Mestika Burung Hong Kemala Jilid 01

Gadis itu duduk di seberang barat Sungai Kuning yang merupakan lembah yang datar dan subur. Dia duduk seperti arca, mungkin sedang dibuai lamunan sendiri, atau mungkin juga terpesona oleh keindahan alam pada pagi hari itu. Memang sangat indah, keindahan yang tumbuh dari kewajaran, keindahan yang jarang dirasakan orang karena hati akal pikiran ini selalu disibukkan oleh urusan bermacam-macam yang menimbulkan banyak masalah.

Matahari masih tergantung rendah di ufuk timur, nampak kemerahan seperti bola api yang belum menyilaukan mata. Matahari itu membentuk garis emas pada permukaan air sungai yang pagi hari itu pun nampak tenang.

Arus air hanya menurut keadaan tanahnya. Di bagian pegunungan, Sungai Kuning dapat meluncur deras bukan kepalang sehingga tak ada perahu berani menyeberanginya. Akan tetapi pada bagian yang landai seperti tempat itu, tanahnya datar dan airnya tidak deras.

Tapi pada musim hujan airnya meluap sampai jauh di kedua tepinya, menimbulkan banjir yang merupakan bencana bagi kaum petani. Namun pagi itu semua nampak begitu indah, tenang dan tenteram penuh damai.

Burung-burung telah selesai bercengkerama sebelum berangkat ke tugas kerja, sekarang telah beterbangan, berkelompok-kelompok menuju ke tempat mereka dapat memperoleh makan untuk seharian itu. Ayam jantan tidak berkeruyuk lagi dan jengkerik belalang tidak mengerik lagi.

Di kejauhan terdengar domba mengembik, babi menguik dan teriakan kanak-kanak. Akan tetapi semua suara itu sama sekali tidak mendatangkan kebisingan, malah tampak akrab dengan keheningan yang menghanyutkan batin gadis itu. Keheningan yang begitu lembut, demikian mesra menghanyutkan perasaan, membuat orang ingin menangis bukan karena sedih, bukan pula karena gembira, namun karena merasa bahwa dia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam sementara itu, dialah keheningan itu.

Gadis itu sendiri merupakan pemandangan yang indah bukan main, setidaknya bagi mata manusia, terutama mata kaum pria. Karena makhluk lain belum tentu akan menganggap gadis itu cantik dan menyenangkan untuk dilihat, bahkan mungkin menakutkan. Seperti ikan-ikan yang berenang di pinggir sungai, tak jauh dari tempat dia duduk, seperti burung-burung yang tadi berloncatan di pohon dekat situ, mereka menjadi terkejut ketakutan lalu menjauhkan diri setelah tahu akan kehadiran gadis itu dekat mereka.

Bagi kita, baik wanita mau pun terutama pria pasti akan memuji dan mengagumi gadis itu. Dia masih amat muda, paling banyak tujuh belas tahun usianya, sedang duduk termenung seorang diri pada pagi hari itu di tepi sungai, di tengah alam yang indah.

Dia laksana setangkai bunga yang sedang mulai mekar, segar dan jelita, seolah-olah tiada cacat-celanya. Tubuhnya ramping padat, lekuk-lengkungnya belum sempurna betul sebab memang sedang mekar menjelang dewasa, tetapi wajahnya sudah mempunyai daya tarik yang amat kuat karena wajah itu cantik jelita, manis melebihi madu.

Rambutnya hitam dan tebal, agak keriting berombak, panjang sekali yang bisa dilihat dari sepasang kuncir yang digelung. Apa bila rambut itu dibiarkan terurai, kiranya akan sampai ke belakang pinggulnya. Anak rambut laksana hiasan lembut di dahinya yang halus, anak rambut yang melingkar dan halus sekali, dan rambut yang melingkar pada pelipis di depan sepasang telinganya seperti menantang.

Alisnya hitam kecil dan melengkung panjang, seolah-olah merupakan pelindung sepasang mata yang aduhai! Sulit untuk menggambarkan keindahan sepasang mata itu. Tidak sipit seperti kebanyakan wanita, melainkan agak lebar dengan kedua ujung di pinggir mencuat ke atas, seperti sepasang mata seekor burung Hong.

Bulu matanya panjang lentik, putih matanya putih sekali dan hitam matanya hitam sekali. Akan tetapi bukan itu yang mempesonakan, melainkan sesuatu pada mata itu, sinarnya, atau yang tersembunyi dalam kerlingnya. Pendeknya, sungguh mempesona!

Hidungnya kecil mancung, akan tetapi ada sesuatu yang menggemaskan pada hidung itu. Entah karena ada sedikit tonjolan pada punggung bukit hidung itu, atau karena ujungnya nampak seperti berdongak ke atas itu, atau mungkin pula karena cuping hidung yang tipis itu kadang dapat kembang kempis.

Kemudian mulitnya! Sungguh sukar dikatakan mana yang lebih menarik antara mulutnya dengan matanya! Memang tampaknya wajar dan normal saja, tampaknya mulut itu biasa saja, akan tetapi sungguh sebuah mulut biasa yang luar biasa! Dan bibir itu! Lesung pipit pada sebelah kiri mulut itu! Deretan gigi itu. Sungguh sukar mencari sesuatu yang dapat disebut kurang atau buruk pada mulut itu. Wajah itu bentuknya bulat telur, dengan dagu yang bentuknya meruncing, menambah kemanisan wajah itu. Kulit muka serta leher yang nampak demikian putih mulus dan halus.

Demikian kira-kira penggambaran seseorang, terutama para pria, yang sedang jatuh cinta kepada seorang wanita, bahkan mungkin lebih dari gambaran tadi. Memang, kalau orang sedang jatuh cinta, apa pun yang ada pada wanita yang dicintanya selalu nampak hebat, tiada tara, bahkan kalau sedang cemberut nampak bertambah manis, kalau marah-marah nampak semakin menggemaskan.

Kalau kita mengamati gadis itu lebih teliti, akan nampak jelas bahwa dia bukanlah gadis pribumi, bukan gadis bangsa Han. Memang kulitnya putih mulus, tetapi tidak kekuningan seperti kulit gadis pribumi, dan terutama sekali matanya jelas menunjukkan bahwa mata itu bukan mata pribumi. Juga rambutnya yang berombak.

