Boma Gendenk - Rembulan Di Prambanan
BOMA GENDENK
Karya: Bastian Tito
Episode 9
PURNAMA DI PRAMBANAN
Rembulan di Prambanan - Purnama di Prambanan
SATU
KUNTI API BERBUGIL RIA
Berdiri dalam gelap, di bawah ambang pintu Candi Kalasan bernama Lekuk Kala Makara sosok Kunti Api yang dibungkus mantel biru gelap tampak angker. Apa lagi rambut kelabu tergerai panjang awut-awutan, wajah berkerut dilapis dandanan tebal tak karuan dan sepasang mata merah mencorong memandang menyelediki ke arah halaman candi, membuat nenek sakti ini tidak beda menyerupai setan.
“Sepi, tak ada yang dapat kulihat, tak ada suara apa-apa. Kemana lenyapnya suara bebunyian aneh tadi?” membatin Kunti Api. Jari-jari tangan digerak-gerakkan. Seperti diketahui, lima jari tangan kanan si nenek kini hanya tinggal dua yang utuh. Sewaktu terjadi bentrokan hebat di Candi Borobudur dalam peristiwa penyelematan Dwita oleh kelompok golongan putih dibawah pimpinan Sinto Gendeng, dengan ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu menghamtam putus jari kelingking tengah jari telunjuk tangan kanan Kunti Api.
Sebelumnya, sewaktu berada di dalam candi Kunti Api dan Pangeran Matahari mendengar suara bebunyian. Suara seperti tiupan seruling, kerincingan dan juga suara gendang ditabuh.
“Bangsat pengamen itu!” rutuk Kunti Api dalam hati. “Jika memang dia yang datang kebetulan sekali. Dia menipuku dengan telur palsu itu! Akan aku tekuk batang lehernya malam ini juga! Tapi...” Kunti Api berhenti berkata-kata dalam hati. Hidungnya ditinggikan. Dalam kelembaban dan dinginnya udara malam walau samar-samar dia mencium bau sesuatu. Bau harum mewangi. “setahuku tua bangka itu bau apek. Bukan lelaki genit yang suka pakai wewangian. Hemmm... Boleh jadi. Rupanya dia tidak datang sendirian.”
Dua mata merah si nenek menatap tajam ke seantero halaman candi. Memandang ke langit. Bulan purnama yang belum sempurna bulat terbayang suram di balik sapuan awan. Kembali si nenek memperhatikan seantero halaman candi. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa. Namun nenek sakti satu ini tidak bisa ditipu. Dia tahu, di dalam gelap, di satu tempat tersembunyi ada dua orang mendekam memperhatikan gerak-geriknya. Karena itu sejak tadi-tadi dia telah berlaku waspada, mengerahkan tenaga dalam pada tangan kiri kanan yang memiliki kuku-kuku panjang hitam menggidikkan.
Kunti Api palingkan kepala ke dalam candi. Mulutnya berucap. “Pangeran! Lekas tinggalkan candi lewat pintu samping kiri. Seperti aku bilang tadi bawa perempuan muda itu ke Candi Prambanan. Dia satu-satunya jaminan kekuatan dan tujuan kita membunuh bocah bernama Boma itu. Pergi! Tunggu aku di Prambanan!”
"Tanggung Nek, aku sudah menanggalkan pakaian," terdengar jawaban dari dalam candi gelap. Itulah suara Pangeran Matahari yang saat itu hendak melampiaskan perbuatan keji terkutuk terhadap diri Ibu Renata, yang dengan bantuan Kunti Api telah diculiknya malam itu ketika Guru Bahasa SMU Nusantara III itu menumpang becak di satu jalan raya di Jogja.
"Kalau itu maumu silahkan teruskan! Kau hanya akan mendapatkan kesenangan beberapa saat. Setelah itu nyawamu bakalan amblas! Ada bahaya besar di tempat ini!"
Pangeran Matahari memaki dalam hati. Tapi jika sang Nenek Guru berkata seperti itu, berarti dia tidak main-main. Dengan cepat pendekar yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai Pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak ini kenakan pakaiannya. Dia melompat ke pintu candi, tegak di samping Kunti Api, mata menyorot memandang ke berbagai jurusan.
'Tidak ada siapa-siapa di tempat ini. Nek, kau mungkin...”
'Manusia tolol! Apa tadi telingamu torek tidak mendengar suara bebunyian? Aku tahu siapa manusianya yang menabuh gendang, menggoyang kerincingan dan meniup seruling. Pengamen edan yang konon sudah mampus tapi muncul lagi dan menipuku dengan telur palsu! Eh, coba kau hirup udara malam. Pergunakan jalan nafas paling dalam...."
Pangeran Matahari lakukan apa yang dikatakan Kunti Api. Kepala didongakkan, hidung dinaikkan lalu menghisap dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan nafas dilepas kembali. Wajah sang Pangeran kelihatan berubah.
"Kau benar Nek, ada..ada dua orang di tempat ini. Aku mengenali bau harum itu. Tapi sulit dipercaya. Apakah dia juga telah meninggalkan alam kita dan muncul di dunia sini? Wewangian itu biasa dipakai...."
“Dia siapa maksudmu?" tanya Kunti Api ketika Pangeran Matahari tidak teruskan ucapannya.
Pangeran Matahari tidak menjawab.
"Siapa orang yang memakai wewangian itu?!" Kunti Api kembali ajukan pertanyaan disertai pelototan matanya yang merah angker.
Sebelum sempat menjawab saat itu Pangeran Matahari telah melihat dua sosok bergerak muncul di balik reruntuhan tembok candi sebelah barat. Dengan cepat dia berkelebat masuk ke dalam candi. Menyambar tubuh Ibu Renata yang tergeletak di lantai lalu melesat ke arah pintu candi di sebelah kiri dan lenyap dalam kegelapan.
Di balik reruntuhan tembok candi sebelah barat, menyatu dengan gelapnya malam, Pelawak Sinting Labodong dan Bidadari Angin Timur tengah memperhatikan sosok Kunti Api saling berbisik.
"Kek, kau betul, nenek jahat itu memang menuju ke candi ini. Tapi ternyata dia hanya sendirian...."
“Pangeran Matahari pasti ada di sekitar sini. Mungkin di dalam candi. Aku sudah menguntit mereka sejak awal malam. Mereka menculik seorang perempuan muda.”
"Lihat baik-baik, apa kau mengenali orang yang tegak di pintu candi?” Pelawak Sinting berbisik pada gadis jelita berambut pirang yang mendekam disebelahnya, dengan tubuh dan pakaian memancarkan bau harum semerbak.
"Lama sekali aku tidak pernah melihatnya. Tapi aku mengenali. Di alamku dikenal dengan nama Kunti Api. Seorang tua bangka jahat. Nenek Guru dari Pangeran Matahari" gadis di samping Pelawak Sinting yang bukan lain Bidadari Angin Timur adanya balas berucap dengan berbisik pula.
"Kalau Nenek Guru Pangeran keparat itu ada di sini, mungkin gurunya Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari juga ada di sini. Mereka yang..."
"Sssstt!" Bidadari Angin Timur memberi tanda, "Lihat siapa yang muncul."
