Mestika Burung Hong Kemala Jilid 02
Pada suatu malam, Yang Kok Tiong, kakak dari selir kaisar yang sangat berkuasa itu duduk termenung di dalam kamarnya seperti orang yang sedang bersedih. Isterinya lalu datang menghampirinya dan dengan khawatir isterinya bertanya kenapa suaminya terlihat begitu muram.
"Suamiku, kenapa engkau nampak demikian murung? Bukankah sekarang engkau sudah memperoleh kedudukan tertinggi sebagai Menteri Utama? Semestinya kita bersyukur dan bergembira, bukan termenung dengan wajah murung."
Menteri Yang Kok Tiong, pria berusia lima puluh tahun itu, menghela napas panjang. "Ada dua hal yang membuat hatiku risau dan tidak pernah merasa puas. Yang pertama adalah anakmu, putera kita."
"Ehh? Kenapa dengan anak kita?" tanya isterinya sambil mengerutkan alisnya. "Dia anak tunggal yang amat baik, tampan, pandai dan cerdik, apa lagi kekurangannya?"
"Hemmm, apa gunanya semua ketampanan, kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) serta kecerdikannya itu jika dia tidak pernah mau memegang jabatan? Sampai lelah dan jengkel aku membujuknya untuk suka kuberi kedudukan agar dapat menanjak dan kelak menjadi orang penting, akan tetapi dia selalu menolak. Dia lebih senang berkeliaran. Huhh! Semua ini karena engkau terlalu memanjakannya!"
"Suamiku, kenapa engkau marah-marah? Cin Han masih terlampau muda, baru sembilan belas tahun usianya, maka tentu saja dia masih suka bermain-main dengan kawan-kawan sebayanya dan..."
"Itulah, engkau selalu membelanya dan memanjakannya! Sudahiah, jangan bicara tentang dia, hanya menjengkelkan saja. Ada hal lain lagi yang membuat hatiku risau bukan main dan semua ini gara-gara adikku Yang Kui Hui yang tidak tahu malu itu!"
Kembali isteri menteri itu terbelalak heran. "Aih, aih... suamiku, bagaimana engkau dapat berkata seperti itu? Untung di kamar ini hanya ada kita berdua. Kalau sampai terdengar oleh orang lain! Bagaimana engkau bisa memaki adikmu? Padahal engkau mendapatkan kedudukan sampai sekarang menjadi Menteri Utama, semua berkat jasa adikmu itu yang membujuk Kaisar, bukan?"
"Semua itu memang benar, akan tetapi sekarang dia membuat aku merasa sangat malu, juga khawatir sekali akan keselamatan Sribaginda Kaisar dan Kerajaan Tang."
"Ehhh...?" Isterinya memandang dengan muka berubah pucat. "Apa.. apakah yang sudah terjadi...?"
"An Lu Shan itu! Karena kegantengannya, dia berhasil mempengaruhi Yang Kui Hui!"
"Akan tetapi itu hanya desas-desus dan fitnah, bukan? Panglima An Lu Shan itu bahkan sudah diangkat menjadi anak oleh adikmu, dan bukankah hal itu sangat pantas mengingat jasa-jasa panglima itu dan mengingat pula bahwa dia pun masih mempunyai darah Khitan seperti juga engkau dan adikmu?"
"Kalau soal itu saja aku masih dapat menerima. Aku mengenal adikku, dan desas-desus itu bukan kosong. Aku pun tidak mau mencampuri. Yang membuat hatiku kesal adalah melihat betapa An Lu Shan kini mendapatkan kedudukan yang amat penting. Dia diangkat menjadi panglima besar yang memimpin pasukan besar di Liao-tung, juga dia mendapat kekuasaan untuk keluar masuk istana seenak perutnya sendiri!"
"Akan tetapi, suamiku. Apa salahnya dengan itu? Dia mendapatkan kekuasaan di bidang ketentaraan, sedangkan engkau juga mendapat kekuasaan besar di bidang pemerintahan, semua ini jasa adikmu. Apakah engkau... iri terhadap An Lu Shan?"
Disentuh kelemahannya, wajah menteri utama itu berubah menjadi merah. "Kau tahu apa? Dengan kedudukan itu, aku khawatir suatu saat An Lu Shan akan memberontak. Bahkan aku sudah menyebar banyak penyelidik dan menurut mereka ada gejala-gejala bahwa dia mempersiapkan kekuatan untuk melakukan pemberontakan."
"Ahhh...?!" Isterinya menjadi pucat dan tidak berani membantah lagi.
Pada esok harinya, Menteri Utara Yang Kok Tiong segera mengutarakan kecurigaannya terhadap An Lu Shan kepada Sribaginda Kaisar. "Hamba mohon agar paduka berhati-hati. Menghadapi An Lu Shan yang menguasai pasukan besar sekali di utara, seyogianya jika paduka juga mengadakan pengawasan yang ketat. Hamba mendengar bahwa An Lu Shan menyusun kekuatan besar di utara, bahkan menerima prajurit-prajurit baru dari kalangan rakyat. Hamba khawatir kalau-kalau dia memiliki itikad buruk terhadap Kerajaan paduka."
Menerima nasihat menteri utamanya itu, Kaisar Beng Ong pun merasa curiga juga. "Akan kami panggil dia, dan kalau benar dia hendak melakukan pemberontakan tentu akan kami hukum berat. Jika dia tidak datang memenuhi panggilan kami, berarti memang dia hendak memberontak, maka kita serbu dan hancurkan pasukannya."
Biar pun di dalam kamarnya kaisar dihibur dan dibujuk oleh Yang Kui Hui supaya jangan mencurigai An Lu Shan, tapi kaisar tetap memanggil datang An Lu Shan dari markasnya di perbatasan utara. Kecurigaan Yang Kok Tiong memang bukan tanpa dasar.
Di utara An Lu Shan sedang menyusun kekuatan dan memperbesar pasukannya dengan menerima pasukan bayaran dari rakyat berbagai suku di utara. Pada waktu dia menerima panggilan Kaisar dan dari mata-matanya dia mendengar bahwa dia dicurigai, dia menjadi bimbang. Tapi pada saat itu dia merasa belum kuat benar untuk memulai pemberontakan, maka dia bertekad hendak memenuhi panggilan karena hal ini pun merupakan bukti akan kesetiaannya terhadap kaisar.
Demikianlah, ketika An Lu Shan menghadap kaisar, para menteri, termasuk pula menteri utama Yang Kok Tiong, tercengang dan mereka pun merasa bimbang.
"An Lu Shan, kami mendengar bahwa engkau ingin melakukan pemberontakan terhadap kami. Benarkah itu?"
An Lu Shan memperlihatkan sikap kaget, mukanya berubah kemerahan lalu dia pun cepat memberi hormat sambil berlutut dan membentur-benturkan dahinya di lantai.
"Ampun, Sribaginda, ampun beribu ampun. Hamba betul-betul terkejut mendengar sabda paduka tadi. Hamba hendak memberontak? Hamba yang telah menerima anugerah yang berlimpah-limpah dari paduka, hamba yang sudah bersumpah setia sampai mati, dan rela mengorbankan nyawa hamba ini untuk membela paduka, hamba dituduh merencanakan pemberontakan? Sungguh hamba dapat mati penasaran, Sribaginda, dan hamba mohon penjelasan, mohon bukti dan saksi."
"An Lu Shan, kalau engkau tidak hendak memberontak, kenapa engkau malah menyusun kekuatan di utara, menambah besarnya pasukan dengan menerima prajurit-prajurit baru dari rakyat berbagai suku di perbatasan? Hayo jawab!"
"Ampunkan hamba, Sribaginda. Buktinya hamba datang menghadap paduka. Memenuhi panggilan saja telah menyatakan bahwa hamba adalah seorang hamba yang setia kepada paduka. Sedangkan tentang penyusunan kekuatan di utara itu pun hamba lakukan demi kesetiaan hamba terhadap paduka dan kerajaan paduka. Ancaman musuh yang terutama datang dari utara! Kalau sekarang hamba tidak menghimpun tenaga sampai hamba dapat memperoleh pasukan yang sangat kuat, bagaimana kerajaan paduka dapat membendung datangnya ancaman musuh dari utara? Lagi pula hamba sengaja menerima para pemuda berbagai suku di utara, hal itu untuk menjinakkan para suku liar itu agar mereka tidak ikut-ikutan menentang kerajaan paduka, melainkan membantu. Ahh, Sribaginda, kalau paduka masih menganggap hamba bersalah dan ingin melakukan pemberontakan, hamba hanya dapat menyerahkan jiwa raga hamba kepada paduka. Hamba siap dihukum mati biar pun arwah hamba pastilah menjadi arwah penasaran yang kelak akan selalu mengejar mereka yang melakukan fitnah atas diri hamba." Setelah berkata demikian, sambil membenturkan bahu di lantai panglima itu mencucurkan air mata.
Bukan hanya Kaisar, juga para menteri terkesan dan terharu oleh pembantahan diri An Lu Shan. Dan Sribaginda kaisar juga segera menghapus semua tuduhan kecurigaan, bahkan menjadi semakin percaya kepada An Lu Shan.
Panglima kembali ke utara dengan wajah berseri karena kemenangan itu, membawa pula hadiah dari kaisar yang merasa menyesal telah mencurigai An Lu Shan. Yang terpenting, selirnya tersayang kembali telah buktikan kebenarannya!
Sepulangnya dari menghadap kaisar dan melihat gagalnya rencana untuk menjatuhkan An Lu Shan, Menteri Yang Tiong pulang dengan wajah murung. Dia sendiri merasa bimbang apakah betul An Lu Shan hendak memberontak seperti yang dia khawatirkan berdasarkan laporan para mata-matanya. Alasan An Lu Shan demikian kuatnya.
Setibanya di rumah dia disambut oleh isterinya dan puteranya. Begitu melihat puteranya, hati menteri yang sedang risau dan kecewa itu menjadi terbakar oleh kemarahan.
"Cin Han, ke sini kau, aku hendak bicara!" bentaknya sambil memasuki ruangan sebelah dalam.
Cin Han memandang kepada ibunya yang mengangguk, lalu dia pun mengikuti ayahnya, maklum apa yang hendak dibicarakan ayahnya dan maklum pula bahwa ayahnya sedang marah kepadanya. Ibunya sudah memberi tahu kepadanya mengenai semua itu. Nyonya Yang tidak tega melihat puteranya akan dimarahi suaminya, maka ia pun ikut pula masuk dengan sikapnya yang tenang.
