Kisah Pendekar Bongkok Jilid 15
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja matahari mengirim cahaya mudanya ke permukaan telaga, Ling Ling sudah berlutut di tepi telaga. Seperti biasa, dia hendak membersihkan badannya di bagian-bagian tertentu saja. Ia tidak berani mandi sampai bersih. Bahkan sesudah mencuci muka, segera dia melumuri kembali kedua pipi dan dahinya dengan lumpur!
Pada saat dia berlutut dan hendak memasukkan tangannya ke air, tiba-tiba dia melihat bayangannya sendiri pada permukaan air. Hampir saja dia menjerit saking kagetnya. Wajahnya demikian buruknya! Buruk sekali bahkan menjijikkan! Rambut itu! Muka itu! Seperti setan! Bagaimana kalau nanti Sie Liong melihatnya!
Hari ini Sie Liong pasti dapat dijumpainya. Dan kalau Sie Liong melihat dirinya, tentu dia akan lupa dan bahkan mungkin akan jijik! Tak terasa, dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di kedua pipinya. Baru membayangkan Sie Liong jijik kepadanya saja, hatinya sudah seperti diremas rasanya. Sakit bukan main!
Tidak, Sie Liong tak boleh melihat ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh pangling padanya, tidak boleh jijik! Ia harus membersihkan dirinya pagi ini, karena nanti ia akan bertemu dengan Sie Liong!
“Liong-koko, engkau tidak boleh jijik padaku...,” keluhnya dan seperti sudah berubah gila sungguh ia lalu meloncat ke dalam air yang amat dingin itu! Ia memang pandai renang. Ia lupa segala ketika tubuhnya sudah terendam air.
Lupa bahwa pakaian yang menempel di tubuhnya itulah pakaian satu-satunya! Dan ia terjun dengan pakaiannya! Rasa segar menyejukkan seluruh tubuhnya dan ia merasa gembira sekali, seolah ia hendak mandi sebersihnya untuk menyambut perjumpaannya dengan Sie Liong.
Ia mencuci rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia menanggalkan pakaian butut itu dan mencucinya sekali. Tubuhnya yang padat dan ranum, biar pun agak kurus, kini nampak berkilauan, dengan kulit yang mulus dan agak gelap, hitam manis bagaikan tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan kotor lagi, melainkan terurai panjang dan halus, dibiarkan terurai di depan tubuhnya menutupi payudara yang kini terbebas dari pakaian yang butut.
Karena dia hanya membayangkan pertemuannya yang sangat membahagiakan dengan Sie Liong, dalam kegembiraannya Ling Ling lupa segala dan kehilangan kewaspadaan. Dia tidak tahu betapa tidak jauh dari situ, tiga orang pria muda yang baru pulang dari menjala ikan semalaman suntuk berjalan beriringan lewat di situ, memanggul jala dan menjinjing keranjang ikan hasil pekerjaan mereka semalam.
Ketika mereka lewat dekat goa kecil itu, mereka mendengar suara berkecipaknya air. Mereka menengok dan ketiganya langsung berdiri bengong, terpukau bagaikan sudah berubah menjadi tiga buah arca! Kemudian, mereka menyelinap di balik batang pohon dan mengintai dengan mata melotot.
“Gadis... gila itu...!” bisik seorang di antara mereka.
“Benar, gadis gila. Lihat ia mencuci pakaiannya yang butut.”
“Tapi... ia cantik! Lihat wajahnya itu. Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan panjang. Dan tubuhnya itu! Ahh, betapa menarik dia.”
“Benar! Lihat dadanya itu... hemmm...!”
Ling Ling sudah selesai mandi dan mencuci pakaiannya. Ia menengok ke kanan kiri. Setelah melihat bahwa di sekitar tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik ke darat. Tubuhnya yang telanjang hanya ditutup rambut panjang terurai, dan pakaian yang basah dan sudah diperasnya itu dipergunakan untuk menutupi tubuhnya bagian depan. Lalu ia melangkah ke arah goanya. Tak tahu sama sekali ia betapa tiga pasang mata melahap ketelanjangannya dengan sinar mata yang berubah menjadi buas!
Ling Ling membuat api unggun di dalam goanya. Api itu penting sekali, bukan saja untuk menghangatkan tubuhnya yang agak kedinginan, tetapi juga perlu untuk mengeringkan pakaiannya yang cuma satu-satunya itu.
Pakaian itu masih jelek, robek sana sini, akan tetapi walau pun butut tidaklah sekotor tadi. Dengan bertelanjang bulat dan mengurai rambutnya agar kering pula, ia membeber pakaiannya dekat api agar kering. Wajahnya berseri dan sama sekali tidak berbekas lagi ‘kegilaannya’.
Ling Ling terbelalak dan terpekik ketika tiba-tiba tiga orang laki-laki muda itu berloncatan memasuki goanya yang kecil. Otomatis kedua tangannya menutupi tubuh bagian depan yang bugil, matanya terbelalak ketakutan seperti mata seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau.
Melihat keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan ludah. Mereka bukan penjahat, melainkan nelayan-nelayan yang biasa mencari nafkah dari menjala atau mengail ikan. Kehidupan yang miskin dan sederhana. Mereka bukanlah orang-orang yang senang melakukan kejahatan, bukan pula pengganggu wanita.
Akan tetapi, keadaan pada saat itu membuat mereka seperti gila oleh gairah nafsu yang mendadak berkobar menyala-nyala. Melihat betapa gadis yang biasanya dianggap gila itu, gembel gila menjijikkan yang biasanya mereka hindari, sekarang ternyata berubah menjadi seorang gadis yang memiliki wajah manis dan tubuh yang luar biasa indah dan menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebut menguasai hati dan pikiran.
Dan sekali nafsu sudah menguasai diri, segala pertimbangan pun lenyap. Baik buruk menjadi kabur, dan yang ada hanyalah gairah yang mendorong orang agar melakukan pelampiasan untuk memuaskan dan menyalurkan nafsu yang berkobar.
“He-he-he, engkau cantik menggairahkan!” kata tiga orang yang sudah lupa diri itu.
“Tidak, tidak! Aku jelek, aku orang gila! Jangan ganggu aku!” Ling Ling berteriak-teriak.
Akan tetapi tiga orang itu sudah menubruk dan menangkapnya. Ada yang memegang lengan, ada yang memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut panjang halus itu.
Ling Ling ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit, meronta, mencakar dan menggigit. Akan tetapi, perlawanannya ini tidak lagi menakutkan atau menjijikkan hati tiga orang pemuda itu, bahkan membuat nafsu birahi mereka menjadi semakin berkobar. Mereka tidak peduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang jelas bagi mereka, gadis ini cantik manis dan tubuhnya mulus!
Betapa pun dengan nekatnya Ling Ling meronta, tetapi apa arti kekuatan seorang gadis berusia delapan belas tahun dibandingkan tenaga tiga orang pemuda yang kuat, yang setiap hari bekerja kasar? Tak lama lagi ia akan terkulai lemas, akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan menjadi mangsa bagi tiga pemuda yang bagaikan tiga ekor harimau kelaparan memperebutkan seekor kelinci itu. Tenaga Ling Ling mulai lemah, akan tetapi mulutnya masih terus berteriak-teriak.
“Jangan...” Lepaskan aku... Aku orang gila, aku jelek... aahhh... toloooooong...!”
Seorang di antara tiga orang itu cepat mendekap mulut yang menjerit-jerit itu, dan pada saat bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut mengancam Ling Ling, pada saat terakhir ketika ia sudah ditelentangkan di lantai goa dan seorang di antara tiga pemuda buas itu menindihnya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke dalam goa.
“Aduuuhh...!”
“Auhhh...!”
“Heiii, aduhh...!”
Semua terjadi demikian cepatnya sehingga Ling Ling sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tiga pemuda itu telah melepaskan tangan-tangan mereka dari tubuhnya dan mereka pun seperti terseret keluar dari dalam goa sambil mengaduh-aduh.
“Aku gila... Jangan ganggu aku,.... aku jelek dan gila...!”
Ling Ling cepat meraih tanah dari sudut goa dan melumuri muka dan semua tubuhnya dengan tanah basah itu, juga rambutnya. Bahkan ia menyambar pakaian yang sudah kering, menggosok-gosokkan pakaiannya pada dinding goa yang lembab, kemudian ia mengenakan kembali pakaiannya. Dengan rambut yang kotor, muka yang kotor, lalu ia tertawa, menangis, berteriak-teriak, berlagak kembali seperti orang gila!
Tiga orang pemuda itu tentu saja terkejut dan merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak mereka terpukul, membuat kedua lengan mereka seperti lumpuh, dan sebelum mereka dapat melihat jelas siapa yang melakukan penyerangan terhadap diri mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak dan tubuh mereka diseret keluar dari dalam goa dengan kasar. Mereka meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia.
Bahkan, semakin keras mereka meronta, semakin nyeri rasanya, rambut kepala mereka seperti akan copot bersama kulit kepala mereka. Oleh karena itu, mereka tidak berani meronta lagi dan diam saja diseret keluar dari dalam goa, lalu terus diseret sampai jauh dari goa.
Mereka merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret mereka adalah seorang laki-laki yang tubuhnya bongkok. Orang itu menggunakan sebelah tangan, yaitu tangan kanan, yang menjambak rambut mereka bertiga menjadi satu dan menyeret mereka dengan ringan saja!
Setelah sadar bahwa yang menyeret mereka hanyalah seorang laki-laki bongkok yang lengannya hanya sebelah, karena yang kiri nampaknya buntung, tiga orang pemuda itu menjadi marah sekali.
“Keparat busuk! Berani engkau! Lepaskan rambutku!” teriak mereka.
Orang itu bukan lain adalah Sie Liong! Hari itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya racun perampas ingatan di dalam kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa dirinya, teringat pula mengapa lengan kirinya buntung. Dia mulai teringat semuanya. Tadi, ketika dia berjalan perlahan-lahan di tepi telaga, kehilangan kebingungannya yang selama ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta tolong.
Dengan kecepatan yang sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-heran, tubuhnya berkelebat. Ketika dia memasuki goa kecil itu dan melihat tiga orang pemuda sedang menggeluti seorang wanita yang bugil dan meronta-ronta, dia lalu turun tangan. Dengan ketukan perlahan saja, menggunakan tangan tunggalnya, tiga orang pemuda itu terpaksa melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat, tangan Sie Liong sudah mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan, kemudian menyeret mereka keluar dari dalam goa.
Mendengar bentakan mereka, Sie Liong melepaskan jambakan tangannya. Tiga orang pemuda nelayan itu berloncatan berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan tadi. Mereka marah bukan main, bukan saja karena kesenangan mereka terganggu dan gagal, akan tetapi juga karena mereka merasa diperlakukan dengan penghinaan.
Tanpa banyak cakap lagi, ketiga orang pemuda itu menerjang maju untuk menghajar pemuda bongkok yang lengannya hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara mendengus-dengus, dan serangan mereka itu dilakukan penuh kemarahan.
“Ehhh...?”
Mereka terbelalak karena yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak hanya bayangan berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu sudah berada di belakang mereka. Mereka bergerak untuk menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan. Tangannya menyambar dan tiga orang itu pun terjengkang, terbanting keras!
“Hemmm, kalian ini tiga orang jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!” terdengar Sie Liong berkata lirih.
Tiga orang itu berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak bangkit, ujung lengan baju kiri yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau leher, membuat mereka merasa seperti disambar petir. Akhirnya, tiga orang itu menjadi ketakutan dan mereka berlutut minta-minta ampun.
“Ampunkan kami..., taihiap, jangan bunuh kami...!” Mereka berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke atas, muka mereka sudah matang biru dan bengkak-bengkak.
Sie Liong mengerutkan alisnya. “Kalian penjahat atau perampok?” tanyanya ragu sebab dia melihat betapa mereka berpakaian seperti nelayan biasa.
“Ampun, taihiap, kami... kami bukan penjahat... kami adalah nelayan yang baru pulang dari menjala ikan...”