Saat itu memang ada orang keluar dari dalam candi dan berdiri di samping Kunti Api. Seorang lelaki berperawakan tinggi tegap, memegang sehelai mantel hitam di tangan kiri.
Setelah memperhatikan sejenak, Pelawak Sinting berbisik. "Apa kataku! Dia ada disini! Orang yang barusan muncul adalah Pangeran Matahari!"
Bidadari Angin Timur mengangguk. "Memang dia, ‘ucap si gadis dengan suara bergetar. 'Tunggu apa lagi!" Si gadis cepat bangkit berdiri. Pelawak Sinting mengikuti. "Ingat Kek!" Bidadari Angin Timur keluarkan ucapan. "Kau boleh membunuh nenek itu. Tapi jangan sentuh Pangeran Matahari. Nyawanya adalah bagianku!"
Pelawak Sinting tidak balas ucapan si gadis. Sekali membuat lesatan, si kakek dan Bidadari Angin Timur sudah melompat di undak tangga paling atas Candi Kalasan, tepat di depan berdirinya Kunti Api. Sambil melesat Pelawak Sinting goyang kerincingan di tangan kiri hingga mengeluarkan suara bising. Namun mereka terlambat karena saat itu Pangeran Matahari telah kabur memboyong Ibu Renata lewat pintu candi sebelah belakang. Menghadapi dua orang yang tegak di hadapannya Kunti Api tenang-tenang saja walau sepasang mata jelalatan mendeliki si kakek dan si gadis cantik. Dia sengaja mengulur waktu agar Pangeran Matahari dan perempuan culikannya bisa kabur jauh. Sambil sunggingkan senyum dan rangkapkan dua tangan di atas dada sesaat kemudian baru si nenek menegur.
"Kalian bedua. Aaahhhh! Tua bangka bau apek yang rambutnya dicat! Hik...hik...hik. Pusar bodong dicanteli anting! Kau menipuku dengan telur palsu!
Membuat urusanku jadi recok tak karuan! Kau masih bisa kabur waktu di Candi Mendut! Saat ini apakah saudara kembarmu yang jadi setan itu ada di sini siap menolongmu? Dicari-cari tidak tahu berada dimana. Kini malah datang sendiri mengantar nyawa! Hik..hik..hik” Kunti Api tertawa nyaring. Walau kepala agak didongakkan tapi sepasang matanya yang merah tetap mengawasi dua orang di hadapannya sementara diam-diam dua tangan yang bersidekap di atas dada telah dialiri hawa sakti tenaga dalam. Nenek ini berlaku waspada dan siap menghantamkan pukulan Kuku Api untuk menjaga segala kemungkinan.
"Soal tipu menipu sekarang memang sudah jamannya," menyahuti Pelawak Sinting. "Tapi kalau kau masih penasaran dan inginkan telur yang asli, aku bersedia memberikan. Aku malah punya dua Kau boleh ambil semua!".
Habis berkata begitu si kakek dodorkan celananya ke bawah.
'Terus kek! Turunkan celanamu! Siapa tahu nenek ini memang inginkan sepasang telurmu itu!” Bidadari Angin Timur timpali ucapan Pelawak Sinting sambil senyum- senyum.
"Jahanam kurang ajar?” teriak Kunti Api marah sekali. Kaki kanannya ditendangkan ke arah dada si kakek . “Bukkk!
Tendangan Kunti Api melenceng ke samping karena ditepis Bidadari Angin Timur dengan tangan kiri. Kunti Api cepat imbangi diri dan keluarkan suara menggerung marah.
"Tua bangka peot berdandan seronok!" ucap Bidadari Angin Timur. “Walau kakek ini inginkan nyawamu karena kau dan Pangeran Matahari membunuh saudaranya, tapi saat ini urusan nyawamu ada di tanganku.”
Meksi marah besar tapi Kunti Api bisa menahan diri. Gerakan tangan kiri yang luar biasa cepat dari gadis cantik berambut pirang sanggup menepis tendangannya. Sudah lama mendengar kehebatan Bidadari Angin Timur, baru kali ini berhadapan langsung dan menjajagi kalau gadis ini ternyata memang memiliki ilmu kepandaian yang mungkin tidak berada di bawah ilmunya sendiri. Setelah berpura-pura batuk beberapa kali Kunti Api berpaling pada Bidadari Angin Timur.
"Aneh bin ajaib! Gadis cantik berkepandaian tinggi dari alamku terpesat di Candi Kalasan! Jangan kira aku tidak mengenalimu. Bidadari Angin Timur! Urusan apa sampai membuatmu muncul disini? Tunggu, tak perlu kau jawab. Aku sudah tahu jawabannya.
Hemmm...Kau tengah mencari kekasih yang hilang! Betul? Ooo...ooo! Hik...hik...hik!" Sambil tertawa cekikan Kunti Api angguk-anggukkan kepala.
Ingat perjanjiannya dengan si gadis, Pelawak Sinting segera membuka mulut untuk melindungi. "Sahabatku ini namanya bukan Bidadari Angin Timur. Tapi Pandan Wangi!"
"Pengamen bau! Aku lebih tahu dari kau siapa adanya gadis ini! Jadi tutup mulutmu!" bentak Kunti Api. Si Pelawak Sinting cuma menyengir lalu mencibir dan tiup harmonikanya. Si neneK berpaling pada Bidadari Angin Timur. "Betul kau tengah mencari kekasihmu?"
"Betul Sekali!" Bidadari Angin Timur menyahut tenang. "Kekasih yang kucari adalah cucu muridmu sendiri. Pangeran Matahari. Barusan dia ada di sini. Sekarang lenyap kemana? Apa sudah kabur?!"
Pelawak Sinting goyangkan kerincingan dan pukul gendang. Lalu berkata menimpali ucapan si gadis. 'Kalau dia kekasihmu dan kabur ketika kau datang berarti dia bukan seorang kekasih yang baik! Perlu apa mencarinya? Tinggalkan saja! Aku mungkin lebih pantas jadi kekasihmu! Ha...ha...ha!"
"Sobatku kakek pusar bodong” ucap Bidadari Angin Timur sambil senyum-senyum. "Kekasihku itu memang buruk perilaku. Aku pasti akan meninggalkan dia setelah nyawanya kubikin lepäs dari tubuhnya!"
“Tobat! Batal aku jadi kekasihmu!”' kata Pelawak Sinting pula sambil goleng-goleng kepala lalu goyang kerincingannya dan tertawa cekikikan. Sebaliknya tampang Kunti Api tampak mengkerut.
"Gadis sombong! Ilmumu mungkin tinggi! Tapi apa kau kira semudah itu membunuh Pangeran Matahari? Huh!"
"Apa sulitnya? Kalau kau mau ikutan sekalian kembali ke alam asalmu aku tidak sungkan-sungkan melakukan! Kau dan cucu muridmu serta muridmu yang berjuluk Si Muka Bangkai itu sama saja bobroknya. Sudah sangat layak untuk disingkirkan dari muka bumi!" jawab Bidadari Angin Timur.