Yang Cin Han berusia sembilan belas tahun, bertubuh sedang dengan dada bidang dan tubuh yang tegak, sikapnya jantan tapi lembut seperti ibunya. Wajahnya berbentuk bulat, tampan dan bersih. Alisnya hitam tebal, hidungnya mancung diapit sepasang mata yang bersinar-sinar. Mulutnya yang selalu tersenyum itu sangat menyenangkan orang lain yang berhadapan dengannya. Dahinya yang lebar memperlihatkan bahwa dia seorang pemuda yang suka berpikir.
Biar pun usianya baru sembilan belas tahun, akan tetapi Cin Han sudah menguasai ilmu kesusasteraan yang cukup mendalam, sudah menghafal semua isi kitab Agama Buddha, banyak pula pengetahuannya tentang filsafat Agama To, serta pandai pula bermain yang-kim (siter) dan meniup suling. Di samping ilmu kesusasteraan dan agama, juga pemuda ini sejak kecil oleh ayahnya dipanggilkan guru-guru silat yang pandai.
Kedudukan ayahnya memungkinkan pemuda ini untuk mendapat guru-guru yang menjadi jagoan-jagoan istana sehingga setelah berusia sembilan belas tahun, Cin Han mempunyai ilmu silat yang tangguh. Tapi sikap dan pakaiannya tidak pernah menonjolkan kepandaian silatnya itu dan dia lebih nampak sebagai seorang pelajar.
Kini mereka telah duduk berhadapan, ayah dan anak itu. Cin Han duduk di pinggir, ibunya hanya menyaksikan saja, tidak ingin mencampuri bila suaminya tidak memarahi anaknya secara keterlaluan. Ruangan itu besar dan sunyi. Takkan ada seorang pun pelayan yang berani memasuki ruangan itu tanpa dipanggil.
Sesudah mereka saling berhadapan, duduk di kursi sambil saling tatap pandang beberapa lamanya, akhirnya Cin Han merasa tidak enak. Ia merasa agaknya ayahnya yang sedang marah itu menunggu dia bicara lebih dahulu.
"Ayah, keperluan apakah yang hendak ayah bicarakan denganku?"
"Cin Han, tahukah engkau berapa umurmu sekarang?"
"Kalau tidak keliru, bulan dua tahun depan umurku sudah dua puluh tahun, jadi sekarang sembilan belas tahun lebih, ayah," pemuda itu menjawab dengan sikap tenang dan wajah cerah, bibir terhias senyum.
“Jelas engkau bukan anak kecil lagi. Lalu kalau tidak sekarang, kapan lagi engkau akan bertindak dewasa? Engkau adalah anakku, putera seorang Menteri Utama dari Kerajaan besar! Apakah engkau hendak menjadi seorang pemuda pengangguran saja? Lihat, siapa itu An Lu Shan! Dahulu dia seorang budak belian, sekarang? Dia menjadi panglima besar yang mengepalai pasukan besar di perbatasan, dan ia mendapat kepercayaan penuh dari Sribaginda! Jika dari sekarang engkau tidak cepat mencari kedudukan, kelak engkau akan menjadi apa? Apakah engkau tidak ingin menjunjung tinggi nama keluarga Yang? Ingat, ayahmu ini hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu engkau!"
"Aihh, harap jangan main-main! Bukankah ada kedua adik Yang Kui An dan Yang Kui Bi?" Cin Han berkelakar, pura-pura tidak tahu apa yang dimaksudkan ayahnya.
Memang ayahnya memiliki tiga orang anak. Dia adalah anak tunggal dari isteri pertama, sedangkan Kui Lan dan Kui Bi anak dari dua orang ibu tirinya atau selir-selir ayahnya, dua orang adiknya itu yang kini sudah berusia tujuh belas dan enam belas tahun.
"Siapa yang main-main? Maksudku, engkau adalah putera tunggalku yang nantinya akan melanjutkan keturunan Yang! Mulai besok engkau harus mengikuti ujian negara. Aku akan mengatur agar engkau memperoleh kedudukan yang sepadan dengan kemampuanmu!"
Kini Cin Han bersikap sungguh-sungguh.
"Maaf, ayah. Terpaksa aku berani menolak apa yang ayah kehendaki. Ayah, biar pun aku telah mempelajari banyak ilmu, akan tetapi semua kepandaian itu hanya merupakan teori belaka. Aku ingin menghayatinya, melaksanakan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Aku ingin memperoleh pengalaman dulu karena tanpa pengalaman, bagaimana aku akan dapat menjadi seorang pejabat yang baik. Apakah ayah menghendaki kalau anak ayah ini kelak menjadi seorang pejabat yang hanya mampu menulis di belakang meja saja, hanya mampu tunjuk sana tunjuk sini, hanya mampu memerintah tanpa mampu melakukan apa pun? Bagaimana aku akan dapat menjadi seorang pemimpin yang baik kalau aku tidak mampu melakukan sendiri apa yang kuperintahkan?"
Yang Kok Tiong mengerutkan alisnya. Ucapan puteranya itu seolah-olah merupakan kritik kepada dirinya sendiri!
"Lalu apa maumu?!" bentaknya.
"Ayah, berilah waktu kepadaku barang dua tiga tahun. Aku hendak merantau, meluaskan pengalaman dulu sebelum aku menerima usul ayah untuk menjadi seorang pejabat."
"Merantau? Engkau ingin menjadi seorang petualang yang kerjanya berkeliaran ke sana sini, bergaul dengan segala macam orang kang-ouw, dan hidup sebagai rakyat jembel?"
"Ayah, justru bergaul dengan kalangan kang-ouw itulah yang akan membuat aku mengerti tentang segala keadaan di luar kota raja, dan bergaul dengan rakyat jelata bisa membuka mataku sehingga aku tahu apa saja yang diderita oleh rakyat, apa yang harus diperbaiki dan apa yang harus diubah demi kemakmuran rakyat. Tanpa terjun ke sana, bagaimana aku dapat merasakannya?"
"Sombong! Engkau anak durhaka...! Engkau tak boleh berkeliaran lagi, engkau harus mau menerima jabatan atau..."
Melihat suaminya marah-marah dan bangkit berdiri, Nyonya Yang segera ikut bangkit dan menghampirinya, memegang lengannya dan menyabarkannya.
"Sudahlah, tiada gunanya marah-marah didengar oleh para pelayan, menjadi kurang baik. Engkau kelelahan sehingga perlu beristirahat, marilah, nanti biar aku yang membujuk Cin Han," kata isteri bijaksana itu lantas dia menggandeng tangan suaminya, diajak masuk ke kamar mereka.....
Cin Han duduk termenung, alisnya yang tebal berkerut. Dia sudah cukup dewasa, dan dia sudah banyak mendengar tentang keadaan dalam istana, tentang kaisar, tentang bibinya yang menjadi selir terkasih Sribaginda, mengenai desas-desus hubungan bibinya dengan Panglima An Lu Shan.
Dia melihat kenyataan betapa banyaknya penjilat kaisar, alangkah banyaknya pembesar-pembesar yang sesungguhnya tidak becus apa-apa, tetapi memperoleh kedudukan tinggi karena ada main dengan para pejabat lainnya. Bahkan dia pun melihat kenyataan tentang ayahnya.
Dia tahu bahwa sebenarnya ayahnya tidak tepat menjadi Menteri Utama. Ayahnya tidak memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Akan tetapi karena ayahnya kakak dari Yang Kui Hui, maka Sribaginda Kaisar kemudian mengangkat ayahnya menjadi Menteri Utama. Jabatan yang didapat bukan karena keahlian, namun karena bujukan dan rayuan bibinya. Jabatan anugerah!
Dia muak melihat semua itu. Dia akan lebih senang andai kata ayahnya itu mendapatkan jabatan yang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Misalnya menjadi lurah dusun, atau camat paling tinggi! Akan tetapi bukan Menteri Utama! Dia malu kepada diri sendiri karena pengetahuannya ini.
Karena bagaimana juga, yang memarahinya adalah ayahnya, dan dia tahu betapa ibunya amat mencinta ayahnya dan ibunya akan ikut bersedih kalau ayahnya marah-marah, Cin Han akhirnya bangkit dari tempat duduknya dengan lesu. Dia segera menuju ke belakang gedung yang besar itu, memasuki taman keluarga yang indah dan cukup luas. Di tengah taman itu terdapat sebuah pondok tempat istirahat dan dia selalu ke sana apa bila hatinya sedang gundah. Juga di dekat pondok itu terdapat lapangan rumput yang luas di mana dia sering berlatih silat.
Dari jauh dia sudah melihat dua orang adiknya sedang berlatih silat. Wajah tampan yang tadinya agak muram karena memikirkan perselisihannya dengan ayahnya itu tiba-tiba saja menjadi cerah, berseri-seri dan Cin Han mempercepat langkahnya. Dia amat menyayang dua orang adik tirinya, teman bermainnya sejak kecil. Juga mereka berdua amat sayang kepadanya.
Karena tak ingin mengganggu dua orang gadis yang sedang berlatih, dia pun menyelinap dan mengintai di balik pondok, menonton kedua orang gadis remaja yang sedang berlatih silat pedang di lapangan rumput itu. Dan dia pun tertegun!
Dua orang adiknya itu sedang berlatih ilmu pedang yang sangat aneh, yang sama sekali tidak dikenalnya dan baru sekali ini dia melihat ilmu pedang itu. Bahkan baru kemarin dia berlatih pedang dengan kedua adiknya, namun mereka sama sekali tidak membicarakan tentang ilmu pedang baru itu, apa lagi memainkannya. Dan melihat gerakan mereka, dia yakin bahwa ilmu itu bukan ilmu yang baru saja dilatih. Tentu sudah lama mereka melatih ilmu pedang itu, dengan diam-diam dan di luar tahunya.
Dia menonton sambil memperhatikan. Dia kagum bukan main. Ilmu pedang itu memang sangat hebat. Dasar kuda-kuda serta perubahan geseran kaki mereka begitu kokoh kuat, menopang ilmu pedang yang tangguh. Gerakan pedang itu pun mantap dan selain cepat juga memiliki perubahan yang luar biasa dan tidak terduga-duga.
Aneh sekali ilmu pedang itu. Akan tetapi lebih aneh lagi adalah kenyataan betapa mereka menyembunyikan ilmu itu darinya. Tentu ini ada apa-apanya, karena kedua orang adiknya ini selamanya belum pernah menyembunyikan sesuatu darinya. Ia pun tak ingin membuat mereka terkejut, lalu menanti sampai mereka selesai berlatih barulah dia muncul dari balik pondok.
"Aihh, Han-toako!" seru gadis yang lebih besar.
"Han-toako, kenapa engkau baru muncul? Ke mana saja engkau sejak tadi? Aku dengar ayah marah-marah kepadamu. ya? Ayah ingin engkau segera menjadi seorang pembesar, ya?” kata yang lebih kecil.
