Mestika Burung Hong Kemala Jilid 03


Pemilik kedai minuman dan para pembantunya yang tadi mengintai dengan ketakutan kini berdiri di depan pintu, bengong memandang bagaimana dua orang gadis itu merobohkan lima orang perampok yang ganas itu dengan mudahnya! Kui Bi segera meloncat dan kini pedangnya menempel pada leher si muka kuning.

"Kalau engkau tidak segera menyuruh orang-orangmu mengembalikan kuda kami, maka aku akan menyayat-nyayat kalian berlima sampai tidak berbentuk manusia lagi!"

Si muka kuning dan kawan-kawannya merasa kecelik. Sekarang dia tahu bahwa mereka berhadapan dengan dua orang dara yang hebat, yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Biar pun mereka merasa penasaran, namun sekali ini benar-benar merasa tidak berdaya.

Mendengar ancaman gadis yang kecil mungil dan nampak masih remaja itu, yang sedang menempelkan pedang pada lehernya, ia pun mendapat kesempatan untuk melampiaskan rasa penasaran dan dendamnya.

"Baik, lihiap (pendekar wanita), bebaskan kami dan kami akan cepat menyuruh dua orang kami mengembalikan kuda ji-wi lihiap (pendekar wanita berdua)."
"Huhh, kau kira kami bodoh? Suruh saja seorang dari temanmu yang masih dapat berlari, engkau beserta tiga yang lain tinggal di sini. Kalau dalam waktu satu jam kuda kami belum kembali, kalian berempat akan kusayat-sayat!"

Si muka kuning melihat betapa empat orang kawannya semua terluka parah. Si bopeng jelas tidak dapat berlari karena paha kanannya telah terluka, si brewok juga hampir putus pangkal lengan kirinya, temannya si pendek terluka parah pada pundaknya, hanya dapat mengaduh dan merintih, dan walau pun si tinggi besar juga terbacok pundaknya sampai menembus tulang pundak yang putus, dia seoranglah yang agaknya masih dapat berlari cepat.

"Akhun, cepat engkau yang pergi melapor dan bawa kembali dua ekor kuda itu!" katanya.

Si tinggi besar bangkit berdiri dengan wajah menyeringai kesakitan, namun dia memaksa diri untuk berlari sambil memegangi lengan yang pundaknya terbacok.

Kui Bi mengajak enci-nya untuk kembali memasuki kedai, duduk dan memesan teh. Arak di kedai itu terlalu keras untuk mereka yang biasanya hanya dapat minum teh dan anggur yang tidak begitu keras. Sekarang mereka menanti sambil duduk minum teh, menghadap ke luar supaya mereka dapat mengamati empat orang yang masih merintih-rintih itu. Kini empat orang itu sedang saling bantu untuk mengobati luka mereka dengan obat luka yang selalu terdapat di kantung baju mereka.

Kui Bi lalu menggapai kepada kakek pemilik kedai minuman. Dengan terbongkok-bongkok kakek itu mendekat

"Paman, siapakah sebetulnya mereka ini?"
"Wah, celaka, lihiap... ji-wi (kalian berdua) telah bermusuhan dengan anak buah Kwi-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Setan). Karena ji-wi berada di sini dan keributan ini terjadi di sini, kalau mereka datang bukan hanya ji-wi yang akan ditangkap, bahkan kedai kami ini pun akan dihancurkan dan mungkin kami akan dibunuh!" Kakek itu menangis tanpa suara.
"Hemmm, jangan khawatir, kami berdua akan membasmi mereka!" Kui Bi berkata dengan sikap gagah.
"Takkan ada gunanya andai kata ji-wi menang juga, karena setelah ji-wi pergi, kami tentu akan menjadi penumpahan dendam mereka. Kalau ji-wi lihiap kasihan kepada kami, harap ji-wi cepat pergi dari sini dan mengambil sendiri kuda ji-wi. Sarang mereka berada di bukit depan Itu, bukit kecil di tepi sungai yang nampak dari sini."

Kui Lan bangkit berdiri. "Bi-moi tidak baik kalau mengakibatkan paman ini tertimpa mala petaka. Mari segera kita tinggalkan tempat ini dan mengambil sendiri kuda kita."

Kui Bi mengangguk. "Baik, marilah, enci."

Mereka keluar dari kedai menggendong buntalan mereka. Ketika sampai di pekarangan di mana empat orang itu masih duduk di atas tanah, Kui Bi berkata,
"Nanti dulu, Lan-ci. Aku akan membereskan mereka!"
"Adik Bi, jangan bunuh orang...!" Kui Lan berseru, alisnya berkerut. Dia khawatir adiknya akan membunuh empat orang yang sudah terluka itu.

Kui Bi tersenyum. "Lan-ci, para guru kita mengatakan bahwa seorang pendekar tak akan membunuh lawan yang sudah tidak dapat melawan lagi. Tidak, aku tidak akan pembunuh mereka, hanya ingin memberi hajaran supaya mereka jera sehingga lain kali tidak berani mengganggu wanita!"

Melihat Kui Bi mendatangi mereka, empat orang itu menjadi ketakutan. Kui Bi tersenyum mengejek melihat mereka berempat berhimpitan dengan sikap ketakutan bagaikan empat ekor kelinci melihat harimau. Memang beginilah watak orang-orang jahat, ganas menindas bila sedang menang, tetapi takut dan pengecut jika berhadapan dengan yang lebih kuat.

"Kau, monyet muka kuning, engkau harus antar kami menyusul orangmu yang mengambil kuda, agar lebih cepat!" kata Kui Bi.

Sinar mata si muka kuning nampak berkilat dan wajahnya membayangkan kegembiraan sekilas mendengar perintah ini. Tergopoh dia bangkit berdiri.

"Baik, lihiap. Mari saya antar..."

Kui Bi menggerakkan kakinya tiga kali, dan tiga orang yang lain itu mengeluh sambil roboh terjengkang. Mereka pingsan disambar ujung sepatu gadis itu.

"Mari kita berangkat" kata Kui Bi.

Tanpa banyak bicara si muka kuning segera melangkah ke arah timur, menyusuri sungai, menahan rasa nyeri pada bahu kanannya yang terluka, dan di belakangnya kakak beradik itu berjalan dengan sikap tenang namun waspada.

Sesudah mereka pergi, pemilik kedai bersama anak buahnya segera menolong tiga orang anggota perampok yang tertinggal di sana dan membawa mereka masuk ke dalam kedai untuk merawat mereka. Hal ini terpaksa mereka lakukan agar kelak mereka tidak dilanda amukan para penjahat.

Diam-diam si muka kuning bergembira karena dua orang gadis ini dianggapnya sebagai dua ekor domba yang dia tuntun masuk ke dalam rumah jagal! Kalau dua orang gadis ini tiba di lereng bukit karang di depan, yang menjadi sarang dari mereka, pasti mereka tidak akan mampu melawan. Dan tibalah saatnya dia dan kawan-kawannya membalas dendam, kalau saja pemimpin besar mereka, Kwi-jiauw Lo-mo, tidak memborong dua orang gadis yang amat cantik jelita ini.

Iblis Tua itu terkenal haus akan wanita! Tetapi setidaknya, seperti menjadi kebiasaannya, dia mudah bosan dan sebentar saja dua orang gadis ini tentu akan dilemparkan kepada anak buahnya. Nah, pada saat itulah dia akan membalas dendam ini!

Akan tetapi belum ada setengah jam mereka berjalan, dan mereka tiba di tepi sungai yang berada di kaki bukit karang itu, terdengarlah derap kaki kuda dari depan. Si muka kuning mengangkat mukanya yang nampak gembira dan suaranya juga terdengar lantang.

"Itu mereka sudah datang!"

Dua orang gadis itu sudah siap siaga. Mereka pun tahu bahwa suara itu bukan hanya dari derap kaki dua ekor kuda, melainkan banyak! Mereka dapat menduga mengapa si muka kuning ini nampak gembira dan setelah rombongan penunggang kuda itu tiba di situ, baru mereka melihat bahwa dugaan mereka ternyata benar.

Dua orang pencuri kuda yang menjadi anak buah si muka kuning, bersama si tinggi besar yang tadi disuruh mengambil kuda mereka, kini datang bersama serombongan orang yang terdiri dari belasan orang banyaknya! Tentu si tinggi besar melapor kepada para pimpinan gerombolan tentang kekalahan lima orang perampok itu dan kini kawan-kawannya datang, bukan untuk mengembalikan kuda melainkan untuk mengeroyok!

Kui Lan dan Kui Bi sudah siap siaga. Mereka telah mencabut pedang mereka dan dengan marah Kui Bi menggerakkan pedangnya ke arah si muka kuning yang lantas berteriak dan roboh. Pahanya telah disabet pedang sampai terluka parah sehingga dia pun merintih dan mengaduh-aduh.

Belasan orang itu pun telah berloncatan dari atas kuda kemudian dengan golok di tangan mereka mengepung dan mengeroyok kedua gadis itu. Kui Lan dan Kui Bi segera memutar pedang mereka dan memainkan Ilmu Pedang Dewi. Nampak dua gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar, membuat para pengeroyok terpaksa mundur dan melebarkan kepungan karena pedang di tangan dua orang gadis itu ampuh bukan main.

Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja dua orang pengeroyok sudah roboh, padahal belasan orang itu merupakan tokoh-tokoh yang paling tangguh di antara mereka. Tingkat kepandaian mereka sebanding dengan tingkat si muka kuning.

"Enci Lan, mereka ini srigala-srigala busuk, kita bunuh saja mereka semua!" teriak Kui Bi yang marah sekali. Pedangnya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi Kui Lan masih membatasi tenaganya karena dia tidak bermaksud melakukan pembunuhan.

Ternyata bahwa ilmu pedang yang dikuasai dua orang kakak beradik itu merupakan ilmu yang sangat hebat. Para pengeroyok itu rata-rata mempunyai ilmu silat lumayan. Mereka berpengalaman dan telah terbiasa mempergunakan kekerasan, juga mereka pun memiliki tenaga yang kuat.

Akan tetapi, menghadapi pedang dua orang gadis itu, mereka tidak dapat berbuat banyak bahkan mereka tidak berani mengepung terlampau ketat karena pedang di tangan kakak beradik itu bukan main ganasnya. Nampaknya lembut dan indah, laksana gerakan gadis-gadis menari-nari, akan tetapi siapa berani mendekat dia akan terbabat atau tertusuk.

"Tahan senjata! Kalian mundur semuanya!" terdengar seruan suara yang mengguntur dan belasan orang itu berlompatan ke belakang, lalu berdiri tegak dengan sikap menghormat.

Kui Lan dan Kui Bi berdiri tegak pula, berdampingan dengan pedang melintang di depan dada, waspada dan siaga. Mereka melihat munculnya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya pendek gemuk hingga nampak seperti bulat. Kepalanya bulat besar dan botak, matanya, hidungnya, mulutnya, telinganya, semua berbentuk bulat sehingga dia nampak lucu seperti sebuah boneka besar.

Akan tetapi kalau orang melihat ke arah kaki dan tangannya, maka orang akan merasa ngeri. Kedua tangannya yang berlengan pendek besar itu disambung dua buah cakar besi yang nampak kebiruan dan mengkilap, runcing tajam melengkung, dan sepasang kakinya mengenakan sepatu yang ujungnya dipasangi besi runcing!

Begitu melihat sepasang tangan yang dipasangi cakar itu, teringatlah Kui Lan dan Kui Bi akan keterangan pemilik kedai minuman mengenai tokoh pemimpin gerombolan penjahat yang dijuluki Kwi-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Setan).

Kui Bi menudingkan pedang dengan tangan kanannya ke arah muka si pendek gendut itu, dan tangan kirinya bertolak pinggang, mulutnya dan pandang matanya mengejek.

“Hemm, kiranya badut ini yang memakai julukan Kwi-jiauw Lo-mo?"

Mendengar kata-kata itu si pendek tidak marah, bahkan tertawa dan nampak giginya yang besar-besar dan juga berbentuk bulat-bulat! Agaknya orang ini memang diciptakan dengan suatu keistimewaan, yaitu serba bulat, demikian pikir Kui Bi.

"Ha-ha-ha, dua orang nona manis telah memperlihatkan kepandaian. Kalian begini cantik jelita, begini halus lembut dan mulus tetapi juga gagah dan memiliki kepandaian lumayan. Sungguh mengagumkan! Dan engkau sudah mengenal pula julukanku, nona manis yang lincah?" Dia memandang kepada Kui Bi.

Merasa betapa mata yang bulat itu seperti mengeluarkan sinar yang hendak menelannya bulat-bulat, hati gadis ini merasa ngeri juga, akan tetapi dia sengaja mengeluarkan suara yang mendengus dari hidung dan tertawa mengejek.

"Hiiih, apa sulitnya menebak bahwa engkau yang berjuluk Iblis Tua Muka Setan? Rupamu seperti iblis dan dua tanganmu memakai cakar baja. Engkau seperti seorang badut yang hanya dapat menakut-nakuti anak kecil saja!"
"He-he-he, manis. Engkau dan kakakmu itu bukan anak kecil lagi, maka tidak takut. Dan aku pun tidak ingin kalian takut kepadaku, ha-ha-ha!"

"Sudahlah, muak perutku berbicara dengan iblis macam engkau! Kwi-jiauw Lo-mo, cepat kembalikan dua ekor kuda milik kami dan kami pun akan melanjutkan perjalanan, takkan membunuhi anak buahmu lagi." Ucapan Kui Bi ini memang terdengar tinggi hati sekali dan memang ini disengaja untuk membalas ucapan si.pendek tadi yang mengandung maksud tertentu yang menjijikkan hatinya.

"Boleh, boleh! Jangan kata hanya dua ekor kuda itu, seluruh kuda yang kami miliki akan kuberikan kepadamu, manis, bahkan diriku juga akan kupersembahkan kepada kalian dua orang nona manis. Marilah kalian ikut denganku untuk menerima semua itu!"

Yang Kui Lan yang sejak tadi diam saja, tidak dapat menahan kemarahannya mendengar ucapan yang maksudnya membalas dengan kata-kata tak senonoh itu.

"Jahanam busuk, tahan mulutmu yang kotor!" bentaknya.

Kui Bi tersenyum melihat sikap enci-nya. Biasanya enci-nya seorang yang penyabar dan sangat jarang marah. Kalau pun marah akan diam saja dan tidak sampai meledak seperti yang terjadi sekarang.

"Nah, babi gendut, enci-ku telah marah. Cepat kembalikan kuda kami atau aku tidak akan bertanggung jawab kalau lehermu akan dipancung enci-ku yang sudah marah!"

Kui Lan mengerling kepada adiknya sebagai teguran. Dalam keadaan seperti itu si bengal ini masih juga sempat berkelakar.

Akan tetapi kata-kata bernada mengejek dan menghina itu masih saja tidak memanaskan hati Kwi-jiauw Lo-mo. Dia adalah seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal di dunia kang-ouw, yang telah lama tidak pernah memperlihatkan diri. Kini agaknya dia muncul dan memimpin gerombolan perampok.

Hal yang sungguh mengherankan kalau diingat bahwa datuk sesat ini pernah memimpin gerombolan yang ratusan orang banyaknya. Semenjak gerombolannya dibasmi pasukan pemerintah yang dipimpin oleh seorang panglima yang lihai, dia lalu menghilang dan baru sekarang, sepuluh tahun lebih kemudian, ia muncul lagi hanya sebagai pemimpin sebuah gerombolan yang terdiri dari dua puluh orang lebih saja.

"Nona-nona manis, kalian seperti dua ekor burung yang baru meninggalkan sarang, terlalu berani tapi kurang perhitungan sehingga kalian berani menentang Kwi-jiauw Lo-mo. Nah, sekarang majulah, aku pun ingin berkenalan dengan dua orang gadis yang akan menjadi selir-selirku, heh-heh-heh…!"

Ucapan ini begitu menusuk perasaan sehingga Kui Bi sendiri yang biasanya lincah jenaka dan pandai bertengkar, sekarang mendadak bungkam. Mukanya kemerahan dan matanya bersinar-sinar.

"Babi gemuk, engkau akan mampus oleh pedang kami!" bentaknya.

Dan dia pun segera menerjang dengan pedangnya, mengirim tusukan dengan jurus Dewi Mempersembahkan Bunga yang gerakannya amat cepat dan indah tapi didukung tenaga dahsyat. Kui Lan juga sudah menggerakkan pedangnya, membantu adiknya menyerang laki-laki pendek bundar itu.

"Tranggg…! Cringgg...!"

Bunga api berpijar dan dua orang kakak beradik itu terkejut sambil terhuyung ke belakang setelah pedang mereka bertemu dengan sepasang cakar setan itu. Bukan main kuatnya tenaga yang menangkis pedang mereka!

"Ha-ha-ha, nona-nona manis kalian baru tahu hebatnya Kwi-jiauw Lo-mo! Ha-ha-ha…!"

Dan kini tubuh yang bulat itu menggelinding atau berputar-putar laksana bola, menerjang ke arah mereka secara aneh. Dua orang gadis itu cepat memutar pedang dan memainkan Sian-li Kiam-sut bagian pertahanan untuk melindungi diri mereka.

Ilmu pedang ini memang hebat. Walau pun gerakan lawan amat dahsyat, namun dengan pertahanan ilmu pedang itu, Kui Lan dan Kui Bi masih bisa melindungi diri mereka hingga lewat belasan jurus. Tiba-tiba si pendek gendut yang bergerak seperti bola menggelinding ke sana sini itu meloncat ke belakang dan berdiri tegak.sambil tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, kalian benar-benar hebat, mempunyai ilmu pedang aneh yang amat baik. Akan tetapi… lihat jurusku ini!"

Tiba-tiba tubuhnya bergerak, tak lagi bergulingan seperti tadi melainkan meloncat seperti katak, dan tubuh itu berputar di udara lalu menerjang ke arah Kui Bi seperti sebuah peluru besar yang berputar. Kui Bi terkejut, mencoba untuk membacok dengan pedangnya.

"Tranggg...!"

Pedang itu seperti bertemu bola baja yang amat kuat hingga terlepas dari tangan Kui Bi karena sebetulnya pedang itu telah ditangkap dan direnggut oleh cakar baja dan sebelum gadis itu dapat mengelak, pinggangnya telah kena disepak oleh pinggir kaki. Untung tidak ditendang karena jika terkena tendangan dari depan, tentu tubuhnya akan ditembusi besi runcing pada ujung sepatu.