Marahlah Kunti Api mendengar ucapan gadis cantik berambut pirang itu. "Gadis jalang! Aku tahu riwayat kematian saudara kembarmu bernama Pandan Arum yang dibunuh Pangeran Matahari. Antara kita memang sudah terbentang jurang sengketa berdarah! Di alam asalku aku belum punya pikiran untuk menamatkan riwayatmu. Tapi malam ini, di tempat ini aku punya pikiran lain! Bersiaplah melepas nyawa! Menyedihkan! Rohmu akan terbang jauh bersusah payah mencari jalan kembali ke alam asalmu!”
Habis berkata begitu, dua tangan Kunti Api yang sejak tadi dirangkap di atas dada mendadak sontak disentak terbuka. Tujuh kuku jari panjang berwarna hitam berubah menjadi merah seperti bara. Ketika dua tangan itu kembali digerakkan, dari tujuh ujung kuku menyembur tujuh larik sinar merah lalu menyambar ganas ke arah Bidadari Angin Timur. Ilmu Pukulan Kuku Api !
"Pandan Wangi! Awas!” teriak Pelawak Sinting. Tangan kanannya bergerak ke punggung.
"Sreettt!"
Selarik sinar coklat berputar disertai sambaran angin luar biasa derasnya.
"Brettt!"
"Braakkk!”
Kunti Api terpekik, melompat mundur sambil pegangi lengan kanannya yang tergores Iuka. Pelawak Sinting keluarkan seruan tertahan dan melotot memandangi payung kertas coklatnya yang hancur berantakan di udara. Dia kini hanya memegang batang payung yang telah berubah hangus hitam dan mengepulkan asap! Di sampingnya Bidadari Angin Timur berdiri dengan muka pucat. Tak sangka kalau dirinya akan diserang mendadak begitu rupa dan tidak percaya kalau kakek aneh disampingnya telah menyelamatkan jiwanya dengan mempergunakan sebuah payung kertas untuk menangkis serangan maut Kunti Api!
Ketercekatan gadis berambut pirang itu hanya sesaat. Begitu dia bisa menguasai diri dan jalan pikiran, secepat kilat ia melompati si nenek. Lalu terjadilah satu hal luar biasa. Tangan Bidadari Angin Timur kiri dan kanan bergerak laksana kilat menyambar ke arah mantel yang dikenakan Kunti Api. Kejap itu juga si nenek dapatkan dirinya berputar laksana gasing. Dia kerahkan tenaga dalam dan gerakkan kaki demikian rupa untuk menghentikan putaran tubuh tapi sia-sia. Di lain saat mendadak dia merasakan hawa dingin menyapu tubuhnya.
Pelawak Sinting terkejut besar, mata mendelik. mulut terperangah.
"Pandan Wangi! Apa yang kau lakukan!" teriak si kakek. Matanya terbeliak tak berkesip melihat ke arah Kunti Api.
"Ala, jangan berlagak alim. Aku tahu kau senang melihatnya!" jawab Bidadari Angin Timur senyum-senyum.
"Hik...hik! Untung malam agak gelap. Walau peot kelihatannya bagus juga!”
Si nenek sendiri belum mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Rasa dingin membuat dia memegang bahu. Baru dia sadar. Kunti Api menjerit keras. Saat itu dia dapatkan dirinya tanpa selembar benangpun. Memandang ke depan dilihatnya mantel dan pakaiannya telah berada dalam pegangan Bidadari Angin Timur. Sebagian besar dalam keadaan robek. Bagaimana ini bisa terjadi? Ilmu apa yang dimiliki si gadis?
Kunti Api menjerit keras. “Gadis jahanam! Kembalikan pakaianku!” Dalam bingungnya nenek ini gerabak-gerubuk berusaha menutupi auratnya yang tersingkap lalu lari ke arah Pelawak Sinting dan berlindung di balik sosok kakek ini.
"Hail Kalau mau sembunyi jangan di belakang. Tapi di depan biar aku bisa melihat jelas tubuhmu! Hik...hik...hik Pelawak Sinting cekikikan.
“Tua bangka setan! Mampuslah!” Kunti Api cengkeramkan jari-jari tangannya ke leher Pelawak Sinting.
"Ihhh!" Si kakek sudah tahu apa yang hendak diperbuat orang segera melompat menjauhi si nenek hingga Kunti Api kembali tidak terlindung dan jadi kalang kabut berteriak-teriak mencaci maki.
"Pakaianku! Kembalikan!" Nenek ini menyerbu nekad ke arah Bidadari Angin Timur untuk merampas mantel dan pakaiannya. Tapi si gadis yang terkenal memiliki kecepatan bergerak dengan mudah menghindar semua serangan kalap Kunti Api. Sementara Pelawak Sinting terbelok-belok menyaksikan pemandangan di hadapannya.
"Kunti Api. Aku akan serahkan mantel dan pakaianmu kalau kau mau memberi tahu dimana beradanya Pangeran Matahari!” Bidadari Angin Timur keluarkan seruan.
"Aku tidak tahu dia berada dimana! Dia kabur lewat pintu candi sebelah belakang!” Jawab Kunti Api sambil dua tangannya bergerak serba salah mau menutupi bagian tubuhnya sebelah mana. Ditutup aurat sebelah atas, tubuh sebelah bawah tersingkap. Ditutup sebelah bawah aurat sebelah atas terbuka lebar.
"Nenek muka dempul! Kau pasti tahu kemana kaburnya! Dia memboyong seorang perempuan muda!" ucap Pelawak Sinting.
"Aku bersumpah! Aku tidak tahu!" jawab Kunti Api.
"Kalau begitu kau terpaksa bugil sampai pagi" kata Bidadari Angin Timur pula. Habis berkata begitu dia berpaling pada Pelawak Sinting. "Kek, mari kita tinggalkan tempat ini.”
"Apa bisa ditunda sebentar lagi?”
Heran mendengar jawaban orang Bidadari Angin Timur bertanya.
"Memangnya kenapa?"
"Aku...aku masih belum puas melihat tubuhnya.”
"Otak mesum mata kotor!" damprat Bidadari Angin Timur.
"Hai! Aku hanya menikmati hasil pekerjaanmu! Jarang-jarang pekerjaan bagus seperti ini! Hik... Hik...Hik!”
“Gadis jahanam!" Teriak Kunti Api. "Aku tidak akan melupakan perbuatan terkutukmu ini! Aku bersumpah melakukan pembalasan dan akan menyengsarakan dirimu seumur-umur!”
Dari balik rambutnya yang kelabu panjang dan awut-awutan Kunti Api keluarkan sebuah benda berwarna dan berbentuk seperti buah jamblang. Begitu dilempar ke udara benda ini meletus dan menghamburlah asap hitam pekat. Selagi kelagapan dan tak bisa melihat apa-apa, Pelawak Sinting merasa tangannya ditarik orang.
"Hai! Siapa yang menarik?!" teriak si kakek.
"Aku! Memangnya siapa?!”
Itu suara Bidadari Angin Timur.
"Kukira nenek itu yang ingin mengajakku bersenang-senang di satu tempat!" jawab Pelawak Sinting lalu tiup harmonikanya dan tertawa gelak gelak.