Cin Han tersenyum lebar dan menghampiri kedua orang gadis itu. Mereka adalah gadis-gadis yang sehat dan jelita, membuat dia bangga memandang mereka. Yang lebih besar, Yang Kui Lan, mempunyai wajah yang menurut ibunya, mirip dengan wajahnya, atau lebih tepatnya, wajah mereka mirip dengan wajah bibi mereka, Yang Kui Hui yang cantik jelita. Karena itu Kui Lan amat cantik jelita, seperti bibi mereka.
Tubuhnya tinggi ramping, wajahnya cantik dengan dagu meruncing. Matanya mempunyai kerling tajam dan tahi lalat kecil pada dagu kiri menambah kemanisannya. Mulutnya indah, hidungnya mancung. Seraut wajah yang jelita.
Wataknya pendiam, anggun dan agung seperti seorang puteri istana. Sungguh pantas dia menjadi puteri Menteri Utama karena setiap gerak-geriknya dan pembawaannya demikian agung seperti seorang puteri bangsawan tinggi.
Sungguh jauh bedanya dengan Kui Bi, adiknya yang masih berusia enam belas tahun itu. Adiknya ini mirip ibu kandung gadis itu. Tubuhnya kecil mungil, dengan wajah manis dan rambut hitam subur, matanya seperti sepasang bintang yang selalu tersenyum. Mata itu lebih nampak senyumnya dibandingkan bibirnya yang merah basah. Sepasang mata yang jenaka!
Pembawaannya lincah dan manja, pandai bicara, dan sama sekali tidak pendiam seperti enci tirinya. Gadis ini memang amat cerdik dan lincah, pandai bergaul sehingga disayang oleh semua keluarga.
Cin Han tak merasa heran mendengar Kui Bi mengetahui persoalannya dengan ayahnya. Memang telah lama ayahnya selalu membujuknya supaya dia mau menjadi pejabat. Akan tetapi tentu kedua orang adiknya itu tidak tahu apa yang baru saja terjadi antara dia dan ayahnya.
Dia membelokkan arah percakapan, kemudian sambil mengamati kedua orang gadis yang sekarang menggunakan sapu tangan untuk menyusut keringat yang membasahi leher dan muka mereka, dia bertanya.
"Lan-moi (adik Lan) dan Bi-moi (adik Bi), ilmu pedang apakah yang kalian latih tadi?"
Dua orang gadis itu nampak terkejut, saling pandang dan Kui Lan tak mampu menjawab, hanya diam saja. Kui Bi tersenyum dan berpura-pura heran.
"Aihh, mengapa masih bertanya, Han-ko. Kami berlatih ilmu pedang biasa, Thian-te Kiam-hoat (Ilmu Pedang Langit Bumi) yang sudah kita pelajari bersama, bahkan engkau sering memberi petunjuk kepada kami."
Cin Han mengerutkan alisnya dan memandang kepada adiknya dengan alis berkerut. "Bi-moi, sejak kapan engkau belajar berbohong? Kau kira begitu mudah engkau membohongi aku? Sudah sejak tadi aku menonton kalian berlatih ilmu pedang itu dan aku tahu bahwa itu adalah ilmu pedang aneh dan dahsyat yang sama sekali tidak kukenal. Nah, masihkah kalian tidak mau berterus terang kepada kakak kalian sendiri?"
"Maafkan kami, koko...," kata Kui Lan.
"Tidak perlu minta maaf, ceritakan saja dari mana kalian mempelajari ilmu pedang itu dan apa namanya," kata Cin Han dengan suara tegas dan menuntut.
"Hi-hik, Lan-ci (kakak Lan), aku berani bertaruh bahwa Han-ko baru saja mendapat marah besar dari ayah!" kata Kui Bi sambil tertawa-tawa sehingga nampak deretan giginya yang mengkilap rapi.
"Hemm, dari mana kau tahu?"
"Itu hal yang mudah saja, koko. Engkau dimarahi ayah, tetapi tidak berani membalas dan untuk melampiaskan kedongkolanmu, engkau memarahi kami. Belum pernah kita melihat Han-ko marah-marah kepada kita, bukan, Lan-ci?"
Cin Han memandang dengan sungguh-sungguh. "Terlepas dari soal marah atau tidak, aku sungguh ingin tahu sekali. Ilmu pedang kalian tadi memang amat hebat. Dari siapa kalian mempelajarinya?"
Kembali dua orang kakak beradik itu saling pandang, kemudian Kui Lan menghela napas dan berkata kepada adiknya,
"Bi-moi, tak ada salahnya bila kita berterus terang saja kepada Han-ko. Kau ceritakanlah kepadanya apa adanya, Bi-moi."
Mendengar ucapan encinya, Kui Bi tidak bimbang lagi. "Begini, Han-ko, bukan kami tidak mau berterus terang kepadamu, akan tetapi sesungguhnya, orang yang mengajarkan ilmu pedang ini kepada kami memesan agar kami tidak menceritakan kepada orang lain..."
"Akan tetapi aku bukan orang lain, Bi-moi! Kalau tidak kau ceritakan padaku, akan kuberi tahu ayah bahwa kalian menyembunyikan sebuah rahasia dan kalian tentu akan dipaksa mengaku dan mendapat kemarahan besar." Cin Han mengancam.
"Baiklah, Han-ko, kami ceritakan, tapi engkau harus berjanji tidak akan menceritakannya kepada orang lain," kini Kui Lan berkata.
Cin Han mengangkat kedua tangan ke atas. "Baik, aku berjanji. Nah, sekarang ceritakan kepadaku."
"Peristiwanya terjadi tiga bulan yang lampau, koko," Kui Bi mulai bercerita. "Kami berdua sedang dalam perjalanan pulang dari kuil di mana kami biasa bersembahyang. Di depan kuil itu, sebelum kami naik joli, kami melihat seorang kakek pengemis duduk melenggut. Kami merasa kasihan sekali kepada kakek jembel itu, karena itu kami lalu mengambil dua keping uang emas dan kami berikan kepadanya."
"Kalian memberi sedekah dua keping uang emas kepada seorang pengemis? Luar biasa sekali! Kalian terlampau royal!" Cin Han berseru heran. Mana ada orang memberi sedekah dengan kepingan emas kepada seorang pengemis?
"Memang luar biasa, koko, dan kami berdua pun merasa heran mengapa mendadak kami merasa iba kepadanya. Akan tetapi akibat perbuatan kami itu pun luar biasa, koko!" kata Kui Bi.
"Ehh, Bi-moi, apa hubungannya urusan pengemis itu dengan ilmu pedang kalian? Jangan mencoba mengibuli aku!"
"Aihh, engkau sungguh tidak sabar, koko. Jelas ada hubungannya! Dengarkan saja," sela Kui Bi. "Empat hari kemudian, ketika pada suatu pagi kami berdua sedang berlatih ilmu pedang, tiba-tiba saja terdengar suara orang yang mencela gerakan kami sambil memberi petunjuk. Tentu saja kami merasa terkejut dan penasaran, tetapi petunjuknya itu memang tepat sekali. Anehnya, suara itu tidak ada orangnya. Baru ketika kami minta kepada suara itu agar suka memperlihatkan diri kalau dia benar seorang manusia, tiba-tiba saja muncul seorang kakek yang bukan lain adalah kakek jembel depan kuil itu!"
Kisah itu mulai menarik sehingga Cin Han terbelalak.
"Lalu bagaimana, Bi-moi? Lanjutkan, lanjutkan...!"
Bibir yang merah basah itu merekah dalam senyum yang menggoda.
"Akan aku lanjutkan, akan tetapi berjanjilah dahulu bahwa lain kali engkau tak akan galak kepadaku, dan akan selalu bersikap manis sebagai seorang kakak yang baik. Berjanjilah!" Gadis ini memang nakal dan suka menggoda, lagi manja.
"Baiklah, baiklah... aku berjanji. Tapi cepat lanjutkan, lalu bagaimana? Apakah pengemis itu muncul di sini, di taman ini?"
"Benar, dia lalu muncul, tapi bukan seperti engkau tadi yang bersembunyi di balik pondok. Dia melayang turun dari atas pondok seperti burung saja. Kami terkejut dan bertanya apa maunya dan bagaimana dia dapat memasuki taman. Dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa dia datang untuk membalas budi kami. Kemudian dia pun mulai mengajarkan ilmu pedang itu kepada kami dengan janji bahwa kami tidak akan menceritakan kepada orang lain..."
"Tapi aku bukan orang lain, aku adalah kakak kalian yang baik dan tersayang. Nah, lekas lanjutkan lagi!" kata Cin Han tak sabar. "Siapa nama orang itu, apa nama ilmu pedang itu dan berapa lama dia mengajarkan kepada kalian, apakah dia masih suka datang ke sini dan...!”
"Aihh…, repot juga aku menghadapi serangan pertanyaanmu yang banyaknya seribu satu macam itu, koko! Dia tidak mau memperkenalkan namanya, juga tidak suka kami sebut sebagai guru. Dia hanya ingin membalas budi. Ilmu pedang itu dia sebut Sian-li Kiam-sut (ilmu Pedang Dewi) yang katanya amat cocok untuk kami. Tadinya dia datang setiap hari sampai kurang lebih sebulan, kemudian dia mengatakan bahwa kami sudah mempelajari semua teorinya, hanya tinggal berlatih berdua saja dan dia tidak pernah datang lagi. "
"Dan selama sebulan itu, dia datang ke sini dan pergi tanpa dilihat orang lain?"
"Agaknya tak ada yang melihatnya kecuali kami berdua, Han-ko," kata Kui Lan, "Memang dia memiliki gerakan yang cepat luar biasa, datang dan pergi hanya nampak bayangannya berkelebat."
"Luar biasa! Sungguh luar biasa!" seru Cin Han. "Bagaimana orangnya, sikapnya, bentuk badannya, wajahnya, kepandaiannya?" Kembali dia menghujankan pertanyaan, membuat Kui Bi terkekeh.
"Wah-wah, engkau serakah sekali, koko. Tadi engkau hanya berjanji satu, akan tetapi kini minta banyak sekali. Nah, aku akan menceritakan bagaimana keadaan orang itu, tetapi engkau harus berjanji bahwa nanti engkau juga akan menceritakan tentang ayah, apakah engkau tadi dimarahi ayah dan mengapa dimarahi? Maukah engkau berjanji?"
"Baiklah, baiklah, engkau rewel sekali, Bi-moi. Hayo katakan, bagaimana keadaan orang itu?"
"Orangnya berusia kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya kurus kering dan bongkok, mirip seperti ebi..."
"Ebi?"
"Ya, udang kering itu lho! Rambutnya dibiarkan riap-riapan dan sudah banyak ubannya, ada pun pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi bersih, dan mukanya seperti... seperti... monyet."
