun juga, serangan-serangan Ke Ce dengan ilmu pukulan ini membuat merak itu tak berdaya untuk menyerangnya.

Biar pun kini hanya menghadapi seorang lawan saja, namun oleh karena kepandaian Bo Lang Hweso lebih tinggi dari pada kepandaiannya, tetap saja Yousuf terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya! Lin Lin mengeluarkan keringat dingin ketika melihat betapa bantuan Sin-kong-ciak tetap belum dapat menolong ayah angkatnya, bahkan kini merak itu hanya berani terbang berputaran di atas kepala Ke Ce oleh karena tadi hampir saja pukulan Angin Taufan orang mongol itu mengenai dadanya!

Lin Lin mulai menarik-narik tambang membetot-betot untuk memberi tanda kepada Cin Hai. Tiba-tiba saja dia merasa tambang itu dikedut dari bawah, tanda bahwa Cin Hai telah merasa akan isyarat yang dia berikan dan kini membalas dengan kedutan seakan-akan hendak bertanya.

“Hai-ko... lekas kau naik...!” Lin Lin berteriak ke arah bawah tebing, akan tetapi suaranya ditelan halimun dan tak dapat menembus ke bawah.

Ia berteriak berkali-kali dan Ke Ce yang melihat hal ini, segera melompat ke arahnya! Lin Lin segera menggunakan tangan kiri untuk menahan tambang, ada pun tangan kanannya cepat mencabut pedangnya! Dia hanya berdiri dengan mata tajam menentang Ke Ce dan pedangnya siap di tangan kanan. Tekadnya hendak melawan mati-matian dan apa bila ia kalah, dia tetap takkan melepaskan tambang itu dan bersedia melompat ke dalam tebing menyusul kekasihnya!

Sementara itu, pada saat melihat betapa Ke Ce menghampiri Lin Lin, Sin-kong-ciak lalu berteriak-teriak nyaring dan mulai menyambar kepala Ke Ce lagi! Ke Ce segera memukul, memaksa merak itu mengelak dan kembali terbang ke atas dengan jeri. Ke Ce tertawa menyeringai dan menghadapi Lin Lin sambil berkata,
“Nona manis, kau lepaskan saja tambang itu dan kau ikut aku pergi ke…”

Pada saat itu, Sin-kong-ciak menyambar lagi dan mencakar ke arah mukanya sehingga terpaksa Ke Ce mengelak dan tak melanjutkan ucapannya terhadap Lin Lin.

“Burung celaka!” makinya. “Burung bedebah! Apa bila aku berhasil menangkapmu, akan kupanggang dagingmu sampai gosong!”

Tetapi Merak Sakti itu hanya terbang berkeliling di atas kepalanya sambil mengeluarkan pekik nyaring berkali-kali. Pekik inilah yang kemudian terdengar oleh Cin Hai dan yang membuat pemuda itu menjadi curiga, terlebih lagi karena dia merasa betapa tambang itu berkali-kali ditarik dari atas. Dengan cepat Cin Hai lalu mulai memanjat tambang itu untuk naik kembali ke atas oleh karena penyelidikannya tidak menghasilkan sesuatu.

Sementara itu, berkat sambaran-sambaran yang dilakukan oleh Sin-kong-ciak, Ke Ce tak mendapat kesempatan untuk mengganggu Lin Lin, karena apa bila ia telah usir merak itu dengan pukulan Angin Taufannya dan ia menghampiri Lin Lin, gadis itu telah siap dengan pedangnya yang tidak boleh dipandang ringan biar pun gerakannya tidak leluasa karena tangan kiri memegang tambang.

Sebelum Ke Ce dapat bertindak lebih jauh, merak itu sudah turun menyambar lagi hingga pemuda Mongol ini menjadi marah benar-benar. Lin Lin yang merasa gugup dan cemas melihat keadaan Yousuf dan keadaannya sendiri, beberapa kali berseru,
“Hai-ko, lekas... lekas keluar...!”