***
DUA
JERAK MESUM BAYANGAN SANG KEKASIH
Dalam gelapnya malam kawasan Candi Prambanan diselimuti keheningan menebar hawa dingin. Candi Siwa yang terbesar, lebih dikenal dengan nama Candi Loro Jonggrang diapit Candi Brahma dan Candi Wisnu terlihat menghitam legam. Di langit seharusnya ada rembulan. Namun awan hitam tebal menutupi hingga bumi nyaris tenggelam dalam kegelapan meremang.
Ketika di kejauhan lapat-lapat terdengar suara raungan anjing seolah ingin merobek kesunyian malam, di pedataran terbuka terlihat seorang berpakaian dan bermantel serba hitam berlari kencang menuju pintu gerbang timur. Di bahu kiri orang ini memanggul sesosok tubuh perempuan muda dalam keadaan pingsan. Si mantel hitam bukan lain adalah Pangeran Matahari sedang perempuan di panggulan bahu kirinya adalah Ibu Renata, Guru Bahasa Inggris SMU Nusantara III.
Melewati pintu gerbang timur, memasuki kawasan candi Pangeran Matahari hentikan lari. Mata memandang berputar. Sesaat dia merasa bingung. Ke candi mana dia akan membawa perempuan culikannya.
Tiga candi besar di hadapannya kelihatan hitam angker dalam kegelapan malam. Entah mengapa tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding. Ada rasa takut yang membuat dia tidak ingin membawa Ibu Renata ke dalam salah satu dari tiga candi itu. Selain itu Pangeran yang punya seribu akal jahat ini masih mampu bersiasat. Kalau ada orang mengejar pasti dia akan mencari di tiga candi terbesar yaitu Candi Siwa, Candi Wisnu atau Candi Brahma.
Sang Pangeran menimbang-nimbang, seka keringat di kening, akhimya berkelebat ke arah kiri, memasuki sebuah candi kecil bernama Candi Angsa. Candi ini hanya mempunyai satu tangga masuk dan satu ruangan kamar. Ke dalam kamar inilah Pangeran Matahari membawa Ibu Renata. Perempuan muda berwajah jelita yang berada dalam keadaan setengah sadar itu dibaringkannya di Iantai batu, keras dingin. Sesaat terdengar suara tarikan nafas Ibu Renata yang lebih merupakan suara erangan.
Di langit awan hitam tebal bergerak menjauhi bulan purnama hari ke tiga belas. Seberkas cahaya rembulan merambas masuk melalui pintu candi, jatuh di atas sosok Ibu Renata. Pangeran Matahari melihat tubuh itu menggeliat. Di sebelah atas tubuh Ibu Renata masih mengenakan sehelai kemeja tangan panjang. Beberapa kancing kemeja telah putus sehingga sebagian dada Ibu Renata tersingkap. Celana panjang yang dikenakannya masih utuh. Namun akibat tarikan brutal Pangeran Matahari sebelumnya sewaktu di Candi Kalasan membuat celana itu melorot ke bawah menyibakkan bagian perut putih perempuan muda itu.
Geliatan tubuh Ibu Renata yang terlentang di Iantai candi, suara desah erangan nafas membuat darah panas Pangeran Matahari kembali menggelegak. Mulutnya sunggingkan senyum mesum. Dia tanggalkan dan campakkan mantel hitamnya ke lantai. Perlahan-lahan dia membungkuk disamping sosok Ibu Renata. Ditepuk-tepuknya pipi perempuan itu.
“Dengar...” ucap Pangeran Matahari diantara desau nafas dan nafsu bejat yang memburu. “Aku ingin anak itu melihat bagaimana aku menghancurkan kehormatan dan dirimu! Aku ingin dia gila dalam dendam sebelum kuhabisi. Sayang rencana itu tidak bisa terlaksana. Tapi...”
Ibu Renata tekankan kedua sikunya ke lantai candi. Dia berusaha mengangkat kepala. Namun satu ciuman dan pelukan kasar membuat dia kelagapan. Perempuan itu berusaha mendorong tubuh yang menghimpit dirinya.
“Demi Allah, jangan...! Lepaskan saya...”
Pangeran Matahari tertawa perlahan. Tangannya bergerak merobek kemeja yang melekat ditubuh Ibu Renata. Guru Bahasa Inggris ini menjerit, berusaha menjauhi Pangeran Matahan dengan menggulingkan tubuh ke sudut gelap ruangan. Tapi sepasang kakinya ditarik oleh Pangeran Matahari hingga perempuan ini kembali terbaring di atas lantai candi yang diterangi temaram cahaya rembulan.
Tanpa perdulikan ratapan orang, malah sambil terus sunggingkan senyum setan Pangeran Matahari buka baju hitamnya. Sesaat lagi ketika dia hendak menanggalkan celana tiba-tiba satu bayangan berkelebat masuk ke dalam candi.
“Kurang ajar! Siapa?!” Bentak Pangeran Matahari dalam kejut dan marahnya karena lagi-lagi niat mesumnya terganggu.
“Jahanam! Apa kau tidak mengenali diriku?!” Satu suara perempuan melengking keras balas membentak.
Pangeran Matahari tersentak. Dia kenali suara itu, cepat melompat bangkit.
“Kucari di tiga candi. Ternyata kau berada di sini!”
Orang yang barusan masuk dan bicara bergerak ke kiri hingga tubuhnya diterangi rambasan cahaya rembulan.
“Astaga! Nek!” Pangeran Matahari terkejut besar. “Apa yang terjadi dengan dirimu? Mengapa kau telanjang bulat begini rupa!”
Nenek berdandanan tebal tak karuan serta berambut awut-awutan dan dalam keadaan tanpa pakaian itu keluarkan suara menggembor lalu memaki. “Tutup mulutmu! Jangan banyak tanya! Mana mantelmu. Lekas serahkan padaku!”
Pangeran Matahari ambil mantel hitam di lantai lalu lemparkan ke arah si nenek yang bukan lain Kunti Api adanya. Sambil keluarkan makian tak berkeputusan perempuan tua ini cepat tutupi tubuh dengan mantel hitam lalu tegak mendekam di sudut gelap ruangan candi. Badannya bergetar, menggigil. Bukan karena kedinginan tapi karena masih didera malu besar dan dendam hebat luar biasa.
Sang Pangeran pandangi tubuh Kunti Api di sudut gelap. Selintas pikiran kotor muncul dalam benaknya. Dia ingat Pelawak Sinting alias pengamen aneh di Candi Kalasan. Apa mungkin nenek gurunya itu barusan habis bersenang-senang dengan kakek itu? Tidak masuk akal. Tidak boleh jadi. Tapi lalu mengapa muncul marah-marah dan dalam keadaan bugil? Apa tidak sempat berpakaian? Apa yang menyebabkannya tidak sempat berpakaian?
"Nek, ceritakan Apa yang terjadi?" Pangeran Matahari bertanya, "Kau ditelanjangi orang atau memang menelanjangi diri sendiri?"
"Jahanam! Jangan berani bicara tak karuan seperti itu!" Bentak Kunti Api.
"Nek, aku bertanya, maksudku kalau memang ada orang yang berani kurang ajar terhadapmu, aku...."