Ia tentulah seorang gadis berdarah campuran, seperti yang banyak terdapat di perbatasan utara dan barat, hasil pernikahan antara orang pribumi dan suku bangsa lain. Biar pun dia mengenakan pakaian yang biasa dipakai seorang gadis Han, namun cara dia menguncir rambutnya merupakan pertanda bahwa dia sebetulnya masih berdarah suku Khitan, suku yang berada di sekitar perbatasan utara, suku yang merupakan golongan nomad, yaitu golongan yang hidup dari peternakan dan selalu berpindah-pindah mencari tanah subur yang penuh dengan rumput dan daun hijau untuk ternak mereka.

"Hong-moi...!"

Panggilan itu mengejutkan dan menyadarkannya dari lamunan. Dia menoleh dan seperti yang sudah diduganya, yang menegurnya adalah seorang pemuda yang tinggi besar dan tampan.

Pemuda itu tampan dan gagah, dengan pakaian suku Khitan. Wajahnya juga wajah orang Khitan asli, dengan tulang pipi menonjol dan kumis melintang. Usianya sekitar dua puluh lima tahun dan sepasang matanya tajam seperti mata seekor burung rajawali.

Gadis yang disebut Hong-moi (adik Hong) itu bangkit dan setelah dia berdiri, baru nampak betapa ramping tubuhnya, dengan sepasang kaki yang panjang, pinggang yang ramping, dada dan pinggul yang padat. Berdirinya tegak dengan dada terbuka dan kedua pundak lurus, tidak menurun seperti pundak kebanyakan para wanita Han. Dan setelah dia berdiri tegak seperti itu, makin jelaslah bahwa dia bukan seorang gadis pribumi. Alisnya berkerut dan matanya memandang tak senang kepada pemuda itu.

"Suheng, mau apa engkau mengganggu ketenanganku dan sudah berapa kali kukatakan bahwa tidak sepatutnya bila engkau menyebut aku Hong-moi? Aku adalah sumoi-mu (adik seperguruanmu),"

Gadis itu memang merasa terganggu dan tidak senang. Hal ini karena selama beberapa bulan ini, pemuda yang menjadi suheng-nya ini mulai berubah sikapnya terhadap dirinya. Pandang mata itu pun berubah penuh gairah, senyumnya juga membujuk dan memikat, dan beberapa kali kata-katanya menyinggung masalah hubungan kasih sayang yang tidak semestinya.

Biasanya dia sayang kepada suheng-nya ini, yang dikenalnya sejak dia masih kecil, sejak dia menjadi murid suhu-nya (gurunya), yaitu ayah kandung pemuda itu. Akan tetapi sejak pemuda itu berubah sikap, dia pun merasa tak senang dan justru perubahan itu pula yang membuat dia tadi melamun sedih.

"Sumoi, kenapa engkau ribut soal panggilan itu?" pemuda itu tertawa dan nampak deretan giginya yang kuat dan terpelihara. "Apa bedanya antara sebutan adik seperguruan dengan adik Hong? Kurasa sebutan Hong-moi lebih mesra, dan aku memang menghendaki agar hubungan kita dapat lebih mesra dari pada hubungan antara kakak beradik seperguruan. Nanti dulu, Hong-moi...," dia mengangkat tangan untuk mencegah gadis itu mengeluarkan ucapan membantah, "kebetulan sekali kita bertemu di sini, di tempat sunyi di mana tidak ada orang lain yang mengganggu dan mendengarkan percakapan kita. Hong-moi, sudah berulang kali aku memperlihatkan sikapku, tetapi agaknya engkau belum mengerti benar. Sekarang aku sudah mengambil keputusan untuk berterus terang saja kepadamu. Hong-moi, aku cinta padamu dan aku ingin agar engkau suka menjadi isteriku."

Sepasang pipi yang putih mulus tanpa bedak itu mendadak berubah kemerahan, dan kini sepasang mata yang indah seperti mata burung Hong itu mendadak mencorong laksana harimau betina di usik.

"Suheng! Tidak sepantasnya engkau bicara seperti itu! Memang aku sudah merasa akan perubahan sikapmu, akan tetapi terus terang saja aku tidak suka dengan perubahan itu. Tadi engkau berterus terang, aku pun ingin berterus terang padamu sebagai jawabannya. Aku tidak mungkin dapat menerima cintamu seperti itu. Ingat, suheng, aku adalah murid yang sudah diakui sebagai anak angkat oleh suhu, sehingga kita ini dapat dibilang masih kakak beradik sendiri. Jangan sekali lagi kau ulangi ucapanmu yang tidak pantas itu."

"Sumoi, engkau sendiri mengatakan bahwa engkau telah diaku sebagai anak angkat oleh ayah. Anak angkat, berarti orang lain, bukan kakak beradik dan tidak ada hubungan darah di antara kita. Oleh karena itu tidak ada halangan apa pun bagi kita untuk menjadi suami isteri."

"Tidak, aku tidak sudi!" Sekarang gadis itu membusungkan dada menegakkan kepala dan pandang matanya penuh tantangan.

"Sumoi, kenapa engkau menolak? Ingat, sejak kecil engkau menerima budi berlimpah dari ayah dan keluarga kami. Kami semua menyayangmu seperti keluarga sendiri, akan tetapi sekarang, setelah dengan kesungguhan hati aku menyatakan cintaku kepadamu, engkau malah menolak dengan kasar. Apakah engkau tidak mengenal budi?"

"Suheng, aku tidak pernah minta dipungut oleh suhu dan dijadikan murid atau diaku anak. Pada waktu itu aku masih kecil sehingga aku menurut saja. Memang keluargamu sangat baik kepadaku, tetapi aku pun bukan seorang yang duduk diam saja. Aku bekerja di sana, melakukan segala pekerjaan, membantu para pelayan, aku pun mentaati semua perintah suhu. Akan tetapi soal perjodohan, itu adalah urusanku pribadi, tidak boleh dicampuri oleh siapa pun, bahkan keluargamu pun tidak boleh memaksa aku berjodoh dengan siapa saja tanpa persetujuanku. Dan terus terang saja, aku tidak ingin menjadi isterimu."

"Kau... kau... anak sombong! Kau banyak lagak!" pemuda itu nampak marah dan sangat tersinggung.

"Kau yang sombong, suheng! Kau kira sesudah aku diambil murid oleh ayahmu lalu aku harus menurut apa saja yang kalian kehendaki terhadap diriku? Pula, suheng, bagaimana mungkin perasaan cinta dapat dipaksakan? Pernikahan tanpa dilandasi cinta hanya akan mendatangkan derita sengsara. Tidak, aku tidak mau menjadi isterimu."