Mendengar ini dan melihat betapa tambang di tangan Lin Lin bergoyang-goyang, Ke Ce menjadi takut. Hanya Cin Hai saja yang dia takuti, maka kini menduga bahwa pemuda itu akan segera muncul, dia lalu angkat kaki lebar sambil mengajak Bo Lang Hwesio,

“Bo Lang-Suhu, lekas pergi!”

Sementara itu, Yousuf telah beberapa kali terkena sampokan ujung lengan baju Bo Lang Hwesio yang sangat lihai, bahkan pukulan terakhir yang mengenainya telah menghantam pundak dekat leher yang membuat dadanya terasa sesak dan sakit. Akan tetapi berkat ilmu lweekang-nya yang sudah tinggi, ia dapat mengumpulkan tenaga dan masih dapat melawan dengan gigih!

Bo Lang Hwesio merasa heran sekali melihat keuletan orang Turki ini, karena pukulan-pukulan ujung lengan bajunya tadi biasanya cukup untuk membinasakan seorang lawan gagah dengan sekali pukul saja. Kakek Turki ini telah empat kali menerima pukulannya dan masih saja kuat melakukan perlawanan! Diam-diam dia merasa kagum dan gentar juga. Apakah kakek ini memiliki ilmu kekebalan yang hebat?

Karena hatinya sudah gentar, maka ketika Ke Ce melarikan diri dan mengajak dia untuk kabur, ia lalu meloncat jauh dan mengejar kawannya itu, lari turun gunung dengan cepat. Dan kali ini mereka benar-benar lari dari atas gunung itu karena takut akan pembalasan Cin Hai!

Ketika Cin Hai sudah mendarat dan berada di atas tebing, dia menjadi terkejut sekali melihat Lin Lin memegang ujung tambang dengan pedang di tangan kanan dan air mata gadis itu mengalir di kedua pipi. Ketika ia memandang ke arah Yousuf, ia segera berseru kaget karena kakek itu roboh tak sadarkan diri!

Keduanya lalu berlari menghampiri dan sambil memeriksa keadaan luka-luka pada tubuh Yousuf, Cin Hai mendengar keterangan Lin Lin dengan mata berapi dan muka merah.

“Keparat betul dua bangsat rendah itu!” katanya sambil mengertak gigi. “Alangkah curang dan rendahnya perbuatan mereka!”

Cin Hai agak lega melihat bahwa biar pun Yousuf mendapat luka-luka yang hebat, namun tenaga dalam kakek itu sudah cukup kuat untuk melindungi jantung serta paru-parunya sehingga tidak sampai menderita luka. Akan tetapi ia memerlukan rawatan teliti dan lama sebelum dapat sembuh sama sekali. Kemudian dia lalu memondong tubuh Yousuf dan bersama Lin Lin dia kembali ke rumah untuk segera memberi pertolongan kepada orang Turki itu.

Sesudah mendapat urutan dan pencetan pada jalan darahnya, kakek itu siuman kembali dan ia lalu tersenyum melihat bahwa Lin Lin dan Cin Hai masih selamat dan berada di dekatnya!

“Lain kali akan kubalas dia...,” katanya lemah.

Kemudian Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mencari-cari jejak kedua kawan yang terjatuh ke dalam tebing.

“Halimun terlalu tebal dan tebing itu terlalu dalam hingga sukar untuk melihat nyata. Akan tetapi oleh karena tebing itu merupakan lereng gunung, aku akan mencoba untuk mencari dari kaki gunung dan hendak memanjat ke atas pada tempat itu. Mudah-mudahan saja Thian Yang Maha Kuasa melindungi mereka berdua!”

Tiba-tiba Lin Lin menepuk jidatnya dengan perlahan. “Ahh... mengapa kita begitu bodoh? Kong-ciak-ko tentu dapat mencari mereka.”