“Huh, kalian jahat!” kata Sie Liong. Akan tetapi di dalam hatinya, dia telah mengampuni mereka. “Pergilah!”
Kakinya menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling, lalu mereka bangkit dan melarikan diri ketakutan.
Dia teringat kepada wanita yang hampir diperkosa oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, maka kakinya melangkah perlahan menuju ke goa kecil di tepi telaga.
“Jangan ganggu... aku jelek... aku gila... aku kotor, he-he-heh... hi-hi-hik, jangan ganggu aku...” Terdengar suara wanita itu dalam goa itu.
Sie Liong cepat menyelinap ke balik sebatang pohon. Dia mengintai ketika wanita itu keluar dari goa dan alisnya berkerut. Seorang wanita gembel gila! Rambutnya kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut, muka yang kotor berlumpur pula. Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang wanita yang kotor menjijikkan, gila lagi!
Dan wanita inikah yang nyaris diperkosa tiga orang pemuda tadi? Gilakah mereka itu? Bagaimana mungkin ada pria yang bangkit gairah birahinya melihat wanita gembel gila yang menjijikkan ini?
“Hi-hi-hik, aku gila... ha-ha... jangan ganggu aku... ahhh, jangan ganggu aku...!”
Wanita itu adalah Ling Ling. Setelah tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan setelah ia mengubah dirinya menjadi gembel gila lagi, barulah ia berani keluar dan untuk melindungi dirinya dari gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi. Akan tetapi, setelah ia melihat bahwa di situ tidak ada orang, ia menghentikan tawanya dan terjatuhlah ia berlutut dan menangis sesenggukan!
Ia teringat akan peristiwa mengerikan tadi. Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan teringat akan ini, ia menjadi ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak ada Sie Liong yang tentu akan selalu melindunginya.
Sementara itu dari tempat pengintaiannya Sie Liong tadinya juga mengira bahwa wanita itu memang gembel gila. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok ke kanan kiri, lalu menghentikan tingkah gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sesenggukan, dia memandang heran dan alisnya berkerut.
Dia adalah seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita itu hanya pura-pura gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang sekarang inilah baru asli! Ia mendengarkan dengan ketajaman pendengarannya pada saat wanita yang menangis itu merintih dan mengeluh.
“Hu-hu-huu... Liong-ko... ahhh, Liong-koko... uhu-hu-hu... kenapa engkau begitu tega... Liong-ko... uhu-huuu... kalau ada engkau, tentu tidak ada... yang berani mengangguku... aihh, Liong-koko... di mana engkau...?”
Sie Liong merasa kepalanya laksana disambar kilat ketika dia mendengar rintihan dan keluh kesah ini. Bagaikan seekor kijang, tubuhnya sudah melompat dan meluncur cepat ke arah wanita yang berlutut sambil menangis itu. Dipegangnya pundak wanita itu, dan diangkatnya mukanya, lalu tangannya yang tinggal sebelah itu menyingkap rambut yang kusut menutupi muka. Dipandangnya muka yang kotor itu.
Sinar matahari pagi menyinari muka itu. Sie Liong menggunakan tangannya untuk mengusap lumpur dari pipi dan dia terbelalak.
“Ling-moi...! Ling Ling... ahhh, Ling Ling... mengapa engkau jadi begini...?” Sie Liong berlutut.
Ling Ling terbelalak, wajahnya pucat sekali. Diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya menurun, ke arah lengan kiri yang buntung... lalu ke arah wajah itu kembali. Matanya terbelalak terus tanpa berkedip, bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara hanya mewek-mewek ke arah tangis dan butir-butir air mata menetes turun, dan dengan susah payah baru ia dapat bersuara.
“Liong-ko...? Engkau... engkau...” matanya lalu memandang lengan kiri yang buntung. “…engkau Liong-koko...?”
“Ling-moi, ini aku, Sie Liong...”
“Liong-koko...!” Gadis itu menubruk, merangkul leher Sie Liong dan akhirnya terkulai, roboh pingsan dalam pelukan lengan kanan Sie Liong yang memangkunya.
“Ling-moi, ahhh, Ling-moi... kau maafkan aku, Ling-moi...!” Sie Liong merangkul serta mencium pipi yang kotor dengan lumpur itu, dan air matanya pun jatuh membasahi pipi itu.
Kecerdikannya membuka pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Ling Ling yang ditinggalkan pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat olehnya lebih dari satu bulan, kurang lebih dua bulan yang lalu, tentu telah pergi meninggalkan rumah bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya.
Agaknya, dengan cerdik Ling Ling telah menyamar sebagai seorang gembel gila untuk menghindarkan godaan para pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi, mengapa tadi nyaris ia diperkosa tiga orang laki-laki muda, hal itu tidak dapat dia menduganya.
Dengan perlahan dan hati-hati, setelah merebahkan tubuh Ling Ling di atas rumput, Sie Liong mengurut tengkuknya. Karena sebenarnya gadis itu tidak terluka apa pun, hanya pingsan akibat batinnya terguncang hebat, maka dalam waktu singkat dia sudah siuman kembali.
Begitu membuka kedua matanya dan dapat bergerak, Ling Ling sudah berseru gelisah, “Liong-ko, di mana engkau...?” Dan ia pun serentak bangkit duduk.
Sie Liong merangkulnya dari samping. “Aku di sini, Ling Ling...”
Ling Ling menoleh. “Aihhh, Liong-koko... engkau benar Liong-koku...!”
Ia merangkul dan menangis sesunggukan di atas dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan gadis itu menangis, membiarkan dia melepaskan semua kegelisahan dan kedukaan yang diderita selama ini agar larut bersama tangisnya.
Setelah tangisnya mereda karena kehabisan air mata, Ling Ling mengangkat mukanya dari dada Sie Liong dan memandang wajah pemuda itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan matanya kini bersinar, tidak layu dan muram seperti tadi.
“Liong-koko, kenapa engkau pergi begitu lama? Ahh, Liong-koko, jangan kau tinggalkan aku lagi. Lebih baik aku mati saja dari pada harus kau tinggalkan lagi, Liong-koko...”
Tiba-tiba ia teringat, lalu memandang ke arah lengan kiri pemuda itu. Wajahnya pucat kembali, matanya terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menangkap lengan baju kiri yang kosong, meraba-raba, mencari-cari isi lengan baju itu.
“Liong-koko... di mana lengan kirimu? Liong-koko, apa yang terjadi...? Engkau... lengan kirimu... buntung...?”
Sie Liong mengangguk, akan tetapi dia tersenyum. Dia tahu bahwa dia telah kehilangan lengan kiri, akan tetapi sebagai gantinya dia pun mendapatkan ilmu yang sangat hebat, sehingga sekarang dia mempunyai tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan sebelum kehilangan lengan kirinya.
“Aku terjebak oleh musuh pada saat melakukan penyelidikan. Mereka jahat dan kejam. Lengan kiriku buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tetapi Tuhan masih melindungiku, Ling Ling, sehingga aku masih dapat bertemu denganmu.”
“Liong-koko... ahhh, Liong-koko, kasihan sekali engkau...” gadis itu meraba-raba, lalu menyingkap baju pemuda itu.
Melihat betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak, dan bekas tempat lengan itu kini merupakan luka yang berkeriput, ia merangkul dan menangis sambil menciumi pundak yang sudah tanpa lengan itu, menciumi bekas luka itu. Ia seolah-olah hendak membersihkan luka itu dengan air matanya.
Sie Liong merangkulnya dengan perasaan terharu. “Ling-moi, mengapa engkau masih selalu mengharapkan aku, ingin hidup bersamaku? Lihat baik-baik, aku seorang laki-laki yang cacat ganda, ya bongkok ya buntung lengan kiriku. Apa yang kau lihat pada diri seorang cacat seperti aku? Apa yang kau harapkan dari seorang seperti aku?”
“Liong-koko, aku... aku cinta padamu, koko. Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta padamu. Aku memujamu, dan engkaulah satu-satunya pria yang kucinta, bahkan satu-satunya manusia yang kumiliki. Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan tetapi engkaulah orang yang sebaik-baiknya bagiku. Engkau matahari hidupku. Tanpa engkau, hidupku akan gulita. Aku hendak menghabiskan sisa hidupku di sampingmu koko, tentu saja... kalau... kalau engkau sudi menerima aku, seorang gadis yang bodoh dan buruk, yatim piatu pula.”
“Ling Ling... ahh, Ling Ling…”
Sie Liong merangkul dan mendekap muka itu pada dadanya penuh kebahagiaan. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia dapat merasakan benar curahan kasih sayang Ling Ling melalui pandang mata gadis itu, melalui sikapnya, melalui suaranya, melalui sentuhannya.
“Ling Ling, aku pun cinta padamu. Aku... aku ingin memperisterimu...”
“Liong-koko…! Alangkah bahagianya hatiku. Aku mau melakukan apa saja asal boleh mendampingimu selama hidupku!”
Sie Liong tersenyum. “Sekarang yang paling penting engkau membersihkan dirimu dulu dari lumpur itu, juga bereskan rambutmu dan pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu di sini. Setelah itu, kita pergi ke rumah bibi Cili dan bercakap-cakap.”
Ling Ling telah memperoleh kembali kegembiraannya. Ia pun bangkit, tersenyum penuh kebahagiaan, menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata membayangkan cinta kasih sepenuhnya, kemudian ia berlari-lari menuruni tepi telaga, dan membersihkan muka dan leher, serta tangannya dari lumpur. Juga rambutnya.
Tidak lama kemudian, mereka sudah pergi dari tempat itu. Biar pun pakaian Ling Ling masih butut, akan tetapi tidak terlalu kotor karena tadi sudah dicucinya, juga rambutnya disanggul. Karena Sie Liong sendiri juga belum sempat berganti sejak keluar dari dalam kuburan, maka keduanya kelihatan seperti dua orang petani yang baru kembali dari sawah ladang, dengan pakaian ternoda lumpur.
Sambil berjalan menuju ke rumah bibi Cili di Lhasa, sambil bercakap-cakap, Ling Ling lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa karena gelisah memikirkan Sie Liong yang tak kunjung pulang, akhirnya ia melarikan diri meninggalkan rumah bibi Cili untuk mencari Sie Liong. Ia terpaksa harus menyamar sebagai seorang gembel gila untuk menghindarkan diri dari gangguan pria-pria jahat, persis seperti yang telah diduga oleh Sie Liong. Sampai kemudian dia diganggu tiga orang pemuda itu dan nyaris diperkosa.
“Akan tetapi, engkau sudah menyamar sebagai seorang gembel gila, bagaimana tiga orang itu masih ingin mengganggumu?” Sie Liong bertanya heran.
Ling Ling tersipu-sipu. “Salahku sendiri. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu, Liong-ko. Karena itu, aku merasa yakin bahwa hari ini aku akan bertemu denganmu. Pagi tadi, melihat bayanganku di air, aku merasa terkejut dan khawatir membayangkan bertemu denganmu dalam keadaan seperti gembel gila yang kotor. Karena keadaan sunyi sepi, aku lalu mandi bersih dan mencuci pakaianku, lalu memasuki goa. Agaknya, ketika mandi itu, mereka sudah melihatku, dan ketika aku memasuki goa, mereka lalu menyerangku dan hendak memaksaku...”
“Ahh, kita harus berterima kasih kepada Tuhan atas segala petunjuk-Nya kepada kita!” seru Sie Liong dan gadis itu demikian terheran-heran sehingga ia berhenti melangkah dan memandang wajah Sie Liong dengan heran.
Bibi Cili menerima mereka dengan gembira, akan tetapi juga dengan khawatir, takut kalau-kalau pemuda bongkok yang kini buntung pula lengan kirinya itu menjadi marah. Ia sudah tahu bahwa pemuda bongkok itu adalah Pendekar Bongkok yang lihai sekali. Walau pun kini lengan kirinya buntung, ia masih merasa takut.