"Bi-moi!" Kui Lan menegur adiknya. "Bagaimana juga dia itu guru kita, bagaimana engkau dapat mengatainya seperti itu?"
"Aih, enci. Aku tidak bermaksud hendak menghinanya, akan tetapi bagaimana pula harus menerangkan kepada Han-koko. Kita harus jujur, enci. Bukankah memang mukanya mirip muka seekor monyet? Coba engkau yang menggambarkan, bagaimana bentuk wajahnya agar Han-koko mengerti, enci Lan."
"Sudahlah, aku tidak tahu. Keteranganmu tadi telah cukup, hanya yang kutahu, dia selalu membawa sebatang tongkat."
"Ahh, benar! Han-ko, orang itu selalu membawa sebatang tongkat hitam yang panjangnya sedepa, kadang dia selipkan di pinggang. Nah, sekarang kau ceritakan tentang ayah dan engkau, Han-ko."
Ditanya demikian, kegembiraan dan ketegangan mendengar tentang pengemis itu seperti tersapu dari wajah Cin Han. Wajahnya berubah agak muram, lantas dia pun duduk di atas bangku yang terdapat di situ, lalu termenung dan menghela napas berulang kali.
"Ihh! Bagaimana ini, Han-ko? Kalau ceritamu hanya helaan napas panjang saja, tak perlu aku mendengarnya. Aku sendiri pun mampu dan pandai kalau hanya menghela napas!" Kui Bi bersungut-sungut.
Sikap adiknya ini sedikit banyak mengurangi tekanan batin yang di derita Cin Han dan dia pun tersenyum.
"Ayah memang marah-marah kepadaku. Seperti biasa, ayah hendak memaksa aku untuk menjadi pejabat, tapi aku menolak dan aku mengatakan bahwa aku ingin pergi merantau selama dua tiga tahun dulu untuk mencari pengalaman."
"Wah, bagus! Tentu menyenangkan sekali! Aku ikut, Han-koko!" teriak Kui Bi dengan hati gembira sehingga suaranya seperti orang bersorak.
"Hushh, Bi-moi, lupakah engkau bahwa engkau seorang wanita?" Kui Lan menegurnya.
Kui Bi membalikkan tubuh menghadapi enci-nya. "Kalau aku wanita, lalu mengapa, enci? Wanita pun manusia seperti Han-koko, bukan? Dan aku pun ingin mencari pengalaman, merantau bersama Han-ko. Aku pun sudah mampu menjaga dan membela diri, bukankah begitu, koko?" Dengan manja Kui Bi memegang tangan kakaknya. "Han-ko, aku boleh ikut denganmu pergi merantau, bukan? Boleh kan, koko yang baik"
Cin Han tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya. "Aihh, Bi-moi, engkau ini seperti anak kecil saja. Sedangkan aku sendiri begitu memberi tahu ayah bahwa aku akan pergi merantau, ayah sudah marah bukan main dan melarangku, apa lagi kalau dia mendengar engkau akan ikut pergi. Tentu kemarahannya akan memuncak.”
"Jadi... kalau begitu, engkau tidak jadi pergi merantau?" tanya Kui Bi kecewa. Kakaknya menggelengkan kepala dan menghela napas panjang.
"Entah, Bi-moi. Aku masih bingung, belum dapat mengambil keputusan. Kalau aku pergi, tentu ibu akan berduka karena ayah marah. Dan engkau sendiri, jangan harap engkau dapat pergi, tentu ayah akan melarang keras."
Kui Bi menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Dia bertopang dagu, alisnya berkerut dan nampak giginya yang rapi putih Itu menggigit-gigit bibir bawah, tanda bahwa hatinya kesal dan jengkel.
"Sudahlah, Bi-moi, jangan macam-macam. Kita ini wanita, tak mungkin ayah mengijinkan kita pergi merantau. Han-ko yang laki-laki pun tidak diperkenankan, apa lagi kita."
"Wah, aku sudah tahu! Ya, hanya itulah jalan satu-satunya!” tiba-tiba saja Kui Bi meloncat bangun, mengejutkan kedua orang kakaknya, dan Kui Bi kembali memegang tangan Cin Han, mengguncang-guncangnya sambil berkata, "Han-ko, engkau harus menolong kami sekali ini! Engkau harus menolong kami agar kami diperkenankan ayah untuk keluar dari rumah, dari kota raja!"
"Ehh? Bagaimana pula ini? Yang akan merantau adalah aku, bukan kalian!" kata Cin Han.
"Tentu saja. Engkau pergilah merantau, koko. Engkau pergi tanpa pamit alias minggat. Nah, tentu ayah dan para ibu bingung, lalu aku dan enci Lan akan menghadap ayah, dan mengusulkan agar kami diperkenankan pergi mengejar dan mencarimu sampai dapat, lalu memaksamu untuk pulang! Dengan demikian ayah tentu akan mengijinkan dan berarti kita bertiga semua pergi merantau! Asyiiik…!"
Mau tidak mau Cin Han tertawa melihat adiknya yang manis itu menari-nari gembira. Juga Kui Lan yang amat mencinta adiknya ikut tersenyum.
"Ihh, engkau menganggap segala hal dapat dilaksanakan dengan mudah saja, Bi-moi."
"Apa sih sulitnya? Kalau Han-ko minggat pada malam hari, siapa yang akan menghalangi dia? Pada keesokkan harinya kita baru menghadap ayah dan menyatakan akan mengejar Han-ko sampai dapat. Serahkan saja kepadaku untuk membujuk ayah, pasti berhasil!"
"Terserah kepada Han-ko, kita tak bisa memaksanya," kata pula Kui Lan sambil menoleh kepada pemuda itu. Kui Bi juga memandang dan nampak pemuda itu kembali menghela napas panjang.
"Hal ini akan kupertimbangkan dulu," katanya, kemudian dia pun meninggalkan taman itu bersama dua orang adiknya yang akan pergi mandi…..
********************
Cin Han berjalan santai di jalan raya depan kuil itu. Di depan kuil, di kanan kiri, memang nampak banyak pengemis yang menanti para tamu keluar dari kuil untuk minta sedekah. Biasanya orang yang memasuki kuil tentu untuk bersembahyang dan memohon sesuatu, dan orang-orang seperti itulah yang biasanya suka memberi sedekah kepada pengemis.
Suatu kekeliruan besar telah kita perbuat, semenjak sejarah kehidupan manusia dimulai sampai sekarang, yaitu menjadi peminta-minta. Mungkin caranya saja yang berubah dan berbeda-beda, namun pada hakekatnya tetap saja kita minta-minta, atau mengemis.
Kepada Tuhan, kepada para dewa, kepada arwah leluhur, bahkan kepada setan dan iblis kita selalu menadahkan tangan untuk meminta-minta, untuk memohon sesuatu! Yang kita lakukan dalam sembahyang selalu berisi penuh permintaan, permohonan!
Dan dalam keadaan memohon sesuatu itu masih kita sogok lagi dengan perbuatan yang dianggap baik, seperti beramal, memberi sedekah, menolong orang, semuanya itu untuk memperkuat doa kita agar permohonan kita bisa terkabul! Masih dapat dimengerti kalau permintaan dengan segala macam bentuk sogokan itu ditujukan kepada para dewa, atau kepada arwah, atau kepada segala macam setan dan iblis, karena mereka itu memang mungkin masih membutuhkan sogokan. Akan tetapi kalau segala macam permintaan itu ditujukan kepada Tuhan Maha Pencipta, sungguh hal ini patut kita renungkan bersama.
Tuhan Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Kasih! Tuhan sudah menciptakan segala sesuatu dalam keadaan sempurna! Kita pun diciptakan ke dunia ini dalam keadaan yang sangat sempurna, disertai segala macam alat yang paling lengkap untuk bisa hidup. Setiap helai rambut, setiap lubang pori-pori, kuku, gigi, setiap lekukan jari-jari, bulu mata, alis, panca indera, hati akal pikiran, lengkap dengan segala macam yang ada pada diri kita luar dan dalam, semua itu mempunyai daya guna untuk dapat kita pergunakan demi kepentingan kehidupan di dunia ini. Sudah diberi sejak lahir secara lengkap.
Berkah Tuhan juga berlimpah. Kita diberi tanah, udara, panas matahari, air, semua yang diperlukan untuk kehidupan. Tanam-tanaman yang akan menjadi makanan kita sampai ke benih segala macam tumbuh-tumbuhan yang jutaan macam banyaknya. Ada pula jutaan macam binatang yang dagingnya dapat pula menjadi makanan kita. Segalanya sudah tersedia, TINGGAL MENGERJAKAN saja. Namun kita masih saja minta-minta!
Sepatutnya dalam sembahyang itu kita berbakti, kita memuja, kita bersyukur, berterima kasih sebab segalanya telah disediakan Tuhan bagi kita. Kita hanya tinggal mengerjakan segala yang ada pada kita, mengerjakan anggota badan kita, hati akal pikiran kita, demi mencukupi kebutuhan hidup kita. Demikian Maha Kasih Tuhan sehingga di dalam segala macam tumbuh-tumbuhan itu sudah terdapat bagian-bagian yang dapat mengenyangkan, yang dapat menguatkan, bahkan ada pula yang dapat menyembuhkan kita bila mana kita terserang penyakit.
Hidup ini berarti gerak. Siapa yang tidak menggerakkan dirinya untuk bekerja tentu akan terjadi gangguan pada dirinya. Bekerja, menggunakan segala sarana yang telah diberikan Tuhan untuk kita, berarti kita tidak menyia-nyiakan pemberian Tuhan. Tidak mau bekerja berarti bahwa kita telah berdosa. Mengerjakan segala sarana yang sudah diberikan Tuhan kepada kita berarti berbakti dan memuja kepada Sang Maha Pencipta. Karena itu tidak ada gunanya memohon tanpa bekerja. Bila kita lapar maka kita harus mencari makanan sendiri, bukan minta makanan kepada Tuhan!
Demikianlah pula kalau kita sakit, kita harus berusaha mencari obatnya. Segala apa pun yang kita butuhkan, harus kita cari sendiri. Itulah kewajiban manusia dalam kehidupan di dunia ini. Berikhtiar supaya hidup ini terpenuhi semua kebutuhannya, kemudian berikhtiar supaya hidup ini terisi dengan manfaat bagi manusia lain. Ikhtiar adalah wajib, dan tanpa mau berikhtiar, hanya memohon dan mengandalkan kepada Tuhan saja, sama dengan mempersekutukan Tuhan, membebani Tuhan dengan berbagai pekerjaan demi keenakan kita! Betapa besar dosanya kalau sikap ini kita pertahankan!