Mendengar ini, Cin Hai dan Yousuf girang sekali karena mereka juga berpendapat bahwa burung merak itu tentu saja dapat mencari mereka.

“Pergilah kalian segera membawa Sin-kong-ciak dan suruh burung itu mencari Kwee An dan Ma Hoa. Lekas!” kata Yousuf dengan suara gembira.

Lin Lin dan Cin Hai lalu berlari-lari keluar dan Lin Lin bersuit memanggil burung merak yang segera terbang datang.

“Kong-ciak-ko, mari kau ikut kami!” katanya sambil berlari cepat kembali ke tebing tadi. Burung merak itu mengeluarkan suara girang dan terbang mengikuti di atas mereka.

Sesudah tiba di tebing Lin Lin lalu memberi tanda dengan tangannya, menyuruh burung merak itu turun. Kemudian, sambil menunjuk ke bawah tebing, Lin Lin berkata,

“Kong-ciak-ko, kau dengarlah baik-baik! Kwee An dan Ma Hoa hilang di bawah sana, kau carilah mereka sampai dapat!” Sesudah mengulangi perintah ini sampai beberapa kali, tiba-tiba merak itu lalu memekik girang dan segera terbang ke bawah tebing. Ternyata ia telah dapat menangkap maksud perintah tadi!

Lin lin merasa begitu tegang dan gembira sehingga dia memegang tangan Cin Hai dan keduanya lalu berdiri menanti di pinggir tebing dengan wajah agak tegang dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya hati dua anak muda ini yang berdebar-debar dan bersama-sama berdoa semoga burung merak itu akan dapat menemukan kedua kawan mereka dan kembali sambil membawa berita baik!

Lama sekali mereka menanti dan tiba-tiba saja mereka mendengar merak itu memekik di sebelah bawah. Dan bukan main heran hati mereka karena pekik merak itu adalah pekik kemarahan, seperti biasanya dikeluarkan apa bila dia menghadapi seorang lawan! Merak itu memekik berkali-kali, dan dengan wajah pucat Lin Lin bertanya kepada Cin Hai,

“Siapakah gerangan yang membuat Kong-ciak-ko demikian marah?”

Cin Hai juga tak bisa menduga dan hanya menjenguk ke bawah yang terlihat putih pekat tertutup halimun itu dengan penuh perhatian dan harap-harap cemas.

Sesudah terdengar pekik merah itu beberapa kali lagi, lalu di bawah menjadi sunyi, sunyi yang makin menggelisahkan hati kedua teruna remaja itu. Tiba-tiba saja terdengar bunyi pukulan sayap merak itu, lantas muncullah Sin-kong-ciak menembus halimun, terbang ke atas dan langsung mendarat di dekat Lin Lin.

Dia mengangguk-anggukkan kepala sambil mengeluarkan keluhan-keluhan aneh. Ketika Cin Hai dan Lin Lin memandang, ternyata bahwa pada kaki merak itu sudah terlibat oleh seutas tali hijau yang ternyata terbuat dari pada semacam akar pohon. Tali itu di bagian depan mengikat sepotong batu karang kecil yang agaknya digunakan untuk disambitkan sehingga tali dapat melibat kaki Merak Sakti.

Tentu saja ilmu kepandaian melempar tali dengan batu karang ini yang dapat melibat kaki Merak Sakti, menunjukkan bahwa pelemparnya tentulah seorang luar biasa. Jangankan tali itu sampai dapat melibat kaki Merak Sakti yang lihai dan pandai mengelak, sedangkan untuk menangkap burung biasa dengan cara aneh itu pun agaknya tidak akan mudah dilakukan oleh sembarang orang! Dan yang membuat kedua anak muda itu merasa heran adalah sepotong kertas yang berada di ujung tali itu.

Cin Hai cepat-cepat mencabut kertas itu dan ternyata bahwa di situ terdapat tulisan yang dilakukan dengan corat-coret kasar dan berbunyi,

Pergilah kalian dan pelihara Merak ini baik-baik. Kalau ada jodoh, kelak bertemu.