Kui Bi mengeluh dan terpelanting roboh! Kui Lan marah dan menyerang dengan dahsyat sambil mengeluarkan bentakan nyaring.

"Haiiiittttt...!"

Namun lawannya melompat ke belakang, kemudian seperti katak yang pandai membuat lompatan ganda, tubuh itu kembali meluncur balik ke arah Kui Lan dan seperti tadi pula, tubuhnya berputar. Kui Lan menusukkan pedangnya menyambut.

"Cringgg...!"

Seperti halnya adiknya, pedang Kui Lan terampas dan dia pun terpelanting di dekat tubuh adiknya, terkena sepakan pada bahunya. Baru saja mereka bergerak ingin bangkit, tiba-tiba tubuh si pendek itu sudah berdiri di dekat mereka sambil tertawa bergeIak.

"Omitohud...! Iblis dan setan sudah bermunculan, pertanda bahwa dunia akan mengalami kekacauan," terdengar suara lembut tetapi suara itu mengandung getaran yang demikian kuatnya sehingga Kwi-jiauw Lo-mo sendiri kaget bukan main dan cepat dia membalikkan tubuh memandang.

Di hadapannya berdiri seorang hwesio yang berkepala gundul kelimis, mukanya segar dan kemerahan seperti muka kanak-kanak, tubuhnya gemuk dengan perut besar seperti arca Ji-lai-hud, mata dan mulutnya demikian ramah selalu tersenyum seperti muka bayi yang sedang merasa nyaman tubuhnya. Dia mengenakan jubah kuning yang longgar, sepatu kulit kayu, serta memegang sebatang tongkat bambu ular, yaitu semacam bambu kuning yang bentuknya seperti ular, demikian pula warna garis dan totol-totol seperti kulit ular.

Kwi-jiauw Lo-mo adalah seorang datuk sesat yang sepuluh tahun lalu malang melintang di dunia kang-ouw, banyak pengalamannya dan mengenal para tokoh dunia persilatan. Akan tetapi dia tidak mengenal hwesio yang usianya kurang lebih enam puluh tahun ini!

Meski demikian dia tahu bahwa hwesio ini seorang sakti, dan dia tahu pula bahwa orang-orang yang telah menjadi pendeta tidak mencari kemashuran nama, kedudukan atau harta benda sehingga banyak di antara mereka yang berilmu tinggi akan tetapi tidak terkenal di dunia kang-ouw.

"Hemm, hwesio yang baik, siapakah engkau dan mengapa seorang pendeta yang hanya sibuk dengan urusan nirwana, hari ini mencampuri urusan duniawi? Apakah engkau tidak takut jubahmu nanti dikotori dengan urusan dunia?" kata-kata ini bernada mengejek, akan tetapi masih cukup menghormat karena bagaimana pun juga, datuk sesat ini tidak berani memandang rendah para pendeta.

Mendengar teguran itu, hwesio gendut laksana arca Ji-lai-hud itu masih tersenyum, akan tetapi matanya membayangkan kebingungan karena memang tidak semestinya seorang pendeta mencampuri urusan orang lain, apa lagi urusan tokoh-tokoh dunia sesat. Melihat kebimbangan sikap hwesio gendut itu, Kui Bi yang mengharapkan bantuan dan melihat adanya bahaya mengancam, segera berkata dengan suara lantang.

"Heii, babi gemuk Kwi-jiauw Lo-mo, apakah engkau yang sudah setua ini tidak tahu akan pendirian orang yang berhati suci dan mulia? Ada pendapat bijaksana dari nenek moyang yang bunyinya begini: Siapa pun yang membiarkan kejahatan berlangsung di depan mata tanpa mencegahnya, sama saja dengan membantu berlangsungnya kejahatan itu sendiri! Engkau beserta anak buahmu merampok kami enci dan adik, juga hendak menawan dan menghina kami. Kalau losuhu ini membiarkannya saja, berarti beliau telah ikut membantu perbuatan keji dan jahat kalian. Beliau tentu tidak mau disebut antek perampok-perampok seperti kamu!"
"Bocah setan, tutup mulutmu!" dengan marah Kwi-jiauw Lo-mo membentak dan dia telah menubruk maju, menyerang dengan cakar kirinya untuk membunuh supaya gadis itu tidak banyak cakap lagi.

Kui Bi cepat mengelak dengan melempar tubuh ke samping, namun angin pukulan yang dahsyat membuat dia terpelating. Dara ini tabah dan cerdik. Begitu tubuhnya terpelanting, dia sudah bergulingan ke arah hwesio gemuk sambil berseru,

"Lebih baik mati gagah sebagai harimau dari pada hidup pengecut bagaikan babi!" Jelas bahwa ucapan ini ditujukan kepada hwesio, untuk mengejeknya dengan maksud agar hati hwesio itu tersentuh.
"Hendak lari kemana kau?!" bentak Kwi-jiauw Lo-mo.

Dia mengejar dan memukul lagi, tidak peduli kepada hwesio yang berada di dekat gadis yang bergulingan itu.

"Plakk! Dukk!" Kedua cakar itu terpental dan tubuh Kwi-jiauw Lo-mo terhuyung-huyung ke belakang.
"Omitohud... bukannya pinceng (aku) suka usil mencampuri urusan orang lain, akan tetapi tanganku menjadi tidak berguna dan batinku kotor kalau pinceng membiarkan saja orang bertindak jahat dan sewenang-wenang. Gadis ini benar, pinceng tidak ingin menjadi antek penjahat. Harap Lo-mo tidak mengganggu mereka lagi."
"Hwesio keparat!"

Dengan kemarahan yang membuat mukanya merah dan matanya melotot, Kwi-jiauw Lo-mo (iblis Tua Cakar Setan) kini menerjang dan menyerang hwesio gendut dengan kedua cakarnya, mengerahkan segenap tenaganya karena dia maklum bahwa lawannya adalah seorang yang tangguh. Hwesio itu menggerakkan tongkat bambunya untuk melindungi diri sambil menggeser kaki ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari amukan Si Cakar Setan.

Sementara itu belasan orang anak buah Si Cakar Setan sudah pula mengeroyok Kui Lan dan Kui Bi. Dua orang gadis ini cepat mengambil pedang mereka dari atas tanah, lantas mereka berdua mengamuk. Kini Kui Lan tidak lagi merasa ngeri, maka dia menggerakkan pedangnya dengan cepat dan kuat, bahkan seolah-olah tidak mau kalah dengan adiknya karena dia yakin bahwa bila mereka berdua tidak dapat membasmi kawanan penjahat ini, mereka yang akan tertimpa mala petaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Mereka berdua sudah memainkan Sian-li Kiam-sut, dan dengan ilmu pedang ini, belasan orang itu tidak berani menyerang terlalu dekat.

Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui merasa heran, terkejut dan kecelik bukan kepalang sesudah dia bertanding melawan hwesio bertongkat bambu kuning itu. Dia adalah seorang di antara tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw, bahkan dapat dikatakan seorang di antara para datuk persilatan yang selain mempunyai nama besar, juga terkenal lihai sekali dan sukar dicari tandingannya. Sepasang cakar setan yang menyambung kedua tangannya amat tangguh dan sukar dikalahkan. Akan tetapi sekali ini, dan baru pertama kali dialaminya, dia seperti seorang kanak-kanak saja ketika bertanding melawan hwesio yang perutnya gendut dan mirip arca Ji-lai-hud itu.

Dengan tongkat bambunya hwesio itu mampu membuat dua cakar setannya sama sekali tidak sempat menyentuh lawan. Jangankan menyentuh kulit tubuhnya, bahkan menyentuh jubah pun tidak mampu, ke mana pun cakarnya menyerang, selalu terpental bila bertemu dengan tongkat bambu, bahkan pergelangan dan siku lengannya selalu terancam totokan-totokan ujung bambu kuning yang gerakannya seperti seekor ular hidup saja! Padahal dia tidak mengenal hwesio itu. Ini berarti bahwa hwesio gendut itu bukan seorang tokoh besar dunia persilatan, melainkan seorang pendeta yang sama sekali tidak ternama!

Saking geramnya karena telah belasan kali semua serangannya gagal total, tiba-tiba saja Kwi-jiauw Lo-mo mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang sambil sepasang cakarnya menyambar dari kanan kiri dengan tenaga sepenuhnya. Agaknya satu di antara cakar itu tentu akan mengenai sasaran sebab tongkat bambu itu mana mampu menangkis sepasang cakar yang datang pada saat yang bersamaan dari kanan dan kiri? Akan tetapi tubuh yang gembrot itu ternyata mampu bergerak dengan amat ringannya, seperti seekor burung saja tubuh itu sudah melayang ke belakang.

"Tranggg...!"

Bunga api berpijar ketika sepasang cakar itu saling berbenturan. Benar-benar merupakan senjata yang mengerikan!

Sementara itu, kakak beradik Kui Lan dan Kui Bi mengamuk dengan pedang mereka dan membuat belasan orang pengeroyok mereka kocar-kacir. Banyak di antara mereka yang terluka oleh pedang kedua orang gadis itu. Setelah dua orang roboh tewas dan lima yang lain terluka, para pengeroyok itu menjadi gentar dan sambil menyeret kawan-kawan yang terluka, mereka lalu melarikan diri.

