Pendekar Remaja Jilid 01
Kota Shaning terletak di lembah Sungai Yang-ce yang mengalir melalui Propinsi An-hui. Kota ini cukup besar dan penduduknya padat terbukti dari bangunan-bangunan rumah yang berhimpit-himpitan. Berbeda dengan tempat-tempat di sekitar lembah Sungai Huai yang juga mengalir melalui Propinsi An-hui dan yang sering kali membanjiri kanan kirinya, lembah di sekitar Sungai Yang-ce amat subur dan makmur.
Demikian pula keadaan kota Shaning. Kemakmuran kota ini terpancar keluar dan dapat dilihat dari seri wajah para penduduknya. Di sepanjang Sungai Yang-ce nelayan-nelayan melakukan pekerjaan mereka sambil bernyanyi gembira, juga petani-petani mengerjakan sawah ladang dengan giat dan muka berseri-seri, yakin akan hasil tanah yang diolahnya, para penggembala menghalau hewan ternaknya dengan perasaan ayem dan hati senang sambil memperdengarkan suara suling bambunya di kala mereka duduk di bawah pohon memandang dan menjaga hewan-hewan yang sedang makan rumput yang hijau segar. Juga di dalam kotanya sendiri jelas nampak kemakmuran dengan banyaknya pedagang-pedagang yang menjual kebutuhan penduduk dengan harga murah.
Pembesar-pembesar setempat melakukan tugas mereka dengan sangat baik, jujur, dan adil, berbeda sekali dengan sebagian besar petugas yang mempergunakan kedudukan dan kekuasaan mereka untuk menghisap rakyat dan memenuhi kantung mereka sendiri. Hal ini tidak terjadi karena kebetulan saja pejabat-pejabat di Shaning adalah orang-orang yang baik budi, akan tetapi terutama sekali karena pengaruh seorang pendekar besar yang bertempat tinggal di koti Shaning.
Pendekar inilah yang membuat para pembesar merasa takut untuk bertindak tidak adil atau memeras rakyat. Bahkan dengan adanya pendekar ini, maka daerah di sekitar kota Shaning menjadi aman sekali. Tak ada seorang pun perampok yang berani mengganggu daerah ini.
Memang tidak mengherankan apa bila para petualang dari kalangan Hek-to (jalan hitam atau dunia penjahat) tidak berani melakukan kejahatan di daerah itu, karena pendekar ini bukan lain adalah Sie Cin Hai, yaitu pendekar berilmu tinggi yang telah membuat gempar seluruh dunia persilatan dan kelihaiannya telah diakui oleh para tokoh persilatan di empat penjuru.
Di samping pendekar ini yang di kalangan kang-ouw mendapat nama julukan Pendekar Bodoh, juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang tidak kurang-kurang lihainya, karena isterinya ini adalah bekas sumoi-nya (adik seperguruan) sendiri, yang selain lihai ilmu silatnya, juga amat cantik jelita.
Di samping sepasang suami isteri yang tinggi ilmu kepandaiannya itu, masih ada lagi seorang yang juga amat disegani, yakni ayah angkatnya Nyonya Sie yang bernama Yo Se Fu. Melihat warna kulitnya dan potongan mukanya, orang akan menduga bahwa Yo Se Fu ini bukanlah seorang Han. Memang betul, kakek tua yang disebut Yo Se Fu ini berasal dari Turki dan dahulu namanya adalah Yousuf, seorang bangsawan Turki yang selain berilmu tinggi juga amat baik budi.
Di dalam cerita Pendekar Bodoh, diceritakan bahwa Yousuf atau Yo Se Fu ini sudah diangkat sebagai ayah oleh Lin Lin atau Kwee Lin yang sekarang menjadi Nyonya Sie Cin Hai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, juga Yo Se Fu memiliki ilmu hoat-sut (sihir) yang cukup tinggi.
Dengan adanya keluarga inilah, maka kota Shaning menjadi tenteram dan damai. Rumah mereka yang besar mendatangkan rasa aman di dalam hati semua penduduk Shaning, seakan-akan di dalam rumah besar itu terdapat ribuan orang penjaga keamanan yang boleh dipercaya.
Pada suatu pagi yang cerah, semua penduduk Shaning sudah keluar dari pintu rumah masing-masing untuk melakukan pekerjaan mereka. Ada yang hendak pergi ke ladang untuk mencangkul tanah, juga ada yang pergi ke sungai untuk mulai dengan pekerjaan mereka mencari ikan atau menambangkan perahu, ada pula yang pergi untuk berdagang dan lain-lain.
Yang amat menarik adalah kenyataan bahwa pintu rumah para penduduk itu dibiarkan terbuka begitu saja sungguh pun di antaranya ada yang sama sekali kosong ditinggalkan oleh para penghuninya yang pergi bekerja. Memang telah lama sekali penduduk Shaning tak mengenal adanya perampokan atau pencurian sehingga mereka boleh meninggalkan rumah-rumahnya dengan pintu terbuka dan dengan hati aman!
Kalau pada pagi hari itu di jalan raya yang banyak toko-tokonya itu keadaan demikian ramainya, di lorong-lorong kecil tempat tinggal para petani dan nelayan amatlah sunyinya karena semua orang pergi meninggalkan rumah untuk bekerja.
Tiba-tiba terdengar suara nyanyian memecah kesunyian sebuah lorong kecil yang diapit oleh dua deretan rumah di kanan kiri. Suara nyanyian itu merdu sekali, dan dari suaranya yang bening dan tinggi nadanya itu dapat diduga bahwa yang bernyanyi adalah seorang anak perempuan. Di samping merdu sekali, juga suara itu terdengar sangat gembira dan jenaka.
Plak! Plok! Plak! Plok!
Si Tolol naik kuda,
Kudanya sudah tua,
Jalannya kaya onta!
Kemudian dari sebuah belokan di lorong itu muncullah penyanyinya. Cocok betul dengan suaranya yang bening merdu, anak perempuan yang kurang lebih berusia delapan tahun itu luar biasa cantik dan manisnya.
Rambutnya yang hitam serta panjang itu dikuncir dua, dengan jambul di atas kepala, di kanan kiri yang membuatnya nampak lucu sekali. Mukanya halus dan putih kemerahan, dengan sepasang mata yang indah bening bagaikan mata burung Hong.
Kesegaran mukanya ini makin jelas karena hiasan setangkai bunga merah di atas telinga kanannya. Kalau melihat bunga merah itu, orang akan membandingkannya dengan mulut kecil mungil dan merah yang selalu tersenyum gembira itu. Baik dari sepasang matanya yang bersinar-sinar, atau dari hidungnya yang kecil mancung dan dikembang-kempiskan dengan cara lucu, mau pun dari bibirnya yang tersenyum-senyum, nampak kegembiraan yang membuat wajah ayu itu selalu berseri-seri.
Pakaian yang dikenakannya juga amat pantas, menambah kemungilan dan kelucuannya. Bajunya berwarna merah dengan pinggiran putih. Celananya warna putih bersih dengan pita lebar warna hijau di bagian bawah, sepatunya yang kecil berwarna hitam. Baik baju mau pun celananya terbuat dari pada sutera mahal yang indah dan juga sepatunya yang baru dan baik itu menunjukkan bahwa dia adalah anak seorang yang berkeadaan cukup baik, dan kejenakaannya menunjukkan kemanjaan.
Siapakah anak perempuan yang sangat lucu dan menyenangkan hati setiap orang yang memandangnya ini?
Apa bila pertanyaan ini diajukan kepada penduduk kota Shaning, setiap orang, baik dia petani, nelayan, mau pun pedagang, baik dia kakek-kakek, orang dewasa, mau pun anak kecil, akan dapat menjawabnya dengan cepat. Dia adalah anak kedua dari pendekar Sie Cin Hai. Anak perempuan ini sebetulnya bernama Sie Hong Li, akan tetapi ibunya yang sangat memanjakannya biasa menyebutnya Lili dan untuk memudahkan, lebih baik kita pun menyebut Lili saja kepadanya.
Lili memang memiliki sifat periang dan jenaka, sungguh pun harus diakui bahwa kadang kala dia amat bengal sehingga sering kali dimarahi oleh ayahnya. Jauh bedanya dengan kakaknya yang usianya dua tahun lebih tua darinya, yakni putera sulung keluarga Sie yang bernama Sie Hong Beng.
Semenjak kecil Hong Beng menunjukkan sifat pendiam, akan tetapi kedua matanya yang bersinar-sinar bagaikan bintang pagi itu mencerminkan kecerdasan otak yang luar biasa. Sebaliknya, Lili tidak begitu maju dalam hal pelajaran membaca dan menulis. Sebetulnya bukan karena anak perempuan ini terlampau bodoh, akan tetapi karena dia memang tak suka duduk diam dan tekun belajar.
Pada waktu menghafalkan pelajaran, pikirannya lebih sering melayang pada kesenangan bermain-main, dan bahkan sering kali dia mengganggu serta menggoda kakaknya yang sedang tekun belajar sehingga dia mendapat omelan dari ayahnya. Kalau sudah begitu, tentu ibunya yang akan datang menghibur dan memanjanya, atau juga kakeknya, yakni Yousuf yang amat mencintanya. Hal ini membuat Lili menjadi makin bengal.
Betapa pun juga, dalam hal pelajaran ilmu silat harus diakui bahwa Lili mempunyai bakat yang luar biasa dan baik sekali. Gerakan-gerakan kaki tangannya amat lemas dan indah kadang-kadang mengingatkan ayah atau ibunya kepada Ang I Niocu, seorang pendekar wanita kenamaan yang menjadi sahabat baik mereka dan yang tinggal dengan suaminya di seberang laut, di sebuah pulau kecil.
Oleh karena bakatnya ini maka biar pun usianya baru saja delapan tahun dan sungguh pun dia tidak dapat menandingi kakaknya yang memang luar biasa cerdik dan pandainya itu, Lili sudah menjadi seorang anak yang pandai ilmu silat, bahkan laki-laki dewasa yang biasa saja jangan harap akan dapat mengalahkannya!
Lili memang benar-benar nakal. Hampir setiap hari dia pasti pergi dari rumah, pergi ke kampung-kampung, bermain-main dengan kawan-kawan satu kampung atau... berkelahi! Memang luar biasa sekali, apa lagi pada jaman itu, ada seorang anak perempuan selalu mencari jago-jago kecil di setiap kampung dan mengajaknya mengadu kepalan!
Dan hasilnya selalu tentu Lili yang menang, ada pun jago kecil itu mendapat telur yang menjendol di kepala atau pipinya menjadi matang biru. Apa bila sudah begitu, orang tua anak itulah yang akan datang mengadu sehingga sering kali Lili dimarahi secara keras oleh ayahnya.
“Lili! Apakah kelak kau akan menjadi tukang pukul orang? Sungguh tak tahu malu, anak perempuan bertingkah sekasar itu!” Ayahnya mengomel.
Akan tetapi di luar tahunya Cin Hai biar pun telah dimarahi oleh ayahnya, Lili masih dapat mendongeng di depan ibunya atau kakeknya tentang jalannya ‘pertempuran’ yang tadinya dia lakukan dengan anak laki-laki itu!
Demikianlah, pada hari itu seperti biasa, Lili telah mulai ‘keluyuran’ dan keluar dari rumah sejak pagi-pagi sekali. Kali ini dia lebih bebas dari pada biasanya, oleh karena telah ada sepekan ini ayah dan ibunya pergi ke barat untuk mengantarkan kakaknya, Hong Beng, ke tempat pertapaan seorang kakek sakti bernama Pok Pok Sianjin yang juga terkenal sebagai ahli silat nomor satu di bagian barat!
Sepuluh tahun yang lalu, sebelum Hong Beng lahir bahkan sebelum Sie Cin Hai menikah dengan Lin Lin, kakek sakti ini pernah berjanji kepada Cin Hai bahwa kelak dia akan memberi pelajaran ilmu silat tongkat kepada keturunan Pendekar Bodoh, maka setelah kini Hong Beng berusia sepuluh tahun, Cin Hai bersama isterinya lalu membawa putera mereka ini ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menagih janji, sekalian melakukan perjalanan melancong untuk menghibur hati.
Lili yang hanya tinggal berdua dengan kakeknya, tentu saja lebih bebas karena Yousuf memang amat memanjakan cucu perempuannya ini. Sambil menyanyikan lagu-lagu lucu yang dia pelajari dari Yousuf karena kakek asal Turki ini sering mendongeng kisah-kisah kuno kepada kedua cucunya, dongeng Turki yang didongengkan sambil bernyanyi. Lili berjalan sambil berlompatan meniru larinya kuda yang dinyanyikannya dalam lagu ‘Kisah Si Tolol Naik Kuda’.
Lorong kecil yang dilaluinya itu dipasangi batu-batu lebar dan rata pada bagian tengah, dijajarkan memanjang dan jalan batu ini dipergunakan pada waktu musim hujan karena jalan kecil itu tentu akan menjadi amat becek berlumpur.
Kini Lili melompat-lompat dari satu batu ke batu lain sambil bernyanyi gembira, kadang kala diseling oleh suara lucu meniru bunyi ringkik kuda, sehingga siapa saja yang melihat kelucuan dan kegembiraan anak perempuan ini, tentu akan ikut tertawa gembira.
Memang Lili sedang gembira sekali. Betapa tidak? Ayah ibunya tidak berada di rumah, ini berarti bahwa ia tidak usah menghafalkan pelajaran membaca kitab-kitab kuno yang sulit itu, tidak usah menghafalkan ujar-ujar dan sajak-sajak kuno yang sering membingungkan kepalanya.
Sebetulnya, oleh ibunya telah ditinggalkan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalkan dan ditulisnya, dan Yousuf mendapat tugas untuk mengawasinya. Akan tetapi, kakek ini tidak kuat menghadapi senyum atau rengek Lili dan sekali saja anak perempuan ini dengan pandang mata manja menyatakan keinginannya hendak pergi bermain, Yousuf tak dapat dan tidak tega melarangnya pula!
Ketika Lili sedang berlompatan sambil menyanyi dengan riangnya, tiba-tiba ia mendengar bunyi derap kaki kuda yang sesungguhnya. Ia berhenti dan berdiri di atas jalan batu itu dengan mata dipentang lebar.
Dari sebuah tikungan jauh di depan, muncullah tiga orang penunggang kuda, seorang di depan dan dua lainnya di belakangnya. Dan ketika dia melihat penunggang kuda yang di depan itu, tak terasa lagi, Lili memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya berkata perlahan,
“Ahh, dia itu benar-benar Si Tolol Menunggang Kuda yang didongengkan oleh Kongkong (Kakek)!”