"Gadis celaka itu! Dia yang melakukan! Aku bersumpah akan membuatnya sengsara seumur-umur!"
"Gadis? Gadis siapa Nek?”
"Bidadari Angin Timur!" Jawab Kunti Api setengah berteriak.
"Ah...Waktu di Candi Kalasan, dari bau wewangian yang aku cium aku sudah menduga. Nyatanya memang dia yang muncul..." Mendadak dia hentikan ucapan. Terdiam seperti berpikir-pikir. "Aneh," katanya kemudian. "Ada apa gadis berkepandaian tinggi itu masuk ke alam ini. Mencari kekasihnya pemuda sableng itu atau memburuku..."
Perduli setan apa alasannya masuk ke alam ini!" hardik Kunti Api ."Lihat apa yang telah dilakukannya padaku!"
"Nek, apa yang dilakukan gadis itu terhadapmu?"
"Dia muncul bersama pengamen edan itu! Aku menyerangnya. Si pengamen membantu. Gadis itu balas menyerangku. Dia pergunakan ilmu Tangan Selaksa Kilat. Aku tahu dia memang memiliki ilmu itu! Jahanam! Gerakannya benar-benar luar biasa cepat. Aku dibuat tak berdaya. Dalam sekejapan saja mantel dan seluruh pakaianku direnggut sampai ludas lepas semua!"
"Lalu kakek itu menodaimu?"
"Setan alas! Aku barusan saja dibuat malu besar! Sekarang kau masih berani bicara edan! Kau tahu sudah belasan tahun aku tidak pernah ditiduri laki-laki!" Kunti Api bicara blak-blakan dan keras lalu berteriak marah sambil meninju-ninju dinding hingga bangunan candi itu bergetar hebat.
"Nek, saat ini menjelang pagi. Maksudku dengan perempuan ini masih belum kesampaian. Kau ingin keluar dulu atau mau menyaksikan?"
"Gila!" maki Kunti Api. Dia memandang dengan mata menyala pada Pangeran Matahari lalu perhatikan sosok Ibu Renata yang terlentang di lantai candi, kemudian kembali memandang ke arah cucu muridnya itu. Saat itu sang Pangeran berdiri tegak dengan tubuh atas telanjang. Pandangan mata Kunti Api yang tadi dikobari hawa amarah perlahan-lahan meredup. Tapi keredupan itu hanya sebentar karena sesaat kemudian terlihat ada kilatan cahaya aneh. Di mata si nenek wajah cucu muridnya terlihat gagah, sosok tegap berotot, dada ditumbuhi bulu-bulu hitam. Tubuh si nenek bergetar. Dalam pandangan matanya saat itu wajah sang cucu murid tampak seperti seorang yang pernah digandrunginya di masa muda.
"Handaka...." Kunti Api menyebut satu nama sambil salah satu tangannya mengusap dada cucu muridnya itu.
Pangeran Matahari merasa heran. "Nama siapa yang barusan disebut nenek ini?" Dia membatin. Ketika berpaling dia melihat satu keanehan. Semakin dia menatap nenek gurunya itu semakin tak sadar dia akan sesuatu yang terjadi dengan dirinya. Wajah Kunti Api yang keriput dan tertutup dandanan tak karuan itu entah bagaimana kini kelihatan begitu ayu. Rambut awut-awutan tampak seperti tersisir rapi dan tidak putih lagi. Senyum dibibirnya begitu menawan. Tiba-tiba Kunti Api goyangkan bahu. Dada Pangeran Matahari berdebar. Detak jantungnya mengencang tambah cepat.
Mantel hitam yang melekat di tubuh Kunti Api bergerak merosot ke bawah lalu jatuh di lantai candi. Seharusnya sosok tak dibalut pakaian itu berbentuk kurus, nyaris tinggal kulit pembalut tulang. Namun yang saat itu dilihat sang Pangeran adalah satu sosok mulus dan bagus. Dan sosok ini kemudian bergerak mendekat lalu menempel hangat di tubuhnya.
"Handaka..." Kunti Api kembali menyebut nama itu dengan suara mesra. Tangan kiri mengusap dada berbulu Sang Pangeran. "Kau membakar darahku 'Nek..„" Walau heran tapi darah sang pangeran itu terbakar.
"Dengar, jangan sebut aku Nenek. Panggil aku Priandini. "Namaku Priandini"
"Eyang...Nek," Pangeran Matahari jadi gagap. Sebelumnya dia tidak pernah tahu kalau guru dari gurunya itu bernama Priandini. "Nek, namamu bagus..."
"Lalu apa wajah dan tubuhku juga bagus?" Pangeran Matahari terdiam. Kerongkongannya turun naik. Hidungnya mengembang. Desah nafasnya terdengar lebih keras. Lalu kepalanya dianggukkan perlahan. Kunti Api yang barusan mengaku bernama Priandini tersenyum. Dia melihat tanda-tanda itu dan berbisik. "Saat ini namaku Priandini dan kau Handaka....”
"Handaka?" Pangeran Matahari kerenyitkan kening.
Si nenek tersenyum lalu menarik tangan Pangeran Matahari.
"Kau mau bawa aku kemana, Nek?"
"Ah, hawa sakti pemuda ini begitu hebat. Aku harus bisa menembusnya. Dia harus melihat diriku sebagai Priandini, bukan seorang nenek!"
Kunti Api tatap sepasang mata Pangeran Matahari lekat-lekat. Dua pasang mata saling beradu pandang.
"Namaku Priandini" Ucap si nenek. "Katakan, namaku Priandini."
"Namamu Priandini...." mulut Pangeran Matahari keluarkan suara.
"Dan kåu Handaka..."
"Aku Handaka."
"Kau kekasihku...." Ucap Si Nenek.
"Aku kekasihmu..." Ucap Pangeran Matahari.
Kunti Api alias Priandini tersenyum lega. Tembus sudah hawa sakti yang melindungi pandangan mata serta jalan pikiran pemuda itu. Tidak menunggu lebih lama ditariknya lengan Pangeran Matahari, dibawa keluar candi. Sambil menuruni tangga nenek ini berkata. "Di luar sini lebih baik. Ada angin sejuk, ada cahaya rembulan. Tunda dulu maksudmu bersenang-senang dengan perempuan dalam candi itu. Aku ingin kau melakukannya padaku lebih dulu, Handaka. Seperti dulu-dulu..."
"Prian...." Pangeran Matahari tampak meragu.
Kunti Api balikkan tubuh lalu merangkul Pangeran Matahari kencang-kencang. Lidahnya menjilati dada berbulu si pemuda. Kemudian perlahan-lahan pemuda itu dibawanya ke samping kiri candi dimana tumbuh sebatang pohon ketapang berketinggian dua tombak.
"Tempat ini indah sekali. Bukankah begitu Handaka?"
Pangeran Matahari tersenyum, bola matanya membesar dan nafasnya memburu kencang. Dadanya yang berbulu kelihatan turun naik. Kunti Api tertawa mesra. "Luar biasa, masih ada hawa sakti yang melindunginya..." kata si nenek dalam hati. Lalu dia tekan urat nadi tangan kiri pemuda itu. Pangeran Matahari menggeliat. Dua tangannya memagut kencang dan punggung si nenek. Kunti Api menyeringai lalu tertawa lepas.