Melihat betapa anak buahnya melarikan diri dan dia sendiri pun tidak mampu menandingi tongkat bambu yang amat lihai itu, Kwi-jiauw Lo-mo maklum bahwa kalau dia tetap nekat melanjutkan perkelahian, akhirnya dia akan mendapat malu.

"Hwesio usil! Biar lain kali aku mencarimu untuk membuat perhitungan!" katanya sambil melompat ke belakang. Melihat hwesio itu hanya menyeringai lebar dan tidak mengejar, dia pun meloncat lantas melarikan diri. Dua ekor kuda milik kakak beradik itu ditinggalkan oleh kawanan perampok.....
"Omitohud, hanya dengan kemampuan seperti itu sudah berani memaksakan kehendak mengganggu orang lain!" kata hwesio itu sambil tersenyum.

Kalau dia menghendaki, tidak akan terlampau sukar baginya untuk merobohkan Si Cakar Setan itu tadi. Akan tetapi dia tidak mau melakukan itu dan kini dia memandang kepada dua orang gadis yang sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya.

"Locianpwe telah menyelamatkan nyawa kami!" kata Kui Lan.
"Kami menghaturkan terima kasih, locianpwe," kata pula Kui Bi, "kami akan membalas budi locianpwe dengan melayani semua kebutuhan locianpwe kalau sudi menerima kami sebagai murid."

Hwesio itu tersenyum, memandang kepada mereka dan matanya berseri-seri ketika dia memandang kepada Kui Bi.

"Omitohud... kalian ini gadis-gadis petualang telah memaksa pinceng sehingga terseret ke dalam perkelahian! Luar biasa sekali!"
"Maaf, locianpwe," kata Kui Bi yang memang lincah dan pandai bicara. ”Bukan kami yang memaksa locianpwe, melainkan kemuliaan hati locianpwe sebagai seorang pendeta suci dan orang tua gagah perkasa berwatak pendekar yang memaksa locianpwe turun tangan menolong kami."

Hwesio itu menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepalanya yang gundul dan bundar seperti bola, akan tetapi wajahnya masih berseri dan mulutnya masih tersenyum.

"Bukan itu yang sangat menarik hati dan perhatian pinceng, nona. Biasanya pinceng tidak mau usil mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi, melihat permainan pedang kalian, pinceng merasa tertarik sekali. Bukankah ilmu pedang yang kalian mainkan tadi adalah Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi)?"

Kakak beradik itu saling pandang dengan heran, lalu keduanya mengangguk.

"Tepat sekali dugaan locianpwe itu. Memang kami tadi memainkan Sian-li Kiam-sut, akan tetapi karena kami baru saja mempelajarinya, maka latihan kami belum matang...," kata Kui Lan.

Hwesio itu mengangguk-angguk. "Hemm, engkau benar, nona. Kalau latihan kalian sudah benar-benar matang, mana mungkin Si Cakar Setan itu akan mampu mengalahkan kalian dengan mudah? Jadi kalian ini murid Sin-tung Kai-ong? Inilah yang menarik hati pinceng untuk turun tangan tadi."

Kui Bi yang cerdik hendak mengatakan benar, akan tetapi kakaknya lebih cepat. Kui Lan seorang berwatak lembut dan sama sekali tidak suka berbohong, dan dia sudah khawatir kalau adiknya berbohong.

"Tidak, locianpwe kami bukan murid orang yang namanya locianpwe sebut tadi."
"Ehh? Lalu dari mana kalian dapat memainkan Sian-li Kiam-sut? Siapa yang mengajarkan ilmu itu kepada kalian?"

Dengan singkat tetapi jelas Kui Lan lalu menceritakan pengalaman mereka ketika bertemu dengan seorang pengemis tua yang kemudian secara rahasia mengajarkan ilmu pedang itu kepada mereka.

"Kami tidak pernah mengenal siapa beliau, locianpwe, bahkan beliau memesan agar kami merahasiakan ajaran itu. Akan tetapi karena locianpwe telah mengenal ilmu pedang kami, terpaksa kami membuka rahasia ini."

"Ha-ha-ha! Omitohud...! Si jembel tua itu sampai sekarang masih suka bersikap rahasia-rahasiaan! Jembel tua yang mengajarkan ilmu pedang itu kepada kalian adalah Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti), seorang di antara tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan. Kalian bangkitlah, tidak perlu berlutut, marilah kita bicara dengan baik. Pinceng melihat bahwa kalian bukanlah gadis-gadis kang-ouw biasa. Pakaian kalian berikut kuda kalian memperlihatkan bahwa kalian adalah gadis-gadis hartawan, dan sikap serta bicara kalian juga berbau bangsawan! Bagaimana gadis-gadis seperti kalian dapat berkeliaran di sini? Pinceng Kong Hwi Hosiang paling tidak suka melihat kepalsuan, maka jika kalian tak ingin pinceng tinggalkan sekarang juga, ceritakan sejujurnya siapa kalian dan kenapa pula dapat berada di tempat ini."

Melihat wajah yang cerah dan penuh senyum itu kini nampak bersungguh-sungguh, Kui Bi tidak berani main-main lagi.

"Locianpwe, karena locianpwe sudah bersikap jujur, maka kami pun berjanji akan berterus terang kepada locianpwe. Kami kakak beradik, namaku Yang Kui Bi dan ini kakakku Yang Kui Lan. Kami dari kota raja..."
"She Yang dari kota raja?" Hwesio itu memotong. Sekarang kedua alisnya berkerut dan sepasang matanya mencorong. "Mengingatkan pinceng kepada Menteri Utama Yang Kok Tiong dan selir Kaisar Yang Kui Hui yang tersohor itu...!"
"Mereka adalah ayah dan bibi kami, locianpwe," kata Kui Lan dengan suara lirih.

Mata hwesio itu terbelalak. Untuk beberapa detik lamanya wajahnya berubah, senyumnya hilang dan alisnya berkerut. Akan tetapi dia segera dapat menguasai dirinya dan nampak tenang kembali.

"Hemmm, kalian adalah puteri Menteri Utama, bahkan keponakan selir Kaisar yang paling berpengaruh. Kalian kaya raya dan mempunyai kedudukan tinggi, setiap waktu berenang di dalam lautan kemewahan dan kemuliaan. Kenapa sekarang dapat berkeliaran di tempat sunyi ini tanpa pengawal?"

Kui Lan tidak dapat menjawab dan mengerling kepada adiknya, menyerahkan tugas untuk menerangkan kepada adiknya. Kui Bi tersenyum dan menatap tajam wajah hwesio itu.

"Locianpwe sendiri merasa tidak senang mendengar bahwa kami dari keluarga Yang. Hal ini kami ketahui dari pandang mata dan sikap locianpwe. Apa lagi locianpwe, bahkan kami sendiri pun muak dengan segala macam kepalsuan yang berada di kota raja, terutama di istana. Justru karena kemuakan kami itulah maka kami meninggalkan kota raja dan pergi merantau, locianpwe."

"Omitohud...! Mana mungkin keterangan ini dapat dipercaya? Kalian adalah puteri-puteri bangsawan, dekat dengan istana, bagaimana mungkin merasa muak dengan kehidupan mewah itu kemudian pergi meninggalkan rumah untuk merantau? Kepalsuan-kepalsuan apa yang kalian lihat dan rasakan?"

"Locianpwe, kami adalah tiga bersaudara. Kami masih mempunyai seorang kakak laki-laki yang bernama Yang Cin Han. Sejak kecil kami bertiga senang mempelajari silat, juga membaca kitab-kitab sejarah. Kami melihat ketidak wajaran dan kepalsuan merajalela di istana. Sribaginda Kaisar seperti boneka di tangan bibi kami Yang Kui Hui. Ayah kami pun diangkat menjadi Menteri Utama bukan karena kecakapan serta kemampuan, melainkan karena jasa bibi Yang Hui. Kami muak dengan semua itu lalu kami bertiga meninggalkan rumah. Kami ingin bertualang, ingin bebas merdeka bagaikan burung-burung di angkasa, ingin meluaskan pengalaman dan memperdalam ilmu kami. Kini kebetulan kami bertemu dengan locianpwe di sini, maka kami mohon sekali lagi, sudilah kiranya locianpwe untuk menerima kami sebagai murid."

Setelah berkata demikian Kui Bi memegang tangan kakaknya dan kembali mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu yang duduk bersila di atas batu besar.

"Omitohud..., sungguh menakjubkan! Betapa akan bahagianya bangsa dan negara kalau semua orang muda seperti kalian ini, tidak silau oleh kesenangan tapi dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Namun agaknya masih sangat sulit untuk percaya begitu saja. Kalau kalian benar-benar ingin menjadi murid pinceng, pinceng hanya dapat menerima kalian dengan satu syarat."

"Apa syaratnya, locianpwe? Kami siap memenuhinya," kata Kui Bi dengan tegas.
"Syaratnya kalian harus taat, dan selama dua tahun penuh kalian tak boleh meninggalkan kuil di mana kalian akan pinceng titipkan. Apa pun yang terjadi di kota raja, selama dua tahun itu kalian tak boleh meninggalkan kuil dan harus melatih semua ilmu yang pinceng ajarkan dengan tekun. Nah bersediakah kalian memenuhi syarat itu?"