Penunggang kuda yang di depan itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Mukanya cukup tampan dan hidungnya mancung, akan tetapi ia memelihara cambang bauk yang membuatnya menjadi brewok dari bawah telinga sampai ke dagu dan bawah hidungnya, menutupi mulutnya. Kepala dibungkus dengan ikat kepala yang lebar, menyembunyikan semua rambutnya, dan ikat kepala ini berwarna merah.
Pakaiannya berwarna putih dan sepatunya tinggi sampai ke lutut, terbuat dari pada kulit. Di pinggang kirinya nampak gagang sebatang golok dengan ronce-ronce sutera merah. Kuda yang ditungganginya berwarna putih dan bagus, dengan kendali warna merah pula. Pendeknya, seorang setengah tua yang gagah.
Lili menganggap laki-laki ini seperti Si Tolol Naik Kuda yang tadi dinyanyikan oleh karena memang di dalam dongeng kakeknya itu, terdapat seorang lelaki tampan yang naik kuda, akan tetapi karena ketolotannya, dia sering kali menghadapi hal-hal yang lucu.
Dua orang yang menunggang kuda di belakang Si Brewok ini adalah dua orang pemuda, seorang berjubah putih dan yang ke dua berjubah hitam. Keduanya memakai topi putih yang bentuknya segi empat.
Memang tidak terlalu salah bila mana Lili mempersamakan penunggang kuda itu dengan tokoh dalam dongeng kakeknya, karena orang-orang ini memang bukan orang Han, dan muka mereka memiliki potongan yang sama pula dengan Yousuf. Dan bila Lili mengenal siapa adanya Si Brewok itu dan tahu apa maksud kedatangannya di kota Shaning, tentu anak ini takkan berdiri setenang dan sesenang itu menghadapi ketiga orang penunggang kuda ini!
Melihat ada seorang anak perempuan yang cantik jelita sedang berdiri di tengah jalan sambil memandang dengan mata terbelatak, Si Brewok lantas menahan kudanya, diturut oleh kedua orang pengikutnya.
“Hei, Nona kecil! Tahukah kau di mana rumahnya bangsat tua Yousuf?” suaranya parau dan kata-katanya ini diucapkan dalam bahasa Han yang sangat kasar dan kaku, akan tetapi yang amat menyakitkan hati Lili adalah sebutan ‘bangsat tua’ kepada kakeknya itu!
Lili sudah tahu pula bahwa kongkong-nya itu mempunyai nama yang aneh, dan pernah kakeknya itu menceritakan bahwa ia datang dari negeri barat yang amat jauh dan di sana ia disebut sebagai ‘Yousuf’. Akan tetapi Lili sendiri selalu menyebutnya ‘Yo-kongkong’. Ia dapat menduga bahwa orang berkuda ini tentu mencari kongkong-nya, akan tetapi dia sengaja menjawab dengan mulut mentertawakan orang itu.
“Tidak ada bangsat-bangsat di sini, biar tua mau pun muda. Apakah kau yang bernama Aladin?” Lili menyebutkan nama tokoh dongeng yang diceritakan oleb kakeknya itu.
Si Brewok itu memandang heran mendengar pertanyaan ini.
“Eh, apa maksudmu?” tanyanya sambil menahan kendali kudanya yang telah tidak sabar dan kaki depannya menggaruk-garuk tanah.
Lili tidak menjawab, hanya tersenyum mengejek, kemudian dia pun membuat gerakan melompat-lompat seperti kuda dan terdengar pula nyanyiannya.
Plak! Plok! Plak Plok!
Si Tolol naik kuda,
Kudanya putih tua,
Jalannya seperti onta!
Ia sengaja mengganti kata-kata ‘kudanya sudah tua’ menjadi ‘kudanya putih tua’ karena kuda yang ditunggangi oleh Si Brewok itu memang berbulu putih.
Mendengar nyanyian ini, Si Brewok dan dua orang kawannya nampak terkejut dan heran. Nyanyian dongeng Turki, bagaimana anak bangsa Han ini dapat menyanyikannya?
“Bocah kurang ajar, siapakah yang mengajarmu bernyanyi seperti itu?” Laki-laki brewok itu membentak sambil memandang tajam.
Lili masih tersenyum-senyum lucu dan karena mengira bahwa tiga orang itu mengagumi nyanyiannya seperti orang-orang lain, dia lalu menjawab bangga,
“Di kota ini, siapa lagi kalau bukan Yo-kongkong yang dapat mengajarkan nyanyian yang bagus-bagus? Kalau kau mencari orang, lebih baik kau bertanya kepada kakekku Yo Se Fu, akan tetapi jangan berlaku kurang ajar kepadanya!”
Berubahlah wajah Si Brewok itu pada saat ia bertanya, “Jadi Yo Se Fu adalah kakekmu? Apakah kau anak dari Sie Cin Hai?”
“Dia memang ayahku! Siapa yang tidak tahu akan hal ini?” kata pula Lili dengan bangga karena memang dia tahu bahwa ayahnya dipuji-puji dan disegani orang.
Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat betapa Si Brewok itu ketika mendengar bahwa dia adalah cucu Yo Se Fu dan anak Sie Cin Hai, lalu mukanya berubah beringas dan sambil mencabut gotok tajam yang tergantung di pinggang, membentak,
“Bagus! Kalau begitu, kau pun harus mampus mendahului Yousuf!”
Setelah membentak demikian, Si Brewok itu segera majukan kudanya dan menggunakan goloknya membacok ke arah Lili yang masih berdiri di atas jalan batu, di sebelah kanan kudanya itu! Bacokan itu cepat dan kuat sekali sehingga yang nampak hanya sinar putih berkelebat dari goloknya yang tajam berkilau, yang diikuti sinar merah dari ronce-ronce goloknya. Bagaikan kilat menyambar, golok ini menyambar ke arah leher Lili yang masih berdiri tak bergerak. Agaknya dengan sekali bacok saja, akan putuslah leher anak itu!
Akan tetapi, biar pun usianya baru delapan tahun, Lili adalah anak dari Pendekar Bodoh, seorang pendekar gagah perkasa yang mempunyai kepandaian tinggi, dan sejak kecil Lili telah mendapat gemblengan ilmu silat dari ayah dan ibunya, bahkan mendapat banyak petunjuk dari Yousuf. Maka biar pun dia belum memiliki ilmu silat tinggi, namun dia telah memiliki dasar-dasarnya dan telah pula memiliki gerakan otomatis dan gaya reflek, yakni gerakan yang timbul dengan sendirinya pada kondisi bahaya, gerakan yang dikendalikan oleh perasaan dan urat syaraf apa bila melihat atau mendengar sesuatu yang mungkin mendatangkan bahaya atau serangan pada dirinya, seperti yang dimiliki oleh semua jago silat yang telah tinggi kepandaiannya.
Karena itu, ketika Lili melihat berkelebatnya sinar golok ke arah lehernya dan mendengar bunyi angin sambaran senjata itu, otomatis dia lalu membuang tubuh bagian atas ke kiri sehingga golok itu menyambar lewat di atas punggungnya. Demikian cepat dan kerasnya sambaran golok itu sehingga Lili merasa betapa leher dan punggungnya menjadi dingin!
Ketiga orang itu melongo pada saat melihat betapa anak perempuan itu dengan gerakan yang indah dapat mengelakkan diri dari serangan tadi, padahal Si Brewok itu biasanya bila sudah turun tangan, jarang sekali dapat digagalkan biar pun yang diserang memiliki kepandaian silat. Apa lagi hanya seorang anak-anak!
Merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya maut, Lili cepat menggunakan kesempatan saat ketiga orang itu masih terheran-heran, lalu melompat cepat ke pinggir sebuah rumah dan rnelarikan diri. Dia mendengar suara kaki orang turun dari kuda dan mengejarnya.
Cepat bagaikan seekor tikus yang dikejar oleh kucing, Lili menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu rumah yang terbuka dan bersembunyi di balik pintu. Dia sama sekali tidak merasa ketakutan, akan tetapi tidak berani pula mengeluarkan suara, hanya berdiri diam sambil mengepal kedua tinjunya yang kecil!
Para pengejarnya berlari cepat melewati pintu rumah itu dan tak lama kemudian mereka datang kembali dengan langkah perlahan. Ketika tiba di depan pintu rumah itu, Si Brewok melangkah masuk, akan tetapi hanya menjenguk ke dalam saja. Melihat di dalam rumah tidak ada orang, dia lalu keluar lagi dan berkata kepada kawan-kawannya.
“Setan cilik itu sudah pergi, biarlah kita mencari Yousuf terlebih dahulu. Mudah saja untuk mencarinya kemudian!”
Orang-orang itu lalu pergi lagi dan Lili yang bersembunyi di balik daun pintu tersenyum girang, lantas keluar dan melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah kawan-kawannya. Anak kecil ini tidak begitu mempedulikan ucapan orang-orang tadi dan tidak tahu akan adanya bahaya yang mengancam kakeknya, karena biar pun dia dapat menduga bahwa mereka tidak mempunyai maksud baik terhadap kakeknya, akan tetapi ia percaya penuh bahwa kakeknya yang amat pandai itu akan dapat mengusir mereka.
Siapakah sebetulnya tiga orang tadi? Dan mengapa mereka mencari Yousuf dan tiba-tiba menyerang Lili anak kecil itu pada waktu mendengar bahwa Lili adalah cucu perempuan Yousuf dan anak Sie Cin Hai? Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, marilah kita meninjau secara singkat peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dua belas tahun yang lampau…..
********************
Kira-kira dua belas tahun yang lalu, beberapa kali Kerajaan Turki mengirim ekspedisi ke Tiongkok ketika mendengar bahwa di tempat-tempat tertentu di Tiongkok terdapat harta terpendam yang nilainya sangat besar.
Ekspedisi pertama dilakukan untuk memperebutkan sebuah pulau di seberang timur laut Tiongkok, yang disebut Kim-san-tho (Pulau Bukit Emas) dan yang disangka mengandung bukit penuh logam kuning berharga itu. Dalam usaha memperebutkan pulau ini, terjadilah perang hebat antara barisan Turki, barisan Mongol, dan juga barisan Kerajaan Tiongkok untuk maksud yang sama.
Pemimpin besar dari barisan Turki adalah seorang gagah perkasa bernama Balutin yang amat sakti sehingga ekspedisi itu berhasil sampai di tempat tujuan. Akan tetapi kemudian Balutin tewas dalam pertempuran ketika melawan tentara Tiongkok yang dibantu oleh seorang hwesio lihai sekali bernama Hai Kong Hosiang bersama supek-nya, yaitu Kiam Ki Sianjin yang gagu akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya.
Kemudian, di Turki terjadi perpecahan setelah ada usaha-usaha yang jahat dari seorang pangeran yang disebut Pangeran Muda. Pada waktu itu, yang berkuasa di Turki adalah Pangeran Tua yang adil dan bijaksana, dan diantara kedua orang pangeran ini timbullah permusuhan, akan tetapi akhirnya pengaruh Pangeran Muda serta kaki tangannya yang terdiri dari orang-orang jahat dapat dihancurkan. Peristiwa hebat ini dapat diikuti dengan jelas dalam cerita Pendekar Bodoh.
Dalam keributan-keributan itu, terdapat seorang pemuda yang dilupakan orang. Pemuda ini adalah putera tunggal dari Balutin yang gagah perkasa itu, dan yang telah berusia dua puluh lima tahun ketika ayahnya gugur dalam ekspedisi mencari Pulau Bukit Emas.
Tentu saja dia merasa amat berduka dan hatinya penuh diliputi dendam. Akan tetapi, biar pun dia telah mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya, namun dia maklum bahwa ia tidak berdaya membalas dendam atas kematian ayahnya itu. Sedangkan ayahnya sendiri masih kalah melawan jago-jago bangsa Han apa lagi dia.
Pemuda ini mempunyai darah Tionghoa, oleh karena ibunya adalah seorang bangsa Han pula yang dahulu diculik oleh Balutin dan dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi, ibunya meninggal dunia ketika melahirkannya sehingga terpaksa dia dirawat oleh seorang inang pengasuh yang juga seorang perempuan bangsa Han yang diculik oleh Balutin.
Ia telah menganggap inang pengasuh itu sebagai ibu sendiri dan oleh inang pengasuh itu ia juga diberi nama Tionghoa, yaitu Bouw Hun Ti. Selain ini, Bouw Hun Ti juga mendapat pelajaran membaca dan menulis bahasa Tionghoa oleh inang pengasuhnya, maka selain bahasa Turki, Bouw Hun Ti juga mahir bahasa Han. Mungkin karena ia masih berdarah Tionghoa, maka ia cinta sekali kepada inang pengasuhnya itu.
Balutin sendiri tak begitu peduli pada puteranya, karena panglima ini memang berwatak kurang baik dan sungguh pun dia mempunyai kedudukan tinggi, akan tetapi dia terkenal pula sebagai seorang laki-laki mata keranjang.
Betapa pun juga, dia memberikan latihan ilmu silat tinggi kepada putera tunggalnya itu sehingga Bouw Hun Ti mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi yang tidak diketahui oleh banyak orang.
Setelah Balutin tewas dalam pertempuran, Bouw Hun Ti kemudian keluar dari negerinya, bersama inang pengasuhnya yang kini sudah menjadi nenek-nenek pergi ke pedalaman Tiongkok, di mana ia lalu mengembara setelah mengantar inang pengasuh itu kembali ke kampung halamannya. Cita-cita Bouw Hun Ti hanya satu, ialah membalas dendam atas kematian ayahnya.
Oleh karena maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih belum cukup tinggi untuk dapat melaksanakan maksud ini, maka dia mulai mencari guru dalam perantauannya. Akhirnya dia pun bertemu dengan Ban Sai Cinjin, yakni seorang yang berilmu tinggi. Bouw Hun Ti lalu mengangkat guru kepada orang berilmu ini dan mempelajari ilmu silat, terutama ilmu golok yang amat lihai gerakannya.
Sesudah bertahun-tahun mempelajari ilmu silat dari Ban Sai Cinjin, dan kepandaiannya sudah banyak maju, Bouw Hun Ti lalu mencari musuhnya, pembunuh ayahnya. Alangkah kecewanya pada saat dia mendengar bahwa Hai Kong Hosiang dan Kam Ki Sianjin telah meninggal dunia. Pada waktu itu, inang pengasuhnya sudah meninggal dunia pula akibat usia tua.