Perasaan kecewa, penasaran dan marah membuat pemuda itu melotot dan sikapnya kini seolah-olah hendak menyerang. Namun dia melihat betapa sumoi-nya itu pun marah dan siap untuk melawannya. Dia tahu benar bahwa kalau mereka sampai bertanding maka dia tidak akan menang melawan sumoi-nya. Menurut keterangan ayahnya sendiri, bakat yang dimiliki sumoi-nya dalam ilmu silat sangatlah besarnya dan di dalam latihan bersama pun dia sudah merasa bahwa dia tidak akan mampu menandingi sumoi-nya.

"Aku akan memberitahu ayah mengenai sikapmu yang sombong ini!" katanya dan dia pun membalikkan tubuh lalu pergi dengan cepat meninggalkan gadis itu.

Gadis itu termangu sejenak, lalu menghela napas panjang dan duduk kembali seperti tadi, melamun. Akan tetapi sekali ini keadaan batinnya berbeda jauh dari pada tadi. Kalau tadi batinnya merasa tenteram dan hening karena hati akal pikiran tidak bekerja, sekarang hati akal pikirannya bekerja keras. Kenangan lama terbayang dan kedukaannya timbul teringat akan keadaan dirinya.

Gadis jelita ini bernama Can Kim Hong. Ia tidak pernah mengenal ayahnya. Bahkan wajah ibunya pun hanya tampak samar dalam kenangannya sebab ibunya meninggal dunia pada waktu dia berusia lima tahun.

Ibunya adalah seorang wanita suku Khitan, puteri dari seorang ketua suku. Menurut cerita ibunya, seperti yang masih diingatnya dengan baik, yaitu cerita yang didengar dari ibunya pada saat dia berusia lima tahun, sebelum ibunya meninggal dunia, dia hanya mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang bangsa Han yang bernama Can Bu.

"Dia seorang di antara para panglima perang dari pasukan Han," demikian kata ibunya.

Kemudian ibunya menceritakan bahwa Can Bu tertawan oleh suku Khitan ketika bersama para panglima lainnya memimpin pasukan menyerbu daerah utara. Karena sikapnya yang baik dan gagah, Can Bu tidak dibunuh, malah diperlakukan sebagai seorang tamu agung. Kemudian terjalin cinta asmara antara Can Bu dan Khilani, yaitu mendiang ibunya. Atas persetujuan kepala suku akhirnya mereka pun menikah. Tetapi ketika ibunya mengandung tua dan ayahnya itu memperoleh kesempatan, ayahnya berhasil meloloskan diri.

"Ayahmu adalah seorang pahlawan, tentu saja tidak akan mau tinggal untuk selamanya di sini," demikian ibunya bercerita. "Tadinya dia hendak mengajakku ikut melarikan diri, akan tetapi aku menolak karena aku dalam keadaan mengandung tua. Dia lalu pergi sendiri dan sampai sekarang tidak ada berita darinya."

Hanya itu yang dia ketahui dari mendiang ibunya. Ayahnya seorang bangsa Han bernama Can Bu, dan meninggalkan nama pribumi untuk anak yang akan dilahirkan ibunya, nama pria dan nama wanita. Ketika terlahir wanita, dia pun diberi nama Can Kim Hong karena menurut ibunya, ketika ibunya mengandung, dia pernah bermimpi melihat seekor burung Hong emas (Kim Hong).

Can Kim Hong melanjutkan lamunan dan kenangannya. Setelah ibunya meninggal dunia, kakeknya, kepala suku itu, menjadi sedih lantas mengundurkan diri. Jabatan kepala suku lalu dipegang oleh seorang Khitan yang gagah perkasa dan terkenal sebagai orang yang kuat dan pandai ilmu silat berbagai aliran. Kakeknya menitipkan dia kepada kepala suku baru itu dan sejak itu dia pun menjadi murid bahkan menjadi anak angkat dari kepala suku baru yang bernama Bouw Hun, yaitu ayah kandung suheng-nya tadi yang bernama Bouw Ki.

Dan sekarang, Bouw Ki.yang sejak beberapa bulan terakhir ini menunjukkan sikap yang amat berbeda, tadi telah menyatakan cintanya dan ingin mengambilnya sebagai isteri. Dia menolak, dan dia tahu bahwa penolakannya ini tentu akan menimbulkan perubahan besar dalam sikap keluarga Bouw itu.

Tentu Bouw Ki akan mengadu, dan gurunya tentu akan merasa tidak senang. Demikian pula ibu gurunya dan para paman. Dia akan menghadapi keadaan yang sama sekali tidak menyenangkan!

"Lebih baik aku meninggalkan semua ini," akhirnya dia mengambil keputusan, kemudian merenung ke arah selatan. "Aku harus mencari ayah seperti yang pernah dipesankan oleh mendiang ibu!"

Selama tenggelam dalam lamunan, Kim Hong memiringkan kepalanya, meraba-raba dan menjiwir-jiwir ujung telinga kirinya dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Ini merupakan kebiasaannya sejak kecil kalau dia sedang berpikir.

Kini dia bangkit berdiri, sudah mengambil keputusan dan teringat akan sikap Bouw Ki dan membayangkan sikap keluarga Bouw kepadanya, dia merasa penasaran dan gemas. Aku akan menghadapi mereka dan menghadapi apa pun yang akan terjadi! Berpikir demikian, Kim Hong menghentakkan kaki kanannya beberapa kali ke atas tanah. Kebiasaan tanpa disadari ini menandakan bahwa dia sedang marah. Kemudian dia berjalan dengan tegap meninggalkan tempat itu, menuju ke sebuah tebing yang tinggi di mana tinggal keluarga gurunya…..

********************
"Tidak, kami tidak setuju kalau engkau hendak memperisteri Kim Hong!" kata Bouw Hun yang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok dan berkulit hitam itu.

Kepala suku Khitan yang berusia lima puluh tahun ini sedang duduk didampingi isterinya yang berkulit putih dan masih terlihat cantik dalam usianya yang empat puluh lima tahun, menghadapi puteranya, Bouw Ki yang baru saja menyatakan keinginan hatinya untuk bisa memperisteri Kim Hong.

"Akan tetapi kengapa ayah?" Bouw Ki membantah. "Bukankah sumoi seorang gadis yang baik, malah dia adalah murid ayah sekaligus juga anak angkat ayah yang bertubuh sehat, berwajah cantik dan berotak cerdas?" Kemudian dia menyambung, tetapi sekarang sambil memandang kepada ibunya. "Dan aku amat mencintanya, ayah."