“Aih, taihiap, nona Ling ini membikin saya bingung setengah mati. Ia pergi tanpa pamit dan saya tidak tahu ke mana dia pergi. Dan sekarang, tahu-tahu telah kembali dengan taihiap, dan... ihhh, pakaiannya seperti ini...”
Sie Liong tersenyum. “Kami tak menyalahkan engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih sekali kepadamu. Kedatangan kami ini pertama untuk minta bantuan agar mencarikan pakaian untuk kami, dan ke dua kalinya, sekali lagi aku akan menitipkan Ling-moi di sini, hanya untuk beberapa hari saja.”
“Liong-koko…! Apa artinya kata-katamu ini? Engkau... hendak menitipkan aku... hendak meninggalkan aku lagi?” suara itu sudah mengandung isak, sedang wajah itu berubah pucat, matanya terbelalak penuh protes.
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada bibi Cili. “Pergilah, bibi. Harap engkau carikan beberapa pasang pakaian untuk aku dan Ling-moi. Jangan khawatir, bila urusanku telah selesai, pasti harganya akan kuganti, juga akan kuberi imbalan buat tinggalnya Ling-moi di sini.”
“Aih, tidak usah sungkan, taihiap. Keponakanku pemilik rumah makan itu akan memberi uang berapa saja yang kubutuhkan untuk keperluanmu.”
Bibi Cili lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong menarik tangan Ling Ling, dirangkulnya gadis yang masih nampak gelisah itu.
“Ling-moi, dengarkan baik-baik. Engkau tahu bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain amat jahat akan tetapi juga lihai bukan main. Aku tak mungkin dapat mendiamkan saja segerombolan manusia itu mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah menjadi tugasku untuk menentang mereka yang melakukan kejahatan. Karena itulah aku harus menemui Kim Sim Lama dan membasmi gerombolannya. Dan sungguh tidak mungkin kalau aku harus membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena itu terpaksa aku harus meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu bulanan atau berhari-hari. Aku berangkat pagi, sorenya tentu aku sudah kembali.”
“Akan tetapi, Liong-ko... setelah apa yang kita alami selama ini, tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?”
“Aku dapat menjaga diriku, Ling Ling. Andai kata terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu tentu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan jika hal itu memang harus terjadi, engkau atau aku atau siapa pun juga tidak akan mampu mencegahnya.”
“Biar pun aku tidak dapat menolongmu, akan tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku harus mati pun, kalau bersamamu, aku tidak takut dan aku rela! Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku...”
Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun masuk ke dalam rumah itu dengan muka pucat dan napas memburu. Ling Ling mengenalnya sebagai anak laki-laki yang suka disuruh-suruh bibi Cili, yaitu anak tetangga sebelah.
“A-kian, ada apa?” tanyanya melepaskan rangkulan Sie Liong dari pundaknya.
“Ci-ci... celaka, cici... bibi Cici... bibi... Cili...”
“Ada apa dengan bibi Cili?” Sie Liong bertanya kepada anak itu.
“Ia... ia tadi ditangkap oleh beberapa orang dan dipaksa naik sebuah kereta kemudian dilarikan keluar kota...”
Sie Liong segera dapat menduga siapa yang melakukan hal itu. Tentu para anak buah Kim-sim-pang yang agaknya tahu akan hubungan antara dia dan bibi Cili, maka wanita itu ditangkap.
“Ling-moi, aku harus menyelamatkan bibi Cili...,” katanya.
Sebelum Ling Ling mampu menjawab, Sie Liong sudah meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu ke mana harus mengejar. Tak salah lagi, wanita malang itu tentu akan dibawa ke sarang Kim-sim-pang!
Sementara itu, anak yang membawa kabar segera meninggalkan Ling Ling karena dia ketakutan dan bersembunyi ke dalam rumahnya sendiri. Ling Ling duduk termenung. Ucapan terakhir Sie Liong masih terngiang di telinganya. Bagaimana pun juga, ia harus mengakui kebenaran ucapan itu. Bahkan kini sudah nampak bukti kebenarannya.
Gerombolan penjahat itu telah menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya, pendekar itu tentu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu diri. Ia harus dapat memaklumi tugas seorang pendekar!
Ia tadi telah terlalu mementingkan diri sendiri. Tidak mungkin seorang pendekar menjadi miliknya sendiri. Seorang pendekar adalah milik masyarakat, milik mereka semua yang tertindas, mereka yang lemah dan sengsara karena kejahatan orang lain.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh berkelebatnya bayangan orang. Tadinya dengan girang dan penuh harap ia bangkit menyambut karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan tetapi ternyata yang datang adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Seorang pemuda yang tampan dan memiliki sinar mata tajam dan aneh.
Ling Ling hendak menjerit, akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, dia pun roboh terkulai dalam keadaan tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Di lain saat, tubuhnya sudah dipondong oleh pemuda itu yang lantas membawanya lari melalui pintu belakang dengan gerakan cepat sekali…..
********************
Sie Liong melakukan pengejaran dengan cepat keluar kota. Tidak lama kemudian, tepat seperti diduganya, dia melihat sebuah kereta kecil yang ditarik dua ekor kuda dilarikan keluar kota. Dia mempercepat larinya dan sebentar saja dia sudah berhasil menyusul. Sekali dia melompat, dia telah berada di depan kuda yang menarik kereta dan biar pun dia hanya memiliki sebuah tangan saja, akan tetapi tangan yang mengandung tenaga sangat dahsyat itu sekali tangkap telah membuat kuda terbesar berhenti dan meringkik ketakutan.
Dari dalam kereta berlompatan keluar empat orang laki-laki, juga kusir kereta itu segera melompat turun. Mereka berlima sudah memegang senjata golok dan tanpa banyak cakap lagi, mereka sudah menyerang dan mengeroyok Sie Liong! Akan tetapi, pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang kosong, tubuhnya lalu berputar seperti sebuah gasing.
“Plak-plak-plak-plak-plak...!”
Lima orang itu bergelimpangan dan roboh tak mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan baju tadi telah membuat mereka mengalami patang tulang pundak atau rahang. Golok mereka beterbangan dan mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak mampu atau tidak berani bangkit lagi.
Sie Liong tidak mempedulikan mereka, lalu menghampiri kereta dan membuka pintunya. Di dalam kereta Bibi Cili duduk ketakutan sambil menangis. Sie Liong membimbingnya turun dari kereta.
“Jangan takut, bibi. Mari kita pulang,” katanya.
Wanita itu hanya mengangguk, dan berjalan secepatnya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang ke rumahnya. Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi Cili masih ketakutan, dan Sie Liong menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak menculik bibi Cili.
Setelah mereka memasuki rumah bibi Cili, barulah Sie Liong tahu bahwa dia sudah tertipu! Ling Ling telah lenyap! Dan sebagai gantinya, dia mendapatkan sehelai kertas di atas meja, tertancap oleh sebatang pisau belati. Cepat direnggutnya kertas itu dan dia membaca tulisannya.
Pendekar Bongkok!
Kalau engkau menghendaki kekasihmu selamat, datanglah ke kuil kami!
Kim Sim Lama
Sie Liong mengepal surat itu dalam tangan kanannya. Matanya mengeluarkan sinar mencorong dan dia berkata lirih, “Kim Sim Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi Tuhan, kubunuh engkau!”
Dan tubuhnya berkelebat lenyap dari depan bibi Cili yang menjadi makin ketakutan…..
********************
“Omitohud... sampai sedemikian jauhkah tindakan yang dilakukan oleh Kim Sim Lama? Kalau begitu, demi keamanan dan ketertiban dalam kehidupan rakyat di Tibet, terpaksa kami harus mengambil tindakan.” Dalai Lama bicara dengan nada suara serius, setelah dia mendengarkan pelaporan Lie Bouw Tek yang datang menghadap bersama Sie Lan Hong.
Setelah mereka meninggalkan kuburan, di mana mereka melihat kuburan Sie Liong meledak dan melihat Sie Liong yang kini buntung lengan kirinya itu membunuh Thai Yang Suhu kemudian melarikan diri, Lie Bouw Tek mengajak Sie Lan Hong untuk pergi menghadap Dalai Lama kembali.
Dalai Lama adalah seorang pendeta kepala yang tentu saja tidak menuruti gejolak hati yang dikuasai amarah. Tetapi sesudah mendengar laporan dari Lie Bouw Tek mengenai perbuatan Kim Sim Lama yang sengaja hendak melempar fitnah kepadanya, apa lagi mendengar pula betapa Kim Sim Lama kini membentuk gerombolan pemberontak dan berbuat kejam terhadap rakyat, dia tidak dapat tinggal diam saja.
Dalai Lama lalu memerintahkan Kong Ka Lama untuk memanggil semua tokoh Lama yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi. Berkumpullah puluhan orang Lama dan diam-diam Lie Bouw Tek merasa kagum. Ternyata Dalai Lama memiliki banyak orang pandai. Dia dan Sie Lan Hong mendapat kehormatan untuk ikut dalam perundingan itu, oleh karena pendekar Kun-lun-pai ini telah dianggap berjasa besar memberi keterangan tentang sepak terjang Kim Sim Lama.
Tidak kurang dari dua puluh empat orang pimpinan Lama, dikepalai oleh Kong Ka Lama sendiri, memimpin kurang lebih seratus orang pendeta Lama pilihan dan mereka lalu berangkat menuju ke sarang Kim-sim-pai. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong juga berada di antara para pimpinan. Dan di belakang mereka, menyusul kemudian lima ratus orang pasukan bergerak menuju ke sarang itu pula, tetapi mengambil jalan lain supaya dapat melakukan pengepungan…..
********************
Di pihak Kim-sim-pang juga para pimpinannya sedang membuat persiapan, akan tetapi persiapan untuk menghadapi Pendekar Bongkok. Ketika Kim Sim Lama mendengar dari para penyelidik bahwa Thai Yang Suhu tewas dan berada di dalam kuburan Pendekar Bongkok yang sudah kosong, sedangkan Pendekar Bongkok tidak nampak di sana, dia menyebar para penyelidik untuk mencari di mana adanya Pendekar Bongkok.
Para penyelidik ini sempat melihat kemunculan Pendekar Bongkok ketika dia menolong wanita gembel gila dari gangguan tiga orang nelayan. Mereka lalu melaporkan hal ini kepada Kim Sim Lama yang cepat mengatur siasat bersama para pembantunya yang lihai. Dia marah sekali mendengar bahwa Pendekar Bongkok masih hidup dan dapat keluar dari dalam kuburan! Bahkan telah membunuh Thai Yang Suhu pula!
Tadinya, ketika mendengar bahwa mayat Thai Yang Suhu berada di dalam kuburan dan mayat Pendekar Bongkok lenyap, dia menduga bahwa tentu tokoh Kun-lun-pai itu yang melakukan pembunuhan terhadap pembantunya itu dan membawa lari mayat Pendekar Bongkok. Akan tetapi, pada waktu dia mendengar laporan para anak buahnya tentang kemunculan Pendekar Bongkok yang menolong gadis gembel gila, dia menjadi terkejut bukan main. Dia segera memanggil semua pembantunya untuk merundingkan hal itu.
“Ahhh, bagaimana mungkin dia hidup kembali?” Thai Hok Lama, orang ke empat Tibet Ngo-houw yang juga merupakan seorang ahli racun itu berseru. “Mungkin saja dia dapat disembuhkan dari pengaruh racun, akan tetapi bagaimana mungkin dia bisa tetap hidup kalau dikubur dan tidak dapat bernapas selama beberapa hari? Ini tentu ada orang yang menolongnya ketika dia dikubur. Dan yang tahu akan hal itu tentu Camundi Lama!”
“Hemmm, benar sekali!” kata pula Ki Tok Lama, sute dari Lima Harimau Tibet itu. “Kami memang sejak dahulu tidak percaya kepadanya. Dia seorang yang setia kepada Dalai Lama. Hanya karena dia pandai ilmu pengobatan saja kita tidak membunuhnya.”
Kim Sim Lama mengangguk-angguk. Dia pun curiga kepada Camundi Lama. “Panggil Camundi Lama ke sini!” teriaknya kepada pengawal.