Hal ini membuatnya tidak kerasan untuk tinggal lebih lama di pedalaman Tiongkok dan ia segera kembali ke negaranya, dengan hati tetap mengandung dendam yang belum dapat terbalas. Di dalam hati kecilnya dia merasa benci terhadap orang-orang Han yang telah membunuh ayahnya, dan terutama sekali ia memindahkan kebenciannya dari dua musuh besar yang telah mati itu kepada para pendekar yang dahulu pernah memusuhi pengikut Pangeran Muda.
Memang, Bouw Hun Ti juga menjadi pengikut setia dari Pangeran Muda, maka setelah ia kembali ke Turki, dia pun kembali bersekutu dengan Pangeran Muda bahkan sekarang mendapat kepercayaan besar dan kedudukan tinggi karena Pangeran Muda tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian tinggi.
Kedudukan yang tinggi membuat watak Bouw Hun Ti yang sudah kejam dan sombong makin menjadi. Pengaruhnya besar sekali dan mengandalkan kepandaiannya, dia mulai mendesak pengaruh Pangeran Muda dan bahkan dia mulai bercita-cita untuk mendesak pula kedudukan raja dengan pengaruhnya!
Pangeran Muda yang melihat hal ini menjadi khawatir sekali, maka segera dicarinya akal untuk melenyapkan orang berbahaya ini. Pada suatu hari, dia memanggil Bouw Hun Ti menghadap dan dinyatakannya bahwa dia amat membutuhkan seorang penasehat yang cerdik pandai. Dalam percakapan ini, disebutnya nama Yousuf.
“Kalau saja Yousuf bisa didatangkan dan membantuku, ah, hatiku akan menjadi senang. Ia adalah seorang yang arif bijaksana dan pandai mengurus pemerintahan. Oleh karena itu harap kau suka mencarinya di pedalaman Tiongkok, dan apa bila mungkin, sekalian kau balaskan sakit hati kita terhadap seorang pendekar yang disebut Pendekar Bodoh, bernama Cin Hai, she Sie! Menurut para penyelidik, sekarang Yousuf tinggal di rumah Pendekar Bodoh itu, di kota Shaning dalam Propinsi An-hui.”
Maka berangkatlah Bouw Hun Ti ke pedalaman Tiongkok untuk melakukan tugas ini. Ia membawa dua orang pengikut yang mempunyai kepandaian cukup tinggi dan langsung menuju ke Propinsi An-hui.
Pada luarnya saja dia seakan-akan mentaati perintah Pangeran Muda, padahal di dalam hati dia mempunyai pendapat lain. Kalau sampai orang yang bernama Yousuf itu dibawa ke tanah airnya, maka hal itu berarti bahwa ia akan menghadapi saingan berat, apa lagi dia mendengar bahwa Yousuf juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Hatinya yang kejam dan penuh kedengkian membuat dia merasa sangat benci terhadap Yousuf, lebih-lebih sesudah dia mendengar dari para prajurit yang dulu turut melakukan ekspedisi mencari pulau emas, bahwa Yousuf pernah mengkhianati Kerajaan Turki, dan mengkhianati ekspedisi yang dipimpin oleh Balutin, ayahnya. Ia menganggap kegagalan ayahnya adalah akibat dari pada pengkhianatan Yousuf ini dan oleh karena ini Yousuf harus dibunuh, tidak saja untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi juga untuk mencegah orang tua itu memperoleh kedudukan tinggi di Turki!
Demikianlah sedikit riwayat Bouw Hun Ti, seorang yang berkepandaian tinggi dan yang kini datang memasuki kota Shaning dengan maksud yang sangat buruk dan berbahaya. Kalau saja dia tadinya tidak memandang rendah kepada anak perempuan yang menjadi cucu Yousuf itu, tentulah Lili sudah menjadi korbannya yang pertama. Baiknya Lili dapat mengelak serangannya dan karenanya membuat Bouw Hun Ti terheran-heran sehingga terlambat mengejarnya.
Kini Bouw Hun Ti bersama dua orang pengikutnya melanjutkan perjalanannya mencari rumah kediaman Pendekar Bodoh. Ia adalah orang yang cerdik dan sebelum memasuki kota Shaning terlebih dahulu dia telah melakukan penyelidikan sehingga dia tahu bahwa Cin Hai beserta isterinya sedang keluar kota dan yang berada di rumah hanyalah Yousuf seorang.
Berita ini sangat menggembirakan hatinya karena sepanjang pendengarannya, Pendekar Bodoh dan isterinya adalah orang-orang yang merupakan lawan amat tangguh, ditambah pula dengan Yousuf, maka ia merasa jeri juga! Kini kedua suami isteri itu tidak berada di rumah dan hal ini merupakan kesempatan yang amat baik baginya.
Rumah Sie Cin Hai adalah sebuah bangunan besar yang dilindungi pekarangan luas, sedangkan di kanan kiri dan belakang rumah ditanami bunga-bunga indah. Tanaman ini diurus oleh Yousuf sendiri yang memang amat suka bunga. Karena adanya pekarangan ini, maka letak rumah-rumah tetangga di kanan kiri agak jauh dari bangunan itu.
Pada pagi hari itu, Yousuf yang kini telah tua sekali itu sedang berada di kebun bunga sebelah kiri rumah, memetik dan membuangi daun-daun kering dan membunuh ulat-ulat yang mengganggu tanaman. Dengan perlahan dan asyik sekali, ia melangkah dari pohon ini ke pohon itu, dan nampaknya amat gembira.
Memang, kakek tua ini merasa hidupnya bahagia sekali. Betapa tidak? Anak angkatnya yang terkasih, sudah mempunyai rumah tangga yang baik dan dia telah mempunyai dua orang cucu sedangkan kehidupan mereka sekeluarga dalam keadaan aman dan damai. Ketenteraman hati ini membuat dia sehat-sehat saja dan jarang sekali menderita sakit, sungguh pun usianya telah tua dan tenaganya telah banyak berkurang.
Seorang pelayan wanita lalu datang menghampirinya dan membungkuk sambil berkata, “Yo-loya, minuman untuk Loya telah tersedia di ruang tengah.”
Yo Se Fu atau Yousuf mengangguk, kemudian menjawab, “Biarlah dulu, dan lebih baik kau menyediakan makan pagi untuk Siocia (Nona Kecil).”
“Siocia semenjak tadi telah pergi keluar, Loya.”
Yousuf menggeleng-geleng kepala, “Ah, anak itu! Sepagi ini telah pergi. Kalau nanti ayah ibunya datang dan mendapatkan ia tidak berada di rumah, bukan saja ia akan mendapat marah, aku pula akan mendapat teguran. Mengapa kalian tidak mencegahnya dan tidak menyuruh ia memberi tahukan lebih dulu kepadaku sebelum pergi?”
“Siocia tidak bisa dicegah, Loya. Kami pun telah minta ia memberi tahu lebih dulu kepada Loya, akan tetapi dia menjawab bahwa Loya takkan melarangnya keluar bermain dengan teman-temannya.”
Yousuf hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Sudahlah, dan kau bersama pelayan lain bekerjalah baik-baik, jaga agar semua barang dalam rumah nampak bersih agar tuan dan nyonyamu akan senang hati kalau datang nanti.”
“Baik, Yo-loya,” kata pelayan itu yang kemudian mengundurkan diri.
“Anak bandel...” Yousuf berkata seorang diri dengan mulut tersenyum, “mungkin seperti ibunya ketika masih kecil.”
Dia lalu melanjutkan pekeriaannya membuangi daun-daun kering dan ulat-ulat. Kadang-kadang Yousuf tersenyum geli seorang diri kalau ia teringat akan kenakalan-kenakalan Lili, dan tersenyum bangga apa bila teringat kepada Hong Beng yang pendiam, tampan, dan cerdik.
Amat berbahagialah orang tua yang mempunyai anak seperti Hong Li dan Hong Beng dan Yousuf merasa turut beruntung melihat Sie Cin Hai dan Lin Lin berbahagia, karena kedua orang yang dianggap laksana anak sendiri itu memang orang-orang baik hati dan juga amat berbakti kepadanya. Tidak ada kesenangan lain bagi hati kakek tua ini kecuali melihat Cin Hai serumah tangga sehat-sehat dan hidup beruntung.
Tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dan ketika ia menengok, ia merasa terkejut dan heran karena melihat ada tiga orang penunggang kuda masuk ke dalam pekarangan itu. Orang-orang yang baru datang ini adalah Bouw Hun Ti bersama dua orang pengikutnya. Yousuf segera melangkah dan menghampiri tiga orang pengunjung itu.
Mudah saja bagi Bouw Hun Ti untuk menduga siapa adanya kakek tua yang berpakaian seperti orang Han akan tetapi berwajah orang Turki itu, karena itu dengan cekatan dia melompat turun dari kudanya dan bertanya,
“Apakah Saudara Yousuf yang terhormat baik-baik saja?”
Yousuf terkejut sekali mendengar pertanyaan ini dan dia lalu memandang dengan penuh perhatian. Matanya yang tua itu sudah agak lamur, akan tetapi dia masih dapat melihat bahwa orang ini adalah seorang Turki, baik dipandang dari kepalanya mau pun bentuk mukanya sungguh pun kulitnya kekuning-kuningan seperti kulit orang Han. Akan tetapi, betapa pun ia mengingat-ingat, ia tidak merasa pernah melihat orang ini, maka jawabnya ragu-ragu,
“Maaf, Saudara Muda, sepasang mataku telah terlalu tua untuk mengingat kembali wajah orang-orang yang sudah lama tidak bertemu denganku. Saudara ini siapakah dan datang dari mana?”
Bouw Hun Ti tertawa bergelak hingga Yousuf merasa tak enak di dalam hatinya, karena suara tawa ini menunjukkan bahwa dia berhadapan dengan seorang yang berhati kejam dan sombong. Memang Yousuf mempunyai perasaan halus dan pandangan tajam, dapat mengenal watak-watak manusia hanya dengan mendengar suara tawanya atau melihat wajahnya.
“Saudara Yousuf, walau pun kau sudah lupa kepadaku, agaknya kau tidak lupa kepada Panglima Besar Balutin yang telah gugur dalam menjalankan tugas yang gagal karena pengkhianatan bangsa kita sendiri!”
Makin tidak enaklah hati Yousuf mendengar ucapan ini, karena dia maklum bahwa yang dimaksudkan dengan pengkhianatan itu tentu dia sendiri. Akan tetapi dengan tenang dia mengangguk dan menjawab,
“Tentu saja aku kenal Panglima Balutin yang gagah perkasa, sungguh pun harus kuakui bahwa perkenalan itu tidak sangat erat. Akan tetapi, aku masih belum mengerti apakah hubungannya perkenalanku dengan Balutin itu dengan kunjunganmu sekarang ini. Apa kau sengaja datang jauh-jauh dari Turki hanya untuk mencariku?”
Bouw Hun Ti mengangguk. “Memang kami sengaja datang untuk mencarimu, dan amat kebetulan kita bisa bertemu dengan mudah. Saudara Yousuf, lupakah kau kepada Bouw Hun Ti, putera dari Balutin? Dulu aku hanya dapat melihatmu dari jauh, mengingat akan kedudukanmu dan selalu aku memandangmu dengan kagum, yaitu sebelum mendengar betapa kau mengkhianati ekspedisi pemerintahan kita.”
Yousuf teringat bahwa Balutin memang mempunyai seorang putera yang berkepandaian tinggi, akan tetapi dulu ia belum pernah berhubungan dengan orang muda itu. “Sudahlah, tidak ada gunanya kita membicarakan hal yang sudah lampau. Setiap orang mempunyai kesalahan-kesalahannya sendiri, tergantung dari sudut orang itu memandangnya. Yang terpenting sekarang beritahukanlah maksud kedatanganmu ini.”
“Ha-ha-ha! Setidaknya kau masih memiliki sifat terus terang dan langsung seperti sifat bangsa kita!” Sekarang suara Bouw Hun Ti berubah kasar dan tanpa penghormatan pula. “Yousuf, aku datang atas perintah Pangeran untuk membawamu ke Turki!”
Mendengar ini, Yousuf merasa kaget dan memandang penuh kecurigaan. Ia tahu bahwa Pangeran Tua tak mungkin akan memanggilnya, karena ia telah minta ijin dari Pangeran Tua untuk meninggalkan tanah air dan masuk menjadi bangsa Han sedangkan Pangeran Tua telah memberi perkenan sepenuhnya. Dan semenjak saat itu, hubungannya dengan Turki telah putus sama sekali dan ia telah menganggap diri sendiri sebagai seorang Han asli. Mengapa sekarang tiba-tiba Pangeran Tua yang memanggilnya?
“Bouw Hun Ti, kalau benar Pangeran Tua memanggilku, tentu ada suratnya. Perlihatkan suratnya kepadaku.”
Bouw Hun Ti tersenyum sindir. “Untuk memanggil seorang hambanya, Pangeran tidak perlu menggunakan surat. Apakah kau tidak percaya padaku? Ketahuilah, Yousuf bahwa aku adalah tangan kanan Pangeran dan kalau kau sudah tiba di sana, akan kau ketahui sendiri.”
“Kau selalu menyebut Pangeran, yang mana maksudmu? Tentulah bukan Pangeran Tua yang menyuruhmu, bukan?”
“Siapa sudi membantu Pangeran yang lemah itu? Pangeran Muda yang mengutus aku untuk membawamu kembali!”
Kini mengertilah Yousuf, dan dia tahu pula bahwa orang ini memang sengaja datang hendak membikin ribut. Semua orang tahu belaka bahwa dia, Yousuf, adalah pengikut Pangeran Tua dan yang selalu memusuhi segala tindakan yang tak patut dari Pangeran Muda, maka tentu saja kalau sekarang pangeran itu mengutus seorang untuk memanggil atau membawanya ke Turki, itu berarti bahwa utusan ini telah diberi wewenang penuh untuk membawanya hidup-hidup atau pun mati!
Akan tetapi, walau pun telah tua sekali, Yousuf masih belum kehilangan keberanian dan kegagahannya. Dia memandang tajam dan berkata,
“Dengarlah, Bouw Hun Ti! Apa bila Pangeran Muda yang memanggilku, jangankan tanpa surat, biar pun dengan surat yang disimpan dalam kotak emas permata sekali pun, aku tidak akan mau mentaatinya!”
“Ha-ha-ha! Bagus, Yousuf, memang inilah yang kukehendaki! Dengan jawabanmu ini, maka ada alasan bagiku untuk memenggal batang lehermu!” Sambil tertawa bergelak, Bouw Hun Ti lalu menggerakkan tangan kanannya dan goloknya yang tajam berkilauan telah dicabutnya!