"Saya bersedia!" kata Kui Bi tegas.
"Saya... saya... bagaimana kalau ayah dan ibu menjadi gelisah dan sedih karena selama itu kita tidak pulang, Bi-moi?" Kui Lan meragu.
"Lan-ci, bukankah kita sudah bertekad meninggalkan semua itu? Setelah lewat dua tahun, baru kita pulang!” bantah adiknya.
"Omitohud..., jika kalian tidak rela, jangan memaksa diri agar kelak tidak akan menyesal dan menyalahkan pinceng," kata hwesio itu dan tanpa diketahui kedua orang gadis itu, dia memandang mereka dengan sinar mata yang tiba-tiba membayangkan perasaan iba yang mendalam!
"Sudahlah, Lan-ci, bagaimana kita bisa melewatkan kesempatan yang baik ini? Bukankah selama ini kita mendambakan seorang guru yang sakti?"

Kui Lan menyerah. "Baiklah, saya bersedia melaksanakan perintah dan memenuhi syarat itu," katanya.

"Bagus! Nah, sekarang tunggangilah kuda kalian dan ikuti pinceng pergi dari sini!"
"Nanti dulu, locianpwe. Kami belum melakukan upacara pengangkatan guru," kata Kui Bi dan dia pun kembali menggandeng tangan enci-nya untuk berlutut dan memberi hormat delapan kali kepada hwesio itu sambil menyebut, "Suhu…!".

Hwesio yang sudah mendapatkan kembali kegembiraannya itu kini tertawa-tawa sampai perutnya yang gendut itu bergerak-gerak, seolah ada kehidupan tersendiri di dalam perut yang besar itu.

"Sudahlah, pinceng senang sekali mempunyai murid-murid seperti kalian," kata Kong Hwi Hosiang dan sekali menggerakkan tangan, ujung lengan bajunya menyentuh pundak dua orang gadis itu.

Dan luar biasa sekali! Kui Lan dan Kui Bi merasa seperti terangkat oleh angin yang amat kuat sehingga mau tak mau mereka bangkit berdiri kemudian memandang kagum karena mereka pun mengerti bahwa gerakan guru mereka tadi merupakan pengerahan sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat.

"Akan tetapi, suhu. Bagaimana mungkin teecu berdua menunggang kuda sedangkan suhu berjalan kaki? Biarlah teecu dan enci Kui Lan berboncengan dan suhu menunggang kuda teecu (murid)."

Hwesio itu tertawa bergelak sehingga mulutnya terbuka. Dua orang gadis itu memandang dengan heran ketika melihat betapa mulut itu sama sekali tidak mempunyai gigi lagi, mirip seperti mulut bayi! Dan tertawa seperti itu, memang wajah Kong Hwi Hosiang mirip wajah seorang bayi

"Ha-ha-ha-ha, pinceng telah dikurniai sepasang kaki yang kuat, kenapa mesti pinjam kaki kuda untuk berdiri? Sudahlah, kalian tunggangi saja kuda kalian dan pinceng berjalan kaki Kau kira gurumu ini tidak akan mampu menandingi larinya kuda?"

Dua orang gadis itu saling pandang, merasa heran, kagum dan juga bangga, akan tetapi ada pula perasaan ingin membuktikan dan penasaran. Boleh jadi suhu-nya memiliki ilmu silat yang hebat, akan tetapi lari menandingi kuda? Melihat kedua orang murid itu nampak tertegun dan ragu, Kong Hwi Hosiang lalu memberi isyarat dengan tangan agar keduanya cepat meloncat ke atas punggung kuda.

"Nah, ikuti pinceng!" katanya, lantas tubuhnya berkelebat ke depan dan melesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya!

Dua orang gadis itu terkejut. Mereka cepat menggebrak kendali agar kuda mereka berlari cepat mengejar bayangan guru mereka yang sudah jauh itu. Mereka membalapkan kuda, akan tetapi tetap saja tak mampu menyusul bayangan yang bergerak meluncur menyusuri sungai. Padahal mereka melihat betapa hwesio itu seperti melangkah biasa saja, namun jubahnya yang lebar berkibar-kibar!

Mereka tentu saja menjadi kagum bukan main dan kini lenyap pula sedikit keraguan yang masih tersisa di hati Kui Lan. Kegembiraan melihat kenyataan akan kesaktian gurunya itu sudah membuat gadis ini dapat melupakan bayangan kerinduan terhadap orang tuanya. Guru seperti hwesio ini sangat sukar ditemukan dan mereka beruntung sekali, tidak saja tadi diselamatkan dari mala petaka mengerikan, bahkan kini diterima menjadi murid.

Ketika akhirnya mereka menghentikan larinya kuda dalam pekarangan sebuah kuil yang berada di tempat sunyi, di pinggir sungai dan di kaki sebuah bukit, kuda mereka terengah dan berpeluh. Akan tetapi hwesio itu sama sekali tidak berkeringat, dan napasnya biasa saja, bahkan masih tersenyum lebar.

"Wah, suhu hebat sekali! Suhu lari melebihi kecepatan kuda kami!" Kui Bi berseru kagum sambil melompat turun. "Suhu harus mengajarkan ilmu berlari cepat itu kepada teecu!"
"Hushh, Bi-moi, mana ada murid mengharuskan gurunya!" Kui Lan menegur, khawatir bila guru mereka menjadi marah mendengar kelancangan adiknya.

"Omitohud...! Kakak beradik mempunyai watak yang jauh berbeda, akan tetapi keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Demikianlah segala.apa yang berada di dunia ini, termasuk manusia. Ada kelebihannya pasti ada kekurangannya, ha-ha-ha-ha! Kalian jangan khawatir. Kalau kalian selalu tekun berlatih, maka dalam dua tahun pinceng akan menurunkan semua ilmu simpanan pinceng kepada kalian. Ilmu berlari cepat seperti tadi bukan apa-apa, walau pun amat penting, yaitu kalau-kalau kalian terpaksa melarikan diri sehingga tidak akan mudah dikejar, ha-ha-ha…!"

Dua orang gadis itu pun tersenyum mendengar kelakar guru mereka yang kadang-kadang penampilannya tidak mirip pendeta bahkan lebih mirip kanak-kanak.

Mereka memasuki kuil. Kuil yang tidak besar itu berada di tepi Sungai Wei, di kaki Bukit Bangau. Tempat yang cukup sunyi karena berada di luar dusun, bahkan jauh dari kota. Mereka disambut oleh seorang nikouw (pendeta wanita) yang bertubuh kurus dan nampak bersih dan rapi. Usianya sekitar lima puluh tahun, masih cantik namun dirinya dibungkus kesederhanaan yang wajar, matanya lembut dan gerak-geriknya nampak ringkih.

"Susiok (paman guru)!" Nikow itu memberi hormat kepada Kong Hwi Hosiang yang maju menghampiri sambil tertawa-tawa.
"Pek-lian, ini adalah murid-murid pinceng, namanya Yang Kui Lan dan adiknya, Yang Kui Bi. Kui Lan dan Kui Bi, ini adalah murid keponakan pinceng, namanya Pek-lian Nikouw. Kalian boleh menyebut suci (kakak seperguruan) kepadanya dan bisa minta petunjuknya. Jangan mengira dia lemah. Dia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat gerakan pinceng akan nampak lamban sekali!" Hwesio itu tertawa.

Dua orang gadis itu terkejut dan kagum bukan main. Kalau guru mereka yang mempunyai ilmu berlari secepat itu masih memuji ginkang nikow ini, sudah tentu suci-nya ini memiliki kepandaian hebat bukan main.

"Omitohud! Susiok selalu berkelakar dan terlalu memuji," kata nikouw tua dengan lembut dan senyumnya nampak sangat ramah. "Dalam hal ilmu silat, pin-ni (saya) seperti semut dibandingkan susiok yang seperti gajah. Pin-ni hanya belajar sedikit ilmu untuk melarikan diri dari bahaya."

Kong Hwi Hosiang tertawa terpingkal-pingkal. "Ha-ha-heh-heh, pinceng seperti gajah? Ha-ha-ha, sungguh tepat. Ketahuilah, Pek-lian, pinceng hendak menitipkan dua orang murid pinceng di sini. Tidak, mereka tidak harus menjadi nikouw, mereka hanya pinceng titipkan selama pinceng mengajar ilmu silat kepada mereka."

"Tentu saja, susiok. Mereka boleh tinggal di sini selama mereka sukai, asal tempat yang sederhana ini tidak membosankan hati mereka. Mari, kedua sumoi, mari masuk dan pin-ni pilihkan kamar yang pantas untuk kalian."
"Aihh, suci, tidak perlu repot-repot mengurus kami. Sebaiknya kalau kami berkenalan dulu dengan para nikouw yang tinggal di sini," kata Kui Bi. Mereka lalu diperkenalkan dengan lima orang nikouw lain yang tinggal di kuil Thian-bun-tang itu.

Semenjak hari itu Kui Lan dan Kui Bi tinggal di kuil Thian-bun-tang dan setiap hari mereka melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang diajarkan guru mereka. Kong Hwi Hosiang sendiri tidak tinggal di kuil itu, hanya seminggu sekali datang untuk menggembleng kedua orang muridnya mulai pagi hingga malam. Mereka berdua juga mendapat petunjuk ilmu ginkang (meringankan tubuh) dari Pek-lian Nikouw dan mempelajari isi kitab-kitab agama dari para nikouw lain.