Sementara itu, mendengar akan lolosnya Pendekar Bongkok, bukan main terkejut dan marahnya hati Coa Bong Gan. Lolosnya Pendekar Bongkok bukan saja membahayakan Kim Sim Lama karena rahasianya tentu akan bocor, akan tetapi juga amat berbahaya baginya sendiri. Dia telah membacok buntung lengan kiri pendekar itu. Tentu Sie Liong tidak akan tinggal diam saja dan pasti akan membalas dendam. Pendekar Bongkok itu harus didahului!
“Locianpwe, Pendekar Bongkok harus dapat dibasmi, dan kiranya saya tahu bagaimana caranya!” kata Coa Bong Gan.
Yauw Bi Sian yang hadir di situ tidak banyak bicara. Memang ia masih merasa amat menyesal bahwa calon suaminya membuntungi lengan kiri Sie Liong, akan tetapi kini ia semangatnya lemah, dan pula bagaimana pun juga, Pendekar Bongkok adalah orang yang telah membunuh ayah kandungnya.
“Bagaimana cara itu?” tanya Kim Sim Lama, tertarik.
“Dia harus dipaksa datang ke sini. Saya akan memancingnya agar dia keluar dari rumah pondokannya, kemudian saya akan menculik gadis gembel gila itu, dan kalau dia sudah tiba di sini, mudah saja untuk membunuhnya!”
Kim Sim Lama tersenyum cerah. “Bagus sekali! Lengan kirinya sudah kau buntungi, betapa pun lihainya, dia tidak ada artinya lagi. Lakukanlah siasat itu sekarang juga!”
Coa Bong Gan cepat pergi sambil mengajak empat orang pendeta Lama, membawa pula sebuah kereta kecil. Untuk memancing Sie Liong keluar meninggalkan rumah bibi Cili, dia menyuruh empat orang pembantunya itu menculik bibi Cili di tempat ramai. Hal ini disengajanya agar Sie Liong diberitakan orang tentang penculikan itu.
Dan tepat seperti yang sudah dia perhitungkan, Sie Liong berlari cepat sekali dari dalam rumah ketika mendengar bahwa bibi Cili diculik orang. Kesempatan itulah yang lantas dipergunakan oleh Bong Gan untuk memasuki rumah dan menculik Ling Ling, sambil dia meninggalkan surat tantangan dari Kim Sim Lama kepada Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.
Ketika Camundi Lama dihadapkan kepada Kim Sim Lama, pendeta ahli pengobatan itu menghadap sambil tersenyum. Dia sudah mendengar berita tentang lolosnya Pendekar Bongkok dari dalam kuburan. Tidak sia-sia semua usahanya menyelamatkan pendekar itu dan dia sudah tahu apa yang harus dilakukan kalau Kim Sim Lama mencurigainya.
“Camundi Lama!” bentak Kim Sim Lama dengan sinar mata tajam mencorong. “Engkau memang pengkhianat! Apa yang telah kau lakukan saat engkau memimpin penguburan Pendekar Bongkok?”
Camundi Lama tersenyum, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dadanya. “Omitohud... pinceng (aku) hanya melakukan yang benar. Kim Sim Lama, engkau telah menjadi hamba kemurkaan dan kejahatan. Engkaulah yang sudah menjadi pengkhianat, mengkhianati Dalai Lama, mengkhianati kebenaran, mengkhianati manusia dan Tuhan! Pinceng hanya mencegah terjadinya pembunuhan keji terhadap diri Pendekar Bongkok. Pinceng memasang tabung ketika dia dikubur hidup-hidup sehingga dia dapat bernapas melalui tabung.”
“Keparat jahanam!” Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw berseru marah. Kim Sim Lama juga marah sekali mendengar pengakuan Camundi Lama itu.
“Tangkap dia! Akan kusiksa sendiri dia sampai mati!”
Akan tetapi, ketika para pembantu Kim Sim Lama bangkit hendak bergerak, Camundi Lama tertawa. “Ha-ha-ha, tak perlu kalian repot-repot. Sekarang pun pinceng akan pergi meninggalkan kalian orang-orang yang menjadi hamba nafsu sendiri. Kim Sim Lama, engkau telah menyebar benih kejahatan yang kelak hanya akan meracuni dirimu sendiri lahir batin.”
Setelah berkata demikian, Camundi Lama roboh dan ketika semua orang memeriksa kakek itu, dia telah tewas! Ternyata ketika dipanggil menghadap, kakek ahli pengobatan ini telah mengambil keputusan untuk menelan racun yang kerjanya halus namun pasti.
Pada waktu Coa Bong Gan datang memondong Ling Ling, Kim Sim Lama menjadi amat girang.
“Ahh, pantas kalau Pendekar Bongkok mencinta gadis ini,” katanya sambil memandang Ling Ling yang nampak ketakutan. “Kiranya gadis ini bukanlah gembel gila, melainkan seorang gadis yang cantik dan manis. Coa-sicu, biarlah kami serahkan gadis ini dalam pengawasanmu. Jangan sampai dia dapat meloloskan diri sebelum Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan kami.”
Coa Bong Gan mengangguk girang dan membawa Ling Ling pergi ke kamarnya. Yauw Bi Sian hanya memandang dengan alis berkerut, namun tidak peduli. Kini ia tidak peduli apa-apa lagi, juga tidak peduli apa yang dilakukan Coa Bong Gan. Ia tidak tahu bahwa semangatnya menjadi lemah karena ia selalu dikuasai oleh kekuatan sihir dari para pendeta Lama pengikut Kim Sim Lama yang selain ahli dalam ilmu silat, juga ahli dalam ilmu sihir.
Sebetulnya, sebagai murid terkasih dari Koay Tojin tidak mudah gadis perkasa ini dapat dikuasai dengan ilmu sihir. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang risau dan bimbang, perasaannya kacau balau. Sebagian ia merasa dendam dan benci kepada Sie Liong, akan tetapi sebagian pula dari perasaannya ia merasa iba.
Juga perasaannya terhadap Bong Gan bercampur aduk dengan kacau. Ada rasa suka yang timbul dari nafsu birahinya sendiri, akan tetapi juga perasaan muak dan benci, bukan saja melihat bahwa Bong Gan seorang pria yang cabul dan khianat, bermain gila dengan Pek Lan. Dan perasaan benci ini semakin kuat karena melihat kecurangan Bong Gan yang menyerang dan membuntungi lengan kiri Sie Liong selagi pemuda itu berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Kini Kim Sim Lama, dan para pembantunya, juga Bi Sian, menanti dengan hati diliputi ketegangan. Beranikah Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan Kim Sim Lama untuk menyelamatkan Ling Ling? Agaknya, Kim Sim Lama yakin akan hal ini.
Akan tetapi Bi Sian sendiri diam-diam meragukannya. Bagaimana Sie Liong akan berani datang? Selain Kim Sim Lama dan para pembantunya terlampau kuat bagi Sie Liong, juga kini Pendekar Bongkok telah buntung lengan kirinya sehingga kelihaiannya tentu saja berkurang banyak!
Selain itu, mengapa pula pamannya itu akan mati-matian mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan seorang gadis peranakan Tibet yang juga tidak amat cantik itu, bahkan kulitnya agak gelap? Bagaimana pun juga, ia ikut merasa tegang menanti kemunculan Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.
Akhirnya, saat menegangkan yang mereka tunggu-tunggu itu pun tibalah. Kemunculan Pendekar Bongkok benar-benar mengejutkan semua orang, termasuk Kim Sim Lama sendiri. Semenjak penculikan terhadap Ling Ling dilakukan dan sejak kemunculan Sie Liong si Pendekar Bongkok dinanti, kuil Kim-sim-pang ditutup untuk sementara. Semua anak buah pendeta Lama dikerahkan untuk melakukan penjagaan ketat.
Akan tetapi betapa mengejutkan! Ketika Kim Sim Lama dan para pembantunya sedang duduk di dalam ruangan belakang, ruangan luas yang juga digunakan sebagai ruangan berlatih silat, duduk berunding untuk mengatur siasat kalau Pendekar Bongkok berani muncul, tiba-tiba saja terdengar suara keras pecahnya genteng di atas ruangan itu dan sesosok bayangan melayang turun dari atas, melalui atap yang berlubang. Bayangan ini bukan lain adalah Pendekar Bongkok yang sudah buntung lengan kirinya.....
Sie Liong kini yakin bahwa pengalamannya di dalam kuburan telah mendatangkan suatu tenaga sakti yang luar biasa baginya. Dia sudah dapat menyerap tenaga sakti Intisari Bumi! Dengan tenaga sakti yang dahsyat itu, dia mampu bergerak dengan kecepatan yang berlipat ganda dibandingkan sebelum dia menguasainya. Karena itulah, maka dia merasa yakin akan dirinya karena walau pun sebelah lengannya telah buntung, namun keadaannya jauh lebih kuat dari pada sebelum lengan kirinya buntung.
Dengan tenaga sakti dahsyat itu, dia dapat bergerak ringan bagaikan burung sehingga dia mampu menyelinap cepat memasuki sarang para pemberontak itu tanpa diketahui para penjaga. Setelah mengetahui bahwa Kim Sim Lama bersama para pembantunya sedang berada di ruangan silat, dia pun meloncat naik ke atas genteng, lalu memasuki ruangan itu melalui atap yang dijebolnya.
“Kim Sim Lama, aku telah datang memenuhi undanganmu. Harap segera kau bebaskan Ling Ling!” berkata Sie Liong, suaranya juga mengandung wibawa dan karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga sakti, maka suara itu melengking dan bergema di ruangan itu, mengandung tenaga yang menggetarkan isi dada Kim Sim Lama dan para pembantunya.
Sikap Sie Liong tenang saja walau pun dia melihat hadirnya Bi Sian dan Bong Gan di situ. Oleh karena dia belum sempat berganti pakaian, maka pakaian yang kini melekat di tubuhnya masih pakaian ketika dia dikubur hidup-hidup, dan pakaian itu sudah kotor terkena lumpur. Lengan baju sebelah kiri tergantung lemas dan kosong.
Sejenak ucapannya itu bergema di dalam ruangan dan setelah gema itu menghilang, suasana menjadi sunyi sekali. Sunyi yang menegangkan!
Akhirnya Kim Sim Lama dapat menguasai kekagetannya. Dia pun mengeluarkan suara tertawa untuk mengusir ketegangan dan wibawa Pendekar Bongkok. Pada saat tertawa, Kim Sim Lama bukan sembarang tertawa, namun mengisinya dengan khikang sehingga suara ketawanya juga bergema dan menggetarkan jantung.
“Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bongkok, atau sekarang telah menjadi Pendekar Buntung atau Pendekar Bongkok Buntung? Bagus sekali, kini engkau datang menyerahkan nyawamu. Sekarang hatiku pasti yakin bahwa engkau akan benar-benar mati, karena kali ini kami tidak ingin gagal. Engkau akan mati di tanganku sendiri!”
Walau pun tahu bahwa dia menghadapi ancaman dan sedang berhadapan dengan Kim Sim Lama bersama banyak sekali pembantunya, belum lagi para anak buahnya yang puluhan orang banyaknya di luar ruangan, namun Sie Liong masih bersikap tenang.
“Kim Sim Lama, engkau telah menculik Ling Ling dan menggunakannya sebagai umpan untuk memancing aku datang. Nah, sekarang aku telah datang memenuhi undanganmu. Bersikaplah sebagai laki-laki sejati, keluarkan Ling Ling!”
“Orang she Sie yang sombong!” Mendadak saja Thay Bo Lama, orang termuda Tibet Ngo-houw yang terkenal berangasan itu telah meloncat dan memaki. “Tak perlu engkau menjual lagak. Bukankah engkau datang ke Tibet untuk mencari Tibet Ngo-houw? Nah, kami berlima sudah berada di depanmu. Tidak perlu pemimpin kami yang maju. Hayo kami Tibet Ngo-houw yang mempertanggung jawabkan semua perbuatan kami. Engkau mau apa? Sekali ini engkau tentu akan mati, bahkan tidak kebagian kuburan lagi!”
