Pendekar Buta Jilid 05


Mendadak Loan Ki mendengar angin berdesir di belakangnya. Cepat dia menengok dan membalikkan tubuh, siap menanti penyerangan gelap. Akan tetapi tidak ada apa-apa dan ia melihat Ka Chong Hoatsu berdiri sambil tertawa bergelak. Ia memandang ke kanan kiri, semua orang yang berada di situ tertawa belaka.

Loan Ki mengangkat kedua pundaknya, kemudian membalikkan tubuh lagi terus berjalan menghampiri Kun Hong, menggandeng lengan pemuda buta itu dan berbisik, "Mari kita pergi, Hong-ko." Ditariknya pemuda itu.

"Ki-moi, kau tadi dipermainkan Ka Chong Hoatsu, buntalanmu di punggung apakah masih ada?" bisik Kun Hong.

Loan Ki terkejut, cepat meraba punggung dan... ternyata mahkota kuno yang berada di dalam buntalan itu telah lenyap! Ia cepat membalikkan tubuhnya memandang. Eh, kiranya mahkota itu kini sudah berada di tangan kiri Ka Chong Hoatsu yang masih tertawa-tawa.

"Hwesio tua, kau curi benda itu dari buntalanku, ya?" Loan Ki membentak sambil melotot.

Ka Chong Hoatsu semakin gembira tertawa. "Ha-ha-ha, pinceng tak akan melanggar janji nona cilik, tapi perlu membuktikan bahwa pinceng jauh lebih cepat dari padamu, sehingga benda ini kuambil tanpa kau dapat tahu atau merasa. Ke dua kalinya, benda ini kami tahan di sini sebagai undangan kepada ayahmu."

"Bagus! Ayah pasti akan datang untuk merampasnya dari tanganmu, hwesio sombong!"

Setelah berkata demikian, Loan Ki memperlihatkan muka marah dan menarik Kun Hong pergi dari situ, menuju ke pantai yang kini sudah dia ketahui jalannya. Setelah pergi jauh dan tidak terdengar lagi suara mereka di belakang, Loan Ki lalu berkata lirih, "Hayaaaa, sungguh berbahaya! Baiknya aku mendapat akal dan bisa menang berlomba lari"

"Kau memang cerdik, nakal dan... aneh...," kata Kun Hong.
"Bila tidak menggunakan kecerdikan, mana bisa kita ke luar dari tempat ini? He, Hong-ko, kau sudah kenal pemuda baju putih yang gagah tadi? Wah, dia kelihatan lihai sekali, ya? Dan dia telah menolongmu."

Kun Hong tersenyum. Terbayang dalam benaknya wajah Bun Wan yang memang gagah, dan terbayang pula wajah Cui Bi, maka bangkitlah perasaan bangga dan terharu, juga sedih. Cui Bi sudah mempunyai tunangan segagah Bun Wan, kenapa memberatkan dia? Padahal wajah dan bentuk tubuh Bun Wan benar-benar dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita, dan buktinya Loan Ki gadis lincah yang berhati angkuh ini sekali berjumpa terus memuji-muji.

"Dia putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja gagah dan lihai."

Hening sejenak. Kun Hong heran, merasa betapa gadis di sebelahnya yang sekarang menggandeng tangannya ini agaknya berpikir dan menimbang-nimbang, entah apa yang dipikirkannya.

"Tapi aku tidak suka kepadanya, Hong-ko," katanya tiba-tiba.
"Heee? Apa maksudmu? Kenapa tidak suka?" tanya Kun Hong heran karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang tak diduganya sama sekali. Tadi memuji sekarang tidak suka, bagaimana ini?
"Aku malah benci padanya! Dia tadi datang-datang memakimu sebagai seorang pemuda hidung belang yang senang merayu hati wanita. Sungguh pun pernyataan itu memang betul!"
"Ehh, kau juga menganggap aku begitu? Tidak betul itu..."
"Sudahlah, kau memang hidung belang! Jangan bantah lagi. Kulihat tadi gadis cantik jelita puteri Ching-toanio bermain mata dengan orang she Bun dari Kun-lun-pai itu. Hemmm, memang Hui Siang itu cantik jelita sekali, Hong-ko, cantik bagaikan bidadari. Heran aku mengapa kau tidak jatuh hati kepadanya, sebaliknya malah tergila-gila kepada Hui Kauw yang buruk rupa."

Kun Hong menarik napas panjang. "Aku tidak tergila-gila kepada siapa pun juga, Ki-moi... kau tidak tahu..."

Tiba-tiba Loan Ki berhenti melangkah dan Kun Hong juga terkejut ketika mendengar suara mendesis-desis. Mereka mencium bau yang amis. Ular! Banyak sekali ular menggeleser datang dari empat penjuru dan sebentar saja mereka terkurung ular yang amat banyak.

"Heeeiii, Ka Chong Hoatsu, tua bangka bau! Apakah kau begini tidak tahu malu untuk melanggar janjimu sendiri?" Loan Ki berteriak nyaring ke arah belakang

Tidak terdengar jawaban dari belakang, akan tetapi dari depan sana terdengar lapat-lapat suara wanita tertawa disusul kata-kata mengejek, "Ular-ular bukan manusia, tak termasuk dalam perjanjian. Yang ingin meninggalkan Ching-coa-to harus dapat melalui barisan ular hijau." Walau pun hanya lapat-lapat, jelas bahwa itu adalah suara Hui Siang gadis cantik jelita yang galak itu.

"Hui Siang budak genit!" Loan Ki berteriak marah. "Kau kira kami berdua tidak mampu membubarkan barisan anak-anakmu yang sial ini?"

Kun Hong sudah siap dengan tongkatnya untuk menghajar setiap ular yang berani maju mendekat. Akan tetapi Loan Ki menggandeng tangannya diajak maju terus.

"Hati-hati," bisik Kun Hong. "Siapkan senjatamu. Wah, sayang sekali mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu."

Loan Ki mengikik tertawa. "Kau kira aku begitu bodoh? Hayo maju terus, Hong-ko, jangan takut ular-ular itu. Mainan kanak-kanak!" dia menyombong dan menarik tangan Kun Hong untuk maju terus.

Kun Hong merasa heran dan kaget ketika mendengar betapa barisan ular itu menyimpang di kala mereka lewat, seakan-akan binatang-binatang itu takut kepada mereka.

"Ehh, bagaimana ini... Ki-moi, mengapa ular-ular itu..." tiba-tiba dia tersenyum, "Ha, kau benar-benar bocah nakal dan cerdik. Tentu mutiara-mutiara mustika itu sudah kau ambil dari mahkota."
"Hussh, diam saja, Hong-ko. Kau biar pun buta memang cerdik. Mari kita maju terus, itu pantai sudah tampak dari sini."

Dari jauh Loan Ki melihat bayangan Hui Siang berkelebat cepat disusul suara kecewa nona cantik itu yang agaknya terheran-heran dan kecewa melihat mereka berdua ternyata dapat lolos dari kurungan barisan ular secara mudah.

Sementara itu, Kun Hong dan Loan Ki sudah tiba di pinggiran telaga. Di sana tidak ada perahu, akan tetapi Loan Ki yang cerdik tidak menjadi bingung. Dengan pedangnya dia menebang pohon besar dua batang, mengikat dua batang pohon menjadi satu dijadikan rakit atau perahu. Dengan kepandaian dan tenaga mereka mudah saja bagi mereka untuk menggunakan perahu istimewa ini dan mendayungnya ke pantai seberang.

Sebentar saja mereka telah menurunkan perahu ke dalam air, Kun Hong duduk di depan sedangkan gadis itu di belakang. Keduanya sudah memegang sebuah dayung terbuat dari pada cabang pohon yang besar dan kuat.

"Ahooi...! Orang-orang Ching-coa-to...!" Loan Ki mengeluarkan suaranya sebelum perahu itu didayung ke tengah. "Aku sudah menerima penyambutan di Ching-coa-to, kalau kalian memang punya nyali, lain waktu kutunggu kunjungan balasan kalian di Pek-tiok-lim pantai Pohai."

Namun tidak ada jawaban. Loan Ki mendayung perahunya ke tengah menuju ke pantai yang tampak di seberang sana. Gadis ini tersenyum-senyum dan terlihat gembira sekali. Ditepuknya pundak Kun Hong.

"He, Hong-ko, kenapa kau diam saja? Hayo nyanyi lagi seperti ketika kita berangkat."

Melihat betapa Kun Hong tersenyum pahit, gadis itu mengerutkan keningnya dan berkata mengejek, "Aha, agaknya hatimu tertinggal di pulau itu, ya? Waah, memang kasihan Hui Kauw, dia amat mencintamu, Hong-ko!"

Ucapan ini mendebarkan jantung Kun Hong. "Ki-moi, kau terlalu mudah menuduh orang. Siapa sudi mencinta seorang tak bermata? Ki-moi, bagaimana kau bisa bilang begitu?"

"Ehh, siapa bohong? Kalau ia tidak mencintamu, tak mungkin ia sudi menjalani upacara pernikahan denganmu"

Kun Hong jadi semakin tertarik, karena memang hal yang amat aneh baginya itu sangat membingungkan. "Loan Ki moi-moi yang baik, apa bila kau tahu akan persoalan itu, kau ceritakanlah kepadaku. Sampai sekarang aku benar-benar masih bingung sekali. Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba mereka hendak mengawinkan aku dan kenapa pula ia tadinya suka melakukan upacara itu."

Loan Ki tertawa. "Semua gara-gara Ka Chong Hoatsu itulah. Karena tadinya aku dianggap oleh mereka ‘orang sendiri’ maka aku boleh mendengarkan semua perundingan mereka, hi-hi-hik. Sesudah kau menyembuhkan Hui Kauw, ibunya itu mendatangi Hui Kauw dan membujuknya agar suka menikah denganmu. Ibunya, si toanio yang jahat itu mengatakan kepada Hui Kauw bahwa kau juga sudah setuju menjadi suaminya, bahwa pernikahan itu sudah seharusnya karena perhubungan kau dengan Hui Kauw sudah menjadi buah bibir para pelayan dan kalau sampai bocor ke luar tentu akan mencemarkan nama Hui Kauw. Pula bahwa kau sudah menyembuhkan luka-lukanya dengan cara yang sebetulnya tidak boleh dilakukan oleh orang lain, yaitu menelanjangi tubuh bagian atas. Akhirnya Hui Kauw setuju. Biar pun dia tidak bilang apa-apa, buktinya dia tidak menolak ketika dirias seperti pengantin. Hi-hik aku geli dan juga muak melihat semua itu. Benar-benar tak tahu malu!"

Kun Hong mengerutkan keningnya. Dia merasa sangat berkasihan kepada Hui Kauw si nona bersuara bidadari itu. Sekarang dia dapat menerka apa yang sudah terjadi, dapat menyelami perasaan nona itu dan dapat menduga betapa hancur hatinya.

Sebelumnya dia sempat mendengar percakapan antara Hui Kauw dengan ibunya yang hendak memaksa anaknya itu berjodoh dengan Pangeran Mongol dan hal ini ditolak tegas oleh Hui Kauw. Lalu terjadilah kehebohan fitnah ketika dia muncul, disusul dengan terluka dan hampir tewasnya nona itu dan akhirnya pengobatan yang dia lakukan.

Agaknya karena keadaan amat terdesak Hui Kauw menerima saja keputusan dijodohkan dengan dia, ataukah di sana ada lain dasar? Cinta kasih? Tak mungkin! Mungkinkah kalau seorang gadis bidadari seperti Hui Kauw sampai jatuh cinta kepada seorang buta macam dia?

Tak mungkin, bantah hatinya. Betapa pun juga, karena dia tidak menyangka akan hal-hal ini sebelumnya, ketika mengetahui bahwa dia sedang melakukan upacara sembahyangan pengantin, dia sudah menolaknya. Tentu saja, dia dapat membayangkan ini dengan hati perih, tentu saja Hui Kauw amat tersinggung, bahkan terhina oleh penolakannya itu.

Gadis itu menjalani upacara hanya karena terhasut, dibohongi dan mengira bahwa dia pun sudah setuju. Siapa tahu gadis itu mendengar betapa dia menolaknya. Seorang gadis ditolak oleh mempelai pria! Alangkah hebat penderitaan batin gadis itu. Dapatkah gadis itu memaafkannya? Mungkinkah ada maaf untuk penghinaan sehebat itu?

"Tak mungkin!" kini jawaban hati Kun Hong disertai suara bibirnya yang bergerak.
"Apa yang tak mungkin, Hong-Ko?" Loan Ki bertanya.

Kun Hong kaget dan baru sadar bahwa dia terlalu dalam tenggelam dalam lamunannya. "Tidak apa-apa, Ki-moi. Aku hanya merasa heran akan sikapmu ketika berada di pulau. Pada saat aku menghadapi mereka kenapa kau malah merobohkan aku dengan totokan? Kenapa kau menyerangku secara menggelap? Bukankah perbuatan itu benar-benar aneh sekali, Ki-moi?"

Gadis itu cemberut. "Aneh apa? Habis melihat kau mati-matian melindungi dan membela Hui Kauw, siapa orangnya tidak menjadi dongkol hatinya!"

Kun Hong semakin heran. Mungkinkah gadis lincah ini timbul rasa cemburu dan iri hati terhadap Hui Kauw? Heran, tanpa adanya cinta mana bisa timbul cemburu dan iri hati? Apakah gadis ini... cinta kepadanya? Kun Hong menggeleng kepalanya keras-keras. Tak mungkin lagi ini!

"Ki-moi, kau benar-benar orang aneh. Mula-mula kau menotokku roboh, di lain detik kau malah membelaku ketika Ching-toanio hendak menghabisi nyawaku, lalu kau bersekutu dengan mereka, membiarkan aku dijadikan bahan permainan dan disuruh sembahyang. Kau diam saja malah juga ikut mentertawakan."
"Tentu saja. Biar pun mendongkol aku belum ingin melihat kau mampus. Tapi kau... kau kembali membela Hui Kauw mati-matian. Kau mencinta Hui Kauw seperti juga kau cinta Lauw Swat-ji si gadis genit puterinya Hui-houw Pangcu itu dan seperti kau cinta si janda muda pula. Cih, orang mata keranjang macammu mana patut dibantu?"
"Hemmm, lidahmu tajam luar biasa, adik Loan Ki. Akan tetapi mengapa kau tadi kembali membantu aku secara tiba-tiba dan mengajakku ke luar dari pulau itu?"

Suara Loan Ki terdengar kaku membayangkan kemengkalan hatinya, "Habis, ternyata kau tidak suka menikah dengan Hui Kauw, masa yang begini saja kau tanya?"

Makin heranlah Kun Hong. Mendengar ini semua, jawabannya hanya satu, yaitu bahwa gadis ini cinta kepadanya. Akan tetapi sikapnya sama sekali bukan seperti orang yang mencinta.

"Kau melongo seperti orang bingung. Benar-benar bodoh sekali. Masa yang begini saja tidak mengerti, Hong-ko? Kalau kau tergila-gila kepada seorang gadis masa aku harus berbaik kepadamu? Tidak sudi!"
"Ki-moi..." suara Kun Hong agak gemetar sebab ia amat khawatir kalau-kalau dugaannya betul, bahwa gadis ini cinta kepadanya. "Tentang hal itu... andai kata aku tergila-gila pada seorang gadis lain, ada sangkutan apakah dengan dirimu?"
"Sangkutan apa? Tentu saja aku tidak ada sangkut paut apa-apa! Akan tetapi, di depanku kau tidak semestinya tergila-gila kepada lain gadis, hemmm... pendeknya aku tidak suka, dan habis perkara!"

Kun Hong semakin tak mengerti. Gadis aneh. Akan tetapi lega juga dia karena didengar dari ucapan ini, agaknya dugaannya tidak betul, bahwa gadis ini tak mungkin jatuh cinta kepadanya.

"Sudah sampaikah ke tepi daratan, Ki-moi?"

Perahu batang pohon itu berhenti, menabrak karang.

"Sudah, mari kita melompat!" Dengan menggandeng tangan Kun Hong, Loan Ki mengajak pemuda itu melompat ke depan dan benar saja, mereka telah tiba di daratan.

Tapi begitu mendarat, serta merta Loan Ki menangis tersedu-sedu sambil mendeprok di atas tanah, menutupi mukanya dengan sapu tangan. Kun Hong heran dan kaget sekali.

"Ehh..., kenapa kau menangis?"

Sampai lama Loan Ki tidak dapat menjawab karena isak tangisnya membuat ia tak dapat berkata-kata. Kun Hong terpaksa berlutut di hadapannya dan berkali-kali mengajukan pertanyaan dengan hati cemas.

"Kau kenapakah? Sakitkah kau?" Dipegangnya nadi lengan gadis itu, ternyata tidak ada gangguan kesehatannya. "Kau tidak apa-apa, kenapa menangis?"
"Tidak apa-apa katamu? Enak saja kau bicara. Dasar kau tidak punya liangsim (pribudi), melihat orang terhina serendah-rendahnya malah kau berpura-pura tidak tahu dan masih bertanya-tanya segala!"
"Terhina? Kau? Oleh siapa dan bagaimana?" Kun Hong benar-benar bingung.

Tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan membanting-banting kaki, menangis lagi. Kun Hong juga bangun, menggeleng-geleng kepala dan makin bingung. Benar-benar dia tidak mengerti dan tidak dapat menduga apa yang menyebabkan gadis ini berhal seperti itu.

"Ki-moi, aku mengaku bodoh, kau katakanlah, siapa yang menghinamu dan dengan cara bagaimana aku benar-benar tidak mengerti!"
"Berkali-kali aku dikalahkan orang di pulau Ching-coa-to, aku tidak berdaya, bukankah itu berarti penghinaan-penghinaan yang paling rendah? Kau masih pura-pura bertanya lagi?" Ia membentak marah.

Kun Hong tersenyum, "Ah, itukah yang kau anggap penghinaan? Ki-moi, menang atau kalah dalam pertempuran merupakan hal yang lumrah di dunia persilatan, mengapa kau merasa terhina? Biar kalah dalam pertempuran asalkan tidak salah. Orang yang berada di pihak benar boleh kalah bertempur namun di dalam batin senantiasa merasa menang."

"Enak saja! Aku puteri tunggal dari Pek-tiok-lim, selama hidupku tak pernah kalah dalam pertempuran. Sekarang di pulau terkutuk itu berkali-kali dikalahkan orang, sedangkan kau seorang buta saja tidak pernah kalah. Bukankah ini memalukan sekali? Ahhh, celaka... celaka..." dan ia menangis lagi dengan amat sedihnya.

Kun Hong merasa kasihan. Dia akan berpisah dengan gadis ini dan kalau dia tinggalkan dalam keadaan begitu, kecewa dan berduka, sungguh dia tidak tega.

"Ki-moi, mari kuajari kau beberapa langkah yang akan membikin kau tidak mudah untuk dikalahkan orang lagi."

Seketika suara tangis gadis itu berhenti seperti seekor jangkerik terpijak. Malah suaranya mengandung kegembiraan besar, "Benarkah, Hong-ko? Kau hendak memberi pelajaran ilmu pukulan kepadaku?"

"Bukan ilmu pukulan, melainkan ilmu langkah rahasia. Kau lihat dan perhatikan baik-baik, semua ada dua puluh empat langkah rahasia. Lihat dan ingat baik-baik, aku mulai!" Kun Hong lalu memasang kuda-kuda dan mulailah dia menjalankan langkah-langkah rahasia berdasarkan Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas).

Melihat betapa Kun Hong melangkah dengan cara aneh, terhuyung-huyung, membongkok kadang-kadang jinjit (berdiri di atas ujung kaki), Loan Ki merasa kecewa. Agaknya tarikan nafasnya tidak terlepas dari pendengaran Kun Hong yang tertawa sambil berkata,
"Ki-moi, jangan kau pandang rendah ilmu langkah ini, kau cabutlah pedangmu dan kau boleh mencoba untuk menyerangku. Dengan langkah-langkah ini semua seranganmu akan gagal."

Dasar seorang gadis jujur, tanpa bai-sengki (sungkan) lagi Loan Ki mencabut pedangnya dan menyerang kalang-kabut. Akan tetapi ia merasa seperti menyerang bayangan saja. Kilatan pedangnya yang seakan-akan sudah akan mengenai Kun Hong sampai ia menjadi kaget sendiri, ternyata hanya lewat di samping tubuh pemuda itu yang terus melangkah dengan cara aneh itu. Lewat tiga puluh jurus ia pun berhenti menyerang dan menyimpan pedangnya.

"Wah, Hong-ko, hebat ilmu langkah itu. Mari kupelajari baik-baik. Kau melangkahlah, tapi jangan cepat-cepat!" katanya gembira sekali.

Maka belajarlah gadis itu dengan tekun dan penuh perhatian. Dasar ia berbakat baik dan memang sudah memiliki dasar-dasar yang kuat, setelah berlatih beberapa hari lamanya ia sudah hafal dan dapat melangkah dengan cukup baik. Saking girangnya gadis ini sambil menari-nari lalu memeluk Kun Hong!

"Hong-ko, terima kasih. Ilmu langkah ini apa namanya, Hong-ko?"

Kun Hong bingung. Pada waktu dia mempelajari ilmu langkah ini, dia sendiri tidak tahu namanya. Pikirannya bekerja, kemudian dengan cerdik dia berkata, "Inilah Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Amblas ke Bumi) sebanyak dua puluh empat langkah. Dengan ilmu ini setelah kau latih dengan sempurna, tidak mudah kau dirobohkan orang."

Dengan cerdik Kun Hong mengatakan ‘dirobohkan orang’ karena tentu saja dengan ilmu itu masih mungkin gadis yang lincah ini dikalahkan orang. Akan tetapi untuk dirobohkan, kiranya tidaklah mudah.

Loan Ki masih kegirangan, menari-nari dan melatih ilmu langkah yang baru ia pelajari itu. Memang pada dasarnya dia gesit dan lincah, tentu saja kini mendapatkan ilmu langkah yang ajaib itu, ia bagaikan seekor anak kijang tumbuh sayap! Saking asyiknya melatih diri, Loan Ki sampai tidak memperhatikan atau menengok lagi kepada Kun Hong.

"Nah, selamat berpisah, Ki-moi. Semoga Thian akan selalu memberkahimu dan terutama sekali, menuntunmu ke jalan benar."

Baru kaget hati Loan Ki ketika mendengar kata-kata ini. Ia berhenti dan menoleh. "Kau... hendak ke mana, Hong-ko?"

Kun Hong tersenyum, "Tiada pertemuan tanpa akhir di dunia ini, Ki-moi. Kini kita harus berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing. Kau pulanglah ke rumah orang tuamu yang tentu sudah mengharap-harap pulangmu sedangkan aku... aku akan pergi ke mana saja nasib membawaku."

"Ihh, jangan begitu, Hong-ko. Mari kau ikut saja dengan aku ke Pek-tiok-lim, ayah tentu senang bertemu denganmu."

Kun Hong menggeleng kepala. "Terima kasih, Ki-moi. Biarlah lain kali kalau kebetulan aku lewat di sana, aku akan singgah menyampaikan hormatku kepada orang tuamu. Sekarang belum waktunya. Nah, selamat tinggal, adikku. Jangan lupa, janganlah kau terlalu mudah membunuh orang. Kepandaian memang untuk menjaga diri dan membela kebenaran dan keadilan, akan tetapi sekali-sekali bukanlah untuk mendahului Tuhan mencabut nyawa orang. Selamat tinggal." Kun Hong melangkah sambil meraba-raba dengan tongkatnya.

"Hong-ko...!"

Akan tetapi Kun Hong tidak mau banyak rewel lagi. Dia tahu bahwa kalau dia melayani gadis ini, akan sukar baginya untuk dapat berpisah. Maka dengan nekat Kun Hong lalu menggunakan kepandaiannya berlari bagaikan terbang cepatnya sehingga sebentar saja lenyap dari pandangan mata Loan Ki yang berdiri bengong ketika tak mampu mengejar, kemudian mengusap-usap kedua matanya.

Kun Hong tidak berani terlalu lama berlari cepat seperti itu. Dia telah berlaku nekat untuk cepat-cepat meninggalkan Loan Ki. Kalau nasibnya sedang sial, mudah saja dia terjeblos ke dalam lubang atau terguling ke selokan ketika berlari cepat seperti itu tanpa dapat mengetahui apa yang berada di depannya. Setidaknya kepalanya bisa benjol terbentur sesuatu yang keras tanpa dapat dia elakkan. Baiknya dia ternyata mujur karena kebetulan sekali dia berlari cepat di atas tanah yang rata.

Segera dia memperlambat larinya ketika tidak mendengar suara Loan Ki mengejar dan pada detik selanjutnya dia hanya berjalan biasa, meraba-raba dengan tongkatnya dan menggerutu seorang diri. Dia marah kepada diri sendiri mengapa sekarang hatinya berhal lain dari pada biasanya.

Biasanya, semua pengalaman dan peristiwa yang menimpa kepadanya, sesudah berlalu tak akan dia kenangkan lagi, malah sebagian besar terlupa sudah. Akan tetapi mengapa sekarang benaknya penuh dengan kenangan di pulau Ular Hijau dan pendengarannya masih penuh suara yang halus seperti suara bidadari? Kenapa dia tidak dapat melupakan Hui Kauw?

Banyak pertanyaan mengaduk-aduk pikirannya. Kemana Hui Kauw sekarang? Bagaimana keadaannya? Mengapa gadis bidadari itu agaknya amat dibenci oleh ibunya dan adiknya? Kenapa pula beberapa kali Loan Ki menyebut nona bersuara bidadari itu sebagai ‘nona muka buruk’ atau ‘nona muka hitam’?

Benar-benar dia tidak dapat menjawab. Juga dia tidak mengerti mengapa suara nona itu menggores dalam-dalam di hatinya dan kesan satu-satunya di dalam hati adalah bahwa nona Hui Kauw adalah seorang nona seperti bidadari!

"Cui Bi... ahhh, Bi-moi... kau bantulah aku... mengapa hatiku begini lemah?" gerutunya beberapa kali dan sesudah dia mengerahkan kenangannya kepada mendiang kekasihnya itu, perlahan-lahan terusirlah kenangan mengenai Hui Kauw dan kegembiraannya bangkit kembali.

Sejam kemudian orang sudah dapat melihat orang muda buta ini berjalan keluar masuk hutan sambil berdendang dengan suara nyaring.

"Wahai kasih, aku di sini..."

Pada saat kebetulan dia memasuki sebuah dusun, maka nyanyiannya terhenti dan diganti teriakan-teriakan nyaring, "Usir penyakit... sembuhkan penyakit...! Jika di antara saudara ada yang sakit, cobalah beri kesempatan kepada saya untuk memeriksa dan mengobati! Biaya sesukanya, serelanya, cuma-cuma bagi si miskin!" Ucapan ini terus dia ulangi dan dengan cara inilah Kun Hong tidak sampai kehabisan bekal di perjalanan.

Banyak orang-orang kaya yang membalas budinya dengan hadiah banyak uang emas dan perak, akan tetapi banyak pula yang hanya membalas dengan ucapan terima kasih, malah tidak kurang jumlahnya mereka yang tidak saja menerima pemeriksaan cuma-cuma malah yang obatnya pun dibelikan oleh Kun Hong!
cerita silat online karya kho ping hoo
Hari ketiga semenjak dia meninggalkan Loan Ki, Kun Hong berjalan memasuki sebuah dusun di kaki gunung. Begitu telinganya mendengar suara orang-orang dusun, dia segera meneriakkan penawarannya untuk mengobati orang-orang yang sakit. Seperti biasa di setiap tempat yang dia datangi, teriakan ini selalu disambut ejekan dan cemooh dan selalu orang tidak mau percaya kepadanya sampai ada bukti dia menyembuhkan seorang sakit.

Wah, mana bisa orang buta menyembuhkan orang sakit, ejek mereka. Masih begitu muda lagi. Tentu hanya tukang menipu, kata yang lain pula. Malah ada yang secara mengejek menyakitkan hati berkata, "Mata sampai buta tidak bisa menyembuhkan, masih tak tahu malu hendak mengobati orang lain!"

Sekarang juga di dalam dusun itu, tak seorang pun menghiraukannya kecuali beberapa orang anak nakal yang mengikutinya sambil tertawa-tawa menggoda, bahkan ada yang meniru teriakan-teriakannya. Namun, seperti biasanya Kun Hong hanya tersenyum sabar, semenjak dia kehilangan Cui Bi dan kedua biji matanya, kesabarannya menebal.

Memang luar biasa sekali besarnya kesabaran Kun Hong, dan sangatlah mengharukan ketika ada beberapa orang anak nakal menggunakan batu-batu kerikil menyambitinya. Dia berhenti berjalan, menengok ke arah anak-anak itu dan berkata dengan suara halus tapi penuh peringatan.

"Anak-anak, senangkah hati kalian bisa mengganggu seorang buta? Kalian senang, akan tetapi yang kalian ganggu belum tentu senang. Anak-anak, coba kalian meramkan mata sejenak dan bayangkan keadaan seorang buta. Andai kata kalian tiba-tiba menjadi buta, tidak bisa memandang wajah ayah bunda kalian... kemudian kalian... kalian diganggu oleh anak-anak seperti sekarang ini, bagaimana rasa hati kalian?"

Ucapan ini halus dan sama sekali tidak mengandung kemarahan, akan tetapi langsung menusuk jantung anak-anak dusun itu. Memang bocah dusun amat jauh bedanya dengan bocah kota. Bocah dusun belumlah terlalu rusak oleh keduniawian, batinnya masih cukup bersih dan mudah mereka menerima hal-hal yang langsung menyinggung perasaan. Oleh karena ini, ucapan halus ini membuat mereka sejenak berdiam. Malah di antara mereka mulai saling menyalahkan karena mengganggu seorang buta.

Kun Hong gembira sekali, tertawa dan mengeluarkan beberapa keping uang tembaga, "Anak-anak baik, aku si orang buta tidak punya apa-apa, hanya ada uang kecil ini. Nah, bagi-bagilah rata di antara kalian."

Anak-anak itu semua adalah anak-anak dusun yang miskin. Tentu saja mereka menjadi girang sekali dan bersorak-sorak menerima hadiah yang sama sekali tidak tersangka-sangka itu. Yang paling besar maju menerima uang dari Kun Hong dan dibagi-bagilah uang itu merata.

Diam-diam Kun Hong kagum dan girang. Biar pun nakal seperti lajimnya anak-anak lelaki tanggung, namun ternyata bahwa mereka itu rukun dan jujur, terbukti ketika uang-uang dibagi tidak terjadi keributan.

"Paman buta ini baik sekali!" berteriak seorang anak kecil.
"Hari ini hari baik!" berkata yang lain. "Kita bertemu dengan kakek tua hampir mati di kuil rusak, kemudian dengan paman buta ini. Apa bila banyak orang seperti mereka berdua, alangkah senangnya hidup kita!"

Kun Hong tertarik lalu mendekat. "Anak-anak yang baik, siapakah kakek tua hampir mati?"

"Dia seorang kakek tua, tinggi besar seperti raksasa, tapi dia menderita sakit dan hampir mati. Biar pun hampir mati, dia amat baik, membagi-bagikan barang dan uangnya kepada kami!" kata seorang anak.
"Apakah dia tidak punya keluarga? Kenapa tinggal di kuil rusak?" Kun Hong mendesak, hatinya terharu.
"Dia bilang tidak punya keluarga, sebatang kara dan kuil rusak itu memang sudah tidak digunakan lagi. Dia luka-luka, yang paling hebat luka di tengkuknya, ihhh banyak sekali darahnya keluar."

Kun Hong segera memegang tangan anak itu, begitu cepat sehingga bocah itu kaget. Tak seorang pun di antara mereka ingat betapa anehnya seorang buta sanggup menangkap tangan anak itu seperti dapat melihat saja.

"Anak baik, hayo kau antarkan aku ke kuil itu," katanya.
"Mau apa kau ke sana? Dia berpesan supaya orang jangan mengganggunya," anak itu ragu-ragu.
"Aku bisa mengobati luka-lukanya, siapa tahu bisa menyembuhkannya."
"Wah, baik sekali ini!" Anak-anak itu bersorak. "Bawa dia ke sana, dua orang yang baik hati bertemu dan berkumpul. Paman buta kalau betul bisa menyembuhkannya, tentu dia senang hati!"

Beramai-ramai tujuh orang anak itu mengantarkan Kun Hong ke sebuah kuil rusak yang berada di luar dusun. Tempat yang sunyi, yang tidak pernah didatangi orang kecuali anak yang suka bermain-main di tempat sunyi seperti itu. Anak-anak itu mengajak Kun Hong memasuki kuil, akan tetapi mereka menjadi kecewa ketika tiba di dalam.

"Ah, dia sudah pergi...!" kata anak-anak itu setelah mencari ke sana ke mari tidak melihat kakek yang mereka ceritakan tadi.

Akan tetapi Kun Hong dengan pendengarannya dapat menangkap adanya orang itu yang bersembunyi di atas! Hemmm, mengapa orang itu bersembunyi? Agaknya dia tidak suka bertemu dengan orang lain, pikir Kun Hong.

"Anak-anak, kakek itu sudah pergi. Biarlah, dan sekarang tempat ini untuk sementara akan kupergunakan untuk mengaso. Kalian pergilah sana main-main, jangan ganggu aku yang hendak mengaso di sini. Tentang kakek itu, seperti yang dia sudah pesan kepada kalian, jangan kalian ceritakan kepada siapa pun juga, ya?"

Seperti burung-burung di waktu pagi anak-anak itu menjawab, lalu berserabutan mereka lari keluar dari kuil itu. Kun Hong lalu meraba dengan tangannya membersihkan lantai yang penuh debu, kemudian duduk bersandar dinding yang retak-retak saking tua dan tak terpelihara.

Dengan pendengarannya yang luar biasa Kun Hong dapat menangkap tarikan napas yang berat, tanda bahwa orang itu terluka parah. Namun masih mampu bersembunyi di atas membuktikan bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan.

"Bertemu dengan seorang buta tidak ada bahayanya karena dia tidak pandai mengenal muka orang. Lo-enghiong (orang tua gagah) silakan turun, siapa tahu siauwte (aku yang muda) dapat membantu luka-lukamu," katanya perlahan.