"Tidak, sekali lagi aku tidak setuju bila dia menjadi isterimu! Memang dia cantik dan juga cerdik, tetapi ingat, dia adalah seorang keturunan Han! Dan engkau tahu alangkah liciknya orang-orang Han yang selalu menjadi musuh kita."

"Tapi mendiang ibunya adalah wanita Khitan, ayah."

"Hemm, engkau tentu ingat apa yang telah terjadi? Karena wanita Khitan itu mau menjadi isteri seorang bangsa Han maka kehidupannya menjadi celaka. Ia ditinggalkan suaminya dalam keadaan mengandung tua! Huh, dan engkau ingin memperisteri puteri seorang Han yang macam itu? Tidak, aku tidak setuju!"

"Anakku, ayahmu berkata benar. Ingat, engkau adalah putera seorang kepala suku yang dihormati. Kalau engkau ingin menikah, carilah seorang gadis Khitan. Gadis yang terbaik sekali pun akan dengan senang hati menjadi isterimu. Kim Hong seorang gadis keturunan Han, tidak asli, tentu kelak tidak dapat menjadi isteri yang baik," kata pula ibu pemuda itu.

Bouw Ki mengerutkan alisnya. Dia akan berani membantah ibunya, akan tetapi dia takut kepada ayahnya yang juga menjadi gurunya itu. Ayahnya berwatak keras sekali.

"Akan tetapi, ayah dan ibu. Aku sungguh amat mencinta sumoi, aku tergila-gila padanya dan kalau dia tidak menjadi milikku, aku akan merasa sengsara sekali."

"Hemm, sudah berulang kali engkau mengatakan cinta kepadanya. Apakah anak itu juga berani mengaku cinta kepadamu, suheng-nya sendiri?" tanya Bouw Hun dengan suaranya yang bernada marah.

Bouw Ki sangat mengenal watak ayahnya. Orang tua itu selalu memandang tinggi derajat keluarganya sebagai kepala suku Khitan. Dia pun tahu bahwa kalau dia ingin mencapai idaman hatinya, dia harus membakar hati ayahnya. Bujukan tidak akan ada hasilnya.

"Itulah yang merisaukan hatiku dan yang membuat aku penasaran hingga bertekad untuk memilikinya. Secara kurang ajar dan memandang rendah sumoi sudah lancang menolak cintaku! Dia menganggap dirinya terlalu tinggi untuk menjadi isteriku!.Justru penolakannya ini yang membulatkan tekadku untuk mendapatkannya, ayah!"

Wajah yang berkulit hitam itu menjadi semakin gelap.

"Apa?! Anak itu berani... berani menolakmu? Huhh, sombong sekali! Itulah kesombongan seorang peranakan Han! Akan kita buktikan kepadanya bahwa bukan engkau yang tidak pantas menjadi suaminya, akan tetapi dia yang tidak pantas menjadi mantuku!"


"Akan tetapi aku menginginkannya ayah!"
"Baik, aku akan memaksanya untuk menjadi milikmu, tapi bukan sebagai isteri melainkan sebagai seorang selir saja!" kata kepala suku itu dengan hati geram karena merasa amat diremehkan oleh gadis yang sejak kecil dipelihara dan dididiknya itu.

Siapa sih anak itu sehingga berani memandang rendah puteranya bahkan berani menolak cintanya? Justru karena penolakan itu, dia harus menjadi milik puteranya, bukan sebagai isteri melainkan sebagai selir, isteri yang tidak sah supaya kelak apa bila mempunyai anak tidak berhak untuk menjadi kepala suku!

Keluarga itu sama sekali tidak tahu bahwa selagi mereka berunding membicarakan Kim Hong, gadis yang mereka bicarakan itu sedang berada di luar ruangan, di belakang daun pintu dan sempat mendengarkan bagian terakhir dari percakapan mereka. Wajah gadis itu menjadi pucat, lalu merah sekali sesudah dia mendengar kalimat terakhir yang diucapkan gurunya tadi

"Baik, aku akan memaksanya untuk menjadi milikmu, bukan sebagai isteri tetapi sebagai seorang selir saja!"

Dengan sangat hati-hati Kim Hong segera menyelinap pergi. Jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemarahan. Gurunya sendiri yang berniat hendak memaksanya menjadi selir Bouw Ki. Menjadi selir! Sedangkan menjadi isteri yang sah saja dia tak sudi, apa lagi menjadi selir!

Maklum bahwa tidak mungkin dia dapat menentang gurunya yang hendak memaksanya, Kim Hong langsung mengambil keputusan bulat. Dia harus pergi dari situ, sekarang juga sebelum terlambat. Memang telah agak lama dia memiliki niat untuk merantau ke selatan, mencari ayah kandungnya. Dan peristiwa dengan suheng-nya itu membuat dia bertekad untuk pergi sekarang juga.

Dengan tergesa-gesa Kim Hong mengumpulkan pakaiannya, memasukkannya ke dalam buntalan kain kuning, tidak lupa membawa pedangnya serta perhiasan untuk biaya dalam perjalanan, kemudian melalui pintu belakang, dia meninggalkan rumah itu.

Dia bertemu dengan orang-orang Khitan yang membuat pondok-pondok darurat di sekitar tebing itu, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang bertanya, hanya menegur dan memberi salam saja kepada murid sekaligus anak angkat kepala suku itu. Kelompok orang Khitan yang dipimpin Bouw Hun ini baru tiga bulan tiba di situ dan tinggal di lembah Sungai Kuning, memilih tempat yang tinggi agar tidak diserang banjir.

Begitu keluar meninggalkan perkampungan suku Khitan, Kim Hong segera mempercepat perjalanannya dengan berlari menuju ke bawah untuk mencapai tepi sungai yang landai di mana dia dapat membeli atau menyewa sebuah perahu untuk melanjutkan perjalanannya ke selatan.

Kini dia sudah sampai di bawah tebing karang yang menjadi perkampungan suku Khitan. Hatinya merasa lega karena tidak melihat adanya pengejaran yang sangat dikhawatirkan, dan begitu tiba di tanah datar, dia pun cepat berlari menuju ke tepi Sungai Kuning. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan yang amat mengejutkan hatinya.

"Sumoi...!"
"Kim Hong, berhenti dulu...!"