***
PANGERAN Matahari duduk tersandar ke batang pohon ketapang. Wajah dan tubuh keringatan. Sepasang mata berkilat dalam gelap namun memandang kosong ke depan.
"Aku letih..." ucapnya perlahan. Dia merasa ada satu sosok dingin bersandar ke sisi kanannya. Lalu ada suara tertawa perlahan.
"Aku akan berikan kekuatan baru padamu...." Satu suara berbisik.
Pangeran Matahari palingkan kepala. Dia melihat wajah buruk dengan dandanan celemongan dan rambut awut-awutan. Sekilas ada bayangan paras cantik lalu lenyap. Pangeran Matahari pandangi lagi wajah di sampingnya. Itu Wajah Kunti Api yang asli, bukan lagi wajah Priandini.
Sang Pangeran menatap ke depan kembali. "Apa yang terjadi? Apa yang telah aku lakukan? Priandini....Dimana dia?" Walau diucap perlahan tapi terdengar oleh Kunti Api.
"Kesadarannya mulai pulih. Dia melihat diriku apa adanya," membatin Kunti Api. Nenek ini lalu letakkan tangan kanannya di atas kepala sang pangeran. Perlahan-lahan ada hawa aneh masuk ke dalam kepala, terus menjalar ke seluruh tubuh pemuda itu.
"Pangeran, apakah kau masih merasa letih?" tanya Kunti Api.
Yang ditanya diam saja. Hatinya membatin. "Aku pernah mendengar. Dia memiliki aji kesaktian bernama Berganti Rupa Bersalin Raga. Jangan-jangan...”
"Pangeran, kau tidak dengar aku bertanya?"
"Hemmm..." Pangeran Matahari bergumam. "Aku tidak merasa letih. Tubuhku terasa segar, nyaman..."
Kunti Api tertawa panjang. Tangannya mengusap dada berbulu si pemuda.
"Pangeran, kau telah memenuhi permintaanku. Kau tadi hebat sekali. Kau membuat aku merasa seperti berusia dua puluh tahun...."
"Memangnya, apa yang telah aku lakukan? Aku tidak mengerti. Apa yang sebenarnya telah terjadi?" Pangeran Matahari berucap såmbil pandangi tubuhnya yang tidak tertutup sepotong pakaianpun. "Astaga, mana pakaianku?" Dia pandangi tubuh si nenek yang juga berada dalam keadaan sama. Tanpa pakaian.
Kunti Api tertawa perlahan. Sambil usap-usap paha pemuda itu dia berkata.
"Pangeran, lupakan apa yang telah terjadi. Kalau kau suka, aku suka kelak kita bisa melakukannya kembali. Sebentar lagi hari akan siang. Masuklah ke candi. Apa kau tidak ingin meneruskan maksudmu terhadap perempuan itu? Aku sudah memberimu kekuatan baru. Sekarang lakukan. Aku tidak akan cemburu. Hik...hik...hik."
Pangeran Matahari kembali berpaling ke samping. Yang dilihatnya kini memang bukan lagi wajah dan sosok Priandini, tapi muka dan tubuh Kunti Api yang asli. Ada rasa jijik muncul dalam dirinya.
"Nek..." perlahan-lahan Pangeran Matahari bangkit berdiri.
Kunti Api tersenyum dan berulang kali menunjuk dengan tangan kirinya ke pintu Candi Angsa.
"Pangeran, dengar. Setelah kau rusak perempuan satu itu, aku perintahkan agar kau juga merusak kehormatan gadis berjuluk Bidadari Angin Timur! Dia telah mempermalukan diriku. Aku ingin melemparkannya ke dalam comberan kehidupan. Biar malu dan tersiksa seumur-umur.
"Jangan kawatir Nek. Kalau aku bisa mendapatkan dan membunuh saudaranya yang bernama Pandan Arum, apa sulitnya mengerjai gadis satu itu."
"Ingat! Kau hanya merusak kehormatan Bidadari Angin Timur, Tapi jangan bunuh dia. Soal nyawanya dan urusan selanjutnya aku yang akan mengatur..."
"Baik Nek," jawab Pangeran Matahari. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Kunti Api ikut berdiri dan dekatkan kepalanya ke wajah si pemuda. Dia jilat telinga kiri Pangeran Matahari lalu berbisik. "Gagahi perempuan di dalam candi lalu bunuh! Letakkan mayatnya di halaman rumah penginapan anak-anak sekolah!”
"Akan aku lakukan Nek."
"Sekarang ambilkan dulu mantel hitammu. Aku mulai merasa dingin tidak berpakaian seperti ini. Hik...hik...hik."
Pangeran Matahari masuk ke dalam candi, mengambil mantel hitam dan dari pintu candi melemparkan mantel itu ke arah Kunti Api. Si nenek cepat kenakan mantel lalu berdiri. Tegak membelakangi Candi Angsa si nenek rapatkan mantel hitam, rangkapkan dua tangan di atas dada. Sesungging senyum muncul di mulutnya bila ingat apa yang dilakukannya bersama Pangeran Matahari.
"Anak itu luar biasa. Mengapa tidak dari dulu-dulu aku memperdayainya?" Membatin si nenek lalu kembali mengulum senyum.
Mendadak seperti direnggut setan senyum itu sirna. Laksana disengat kalajengking Kunti Api melompat kaget. Dari dalam Candi Kalasan terdengar jeritan Pangeran Matahari.
Apa yang terjadi?!
Kunti Api memutar tubuh. Sewaktu dia melesat menuju tangga candi, dari arah berlawanan melompat turun sosok Pangeran Matahari. Mengerikan sekali! Wajahnya bersimbah darah!
***
TIGA
PANGERAN MATAHARI GAGU
DI TANGGA candi Pangeran Matahari nyaris tergelimpang roboh kalau Kunti Api tidak cepat rangkul tubuh pemuda itu lalu memapahnya menuruni tangga. Di tanah, di bawah pohon ketapang dimana sebelumnya nenek ini berbuat mesum dengan cucu muridnya itu, Pangeran Matahari dibaringkan. Si nenek sibakkan rambut yang menutupi kening. Sepasang mata langsung membeliak. Ada satu Iuka besar di kening kiri. Dari Iuka inilah mengucur darah segar kental membasahi wajah dan dada yang masih telanjang.
"Edan! Apa yang menghantam kepalamu?!" Rutuk si nenek. Dengan cepat dia gerakkan tangan kiri, membuat tiga totokan. Satu di pelipis kiri, satu di ubun-ubun dan yang ke tiga di pertengahan kening. Darah serta merta berhenti mengucur. Kunti Api seka wajah Pangeran Matahari yang berselomotan darah dengan ujung lengan mantel. Wajah si pemuda kelihatan pucat. Pertanda ada satu kejadian hebat barusan melandanya.
Sesaat setelah si nenek alirkan hawa sakti ke kepala, pemuda itu membuka mata. Mula-mula perlahan, kemudian mendelik besar seperti ketakutan melihat sesuatu.