Yousuf sama sekati tidak takut menghadapi Bouw Hun Ti, biar pun dia dapat menduga bahwa putera Balutin ini tentu kepandaiannya tinggi sekali. Akan tetapi ketika Bouw Hun Ti mencabut goloknya, tiba-tiba saja wajah Yousuf menjadi sangat pucat dan sepasang matanya terbelalak lebar. Diluar dugaan Bouw Hun Ti, kakek ini segera menjatuhkan diri berlutut menyembah dengan jidat menempel di tanah sambil berkata penuh hormat,
“Hamba menanti perintah.”
Melihat hal ini, Bouw Hun Ti yang tadinya merasa heran, menjadi girang sekali karena ia mengerti bahwa goloknya inilah yang membuat Yousuf bersikap seperti itu. Golok yang dipegangnya ini adalah golok pusaka yang biasa digunakan oleh Pangeran Tua dan yang dipergunakan sebagai lambang kekuasaannya. Menurut peraturan lama dari kerajaan itu, barang siapa pun yang diberi kekuasaan oleh Pangeran Tua untuk memegang golok ini, maka dia berhak menghukum setiap orang sebagai wakil penuh.
Biar pun Yousuf merasa heran kenapa golok pusaka dari Pangeran Tua itu bisa terjatuh ke dalam tangan orang ini, akan tetapi kesetiaannya terhadap Pangeran Tua membuat ia tidak berani banyak cakap dan segera berlutut, karena ia pikir bahwa di bawah pengaruh golok itu, ia harus menyerah dan membiarkan dirinya dibawa ke Turki!
Akan tetapi, Yousuf masih tidak tahu akan kekejian hati Bouw Hun Ti yang memang telah memiliki keinginan untuk membunuhnya. Ketika melihat Yousuf bertutut dan menyembah di hadapannya seperti itu, manusia berhati kejam dan curang ini lalu mengayun goloknya ke arah leher Yousuf!
Bukan main terkejutnya hati Yousuf ketika mendengar sambaran angin di atas lehernya, namun sudah terlambat. Sebelum ia tahu apa yang terjadi atas dirinya, golok yang tajam itu telah membabat lehernya! Dari lehernya darah mengalir keluar bagai pancuran ketika kepala kakek tua yang bernasib malang itu menggelinding ke atas tanah!
Dua orang pelayan wanita menjerit ketika mereka keluar dan melihat tubuh Yousuf rebah di tanah dengan leher putus. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi hanya dengan satu lompatan saja Bouw Hun Ti sudah dapat menyusul mereka dan dua kali goloknya bergerak, maka robohlah dua orang pelayan itu dalam keadaan mandi darah dan tidak bernyawa lagi!
Melihat darah para korbannya itu, Bouw Hun Ti menjadi makin buas.
“Tunggu di sini, biar aku mengadakan pemeriksaan di dalam!” katanya kepada dua orang pengiringnya yang memandang semua kejadian itu dengan muka menahan kengerian hati.
Bouw Hun Ti segera berlari masuk ke dalam rumah Sie Cin Hai, aduk sana bongkar sini membunuh dua orang pelayan laki-laki yang kebetulan berada di situ, kemudian keluar lagi. Dia lalu mengambil kepala Yousuf dengan memegang rambutnya dan membungkus kepala itu dengan sapu tangan lebar, lalu memberi tanda kepada dua orang pengiringnya untuk pergi dari situ.
Beberapa orang yang kebetulan lewat di depan rumah itu, menjadi ketakutan dan segera melarikan diri sambil berteriak-teriak, memberi tahu kepada semua orang bahwa Kakek Yo telah dibunuh orang! Orang-orang sekota menjadi gempar dan mereka lalu membawa senjata dan beramai-ramai menuju ke tempat itu.
Akan tetapi, Bouw Hun Ti dan kedua pengiringnya sambil membawa kepala Yousuf telah pergi dari situ. Orang-orang itu hanya mendapatkan mayat Yousuf yang kepalanya hilang beserta mayat empat orang pelayan.
Gegerlah keadaan di situ, dan terdengarlah suara tangis para wanita ketika mendengar bahwa Empek Yo yang baik hati itu terbunuh orang. Mereka lalu mencari-cari ke dalam rumah dan ketika mereka tidak melihat Hong Li, keadaan menjadi makin ribut lagi.
“Aduh celaka! Nona Lili lenyap...!” Mereka mengeluh dan peluh dingin keluar dari jidat mereka karena mereka dapat membayangkan betapa akan marahnya pendekar besar Sie Cin Hai dan isterinya apa bila mengetahui hal ini!
Sementara itu, Bouw Hun Ti yang melarikan kuda bersama dua orang pengiringnya itu, lalu memberikan bungkusan kepala itu kepada mereka dan berkata,
“Kalian berdua kembalilah dulu ke Turki dan berikan ini kepada Pangeran Muda. Kalian boleh ceritakan kepada Beliau bahwa karena Yousuf menolak dibawa ke Turki, terpaksa kubunuh mati. Aku sendiri hendak mencari anak perempuan dari Pendekar Bodoh itu dan kemudian sebelum kembali ke Turki, aku hendak mengunjungi guruku.”
Kedua orang pengiringnya tak berani membantah, menerima bungkusan kepala itu, akan tetapi lalu berkata dengan muka pucat, “Kepala ini tentu akan membusuk sebelum kami tiba di Turki.”
Bouw Hun Ti tertawa bergelak, lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk sambil berkata, “Campurkan obat ini dengan air, kemudian balurkan di seluruh kulit muka dan kepala itu, terutama beri yang banyak pada bagian leher, tentu akan terpelihara baik dan tidak rusak kepala jahanam itu!”
Setelah memberikan obat itu kepada mereka, Bouw Hun Ti lalu pergi menuju ke lorong di mana tadi dia telah bertemu dengan Hong Li! Sedangkan kedua orang pengiringnya yang merasa tidak aman berada di dalam kota itu lebih lama lagi, segera membalapkan kuda keluar dari kota sambil membawa bungkusan kepala itu…..
********************
Agaknya memang sudah nasib Hong Li untuk mengalami bencana pada hari itu, karena anak perempuan ini kebetulan sekali sedang berjalan hendak pulang dan di tengah jalan tiba-tiba dia bertemu dengan Bouw Hun Ti yang melarikan kuda dari depan, muncul di sebuah tikungan!
Lili terkejut sekali pada saat mengenal Si Brewok yang tadi mengejar-ngejar dan hendak membunuhnya. Cepat anak ini membalikkan tubuh dan lari pergi akan tetapi Bouw Hun Ti telah melihatnya dan sambil berseru girang, orang ini melompat turun dari kuda dan mengejar!
Lili telah menerima latihan silat dari dua orang tuanya, maka sekecil itu dia telah memiliki kepandaian lari cepat yang cukup mengagumkan dan sekiranya yang mengejarnya ialah seorang laki-laki biasa saja, tidak mungkin dia akan dapat tertangkap. Akan tetapi, yang rnengejarnya adalah Bouw Hun Ti, orang yang memiliki kepandaian tinggi. Maka, dalam beberapa lompatan saja Bouw Hun Ti telah berhasil menyusulnya.
“Anak setan, kau hendak lari ke mana?”
Lili maklum bahwa percuma saja ia melarikan diri, akan tetapi ia memiliki keberanian luar biasa warisan kedua orang tuanya. Maka ketika melihat bahwa pengejarnya telah datang dekat, tiba-tiba ia berhenti, membalikkan tubuh dan berdiri sambil memasang kuda-kuda dan sepasang matanya memandang dengan tajam dan berani!
Bouw Hun Ti merasa kagum juga melihat sikap anak perempuan ini, apa lagi ketika Lili tiba-tiba menyerang dengan kepalan tangannya yang mungil itu, melakukan serangan ke arah pusarnya dengan pukulan yang dilakukan amat indah dan baiknya, kekagumannya bertambah dan timbullah rasa sayangnya kepada anak ini! Dia lalu mengulur tangan dan dengan mudah gerakannya yang cepat itu membuat dia berhasil menangkap tangan Lili dan sekali dia membetot, tubuh Lili telah tertangkap dan berada dalam pondongannya!
“Setan kecil, kau mungil sekali!” kata Bouw Hun Ti sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi, Lili tidak mau menyerah demikian saja. Biar pun tangan kanannya yang tadi memukul telah terpegang dan dia telah dipondong orang, kini tangan kirinya memukul ke arah kepala dan muka yang brewok itu, sedangkan kedua kakinya meronta-ronta hendak melepaskan diri!
Tapi apakah daya seorang anak perempuan berusia delapan tahun terhadap Bouw Hun Ti, ahli silat yang tangguh itu? Sekali saja ia mengulur tangan dan memencet pundak Lili, anak perempuan itu mengeluh lantas tubuhnya menjadi lemas tak berdaya sama sekali. Kaki tangannya serasa lumpuh tak bertenaga sehingga dia kini tidak dapat meronta-ronta lagi.
“Ha-ha-ha! Setan cilik, kau harus ikut aku. Hendak kulihat Pendekar Bodoh dan isterinya dapat berbuat apa!”
Bouw Hun Ti lalu membawa anak dalam pondongannya itu menuju ke kudanya dan dia segera melompat naik ke atas kuda lalu melarikan kudanya dengan cepatnya ke luar kota. Hal ini tidak terlihat oleh siapa pun juga, oleh karena semua orang yang mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi di rumah Sie Cin Hai, berbondong-bondong pergi ke rumah itu.
Penduduk kota Shaning segera merawat jenazah Yousuf dan empat orang pelayan itu. Mereka semua menghormati Yousuf sebagai seorang kakek yang selain baik hati, juga peramah dan berpengetahuan luas. Apa lagi mengingat bahwa kakek ini adalah ayah angkat dari Sie-hujin (Nyonya Sie), maka tanpa ada yang perintah, mereka lalu membeli peti mati yang baik dan melakukan upacara sembahyang dengan segala kehormatan.
Setelah kelima jenazah itu dirawat baik-baik dan ditaruh di dalam peti mati, lima buah peti mati itu dijajarkan di ruang depan dan dipasangi lima meja sembahyang. Mereka, atas anjuran dari Kepala Kota Shaning, siang malam menjaga peti-peti ini, dan orang yang datang untuk bersembahyang serta ikut berduka cita, terus membanjir setiap waktu tiada hentinya. Mereka akan menunggu sampai datangnya Sie Cin Hai suami isteri, sebelum mengubur peti-peti itu.
Tiga hari kemudian, dari luar kota Shaning datang dua orang penunggang kuda, seorang laki-laki dan seorang wanita. Usia mereka kurang lebih tiga puluhan tahun, dan keduanya nampak gagah sekali.
Yang laki-laki berpakaian sederhana, wajahnya tampan dan tenang serta sikapnya gagah sekali. Gagang pedangnya nampak tersembul di atas punggungnya. Yang wanita cantik sekali dan senyumnya selalu meramaikan wajahnya yang manis. Juga wanita ini terlihat gagah perkasa dengan pedang yang tergantung pada pinggangnya. Mereka ini tidak lain adalah Sie Cin Hai dan Kwee Lin atau Lin Lin, Pendekar Bodoh dengan isterinya yang baru pulang dari barat.
“Hai-ko,” terdengar Lin Lin berkata dengan wajah berseri, “anak kita Lili tentu akan girang sekali melihat kita datang!”
Sinar gembira memancar dari wajah yang tenang dari Pendekar Bodoh itu pada waktu ia mendengar isterinya menyebut nama Lili, anak perempuannya yang nakal namun selalu mendatangkan kegembiraan itu.
“Girang?” katanya. “Kurasa di samping kegirangannya, ia akan cemberut atau menangis mencela kita yang tidak mau membawanya ketika pergi dulu. Tidak ingatkah kau betapa dia dulu menangis dan hendak memaksa ikut kalau tidak kubentak-bentak?”
“Memang dia agak keras hati dan bandel,” Lin Lin membenarkan.
“Seperti ibunya,” kata Cin Hai.
Lin Lin menengok kepada suaminya sambil cemberut. “Kau anggap aku keras hati dan bandel? Kalau begitu, mengapa kau dulu menikah dengan aku?”
Cin Hai tertawa. “Karena keras hati dan kebandelanmu itulah!”
“He?! Bagaimana pula ini?”
“Aku suka kepadamu karena kau adalah Lin Lin yang keras hati dan bandel!” Mereka saling pandang dan akhirnya keduanya tertawa bahagia. Memang, semenjak mereka menikah, sepasang suami isteri ini selalu masih suka bersendau gurau dengan gembira, menandakan bahwa mereka hidup bahagia sekali.
“Bagaimana pun juga Hai-ko, jangan kau terlalu keras terhadap Lili, dia masih kecil dan kecerdikannya memang tidak seperti anak kita Beng-ji.”
“Kalau terlalu dikasih hati dan dimanja, ia akan menjadi bodoh. Apa kau suka melihat ia menjadi bodoh seperti...” Cin Hai hendak berkata seperti ‘keledai’ akan tetapi ia didahului oleh isterinya.
“Seperti ayahnya!”
Sekarang Cin Hai yang menengok dan memandang kepada isterinya dengan hati agak mendongkol, karena ia baru saja memikirkan keledai yang bodoh sehingga ketika Lin Lin menyatakan bahwa anaknya bodoh seperti ayahnya, ia merasa seakan-akan dialah yang dipersamakan dengan keledai!
“Jadi kau anggap aku bodoh?”
Lin Lin tertawa geli sampai menekan perutnya dan dia menuding ke arah muka Cin Hai sambil berkata, “Tidak ada orang lainnya di seluruh dunia ini yang lebih bodoh dari pada Pendekar Bodoh! Kau masih berani mengaku bahwa kau tidak bodoh!”
“Dan kau suka kepada orang bodoh?” tanya Cin Hai masih mendongkol.
“Kalau kau tidak bodoh, aku tak akan suka kepadamu!”
Demikianlah, di sepanjang perjalanan mereka, setiap waktu kedua orang ini bersenda gurau, saling menggoda, seolah-olah mereka sedang melakukan perjalanan bulan madu dari sepasang pengantin baru! Kedua orang ini, terutama Cin Hai yang biasanya amat cermat pandangannya, lupa dalam mabuk kebahagiaan mereka, bahwa kesenangan dan kesusahan selalu timbul silih berganti.
Cin Hai yang telah kenyang mempelajari dan menghafal semua ujar-ujar kuno itu di masa kecilnya, pada saat-saat bergembira ria dengan isterinya seperti waktu itu, seakan lupa dengan bunyi ujar-ujar nasehat bahwa jangan terlalu bergembira dalam kesenangan dan jangan terlalu berduka dalam kesusahan!