Suheng-nya dan suhu-nya! Celaka, pikirnya. Pasti mereka itu melakukan pengejaran dan sudah tahu akan rencananya untuk minggat. Biasanya dia bebas untuk bermain di mana saja tanpa pengawasan. Bila sekali ini mereka mengejarnya, tentu mereka telah menduga akan niatnya dan mungkin tadi ada seorang Khitan yang melaporkan kepada kepala suku itu bahwa dia pergi meninggalkan perkampungan.

Dilihatnya sebuah perahu kecil meluncur tenang dekat pantai, sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang lelaki berusia enam puluhan tahun yang memakai sebuah caping lebar dan pakaiannya yang serba hitam itu amat sederhana. Melihat perahu itu, timbullah harapan di hati Kim Hong.

"Heiiiii! Tukang perahu, ke sinilah, aku ingin bicara!" teriaknya ke arah tukang perahu yang mendayung perahunya lambat-lambat.

Tukang perahu menoleh dan Kim Hong melihat bahwa wajah lelaki itu terang dan penuh senyum, wajah yang membayangkan kesabaran dan kelembutan hati.

"Paman yang baik, pinggirkan perahumu. Aku ingin menyewanya, atau membelinya, atau menumpang saja. Cepatlah, aku amat membutuhkan pertolonganmu!" Kim Hong menoleh ke belakang dan kini sudah nampak bayangan ayah dan anak itu yang berlari cepat, juga kembali terdengar teriakan-teriakan mereka.

"Kim Hong, aku perintahkan engkau untuk berhenti!" terdengar jelas teriakan gurunya.

"Paman tukang perahu, tolonglah aku!" Kim Hong berseru kembali melihat tukang perahu itu masih belum mendayung perahunya ke pinggir. Untuk meloncat ke perahu itu, jaraknya masih terlampau jauh. "Ke sinilah, aku ingin menumpang perahumu, berapa pun sewanya akan kubayar!"

Akan tetapi orang bercaping itu hanya menahan lajunya perahu dengan dayungnya dan hanya memandang seperti orang yang tidak mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.

Kim Hong yang tadinya berteriak dalam bahasa Khitan, kini berseru lagi, mempergunakan bahasa Han yang dikuasainya dengan baik karena mendiang ibunya sudah mengajarkan bahasa ayahnya itu. Namun tetap saja tukang perahu itu diam seperti patung. Sementara itu Bouw Hun dan Bouw Ki tiba di situ!

"Kim Hong, apa yang sedang kau lakukan ini? Engkau hendak pergi ke mana?" terdengar suara Bouw Hun yang dalam dan parau, dengan nada yang marah penuh teguran.

Terpaksa Kim Hong memutar tubuh menghadapi ayah dan anak itu. Karena sejak kecil ia menganggap Bouw Hun sebagai guru dan juga pengganti orang tuanya, maka ia bersikap lembut walau pun di dalam hatinya dia masih marah mengingat akan ucapan guru ini tadi yang hendak memaksanya menjadi selir Bouw Ki.

"Suhu, aku telah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan tempat ini. Aku hendak mencari ayah sampai dapat bertemu dengannya. Harap suhu sudi memberi ijin dan tidak menghalangiku."

"Apa?! Engkau ini anak tak mengenal budi! Sejak kecil engkau kami rawat, kami pelihara, kami didik, dan sekarang setelah menjelang dewasa, engkau hendak minggat begitu saja tanpa pamit?!" bentak kepala suku Khitan itu.

Kim Hong yang tadinya menundukkan muka, kini mengangkat wajahnya dan menentang pandang mata gurunya dengan berani. Bila menurut ucapan gurunya tadi, memang seolah dia yang tidak mengenal budi. Maka dia pun menjawab dengan lantang,

"Suhu, sebenarnya suhu sendiri yang memaksa aku pergi tanpa pamit. Kalau saja suhu tidak mengeluarkan ucapan itu, tentulah aku akan minta ijin dan restu. Suhu sendiri yang memaksaku untuk pergi minggat seperti ini."

Bouw Hun mengerutkan kedua alisnya. "Ucapanku yang mana? Jangan mencoba mencari alasan yang bukan-bukan!"

"Aku mendengar dengan kedua telingaku sendiri bahwa suhu hendak memaksaku untuk menjadi selir suheng. Aku tidak sudi maka aku mengambil keputusan untuk minggat."

Ayah dan anak itu saling pandang, terkejut karena sama sekali tak menduga bahwa gadis itu telah mendengarkan percakapan mereka tadi. Mereka tadi memang mendapat laporan dari seorang Khitan yang melihat Kim Hong keluar meninggalkan perkampungan dengan membawa buntalan pakaian, maka mereka cepat melakukan pengejaran. Karena gadis itu sudah mengetahui, Bouw Hun tidak mau berpura-pura lagi.

"Memang benar, dan engkau tidak boleh menolak kehendak kami. Semenjak dulu engkau sudah seperti anggota keluarga kami sendiri, maka kalau sekarang engkau menjadi selir suheng-mu, apa salahnya?"

"Tidak, suhu. Aku tidak mau menjadi isteri suheng, apa lagi menjadi selirnya! Harap suhu membiarkan aku pergi mencari ayah. Aku tidak akan melupakan semua budi sekeluarga dan semoga kelak aku akan dapat membalas budi itu," kata gadis itu dengan suara yang tegas, akan tetapi pandang matanya penuh permohonan.

"Hemm, tidak perlu kelak, sekarang pun engkau dapat membalas budi itu dengan menaati perintahku. Jangan pergi dan engkau harus menjadi selir Bouw Ki."

"Maaf, suhu. Kalau aku harus membalas budi dengan itu, aku tetap menolak."

"Kim Hong, berani engkau membantah perintah gurumu dan juga ayah angkatmu?!" Bouw Hun membentak, kini matanya mendelik dan mukanya yang penuh berewok serta kulitnya yang menghitam itu kelihatan bengis sekali.

"Sumoi, jangan membuat ayah menjadi marah. Taatilah perintah ayah, dan engkau akan hidup berbahagia. Aku amat mencintamu, sumoi," kata Bouw Ki membujuk.

Kim Hong memandang kepada Bouw Ki dengan mata bersinar-sinar, lalu ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda gagah tampan itu.