Empat orang saudaranya sudah pula bangkit. Mereka semua setuju dengan sikap Thay Bo Lama. Biar pun pernah mereka berlima mengeroyok namun tidak dapat memperoleh kemenangan, dan baru setelah Kim Sim Lama yang maju mereka semua berhasil menangkap Sie Liong.
Akan tetapi kini mereka sama sekali tidak takut. Mereka bahkan memandang rendah pendekar itu dan mereka ingin menebus kekalahan mereka. Kini setelah pendekar itu kehilangan lengan kiri, mereka yakin bahwa mereka akan mampu merobohkan dan membunuh Pendekar Bongkok.
Sie Liong memandang kepada mereka sejenak, kemudian dia menoleh kepada Kim Sim Lama. “Kim Sim Lama, apakah omongan Tibet Ngo-houw dan engkau sendiri dapat aku percayai? Tibet Ngo-houw hendak mengeroyok aku, apakah engkau pun akan ikut turun tangan lagi membantu mereka? Lebih baik dari sekarang berterus terang saja, apakah engkau ingin maju sendiri ataukah hendak mengeroyokku dengan semua pembantumu yang berada di sini? Dan mengerahkan pula semua anak-anak buahmu!”
Sie Liong kini menyapa semua orang dengan pandang matanya dan sejenak pandang matanya hinggap di wajah Bi Sian. Wanita itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat. Nyeri rasa hati Sie Liong melihat kehadiran keponakannya sebagai seorang di antara anak buah Kim Sim Lama!
Ucapan ini mengobarkan kemarahan di dalam hati Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Memang dia harus mengakui bahwa dia pernah dikalahkan Pendekar Bongkok pada saat dia maju seorang diri saja. Akan tetapi sekarang, Pendekar Bongkok sudah kehilangan lengan kirinya! Jangankan dia maju berlima, bahkan seorang diri pun agaknya dia akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok!
“Pendekar Bongkok, dengarlah baik-baik! Kami, Tibet Ngo-houw, akan membunuhmu tanpa bantuan siapa pun! Biarlah kami berlima mampus di tanganmu kalau sampai ada yang membantu kami. Kau yang sudah hampir mampus ini masih berani bertingkah dan mengeluarkan omongan besar?! Nah, terimalah...!”
Thay Ku Lama meloncat ke depan, dan mendadak dia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok. Terdengar suara berkokokan dari dalam perutnya yang gendut itu. Kedua lengannya digerakkan menyilang dan selain perutnya yang gendut, juga kedua kakinya mengeluarkan suara berkerotokan. Kemudian, tiba-tiba saja dia meloncat jauh ke depan, kedua lengannya menyerang dengan dorongan kedua telapak tangan ke arah dada Sie Liong!
Sebetulnya, orang-orang dengan kepandaian setingkat Tibet Ngo-houw ini sudah langka sekali dan sukar dicari tandingan mereka. Tingkat ilmu mereka, baik ilmu silat atau ilmu batin, sudah amat tinggi. Dan ilmu pukulan yang dipergunakan Thay Ku Lama itu adalah Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Awan Hitam dan Badai).
Kekuatan yang luar biasa terkumpul di dalam perutnya yang gendut dan seperti seekor katak beracun, begitu kekuatan dari perut itu dilepaskan, maka segera terciptalah gerak serangan yang amat dahsyat. Seketika angin menyambar dahsyat dibarengi uap hitam mengepul ketika dua tangan yang terbuka itu meluncur ke arah dada Sie Liong.
Semenjak tadi Sie Liong dapat menduga bahwa orang pertama Tibet Ngo-houw itu akan menyerangnya dengan pengerahan tenaga sakti yang hebat. Dia tidak merasa takut, bahkan tanpa mengelak dia lalu mendorongkan tangan kanannya menyambut.
“Desss...! Plakkk!”
Pada saat tangan kanannya menyambut serangan lawan, lengan baju kiri itu menyusul dengan kecepatan kilat. Pertemuan tenaga sakti yang sangat hebat terjadi ketika tangan kanan Pendekar Bongkok bertemu dengan kedua tangan Thay Ku Lama.
Pada saat itu pula, Thay Ku Lama terkejut sekali, wajahnya seketika pucat dan mulutnya menyeringai kesakitan. Dia merasa seolah-olah semua tenaganya membalik, kemudian menghantam isi perutnya sendiri.
Pada saat itu, nampak sinar putih sudah menyambar dan mengenai tengkuknya. Itulah sambaran lengan baju yang kosong, dan begitu terkena lecutan ujung lengan baju ini, Thay Ku Lama terjungkal dan muntah darah! Ketika empat orang adiknya memeriksa, ternyata orang pertama Tibet Ngo-houw itu telah tewas!
Dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw, telah tewas di tangan Pendekar Bongkok yang hanya memiliki tangan tunggal, yaitu yang kanan saja. Empat orang pendeta Lama itu selain terkejut, juga marah bukan main. Thay Si Lama sudah mencabut cambuknya, Thay Pek Lama mencabut sepasang pedang. Thay Hok Lama melolos rantai bajanya, dan Thay Bo Lama juga menyambar tombaknya. Mereka berempat lalu mengepung dan menerjang dengan ganas.
Sementara itu, Kim Sim Lama memandang dengan wajah agak berubah. Apa yang baru saja terjadi sungguh mengejutkan hatinya bukan main. Dia tahu betapa lihainya Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang itu.
Akan tetapi dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama tewas di tangan Pendekar Bongkok. Padahal, Pendekar Bongkok sudah tidak berlengan kiri lagi. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikirnya. Sebelum lengan kirinya buntung pun, Pendekar Bongkok tidak mungkin dapat menewaskan Thay Ku Lama seperti itu. Mungkinkah dia mendapatkan ilmu baru?
Rasanya hal itu tak mungkin terjadi. Baru beberapa hari saja lewat semenjak Pendekar Bongkok buntung lengan kirinya. Bagaimana mungkin dalam waktu beberapa hari saja sudah memperoleh ilmu yang demikian dahsyatnya?!
Akan tetapi, sekarang sepasang matanya terbelalak penuh kekagetan dan keheranan. Pendekar Bongkok memang jelas bukan Pendekar Bongkok yang tempo hari sebelum lengan kirinya buntung! Menghadapi hujan serangan empat orang yang sedang marah dan sakit hati itu, Pendekar Bongkok hanya menggerakkan tangan kanannya dengan gerakan mendorong-dorong, sedangkan lengan baju kirinya menyambar-nyambar.
Hebatnya, semua senjata empat orang Harimau Tibet itu selalu terdorong membalik sebelum bertemu dengan tangan kanan, dan setiap kali bertemu ujung lengan baju kiri, seolah-olah dari tubuh Pendekar Bongkok keluar semacam tenaga sakti yang dahsyat dan yang merupakan perisai yang melindungi tubuhnya.
Setelah Pendekar Bongkok selalu menangkis pengeroyokan lawan seolah-olah hendak menguji tenaga mereka, tiba-tiba Pendekar Bongkok mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya membungkuk ke depan, kaki kanan ditarik ke belakang dan tubuh atasnya yang bongkok itu lurus ke depan. Tangan kanannya mencengkeram ke depan, dan lengan baju kiri yang tadinya ditarik ke belakang, membentuk garis lurus bagaikan seekor naga meluncur. Tiba-tiba ujung lengan baju kiri yang agaknya membentuk ekor naga itu menyambar ke depan.
Terdengar suara bersiutan dan disusul pekik dan robohnya empat orang pendeta Lama itu susul menyusul. Mata Kim Sim Lama terbelalak ketika melihat betapa empat orang pembantunya itu roboh untuk tidak bangun kembali karena ternyata mereka telah tewas! Juga para pembantunya yang lain terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Betapa mungkin pemuda bongkok yang lengan kirinya sudah buntung itu mampu membunuh lima orang Tibet Ngo-houw yang terkenal sakti itu dalam waktu demikian singkatnya?
Kim Sim Lama sendiri menjadi gentar sekali melihat kesaktian luar biasa yang dimiliki Pendekar Bongkok. Kalau Tibet Ngo-houw roboh dalam waktu demikian singkatnya, dia sendiri pun akan sukar untuk dapat menandingi Pendekar Bongkok.
Maka, tanpa malu-malu lagi dia kemudian mengeluarkan aba-aba, memerintahkan para pembantunya untuk maju mengeroyok. Juga dia berseru agar pasukan yang berada di luar bersiap-siap mengepung!
“Kim Sim Lama, bebaskan Ling Ling dan aku tidak akan mencampuri urusanmu!” bentak Sie Liong, bukan khawatir akan pengeroyokan terhadap dirinya melainkan khawatir akan nasib Ling Ling yang terjatuh ke dalam tangan para pemberontak Tibet ini.
Akan tetapi tentu saja Kim Sim Lama tidak mempedulikan permintaan ini. Pemuda ini terlalu berbahaya baginya, apa lagi dia sudah membunuh Tibet Ngo-houw, pembantu-pembantu utamanya yang merupakan tangan kanan baginya. Pendekar Bongkok harus dibasmi!
“Bunuh dia!” perintahnya sambil menggerakkan tangan, matanya berkilat marah.
Semua pembantunya sudah menghunus senjata, kecuali Yauw Bi Sian. Ia hanya duduk termenung. Ia terkejut dan kagum bukan main melihat pamannya yang bisa membunuh Tibet Ngo-houw sedemikian mudahnya. Pamannya yang sudah buntung lengan kirinya itu ternyata menjadi semakin sakti!
Diam-diam ada perasaan girang menyelinap di hatinya. Ah, kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayah kandungnya, ingin rasanya ia mencabut senjata untuk membantu pamannya menghadapi pengeroyokan semua orang itu! Dia akan rela mengorbankan nyawanya untuk membela pamannya yang dikasihinya itu. Akan tetapi, pamannya telah menjadi musuh besarnya, telah membunuh ayahnya.
Kini ia termangu. Tidak mau ia ikut mengeroyok. Memang, ia sudah bersumpah untuk membunuh Sie Liong, untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi ia tidak sudi mengeroyok Pendekar Bongkok bersama orang-orang yang sesat itu.
Akan tetapi pada saat Sie Liong menghadapi pengepung para pembantu Kim Sim Lama yang terdiri dari orang-orang pandai, di antaranya terdapat Coa Bong Gan, Pek Lan, Ki Tok Lama, dan belasan orang pendeta Lama lain, tiba-tiba terdengar sorak sorai gegap gempita di luar sarang gerombolan pemberontak itu, disusul suara pertempuran besar.
Kim Sim Lama terkejut, apa lagi ketika seorang prajurit tergopoh-gopoh melapor bahwa sarang mereka diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh para pendeta anak buah Dalai Lama. Kim Sim Lama cepat melompat keluar dari ruangan itu, diikuti oleh para pendeta Lama lainnya! Keadaan menjadi geger dan orang-orang agaknya demikian bingung dan panik mendengar bahwa tempat itu diserbu oleh pasukan Dalai Lama sehingga mereka seperti telah melupakan Pendekar Bongkok.
Sie Liong juga tidak tahu harus berbuat apa. Orang-orang itu berlompatan pergi, juga Coa Bong Gan dan yang tinggal di situ akhirnya hanya dia dan Yauw Bi Sian! Mereka berdiri saling pandang, dan melihat pandang mata penuh kebencian dari gadis itu, Sie Liong menghela napas panjang.
“Bi Sian...,” kata Sie Liong lirih.
Akan tetapi, saat itu, ketika mereka berdiri hanya berdua saja di dalam ruangan yang luas itu, Bi Sian teringat akan nasibnya, teringat betapa ayahnya terbunuh oleh pemuda bongkok ini. Bahkan pemuda bongkok ini yang membuat ia pergi meninggalkan ibunya, merantau bersama Bong Gan dan akhirnya ia ternoda oleh Coa Bong Gan, sute-nya sendiri.