Terdengar napas ditahan, agaknya orang itu terkejut. Kemudian menyambar turun tubuh seseorang, akan tetapi kakinya menimbulkan suara berat ketika dia sudah meloncat turun ke bawah, terang bahwa selain ilmu ginkang-nya kurang hebat, mungkin juga dikarenakan luka-lukanya yang berat. Kun Hong tahu bahwa orang itu sudah berdiri di depannya, maka dia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

"Kau... kau... bukankah kau Kwa Kun Hong dari Hoa-san-pai?" tiba-tiba orang itu berkata, suaranya besar.

Kun Hong cepat bangkit berdiri, lalu menjura penuh penghormatan. "Ah, kiranya Tan-taijin (pembesar Tan) yang berada di sini, cocok dengan dugaanku. Benar, Tan-taijin, aku si buta adalah Kwa Kun Hong..."

Belum habis Kun Hong bicara, orang itu sudah menubruk dan memeluknya sambil berkata dengan suara terharu, "Ahh, anakku... kasihan sekali kau... siapa kira kau akan menjadi begini."

Kun Hong menggigit bibirnya dan dia maklum akan keharuan kakek gagah perkasa ini. Dahulu dia pernah bertemu dengan Tan Hok ini ketika Tan Hok masih menjadi pembesar kepercayaan kaisar di kota raja. Kemudian untuk kedua kalinya bertemu lagi di puncak Thai-san, malah kakek ini menjadi saksi pula akan peristiwa hebat di puncak Thai-san yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya.

Sekarang, agaknya karena teringat akan peristiwa itu dan melihat keadaan dirinya seperti seorang pengemis buta ini, maka kakek itu mengeluarkan ucapan seperti itu. Kun Hong memaksa diri tersenyum dan balas memeluk.

"Tan-taijin... kau benar-benar seorang yang berbudi mulia. Dirimu sendiri sedang terluka parah, menderita akibat menjadi korban perampokan, akan tetapi kau masih bisa menaruh kasihan kepada seorang seperti aku..."

Tan Hok melepaskan pelukannya, agaknya terkejut dan heran.

"Kun Hong... bagaimana kau bisa tahu akan keadaanku?"
"Tan-taijin..."
"Hushh, jangan sebut aku taijin lagi, aku bukan lagi pembesar. Aku lebih patut menjadi pamanmu!" tukas bekas pembesar itu.
"Maaf, Paman Tan Hok, memang benar ucapanmu itu. Mari duduklah dan sebelum kita bicara biarlah aku memeriksa dan berusaha mengobati luka-lukamu."

Kakek tinggi besar itu memang Tan Hok adanya. Dia adalah bekas pejuang yang dahulu namanya amat terkenal sebagai salah seorang di antara pemimpin pasukan Pek-lian-pai, berjuang bahu membahu dengan para patriot lain dalam usaha mereka menumbangkan kekuasaan Mongol. Setelah usaha ini berhasil dan Ciu Goan Ciang mendirikan Kerajaan Beng dan menjadi kaisar, karena jasanya yang amat besar, Tan Hok lalu diangkat menjadi pembesar di kota raja. Ketika dalam perjuangannya itu, Tan Hok malah mengangkat tali persaudaraan dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, sekarang ketua Thai-san-pai.

Sekarang bekas pembesar itu malah menjadi buronan, tinggal di dalam sebuah kuil rusak dalam keadaan terluka parah sekali. Sungguh nasib manusia tak dapat disangka-sangka sebelumnya.

Cepat Kun Hong melakukan pemeriksaan. Tan Hok menderita banyak luka-luka, akan tetapi yang paling hebat adalah luka di tengkuk dan di punggung bekas bacokan senjata tajam. Oleh karena tidak segera mendapat pengobatan, kini luka-luka itu keracunan dan membengkak, mendatangkan demam hebat. Kun Hong segera mengeluarkan sebatang jarum perak, membuka luka-luka membengkak itu, mengeluarkan darah yang menghitam, lalu menaruh obat bubuk yang selalu tersedia di dalam buntalannya, bahkan memberikan sebungkus obat lainnya untuk diminum.

"Syukur keadaan luka-lukamu belum terlalu lama," katanya menghibur. "Sesudah minum obat dalam tiga hari tentu akan pulih kembali tenaga paman. Biarlah aku mencari seorang anak untuk disuruh membeli obat."
"Tidak usah, hiante. Di dusun ini mana ada toko obat? Kau katakan saja nama obat-obat itu, aku akan mencarinya di kota. Sekarang pun rasanya sudah banyak enakan, terima kasih. Kwa-hiante, sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau tahu bahwa aku mengalami perampokan?"

Kun Hong tersenyum. "Aku malah sudah pernah memegang mahkota kuno yang dirampas perampok-perampok Hui-houw-pang dari tanganmu, Paman Tan Hok."

Dengan tangan gemetar Tan Hok mendadak memegang lengan Kun Hong. "Betulkah itu? Kun Hong, betul-betul kau pernah melihat mahkota itu..."
"Melihat sih tak mungkin Paman..."
"Ah, maafkan, sampai lupa aku... tapi, tahukah kau di mana sekarang mahkota itu?"

Suara yang penuh gairah ini menimbulkan keheranan di hati Kun Hong. Masa orang yang sudah dia ketahui sebagai seorang gagah yang berbudi ini sekarang begini serakah dan begini loba akan harta benda?

Pula, kalau betul apa yang dia dengar, bukankah semua harta itu termasuk mahkota kuno adalah benda simpanan kerajaan yang dicuri dan dilarikan oleh Tan Hok? Dan kenapa dia melarikan diri membawa harta curian, bagaimana pula keadaan keluarganya? Mengapa dia tidak menceritakan keadaannya, tidak menyusahkan keadaannya malah seperti tidak peduli akan luka-lukanya sebaliknya serta merta menanyakan mahkota itu?

Kun Hong merasa tidak puas dan tidak ingin menceritakan apa yang dia ketahui tentang mahkota itu sebelum dia mendengar jelas duduknya perkara.

"Paman Tan Hok, mengapa benda itu agaknya amat penting untukmu. Milik Pamankah benda itu?"

Mendengar nada suara kecewa dari pemuda ini Tan Hok lantas menarik napas panjang. “Memang kedengarannya bodoh pertanyaanku tadi, seakan-akan tiada yang lebih penting dari pada benda berharga itu. Memang sesungguhnya demikian, Kwa-hiante. Keluargaku binasa, isteriku tewas, hampir aku sendiri tewas, namun bagiku mahkota itu lebih penting. Kau dengarkan baik-baik penuturanku."

Tan Hok lalu bercerita…..

Seperti telah diketahui, ketika kaisar pertama Kerajaan Beng-tiauw sudah tua dan mulai berpenyakitan, maka terjadilah perebutan kekuasaan di kota raja. Akan tetapi karena para pangeran atau mereka yang telah berjasa dalam menumbangkan Kerajaan Mongol masih merasa segan dan takut kepada kaisar sebagai pendiri Kerajaan Beng, sewaktu kaisar masih hidup, mereka tidak berani berterang. Diam-diam terjadi persaingan hebat, malah didesas-desuskan bahwa putera mahkota kaisar juga diam-diam terbunuh oleh seorang di antara saingannya, terbunuh dengan racun. Kemudian cucu kaisar, yaitu putera pangeran mahkota yang meninggal, bernama Pangeran Kian Bun Ti, diangkat menjadi calon kaisar.

Hal ini tentu saja mendatangkan rasa iri hati dan dendam yang disembunyikan. Namun sebaliknya, Pangeran Kian Bun Ti yang pandai mengambil hati kakeknya, memperkuat kedudukan dan pengaruhnya. Bahkan akhirnya ketika kaisar yang tua itu berpenyakitan dan semakin lemah, boleh dibilang segala keputusan kaisar tua tergantung dari pengaruh Pangeran Kian Bun Ti inilah.

Sayang sekali bahwa pangeran ini sangat terkenal sebagai seorang pemuda pemogoran, pemuda hidung belang, dan pemuda yang gampang sekali dipermainkan dan dipengaruhi oleh para penjilat. Pendeknya, seorang muda yang dangkal sekali pikirannya dan tidak bijaksana. Orang-orang yang mengelilinginya adalah orang-orang dari golongan hitam.

Tentu hal ini amat mengkhawatirkan hati para pembesar yang setia kepada kaisar tua dan Pemerintah Beng yang baru. Di antaranya terdapat Tan Hok yang menjadi kepercayaan Kaisar Thai Cu, yaitu pejuang Ciu Goan Ciang yang berhasil merobohkan kekuasaan Mongol. Diam-diam mereka ini memberi ingat kepada kaisar, akan tetapi ternyata kaisar itu selain sudah terkena pengaruh dan amat mencinta cucunya, juga karena kekuasaan Pangeran Kian Bun Ti sudah amat kuat, tidak mempercayainya.

Akan tetapi Kaisar Thai Cu akhirnya terbuka juga pikirannya dan melihat gejala tidak baik dalam watak cucunya. Namun segala sesuatu telah terlambat, dia telah menjadi lemah berpenyakitan, sedangkan pembesar-pembesar tinggi dan berkuasa sudah jatuh di bawah pengaruh pangeran mahkota. Andai kata kaisar tua ini akan mengambil tindakan, dia pun khawatir kalau-kalau terjadi pemberontakan dan alangkah akan malu hatinya kalau dalam keadaan tua menghadapi kematian itu dia harus menghadapi pemberontakan cucunya sendiri. Dia tidak berdaya dan kesehatannya makin mundur karena hatinya tertekan.

"Demikianlah, Kwa-hiante, keadaan akan kota raja. Keadaannya panas seperti api dalam sekam. Para setiawan terhadap kaisar tua merasa hidup di atas ujung pedang dan kami maklum bahwa setiap saat bila kaisar tiada, tentu kami akan dihalau, bahkan nyawa kami terancam. Kalau pangeran mahkota belum berani terang-terangan memusuhi kami adalah karena dia masih sungkan terhadap kaisar." Tan Hok mengaso sebentar untuk bernapas panjang, nampaknya patriot tua ini merasa berduka sekali akan keadaan negaranya.

"Beberapa pekan sebelum kaisar meninggal dunia, aku dipanggil menghadap dan kaisar mengusir semua orang ke luar dari kamarnya. Kaisar kemudian menyerahkan sebuah surat perintah di mana kaisar memerintahkan puteranya yang menjadi raja muda di utara, yaitu Pangeran Yung Lo, untuk bertindak dan menggantikan kedudukan kaisar apa bila kelak ternyata Pangeran Kian Bun Ti tidak benar dalam menjalankan tugas sebagai kaisar baru. Pendeknya, dalam surat perintah itu, mendiang kaisar memberi kekuasaan kepada puteranya itu untuk menjadi penghukum atas diri keponakannya, yaitu Pangeran Kian Bun Ti. Surat itu dipercayakan kepadaku untuk kelak disampaikan kepada Pangeran Yung Lo pada waktu keadaan memerlukannya."

Kun Hong sebetulnya tidak peduli akan keadaan pemerintah, karena memang dia tidak menaruh perhatian atas kehidupan kaisar dan para pembesar. Akan tetapi mendengar penuturan ini, dia tertarik.

"Kemudian bagaimana, Paman Tan?" Tan Hok menarik napas panjang.
"Tugasku itu berat sekali karena aku termasuk orang yang dianggap musuh oleh Kian Bun Ti. Banyak hal yang membikin dia tidak senang kepadaku, di antaranya peristiwa dengan dua orang keponakanmu dahulu itu dan peristiwa di puncak Thai-san. Karena tahu akan ancaman bahaya ini, maka surat penting itu lalu kusembunyikan, tidak di dalam rumahku. Kemudian kekhawatiranku menjadi kenyataan, beberapa bulan setelah kaisar wafat. Kian Bun Ti yang sudah mengangkat diri menjadi kaisar itu melakukan pembersihan terhadap pembesar-pembesar setiawan, di antaranya termasuk pula aku. Rumahku disita, isteriku sampai tewas dalam keributan, aku dapat melawan dan melarikan diri dengan pertolongan anak buahku yang setia. Tidak lupa aku membawa surat rahasia itu bersamaku. Namun celaka sekali, nasib sedang buruk, di dalam perjalananku melarikan diri itu, aku diserang oleh perampok-perampok Hui-houw-pang sehingga menderita luka-luka. Ini masih belum apa-apa, yang membuat aku putus asa adalah surat itu kena terampas juga sungguh pun tidak ada orang yang mengetahui di mana tempatnya."

"Hemm, agaknya surat itu Paman sembunyikan di dalam mahkota kuno itu, bukan?"
"Betul, Hiante! Inilah sebabnya mengapa aku ingin tahu di mana adanya mahkota itu sekarang. Benda itu jauh lebih berharga dari pada nyawaku!"

Mendengar ucapan yang bersemangat ini, Kun Hong mengerutkan keningnya.

"Paman Tan Hok, surat itu hanyalah surat yang menyangkut urusan perebutan warisan mahkota dan kedudukan kaisar, urusan keluarga kaisar belaka. Bagaimana kau anggap lebih berharga dari pada nyawamu? Keadaanmu sendiri amat sengsara, isteri meninggal, rumah tangga berantakan, bahkan diri sendiri menderita begini hebat. Mengapa kau lebih mementingkan urusan kaisar? Apakah karena Paman mempunyai harapan bahwa kelak kalau Pangeran Yung Lo berhasil merebut kekuasaan, lalu Paman akan diberi kedudukan tinggi?"

Sejenak Tan Hok tak berkata apa-apa. Kun Hong tidak tahu betapa orang tua tinggi besar itu memandang kepadanya dengan mata mendelik alis berdiri, bukan main marahnya!

"Hiante... Hiante... kalau aku tidak ingat kau sudah buta, kalau aku tidak ingat bahwa kau putera Kwa Tin Siong, kalau aku tidak tahu bahwa kau seorang pendekar gagah perkasa dan bahwa ucapanmu ini hanya karena tidak mengerti, telah kujatuhkan kedua tanganku untuk memukulmu sampai mati!"

Kun Hong kaget setengah mati sampai dia meloncat ke atas dalam keadaan masih duduk bersila. Perbuatan ini tidak dia sengaja saking kagetnya, namun Tan Hok menjadi kagum bukan main. Sedikit banyak orang she Tan ini adalah seorang pejuang kawakan, seorang yang mengerti akan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu meringankan tubuh seperti ini baru sekarang dia melihatnya.

Kun Hong yang sudah duduk kembali cepat berkata sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. "Maaf, Paman. Aku benar-benar kaget. Kuanggap kaulah yang keliru dan terlalu mementingkan harta dan kedudukan, siapa kira kau anggap aku yang keliru. Harap jelaskan, kekeliruan bagaimana yang kulakukan dengan ucapanku tadi, agar terbuka mata hatiku."

Tan Hok memegang lengan Kun Hong. "Anak muda, kau pandai ilmu silat, kau ahli filsafat, kau pun seorang yang berbudi dan penuh welas asih, akan tetapi agaknya ayahmu tidak menurunkan pengetahuan tentang jiwa kepahlawanan padamu. Ketahuilah bahwa semua usahaku ini kulakukan bukan sekali-kali untuk mencari kedudukan, bukan sekali-kali untuk membela kaisar semata-mata, melainkan demi kepentingan negara dan bangsa!"

Kun Hong kaget. "Bagaimana penjelasannya, Paman? Aku tidak mengerti."

"Ketahuilah bahwa jatuh bangunnya kebangsaan adalah dalam tangan pemerintah yang memegang tampuk pimpinan. Demikian pula dengan kesejahteraan rakyat, kemakmuran, kemajuan, ketenteraman hidup, semuanya berada di tangan pemerintah yang berkuasa. Kalau orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan terdiri dari orang-orang yang tidak bersih batinnya, yang tidak baik martabat dan wataknya, pemerintah akan menjadi lemah, kacau-balau dan rakyat akan hidup sengsara. Walau pun kita telah berhasil menghalau pemerintah penjajah dan menjadi merdeka, namun bahaya masih selalu mengancam dari segenap penjuru. Bajak-bajak laut Jepang selalu merongrong keamanan di pantai timur, terutama sekali orang-orang Mongol yang hendak membalas dendam atas kekalahannya selalu berusaha menyerang dari utara. Juga suku-suku bangsa di sekitar perbatasan barat mengincar kedudukan di pusat sehingga jika pemegang pemerintahan lemah, ada bahaya besar mengancam negara dan bangsa. Aku melihat sendiri betapa lemah Pangeran Kian Bun Ti, betapa buruk wataknya dan dia hanya mementingkan kesenangan diri pribadinya tanpa mempedulikan bangsanya dan tugasnya sebagai pemimpin. Oleh karena inilah aku sebagai seorang pencinta bangsa dan negara, harus ikut bertindak, kalau perlu membantu Pangeran Yung Lo menjatuhkan Pangeran Kian Bun Ti sehingga keadaan pemerintahan kuat, negara dan bangsa menjadi makmur. Itulah cita-citaku, sama sekali bukan untuk kepentingan diriku sendiri dan inilah cita-cita semua patriot yang mencintai bangsanya."