Sembahyang kepada Tuhan merupakan kewajiban, yakni kewajiban kita untuk berbakti, bersyukur dan berterima kasih. Tuhan Maha Tahu! Tidak usah kita minta, Tuhan sudah tahu apa yang kita butuhkan, dan sudah disediakan segalanya, pasti akan kita dapatkan dengan jalan berikhtiar, dengan berlandaskan iman dan kepasrahan kepada Tuhan yang menentukan segalanya. Puji syukur kepada Tuhan!
Kalau pun ada suatu permohonan atau suatu permintaan, maka sepatutnya kalau satu-satunya permohonan kita adalah memohon ampun atas segala kesalahan kita yang lalu. Dengan penyerahan sepenuhnya kepadaNya, pasrah, tawakal, ikhlas, sabar, maka kita akan mendapatkan bimbinganNya. Bukan dengan cara minta-minta, apa lagi menyogok!
Perbuatan baik yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh balas jasa, bukan lagi perbuatan baik namanya tetapi kepalsuan. Sama seperti bila kita berbuat baik terhadap seorang pembesar dengan harapan agar kelak pembesar itu akan memberi kemudahan bagi kita! Perbuatan baik seperti itu bukan lain hanyalah perbuatan menyogok, menyuap.
Akhirnya Cin Han menemukan apa yang dicarinya pada pagi hari itu. Kakek pengemis itu terlihat duduk melenggut di sudut pekarangan kuil. Kakek ini tidak meratap meminta-minta kepada orang-orang yang berlalu-lalang di depannya seperti para pengemis lain, bahkan dia melenggut dan mengantuk.
Sepasang matanya terpejam, bagian atas rambutnya yang riap-riapan kelabu itu menutupi ubun-ubun kepalanya, dilindungi oleh sebuah topi butut yang berbentuk seperti tempurung kelapa. Ketika dia melingkar di sudut itu, tubuhnya yang kurus memang mirip seperti ebi, seperti udang kering.
Yang membedakan dia dari para pengemis lain bukan hanya karena dia tidak merengek dan mengemis, akan tetapi kebersihan pada dirinya, baik pada rambutnya, pakaian serta mukanya. Bajunya memang butut dan tambal-tambalan, akan tetapi bersih! Dan sebatang tongkat hitam terletak di atas ke dua pahanya.
Jelas inilah orangnya, pikir Cin Han terheran-heran. Orang seperti ini mempunyai ilmu silat yang amat tinggi? Sungguh amat sukar dipercaya. Melihat tubuhnya yang kerempeng itu, agaknya tertiup angin sedikit keras pun dia akan terpelanting! Sungguh berbeda dengan guru-gurunya, para jagoan istana yang hampir semuanya bertubuh kokoh kuat.
Tetapi dari para gurunya itu dia sudah mendengar pula bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak orang aneh, orang-orang yang nampaknya amat lemah namun justru mempunyai kesaktian. Karena itu dia tidak berani memandang rendah, apa lagi setelah teringat akan cerita Kui Bi.
Cin Han mengambil sepotong emas dari sakunya. Emas itu sedikitnya satu tail beratnya, puluhan kali lebih banyak dari pada keping emas yang pernah diberikan Kui Lan dan Kui Bi kepada kakek ini. Setelah melihat ke kanan kiri dan tidak ada seorang pun yang melihat apa yang diperbuatnya, Cin Han menghampiri kakek itu lalu meletakkan sepotong emas itu ke dalam tangan kakek itu, menekankan emas itu di telapak tangannya sambil berkata,
"Kakek yang baik, terimalah sedekahku ini!"
Kakek itu membuka matanya, dan setelah Cin Han melihat bahwa kakek itu memandang kepadanya, dia mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah pergi. Tanpa menoleh Cin Han pergi menuju ke timur dan keluar dari pintu gerbang kota raja. Ia lalu memilih tempat yang sangat sunyi, yaitu di pinggir Sungai Wei, sungai yang mengalir di tepi kota raja dan mengalir ke arah timur kemudian menjadi anak Sungai Kuning.
Di pinggir sungai itu dia duduk termenung. Dia merasa yakin bahwa kakek sakti itu pasti terpikat dan akan menemuinya di tempat itu, seperti dia menemui kedua orang adiknya yang telah memberinya hanya dua keping uang emas.
Apa yang diduga dan diharapkannya kemudian terbukti benar. Belum setengah jam dia duduk di tepi sungai yang lebar dan airnya tenang itu, terdengar suara orang batuk-batuk di belakangnya. Dia cepat menoleh dan melihat kakek tadi sudah berdiri di situ, tubuhnya bungkuk dan dia berdiri bertopang pada tongkat hitamnya, sepasang matanya yang sipit itu mengamatinya, mulutnya menyeringai seperti orang mengejek.....
Cin Han segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. Melihat ini, kakek itu tampak terheran-heran dan mencoba untuk membelalakkan sepasang matanya yang sipit. Akan tetapi sia-sia! Karena mata itu terlalu sipit, ketika coba dibelalakkan malah menjadi semakin terpejam!
"Ahh, kongcu, apa yang kau lakukan ini?" katanya.
"Locianpwe, aku Yang Cin Han menghaturkan hormat kepada locianpwe," kata Cin Han dengan sikap hormat.
Kakek itu mengeluarkan suara tawa aneh dan mulutnya menyeringai. "Heh-heh-heh, apa engkau sudah gila? Tadi sepotong emasmu terjatuh ke tanganku ketika engkau lewat, dan sekarang engkau memberi hormat secara berlebihan kepadaku. Nah, kau terima kembali emasmu ini, kongcu."
"Locianpwe, emas itu memang sengaja kuberikan kepadamu sebagai sedekah," kata Cin Han tegas.
"Ehh?! Memberi sedekah sebanyak ini? Apa maksudmu memberi sedekah emas sebesar ini?"
"Locianpwe, memang aku memberikan emas itu untukmu dengan maksud agar locianpwe suka mengajarkan ilmu kepadaku. Aku sudah tahu bahwa locianpwe adalah seorang ahli silat yang pandai., maka aku mohon supaya locianpwe suka mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepadaku."
"Hemmm, orang muda. Kau kira ilmu dapat dibeli dengan emas? Biar kau sediakan emas yang banyaknya seribu kali ini, engkau tidak akan dapat memaksa aku mengajarkan ilmu kepadamu!" Suara kakek itu mengandung teguran. "Biar pun engkau putera menteri, kaya raya, namun tidak akan dapat memaksaku mengajarkan ilmu kepadamu."
Mendengar ini, Cin Han mengerutkan alisnya. "Akan tetapi locianpwe telah menerima dua keping emas dari kedua orang adikku dan locianpwe sudah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada mereka! Bila sekarang aku memberi sepotong emas kepada locianpwe dan minta supaya locianpwe suka mengajarkan ilmu silat kepadaku seperti yang locianpwe lakukan kepada dua orang adikku, salahkah itu?"
Kakek itu tertawa. "He-heh-heh, orang.muda. Kau kira aku mengajarkan silat kepada dua orang nona itu karena mereka sudah memberi uang emas kepadaku? Sama sekali tidak! Aku mengajarkan silat kepada mereka bukan karena emas itu, tetapi karena budi mereka. Hemm, emasnya memang sama, akan tetapi dasar yang mendorong pemberian itu yang sama sekali berbeda. Mereka memberikan emas kepadaku terdorong oleh perasaan iba sehingga mereka memberi tanpa pamrih karena merasa kasihan. Tapi sebaliknya engkau memberi emas kepadaku karena terdorong keinginanmu untuk bisa mempelajari ilmu silat dariku. Berarti kau hendak menyogokku, hendak membeli ilmuku. Tidak mungkin aku mau mengajarimu!" Berkata demikian, kakek itu menjatuhkan sepotong emas tadi ke hadapan Cin Han yang masih berlutut.
"Kalau begitu, locianpwe bersikap tidak adil! Sama sekali tidak adil!" kata Cin Han yang melihat betapa kedua kaki orang itu sudah diputar dan agaknya hendak meninggalkan dia yang masih berlutut. Dia merasa matanya seperti menjuling dan mendelik, tapi tetap saja dia tidak dapat melihat kakek itu. Celaka, dia benar-benar pergi!
Sungguh kakek yang keras hati, pikirnya. Akan tetapi, kalau perlu dia pun dapat berkeras hati, pikirnya lagi. Dia sudah berjanji akan berlutut terus. Biarlah dia berlutut terus sampai kakek itu datang kembali atau sampai dia jatuh pingsan, biar orang lain yang mengangkat dan membangunkannya. Yang jelas, dia tidak akan bangun.
Malu rasanya bila melanggar janji sendiri. Biar pun dia tidak diajar silat, yang jelas sudah mendapatkan satu pelajaran dari kakek itu, yaitu harga diri! Kakek itu tidak mau menjual ilmunya meski pun diberi emas satu ton. Dia pun sudah berjanji, takkan melanggarnya. Ini namanya harga diri!
Dapatlah dibayangkan betapa lelahnya tubuh, terutama pada kedua kaki dan paling parah di bagian lutut, kalau orang berlutut terus sejak pagi sampai sore, bahkan sampai malam gelap tiba. Dan kakek itu sama sekali tidak nampak kembali! Juga tempat itu amat sunyi, tidak ada seorang pun lewat!
Untung jauh dari hutan, pikirnya. Kalau di dalam hutan lantas ada binatang buas datang, bagaimana? Dia sudah hampir tidak kuat bertahan lagi. Ingin sekali dia meloncat bangun dan lari pulang. Akan tetapi Cin Han menggigit bibir dan bertahan terus!
Malam itu hawa udara dingin bukan kepalang. Bagaimana jika sungai itu banjir dan airnya menyambar tempat dia berlutut, pikirnya. Malam itu gelap dan suara angin bertiup pada pohon-pohon membuat daun bergoyang dan menimbulkan suara seperti ada seribu setan saling berbisik dan mentertawakannya! Bermacam-macam penglihatan khayal menggoda Cin Han. Bulu kuduknya meremang ketika terdengar suara burung hantu di atas pohon.
Setelah lewat tengah malam dan kakek itu belum ada tanda-tandanya akan kembali, hati Cin Han mulai mengomel dan memaki-maki.
"Kakek kejam! Kakek sadis! Tentu dia bukan manusia baik-baik. Tentu dia seorang datuk sesat. Kalau dia manusia baik-baik tentu tidak sekejam ini, kakek berhati iblis” Demikian dia memaki-maki dalam hatinya.
Akan tetapi tetap saja dia tidak bangkit berdiri. Pertama karena dia masih ada sedikit sisa kenekatannya, dan ke dua karena memang sepasang kakinya sudah terasa kaku dan tak dapat digerakkan lagi sehingga kalau dia bangkit berdiri, tentu dia akan jatuh. Dan ke tiga, malam begitu gelap, andai kata bisa berdiri pun, dia tidak berani melanjutkan, salah-salah dia bisa tercebur ke dalam sungai!