Semua ini membuat hatinya terasa perih, dan semua ini gara-gara Sie Liong! Kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayahnya, tentu tidak akan sampai terjadi semua ini!
“Sie Liong, akhirnya kita dapat berhadapan satu lawan satu. Engkau harus menebus nyawa ayah, Bersiaplah!” Bi Sian mencabut pedang Pek-lian-kiam.
Akan tetapi, Sie Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan sinar mata duka. Dia maklum bahwa Bi Sian masih menuduh dia sebagai pembunuh Yauw Sun Kok, ayah gadis itu, suami enci-nya. Percuma saja dia menyangkal.
“Bi Sian, tolonglah aku. Katakan di mana Ling Ling. Aku akan membebaskannya, lalu pergi dari sini.”
Pada saat itu, Bong Gan memasuki ruangan sambil berseru, “Suci, mari kita pergi!”
Melihat betapa pemuda itu memegang lengan Ling Ling, Sie Liong segera melangkah menghampirinya. “Lepaskan Ling Ling...!”
Bong Gan tersenyum mengejek. “Mundur kamu, bongkok! Atau... akan kubunuh gadis ini di depan matamu!”
Mendengar ancaman itu, Sie Liong terkejut dan dia pun menahan langkahnya. Dia bisa saja menyerang Bong Gan, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau pemuda jahat itu akan lebih dulu membunuh Ling Ling.
Melihat sute-nya hendak menjadikan gadis peranakan Tibet itu menjadi sandera, Bi Sian mengerutkan alisnya.
“Sute, lepaskan gadis itu!”
“Aih, tidak bisa, suci! Dia lihai sekali, kalau dia bergerak, aku akan bunuh gadis ini lebih dulu!” Tanpa malu-malu Bong Gan berseru.
“Pengecut!” Bi Sian memaki. “Aku pun tidak membutuhkan bantuanmu kalau engkau takut kepada Sie Liong. Biarlah aku sendiri yang akan menuntut balas atas kematian ayahku. Bebaskan gadis itu kataku!”
Bong Gan memandang dengan bingung. Dia menoleh ke luar dan mendengarkan suara pertempuran yang tengah berlangsung di luar. “Baiklah. Pendekar Bongkok, Sie Liong, janjilah lebih dahulu bahwa engkau tidak akan menyerangku kalau aku bebaskan gadis ini!”
Tentu saja dia merasa takut karena tadi dia melihat sendiri betapa Pendekar Bongkok telah dapat membunuh lima orang Tibet Ngo-houw dengan mudahnya. Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Pendekar Bongkok yang kini menjadi amat sakti itu. Dan dia sudah membuntungi lengan kiri Pendekar Bongkok, maka ia merasa jeri kalau-kalau Pendekar Bongkok akan membalas dendam dan membunuhnya.
Sie Liong menatap wajah Coa Bong Gan dengan sinar mata mencorong. “Kalau engkau tidak mengganggu gadis itu dan membebaskannya, aku tidak akan menyerangmu. Akan tetapi kalau engkau mengganggunya atau membunuhnya, demi Tuhan, lari ke mana pun engkau, akan kukejar sampai dapat!”
Bong Gan bergidik melihat mata yang mencorong itu dan dia mendorong tubuh Ling Ling ke arah Sie Liong. Gadis itu yang sejak tadi diam saja, hanya memandang kepada Sie Liong dengan muka pucat, terhuyung ke arah Sie Liong yang segera menyambut dengan rangkulan penuh kasih sayang.
“Ling Ling...”
“Liong-koko... ahh, Liong-koko...!”
Tiba-tiba saja Ling Ling menangis tersedu-sedan di atas dada Sie Liong. Air matanya membanjir seperti bendungan pecah. Kalau tadi ia hanya diam saja dengan muka pucat, kini tangisnya tak dapat ditahan lagi, membuatnya sesenggukan dan tersedu-sedu.
“Suci, marilah kita cepat pergi. Pertempuran terjadi di luar. Dalai Lama dan pasukannya telah menyerbu. Kalau terlambat, kita celaka!” kata Bong Gan.
“Pengecut, engkau boleh pergi. Aku tidak akan pergi, aku harus membalaskan kematian ayahku. Dia telah membunuh ayah, maka dia harus menebus nyawa ayahku, atau aku akan mati pula di tangannya!”
“Bi Sian, aku tidak membunuh ayahmu...” Sie Liong yang masih mendekap Ling Ling yang menangis itu, membantah lemah.
“Tak perlu bohong! Tak perlu menyangkal! Apakah engkau juga ingin menjadi pengecut yang tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Sie Liong, engkau adalah pembunuh ayahku, maka bersiaplah, mari kita selesaikan dengan mengadu nyawa!”
“Sie Liong bukan pembunuh ayahmu, Bi Sian!” Mendadak terdengar teriakan seorang wanita dan muncullah Sie Lan Hong bersama Lie Bouw Tek di pintu ruangan itu!
“Ibuuu...!” Bi Sian berseru, memburu kepada ibunya. Mereka saling rangkul. “Ibu, apa artinya ucapanmu tadi?”
“Bi Sian, anakku. Percayalah, Sie Liong bukan pembunuh ayahmu! Aku yakin akan hal itu!”
“Ibu...!” Bi Sian memandang kepada ibunya dengan hati penasaran. “Kalau bukan dia yang membunuh ayah, habis siapa?”
“Engkau mau tahu siapa pembunuh ayahmu? Dialah orangnya!”
Jari telunjuk Sie Lan Hong menunjuk ke arah Coa Bong Gan yang seketika pucat dan terbelalak. Karena semua mata kini ditujukan kepadanya, dia menjadi gentar dan tanpa disadarinya, dia melangkah mundur sampai mepet ke dinding.
“Ibu, apa artinya ini? Sute Coa Bong Gan yang membunuh ayah? Bagaimana pula ini? Ibu, aku menjadi bingung, aku tidak mengerti...” Bi Sian masih meragu karena hal itu dianggapnya tidak masuk akal.
“Tidak benar, suci, itu fitnah saja!” Bong Gan mencoba untuk membantah, walau pun wajahnya sudah menjadi pucat sekali.
“Diam kau!” bentak Bi Sian. “Ibu tidak akan menuduh dengan fitnah! Ibu, jelaskanlah agar aku dapat mengerti.”
“Bi Sian, setelah engkau pergi, aku lalu melakukan penyelidikan mengenai kematian ayahmu. Dan hasilnya sungguh mengejutkan sekali. Malam itu, ayahmu pergi ke rumah pelesir, tempat para pelacur dan ayahmu minum arak sampai mabok di tempat itu. Akan tetapi, menurut keterangan para pelacur di sana, sebelum ayahmu tiba, di sana ada seorang tamu lain. Ayahmu melihat tamu itu, dan tamu itulah yang sudah membunuh ayahmu.”
“Siapa..., siapa dia, ibu?”
“Tamu itu adalah dia, Coa Bong Gan ini!”
“Bohong!” teriak Bong Gan. “Apa perlunya aku membunuh ayahmu, suci?”
“Hemmm, apa perlunya?” Sie Lan Hong berkata. “Suamiku sudah melihatmu di rumah pelacuran. Dan engkau tentu merasa takut kalau-kalau suamiku sampai menceritakan kelakuanmu yang hina itu kepada puteriku. Engkau telah jatuh cinta kepada puteriku ini, bukan? Tentu engkau tidak ingin puteriku mendengar bahwa engkau berkeliaran dan bermain gila di rumah pelacuran, maka engkau lalu membunuh suamiku yang sedang mabok. Kemudian, untuk menghilangkan jejak, engkau menyamar sebagai adikku dan melempar kedok itu di dekat kamar Sie Liong!”
“Aihh, pantas saja dia bersikeras untuk membunuhku, dan telah berhasil membuntungi lengan kiriku. Tentu untuk menghilangkan jejaknya sama sekali,” kata Sie Liong yang masih merangkul Ling Ling.
Bi Sian kini menjadi pucat, sepasang matanya terbelalak memandang pada Bong Gan. Saking kagetnya, herannya dan marahnya ia sampai merasa hampir pingsan.
Ling Ling meronta lepas dari rangkulan Sie Liong ketika mendengar ucapan Sie Liong. “Liong-koko, jadi dia itulah yang sudah membuntungi lenganmu? Keparat jahanam...!” Ling Ling berlari menghampiri Bong Gan dengan sikap seperti seekor singa betina yang hendak menyerang dengan cakaran dan gigitan.
“Ling Ling, ke sinilah...!”
Namun, seruan Sie Liong itu telah terlambat. Bong Gan secepat kilat sudah menyambar lengan Ling Ling dan menelikungnya. Dia kini tersenyum menyeringai dan memandang kepada semua orang dengan sikap menantang.
“Kalian semua mundur! Kalau ada yang berani maju, akan kubunuh gadis ini!”
Melihat betapa Ling Ling kembali menjadi tawanan Bong Gan, tentu saja Pendekar Bongkok tidak berani berkutik. Juga Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek yang keduanya sudah memegang pedang masing-masing, tidak berani maju.
Akan tetapi, Bi Sian tidak peduli. Dia melangkah maju menghampiri sute-nya, pedang Pek-lian-kiam masih terhunus di tangannya, matanya tidak pernah berkedip, terbelalak memandang kepada pemuda itu.
“Coa Bong Gan... kau... kau.... yang telah membunuh ayah?” katanya lirih, seperti orang bertanya juga seperti orang meragu dan tidak percaya.
“Suci, mundur kau! Akan kubunuh gadis ini kalau engkau tidak mau mundur!” bentak Bong Gan.
“Bunuh aku! Keparat jahanam kau! Bunuh aku!” Ling Ling meronta, lalu setelah lengan sebelah terlepas, ia nekat mencakar dan menggigit. “Hayo bunuh aku! Jahanam busuk kau, bunuh aku! Engkau telah membuntungi lengan Liong-koko! Hayo kau bunuh aku...!” Bagaikan gila Ling Ling menubruk ke arah pedang yang dipegang Bong Gan.
Pemuda ini kewalahan juga ketika Ling Ling meronta, mencakar dan menggigit. Ketika ia hendak menggerakkan tangan kiri untuk menotok, hal yang tidak mudah karena tubuh gadis itu meronta dan menggeliat-geliat, tiba-tiba Ling Ling dengan nekat menubruk ke arah pedang.
Pedang yang runcing itu memasuki perutnya dan darah muncrat ketika dengan lunglai, Ling Ling roboh. Mata Bong Gan terbelalak. Dia meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya.
“Ling-moi...!”
Secepat kilat Pendekar Bongkok meloncat dan menyambar tubuh Ling Ling yang mandi darah. Sekali memeriksa, tahulah dia bahwa sia-sia saja menolong gadis itu. Gadis itu dalam keadaan sekarat!
“Ling Ling... ahhh, Ling Ling... kenapa kau harus lakukan itu...?” Sie Liong menangis, mengguncang tubuh gadis itu dan menciumi mukanya.
Ling Ling menggerakkan bibirnya, berkata lirih. “... aku... aku lebih baik mati... koko... aku tidak berharga lagi... dia... dia telah monodaiku...” Dan ia pun terkulai, tewas dan tak bernyawa lagi.
“Ling-moi...! Ling-moi...!”
Sie Liong mendekap mayat yang masih hangat itu dan menangis sesenggukan di atas muka dan lehernya yang basah oleh air matanya. Dia tidak peduli betapa pakaian dan tubuhnya penuh darah yang mengalir keluar dari luka di perut Ling Ling. Dia merasa seolah-olah nyawanya sendiri yang melayang. Baru dia menyadari betapa dia sangat menyayang gadis ini, betapa amat berat berpisahan dengannya.