Inilah pelajaran baru bagi Kun Hong.....
Semenjak kecil, ketika dia dahulu masih gemar membaca kitab-kitab, dia selalu membaca kitab-kitab filsafat, kebatinan dan kesasteraan. Belum pernah dia mempelajari tentang tata negara, tentang politik, mau pun sifat-sifat pahlawan yang berjiwa patriot. Akan tetapi oleh karena dasar dari pada sifat kepahlawanan ini pun sama, yaitu sifat yang mementingkan kemakmuran rakyat dari pada diri sendiri, yaitu sifat yang sangat indah dan baik, maka dengan mudah dia dapat menerimanya.

"Terima kasih, Paman. Sekarang aku telah mengerti dan maafkan atas prasangkaku yang bukan-bukan akan usahamu yang ternyata suci murni dan gagah perkasa itu. Nah, kini giliranku untuk bercerita tentang mahkota kuno itu."

Dengan singkat, Kun Hong menceritakan tentang mahkota itu kepada Tan Hok. Bahwa mahkota itu dijadikan rebutan antara Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang yang hendak menggunakan benda itu untuk mencari kedudukan serta mencari muka di depan kaisar baru. Bahwa kemudian mahkota itu terjatuh ke dalam tangan Tiat-jiu Souw Ki akan tetapi terampas kembali oleh seorang gadis pendekar bernama Loan Ki, tapi kemudian dalam kunjungan ke pulau Ular Hijau bersama dia, mahkota itu akhirnya terampas oleh majikan pulau Ular Hijau yang dibantu banyak orang pandai.

Mendengar ini, Tan Hok menjadi sangat gembira. "Memang bukan hal menggembirakan mendengar benda itu terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat yang lihai, akan tetapi masih tidak begitu buruk. Celakalah kalau mahkota itu sampai terjatuh ke tangan kaisar baru, tentu akan musnah pula surat rahasia itu. Kun Hong, bagaimanakah keadaan Pulau Ching-coa-to di telaga itu? Adakah harapan andai kata aku diam-diam menyelidik ke sana dan mencari kesempatan untuk merampasnya kembali? Aku sudah menghubungi banyak teman, bekas anak buahku di Pek-lian-pai dahulu dan aku bisa mengumpulkan tenaga-tenaga yang dapat dipercaya."

Kun Hong menggeleng kepala. "Berbahaya, Paman. Majikan pulau itu, Ching-toanio dan anak perempuannya, adalah dua orang yang berilmu tinggi, sukar dikalahkan. Pulau itu sendiri penuh jebakan dan perangkap yang sangat berbahaya. Ini semua masih belum hebat, yang paling sulit adalah kenyataan bahwa Ching-toa-nio sudah mendapat bantuan orang-orang pandai dan benar-benar lihai. Apa lagi Ka Chong Hoatsu, dia benar-benar merupakan tokoh yang sukar dilawan. Harap kau jangan sembrono menyerbu ke sana, sebaiknya dicari jalan yang baik."

Berkali-kali Tan Hok mengeluh. "Aku sudah tahu hingga di mana hebatnya kepandaianmu, Hiante, akan tetapi kau sendiri masih memuji penghuni Ching-coa-to, berarti tentu mereka benar-benar lihai. Kalau begini, tidak ada lain jalan bagiku kecuali pergi ke Thai-san dan minta bantuan adikku Beng San, Thai-san Ciang-bun-jin (ketua Thai-san-pai)."

Kun Hong mengangguk-angguk. "Kiranya memang hanya paman Beng San yang akan sanggup merampas kembali mahkota itu."

Tan Hok memegang pundak Kun Hong. "Terima kasih atas pertolonganmu dan terutama atas keterangan tentang mahkota itu, Hiante. Sekarang juga aku akan berangkat menuju ke Thai-san agar tidak terlambat. Tolong kau beri tahukan kepadaku resep obat itu."

Kun Hong lalu menyebutkan nama bahan-bahan obat. Dia sengaja memilih ramuan yang tidak banyak macamnya tetapi yang paling manjur. Kemudian mereka berpisah dan Kun Hong tidak mencegah perginya kakek itu karena dia maklum akan pentingnya tugas kakek patriot ini.

Setelah kakek raksasa Tan Hok itu pergi, Kun Hong termenung di dalam kuil rusak. Cerita kakek itu luar biasa mempengaruhi hatinya. Bangkit jiwa kepahlawanannya. Memang, apa artinya hidup ini apa bila tidak mampu berbuat kemanfaatan bagi sesama manusia? Dan kiranya kemanfaatan yang paling utama adalah kebaktian terhadap nusa dan bangsa, kebaktian yang tak kenal batas, kebaktian berdasarkan rela berkorban, baik harta benda, badan, mau pun nyawa. Betapa mulianya, betapa besarnya. Dan Tan Hok adalah seorang pahlawan, seorang patriot seperti itu.

Tetapi dia adalah seorang buta. Apa yang dapat dia lakukan untuk ikut-ikutan berdarma bakti terhadap tanah air dan bangsa? Kepandaiannya hanya dapat dia pergunakan untuk membela diri, atau melindungi orang-orang tertindas yang kebetulan bertemu dengannya. Terbatas dan sempit sekali. Bagaimana dia akan dapat ikut membantu perjuangan seperti yang dilakukan kakek Tan Hok?

Kun Hong termenung sedih. Keadaan negara sedang kacau balau. Orang-orang besar berebutan pangkat, saling serang saling menjatuhkan, untuk membantu golongan masing-masing, untuk mengangkat kaisar pilihan masing-masing.

Kun Hong seorang ahli filsafat. Dia dapat menduga apa akan jadinya kalau orang-orang yang memiliki bakat dan kepandaian memimpin rakyat, sibuk maunya sendiri berebutan kedudukan. Lupa bahwa mereka itu menjadi pembesar dan pemimpin untuk mengatur kehidupan rakyat, untuk mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.

Kalau para pembesar dan yang menyebut dirinya sendiri atau disebut orang pemimpin-pemimpin itu bisa saling bekerja sama mencurahkan pikiran dan tenaga demi kepentingan rakyat, sudah tentu negara akan menjadi aman dan baik, kesejahteraan rakyat terjamin, kesukaran-kesukaran teratasi. Akan tetapi sebaliknya kalau orang-orang besar ini saling cakar untuk berebutan kedudukan, agaknya kesejahteraan atau kemakmuran hanya akan terasa oleh mereka sendiri, negara menjadi kacau, keamanan rusak, hukum dan keadilan tidak berlaku, hukum liar atau hukum rimba merajalela, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar selalu.

Semua renungan ini membuat Kun Hong berduka karena dia tidak berdaya untuk turut menggulung lengan baju dan membantu usaha para patriot. Kemudian dia teringat akan mahkota itu. Mahkota yang menyimpan sehelai surat rahasia dari mendiang kaisar. Surat itu penting sekali, karena siapa tahu kekuasaan dan pengaruh surat peninggalan kaisar itu akan dapat mengakhiri kedudukan Kaisar Muda Kian Bun Ti tanpa harus terjadi banyak pertumpahan darah.

Ah, mengapa dia tidak berusaha mendapatkan surat itu? Ini pun akan merupakan sebuah usaha perjuangan untuk membantu para patriot! Dia harus kembali ke Ching-coa-to dan berusaha mendapatkan mahkota itu! Akan tetapi bagaimana? Selain dia buta, juga pulau itu amat berbahaya, penuh rahasia, bagaimana dia bisa mencari mahkota itu? Belum lagi diingat bahwa penghuni pulau amat lihai sehingga merampas mahkota merupakan hal yang amat tak mungkin baginya. Akan berbeda kiranya kalau dia tidak buta.

"Duhai Cui Bi..." keluhnya sedih, "...ternyata pengorbananku membutakan mata ini sama sekali tidak hanya merugikan aku, sebaliknya malah merugikan cita-cita baik, merugikan perjuangan dan menambah dosaku belaka..."

Kita tinggalkan dulu Kun Hong yang berkeluh kesah dan mari kita menjenguk keadaan di puncak Thai-san…..
********************
Pegunungan Thai-san dengan banyak puncaknya merupakan pegunungan yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang amat indah dan sebagian besar masih liar, belum terjamah tangan dan terinjak kaki manusia. Beberapa tahun akhir-akhir ini, nama Thai-san muncul menjadi nama terkenal di dunia persilatan dengan berdirinya Partai Persilatan Thai-san-pai.

Biar pun baru beberapa tahun berdirinya, namun para partai persilatan memandang partai baru ini dengan segan dan hormat karena mereka mengenal siapa orang yang menjadi pendiri dan tulang punggung partai baru ini. Siapakah di antara orang-orang kang-ouw tak pernah mendengar nama Raja Pedang Tan Beng San?

Inilah ketua Thai-san-pai, bahkan pendiri Thai-san-pai, seorang pendekar gagah perkasa yang memiliki ilmu pedang tinggi sehingga mendapat julukan Raja Pedang yang baru. Ada pun raja pedang lama adalah ayah mertuanya yang sudah meninggal, yaitu Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Bandingan).

Tentu saja isteri ketua Thai-san-pai ini, puteri Bu-tek-kiam-ong, juga seorang ahli pedang yang sulit dicari bandingannya. Memang demikianlah, nyonya ketua Thai-san-pai ini amat pandai dalam ilmu pedang, apa lagi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bidadari) yang menjadi kepandaian warisan.

Seperti dituturkan jelas dalam cerita Rajawali Emas, ketua Thai-san-pai ini mempunyai tiga orang anak. Pertama adalah Tan Sin Lee, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwa Hong, yang sejak kecil dididik oleh ibunya itu sangat lihai. Yang ke dua adalah Tan Kong Bu, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwee Bi Goat dan putera ke dua ini sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun Si Iblis Berkabung. Anaknya yang ketiga, terlahir dari Cia Li Cu isterinya terakhir, adalah mendiang Tan Cui Bi. Semua ini telah dituturkan dengan jelas dan hebat di dalam cerita Rajawali Emas.

Seperti sudah diceritakan dalam Rajawali Emas, di Thai-san dirayakan pernikahan antara Tan Sin Lee dengan Thio Hui Cu dan Tan Kong Bu dengan Kui Li Eng. Perayaan itu amat meriah dan sekaligus ketua Thai-san-pai ini berbesan dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai karena dua orang gadis itu, Hui Cu dan Li Eng adalah anak murid Hoa-san-pai.

Beberapa bulan sesudah menikah. Tan Sin Lee lalu membawa isterinya ke Pegunungan Lu-liang-san tempat tinggal mendiang ibunya. Di tempat ini dia mempunyai sebuah rumah gedung yang lengkap dan mewah, juga mempunyai sawah ladang yang cukup luas. Bersama isterinya dia hidup dengan penuh kebahagiaan di tempat dingin ini, disegani dan dihormati oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu karena sikap kedermawanan dan keramahan mereka.

Ada pun Tan Kong Bu lain lagi kesukaannya. Dia membawa isterinya dan juga diikuti oleh kakeknya ke Pegunungan Min-san di mana dia bercita-cita mendirikan partai seperti yang dilakukan ayahnya, untuk memperkembangkan ilmu silat yang dia miliki. Juga isterinya merupakan seorang pendekar wanita yang sangat tinggi ilmu silatnya, ilmu silat Hoa-san yang asli.

Suami isteri muda ini bercita-cita untuk menggabungkan ilmu silat mereka yang berlainan ragamnya ini menjadi ilmu silat partai mereka. Song-bun-kwi yang sudah tua tentu saja menjadi pelindung dan penasehat. Di dalam masa tuanya kakek ini dapat juga mengecap kebahagiaan dengan menyaksikan kerukunan cucunya itu.

Demikianlah, walau pun tadinya bergembira ria dalam merayakan pernikahan Sin Lee dan Kong Bu, setelah anak-anak itu pergi membawa isteri masing-masing, ketua Thai-san-pai serta isterinya merasa kesunyian. Puteri mereka satu-satunya, gadis lincah jenaka yang amat mereka sayang, sudah meninggal dunia dalam keadaan mengenaskan, membunuh diri karena patah hati dalam cinta kasihnya dengan Kwa Kun Hong. Sekarang, dua orang putera yang baru saja muncul mengakui ayah mereka setelah mereka itu dewasa, telah pergi pula.

Baiknya tak lama setelah pernikahan-pernikahan itu dilangsungkan, Cia Li Cu melahirkan anak perempuan. Bayi ini merupakan sinar terang di dalam cuaca gelap, menerangi hati suami isteri yang sedang diliputi kegelapan itu karena puteri mereka, Cui Bi, telah mati. Akan tetapi sekarang lahir seorang anak perempuan, pengganti Cui Bi! Anak itu mungil, montok sehat dan tangisnya nyaring.

Dengan muka berseri-seri ketua Thai-san-pai itu memondong bayinya, mengamat-amati muka bayi itu sambil tertawa-tawa senang.
"Aha, kau Cui Bi cilik! Ha-ha-ha, serupa benar, cuma bibirnya lebih runcing, tentu lebih suka mengoceh dari pada mendiang cici-nya, ha-ha!"

Li Cu yang masih rebah di pembaringan memandang terharu. Dua titik air mata menghias bulu matanya.

"Siapa... siapa namanya...?" tanyanya lirih.

Mendengar suara ini Beng San menengok dan dia pun menggigit bibir melihat dua titik air mata itu. Dengan hati-hati dia meletakkan puterinya di dekat Li Cu, dan mengusap dahi isterinya penuh kasih sayang lalu berkata, "Cui Sian namanya, ya... dia Cui Sian..."

Setelah mencium dahi isterinya perlahan, Beng San cepat keluar dari kamar itu agar tidak terlihat oleh isterinya betapa dia pun menitikkan dua butir air mata. Akan tetapi Li Cu tahu akan hal ini karena air mata itu tertinggal di dahinya ketika suami itu tadi menciumnya. Bayangan mendiang Cui Bi lah yang mendorong keluarnya air mata dari mata pasangan suami isteri ini.

Kehadiran Cui Sian dalam rumah tangga ketua Thai-san-pai benar-benar mendatangkan kegembiraan. Hal ini tentu saja amat menggirangkan hati para anak murid Thai-san-pai karena sekarang guru mereka mulai rajin kembali melatih ilmu silat. Tadinya, semenjak peristiwa hebat di puncak Thai-san-pai itu, semenjak kematian Cui Bi, ketua Thai-san-pai ini selalu tampak murung dan malas mengajar sehingga para anak murid menjadi khawatir karena hal ini berarti akan melemahkan partai persilatan itu.

Akan tetapi kelahiran Cui Sian benar-benar mengubah segalanya. Bahkan nyonya ketua sendiri berkenan turun tangan dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada murid-murid pilihan.

Cui Sian sendiri ternyata makin besar menjadi semakin mungil. Ia menjadi kesayangan semua orang di Thai-san-pai, bahkan disayang pula oleh anak-anak para penduduk di sekitar pegunungan itu. Biar pun dia menjadi ketua partai persilatan, namun Beng San dan isterinya tidak mengasingkan diri. Sering kali mereka mengajak puterinya ini turun dari puncak untuk mengunjungi para penduduk kampung dan beramah tamah, membiarkan Cui Sian bermain-main dengan anak-anak kampung.

Tiga tahun berlalu cepat. Thai-san-pai berkembang pesat dan tampak tanda-tanda bahwa perkumpulan ini nanti akan menjadi sebuah partai persilatan yang besar dan berpengaruh. Hal ini terjadi karena Beng San memang pandai memilih murid yang memiliki bakat dan dasar yang baik. Dia tak mengutamakan jumlah yang banyak, melainkan mengutamakan mutu.

Anak murid Thai-san-pai kurang lebih lima puluh orang laki perempuan, sebagian besar tinggal di bawah gunung dan hanya beberapa hari sekali naik ke puncak untuk menerima petunjuk dan untuk memperlihatkan hasil latihan di depan kedua guru mereka. Ada pula sebagian orang anak murid, yaitu mereka yang datang dari jauh dan terutama sekali yang tidak mempunyai keluarga lagi, juga tinggal di Thai-san-pai, di bawah puncak, mendirikan pondok-pondok kayu yang makin lama semakin banyak dan merupakan perkampungan tersendiri. Mereka yang bertempat tinggal di situlah yang mengerjakan sawah dan ladang sebagai sumber penghasilan Thai-san-pai, di samping pemberian para anak murid yang memiliki tempat tinggal sendiri dan yang mampu menyumbang.

Pada hari itu, saat menjelang senja, serombongan orang mendaki Pegunungan Thai-san. Rombongan ini besar juga, lebih dari dua puluh orang berkuda, dan mereka menghentikan kuda di bagian lereng bukit yang tidak mungkin dapat dilalui kuda. Seorang kakek tinggi besar setelah melompat turun dari atas punggung kudanya dan menambatkan kendali kuda pada batang pohon, berkata kepada teman-temannya,

"Tidak patut kalau kita semua naik ke puncak. Biar pun ketuanya adalah terhitung saudara angkat yang lebih muda, tapi dia adalah seorang ketua partai besar yang harus dihormati. Saudara-saudara tinggallah menanti di sini, juga ji-wi-enghiong (saudara gagah berdua) dan ji-wi-loenghiong (orang tua gagah berdua), biarlah saya sendiri yang naik ke puncak menemui Thai-san-paicu (ketua Thai-san-pai). Setelah mendapatkan perkenan dari pihak tuan rumah, barulah saudara-saudara naik."