Menjelang pagi, rasa lelah dan kantuk sudah tak tertahankan lagi. Cin Han masih berlutut dan kini kepalanya semakin menunduk sampai akhirnya menyentuh tanah di hadapannya, kedua matanya terpejam dan rasanya dalam mimpi.
Di dalam mimpi itu matanya melirik ke atas. Dia melihat dua buah tiang mencuat di depan hidungnya dan tercium bau yang tidak enak. Dia mengingat-ingat karena biar pun bau itu tidak enak, akan tetapi seperti tidak asing bagi hidungnya, lantas dia pun teringat. Itu bau kaki! Biasa, kalau dia berganti kaus kaki, seperti itu baunya!
Matanya melirik terus semakin ke atas, dan dia bantu dengan mukanya yang dia angkat dan... kakek itu sudah berdiri di depannya, kedua buah tiang itu adalah kaki pengemis tua itu dan yang bau adalah kakinya, kaki yang berdiri di dekat hidungnya!
"Locianpwe...!" kata Cin Han dengan girang.
"Heh-heh, agaknya keluarga Yang memang memiliki darah keturunan orang yang bandel, keras hati dan tahan uji. Pantas saja Yang Kok Tiong dapat menjadi Menteri Utama dan Yang Kui Hui menjadi selir terkasih kaisar. Engkau cukup berkemauan keras dan tahan uji. Bangkitlah, Cin Han."
Semakin kagumlah hati Cin Han terhadap kakek itu. Bukan orang sembarangan, pikirnya, buktinya sudah mengetahui nama ayah dan bibinya.
"Terima kasih, locianpwe," katanya, lantas dia menggerakkan tubuh untuk bangkit berdiri. Akan tetapi, ketika dia bangkit berdiri dua kakinya terasa kaku dan nyeri sekali sehingga dia jatuh berlutut kembali sambil menyeringai kesakitan.
Kakek itu kembali terkekeh dan mendadak tongkatnya bergerak. Bagaikan seekor capung bermain di atas air, ujung tongkatnya menyentuh kedua kaki Cin Han di beberapa bagian dan tiba-tiba pemuda itu merasa betapa kedua kakinya sudah pulih kembali! Dia bangkit berdiri, lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat lagi.
"Suhu, teecu menghaturkan terima kasih atas kebaikan hati suhu," katanya. Dia langsung saja menyebut suhu sambil memberi hormat delapan kali seperti sudah menjadi lajimnya seorang murid baru memberi hormat kepada gurunya.
Kakek itu membiarkan saja Cin Han memberi hormat. Dari keteguhan hati pemuda itu dan ketika dia mempergunakan tongkat menotoknya, dia dapat mengetahui bahwa pemuda ini memiliki bakat dan kemampuan yang tidak akan mengecewakan kalau menjadi muridnya.
"Bangkitlah sekarang, dan ketahuilah bahwa tidak mudah menjadi murid Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti)! Engkau harus berani berkorban."
Berdebar jantung dalam dada Cin Han ketika dia mengetahui bahwa kakek itu adalah Sin-tung Kai-ong. Jarang ada orang mengenalnya, akan tetapi namanya dikenal oleh semua jagoan istana yang pernah mengajarkan silat kepadanya. Nama itu adalah nama seorang datuk persilatan yang aneh, tidak pernah memihak, akan tetapi jelas tidak termasuk datuk sesat! Bahkan condong berwatak pendekar walau pun wataknya angin-anginan dan aneh.
"Teecu siap untuk melaksanakan segala perintah suhu, walau pun harus berkorban apa saja!" kata Cin Han dengan suara tegas dan wajah gembira. Lenyaplah semua perasaan lelah dan kantuknya karena luapan rasa gembira.
"Apa bila engkau memang ingin menjadi muridku, sekarang juga engkau harus pergi ikut denganku, tidak boleh pulang dulu untuk berpamit atau mengambil bekal apa pun. Apakah engkau sanggup?"
Diam-diam Cin Han terkejut. Pergi begitu saja? Soal bekal bukan merupakan hal penting baginya, akan tetapi tidak pamit kepada ayahnya dan terutama kepada ibunya? Kemudian dia teringat akan siasat yang diusulkan oleh Kui Bi dan diam-diam dia pun tersenyum.
Keadaan ini cocok sekali dengan apa yang diinginkan Kui Bi. Adiknya tentu akan cepat menghadap ayah mereka dan menyatakan ingin mencarinya bersama Kui Lan sehingga mereka berdua akan mendapat kesempatan untuk pergi merantau.
"Bagaimana? Benar-benarkah engkau rela berkorban?"
"Tentu saja, suhu. Teecu siap melaksanakan perintah suhu!"
"Kalau begitu, mari kita pergi dari sini."
Kakek itu lalu melangkah pergi, menuju ke selatan. Langkahnya nampak biasa saja akan tetapi tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang cepatnya. Cin Han terkejut sekali dan terpaksa dia harus berloncatan sambil mengerahkan segenap tenaganya untuk mengejar agar jangan sampai tertinggal oleh suhu-nya.
Tepat seperti diduga oleh Cin Han dan telah diperhitungkan oleh Kui Bi yang amat cerdik itu, setelah dua hari Cin Han tidak pulang, keluarga Yang menjadi panik. Yang Kok Tiong menjadi marah dan bingung, akan tetapi hatinya yang keras membuat dia memaki-maki puteranya dan memarahi isterinya yang dianggap terlampau memanjakan Cin Han. Sudah dikerahkan pasukan mencari Cin Han, namun tidak berhasil dan dalam keadaan seperti itu, Kui Bi mengajak Kui Lan menghadap ayah mereka.
"Ayah, aku dan enci Lan akan pergi mengejar dan mencari Han-koko sampai dapat. Kami berdua mengenal baik koko, karena itu bila kami yang membujuknya, tentu dia akan suka pulang. Andai kata ada petugas yang berhasil menemukannya, kalau dia berkeras tidak mau pulang, petugas itu tentu tidak dapat memaksanya. Hanya kami berdua yang akan dapat mengajaknya pulang, ayah."
Andai kata Yang Kok Tiong tidak sedang pusing dan marah kepada puteranya, tentu dia akan mempertimbangkan permintaan kedua orang puterinya itu. Tetapi dia menghendaki agar puteranya pulang, putera tunggalnya, maka dia pun tidak begitu memperhatikan atau teringat bahwa untuk berkelana di dunia kangouw harus mempunyai ilmu kepandaian silat yang tangguh, maka dia pun mengangguk dan menyetujuinya.
Begitu mendapat ijin dari ayahnya, Kui Bi langsung menarik tangan Kui Lan dan mereka berdua segera berkemas, membawa buntalan berisi pakaian serta perhiasan yang cukup banyak untuk bekal, tidak lupa membawa pedang mereka. Ibu-ibu mereka merasa cemas, akan tetapi kedua orang gadis itu bisa menghibur ibu masing-masing, mengatakan bahwa mereka pasti akan dapat menyusul dan mengajak pulang kakak mereka.
Pada hari itu, pagi-pagi sekali, setelah memilih kuda terbaik mereka lalu berangkat lewat pintu gerbang sebelah utara. Sesudah mereka tiba di tepi sungai Wei, mereka menyusuri tepi sungai terus menuju ke timur.
"Bi-moi, ke mana kita harus mencari Han-ko?" tanya Kui Lan dalam perjalanan itu, sambil menjalankan kuda secara perlahan dan berdampingan dengan kuda adiknya. Dua orang gadis yang sejak kecil mempelajari ilmu silat ini, sudah biasa pula menunggang kuda.
"Lan-ci, Han-koko tidak memberi tahu kepada kita ke mana dia pergi, bagaimana mungkin dapat mencarinya? Sekarang pun, ketika kita sedang menuju ke timur, mungkin saja dia malah menuju ke jurusan lain atau bahkan berlawanan dengan arah yang kita tuju."
Kui Lan mengerutkan alisnya. "Lalu, kalau begitu kenapa kita pergi mencarinya? Kita tidak akan mungkin berhasil."
"Memang kita tidak mengharapkan akan berhasil, enci. Bukankah kita pergi mencari Han-ko hanya untuk alasan agar kita diperbolehkan pergi merantau? Dan sekarang kita sudah berhasil meninggalkan kota raja memulai petualangan dan perantauan kira."
"Tetapi... tadinya aku bermaksud untuk ikut Han-ko merantau. Kalau hanya kita berdua... ahh, aku merasa khawatir juga, Bi-moi. Ke mana kita akan pergi dan apa yang akan kita lakukan?"
"Aihh, Lan-ci, kenapa hatimu begitu kecil? Apa yang perlu kita khawatirkan? Kita mampu membela diri! Kita dapat pergi ke mana saja untuk mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan, bila mungkin menambah ilmu kita, mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi. Selain itu buat apa semenjak kecil kita bersusah-payah mempelajari ilmu silat, enci? Kita harus mempergunakan ilmu kita untuk membantu pemerintah menenteramkan negara!"
"Wah, jika ayah mendengar ucapanmu itu, tentu engkau akan ditertawakan dan dimarahi. Kita ini hanya wanita, apa yang dapat kita lakukan untuk membantu pemerintah?"
"Apa bedanya laki-laki dan perempuan? Lan-ci, kita melihat alangkah kacaunya di istana. Kita melihat betapa kaum pria yang menduduki jabatan tinggi hanya bersaing dan saling bermusuhan memperebutkan kedudukan. Kita pun melihat pula betapa Sribaginda Kaisar dipermainkan oleh bibi Yang Kui Hui. Seperti juga Han-ko, aku muak melihat semua itu! Dan sekarang, selagi kita mendapat kesempatan, sebaiknya kalau kita bergembira, dapat melepaskan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan di kota raja dan dapat terbang seperti burung bebas di udara. Senang, bukan?"
Kui Lan menghela napas panjang. Dia selalu kalah kalau berbantahan dengan adik tirinya yang sangat disayangnya ini. "Baiklah, akan tetapi semua ada batasnya, adikku. Setelah kita puas berpesiar, kita harus kembali ke rumah orang tua kita."
"Tentu saja, enci. Aku pun tidak ingin selamanya berkeliaran di luar. Kita hanya mencari pengalaman, seperti juga Han-ko. Dan siapa tahu secara kebetulan kita bisa menemukan dia."
"Tapi mengapa engkau memilih jurusan ini?" tanya Kui Lan.