“Jahanam engkau, Coa Bong Gan!” Sekali meloncat, Bi Sian sudah berada di depan pemuda itu, sepasang matanya seperti dua bola api yang bernyala. “Engkau sungguh seorang manusia berhati iblis! Aku yang dahulu membujuk suhu untuk menolongmu dan mengambilmu sebagai murid! Ternyata engkau lebih rendah dari pada seekor binatang! Engkau sudah membunuh ayahku, engkau sudah membuntungi lengan kiri paman Sie Liong! Kini aku tahu, engkau sudah menodai aku dengan tipu muslihat! Dan engkau masih begitu keji untuk menodai Ling Ling yang menjadi tawanan. Coa Bong Gan, kalau aku tidak membunuhmu, aku akan menjadi setan penasaran!”
Kini Bong Gan kelihatan ketakutan sekali. Dia tadi hendak mempergunakan Ling Ling sebagai sandera untuk menyelamatkan diri, akan tetapi tidak disangkanya, Ling Ling dengan nekat membunuh diri. Dia menoleh ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu.
Di sana sudah berdiri Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek dengan pedang di tangan, siap untuk menghadangnya dan mencegah dia melarikan diri. Dan Pendekar Bongkok yang ditakutinya itu masih menangis sambil mendekap mayat Ling Ling!
Kalau saja dia dapat merobohkan suci-nya, maka masih ada harapan baginya untuk menyelamatkan diri selagi Pendekar Bongkok asyik menangisi kematian kekasihnya. Yang ditakutinya hanya Pendekar Bongkok. Biar pun dia tahu akan kelihaian suci-nya, bagaimana pun juga dia masih sanggup menandinginya.
“Bi Sian, ingatlah, engkau sudah menjadi isteriku! Mari kita pergi dari sini, melupakan segalanya dan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia berdua...”
Dia masih mencoba untuk membujuk, akan tetapi pada saat itu, pedangnya bergerak menusuk ke arah dada Bi Sian. Memang pemuda ini curang sekali, dan amat licik. Dia sengaja bicara untuk membuat Bi Sian lengah dan hampir dia berhasil.
Bi Sian yang mendengar ajakannya itu merasa begitu muak sehingga ia menjadi lengah dan ketika Bong Gan menusukkan pedangnya secara tiba-tiba, ia pun terkejut. Tak ada kesempatan lagi untuk menangkis sehingga dia segera melempar diri ke samping untuk menghindar. Akan tetapi ujung pundaknya, pada pangkal lengan, masih tercium mata pedang yang membuat baju dan kulit di bagian itu terobek dan berdarah.
“Jahanam!” Bi Sian memaki dan kini ia menyerang dengan pedangnya.
Demikian marahnya Bi Sian sehingga serangannya amat ganas dan dahsyat. Bong Gan yang sebetulnya jeri itu, lalu menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan pedang yang seru dan mati-matian antara suci dan sute ini, antara dua orang muda yang tadinya akan menjadi suami isteri.
Bi Sian menggerakkan pedang dengan penuh semangat dan penuh kebencian, dengan nafsu membunuh berkobar-kobar. Sebaliknya Bong Gan melawan dengan perasaan gentar dan bingung. Dia mengharapkan dapat bertahan cukup lama agar bisa memberi kesempatan kepada kawan-kawannya untuk datang membantunya.
Bong Gan sama sekali tidak tahu bahwa keadaan Kim Sim Lama dan anak buahnya tidak lebih baik dari pada keadaannya. Mereka itu sudah terkepung dan kini Kim Sim Lama bahkan sudah dikeroyok oleh Kong Ka Lama sendiri yang dibantu oleh banyak pendeta Lama yang berkepandaian tinggi. Dan anak buah pemberontak itu pun sudah terhimpit oleh pasukan Dalai Lama, banyak yang roboh dan banyak pula yang terpaksa menyerah karena sudah tidak mampu melawan lagi.
Sie Liong telah mampu menguasai dirinya lagi. Dia masih memangku mayat Ling Ling, dan kini dia tidak lagi menangis. Dia mengangkat muka memandang perkelahian yang terjadi antara Bi Sian dan Bong Gan. Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi mendengar pula pengakuan Bi Sian bahwa keponakannya itu telah pula dinodai oleh Bong Gan.
Betapa jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi mati-matian melawan Bi Sian, tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau jahat untuk dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak orang yang akan menjadi korban kejahatannya.
Akan tetapi, dia tidak bergerak untuk membantu Bi Sian. Dia dapat melihat betapa pemuda itu tidak akan mampu mengalahkan Bi Sian. Biarlah, biarlah Bi Sian yang akan menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.
Sie Lan Hong yang berdiri di ambang pintu untuk menghadang Bong Gan melarikan diri, ditemani oleh Lie Bouw Tek, memandang ke arah perkelahian itu dengan mata basah dan wajah pucat. Ia pun merasa amat iba kepada puterinya.
Puterinya telah ditipu oleh sute-nya sendiri yang sangat jahat, bukan hanya puterinya memusuhi Sie Liong yang tidak berdosa, bahkan puterinya sudah dinodai pemuda itu yang ternyata adalah pembunuh suaminya. Ia pun dapat merasakan betapa pedih hati puterinya.
Tadi ia hendak meloncat dan membantu puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie Bouw Tek. Ketika ia menoleh, pendekar Kun-lun-pai itu menggeleng kepalanya.
“Tingkat kepandaian mereka terlalu tinggi. Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri kalau engkau membantu. Kulihat puterimu tidak akan kalah,” demikian kata Lie Bouw Tek.
Lie Bouw Tek sendiri juga tidak berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan membantu Bi Sian, sebaliknya malah akan menjadi penghalang gerakan gadis yang amat lihai itu. Akan tetapi dia tetap berjaga-jaga dan tentu akan membantu kalau sampai puteri wanita yang dicintainya itu terancam bahaya kekalahan.
Pertempuran antara Bi Sian dan Bong Gan kini sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh jurus mereka saling serang, dan walau pun Bi Sian selalu berada di pihak yang mendesak, namun Bong Gan masih mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh walau pun paha kirinya telah terobek kulitnya, dan juga pangkal lengan kanannya sudah tersayat.
Bi Sian sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan kirinya robek kulitnya oleh serangan pertama yang curang. Kini pedang Pek-lian-kiam lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan yang menghimpit lawan sehingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin menyempit.
Pemuda itu didesak terus, berputar-putaran di dalam ruangan yang luas itu. Dia maklum bahwa tidak ada jalan keluar melarikan diri, maka dia pun melawan mati-matian dan dengan nekat.
“Haiiiittt...!”
Untuk ke sekian kalinya, pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu meluncur dan mencuat ke arah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu menusuk ke arah dada pemuda itu. Dasar ilmu pedang yang dimainkan Bi Sian adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Setan) dari Koay Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang disebut Menghitung Tulang Iga.
Tentu saja Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan dia sudah memutar pedangnya untuk melindungi bagian dada yang dihujani pedang suci-nya yang ditangkisnya. Pada saat itu, Bi Sian menggerakkan tangan kirinya dan dengan jurus pukulan Menghancurkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan tenaga sepenuhnya menghantam ke arah kepala Bong Gan!
“Plakkk!”
Biar pun Bong Gan sudah miringkan kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu. Dia mengeluarkan jerit mengerikan dan tubuhnya terpelanting. Ketika itu, Bi Sian menubruk dan melihat ini, Sie Liong berseru kaget dan heran.
“Bi Sian, jangan...!”
Namun terlambat, ketika Bi Sian menubruk, Bong Gan yang matanya melotot besar itu menusukkan pedangnya.
“Cappp...!”
Pedang itu menembus dada Bi Sian dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas seketika, dan Bi Sian merintih-rintih.
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong lari menubruk puterinya yang tidak merintih lagi, melainkan memandang kepada ibunya.
“Ibu... maafkan... aku...”
“Bi Sian... anakku...!”
Sie Lan Hong menjadi lemas dan ia pun pingsan dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga sudah berlutut di dekat Bi Sian dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti yang dilakukan kepada Ling Ling tadi. Setelah dia memeriksa, dia pun menarik napas panjang. Pedang di tangan Bong Gan tadi telah masuk terlalu dalam dan sukar baginya untuk menyelamatkan nyawa gadis itu.
“Bi Sian, kenapa kau lakukan itu?” tegur Sie Liong.
Dia tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan dadanya ditusuk pedang. Gerakan gadis yang tadi menubruk merupakan bunuh diri dan dia melihatnya dengan jelas.
“Aku... untuk apa aku... hidup lebih lama...? Paman... kau... engkau mau memaafkan aku...?”
Sie Liong menunduk dan mencium dahi itu. “Tentu saja... engkau keponakanku yang tersayang...”
Bi Sian tersenyum walau pun wajahnya pucat sekali. Terlalu banyak darah membanjir keluar dari dadanya.
“Paman... kalau aku hidup... aku hanya akan menderita siksa batin... menyesali semua kebodohanku… aku... aku ingin mati... akan kuceritakan kepada ayah... engkau tidak membunuhnya, engkau... engkau pamanku yang baik...”
“Bi Sian...” Sie Liong memeluk dan mendekap kepala keponakannya itu. “Sudahlah... jangan banyak cakap... aku memaafkanmu, engkau keponakanku yang baik...”
“Paman, engkau amat mencinta... Ling Ling...?”
Diingatkan kepada Ling Ling yang menggeletak tak bernyawa di dekat situ, Sie Liong menoleh lalu memejamkan mata. Beberapa butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia mengangguk. “Aku... cinta padanya, Bi Sian. Aku... aku cinta...”
“Dan... aku? Kau... sayang padaku, paman...? Bukan? Kau sayang kepadaku...?”
Dalam ucapannya itu terkandung permohonan yang demikian mendalam sehingga bagi Sie Liong merupakan tusukan pedang yang membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia hanya mengangguk-angguk saja, mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.
“Bi Sian anakku...!” Sie Lan Hong yang baru saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian yang masih dirangkul Sie Liong. Wanita ini menangis terisak-isak.
“Ibu... katakanlah, engkau... memaafkan aku, ibu. Paman... paman Liong juga... sudah memaafkan aku...”
Bi Sian merangkul dan di antara isaknya dia berbisik. “Ibu memaafkanmu... nak...”
Dan terdengar Bi Sian melepas napas panjang seperti orang yang merasa lega, akan tetapi itu merupakan nafas terakhir.
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong kembali jatuh pingsan.
********************
Pertempuran sudah berakhir. Kim Sim Lama menjadi tawanan dalam keadaan luka-luka berat. Dia akan menjalani hukuman di dalam tempat hukuman khusus di Tibet. Dihukum dan dikeram sampai akhir hidupnya.
Dalai Lama sendiri turut datang melayat ketika jenazah Bi Sian dan Ling Ling sudah dimasukkan ke dalam peti mati dan disembahyangi. Juga para pendeta Lama datang melayat ketika dua buah peti itu sedang dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama yang melayat berpamit dan meninggalkan tanah kuburan, yang tinggal di situ hanya Sie Liong, Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek.
Mereka masih duduk di atas tanah, di depan dua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas dalam pertempuran ditanam di sarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang menyeramkan. Kini tiga orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak berani mengganggu keheningan saat itu, setelah semua orang yang berlayat pergi. Mereka melamun dalam alam pikiran masing-masing.
Sie Lan Hong melamun dan mengenangkan semua riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia seorang gadis remaja, kemudian dipaksa menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai akhirnya melahirkan Bi Sian. Hidupnya hampir tak pernah bahagia. Bahkan akhir-akhir ini hidupnya menderita sengsara.
Suaminya kembali ke dalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh. Puterinya yang tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie Liong menjadi pembunuh ayahnya. Kemudian gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam. Betapa ia selalu gelisah dan berduka. Sampai ia berjumpa dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya.
Akan tetapi, perjumpaannya dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu pahit dan penuh kesengsaraan batin. Akan tetapi, kini dia hidup sebatang kara, dan ada Lie Bouw Tek di sampingnya. Akan datangkah masa bahagia dalam hidupnya? Ia melirik ke arah pria itu. Lie Bouw Tek juga tengah melamun.
Alangkah jantannya pria itu. Ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat menyayang dan mencintanya. Semoga jalan hidupnya di depan akan lancar dan mulus, dan penuh kebahagiaan untuk menebus masa lalu yang penuh derita.