“Aneh...“ kata Cin Hai, “tulisan siapakah ini dan apa pula maksudnya? Apa hubungannya dengan Kwee An dan Ma Hoa?”

Lin Lin yang membaca surat itu berkali-kali, juga tidak mengerti dan hanya memandang dengan bengong. “Tentu di sebelah bawah yang penuh rahasia itu ada seorang yang luar biasa pandai,” katanya, “dengan batu dia mampu membelitkan tali bersurat kepada kaki Kong-ciak-ko dan ia dapat mengetahui pula keadaan kita berdua di sini. Sungguh heran dan ajaib!”

Sekali lagi Cin Hai membaca surat itu dengan teliti. “Dengan kata-kata pergilah kalian, orang aneh itu sudah mengetahui bahwa kita berdua berada di sini dan menyuruh pergi, tentu karena kedua orang saudara kita itu selamat. Ia menyuruh kita memelihara merak baik-baik karena agaknya ia kagum dan suka sekali kepada merak ini, ada pun kata-kata bila ada jodoh kelak bertemu merupakan ucapan yang biasa dilakukan oleh pertapa atau orang-orang tua yang sakti. Ini hanya dugaanku saja, terutama mengenai keselamatan Kwee An dan Ma Hoa, aku sendiri belum dapat memastikan benar.”

Mereka lalu kembali ke rumah Yousuf dan menceritakan kejadian itu sambil menunjukkan surat itu. Yousuf juga merasa heran, akan tetapi dia berkata dengan suara mengandung penuh harapan, “Orang yang mengirim surat secara aneh ini tentu seorang pandai dan kalau dia dapat mengetahui keadaan kalian di atas tebing, tentu dia tahu pula apa yang kalian cari. Maka menurut dugaanku, Kwee An dan Ma Hoa tentu tertolong olehnya!”

“Akan, tetapi, kalau benar demikian halnya, mengapa dia tidak menyuruh An-ko dan Ma Hoa kembali ke sini?” tanya Lin Lin.

Yousuf menggeleng-gelengkan kepala dan memejamkan matanya sebab pembicaraan ini biar pun dilakukan sambil berbaring, tapi cukup melelahkan tubuhnya yang lemah. Yousuf ialah seorang perantau yang banyak pengalaman dan ia mengerti pula cara pengobatan, maka ia dapat merawat luka-lukanya sendiri.

Semenjak terjadinya peristiwa yang menguatirkan itu, yaitu lenyapnya Kwee An dan Ma Hoa serta terlukanya Yousuf, Cin Hai lalu menggembleng Lin Lin lebih rajin dan tekun lagi sambil memberi nasehat agar supaya gadis kekasihnya itu melatih diri baik-baik siang dan malam karena Cin Hai hendak meninggalkannya.

“Kau harus dapat menguasai Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut beserta kedua Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na baik-baik untuk menjaga dari bahaya mendatang, sebab aku harus meninggalkan kau dan Yo-peh-peh beberapa lama untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa. Hatiku takkan tenteram sebelum dapat menemukan mereka,” katanya.

Lin Lin juga menyatakan setuju. Tentu saja ia ingin sekali ikut akan tetapi keadaan Yousuf yang rebah dengan tubuh masih amat lemah dan belum sembuh lukanya itu memerlukan tenaga bantuan dan rawatannya sehingga ia merasa tidak tega untuk meninggalkan ayah angkatnya yang dikasihinya itu. Demikianlah, sejak saat itu mereka berlatih siang malam tanpa kenal lelah sehingga setelah digembleng secara demikian untuk sebulan lamanya, Cin Hai menjadi puas sekali.