"Pangeran, katakan apa yang terjadi? Siapa yang berlaku kurang ajar berani mencelakaimu begini rupa?!" Kunti Api ajukan pertanyaan sambil tepuk-tepuk pipi si pemuda.
Pangeran Matahari tatap tampang seram si nenek lalu palingkan kepala sedikit dan tangan kanannya diangkat, digoyangkan ke arah Candi Angsa.
"Heh?!" Kunti Api kerenyitkan kening. "Aku tidak percaya. Perempuan muda yang hendak kau gagahi itu yang mencelakaimu?!"
Mulut Pangeran Matahari terbuka, dia seperti berusaha bicara tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya pemuda ini hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Bicara! Katakan apa yang terjadi! Jangan cuma goleng-goleng kepala! Sialan!" Kunti Api membentak.
Pangeran Matahari kembali buka mulut, coba keluarkan ucapan. Tapi dari mulutnya hanya terdengar suara hak...huk...hak...huk. Lalu dia mengeluh panjang.
"Edan, setan mana yang membuatmu kesambat begini rupa?!" Maki Kunti Api, mata melotot kening keriput mengerenyit. Dia tekan tenggorokan cucu muridnya itu hingga mulut Pangeran Matahari terbuka lebar. Seseorang yang ditekan seperti itu Iidahnya pasti terjulur mencelet. Tapi hal ini tidak terjadi dengan Pangeran Matahari. Kunti Api delikkan mata lebih besar. Memperhatikan ke dalam mulut si pemuda, si nenek hampir berjingkrak saking kaget.
"Gila! Kenapa Iidahmu jadi pendek?!"
"Uh...huk...huk." Suara putus-putus keluar dari mulut Pangeran Matahari.
Dengan mata melotot, mulut menggumam rutukan, Kunti Api, memeriksa leher, bahu dan dada Pangeran Matahari. "Aneh, tak ada tanda bekas totokan. Kenapa kau jadi gagu begini!"
Si nenek akhirnya cekik batang leher Pangeran Matahari sambil kerahkan hawa sakti.
"Hekk! Huk...hukk!" Pangeran Matahari keluarkan suara seperti orang mau muntah. Ludah membusah di sudut bibir. Busah berubah menjadi lelehan liur berwarna kebiruan.
"Edan betul! Ada racun dalåm mulutmu!" Kunti Api berucap setengah berteriak. Lalu kembali dia pergunakan jari-jari tangan kiri untuk menotok bagian leher dan bawah dagu Pangeran Matahari.
"Hekk!"
Sang Pangeran keluarkan suara tercekik lalu kembali mulutnya kucurkan lelehan liur warna biru. Kali ini lebih banyak. Dada turun naik, hidung kembang kempis. Nafas keluar menyengal dari hidung dan mulut.
"Bicara! Ayo bicara!" ucap Kunti Api.
"Hak...hukk...Hak...hukkk." Ternyata tetap saja sang Pangeran tidak sanggup bicara. Lagi-lagi ia golang-golengkan kepala lalu mengangguk-angguk. Tangan kirinya berulang kali menunjuk ke arah Candi Angsa dimana Ibu Renata berada.
Kunti Api keluarkan suara menggembor.
"Pangeran, celaka besar kalau kau sampai gagu seumur-umur. Apa yang terjadi dengan dirimu?" Si nenek memandang ke arah candi. "Ada yang tidak beres. Aku harus menyelidiki ke dalam candi." Kunti Api baringkan sosok Pangeran Matahari beberapa langkah di pinggir kiri tangga batu lalu dengan dua kali lompatan melesat melewati pintu candi.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan Pangeran Matahari?
***
Di dalam candi walau keadaan agak gelap namun Kunti Api segera saja dapat melihat tubuh Ibu Renata yang terbaring miring di lantai. Kemeja robek terbuka tak karuan. Celana panjang melorot ke bawah. Si nenek cepat mengawasi seantero ruangan. Tak ada orang lain, tak ada apa-apa selain sosok Guru Bahasa Inggris itu.
"Aneh, tak ada orang lain di tempat ini kecuali perempuan itu. Melihat keadaannya mana mungkin dia mampu mencelakai cucu muridku. Lalu siapa yang punya pekerjaan?" Rasa tidak percaya si nenek memang tidak mengherankan. Pangeran Matahari berkepandaian tinggi. Mana mungkin dirinya bisa dicelakai begitu rupa. "Satu-satunya musuh yang mampu menciderainya hanyalah Wiro Sableng murid nenek keparat bernama Sinto Gendeng itu. Tapi aku lihat sendiri, tidak ada siapapun di tempat ini! Gila! Apa mataku sudah jadi lamur?!" Kunti Api usap dua matanya berulang kali, Tiba-tiba si nenek dongakkan kepala. "Aku mencium bau sesuatu..." Hatinya membatin, bergetar. "Bau wangi. Bidadari Angin Timur? Mustahil aku tidak melihat sosoknya masuk ke dalam candi." Kunti Api mengendus lagi. Lebih lama dan lebih dalam. "Hemmm...bau wangi yang aku cium bukan bau wangi gadis kurang ajar itu Kunti Api mengingat-ingat. Mendadak bulu tengkuknya merinding. Suhu tubuhnya berubah dingin. Dua mata dipentang lebar, meneliti setiap sudut ruangan candi.
"Aku mungkin salah mencium. Tidak mungkin dia gentayangan sampai di sini. Mahluk apa dia sebenarnya. Dari mana asalnya...?" Habis membatin begitu rupa dan setelah menguatkan hati Kunti Api dekati sosok Ibu Renata yang tergeletak di lantai candi. Namun dua langkah di hadapan tubuh Ibu Renata, satu kilatan cahaya aneh berwarna biru legam berbentuk setengah lingkaran berkiblat ke arah kaki si nenek. Satu kekuatan hebat mendorong tubuhnya hingga dia menjerit dan terjengkang di lantai. Dengan muka pucat mengkeret Kunti Api periksa ke dua kakinya. Tidak ada bagian kaki yang cidera. Namun dorongan kekuatan hebat tadi membuat dadanya seperti amblas. Untuk beberapa lama perempuan tua ini menarik nafas tersengal-sengal sambil usap-usap dadanya yang rata dan mendenyut sakit.
Bangkit berdiri Kunti Api coba dekati lagi Ibu Renata dari arah yang sama. Seperti tadi tiba-tiba berkiblat cahaya aneh berwarna biru. Kunti Api cepat melompat jauhkan diri. Gerakan ini sempat menghindarkan dirinya dari hantaman kekuatan hebat hingga tidak terpental dan terjengkang seperti tadi. Mulut keluarkan kutuk serapah panjang pendek si nenek kerahkan hawa sakti di sekujur tubuh, tangan kiri dialiri tenaga dalam. Dia melompat ke arah tubuh Ibu Renata. Kali ini dari samping. Si nenek menduga dari arah lain ini dia mampu mendekati Ibu Renata. Begitu berhasil mendekati maksudnya adalah memboyong perempuan muda itu keluar candi. Namun betapa kagetnya, selagi dirinya masih melayang di udara, cahaya biru legam berbentuk setengah lingkaran kembali muncul, menderu ke arah sepasang kakinya!