Yang bicara ini bukan lain adalah Tan Hok, dan sebagian besar di antara para temannya adalah bekas-bekas anggota dan tokoh Pek-lian-pai. Dua orang laki-laki yang berusia tiga puluhan tahun dan berwajah tampan dengan tubuh tegap itu adalah Kam-hengte (dua saudara Kam) dari Lok-yang, sepasang kakak beradik gagah perkasa yang terkenal dengan julukan Lok-yang Siang-houw (Sepasang Harimau Lok-yang) dan terkenal pula sebagai pendekar-pendekar perkasa anak murid Kong-thong-pai.

Yang tua bernama Kam Bok, yang muda bernama Kam Siok. Mereka ini adalah jago-jago Kong-thong-pai, murid Yang Ki Cu, tokoh Kong-thong-pai yang dahulu menjadi seorang pejuang juga. Agaknya darah patriot menurun kepada sepasang anak murid ini sehingga dalam banyak hal kedua orang saudara Kam ini suka membantu Pek-lian-pai dan Tan Hok. Mereka terkenal dengan keahlian bermain golok, tentu saja mengandalkan pada Ilmu Golok Kong-thong To-hoat.

Ada pun dua orang kakek tua yang ikut dalam rombongan itu dan yang disebut sebagai locianpwe (orang tua gagah) oleh Tan Hok adalah dua orang pendeta beragama To yang jelas dapat dilihat dari pakaian mereka yang berwarna kuning polos dan rambut putih mereka yang diikatkan ke atas. Seorang yang punggungnya agak bongkok dan tubuhnya kurus kering adalah seorang tokoh Bu-tong-pai, seorang ahli pedang bernama Seng Tek Cu.

Orang ke dua ialah sahabat baiknya, seorang tosu (pendeta To) perantauan, penggemar permainan catur yang namanya tidak banyak dikenal orang namun sesungguhnya adalah seorang ahli silat tinggi yang sangat lihai. Dia tidak membawa senjata apa-apa kecuali sebatang cambuk biasa seperti cambuk penggembala kerbau yang terbuat dari pada bambu dengan ujung tali.

Pada punggungnya tergantung sebuah papan catur, sedangkan di pinggangnya terdapat sebuah kantung berisi biji-biji catur. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya selalu tersenyum ramah. Inilah Koai Tojin, nama yang selalu dia pakai. Tentu saja ini adalah nama samaran belaka karena Koai Tojin berarti Pendeta To Aneh. Dua orang tosu ini sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya.

Seperti sudah dituturkan di bagian depan, setelah dirinya kehilangan mahkota kuno yang mengandung rahasia itu sehingga menderita luka-luka, Tan Hok mengadakan hubungan dengan bekas anak-anak buahnya yaitu para orang gagah dari Pek-lian-pai, kebetulan dia dapat bertemu pula dengan Kun Hong sehingga mendapat pertolongan dan disembuhkan.

Kemudian Tan Hok lalu mengumpulkan teman-temannya yang sementara itu juga sudah mencari bala bantuan, bahkan berhasil mendapat bantuan Kam-hengte dan kedua orang tosu lihai itu. Mendengar penuturan Tan Hok mengenai mahkota yang terjatuh ke tangan penghuni Pulau Ching-coa-to, dua orang tosu itu kaget karena mereka sudah mendengar kehebatan pulau ini. Maka serta merta mereka menyatakan kegembiraan dan persetujuan ketika Tan Hok menyatakan hendak minta bantuan ketua Thai-san-pai Si Raja Pedang. Berangkatlah rombongan itu sampai berpekan-pekan lamanya dan menjelang senja itu mereka tiba di lereng Thai-san.

Mendengar permintaan Tan Hok agar mereka menanti di situ, Koai Tojin tertawa bergelak, lalu menurunkan papan catur dan membuka kantong biji catur sambil berkata,

"Ha-ha-ha, Tan-sicu baik sekali, memberi kesempatan kepada pinto (aku) untuk mengaso dan bermain catur dengan Seng Tek Cu. Hayo, sobat, kita main catur sampai kenyang, siapa tahu kita akan segera menghadapi urusan penting sehingga tak akan sempat main catur lagi!"

Dalam sekejap mata saja papan catur telah diletakkan di atas tanah dan biji-bijinya diatur di atas papan. Seng Tek Cu tertawa pula dan menyambut tantangan ini.

Tak Hok tertawa, kemudian berpamit lagi lalu segera mendaki puncak karena khawatir kalau-kalau malam segera tiba sehingga membuat pendakian itu sukar. Teman-temannya memandang dan melihat punggung orang gagah yang bertubuh raksasa itu lenyap di balik sebuah batu karang besar. Kemudian karena tidak ada pekerjaan lain, sebagian di antara mereka asyik menonton dua orang tosu yang sedang mengadu otak bermain catur, dan sebagian lagi duduk bercakap-cakap.

Kita ikuti Tan Hok yang dengan sigapnya berloncatan menuju ke puncak Thai-san-pai. Mendadak dengan kaget dia melihat tujuh orang berloncatan ke luar dari balik batu-batu gunung dan pohon, langsung menghadangnya dengan pedang di tangan dan sikap penuh ancaman.

Tan Hok tersenyum dan menegur, "Sahabat-sahabat di depan bukankah para enghiong (orang gagah) dari Thai-san-pai?"

"Tentu saja kami adalah anak-anak murid Thai-san-pai. Kau ini siapakah berani lancang memasuki wilayah Thai-san-pai tanpa ijin?" jawab salah seorang di antara mereka dengan suara keras dan sikap yang angkuh.

Diam-diam Tan Hok merasa heran sekali. Sangat boleh jadi kalau anak-anak Thai-san-pai ada yang belum pernah melihatnya karena tiga tahun yang lalu adalah waktu yang cukup lama dan mungkin orang-orang ini adalah anak-anak murid baru. Akan tetapi melihat sikap yang begini kasar, benar-benar sangat mengherankan hatinya karena tidak sesuai dengan watak Beng San, ketua mereka. Akan tetapi menghadapi orang-orang muda dia berlaku sabar dan tersenyum, lalu memberi hormat.

"Ahh, harap kalian memaafkan aku karena tergesa-gesa sehingga tidak sempat memberi kabar kedatanganku. Aku adalah Tan Hok, kakak angkat dari ketua kalian..."
"He kiranya kau pelarian itu? Saudara-saudara, kebetulan sekali penjahat besar yang lari sambil mencuri barang-barang berharga dari istana itu datang ke sini. Ular mencari gebuk, Hayo serang!"

Dan serta merta tujuh orang itu menyerang Tan Hok dengan pedang mereka. Bukan main kagetnya Tan Hok. Cepat dia mengelak dan masih sempat berseru,
"Saudara-saudara, jangan serang aku...! Beri tahukan kedatanganku kepada Beng San, ketua kalian. Aku bukan musuh...!"

Akan tetapi mana mungkin dia dapat menghadapi serangan-serangan itu sambil bicara? Pundaknya sudah termakan ujung pedang sehingga terpaksa Tan Hok juga mencabut pedangnya melakukan perlawanan sedapatnya.

Tan Hok adalah seorang pejuang yang memiliki kepandaian bukan rendah, akan tetapi ternyata tujuh orang itu rata-rata lihai sekali ilmu pedangnya. Selain itu, kesehatannya belum pulih benar, masih lemas. Kiranya melawan seorang di antara mereka saja belum tentu dia akan dapat menang, apa lagi sekarang dikeroyok tujuh. Tan Hok bingung dan bangkitlah rasa penasaran dan marah.

Dia mengamuk. Tetapi sia-sia saja, karena berkali-kali tubuhnya termakan senjata lawan sehingga dia menderita luka-luka parah. Terpaksa Tan Hok lalu memutar pedang sekuat tenaga dan selagi tujuh orang pengeroyoknya itu mundur menjaga diri, dia meloncat ke belakang dan lari turun dari lereng itu untuk minta bantuan teman-temannya. Tujuh orang itu mengejarnya dan... dari balik-balik pohon dan batu muncul banyak orang yang ikut pula melakukan pengejaran.

Cuaca sudah mulai gelap ketika Tan Hok dengan napas terengah-engah tiba di tempat teman-temannya mengaso. Semua orang kaget sekali melihat datangnya kakek raksasa ini, pakaiannya cabik-cabik dan tubuhnya mandi darah.

"Salah mengerti... aku... aku dikeroyok orang-orang Thai-san-pai...," kata Tan Hok yang langsung roboh dengan tubuh lemas.

Teman-temannya marah sekali. Dua orang tosu tua itu pun sudah meloncat berdiri dan siap dengan senjata mereka. Beberapa menit kemudian dari atas turunlah banyak orang, dua puluh lebih, laki-laki dan wanita, semua memegang pedang. Di dalam gelap itu sukar mengenal wajah mereka, malah ada beberapa orang wanita yang menutupi muka dengan sehelai sapu tangan hitam.

Tanpa banyak cakap lagi orang-orang ini menyerbu teman-teman Tan Hok dan terjadilah pertempuran hebat di tempat gelap itu! Hiruk-pikuk suara senjata beradu, bunyi dencing pedang bertemu pedang, mendesir-desir angin senjata yang digerakkan oleh tangan yang terlatih kuat.

Seng Tek Cu mainkan pedangnya dengan cepat sehingga di mana dia bersilat tampak cahaya pedangnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar mencari mangsa. Ahli pedang Bu-tong-pai ini kaget bukan main karena rata-rata musuh-musuh yang menyerbu ini memiliki kepandaian tinggi, apa lagi tiga orang wanita yang menutupi muka dengan sapu tangan.

Dia dikeroyok oleh lima orang, di antaranya dua dari tiga wanita berkedok itu. Sama sekali dia tidak dapat mengenal ilmu pedang mereka, akan tetapi benar-benar pengeroyokan lima orang ini membuat dia kewalahan sekali dan dalam tiga puluh jurus saja dia sudah menderita luka bacokan pada pangkal lengan kirinya.

Keadaan Koai Tojin juga tidak menyenangkan. Tosu aneh ini mengamuk dan memainkan senjatanya yang aneh, yaitu pecut di tangan kanan dan papan catur di tangan kiri. Papan itu terbuat dari pada baja dan dia pergunakan seperti sebuah perisai, sedangkan pecutnya menyambar-nyambar ganas mengeluarkan suara nyaring. Hebat kepandaian Koai Tojin ini.

Akan tetapi pada saat itu dia pun kerepotan menghadapi pengeroyokan tiga orang, yaitu seorang adalah wanita berkedok sapu tangan hitam, dan dua adalah orang-orang tinggi besar yang bertenaga besar dan mainkan golok besar serta ruyung. Dia terdesak hebat sekali dan hampir saja papan caturnya terlepas ketika berkali-kali bertemu dengan ruyung, malah kemudian terdengar suara keras dan papan caturnya pecah menjadi dua!

Akan tetapi, Koai Tojin tidak menjadi gugup. Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan pecutnya menyambar-nyambar mengeluarkan suara nyaring, mencegah para pengeroyok mendesak terlampau dekat.

Betapa pun para orang gagah Pek-lian-pai itu melawan dengan nekat, akan tetapi pihak pengeroyok ternyata jauh lebih kuat. Apa lagi karena teman-teman Tan Hok ini bertempur dengan hati penuh keraguan dan kebimbangan, serta kacau balau kehilangan pemimpin karena Tan Hok sendiri sudah tidak berdaya. Mereka, seperti juga Tan Hok, merasa ragu dan bingung kenapa orang-orang Thai-san-pai malah menyerang dan memusuhi mereka.

Tiba-tiba terdengar bentakan mengguntur di dalam gelap itu dan sesosok bayangan kakek tinggi besar mengamuk. Kakek ini tidak mempergunakan senjata, kedua lengan bajunya yang lebar dan panjang berkibar-kibar ke sana ke mari dan setiap orang Pek-lian-pai yang tersambar ujung lengan baju, pasti terlempar dan tak dapat melawan lagi! Kakek ini sekali melompat sudah tiba di depan Tan Hok, sambil tertawa-tawa tangan kanannya memukul ke arah dada Tan Hok yang sudah duduk di atas tanah.

Tan Hok kaget setengah mati. Ia berusaha menangkis dan berseru penuh keheranan dan kemarahan, "Song-bun-kwi...!"

Akan tetapi suaranya terhenti, tubuhnya terlempar dan kakek patriot ini menggeletak tak bernyawa lagi oleh pukulan hebat yang meremukkan isi dadanya!

Kacau balaulah rombongan Tan Hok. Tak kuat mereka melawan lagi. Seng Tek Cu dan Koai Tojin maklum bahwa kalau mereka melawan terus, agaknya akan berakibat tak enak bagi pihak mereka. Lawan terlampau kuat, apa lagi dibantu kakek luar biasa itu.

Lebih-lebih kekagetan mereka mendengar saat Tan Hok sebelum tewas menyebut nama Song-bun-kwi. Kalau benar kakek ini Song-bun-kwi, celakalah mereka. Sudah terlampau sering mereka mendengar nama besar Song-bun-kwi yang selama bertahun-tahun ini tak pernah terdengar lagi muncul di dunia kang-ouw.

"Saudara-saudara, mundur...! Lari turun gunung...!" Seng Tek Cu berseru keras.

Orang-orang Pek-lian-pai adalah bekas pejuang yang sudah biasa bertempur, maklum bahwa kemunduran mereka kali ini bukanlah mundur untuk seterusnya, namun mundur karena menghadapi lawan terlampau kuat dan mundur untuk mengatur siasat. Apa lagi setelah Tan Hok tewas, mereka perlu mengadakan perundingan bersama lebih dulu untuk menghadapi orang-orang Thai-san-pai yang secara tiba-tiba berubah menjadi musuh ini.

Sambil menyeret dan menyambar tubuh teman-teman yang terluka atau tewas, mereka beramai mengundurkan diri dan lari turun gunung. Namun sepasang orang muda murid Kong-thong-pai tidak sudi meninggalkan gelanggang pertempuran.

Mereka berdua ini, Kam Bok dan Kam Siok, adalah orang-orang muda yang baru saja turun ke dalam gelanggang perjuangan. Darah muda mereka, sifat kesatria mereka yang menjunjung tinggi kegagahan, yang beranggapan bahwa bagi orang-orang gagah pantang meninggalkan gelanggang pertempuran dengan nyawa masih di tubuh, membuat mereka berkeras kepala tak mau ikut teman-teman mereka lagi. Lok-yang Siang-houw, sepasang harimau dari Lok-yang ini malah mengeluarkan bentakan-bentakan keras, mainkan golok di tangan mereka dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.

"Mundur semua, biar pinceng (aku) bereskan bocah-bocah sombong ini!"

Mendengar kata-kata kakek tinggi besar ini semua pengeroyok segera mundur sehingga berhadapanlah dua orang saudara Kam ini dengan kakek yang tadi membunuh Tan Hok ini. Lok-yang Siang-houw maklum bahwa kakek ini sangat sakti, maka mereka segera menyerang berbareng dengan Ilmu Golok Kong-thong-pai yang amat cepat. Dua batang golok di tangan mereka berkelebatan seperti sepasang naga menyambar korban.

"He-he, bocah-bocah Kong-thong-pai masih ingusan sudah berani menjual lagak di sini? Ha-ha-ha!"

Hwesio tinggi besar ini menggerakkan kedua lengannya. Ujung lengan baju seperti hidup bergerak ke depan memapaki sinar golok, ketika bertemu dengan golok lalu melibat bagai ular. Dua orang saudara Kam itu kaget sekali, berusaha mencabut golok masing-masing namun ternyata golok mereka seperti telah berakar di lengan baju itu, tidak dapat dicabut kembali.

Sambil tertawa-tawa kakek itu menghentakkan kedua lengannya dan... dua orang saudara Kam itu terhuyung ke depan. Terpaksa dengan kaget sekali mereka melepaskan gagang golok.

Akan tetapi dengan nekat mereka kembali menerjang dengan kepalan tangan, menyerang kakek tinggi besar itu dengan pukulan-pukulan keras. Kakek itu kini menggunakan pinggir telapak tangan menangkis dua kali.

"Krekk! Krekk!"

Tubuh dua orang saudara Kam terpental dan lengan tangan mereka patah-patah oleh tangkisan yang mengandung pukulan ini.

"Ha-ha-ha, bocah-bocah macam kalian mana mampu melawan Song-bun-kwi?" Kakek itu tertawa bergelak.

Kam Bok dan Kam Siok menggigit bibir menahan sakit lalu bangun berdiri dengan muka pucat.

"Hwesio jahat, kau bukan Song-bun-kwi...!" bentak Kam Bok.

Dia sudah pernah mendengar bahwa Song-bun-kwi meski pun juga seorang tinggi besar akan tetapi bukanlah seorang hwesio dan tokoh besar itu tak pernah bertempur secara keroyokan melainkan selalu turun tangan seorang diri tanpa teman.

"Kalian semua bukan orang-orang Thai-san-pai!" seru Kam Siok sambil memandang ke sekeliling. "Orang-orang Thai-san-pai tak akan berbuat curang seperti pengecut-pengecut macam kalian!"

Ucapan dua orang saudara Kam ini membangkitkan kemarahan. Terdengar suara wanita memberi aba-aba dan segera orang-orang itu menyerbu ke depan mengeroyok Kam Bok dan Kam Siok.

Kasihan sekali dua orang saudara dari Lok-yang ini. Mereka berusaha melawan sedapat mungkin dengan tangan kiri, namun mana bisa tangan kiri dipergunakan untuk menangkis sekian banyaknya senjata tajam yang datang menyerang bertubi-tubi?