“Lin-moi,” katanya girang setelah ia mencoba melawan Lin Lin dan mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu kini benar-benar sudah hebat sekali. “Sekarang, biarlah Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, bahkan biarlah mereka itu membawa dua tiga orang kawan lagi. Dengan adanya kau di sini, seorang diri saja engkau akan sanggup memukul roboh mereka semua.”
“Benarkah itu, Koko? Menurut pendapatku sendiri, kepandaianku masih sama saja.”

Cin Hai tersenyum “Memang demikianlah adanya. Kemajuan sendiri pasti takkan pernah terasa atau terlihat oleh diri sendiri, orang lain yang bisa menentukannya. Makin pandai seseorang ia akan makin merasa dirinya bodoh. Kau ingat akan nama guru kita? Bu Pun Su, artinya Tiada Kepandaian! Suhu yang ilmunya telah mencapai puncak kesempurnaan itu, bahkan mengaku bahwa beliau tak memiliki kepandaian sama sekali. Kepandaianmu sekarang telah berlipat beberapa kali kalau dibandingkan dengan sebulan yang lalu. Jika kau tidak percaya, mari kita tanyakan kepada Yo-pekhu.”

Keduanya lalu mendatangi Yousuf yang berangsur sembuh dan kini telah dapat duduk.

“Yo-pekhu, coba kau lihat ilmu pedang Lin Lin dan nyatakan pendapatmu!” kata Cin Hai.

Yousuf tersenyum sambil mengangguk-angguk dan Lin Lin lantas bersilat dengan pedang pendeknya di depan Yousuf. Pedang pendek Han-le-kiam menyambar-nyambar sehingga merupakan sinar putih kebiru-biruan berkelebat di sekeliling tubuh Lin Lin yang laksana menari-nari dengan gaya indah.

Walau pun pedang itu pendek saja, namun sinarnya seakan-akan menjadi senjata yang panjang hingga dapat dibayangkan bahwa gerakan pedang itu cepat sekali. Yang hebat ialah bahwa tangan kiri Lin Lin tak tinggal diam, akan tetapi membarengi gerakan tangan kanan yang memegang pedang pendek dan melakukan serangan pula sambil mainkan jurus-jurus yang lihai dan aneh dan Ilmu Silat Pek-in Hoatsut dan Kong-ciak Sin-na.

Setelah ia berhenti mainkan ilmu pedangnya, ia lalu memandang ke arah ayah angkatnya itu dengan mata mengandung pertanyaan. Yousuf menarik napas panjang karena tadi ia seperti menahan napas karena kagumnya.

“Ah, sungguh sulit dipercaya bahwa kepandaian ini baru kau pelajari beberapa puluh hari saja. Terus terang saja, kini aku sendiri belum tentu kuat menghadapimu dalam sepuluh jurus. Kau hebat, anakku dan terima kasih kepada Cin Hai yang telah mendidikmu.”

Cin Hai tersenyum girang, lalu menjura sambil berkata, “Terima kasih itu tak seharusnya ditujukan kepadaku, Yo-pekhu, akan tetapi kepada Suhu Bu Pun Su. Sekarang aku akan turun gunung hendak mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Dengan kepandaian Lin Lin sekarang, aku dapat meninggalkan kalian berdua dengan hati tenteram. Lin-moi, harap kau jangan malas untuk melatih diri selama aku pergi.”

Lin Lin mengerling tajam. “Apakah memang aku biasanya malas? Koko, jangan terlalu lama pergi!”
“Mana aku kuat meninggalkan kau terlalu lama?”

Kemudian, sesudah sekali lagi memandang kepada Lin Lin dan menjura kepada Yousuf, Cin Hai lalu melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan kedua orang itu.

“Lin Lin, kau tentu bahagia sekali mendapat jodoh seperti Cin Hai,” kata Yousuf dengan suara gembira.
Lin Lin tidak menjawab, hanya menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi pembaringan Yousuf sambil tersenyum dan pandang matanya melayang jauh dalam lamunan...

Selanjutnya baca
PENDEKAR BODOH : JILID-13
LihatTutupKomentar