Kunti Api menjerit keras. Melesat ke udara. Tangan kiri dihantamkan. Lima larik sinar merah bertabur ke arah cahaya biru. Itulah ilmu Pukulan Kuku Api yang merupakan pukulan sakti andalan si nenek dan selama ini telah menggetarkan kalangan rimba persilatan.
Suara seperti petir menyambar menggelegar dalam Candi Angsa lima kali berturut-turut sewaktu cahaya berbentuk lingkaran biru saling hantam dengan lima larik sinar merah Pukulan Kuku Api.
Jeritan Kunti Api tak kalah kerasnya. Nenek ini kelihatan mencelat ke atas. Punggungnya menghantam dinding batu membuat dia terpental lalu terbanting, jatuh duduk di lantai. Dua , mata melotot besar memandangi lima kuku jari tangan kirinya yang leleh dan mengepulkan asap. Sakitnya bukan alang kepalang. Memandang ke depan sosok Ibu Renata masih terguling di lantai batu, tak bergerak.
Nyali Kunti Api putus sudah. Sambil merintih kesakitan nenek ini bangkit berdiri. Tebungkuk-bungkuk dia melangkah ke pintu candi. Sampai di luar dia segera menemui cucu muridnya. Saat itu Pangeran Matahari tengah sibuk mengenakan pakaian.
Kunti Api memandang berkeliling lalu mendongak ke langit.
"Bulan purnama, bau wangi itu, cahaya biru setengah lingkaran...." Ucapan hati si nenek terdiam sejenak ketika lapat-lapat telinganya seperti mendengar deburan suara ombak. "Aneh, tempat ini jauh dari laut. Mengapa aku mendengar suara gulungan ombak?" Kunti Api perhatikan lima kuku jari tangan kirinya yang musnah tak terbentuk lagi.
"Pangeran, lekas tinggalkan tempat celaka ini. Aku....”
"Hak...hukk...hak...hukkk!"
Si nenek tarik lengan Pangeran Matahari. Dalam keremangan dan dinginnya malam, terseok-seok kedua orang itu tinggalkan kawasan Candi Prambanan.
***
Apa sebelumnya yang telah terjadi dengan diri Pangeran Matahari?
Dalam keadaan tanpa pakaian Pangeran Matahari masuk kembali ke dalam Candi Angsa untuk meneruskan rencana bejatnya terhadap Ibu Renata. Guru Bahasa Inggris yang dalam keadaan tak berdaya itu tak kuasa berbuat apa-apa sewaktu Pangeran Matahari mulai melucuti celana panjang yang dikenakannya. Pada waktu pinggang celana melewati pusar, tiba-tiba ada satu cahaya kehijauan menyeruak di salah satu sudut ruangan. Menyusul suara yang menggetarkan bangunan candi.
"Manusia bejat. Beraninya kau berbuat mesum di candi keramat!"
Pangeran Matahari tersentak kaget. Cepat dia bangkit berdiri dan memandang ke sudut ruangan. Cahaya kehijauan yang ada di tempat itu perlahan-lahan membentuk sosok samar seorang perempuan berpakaian hijau, berwajah luar biasa cantik, berambut panjang sepinggang dan mengenakan sebuah mahkota emas di kepalanya. Bersamaan dengan itu di dalam ruangan menebar bau sangat harum. Sesaat Pangeran Matahari jadi tercekat. Namun kemudian dia keluarkan suara membentak.
"Siapa kau?!"
"Siapa aku?" sosok samar di sudut ruangan balik bertanya. "Masih sempatnya kau ajukan pertanyaan. Anak manusia, kau hanya punya satu pilihan. Tinggalkan tempat ini atau menerima celaka!" Pangeran Matahari sesaat terdiam. Otaknya bekerja. Dia sadar kalau saat itu tengah berhadapan bukan dengan manusia biasa.
"Mahluk samar!" ucap sang Pangeran. "Aku tidak perduli kau ini bangsa manusia atau mahluk jejadian yang kesasar! Bagaimana kalau pilihan itu aku tawarkan padamu? Pergi dari sini, jangan mengganggu kesenangan orang. Atau kau kukembalikan ke alam asalmu dengan roh terkatung antara langit dan bumi.” Sambil keluarkan ucapan diam-diam Pangeran Matahari siapkan Pukulan Gerhana Matahari di tangan kanan.
Perempuan samar bermahkota dan berwajah cantik tersenyum.
"Kecongkakan dan ketakaburan hanya membawa celaka!" ucap mahluk samar itu.
Pangeran Matahari mendengus.
Perlahan-lahan mahluk samar gerakkan kepala. Pinggang meliuk bagus. Tiba-tiba wuuuttt! Rambut hitam panjang yang tergerai melesat ke arah Pangeran Matahari. Sang Pangeran tak tinggal diam. Sambil membentak garang tangan kanan serta merta dihantamkan kearah sosok samar. Namun gerakannya kalah cepat. Ujung rambut hitam lebih dulu menjerat lehernya. Lalu ada satu sentakan keras. Tubuh Pangeran Matahari terlempar ke dinding candi di sebelah depan. Kening kiri membentur batu. Punggungnya menghantam dinding batu. Tubuhnya terhempas di lantai. Darah mengucur dari Iuka besar di kening kiri. Dia ingin berteriak akibat sakit dan amarah. Namun seperti tercekik, tak ada sepotong suarapun yang bisa dikeluarkannya. Selain itu nyali sang Pangeran leleh sudah! Masih untung kepalanya tidak dibikin pecah. Dengan muka berlumuran darah dia bangkit berdiri lalu lari keluar candi.
***
TAK LAMA setelah Kunti Api dan Pangeran Matahari kabur meninggalkan kawasan Candi Prambanan, di dalam Candi Angsa menebar satu cahaya hijau yang kemudian berubah menjadi sosok samar seorang perempuan muda cantik jelita, berpakaian hijau. Sehelai selendang juga berwarna hijau melilit dilehernya yang putih jenjang. Rambut tergerai panjang dihias sebuah mahkota di atas kepala.
Perlahan-lahan mahluk samar itu melangkah mendekati Ibu Renata yang masih terbujur di lantai candi. Dia memandangi sambil berulang kali menghela nafas. Lalu dari mulutnya terdengar ucapan lembut perlahan.
"Perempuan muda yang malang. Alam kita berbeda. Aku tak boleh menyentuh tubuhmu. Aku hanya bisa menolong sebatas kemampuan. Walau tidak bisa lebih dari seribu langkah namun aku akan bawa kau ke satu tempat yang aman. Tak ada mata yang bisa melihat, tak ada telinga yang akan mendengar. Tak ada tangan yang mampu menyentuh. Semua karena Yang Maha Kuasa akan melindungimu. Sampai satu saat akan ada orang lain datang menolong."
Selesai keluarkan ucapan, mahluk cantik angkat dua tangannya. Terjadilah satu hal luar biasa. Perlahan-lahan tubuh Ibu Renata terangkat ke atas. Ketika mahluk itu bergerak keluar Candi Angsa, sosok Ibu Renata melayang mengikuti hingga akhirnya lenyap dalam kegelapan malam.
***