Atas kehendak Kong Hwi Hosiang, dua orang gadis muda ini tidak pernah keluar dari kuil sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa di kuil itu tinggal dua orang gadis cantik jelita. Inilah sebabnya mengapa semua usaha Menteri Yang untuk mencari kedua orang puterinya itu gagal.

Karena kakak beradik ini memang berbakat baik, apa lagi di bawah bimbingan yang tekun dari Kong Hwi Hosiang, juga lingkungan hidup yang bersih, rajin dan tekun dengan para nikouw, kedua orang gadis bangsawan itu memperoleh kemajuan pesat sekali. Pelajaran agama juga merupakan hiburan yang baik sekali dan dapat mengobati kerinduan mereka terhadap orang tua…..

********************
Apa yang dikhawatirkan Yang Kok Tiong terjadilah. Sesudah An Lu Shan dianggap tidak bersalah oleh kaisar, bahkan menerima hadiah serta pujian atas kesetiaannya, memang tidak terlihat tanda-tanda bahwa panglima peranakan Khitan Turki itu akan memberontak. Bahkan kaisar juga tidak menaruh curiga pada saat An Lu Shan memperkuat pasukannya dengan alasan untuk memperkuat penjagaan di perbatasan utara.

Akan tetapi dua tahun kemudian An Lu Shan membuka kedoknya. Secara diam-diam dia bukan hanya menghimpun kekuatan pasukannya, malah juga mengadakan hubungan dan persekongkolan dengan suku-suku asing di utara, terutama dengan suku Khitan. Mulailah dia menggerakkan pasukannya menuju ke selatan.

Mula-mula tidak ada yang merasa curiga melihat gerakan ini, karena bukankah pasukan yang dipimpin An Lu Shan itu merupakan pasukan Kerajaan Tang? Dan panglima An Lu Shan tentu saja memiliki pasukan pilihan yang terkuat dari Kerajaan Tang.

Dia membawa pasukan besarnya menyeberang Sungai Kuning, kemudian menyerbu Lok-yang tanpa kesulitan. Pasukan yang menjaga Lok-yang yang merupakan kota raja yang ke dua setelah kota raja Tiang-an dikejutkan oleh serbuan yang sama sekali tidak diduga-duga itu. Lok-yang diduduki dengan mudahnya.

Gegerlah kota raja setelah kaisar mendengar berita itu. Dia bukan hanya terkejut, namun juga amat khawatir. Dengan tergesa-gesa kaisar lalu mengerahkan seluruh pasukan untuk menyambut gerakan barisan pemberontak itu.

Terjadilah pertempuran besar di Ling-pao yang berlangsung hingga dua pekan lebih. Akan tetapi akhirnya pasukan pemerintah tidak kuat bertahan dan dapat dihancurkan sehingga sisa pasukan terpaksa mundur ke benteng pasukan pemerintah di Terusan Tiong-koan.

Terjadi perang besar di benteng Tiong-koan ini. Akan tetapi pasukan pemberontak yang sudah lama membuat persiapan penyerbuan itu dan keadaannya jauh lebih kuat, berhasil menghancurkan pertahanan pasukan pemerintah sehingga akhirnya benteng Tiong-koan juga bobol.

Jatuhlah benteng pertahanan terakhir yang merupakan pintu gerbang ke kota raja. Tentu saja hal ini membuat Kaisar Hsuan Tsung atau Beng Ong yang sudah berusia tujuh puluh tahun ini menjadi gentar. Kepanikan melanda keluarga kaisar, dan dengan tergesa-gesa Kaisar melarikan diri mengungsi ke barat, menuju ke Se-cuan.

Demikianlah, pasca tahun 755, An Lu Shan memimpin pasukannya menyerbu ibu kota Tiang-an dan boleh dibilang hampir tidak mendapatkan perlawanan. Hanya ada beberapa orang panglima setia yang melakukan usaha sia-sia untuk melawan sampai mati, namun pasukan kecil mereka tidak ada artinya terhadap bala tentara besar yang menyerbu kota raja bagaikan air bah itu. Kota raja Tiang-an diduduki oleh An Lu Shan dan terjadilah apa yang ditakuti rakyat, yaitu perampokan, perkosaan dan pembunuhan.

Sebagian besar keluarga kaisar tertumpas, para wanitanya yang muda dan cantik dipaksa menjadi selir atau dibunuh. Yang diajak pergi mengungsi bersama kaisar hanya keluarga dekat, bahkan selirnya yang tidak pernah terpisah dari sisinya hanya Yang Kui Hui! Selain selir yang tercinta ini, juga ikut pula Menteri Utama: Yang Kok Tiong, kakak kandung selir Yang Kui Hui itu.

Yang Kok Tiong hanya seorang diri saja mengikuti kaisarnya yang melarikan diri. Isterinya berkeras tidak mau meninggalkan gedungnya karena dia akan menunggu kembalinya tiga orang anaknya yang telah menghilang selama dua tahun. Akhirnya, dalam kerusuhan itu, pada waktu prajurit-prajurit pemberontak merampok rumahnya dan dia akan diperlakukan tidak senonoh oleh seorang di antara mereka, nyonya yang cantik dan lembut ini memilih kematian dengan minum racun yang memang sudah dia persiapkan!

Selain Menteri Yang Kok Tiong dan Selir Yang Kui Hui, ada pula pasukan pengawal yang terdiri dari seratus orang lebih mengawal rombongan kaisar. Pasukan ini dipimpin oleh Panglima Kok Cu It, panglima berusia empat puluh dua tahun yang terkenal setia kepada kaisar.

Panglima Kok Cu ini pula yang secara mati-matian menghimpun pasukan dan melakukan perlawanan di Terusan Tung-ku-an, namun akhirnya pasukannya terpukul hancur karena memang kalah besar dan kalah persiapan. Sekarang, dengan pasukan pengawal yang hanya seratus orang lebih, panglima ini tidak mau melarikan diri seperti rekan-rekannya, melainkan dengan setia dia mengawal kaisar melarikan diri ke barat.

Semula, Kaisar Beng Ong yang sudah tua itu masih merasa terhibur dalam pelariannya. Selirnya tercinta berada di sisinya. Dan di sana masih terdapat Menteri Yang Kok Tiong yang setia dan dapat menjadi penasehatnya, juga terdapat pula Panglima Kok Cu It yang dapat dipercaya akan membelanya mati-matian.

Akan tetapi sungguh tidak diduganya sama sekali bahwa mala petaka datang bukan dari luar, melainkan dari pasukan pengawal itu sendiri. Peristiwa yang tercatat dalam sejarah itu terjadi ketika rombongan pengungsi ini sampai di pos penjagaan di Ma-wei, di Shen-si sebelah barat.

Di tempat yang berada di wilayah perbatasan dengan Tibet ini, rombongan berhenti untuk beristirahat melewatkan malam. Para prajurit yang berjaga di pos itu berjumlah tiga losin orang. Mereka segera bergabung dengan pasukan pengawal yang menceritakan keadaan di timur yang telah diduduki para pemberontak.

Menteri Yang Kok Tiong tidak tinggal diam. Dia maklum bahwa rombongan sudah sampai di daerah perbatasan dengan daerah Tibet, dan untuk menyelamatkan dan mengamankan kaisarnya, maka sebaiknya kalau dia bisa menghubungi para tokoh di Tibet untuk mencari perlindungan bagi kaisarnya. Karena itu dia pun segera mengadakan hubungan dengan para kepala Lama, yaitu pendeta di Tibet yang memegang kekuasaan di daerah itu, agar para pendeta itu dapat menerima rombongan pengungsi sebagai sahabat.

Akan tetapi, ketika Menteri Yang Kok Tiong mengadakan perundingan dengan beberapa tokoh pendeta Lama di tendanya, terjadi perundingan lain di antara pasukan. Para prajurit yang menderita dalam pelarian itu merasa lelah dan lapar, juga harapan mereka semakin tipis, masa depan demikian suram. Kalau mula-mula mereka hanya mengeluh, kemudian mereka merasa penasaran.

Apa lagi sesudah para perwira yang menjadi pembantu-pembantu panglima Kok Cu mulai menyinggung tentang kelemahan kaisar yang menjadi permainan Selir Yang Kui Hui.

"Coba bayangkan, orang macam Yang Kok Tiong dapat diangkat menjadi Menteri Utama! Hanya karena merupakan kakak selir itu maka dia diangkat menempati kedudukan yang tertinggi sesudah kaisar!"
"Dan sekarang, lihat saja! Dia malah bersekongkol dengan para pendeta Lama!"
"Jangan-jangan dia hendak mengkhianati kaisar. Melihat kaisar telah jatuh, sekarang dia menjilat kepada para pendeta Lama!"
"Seret pengkhianat Yang Kok Tiong!"

Segera mereka bersorak-sorak dari memaki-maki Menteri Yang Kok Tiong! Malah seratus dua puluh orang lebih itu kini mulai menyerbu ke arah tenda yang menjadi tempat tinggal sementara dari Menteri Yang Kok Tiong!

Pada saat itu para pendeta Lama telah meninggalkan tenda Menteri Yang! Tentu saja dia terkejut bukan kepalang mendengar ribut-ribut di luar. Dia segera melangkah keluar, tetapi hanya untuk menghadapi amukan para prajurit.