Lengan tangan mereka sebentar saja remuk penuh luka, kemudian tubuh mereka dihujani senjata tajam. Tetapi hebatnya, dua orang saudara Kam yang masih muda ini tak pernah mengeluarkan rintihan sedikit pun sampai tubuh mereka roboh dan masih saja dijadikan bulan-bulanan senjata sehingga terpotong-potong dan rusak mengerikan!

Setelah pertempuran berhenti, orang-orang yang mengaku orang-orang Thai-san-pai ini menghilang ke dalam kegelapan malam. Keadaan sunyi kembali di tempat itu, sunyi yang menyeramkan. Apa lagi ketika bintang-bintang di langit sudah muncul, memberi sedikit penerangan di tempat pertempuran tadi, keadaan makin menyeramkan dan mengerikan.

Beberapa ekor binatang hutan yang dalam keadaan remang-remang itu tak diketahui jelas bentuknya, hati-hati dan perlahan berdatangan di tempat itu. Terjadilah pesta pora ketika binatang-binatang ini menjilati darah yang berceceran di atas rumput…..
********************

Berpekan-pekan lamanya Beng San serta isterinya merasa gelisah. Peristiwa pada tiga pekan yang lampau benar-benar menggegerkan Thai-san-pai. Dia dan isterinya turun dan memeriksa sendiri ketika ada seorang anak murid melapor bahwa di lereng sebelah barat terdapat dua buah mayat manusia yang keadaannya rusak teraniaya.

Ketua Thai-san-pai ini dan isterinya lalu melakukan pemeriksaan. Alangkah gelisah hati mereka melihat betapa di samping mayat dua orang laki-laki muda yang mengerikan itu, juga tampak bekas-bekas pertempuran besar di tempat itu.

"Apakah artinya ini?" Dengan muka berubah khawatir, Cia Li Cu bertanya pada suaminya, Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Yang ditanya mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala perlahan.
"Dua orang yang menjadi mayat itu sukar dikenali mukanya, dan agaknya pertempuran yang terjadi di sini baru malam tadi terjadi. Sayang kita tidak mendengarnya sama sekali sehingga tidak dapat mengetahui siapa yang telah bertempur dan apa sebabnya. Tetapi, dengan adanya dua mayat di tempat ini, dan kenyataan bahwa pertempuran dilakukan di wilayah Thai-san-pai, terang bahwa hal-hal yang tidak baik sedang terjadi dan hal itu tentu menyangkut Thai-san-pai."

Sejak hari itu pula, Beng San memberi perintah kepada para muridnya yang mondok di Thai-san-pai, untuk berjaga-jaga dan meronda setiap malam. Namun hatinya selalu terasa tidak tenteram.

Juga Li Cu merasa tak enak hatinya semenjak terjadi hal yang penuh rahasia di lereng barat itu. Kekhawatirannya yang hendak disembunyikan dapat diketahui bahwa dia tidak memperbolehkan lagi Cui Sian bermain-main di luar pondok di puncak. Anak perempuan yang baru berusia empat tahun kurang itu selalu harus berada di dekatnya, tidak boleh berpisah sebentar pun.

Beng San maklum akan perasaan isterinya, maka pada suatu hari dia menghiburnya.

"Isteriku, tak perlu kau terlalu gelisah. Bukan baru sekarang kita tahu bahwa banyak sekali orang-orang jahat di dunia kang-ouw selalu menaruh dendam dan memusuhi kita. Mereka itu mau apa? Kita bisa melawan, tentang mati hidup berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Kenapa harus gelisah?"

Li Cu menarik napas panjang. Semenjak kematian puterinya, Cui Bi, nyonya ini nampak lebih kurus. Kehadiran Cui San sebagai pengganti Cui Bi, memang juga membawa serta kekhawatiran besar, khawatir kalau-kalau nantinya Cui Sian akan mengalami nasib seperti cici-nya (kakak perempuannya). Karena anaknya inilah maka ia berkhawatir sekarang ini.

"Suamiku, kiranya engkau sudah cukup mengenal watakku. Akan menjadi buah tertawaan dunia agaknya apa bila aku sampai ketakutan menghadapi ancaman orang jahat. Tidak, Suamiku, semenjak kecil aku sudah dididik oleh mendiang ayah untuk menjunjung tinggi akan kegagahan dan tidak takut akan kematian. Akan tetapi, kau lihat puteri kita ini... Cui Sian masih begini kecil. Hanya kalau teringat kepadanya maka hatiku menciut, nyaliku mengecil dan perasaanku diliputi kekhawatiran."
"Sudahlah, kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa. Sampai pucat mukamu, agaknya kau kurang tidur dalam beberapa hari ini."
"Memang demikian, hatiku tidak enak saja..."

Enam pekan kemudian semenjak terjadinya peristiwa di lereng barat itu. Malam itu amat indah. Bulan bersinar tenang sejuk. Pohon-pohon dan rumput bermandikan cahaya bulan nampak segar. Dari puncak Bukit Thai-san, bulan seakan-akan mengambang di antara mega, begitu dekat seperti mudah dijangkau tangan.

Para anak murid Thai-san-pai, setelah sebulan lebih bekerja keras melakukan penjagaan, malam itu pun mulai malas untuk meronda. Malam ini terlalu indah untuk memikirkan hal yang bukan-bukan, untuk menguatirkan hal yang tidak-tidak. Tidak mungkin rasanya pada malam seindah itu akan terjadi hal-hai yang tidak baik. Kata orang, cahaya bulan purnama membangkitkan kasih sayang di hati manusia sehingga pada malam seperti itu, sukarlah untuk menaruh hati benci kepada orang lain.

Cui Sian bersama ayah bundanya juga bergembira di pekarangan depan pondok mereka. Tak ada habisnya anak itu bertanya kepada ibunya tentang puteri di bulan, tentang kakek bulan seperti yang didongengkan ibunya kepadanya.

"Ibu, apakah cici Cui Bi juga di bulan?” dengan kata-kata lucu dan tidak jelas anak itu bertanya sambil merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dan matanya yang lebar bening itu terbelalak memandang bulan.

Sejenak Li Cu bertukar pandang dengan suaminya. "Betul, nak, cici-mu juga di bulan." Li Cu memeluk dan menciumi dahi puterinya itu.

"Ibu, aku juga ingin terbang ke bulan..." Cui Sian merengek.

Ibunya menghibur dan memelukinya, diam-diam berdoa mohon kepada kakek bulan agar supaya kelak Cui Sian lebih bahagia dalam cinta kasihnya, tidak seperti Cui Bi.

Pada saat itu tangan Beng San menyentuh lengannya penuh arti. Li Cu menengok dan memandang ke arah pandangan suaminya. Hatinya berdebar tegang.

Terang sekali, di udara sebelah barat kelihatan meluncur ke atas sepucuk sinar merah, berulang-ulang sampai tiga kali. Tidak salah lagi, itulah panah api yang sengaja dilepas orang sebagai tanda rahasia. Belum hilang kagetnya, di sebelah utara meluncur lain sinar, kini kehijauan, lebih terang dari pada tadi.

"Bawa dia masuk...," kata Beng San perlahan kepada isterinya, nada suaranya tenang.

Li Cu bangkit, memondong anaknya. Cui Sian tidak mau dan menangis ingin menonton bulan.

"Mari masuk, Sian-ji, di luar banyak angin," ibunya menghibur dan membawanya masuk ke rumah, lalu menyerahkan anak itu kepada inang pengasuh, bibi Cang.

Cui Sian tetap menangis dan rewel, akan tetapi Li Cu memaksa anak itu dibawa masuk dan dihibur bibi Cang serta para pelayan yang berada di pondok itu. Ia sendiri setelah mengambil pedangnya, lalu kembali keluar. Dia melihat suaminya sedang berdiri sambil memandang ke arah barat. Ia segera berdiri di sisi suaminya, melayangkan pandang ke arah barat dan utara di mana tadi tampak panah-panah api berwarna merah dan hijau.

"Siapakah yang datang? Apa maksud mereka?" bisiknya.

Beng San menggeleng kepala, mengerutkan kening. "Entah, belum pernah mendengar tokoh menggunakan panah api. Biasanya panah-panah api dipergunakan oleh rombongan yang memberi tanda rahasia..."

Mendadak terdengar suara tinggi melengking dari arah barat, disusul suara hampir sama dari arah utara. Tubuh suami isteri itu menegang.

"Li Cu, aku harus segara turun dari sini untuk melakukan pemeriksaan ke bawah. Siapa tahu murid-murid kita menghadapi musuh."

Tanpa menanti persetujuan Li Cu, Beng San menggerakkan kaki hendak lari turun. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang Li Cu yang menahannya. Dia heran, dan menoleh.

"Kau di sini saja, menjaga Cui Sian, biarkan aku sendiri."
"Jangan...!" pinta Li Cu.

Beng San terheran-heran. Baru kali ini selama menjadi isterinya, Li Cu memperlihatkan keraguan yang amat mengherankan ini. Dia memegang kedua pundak isterinya, pandang matanya mencari-cari ke dalam mata isterinya, lalu tanyanya heran,

"Li Cu...! Jangan bilang bahwa kau... takut?"

Wanita itu menarik napas panjang, mengandung isak. "Entahlah... aku... tak enak sekali hatiku. Kau di sinilah saja bersamaku, menjaga keselamatan Cui Sian."

Beng San memandang dengan mata terbelalak. Hampir-hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kemudian dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, isteriku, kau seperti anak kecil merengek-rengek! Alangkah lucunya! Siapakah berani mengganggu anak kita? Pula, biar aku turun puncak, kau berada di sini dan siapa yang dapat mengganggu Cui Sian bila kau berada di sini? Huh, cacing busuk dari mana berani menghadapi isteriku! Pedangmu akan mampu membasmi seratus orang lawan, lagi pula, jalan ke puncak ini tidak mudah, tidak sembarangan orang mampu melewati jalan rahasia kita."
"Tidak, suamiku... sekali ini saja... kau bersamaku menjaga Cui Sian."

Beng San mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilat ketika Liong-cu-kiam tercabut. Sekali berkelebat pedang itu sudah membelah sebuah batu besar di depannya, hampir tanpa bersuara!

"Li Cu!" Suara Beng San terdengar tegas dan kereng. "Baiknya tadi hanya batu ini yang mendengar ucapanmu. Karena sudah mendengarkan suara isteriku, maka kubinasakan dia! Bagaimana kalau ada manusia yang mendengar isteri ketua Thai-san-pai berbicara seperti itu? Kau jelas tahu, aku adalah ketua Thai-san-pai, dan perkumpulan ini harus kupertahankan dengan nyawaku kalau perlu! Mana mungkin jika Thai-san-pai kedatangan musuh, ketuanya bersembunyi saja di sini membiarkan anak-anak murid Thai-san-pai menghadapi bahaya tanpa pimpinan? Li Cu, insyaflah, tak mungkin kita berubah menjadi pengecut!"

Ucapan suaminya ini agaknya merupakan air dingin yang menyadarkan Li Cu. Ia terisak, menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan, "Maafkan aku... kau pergilah, kau benar. Tapi... hatiku tidak enak... aku khawatir anakku, bukan keselamatan kita..."

"Li Cu, perlihatkanlah keberanianmu sebagai seorang gagah!" Beng San menuntut.
"Srattt!"

Kembali selarik sinar berkelebat ketika pedang Liong-cu-kiam yang pendek tercabut. Sinar pedang menyambar dan batu yang tadi terbabat menjadi dua potong kini terbabat menjadi empat potong oleh pedang Li Cu, hanya sedikit menimbulkan suara dan bunga api!

"Aku siap menjaga puncak ini dengan taruhan nyawa!"

Beng San tersenyum, mendekatkan muka mencium pipi isterinya, lalu sekali berkelebat dia sudah melompat jauh dan berlari turun puncak, dipandang oleh isterinya yang tanpa terasa menitikkan dua butir air mata. Li Cu lalu menjaga di depan pondok, menyesali diri sendiri yang hampir saja kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan pada diri sendiri.

Ini semua karena kekhawatirannya kehilangan Cui Sian. Ia menjadi penakut setelah satu kali ia kehilangan Cui Bi.....

********************
Melalui jalan rahasia, Beng San cepat tiba di lereng gunung, di mana dia melihat dari jauh banyak obor menyala dan bahkan terdengar pula suara senjata beradu. Kagetnya bukan kepalang dan cepat dia mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke tempat itu.

Diam-diam dia menyesal mengapa dia datang terlambat. Baiknya pertempuran itu baru saja dimulai, buktinya di kedua belah pihak belum jatuh korban. Dia melihat belasan orang muridnya menghadapi serbuan puluhan orang, bahkan masih banyak terdapat kelompok orang-orang yang berjajar di sebelah barat dan sekelompok lagi di sebelah utara.

Matanya menyapu cepat. Ia melihat bahwa kelompok di utara itu adalah orang-orang dari Kong-thong-pai yang dipimpin oleh seorang tosu tua. Ada pun di sebelah barat dengan kaget dia mengenal beberapa orang dari Pek-lian-pai.

Hatinya berubah lega. Orang-orang sendiri, pikirnya. Tapi mengapa terjadi pertempuran? Tentu salah paham! Cepat dia berseru keras,

"Saudara-saudara, harap suka menahan senjata dulu!"

Para anak murid Thai-san-pai dengan girang mengenal suara guru mereka. Cepat mereka melompat mundur dan menahan pedang masing-masing, lalu berkumpul dan berdiri di belakang Beng San. Dari pihak lawan terdengar pula tosu Kong-thong-pai menyuruh anak muridnya berhenti, juga di pihak Pek-lian-pai yang dipimpin oleh dua orang tosu pula.

"Bagus! Ketua Thai-san-pai sendiri keluar. Urusan ini harus diselesaikan!" kata seorang tosu tua yang kurus kering, bongkok, dan memegang pedang.

Melihat tosu ini, kembali Beng San terkejut dan cepat-cepat menjura. "Ah, kiranya totiang Seng Tek Cu yang datang berkunjung. Juga kalau tidak keliru sangka, totiang yang lain ini tentulah seorang tokoh Kong-thong-pai yang terhormat. Bahkan aku mengenal beberapa saudara dari Pek-lian-pai di sini. Maaf-maaf... tamu-tamu terhormat datang, aku tidak tahu dan tidak mengadakan penyambutan."

Kemudian Beng San menoleh pada para anak muridnya dan membentak kereng. "Kalian ini bagaimana tidak bisa membedakan siapa kawan siapa lawan? Mengapa berani berlaku kurang ajar terhadap tamu-tamu terhormat? Kau... Ki Han! Jawablah, kau yang memimpin saudara-saudaramu melakukan penjagaan. Bagaimana bisa terjadi hal ini?"

Su Ki Han merupakan murid tertua dari Thai-san-pai, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, seorang gagah yang sudah dipercaya oleh Beng San. Dia cepat berlutut di depan Beng San dan menjawab,
"Mana teecu (murid) berani tidak mentaati aturan suhu? Sama sekali murid dan para adik seperguruan tidak berani bersikap kurang hormat terhadap tamu. Akan tetapi orang-orang ini sama sekali tak mau memberi kesempatan kepada kami untuk bicara. Datang-datang mereka menyerang kami dan sudah tentu saja kami terpaksa mempertahankan diri dan mempertahankan nama besar Thai-san-pai. Harap suhu sudi menyelidiki dan kalau teecu dan adik-adik seperguruan salah, kami sanggup menerima hukumannya."

Lega hati Beng San dan dia percaya penuh kepada murid-muridnya ini. Dia lalu menoleh kembali kepada Seng Tek Cu, memandang penuh kekhawatiran dan pertanyaan sambil berkata. "Totiang mendengar sendiri ucapan muridku. Sebetulnya apakah yang terjadi dan mengapa Totiang membawa serta pasukan yang terdiri dari saudara-saudara Pek-lian-pai, malah ada rombongan Kong-thong-pai, lalu datang-datang menyerang murid-muridku?"

Seng Tek Cu, tosu kurus kering bongkok dari Bu-tong-pai ini, mendengar sambil tertawa mengejek.

"Huh, alangkah lucunya kenyataan yang tidak lucu! Pinto dan semua murid Bu-tong-pai, semua orang gagah yang selama hidup menjunjung kegagahan, kebenaran dan keadilan. Semua tokoh dunia kang-ouw memandang tinggi pada ketua Thai-san-pai yang dianggap seorang berilmu yang berjiwa pendekar. Sebulan lewat yang lalu, kalau ada orang bilang bahwa ketua Thai-san-pai seorang pengecut yang tak mengenal pribudi, pasti pinto (aku) akan turun tangan memukul rusak mulut orang yang bilang demikian itu. Sekarang pinto menyaksikan sendiri betapa kabar orang tentang kehebatan ketua Thai-san-pai ternyata bohong belaka!"

Diam-diam Beng San kaget sekali, tetapi dia tidak heran. Jawabnya dengan suara masih tenang, "Totiang, dunia ini memang makin lama semakin kotor oleh perbuatan manusia-manusia yang tidak benar. Banyak kejahatan dilakukan orang, akan tetapi kejahatan yang paling keji adalah fitnah. Dalam urusan ini pun saya rasa ada pihak yang melakukan fitnah terhadap Thai-san-pai, harap Totiang suka berhati-hati menghadapi fitnah dan menyelidiki terlebih dulu dengan seksama sebelum menjatuhkan keputusan."