Setelah sampai di gerbang kota, Lin Lin sudah tidak sabar lagi, ingin lekas-lekas melihat rumah, bertemu dengan Lili dan dengan ayah angkatnya, Yousuf. Maka dia mencambuk kuda yang ditungganginya agar berlari lebih cepat lagi. Cin Hai mengikuti dari belakang. Mereka berdua sama sekali tak melihat betapa orang-orang di pinggir jalan memandang kepada mereka dengan wajah pucat dan duka.
Baru setelah tiba di pekarangan rumah mereka, Lin Lin dan Cin Hai memandang dengan muka menjadi pucat dan dada berdebar keras. Untuk beberapa lamanya Lin Lin bahkan duduk saja di atas kudanya seperti patung tak kuasa bergerak karena seluruh tubuhnya seakan-akan menjadi kaku oleh kecemasan hebat.
Cin Hai melompat turun terlebih dulu dan segera menarik tangan isterinya. Keduanya lalu berlari cepat menuju ke ruangan depan di mana nampak meja sembahyang dan peti mati berjajar-jajar, hio yang sedang mengebulkan asapnya, dan banyak orang duduk sambil memandang mereka dengan muka sedih!
Kedatangan mereka disambut oleh Kepala Kota serta isterinya yang langsung memeluk Lin Lin sambil menangis.
“Kui-lopeh, apakah yang telah terjadi?” tanya Cin Hai. “Dan siapakah yang... meninggal dunia...?”
Sementara itu, Lin Lin segera bertanya dengan suara keras, “Mana anakku...? Mana... Ayah...?”
“Sabarlah, Taihiap, dan kau juga Lihiap,” kata Kepala Kota itu yang seperti juga semua orang lainnya, menyebut taihiap (pendekar besar) kepada Cin Hai, dan menyebut lihiap (pendekar wanita) kepada Lin Lin. “Memang telah terjadi hal yang sangat hebat selama kalian pergi. Terjadinya sudah tiga hari yang lalu. Seorang laki-laki brewok bersama dua orang kawannya yang tidak diketahui siapa adanya dan apa sebabnya, telah datang ke sini pada pagi hari tiga hari yang lalu kemudian orang brewok itu telah membunuh Yo-lo-enghiong (Orang Gagah Yo), juga membunuh mati empat orang pelayanmu.”
“Dan... Lili... bagaimana?” tanya Cin Hai dengan pucat, sedangkan Lin Lin memandang kepada Kepala Kota itu seakan-akan berada dalam sebuah mimpi buruk.
“Itulah yang membingungkan kami, Taihiap,” jawab Kepala Kota itu, “pada saat peristiwa itu, anakmu sedang pergi bermain keluar rumah, akan tetapi, meski kami telah mencari di setiap tempat, namun tak juga bertemu dengan Lili, entah ke mana ia pergi.”
Cin Hai mengangguk-angguk. “Hmm, jika orang sudah berani membunuh gakhu (mertua laki-laki), tentu ia berani menculik anakku pula.”
Mendengar ini, bagai meledaklah rasa marah yang telah mendesak-desak dalam dada Lin Lin.
“Keparat jahanam! Siapa dia itu dan di mana dia? Biar kukeluarkan isi perutnya!” Sambil berkata demikian, Lin Lin menggerakkan tangan kanannya dan…
“Srttt!” pedang Han-le-kiam yang pendek dan berkilau saking tajamnya itu telah dicabut keluar dari sarung pedang.
Cin Hai memegang lengan isterinya. “Sabarlah, dan tenanglah.”
“Bagaimana aku bisa bersabar kalau mendengar ada anjing berkeliaran di kota ini dan berani mengganggu Ayah serta Anakku? Mari, Hai-ko. Mari kita mencarinya sekarang juga! Hendak kulihat sampai bagaimana lihainya sehingga anjing itu berani main-main dengan aku!”
Cin Hai membujuk isterinya dan menarik tangannya. “Lebih dahulu kita harus memberi hormat dan menghaturkan maaf kepada gakhu karena kita telah meninggalkan dia. Kalau kita berada di sini, apakah hal ini akan dapat terjadi?”
Mendengar ucapan ini, dengan gerakan perlahan Lin Lin menengok ke arah peti Yousuf, dan tiba-tiba saja nyonya muda ini menjerit dan melemparkan pedangnya, lalu berlari ke depan peti mati Yousuf, lalu berlutut memeluki peti itu sambil menangis tersedu-sedu.
“Ayah... Ayah, ampunkan anakmu yang tak berbakti ini...” Lin Lin menjambak rambutnya sendiri sehingga menjadi awut-awutan! “Aku telah pergi meninggalkan Ayah... bersenang dan tertawa-tawa di jalan, tidak tahunya Ayah mengalami nasib seperti ini...!” Kemudian ia bangun berdiri dan mengepal tinjunya, memandang ke arah peti mati dengan air mata mengalir dan sepasang matanya yang dipentang lebar itu pun penuh air mata.
“Ayah! Bagaimana kau sampai kalah oleh anjing itu? Mungkinkah kau yang gagah ini kalah olehnya? Ayah! Katakanlah siapa orang itu, akan kucekik lehernya sekarang juga!” Akan tetapi ia teringat kembali bahwa ayah angkatnya telah mati, maka ia lalu menubruk peti mati itu dan sambil menangis menjerit-jerit dia berusaha membuka tutup peti yang telah dipaku.
Cin Hai tadi pun berlutut di belakangnya, dan ketika melihat perbuatan isterinya itu, dia cepat memegang lengannya dan berkata perlahan,
“Lin Lin, kau hendak berbuat apakah?”
“Buka! Buka! Aku hendak melihat ayahku...!”
Orang-orang yang berada di sana tidak dapat menahan mengucurnya air mata melihat pemandangan yang amat mengharukan ini, akan tetapi mereka kaget sekali mendengar nyonya itu hendak membuka peti! Juga Kepala Kota merasa terkejut dan kuatir sekali, maka dia melangkah maju dan berkata mencegah,
“Taihiap, lihat! Jangan dibuka peti itu...!”
Tiba-tiba Lin Lin melompat berdiri dan memandang kepada Kepala Kota itu dengan mata bernyala! “Apa katamu? Mengapa tidak boleh dibuka?”
Melihat wajah yang pucat seperti mayat dan mata yang bernyala marah itu, Kepala Kota melangkah mundur dua tindak dengan terkejut dan ucapan yang telah di ujung lidahnya terpaksa dia telan kembali!
“Hayo buka!” Sekali lagi Lin Lin memekik.
“Kui-lopeh, biarlah. Buka saja tutup peti mati ini supaya kami dapat memandang wajah gakhu sekali lagi,” kata Cin Hai perlahan sambil menahan jatuhnya air mata.
Kepala Kota she Kui itu hendak menjawab dan memberi keterangan, akan tetapi baru saja bibirnya bergerak, Lin Lin yang sudah tak sabar lagi itu membentak lagi,
“Hayo buka sekarang juga! Kalau kalian tidak mau, biarlah aku sendiri yang membuka!” Sambil berkata demikian, Lin Lin melangkah maju dan hendak membuka tutup peti itu dengan paksa.
Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau peti itu akan menjadi rusak bila Lin Lin mengerahkan tenaganya, maka ia segera memberi tanda sehingga Kepala Kota itu terpaksa menyuruh para penjaga untuk mengambil alat dan tutup itu dibuka dengan tangan-tangan gemetar oleh empat orang.
Peti dibuka perlahan. Semua orang menahan napas, sedang di sana-sini terdengar isak tertahan. Begitu peti itu terbuka dan Lin Lin bersama Cin Hai menjenguk ke dalam peti itu, keduanya langsung menjerit seakan-akan dari dalam peti itu melayang ular-ular yang menggigit mereka.
“Ayah...!!” Dan jeritan yang mengerikan ini disusul dengan robohnya tubuh Lin Lin. Dia pingsan!
“Gakhu...!” Cin Hai juga memekik dan mukanya berubah menjadi pucat sekali.
Siapa orangnya yang tidak akan merasa ngeri serta hancur hatinya melihat ayah dan mertuanya mati dalam keadaan demikian mengerikan, tanpa kepala! Akan tetapi, Cin Hai yang memiliki kekuatan batin luar biasa itu, dapat menekan penderitaan hatinya, dan setelah memandang sekali lagi ke arah tubuh Yousuf yang tak berkepala lagi itu, ia lalu menutup petinya dan menyuruh orang-memakunya kembali.
Ia kemudian mengangkat tubuh isterinya dan dipondong, dibawa masuk ke dalam rumah. Dia merasa kasihan sekali kepada Lin Lin dan memaklumi sepenuhnya akan perasaan dan penderitaan batin isterinya ini. Ayah Lin Lin yang asli, yaitu Kwee In Liang, tewas sekeluarganya terbunuh oleh orang, dan sekarang ayah pungutnya juga tewas terbunuh, bahkan dalam keadaan yang amat mengerikan.
Setelah siuman kembali, Lin Lin menangis sedih, dihibur oleh Cin Hai. Akan tetapi betapa pun juga, bencana besar yang menimpa keluarga Sie ini tidak mudah dihibur begitu saja, bahkan Pendekar Bodoh sendiri yang biasanya berlaku tenang dan berbatin kuat, kali ini duduk bengong seakan-akan semangatnya terbang melayang.
Peristiwa ini amat berat, tidak saja Yousuf telah terbunuh mati secara kejam sekali, akan tetapi juga anak mereka yang tersayang, Hong Li, telah diculik oleh pembunuh jahat dan kejam itu! Sungguh pun tak ada bukti yang nyata bahwa pembunuh itulah yang menculik Lili, akan tetapi siapa lagi kalau bukan pembunuh itu yang berani melakukan perbuatan keji ini.
“Aku harus mencarinya! Aku harus mencari jahanam itu, harus membunuhnya!” kata Lin Lin berulang-ulang sambil menangis!
“Tentu saja isteriku!” kata Cin Hai sambil memegang tangannya. “Akan tetapi kita harus berlaku tenang dan mempergunakan pikiran jernih. Ada sesuatu yang menghibur hatiku yaitu karena Lili diculik orang, maka tentu ia masih selamat. Jika penjahat itu bermaksud membunuh anak kita, tentu sudah ia lakukan di sini seperti yang diperbuatnya terhadap gakhu, tak perlu susah-susah diculiknya lagi. Hanya sayangnya, penjahat itu sama sekali tidak meninggalkan nama-nama yang jejak, sehingga sulitlah bagi kita untuk mencarinya karena kita tidak tahu ke jurusan mana kita harus mencari!”
Terhibur juga hati Lin Lin mendengar ucapan ini, karena memang kata-kata suaminya itu beralasan. Kalau penculik itu bermaksud membunuh Lili tentu tak perlu dibawanya pergi.
“Bagaimana pun juga, kita harus mencarinya!” katanya kemudian.
“Tentu saja, akan tetapi kita harus mengurus penguburan jenazah ayahmu dulu, dan kita harus melakukan penyelidikan di sini, kalau-kalau ada orang yang dapat menceritakan terjadinya peristiwa itu lebih jelas lagi!”
Penguburan kelima jenazah itu dilakukan dengan baik dalam suasana diliputi kesedihan. Sebagian besar penduduk kota Shaning mengantar dan kota itu nampak dalam suasana berkabung.
Setelah selesai penguburan, Cin Hai lalu mencari keterangan ke sana kemari kalau-kalau ada yang dapat menceritakan peristiwa itu lebih jelas lagi. Akan tetapi, orang-orang yang kebetulan lewat ketika peristiwa maut itu terjadi, sudah melarikan diri karena ketakutan, dan mereka hanya dapat menceritakan bahwa yang memegang golok berlumpur darah adalah seorang yang bermuka brewok dan kepalanya memakai ikat kepala warna merah dan walau pun kulitnya kuning, akan tetapi potongan mukanya seperti orang asing dan agaknya sebangsa dengan Yousuf, usianya kurang lebih empat puluh tahun.
“Bisa jadi orang itu adalah musuh dari gakhu,” kata Cin Hai sesudah memutar otaknya karena keterangan-keterangan itu amat sedikit, “mungkin sekali dia adalah seorang Turki. Ingatkah kau bahwa para pengikut Pangeran Muda dari Turki terdiri dari orang jahat yang berkepandaian tinggi? Siapa tahu kalau-kalau orang itu merupakan utusan dari Pangeran Muda yang merasa sakit hati terhadap gakhu.”
“Akan tetapi, mengapa dia menculik anak kita?” kata Lin Lin dengan hati sakit hati.
“Inilah yang harus kita selidiki. Sekarang tidak ada lain jalan bagi kita selain menyusul ke barat!”
“Ke Turki?” tanya Lin Lin memandang dengan mata terbelalak.
“Kalau perlu kita boleh menyusul ke sana. Akan tetapi, lebih baik kita mencari keterangan dan menyelidiki ke daerah barat di mana terdapat banyak orang-orang Turki.”
“Ke daerah Kansu di barat?” tanya pula Lin Lin.
Pendekar Bodoh mengangguk. “Kau masih ingat betapa kita pernah pergi ke daerah itu dan betapa para pengikut Pangeran Tua yang dipimpin oleh gakhu dan Suhu bertempur melawan pengikut-pengikut Pangeran Muda?”
Lin Lin mengangguk dan tentu saja dia masih ingat akan pengalaman-pengalamannya yang ketika mereka bersama kawan-kawan mereka yang lain mengembara ke barat ke daerah Kansu di mana mereka mengalami peristiwa-peristiwa hebat.
Memang di daerah ini terdapat banyak sekali orang-orang Turki, maka apa bila hendak mencari keterangan tentang pembunuh Yousuf yang disangkanya orang Turki itu, tidak ada lain tempat yang lebih tepat dan baik selain daerah Kansu.
“Baiklah aku menurut saja. Pendeknya, jangankan ke Kansu atau ke Turki, biar mesti ke seberang lautan sekali pun, aku harus dapat mencari jahanam itu!” kata Lin Lin.
“Dan kita sekalian mampir di Tiang-an, karena sudah setahun kita tidak bertemu dengan Kwee An,” kata Cin Hai.
Demikianlah, sepasang pendekar yang sedang bersedih hati itu kemudian menyerahkan penjagaan rumah mereka kepada para tetangga, lantas mereka berangkat menunggang kuda, mulai dengan usaha mereka mencari pembunuh Yousuf dan mencari anak mereka yang terculik orang…..