"Enci Lan, sekarang keadaan sedang tidak aman. Banyak orang jahat suka mengganggu orang yang melakukan perjalanan. Jalan menyusuri tepi sungai ini merupakan jalan yang paling ramai dan paling aman karena terdapat banyak dusun nelayan dan petani, selain itu tidak akan mudah tersesat. Sungai Wei ini akan bergabung dan masuk ke dalam Sungai Kuning di depan sana, enci, dan setelah sampai di Sungai Kuning, kita dapat melanjutkan perjalanan dengan berkuda atau dengan perahu. Kita lihat saja nanti bagaimana enaknya. Lihat, bukankah pemandangan alam di tepi sungai ini amat indahnya?"
Kui Lan melayangkan pandangan ke sekitarnya dan harus ia akui bahwa adiknya memang benar. Di dalam kota tidak ada pemandangan seindah dan sesegar ini. Serba hijau segar menyedapkan mata mengamankan hati.
Tumbuh-tumbuhan dengan suburnya memenuhi tepian sungai. Sawah ladang yang subur, dan meski pun tidak terlalu sering namun mereka bertemu juga dengan pejalan kaki atau penunggang kuda, bahkan kereta yang berpapasan dengan mereka.
Lewat tengah hari udara begitu panasnya, maka ketika kakak beradik itu melihat sebuah kedai minuman di tepi jalan, mereka pun merasa gembira. Mereka juga membawa tempat minum, akan tetapi mereka ingin minum air teh yang harum sambil melepaskan lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk mengaso dan makan rumput yang tumbuh di belakang kedai.
Agaknya kedai itu sengaja didirikan orang untuk memberi kesempatan bagi mereka yang melakukan perjalanan dan lewat di situ untuk mengaso sambil minum-minum. Selain arak dan teh, di situ juga dijual makanan ringan.
Setelah menambatkan kuda mereka di belakang kedai dan membiarkan dua ekor kuda itu melepas lelah dan makan rumput segar, kakak beradik itu lalu memasuki kedai sederhana tapi cukup bersih dengan belasan buah meja dan bangku-bangku. Ketika mereka masuk, kiranya di situ telah duduk tujuh orang menghadapi dua meja, dibagi dalam dua kelompok terdiri dari tiga dan empat orang.
Mereka yang tadinya bercakap-cakap, bersendau-gurau, semuanya segera menghentikan percakapan mereka. Kini semuanya memandang kepada enci dan adik yang memasuki kedai dengan sikap tenang. Nampak kain buntalan mereka terisi pakaian dan perhiasan, juga pedang, maka Kui Lan Kui Bi membawa buntalan mereka masuk kedai.
Mereka berdua maklum betapa pandang mata tujuh orang itu mengamati mereka dengan sinar mata mengandung keheranan, kekaguman, tetapi rata-rata mengandung kenakalan yang membuat kakak beradik ini maklum bahwa mereka bertujuh itu adalah orang-orang kasar yang kurang ajar. Tujuh orang itu tertawa-tawa dan pandang mata mereka semakin kurang ajar.
Kui Lan dan Kui Bi tidak mempedulikan mereka, lantas memilih meja di sudut agar agak jauh dari tujuh orang yang agaknya mabok-mabokan itu. Kepada pelayan tua kurus yang menghampiri, mereka minta disediakan empat buah bakpauw beserta air teh secukupnya. Karena tidak mau mempedulikan tujuh orang itu, maka dua orang gadis ini sengaja duduk membelakangi mereka.
Kui Lan dan Kui Bi tak melihat betapa tujuh orang itu berkasak-kusuk, berbisik dan mata mereka kadang dituju kepada enci adik itu dan kadang arah belakang kedai. Kemudian, tanpa di ketahui Kui Lan dan Kui Bi, dua orang di antara mereka menyelinap keluar dari kedai melalui pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh dua orang di situ.
Kui Lan dan Kui Bi sudah makan bakpauw mereka dan sedang minum air teh, kemudian terdengar derap kaki kuda dari belakang kedai. Mereka terkejut dan cepat menoleh, masih sempat melihat betapa ada dua orang menunggangi kuda mereka yang berlari congklang meninggalkan pekarangan kedai minuman itu.
"Heii, itu kuda kami...!" teriak Kui Bi yang cepat meloncat berdiri, lalu berlari keluar, diikuti pula oleh enci-nya.
Akan tetapi, setelah sampai di luar kedai, mereka hanya melihat bayangan dua ekor kuda mereka sudah berlari jauh sehingga akan sia-sia saja mengejar. Keduanya menjadi marah sekali, akan tetapi kalau Kui Lan hanya memandang dengan mata bersinar marah, Kui Bi mengepal tinju lantas mengacung-ngacungkannya ke arah bayangan dua orang pencuri kuda sambil memaki-maki
"Jahanam keparat, maling busuk pencuri laknat!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki di belakang mereka. "Nona-nona, kalau kalian ingin mendapatkan kembali kuda kalian, serahkan saja kepada kami."
Dua orang gadis itu cepat-cepat membalikkan tubuh mereka dan mereka melihat ada lima orang laki-laki telah berdiri di depan mereka sambil menyeringai dengan sikap kurang ajar. Mereka berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan karena mereka hanya lima orang, maka tahulah kakak beradik itu, bahwa yang mencuri kuda adalah dua orang di antara mereka!
"Heiii, itu buntalan kami. Lekas kembalikan!" bentak Kui Lan yang melihat betapa buntalan pakaian mereka berdua kini telah berada di punggung dua orang di antara lima lelaki itu.
Akan tetapi kelima orang itu hanya tertawa-tawa saja dan seorang di antara mereka, yang bertubuh jangkung dengan muka kekuning-kuningan, berkata dengan suaranya yang kecil tinggi seperti suara wanita.
"Nona-nona manis, apakah kalian berdua menginginkan agar kuda dan buntalan pakaian kalian kami kembalikan?"
Kui Bi memandang dengan mata seperti bernyala. "Tentu saja! Kembalikan buntalan dan kuda kami!"
"Boleh, boleh saja!" kata si muka kuning. "Akan tetapi kalian berdua ikutlah dengan kami. Kami akan menjadi pengawal dan pelindung kalian, dan kuda serta buntalan pakaian pasti takkan ada yang berani menyentuhnya!" Lima orang itu tertawa-tawa dan Kui Bi mengepal tinju.
Pada saat itu pemilik kedai minuman, seorang kakek yang kurus, tergopoh keluar lantas berkata kepada si muka kuning.
"Kalian sudah mengambil kuda dan pakaian ji-wi siocia (dua nona) ini, harap lepaskan dan jangan ganggu mereka lagi. Ji-wi siocia, relakanlah kuda serta buntalan itu, mari masuk saja ke dalam," jelas bahwa pemilik kedai minuman itu merasa iba kepada kakak beradik itu dan hendak mencegah agar kedua orang gadis itu tidak diganggu lagi sesudah barang-barangnya dirampas.
Akan tetapi dengan galak Kui Bi membentaknya. "Engkau agaknya menjadi kaki tangan para perampok ini, ya?! Awas, akan kuhancurkan kedaimu nanti!"
Laki-laki tua itu menggeleng-geIeng tangan dan kepalanya. "Tidak, tidak... aku tidak ikut-ikut..."
"Lo-sam, cepat pergi atau kau ingin kami bunuh?!" bentak si muka kuning dengan bengis dan pemilik kedai yang tua itu terbongkok-bongkok lagi memasuki kembali kedainya.
Yang Kui Bi sudah saling pandang dengan enci-nya. "Enci, mereka ini perampok jahat! Ini tugas pertama kita."
Kui Lan tidak menjawab, melainkan hanya mengangguk dan siap untuk berkelahi. Kini Kui Bi melangkah maju menghampiri si muka kuning, bibirnya tersenyum akan tetapi matanya bersinar-sinar.
"Heh, muka kuning! Agaknya engkaulah yang menjadi piminan gerombolan perampok ini. Cepat kau perintahkan anak buahmu mengembalikan buntalan pakaian kami dan dua ekor kuda kami atau terpaksa kami akan menghajar kalian!"
Si muka kuning sengaja membelalakkan matanya. "Kalian menghajar kami? Ha-ha-ha-ha, dengar, kawan-kawan. Mereka ini hendak menghajar kita, ha-ha-ha…!"
Mereka semua tertawa, kemudian salah seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar serta tubuhnya tinggi besar kokoh kuat segera melangkah maju sambil tertawa paling keras di antara mereka.
"Ha-ha-ha-ha-ha, anak kucing bisa mengaum seperti harimau! Toako, biar kutangkapkan anak kucing cantik ini untukmu, heh-heh!" dan dia pun sudah menubruk ke depan, seperti seorang yang benar-benar hendak menangkap seekor anak kucing saja, kedua tangannya menyambar dan hendak menangkap kedua pundak Kui Bi.
Akan tetapi Kui Bi sudah siap siaga. Si bopeng itu hanya mempunyai tenaga kasar yang besar saja, hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan, maka dengan mudah Kui Bi yang marah mampu menghindarkan diri dari tubrukannya. Dengan lincah Kui Bi mengelak miring, lalu kakinya melangkah maju sehingga dia tiba di sisi kiri agak ke belakang tubuh lawan. Ketika tubuh tinggi besar itu luput tubrukannya dan mendorong ke depan, secepat kilat kaki Kui Bi lalu menendang ke belakang lutut kaki kanan si bopeng yang menopang tubuhnya.
"Dukk!"
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh tinggi besar itu terdorong kemudian tersungkur ke depan, hidungnya mencium tanah.
"Desss...! Brukkk...!
Untung semalam turun hujan dan tanah di pekarangan itu basah dan tidak keras sehingga ketika tubuhnya jatuh tersungkur mencium tanah, bukit hidungnya tidak remuk melainkan hanya kotor berlepotan tanah basah saja.
Akan tetapi, melihat segebrakan saja si bopeng roboh oleh gadis kecil mungil itu, empat orang perampok lainnya terkejut bukan kepalang dan hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Terutama sekali si bopeng sendiri, bukan saja terkejut dan heran, akan tetapi lebih dari itu dia marah sekali Dia merangkak bangkit dan mukanya yang bopeng itu kini menjadi semakin buruk karena berlepotan tanah dan warnanya menghitam karena darah sudah naik ke kepala dan mukanya.
Si muka kuning yang menjadi pemimpin mereka sehingga tentu saja yang paling tangguh di antara mereka, kini melangkah maju.
"Eh, kiranya engkau memiliki juga sedikit kepandaian, nona manis? Bagus, kami menjadi semakin kagum dan akan bangga kalau kalian ikut dengan kami!"
"Enci Lan, kau hadapi anjing muka kuning ini, aku yang merampas kembali buntalan kita," kata Kui Bi dan Kui Lan mengangguk.
Tanpa banyak cakap lagi, Kui Lan yang berwatak pendiam akan tetapi juga sudah marah sekali itu menggerakkan kakinya sehingga tubuhnya dengan cepat seperti gerakan seekor burung walet, sudah menerjang ke depan, jari-jari tangannya meluncur dan menyerang si muka kuning dengan totokan.