"Suheng, ini semua gara-gara engkau! Kalau engkau tidak mempunyai niat kotor terhadap diriku, tidak akan terjadi keributan ini dan aku tentu akan pergi dengan baik-baik, dibekali ijin dan restu dari suhu. Pendeknya, aku tidak mau.menjadi isterimu atau selirmu..."

"Kim Hong! Engkau harus menaati perintahku!" bentak pula Bouw Hun yang sudah marah sekali.

"Maaf, aku tidak dapat menaati perintah yang ini, suhu."

"Engkau berani menentangku? Kau tahu apa hukuman orang yang berani menentangku?"

Kim Hong melepaskan buntalan pakaiannya ke atas tanah dan berdiri tegak.

"Aku tidak menentang, suhu, tetapi kalau aku dipaksa maka aku akan membela diri. Aku lebih baik mati dari pada harus melakukan hal yang berlawanan dengan suara hatiku."

"Anak jahanam! Anak durhaka, murid murtad!" Bouw Hun marah bukan kepalang dan dia sudah menerjang ke depan, menyerang Kim Hong.

"Ayah, jangan bunuh dia...!" Bouw Ki berseru, khawatir kalau-kalau ayahnya yang marah itu membunuh gadis yang membuatnya tergila-gila itu.

Teriakan puteranya ini segera menyadarkan Bouw Hun dan ketika Kim Hong mengelak ke kiri, tangannya cepat bergerak menyambar.

Karena Kim Hong memang tidak mempunyai niat melawan orang yang selama ini menjadi guru dan pengganti orang tuanya, maka tanpa dapat dihindarkan lagi jari-jari tangan Bouw Hun yang lihai itu telah menotoknya sehingga membuatnya roboh terkulai lemas.....

"Nah, bawalah dan kau tundukkan gadis liar itu!" kata Bouw Hun kepada puteranya.

Sambil menyeringai puas Bouw Ki cepat menghampiri tubuh Kim Hong yang rebah miring dengan lemas. Akan tetapi pada saat dia membungkuk untuk memondong tubuh itu, tiba-tiba saja ada angin berdesing menyambar, seperti angin berpusing dan Bouw Ki merasa dirinya terdorong oleh tenaga yang sangat kuat sehingga dia terhuyung ke belakang dan hampir jatuh terjengkang.

Ayah dan anak itu memandang dengan kaget dan heran. Seorang pria telah berdiri di situ, menghadang dan melindungi tubuh Kim Hong. Dia berusia enam puluh tahun, berpakaian serba hitam sederhana, kepalanya tertutup sebuah caping lebar yang hitam pula. Wajah orang itu ramah dan penuh senyum, akan tetapi matanya mencorong seperti mata seekor naga dalam dongeng! Ketika ayah dan anak itu memandang kepadanya, laki-laki itu balas memandang dengan senyum lembut dan mata mencorong.

Bouw Hun terkejut sekali. Dia sendiri adalah seorang yang sudah banyak pengalaman dan sudah mendalam pengetahuannya tentang ilmu silat dan dia tahu bahwa di daerah selatan terdapat banyak sekali pendekar silat yang sangat lihai. Melihat betapa munculnya orang yang pakaiannya serba hitam ini langsung membuat puteranya terhuyung, dia pun dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.

Maka kepala suku ini tak berani bersikap lancang, sebaliknya dia malah melangkah maju kemudian memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya ke depan dada. Karena pakaian orang itu berpotongan pakaian bangsa Han, Bouw Hun lalu bicara dalam bahasa Han yang juga dikuasainya baik-baik.

"Maafkan kami, sahabat. Aku adalah Bouw Hun, kepala suku Khitan yang hidup mencari makan di daerah ini, dan dia adalah Bouw Ki, puteraku. Gadis ini adalah muridku sendiri yang hendak minggat sehingga terpaksa aku menangkapnya dan kini hendak membawa dia pulang. Harap engkau tidak mencampuri urusan keluarga kami."

Namun orang bercaping dan berpakaian hitam itu kini membuat gerakan-gerakan dengan tangannya. Dia menuding ayah dan anak itu, lalu menuding ke arah tubuh Kim Hong, dan mengangkat tangan ke atas depan dan menggoyang-goyangnya, kemudian dia menuding kembali kepada tubuh Kim Hong, lalu ke dadanya sendiri, kemudian menuding ke perahu yang berada di tepi sungai.

Mulutnya tidak mengeluarkan suara apa pun seperti biasanya orang gagu, tetapi melihat gerakan-gerakan itu dia seperti orang gagu yang hendak menerangkan maksudnya. Meski pun ayah dan anak itu tidak paham benar apa yang dimaksudkan pria itu dengan gerakan-gerakannya, setidaknya mereka dapat menangkap bahwa pria gagu itu melarang mereka menangkap Kim Hong, dan bahwa si gagu itu hendak membawa Kim Hong ke perahunya. Tentu saja Bouw Hun dan Bouw Ki menjadi marah.

"Singgg...!" Bouw Hun mencabut sebatang pedang bengkok yang amat tajam.

"Singgg…!" Bouw Ki juga mencabut pedang berbentuk golok panjang.

"Sobat, sudah kukatakan tadi bahwa lebih baik jika engkau tidak ikut mencampuri urusan keluarga kami, atau terpaksa kami tidak akan menganggapmu sebagai sobat, melainkan sebagai musuh," kata Bouw Hun yang masih ragu-ragu untuk memusuhi orang yang tidak diketahui siapa itu.

Akan tetapi si gagu menggoyang tangan kirinya seperti menyatakan bahwa mereka tidak boleh membawa Kim Hong

"Kalau begitu engkau memang sengaja hendak memusuhi kami! Lihat senjataku!" bentak Bouw Hun dan dia pun telah menyerang dengan pedangnya, disusul oleh puteranya yang juga menyerang dari samping dengan dahsyat.

Tanpa mengeluarkan suara si gagu menggerakkan tubuhnya dan tubuh itu lenyap, yang kelihatan hanyalah bayangan hitam saja berkelebatan ke sana sini, menyelinap di antara dua gulungan sinar pedang, gerakannya amat ringan dan cepat bukan kepalang sehingga ayah dan anak itu menjadi bingung karena mereka merasa seperti melawan bayangan atau melawan setan. Ke mana pun golok mereka menyambar, selalu mengenai tempat kosong.

Kecepatan gerakan orang itu membuat mereka berdua bergidik. Mereka, seperti orang-orang Khitan yang masih sederhana, masih sangat percaya akan tahyul. Maka sekarang melawan seorang yang seakan-akan dapat terbang atau menghilang itu, mereka merasa ngeri dan mengira bahwa mungkin yang mereka lawan bukan manusia biasa, melainkan sebangsa siluman!