********************
Marilah sekarang kita ikuti nasib Hong Li atau Lili yang dibawa pergi oleh Bouw Hun Ti. Sebenarnya putera Balutin ini memiliki hati yang lebih kejam dan keji dari pada ayahnya. Tidak dibunuhnya Lili bukan sekali-kali timbul dari hati nuraninya, oleh karena manusia ini agaknya tidak memiliki pribudi sama sekali dan hatinya sudah membeku terhadap segala macam kebajikan dan sudah tak mengenal peri kemanusiaan lagi, seakan-akan ia adalah iblis bertubuh manusia!
Ia tidak membunuh Lili, pertama-tama untuk mendatangkan siksaan batin kepada orang tua anak itu, kedua kalinya oleh karena ia suka melihat kemungilan dan kejelitaan Lili dan diam-diam ia mengandung maksud yang amat busuk dan keji.
Dia hendak merawat anak perempuan itu karena dia dapat membayangkan bahwa paling banyak tujuh delapan tahun kemudian, anak perempuan ini akan menjadi seorang gadis remaja yang luar biasa cantiknya. Dan ia berniat mengambil anak ini sebagai isterinya apa bila anak itu telah besar kelak! Sungguh sebuah niat yang amat busuk dan keji!
Bouw Hun Ti menuju ke tempat tinggal suhunya, yaitu Ban Sai Cinjin, seorang tua yang berwatak jauh lebih rendah dari pada Bouw Hun Ti sendiri. Biar pun usianya telah lebih dari lima puluh tahun, akan tetapi Ban Sai Cinjin terkenal pula sebagai seorang yang gila perempuan dan di dalam rumahnya, ia mempunyai bini muda yang tidak kurang dari lima orang jumlahnya, masih muda-muda lagi cantik-cantik! Dia dapat melakukan hal ini oleh karena selain amat berpengaruh dan ditakuti orang, juga dia terkenal kaya raya.
Gedungnya besar dan mewah. Jubah luarnya terbuat dari pada kapas halus serta tebal yang berharga sangat mahal, ditambah pula dengan baju bulunya yang selalu menutup jubahnya. Juga tua bangka yang tidak tahu diri ini memilih warna yang mencolok untuk pakaiannya, jika tidak merah, tentu biru dan lain-lain warna yang membayangkan bahwa biar pun usianya telah tua, namun hatinya lebih muda dari pada seorang teruna!
Ban Sai Cinjin bertempat tinggal di dusun Tong-si-bun di Propinsi Hupei yang berdekatan dan berada di sebelah barat Propinsi An-hui. Oleh karena itu, sesudah keluar dari kota Shaning, Bouw Hun Ti langsung menuju ke barat dan memasuki Propinsi Hupei.
Jalan yang ditempuhnya ini berlainan dengan jalan yang ditempuh oleh Cin Hai beserta isterinya, oleh karena sepasang pendekar itu yang menuju ke Tiang-an tempat tinggal kakak Lin Lin yang bernama Kwee An, melakukan perjalanan lurus ke utara.
Biar pun Bouw Hun Ti memiliki kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi oleh karena jarak yang ditempuhnya memang jauh, maka tiga hari kemudian ia baru tiba di tapal batas Propinsi Hupei. Ia merasa bingung dan juga gemas sekali oleh karena Lili yang berada dalam pengaruh totokannya itu sama sekali tidak mau makan sehingga wajah anak itu pucat sekali serta tubuhnya lemas!
Apa bila berada dalam perjalanan, ia membebaskan anak itu dari totokan. Akan tetapi tiap kali memasuki kampung atau kota, ia menotoknya kembali pada urat gagu anak itu agar jangan sampai berteriak minta tolong.
Pada hari ketiga itu dia sampai di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Dusun ini adalah dusun Sin-seng-chun dan adanya dua buah rumah penginapan serta tiga buah rumah makan besar itu cukup menjadi bukti bahwa dusun itu cukup makmur dan banyak didatangi tamu dari luar!
Bouw Hun Ti menghentikan kudanya pada sebuah rumah makan yang terbaik, kemudian mengikat tali kudanya pada patok-patok yang telah disediakan di pinggir rumah makan itu. Kemudian ia menuntun Lili memasuki rumah makan.
Dia merasa gelisah bukan main dan merasa takut kalau-kalau anak perempuan ini akan menderita sakit dan mati di tengah jalan. Oleh karena itu, kali ini ia hendak memaksanya makan! Ia memesan arak dan masakan untuk diri sendiri dan minta semangkuk bubur untuk Lili.
Setelah pesanannya dihidangkan oleh pelayan rumah makan, dia lalu berkata kepada Lili dengan suara halus agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.
“Kau makanlah!”
Akan tetapi, seperti yang sudah dilakukannya selama dia diculik oleh Si Brewok itu, Lili menggelengkan kepala sambil mengatupkan bibirnya. Bouw Hun Ti benar-benar merasa kewalahan dan diam-diam dia merasa heran melihat kekerasan hati anak ini. Anak kecil baru berusia delapan tahun saja sudah berani berlaku nekad dan mogok makan selama tiga hari, sama sekali tidak mau menurut perintahnya! Ia mulai merasa ragu-ragu apakah kelak anak ini tidak hanya mendatangkan kepusingan dan kesukaran kepadanya.
“Makanlah!” katanya lagi dan kali ini kemendongkolannya membuat suaranya terdengar agak keras. Pelayan melayaninya dengan pandang mata kasihan lalu bertanya,
“Tuan, apakah Nona kecil ini menderita sakit?”
Bouw Hun Ti memang sedang marah sekali sehingga pelayan itu menjadi terkejut dan melangkah mundur.
“Mau apa kau tanya-tanya? Pergi!” bentak Bouw Hun Ti yang sedang marah itu dan pelayan tadi segera pergi dengan ketakutan seperti seekor anjing yang sedang diancam dengan cambuk.
“Mau makan atau tidak?” sekali lagi Bouw Hun Ti membentak Lili, akan tetapi Lili tetap menggeleng kepala.
Bukan main marahnya Bouw Hun Ti. Kalau saja di situ tidak banyak orang dan dia tidak ingin menimbulkan onar, tentu dia telah memukul kepala anak ini biar mampus seketika itu juga! Ia lalu mendapat akal dan tiba-tiba ia tersenyum menyeringai hingga mukanya nampak kejam sekali.
“Kau tidak mau makan, anak manis?” Sambil berkata demikian, dia lalu menepuk-nepuk punggung Lili, akan tetapi sebenarnya, di luar tahunya semua orang, dia telah melakukan tiam-hoat (totokan) pada jalan darah di punggung anak itu pula.
Lili merasa kesakitan yang luar biasa hebatnya menyerang seluruh tubuhnya, sehingga ia menggeliat-geliat kesakitan seperti cacing terkena abu panas! Kalau saja urat gagunya tidak tertotok, tentu dia akan menjerit-jerit kesakitan. Akan tetapi, karena dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya air matanya saja mengucur turun membasahi pipinya dan kulit mukanya sampai berkerut-kerut saking besarnya penderitaan nyeri yang menyerang tubuhnya! Bibirnya digigit-gigit sampai berdarah! Bukan main besarnya penderitaan anak kecil berusia delapan tahun itu.
“Bagaimana? Kau masih mau makan atau tidak?” tanya Bouw Hun Ti sambil tersenyum iblis.
Biar pun Lili masih anak-anak, akan tetapi ia adalah anak seorang pendekar besar, maka dia tahu apa artinya rasa sakit yang menyerang dirinya dengan hebat itu. Karena dapat menduga bahwa penculiknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan tentu akan terus menyiksanya apa bila dia membangkang, terpaksa dia menganggukkan kepalanya dan tangannya yang telah menggigil akibat kesakitan dan kelaparan itu, lalu meraba-raba mangkuk.
“Anak baik, kau makanlah yang kenyang!” Bouw Hun Ti berkata sambil menepuk-nepuk punggung anak itu.
Seketika itu juga lenyaplah rasa nyeri yang menyerang tubuh Lili tadi. Anak kecil mulai makan bubur dalam mangkuk dan biar pun dia makan dengan otomatis tanpa menikmati rasa bubur itu, namun ia merasa tubuhnya segar kembali, tidak lemas seperti tadi. Maka dihabiskanlah semangkuk bubur itu tanpa mau memandang wajah penculiknya, karena ia maklum betapa penjahat itu memandangnya dengan mengejek.
Para tamu yang berada di situ sama sekali tidak tahu akan kekejaman ini dan mereka ikut merasa lega melihat betapa ‘anak sakit’ itu makan dengan lahapnya.
“Nah, begitulah!” kata Bouw Hun Ti kepada Lili. “Dan mulai sekarang, kau harus menurut segala kata-kataku, kalau tidak, tentu kau akan menderita sakit dan siapakah yang akan susah kalau terjadi demikian?”
Dalam pendengaran orang-orang lain, ucapan ini seperti ucapan seorang ayah memberi nasehat kepada anaknya, akan tetapi dalam pendengaran Lili kata-kata itu merupakan ancaman bahwa kalau lain kali ia tidak menurut, ia akan menderita siksaan seperti tadi!
Akan tetapi, orang salah menduga apa bila mengira bahwa di antara semua orang yang berada di tempat itu tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi antara Si Brewok dan anak kecil itu!
Di sudut rumah makan itu, menghadapi meja seorang diri, duduk seorang lelaki berusia antara tiga puluh lima tahun. Orang ini berwajah putih, dan gagah, berambut hitam dan bermata tajam. Kumisnya pendek sedangkan jenggotnya hanya sekepal laksana jenggot kambing.
Yang aneh sekali adalah pakaiannya, karena pakaian yang dipakainya itu penuh dengan tambal-tambalan, akan tetapi terbuat dari pada bahan yang sangat bersih! Bahkan kain berwarna putih yang dipergunakan untuk menambal bajunya yang hitam itu pun demikian bersihnya seakan kain baru yang sengaja ditambalkan di situ! Juga pengikat rambutnya yang terbuat dari pada sutera itu sama sekali tidak sesuai dengan bajunya yang penuh tambal-tambalan seperti baju seorang pengemis!
Lama sebelum Bouw Hun Ti masuk, orang ini telah masuk dan duduk di dalam restoran, dan kelakuannya sudah membuat semua orang terheran. Tadinya, pelayan yang melihat seorang berbaju tambal-tambalan memasuki restoran, lalu menyambutnya dengan muka masam dan berkata dengan nada menghina,
“Tidak ada tempat untuk golongan pengemis di restoran ini!”
Orang yang berbaju tambal-tambalan itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum sambil menjawab, “Yang kau layani semua ini orangnya atau pakaiannya?”
“Apa maksudmu?” tanya pelayan yang sombong itu.
“Kau memandang orang dari keadaan pakaiannya, orang semacam kau ini benar-benar menyebalkan!”
“Aku tak peduli tentang pakaian, pendeknya kau punya uang atau tidak? Bagimu, semua pesanan makanan harus dibayar dimuka!”
Sikap serta omongan pelayan ini memang benar-benar kurang ajar sekali. Akan tetapi orang itu masih tetap tersenyum sabar, sungguh pun jawabannya menyatakan bahwa ia amat mendongkol.
“Berapa kau menjual kepalamu? Kiranya aku sanggup membayarnya!” Sambil berkata demikian, orang itu merogoh sakunya dan ketika ia menarik kembali tangannya ternyata bahwa ia telah menggenggam beberapa potong uang perak dan emas!
Tentu saja pelayan itu menjadi sangat malu dan juga tercengang ketika melihat seorang berpakaian tambal-tambalan mempunyai uang perak sebanyak itu, bahkan memiliki uang emas pula. Tanpa dapat berkata apa-apa lagi dia lalu mengundurkan diri dan lain orang pelayan lalu melayani orang berbaju tambalan itu.
Sungguh amat baik nasibnya pelayan tadi, karena kalau sampai orang berbaju tambalan itu turun tangan, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Kalau saja dia tahu siapa adanya orang ini, tentu dia akan menjadi ketakutan sekali, dan untungnya orang itu tidak menyebut namanya.
Orang berbaju tambalan itu adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti) dan namanya telah terkenal di segenap penjuru, karena di samping ilmu kepandaiannya amat tinggi juga Lo Sian terkenal sebagai pendekar pembasmi kejahatan. Pendekar yang suka mengenakan pakaian tambal-tambalan ini sebenarnya adalah salah seorang tokoh dari Thian-san-pai, yang sedang turun gunung berbareng dengan seorang suheng-nya (kakak seperguruannya).
Kakak seperguruannya juga selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan jika pakaian Lo Sian masih terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak seperguruannya itu amat buruk dan kotor, seperti pakaian pengemis tulen. Suheng-nya ini bernama Nyo Tiang Le dan dijuluki Mo-kai (Pengemis Iblis)!
Julukan ini diberikan orang kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang laksana iblis mengamuk apa bila dia menghadapi orang-orang jahat. Di dalam memusuhi orang-orang jahat, Nyo Tiang Le memang bertindak secara ganas dan tak kenal ampun, maka semua orang menjadi ngeri dan jeri melihatnya sehingga dia diberi julukan Pengemis Iblis!
Secara kebetulan sekali Lo Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-seng-chun dan makan di restoran itu sehingga dia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun tangan Lili. Lo Sian hanya memandang sambil lalu saja, karena sungguh pun dia telah memiliki pengalaman yang luas dan mengenal hampir semua orang gagah di kalangan kang-ouw, akan tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang dari Turki itu.
Akan tetapi ketika ia mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu, dia merasa heran dan memandang juga. Dia merasa heran mengapa anak itu tidak mau makan, sedangkan mellhat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak itu sedang menderita lapar sekali. Diam-diam ia pun merasa heran melihat wajah laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam dia mulai menaruh perhatian, sungguh pun dia hanya memandang dengan kerling matanya saja.
Alangkah terkejutnya hati Lo Sian ketika kemudian dia melihat betapa laki-laki brewok itu menepuk-nepuk pundak anak perempuan itu kemudian tiba-tiba dia menotok jalan darah Koan-goan-hiat anak itu! Ia merasa kaget bukan main karena totokan itu dapat membuat anak itu tewas seketika, atau setidaknya mendatangkan rasa sakit yang hebatnya luar biasa!
Gilakah Si Brewok itu? Mengapa ada orang memperlakukan anak sendiri semacam itu? Lo Sian memandang tajam dan hampir saja dia bertindak untuk memberi hajaran kepada orang kejam ini, kalau saja pada saat itu Bouw Hun Ti tidak sudah melepaskan Lili dari pengaruh totokannya kembali.