Lie Bouw Tek juga melamun. Dia juga membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang dicintanya. Sungguh malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena timbul iba hati terhadap wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung jawab. Seorang wanita yang akan menjadi isteri yang amat baik. Dan sudah terlalu lama ia hidup menyendiri. Dia juga membutuhkan kelembutan seorang wanita, membutuhkan perhatian dan sentuhan cinta kasih seorang wanita.
Selama ini dia tidak pernah tertarik kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong, dia bukan hanya tertarik, bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan segala syarat sebagai seorang calon isteri! Dia ingin membahagiakan hidup wanita itu! Hidupnya kini mempunyai suatu arah, suatu tujuan. Ada seseorang yang membutuhkan dirinya! Dia merasa ada gunanya hidup di dunia ini!
Sie Liong juga termenung. Selesailah sudah, pikirnya. Habislah sudah. Dan demikianlah hidup. Semua itu hanya bayangan, seperti awan berarak di angkasa, hanya selewatan saja. Segala cita, segala harapan, segala kesenangan, hanya selewatan. Bukan, bukan itulah hakekat hidup. Semua yang terjadi itu hanyalah permainan nafsu atas badan.
“Sie-taihiap!”
Panggilan itu menariknya kembali dari alam lamunan. Dia monoleh dan memandang. Lie Bouw Tek yang memanggilnya. Sie Liong mengerutkan alisnya, tak mengenal siapa laki-laki gagah perkasa ini. Dia hanya tahu bahwa pria ini datang bersama enci-nya, dan melihat pula betapa pria itu akrab dengan enci-nya, bersikap mencinta dan melindungi.
“Maaf, aku belum mengenal siapa toako...,” katanya ragu.
Enci-nya menghampirinya, dan duduk di dekatnya, memegang lengan kanannya sambil mengamati pundak kiri yang tak berlengan itu. “Adikku, aku tadi belum sempat minta maaf kapadamu. Maafkanlah enci-mu ini yang pernah meragukan kebersihan hatimu, Liong-te. Aku pernah meragukan engkau yang kusangka telah membunuh ayah Bi Sian untuk membalas dendam kematian orang tua kita...”
Sie Liong menarik napas panjang dan seketika menghalau semua kenangan itu. Tidak ada gunanya!
“Sudahlah, enci Hong. Tidak perlu kita membicarakan hal yang telah lalu. Bagaimana engkau bisa sampai ke tempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?”
Dengan singkat Lan Hong menceritakan tentang penyelidikannya, kemudian mengenai perjalannya ke Tibet untuk mencari adiknya dan puterinya.
“Dalam perjalanan itu, ketika diserang oleh segerombolan penjahat, Lie-toako ini yang menyelamatkan aku, Liong-te. Bahkan Lie-toako lalu mengantar aku sampai ke Lhasa dan membantuku untuk mencari engkau dan Bi Sian. Lie-toako ini mewakili Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa Tibet Ngo-houw sampai memusuhi Kun-lun-pai dan selanjutnya kita bertemu di sini.”
Sie Liong mengangguk-angguk. Dia tidak tertarik lagi akan cerita masa lalu yang hanya terisi banyak kenangan yang menyedihkan hatinya. Dia kemudian bangkit dan memberi hormat kepada Lie Bouw Tek sambil berkata, “Kalau begitu terimalah hormatku dan ucapan terima kasihku bahwa engkau telah menolong enci-ku, Lie-toako.”
“Ahh, jangan sungkan, taihiap. Sebagai seorang pendekar besar tentu engkau pun tahu bahwa di antara kita tak ada pertolongan, yang ada hanyalah pelaksanaan tugas untuk menentang kejahatan dan membantu yang menjadi korban kejahatan.”
“Lie-toako, sesudah apa yang kau lakukan kepada enci-ku, harap jangan lagi menyebut taihiap kepadaku. Namaku Sie Liong.”
“Baiklah, adik Liong, dan terima kasih atas keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya, setelah semua peristiwa ini lewat, engkau lalu hendak pergi ke manakah?”
“Liong-te, mari kita pulang saja ke timur. Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah, dan terlalu banyak kita berdua menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi kita berdua untuk hidup bersama dengan bahagia, adikku,” kata pula Sie Lan Hong dengan suara lembut membujuk.
Akan tetapi Sie Liong menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
“Maafkan aku, enci. Akan tetapi, aku ingin bebas. Aku ingin menuruti suara hatiku, aku ingin mengikuti gerak langkahku!”
“Akan tetapi, adikku. Aku ingin berdekatan denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih sayangku sebagai enci-mu, ingin menghiburmu...”
Sie Liong tersenyum, bukan sekedar senyum bahkan wajahnya nampak sangat cerah. “Pandanglah aku, enci. Apakah aku membutuhkan hiburan? Semua sudah terjadi dan aku tidak merasa menyesal. Enci Lan Hong, aku tidak khawatir meninggalkan engkau, karena aku melihat bahwa ada seorang yang patut kau sayangi, kau hormati, dan kau harapkan perlindungannya.” Sie Liong lalu menatap wajah Lie Bouw Tek yang menjadi kemerahan.
Pendekar Kun-lun-pai ini tersenyum malu-malu, lalu menarik napas panjang dan dia pun kini menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata jujur.
“Liong-te, sungguh aku kagum sekali. Engkau selain memiliki ilmu yang sangat hebat, juga memiliki kewaspadaan. Baiklah, aku ingin berterus terang saja. Tepat seperti yang agaknya telah dapat kau duga, aku jatuh cinta kepada enci-mu. Dan mengingat bahwa ia tidak memiliki anggota keluarga lainnya, maka aku ingin menggunakan kesempatan terakhir ini untuk minta persetujuanmu. Setujukah engkau jika aku melamar adik Sie Lan Hong menjadi isteriku?”
Sie Liong tersenyum gembira dan diam-diam dia semakin suka dan kagum kepada Lie Bouw Tek. Seorang laki-laki yang jantan. Seorang pendekar yang gagah perkasa dan jujur. Cepat dia memberi hormat kepada pendekar itu.
“Lie-toako, aku akan merasa berbahagia sekali apa bila engkau menjadi cihu-ku (kakak iparku). Tentu saja aku merasa setuju sepenuhnya. Akan tetapi, semua keputusan akhir kuserahkan pada enci Lan Hong. Harap engkau ajukan sendiri lamaranmu kepada enci Lan Hong.”
Biar pun dia merasa rikuh bukan main, namun sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur, Lie Bouw Tek lalu menghadapi Lan Hong yang sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
“Hong-moi, engkau sudah mendengar sendiri percakapan antara aku dan adikmu. Nah, biar aku mempergunakan kesempatan ini, disaksikan oleh adikmu, untuk mengajukan pinangan kepadamu. Hong-moi, sudikah engkau menjadi isteriku?”
Kepala itu semakin menunduk, dan muka itu menjadi semakin kemerahan. Kemudian, ia mengangkat muka, memandang sedetik kepada Lie Bouw Tek, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. Akhirnya, wanita itu lari dan menubruk Sie Liong sambil menangis!
Sie Liong merangkul dan menepuk-nepuk pundak enci-nya, tanpa bicara sepatah kata. Dia membiarkan enci-nya menangis di pundaknya, pencurahan dari semua keharuan dari hati enci-nya. Setelah tangis itu mereda, dia berbisik dekat telinga enci-nya.
“Enci Hong, aku percaya bahwa sekali ini engkau tidak salah pilih. Kionghi (selamat), enci-ku yang baik.”
Lan Hong mengusap air matanya. “Liong-te, marilah engkau ikut bersama kami, hidup berbahagia bersama kami...”
Walau pun Lan Hong belum menjawab lamaran Lie Bouw Tek, namun ucapan ‘hidup bersama kami’ itu saja sudah merupakan jawaban yang jelas.
Dengan lembut Sie Liong melepaskan rangkulan enci-nya. “Terima kasih, enci Hong. Aku harus melanjutkan perjalanan hidupku. Kuharap kalian dapat mengerti. Biarlah aku menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepada kalian. Semoga Tuhan selalu memberi berkah dan bimbingan kepada kalian. Cihu (kakak ipar), harap kau jaga baik-baik enci-ku yang kusayang ini. Enci Hong, selamat tinggal. Sekarang aku harus pergi.”
“Liong-te...!” Lan Hong berseru, akan tetapi ia dan Bouw Tek hanya melihat bayangan berkelebat dan Pendekar Bongkok sudah lenyap dari depan mereka.
“Liong-te...!” Lan Hong kembali berseru dengan isak, dan Bouw Tek sudah merangkul pundaknya.
“Sudahlah, Hong-moi. Biarkan dia menikmati kebebasannya dan jangan memberati dia dengan tangis. Mari, marilah kita menyongsong hidup baru. Engkau pun berhak untuk menikmati kebahagiaan hidup, Hong-moi, bersamaku.”
Mereka lalu perlahan-lahan melangkah pergi meninggalkan kuburan itu. Masa depan mereka terbentang luas, di mana mereka dapat hidup berbahagia setelah masa lalu yang suram mereka lewati.
Pemberontakan yang dipimpin Kim Sim Lama itu pun habis riwayatnya. Kim Sim Lama ditawan dan menjalani hukuman. Semua pembantunya, termasuk pula Pek Lan, tewas dalam pertempuran melawan para pendeta Lama dan pasukan pengikut Dalai Lama.
Juga pasukan Dalai Lama menyerang serta memukul mundur pasukan pemberontak Nepal yang dipimpin Pangeran Maranta Sing dan mengusir mereka dari daerah Tibet. Daerah Tibet seluruhnya menjadi aman dan rakyat mulai dapat hidup tenteram…..
********************
Di lembah bukit-bukit yang sunyi, berjalanlah Pendekar Bongkok Sie Liong seorang diri. Keheningan menyelimuti seluruh alam di sekitarnya, akan tetapi Sie Liong tidak merasa kesepian. Hening akan tetapi tidak kesepian.
Dia merasa menyatu dengan alam sekitarnya. Kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, di dalam dan di luar dirinya sehingga dia tidak merasa terpisah, tidak merasa kesepian.
Nama Pendekar Bongkok kemudian amat terkenal di seluruh dunia persilatan, biar pun jarang ada yang pernah bertemu dengan dia. Hal ini adalah karena Pendekar Bongkok tak pernah mau kembali ke selatan. Dia merantau di sepanjang gurun Gobi dan di mana pun dia berada, dia selalu menentang kejahatan, membela yang benar dan lemah.
Para pedagang dan mereka yang melakukan perjalanan di daerah Gobi, yang pernah mendapatkan pertolongan Pendekar Bongkok ketika mereka mengalami mara bahaya, ketika mereka diancam gerombolan perampok, mereka itulah yang mengabarkan nama besar Pendekar Bongkok di dunia kang-ouw di selatan.
Namun Pendekar Bongkok sendiri tidak pernah mau meninggalkan Gurun Gobi, bahkan dia tidak pernah mau memperkenalkan diri atau namanya sehingga orang-orang yang tidak mau menggunakan julukan ejekan Pendekar Bongkok itu lalu menyebutnya Gobi Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Gobi).
Sie Liong memang maklum sepenuhnya akan keadaan dirinya. Dia bukan saja bongkok, tetapi juga lengan kirinya buntung. Orang tapadaksa seperti dia hanya akan menerima ejekan dan penghinaan saja di dunia ramai.
Juga dia tidak lagi mengharapkan kasih sayang wanita, karena dia maklum sepenuhnya bahwa cinta antara pria dan wanita adalah cinta nafsu, cinta birahi yang selalu menuntut keindahan rupa, daya tarik lahiriah. Dan untuk itu, dia sudah tidak mempunyai daya tarik sama sekali.
Tidak mudah menemukan seorang wanita seperti Ling Ling, atau seperti Bi Sian, yang tidak begitu terpengaruh oleh keindahan rupa. Tidak, dia tidak akan lagi melibatkan diri dengan seorang wanita…..
T A M A T