"Ho-ho-ho, ketua Thai-san-pai! Mata pinto masih belum buta! Tidak hanya pinto melihat dengan kedua mata sendiri, bahkan pinto juga ikut merasai pukulan-pukulan anak murid Thai-san-pai yang gagah perkasa, he-he-he, terlalu gagah sehingga sombong dan galak. Kejadian satu setengah bulan yang lalu di lereng ini bukanlah impian buruk, melainkan kenyataan yang pinto alami sendiri. Maka tak perlu kau berpura-pura tidak tahu. Apakah kau begitu pengecut untuk menyangkal kejadian yang disaksikan oleh puluhan pasang mata? Mayat-mayat masih belum hancur di dalam kuburannya, orang-orang yang terluka masih belum sembuh, semua akibat sepak terjang Thai-san-pai, dan kau masih ada muka untuk menyangkal?"

Berubah wajah Beng San. Inilah hebat! Teringat dia akan keadaan di lereng barat, di mana terdapat mayat dua orang tak dikenal dan bekas-bekas pertempuran besar.

"Totiang, dan cu-wi (tuan-tuan sekalian), harap dengarkan keteranganku! Dalam hal ini pasti terjadi salah pengertian yang besar! Memang pada satu setengah bulan yang lalu, aku dan para murid Thai-san-pai melihat bekas pertempuran di lereng barat, kemudian menemukan dua mayat yang tidak kami kenal, dalam keadaan rusak teraniaya. Kami sendiri masih bingung memikirkan siapa adanya dua mayat yang sudah kami kubur itu, tapi..."
"Jahanam! Itulah dua orang murid pinto, Lok-yang Siang-houw Kam-heng-te! Hayo kau ganti nyawa dua orang murid pinto!" tiba-tiba saja tosu tua yang memimpin rombongan Kong-thong-pai berseru sambil mencabut sebatang golok tipis dari pinggangnya.

Tosu ini bukan lain adalah Yang Ki Cu, seorang tosu tokoh Kong-thong-pai yang terkenal dengan ilmu goloknya, seorang bekas pejuang. Golok di tangannya ini istimewa sekali, tipis dan mudah melengkung, akan tetapi jangan dipandang rendah karena golok tipis ini sangat kuat dan tajam sehingga mampu membabat putus senjata lain yang terbuat dari pada baja. Semua anak murid Kong-thong-pai juga mencabut golok mereka dan sikap mereka sudah mengancam sekali.

Beng San makin kaget. Kiranya mayat-mayat itu adalah mayat Lok-yang Siang-houw yang sudah dia kenal nama harumnya. Dia cepat mengangkat tangan mencegah terjadinya pertempuran karena murid-muridnya juga menjadi panas menghadapi fitnah keji terhadap Thai-san-pai ini.

"Ji-wi Totiang dan saudara semua, harap suka bicara lebih dahulu sebelum turun tangan! Sebetulnya, apakah yang telah terjadi di sini satu setengah bulan yang lalu?"

Sekarang Seng Tek Cu yang bicara, "Ketua Thai-san-pai, sebetulnya tidak perlu diulang lagi karena buktinya sudah cukup kuat. Akan tetapi karena pada waktu itu engkau tidak muncul, biarlah kau sekarang mempertanggung jawabkan perbuatan murid-muridmu yang biadab, dibantu oleh mertuamu si iblis Song-bun-kwi. Dengar! Waktu itu pinto dan Koai Tojin ini, juga beberapa saudara dari Pek-lian-pai, dibantu oleh Lok-yang Siang-houw, mengantar saudara Tan Hok untuk menemuimu dan minta bantuanmu tentang perkara perjuangan yang penting. Akan tetapi, ketika saudara Tan Hok naik ke puncak seorang diri, ia bertemu dengan murid-murid Thai-san-pai yang langsung memaki dan menyerang dia. Siapa tahu Thai-san-pai telah dijadikan kaki tangan kaisar baru sehingga begitu tega mengkhianati perjuangan orang yang tadinya kau akui sebagai kakak angkatmu. Saudara Tan Hok lalu turun dikejar murid-muridmu yang jahat, tentu saja kami lalu menghadapi murid-muridmu, terjadi pertempuran mati-matian dan muncullah mertuamu si iblis laknat itu membuat kami menderita kekalahan. Saudara Tan Hok tewas di tangan Song-bun-kwi, dan kedua saudara Kam juga tewas, di samping banyak saudara Pek-lian-pai yang gugur. Nah, sekarang kau mau bilang apa lagi?"

Kalau ada kilat menyambar dirinya di saat itu, kiranya Beng San tidak akan sekaget ketika mendengar kata-kata ini. Mukanya berubah pucat kehijauan dan dia pun menoleh kepada murid-muridnya.

Serentak para muridnya berseru, "Bohong! Fitnah belaka! Bohong semua itu, Suhu. Teecu sekalian tidak pernah bertempur dengan mereka ini!"

Beng San merasa seperti dalam sebuah mimpi buruk sekali. Kakak angkatnya, Tan Hok, tewas di tempatnya ini dalam perjalanan hendak menemuinya? Dan yang membunuh Tan Hok adalah kakek Song-bun-kwi?

"Tak mungkin ini...," dia berkata keras-keras akan tetapi tidak ditujukan kepada siapa pun karena kata-katanya ini adalah suara hatinya yang keluar melalui mulutnya, "...terang tak mungkin murid-muridku malah mengeroyok Tan-twako! Andai kata gak-hu (ayah mertua) Song-bun-kwi membunuh Tan-twako dan Lok-yang Siang-houw, tentu di sana telah terjadi kesalah pahaman di antara mereka."
"Ketua Thai-san-pai! Setelah kau mendengar semuanya, bagaimana tanggung jawabmu? Atau kau akan membela murid-muridmu dan memaksa kami turun tangan menghancurkan Thai-san-pai?"

Suara Seng Tek Cu ini menyadarkan Beng San dari pada lamunannya. Dia mengerutkan kening dan mukanya yang kehijauan sudah pulih kembali karena keyakinannya bahwa murid-muridnya pasti tidak melakukan perbuatan seperti difitnahkan orang itu.

"Totiang dan cu-wi sekalian. Sudah terang bahwa terjadi hal hebat dan curang di sini. Agaknya ada pihak-pihak yang ingin merusakkan nama baikku dan Thai-san-pai. Karena anak muridku bukanlah orang-orang jahat, apa lagi memusuhi Tan-twako yang menjadi kakak angkatku yang kukasihi. Pertanggungan jawab bagaimana yang cu-wi kehendaki?"
"Kau harus menghukum pembunuh-pembunuh itu, kau harus membunuh murid-muridmu yang pada malam hari itu mengeroyok kami, membunuh mereka sekarang juga di depan kami. Kalau kau mau melakukan hal itu, barulah pinto dan saudara-saudara di sini suka menghabiskan perkara ini dan menganggap bahwa kau tetap seorang pendekar besar yang tidak tahu-menahu akan perbuatan keji murid-muridmu di waktu itu," jawab Seng Tek Cu yang diiringi anggukan kepala para anggota Pek-lian-pai.
"Thai-san Ciang-bun-jin, kau harus dapat pula mengantarkan kepala si iblis Song-bun-kwi kepadaku sebagai pembalasan atas kematian dua orang muridku yang tidak berdosa, barulah pinto mau menyudahi perkara ini!" kata pula Yang Ki Cu, tosu tua Kong-thong-pai yang suaranya tinggi melengking.

Beng San tertegun. Betul-betul pertanggungan jawab yang hebat dan gila. Mana mungkin dia menghukum mati murid-muridnya yang sama sekali tidak bersalah, yang dia yakin sama sekali tidak tahu-menahu dengan peristiwa di lereng barat itu? Apa lagi permintaan tosu Kong-thong-pai itu, mana mungkin bisa dia mengantarkan kepala ayah mertuanya, Song-bun-kwi, kepada tosu ini?

"Gila!" bentaknya marah karena merasa tersinggung kehormatan serta kewibawaannya. "Kalian mau menetapkan sendiri syarat-syarat yang tak mungkin! Mana bisa ini dianggap sebagai keputusan orang-orang gagah? Pertanggungan jawab yang kalian ajukan itu gila dan sewenang-wenang, mana bisa dibilang adil?"

"Hemmm, kalau menurut pikiranmu, bagaimana seharusnya pertanggungan jawab itu?" tanya Seng Tek Cu menahan marah.
"Totiang, sebetulnya aku sama sekali tidak tahu-menahu mengenai peristiwa di lereng sebelah barat itu. Akan tetapi karena peristiwa itu terjadi di wilayah Thai-san, apa lagi karena malapetaka itu menimpa diri Tan-twako dan Lok-yang Siang-houw, juga saudara-saudara Pek-lian-pai, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membersihkan nama baik Thai-san-pai, membalaskan penasaran Tan-twako dengan jalan mencari sampai dapat pembunuh-pembunuh yang sebenarnya. Tentang gak-hu Song-bun-kwi, biarlah aku akan mencarinya dan menanyakan hal itu, karena aku masih ragu-ragu apakah benar-benar beliau yang melakukannya."
"Ketua Thai-san-pai! Telingaku sendiri mendengar betapa Tan Hok sicu menyebut-nyebut nama Song-bun-kwi sebelum tewas, dan kedua mataku sendiri melihat iblis tua itu ketika mengamuk. Dan sekarang kau masih hendak menyangkal lagi?!" bentak Seng Tek Cu.
"Pinto juga minta pertanggungan jawab sekarang juga! Kematian murid-murid pinto harus dibalas!" Yang Ki Cu juga berseru marah.
"Ganyang penjahat-penjahat Thai-san-pai! Balaskan saudara-saudara kita!" teriak para anggota Pek-lian-pai yang masih mendendam karena kematian banyak saudara mereka.

Beng San masih bersabar, akan tetapi murid-muridnya yang tidak dapat menahan diri lagi. "Suhu, orang menghina Thai-san-pai semaunya. Kesabaran ada batasnya. Teecu tidak takut melayani mereka!" kata Su Ki Han dengan tangan di gagang pedangnya.

Beng San mengangkat tangannya mencegah. "Nanti dulu, Ki Han. Mereka itu bukanlah musuh, ada orang-orang jahat yang sengaja hendak mengadu domba antara kita dengan mereka..." Akan tetapi Beng San tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Tiba-tiba saja terdengar jerit-jerit mengerikan dan robohlah tiga orang dalam rombongan Pek-lian-pai dibarengi robohnya dua orang dirombongan Kong-thong-pai. Ribut keadaan di situ, apa lagi ketika mereka mendapat kenyataan bahwa kelima orang itu telah tewas dengan leher atau ulu hati tertusuk pisau-pisau kecil yang agaknya sudah disambitkan orang-orang secara menggelap.

"Thai-san-pai curang! Serbu dan ganyang Thai-san-pai!"

Orang-orang di kedua rombongan itu berteriak-teriak dan tanpa menunggu komando lagi orang-orang Kong-thong-pai dan Pek-lian-pai lalu menyerbu ke arah Beng San dengan senjata di tangan!

Akan tetapi dengan gerakan yang cepat laksana burung terbang, ketua Thai-san-pai ini sudah lenyap dari tempatnya berdiri sehingga penyerangan orang-orang itu disambut oleh murid-murid Thai-san-pai yang sudah marah.

Terjadilah pertempuran hebat di antara mereka. Murid-murid Thai-san-pai yang pada saat itu berada di situ hanya ada delapan belas orang, tetapi mereka ini adalah murid-murid yang bertempat tinggal di Thai-san-pai dan mereka sudah berada di situ semenjak Thai-san-pai berdiri empat tahun yang lalu. Oleh karena itu mereka ini rata-rata sudah memiliki ilmu silat yang tinggi sehingga permainan pedang mereka pun lihai.

Su Ki Han murid kepala Thai-san-pai menyambut golok tosu Yang Ki Cu, oleh karena dia melihat tosu ini hebat betul permainan goloknya. Murid Thai-san-pai ke dua yang bernama Liok Sui menyambut pedang Seng Tek Cu tosu Bu-tong-pai sedangkan murid ke tiga yang bernama Coa Bu Heng menghadapi Koai Tojin yang amat berbahaya cambuk dan papan caturnya.

Ada pun lima belas orang anak murid Thai-san-pai yang lain menghadapi pengeroyokan puluhan orang musuh sehingga rata-rata setiap orang harus menghadapi empat atau lima orang lawan! Benar-benar keadaan Thai-san-pai terancam sekali karena segera kelihatan betapa pihak mereka terdesak hebat. Tiga orang murid kepala itu pun terdesak oleh tiga orang tosu lihai yang tingkatnya jauh melebihi mereka.

Kenapa Beng San malah melenyapkan diri? Kiranya pendekar ini tadi dengan amat kaget melihat berkelebatnya pisau-pisau terbang yang merobohkan lima orang. Dia pun maklum bahwa hal ini dilakukan oleh orang-orang yang hendak mengadu domba, maka secepat kilat dia melompat kemudian menerobos gerombolan pohon dari mana pisau-pisau itu beterbangan dan hanya terlihat olehnya.

Di bawah sinar bulan purnama dia melihat ada bayangan tiga orang yang bertubuh kecil langsing. Bayangan-bayangan itu gesit sekali dan sedang berlari meninggalkan tempat itu.

"Perlahan dulu...!" dia membentak sambil melompat, mengulur tangan hendak menangkap salah seorang di antara mereka.

Tiba-tiba terdengar suara mengejek. Bayangan itu melejit dan cengkeraman Beng San menangkap angin!

Ketua Thai-san-pai ini terkejut bukan main. Tidak sembarang orang dapat menghindarkan cengkeramannya tadi, maka dari gebrakan ini saja dapat diduga bahwa orang-orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia segera menerjang lagi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menyambar orang ke dua yang datang hendak membantu orang pertama. Orang ke tiga menggerakkan tangan dan angin berciutan ke arahnya.

Beng San terkejut bukan main. Pukulannya tertangkis lengan kecil berkulit halus namun memiliki tenaga lweekang yang hebat. Biar pun dia dapat membuat lawan itu terhuyung karena peraduan lengan itu, dia merasa betapa lengannya sendiri panas, tanda bahwa tenaga lawan ini benar-benar tak boleh dipandang ringan.

Cengkeramannya pada orang ke dua juga meleset, malah orang itu mengirim tendangan yang aneh gerakannya ke arah bawah pusarnya. Serangan yang singkat tapi mematikan. Dan pada saat itu, orang ke tiga mengirim serangan dengan telunjuk menuding dan yang mengeluarkan angin berciutan ke arah lehernya.

Cepat Beng San menggerakkan tangan kiri berusaha menangkap kaki yang menendang. Dia berhasil menangkapnya, tetapi cepat-cepat melepaskannya kembali ketika tangannya merasa memegang sebuah kaki bersepatu yang kecil, kaki seorang wanita! Sedangkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berciutan itu, dia sampok dengan tangan sambil mengerahkan hawa pukulan Pek-in Hoat-sut. Karena dia tidak mengira akan kehebatan pukulan ini, dia mendiamkan saja ketika pukulan meleset mengenai ujung lengan bajunya.

"Brettt!" Ujung lengan baju itu robek seperti ditusuk pedang!
"Hebat...!" serunya kagum, maklumlah dia bahwa tiga orang ini agaknya tiga wanita yang sakti.
"Siapakah kalian? Kenapa datang-datang memusuhi aku?" Dia berusaha untuk mengenal muka mereka, akan tetapi ternyata muka mereka tertutup sutera hitam, hanya pakaian mereka berwarna merah berkembang.
"Hi-hi-hik!" tiga orang wanita itu hanya tertawa. Tampak gigi-gigi putih mengkilap tertimpa cahaya bulan, disusul berkilatnya tiga batang pedang yang mereka cabut berbareng.

Beng San berseru keras ketika tiga batang pedang itu seperti terbang menyerangnya dari tiga jurusan. Dia mengerti bahwa tiga orang lawan sakti ini tak mungkin dihadapi dengan tangan kosong, maka dia cepat menggerakkan tangan dan tampaklah sinar menyilaukan mata ketika Liong-cu-kiam dihunus.

Dia harus sanggup merobohkan mereka, atau setidaknya menangkap seorang di antara mereka. Mereka inilah yang tahu akan fitnah yang menimpa Thai-san-pai. Akan tetapi merobohkan tiga orang ini benar-benar tidak mudah. Ilmu pedang mereka amat aneh dan lihai, malah pedang di tangan mereka berani membentur Liong-cu-kiam tanpa rusak.

Beng San penasaran. Diputarnya pedangnya sedemikian rupa dan mulailah dia mainkan Im-yang Sin-kiam. Beberapa kali terdengar ketiga orang wanita itu berteriak kaget dan menjerit. Im-yang-sin kiam benar-benar terlampau sakti bagi mereka.

Tiba-tiba terdengar mereka bersuit aneh dan sinar-sinar putih berkelebatan menyambar dari tubuh mereka ke arah Beng San. Hebat sekali senjata ini dan agaknya ini adalah pisau-pisau kecil yang tadi sudah merobohkan lima orang. Beng San memutar pedang menyampok, terdengar suara nyaring berkali-kali dan pisau-pisau itu beterbangan ke kanan kiri.