Jelas kelihatan oleh Lo Sian betapa anak perempuan itu menahan sakit dan biar pun air mata anak itu bercucuran, akan tetapi tidak sedikit pun suara isak keluar dari mulutnya. Ia berdebar deras karena kini ia menduga bahwa anak perempuan ini tentu telah ditotok urat gagunya yang membuatnya sama sekali tidak dapat mengeluarkan suara. Hatinya mulai menaruh curiga kepada orang brewok itu dan dia menduga bahwa orang ini tentu seorang penculik anak kecil. Lo Sian mulai bersiap untuk menyelidiki perkara ini dan jika perlu menolong anak itu.
Akan tetapi pada saat itu terjadilah hal lain yang cukup meributkan. Orang melihat betapa Bouw Hun Ti tiba-tiba saja melemparkan daging yang sedang dikunyahnya ke atas lantai sambil menyumpah-nyumpah.
“Bangsat dan penipu belaka pemilik rumah makan ini!” Ia menyumpah-nyumpah sambil memegang pipinya.
Sesungguhnya, tanpa disengaja, Bouw Hun Ti yang mempunyai penyakit gigi, kena gigit sepotong tulang kecil yang bersembunyi di dalam daging sehingga sakitnya bukan main dan membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut serasa mau pecah. Siapa yang pernah menderita sakit gigi tentu akan dapat membayangkan rasa sakit yang diderita oleh Bouw Hun Ti pada saat itu.
Penyakit ini memang paling jahat dan berbahaya karena membuat orang naik darah dan terutama sekali Bouw Hun Ti yang berwatak buruk itu, tiba-tiba menjadi marah sekali. Ia lantas memegang mangkok tempat masakan itu dan membantingnya ke lantai sehingga hancur berkeping-keping!
Pelayan yang tadi menghina Lo Sian adalah pelayan kepala dan dia memang terkenal beradat keras serta sombong. Tadi dia sudah ‘kecele’ oleh Lo Sian sehingga sedikitnya kesombongannya tersinggung, maka hal itu membuat dia merasa malu dan mendongkol. Kini naiklah darahnya melihat ada orang yang membuat ribut. Dengan langkah lebar dia menghampiri lalu membentak,
“Orang kasar dari manakah yang berani mengacau di rumah makan kami? Mengapa kau memaki-maki dan merusak barang kami? Kau harus mengganti harganya!”
Pelayan itu memang sedang sial dan ia benar-benar mencari penyakit sendiri. Bouw Hun Ti yang sedang menderita sakit gigi dan sedang marah-marah itu seperti api yang mulai menyala, kini seakan-akan api itu disiram pula dengan minyak hingga makin berkobar. Ia lalu bangkit berdiri dengan perlahan dan kedua matanya seakan-akan hendak menelan bulat-bulat pelayan itu.
“Apa katamu tadi...?” katanya perlahan dengan muka merah. “Kau sudah menipu orang, menjual daging liat dan tulang, masih tidak mau mengaku salah bahkan berani memaki aku?”
“Siapa bilang kami menjual daging liat dan tulang? Barangkali gigimu yang telah ompong sehingga tak kuat mengunyah daging!” pelayan itu tidak mau kalah dan beberapa orang terdengar tertawa mendengar ucapan ini.
Diam-diam Lo Sian memandang dengan penuh perhatian dan hati tertarik. Ia tahu bahwa pelayan itu terlalu sombong dan akan mengalami celaka. Benar saja, tiba-tiba Bouw Hun Ti yang mendengar ucapan ini lalu membungkuk dan mengambil sekerat daging yang tadi dilemparnya, kemudian sekali dia mengayun tangan, daging itu melayang dan tepat menotok jalan darah di dadanya.
Pelayan itu segera menjerit keras, lantas roboh dan bergulingan sambil berteriak-teriak, “Aduh...! Mati aku...! Aduh...! Aduh...!”
Gegerlah semua tamu dan pelayan yang ada di situ. Dua orang pelayan yang bertubuh tinggi besar melangkah maju.
“Bangsat kurang ajar! Kau berani memukul orang?”
Dua orang pelayan itu juga mencari penyakit, pikir Lo Sian yang menonton keributan itu sambil tersenyum simpul.
Akan tetapi dua orang pelayan yang hanya memiliki tenaga besar karena tiap hari dilatih mencacah bakso, tidak dapat melihat bahwa Bouw Hun Ti memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Karena itu, dengan kepalan tangan mereka lalu menyerang hebat untuk memberi hajaran kepada Si Brewok itu. Akan tetapi, Bouw Hun Ti sama sekali tidak pedulikan datangnya pukulan kedua orang itu, bahkan lalu maju menyambut dengan kedua tangan terulur maju merupakan cengkeraman garuda.
“Bukk! Bukk!”
Dua pukulan itu tepat mengenai dada dan pundak Bouw Hun Ti, akan tetapi aneh sekali. Si Brewok itu seakan-akan tidak merasa sama sekali, sebaliknya dua orang pelayan itu memekik kesakitan dan memandang tangan mereka yang kini menjadi bengkak dan biru setelah memukul tubuh yang mereka rasakan keras seperti besi itu!
Sementara itu, cengkeraman tangan Si Brewok sudah mencapai sasaran, yakni rambut kedua orang pelayan itu. Ketika Bouw Hun Ti mengangkat kedua lengannya maka tubuh dua orang itu terangkat ke atas dan Bouw Hun Ti lalu menggerakkan kedua tangannya, membenturkan kepala dua orang itu satu kepada yang lain.
“Dukk!”
Ketika Bouw Hun Ti melepaskan tangannya, dua orang pelayan itu roboh dengan tubuh lemas dan pingsan serta kepala mereka yang saling bertumbuk tadi pecah kulitnya dan mengeluarkan darah! Masih untung bagi mereka bahwa Bouw Hun Ti tak menggunakan seluruh tenaganya, karena kalau Si Brewok mau, dua butir kepala itu pasti akan menjadi pecah dan nyawa mereka berdua akan melayang!
Pada saat itu dari luar pintu terdengarlah bentakan keras dengan suara yang parau,
“Jago dari manakah memperlihatkan kegagahan di sini?” Bentakan ini disusul masuknya seorang laki-laki berpakaian mewah dan bertubuh tinggi besar bermuka hitam.
Inilah Tiat-tauw-ciang (Si Kepala Besi) yang bernama Thio Seng, seorang yang terkenal sebagai jago di dusun itu. Thio Seng tidak saja mempunyai kepandaian silat yang tinggi, akan tetapi dia juga terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Selain mempunyai banyak tanah, juga rumah makan itu adalah miliknya. Pengaruhnya sangat besar dan agaknya pengaruhnya ini yang membuat para pelayannya berwatak sombong.
Pada waktu terjadi pertempuran di rumah makan itu, kebetulan sekali Thio Seng sedang berada di luar rumah makan, maka dia langsung mendengar dari para pelayan tentang mengamuknya seorang tamu. Dengan marah dia lalu masuk ke dalam rumah makannya dan membentak Bouw Hun Ti.
Ketika melihat seorang tinggi besar bermuka hitam memasuki pintu rumah makan, Bouw Hun Ti yang masih marah itu bertanya dengan suara kasar,
“Muka Hitam, siapakah kau dan mau apa?”
Thio Seng dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu silat, maka dia menjawab sambil mengangkat dada,
“Akulah yang disebut Tiat-tauw-ciang Thio Seng dan pemilik rumah makan ini!” Dengan ucapan ini Thio Seng menduga bahwa orang itu tentu sudah mendengar namanya dan akan minta maaf menyatakan tidak tahu bahwa restoran itu miliknya.
Akan tetapi, selama hidupnya Bouw Hun Ti belum pernah mendengar nama ini, maka dia menjawab, “Tidak peduli pemilik rumah ini bernama kepala besi atau pun kepala udang, orang telah melakukan penipuan di dalam rumah makan ini! Daging keras dan busuk tapi dijual!”
Marahlah Thio Seng mendengar ini. “Eh, kau sombong sekali, sobat! Siapakah kau yang tidak tahu aturan ini?”
“Siapa adanya aku bukan urusanmu! Dan jangan kau menghadang di jalan, aku hendak pergi!” Sambil berkata begini, Bouw Hun Ti memegang tangan Lili dan hendak menarik gadis cilik itu keluar dari sana.
Akan tetapi Thio Seng berdiri sambil bertolak pinggang dan berkata,
“Hemm, sabar dulu, sobat! Kalau kau tidak mengganti kerusakan ini dan memberi uang obat kepada pelayan-pelayanku serta berlutut minta ampun kepada Tiat-tauw-ciang, kau jangan harap bisa keluar dari sini!” Sambil berkata demikian, Thio Seng membuka jubah dan topinya, dan kini nampaklah kepalanya yang licin tidak berambut di bagian muka dan tengah, mengkilap bagaikan digosok dengan minyak.
Inilah kepalanya yang sangat ditakuti orang, karena dengan kepala ini, Thio Seng pernah mengalahkan banyak jago silat, bahkan pernah pula berdemonstrasi membentur dinding dengan kepalanya sehingga dinding bata yang tebal itu menjadi pecah!
Mendengar ucapan orang she Thio itu, Bouw Hun Ti tidak dapat menahan marahnya lagi. Dia segera melepaskan tangan Lili dan melangkah maju sambil menendang meja kursi yang berada di dekatnya untuk mencari ruang yang lebih lebar.
“Kau mau melakukan kekerasan? Baik, agaknya kau ingin pula dihajar!”
“Rasakan pukulanku!” Thio Seng berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan.
Melihat gerakan yang keras dan cepat itu, Lo Sian yang masih duduk di sudut diam-diam memuji dan maklum bahwa Si Muka Hitam yang kasar ini memiliki kepandalan yang tidak rendah.....
Akan tetapi, dia merasa terkejut dan kagum ketika melihat gerakan Bouw Hun Ti. Ketika pukulan Thio Seng itu telah menyambar dekat dengan dadanya, mendadak Bouw Hun Ti segera melembungkan dadanya tanpa menangkis sedikit pun. Padahal melihat kerasnya pukulan, Lo Sian maklum bahwa hal itu amat berbahaya.
“Bukkk!”
Terdengar suara keras saat pukulan itu tepat menghantam dada, akan tetapi aneh sekali. Bukan Bouw Hun Ti yang roboh, bahkan tubuh Thio Seng yang terjengkang ke belakang seakan-akan dia baru saja terdorong oleh tenaga amat besar!
Lo Sian terkejut benar-benar karena sesungguhnya tak pernah disangkanya orang yang brewok itu memiliki lweekang yang demikian tingginya! Sungguh seorang yang memiliki kepandaian tinggi, lawan yang amat tangguh, pikirnya.
Oleh karena itu, maka maksudnya hendak menolong anak perempuan itu dipikirnya lagi masak-masak. Dia harus menggunakan siasat untuk menolong anak itu, karena dengan jalan kekerasan, belum tentu dia akan dapat menangkan Si Brewok itu.
Sementara itu, Thio Seng yang barusan memukul, merasa terkejut dan marah karena dia merasa seakan-akan memukul karet. Biar pun tangannya tidak menjadi bengkak seperti tangan pelayannya ketika tadi memukul Bouw Hun Ti, akan tetapi dia sudah terpental ke belakang oleh kehebatan tenaga lawan. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka Thio Seng lalu mengambil jalan pendek dan nekat.
“Bangsat rendah, awas serangan balasanku!” serunya dan tubuhnya lantas membungkuk dengan kepala di depan dan matanya melirik tajam bagaikan laku seekor kerbau jantan yang hendak menyerang.
“Hemm, majulah, hendak kurasakan betapa empuknya kepala tahumu!” kata Bouw Hun Ti sambil memasang perutnya ke depan!
Pada saat itu Lo Sian sudah mendapatkan akal untuk bertindak. Dia tadi melihat betapa dengan menggunakan sepotong daging Si Brewok itu dapat menyerang lawannya. Maka secara diam-diam dia lalu mengambil sekerat daging yang agak keras, kemudian setelah membidik dengan hati-hati, dia lalu menyambitkan daging itu ke arah leher Lili.
Anak ini sedang asyik menonton pertempuran dan selama tiga hari itu Lili tiada hentinya merasa heran serta marah kenapa ayah dan ibunya, juga kakeknya, tidak mengejar dan memberi hajaran kepada penculiknya ini!
Tadi ketika melihat para pelayan menyerang Bouw Hun Ti, ia mengharap agar Bouw Hun Ti akan kalah dan binasa. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika melihat bahwa para pelayan yang hanya pandai berlagak itu dengan mudah dapat dirobohkan oleh Si Brewok yang amat dibencinya itu. Pengharapannya menipis dan kemudian anak ini merasa putus asa, bahkan kini dia merasa menyesal kepada ayah ibu serta kakeknya yang tidak juga muncul untuk menolongnya!
Ketika daging yang disambitkan oleh Lo Sian dengan tepat mengenai lehernya sehingga tiba-tiba dia merasa betapa kekakuan leher dan lidahnya lenyap, yang dapat dia serukan hanya jeritan, “Ayah... Ibu... tolong...!”
Pada saat itu, Bouw Hun Ti tengah menghadapi Thio Seng yang hendak menyerangnya dengan kepala. Bukan main kagetnya mendengar suara Lili karena dia tahu betul bahwa anak itu sudah ditotok jalan darahnya. Dengan heran Bouw Hun Ti menengok dan pada saat itu pula, Thio Seng sudah menyeruduk maju, menyerang perut Bouw Hun Ti dengan kepalanya yang botak licin!
Tadinya Bouw Hun Ti tidak bermaksud membunuh pemilik rumah makan ini dan hanya hendak mempermainkannya. Akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang menengok sehingga keadaannya amat berbahaya, ketika ia merasa betapa angin serudukan kepala dari Si Muka Hitam itu sedemikian kuatnya dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindarkan diri, ia lalu mengerahkan sinkang-nya dan...
“Ceppp!”
Kepala Thio Seng menancap pada perutnya laksana anak panah menancap pada batang pohon! Memang betul-betul luar biasa karena kini tubuh Thio Seng menjadi kaku, kepala menancap di perut Bouw Hun Ti dan kakinya terangkat lurus ke belakang!
Dengan sinkang-nya yang benar-benar luar biasa sekali Bouw Hun Ti sudah menyedot perutnya sehingga rongga perutnya menjadi kosong, lantas pada waktu kepala lawannya menyeruduk perutnya dia segera menggunakan tenaga lweekang untuk menggencet dan menolak tenaga serudukan itu!
Ketika Bouw Hun Ti melembungkan perutnya lagi, tubuh Thio Seng terlempar dan roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Ternyata bahwa penolakan tenaga dari perut Bouw Hun Ti sudah membuat tenaga serudukan Thio Seng balik menyerang kepalanya sendiri sehingga dia mendapat luka di dalam kepala dan tewas pada saat itu juga!