Tiba-tiba si gagu menggerakkan kedua tangannya, menangkis atau menoleh ke arah dua lengan yang memegang pedang.

"Plakk! Tukk!"

Ayah dan anak itu berteriak dan pedang mereka terlepas dari pegangan. Ketika mereka memandang, lawan mereka telah berdiri tegak dan kedua batang pedang itu telah berada di tangannya.


Kemudian, bagaikan orang mematahkan ranting kering saja, si gagu itu menekuk kedua batang pedang dengan dua tangannya. Terdengar suara nyaring dan dua batang pedang itu sudah patah di bagian tengahnya. Si gagu melemparkan patahan pedang itu ke atas tanah sambil memandang kepada ayah dan anak itu dengan wajah tetap tersenyum akan tetapi matanya mencorong.

Bouw Hun dan Bouw Ki terbelalak. Maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi si gagu, Bouw Hun lalu berkata kepada puteranya,

"Mari kita pergi. Biar murid murtad itu menjadi mangsa siluman hitam ini!"

Ayah dan anak itu segera melompat lalu melarikan diri pergi, walau pun dua kali Bouw Ki menoleh ke belakang karena bagaimana pun juga hatinya masih merasa sayang bahwa dia tidak jadi dapat memiliki gadis yang amat diinginkannya itu.

Kim Hong dapat menyaksikan semua, biar pun dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya yang tertotok lemas. Diam-diam dia kagum bukan main. Si pakaian dan caping hitam itu adalah tukang perahu yang tadi dipanggilnya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa tukang perahu yang tadi dipanggil-panggil adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu sehingga dengan dua tangan kosong mampu mengalahkan suhu dan suheng-nya dalam waktu singkat!

Akan tetapi karena tidak mampu bergerak dia hanya memandang saja, lantas timbul juga perasaan ngerinya. Dia sama sekali tidak mengenal orang ini, tidak mengenal macam apa dia ini. Seorang pendekar sakti yang budimankah? Ataukah seorang manusia iblis? Kalau penolongnya itu seorang manusia iblis, tentu dia akan mengalami mala petaka yang lebih mengerikan lagi!

Si gagu itu sejenak mengamati Kim Hong, lantas tangannya bergerak cepat. Kim Hong tidak dapat melihat jelas bagaimana tangan itu bergerak. Dia hanya merasa ada sesuatu yang menotok kedua pundaknya dan dia pun sudah dapat bergerak kembali. Cepat Kim Hong bangkit duduk, kemudian dia berlutut di hadapan orang itu.

"Aku Can Kim Hong menghaturkan terima kasih kepada locianpwe (orang tua gagah) yang telah menyelamatkan aku dari mala petaka," katanya.

Laki-laki tua itu diam saja, hanya memandang dengan wajah cerah sebab mulutnya selalu tersenyum, akan tetapi tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya, bahkan tidak ada suara yang keluar. Lalu dia teringat akan sikap si gagu hitam itu tadi terhadap suhu dan suheng-nya. Orang itu sama sekali tak pernah mengeluarkan suara, dan hanya membuat gerakan-gerakan seperti orang gagu! Orang ini tidak dapat bicara alias gagu!

"Maafkan aku, locianpwe," katanya hati-hati sambil menatap wajah yang cerah itu, "tetapi apakah... apakah locianpwe...?" Dia tidak mampu melanjutkan ucapannya karena merasa sangat sungkan untuk menegaskan apakah orang itu benar-benar gagu, takut kalau-kalau menyingung perasaan penolongnya.

Tampaknya si gagu mengerti akan apa yang diinginkannya. Dia mengangguk-angguk, lalu menudingkan telunjuknya ke arah mulutnya, kemudian menggeleng-geleng kepala seolah mengatakan bahwa dia tidak dapat mempergunakan mulutnya untuk bicara.

"Ahh, jadi benar dugaanku bahwa locianpwe tidak dapat bicara?"

Si gagu mengangguk-angguk dan Kim Hong berpikir. Biasanya orang gagu juga tuli, akan tetapi orang ini jelas tidak tuli, bukan hanya tidak tuli saja, bahkan dapat mendengar dan mengerti kata-kata orang. Kemudian si gagu menjulurkan kedua tangan menyentuh kedua pundak Kim Hong.

Dara itu terkejut, menyangka buruk, akan tetapi ternyata kedua tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya. Hanya perlahan saja tetapi ada kekuatan dahsyat yang memaksa Kim Hong untuk bangkit berdiri! Sesudah dia bangkit berdiri, si gagu mengangguk-angguk dan nampak gembira.

Kim Hong mulai mengerti. Orang ini luar biasa sekali. Selain sakti juga berhati sederhana, tidak mau menerima penghormatan berlebihan.

"Locianpwe, harap jangan kepalang tanggung menolongku. Aku harus pergi dari tempat ini karena mereka ingin memaksaku untuk menjadi selir suheng-ku Bouw Ki itu. Aku mohon kepada locianpwe agar menerima aku menumpang perahumu pergi ke selatan. Sudikah locianpwe menolongku?"

Si gagu mengangguk-angguk, kemudian menghampiri perahunya, diikuti oleh Kim Hong yang sudah mengambil kembali buntalan pakaiannya. Mereka lantas menurunkan perahu kecil itu kembali ke sungai. Kim Hong menggunakan pedang bengkoknya untuk membuat sebatang dayung dan kini dia membantu kakek gagu itu mendayung perahu kecilnya yang meluncur cepat mengikuti arus air menuju ke selatan…..
********************

Pada saat itu Kerajaan Tang sedang dipimpin oleh Kaisar Hsuan Tsung atau terkenal pula dengan sebutan Kaisar Beng Ong (712-755). Akan tetapi, sejak Kaisar Beng Ong tergila-gila pada seorang wanita yang bernama Yang Kui Hui, maka timbullah banyak kekacauan. Para menteri yang setia merasa gelisah melihat betapa kaisar yang tua itu dipermainkan oleh selirnya yang tersayang itu. Baru peristiwa ditariknya Yang Kui Hui ke dalam istana sebagai selir kaisar saja sudah merupakan peristiwa yang membuat para menteri setia itu mengerutkan kening dan merasa tidak setuju sama sekali.