Si muka kuning memang tidak seperti anak buahnya yang hanya mengandalkan tenaga kasar. Ternyata dia pandai ilmu silat dan melihat gadis cantik serta lembut itu menyerang dengan totokan yang mendatangkan angin bersiutan, dia tidak berani memandang ringan dan cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri.
Betapa pun dia tidak gentar dan tidak percaya bahwa gadis cantik lembut itu akan mampu menandinginya. Karena itu, begitu serangan pertama Kui Lan luput, dia sudah menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Kui Lan sebagai gertakan, tetapi yang benar-benar menyerang adalah tangan kanannya yang mencengkeram ke arah pinggang!
Gerakannya kasar dan bertenaga, seperti gerakan serangan seekor biruang saja. Namun dengan mudah dan cepat Kui Lan berkelebat dan tubuhnya sudah lenyap dan berada di sebelah kiri lawan, dan serangan itu pun hanya mengenai tempat kosong.
Akan tetapi si muka kuning sudah cepat memutar tubuh ke kiri dan kini ia menyerang lagi, bukan hanya serangan untuk meringkus gadis cantik itu, tetapi serangan pukulan dengan kedua tangan secara bertubi. Kembali Kui Lan dapat mengelak dengan amat mudahnya. Gadis yang pendiam dan lembut ini telah mempunyai ilmu silat yang lumayan tingkatnya, memiliki kecepatan gerakan dan sudah menghimpun tenaga sakti, akan tetapi selama ini dia belum pernah berkelahi!
Biar pun Kui Lan sudah mempelajari banyak jenis serangan, banyak macam pukulan dan tendangan yang lihai, namun belum pernah dia memukul atau menendang orang! Karena itu maka dia pun masih berpikir-pikir dan memilih-milih, apa yang harus dia pergunakan untuk memukul lawan ini!
Dan tiba-tiba, seorang yang bertubuh pendek dan berkepala besar, yang melihat betapa pemimpinnya tidak dapat menundukkan gadis cantik itu, sudah maju dan mengeroyok Kui Lan. Menghadapi pengeroyokan itu dengan tenang saja karena dia dapat mengikuti gerak-gerik mereka dengan mudah, dan dapat menghindarkan diri tanpa banyak mengeluarkan tenaga.
Berbeda dengan enci-nya, walau pun Kui Bi juga belum pernah mempergunakan ilmu silat untuk memukul orang, namun dia adalah seorang gadis lincah yang mudah menyesuaikan diri dengan segala macam keadaan. Karena dia maklum bahwa lima orang itu amat jahat, maka dia pun sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran keras kepada mereka, kalau perlu membunuh mereka. Ini merupakan kewajiban, karena para penjahat seperti itu hanya akan membahayakan kehidupan orang lain, dan mengacaukan keamanan.
Begitu dia menyuruh enci-nya untuk menghadapi si muka kuning, tubuhnya sudah cepat berkelebat ke depan. Pertama-tama yang diserangnya adalah orang yang menggendong buntalan pakaiannya, buntalan kain merah!
Orang itu bertubuh tinggi kurus dan wajahnya kelihatan bengis. Melihat dirinya diserang dengan tamparan, orang ini lalu tersenyum mengejek. Dia memandang rendah gadis yang masih belum dewasa benar itu dan inilah kesalahannya! Dia memandang rendah lawan yang jauh lebih kuat dan lebih lihai dari pada dirinya sendiri.
Melihat Kui Bi menggerakkan tangan kiri menampar.dari samping; dia menyambut dengan tangan kanan, bukan hanya untuk menangkis, melainkan untuk menangkap lengan yang kecil dan berkulit putih mulus itu! Melihat ini, Kui Bi yang tak sudi membiarkan lengannya dipegang apa lagi ditangkap, cepat-cepat menarik kembali tangan kirinya lantas secepat kilat kakinya sudah masuk dan mencium perut lawan.
"Ngekk!"
Dengan kuatnya ujung sepatu mencium perut itu sehingga rasanya bagai tertusuk tombak tumpul, membuat orang tinggi besar itu merasa seperti napasnya terhenti dan otomatis ia membungkuk sambil tangan kirinya memegang perut yang baru saja dicium sepatu. Pada saat dia membungkuk inilah tengkuknya disambar tangan kanan Kui Bi yang amat cepat dan kuat.
"Kekkk...!"
Tubuh itu tersungkur dan pada saat itu, tangan kiri Kui Bi sudah berhasil merenggut lepas buntalan pakaiannya dari punggung orang itu.
Dua orang anggota gerombolan itu kaget dan marah. Orang yang menggendong buntalan pakaian kain kuning milik Kui Lan, di samping marah juga merasa khawatir kalau-kalau buntalan di punggungnya itu akan terampas pula, maka dia sudah mencabut golok dari pinggangnya.
Kawannya yang bermuka brewokan juga telah mencabut golok, kemudian mereka berdua menerjang Kui Bi dengan serangan golok yang dilakukan dengan sengit untuk membunuh. Lenyap sudah dari pandangan mereka semua kecantikan yang menggairahkan dari gadis itu, yang kelihatan sekarang hanyalah seorang gadis yang merupakan lawan berbahaya sehingga harus dibunuh segera!
"Singggg...!"
Tampak sinar menyilaukan mata dan tahu-tahu Kui Bi telah memegang sebatang pedang. pedangnya yang diambilnya dari dari buntalan pakaiannya. Begitu pedang itu digerakkan, lenyaplah wujudnya, berubah menjadi gulungan sinar yang seperti seekor naga melayang-layang dan menyambar ke arah dua orang lawannya yang memutar golok.
Terdengar bunyi berkerontangan dan tiba-tiba saja ujung pedangnya telah melukai pundak kiri orang yang menggendong buntalan pakaian kain kuning. Ketika orang itu terhuyung sambil memegangi pundaknya yang berdarah, Kui Bi sudah meloncat lantas menyambar dan buntalan milik enci-nya sudah pula dapat dirampasnya!
Ketika menengok untuk melihat keadaan enci-nya, Kui Bi mengerutkan alisnya. Enci-nya dikeroyok dua, si muka kuning dan seorang yang bertubuh pendek. Kedua orang itu juga menggunakan golok sedangkan enci-nya bertangan kosong.....
Sebetulnya, biar dikeroyok dua oleh mereka yang memegang senjata, enci-nya tidak akan kalah. Namun sayang, agaknya enci-nya itu merasa ragu-ragu untuk menjatuhkan lawan, maka ia hanya mengelak dan berloncatan ke sana sini saja untuk menghindarkan diri dari sambaran golok dua orang lawannya.
Kui Bi juga melihat betapa kini tiga orang lawannya sendiri sudah mengepungnya dengan golok di tangan. Si bopeng, si tinggi besar dan si brewok telah siap untuk mengeroyoknya dan wajah mereka nampak bengis sekali.
"Enci, kau pergunakan pedangmu ini!" seru Kui Bi kepada enci-nya.
Mendengar ini Kui Lan meloncat ke belakang menjauhi dua orang pengeroyoknya dan Kui Bi melemparkan buntalan kuning milik enci-nya. Kui Lan girang menyambut buntalan itu, mengeluarkan pedangnya kemudian dengan sikap tenang menggendong buntalan itu pada punggungnya. Semua ini dia lakukan dengan tenang sekali biar pun dua orang lawannya kini sudah siap untuk menyerangnya dengan golok.
Begitu kedua orang itu, si muka kuning dan si pendek menerjang dengan sengit, Kui Lan langsung menggerakkan pedangnya. Terdengar bunyi berdencing nyaring dan dua orang pengeroyok itu terhuyung ke belakang. Demikian hebat gerakan pedang Kui Lan yang kini merasa lebih tabah karena dia tak perlu menggunakan tangan kosong untuk merobohkan lawan, yang berarti jari-jari tangannya akan menyentuh tubuh lawan!
Dan begitu dia memainkan Sian-li Kiam-sut (ilmu Pedang Dewi) yang gerakannya sangat indah juga aneh, dua orang lawannya menjadi bingung dan terdesak hebat, hanya mampu mundur-mundur dan memutar golok melindungi tubuh saja.
Begitu pula dengan tiga orang pengeroyok yang melawan Kui Bi. Tadinya mereka dengan dahsyat dan bengis menerjang, akan tetapi begitu Kui Bi memainkan Ilmu Pedang Dewi, mereka bertiga juga menjadi bingung, pandangan mata mereka silau oleh gerakan pedang yang cepat dan aneh sehingga mereka hanya mampu mundur saja..
Kui Bi berbeda dengan Kui Lan, hatinya jauh lebih tabah dan lebih keras, maka begitu dia memegang pedang dan menyerang, dia tidak mau memberi hati lagi kepada ketiga orang lawannya. Juga karena tiga orang lawannya itu hanya mempunyai ilmu silat yang biasa saja, berbeda dengan si muka kuning lawan Kui Lan yang jauh lebih lihai dari pada anak buahnya, maka belum sampai sepuluh jurus, pedang Kui Bi sudah menyambar-nyambar dan tiga orang lawannya terjungkal roboh.
Si bopeng mengaduh-aduh dengan paha kanan robek dan tidak mampu bangkit kembali. Si tinggi besar terbacok pundaknya hingga menembus tulang pundak yang menjadi putus, sedangkan si brewok hampir putus pangkal lengan kirinya!
Kui Bi tersenyum sambil memandang kepada tiga orang lawan yang sudah roboh itu, lalu dia memutar tubuhnya untuk melihat keadaan enci-nya. Dia tidak merasa khawatir sedikit pun dan memang kini enci-nya sudah membuat dua orang lawan itu terdesak terus, akan tetapi enci-nya nampak masih ragu-ragu untuk melukai dua orang lawan itu.
"Lan-ci, apa bila mereka mendapat kesempatan maka mereka yang akan membunuhmu! Cepat robohkan mereka!" katanya sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Enci-nya itu selalu tidak tega, pada hal dia tahu bahwa enci-nya lebih berbakat dari pada dia sendiri dalam hal ilmu silat. Kalau mereka berlatih pun, dia merasa berat menandingi enci-nya. Tetapi enci-nya selalu khawatir kalau-kalau melukainya dan sengaja mengalah.
Mendengar ini Kui Lan menoleh, dan melihat adiknya sudah dapat merobohkan tiga orang pengeroyoknya, dia pun menekan perasaannya, menggigit bibirnya dan begitu pedangnya berdesing-desing, si muka kuning berteriak karena pedang di tangan Kui Lan menembus bahu kanannya sehingga membuat goloknya terlepas, dan si pendek juga roboh dengan pundak terluka parah!
Selanjutnya baca
MESTIKA BURUNG HONG KEMALA : JILID-03