Melihat hal yang mengerikan ini, segera ributlah keadaan di situ. Dan ketika Bouw Hun Ti menengok untuk membawa pergi Lili, dia melihat anak itu sudah dipondong oleh seorang laki-laki berpakaian tambal-tambalan!
“Lepaskan anak itu!” seru Bouw Hun Ti dan tangannya diulur ke depan sedangkan kedua kakinya melompat dalam serbuan itu.
Lo Sian melihat tangan Si Brewok menyambar ke jalan darah Tai-twi-hiat, maka dia cepat mengangkat tangan kirinya menangkis. Dua tangan orang-orang yang berilmu tinggi dan ahli lweekeh bertemu dengan keras dan Lo Sian terpental ke belakang! Untung ia berlaku waspada dan hanya terhuyung-huyung saja tidak sampai roboh, sedangkan Bouw Hun Ti juga melangkah mundur dua langkah.
Bukan main marahnya Bouw Hun Ti, dan berbareng dia juga merasa terkejut karena tak pernah disangkanya di tempat itu ia akan bertemu dengan seorang yang memiliki tenaga lweekang demikian tingginya.
“Bangsat rendah kau ingin mampus!”
Dan dia lalu bergerak maju kembali untuk melakukan serangan.
Akan tetapi, para pelayan bersama beberapa orang kaki tangan Thio Seng yang melihat betapa Thio Seng telah terbunuh oleh orang brewok itu menjadi marah dan kini serentak maju menyerang dengan senjata di tangan. Hal ini membuat Bouw Hun Ti terpaksa harus menunda niatnya menyerang Lo Sian, dan sebaliknya dia segera memutar tubuhnya dan menghadapi para penyerangnya.
Bukan main ributnya pertempuran itu, karena biar pun Bouw Hun Ti tidak menggunakan senjata, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak, pedang dan golok beterbangan dan tubuh para pengeroyoknya jatuh tumpang tindih dan malang melintang! Jangan kata sampai kena pukulan dan tendangan Bouw Hun Ti, baru keserempet sedikit saja sudah membuat para pengeroyok itu bergulingan jatuh tak dapat bangun pula!
Tentu saja kehebatan sepak terjang Si Brewok ini membuat pengeroyok lainnya menjadi terkejut dan gentar hingga mereka merasa ragu-ragu untuk maju menyerang. Bouw Hun Ti cepat menengok, akan tetapi dia tidak melihat lagi pengemis berbaju tambalan yang tadi memondong Lili.
“Kau hendak lari ke mana?!” dia berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang melewati kepala para pengeroyoknya yang berdiri melongo di depan pintu!
Bouw Hun Ti melompat naik ke atas genteng memandang ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya orang yang sudah merampas anak itu. Bukan main marah dan mendongkol hatinya, tapi kepada siapakah dia harus melampiaskan rasa marahnya? Dia melompat turun lagi dan ketika dia melihat salah seorang di antara para pelayan itu memegang tali kudanya, dia cepat menyambar dengan tendangannya.
Pelayan yang bermaksud menahan kudanya itu menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar jauh, jatuh di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa pula! Untuk melampiaskan rasa kedongkolan hatinya karena Lili dirampas orang, Bouw Hun Ti telah membunuh seorang lagi!
Ia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat menuju ke barat, dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menyusul orang yang membawa lari anak kecil tawanannya itu. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Lo Sian, Si Pengemis Sakti itu, tidak membawa lari Lili ke barat, melainkan ke selatan!
Lo Sian lalu membawa Lili bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng tua yang terdapat di sebelah selatan dusun itu. Ia menurunkan Lili yang semenjak tadi meronta-ronta dalam pondongannya dan ketika diturunkan, Lili langsung melompat dan menyerangnya dengan pukulan kedua tangannya!
Lo Sian berseru terheran-heran. Bukan saja dia merasa heran mengapa anak ini begitu dilepaskan lalu tiba-tiba menyerangnya dengan marah, akan tetapi ia juga merasa heran melihat bahwa gerakan serangan anak kecil ini sangat indah dan baik sekali, merupakan tipu pukulan dari ilmu silat yang bermutu tinggi!
Ia mengelak cepat dan berkata, “Eh, ehh, anak baik, mengapa kau menyerang aku?”
Akan tetapi, tanpa berkata sesuatu apa pun, Lili terus menyerangnya dengan membabi buta, menggerakkan kedua tangan, bahkan mengirim tendangan dengan kakinya! Dalam keheranannya, Lo Sian menjadi gembira dan ingin melihat sampai di mana kepandaian anak ini dan ilmu silatnya dari cabang mana, maka dia tetap mengelak ke sana ke mari dengan cepatnya.
Makin lama makin terheranlah dia pada saat mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh Lili untuk menyerangnya, benar-benar merupakan ilmu pukulan yang luar biasa sekali gerak-geriknya dan yang sama sekali belum pernah dilihatnya! Dia paham dengan ilmu silat cabang-cabang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Gobi-pai dan lain-lainnya, akan tetapi ilmu silat anak kecil ini benar-benar belum pernah dilihatnya dan yang harus diakui amat hebat! Kalau ia tidak memiliki gerakan yang cepat, tentu ia telah kena terpukul, sungguh pun pukulan anak itu tentu saja tak akan mendatangkan bahaya apa pun terhadap tubuhnya.
Dia lalu mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan Lili, lalu merangkul anak itu.
“Anak yang baik, dengarlah. Aku bukan orang jahat!”
“Kau juga penculik!” tiba-tiba Lili berseru keras dan sepasang mata yang indah bening itu memandang tajam dan marah, bibirnya dikatupkan keras-keras.
Makin tertariklah hati Lo Sian melihat anak ini. Dia dapat menduga bahwa anak ini tentu bukan anak sembarangan, dan ia kagum sekali menyaksikan keberanian dan kekerasan hati anak ini.
“Bukan, bukan, anakku! Mungkin kau masih dipengaruhi oleh Si Brewok yang kejam tadi! Dia memang orang jahat dan aku menolongmu dan merampasmu dari tangannya!”
Lili memang cerdik dan setelah kini terbuka matanya dan tahu pula bahwa orang berbaju tambalan ini selain mempunyai wajah yang sabar dan baik juga kata-katanya tak sekasar dan seganas Si Brewok tadi, maka tiba-tiba saja dia menangis tersedu-sedu!
Lo Sian menarik napas panjang dan mengelus-elus kepala anak itu.
“Kasihan, anak yang baik. Kau siapakah dan anak siapa serta bagaimana pula sampai terjatuh ke dalam tangan penculik jahat itu?”
Lili masih merasa gemas kepada ayah ibunya yang sampai saat itu belum juga datang menyusul dan menolongnya. Karena ia masih kecil, maka ia tidak dapat berpikir jauh dan tidak tahu bahwa kedua orang tuanya tidak mungkin dapat menyusulnya dengan mudah karena tidak tahu ke mana ia dibawa pergi. Yang ia ketahui hanyalah ayah ibunya belum muncul dan dalam anggapannya, ayah ibunya itu seolah-olah membiarkan saja ia dibawa pergi oleh penculik jahat tadi!
Penderitaan-penderitaan yang dia alami selama tiga hari itu memang benar-benar hebat. Seorang anak kecil seperti dia, baru berusia delapan tahun, sudah dibawa lari seorang kejam seperti Bouw Hun Ti, lalu mengalami kekagetan, kelaparan, bahkan selalu berada dalam pengaruh totokan yang membuatnya gagu, dan tadi malah dia telah ditotok hingga merasakan kesakitan yang luar biasa.
Tentu saja dia merasa marah dan sakit hati mengapa ayah ibunya membiarkan saja dia menderita sehebat itu! Sekarang dia telah tertolong oleh seorang lain, tentu saja segala simpatinya tercurah kepada orang ini dan ada waktu dia melihat orang itu mengelus-elus kepalanya dan memandangnya penuh rasa terharu dan sayang, tiba-tiba dia memeluk Lo Sian dan menangis di atas dada pengemis sakti itu!
“Anakku sayang, sudahlah jangan menangis. Si jahat itu telah pergi dan kau tidak akan tersiksa lagi. Percayalah, dengan adanya aku di sini, tidak akan ada orang yang berani mengganggumu. Aku bernama Lo Sian dan kau boleh menyebutku Lo-pekhu. Siapakah namamu?” Lo Sian mengulang pertanyaannya.
Di dalam pelukan Lo Sian, Lili teringat kepada kakeknya, karena di samping ayah ibunya, orang yang mengasihinya hanyalah kakeknya itulah, karena ini ia seakan-akan mendapat pengganti kakeknya dalam diri Lo Sian ini.
“Namaku Lili,” jawabnya tanpa mengangkat muka dari dada Pengemis Sakti itu.
“Nama yang bagus!” kata Lo Sian. “Dan siapa Ayah Ibumu?”
Mendadak Lili mengerutkan alisnya dan dia memandang dengan marah kepada Lo Sian. Bibirnya yang manis itu cemberut, sedangkan matanya yang masih basah oleh air mata itu menyinarkan cahaya tajam yang membuat Lo Sian memandang makin kagum saja.
“Ayah ibuku tidak mau menolongku! Jangan kau tanyakan nama mereka!” Ia benar-benar marah dan mengepal tinjunya!
Lo Sian tersenyum. Alangkah pemarah dan galaknya anak ini, pikirnya. Akan tetapi, di dalam kemarahannya, anak ini benar-benar kelihatan gagah dan bersemangat. Tentu dia anak seorang pendekar, pikirnya.
“Baiklah, kalau kau tidak mau memberitahukan nama Ayah Ibumu, sedikitnya kau mau memberitahukan she-mu dan di mana pula kau tinggal.”
Lili tahu bahwa ayahnya bernama Sie Cin Hai dan ibunya bernama Kwee Lin, akan tetapi karena tadi dia sudah berkata tak hendak memberitahukan nama ayah ibunya, maka dia pun tidak mau memakai she (nama keturunan) mereka. Ia teringat akan nama kakeknya, maka ia menjawab,
“Aku she Yo dan di mana tempatku, aku tidak mau bilang karena aku tidak mau pulang!”
“Eh, ehh, kenapa tidak mau pulang? Ayah ibumu tentu akan mencari-carimu. Katakanlah di mana tempat tinggalmu agar aku dapat mengantar kau pulang ke rumah orang tuamu,” kata Lo Sian membujuk.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau pulang! Ayah dan Ibu tidak mau menolong dan mencariku, untuk apa aku pulang? Lopek, aku mau ikut kau saja!”
Lo Sian tersenyum. “Maukah kau menceritakan bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam tangan penculik kejam tadi?”
“Dia datang dan mengejarku ketika aku sedang bermain-main di luar rumah, di kampung lain. Aku tidak tahu mengapa ia membenci dan menculik aku!”
Lo Sian menjadi makin bingung. Anak ini tidak mau memberitahukan siapa orang tuanya dan di mana rumahnya, bahkan tidak mau pulang. Malah pancingannya untuk mendapat keterangan secara jelas ternyata gagal, dan mengapa Si Brewok tadi menculik anak ini pun masih merupakan teka-teki baginya.
Yang dapat memberi keterangan hanyalah Si Brewok tadi. Akan tetapi ia maklum bahwa Si Brewok itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya, karena dari peraduan lengan tangan mereka tadi saja dia segera maklum bahwa tenaga lweekang orang itu masih lebih tinggi setingkat dari pada tenaganya sendiri!
“Anak yang baik, ilmu silatmu baik sekali. Dari siapakah kau belajar ilmu silat itu? Siapa yang melatihmu?”
“Yang mengajarku Ayah, Ibu, dan juga Kakekku!”
Terkejutlah Lo Sian mendengar ini. Dugaannya tidak salah. Anak ini datang dari keluarga pendekar. Tidak saja ayahnya yang dapat silat, bahkan ibu dan kakeknya agaknya juga orang-orang berkepandaian tinggi.
“Siapakah nama kakekmu, Lili?”
“Kakekku she Yo, namanya aku tidak tahu.”
Lo Sian mengangguk-angguk dan menduga bahwa kakek she Yo itu tentulah ayah dari bapak anak ini, kalau tidak demikian tentu anak ini tidak ber-she Yo pula.
“Di antara ketiga orang tua itu, siapakah yang terlihai ilmu silatnya?”
Dasar anak-anak, biar pun ia sedang marah kepada orang tuanya, akan tetapi tentu saja dia paling suka membanggakan kepandaian mereka, oleh karena itu tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab,
“Tentu saja Ayahku! Ke dua Ibu, dan ke tiga Kakek.”
“Kalau misalnya Ayahmu bisa menyusulmu, apa kau kira Ayahmu akan mampu menang melawan penculik tadi?”
Tiba-tiba saja Lili tertawa geli dan suara ketawanya demikian nyaring sehingga Lo Sian kembali melongo. Anak ini benar-benar aneh, begitu tiba-tiba dapat tertawa lagi seriang itu. Ia tidak tahu bahwa anak ini memang mempunyai sifat seperti ibunya, bahkan suara ketawanya juga merdu dan nyaring seperti suara ketawa ibunya.
“Tak usah Ayah sendiri maju, menghadapi Kakekku saja, dalam tiga jurus pasti dia akan dapat dirobohkan!”
Lo Sian tentu saja tak mau mempercayai omongan anak itu yang dianggapnya membual belaka. Akan tetapi menilik dari ilmu silat yang tadi dimainkan oleh Lili, ia percaya bahwa keluarga anak kecil ini tentu memiliki ilmu silat yang tinggi.
Maka, sambil mencari-cari orang tua serta tempat tinggal anak ini, untuk sementara dia hendak membawa anak ini bersama dia, membawanya merantau dan melatih silat, oleh karena dia memang belum mempunyai murid dan anak ini tak akan mengecewakan apa bila menjadi muridnya.
“Baiklah, Lili, kau boleh ikut padaku, dan maukah kau belajar silat padaku dan menjadi muridku?”
Dengan muka girang Lili lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata, “Tentu saja suka, Suhu (Guru)!”
Demikianlah, mulai hari itu juga, Lili menjadi murid Lo Sian dan ikut Pengemis Sakti ini merantau. Biar pun beberapa kali Lo Sian membujuknya, akan tetapi dia tetap tidak mau memberi tahukan nama orang tuanya atau tempat tinggalnya hingga Lo Sian melakukan perjalanan sambil mencari-cari secara diam-diam, karena sesungguhnya dia ingin sekali mempertemukan anak ini dengan kedua orang tuanya kembali.
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR REMAJA : JILID-02