Akan tetapi ketika dia memandang ke depan, tiga orang wanita itu sudah lenyap ditelan bayangan-bayangan gelap. Dia hendak meloncat dan mengejar, akan tetapi niat itu lantas diurungkan ketika dia mendengar teriakan-teriakan dan senjata beradu dari arah sebelah belakangnya.

Teringatlah dia akan anak-anak murid Thai-san-pai yang tentunya sedang menghadapi serbuan mereka itu, maka hatinya menjadi amat gelisah. Mana mungkin murid-muridnya yang hanya delapan belas orang itu dapat mengatasi bahaya yang mengancam?

Dia tahu pula bahwa tiga orang tosu itu saja takkan bisa dilawan, baik oleh murid kepala Thai-san-pai sekali pun. Jika dia terus mengejar tiga orang wanita aneh tadi, tentu para muridnya akan terancam bahaya maut. Tapi bila membiarkan tiga orang itu lari, dia akan kehilangan bukti akan kebersihan Thai-san-pai. Dia merasa serba salah.

Akhirnya dia mengambil keputusan membantu murid-muridnya yang terancam bahaya. Kalau memang Thai-san-pai bersih, tidak usah takut menghadapi fitnah, pikirnya. Mudah kelak mencari rahasia dan mengejar orang-orang jahat yang menimbulkan fitnah.

Pada waktu dia berlari dan melompat ke tempat pertempuran, hatinya berduka sekali dan perasaannya amat terpukul. Banyak di antara para penyerbu menggeletak tak bernyawa terkena bacokan pedang murid-muridnya, juga beberapa orang muridnya menggeletak tak bernyawa. Yang masih bertempur telah luka-luka hebat pula.

Su Ki Han melawan Yang Ki Cu dengan mati-matian akan tetapi terdesak hebat, pundak kirinya sudah robek berdarah. Coa Bu Heng muridnya ke tiga yang berusia dua puluh lima tahun, murid yang amat berbakat, didesak hebat oleh Koai Tojin dan pakaiannya sudah compang-camping berikut kulit tubuhnya pecah-pecah terhajar cambuk. Liok Sui muridnya yang sebaya dengan Su Ki Han juga sudah payah, darah mengalir dari pahanya yang terluka oleh pedang Seng Tek Gu tosu Bu-tong-pai. Sebentar lagi, tiga orang muridnya ini tentu akan roboh berikut murid-murid yang lain.

"Tahan semua...!" Dia membentak. "Kita terhasut fitnah! Orang-orang yang jahat berada di sini..."

Tetapi pihak penyerbu yang sudah marah dan merasa berada di ambang kemenangan itu sama sekali tidak mau berhenti. Beng San menjadi marah sekali. Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar yang menerjang ke sana ke mari.

Terdengar teriakan kaget berturut-turut ketika Koai Tojin terhuyung ke belakang, papan caturnya pecah dua dan cambuknya putus disusul Seng Tek Cu yang pedangnya terputus dan Yang Ki Cu yang goloknya terbang entah ke mana. Mereka berundur dengan muka pucat, memandang orang-orangnya yang kacau balau akibat diterjang gulungan sinar itu. Pedang dan golok beterbangan, orang-orang terlempar karena dorongan atau tendangan.

"Hayo, siapa tidak mau berhenti? Manusia-manusia tolol kalian! Berhenti! Siapa yang tak berhenti akan kurobohkan!" Beng San berteriak sambit menerjang ke sana ke mari.

Sebentar saja orang-orang itu mundur dengan jeri. Bukan main hebatnya sepak terjang Beng San sang ketua Thai-san-pai ini. Sekarang dia tampak berdiri tegak dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan, menghadapi mereka dengan mata berapi-api.

"Siapa masih berkepala batu? Majulah!" tantangnya penuh kemarahan.

Seng Tek Cu melangkah maju dan tersenyum pahit. "Ketua Thai-san-pai, hebat memang kepandaianmu. Kami tak mampu melawanmu. Akan tetapi, jangan kira bahwa kami akan menerima begini saja dan..."

"Tutup mulut! Sudah banyak jatuh korban sia-sia. Kukatakan tadi bahwa kalian kena hasut fitnah dan orang-orang yang mengakibatkan itu berada di sini, merekalah tadi yang secara diam-diam menyerang lima orang-orangmu secara menggelap. Kalian benar-benar bodoh dan tidak mau mendengarkan alasanku!"

Kaget sekali Seng Tek Cu. Mulai dia meragu. Juga Yang Ki Cu yang segera bertanya.

"Mana mereka? Siapa mereka itu? Buktikan!"
"Mereka orang-orang lihai. Tadi hampir saja tertangkap, tapi gagal. Ahh... akibat ketololan kalian banyak jatuh korban..." Beng San sedih bukan main melihat mayat bergelimpangan di sana-sini.

Tiba-tiba Su Ki Han mengeluh, "...Suhu... di sana... apa itu...?"

Suara murid kepala ini membuat tengkuk Beng San meremang. Cepat dia menoleh dan... wajahnya langsung berubah pucat kehijauan pada waktu dia melihat api menyala-nyala di puncak, didahului asap hitam mengebul tinggi.

"Celaka...!" Dia memekik keras dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

Tahu-tahu dia sudah jauh lari ke puncak, diikuti semua murid yang masih dapat berjalan. Sambil terpincang-pincang dan terhuyung-huyung murid-murid yang terluka ikut berlari ke puncak.

Koai Tojin, Seng Tek Cu, beserta Yang Ki Cu ikut pula mengejar, mengikuti para murid Thai-san-pai. Wajah mereka pucat, jantung pun berdebar keras. Murid-murid Thai-san-pai yang rata-rata gugup dan gelisah itu membiarkan mereka bertiga mengikuti ke puncak melalui jalan rahasia.

Orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai berdiri kebingungan, tidak berani turut ke puncak tanpa diperintah. Mereka lalu mulai menolong orang-orang yang terluka, termasuk orang-orang Thai-san-pai.

Banyak jatuh korban. Sembilan orang murid Thai-san-pai tewas, empat luka-luka berat, sisanya ikut naik ke puncak. Pihak Kong-thong-pai termasuk dua orang yang tewas oleh senjata rahasia, menderita kerugian enam orang tewas dan lima luka-luka berat. Pihak Pek-lian-pai tewas tujuh orang yang terkena senjata rahasia, dua belas luka-luka!

Dengan hati berdebar tidak karuan Beng San lari secepat terbang ke puncak. Ketika tiba di puncak, ngeri hatinya menyaksikan betapa semua pondoknya telah terbakar. Api bagai menjilat-jilat langit dan atap rumah itu sudah menyala seluruhnya.

Tapi hanya sedetik dia memandang ke arah api, matanya kelihatan mencari ke sana ke mari. Akhirnya dia dapat mendengar suara isterinya di sebelah belakang pondok. Cepat dia meloncat ke sana, dilihatnya isterinya dengan pedang di tangan, muka pucat, rambut awut-awutan dan mata terbelalak sedang menjerit-jerit, "Cui Sian...! Cui Sian...!"

Seakan terhenti detak jantung Beng San. Tanpa bertanya lagi dia lalu meloncat ke depan, menerjang dinding pondoknya. Sekali terjang bobollah dinding itu. Tanpa mempedulikan panasnya api dan bahaya keruntuhan atap rumahnya, dia mencari-cari. Dilihatnya empat orang sudah menggeletak tak bernyawa dengan luka pada dada.

Dia mencari terus, tapi tidak melihat bayangan Cui San. Tiba-tiba atap rumah ambruk ke bawah dan hanya dengan kecepatan luar biasa saja Beng San dapat meloncat ke luar rumah. Ketika dia tiba di luar, murid-murid dan tiga orang tosu sudah tiba pula di situ. Mereka memandang bengong ke arah Beng San yang pada saat itu mukanya mengerikan sekali.

Muka pendekar ini hitam, pakaiannya hangus di sana-sini, sepasang matanya menyaingi panasnya api itu sendiri. Isterinya seperti orang tak sadar masih menjerit-jerit memanggil nama Cui Sian.

Seng Tek Cu terharu bukan main. Dia cepat melangkah maju, menjura dalam sekali dan berkata, "Sicu, maafkan pinto... maafkan pinto..."

Beng San tidak peduli, melainkan menghampiri isterinya. Li Cu yang dipegang pundaknya oleh Beng San seperti baru sadar. Matanya tetap terbelalak dan begitu melihat suaminya memegang pundaknya, dia cepat menjerit pergi dan menudingkan pedangnya ke muka suaminya.

"Kau...! Kalau tidak pergi... takkan terjadi begini... kau... kau...!” Dan wanita ini menangis tersedu-sedu sambil berdiri tegak, tidak berusaha mengusap air matanya, hanya menatap wajah Beng San penuh kebencian!

Ucapan ini makin menusuk hati Seng Tek Cu, Koai Tojin, dan juga Yang Ki Gu. Tahulah mereka sekarang bahwa semua ini adalah jebakan musuh yang sengaja mengadu domba dan akhirnya, karena kebodohan mereka, Beng San terpaksa turun puncak dan agaknya inilah yang dimaksudkan oleh para penjahat gelap itu. Memancing harimau ke luar sarang, kemudian selagi Beng San bersitegang dengan mereka, penjahat-penjahat itu langsung mengobrak-abrik sarang!

"Taihiap, maafkan pinto... pinto semua bodoh sekali... pinto semua yang menyebabkan mala petaka ini..." kata pula Seng Tek Cu.

Pedang Beng San berkelebat dan sebuah batu besar di dekat tiga orang tosu itu menjadi bulan-bulanan. Beberapa kali pedang berkelebat dan batu itu berubah seperti tahu yang dicacah-cacah!

"Pergi...! Pergi kalian dari sini...! Demi Tuhan... lekas pergi sebelum kubunuh...!" Telunjuk tangan kiri Beng San menuding ke luar.

Tiga orang tosu itu menunduk, lalu berjalan pergi dengan langkah-langkah gontai.

"Antar mereka ke luar, urus jenazah adik-adikmu," kata Beng San kepada Su Ki Han yang cepat menjalankan perintah suhunya, mendahului tiga orang tosu menjadi penunjuk jalan.

Hati Ki Han gelisah. Murid ini sama sekali tak merasakan lukanya. Murid-murid yang lain tanpa diperintah juga pergi mengikuti twa-suheng mereka, maklum bahwa guru dan ibu guru mereka tak mau diganggu orang lain.

Setelah semua orang pergi, Beng San menengok ke arah isterinya. Jantungnya merasa ditusuk pedang oleh pandangan mata isterinya yang penuh penyesalan, penuh dengan penderitaan dan penuh kebencian. Seakan-akan dari pandang mata Beng San terungkap seribu satu macam pertanyaan dan otomatis Li Cu berkata, suaranya lirih seperti suara orang menangis,

"Mereka datang... lima orang mengeroyokku... yang lain membakar rumah... kulihat Cui Sian dibawa lari..." Tiba-tiba dia menangis menggerung-gerung. "Anakku...! Cui Sian terus berteriak-teriak memanggilku... anakku... Cui Sian... Cui Sian...!"

Beng San makin hancur hatinya, dia melangkah maju, hendak memeluk isterinya. "Li Cu... kenalkah kau siapa mereka? Biar kucari mereka, kurampas kembali anak kita..."

"Jangan sentuh aku!" Pedangnya berkelebat dan hampir saja lengan tangan Beng San terbabat putus kalau dia tidak cepat-cepat menariknya. "Aku tidak kenal mereka. Peduli apa dengan kau! Kau lebih mementingkan Thai-san-pai! Nah, uruslah Thai-san-pai-mu itu. Aku akan pergi mencari anakku!" Setelah berkata demikian, Li Cu berlari pergi menuruni puncak.

"Li Cu...! Tunggu dulu...!"

Beng San melompat melampaui isterinya, menghadangnya. "Kau maafkanlah aku... mari kita bicara baik-baik..."
"Jangan mendekat!" Kembali pedang Li Cu berkelebat. "Kau uruslah Thai-san-pai, jangan pedulikan aku dan anakku. Aku bersumpah... dengarlah Beng San, aku bersumpah takkan sudi melihat mukamu lagi tanpa adanya Cui Sian!"

Pedangnya membabat ke depan dan selagi Beng San meloncat minggir, dia berlari terus meninggalkan suaminya.

Beng San menggigit bibir, menahan suaranya yang hendak menjerit-jerit. Hampir tak kuat ia menahan gelora hatinya yang kalang kabut menghadapi mala petaka hebat ini. Seluruh batinnya diliputi kemarahan luar biasa. Kemudian kakinya menendang. Sebuah batu besar terlempar bergulingan. Pedangnya dikerjakan. Pohon-pohon roboh malang melintang.

Beng San terus menyerbu pondoknya yang masih terbakar. Ditendangnya, dihantamnya, dibabatnya sehingga hiruk-pikuk suara pondok itu roboh. Batu-batu beterbangan, tidak ada sebatang pun pohon utuh, semua dibabat rata dengan tanah!

Ia mengamuk terus, dari kerongkongannya terdengar suara menggereng-gereng, matanya liar dan semalam itu dia membuat puncak yang tadinya indah menjadi tempat yang rusak binasa. Tanam-tanaman bunga ludes, pondok habis, pohon-pohon ambruk, batu-batu pun malang melintang, banyak yang hancur.

Dalam keadaan seperti inilah tiga orang murid kepala mendapatkan gurunya. Beng San masih berdiri seperti patung, pedang di tangan, muka beringas mata liar.

"Suhu...!" tiga orang murid itu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar mereka menangis terisak.

Beng San menoleh, menunduk, matanya dikejap-kejapkan mengusir dua butir air mata yang sejak tadi menggantung tak mau jatuh. Seperti orang baru sadar dari mimpi buruk dia lalu menengok ke kanan kiri, melihat kerusakan yang diakibatkan oleh kemarahannya. Diam-diam dia bersyukur bahwa tidak ada seorang pun manusia di situ malam tadi. Kalau ada, entah apa akan jadinya.

Dia menarik napas panjang, terasa sakit di dada. Tahu bahwa dia terluka oleh hawa amarahnya sendiri! Cepat dia menyalurkan hawa murni ke dada, bernapas panjang-panjang memulihkan tenaga dan kesehatan. Dia insyaf akan kegilaannya. Boleh jadi Li Cu pun tak dapat menahan hantaman nasib seperti ini.

Dia tidak menyalahkan isterinya. Seorang wanita bagaimana pun juga lebih lemah daya tahan batinnya. Apa lagi pernah kehilangan Cui Bi, kini kehilangan Cui San. Amat berat tentu.

Tapi dia seorang laki-laki. Hampir lima puluh tahun hidupnya. Banyak sudah pengalaman. Masa belum juga matang jiwanya oleh gemblengan pengalaman hidup yang pahit getir? Kesadaran tidak boleh tertutup kegelapan nafsu. Dia harus tetap berpendirian. Seorang gagah tak akan mudah goyah imannya. Sekali lagi dia menarik napas panjang.

"Ki Han, siapa saja di antara adikmu yang tewas dan berapa yang terluka?" tanyanya, suaranya sudah biasa kembali. Beng San sudah pulih menjadi ketua Thai-san-pai yang berwibawa.

Sambil menangis Ki Han menyebutkan nama sembilan orang adik seperguruannya yang tewas dan empat orang yang luka-luka. Kembali Beng San menarik napas panjang untuk menyedot hawa murni guna menguatkan batinnya yang kembali terpukul kedukaan.

"Murid-muridku, kuharap kalian suka mengubur jenazah adik-adikmu baik-baik. Kemudian bubarlah kalian, pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang tidak mempunyai rumah boleh saja tinggal di pegunungan ini. Akan tetapi ingat, mulai saat ini Thai-san-pai tidak ada lagi..."
"Suhu...!" Ki Han terisak. "Di mana subo (ibu guru) dan adik Cui Sian?"
"Adikmu diculik orang. Subo-mu pergi mengejar. Aku pun akan turun gunung menyusul mereka. Ingat, Thai-san-pai tidak ada lagi..."
"Suhu...!" Kini terdengar seruan mereka serentak menyatakan keberatan hati.
"Atau... biarlah untuk sementara ini Thai-san-pai dibekukan. Tunggu sampai aku pulang. Kalau aku tidak pulang selamanya, berarti Thai-san-pai tidak akan bangun lagi. Beri tahu kepada semua adikmu yang tidak tinggal di sini. Terserah cara kalian mencari jalan hidup masing-masing. Aku tidak akan mengurus sepak terjang kalian selama kalian juga tidak menggunakan nama Thai-san-pai. Akan tetapi, percayalah akan kemurahan Thian. Kalau Thian menghendaki, aku akan kembali membangun lagi Thai-san-pai yang rusak binasa di hari ini. Nah, selamat tinggal, murid-muridku..." Suara terakhir ini mengandung isak dan semua murid menangis.

Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan suhu mereka berkelebat pergi dan lenyap. Murid-murid itu saling rangkul dan bertangisan. Keadaan pada pagi hari itu menyedihkan sekali. Thai-san-pai yang dibangun selama empat tahun dan tadinya terkenal sebagai partai baru yang kuat dan disegani, dalam semalam runtuh dan hancur binasa…..

********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR BUTA : JILID-06
LihatTutupKomentar