Kini menteri itu sama sekali tidak berdaya. Pada waktu itu dia sudah tidak lagi dijaga oleh pengawal seperti ketika dia masih tinggal di kota raja. Dia tidak dapat melawan dan tewas seketika di bawah banyak senjata yang membuat tubuhnya hancur!

Kaisar Beng Ong terkejut bukan main mendengar keributan ini, begitu pula panglima Kok Cu It yang ketika peristiwa itu terjadi sedang berbincang-bincang dengan kaisar. Mereka berlari keluar dan Panglima Kok Cu sudah mencabut pedangnya untuk melindungi kasar.

Sementara itu, bagai srigala-srigala buas yang menjadi makin ganas setelah merasakan sedikit darah, sesudah melumatkan tubuh Menteri Yang Kok Tiong yang mereka anggap menjadi seorang di antara mereka yang melemahkan negara dan mengakibatkan kerajaan jatuh ke tangan pemberontak, para prajurit pengawal kini berbondong-bondong menuju ke pondok darurat yang dibangun untuk menjadi tempat tinggal sementara bagi kaisar.

"Bunuh Selir Yang Kui Hui!"
"Gantung iblis betina itu!"

Kaisar dan Panglima Kok Cu It muncul di beranda loteng. Mereka melihat betapa semua pasukan telah berdiri di depan pondok dengan sikap seperti harimau yang haus darah!


Begitu melihat kaisar dan Panglima Kok Cu It muncul di loteng, semua orang kemudian terdiam. Bagaimana pun juga kaisar dan panglima itu masih memiliki wibawa besar yang membuat mereka gentar dan tunduk.

Sekilas pandang saja tahulah Panglima Kok Cu bahwa semua perwira terlibat dalam unjuk perasaan itu, maka tak mungkin melakukan tertib hukum militer. Jika mereka itu dihukum, sama saja dengan melenyapkan pasukan pengawal!

"Apa artinya semua ini?" terdengar suara Kok Cu It yang menggelegar. ”Kami mendengar kalian telah membunuh Menteri Yang! Dan sekarang kalian membikin ribut di sini. Apakah kalian hendak memberontak terhadap Sribaginda Kaisar?"

Kaisar sendiri juga berusaha menenangkan hati mereka. "Para prajurit, dengar baik-baik! Kami mengerti bahwa kalian menderita kelaparan, kehausan dan kelelahan. Tetapi kami tak akan pernah melupakan jasa kalian. Jasa kalian masing-masing telah kami catat dan percayalah, Kerajaan Tang akan bangkit kembali dan setelah kita berhasil, kalian masing-masing akan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Kami percaya kalian adalah pahlawan-pahlawan, bukan pengkhianat."

Mendengar ucapan kaisar dan panglima mereka, para prajurit itu kini berteriak-teriak lagi.

"Hukum gantung Yang Kui Hui! Dia telah meracuni istana, dia telah melemahkan kerajaan, mempermainkan Sribaginda!"
"Kami telah menghukum Yang Kok Tiong, dan kami akan menghukum Yang Kui Hui pula! Kerajaan Tang harus dibersihkan dari orang-orang yang mempermainkan kerajaan dan hanya mau enaknya saja!"

Wajah kaisar menjadi pucat mendengar ini.

"Ahh, bagaimana ini, Kok-ciangkun...?" bisiknya kepada panglimanya dengan suara yang gemetar.

Kok Cu It mengamati keadaan para anak buahnya. Pendengarannya yang tajam sempat mendengar di antara teriakan-teriakan mereka terdapat ancaman, bahwa apa bila Kaisar tidak menghukum mati Yang Kui Hui, mereka akan membakar pondok itu dan membunuh seluruh keluarga kaisar!

Pangeran Su Tsung, yaitu Putera Mahkota yang turut pula naik ke beranda loteng dan sejak tadi berdiri di belakang kaisar bersama Selir Yang Kui Hui juga mendengar teriakan-teriakan itu. Juga Yang Kui Hui mendengar teriakan itu. Selir ini sudah merasa sedih dan sakit hati sekali mendengar bahwa kakaknya dibunuh oleh para prajurit, dan kini mereka berteriak-teriak menuntut agar dia pun dihukum mati!

"Sribaginda, hamba tidak melihat lain jalan...," kata Panglima Kok Cu It.

Secara diam-diam, jauh di dasar lubuk hatinya, panglima ini tidak bisa menyalahkan sikap pasukannya. Memang semua orang tahu betapa Yang Kui Hui telah melemahkan istana, melemahkan kaisar dan dengan sendirinya juga melemahkan negara. Wanita ini menjadi rebutan antara anak dan ayah. Isteri Pangeran Houw ini direbut oleh mertuanya sendiri dan setelah menjadi selir kaisar, semua kekuasaan kaisar lalu dikendalikannya!

"Hukum Yang Kui Hui!"
"Iblis betina itu kekasih An Lu Shan si pemberontak!"

Teriakan-teriakan itu semakin berani. Yang Kui Hui maklum bahwa tidak ada lagi harapan baginya. Kini dia pun teringat akan semua sikap serta perbuatannya, yang dilakukan demi kesenangan diri sendiri dan keluarganya. Kini semua itu sudah mengalami kegagalan dan dia harus berani menerima kenyataan. Maka dia pun menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki kaisar.

"Sribaginda, hukumlah hamba, gantunglah hamba kalau itu dapat meredakan kemarahan mereka... hamba rela mati... untuk menyelamatkan paduka...," katanya sambil menangis.

Kaisar yang amat mencinta selirnya ini merasa terharu sekali, mengangkat selirnya berdiri dan merangkulnya. Mereka berangkulan sambil menangis.
"Tidak..., tidak... Kui Hui, engkau tidak boleh dihukum mati...," rintih kaisar tua itu dengan suara dan wajah memelas.

Melihat adegan romantis di atas loteng, di mana kaisar itu berangkulan dengan selir yang dibenci pasukan itu, mereka berteriak-teriak semakin ganas.

"Sribaginda... relakan hamba... hamba telah menerima kasih sayang paduka yang sangat berlimpahan... sekaranglah saatnya hamba membalas jasa... dengan nyawa hamba untuk menyelamatkan paduka..." Kui Hui berkata di antara isak tangisnya. Dia pun melepaskan diri dari pelukan kaisar.
"Kok-ciangkun, minta mereka menunggu sebentar, aku mau berganti pakaian dulu, baru aku akan menggantung diri di sini agar mereka semua dapat melihatnya."
"Kui Hui...!" 

Kaisar berseru, akan tetapi selir itu telah berlari turun ke kamarnya. Kaisar tua itu hendak mengejarnya, akan tetapi terhuyung dan cepat Pangeran Su Tsung merangkulnya.

"Sribaginda, tidak ada jalan lain. Harap paduka menguatkan hati paduka, semua ini demi negara!" kata Kok-ciangkun.

Mendengar kalimat terakhir ini, kaisar seolah-olah mendapatkan tenaga baru dan dia pun mengangguk. Demi negara! Demi kerajaan! Dia harus mengorbankan Yang Kui Hui, selir tercinta.

Kok Cu It lalu berdiri di tepi loteng dan berseru dengan suara lantang bahwa Selir Yang Kui Hui siap menerima hukuman mati, dan agar para prajurit tenang. Mendengar teriakan ini, semua prajurit segera terdiam dan suasana menjadi hening, namun amat mencekam, menegangkan perasaan.....

Tak lama kemudian Yang Kui Hui naik ke loteng dan dia telah mengenakan pakaian serba putih dari sutera halus, rambutnya yang masih hitam dan panjang itu dibiarkan terurai dan dia tidak mengenakan sebuah pun perhiasan. Tetapi dalam pakaian sederhana serba putih dan mengurai rambut itu makin nampak kecantikannya yang asli dan memang wanita ini memiliki kecantikan yang sukar dicari bandingnya! Melihat selirnya sudah siap untuk mati, kaisar merangkulnya lagi.

"Kui Hui… aihh, Kui Hui... bagaimana aku dapat membiarkan engkau mati meninggalkan aku...?"

Kui Hui juga menangis, akan tetapi ia masih menghibur kaisar. "Sribaginda, harap relakan hamba. Hamba akan menanti paduka di sana..."

Perlahan selir itu melepaskan rangkulan lalu dia menyerahkan sebuah sabuk sutera putih kepada Kok Cu It untuk dipasangkan pada balok melintang. Kok-ciangkun tanpa ragu lagi segera membuat tali penjirat yang tergantung di balok melintang. Kemudian, setelah Yang Kui Hui merangkul dan mencium kaisar, dia berlari dan dibantu Kok Cu It, selir ini lantas memasukkan kepalanya ke lubang jiratan yang dibuat pada ujung sabuk, lalu dia meloncat dan tubuhnya terayun-ayun, lehernya tergantung!

"Kui Hui...!" Kaisar merintih dan terkulai pingsan dalam rangkulan pangeran mahkota Su Tsung.

Melihat tubuh selir itu tergantung sambil meronta sebentar kemudian terkulai, para prajurit yang menonton dari bawah bersorak gembira. Timbul lagi semangat mereka sesudah kini dua orang yang mereka benci, yaitu Yang Kok Tiong dan Yang Kui Hui, telah tewas.