Peristiwa itu terjadi tujuh tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 1175 Pada waktu itu Kaisar Beng Ong telah berusia enam puluh tahun lebih dan Kerajaan Tang mengalami kemajuan yang pesat sekali, terutama di bidang kebudayaan dan Agama Buddha yang terbukti dari perkembangan kesenian dan kesusasteraan yang pada masa itu tidak lepas dari agama.

Kaisar Beng Ong sesungguhnya bukan seorang yang mata keranjang, bukan seorang pria yang selalu diperbudak oleh nafsu birahinya. Akan tetapi ketika pada suatu hari kebetulan dia melihat isteri dari seorang di antara puteranya, yaitu Pangeran Shouw, dia terpesona dan terpikat oleh kecantikan mantunya sendiri.

Isteri Pangeran Shouw itu bernama Yang Kui Hui, memang merupakan seorang wanita yang amat cantik jelita, memiliki daya tarik yang amat kuat, bukan karena kecantikannya saja, akan tetapi juga oleh pembawaan dirinya yang sangat pandai mengambil hati. Dia pun seorang wanita yang bukan asli Han, melainkan seorang berdarah campuran.

Memang suku atau bangsa yang berdarah campuran selalu mempunyai gadis-gadis yang cantik menarik. Bahkan dikabarkan orang bahwa selain cantik jelita, juga dari tubuh wanita ini keluar keringat yang berbau harum!

Pada tahun 745 itu, sesudah Kaisar Beng Ong terpesona oleh kecantikan Yang Kui Hui, terjadilah ketidak wajaran yang pertama, yaitu Kaisar Beng Ong memaksa puteranya agar supaya menceraikan isterinya dan memberikan seorang gadis lainnya sebagai pengganti isteri Pangeran Shouw. Kemudian kaisar menarik Yang Kui Hui yang dicerai secara paksa oleh suaminya itu ke dalam istana dan menjadilah dia selir terkasih dari Kaisar Beng Ong!

Mantu sendiri dipaksa menjadi selirnya. Biar pun tidak ada yang berani menentang namun hal ini sudah menimbulkan perasaan tidak senang di hati para menteri setia, kecuali tentu saja, para menteri penjilat yang membenarkan tindakan kaisar untuk menyenangkan hati kaisar!

Kemudian apa yang dikhawatirkan oleh para menteri setia itu pun terjadilah. Kaisar Beng Ong benar-benar mabok dalam pelukan selir baru Yang Kui Hui. Dan ternyata sang selir yang cantik ini pun seorang yang haus akan kekuasaan dan sangat cerdik. Mulailah dia mempengaruhi kaisar dan mulailah pula dia mencampuri urusan pemerintahan sehingga banyak keputusan yang diambil kaisar sesuai dengan yang dikehendaki Yang Kui Hui!

Tidaklah mengherankan apa bila seorang kakak laki-laki dari selir itu, yang bernama Yang Kok Tiong, berkat bujukan Yang Kui Hui lalu diangkat sebagai seorang pejabat tinggi oleh Kaisar Beng Ong. Dan berkat kekuasaan Yang Kui Hui, sebentar saja Yang Kok Tiong sudah mempunyai pengaruh yang besar di antara para menteri, dan para menteri segan terhadap dia hanya karena dia adalah kakak Yang Kui Hui dan disayang oleh kaisar!

Walau pun usia Yang Kui Hui sudah tidak begitu muda lagi, sudah empat puluh tahun, namun dia masih cantik jelita dan nampak muda, bukan hanya muda di tubuh, akan tetapi juga muda di hati. Maka, setelah mendapat kekuasaan yang besar dan mempermainkan kaisar seperti anak-anak mempermainkan tanah liat, mulailah selir yang cantik ini merasa tidak puas dengan suaminya yang jauh lebih tua, yang kini telah hampir tujuh puluh tahun!

Mulailah matanya mengerling ke sana sini, lantas dia pun tertarik kepada seorang perwira yang muda dan gagah perkasa. Perwira itu bernama An Lu Shan yang sebetulnya bukan seorang Han pula.

An Lu Shan adalah keturunan Turki dari suku Khitan. Dia dilahirkan di luar Tembok Besar, yaitu di Liao-tung atau Mancuria Selatan. Ketika remaja dia bahkan menjadi budak belian, dan akhirnya sebagai budak belian dia jatuh ke tangan seorang perwira Han. Karena dia seorang yang cerdik dan berambisi, maka dia bekerja dengan rajin sambil belajar segala macam ilmu, terutama ilmu silat dan ilmu perang.

Akhirnya ia mendapat kesempatan untuk menunjukkan keberanian dalam pertempuran di mana dia menjadi prajurit sehingga sebentar saja dia mendapat kepercayaan dan menjadi perwira. Karena jasa-jasanya dalam membasmi atau memadamkan api pemberontakan yang terjadi di perbatasan utara, akhirnya dia dihadapkan kepada kaisar.

Ketika Yang Kui Hui melihat perwira muda ini, dia membisikkan rayuannya kepada kaisar supaya An Lu Shan diangkat menjadi seorang perwira istana. Kaisar menurut saja dan demikianlah, An Lu Shan menjadi seorang kepercayaan diistana, dekat dengan kaisar!

Dengan sendirinya perwira muda ini pun dekat dengan Yang Kui Hui dan segera tersiar desas-desus bahwa terjadi hubungan tak senonoh antara An Lu Shan dan selir kaisar itu. Namun dengan sangat cerdiknya Yang Kui Hui dapat mengatur siasat untuk menghadapi desas-desus itu. Berkat rayuannya, dia berhasil membujuk kaisar untuk mengangkat An Lu Shan sebagai seorang panglima besar yang memimpin pasukan besar di daerah utara, yaitu daerah Liao-tung tempat kelahirannya.

Dengan menyingkirkan panglima itu ke luar istana, dengan sendirinya desas-desus ini pun lenyap. Dan sebagai seorang panglima besar, apa lagi dia sudah diangkat anak oleh Yang Kui Hui dan diberi gelar Pangeran, maka bebaslah bagi panglima ini untuk sewaktu-waktu berkunjung ke kota raja, memasuki istana dan mengadakan hubungan dengan Yang Kui Hui setiap terbuka kesempatan bagi mereka.

Demikianlah sekelumit tentang keadaan Kerajaan Tang pada waktu kisah ini terjadi…..

********************
Selanjutnya baca
MESTIKA BURUNG HONG KEMALA : JILID-02
LihatTutupKomentar