Setelah terjadinya peristiwa yang membuat hati kaisar terbenam dalam duka, rombongan itu kembali melanjutkan pengungsian mereka ke daerah Se-cuan. Dan di sepanjang jalan, Panglima Kok Cu It berhasil menghimpun pasukannya, yaitu menampung prajurit-prajurit yang melarikan diri kemudian menyusul ke barat untuk bergabung dengan kaisar mereka.

Sesudah Yang Kui Hui tidak ada lagi, Kaisar Hsuan Tsung atau Kaisar Beng Ong yang berusia tujuh puluh tahun itu tidak mempunyai semangat lagi, maka dia pun melimpahkan tahta kerajaan kepada pangeran mahkota, yaitu Pangeran Su Tsung.

Dan di tempat pengungsian ini, Kaisar yang baru, Kaisar Su Tsung, dibantu oleh Panglima Kok Cu It dan para pengawal yang masih setia, membangun kembali kekuatan Kerajaan Tang. Berkat kebijaksanaan Panglima Kok Cu It yang menjanjikan imbalan besar kepada mereka, pasukan Kerajaan Tang mendapat bantuan dari orang-orang Turki, bahkan juga mendapat bantuan dari Caliph, yaitu panglima kerajaan Arab, dan beberapa suku bangsa lain.

Akhirnya, dengan bala tentara campuran ini, Panglima Ko Cu It mulai bergerak ke timur untuk merebut kembali Kerajaan Tang yang terjatuh ke tangan An Lu Shan. Dan terjadilah perang yang berkepanjangan!

Sesudah jenazah Yang Kui Hui dikubur secara sepantasnya, dan sebelum rombongan itu melanjutkan perjalanan, Kaisar Hsuan Tsung mengadakan percakapan rahasia bersama Pangeran Mahkota dan Panglima Kok Cu It. Hanya mereka bertiga saja yang berunding di dalam ruangan itu, tidak boleh dihadiri orang lain.

Mula-mula kaisar dan pangeran mahkota berdua saja yang duduk di dalam ruangan itu, dan para pengawal disuruh menjaga di luar ruangan. Kemudian datanglah Panglima Kok Cu It dengan wajah muram, dan begitu dia muncul, kaisar sudah cepat bertanya.

"Bagaimana, ciangkun, berhasilkah menemukannya?"

Dengan murung panglima itu menggelengkan kepala. "Tidak berhasil, Sribaginda. Hamba tidak dapat menemukannya di dalam pakaian yang dipakainya, juga di antara perbekalan di dalam tendanya, hamba tidak dapat menemukan pusaka itu."

Panglima itu dipersilakan duduk dan mereka bertiga nampak murung.

"Akan tetapi, kenapa ayahanda menitipkan pusaka yang amat penting itu kepada Paman Yang Kok Tiong?" kata sang pangeran dengan nada suara menyesal.

Ayahnya menghela napas panjang. "Keadaan sudah amat gawat, tetapi kami masih tidak melupakan untuk membawa pusaka itu ketika mengungsi. Dan kami yakin bahwa pusaka itu akhirnya tentu akan diperebutkan orang, sebab merupakan lambang kekuasaan. Untuk mengamankan, diam-diam kami titipkan kepada Menteri Yang tidak akan dicari orang, dan tidak akan ada yang menduga bahwa pusaka ada padanya. Siapa tahu tanpa disangka-sangka hari ini terjadi mala petaka yang mendadak?"

"Ampun, Sribaginda. Hal yang telah terjadi kiranya tak perlu disesalkan. Yang terpenting kita harus dapat menemukan kembali pusaka itu, dan sementara ini kehilangan itu harus dirahasiakan karena bila sampai terdengar oleh rakyat, tentu dukungan mereka terhadap paduka akan menjadi lemah ”
"Apa yang dikatakan Paman Panglima Kok tadi memang benar, ayahanda. Tanpa adanya pusaka itu, hamba sendiri akan merasa lemah menunaikan tugas."

Kaisar mengangguk-angguk, kemudian mereka bertiga terbenam ke dalam kekhawatiran. Pusaka apa yang membuat mereka bertiga begitu cemas karena dinyatakan hilang?

Sejak Kerajaan Tang berdiri pada satu setengah abad yang lalu, semenjak kaisar pertama Kerajaan Tang memerintah, yaitu Kaisar Tang Kaocu, Kerajaan Tang mempunyai banyak pusaka yang menjadi pusaka kerajaan. Akan tetapi, di antara semua pusaka yang ada, yang dianggap paling penting dan sebagai pusaka tanda kekuasaan adalah sebuah benda mestika yang amat kuno dan amat indah. Benda itu adalah sebuah kemala yang sangat luar biasa karena di dalam sebongkah kemala itu terdapat warna merah, putih, hijau dan hitam. Jarang ada kemala yang mengandung beraneka warna seperti itu.

Hiasan kemala itu diukir demikian halusnya sehingga berbentuk seekor burung Hong yang sedang terbang membentangkan sayapnya. Ukiran itu begitu halusnya sehingga seolah hidup saja, dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar.

Bukan saja benda ini amat indah dan sangat berharga, merupakan benda langka, namun lebih dari pada itu, benda ini dianggap mempunyai daya atau pengaruh sehingga menjadi kepercayaan umum bahwa siapa yang memiliki benda itu, dialah yang mendapat wahyu untuk menjadi kaisar! Benda itu seakan diturunkan dari langit sebagai tanda kekuasaan Kaisar! Kepercayaan ini merupakan tahyul yang sudah berakar mendalam di hati keluarga Kerajaan Tang dan bahkan semua ponggawanya.

Inilah sebabnya kenapa ketika kaisar Hsuan Tsung kehilangan mestika itu, dia, pangeran mahkota dan panglima Kok langsung termangu dan berduka. Kalau sampai berita tentang kehilangan mestika itu terdengar keluar, maka akan sukar sekali mengharapkan dukungan rakyat untuk bergerak dan bangkit kembali. Raja yang sudah kehilangan giok-hong (Hong Kemala) berarti sudah kehilangan hak untuk menjadi raja!

"Ahh, mungkinkah dia sudah mengkhianati kami?" Kaisar tua itu mengepal tinju. "Keparat engkau Yang Kok Tiong apa bila engkau mengkhianati kami dan memberikan mestika itu kepada orang lain!"

"Ayahanda tentu maklum bahwa Paman Yang mempunyai tiga orang anak, seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Bahkan kabarnya tiga orang anaknya itu belum pulang ketika terjadi penyerbuan di kota raja. Mereka tentu selamat dan mengapa mereka tidak menyusul kita, padahal ayah mereka berada bersama kita? Ini tentu ada sebabnya. Hamba tidak akan merasa heran kalau kelak ternyata bahwa mestika itu berada di tangan salah seorang di antara anaknya!"

"Mungkin sekali itu. Keparat engkau, Yang Kok Tiong!" Kaisar memaki-maki menterinya yang sudah tewas itu.

Panglima Kok Cu It menyabarkan dan menenangkan hati ayah dan anak itu. "Hamba kira hal itu kelak akan dapat diselidiki. Pasti hamba akan berdaya upaya sekuat tenaga untuk menemukan kembali mestika itu. Sekarang sebaiknya kita tidak ribut-ribut dan berusaha merahasiakan hal ini, seakan-akan mestika itu masih ada pada paduka. Yang terpenting sekarang adalah menghimpun tenaga agar kita dapat membalas kekalahan kita dari An Lu Shan."

Kaisar tua mengangguk-angguk. Pangeran mahkota Su Tsung yang masih cemas dengan kehilangan mestika itu yang akan membuat dia merasa hampa kalau kelak menjadi kaisar tanpa memilikinya, segera bertanya,

"Akan tetapi, Paman Panglima. Bagaimana kalau nanti para pimpinan kelompok yang kita mintai bantuan mengetahui bahwa mestika itu tidak ada pada kita lagi? Bagaimana kalau mereka minta agar ayahanda Kaisar memperlihatkan mestika itu kepada mereka? Ingat, suku-suku bangsa di sini, terutama bangsa Uighur yang kita harapkan sekali bantuannya, amat percaya akan lambang kekuasaan itu."
"Paduka Pangeran benar, tetapi jangan khawatir, hamba akan mempersiapkan tiruannya!"

Demikianlah, kehilangan mestika itu tetap menjadi rahasia karena sesudah tukang yang pandai membuatkan sebuah mestika tiruan yang dilihat begitu saja sangat serupa dengan yang asli, diam-diam Panglima Kok Cu membunuhnya. Mestika Hong Kemala yang palsu itu lalu diserahkan kepada Kaisar. Pada saat kaisar menyerahkan kedudukannya kepada Pangeran MaKkota, maka mestika palsu itu pun diberikan kepadanya.

Beberapa kali mestika itu diperlihatkan sepintas lalu kepada para pimpinan kelompok atau suku bangsa sehingga mereka semua percaya bahwa kaisar baru itu masih mempunyai Mestika Hong Kemala, maka mereka bersemangat membantunya karena mereka percaya bahwa barang siapa memiliki mestika itu, dipastikan berhasil menjadi raja…..!

********************
Selanjutnya baca
MESTIKA BURUNG HONG KEMALA : JILID-04
LihatTutupKomentar